BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DIPLOMATIK DAN PELAKSANAAN HUKUM DIPLOMATIK
A.
Sejarah Diplomatik Dewasa ini, perkembangan teknologi semakin pesat yang memacu semakin intensifnya interaksi antarnegara dan antarbangsa di dunia. Meningkatnya interaksi tersebut telah mempengaruhi perkembangan ekonomi, politik, sosial, budaya dengan negara lain. Interaksi dengan negara lain disebut dengan hubungan Internasional. Sejarah mencatat bahwa kegiatan hubungan diplomatik telah dikenal sebelum dibuatnya ketentuan-ketenatuan mengenai hubungan diplomatik ini. Pada zaman India kuno dikenal ketentuan-ketentuan antara raja-raja maupun dengan kerajaan. Hukum pada zaman itu mengenalnya dengan nama duta.18 Pengiriman duta-duta kenegara lain telah dilakukan sejak Zaman India Kuno dan sudah dipraktekkan oleh banyak negara asia dan negara arab sebelum negara eropa mengenalnya. Sejarah ini salah satunya ditulis oleh Mohammad Jamin dalam karangannya yang berjudul: Hukum Duta Indonesia dalam Zaman Madjapahit 1293-1525. Dikatakan pada tahun 1286, Maharaja Tiongkok Kubilaikan mengutus duta-dutanya ke Singosari, namun Kerajaan Singosari tidak menerima baik kedatangan duta-duta
18
Ali Sastromidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit: Bhratara, Djakarta,1971, hal 165. Baca pula, B.Sen, A Diplomatic’s Handbook of International Law and Practice, 2nd, ed, Martinus Nijhoff Publisher, The Hague/Boston/London, 1979, hal 14.
Universitas Sumatera Utara
tiongkok yang menyebabkan adanya permusuhan antara tiongkok dan singosari. Di benua eropa, mengenal pengiriman duta ini setelah abad ke 16, dimana diatur menurut hukum kebiasaan, namun hukum kebiasaan internasional jelas mengatur masalah hubungan diplomatik ini sejak abad 19, sebagai bukti pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai dibicarakan pada Kongres Wina 1815, kemudian diubah dan disempurnakan oleh Protocol Aix-La-Chapelle 1818. Kongres Wina tersebut merupakan awal baru bagi ketentuan-ketentuan hubungan diplomatik, dimana menghasilkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip secara sistematis, klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik dan mengatur prosedur dan mekanisme diplomatik. Dengan demikian ketentuan-ketentuan hubungan diplomatik masih bersumber hukum kebiasaan internasional. Pada Kongres Wina 1815, raja-raja yang mengikuti kongres ini pun sepakat untuk menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai hukum kebiasaan tersebut dikodifikasikan kedalam hukum tertulis. Meskipun tidak banyak yang dapat dihasilkan kongres ini, dimana hanya dapat menghasilkan satu naskah, yang kemudian dilengkapi oleh Protocol aix-La-chapelle pada tanggal 21 November 1818. Namun terdapat upaya yang positif dari pengkodifikasian yang dilakukan, dimana ketentuan-ketentuan tentang
Universitas Sumatera Utara
hukum diplomatik tidak hanya hukum kebiasaan tetapi sudah menjadi hukum tertulis, sehingga lebih terjamin kepastian hukumnya.19 Pada tahun 1927, diupayakan untuk melakukan kodifikasi yang sesungguhnya terhadap hukum diplomatik dalam ketentuan tentang hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik. Namun dewan LBB menolak atas hasilhasil yang telah dicapai oleh komisi ahli, dengan alasan belum waktunya untuk merumuskan ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang dianggap sangat kompleks. Sehingga, dewan LBB memutuskan tidak memasukkan masalah tersebut kedalam agenda konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada tahun 1930 untuk kodifikasi Hukum Internasional. disamping itu, pada tahun 1829 di Havana Organitation America State(OAS) melakukan pertemuan yang menghasilkan konvensi dengan nama Convention on Diplomatic Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh 12 negara Amerika, kecuali Amerika Serikat yang hanya menandatangani namun tidak meratifikasinya, dengan alasan menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suara politik. Dikarenakan konvensi ini bersifat regional dan tidak menyeluruh membuat konvensi yang dihasilkan
tidaklah
begitu
efektif
untuk
diangkat
kepermukaan
internasional.20
19
Law, 2
nd,
Baca, Gerhard von Galhn, Law Among Nations, An Introduction to public International ed,(New York:Mac Millan Publishing Co, Inc, 1970), hal 376. 20 Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi, (Bandung:BP.IBLAM,2004), hal 10.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB atas amanat Pasal 13 Piagam PBB.21Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topik pembahasan yang didalamnya juga termasuk topik hubungan diplomatik terutama mengenai hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun topik mengenai hubungan diplomatik ini bukanlah hal yang utama dibahas sehingga tidak mendapatkan hasil yang maksimal. Pada saat terjadi perang dingin sering terjadinya pelanggaran akan hukum diplomatik yang membuat delegasi Yugoslavia mengusulkan kepada Majelis Umum PBB agar Komisi Hukum Internasional
