BUSANA MUSLIMAH SEBAGAI MEDIA DAKWAH: Studi Kasus Upaya UIN Fashion Fair dalam Memasyarakatkan Busana Muslim
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
TASHA HELMI MAHINDRIA NIM: 1110051000177
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pondok Aren, 14 Agustus 2014
Tasha Helmi Mahindria
ABSTRAK BUSANA MUSLIMAH SEBAGAI MEDIA DAKWAH: STUDI KASUS UPAYA UIN FASHION FAIR DALAM MENJADIKAN BUSANA MUSLIMAH SEBAGAI MEDIA DAKWAH UIN Fashion Fair adalah suatu ajang untuk memperkenalkan dan mensosialisasikan busana muslimah. Terselenggaranya kegiatan ini berawal dari ide beberapa mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki keprihatinan terhadap cara berbusana mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang hanya “seadanya”, seperti hanya mengenakan kaos, celana panjang yang membentuk lekuk tubuh, bahkan berego (kerudung langsung pakai). UIN Fashion Fair merupakan salah satu yang menjadikan busana muslim sebagai media dalam berdakwah dengan memperkenalkan busana muslim yang sesuai dengan syari’at namun tetap modis dan trendi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pertanyaan yang timbul: Bagaimana upaya UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah? Apakah tujuan yang diharapkan dari acara UIN Fashion Fair tercapai? Menurut Enjang AS dan Aliyudin dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Dakwah, dari sekian media dakwah yang ada, busana muslimah termasuk ke dalam washilah madiyah, yaitu media yang bersifat material, yakni segala bentuk alat yang bisa di indera dan dapat membantu para da’i dalam menyampaikan dakwah kepada mad’u-nya. Dalam kelompok washilah madiyah, busana muslimah termasuk ke dalam bentuk washilah bashariah atau karya lukis. Karena pembuatan busana muslim diawali dengan gambar lukis (sketsa) di atas kertas. Busana muslimah dapat dijadikan sebagai media dakwah karena perkembangannya yang terus berputar dan selalu diperbaharui sehingga banyak menarik perhatian massa. Metodologi yang digunakan adalah metodologi studi kasus berdasarkan pendekatan kualitatif. Yakni suatu penelitian yang menggunakan bukti empiris dari satu atau lebih organisasi dan peneliti berusaha mempelajari permasalahan dalam konteks upaya UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah. Bukti diperoleh dari berbagai sumber meski realitanya sebagian besar data berupa data wawancara dan dokumen. Hasil dari penelitian ini adalah beberapa upaya yang dilakukan oleh UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah dengan mengadakan talk show dengan tema “Fashion, World and Religion” yang membahas mengenai fesyen muslim dan perkembangannya di Indonesia dan dunia, tutorial Hijab and Beauty Class, kompetisi memadu-padankan busana muslimah (styling competition), ajang pencarian bakat model untuk busana muslim/muslimah (model hunt) serta pagelaran busana muslimah (Islamic Fashion Show). Namun, tujuan yang diharapkan oleh tim UIN Fashion Fair tidak sepenuhnya tercapai. Karena masih banyak muslimah yang belum menerapkan cara berpakaian sesuai syari’at Islam, termasuk para anggota dari UIN Fashion Fair itu sendiri. Kata kunci: UIN Fashion Fair, busana muslim, media dakwah, muslimah, syari’at Islam. iv
KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirraahiim.. Alhamdulillahirabbil’aalamiin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Busana Muslimah Sebagai Media Dakwah: Studi Kasus Upaya UIN Fashion Fair dalam Memasyarakatkan Busana Muslim”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai prasyarat untuk menempuh ujian sarjana pada Bidang Kajian Komunikasi dan Penyiaran Islam di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini penulis susun atas bantuan dan dukungan berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang diberikan, yaitu kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Dr. H. Arief Subhan MA, Wakil Dekan I Bidang Akademik Suparto, M.Ed, Ph.D, Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum Drs. Jumroni, M.Si dan Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Dr. H. Sunandar, MA. 2. Rachmat Baihaky, MA. dan Fita Fathurrokhmah, SS, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. v
3. Ibu Rubiyanah, MA selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan dan motivasi selama penulis menyelesaikan penulisan skripsi untuk mencapai hasil yang lebih baik. 4. Bapak/Ibu seluruh staf pengajar di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah membagi ilmunya kepada penulis. 5. Bapak/Ibu seluruh staf dan karyawan tata usaha bidang kemahasiswaan, administrasi, keuangan, dan kepustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah membantu penulis. 6. Bapak/Ibu seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam hal peminjaman buku-buku yang digunakan sebagai referensi dan literatur dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai. 7. Teman-teman UIN Fashion Fair selaku narasumber - kak Qonitah AlJundiah, Fatma Hidayani, Mira Fatma, Agnesh Sherfina, Samia Puspita Juwita, dan Rahmania Fauzia. Terima kasih banyak sudah meluangkan waktunya untuk penulis. 8. Ayah Dimmi Achadiman Kodrie, Ibu Elly Hayati, Kakak Lucky Helmi Mahindria, Kakak Tanya Helmi Mahindria dan Mas Devid Sabtatiyanto untuk semua cinta, do’a, kesabaran, pengorbanan, dan dukungan yang tak ternilai. I’m so lucky to have you all. 9. Terima kasih untuk keluarga besar Mansoer dan Kodrie yang selalu memberikan do’a dan dukungan terbaiknya. vi
10. Anjar Sukmawati Maurie, Daniella Putri Islamy, Susi Aryani, Maria Safitri, Nanda Cahaya Febriana, Nabila Paramitha, Nur Damayanti dan Izzah Fitriyah yang selalu berbagi suka-duka dan memberikan dukungan yang semakin membangun semangat penulis. 11. Teman-teman seperjuangan KPI 2010, teman-teman HMJ KPI dan DEMA FIDKOM, Bang Sabir Laluhu, Bang Sirajuddin Ar-Ridho dan Bang Fahdi Fahlevi. Terima kasih banyak atas pengalamannya dalam berbagi ilmu dan semua kebersamaannya yang takkan terlupakan. 12. KKN AKSI 2013 – Diena, Reny, Mega, Futri, Aya, Ellyf, Ayu, Vera, Hana, Lillah, Monica, Rendy, Aris, Kahfi, Fahmi, Yusra dan Sendy. Terima kasih atas kebersamaannya. 13. Teman-teman Nebengers #TeamTangsel dan Social Media Festival, terima kasih untuk diskusi, kebersamaan, serta do’a dan dukungannya. 14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhir kata penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan dari seluruh pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, umumnya kepada siapapun yang membaca dan khususnya bagi diri penulis sendiri.
Pondok Aren, 19 Agustus 2014
Tasha Helmi Mahindria
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK.............................................................................................................iv KATA PENGANTAR............................................................................................v DAFTAR ISI.......................................................................................................viii DAFTAR GAMBAR..............................................................................................x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1 B. Batasan dan Rumusan Masalah..........................................................2 C. Tujuan Penelitian................................................................................2 D. Manfaat Penelitian..............................................................................3 E. Tinjauan Pustaka.................................................................................3 F. Metodologi Penelitian.........................................................................5 G. Sistematika Penulisan.......................................................................8
BAB II LANDASAN TEORI A. Busana Muslimah..............................................................................10 B. Pengertian dan Media Dakwah.......................................................22 C. Metode Studi Kasus....................................................................36
viii
BAB III GAMBARAN UMUM A. Latar Belakang UIN Fashion Fair.....................................................39 B. Tujuan UIN Fashion Fair..................................................................45 C. Struktur Organisasi.....................................................................47 D. Kegiatan............................................................................................49
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS A. Upaya UIN Fashion Fair dalam Menjadikan Busana Muslimah Sebagai Media Dakwah....................................................................53 B. Evaluasi Upaya UIN Fashion Fair dalam Memasyarakatkan Busana Muslim..............................................................................................62
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.......................................................................................65 B. Saran.................................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................67 LAMPIRAN..........................................................................................................70
ix
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1 Kerudung yang memenuhi persyaratan QS. An-Nur: 31..............22 2. Gambar 3.1 Bentuk sosialisasi UIN Fashion Fair.............................................43 3. Gambar 4.1 Penampilan wanita muslimah Timur Tengah................................53 4. Gambar 4.2 Penampilan wanita muslimah Indonesia.......................................54 5. Gambar 4.3 Gaya berhijab anggota UIN Fashion Fair......................................60
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah UIN Fashion Fair adalah suatu ajang untuk memperkenalkan dan mensosialisasikan busana muslimah. Terselenggaranya kegiatan ini berawal dari ide beberapa mahasisiwi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki keprihatinan terhadap cara berbusana mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang cenderung terlihat “seadanya”, seperti hanya mengenakan kaos, celana panjang yang membentul lekuk tubuh, bahkan berego (kerudung langsung pakai). Kelompok sosial ini berupaya untuk menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah dengan tujuan agar semakin banyak muslimah yang mengenakan pakaian sesuai syari’at Islam dan mengenakan hijab, karena setiap muslimah diwajibkan untuk mengenakan pakaian takwa tersebut. Dengan membawa identitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, para muslimah (mahasiswi) diharapkan untuk mengenakan pakaian sesuai dengan syari’at Islam seperti, pakaiannya longgar dan bahannya tebal, menggunakan kerudung yang menutupi dada, pakaiannya menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak memakai wewangian yang berlebihan dan tidak digunakan untuk bermewah-mewahan atau untuk dipamerkan kepada orang lain.
1
2
Penulis memilih UIN Fashion Fair sebagai objek penelitian karena ia memiliki keunikan tersendiri. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak memiliki fakultas, jurusan, atau bahkan mata kuliah yang mengarah pada bidang desain dan fesyen tetapi UIN Syarif Hidayatullah berhasil menyelenggarakan UIN Fashion Fair yang diminati oleh banyak orang. Berdasarkan latar belakang di atas, maka judul skripsi ini adalah “Busana Muslim Sebagai Media Dakwah: Studi Kasus Upaya UIN Fashion Fair dalam Menjadikan Busana Muslimah Sebagai Media Dakwah”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk lebih memfokuskan masalah, maka penelitian ini dibatasi pada UIN Fashion Fair 2012 dengan tema “Breakthrough”. Dari batasan masalah tersebut, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana upaya UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslim sebagai media dakwah? 2. Apakah tujuan yang diharapkan dari acara UIN Fashion Fair tercapai?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui bagaimana UIN Fashion Fair menjadikan busana muslim sebagai media dakwah.
3
2. Mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan yang diharapkan oleh UIN Fashion Fair.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Kegiatan penelitian ini merupakan kesempatan bagi penulis untuk mengeksplorasi lebih jauh materi-materi yang didapatkan di bangku perkuliahan yang kemudian diaktualisasikan dalam sebuah tulisan ilmiah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan baru
bagi pengembangan mengenai
media-media yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan dakwah, yaitu melalui busana muslim. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para muslimah untuk terus memperkenalkan busana muslim kepada seluruh muslimah dan memperlihatkan bahwa dengan menutup aurat, seorang muslimah tetap bisa melakukan pekerjaan dan berkreasi sehingga akan semakin banyak muslimah yang menjalankan perintah agama untuk menutup aurat.
E. Tinjauan Pustaka Dalam penyusunan skripsi ini penulis mengadakan penelitian lebih lanjut kemudian menyusunnya menjadi suatu karya ilmiah. Maka langkah awal yang penulis lakukan adalah mengkaji terlebih dahulu terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan.
4
Adapun setelah penulis mengadakan suatu tinjauan kepustakaan, akhirnya penulis menemukan beberapa judul yang penelitiannya memiliki kemiripan dengan apa yang akan penulis teliti. Judul-judul tersebut antara lain adalah: Syahrani Fauziah1 yang menyimpulkan bahwa media-media yang selama ini digunakan Ratih Sanggarwati dalam mensosialisasikan busana muslimah yaitu melalui media cetak, media elektronik, website, brosur profil, spanduk, billboard, sponsor suatu produk, serta melalui sekolah modelling yang beliau miliki, dan melalui penggunaan seorang model. Rizky Amalia2 yang menulis bahwa dalam aktivitas dakwah melalui busana muslim, Monika Jufry berusaha menyumbangkan sesuatu yang memang menjadi keahliannya untuk menjadi alternatif bagi para muslimah yang ingin memadukan keindahan dan kebaikan dalam berbusana sesuai syari‟at Islam. Dari berbagai aktivitas yang dilakukan Monika, diharapkan dapat menggugah minat orang-orang lain yang belum menggunakan busana muslimah. Nur „Arofah3 yang menemukan bahwa Anne Rufaidah memanfaatkan busana muslim dan muslimah yang dirancangnya sebagai ajang untuk melakukan dakwah Islam dengan cara membuat desain busana-busana muslim yang kreatif, inovatif, tetapi tetap menarik tanpa melanggar batasan dan larangan dalam Islam.
