20
BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG HUBUNGAN ANTARA NEGARA DENGAN WARGA NEGARA
A. PENGERTIAN RAS,BANGSA DAN WARGA NEGARA Negara adalah subyek hukum Internasional asli (original subject of international) 18 . Negara juga adalah subyek hukum yang terpenting (par excellence),
dibanding
dengan
subyek-subyek
hukum
Internasional
lainnya,sebagai subyek hukum internasional negara memiliki hak-hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Sarjana filsafat hukum terkemuka, HLA Hart, menggambarkan negara sebagai gambaran dari dua fakta yang didalamnya memuat unsur-unsur dari negara,dimana dia berpendapatan bahwa “The expression of a ‘state’ is not the same of some person or thing inherently or ‘by nature’ outside the law;it is a way of refrring to two facts first,that a population inhabiting a territory lives under that form of ordered government provided by a legal system within its characteristic structure of legislative,Courts,and primary rules ; and secondly that the government enjoy a vaguely defined degree of independence”19
18
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Keni Media, Bandung, 2001, hlm. 1 19 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional ,Binacipta, Bandung, 1982 hlm. 156
Universitas Sumatera Utara
21
Hart tidak berupaya memberikan definisi mengenai negara, Hart hanya menjelaskan ciri-ciri negara, yaitu : 1. Penduduk 2. Wilayah 3. Pemerintahan 4. Sistem hukum 5. Indenpendensi Dalam Negara, Penduduk dalam hal ini harus mempunyai rakyat yang tetap adalah syarat yang paling utama dan terutama dalam terbentuknya suatu negara yang merupakan subyek yang terpenting dalam Hukum Internasional. Dimana dalam hal ini pengertian Penduduk adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama disuatu tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional, sekumpulan manusia ini mungkin saja berasal dari ras,keturunan yang berlainan,kepercayaan yang berbeda dan memiliki kepentingan yang saling bertentangan.perbedaan tersebut itulah yang membuat adanya pertentangan antara kelompok yang satu dengan yang lainnya atau kelompok yang minoritas dengan kelompok yang minoritas,karena hidup dalam satu wilayah yang sama,tentu saja suatu penduduk yang hidup dalam suatu negara mempunyai ras dan sifat yang berbeda-beda, jadi pengertian Penduduk merupakan sekumpulan manusia yang terdiri dari berbagai macam ras yang berkumpul dalam suatu wilayah tertentu kemudian membentuk suatu Bangsa sehingga lahirlah Negara, yang kemudian penduduk yang mendiami Negara tersebut mempunyai suatu warga negara dimana tempat mereka tinggal
Universitas Sumatera Utara
22
Pengertian ras adalah golongan manusia yang mempunyai ciri-ciri fisik ,dimana berdasarkan ciri-ciri fisik ras dibedakan atas : 1. Ciri Kualitas meliputi warna kulit, bentuk rambut, lipatan mata, dan bentuk bibir 2. Ciri Kuantitas meliputi bentuk badan, berat badan dan bentuk kepala Sedangkan Menurut G.Cuvier ada 3 pembagian ras yaitu : 1. Kulit Putih ( Leukoderm) Cirinya : bagian wajah menonjol, rambut lurus atau berombak, hidung mancung, badan tinggi, dan warna kulit agak terang 2. Kulit Hitam ( melanodem) Cirinya : warna kulit gelap, rambut keriting, hidung lebar, wajah gempal/prognat dan bibir tebal 3. Kulit kuning (xantoderm) Cirinya : wajah mendatar, pipi menonjol, celah mata datar, rambut hitam/lurus/tebal kulit kekuning-kuningan Pengertian Bangsa menurut Otto Baeur merupakan sekelompok manusia yang memiliki karakter dan sifat yang hampir sama karena persamaan nasib dan pengalaman sejarah dan budayanya yang saling sama dan juga tumbuh berkembang bersama dengan tumbuh kembangnya bangsa Dari pendapat dari Otto Baeur dapat disimpulkan bahwa bangsa adalah sekelompok orang yang dipersatukan karena dianggap memiliki identitas
