TRIBUNAL
Dakwaan Tribunal Rakyat Internasional Tentang Kejahatan Kemanusiaan di Indonesia BY WEBMASTER · NOVEMBER 22, 2015 Penuntutan oleh Tribunal Ralyat Internasional tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan 1965 mendakwa: NEGARA REPUBLIK INDONESIA Dengan pelaksanaan dari Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan pelanggaran-pelanggaran dari ketentuan-ketentuan Hukum Adat Internasional, sesuai dengan yang telah ditetapkan di bawah: Yang Didakwa:
Negara Republik Indonesia, terutama angkatan-angkatan bersenjata dibawah Jeneral yang nantinya menjadi Presiden Suharto, termasuk pemerintah-pemerintahan selanjutnya dan milisi-milisi di bawah kontrolnya. Setelah pembunuhan dari enam jeneral dan satu letnan pada malam 30 September – 1 Oktober 1965 oleh “Gerakan 30 September” (G3), kampanye pembinasaan dari orang-orang dan organisasi-organisasi yang diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia (“PKI”) telah dikobarkan. Kampanye ini berisi propaganda kebencian yang ditujukan untuk menggambarkan mereka yang diduga bagaian dari PKI sebagai atheis, amoral, anti-Pancasila dan hiper-sexual. Para tentara dan milisi dibawah kontrolnya telah membunuh ratusan ribu orang yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI, menangkap ratusan ribu orang secara ilegal, memberikan mereka siksaan, dan juga kekerasan seksual dan kekerasan yang berhubungan dengan gender. Selain itu, pemburuhan paksa dan deportasi, termasuk pencabutan paspor terjadi dalam skala yang besar. Kampanye propaganda kebencian ini terus berlanjut sampai hari ini. Sebagai hasil dari tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, bagian yang signifikan dari kelompok nasional orang-orang Indonesia, yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI telah dibinasakan dan identitas dan sejarah mereka dihancurkan. Di dalam proses ini, Sejarah Indonesia telah di tulis kembali secara menyeluruh, struktur sosial yang ditemukan di tahun 1965 telah berubah dan konsekuensi aliran sejarah telah dipengaruhi secara mendalam. Sampai hari ini, orang-orang yang selamat 1
dan para korban telah dibebani oleh stigma dan dianggap bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan yang menentang mereka. Tanggung Jawab Negara di Bawah Hukum Internasional:
Berdasarkan atas Pasal-Pasal dari Tanggung Jawab dari Negara untuk Perbuatan-Perbuatan yang Salah (“Pasal-pasal”) Negara Indonesia adalah yang bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Pasal-Pasal ini mewakili Hukum Adat Internasional sehingga demikian bersifat mengikat secara hukum terhadap semua negara. Asas pertama yang berpokok pada Pasal-Pasal tersebut secara umum adalah bahwa pelanggaran dari hukum internasional oleh sebuah negara mengharuskan tanggung jawabnya secara internasional. Asas hukum yang mendasar ini telah digunakan di berbagai pengadilan dan tribunal di peristiwa-peristiwa yang berbeda sebelum dan
sesudah pengangkatan dari Pasal-Pasal oleh Majelis General PBB. Selanjutnya, di bawah hukum dari tanggung jawab negara, memfasilitasi pelaksanaan dari sebuah perbuatan salah internasional oleh negara-negara yang lain, seperti perbuatan jahat terhadap kemanusiaan, atau tindakan pelecehan yang lainya, negara yang memfasilitasi bisa dibuat bertanggung jawab karena telah memungkinkan pelanggaran-pelanggaran seperti itu terjadi. Dengan kata lain, perbuatan terlibat dari negara-negara yang membantu dan mendukung negara-negara lain dalam pelanggaran terhadap hukum internasional adalah merupakan tindakan terlarang, di bawah hukum tanggung jawab negara. Selain melarang bantuan dan dukungan yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap hukum internasional apapun, Pasal-Pasal tersebut juga memuat larangan mutlak dalam pemberian bantuan dan persekongkolan dari pelanggaran-pelanggaran dari obligasi Negara, yang timbul di bawah norma-norma hukum internasional yang patut ditaati. Pelanggaran dianggap serius apabila ini melibatkan kesalahan mencolok dan sistematis oleh Negara, untuk memenuhi kewajiban yang dipertanyakan. Hari ini, norma-norma yang diterima sebagai sesuatu yang patut ditaati secara alami termasuk larangan terhadap agresi, genosida, perbudakan, apartheri, kejahatan terhadap kemanusiaan, siksaan dan hak dalam menentukan nasib sendiri. Perbuatan-perbuatan dan/atau kelalaian-kelalaian yang dimaksud di atas telah dilakukan di bawah tanggung jawab penuh Negara. Jeneral Suharto mengambil secara serta merta kontrol dari ibu kota dan pasukan-pasukan bersenjata pada tanggal 2 Oktober 1965 secara de facto. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) telah didirikan pada tanggal 10 Oktober untuk melaksanakan likuidasi terhadap PKI dan orang-orang yang dianggap simpatisan. Pada tanggal 1 November,
2
Jenderal Suharto telah ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib. Maka dari itu, Komando ini dilaksanakan di bawah perintah langsung dari Jenderal Suharto.
Dibawah komando dari tentara dan persekutuan dengan pasukan-pasukan konservatif agamais, demonstrasi para pelajar yang tersebar dan ganas mempelopori kampanya untuk menghapuskan Presiden Sukarno dari kekuasaan dan menghapuskan PKI. Pada bulan Maret 1966, Jendral Suharto merebut kontrol dari Presiden Sukarno; di tahun berikutnya Ia telah ditunjuk sebagai Presiden Republik Indonesia. Jendral Suharto dan para rekannya serta merta menyalahkan PKI sebagai dalang dari G30S. Kampanye propaganda militer menyebarkan foto-foto dari para jendral yang telah meninggal dengan klaim bahwa para komunis, terutama perempuan komunis, telah menyiksa dan membantai mereka sebelum meninggal. Akibatnya, tak lama kemudian kekerasan dan demonstrasi-demonstrasi dari tentara dan kelompok-kelompok pemuda, dilengkapi dan/atau didukung oleh militer dan pemerintah, menargetkan orang-orang yang disangka komuniste terpecah di Aceh, Jawa Pusat dan Jawa Timur, sebelum tersebar ke seluruh Indonesia. Penduduk sipil dibunuh, diperkosa, disiksa, diperbudak dan ditundukan terhadap tindakan-kejahatan melawan kemanusiaan yang lainya di rumah mereka masing-masing atau di tempat-tempat umum. Pada tanggal 21 Desember 1965, Jendral Suharto mengeluarkan perintah (KEPI/KOPKAM/12/1965) kepada pemimpin-pemimpin militer di Indonesia agar menyusun daftar-daftar para anggota PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI di area mereka masing-masing. Penduduk sipil yang namanya termasuk di daftar-daftar tersebut menjadi target-target dari pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang mencolok, termasuk pembunuhan, penyiksaan dan tindakan-kejahatan yang lainya, sesuai dengan yang telah dilaporkan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM). Pada tahun 1998, Presiden Suharto dipaksa untuk turun dari jabatan presiden dan apa yang disebut sebagai Reformasi dimulai. Akan tetapi, struktur kekuatan yang disusun di bawah Pemerintahan Presiden Suharto sebagian besar masih utuh. Sampai hari ini, belum ada permintamaafan resmi yang dikeluarkan dan belum ada satupun pelaku yang dihukum. Impunitas masih berkuasa sampai hari ini. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan:
Penuntutan ini menyadari fakta bahwa penuntutan ini bukan badan yudisial dan maka dari itu tidak melakukan pengajuan untuk pertanggungjawaban kriminal secara individu. Akan tetapi, penuntutan ini bisa memberikan bukti untuk menetapkan dasar yang layak bahwa tindakan kejahatan yang melawan kemanusiaan telah dilaksanakan, dan maka
3
dari itu memberikan alasan untuk investigasi kriminal oleh sebuah pengadilan hukum
nasional atau internasional yang kompeten. Tindakan kejahatan melawan kemanusiaan telah berkembang secara pokok melalui evolusi dari hukum adat internasional. Tidak seperti tindakan-kejahatan internasional yang lainya, hukum ini belum dikodifikasikan oleh perundingan internasional. Secara fundamental, tindakan-kejahatan melawan kemanusiaan merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan – yang bisa diangkat sebagai kejahatan di sebagian besar sistem hukum kriminal nasional dunia – dilakukan sebagai bagian dari penyebaran atau serangan terhadap penduduk sipil secara sistematis dan tersebar. Yang paling penting, pelarangan dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan normal dari hukum internasional yang “jus cogens”, yang berarti bahwa penghinaan tidak diizinkan dalam situasi apapun. Tuntuan pertama dari tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan sebelum Tribunal Militer Internasional (IMT) di Nuremberg. Pada tahun 1947, topik dari “tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan” telah di tambahkan di agenda dari Komisi Hukum Internasional (ILC), yang diberikan mandat oleh Majelis Jeneral PBB dengan perumusan dan kodifikasi dari asas-asas hukum international yang diakui dan diperkuat di Carter dan Pertimbangan Nuremberg. Yang signifikan adalah Hukum Dewan Kontrol No. 10 (CCL10), tertanggal 20 Desember 1945, yang secara sengaja meninggalkan persyaratan “nexus” dari konflik bersenjata. CCL10 telah diterbitkan oleh sebuah badan internasional, Persekutuan Dewan Kontrol, dan membentuk dasar untuk tuntunan dari tindakan-kejahatan internasional di zona-zona negara Jerman. Selain itu, setelah pertimbangan-pertimbangan selama hampir 50 tahun, definisi dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah diterapkan oleh ILC di Rancangan Kitab Undang-Undang tahun 1996, memiliki perbedaan dari yang digunakan di Nuremberg Tribunal, dengan tidak mengharuskan “nexus” antara tindakan-kejahatan seperti itu dan konflik bersenjata. Pengadilan Kriminal Internasional “ad hoc” yang selanjutnya, dibebankan dengan tuntunan untuk tindakan-kejahatan terhadap kemanusian cenderung menggunakan definisi dari tindakann kriminal yang sedikit berbeda dan di beberapa kasus meninggalkan syarat-syarat “nexus” dari konflik bersenjata secara keseluruhan. Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) permanen mendefinisikan tindakan-kejahatan seperti itu didalam persetujuan pembinaannya, Undang-Undang Roma, sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari penyebaran serangan atau serangan yang sistematis terhadap populasi masyarakat manapun, dengan mengetahui tentang serangan- serangan tersebut. Selanjutnya, definisi menurut Undang-Undang Roma memberikan daftar yang luas tentang kejahatan spesifik yang bisa menjadi bagian dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan sampai saat ini. 4
Definisi yang disediakan oleh Undang-Undang Roma tidak dimaksudkan untuk dianggap sebagai kodifikasi yang definitif. Akan tetapi, ini merupakan pengajuan kami, bahwa ini mencerminkan konsensus terbaru dari masyarakat internasional secara menyeluruh dalam isu ini. Maka dari itu, pada saat ini, ini bisa dianggap sebagai definisi dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling otoriter. Sebagai tambahan, Rancangan Pasal Pasal dari ILC yang terbaru tentang topik ini, yang telah diterapkan pada tahun 2015 juga sejajar dengan itu. Definisi dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan telah berkembang sepanjang waktu dan sampai titik waktu saat ini, dimana tindakan-kejahatan dikatakan bisa dilakukan dalam konflik bersenjata dan waktu yang relatif damai. Akan tetapi, tindakan-kejahatan yang penting untuk Penuntutan ini telah dilakukan pada waktu dimana definisi yang menyebar di bawah hukum adat internasional adalah yang dikandung di Carter Nuremberg dan mengharuskan sebagai “nexus” diantara tindakan-kejahatan yang diduga dan sebuah konflik persenjataan, yang tidak merupakan kasus selama periode yang penting untuk Penuntutan ini. Seperti yang sudah disebutkan di atas, pada tanggal 20 Desember 1945, Persekutuan Dewan Kontrol mengeluarkan CCL10 dan tidak mengakui persyaratan “nexus” dari konflik bersenjata. Maka dari itu, segera setelah pengangkatan dari Carter Nuremberg, badan intrenasional selanjutnya berkembang dengan definisi kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, berangkat dari syarat bahwa tindakan-kejahatan seperti itu memerlukan sebuah link dengan konflik bersenjata. Pada tahun 2000, Undang-Undang Indonesia nomor 26 yang mengangkat di Pasal nomor 9 definisi dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti yang tercantum pada Pasal 7 dari Undang-undang Roma, dimana “nexus” tidak diperlukan. Selanjutnya, Undang-Undang nomor 26 memiliki efek yang retroaktif di negara Indonesia, seperti yang dibuktikan oleh Pasal-pasal 43, 44 dan 47, dimana tersedia kemungkinan pembentukan dari pengadilan hak azasi manusia “ad hoc” atau, sebagai alternatif, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sebagai respon terhadap pelanggaran terhadap hak azasi manusia menyolok yang dilakukan sebelum pemasukan ke dalam kekuatan hukum yang dimaksud dan yang penting berdasarkan Pasal nomor 9. Ini juga merupakan bimbingan bahwa penyelidikan oleh Komisi Hak Azasi Manusia nasional tentang kejadian 1965-1966 telah dilakukan berdasarkan atas hukum nomor 26, sebagai tambahan untuk kualifikasi dari kejadian-kejadian tersebut sebagai bagian
dari tindakan-tindakan kriminak terhdapat kemanusiaan, berdasarkan pasal nomor 9 dari undang-undnag yang dimaksud. Tuntunan ini, maka dari itu, menegaskan bahwa pasal nomor 9 dari undang-undang nomor 26 yang berhubungan dengan pasal nomor 7 dari Undang-Undang Roma menyediakan dasar yang kuat untuk menyimpulkan pertanggung jawaban negara Indonesia.
