Makalah WORKSHOP Memperkuat Justisiabilitas Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya : Prospek dan Tantangan Yogyakarta, 13 - 15 November 2007
APAKAH PELANGGARAN HAK EKOSOB DAPAT DIGOLONGKAN SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN? Studi Kasus: Penggusuran Scr Paksa Yang Meluas Atau Sistematik Operasi Murambatsvina di Zimbabwe Oleh : Nicola Colbran Legal Advisor, Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norway
APAKAH PELANGGARAN HAK EKONOMI SOSIAL DAN BUDAYA DAPAT DIGOLONGKAN SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN? Studi Kasus Penggusuran Secara Paksa Yang Meluas Atau Sistematik Operasi Murambatsvina di Zimbabwe Nicola Colbran1 Seringkali hak ekonomi sosial dan budaya menimbulkan kebingungan: ¾ Apa yang dimaksud dengan istilah “hak ekosob”? ¾ Apakah hak ini memberdayakan seseorang untuk menuntut bahwa pemerintah mengeluarkan dana untuk menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak ini? ¾ Kalau memang begitu, bukankah berarti orang itu bisa menentukan kebijakan pemerintah dengan akibat dilanggarnya asas “trias politika”? ¾ Bagaimana penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak ini bisa dipantau? Seringkali, kebingungan ini mengakibatkan sikap bahwa hak ini sebenarnya bukan hak melainkan cita-cita saja dan apabila terjadi pelanggaran, tidak bisa menaggulanginya lewat jalur hukum. Kita sudah melihat betapa sulitnya menggugat pelanggaran HAM di Indonesia, apa lagi pelanggaran hak ekosob. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia hanya memungkinkan diajukannya laporan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM apabila seseorang atau sekelompok orang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar.2 Namun, untuk mengadili pelanggaran HAM berat, telah dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum lewat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman baik bagi perserorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kita semua sudah tahu bahwa pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya dapat digugat, namun belum banyak dibicarakan apakah pelanggaran hak ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Pertanyaan ini pernah disinggung dalam konteks penggusuran secara paksa skala besar di Zimbabwe yang disebut “Operasi Murambatsvina”. Makalah ini akan membahas kemungkinan menggugat pelanggaran hak atas perumahan yang layak (yang jelas termasuk larangan terhadap penggusuran secara paksa) sebagai pelanggaran HAM berat.
1
Penasehat Hukum, Program Indonesia, Norwegian Centre for Human Rights, Fakultas Hukum, Universitas Oslo 2 Pasal 90
1
Pelanggaran HAM dan tindak pidana internasional? Penggusuran secara paksa3
Pemindahan penduduk secara paksa4
1. pemindahan secara permanen atau sementara 2. yang bertentangan dengan kemauan individu, keluarga dan/atau komunitas 3. dari rumah dan/atau tanah yang ditempatinya 4. tanpa penyediaan, dan akses terhadap, perlindungan hukum atau perlindungan layak yang lain.
1. pemindahan orang-orang 2. secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain 3. dari daerah dimana mereka berada secara sah 4. tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.
Sampai titik ini, keduanya mirip sekali, namun perlu diperhatikan ciri khas tindak pidana internasional 5. perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap penduduk sipil 6. pelaku mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan bagian dari atau memaksudkan perbuatan itu merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap penduduk sipil
Dapat disimpulkan dari tabel di atas bahwa tindak pidana internasional.... ...merupakan kejahatan serius yang perlu diperhatikan masyarakat internasional secara keseluruhan ...terjadi dalam konteks kekerasan massal (seperti serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap penduduk sipil) ...oleh karena itu tidak bersifat sekali-sekali atau tersendiri ...merupakan kejahatan di mana individu dapat dipertanggungjawabkan (bukan negara)
3
Komentar Umum 7, pasal 3. Komentar Umum merupakan panduan tidak mengikat yang menafsirkan dan memberikan petunjuk kepada Negara pihak mengenai penerapan Kovenan Ekonomi Sosial dan Budaya di tingkat nasional. Komentar Umum ditetapkan oleh Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, yaitu Komite yang secara resmi mengawasi perilaku Negara pihak dalam melaksanakan isi Kovenan baik secara hukum maupun dalam praktek. Komite ini telah mengeluarkan dua Komentar Umum yang menetapkan rincian petunjuk pelaksanaan hak atas perumahan yang layak (Komentar Umum Nomor 4 dan Komentar Umum Nomor 7). 4 Statuta Roma, pasal 7(2)(d). Nota bene: definisi Statuta Roma sedikit berbeda dengan UU 26/2000, yaitu Penjelasan, Pasal 9, huruf d berbunyi “pemindahan secara paksa adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional”
2
PENGGUSURAN SECARA PAKSA Pengantar Setiap tahun, sekitar 10 juta orang diusir secara paksa dari rumahnya, tanahnya dan komunitasnya. Jumlah ini tidak menghitung betapa banyak pengusiran yang terjadi berhubungan dengan pengungsian internal dan eksternal, penampungan terpaksa dalam konteks konflik bersenjata dan pelarian massal .5 Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, yang menjamin hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak, termasuk perumahan.6 Negara harus menjamin: ¾ bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun,7 dan ¾ hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ini.8 Pada dasarnya, penggusuran secara paksa melanggar hak atas perumahan yang layak. Apa yang dimaksud dengan penggusuran secara paksa? Penggusuran secara paksa dapat diartikan sebagai pemindahan secara permanen atau sementara, yang bertentangan dengan kemauan individu, keluarga dan/atau komunitas, dari rumah dan/atau tanah yang ditempatinya tanpa penyediaan, dan akses terhadap, perlindungan hukum atau perlindungan layak yang lain.9 Yaitu, penggusuran secara paksa adalah penggusuran yang terjadi secara sewenang-wenang dan yang tidak dilakukan menurut hukum HAM internasional atau hukum domestik. Oleh karena itu, penggusuran dapat dilakukan tanpa kekerasan apabila tanah diambil tanpa alasan yang dapat dibenarkan, atau apabila perlindungan prosedural para korban tidak dijamin. “Perlindungan prosedural” termasuk konsultasi sungguh-sungguh dengan penduduk yang terpengaruhi, diberitahukannya secara layak dan memadai mengenai penggusuran sebelum tanggal dimulainya penggusuran, diperlakukannya setara perempuan dan laki-laki dalam hal akses terhadap kompensasi,10 dan ketersediaan upaya hukum bagi orang yang terpengaruhi oleh penggusuran Hak atas perumahan yang layak (dan larangan terhadap penggusuran secara paksa) melindungi individu yang menempati rumah dan tanah. Perlindungan ini tidak ditentukan oleh bentuk kepemilikan atau penguasaan rumah atau tanah, dan juga tidak tergantung pada sah tidaknya penempatan rumah atau tanah itu. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang melindungi individu dari “dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah 5
Lembar Fakta Nomor 25 Penggusuran Secara Paksa dan Hak Asasi Manusia, Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia 6 “Negara pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.” 7 Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya (pasal 2, paragraf 2). 8 Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini (pasal 3). 9 Komentar Umum 7, pasal 3 10 Pelapor Khusus mengenai Perumahan yang Layak, “Prinsip dan Pedoman Dasar mengenai Penggusuran dan Pengusiran Berdasarkan Alasan Pembangunan”, E/CN.4/2006/41, Maret 14, 2006, paragraf 61. Pelapor Khusus adalah orang yang indepen, tidak dibayar, tidak dipekerjakan oleh PBB dan mengabdi dalam kapasitas sendiri. Orang ini biasanya ditunjuk oleh Dewan HAM PBB (formerly the Human Rights Commission) atau Sub-Komisi Pemajuan dan Perlindungan HAM (Sub-Commission for the Protection and Promotion of Human Rights).
