BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala negara baik pada pengadilan nasional maupun pengadilan internasional memiliki kendalanya masing-masing. Kendala-kendala penegakan hukum pada pengadilan nasional biasanya lebih kepada praktek-praktek pengadilan sebelumnya serta aturan-aturan hukum nasional yang berlaku dalam negara tersebut. Sedangkan pada pengadilan internasional
lebih
kepada
aturan-aturan
yang
saling
membatasi
serta
pertimbangan dan keputusan hakim terhadap suatu kasus. Dalam kasus Augusto Pinochet pada House of Lord Inggris, meski telah di tangkap berdasarkan yurisdiksi universal, Pinochet tetap mengklaim bahwa dirinya memiliki imunitas di bawah hukum kebiasaan internasional. Penemuanpenemuan hukum baru yang akhirnya membuat Pinochet dapat diadili dan diputuskan untuk di ekstradisi, meski pada penerapannya putusan tersebut tidak dilaksanakan berhubungan dengan alasan kesehatan yang dia alami. Kasus Pinochet pada House of Lord Inggris merupakan kasus yang berperan penting dalam perkembangan hukum pidana internasional, karena kasus Pinochet merupakan preseden yang hampir selalu di rujuk dan dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan pada pengadilan nasional dan
177
pengadilan internasional, khususnya jika berhubungan dengan imunitas kepala negara. Lain halnya dengan kasus Robert Mugabe pada U.S District Court. Meski sejak tahun 1976 Amerika Serikat telah mengudangkan Foreign Soverein Immunity Act (FSIA) yang di dalamnya jelas mengatur mengenai batasan imunitas negara, U.S Federal District Court cenderung menggunakan “suggestion of immunity” dari pemerintahnya sebagai dasar pertimbangan. Putusan bahwa Mugabe memiliki imunitas dibawah hukum internasional yang berarti pengadilan tersebut tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili dirinya, mengakibatkan peradilan kasus ini tidak sampai pada pembahasan mengenai kejahatan internasional yang dituduhkan padanya yang seperti pada kasus Pinochet, mungkin dapat membatasi imunitas yang dimiliki olenya. Selanjutnya pada kasus Mahinda Rajapaksa di Melbourne Magistrates’ Court Australia, hukum di Australia memberikan kesempatan kepada warganya untuk melakukan penuntutan atas dasar yurisdiksi universal. Namun berdasarkan Pasal 268.121 (1) Criminal Code Act 1995, proses penuntutan “tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tertulis dari Attorney-General”. Disini AttorneyGeneral memiliki peran yang penting dalam penuntutan pelaku kejahatan internasional, karena tanpa persetujuan tertulis yang dikeluarkan olehnya penuntutan tidak dapat dilaksanakan. Pada kasus Rajapaksa, Attorney-General menyatakan bahwa penuntutan terhadap tidak dapat dilanjutkan karena hal tersebut akan bertentangan dengan hukum Australia dan akan melanggar kewajiban Australia dibawah hukum
178
internasional. Kasus-kasus pada pengadilan Australia sebelumnya dimana pengadilan tidak pernah melakukan penuntutan ataupun persidangan terhadap seorang kepala negara menjadi pertimbangan Attorney-General. Jika pada kasus Pinochet para hakim melaksanakan pengadilan sehingga menemukan penemuan hukum baru yang menyatakan bahwa imunitas ratione materiae bisa dibatasi apabila tertuduh melakukan pelanggaran yang masuk kategori ius cogens, kasus Rajapaksa membuktikan bahwa yurisdiksi universal saja tidak cukup bagi pengadilan nasional untuk mengadili seorang kepala negara yang memiliki imunitas di bawah hukum internasional. Tidak hanya pada pengadilan nasional, penerapan imunitas kepala negara juga menjadi kendala dalam pengadilan internasional. Meski hukum internasional telah mengatur bahwa seorang kepala negara dapat diadili oleh pengadilan internasional, khususnya pengadilan pidana internasional yang dalam aturannya tidak mengenal relevasi jabatan resmi serta imunitas yang dimiliki berdasarkan jabatan tersebut, namun pada beberapa kasus di pengadilan internasional, penegakan hukum terhadap seorang kepala negara atau mantan kepala negara menghadapi kendalanya masing-masing. Pada kasus Milosevic di ICTY, permasalahan utama yang dialami pengadilan tersebut ialah persoalan yurisdiksi yang dipertanyakan oleh para pihak yang terkait, baik tertuduh bahkan pemerintah Yugoslavia itu sendiri. Keabsahan pembentukan pengadilan tersebut dipertanyakan karena hanyalah merupakan pengadilan bentukan dari resolusi Dewan Keamanan. Pembuktian akan status ICTY sebagai pengadilan bentukan PBB berdasarkan Kekuatan Bab VII Piagam
179
