BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TUGAS DAN FUNGSI PERWAKILAN DIPLOMATIK DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA
1.1 Tugas dan Fungsi Perwakilan Diplomatik Kedutaan besar merupakan kantor dari perwakilan diplomatik dari negara pengirim di dalam wilayah negara penerima untuk mewakili negara pengirim di negara penerima, kedutaan besar digunakan oleh perwakilan diplomatik sebagai tempat untuk keperluan misi diplomatik di negara penerima. Dalam pembukaan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, dikatakan bahwa: “... peoples of all nations from the ancient time have recognized the status of diplomatic agents.”. Dari pernyataan tersebut dikatakan bahwa status dari perwakilan diplomatik sudah mendapat pengakuan dari bangsa-bangsa lain sejak zaman dahulu. Pada zaman itu hukum internasional modern belum dikenal, namun para duta besar diberikan perlindungan khusus dan hak-hak istimewa yang diatur oleh agama sehingga duta besar dianggap sebagai orang suci (sacrosanct) seperti yang diungkapkan oleh Oppenheim, yaitu: “even in antiquity, where no such law as the modern international law was known, Ambassaor everywhere enjoyed a special and certain privileges, although no by law but religion, Ambassadors looked upon as sacrosanct.”1
1
Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, 1986, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaanya, Angkasa, Bandung, h, 7.
Dengan perkembangan dari negara-negara Italia yang merdeka pada abad ke 14, kedutaan besar menjadi lebih bersifat resmi tetapi hubungan-hubungan yang dilakukan pada saat itu bukan mengenai masalah-masalah internasional melainkan hanya mengenai masalah gereja. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Charles. G. Fenwick, yaitu: “with the development of the independent Italian states in the fourteenth century, Embassies took on a more formal character, particularly in the case of the Papal representatives sent out from the Holy See to the various secular courts.”2 Adanya kebiasaan untuk mengirimkan perwakilan diplomatik tetap di negara penerima menjadi kebiasaan umum dalam abad ke 17, sebelumnya para utusan diplomatik negara pengirim di negara penerima hanya melakukan tugas tertentu dan hanya bersifat sementara. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh Norman. J. dan George. A. Lincoln dalam bukunya “The Dynamics of International Politic”, yaitu: “before there where nation states, diplomacy was conducted by Ambassadors appointed on an Ad hoc basis for particular negotiations.”3 Kemudian setelah perdamaian Westphalia 1948, perwakilan diplomatik diangkat sebagai duta tetap di negara penerima. Pengiriman duta tetap ini merupakan suatu keadaan yang baru, dimana biasanya yang dilakukan saat itu adalah pengiriman perwakilan yang tidak tetap. Sesuai dengan perkembangan negara-negara dan bertambahnya negara yang merdeka, maka diperlukan 2 3
Ibid, h. 8. Ibid.
perwakilan diplomatik yang permanen dan merupakan suatu hal yang biasa dalam hubungan internasional. Sesuai dengan perkembangan negara-negara dan bertambahnya jumlah negara baru yang merdeka sekarang ini, maka diperlukan perwakilan diplomatik yang permanen dan merupakan suatu hal yang biasa dalam hubungan internasional.
Fungsi suatu perwakilan diplomatik adalah melakukan serangkaian tugas yang terdiri dari representasi, negosiasi, observasi, proteksi dan pelaporan serta meningkatkan hubungan persahabatan. Oppenheim mengatakan bahwa pada pokoknya hanya terdapat tiga tugas dan fungsi yang wajib dilakukan perwakilan diplomatik, yaitu:4
a. Negosiasi (negotiation), sebagai wakil resmi negaranya agen diplomatik harus mengemukakan pandangan dan kepentingan negaranya terhadap situasi ataupun perkembangan dunia pada saat itu kepeda negara penerima; b. Observasi (observation), sebagai wakil resmi negaranya secara seksama mengamati atas segala kejadian di negara penerima yang mungkin dapat mempengaruhi kepentingan nasional negaranya bahkan dianggap perlu untuk melaporkan tentang hal-hal tersebut kepada pemerintah negaranya; c. Proteksi (protection), sebagai wakil negaranya memberikan proteksi terhadap warga negara dan kepentingan negaranya yang berada di wilayah negara
4
Syahmin AK, 1988, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, CV. Armico, Bandung, h. 52.
penerima, tidak saja terhadap diri pribadi warga negaranya melainkan juga meliputi harta benda serta kepentingan-kepentingan warga negaranya tersebut.
