BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN
A. Pengertian Relawan Kemanusiaan Realitas menunjukkan bahwa hampir di semua komunitas masyarakat, aktivitas tolong-menolong sudah sejak lama sering kita jumpai. Salah satu yang kita kenal adalah “Gotong-royong” yang dalam kerelawanan merupakan suatu bentuk tipikal modal sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Relawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang secara ikhlas karena panggilan nuraninya memberikan apa yang dimilikinya (pikiran, tenaga, waktu, harta, dsb) kepada masyarakat sebagai perwujudan tanggung jawab sosialnya tanpa mengharapkan pamrih baik berupa imbalan (upah), kedudukan, kekuasaan, kepentingan maupun karier. Adapun kriteria kerelawanan antara lain Memiliki kepedulian penuh keikhlasan untuk mem-perjuangkan nasib kaum miskin berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip kemasyarakatan sebagai bentuk pengabdian dan perjuangan hidupnya. Semua warga yang secara ikhlas tanpa membeda-bedakan derajat, jenis kelamin dan status sosial bersedia mengabdikan dirinya tanpa meng-harapkan pamrih (baik
berupa imbalan maupun karier) dapat menjadi relawan. Siapapun dapat menjadi relawan, selama memiliki semangat dan jiwa kerelawanan. Relawan tidak tergantung dari asal kelompok masyarakat maupun wilayah tertentu karena relawan tidak memperjuangkan kepentingan kelompok, agama, maupun wilayah tertentu. Tim Relawan untuk Kemanusiaan adalah organisasi massa yang berbasiskan pada relawan di Indonesia yang bekerja dalam gerakan kemanusiaan untuk kepentingan masyarakat korban kekerasan politik negara. B. Kedudukan Relawan Kemanusiaan Salah satu prinsip yang menjadi landasan utama hukum perang adalah pembagian penduduk (warga negara) negara yang sedang berperang atau yang sedang terlibat dalam suatu pertikaian bersenjata ( armed conflict) dalam dua kategori, yaitu kombat dan pendudukan sipil (civilans). Golongan kombat inilah yang secara aktif turut serta dalam permusuhan ( hostilities). Prinsip membagi penduduk dalam dua golongan ini lazim disebut distinction principle. Tulisan ini akan membahas secara umum, mengenai distinctition principle ini. Ketentuan – ketentuan tersebut dalam tulisan ini tidak diberikan. Tulisan ini akan ditutup dengan suatu uraian singkat mengenai perkembangan pengaturan kombat. Adanya prinsip pembedaan ini perlu diadakan pertama untuk mengetahui siapa yang dapat / boleh dijadikan objek kekerasan dan siapa yang harus dilindungi. Dengan kata lain, dengan adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa yang boleh turut dalam permusuhan sehingga dijadikan objek kekerasan ( dibunuh), dan siapa
yang harus dilindungi karena tidak turut dalam permusuhan. Mengenai masalah ini Manual of Military Law dari Kerajaan Inggris yang dikutip Draper, mengatakan bahwa kedua golongan itu, yaitu kombat dan non kombtaan, masing – masing mempunyai privileges-duties-disabilities. Selanjutnya dalam manual tersebut dikatakan bahwa seorang harus memilih di dalam golongan mana ia masuk, dan ia tidak dibenarkan menikmati privileges dua golongan sekaligus. Di dalam cetakan tahun 1958, manual tersebut menambahkan bahaw pembedaan antara kombat dan non kombat sekarang menjadi tidak jelas (blured). Pada masa itu yaitu dekade terakhir abad ke- 19 tidaklah sulit untuk menentukan siapa yang turut dalam permusuhan dan siapa golongan sipil, karena angkatan bersenjata atau kombat memakai seragam yang jelas berbeda dari pakaian penduduk sipil. Hukum Internasional juga membenarkan dilakukannya kegiatan kemanusiaan oleh organisasi humaniter yang tidak berpihak 6. Yang dimaksud dengan organisasi humaniter itu ialah bahwa organisasi itu must be concerned with the condition of man, considered solely as human being, regardless of his value as a military, political, professional or other unit. Organisasi ini tidak harus bersifat internasional 7. Di samping itu hukum internasional juga membenarkan kegiatan organisasi – organisasi penolong korban perang, seperti misalnya organisasi keagamaan, Palang Merah Nasional dan perhimpunan penolong sukarela lain 8 Kegiatan yang dapat
6
7
8
M. Bothe dkk., op.cit.,p. 304. Pasal 9 KJ I, II, III Tahun 1949; Pasal 10 KJ IV Tahun 1949. J.Pictet, IV, 1958,op.cit., p.96.
