Re-interpretasi Kedaulatan Negara dalam Hukum Internasional
UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Disampaikan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada Pada tanggal : 26 Juni 2014 Di Yogyakarta
Oleh : Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M.
2
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera bagi kita semua, Yang Terhormat; Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Guru Besar, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik, Rektor, Para Wakil Rektor,Para Dekan, Wakil Dekan dan Ketua Lembaga di Lingkup Universitas Gadjah Mada, Segenap Civitas Akademika Universitas Gadjah Mada, Serta tamu undangan dan hadirin yang saya mulyakan Pertama-tama ijinkanlah saya dengan segenap kerendahan hati mengucapkan syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT. Atas berkat hidayah, rahmat dan karunia-Nya, pada pagi hari ini saya berkesempatan menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Pidato yang akan saya sampaikan ini merupakan hal yang elementer, namun perlu direnungkan dan tidak mudah untuk diabaikan begitu saja di tengah perkembangan masyarakat yang makin maju, dan posisi,serta peran negarayang makin dinamis. Perlu saya sampaikan lingkup pembahasan dalam pidato ini terbatas pada bidang ilmu yang saya tekuni, yakni Hukum Internasional.
RE-INTERPRETASI KEDAULATAN NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Hadirin yang saya mulyakan, Kedaulatan negara merupakan konsep yang sangat menarik dan inspiratif dalam wacana akademisbidang hukum dan politik
3 internasional. Dari waktu-ke waktu dapat dicatat perdebatan yang sangat dinamis dan provokatif tentang konsep kedaulatan negara dalam sistem hukum internasional. Mencermati perkembangan mutakhir tentang posisi dan peran negara secara internal maupun eksternal tampaknya, diperlukan re-interpretasimakna kedaulatan negara dalam konteks sistem hukum internasional. Kedaulatan merupakan konsep yang sangat penting dalam tertib hukum domestik maupun internasional, dan merupakan titik persinggungan antara kedua sistem tertib hukum tersebut. Kedaulatan negara merupakan salah satu norma fondasional dalam sistem hukum internasional. Konsekuensinya, konsep tentang negara yang berdaulat sebagai kesatuan otoritas yang tidak tunduk pada pihak manapun merupakan penyangga sistem tata hukum internasional yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, nonintervensi dan kesepakatan (consent) negara. Namun demikian, dalam wacana dan praksis mutakhir konsep kedaulatan negara telah mengalami perubahan; sehingga kedaulatan negara dalam pengertian yang absolut tidak dapat dipertahankan lagi ( Struet, 2005). Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal menemukan makna baru tentang kedaulatan negara dalam sistem hukum internasional kontemporer. Pertama, perkembangan dan penyebarluasan nilai-nilai kemanusiaan (spreading of humanity values) dan implementasinya oleh Negara, Organisasi Internasional, individu dan Non-State Actors lainnya di seluruh dunia. Kedua, terjadinya proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan perdagangan internasional yang makin marak dan intensif di berbagai wilayah dunia. Globalisme dan globalisasi, menimbulkan implikasi berupa keleluasaan pergerakan lintas batas (negara) bagi orang, objek, maupun ide, dan atau konsep. Pada saat bersamaan, kini juga makin deras aliran pemikiran yang memposisikan negara sebagai instrumen yang melayani kepentingan warga dan bukan sebaliknya.Dalam wacana kontemporer, pemahaman tradisional tentang konsep kedaulatan
4 negara dapat dianggap sebagai kendala bagi pemecahan masalah kemanusiaan secara efektif dan perlindungan kepentingan dan hakhak mendasar warga negara. Secara ilustratif pemaknaan kedaulatan bagaikan pergerakan pendulum kepada dua arah yang berbeda, yakni: kedaulatan dengan makna mengarah pada absolutisme atau kedaulatan dengan makna yang mengarah pada relativisme. Kini negara-negara sebagai subyek hukum internasional par excellence dihadapkan pada pilihan untuk menemukan konsensus tentang makna kedaulatan dalam hubungan di antara mereka maupun dengan non state actors lainnya. Kedaulatan Negara sebagai Konsep Hadirin yang saya mulyakan, Istilah kedulatan negara sering digunakan untuk merujuk pada pengertian: “kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh pemerintah negara”. Kedaulatan juga diberi makna sebagai kewenangan politik paripurna (tertinggi) yang dimiliki suatu negara untuk mengatur dan menentukan dirinya. Dalam wacana akademik tampaknya tidak dapat ditetapkan suatu definisi tunggal tentang kedaulatan. Terminologi kedaulatan memiliki beragam makna dan penapsiran. Istilah kedaulatan seringkali diberi makna berbeda-beda oleh akademisi, jurnalis, politisi, pejabat internasional, juris, dan kalangan lain dengan latar belakang profesi, budaya, dan disiplin intelektual yang juga berbeda-beda (Nagan& Hammer, 2004). Istilah ini dapat memiliki makna yang berbeda bagi orang yang berbeda yang masing-masing memiliki latar belakang yang beragam pula. Istilah kedaulatan mungkin memiliki makna yang berbeda dalam ilmu hukum, ilmu politik, sejarah, filsafat dan bidang-bidang lain yang berkaitan dengannya. Ada berbagai pendekatan, beragam kategorisasi dan berbagai variasi tentang penggunaan konsep kedaulatan. Kedaulatan dapat merujuk pada kedaulatan domestik, kedaulatan interdependensi, kedaulatan hukum internasional dan kedaulatan negara yang absolut.
