REJIM HUKUM LANDAS KONTINEN DAN PERKEMBANGANNYA DALAM HUKUM LAUT INTERNASIONAL
ROSMI HASIBUAN, SH.MH Fakultas Hukum Jurusan Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara
ABSTRAKSI
Ditemukannya Sumber kekayaan alam mineral minyak dan gas bumi di “continental shelf” yang merupakan kelanjutan wilayah darata Amerika Serikat, telah mendorong Pemerintah Amerika Serikat untuk mengeluarkan Deklarasi Truman 1945 tentang “continental shelf”. Di “continental shelf” yang berada di luar dan berbatasan laut teritorial, Amerika Serikat mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam mineral minyak dan gas bumi. Dengan diterimanya konsepsi “continental shelf” dalam Konvensi Hukum Laut 1958, maka lembaga “continental shelf” telah menjadi bagian dari Hukum Laut Internasional. Ditentukannya kriteria “technical exploitability” telah menimbulkan ketidak jelasan batas terluar landas kontinen tergantung dari kemampuan teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaam alamnya. Istilah landas kontinen untuk sebutan “continental shelf” dalam arti hukum, ternya dalam perkembangannya dimuat kembali dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam konvensi ini ditentukan batas terluar landas kontinen, yaitu 200 mil diukur dari garis pangkal laut teritorial sebagai batas minimum, sedangkan untuk batas maksimum yaitu 350 mil atau kedalaman 100 mil dari kedalaman 2500 meter. Negara pantai mempunyai hak dan kewajiban dalam menjalankan hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam di landas kontinen. Selain itu juga negara pantai berkewajiban untuk menghormati hak-hak negara lain dalam menjalankan kebebasan di landas kontinen dan perairan di atas landas kontinen dalam bidang pelayaran. Pemasangan pipa dan kabel bawah laut serta penelitian ilmiah kelautan sesuai dengan status perairan tersebut sebagai laut lepas.
2 PENDAHULUAN
Dalam sejarah, laut terbukti mempunyai berbagai fungsi, antara lain sebagai sumber makanan bagi ummat manusia, sebagai jalan raya perdagangan, sebagai sarana penaklukan, sebagai tempat pertempuran, sebagai tempat rekreasi atau bersenang-senang dan sebagai alat pemisah dan pemersatu bangsa. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan di abad dua puluh ini, maka fungsi laut telah meningkat dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian terutama mineral, minyak dan gas bumi serta dimungkinkannya usaha-usaha untuk mengambil kekayaan laut tersebut, baik kekayaan di airnya maupun di dasar laut dan tanah dibawah dasar laut. Pembagian laut atas dua bagian, yaitu laut teritorial yang berasa di bawah kedaulatan Negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas berlaku cukup lama dan mendapat perumusan dalam Konvensi Den Haag 1930. Pembagian ini dianggap sebagai rekaman dari Hukum Kebiasaan pada waktu itu. Tetapi keadaan berubah sesudah Perang Dunia ke II. Diantara faktor penyebab perubahan itu, yaitu bertambah bergantungnya masyarakat bangsabangsa pada laut sebagai sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati seperti mineral minyak dan gas bumi, serta kemungkinan pengambil didukung dengan kemajuan teknologi di bidang kelautan. Alasan demikian itu telah mendorong terjadinya tindakan sepihak dari negara-negara untuk melindungi, memelihara dan mencadangkan sumber kekayaan alamnya tidak saja di laut teritorialnya, tetapi juga menghendaki hak berdaulat yang lebih luas lagi, yaitu di laut lepas yang berada di luar yurisdiksinya dan berbatasan dengan laut teritorialnya. Tindakan sepihak negara-negara ini mengakibatkan perubahan-perubahan dalam ketentuan hukum laut yang terbentuk sebelum perang dan merupakan kejadian atau peristiwa yang mempunyai pengaruh yang jauh dan mendalam serta merupakan kejadian yang cukup penting dalam sejarah perkembangan hukum laut internasional. Salah satu di antara peristiwa penting yang mempunyai pengaruh yang jauh dan mendalam terhadap perkembangan hukum laut masa kini adalah tindakan sepihak Amerika Serikat yang dinyatakan dalam Proklamasi Truman 1945 tentang “Continental Shelf” dan Perikanan. Kedua Proklamasi Truman ini merupakan tindakan sepihak Amerika Serikat dalam perluasan yurisdiksi atas laut lepas yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk tujuan pemanfaatan kekayaan alamnya.
2002 digitized by USU digital library
2
3 BAB II LATAR BELAKANG LAHIRNYA KONSEPSI “CONTINENTAL SHELF” DALAM HUKUM LAUT INTERNASIONAL A.
Topografi Laut.
Sebelum membahas latar belakang lahirnya konsepsi “continental shelf”, terlebih dahulu perlu mengetahui konfigurasi dasar laut secara geologis, karena pembahasan lebih lanjut mengenai lahirnya konsepsi “continental shelf” menyangkut mengenai konfigurasi dasar laut. Topografi laut atau gambaran laut secara geologis terdiri dari : 1. “the continental margin”, dasar laut yang berbatasan dengan dunia atau “continent”, yang mencakup “continental shelf”, “continental slope” dan “continental rise”. 2. “Abyssal plains” atau dasar laut dalam yang tidak lagi merupakan bagian dari “continent”, meliputi kawasan di luar “continental margin”. Pada bagian-bagian tertentu didasar laut dalam ini terdapat lembahlembah yang dalam dan curam (“trennch”) yang pada bagian lainnya dari dasar laut dalam ini terdapat dasar laut yang bergunung-gunung atau “mountain ranges” (O’Connell, The Int.., 1982). Dari kedua konfigurasi dasar laut tersebut yang ada kaitannya dengan tulisan ini adalah “the continental margin”, yang meliputi “continental shelf”, “continental slope” dan “continental rise”. Dengan istilah-istilah ini dapat diartikan sebagai berikut (R.R. Churchil, The Law, 108) : 1. “continental shelf” (dataran kontinen), yaitu wilayah dasar laut yang berbatasan dengan benua atau pulau-pulau yang turun kebawah secara bertahap yang diukur dari garis air rendah sampai kedalaman mencapai 130 meter. 2. “continental slope”, yaitu wilayah dasar laut yang berbatasan dengan “continental shelf” yang mempunyai kemiringan yang lebih curam, yang menurun sampai sekitar kedalaman 1500-3500 meter. 3. “continental rise”, yaitu bagian dasar laut yang berbatasan dengan “continental slope” menurun dari kedalaman 3500 meter sampai 5500 meter. Batasan ini mempunyai persamaan dengan batasan yang dikemukakan oleh pakar Hukum Laut Internasional di Indonesia yaitu Mochtar Kusumaatmadja dalam mengartikan “continental margin”, yaitu bagian benua di bawah laut yang berbatasan dengan dasar samudera dalam. Tetapi dalam memberikan batasan “continental shelf” (dataran kontinen) beliau menunjuk hingga kedalaman 200 meter (Mochtar, Hukum, 1978, 322). Menurut penulis meskipun batas kedalaman “continental shelf” yang dikemukakan oleh Mocthar Kusumaatmadja hingga kedalaman 200 meter, mengingat “continental shelf’ (dataran kontinen) di permukaan bumi ini tidak mempunyai batas kedalaman yang sama maka batas hingga 200 meter adalah batas kedalaman rata-rata, dimana kedalaman 130 seperti disebut diatas termasuk juga batas kedalaman hingga 200 meter. Demikian juga dengan “continental slope” dan “continental rise”, meskipun beliau tidak menyebutkan batas kedalamannya, tetapi dinyatakan bahwa “continental margin” (“continental shelf, continental slope dan continental rise”)
2002 digitized by USU digital library
3
4 merupakan bagian-bagian dunia di bawah air (laut) yang berbatasan dengan dasar samudera dalam (Mochtar, Hukum .., 322). B.
