INTERVENSI HUMANITER, KEDAULATAN, DAN PENEGAKAN HUKUM INTERNASIONAL DI NEGARA GAGAL Pandu Utama Manggala ________________________________________________________________________ Masih segar dalam ingatan kita di pertengahan tahun 2006, Timor Leste dilanda sebuah krisis yang besar, dimana hampir seluruh sistem pemerintahannya hancur akibat pemberontakan yang dilakukan militernya yang dipicu oleh pemecatan terhadap sekitar 600 tentara Timor Leste. Kasus pemecatan terhadap 600 tentara tersebut kemudian membesar kepada perseteruan politik antara dua tokoh besar Timor Leste, yakni PM Mari Alkatiri dan Presiden Xanana Gusmao. Perseteruan kedua tokoh ini dalam menangani kasus pemecatan tentara tersebut akhirnya berujung pada krisis internal dahsyat yang membuat pemerintahan Timor Leste lumpuh dan tidak bisa menghentikan masalah sehingga membutuhkan bantuan asing untuk meredakan pemberontakan. Kejadian di Timor Leste tersebut hanyalah satu dari beberapa kasus serupa dimana institusi-institusi yang ada di dalam suatu negara hancur akibat terjadi sebuah krisis besar yang tidak bisa diatasi oleh negara tersebut. Kita dapat melihat beberapa kasus serupa seperti contohnya adalah kasus Bosnia-Herzegovina diawal kemerdekaannya, kasus pembantaian etnis di Rwanda, konflik antarpartai di Kamboja, dan masih banyak lagi kasus-kasus serupa, dimana suatu negara tidak dapat menangani konflik yang terjadi di negaranya sendiri. Fenomena-fenomena seperti ini, dimana suatu negara tidak bisa mengatasi masalah internalnya sendiri, umumnya terjadi di negara yang pemerintahannya tidak kuat. Jika kejadian seperti ini dibiarkan terus, maka bukan tidak mungkin negara tersebut akan hancur karena institusi-institusi yang ada di dalamnya, seperti pemerintah dan aparat penegak hukumya, telah lumpuh. Negara seperti inilah yang kemudian bisa disebut sebagai negara gagal (failed state). Intervensi internasional pun kemudian dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan konflik dan membangun kembali pemerintahan yang efektif di negara tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan mantan Sekretaris Jenderal PBB Boutros-Boutros Ghali bahwa masalah negara gagal dimana pemerintahan negara tersebut telah lumpuh dan pelanggaran hukum banyak terjadi karena dipicu oleh situasi internal yang berantakan, harus diselesaikan oleh intervensi humaniter agar dapat memajukan rekonsiliasi nasional dan membangun kembali pemerintahan yang efektif di negara yang bersangkutan. Tulisan ini akan membahas mengenai masalah intervensi humaniter53 terhadap negara gagal dengan mengambil rujukan terhadap pandangan Daniel Thurer mengenai masalah negara gagal dan penegakan hukum internasional dalam artikelnya, The “Failed State” and International Law.54 Di dalam artikelnya, Thurer mengemukakan beberapa hal, yakni deskripsi dan definisi mengenai negara gagal, kemudian dilanjutkan dengan analisanya berdasarkan 53
Intervensi Humaniter adalah suatu tindakan untuk ikut campur dalam permasalahan suatu negara dengan cara yang koersif untuk menangani masalah pelanggaran HAM. Lihat Graham Evans dan Jeffrey Newnham, The Penguin Dictionary of International Relations, (London: Penguin Books, 1998), hlm. 231233. 54 Daniel Thurer, The “Failed State” and International Law, sebuah review internasional terhadap “Red Cross No. 836, 1999, hlm. 731-761”
hukum positif yang membahas mengenai keefektifan hukum humaniter internasional dan isu mengenai tanggung jawab negara serta individu dalam hukum internasional terhadap permasalahan yang terjadi di negara gagal. Terakhir, Thurer menyimpulkannya dalam penegakkan hukum internasional kontemporer dan prospeknya di masa depan.
