BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA DI WILAYAHNYA A. Teori Dasar Tentang Kedaulatan Pada abad ke XIX, teori-teori perjanjian ditentang oleh teori-teori yang mengatakan bahwa kekuasaan hukum tidak dapat didasarkan atas kemauan bersama-sama dari anggota masyarakat. Tetapi hukum ditaati karena negaralah yang menghendakinya. Hukum adalah kehendak negara dan negara itu mempunyai kekuatan (macht/power) yang tidak terbatas. Teori ini dinamakan “teori kedaulatan negara” (theorie van de staatssouvereiniteit).17 Tentang teori “kedaulatan”, para sarjana belum mencapai kata sepakat, apakah kedaulatan itu merupakan unsur mutlak dari suatu negara atau bukan. Tanpa adanya kedaulatan penuh atau hanya dengan separoh kedaulatan saja, suatu organisasi bangsa telah dapat disebut negara, misalnya negara bagian dari negara federasi, negara protektorat, dan sebagainya. Tetapi tentu saja negara-negara tanpa kedaulatan penuh atau hanya dengan separuh kedaulatan merupakan negara-negara yang kurang sempurna. Ciri-ciri kedaulatan sudah mulai terlihat pada rumah tangga. Dari rumah tangga berkembanglah organisasi manusia ke organisasi suku (clan) 17
Samidjo, Ilmu Negara, Bandung, Penerbit Armico:1986, Hal 140
34
Universitas Sumatera Utara
35
dan daerah. Sengaja atau tidak sengaja, kebetulan atau tidak kebetulan, suka atau tidak suka, timbullah secara berangsur-angsur jarak antara yang memegang dan yang menjalankan pimpinan dengan yang dipimpin. Raja Perancis Louis XIV pernah mengucapkan “L’etat c’est moi!” = Negara adalah saya. Kedaulatan negara mengandung absolutisme. Dianggapnya negara itu adalah miliknya, dan kehendaknya yang menjadi hukum. Di masa aufklarung, kedaulatan kepala negara itu memperoleh segi peri-kemanusiaan. Raja-raja (diantaranya Friedrich The Great yang hidup pada tahun 1712-1786 di Prusia) mengenai kesejahteraan rakyat, tetapi kedaulatan sepenuhnya masih dipegang Raja, semboyannya: “segalanya untuk rakyat, tetapi tidak oleh rakyat”. Beberapa faktor yang menyebabkan kedaulatan itu bergeser dari organisasi kepada sang pemimpin organisasi, diantaranya sebagai berikut: a) Kecakapan, keberanian, kepahlawanan sang pemimpin b) Pengabdian secara mutlak dari para pembantunya c) Sikap menerima dan menyerah para anggota organisasinya d) Mitos kedewaan yang berkembang di sekitar sang pemimpin tersebut. Pimpinan itu dengan demikian memperoleh wibawa wewenang untuk memerintah, membuat undang-undang, mengadili dan sebagainya. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa teori kedaulatan yakni: 1) Teori kedaulatan Tuhan (Goddelijke souvereiniteit)
Universitas Sumatera Utara
36
Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan (middle age: abad ke V – XV). Di dunia barat kebanyakan orang pada zaman ini menganggap hukum itu adalah kemauan Tuhan. Tinjauan tentang hukum itu dicampurkan baurkan dengan kepercayaan dan agama. Ketika orang membentangkan beberapa teori tentang legitimasi mendasarkan kekuasaan hukum, maka dengan sendirinya teori-teori itu didasarkan atas kepercayaan dan agama. Teori yang mendasarkan berlakunya hukum atas kehendak Tuhan dinamakan teori teokrasi (theocratische, theorien); (theos = Tuhan; kratein = memerintah). Teori ini mengajarkan bahwa pemerintah/negara memperoleh kekuasaan yang tertinggi itu dari Tuhan. Para penganjur teori ini berpendapat, bahwa dunia beserta segala isinya adalah hasil ciptaan Tuhan. Penganjur paham ini antara lain Augustinus, Thomas Aquinas dan lain-lain. Kedaulatan yang berasal dari Tuhan itu dipegang oleh raja yang merupakan Wakil Tuhan, atau raja itu dianggap Tuhan yang menjelma di dunia ini. Oleh karena itu kekuasaan raja tidak boleh dibantah oleh rakyatnya, karena membantah perintah raja berarti menentang perintah Tuhan. Di dunia Barat, teori Teokrasi itu diterima umum hingga zaman Renaissance (Abad XVI). Tetapi, walaupun di zaman Renaissance dan di zaman sesudah Renaissance umumnya orang membentangkan teori yang terlepas dari pengaruh kepercayaan pada Ketuhanan, namun hingga sekarang masih juga
Universitas Sumatera Utara
37
ada beberapa golongan yang suka mendasarkan kekuasaan hukum atas kepercayaan pada Ketuhanan. Misalnya: yang beragama Katolik Roma, Islam dan lain-lain. Teori teokrasi ini tidak hanya terdapat di dunia barat, tetapi juga terdapat di benua-benua lain. Misalnya di negeri Jepang, bahwa keturunan Tenno Heika (Kaisar Jepang) didasarkan atas (turunan) Matahari yang didewakan sebagai suatu Ketuhanan (Sun Goddes). Tetapi sejak tahun 1945 pendapat ini mulai berubah dan telah ditinggalkan oleh generasi muda. Sejalan dengan perkembangan alam pikiran modern. Orang pada zaman sekarang mencari-cari bukti
atas
kekuasaan yang
didasarkan pada Ketuhanan itu. Maka muncullah teori teokrasi modern. Beberapa penganut teori teokrasi modern ini adalah: a) Friedrich Julius Stahl (1802-1861) dalam bukunya “Die Philophie des Rechts”18. Ia mengatakan bahwa negara itu tidak diadakan oleh “menschliche Absicht, son dern durch hogere Fugung.” b) Mr.
