BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELANGGARAN HAM
II.1.
Hubungan Antara Hukum Internasional dengan Hukum Nasional Dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, ada
dua teori yang terkemuka, yaitu: 15 1. Dualisme Teori ini dikemukakan oleh para penulis positivis seperti Triepel dan Anzilotti. Bagi mereka, dengan konsepsi teori kehendak mereka tentang hukum internasional, merupakan hal yang wajar apabila menganggap hukum nasional sebagai suatu sistem yang terpisah. Menurut Triepel, terdapat dua perbedaan fundamental di antara kedua sistem hukum tersebut yaitu: a.
Subjek-subjek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subjeksubjek hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya Negara-negara
b.
Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehendak Negara itu sendiri, sumber hukum internasional adalah kehendak bersama dari Negara-negara 15
J.G. Starke. Op. cit. Halaman 96-99
Universitas Sumatera Utara
Adapun butir (a) di atas tidak dapat dikatakan benar karena hukum internasional juga mengikat individu-individu, sedangkan butir (b) agak menyesatkan karena di atas kehendak bersama tersebut terdapat prinsip-prinsip fundamental hukum internasional yang lebih tinggi darinya dan yang mengatur pelaksanaan atau pernyataannya. Sedangkan Anzilotti menganut suatu pendekatan yang berbeda, ia membedakan hukum internasional dan hukum nasional menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masing sitem itu ditentukan. Dalam pendapatnya, hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundang-undangan Negara harus ditaati, sedangkan sistem hukum internasional ditentukan oleh prinsip pacta sunt servanda. Yaitu perjanjian antar Negara-negara harus dijunjung tinggi, sehingga kedua sistem itu memang terpisah sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan antara keduanya, yang mungkin terjadi adalah penunjukan-penunjukan (renvois) dari sistem yang satu ke sistem yang lain, selain daripada itu tidak ada hubungan apa-apa. Mengenai teori Anzilotti
ini,
cukuplah
mengatakan
bahwa
karena
alasan-alasan
yang
dikemukakan, tidak benar bahwa pacta sunt servanda harus dianggap sebagai norma yang melandasi hukum internasional; prinsip ini hanya merupakan sebagian contoh dari prinsip yang sangat luas yang menjadi akar hukum internasional. 2. Monisme Berbeda dengan para penulis yang menganut teori dualism, pengikutpengikut teori monism menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan
Universitas Sumatera Utara
tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat Negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan Negara. Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan kesatuan bidang pengetahuan dan poin yang menentukan karenanya adalah apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya atau bukan. Jika secara hipotesis diakui bahwa hukum internasional merupakan suatu sistem kaidah yang benar-benar berkarakter hukum, maka menurut Kelsen dan penulis-penulis monistis lainnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa kedua sistem hukum tersebut merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum. Dengan demikian, suatu konstruksi selain monisme, khususnya dualism, bermuara pada suatu penyangkalan karakter hukum yang sebenarnya dari hukum internasional. Penulis-penulis monistis tidak akan berpendapat lain selain menyatakan bahwa kedua sistem tersebut, karena keduanya merupakan sistem kaidah-kaidah hukum, merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan di dalam suatu struktur hukum. Namun, penulis-penulis lain yang mendukung monime berdasarkan alasan-alasan yang bukan cuma abstrak semata-mata, dan penulis-penulis tersebut menyatakan, sebagai suatu masalah yang memiliki nilai praktis, bahwa hukum internasional dan hukum nasional keduanya merupakan bagian dari keseluruhan kaidah hukum universal yang mengikat segenap umat manusia baik secara kolektif
ataupun
individual.
Dengan
perkataan
lain,
individulah
yang
sesungguhnya menjadi akar kesatuan dari semua hukum tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dari segi pandang teori dualistik yang menekankan kedaulatan kehendak Negara maka primat (primacy) terletak pada hukum nasional. Dalam hal ini, pendukung Monisme berbeda pendapat. Kelsen, misalnya dengan membuat suatu analisis struktural hukum internasional dan hukum nasional. Kelsen menerapkan doktrin hirarkis yang mana menurut doktrin ini kaidah-kaidah hukum ditentukan oleh kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip lain yang dengan mana kaidah-kaidah tersebut mendapat validitas atau kekuatan mengikatnya; dengan demikian kaidah yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan perundangundangan ditentukan oleh kaidah yang lebih tinggi. Dengan ini, Kelsen berkeberatan atas pandangan mengenai pemilihan antara hukum internasional dan hukum nasional didasarkan pada alasan bahwa cara pandangnya tersebut berakar pada suatu pendekatan filosofis yang sangat meragukan. 16 Lebih lanjut, tesis mengenai pemberian primat akhir pada hukum nasional dapat dikatakan tidak berhasil dalam dua hal penting: 17 1. Apabila hukum internasional memperoleh validitasnya hanya dari konstitusi Negara, maka hukum internasional tidak akan berlaku lagi apabila konstitusi yang menjadi sandaran otoritasnya tersebut tidak berlaku. Akan tetapi yang lebih pasti adalah bahwa berlaku sahnya hukum internasional tidak bergantung pada perubahan atau penghapusan konstitusi-konstitusi atau pada revolusi. 2. Masuknya Negara-negara baru ke dalam masyarakat internasional. Telah menjadi ketetapan bahwa hukum internasional mengikat Negara-negara baru 16
Ibid. Halaman 99-100
17
Ibid
Universitas Sumatera Utara
tanpa harus ada persetujuan Negara tersebut, dan persetujuan demikian apabila dinyatakan secara tegas hanya merupakan suatu pernyataan mengenai kedudukan hukum yang sebenarnya saja. Di samping itu, terdapat tugas bagi setiap Negara untuk menyelaraskan bukan hanya undang-undangnya saja, tapi juga konstitusinya, dengan hukum internasional.
II.2.
Sejarah Perkembangan Hukum HAM Internasional dan Nasional Salah satu tonggak penting perkembangan HAM internasional adalah
disahkannya The International Bill of Human Rights yang terdiri atas: Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diterima dan diumumkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III), International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights atau Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan Ekosob) dan International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol) yang ditetapkan melalui resolusi majelis umum PBB 2200 A (XXI), serta Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights dan Second Optional Protocol to the International Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty. Ketiga instrumen pertama ini disebut sebagai The International Bill of Human Rights karena semua instrumen ini merupakan fondasi dari Hak Asasi Manusia internasional, instrumen HAM internasional lain yang ada merupakan penjabaran dari The International
Universitas Sumatera Utara
Bill of Human Rights. Selain itu, The International Bill of Human Rights juga merupakan bagian dari international customary law (Hukum kebiasaan internasional) Karena keberlakuannya di Negara-negara anggota PBB adalah otomatis walaupun tidak diratifikasi oleh Negara-negara tersebut dan telah berlaku sebagai jus cogens di antara masyarakat internasional. Hukum HAM internasional sendiri pada tahap awal perkembangannya hanya mengakomodir hak-hak sipil yang mana melarang kekuasaan publik untuk menghalangi individual dalam masyarakat, pada tahap ini perlindungan HAM lazim disebut First-Generation Negative Rights. Hak-hak yang dicakup dalam perlindungan ini adalah hak berpikir, hak untuk berbicara, hak beragama, dan kebebasan bermufakat. Beberapa pengamat mengatakan bahwa inilah HAM dalam artian sebenarnya, sedangkan pendapat lain menyatakan hak-hak tersebut adalah HAM yang terpenting karena jika seseorang memiliki hak-hak sipil dan politik, maka ia dapat menghasilkan hal-hal lainnya, sedangkan sisanya menyatakan bahwa hak-hak ini tidak terlalu penting karena jika seseorang berkekurangan dalam kebutuhan primernya seperti makanan, tempat tinggal, dan pendidikan, hak-hak sipil dan politik tidak akan terlalu berarti. Sehingga lahirlah apa yang disebut sebagai Second-Generation Positive Rights yang lebih berbasis hak sosial ekonomi. Berbanding terbalik dengan yang pertama, pada tahap ini, justru ditekankan adanya peran kekuasaan publik untuk mengambil langkah-
Universitas Sumatera Utara
langkah positif untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang vital seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan. 18 Perdebatan mengenai hak mana yang harus lebih diprioritaskan; hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi perdebatan dalam beberapa lama, terutama karena adanya bentrokan kepentingan antara Negaranegara blok timur dan blok barat. Negara-negara blok timur (Uni soviet) lebih mementingkan hak ekonomi, sosial, dan budaya, sedangkan Negara-negara blok barat (Amerika Serikat) justru menganggap hal ini sangat kontroversial dan sebaliknya lebih menekankan perlunya hak sipil dan politik. Perbedaan orientasi ini mengakibatkan lahirnya Kovenan Ekosob yang disponsori oleh Negara-negara yang berpaham sosialis komunis dan Kovenan Sipol yang disponsori oleh Negaranegara liberalis kapitalis. Perdebatan ini baru memperoleh momentum baru tanpa terpecah pertempuran ideologi antarnegara pada tahun 1993, setelah usainya perang dingin. 19 Dalam perkembangannya, mulai timbul kesadaran bahwa perjuangan akan hak-hak bersama adalah jauh lebih penting daripada hak-hak perseorangan, seperti hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas lingkungan alam yang bersih, hak atas sumber daya alam sendiri, dan hak atas warisan budayanya sendiri, oleh karena itu ia disebut sebagai Third-Generation Solidarity.
