Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan
1
Buku-buku digital PATTIRO free download silahkan disebarluaskan untuk dimanfaatkan oleh Masyarakat. Tersedia di APP Store dan Goggle Play dan Webstore distributor ebook. PATTIRO PUSAT ANALISIS DAN TELAAH REGIONAL
PATTIRO adalah sebuah Organisasi Non-Pemerintah yang didirikan 17 April 1999 di Jakarta, bergerak di isu-isu pemerintahan daerah dan keterbukaan informasi publik, dengan memanfaatkan pendekatan multistakeholder engagement. Misi yang diemban oleh PATTIRO antara lain memperkuat kapasitas warga untuk berperan dalam proses pembuatan keputusan publik. PATTIRO mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hubungi kami untuk Informasi dan kerjasama dibidang penelitian, fasilitator, Capacity Building, advokasi pelayanan publik, Perbaikan Pelayanan Publik, Reformasi Kebijakan Publik, dan Reformasi Manajemen Keuangan Publik
Jl. Intan No.81, Cilandak Barat, Jakarta Selatan T:+62-21 7591 5498 | F:+62-21 751 2503
[email protected] | www.pattiro.org | Facebook page PATTIRO
Laporan Alternatif Hak EKOSOB: Pendidikan, Kesehatan, dan Pangan ISBN 978-979-18481-8-3 Diterbitkan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Cetakan Pertama, Januari 2011 Dilarang memperbanyak tulisan dalam buku ini, sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Penulis: Ilham Cendekia Srimarga Markus Christian Dati Fatimah Hasrul Hanif Tri Lindawati Editor: Diah Tantri Tata Letak: Agus Wiyono Penerbit: Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Jl. Tebet Timur Dalam VIII No.39, Jakarta Selatan Telp/Fax : +62-21 8379 0541/+62-21 829 4691 Email :
[email protected];
[email protected]
ii
Kata Pengantar Beberapa waktu lalu, kami mengundang berbagai kalangan masyarakat untuk mengikuti call for paper bertema “Tiga Tahun Pasca Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob (2006-2008): Situasi Pemenuhan dan Agenda Mainstreaming Ekosob dalam Sistem Pembangunan di Indonesia”. Kegiatan ini bersifat pengayaan (enrichment) atas kegiatan kami sebelumnya, yakni riset hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan yang merupakan bagian dari program “Peningkatan Kapasitas Warga Negara, Anggota Legislatif dan Eksekutif Daerah untuk Implementasi Hak-hak Ekosob”. Program ini dilaksanakan PATTIRO selama periode 2007-2011, bekerja sama dengan NZAID. Ada lima jenis hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) yang kami tawarkan menjadi tema tulisan, yakni: hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas lingkungan dan hak atas pangan. Organisasi yang kami undang untuk berpartisipasi, yakni LSM, perguruan tinggi, lembaga penelitian, pers dan organisasi massa. Sedangkan dari Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan
3
perorangan yang diundang adalah: praktisi, aktivis atau pengamat masalahmasalah HAM, ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia. Dari kegiatan ini, kami mengharapkan tulisan makalah yang memberi gambaran rasional mengenai potret pemenuhan hak ekosob di Indonesia dan sistem/kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah untuk pemenuhan hak-hak tadi. Dari seluruh kandidat (59 lembaga) yang mengirimkan concept note, akhirnya terpilih tiga kandidat untuk pemakalah hak atas pangan, hak atas kesehatan dan hak atas lingkungan. Namun, sampai tahap terakhir, hanya ada dua pemakalah yang kami nilai berhasil menyelesaikan tulisannya sesuai standard panitia, yakni Tri Lindawati dari CAPS UGM yang menulis mengenai hak atas pangan dan Hasrul Hanif (bersama Dati Fatimah) dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip UGM yang menulis hak atas kesehatan. Selanjutnya, karena tidak ada kandidat yang terpilih untuk menulis pelaporan hak atas pendidikan, maka kami mengundang salah satu penulis untuk menuliskannya, yakni Markus Christian dari BIGS Bandung (bersama Ilham Cendekia Srimarga). Seperti kami sampaikan di awal, mengiringi pelaporan dan penerbitan laporan riset hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan berikut ini kami persembahkan juga buku laporan “Situasi Pemenuhan dan Agenda Mainstreaming Ekosob dalam Sistem Pembangunan di Indonesia”. Buku laporan ini memuat tulisan tentang hak atas pangan, hak atas kesehatan, dan hak atas pendidikan. Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi sehingga buku laporan ini hadir. Terkhusus kepada penulisnya. Semoga bermanfaat.
Jakarta, Desember 2010 Ilham Cendekia Srimarga Direktur Eksekutif PATTIRO
4
Daftar Isi Pemenuhan Hak EKOSOB di Bidang Pendidikan Kata Pengantar A. Latar Belakang B. Hak Pendidikan dalam Konteks Hak Ekosob C. Gambaran Pemenuhan D. Upaya Negara Dalam Memenuhi Hak Ekosob E. Kesimpulan F. Daftar Sumber
Pemenuhan Hak EKOSOB di Bidang Kesehatan A. Catatan Pembuka B. Makna Hak Kesehatan dan Bentuk Kewajiban Negara C. Sketsa Kemajuan Kewajiban Hasil C.1 Tingkat Kematian C.2 Perkembangan Gizi Anak C.3 Pelayanan Kesehatan Preventif C.4 Pelayanan Kesehatan Kuratif D. Sketsa Kemajuan Kewajiban Tindakan D. 1 Proses Kebijakan Kesehatan D.1.1 Kesetaraan Politik D.1.2 Keterlibatan Publik D.2 Substansi Kebijakan Pemenuhan Kesehatan D.3 Sumber Daya: Pengelolaam Dalam Keterbatasan E. Dilema Pemenuhan Hak Kesehatan di Indonesia E.1 Ketidaksinkronan Orientasi Kebijakan Pembangunan Kesehatan E.2 Salaf Tafsir, Kewajiban Negara=Beban Negara E.3 Dilema Pemenuhan Hak Kesehatan dalam Desentralisasi E.3.1 Lemahnya Istitusionalisasi Inovasi Daerah dan Ketidaksinkronan Kebijakan Kesehatan Pemerintah Daerah E.3.2 Rendahnya Komitmen Daerah dalam Pembiayaan Pelayanan Kesehatan berbasis Hak Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan
5
E.4 Demokratisasi dan Klientelisme Baru dalam Pemenuhan Hak Kesehatan E.4.1 Privatisasi dan Kuasa Pasar F. Catatan Penutup DAFTAR PUSTAKA
Pemenuhan Hak EKOSOB di Bidang Pangan A. B. C. D.
Konsep Ketahanan Pangan2 Ketahanan Pangan dan Kerentanan Pangan2 Sekilas Perkembangan Ekonomi Indonesia4 Karakteristik Sosial dan Demografi Indonesia D.1 Angka Harapan Hidup D.2 Penduduk Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia D.3 Tingkat Kemiskinan E. Status Ketahanan Pangan di Indonesia F. Status Ketahanan Pangan dan Gizi di Indonesia G. Peta Ketahanan Pangan di Indonesia G.1 Pulau Jawa Bali dan Nusa Tenggara G.2 Pulau Sumatera G.3 Pulau Kalimantan dan Sulawesi H. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional Indonesia DAFTAR PUSTAKA
6
Daftar Tabel Tabel 1 Sejarah Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia Tabel 2 Contoh Hak Terhadap Pendidikan dan Tiga Kewajiban Tabel 3 Definisi dan Konstruk Aspek Hak EKOSOB Bidang Pendidikan Tabel 4 Partispasi Pendidikan Formal (%) Tabel 5 Pendidikan yang Ditamatkan Penduduk 10 Tahun Ke atas Tabel 6 Perkembangan Angka Putus Sekolah (APS) Menurut Jenjang Pendidikan 2003-2008 Tabel 7 Persentase Kepala Sekolah dan Guru Menurut Ijazah Tertinggi dan Jenjang Pendidikan Tahun 2007/2008 Tabel 8 Perkembangan Anggaran Pendidikan 2001-2008 (dalam triliun rupiah) Tabel 9 Alokasi DAK Bidang Prioritas (dalam juta rupiah) Tabel 10 Alokasi Dana BOS
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan
7
Pemenuhan Hak Ekosob Di Bidang Pendidikan
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan
9
10
Pemenuhan Hak Ekosob Di Bidang Pendidikan Oleh: Ilham Cendekia Srimarga Markus Christian LATAR BELAKANG
A
Pendidikan di Indonesia telah mengalami perubahan besar – tetapi bukan transformasi – dari sebuah sistem yang tersentralisasi menjadi terdesentralisasi. Sejak Reformasi dan digulirkannya Otonomi Daerah, sektor pendidikan yang semula merupakan wilayah Pemerintah Pusat kini menjadi wilayah yang sebagian besar – setidaknya secara teori – di tangan pemerintah daerah, khususnya Kabupaten dan Kota. Perubahan besar ini juga diikuti dengan peningkatan dana yang signifikan. Anggaran pendidikan telah meningkat secara riil dari hanya 2,8 Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 11
persen PDB (produk domestik bruto) pada tahun 2001 menjadi 3,1 persen PDB pada tahun 2006. Yang juga signifikan adalah transfer ke daerah. Dari total anggaran pendidikan, lebih dari setengahnya atau 56 persen sekarang berada di daerah (Kota/Kabupaten 51 persen dan Propinsi hanya 5 persen sisanya).1 Perubahan besar lainnya adalah hubungan antara lembaga-lembaga pendidikan dengan pemerintah. Kendati undang-undang tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dibatalkan oleh Mahkamah Konstitutsi (MK), namun jiwa dibalik peraturan tersebut tetap hidup dan bisa menjelma dalam bentuk lain. Pemerintah dikabarkan akan menjadikan lembaga pendidikan sebagai BLU (Badan Layanan Umum) yang tentunya memiliki dinamika hubungan yang berbeda dibandingkan deengan yang berlaku saat ini. Perubahan penting juga terjadi dalam hal standardisasi pendidikan. Dari sekadar favorit versus tidak favorit, kini kategori sekolah dibuat lebih beragam dengan acuan yang semakin jelas.2 Hal yang sama juga terjadi terhadap para guru. Sertifikasi adalah kata kunci yang sering terdengar menyangkut standardisasi yang berlaku di kalangan pengajar. Intinya, kata kualitas sekarang sudah lebih bisa diukur (baca: dikuantifikasi) – dan karenanya dapat dipertanyakan. Perubahan-perubahan besar itu tidak lepas dari kesadaran baru tentang pentingnya pendidikan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pendidikan dipercaya mampu menjadi alat transformasi kehidupan warga dan Negara. Itu sebabnya para pengamandemen konstitusi sepakat untuk memasukan kewajiban alokasi 20 persen untuk pendidikan ke dalam undang-undang dasar (UUD). Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat juga semakin kuat bahwa pendidikan adalah hak asasi3. Perubahan-perubahan tersebut juga telah memunculkan banyak isu di bidang pendidikan. Seperti biasa, isu-isu tersebut muncul karena adanya pendapat dan fakta yang menunjukkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Setiap isu tidak lepas dari kerangka yang lebih besar, seperti sistem pendidikan, anggaran pendidikan, peran negara versus masyarakat dalam pendidikan, akses terhadap pendidikan, struktur desentralisasi, dan seterusnya. Setidaknya terdapat dua besar isu (dengan berbagai cabangnya) yang melanda pendidikan Indonesia kontemporer.
Lihat, Investing in Indonesia’s Education at the District Level, World Bank Report, 2009.
Kini dikenal istilah SPM (Standar Pelayanan Minimal), SSN (Sekolah Standar Nasional), RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional), dan SBI (Sekolah Berstandar Internasional).
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
1 2
3
12
Isu pertama yang penting dan tetap menimbulkan berbagai perdebatan di banyak kalangan adalah isu pembiayaan pendidikan. Banyak pihak sepakat bahwa pendidikan itu mahal. Setidaknya itu juga yang dipahami oleh para pengambil keputusan di pemerintahan, baik pusat maupun daerah, yang tercermin dari membengkaknya anggaran pendidikan dalam 10 tahun terakhir. Kendati demikian, banyak perdebatan panas tentang persoalan pembiayaan ini yang hingga kini belum solusi. Isu lain yang terkait dengan pembiayaan pendidikan adalah perdebatan mengenai publik versus privat, yaitu berapa besar yang seharusnya dibiayai oleh publik (baca: uang negara) dan berapa besar yang mesti menjadi tanggung jawab aktor bukan negara (swasta, orang tua, masyarakat/komunitas). Isu lainnya adalah komersialisasi pendidikan yang ditandai dengan keluhan nyaring masyarakat tentang biaya pendidikan yang semakin tinggi. Isu komersialisasi erat hubungannya dengan isu publik versus privat. Pembiayaan pendidikan juga menyangkut soal desentralisasi mengingat terjadi tumpang tindih sekaligus konflik antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota tentang siapa yang menanggung apa dan seberapa besar. Desentralisasi ini nantinya juga menimbulkan isu efektivitas dan efisiensi anggaran pendidikan yang hingga kini masih dipermasalahkan. Hal ini juga terkait dengan dugaan adanya korupsi di instansi-instansi yang mengurus pendidikan, mulai dari tingkat pusat hingga tingkat sekolah. Selanjutnya yang cukup terkait dengan pembiayaan, meskipun tidak langsung adalah isu putus sekolah. Putus sekolah atau dropout berarti keluar dari sistem pendidikan formal dengan berbagai konsekuensi yang mengikutinya. Ini isu yang keras kepala dan lingkupnya nasional. Angka putus sekolah ini pun bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Putus sekolah juga terjadi pada berbagai jenjang, mulai dari yang paling dasar (tidak tamat SD), dasar (hanya tamat SD atau putus saat SMP), hingga lanjutan (hanya tamat SMP dan putus di SMA). Isu ini sangat penting karena erat terkait dengan upaya internasional untuk mewujudkan EFA (Education For All) atau pendidikan untuk semua. Isu kedua yang juga menghasilkan berbagai cabang adalah isu kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan Indonesia masih belum bisa dibanggakan, apakah itu tingkat dasar maupun tingkat lanjut. Bahkan bisa dibilang, kualitas pendidikan Indonesia masih sangat memprihatinkan.4 Biang keroknya macam-macam, tetapi secara inti ada tiga hal: rendahnya kualitas guru, 4
Indonesia berpartisipasi dalam PISA (Programme for International Student Assesment) selama beberapa kali dan secara konsisten “ketinggalan” dibandingkan negara lain. Pada 2003, Indonesia menduduki urutan ke-40 dari 40 peserta pada semua subyek yang diikuti (matematika, sains, dan membaca). Pada 2006, Indonesia mendapat ranking 36 dari 40 peserta di bidang matematika, ranking 54 dari 57 peserta di bidang sains, dan ranking 51 dari 56 peserta di bidang membaca. Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 13
rendahnya kualitas kurikulum, dan buruknya infrastruktur pendukung. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi penyebab permasalahan kualitas ini tetapi masih belum mencapai hasil yang diharapkan. Sebaliknya, pemerintah pusat memperkenalkan Ujian Nasional (UN) sejak 2005 yang mulanya diadakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tingkat dasar secara nasional. Namun upaya standardisasi ala UN malah menghasilkan berbagai kontroversi dan tuntutan ke MK yang dimenangkan penggugat sementara UN sendiri masih diragukan posisinya sebagai acuan kualitas pendidikan nasional. Permasalahan-permasalahan diatas tidak lepas dari bagaimana kerangka hukum yang mengatur sistem pendidikan yang berlaku, baik secara nasional maupun secara lokal. Dari segi pembiayaan misalnya, terdapat jaminan konstitusional menyangkut anggaran 20 persen, baik dari APBN maupun APBD. Kemudian UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih jauh meminta supaya alokasi 20 persen itu tidak termasuk gaji (sehingga jika gaji dimasukkan tentu jauh di atas 20 persen). Namun demikian, MK dalam putusannya menyebut bahwa 20 persen itu termasuk gaji guru dan dosen. Padahal, gaji guru dan dosen, terutama gaji guru, bisa memakan 70 hingga 90 persen dari seluruh anggaran pendidikan di daerah. Jaminan dari segi pembiayaan yang memasukkan gaji guru berkonsekuensi – diantaranya – terhadap pemenuhan akses terhadap semua penduduk usia sekolah. Terbatasnya anggaran untuk pembangunan sekolah baru dan ruang kelas baru menyebabkan banyak anak yang dipaksa putus sekolah karena ketiadaan fasilitas sekolah di daerahnya. Selanjutnya keterbatasan anggaran juga menyebabkan kesulitan dalam meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya. Fasilitas yang terbatas, insentif guru yang tidak memadai, suplai??(suplai apa?) yang kurang, dan seterusnya, menyebabkan sulitnya mengharapkan suatu pendidikan yang menghasilkan para siswa berkualitas dan memenuhi tuntutan zaman. Ini tentunya di luar isu-isu non anggaran seperti motivasi dan kualitas guru yang rendah, perbedaan jarak yang jauh di daerah terpencil, hingga sistem birokrasi pendidikan sendiri yang dinilai masih menjadi hambatan. Di tengah kesulitan itu, kerangka hukum tentang kualitas sebenarnya sudah dan tetap berlaku. Beberapa peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (Permen) telah keluar untuk mengatur kualitas – diterjemahkan sebagai standardisasi. Standardisasi ini tentunya memunculkan isu tersendiri mengingat masih cukup lebarnya jurang antara harapan dan kenyataan. Berbagai isu di atas pada akhirnya juga mempengaruhi sejauh mana hak masyarakat akan pendidikan bisa terpenuhi atau tidak.
14
HAK PENDIDIKAN DALAM KONTEKS HAK EKOSOB
B
Pentingnya pendidikan sebagai hak sebenarnya telah disadari oleh para pendiri bangsa, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Mereka memiliki keyakinan bahwa pendidikan mampu menjadi alat dan sarana transformasi bangsa. Itu sebabnya, para pendiri bangsa telah aktif dalam pendidikan dan banyak yang memilih jalur pendidikan sebagai salah satu aras perjuangan. Tidak aneh kalau kemudian pendidikan menjadi salah satu hak yang disebut dalam Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi hasil kemerdekaan. Ini merupakan salah satu momen penting yang menegaskan bahwa pendidikan adalah hak warga negara. Pernyataan tanpa tedeng alingaling tentang hak warga ini juga menunjukkan komitmen besar para pendiri bangsa terhadap pendidikan warga bangsanya. Ini berarti pendidikan sebagai hak merupakan sesuatu yang tertulis dalam dokumen negara sejak awal negara ini berdiri. Pendidikan sebagai hak bukan sesuatu yang baru saja muncul belakangan, apalagi sesuatu yang ‘diimpor dari Barat’. Sejak saat itu, pendidikan terus mengalami kemajuan dalam hal cakupan, kendati banyak kritik terhadap kualitasnya. Pendidikan yang semula merupakan hak istimewa kaum elit, pelan tetapi pasti menjadi sebuah pelayanan yang dinikmati semakin banyak orang. Kendati pendidikan universal masih dalam tahap diusahakan, tidak bisa dipungkiri bahwa telah terjadi perluasan akses pendidikan yang cukup masif dari sejak saat proklamasi kemerdekaan. Semua itu tidak lepas dari perjalalan pendidikan sebagai hak warga negara, sebagaimana telah ditintakan oleh para pendiri bangsa. Pendidikan adalah hak dan hak ini harus dipenuhi oleh negara. Itu sebabnya pendidikan sejak awal Republik ini telah menjadi portfolio kabinet yang penting dan tidak pernah sekalipun ditiadakan (lihat Tabel).
Tabel 1 Sejarah Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia No. Nama Institusi
Periode
1
Kementerian Pengajaran
19-8-1945 s.d. 29-1-1948
2
Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
29-1-1948 s.d. 10-7-1959
3
Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
10-7-1959 s.d. 6-3-1962
4
Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan
6-3-1962 s.d. 27-3-1966
Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan 18-2-1962 s.d. 27-3-1966 Departemen Olahraga
6-3-1962 s.d. 27-3-1966
5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
25-7-1966 s.d. 26-10-1999
6
Departemen Pendidikan Nasional
26-10-1999 s.d. sekarang
Sumber: Kemendiknas.go.id Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 15
Pendidikan terus menjadi bidang yang penting, sebuah kedudukan yang strategis, dan dalam beberapa hal menjadi rebutan berbagai kekuatan politik yang ingin mengusainya. Terlepas dari itu, promosi negara terhadap hak rakyat atas pendidikan berjalan dengan berbagai cara dan terus berlangsung dalam beberapa penggalan sejarah Republik. Dalam masa Orde Baru misalnya, pendidikan pernah mendapatkan prioritas besar dalam penganggaran seperti tercermin dari dibangunnya sejumlah besar sekolah dasar instruksi presiden (SD Inpres) di berbagai wilayah, termasuk wilayah terpencil. Pada saat itu pemerintah juga melakukan rekrutmen guru secara besar-besaran sekaligus memberikan berbagai insentif untuk menyejahterakannya. Itu semua tentunya dilakukan dalam semangat untuk memenuhi hak rakyat atas pendidikan, sesuai dengan amanat konstitusi. Waktu terus berjalan dan komitmen terhadap pendidikan semakin diperkokoh pada Era Reformasi. Melalui amandemen terhadap UUD 1945, negara pada akhirnya menempatkan pendidikan pada posisi yang sangat tinggi, seperti termaktub dalam Pasal 31 UUD 1945 Amandemen ke-4 yang disahkan MPR Tahun 2002: Pasal 31 UUD 1945 Amandemen IV (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Terlihat jelas bahwa konstitusi tidak hanya berbicara hak, tetapi juga kewajiban. Tidak hanya berbicara tentang hak warga negara, tetapi juga yang lebih penting adalah kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar. Hal ini kemudian dipertegas dengan kewajiban negara untuk mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan. Ini jelas komitmen luar biasa, karena tidak ada bidang lain yang mendapatkan alokasi khusus dan sangat besar seperti ini. Ini juga sekali lagi menunjukkan konsistensi sikap negara terhadap pendidikan, setidaknya secara politis. Secara politis dan strategis pula, negara Republik Indonesia akhirnya
16
menjadi negara yang berkomitmen penuh pada pemenuhan hak atas pendidikan dalam kerangka hak asasi manusia dengan melakukan ratifikasi terhadap Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ratifikasi itu disahkan lewat UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Ada beberapa hal yang penting sehubungan dengan ratifikasi tersebut, yaitu: 1. Adanya kewajiban untuk Negara Pihak – negara penandatangan Kovenan – untuk secara progresif merealisasikan berbagai hak yang termaktub dalam Kovenan. 2. Adanya cakupan yang jelas tentang apa saja yang harus dipenuhi dan bagaimana mengukurnya Untuk point pertama, dijelaskan bahwa negara mesti aktif dalam upaya memenuhi hak-hak warga negaranya. Hal ini dengan gamblang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 1 Kovenan: Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, terutama bantuan teknis dan ekonomi dan sejauh dimungkinkan sumber daya yang ada, guna mencapai secara progresif realisasi sepenuhnya hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dengan menggunakan semua upaya yang memadai, termasuk pembentukan langkah-langkah legislatif.
Lebih gamblang lagi dan cukup komprehensif adalah pernyataan Pasal 13 ayat 2 dari Kovenan yang berbicara tentang pendidikan: “Negara-negara Pihak dalam perjanjian ini mengakui bahwa dalam usaha melaksanakan hak ini secara penuh: Pendidikan dasar diwajibkan dan terbuka bagi semua orang; pendidikan menengah dalam segala bentuknya termasuk pendidikan teknik dan kejuruan menengah akan diselenggarakan dan terbuka bagi semua melalui cara-cara yang layak, serta khususnya dengan dimulainya pendidikan cuma-cuma secara bertahap; pendidikan masyarakat dianjurkan atau ditingkatkan sejauh mungkin bagi mereka yang belum pernah atau belum menyelesaikan pendidikan dasar secara penuh; pengembangan sistem sekolah pada setiap tingkat dgiatkan secara kuat, sistem bea siswa yang layak diadakan dan syarat-syarat materiil dari staf pengajar ditingkatkan terus-menerus.”