Ada pula yang berpendapat bahwa perwakilan diplomatik yang bertindak sebagai saluran diplomasi negaranya memiliki fungsi ganda, yaitu:5
a. Menyalurkan kepada pemerintah negara negeri
pemerintahnya
serta
penerima mengenai politik luar
menjelaskan
tentang
negaranya
untuk
menumbuhkan pengertian yang baik dan mendalam menegenai negaranya; b. Menyalurkan kepada pemerintah negaranya perihal politik luar negeri negara penerima dan melaporkan kejadian-kejadian serta perkembangan setempat dengan keterangan-keterangan keadaan setempat, penjelasan dan analisa yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentuk,an politik luar negeri negaranya.
Dalam Konvensi Wina 1961 disebutkan mengenai tugas dan fungsi dari perwakilan diplomatik dimana dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan:
The functions of diplomatic mission consist, inter alia, in: a. Representing the sending state in the receiving state; b. Protecting in the receiving state the interest of the sending state of its nationals, within the limits permitted by international law; c. Negotiating with the Government of the receiving state; d. Ascertaining by all lawfull means conditions and developments in the receiving state, and reporting thereon to the Government of the sending state; and 5
Ibid, h. 53.
e. Promoting friendly relations between the sending state and the receiving state, and developing their economic, cultural and scientific relations. Dalam ketentuan di atas dikatakan bahwa tugas-tugas perwakilan diplomatik antar lain adalah:
a. Mewakili negara pengirim di negara penerima; b. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional; c. Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima; d. Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan di negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah negara pengirim; e. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Selain tugas dan fungsi di atas perwakilan diplomatik dapat juga menjalankan tugas dan fungsi konsuler, seperti pencatatan tentang kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian serta masalah harta warisan dari semua warga negaranya di negara penerima. Hal ini berlaku apabila di negara di mana perwakilan diplomatik tersebut berada tidak terdapat perwakilan konsuler.
Pengaturan mengenai hubungan antar negara sampai kini terus menerus diadakan penyelidikan, pengkodifikasian secara seksama, rumusan-rumusan dari aturan-aturan atau kaedah-kaedah hukum kebiasaan internasional terutama mengenai tugas dan fungsi misi diplomatik terbukti masih tetap dipergunakan dengan baik sampai saat ini, hal ini tidak lepas dari pembukaan Konvensi WIna 1961 yang mengatakan bahwa: “Affirming that the rules of customary international law should continue to governquestion not expressly regulated by provison of present convention” Maksudnya adalah bahwa aturan-aturan hukum kebiasaan internasional yang tidak secara tegas dicakup oleh konvensi ini tetap berlaku.
Mulai berlakunya fungsi misi diplomatik dijelaskan dalam Pasal 13 Konvensi Wina 1961, yaitu:
1. The head of the mission is considered as having taken up his functions in the receiving state either when he presented his credentials or when he notified his arrival and a true copy of his credentials has been presented to the Ministry for Foreign Affairs of the receiving state, or such other ministry as may be agreed, in accordance with the practice prevalling in the receiving state which shall be applied in uniform manner; 2. The order of presentation of credentials or of true copy thereof will be determined by the date and time of arrival of the head of the mission. Dalam pasal di atas ditegaskan bahwa, yaitu:
1. Kepala misi diplomatik dianggap telah melakukan fungsinya di negara penerima, baik ketika wakil tersebut menyerahkan surat kepercayaannya
maupun pada saat ia memberitahukan kedatangannya dan menyerahkan salinan asli surat kepercayaannya kepada Kementerian Luara Negeri negara penerima, atapun kementerian lainnya yang ditunjuk sesuai dengan praktek yang berlaku di negara penerima yang akan diterapkan secara seragam; 2. Urutan penyerahan surat-surat kepercayaan atau salinan asli akan ditetapkan berdasarkan tanggal dan waktu tiba dari kepala misi yang bersangkutan.
Berakhirnya fungsi misi diplomatik pada umumnya akan berakhir karena habisnya masa jabatan yang diberikan kepadanya untuk menjalankan tugasnya. Menurut Starke berakhirnya misi diplomatik dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:6
1. Pemanggilan
kembali
wakil
itu
oleh
negaranya
(recalled)
karena
memburuknya hubungan antara kedua negara; 2. Permintaan negara penerima agar wakil yang bersangkutan dipanggil kembali; 3. Penyerahan paspor kepada wakil dan staf serta para keluarganya pada saat perang pecah antara kedua Negara yang bersangkutan; 4. Selesainya tugas misi; dan 5. Berakhirnya surat-surat kepercayaan yang diberikan untuk jangka waktu yang sudah ditetapkan.