18
Thomas G. Weiss, David P. Forsythe, dan Roger A. Coate. 1997. The United Nations and Changing World Politics, Second Edition. USA: Westview Press. Halaman 135-136 19 Saafroedin Bahar. 2002. Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Halaman 4. Seperti dikutip oleh M. Arif Hisbullah. Op. cit. Halaman 30
Universitas Sumatera Utara
Pasal-pasal dalam DUHAM sendiri secara spesifik dibagi menjadi beberapa kategori hak: 20 1.
Hak yang secara langsung memberikan gambaran kondisi minimum yang diperlukan bagi individu agar bisa mewujudkan watak kemanusiaannya, yakni hak pribadi atau individu. Hak yang dimaksud antara lain: a. Pengakuan atas martabat (Pasal 1) b. Perlindungan dari tindakan diskriminasi atas dasar apapun (Pasal 2) c. Jaminan atas kebutuhan (Pasal 3) d. Terhindar dari perbudakan (Pasal 4) e. Perlindungan
atas
tindakan
sewenang-wenang
dan
penganiayaan
(Pasal 5) f. Kesempatan menjadi warga Negara dan berpindah warga Negara (Pasal 15) 2.
Hak tentang perlakuan yang seharusnya diperoleh manusia dari sistem hukum yang ada. Hak ini memberikan ketentuan mengenai standar perlakuan suatu sistem hukum pada manusia, yaitu: a. Persamaan di depan hukum (Pasal 6) b. Tidak diperlakukan sewenang-wenang (Pasal 9) c. Memperoleh pengadilan yang adil (Pasal 10) d. Dilindungi sebelum dinyatakan bersalah (Pasal 11) e. Tidak diintervensi kehidupan pribadinya oleh Negara (Pasal 12)
20
Pendapat Dadang Juliantara sebagaimana dikutip oleh Ibid. Halaman 34-35
Universitas Sumatera Utara
3.
Hak yang memungkinkan individu untuk turut ambil bagian dalam jalannya pemerintahan, yang biasa dikenal dengan hak-hak sipil dan politik. Hak dimaksud antara lain: a. Hak kebebasan berpikir dan beragama (Pasal 18) b. Hak menyatakan pikiran secara bebas (Pasal 19) c. Berkumpul dan berserikat (Pasal 20) d. Serta keikutsertaan dalam pemerintah (Pasal 21)
4.
Hak yang menjamin taraf hidup minimal kehidupan seseorang dan memungkinkan proses pengembangan kebudayaan yakni ekonomi, sosial, dan budaya: a. Mendapatkan makanan, pekerjaan dan pelayanan kesehatan serta syarat sosial lainnya (Pasal 22-25) b. Hak untuk pendidikan dan pengembangan pribadi serta kebudayaan (Pasal 26-29) Sebelum lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Indonesia belum menganut konsep perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi yang dituntut negara-negara barat sebagai unsur tidak terpisahkan dari demokrasi dan cita negara hukum adalah suatu yang berlebihan dan tidak perlu. Konsep hak asasi dianggap sebagai nilai budaya barat yang lebih menekankan individualisme daripada kepentingan bangsa dan negara sebagai komunitas. Budaya timur yang adiluhung tidak memerlukan hak asasi versi barat ini. Tahun 1980-1990, Indonesia masih berkilah bahwa kalaupun ada hak asasi, maka budaya
Universitas Sumatera Utara
timur sudah mengakomodasinya dengan lebih baik daripada bangsa barat yang sibuk menuding Indonesia sebagai pelanggar hak asasi. 21 Perlindungan Negara terhadap hak warga mulai mendapat perhatian serius oleh pemerintah orde baru semenjak 1993 oleh Soeharto melalui Keppres RI No. 50 Tahun 1993 ketika terjadi pembunuhan warga sipil di Pemakaman Santa Cruz, Timor Timur 1991 oleh oknum militer, atas desakan aktivis HAM dan masyarakat internasional, Keppres RI ini ditingkatkan menjadi Undang-Undang, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, pemerintah orde baru beranggapan demokrasi dan HAM adalah suatu kemewahan yang belum perlu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara selama tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masih tinggi. 22 Walaupun Indonesia telah memuat jaminan HAM dalam konstitusinya, hukum internasional tentang hak asasi manusia tetap diperlukan karena 3 alasan utama, yakni:
23
a. Tambahan rujukan untuk harmonisasi peraturan nasional: kodifikasi pengaturan HAM dalam hukum internasional bertujuan agar esensi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dapat ditetapkan dengan cara yang seragam, dengan cara mengefektifkan aturan yang berlaku secara internasional ke
21
Tristam Moeliono. “Tinjauan Hukum Internasional Publik terhadap Pembunuhan Massal Tahun 65-66”. http://forumleuven.files.wordpress.com/2008/12/tristam.pdf. Halaman 2. Diakses tanggal 28 Februari 2010 22
Teguh Sulistia. “Peran International Criminal Court dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan oleh Militer”. Jurnal Hukum Internasional Volume 5 Nomor 1 Oktober 2007. Halaman 29 23
Adnan Buyung Nasution, dkk. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Halaman 11-12
Universitas Sumatera Utara
dalam praktik dan hukum nasional. Hal ini juga disebabkan adanya prinsip umum: non diskriminasi dalam pemenuhan HAM b. Penempatan jaminan HAM dalam jaminan kolektif: setiap Negara diwajibkan menghormati hukum HAM, tanpa terkecuali. Dengan penetapan hukum internasional HAM, maka jaminan kolektif untuk perlindungan dan pemenuhannya, secara otomatis juga terus dikembangkan. Yurisprudensi internasional juga mendorong, sekaligus memberi batasan yurisprudensi nasional yang tidak menyimpang jauh dari prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku. Perlindungan internasional bermanfaat untuk kepentingan politik secara umum. Sebagai contoh, persaingan ekonomi global yang dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di sebuah Negara c. Untuk mengatur masalah khusus HAM: yaitu sebagai tambahan aturan HAM, bahkan tidak jarang, problem HAM hanya diatur dalam hukum internasional HAM. Sebagai contoh, hak kolektif sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri (self determination) tidak pernah diatur dalam konstitusi Negaranegara kolonial. Contoh lain adalah masalah perlindungan terhadap kelompok minoritas dan status kelompok pelarian yang diatur secara khusus dan mendapat tempat dalam hukum internasional HAM
II.3.
Konvensi Anti Penyiksaan Penyiksaan yang dilakukan pemerintah adalah masalah klasik yang masih
dipraktekkan secara luas hingga saat ini. Penyiksaan dilakukan oleh banyak
Universitas Sumatera Utara
Negara sebagai metode interogasi yang resmi. Namun, sejalan dengan diakuinya secara meluas bahwa tindakan tersebut melanggar HAM, maka negara-negara secara perlahan meletakkan penyiksaan sebagai tindakan yang secara resmi dikenai sanksi. 24 Penyiksaan telah dicantumkan sebagai tindakan melanggar HAM dalam berbagai instrumen internasional terdahulu seperti pasal 5 DUHAM, pasal 7 sipol, pasal 10 sipol. Perkembangan yang signifikan dari penerapan kaidah internasional terhadap penyiksaan adalah merupakan pengadopsian dari European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Pada 9 Desember 1975 majelis umum PBB mengadopsi konsensus dari Declaration on the protection of all persons from being subjected to torture, cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Komisi HAM PBB kemudian menunjuk special rapporteur untuk pertanyaan terkait penyiksaan pada 22 Mei 1985 dengan mandat untuk “….mencari dan menerima informasi yang dapat dipercaya dari pemerintah, seperti juga agen-agen khusus, Organisasi NonPemerintah….” Dan untuk ‘merespon secara efektif’ informasi yang terkait dengan penyiksaan. Pada 10 Desember 1984, Majelis Umum PBB mengadopsi Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment atau sering disingkat dengan Convention Against Torture (CAT) setelah 7 tahun negosiasi. CAT sendiri berisi ketentuan-ketentuan yang termasuk
24
Dr. Lyal S. Sunga. 1992. Individual Responsibility in International Law for Serious Human Right Violation. Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers. Halaman 80
Universitas Sumatera Utara
memasukkan pertanggungjawaban individual dan menetapkan mekanisme pengawasan. 25 Pasal 1 CAT menegaskan bahwa yang dimaksud penyiksaan adalah:
II.4.