Universitas Sumatera Utara
23
bersama,dan mempunyai kesamaan bahasa, agama ideologi, budaya, dan/atau sejarah dan dianggap memiliki keturunan yang sama,dimana suatu bangsa pada hakikatnya mempunyai unsur-unsur sebagai berikut 1. Cita-cita bersamamyang mengikat dan menjadi satu kesatuan 2. Perasaan senasib sepenanggungan 3. Karakter yang sama 4. Suatu kesatuan wilayah 5. Terorganisir dalam suatu wilayah hukum Sama seperti halnya organisasi yang memiliki anggota,negara yang merupakan organisasi tertentu pun memiliki anggota yang lazim disebut sebagai warga negara20. Menurut Abdul Bari Azed, “Warganegara
adalah
sekelompok
manusia
yang
ada
dalam
wewenang suatu negara, hubungan keduanya adalah hubungan timbal balik,dimana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban21” Setelah sekumpulan manusia yang berbeda ras dengan segala perbedaan berkumpul dalam suatu wilayah dalam satu jangka waktu tertentu, maka timbullah perasaan senasib sepenanggungan, dan mempunyai satu tujuan ataupun cita cita yang mengikat antara satu ras dengan ras yang lainnya maka muncullah Istilah bangsa yang dilahirkan berdasarkan karena adanya persamaan tujuan, sehingga 20
Sudargo Gautama, Warga negara dan Orang Asing,berikut peraturan dan contohcontoh, Bandung , Alumni, 1992 hlm. 4 21 Abdu Bari Azed, Intisari kuliah masalah kewarganegaraan, Jakarta, IND-HILL-CO, 1995, hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
24
untuk mencapai suatu tujan ataupun cita-cita tersebut, sekumpulan manusia yang berbeda ras tersebut kemudian disebut menjadi suatu Bangsa. Bangsa inilah kemudian yang menjadi cikal bakalnya adanya suatu Negara, untuk mencapai tujuan tertentu dan karena adanya rasa sepenanggungan smaka dibentuklah Negara, setiap Negara mempunyai warganegaranya masingmasing, dimana warganegara ini adalah suatu identitas untuk menunjukkan adanya persamaan cita-cita dan tujuan dalam suatu negara, yang berasal dari penduduk yang menempati suatu negara dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dengan menjadi warga negara suatu negara maka, berarti mempunyai suatu cita-cita dan tujuan yang sama.
B. PENTINGNYA
MEMILIKI
KEWARGANEGARAAN
DALAM
NEGARA Salah satu unsur negara adalah warga negara, dari berbagai teori yang telah dikembangkan oleh Ilmu Negara, negara ada untuk warga negaranya. Jika mengacu pada paham demokrasi eksistensi negara adalah, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,kewarganegaraan merupakan ikatan hukum antara seseorang dengan negaranya Kewarganegaraan adalah hak asasi manusia dan landasan identitas, martabat, keadilan, perdamaiaan dan keamanan. Menjadi orang yang tidak memiliki kewarganegaraan berarti tidak memiliki perlindungan hukum atau hak untuk berpartisipasi dalam proses politik, tidak mendapat akses yang memadai untuk kesehatan, dan pendidikan, prospek kerja yang buruk dan kemiskinan,
Universitas Sumatera Utara
25