De
Savornin
Lohman,
dalam
bukunya
“Onze
Constitutie”19, mengatakan bahwa kekuasaan raja Belanda dilahirkan dengan sendirinya (otomatis) karena beberapa kejadian tertentu. Misalnya, dalam sejarah ada kejadian tertentu yang membuktikan bahwa raja Oranje itu ditunjuk oleh Ketuhanan menjadi penguasa di Negeri Belanda. 18 19
Ibid, Hal 144 Ibid, Hal 145
Universitas Sumatera Utara
38
Bahwa Oranje (Prins Willem van Oranje I dan putra-putranya) memimpin rakyat Belanda dalam perjuangan memerdekakan diri dari penjajahan Spanyol (1568-1648). 2) Teori kedaulatan Rakyat (Volks souvereiniteit) Menurut teori ini, negara memperoleh kekuasaan dari rakyatnya dan bukan dari Tuhan atau dari Raja. Teori ini tidak sependapat dengan teori Kedaulatan Tuhan, dan mengemukakan kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh teori Kedaulatan Tuhan: a) Raja yang seharusnya memerintah rakyat dengan adil, jujur dan baik hati (sesuai dengan kehendak Tuhan), namun kenyataannya,
raja-raja
bertindak
sewenang-wenang
terhadap rakyat; ingat terhadap pemerintahan Louis XIV. b) Apabila kedaulatan Raja itu berasal dari Tuhan, mengapakah dalam suatu peperangan antara raja yang satu dengan raja yang lain dapat mengakibatkan kalahnya salah seorang raja. Kenyataan ini menimbulkan keragu-raguan yang mendorong ke arah timbulnya alam pemikiran baru yang memberi tempat pada pikiran manusia (Renaissance). Alam pemikiran baru ini dalam bidang kenegaraan melahirkan suatu paham baru, yaitu teori Kedaulatan Rakyat. Paham inilah yang merupakan reaksi terhadap teori Kedaulatan Tuhan dan teori Kedaulatan Raja dan kemudian menjelma dalam Revolusi Perancis, sehingga kemudian dapat
Universitas Sumatera Utara
39
menguasai seluruh dunia sekarang. Para penganjur paham ini adalah: Rosseau, Montesquieu dan John Locke. Dari ketiga sarjana ini, Montesquieu adalah yang paling terkenali karena ajarannya tentang pemisahan kekuasaan negara yang oleh Immanuel Kant disebut: “Trias Politica”20. 3) Teori kedaulatan Negara (Staats souvereiniteit) Menurut teori ini, negara dianggap sebagai satu kesatuan ideal yang paling sempurna. Negara adalah satu hal yang tertinggi, yang merupakan sumber dari segala kekuasaan; jadi negaralah sumber kedaulatan dalam negara. Karena itu “negara” (dalam arti government=pemerintah) dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap hidup, kebebasan dan properti dari warganya. Warga negara bersama-sama hak miliknya itu, apabila perlu dapat dikerahkan untuk kepentingan kejayaan negara. Mereka taat kepada hukum, tidak disebabkan suatu perjanjian, tetapi karena hukum itu adalah kehendak negara. Dalam praktek, kekuasaan negara itu dipegang oleh para penguasa saja, sehingga menimbulkan negara kekuasaan misalnya: Jerman di bawah Adolf Hitler. Teori kedaulatan negara tersebut lahir pada bagian kedua abad ke XIX, dan ada beberapa ahli hukum yang menganut teori kedaulatan negara ini, diantaranya adalah Paul Laband,
yang
merupakan
pencetus
paham
pertama
dari
20
Ibid, Hal 146
Universitas Sumatera Utara
40
perkembangan teori Positivisme atau merupakan tumbuhnya aliran Deustche Publisizten Schule, dalam bukunya: “Dus Staatsrecht des Deustchen Reichs.”21 (negara hukum kerajaan Jerman). Laband mengatakan bahwa tidak ada negara yang tidak berkekuasaan tertinggi. “negara” satu-satunya sumber segala kekuasaan tertinggi. Contoh: Italia di zaman Mussolini. Aliran ini lahir sebagai reaksi terhadap hukum Romawi dan hukum Alam. Reaksi terhadap hukum Romawi itu terjadi karena baik pada sebelumnya maupun pada waktu itu penelitian mengenai hukum bergantung kepada hukum perdata
Romawi,
hingga
dengan
demikian
maka
metode
penelitiannya dikonstruksi sedemikian rupa menurut cara hukum perdata. Maka timbullah reaksi yang menghendaki agar cara penelitian menurut hukum publik jangan disamakan dengan metode yang dilakukan pada hukum perdata. Hal ini disebabkan bahwa hukum publik seharusnya memiliki objek dan metode tersendiri dengan sifat-sifat hukum publik itu sendiri. Sehingga dengan demikian hukum publik akan menjadi ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Karena itulah terdapat usaha untuk memisahkan ilmu kenegaraan dari metode hukum keperdataan dan dicoba mencari metode yang cocok untuk hukum publik. Hal ini disebabkan juga 21
Ibid,
Universitas Sumatera Utara
41
karena
hukum
perdata
mengatur
hubungan
hukum
(rechtsbetrekking) antara seorang dengan seorang lainnya atau antara individu dengan individu lainnya sehingga hubungan itu bersifat koordinatif, sedangkan hukum publik mengatur hubungan hukum antara penguasa (overheid= upperhand power) dengan orang-orang lainnya, sehingga bersifat subordinasi (pengabdian). Reaksi terhadap hukum Alam itu sendiri didasarkan atas pendapat tentang hukum Alam itu sendiri yang menyatakan bahwa ketenuanketentuan (yang benar dan baik menurut rasio, dan tidak mungkin salah) dimana – mana saja ada, baik dalam negara modern,maupun negara yang primitif. Ketentuan tersebut sudah berlaku dan terdapat di dalam sanubari manusia. Di samping itu ada ketentuan lainnya yang sesuai dengan rasio. Pemikiran inilah yang menimbulkan reaksi yang ditandai dengan lahirnya positivisme. Perkataan “positivisme” berasal dari bahasa latin: “Positip” dimana perkataan tadi sering digunakan sehari-hari oleh rakyat jelata, yang artinya sama dengan “relatif”, disebabkan tidak terdapatnya hukum yang bersifat abadi dan langgeng seperti hukum alam. Hukum positif bersifat relatif karena berlakunya menurut waktu, tempat dan bangsa yang bersangkutan. Jadi hukum yang telah lampau, berbeda dengan hukum yang sekarang , juga hukum bagi bangsa Amerika, berbeda dengan bangsa Belgia. Dalam
Universitas Sumatera Utara
42