Untuk bidang pendidikan, ini berarti negara wajib memenuhi komitmen internasional EFA (Education for All), setidaknya di tingkat dasar. Untuk mewujudkannya negara perlu mengeluarkan legislasi (UU, peraturan, instruksi, dan petunjuk pelaksanaan) disertai dengan penganggaran yang memadai. Dalam kerangka Hak Ekosob ini, negara dituntut berperan aktif dan Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 17
proaktif. Negara dinilai gagal memenuhi hak warganya apabila kondisi pendidikan yang buruk – angka tidak sekolah dan putus sekolah yang tinggi – dibiarkan berlangsung terus tanpa perbaikan. Bahkan jika ada upaya perbaikan tetapi lambat, maka komitmen negara patut dipertanyakan. Sifat harus aktif dan proaktif ini tidak lepas dari tuntutan sebagai Negara Pihak dalam Kovenan, seperti dijelaskan lebih jauh dalam “The Limburg Principles on The Implementation of The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights” dan “Maastricht Guidelines on Violations of Economic, Social, And Cultural Rights”. Dalam penjelasan dimaksud, negara memiliki empat kewajiban sehubungan dengan Hak Ekosob ini, yaitu: 1. Negara wajib menghormati (to respect) yang berarti negara harus memastikan akses terhadap pendidikan yang selama ini dinikmati – misalnya secara swadaya – tetap dihormati dan dilindungi. Negara menghormati hak tersebut dan tidak menguranginya. 2. Negara wajib melindungi (to protect) yang berarti negara mesti melindungi hak warganya terhadap pendidikan dengan memastikan tidak terjadi upaya-upaya yang menghalangi hak warga negara terhadap pendidikan. Tidak boleh terjadi diskriminasi atas kelompok tertentu dalam upayanya mendapatkan pendidikan, baik oleh negara maupun pihak lain. 3. Negara wajib memenuhi (to fulfill) yang berarti segala produk kebijakan, mulai dari undang-undang dan peraturan, hingga sistem yang dikembangkan dan dijalankan, seperti sistem administrasi dan yudisial, serta instrumen lainnya yang dimiliki negara, ditujukan untuk menjamin warga negara mendapatkan pendidikan yang merupakan hak asasinya. Negara harus berusaha agar pendidikan makin luas cakupannya sehingga tidak ada lagi yang terpaksa tidak mendapat pendidikan. 4. Negara wajib mengembangkan (to promote) yang berarti negara seharusnya terus mendorong pemenuhan hak terhadap pendidikan yang dibuktikan dengan semakin majunya cakupan dan kualitas pendidikan dari tahun ke tahun, bukannya malah stagnan apalagi mundur.
18
Tabel 2 Contoh Hak Terhadap Pendidikan dan Tiga Kewajiban Aspek Hak
Kewajiban Menghormati
Kewajiban Melindungi
Kewajiban Memenuhi
Akses Terhadap Pendidikan
Negara tidak boleh mengurangi hak terhadap pendidikan yang selama ini sudah dinikmati oleh warga negara.
Negara tidak membiarkan pihak lain menganggu dan atau merusak hak ini (misalnya: pihak yang bersengketa soal tanah sekolah menyebabkan anak tidak bersekolah walau sementara).
Membuat program dan sistem yang makin menambah akses terhadap pendidikan.
Sumber: Modifikasi dari tabel yang dikembangkan dalam Circle of Rights—Economic, Social and Cultural Rights Activism: A Training Resource.
Prinsip Limburg juga memperingatkan bahwa negara berkemungkinan melakukan pelanggaran apabila: • Negara gagal mengambil langkah-langkah yang wajib dilakukannya • Negara gagal menghilangkan rintangan dengan cepat dimana negara tersebut wajib untuk menghilangkannya; • Negara gagal melaksanakan suatu hak yang wajib pemenuhannya dengan segera tanpa penundaan lagi; • Negara dengan sengaja gagal memenuhi suatu standar pencapaian yang umum diterima secara internasional; • Negara menerapkan pembatasan terhadap suatu hak yang diakui oleh Kovenan; • Negara dengan sengaja menunda atau menghentikan pemenuhan secara bertahap dari suatu hak; • Negara gagal memberikan laporan yang diwajibkan oleh Kovenan. Sesuai dengan point kedua yaitu soal cakupan yang jelas tentang apa dan bagaimana ukuran pemenuhan hak Ekosob, termasuk di bidang pendidikan, secara garis besar ada empat aspek penting dalam pemenuhan hak Ekosob di bidang pendidikan (lihat Tabel 3), yaitu: 1. Ketersediaan, yang berkaitan dengan tersedianya segala yang diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan, terutama sumber daya manusia dan dana serta infrastrukturnya. 2. Akses, yang berkaitan dengan dimungkinkannya pendidikan dijangkau oleh semua elemen warga negara, tanpa memandang latar belakang baik politis, ekonomi maupun budaya. Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 19
3. Keberterimaan, yang berkaitan dengan kelayakan pendidikan yang disajikan/disampaikan. Pendidikan tidak saja tersedia dan dapat dijangkau tetapi juga memiliki kualitas yang bisa diterima. 4. Adaptabilitas, yang berkaitan dengan kemampuan sistem pendidikan yang diberikan negara dalam menjawab tantangan jaman yang terus berubah.
Tabel 3 Definisi dan Konstruk Aspek Hak EKOSOB Bidang Pendidikan
20
Konstruk
Ketersediaan
Keterjangkauan/ Akses
Keberterimaan
Adaptabilitas
Definisi
Terdapatnya institusi dan program pendidikan yang berfungsi dalam jumlah memadai. Harus terdapat bangunan sekolah yang memadai, dengan sistem sanitasi yang baik, serta terdapat guru yang berkualifikasi dan mendapat kesejahteraan yang cukup. Di daerah yang
Institusi dan program pendidikan dapat diakses semua orang. Ini meliputi dimensi: (1) Non-diskriminasi: tidak boleh ada larangan sama sekali bagi kelompok masyarakat, apalagi yang rentan, untuk mendapat pendidikan. (2) Aksesibilitas fisik: pendidikan harus bisa diakses dengan aman dan nyaman karena “dekat” jaraknya (misalnya di lingkungan perumahan ataupun lewat teknologi seperti pada pendidikan jarak jauh). (3) Affordability (aksesibilitas ekonomis):
Bentuk dan substansi pendidikan, seperti terlihat dalam kurikulum dan metode pengajarannya, harus dapat diterima (relevan, pantas, dan berkualitas baik) baik untuk siswa dan untuk kadar tertentu untuk orang tua/wali; hal ini harus tunduk pada tujuan pendidikan seperti tertuang dalam kovenan dan sesuai dengan standar minimum yang sudah ditentukan oleh negara.
Pendidikan harus fleksibel sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat dan komunitas yang terus berubah dan mampu menjawab kebutuhan para siswa dalam lingkungan sosial dan budaya mereka yang beragam.
lebih maju, harus terdapat fasilitas lengkap seperti perpustakaan dan laboratorium.
pendidikan harus dapat diraih oleh semua orang, dengan penekanan pada pendidikan dasar yang harus gratis, dan pendidikan menengah dan tinggi yang harus murah dan pada saatnya nanti juga gratis.
Operasionalisasi
Tersedianya sekolah yang layak dalam jumlah yang cukup Tersedianya kantor pemerintah yang mengurusi pendidikan Tersedianya guru dengan kualifikasi memadai dan dalam jumlah yang cukup Tersedianya bukubuku ajar yang memadai dan berkualitas Tersedianya alat bantu ajar yang memadai Tersedianya sanitasi yang memadai dan bersih serta terpisah antara anak laki-laki dan perempuan
Semua institusi pendidikan Terdapat sistem kurikulum bisa diakses oleh semua orang yang berjalan dengan baik tanpa kecuali dan memenuhi standar nasional Semua lingkungan setingkat desa memiliki minimal satu Terdapat muatan lokal sekolah dasar dan semua dalam kurikulum yang kecamatan memiliki minimal sesuai dengan kebutuhan satu sekolah lanjutan nyata daerah Sekolah tingkat dasar harus gratis Sekolah menengah dan tinggi dapat dijangkau oleh kebanyakan warga dan gratis bagi yang miskin Sekolah swasta mendapat ijin penuh tanpa halangan apapun Pemerintah daerah memberikan subsidi untuk membiayai pendidikan khususnya untuk kalangan siswa miskin Pemerintah daerah menyediakan beasiswa khusus untuk mereka yang miskin dan berprestasi Terdapat guru-guru dengan kualifikasi minimal S1 I. Informasi tentang program, pendanaan, dan isu-isu pendidikan tersedia dan mudah diakses
Sistem pengajaran disesuaikan dengan budaya setempat Terdapat pengajaran bahasa dan budaya daerah Terdapat standarisasi pendidikan, baik menyangkut infrastruktur dan terutama menyangkut substansi isi pelajaran dan pengajaran Terdapat sertifikasi terhadap guru dan pengawasan profesinya yang memadai Terdapat pelatihan dan pendidikan guru yang berkualitas serta berkala dan dibiayai daerah
Kurikulum yang diterapkan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir Para guru mendapatkan pengayaan secara berkala mengikuti perkembangan ilmu dan pengetahuan serta teknologi yang terus berkembang Teknologi informasi diajarkan dan peralatannya (terutama komputer) disediakan di setiap sekolah Pendidikan kewarganegaraan mengikuti perkembangan demokrasi yang makin kuat Pengajaran tentang globalisasi masuk dalam kurikulum
Warga bisa mendapatkan informasi pendidikan dan menyebar-luaskannya tanpa halangan
Sumber: Merupakan turunan dari Kovenan Hak EKOSOB Pasal 13 tentang Hak Terhadap Pendidikan
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 21
Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan sebagai hak memang telah diakui oleh negara. Artinya di sisi legal-formal tidak terdapat permasalahan yang serius menyangkut hak masyarakat terhadap pendidikan tersebut. Namun demikian, pendidikan sebagai hak tentunya bukan sekadar urusan legal-formal. Justru yang terpenting adalah realisasi dari hak tersebut sebagai terjemahan dari basis legal-formal dalam bentuk kebijakan pemerintah, baik di pusat maupun daerah. Di sinilah isu pendidikan mulai muncul ketika basis legal-formal diterjemahkan ke dalam kebijakan yang dinilai tidak sepenuhnya mendukung upaya pemenuhan hak warga atas pendidikan. Lebih jauh lagi, kebijakan yang dianggap pro hak pun menjadi dipertanyakan ketika implementasi dari kebijakan tersebut dinilai tidak tepat, salah sasaran, atau malah sama sekali gagal dalam upaya pemenuhan hak itu sendiri. Lagipula, komitmen yang besar terhadap pendidikan yang tersurat dan tersirat tidaklah cukup. Komitmen itu harus muncul secara nyata. Di sini retorika berhenti kegunaannya karena yang dibutuhkan adalah realita konkrit. Di sini juga landasan legal-formal berhenti kekuatannya dan terancam menjadi ‘macan kertas’ karena yang dibutuhkan adalah implementasi. Karena itu ketika berbicara tentang sejauh mana negara benar-benar memenuhi apa yang menjadi hak asasi warga negaranya di bidang pendidikan, maka pertanyaannya adalah bagaimana realitanya di lapangan? Apakah memang telah tersedia cukup sekolah untuk semua orang dengan usia sekolah? Apakah sekolah yang ada, terutama sekolah publik, bisa diakses oleh mereka yang miskin atau kaum minoritas? Apakah penderita cacat diperhatikan pendidikannya? Selanjutnya, apakah sekolah yang ada dan bisa diakses juga memiliki guru yang andal serta fasilitas yang cukup? Demikian seterusnya dan seterusnya. Menjawab semua pertanyaan itu memang penting dan dapat dengan gamblang memberi gambaran tentang bagaimana sesungguhnya pemenuhan hak Ekosob bidang pendidikan. Namun sebenarnya potret terhadap beberapa aspek pendidikan sudah cukup untuk memberi gambaran yang memuaskan tentang pemenuhan dimaksud.
C
Secara garis besar, pemenuhan kewajiban pemerintah di bidang Ekosob terbagi ke dalam dua besar, yaitu kewajiban hasil (obligation of results) dan kewajiban tindakan (obligation of conduct). Dalam tulisan ini, kewajiban hasil diterjemahkan sebagai “gambaran pemenuhan” sementara kewajiban tindakan sebagai “upaya negara” dalam kaitan dengan hak Ekosob di bidang pendidikan.
GAMBARAN PEMENUHAN Pemenuhan pada sisi kewajiban hasil meliputi beberapa aspek sesuai dengan turunan dari penjelasan hak Ekosob di bidang pendidikan yang
22
erat kaitannya dengan kondisi atau keadaan yang sedang berjalan yang merupakan hasil dari kebijakan pemerintah sampai titik tertentu, terutama setelah menandatangani Kovenan. Namun untuk keperluan tulisan ini, fokus lebih diarahkan kepada aspekaspek yang menunjukkan kaitan kuat dengan ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessability), dan kualitas (quality). Ketiga hal tersebut menjadi acuan apakah negara telah cukup memadai atau tidak dalam hal pemenuhan hak Ekosob warganya di bidang pendidikan. Dari segi ketersediaan, negara telah mencoba untuk membangun berbagai fasilitas pendidikan, mulai dari bangunan sekolah, ruang kelas, hingga berbagai fasilitas pelengkap lain seperti perpustakaan dan laboratorium. Tujuannya jelas yaitu supaya seluruh warga negara pada usia sekolah bisa bersekolah dan mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai. Secara statistik, bukti bahwa ketersediaan fasilitas pendidikan itu dirasakan warga adalah pada tingkat APM (angka partisipasi murni) dan APK (angka partisipasi kasar). Kedua angka ini menunjukkan bahwa warga usia sekolah di suatu wilayah berpartisipasi dalam pendidikan formal alias tidak dropout ataupun tidak bersekolah karena alasan lain.
Tabel 4 Partispasi Pendidikan Formal (%) 2009
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI
105.82
107.13
106.63
109.96
110.35
109.41
110.4
Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs
81.09
82.24
82.09
81.87
82.03
81.38
81.09
Angka Partisipasi Kasar (APK) SM/MA
50.89
54.38
55.21
56.69
56.71
57.42
62.37
Angka Partisipasi Kasar (APK) PT
10.84
10.73
11.06
12.16
13.31
14.42
14.59
Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI
92.55
93.04
93.25
93.54
93.75
93.99
94.37
Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs
63.49
65.24
65.37
66.52
66.64
66.98
67.4
Angka Partisipasi Murni (APM) SM/MA
40.56
42.96
43.5
43.77
44.56
44.75
45.06
Angka Partisipasi Murni (APM) PT
8.55
8.57
8.71
8.87
9.64
10.07
10.3
Sumber: Biro Pusat Statistik
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 23
Dengan memperhatikan tabel di atas terlihat bahwa di tingkat paling dasar, negara bisa saja mengklaim pencapaian yang tinggi dalam hal pemenuhan hak Ekosob di bidang pendidikan. Angka partisipasi pada usia dasar (6-12 tahun) memang tinggi dan itu hasil pencapaian panjang sejak proklamasi kemerdekaan, termasuk program SD Inpres yang cukup masif di masa Orde Baru5. Sebuah prestasi yang jelas tidak bisa dinafikkan begitu saja. Namun begitu bergerak ke tingkat yang lebih tinggi meski masih di pendidikan dasar, yaitu usia 13-15 tahun alias pendidikan setara SMP/MTs, maka terlihat terjadi stagnasi yang kentara hingga membuat. Perlu dicatat bahwa program wajib belajar pendidikan dasar meliputi waktu sembilan (9) tahun sehingga disebut wajar dikdas 9 tahun. Artinya, sejak program ini dicanangkan, seharusnya terjadi peningkatan signifikan pada tingkat SMP/ MTs, sepertinya halnya di tingkat SD, dalam hal APK dan APM. Idealnya, angkanya bahkan sama dengan yang dicapai di tingkat SD alias 97 persen ke atas. Namun seperti bisa dilihat, angka APM dan APK tingkat SMP/MTs masih 67 hingga 81 persen. Perbedaan angka capaian antara SD/MI dan SMP/MTs sebenarnya memiliki cerita panjang. Ini sekaligus menunjukkan bahwa APK dan APM tetap menjadi indikator pendidikan yang ampuh untuk menilai apakah pemenuhan hak warga atas pendidikan itu sudah memadai atau belum. Cerita panjang dimaksud adalah bahwa masih rendahnya capaian itu terjadi karena berbagai faktor yang saling menjalin dan tidak bisa dilepaskan dari kegagalan negara dalam upaya memenuhi hak warganya atas pendidikan dasar. Bangunan sekolah memang banyak, tetapi apakah sudah mencapai daerah-daerah pinggiran dan terpencil? Apakah ada upaya serius untuk membangun sekolah baru tingkat SMP supaya tiap daerah tidak mengalami putus sekolah paksa yang menimpa para lulusan SD-nya. Sekalipun ada daya tampung, adakah kebijakan untuk memampukan para siswa itu untuk melanjutkan sekolah dan tetap bersekolah – mengingat tingginya biaya operasional yang harus ditanggung orang tua siswa? Indikator pendidikan lain yang juga penting terkait dengan pemenuhan ini adalah tingkat pendidikan yang dicapai oleh masyarakat Indonesia. Statistik tampaknya tidak menggambarkan Indonesia yang cerdas dan berpendidikan tinggi, tetapi sebaliknya Indonesia yang masih kurang pendidikan dan – sayangnya– terbelakang.
5
24
Program SD Inpres di zaman Orde Baru telah meningkatkan secara dramatis jumlah APK dari 55 persen di tahun 1974 menjadi sekitar 100 persen sejak 1983, demikian menurut Sjahrir dalam Refleksi Pembangunan, Ekonomi Indonesia 1968-1992, hlm 67.
Tabel 5 Pendidikan yang Ditamatkan Penduduk 10 Tahun Ke atas 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
8.5
7.92
7.82
7.43
7.57
7.28
6.67
Tidak tamat SD
21.87
21.48
21.43
20.76
20.37
20.48
20.15
SD/sederajat
33.42
32.27
32.33
31.67
31.19
30.4
30.51
SMP/sederajat
16.65
17.62
17.11
17.56
17.49
17.78
17.64
SM +/sederajat
19.56
20.71
21.32
22.57
23.37
24.06
25.02
Tidak/belum sekolah
Sumber: Biro Pusat Statistik
Terlihat dari tabel bahwa sebagian besar penduduk Indonesia (lebih dari 50 persen) hanya tamatan SD ke bawah (alias tidak tamat SD). Bahkan sampai tahun 2009 sekalipun, sekitar enam persen penduduk kita (yang berarti di atas 12 juta orang) masih belum mengenyam pendidikan. Artinya di era yang sangat mengandalkan teknologi tinggi dan sistem administrasi serba canggih, masih banyak anak bangsa yang untuk baca tulis saja belum bisa. Kondisi keterbelakangan ini makin terasa jika melihat APK dan APM di pendidikan tingkat menengah, apalagi di tingkat perguruan tinggi. Dengan kisaran APK/APM antara 45-60 persen untuk SMA/sederajat, dan 1016 persen untuk PT, apa yang bisa diharapkan dari sumber daya manusia Indonesia menghadapi kompetisi global yang makin keras? Ini jelas menjadi tantangan besar bagi negara untuk bisa mengatasinya. Apabila masalah ketersediaan masih menjadi tantangan yang besar, demikian juga dengan masalah keterjangkauan atau akses. Ada banyak indikator yang bisa digunakan untuk mengukur keterjangkauan, yang intinya menyinggung soal ada tidaknya diskriminasi, proximity atau jarak, dan affordability atau keterjangkauan dari segi biaya. Dari ketiganya, tampaknya dua yang terakhir yang masih mendominasi permasalahan pendidikan di Indonesia. Pertama, masalah jarak antara sekolah dengan tempat tinggal siswa. Kalau diperhatikan jumlah SD/MI yang ada, tampaknya masalah ini sudah bisa diatasi. Setidaknya secara statistik. Statistik tahun 2007 menunjukkan bahwa terdapat 165.755 SD/MI di seluruh Indonesia, yang berarti lebih banyak dari jumlah desa yang mencapai 73.408. Artinya di banyak tempat terdapat lebih dari satu SD/MI untuk satu desa. Namun untuk SMP lain lagi ceritanya. Jumlah SMP mencapai 39.160 unit (statistik 2007), jauh di bawah jumlah desa. Namun demikian dibandingkan dengan jumlah kecamatan yang 6.131, maka jumlah SMP tampaknya memadai. Namun itu angka statistik yang bersifat kasar. Dalam kenyataan beberapa daerah toh masih mengalami kekurangan baik SD maupun SMP. Terjadi kesenjangan yang parah antara daerah urban di Jawa dengan daerah terpencil di Papua, misalnya. Di Kabupaten Yahukimo di Papua, sebagai contoh, terdapat 510 desa/pemukiman, tetapi hanya 69 SD. Kemudian di Kabupaten Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 25
Bandung Barat yang notabene bersebelahan dengan Kota Bandung di Jawa Barat, penyediaan gedung SMP masih merupakan masalah yang besar. Kedua, dari sisi keterjangkauan harga, maka salah satu acuan yang bisa dijadikan pegangan adalah angka putus sekolah (APS). Seperti terlihat di tabel, masalah putus sekolah alias dropout memang masalah yang “keras kepala”. Terlepas dari penurunan angka dropout dalam enam tahun terakhir, angka itu tetaplah tinggi. Lagipula, statistik resmi dari pemerintah, lebihlebih pemerintah pusat, tentunya tidak akan secara akurat menggambarkan situasi sesungguhnya di lapangan. Dropout sudah pasti lebih buruk daripada yang tercatat di statistik.
Tabel 6 Perkembangan Angka Putus Sekolah (APS) Menurut Jenjang Pendidikan 2003-2008 No. Jenjang Pendidikan (1) 1.
(2)
2003/04 (3)
2004/05 (4)
2005/06 (5)
2006/07 2007/08 (6) (7)
847,899 767,068 80,831 246,458 154,553 91,905 150,837 55,053 9,001 86,783
799,490 777,010 22,480 239,074 210,221 28,853 177,403 53,441 7,763 116,199
846,079 824,684 21,395 172,403 148,890 23,513 178,441 61,652 6,956 109,833
640,445 616,050 24,395 259,341 232,828 26,513 249,957 115,036 7,956 126,965
486,426 475,145 11,281 255,210 232,828 22,382 167,838 127,720 7,220 32,898
2.92 2.48 2.54
2.75 2.49 2.90
2.90 1.78 2.83
2.21 2.52 3.84
1.63 2.22 2.33
Siswa Putus Sekolah SD+MI a. SD b. MI SMP+MTs a. SMP b. MTs SM+MA a. SM b. MA c. SMK
2.
Tahun
Angka Putus Sekolah (%) SD+MI SMP+MTs SM+MA
Sumber: Ikhtisar Data Pendidikan Nasional 2007/08, Departemen Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Statistik Pendidikan, 2008
Memandang masalah keterjangkauan harga dari sisi APS tidak lepas dari kenyataan bahwa sebagian besar putus sekolah masih disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi orang tua untuk membiayai anaknya bersekolah. Terlepas dari adanya BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang memungkinkan penggratisan SPP (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) di
26
banyak sekolah, namun kenyataannya biaya personal (seperti baju seragam, sepatu, buku tulis, biaya makan/jajan, dan biaya transportasi) sepenuhnya tanggungan orang tua dan porsinya sangat besar. Lantas bagaimana dengan kelompok minoritas, khususnya kaum penyandang cacat atau difabel? Apakah mereka telah terpenuhi pendidikannya? Secara awam saja, masyarakat mengetahui bahwa sangat sulit menemukan sekolah untuk penyandang cacat. Untuk di kota besar sekalipun, jumlahnya bisa dihitung dengan jari, apalagi di daerah terpencil. Dan faktanya, kaum difabel memang masih sulit mendapatkan akses pendidikan. Sekarang ini hanya sekitar 10 persen anak difabel yang tertampung di sekolah formal. Dari 700 ribuan anak difabel, hanya 19.315 bersekolah di negeri dan 53.037 bersekolah di swasta. Pendidikan inklusi yang diharapkan membantu peningkatan daya tampung hanya bisa diikuti oleh 13.590 anak di tingkat SD dan hanya 1.308 anak di tingkat SMP. Bagaimanapun semua itu tidak lepas dari masih kurangnya peran negara dalam mengurusi kaum difabel ini, seperti dibuktikan dari rendahnya investasi untuk sekolah penyandang cacat maupun investasi pengembangan sekolah inklusi.6 Sementara itu, dari sisi terakhir yaitu kualitas, tampaknya ini menjadi tantangan yang paling besar bagi pendidikan di Indonesia. Berbagai ukuran bisa digunakan untuk menilai kinerja pendidikan kita, tetapi hampir semuanya menunjukkan gambaran yang kurang menggembirakan. Prestasi pendidikan kita tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga.
