Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim Tarakan Sumatera Selatan Malang Raya Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan Juni 2012
Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim: Kota Tarakan, Sumatera Selatan, dan Malang Raya – Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan © 2012 Kementerian Lingkungan Hidup Dipublikasikan oleh: Kementerian Lingkungan Hidup Gedung B lt.4, Jl D.I. Panjaitan kav. 24, Jakarta 13410 Tel Fax Email
: +6221 858 0081 : +6221 858 0081 :
[email protected] /
[email protected]
ISBN: 978-602-8358-52-1
Isi dan materi dalam buku ini dapat direproduksi secara bebas dan dipublikasikan dengan tidak mengubah isi dan arti dari dokumen ini. Mengutip diperbolehkan dengan mencantumkan sumber secara jelas.
Dokumen ini dibuat atas dukungan:
Tim Penyusun Penasehat Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, Menteri Lingkungan Hidup Pengarah Ir. Arief Yuwono, MA, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim
Penanggung Jawab Ir. Emma Rachmawaty, M.Sc, Asisten Deputi Adaptasi Perubahan Iklim
Tim Kementerian Lingkungan Hidup drs. Haneda Sri Mulyanto, MAS Ir. Tri Widayati, MT dra. Kusmulyani, MS Koko Wijanarko, S.Hut Yulia Suryanti, S.Si., M.Sc Astutie Widyarissantie, ST
Tim AusAID Didi Marjimi Amrita Wedha
Tim GIZ Tilman Hertz Ni Luh Made Ashanapuri
Koordinator Tim Ahli Asisten Koordinator Ahli Kebijakan Ahli Proyeksi Iklim dan Temperatur Ahli Proyeksi Muka Air Laut Ahli Pesisir dan Kelautan Ahli Sumber Daya Air Ahli Kesehatan Ahli Pertanian
: Djoko Santoso Abi Suroso, PhD : Muhammad Suhardjono Fitriyanto, M.Sc : Wilmar Salim, PhD : Dr. Tri Wahyu Hadi : Dr. Ibnu Sofian : Dr. Hamzah Latief : Dr. Oman Abdurahman, Dr. Budhi Setiawan : Prof. Ridad Agoes, Dr. Asep Sofyan : Prof. Handoko, Dr. Ruminta
Tim Administrasi: Mendur Lestira Harliana Foto Sampul oleh Darmastyo Wicaktomo Sudarto
Kementerian Lingkungan Hidup JL DI Panjaitan Kav‐24, Kebon Nanas, Jakarta 13410
[email protected]
Ucapan Terima Kasih Publikasi laporan ini telah terlaksana dengan komitmen yang tinggi dan kerjasama yang baik antara semua pihak yang terlibat. Kementerian Lingkungan Hidup mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh satuan kerja pemerintah daerah di Kota Tarakan, Provinsi Sumatera Selatan, dan Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu), GIZ dan AusAID, serta seluruh tenaga ahli dari berbagai perguruan tinggi. Ucapan terima kasih ini juga kami sampaikan kepada seluruh perwakilan dari berbagai pemerintah daerah yang telah memberikan kontribusi dan dukungan, baik secara langsung dan tidak langsung dalam proses penyusunan laporan ini. Dukungan tersebut telah kami terima melalui proses berbagi informasi, pengalaman, serta pendapat dalam setiap acaraacara yang telah dilaksanakan selama proyek berlangsung, konsultasi publik, diskusi prioritas pilihan adaptasi, pertemuan sinkronisasi program pemerintah serta acara pengarusutamaan. Seluruh acara tersebut telah turut membantu dalam penyelesaian pelaksanaan kajian tersebut.