1
Syahrani Fauziah, “Peranan Ratih Sanggarwati dalam Mensosialisasikan Busana Muslimah”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 56 2
Rizky Amalia, “Aktivitas Dakwah Monika Jufry Melalui Busana Muslimah”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 64 3
Nur „Arofah, “Kontribusi Anne Rufaidah Terhadap Perkembangan Dakwah Melalui Busana Muslim”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 70
5
Selain itu, Anne Rufaidah telah memfasilitasi bagi orang-orang yang senantiasa menggunakan busana muslim dan yang hendak atau berkeinginan untuk mengenakan busana muslim tetapi tetap up to date dari segi model dan tidak ketinggalan zaman.
F. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang atau perilaku yang diamati tanpa mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi memasangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Studi kasus adalah suatu pendekatan penelitian yang menggunakan eksplorasi suatu fenomena dalam konteksnya dengan menggunakan data dari berbagai sumber. Fokus utama studi kasus adalah menjawab permasalahan penelitian yang dimulai dengan kata tanya bagaimana atau mengapa. Studi kasus digunakan untuk meneliti kejadian nyata di masa kini di mana peneliti tidak dapat mengendalikannya dan mungkin saja semua kejadian yang diamati terjadi dalam waktu yang bersamaan. Dalam penelitian ini, studi yang penulis angkat adalah bagaimana upaya UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslim sebagai media dakwah.
6
2. Subjek dan Objek Penelitian Dalam penelitian ini, subjek yang diteliti adalah UIN Fashion Fair. Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah busana muslim sebagai media dakwah. 3. Tahapan Penelitian a. Pengumpulan Data Tahap pengambilan data melalui beberapa tahapan. Tahap pertama merupakan tahap pengumpulan data. Tahap ini merupakan tahapan yang paling penting, karena pada tahap ini data merupakan proses pengadaaan primer untuk keperluan penelitian. Adapun cara-cara pengumpulan data yang penulis lakukan adalah melalui: 1) Observasi, yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untu menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Dalam penelitian ini, peneliti mengamati langsung di lapangan untuk mendapatkan data primer. 2) Wawancara, yakni kegiatan tanya jawab langsung kepada narasumber. Peneliti mengajukan sejumlah pertanyaan
yang
mengundang jawaban atau komentar subjek secara bebas. Pada penelitian ini, yang menjadi narasumber adalah Qonitah Al-Jundiah selaku penggagas UIN Fashion Fair serta Fatma Hidayani, Mira Fatma, Agnesh Sherfina, Samia P. Juwita, dan Rahmania Fauzia selaku anggota UIN Fashion Fair.
7
3) Dokumentasi, yaitu proses mencari data berupa hasil dokumentasi (foto) dan data metah (video atau rekaman wawancara) tentang penelitian yang dilakukan. Dokumentasi yang penulis dapatkan adalah video liputan acara Islamic Fashion Show: Breakthrough, foto-foto selama pelaksanaan acara, serta rekaman wawancara dengan narasumber. b. Pengolahan Data Setelah data diperoleh, langkah selanjutnya adalah mengolah dan menganalisa data dengan cara menghimpun, mempelajari, memilah dan memberi ulasan. Selain dalam bentuk narasi, data juga diolah dalam bentuk tabel, grafik dan gambar. Seluruh data tersebut nantinya akan dipaparkan dengan didukung oleh beberapa hasil temuan studi pustaka yang kemudian dianalisis. c. Analisis Data Setelah data diolah sedemikian rupa, maka penulis menafsirkan temuan dan mengomentarinya sesuai dengan teori yang digunakan. Penulis juga menjawab perumusan masalah sesuai dengan data yang didapatkan dari para narasumber terkait. 4. Teknik Penulisan Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh
8
CeQDA (Centre for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2007.4
G. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, maka penulis membagi pembahasannya ke dalam lima bab yang dibagi ke dalam sub-sub bab sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Pendahuluan ini menguraikan secara singkat mengenai alasan pemilihan judul, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II: LANDASAN TEORI Bab ini menerangkan tentang tinjauan umum tentang busana muslimah, pengertian dan unsur-unsur dakwah, media dakwah, dan penjelasan mengenai metode studi kasus. BAB III: GAMBARAN UMUM Bab ini berkenaan dengan gambaran umum yang mencakup tentang UIN Fashion Fair (UFF) yang meliputi: sejarah dan tujuan pembentukkan, proses
4
Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, Disertasi), (Jakarta: CeQDA (Centre for Quality Development and Assurance), 2007), cet. ke-1.
9
sosialisasi, proses perekrutan anggota, struktur kepengurusan, serta kegiatankegiatan yang diselenggarakan oleh UIN Fashion Fair. BAB IV: HASIL TEMUAN DAN ANALISIS Bab ini berisi analisis peneliti yang meliputi: temuan peneliti tentang upaya yang dilakukan oleh UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah dan pembahasan mengenai tercapai atau tidaknya tujuan yang diharapkan oleh UIN Fashion Fair. BAB V: PENUTUP Dalam bab akhir ini, penulis memberikan kesimpulan terhadap apa yang telah ditelaah oleh penulis dalam karya ini, serta memberikan saran-saran dan juga beberapa lampiran yang didapat oleh penulis.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Busana Muslimah Busana adalah sinonim dari kata “pakaian” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai barang apa yang dipakai (baju, celana, dan sebagainya)1, serta diartikan pula sebagai pelindung dari cuaca panas dan dingin. Adapun yang dimaksud dengan busana ini sendiri dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang kita pakai mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, dalam hal ini termasuk: 1. Semua benda yang melekat di badan, seperti baju, celana, sarung dan kain panjang. 2. Semua benda yang melengkapi pakaian yang berguna bagi si pemakai, seperti selendang, topi, sarung tangan, dan ikat pinggang. 3. Semua benda dan gunanya menambah keindahan bagi si pemakai, seperti hiasan rambut, giwang, kalung, bros, gelang dan cincin yang biasa dikenal dengan aksesoris.2 Sedangkan busana muslim merupakan pakaian taqwa yang terkandung dalam kaidah Islam yang berfungsi untuk menutup aurat. Kata aurat berasal dari bahasa Arab, auro yang berarti mengaibkan, kekurangan pada suatu benda. Dalam 1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi ketiga, h. 813 2
Nina Surtiretna, et. Al, Anggun Berjilbab, Pakaian Wanita Muslimah, (Bandung: Mizan, 1995), h. 27-28
10
11
hal berpakaian, aurat adalah bagian tubuh manusia yang diharamkan dilihat dan dipegang oleh orang lain, terutama yang bukan mahramnya.3 Pada dasarnya, semua jenis busana boleh digunakan oleh wanita, kecuali yang termasuk di bawah ini:4 1) Tidak menutupi aurat wanita di hadapan selain suami dan muhrim. 2) Ketat dan transparan. 3) Mengundang hasrat seksual selain suami. 4) Memancing aksi kejahatan. 5) Ghasab (milik orang yang tidak rela digunakan) dan bukan dari harta haram lainnya. 6) Memberikan kesan meniru kaum pria menurut „urf (pandangan umum masyarakat sekitar). 7) Memberi kesan meniru dan menyebarkan budaya yang merugikan Islam. 8) Syuhrah (sensasional), menarik perhatian baik dari sisi warna atau model busana.
Islam sangat mengistimewakan kaum wanita, bahkan menyebutnya sebagai “perhiasan terindah”. Seorang wanita shalihah ibarat sebuah mutiara yang tersimpan baik karena selalu menjaga diri dan kehormatannya. Sebagaimana hadits Rasulullah saw., ”Dunia itu perhiasan, dan seindah-indahnya perhiasan dunia adalah wanita shalihah” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). 3
Li Patrick, Jilbab Bukan Jilboob, (Jakarta: Penerbit Kalil, 2014), h. 4
4
Muhsin Labib, Fikih Lifestyle, (Jakarta: Tinta Publisher, 2011), h. 48
12
Perempuan adalah aurat, seluruh tubuhnya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki mempunyai daya tarik. Maka dari itu setiap muslimah diwajibkan untuk menutup aurat, yaitu dengan berhijab. Rasulullah bersabda, “Perempuan itu aurat, apabila ia keluar rumah, maka berdirilah setan kepadanya” (HR. tarmidzi dan Ibnu Majah). 1. Hijab Kata hijab memiliki makna “penutup”, karena menunjuk kepada suatu alat penutup. Kewajiban menutup yang telah digariskan untuk wanita dalam Islam tidak berarti bahwa mereka harus selalu berada di dalam rumah. Makna hijab bagi wanita dalam Islam adalah bahwa wanita harus menutup tubuhnya di dalam pergaulannya dengan laki-laki yang menurut hukum agama bukan muhrim-nya, dan bahwa dia tidak boleh memamerkan dirinya. Filsafat hijab Islam bertumpu pada beberapa hal. Menurut Muthahhari, “... Sebagian bersifat psikologis, sebagian berhubungan dengan rumah dan keluarga, dan sebagian lainnya memiliki akar-akar sosiologis, dan sebagian besar di antaranya berhubungan dengan pengangkatan kemuliaan wanita dan pencegahan agar ia tidak sampai terhina ...”5 Ajaran Islam tidak dibangun berdasarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Namun, kewajiban memakai hijab hanya dibebankan kepada wanita sebab wanita merupakan simbol keindahan. Hal ini dikarenakan kaum wanita cenderung untuk mempertunjukkan kecantikannya dan lebih tak acuh dalam
5
Murtadha Muthahhari, Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam (Terj. On the Islamic Hijab), (Bandung: Penerbit Mizan, 1990), h. 19
13
memandang tubuh lawan jenisnya. Dengan pakaian islami, kaum wanita akan lebih terhormat dan terpandang. Mereka akan terjaga dari gangguan orang-orang usil dan amoral.6 Hijab terdiri atas dua hal, yaitu jilbab (gamis) dan khimar (kerudung). Dalam Al-Mu‟jam Al-Wasith, ada beberapa pengertian jilbab yang dapat kita pahami secara mudah. “Jilbab diartikan sebagai “ats tsabaul musytamil‟alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh) atau “ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal mihalfah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah) atau “al mula‟ah tasytamilu biha al mar‟ah” (pakaian luar yang dikenakan untuk menutupi seluruh bagian tubuh wanita). Sedangan kerudung merupakan busana bagian atas (al-libas al-a‟la), yaitu penutup kepala.”7
2. Jilbab Jilbab menurut Kamus Bahasa Arab adalah busana lebar untuk menutup aurat, kepala, leher, hingga ke bawahnya.8 Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 59:
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk 6
Husein Shahab, Hijab Menurut Al-Qur‟an dan Al-Sunnah: Pandangan Muthahhari dan AlMaududi, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), h.16-17 7
Muslimah Talk, Saleha is Me: Sebab Cantik Saja Tidak Cukup, (Jakarta: QultumMedia, 2014), h. 14 8
Abdilah Firmanzah Hasan, Lebih Anggun dengan Berhijab, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2013), h.
14
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al-Qur‟an dan hadits tidak pernah menyinggung bentuk pakaian secara khusus. Ada dua istilah populer yang digunakan untuk penutup kepala, yaitu khumur dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan bersifat umum. Kata khumur (pada surat an-Nur ayat 31) merupakan bentuk jamak dari khimar, dan jalabib (pada surat al-Ahzab ayat 59) merupakan bentuk jamak dari kata jilbab. Kata jilbab berasal dari akar kata jalaba yang berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi adalah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa. “Jenis pakaian perempuan pada zaman Nabi sebagaimana dapat ditelusuri dalam syair-syair Jahiliyah, antara lain yang pertama burqu‟, yaitu kain transparan atau perhiasan perak yang menutupi bagian wajah kecuali dua bola mata; kedua niqab, yaitu kain halus yang menutupi bagian hidung dan mulut; ketiga miqna‟ah, yaitu kerudung mini yang menutupi kepala; keempat qina‟, yaitu kerudung yang lebih lebar; kelima litsam atau nishaf, yaitu kerudung yang lebih panjang atau selendang; dan yang keenam adalah khimar.”9 Ditinjau secara psikologis, “... Jilbab adalah simbol tentang seperangkat nilai. Jilbab bukanlah sekedar untaian benang yang membentuk kain, kemudian dipakaikan sedemikian rupa untuk menutup aurat wanita ...”10 Dari ajaran Islam yang terkandung dalam surat al-A‟raf ayat 26, al-Ahzab ayat 59, dan an-Nur ayat 31, esensi pakaian yang bernafaskan taqwa bagi muslimah mengandung unsur sebagai berikut:11 9
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h.
22 10
Sitoresmi Syukri Fadholi, Sosok Wanita Muslimah, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), h. 38
15
1) Menjauhkan wanita dari gangguan laki-laki jahil (nakal). 2) Membedakan antara wanita yang berakhlak terpuji dengan wanita yang berkepribadian tercela. 3) Menghindari timbulnya fitnah seksual bagi kaum pria. 4) Memelihara kesucian agama wanita yang bersangkutan.