perkembangan positivisme pada tahap kedua diwakili oleh George Jellinek (1851-1911) dalam bukunya: “Algemene Staatslehre”22, dimana Jellinek mengatakan, bahwa negara adalah organisasi yang dilengkapi dengan sesuatu kekuatan asli. Negara itu merupakan gabungan manusia yang terorganisir di suatu daerah tertentu yang dilengkapi dengan suatu kekuasaan asli pemerintah. Kekuasaan asli itu sendiri adalah kekuatan yang tidak diturunkan dari sesuatu kekuatan atau kekuasaan lain. Hukum ada karena negara menghendakinya. Tiap aksi pemerintah merupakan kehendak negara dan apabila negara beraksi maka aksinya pada prinsipnya tidak dibatasi oleh hukum. Bukankah hukum itu buatan negara sendiri dan tidak mungkinlah negara harus tunduk pada buatannya sendiri? Dengan kata lain: hukum diciptakan oleh negara sendiri, dan setiap gerak-gerik manusia dalam negara itu harus menurut kehendak negara. Sedang negara sendiri tidak perlu tunduk di bawah hukum, karena negara sendirilah yang membuat hukum. Paham ini dilanjutkan oleh Hans Kelsen yang merupakan murid dari George Jellinek melalui “Zweiseiten Theorie”23 atau teori yang memandang negara dari dua sudut, yaitu dari sudut sosial (soziales factum) dan dari sudut yuridis atau lembaga-lembaga yuridis (rechtsliche institution), tetapi ia hanyalah secara konsekuen 22 23
Ibid, Hal 148 Ibid, Hal 149
Universitas Sumatera Utara
43
melanjutkan paham dari sudut yuridisnya saja, yaitu negara selaku rechtslich institution. Pelajaran hukum dari Kelsen terkenal dengan nama “reine Rechtslehre” atau pelajaran hukum yang murni (bersih). Dimana Kelsen memberikan gambaran tentang hukum yang dibersihkan dari unsur-unsur yang tidak yuridis, khususnya unsur etis dan sosiologi. Karena dibersihkan dari unsur-unsur etis itu, maka konsep hukum yang dibuat oleh Kelsen dengan sendirinya tidak memberi tempat untuk berlakunya hukum alam. Konsep hukum Kelsen itu sendiri sifatnya adalah hukum yang positivistis belaka. Kelsen menganggap hukum sebagai suatu “Wille des Staates” (kehendak negara). Orang taat pada hukum karena ia merasa wajib (keharusan) mentaati sebagai suatu perintah negara. Kelsen melihat sistem hukum positif berdasar atas satu unsur saja, yaitu penilaian normatif, kaidah; dan kepada sistem hukum positif tersendiri diberi suatu struktur piramida (hierarki) atau “Stufenbau des Rechts” dan terkenal dengan nama “stufentheorie”24 yaitu dasar berlakunya suatu kaidah terletak dalam suatu kaidah yang lebih tinggi dan sumbernya sebagai puncaknya ialah “Grundnorm”(norma dasar) yang hipotetis. Selanjutnya Hans Kelsen mengatakan bahwa negara identik dengan hukum, namun demikian Hans Kelsen juga mengakui 24
Ibid, 150
Universitas Sumatera Utara
44
bahwa negara itu terikat oleh hukum. Karena menurutnya: suatu “zwangs Ordnung”, suatu tertib hukum, atau suatu tertib masyarakat yang bersifat memaksa, karena sifat memaksa itulah maka di dalam negara itu ada hak memerintah dan kewajiban tunduk,
juga
hukum
itu
adalah
zwangs
ordnung,
maka
kesimpulannya: bahwa negara itu identik dengan hukum. 4) Teori kedaulatan Hukum (Rechts souvereiniteit) Sekitar tahun 1900 teori Kedaulatan Negara (Hans Kelsen) mendapat tentangan dari beberapa pihak , antara lain dari seorang guru besar pada Universitas Leiden yang bernama Huge Krabbe (1857-1936), dan bukunya yang terkenal “Algemene Staatsleer”. Menurut Huge Krabbe, hukum itu ada, karena tiap-tiap orang mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanya kaidah yang timbul dari perasaan hukum seseorang mempunyai kekuasaan (gezag). Teori ini dinamakan teori kedaulatan hukum (theorie van de rechtssouvereiniteit). Jadi hukum merupakan sumber kedaulatan. Kesadaran hukum inilah yang membedakan mana yang adil dan mana yang tidak adil. Mengenai hukum, Krabbe mengatakan25: “aldus moet ook van het recht de heer schappij gezocht worden in de reactie van het rechtsgevoel, en light dus zijn gezag nit buiten maar in den mensch” artinya: ” demikian juga halnya dengan kekuasaan hukum 25
Ibid, Hal 151
Universitas Sumatera Utara
45
yang harus kami cari dalam reaksi perasaan hukum. Jadi, kekuasaan hukum itu tidak terletak diluar manusia, tetapi terletak di dalam manusia”. Bahkan hukum itu tidak tergantung pada kehendak manusia, yaitu hukum adalah sesuatu dengan kekuatan memerintah yang terdapat dalam perasaan hukum manusia, yang sering memaksa manusia bertindak juga bertentangan dengan kehendaknya sendiri atau bertentangan dengan suatu kecenderungan tertentu padanya. Bukan hanya manusia di bawah perintah hukum, negara pun di bawah perintah hukum. Hukum berdaulat, yaitu diatas segala sesuatu, termasuk negara. Kelemahan teori Krabbe adalah teori tersebut tidak dapat diterima, karena kaidah yang berasal dari perasaan hukum seseorang hanya berlaku baginya saja. Jadi apabila tiap orang mempunyai anggapan sendiri tentang hukum, maka hukum yang berdasarkan anggapan sendiri itu jumlah dan macamnya tidak terkira banyaknya. Sedangkan tata tertib masyarakat menghendaki adanya hukum yang sama bagi semua orang; jika tidak demikian, maka masyarakat menjadi kacau (anarki). Setelah mengetahui kekurangan ini, maka Krabbe mengubah teori tersebut dan membuat batasan yang baru yang berbunyi: “Hukum berasal dari perasaan hukum yang ada pada bagian besar dari anggota suatu masyarakat.” (Menurut Krabbe, maka negara seharusnya negara hukum
Universitas Sumatera Utara
46
(rechtsstaat)). Tiap tindakan negara harus dapat dipertanggung jawabkan pada hukum. Konsep negara hukum itu menjadi cita-cita kenegaraan pada zaman modern. Jadi perbedaan antara kedaulatan negara dengan kedaulatan hukum adalah: penganut teori kedaulatan negara, mengatakan
bahwa
negara
menciptakan
hukum,
sedangkan
penganut teori kedaulatan hukum, justru sebaliknya, hukumlah yang menciptakan negara. Negara yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan hukum dinamakan negara hukum atau nomokrasi (nomoi = hukum; kratein = menguasai, memerintah). Dasar-dasar (asas-asas) negara hukum itu sendiri adalah: asas legaliteit, asas perlindungan kebebasan dan hak pokok manusia atas semua orang yang ada di wilayah negara, dalam hal kebebasan dan hak ini sesuai dengan kesejahteraan umum. Yang dimaksud dengan asas legaliteit adalah bahwa semua tindakan alat-alat negara (staatsorganen) harus didasarkan atas dan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara ialah Undang-Undang Dasar yang terdiri atas peraturan-peraturan hukum dan asas-asas hukum. Negara hukum modern (moderne rechsstaat) sendiri bertugas melindungi kebebasan dan hak pokok tiap orang yang berada di wilayahnya. Perlindungan tersebut tidak hanya bersifat pasif tetapi juga harus bersifat aktif dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan bagi rakyat.