ii
Kata Pengantar Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini sudah mulai dirasakan, banyak kejadian iklim ekstrim yang melanda beberapa bagian wilayah Indonesia yang secara geografis mempunyai tingkat kerentanan yang cukup tinggi. Oleh karena itu diperlukan tindakan nyata adaptasi untuk meningkatkan ketahanan masyarakat sebagai sebuah komponen penting yang diperlukan dalam pembangunan berkelanjutan yang tahan terhadap goncangan/gangguan iklim. Wilayah Indonesia dengan garis pantai sepanjang kurang lebih 80.000 km dan lebih dari 17.000 pulau, banyak kegiatan perekonomian dilakukan di wilayah pesisir dan banyak masyarakat yang mengandalkan hidupnya pada sektor yang mempunyai kepekaan tinggi terhadap iklim, seperti pertanian. Kondisi geografis ini menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Dampak yang negatif yang timbul di berbagai wilayah, serta potensi kerugian yang makin besar khususnya di kalangan prasejahtera menjadi alasan penting untuk dilakukannya peningkatan ketahanan terhadap perubahan iklim. Walaupun dampak yang sekarang dirasakan dan ke depan yang akan timbul akibat dari perubahan iklim dapat dikatakan masih berada dalam ketidakpastian, tetapi kita harus mulai menyusun suatu strategi untuk menangani isu-isu tentang variabilitas iklim dan pemahaman mengenai dampak yang didasarkan pada pengetahuan dan teknologi yang paling mutakhir dan paling baik pada saat ini. Pemahaman dampak perubahan iklim di tingkat daerah merupakan hal yang penting dan menjadi dasar yang fundamental dalam mengatasi masalah perubahan iklim melalui pelaksanaan kajian risiko dan adaptasi perubahan iklim. Ketersediaan perangkat dan metoda untuk melakukan kajian dapat dilakuan dilakukan baik pada skala tingkat umum (makro), menengah (meso) ataupun detil (mikro). Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dengan didukung oleh GIZ dan AusAid telah melakukan ujicoba Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) di beberapa lokasi percontohan, yaitu Pulau Lombok yang mewakili wilayah dengan skala meso, Propinsi Sumatera Selatan untuk skala menengah (meso), Kota Tarakan (skala mikro), Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu) untuk skala meso. Proses yang cukup panjang dilalui dalam pelaksanaan kajian ini yang dimulai dengan konsultasi publik untuk identifikasi sektor yang rentan terdampak perubahan iklim, sampai tahap akhir sinkronisasi dan integrasi rekomendasi hasil kajian berupa opsi-opsi dan strategi adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan daerah. Dari hasil kajian yang sudah dilakukan tersebut, ada banyak hal yang dapat dipelajari dari masing-masing proses kajian dan kondisi wilayah yang berbeda-beda. Beberapa hal penting yang dapat diambil sebagai pelajaran adalah: •
•
Pentingnya ketersediaan dan aksesibilitas seri data basis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, memenuhi kualifikasi dan berkesinambungan dari jaringan stasiun pemantau klimatologi dan kelautan, khususnya untuk penyusunan informasi kondisi iklim dan paras permukaan air laut saat ini dan skenario proyeksi perubahan iklim dan kenaikan muka air laut ke depan sebagai dasar dari kajian; Pentingnya ketersediaan dan aksesibilitas data yang terkait dengan sosial, ekonomi, dan perencanaan pembangunan pada saat ini dan masa mendatang dari pemangku kepentingan yang terkait untuk proses kajian yang lebih rinci dan akurat; iii
•
• •
Pentingnya meningkatkan sumber daya yang tersedia, termasuk meningkatkan jumlah dan kapasitas pakar yang terkait basis ilmiah dan adaptasi perubahan iklim serta sumber pendanaan baik untuk riset dan pengembangan maupun untuk proses dan aksi adaptasinya; Pentingnya mengeksplorasi potensi kearifan lokal dalam kerangka adaptasi terhadap perubahan iklim; Pentingnya mensinkronkan dan menyelaraskan program pembangunan nasional dan daerah dengan opsi-opsi adaptasi perubahan iklim yang diusulkan oleh para ahli terkait.