5 Kedaulatan sebagai konsep yang menunjuk pada kekuasaan utama dan tertinggi untuk memutuskan, dapat dianalisis dan dikualifikasikan berdasarkan perspektif unsur-unsur yang berhadapan (diametral) sebagai berikut: kedaulatan hukum atau kedaulatan politik; kedaulatan internal atau eksternal; kedaulatan yang tunggal atau kedaulatan yang dapat dibagi; kedaulatan pemerintah atau rakyat (Krasner, 2004;). Pemahaman tentang konsep kedaulatan Negara ini sangat membantu dalam mencermati dan mengevaluasi kedudukan negara dalam konteks hubungan internasional yang sangat dinamis. Ajaran filosofis yang paling mengesankan tentang kedaulatan adalah bahwa, kedaulatan merupakan kekuasaan absolut atas suatu wilayah tertentu. Kekuasaan absolut atas wilayah tersebut menjadi dasar bagi pembentukan negara . Dalam kaitannya dengan kedaulatan, dapat dikemukakan catatan bahwa hukum merupakan aspek yang sangat penting. Hukum merupakanfondasi atau landasan bagi terciptanya ketertiban politik . Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa hukum merupakan “the sole guarantor of the continuity of 'civilization “(Sheehan, 2006). Tata hukum dapat menjadi instrumen untuk menjamin keberlanjutan keberadaban. Kristalisasi teoritik tentang hubungan antara hukum dengan kedaulatan dapat ditemukan dalam doktrin tentang kedaulatan sebagaimana dikemukakan oleh Jean Bodin pada abad keenambelas. Dalam hal ini Jean Bodin mengemukakan doktrin bahwa kedaulatan merupakan sumber utama untuk menetapkan hukum. Kedaulatan merupakan sumber otoritas yang berada pada aras tertinggi dalam hirarki hukum (legalhierarchy). Konsep kedaulatan negara juga menjadi dasar salah satu doktrin hukum yang dikenal dengan Act of State Doctrine atau “the Sovereign Act Doctrine”. Doktrin hukum yang muncul pada abad ke sembilan belas (XIX) ini menegaskan: “Every sovereign State is bound to respect the independence of every sovereign State, and the courts of one country will not sit in judgment on the acts of the government
6 of another done within its own territory”.Menurut Act of State Doctrine, setiap Negara berdaulat wajib mengormati kemerdekaan Negara berdaulat lainnya. Pengadilan domestik suatu Negara tidak berwenang mempertanyakan tindakan pemerintahan Negara berdaulat lain yang dilakukan di wilayahnya. Pendapat lain, menyatakan bahwa kedaulatan merupakan suatu status hukum (legal status)yang melekat kepada aktor politik; dan atau diberikan oleh aktor politik yang lain atau diklaim oleh aktor yang bersangkutan. Sebagai suatu gejala hukum, kedaulatan bukanlah suatu realitas fisika, kedaulatan merupakan konsep dan simbolisme, atau lebih tepatnya merupakan isi dari pemikiran dan simbol-simbol. Status hukum ini dibentuk dan didefinisikan oleh teks hukum, bersama-sama dengan praktik yang diterima dan diakui, meskipun kedaulatan dapat merujuk dimensi kekuasaan pra-legal. Status semacam ini menimbulkan konsekuensi hukum tertentu; khususnya hak dan kewajiban bagi yang bersangkutan. Status hukum kedaulatan dibentuk oleh hukum, status ini merefleksikan dan menggabungkan konsep politik, praktik sosial, dan budaya. Khususnya hukum dan politik, keduanya saling menentukan (mutually constitutive); oleh karena itu status hukum juga berarti status politik. Kadaulatan merupakan konsep garis batas (borderline) di mana terdapat tekanan dan irisan nyata antara hukum dan politik (Peters, 2009). Salah satu pandangan menarik tentang kedaulatan (sovereignty), adalah sebagaimana dikemukakan oleh James J Sheehan. Pakar sejarah asal Amerika ini mengemukakan pandangan kritis,bahwa salah satu permasalahan terkait dengan konsep kedaulatan adalah tentang definisi. Kedaulatan adalah suatu konsep politik, namun demikian, tidak seperti halnya dengan konsep tentang demokrasi atau monarki; kedaulatan bukanlah tentang tempat di mana kekuasaan itu berada. Kedaulatan tidak sama halnya dengan parlemen atau birokrasi; karena kedaulatan tidak menggambarkan institusi-institusi yang menjalankan kekuasaan.Kedaulatan juga tidak dapat disamakan dengan tertib hukum (order) maupun keadilan
7 (justice); karena kedaulatan tidak menggambarkan tujuan dari pelaksanaan kekuasaan. Kedaulatan adalah suatu hal dan meliputi banyak hal (the one or the many) ( Sheehan, 2006). Konsep tentang kedaulatan adalah suatu hal yang berkaitan dengan hubungan antara kekuasaan politik dengan bentuk-bentuk otoritas lainnya. Kedaulatan dapat dipahami dengan mencermati bahwa;Pertama, kekuasaan politik adalah berbeda dengan kerangka organisasi atau otoritas lain di dalam masyarakat seperti religius, kekeluargaan dan ekonomi. Kedua, kedaulatan menegaskan bahwa otoritas publik semacam ini bersifat otonom dan sangat luas(autonomous and preeminent) sehingga lebih tinggi (superior) dari institusi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan dan independen atau bebas dari pihak luar. Pada awalnya, konsep dan nilai-nilai kedaulatan negara-bangsa diterima