Universitas Sumatera Utara
47
B. Kedaulatan Negara Dalam Lingkungan Hukum Internasional Negara merupakan pribadi terpenting dalam hukum internasional (par excellence). Hukum internasional pada dasarnya merupakan produk dari hubungan antara negara-negara baik melalui praktek yang membentuk hukum internasional atau melalui kesepakatan (perjanjian) internasional negara-negara itu sendiri. Status dan peran suatu negara dalam dunia internasional merupakan hal yang utama. Dalam menjalin hubungan internasional dengan beberapa negara yang ada di dunia status negara sangat diperlukan apakah negara tersebut merupakan negara yang berdaulat, negara boneka, atau masih menjadi negara bagian dari suatu negara lain. Status suatu negara yang berdaulat memberikan kebebasan dalam menentukan kehidupan rumah tangga negara tersebut tanpa campur tangan dari negara lain demi tercapainya kehidupan rakyat yang damai dan sejahtera. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa syarat-syarat untuk menjadi suatu negara adalah adanya wilayah, rakyat, pemerintahan, dan pengakuan dari negara lain. Keempat syarat tersebut harus dipenuhi untuk berdirinya suatu negara. Jika salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka negara tersebut tidak dapat dikatakan suatu negara yang berdaulat. Sebagai contoh: Taiwan yang sudah memiliki wilayah, rakyat, dan pemerintahan meskipun pemerintahan yang ada adalah pemerintahan darurat, namun pengakuan negara lain terhadap Taiwan masih sedikit yaitu hanya 25
Universitas Sumatera Utara
48
negara kecil yang tidak memiliki pengaruh yang besar dalam dunia internasional. Adanya keinginan rakyat dari negara tersebut untuk menjadikan negaranya sebagai negara yang berdaulat bukan menjadi jaminan berdirinya suatu negara dalam dunia internasional. Harus ada pengakuan dari negara lain dan organisasi yang memegang peran penting dalam hubungan internasional seperti PBB karena pengakuan ini akan mempengaruhi dapat tidaknya negara tersebut dalam menjalin hubungan internasional dengan bekerjasama dengan negara lain untuk meningkatkan kehidupan dalam negeri negara tersebut. Pengaruh negara maju terhadap negara berkembang dalam menentukan kebijakan dalam negeri dan luar negeri merupakan bentuk intervensi yang tersirat terhadap negara tersebut. Negara merupakan perwujudan kehidupan bersama masyarakat yang memiliki persamaan nasib dan sejarah dalam suatu daerah tertentu. Negara merupakan suatu organisasi yang terstruktur untuk mencapai tujuan kehidupan negara tersebut. Berdirinya suatu negara untuk menjadi negara yang berdaulat dapat melalui negara bekas kolonialisasi menjadi negara yang merdeka, perpecahan dari suatu negara, penggabungan beberapa negara menjadi suatu negara baru atau penggunaan kekerasan untuk menduduki suatu negara. Kedaulatan negara atas wilayah darat memiliki peran yang sangat penting dalam kedaulatan suatu negara itu sendiri diantara kedaulatan atas wilayah laut dan udara. Hal ini dikarenakan wilayah darat sebagai tempat
Universitas Sumatera Utara
49
tinggal
masyarakat
di
negara
tersebut
sehingga
perlu
adanya
pendayagunaan secara maksimal potensi sumber daya alam untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat di negara itu.
Selain itu juga, wilayah darat sangat berpengaruh dalam menjaga pertahanan dan keamanan suatu negara. Kedaulatan negara merupakan pencerminan terhadap jaminan hak asasi manusia dalam menentukan nasib suatu bangsa karena negara diberikan kebebasan dalam menentukan kebijakan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat negara itu sendiri. Pengakuan terhadap kedaulatan itu sendiri perlu dan penting bagi suatu negara. Oppenheim berpendapat bahwa pengakuan merupakan suatu pernyataan kemampuan suatu negara baru26. Brierly pun menyatakan bahwa pemberian pengakuan ini lebih merupakan tindakan politik daripada tindakan hukum.27 Ia menyatakan bahwa praktek negara-negara tidak beragam dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum dalam masalah pengakuan ini.28 Setiap negara memiliki kedaulatan teritorialnya sendiri-sendiri, kedaulatan teritorial sendiri adalah kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam pelaksanaan jurisdiksi ekslusif di wilayahnya. Karena pelaksanaan kedaulatan ini didasarkan pada wilayah, karena itu konsep
26
Oppenheim-Lauterpacht, International Law, Vol. I: Peace, Longmans: Edisi ke 8, 1967, Hal 148. Beliau menyatakan bahwa ...Recognition is a declaration of capacity. 27 Oscar Svarlien, An Introduction to the Law of Nations. McGraw-Hill, 1955, Hal 98-99 28 Lauterpacht, Recognition in International Law(1947) hal 78; Oscar Svarlien, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
50
wilayah mungkin adalah konsep fundamental hukum internasional.29 Suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi ekslusifnya ke luar dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan wilayah negara lain. Suatu negara hanya dapat melaksanakannya secara ekslusif dan penuh hanya di dalam wilayahnya saja. Karena itu pula suatu subjek hukum internasional yang tidak memiliki wilayah tidak mungkin bisa berdiri menjadi suatu negara. Terlepas dari segi kedaulatannya maka wilayah suatu negara memiliki empat (4) tipe rezim; 1. Kedaulatan teritorial 2. Wilayah yang tidak berada di bawah kedaulatan negara lain dan yang memiliki status tersendiri (misalnya wilayah mandat atau trust), 3. Res nullius, yaitu wilayah yang tidak memiliki/berada dalam kedaulatan suatu negara 4. Res communis, yaitu wilayah yang secara umum tidak dapat berada di bawah suatu kedaulatan tertentu (wilayah bersama).30 Misalnya, laut lepas, ruang angkasa luar dan dasar laut samudera dalam. Bentuk vital dari kedaulatan adalah adanya jurisdiksi, jurisdiksi sendiri diartikan sebagai kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa hukum. Jurisdiksi juga merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara dan prinsip tidak campur tangan.31 Jurisdiksi dapat lahir karena adanya tindakan: 29
D.P. O’Connell, Loc.Cit Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Oxford University Press, edisi ke-3, 1979, Hal 109 31 Shaw, International Law, London: Butterworths, 1986, hal 342. 30
Universitas Sumatera Utara
51