Tabel 7 Persentase Kepala Sekolah dan Guru Menurut Ijazah Tertinggi dan Jenjang Pendidikan Tahun 2007/2008 No.
Jenjang Pendidikan
1
TK
2
SLB
3
SD
4
SMP
5
SM a. SMA b. SMK
6
PT
Jumlah Guru
233,563 16,090 1,445,132 621,878 536,639 305,852 230,787 286,127
Kepala Sekolah dan Guru Menurut Ijazah Tertinggi (%) <S1
S1 Keg
88.84 57.00 77.85 28.33 18.60 15.25 23.04 -
8.26 38.75 20.13 65.82 70.51 75.27 64.22 54,62
S1NKeg
2.67 3.66 1.83 4.53 8.82 7.23 10.92
S2
S3
0.23 0.59 0,19 1,32 2,07 2,25 1,82 39.84
5.53
Sumber: Ikhtisar Data Pendidikan Nasional 2007/08, Departemen Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Statistik Pendidikan, 2008
6
Berita Kompas, 3 Desember 2010, “Kesempatan Pendidikan Difabel Belum Merata”, yang memuat pernyataan Ketua Badan Eksekutif Pusat Kajian Disabilitas FISIP-Universitas Indonesia Irwanto. Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 27
Mengapa itu bisa terjadi? Tentu terdapat banyak faktor. Namun, salah satu elemen penting adalah kualitas guru (plus dosen). Sebelum berbicara tentang kualitas dalam artian kemampuan mengajar dengan baik yang menyebabkan transfer ilmu berjalan baik, maka ijazah sebagai salah satu kualifikasi pendidikan, bisa dijadikan permulaan penilaian. Di titik yang paling minimal ini pun, para pengajar mengalami permasalahan serius. Seperti terlihat di tabel, sebagian besar guru SD/MI (77 persen) tidak tamat S1. Untungnya, persentase tidak lulus S1 ini mengecil sejalan dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Namun demikian, tetap saja mereka yang belum S1 ini dianggap – oleh Kementrian Pendidikan Nasional sendiri – sebagai tidak layak mengajar. Apabila syarat administratif saja membuat mereka tidak layak mengajar, bagaimana dengan persyaratan yang lebih ketat? Berdasarkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, pemerintah melakukan sertifikasi terhadap para guru. Sertifikasi, sebagaimana wajarnya dipahami, diadakan untuk menguji kelayakan seseorang pada profesi tertentu. Sertifikasi guru, dengan demikian, bisa diterjemahkan sebagai pengujian terhadap seorang guru apakah sudah memenuhi kelayakan mengajar atau belum (atau malah tidak). Tetapi yang terjadi dalam kaitan dengan pendidikan di Indonesia, sertifikasi mengalami reduksi menjadi sekadar pengumpulan portfolio (ijazah, sertifikat, plakat, dan seterusnya). Sertifikasi terjebak menjadi sekadar hal yang bersifat administratif. Lebih parah lagi, semua guru akhirnya diusahakan untuk lulus sertifikasi – tentunya setelah melewati beragam proses yang “berbiaya”. Para guru tetap tabah menjalani, maklum, lulus sertifikasi berarti peningkatan pendapatan sebesar satu kali gaji. Selama ini pemerintah selalu membentuk lembaga baru ketimbang mengoptimalkan departemen yang ada untuk menyelesaikan permasalahan kualitas guru. Dalam rangka hari guru 25 November 2010, Presiden menyatakan akan membentuk lembaga baru bernama Badan Pengembangan Sumber Daya Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Padahal lembaga serupa sudah pernah dimiliki pemerintah, yakni Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) yang kemudian dilikuidasi. Ironisnya, Presiden juga perlu mengatakan kepada guru yang sudah memiliki sertifikasi pendidikan untuk meningkatkan kinerjanya (don’t understand why this is ironic?).7 Selain guru, elemen lain yang menyumbang kepada kualitas adalah fasilitas pendidikan. Jangankan berbicara fasilitas lengkap dengan laboratorium sains, laboratorium bahasa, plus perpustakaan lengkap berkualitas, data
7
28
Berita Kompas, 3 Desember 2010, “Dibentuk, Badan untuk Tingkatkan Profesionalisme Guru”. Disebut ironis karena seharusnya guru yang sudah disertifikasi otomatis sudah baik kinerjanya, sehingga tidak perlu disuruh lagi meningkatkan kinerjanya.
statistik menunjukkan masih banyak ruang kelas yang dalam kondisi rusak. Untuk tataran SD saja bahkan hampir separuh dari total ruang kelas yang ada dalam kondisi rusak, 24.91 persen rusak ringan dan 23.03 persen rusak berat.
UPAYA NEGARA DALAM MEMENUHI HAK EKOSOB
D
Untuk kewajiban tindakan dalam kerangka hak Ekosob, maka yang dilihat adalah bagaimana negara dengan perangkat yang dimilikinya menunjukkan atau tidak menunjukkan upaya yang serius untuk memenuhi hak warga negara di bidang pendidikan. Upaya negara tersebut didasarkan atas tiga serangkai yang saling bertautan: (1) Kebijakan (legal-formal), (2) Anggaran, dan (3) Implementasi. Kebijakan berkaitan dengan landasan legal-formal karena pemerintahan yang birokratis selalu menuntut dasar hukum. Tanpa dasar hukum, maka tidak ada kebijakan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, suatu pernyataan pejabat tidak serta merta memiliki kekuatan menggerakkan birokrasi di bawahnya, tanpa ditindaklanjuti dengan formalisasi pernyataan itu, terutama dalam bentuk instruksi, surat keputusan, peraturan, dan seterusnya. Selain itu, supaya sebuah kebijakan memiliki daya yang memadai, maka perlu juga didukung oleh anggaran yang memadai. Itu berarti kebijakan mesti diturunkan dan diterjemahkan dalam bentuk program dan anggaran. Tanpa program dan anggaran, kebijakan hanya sekadar hukum tanpa akibat. Tetapi hal ini tidak berhenti di situ saja. Program dan anggaran mesti dijalankan atau diimplementasikan. Di sinilah panggung sesungguhnya. Seringkali pemerintah memiliki kebijakan yang bagus, dalam bentuk undangundang dan peraturan yang lengkap bahkan ideal. Tetapi ketika diterjemahkan ke dalam program dan anggaran, mulai terjadi ketidakkonsistenan antara yang menjadi kebijakan dan dukungan program dan anggarannya. Situasi ini makin diperparah oleh implementasi yang sering buruk karena terlalu banyaknya pemain sehingga program dan anggaran melenceng jauh dari yang sudah ditetapkan.8 Lantas, apa saja yang telah ditelurkan negara sebagai kebijakan di bidang pendidikan? Tentu banyak. Beberapa diantaranya yang penting dan erat kaitannya dengan masalah hak Ekosob adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Amandemen IV, Pasal 31 tentang Pendidikan 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 3. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar 4. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan 8
Sebagian pihak bahkan berani menilai bahwa permasalahan Indonesia adalah permasalahan implementasi. Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 29
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan 6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah 7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa 8. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Semua ketentuan mulai dari UUD, UU, PP, hingga Permen tersebut memiliki filosofi yang ideal. Maka kesan kuat yang muncul adalah negara benar-benar peduli dengan pendidikan warganya dan betul-betul berusaha mencapainya. Akan tetapi, pemenuhan hak Ekosob di bidang pendidikan bukan perkara membuat undang-undang dan peraturan belaka. Semua harus diwujudkan ke dalam sistem yang terintegrasi dan didukung oleh program yang tepat serta anggaran yang memadai yang selanjutnya diimplementasikan dengan konsisten. Sebenarnya, dalam hal anggaran, pemerintah Indonesia termasuk yang memiliki komitmen serius. Berkat perintah konstitusi, pemerintah baik pusat maupun daerah mulai mengalokasikan 20 persen anggarannya untuk pendidikan. Sayang, yang dimaksud dengan anggaran 20 persen itu termasuk gaji guru9. Ini jelas mengurangi secara signifikan porsi yang lebih terkait program dan kegiatan.
9
30
Kebijakan 20 persen sempat maju mundur. Pada mulanya UUD 1945 Amandemen IV Pasal 31 menyebut secara umum saja 20 persen untuk pendidikan. Di UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kalimat dalam UUD itu diterjemahkan sebagai “di luar” gaji, yang berarti sebuah kemajuan. Namun, mungkin karena pemerintah tidak sanggup dengan tuntutan 20 persen tersebut -- yang memang sangat besar -- maka diajukanlah judicial review lewat Mahkamah Konstitusi (MK). MK dalam putusannya No. 24/PUU-V/2007 menyatakan bahwa 20 persen itu termasuk gaji guru. Dengan itu, 20 persen anggaran pendidikan dipahami sebagai pengeluaran di bidang pendidikan ditambah gaji guru.
Tabel 8 Perkembangan Anggaran Pendidikan 2001-2008 (dalam triliun rupiah) Pendidikan
2001
2002
2003
Belanja Pendidikan (Nominal)
40.1
49.8
63.2
61.4
73.2
102.5
118.5
135.7
Belanja Pendidikan Nasional (harga 2006)
63.4
70.5
83.7
76.7
82.8
102.5
111.3
116.4
-
11.1
18.7
(8.4)
8.0
23.9
8.6
4.5
% Belanja Pendidikan dibandingkan APBN
11.0
14.2
14.7
13.0
13.9
15.3
15.4
13.6
Belanja Pendidikan (% GDP)
2.8
2.7
3.1
2.7
2.6
3.1
3.0
3.0
363.7
350.6
429.9 472.8
528.1
671.9
Pertumbuhan riil Belanja Pendidikan Nasional
APBN
2004 2005
2006
2007
2008
768.5 1,000.1
Sumber: kalkulasi staff Bank Dunia berdasarkan data Kementerian Keuangan dan SIKD (Sistem Informasi Keuangan Daerah). Dimuat dalam Investing in Indonesia’s Education at the District Level, World Bank Report, 2009. Catatan: Tahun 2007 berdasarkan perkiraan anggaran subnasional, dan Tahun 2008 berdasarkan APBN-P dan perkiraan anggaran subnasional.
Apakah anggaran pendidikan berkembang secara pesat? Dalam tabel diatas, terlihat bahwa perkembangan secara nominal anggaran pendidikan dari Rp 40 triliun di tahun 2001 menjadi Rp 135.7 triliun di tahun 2008. Namun bila dilihat berdasarkan harga yang disesuaikan inflasi, maka perkembangan dari 2006 ke 2008 tidak sebesar yang tertulis dan dianggarkan. Lebih jauh lagi, pertumbuhan dari sisi GDP menunjukkan posisi yang relatif stagnan, yaitu antara 2.8 hingga 3.0 persen saja. Padahal nilai GDP merupakan nilai yang sesungguhnya. Itu berarti, pertumbuhan yang tampaknya pesat secara nominal sebenarnya bukan pertumbuhan yang terlalu besar. Kemudian, apabila kita melihat persentase belanja pendidikan dibandingkan dengan APBN, tampaknya amanat 20 persen konstitusi masih belum juga dipenuhi. Bahkan persentase untuk tahun 2008 justru menurun. Hal ini bisa menunjukkan sejauh mana negara sebenarnya berusaha meningkatkan perannya di bidang pendidikan. Meski hal ini bisa juga disebabkan oleh berubahnya prioritas negara.10 Dalam kaitan dengan hak Ekosob di bidang pendidikan, dua hal yang terkait dengan anggaran adalah infrastruktur dan akses. Infrastruktur terkait dengan ketersediaan. Sedangkan akses secara khusus berbicara tentang kesempatan yang tersedia bagi anak untuk dapat bersekolah, tanpa terhalang oleh biaya dan hal-hal lainnya. Untuk tahun 2011 misalnya, prioritas lebih pada infrastruktur sehingga rencana anggarannya memiliki besaran lebih besar dari anggaran pendidikan.
10
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 31
Dalam kaitan anggaran, dua jenis anggaran yang banyak pengaruhnya terhadap penyediaan infrastruktur pendidikan dan akses terhadap pendidikan adalah DAK (Dana Alokasi Khusus) dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah). DAK memang ditujukan untuk infrastruktur dan merupakan dana dari pemerintah pusat yang disalurkan ke kabupaten/kota untuk diberikan kepada sekolah yang membutuhkan perbaikan ataupun pengembangan fasilitas fisik. Sementara BOS disalurkan ke semua sekolah dengan jumlah murid sebagai acuan bagi ukuran dana yang diterima untuk setiap sekolahnya. Sejak 2009, terdapat perbedaan antara ukuran dana untuk siswa di kota dengan siswa di kabupaten. Untuk DAK, pendidikan memang selalu menjadi prioritas yang penting dan masuk dalam 4 besar. Bahkan untuk periode 2003-2007 (lihat tabel), bidang pendidikan selalu mendapatkan prioritas pertama dengan mendapatkan alokasi terbesar. Dana tersebut bahkan lebih besar daripada bidang infrastruktur yang jelas-jelas pembangunan fisik.
Tabel 9 Alokasi DAK Bidang Prioritas (dalam juta rupiah) No.
Bidang
2003
2004
1
Pendidikan
625.000
2
Kesehatan
375.000
3
Infrastruktur
4
Kelautan dan Perikanan
1.181.000 0
2006
2007
652.000 1.221.000
2.919.525
5.195.290
456.180
629.000
2.406.795
3.381.270
1.196.250 1.533.000
3.811.380
5.034.340
775.675
1.100.360
305.470
2005
322.000
Sumber: Departemen Keuangan (2007), dikutip dari riset SMERU, “Mekanisme dan Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK)”, 2008.
Dana yang besar tersebut seharusnya membantu peningkatan infrastruktur sekolah. Secara teori, dana sebesar itu seharusnya menghadirkan fasilitas sekolah yang memadai, lengkap dengan berbagai fasilitas penunjangnya. Apalagi mengingat selain DAK juga terdapat dana-dana rehabilitasi dan pembangunan di tingkat daerah yang meski jumlahnya bervariasi namun berpengaruh signifikan. Terlepas dari itu, seperti sudah disebutkan hampir 50 persen ruang kelas (dimana??Data??) dalam kondisi rusak ringan dan berat. Kuantitas dan kualitas infrastruktur pendidikan tetap menjadi isu yang belum sepenuhnya tertangani. Laporan tentang daerah yang sekolahnya rusak, atau belum memiliki sekolah, atau kekurangan ruang kelas, masih tetap terdengar hingga saat ini. Sementara DAK dialokasikan untuk infrastruktur, maka BOS diadakan untuk memastikan tidak lagi terjadi dropout di kalangan siswa miskin. Seperti terlihat di Tabel 10, upaya mencegah dropout itu menjadi tujuan awal
32
digelontorkannya BOS di tahun 2005. Saat itu pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM hingga 100 persen sehingga menimbulkan pukulan berat bagi kalangan miskin. Ada kekhawatiran tingkat dropout akan melonjak apabila tidak disediakan beasiswa kepada siswa miskin.
Tabel 10 Alokasi Dana BOS Tahun
SD/MI/SDLB
SMP/MI/SDLB
BOS Buku
Sasaran
2005
235,000
324,000
-
Membantu siswa miskin (beasiswa)
2006
235,000
324,000
-
Membantu siswa miskin
2007
254,000
354,000
22,000 Membebaskan biaya pendidikan siswa tidak mampu Meringankan biaya pendidikan bagi siswa lain
2008
254,000
354,000
12,000 Membebaskan biaya pendidikan siswa tidak mampu Meringankan biaya pendidikan bagi siswa lain
2009
400,000 (kota)
575,000(kota) 570,000(kab)
397,000(kab)
-
Menggratiskan SD/SMP negeri Menggratiskan semua siswa miskin Membantu sekolah swasta
Sumber: Hasil Analisis (siapa?, dalam rangka apa?), 2010
Namun dalam perjalanannya, BOS berkembang tidak saja sebagai transfer untuk membantu kelompok lemah. BOS pada akhirnya menjadi bagian dari upaya pemerintah pusat untuk membantu biaya operasional sekolah, baik itu sekolah yang didominasi siswa miskin ataupun siswa berkecukupan. BOS bahkan akhirnya menjadi bagian upaya pemerintah untuk menggratiskan pendidikan, terutama pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs). Dana BOS memang meningkat dari tahun ke tahun. Masalahnya, BOS masih jauh dari unit cost (biaya satuan) pendidikan yang sesungguhnya. Di sinilah peran daerah menjadi penting. Beberapa daerah berusaha menutup kekurangan BOS dari Pusat dengan mengembangkan BOS daerah – sebagian memadai tetapi sebagian besar tetap belum cukup. Sekali lagi, semua tergantung pada kondisi keuangan daerah dan komitmen kepada daerah serta legislatif daerah. Pada saat yang sama, daerah yang berpikiran maju tidak berkutat pada masalah BOS saja, tetapi juga mengembangkan mekanisme yang Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 33
lebih luas dalam upaya meningkatkan akses terhadap pendidikan. Ada yang mengembangkan mekanisme asuransi pendidikan, ada pula yang mengalokasikan APBD cukup besar untuk memastikan APK/APM sepenuhnya (zero dropout). Lantas mengapa masih saja terdapat masalah terkait penyediaan infrastruktur pendidikan maupun akses masyarakat terhadap pendidikan formal? Di sinilah masalah implementasi atau pelayanan publik menjadi isu yang patut diperhatikan. Masih terdapat isu yang terkait dengan pola dan pelaksanaan DAK. Isuisu yang berkembang di antaranya soal alokasi (sekolah mana yang berhak menerima), penggunaan dan pelaksanaan (tender/lelang atau swakelola), serta pengawasannya (monitoring dan evaluasinya).11 Untuk masalah BOS, isu yang paling sering muncul adalah penyimpangan. Penyimpangan belum tentu pelanggaran ataupun korupsi. Namun penyimpangan ini jelas menganggu terhadap implementasi program BOS secara konsisten. Beberapa penyimpangan yang penting di antaranya: (1) Transparansi lemah, (2) Penggunaan tidak sesuai ketentuan, (3) Terjadinya pungutan illegal, (4) Peran masyarakat lewat komite sekolah lemah.12
E
Implementasi yang lemah memang berpengaruh serius. Dalam beberapa hal, implementasi lemah menghancurkan perencanaan dan penganggaran yang baik. Masalahnya, implementasi merupakan perkara yang membutuhkan pengawasan ekstra dan bersifat sistemik, sesuatu yang sebenarnya hanya negara yang bisa memastikan keberhasilan dan konsistensinya.
KESIMPULAN Dalam perspektif pendidikan sebagai hak, yang menjadi tujuan akhir adalah setiap orang mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Pendidikan tersedia cukup dan mudah diakses setiap warga negara tanpa memandang latar belakangnya. Jika masih ada yang tidak menikmati pendidikan formal, itu lebih karena pilihannya sendiri dan bukan karena terpaksa. Perwujudan kondisi ideal ini menjadi kewajiban negara memiliki kekuatan dan otoritas serta sumber daya. Berdasarkan perpspektif tersebut, perlu dilihat apakah warga Indonesia telah mendapatkan haknya dibidang pendidikan ataukah hal tersebut masih menjadi hak istimewa sebagian warga. Kemudian, bagaimana sikap dan perilaku negara terhadap pendidikan? Apakah negara sedang berusaha keras untuk menjadikannya hak setiap orang, atau malah secara sistematis Penelitian SMERU menemukan bagaimana petunjuk teknis Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan Nasional) bisa menyebabkan terjadinya mubazir dalam skala cukup luas. Petunjuk teknis menetapkan pengadaan meja kursi harus 40 set per ruang kelas, padahal banyak kelas yang jumlah muridnya kurang dari 40 anak, bahkan hanya 20 anak.
11
Temuan berdasarkan penelitian PATTIRO di Kabupaten Bandung Barat, 2009.
12
34
membuatnya semakin ekslusif bagi sebagian orang saja? Memenuhi hak asasi warganya, termasuk di bidang pendidikan, seharusnya menjadi prioritas utama tiap negara. Sudah seharusnya Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Kovenan Hak-hak Ekosob berusaha semaksimal mungkin memenuhi hak asasi warga negaranya terhadap pendidikan. Sayangnya, fakta menunjukkan kondisi aktual pendidikan di Indonesia tidaklah menggembirakan. Ada lima hal yang masih menjadi awan kelam dalam pendidikan di Indonesia: (1) Banyaknya sekolah yang rusak dan tidak layak pakai, (2) Rendahnya kualitas dan moral (baca: semangat dan motivasi) guru, (3) Rendahnya capaian akademis siswa, (4) Masih tingginya angka putus sekolah di banyak daerah, dan (5) Masih banyaknya anak usia sekolah yang belum bisa menikmati pendidikan formal. Kondisi memprihatinkan tersebut terjadi bahkan setelah adanya peningkatan siginifikan dalam anggaran pendidikan selama 10 tahun terakhir. Desentralisasi pendidikan – dari sebelumnya yang tersentralisasi – juga belum banyak mengubah keadaan di atas. Singkat kata, anggaran dan pembagian kewenangan masih belum berhasil menciptakan keadaan yang diinginkan. Dalam perspektif pendidikan sebagai hak negara memegang peranan penting. Dalam perspektif hak Ekosob, negara harus aktif dan proaktif. Negara tidak boleh diam dan menyerahkan semuanya kepada masyarakat. Jika demikian, maka negara akan dinilai lalai dan bahkan gagal memenuhi kewajibannya. Perspektif demikian penting karena mempengaruhi apa saja yang dilakukan dan tidak dilakukan negara terhadap pendidikan. Menganut perspektif pendidikan sebagai hak membuat negara mengambil posisi untuk memenuhi semua tuntutan pendidikan warganya dengan menjadikannya agenda utama pembangunan, prioritas utama penganggaran, dan tujuan utama keberhasilan kerjanya. Dengan perspektif ini, para pemangku kewajiban, yaitu para pejabat dan pemimpin, tidak akan tidur nyenyak sebelum bisa memastikan tersedianya pendidikan universal yang berkualitas. Lantas bagaimana negara semestinya melangkah untuk mewujudkan pendidikan sebagai hak asasi warga negaranya? Terdapat banyak pendekatan. Penulis melihat bahwa tekad negara dalam mewujudkan hak asasi warga negaranya di bidang Ekosob, termasuk pendidikan, harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan, baik nasional maupun daerah. Dibutuhkan dana yang cukup untuk mewujudkan kebijakan itu dalam bentuk program dan kegiatan nyata di lapangan. Untuk itulah, anggaran yang pro-hak juga mesti dikembangkan. Negara sudah semestinya mengarahkan uangnya untuk perwujudan hak asasi warganya.13 Lihat, Dignity Counts, A guide to using budget analysis to advance human rights, Fundar – Centro de Analisis e Investigacion and International Human Rights Internship Program – International Budget Project, 2004.
13
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 35
Timbul pertanyaan, apa yang kurang dari Indonesia yang konstitusinya khusus bicara soal alokasi 20 persen untuk pendidikan dan anggaran pendidikannya terus meningkat? Mungkin itu pertanyaan yang menjadi apologia para pengambil kebijakan. Padahal tentu saja, kebijakan dan anggaran saja tidak cukup. Kebijakan bisa menjadi hanya basa-basi dan anggaran meski meningkat bisa jadi malah menyebabkan inefisiensi tanpa menjawab persoalan. Kebijakan dan anggaran sudah seharusnya menuntaskan jurang yang ada antara kenyataan dan harapan. Harapan itu sederhana: pendidikan universal yang berkualitas. Ini berarti mengarahkan kebijakan pada tiga hal pokok hak Ekosob, yaitu ketersediaan, akses, dan kualitas. Anggaran seharusnya memastikan tidak ada lagi warga negara yang karena ketiadaan sekolah akhirnya tidak bisa mengikuti pendidikan formal. Anggaran juga seharusnya memastikan bahwa kelompok marjinal (baik karena ekonomi ataupun latar belakang – terutama difabel) tetap bisa mendapatkan pendidikan yang memadai. Anggaran juga seyogyanya menyentuh aspek kualitas yang hingga kini masih menjadi tantangan berat pendidikan Indonesia. Karena itu, pendekatan yang programatik dengan waktu dan pencapaian yang terukur disertai dengan sanksi bagi siapapun yang menghalangi upaya ini seharusnya menjadi pegangan negara mewujudkan hak universal di bidang pendidikan. Program dan anggaran memang telah ditelurkan untuk mencapai peningkatan pemenuhan hak pendidikan. Namun sanksi bagi mereka yang dinilai belum berhasil sama sekali belum terpikirkan. Sanksi ini penting mengingat sudah terlalu banyak dana digelontorkan, dan sudah banyak program bagus yang ditelurkan, tetapi implementasi di lapangan masih dinilai jauh panggang dari api. Pada saat bersamaan, sistem evaluasi dan penilaian kinerja lembagalembaga negara yang mengurusi pendidikan juga perlu dipertajam. Hingga kini, pendekatan penilaian masih berputar pada input dan process. Sementara output dan outcome masih belum mendapat perhatian memadai. Belum cukup dibangun penilaian yang menghubungkan antara jumlah anggaran yang diterima dengan keluaran produk dan keluaran hasil yang dicapai. Ini penting karena salah satu acuan dalam hak Ekosob adalah progressive realization (realisasi progresif) yang bermakna semakin baiknya pemenuhan hak dari waktu ke waktu.