Dengan berjilbab, berarti kita telah beribadah mendekatkan diri kepadaNya. Setiap muslimah yang memakai jilbab untuk menutup seluruh tubuh tanpa terlihat sedikitpun bagian yang dilarang terlihat, maka muslimah tersebut sedang mempraktikkan ketaatan. Selain mendapatkan pahala berlimpah karena menaati peraturan-Nya, menggunakan jilbab juga memiliki beberapa manfaat lainnya, yaitu:12 1) Pahala sabar yang luar biasa. Kita harus sabar selama mengenakan jilbab dan tetap teguh memegangnya untuk mencari keridaan Allah. Seperti janji Allah pada umatnya dalam surat al-Insan ayat 12 dan surat Hud ayat 11. “... dan Dia memberi Balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (QS. Al-Insan: 12) “kecuali
orang-orang
yang
sabar
(terhadap
bencana),
dan
mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud: 11)
11
Ibid., h. 39-40
12
Li Patric, Jilbab Bukan Jilboob, (Jakarta: Penerbit Kalil, 2014), h. 11-14
16
2) Melindungi diri dari fitnah dan perbuatan zina. Seseorang yang berjilbab secara sempurna akan terjauhkan dari fitnah. Dalam jilbab yang syar‟i terkandung perlindungan terhadap diri dari berbagai kelemahan, penguasaan hawa nafsu, dan setan. Seseorang yang berjilbab tidak hanya sabar menahan panas, tetapi juga sabar akan semua hal yang berkaitan dengan jilbab, termasuk penghinaan atau ejekan ketika memakainya. “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10) 3) Mendapat kedudukan tinggi di dunia dan akhirat. Dengan menaati perintah-Nya, Allah menjanjikan derajat yang tinggi di dunia dan akhirat, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah: “... dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin [314], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaikbaiknya.” (QS. An-Nisa‟: 69) [314] Ialah: orang-orang yang Amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan Inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7.
17
4) Jilbab adalah pakaian takwa. Jilbab tidak lain adalah merupakan simbol ketaatan wanita muslimah, seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya: “Hai anak Adam [530], Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa [531] Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A‟Raaf: 26) [530] Maksudnya Ialah: umat manusia [531] Maksudnya Ialah: selalu bertakwa kepada Allah. 5) Mencegah kanker kulit dan penuaan dini. Pemicu kanker adalah radikal bebas yang terdapat pada sinar ultraviolet, dan jilbab mampu menutupi tubuh serta melindungi kulit dari sinar ultraviolet. 6) Mudah dalam melakukan shalat. Saat kita lupa membawa mukena, maka jilbab syar‟i yang kita kenakan dapat menggantikannya. 7) Aman saat menyusui. Ketika bayi kita menangis sebagai tanda minta disusui saat di tempat umum, maka kita dapat menyusui dengan cara menyembunyikan bayi kita di balik jilbab syar‟i yang digunakan.
1. Sejarah Tradisi Jilbab13 Jilbab merupakan fenomena simbolik yang sarat dengan makna. Jika yang dimaksud jilbab adalah penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah 13
25-30
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h.
18
menjadi wacana dalam Code Bilalama (3000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2000 SM) dan Code Asyiria (1500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan prostitut tidak boleh mengenakannya. Ketika perang antara Romawi-Bizantium dan Persia berlangsung, rute perdagangan antarpulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Beberapa pesisir jazirah Arab tiba-tiba menjadi kota penting sebagai wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari daerah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara besarbesaran terjadi di masa ini. Kultur Hellenisme-Bizantium dan MesopotamiaSasania ikut serta menyentuh wilayah Arab. Jilbab yang semula tradisi Mesopotamia-Persia dan pemisahan laki-laki dan perempuan merupakan tradisi Hellenistik-Bizantium, menyebar menembus batas-batas geokultural, tidak terkecuali daerah jazirah Arab. Institusionalisasi jilbabdan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di
Damaskus dan Baghdad. Pada
periode ini, jilbab yang tadinya merupakan pakaian pilihan (occasoinal custom) mendapatkan kepastian hukum (institutionalized) sebagai pakaian wajib bagi perempuan Islam. 2. Jilbab sebagai Fenomena Sosial Jilbab bukan lagi fenomena kelompok santri atau kelompok tertentu, tetapi sudah menjadi fenomena di seluruh lapisan masyarakat. Jilbab tidak lagi
19
menjadi sesuatu yang “tidak boleh ada” di tempat dan suasana tertentu seperti tempat hiburan dan pesta. Kini sudah banyak para public figure yang menggunakan
jilbab dan menjadikannya sebagai identitas. Butik busana
muslimah juga turut serta menghiasi sudut-sudut mal dan hotel ternama. Yang dipermasalahkan dari sebuah jilbab adalah penggunaannya. Bila seseorang dipaksa untuk mengenakan jilbab, maka itu adalah salah. Seperti yang dulu pernah terjadi di Turki. Ketika kekuatan ulama memaksakan syari‟ah (termasuk busana muslim) ke dalam masyarakat yang belum siap, maka lama kelamaan muncul gerakan Tanzimat yang dipimpin Mustafa Rasyid Pasya dan Sultan Mahmud II yang mencapai puncaknya pada revolusi Kemal Attaturk. Banyak kasus pengejaran terhadap perempuan berjilbab pada masa itu, meskipun yang melakukannya mengaku muslim. Ketika jilbab muncul sebagai kesadaran individu dan bersamaan, maka usaha untuk menghapusnya akan jauh lebih sulit. Pengalaman di Turki, jilbab yang tadinya merupakan fenomena umum masyarakat pedesaan (rural society) kini juga menjadi fenomena perkotaan. Ketika terjadi urbanisasi besar-besaran, maka fenomena jilbab pun tak terbendung di kota-kota di Turki.14
3. Khimar (Kerudung) Kata kerudung sudah tidak asing di telinga masyarakat kita. Namun, kita masih sering menyamakan kerudung dengan jilbab. Di Indonesia, kerudung sering disebut sebagai jilbab. Padahal, kedua kata tersebut berbeda maknanya. Seperti 14
32-33
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h.
20
yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, jilbab adalah kain yang menutupi seluruh tubuh, dari kepala sampai kaki. Sedangkan kerudung adalah penutup kepala, leher, dan dada.15 Wanita harus menutup kepalanya karena seluruh anggota tubuh wanita merupakan aurat, termasuk leher dan rambut. Rambut dan leher termasuk dari bagian perhiasan perempuan yang dapat menimbulkan fitnah dan hasrat bagi lakilaki yang melihatnya. Firman Allah berbunyi:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budakbudak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai 15
Li Patric, Jilbab Bukan Jilboob, (Jakarta; Penerbit Kalil, 2014), h. 2-3
21
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur : 31) Salah satu kaum muslimah yang dapat diteladani karena ketaatan untuk menutup kepalanya dengan kerudung ialah wanita Anshar, seperti dijelaskan dalam hadits berikut: ”Dari Shafiyah binti Syuaibah, ia bercerita, “Ketika kami bersama Aisyah Ra., mereka menyebut-sebut kelebihan wanita Quraisy. Lalu Aisyah Ra. berkata, “Memang wanita Quraisy itu memiliki kelebihan, tetapi demi Allah, sesungguhnya aku tidak pernah melihat yang lebih mulia daripada wanita Anshar, mereka sangat membenarkan Kitabullah dan sangat kuat imannya kepada wahyu yang diturunkan. Ketika turun surat al-Nur ayat 31, ayat yang menyuruh berkerudung, lalu suami mereka pulang dan membacakan kepada mereka apa yang telah Allah turunkan. Dengan segera setiap wanita (Anshar) itu menarik kain yang ada, lalu menjadikannya kerudung karena membenarkan dan iman kepada apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya.” (HR. Muslim)16
Jadi, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa busana muslimah adalah pakaian takwa yang merupakan simbol ketaatan seorang wanita muslimah. Selain itu, busana muslimah juga dapat digunakan untuk menyampaikan identitasnya, yaitu sebagai seorang wanita muslim. Dengan mengenakan hijab, seorang wanita sudah melindungi diri dari perbuatan fitnah dan zina, serta menaikkan kedudukannya di dunia dan di akhirat.
16
Muhammad Syafi‟ie el-Bantanie, Bidadari Dunia, (Jakarta: QultumMedia, 2005), h.
22
Gambar 2.1 Kerudung yang memenuhi persyaratan QS. An-Nur : 3117
B. Pengertian dan Media Dakwah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dakwah memiliki arti penyiaran agama di kalangan masyarakat dan pengembangannya; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama.18 Dakwah harus berjalan terus menerus tanpa henti, yang sesungguhnya merupakan tugas setiap manusia. Oleh karena itu, dakwah harus dilaksanakan sehingga tidak ada seorangpun yang dapat menghindarinya. Firman Allah SWT berbunyi:
17
Husein Shahab, Hijab Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah: Pandangan Muthahhari dan AlMaududi, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), h. 111 18
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 309
23
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali‟ Imran : 104) Toha Jahya Omar menyatakan, “... Dakwah menurut Islam adalah mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai peringatan Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat ...”19 Sedangkan M. Quraish Shihab menulis: “Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan atau usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna terhadap individu dan masyarakat. Perwujudan dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas.”20 Menurut Muhammad Natsir dalam bukunya Dakwah dalam Rangka Perjuangan mendefinisikan dakwah sebagai berikut:21 “Usaha-usaha untuk menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan dan seluruh umat manusia tentang pandangan dan tujuan hidup mereka di dunia ini. Yang meliputi amar ma‟ruf nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan dan membimbing pengalamannya dalam peri kehidupan perseorangan, peri kehidupan bermasyarakat, peri kehidupan bernegara.” Pada intinya, pemahaman lebih luas dari pengertian dakwah yang telah didefinisikan oleh para ali tersebut adalah: Pertama, ajakan ke jalan Allah SWT. Kedua, dilaksanakan secara berorganisasi. Ketiga, kegiatan untuk memengaruhi manusia agar masuk jalan Allah SWT. Keempat, sasaran bisa secara fardiyah
19
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Studi Sebuah Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 36 20
Ibid., h. 36
21
Abd. Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), cet. ke-2,
h. 8
24
(perorangan) atau jama‟ah (berkelompok). Berbicara mengenai dakwah, tidak terlepas dari unsur-unsurnya, yaitu: 1. Da’i Da‟i adalah orang yang melakukan dakwah22. Seseorang dapat disebut Da‟i atau Ulama apabila secara keilmuan ia telah mengetahui tentang ajaranajaran agama Islam. Begitu juga dari segi wawasan intelektual, pengalaman spiritual, sikap mental, dan kewibawaannya. Seorang yang disebut Da‟i biasanya akan terlihat lebih matang dibandingkan mad‟u (khalayak). Pada dasarnya, semua umat muslim berperan secara otomatis sebagai juru dakwah. Da‟i dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:23 1) Secara umum adalah setiap muslim atau muslimah yang mukallaf (dewasa) di mana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan suatu yang melekat, tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah: “Sampaikan walau satu ayat”. 2) Secara khusus adalah mereka yang mengambil keahlian khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam, yang dikenal dengan panggilan ulama. Da‟i adalah salah satu faktor dalam kegiatan dakwah yang menempati posisi yang sangat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan dakwah. Setiap muslim yang hendak menyampaikan dakwah khususnya da‟i profesional yang mengkhususkan diri di bidang dakwah sebaiknya memiliki kepribadian yang baik untuk menunjang keberhasilan dakwah. 22
Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: PT. Ikhtiar Ouve, 1992), h. 137
23
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 19
25
2. Mad’u Mad‟u atau penerima dakwah adalah seluruh umat manusia, baik lakilaki ataupun perempuan, tua maupun muda, miskin atau kaya, muslim atau nonmuslim, semua berhak menerima ajakan dan seruan ke jalan Allah SWT. Hamzah Yaqub mengklasifikasikan sasaran dakwah berdasarkan derajat pemikirannya, yakni: 1) Umat yang berpikir kritis, tergolong di dalamnya adalah orang-orag yang berpendidikan dan berpengalaman. Bila da‟i berhadapan dengan kelompok ini, ia harus mampu menyuguhkan dakwah dengan gaya dan bahasa yang dapat diterima oleh akal sehat mereka sehingga mereka mau menerima kebenarannya. 2) Umat yang mudah dipengaruhi, yaitu suatu masyarakat yang mudah untuk diepengaruhi oleh paham baru tanpa menimbang-nimbang secara matang apa yang dikemukakan kepadanya. 3) Umat yang bertaklid, yakni golongan yang fanatik buta bila berpegangan pada tradisi dan kebiasaan yang turun-temurun.
Ditinjau dari segi kehidupan psikologis, masing-masing dari golongan masyarakat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kondisi dan lingkungannya. Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar24 menyimpulkan bahwa dalam garis besarnya umat yang dihadapi oleh seorang Da‟i dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: 24
Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah: Bekal Perjuangan Para Da‟i, (Jakarta: AMZAH, 2008), cetakan pertama, h. 231-232
26
1) Golongan cerdik-cendekia yang cinta akan kebenaran, dan dapat berpikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. 2) Golongan orang awam, yaitu orang kebanyakan yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi. 3) Golongan yang tingkat kecerdasannya berada di antara kedua golongan tersebut. salah satu ciri mereka adalah suka membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas tertentu, tidak sanggup secara mendalam benar. 3. Pesan Dakwah Arti pesan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perintah, nasihat, permintaan, amanat yang disampaikan melalui orang lain.