Hasil kajian yang dilaksanakan di Propinsi Sumatera Selatan, Kota Tarakan dan Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang) menunjukkan empat sektor yang berpotensi rentan terhadap perubahan iklim, yaitu sektor pesisir (termasuk di dalamnya perikanan dan kelautan), sektor air (termasuk sumber daya air dan bencana banjir dan longsor, pertanian, dan kesehatan. Rekomendasi dari kajian ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam proses perencanaan pembangunan di Propinsi Sumatera Selatan, Kota Tarakan dan Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang) melalui integrasi hasil kajian ke dalam RPJMD, RPJP, maupun perangkat perencanaan yang lain. Dengan telah dilaksanakannya kajian ini diharapkan menjadi contoh yang baik dalam implementasi upaya dan strategi adaptasi di daerah, dan nantinya akan direplikasikan ke daerah lain di Indonesia, supaya upaya peningkatan ketahanan iklim dapat berkembang luas dan menjadi Indonesia menjadi negara yang tahan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam Pelaksanaan kajian ini kami ucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan fasilitasi yang diberikan selama kegiatan berlangsung dari seluruh jajaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Selatan, Kota Tarakan dan Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang) sehingga kegiatan berlangsung lancar sesuai yang diharapkan.
Jakarta, Mei 2012 Deputi MENLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim
Arief Yuwono
iv
DAFTAR ISI Tim Penyusun ............................................................................................................ i Kata Pengantar Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim........................................................................................................ ii BAB I Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan ........................................................ I-1 Pendahuluan ....................................................................................................... I-1 BAB II Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim .......................................... II-1 II.1. KRAPI Kota Tarakan ...................................................................................... II-1 II.1.1. Basis Saintifik (Science Basis) .................................................................. II-1 II.1.2. Sektor Pesisir .............................................................................................. II-4 II.1.3. Sektor Air ..................................................................................................... II-6 II.1.4. Sektor Kesehatan ...................................................................................... II-10 II.2. KRAPI Propinsi Sumatera Selatan .............................................................. II-15 II.2.1. Basis Saintifik (Science Basis) ................................................................ II-15 II.2.2. Sektor Pesisir ............................................................................................ II-20 II.2.3. Sektor Air ................................................................................................... II-24 II.2.4. Sektor Pertanian ........................................................................................ II-28 II.2.5. Sektor Kesehatan ...................................................................................... II-30 II.3. KRAPI Malang Raya. .................................................................................... II-35 II.3.1. Basis Saintifik (Science Basis) ................................................................ II-35 II.3.2. Sektor Air ................................................................................................... II-44 II.3.3. Sektor Pertanian. ....................................................................................... II-44 II.3.4. Sektor Kesehatan ...................................................................................... II-44 BAB III Program Unggulan Terkait Adaptasi Perubahan Iklim ......................... III-1