3
masalah-masalah rumahnya” dan menjamin hak setiap orang atas perlindungan hukum terhadap campur tangan tersebut.11 Penggusuran secara paksa sering berdampak pada perwujudan hak lain yang dilindungi oleh hukum internasional dan hukum Indonesia. Misalnya, pemindahan yang disebabkan penggusuran dapat berdampak pada hak kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya.12 Kekerasan dan pembongkaran sembarangan mengancam hak atas keamanan pribadi.13 Diintimidasinya dan ditangkapnya orang yang melawan penggusuran secara paksa dapat melanggar kebebasan untuk menyatakan pendapat,14 hak untuk berkumpul15 dan hak untuk berserikat dengan orang lain.16 Gangguan terhadap pendidikan sekolah para anak yang diusir dari rumahnya dapat merupakan pelanggaran hak atas pendidikan.17 KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Statuta Roma18 mendirikan pengadilan pidana internasional tetap yang ruang lingkupnya meliputi “tindak pidana yang paling memprihatinkan untuk komunitas internasional secara keseluruhan”. Statuta Roma menyebut genosida (pasal 6), kejahatan terhadap kemasnusiaan (pasal 7) dan kejahatan perang (pasal 8) sebagai tindak pidana tersebut. Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, namun menurut Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia, pemerintah Indonesia akan menjadi Negara Pihak pada tahun 2008.19 Walaupun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, sejak tahun 2000, pemerintah telah mengakui pentingnya untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia dengan pembentukan pengadilan khusus untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Dalam rangka ini pada tahun 2000, Indonesia memberlakukan Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Menurut penjelasan undang-undang ini, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 7 sesuai dengan Rome Statute of The International Criminal Court.
11
Pasal 17. Komite HAM pernah mencatat bahwa istilah “dicampurinya sewenang-wenang” termasuk dicampurinya menurut hukum karena konsep “sewenang-wenang” dalam ICCPR “dimaksudkan untuk dijaminnya bahkan campuran yang diperbolehkan oleh undang-undang harus sesuai dengan pasal dan tujuan Kovenan dan, paling tidak, seharusnya layak dengan keadaan yang bersangkutan”. Komite HAM PBB “Komentar Umum Nomor 16: Hak atas dihormatinya masalah pribadinya, keluarganya, rumah dan suratmenyuratnya, dan perlindungan kehormatan dan nama baiknya (Pasal 17)”, April 8, 1988, paragraf 4. Komite HAM adalah sebuah badan pemantauan hak sipil dan politik yang didirikan oleh ICCPR (pasal 28) 12 ICCPR, pasal 12 13 ICCPR, pasal 9 14 ICCPR, pasal 19 15 ICCPR, pasal 21 16 ICCPR, pasal 22 17 ICESCR, pasal 13 18 Statuta Roma mulai berlaku bagi Negara Pihak pada tanggal 1 Juli 2002 19 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009, III Rencana Kegiatan RANHAM Indonesia Tahun 2004-2009, B Persiapan Ratifikasi Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional, Statuta Roma Tahun 2008
4
Apa yang dimaksud dengan Kejahatan terhadap Kemanusiaan Elemennya Chapeau dari pasal 7 Statuta Roma menetapkan definisi umum untuk “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Definisi ini mencakup beberapa elemen inti dari kejahatan itu, yaitu bahwa perbuatan terjadi: ¾ sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik ¾ yang ditujukan terhadap penduduk sipil ¾ dengan diketahuinya pelaku akan serangan tersebut20 Bentuknya Salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah “deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa”. Yang dimaksud dengan “deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa” adalah: ¾ pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain ¾ dari daerah dimana mereka berada secara sah ¾ tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.21 Deportasi berarti “memaksa berpindah satu orang dari suatu negara ke negara lain”, sedangkan “pemindahan penduduk secara paksa” meliputi pemindahan secara paksa seseorang dari suatu daerah ke daerah lain di dalam satu negara. OPERASI MURAMBATSVINA: KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN? Tanpa diberitahukan terlebih dahulu, Pemerintah Zimbabwe melaksanakan kampanye penggusuran secara paksa di berbagai kota Zimbabwe. Kampanye ini dinamakan “Operasi Murambatsvina” dan dimulai akhir Mei 2005 dan diakhiri awal Juli 2005. Operasi Murambatsvina dilaksanakan secara cepat dan brutal. Pihak yang melaksanakannya adalah pemerintah pusat, termasuk militer (walaupun ada penduduk yang dipaksakan menghancurkan bangunan sendiri di bawah pengawasan polisi). Kampanye ini mengakibatkan pemindahan beratus-ribu orang secara paksa, penghancuran rumah dan kediaman, tempat berbisnis dan harta milik, kehilangan sumber kehidupan orang, dan dilukainya serta dibunuhnya penduduk.22
20
Notabene: definisi Statuta Roma sedikit berbeda dengan kata-kata yang dipakai dalam UU 26/2000, yaitu Pasal 7 berbunyi ”Kejahatan terhadap kemanusiaan... adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.” Namun, UU 26/2000 sendiri berbunyi “Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of The Intemational Criminal Court” (Penjelasan, pasal 7). 21 Statuta Roma, pasal 7(2)(d). Nota bene: definisi Statuta Roma sedikit berbeda dengan kata-kata yang dipakai dalam UU 26/2000, yaitu Penjelasan, Pasal 9, huruf d berbunyi “Deportasi atau pemindahan secara paksa adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional” 22 Menurut pemerintah Zimbabwe, 92,460 tempat kediaman digusur (133,535 keluarga terpengaruhi secara langsung) dan 32,538 bangunan yang didirikan pemilik dari usaha (bisnis) kecil, mikro dan menengah digusur. Namun, kalau angka sensus dari tahun 2002 dipergunakan, dapat diperkirakan sebanyak 569,685 orang yang jatuh korban penggusuran secara paksa dan 97,614 orang kehilangan nafkahnya dalam waktu 2 bulan – antara tanggal 17 Mei 2005 dan 9 Juli 2005.
5
Pemerintah Zimbabwe: ¾ membela tindakannya dengan alasan Operasi Murambatsvina merupakan tahap pertama dari rencana jangka panjang untuk membangun kompleks-kompleks perumahan baru dan menciptakan suasana yang mendukung bisnis. ¾ menegaskan bahwa bangunan yang digusur tidak sah menurut hukum Zimbabwe dan para penghuninya pada kenyataan sudah diberi kesempatan untuk membongkarnya. ¾ membenarkan tindakannya dengan alasan penggusuran secara paksa diperlukan: antara lain untuk menghentikan urbanisasi yang tidak terencana, untuk mengurangi ancaman penyakit menular, untuk mencegah tindak pidana ekonomi, untuk menghapus pasar sejajar dan membendung sabotase ekonomik, untuk mengurangi tingkat tindak pidana, dan untuk menghentikan tindakan yang melanggar nilai moral, seperti prostitusi. Sampai sekarang Pemerintah Zimbabwe menolak menyelidiki, menyidik dan mengadili petugas dan oknum yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Operasi Murambatsvina. (foto: http://hrw.org/photos/2005/zimbabwe1105/) Pantas ditanya apakah penggusuran paksa yang dilaksanakan dengan skala yang sebesar ini, dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan: yaitu deportasi/pengusiran atau pemindahan secara paksa?