6
Ibid, h. 63.
Dalam Pasal 43 Konvensi Wina 1961 ditegaskan mengenai berakhirnya fungsi misi diplomatik, yaitu:
The function of a diplomatic agent comes to an end, inter alia: a. On notification by the sending state to the receiving state that the function of the diplomatic agent has come to an end; b. On notification by the receiving state to the sending state that in accordance with paragraph 2 of Article 9, it refuse to recognize the diplomatic agent as a member of the mission. Maksudnya adalah tugas seorang pejabat diplomatik akan berakhir apabila:
a. Adanya pemberitahuan dari negara pengirim kepada negara penerima bahwa tugas pejabat diplomatik telah berkahir; b. Adanya pemberitahuan dari negara penerima kepada negara pengirim bahwa sesuai dengan ketentuan ayat 2 dari Pasal 9, negara penerima menolak untuk mengakui pejabat diplomatik tersebut sebagai seorang anggota misi diplomatik.
1.2 Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional Tanggung jawab negara dalam hukum internasional terus mengalami banyak perkembangan dari waktu ke waktu, negara mempunyai kedaulatan penuh atas orang, barang dan perbuatan yang ada di dalam daerah teritorialnya. Pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan
atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Hukum internasional telah mengatur bahwa di dalam kedaulatan, terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Karenanya negara dapat diminta pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakan atau kelalaiannya yang melawan hukum. Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional pada dasarnya dilatarbelakangi pemikiran bahwa tidak ada satu pun negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Tindakan yang diambil oleh satu negara dapat menimbulkan luka terhadap, atau penghinaan atas martabat atau kewibawaan negara lain. Kaidah-kaidah hukum internasional mengenai tanggung jawab negara menyangkut keadaan dan prinsip mana negara yang dirugikan berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya. Tanggung jawab negara telah dinyatakan secara tegas dibatasi pada pertanggungjawaban
negara-negara
bagi
tindakan-tindakan
yang
secara
internasional tidak sah. Ini merupakan tanggung jawab negara dalam arti tegas, sumber dari tanggung jawab tersebut adalah suatu tindakan atau tindakantindakan yang melanggar hukum internasional.7 Negara yang dirugikan atas tindakan yang melanggar hukum internasional tersebut akan berusaha untuk memperoleh pemenuhan (satisfaction), satisfaction merupakan pemulihan atas perbuatan yang melanggar kehormatan negara. Satisfaction itu dilakukan melalui perundingan diplomatik dan cukup diwujudkan dengan permohonan maaf secara
7
J. G. Starke, op.cit, h. 391.
resmi atau jaminan agar kejadian tersebut tidak terulang. Pelanggaran yang menimbulkan kerugian material disebut pecuniary reparation.8 Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk setiap perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu, baik yang lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Unsur-unsur tanggung jawab negara adalah, yaitu: a. Ada perbuatan atau kelalaian (act or omission) yang dapat dipertautkan
(imputable) kepada suatu negara; b. Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu
kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Hingga akhir Abad ke-20 masih dipegang pendapat bahwa untuk lahirnya tanggung jawab negara tidak cukup dengan adanya dua unsur di atas melainkan harus ada unsur kerusakan atau kerugian (damage or loss) pada pihak atau negara lain. Namun, dalam perkembangannya hingga saat ini, tampaknya unsur kerusakan atau kerugian (damage or loss) itu tidak lagi dianggap sebagai keharusan dalam setiap kasus untuk lahirnya tanggung jawab negara.9
8
F. Sugeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 77. 9 http://ejournal.unkhair.ac.id/index.php/MKL/article/download/124/59, diakses pada tanggal 4 September 2015
Menurut Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab negara bergantung kepada faktor-faktor dasar berikut,yaitu:10 a. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu; b. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara; c. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian. Ada dua hal yang kemungkinan dapat membebaskan suatu negara dari kewajiban untuk bertanggung jawab yaitu pembelaan diri (self-defense) dan pembenaran (justifications), Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) pada tahun 1979 dan 1980 melalui sidangnya telah merumuskan rancangan
ketentuan-ketentuan
mengenai
masalah
pembelaan
diri
dan
pembenaran. Pada tahun 1979, ILC mengeluarkan rancangan ketentuan yang berkaitan dengan pembelaan diri, yaitu:11 a. Suatu negara dipaksa oleh negara lain untuk melakukan perbuatan yang dapat dipersalahkan atau melawan hukum; b. Suatu negara melakukan tindakan itu dengan persetujuan negara yang menderita kerugian; 10
http://nizarfikkri.com/2011/12/tinjauan-yuridis-terhadap-kekebalan.html, tanggal 8 Mei 2015. 11 J. G. Starke, op.cit, h. 396.