Deskripsi Terhadap Fenomena Negara Gagal Dalam mendeskripsikan dan mendefinisikan fenomena negara gagal, Thurer melihat dalam tiga perspektif, yakni perspektif legal (hukum), perkembangan sejarah, serta perspektif sosiologi. Ketiga perspektif tersebut bisa dilihat dari tabel berikut: Tabel 1. Tiga Perspektif Thurer dalam Melihat Negara Gagal No. Perspektif 1.
Perspektif Legal (hukum)
2.
Perspektif Perkembangan Sejarah
3.
Perspektif Sosiologi
Definisi dan Deskripsi Mengenai Negara Gagal Fenomena negara gagal dilihat sebagai tidak adanya badan yang dapat merepresentasikan negara dalam melakukan sesuatu yang sifatnya legal, contohnya dalam membuat perjanjian dengan negara lain. Tiga faktor geopolitik: 1. Masih kuatnya pengaruh dua negara besar dalam Perang Dingin yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet terhadap rezim-rezim di suatu negara 2. Hancurnya struktur lokal suatu negara akibat dari kolonisasi di masa lalu. 3. Kemajuan modernisasi yang tidak diimbangi dengan proses nationbuilding. Melihat negara gagal sebagai akibat dari runtuhnya pemerintahan sehingga institusi-institusi yang ada dipergunakan oleh yang berkuasa untuk melakukan monopoli kekuasaan ke arah yang salah. Selanjutnya, kejatuhan pemerintahan tersebut mengarahkan masyarakat ke tindakan yang anarkis.
Analisa dari Sisi Hukum Positif Hukum positif disini maksudnya adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negaranegara dan atas kemauan mereka sendiri untuk mengatur hubungan diantara mereka. Hal ini diwujudkan dengan adanya perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional.55 Di dalam analisanya Thurer mencoba menjawab empat pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan negara gagal, yaitu (1) Mana yang harus dipilih diantara dua prinsip fundamental mengenai legitimasi dalam hukum internasional, apakah tetap menghormati kedaulatan suatu negara yang tengah dilanda konflik internal untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri ataukah dengan melakukan intervensi ke dalam permasalahan internal suatu negara untuk membantu menyelesaikan konflik tersebut?, (2) Apakah hukum internasional telah melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kasus yang dihadapi oleh negara gagal?, (3) Bagaimana mengimplementasikan Hukum Humaniter Internasional ke dalam prakteknya dalam kasus negara gagal yang notabene pemerintahnya telah lumpuh?, dan (4) Apa bentuk tanggung jawab negara dan individu terkait kesalahannya dalam hukum internasional? 55
DR. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global Edisi ke-2, (Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2005), hlm. 6
Pertanyaan pertama dijawab dengan mengatakan bahwa komunitas internasional akan secara aktif membantu proses penyelesaian konflik internal suatu negara, apabila konflik internal tersebut telah memberikan efek ke lingkungan eksternalnya. Kemudian diberikan contohnya lewat peran yang dilakukan oleh DK PBB dalam membantu menyelesaikan konflik internal di Rwanda, Somalia, dan Bosnia-Herzegovina, yaitu dalam bentuk pengiriman operasi pemeliharaan perdamaian (peace-keeping operations) dan penyaluran pembangunan infrastruktur. Mengenai perlindungan terhadap HAM dalam hukum internasional, disebutkan bahwa hukum internasional telah memberikan perlindungan terhadap pribadi manusia. Ini terlihat dari adanya Human Rights Law yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warga negaranya dalam keadaan damai, serta adanya Humanitarian Law (Hukum Humaniter) yang diterapkan dalam sengketa bersenjata untuk memberikan perlindungan HAM. Aturan mengenai perlindungan HAM di dalam kasus terjadinya konflik antara pemerintah dan bukan pemerintah suatu negara tertera di dalam Artikel 3 Konvensi Genewa pada 4 Agustus 194956 dan kemudian ditambahkan di Protokol II. Akan tetapi, karena syarat-syarat57 yang ditentukan oleh protokol II agar bisa diterapkan lebih rumit daripada artikel 3, maka dalam praktek penegakkan HAM di dalam konflik internal suatu negara (khususnya negara gagal), artikel 3 lebih sering untuk