memberikan
prioritasnya
untuk
melakukan
kodifikasi
mengenai hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Pada tahun 1954, komisi mulai membahas masalah-masalah ketentuan tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik, dan sebelum akhir 1959 Majelis Umum melalui Resolusi 1450(XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan koferensi internasional guna untuk membahas masalahmasalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Konferensi tersebut dinamakan “the United Nations Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di Wina pada 2 Maret-14 April 1961. Kota Wina ditunjuk kembali dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. Konferensi
21 Panitia Hukum Internasional tersebut dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 174/II/1974, beranggotakan para ahli hukum terkemuka dari pelbagai bangsa dan berbagai system hukum di dunia. Lihat buku Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional: Menurut Konvensi Wina 1969, penerbit CV. Armico, edisi pertama, Bandung, 1985, hal 1. Et seq
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan instrument-instrument, yaitu : Vienna Convention on Diplomatic
Relation,
Optional
Protocol
Concerning
Acquisitionof
Nationality, Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes. Diantara ketiga instrument tersebut Konvensi Wina tentang hubungan Diplomatik (Convention on Diplomatic Relations), 18 April 1961 merupakan yang terpenting.22 Konvensi Wina 1961 mendapatkan respon baik dari negara-negara, dimana konvensi ini diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu negara yang abstain. Pada tanggal 18 April 1961, wakil dari 75 negara menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun kemudian tepatnya tanggal 24 April 1964, Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik resmi dinyatakan mulai berlaku. Kini, hampir setiap negara didunia telah meratifikasi konvensi tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU no. 1 Tahun 1982 pada januari 1982. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina tersebut digaris bawahi oleh Mahkamah Internasional dalam kasus United States Diplomatic and Consular Staff in Teheran melalui ordonansinya tertanggal 15 Desember 1979.23 Konvensi Wina inilah merupakan kode Diplomatik yang sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan tetap berlaku dalam konvensi ini, namun perannya disini hanyalah sebagai tambahan. Hal ini tertuang dalam alinea terakhir mukadimahnya: “… that
22 23
Syahmin, AK,S.H, M.H, Op. Cit, hal 16. Baca, Laporan Mahkamah Internasional (ICJ. Report,1979, hal 19).
Universitas Sumatera Utara
the rules of customary international law should continue to govern question not expressly regulated by the provisions of the present Convention.” Hukum diplomatik telah mencatat kemajuan yang pesat selain Konvensi
Wina
1961,
hukum
diplomatik
disempurnakan
dengan
diadakannya Konvensi New York 1969, ditambah protocol. Tercatat juga dilakukannya sebuah pertemuan yang membicarakan tentang kewajiban yang penting bagi negara penerima untuk mencegah setiap serangan yang ditujukan kepada seseorang, kebebasan dan kehormatan para diplomat, serta untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik. Dalam sidangnya yang ke24 pada 1971, dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan terhadap misi diplomatik, termasuk juga para diplomatnya, dan untuk menghukum para pelanggarnya, maka Majelis Umum PBB meminta Komisi Hukum Internasional untuk membuat draft tentang pencegahan dan penghukuman kepada para pelanggar yang melakukan kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi secara hukum internasional. Konvensi New York 1973 pun dilakukan untuk membahas mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan
terhadap
orang-orang
yang
dilindungi
menurut
hukum
Internasional, dan diterima dan disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada 14 Desember 1973, konvensi ini kemudian diberlakukan pada 2 februari 1977, dan tercatat sekitar 79 negara sudah menjadi anggotanya.24 Pengembangan hukum diplomatik pun semakin disempurnakan dengan adanya Konvensi Wina 1975. Namun Konvensi Wina 1975 tidaklah
24
Syahmin Ak,S.H,M.K, Op.Cit, hal 19.