pembatasan hak kekayaan sendiri, pembatasan perjalanan, pengucilan sosial, kerentanan terhadap perdagangan manusia, pelecehan dan kekerasan,22 Dalam hukum internasional hanya warga negaralah yang dapat masuk dan menetap dalam suatu negara. Oleh karena itu orang yang tanpa kewarganegaraan dapat berakhir tanpa status kependudukan bahkan lebih buruk lagi yaitu penahanan jangka panjang23 Seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan tidak mendapat perlindungan hukum, ia juga tidak menikmati hak-haknya sebagai warga negara sebagaimana mestinya misalnya tidak dapat ikut serta dalam proses-proses politik karena tidak memiliki hak untuk memberikan suara, tidak terjaminya hak untuk mendapatkan pendidikan, hak atas perawatan kesehatan, hak untuk memiliki pekerjaan, hak atas perawatan kesehatan, tidak memperoleh dokumen pernikahan, tidak dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan dokumen perjalanan, dan bagi mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan,dan berada diluar negara asal atau negara tempat tinggal sebelumnya dapat ditahan jika mereka kembali ketempat tersebut24 Setiap negara berdaulat dalam menentukan siapa yang menjadi warganegaranya, hal ini juga berarti tidak ada negara manapun yang berhak mencampuri masalah kewarganegaraan negara lain
25
, seseorang dapat
22
UNHCR, “Nationality Rights for All : A Progress Report and Global Survey on Statelessness 23 UNCHR “Mencegah dan mengurangi keadaan tanpa kewarganegaraan : Konvensi 1961 tentang pengurangan keadaan tanpa kewarganegaraan”, hlm. 2 24 Marilyn Achiron, Kewarganegaraan dan tak berkewarganegaraan, Buku panduan untuk anggota parlemen,hlm. 6 25 Harsanto Nursadi Hukum Internasional diakses dari http://pustaka.ut.ac.id (diakses pada tanggal 1 Oktober 2013, pukul 00.16)
Universitas Sumatera Utara
26
memperoleh atau kehilangan status kewarganegaraanya dengan dua cara, Pertama, orang itu secara aktif berusaha memperoleh atau untuk melepaskannya, cara ini biasa disebut dengan sistem aktif, kedua, seseorang memperoleh atau kehilangan status kewarganegarannya tanpa berbuat apapun, cara ini disebut dengan sistem pasif, Asas kewarganegaraan adalah pedoman bagi negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya, ada beberapa asas yang dikenal pada saat ini antara lain asas kewerganegaraan yang dilihat dari segi kelahiran, yaitu ius soli dan ius sanguinis, dan asas kewarganegaraan dari segi perkawinan yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan drajat 1.
Dari Segi Kelahiran Menurut asas ini, seseorang mendapatkan kewarganegaraannya
berdasarkan kelahiran, ada dua teori kewarganegaraan yang melandaskan pada kelahiran seseorang, yaitu ius soli dan ius sanguinis,kedua istilah ini berasal dari bahassa latin. Ius yang berarti hukum, dalil, atau pedoman, soli yang berasal dari kata solum yang memiliki arti negeri, tanah, atau daerah, jadi ius soli adalah kewarganegaraan seseorang yang ditentukan berdasarkan tempat kelahirannya. Misalnya seorang anak yang lahir di negara x akan mendapatkan kewarganegaraan di negara x, sementara itu ius sanguinis adalah kewarganegaraan seseorang yang ditentukan oleh keturunan, misalnya seorang anak yang lahir dari orangtua yang
Universitas Sumatera Utara
27
berkewarganegaraan Y maka anak tersebut mendapatkan kewarganegaraan dari negara Y26. Setiap negara bebas menggunakan asas yang akan digunakannya dalam
menentukan
kewarganegaraan
warganegaranya,
ada
yang
menggunakan ius sanguinis, ada juga yang menggunakan ius soli. Perbedaan
ini
dapat
menyebabkan
seseorang
tidak
memiliki
kewarganegaraan,atau memiliki lebih dari satu kewarganeegaraan. Misalnya,
Negara X menganut asas ius soli, sedangkan negara Y