Proklamasi Presiden Truman 1945 tentang “Continental Shelf”. Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman mengeluarkan pernyataan tentang klaim Pemerintah Amerika Serikat atas “continental shelf” yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat. Dari penjelasan yang dikeluarkan bersama dengan Proklamasi Truman tersebut yang mendorong diadakannya proklamasi tersebut adalah kebutuhan untuk mencadangkan kekayaan mineral terutama minyak bumi untuk kepentingan Amerika Serikat dan mengatur exploitasi dengan sebaik-baiknya. Dari hasil penelitian dapat diperoleh keyakinan, bahwa daerah seluas 760.000 mil persegi di “continental shelf” atau daerah di bawah permukaan laut, yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat mengandung banyak cadangan-cadangan minyak bumi dan mineral lainnya dan didukung oleh teknik pengeboran lepas pantai yang memungkinkan pengambilan atau penggalian sumber-sumber kekayaan alam tersebut. Adapun landasan teori yang dikemukakan Amerika Serikat untuk mengambil tindakan tersebut, karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah (“natural prolongation”) daripada wilayah daratan Amerika Serikat dan bagaimanapun usaha-usaha untuk mengolah kekayaan yang terkandung di dalamnya memerlukan kerjasama dan perlindungan dari pantai, dan berada di bawah yurisdiksi dan kontrolnya. Tindakan Amerika Serikat ini tidak mengganggu kebebasan pelayaran di laut lepas yang berada di atas continental shelf. Dan menegaskan bahwa kedaulatan atau yurisdiksi penuh tetap terbatas pada laut teritorial 3 mil. (lihat, Mochtar, Bunga Rampai .., hal. 109-110). Dengan memperhatikan konfigurasi dasar laut sebagaimana yang telah dijelaskan, maka doktrin Truman mengenai “continental shelf” ini merupakan tonggok sejarah dalam perkembangan hukum laut yang didasarkan atas pengertian geologis “continental shelf” atau dataran kontinen. Pada waktu itu Presiden Truman belum lagi menentukan kriteria apa yang dinamakan dengan “continental shelf” tersebut, tapi menegaskan Amerika Serikat tidak menuntut “continental shelf” sebagai wilayah Amerika Serikat, melainkan hanya menuntut kekayaan alamnya, dan status perairan di atasnya tetap sebagai laut lepas (Mochtar, hal. 84-85). Sebenarnya di dalam sejarah hukum laut sudah ada preseden daripada penguasaan atau pengambilan kekayaan alam dari dasar laut, seperti penambangan batubara di Selat Inggris (English Channell) di Cornwall dan pengambilan mutiara dari dasar laut dekat pantai Ceylon dan di teluk Persia yang di dasarkan atas hukum kebiasaan yang berlaku sejak dahulu kala. Lain daripada itu perjanjian antara Venezuela dan Inggris tahun 1942 yang membagi dasar laut yang terletak antara Venezuela dan Trinidad dan Tabago di luar laut teritorial Inggris dan Venezuela. Sesudah lahirnya doktrin Truman “continental shelf”, praktek yurisdiksi negara atas dasar laut terhadap hak penguasaan sumber-sumber kekayaan alamnya dan daerah di bawah dasar laut yang berbatasan dengan pantai telah melepaskan dari keharusan adanya “effective occupation”. Dilepaskannya yurisdiksi Negara dari keharusan adanya effective occupation dan dikaitkan dengan konsepsi “continental shelf”, hal ini merupakan suatu perkembangan doktrin yang cukup radikal. (Mochtar, Hukum.., 1978, 87). Secara geologis sebenarnya batas luar daripada “continental shelf” tidak menampakkan suatu kedalaman yang sama atau jarak (dari pantai) yang sama, karena “continental shelf” dari seluruh benua ini tidak menunjukkan ciri yang sama. Ada batas “continental shelf”nya yang tidak berapa jauh dari pantai ada yang jaraknya hingga beberapa ratus mil dari pantai. Sama halnya dengan batas kedalaman daripada batas luar (“outer limit”) daripada “continental shelf” tidak
2002 digitized by USU digital library
4
5 menunjukkan batas yang sama. Demikian juga tulisan para sarjana terdapat perbedaan dalam menentukan batas-batas kedalaman daripada batas luar “continental shelf”. Dalam Proklamasi Truman batas kedalam outer limit dikatakan 100 fathom atau 200 meter. Batas kedalaman 100 fathom outer limit continental shelf ini, merupakan batas kedalaman rata-rata yang ditetapkan dalam Proklamasi Truman tersebut untuk memudahkan pembatasan pengertian “continental shelf”. Proklamasi Truman “continental shelf” ini dalam waktu relatif singkat telah mendorong negara-negara pantai lainnya di belahan bumi ini untuk menuntut penguasaan kekayaan alam yang terdapat dalam dasar laut dan tanah di bawahnya (“seabed and subsoil”) yang berbatasan dengan pantainya. Negara pertama yang mengikuti tindakan Amerika Serikat, adalah Mexico dengan mengeluarkan Deklarasi pada tanggal 28 Oktober 1945, disusul tahun berikutnya oleh Panama 1 Maret 1946, dan Argentina 9 Oktober 1946. Kemudian tuntutan negara-negara Amerika Latin lainnya seperti Chili dan Peru 1947 dan Costarica 1948. Tuntutan negara-negara Amerika Latin ini tidak saja menuntut kekayaan alamnya tetapi juga mengklaim kedaulatan atas perairannya dan udara diatasnya. (Churchil, 119). Negara-negara lain yang berkumpul yang menyusul Proklamasi Truman, yaitu Bahama 1948, Yamaica 1948, Saudi Arabia 1948 dan sembilan keseikhan di Teluk Persia di bawah Protektorat Inggris 1948 dan Australia 1947 (Ian Brownlie, Principle.., 1979, 223-224). Dari negara Asia lainnya : Filiphina 1949, Pakistan 1950 mengeluarkan suatu Deklarasi yang mengklaim dasar laut hingga kedalaman 200 meter termasuk wilayah Pakistan (Mochtar, Hukum .., 1978, 91). Dan masih banyak lagi negara-negara lainnya yang tidak disebutkan dalam tulisan ini. Tindakan sepihak dari negara-negara tersebut di atas dalam mengikuti Proklamasi Truman menunjukkan suatu perkembangan baru yang tidak kecil artinya dalam hukum laut internasional. Meskipun ada tantangan terhadap beberapa klaim yang ekstrim seperti pernyataan dari negara-negara Amerika Latin (Argentina, Chili dan Peru) dan Pakistan atas “continental shelf” dan perairan yang ada diatasnya, gagasan bahwa suatu negara mempunyai hak-hak eksklusif atas kekayaan alam yang terdapat dalam “continental shelf” (dataran kontinen) yang berbatasan dengan pantainya secara umum dapat diterima. Dapat dikatakan menjelang Konperensi Hukum lLaut PBB I di Jenewa tahun 1958 lembaga “continental shelf” ini telah menjadi lembaga hukum laut internasional melalui hukum kebiasaan. Karena itu negara-negara peserta Konperensi tidak banyak menemui kesukaran dalam merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak dan kekuasaan Negara pantai atas ““continental shelf”.