36
Daftar Sumber • Badan Pusat Statistik, Indikator Pendidikan Tahun 1994-2009. • Baswir, Revrisond, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, ELSAM—Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Cetakan II, Jakarta, Februari 2003 • Indratno, A Ferry T, ed., Negara Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan Publik, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009 • Krafchik, Warren, Ann Blyberg and Helena Hofbauer, Dignity Counts: A guide to using budget analysis to advance human rights, Fundar—Centro de Analisis e Investigacion & International Human Rights Internship Program International Budget World Bank Team, Investing in Indonesia’s Education at the District Level: An Analysis of Regional Public Expenditure and Financial Management, World Bank Report, 2009. • Rukmini, Mimin, Ilham Cendekia Srimarga, Saafroedin Bahar, R. Muhammad Mihradi, Tim Ekosob PATTIRO, Yani, Buni, Ed., Pengantar Memahami Hak EKOSOB, Pusat Telaah dan Informasi Regional, Jakarta, 2006 • Sjahrir, Refleksi Pembangunan: Ekonomi Indonesia 1968-1992, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
Regulasi Nasional dan Internasional • Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia • Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya • Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights • Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional • The Limburg Principles On The Implementation Of The International Covenant On Economic Social and Cultural Rights • UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional • UUD 1945 Amandemen IV
Media • Surat Kabar Kompas • edukasi.kompas.com
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 37
Daftar Istilah
38
APBD
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APK
: Angka Partisipasi Kasar
APM
: Angka Partisipasi Murni
APS
: Angka Putus Sekolah
BHP
: Badan Hukum Pendidikan
BLU
: Badan Layanan Umum
BOS
: Bantuan Operasional Sekolah
DAK
: Dana Alokasi Khusus
EFA
: Education For All
EKOSOB
: Ekonomi, Sosial dan Budaya
GDP
: Gross Domestic Product
INPRES
: Instruksi Presiden
MI
: Madrasah Ibtidaiyah
MK
: Mahkamah Konstitusi
MTS
: Madrasah Tsanawiyah
PDB
: Produk Domestik Bruto
PERMEN
: Peraturan Menteri
PP
: Peraturan Pemerintah
PT
: Perguruan Tinggi
SD
: Sekolah Dasar
SDLB
:
SLB
: Sekolah Luar Biasa
SM
:
SMA
: Sekolah Menengah Atas
SMP
: Sekolah Menengah Pertama
SPP
: Sumbangan Pembiayaan Pendidikan
UU
: Undang-undang
UUD
: Undang-undang Dasar
UN
: Ujian Nasional
Pemenuhan Hak Ekosob Di Bidang Kesehatan
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 39
40
Adakah Kemajuan Pemenuhan Hak Kesehatan di Indonesia?
Tiga Tahun Pasca Ratifikasi Kovenan Ekosob DATI FATIMAH1 & HASRUL HANIF2 Catatan Pembuka
A
Ribuan orang rela antre berjam-jam, bahkan berhari-hari di sebuah desa di Kabupaten Jombang. Mereka menghabiskan waktu bukan mengikuti ritual keagamaan atau perayaan, melainkan untuk mendapatkan celupan 1
Bekerja di sebuah Ornop yang bernama “AKSARA” di Yogyakarta. Terlibat dalam berbagai advokasi anggaran dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, bisa dihubungi melalui
[email protected]
2
Bekerja di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dan pengajar tamu “Politik dan Kebijakan Kesehatan” di PSIK, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Bisa dihubungi melalui hhanif@ ugm.ac.id,
[email protected]. Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 41
batu petir milik Ponari, seorang dukun cilik. Para pengunjung percaya, air celupan batu Ponari bisa menyembuhkan segala macam penyakit, dari maag hingga kanker. Para pengunjung pun tidak diminta biaya macam-macam selain sumbangan sebesar Rp5.000,-. Biaya yang sangat murah bagi pasien yang merintih dan merindukan janji kesembuhan penyakitnya. Ironis. Peristiwa tadi tidak lah terjadi pada satu abad yang lalu ketika pemerintah Hindia Belanda mulai mencengkramkan cakar kolonialismenya di Indonesia. Peristiwa ini, tidak pula terjadi di wilayah terpencil di mana sarana dan prasarana kesehatan merupakan hal yang langka. Drama rakyat -dari pelbagai pelosok di Pulau Jawa- antre untuk mendapatkan pengobatan Ponari terjadi pada awal 2009 atau tiga tahun setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (selanjutnya disingkat: Kovenan Ekosob) melalui UU No. 11 Tahun 2005. Peristiwa unik ini berlangsung di Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur. Parahnya lagi, Kabupaten Jombang merupakan sebuah daerah otonom dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,07% pada 2007 dan bupatinya memperoleh gelar “A Few Good Men” seperti ditulis Majalah Tempo edisi 29 Desember 2008. Julukan ini diberikan karena sang bupati mampu mendorong seluruh Puskesmas di daerahnya memiliki fasilitas layaknya rumah sakit kecil dan memastikan dokter spesialis ada di setiap desa (sic). Sedangkan, Jawa Timur merupakan sebuah provinsi di ujung timur Pulau Jawa yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata provinsi lainnya di Indonesia. Ilustrasi kecil tadi memang bukan satu-satunya indikator untuk melihat kemajuan pembangunan kesehatan di Indonesia. Namun, seiring dengan diratifikasinya Kovenan Ekosob, pengelolaan kesehatan sebagai salah satu isu publik yang paling krusial mestinya memasuki babak baru. Ratifikasi tersebut seyogyanya menjadi starting point penting bagi pengarusutamaan hak asasi dalam pembangunan kesehatan (rights-based health development) di Indonesia. Terlebih lagi, UUD 1945 yang telah diamandemen, secara eksplisit menegaskan pentingnya pemenuhan hak kesehatan sebagai salah satu hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi. Dalam pasal 28H ayat (1) disebutkan bahwa: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya dalam pasal 34 ayat (3) ditegaskan bahwa: “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Tulisan ini berusaha untuk menelusuri perkembangan dan kemajuan pemenuhan hak kesehatan di Indonesia pasca ratifikasi Kovenan Ekosob pada 2005 lalu. Argumentasi dalam tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak kesehatan. Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana gambaran kemajuan pemenuhan
42
hak kesehatan di Indonesia dilihat dari capaian atas kewajiban akan hasil (obligation of results) dan capaian atas kewajiban akan tindakan atau proses (obligation of conducts). Dalam tulisan ini juga akan dibahas bagaimana dilema yang mengiringi proses pemenuhan hak kesehatan di Indonesia. Hal ini penting dikemukakan karena dinamika pengejawantahan prinsip-prinsip pemenuhan hak kesehatan tidak akan pernah lepas dari konteks sosial dan politik masing-masing negara. Tulisan ini akan diakhiri dengan catatan penutup yang akan menguraikan lesson learn dari dinamika pemenuhan hak kesehatan di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.
Makna Hak Kesehatan dan Bentuk Kewajiban Negara
B
Definisi dan argumentasi kesehatan sebagai hak asasi dalam perjalanan peradaban manusia sangatlah dinamis karena sangat tergantung pada domain mana gagasan ini ditambatkan. Ketika kesehatan dianggap sebagai domain privat dibandingkan publik maka kesehatan didefinisikan sebagai “ketiadaan penyakit”. Namun ketika kesehatan pelan-pelan menjadi isu publik dan komunitas global berhasil mendorong lahirnya World Health Organization (WHO) maka kesehatan didefinisikan sebagai: “Kondisi kesehatan yang komplit baik secara fisik, mental dan sosial dan tidak sekedar tidak adanya penyakit atau tidak sedang kesakitan semata”. Definisi yang dipromosikan oleh WHO tersebut melihat kesehatan dari berbagai aspek yang mempengaruhi kebahagiaan/kesehatan manusia, termasuk aspek fisik dan sosial yang kondusif bagi terciptanya kesehatan yang baik. Lebih lanjut, konstitusi WHO kemudian mengafirmasi bahwa: “menikmati capaian tertinggi dari standar kesehatan merupakan salah satu hak asasi atau hak fundamental dari setiap manusia tanpa adanya pembedaan berdasarkan ras, agama, keyakinan politik, serta kondisi ekonomi dan sosial”. 3 Pentahbisan hak kesehatan sebagai hak fundamental dikuatkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) (1948) sebagaimana termaktub dalam pasal 25 ayat (1): “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.” Selanjutnya dalam Kovenan Ekosob pasal 12 ayat (1) Negara Pihak dalam Kovenan tersebut diwajibkan mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. Bentuk perlindungan dan jaminan tersebut tidak hanya mencakup jaminan universal atas hak kesehatan secara umum, namun juga pada 3
http://www1.umn.edu/humanrts///edumat/IHRIP/circle/modules/. Diunduh tanggal 12 Maret 2008 jam 13.00 WIB Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 43
saat yang sama menegaskan adanya jaminan lebih khusus terhadap hak kesehatan reproduksi perempuan dan anak. Disebutkan dalam pasal 25 ayat (2) DUHAM bahwa Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Sementara itu, semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama. Sedangkan dalam Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) pasal 12 ayat (1) menyebutkan bahwa:” Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang kesehatan dalam rangka memberi kepastian, berdasarkan persamaan antara perempuan dan laki-laki, kesempatan atas pelayanan kesehatan, termasuk yang berhubungan dengan keluarga berencana”. Selanjutnya dalam pasal 12 ayat (2) diuraikan bahwa: “tanpa mengabaikan ketentuan ayat 1 pasal ini, Negara-negara Pihak wajib memastikan bahwa perempuan mendapatkan pelayanan yang layak sehubungan dengan kehamilan, kelahiran dan masa setelah lahir, demikian juga degan gizi selama hamil dan menyusui”. Dalam pasal 14 ayat (2) poin b juga ditegaskan bahwa hak untuk memperoleh akses kesehatan bagi perempuan, termasuk juga informasi, petunjuk dan pelayanan dalam keluarga berencana, berlaku tidak hanya terhadap perempuan perkotaan semata tapi juga perempuan pedesaan. Dari definisi dan penjelasan yang ada, tampak jelas bahwa hak asasi kesehatan merupakan hak individu yang tidak bisa dikesampingkan (inalienable) sebagaimana penegasan dari Dewan Ekonomi dan Sosial berikut ini: “…health is a fundamental human right indispensable for the exercise of other human rights. Every human being is entitled to the enjoyment of the highest attainable standard of health conducive to living a life in dignity”. Selain itu, hak kesehatan tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosialnya (indissocialable) dan bersifat saling terkait (interdependence) dengan pemenuhan hak asasi yang lain sebagaimana sudah dijelaskan dalam DUHAM pasal 25 ayat (1) (Özden,tt:5). Sebagai hak positif atau “rights to…”, Negara berkewajiban secara aktif untuk memenuhi hak kesehatan tersebut. Menurut Kovenan Ekosob pasal 12 ayat (2) negara berkewajiban melakukan langkah-langkah guna mencapai perwujudan hak sepenuhnya dan harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan: (a) ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat kelahiran-mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat; (b) perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri; (c) pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan; dan (d) penciptaan kondisikondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang. Sebagaimana diatur lebih jauh dalam “The Limburg Principles On The Implementation Of The International Covenant On Economic Social and Cultural Rights” dan “Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social and
44
Cultural Rights”, kewajiban yang dilekatkan pada negara adalah sebagai berikut: Pertama, kewajiban untuk menghormati (obligation to respect). Kewajiban ini mensyaratkan negara untuk menghindari tindakan-tindakan yang akan menghalangi pemenuhan hak kesehatan, misalnya, negara bisa mengembangkan mekanisme untuk mencegah diskriminasi pelayanan kesehatan karena alasan etnis, umur dan jenis kelamin. Pelanggaran terhadap kewajiban ini akan terjadi apabila ada produk hukum, tindakan atau kebijakan-kebijakan negara tidak mentaati standar-standar atau ketentuan yang sudah disebutkan dalam pasal 12 ayat (2) Kovenan Ekosob atau memiliki kecenderungan untuk memberikan dampak yang membahayakan terhadap fisik, menimbulkan sakit atau kematian yang sebenarnya bisa dicegah Kedua, kewajiban untuk melindungi (obligation to protect). Negara berkewajiban untuk mencegah adanya pelanggaran terhadap hak kesehatan oleh pihak ketiga. Negara akan dianggap melakukan pelanggaran apabila negara gagal dalam mengembangkan ukuran-ukuran dasar untuk melindungi individu yang ada di wilayah mereka dari tindakan-tindakan yang melanggar hak kesehatan oleh pihak ketiga. Termasuk juga pelanggaran apabila negara sengaja melakukan pengabaian dan ekslusi. Ketiga, Kewajiban untuk memenuhi (obligation to fullfil). Kewajiban ini mendorong negara untuk merumuskan produk legislasi, mengembangkan sistem administrasi, sistem yudisial, anggaran dan berbagai instrumen lainnya untuk merealisasikan secara penuh hak kesehatan. Negara harus menyusun rencana nasional untuk menyediakan layanan kesehatan, kebijakan akan jaminan kesehatan dan menyediakan informasi terkait dengan isu-isu kesehatan.4 Bila negara gagal mengambil langkah-langkah ini, maka negara dapat dipastikan melakukan pelanggaran terhadap hak kesehatan. Dalam setiap kewajiban negara terkandung dimensi kewajiban atas hasil (obligation of results) dan kewajiban tindakan (obligation of conducts). Yang dimaksud dengan kewajiban atas hasil adalah kewajiban untuk mencapai dampak (outcome) tertentu melalui implementasi program dan kebijakan yang aktif. Dengan kata lain, negara berkewajiban untuk mencapai target khusus untuk memenuhi standar-standar subtansi secara detail. Misalnya, negara berkewajiban mengurangi angka kematian ibu melahirkan pada tingkatan yang telah disepakati Konferensi Internasional tentang Populasi dan Pembangunan tahun 1995. Sedangkan kewajiban atas tindakan lebih merupakan kewajiban negara untuk melakukan tindakan-tindakan atau langkah-langkah tertentu (tindakan aktif atau membiarkan) yang seyogyanya bisa merealisasikan pemenuhan hak kesehatan. Semua proses pemenuhan hak kesehatan mengharuskan negara memobilisasi segala sumber daya yang ada untuk digunakan secara maksimal dalam rangka memenuhi hak kesehatan (maximum of available 4
http://www.ohchr.org/Documents/Publications/Factsheet31.pdf.Diunduh 12 maret 2009 jam 13.00 WIB Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 45
resources). Dalam konteks ini, sumber daya yang digunakan bukan sekedar sumber daya yang dimiliki oleh negara semata. Negara pada saat yang bersamaan harus mampu memobilisasi potensi sumber daya yang ada dalam masyarakat dan komunitas internasional secara maksimal untuk memastikan hak kesehatan terpenuhi. Andaikata proses legislasi yang ada dengan sengaja membatasi penggunaan sumber daya yang ada di negara untuk memenuhi hak kesehatan, meskipun sumber daya di dalam masyarakat tersedia dengan memadai, maka kondisi ini mengindikasikan adanya pelanggaran hak kesehatan oleh legislatif.5
C
Alhasil, pemenuhan hak kesehatan sebagai bagian hak asasi manusia mensyaratkan adanya empat elemen yang esensial dan saling terkait yang bisa digunakan untuk melihat bagaimana negara memenuhi kewajibannya, yaitu (Özden,tt:41-42): (1) Ketersediaan. Kesehatan publik yang berfungsi, fasilitas kesehatan publik, barang dan pelayanan serta program harus disediakan secara memadai oleh negara, (2) Aksesibilitas. Setiap orang harus dipastikan bisa mengakses berbagai fasilitas dan layanan kesehatan yang tersedia tanpa adanya diskriminasi, termasuk terhadap kelompok-kelompok “rentan” dalam masyarakat. Lebih detail, aksesibilitas ini bisa dimaknai nondiskriminasi, jaminan aksesibilitas fisik, jaminan aksesibilitas ekonomi, dan aksesibilitas informasi, (3) Akseptabilitas. Seluruh fasilitas, program, barang dan layanan kesehatan publik harus menghormati etika medis dan pas secara kultural, (4) Kualitas. Selain harus tepat secara kultural, berbagai fasilitas, program, barang dan layanan kesehatan publik juga harus tepat menurut medis dan keilmuan atau memiliki kualitas yang baik.
Sketsa Kemajuan Kewajiban Hasil6 Sebagaimana telah disebutkan dalam bagian sebelumnya, pemenuhan hak kesehatan tidaklah berdiri sendiri, namun memiliki keterkaitan dengan hak-hak yang lain, seperti hak atas pangan, pakaian, perumahan, pendidikan. Namun demikian, bagian tulisan ini hanya akan fokus pada bagaimana sketsa kemajuan atas kewajiban hasil yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia pasca ratifikasi Kovenan Ekosob atas hak kesehatan. Sebagaimana telah dijelaskan pasal 12 ayat (2) Kovenan Ekosob dan Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) pasal 12 ayat (1) dan (2), beberapa indikator dasar yang bisa digunakan untuk melihat kemajuan hasil yang telah dicapai dalam tiga tahun terakhir, yaitu (Bandingkan Baswir, dkk, 2003:89-104): • Tingkat kematian yang akan dilihat dari sub-indikator berupa: (1) angka kematian bayi (kelahiran-mati), (2) kematian anak Balita dan,
Loc.cit.
Seluruh data dan argumentasi dalam bagian ini bersumber dari PROFIL KESEHATAN INDONESIA 2007, 2006, dan 2005 yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI.
5 6
46
(3) kematian maternal. • Perkembangan kesehatan anak yang akan dilihat dari sub-indikator kualitas gizi anak. • Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri (indikator ini sedikit banyak dibahas dalam hak lingkungan). • Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan (indikator ini sedikit banyak dibahas dalam hak atas pekerjaaan). • Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang. Indikator akses terhadap layanan kesehatan ini bisa ditilik dari sub-indikator (a) akses pelayanan preventif dengan fokus pada pelayanan imunisasi (b) pelayanan kuratif yang meliputi pelayanan untuk pengobatan.
C.1 Tingkat Kematian Terkait dengan tingkat kematian (mortalitas) data yang ada menunjukkan adanya kemajuan dalam upaya pengurangan angka. Untuk angka kematian bayi (AKB) atau kelahiran-mati di Indonesia, BPS mengestimasi AKB di Indonesia pada 2007 sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup atau lebih baik dibanding tahun 2002-2003, yang mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup (lihat Diagram 1).
Lebih lanjut kita bisa melihat AKB di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir masih dalam kategori sedang (20-49). Bila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya, kualitas AKB Indonesia berada dalam urutan keenam di antara negara-negara ASEAN (lihat Diagram 2).
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 47
Demikian juga, selama 5 tahun terakhir (2002-2007) tidak ada penurunan yang cukup meyakinkan dalam estimasi angka kematian anak Balita (Akaba). Pada 2007, Akaba sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan pada 2002-2003 Akaba sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup. Dengan kata lain, pasca ratifikasi Kovenan Ekosob tidak ada perubahan signifikan yang terlihat dalam tingkat kematian anak balita di Indonesia (lihat Diagram 3).
Adapun angka kematian balita (Akaba) tertinggi sebesar 96 per 1000 kelahiran hidup terjadi di Provinsi Sulawesi Barat, sebuah provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Sulawesi Selatan. Peringkat kedua ditempati Provinsi Maluku yang baru pulih dari konflik horizontal, Akaba mencapai 93 per 1000 kelahiran hidup. Posisi ketiga tertinggi dipegang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Akaba 92 per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu, prestasi Akaba terendah dicapai Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 22 per 1000 kelahiran hidup, urutan berikutnya Provinsi Jawa Tengah, 32 per 1000 kelahiran hidup dan ketiga, Provinsi Kalimantan Tengah dengan Akaba 34 per 1000 kelahiran hidup.
48
Di antara negara-negara ASEAN, berdasarkan data “World Health Statistics 2008”, kualitas Akaba Indonesia juga masih di posisi keenam dari 10 anggota ASEAN (Diagram 4).
Sedangkan angka kematian ibu (AKI) maternal di Indonesia mengalami kemajuan. Hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007 menyebutkan bahwa AKI di Indonesia tahun 2007 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan pada 2002, AKI di Indonesia sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup (lihat Diagram 5).
Di antara anggota ASEAN tercatat hanya Brunei Darussalam dan Singapura yang mencapai angka kematian ibu (AKI) < 15. Sedangkan Indonesia, lagilagi masih memiliki angka AKI tinggi (420) bersama Kamboja (540) dan Laos (660) (lihat Diagram 6).
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 49
C.2 Perkembangan Gizi Anak Hal terpenting lainnya adalah persoalan yang terkait dengan perkembangan kondisi gizi anak. Namun sayangnya belum ada data yang bisa digunakan untuk membandingkan hasil yang sudah dicapai oleh pemerintah, terutama untuk menanggulangi gizi kurang dan buruk, pasca ratifikasi Kovenan Ekosob. Sekedar ilustrasi, dalam “Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007” yang dikeluarkan kantor UNDP Indonesia digambarkan perubahan status gizi penduduk menjadi lebih baik, meskipun fluktuatif, selama periode 1989 sampai 2005. Penderita gizi kurang dan buruk mencapai 37,47 persen pada 1989. Kemudian turun mencapai titik terbaik pada periode ini di tahun 2000, menjadi 24,7 persen. Indikator status gizi ini terus turun lagi mencapai 28,17 persen pada 2005 (lihat Grafik 1).
Lebih lanjut, “Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007” menyebutkan bahwa pada 1989, balita berstatus gizi buruk 6,30 persen dan meningkat cukup tajam pada 2002,
50
menjadi 11,56 persen. Namun demikian, Setelah itu, persentase tersebut cenderung menurun sampai tahun 2002, sebelum kemudian meningkat kembali menjadi 8,8 persen pada tahun 2005. Sedangkan dalam kurun waktu 1989–2000 persentase balita berstatus gizi kurang mengalami penurunan dari 31,17 persen menjadi 17,13 persen. Angka ini meningkat kembali menjadi 19,24 persen pada tahun 2005, walaupun secara keseluruhan mengalami penurunan yang cukup besar. Menurunnya persentase balita gizi kurang ini tidak diimbangi dengan turunnya persentase balita yang mengalami gizi buruk.
C.3 Pelayanan Kesehatan Preventif Program imunisasi terhadap bayi juga merupakan indikator penting untuk mengukur hasil dari usaha penciptaan kondisi-kondisi yang optimal dalam kesehatan yang bersifat preventif. Untuk mengukur kemajuan dalam sub-indikator ini bisa dilihat dari capaian Universal Child Immunization (UCI) atau cakupan atas imunisasi lengkap pada sekelompok bayi atau tingkat kekebalan bayi dalam area wilayah tertentu (biasanya desa/kelurahan) terhadap penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Sebuah desa/ kelurahan akan dianggap mencapai target UCI apabila >80 persen bayi di wilayah tersebut mendapat imunisasi lengkap. Menurut data yang ada, pencapaian UCI di tingkat desa/kelurahan secara nasional masih fluktuatif selama tahun 2004-2007. Bila pada 2004, 69,43 persen desa/kelurahan di Indonesia sudah mencapai UCI dan persentase ini naik pada 2005 menjadi 76,23 persen. Namun sayangnya, justru setelah Indonesia meratifikasi Kovenan Ekosob terjadi penurunan persentase pada 2006 dan 2007, masingmasing menjadi 73,26 persen dan 71,18 persen (lihat Grafik 2).