digunakan. Akan tetapi, ternyata dalam prakteknya Hukum Humaniter itu kurang bisa diaplikasikan ke dalam kasus negara gagal, karena alat yang bisa memaksa masyarakatnya untuk patuh terhadap hukum telah lumpuh. Oleh sebab itu, dalam mengimplementasikan Hukum Humaniter di dalam negara gagal perlu pendekatan terhadap budaya lokal untuk dapat mentransfer nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Hukum Humaniter ke dalam masyarakat yang tengah berkonflik. Mengenai masalah tanggung jawab, negara gagal tidak dapat dibebani tanggung jawab mengenai pelanggaran hukum internasional (contohnya HAM) yang terjadi di negaranya karena negara gagal tersebut tidak mempunyai pemerintah yang mempunyai kekuatan untuk menghentikan pelanggaran tersebut. Akan tetapi negara bisa saja dimintakan pertanggungjawabannya atas pelanggaran hukum apabila termasuk dalam salah satu dari tiga kualifikasi ini, yaitu jika orang atau sekelompok orang yang melakukan pelanggaran tersebut ternyata bertindak atas otoritas pemerintah, kelompok yang melakukan kudeta berhasil mendirikan pemerintahan atau negara baru, dan apabila pemerintahan negara tersebut telah berhasil menguasai situasi negaranya lagi, tapi tetap melakukan tindakan yang melanggar hukum internasional. Lebih lanjut, individu/kelompok yang bersalah terhadap konflik internal yang terjadi di suatu negara gagal tetap harus dihukum. Akan tetapi, karena pengadilan di negara gagal tersebut tidak dapat berfungsi, maka individu yang bersalah tersebut harus diadili oleh negara lain atau oleh organisasi internasional yang telah memiliki kekuatan, seperti PBB. Kini dunia internasional telah menempuh langkah maju dalam penegakkan hukum internasional, karena para diktator dan pelanggar hak-hak asasi manusia tidak dapat bersembunyi di belakang prinsip kedaulatan untuk melindungi diri mereka saat mereka
56
Aturan yang ada dalam Artikel 3 mengenai perlindungan HAM dalam konflik di internal negara, lihat Daniel Thurer, OpCit., hlm. 7 57 Mengenai syarat-syarat di dalam Protokol II ini, lihat GPH. Haryomataram, S.H., Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), (Jakarta: Bumi Nusantara Jaya, 1988), hlm. 23.
melakukan berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan.58 Hal ini ditandai dengan terbentuknya International Criminal Court (ICC) yang menjamin kenetralan. Namun, ICC hanya bisa digunakan dalam mengadili individu/kelompok yang bersalah tersebut jika suatu negara tidak mampu untuk melakukan pengadilan terhadap yang bersalah. Jadi di sini terlihat tarik-menarik antara kedaulatan negara dan usaha menegakkan hukum internasional secara universal.
Hal-hal yang Mempercepat Perubahan dalam Hukum Internasional dan Prospeknya ke Depan. Ada setidaknya empat tren perkembangan yang terlihat mencuat dalam tataran internasional sehubungan dengan masalah negara gagal, yaitu: Tabel 2. Tren Perkembangan Internasional Sejalan dengan Masalah Negara Gagal No .
1.
2.
3.
4.
Tren
Sentralitas negara Hadirnya pemerintahan transisi Keamanan manusia (Human Security)
Operasi humaniter
Penjelasan Peran negara sangat sentral dalam membangun tatanan dunia. Hal ini terlihat dari kasus yang dihadapi oleh negara gagal. Walaupun pemerintahan mereka telah hancur, akan tetapi kedaulatan yang mereka miliki tidak pernah dipertanyakan. Hadirnya pemerintahan transisi yang dibentuk oleh DK PBB telah mengarahkan penegakan hukum internasional ke arah yang lebih baik Dengan adanya keinginan untuk menegakkan HAM, maka intervensi ke dalam permasalahan internal suatu negara bisa dibenarkan apabila negara tersebut telah melanggar HAM warganya dan atau negara tersebut bukan merupakan negara yang demokratis. Banyaknya operasi humaniter seperti peace-keeping operations telah membuat hal ini dipolitisasi oleh kelompok-kelompok yang ingin mewujudkan kepentingannya di dalam situasi yang tengah kacau. Operasi pemeliharaan perdamaian yang seharusnya adalah operasi pemeliharaan perdamaian yang netral, bebas dari kepentingan politik, serta harus membantu dan melindungi korban-korban dari peperangan yang terjadi.