25
Sedangkan
menurut Onong Uchjana Effendy, “... Pesan ialah sepasang perangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator ...”26 Materi atau pesan dakwah adalah isi pesan yang disampaikan Da‟i kepada mad‟u. Pada dasarnya pesan dakwah itu adalah ajaran Islam itu sendiri yang dapat dikelompokkan menjadi tiga: 1) Pesan Akidah, meliputi Iman kepada Allah SWT, iman kepada malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman kepada Hari Akhir, dan iman kepada Qadha-Qadar.
25
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi ketiga, h. 865 26
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), cet. ke-2, h. 43
27
2) Pesan Syari‟ah yang meliputi ibadah thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, serta mu‟amalah.
Hukum perdata meliputi: hukum niaga, hukum nikah, dan hukum waris.
Hukum publik meliputi: hukum pidana, hukum negara, hukum perang dan damai.
3) Pesan Akhlak meliputi akhlak terhadap Allah SWT, akhlak terhadap makhluk yang meliputi; akhlak terhadap manusia, diri sendiri, tetangga, masyarakat lainnya, akhlak terhadap bukan manusia, flora, fauna, dan sebagainya.
Muhaemin menjelaskan secara umum pokok isi al-Qur‟an, yaitu:27 1) Akidah: aspek ajara Islam yang berhubungan dengan keyakinan, meliputi rukun iman ata segala sesuatu yang harus diimani atau diyakini menurut ajaran al-Qur‟an dan as-Sunnah. 2) Ibadah: aspek ajaran Islam yang berhubungan dengan kegiatan ritual dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT. 3) Muamalah: aspek ajaran Islam yang mengajarkan berbagai aturan dalam tata kehidupan bermasyarakat dalam berbagai aspeknya. 4) Akhlak: aspek ajaran Islam yang berhubungan dengan tata perilaku manusia sebagai hamba Allah, anggota masyarakat, dan bagian dari alam sekitarnya. 5) Sejarah: peristiwa-peristiwa perjalanan hidup yang sudah dialami umat manusia yang diterangkan al-Qur‟an untuk diambil hikmah dan pelajarannya. 27
Slamet Muhaemin dalam Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 80-81
28
6) Prinsip-prinsip pengetahuan dan teknologi: petunjuk-petunjuk singkat yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mengadakan analisa dan mempelajari isi alam dan perubahannya. 7) Lain-lain berupa anjuran-anjuran, janji-janji, maupun ancaman-ancaman. 4. Metode Dakwah Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang merupakan gabungan dari kata meta dan hodos. Meta berarti melalui, mengikuti, atau sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, arah, atau cara. Jadi, metode bisa diartikan sebagai suatu cara atau jalan yang bisa ditempuh.28 Tujuan diadakannya metode dakwah adalah untuk memberikan kemudahan dan keserasian, baik bagi pembawa dakwah itu sendiri maupun bagi penerimanya. Berikut ini adalah metode-metode dakwah yang dapat digunakan oleh para da‟i dalam mensyi‟arkan agama Islam:29 1) Da‟wah bil Hikmah Hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Seoang da‟i yang baik harus mampu menyesuaikan dirinya dengan segala lapisan masyarakat yang dihadapi, dari rakyat elata, orang berpangkat, kaum cerdik-cendekiawan, atau berbagai lapisan sosial lainnya yang kesemuanya menuntut suatu pendekatan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
28
Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah: Bekal Perjuangan Para Da‟i, (Jakarta: AMZAH, 2008), h. 238 29
Ibid., h. 240-254
29
2) Da‟wah bil Mau‟izhatil Hasanah Mau‟izhatil Hasanah ialah kalimat atau ucapan yang diucapkan oleh seorang da‟i, disampaikan dengan cara yang baik, berisikan petunjuk-petunjuk ke arah kebajikan, diterangkan dengan gaya bahasa yang sederhana, supaya yang disampaikan itu dapat ditangkap, dicerna, dihayati, dan pada tahapan selanjutnya dapat diamalkan. 3) Da‟wah bil Mujadalah Secara umum, metode dakwah ini ditujukan bagi orang-orang yang taraf berpikirnya telah maju dan kritis seperti halnya Ahlul Kitab yang memang telah memiliki bekal keagamaan dari para utusan Allah SWT sebelumnya. Metode dakwah ini menuntut adanya profesionalisme dari para da‟i. Dengan kata lain, seorang da‟i bukan anya dituntut untuk sekedar mampu berbicara dan beretorika, ber-uswah dan ber-qudwah hasanah, tetapi juga dituntut untuk memperbanyak perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sifatnya ilmiah. 4) Da‟wah bil Hal Da‟wah bil Hal adalah dakwah yang diberikan oleh seseorang melalui amal perbuatan yang nyata. Contoh nyata dari metode dakwah ini adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. saat mempersatukan kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Beliau menjadikan ikatan persaudaraan ini sebagai ikatan yang benarbenar harus dilaksanakan. 5) Da‟wah bil Qalb Metode dakwah ini menjadi sangat diperlukan mengingat banyak para da‟i yang berdakwah dengan lebih mengedepankan logika saja. Seseorang dapat
30
memberikan ceramah yang mengagumkan karena ia diawali dari hati, diucapkan dengan niat yang baik dan tulus. Walaupun lisannya tidak mengucapkan apa-apa, tangannya tidak menggoreskan tulisan, dan tubuhnya tidak melakukan suatu amal perbuatan, namun cukup dengan hati saja itu sudah terhitung dakwah serta mendapatkan pahala. 5. Media Dakwah Kata media berasal dari bahasa Latin medium yang memiliki arti alat atau perantara. Sedangkan menurut istilah, media ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat perantara untuk mencapai suatu tujuan tertentu.30 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, media berarti perantara; penghubung; yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dsb.).31 Sedangkan menurut Kamus Istilah Komunikasi, “... Media berarti sarana yang digunakan sebagai alat bantu dalam berkomunikasi disebut media komunikasi, adapun bentuk-bentuk dan jenisnya beraneka ragam ...”32 Arifin membagi media menjadi tiga bentuk. Pertama, media yang menyalurkan ucapan (spoken words), termasuk juga yang berbentuk bunyi, yang sejak dahuu sudah dikenal dan dimanfaatkan sebagai medium yang utama. Media yang termasuk dalam kategori ini antara lain gendang, kentongan (alarm block), telepon dan radio. Kedua, media yang menyalurkan tulisan (printed writing), dan karena hanya dapat ditangkap oleh mata maka disebut juga visual media (media 30
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 163
31
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 931 32
Ghazali BC. TT. Kamus Istilah Komunikasi, (Bandung: Djambatan, 1992), h. 227
31
pandang). Media yang termasuk dalam golongan ini antara lain prasasti, selebaran, pamflet, poster, brosur, baliho, spanduk, surat kabar, majalah dan buku. Ketiga, media yang menyalurkan gambar hidup, dan karena dapat ditangkap oleh mata dan telinga sekaligus, maka disebut audio visual media (media dengar pandang). Media yang termasuk dalam bentuk ini hanya film dan televisi.33 Berdasarkan pengertian di atas, maka media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah yang dimaksud dapat berupa barang (material), orang, tempat kondisi tertentu dan sebagainya. Dengan memanfaatkan media, maka jangkauan dakwah tidak lagi terbatas pada ruang dan waktu. Adapun media dakwah yang dapat dimanfaatkan antara lain:34 a. Lisan Da‟wah bil lisan yaitu penyampaian informasi atas pesan dakwah melalui lisan. Termasuk dalam bentuk ini adalah ceramah, khutbah, tausyiah, pengajian, pendidikan agama (lembaga pendidikan formal), diskusi, seminar, dan lain sebagainya. b. Tulisan Da‟wah bil qalam yaitu penyampaian materi dakwah dengan menggunakan media tulisan. Termasuk dalam jenis ini adalah buku-buku, majalah, surat
33
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Studi Sebuah Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 89 34
Fathul Bahri Al-Nabiry, Meniti Dakwah: Bekal Perjuangan Para Da‟i, (Jakarta: AMZAH, 2008), h. 236-238
32
kabar, buletin, dan lain-lain. Dalam memanfaatkan media ini, hendaknya ia ditampilkan dengan gaya bahasa yang lancar, mudah dicerna, dan menarik minat publik, baik mereka yang awam (umum) maupun kaum terpelajar. c. Audio Visual Dakwah dengan media audio visual merupakan suatu cara penyampaian yang merangsang penglihatan serta pendengaran audiens. Yang termasuk dalam jenis ini adalah televisi, film, drama, teater, dan lain sebagainya. Terkadang, pesan yang disampaikan melalui media ini cenderung lebih mudah diterima oleh audiens, bahkan dapat membentuk karakter mereka. d. Lingkungan Keluarga Suasana keluarga mempunyai kontribusi yang cukup kuat, karena bila ikatan keluarga itu senantiasa bernapaskan islami, maka akidah dan amaliahnya pun akan semakin kuat. Dengan demikian, dakwah dalam keluarga akan selalu berjalan dengan baik. e. Uswah dan Qudwah Hasanah Yaitu suatu cara penyampaian dakwah yang dilakukan dalam bentuk perbuatan nyata. Ia tidak menganjurkan, tetapi langsung memberi contoh kepada mad‟unya. Termasuk dalam bentuk ini adalah seseorang yang membesuk saudara yang sakit, menjalin dan menjaga tali silaturahmi, dan lain sebagainya. f. Organisasi Islam Organisasi Islam menjembatani antara umat dengan petunjuk agama, menuntun masyarakat kepada kebenaran dengan mengadakan berbagai acara kegamaan yang diikuti oleh keluarga besar organisasi tersebut. di antara organisasi Islam
33
yang ada di Indonesia adalah Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Ikhwanul Muslimin, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Asmuni Syukir ada beberapa media yang dapat dijadikan sebagai media dakwah, di antaranya: 35 a. Lembaga-lembaga pendidikan formal b. Lingkungan keluarga c. Organisasi-organisasi Islam d. Hari-hari besar Islam e. Media massa (radio, televisi, film, surat kabar, majalah, internet, dan lainnya) f. Seni budaya (musik, drama sastra, wayang kulit, dan lain-lain)
Dalam konteks dakwah, secara praktis media terbagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) Washilah Maknawiyah dan (2) Washilah Madiyah.36 Washilah maknawiyah adalah media yang bersifat imaterial, seperti rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mempertebal ikhlas dalam. Sedangkan washilah madiyah adalah media yang bersifat material, yaitu segala bentuk alat yang bisa di indera dan dapat membantu para da‟i dalam menyampaikan dakwah kepada mad‟u-nya. Media material (washilah madiyah) terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) Media yang bersifat fitrah (wasail fitriyah), seperti ceramah monolog, mengajar, ceramah umum, khutbah, dan sebagainya; (2) Media yang bersifat ilmiah (wasail fanniah), seperti washilah yadawiyah (karya tulis), washilah 35 36
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhas, 1992), h. 176
Muhammad Abdul Fatah al-Bayanuni, “al-Madkhal ila „ilm al‟Da‟wah” dalam Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 94
34
bashariah (karya lukis), washilah sam‟iyah (kreasi suara) berupa pengeras suara, kaset, telepon, dan lain-lain, serta washilah al-Mutanawiyah seperti teater, drama, dan
sebagainya;
memakmurkan
(3)
Media
masjid,
yang
mendirikan
bersifat
praktis
organisasi,
(tabiqiyah), mendirikan
seperti sekolah,
menyelenggarakan seminar, dan mendirikan sistem pemerintahan Islam. Ahmad Subandi mengatakan bahwa “... Media dakwah adalah isntrumen yang dilalui oleh pesan atau saluran pesan yang menghubungkan antara da‟i dan mad‟u ...”37 Media dakwah berdasarkan jenis dan peralatan yang melengkapinya terdiri dari media tradisional, media modern, dan perpaduan antara media tradisional dan modern.38 1. Media tradisional Setiap masyarakat tradisional selalu menggunakan media yang berhubungan dengan kebuadayaannya. Media yang digunakan terbatas pada sasaran yang paling digemari dalam kesenian, seperti tabuh-tabuhan (gendang, rebana, bedug, suling, wayang, dan lain-lain) yang dapat menarik perhatian orang banyak. 2. Media modern Berdasarkan jenis dan sifatnya, media modern terbagi menjadi tiga. Pertama, media auditif yang meliputi telepon, radio, dan tape recorder. Kedua, media visual yang meliputi surat kabar, buku, majalah, pamflet, dan lain
37
Ahmad Subandi, “Ilmu Dakwah Pengarah Ke Arah Metodologi” dalam Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 95 38
Ibid., h. 95-96
35
sebagainya. Ketiga, media audiovisual yang meliputi televisi, video, internet, dan lain-lain. 3. Perpaduan media tradisional dan modern Perpaduan yang dimaksud adalah pemakaian media tradisional dan media modern dalam suatu proses dakwah. Contohnya pagelaran wayang dan sandiwara yang bernuansa Islam, atau ceramah di mimbar yang ditayangkan televisi. Dalam menggunakan media dakwah ini, para da‟i diharuskan untuk menjaga etika dan ketentuan-ketentuan dalam berdakwah, yakni:39 1) Media dakwah tidak boleh bertentangan dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah. 2) Dalam menggunakan media dakwah, tidak menjurus kepada hal-hal yang diharamkan oleh agama dan tidak menimbulkan kerusakan. 3) Dapat digunakan dengan baik. 4) Media relevan dengan situasi dan kondisi konteks dakwah. 5) Media dapat menjadi perantara untuk menghilangkan kesesatan dari orangorang ingkar dan menyalahi agama. 6) Jelas dalam tahapan-tahapan penggunaannya. 7) Media secara fleksibel dapat digunakan dalam berbagai kondisi mad‟u (adat, kepercayaan, dan kebudayaan). 8) Dapat digunakan dalam berbagai situasi waktu dan keadaan.