C.4 Pelayanan Kesehatan Kuratif Selanjutnya, perkembangan pemenuhan hak kesehatan secara kuratif bisa dilihat dari beberapa aspek, terutama ketersediaan sarana dan aksesibilitas Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 51
terhadap sarana tersebut. Terkait dengan sarana bisa dilihat dari rasio dan jumlah Puskesmas dan rumah sakit. Data menunjukkan adanya peningkatan rasio Puskesmas terhadap penduduk selama periode 2003-2007. Pada 2003, rasio Puskesmas terhadap penduduk sebesar 3,46 per 100.000 penduduk, sedangkan tahun 2007 rasionya menjadi 3,65 per 100.000 penduduk. Sementara itu, rumah sakit di Indonesia hingga tahun 2007 tercatat 1.319 unit. Sayangnya perbandingan jumlah rumah sakit pemerintah dan swasta tidak berbeda jauh, yaitu: 667 unit (50,57%) berbanding 652 unit (49,43%). Adapun rasio ketersediaan tempat tidur di rumah sakit per 100.000 penduduk sebesar 61,17 ( tahun 2003), 60,92 (tahun 2004), 62,49 ( tahun 2005), 62,27 ( tahun 2006) dan 63,25 ( tahun 2007) Sedangkan rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk hingga tahun 2006 adalah sebagai berikut: 5,53 (dokter spesialis), 19,93 (dokter umum), 5,05 (dokter gigi), 137,87 (perawat), 35,4 (bidan), 3,68 (perawat gigi), 4,56 (apoteker), 17,49 (asisten apoteker), 4,36 (sarjana kesehatan masyarakat), 8,09 (sanitarian), 6,86 (Gizi), 2,37 (terapis fisik) dan 4,61 (Teknis medis). Untuk melihat aksesibilitas terhadap layanan bisa dilihat dari data tentang indikator pemanfaatan tempat tidur di rumah sakit (BOR). Data yang ada menunjukkan bahwa pemakaian tempat tidur di rumah sakit selama empat tahun terakhir ini cenderung meningkat walaupun belum memenuhi angka ideal yang diharapkan (60-85 persen) karena masih berkisar antara 55,2 persen – 57 persen. Meskipun pada tahun 2006 angka tersebut meningkat 0,8 persen dari tahun sebelumnya menjadi 57 persen. Fluktuasi ini salah satunya disebabkan oleh semakin banyaknya fasilitas yang tersedia, tapi pada saat yang bersamaan jumlah populasi yang meminta pelayanan semakin berkurang.
D
Lebih jauh untuk melihat aksesibilitas orang dan komunitas miskin terhadap layanan kesehatan bisa dilihat dari program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (JPKMM). Jumlah kunjungan rawat jalan yang menggunakan skema JPKMM sebanyak 1.453.000 kunjungan (2005), 6.921.000 kunjungan (2006), dan 5.961.712 kunjungan (2007). Sedangkan rawat inap tercatat 526.000 kunjungan (2005), 1.580.000 kunjungan (2006), dan 1.916.198 kunjungan (2007)
Sketsa Kemajuan Kewajiban Tindakan Apakah langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mengupayakan langkah pemenuhan hak atas kesehatan dalam konteks Kewajiban Tindakan? Kovenan Ekosob menyebut bahwa langkah yang perlu dilakukan oleh negara, salah satunya adalah melalui legislasi dan kebijakan yang mengatur dan mendorong promosi hak atas kesehatan ”all appropriate means, including particularly the adoption of legislative measures”. Dalam hal ini, kebijakan dan regulasi juga harus dlihat dalam kerangka kontribusinya untuk tiga kategori kewajiban negara tadi.
52
D.1 Proses Kebijakan Kesehatan Bagian ini akan fokus pada penilaian mengenai seberapa jauh kesempatan bagi seluruh warga negara, tanpa pengecualian, untuk terlibat dalam proses pembangunan dan pemenuhan hak kesehatan secara partisipatif dan demokratis. Ada dua sub-indikator yang akan digunakan untuk melihat hal tersebut, yaitu kesetaraan politik dan keterlibatan publik. Hal ini nampak dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Indikator Kesempatan Warga Terlibat dalam Pemenuhan Hak Kesehatan Obligasi Negara Menghargai
Melindungi
Memenuhi
Proses Politik: Konstitusi dan Kebijakan Kesetaraan Politik Keterlibatan Publik Kebijakan pengakuan hak Adakah ruang, skema dan setiap warga negara atas kelembagaan sebagai wadah kesehatan tanpa pembedaan bagi keterlibatan warga terkait (sosial, budaya, jenis kelamin, penghargaan terhadap hak atas politik, ekonomi, dan lainnya). kesehatan? Adakah kebijakan dan skema Ruang, skema dan kelembagaan untuk memastikan hak setiap apa sajakah –yang disediakan warga atas kesehatan tidak oleh negara atau diupayakan oleh dilanggar? Dan apa yang masyarakat- untuk terlibat dalam dilakukan negara untuk perlindungan hak atas kesehatan. memastikan kelompok atau individu tidak dilanggar haknya baik karena alasan sosial ekonomi, budaya maupun pilihan politik? Melalui kebijakan dan skema Melalui skema dan, kelembagaan apa sajakah, pemenuhan apa sajakah keterlibatan warga hak atas kesehatan yang non dalam pemenuhan hak ini diskriminatif dilakukan oleh diwadahi? negara.
D.1.1 Kesetaraan Politik Kesetaraan politik adalah pengakuan negara atas melekatnya eksistensi kewarganegaraan (citizenship) setiap warga negara yang ada di Indonesia secara setara tanpa pengecualian. Pengakuan negara terhadap eksistensi kewarganegaraan sebenarnya bentuk lain dari apa yang disebut sebagai “hak untuk mempunyai hak” (rights to have rights). Untuk menilai hal ini, kertas kerja ini akan melihat tingkat keterbukaan dan pengakuan secara politis oleh negara (political inclusion) terhadap eksistensi entitas sosial (individu/kelompok) yang ada di Indonesia. Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 53
Kotak 1 Sudah Miskin, Pendatang Pula Mahalnya biaya berobat adalah masalah serius dalam penegakan hak atas kesehatan. Sampaisampai, keluar pameo, orang miskin dilarang sakit, karena biaya sakit sungguh tak terjangkau oleh mereka-mereka ini. Lantas, bagaimana kalau mereka miskin, sakit dan pendatang? Masalahnya menjadi jauh lebih panjang. Di Jakarta saja misalnya, jumlah penduduk tidak tetap semakin bertambah. Setiap tahun, di kantor Kependudukan dan Catatan Sipil tercatat angka 223 ribu jiwa yang masuk Jakarta. Ketimpangan ekonomi yang terjadi, membuat magnet Jakarta tidak memudar walaupun cerita gagal juga tidak kalah banyak. Di antara ratusan ribu pendatang tersebut, persoalan catatan kependudukan menjadi masalah pelik, karena banyak yang statusnya tidak jelas. Percaloan dan biaya pengurusan KTP yang tidak sedikit, menjadi penghalang utama. Sebetulnya, dengan sistem jaminan sosial yang baru, untuk warga non-jakarta, tersedia skema askeskin ataupun mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM). Namun, keduanya ini bukanlah lembaran surat yang mudah didapat dan bermanfaat banyak. Mengurus askeskin juga banyak masalah dan kadang biaya, apalagi karena banyak masalah dalam distribusinya. SKTM juga memiliki catatan serius. Selain percaloan yang juga marak, persepsi keliru tentang cakupan SKTM di kalangan rumah sakit juga menjadi hambatan. Surat ini sering dianggap sebagai keringanan saja untuk keluarga miskin, sehingga si pasien tetap harus membayar sebagian biaya pengobatan (Kompas, 5 Oktober 2007). Lantas, bagaimana nasib jutaan pendatang yang semakin menyesaki Jakarta? Pertanyaan yang sama juga kita ajukan atas nasib ratusan ribu warga lainnya yang berduyun-duyun memasuki Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, dan kota-kota lainnya. Ketika ketimpangan pembangunan dan migrasi menjadi persoalan, sementara sistem dan pencatatan juga tidak mendukung, tantangan ini memang harus segera diselesaikan
Salah satu bentuk pengakuan (recognition) akan eksistensi ini bisa dilihat di status penduduk. Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi pintu masuk utama bagi setiap warga negara, termasuk ketika harus berurusan dengan pelayanan kesehatan. Dalam kaitan dengan sistem jaminan sosial, persoalan menjadi pelik karena banyak penduduk yang berhadapan dengan kerumitan sistem kependudukan. Migrasi atau perpindahan penduduk dan sistem pencatatan yang buruk, menjadikan pemenuhan hak mereka menjadi semakin terabaikan (lihat Kotak 1). Kegagalan untuk mengakses KTP -yang sering kali dijadikan syarat formal untuk mengakses layanan publik dasar- nyaris menjadi pintu masuk diskriminasi lebih jauh dalam pemenuhan hak kesehatan. Mereka ini, terdiskriminasi umumnya karena mereka merupakan minoritas dalam kategori kelas sosial (miskin, bukan penduduk tetap). Ini nampak dalam ilustrasi potret hak dasar kaum marjinal seperti anak jalanan, atau penduduk tidak tetap sebagaimana nampak dalam Kotak 1. Faktor lain yang juga bisa berpengaruh adalah budaya akibat identitas kultural atau agamanya tidak diakui oleh negara, seperti pada kasus masyarakat adat dan sebagainya. Bisa juga karena diskriminasi berbasis gender, seperti yang terjadi pada waria ataupun kaum homoseksual lainnya.
54
D.1.2 Keterlibatan Publik Yang dimaksud dengan keterlibatan publik di sini adalah derajat keterlibatan publik (public engagement) dalam proses kebijakan pemenuhan hak kesehatan dalam pembangunan di Indonesia. Secara sederhana, derajat keterlibatan publik nanti bisa dikategorisasikan ke dalam tiga level yaitu: (1) Invited space. Keterlibatan warga jenis ini muncul karena ruang yang diinisiasi dan disediakan oleh negara, (2) Conquered space. Penyediaan ruang bagi keterlibatan warga sudah mulai dilembagakan dalam proses kebijakan pemenuhan hak kesehatan. Proses pelembagaan ini bisa dalam bentuk legalisasi pelibatan publik, (3) Popular space. Dalam ruang ini, kehadiran partisipasi publik tidak hanya terlembagakan secara apik tapi juga sudah mampu mempengaruhi seluruh proses kebijakan pemenuhan hak kesehatan yang ada. Secara umum, dengan beberapa catatan, bentuk keterlibatan yang sudah mulai nampak adalah bentuk yang pertama. Forum-forum perencanaan pembangunan organik dari bawah bernama musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), menjadi media di mana isu dan prioritas pembangunan –termasuk kesehatan- didiskusikan bersama oleh masyarakat. Ada beberapa catatan di sini, di mana isu-isu pembangunan prasarana fisik jauh lebih mendominasi dibandingkan deretan isu pembangunan manusia –termasuk kesehatan di dalamnya. Catatan yang lain adalah bahwa tingkat akomodasi usulan dari bawah masih sangat rendah, termasuk ketika sampai ke aspek penganggarannya. Selain dalam proses perencanaan organik, dalam implementasi pembangunan kesehatan, nampak beberapa cara pandang yang tidak tepat terkait keterlibatan masyarakat ini. Saat ini, partisipasi atau keterlibatan masyarakat adalah jargon yang sangat populer, namun lebih dimaknai sebagai keterlibatan dalam implementasi program pembangunan dan partisipasi dalam pembiayaan. Dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN yang lain, Indonesia adalah salah satu negara dengan total pengeluaran kesehatan yang terendah, namun dengan persentase pengeluaran privat yang tertinggi untuk kesehatan.
D.2 Subtansi Kebijakan Pemenuhan Kesehatan Dalam sub-bagian ini akan dibahas bagaimana subtansi kebijakan pembangunan yang telah dikembangkan di Indonesia. Dengan melihat subtansi kebijakan, kita akan mengukur seberapa jauh isi kebijakan yang ada mencerminkan internalisasi nilai-nilai rights based. Ada beberapa hal yang penting untuk melihat dinamika promosi hak atas kesehatan dalam kebijakan negara. Salah satu tonggak penting adalah perubahan konstitusi dengan dilakukannya amandemen UUD 1945. Dalam hal ini, yang sangat relevan adalah amandemen terkait dengan konsep Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 55
kesejahteraan dan sistem jaminan sosial nasional. Walaupun amandemen ini dilakukan sebelum ratifikasi Kovenan Ekosob, namun implikasinya sangatlah berarti terhadap progres pemenuhan hak ekosob di tanah air. Beberapa amandemen penting yang terkait di sini antara lain: • Perubahan pasal 28H ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. • Perubahan pasal 28 ayat (3): Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. • Perubahan pasal 34 ayat (2): Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Selain itu, beberapa kebijakan payung yang menjadi grand design pembangunan nasional juga memiliki keterkaitan erat dengan promosi hak atas kesehatan. Salah satu dokumen penting adalah RPJMN 2005-2009, yang walaupun dikeluarkan sebelum ratifikasi Kovenan Ecosob, namun memiliki peran krusial dalam melihat arah pembangunan nasional. Dokumen lain yang juga penting untuk dilihat adalah Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Dokumen ini merupakan dokumen teknis yang memberikan arahan pada semua sektor dalam menerjemahkan RPJM. Kedua dokumen tersebut, RPJMN dan SNPK, oleh banyak pihak diklaim sebagai bentuk akomodasi Negara terhadap perspektif hak dalam penanggulangan kemiskinan.7 SNPK misalnya, menetapkan empat kebijakan pokok untuk menanggulangi kemiskinan, yakni menciptakan kerangka ekonomi makro yang berpihak pada masyarakat miskin, memenuhi hak dasar masyarakat miskin, mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, serta pengembangan wilayah yang mampu menunjang pemenuhan hak dasar. Pembangunan di Indonesia juga dianggap memasuki babak baru setelah pemerintah mengadopsi tujuan pembangunan milenium/MDGs. Beberapa tujuan ini terkait erat dengan pembangunan dan hak atas kesehatan, antara lain menanggulangi kemiskinan dan kelaparan (tujuan 1), menurunkan angka kematian anak (tujuan 4), meningkatkan kesehatan ibu (tujuan 5), menurunkan HIV/AIDS/malaria dan penyakit lain (tujuan 6). Beberapa tujuan lain juga akan berkontribusi sangat penting dalam mendorong pencapaian derajat kesehatan yang lebih baik, seperti tujuan yang merupakan isu perpotongan sebagaimana tujuan mendorong kesetaraan gender (tujuan 3) dan kelestarian lingkungan hidup (tujuan 7).
7
56
Lihat misalnya di http://tkpkri.org/berita/berita/strategi-nasional-penanggulangan-kemiskinan-(snpk)-2005102849.html. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 16.00 WIB.
Dan sebagai tindak lanjut dari amandemen konstitusi, maka pada 2004, dikeluarkan UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), melalui UU No. 40 tahun 2004. Substansi penting dari UU ini antara lain memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bentuknya adalah jaminan sosial sebagai bentuk perlindungan agar setiap rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak.8 UU yang ditandatangani masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri itu mengamanatkan jaminan sosial baik di bidang kesehatan, tunjangan hari tua, kecelakaan kerja, sampai pengangguran. Mengacu kepada UU ini, maka muncul lima program jaminan sosial, yaitu jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, pensiun dan kematian. Selain prinsip asuransi sosial dan ekuitas, muatan pentingnya adalah menyangkut pembiayaan bagi asuransi. Dalam pasal 17 ayat (4) disebutkan bahwa iuran jaminan sosial bagi warga miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh negara. Waktu itu, jumlah orang miskin yang akan ditanggung negara, berdasar data BPS sebanyak 36,15 juta jiwa. Namun, 4 bulan pasca dikeluarkan, UU ini langsung menuai respons. Salah satunya adalah uji materi yang diajukan oleh wakil beberapa pemerintah daerah yang merasa kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan penunjukan PT Askes untuk mengelola jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bagi penggugat, aturan ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan mengakibatkan monopoli pengelolaan di pusat. Bagi sebagian yang lain, nuansa politis sangat kental dalam kasus ini, mengingat kewenangan pengelolaan dana untuk jaminan sosial yang tidak kecil. Pasca uji materil ini, kewenangan menyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional bukan saja menjadi kewenangan pemerintah pusat, tetapi juga dapat menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pembentukan badan pengelola jaminan sosial di tingkat daerah ini dimungkinkan, dengan tetap mengacu kepada UU No. 40 tahun 2004.
D.3 Sumber Daya: Pengelolaan dalam Keterbatasan Sumber daya adalah isu penting dalam pemenuhan hak dasar. Hal ini terjadi karena banyak negara yang enggan untuk melakukan langkah progresif dalam pemenuhan hak, dengan berlindung di balik alasan keterbatasan kapasitas finansial. Kasus Indonesia juga menunjukkan bahwa komitmen dan keberpihakan negara terhadap pemajuan hak kesehatan, nampak dalam profil pembiayaan kesehatan yang ada. Data Human Development Report 2006 menunjukkan bahwa dibandingkan dengan beberapa negara lain di kawasan Asia Tenggara, komitmen Indonesia untuk memenuhi hak warga akan kesehatan masih jauh lebih rendah. Selengkapnya nampak dalam tabel berikut ini:
8
Lihat dalam http://sjsn.menkokesra.go.id/dokumen/publikasi/buku_reformasi_sjsn_ind.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 16.30 WIB. Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 57
Tabel 2 Pengeluaran untuk Kesehatan Beberapa Negara di ASEAN Negara Malaysia Thailand Filipina Vietnam Indonesia
Publik (% dari GDP) 2,2 2,0 2,4 1,5 1,1
Private (% dari GDP) 1,6 1,3 1,8 3,9 2,6
Per kapita ($ AS) 374 260 174 164 116
Berdasarkan tabel di atas, pengeluaran pemerintah Indonesia untuk pembangunan kesehatan masih kalah jauh, bahkan dibandingkan Vietnam, apalagi Malaysia, Filipina dan Thailand. Akibatnya, pengeluaran yang harus ditanggung masyarakat, menjadi jauh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran bidang yang sama di Thailand, Malaysia, dan Filipina. Dan akumulasinya, pengeluaran kesehatan per kapita di Indonesia memang paling rendah dibandingkan keempat negara lain di ASEAN.
E
Bila ditelusuri lebih jauh, implikasi pembiayaan kesehatan akan berbeda bagi kelas yang berbeda. Memang, pengeluaran orang kaya untuk perawatan kesehatan lebih besar daripada orang miskin, apalagi karena preferensi yang berbeda dalam menentukan tempat dan bentuk layanan kesehatan. Seperlima penduduk terkaya bertanggung jawab atas 36 persen pengeluaran untuk perawatan primer, sedangkan seperlima penduduk termiskin bertanggung jawab atas 10 persen pengeluaran yang sama. Tetapi, data Indonesian Human Development Index 2004 (2004: 38) bahkan menyebutkan pengeluaran rakyat miskin pun lebih banyak pada penyedia pelayanan swasta dibandingkan pengeluaran mereka pada penyedia pelayanan publik. Selain itu, biaya kesehatan bagi rakyat miskin mungkin merupakan sebagian besar dari penghasilan mereka. Sebuah kajian yang dilakukan Thabrani (2003) mendapati bahwa 10 persen penduduk termiskin mengeluarkan 2,3 kali pengeluaran rumah tangga bulanan mereka untuk kesehatan, sedangkan orang kaya hanya menyediakan sebesar satu bulan pengeluaran. Jadi, inilah isu krusial bagi pemajuan hak kesehatan, yang perlu dilakukan secara bertahap, akni memastikan bahwa siapa pun, termasuk yang paling miskin, tetap terpenuhi haknya untuk bisa hidup sehat dan bermartabat.
Dilema Pemenuhan Hak Kesehatan di Indonesia Gambaran yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa upaya realisasi pemenuhan hak kesehatan di Indonesia pasca ratifikasi Kovenan Ekosob merupakan sebuah proses dinamis. Dengan kata lain, berhasil atau tidaknya pemerintah Indonesia dalam memenuhi hak kesehatan tidak hanya ditentukan semata-mata oleh sekedar banyak atau jauh negara mengakui atau mengesahkan berbagai dokumen-dokumen legal internasional yang
58
mengafirmasi kewajiban pemenuhan. Lebih jauh, watak ideologi negara dan dinamika konteks sosial, politik, dan ekonomi yang lebih makro juga turut menentukan. Kita sudah mafhum bahwa proses ratifikasi Kovenan Ekosob melalui UU No.11 Tahun 2005 dilakukan ketika berbagai transformasi sosial, politik dan ekonomi sedang berlangsung di Indonesia dalam satu warsa terakhir ini. Setidaknya ada tiga proses yang sedang berlangsung (1) Demokratisasi politik. Proses demokratisasi di Indonesia mendorong penataan ulang pola hubungan kekuasaan antara negara dan masyarakat, (2) Devolusi. Proses devolusi (desentralisasi politik) dalam beberapa tahun terakhir ini meletakkan dasar pola hubungan pusat-derah yang baru. Berbagai kewenangan dan urusan yang sebelumnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah pusat, termasuk kewenangan dan urusan kesehatan, kini dilimpahkan dan diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom, dan (3) Privatisasi. Seiring dengan menguatnya ide-ide neoliberalisme dan good governance dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia, muncul kecenderungan baru untuk mengelola berbagai urusan publik dasar dalam mekanisme pasar dan meminimalisasi otoritas negara atau dikenal dengan istilah privatisasi. Ada keyakinan ideologis yang sangat kuat, terutama yang dipromosikan oleh para pemuja New Public Management (NPM), bahwa mekanisme pasar bisa mendorong proses penyelenggaraan/delivery pelayanan publik, termasuk juga pelayanan kesehatan, menjadi efektif dan efisien.
E.1Ketidaksinkronan Orientasi Kebijakan Pembangunan Kesehatan Secara ideal, ketika gagasan rights based diadopsi, yang secara simbolik bisa dilihat dari keinginan pemerintah meratifikasi Kovenan Ekosob, maka hal tersebut akan mendorong pengintegrasian norma, standar, dan prinsipprinsip hak asasi manusia yang telah disepakati secara internasional ke dalam perencanaan, kebijakan dan proses pembangunan kesehatan di Indonesia. Gagasan pembangunan kesehatan berbasis hak juga akan memberikan dampak terhadap prioritas-prioritas perencanaan pembangunan kesehatan dengan mendorong berbagai sumber daya secara maksimal dalam rangka memenuhi hak kesehatan secara serius serta mencegah berbagai kebijakan yang akan mengabaikan pemenuhan hak tersebut (Stokke & Jones 2005:9). Kita bisa melihat seberapa jauh nilai rights-based tersebut hendak diinternalisasikan dalam berbagai dokumen kebijakan yang terkait dengan kesehatan di RPJMN 2004-2009 dan Rencana Strategis Departemen Kesehatan (Renstra Depkes) 2005-2009. Dalam RPJMN 2004-2009, kesehatan menjadi bagian integral dari isu pembangunan sumber daya manusia (SDM) sebagaimana tercantum dalam bab 28. Dengan kata lain, pembangunan kesehatan lebih dianggap sebagai investasi sumber daya manusia yang menjadi modal penting (human capital) dalam proses pembangunan. Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 59
Sementara itu, di Renstra Depkes 2005-2009, terdapat pernyataan eksplisit yang menegaskan adanya kebijakan kesehatan sebagai bagian upaya pemenuhan hak asasi manusia. Dalam bab 3 Renstra Depkes 2005-2009 yang terkait dengan rumusan nilai-nilai, disebutkan salah satu nilai penting yang mesti mendasari kebijakan kesehatan di Indonesia adalah keberpihakan terhadap rakyat. Sebagaimana ditegaskan bahwa: “Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Departemen Kesehatan akan selalu berpihak pada rakyat. Diperolehnya derajat kesehatan setinggitingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama dan status sosial ekonomi. UUD 1945 juga menetapkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Dari kutipan tersebut bisa dilihat adanya proses internalisasi nilai rights-based dalam kebijakan pembangunan kesehatan. Namun demikian, pembangunan kesehatan masih mengalami dilema ketidaksinkronan orientasi antardokumen kebijakan. Gagasan pemenuhan kesehatan sebagai bagian investasi human capital dan pemenuhan hak asasi setiap anak manusia merupakan dua gagasan yang sering dianggap berseberangan. Yang disebutkan pertama akan mendorong pola pelayanan kesehatan yang selektif. Orientasi kebijakannya akan lebih bersifat produktivisme dan mendorong desain investasi sosial yang selektif. Sedangkan yang disebutkan terakhir dibangun dari orientasi kebijakan yang bersifat produktivisme, namun berusaha mendorong desain investasi sosial yang universal sekaligus membuka ruang keterlibatan publik yang lebih luas. Ketidaksinkronan dua dokumen perencanaan strategis tersebut tentunya akan menimbulkan problema ketidakjelasan arah orientasi kebijakan pembangunan kesehatan di Indonesia. Singkat kata, sketsa tersebut menunjukkan bahwa basis ideologi dan paradigma kebijakan pembangunan kesehatan negara pasca ratifikasi Kovenan Ekosob masih dalam ’ketegangan’. Dengan demikian upaya mendorong orientasi pembangunan kesehatan di Indonesia untuk berkomitmen pada hasrat memenuhi kesehatan sebagai hak dasar warga masih tidak terlalu kuat. Kondisi ini lebih lanjut akan membuat proses pelembagaan/ institusionalisasi nilai rights-based dalam proses kebijakan menjadi bermasalah. Kenyataan menunjukkan bahwa nilai rights-based belum terinternalisasi dengan kuat dalam pelayanan kesehatan atau menjadi bagian corporate culture. Dari pemberitaan media massa kita masih menemukan banyak cerita tentang pasien yang ditahan karena tidak mampu bayar, pasien miskin yang ditolak untuk dirawat meskipun sudah membawa Askeskin, pelayanan medis di rumah sakit publik yang masih diskriminatif dan dibeda-bedakan berdasarkan kelas, dan sebagainya. Dengan demikian, pola hubungan antara rights holders dengan duty holders masih bersifat asimetris.