a) Legislatif, yaitu kekuasaan pengadilan untuk menetapkan membuat peraturan atau keputusan-keputusan; b) Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk memaksakan agar orang (benda atau peristiwa) menaati peraturan (hukum) yang berlaku; c) Yudikatif,
yaitu
kekuasaan
untuk
mengadili
orang
berdasarkan atas suatu peristiwa.32 Meskipun jurisdiksi berkaitan dengan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai jurisdiksi untuk mengadili suatu tindak pidana meskipun tindak pidana ini dilakukan di luar negerinya. Disamping itu pula, beberapa orang (subjek hukum) tertentu, benda atau peristiwa tertentu kebal terhadap jurisdiksi (teritorial wilayah) suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut. Misalnya seorang diplomat memiliki kekebalan terhadap perundang-undangan negara di tempat ia bekerja dan beberapa tindakan negara tertentu tidak dapat dipersoalkan oleh pengadilan negara asing. Dalam praktek, jurisdiksi dapat dibedakan antara jurisdiksi perdata dan jurisdiksi pidana. Jurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya nasional yaitu apabila pihak atau objek perkaranya
melulu
menyangkut
nasional,
maupun
yang
bersifat
32
Brownlie, Op.Cit Hal 298., Shaw, Op.Cit hal 211
Universitas Sumatera Utara
52
internasional (Perdata internasional) yaitu apabila pihak atau objek perkaranya menyangkut unsur asing. Jurisdiksi pidana adalah kewenangan hukum pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan, baik yang tersangkut di dalamnya unsur asing maupun nasional. Sepanjang menyangkut perkara-perkara pidana, jurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara dapat berupa bentuk-bentuk berikut ini: A. Prinsip Teritorial, menurut prinsip ini setia negara mempunyai jurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayahnya (teritorial). Prinsip ini adalah prinsip yang paling penting dan mapan dalam membicarakan masalah jurisdiksi dalam hukum internasional.33 Menurut Hakim Lord McMillan, suatu negara harus memiliki jurisdiksi terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara pidana dan perdata dalam batas-batas teritorialnya sebagai pertanda negara tersebut berdaulat. Pernyataan beliau berbunyi: It is essential atribute of the sovereignty, of this realm, as of all sovereign independent states, that it should posses jurisdiction over all persons and things within its territorial
33 Dickinson, Introductory Comment to the Harvard Research Draft Convention on jurisdiction with respect to crime 1935 (courtesy of Westlaw Journal USU) ; 29 A.J.I.L., Supp 44 (1935), sebagaimana dikutip oleh D.J. Harris, Cases and Materials on International Law., edisi ke-3, 1983 hal 210.
Universitas Sumatera Utara
53
limits and in all causes civil and criminal arising within these limits34 Prinsip teritorial ini terbagi dua. Suatu tindakan pidana yang dimulai di suatu negara dan/atau berakhir di negara lain, misalnya seseorang menembak di daerah perbatasan dan melukai seorang lainnya di wilayah negara lain. Dalam keadaan ini, kedua negara memiliki jurisdiksi; negara, di mana tindakan itu dimulai, memiliki jurisdiksi menurut prinsip teritorial subjektif ; dan negara di mana tindakan tersebut diselesaikan, memiliki jurisdiksi menurut prinsip teritorial objektif. Prof.Hyde memberikan pengertian jurisdiksi tersebut tadi sebagai berikut: The setting in motion outside of a state which produces as a direct consequence an injuries effect therein justifies the territorial sovereign in prosecuting the actor when he enters its domain35 Dari uraian tersebut tampak terdapat hubungan yang sangat erat antara wilayah suatu negara dengan kompetensi jurisdiksinya. Menurut Glanville Williams, hubungan yang erat seperti tersebut di atas dapat dijelaskan karena adanya faktor berikut: negara di mana suatu perbuatan tindak pidana/kejahatan dilakukan biasanya mempunyai kepentingan paling kuat untuk menghukumnya; biasanya si pelaku kejahatan ditemukan di negara tempat ia 34
J.G. Starke, Introduction to International Law, London: Butterworths, edisi ke 9, 1984, Hal 194 35 Ibid, Hal 197
Universitas Sumatera Utara
54
melakukan kejahatan; biasanya pengadilan setempat (local forum) di mana tindak pidana terjadi adalah yang paling tepat, karena saksisaksi (dan mungkin barang buktinya) dapat ditemukan di negara tersebut; adanya fakta bahwa adanya sistem-sistem hukum yang berbeda36. B. Prinsip Personal (Nasionalitas) Menurut jurisdiksi dengan prinsip personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Ketentuan ini telah diterima secara universal. Negara-negara continental menerapkan prinsip ini secara luas, artinya yaitu bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi terhadap setiap bentuk kejahatan yang dilakukan oleh warga negaranya. Sedangkan negara dengan sistem common law cenderung untuk membatasi jurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang sangat serius, seperti pengkhianatan kepada negara, pembunuhan, atau bigami (beristri dua) yang dilakukan oleh warganya di luar negeri. Meskipun adanya perbedaan penerapan antara kedua sistem itu tadi, namun demikian negara-negara dengan sistem common law tidak pernah memprotes tindakan-tindakan penerapan jurisdiksi oleh negara-negara lainnya yang menerapkan jurisdiksi dengan prinsip nasionalitas ini secara luas.37
36
Greig, D.W., International Law, London: Butterworths, edisi ke 2, 1976. Hal
37
Shaw, Op.Cit., Hal 357
214
Universitas Sumatera Utara
55
Jurisdiksi dengan prinsip nasionalitas ini terdiri dari dua bagian yaitu: 1. Jurisdiksi dengan Prinsip Nasionalitas Aktif, menurut prinsip ini suatu negara memiliki jurisdiksi terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri. Dalam
hal
ini,
sudah
tentu
rang
tersebut
harus
diekstradisikan terlebih dahulu ke negaranya. 2. Jurisdiksi dengan Prinsip Nasionalitas Pasif, menurut prinsip ini, suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri. C. Prinsip Perlindungan Berdasarkan jurisdiksi dengan prinsip perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam
kepentingan
keamanan,
integritas
dan
kemerdekaannya, misalnya berkomplot untuk menggulingkan pemerintahnya, menyelundupkan mata uang asing, kegiatan spionase, atau perbuatan yang melanggar perundang-undangan imigrasinya. Prinsip ini sudah mapan dalam hukum internasional, namun masih belum ada kriteria sampai berapa jauh prinsip ini dapat diterapkan terhadap tindakan-tindakan kejahatan dalam praktek.