dilakukan oleh organisasi itu sangat luas, karena empat konvensi itu sendiri menetapkan bahwa ketentuan – ketentuannya tidak
dapat dibenarkan menjadi
penghalang pelaksanaan tugas kemanusiaan organisasi tersebut, walaupun kegiatan itu perlu mendapatkan persetujuan dari pihak yang bersengketa 9. Pada tahun 1899 di den Haag atas prakarsa Rusia dilangsungkan apa yang disebut First Hague Peace Confrence. Salah satu tujuan konvensi yang sudah disetujui du Brussels pada tahun 1874. Ternyata bahwa konfrensi ini berhasil untuk menerima konvensi tersebut di atas beserta annex-nya. Konvensi 1899 ini kemudian direvisi lagi dalam Second Peace Confrence, yang diadakan di den Haag pada tahun 1907. Konvensi 1907 ini tidak jauh berbeda dari Konvensi 1899. Dapat ditambahkan bahwa Second Peace Confrence ini menghasilkan banyak konvensi, satu diantaranya adalah konvensi IV, yang berjudul Convention respecting the laws and customs of war on land. Konvensi ini hanya terdiri dari sembilan artikel, tetapi dilampiri sebuah annex yang berjudul Regulation respecting the laws and customs of war on land, yang terdiri dari 5 artikel. Annex ini lebih dikenal dengan sebutan Hague Regulations, atau disingkat HR. Hukum, hak dan kewajiban perang tidak hanya berlaku bagi tentara (Armies) saja, tetapi juga bagi milisi dan korps sukarela (volunteer corps) yang memenuhi syarat berikut: 1. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; 9
Pasal 26 KJ I Tahun 1949: Pasal 125 KJ III Tahun 1949. Pasal 63, 142 KJ IV Tahun 1949.
2. Mempunyai tanda pengenal yang melekat, yang dapat dilihat dari jauh; 3. Membawa senjata secara terbuka; 4. Melakukan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang. Di dalam negara – negara dimana milisi atau korps sukarela itu merupakan (constiute) tentara atau menjadi bagian daripadanya, mereka dimasukkan dalam sebutan tentara (army). Berdasarkan hal – hal yang tercantum dalam HR, golongan yang secara aktif dapat turut serta dalam permusuhan adalah : 1. Tentara (armies); 2. Milisi dan volunteer corps ( apabila memenuhi persyaratan); 3. Levee en masse ( dengan memenuhi persyaratan tertentu. Prinsip pembedaan atau distinction principle untuk pertama kali secara konvensional diatur dalam Hague Convention IV tahun 1907, atau lebih tepat dalam Hague Regulations yang menjadi annex dari Hage Convention tersebut. Untuk mencegah kekacauan, maka disarankan untuk menggunakan istilah kombat dalam arti luas bagi golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan, dan dibedakan dari non kombat yang diidentikan dengan penduduk sipil, sedangkan kombat – kombat tersebut diberi nama ”kombat dalam arti sempit”.