Pembahasan elemen kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konteks Operasi Murambatsvina Serangan yang meluas atau sistematik Elemen pertama dari definisi “kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah “serangan yang meluas atau sistematik”. Perlu dicatat bahwa serangan tidak harus melibatkan kekuatan militer atau konflik/pertikaian bersenjata, atau jenis kekerasan apapun.23 Persyaratan “meluas atau sistematik” adalah syarat mendasar dalam membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan umum, yang tidak dikategorikan sebagai suatu kejahatan dalam tingkat hukum internasional. Istilah “meluas” merujuk pada “skala besarnya” serangan dan “banyaknya jumlah korban”. Istilah “sistematik” mengindikasikan “suatu rencana yang terpola atau metodis” berdasarkan kebijakan bersama yang melibatkan sumber daya publik atau swasta yang cukup banyak. Kedua istilah tersebut merujuk pada sifat serangan dan bukan perbuatan tersangka. Misalnya perbuatan yang terjadi satu kali saja dapat merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan apabila dilakukan dalam konteks rangkaian perbuatan yang terjadi secara meluas. Operasi Murambatsvina memenuhi syarat bahwa perbuatan terjadi sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik. Operasi bersifat skala besar dan dilakukan pada waktu yang sama kepada korban yang berlipat ganda. Bahkan jumlah korban yang diakui 23
Prosecutor v Akayesu International Criminal Tribunal for Rwanda
6
pemerintah (yaitu 92,460 tempat kediaman digusur dan 133,535 keluarga terpengaruhi secara langsung, dan 32,538 bangunan yang didirikan pemilik usaha (bisnis) kecil, mikro dan menengah digusur) dapat dikatakan “secara meluas”. Operasi ini diatur dan dilaksanakan berdasarkan kebijakan bersama Negara (kebijakan diumumkan oleh pejabat pemerintah) dan memerlukan sumber daya publik yang cukup banyak (Operasi ini dilakukan oleh polisi dan militer).24 Serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil Elemen kedua dari definisi “kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah “serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil”. Yang dimaksud dengan frase ini adalah: a) suatu rangkaian perbuatan yang disebutkan dalam ayat 1 yang dilakukan berlipat ganda b) yang dilakukan terhadap penduduk sipil c) sebagai kelanjutan kebijakan Negara atau kebijakan organisasi untuk melakukan serangan itu25. a) Suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan berlipat ganda Dalam kasus Operasi Murambatsvina, terdapat suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan berlipat ganda: berkali-kali orang diusir dari tempat mereka berada; rumahnya dan bangunan lainnya digusur. b) Yang dilakukan terhadap penduduk sipil “Sipil” berarti bukan militer atau pasukan bertempur, dan “penduduk” berarti jumlah orang yang cukup besar yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang mengidentifikasikannya sebagai sasaran serangan. Istilah “penduduk” tidak mengharuskan diserangnya penduduk secara keseluruhan dari wilayah geografis di mana serangan itu terjadi. Dalam konteks Operasi Murambatsvina, penduduk sipil mengalami penggusuran, pengusiran dan pemindahan secara paksa. c) Sebagai kelanjutan kebijakan negara atau kebijakan organisasi untuk melakukan serangan itu Serangan yang terjadi di kasus ini dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara. Operasi Murambatsvina diumumkan oleh pejabat pemerintah dan dilakukan oleh polisi dan tentara Zimbabwe. Pemerintah bahkan mencoba membenarkan tindakannya (misalnya, karena bangunan yang digusur tidak sah menurut hukum Zimbabwe maka wajar dibongkar).
24
Sebuah kebijakan atau rencana dapat membuktikan elemen “meluas atau sistematik” tetapi tidak dibutuhkan untuk membuktikan sifat serangan itu. 25 Pasal 7(2)(a) Statuta Roma. Nota bene: definisi Statuta Roma sedikit berbeda dengan definisi dalam UU 26/2000, yaitu Penjelasan, Pasal 9 berbunyi “Yang di maksud dengan "serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.” Definisi ini tidak termasuk kata “berlipat ganda” (walaupun perbuatan yang dmaksud harus merupakan rangkaian perbuatan) dan tidak menyebut secara jelas bahwa perbuatan harus merupakan kebijakan untuk melakukan serangan itu”.
7
Dengan diketahuinya pelaku akan serangan Elemen terakhir dari definisi “kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah “dengan diketahuinya pelaku akan serangan”. Pengamatan ini tidak menamakan individu yang bertanggungjawab atas penggusuran, maka tidak perlu untuk mengupas elemen mental yang harus dibuktikan apabila kasus ini digugat. Untuk keperluan pengamatan ini, cukup untuk mencatat bahwa: ¾ pelaku harus tahu, paling tidak secara umum, bahwa tindakannya merupakan bagian dari serangan meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil, dan ¾ tindakannya dilakukan menurut kebijakan atau rencana. Tidak perlu bahwa tersangkalah merupakan orang yang melakukan tindak pidana (pemindahan secara paksa). Pasal 25 Statuta Roma menjelaskan bahwa: ¾ orang yang memerintahkan, menyuruh atau membujuk dilakukannya kejahatan yang pada kenyataannya terjadi atau diupayakan, dan ¾ orang yang membantu melakukan tindak pidana dapat bertanggungjawab dan menanggung secara pidana hukuman-hukuman untuk kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan.26 Selain itu, Pasal 28 mengutarakan prinsip “tanggungjawab atasan”, di mana komandan militer atau pejabat tinggi yang lain dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan atau pembiaran yang dilakukan pasukan yang berada di bawah komando dan pengendalian yang efektif apabila orang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran.27
Pembahasan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (pemindahan secara paksa) dalam konteks Operasi Murambatsvina Pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain Elemen pertama dari definisi “pemindahan penduduk secara paksa” adalah pemindahan orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain. Mengingat sejarah modern di mana terjadinya pemindahan orang-orang secara paksa, “pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain” termasuk segala bentuk tekanan terhadap penduduk yang memaksakannya lari dari rumahnya, termasuk ancaman mati, pembongkaran rumah, dan tindakan penganiayaan yang lain seperti menghalangi kesempatan kerja anggota kelompok, meniadakan akses terhadap sekolah dan memaksakannya untuk memakai tanda agama.28
26
Menurut pasal 41 UU 26/2000, percobaan, permufakatan jahat atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran dipidana dengan pidana yang sama dengan kententuan bagi orang yang melakukan perbuatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan 27 Lihat pasal 42 UU 26/2000 28 CK Hall in R Dixon ‘Crimes Against Humanity’ in O Triffterer (ed) Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, Observers; Notes, Article by Article (Nomos Verlagsgesellschaft Baden-Baden 1999), p.162.