Sementara itu, dalam menilai prospek hukum internasional ke depannya, perlu diperhatikan bahwa kini sistem internasional sudah menjadi semakin interconnected. Lebih lanjut, dengan semakin meningkatnya tanggung jawab PBB, maka hal tersebut perlu menjadi dasar dari perubahan konstitusional dan struktural untuk menanggapi tren yang sedang berkembang dalam penjabaran hukum internasional terkait negara gagal. Mengenai perubahan konstitusional dan struktural ini, ada dua saran yang mengemuka, yaitu dengan membentuk institusi baru yang bertujuan untuk mengumpulkan 58
Francis Fukuyama, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, (Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat, Freedom Institute, dan PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 125126.
individu/kelompok dalam membentuk struktur negara baru, dalam kasus negara baru khususnya. Saran kedua berkenaan dengan keinginan untuk menambah kekuatan DK PBB agar dapat mengirimkan peace-keeping operations secara mudah di dalam situasi yang mendadak. Terakhir, mengenai pembangunan di negara gagal, ada dua model pembangunan yang bisa dilakukan, yakni: (1) Pembangunan suatu otoritas yang kuat (Leviathan) terlebih dahulu untuk mengatasi keadaan yang tengah kacau, segera setelah keadaan kembali normal maka langkah selanjutnya adalah dengan pembentukan demokrasi liberal, (2) Pembangunan suatu negara secara progresif melalui pembentukan struktur pemerintahan sendiri yang berdasarkan civil society. Hal yang perlu ditekankan dalam dua model pembangunan ini adalah bahwa kedua model pembangunan ini menegaskan ketidaksepakatannya dengan adanya konsep Leviathan, karena dikhawatirkan pemerintahan yang nantinya terbentuk hanya menjadi “boneka” dari otoritas tinggi tersebut. Artikel Thurer mengenai masalah negara gagal, banyak membicarakan mengenai masalah intervensi yang dilakukan oleh komunitas internasional, dalam hal ini PBB. Akan tetapi, apa yang sebenarnya dimaksud dengan operasi humaniter belum banyak dibahas oleh Thurer. Selain itu, apakah benar bahwa dengan adanya operasi humaniter, suatu permasalahan di negara gagal akan bisa diselesaikan ataukah malah memperburuk keadaan? Kemudian, apakah peran DK PBB sekarang telah berubah menjadi polisi dunia yang dapat memaksakan tegaknya hukum internasional? Dan bagaimanakah dengan masalah kedaulatan? Apakah kedaulatan negara sudah terkikis akibat dunia yang semakin kesalingtergantungan? Beberapa pertanyaan diatas akan coba dijawab oleh penulis dalam beberapa paragraf berikut. Operasi humaniter atau yang kemudian disebut sebagai operasi pemeliharaan perdamaian (peace-keeping operations) adalah sebuah konsep penegakan perdamaian internasional yang berkembang dari sistem keamanan bersama (collective security) yang awalnya dicetuskan dalam pidato Presiden AS Woodrow Wilson yang kemudian diimplementasikan dalam LBB dan PBB. Namun karena kegagalan sistem keamanan kolektif yang lebih disebabkan tidak adanya kesepakatan antara negara-negara besar di DK PBB59, membuat PBB pun harus menemukan cara lain untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di dunia internasional, yang pada akhirnya tercetuslah ide pembentukan operasi pemeliharaan perdamaian. Operasi pemeliharaan perdamaian sendiri lahir secara improvisasi dalam menghadapi krisis yang disebabkan interaksi militer dari dua anggota Dewan Keamanan di Terusan Suez dan keadaan luar biasa yang mengelilingi peristiwa tersebut. Ia dicetuskan oleh Sekretaris Jenderal PBB saat itu, yakni Dag Hammarskjold untuk dipakai dalam segala macam kegiatan operasional PBB untuk perdamaian dengan sistem yang selalu berkembang sesuai perkembangan keadaan dan yang secara praktis menggantikan sistem keamanan bersama piagam.60 Jadi operasi pemeliharaan perdamaian ini tidak memerlukan persetujuan DK PBB, tapi hanya dengan persetujuan negara yang tengah 59
Sistem keamanan kolektif harus menerapkan perumusan kesepakatan-kesepakatan khusus seperti yang tercantum dalam pasal 43 piagam PBB, yang harus menentukan cara dan modalitas pengadaan pasukanpasukan bersenjata dari negara-negara anggota untuk Dewan Keamanan bagi pelaksanaan tugasnya. Lihat DR. Boer Mauna, OpCit., hlm. 585. 60 Ibid., hlm. 599.
