TRAINING HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGAJAR HUKUM DAN HAM Makassar, 3 - 6 Agustus 2010
MAKALAH
PENGADILAN KEJAHATAN GENOSIDA DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI INDONESIA Oleh: ENNY SOEPRAPTO PhD
PENGADILAN KEJAHATAN GENOSIDA DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI INDONESIA ENNY SOEPRAPTO PhD Hotel Santika. Makassar, 3 – 6 August 2010
SEJARAH PEMBENTUKAN • Kesepakatan New York 5 Mei 1999: Jajak pendapat di Tim‐Tim akan diadakan 30 August 1999 • Tindak kekerasan sebelum dan sesudah berlangsungnya jajak pendapat (perkosaan, penyiksaan, penyerangan, dan penghancuran milik): lebih dari 1300 meninggal
•
Pernyataan Komnas HAM 8 September 1999: “perkembangan kehidupan masyarakat di Timor Timur pada waktu itu telah mencapai kondisi anarki dan tindakan‐tindakan terrorisme telah dilakukan secara luas baik oleh perorangan maupun kelompok dengan kesepakatan langsung dan pembiaran oleh unsur‐unsur aparat keamanan”.
•
22 September 1999: Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP‐HAM) di Tim‐Tim: ** Melakukan pemantauan dan penyelidikan peristiwa di Tim‐Tim dimana tampak terjadi pelanggaran HAM, sesuai dengan mandatnya menurut Keppres 50/1999 tertanggal 7 Juni 1993
•
Sidang Khusus Komisi HAM PBB (Jenewa) 23‐27 September 1999 untuk membahas situasi di Tim‐Tim.
•
Resolusi (1999/S‐4/1) 27 September 1999: ** Menuntut Pemerintah Indonesia untuk, antara lain, bekerja sama dengan Komnas HAM untuk memastikan agar orang‐orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis HAM diadili ** Meminta Sekjen PBB untuk membentuk komisi penyelidik internasional yang komposisinya terdiri atas ahli‐ahli dari Asia dan yang akan bekerja sama dengan Komnas HAM; ** Mengirimkan pelapor khusus ke Tim‐Tim
• Sebelum Sidang Khusus Komisi tentang HAM PBB gencar desakan kalangan komunitas internasional agar DKPBB membentuk tribunal internasional ad hoc untuk Tim‐Tim (seperti ICTY, dibentuk 1993, dan ICTR, dibentuk 1994) • Desakan Demikian digagalkan oleh Diplomasi Indonesia yang berhasil meyakinkan komunitas internasional tentang kemampuan dan komitmen Indonesia untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Tim‐Tim melalui proses peradilan nasional.
• •
•
Pada saat dimulainya Sidang Khusus Komisi tentang HAM mengenai Tim‐Tim (23 September 1999), UU 39/1999 tentang HAM diundangkan. Pasal 104: “(1) Untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan UU dalam jangka waktu 4 (empat) tahun. (3) Sebelum terbentuk Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kasus‐kasus pelanggaran HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.” Penjelasan Pasal 104 ayat (1): “Yang dimaksud dengan ‘pelanggaran HAM yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang‐ wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra‐judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).”