5
Dugaan-Dugaan Umum:
Semua tindakan dan/atau kekeliruan yang dibebani merupakan bagian dari penyebaran serangan dan serangan sistematis yang ditujukan terhadap PKI dan orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan. Disetiap waktu yang penting untuk Tuntutan ini, Negara Indonesia telah diharuskan untuk mematuhi peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan dari Hukum Publik Internasional. Tuntutan-tuntutan TUDUHAN 1: PEMBUNUHAN
Negara Indonesia secara indivial atau dengan persetujuan dari peserta-peserta yang lainya telah merencanakan, mendesak, memerintah, melakukan atau secara lain membantu dan bersekongkol untuk pembunuhan dari para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI, para anggota dari Komunitas Tionghoa di Indonesia, dan para anggota dari penduduk sipil umum dari tanggal 1 Oktober 1965 sampai paling tidak 31 Desember 197. Ini terjadi melalui tindakan-tindakan dan kelalaian-kelalaian dari kebijakan dan unit militer yang dikontrol oleh Negara Republik Indonesia. Pembunuhan dilarang di bawah Pasal 9(1) Undang-Undang nomor 26 seperti yang juga tertera di Pasal 7(1) dari Undang-Undang Roma. Pembunuhan-pembunuhan itu merupakan bagain dari penyebaran serangan dan serangan sistemasis terhadap penduudk sipil. Kewenangan untuk melakukan pembunuhan datang dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Negara Indonesia dan pembunuhan-pembunuhan dilakukan oleh badan Negara, begitu juga organisasi-organisasi yang didukung oleh dan/atau berfungsi di bawah intruksi dan bimbingan dari Negara. Kekuasaan negara tertinggi yang bertanggung jawab untuk pembunuhan-pembunuhan ini dan tindakan-tindakan kekejaman yang lain adalah Kopkamtib. Eksekusi dilakukan dengan atau di bawah perintah dari beberapa kesatuan militer, berbeda-beda sesuai dengan propinsi. Segera setelah Suharto mengeluarkan perintah sesuai dengan yang disebutkan di atas, pada tanggal 21 Desember 1965, unit militer dari tingkat daerah dan propinsi memulai penyebaran pembunuhan yang sistematis terhadap para anggota, pengikut dan simpatisan PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI. Di beberapa propinsi, seperti di Bali, penyebaran pembunuhan yang sistematis terhadap para anggota, pengikut dan simpatisan PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI telah terjadi sebelum perintah Kopkamtib dikeluarkan.
6
Penyebaran pembunuhan terhadap para anggota dari komunitas Tionghoa-Indonesia di
Propinsi Aceh: Setelah tanggal 1 Oktober 1965, ada beberapa tindakan kekerasan terhadap komunitas Tionghoa-Indonesia termasuk para anggora dari Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan yang bukan anggota. Walaupun Baperki telah didirikan sebagai organisasi non-politik untuk Keturunan Tionghoa Indonesia, organisasi ini didukung oleh PKI dan mantan Presiden Sukarno. Ini merupakan alasan mengapa para anggotanya ditundukkan dengan pembunuhan dan tindakan- tindakan kekerasan bentuk lain atau perlakukan yang tidak berperikemanusiaan. Menurut para saksi dari kekerasan anti-Keturunan Tionghoa di Aceh diantara
Oktober akhir dan November 1965, tiga anggota dari Baperki telah dibunuh selama periode ini. Seorang korban didorong ke laut, yang lainya dibakar dan korban, yang ketiga di tusuk hingga meninggal. Orang manapun yang diidentifikasikan sebagai teman dari Baperki dianggap memiliki hubungan yang cukup dengan organisasi untuk dijadikan target pembunuhan. Pembunuhan dari orang-orang yang diasosiasikan dengan Baperki terjadi di beberapa wilayah di Aceh, termasuk Meulaboh, Tapaktuan, and Blangpidie. Penyebaran pembunuhan sistematis terhadap Komunitas Tinghoa-Indonesia di propinsi Kalimantan Barat: Pada tahun 1967, ribuan orang Indonesia keturunan Tionghoa dibunuh oleh Militer Indonesia di Kalimantan Barat. Selama era konfrontasi dengan Malaysia, Presiden Sukaro membentuk Pasukan Geriliyawan Rakyat Sarawak (PGRS), yang mengikuti ideologi komunis. Banyak anggota dari komunitas Indonesia keturunan Tionghoa yang tinggal di Kalimantan Barat mengikuti PGRS. Konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia berhenti pada tahun 1966 setelah penggantian Sukarno oleh Suharto sebagai Presiden dan negara Indonesia berupaya untuk menekan PGRS. Sebagai cara untuk menekan PGRS dan Komunisme secara lebih luas, Militer indonesia membunuh banyak orang-orang Indoenesia keturunan Tionghoa yang tinggal di Kalimantan barat. Penyebaran pembunuhan sistematis terhadap para anggota, pengikut, simpatisan PKI di Propinsi Nusa tenggara Timur: Menurut laporan dari Komnas HAM, ada tragedi malnutrisi di propinsi Nusa Tenggara Timur selama tahun 1965 dan 1966. Bantuan telah disediakan untuk orang-orang yang terjangkit oleh PKI dan juga Barisan Tani Indoneisa (BTI), termasuk alokasi tanah untuk orang-orang Nusa Tenggara Timur.
7
Militer Indonesia menganggap bahwa siapapun orang yang telah menerima bantuan dari
PKI atau BTI selama waktu ini berasosiasi dengan organisasi-organisasi ini. Dengan alasan ini, banyak penduduk sipi yang ditangkap, dipenjarai dan dibunuh oleh anggota-anggota militer. Pada pertengahan Februari 1966, sebuah pertemuan dilaksanakan di rumah seorang Komandan Militer (Kodim 1607) di Daerah Maumere. Kepala Staff di Komandan Operasi lokal (Kastaf Komop) mengundang para anggota dari partai politik lokal, organisasi-organisasi sosial dan Partai Golkar untuk menghadiri pertemuan itu. Mereka yang hadir telah dipanggil untuk “mengamankan” (contohnya- membunuh) semua ketua, anggota dan simpatisan dari PKI. Mereka diberitahu bahwa ini penting dilakukan untuk menjaga Gereja Katolik di Nusa Tenggara Timur karena asosiasi PKI
dengan beberapa organisasi atheis. Pada tanggal 16 February 1966, Komando Operasi okal (Komop) menginformasikan kepada pendeta-pendeta Katolik bahwa telah ada beberapa jumlah kematian sebagai akibat dari operasi yang didiskusikan di pertemuan di Maumere. Jumlah orang yang dibunuh oleh polisi dan anggota militer di wilayan Nusa Tenggara Timur dilaporkan sebagai berikut: i. Wilayan Sabu: 34 orang, ii. Wilayah Sumba: 40 orang, iii. Wilayah Alor: 409 orang, iv. Wilayah Kupang Timur: 58 orang, Wilayah Baun: 34 orang. Di beberapa wilayah, pasukan militer menekan penduduk sipil lokal untuk menghadiri eksekusi masal untuk membuat mereka tidak berani melawan pemerintah, seperti PKI. Di wilayan-wilayah lain, penduduk sipil bisa mendengar regu penembak mengeksekusi para anggota, pengikut dan simpatisan PKI pada malam hari. Penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan dan eksekusi para anggota, pengikut dan simpatisan PKI dipimpin oleh militer lokal dan dibantu olah pemimpin-pemimpin pemerintah lokal, Gereja Katolik, anggota partai politik dan organisasi-organisasi pemuda. Organisasi-organisasi pemuda telah direkrut dan diberikan senjata oleh anggota militer lokal untuk menangkap, memenjarai, menyiksa dan mengeksekusi para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI. Penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan dan eksekusi dari para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI berlangsung sampai tahun 1967, ketika pendeta-pendeta Katolik di Alor memerintahkan para anggota militer untuk menghentikan operasi tersebut. Penyebaran pembunuhan sistematis dari para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI di Propinsi Jawa Tengah: Menurut penelitin yang dilakukan oleh Matthias J. Hammer, antara 100.000 dan 140.000 orang telah dibunuh oleh militer dan kelompok para-militer di Jawa Tengah antara tahun 1965 dan 1966.
8
Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh para anggota IPT 1965, bisa diestimasikan bahwa ada 70.000 orang yang lainya dipenjara di Wilayah Klaten yang dibunuh oleh militer. Penyebaran pembunuhan sistematis para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI di Propinsi Bali: Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh Ngurah Suryawan, 200-300 anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI telah dibunuh oleh pasukan militer dan para-militer (termasuk RPKAD dan Banser NU) di Tegal Badung di sub-wilayah Baluk, Wilayah Jembrana selama bulan Oktober 1965. Banyak anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI telah dibunuh oleh militer di pantai Candikusuma, yang
terletak di sub-wilayah Melaya dari Wilayan Negara. Penyebaran dan pembunuhan sistematis dari para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI di Propinsi Sulawesi Selatan: Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh Taufik Ahmad, 300 anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI telah dibunuh oleh militer selama bulan November 1965 di Wilayah Bone. Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian ini, Negara Indonesia secara intrenasional bertanggung jawab terhadap: TUDUHAN 1: Pembunuhan, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan TUDUHAN 2: PERBUDAKAN
Negara Indonesia secara indivial atau dengan persetujuan dari peserta-peserta yang lainya telah memenjarakan dan memperbudak para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI di kamp-kamp penjara. Penahanan ilegal dan pembudakan telah dilaksanakan oleh polisi dan komandan militer mulai dari tanggal 1 Oktober 1965. Pelarangan terhadap perbudakan merupakan bagian yang tidak ambigu dari hukum adat internasional dan didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dibawah pasal 9(3) dari Undang-undang Nomor 26 seperti yang tertera pada Pasal 7(1) (c) dari Undang-Undang Roma. Pasak 7 (2) (c) dari Undang-Undang Roma selanjutnya mengkarateristikan perbudakan sebagai gerakan dari kekuatan-kekuatan yang berhubungan dengan hak kepemilikan seseorang dan termasuk gerakan dari kekuatan seperti itu di dalam penjual-belian orang-orang, terutama perempuan dan anak. Indikasi dari pembudakan termasuk kontrol dari gerakan seseorang, kontrol dari lingkungan fisik, kontrol psikologis, tindakan-tindakan yang diambil untuk mencegah 9
atau menghalangi penyelamatan diri, tekanan, ancaman dari tekanan atau paksaan, durasi, penegasan ekslusifitas, penundukan terhadap perlakuan yang kejam dan pelecehan, kontrol dari seksualitas dan kerja paksa. Tekanan atau pekerjaan tak suka rela juga bisa menjadi bagain dari perbudakan. Kondisi dari kamp-kamp penjara sangat tidak baik dan para tahanan dipaksa untuk melakukan pekerjaan berat tanpa bayaran dan disediakan makanan yang sangat sedikit. Orang-orang yang telah didata telah ditahan secara ilegal di kamp-kamp penjara ini, banyak yang tanpa surat penangkapan, selama periode sampai 10 tahun dan banyak orang yang telah dipindahkan dari kamp satu ke kamp lainya. Adanya beberapa kamp-kamp penjara di sekitar Indoensia telah didata, termasuk: Monconglowe di Sulawesi Selatan Nanga-Nanga dan Kendari di Sulawesi Tenggara Kamarau Island di Sumatera Selatan Argosari di Kalimantan Timur Wadas, Latitude, Bradford, Nusakambangan dan Plantungan (sebuah kamp penjara perempuan) di Central Java Pulau Buru, Maluku. Perbudakan di Monconglowe, Sukawesi Selatan:
911 orang telah dikirim ke Monconglowe pada tahun 1969 Pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang yang diperbudak di Monconglowe telah didata, termasuk:
Pekerjaan yang termasuk pembukaan lahan, penebangan bebas, pengergajian kayu, pekerjaan penggalian dan pemotongan bambu
Pekerjaan dalam proyek-proyek bangunan, terutama pembangunan dari kantor-kantor dari Komando Operasi dan perumahan militer.
Budak buruh pribadi untuk anggota-anggota individu dari Hasanuddin Regional Command Battalion Guard XIV (Kiwal Kodim), termasuk pekerjaan untuk perkebunan yang dimiliki oleh anggota-anggota batalion. Pekerjaan jenis ini digambarkan sebagai “pedoman dan bimbingan” untuk para tahanan.
Seorang saksi yang pernah diperbudak di Kamp Monconglowe menjelaskan bahwa orang-orang dipaksa bekerja banyak jam tanpa bayaran dan diberikan hanya setengah liter nasi per-hari. Saksi pernah diharuskan untuk bekerja di konstruksi rumah-rumah, pembukaan lahan dan pembangunan jalan, termasuk jalan sepanjang 23 km dari Monconglowe ke Daya. Saksi telah ditahan selama 10 tahun.