39
Muhammad Sa‟id Mubarak, “Al-Da‟wah wa al-Idarah” dalam Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 95
36
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya media dakwah adalah berbagai sarana yang dapat digunakan untuk mengembangkan dakwah Islam yang mengacu pada kebudayaan masyarakat mulai dari yang klasik, tradisional hingga modern yang di antaranya meliputi mimbar, panggung, media massa cetak dan elektronik, lembaga, organisasi, seni, karya budaya, dan lain sebagainya.
C. Metode Studi Kasus Studi
kasus
didefinisikan
sebagai
pendekatan
penelitian
yang
menggunakan eksplorasi suatu fenomena dalam konteksnya dengan menggunakan data dari berbagai sumber. Studi kasus menyiratkan peneliti melakukan analisis secara intensif pada satu unit analisis yang diteliti. Sebuah kasus dapat berupa satu individu, satu organisasi, satu peristiwa, satu keputusan, satu periode, atau sistem yang dapat dipelajari secara menyeluruh dan holistik.40 Myers mendefinisikan studi kasus kualitatif sebagai penelitian yang menggunakan bukti empiris dari satu atau lebih organisasi dan peneliti berusaha mempelajari permasalahan dalam konteksnya. Bukti diperoleh dari berbagai sumber meski realitanya sebagian besar berupa data wawancara dan dokumen.41 Fokus utama studi kasus adalah menjawab permasalahan penelitian yang dimulai dengan kata tanya bagaimana atau mengapa. Studi kasus digunakan untuk meneliti kejadian nyata di masa kini (kontemporer) di mana peneliti tidak dapat
40
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar, (Jakarta: PT Indeks, 2012), h. 115-116
41
Ibid., h. 116
37
mengendalikannya (tidak seperti dalam eksperimen) dan mungkin saja semua kejadian yang diamati terjadi dalam waktu yang bersamaan.42 Menggunakan metodologi studi kasus diawali dengan menemukan kasus yang menarik. Kriteria kasus yang menarik adalah suatu hal yang dianggap baru. Sesuatu yang baru adalah memberitahukan kepada komunitas akademik sesuatu yang tadinya tidak diketahui. Sesuatu yang baru dapat berupa ekplorasi suatu objek penelitian yang baru, membantah teori yang sudah ada, atau memberikan alternatif teori lain yang menjelaskan suatu fenomena.43 Sebagai sebuah metode, studi kasus memiliki keunikan atau keunggulan tersendiri. Secara umum studi kasus memberikan akses atau peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Secara lebih rinci studi kasus mengisyaratkan keunggulan-keunggulan berikut: 1. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antarvariabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman lebih luas; 2. Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia. Melalui penyelidikan intensif peneliti dapat menemukan karakteristik dan hubungan-hubungan yang (mungkin) tidak diharapkan atau diduga sebelumnya;
42
Ibid., h. 117
43
Ibid., h. 118
38
3. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmuilmu sosial.44
Studi kasus memiliki tipe-tipe tertentu yang spesifik. Bogdan dan Biklen mencoba mengklasifikasikan tipe-tipe studi kasus ke dalam enam tipologi:45 1) Studi kasus kesejarahan sebuah organisasi Yang dituntut dalam studi kasus jenis ini adalah pemusatan perhatian mengenai perjalanan dan perkembangan sejarah organisasi sosial tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Dalam melakukan studi ini diperlukan juga kecermatan dalam merinci secara sistematik perkembangan dari tahap-tahap sebuah organisasi sosial. 2) Studi kasus observasi Yang lebih ditekankan di sini adalah kemampuan seorang peneliti menggunakan teknik observasi dalam penelitian. Dengan teknik observasi partisipan diarapkan dapat dijaring keterangan-keterangan empiris yang detail dan aktual dari unit analisis penelitian, apakah itu menyangkut kehidupan individu maupun unit-unit sosial tertentu dalam masyarakat.
44
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatf: Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Perkasa, 2012), cet. ke-8, h. 23 45
Ibid., h. 26-27
39
3) Studi kasus life history Studi ini mencoba menyingkap dengan lengkap dan rinci kisah perjalanan hidup seseorang sesuai dengan tahap-tahap, dinamika dan liku-liku yang mengharu-biru kehidupannya. Seseorang yang dimaksud adalah yang memiliki keunikan yang menonjol dan luar biasa dalam konteks kehidupan masyarakat. 4) Studi kasus komunitas sosial atau kemasyarakatan Seorang peneliti yang berpengalaman serta memiliki kepekaan dan ketajaman naluriah sebagai peneliti serigkali mampu melihat sisi-sisi unik tapi bermakna dari lingkungan sosial sekitarnya di alam komunitas di mana dia hidup dan bergaul sehari-hari. 5) Studi kasus analisa situasional Kehidupan sosial yang dinamis dan selalu menggapai perubahan demi perubahan tentu saja mengisyaratkan adanya letusan-letusan siatuasi dalam bentuk peristiwa-peristwa atau fenomena sosial tertentu. 6) Studi kasus mikroetnografi Studi kasus tataran ini dilakukan terhadap sebuah unit sosial terkecil, yaitu sebuah sisi tertentu dalam kehidupan sebuah komunikasi atau organisasi atau bahkan seorang individu.
Cresswell menyatakan bahwa dalam penyusunan pertanyaan penelitian dengan metode studi kasus peneliti dapat menulis pertanyaan lanjutan yang difokuskan pada isu dari topik yang diteliti. Selain itu, pertanyaan lanjutan dapat menandakan langkah-langkah prosedur dari koleksi data, analisis, dan konstruksi
40
format naratif. Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu tercatum dalam pertanyaan penelitian model studi kasus:46 1. Apa yang terjadi dan bagaimana suatu hal atau fenomena dapat terjadi (gambaran dan batasan fenomena yang akan diteliti)? 2. Siapa saja yang terlibat (seluruh subjek dan informan penelitian)? 3. Apa tema sentral atau suatu inti permasalahan (central phenomenon) yang akan diteliti? 4. Konstruksi teoritis apa yang dapat dipakai untuk mendasari fenomena yang diteliti dan mengapa teori tersebut berkaitan? 5. Apa dan di mana keunikan dari fenomena yang diteliti?
Jadi, dapat disimpulkan bahwa metode studi kasus adalah suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang bersifat kekininian.
46
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), cetakan ketiga, h. 97
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Latar Belakang UIN Fashion Fair UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan salah satu Universitas Islam terbesar yang menjadi simbol lingkungan Islami. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung, UIN Jakarta turut memberikan kontribusi pada perkembangan fesyen muslim di Indonesia. Latar belakang terbentuknya UIN Fashion Fair berawal dari pengalaman toleransi beragama yang dirasakan oleh Qonitah Al-Jundiah, mahasiswi Jurusan Psikologi UIN Syarif Hidayatullah saat melakukan pertukaran pelajar (Student Exchange) di Amerika Serikat. “Aku waktu itu ngeliat di luar negeri tuh fesyennya item-item semua gitu lho (untuk yang Muslim), jadi mereka mikirnya kalo orang Muslim yaa pake bajunya item-item aja atas sampe bawah. Pas mereka liat aku di US, “kok lucu sih? Scarf-nya beli di mana?”, kayak gitu... Padahal “enggak kok, ini bajunya H&M, ini bajunya ZARA”, gitu... Padahal baju yang biasa aku pake di pake buat berbusana muslim. Jadi aku tuh kayak, “oh, orang luar aja interest sama kita. Kenapa kita-nya enggak...””1
Dari pengalaman itulah gagasan ini bermula. Qonitah Al-Jundiah memiliki keinginan untuk mengumpulkan para muslim-muslimah muda untuk menjalin silaturahmi serta memperlihatkan potensi dan bakat-bakat terpendam yang dimiliki, khususnya di dalam lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1
Wawancara Pribadi dengan Qonitah Al-Jundiah, Tangerang Selatan, 2 Juni 2014.
41
42
“Idenya sebenernya, sempet ehm waktu itu kan pulang dari pertukaran pelajar terus ehm kepikiran kayaknya harus buat sesuatu nih di UIN. UIN tuh potensial, tapi kita enggak tau mau dikemanain. Setelah mikir, brainstorming sana-sini, terus cari-cari referensi, akhirnya ngumpulin temen-temen untuk bikin satu event, project namanya UIN Fashion Fair.”1 Ia juga ingin memperkenalkan busana muslimah yang sesuai dengan aturan-aturan berpakaian dalam Islam namun tetap sesuai dengan gaya dan keseharian muslimah muda masa kini. Qonitah Al-Jundiah ingin membuat sebuah acara yang tidak hanya sekedar “ada” tapi juga memberikan banyak informasi, pengetahuan dan kesan menyenangkan bagi para muslim-muslimah. “Ehm karena pengen satu, apa ya? Kalo cuma bikin fashion week gitu kan udah biasa ya. Cuma kayak nonton fashion show terus pulang, terus enggak dapet inside meaning apa pun. Akhirnya kita mikir kayaknya mesti ada suatu event yang continously. Tapi kita enggak mungkin bikin UIN Fashion Week, karena udah ada yang punya. Jadi yang lebih catchy akhirnya UIN Fashion Fair.”2
1. Proses Sosialisasi UIN Fashion Fair disosialisasikan melalui berbagai macam cara, baik melalui media online berupa blog dan website, jejaring media sosial berupa facebook, twitter, path, instagram maupun media cetak seperti poster, banner, dan baliho. Selain itu, UIN Fashion Fair juga selalu mengadakan “pawai” setiap minggunya bergantian di setiap fakultas yang ada di dalam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam setiap pawainya anggota UIN Fashion Fair
1
Wawancara Pribadi dengan Qonitah Al-Jundiah, Tangerang Selatan, 4 Desember 2012.
2
Wawancara Pribadi dengan Qonitah Al-Jundiah.
43
mengenakan busana seragam (dresscode) untuk lebih menarik perhatian khalayak umum. “Kita kan bener-bener serius ya bikin project-nya, jadi banner di mana-mana. Kita udah prepare banget kan, dari coming soon tuh udah bikin. Terus kita juga melibatkan media sosial, kita melibatkan semua akses sosial media kayak kita bikin website, bikin twitter, blog, facebook. Kita juga bikin parade kan. Jadi kita ketemu langsung sama orang-orangnya, interaksi langsung.”3 Gambar 3.1 Bentuk sosialisasi UIN Fashion Fair
Sumber: uinfashionfair.blogspot.com
2. Proses Rekrutmen Anggota Pada proses rekruitmen anggota UIN Fashion Fair, terdapat perbedaan pada proses di tahun 2012 dan tahun 2014. Pada tahun 2012, awal terbentuknya tim melalui promosi “dari mulut ke mulut”. Dari lingkaran pertemanan yang ada, maka terkumpullah tim UIN Fashion Fair yang terdiri dari (kurang-lebih) 50 orang dari seluruh fakultas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3
Wawancara Pribadi dengan Qonitah Al-Jundiah, Tangerang Selatan, 2 Juni 2014.