60
E.2 Salah Tafsir, Kewajiban Negara=Beban Negara Semangat UU No. 40 Tahun 2004 sebetulnya sangat penting dan berkontribusi untuk pemenuhan hak kesehatan yang lebih baik. Bila melihat UU ini, terdapat periode transisi selama lima tahun atau hingga akhir 2009 untuk penerapan sistem ini secara menyeluruh. Namun hingga awal 2009, kemajuan terbangunnya sistem jaminan sosial ini masih jauh dari sempurna. Salah satu persoalan utamanya terkait dengan UU ini adalah adanya persepsi keliru, bahwa program jaminan sosial akan membebani anggaran negara. Beberapa kajian melihat bahwa beban anggaran ini akan memberati pengeluaran negara serta tidak sejalan dengan kecenderungan global berupa menurunnya peran negara dalam penyediaan jaminan sosial.9 Tarik menarik peran negara dalam pemenuhan hak dasar muncul dengan sangat kuat. Privatisasi, deregulasi dan paket–paket liberalisasi yang lain masuk dengan sangat intensif dalam pembangunan kesehatan. Dalam pandangan ini, peranperan negara perlu dikurangi dan seharusnya diserahkan kepada pasar. Kekhawatiran terkurasnya anggaran negara untuk membayar premi jaminan sosial tampak berlebihan. Implementasi sistem sosial yang baru ini memang membutuhkan dukungan dan perubahan kebijakan fiskal yang makan waktu tidak sekejap. Namun, mengacu pada UU No. 40 Tahun 2004, sebetulnya negara akan amat terbantu dengan terselenggaranya program jaminan sosial, salah satunya melalui terbentuknya dana jaminan sosial. Kebijakan ini bahkan akan meringankan beban anggaran negara melalui pembaruan program jaminan pensiun PNS serta anggota TNI/POLRI. Kontribusi peserta program jaminan sosial, khususnya program jaminan hari tua dan jaminan pensiun, akan mampu membentuk tabungan nasional yang amat besar sehingga bisa mendukung pembangunan.10 Sayangnya, kekeliruan pandangan ini memperlambat implementasi jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Selain isu fiskal, pranata legal, kelembagaan dan adminisitrasi, serta infrastruktur kesehatan yang ada juga belum tertata dan belum memungkinkan sistem ini bekerja dengan baik.11 Sebagaimana respons di awal, proses sinkronisasi antara lembaga di pusat dengan daerah dalam implementasi sistem, masih menunjukkan banyak lubang seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
E.3 Dilema Pemenuhan Hak Kesehatan dalam Desentralisasi Proses ratifikasi Kovenan Ekosob berlangsung ketika negara berusaha mendorong proses devolusi politik melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Lihat, http://www.smeru.or.id/report/workpaper/jamsosnas/Jamsosnasind.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 15.00 WIB.
9
Sulastomo, “Negara Tanpa Jaminan Sosial”, Kompas, Sabtu 14 Maret 2009.
10
http://www.adb.org/Documents/Books/Indonesia-National-Social-Security-System/prelims.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 13.00 WIB.
11
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 61
Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Proses ini membuka peluang bagi daerah untuk terlibat lebih jauh dalam proses kebijakan, termasuk kebijakan pembangunan kesehatan. Kewajiban pemenuhan hak kesehatan sebagai hak asasi warga tidak lah lagi sematamata dibebankan pada otoritas pemerintah pusat, melainkan juga otoritas pemerintah daerah. Sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit pihak yang meyakini pilihan devolusi merupakan salah satu jalan penting untuk menguatkan peran publik dalam proses kebijakan dan penciptaan civic services dan public services yang lebih baik. Para penganjurnya tampak yakin bahwa devolusi –yang menekankan aspek subsidiaritas- akan mendekatkan berbagai proses kebijakan yang ada sesuai dengan preferensi dan kepentingan warga di ranah lokal. Tentu saja, hal ini secara ideal akan memantik hadirnya pelayanan publik yang lebih baik karena berbagai output dan outcome kebijakan yang muncul kemudian akan sesuai dengan hasrat dan kepentingan publik dan proses penyelesaian berbagai problema sosial akan sensitif dengan konteks (Manor, 1999; Devas and Delay, 2006).
E.3.1 Lemahnya Institusionalisasi Inovasi Daerah & Ketidaksinkronan Kebijakan Kesehatan Pemerintah Harapan ideal tentang desentralisasi sebagaimana diuraikan sebelumnya tidaklah berlebihan karena tidak sedikit daerah yang berhasil membangun komitmen untuk memenuhi hak kesehatan warga mereka di tengah berbagai keterbatasan. Misalnya Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, merupakan salah satu daerah yang telah berusaha menginisiasi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sebelum pemerintah pusat mendorong hal serupa menjadi program nasional yang diadopsi oleh seluruh daerah otonom. Demikian juga yang dilakukan oleh Kabupaten Jembrana, Bali dengan program Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) yang mendorong akses kesehatan orang miskin dari 17 persen menjadi 63 persen. Kota Blitar, Jawa Timur, bukan hanya membangun komitmen tapi juga pada saat yang sama berusaha melibatkan lebih jauh peran masyarakat dalam proses kebijakan kesehatan melalui pengembangan mekanisme Citizen Charter pelayanan kesehatan. Namun berbagai cerita menggembirakan tersebut tampaknya belum bisa memberikan fondasi yang kuat bagi pemenuhan hak kesehatan di daerah karena beberapa alasan. Pertama, inovasi daerah dalam pemenuhan hak kesehatan sering kali tidak terlembagakan dengan baik. Berbagai program yang ada sangat dipengaruhi oleh faktor kemimpinan atau biasanya diinisiasi oleh kepala daerah secara personal yang sangat ditentukan oleh tabiat populisnya. Dalam banyak kasus muncul beberapa program individu kepala daerah yang menjadi identik dan melekat pada pencitraan personal dan gagal terlembagakan dalam mesin birokrasi
62
Kotak 2. Yang Tersisa dari Purbalingga dan Jembrana Dua kabupaten, Purbalingga dan Jembrana, bukanlah masuk kategori kabupaten kaya. Karena itu, menarik untuk melihat bahwa dengan sumber daya yang terbatas, daerah tetap bisa berkontribusi untuk pengadaan sistem jaminan kesehatan daerah. Kedua daerah tersebut dipaparkan di sini untuk menjadi pelajaran tentang peran daerah dalam pemenuhan hak atas kesehatan. Jembrana merupakan kabupaten termiskin di Provinsi Bali. Pada 2005, ketika rata-rata APBD di berbagai daerah Indonesia adalah sekitar Rp 400 miliar, justru total APBD Jembrana hanyalah Rp 235 miliar dan kemudian naik menjadi Rp 353 miliar pada 2006. Namun, reformasi birokasi –sistem rekrutmen, remunerasi serta jenjang karir- perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa, serta efisiensi belanja membuat daerah ini bisa mengalokasikan cukup dana untuk membayar premi asuransi kesehatan yang kemudian berujung pada pelayanan kesehatan gratis. Di tingkat daerah, jaminan yang dikelola melalui Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) ini memungkinkan setiap penduduk pemegang KTP Jembrana bisa berobat gratis di manapun, termasuk praktik dokter, RS dan bidan swasta. Ini merupakan terobosan karena tidak hanya mengatasi masalah harga, tetapi juga menyelesaikan masalah aksesibilitas. Sementara itu, Purbalingga yang terletak di Jawa Tengah merupakan kabupaten pertama di Indonesia yang memulai program jaminan kesehatan masyarakat miskin sebagai pengganti skema JPS-BK (Jaring Pengaman Sosial-Bidang Kesehatan). Keluarga miskin mendapatkan pelayanan kesehatan gratis karena subsidi pemerintah, sedangkan yang bukan keluarga miskin membayar premi hanya 50 persen atau 100 persen. Dalam mendorong kemandirian anggaran daerah, Purbalingga juga menyusun skema untuk secara bertahap meningkatkan premi sampai mencapai biaya riil paket bantuan. Inisiatif Jembrana dan Purbalingga di bidang kesehatan bukannya tanpa catatan. Inisiatif Jembrana dikritik karena mengandalkan top leader (bupati) yang baik dan tanpa dukungan institusi politik yang ada seperti DPRD. Ini memunculkan tantangan untuk keberlanjutan inisiatif ini bila terjadi pergantian kepala daerah. Begitu juga inisiatif di Purbalingga yang mendapat kritik oleh salah satu fraksi di DPRD Purbalingga karena LKPJ Bupati yang menyebut bahwa kualitas pelayanan yang masih kurang baik bagi pasien pemegang JPKM. (Diolah dari berbagai sumber)
mereka. Kondisi ini akan mengancam keberlanjutan program tersebut apabila sang kepala daerah tidak lagi memimpin. Hal ini misalnya, terjadi dalam variasi derajat masalah, pada program JKJ di Jembrana dan Citizen Charter di Blitar (Bandingkan World Bank-INDOPOV, 2006) Kedua, ketidaksinkronan program daerah dengan program nasional. Argumen ini bisa dilihat dari ilustrasi pelaksanaan JPKM di Purbalingga. Program JPKM di Purbalingga merupakan salah satu program inovasi daerah yang kemudian diadopsi pemerintah (Depkes) menjadi program berskala nasional yang diaplikasikan di seluruh Indonesia. Namun masalah yang kemudian muncul yakni sering kali terjadi tumpang tindih kebijakan dengan fokus dan sasaran yang identik membuat implementasi kebijakan di daerah tidak efektif. Misalnya, Smeru Institute dalam laporan penelitian mereka yang bertajuk: “Making Services Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 63
Work for the Poor in Indonesia: A Report on Health Financing Mechanisms in Kabupaten Purbalingga,” menyebutkan bahwa muncul komplikasi baru dalam program JPKM di Purbalingga ketika pemerintah pusat mencoba meresentralisasi program jaminan kesehatan dan mengadopsi program ini pada level nasional di tahun 2004 (Arifianto, Marianti, Budiyati & Tan 2005). Singkat kata, bila menggunakan indikator dampak pembangunan kesehatan, beberapa kemajuan justru nampak setelah desentralisasi. Angka kematian ibu, menurun dari 334 per 100.000 kelahiran hidup pada 1997, menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada 2003. Begitu juga angka kematian bayi menurun dari 46 per 100.000 kelahiran hidup pada 1997 menjadi 35 per 100.000 kelahiran hidup pada 2003. Indikator lain, yaitu umur harapan hidup juga mengalami perbaikan, dari 65,8 pada 1997 menjadi 66,2 pada 2003. Ini menunjukkan bahwa bukanlah desentralisasi yang menjadi faktor penentu pencapaian target pembangunan kesehatan.12 Di sini, memperhatikan problem ketimpangan dalam capaian pembangunan kesehatan, penyusunan dan penerapan standar pelayanan kesehatan yang berperspektif hak di era desentralisasi memang sangat diperlukan. Begitu juga persoalan peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatur di daerah untuk membuat daerah memiliki kecakapan dan kemandirian dari pusat.
E.3.2 Rendahnya Komitmen Daerah dalam Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Berbasis Hak Anggaran daerah memegang peranan penting dalam pemenuhan hak atas kesehatan, mengingat kesehatan termasuk dalam salah satu urusan –terminologi yang lebih baru ini digunakan sebagai pengganti ‘kewenangan’- yang didelegasikan ke daerah. Pertanyaannya, seperti apa dan bagaimanakah potret anggaran kesehatan di Indonesia? Tidak berbeda jauh dengan profil pusat, politik anggaran juga belum menempatkan anggaran untuk pemenuhan hak dasar sebagai prioritas (Fatimah, 2006). Selain pengabaian pemajuan hak kelompok rentan dan minimnya alokasi anggaran, juga terjadi penghamburan dana publik untuk kepentingan elit dan proyek mercusuar. Di sebuah daerah misalnya, anggaran untuk penanganan gizi buruk hanyalah Rp 10 juta, sementara pada saat yang sama, pengeluaran untuk biaya makanmakan di pemerintah daerah lebih dari Rp 4 miliar. Begitu juga di daerah yang lain, bantuan untuk ibu hamil risiko tinggi keluarga miskin hanya mendapat alokasi Rp 10 juta, sementara perjalanan dinas pemerintah www.litbang.depkes.go.id/download/seminar/desentralisasi680606/ Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 19.00 WIB.
12
64
daerahnya mencapai Rp 4.3 Miliar (Fatimah 2004). Selain itu, beberapa kajian juga menunjukkan walaupun desentralisasi sudah berjalan sekitar 8 tahun, pembiayaan kesehatan di daerah masih menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap sumber-sumber pembiayaan pusat. Beberapa analisis menyebutkan bahwa sebelum dan setelah desentralisasi, pembiayaan kesehatan di daerah masih sangat bertumpu pada pemerintah pusat (buletin Desentralisasi Kesehatan Vol II/2/2004). Setelah desentralisasi, ketergantungan ini terjadi baik melalui DAU ataupun dana dekonsentrasi, sementara dahulu bentuknya adalah dana sektoral melalui departemen. Di sisi lain, alokasi anggaran kesehatan daerah masih sangat jauh dari mencukupi. Kesepakatan bupati/walikota se-Indonesia untuk mengalokasikan 15 persen dari APBD untuk kesehatan hanya sebatas deklarasi kesepakatan.
E.4 Demokratisasi dan Klientelisme Baru dalam Pemenuhan Hak Kesehatan Hal terpenting untuk dicatat adalah proses ratifikasi Kovenan Ekosob melalui UU No.11 Tahun 2005 yang terjadi ketika proses demokratisasi sedang berlangsung di Indonesia. Secara ideal, proses demokratisasi dibayangkan akan bisa mendorong pola hubungan negara dan warganya menjadi simetris karena demokrasi pada dasarnya merupakan mekanisme yang memungkinkan adanya kontrol warga terhadap urusan publik, termasuk kesehatan berdasarkan kesetaraan politik. Dengan kata lain, proses demokratisasi diharapkan akan mendorong komitmen negara untuk memenuhi hak asasi warganya, termasuk hak kesehatan, karena pada prinsipnya kewargaan itu sendiri merupakan status yang di dalamnya dilekatkan seperangkat hak asasi dan tanggung jawab. Namun ternyata proses demokratisasi tidak hanya memberikan kabar baik, melainkan kabar buruk juga dalam pemenuhan hak kesehatan. Kabar baiknya adalah demokratisasi memang berhasil mendorong beberapa kepala daerah untuk membangun komitmen pro rakyat dalam pembuatan kebijakan kesehatan, mendorong penguatan partisipasi publik, termasuk juga dalam isu kesehatan. Mekanisme Citizen Charter dan sebagainya telah membuka peluang masyarakat untuk bisa ikut urun rembug dalam implementasi kebijakan kesehatan. Cerita buruknya adalah demokratisasi tidak cukup membuka peluang bagi warga untuk mengontrol sumber daya publik. Kebebasan sipil dan ekspresi politik yang menjadi dasar penting bagi hak sipil dan politik, dalam derajat tertentu, telah berhasil dibangun. Namun penguasaan sumber daya publik tidak banyak ditentukan oleh warga (Bandingkan TÖrnquist, 2008). Berbagai kebijakan pemenuhan hak kesehatan tampaknya lebih merupakan ekspresi kebudimanan sang pemimpin yang populis dan Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 65
tidak cukup ada bukti yang kuat untuk menegaskan bahwa ini dilahirkan dari komitmen memenuhi hak dasar warga ( Bandingkan Eko, 2008; Savirani 2005). Hal ini bisa dilihat dari masih minimnya akuntabilitas dan transparansi terutama dalam proses perumusan anggaran dan implementasi kebijakan kesehatan di pusat dan daerah (bandingkan dengan Thamrin & Wijayanti (eds.), 2006). Menariknya, studi yang dilakukan oleh Hanif & Mohan (2009) menunjukkan bahwa proses demokratisasi di Indonesia juga membuka peluang bagi partai politik sebagai penyedia pelayanan kesehatan. Melemahnya komitmen dan kapasitas negara dalam memenuhi hak dasar, terutama hak kesehatan, membuat partai politik muncul sebagai pemain baru dalam penyediaan layanan kesehatan. Beberapa partai politik sangat serius menggarap pos layanan kesehatan, pengobatan gratis, sebagai bagian upaya komunikasi politik mereka dengan konstituen. Fenomena negara budiman dan ikut terlibatnya partai politik lebih jauh dalam penyediaan layanan kesehatan lagi-lagi menegaskan bahwa kepentingan negara dan partai politik dalam menyediakan layanan kesehatan masih didorong oleh semangat klientelisme dan bukan kewargaan. Negara dan partai politik berperan sebagai patron yang menguasai sumber daya publik dan mengalokasikannya kepada masyarakat yang menjadi klien mereka. Sang klien kemudian memberikan loyalitas politik mereka kepada sang patron berupa dukungan politik atau legitimasi politik. Lebih tegasnya, mereka yang tidak bisa memberikan loyalitas atau dukungan politiknya tidak akan mendapatkan layanan optimal apa pun dari sang patron. Meskipun demikian berita baik pula menunjukkan bahwa klientelisme yang muncul adalah bentuk klientelisme baru di mana pola hubungan patron-klien lebih ‘kontraktual’. Masyarakat kini tidak lagi pasif dalam menerima alokasi sumber daya publik dan mulai membangun posisi tawar (ibid). Studi yang dilakukan oleh Jawa Pos Pro-Otonomi Institute terhadap proses PILKADA di Jawa Timur dalam kurun waktu 2005-2007 menunjukkan apabila kepala daerah yang berkewajiban (incumbent) gagal mengembangkan inovasi layanan daerah yang mampu menunjukkan kinerja yang baik dan bisa menjangkau seluruh warga, maka masyarakat tidak akan memilih mereka kembali.13
E.4.1 Privatisasi dan Kuasa Pasar Meskipun dalam dokumen-dokumen formal kebijakan di Indonesia sedikit banyak menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, namun kenyataan masih jauh panggang dari api. Dengan dalih efesiensi dan efektivitas, beberapa sarana kesehatan pelan-pelan http://www.jpip.or.id/articles/view/86 diunduh tanggal 12 Maret 2009 jam 12.30 WIB.
13
66
diprivatisasi dan proses penanganan kesehatan diserahkan ke mekanisme pasar. Beberapa rumah sakit milik pemerintah didorong untuk berubah statusnya dari badan layanan umum (BLU) menjadi perseroan terbatas (PT). Perubahan ini tentu saja merugikan masyarakat yang kurang mampu karena rumah sakit didorong menjadi alat komersial untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Sebut saja beberapa RS pemerintah yang berubah status jadi perseroan terbatas (PT), yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo, RSUD Cengkareng, dan RS Haji di lingkungan Pemerintah DKI Jakarta.14 Pemenuhan hak kesehatan bagi seluruh warga juga kembali terancam ketika mekanisme pasar turut bermain dalam produksi dan distribusi obat di Indonesia. Dalam Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007, disebutkan Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI dan WHO mensinyalir harga obat di Indonesia 200 kali lipat dari rata-rata harga obat di dunia. Mahalnya harga obat tidak lepas dari kuatnya ‘kongkalikong’ antara perusahaan farmasi dan para dokter. Perusahaan farmasi membebankan biasa insentif sebesar 20 persen untuk dokter yang meresepkan obat.15
Catatan Penutup
F
Sebagaimana telah diuraikan panjang lebar pada bagian-bagian sebelumnya, dinamika pemenuhan hak kesehatan pasca ratifikasi Kovenan Ekosob memang masih menunjukkan ‘jauh panggang daripada api’. Meskipun pemerintah telah berusaha mendorong berbagai kemajuan pembangunan kesehatan, namun tampaknya capaiannya belum maksimal. Mobilisasi sumber daya yang ada juga belum maksimal. Setidaknya ada dua aspek penting yang harus kita perhatikan untuk menemukan lesson learnt yang nantinya akan berguna bagi pemenuhan hak kesehatan ke depan. Pertama, aspek teknokratis. Aspek ini terkait dengan kemampuan pemerintah merumuskan dan menghadirkan berbagai perencanaan strategis, dokumen dan instrumen kebijakan yang diharapkan bisa merespons berbagai persoalan yang terkait dengan pembangunan kesehatan. Sementara ini, pemerintah cukup berhasil dalam aspek ini, namun masih perlu mensinkronkan dan menyamakan paradigma, orientasi antardokumen serta instrumen kebijakan yang ada. Kedua, aspek politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa aspek ini juga merupakan the significant others yang sangat menentukan keberhasilan pemenuhan hak kesehatan di Indonesia. Berbagai dokumen dan instrumen teknokratis yang sudah dibuat akan sia-sia tanpa ditopang oleh adanya infrastruktur politik. Infrastruktur politik ini terkait dengan pola hubungan negara-masyarakat, pemerintah pusat dan daerah serta negara-masyarakat-pasar. Tanpa menata http://www.solusihukum.com/kasus2.php?id=37 diunduh 12 Maret 2009 jam 12.00 WIB.
14
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18808&cl=Kolom.diunduh 12 Maret 2009 jam 13.30 WIB.
15
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 67
ulang secara serius pola hubungan dalam berbagai domain tersebut, maka proses pemenuhan kesehatan di Indonesia akan jatuh pada praktik klientelistik, asimetris dan bisa saja koruptif.