menganut asas ius sanguin. Dimana seseorang tidak dapat memiliki kewarganegaraan apabila seseorang tersebut lahir di negara Y dari orangtua yang berkewarganegaraan X, hal ini disebut sebagai Apatride yaitu kondisi dimana seseorang tidak mendapatkan kewarganegaraan. Sedangkan Bripratide adalah kondisi dimana seseorang mendapatkan lebih dari satu kewarganegaraan, hal ini dapat terjadi apabila orangtua berkewarganegaraan Y dan anaknya lahir di negara X. Masing-masing negara dapat memberikan kewarganegaraannya terhadap anak tersebut, karena orangtua dari anak tersebut berkewarganegaraan Y yang menganut asas ius sanguin, sedangkan negara X juga dapat memberikan kewarganegaraannya terhadap anak tersebut karena anak tersebut lahir di negara X yang menganut asas ius soli
. 26
Koerniatmanto soetoprawiro, hukum kewarganegaraan dan keimigrasian Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994, hlm. 2
Universitas Sumatera Utara
28
2. Dari segi Perkawinan Suatu perkawinan campuran dapat menyebabkan perubahan status kewarganegaraan seseorang, ada dua asas yang digunakan dalam hal ini, yaitu asas kesatuan hukun dan asas persamaan drajat. Asas kesatuan hukum bertolak dari hakikat ikatan suami istri dalam keluarga. Asas ini pada umumnya pihak istri yang mengikuti kewarganegaraan suami, dan kemudian muncul gerakan emansipasi wanita yang beranggapan bahwa asas ini telah merendahkan wanita karena wanita harus selalu mengikuti kewarganegaraan suaminya, gerakan ini berpendapat bahwa wanita sama seperti laki-laki yang memiliki kebebasan untuk memilih, sehingga muncullah asas persamaan drajat dalam menentukan kewarganegaraan dari segi perkawinan. Dalam asas ini suatu perkawinan tidak mengubah kewarganegaraan masing-masing pihak27 Penggunaan asas kewarganegaraan dari segi perkawinan yang berbeda antara negara dapat menyebabkan status bipatride maupun apatride, melalui perkawinan seorang wanita dapat memiliki lebih dari satu kewarganegaraan ataupun dapat kehilangan kewarganegaraan. Misalnya negara X menganut asas kesatuan hukum sedangkat negara Y menganut asas persamaan drajat. Bipatride dapat terjadi apabila seorang laki-laki dari negara X menikahi seorang wanita dari negara Y, sebaliknya apatride
27
Ibid, hlm. 13
Universitas Sumatera Utara
29
terjadi apabila seorang laki-laki yang berasal dari negara Y menikahi seorang wanita yang berasal dari negara X28. Dalam kaitannya dengan perlindungan kelompok etnis yang tidak memiliki kewarganegaraan adalah pemberian kewarganegaraan dengan menggunakan asas perkawinan bai asas kesatuan hukum maupun asas persamaan drajat. Kedua asas ini dapat mengurangi jumlah jumlah orang yang tidak memiliki kewarganegaraan baik istri maupun suami dapat memilih
mempertahankan
kewarganegaraannya
ataupun
mengikuti
pasangannya. Sehingga tidak menjadi soal siapa yang tidak memiliki kewarganegaraan
selama
salah
satu
pasangannya
memiliki
kewarganegaraaan. Tetapi dalam asas kesatuan hukum yang
pada
umumnya istri yang mengikuti kewarganegaraan suami, jika suami tidak memiliki
kewarganegaraan
maka
istri
terancam
kehilangan
kewarganegaraannya. Oleh karena itu, jika ditujukan untuk mengurangi jumlah orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, penggunaan asas kesatuan hukum ditetapkan jika yang tidak memiliki kewarganegaraan adalah istri, bukan suami. Perlindungan terhadap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan banyak disorot oleh publik internasional, sehingga diadakannya beberapa konvensi yang mengatur tentang perlindungan seseorang ataupun sekelompok orang maupun etnis yang tidak memiliki kewarganegaraan tempat
dimana
mereka
tinggal,
mengingat
akan
pentingnya
28
Ibid, hlm. 14
Universitas Sumatera Utara
30
kewarganegaraan yang harus dimiliki oleh setiap orang yang mendiami suatu negara, berikut adalah beberapa konvensi yang mengatur bahwa betapa pentingnya memiliki kewarganegaraan dalam suatu negara, yaitu ;
1.