Universitas Sumatera Utara
seperti Konvensi Wina 1961. Komisi Hukum Internasional menyetujui beberapa draft artikel konvensi ini yaitu mengenai kekebalan, keistimewaan, dan fasilitas diplomatik bagi perwakilan tetap, termasuk kedudukan, kekebalan, keistimewaan, dan kemudahan bagi perwakilan peninjauan tetap, serta delegasi ke berbagai badan dan konferensi. Konvensi ini terdiri dari 92 pasal dan dihadiri oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3 organisasi antar pemerintah, dan 7 wakil dari Organisasi Pembebasan Nasional yang diakui oleh Organisasi Persatuan Afrika atau Liga Arab. B.
Sumber Hukum Diplomatik dan Pelaksanaan Hukum Diplomatik. A. Sumber Hukum Diplomatik Berbicara tentang sumber hukum diplomatik, maka tidak akan terlepas dari hukum internasional publik. Hukum Internasional Publik diibaratkan seperti pohon dan hukum diplomatik merupakan cabangnya. Untuk itu, sumber hukum diplomatik tidak dapat dipisahkan dari ketentuan pasal 38 (1) Statuta ICJ yang telah diakui oleh para ahli hukum internasional sebagai sumber hukum internasional yang berbunyi sebagai berikut.25 “ Bagi Mahkamah Internasional yang fungsinya memutuskan perkara-perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan hukum internasional, akan menetapkan: 1) Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang umum maupun khusus yang secara tegas mengatur dan diakui oleh negara-negara pihak; 2) Kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktik umum yang diterima sebagai hukum;
25
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I:Bagian Umum, Penerbit PT Binacipta, Bandung, 1982, hal 107.
Universitas Sumatera Utara
3) Prinsip-prinsip Hukum Umum yang diakui oleh bangsabangsa beradab;dan 4) Sesuai ketentuan-ketenatuan pasal 59, keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum ternama dari berbagai bangsa, sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.” Selain hukum internasional publik, hukum diplomatik juga memiliki kekhususan tersendiri. Kekhususan hukum diplomatik ini terdiri dari beberapa bentuk: 1.
The Final Act of the Congress of Vienna (1815) on diplomatic ranks;
2.
Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocols (1961), beserta: a)
Vienna Convention on Diplomatic Relations;
b)
Optional Protocol Concerning Acquisition of nationality;
c)
Optional Protocol Concerning the Complusory Settlement of Disputes.
3.
Vienna Convention on Consular Relations and optional protocol (1963), beserta: a)
Vienna Convention on Consular Relations;
b)
Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality;
c)
Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
4.
Convention on Special Mission and Optional Protocol (1969) beserta: a)
Convention on Special Mission;
Universitas Sumatera Utara
b)
Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
5.
Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internasionally Protected Persons, Including Diplomatic Agents (1973).
6.
Vienna Convention on the Representation of States in their Relations with International Organization of a Universal Character (1975). Selain konvensi-konvensi diatas, terdapat juga resolusi-resolusi
dan deklarasi yang dikeluarkan oleh organ-organ PBB. Namun masalahnya apakah resolusi dan deklarasi tersebut dapat dikatakan suatu hukum, hal ini dikarenakan resolusi maupun deklarasi tidak memiliki kekuatan mengikat dan berkekuatan hukum karena tidak menciptakan hukum (law making treaties). Di lain pihak, tampaknya kini berkembangnya kecendrungan “teori” dari hasil kesepakatan sampai kepada konsensus yang menjadi dasar bagi negara-negara penerimaan beban kewajiban-kewajiban hukum.26 Resolusi dan deklarasi memang masih belum jelas batasannya dan daya pengikatnya. Resolusi yang dihasilkan juga tidak dapat menjadikan, merumuskan, dan mengubah resolusi itu menjadi hukum internasional. namun resolusi-resolusi ini dapat menjadi sumbangan 26
Alasan yang mendukung kecendrungan ini adalah dikemukakan oleh Richard A.Falk. “On Quacy Legislative Competence of the General Assembly”, dalam AJIL, 1966, hal 782, et seq; Kemudian bandingkan pula dengan pendapat Jorge Castaneda, dalam Legal Effects of United Nations Resolutions, New York, Columbia University Press, 1970, hal 791.