dan dikembangkan di benua Eropa.Suatu konsep di mana suatu negara harus memiliki controlatas kebijakan eksternal dan bebas dari struktur otoritas eksternal; merupakan invensi bangsabangsa Eropa sejak abad ke-16 dan ke-17.Telah tiga ratus tahun kedaulatan eksternal itu di asosiasikan dengan keberhasilan politik; catatan sejarah keberhasilan orang-orang Eropa (Keohane, 2008).Namun, dalam perkembangannya konsep bahwa negara harus memiliki kontrol mutlak atas kebijakan eksternal dan bebas dari struktur otoritas eksternal telah mengalami transformasi. Contoh faktual dalam hal ini adalah sebagaimana ditperlihatkan dengan pembentukan organisasi Uni Eropa (European Union: EU). Adanya berbagai variasi tentang makna dan penggunaan konsep kedaulatan negara tidak mengurangi arti penting konsep ini dalam sistem hukum internasional dan teori hubungan internasional. Kedaulatan merupakan salah satu konsep yang mendasar dalam hukum internasional(one of the fundamental concepts in international law). Dalam kerangka hubungan antar negara, kedaulatan juga merujuk pada pengertian kemerdekaan(independence) dan vice versa. Suatu negara merdeka
8 adalah negara yang berdaulat. Negara yang berdaulat adalah negara merdeka dan tidak berada dibawah kekuasaan negara lain. Kedaulatan negara (state sovereignty) dan kesederajatan (equality) antar negara merupakan konsep yang diakui dan menjadi dasar bagi bekerjanya sistem hukum internasional. Secara tradisional hukum internasional mengakui bahwa negara sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat; artinya negara tidak tunduk pada otoritas lain yang lebih tinggi. Kedaulatan dan kesederajatan negara merupakan atribut yang melekat pada negara merdeka sebagai subyek hukum internasional.Pengakuan terhadap kedaulatan negara dan kesederajatan antar negara juga merupakan dasar bagi personalitas negara dalam sistem hukum internasional. Sejak awal perkembangan hukum internasional, negara diakui sebagai subyek yang berdaulat dan sederajat vis a vis negara lain. Konsep tradisional hukum internasional menyatakan bahwa Negara merupakan suatu kesatuan mandiri dan tidak ada otoritas yang lebih tinggi kedudukannya yang harus diikuti olehnya. Berdasarkan pandangan ini, hukum internasional muncul jika negara-negara berdaulat menyetujui untuk terikat kepada hukum kebiasaan atau perjanjian. Hukum internasional merupakan aturan koordinatif di antara kesatuan-kesatuan berdaulat dan lebih cenderung sebagai kontrak. Bahkan perjanjian multilateral yang dibuat diantara negara-negara sekalipun, pada akhirnya tergantung kepada persetujuan negara. Hal ini sejalan dengan pandangan para penganut hukum alam. Secara tradisional, kedaulatan merupakan konsep yang sangat penting dalam tertib hukum domestik maupun internasional. Kedaulatan merupakan titik persinggungan antara kedua sistem tertib hukum tersebut. Konsekuensinya dalam era hukum internasional klasik, konsep tentang negara yang berdaulat sebagai kesatuan otoritas yang tidak tunduk pada pihak manapun merupakan penyangga sistem hukum internasional yang menjunjung tinggi prinsip nonintervensi dan kesepakatan (consent) negara (Kahn, 2004). Dalam sistem PBB, kedaulatan negara merupakan nilai dasar dan pilar yang menyangga hubungan antara organisasi dengan anggota-
9 anggotanya, maupun dalam hubungan antar sesama anggota. Hal ini dengan tegas dirumuskan dalam Piagam PBB. Dalam kerangka hubungan internasional, khususnya dalam hal keanggotaan di dalam organisasi internasional, kedaulatan negara menjadi dasar dan tercermin dalam keputusan negara untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri pada organisasi internasional. Dalam konteks ini, consent atau persetujuan negara adalah keputusan suatu Negara sebagai subyek yang mandiri dan bebas untuk menjadi anggota organisasi internasional (Raustiala, 2003). Organisasi internasional mempunyai kewenangan karena adanya persetujuan secara tegas dan terbuka dari negara-negara pihak yang membentuknya atau para anggotanya. Persetujuan yang diberikan oleh negara dalam hal semacam ini tidak bersifat permanen, karena sewaktu-waktu negara dapat menarik kembali persetujuan yang telah diberikan. Kedaulatan negara yang semula merupakan salah satu norma fondasional dalam sistem hukum internasional, telah mengalami transformasi. Kini kedaulatan negara dalam pengertian yang absolut tidak dapat dipertahankan lagi. Organisasi Uni Eropa yang dibentuk pada paruh kedua abad ke-20;mulai melakukan institusionalisasi konsep kedaulatan terbatas dan terpusat (limited and pooled sovereignty); pada saat yang sama memberikan ruang bagi negaranegara untuk menentukan pilihan bagi kebijakan otonom, politik internasional dan menjaga keunikan, karakter, dan kenyamanan (decent) warganya. Konsep kedaulatan terbatas dan terpusat yang dilembagakan oleh Uni Eropa telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan warga Eropa; dari sistem peradilan pidana hingga kebijakan internasional. Pada konteks lebih luas, transformasi makna kedaulatan Negara, dapat ditemukan pada kesepakatan masyarakat internasional untuk melakukan pemberdayaan institusi internasional dengan memberikan otoritas (hingga proses peradilan) yang dapat menjangkau orang, benda, maupun peristiwa hukum yang terjadi di wilayah negara-negara yang berdaulat. Pada dasarnya otoritas