•
8 Oktober 1999 (15 hari setelah diundangkannya UU 39/1999; 11 hari setelah resolusi Komisi tentang HAM PBB: Perppu 1/1999 tentang Pengadilan HAM ** Pengertian istilah (yang dimaksud dalam Perppu ini): “Pelanggaran HAM” = “pelanggaran HAM yang berat” (Pasal 1 angka 2) ** Lingkup kewenangan (Pasal 4): Memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang berupa: *** Pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan kulit, jenis kelamin, umur atau cacat mental atau fisik; *** pembunuhan sewenang‐wenang atau di luar putusan pengadilan; *** penghilangan orang secara paksa; *** perbudakan; *** diskriminasi yang dilakukan secara sistematis *** penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memperoleh keterangan atau pengaduan baik dari yang bersangkutan maupun orang ketiga atau untuk menakut‐nakuti atau memaksa yang bersangkutan atau orang orang ketiga atau dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya (pengulangan pejelasan Pasal 104 UU 39/1999)
** Penyelidikan:
Oleh Komnas HAM (Pasal 10 (1) ) ** Penyidikan dan penuntutan Jaksa Agung (Pasal 12) ); ** Pemeriksaan perkaran: Pengadilan HAM (Pasal 18 (1) ) ** Hukum acara: UU 8/1981 (KUHAP) kecuali diatur sendiri oleh Perppu ini (Pasal 20); ** Terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya Perppu ini (Pasal 24): “tetap diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang‐undangan yang berlaku) *** Artinya: ‐ Perppu 1/1999 tidak berlaku surut; ‐ Tidak dapat digunakan untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan memeriksa perkara peristiwa Tim‐Tim yang terjadi sebelum berlakunya Perppu 1/1999 ( Oktober)
** Perppu 1/1999 *** Lingkup kategori kejahatan (crime (s) ) yang termasuk yurisdiksi “Pengadilan HAM” terbatas ; *** Bentuk tindak pidana (criminal act (s) ) yang termasuk lingkup yurisdiksi “Pengadilan HAM” sangat terbatas; *** Pengaturan proses peradilan tidak cukup rinci; *** Masih, ada general rule, menggunakan UU 8/1981 (KUHAP sebagai hukum acaranya,padahal UU 8/1981 diperuntukkan bagi kejahatan/tindak pidana “biasa”); *** Tidak dapat diterapkan untuk peristiwa sebelum berlakunya Perppu 1/199 (8 Oktober 1999) ** DPR menolak mengukuhkaan Perppu 1/1999 menjadi UU ** Dibuat (dengan tergesa‐gesa) RUU yang kemudian menjadi UU 26/2000 tentang “Pengadilan HAM”
* Yurisdiksi materiil (ratione materiae) ** “Pelanggaran HAM yang berat” (Pasal 4): yang “meliputi”: *** Kejahatan genosida; dan *** Kejahatan terhadap kemanusiaan; (Pasal 7) yang sesuai dengan ‘Rome Statute of The International Criminal Court’ (Pasal 6 dan Pasal 7)”; 7)”;
* Yurisdiksi temporal (ratione temporis): Untuk peristiwa yang terjadi: ** Sejak berlakunya UU ini (sesuai Pasal 51); ** Peristiwa yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini (Pasal 43 (1) ); *** Diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc: *** Pengadilan HAM ad hoc: **** Dibentuk atas usul DPR (Pasal 43(2)); **** Berdasarkan peristiwa tertentu (Pasal 43(2)) yang dibatasi pada locus delicti dan tempus delicti tertentu (sebelum diundangkannya UU 26/2000) Penjelasan Pasal 43(2) ); **** Dengan Keppres (tentunya “Perpres” sejak berlakunya UU 10/2004); * Tyrisdiksi personal (ratione personae): ** “Setiap orang”: ** Orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual; (Pasal 1 angka 4) ** Juga WNI yang melakukan “pelanggaran HAM di luar wilayah NRI (Pasal 5)
* Penerapan UU 26/2000: A. Sebelum berlakunya UU 26/2000: ** Tanjung Priok 1984 (selesai); ** Tim‐Tim (selesai); ** Trisakti 1998 (penyelidikan selesai; menolak menyidik); ** Semanggi 1998 (“Semanggi I”) (s.d.a.); ** Semanggi 1999 (“Semanggi II”) (s.d.a.); ** Mei 1998 (s.d.a.) ** Penghilangan Paksa 1997‐1998 (s.d.a.) B. Setelah berlakunya UU 26/2000 ** Abepura 2000 (tingkat pertama selesai); ** Wasior 2001‐2002 (penyelidikan selesai; penyidik menolak menyidik); ** Wamena 2003 (s.d.a.)