Convention Relating to the Stateless Persons Ditetapkan pada Conference of Plenipotentiaries convened by
Economic and Social Councilmelalui resolusi 526 A (XVII) 26 April 1954 dan mulai berlaku pada 6 Juni1960. Konvensi 1954 merupakan instrumen hukum Internasional utama yang mendefinisikan dan mengatur status dan perlakuan terhadap orang-orang tanpa kewarganegaraan. Dalam Pasal 1 Konvensi 1954 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan orang tanpa kewarganegaraan adalah “a person who is not considered as a national by any State under the operation of its law”. Rumusan ini diakui sebagai kebiasaan Internasional 29 . Konvensi ini menyatakan bahwa orang-orang tanpa kewarganegaraan dapat mempertahankan hak dan kebebasan mendasar tanpa diskriminasikan. Hak tersebut termasuk hak milik, akses gratis ke pengadilan, akses terhadap pekerjaan, perumahan setidaknya seperti yang diberikan kepada orang asing, dan pendidikan dasar dan bantuan publik setara dengan apa yang warga negara dapatkan Convention Relating to the Stateless Persons, berdasar pada asas pokok yaitu tidak seorangpun yang tidak berkewarganegaraan dapat diperlakukan lebih buruk dari orang asing maupun yang berkewarganaan 29
UNCHR, Opcit, hal 4.
Universitas Sumatera Utara
31
lain. Hak lain yang dijamin dalam konvensi ini dan tidak diatur dalam konvensi manapun adalah hak akan meminta bantuan administrasi terhadap orang-orang tanpa kewarganegaraan, hak akan identitas diri, dan dokumen perjalanan dan mengecualikan orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan yang btidak memiliki kewarganegaraan yang tidak memiliki kewarganegaraan ini dari persyaratan-persyaratan timbal balik. 2.
Convention on the reduction of Statelessness Ditetapkan pada tanggal 30 Agustus 1961 oleh Conference of
Plenipotentiaries, melali Resolusi Majelis Umum 896 (IX). Mulai berlaku pada 13 Desember 1975. Konvensi 1961 menguraikan tentang mekanisme untuk mencegah dan mengurangi keadaan tanpa kewarganegaraan Pasal 1 sampai Pasal 4 mengatur tentang perlindungan terhadap keadaanm tanpa kewarganegaraan untuk anak-anak. Negara harus memberikan akses terhadap
kewarganegaraan
bagi
anak
yang
kemungkinan
tidak
berkewarganegaraan jika anak tersebut lahir di negaranya atau lahir di luar negeri tetapi kembali ke negaranya sendiri, Pasal 5 sampai Pasal 7 mengatur tentang perlindungan
kepemilikan kewarganegaraan atau
jaminan memperoleh kewarganegaraan lain sebelum pengambilan kewarganegaraan seseorang, Pasal 8 dan Pasal 9 penghilangan
kewarganegaraan
kecuali
jika
mengatur tentang orang
tersebut
mendapatkannya dengan cara yang tidak sah, Pasal 10 memberikan jaminan terhadap penolakan tanpa kewarganegaraan dalam kasus transfer wilayah, dan memastikan proses dan jaminan prosedural mengenai
Universitas Sumatera Utara
32
keputusan
kewarganegaraan,
termasuk
juga
pemberitahuaan
yang
memadai dan hak untuk banding. 3.
International Convenant on Civil dan Political Rights Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 220 A (XXI) 16
Desember 1966 dan mulai berlaku pada 23 Maret 1976. Dalam pasal 24 ayat 2 International Convenant on Civil an Political Rights menyatakan bahwa “every child shall be registered immediately after birth and shall have a name” Sedangkan dalam Pasal 24 ayat 3 menyatakan bahwa “every child has the right to acquire a nationally”. Ketentuan ini bertujuan mencegah anak dari ketiadaan perlindungan negara, karena anak tersebut tidak memiliki kewarganegaraan. Ketentuan ini tidak mengharuskan suatu negara untuk memberikan kewarganegaraannya untuk masing-masing anak yang lahir di wilayah negara tersebut. Namun, negara diminta
untuk melakukan
tindakan yang tepat, baik secara internal maupun bekerjasama dengan negara lain untuk memastikan setiap anak memiliki kewarganegaraan ketika ia dilahirkan. Dalam hali ini tidak ada diskriminasi sehubungan dengan akuisisi kewarganegaraan dalam hukum nasional negara tersebut baik untuk anak sah, anak yang lahir diluar nikah, anak yang lahir dari orangtua yang tidak memiliki kewarganegaraan, maupun anak yang didasarkan oleh status kewarganegaraan salah satu atau kedua orangtua30
30
Office of the United Nations high Commisioner for Human Rights “General comment No 17 Rights of the Child (art 24) : 07/04/1989” diakses dari , http://www.unchr.com, (Diakses pada tanggal 3 Oktober 2013, pada pukul 12.00 WIB)
Universitas Sumatera Utara
33
4.
Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women Ditetapkan Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1979 dan
mulai beraku pada tanggal 3 September 1981. Pasal 9 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women berisi ketentuan untuk memberikan hak wanita yang sama seperti hak yang dimiliki
oleh
laki-laki
yaitu
untuk
memperoleh
dan
merubah
kewarganegaraan mereka dan untuk memberikan kewarganegaraan bagi anak-anak mereka, dimana dengan ketentuan tersebut, seorang dapat terhindar dari keadaan tanpa kewarganegaraan karena seorang wanita berhak memberikan kewarganegaraannya untuk anak-anaknya. 5.
Convention on the Nationally of Married Women. Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 1040 (XI) 29 Januari
1957 dan mulai berlaku pada tanggal 11 Agustus 1958. Convention on The Nationally of Married Women melindungi kewarganegaraan wanita dalam hal kehilangan dan akuisisi kewarganegaraan oleh suaminya. Latar belakang Konvensi ini adalah karena status hukum wanita yang dikaitkan dengan
pernikahan,
hal
ini
membuat
wanita
bergantung
pada
kewarganegaraan suami mereka daripada wanita sebagai individu yang berdiri sendiri,dengan adanya konvensi ini, wanita tidak berhak lagi untuk mengikuti kewarganegaraan suaminya karena alasan pernikahan dimana dalam konvensi ini telah diatur wanita berhak untuk mempertahankan kewarg anegaraan yang dimilikinya sebelum diadakannya pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
34
C. TANGGUNGJAWAB NEGARA TERHADAP WARGANEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL Komunitas hukum internasional saat ini dikelilingi dengan pembicaraan tentang pertanggungjawaban. Negara-negara, organisasi-organisasi internasional dan organisasi-organisasi non-pemerintah membicarakan tentang pentingnya membuat individu-individu bertanggungjawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan atas nama jabatan yang melanggar hak-hak asasi manusia yang paling dijungjung tinggi.31 Dalam Hukum Internasional, bahasan tentang hak dan kewajiban dasar (fundamental) negara telah berlangsung sangat lama,dan bahkan sebagian besar muatan dalam hukum Internasional mengatur tentang hak dan kewajiban negara terhadap warganega. Schwarzenberger menyatakan hak dan kewajiban adalah dasar atau fundamental apabila memenuhi 3 (tiga) syarat berikut32 1. Hak dan Kewajiban tersebut harus benar-benar memiliki arti yang penting dalam hubungan Internasional 2. Hak dan Kewajiban tersebut mengalahkan hal-hal (isu) lainnya 3. Hak dan Kewajiban tersebt membentuk atau menjadi bagian penting dari sistem yang diketahui atau yang ada sehingga apabila diabaikan
maka akan berakibat pada hilangnya
karekteristik hukum Internasional.
31
Steven R. ratner dan Jason S. abrams, Melampaui warisan Nuremberg, pertanggungjawaban untuk kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional, Jakarta, ELSAM, 2008, hlm. 3 32 Huala Adolf, op.cit, hlm. 32
Universitas Sumatera Utara
35
Pegangan untuk ruang lingkup terhadap apa yang dimaksud dengan hakhak dan kewajiban dasar
tersebut adalah batasan seperti yang dinyatakan
L.Oppenheim. Oppenheim menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban negara adalah hak dan kewajiban yang biasa dinikmati oleh negara-negara.33 Adapun prinsip-prinsip mengenai
hak dan kewajiban negara
seperti
temuat dalam rancangan Deklarasi ILC 1949 dapat digunakan sebagai pedoman. Adapun hak- hak dan kewajiban tersebut adalah34 : 1. Hak-hak Negara a) Hak atas kemerdekaan ( pasal 1 ) b) Hak untuk melaksanakan juridikasi terhadap wilayah, orang dan benda yang berada didalam wilayahnya c) Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan negara-negara lain d) Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif
2. Kewajiban Negara a) Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di negara lain b) Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di negara lain c) Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia 33
S.Tasrif, Hukum Internasional tentang pengakuan dalam teori dan praktek, Bandung, abardin, 1987, hlm. 15 34 Huala adolf, op.cit, Hlm. 34
Universitas Sumatera Utara
36
d) Kewajiban
untuk
menjaga
wilayahnya
agar
tidak
membahayakan perdamaiaan dan keamanan Internasional e) Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai f) Kewajiban untuk tidak membantu untuk menggunakan kekuatan atau ancaman senjata g) Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan h) Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik i) Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negaranegara lain sesuai dengan hukum Internasional Pada dasarnya, ada dua macam teori pertanggungjawaban negara yaitu sebagai berikut 1. Teori risiko (risk theory) Kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute libility
atau strict liability) atau tanggung jawab mutlak
(objective responbility). Yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (Human affects of untra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sah menurut hukum.