10
Saksi lain yang dari kamp yang sama menggambarkan pengalaman mereka memotong kau dan bambu tanpa bayaran Perbudakan di Pulau Buru, Maluku: Lebih dari 10.000 orang telah didata pernah diperbudak di Pulau Buru dari tahun 1969. Pada tahun 1972, relatif banyak tahanan yang dideportasi ke Pulau Buru. Para tahanan dipaksa untuk bekerja untuk proyek-proyek seperti pembangunan jalan dan kanal irigasi, pembukaan lahan, panen padi, pembangunan dan renovasi dari barak-barak dan rumah-rmah, pemotongan kayu, pembangunan bangunan publik seperti tempat-tempat persembahyangan dan pusat-pusat kesehatan dan produksi garam dan gula. Makanan yang disediakan untuk para tahanan memiliki nilai nutrisi yang sangat sedikit. Para tahanan hanya diberikan izin memakan nasi kadang-kadang (maksimal 250 gram per hari) dan biasanya disediakan ubi, jagung, kentang manis atau sagu. Banyak yang menjadi terbiasa memakan tikut, ular dan daging seperti itu yang lainya. Perbudakan di Balikpapan, Kalimantan Timur: Pada tahun 1972, 800 orang didata pernah diperbudak di Balikpapan dan digunakan tenaga mereka untuk membangun sebuah airtsrip. Seorang saksi yang pernah ditahan di Kalimantan menyatakan: “Kami telah dipaksa untuk bekerja untuk konstruksi bangunan-bangunan Pemerintah dengan bayaran yang sedikit. Sering kamu harus bekerja sebagai “sukarelawan” dan tak mendapatkan apapun sama sekali. Para petugas menggunakan kami sebagai kuli untuk membersihkan piring dan pakaian dan membersihkan WC. Jika ingin mendapatkan Rp. 75 per hari, orang bisa bekerja hari dan malam di kontruksi bangunan Bandar Udara Balikpapan. Ada ratusan pekerjaan ganjil yang harus kami lakukan untuk para petugas, terlalu banyak untuk menyebutkan itu semua” Perbudakan di Jawa Tengah: Di Pulau Nusa Kambangan, 5000 orang didata telah diperbudak di tahun 1970 dan 7000-10000 di tahun 1972. Di penjara perempuan Platungan, 600 orang didata telah diperbudah pada tahun 1972. Perbudakan di Jawa Timur:
3971 orang didata telah diperbudak di beberapa penjara Buruh tahanan digunakan secara internsif untuk membangun jalan dan proyek-proyek lainya yang terdata. Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, Negara Indonesia bertanggung jawab secara internasional untuk:
TUDUHAN 2: Perbudakan, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. 11
TUDUHAN 3: PENAHANAN
Negara Indonesia secara indivial atau dengan persetujuan dari peserta-peserta yang lainya telah menangkap secara sewenang-wenang para anggota, pengikut dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI tanpa percobaan. Pemenjaraan memiliki arti perampasan secara sewenang-wenang kebebasan individu tanpa proses hukum. Status larangan penahanan sewenang-wenang di bawah hukum internasional awalnya dikembangkan dari hukum perang. Sejak Carter Nuremberg, penahanan sewenang-wenang adalah kejahatan yang terdaftar di bawah tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan dan didukung oleh banyak instrumen hak asasi manusia. Penahanan sewenang-wenang tanpa surat perintah atau percobaan adalah antara lain dilarang berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Nomor 26 seperti tertuang dalam Pasal 7 (1) (e) dari Undang-Undang Roma. Hampir tidak ada orang ditahan diberi surat perintah penangkapan mereka dan mereka dipaksa untuk bertahan dalam kondisi mengerikan di kamp-kamp yang penuh sesak atau penjara. Banyak orang yang meninggal selama penahanan mereka. Estimasi jumlah dari orang yang ditahan beraneka ragam. Amnesty Internasional mengungkapkan bahwa pada tahun 1977 jumlah angka diperkirakan sekitar 1 juta. Psikolog membagi tahanan dalam kategori A, B dan C berdasarkan penilaian tingkat jelas loyalitas komunis mereka. Kategorisasi para tahanan biasanya merupakan indikasi apakah mereka akan bertahan dan dengan demikian psikolog pada dasarnya sedang melakukan peran hakim. Tahanan kategori A dianggap sebagai memiliki keikutsertaan secara langsung dengan PKI dan dieksekusi. Tahanan kategori B ditahan selama periode sampai 14 tahun, sering meninggal karena kondisi yang tidak baik. Banyak tahanan dalam kategori B dinaikan ke kapal menuju kamp penjara di Pulau buru. Di Timor, banyak tahanan kategori B dieksekusi dengan tahanan kategori B Tahanan kategori C dilepaskan secara bertahap setelah beberapa tahun. Pelepasan mereka bergantung semata-mata pada instruksi sewenang-wenangd ari Kopkamtib. Pada tahun 1975 Surat Keputusan Presiden dikeluarkan untuk melanjutkan klasifikasi
para tahanan menjadi kategori C1, C2, dan C3. Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, Pemerintah Indonesia secara internasional bertanggung jawab terhadap: TUDUHAN 3: Penahanan, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
12
TUDUHAN 4: PENYIKSAAN Negara Indonesia melalui pasukan-pasukan militar telah emlakukan, memfasilitasi dan mendiring dan membiarkan penyikasaan yang tersebar terhadap para anggota, pengikut dan simpatisa dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI pada periode tahun 1965-1979. Penyiksaan terdiri dari pemberian penderitaan, dengan suatu tindakan atau kelalaian, dengan sakit yang parah atau penderitaan, baik fisik maupun mental. Walaupun penyiksaan dilarang berdasarkan Pasal 9 (6) Undang-undang Nomor 26, ini tidak sejauh mendefinisikan apa yang akan merupakan penyiksaan. Dalam hal ini, Pasal 7 (2) (e) dari Undang-Undang Roma menawarkan sarana interpretasi, mendefinisikan penyiksaan sebagai “penderitaan yang disengaja dari sakit yang parah atau penderitaan, baik fisik
maupun mental, pada seseorang dalam tahanan atau di bawah kendali terdakwa.” Di dalam banyak kasus, penyiksaan yang dilakukan oleh pasukan militer Indonesia berujung sampai kematian. Kebanyakan dari tindakan penyiksaan dilakukan selama atau setelah pengangkapan korban untuk mendapatkan informasi dari korban atau menghukum, mengancam, mempermalukan atau mengintimidasi korban dan yang lainya. Kadang-kadang penyiksaan dilakukan untuk menekan korban untuk merubah loyalitas politiknya. Para korban disiksa di rumah mereka, di pusat penahanan atau di tempat-tempat umum. Penyiksaan terjadi secara luas dan dengan cara yang sistematis. Dari data yang diambil oleh IPT 1965, para peneliti mendata 235 korban-korban penyiksaan. Ini termasuk 4
kekerasan sexual, 187 pemburuhan paksa dan 8 pemerasan untuk pengamanan perilisan. 173 dari korban penyiksaan dipaksa untuk tetap melapor kepada otiritas secara reguler setelah mereka dilepaskan. Tindakan-tindakan penyiksaan yang terjadi termasuk: Pembakaran bagian-bagian tubuh Memberikan sengatan listrik Berbagai jenis penyiksaan dengan menggunakan air Pelecehan seksual Pelepasan kuku jari Memaksa korban untuk meminum air seni dari tentara Mungurutkan cabe di mata para korban Mengikat korban di dalam karung berisi ular Memotong telinga korban dan memaksanya memakan potongan telinga tersebut Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, Negara Indonesia secara internasional bertanggung jawab terhadap:
TUDUHAN 4: Penyiksaan, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan 13
TUDUHAN 5: KEKERASAN SEXUAL
Negara Indonesia melalui pasukan keamananya, telah melakukan, memasilitasi, mendorong dan membiarkan kekerasan seksual terhadap para anggota, pengikut, dan simpatisan dari PKI dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI. Seperti yang diemonstraiskan oleh buktu-buktu yang didata oleh Komnas HAM dan tesimoni korban, penyebaran pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual dan aborsi paksa terjadi selama pembunuhan masal dan penahanan politik massal setelah tanggal 1 Oktober 1965. Pasal 9(7) dari Undang-Undang normor 26 seperti yang tertuang di dalam pasal 7 (1) (g) Undang-Undang Roma, mendefinisikan kekerasan sexual sebagai pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan penghamilan, pemaksaan sterilisasi atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki gravitasi yang sebanding. Kekerasan seksual di Indonesia merupakan bagian dari penyebaran penyerangan sistematis terhadap penduduk yang atau yang dianggap sebagai, anggota, pengikut atau simpatisan PKI. Ada bukti bahwa pelaku mengetahui bahwa tindakan itu merupakan bagian atau dimaksud sebagai bagian dari penyebaran penyerangan sistematis terhadap populasi pendududuk. Kekerasan seksual dilakukan di dalam kondisi-kondisi yang penuh dengan paksaan ekstrim, paksaan atau ancaman, dimana para korban dirampas kebebasanya, dan ditahan secara ilegal dan tanpa alasan yang adil ditahan oleh para anggota pelayanan keamanan dan para wakil mereka. Anggota dari pelayanan keamanan dan wakil-wakil mereka mendominasi pelaksanaan kekerasan seksual terhadap tahanan-tahanan perempuan, kapanpun dan dengan siapapun yang mereka inginkan. Kekerasan seksual ini dilakukan di banyak regio di Indonesia terhadap jumlah besar korban, tanpa diketahui angka pastinya. Menurut penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2007 oleh Komnas Perempuan, pasukan keamanan bisa melakukan kekerasan seksual tanpa pencegahan dari atasan mereka atau hukuman. Komnas HAM menemukan bukti bahwa perempuan diperlakukan seperti barang dan/atau komoditas seksual oleh staff pasukan keamanan, yang termasuk perbudakan seksual. Selanjutnya, banyak perempuan dan laki-laki yang sering dipaksa untuk telanjang ketika mereka diinterogasi atau dipukul Kekerasan seksual terjadi dalam berbagai keadaan atau tempat termasuk rumah-rumah para korban, tempat-tempat umum, tempat-tempat tahanan, barak-barak polisi atau militer dan di banyak fasilitas “ad hoc” yang digunakan untuk menahan orang-orang yang ditahan setelah kudeta 1965. 14
Beberapa dari kekerasan seksual dilakukan sebagai pelecehan tunggal, dimana korban-korban yang lainya mengalami pelecehan-pelecehan yang berulang-ulang atau bahkan dipaksa untuk menjadi prostitusi atau dinikahi, yang bertahan sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Pengalaman dari seorang korban, Nyonya A, yang dicatat oleh laporan tahun 2007 oleh Komnas Perempuan adalah sebagai berikut: “Saya mulai merasa demam karena payudara saya mulai membengkak karena susu ASI. Saya meminta obat pengurang sakit kepada petugas. Saya dikelaurkan dari sel dan disuruh mandi di sumur di dekat sel saya. Setelah mandi saya diberi kain batik dan baju putih dan dibawa ke sebuah kamar dekat rumah petugas. Di dalam kamar itu ada sebuah tempat tidur dan sebuah meja. Saya disuruh duduk dan diberikan obat dan segelas air. Saya sedang terbaring di tempat tidur dan langsung tertidur. Tiba-tiba saya terbangun. Saya tidak menyadari bahwa saya telah ditelanjangi. Seorang laki-laki tinggi memperkosa saya secara bengis. Saya meraskan sakit yang luar biasa. Lalu datang seorang laki-laki yang lain, ia tinggi dan kurus. Dia memperkosa saya secara bengis; dan dia tidak peduli dengan darah yang terus mengalir dari vagina saya. Saya tidak tahu apa yang terjadi kepada saya setelah laki-laki yang ketiga. Ia pendek dan gemuk. Tubuhnya yang berat menindih saya, dan dia menggigit payudara saya yang membengkak. Saya jatuh pingsan. Ketika saya terbangun, saya telah kembali di sel saya. Selama satu bulan saya berada di tempat tahanan itu, empat kali saya dibawa pergi di malam hari untuk melayani para tentara. Apa lagi yang mereka inginkan dari sel satu ke sel yang lainya untuk mencari mangsa. Biasanya mereka mencari tahanan yang muda dan cantik. Kami tidak bisa menolak dan juga melarikan dari praktik-praktik ini (halaman 96-97 dari laporan Komnas Perempuan 2007).
Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian bertanggung jawab secara internasional terhadap:
ini,
Negara
Indoensia
TUDUHAN 5: Kejahatan seksual, sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. TUDUHAN 6: PENGANIAYAAN
Negara Indonesia melakukan penganiayaan terhadap ratusan ribu warga negara Indonesia yang berada di luar negeri diannatar tahun 1965 -1967 dalam bentuk pencabutan hak mereka untuk kembali dengan selamat ke negara asal mereka. Orang-orang yang dianiya sebagian besar adalah pelajar, pejabat pemerintah, jurnalis atau pejabat-pejabat yang lainya yang dikirim ke luar negeri oleh pemerintahan
15
Sukarno, dan juga orang-orang Indonesia yang diundang oleh pemerintah-pemerintah
asing untuk menghadiri peringatan atau perayaan nasioanl di beberapa belahan dunia. Walaupun pelanggaran dikenakan sebelum Nuremberg dan PengadilanTokyo, unsur-unsur pelanggaran ini menerima elaborasi terbatas sebelum pembentukan Tribunal “ad hoc”. Penganiayaan jelas termasuk tindakan dan /atau kelalaian yang mendiskriminasikan dan yang menyangkal atau melanggar hak dasar yang diatur dalam hukum adat internasional atau hukum perjanjian. Di dalam pasal 9 (9) Undang-Undang nomor 26, seperti yang tertuang pada Pasal 7 (1) (h) dari Undang-Undang Roma, penganiayaan didefinisikan sebagai komisi dari tindakan apapun yang ditujukan kepada Pasal 9 dari Undang-Undang nomor 26 seperti yang tertuang pada Pasal 7 dari Undang-Undnag Roma terhadap kelompok yang diidentifikasikan sebagai kolektifitas berdasarkan politik, ras, nasioanl, etnik, budaya, agama, gender dan dasar-dasar lain yang dikenal secara universal sebagai hal yang tidak diizinkan di bawah hukum internasional. Pasal 7(2) (g) selanjutnya mendefinisikan penganiayaan sebagai pencabutan hak-hak fundamental yang disengaja dan kejam yang tidak sijalan dengan hukum internasional dengan alasan dari identitas kelompok atau kolektifitas. Dalam hal ini, tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional adalah pencabutan kewarganegaraan Indonesia orang-orang ini, karena mereka dianggap sebagai komunis tertuduh oleh pemerintahan Suharto yang baru. Ini berarti bahwa ditundukan kepada pengasingan yang sewenang-wenang, yang bertentangan dengan Pasal 0 dari Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia. Penganiayaan ini tersebar luas karena terjadi di seluruh dunia dan secara sistematis karena dilaksanakan melalui kedutaan Indonesia di luar negeri. Kedutaan besar Indonesia di luar negeri menggunakan beberapa instrumen untuk menentukan apakah warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri “pro” atau “anti rezim Suharto”, dan maka dari itu ditetapkan apakah mereka diperbolehkan mendapatkan kembali kewarga negaraan mereka. Salah Satu instrumen terdiri dari formulir-formulir yang diisi oleh para pelajar dan warga negara Indonesia yang lainya tentang apakah mereka masih loyal dengan Pemerintahan Sukarno. Walaupun kontrol dan pengawasan dari warga negara Indoensia terjadi melalui kedutaan besar, orang-orang yang tinggal di negara-negara yang cenderung komunis
adalah yang paling sering di dipanggil untuk di-screening. Warga-warga negara Indonesia yang di-screening oleh kedutaaan besar diminta untuk menyediakan: Daerah asal di Indonesia Nama dari orang tua dan anggota keluarga yang lainya Dimana mereka tinggal
16
Dimana mereka bekerja Apa nama partai politik yang mereka anggotai Banyak warga negara Indoensia yang tinggal di luar negeri menyadari kekerasan dan penghilangan-penghilangan yang terjadi di Indonesia, dan mereka yang loyal terhadap Sukarno takut dan tidak bersedia untuk melapor ke kedutaan demi keamanan mereka dan keamanan keluarga mereka. Paspor mereka yang tidak bersedia melapor untuk di-screeningsegera dicabut. Pengumuman yang ditandatangani pada tanggal 1 April 1966 menyebutkan nama-nama dari 25 warga negara Indonesia yang tinggal di Uni Sovyet, yang paspornya telah dicabut. Pengumuman itu juga mengusahakan agar “komunitas Indonesia di Uni Sovyet tidak memberikan bantuan apapun ke orang-orang tersebut, secara material dan moral”. Di Albania, seorang warga negara Indoneisa yang bernama Chalik Hamid (lahir pada tahun 1938) melaporkan bahwa paspornya telah dicabut setelah penggulingan Pemerintah Sukarno, dan istrinya yang ia tinggalkaan di Indonesia telah ditangkap. Sejak saat itu ia berpindah ke Belanda dan sekarang merupakan Editor dari Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia. Di Rumania, sebuah surat resmi untuk pencabutan paspor-paspor warga negara Indonesia yang dianggap “berbahaya bagi negara Indonesia”, tertanggal 24 Maret 1967 dan ditandatangani oleh Duta Besar Indonesia untuk Rumania, Mayor Jeneral Sambas Atmadinata. Paspor dari 13 pelajar dicabut melalui surat ini. Di Bulgaria, seorang saksi bernama Aminah bersaksi bahwa proses screening dan pencabutan paspor terjadi secara berbeda dari yang di Rumania. Pada tahun 1966 para pelajar mendapatkan surat undangan untuk menghadiri pertemuan-pertemuan di Kedutaan Besar di Sofia, yang berjumlah banyak dan panjang. Kedutaan meminta paspor para pelajar dengan dalih bahwa mereka akan segera menerima paspor baru, akan tetapi hanya mereka yang menyerahkan pernyataan dukungan mereka terhadap Pemerintahan Suharto yang mendapatkan paspor mereka kembali. Di Republik Ceko, paspor dari 15 orang telah dicabut. 12 dari orang-orang ini merupakan staff dari Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan tiga merupakan penyelenggara dari dari PPI Eropa yang telah membuat pernyataan menentang pengambil alihan oleh Suharto. Banyak anggota PPI yang bukan merupakan anggota staff juga tidak bisa kembali ke Indonesia karena mereka tidak merasa nyaman untuk mendatangi Kedutaan untuk memperpanjang paspor mereka, yang habis masa berlakunya setelah beberapa tahun. Di Kuba, paspor para pelajar dicabut begitu juga perwakilan-perwakilan yang telah datang ke Kuba untuk menghadiri Konferensi Tiga Benua pada Januari 1966. Ibrahim Isa, yang saat itu merupakan perwakilan dari Afro-Asian Peoples Solidarity
17
Organization, menghadiri konferensi dengan sembilan pelajar Indonesia. Tidak lama
setelah ia menghadiri konferensi ia dinyatakan agen Gestapu dan paspornya dengan segera dicabut. Ia menetap di Kuba untuk beberapa waktu sebelum berpindah ke Cina demi keamanan dirinya. Ia menerima menerima kabar bahwa istri dan tiga anaknya yang tinggal di Jakarta akan ditangkap untuk memaksanya kembali ke Indonesia, akan tetapi dengan bantuan dari teman-temannya, ia bisa betemu lagi dengan keluarganya di Kairo. Sejak saat itu ada beberapa cobaan yang dilakukan oleh kedutaan besar di luar negeri untuk menemukan jejak dimana paspor-paspor yang telah dicabut berakhir, akan tetapi ini bukan merupakan hal yang mudah karena banyak dari mereka sudah meninggal dan yang lainya telah berpindah-pindah ke berbagai tempat, sehingga tempat mereka bermukim tidak bisa dideteksi, Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, Negara Indonesia secara internasional bertanggung jawab terdahap: TUDUHAN 6: PENGANIAYAAN, sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. TUDUHAN: PENGHILANGAN ORANG SECARA PAKSA
Negara Indonesia melaksanakan penghilangan secara paksa orang-orang yang dianggap sebagai para anggota, pengikut atau simpatisan dari PKI atau organisasi-organisasi yang berhubungan dengan PKI. Pelaksanaan penghilangan dari orang-orang terdaftar sebagai pelanggaran yang mendasar di bawah tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah pasal 9(10) dari Undang-undang Nomor 25 seperti yang tertuang pada Pasal 7(1)(i) dari Undang-Undang roma, yang sedasar dengan Pasal 7(2(i), mendefinisikannya sebagai penangkapan, penahanan atau penculikan dari orang-orang oleh, atau dengan otorisasi, dukungan atau persetujuan tanpa protes dari Negara atau organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk mengakui bahwa pencabutan kebebasan atau memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan dari orang-orang tersebut, dengan maksud menghilangkan mereka dari proteksi hukum selama waktu yang berkepanjangan. Ketentuan-ketentuan di atas mendefinisikan penghilangan paksa dari orang-orang seperti yang didefinisikan sebagai “”penangkapan, penahanan atau penculikan orang oleh, atau dengan otorisasi, dukungan atau persetujuan dari, suatu negara atau organisasi politik, diikuti oleh penolakan untuk mengakui bahwa perampasan kemerdekaan atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang-orang itu, dengan maksud menghilangkan mereka dari perlindungan hukum untuk jangka waktu lama”.
18
Penghilangan di Indonesia dilakukan oleh Buterpra dan Komando Aksi dan korban dibawa ke kantor militer Buterpra, kantor Komando Operasi lokal atau tempat penampungan sementara lainnya. Penghilangan di tingkat perkebunan terutama terjadi antara Oktober dan Desember 1965, tetapi beberapa berlanjut sampai Maret 1966. Salah satu korban penghilangan paksa adalah Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja, yang menghilang pada 29 Juli 1966. Ia dijemput oleh seorang perwira militer yang memberitahunya bahwa ia telah diundang untuk bertemu dengan Kapten Teddy di Kantor Garnizun, Medan Merdeka, di Jakarta. Namun, ia tidak pernah terdengar lagi dan keberadaannya tidak diketahui sampai hari ini. Sebelum menghilang, ia telah diduga anggota PKI, meskipun ia sebelumnya telah memberitahu Sukarno bahwa ia bukan anggota PKI. Dengan tindakan-tindakan dan/atau kelalaian-kelalaian ini, Negara Indonesia secara internasional bertanggung jawab atas: TUDUHAN 7: PENGHILANGAN ORANG SECARA PAKSA TUDUHAN 8 : PENYIKSAAN MELALUI PROPAGANDA 1OO. Republik Indonesia bertanggungjawab karena telah menggunakan propaganda dan pidato kebencian sebagai bagian dari penyebaran dan/atau perlawanan sistematik melawan anggota dan simpatisan PKI dan afiliasi organisasi PKI, dan /atau masyarakat sipil di Indonesia dari tahun 1965 dan seterusnya dengan menyebarkan propaganda kebencian melalui berbagai cara. 101. Pada 1 Oktober 1965, Republik Indonesia dengan segera memulai kampanye diskriminasi melawan anggota PKI dan simpatisan mereka melalui kebijakan dan kekuatan militarnya, yang membentuk dan mendukung adanya perencanaan dan persiapan pembunuhan anggota PKI dan/atau pengikutnya, anggota/pengikut non-PKI, penduduk Indonesia – Cina, dan/atau masyarakat sipil lainnya di Indonesia. 102. Propaganda melawan kelompok yang menjadi target adalah bagian dari penyebaran meluas dan penyerangan sistematik melawan bagian signifikan dari masyarakat sipil yang dianiaya karena mereka diduga berafiliasi dengan PKI dan dengan demikian mereka dianiaya dan didiskriminasi atas dasar politik. Propaganda kebencian itu sengaja mendiskriminasi, dan memperlakukan secara tidak manusiawi kelompok target dan membentuk basis kekejaman massal itu untuk melawan mereka. 103. Sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 9 (9), Bab No. 26, saat dibacakan dengan Pasal 7 (1) (h) dari Rome Statue, disebutkan penyiksaan yang dilaksanakan dalam 19
berbagai bentuk tindakan yang mengacu pada Pasal 9 (9), Bab No. 26, saat dibacakan dengan Pasal 7 (1) (h) dari Rome Statue, melawan kelompok yang teridentifikasi secara kolektif secara politis, rasial, national, etnik, budaya, religius, gender, atau lainnya yang secara universal melanggar hukum Internasional. 104. Pagi hari pada 1 Oktober 1965, Jenderal Suharto menuduh PKI adalah dalang dari semua tragedi yang terjadi. Jendral Umar Wirahadikusumah mengumumkan tidak boleh ada media cetak yang terbit kecuali milik militer, di antaranya Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata terhitung sejak 1 Oktober 1965. Radio nasional yang berada di bawah kendali militer adalah satu-satunya sumber informasi resmi peristiwa G30S. Selanjutnya, pada 1 Oktober 1965, instruksi lisan disampaikan Presiden Sukarno yang menunjuk Jenderal Suharto sebagai Komandan yang bertugas memastikan keamanan dan komando. 105. Pada 2 Oktober 1965, koran milik PKI Harian Rakyat dan koran afiliasi PNI terbit dan mengabaikan pengumuman tentara militer dan justru menunjukkan dukungan mereka terhadap G30S. Pada 10 Oktober 1965, dibentuk Kopkamtib. 106. Pada Oktober 1965 dan seterusnya, kampanye anti-komunis terus dilakukan koran Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, termasuk koran independen Api Pancasila dan yang lainnya, menuduh PKI dan organisasi afiliasinya sebagai dalang tragedi G30S, termasuk fitnahan sebagai : penghianat bangsa; ateis; hiper-seksual; dan kelainan seksual; tidak bermoral; sadis; penjahat. 107. Melalui kampanye radio, Republik Indonesia terlibat dalam menghasut masyarakat untuk ikut dalam demostrasi kekerasan anti-komunis melalui radio nasional (RRI) dan sejumlah radio amatir. 108. Selanjutnya, kampanye tentang fitnah kelainan seksual terus dilakukan, menggambarkan PKI tidak bermoral, dengan cara kampanye hitam yang menargetkan para perempuan yang dibawa ke Lubang Buaya, tempat dimana terjadinya pembunuhan para jenderal. Perempuan itu dituduh merayu para jenderal dengan tarian telanjang dan kotor, tarian ‘Dance of the Fragrant Flowers’, saat mereka menyanyikan lagu ‘Genjer-genjer’, dan mengebiri para jenderal, lalu membunuh mereka setelah mencongkel matanya. Belakangan, PKI dituduh melatih para perempuan melakukan tindakan itu dalam sebuah pesta pora. 109. Setelah terlibat dalam propaganda kebencian itu selama beberapa waktu melalui berbagai media cetak, militer mulai menerbitkan versi resmi akan tragedi itu. Di bawah komando Komandan Militer Jenderal Nasution, sejarawan militer, Nugroho Notosusanto, 20