8
Seringkali pemindahan secara paksa dilakukan: ¾ dengan kekerasan, misalnya pemindahan yang merupakan akibat konflik bersenjata internasional, kekacauan internal, dan kekerasan etnis.29 ¾ demi pembangunan ekonomi. ¾ karena kurang jelas siapa yang berhak atas tanah, karena tanah dibutuhkan untuk proyek infrastruktur seperti pembangunan bendungan, untuk pembangunan kompleks perumahan, untuk program pengindahan kota, untuk perluasan tanah pertanian, atau untuk diadakannya ajang olah raga internasional seperti Olimpiade.30 Di kasus Operasi Murambatsvina, penggusuran secara paksa yang dilakukan pemerintah mengakibatkan orang meninggalkan tempat mereka berada, yaitu yang terjadi adalah pemindahan orang secara paksa. Dari daerah di mana mereka berada secara sah Elemen kedua dari definisi “pemindahan penduduk secara paksa” adalah pemindahan orang secara paksa dari daerah di mana mereka berada secara sah. Menurut Pemerintah Zimbabwe (dan sesuai dengan alasan yang diberikannya untuk membenarkan tindakannya), frase ini harus ditafsirkan secara sempit. Yaitu, penduduk berada di tempat secara sah apabila sah menurut hukum domestik (sah atau tidaknya ditentukan oleh hak kepemilikan/penguasaan tanah dan/atau sah atau tidaknya bangunan yang didirikannya). Dalam kasus ini, Pemerintah Zimbabwe menegaskan bahwa korban penggusuran secara paksa tidak berada di daerah secara sah karena korban menempati kediaman yang dibangun secara tidak sah atau karena berdagang tanpa izin dari pihak yang berwenang.31 Namun demikan, frase ini sebaiknya ditafsirkan secara luas. Yaitu, istilah “berada secara sah” mengacu pada hak setiap Negara untuk mengontrol izin masuk ke wilayahnya. Alasannya sebagai berikut: ¾ keberadaan orang di sebuah daerah menggambarkan keberadaan orang secara fisik di suatu tempat, bukan apakah orang tinggal di tempat itu atau memilikinya, ¾ keberadaan orang berhubungan dengan daerah dari mana korban dipindahkan secara paksa, ¾ istilah “daerah” menandakan kesatuan geografis yang cukup besar, bukan masingmasing bagian tanah yang ditempati orang. ¾ hukum domestik yang mengatur hak menempati dan memakai tanah biasanya sangat rumit. Luar biasa apabila penerapan hukum pidana internasional yang mendasar ditentukan oleh hukum domestik.
29
Komentar Umum Nomor 7, paragraf 6 Komentar Umum Nomor 7, paragraf 7 31 Namun, pada kenyataan, dalam kasus Operasi Murambatsvina itu, pemerintah sendiri tidak memenuhi syarat yang terkandung dalam peraturannya sendiri (misalnya: Undang-Undang Tata Ruang Lingkup tidak mengatur keberadaan orang di daerah, melainkan undang-undang tersebut mengatur sah atau tidaknya digunakannya tanah). Apabila pembangunan itu dianggap tidak sah, pemerintah dapat mengeluarkan perintah yang menuntut orang yang membangun bangunan yang tidak sah untuk membongkor bangungan itu (perintah tersebut tidak ditujukan terhadap keberadaan orang di tempat). Dalam kasus ini pihak pemerintah sendiri gagal mentaati syarat peraturan karena tidak mengeluarkan perintah tersebut. Oleh karena itu korban berada secara sah, karena tidak ada peraturan yang membuat keberadannya tidak sah. Kalaupun ternyata korban tidak berada secara sah, yang berhak bertindak adalah pemerintah setempat yang menurut undang-undang bertanggungjawab atas pelaksanaan undang-undang tersebut. Apabila pemerintah setempat tidak mau bertindak, tentu saja aparat militer tidak berhak mengusir korban. 30
9
¾ standar yang terkandung dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya melindungi orang yang menempati rumah/tanah secara tidak sah. Apabila “berada secara sah” ditafsirkan secara sempit, berarti sah tidaknya kepemilikan/ penguasaan tanah menurut hukum domestik dapat menentukan hak orang dalam hukum pidana internasional, sedangkan hukum domestik tidak menentukan apa apa dalam hukum HAM internasional, dan ¾ latar belakang disusunnya Pasal 7 ayat d Statuta Roma menunjukkan bahwa masalah yang dijadikan fokus pasal ini adalah wilayah negara; tidak ada pembahasan sama sekali mengenai sah atau tidaknya keberadaan penduduk menurut hukum domestik. Penafsiran yang lebih luas didukung pula oleh M Cherif Bassiouni, penulis terkemuka di bidang kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut beliau, “berada secara sah” memungkinkan Negara untuk mendeportasi seseorang yang, menurut hukum domestiknya, tidak boleh tetap/berada di wilayah Negara itu.32 Tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional Elemen terakhir dari definisi “pemindahan penduduk secara paksa” adalah terjadinya pemindahan itu tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional. Menurut syarat ini, penuntut umum harus membuktikan sebagai salah satu elemen dari tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan bahwa penggusuran itu terjadi tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional. Menurut Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya: a. Penggusuran secara paksa pada dasarnya merupakan pelanggaran Kovenan Internasional Ekonomi Sosial dan Budaya.33 b. Penggusuran secara paksa hanya diperbolehkan dalam keadaan luar biasa di mana penggusuran atau pemindahan secara paksa perlu untuk memenuhi tujuan yang sah c. Penggusuran secara paksa harus dilakukan sesuai dengan: ¾ prinsip hukum internasional34 dan ¾ sesuai dengan prinsip kelayakan (reasonableness) dan keseimbangan (proportionality).35 d. Penggusuran harus diiringi dengan perlindungan prosedural yang cocok (keharusan ini merupakan bagian mutlak dari terjadinya penggusuran sesuai dengan prinsip hukum internasional) Komentar Umum 7 menjelaskan lebih lanjut perlindungan prosedural mana yang harus dijamin Negara, yaitu termasuk: i. disediakannya kesempatan untuk berkonsultasi secara sungguh-sungguh dengan penduduk yang terpengaruhi, ii. orang yang terpengaruhi harus diberitahukan secara layak dan memadai mengenai penggusuran sebelum tanggal dimulainya penggusuran, iii. informasi mengenai penggusuran yang direncanakan dan cara pemakaian alternatif tanah atau rumah itu harus diberikan dalam kurun waktu yang layak sebelum penggusuran terjadi,
32
M.C. Bassiouni Crimes Against Humanity in International Criminal Law (2nd edition, The Hague: Kluwer 1999), p.326 33 Komentar Umum Nomor 4, paragraf 18 34 Komentar Umum Nomor 4, paragraf 18 35 Komentar Umum Nomor 7, paragraf 14
10
iv. terutama apabila pihak yang terpengaruhi merupakan komunitas atau kelompok, pejabat pemerintah atau wakilnya harus ada pada waktu penggusuran terjadi, v. setiap orang yang melakukan penggusuran harus diidentifikasikan secara layak, vi. penggusuran tidak boleh dilaksanakan apabila cuaca sedang buruk atau pada malam hari kecuali orang yang terpengaruhi mengizinkannya, vii. disediakannya upaya hukum bagi orang yang terpengaruhi, viii. apabila mungkin, bantuan hukum harus disediakan kepada orang yang membutuhkannya.36 Selain itu, penggusuran seharusnya tidak mengakibatkan: ix. orang mengalami keadaan tunawisma, atau x. orang rentan terhadap pelanggaran HAM yang lain”.37 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik melengkapi hak untuk tidak diusir secara paksa tanpa perlindungan yang layak. Pasal 17(1) antara lain, menegaskan hak setiap orang untuk tidak dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah rumahnya. Rumah termasuk rumah yang dibangun secara tidak sah.38 Istilah “sewenang-wenang” mengartikan bahwa walaupun “dicampurinya masalah rumah” dilakukan secara sah menurut hukum domestik, perbuatan itu tetap melanggar pasal 17 apabila tidak dilakukan secara layak. Apakah Operasi Murambatsvina dilakukan tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional? Pemerintah Zimbabwe sudah memberikan berbagai alasan untuk membenarkan perbuatan penggusuran secara paksa. Untuk keperluan makalah ini, disimpulkan saja bahwa Operasi Murambatsvina diperbolehkan karena kondisi di Zimbabwe pada tahun 2005 merupakan keadaan