Universitas Sumatera Utara
37
2. Teori kesalahan (fault theory) Melahirkan
prinsip
tanggungjawab
subjektif
(subjective
responbility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan dengan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.
Menurut Profesor Higgins, hukum tentang tanggung jawab negara adalah hukum yang mengatur akuntanbilitas (accountability) terhadap pelanggaran hukum internasiona35 Jika suatu negara melanggar kewajiban Internasional,negara tersebut bertanggung jawab untuk pelanggaran yang dilakukannya. Menurutnya kata accountability mempunyai dua pengertian yaitu Pertama, Negara memiliki keinginan untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan mental (mental capacity)
untuk
menyadari
hal-hal
yang
akan
dilakunannya.
Kedua
Tanggungjawab (liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum Internasional (International wrongful behaviour) dan tanggung jawab tersebut harus dilaksanakannya. Menurut Shaw, karakteristik penting adanya tanggung jawab ( negara) bergantung pada faktor berikut :
35
Dedi Supriyadi,M.Ag, Hukum Internasional (dari konsepsi sampai implikasi), Bandung, Pustaka Setia, 2013 , Hlm. 161
Universitas Sumatera Utara
38
1.
Adanya kewajiban Hukum Internasional yang berlaku antara dua negara tertentu
2.
Adanya perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara
3.
Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.
Secara garis besar, tanggung jawab negara dapat dibagi menjadi sebagai beriikut : 1.
Negara beserta komponennya dan organ-organ yang dimilikinya memiliki tanggung jawab untuk menghormati,menegakkan dan memajukan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Negara tidak diperkenankan mencampuri ataupun menghalang-halangi segala upaya yang dilakukan oleh warganegaranya untuk memenuhi hak mereka. Intervensi hanya diperbolehkan dalam hal mendorong masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka
2.
Negara
berkewajiban
perundang-undangan
untuk dan
mengeluarkan
instrument
lainnya
segala
peraturan
yang
menjamin
terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi seluruh warganegaranya tidak hanya menguntungkan pihak ataupun kelompok tertentu 3.
Negara harus berperan aktif dalam mengupayakan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, bagi seluruh warganegaranya, serta tidak
Universitas Sumatera Utara
39
megurangi hak-hak warganegara tertentu. Dan harus dipastikan bahwa setiap warganegara memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budayanya36 Pada dasarnya, suatu negara dapat bertanggung jawab apabila suatu perbuatan atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Tanggung jawab Negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hakantar negara37 Menurut hukum Internasional pertanggungjawaban Negara timbul dalam hal suatu Negara timbul dalam hal suatu negara merugikan negara lain. Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum Internasional, perbuatan suatu negara yang merugikan negara lain tetapi tidak melanggar hukum internasional, tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara. Misalnya perbuatan negara yang menolak masuknya orang asing kedalam wilayahnya, tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara. Hal ini disebabkan, negara menurut hukum internasional berhak menolak atau menerima orang asing ke dalam wilayahnya38
36
Hari Mardiansyah, Tanggung jawab Negara kepada warganegara, diakses dari http://hari-mardiansyah.blogspot.com (diakses pada tanggal 28 februaari 2014, pukul 03:34) 37 Adithiya Diar, Tanggung jawab Negara dalam penegakan hak asasi manusia, diakses dari http://boyyendratmin.blogspot.com (diakses pada tanggal 28 Februari 2014 pada pukul 03:45) 38 F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta, Atma Jaya Yogyakarta, 1998, hlm. 77
Universitas Sumatera Utara
40