diakses
pada
c. Tindakan balasan (countermeasures) yang diperkenankan dalam hukum internasional; d. Para pejabat negara itu bertindak karena keadaan memaksa (force majeure) atau keadaan yang sangat membahayakan (extreme distress) dan tidak ada maksud sama sekali untuk menimbulkan akibat yang membahayakan. Pada tahun 1980 ILC mengeluarkan dua hal yang dikategorikan sebagai dasar-dasar pembenaran, yaitu keterpaksaan (necessity) dan pembelaan diri (self defence). Ketentuan mengenai suatu keadaan keterpaksaan mengenakan pembatasan-pembatasan yang ketat atas pembelaan diri, yaitu:12 1. Suatu keadaan darurat tidak dapat digunakan oleh suatu negara sebagai landasan untuk meniadakan kesalahan pada tindakan suatu Negara yang tidak sesuai dengan kewajiban Negara terkait, kecuali apabila: a. Tindakan itu merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan suatu kepentingan esensial negara itu dari suatu bahaya yang sangat besar dan sudah sedemikian dekat; b. Tindakan itu tidak menimbulkan gangguan yang serius terhadap kepentingan esensial dari negara tersebut yang di dalamnya melekat suatu kewajiban. 2. Dalam suatu kasus, keadaan darurat tidak dapat digunakan oleh Negara sebagai landasan untuk menghalangi kesalahan: 12
Ibid, h. 397.
a. Apabila kewajiban internasional yang disalahi oleh tindakan Negara itu timbul dari suatu norma hukum internasional umum yang tidak dapat diubah; b. Apabila kewajiban internasional yang disimpangi oleh tindakan negara tersebut ditetapkan suatu traktat yang secara eksplisit atau implisit menutup kemungkinan dinyatakannya keadaan darurat berkaitan dengan kewajiban tersebut; c. Apabila negara terkait telah turut membantu terjadinya keadaan darurat tersebut. Sementara itu, tindakan pembelaan diri (self defence) dapat digunakan sebagai pembenaran terhadap suatu tindakan jika pembelaan diri itu dilakukan sebagai pembelaan diri yang sah sesuai dengan ketentuan Piagam Perserikatan BangsaBangsa. Menurut hukum internasional tanggung jawab negara dapat timbul dari beberapa hal, berikut ini adalah jenis-jenis pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional, yaitu:13 a. Tanggung Jawab atas Perjanjian Internasional Tanggung jawab ini timbul apabila terjadi adanya suatu pelanggaran terhadap perjanjian internasional, menurut Permanent Court of International
13
F. Sugeng Istanto, op.cit, h. 78.
Justice dalam Chorzow Factory (indemnity) Case bahwa setiap pelanggaran atas perjanjian menimbulkan suatu kewajiban untuk memberikan ganti kerugian.14 b. Tanggung Jawab atas Kontrak Pelanggaran atas suatu perjanjian kontrak antara negara dan warga negara atau korporasi asing tidak selalu menimbulkan tanggung jawab menurut hukum internasional. Tanggung jawab tersebut timbul bukan karena kontrak tersebut melainkan bila suatu negara melanggar kewajiban di luar perjanjian tersebut, misalnya karena pengingkaran keadilan (denial of justice). c. Tanggung Jawab atas Konsesi Dalam perjanjian konsesi antara negara dan warga negara atau korporasi asing dikenal dengan adanya klausula Calvo. Dalam klausula ini ditetapkan bahwa penerima konsesi melepaskan perlindungan pemerintahnya dalam sengketa yang timbul dari suatu perjanjian dan sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut harus diajukan ke peradilan nasional negara pemberi konsesi dan tunduk pada hukum nasional negara tersebut. Menurut hukum internasional klausula ini dapat dibenarkan bila dimaksudkan agar penerima konsesi itu menggunakan peradilan negara yang bersangkutan sebelum campur tangan negaranya, namun dimaksudkan untuk menghapus hak negara dalam melindungi warga negaranya atau untuk mengikat negara lain agar
14
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, terjemahan Sumitro L.S. Danuredjo, PT. Aksara Persada Indonesia, Jakarta, h. 280.