10 semacam itu semula merupakan hak dan kewajiban prerogatif suatu negara berdasarkan konsep kedaulatan. Hak Asasi Manusia dan Re-interpretasi Kedaulatan Negara Hadirin yang saya mulyakan, Dikaitkan dengan eksistensi negara dalam sistem hukum internasional, kedaulatan dapat dilihat dalam makna ganda, yakni internal dan eksternal. Kedaulatan eksternal dan kedaulatan internal harus dipahami bukan sebagai dua hal yang berbeda, tetapi merupakan dua dimensi dari suatu atribut yang melekat kepada negara. Secara internal , kedaulatan mengindikasikan adanya otoritas eksklusif atas penduduk dan wilayah (dihadapkan pada non-state actors); sementara secara eksternal dihadapkan dengan negara lain. Dalam batas tertentu, kedaulatan internal dan kedaulatan eksternal saling berhubungan dan saling mendukung. Pada satu sisi, penghormatan terhadap kedaulatan eksternal (larangan nonintervensi), merupakan prasyarat bagi pengembangan struktur internal bagi otoritas nasional, dan kontrol ke dalam suatu negara. Pada sisi yang lain, suatu entitas politik harus menunjukkan penguasaan nyata atas wilayah dan warga di dalamnya, untuk dapat dianggap sebagai pihak berdaulat secara eksternal oleh pihak berdaulat lainnya. Sejak akhir abad ke-19, secara berangsur muncul institusiinstitusi internasional yang didirikan oleh Nation-States untuk memperlancar hubungan antar Nation-States dalam berbagai bidang. Pada akhir Perang Dunia I, masyarakat internasional membentuk suatu organisasi internasional yakni the League of Nations atau Liga Bangsa-Bangsa dengan tujuan utama untuk menjaga kelangsungan perdamaian internasional. Dalam perkembangannya, Liga Bangsa Bangsa merupakan preseden untuk mendirikan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) setelah berakhirnya Perang Dunia II. Dalam kerangka organisasi internasional PBB, tampak jelas bahwa konsep kedaulatan juga diakui sebagai
11 aspekmendasaryang tak terpisahkan dari prinsip kesederajatan antar negara, kemerdekaan politik dan integritas wilayah. Namun, perlu dicatat juga bahwa salah satu tujuan utama PBB adalah penghormatan dan pemajuan nilai-nilai hak asas manusia. Hal ini tercermin di dalam ketentuan Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia dan ditindak-lanjuti dengan berbagai instrumen internasional multilateral lain yang mengatur hak asasi manusia. Berbagai instrumen internasional hak asasi manusia seperti Konvensi-Konvensi tentang: Anti Penyiksaan; Genosida; Status Pengungsi; Perlindungan Anak; Anti Diskriminasi Rasial; Anti Diskriminasi Perempuan; Hak-Hak Sipil dan Politik; serta Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, telah membatasi kedaulatan negara secara internal;ada pembatasan kekuasaan negara vis-a-vis warganya. Kini negara-negara sebagai anggota masyarakat internasional tidak dapat menghindar dan harus menerima gejala di mana normanorma hak asasi manusia dikembangkan dan disebarluaskan ke seluruh dunia oleh gerakan-gerakan masyarakat sipil, organisasi kemanusiaan, maupun organisasi internasional yang relevan. Gerakan-gerakan semacam ini juga mempertanyakan pandangan“status quo” yang menempatkan kedaulatan negara sebagai konsep yang absolut. Pemajuan dan perkembangan normanorma hak asasi manusia, dengan demikian, juga merupakan bagian dari proses globalisasi yang melanda setiap negara. Seperangkat norma dan nilai-nilai yang bersumber pada kemanusiaan dan perlindungan hak asasi manusia telah diakui dan diterima sebagai gejala universal, meskipun terdapat perbedaan dan variasi dalam implementasinya antara negara satu dengan lainnya. Pada dua dekade terakhir abad keduapuluh dan memasuki abad ke duapuluh satu, dapat disaksikan bahwa pemahaman tentang kedaulatan sebagai konsep yang absolut harus dipertimbangkan kembali. Kegagalan ortoritas nasional dalam mengelola dinamika politik dan melindungi hak asasi warganya sebagaimana yang terjadi di wilayah-wilayah Myanmar, Angola, Afghanistan, Somalia, Irak dan