Universitas Sumatera Utara
56
Misalnya saja, siapakah yang dapat menentukan suatu tindakan yang dilakukan di luar negeri adalah tindakan ancaman terhadap keamanan negaranya? Apakah negara yang bersangkutan?38 Prinsip
ini
dibenarkan
atas
dasar
perlindungan
terhadap
kepentingan negara yang sangat vital. Hal ini dibenarkan karena si pelaku bisa saja melakukan suatu tindak pidana yang menurut hukum di mana ia tinggal tidak dikategorikan sebagai tindak pidana, dan manakala ekstradisi terhadapnya tidak memungkinkan (ditolak) bila tindak pidana tersebut termasuk kejahatan politik.39 Menurut hasil sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harvard Research, penggunaan prinsip perlindungan ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan jurisdiksi karena tidak cukupnya perundang-undangan nasional pada umumnya yang menghukum kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam suatu negara terhadap keamanan, integritas dan kemerdekaan negara-negara lain.40 Sebagai contoh, penerapan secara umum prinsip perlindungan ini tampak pada doktrin jalur tambahan (contiguous zone) dalam hukum laut internasional.41 Negara-negara pantai menetapkan jalur ini dengan tujuan untuk melindungi kepentingan tertentu negara pantai terhadap 38
D.J.Harris., Cases and Materials on International Law,London: Sweet and Maxwell., Edisi ke 3, 1983., Hal 231 39 Shaw., Op.Cit, Hal 359 40 The Commentary to the Harvard Research Draft Convention, 29 A.J.I.L Supp.52 tahun 1935 (Courtesy of Westlaw Journal USU); D.J. Harris., Op.Cit., hal 230 41 D.J.Harris, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
57
kejahatan-kejahatan yang dilakukan orang asing di luar wilayah kedaulatannya. Kejahatan yang dimaksud adalah kejahatan-kejahatan terhadap kesehatan, imigrasi, fiskal dan imigrasi. Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur jalur tambahan ini dalam pasal 33. Pasal ini menyebutkan bahwa di jalur tambahan ini, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk: mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan di dalam wilayahnya atau laut teritorialnya; menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayahnya atau laut teritorialnya. Dalam praktek pengadilan, prinsip ini misalnya telah dipraktekkan oleh Inggris dalam kasus Joyce v.Director of Public Prosecutions. Joyce lahir di Amerika, namun tahun 1933 ia dengan lihai berhasil mendapatkan passport Inggris dan menyatakan negara kelahirannya adalah Irlandia. Pada tahun 1939 ia pergi ke Jerman dan bekerja dan bekerja pada kantor radio pemerintah Jerman. Tahun berikutnya ia menyatakan bahwa ia berkebangsaan Jerman. Selama perang dunia II berlangsung ia menyiarkan siaran yang pro NAZI dan melakukan pengkhianatan ke negerinya, Inggris. Seusai perang timbul masalah: apakah pengadilan Inggris memiliki
jurisdiksi
untuk
mengadilinya
dengan
tuduhan
pengkhianatan. The House of Lords berpendapat bahwa pengadilan
Universitas Sumatera Utara
58
Inggris memiliki jurisdiksi untuk mengadili setiap orang asing yang meninggalkan Inggris dengan memiliki passport Inggris dan ia melakukan pengkhianatan melalui siaran-siaran propaganda untuk kepentingan musuh di waktu perang.42 D. Prinsip Universal Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai jurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu. Prinsip ini diterima secara umum karena tindak kejahatan tersebut dianggap sebagai tindakan yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan. N.A. Maryan Green, berpendapat bahwa terhadap kejahatan-kejahatan seperti ini selain memiliki jurisdiksi, negara pun memiliki hak, bahkan kewajiban untuk menghukumnya.43 Kejahatan-kejahatan yang telah mapan mapan diterima sebagai sebagai kejahatan yang tunduk kepada jurisdiksi dengan prinsip universal adalah pembajakan di laut (perompakan) dan kejahatan perang.44 Jurisdiksi universal terhadap perompak telah diterima cukup lama oleh hukum internasional. Semua negara dapat menahan dan menghukum setiap tindakan pembajak di laut.45 Pasal 100 Konvensi Hukum Laut 1982 telah menegaskan bahwa semua negara
harus
bekerja
sama
sepenuhnya
untuk
menumpas
pembajakan di laut lepas atau atau di wilayah mana pun di luar 42
Shaw., Opcit; Brownlie., Op.Cit, Hal. 304. N.A. Maryan Green., International Law Peace, 1978, Hal.157 44 D.J. Harris , Op.Cit., Hal 232 45 Shaw., Op.Cit Hal 359-360. 43
Universitas Sumatera Utara
59
jurisdiksi suatu negara. Lengkapnya pasal ini berbunyi sebagai berikut: “All states shall co-operate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any state.” Kejahatan perang juga telah diterima universal sebagai kejahatan yang tunduk kepada jurisdiksi setiap negara, meskipun kjenis kejahatan ini sangat sensitif dan lebih berat bobot politiknya.46 Komisi kejahatan perang PBB (The United Nations War
Crimes
Commissions) menyatakan
bahwa
hak
untuk
menghukum kejahatan-kejahatan tidak terbatas pada negara-negara yang warga negaranya menderita atau kepada negara yang wilayahnya dipakai sebagai tempat dilaksanakannya kejahatan tersebut, namun hak tersebut dimiliki oleh semua negara yang merdeka. Pendapat komisi tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut:47 The right to punish war crimes is not confined to the state whose nationals have suffered or whose territory the offence took place, but is possessed by any independent state, just as is the right to punish piracy.
46 47
Shaw., Op.Cit Hal 360 N.A. Maryan Green., Loc.Cit
Universitas Sumatera Utara
60
E. Prinsip Jurisdiksi yang Berkenaan Dengan Penggunaan Pesawat Udara Masalah jurisdiksi negara terhadap tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan berkenaan dengan pesawat udara telah menarik perhatian
hukum internasional
untuk
mengaturnya.
Hukum
internasional sangat berkepentingan dengan masalah ini karena adanya sebab-sebab berikut ini: 1. Pada masa perkembangan teknologi dan telekomunikasi atau perhubungan yang cepat, serta lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya menjadi begitu mudah, maka kemungkinan terjadinya tindak pidana di udara yang terkait di dalamnya berbagai kebangsaan, maka jurisdiksi negara mana yang berlaku atau paling berwenang terhadapnya memerlukan pengaturan yang jelas; 2. Adanya fakta bahwa ruang gerak pesawat udara adalah transnasional, manakala terjadi tindak pidana di atas wilayah udara negara-negara yang berbeda tersebut, maka masalah jurisdiksi menjadi sangat esensial.