Kelemahan/lakuna UU 26/2000, antara lain: * Yurisdiksi Hanya Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, padahal Statuta MPI (Statuta Roma) mencakup juga kejahatan perang dan kejahatan agresi * Hukum acara: Masih bergantung, pada prinsipnya, pada KUHAP, padahal KUHAP adalah untuk kejahatan umum, sedangkan kejahatan yang termasuk yurisdiksi UU 26/2000 memerlukan “langkah‐langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus” (Penjelasan, I. Umum, angka 2), termasuk: ** Ketiadaan kewenangan penyelidik untuk melakukan pemanggilan paksa (sub‐poena) ** Ketiadaan penetapan batas waktu bagi penyidik untuk memulai penyidikan; ** Ketiadaan ketentuan yang mengatur penyelesaian kemungkinan terjadinya perbedaan posisi antara penyelidik dan penyidik; ** Ketiadaan ketentuan tentang tata cara pengusulan dan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc
* Rumusan ketentuan: Terdapat banyak rumusan ketentuan yang tidak sesuai dengan yang terdapat dalam Statuta Roma (kesalahan penerjemahan? Disengaja?) Akibat: ** Melemahkan maksud; ** Mengubah arti; ** Mempersulit upaya pembuktian; ** Ketidakcermatan. Contoh: *** Pertanggungjawaban komandan/atasan: Statuta Roma: “… shall be criminally responsible…”(Pasal 28(a) ); UU 26/2000: “…dapat dipertanggungjawabkan…” (Pasal 42(1) ): *** Statuta Roma: “…should have known that the forces were committing or about to commit such crimes…” (Pasal 28(a) (i) ); UU 26/2000: “… sedang melakukan atau baru saja melakukan …” (Pasal 42(1)a)
*** Statuta Roma: “… deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about to physical destruction…”; (Pasal 6(c) ); UU 26/2000: “… yang akan mengakibatkan kemusnahan …” (Pasal 7 c); *** Statuta Roma: “… Persecution …” (Pasal 7.1 (h) ); UU 26/2000: “… peganiayaan …” (Pasal 9h); *** Statuta Roma: “… attack directed against any civilian population …” (Pasal 7.1.. chapeau); UU 26/2000: “… serangan [tersebut] ditujukan secara langsung …” (Pasal 9 chapeau); *** UU 26/2000: **** Penjelasan Pasal 20 ayat (1) kalimat ketiga: Yang dimaksud dengan ‘menindaklanjuti’ adalah dilakukannya penyidikan”; **** Dalam Pasal 20 ayat (1) tidak terdapat kata “menindaklanjuti”.
Kerancuan konseptual: •
Kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi adalah kejahatan international/kejahatan menurut hukum internasional. Oleh karena itu, di tataran internasional, keempat kategori kejahatan ini, sesuai dengan sifatnya, ditangani oleh pengadilan pidana internasional, yakni Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) (ICC);
•
Di Indonesia (UU 26/2000) kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dikategorikan sebagai “pelanggaran HAM [yang berat]”, ditangani oleh “Pengadilan HAM” (bukan “Pengadilan Pelanggaran HAM yang Berat”);
•
UU 39/1999 tentang HAM menetapkan definisi yuridis istilah “pelanggaran HAM”. Namun UU tersebut tidak memuat ketentuan tentang penyelesaian yuridisnya, dan tidaklah pula menetapkan peradilan yang seharusnya menyelesaikannya. Tidakkah setepatnya “Pengadilan HAM” (sebagaimana halnya, di tingkat regional, Pengadilan HAM Eropa, Pengadilan HAM Antar‐Amerika, dan Pengadilan HAM Afrika, yang memang menangani pelanggaran HAM yang tercantum dalam konvensi regional HAM masing‐masing kawasan?)