membuat laporan pertama secara menyeluruh akan apa yang terjadi pada malam 30 September 1965, yang diterbitkan pada Desember 1965. Berdasarkan laporan itu, yang belakangan direvisi dalam korporasi RAND di bawah supervisi agen CIA Guy Pauker, pembunuhan awal akan para jenderal adalah rencana PKI yang dimana komunis akan mendapatkan kekuatan dari pemerintah dengan membunuh anggota tentara senior. Nugroho memulai laporannya dengan mengulangi tuduhan Jenderal Suharto pada PKI sebagai dalang tragedi itu, diikuti dengan adanya konstruksi motif di balik aksi PKI melakukan G30S. Laporan itu juga menyajikan detil akan rencana PKI yang membawa pasukan untuk melawan pemerintah, digambarkan dengan pimpinan PKI sebagai sekumpulan politikus ambisius yang ingin memperoleh kekuatan dari Presiden. Manuskrip itu menjadi sumber utama narasi bersejarah Orde Baru dan digunakan sebagai satu-satunya pegangan dalam mengembangkan negara. Kemudian dielaborasi ke dalam domain kebudayaan lainnya. 110. Di antara semua itu, PKI juga dituduh sebagai partai yang selalu berhianat pada negara dengan cara menekankan ‘ Peristiwa Madiun’, saat pemberontakan pasukan komunis. Peristiwa sejarah relevan lainnya, semisal pemberontakan garis depan Muslim, yang sepenuhnya diabaikan. 111. Selain itu, tahun berikutnya setelah peristiwa G30S, pemerintah baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto, mulai menggelar berbagai projek kebudayaan yang mengacu pada laporan Nugroho di antaranya : – Membangun monumen dan museum Pancasila Sakti. – Membuat diorama dan relif yang menggambarkan kekejian PKI. – Membuat Hari Peringatan dan Upacara sebagai ritual memperingati peristiwa keji PKI dan di samping itu, untuk mendoakan para pasukan sebagai penekanan atas tragedi yang juga dirasakan para militer yang menjadi korban. – Material untuk sekolah menengah. – Buku pelajaran di sekolah. 112. Kampanye propaganda melawan PKI terus berlanjut dengan menggunakan berbagai cara kultural seperti seni termasuk film dan literatur :
21
Film : Pengkhinatan G30S/PKI (pada tahun 1984 ditayangkan setiap tahun dan wajib ditonton oleh setiap orang) dan film propaganda lainnya semisal Janur Kuning, Serangan Fajar, Enam Jam di Jogja dan Jakarta 1966: Sejarah Perintah 11 Maret. Sastra : Majalah sastra Horison dan Sastra menerbitkan setidaknya 10 cerita terkait 1965 yang melukiskan PKI sebagai iblis, penghianat bangsa, sehingga patut dimusnahkan. Pada saat itu, sejumlah esai budaya juga diterbitkan dalam upaya menstigma PKI sebagai musuh abadi bangsa. Berikutnya, sebuah novel juga dibuat dalam rangka memperluas propaganda kebencian yang menargetkan PKI, khususnya karya Arswendo Atmowiloto, hasil adaptasi film Pengkhianatan G30S/PKI. Cerita rakyat : beraneka foklor terkait tragedi 1965 juga diproduksi dan disebarkan di kalangan masyarakat untuk menciptakan kebencian melawan PKI dan komunis secara umum. 113. Kampanye propaganda kebencian melawan PKI dan organisasi asosiasinya kemudian berikutnya terinstitusional dalam program edukasi. Kebohongan itu menjadi materi edukasi, setiap tahun para pelajar didorong untuk menonton film penghianatan PKI. 114. Atas tindakan dan/atau kelalaian ini, Republik Indonesia secara internasional bertanggung jawab atas : TUDUHAN 8: PENGANIAYAAN melalui propaganda, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagai tambahan, Tuntutan dari International People’s Tribunal tentang Tindakan-Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia pada tahun 1965 menuntut: Amerika Serikat, Inggris dan Australia Dengan pelaksanaan tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran terhadap ketentuan Hukum Adat Internasional dengan secara sadar membantu dan mendukung negara Indonesia dalam pelanggaran serius hukum internasional, seperti yang ditetapkan sebagai berikut: TUDUHAN 9: KETERLIBATAN NEGARA-NEGARA LAIN DALAM PELAKSANAAN TINDAKAN-KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN 115.Mengetahui tentang pembantaian yang dilakukan oleh tentara dan milisi di bawah komando langsung dari Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto tersebar luas. Berbagai kedutaan melaporkan secara teratur ke negara mereka masing-masing, wartawan meliputi berbagai pembantaian. Akan tetapi, beberapa negara Barat, terutama
22
Amerika Serikat, Inggris dan Australia menyediakan senjata-senjata kecil, radio komunikasi, uang dan bahkan daftar dari orang –orang yang mereka ingin hilangkan. Dengan demikian, mereka membantu dan mendukung secara sadar Negara Indonesia dalam pelaksanan dari tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang ditentukan di atas. 116. Negara-negara yang disebutkan di atas menyediakan Negara Indonesia dengan bantuan langsung dalam pembantaian, serta sarana penting dalam mefasilitasi komunikasi dengan pasukan di daerah-daerah terpencil. Hal ini juga membantu kampanye propaganda kebencian dari Pemerintah. Akibatnya, negara-negara yang disebutkan di atas ikut serta dalam keterlibatan langsung, dengan menyediakan peralatan dan layanan yang diperlukan. 117. Sebagai tambahan, negara-negara yang disebut di atas terlibat dalam keterlibatan yang menguntungkan, sebagai pihak-pihak perusahaan asing, yang di bawah pemerintahan sebelumnya menghadapi beberapa keterbatasan dalam operasi, kini disambut lagi di Indonesia. Selanjutnya, serikat pekerja yang sebelumnya berjuang mendapatkan keuntungan pekerja dihancurkan. 118. Dengan tindakan-tindakan dan / atau kelalaian-kelalaian ini , Amerika Serikat, Inggris dan Australia secara internasional bertanggung jawab untuk: TUDUHAN 9: Keterlibatan dalam pelaksanaan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan dan penghilangan paksa dari orang-orang, sebagai tindakan-kejahatan terhadap kemanusiaan
Pernyataan Jaksa Penuntut Todung Mulya Lubis pada Pembukaan Tribunal Rakyat Internasional 1965 BY WEBMASTER · NOVEMBER 22, 2015
23
Todung Mulya Lubis, Den Haag 2015 Majelis Hakin Yang Mulia, Perkenankan saya mengawali pernyataan ini dengan sebuah pertanyaan sederhana: Mengapa kami di sini? Sangat penting menjawab pertanyaan ini secara jujur, karena dengan demikian kami bisa mengetahui apa yang diharapkan, apa yang bisa dicapai dan bagaimana mengatasi semua tantangan yang mungkin akan kami hadapi. Dari Jakarta yang jauh saya datang bersama tim jaksa penuntut. Kebanyakan saksi dan saksi ahli datang dari berbagai kota lain di Indonesia. Demikian pula para hakim terhormat datang dari berbagai negara. Penyelenggara kebanyakan datang dari Jakarta dan mempunyai sekretariat di Belanda. Tak terhitung jumlah jam yang kami habiskan untuk mempersiapkan diri untuk tribunal ini. Dan saya kira demikian pula Anda telah menghabiskan banyak waktu untuk mendalami berkanberkas yang telah kami sertakan. Jelas, kami akan menghabiskan berhari-hari jika bukan berbulanbulan untuk mencerna dan memerika semua berkas, pernyataan dan bukti. Tidak dapat saya banyangkan, betapa banyaknya tenaga dan emosi yang dibutuhkan untuk merampungkan tugas ini. Dan saya yakin semua ini tidak akan mudah. Kami harus berdamai dengan diri sendiri. Limapuluh tahun lalu, pada 30 September, tengah malam mulailah pelbagai kekejaman. Sejumlah jendral dibawa ke Lubang Buaya dan dibunuh. Ini terjadi di Jakarta bagian Timur di markas pangkalan udara. Diduga para jendral ini dibunuh oleh anggota-anggota 24
Partai Komunis Indonesia. Ini disebut sebagai usaha penggulingan kekuasaan pemerintahan Presiden Sukarno. Menariknya, pembunuhan para jendral ini dipakai sebagai pembenaran memburu Partai Komunis Indonesia yang ketika itu dianggap partai militan terbesar. PKI dituduh mendalangi penggulingan kekuasaan yang gagal ini dan penggulingan itu harus dikutuk. Tidak ada satupun alasan membenarkan tuduhan partai ini berada di balik penggulingan kekuasaan, kecuali karena partai ini juga yang di tahun 1940-an berada di belakang gerakan menentang pemerintah yang lebih dikenal dengan Peristiwa Madiun. Walhasil, PKI dinyatakan sebagai musuh rakyat, musuh bangsa dan oleh karenanya harus dihancurkan. Dan tentu saja PKI dipandang sebagai pengkhianat bangsa. Sekali pengkhianat, selalu tetap pengkhianat. Dalam iklim dan kondisi psikologis semacam inilah terjadi pembunuhan massal terhadap orang-orang yang diasosiasikan dengan PKI. Pembunuhan yang diperkirakan paling sedikit 500.000 jiwa. Menurut Amnesty International mencapai 1.000.000 orang. Sejujurnya Hakim yang mulia, tidak ada yang tahu berapa jumlah korban yang dibunuh secara bengis oleh tentara dan milisia dari berbagai ormas. Mungkin ini adalah tragedi kemanusiaan dalam sejarah yang masih harus diinvestigasi lebih lanjut. 1965 bukan hanya tentang pembunuhan massal terhadap mereka yang dipandang sebagai komunis atau bersimpati terhadap PKI. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa tak terhitung jumlah orang tidak bersalah yang sama sekali tidak ada hubungan dengan PKI juga dibunuh. Mereka itu mungkin teman, saudara atau istri atau anak yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan PKI. Mereka dibunuh hanya karena diasosiasikan dengan seorang anggota atau simpatisan PKI. Mereka itu bersalah atas dasar asosiasi. Tentara dan milisia yang terlibat pembunuhan massal menjalankan hukum sendiri tanpa melalui jalan konstitusional dan memutuskan: mereka yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan PKI harus dibunuh. Tidak pernah ada proses peradilan, tidak pernah ada pengakuan dugaan tidak bersalah. Hanya karena mereka diasosiasikan dengan PKI sudah cukup untuk menghukum mereka sebagai komunis dan oleh karenanya layak dibunuh. Tidak perlu proses peradilan. Dapatkah Anda bayangkan betapa dalamnya kegelapan itu? Itulah tahun-tahun tergelap dalam sejarah Indonesia, tata hukum, hak asasi manusia dan peradaban. Setelah Perang Dunia II, setelah Hitler dan Nazi, pembunuhan massal menyusul peristiwa 1965 di Indonesia, mungkin sekali adalah kekejaman paling dahsyat dalam sejarah manusia. 1965 lebih dari hanya pembunuhan massal. 1965 adalah juga perbudakan, pemenjaraan/ 25
perampasan kebebasan, penganiayaan, kekerasan seksual, penyiksaan, penghilangan paksa, penyiksaan melalui propaganda dan keterlibatan negara-negara lain terutama Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Kata-kata tidak menjelaskan besarnya penderitaan jiwa maupun raga yang dialami orang-orang, dan penderitaan itu masih terus berlanjut. 50 Tahun cukup lama. Namun luka dan kepedihan masih segar dalam tubuh para korban, keluarga mereka, anak-anak mereka, cucu mereka bahkan seluruh bangsa. Kebenaran harus disampaikan. Kebenaran harus disampaikan seutuhnya, secara jujur dan murni. Tanpa kebenaran luka tidak akan sembuh. Sejarah tidak lengkap tanpa mengungkap kebenaran. Sejarah tidak bisa dicuci bersih. Beban ini ada di pundak kita. Beban akan senantiasa berada di pundak kita jika gagal mengungkap kebenaran. Karena dengan mengetahui kebenaran kita bisa mulai memulihkan luka luka dan penderitaan. Mungkin berlebihan untuk mengatakan bahwa itu adalah prasyarat, bahwa kebenaran harus disampaikan sebelum melangkah mencari keadilan, rekonsiliasi dan memaafkan. Tentu saja tidak ada yang akan melupakan tragedi besar yang menimpa mereka, namun saya percaya mereka akan bisa berdamai dengan masa lalu. Majelis Hakim Yang Mulia Seperti saya katakan sebelumnya ada sembilan butir kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia, terutama tentara dan aparat negara yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Lebih dari itu dapat dikatakan negara Indonesia melalaikan kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam tatacara hukum internasional. Tiap butir akan dijelaskan dengan pembuktian yang didukung oleh para saksi dan saksi ahli jika diperlukan. Kami akan menyampaikan tiap butir satu persatu pada majelis hakim yang mulia. Dengan tulus kami berharap hakim-hakim terhormat menerima penjelasan lengkap dan bukti untuk memahami kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan negara Indonesia sejak 1965. Yang mulia, kejahatan belum berakhir. Beberapa kejahatan masih berlanjut, mereka masih melakukan kejahatan. Stigma pada saudara, istri, anak-anak para korban masih melekat. Stigma menurunkan martabat mereka.