mengalami konflik, baik dengan negara lain maupun dalam konflik internal negara di negara tersebut. Operasi pemeliharaan perdamaian ini sebenarnya tidak tercantum dalam piagam PBB, ia lebih sering disebut sebagai isi dari Bab Enam Setengah Piagam PBB karena operasi ini melibatkan kehadiran militer di tengah wilayah konflik, bukan hanya sebagai pemberi rekomendasi bagi penyelesaian konflik. Akan tetapi, ia juga bukan aksi penggunaan militer secara besar-besaran. Setelah mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan operasi humaniter ini, pertanyaan berikutnya, yakni apakah dengan adanya operasi humaniter ini permasalahan negara gagal akan bisa terselesaikan ataukah malah memperburuk keadaan? Dalam menjawab pertanyaan ini, penulis akan menyampaikan bahwa keberhasilan operasi humaniter ini sebenarnya tergantung dari dukungan politik negara yang berkonflik tersebut. Sebagai contoh adalah pengiriman UNOSOM di Somalia yang berakhir pada Maret 1995, tidak bisa dikatakan berhasil karena pengiriman UNOSOM ini tidak mendapat dukungan dari kebanyakan faksi politik yang bertikai, sehingga sulit untuk dapat membentuk rekonsiliasi politik. Mengenai masalah peran DK PBB sebagai polisi dunia, penulis tidak sepakat karena sebenarnya peran DK PBB dalam menyelesaikan masalah di negara gagal ini hanyalah demi kepentingan nasional negara-negara besar tersebut. Sejarah pengiriman operasi pemeliharaan perdamaian ini membuktikan bahwa pasukan perdamaian hanya bisa digunakan dalam krisis yang tidak melibatkan secara langsung kepentingan negaranegara besar. Kita lihat dalam kasus agresi yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Irak, DK PBB kemudian tidak melakukan tindakan yang berarti untuk menyelesaikan masalah di Irak, padahal situasi internal Irak tengah kacau balau dengan adanya konflik antarsuku. Hal ini bisa dijelaskan karena AS, sebagai satu-satunya negara superpower saat ini, terlibat langsung dalam kasus perang Irak. Jadi sebenarnya, DK PBB tidak bisa disebut sebagai polisi dunia. Terkait masalah kedaulatan, penulis menilai bahwa dalam dunia yang saling ketergantungan ini, kedaulatan telah berubah dari konsep negara-bangsa Perjanjian Westphalia 1648. Oleh sebab itulah kemudian permasalahan yang terjadi di dalam internal negara bisa menjadi masalah internasional, dimana komunitas internasional dapat melakukan intervensi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kedaulatan pada dasarnya adalah suatu institusi yang berdasarkan norma-norma61, yang memberikan berbagai keuntungan bagi suatu negara, yakni kebebasan melakukan tindakan, melakukan peradilan dalam masalah internal, kebebasan dari campur tangan pihak luar, dan kesamaan kedudukan dengan negara lain.62 Akan tetapi dengan adanya berbagai perkembangan dalam dunia internasional seperti perkembangan ekonomi internasional yang semakin mempengaruhi ekonomi nasional, adanya perhatian lingkungan dari masyarakat internasional, komunikasi global yang semakin mempersempit dunia, serta perkembangan isu HAM telah memberikan tantangan terhadap kedaulatan suatu negara.