2002 digitized by USU digital library
5
6 BAB III LANDAS KONTINEN (“CONTINENTAL SHELF”) DALAM KONVENSI HUKUM LAUT INTERNASIONAL
A. Landas Kontinen dalam Konvensi Hukum Laut 1958. Konvensi-konvensi Hukum Laut 1958 merupakan hasil Konperensi Hukum Laut yang diselenggarakan oleh PBB yang I, yang diadakan pada 24 Pebruari hingga 27 April 1958, dihadiri oleh 86 negara. Konvensi-konvensi Hukum Laut 1958 ini menghasilkan 4 (empat) buah Konvensi, yaitu : - Konvensi I : Konvensi mengenai Laut teritorial dan Jaluar Tambahan (“Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone”). - Konvensi II : Konvensi mengenai Laut Lepas (“Convention on the High Seas”). - Konvensi III : Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan kekayaan Hayati Laut Lepas (“Convention of Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas”). - Konvensi IV : Konvensi mengenai Landas Kontinen (“Convention on the Continental Shelf”). Dengan diterimanya Konvensi IV : Tentang “Continental Shelf” dalam Konperensi Hukum laut PBB I di Jenewa tahun 1958, maka konsepsi “continental shelf” telah menjadi bagian dalam Konvensi-konvensi Hukum Laut 1958. Tetapi perumusan pengertian “continental shelf” yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1958 (yuridis) berbeda dengan pengertian “continental shelf” aslinya (dalam arti geologis) menurut Proklamasi Truman 1945. Untuk membedakan dua pengertian “continental shelf” yang berlainan isinya tersebut, oleh Mocthtar Kusumaatmadja dalam bahasa Indonesia digunakan istilah “dataran kontinen” untuk pengertian “continental shelf” dalam arti geologis dan istilah “landas kontinen” untuk sebutan “continental shelf” dalam arti yuridis atau dalam rumusan Konvensi Hukum Laut 1958. Rumusan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1958 atau dalam arti yuridis merupakan perkembangan “continental shelf” dalam arti geologis. (Mochtar, Bunga Rampai, 111). 1.
Dataran Kontinen. Telah disebutkan bahwa “continental shelf” disebut dengan istilah “dataran kontinen”. Terhadap istilah ini akan dijelaskan pengertiannya dalam pembahasan berikut. Dataran kontinen sebagai pengertian geologis dari “continental shelf” menunjuk pada bagian daripada dasar laut (“seabed” dan tanah di bawahnya “subsoil”) yang merupakan suatu daerah di bawah permukaan laut (“sub marine areas”) yang berbatasan dengan pantai. Pada umumnya permukaan bumi atau benua pada dasar laut yang berbatasan dengan pantai tidak tiba-tiba menjadi dalam, melainkan kedalaman itu secara melandai dan berangsur-angsur sampai batas terjadi jurang yang curam dan inilah yang dinamakan “dataran kontinen”. Setelah melewati dataran kontinen umumnya dasar laut mulai mendalam dan curam.
2002 digitized by USU digital library
6
7 Sebagaimana telah disebutkan bahwa batas kedalam dataran kontinen tidak menunjukkan ciri yang sama pada semua dasar laut di benua ini, oleh karena itu mengenai batas kedalaman pada dataran kontinen mengemukakan pendapat yang berbeda, misalnya batas kedalaman 130 meter. Sedangkan Proklamasi Truman mengatakan batas kedalam sampai 100 fathom atau kedalaman 200 meter merupakan batas rata-rata untuk memudahkan pembatasan pengertian. 2.
Landas Kontinen. Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, landas kontinen adalah “continental shelf” dalam pengertian yuridis (hukum) yang terdapat perumusannya dalam Konvensi Hukum Laut 1958 tentang “Continental Shelf”. Istilah “landas kontinen” yang diberikan oleh pakar Hukum Laut Mochtar Kusumaatmadja untuk membedakan dengan pengertian “continental shelf” dalam arti geologis atau dataran kontinen. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya tidak lagi menyebutkan “continental shelf”, tetapi digunakan istilah “landas kontinen” (“continental shelf” dalam arti yuridis). Secara lengkap pengertian landas kontinen dimuat dalam pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen berbunyi sebagai berikut : “ For the purpose of these articles, the term “continental shelf” is used as referring (a) to the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of the territorial sea, to a depth of 200 metres or beyond that limit, to where the depth of the superjacent water admits of the exploitation of the natural resources of the said areas; (b) to the seabed and subsoil of similar submarine areas adjacent to the coast of islands”. Dari rumusan pasal 1 tersebut dapat diambil kesimpulan, yang dimaksud dengan landas kontinen pada pokoknya mencakup dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdekatan dengan pantai yang merupakan bagian terluar dari laut teritorial sampai kedalaman 200 meter atau di luar batas itu untuk tujuan eksploitasi sumber daya alam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdekatan dengan pantai pulaupulau. Dari ketentuan pasal 1 tersebut, batasan atau definisi pengertian landas kontinen merupakan suatu definisi hukum (“legal definition”) yang berbeda dengan batasan pengertian dalam arti geologis semata-mata. Perbedaan itu dapat dilihat dari pembatasan yang diadakan dengan tambahan kata-kata “ … but outside the area of the territorial sea …”. Tambahan kata-kata ini merupakan pembatasan yang logis, apabila diingat bahwa dasar laut dan tanah di bawahnya di dalam batas laut teritorial, menurut pasal 2 Konvensi I mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan, berada di bawah kedaulatan Negara pantai. Demikian juga perluasan pengertian pada paragraf (b) tidak termasuk dalam pengertian “continental shelf” dalam arti geologis murni, merupakan suatu perkembangan yang menggembirakan. Sebaliknya perluasan pengertian “continental shelf” pada paragraf (a) dengan ditambahnya kata-kata “…or beyond that limit, to where the depth of the superjacent water admits of the exploitation of the natural resources of the said areas”, menimbulkan masalah, karena selain menggunakan ukuran kedalaman 200 meter juga kriteria “technical exploitability”. Menurut pendapat Kusumaatmadja, bentuk rumusan ini menimbulkan suatu keragu-raguan apakah adanya “conditio sine qua non” bagi ketentuan kedua yang didasarkan atas kriteria “technical exploitability” (Mochtar, Hukum.., hal. 111). Kalau dilihat dari sejarah terjadinya, ketentuan ini merupakan kompromi antara negara-negara yang berpendirian bahwa “continental shelf” dalam arti Konvensi (“yuridis”) hanya pada “continental shelf” dalam arti geologis, yaitu pada
2002 digitized by USU digital library
7