PBB akhirnya menjadi dasar hukum dalam menjalankan proses peradilan. Pembelaan mengenai imunitas mantan kepala negara yang dimiliki Milosevic, ditolak secara tegas oleh ICTY. Meski belum bisa dikatakan berhasil sepenuhnya dalam mengadili kepala negara atau mantan kepala negara, namun ICTY telah membuktikan bahwa relevansi jabatan dan imunitas yang dimiliki berdasarkan jabatan tersebut tidak berlaku pada pengadilan pidana internasional Selanjutnya
pada
kasus
Yerodia
Ndombasi
pada
Mahkamah
Internasional, Mahkamah memutuskan bahwa statusnya sebagai Menteri Luar Negeri Kongo memberikannya imunitas yang membuat pengadilan Belgia tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili dirinya. Hal tersebut menunjukan bahwa, yurisdiksi universal tidak cukup untuk mengadili seorang pelaku kejahatan internasional, karena pertimbangan para hakim dalam Mahkamah tersebut merupakan faktor utama dalam pengambilan keputusan. Putusan Mahkamah Internasional ini menjadi pukulan bagi pengadilan pidana internasional karena putusannya jelas bertentangan dengan aturan dalam penegakan hukum pidana internasional. Putusan kasus Yerodia (Arrest Warrant Case) ini kemudian sering digunakan dalam pembelaan kasus-kasus yang berhubungan dengan imunitas yang dimiliki oleh kepala negara ataupun state official. Contoh terakhir ialah kasus Omar Al-Basir pada ICC. Meskipun ICC merupakan mahkamah pidana internasional yang dalam aturannya jelas tidak mengenal adanya relevansi jabatan resmi serta imunitas yang dimiliki karena jabatan tersebut, tapi ternyata aturan tersebut di batasi oleh aturan lain dalam
180
Statuta Roma yang menyatakan bahwa yurisdiksi ICC terbatas pada anggota ICC maupun kepada mereka yang telah meratifikasi Statuta Roma. Peraturan yang saling membatasi dalam Statuta Roma tersebut berdampak besar bagi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh ICC. Pada saat dikeluarkannya surat penangkapan terhadap Al-Bashir oleh ICC, status Al-Bashir masih merupakan kepala negara Sudan. Sudan yang merasa bukan anggota ICC serta tidak meratifikasi Statuta Roma menolak bekerjasama dengan ICC untuk menangkap serta mengadili Al-Bashir. Selain itu Sudan dalam hal ini tidak mau melepaskan imunitas yang dimiliki oleh Al-Bashir sehingga ICC maupun negara lain yang ingin memberlakukan yurisdiksi universal untuk membantu ICC dalam menangkap dan menyerahkan Al-Bashir tidak bisa melaksanakan penangkapan maupun peradilan terhadap dirinya. Hal tersebut membuktikan bahwa ICC sebagai Mahkamah Pidana Internasional yang permanen dan memiliki kekuatan hukum tetap, ternyata masih memiliki kendala dalam penegakan hukum terhadap seorang kepala negara. Jadi meskipun telah ada peraturan yang jelas baik dari hukum internasional
maupun
hukum
pidana
internasional,
penegakan
pidana
internasional terhadap imunitas kepala negara baik dalam pengadilan nasional maupun pengadilan internasional masih bisa dikatakan belum berhasil sepenuhya.
181
2. Imunitas Kepala Negara pada Pengadilan Hybrid Pengadilan hybrid adalah pengadilan yang merupakan campuran dari hukum internasional dan hukum internasional yang pada awalnya dibentuk di Cambodia sebagai upaya dalam mengadili pelaku pelanggaran ham yang terjadi di Cambodia pada saat itu. Berdasarkan namanya, karakteristik pengadilan hybrid adalah sebagai berikut: 1. Merupakan perpaduan antara hukum internasional dan hukum nasional negara yang berkepentingan 2. Pelaksanaan pengadilan biasanya di negara tempat terjadinya kejahatan yang akan disidangkan 3. Pengadilan hybrid dibentuk secara spesifik untuk mengadili beberapa orang pelaku yang diduga melakukan kejahatan serius seperti kejahatan perang, genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan 4. Hakim pengadilan hybrid merupakan hakim gabungan dari pengadilan internasional dan hakim nasional negara yang bersangkutan 5. Hanya merupakan pengadilan Ad-Hoc karena fokusnya hanya untuk mengadili pelaku kejahatan yang telah terjadi di suatu negara/lokasi tertentu. Pada perkembangannya pengadilan hybrid terbentuk karena ada unwilling dan unable baik dari negara-negara maupun masyarakat internasional untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Pertimbangan lain dibentuknya pengadilan hybrid adalah untuk mempermudah pemeriksaan bukti serta para
182
saksi, juga agar masyarakat setempat dapat memahami kejahatan yang terjadi sekaligus
memungkinkan
terjadinya
efek
pencegahan,
rekonsiliasi,
dan