Yang mempunyai hak untuk melakukan permusuhan, selain angkatan bersenjata milisi dan korps sukarela, apabila mereka memnuhi persyaratan tertentu, dan pula ada yang sudah ditentukan. C. Pengaturan tentang Perlindungan Relawan Kemanusiaan Hukum Internasional dalam berbagai bentuknya khususnya yang berbentuk perjanjian internasional wajib menciptakan sebuah tata keseimbangan dalam pergaulan masyarakat Internasional. PBB sebagai sebuah organ yang mengayomi masyarakat Internasional sudah selayaknya melihat pada anggota non pemegang hak veto. Dalam dunia yang lebih seimbang, tampaknya tak perlu lagi ada veto dalam tubuh PBB, khususnya Dewan keamanan PBB. Veto adalah bentuk dari ketidakadanya pengakuan suara negara-negara mayoritas. Dukungan atas sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB sangat bergantung pada Negara pemegang hak veto. PBB dalam sejarahnya dibentuk oleh negara pemenang Perang Dunia II, sebagai negara pemenang perang ia memiliki hak eksklusif berupa hak veto. Dalam perjalanan selanjutnya hukum internasional yang hendak dilaksanakan dengan menjatuhkan sanksi internasional seringkali gagal dilaksanakan karena munculnya hak veto. Negara lain yang tak memegang hak veto tak memiliki suara dalam tubuh DK PBB. Inilah sesunggunhnya awal dari ketiadaan ruang keadilan dalam PBB. Sanki hukum tak dapat dijatuhkan ketika muncul veto. Tak ada lagi adagium hukum bahwa suara tertinggi adalah hukum, semuanya tergantung pada lobi-lobi internasional yang mampu menggerakkan negara pemegang veto untuk berpihak kepadanya.
Masyarakatpun kemudian menyaksikan bagaimana dengan mudah sebuah negara menyerang negara lain dengan alasan penegakan hukum. Kekuatan politik internasional menjadi sangat kuat dalam penjatuhan sanksi internasional. Israel yang secara nyata dilindungi oleh Amerika Serikat dan Inggeris, berhadapan dengan Iran yang mendapat dukungan Rusia dan Cina. Ini semua berada dalam ruang-ruang politik internasional yang begitu kuat. Kasus Marvi Marvara yang telah menimbulkan korban jiwa memerlukan hukum Internasional untuk melindungi warga internasional. Amerika Serikat dan Inggeris tentu akan melindungi kepentingan Israel. Arah Hukum Internasional saat ini adalah membentuk sebuah tatanan yang lebih adil. Penciptaan ruang keadilan akan terbentuk ketika tak ada lagi hak veto. Solus populli suprema lex, suara terbanyak adalah hukum tertinggi, dalam tubuh PBB selayaknya dimunculkan dengan tak memandang hak veto. Hukum Internasional harus digerakkan oleh sebuah kekuatan masyarakat Internasional secara bersama-sama, tidak lagi dikendalikan oleh segelintir negara pemegang veto. Dalam kesempatan ini, Indonesia mempunyai kekuatan secara Internasional dengan mencoba menggerakkan kekuatan internasional untuk menegakkkan hukum internasional melalui kerjasama dengan negara-negara Konferensi Asia Afrika, serta Negara Organisasi Konferensi Islam. Indonesia mampu berperan secara aktif melakukan lobi-lobi internasional untuk menciptakan sebuah kekuatan internasional baru yang mengedepankan perdamaian bukan kekerasan yang selama ini ada.
Perilaku yang ditunjukkan oleh Israel dengan mengirimkan senjata untuk menghadang misi kemanusiaan sesungguhnya adalah bentuk nyata dari masyarakat yang tak beradab. Dalam konteks masyarakat beradab, sebuah bangsa akan mengedepankan upaya-upaya dialog dan bukannya kekerasan bersenjata. Dialog antar masyarakat sebagai warga internasional adalah bentuk pencerminan masyarakat yang beradab. Dialog untuk mencapai sebuah titik temu lebih mengedepankan logika dibanding kekerasan. Hukum Internasional muncul dalam proses-proses dialog antar negara.