•
UU 26/2000 sedang dalam proses perubahan/penggantian. Diharapkan UU yang baru, selain mengoreks kelemahan/kesalahan dalam UU 26/2000, menyediakan hukum sendiri, juga mengoreksi kesalahan konseptual tersebut. Pengadilan yang bersangkutan seyogianya diberi nama sesuai dengan yurisdiksinya, misalnya “Undang‐Undang tentang Kejahatan Luar Biasa” atau “Undang‐ Undang tentang Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Agresi”.
PENGADILAN HAM REGIONAL Pemajuan, perlindungan, dan penegakan HAM regional melalui “3C”: ** (Regional) Convention (Konvensi Regional) ** (Regional) Commission (Komisi Regional) ** (Regional) Court (Pengadilan Regional) •
Eropa ** Konvensi Eropa bagi Perlindungan Hak dan Kebebasan Dasar Manusia, 1950 beserta Protokol‐protokolnya ** Komisi HAM Eropa )dihapus pada 1998 dengan berlakunya Protokol no. 11). Sebelum dihapuskan: *** Membahas tuduhan pelanggaran Konvensi (Pasal 24) *** Membahas petisi perorangan , ONP, kelompok orang yang mengklaim sebagai korban pelanggaran Konvensi (Pasal 25.1) *** Semua upaya domestik sudah dihabiskan (Pasal 26) *** Mengajukan kasus ke Pengadilan HAM Eropa *** Setelah Komisi dihapuskan, semua pengaduan diajukan langsung ke Pengadilan HAM Eropa.
•
Pengadilan HAM Eropa (Pasal 19‐51) *** Pendapat nasihat (advisory opinion tentang penafsiran dan penerapan Konvensi (Pasal 32.1) *** Tuduhan pelanggaran ketentuan Konvensi dan Protokol yang dirujuk oleh Negara Pihak (Pasal 33) *** Pengaduan perorangan, ONP, kelompok orang yang mengklaim sebagai korban pelanggaran Konvensi (Pasal 34) dengan ketentuan setelah semua upaya domestik dihabiskan (Pasal 35.1)
•
Kawasan Amerika (The Americas): ** Konvensi HAM Antar‐Amerika, 1969 *** Komisi HAM dan perlindungan HAM (Pasal 41) *** Penanganan pengaduan perorangan, kelompok orang, atau ONP yang mengklaim sebagai korban pencabutan atau pelanggaran Konvensi (Pasal 44) dengan ketentuan bahwa sema upaya domestik sudah ditempuh dan dihabiskan (Pasal 46.1(a) ) *** Pengadilan HAM Antar‐Amerika (Pasal 52‐73) *** Hanya Negara Pihak dan Komisi (HAM Antar‐ Amerika berhak mengajukan kasus ke Pengadilan HAM Antar‐Amerika (Pasal 61.1)
•
Afrika: ** Piagam Hak Asasi Manusia dan Rakyat, 1981 ** Protokol pada Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika, 1998 *** Komisi Hak Asasi Manusia dan Rakyat: pemajuan dan perlindungan HAM (Pasal 45 Piagam) *** Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika (Protokol 1998): **** Pelengkap mandat perlindungan Komisi (Pasal 2 Protokol) **** Perselisihan tentang penafsiran dan penerapan Piagam (Pasal 3.1) **** Yang berhak mengajukan kasus ke Pengadilan: ‐ Komisi ‐ Negara Pihak pengadu ‐ Negara Pihak yang diadukan ‐ Negara Pihak yang warga negaranya menjadi orban pelanggaran HAM ‐ Organisasi Antarpemerintah Afrika
•
Asia: ** Tidak ada organisasi regional yang meliputi seluruh kawasan ** Hanya ada organisasi‐organisasi subregional (sperti ASEAN, SAARC) ** Tidak ada instrumen regional tentang HAM *** Tidak ada komisi regional tentang HAM *** Tidak ada pengadilan HAM regional
•
ASEAN ** Piagam Asean, 2007 ** Tidak ada instrumen HAM subregional ASEAN ** Komisi Antarpemerintah ASEAN tentang HAM *** Dibentuk atas amanat Piagam ASEAN *** Anggota‐anggotanya (10) diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada Pemerintah masing‐masing (tidak sebagai ahli independen) *** Mandat: Pemajuan dan perlindungan HAM, namun tanpa pemantauan.