Karl Zemanek menjelaskan bahwa yang mendasari munculnya tanggung jawab negara pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap hak subjektif negara lain, pelanggaran terhadap norma hukum internasional merupakan Jos Cogens dan tindakan-tindakan yang berkualifikasi sebagai kejahatan internasional seperti misalnya, tindakan agresi, perbudakan, genosida, apartheid, kolonialisme, dan juga pencemaran lapisan atmosfer dan laut secara besar-besaran. 39 Sedangkan perbuatan suatu negara tidak dianggap pelanggaran kewajiban internasional jika perbuatan itu terjadi sebelum terkaitnya suatu negara oleh suatu kewabiban internasional. Hal ini sudah merupakan asas internasional yang berlaku umum yaitu bahwa suatu perbuatan harus dinilai menurut hukum yang berlaku pada saat perbuatan itu terjadi, bukan ketika terjadinya sengketa akibat perubahan yang bisa saja terjadi bertahun tahun setelah perbuatan tersebut Secara historis prinsip tanggung jawab negara memiliki kaitan erat dengan Hak asasi manusia. HAM yang dewasa ini telah diatur dalam hukum HAM Internasional pada awalnya dikembangkan melalui prinsip tanggung jawab negara atas perlakuan orang asing (state responbility for the treatment of aliens)40. Dalam konteks penegakan HAM, negara juga merupakan pengemban subjek hukum utama. Negara diberikan kewajiban melalui deklarasi dan konvenan-konvenan tentang HAM sebagai entitas utama yang bertanggung jawab secara penuh untuk melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM warganegaranya. Tanggung jawab negara tersebut dapat terlihat dalam UDHR 1948, International convenant on civil and political rights (ICCPR) 1966, dan 39
Rhona K.M. Smith, Christina Ranheim, dkk, Hukum hak asasi manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008, hlm. 75 40 Ibid, hlm. 81
Universitas Sumatera Utara
41
International convenant on economic, social and cultural rights (ICESCR) 1966. Dalam mukaddimah UDHR 1948 menegaskan bahwa : ” As a common standard of achievement for a people and all nations, to the end that every individual and every organ of society, keeping this Declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to promote respect for these rights and freedoms and by progressive measures, national and international, to secure their universal an effective recognition and observance, both among the peoples of member states themselves and among the peoples of territories under their jurisdiction”41 Sebagai satu standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat dengan senantiasa mengingat pernyataan ini, akan berusaha dengan jalan mengajar dan mendidik untuk menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan progresif yang bersifat
nasional
maupun
internasional,
menjamin
pengakuan
dan
penghormatannya secara universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negara-negara anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari daerah-daerah yang berada dibawah kekuasaan hukum mereka.
41
UDHR 1948
Universitas Sumatera Utara
42
Dalam mukaddimah ICCPR 1966 menegaskan tentang tanggung jawab negara dalam penegakan hak-hak sipil dan politik adalah sebagai berikut : “Recognizing that, in accordance with the Universal Declaration of Human Rights, the ideal of free human beings enjoying civil and political freedom and freedom from fear and want can only be achived if conditions are created whereby everyone may enjoy his civil and political rights, as well as his economic, social and cultural rights”.42 Mengakui
bahwa,berdasarkan
piagam-piagam
perserikatan
bangsa-
bangasa negara-negara wajib untuk memajukan penghormatan universal dan pentaatan atas hak asasi dan kebebasan manusia. Sedangkan pada pasal 2 (1) ICCPR 1966 menegaskan bahwa tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam konvenan ini adalah di pundak negara, khususnya yang menjadi
negara
menghormati dan
pihak
ICCPR.
Negara-negara
pihak
diwajibkan
untuk
menjamin hak-hak yang diakui dalam konvenan ini, yang
diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yudridikasinya, tanpa diskriminasi seperti apapun.43
42 43
Mukaddimah ICCPR 1966 ICCPR 1966 pasal 2(1)
Universitas Sumatera Utara