Universitas Sumatera Utara
yang ikut mengisi hukum internasional apabila resolusi ini mendapatkan dukungan secara universal, resolusi ini menciptakan hukum, dan resolusi ini tercermin dari kebiasaan umum yang diakui oleh negara-negara yang berdaulat. Salah satu contoh Resolusi Majelis Umum 3166 yang memuat “konvensi mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap orang-orang yang secara internasional dilindungi, termasuk para pejabat diplomatik” (Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against internationally protected persons, including diplomatic agents 1973).27 Dengan hal-hal diatas menjadikan sebuah langkah resolusi-resolusi tersebut menjadi suatu aturan baru, terutama apabila resolusi tersebut merupakan sumber dari kebiasan internasional yang dapat mendorong perkembangan kemajuan hukum internasional dalam usaha kodifikasi aturan-aturan kebiasaan internasional. Kebiasaan internasional juga merupakan bagian dari sumber hukum diplomatik, walaupun kebiasaan internasional ini tidak terkodifikasi secara tertulis, namun banyak negara-negara yang mematuhi kebiasaan internasional ini banyaknya negara yang mematuhi kebiasaan internasional namun juga ada negara yang tidak menerima kebiasaan internasional sebagai suatu hukum dikarenakan kebiasaan internasional tidak secara tertulis sehingga hukumnya tidak begitu mengikat. 27
Resolusi disetujui secara consensus oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Desember 1973, (AJIL) 1978, hal 377.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip-prinsip hukum umum dan keputusan pengadilan juga merupakan sumber hukum diplomatik. Khusus mengenai keputusan pengadilan ini pada hakikatnya tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali pihak-pihak yang bersangkutan.sebagai contoh, enam keputusan Mahkamah Internasional pada 24 Mei 1980, dalam kasus yang menyangkut staf perwakilan diplomatik dan konsuler Amerika Serikat di Teheran, yang disetujui oleh 13 suara dan 2 suara menolak. Hal-hal diatas inilah yang menjadi sumber hukum diplomatik untuk mengatur berjalannya hubungan diplomatik yang berada di dunia. B. Pelaksanaan Hukum Diplomatik Tahun 1980-an tindakan terorisme cukup menonjol. Hal ini dapat mengancam para diplomat-diplomat asing didalam menjalankan tugastugasnya. Tercatat empat ratus terorisme yang ditujukan kepada diplomat dan konsuler yang meliputi enam puluh negara, tindakantindakan yang ditimbulkan para teroris ini tercatat menelan banyak korban dan kerusakan-kerusakan harta benda dan bangunan pada perwakilan asing. Dengan situasi membahayakan yang telah terjadi membuat Majelis Umum PBB membuat tindakan yang tegas dan langkah cepat agar tidak terjadi pelanggaran hukum diplomatik lagi. Majelis Umum PBB pun mendesak kepada setiap anggotanya untuk mematuhi setiap peraturan-peraturan hukum diplomatik dan konsuler serta menghimbau bagi negara-negara yang belum meratifikasi hukum diplomatik untuk segera meratifikasi hukum diplomatik.
Universitas Sumatera Utara
Majelis
Umum
PBB
juga
menghimbau
apabila
terjadi
pelanggaran hukum diplomatik maka kepada negara-negara yang bersangkutan diminta untuk melaporkannya kepada sekjen PBB. Dengan maksud agar PBB dapat turut campur menangkap dan mengadili para pelanggar dan mengambil usaha-usaha agar tidak terjadi pelanggaran yang serupa. Di samping itu negara-negara yang menjadi korban peristiwa tersebut diminta untuk memberikan laporan tentang hasil-hasil terakhir mengenai proses pradilan local (exhaustion of local remedies).28 Untuk mengetahui pelaksanaan hukum diplomatik, penulis akan mengulas cara Indonesia dalam menyingkapi kasus pelanggaran diplomatik yang ada. Kasus pengusiran seorang agen diplomatik dari kedutaan besar USSR untuk Indonesia di Jakarta yaitu letkol Sergei P. Egorov, atas tindakan yang dilakukannya pemerintah Indonesia melakukan tindakan Deportasi. Tiga pokok yang menjadikan alasan Indonesia melakukan tindakan deportasi yaitu tindakan spionisme (memata-matai), mencuri dokumen rahasia negara, dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Sergei egorov atas tindakannya dilakukan penahanan atas dirinya namun dikarenakan ia berstatus sebagai diplomatik maka ia dilepaskan dari tahanan. Sesuai pasal 29 Konvensi Wina 1961, Indonesia tidak dapat menangkap maupun menahannya, bukan hanya itu Indonesia juga 28
Syahmin AK, Hukum Internasional Publik, jilid 3, Edisi pertama, penerbit PT. BInacipta, Bandung, 1996, hal 361.