“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.” Pelanggaran HAM Berat dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Pelanggaran HAM berat atau dikenal dengan “gross violation of human
rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya, tidak dikenal dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Di dalam Statuta Roma 1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu “the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Dalam Statuta Roma (1998) pengertian tersebut ditegaskan meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang
25
Ibid. Halaman 81-83
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan HAM mengatur Pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 26
II.4.1.
Genosida dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Black’s Law Dictionary memberikan defenisi dari genosida (genocide)
sebagai: “an act committed with the intent to destroy, in whole apart, a national, ethnic, racial, or religious group” 27 Defenisi Kejahatan Genosida sendiri masih tetap menjadi perdebatan karena walaupun sejarah manusia telah menyaksikan banyak tindakan genosida, konsep kejahatan ini sendiri masih relatif baru dan baru dikembangkan sebagai akibat dari kekejaman Nazi dalam Perang Dunia II. Istilah “Genosida” itu sendiri berakar dari karya seorang pakar hukum, Raphaël Lemkin, seorang pendukung utama dari konvensi internasional tentang masalah ini. Defenisi Lemkin tentang istilah ini berpusat pada adanya rencana terkoordinasi untuk menghancurkan “fondasi-fondasi penting” dari kehidupan suatu kelompok, dengan tujuan untuk memusnahkan kelompok tersebut.
28
Lemkin dalam proposalnya ke Konferensi Internasional Liga Bangsa-bangsa untuk Unifikasi Hukum Pidana mengusulkan untuk mendeklarasikan bahwa penghancuran ras, agama, atau kelompok sosial sebagai sebuah kriminal di bawah
26
Menteri Kehakiman RI. “ Pelanggaran HAM Berat dan Pengadilan Ad Hoc”. http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+2&f=hamberat.htm. Diakses tanggal 10 Februari 2010 27
Bryan A. Garner (Editor in chief). Op. cit. Halaman 694. Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams. 2008. Melampaui Warisan Nuremberg: Pertanggungjawaban untuk Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional. Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Halaman 40 28
Universitas Sumatera Utara
hukum bangsa-bangsa. 29 Pada 11 Desember 1946, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 96 yang berkaitan dengan genosida ini: “Genocide is a denial of the right of existence of entire human groups, as homicide is the denial of the right to live of individual human beings; such denial of the right of existence shocks the conscience of mankind, results in great losses to humanity in the form of cultural and other contributions represented by these human groups, and is contrary to moral law and to the spirit and aims of the United Nations” 30 Dalam Resolusi ini pengaturan mengenai bagaimana sebenarnya kejahatan genosida itu dipraktekkan belum lengkap, sekilas terlihat bahwa ketentuan ini mengatur semua tindakan yang dianggap menghalangi hak asasi manusia tanpa ada indikator yang jelas tentang sejauh mana kriminalisasi dari tindakan genosida itu. Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide dalam pasal 2 menyatakan bahwa genosida adalah tindakan-tindakan yang disengaja untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian kelompok nasional, etnik, ras, atau agama seperti: a. Membunuh anggota-anggota dari kelompok tersebut b. Menimbulkan kerusakan fisik dan mental yang serius terhadap anggotaanggota kelompok tersebut c. Dengan sengaja menimbulkan kepada kelompok keadaan hidup yang diperkirakan membawa penghancuran seluruh atau sebagian kelompok tersebut secara fisik
29
Kurt Mundorff. “Other Peoples’ Children: A Textual and Contextual Interpretation of the Genocide Convention, Article 2(e)”. Harvard International Law Journal Vol. 50 Number 1 Winter 2009. Halaman 73 30
Ibid. Halaman 74
Universitas Sumatera Utara
d. Menjatuhkan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut e. Memindahkan anak-anak secara paksa dari kelompok tersebut ke kelompok lainnya Rome Statute dalam pasal 6, The International Criminal Tribunal for Rwanda Statute dalam pasal 2, dan pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia juga senada dengan Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide tentang pengertian genosida. Ketentuan dari instrumen-instrumen ini tidak mengharuskan pemusnahan kelompok yang dimaksud secara keseluruhan untuk dapat disebut sebagai kejahatan genosida. Indonesia sendiri dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan unsur-unsur genosida dalam Pasal 8 yang sama indikatornya dengan Pasal 6 dari Statuta Roma. II.4.2.
Kejahatan
terhadap
Kemanusiaan
dalam
Hukum
Internasional dan Hukum Nasional Menurut pakar hukum Swiss, Jean Graven, kejahatan terhadap kemanusiaan sama tuanya dengan kemanusiaan itu sendiri. Negara-negara menggunakan
konsep-konsep
tentang
kemanusiaan
untuk
menjustifikasi
peristiwa-peristiwa intervensi unutk membantu kelompok-kelompok minoritas yang dianiaya oleh pemerintah mereka sendiri pada masa sebelum diaturnya piagam PBB. Konsep-konsep ini juga dikaitkan dengan cara Negara melakukan peperangan, yang berpuncak pada pemasukan prinsip jus in bello dalam
Universitas Sumatera Utara
perjanjian-perjanjian modern pertama yang penting, konvensi-konvensi Den Haag tentang hukum dan kebiasaan perang. 31 Konsep kejahatan terhadap kemanusiaan diawali dengan dimasukkannya prinsip kemanusiaan dalam Klausula Martin pada pembukaan Konvensi Den Haag tahun 1899 dan kemudian Konvensi Den Haag Keempat pada tahun 1907 yang berisi: “Until a more complete code of laws of war has been issued, the High Contracting Parties deem it expedient to declare that, in cases not included in the Regulations adopted by them, the inhabitants and the belligerents remain under the protection an the rule of the principles of law of nations, as they result from the usages among civilized peoples, from the laws of humanity, and the dictates of the public conscience.” 32 Dalam frase “laws of humanity”, hukum kemanusiaan dipahami sebagai suatu sumber prinsip-prinsip dari berbagai hukum bangsa-bangsa dan tidak mengindikasikan kategori norma-norma lain yang berbeda dari norma-norma yang dapat diterapkan bagi objek perjanjian ini, ia hanya berfungsi sebagai aturan umum untuk mencakup kasus-kasus yang tidak dicakup oleh aturan-aturan tersebut secara eksplisit yang bersandar pada Konvensi Den Haag tersebut. 33 Pada perkembangannya, Piagam Nuremberg yang membentuk Mahkamah Militer Internasional Nuremberg, dalam pasal 6 (c) mendefinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai:
31
Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams. Op. cit. Halaman 71-72
32
Erikson Hasiholan Gultom. 2006. Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur: Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam Mengadili Individu-individu yang Bertanggung Jawab atas Terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Relevansinya dengan Peradilan Kasus Timor Timur Sekitar Masa Referendum 1999. Jakarta: Tatanusa. Halaman 39 33 Ibid
Universitas Sumatera Utara
“Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan perbuatanperbuatan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil, sebelum atau selama perang, atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, rasa atau agama sebagai pelaksanaan dari atau berhubungan dengan setiap kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi pengadilan tersebut baik yang melanggar ataupun tidak hukum Negara setempat di mana ia dilakukan…” Rumusan pasal inilah yang merupakan preseden pertama kalinya dalam hukum pidana internasional positif di mana istilah khusus “kejahatan terhadap kemanusiaan” diperkenalkan dan didefenisikan, namun, sebagaimana yang telah dikatakan di dalam pasal 2, konsep ini bukanlah merupakan suatu hal yang baru, begitu pula dengan gagasan atau ide tentang melindungi orang-orang sipil di masa perang. Dan yang paling penting diketahui, Piagam ini muncul pertama kalinya dan dipergunakan sebagai contoh (model) dan dasar hukum bagi perkembanganperkembangan lain selanjutnya. 34 Pada tahun 1951, Komisi Hukum Internasional merumuskan kejahatan kemanusiaan sebagai: 35 “Tindakan-tindakan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh para penguasa suatu Negara atau oleh individu-individu perseorangan terhadap suatu populasi sipil seperti pembunuhan, atau pemusnahan, atau perbudakan, atau deportasi, atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, ras, agama, atau budaya, bilamana tindakan-tindakan demikian dengan kejahatan-kejahatan lain yang didefenisikan dalam pasal ini” Dalam ketentuan yang dihasilkan berikutnya yang terkait dengan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan ini, seperti Statuta International Criminal Tribunal of Yugoslavia (ICTY) masih berpedoman pada Piagam Nuremberg, barulah pada Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda
34
Ibid
35
Report of the International Law Commission, UN GAOR 6th Sess, Supp. No. 9 (A/1858) (1951), Vol. II, hal. 123-144, 136 sebagaimana dikutip oleh Ibid. Halaman 45
Universitas Sumatera Utara
(ICTR) pada pasal 3 mensyaratkan bahwa kejahatan kemanusiaan yang dimaksud tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas dan sistematis terhadap populasi sipil, pasal tersebut juga mencantumkan persyaratan kalau seluruh perbuatan-perbuatan tersebut harus telah dilakukan atas dasar-dasar kebangsaan, politik, suku, rasial, atau agama. Selain itu, baru pada ICTR lah persyaratan tentang harus adanya hubungan kejahatan tersebut dengan konflik bersenjata dihapuskan. 36 Era selanjutnya adalah pembentukan Statuta Roma pada 1998. Dalam Pasal 7 Statuta Roma disebutkan bahwa kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada seuatu kelompok sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu. Adapun yang termasuk dalam lingkup kejahatan kemanusiaan menurut pasal 7 Statuta Roma adalah: a. Pembunuhan b. Pemusnahan c. Perbudakan d. Deportasi atau pemindahan paksa penduduk e. Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional f. Penyiksaan
36
Ibid. Halaman 52-53
Universitas Sumatera Utara
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat h. Persekusi (Penganiayaan) terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefenisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dalam setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi mahkamah i.