8 ukuran kedalaman 200 meter (Inggeris, Libanon, Belanda dan Perancis) dan Negaranegara yang hendak memakai kriteria “technical exploitability” (Argentina, Korea dan Panama), maka tambahan kata-kata “… or beyond that limit” harus dianggap sebagai alternatif yang dapat menggantikan kriterium dalam laut (hingga 200 meter) seandainya tidak terdapat dataran kontinen dalam arti geologis (Mochtar, Hukum .., 1979, hal. 161). Dengan kemajuan perkembangan teknik eksploitasi kekayaan laut yang sangat pesat, ternyata interprestasi ketentuan pasal 1 tersebut diatas hanya ditekankan pada ukuran “technucal exploitability”, sehingga menimbulkan suatu interprestasi bahwa negara pantai mempunyai kedaulatan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di daerah di bawah permukaan laut (“submarine areas”) hingga batas yang dicapai oleh teknik pengambilan kekayaan di laut. Terhadap interprestasi ketentuan pasal 1 ini, Mochtar memberikan pendapat sebagai berikut (Mochtar, Bunga Rampai, hal. 114) : “ Interprestasi ketentuan pasal 1 demikian tidak dapat diterima, karena akan terlalu menguntungkan negara pantai dengan letak geografi tertentu terutama negara-negara berkembang dengan perkembangan teknologi yang sudah mencapai tingkat yang tinggi. Interprestasi yang melepaskan kriterium “technical exploitability” dari azas kedekatan (“contiguity”) yang menjadi dasar hukum hak negara pantai atas daerah bawah permukaan laut yang berbatasan dengan pantainya, menyimpang dari dasar pikiran konsep “continental shelf”. Meskipun lembaga “continental shelf” dalam Konvensi Hukum Laut 1958 berbeda dengan pengertian semula, sehingga melahirkan istilah “landas kontinen” dan “dataran kontinen” namun azas kedekatan dengan kontinen (daratan yang disamakan dengan itu) seperti pulau-pulau atau kepulauan tidak dapat dilepaskan sama sekali, kalau pengertian “continental shelf” dalam arti hukum laut masih hendak diberi arti tersendiri. Tegasnya kekuasaan negara pantai di landas kontinen terhenti dan lewat batas itu harus dimulai dengan pengaturan (regime) samudera dalam (“deep ocean floor”) yang terlepas dari azas kedekatan (“qontiguity). Karena kedua rejim ini, yaitu “continental shelf” dan “deep ocean floor” tunduk pada rejim hukum yang berlainan. B.
Landas Kontinen dalam Hukum Laut 1982. Konsepsi landas kontinen adalah suatu konsep yang banyak dipermasalahkan dalam Konperensi Hukum Laut PBB III, terutama dengan diajukannya konsepsi ZEE 200 meter telah menimbulkan perbedaan pendapat antara kelompok-kelompok peserta. Banyak diantara negara-negara Afrika berpendapat, jika konsepsi ZEE diterima dalam Konperensi, maka pada dasarnya konsepsi landas kontinen tidak dipertahankan lagi, karena dasar laut yang dinamakan landas kontinen telah tercakup dalam ZEE yang memberikan hak kepada negara pantai untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya. Negara-negara yang secara geografis tidak beruntung (“Geographically Disadvantaged States = GDS) dan negara-negara tidak berpantai (“Lan-locked States”), menyetujui penerimaan landas kontinen yang secara geografis dapat dipertanggung jawabkan, misalnya sampai kedalaman 200 meter atau sampai jarak 40 mil dari pantai. Tetapi dalam perkembangannya negara-negara ini merasa berhak atas segala yang dituntut oleh negara-negara pantai, karena mereka merupakan bagian dari “minkind”, oleh karena itu mereka juga menuntut hak yang sama untuk mengambil kekayaan alam di zona ekonomi eksklusif dan atau di landas kontinen. (Hasjim Djalal, Perjuangan .., 105-106).
2002 digitized by USU digital library
8
9 Amerika Serikat mengusulkan landas kontinen dibatasi sampai kedalaman 200 meter, dan kepada negara pantai dipercayakan untuk mengurus kekayaan alam di landas kontinen sampai ke “margin” dengan kewajiban membayar semacam konstribusi melalui “Internasio Authority” yang akan didirikan (“trusteeship concept”). Berbeda dengan usul yang diajukan Uni Soviet yang mempunyai dataran kontinen yang luas menginginkan wewenang yang lebih luas lagi, yaitu sampai kedalaman 500 meter. (Hasjim.., 106-107). Masalah lain yang menjadi permasalahan dalam Konperensi Hukum Laut II, yaitu untuk menentukan batas terluar landas kontinen. Dengan diterimanya konsepsi ZEE dengan sendirinya batas landas kontinen minimum 200 mil dari garis pangkal laut teritorial. Beberapa negara termasuk Inggris, Amerika Serikat dan Uni Soviet yang mempunyai margin yang luas enggan untuk melepaskan klaim-klaim atas sumber kekayaan alam di bagian “margin” yang paling luar ( di luar 200 mil). Sedangkan negara-negara yang mempunyai margin yang sempit yang kurang 200 mil bersepakat mengenai batas 200 mil tersebut (Churchil, The Law .., 1983, 114). Selain itu juga terdapat beberapa kelompok yang mengajukan usul, seperti kelompok negara-negara Arab mengusulkan batas landas kontinen sejauh 200 mil dari garis pangkal laut teritorial. Lain dari itu kelompok negara-negara yang mendukung perumusan yang dikemukakan Irlandia, yang menyatakan “outer edge of the continental margin” tersebut 60 mil dari “foot of the continental slope” atau sampai ke batas dimana ketebalan “continental sediment” di dasar laut paling kurang 1 % dari jarak yang diukur dari “foot of the continental slope”. Sedangkan usul yang diajukan Uni Soviet yang mendapat dukungan dari negara-negara sosialis, mengajukan batas 300 mil dari garis pangkal laut teritorial, sebagai batasan maksimum yang diperbolehkan, bilamana “continental margin” itu lebih 200 mil (D.P.O’Connel, The In.., 1982, 496). Ketiga usul-usul tersebut mendapat dukungan dalam Konperensi dengan sedikit perubahan dan akhirnya mendapat perumusan dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam Konvensi Hukum Laut 1982, pengaturan mengenai landas kontinen dimuat dalam BAB VI, pasal 76 sampai dengan pasal 85. Sedangkan pengertian landas kontinen perumusannya dimuat secara lengkap dalam pasal 76 yang menyatakan sebagai berikut : “ Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepan kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepian kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut”. Dari ketentuan ayat (1) tersebut terlihat dua cara pengukuran landas kontinen, yaitu : a. Sampai batas terluar tepian kontinen (the continental margin”). b. Sampai jarak 200 mil dari garis pangkal laut teritorial, apabila tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Selanjutnya dinyatakan, apabila tepian kontinen yang dimaksud dalam ayat (1) tersebut lebih besar dari 200 mil dari garis pangkal darimana laut teritorial, negara pantai akan menetapkan pinggiran luar tepian kontinen (pasal 76 ayat 4.a), dengan cara yang ditetapkan dalam ayat 4 (1) (ii) yaitu : (a)(i). suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk pada titik-titik tetap terluar dimana ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1 % dari jarak terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen; atau
2002 digitized by USU digital library
9
10 (ii).
suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk pada titik-titik tetap yang terletak tidak lebih 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. (b). Dalam hal tidak terdapatnya bukti yang bertentangan kaki lereng kontinen harus ditetapkan sebagai titik perubahan maksimum dalam tanjakan pada kakinya. Penentuan titik tetap batas terluar tepian kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal laut teritorial dan tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (“isobath”) 2500 meter. Meskipun penetapan garis batas terluar tepian kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut lepas dari garis pangkal laut teritorial, ketentuan ini tidak berlaku lagi bagi elevasi dasar laut yang merupakan bagian-bagian alamiah tepian kontinen, seperti pelataran (“plateau”), tanjakan (“rise”), puncak (“caps”), ketinggian yang datar (“banks”) dan puncak gunung yang bulat (“spurs”)nya (pasal 76 ayat 6). Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 untuk mengukur lebar landas kontinen dapat ditentukan dengan beberapa alternatif, yaitu : (1). sampai batas terluar tepian kontinen (“the continental margin”); (2). sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial apabila tepian kontinen tidak melebihi 200 mil laut; (3). sampai jarak 350 mil laut dari garis pangkal laut teritorial apabila tepian kontinen melebihi 200 mil laut, atau (4). tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (“isobath”) 2500 meter. Dengan demikian berarti lebar landas kontinen dari suatu negara pantai tergantung pada konfigurasi tepian kontinen (“continental margin”)nya. Oleh karena itu suatu negara pantai dapat menetapkan lebar landas kontinen yang berbeda-beda disekeliling laut wilayahnya. Jika dibandingkan dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958, perumusan yang terdapat dalam pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan ketentuanketentuan yang lebih jelas dalam cara-cara mengukur lebar landas kontinen. Hal ini merupakan penyempurnaan dalam memberikan pengertian landas kontinen. Penyempurnaan yang dimaksudkan yaitu : (1). terdapat kepastian dalam pengukuran batas terluar landas kontinen berdasarkan alternatif-alternatif sebagaimana tercantum dalam pasal 76. Dengan demikian menghapuskan ketidak jelasan cara pengukuran yang didasarkan atas kriteria “technical exploitability” yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1958. (2). pengertian landas kontinen yang terdapat dalam rumusan pasal 76 selain mencakup pengertian yuridis juga mencakup pengertian geologis. Menurut penulis, perumusan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982, selain merupakan penyempurnaan perumusan landas kontinen yang dapat dianggap sebagai perkembangan Hukum Laut masa kini, perumusan tersebut juga dapat menimbulkan kekaburan atau ketidak jelasan dalam menafsirkan pengertian dari “continental shelf”. Jika ditinjau dari pengertian yuridis, alternatif-alternatif yang digunakan untuk menentukan batas terluar “continental shelf” hingga pinggiran luar tepian kontinen atau melampaui batas itu. Cara pengukuran yang demikian ini sudah jauh meninggalkan pengertian “continental shelf” dalam arti geologis semata-mata. Sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan terdahulu, secara geofisik dasar laut yang berbatasan dengan pantainya pada umumnya terdiri dari 3 (tiga) bagian yang terpisah, yaitu : “continental shelf”, “continental slope” dan “continental
2002 digitized by USU digital library
10
11 rise”. (Churchil, The Law, 1983, 26). Sedangkan “continental shelf” itu bukan keseluruhan dari “continental margin”, sehingga menurut penulis penggunaan istilah “continental shelf” untuk maksud Konvensi Hukum Laut 1982 sudah tidak relevan lagi, karena sudah mencapai batas terluar “continental margin” atau melampaui batas itu. Dalam bahasa Indonesia pemakaian istilah “landas kontinen” untuk sebutan “continental shelf” dalam arti Yuridis dan dataran continen untuk sebutan “continental shelf” dalam arti geologis, maka rumusan landas kontinen sampai ke ujung tepian kontinen (“continental margin”) atau melampaui batas itu dapat dianggap merupakan perluasan pengertian dari landas kontinen. Ditinjau dari segi historisnya konsepsi landas kontinen bermula dari Proklamasi Truman 1945 tentang “continental shelf” yang kemudian membawa perkembangan dalam hukum laut masa kini yang dirumuskan dalam Konvensi Hukum Laut 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982 dengan pengertiannya didasarkan pada “continental shelf” dalam arti geologis semata-mata, dan dalam Konvensi Hukum Laut 1958 menggunakan ukuran kedalaman 200 meter dan dengan mempergunakan kriteria “technical exploitability”, sedangkan dalam Konvensi Hukum Laut 1982, pengertian “continental shelf” sudah jauh meninggalkan pengertian geologisnya, yaitu sampai tepian continen (“continental margin”) dan melampaui batas itu.
2002 digitized by USU digital library
11
12 BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DI LANDAS KONTINEN
A. Hak dan kewajiban Negara pantai di landas kontinen. 1.
Hak explorasi dan eksploitasi Berdasarkan pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen dan pasal 77 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982, suatu negara pantai mempunyai hak eksplorasi dan exploitasi di landas kontinen atas sumber kekayaan alamnya. Dalam hal ini landas kontinen tidak dianggap sebagai wilayah negara pantai. Hak negara pantai di landas kontinen bersifat eksklusif, dalam arti apabila negara pantai tidak mengeksplorasi dan mengeksploitasinya, tidak seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan tegas dari negara pantai yang bersangkutan (KHL, 1982, pasal 7 ayat 2). Selanjutnya mengenai sumber kekayaan alam di landas kontinen dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (4) KHL 1958 dan pasal 77 ayat (4) KHL 1982. Dalam pasal 77 ayat (4) KHL 1982 secara lengkap menyatakan sumber kekayaan alam di landas kontinen sebagai berikut : “ … sumber kekayaan alam terdiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut dan tanah di bawahnya, bersama dengan organisme hidup yang tergolong jenis sedenter, yaitu organisme hidup yang pada tingkat yang sudah dapat dipanen dengan tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak phisik tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya”. Yang termasuk kepada sumber kekayaan mineral, seperti minyak dan gas bumi, sedangkan termasuk sumber organisme hidup yang tergolong jenis sedenter, antara lain termasuk batu koral, bunga karang, tripang, tiram mutiara, kulit mutiara, sacred dari India dan Ceylon, rumput laut dan trocus (D.J. Harris, Cases .., 1979, 383). 2.
Hak membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasiinstalasi dan bangunan menurut KHL 1982. Pasal 60 mengenai pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di zona ekonomi eksklusif berlaku secara mutatis mutandis di landas kontinen. Hak tersebut dinyatakan sebagai hak eksklusif negara pantai. Termasuk kedalam hak-hak ini, yaitu yuridiksi (kewenangan) yang berkaitan dengan perundang-undangan bea cukai dan fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. Selain hak berdaulat dan yuridiksi (kewenangan) tersebut, dalam pelaksanaan membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasiinstalasi dan bangunan, negara pantai berkewajiban memperhatikan dengan semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut dan hak-hak serta kewajiban negara lain, seperti pemasangan dan pemeliharaan pipa dan kabel bawah laut, instalasi dan juga untuk keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulaupulau buatan. Untuk menjaga keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulaupulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan dilandas kontinen, negara pantai berhak untuk menetapkan zona keselamatan di sekeliling pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan. Penetapan zona keselamatan tidak boleh mengganggu penggunaan alur laut yang diakui penting untuk pelayaran internasional. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut tidak mempunyai status pulau dan tidak mempunyai laut teritorial sendiri. Apabila ditinggalkan dan tidak dipakai lagi, untuk keselamatan pelayaran, negara pantai berkewajiban untuk membongkar
2002 digitized by USU digital library
12
13 pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi dan bangunan itu. (lihat pasal 60 ayat 7 dan 8). Demikian juga mengenai kewenangan eksklusif negara pantai yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan bea-cukai dan fiskal, kesehatan, keselamatan dan keimigrasian tidak berlaku untuk seluruh landas kontinen, tetapi hanya terbatas pada pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di landas kontinen. 3.