Kasus
Marvi
Marvara
merupakan
bentuk
dan
contoh
nyata
dikesampingkannya upaya dialog. Dialog sehingga menemukan sebuah titik temu dan dituangkan dalam sebuah perjanjian internasional adalah bentuk nyata keberadaan sebuah masyarakat internasional. Hukum Internasional sampai saat ini menjadi pilihan rasional, walaupun upya menggerakkannya membutuhkan lobi-lobi internasional. Hukum Internasional adalah pilihan terbaik dari beberapa pilihan yang ada. Ketika hukum internasional tak berjalan, maka pilihan lainnya adalah perang. Perang hanya akan merugikan semuanya, ia adalah bentuk dari keberingasan masyarakat yang tak beradab. Ketika kita mengedepankan perang maka yang terjadi hanyalah kepedihan umat manusia. Ketika perang adalah pilihan terakhir, maka pelaksanaan perangpun harus berada dalam ruang atau koridor hukum Internasional. Perang tidak boleh dilaksanakan ketika dilandasi oleh semangat untuk menguasai kekayaan. Perang hanya boleh dilakukan sebagai upaya paling akhir. Kasus Marvi Marvara sekali lagi menyadarkan pada kita bahwa ketidakadilan internasional secara nyata telah terjadi, dan
ketidakadilan tersebut hanya tercipta ketika keseimbangan internasional tercapai melalui penghilangan veto dalam tubuh PBB. Harapan akhirnya adalah ketika veto telah hilang, maka hukum internasional yang lebih adil akan tercipta. Indonesia memang tak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk melaporkan kejahatan HAM yang dilakukan oleh negara lain. Alasannya, Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan ICC (International Criminal Court). Pasal 15 Statuta Roma sangat memungkinkan lembaga non-pemerintah memberikan informasi kepada jaksa penuntut mengenai tindak pidana di bawah yurisdiksi Mahkamah Internasional.
Perikemanusiaan sebagai suatu asas pokok hukum perang, dalam bentuknya yang modern, untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Rousseau
10
. Dalam
merumuskan pengertian perang, Rousseau 11 menyatakan teori pembatasan tentang siapa yang merupakan musuh dalam perang. Berpangkal pada pengertian perang sebagai suatu hubungan antarnegara diutarakan bahwa orang perorangan, pada prinsipnya, tidaklah merupakan musuh di dalam perang, baik selaku manusia maupun selaku warganegara negara yang berperang, kecuali bila ia adalah tentara. Dengan menetapkan siapa siapa yang merupakan musuh dan siapa yang bukan musuh, Rousseau menetapkan asas pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan di dalam perang. Berdasarkan pembedaan itu kemudian dikembangkan pula pembatasan
10
11
Ibid., p.10. Op.cit., p.22
sasaran perang, yakni bahwa yang menjadi sasaran sah perbuatan perang hanyalah angkatan bersenjata musuh saja
12
. Pembatasan sasaran perang itu berarti
perlindungan penduduk sipil dari serangan musuh. Dengan demikian tampak pembedeaan antara penduduk sipil dan kombatan merupakan dasar bagi perlindungan penduduk sipil di masa perang.
Relawan kemanusiaan dalam perspektif Hukum Internasional tergolong dalam golongan non kombatan yang merupakan organisasi penolong lain selain kegiatan kepalangmerahan. Organisasi penolong yang lain ialah perhimpunan penolong nasional yang bukan Palang Merah yang kegiatannya bertujuan membantu orang yang dilindungi, khususnya penduduk sipil warganegaranya, yang ditahan atau ditawan. Bantuan yang diberikan itu termasuk bantuan spiritual. Bantuan yang dapat diberikan kepada tahanan dan tawanan perang di wilayah yang diduduki itu terinci dalam tiga macam kegiatan, yakni pemberian sumbangan kegiatan keagamaan dan bantuan memanfaatkan waktu senggang. Di samping itu Pasal 63 par. 2 KJ IV Tahun 1949 juga melindungi organisasi khusus yang bersifat non – militer yang bertujuan menolong kehidupan penduduk sipil. Perhimpunan ini dalam PTKJ I Tahun 1977 dikembangkan menjadi organisasi pertahanan sipil.