Penghilangan paksa
j.
Kejahatan apartheid
k. Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik Sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam pasal 9 merujuk pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang sama dengan isi pasal 7 Statuta Roma, kecuali poin (k) yang tidak disertakan dalam pasal 9. Mengenai serangan yang meluas atau sistematik itu sendiri tidak dijelaskan oleh Statuta Roma maupun UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengertian serangan meluas atau sistematik itu berkembang dalam praktek pengadilan yang tertuang dalam putusan-putusan Hakim. Hakim Pengadilan HAM Ad hoc di Jakarta Pusat menjelaskan pengertian serangan dalam kasus atas
Universitas Sumatera Utara
nama
terdakwa
Abilio
Jose
Osorio
Soares
(Putusan
No.01/PID.HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT.PST. halaman 103-104) berpendapat sebagai berikut : “Yang dimaksud dengan serangan adalah bahwa serangan tersebut tidak harus selalu merupakan serangan militer, seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law dalam arti bahwa serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan kekuatan militer atau penggunaan senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini dapat masuk ke dalam terminologi serangan (attack); Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap penduduk sipil tidak berarti bahwa serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu” Sedangkan pengertian meluas dan sistematik diberikan sebagai berikut: “Yang dimaksud “meluas” karena pada peristiwa-peristiwa yang didakwakan terbukti terjadi pembunuhan secara besar-besaran, berulangulang, dalam skala yang besar (massive, frequent, large scale), yang dilakukan secara kolektif dengan akibat yang sangat serius berupa jumlah korban nyawa yang besar; Yang dimaksud dengan sistematik adalah terbentuknya sebuah ide atau prinsip berdasarkan penelitian atau observasi yang terencana dengan prosedur yang sudah umum. Dalam kaitannya dengan pelanggaran berat HAM, definisi sistematik dapat berarti kegiatan yang berpola sama dan konsisten (berulang-ulang). Pola disini berarti struktur atau desain yang saling berhubungan. Sedangkan konsisten di sini berarti sebuah gagasan yang ditandai dengan tidak berubahnya posisi atau saling berhubungan, bisa juga karakter tertentu yang sudah terbentuk dan ditunjukan secara berulang-ulang.” Adapun
pengertian sistematik itu sendiri memiliki 4 (empat) elemen
sebagai berikut : 1. Adanya tujuan politik, rencana dilakukannya penyerangan, suatu ideologi, dalam arti luas menghancurkan atau melemahkan suatu komunitas;
Universitas Sumatera Utara
2. Melakukan tindak pidana dengan skala yang besar terhadap suatu kelompok penduduk sipil, atau berulang-ulang dan terus-menerusnya tindakan tidak manusiawi yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya; 3. Adanya persiapan dan penggunaan yang signifikan dari milik atau fasilitas publik atau perorangan; 4. Adanya implikasi politik tingkat tinggi atau otoritas militer dalam mengartikan atau mewujudkan rencana yang metodologis Sedangkan dalam Putusan No.08 / PID.HAM / AD.HOC / 2002 / PN.JKT.PST Atas Nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo. Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan serangan meluas tidaklah harus selalu merupakan serangan militer seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law sehingga pengertian serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan kekuatan militer atau psenjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini adalah termasuk dalam terminologi serangan (attack); 1. Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap “penduduk sipil“ bukan berarti serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, akan tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu; 2. Bahwa salah seorang Hakim Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslavia, Jean Jaques Heintz menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “serangan meluas” adalah serangan yang bersifat massal, 3. Tindakan dalam skala besar, dilakukan secara bersama-sama dengan niat yang sungguh-sungguh dan ditujukan terhadap korban dalam jumlah besar, sedangkan menurut Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General Norwegia) menyatakan “serangan meluas” itu harus diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (widespread attack is one that is directed against a multiplicity of victims);“
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya dalam Putusan No.02 / PID.HAM / AD. HOC / 2002 / PN. JKT. PST Atas Nama Terdakwa Drs. G.M. Timbul Silaen, Majelis Hakim senada dengan merujuk pada pendapat Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General) menyatakan sebagai berikut: “bahwa pengertian serangan yang meluas adalah serangan yang diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (Widespread attack is one that is directed against a multiplicity of victims). Selanjutnya menurut Majelis Hakim “ada juga yang berpendapat bahwa arti serangan yang meluas adalah merujuk kepada jumlah korban (massive), skala kejahatan dan sebaran tempat (geografis), dan dalam kejahatan kemanusiaan, perbuatan meskipun dilakukan secara individual namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (Collective action - M Charief Bassioni, Crime Against Humanity in the International Law )” Menurut Majelis Hakim Pengertian serangan yang sistematik berkaitan dengan suatu kebijakan atau rencana yang mendasari atau melatar belakangi terjadinya tindak pidana tersebut. Pengertian kebijakan tidak selalu berkonotasi tertulis tetapi dapat merupakan tindakan yang berulang dan terus-menerus diikuti dan telah menjadi pola yang diikuti oleh aparat negara; Selanjutnya Majelis Hakim menyatakan, bahwa Pengertian serangan yang sistematik adalah suatu serangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang telah disusun terlebih dahulu atau terencana (a systematic an attack means carried out pursuant to a preconceive policy or plan - Arne Willy Dahl, Judge Advocate General Norway)” 37
II.5.
Peran Negara dan Aktor Non-Negara sebagai Pelanggar HAM 37
Abdul Hakim G Nusantara. “Penerapan Hukum Internasional dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia”. Halaman 9-12. http://www.komnasham.go.id/portal/files/AHGN-Penerapan_Hukum_Internasional.pdf. Diakses tanggal 18 Januari 2010
Universitas Sumatera Utara
Dalam sistem hukum HAM internasional, Negara ditempatkan sebagai aktor utama pemegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders), sementara individu, dalam artian kelompok dan rakyat duduk sebagai pemegang hak (right holders). Dalam hal ini, Negara tidak memiliki hak, kepadanya hanya dipikulkan kewajiban atau tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak warga Negara yang dijamin melalui berbagai instrumen yang mendukung penegakan HAM, jika Negara tidak mau memenuhi kewajibannya tersebut, maka dalam hal inilah Negara dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM atau hukum internasional. Sejalan dengan itu, apabila pelanggaran tersebut tidak mau dipertanggungjawabkan oleh Negara maka tanggung jawab tersebut akan diambil oleh masyarakat internasional. 38 Kekuasaan negara yang tidak berbatas hukum, bahkan proses hukum yang dijalankan serampangan selalu dapat mengakibatkan pelanggaran hak asasi siapapun tanpa kecuali. Abdullahi A. An- Na'im, seorang peneliti di lembaga kajian hak asasi di Universitas Utrecht menulis bahwa: "the universality of human rights must be premised on a shared consciousness of vulnerability in the sense that all human beings should endeavour to achieve the universal acceptance and practical implementation of international standards of human rights simply because we all need their protection as potential, if not actual, victims of violations of our rights". 39 Oleh karena itu, dalam perspektif hukum HAM, Negara dapat dipandang sebagai pelaku pelanggar HAM. Adapun Negara yang dimaksud adalah seluruh
38
ELSAM. Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi Aparatur Penegak Hukum. Halaman vii-viii 39
Tristam Moeliono. Op. cit. Halaman 3. Diakses tanggal 28 Februari 2010
Universitas Sumatera Utara
institusi dan perangkat kenegaraan yang berada di bawah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bentuk pelanggaran dapat dalam tindakan langsung atau dalam bentuk keputusan. Meskipun begitu, subjek pelaku tetap didasarkan kepada individu (pejabat/petugas) yang melakukan atau berwenang. Adapun penanggung jawab terhadap pelanggaran ini bisa dirunut dari aktor yang mengeluarkan kebijakan sampai pada pelaku lapangan yang menjalankan kebijakan tersebut. Jadi kebijakan lebih dilihat sebagai dasar pijakan bagi tindakan pelanggaran hakhak manusia. 40 Pelanggaran HAM yang dilakukan Negara sebagai aktor secara umum merujuk kepada 2 tindakan: 41 1.