61
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 340. 62 Daniel S. Papp, Contemporary International Relations: Framework for Understanding, (New York: Macmillan, 1997), hlm. 434.
Dalam menghadapi berbagai tantangan ini, konsep kedaulatan memang tidak bisa lagi seperti kedaulatan yang diungkapkan Jean Bodin dulu, dimana segala urusan yang menyangkut internal negara merupakan urusan pemerintahan negara tersebut, tapi penulis percaya bahwa negara pun telah meningkatkan kapasitas mereka dalam menjaga kedaulatan negara tersebut. Dalam kasus negara gagal misalnya, walaupun intervensi asing telah masuk ke dalam negara mereka, pemerintah negara gagal tersebut tidak serta merta menyerahkan masalah sepenuhnya kepada pihak asing, tapi mereka berusaha untuk turut menyelesaikan konflik internal mereka. Jika konsep kedaulatan negara gagal tersebut dilepaskan, maka hal itu akan menyuburkan kembali kolonialisme oleh negaranegara besar. Oleh sebab itu, dalam pembangunan negara gagal hal yang perlu dicermati setelah berhasil membantu melalui intervensi humaniter, perlu ditekankan kembali prinsip menentukan nasib sendiri. Hak menentukan nasib sendiri atau self determination mengacu kepada konsep non-self governing territories sebagaimana diatur dalam Bab XI Piagam PBB (Declaration Regarding Non-Self-Governing Territories). Semula pengertian non-self governing territories ini masih belum jelas karena pasal 73 Piagam PBB hanya menyatakan bahwa: “wilayah yang orang-orangnya belum mencapai pemerintahan sendiri secara penuh.”63 Non-self governing territories ini terkait erat dengan konsep selanjutnya, yaitu dekolonialisasi, yang memunculkan status suatu wilayah sebagai non-self governing territories. Resolusi-resolusi Majelis Umum PBB yang sehubungan dengan dekolonisasi adalah Resolusi 1514 (XV) tahun 1960, Resolusi 1541 (XV) tahun 1960 dan Resolusi 2625 tahun 1970. Resolusi Nomor 1514 (XV) tahun 1960 merupakan resolusi pertama yang mendeklarasikan kemerdekaan bagi wilayah-wilayah koloni. Resolusi 1541 (XV) 1960 menegaskan definisi dari non-self governing territories. Resolusi tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud sebagai non-self governing territories adalah “wilayah yang secara geografis terpisah, secara etnik dan kultur berbeda dari negara yang mengelola administrasinya, dan berada dalam posisi subordinasi dengan negara induknya”. Pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri ini pun lebih lanjut perlu beberapa penekanan, yaitu: Pertama, bahwa pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri berlaku bagi populasi di suatu wilayah koloni secara keseluruhannya secara bersamaan, dalam arti keberagaman populasi di suatu wilayah koloni tidak berarti setiap kelompok etnik ini dapat melaksanakan hak menentukan nasib sendiri karena dapat berakibat pada disintegrasi wilayah di suatu negara ini. Secara singkat, pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri tidak dapat dipecah-pecah. Hal ini menegaskan Resolusi 1514 Declaration on the granting of independence to colonial countries and peoples tahun 1960 butir keenam. Kedua, bahwa hak menentukan nasib sendiri berakhir setelah sekali digunakan. Atau dengan kata lain, ketika suatu bangsa memproklamasikan kemerdekaannya, saat itu ia sudah menggunakan hak menentukan nasib sendiri, dan karenanya hak ini sudah berakhir dan tidak dapat digunakan lagi. Ketiga, bahwa pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri itu, tetap harus menjaga dan menghormati batas-batas wilayah yang telah ada sebelumnya. Hal ini disebut sebagai 63
http://gentoo.net/engboard.mv?parm_func=showmsg+parm_msgnum=1014868 diakses tanggal 24 Oktober 2011 pukul 13.45 WIB