26
Kami setulusnya berharap para hakim yang mulia dapat memperoleh semua berkas dan bukti untuk bisa mengerti betapa besar dan sistematis kekejaman terhadap kemanusiaan yang terjadi. Hanya dengan demikian para hakim yang terhormat bisa memahami mengapa kami mendakwa Negara Indonesia melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kini, mungkin pertanyaan pada awal tadi terjawab. Mengapa kami di sini. Kami mencari kebenaran. Bangsa kami mencari kebenaran. Kami telah menunggu lebih dari 50 tahun. Semua usaha mengajak pemerintah memulai investigasi dan tindakan legal tidak membuahkan hasil. Ironisnya kami tidak melihat niat jujur Pemerintah menyelesaikan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia secara sitematis sejak 1965. Orang-orang yang diasosiasikan dengan 1965 menanggung stigma dan didiskriminasi. Mereka diperlakukan sebagai paria, tidak punya hak. Tidak ada perubahan semenjak kami memasuki Era Reformasi yang konon lebih menghargai demokrasi, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia. Sadar atau tidak sadar sikap: lupakan masa lalu, pandanglah masa depan. Yang sudah, ya sudah. Jangan menengok ke belakang, jangan membuka luka lama. Tapi luka itu belum sembuh. Masih sakit. Harus disembukan dan untuk itu membutuhkan kebenaran. Tidak lelah-lelahnya para korban bersama para aktivis HAM melanjutkan perjuangan untuk mencari kebenaran. Kami percaya kebenaran tidak bisa disembunyikan. Suatu hari kebenaran akan muncul kepermukaan. Dalam hal ini kami sangat menghargai kesimpulan dalam laporan Komnas HAM tentang kejadian 1965 bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada cahaya di ujung sana. Dan itu menguatkan kami mencari kebenaran dan keadilan melalui jalan kami. Jalan yang lebih singkat. Inilah yang mengantar kami ke hadapan Majelis Hakim yang mulia. Kami datang ke sini bukan tanpa menanggung akibat. Sebagai manusia kami gugup dan khawatir. Kami khawatir karena di negara kami yang tercinta semua yang berhubungan dengan kekejaman 1965 masih merupakan tabu, tidak boleh dibicarakan, tidak bisa dipertimbangkan. Pemerintah menolak membuka diskusi seputar peristiwa ini. Sebagai contoh adalah kejadian di Festival Penulis dan Pembaca di Ubud, Bali. Joshua Oppenheimer tidak diperbolehkan menayangkan filmnya, Jagal dan Senyap. Tentu saja ada usaha untuk berdiskusi dan mempertujukan film-film itu namun mereka berhadapan dengan polisi dan mungkin dengan kelompok-kelompok anti komunis yang menamakan diri Front Pembela Islam. 27
Yang Mulia, kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kami sepulangnya dari sini. Sangat mungkin kami dituduh menjelek-jelekkan negara, memamerkan keburukan negara dan bangsa, dan oleh karena itu kami dianggap penghianat. Bukan mustahil kami akan diinterogasi dan lebih parah lagi adalah dipenjara. Kenyataan Presiden Joko Widodo menolak minta maaf mendorong kami menyimpulkan pemerintah tidak mau tahu tentang kekejaman yang terjadi sejak 1965. Demikianlah adanya. Saya menggarisbawahi kenyataan bahwa waktu mendesak. Kebenaran harus dibuka. Apapun akibatnya. Tolong dipertimbangkan, kebanyakan korban sudah meninggal, mereka yang masih hidup sudah lanjut usia. Waktu mereka terbatas. Oleh karena itu atas nama kebenaran dan keadilan kami harus maju ke tribunal ini dengan harapan menemukannya. Ada cahaya di ujung terowongan. Akhirnya kami mengharapkan Pemerintah akan mendengarkan dan berupaya setulusnya mencapai rekonsiliasi sejati dengan segala penyelesaiannya. Pada akhirnya kemanusiaan harus dikembalikan, kesalahan harus diperbaiki dan keadilan harus dilaksanakan. Seperti saya katakan sebelumnya ini bukan tribunal dalam pengertian hukum dan anda bukan hakim yang memiliki segenap wewenang. Kami, tim jaksa juga bukan jaksa dalam arti yang sebenarnya. Namun kami berfungsi dan berjuang bersama untuk menemukan kebenaran serta keadilan. Harapan kami, keberanian dan kearifan Anda akan menghantar kami ke pelabuhan tempat kami bisa berlayar pulang membawa kebenaran dan keadilan.
Sambutan Koordinator Umum IPT 1965 BY WEBMASTER · NOVEMBER 22, 2015
28
Nursyahbani Katjasungkana, Den Haag 2015 Sambutan Koordinator Umum Yayasan IPT 1965 pada Pembukaan International People’s Tribunal tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan tahun 1965 di Indonesia 10-13 November 2015. Ibu-ibu dan Bapak-Bapak, Tahun ini persis 50 tahun lalu halaman hitam sejarah Indonesia pasca kolonial berawal: pembunuhan massal ratusan ribu warga tak bersalah, pemenjaraan besar-besaran dalam kondisi tidak berpri kemanusiaan, penyiksaan, pembudakan, penghilangan paksa, kekerasan seksual dan bentuk-bentuk penganiayaan lain. Ribuan intelektual muda yang paling menjanjikan menjadi eksil. Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan. Diktator militer di bawah pimpinan Jenderal Suharto membatasi dengan ketat hak-hak asasi warga Indonesia. Sampai saat ini impunitas para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini masih berlaku dan para korban belum dipulihkan haknya, malah mereka dianggap bersalah atas penderitaan yang dialaminya sendiri dan keluarganya. Bukan hanya impunitas, tetapi penganiayaan juga masih berkelanjutan. Milisi masih diperbolehkan atau didorong untuk membubarkan pertemuan para korban di Yogyakarta, Bukittinggi dan Solo; seorang warga negara Swedia dan eksil Indonsia dan seorang anggota jaringan IPT dideportasi setelah mengunjungi kuburan massal tempat ayahnya dimakamkan.
29
Jurnal seorang mahasiswa yang didedikasikan untuk peristiwa 1965 di Salatiga dirampas dan dibakar. Para pembela HAM masih terus menerus diganggu dan dua minggu lalu acara peluncuran buku, pameran dan pagelaran film tentang periode itu yang dijadwalkan pada Festival Penulis dan Pembaca di Ubud Ubud Writers’ and Readers’ Festival terpaksa dibatalkan karena diancam pencabutan izin event secara keseluruhan. Mahasiswa Indonesia yang mau menjadi relawan Tribunal ini sempat diancam akan dicabut beasiswanya. Jadi, hak-hak yang dijamin UUD bagi warga Indonesia, hak kebebasan berpendapat dan berorganisasi tidak dilindungi. Kampanye propaganda yang menghasut tentara dan milisinya untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan masih belum resmi dibantah. PKI masih digambarkan sebagai anti agama, penghancur negara dan pendorong penyimpangan seksual. Para pembela HAM pun saat ini masih dituduh komunis gaya baru. Buku-buku sejarah masih penuh kebohongan seperti sejak pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965. Berapa besarnya pembunuhan massal tidak diketahui, negara tidak merasa bertanggung jawab sama sekali terhadap kejahatan massal yang dilakukan di bawah jurisdiksinya. Negara-negara lain yang mengetahui pembantaian besar-besaran saat itu tidak berbuat apa pun untuk menghentikannya, yang memang mensuplai kebutuhan-kebutuhan tentara untuk melakukan tugas kriminal, juga tidak merasa bertanggung jawab. Upaya nasional untuk mencari kebenaran yang mendahului rekonsiliasi masih gagal. Laporan Komnasham tahun 2012 tentang enam daerah yang semestinya bisa dijadikan landasan untuk mencari kebenaran dan keadialn dan melakukan rekonsiliasi tidak ditindaklanjuti oleh Kejagung. Laporan lengkap masih belum diterbitkan dan isinya disembunyikan . Sampai hari ini rakyat Indonsia masih menolak hak terhadap kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan untuk tidak terjadi lagi. Remaja Indonesia dibesarkan dengan kebohongan dan kejahilan. Stigma terhadap kakek nenek dan orang tua mereka diwariskan ke generasi ketiga. Kini tiba saatnya untuk memutus lingkaran syetan penolakan, distorsi, tabu dan kerahasiaan tentang peristiwa 1965. Dalam sejarah kebohongan selalu terbongkar. Kebenaran tidak bisa terus menerus disembunyikan. Oleh karena itu, korban langsung kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi setelah 1 Oktober 1965, baik yang tinggal di dalam maupun di luar Indonesia, dan keluarganya, didukung oleh para pengacara HAM, aktivis, artis, jurnalis dan peneliti yang telah lama menekuni periode tersebut, berkumpul untuk mengangkat kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan ini ke tingkat internasional. Kami mendirikan Yayasan IPT 1965
30
untuk menyelenggarakan Pengadilan Rakyat Internasional mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1965 di Indonesia. Kami berhasil mengumpulkan bahan untuk dibawa ke Tribunal, untuk dipertimbangkan tanpa rasa takut atau keberpihakan. Di tribunal ini para korban bisa berbicara terang-terangan. Mereka sangat lama ditutup mulutnya. Bahan-bahan yang dikemukakan di depan Tribunal akan menunjukkan kepada publik kasus-kasus pembunuhan massal dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan setelah 1 Oktober 1965. Tribunal akan membantu membuka ruangan bagi debat publik tentang sejarah Indonsesia, tentang ambisinya pasca zaman colonial, tentang upayanya untuk membangun masyarakat adil, tentang upayanya untuk menegakkan hukum. Kami, orang-orang yang mendirikan Tribunal ini mengatakan: Jangan terulang lagi! Tanpa kompromi kami menyatakan dengan tegas harapan kami, bahwa keadilan adalah mungkin di Indonesia dan HAM serta hukum akan diakui dan dihormati. Tujuan kami adalah untuk mendorong proses penyembuhan. Untuk membantu Indonesia mewujudkan tujuan yang dinyatakannya sendiri dan agar Indonesia berpotensi menjadi negara di mana para generasi penerus bisa hidup damai dan sentosa. Oleh karenanya kebenaran harus ditegakkan. Luka di sejarah Indonesia terlalu dalam. Pola kekerasan dan penindasan tertanam kuat di dalam aparat keamanan dan direstui oleh kelompok-kelompok politik dan sosial-ekonomi yang berkepentingan. Selama sejarah Indonesia terpelintir dalam benak rakyat dan dalam sistem pendidikannya, Indonesia tidak akan bisa belajar dari kesalahannya di masa lalu sehingga tidak ada jaminan kekerasan tidak akan terulang lagi. Sebagai koordinator umum Yayasan IPT 1965 yang didirikan pada 2014 saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah bekerja dan masih bekerja keras untuk memungkinkan Tribunal dibuka hari ini. Terutama saya ucapan terima kasih kepada panel hakim: Mireille Fanon- Mendès-France, Cees Flinterman, John Gittings, Helen Jarvis, Geoffrey Nice, Shadi Sadr dan Zak Yacoob Para jaksa kita: Todung Mulya Lubis (ketua), Antarini Arna, Bahrain Makmun, Uli Parulian Sihombing , Silke Studzinsky, Sri Suparyati, Agung Wijaya Panitra kita, Szilvia Csevar Panitia penyelenggara: Helene van Klinken (koordinator relawan, dan sekretariat), Annet
31
van
Offenbeek
(anggota
panitia
penyelenggara,
dan
keamanan),
Lea
Pamungkas( koordinator tim media di Belanda), Ratna Saptari (anggota panitia penyelenggara, anggota editor laporan penelitian) Dolorosa Sinaga (tim media dan seni di Jakarta), Sri Tunruang ( bendahara), Artien Utrecht (anggota panitia penyelenggara ), Sri Lestari Wahyaningrum ( koordinator tim Indonesia, editor laporan penelitian), Saskia Wieringa (ketua Yayasan IPT, koordinator laporan penelitian) Dewan penasehat kita: Syamsiah Achmad, Jan Breman, Martha Meijer, Nico Schulte Nordholt, Joshua Oppenheimer, Jan Pronk, Indai Sajor, Frederiek de Vlaming, Abram de Swaan, Galuh Wandita, Ben White, Herlambang Wiratraman. Ucapan terima kasih khusus saya sampaikan untuk para saski dan saksi ahli yang mau bersaksi untuk mendukung dakwaan. Karena mereka berani menyampaikan kesaksian di Tribunal untuk membongkar kejahatan terhadap kemanusiaan. Terima kasih juga kepada para anggota Tim Media dan sukarelawan lainnya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah menyumbang lewat kampanye crowd finding dan para penyumbang lainnya. Tribunal ini didedikasikan terutam bagi para korban dan keluarganya, termasuk mereka yang terbunuh dan hilang. Juga kepada generasi penerus dengan harapan agar mereka lebih bisa menilai sejarah masa lalu negerinya. Keadilan buat para korban berarti keadilan bagi masa depan Indonesia. Nursyahbani Katjasungkana SH
Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi:
Penting Intervensi Tribunal BY WEBMASTER_2 · NOVEMBER 13, 2015
32
IPT65: Selamat sore Bung. Kita bertemu di arena IPT di Den Haag. Anda tampil sebagai saksi ahli, penampilan Anda di luar agenda dan di luar jadwal. Bisa diceritakan mengapa Anda merasa perlu tampil dan setuju untuk diajak tampil? Dianto Bachriadi (DB): Saya menjadi pengamat selama dua hari. Selama dua hari itu kita dengar berulang-ulang nama Komnas HAM sering disebut, dokumen Komnas sering disebut dan saya merasa ada beberapa hal yang perlu saya klarifikasi mengenai posisi dan kedudukan dokumen itu. Saya kira itu harus diketahui supaya tidak salah tafsir. Saya pikir karena saya komisioner saya punya otoritas untuk mengatakan posisi dari sejumlah dokumen dan beberapa hal yang berkenaan dengan kesaksian-kesaksian yang kita dengar selama dua hari ini. Saya pikir penting untuk saya menyatakan diri, saya meminta untuk mengintervensi tribunal ini, dengan signifikasi tadi. Saya ingin memberi klarifikasi tentang beberapa hal yang menurut saya penting untuk diketahui agar tidak terjadi salah tafsir. IPT65: Apa saja yang ingin Anda klarifikasi? DB: Tadi persoalan posisi dokumen, proses yang sedang terjadi dari laporan yang sudah kita selesaikan tentang laporan pelanggaran HAM berat yang terjadi tahun 65 itu, yang sudah selesai tahun 2012. Sudah lima tahun dia delay bolak balik – bolak balik Komnas Kejaksanaan dan itu menurut saya penting diketahui karena itu juga berkait dengan signifikasi dari IPT ini. Peristiwa 65 itu sudah membuka mata kita lebih luas, lebih jauh, dan lebih dalam, dari hasil penyelidikan Komnas bahwa akan pentingnya bangsa kita membuka ruang-ruang untuk pengungkapan kebenaran. Kita bersetuju untuk rekonsiliasi. Tapi proses pengungkapan kebenaran itu harus mendahului dari rekonsiliasi. Dan ini ruang yang tepat. 33
IPT65: Jadi Anda melihat ini bermanfaat bagi penuntasan masalah rekonsiliasi? DB: Tentu kalau tidak bermanfaat saya tidak akan datang ke sini. IPT65: Anda juga ditanya soal status Anda di sini? DB: Saya komisioner, dan sebagai komisioner tentu saja saya bisa memutuskan untuk melakukan kegiatan yang menurut saya penting menunjang kewenangan tugas yang saya emban berdasarkan Undang Undang. Kita bicara di sini soal penyelesaian pelanggaran HAM berat, kita bicara tentang penyelesaian kejahatan kemanusiaan. Kita bicara tentang pengungkapan kebenaran, kita bicara tentang kemanusiaan. Kita bicara tentang hal-hal yang sangat penting di dalam kemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Saya tidak datang dengan kepentingan politik. Saya tidak berurusan dengan itu. Saya adalah komisioner HAM. Saya bicara hak asasi manusia. IPT65: Di Indonesia banyak dibicarakan soal status tribunal ini, bagaimana Anda melihat statusnya? DB: Statusnya baik saja di pandangan saya. Seperti tadi ini adalah ruang-ruang bagi kita sebagai bangsa untuk mengungkapkan kepada khalayak sesuatu yang penting di dalam proses rekonsiliasi. Seharusnya proses itu terjadi di dalam negeri, melalui proses peradilan yang resmi atau melalui proses pengungkapan kebenaran yang memang difasilitasi negara secara terbuka, dan para pihak yang berkepentingan bisa meyatakan apa yang dianggap benar. Kita perdebatkan di situ secara sehat, secara terbuka, jadi kita bisa melihat apa yang terjadi selama bertahun-tahun itu. Jadi bukan hanya penting untuk HAM tapi juga penting untu anak-anak kita di kemudian hari. Bahwa inilah sejarah bangsa, bahwa tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Tadi ada dikatakan itu semacam menjelek-jelekkan bangsa; semakin kita tutupi ini semakin jelek bangsa kita justru. Apa yang salah dengan sesuatu yang terbuka? Kalau memang kita ingin ada rekonsiliasi, kita terbuka, baru saling memaafkan, baru kita bisa berdamai kita mulai melangkah dengan lega. Tidak ada lagi yang saling bersikeras dengan dendam masa lalu. IPT65: Lalu bagaimana menurut Anda minat yang ditunjukkan terutama oleh majelis hakim tribunal ini yang bukan orang Indonesia, terhadap apa yang terjadi di Indonesia? DB: Itu yang ingin saya katakan dunia internasional kan juga tidak tutup mata terhadap peristiwa itu. Di sini banyak ahli, banyak yang sudah melakukan riset, penelitian. Ada profesor, doktor yang kualifikasinya tidak diragukan lagi. Kualitas informasinya sudah
34
tidak diragukan lagi. Dan dengan pengetahuan mereka, mereka ingin membantu proses pengungkapan kebenaran itu. Para hakim yang berasal dari luar mereka memiliki concern. Concern mereka adalah pengungkapan kebenaran. Itu sesuatu yang membantu. Kenapa kita harus menghindar dari itu? IPT65: Jadi masalah ahwa ini adalah langkah-langkah menghianati bangsa itu tidak ada maknanya menurut Anda ya? DB: Itu aneh menurut saya. Pertama mungkin kurang memahami apa maksud dan pegertian people’s tribunal, pengadilan rakyat. Yang kedua, ada hal yang penting yang tidak hendak dilakukan. Persoalannya sederhana, soal pengungkapan kebenaran. Tapi kalau tidak hendak dilakukan malah jadi pertanyaan malah jadi pertanyaan. Demikian penjelasan Dianto Bachriadi, salah seorang komisioner Komnas HAM yang hadir pada sidang IPT65, Tribunal Rakyat Internasional yang hari-hari tengah bersidang di Den Haag, Negeri Belanda.
Senang Dikelilingi Dunia yang Mengulurkan Tangan BY WEBMASTER_2 · NOVEMBER 13, 2015
Martin Aleida, Den Haag, 2015
35
Pewawancara: Saya berhadapan dengan Martin Aleida yang baru saja bersaksi di hadapan sidang IPT. Kesaksian yang sangat dramatis. Bagaimana perasaan Anda? Terima kasih. Saya merasa dikelilingi satu dunia yang mengulurkan tangan kepada saya. Hal yang tidak ditemukan di negeri saya. Jadi sekali lagi saya ulangi. Saya mengharapkan tim hakim bisa sampai kepada keputusan yang katakanlah memberikan cahaya kalau bukan matahari buat perubahan ke arah perbaikan dari hidup berbudaya di masyarakat Indonesia yang selama puluhan dihancurkan oleh rezim Angkatan Darat. Anda sepertinya sudah mempersiapkan untuk tampil di sini Sejak muda saya memang pembaca baik. Juara pembaca sajak di Sumatra Utara. Juga pemain teater. 63 muncul di gedung kesenian Jakarta memainkan peran kedua penting dari drama sinandang yg ditulis oleh seorang bernama Ibrahim Hamid ataU MH yang meninggal di Belanda ini. Jadi itu merupakan bekal bagi Anda untuk bertutur tentang jalan hidup Anda dan semua peristiwa yang pernah Anda alami? Saya kira secara mental saya sudah siap seperti dikatakan oleh Mulya Lubis dalam opening statementnya. “Saya tidak tahu apakah saya akan pulang dengan bebas. Apakah akan diintrogasi atau malahan ditahan.” Tapi kembali saya katakan. Ini adalah episode terakhir dari hidup saya dan saya harus memberikan sesuatu kepada bangsa saya. Bagaimana Anda melihat, membayangkan kesaksian ini diterima oleh publik di tanah air? Saya sadar, ada pernyataan saya yang mengejutkan mereka. Saya katakan bahwa saya seorang komunis. Saya percaya bahwa PKI bisa dan mampu membangun tatanan baru yang namanya sosialisme itu. Bisa. Saya percaya itu. Dan kalau itu gagal dan saya ditertawakan oleh dunia, tidak apa-apa. Tapi paling tidak sebagai manusia saya sudah punya cita-cita. Tapi memang itu terjadi dulu dan sekarang di dunia kita tahu komunisme sudah tidak ada, walaupun di Indonesia masih dianggap sebagai hantunya. Orang sudah menganggap ini soal pelanggaran HAM. Komunisme itu sebenarnya tidak perlu dilawan, kecuali kalau yang menata pemerintahan itu adalah orang-orang yang korup. Kalau Anda memperhatikan masyarakat Anda seperti misalnya di negara Skandinavia partai komunis tidak laku. Ini yang menjadi masalah. Dan di negeri saya penduduk itu diabaikan. Saya tiga belas tahun bekerja di majalah Tempo.
36
Tiga belas tahun lagi di PBB. Pajak saya berapa. Setiap tahun saya membayar pajak bumi bangunan 700 ribu. Anak saya sekolah. Saya harus bayar. Saya ditabrak motor dan patah kaki, tapi saya harus bayar. Pemerintah sepreti apa. Ini yang membuat komunisme itu muncul. Tetapi orang yang berkepala batu anti komunis tidak mau memahami ini. Itu yang menjadi suatu bencana buat pembangunan masyarakat kita. Dan yang penting sekarang adalah bukan lagi komunisme, tapi adalah penghargaan terhadap HAM dan penuntasan masalah-masalah HAM di masa lampau. Saya kira iya. Saya itu yang paling penting. Dan kecenderungan2 pikiran orng tidak bisa Anda hambat. Anda harus memberikan jalan kepada orang untuk mengutarakan pendapat dia. Hanya saya termasuk orang yang setuju jika film pengkhiatan G30S diputar kembali, tetapi juga diberikan keesmaptan kepda karya2 filim lain seperti Johsua Oppenheimer juga ditonton orang yang sama. Saya kira itu esensi daripada penikmatan kehidupan bagi kebebasan. Jadi tidak saling menekan dan saling mengeliminir. Kita bisa berbeda di dalam wacana, tapi kita kan tidak membawa senjata untuk mebunuh orang. Anda akan tetap pulang kan? Pada detik ini saya belum ingin menjawabnya. Nanti di belakang akan saya beri tahu.
Kesaksian Ibu Kingkin Rahayu di Tribunal Rakyat Internasional 1965 (IPT 1965) di Den Haag BY WEBMASTER · NOVEMBER 21, 2015
Kesaksian dibalik tirai hitam 37
Kesaksian Ibu Kingkin Rahayu di Tribunal Rakyat Internasional 1965 (IPT 1965) di Den Haag Pada 11 November 2015 Kingkin Rahayu (nama samaran) *), seorang korban kekerasan seksual, dihadirkan di muka Majelis Hakim tribunal rakyat di Den Haag. Ia bersaksi dibelakang tirai hitam. Jaksa:”Ibu Kingkin Rahayu …” Kingkin Rahayu: “Ya, kami telah siap.” Jaksa:”Ibu, terima kasih sudah bersedia jadi saksi. Apakah itu dalam keadaan sehat?” Kingkin Rahayu: “Ya saya dalam keadaan sehat” Jaksa:”Dapatkah ibu menceritakan pada kami semua disini apa yang terjadi pada ibu pada tahun 1965?” “Pada tahun 1965 saya mengalami peristiwa yang luar biasa mencekam dan menakutkan terutama kepada keluarga saya yang langsung merasakan peristiwa itu.” Demikian awal kesaksian Kingkin Rahayu di muka Majelis Hakim ketika menjawab pertanyaan jaksa tentang apa yang telah dialaminya. “Hidup wajar saja dan beraktivitas sebagai mahasiswi, tapi langsung ditangkap. Bukan hanya pada diri saya tapi dua bulan sebelumnya penangkapan ayah saya. Penangkapan itu diistilahkan ‘pengamanan’. Sehingga saya bertanya diamankan kemana, diamankan yang bagaimana. Sehingga selama 2 bulan ayah saya tidak ada beritanya sama sekali. Saya bertanya pada petugas yang menangkap saya apa maksudnya diamankan? Saya mau dibawa kemana? Mereka menjawab, ini adalah perintah atasan. Tidak boleh dilawan! Sehingga saya sebagai rakyat kecil, perempuan desa, tidak berdaya apa-apa. Saya meyiapkan pakaian dan membawa selembar sarung dan sorjan bapak saya. Siapa tahu bisa ketemu. Saya dibawa ke sebuah tempat yaitu di Kodim Sleman”. Karena Kodim itu penuh mereka diangkut ke Cebongan. Markas tentara yang semenjak peristiwa ’65 dijadikan penjara. Ketika turun dari truk dan di geledah, petugas menemukan sarung dan sorjan yang ia bawa. “Mengapa bawa sarung dan sorjan? Saya jawab karena saya tidak mungkin membawa ayah saya ke sini. Ayah dan ibu saya di rumah, sehingga cukup membawa pakaiannya siapa tahu ini buat obat kerinduan saya dimana nanti saya diletakkan.”