12 bekas Yugoslavia, merupakan fakta bahwa negara tidak dapat menutup diri dari bantuan masyarakat internasional dengan dalih atau atas nama kedaulatan. Kedaulatan negara tidak dapat dijadikan perisai (shield) oleh otoritas nasional untuk mencegah bantuan eksternal kepada warga di negara yang bersangkutan yang memerlukan bantuan kemanusiaan dan perlindungan internasional. Regulasi dan penegakan hak asasi manusia yang dilembagakan masyarakat internasional mencerminkan komitmen dan kepedulian terhadap nilai-nilai dan perlindungan hak asasi manusia. Muncul paradigma baru dalam masyarakat internasional, bahwa hak asasi manusia lebih utama daripada kedaulatan. Paradigma ini telah mendorong perkembangan hukum kebiasaan internasional tentang pembatasan kedaulatan negara dalam kerangka upaya perlindungan hak asasi manusia. Lebih lanjut, upaya ini diteguhkan dan diperkuat dengan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional; baik yang bersifat ad-hoc (ICTY & ICTR) maupun yang permanen (ICC). Penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia lebih diutamakan dari pada kedaulatan negara. Perlindungan hak asasi manusia menjadi landasan moral dan legal yang sahih bagi tindakan intervensi kemanusiaan dalam sistem hukum internasional kontemporer. Internasionalisasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dapat dipahami dengan melihat pengakuan dan implementasinya secara global. Prinsip-prinsip universal hak asasi manusia diterima dan diimplementasikan oleh lembaga-lembaga internasional, trans-nasional dan supra nasional. Implementasi nilainilai universal hak asasi manusia secara internasional tidak tergantung pada adanya persetujuan (consent) dari negara manapun, tetapi, mengacu pada kebenaran nilai-nilai universal hak asasi manusia. Gejala-gejala tersebut diprediksi akan menimbulkan tantangan baru dan menumbuh-kembangkan norma-norma hukum yang harus diperhatikan dan ditaati oleh negara-negara. Pada saat yang bersamaan interpretasi tradisional yang menganggap kedaulatan negara sebagai konsep yang absolut juga mulai dipertanyakan. Hak prerogatif negara-bangsa (nation-state) yang
13 ditumpukan pada konsep kedaulatan akan berhadapan dengan dan dipengaruhi oleh norma-norma yang diartikulasikan, disebarluaskan dan diterapkan secara trans-nasional ataupun internasional. Berkaitan dengan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, kini diakui bahwa setiap negara memiliki kepentingan dan kewajiban untuk melaksanakannya. Penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia merupakan kewajiban erga omnes bagi setiap Negara; konsekuensinya, ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia di manapun, setiap negara berhak mempertanyakan peristiwa tersebut. Hal ini di dukung dan diperkuat oleh doktrin hukum maupun keputusan badan peradilan internasional (case law) dalam sistem hukum internasional Suatu negara yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban tersebut telah kehilangan legitimasi atas kedaulatannya. Dalam konteks semacam ini, di mana muncul kebutuhan akan perlindungan hak asasi manusia dan kemanusiaan; terdapat tata-kelola yang bersifat multi-level untuk mewujudkan tanggungjawab masyarakat internasional dalam rangka melestarikan hak asasi manusia dan humanitarianisme. Proses yang sedang berlangsung dalam menyeimbangkan antara kedaulatan dengan humanitarianisme dan atau menapsirkan kembali makna kedaulatan secara positif dan terbuka, merupakan penanda terjadinya transformasi hukum internasional yang semula merupakan sistem hukum yang berpusat kepada negara (Statecentered system); mengarah pada sistem hukum yang berpusat pada individu (individual-centered system). Pada dasa warsa terakhir abad ke-20 sistem hukum internasional telah mengalami transformasi lebih lanjut menuju ke arah sistem hukum yang perpusat pada individu (individual-centered system) dan lebih humanis (humanized system). Perubahan ini terjadi sebagai kelanjutan dari kodifikasi dan institusionalisasi hak asasi manusia yang telah dimulai setelah berakhirnya Perang Dunia dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Globalisasi dan Gerusan terhadap Kedaulatan Negara
14 Hadirin yang saya mulyakan, Keberadaan Negara sebagai unsur terpenting dalam sistem masyarakat internasional tetap tidak terbantahkan. Namun demikian, perlu dikemukakan bahwa telah terjadi perubahan pada sifat kedaulatan yang melekat pada keberadaan negara-negara tersebut. Gejala semacam ini telah dimulai di negara-negara anggota Uni Eropa (European Union). Di wilayah internal Uni Eropa, manusia, barang dan modal dapat bergerak secara bebas dan tidak dapat dilakukan limitasi berdasarkan batas-batas teritorial negara-negara. Negaranegara anggota Uni Eropa telah mengintegrasikan sistem moneter di antara mereka, serta mengikatkan diri pada perjanjian-perjanjian internasional regional yang berlaku di seluruh wilayah negara anggota. Batas-batas wilayah (boundaries) yang semula merupakan hal esensial dari kedaulatan negara, secara simbolik maupun praktis telah hilang. Penanda terpenting transformasi kedaulatan negara di antara negara-negara anggota Uni Eropa adalah aspek hukum yang berlaku di negara-negara anggota organisasi tersebut. Mahkamah Eropa merupakan bukti integrasi legal di antara sesama anggota Uni Eropa. Di sampingMahkamah Eropa, integrasi sistem hukum juga dimanifestasikan dengan rules danregulations yang menetapkan common standards danprocedures bagi seluruh negara anggota. Pada lingkup yang lebih luas kita menyaksikan pada terjadinya proses liberalisasi ekonomi di seluruh dunia yang diprakarsai dan difasilitasi oleh Organisasi Perdagangan Internasional ( World Trade Organizations; WTO). Di penghujung abad ke 20, utamanya sejak didirikannya WTO pada akhir tahun 1994, proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan perdagangan internasional makin marak dan intensif di berbagai wilayah dunia. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi diseluruh dunia merupakan proses internasionalisasi komunikasi, perdagangan dan organisasi ekonomi. Proses seperti ini merupakan gejala yang harus dihadapi oleh negara-negara dan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Gejala ini terjadi karena dorongan perkembangan kapitalisme internasional dan di dalamnya juga menyertakan transformasi budaya dan struktur sosial bagi
15 masyarakat yang semula merupakan masyarakat non kapitalis, dan bahkan masyarakat yang masuk dalam kategori pre-industrial societies. Globalisasi juga ditandai dengan ekspansi besaran serta kekuatan (power) perusahaan-perusahaan multinasional. Globalisasi, menimbulkan implikasi berupa keleluasaan pergerakan lintas batas (negara) bagi orang, objek, ide, dan atau konsep. Implikasi lebih lanjut adalah menguatnya tata dunia baru yang terbangun dan didasari oleh jaringan-jaringan transnasional. Pada saat bersamaan, investasi dan perdagangan internasional kini menjadi kekuatan utama yang menggerakkan dan mengintensifkan hubungan internasional. Senyampang dengan fenomena itu, kini juga terjadi proses interdependensi legal antara sistem hukum domestik dengan sistem hukum multilateral yang dibangun dan diterima oleh masyarakat internasional pada aras regional maupun internasional. Proses globalisasi pada aspek ekonomi dapat dicermati pada perjanjian perdagangan internasional yang berlaku pada level hubungan antar negara, sistem hukum nasional, maupun kerangka relasi individual. Pada saat yang sama juga ditandai dengan meningkat-pesatnya volume perdagangan internasional serta meningkatnya interdependensi ekonomi di antara negara-negara. Modal, pangsa pasar, dan korporasi telah mendorong terjadinya kompetisi yang merujuk pada prinsip “equal treatment”. Hubungan perdagangan dan ekonomi internasional mengacu pada kerangka hubungan yang bersifat “rule of law oriented” yang didasari oleh ketentuan-ketentuan hukum yang proses pembentukan dan implementasinya difasilitasi oleh WTO. Hubungan ekonomi antar negara dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip “legal certainty”; dan “due process through judicial procedures”. Dari perspektif ekonomi internasional pendekatan yang mengedepankan “rule of law oriented” tersebut dianggap lebih menjamin security dan predictability bagi para pihak. Hadirin yang saya mulyakan,
16 Gejala tersebut menjadi penanda menguatnya konsep “Multilateral Pooled Sovereignty” sertainternasionalisasi prinsipprinsip universal. Berdasarkan konsep“Multilateral Pooled Sovereignty”; berarti negara-negara berdaulat bertindak bersama dengan cara-cara dimana kedaulatan yang dimiliki oleh masingmasing negara, secara bersamaan disatukan melalui badan, institusi, organisasi, dan jaringan (networks) baik secara formal maupun informal. Institusi, badan, atau regulator yang mengambil tindakan yang diperlukan adalah suatu badan yang dibentuk secara multilateral, tetapi memiliki satu otoritas yang mandiri. Konsep semacam ini, dewasa ini dimanifestasikan oleh berbagai badan internasional yang telah diakui dan diterima otoritasnya oleh masyarakat internasional seperti World Health Organisastion (WHO), dan badanbadan internasional lainnya seperti, World Trade Organisation, International Bank for Reconstruction and Development (the World Bank) dan International Monetary Fund ( IMF). Konsep dan aplikasi Multilateral Pooled Sovereignty, yang ditandai dengan menguatnya pengaruh organisasi internasional dan melemahnya pengaruh negara, harus dilihat dengan kritis karena didalamnya terdapat implikasi serius yakni: terjadinya gejala “defisit demokrasi” atau melemahnya demokrasi deliberatif. Keputusan dan tindakan organisasi internasional yang awalnya didorong oleh semangat liberalisme dan penghormatan hak-hak individu, namun, pada saat yang sama juga melanggar hak-hak warga yang semestinya dilindungi oleh Negara. Hal inilah yang mendasari gugatan tentang legitimasi keputusan dan tindakan organisasi internasional(O Hagan, 2013; Chimni , 2004; Sato, 2009). Globalisasi mencerminkan kenyataan bahwa kita hidup pada suatu masa di mana tembok-tembok kedaulatan tidak dapat menjadi pelindung menghadapi pergerakan modal, orang, informasi, dan ide, bahkan tidak mampu melindungi dari hal-hal negatif dan membahayakan. Gambaran ini juga mencerminkan tata kelola global di masa depan. Ada anggapan bahwa globalisasi sebagai kenyataan akan menggerus bahkan mengeliminasi kedaulaan negara-bangsa.