Kapal yang diserang oleh Israel tersebut juga mengangkut wartawan dari berbagai belahan dunia, padahal wartawan yang bertugas di wilayah pertikaian bersenjata, berada di bawah perlindungan Konvensi Jenewa 1949. Pasal 79 Protokol I 12
E. Rosenblad, op.cit., p.54, mengutarakan bahwa pembatasan itu ditetapkan dalam Preambul Deklarasi St. Petersburg Tahun 1868.
Konperensi tentang Pengesahan dan Perkembangan Hukum Humaniter Internasional pada 1977 menyatakan bahwa wartawan yang sedang menjalankan tugas berbahaya dianggap sebagai orang sipil dan diberi perlindungan selama mereka tidak melakukan tindakan yang secara merugikan mempengaruhi status sipilnya.
Di dalam kapal tersebut juga terdapat para aktivis perempuan dan petugas kesehatan yang mendapatkan perlindungan khusus menurut Konvensi Jenewa. Perlakuan khusus juga diberikan pada petugas kesehatan, baik sipil maupun keagamaan, dan terhadap transportasi peralatan dan persediaan obat-obatan.
Ditinjau dari perspektif hukum Internasional, penyerangan Israel atas kapal kemanusiaan tersebut tidak dapat dibenarkan, bahkan jelas bertentangan dengan hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip HAM dan Kemanusiaan. Pertama, serangan dilakukan di wilayah perairan internasional. Kedua kapal sedang membawa bantuan dan mengangkut warga sipil yang tidak bersenjata. Tidak ada satu pun konvensi internasional tidak melarang bantuan kemanusiaan semacam itu. Bahkan, Majelis Umum PBB menyatakan bahwa pemberian bantuan internasional kepada penduduk sipil yang berada dalam peperangan sesuai dengan Piagam PBB, DUHAM dan instrumen hak asasi manusia internasional lainnya.
Masyarakat Internasional mengecam aksi brutal pasukan negara Zionis itu karena berlangsung di wilayah laut lepas (perairan internasional) dan bukan di wilayah perairan Israel. Dalam perspektif hukum Internasional, Filosofi mare libelum (free sea) berlaku bagi semua kawasan samudra/laut lepas. Bahwa menurut Konvensi PBB
tentang Hukum Laut (United Nations Convention on The Law of The Sea/UNCLOS) tahun 1982, laut lepas tidak berada berada di bawah kedaulatan maupun yurisdiksi negara manapun. Di laut lepas, yang berlaku adalah kemerdekaan navigasi dan pelayaran. Setiap negara dapat menikmati kebebasan-kebebasan di laut lepas, diantaranya adalah kebebasan untuk berlayar. Kebebasan tersebut dilanjutkan dengan dijamin menurut Pasal 87 dari UNCLOS.
Pasal 6 dari Konvensi jenewa tahun 1958 menegaskan bahwa kapal yang berlayar dalam wilayah laut lepas harus menunjukkan bendera negara kapal dan dengan demikian memiliki kewenangan eksklusif untuk memberlakukan hukum negara bendera kapal untuk wilayah di dalam kapal tersebut. Artinya, sebuah kapal yang berbendera suatu negara dianggap sebagai bagian wilayah territorial negara tersebut. Wilayah territorial ini akan berkaitan kedaulatan bagi negara tersebut, termasuk untuk memberlakukan hukum negara tersebut. Hal ini juga dijamin dalam Pasal 92 UNCLOS. Oleh karena itu, penyerangan terhadap kapal Mavi Marmara yang berbendera Turki tidak dapat dibenarkan dan dapat tergolong sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Turki.