Universitas Sumatera Utara
harus melindungi diplomatik tersebut dari serangan balik terhadap dirinya maupun kehormatannya. Sebagai agen diplomatik dia bebas dari yuridiksi pidana, perdata, maupun administrasi negara Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia tidak dapat menangkap dan mengadilinya di Indonesia, namun Indonesia dapat menyatakan persona non-grata ataupun menyuruh negara pengirim untuk menarik diplomatnya meninggalkan Indonesia. Mengenai kasus diplomatik, maka kasus menarik lainnya yaitu penolakan atau persona non-grata calon duta besar RI untuk KBRI di Canberra, Australia, yaitu letjen H.B.L.Mantiri. Pemerintah Australia menyatakan alasan kondisi hak-hak asasi manusia disuatu negara, hal ini berkaitan dengan peristiwa tragedi berdarah di Dili pada 12 November 1991 yang dinilai merupakan pelanggaran HAM. Kaitannya dengan letjen H.B.L. Mantiri dikarenakan mantan pangdam meliputi provinsi timor-timur, pada waktu terjadi kejadian, yang mengakibatkan sejumlah korban meninggal. Meskipun secara pribadi Mantiri tidak terlibat langsung namun tetap dianggap bertanggung jawab untuk wilayah Timor Timur. Hal lain yang ikut memperburuk situasi dan kondisi pencalonan Dubes RI untuk Australia adalah hasil wawancara yang dilakukan Mantiri.
Dalam
wawancara
Mantiri
mengatakan:
“…terjadinya
bentrokan antara para pengunjuk rasa dengan pasukan pengamanan yang memakan korban lebih dari lima puluh orang di Dili setahun sebelumnya dianggap sebagai hal yang wajar.” hal lain yang dikatakan
Universitas Sumatera Utara
Mantiri yang mengundang pro dan kontra di Australia, yaitu: “…kita tidak menyesali apa-apa.Apa yang terjadi sudah semestinya..mereka menentang kita, berdemonstrasi, dan meneriakkan yel-yel anti pemerintah. Untuk saya ini sama dengan pemberontakan, karena ini kita mengambil tindakan yang tegas.” Mendengar hasil wawancara H.B.L.Mantiri Menlu Australia pun bereaksi dan berkomentar agar Letjen H.B.L.Mantiri setibanya di Australia meminta maaf dan menyatakan bahwa masyarakat Australia sulit menerima pengangkatan itu. Letjen H.B.L Mantiri menolak nasehat dari Menlu Australia untuk meminta maaf. Melihat kondisi tersebut Menlu RI yang pada saat itu Ali Alatas pun mengumumkan bahwa pemerintah Indonesia memutuskan tidak melanjutkan pencalonan Letjen H.B.L Mantiri sebagai Dubes RI untuk Canberra dan post Duta Besar di Canberra untuk sementara dikosongkan. Kasus lain tentang Diplomatik terjadi pada 7 Februari 1994 mengenai tertangkapnya dua orang staf Kedutaan Besar Amerika Serikat, Steven Joseph Bryner dan Peter M. Karajin atas kasus pengedaran dan penjualan narkoba, dengan barang bukti sebanyak 160 butir ekstasi. Dari hasil yang didapat kedua orang tersebut dilepaskan dari jeratan hukum Indonesia dikarenakan status diplomat keduanya. Atas kasus ini Pemerintah Amerika meminta agar kedua staf Kedutaan Besar Amerika Serikat tersebut diadili di negara mereka. Atas permintaan pemerintah Amerika maka Indonesia tidak perlu menyuruh
Universitas Sumatera Utara
agar pemerintah amerika menanggalkan hak kekebalan dan Istimewa dan membiarkan Amerika yang mengadili diplomatnya tersebut. Menurut berita terakhir mereka telah diadili dan dijatuhi hukuman masing-masing 7 tahun penjara, dan mereka harus melakukan kerja paksa. Melihat kasus diatas dapat kita ketahui bahwa kekebalan diplomatik itu mempunyai sifat fungsional, artinya setiap diplomat menikmati kekebalan demi kelancaran pelaksanaan fungsi misi diplomatik negaranya secara efisien di negara penerima dan bukan untuk keuntungan pribadi. Dapat kita lihat negara penerima juga memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengamanan pada para diplomatik beserta keluarganya dan termasuk kantor perwakilannya dari campur tangan yang tidak sah. Dengan hak kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki para diplomatik bukan berarti para diplomat dapat melanggar peraturan negara penerima, sesuai dengan Konvensi Wina 196129, yaitu tanpa mengurangi kekebalan dan keistimewaan diplomatik mereka, merupakan kewajiban bagi semua orang yang menikmati kekebalan dan keistimewaan untuk menghormati peraturan-peraturan perundang-undangan
negara
penerima.