Kewajiban untuk menetapkan batas/delimitasi landas kontinen bagi negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan menurut KHL 1982. Bagi negara-negara yang landas kontinennya berhadapan dan atau berdampingan dalam menetapkan garis batas landas kontinennya harus ditetapkan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional sebagaimana tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil (lihat pasal 83 ayat 1). Untuk mencapai keadilan ini Konvensi memberikan pedoman persetujuan penetapan garis batas tersebut harus dilandasi oleh pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, yang secara umum diakui sebagai sumber hukum internasional, yaitu : a. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa; b. Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum; c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; d. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaedah-kaedah hukum. Urutan ini biasanya diikuti dalam praktek. Perjanjian internasional yang bersifat umum maupun khusus, kebiasaan dan azas-azas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab lebih utama dibanding dengan keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran sarjana-sarjana hukum yang secara tegas dinyatakan sebagai sumber hukum tambahan. Diantara ketiga jenis sumber hukum yang utama, biasanya yang diberi tempat pertama adalah perjanjian internasional umum maupun khusus yang secara tegas diterima oleh negara-negara yang bersangkutan, tetapi jika tidak ada perjanjian internasional umum maupun khusus, maka akan dipakai hukum kebiasaan, dan apabila tidak ada maka dipakai azas prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab. Jika ketiga kategori tidak ada yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan suatu persoalan maka akan digunakan keputusan-keputusan pengadilan. Adakalanya terjadi tumpang tindih dalam penerapan instrumen, misalnya apabila suatu konvensi atau perjanjian internasional memuat suatu ketentuan yang menyatakan hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab sekaligus dikukuhkan oleh suatu perjanjian internasional atau hukum kebiasaan (Starke, In.., 1979, 62). Cara penentuan garis batas yang tersebut diatas berarti Konvensi menunjuk pada dua pilihan, yaitu menunjuk kepada hukum internasional yang disebut dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional dan menunjuk kepada penyelesaian yang adil. Tidak diaturnya secara tegas prinsip apa yang digunakan dalam menetapkan garis batas landas kontinen antara Negara-negara yang berdampingan dan atau berhadapan dalam ketentuan tersebut, sebab ketentuan konvensi ini merupakan
2002 digitized by USU digital library
13
14 kompromi antara negara-negara yang berpandangan bahwa penetapan garis batas landas kontinen diselesaikan berdasarkan “equidistance principle” dengan negaranegara yang menghendaki berdasarkan keadilan (“equitable solution”). (E.D. Brown, Seabed .., 1984, 105). Apabila penyelesaian ini tidak dapat dicapai dalam waktu yang layak, negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam pasal 33 ayat (1) Piagam PBB, seperti negoisasi, penyelidikan, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian secara hukum melalui badan-badan regional atau persetujuan atau cara-cara yang dipilih. (pasal 83 ayat 1). Selain cara-cara tersebut dapat juga dilakukan melalui : (pasal 287) : a. Mahkamah Internasional Hukum Laut b. Mahkamah Internasional c. Mahkamah Arbitrasi d. Mahkamah Arbitrasi Khusus Kepada negara pantai diwajibkan mencantumkan garis batas luar landas kontinen dan garis penetapan batas yang ditentukan dalam persetujuan yang ditetapkan di antar negara-negara yang berdampingan atau berhadapan pada skala yang memadai untuk menentukan posisinya. 4.
Kewajiban negara pantai untuk melakukan pembayaran atau sumbangan. Perbedaan lebar landas kontinen telah menimbulkan perbedaan dalam hak dan kewajiban negara pantai yang mempunyai lebar landas kontinen 200 mil dan di luar 200 mil. Perbedaannya nampak jelas berkaitan dengan kegiatan ekspoitasi kekayaan alam non hayati di landas kontinen. Mengenai hal ini dalam pasal 82 KHL 1982 menyatakan, bahwa bagi negara pantai yang mempunyai lebar landas kontinen di luar 200 mil dibebani kewajibankewajiban sebagai berikut : 1. Negara pantai harus melakukan pembayaran atau sumbangan berupa barang bertalian dengan eksploitasi sumber kekayaan alam non hayati landas kontinen di luar 200 mil laut dihitung dari garis pangkal untuk mengukur luas laut teritorial. 2. Pembayaran dan sumbangan tersebut harus dibuat secara tahunan berkenaan semua produksi pada suatu tempat setelah produksi lima tahun pertama pada tempat itu. Untuk tahun keenam tarif pembayaran atau sumbangan adalah 1 % dari nilai atau jumlah produksi di tempat itu. Tarif tersebut harus naik dengan 1 % hingga tahun ke duabelas dan akan tetap pada 7 % setelah itu. Produksi tidak mencakup sumber yang digunakan bertalian dengan kegiatan eksploitasi. 3. Suatu negara yang berkembang yang merupakan pengimport netto suatu sumber mineral yang dihasilkan dari landas kontinennya dibebaskan dari keharusan melakukan pembayaran atau sumbangan yang bertalian dengan sumber mineral tersebut. 4. Pembayaran atau sumbangan itu harus dibuat melalui Otorita yang harus membagikannya kepada negara peserta pada konvensi ini atas dasar urukuran pembagian yang adil, dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan negara-negara berkembang, terutama yang paling terkebelakang dan yang tidak berpantai di antaranya. Pembayaran atau sumbangan melalui otorita yang disebut pada bagian 4, adalah otorita Dasar Laut Internasional yang berkedudukan di Yamaica. Perlu dijelaskan kewajiban pembayaran sumbangan hanya dibebankan pada kegiatan eksploitasi di luar 200 mil landas kontinen dan hanya berkenaan dengan eksploitasi sumber kekayaan mineral.