Negara sebagai pelaku langsung tindakan pelanggaran tersebut secara aktif atau disebut by commission. Pencontohan dari hal-hal ini dapat dilihat dari kasus DOM Aceh, Papua dan Timor-Timur, penembakan misterius (petrus), kasus Tanjung Priok, Jenggawah, Talang Sari-Lampung, penculikan Aktivis, pelarangan buku, dan sebagainya
2.
Negara membiarkan terjadinya tindakan yang melanggar HAM dan tidak mengambil upaya apapun untuk mencegah pelanggaran HAM tersebut. Tindakan ini disebut by omission. Tindakan seperti ini biasanya melibatkan aktor-aktor non Negara, termasuk di dalamnya individu atau kelompok yang bertindak atas perintah Negara atau dengan keterlibatan, fasilitas, persetujuan, atau juga dorongan dari otoritas yang berwenang. Juga termasuk
40
Daniel Hutagalung. “Pelaku Pelanggaran HAM di Masa Orde Baru”. Asasi Edisi Januari-Februari 2008. Halaman 10 41
Ibid. halaman 10-11
Universitas Sumatera Utara
tindakan pembiaran atau Negara tidak melakukan upaya sungguh-sungguh terhadap terjadinya suatu bentuk pelanggaran HAM yang bisa saja terjadi atas dasar kepentingan atau tujuan politis tertentu, seperti kerusuhan rasial Mei 1998, kekerasan komunal di Kalimantan, Maluku, dan Poso, dan berbagai tindakan amuk massa di penghujung kekuasaan orde baru. Sedangkan yang dikategorikan aktor non Negara sebagai pelaku pelanggar HAM adalah masyarakat dan berbagai institusi swasta yang terlibat dalam melanggar Hak-hak manusia lainnya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari tindakan perusahaan swasta yang merusak lingkungan sekitar beroperasinya dan merugikan penduduk, dan pelanggaran HAM lain yang menyalahi ketentuan instrumen HAM.
II.6.
Tanggung Jawab Individu Pelanggaran HAM yang dilakukan Negara, terutama dalam tindak pidana
pada akhirnya akan menunjuk individu pejabat yang melakukan tindakan tersebut untuk bertanggung jawab terhadap tindakannya. Berkenaan dengan pertanggungjawaban komandan atau pimpinan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dalam Pasal 42 mengatur sebagai berikut : “(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan
Universitas Sumatera Utara
terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, yaitu : a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat; dan b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan” Ketentuan ini tidak hanya berlaku dalam struktur kemiliteran, namun juga berlaku
dalam institusi lainnya yang mempunyai struktur hirarki dalam
kepemimpinannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 42 ayat (2): “ (2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni: a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat; dan b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.”
II.7.
Penyelesaian Pelanggaran HAM dalam taraf Nasional Sesuai dengan dengan sifat Hukum internasional yang tidak bersifat
supranasional, maka otoritas nasional tetap lebih diutamakan dalam penyelesaian sebuah kasus pelanggaran HAM. Hai ini meminta inisiatif baik dari Negara tersebut. Beberapa instrumen internasional sendiri mensyaratkan terlebih dahulu
Universitas Sumatera Utara
adanya upaya hukum secara nasional dari orang-orang yang ingin mengajukan pelanggaran HAM dalam taraf internasional.
II.7.1.
Pengadilan HAM ad Hoc Dalam taraf nasional sendiri ada beberapa alternatif penyelesaian kasus
pelanggaran HAM berat, salah satunya adalah lewat pengadilan HAM yang mana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, Pengadilan HAM sendiri tidak mengakui asas retroaktif, sehingga untuk penanganan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak tahun 1965 ini penempuhan jalur hukum yang tepat adalah melalui pengadilan HAM ad hoc. Menurut ketentuan pasal 43
ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut dapat diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR. Berkenaan dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, Jose Zalaquett berpendapat, bahwa negara pada dasarnya mempunyai diskresi untuk menetapkan substansi kebijakan untuk menangani pelanggaran HAM masa lalu. Namun di dalam semua kasus substansi kebijakan itu harus memenuhi syaratsyarat legitimasi tertentu sebagai berikut: 42 1.
Kebenaran harus diketahui atau diungkapkan secara lengkap, dan diekspos serta diumumkan kepada publik;
42
Abdul Hakim G Nusantara. “Pelanggaran HAM Berat dan Kebijakan Nasional Untuk Penanganan dan Penyelesaiannya”. Http://www.komnasham.go.id/portal/files/AHGNPelanggaran_Berat_HAM_dan_Kebijakan_Nasional.pdf. Diakses tanggal 24 Februari 2010
Universitas Sumatera Utara
2.
Kebijakan HAM tersebut harus mewakili kehendak rakyat, misalnya kebijakan nasional itu harus memperoleh persetujuan rakyat melalui referendum;
3.
Kebijakan HAM tersebut tidak melanggar hukum HAM internasional. Yang berarti pada satu sisi menjadi kewajiban setiap negara untuk bertindak sesuai dengan hukum internasional. Bila negara mengambil langkah untuk memberikan pengampunan bagi pelanggar HAM, kebijakan tersebut harus tunduk pada batas-batas yang diatur oleh hukum internasional. Pada sisi yang lain, jika kebijakan HAM itu mengarah pada penghukuman, standar-standar internasional yang berkenaan dengan penyelenggaraan pengadilan yang adil, perlakuan terhadap para tersangka dan penghukuman wajib dihormati;
4.
Kebijakan HAM tersebut mengandung tujuan-tujuan untuk mereparasi kerugian yang diderita korban dan pencegahan berulangnya pelanggaran HAM di kemudian hari.
II.7.2.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Berkenaan dengan pentingnya pengungkapan kebenaran secara lengkap,
terdapat mekanisme yang dapat dilakukan dalam tataran nasional yaitu melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Konsep ini sebenarnya sudah
mulai
dikenal
sejak
lama
di
beberapa
Negara
yang
telah
mempraktekkannya dalam menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM di Negara masing-masing dengan nama yang berbeda-beda. Di Argentina misalnya, pada tahun 1983 lembaga ini dibentuk dengan nama Comision Nacional sobre de la Desaparicion de Personas yang berfungsi
Universitas Sumatera Utara
menyelidiki raibnya 9.000 penduduk yang selama regime militer berkuasa pada 1976 hingga 1983, Ghana mengesahkan National Reconcilliation Commission pada 11 Januari 2002 untuk melakukan investigasi secara menyeluruh pelanggaran HAM berat yang terjadi mulai 6 Maret 1957 hingga 6 Januari 1993, di Peru, Truth and Reconciliation Commission yang diresmikan pada 13 Juli 2001 ditugaskan untuk menyelidiki kematian 30.000 orang, di samping 6.000 yang hilang, yang terjadi pada 3 rezim pemerintahan sebelumnya, namun yang paling dikenal luas adalah KKR Afrika Selatan yang dibentuk pada tahun 1995 yang bertugas meneliti semua kejahatan pelanggaran HAM yang terjadi dalam pemerintahan apartheid 1960-1994. 43 Perbedaan Komisi kebenaran sendiri dengan pengadilan adalah dalam hal: 44 1. Tidak adanya penggugat (plaintiff), tidak ada penuntutan (prosecution), tidak ada pembelaan, dan tidak ada pengadilan. Yang ada hanyalah semata-mata penyelidikan dan pelaporan atas fakta-fakta hasil penyelidikan 2. Temuan-temuan yang didapatkan oleh komisi kebenaran menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang sangat berbeda dari temuan-temuan dalam pengadilan. Pengadilan mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi yang mengikat pada individu-individu, yang seringkali melibatkan kehilangan properti tertentu atau kebebasan. Sebaliknya komisi kebenaran tidak dapat menjatuhkan hukuman perdata atau pidana, bahkan ketika sebuah komisi 43
Tjipta Lesmana. “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Permasalahan dan Prospeknya”. Law Review UPH Volume VIII No. 2 November 2008. Halaman 287-288 44
Mark Freeman. 2008. Komisi-Komisi Kebenaran dan Kepatutan Prosedural. Jakarta: Elsam. Halaman 76-77
Universitas Sumatera Utara
kebenaran mencantumkan nama seseorang dalam sebuah daftar para pelaku pelanggaran, pencantuman itu pada umumnya tidak dengan sendirinya memiliki dampak hukum 3. Komisi kebenaran memiliki fungsi yang umumnya tidak sesuai dengan pengadilan. Sebagai contoh, sebuah komisi kebenaran bisa diharapkan untuk menganalisis sebab-sebab sosial dari sebuah konflik, berkontribusi bagi rekonsiliasi nasional, atau lebih mementingkan para korban melalui acara dengar kesaksian publik yang berpusat pada korban. Di beberapa Negara misalnya, hasil penemuan dari KKR mereka menjadi dasar bagi pembentukan Pengadilan bagi kasus tersebut, seperti misalnya Sierra Leone. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sierra Leone, setelah 4 tahun bekerja, pada 5 Oktober 2004 berhasil merampungkan laporan tentang latar belakang konflik bersenjata, bentuk pelanggaran HAM dan korban yang jatuh, serta rekomendasi mereka tentang perang saudara selama 10 tahun di Sierra Leone kepada Dewan Keamanan PBB. 45 Laporan ini pada akhirnya menjadi dasar bagi Dewan Keamanan dalam pembentukan Pengadilan Campuran di Sierra Leone terkait kasus tersebut.