doktrin uti possidetis juris dalam hukum internasional, dimana “batas-batas wilayah suatu negara baru mengambil batas-batas wilayah kolonial yang telah ada.” Chamber of International Court of Justice dalam Case Concerning the Frontier Dispute mengatakan bahwa prinsip uti possidetis ini sudah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional. Apabila terjadi, dua bekas negara kolonial atau suatu wilayah yang akan melepaskan diri dari negara induknya (secession), dan ingin memodifikasi perbatasan teritorial, maka harus dilaksanakan referendum untuk mengetahui keinginan populasi di wilayah terkait, dan mereka tidak dapat memutuskan sendiri modifikasi perbatasan wilayah tersebut. Dengan doktrin uti possidetis ini, memungkinkan untuk mengurangi potensi konflik antarnegara dan memungkinkan konsolidasi ke dalam antara kelompok-kelompok di wilayah ini. Doktrin uti possidetis dimaksudkan untuk meniadakan sengketa teritorial dengan menerima warisan batas teritorial negara baru, yang telah ditetapkan penguasa kolonialnya pada saat kemerdekaan dan menetapkannya sebagai batas-batas negaranya yang diakui dunia internasional. Bagaimana seandainya ada tuntutan dari suatu kelompok etnik yang berdiam di suatu wilayah untuk merdeka sebagai satu negara dan terlepas dari negara induknya? Hal ini bukan dikategorikan sebagai hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination), melainkan upaya pemisahan diri (secession). Secession lebih merupakan masalah fakta daripada masalah hukum. Ia berada dalam “grey area”, dalam arti meskipun hukum internasional menjunjung prinsip integritas teritorial suatu negara, namun dapat terjadi upaya pemisahan diri berhasil bila memiliki cukup kekuatan politik, diplomatik dan militer atau sebaliknya gagal. Namun, perlu diingat bahwa prinsip integritas teritorial dilindungi hukum internasional, sehingga pemerintah negara induk dapat mengambil tindakan politik dan militer ketika upaya negosiasi dengan pihak separatis tidak berhasil. Upaya pemisahan diri dari negara induk merupakan murni urusan dalam negeri suatu negara dan pihak-pihak luar dilarang melakukan intervensi. Untuk menguji keberhasilan upaya secession, harus terpenuhi tiga kriteria mengenai syarat berdirinya negara, yaitu wilayah, penduduk, pemerintah yang efektif. Dengan terbentuknya kembali syarat-syarat ini, tentunya status negara gagal pun akan terlepas secara sendirinya. Setelah menganalisa pembahasan Thurer diatas, penulis melihat ada beberapa hal yang perlu dikritik dari argumen yang dibangun Thurer di awal tulisan ini. Pertama yaitu bahwa Thurer terlalu percaya akan keberhasilan organisasi internasional, seperti PBB, dalam menegakkan hukum internasional, padahal sebenarnya organisasi dan hukum internasional itu hanya digerakkan oleh negara besar demi kepentingannya saja. Jika itu menguntungkan kepentingan mereka, maka hukum internasional pun ditaati, begitu pun sebaliknya. Berkenaan dengan pengiriman operasi humaniter untuk membantu menyelesaikan masalah internal di negara gagal serta untuk melindungi HAM di negara gagal pun selalu terkait dengan kepentingan negara-negara besar. Dalam hal ini penulis setuju dengan pandangan realis dalam menilai intervensi humaniter ini, yakni (1) Sulit untuk memastikan bahwa intervensi kemanusiaan adalah murni karena alasan kemanusiaan, sebab segala tindakan negara selalu didorong untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya, (2) Suatu negara tidak memiliki kewajiban moral untuk turut campur dalam konflik internal negara lain, (3) Intervensi humaniter disalahgunakan oleh negara yang kuat sebagai senjata untuk memaksa negara yang lemah menyesuaikan kebijakannya dengan kepentingan nasional negara yang kuat itu, (4)