44
“Waktu itu kita tuh... Aku pertama nge-bagi, berapa orang sih yang diperluin untuk satu event besar seperti itu. Terus dapet sekitar 40an (orang). Kan awalnya cuma ngomong ke lima temen aku. Aku kan kampus dua (Psikologi), terus aku ngajak temen-temen aku. Temen aku ada lima orang, dan untungnya kita semua beda-beda fakultas semua. Jadi ada dakwah, saintek, psikologi, ini, ini, yaudah aku minta sama temen-temen aku ini untuk cari orang. Jadi aku tuh yang UFF 2012 rata sampe (fakultas) Dirasat-pun ada. Jadi aku enggak mau yang orang-orangnya tuh dari (fakultas) Psikologi semua. Dan kita tuh ada open recruitment-nya juga. Jadi waktu yang tim intinya udah lengkap, kita kayak cari volunteer juga. Nah volunteer itu terbuka buat umum. Dan waktu itu yang daftar sampe 200-an (orang), cuma waktu itu kita cuma ambil sekitar sepuluh orang. Jadi yang kepilih di UFF 2012 itu kebanyakan yang mau, tertarik sama fesyen.”4
3. Visi-Misi UIN Fashion Fair UIN Fashion Fair memiliki visi untuk menjadi wadah bagi pemuda dan pemudi dalam mengembagkan potensi-potensinya, terutama di dalam bidang fesyen serta untuk memajukan Islam syi’ar melalui busana muslimah. Sedangkan untuk misinya, terdapat empat poin yang ingin ditonjolkan oleh UIN Fashion Fair, yaitu: (1) exploring fashion sense, (2) educational support, (3) epowering youth, (4) enlightened. “Jadi dari sini tuh bisa dijelasin exploring, empowering, enlightened sama educational support itu apa. Kalo exploring jadi kita di sini ehm bisa jadi untuk wadah enggak cuma muslimah di UIN aja tapi di Jabodetabek, se-Indonesia, itu semuanya dari mana aja, kita bisa di sini saling berbagi pengalaman mengenai fesyen, mengenai agama itu sendiri, maksudnya Islam itu sendiri, terus bisa saling bertukar pikiran, bisa sharing di sini kita mengadakan acara-acara syi’ar Islam bentuknya fesyen tapi enggak hanya fesyen, walaupun bertema fesyen. Kita kan punya acara macem-macem juga, terus dari bentuk empowering youth sama educational support. Educational support itu misalkan kita syi’ar dalam bentuk berbusana itu kita bentuk dalam acara talkshow itu sendiri, kayak 4
Wawancara Pribadi dengan Qonitah Al-Jundiah, Tangerang Selatan, 2 Juni 2014.
45
gitu. Terus untuk empowering youth, kita bikin acara untuk desain berbusana muslimah itu sendiri, desainnya itu gimana, dan enlightened itu kita menjadikan ehm UFF itu sendiri tidak hanya mengharumkan UFF atau UIN punya saja, tapi untuk muslim dan muslimah, kalo kita itu ehm Islam itu tetep modern dan dinamis gitu enggak statis gitu-gitu aja, bisa mengikuti perkembangan zaman tapi tetep dalam aturan syari’ah Islam.”5
B. Tujuan UIN Fashion Fair Setiap kelompok sosial pasti memiliki tujuan. Tujuan kelompok bukan hanya sekedar gabungan dari tujuan-tujuan personal para anggotanya, melainkan mengarah pada kedudukan yang diinginkan oleh kelompok. Tujuan kelompok terletak pada pemikiran para anggotanya dan hidup bersama proses mental lainnya termasuk kebutuhan personal, harapan personal dan tujuan personal.6 Begitu pula dengan UIN Fashion Fair. Kelompok ini memiliki dua tujuan utama, yaitu: (1) mengubah pandangan masyarakat tentang muslimah berjilbab, (2) syi’ar kepada muslimah muda yang belum berjilbab agar menjadi berjilbab dengan cara memperkenalkan fesyen Islam (Islamic fashion) kepada khalayak umum. Tujuan pertama, mengubah konstruksi citra masyarakat terhadap muslimah berjilbab dilatarbelakangi oleh kondisi para muslimah berjilbab di Indonesia yang mana sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun ternyata muslimah berjilbab masih dipandang sebelah mata. Muslimah berjilbab dianggap kuno, tidak gaul dan tidak bisa gaya. Selain itu, banyak pihak yang berpandangan bila menggunakan jilbab akan sulit untuk 5 6
Wawancara Pribadi dengan Agnesh Sherfina, Tangerang Selatan, 9 Juni 2014.
Ayu Agustin Nursyahbani, “Kontruksi dan Representasi Gaya Hidup Muslimah Perkotaan: Studi Kasus Pada Hijabers Community di Jakarta”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 89
46
mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut membuat para muslimah muda ragu untuk menggunakan jilbab karena khawatir dengan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapinya. Konstruksi citra mengenai jilbab yang berkembang di masyarakat membuat para muslimah memilih untuk menggunakan jilbab saat sudah mapan, saat menikah, ataupun saat sudah lanjut usia. Sebelum banyak muncul kelompok-kelompok muslimah yang ada seperti sekarang, figur panutan untuk muslimah adalah para ustadzah yang lebih tertuju pada segmen usia ibu-ibu, yakni usia 30 tahun ke atas. Oleh karena itu, UIN Fashion Fair ingin memberikan inspirasi bagi para muslimah muda yang telah berjilbab ataupun muslimah muda yang belum agar tertarik untuk mengenakan jilbab. Melalui gaya berbusana dan berjilbab, kegiatan yang diselenggarakan, UIN Fashion Fair ingin mengubah pandangan negatif terhadap muslimah berjilbab. Tujuan untuk mengubah pandangan terhadap muslimah berjilbab tersebut terkait dengan tujuan UIN Fashion Fair yang kedua, yaitu membuat lebih banyak orang tertarik untuk mengenakan hijab. UIN Fashion Fair menggunakan busana muslimah sebagai alat atau media untuk berdakwah dalam upaya memberikan inspirasi kepada muslimah muda untuk berkerudung dan berbusana muslimah sesuai dengan syari’at-syari’at Islam yang merupakan salah satu bentuk syi’ar dari UIN Fashion Fair. Dalam upaya menyebarluaskan makna jilbab dan pemakaiannya, UIN Fashion Fair berupaya melalui berbagai kegiatan dengan menonjolkan unsur-unsur Islami yang dimasukkan dalam setiap rangkaian kegiatan yang diselenggarakan.
47
Selain itu, UIN Fashion Fair juga ingin menunjukkan figur muslimah yang bisa menjadipanutan bagi orang lain, menunjukkan sisi Islam yang modern, serta menghilangkan kesan kaku dan kuno yang selama ini berkembang di masyarakat. Setiap orang mempnyai motivasi dalam melakukan aktifitas agar menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Begitu pula dengan Qonitah Al-Jundiah dan teman-temannya. Berawal dari bidang yang diminati, mereka kemudian memiliki inisiatif menyelenggarakan suatu kegiatan dengan tujuan untuk mensyi’arkan dan menyebarluaskan tentang kewajiban berhijab kepada para muslim/muslimah agar semakin banyak orang yang menjalankan perintah Allah untuk mengenakan pakaian takwa tersebut.
C. Struktur Organisasi UIN Fashion Fair Berikut ini merupakan bagan struktur kepengurusan UIN Fashion Fair. Bagan 3.1 Struktur Kepengurusan UIN Fashion Fair D. E.
Ketua F.
G.
Sekretaris
H. I.
Bendahara
J.
Divisi Acara
Divisi Humas
Divisi Sponsorship K. L.
M.
Divisi Tenant
N.
Sumber: Dokumen UIN Fashion Fair
Divisi Dokumentasi
48
Pada dasarnya setiap posisi memiliki tanggungjawab masing-masing. Jabatan ketua memiliki peran: (1) memantau jalannya tugas dan tanggungjawab dari tiap divisi. (2) mewakili UIN Fashion Fair dalam acara seremonial. Sedangkan untuk posisi sekretaris berperan mengurus hal-hal administratif, dan posisi bendahara bertanggungjawab untuk mengelola keuangan UIN Fashion Fair. Selain jabatan inti tersebut, struktur kepengurusan UIN Fashion Fair terbagi dalam tujuh divisi, yaitu: divisi acara, divisi humas (public relation), divisi sponsorship, divisi tenant, divisi dokumentasi, divisi audiens dan divisi perlengkapan. Divisi acara memiliki peran mengurus berbagai acara atau kegiatan UIN Fashion Fair, baik yang pre-event maupun main event. Divisi acara merupakan divisi yang memiliki anggota terbanyak, yaitu enam orang. Divisi berikutnya adalah public relation yang diisi oleh tiga orang. Divisi public relation bertugas sebagai penghubung UIN Fashion Fair dengan pihak luar, termasuk membangun relasi dengan media massa. Berikutnya, divisi sponsorship yang diisi oleh lima orang. Divisi ini bertugas untuk membangun relasi dengan perusahaanperusahaan yang menjadi pendukung acara. Yang keempat adalah divisi tenant yang memiliki tanggung jawab untuk mengatur brand-brand (pribadi atau perusahaan) yang ingin ikut serta dalam bazaar, divisi ini memiliki anggota tiga orang. Dan yang terakhir adalah divisi dokumentasi yang bertugas untuk mengabadikan momen-momen saat acara berlangsung. Khusus untuk divisi ini, UIN Fashion Fair bekerjasama dengan salah satu Lembaga Semi Otonom (LSO), yaitu Klise Fotografi.
49
D. Kegiatan UIN Fashion Fair UIN Fashion Fair memiliki banyak rangkaian acara di setiap perhelatannya, dan dalam setiap acaranya UIN Fashion Fair bekerjasama dengan banyak pihak dari berbagai bidang. Bentuk kegiatannya adalah sebagai berikut: 1. Talkshow Acara talkshow yang diselenggarakan oleh UIN Fashion Fair bertujuan untuk pengembangan diri bagi muslimah. Talkshow ini mengusung tema “Fashion, World and Religion”. Pada talkshow “Fashion, World and Religion” UIN Fashion Fair mengundang Dian Pelangi selaku desainer busana muslimah dan entrepreneur, Muhammad Assad selaku penulis buku “Notes from Qatar”, serta Dra. Poppy Savitri selaku Dirjen Arsitektur dan Desain, perwakilan dari Kementerian Ekonomi dan Pariwisata Kreatif. Acara ini bertujuan untuk memperkenalkan dan mensyi’arkan Islamic Fashion dan hakikat fesyen di mata Islam dan dunia mengenai apa itu syar’i, bagaimana sejarah dan syi’ar Islam, proses pemahaman serta perkembangan fesyen di Indonesia dan dunia kepada pemuda-pemudi muslim.
2. Charity Selain
talkshow,
UIN
Fashion
Fair
juga
mengadakan
charity
(pengumpulan dana amal) berupa santunan kepada anak yatim-piatu. Acara charity ini diusung dengan konsep “Fashion Swap”, yaitu acara penggalangan dana yang tidak hanya berupa sejumlah uang, tapi juga pakaian-pakaian yang masih layak pakai. Hasil dari penggalangan dana tersebut nantinya akan
50
disumbangkan kepada Yayasan Sayap Ibu Bintaro, yakni sebuah lembaga independen yang bergerak di bidang perawatan dan pengasuhan anak-anak terlantar, termasuk korban kasus perdagangan anak.
Mereka tidak hanya
diberikan santunan, tapi juga diajak untuk ikut berpartisipasi sebagai peserta dalam acara talkshow yang diselenggarakan.
3. Hijab and Beauty Class Hijab and Beauty Class merupakan kegiatan pelatihan tentang cara berjilbab yang berisi tutorial kreasi gaya berjilbab dan tips berjilbab yang diberikan oleh bintang tamu yang sudah mumpuni dalam bidang tersebut. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberikan pengetahuan baru kepada muslimah mengenai cara memakai hijab yang cantik namun tetap sesuai syar’i yang berlaku. Dengan mengadakan hijab and beauty class ini diharapkan dapat membuat semakin banyak muslimah muda yang ingin berhijab. Untuk para muslimah yang ingin mengikuti acara Hijab and Beauty Class ini dikenakan biaya sebesar Rp 100.000. Jumlah biaya yang dikenakan kepada disebabkan karena setiap peserta yang hadir dalam acara ini akan mendapatkan bingkisan dari Wardah dan sebuah scarf dari produk Kaffah milik Siti Juwariyah.
4. Styling Competition Styling
Competition
diadakan
untuk
menunjukkan
bakat-bakat
muslim/muslimah muda, khususnya di bidang fesyen. Untuk kompetisi styling competition, para peserta diharuskan mengirimkan foto berupa rancangan padupadan (mix and match) pakaian yang sesuai dengan syari’at Islam berdasarkan
51
tema yang diusung, yaitu “Casual and Playful Outfit”. Juri dalam ajang kompetisi adalah Ashfi Qamara (model dan blogger), Christian (pemilik dari Endorse Distro) dan Inneke (Fashion Stylish Majalah).
5. Model Hunt Model Hunt merupakan ajang pencarian bakat modeling yang terbuka untuk umum, baik pelajar maupun mahasiswa/i. Para peserta yang terpilih nanti akan tampil di pada ajang Islamic Fashion Show pada acara puncak. Untuk ajang model hunt ini, peserta diwajibkan untuk mengenakan busana muslim/muslimah dan sesuai dengan syari’at Islam, seperti untuk yang pria tidak memakai celana pendek, kemudian untuk yang wanita pakaiannya tidak ketat, tidak tembus pandang dan menutup aurat.. Peserta yang nanti memenangkan juara pertama dalam perlombaan ini akan mendapatkan kontrak kerja dengan Zaura Models Agency selama enam bulan dan menjadi model dalam rubrik fesyen di Hijabella Magazine.
6. Fashion Bazaar Fashion bazaar ini merupakan salah satu rangkaian acara pre-event UIN Fashion Fair. Dalam acara ini sebanyak 45 booth akan diisi oleh brand-brand busana muslim/muslimah dan aksesoris ternama di Indonesia, seperti merk B dari Barli Asmara, El-Hasbu dari Lulu El-Hasbu, nandaayuID dari Nanda Ayu dan tiadjamal dari Tia Djamal Fathiyah.