Bahkan
mereka
juga
berkewajiban untuk tidak mencampuri masalah-masalah dalam negeri tuan rumah.
29
Pasal 41 Konvensi Wina 1961 tentang hubungan Diplomatik.
Universitas Sumatera Utara
C.
Pengangkatan dan Penerimaan Kepala Perwakilan Diplomatik. Pengangkatan seorang Duta Besar biasanya dilakukan atas nama kepala negara. Calon-calon Duta Besar dipilih oleh Mentri Luar Negeri kepada Kepala Negara untuk mendapatkan persetujuannya. Pemilihan Duta Besar berbeda disetiap negara. Di Indonesia, menurut ketentuan pasal 29 UU No.37/1999 tentang hubungan luar negeri, Duta Besar adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara. Hal ini dikarenakan Duta Besar merupakan wakil pribadi presiden di suatu negara atau organisasi internasional. dalam hal
pengangkatan
walapun presiden berperan
mengangkat namun presiden juga mempertimbangkan Dewan Perwakilan Rakyat. Bila penunjukan calon Duta Besar telah diputuskan maka namanya akan dikirimkan kepada pemerintah negara penerima untuk mendapatkan agreement. Permintaan agreement kepada pemerintah negara penerima dilakukan secara konfidensial mengingat kemungkinan ditolaknya calon yang diajukan. Negara penerima berhak menolak seorang calon diplomat, apakah didasarkan atas perilaku maupun kebijakan profesionalnya di masa lalu, memungkinkan apabila calon diplomat mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda dengan negara penerima dan dalam hal ini calon diplomat dapat ditolak negara penerima. Alasan lain apabila calon diplomat melakukan tindakan-tindakan maupun kegiatan-kegiatan yang antinegara penerima. Bila calon diplomat ditolak, maka negara penerima tidak perlu
Universitas Sumatera Utara
memberikan alasan penolakan secara resmi, namun hanyalah isyarat secara halus. Hal ini dilakukan untuk menghindari menyinggung kehormatan negara pengirim. Beberapa contoh penolakan calon diplomat yang terjadi:30 1.
Penolakan Iran terhadap Walter Cutler sebagai calon Duta Besar Amerika Serikat pada 1979, yang dituduh mencampuri urusan dalam negeri Zaire saat bertugas di negara tersebut.
2.
Penolakan Kuwait terhadap Brandon H.Grove, sebagai calon Duta Besar Amerika Serikat pada Agustus 1983 karena sebelumnya bertugas di Israel sebagai konsul jenderal di Jerusalem, kota yang dituntut Israel sebgai ibukotanya.
3.
Penolakan Australia terhadap H.B.L.Mantiri, sebagai calon Duta Besar Indonesia, karena tragedi di Timor Timur akibat kasus yang menelan banyak korban dan menurut pemerintahan Australia melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
4.
Pada 1968 Raja Faisal menarik agreement atas pengangkatan Sir Horace Philip dari Inggris sebagai duta besar untuk Saudi Arabia dengan alasan dia keturunan Yahudi.
5.
Penolakan Yunani terhadap Mr. William Schaufele sebagai calon Duta Besar Amerika Serikat pada 1977, hanya karena ucapannya pada debat pendapat di Komite Luar Negeri Senat mengenai sengketa antara Yunani dan Turki tentang Lat Aegean.
30
Boer Mauna, Op.Cit, hal 483.