II.8.
Penyelesaian Pelanggaran HAM dalam taraf Internasional Sesuai dengan pasal 7 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
maka setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh hukum
45
Tjipta Lesmana. Op. cit. Halaman 287
Universitas Sumatera Utara
Indonesia dan hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima Negara Republik Indonesia. Selain itu, kewenangan Negara tidaklah absolut melainkan dibatasi oleh hukum internasional. Hukum internasonal tidak lagi menggunakan dan menerima anggapan bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan Negara terhadap rakyatnya sendiri merupakan semata-mata masalah internal. Begitu HAM menjadi perhatian internasional, Negara-negara tidak lagi dapat mengklaim bahwa HAM merupakan masalah yang berada di dalam yurisdiksi domestiknya. 46 Objektifnya, HAM harus diletakkan di atas kepentingan Negara, artinya hak Negara, termasuk atas kedaulatannya, harus diposisikan subordinat terhadap HAM. Campur tangan atas kedaulatan suatu Negara dapat dibenarkan dan sangat dibutuhkan ketika kekerasan yang dilakukan oleh Negara telah mencapai tingkatan yang sangat berat atau serius sehingga mengganggu keutuhan ketentraman dan perdamaian dunia secara umum. 47 Karena itu, intervensi kemanusiaan guna menghentikan atau menghukum Negara yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan guna menghentikan dan menghukum Negara yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah wajar. 48
46
Scott Davidson. 1994. Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti. Halaman 69. Sebagaimana dikutip oleh Erikson Hasiholan Gultom. Op. cit. Halaman 157 47
Ibid. Halaman 157-158
48
Ibid. Halaman 159
Universitas Sumatera Utara
Prinsip-prinsip Yurisdiksi Universal Hukum
internasional melalui
instrumen-instrumennya maupun melalui jus cogens juga menunjukkan bahwa intervensi kemanusiaan dari Negara lain dibenarkan.
II.8.1.
The International Bill of Human Rights Indonesia sebagai salah satu anggota PBB adalah Negara yang telah
mengadopsi The International Bill of Rights dan terikat ketentuannya terkait posisinyas yang sudah menjadi jus cogens. Implikasi lainnya adalah warga Negara Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai korban pelanggaran terhadap hak-hak yang tercantum dalam Kovenan Sipol. dan Negara lain yang menjadi anggota PBB juga sah mempersoalkan pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia terhadap warganya. Melalui Kovenan Sipol dalam Pasal 28 maka PBB membentuk Komite HAM PBB yang bertujuan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah terkait pelanggaran yang ditentukan dalam Konvensi Sipol, lewat Komite inilah warga Negara dari Negara yang melakukan pelanggaran kovenan sipol terhadapnya dan Negara pihak lain dapat mengajukan masalah tersebut kepada Komite HAM PBB. Bagi orang-orang yang merupakan warga Negara dari Negara pihak yang menyatakan dirinya sebagai korban dari pelanggaran hak-hak yang diatur dalam kovenan, sesuai dengan Opsional protokol kovenan sipol (Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights) dapat menyampaikan komunikasi tertulis dengan Komite HAM PBB setelah sebelumnya telah menggunakan upaya penyelesaian dalam negeri (Pasal 2), dalam komunikasi
Universitas Sumatera Utara
tersebut, komite HAM tidak akan menerima jika komunikasi tersebut tidak bernama atau dianggap sebagai penyalahgunaan hak penyampaian komunikasi tersebut, atau tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan kovenan (Pasal 3). Selanjutnya, dalam Pasal 4 disebutkan bahwa komite akan menyampaikan setiap komunikasi yang disampaikan kepadanya berdasarkan protokol kepada Negara pihak protokol yang dituduh melakukan pelanggaran ketentuan dalam kovenan untuk diperhatikan, kemudian dalam jangka enam bulan, Negara penerima akan menyampaikan kepada komite suatu penjelasan tertulis atau pernyataan yang menjelaskan masalah dan upaya penyelesaiannya, bila ada, yang mungkin telah diambil oleh Negara tersebut. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa komite akan membahas komunikasi dari individu dengan berkeyakinan bahwa masalah yang sama tidak sedang diperiksa berdasarkan prosedur penyelidikan atau penyelesaian internasional lainnya serta individu tersebut telah menggunakan seluruh upaya penyelesaian dalam negeri yang ada. Komite akan mengadakan siding tertutup pada waktu memeriksa komunikasi berdasarkan protokol, baru kemudian
menyampaikan
pandangannya
kepada
Negara
Pihak
yang
berkepentingan dan individu. Sedangkan bagi Negara pihak yang ingin mengajukan Negara pihak lain yang melakukan pelanggaran hak-hak dalam kovenan sipol lewat mekanisme yang tercantum dalam Pasal 41 Kovenan Sipol sebagai berikut: a.
Apabila Negara pihak dalam kovenan ini beranggapan bahwa Negara pihak lain tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan kovenan ini, ia dapat secara tertulis meminta perhatian tentang hal ini kepada Negara pihak yang
Universitas Sumatera Utara
berkepentingan. Dalam waktu tiga bulan setelah menerima komunikasi, Negara yang menerima harus menyampaikan keterangan atau pernyataan tertulis lainnya kepada Negara pengirim, yang menjelaskan masalah tersebut, penjelasan mana harus mencakup, sepanjang dimungkinkan dan sesuai, rujukan prosedur domestik dan penyelesaian yang telah dan akan ditempuh, atau tersedia tentang masalah tersebut b.
Apabila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan secara memuaskan bagi kedua Negara pihak dalam jangka waktu enam bulan setelah setelah penerimaan oleh Negara yang menerima komunikasi awal, maka masingmasing Negara berhak untuk mengajukan masalah itu kepada komite dan Negara pihak lainnya
c.
Komite hanya akan menangani masalah yang diajukan kepadanya setelah ia memastikan, bahwa semua penyelesaian domestik yang ada telah ditempuh dalam menangani masalah ini, sesuai dengan asas-asas hukum internasional yang diakui. Ketentuan ini tidak berlaku apabila pelaksanaan upaya penyelesaian telah diulur-ulur secara tidak wajar
d.
Komite
akan
menyelenggarakan
siding
tertutup
ketika
memeriksa
komunikasi-komunikasi berdasarkan pasal ini e.
Dengan mengingat ketentuan ayat (c), komite akan menediakan jasa-jasa baiknya pada negara pihak yang berangkutan, dengan maksud agar ada penyelesaian
yang
bersahabat
tentang
masalah
ini,
berdasarkan
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar sebagaimana diakui pada kovenan ini
Universitas Sumatera Utara
f.
Dalam setiap masalah yang diajukan kepadanya, komite dapat meminta kepada Negara pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam sub ayat (b), untuk memberikan keterangan yang relevan
g.
Negara pihak yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam sub ayat (b), berhak untuk diwakili apabila masalahnya dibahas di komite, dan untuk menyampaikan hal tersebut baik secara tertulis maupun lisan
h.