pembalasan yang layak. Status pengadilan hybrid yang merupakan pengadilan pengadilan campuran merupakan kelemahan dari pengadilan ini, karena mengakibatkannya tidak memiliki kekuasaan memaksa negara-negara lain untuk bekerja sama menangkap atau mengekstardisi pelaku kejahatan internasional serta pengeluaran biaya yang cukup besar dalam pelaksanaan pengadilan. Selain itu, masalah yurisdiksi atau keabsahan dari pengadilan hybrid juga selalu menjadi masalah utama yang dibahas ketika dimulainya pengadilan. Status suatu pengadilan hybrid apakah merupakan pengadilan nasional atau pengadilan internasional menjadi masalah ketika diperhadapkan dengan kasus yang melibatkan kepala negara ataupun mantan kepala negara. Pengadilan hybrid harus dapat membuktikan bahwa pengadilan tersebut merupakan pengadilan internasional agar dapat melaksanakan yurisdiksinya untuk mengadili kepala negara atau mantan kepala negara. Contoh dari masalah tersebut yang terjadi pada kasus Charles Taylor pada Special Court of Sierra Leone (“SCSL”). Isu utama pada sidang awal kasus ini ialah yurisdiksi SCSL terhadap Charles Taylor. Pembela Taylor menyatakan bahwa SCSL merupakan pengadilan nasional karena tidak memiliki kekuatan Bab VII Piagam PBB dan hanya dibentuk berdasarkan perjanjian antara PBB dan Pemerintah Sierra Leone, dan sebagai pengadilan nasional SCSL tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili Charles Taylor. Pembela menambahkan bahwa Liberia bukanlah negara anggota
183
perjanjian tersebut, sehingga tidak wajib untuk mengikuti ketentuan yang diatur dalam Statuta SCSL, serta SCSL harus menghormati imunitas dari mantan kepala negara yang bukan anggotanya. Dengan menunjukan fakta-fakta hukum yang ada serta peraturan-peraturan yang terkait akhirnya SCSL dapat membuktikan bahwa SCSL merupakan pengadilan internasional dan memiliki yurisdiksi untuk mengadili Charles Taylor. Dalam hal imunitas yang dimiliki Charles Taylor baik itu imunitas ratione personae ketika dia masih menjabat dan imunitas ratione materiae ketika statusnya telah menjadi mantan kepala negara Liberia, kedua imunitas tersebut tidak berlaku dalam pengadilan pidana internasional. Ide pokok dalam suatu Pengadilan pidana Internasional bukanlah mengenai siapa yang diadili atau akan diadili, namun lebih kepada jenis kejahatan apa yang terbukti dilakukan oleh si tertuduh. Kasus Taylor menunjukan bahwa, status dari pengadilan hybrid apakah merupakan pengadilan nasional atau pengadilan internasional sangat berpengaruh dalam hal menentukan yurisdiksi yang dimiliki pengadilan tersebut untuk mengadili kepala negara atau mantan kepala negara. Imunitas kepala negara yang menjadi kendala dalam beberapa pengadilan hybrid sebelumnya menjadi masalah yang muda setelah suatu pengadilan hybrid menyatakan bahwa pengadilan tersebut merupakan pengadilan internasional dan memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut. Keberhasilan SCSL dalam mengadili dan memberikan hukuman kepada Charles Taylor menunjukan bahwa pengadilan hybrid telah berhasil dalam
184
prakteknya sebagai sistem penegakan hukum pidana internasional yang salah tujuannya adalah mengakhiri impunitas. Oleh karenanya pengadilan hybrid menjadi suatu jalan keluar terhadap penegakan pidana internasional yang melibatkan seorang kepala negara, mantan kepala negara ataupun high state official. Putusan hakim dalam kasus Charles Taylor pada Special Court for Sierra Leone ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim pada pengadilan-pengadilan hybrid yang akan datang, khususnya dalam penegakan hukum pidana internasional bagi kepala-kepala negara Afrika yang dikenal kebal akan tuntutan hukum.
B. Saran 1.
Kepada PBB ataupun Mahkamah Pidana Internasional untuk membentuk suatu instrumen hukum yang khusus mengatur mengenai pembatasan akan imunitas yang dimiliki oleh kepala negara atau state official serta instrumen yang khusus mengatur mengenai ius cogens, apa itu ius cogens serta kejahatan-kejahatan apa yang masuk dalam kriteria ius cogens ini. Menurut saya bila telah dibentuk aturan hukum yang jelas mengenai hal-hal tersebut, nantinya tidak akan ada lagi pengecualian dalam mengadili seorang seorang kepala negara atau mantan kepala negara baik di pengadilan nasional, pengadilan internasional maupun di pengadilan hybrid.
2.
Dan khusus untuk pengadilan hybrid, penentuan status pengadilan tersebut sejak awal sebagai pengadilan internasional walaupun pengadilan tersebut merupakan campuran dengan pengadilan nasional. Penentuan status
185
pengadilan hybrid ini akan sangat berguna dalam jalannya peradilan khususnya dalam menetapkan yurisdiksi pengadilan yang melibatkan seorang kepala negara, mantan kepala negara ataupun high state official.
186