Universitas Sumatera Utara
Dari contoh-contoh diatas dapat kita lihat penolakan seorang calon duta besar mempunyai alasan yang berbeda-beda, tergantung bagaimana negara penerima melihat seorang calon duta besar. Bila terjadi penolakan, maka hal ini didasari latar belakang calon duta besar itu sendiri dan bukan karena sengketa negara. D.
Tugas dan Fungsi Pejabat Diplomatik Tugas seorang duta besar dan para diplomatik adalah mewakili kepentingan negara pengirim di negara penerima (akreditas) dan sebagai penghubung antar pemerintahan kedua negara. Di negara penerima, mereka mengikuti perkembangan yang terjadi serta melaporkannya ke negara pengirin dan juga bertugas untuk melindungi warga negaranya serta berbagai kepentingan warga negaranya di negara penerima. Tugas-tugas perwakilan diplomatik ini, sebagai berikut: The function of a diplomatik mission consist inter alia in: a) Representing the sending state in the receiving state (mewakili negara pengirim di negara penerima); b) protecting in the receiving state the interests of the sending state and of its nationals, withinthe limits permitted by international law (melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya
di
negara
penerima
dalam
batas-batas
yang
diperkenankan oleh hukum internasional); c) negotiating with the government of the receiving state (melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima);
Universitas Sumatera Utara
d) ascertaining by all lawful means conditions and developments in the receiving state, and reporting there on to the government of the sending state (memperboleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah negara pengirim); e) promoting friendly relations between the sending state and receiving state, and developing their economic, cultural and scientific relations (meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.31 Dewasa ini, teknologi semakin pesat membuat hubungan kerjasama antarnegara dan antarbangsa menjadi mudah. Banyaknya organisasi pemerintah maupun non pemerintah yang melakukan kerjasama dalam berbagai aspek untuk tercapainya tujuan yang bersama. Hal inilah mendorong para diplomatik dalam mengemban tugasnya bukan hanya untuk hal-hal regional tetapi juga hal-hal yang berhubungan internasional dan bukan hanya berhubungan dengan hal bilateral melainkan bersama dengan negara pengirim bertukar pemikiran untuk mengatur masalah global yang bersifat demi kepentingan umum. a) Representasi fungsi perwakilan para diplomatik dapat kita lihat dalam pasal 3 Konvensi Wina 1961 yaitu “mewakili negara pengirim di negara
31
Pasal 3 Konvensi Wina 1961
Universitas Sumatera Utara
penerima”. Namun kata mewakili disini memiliki pengertian yang berbeda-beda dari para ahli hukum. Seperti dikemukakan oleh Gerhard von Glahn, “seorang wakil diplomatik itu selain mewakili pemerintah negaranya, ia juga tidak hanya bertugas dalam kesempatan serelonial saja, melainkan juga dapat melakukan protes atau mengadakan penyelidikan ‘inquires’ atau meminta penjelasan pada pemerintah setempat. Ia mewakili kebijaksanaan politik pemerintah negara pengirimnya.”32 Sementara menurut B.Sen, batasan mewakili adalah: “Fungsi yang utama dari seorang wakil diplomatik adalah mewakili negara pengirim di negara penerima dan bertindak sebagai saluran penghubung resmi antarpemerintah kedua negara. Bertujuan untuk memelihara hubungan diplomatik antarnegara yang menyangkut fasilitas komunikasi kedua negara. Pejabat diplomatik sering kali melaksanakan tugas, mengadakan perundingan, dan menyampaikan pandangan pemerintahnya di beberapa kesempatan yang penting dan berharga kepada pemerintah negara penerima.”33 b) Proteksi Sesuai dengan Konvensi Wina 1961 pasak 3 ayat 1,b Gerhard von Glahn mengartikan istilah proteksi disini adalah: “The diplomatic has a duty to look after the interest person and property of citizens of his own state in the receiving state. He must be ready to assist them, they get into trouble abroad, my have to take charge of their bodies and effects if
32 33
Gerhard von Glahn,Op.Cit, hal 385. B.Sen, Op.Cit, hal47.