2002 digitized by USU digital library
14
15 Pembayaran atau sumbangan ini sebenarnya merupakan kompromi antara negara-negara yang berusaha untuk menambah luas dasar laut yang merupakan warisan bersama ummat manusia (“common heritage of mankind”) dan negaranegara yang berusaha untuk menambah luas dasar laut untuk memperoleh hak-hak eksklusif mereka atas landas kontinen sampai ke tepian kontinen. Kompromi ini akhirnya melahirkan kewajiban-kewajiban tersebut diatas bagi negara yang melakukan kegiatan eksploitasi di landas kontinen di luar 200 mil. Memperhatikan kewajiban-kewajiban negara pantai tersebut, jelaslah Konvensi Hukum Laut 1982 ini dijiwai oleh azas : “laut adalah sebagai warisan bersama ummat manusia” (“common heritage of mankind”), sebab negara-negara tidak berpantai (“land locked states”) dan atau negara-negara yang secara geografis tidak beruntung (“geographically disovantages states” = GDS) dapat menikmati hasil dari eksploitasi landas kontinen dari kegiatan di luar 200 mil. Pembayaran atau sumbangan sebagaimana disebutkan diatas tidak ada diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1958, karena tidak mengenal pengukuran lebar landas kontinen di luar 200 mil. Dengan menggunakan kriteria “technicalk exploitability”, suatu negara dapat melakukan eksploitasi sumber kekayaan alam sampai kemampuan teknologinya, dan bahkan sampai ke samudera dalam (kawasan). Hal ini jelas bahwa kriteria-kriteria “technical exploitability” yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1958 bertentangan dengan prinsip “common heritage of mankind” yang menyatakan bahwa kekayaan alam yang berada di luar yurisdiksi suatu negara merupakan warisan bersama ummat manusia. Dengan demikian pengaturan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan suatu perkembangan yang lebih menjamin keadilan bagi seluruh ummat manusia karena negara-negara tidak berpantai dan negara yang pantainya kurang beruntung terutama negara-negara yang sedang berkembang dan sangat terkebelakang dapat memperoleh sumbangan dari kegiatan landas kontinen di luar 200 mil. Demikian juga pembebasan pembayaran sumbangan sampai tahun kelima dari kegiatan tersebut dan besarnya persentase secara bertahap sampai tahun ke duabelas, dimaksudkan untuk tidak memberatkan negara pantai dalam kewajiban membayar untuk membayar sumbangan. 5.
Kewajiban untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut. Pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh kegiatan di landas kontinen dapat terjadi dengan berbagai cara seperti kebocoran yang berasal dari pipa, pipa saluran dari dan ke pantai dan tabrakan antara kapal-kapal dan instalasiinstalasi pengeboran di landas kontinen akibat tidak adanya atau kurangnya tanda penerangan pada instalasi-instalasi tersebut (Komar, Ganti Rugi .., 1981). Sehubungan dengan hal tersebut, dengan tunduk kepada ketentuan pasal 194 ayat (3.c), untuk menanggulangi dan melestarikan lingkungan laut yang disebabkan oleh kegiatan di landas kontinen, negara pantai berkewajiban mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi sejauh mungkin terjadinya pencemaran lingkungan laut yang berasal dari instalasi-instalasi dan peralatan yang dipergunakan dalam kegiatan di landas kontinen. Dalam hal ini khususnya mencegah terjadinya kecelakaan dan yang bertalian dengan keadaan darurat, serta mangatur desain konstruksi, peralatan, operasi dan tata awak instalasi-instalasi atau peralatan yang dimaksud. Selanjutnya dalam pasal 194 ayat (4) secara lengkap menyatakan sebagai berikut : “ Dalam mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah, mengurangi atau mengendalikan pencemaran lingkungan laut negara-negara harus
2002 digitized by USU digital library
15
16 menjauhkan diri dari campur tangan yang tidak beralasan ke dalam kegiatan negara lain dalam melaksanakan hak-hak mereka dan melakukan kewajiban-kewajiban mereka sesuai dengan Konvensi”. Ketentuan ini memaksa kita untuk berkesimpulan, bahwa dalam melaksanakan kewajiban untuk mencegah dan mengatasi pencemaran lingkungan laut, negara harus bekerjasama dengan negara lain terutama dalam hal ini dengan negara tetangga. Meskipun negara-negara diwajibkan untuk menjamin agar pencemaran laut yang timbul akibat kegiatan-kegiatan yang berada di bawah yuridiksi mereka tidak menyebar melampaui yuridiksi mereka, mengingat sifat laut yang mudah bergerak, masalah pencemaran lingkungan laut selain dapat menimbulkan masalah nasional, juga dapat menimbulkan masalah internasional. Karena menurut sifat dan hakekatnya laut adalah satu dan tidak mengenal batas-batas buatan manusia. Oleh karena itu dalam pencemaran laut dikenal istilah “transnasional” yang memiliki akibat “transfrontier”. Selanjutnya dalam pasal 208, negara pantai berkewajiban untuk menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengembalikan pencemaran lingkungan laut sehubungan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di landas kontinen. Peraturan perundang-undangan ini harus sesuai dengan aturanaturan atau ketentuan-ketentuan standard internasional. B.
Hak dan kewajiban negara lain di landas kontinen.
1.
Kebebasan berlayar dan penerbangan Dalam melaksanakan hak-hak eksplorasi dan eksploitasi di landas kontinen negara pantai tetap menjamin hak negara lain dalam melakukan pelayaran dan penerbangan di perairan diatas landas kontinen dan udara diatasnya. Dalam hal ini tanpa suatu alasan yang jelas negara pantai tidak boleh menghalang-halangi pelayaran dan penerbangan yang dilakukan oleh kapal atau pesawat asing tersebut. Maka untuk kepentingan pelayaran dan penerbangan ini negara asing berkewajiban untuk mentaati peraturan-peraturan yang dibuat negara pantai tersebut. Apabila kapal asing melakukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut, negara pantai dapat melakukan penangkapan dan pengejaran seketika terhadap kapal-kapal asing tersebut, dan apabila tertangkap kapal tersebut di bawa ke salah satu pelabuhan negara pantai untuk diadili. Pengejaran akan berhenti apabila kapal asing tersebut memasuki laut nasionalnya atau perairan nasional negara ketiga. (Lihat pasal 87 dan pasal 111). 2.
Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut. Dengan tunduk pada ketentuan pasal 79, negara pantai dalam menjalankan hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam di landas kontinen wajib untuk menghormati hak-hak negara lain untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut di landas kontinen. Dalam pemasangan kabel dan pipa bawah laut, negara lain berkewajiban mematuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan negara pantai, seperti penentuan jalannya pipa harus mendapat persetujuan negara pantai. Dan dalam pemasangan kabel dan pipa bawah laut ini harus memperhatikan sebagaimana mestinya kabel-kabel atau pipa-pipa yang sudah ada, agar kemungkinan untuk perbaikan kabel-kabel dan pipa yang sudah ada tidak boleh dirugikan (pasal 79 ayat 5). 3.
Hak untuk menangkap ikan. Dengan diterimanya konsepsi landas kontinen dalam konperensi Hukum Laut PBB III, maka kebebasan penangkapan ikan di perairan diatas landas kontinen
2002 digitized by USU digital library
16
17 sejauh 200 mil sudah tidak ada lagi karena perairan 200 mil ini sudah menjadi perairan zona ekonomi eksklusif oleh karena itu pengaturannya tunduk pada rejim hukum zona ekonomi eksklusif. Negara lain dapat melakukan penangkapan ikan di perairan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara negara pantai dengan negara lain tersebut. Berbeda dengan perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil, perairan ini merupakan perairan laut lepas oleh karena itu pengaturannya tunduk pada rejim hukum laut lepas. Sesuai dengan status perairan itu sebagai laut lepas, maka semua negara bebas untuk melakukan penangkapan ikan sesuai dengan ketentuan konvensi (lihat pasal 87). 4.