Universitas Sumatera Utara
61
C. Pengaturan Tentang Kedaulatan Negara Menurut Hukum Udara Internasional. Kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara. Ini dinyatakan dalam pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang penerbangan sipil internasional yang bunyinya sebagai berikut: “The contracting States recognize that every state
has complete
and exclusive sovereignty over the airspace above its territory” (setiap negara yang terikat pada konvensi menjamin kedaulatan ruang udara yang ada di atas wilayahnya secara penuh dan ekslusif) Sifat kedaulatan yang utuh dan penuh dari negara di ruang udara nasionalnya tersebut berbeda, misalnya dengan sifat kedaulatan negara di laut wilayahnya. Karena sifatnya yang demikian maka di ruang udara nasional tidak dikenal hak lintas demi pihak asing seperti terdapat di laut teritorial suatu negara.48 Sifat tertutup ruang udara nasional dapat dipahami mengingat udara sebagai media gerak amatlah rawan ditinjau dari segi pertahanan dan keamanan negara kolong. Pelanggaran wilayah udara adalah suatu keadaan dimana pesawat terbang suatu negara sipil atau militer memasuki wilayah udara negara lain tanpa izin sebelumnya dari negara yang dimasukinya. Hal ini berarti pada 48
May Rudy, Hukum Internasional 2, Cetakan Pertama., Bandung: Penerbit Refika., 2002 Hal 32
Universitas Sumatera Utara
62
dasarnya wilayah udara suatu negara adalah tertutup bagi pesawat-pesawat negara lain. Penggunaan dan kontrol atas wilayah udaranya tersebut hanya menjadi hak yang utuh dan penuh dari negara kolongnya. Berikut beberapa kedaulatan yang dimiliki oleh negara atas ruang udara di atas wilayahnya menurut perkembangannya mulai yang teraktual sampai yang sudah lama sekali49: 1. Kedaulatan di ruang udara di atas wilayah negara sepenuhnya berlaku sampai ketinggian tidak terbatas. Konvensi Paris (1919) dan Konvensi Chicago (1944), masing-masing pada pasal 1, menyatakan berlakunya kedaulatan atas ruang udara/angkasa sampai ketinggian tidak terbatas. 2. Kedaulatan pada prinsipnya sampai ketinggian tidak terbatas, tetapi dalam masa damai harus mengizinkan lalu-lintas pesawat-pesawat asing (hak lintas damai) ruang udara di atas wilayahnya. 3. Sampai ketinggian yang masih ada gaya tarik (gravitasi) bumi. 4. Kedaulatan
di
ruang
udara
terbatas
sampai
ketinggian
pilot/penerbang masih mampu menerbangkan pesawat udara tanpa menggunakan peralatan khusus (pakaian khusus, masker, tabung oksigen dan lain sebagainya). 5. Sampai ketinggian terbang yang bisa dicapai oleh pesawat tempur (ketinggian bisa berubah/meningkat selaras dengan perkembangan/ kemajuan teknologi penerbangan). 49
Ibid Hal 33
Universitas Sumatera Utara
63
6. Sampai ketinggian yang bisa dideteksi oleh radar di darat. 7. Sampai ketinggian tertentu yang dihitung berdasar jarak dan jangkauan tembak artileri dari darat ke udara. 8. Sampai
ketinggian
pengunungan
tertinggi
di
negara
yang
bersangkutan. 9. Sampai ketinggian bangunan yang paling tinggi di negara tersebut. 10. Bahwa ruang udara bebas untuk lalu lintas pesawat udara negara lain, tetapi boleh diadakan zona larangan terbang di atas area-area dan/atau lokasi-lokasi tertentu pada wilayah negara kolong yang bersangkutan. 11. Bahwa kedaulatan di ruang udara tidak tegak lurus di atas wilayah teritorial (daratan dan lautan/perairan), tetapi melebar ke atas berbentuk cerobong asap, karena permukaan bumi adalah bulat bukan datar. 12. Ada juga pakar-pakar di masa lampau yang menerapkan batas ketinggian tertentu berdasarkan kriteria subjektif (pemikiran sendiri), misalnya ketinggian 1000 m, 60 km, atau 300 km diatas permukaan bumi (contohnya, Holzendorf yang mengemukakan batas kedaulatan di ruang udara cukup sampai ketinggian 1000 m atau 1 km dari daratan permukaan bumi yang tertinggi, Von Baar yang berpendapat batas kedaulatan negara sampai 60 km saja. Namun pendapat Holzendorf dan Von Baar mengenai kedaulatan sampai ketinggian sekian km atau sekian mil diatas permukaan bumi ini kurang jelas
Universitas Sumatera Utara
64
alasan dan argumentasi ilmiahnya atau kriteria-kriterianya mengapa dipilih batas-batas ketinggian tersebut50). Jika kita mencoba mengaitkan teori-teori kedaulatan di ruang udara/angkasa langsung dengan para ahli/pakar yang pernah mengemukakan pendapatnya, maka terdapat nama-nama seperti Fauchille (1910), Cooper (1951), Oscar Schahter (1952), Holzendorf, Lee, Lyclama, Nijeholt, Von Baar, Von Liszt, Merignhac, Rivier dan Pietri. Yang masing-masingnya merupakan pencetus atau penyokong teori-teori yang telah disebutkan di atas. Ada di antaranya yang mengemukakan pendapat teori yang agak mirip atau mengandung kesamaan satu sama lain. Fauchille, contohnya, mengemukakan teori bahwa pada masa damai (tidak ada perang atau konflik) negara berdaulat di ruang angkasa sampai batas yang diperlukan untuk pencegahan spionase, pemeliharaan kesehatan penduduk dan sanitasi lingkungan, keperluan douane (bea-cukai), dan kepentingan keamanan. Fauchille sendiri tidak mengemukakan perhitungan ukuran ketinggian secara tegas dan hanya menyebutkan bahwa untuk kepentingan seperti tersebut di atas bisa diterapkan kedaulatan ruang udara pada ketinggian antara 500 sampai 1500 meter.51 Hal yang hampir sama dengan Fauchille dikemukakan oleh Merignhac. Tokoh ini yang menyarankan agar jarak ketinggian kedaulatan negara di ruang udara/angkasa ditetapkan melalui perjanjian internasional, 50
Ibid Hal 34 In memoriam of Paul Fauchille : 11 February 1858 – 9 February 1926 dari situs:http://www.jstor.org/discover/10.2307/2188922?uid=3738224&uid=2129&uid=2&ui d=70&uid=4&sid=21101170201421 diakses pada 10 Agustus 2012 pukul 22:40 wib; May Rudy, Op.Cit., Hal 34-35 51
Universitas Sumatera Utara
65
mengemukakan pendapat bahwa dasar bagi pengukuran dan penetapan jarak ketinggian kedaulatan di udara mempertimbangkan kepentingan negara yang bersangkutan
(antara
lain
keamanan,
sanitasi,
telekomunikasi)
serta