luar biasa dan penggusuran itu dilakukan untuk memenuhi tujuan yang sah. Kemudian harus ditanyakan apakah Operasi ini dilakukan tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional? Dari bukti yang diketahui secara umum, nampak sekali bahwa Pemerintah Zimbabwe melakuan penggusuran tanpa didasari alasan yang iijinkan hukum internasional: ¾ Pertama, Operasi Murambatsvina tidak diikuti dengan perlindungan prosedural yang cocok: o Tidak ada bukti bahwa sebelum bertindak pemerintah membicarakan keadaan dengan penduduk sempat yang akhirnya jatuh korban Operasi Murambatsiva. o Operasi dimulai tanpa peringatan/pemberitahuan terlebih dahulu o Pemerintah tidak menyediakan penginapan alternatif atau membantu orang yang diusir, bahkan kelompok yang rentan tidak dibantu. Dampak yang dapat diperkirakan adalah penderitaan secara skala besar. o Perlindungan hukum tidak memadai, baik karena kurangnya bantuan hukum, maupun karena badan peradilan Zimbabwe tidak bebas. ¾ Kedua, Operasi Murambatsvina tidak sebanding/seimbang dengan tujuan yang mau tercapai. o Tidak dilakukannya usaha sistematik oleh pemerintah untuk menilai penderitaan/ kerugian yang akan dialami korban penggusuran
36
Komentar Umum Nomor 7, parargraf 15 Komentar Umum Nomor 7, paragraf 16 38 UN ECOSOC Res 2004/28, UN Doc E/C.4/RES/2004728 (2004) 1 37
11
o Tujuannya (mis: karena bangunan tidak sah menurut hukum Zimbabwe, untuk menghentikan urbanisasi yang tidak terencana, untuk mengurangi ancaman penyakit menular) tidak cukup serius untuk membenarkan penderitaan/ kerugian yang dialami korban. Penderitaan yang dialami korban luar biasa, dan sampai sekarang masih susah untuk mengidentifaskikan manfaatnya Operasi Murambatsvina o Banyak rumah atau bangunan yang digusur sudah ditempati korban bertahuntahun. Pemerintah Zimbabwe tidak menilai secara patut jalan alternatif selain penggusuran seperti kemungkinan mensahkan rumah atau bangunan yang tidak legal o Pemerintah Zimbabwe tidak mengambil langkah yang memadai untuk mengurangi penderitaan/kerugian yang diderita. o Ekonomi informal yang dihancurkan Operasi ini merupakan sumber utama pangan bagi banyak korban (dan pada waktu itu sudah ada kekurangan pangan yang kritis). ¾ Ketiga, pemaksaan harus sebanding dengan tujuannya. Negara tidak boleh menyiksa atau melakukan kekerasan atau perlakuan yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. o Pihak militer terlibat o Operasi Murambatsvina direncanakan untuk dimulai pada bulan pertama musim dingin, dan pemerintah sadar betul bahwa hal ini akan memperparah dampak dari penggusuran karena korban tidak mempunyai tempat kediaman o Cara dilakukannya penggusuran dimaksudkan untuk merendahkan bahkan untuk menghilangkan martabat korban o Ada bukti bahwa anak dipisahkan dari keluarganya dan tidak ada usaha untuk menyatukan kembali keluarga o Oleh karena penggusuran, korban tidak bisa mengakses layanan kesehatan yang layak dan mendasar o Harta milik dan barang jualan pedagang disita atau dihancurkan ¾ Keempat, penggusuran tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang atau secara diskriminatif. o Operasi itu dilakukan secara umum tanpa membedakan antara individu. Dampak dari operasi tersebut sangat mempengaruhi kelompok rentan
Penutup Menurut Prinsip Limburg pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya secara sistematis meruntuhkan keamanan nasional dan mungkin dapat mengancam kedamaian dan keamanan internasional.39
39
Prinsip Limburg tentang Penerapan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, paragraf 65. Prinsip Limburg disusun pada tahun 1986 oleh kelompok ahli hukum internasional yang terkemuka. Para ahli ini berasal dari berbagai negara, dan merupakan anggota lembaga internasional seperti Organisasi Buruh Internasional (ILO), Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan 4 di antaranya merupakan anggota Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Para ahli ini bersepakat tanpa pengecualian bahwa prinisp Limburg mencerminkan prinsip hukum internasional yang lazimnya disetujui.
12
Perlu diakui bahwa jalur hukum yang dapat dipakai korban pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya terbatas di Indonesia. Hukum pidana internasional, yang termasuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, merupakan kejahatan serius yang terjadi dalam konteks massal. Di Indonesia ada undangundang yang memungkinkan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perbuatan individu yang disangka memenuhi syarat genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari uraian di atas, patut dipertimbangkan apakah pelanggaran hak ekosob dapat dikatakan sebagai kejahatan serius yang perlu diperhatikan dan yang mungkin pula dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
13
LAMPIRAN Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Undang-Undang tentang Perumahan dan Permukiman Pasal 5 PERUMAHAN Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Penjelasan Rumah yang layak adalah bangunan memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. Lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan penataan ruang, persyaratan penggunaan tanah, pemilikan hak atas tanah, dan kelayakan prasarana serta sarana lingkungan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 7, ayat 2 Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional. Pasal 27, ayat 1 Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 31 Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu Penjelasan Yang dimaksud dengan “tidak boleh diganggu” adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya. Pasal 36, ayat 2 Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang san secara melawan hukum Pasal 37 1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum hanya diperbolehkn dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan perauran perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
14
Pasal 40 Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Pasal 71 Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam...hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Pasal 74 Tidak satu ketentuan pun dalam Undang-Undang ini oleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-Undang ini. Penjelasan Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan atau mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan ketentuan dan Undang-Undang ini, sehingga mengakibatkan berkurangnya dan atau hapusnya hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang ini. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights Mengesahkan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 (pasal 1, ayat 1). Dengan pengesahan Kovenan ini, maka Kovenan ini mengikat Indonesia secara hukum. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Pasal 11(1) Kovenan Ekosob mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak, termasuk perumahan.40 Negara harus menjamin: • bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun,41 dan • hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ini.42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 7 Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi : a. kejahatan terhadap kemanusian; Penjelasan Pasal 7 “Kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of The Intemational Criminal Court” (Pasal 6 dan Pasal 7). Pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau 40
“Negara pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.” 41 Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya (pasal 2, paragraf 2). 42 Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini (pasal 3).
15
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; Penjelasan Pasal 9 Yang di maksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. Huruf d Yang dimaksud dengan “pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa” adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.