17 Ada tiga modus di mana globalisme dan globalisasi ekonomi mempengaruhi kedaulatan. Pertama, meningkatnya perdagangan dan pasar modal internasional telah mempengaruhi kapabilitas negara-bangsa untuk mengontrol ekonomi domestiknya. Kedua, negara-negara merespon proses globalisasi dengan mendelegasikan otoritasnya kepada organisasi internasional. Ketiga, hukum internasional “baru” yang sering dianggap sebagai “New Frontier of International Law” yang diproses dan dilembagakan oleh organisasi perdagangan internasional telah membatasi sedemikian rupa independensi kebijakan domestik yang seharusnya ditetapkan oleh otoritas nasional (Howse, 2008; Ku & Yo, 2013). Diskursus tentang sifat dan makna kedaulatan negara serta implementasinya dalam masyarakat internasional, terutama pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21; tampaknya telah mengalami transformasi yang perlu dicermati. Perubahan-perubahan sosial, kerangka institusional, dan kemajuan teknologi, serta intensitas aktivitas ekonomi antar negara, telah mendorong terjadinya pembaharuan makna kedaulatan negara di hadapan sistem internasional. Dari sudut historis, praktik negara-negara dalam memaknai konsep kedaulatan dalam konteks hubungan internasional memang telah lama diperdebatkan dan perdebatan tentang hal ini masih berlangsung hingga sekarang. Catatan Akhir Hadirin yang saya mulyakan, Untuk mengakhiri materi pidato ini ijinkanlah saya menyampaikan catatan akhir. Globalisasi dan globalisme hukum hak asasi manusia dan ekonomi internasional merefleksikan dua model pendekatan yang masing-masing mempunyai kelebihan dan keterbatasan. Paradigma hukum internasional yang berwatak “realist” dapat dilihat dalam konteks hukum internasional yang menjadi kerangka hubungan
18 ekonomi internasional beserta institusi yang dibangun untuk mengawal implementasi norma hukum yang telah disepakati oleh masyarakat internasional. Dalam hal ini, hukum internasional lahir dari perilaku negara dalam rangka memaksimalkan kepentingannya, dengan memperhitungkan kepentingan negara-negara lain. Sementara paradigma “idealist/ internationalist” dapat ditemukan dalam konteks pelembagaan dan implementasi hukum hak asasi manusia. Norma hukum hak asasi manusia diterima, dikembangkan dan ditaati oleh masyarakat internasional karena masyarakat internasional percaya bahwa di dalam norma hukum internasional itu ada nilai-nilai moral dan legal yang relevan bagi keberlanjutan masyarakat dan martabat kemanusiaan yang harus dipertahankan dan dipelihara. Hukum internasional mengakui kedaulatan Negara, namun, Negara wajib mempertanggungjawabkan kedaulatan itu berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Globalisasi dan globalisme hak asasi manusia dan ekonomi merupakangejala umum di seluruh dunia, namun, globalisasi ekonomi memiliki pengaruh berbeda-beda di antara negara-negara. Globalisasi hukum hak asasi manusia dan ekonomi menegaskan paradigma “law beyond sovereignty”; hukum melampaui kedaulatan negara. Gejala ini mendorong redefinisi watak dan peran hukum pada tingkat domestik maupun global. Norma hukum telah mengalami de-teritorialisasi yang berimplikasi pada melemahnya kedaulatan negara secara internal maupun internal (Teitel, 2008). Hak prerogatif negara-bangsa (nation-state) yang ditumpukan pada konsep kedaulatan telah digerus dan dibatasi oleh norma-norma hukum yang diartikulasikan, disebarluaskan dan ditegakkan secara trans-nasional dan internasional. Melemahnya kedaulatan negara secara internal termanifestasikan pada berkurangnya otonomi otoritas nasional, sementara secara eksternal merujuk pada hilangnya monopoli sistem negara berdaulat di arena politik internasional. Pengambilan keputusan yang semula ada di tangan otoritas nasional (negara) kini telah ditransfer ke tangan organisasi internasional dan aktor-aktor non pemerintah .
19 Dari perspektif akademik, perlu dikembangkan wacana visioner untuk menemukan pemaknaan yang sahih mengenai konsep kedaulatan negara pada saat sistem internasional telah memasuki era interdependensi di antara negara-negara maupun dengan non state actors lainnya.Kedaulatan ditempatkan ditangan rakyat,vis a vis pemerintah dan dikaitkan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan peradaban universal. Negara sebagai elemen utama dalam masyarakat internasional tidak tergantikan, namun, otoritas nasional mengemban mandat dan tanggungjawab untuk memajukan warganya, meningkatkan kemakmuran dan menjaga kebebasannya, mengelola konflik, serta mengembangkan kerjasama internasional. Dalam bahasa yang lain adalah merekonstruksi kedaulatan sebagai tanggung jawab (sovereignty as responsibility); menempatkan negara sebagai agen dan manifestasi dari kedaulatan rakyat, yang mengemban tugas untuk menghadirkan kesjahteraan dan kebahagiaan bagi warganya,dan mempertanggungjawabkan mandatnya secara internal maupun secara eksternal. Negara,harus melakukan penyesuaian struktural, tata kelola yang baik, dan responsif terhadap kecenderungan dan perubahan global menuju perbaikan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia serta menyesuaikan dengan tata ekonomi global. Salah satu tugas akademisi hukum internasional adalah melakukan pemetaan akademik-ilmiah dengan mempertimbangkan hubungan yang saling menyuburkan (cross-fertilization) antara hukum internasional dengan hubungan internasional dan ekonomi internasional. Mengkaji kembali kesetaraan Negara vs Non State Actors, utamanya dalam hal perancangan norma hukum dan standar baru di bidang hak asasi manusia, lingkungan, ekonomi & perdagangan internasional serta penyelesaian sengketa. Majelis Guru Besar dan hadirin yang saya mulyakan, Sebelum mengakhiri pidato ini, ijinkanlah saya sekali lagi mengungkapkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT.Dengan perkenan