Kebebasan untuk melakukan riset ilmiah. Dalam menjalankan yuridiksinya negara pantai dan menyelenggarakan hak negara lain untuk melakukan riset ilmiah kelautan dalam zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen. Penyelenggaraan riset ilmiah tersebut hanya dapat diselenggarakan harus seijin negara pantai (pasal 246 ayat 1 dan 2). Pemberian ijin yang diberikan kepada negara lain untuk melakukan riset ilmiah kelautan di zona ekonomi dan di landas kontinen dan juga yang diselenggarakan oleh organisasi internasional yang berkompeten, apabila riset ilmiah tersebut semata-mata untuk tujuan damai dan menambah pengetahuan ilmiah tentang kelautan demi kepentingan ummat manusia. Untuk terselenggaranya riset ilmiah ini negara pantai secepatnya menentukan ketentuan dan prosedur guna menjamin agar persetujuan-persetujuan riset tersebut tidak diundurkan atau tidak ditolak tanpa alasan yang cukup (lihat pasal 246 ayat 3). Masalah penting lainnya dalam pemberian ijin kepada negara lain untuk melakukan riset ilmiah kelautan, yaitu : a. Tidak mempunyai arti langsung bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi terhadap kekayaan alamnya; b. Tidak menggunakan bahan peledak atau bahan yang berbahaya ke dalam lingkungan laut; c. Tidak meliputi konstruksi, operasi atau pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan di zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen; d. Harus mengandung informasi yang tepat yang disampaikan kepada negara pantai mengenai sifat dan tujuan proyek. Selain persyaratan-persyaratan tersebut, kepada negara lain pihak penyelenggara riset kelautan dituntut untuk melakukan kewajiban-kewajiban seperti : a. Kewajiban memberikan informasi kepada negara pantai mengenai sifat dan tujuan proyek, penentuan wilayah tempat dilaksanakan riset, metoda dan cara yang digunakan, tanggal pemunculan pertama dan keberangkatan terakhir, peralatan yang digunakan serta nama lembaga sponsor, direkturnya dan orang-orang yang bertanggung jawab. (pasal 248). b. Kewajiban-kewajiban untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yaitu : - menjamin hak negara pantai untuk berperan serta manakala negara pantai menghendakinya. - memberikan laporan sementara atas permintaan negara pantai, dan juga laporan akhir serta kesimpulan setelah penyelesaian riset tersebut. - memberitahu kepada negara pantai atas setiap perubahan utama dalam program riset.
2002 digitized by USU digital library
17
18 memberikan suatu penilaian, contoh dan hasil-hasil dan membantu memberikan penilaian serta interpretasinya. - menjamin bahwa hasil penelitian dapat diperoleh secara internasional. - terkecuali apabila disepakati lain, supaya negara penyelenggara memindahkan peralatan riset. c. Kewajiban lain yang dibebankan kepada pihak penyelenggara adalah memberikan ganti rugi terhadap kerusakan-kerusakan akibat penyelenggaraan riset. (pasal 253). Menurut penulis pengaturan mengenai penyelenggaraan riset kelautan yang diselenggarakan negara lain atau organisasi internasional yang berkompeten memuat ketentuan-ketentuan yang menguntungkan dan menjamin kepentingan negara pantai. Misalnya persyaratan-persyaratan pemberian ijin untuk dapat terselenggaranya riset ilmiah tersebut dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada pihak penyelenggara riset untuk memberi kesempatan kepada negara pantai ikut berperan serta apabila dikehendaki, memberi laporan riset kepada negara pantai dan mengganti kerugian kepada negara pantai terhadap kerusakan-kerusakan yang timbul akibat penyelenggaraan riset tersebut sebagaimana ditentukan dalam Konvensi. -
2002 digitized by USU digital library
18
19 BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP A.
Kesimpulan
Dari keseluruhan yang telah dikemukakan dalam pembahasan ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ditemukannya sumber daya alam mineral minyak dan gas bumi di “continental shelf” yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat, telah mendorong Presiden Truman untuk mengeluarkan Proklamasi Truman tentang “Continental Shelf” pada 28 September 1945. 2. Klaim Amerika Serikat atas “continental shelf” tersebut tidak mempengaruhi status perairannya sebagai laut lepas, oleh karena itu bebas dilayari oleh kapal setiap negara di perairan di atas landas kontinen. 3. Setelah melembaga dalam hukum internasional melalui hukum kebiasaan, maka konsepsi “continental shelf” mendapat perumusan dalam Konvensi Hukum Laut 1958. 4. Perbedaan pengertian “continental shelf” dalam Proklamasi Truman dan “continental shelf” daalm Konvensi Hukum Laut 1958, telah melahirkan istilah “landas kontinen” dan “dataran kontinen”. 5. Ketidak jelasan batas terluar landas kontinen dalam Konvensi Hukum Laut 1958 dengan kriteria “technical exploitability”, ternyata dalam perkembangannya mendapat perumusan dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Perkembangan yang dimaksud adalah : a. Ditentukannya batas terluar landas kontinen, yaitu minimal 200 mil dan maksimal 350 mil atau 100 mil dari kedalaman 2500 meter. b. Terwujudnya prinsip laut sebagai “heritage of mankind”, yaitu dengan adanya kewajiban untuk memberikan sumbangan bagi kegiatan di landas kontinen di luar 200 mil kepada negara-negara yang tidak berpantai atau secara geografis pantainya tidak beruntung terutama negara-negara yang sedang berkembang atau terkebelakang yang diberikan melalui panitia dasar laut. B. Penutup Pengaruh perkembangan teknologi kelautan menjadikan laut sebagai sasaran untuk mendapatkan sumber mineral minyak dan gas bumi yang berada di bawah yuridiksi negara pantai sampai ke tepian kontinen (“continental margin”) dan bahkan melampaui batas itu, bagi tepian kontinen kurang 200 mil. Perlu meninjau kembali istilah “continental shelf” dalam bahasa Inggeris, karena istilah “continental shelf” dalam KHL 1982 sudah mencapai tepian kontinen (“continental margin”) yang sudah jauh meninggalkan istilah “continental shelf” dalam arti geologis semata-mata. Sedangkan dalam bahasa Indonesia digunakan istilah “landas kontinen”.
2002 digitized by USU digital library
19
20 DAFTAR PUSTAKA
Principle of Public International Law, University Press, 1979.
3rd ED., Oxpord
-
Brownlie, Ian,
-
Churchil, R.R., and Lowe, A.V., The Law of the Sea, Manchester University Press, 1983.
-
Djalal, Hasjim., Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut (BPHN), Binacipta, Bandung, 1979.
-
Kantaatmadja, Komar, Gantirugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut, Alumni, Bandung, 1981.
-
Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional., Binacipta, Bandung, 1978.
-
Kusumaatmadja, Mochtar, Bungarampai Hukum Laut, Binacipta Bandung, 1978.
-
Harris., D.J., Cases and Materials on International Law, 2nd.ED., Swet Maxwell, London, 1979.
-
O’Connell, D.P., The International Law of the Sea., Vol.I, Edited by Shearer, Clarendom, Press, 1984.
-
Starke, J.G., 1995, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika Jakarta.
-
W., Koers, Albert, 1994, Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Hukum Laut, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
-
Konvensi Hukum Laut 1958 (KHL 1958) tentang “Continental Shelf” (Landas Kontinen). (“Convention on the Continental Shelf”, Geneva, 1958).
-
Konvensi Hukum Laut 1982 (“United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982).
2002 digitized by USU digital library
20