Philip Kierkegaard
KERANGKA INERSIA “Jika dilihat dari kerangka referensi inersia, yaitu sebuah kerangka dimana tidak ada percepatan di sana, benda yang bergerak akan tetap bergerak dan yang diam akan tetap diam, kecuali kepada benda itu diberikan paksaan.” -Isaac NewtonDunia adalah tempat yang dipenuhi oleh paksaan. Namun tetap saja, aku merasa benar-benar diam di titik tempatku duduk saat ini. Mungkin benar bahwa aku tidak mengalami paksaan. Atau jangan-jangan terlalu banyak paksaan yang saling melawan, hingga mereka akhirnya saling meniadakan? Seperti gesekan yang menahan setiap tarikan dan dorongan, segalanya saling beradu hingga menjadikannya diam. Kurasa itu benar. Tapi aku tidak terlalu memikirkan itu. Karena bagiku apa yang tidak terasa berarti tidak ada. Dan mencarinya adalah suatu hal yang cenderung sia-sia. Lagipula jika tidak begitu, menjadi ada akan sangat tidak berguna. Sesekali aku melirik ke arahnya. Dia di sana, jelas hadirnya, ada. Aku memperhatikannya ketika dia tertawa bersama teman-temannya. Aku tidak ingat siapa saja
1
Kerangka Inersia temannya itu. Mereka hanyalah sosok-sosok pelengkap potret dirinya yang dibingkai dengan sempurna. Namun apalah artinya penampakan? Jika menyadari bahwa aku buta dalam kegelapan, maka segala kecantikan hanyalah soal cahaya yang mengalami pemantulan. Selagi aku memikirkan cahaya dan pemantulannya, jam tanganku bekerja sama dengan waktu dalam sebuah gerakan yang singkron dan arogan. Waktu tidak pernah menunggu, itu yang aku tahu. Jam tanganku, bersama dengan jam lainnya di dunia, telah diperbudak waktu. Ada untungnya juga, pikirku, karena itu berarti kuliah ini akan kehabisan waktu. Dan benar saja, tidak lama berselang, kuliah dihentikan. Aku menangkap sedikit pembicaraan teman-temanku di belakang. “Kelas pengganti, ‘kan?” Tanya salah satu temanku. “Iya, langsung setelah ini. Ayo pindah ruangan,” kata temanku yang lainnya. Ternyata hari ini belum berakhir. Masih ada satu kelas lagi yang memaksaku untuk hadir. Saat itu aku lapar, sangat lapar sehingga aku betul-betul mengalami delusi tentang semangkuk penuh makanan. Meski tidak tahu apa,
2
Philip Kierkegaard aku hanya ingin makan. Aku ingin sekali berjalan cepat menuju kantin untuk membeli beberapa makanan kecil, tapi kemudian niat itu kuurungkan. Bukan untuk menunda kebahagiaan, tapi aku justru merasa lebih baik jika bertahan dalam penantian. Dia menoleh ke arahku. Entah sengaja melihatku, atau hanya melihat sesuatu yang kebetulan berada di dekatku, apapun alasannya tidaklah penting. Aku tidak segera membereskan buku-bukuku. Bukan karena malas, tapi tatapannya membuatku beku. Aku hanya bisa menatapnya kembali. Itu pun tidak lama. Ketika dia masih menatapku, aku sudah lebih dulu memutar mata mencari penjuru. Aku mencari-cari apa yang bisa kulihat untuk menghindari tatapannya itu. Tidak ada apa-apa. Jadi aku hanya melihat sekeliling,
berusaha
menunjukkan
bahwa
bagiku
tatapannya tidaklah penting. Ketika dia berhenti menatapku, aku langsung mencair dari fase beku. Aku bergerak merendah dan memunguti buku-buku yang selalu kuletakkan di bawah kursi. Ketika selesai dan berdiri, dia sudah tidak ada di situ. Aku segera berjalan menerobos kumpulan temanteman. Beberapa orang menyapaku tapi kuabaikan.
3
Kerangka Inersia Langkahku begitu cepat hingga tiba-tiba aku sudah ada di depan pintu dan melihat dia berjalan ke arah yang berbeda dari yang lainnya. Aku yakin dia ingin membeli makan. Aku tahu arah itu berakhir kemana, aku sungguh tahu. Tapi aku tidak lebih tahu dari koridor itu sendiri, yang sudah terbiasa diinjak-injak dan ditapaki, sehingga tahu kemana orang-orang pergi. Aku diam di pintu. Sia-sia untuk pergi merekeyasa pertemuan saat itu. Bisa saja dia pergi ke kantin, ke swalayan, atau mungkin langsung ke kelas berikutnya. Terlalu banyak kemungkinan. Aku berakhir dengan berdiri
di
depan
pintu
ruangan,
terpaku
sambil
menyaksikan teman-teman keluar beriringan. Saat melewatiku di pintu, beberapa teman menegurku, bertanya bagaimana kabarku. “Baik, seperti orang lain,” jawabku. Beberapa dari mereka ada yang bercanda denganku. Dan aku pun bercanda dengan mereka. Sisanya, lewat begitu saja karena mereka tidak mengenalku terlalu jauh. Setelah semuanya berlalu, aku baru menyadari bahwa cuma aku yang tersisa di kelas itu. Semua orang yang tadinya diam, dengan cara yang menakjubkan, telah
4
Philip Kierkegaard bergerak dengan percepatan yang timbul akibat dorongan yang bersifat individual. Dorongan itu diberikan kepada setiap individu secara paralel di waktu yang mungkin, atau juga tidak, berbarengan. Karena itulah arah gerak mereka sama, meski dimulai di waktu yang berbeda. Sekilas aku membayangkan keadaan jika mereka bergerak di waktu yang sama dan dengan percepatan yang sama serta dari titik berangkat yang sama, maka mereka akan terjebak di pintu kecil kelas ini, bersinggungan dalam pusaran massa. Dan mereka lama kelamaan akan tiada, terserap dalam satu objek kecil sebagai pusat massa, sebelum kemudian meledak menjadi sebuah replika alam semesta. Aku jadi tertawa sendiri, membayangkan teman-temanku sebagai sekumpulan partikel yang dihidupkan dari keadaan mati. Dalam gerakannya, hanya ada beberapa orang yang melenceng dari arah aliran utama, mungkin akibat paksaan lain yang lebih kuat mempengaruhi mereka. Aku bukanlah salah satunya. Justru, aku bahkan lebih buruk dari mereka karena aku tidak mengubah apa-apa. Diam atau bergerak bagiku sama saja, meski aku merasa lebih cocok jika dianggap diam. Dan andaikan aku berani berasumsi bahwa aku tidak pernah diam, aku tetap bergerak dengan
5
Kerangka Inersia kecepatan yang sama dan menjadi sebuah titik di dalam kerangka inersia yang terlewat begitu saja. Kerangka ini membuatku tidak merasakan apa-apa, tidak semangat dan tidak pula penat, membuatku tidak ingin melaju semakin cepat dan tidak pula melambat. Aku terjebak dalam sebuah kerangka yang membuatku menjadi sebuah objek yang
ditetapkan
memusnahkan
untuk
eksistensiku
konstan sebagai
selamanya,
yang
manusia
yang
memiliki massa.
6