tidak campur tangan atas pelanggaran hukum internasional maka menurut hukum internasional klausula itu adalah batal.15 d. Tanggung Jawab atas Ekspropriasi Ekspropriasi adalah pengambilalihan hak milik suatu hak milih swasta asing untuk kepentingan umum yang disertai dengan pemberian ganti rugi. Ekspropriasi yang melanggar hukum internasional mewajibkan negara yang melakukan ekspropriasi membayar ganti rugi sebagaimana mestinya ekspropriasi yang sah dan juga mengganti setiap kerugian yang diderita pihak yang dicabut hak miliknya.16 e. Tanggung Jawab atas Hutang Negara Hutang negara yang tidak dibayar dapat menimbulkan tuntutan atas tanggung jawab pada suatu negara, sehubungan dengan pertanggungjawaban atas hutang negara terdapat tiga teori tentang hak Negara dalam melindungi kreditor warga negaranya, yaitu:17 1) Teori Lord Palmerston yang diutarakan pada tahun 1848 menyatakan bahwa negara kreditur berhak untuk campur tangan secara diplomatik dan bahkan melakukan intervensi militer terhadap negara debitur yang lalai; 2) Teori Drago yang diutarakan pada tahun 1902 menyatkan bahwa Negara kreditur tidak berhak menggunakan kekerasan terhadap Negara debitur yang lalai; 15
F. Sugeng Istanto, op.cit, h. 79. Ibid. 17 Ibid, h. 80 16
3) Teori yang diterima umum menyatakan bahwa dalam hal tersebut kewajiban negara debitur adalah sama dengan kewajiban negara menurut hukum perjanjian pada umumnya. f. Tanggung Jawab atas Kejahatan Internasional Tanggung jawab negara dapat timbul karena kesalahan-kesalahan yang dituduhkan oleh negara yang bersangkutan. Kesalahan yang dimaksud adalah pelanggaran beberapa kewajiban yang dibebankan terhadap suatu negara berdasarkan hukum internasional dan bukan pelanggaran terhadap kewajiban kontraktual. Terhadap kesalahan-kesalahan demikian seringkali diterapkan istilah pelanggaran internasional (international delinquency). Tanggung jawab negara dalam hal ini banyak berkaitan dengan hak warga negara, misalnya pelanggaran atas hak milik, penahanan yang tidak semestinya, penolakan peradilan dan sebagainya, tanggung jawab negara dalam hal ini menyangkut perlindungan terhadap warga negara asing. Untuk menentukan adanya pertanggungjawaban negara atas kejahatan internasional ini dikenal dengan adanya ajaran pembebanan kesalahan petugas kepeda negara (the doctrine of imputability atau attributality). Dalam ajaran ini dinyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh petugas negara atau orang yang bertindak atas nama Negara dapat dibebankan terhadap negara tersebut, karena pembebanan ini kejahatan yang dilakukan oleh petugas tersebut menimbulkan tanggung jawab negara. Akan tetapi tidak semua pembebanan tersebut ada batasnya karena
tidak semua kejahatan petugas negara dapat membebani pertanggungjawaban negara. Pembebanan dapat terjadi apabila, yaitu:18 1) Perbuatan yang dilakukan oleh petugas Negara tersebut merupakan pelanggaran atas kewajiban yang ditetapkan oleh hukum internasional; 2) Hukum internasional memebebankan kejahatan tersebut kepada negaranya. Dalam hal ini harus diadakan pembedaan antara hukum internasional dan hukum nasional yang bersangkutan. Ada kemungkinan bahwa perbuatan pelanggaran itu bukan merupakan pelanggaran hukum nasional merupakan pelanggaran hukum internasional atau mungkin perbuatan itu tidak dapat dibebankan kepada negara menurut hukum nasional, sehingga dalam pembedaan ini hukum internasional yang berlaku terlepas dari hukum nasional negara tersebut.19
18 19
Ibid, h. 81 Ibid.