38
Di sana Kingkin Rahayu menemukan selain banyak laki-laki juga anak-anak dan bahkan bayi-bayi, karena ibu-ibu yang dituduh Gerwani, masuk ke penjara dengan anak-anak dan bayi mereka. Dia berusaha mencari ayahnya di situ. Walaupun dikatakan ayahnya berada di sana ia tidak pernah bertemu. “Di situ setiap hari ada pemeriksaan. Yang laki-laki tidak lepas dari siksaan, pukulan dan lain-lain, diinjak atau diapakan. Yang terdengar hanyalah jeritan, mengaduh dari pemeriksa. Sedangkan kami para tahanan perempuan diperiksa. Dalam pemeiksaan itu kami ditanya: Mana capmu Gerwani? Saya jawab: Saya bukan Gerwani, tapi saya IPPI.” Jawaban itu tidak menyelamatkannya dari pemeriksaan lebih lanjut. Dari pinggang kebawah harus telanjang. Berputar-putar, pemeriksa mencari cap Gerwani di tubuh bagian bawah. “Setelah mereka yakin tidak ada cap Gerwani maka baru ditanyai macam-macam persoalan. Diantaranya: Apakah kamu pernah pergi ke Lubang Buaya? Ya saya tanya: “Lubang Buaya itu apa? Luang Buaya itu mana, karena saya orang Yogyakarta. Akhirnya dengan pertanyaan-pertanyaan, diantaranya: Siapa dalam keluargamu yang terlibat G30S/PKI. Saya hanya bisa menyawab ayah ibuku seorang petani, jadi tidak tau-menau PKI” Di rumah orang tua Kingkin Rahayu yang adalah petani, sering diadakan kegiatan seni seperti sendra tari dan wayang orang. Salah seorang dalang tetap mereka juga sering diundang ke keraton Yogyakara. Perangkat gamelan di rumahnya disita, karena dianggap milik partai. Rumah mereka pun nyaris disita, karena diduga diberi partai. “Saya tidak mengerti cara mereka berpikir. Setelah pemeriksaan selesai saya disuruh tanda tangan saya hanya anggota IPPI. Dan saya hanya diperiksa satu kali. Kebetulan sekali di kam itu hadir seorang romo yang seminggu sekali memberi Komuni Kudus pada umat Katholik. Suatu saat saya minta bicara dengan romo tersebut”. Atas bantuan romo ini Kingkin Rahayu yang ingin melanjutkan kuliahnya dibebaskan pada April 1966. Empat bulan ia ditahanan di kam Cebongan. Setelah itu dia bisa melanjutkan kuliahnya dan berterimakasih Tuhan mendengar doanya. Dia pun anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan menceritakan tidak pernah mendapatkan ‘skorsing’. Kesaksian Kingkin Rahayu yang berlogat Jawa kental itu terdengar tenang. Sesekali ia berhenti dan menghela nafas. Kemudian Jaksa bertanya: “Ibu tadi mengatakan bahwa ibu ditangkap pertama kalinya ditahan empat bulan. Apakah ibu pernah ditangkap lagi sesudah itu?” 39
“Pernah. Setelah saya bebas saya mengurus surat-surat sehingga saya berhasil kuliah lagi, berhasil menjadi guru. Karena usaha saya, karena tututan ekonomi keluarga saya, bapak saya ditahan, adik saya tiga orang. Saya melamar pekerjaan dan diterima. Tetapi tanpa diduga pada suatu malam ….” Dan disinilah hadirin jelas tampak mulai terpukul. Para hakim mulai menundukkan kepala. Ruang sidang senyap. “Sebenarnya saya baru tidur belum lama. Karena sebagai mahasiswa saya harus menyalin kuliah dan menyiapkan bahan pelajaran buat murid saya. Jam dua. Saya belum lama tidur. Setelah itu saya sadar derap-derap kunci itu benar-benar di rumah saya. Setelah pulih keseimbangan saya melangkah membukakan pintu. Alangkah terkejutnya. Setelah pintu saya buka saya lihat 6 orang menodongkan senjata 2 orang tanpa senjata. Terkejut dan sangat-sangat takut. Ada apa ini. Mereka menanyakan nama seseorang. Kamu bernama ini? Bukan! Nama saya ini. Tetapi mereka tidak percaya. Mereka menggeledah rumah saya dan setelah menemukan surat pembebasan dari kam Cebongan. Mereka marah sekali. Nyatanya kamu PKI! Ini ada surat pembebasan. Lho itu kan surat pembebasan, berarti saya bukan PKI saya tidak terlibat. Saya ditempeleng” Lanjutan kesaksiannya lebih pedih lagi. Berulang kali ditanya tentang gerilya politik. Kingkin Rahayu dianiaya, dipukuli dengan sepeda, ditengkurapkan diinjak-injak, rambut dibakar, kemaluan dibakar. “Sampai saya merasa gelap. Semua gelap. Tidak ingat apa-apa. Tau-tau sudah ada di kantor CPM. Di situ saya diketemukan dengan seorang laki-laki lalu ditanya: Kenal dengan ini? Saya tidak kenal. Laki-laki juga ditanya. Jawabnya juga tidak kenal. Karena hari itu sudah pagi kami diborgol bersama dimasukkan di masukkan dalam sel”. Kingkin Rahayu seolah merasa bersalah karena meratapi kemalangan yang menimpanya ia tidak sempat berbincang dengan laki-laki yang diborgol bersamanya. Sama dengan dirinya, laki-laki itu juga mengalami penyiksaan. Tiga hari kemudian mereka dikeluarkan dari sel dan menjalani pemerikaan kembali. Harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sama. Jawaban mereka pun sama seperti di ruang pemeriksaan pertama. Mereka kemudian harus pilih: mengaku kenal, mengaku melakukan gerilya politik atau ditelanjangi. “Itu bukan pilihan,” tutur Kingkin Rahayu “Tetapi akhirnya kami toh ditelanjangi. Dalam keadaan saling telanjang itu disaksikan oleh mereka kami ditanya lagi: Kamu pilih duduk berpangkuan atau mengaku kalian melakukan gerilya politik. Saya hanya bisa menangis karena jawaban saya tidak pernah mereka dengarkan. Kembali kami dipukuli sampai 40
mereka mengatakan: Kami tunggu pengakuanmu! Aku hanya berdoa: Tuhan-Tuhan beri aku.. Akhirnya, tanpa saya duga sama sekali, badan saya dianggkat diposisikan di pangkuan” Di sini Kingkin Rahayu meratap. Ratapan yang menyayat hati. “Bisa stop sebentar ..,” kata jaksa. Kepedihan hati Kingkin Rahayu memenuhi seantero ruang sidang. “Entah berapa lama tau-tau saya sudah berada di sel tangan kami berdua diborgol. Setelah itu saya sakit. Tidak ada nafsu makan sama sekali. Dan sementara waktu karena sakit, tidak sembuh-sembuh akhirnya saya dipindahkan kepenjara Wirogunan. Di penjara Wirogunan dengan badan penuh luka saya dirawat oleh ibu-ibu yang ada di situ. Tapi kalau ditanya ibu-ibu saya tidak bisa ngomong, karena saya malu.(suaranya bergetar, terdengar isaknya) Dan saya tidak mampu berbicara. Akhirnya ibu-ibu menasehati, kalau kamu tidak makan kamu bisa mati.” Berkat perawatan ibu-ibu, yang begitu tulus, ia tergugah. Mereka membuatkannya baju dari kantong terigu, menyuapinya. Merekalah yang mendukungnya menjalani hidup walau penderitaan begitu besar. Setelah ia agak sehat, ia dipanggil kembali. Ditemukan dengan orang lain untuk ditanya apakah ia kenal dengan orang itu? Berulang kali Kingkin Rahayu menjalani pemeriksaan. Tiap kali sebelum pemeriksaan ia mendengar deru mobil. Di kala itu belum banyak mobil di sana. “Suatu saat saya dipanggil periksa lagi. Tapi saya heran koq malah tidak ada yang diperiksa lainnya. Koq saya sendiri. Ada apa ya. Akhirnya saya menemukan jawabannya. Memang hanya saya sendiri, karena yang ditanyakan: Berapa lama kau melakukan gerilya politik. Berapa orang anggota gerilya politik itu. Saya jadi bingung. Koq ndak seperti dulu pertanyaannya. Pak, saya tidak melakukan gerilya politik. Saya sudah punya posisi mapan sebagai mahasiswa dan sebagai guru. Buat apa gerilya. Adik saya membutuhkan saya. Tanpa dinyana saya ditendang kepala saya. Ditelanjangi lagi. Dalam keadaan telanjang dipegangi dua orang mengarah kepada pemeriksa…” Antara ratapan dan bersaksi Kingkin Rahayu menceritakan dipaksa menciumi kemaluan pemeriksanya. Tangisannya memilukan. Ia dicaci maki, diinjak-injak. Kepalanya digunduli. “Entah bagaimana saya tidak ingat lagi, saya hanya merasa gelap. Gelap. Katanya ibu-ibu saya digotong karena badan penuh luka dan tidak bisa jalan. Sesudah itu saya tidak mau ngomong, tidak mau makan lagi. Saya merasa hidup saya sudah berakhir. Sampai 8 bulan saya mengalami hidup stress, akibat stress ini selama 8 bulan saya tidak menstruasi. 41
Menurut dokter saya harus tenang pikiran. Mau tenang bagaimana. Hidup tidak ada apa-apa lagi bagi saya. Tapi dokter bilang: Mbak harus berdoa. Harus kuat. Harus berserah”. Jaksa kemudian bertanya: “Ibu apakah ibu tahu siapa yang menangkap ibu?” Kingkin Rahayu: “Yang menangkap saya adalah CPM dan tentara. Yang menyiksa saya, yang paling kejam, itu adalah.. Boleh saya menyebut namanya?” Jaksa: “Boleh..” Kingkin Rahayu: “Boleh saya sebut namanya?” Jaksa: “Boleh..” Kingkin Rahayu: “Namanya Loekman Sutrisna ..” (Sutrisno – Red) Nama itu diucapkan dengan penuh emosi. Ketika ditanya apakah selama ditahan pernah melihat atau mendengar tahanan perempuan diperlakukan serupa dengannya. Ia jawab: “Setelah saya di Plantungan hal seperti itu banyak dirasakan teman-teman saya yang dari Klaten, teman-teman yang muda seusia SMP dan SMA. Diperlakukan sama seperti itu.“ Dalam penderitaan itu mereka saling bertanya mengapa harus menerima perlakuan semacam itu. Ada yang mengatakan mereka itu mengejar target karena jumlah orang yang dipenjara belum sama dengan jumlahnya anggota PKI. Bukankah PKI harus dihancurkan dan dimusnahkan seakar-akarnya. Menurut perkiraan Kingkin Rahayu di sekitarnya yang mengalami penyiksaan seperti dirinya 10 atau 11 orang. Kingkin Rahayu ditahan di Wirogunan Yogyakarta, dipindahkan ke rumah tahanan perempuan Bulu. Lalu dipindahkan ke Plantungan untuk dipersiapkan kembali ke masyarakat, demikian penjelasan yang ia terima. “Tapi di Plantungan ini bentuk penderitaannya, lain. Kami didatangkan ke Plantungan, sebuah lembah bekas pembuangan lepra pada jaman Belanda. Tapi karena pasien-pasien lepra sudah bersosialisasi, sudah sembuh, sudah punya keturunan sehingga daerah itu menjadi kosong berubah menjadi hutan atau semak-semak belukar. Waktu kami didatangkan ke situ gedungnya dibuat dari papan, tapi belum ada penerangan, masih gelap. Tidak jarang dari kami digigigt kalajengking atau binatang-binatan lain, ular misalnya.” Dan dengan tangan telanjang para tahanan membuat lahan pertanian dan kolam ikan. 42
Kingkin Rahayu menghabiskan 11 tahun dari masa hidupnya dalam tahanan. Dan penderitaan itu masih berakibat hingga hari ini. Sering sakit, pendengaran rusak akibat dipukuli dengan sepeda dan juga darah tinggi. Pertanyaan jaksa selesai sudah. Jaksa mengucapkan terimakasih pada Kingkin Rahayu atas kesaksiannya yang sangat penting di tribunal ini. Lebih memanah adalah ucapan akhir Kingkin Rahayu pada Majelis Hakim: “Terimakasih Yang Mulia”. Beberapa hari kemudian, di bandara Amsterdam-Schiphol, Ibu Kingkin Rahayu tampak santai, lega, dan bahagia menjelang terbang pulang ke tanah air. *) Ibu Rahayu memilih nama samaran: ‘Kingkin Rahayu’. Mohon maaf Redaksi situsweb semula menulisnya ‘Tintin’. Media massa, berdasarkan lafal yang terdengar dalam sidang, juga telah keliru dengan menulisnya sebagai ‘Tintin’. Demikian mohon dimaklumi. Redaksi situsweb IPT 1965.
“Kesaksian Kingkin Rahayu”2015 TribunalIPT1965 Audio Player 00:00 00:00 Use Up/Down Arrow keys to increase or decrease volume.
Kesaksian Kingkin Rahayu. Den Haag 2015, International People's Tribunal 1965
Tags: 2015den haagjaksatodung mulya lubistribunal 1965 YOU MAY ALSO LIKE...
43
Kesaksian Ibu Kingkin Rahayu di Tribunal Rakyat Internasional 1965 (IPT 1965) di Den Haag 21 NOV, 2015
Sambutan Helen Jarvis pada Pembukaan Tribunal Rakyat Internasional tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan tahun 1965 di Indonesia 22 NOV, 2015
44
Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi: Penting Intervensi Tribunal 13 NOV, 2015
Tags: 19652015dakwaankejahatan YOU MAY ALSO LIKE...
Dua anggota lembaga negara tampil dalam Sidang IPT65 13 NOV, 2015
45
Tribunal Ini Tekanan Moral 13 NOV, 2015
Kesaksian Ibu Kingkin Rahayu di Tribunal Rakyat Internasional 1965 (IPT 1965) di Den Haag 21 NOV, 2015
46