52
7. Fashion Show Acara pagelaran busana Islamic Fashion Show merupakan acara utama dari seluruh rangkaian acara yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada tahun 2012, UIN Fashion Fair mengusung tema “Breakthrough” yang diisi oleh berbagai desainer busana muslim/muslimah seperti Jenahara, Monika Jufri, Najua Ramadhan, Simply Vee Wee, Look Up dan juga bintang tamu yaitu Dian Pelangi dan Risty Tagor.
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS
A. Upaya UIN Fashion Fair dalam Memasyarakatkan Busana Muslim Dari sekian banyak ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai pakaian, dapat ditemukan beberapa fungsi pakaian atau pesan dakwah yang terdapat dalam busana, di antaranya sebagai perhiasan, memelihara pemakainya dari sengatan matahari dan dinginnya udara dan dari segala sesuatu yang mengganggu jasmani serta sebagai petunjuk identitas pembeda seseorang dengan yang lainnya. Pemahaman hijab dan menutup aurat di Indonesia lebih menunjukkan gaya berkerudung dan berbusana yang cenderung lebih beragam dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah. Terdapat berbagai variasi gaya berhijab mulai dari hijab cadar, hijab panjang hingga hijab trendi. A.
Gambar 4.1 Penampilan wanita muslimah Timur Tengah
Sumber: www.google.com
53
54
Gambar 4.2 Penampilan wanita muslimah Indonesia
Sumber: www.wigoddes.wordpress.com & www.tentangwanita.com
Faktor lain yang menjadi salah satu sebab munculnya hijab trendi ini adalah karena pertemuan antara budaya global dan budaya lokal. Pertemuan kedua budaya dalam hal khimar (kerudung) dan busana muslimah terjadi karena pengaruh fesyen yang telah menjadi budaya global bertemu dengan khimar dan busana muslimah yang menjadi budaya lokal Islam. Di antara sekian banyak media dakwah yang ada, busana muslimah termasuk ke dalam Washilah Madiyah, yaitu media yang bersifat material, yakni segala bentuk alat yang bisa di indera dan dapat membantu para da’i dalam menyampaikan dakwah kepada mad’u-nya. Busana muslimah menjadi daya tarik publik karena perkembangannya terus berputar. UIN Fashion Fair berdakwah kepada para muslimah muda untuk mengenakan busana muslimah dengan cara mengajak mereka untuk mengikuti rangkaian acara yang telah disusun. Dalam setiap acaranya, mereka secara tidak
55
langsung telah mensyi’arkan busana muslimah yang merupakan pakaian takwa dan perintah Allah SWT. untuk dipakai oleh para muslimah. Beberapa upaya yang dilakukan oleh UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah, di antaranya adalah dengan menyelenggarakan seminar, pelatihan hijab and beauty class, ajang pencarian bakat sebagai model busana muslimah (model hunt), dan pegelaran busana muslimah (Islamic Fahion Show). Talk show yang diselenggarakan oleh UIN Fashion Fair mengangkat tema “Fashion, World and Religion” yang membahas mengenai hakikat fesyen di dalam Islam dan dunia, mengenai apa itu syar’i, proses pemahaman serta perkembangan fesyen di Indonesia dan dunia kepada pemuda-pemudi muslim. Salah satu bintang tamunya, seorang desainer busana muslimah ternama, Dian Pelangi mengatakan bahwa ia ingin merubah pandangan banyak negara yang mengidentikkan busama muslimah dengan abaya dan warna gelap. Karena seperti yang kita ketahui, mayoritas umat muslim di negara-negara Timur Tengah mengenakan hijab model abaya dengan warna hitam. Dian ingin menghadirkan warna-warni dan desain yang lebih universal melalui berbagai rancangannya. “Saya ingin busana muslim bisa digunakan juga oleh wanita yang tidak berkerudung. Namun busana tersebut bisa tetap menutup seluruh bagian tubuh.”1 Dian tidak sekedar merancang busana muslim, tetapi juga memadukan fesyen dengan sesuatu yang berbeda. Tak jarang, Dian mencoba menghadirkan
1
Dian Pelangi dalam Talk Show “Fashion, World and Religion”, Gedung NICT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1 Juni 2012.
56
nuansa tradisional Indonesia, seperti menggabungkan kain jumputan atau tenun dalam busana muslimah rancangannya. Dian juga meyakini dengan perkembangan fesyen muslim yang melesat seperti saat ini, kelak pada tahun 2020 Indonesia bisa dijadikan sebagai kiblat fesyen dunia, khususnya untuk fesyen muslim. Menurutnya, sejauh ini busana muslim/muslimah di Indonesia sudah sangat terkenal. Bahkan beberapa negara tetangga banyak yang datang untuk membeli berbagai busana muslim dari butikbutik muslimah di Indonesia. Dunia fesyen internasional juga sudah mulai mengakui perkembangan fesyen di Indonesia, khususnya fesyen muslim dengan memberikan apresiasi kepada 13 orang desainer busana muslim Indonesia untuk hadir dan turut serta dalam ajang International Fashion Fair di Perancis. Selain talk show di atas, salah satu rangkaian acara yang menarik banyak perhatian publik adalah acara beauty and hijab class. Karena dalam acara ini para muslimah diberikan pelatihan tentang berbagai macam kreasi gaya berkerudung, serta memperlihatkan sisi kreatifitas dari para muslimah dalam memadu-padankan kerudung dengan busana yang dikenakan. Acara ini diselenggarakan dengan tujuan agar menarik semakin banyak orang orang mengenakan hijab, terutama para muslimah muda. Pada umumnya, untuk mengikuti acara ini para peserta dikenakan biaya tertentu. Hal tersebut disebabkan oleh tempat pelaksanaan acara serta bingkisan yang yang akan diberikan kepada masing-masing peserta yang hadir dalam acara tersebut. “Kita tuh pengen perempuan ngerasa cantik gitu. Jadi waktu itu kan kita penasaran tuh, ribet enggak sih pake kerudung gini gini gini, gitu. Anak UIN kan kebanyakan kerudungnya cuma ya gitu aja, kadang pake berego kayak enggak niat gitu lho. Seharusnya sebagai
57
seorang perempuan muslim, apalagi kita bawa identitas UIN, harusnya kan kita kalo diliat sama yang bukan orang UIN kan mestinya rapi, bersih, menariklah pokoknya. Enggak usah pake baju yang gimana-gimana, yang penting kamu menarik gitu.”2 Dengan mengusung tema “Festive Hijab and Beauty”, acara tutorial hijab ini diharapkan dapat meluruskan kesalahan dalam cara pemakaian kerudung yang masih sering terjadi. Yang banyak terlihat, para muslimah menggunakan kerudung dengan cepolan (ikatan atau gelungan rambut) yang tinggi seperti punuk unta. Padahal itu tidak dibenarkan oleh Rasulullah. Tidak apa menggelung rambut, tapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga menjadi terlihat (bentuk gelungan rambutnya) saat memakai kerudung. Berikutnya adalah ajang pencarian model untuk busana muslimah (model hunt). Kompetisi ini merupakan salah satu upaya UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah. Karena pada umumnya orang akan lebih tertarik kepada suatu busana apabila diperagakan oleh seorang model. Dalam kompetisi ini, UIN Fashion Fair bekerjasama dengan salah satu majalah remaja muslimah yang fokus terhadap perkembangan busana muslimah, yakni Hijabella Magazine. Acara pagelaran busana (fashion show) juga menarik banyak perhatian publik. Karena dalam acara ini UIN Fashion Fair mengundang desainer-desainer busana muslim/muslimah ternama seperti Dian Pelangi, Ria Miranda, Lulu ElHasbu, Barli Asmara, dan lain sebagainya. Penyelenggaraan pagelaran busana ini menawarkan busana Islami dengan penampilan modern dan tidak ketinggalan
2
Wawancara Pribadi dengan Qonitah Al-Jundiah, Tangerang Selatan, 2 Juni 2014.
58
zaman dalam berbagai suasana, baik berupa suasana kerja, sekolah, kampus, acara pesta, atau pun acara yang tidak resmi seperti pakaian sehari-hari. Pagelaran busana ini diselenggarakan dalam upaya untuk menimbulkan kesan dan pesan bahwa busana muslimah adalah busana yang indah dan ramah, busana yang anggun dan santun, busana yang trendi dan bergengsi, serta busana sepanjang zaman. Islamic Fashion Show: Breakthrough menjadi tempat sosialisasi para desainer-desainer busana muslim Indonesia kepada para pemuda-pemudi mengenai busana muslimah yang sesuai dengan sya’riat Islam. Seperti yang telah diketahui, hijab merupakan simbol dari nilai-nilai dan tradisi agama Islam. Saat ini banyak dijumpai muslimah yang memaknai dan merepresentasikan pemakaian hijab lebih dari sebuah kewajiban nilai ke-Islaman dan mengarah pada modernisasi terkait dengan munculnya fenomena muslimah yang berpenampilan trendi. Melalui kerudung dan busana yang dikenakannya tersimpan kesan dari pemakainya, seperti kerapihan, kesopanan dan simbol ketaqwaannya sebagai seorang muslimah. Hijab diperlihatkan sebagai bagian dari praktik dakwah yang menunjukkan ketaatan terhadap nilai-nilai ke-Islaman namun dalam wujud yang modern. Dalam hal ini, Qonitah Al-Jundiah dan teman-temannya menjadi aktor atau penggerak yang dengan sengaja bertindak untuk menyelenggarakan UIN Fashion Fair. Mereka menyusun serangkaian acara dan mengundang banyak pihak untuk berkolaborasi dengan mereka dengan tujuan untuk mensyi’arkan fesyen
59
muslim kepada muslim/muslimah yang ada di lingkungan sekitarnya, khususnya di dalam lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. UIN Fashion Fair melakukan dakwah melalui sarana busana muslimah, karena mereka ingin menyebarluaskan bahwa busana muslimah bukanlah busana yang kuno dan monoton, tetapi busana muslimah adalah busana yang bisa dikenakan dalam kegiatan sehari-hari bila dipadu-padankan dengan benar. Banyak cara yang telah mereka lakukan dalam melaksanakan dakwah bil hal ini, seperti talkshow, charity (pengumpulan dana amal), hijab and beauty class, design & styling competition, model hunt (ajang pencarian bakat sebagai model), fashion bazaar dan fashion show (pagelaran busana). Tingkah laku anggota anggota masyarakat pada umumnya diarahkan dan diatur oleh norma-norma dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Nilai-nilai dan norma-norma tersebut diterapkan oleh UIN Fashion Fair dalam kesehariannya. Hijab sebagai sebuah simbol agama mengarahkan UIN Fashion Fair untuk menjaga citra keislaman dari hijab itu sendiri. Hal tersebut disadari oleh Qonitah Al-Jundiah, bahwa sebagai kelompok berhijab seharusnya mereka mengenakan kerudung dan berbusana sesuai syari’at-syari’at Islam: “Aku selalu sounding sih ke temen-temen, ‘eh kita kan diliat sama temen-temen yang lain. Supaya temen-temen yang lain mau gabung, makanya kita pake bajunya yang proper’. Jadi kita semua sepakat, dan Alhamdulillah temen-temen pake bajunya tuh rapi, pake rok, gamis, kalo pake jins ada mini skirt-nya lagi. Kita sadar sih, jadi kita harus ikutin peraturannya. Kalo misalnya ada yang pake baju ketat, ‘kok pake baju ketat sih? Jangan, jangan. Nanti kan diliat orang’. Jadi kita saling ngingetin.”3
3
Wawancara Pribadi dengan Qonitah Al-Jundiah, Tangerang Selatan, 2 Juni 2014.
60
Dari nilai kelompok yang ada, maka berdampak pada norma yang diterapkan terhadap seluruh anggota kelompok. Berdasarkan penjelasan dari seluruh narasumber, tidak terdapat tertulis di dalam kelompok namun ada beberapa hal yang sangat ditekankan mengenai busana muslimah yang dikenakannya, seperti pelarangan untuk menggunakan legging (celana ketat panjang) sebagai pakaian luar. Untuk menjaga agar norma kelompok tetap dipatuhi, maka antar anggota saling mengingatkan bila ada yang mengenakan pakaian yang agak terbuka, ketat atau menerawang. Oleh karena itu, diperlukan adanya kontrol sosial dari sesama anggota: “Kita kalau di UFF itu dibilangin kalau ‘kalian boleh fesyen, bla bla bla, mau eksplor, tapi kalian tetep harus inget kalau pake jilbab itu narus nutup dada’, gitu-gitu. Jadi kita tuh di UFF dibilangin. Kan banyak yang pakai turban, model turban itu kan enggak nutup dada tuh kak, kalo kita sama senior-senior tuh dibilangin enggak boleh kayak gitu. Jadi kalau di UFF itu rata-rata paling kalau pake turban buat foto doang, atau enggak akai turban tapi dadanya ditutupin lagi pakai syal.”