Alasan bahwa intervensi humaniter hanya dilakukan secara selektif akan menyebabkan terjadinya penerapan standar ganda dan inkonsistensi, dan (5) Sampai saat ini belum tercapai kesepakatan tentang pengertian HAM.64 Dalam beberapa contoh kasus juga terlihat bahwasanya tindakan intervensi humaniter sering kali dipolitisasi. Ini kemudian diperkuat dengan adanya bukti bahwa operasi humaniter yang berhasil adalah yang memperoleh dukungan dari negara besar. Jadi sebenarnya, pengiriman intervensi humaniter ke negara gagal pun hanyalah merupakan cara dari negara besar untuk merealisasikan kepentingannya. Sebagai contoh adalah pengiriman pasukan humaniter di Rwanda, para pasukan PBB yang dipimpin oleh Prancis tersebut tidak berusaha menghentikan konflik yang terjadi antara suku Hutu dan Tutsi, tetapi mereka hanya melindungi dan menyelamatkan orang kulit putih yang kebanyakan berkewarganegaraan Prancis untuk keluar dari Rwanda. Kritik kedua yang diberikan oleh penulis adalah seputar pembenaraan intervensi humaniter yang masih bias Barat. Hal ini terlihat dari penjelasan Thurer bahwa intervensi bisa dibenarkan di dalam kacamata komunitas internasional apabila ada pelanggaran HAM atau ketidak adaan pemerintah yang demokratis.65 Pernyataan Thurer tersebut bisa berarti bahwa di dalam pemerintahan yang tidak demokratis, akan ada sejumlah pelanggaran HAM kepada warganya. Padahal kita lihat di negara yang masih menerapkan sistem kerajaan seperti di Arab Saudi, HAM warganya masih dilindungi. Bahkan di Thailand, pada saat terjadi kudeta tidak berdarah oleh militernya, tidak terjadi pelanggaran HAM yang serius kepada warganya. Lebih lanjut lagi, mengacu pada pernyataan realis di atas, yakni bahwa saat ini masih belum ada kesepakatan tentang HAM, interpretasi HAM masih tergantung pada masyarakat, waktu, dan kepentingan nasional masing-masing negara.66 Keharusan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis oleh negara Barat kepada negara lain sama saja dengan melanggar konsep HAM itu sendiri. Kritikan terakhir penulis adalah bahwa pembenaran intervensi humaniter ke negara gagal pada akhirnya akan menyuburkan kembali praktek kolonialisme di dunia ini. Apabila suatu intervensi humaniter memang diperlukan untuk membantu menyelesaikan permasalahan di negara gagal, maka harus ada komitmen dari pasukan pemeliharaan perdamaian itu untuk segera keluar dari negara konflik tersebut. Selain itu juga pembenaran terhadap intervensi humaniter sebaiknya harus diputuskan berdasarkan tiaptiap kasus yang dihadapi, dengan melihat kepada motif, tujuan, dan konsekuensinya.67 Sebagai kesimpulan, penulis melihat bahwa argumen untuk meletakkan HAM di atas kedaulatan negara memang merupakan pemikiran yang baik, akan tetapi perlu disadari bahwa jangan sampai dengan peletakkan HAM diatas kedaulatan tersebut membuat negara-negara besar dapat melakukan pembenaran untuk mengintervensi negara lemah atas nama HAM untuk kemudian digunakan dalam menguasai wilayah negara gagal tersebut. Seperti yang telah dijelaskan oleh Thurer sendiri di dalam mendeskripsikan dan mendefinisikan negara gagal di atas, salah satu penyebab ketidakmampuan negara gagal 64
DR. Anak Agung B.P dan DR. Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 155-156. 65 Daniel Thurer, OpCit., hlm. 12. 66 DR. Anak Agung B.P dan DR. Yanyan Mochamad Yani, Ibid., hlm. 156. 67 Joseph S. Nye Jr., Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History 2nd Edition, (United States: Longman, 1997), hlm. 140.
dalam menjaga ketertiban domestiknya adalah masih adanya ketergantungan terhadap dunia luar. Terakhir, dalam hal model pembangunan negara gagal, penulis sepakat dalam membentuk struktur pemerintahan yang berlandaskan civil society. Dengan adanya identitas budaya-budaya lokal yang dibangun secara kuat, maka masalah yang terjadi di negara gagal akan bisa diminimalisir.