16
Penggusuran di Jakarta Menurut laporan yang disusun Human Rights Watch yang berjudul “Masyarakat yang Tergusur: Pengusiran Paksa di Jakarta” Volume 18 No.10(C), September 2006, sepanjang sembilan tahun masa pemerintahan Gubernur Jakarta Sutiyoso, puluhan ribu orang mengalami pembongkaran rumahnya dan penghancuran harta miliknya. Perbuatan ini biasannya diorganisir oleh pemerintah setempat, dan dilaksanakan oleh polisi setempat, petugas ketertiban umum dan militer. Kadang-kadang kelompok swasata membantu petugas pemerintah melaksanakan penggusuran/pembongkaran. Korban tidak diberitahukan terlebih dahulu secara layak, tidak diikutinya prosedur sebagaimana mestinya, dan korban tidak diberikan kompensasi. Pemerintah Jakarta berupaya membenarkan beberapa penggusuran yang dilakukannya dengan alasan bahwa lahan tersebut dibutuhkan untuk proyek infrastruktur. Sementara itu, pemukiman lain dihancurkan dengan maksud membersihkan wilayah kumuh demi ketertiban umum, atau memindahkan mereka yang menggunakan lahan pribadi maupun milik negara secara tidak sah. Photos: http://www.hrw.org/photos/2006/indonesia0906/photo1.htm Penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam menghadapi warga Waktu itu seperti perang. Saya masih ingat dengan sangat jelas karena airmata saya belum kering ….Polisi datang dengan membawa perisai dan mereka berteriakteriak ‘Serang! Serang!’….Mulanya mereka menyerang dengan meriam air, kemudian mereka melepaskan gas airmata. Masyarakat lalu mundur, dan saat itulah polisi mulai memasuki lokasi. Mereka mulai menembak dan memukuli masyarakat ….Ketika kami masih melawan, mereka menembak ke udara. Tetapi setelah barikade terbuka, mereka kemudian menembaki ke arah masyarakat. —RR, diusir dari rumahnya di Cengkareng Timur, 17 September 2003.
Kehancuran dan kerugian harta benda pribadi Cuma barang-barang yang sempat kami keluarkan dari rumahlah yang selamat. Semua barang kami yang lainnya hilang: kulkas, TV, juga lemari kami. Kami juga kehilangan uang. Waktu itu tidak ada kesempatan untuk berbuat apa-apa. Kami sedang panik. —KS, diusir dari rumahnya di Cakung, Jalan Cilincing, 8 Januari 2006 Penggunaan kelompok urban oleh pemerintah Salah satu petugas militer bertanya kepada saya: ‘Apa premannya sudah datang?’ Saat itu saya berpikir bahwa para petugas militer itu ada di sana untuk melindungi kami. Tak lama kemudian, dua buah bis datang, beserta dua jeep, sekitar dua ratus preman. Kelompok preman tersebut datang dan berjabat tangan dengan polisi dan militer… sesaat kemudian, polisi dan militer pergi. Kemudian para preman tersebut langsung mendatangi kami, masuk ke dalam komplek perumahan. Tidak ada seorangpun yang menolong kami. Saya takut, saya tidak tahu negara macam apa ini yang polisi dan militernya membiarkan saja hal semacam itu terjadi. —EH, diusir dari rumahnya di Pasar Baru, 21 Desember 2005. Kegagalan bermusyawarah Kami cemas karena tidak ada pertemuan sama sekali.
17
—SW, diusir dari rumahnya di Cakung, Jalan Cilincing, 15 September 2005 Kurangnya pemberitahuan Pada saat itu saya sedang mencuci pakaian dan memasak, dan saya mendengar suara ketukan, jadi saya lari keluar rumah untuk melihat ada apa. Tak lama kemudian, buldoser datang, saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. —AR, diusir dari rumahnya di Cakung, Jalan Cilincing, 15 September 2005. Kompensasi yang tidak memadai Penggusuran yang terjadi telah membuat kami bertambah miskin dan kami menjadi gelandangan. —BS, diusir dari rumahnya di Pisangan Timur, 2 Januari 2006. Paksaan dalam proses kompensasi Karena warga tinggal dalam tenda [setelah pembongkaran] dan tidak memiliki makanan sama sekali, hal itu memaksa mereka untuk menerima uang tersebut meskipun jumlahnya [tidak mencukupi]. —SW, diusir dari rumahnya di Cakung, Jalan Cilincing, 15 September 2005 Korupsi dalam proses kompensasi Saya menandatangani tanda terima senilai Rp. 27.000.000 tetapi saya hanya menerima Rp. 15.200.000. Tetapi kemudian petugas kampung setempat meminta Rp. 1.600.000 dari saya. Saya tidak tahu kenapa. —LA, diusir dari rumahnya di Jatinegara, 11 Januari 2006. Penyediaan lahan alternatif yang tidak memadai Mereka menawarkan sebuah tempat …tetapi mereka hanya menyediakan tempat penampungan, bukan rumah…[Dan] jauh dari laut…Daerah sebelumnya [di mana kami tinggal sebelum penggusuran], sangat dekat dengan laut; kami tinggal buka pintu ….Kami tergantung pada kapal untuk penghidupan kami, jadi kalau kami tinggal jauh dari laut tak ada gunanya. —SM, nelayan, diusir dari rumahnya di Ancol Timur, 4 Oktober 2001. Tempat penampungan yang tidak memadai setelah penggusuran Kami dipaksa pergi tapi malam itu kami kembali. Kami tidur di tanah dan kami tidur di sini. Waktu itu hujan dan semuanya basah. Kami kembali kemari karena kami tidak tahu lagi harus pergi ke mana… Sekitar tiga bulan kami baru bisa membangun lagi. Petugas ketertiban umum terus-menerus mengawasi daerah ini. Kami tidak bisa membangun tenda atau pagar yang bisa terlihat dari jalan raya. Petugas ketertiban umum bilang “Nanti. Nanti, kamu bisa membangun, tapi sekarang harus kosong dulu”…Kami masih belum punya atap, cuma terpal. —AS, diusir dari rumahnya di Cikini, 12 Maret 2005 Penggusuran bersiklus Saya sudah tinggal di sini selama tiga puluh lima tahun, dan kami sudah diusir berkali-kali. Tapi kami selalu kembali karena kami tidak punya tempat tinggal lain lagi. —ID, diusir dari rumahnya di Cikini, 12 Maret 2005.
18
APAKAH PELANGGARAN HAK EKOSOB DAPAT DIGOLONGKAN SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN? Studi Kasus: Penggusuran Scr Paksa Yang Meluas Atau Sistematik Operasi Murambatsvina di Zimbabwe Nicola Colbran Norwegian Centre for Human Rights
Pelanggaran HAM dan tindak pidana internasional? Penggusuran secara paksa • pemindahan secara permanen atau sementara, • yang bertentangan dengan kemauan individu, keluarga dan/atau komunitas, • dari rumah dan/atau tanah yang ditempatinya • tanpa penyediaan, dan akses terhadap, perlindungan hukum atau perlindungan layak yang lain.
Pemindahan penduduk scr paksa • pemindahan orang-orang •
• •
secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka berada secara sah tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.
Sampai titik ini, keduanya mirip sekali, namun perlu diperhatikan ciri khas tindak pidana internasional
Pelanggaran HAM dan tindak pidana internasional? Penggusuran secara paksa
Pemindahan penduduk scr paksa • perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap penduduk sipil • pelaku mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan bagian dari atau memaksudkan perbuatan itu merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap penduduk sipil
Pelanggaran HAM dan tindak pidana internasional? Dapat disimpulkan dari tabel di atas bahwa tindak pidana internasional.... ...merupakan kejahatan serius yang perlu diperhatikan masyarakat internasional secara keseluruhan ...terjadi dalam konteks kekerasan massal (seperti serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap penduduk sipil) ...oleh karena itu tidak bersifat sekali-sekali atau tersendiri ...merupakan kejahatan di mana individu dapat dipertanggungjawabkan (bukan negara)
Hak atas perumahan yg layak • Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional ttg Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, yang menjamin hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak, termasuk perumahan. Negara harus menjamin: – bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun,dan – hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ini. • Penggusuran secara paksa pada dasarnya melanggar hak atas perumahan yang layak.