Hal ini juga berkaitan dengan keamanan laut. Bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh pengguna untuk bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas pemanfaatan laut. Diantaranya adalah laut bebas dari ancaman kekerasan secara terorganisasi dengan kekuatan bersenjata ancaman tersebut dapat berupa, pembajakan perompakan, sabotase maupun aksi teror bersenjata. dan bebas dari dari ancaman pelanggaran hukum, baik hukum nasional maupun internasional.
Israel berdalih bahwa penembakan yang dilakukan pasukan Komando Israel terhadap para penumpang Mavi Marmara adalah untuk membela diri. Logika semacam itu tentu saja tidak dapat diterima akal sehat karena berbagai video yang beredar jelas-jelas menunjukkan bahwa pasukan Israel lah yang menyerbu kapal tersebut. Selain itu, dengan latar belakang penumpang kapal seperti itu, masuk akal tidak mereka menyerang pasukan khusus Israel.
Penggunaan senjata oleh Pasukan Israel dengan alasan untuk membela diri haruslah sesuai dengan prinsip dasar “Proporsionalitas” dan “Prinsip Diskriminasi” sesuai dengan hukum humaniter Internasional. Prinsip Proposionalis ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer. Artinya, apakah langkah atau serangan tersebut sebanding dengan perlawanan yang mereka terima dan berkaitan dengan tujuan militer? Prinsip ini tentu harus dihormati oleh Israel, karena tercantum dalam pasal 35 ayat (2) Protokol Tambahan I.
Adapun prinsip diskriminasi, adalah prinsip untuk membedakan sasaran militer (combatants) dan sipil (non-combatants). Bahwa terdapat larangan untuk menyerang penduduk sipil dan objek-objek sipil yang lain, bahkan jika target militer, serangan terhadap obyek tersebut tetap dilarang jika hal tersebut membuka kemungkinan untuk melukai warga sipil.
Perbuatan Israel dengan menembaki warga Sipil yang tidak bersenjata adalah sebuah kejahatan kemanusiaan sesuai dengan pasal 7 Statuta Roma. Bahwa kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atas sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan terhadap penduduk sipil. Dalam perspektif Hukum HAM Internasional, jenis
kejahatan
terhadap
kejahatan-kejahatan
yang
kemanusiaan paling
serius
tersebut dan
adalah
menjadi
bagian perhatian
dari
jenis
komunitas
Internasional (pasal 5 Statuta Roma).
Penyerangan terhadap warga sipil termasuk ke dalam jenis pelanggaran berat menurut Protokol I Konvensi Jenewa 1977. Dan termasuk ke dalam kejahatan kemanusiaan menurut Statuta Roma tahun 1998. Juga bertentangan dengan berbagai instrument HAM internasional seperti DUHAM (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) yang menggariskan sebuah prinsip bahwa semua orang berhak menikmati hak asasi manusia, baik dalam keadaan damai maupun perang.
Resolusi Majelis Umum 2444 juga menyetujui resolusi dari Konperensi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional yang Ke-12 (Wina, 1965) yang mencantumkan tiga prinsip dasar tentang kegiatan dalam pertikaian bersenjata, salah satunya adalah dilarang melakukan penyerangan terhadap permukiman sipil, dan harus selalu dibedakan antara orang yang ikut serta dalam pertempuran dengan penduduk sipil sehingga sebanyak mungkin penduduk sipil tidak terlibat.
Majelis Umum menegaskan bahwa tempat tinggal, tempat perlindungan, wilayah rumah sakit serta instalasi lain yang digunakan penduduk sipil tidak boleh dijadikan
sasaran operasi militer. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan korban akibat pembalasan, pemindahan secara paksa atau “serangan lain terhadap integritas mereka.” Berkaitan dengan pelanggaran HAM, pasal 5 Universal Declaration of Human Right juga menegaskan bahwa, no one shall be subjected to tourture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan kejam dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya. Oleh karena itu, penyerangan terhadap Kapal tersebut adalah hal yang dilarang menurut hukum Internasional.