MOHON MAAF ATAS KEKURANGAN
Frrny
ffiAPIO
I,6ISIRAI.I
27 JAi- tr.LO
BEBERAPA TTITT'fSAIT ENNY SOEPRAPTO TERSEBUT DI BAT'IAH IHI, YANG DAPAT DILIHAT DI SI11]S JARINGAN KOMNAS HAM (WT'fl'T. KOMNASHAM.GO.ID}, SEKIRANYA DIMINATI, DAPAT DIGTINAKAN {JNTIK MENDALAXI SEJT]MLAH ASPEK YANG BBRKENAAN DENGAN I'PENGADILAN HAK ASASI MANUSIAII T]NDANG-TJNDANG NOMOR 26 TAHT'N 2OOO TENTANG
1. -2.
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 rentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (April 2003).
Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida menurut instrumenj-nstrumen hukum internasi-ona1 dan menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 (6 September 2003).
Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai sebalembaga penyelidik pelanggaran HAM yang berat dan pelaksanaannya (The competence of Komnas HAM as the inquiry instiLqlion for grosF vi-olatio_ns of hurnan rights and its irnplementation) (Februari 2OO4) .
Kewenangan Komisi Nasional Hak
gai
.ff".tiu"
pro ju=tl
4.
Towards a more
q
Penyelldikan pelanggaran hak asasi manusia yang beraL menurut UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Perqgadilan Hak Asasi Manusia - Bebe(Inquiry of gross violations of human rights under Acts No. 26 of 2000 on Human Rights Court - Sone notes of experience). (Mei 2004). Perkembangan konsep tanggung jawab atasan terhadap kejahatan paling serius yang merupakan urusan komunitas internasional secara keseluruhan yang dilakukan oleh bawahannya (Ju1i 2004).
7"
R
rmplikasi
Undang-undang Lentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (uuKKR) terhadap kewenangan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menurut Undang-Undang Nornor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasl Manusia (UU 26/2000) (12 0krober 2004).
(Draf I)
Naskah Akademis Perubahan Undang-Undang Nornor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia - Usul Komisi Nasional Hak A'basi Manusla (21 Februari 2005).
g.
Pelanggaran hak asasi rnanusia (HAM) yang berang menuruL Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia QU ,6/2000I dan kejahatan paling beraL yang menjadi- urusan komunitas internasi-onal secara keseluruhan menurut Statuta Pengadilan Pi-dana Internasional (statuta Roma), 1998 - Sebuah perbandingan (1s Mei 2005).
-2-
t0.
KerancuJn sejumlah pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2OOl+ tentang Komlsi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang berhubungan dengan Undang-Undang Nornor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (A iumber if colfusing.proviglgns gf.Act Ng..2Z-ot 2oA4 on Truth$ Reconciliation Uommj.ssion which Rights Uourt) (september IUU)/.
11
. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam ;,enyelidikan dan pemeri-ksaan menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan penyelidikan proyustisia menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (20 April 2006).
12.
Kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusi-aan, dan kejahatan genosida sebagal kejahatan internasional (tr{ar crimes, crimes against humanlty and Irime if genocide as internati
l.J.
hr-lr:an&ngan
Pengadllan HAM di Indonesia dan beberapa perbedaan antara Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Statuta (Roma) Mahkamah Pidana Internasional (1 0ktober 2006).
r4.
Berbagai permasalahan dalarn Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan dampaknya pada proses penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini (20 November 2007).
15.
Protection of victims and witnesses of gross violaL No. 13 of 2006 on ProtecLion of wltnesses and victims
qsLg-jj-a47
(21
November