20 dan ridho Nya-lah semua cita-cita dapat terwujud.Anugerah Guru Besar dan kesempatan berdiri di podium ini tercapai juga karena bantuan, dukungan, dan do’a, berbagai pihak.Namun, karena keterbatasan ruang dan waktu, mohon maaf; hanya sebagian yang dapat saya sebutkan pada kesempatan ini. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya ingin menyampaikan terimakasih kepada orang-orang hebat dan tulus yang mendidik saya di SDN Tawang I (1970-1976); SMPN I Karangdowo-Klaten (19761979) dan SMAN I Surakarta (1979-1982); Fakultas Hukum UGM (1982-1987); University of Nottingham (1993-1994) dan Program Doktor Fakultas Hukum UGM (2006-2009) . Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada kolega di Bagian Hukum Internasional FH UGM: Prof. Dr. M. Burhantsani, SH., MH.; Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, SH.,LL.M.; Ibu Hj. Endang Purwaningsih, SH.,MH. Dr. Harry Purwanto, SH., M.Hum.; Prof. Dr. Agustinus Supriyanto, SH., M.Si.; Bp. H Jakatriyana, SH., LL.M., MA; Ibu Lindayanti Sulistiawati, SH, MSc.,Ph.D dan Ibu Agustina Merdekawati, SH., LL.M.atas kebersamaan dan segala bantuannya. Secara khusus, saya menghaturkan terima kasih dan rasa hormat kepada (alm) Prof. Dr. Koesnadi Hardjasumantri ,SH; dan (alm) Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH; yang masing-masing bertindak sebagai pembimbing ketika saya menyelesaikan Program S1 dan Program S3 (yang dilanjutkan oleh Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, SH.,LL.M.); beliau berdua telah memberikan teladan, motivasi dan inspirasi untuk menekuni pekerjaan sebagai dosen di Fakultas Hukum UGM. Untuk kedua orangtua Bp. Supardi Wignyosuparmo dan ibu Suparmi yang saya cintai dan hormati serta kedua mertua Bp Suryono, S.Pd., dan ibu Alimah, saya sampaikan terimakasih yang tak terhingga atas kasih sayang, didikan, doa, dan restunya. Ucapan terimakasih yang teristimewa kepada istri saya: Srihadi Asmaraningsih, dan ketiga anak-anakku: Arifa Widyasari, Abiyoga Rahman Riyanto dan Rayhan Alam Riyanto.Empat orang inilah yang selalu mendampingi, menguatkan, membanggakan dan
21 membahagiakan saya. Terima kasih atas doa, kepedulian, dukungan dan cintanya. Kepada kalian berempat capaian ini saya dedikasikan. Akhirnya, kepada seluruh hadirin yang dengan sabar mengikuti prosesi pidato pengukuhan Guru Besar ini, terimakasih atas kesabaran dan kebaikan hati anda semua. Mohon maaf atas khilaf dan salah kata, maupun hal lain yang kurang berkenan. Semoga pidato ini ada manfaatnya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
22
BIODATA GURU BESAR UGM 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Lengkap & Titel Tempat & Tanggal Lahir Status Tanggal SK Guru Besar Pendidikan S1 S2
S3 6. Alamat Kantor 55281. Telp/Fax
7. Alamat Rumah Sleman. Telp
: Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH.,LL.M. : Sukoharjo 15 Februari 1964 : Guru Besar Aktif : 3 Februari 2014. : Sarjana Hukum ( UGM: 1987) : Master of Laws/LLM ( University Of Nottingham: 1994). : Doktor Ilmu Hukum ( UGM : 2009) : No1 Bulaksumur, Yogyakarta. : ++62-274 512781
: Jl. Salak Km 3 Pendeman Trimulyo : ++62 274 4538378
23 HP E-mail
[email protected]/
: 0811 252843 :
[email protected]. 8. Bidang Ilmu : Hukum Internasional 9. Disertasi : “ Kajian Hukum Internasional tentang Pengaruh Kedaulatan Negara terhadap Perlindungan Pengungsi Internal” 10. Publikasi/Karya Ilmiah
:
“Ketrampilan Hukum” ( Buku : Gadjah Mada University Press, 2013); “Kedaulatan Negara dalam Hukum Internasional Kontemporer” (dimuat dalam Jurnal Hukum Justisia- UNS, Desember 2012) ; “Challenges and Hopes for Humanitarian Operations in Indonesia” ( Book Chapter in Cultures of humanitarianism: Perspectives from the Asia-Pacific - ANU College of Asia & Pacific, The Australian National University, Canberra, 2012); “Principle of Non-Refoulement and its Relevance in International Legal System” ( dalam the Indonesian Journal of International Law Volume 7 No. 4: July 2010. University of Indonesia , 2010); “Guiding Principles on Displacement: Institusionalisasi Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Instrumen Internasional” (dalam MIMBAR HUKUM, Vol: 20 No. 01. 2008 : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada , 2008 )
24
11. Penghargaan
:
Foreign and Commonwealth Office Scholarships and Awards Scheme, Government of The United Kingdom ( 19931994) ; The British Chevening Award ( 1995); The Heuzer Faundation untuk program International Human Rights and Humanitarian Law di Graduate Institute of International Studies, Geneva - Switzerland ( 1998). Yogyakarta, 25 Mei 2014.
Prof. Dr. Sigit Riyanto.SH.,LL.M.