Dalam waktu dua belas bulan setelah tanggal diterimanya pemberitahuan berdasarkan sub ayat (b), komite harus menyampaikan laporan: 1. Apabila penyelesaian telah dicapai sesuai dengan ketentuan dalam sub bab ayat (e), maka komite harus membatasi laporannya menjadi suatu keterangan singkat tentang fakta-faktanya saja dan penyelesaian yang telah dicapai 2. Apabila suatu penyelesaian yang diatur dalam sub ayat (e) tidak tercapai, maka komite harus membatasi laporannya pada pernyataan singkat tentang fakta-fakta, hal-hal yang diajukan secara tertulis, dan catatan tentang hal-hal yang diajukan secara lisan oleh Negara pihak yang bersangkutan harus dilampirkan pada laporan tersebut. Dalam segala masalah, laporan harus dikomunikasikan kepada Negara-negara pihak yang berkepentingan Lebih lanjut dalam Pasal 42 dikatakan:
1. a. Apabila suatu masalah yang telah diajukan kepada komite sesuai Pasal 41 tidak mencapai penyelesaian yang memuaskan Negara-negara pihak yang berkepentingan, komite dengan persetujuan terlebih dahulu dari Negara-
Universitas Sumatera Utara
negara pihak yang berkepentingan, dapat membentuk komisi konsiliasi ad hoc (selanjutnya disebut sebagai komisi). Jasa-jasa baik komisi akan disediakan bagi Negara-negara pihak yang bersangkutan dengan tujuan untuk mencapai penyelesaian secara damai dari masalah tersebut berdasarkan penghormatan terhadap kovenan ini b. Komisi ini terdiri dari dari lima orang yang dapat diterima oleh Negaranegara yang bersangkutan. Apabila Negara-negara pihak tersebut gagal mencapai kesepakatan dalam waktu tiga bulan mengenai seluruh atau sebagian komposisi komisi, para anggota komisi yang gagal dipilih melalui kesepakatan, harus dipilih dari antara anggota komite melalui pemungutan suara yang rahasia dengan dua pertiga mayoritas suara dari anggota komite
Kemudian dalam Pasal 42 angka 7 disebutkan: Apabila komisi telah sepenuhnya membahas masalah yang diajukan kepadanya, namun dalam hal apapun tidak lebih dari dua belas bulan setelah diserahi masalah, komisi harus menyampaikan laporan kepada ketua komite untuk dikomunikasikan kepada Negara-negara pihak yang berkepentingan: a. Apabila komisi tidak dapat menyelesaikan pembahasan atas masalah tersebut dalam waktu dua belas bulan, komisi harus membatasi laporannya pada pernyataan singkat tentang status pembahasan masalah
Universitas Sumatera Utara
b. Apabila dicapai penyelesaian yang baik terhadap masalah berdasarkan penghormatan atas hak asasi manusia sebagaimana diakui dalam kovenan ini, komisi akan membatasi laporannya pada pernyataan singkat mengenai faktafakta dan penyelesaian yang dicapai c. Apabila tidak tercapai suatu penyelesaian sesuai dengan ketentuan sub ayat (b), laporan komisi harus membuat temuannya mengenai semua masalah dari fakta yang relevan dengan masalah antara Negara-negara pihak yang berkepentingan dan pandangannya terhadap kemungkinan penyelesaian yang baik atas masalah tersebut. Laporan ini juga harus membuat pembelaan tertulis dan catatan tentang pembelaan tertulis dan catatan tentang pembelaan lisan yang dibuat oleh Negara-negara pihak yang bersangkutan d. Apabila laporan komisi disampaikan berdasarkan sub ayat (c), Negara-negara pihak yang bersangkutan dalam waktu tiga bulan setelah diterimanya laporan akan memberitahukan kepada ketua”
II.8.2.
Pengadilan Internasional Forum pengadilan internasional yang ditujukan untuk mengadili para
pelaku secara individual yang telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap hukum internasional yang pembentukannya terkait dengan/dalam kerangka PBB, pada dasarnya dapat dibedakan bentuknya menjadi: Pengadilan internasional yang bersifat permanen, ad hoc, dan campuran (hybrid/mixed). 49
49
Andrey Sujatmoko. “Pengadilan Campuran (“Hybrid Tribunal”) Sebagai Forum Penyelesaian Atas Kejahatan Internasional”. Jurnal Hukum Humaniter Volume 3 No. 5 Oktober 2007. Halaman 975
Universitas Sumatera Utara
II.8.2.1.
Pengadilan Permanen
Pengadilan Internasional permanen yang menangani kasus-kasus pidana adalah International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk melalui Statuta Roma pada tahun 1998. Adapun statuta yang dimaksud baru berlaku pada 1 Juli 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara. Adapun tujuan dari dibentuknya ICC berdasarkan pembukaan (Preambule) Statuta Roma adalah untuk: memutuskan rantai kekebalan hukum (impunitas) bagi individu-individu yang bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan HAM yang dimaksud dalam Statuta Roma, menjamin penghormatan abadi bagi diberlakukannya keadilan internasional, dan meningkatkan daya cegah terhadap kemungkinan terjadi atau terulangnya kejahatan-kejahatan tersebut di masa yang akan datang. Berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma, maka yurisdiksi dari ICC adalah hanya terbatas pada kejahatan-kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan, yaitu: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Mengenai yurisdiksi ini sendiri, dalam pasal 13 disebutkan bahwa ICC dapat menggunakannya dalam hal telah diberikannya kewenangan kepada penuntut (prosecutor) melalui: Dewan Keamanan yang bertindak di bawah kewenangan Bab VII Piagam PBB, Negara peserta Statuta Roma, atau atas inisiatif penuntut itu sendiri berdasarkan informasi yang diterima dari sumber-sumber tertentu.
II.8.2.2.
Pengadilan Ad Hoc
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan internasional di bawah kerangka PBB yang bersifat ad hoc yang pernah didirikan dan masih ada hingga saat ini adalah: 1. International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY) Pengadilan ini dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB No. 827 Tanggal 25 Mei 1993 yang bertempat di Den Haag, Belanda, dan bertugas mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas pelanggaranpelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional yang terjadi di Negara bekas Yugoslavia dalam konflik bersenjata di Bosnia sejak tahun 1991. Semenjak pengadilan tersebut didirikan, sudah 84 orang yang dituduh melakukan pelanggaran-pelanggaran berat dan 20 orang di antaranya sudah ditahan. Bahkan pengadilan ini sudah mengeluarkan tuduhan melakukan kejahatan kemanusiaan dan melanggar hukum atau kebiasaan perang terhadap pemimpin-pemimpin terkenal seperti Slobodan Milosevic (Presiden Republik Federal Yugoslavia), Milan Milutinovic (Presiden Serbia), Nicola Sainovic (Deputi Perdana Menteri Yugoslavia), Dragoljub Ojdanic (Kepala Staf Tentara Yugoslavia) dan Vlajko Stojiljkovic (Menteri Dalam Negeri Serbia). Slobodan Milosevic sendiri berhasil ditangkap pada 29 Juli 2001. Namun kendala yang dihadapi oleh pengadilan ini adalah tidak kooperatifnya Negaranegara sekitar Yugoslavia dalam menyerahkan para terdakwa yang berada di Negara mereka, seperti Serbia dan Herzegovina. 50 2. International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)
50
Dr. Boer Mauna. Op. cit. Halaman 264
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan ini didirikan melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 955 tanggal 8 November 1994 dan bertempat di Arusha, Tanzania terkait dengan terjadinya pelanggaran serius hukum humaniter di Rwanda. Tugas dari pengadilan ini adalah meminta pertanggungjawaban para pelaku pembunuhan massal sekitar 800.000 orang Rwanda dari suku Tutsi dalam kurun waktu antara 1 Januari 1994 hingga 31 Desember 1994. ICTR sendiri memiliki yurisdiksi meliputi: kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran terhadap pasal 3 konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977. ICTR sendiri mulai menjatuhkan hukuman pada tahun 1998 terhadap Jean-Paul Akayesu, mantan walikota Taba, dan juga Clement Kayishema beserta Obed Ruzindana yang kedua-duanya telah dituduh melakukan pemusnahan ras. 51 Tidak seperti ICTY yang tidak mendapatkan dukungan penuh dari beberapa Negara tetangganya, ICTR justru mendapat dukungan penuh dari Negara-negara Afrika lainnya dan Negara-negara Eropa dalam mempercepat penuntutan kasus ini.
II.8.2.3.
Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal)
Pengadilan Campuran adalah sebenarnya adalah pengadilan yang pembentukannya bertujuan untuk menutupi ketidaksempurnaan pengadilan internasional di satu sisi dan pengadilan nasional di sisi lain. Dalam hal ini pengadilan tersebut menggabungkan hukum, hakim, dan jaksa nasional untuk
51
Ibid. Halaman 266
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan sumber daya kehakiman dan sistem hukum, di samping juga memasukkan personal dan norma internasional, memberi legitimasi, sumbersumber, pengalaman, dan pengetahuan teknis. 52 Pengadilan ini juga mencoba menjawab gap antara pengadilan internasional dan pengadilan nasional dan internasional. Seperti telah diketahui, masalah utama pengadilan nasional adalah kurangnya kredibilitas dan inkompeten, sementara pengadilan internasional memiliki keterbatasan dalam hal kewenangan dan mandat. 53 Hingga tahun 2001, telah ada empat pengadilan campuran yang didirikan oleh PBB yaitu: 1. Sistem Pengadilan United Nations Mission in Kosovo (UNMIK) atau The UNMIK court system in Cosovo di Kosovo Didirikan oleh PBB dengan melibatkan UNMIK melalui Regulasi UNMIK 1999/24 dan Regulasi 2001/9 pada tanggal 15 Mei 2001. Pengadilan ini sendiri dibentuk setelah usainya perang antara Yugoslavia dengan North Atlantic Treaty Organisation (NATO) dan kemudian Dewan Keamanan PBB menyetujui suatu resolusi yang menyatakan bahwa Kosovo akan dipimpin oleh Misi PBB di Kosovo hingga status wilayah ini ditentukan. 54 Dalam hal ini hakim internasional memainkan peranan penting dalam melindungi hakim lokal dari tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh yang tidak semestinya, mencegah politisasi proses peradilan dan memberi kontribusi berupa kepercayaan yang lebih besar dari masyarakat kepada
52
Ibid. Halaman 12
53
Andrey Sujatmoko. Op. cit. Halaman 977 Ibid. Halaman 978
54
Universitas Sumatera Utara
pengadilan. Kesemuanya itu dilakukan dengan tidak bertentangan dengan standar HAM internasional, dan hukum lokal juga aplikatif untuk kasus tersebut. Selain itu, pengadilan campuran juga memberi kesempatan untuk bertukar ide dan pengalaman-pengalaman terbaik di antara hakim-hakim dengan sistem hukum yang berbeda-beda. 55 2. Panel Khusus atau Special Panels di Timor Leste Dibentuk pada tahun 2000 dengan diawali dengan pembentukan The United Nations Transitional Admnistration in East Timor (UNTAET) oleh PBB berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Bab VII Piagam PBB melalui Resolusi Nomor 1272 Tahun 1999. Keberadaan UNTAET sendiri memungkinkan rakyat Timor Leste untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum setelah berada di bawah okupasi Indonesia sejak tahun 1975. Special Panels sendiri berkedudukan di pengadilan distrik Dili yang terdiri dari 2 pengadilan untuk tingkat pertama dan satu pengadilan banding. Yurisdiksi pengadilan ini meliputi: genocide, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, pembunuhan, kejahatan seksual, dan penyiksaan. Khusus mengenai kejahatan serius berupa pembunuhan dan kejahatan seksual, Special Panels hanya memiliki yurisdiksi apabila kejahatan tersebut dilakukan dalam periode 1 Januari 1999 hingga 25 Oktober 1999, sedangkan ratione loci-nya meliputi seluruh wilayah Timor Leste. 56
55
Alberto Costi. “Hybrid Tribunal As A Valid Alternative To International Tribunals For The Prosecution of International Crimes”. http://www.victoria.ac.nz/nzcpl/HRRJ/vol3/costi.pdf . Halaman 11. Diakses Tanggal 3 Maret 201. Halaman 14. Diakses 3 Maret 2010 56 Andrey Sujatmoko. Op. cit. Halaman 980
Universitas Sumatera Utara
Dalam mengadili kasus-kasus tertentu Panel Khusus memiliki yurisdiksi universal. Dalam melaksanakan yurisdiksinya Special Panels menerapkan hukum yang berlaku di Timor Leste sebelum tanggal 25 Oktober 1999 seperti KUHP, Regulations dan Directive UNTAET, serta ketentuanketentuan hukum internasional seperti Konvensi Jenewa dan Statuta Roma. Adapun majelis hakim yang bertugas di Special Panels terdiri dari dua hakim internasional dan satu hakim lokal. Mandat Special Panels sendiri telah berakhir tanggal 20 Mei tahun 2005 dengan berhasil membawa 84 terdakwa yang dinyatakan bersalah. 57 3. Special Court for Sierra Leone (SCSL) di Sierra Leone 58 Pengadilan ini dibentuk atas permintaan pemerintah Sierra Leone kepada Sekretaris Jenderal PBB. Permintaan tersebut dinyatakan oleh Presiden Sierra Leone Ahmad Tejan Kabbah dan kemudian juga ditegaskan oleh menteri kehakiman Sierra Leone. Selanjutnya pada 14 Agustus 2000, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi nomor 1315 yang meminta agar Sekretaris Jenderal PBB bernegosiasi dengan pemerintah Sierra Leone untuk membentuk pengadilan campuran. Perjanjian antara PBB dan pemerintah Sierra Leone untuk membentuk pengadilan campuran dinyatakan dalam suatu perjanjian bilateral yang ditandatangani pada tanggal 16 Januari 2002 di Freetown. Setelah itu, Parlemen Sierra Leone meratifikasi perjanjian
57
Ibid. Halaman 981
58
Ibid halaman 981-983
Universitas Sumatera Utara
(agreement) dan memberlakukan undang-undang ratifikasinya (enacted implementing legislation). Adapun SCSL bekerja berdampingan dengan pengadilan nasional Sierra Leone. Kedua sistem pengadilan memiliki yurisdiksi yang sama (concurrent jurisdiction), namun SCSL memiliki kedudukan lebih tinggi (primacy) manakala SCSL secara formal meminta suatu pengadilan nasional Sierra Leone untuk menyerahkan kompetensinya kepada SCSL. SCSL sendiri memiliki kamar 1 dan kamar untuk banding dengan rasio hakim 2:1 untuk hakim internasional berbanding dengan hakim lokal. Yurisdiksi pengadilan ini sendiri terdiri atas: kejahatan kemanusiaan, pelanggaran terhadap pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan II Tahun 1977, pelanggaranpelanggaran serius lainnya terhadap hukum humaniter internasional, kejahatan-kejahatan seksual terhadap anak perempuan, kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan penghancuran harta benda secara sengaja. Selain itu, SCSL juga menggunakan ketentuan-ketentuan hukum nasional Sierra Leone seperti “The Prevention of Cruelty to the Children Act tahun 1926, Malicious Damage Act tahun 1861. Demikian pula dalam hal hukum acara dan pembuktian ICTR serta KUHAP Sierra Leone tahun 1965. SCSL memiliki yurisdiksi (temporal jurisdiction) dalam mengadili orangorang yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran serius hukum humaniter internasional dan hukum Sierra Leone yang dilakukan di Wilayah Sierra Leone sejak tanggal 30 November 1996. Mandat SCSL sendiri telah berakhir pada pertengahan tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
4. The Extraordinary Chambers di Kamboja Pengadilan ini didirikan pada tahun 2003 berdasarkan perjanjian antara PBB dengan pemerintah Kamboja (Agreement between the UN and the government of Cambodia) yang ditandatangani pada tanggal 6 Juni 2003. Chambers juga didirikan atas berdasarkan Law on the Establishment of the Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (NS/RKM/081/2/12), Promulgated on 12 August 2002, as amended on 27 October 2004. Pengadilan campuran ini berkedudukan di Phnom Penh. Pengadilan ini dibentuk dengan adanya peristiwa pembantaian atas hampir seperempat penduduk Kamboja di bawah pemerintahan Khmer Merah. Pada tahun 1994, Parlemen Kamboja mengadopsi hukum yang melarang Khmer Merah untuk berorganisasi namun tetap memberikan kekebalan bagi anggota-anggota Khmer Merah dari penuntutan pidana. Pengadilan ini juga dikenal sebagai pengadilan campuran yang memiliki hakim nasional terbanyak dibandingkan pengadilan campuran sebelumnya (rasio hakim nasional : hakim internasional di Chambers adalah 3 : 2 sedangkan untuk chambers tingkat banding adalah 4 : 3). Yurisdiksi dari pengadilan ini sendiri terbatas dari segi waktu dan cakupan, pengadilan hanya dapat menuntut kejahatan yang terjadi antara kurun waktuu 17 April 1975 hingga 6 Januari 1979, yaitu hari terakhir sebelum penggulingan rezim Pol Pot, kemudian juga, hanya pemimpin-pemimpin senior mereka yang berasal dari Kamboja Demokratik dan yang paling bertanggung jawab atas kejahatan tersebut yang dapat dituntut. Dalam hal ini Kamboja juga membuat satu terobosan baru
Universitas Sumatera Utara