68
Daftar Pustaka Buku, Jurnal, Modul, Laporan Penelitian • Arifianto, Alex, Ruly Marianti, Sri Budiyati & Ellen Tan, 2005. Making Services Work for the Poor in Indonesia: A Report on Health Financing Mechanisms in Kabupaten Purbalingga, SMERU INSTITUTE • Baswir, Revisond, dkk, 2003, Pembangunan Tanpa Perasaan, ELSAM. • Depkes RI, 2006. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Departemen Kesehatan RI. • Depkes RI, 2007. Profil Kesehatan Indonesia, 2006. Departemen Kesehatan RI • Depkes RI, 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Departemen Kesehatan RI • Devas, Nick & Simon Delay, 2006. “Local Democracy and the Challenges of Decentralising the State: An International Perspective”,Local Government Studies, Vol. 32, No. 5, 677 - 695, November 2006. • Eko, Sutoro, 2008. Daerah Budiman: Inovasi dan Prakarsa Membangun Kesejahteraan. IRE’s Insight Working Paper/EKO/III/Februari 2008. Yogyakarta: Institute of Research and Empowerment (IRE). • Fatimah, Dati, 2004. Yang Terlupakan : Menyoal Perempuan dan Anggaran. Idea Press. • Fatimah, Dati, 2006. “Mengapa Perlu Anggaran Yang Responsif Gender?”, Jurnal Perempuan, No. 46, YJP. • Hanif, Hasrul & Rochdi N. Mohan, 2009. Partai Politik dan Kedermawanan Sosial: Filantropi, Klientelisme, dan Politik Kepartaian di Indonesia. Laporan Penelitian Hibah Dosen FISIPOL UGM 2008. Belum dipublikasikan. • Savirani, Amalinda, 2005. Politik Lokal di Jembrana: Dilema Inovasi Kebijakan dan Demokrasi di Jembrana. Penelitian JIP FISIPOL UGM. Tidak dipublikasikan. • Stokke, Kristian & Peris Jones, 2005, “Introduction” dalam Kristian Stokke & Peris Jones (eds.), Democratising Development: The Politics of Socio-Economic Rights in South Africa, Martinus Nijhoff Publishers • Sulastomo, “Negara Tanpa Jaminan Sosial”, Kompas, Sabtu 14 Maret 2009 • Thabrani, 2003. Social Health Insurance in Indonesia : Current Status and the Proposed National Health Insurance. New Delhi. • Thamrin, A.Anam & V. Sri Wijayanti, 2006. Menjaring Uang Rakyat: Ragam Advokasi Anggaran di Indonesia.IDEA PRESS. • Törnquist, Olle, (Forthcoming). “Introduction: The Problem is Representation ! Towards an Analytical Framework” dalam Olle Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 69
Törnquist, Kristian Stokke & Neil Webster (eds.), Rethinking Popular Representation. Palgrave Macmillan. • UNDP Indonesia, 2005. Indonesian Human Development Index 2004, UNDP Indonesia-BAPPENAS-BPS • UNDP Indonesia, 2008. Laporan Perkembangan Pencapaian Millineum Development Goals Indonesia 2007. UNDP Indonesia • UNDP, 2007. Human Development Report 2006, UNDP • World Bank-INDOPOV, 2006. Inovasi Pelayanan Pro-Miskin: Sembilan Studi Kasus di Indonesia. World Bank-INDOPOV.
Majalah, Koran dan Buletin • Majalah TEMPO, 29 Desember 2008 • Buletin Desentralisasi Kesehatan , Vol II/2/2004
Dokumen-Dokumen Regulasi Nasional dan Internasional • Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia • Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya • The Limburg Principles On The Implementation Of The International Covenant On Economic Social and Cultural Rights • Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights • UUD 1945 • UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). • UU No.32 tahun 2004 • Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009 • Rencana Strategis Departemen Kesesehatan RI 2005-2009
Situs Internet • http://www1.umn.edu/humanrts///edumat/IHRIP/circle/ modules/. Diunduh tanggal 12 Maret 2008 jam 13.00 WIB • http://www.ohchr.org/Documents/Publications/Factsheet31.pdf. Diunduh 12 maret 2009 jam 13.00 WIB • http://tkpkri.org/berita/berita/strategi-nasional-penanggulangankemiskinan-(snpk)-2005102849.html. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 16.00 WIB • http://sjsn.menkokesra.go.id/dokumen/publikasi/buku_reformasi_
70
sjsn_ind.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 16.30 WIB • h t t p : / / w w w . s m e r u . o r . i d / r e p o r t / w o r k p a p e r / j a m s o s n a s / Jamsosnasind.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 15.00 WIB • http://www.adb.org/Documents/Books/Indonesia-National-SocialSecurity-System/prelims.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 13.00 WIB • www.litbang.depkes.go.id/download/seminar/desentralisasi680606/ Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 19.00 WIB • http://www.jpip.or.id/articles/view/86 diunduh tanggal 12 Maret 2009 jam 12.30 WIB • http://www.solusihukum.com/kasus2.php?id=37 diunduh 12 Maret 2009 jam 12.00 WIB • http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18808&cl=Kolom. diunduh 12 Maret 2009 jam 13.30 WIB
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 71
72
Pemenuhan Hak Ekosob Di Bidang Pangan
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 73
74
Hak Atas Ketahanan Pangan Hak akan pangan merupakan hal yang diakui secara universal dan melekat pada manusia karena kodrat dan kelahirannya. Hak ini diakui secara universal dan dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan tanpa mempedulikan warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang budaya, agama atau kepercayaan spiritual. Hak ini juga dikatakan melekat atau inheren karena dimiliki oleh setiap orang, berdasar kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh orangtua atau organisasi apa pun. Karena dikatakan melekat itu pula lah maka pada dasarnya hak itu tak boleh dirampas atau dicabut1. UU No 11/2005 yang merupakan pewujudan dari ratifikasi Kovenan ECOSOC (Economic Social and Cultural Rights) di Indonesia menyebutkan “Hak atas pangan adalah hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap dan bebas, baik secara langsung atau dengan cara pembelian atas pangan Soetandyo Wignjosubroto, Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Konteks Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Historis dari Perspektif Relativisme Budaya Politik. www.ifid.org
1
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 75
yang memadai dan cukup, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang berhubungan secara langsung pada tradisi dari masyarakat dimana suatu konsumen itu berasal, dan dengan itu memastikan bahwa kehidupan fisik maupun mental, individu maupun kolektif, yang penuh dan bermartabat yang bebas dari ketakutan”. Ketahanan pangan menjadi isu yang sangat vital dalam pengaksesan pangan selama beberapa dekade terakhir. Warga negara dihadapkan pada persoalan yang menyangkut kerentanan pangan atau bahkan menjadi korban dalam menghadapi berbagai bahaya pangan. Dan, ide ketahanan pangan berpengaruh signifikan manakala pangan dikaitkan dengan hak asasi manusia. Ini berarti setiap orang mempunyai hak untuk terbebas dari kelaparan dan mempunyai hak untuk memperoleh kecukupan pangan yang aman dan bernutrisi bagi kelangsungan hidupnya. Pangan mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Bahkan bisa dikatakan pangan merupakan urat nadi kehidupan. Masalah pangan dewasa ini lebih dari sekedar makan, tetapi juga menyangkut kehidupan bagi setiap orang. Berdasarkan data FAO, lebih dari 800 juta orang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin masih berada di bawah bayang-bayang kemiskinan. Pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan pencanangan Millennium Development Goals, yang salah satu tujuannya adalah mengurangi jumlah penduduk miskin dan kelaparan di dunia pada pertengahan 2015. Ketahanan pangan mencerminkan kuantitas dan kualitas pangan yang dapat diakses oleh seluruh umat manusia. Sebaliknya, perkembangan ketahanan pangan di negara Asia mempunyai kemajuan yang menggembirakan. Hal ini ditunjukkan oleh berkurangnya jumlah orang yang kurang gizi secara signifikan. Kesuksesan perkembangan ketahanan pangan memacu pembangunan ekonomi dan hasil pertanian, investasi umum di ilmu gizi, pendidikan yang lebih tinggi bagi masyarakat, dan perbaikan demokrasi di sebagian besar Asia Timur, khususnya di sebelah Timur Laut Asia (FAQ, 2001). Menurut FAQ-GIEWS (2002), negara-negara yang mempunyai pencapaian terbaik ketahanan pangan selama 1990 sampai 1999 adalah Cina, Vietnam, dan Thailand. Negara yang mempunyai ketahanan pangan yang paling buruk adalah DPR Korea dan Mongolia. Di samping cerita sukses tentang kemajuan ketahanan pangan, negara-negara di Asia juga mempunyai cerita buruk dibalik itu. Jumlah orang yang lapar secara kronis di Asia Selatan dan Timur lebih besar daripada daerah lain di mana pun. Kamboja, Cina, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam (di Asia Timur) dan India dan Nepal (di Asia Selatan) mempunyai jumlah penduduk yang menderita kurang gizi lebih dari 35 juta jiwa (Zeigler, 2002).
76
Konsep Ketahanan Pangan
A
Konsep ketahanan pangan masih kontroversial. Masing-masing orang dan organisasi memandang ketahanan pangan dari perspektif mereka sendiri. Dari berbagai definisi ketahanan pangan, ada beberapa kesamaan pendekatan yang mengacu pada kondisi pangan dunia dewasa ini.
Tabel 1 Berbagai definisi Ketahanan Pangan Institusi/Individu
Definisi
1st World Food Conference 1974, UN 1975
Ketahanan pangan didefinisikan sebagai ketersediaan pasokan pangan yang cukup sepanjang waktu untuk menjamin konsumsi pangan yang berkelanjutan... dan mengawasi fluktuasi produksi dan harga.
FAO 1992
Ketahanan pangan adalah keadan dimana semua orang pada setiap saat memiliki pangan aman dan bergizi yang cukup secara kualitas dan kuantitas untuk beraktivitas dan hidup secara sehat.
World Bank 1996
Ketahanan pangan adalah akses yang dimiliki oleh semua orang setiap saat untuk dapat memperoleh cukup pangan untuk beraktivitas dan hidup yang sehat.
Oxfam 2001
Ketahanan pangan adalah kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu mempunyai akses dan kontrol atas kecukupan pangan baik secara kuantitas maupun kualitas untuk kehidupan yang aman dan sehat. Definisi tersebut mencakup dua aspek vital ketahanan pangan, yaitu: ketersedian secara kuantitas dan kualitas; dan akses (hak memperoleh pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).
FIVIMS 2005
Ketahanan Pangan adalah kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
Sumber: Jonatan Lassa, Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1952-2005. http://www.zef.de/module/register/ media/3ddf_Politik%20Ketahanan%20Pangan%20Indonesia%201950-2005.pdf
Indonesia mengadopsi rumusan ketahanan pangan yang ada dan dituangkan ke dalam Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Menurut definisi tersebut maka ketahanan pangan terdiri dari elemen: Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 77
1. Ketersediaan pangan. 2. Aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai pangan yang cukup 3. Keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas (menunjuk pada kerentanan internal seperti penurunan produksi) dan keandalan (menunjuk pada kerentanan eksternal seperti fluktuasi perdagangan internasional) 4. Keberlanjutan yang merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh keberlanjutan usaha tani. Jadi dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan mencakup empat aspek, yaitu sufficiency, acces, security, dan time.
B
Ketahanan Pangan dan Kerentanan Pangan Ketahanan pangan adalah kemampuan untuk mempunyai akses terhadap aset dan pendapatan. Berkurangnya aset yang dimiliki seperti yang terjadi pada masyarakat petani dengan pendapatan yang rendah sangat memungkinkan terjadinya rawan pangan. Rawan pangan bisa saja sementara, kronis, dan akut, tergantung pada kemampuan rumah tangga untuk mengatasi fluktuasi musim pada saat rawan pangan. Apabila kondisi akut terjadi pada pangan yang ada, harga pangan dan pendapatan, rawan pangan yang akut dapat terjadi. Apabila tidak ditangani dengan baik, hal ini dapat berlanjut menjadi rawan pangan yang kronis. Rumah tangga memiliki kemampuan untuk mengatasi ancaman rawan pangan serta kelenturan sehingga mempunyai ketahanan; namun disaat lain bisa kehilangan kemampuan untuk menghadapi kerentanan sehingga menjadi rawan pangan. Ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga mempunyai dimensi waktu (sekarang, jangka pendek, dan jangka panjang) dan keragaman kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketahanan pangan yang menyangkut bidang ekonomi merupakan fungsi pendapatan saat ini yaitu harga, produksi, stok, dan kondisi penunjang terciptanya keamanan sosial. Ketahanan pangan ‘jangka pendek’ dapat terpengaruh faktor-faktor ekonomi makro seperti kondisi negara, kecukupan lapangan kerja, kekeringan, dan kondisi yang mengancam. Sedangkan ketahanan pangan rumah tangga ‘jangka panjang’ adalah fungsi kontrol negara mengatasi kerusakan lingkungan (atau kehilangan), tekanan lahan (atau kehilangan), dan migrasi (yang membludak atau keengganan). Ketahanan pangan ‘saat ini’ menjamin konsumsi nutrisi yang cukup. Bisa dikatakan ketahanan pangan rumah tangga ‘jangka pendek’ menjamin ketahanan pangan jangka panjang, dan ketahanan pangan rumah tangga menjamin kehidupan rumah tangga yang berkelanjutan.
78
Sekilas Perkembangan Ekonomi Indonesia
C
Pada tahun 2006, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia diperkirakan mencapai US$ 364.8 milyar, meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai US$287 milyar. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 mencapai 5,5 persen atau lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 5,7 persen. Bank Dunia memperkirakan pada periode tahun 2006-2010, Indonesia mampu membukukan pertumbuhan ekonomi hingga 6,5 persen. Sementara itu, PDB per kapita Indonesia mencapai US$1280 (2005) dan GNI per kapita mencapai US$ 1,420 pada tahun yang sama dengan rata-rata pertumbuhan pada periode 1990-2005 mencapai 2,1 persen. Angka pertumbuhan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan yang dicapai pada periode tahun 1970-1990 yang mencapai 4,7 persen.
Gambar 1 Pertumbuhan PDB (%), pengangguran (%), inflasi (%), dan tingkat kemiskinan (angka kemiskinan terhadap total penduduk), 1999-2007*
Sumber: BPS, beberapa tahun
Struktur ekonomi Indonesia didominasi oleh sektor industri sejak beberapa periode. Pada tahun 2006, sektor ini memberikan kontribusi tertinggi pada perekonomian nasional, yaitu sebesar 4,7 persen, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 46,8 persen. Sementara itu pertumbuhan sektor ini mencapai angka 4,7 persen pada tahun 2005 dan 2006. Rata-rata pertumbuhan sektor ini pada periode tahun 1996-2006 adalah 2,4 persen, lebih rendah jika dibandingkan periode 1986-1996 yang mencapai 9,9 persen. Sektor lainya yang juga memegang peranan penting pada perekonomian nasional adalah sektor jasa. Pada tahun 2006, sektor ini menyumbang 40,1 persen pada perekonomian nasional, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 40,2 persen. Dari sisi pertumbuhannya, sektor ini juga Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 79
mengalami perlambatan pertumbuhan. Pada tahun 2005 Sektor Jasa mampu tumbuh sebesar 7,9 persen, namun pada tahun 2006 terjadi perlambatan pertumbuhan pada angka 7,2 persen. Sektor pertanian sebagai sektor yang paling menyerap banyak tenaga kerja hanya memberikan kontribusi sebesar 12,9 persen pada tahun 2006. Angka ini lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 13,1 persen. Pada tahun 2006 sektor ini mengalami pertumbuhan yang paling rendah, yaitu sebesar 3 persen, meskipun meningkat dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 2,7 persen. Secara rata-rata, sektor pertanian tumbuh sebesar 2,5 persen selama periode 1996-2006, lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan pada periode sebelumnya (1986-1996) yang mencapai 3,3 persen. Secara umum pertumbuhan Sektor Pertanian berada di bawah sektor manufaktur dalam beberapa periode terakhir, kecuali pada tahun 1998 dan 2001. Bahkan pada saat pertumbuhan sektor manufaktur mengalami stagnasi, pertumbuhan sektor pertanian tidak dapat mengejar pertumbuhan sektor manufaktur (Gambar 2). Disisi lain, pertumbuhan sektor jasa menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan pertumbuhan sektor ini berada di atas sektor lainnya (pertambangan, manufaktur, dan pertanian). Pertumbuhan sektor non finansial yang tumbuh pesat menunjukkan bahwa masih tingginya kesempatan kerja yang berimplikasi pada masih tingginya pengangguran dan kemiskinan di tingkat nasional.
Gambar 2 Pertumbuhan Sektor Manufaktur, Jasa, dan Pertanian, 1994-2007 (%)
Sumber: BPS, beberapa tahun
80
Karakteristik Sosial dan Demografi Indonesia
D
Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang sangat besar, paling tidak terdapat kurang lebih 223 juta penduduk pada tahun 2006 (perhitungan BPS), sementara itu World Bank memperkirakan sebesar 221.3 juta jiwa (World Bank, 2006). Sebesar 67 persen hidup di Pulau Jawa yang hanya 7 persen dari total luas Indonesia. Sebagian penduduk Indonesia merupakan penduduk usia produktif (berumur 15-64 tahun), yaitu sebesar 66,71 persen. Sementara itu, usia non produktif lainnya (0-14 tahun) mencapai 28,26 persen dan diatas 65 tahun sebesar 5,03 persen. Sementara itu rasio angka harapan hidup penduduk Indonesia mencapai 49,90 persen pada tahun 2006. Jumlah penduduk Indonesia tumbuh sebesar 2,1 persen selama periode 1970-1990, setelah itu mengalami perlambatan pertumbuhan pada angka 1,3 persen pada periode 19902005. Pada tahun 2006, pertumbuhan penduduk Indonesia sama dengan pertumbuhan pada periode 1990-2005 yaitu sebesar 1,3 persen. Perlambatan jumlah penduduk yang besar ini disebabkan oleh perbandingan jumlah kelahiran yang lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah kelahiran secara nasional. Tingkat kematian mencapai 17 per 1000 orang pada tahun 1970, turun pada tahun 1990 yaitu sebesar 9 per 1000 orang, menurun lagi pada tahun 2005 pada angka 7 per 1000 orang. Sementara itu tingkat kelahiran nasional pada tahun 1970, 1990, dan 2005 adalah 41 per 1000 orang, 26 per 1000 orang, dan 20 per 1000 orang. Perlambatan angka kelahiran ini disebabkan oleh suksesnya program keluarga berencana pada masa Orde Baru. Dampak dari program ini, Indonesia mampu mengurangi tingkat kelahiran dari 5,4 persen pada tahun 1970 menjadi 3,1 persen pada tahun 1990 dan turun lagi pada tahun 2005 menjadi 2,3 persen. Sementara itu angka kematian bayi di Indonesia mencapai 28 per 1000 kelahiran pada tahun 2006, lebih tinggi dari rata-rata angka kelahiran bayi di kawasan Asia dan Pasifik, yaitu 26 per 1000 kelahiran pada tahun yang sama. Meskipun demikian, pertumbuhan populasi di Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan penduduk di negara-negara Asia Pasifik (0,9 persen). Sementara itu, indikator kesejahteraan lainnya, yaitu nutrisi anak menunjukkan bahwa 28 persen anak di bawah 5 tahun di Indonesia mengalami gizi buruk pada pertengahan tahun 2006, hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan rata-rata di negara Asia Pasifik, yaitu 15 persen.
D.1 Angka Harapan Hidup Angka harapan hidup yang tercatat menunjukkan perkembangan yang cukup baik selama 35 tahun terakhir. Pada tahun 1970, angka harapan hidup mencapai 48 tahun, pada tahun 1990 meningkat menjadi 62 tahun, dan pada tahun 2005 meningkat lagi menjadi 68 tahun. Perempuan mempunyai Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 81
tingkat harapan hidup yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laki-laki, mencapai kurang lebih 106 persen. Namun demikian, di tingkat regional Indonesia masih berjuang untuk meningkatkan tingkat harapan hidup. Ratarata angka harapan hidup di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata harapan hidup negara-negara Asia Pasifik yang mencapai 71 tahun.
D.2 Penduduk Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia Penduduk Indonesia tersebar di wilayah perkotaan dan pedesaan. Sebesar 48 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan pada tahun 2005 dan pada tahun 2006 jumlah penduduk perkotaan meningkat menjadi 49 persen. Hal ini berarti sekitar 51-52 persen penduduk Indonesia masih tinggal di wilayah pedesaan. Tingkat pertumbuhan populasi secara nasional menurun dari 5 persen selama periode 1970-1990 menjadi 4,4 persen pada periode tahun 1990-2005.
D.3 Tingkat Kemiskinan Tingkat kemiskinan di sini mengaju pada definisi kemiskinan yang dikeluarkan oleh World Bank yaitu penduduk yan g mempunyai penghasilan kurang dari 2 dolar Amerika Serikat per hari. Dari perspektifstrategi nasional penanggulangan kemiskinan, kemiskinan dideskripsikan sebagai kondisi di mana tiap orang maupun kelompok, baik itu perempuan maupun laki-laki yang tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai dengan hak asasi yang dimilikinya (SNPK, 2005: 9). Kemiskinan di Indonesia menunjukkan beberapa karakteristik : • Menunjukkan penurunan; • Tingkat kemiskinan di wilayah pedesaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan di wilayah perkotaan; • Lebih tinggi di wilayah Indonesia bagian timur jika dibandingkan dengan Indonesia bagian barat; • Lebih tinggi di wilayah Jawa-Bali jika dibandingkan pulau lainnya; • Pulau-pulau lain (seperti Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua) mempunyai tingkat kemiskinan yang tinggi; dan • Sektor Pertanian merupakan penduduk dengan tingkat kemiskinan yang paling tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya di Indonesia. Krisis ekonomi pada tahun 1997 menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan secara nasional hingga tahun 1999. Setelah itu krisis mini yang terjadi pada tahun 2005 sebagai akibat kenaikan harga BBM juga meningkatkan angka kemiskinan pada tahun 2006. Hal ini ditandai dengan depresiasi nilai rupiah, tingginya tingkat inflasi, dan meningkatnya suku bunga pada tahun 2005 (Gambar 3).
82
Berdasarkan kajian regional, tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan persebaran yang tidak merata, baik itu di wilayah perkotaan-pedesaan maupun antarpulau. Kemiskinan tertinggi terjadi di Pulau Jawa-Bali yaitu sebesar 70 persen dimana 60 persen penduduk tinggal di wilayah ini. Selain itu, Indonesia bagian timur juga mempunyai tingkat kemiskinan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia bagian barat. Secara umum, wilayah pedesaan lebih miskin jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Menurut data SUSENAS 2004, 69 persen penduduk di wilayah pedesaan mengalami kemiskinan dan kebanyakan dari mereka hidup dari sektor pertanian. Penduduk di bawah garis kemiskinan pada tahun 2006 mencapai 17,75 persen atau 39,04 juta penduduk (BPS, 2006). Angka ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang mencapai 15,97 persen atau 35,1 juta jiwa. Kemiskinan di Indonesia seakan-akan merupakan persoalan yang rumit untuk diselesaikan. Hal ini terlihat jelas dari Gambar 3 yang menunjukkan tren angka kemiskinan yang mempunyai potensi cenderung meningkat. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 menyebabkan pengangguran yang sangat tinggi. Akibatnya sebanyak 45 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Pengurangan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan mulai nampak setelah krisis, kecuali pada tahun 2000, 2002, dan 2006.
Gambar 3 Tingkat Kemiskinan di Indonesia, Angka dan Persen, 1996-2006 Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
Sumber : BPS, beberapa tahun
Data menunjukkan bahwa sebanyak 12,13 persen penduduk miskin tinggal di wilayah perkotaan (BPS, 2004). Sementara itu, 21,50 persen penduduk Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 83
miskin ada di pulau-pulau lainnya. Pulau Sumatra (14,06 persen), JawaBali (11,78 persen), Sulawesi (7,70 persen), dan Kalimantan (7,51 persen). Sementara itu, di wilayah pedesaan, sekitar 20,11 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2004). Tingkat kemiskinan tertinggi ada di wilayah timur Indonesia (24,78 juta), jumlah penduduk miskin di Jawa-Bali sebesar 19,69 persen; Sumatera (19,29 persen), Sulawesi (20,23 persen), dan Kalimantan (13,00 persen), sementara itu pulau-pulau lainnya sebesar 31.00 persen. Ibu Kota Indonesia, DKI Jakarta mempunyai tingkat kemiskinan yang paling rendah jika dibandingkan wilayah lainnya, yaitu sebesar 3,18 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, Papua merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan yang paling tinggi, yaitu sebesar 38,69 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Pulau-pulau lainnya (di luar pulau-pulau besar) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan mempunyai jumlah yang hampir sama.