kemampuan (ketinggian) terbang pesawat udara.52 Lyclama A.Nijeholt sependapat dengan Merignhag, agar jarak ketinggian kedaulatan di ruang udara disepakati melalui perjanjian internasional. Sebagaimana halnya lebar perairan teritorial yang diupayakan tercapainya kesepakatan internasional melalui suatu konvensi yaitu UNCLOS. Cooper berpendapat bahwa batas kedaulatan negara ditentukan oleh kemampuan negara yang bersangkutan untuk menguasai serta melakukan pengawasan pada ruang udara di atas wilayahnya. Lee mengemukakan hal yang tidak jauh berbeda dengan Cooper, hanya Lee lebih spesifik menyebutkan jarak ketinggian berdasarkan daya jangkau tembakan meriam (persenjataan artileri) dari darat ke udara. Pakar lain yang sependapat bahwa jarak ketinggian bahwa jarak ketinggian kedaulatan udara perlu diukur berdasar daya jangkau tembakan meriam adalah Rivier dan Pietri. Schahter mengemukakan kedaulatan di ruang udara terbatas sampai ketinggian masih dapatnya dilakukan penerbangan dengan pesawat udara yang dikemudikan oleh manusia (pilot/penerbang). Pada tahun 1952, hal kemampuan menerbangkan pesawat itu berarti sekitar 20 mil atau 45.000 meter. Jadi pengejawantahan teori Schahter ini bergantung kepada perkembangan dalam bidang teknologi penerbangan. 52
May Rudy, Op.Cit., Hal 35
Universitas Sumatera Utara
66
Von Liszt berpendapat bahwa kedaulatan negara atas ruang udara perlu ditentukan berdasarkan ketinggian lapisan udara yang dapat dikuasai pengaturan (antara lain deteksi radar) dan penerbangan. Sedangkan Holzendorf dan Von Baar sama-sama menyatakan jarak ketinggian tertentu. Bedanya ialah Holzendorf mengemukakan ketinggian 1000 meter (1km) yang diukur dari permukaan bumi yang paling tinggi (misalnya puncak gunung Himalaya), Von Baar berpendapat bahwa jarak itu sampai 60 km di atas daratan serta perairan (wilayah territorial) masing-masing negara. Teori-teori atau konsep-konsep mengenai batas ketinggian berlakunya kedaulatan negara atas ruang udara/angkasa di atas wilayah teritorialnya masing-masing itu tentu bisa merupakan masukan-masukan (input) berharga serta pertimbangan untuk kemudian menetapkan batas-batas ketinggian yang disepakati oleh berbagai negara melalui perjanjian internasional. Hingga kini belum ada perjanjian internasional yang secara jelas menetapkan jarak ketinggian kedaulatan masing-masing negara terhadap ruang udara/angkasa di atas wilayahnya. Pada umumnya hanya disebutkan: “berdaulat penuh atas ruang udara dan angkasa di atas wilayah teritorialnya” atau seperti pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang berbunyi: “every high contracting parties has a full and exclusive sovereignty........” Dan pasal 1 Konvensi Chicago yang mencantumkan: “.......... full and complete sovereignty on the air space over its territory...,” Jika kita mengkaji klaim-klaim (tuntutan) atau protes yang pernah diajukan sehubungan dengan penggunaan ruang udara/angkasa di atas wilayah suatu negara oleh pesawat udara atau peralatan ruang angkasa dari negara lain,
Universitas Sumatera Utara
67
maka batas paling tinggi adalah sampai garis edar Orbit Geostasioner (Geostationery Orbit). Misalnya, ketika Tonga (suatu negara pulau kecil di kawasan Pasifik Selatan) memprotes bergesernya kordinat garis edar Satelit Palapa B1 (milik Indonesia) pada GSO di atas wilayah Indonesia ke kordinat yang berada di atas wilayah Tonga. Kalau klaim atau protes terhadap melintasnya pesawat udara asing, baik pesawat sipil dan komersil (angkutan penumpang dan barang/kargo) maupun pesawat tempur, sudah sering terjadi. Sehingga batas kedaulatan sampai ketinggian perlintasan di udara oleh pesawat terbang sudah jelas diterima secara global dan internasional. Sedangkan yang lebih tinggi dari pada ketinggian lalu lintas penerbangan adalah sampai batas penempatan satelit-satelit pada GSO (Geostationery Orbit). GSO letaknya adalah sekitar 35.870 km dari permukaan bumi (permukaan air laut). Sehubungan dengan hal tersebut, ruang udara nasional suatu negara sepenuhnya tertutup bagi pesawat udara asing baik sipil maupun militer. Hanya dengan izin negara kolong terlebih dahulu baik melalui perjanjian bilateral maupun multilateral, maka ruang udara nasional dapat dilalui pesawat udara asing. Sifat tertutup ruang udara nasional dapat dipahami mengingat udara sebagai media gerak sangat rawan bila ditinjau dari segi pertahanan dan keamanan. Hal ini juga yang mendorong setiap negara menggunakan standar penjagaan ruang udara wilayahnya secara ketat dan kaku. Pelanggaran wilayah udara nasional sering kali ditindak dengan kekerasan senjata. Dari
Universitas Sumatera Utara
68
satu sisi penindakan tersebut dapat dibenarkan
karena negara memiliki
otoritas penuh untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Jika kita lihat sejarahnya, setelah perang dunia pertama berakhir, disepakati bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh berdasarkan hukum kebiasaan internasional, yang kemudian dimuat dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944 tersebut. Dalam hubungan ini, pengakuan kedaulatan di udara tidak terbatas pada negara anggota. Melainkan juga berlaku terhadap bukan negara anggota Konvensi Chicago 1944. Hal ini jelas dengan adanya istilah every state. Pasal 2 konvensi Chicago 1944 lebih menjelaskan lagi bahwa untuk keperluan Konvensi Chicago yang dimaksudkan adalah batas wilayah negara (state territory). Dengan demikian, secara tegas bahwa berlaku juga terhadap bukan negara anggota. Lebih lanjut walaupun tidak secara tegas disebutkan, semua negara mengakui bahwa tidak ada negara manapun yang berdaulat di laut lepas (high seas).53 Lebih lanjut Konvensi Chicago 1944 juga tidak membuat pengertian apa yang dimaksudkan dengan “wilayah udara” (airspace), namun demikian, pengertian tersebut dapat meminjam penafsiran Mahkamah Internasional (Permanent Court of International Justice) dalam kasus sengketa Eastern Greenland. Dalam kasus tersebut ditafsirkan The Natural meaning of the term is its geographical meaning, yaitu ruang dimana terdapat “udara (air).” 53
Cheng B., The Law of International Air Transport. London: Institute of World Affair., 1982 Hal 120-127
Universitas Sumatera Utara
69
Lingkup jurisdiksi teritorial suatu negara diakui dan diterima oleh negara anggota Konvensi Chicago 1944 terus ke atas sampai tidak terbas dan ke bawah pusat bumi sepanjang dapat dieksploitasi.
Universitas Sumatera Utara