v
vi
DAFTAR GAMBAR No I. 1 II.1 II.2 II.3
II.4
II.5 II.6 II.7 II.8 II.9 II.10
II.11 II.12 II.13 II.14 II.15 II.16 II.17 II.18 II.19 II.20 II.21 II.22 II.23 II.24 II.25
JUDUL Proses Kajian Risiko pada Pendekatan KRAPI Tren temperatur Kota Tarakan sepanjang 100 tahun (garis biru), 50 tahun (garis hijau), dan 25 tahun terakhir (garis oranye) Data pengamatan curah hujan (garis hitam) dan model prediksi (garis merah) Gambar II.3. Proyeksi curah hujan (kiri) dan Proyeksi temperatur (kanan) melalui beberapa skenario perubahan iklim (kiri) Korelasi antara probabilitas curah hujan bulanan melebihi ambang batas 400 mm dan curah hujan harian yang melebihi 60 (biru), 80 (hijau), dan 100 (mm/hari (merah), dengan pembanding data Singapura (simbol kotak), Kenten (1985-1989, simbol asterisk), Kenten (1990-1994, simbol silang) dan Tarakan (simbol plus) Gambar II.4.b (kanan) Proyeksi tren/kecenderungan probabilitas dari kejadian ekstrem (curah hujan melebihi 433 mm) Peta Risiko Perubahan Iklim Sektor Pesisir Kota Tarakan pada tahun 2030 Peta Regionalisasi Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pesisir Kota Tarakan Zona adaptasi risiko banjir Kota Tarakan Zona adaptasi risiko penurunan ketersediaan air Kota Tarakan Pola curah hujan di sekitar Palembang antara tahun 1901 Tren temperatur Sumatra Selatan: sekitar Palembang (garis biru), rata-rata Sumatra Selatan (garis hijau), dan sekitar Singapura sebagai perbandingan (garis merah) Variasi curah hujan antar-dasawarsa di wilayah Sumatra Selatan. Data pengamatan curah hujan (garis hitam) antara tahun 1951-2009 dan model prediksi empirik (garis merah) sampai dengan 2020 Proyeksi curah hujan (kiri) dan temperatur (kanan) di sekitar Palembang melalui beberapa skenario perubahan iklim Perubahan peluang terjadinya curah hujan ekstrem yang dideduksi dari korelasi kuat terhadap curah hujan bulanan Siklus tahunan suhu permukaan air laut di perairan timur Sumatera Selatan Distribusi laju kenaikan suhu permukaan air laut berdasarkan Pathfinder SST resolusi 4 km Rekonstruksi kenaikan muka air laut di wilayah pantai timur Sumatera Selatan tahun 1871-2008 Peta penggenangan pesisir akibat perubahan iklim hingga tahun 2030 Peta risiko terhadap penggenangan pesisir akibat perubahan iklim hingga tahun 2030 Peta regionalisasi adaptasi perubahan iklim hingga tahun 2030 Empat DAS Utama untuk Zonasi Adaptasi Risiko Penurunan Ketersediaan Air di Sumatera Selatan Peta Kemiringan Lahan dan Pilihan Adaptasi di Sumatera Selatan Peta Kemiringan Lahan dan Pilihan Adaptasi di Sumatera Selatan Risiko Penurunan Produksi Pertanian Akibat Perubahan Iklim: (a) Padi Lahan Basah, (b) Padai Lahan Kering Penurunan Produksi Pertanian Akibat Perubahan Iklim dan Kenaikan Muka Air Laut: (a) Padi Lahan Basah, (b) Padai Lahan Kering Tren temperatur di Malang Raya sepanjang 100 tahun (garis biru), 50 tahun
vii
HAL I-2 II-2 II-2 II-3
II-3
II-5 II-5 II-7 II-9 II-15 II-16
II-16 II-17 II-18 II-18 II-19 II-19 II-20 II-21 II-22 II-24 II-25 II-27 II-29 II-29 II-35
II.26 II.27 II.28 II.29 II.30 II.31 II.32 II.33
(garis hijau), dan 25 tahun terakhir (garis oranye) Variasi curah hujan antar-dasawarsa di wilayah Malang Raya. Data pengamatan curah hujan (garis hitam) antara tahun 1980 sampai dengan 2009 dan model prediksi empirik (garis merah) sampai dengan 2020 Proyeksi curah hujan (kiri) dan temperatur (kanan) melalui beberapa skenario perubahan iklim di Malang Raya Perubahan dari probabilitas curah hujan bulanan yang berkorelasi kuat dengan curah hujan harian ekstrem di Malang Raya Peta Risiko Kekurangan Air di Malang Raya pada saat ini (kiri) dan proyeksi tahun 2030 (kanan) Zonasi Adaptasi Risiko Kekurangan Air di Malang Raya Peta Risiko Banjir di Kota Batu (atas), Kota Malang (tengah), dan Kabupaten Malang (bawah), baik pada saat ini (kiri) dan proyeksi tahun 2030 (kanan) Peta Risiko Longsor di Malang Raya pada saat ini (kiri) dan proyeksi tahun 2030 (kanan) Risiko Penurunan Produksi Pertanian Akibat Perubahan Iklim: (kiri) Padi Lahan irigasi, (kanan) Padi Lahan Kering