Gambar 4.3 Gaya berhijab anggota UIN Fashion Fair
Sumber: Dokumentasi pribadi UIN Fashion Fair
61
Tindakan yang dilakukan oleh Qonitah Al-Jundiah dan teman-temannya telah menimbulkan perubahan yang cukup signifikan mengenai cara berhijab di masyarakat, tidak terkecuali para anggotanya. Banyak dari mereka yang sebelumnya hanya mengenakan busana muslimah “seadanya” dengan pola berpakaian yang cenderung satu warna dari kepala hingga kaki (kerudung hingga pakaian). Namun setelah bergabung dengan UIN Fashion Fair, mereka kini lebih berani dalam mengeksplor warna dalam berbusana dan lebih percaya diri untuk melakukan mix and match (padu-padan) pada busana yang mereka kenakan. “Sebelum gabung... aku itu dulu berarti taun 2012 yah bareng mba Tata. Sebelum gabung itu aku mungkin lebih ke yang belum terlalu berani nge-mix and match baju, masih yang terlalu monoton gitu, enggak berani mainin warna. Tapi setelah di UFF tuh aku baru berani mengeksplor warna, baru berani nge-mix and match baju, gitu...”4 Dengan diselenggarakannya UIN Fashion Fair, maka mereka telah ikut berperan dalam meluruskan perihal fenomena jilboobs yang sekarang banyak terjadi di masyarakat. Mereka menunjukkan bahwa dalam mengenakan pakaian takwa banyak hal-hal yang harus diperhatikan oleh si pemakai, seperti model pakaiannya longgar yang tidak boleh membentuk lekuk tubuh, bahan pakaiannya yang tebal dan tidak transparan, kerudung yang dijulurkan hingga menutupi bagian dada, pakaian yang dikenakan tidak berlebihan, tidak menyerupai pakaian laki-laki, dan pakaian tersebut tidak dipakai untuk dipamerkan kepada orang lain ataupun untuk bermewah-mewahan.
4
Wawancara Pribadi dengan Rahmania Fauzia, Tangerang Selatan, 13 Juni 2014
62
Kegiatan dakwah bil hal yang dilakukan dengan cara menyelenggarakan UIN Fashion Fair dapat dikatakan berhasil. Karena telah membawa pengaruh dalam hal perubahan pandangan dan pendapat mengenai hijab sehingga membuat semakin banyak orang yang tertarik untuk mengenakan pakaian takwa tersebut. Namun, yang harus tetap menjadi perhatian masyarakat adalah bagaimana pakaian tersebut dikenakan. Meskipun mengusung fesyen muslim, tapi aturanaturan berpakaian dalam syari’at tetap tidak boleh dilupakan. Karena apabila hal tersebut tidak diperhatikan, maka busana tersebut tidak lagi menjadi pakaian takwa. Seperti masih memperlihatkan lekuk tubuh, bahan pakaiannya tidak tebal, menggunakan wewangian yang menyengat, menyerupai pakaian laki-laki serta digunakan untuk bermewah-mewahan.
A. Evaluasi Upaya UIN Fashion Fair dalam Memasyarakatkan Busana Muslim Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, melihat pemandangan muslimah berhijab bukan hal yang luar biasa, karena sudah ada peraturan yang mengikat para muslimah untuk mengenakan kerudung dan busana yang menutup aurat di lingkungan universitas. Karena berasal dari lingkungan yang sama, maka banyak mahasiswi-mahasiswi lainnya yang juga memberikan dukungan kepada UIN Fashion Fair. Begitu pula dengan jajaran pihak retorat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena niat baik yang ditunjukkan oleh Qonitah Al-Jundiah dan temanteman,
maka
pihak
universitas
memberikan
terselenggaranya kegiatan UIN Fashion Fair ini.
dukungan
penuh
untuk
63
Namun, tujuan UIN Fashion Fair untuk memasyarakatkan busana muslim/muslimah belum sepenuhnya tercapai. Karena masih banyak muslimah yang belum menerapkan cara berpakaian yang sesuai dengan syari’at-syari’at Islam, meskipun ada sebagian muslimah yang sudah mulai menerapkannya dalam keseharian. Banyak muslimah yang terlihat masih mengenakan baju dan celana yang membentuk lekuk tubuh, termasuk para anggota UIN Fashion Fair itu sendiri. UIN Fashion Fair berhasil mengubah konstruksi dan pandangan mengenai hijab yang berkembang di masyarakat. Kini sudah banyak muslimah yang mulai menerapkan pemakaian hijab di dalam kegiatannya sehari-hari, walaupun hijab yang mereka kenakan belum sepenuhnya sesuai dengan syari’at yang dianjurkan dalam Islam. Namun, suatu perubahan memang memerlukan proses yang bertahap. Pada tahap awal, para muslimah baru muai mengenakan pakaian yang menutupi auratnya, walaupun belum secara utuh. Masih banyak terlihat muslimah yang mengenakan kemeja panjang, namun kemeja tersebut dilipat hingga bagian setengah lengan. Begitu pula dengan bawahan yang dikenakan. Banyak yang masih memakai celana jins yang memperlihatkan bentuk lekuk tubuhnya, terutama bagian pinggang ke bawah. Namun sudah banyak pula yang mulai belajar untuk mengenakan bawahan rok panjang dalam kesehariannya dan meninggalkan kebiasaannya memakai celana. Bagi sebagian orang, yang diutamakan saat mengenakan suatu pakaian adalah kenyamanan pakaian tersebut dan kemana tempat yang mereka tuju. Untuk pakaian sehari-hari, banyak dari anggota UIN Fashion Fair yang masih
64
mengenakan kemeja dan celana jins. Namun, untuk beberapa kesempatan tertentu tidak menutup kemungkinan untuk mereka menggunakan rok panjang dalam berkegiatan. Fesyen muslim yang saat ini sudah berkembang semakin pesat telah menarik perhatian masyarakat. Mulai dari kalangan masyarakat biasa, kalangan sosialita, kalangan public figure, dan kini sudah merambah ke kalangan anak muda. Dengan tren busana muslim/muslimah yang terus berkembang, maka akan semakin banyak pula para muslimah yang memiliki niat untuk mengenakan pakaian takwa tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri, banyak dari mereka yang alasan awal untuk mengenakan hijab ini adalah hanya untuk sekedar “ikutikutan teman”. Tetapi harus diingat bahwa busana muslim/muslimah bukan hanya sekedar pakaian yang bisa “diuji coba”, melainkan harus dipakai secara terusmenerus selama kita hidup dan menjadi jati diri seluruh wanita muslim karena hal tersebut adalah kewajiban setiap muslimah yang diperintahkan oleh Allah SWT. seperti yang telah difirmankan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 59 dan surat an-Nur ayat 31.
BAB V PENUTUP ru
A. Kesimpulan Dari seluruh pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1.
Upaya yang dilakukan oleh UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah adalah dengan menyelenggarakan beberapa rangkaian acara, di antaranya adalah talk show dengan tema “Fashion, World and Religion”, yakni seminar yang membahas mengenai fesyen muslim dan perkembangannya di Indonesia dan dunia, kemudian acara Beauty and Hijab Class, yaitu kegiatan pelatihan dalam kreasi berjilbab, ajang pencarian bakat Model Hunt, yaitu pencarian model untuk busana muslimah serta acara puncaknya adalah Islamic Fashion Show:Breakthrough, yakni pagelaran busana muslim yang menampilkan karya desainer-desainer ternama.
2.
Tujuan yang diharapkan dari acara UIN Fashion Fair ini belum sepenuhnya tercapai, karena masih banyak muslimah yang belum menerapkan cara berpakaian yang sesuai dengan syari’at Islam. Termasuk di dalamnya adalah para anggota UIN Fashion Fair itu sendiri. Banyak dari mereka yang masih mengenakan celana yang membentuk lekuk tubuh dan kerudung yang tidak menutupi bagian dada.
65
B. Saran Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan dalam upaya UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah antara lain: 1. Agar Qonitah Al-Jundiah dan teman-teman (tim UIN Fashion Fair) terus mengembangkan upaya-upaya untuk mensyi’arkan kewajiban mengenakan hijab di kalangan muslimah muda. 2. Agar UIN Fashion Fair tetap menerapkan kontrol sosial kepada lingkungannya agar selalu menerapkan cara berpakaian yang sesuai dengan syari’at Islam dan meminimalisir adanya fenomena jilboobs seperti sekarang ini. 3. Agar para muslimah tetap mempertahankan jati dirinya sebagai muslimah yang taat pada aturan-aturan Islam, terutama aturan-aturan mengenai cara berpakaian yang harus diterapkan dalam kesehariannya.
66
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku : Alatas, Alwi dan Desliyanti, Fifrida. Revolusi Jilbab. Jakarta: Al-I’tishom. 2002. An-Nabiry, Fathul Bahri. Meniti Jalan Dakwah: Bekal Perjuangan Para Da’i. Cetakan pertama. Jakarta: AMZAH. 2008. Arifin, Anwar. Dakwah Kontemporer: Studi Sebuah Komunikasi. Cetakan pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010. AS, Enjang dan Aliyudin. Dasar-dasar Ilmu Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran. 2009. Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2003. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan ke-3. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. Dewi, Oki Setiana. Hijab I’m In Love. Bandung: penerbit Mizan. 2013. Dustur, A. Hasyimy. Dakwah menurut Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang. 1974. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007 El-Bantanie, Muhammad Syafi’ie. Bidadari Dunia. Jakarta: QultumMedia. 2005. Fadholi, Sitoresmi Syukri. Sosok Wanita Muslimah. Cetakan pertama. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1992. Hamidi. Teori Komunikasi dan Strategi Dakwah. Malang: UMM Press. 2010. Hasan, Abdillah Firmanzah. Lebih Anggun dengan Berhijab. Cetakan pertama. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2013.
67
68
Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Cetakan ke-3. Jakarta: Salemba Humanika. 2012. Ilaihi, Wahyu. Komunikasi Dakwah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2010. Khalis, Ibnu. Segala Jenis Kesalahan Paling Sering dalam Berjilbab dan Berbusana Muslimah. Yogyakarta: DIVA Press. 2011. Labib, Muhsin. Fikih Lifestyle. Jakarta: Tinta Publisher. 2011. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2000. Munir, M. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana. 2006. Muthahhari, Murtadha. Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam (Terj. On the Islamic Hijab). Cetakan keempat. Bandung: Penerbit Mizan. 1990. Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, Disertasi). Jakarta: CeQDA. 2007. Nazir, Mohammed. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1988. Patrick, Li. Jilbab Bukan Jilboob. Cetakan pertama. Jakarta: Peerbit Kalil. 2014. Salman, Ismah. Strategi Dakwah di Era Millenium, Jurnal Kajian Dakwah dan Budaya. Volume 5. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2004. Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar. Jakarta: PT Indeks. 2012. Shahab, Husein. 2013. Hijab Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah: Pandangan Muthahhari dan Al-Maududi. Bandung: PT Mizan Pustaka. 2013. Shaleh, Abd. Rosyad. Manajemen Dakwah Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1986. Shihab, M. Quraish. “Jilbab”: Pakaian Wanita Muslimah, Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer. Tangerang: Lentera Hati. 2004. Surtiretna, Nina. Anggun Berjilbab, Pakaian Wanita Muslimah. Bandung: Mizan. 1995.
69
Syukir, Asmuni. Dasar-dasar Strategi Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. 1992. Talk, Muslimah. Saleha is Me: Sebab Cantik Saja Tidak Cukup. Cetakan pertama. Jakarta: QultumMedia. TT, Ghazali BC. Kamus Istilah Komunikasi. Bandung: Djambatan. 1992. Umar, Nasaruddin. Fikih Wanita untuk Semua. Cetakan pertama. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2010.
Skripsi : Nursyahbani, Ayu Agustin. “Konstruksi dan Representasi Gaya Hidup Muslimah Perkotaan: Studi Kasus Pada Hijabers Community di Jakarta.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012.
Wawancara Pribadi : Wawancara Pribadi dengan Qonitah Al-Jundiah. Tangerang Selatan, 2 Juni 2014. Wawancara Pribadi dengan Fatma Hidayani. Tangerang Selatan, 4 Juni 2014. Wawancara Pribadi dengan Mira Fatma. Tangerang Selatan, 6 Juni 2014. Wawancara Pribadi dengan Agnesh Sherfina. Tangerang Selatan, 9 Juni 2014. Wawancara Pribadi dengan Samia P. Juwita. Tangerang Selatan, 13 Juni 2014. Wawancara Pribadi dengan Rahmania Fauzia. Tangerang Selatan, 13 Juni 2014.
LAMPIRAN
MODEL DASAR BUSANA MUSLIMAH DAN KHIMAR (KERUDUNG) YANG MEMENUHI SYARAT AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
DOKUMENTASI DENGAN NARASUMBER
Qonitah Al-Jundiah
Mira Fatma
Fatma Hidayani
Agnesh Sherfina
Samia P. Juwita
Rahmania Fauzia
DOKUMENTASI UIN FASHION FAIR
Hijab and Beauty Class
Model Hunt
Talk Show “Fashion, World and Religion”
Islamic Styling Competition
Pagelaran Busana “Islamic Fashion Show: Breakthorugh”