Apa yg dimaksud dgn ”penggusuran scr paksa” • Penggusuran/ pengusiran secara paksa dapat diartikan sebagai pemindahan secara permanen atau sementara, yang bertentangan dengan kemauan individu, keluarga dan/atau komunitas, dari rumah dan/atau tanah yang ditempatinya tanpa penyediaan, dan akses terhadap, perlindungan hukum atau perlindungan layak yang lain.
Apa yg dimaksud dgn ”penggusuran scr paksa” • Yaitu, penggusuran secara paksa: – terjadi secara sewenang-wenang dan tidak dilakukan menurut hukum HAM internasional atau hukum domestik. – dapat dilakukan tanpa kekerasan apabila tahan diambil tanpa alasan yg dapat dibenarkan, atau apabila perlindungan prosedural para korban tidak dijamin. Perlindungan prosedural korban termasuk: • konsultasi sungguh-sungguh dengan penduduk yang terpengaruhi, • diberitahukannya secara layak dan memadai mengenai penggusuran sebelum tanggal dimulainya penggusuran, • diperlakukannya setara perempuan dan laki-laki dalam hal akses terhadap kompensasi, dan • disediakannya upaya hukum bagi orang yang terpengaruhi
Apa yg dimaksud dgn ”penggusuran scr paksa” • Hak atas perumahan yang layak (dan larangan terhadap penggusuran secara paksa) melindungi individu yang menempati rumah dan tanah. Perlindungan ini tidak tergantung pada bentuk kepemilikan atau penguasaan rumah atau tanah, dan juga tidak tergantung pada sah tidaknya ditempatinya rumah atau tanah itu.
Hukum pidana internasional • Statuta Roma mendirikan pengadilan pidana internasional tetap yang ruang lingkupnya meliputi “tindak pidana yang paling memprihatinkan untuk komunitas internasional secara keseluruhan”. • Statuta Roma menyebut genosida (pasal 6), kejahatan terhadap kemasnusiaan (pasal 7) dan kejahatan perang (pasal 8) sebagai tindak pidana tersebut. • Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, namun menurut Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia, pemerintah Indonesia akan menjadi Negara Pihak pada tahun 2008.
Hukum pidana internasional • Walaupun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, sejak tahun 2000, pemerintah telah mengakui pentingnya untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan HAM dgn pembentukan pengadilan khusus untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. • Pada tahun 2000, Indonesia memberlakukan UU 26/2000 ttg Pengadilan Hak Asasi Manusia. • Menurut penjelasan UU ini, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 7 sesuai dengan Rome Statute of The International Criminal Court.
Apa yg dimaksud dgn ”kejahatan thd kemanusiaan” •
Elemennya – Perbuatan yg terjadi: • sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik • yang ditujukan terhadap penduduk sipil • dengan diketahuinya pelaku akan serangan tersebut (ps.7 Statuta Roma)
•
Bentuknya – Salah satu bentuk kejahatan thd kemanusiaan adalah “deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa”, yaitu: • pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain • dari daerah dimana mereka berada secara sah • tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.
Operasi Murambatsvina •
Tanpa diberitahukan terlebih dahulu, Pemerintah Zimbabwe melaksanakan kampanye penggusuran secara paksa di berbagai kota Zimbabwe. Kampanye ini dinamakan “Operasi Murambatsvina” dan dimulai akhir Mei 2005 dan berakhir awal Juli 2005. Kampanye ini mengakibatkan pemindahan beratus-ribu orang secara paksa, penghancuran rumah dan kediaman, tempat berbisnis dan harta milik, kehilangan sumber kehidupan orang, dan dilukainya serta dibunuhnya penduduk.
•
Pemerintah Zimbabwe: – membenarkan tindakannya/kebijakannya atas dasar pemberantasan “kegiatan liar” – tidak menyediakan perlindungan prosedural yang layak, dan – sampai sekarang menolak menyelidiki, menyidik dan mengadili petugas dan oknum yang bertanggungjawab atas pelaksanaan OM.
Operasi Murambatsvina
Pantas ditanya apakah penggusuran paksa yang dilaksanakan dengan skala yang sebesar ini, dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan: yaitu deportasi/pengusiran atau pemindahan secara paksa?
Elemen kejahatan thd kemanusiaan dalam konteks Operasi Murambatsvina Serangan yang meluas atau sistematik • • • • •
Serangan tidak harus melibatkan kekuatan militer atau konflik/pertikaian bersenjata, atau jenis kekerasan apapun “meluas atau sistematik” adalah syarat mendasar dalam membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan umum Istilah “meluas” merujuk pada “skala besarnya” serangan dan “banyaknya jumlah korban”. Istilah “sistematik” mengindikasikan “suatu rencana yang terpola atau metodis” berdasarkan kebijakan bersama yang melibatkan sumber daya publik atau swasta yang cukup banyak. Kedua istilah tersebut merujuk pula pada sifat serangan dan bukan perbuatan tersangka.
Elemen kejahatan thd kemanusiaan dalam konteks Operasi Murambatsvina Serangan yang meluas atau sistematik • OM bersifat skala besar dan dilakukan pada waktu yang sama kepada korban yang berlipat ganda. • Bahkan jumlah korban yang diakui pemerintah (yaitu 92,460 tempat kediaman digusur dan 133,535 keluarga terpengaruhi secara langsung, dan 32,538 bangunan yang didirikan pemilik usaha (bisnis) kecil, mikro dan menengah digusur) dapat dikatakan “secara meluas”. • OM diatur dan dilaksanakan berdasarkan kebijakan bersama Negara (kebijakan diumumkan oleh pejabat pemerintah) dan memerlukan sumber daya publik yang cukup banyak (OM dilakukan oleh polisi dan militer).
Elemen kejahatan thd kemanusiaan dalam konteks Operasi Murambatsvina Serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil: • suatu rangkaian perbuatan yang disebutkan dalam ayat 1 yang dilakukan berlipat ganda • yang dilakukan terhadap penduduk sipil • sebagai kelanjutan kebijakan Negara atau kebijakan organisasi untuk melakukan serangan itu
Elemen kejahatan thd kemanusiaan dalam konteks Operasi Murambatsvina a) Suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan berlipat ganda • Di OM, berkali-kali orang diusir dari tempat mereka berada; rumahnya dan bangunan lainnya digusur. b) Yg dilakukan thd penduduk sipil • “Sipil” berarti bukan militer atau pasukan bertempur, • “penduduk” berarti jumlah orang yang cukup besar yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang mengidentifikasikannya sebagai sasaran serangan. Tdk mengharuskan diserangnya penduduk scr keseluruhan dari wilayah geografis di mana serangan itu terjadi. • Dalam konteks OM, penduduk sipil mengalami penggusuran, pengusiran dan pemindahan secara paksa.