E
Status Ketahanan Pangan di Indonesia Kondisi dan status ketahanan pangan di negara ASEAN secara umum dapat dilihat dari sisi penawaran dan permintaan pangan. Sisi penawaran pangan dapat dikonstruksi melalui sistem swasembada pangan. Hal ini memiliki makna bahwa suatu negara yang dapat menciptakan produksi atau penawaran pangan secara mandiri adalah negara yang telah berswasembada pangan. Kondisi dan status ketahanan pangan di negara-negara ASEAN dapat dianalisis melalui aspek swasembada pangan dan ketahanan pangan itu sendiri. Analisis ini diperlukan untuk melihat posisi Indonesia sebagai negara ASEAN secara komparatif berdasarkan aspek ketahanan pangan. Kondisi dan status ketahanan pangan negara-negara ASEAN dapat dilihat padat abel di bawah ini:
Tabel 2 Tipologi Keragaan Ketahanan Pangan dan Swasembada Pangan Negara Anggota ASEAN
Swasembada Pangan
Tidak Swasembada Pangan
84
Ketahanan Pangan
Ketidaktahanan Pangan
A
B
Brunei, Thailand, Viet Nam, Malaysia
Indonesia, Filipina, Myanmar, Laos
C
D
Singapura
Kamboja
Sumber: Diolah kembali dari Human Development Report 2005
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa negara kategori B, yaitu Indonesia, Filipina, Myanmar, dan Laos mampu mencapai ketahanan pangan, namun tidak memilikinya. Di sisi lain, negara kategori C, seperti Singapura tidak melakukan swasembada pangan karena wilayah negara tersebut yang tidak optimal untuk lahan pertanian. Namun negara-negara tersebut mampu untuk menyediakan akses pangan bagi penduduknya sehingga ketahanan pangan yang kuat dapat tercapai. Singapura lebih menekankan pada kemampuan impor pangan untuk menyediakan akses dan stok cadangan pangan bagi penduduknya. Sementara itu, negara kategori A seperti Brunei, Thailand, Malaysia, dan Vietnam cukup berhasil melakukan swasembada pangan dan dapat dialokasikan sebagai bentuk ketersediaan akses pangan bagi penduduknya. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara aspek swasembada dan ketahanan pangan. Kondisi ini akan bertolak belakang dengan negara Kamboja yang tidak mampu melakukan swasembada pangan sekaligus tidak mampu menyediakan akses pangan yang cukup bagi penduduknya. Solusi bagi negara dengan kategori D adalah intervensi bantuan pangan internasional.
Status Ketahanan Pangan dan Gizi di Indonesia
F
Tipologi keragaan status ketahanan pangan di Indonesia disusun dengan menggunakan data Susenas dari BPS (2005). Kategori dalam keragaan tersebut dapat dibagi menjadi empat, yaitu (1) rumah tangga tahan pangan, (2) rumah tangga rentan pangan; (3) rumah tangga kurang pangan; dan (4) rumah tangga rawan pangan. Tabel berikut menunjukkan model dasar tipologi keragaan status ketahanan pangan.
Tabel 3 Model Tipologi Keragaan Ketahanan Pangan Provinsi di Indonesia Konsumsi Energi
Pengeluaran Pangan
Cukup (> 80 % kecukupan energi)
Rendah (< 60 % pengeluaran rumah tangga)
Tinggi ( ≥ 60 % pengeluaran rumah tangga)
Tahan Pangan
Rentan Pangan
Kurang Pangan
Rawan Pangan
Kurang (≤ 80 % kecukupan energi)
Sumber: Maxwell, dalam Lassa (2005)
Sementara itu, tabel berikut ini menunjukkan hasil tipologi keragaan Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 85
status ketahanan pangan di Indonesia dengan menggunakan data SUSENAS dari BPS (2005).
Tabel 4 Tipologi Keragaan Ketahanan Pangan Provinsi di Indonesia Tahun 2005 Konsumsi Energi
Pengeluaran Pangan
Cukup (> 80 % kecukupan energi)
Rendah (< 60 % pengeluaran rumah tangga)
Tinggi ( ≥ 60 % pengeluaran rumah tangga)
Tahan Pangan
Rentan Pangan NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Kep.Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua
Kurang (≤ 80 % kecukupan energi)
Kurang Pangan
Rawan Pangan DKI Jakarta, Jatim, D.I Jogjakarta, Bangka Belitung
Sumber: Diolah dari SUSENAS dari BPS (2005)
Berdasarkan tabel di atas, provinsi dengan kategori rumah tangga rentan pangan di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen. Sementara itu, empat provinsi yang terdiri dari DKI Jakarta, Jawa Timur, D.I Jogjakarta, dan Bangka Belitung, merupakan provinsi yang termasuk kategori rawan pangan karena kecukupan energi rumah tangga kurang dan pengeluaran rumah tangga untuk pangan tergolong tinggi. Fakta ini menunjukkan paradoks ketahanan pangan di Indonesia, terlebih karena provinsi Jawa Timur termasuk daerah lumbung beras namun justru termasuk provinsi dengan kategori rawan pangan.
G
Peta Ketahanan Pangan di Indonesia Penanganan masalah ketahanan pangan di Indonesia memerlukan adanya Peta Ketahanan Pangan sebagai alat pemantauan dan analisis rawan pangan untuk memberikan informasi bagi pengambil kebijakan di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten agar mampu menyusun perencanaan
86
yang lebih baik dan tepat sasaran, efektif, dan efesien dalam mengatasi permasalahan ketahanan pangan. Proses analisis komponen utama (principal component analysis) dalam pemetaan ketahanan pangan nasional ini menggunakan 10 indikator yang dianggap berpengaruh sangat besar terhadap terjadinya kerawanan pangan (memiliki pengaruh yang signifikan). Kesepuluh indikator yang tercakup di dalam tiga aspek/ dimensi ketahanan pangan tersebut adalah (Deptan, 2006): 1. Dimensi Ketersediaan Pangan (Food Availibility) • Kebutuhan konsumsi normatif terhadap ketersediaan serealia (Consumption to Net Cereal Availibility Ratio); 2. Indikator Akses Terhadap Pangan (Food Access) • Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (Population Below Poverty Line); • Persentase rumah tangga yang tidak dapat mengakses listrik (Access to Electricity); • Persentase infrastruktur jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat (Villages with connectivity); 3. Indikator Penyerapan Pangan (Utilization) • Angka kematian bayi waktu lahir/Infant Mortality Rate (IMR); • Umur harapan hidup anak usia satu tahun (Life Expectancy); • Persentase anak yang kurang gizi (Children Underweight); • Persentase penduduk yang dapat mengakses air bersih (Access to Safe Drinking Water); • Persentase penduduk yang tinggal > 5 km dari puskesmas (Access to Puskesmas); • Persentase wanita yang buta huruf (Female Illiteracy) Peta ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada 10 indikator di atas. Peta ketahanan pangan ini akan menunjukkan daerah yang rawan pangan secara spasial dan dalam perspektif geografis. Daerah rawan pangan dibagi menjadi 2 (Deptan, 2006), yaitu 1. Rawan pangan kronis, yaitu rawan pangan yang disebabkan karena daerah tersebut tidak dapat memenuhi tig aspek rawan pangan dengan 10 indikator di atas. Rawan pangan tipe kronis bersifat jangka panjang sehingga waktu pemulihan kepada kondisi tahan pangan juga relatif lama. 2. Rawan pangan transient, yaitu rawan pangan yang cenderung disebabkan oleh masalah bencana alam dan bersifat jangka pendek. Permasalahan rawan pangan transient mencakup area puso, fluktuasi curah hujan, bencana gempa bumi, banjir dan sebagainya. Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 87
Berikut ini disajikan peta ketahanan pangan di Indonesia
Gambar 4 Peta Kerawanan Pangan di Indonesia
Sumber: Diolah kembali dari Deptan (2006)
Peta Kerawanan Pangan merupakan gabungan dari ketiga aspek/dimensi ketahanan pangan, yaitu Ketersediaan Pangan, Akses Terhadap Pangan, dan Penyerapan Pangan. Dalam penerapan indikator di atas digunakan jangakauan angka indikator yang diklasifikasikan menjadi enam kategori (Deptan, 2006):
Tabel 5 Klasifikasi Ketahanan Pangan Berdasarkan Indikator Komposit Klasifikasi
Nilai Indikator
Sangat rawan pangan
> 0,8
Rawan pangan
0,64 - < 0,8
Agak rawan pangan
0,48 - < 0,64
Cukup tahan pangan
0,32 - < 0,48
Tahan pangan
0,16 - < 0,32
Sangat tahan pangan
< 0,16
Sumber: Deptan, 2006
Berdasarkan hasil pemetaan Peta Kerawanan Pangan dapat dilihat bahwa secara nasional Indonesia berada dalam kondisi ‘sangat rawan pangan’ hingga ‘sangat tahan pangan’ dengan perbandingan yang tidak terlalu signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya warna yang mendominasi (sebaran
88
warna hampir merata). Hanya saja untuk daerah yang sangat tahan pangan (prioritas 6, warna hijau tua) persentasenya lebih besar dibandingkan kategori lainnya yaitu terdapat di 65 kabupaten dari 265 kabupaten yang ada di Indonesia atau sebesar 24,53 persen. Untuk daerah yang tahan pangan (prioritas 5, warna hijau) terdapat di 50 kabupaten atau sebesar 18,87 persen, begitupun daerah yang cukup tahan pangan (prioritas 4, warna hijau muda) yang juga terdapat di 50 kabupaten atau sebesar 18,87 persen. Sedangkan untuk daerah yang agak rawan pangan (prioritas 3, warna merah muda) terdapat di 40 kabupaten atau sebesar 15,09 persen dan untuk daerah yang rawan pangan (prioritas 2, warna merah) serta daerah yang sangat rawan pangan (prioritas 1, warna merah tua) samasama terdapat di 30 kabupaten atau sebesar 11,32 persen.
G.1 Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Di Pulau Jawa, hampir semua kabupaten berada dalam kategori ‘cukup tahan pangan’ hingga ‘sangat tahan pangan’. Hanya di sebagian Jawa Timur dan Banten yang berada dalam kondisi ‘cukup rawan’ hingga ‘sangat rawan pangan’. Provinsi Bali semua daerah berada dalam kondisi ‘sangat tahan pangan’. Di Nusa Tenggara Barat semua daerah berada dalam kondisi ‘agak rawan pangan’ dan di Nusa Tenggara Timur hanya satu kabupaten yang berada dalam kondisi’ cukup tahan pangan’.
G.2 Pulau Sumatra Sedangkan di Pulau Sumatera, perbandingan antara daerah rawan pangan dan tahan pangan hampir sama dimana daerah ‘cukup rawan pangan’ hingga ‘rawan pangan’ terdapat di sebagian besar provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu serta sebagian kecil provinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung.
G.3 Pulau Kalimantan dan Sulawesi Di Pulau Kalimantan, kondisi rawan pangan terdapat pada sebagian besar Provinsi Kalimantan Barat. ‘Agak rawan pangan’ di sebagain kecil Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Di Pulau Sulawesi kondisi ‘agak rawan pangan’ hingga ‘rawan pangan’ terdapat di sebagian besar Provinsi Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Untuk Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Papua semua daerah berada dalam kondisi ‘agak rawan pangan’ hingga ‘sangat rawan pangan’ terutama di Provinsi Papua yang sebagian besar daerahnya berada dalam kondisi ‘sangat rawan pangan’.
Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional Indonesia
H
Kebijakan ketahanan pangan atau dahulu lebih dikenal dengan kebijakan pangan di negara Indonesia, telah dimulai sejak zaman pra Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 89
kemerdekaan. Secara umum kebijakan pangan di Indonesia dipengaruhi oleh faktor kepentingan politik. Pemerintah kolonial pada zaman penjajahan menekankan pada kebijakan bahan pangan dengan harga murah dengan tujuan menurunkan tingkat upah buruh pribumi. Pada zaman era Orde Lama, pola kebijakan pangan yang cenderung sejalan dengan kebijakan politik kembali diterapkan pemerintah Presiden Sukarno. Pemerintah Sukarno berusaha menumbuhkan semangat nasionalisme dan kesetiaan pada negara dengan memberikan insentif bulanan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan militer dalam bentuk bahan pangan (beras). Sementara pada zaman rezim Suharto di masa Orde Baru juga masih menghubungkan kebijakan politik dengan kebijakan pangan. Program swasembada pangan di awal Orde Baru (1970-an) diwujudkan dengan pemberian insentif pangan (beras) bagi PNS dan militer. Pemberian insentif ini hampir bersamaan dengan akan dilaksanakannya Pemilu pertama pada masa Orde Baru. Hal ini semakin menunjukkan bahwa kebijakan pangan selalu dikorelasikan dengan kepentingan politik. Pemerintahan rezim Suharto membentuk Badan Urusan Logistik (BULOG), yaitu badan khusus yang diproyeksikan untuk mengelola pangan dan logistik nasional. Tujuan pembentukan BULOG adalah menjaga ketahanan pangan melalui dua mekanisme, yaitu stabilisasi harga dan pengadaan insentif pangan bulanan bagi PNS dan militer. BULOG berfungsi sebagai badan kontrol harga beras dengan mematok harga beras domestik lebih tinggi dari beras dunia (Timmer 2002, dalam Lassa 2005). Di sisi lain, pola kinerja BULOG sebagai badan khusus yang mengelola pangan nasional ternyata mulai terkontaminasi masalah kepentingan politik. BULOG dalam pola aktivitasnya menjadi badan yang bernuansa kolusif dan korupsi. Menurut Simatupang (1999), BULOG merupakan mesin uang dan politik bagi pemerintahan rezim Suharto. Pada pertengahan pemerintahan Suharto, peran BULOG justru lebih luas dengan menjadi badan kontrol harga di beberapa komoditi lain selain beras (gula, gandum, jagung, kedelai dsb). Namun di akhir pemerintahan Suharto sampai awal pemerintahan Presiden Habibie, peran BULOG kembali dipersempit untuk hanya komoditi beras. Kebijakan BULOG sebagai manajemen logistik (penyediaan, kontrol, dan distribusi) dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Kebijakan BULOG sebagai manajemen logistik di masa Presiden Wahid diwujudkan oleh pemerintahan Presiden Megawati dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) No 132 Tahun 2001 tentang pembentukkan Dewan Ketahanan Pangan Nasional. Keppres No 132 Tahun 2001 di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diperbarui melalui Peraturan Presiden No 88 Tahun 2006. Secara umum pola kebijakan pangan atau ketahanan pangan dari masa
90
Orde Lama sampai dengan masa kini (pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 6 Kebijakan Pangan di Indonesia Tahun 1945-2005 Orde
Rezim Pemerintah
Kebijakan
Deskripsi
Orde Lama
Presiden Sukarno (19521956)
Swasembada Beras melalui Program Kesejahteraan Kasimo
Pembentukkan BAMA (Yayasan Bahan Makanan) Pembentukkan YUBM (Yayasan Urusan Bahan Makanan)
Orde Lama
Presiden Sukarno (19561964)
Swasembada Beras melalui Program Sentra Padi
1956: YBPP (Yayasan Badan Pembelian Padi) 1963: Substitution Jagung 1964: PP No. 3 – Food Material Board* 1964: Bimas’ dan “Panca Usaha” Tani
Pemerintahan Transisi 19651967
1996: Komando Logistik Nasional (KOLOGNAS) 1967: Dibubarkannya KOLOGNAS 1967: 14/05, Badan Urusan Logistik (BULOG) didirikan dan berfungsi sebagai pembeli beras tunggal
Orde Baru
Soeharto: Repelita 1 & 2 1969-1979
Swasembada Beras
1969: Tambahan tugas Bulog: Manajemen Stok Penyangga Pangan Nasional – dan penggunaan neraca pangan nasional sebagai standar ketahanan pangan. 1971: Tambahan tugas Bulog sebagai pengimpor gula dan gandum 1973: Lahirnya Serikat Petani Indonesia 1974: Tambahan tugas Bulog: Pengadaan daging untuk DKI Jakarta 1977: Tambahan Tugas Bulog: Kontrol impor kacang kedelai. 1978: Penetapan harga dasar jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 91
Orde Baru
Soeharto: Repelita 3 & 4 1979-1989
Swasembada pangan
1978: Keppres39/1978, Pengembalian tugas Bulog sebagai kontrol harga untuk gabah, beras, tepung gandum, gula pasir dll. 1984: Medali dari FAO atas tercapainya Swasembada Pangan.
Orde Baru
Soeharto: Repelita 5,6,7 1989-1998
Swasembada beras
1995: Penganugerahan pegawai Bulog sebagai Pegawai Negeri Sipil 1997: Perubahan fungsi Bulog untuk mengontrol hanya untuk harga beras dan gula pasir. 1998: Penyempitan peran Bulog yang berfungsi sebagai pengontrol harga beras saja.
Transisi Reformasi
Habiebie 1998/1999
Swasembada beras
1998/1999: Penjualan Pesawat IPTN yang ditukar dengan Beras Thailand.
Transisi Reformasi
A. Wahid 1999/2000
Swasembada beras
2000: Penegasan tugas Bulog untuk management logistic beras (penyediaan, distribusi dan kontrol harga)
Reformasi
Megawati Soekarno P 2000/2004
Swasembada beras
2003: Privatisasi Bulog 2004: No-Option Strategy . Kecuali Swasembada Beras.
Reformasi
S. Bambang Yudhoyono (SBY) (20042009)
Revitalisasi pertanian
2005: “revitalisasi pertanian” – komitmen (janji) untuk peningkatan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung serta palawija.
Sumber: Diolah kembali dari Mears (1984) dan Lassa (2005)
Pada masa Presiden Megawati, pemerintah mengembangkan kebijakan swasembada beras dengan program revitalisasi peran BULOG. Kebijakan swasembada pangan ini diperkuat dengan pembentukkan Dewan Ketahanan Pangan Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 132 Tahun 2001. Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Nasional ini dilanjutkan oleh pemerintahan SBY dengan Peraturan Presiden No 88 Tahun 2006. Dewan Ketahanan Pangan Nasional dengan tugas sebagai berikut: • Merumuskan kebijakan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional • Melaksanakan evaluasi dan pengendalian dalam rangka mewujudkan
92
ketahanan pangan nasional Tugas Dewan Ketahanan Pangan Nasional secara umum adalah membantu Presiden dalam mempersiapkan kebijakan yang meliputi penyediaan pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, diversifikasi pangan dan penanggulangan masalah gizi. Perbedaan posisi Dewan Ketahanan Pangan Nasional di masa Presiden Megawati dengan masa SBY, terletak pada pola struktur organisasi. Dewan Ketahanan Pangan Nasional (zaman Megawati) diketuai oleh Presiden dengan Menteri Pertanian sebagai Sekretaris. Proses kerja Dewan Ketahanan Pangan ini dilakukan secara hierarkis dari pusat, provinsi dan sampai dengan tingkat kabupaten/kota. Sementara pada zaman Susilo Bambang Yudhoyono, Dewan Ketahanan Pangan dipimpin presiden namun dengan Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian. Pada masa pemerintahan SBY, untuk mendukung kebijakan revitaliasi pertanian maka pemerintah menyusun program 100 hari. Program 100 hari pemerintah SBY di bidang pangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Kebijakan Menjamin Ketahanan Pangan dan Nutrisi Nasional. 2. Kebijakan Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Nutrisi Nasional. Kebijakan pemerintah dalam menjamin ketahanan pangan dan nutrisi dilakukan dengan 3 cara, yaitu: • Ketersediaan pangan • Keterjangkauan pangan • Kualitas gizi Program 100 hari SBY pun ternyata masih sekedar upaya politis untuk pencitraan politik. Belum ada mekanisme evaluasi program 100 hari tersebut, apalagi kemudian banyak musibah yang melanda negeri ini. Seharusnya Dewan Ketahanan Pangan menjadi lembaga independen yang lepas dari bayang-bayang kepentingan eksekutif. Kewenangan yang lebih besar ini akan memperluas ruang gerak di seluruh lapisan masyarakat dengan menggandeng berbagai kalangan dan tak segan untuk mengkritisi kebijakan yang menganggu hak atas pangan, serta mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 93
Daftar Pustaka • Anonymous. (2001)., Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 2001 Tentang Dewan Ketahanan Pangan. • Anonymous. (2005)., “Pangan Untuk Indonesia: Program 100 Hari Pemerintah”, World Bank • Anonymous. (2005)., Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga di Indonesia, Badan Pusat Statistik Indonesia. • Anonymous. (2002)., Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan. • Anonymous. (2006)., Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2006 Tentang Dewan Ketahanan Pangan. • Anonymous. (2005)., “Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan”, Komite Penanggulangan Kemiskinan Indonesia. • Anonymous. (2003)., “Sustainable Agricultural Development in Southeast Asia”, PSDR LIPI. • Anonymous. (2004)., “The New Perspective of Food Security”, AIRLIE Foundation. • Baliwati, Y.F. (2001)., “Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani”, Disertasi PPS IPB, tidak diterbitkan, Bogor. • Chung, K, L. Hawddad, J. Ramakrishna, and F. Riely, (1997)., “Identifying the Food Insecure the Application of Mixed-Method Approaches in India”, International Food Policy Research Institute, Washington DC. • Dewan Bimas Ketahanan Pangan, (2001)., “Kebijakan Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional”, Sekretariat Dewan Bimas Ketahanan Pangan, Jakarta. • Dove, et al., (1985)., “Peranan Budaya Tradisional Indonesia dalam Modernisasi”, Yayasan Obor Indonesia. • Easterly., (2002)., “The Elusive Quest for Growth”, The MIT Press Cambridge, England. • Hayashi, et. Al., (2003)., “Sustainable Agriculture in Rural Indonesia”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia. • Hunt, J., (2001)., “Food Policy and Nutrition Security”, Asian Development Bank Report, Manila. • IFAD, (1998)., “South Asia -How Women and their Households Cope with Food Insecurity.” • Lassa, J. (2005)., “Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005”, (online: www.deptan.go.id). • Lovendal. C. R., M. Knowles, and N.Horii, (2004)., “Understanding Vulnerability to Food Insecurity: Lessons from Vulnerable Profiling.”
94
ESA Working Paper No. 04-18, Agricultural and development Economics Division, The Food and Agriculture Organization of the United Nations. • Maxwell S. & Slater, R., (2003)., “Food Policy Old and New. Development Policy Review”, Vol. 21(5-6), pp 531-553. • Maxwell, S. and T.R. Frankenberger, (1997)., “Household Food Security: Concept, Indicators, Measurements”, UNICEF and IFAD. • Mears, L. (1978)., “Problems of Supply and Marketing of Food in Indonesia in Repelita III”, BIES Vol. XIV No. 3 pp 52-62. • Nainggolan, (2006)., “Melawan Kemiskinan dan Kelaparan di Era Konvergensi Abad 21”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Indonesia. • Neuman, (1997)., “ Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches”, University of Wisconsin at Whitewater. • Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi, (1998)., “Panduan Lokakarya Proyek Pengembangan Wilayah Jambi”, Regional Develompment Project. • Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan, (2001)., “Assessment on Indonesian Food Security Situation”, Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan, BBKP, Departemen Pertanian RI. • Rachman et.al (2005)., “Prospek Ketahanan Pangan Nasional: Analisis Dari Aspek Kemandirian Pangan”, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, IPB Bogor. • Rachman et.al (2005)., “Distribusi Provinsi Di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga”, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, IPB Bogor. • Sen, Amartya. (1981)., “Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation”, Oxford, Clarendon Press. • Shackleton, et. al., (2002)., “Devolution and Community-based Natural Resource Management: Creating Space for Local People to Participate and Benefit?”, Natural resource Perspective, Nos. 76, London. • Simatupang, P., (1999)., “Toward Sustainable Food Security: The Need for A New Paradigm”. ACIAR Indonesia Research Project, Working Paper 99.15. 33 pp. • Sittirak, (1996)., “Daughters of Development, the Stories of Women and the Changing Environment in Thailand”, WENIT Thailand. • Smith, (2002)., “Afforestation and Reforestation in the Clean Development Mechanism of the Kyoto Protocol: Implications for Forest and Forest People”, International Journal of Global Environmental Issues, Vol. 2 Nos. ¾ , 322-339. • Soetrisno, (2005)., ”Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan”, Majalah Pangan Perum Bulog. Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 95
• Stevens, C., Greenhill, R., Kennan, J., & Devereux S. (2000)., “The WTO Agreement on Agriculture and Food Security”, Commonwealth Secretariat. • Thomas, V. et.al, (2001)., “The Quality of Growth”, PT. Gramedia, Jakarta. • Timmer, (2004)., “Food Security and Economic Growth: An Asian Perspective”, ANU Australia. • Timmer, (2002)., “Food Security and Rice Price Policy in Indonesia: The Economics and Politics of the Food Price Dilemma”. IFPP-Bappenas/ Departemen Pertanian/ USAID/DAI Working Paper. • Usfar, A.Avita, (2002)., “Household Coping Strategies for Food Security in Indonesia and the Relation to Nutritional Status: A Comparison before and after the 1997 Economic Crisis.” http://archiv.ub.uniheidelberg.de/ volltextserver/volltexte/2003/3708/pdf/zusammfass.pdf • Xuan Tinh, undated, “Looking for Food: The Difficult Journey of the Hmong in Vietnam, Anthropological Perspective on Food Security”, Institute of Anthropology, Hanoi, Vietnam Widodo, (2006)., “Ketahanan Pangan di Indonesia”, Proceeding Seminar Ketahanan Pangan di Indonesia, PSAP UGM.
96
Laporan Penelitian
Hak Ekosob dan Hak Atas Pendidikan 97