Universitas Sumatera Utara
they happen to die on a trip amd in general act as a trouble shooter for his fellow nationals in the receiving state.”34 Dari apa yang coba dijelaskan Von Glahn disini tentang istilah proteksi adalah setiap perwakilan diplomatik memiliki fungsi untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan warga negaranya yang berada di negara penerima untuk itu sudah menjadi kewajiban negara penerima untuk melindungi para pejabat diplomatik di dalam menjalankan tugas-tugasnya dan bukan hanya negara penerima namun negara ketiga dimana para pejabat diplomatik in transit, negara ketiga harus melindungi para diplomatik tersebut. Perlindungan terhadap para pejabat diplomatik harus memiliki ketegasan, hal ini dikarenakan seringnya terjadi pelanggaran hukum diplomatik yang banyak menyerang para pejabat diplomatik, keluarga pejabat diplomatik serta gedung-gedung kedutaan. Terutama dengan banyaknya aksi terorisme yang banyak mengancam para diplomatik. Hal ini dikarenakan tugas-tugas yang dibebankan kepada para pejabat diplomatik serta misinya maka negara penerima disini memiliki tangggung jawab untuk melindungi para diplomatik yang berada di negaranya. c) Negosiasi Setiap antarnegara sering melakukan negosiasi dalam melakukan hubungan antarnegara. Negosiasi ataupun perundingan dapat dilakukan
34
Gerhard van Glahn, Op.Cit, hal 386.
Universitas Sumatera Utara
oleh dua negara atau lebih. Negosiasi ini merupakan salah satu misi diplomatik, seperti dalam ketentuan Konvensi Wina pasal 3 ayat 1c, “Negotiating with the government of the receiving state”. Diplomatik disini mewakili negaranya dalam melakukan perundingan di negara penerima. Oleh karena itu, dikatakan oleh Von Glahn: “The original reason for the rise of diplomats the intention of having a representative in a foreign capital compowered to negotiable agreements with the receiving states, was to “deal” directly with the foreign government.”35 Dengan demikian, maksud diadakan perundingan antarnegara beraneka ragam baik urusan ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan, serta untuk suatu perjanjian mengenai hal-hal penting bagi antarnegara bersahabat yang bersangkutan. d) Mengumpulkan Data dengan Cara yang Sah dan Melaporkannya kepada Pemerintah Negara Pengirim Para pejabat diplomatik memiliki kewajiban untuk melaporkan segala yang terjadi di negara penerima kepada negara pengirim. Hal ini dapat kita lihat dalam Konvensi Wina pasal 3 ayat 1d. perlunya pelaporan ini adalah berfungsi untuk memperlancar kepengurusan dan kepentingan negaranya di luar negeri. Seperti perkataan Von Glahn, yaitu: “The basic duty of a diplomat is to report to his government on political event, policies, and other related matters”. Tugas yang paling mendasar dari seorang pejabat diplomatik adalah melaporkan kepada
35
Ibid, hal 385
Universitas Sumatera Utara
pemerintahannya mengenai peristiwa politik, kebijakan-kebijakan, dan masalah lainnya yang sedang terjadi di negara penerima kepada pemerintahannya. Segala pelaporan yang dilakukan pejabat diplomatik adalah
sah
asalkan
dalam
membuat
laporan
tersebut
dalam
mengumpulkan datanya tidak dilakukan secara diam-diam atau disebut dengan ‘spionase’, atau data yang diperoleh secara tidak sah menurut hukum dan kebiasaan internasional. e) Meningkatnya Hubungan Persahabatan Antarnegara Fungsi seorang diplomatik salah satu yang terpenting adalah meningkatkan hubungan persahabatan antarnegara. Hal ini tegas ditulis dalam Konvensi Wina pasal 3 ayat 1e. dengan meningkatkan hubungan persahabatan dengan negara lain, hal ini dapat memudahkan didalam: 1)
Memadukan seluruh potensi kerja sama daerah agar tercipta sinergi dalam penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri (coordinator);
2)
Mencari terobosan baru (inisiator);
3)
Menyediakan data yang diperlukan (informatory);
4)
Mencari mitra kerja diluar negeri (mediator);
5)
Mempromosikan potensi daerah di luar negeri (promotor);
6)
Memfasilitasi penyelenggaraan Hubungan luar Negeri (fasilitator);
7)
Memberi perlindungan kepada semua kepentingan nasional di luar negeri (protector);
Universitas Sumatera Utara
8)
Mengarahkan kerjasama agar lebih efektif (supervisor).
Untuk itulah, para diplomatik sebagai wakil negara di luar negeri harus membangun persahabatan yang baik dengan negara penerima maupun negara lain.
Universitas Sumatera Utara