Elemen kejahatan thd kemanusiaan dalam konteks Operasi Murambatsvina c) Sebagai kelanjutan kebijakan negara atau kebijakan organisasi untuk melakukan serangan itu • Serangan yang terjadi di kasus ini dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara. OM diumumkan oleh pejabat pemerintah dan dilakukan oleh polisi dan tentara Zimbabwe. Pemerintah bahkan mencoba membenarkan tindakannya (misalnya, karena bangunan yang digusur tidak sah menurut hukum Zimbabwe maka wajar dibongkar).
Elemen kejahatan thd kemanusiaan dalam konteks Operasi Murambatsvina Dengan diketahuinya pelaku akan serangan • Pengamatan ini tidak menamakan individu yang bertanggungjawab atas penggusuran, maka tidak perlu untuk mengupas elemen mental yang harus dibuktikan apabila kasus ini digugat.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan (pemindahan secara paksa) dalam konteks Operasi Murambatsvina Pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain • termasuk segala bentuk tekanan terhadap penduduk yang memaksakannya lari dari rumahnya • seringkali dilakukan dgn kekerasan, misalnya sbg akibat konflik bersenjata internasional, kekacauan internal, dan kekerasan etnis • Juga dapat dilakukan demi pembangunan ekonomi. • Di kasus Operasi Murambatsvina, penggusuran secara paksa yang dilakukan pemerintah mengakibatkan orang meninggalkan tempat mereka berada, yaitu yang terjadi adalah pemindahan orang secara paksa.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan (pemindahan secara paksa) dalam konteks Operasi Murambatsvina Dari daerah di mana mereka berada secara sah • Pemerintah Zimbabwe mengartikan frase ini dengan cara yang sempit, yaitu, penduduk akan berada di tempat secara sah apabila sah menurut hukum domestik (sah atau tidaknya ditentukan oleh hak kepemilikan/ penguasaan tanah dan/atau sah atau tidaknya bangunan yang didirikannya). • Namun demikan, frase ini sebaiknya ditafsirkan secara luas, yaitu berada secara sah mengacu pada hak setiap Negara untuk mengontrol izin masuk ke wilayahnya.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan (pemindahan secara paksa) dalam konteks Operasi Murambatsvina Alasannya sebagai berikut: • keberadaan orang di sebuah daerah menggambarkan keberadaan orang secara fisik di suatu tempat, bukan apakah orang tinggal di tempat itu atau memilikinya, • keberadaan orang berhubungan dengan daerah dari mana korban dipindahkan secara paksa, • istilah “daerah” menandakan kesatuan geografis yang cukup besar, bukan masing-masing bagian tanah yang ditempati orang. • hukum domestik yang mengatur hak menempati dan memakai tanah biasanya sangat rumit. Luar biasa apabila penerapan hukum pidana internasional yang mendasar ditentukan oleh hukum domestik.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan (pemindahan secara paksa) dalam konteks Operasi Murambatsvina •
standar yang terkandung dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob melindungi orang yang menempati rumah/tanah secara tidak sah. Apabila “berada secara sah” ditafsirkan secara sempit, berarti sah tidaknya kepemilikan/ penguasaan tanah menurut hukum domestik dapat menentukan hak orang dalam hukum pidana internasional, sedangkan hukum domestik tidak menentukan apa apa dlm hukum HAM internasional, dan
•
latar belakang disusunnya Pasal 7 ayat d Statuta Roma menunjukkan bahwa masalah yang dijadikan fokus pasal ini adalah wilayah negara; tidak ada pembahasan sama sekali mengenai sah atau tidaknya keberadaan penduduk menurut hukum domestik.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan (pemindahan secara paksa) dalam konteks Operasi Murambatsvina Tanpa didasari alasan yg diijinkan hukum internasional Menurut Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya: – Penggusuran secara paksa pada dasarnya merupakan pelanggaran Kovenan Internasional Hak Ekosob. – Penggusuran secara paksa hanya diperbolehkan dalam keadaan luar biasa di mana penggusuran atau pemindahan secara paksa perlu untuk memenuhi tujuan yang sah – Penggusuran secara paksa harus dilakukan sesuai dengan: • prinsip hukum internasional, dan • sesuai dengan prinsip kelayakan (reasonableness) dan keseimbangan (proportionality).
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan (pemindahan secara paksa) dalam konteks Operasi Murambatsvina – Penggusuran harus diiringi dengan perlindungan prosedural yang cocok (keharusan ini merupakan bagian mutlak dari terjadinya penggusuran sesuai dengan prinsip hukum internasional
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan (pemindahan secara paksa) dalam konteks Operasi Murambatsvina Apakah OM dilakukan tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional? • Pemerintah Zimbabwe sudah memberikan berbagai alasan untuk membenarkan perbuatan penggusuran scr paksa. Untuk keperluan makalah ini, disimpulkan saja bahwa OM diperbolehkan karena kondisi di Zimbabwe pada tahun 2005 merupakan keadaan luar biasa dan penggusuran itu dilakukan untuk memenuhi tujuan yang sah. • Walaupun begitu, nampak sekali bahwa Pemerintah Zimbabwe melakuan penggusuran tanpa didasari alasan yang iijinkan hukum internasional: – Pertama, OM tdk diikuti dengan perlindungan prosedural yang cocok mis: Tidak ada bukti bahwa sebelum bertindak pemerintah membicarakan keadaan dgn penduduk sempat yang akhirnya jatuh korban OM, Operasi dimulai tanpa peringatan/pemberitahuan terlebih dahulu, Perlindungan hukum tdk memadai, krn kurangnya bantuan hukum, maupun krn badan peradilan Zimbabwe yg tdk bebas.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan (pemindahan secara paksa) dalam konteks Operasi Murambatsvina • Kedua, OM tidak sebanding/seimbang dengan tujuan yang mau tercapai. – Tujuannya (mis: karena bangunan tidak sah menurut hukum Zimbabwe, untuk menghentikan urbanisasi yang tidak terencana, untuk mengurangi ancaman penyakit menular) tidak cukup serius untuk membenarkan penderitaan/ kerugian yang dialami korban. – Tidak dilakukannya usaha sistematik oleh pemerintah untuk menilai penderitaan/ kerugian yang akan dialami korban penggusuran
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan (pemindahan secara paksa) dalam konteks Operasi Murambatsvina • Ketiga, pemaksaan harus sebanding dengan tujuannya. Negara tidak boleh menyiksa atau melakukan kekerasan atau perlakuan yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat: mis: – Pihak militer terlibat – Cara dilakukannya penggusuran dimaksudkan untuk merendahkan bahkan untuk menghilangkan martabat korban
• Keempat, penggusuran tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang atau secara diskriminatif. – Operasi itu dilakukan secara umum tanpa membedakan antara individu. Dampak dari operasi tersebut sangat mempengaruhi kelompok rentan
Penutup • Menurut Prinsip Limburg pelanggaran hak ekosob secara sistematis meruntuhkan keamanan nasional dan mungkin dapat mengancam kedamaian dan keamanan internasional. • Perlu diakui bahwa jalur hukum yang dapat dipakai korban pelanggaran hak ekosob terbatas di Indonesia. • Hukum pidana internasional, yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan, merupakan kejahatan serius yan terjadi dalam konteks massal.
Penutup • Di Indonesia ada undang-undang yang memungkinkan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perbuatan individu yang disangka memenuhi syarat genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. • Dari uraian di atas, patut dipertimbangkan apakah pelanggaran hak ekosob dapat dikatakan sebagai kejahatan serius yang perlu diperhatikan dan yang mungkin dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.