viii
II-36 II-37 II-37 II-38 II-38 II-42 II-43 II-45
DAFTAR TABEL II.1 II.2 II.3 II.4 II.5 II.6 II.7 II.8 II.9 II.10 II.11 II.12 II.13 II.14 II.15 II.16 II.17 II.18 II.19 II.20 II.21 II.22 II.23
Waktu-waktu kejadian ENSO berdasarkan model MRI pada skenario perubahan iklim SRES A1B Strategi Adaptasi Umum untuk Sektor Air Strategi Adaptasi Umum Bahaya penyakit Demam Berdarah Dengue Kota Tarakan Strategi Adaptasi Umum untuk Bahaya Penyakit Malaria di Kota Tarakan Strategi Adaptasi Umum untuk Bahaya Penyakit Diare di Kota Tarakan Empat Tipe Adaptasi Berdasarkan Regionalisasi Provinsi Sumatera Selatan Peringkat implementasi adaptasi perubahan iklim pesisir Provinsi Sumatera Selatan (Skala prioritas 1 – 6) Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Kekurangan Air di Sumatera Selatan Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Banjir di Sumatera Selatan Pilihan Adaptasi Terhadap Risiko Longsor di Sumatera Selatan Strategi Adaptasi Umum Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Selatan Strategi Adaptasi Umum untuk Risiko Penyakit DBD di Sumatera Selatan Strategi Umum untuk Risiko Penyakit Malaria di Sumatera Selatan Strategi Adaptasi Umum untuk Risiko Penyakit Diare di Sumatera Selatan Pilihan Adaptasi terhadap Risiko Kekurangan Air di Malang Raya Kriteria dan Ranking Implementasi Adaptasi Risiko Kekurangan Air di Malang Raya (Skala Prioritas 1-3) Luasan Wilayah yang Beresiko dan Pilihan Adaptasi terhadap Risiko Banjir di Malang Raya Pilihan Adaptasi terhadap Risiko Banjir di Level Kecamatan Malang Raya Pilihan Adaptasi Risiko Longsor di Malang Raya Strategi Adaptasi Sektor Pertanian Terhadap Tingkat Risiko Perubahan Iklim yang Sangat Tinggi di Wilayah Malang Raya Strategi Adaptasi Bahaya Demam Berdarah Untuk Masa Depan Wilayah Malang Raya Strategi Adaptasi Bahaya Malaria Untuk Masa Depan di Wilayah Malang Raya Strategi Adaptasi Bahaya Diare Untuk Masa Depan di Wilayah Malang Raya
ix
II-4 II-9 II-11 II-13 II-13 II-23 II-23 II-25 II-27 II-28 II-30 II-32 II-33 II-34 II-39 II-41 II-42 II-43 II-44 II-45 II-47 II-49 II-50
x
BAB I Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan Pendahuluan Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, dengan pulau yang berjumlah kurang lebih 17,000 pulau, dampak dari kenaikan muka air laut, perubahan pola curah hujan dan kejadian iklim ekstrim menjadi masalah utama. Dengan semakin bertambahnya intensitas dan frekuensi dari kejadian iklim ekstrim, risiko bencana banjir selama musim hujan dan kekeringan selama musim kemarau akan semakin meningkat. Hal tersebut akan berdampak pada sektor sumber daya air, pertanian dan kehutanan, perikanan, kesehatan serta sarana dan prasarana. Penurunan muka tanah. kenaikan muka air laut, banjir, kekeringan, longsor, dan kebakaran hutan telah dirasakan sebagai bencana yang merusak dan merugikan bagi Indonesia. Untuk menghindari dampak berganda dari bencana alam tindakan adaptasi pada tingkat nasional dan daerah menjadi sangat diperlukan. Oleh karena itu, kebijakan nasional untuk merespon perubahan iklim harus segera disusun. Dalam rangka memprioritaskan, mendesain, dan melaksanakan tindakan adaptasi perubahan iklim, sangatlah penting untuk memiliki satu pendekatan, kerangka kerja, dan metodologi untuk mengkaji tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi. Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) adalah salah satu pendekatan yang dikembangkan secara aktif oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, didukung oleh GIZ (Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit) dan Australian Government. Sebagai satu pendekatan yang utuh, kegiatan KRAPI telah mencakup aktivitas identifikasi sektor yang rentan terhadap perubahan iklim dan formulasi permasalahannya sampai dengan mengarusutamakan strategi adaptasi dalam kebijakan pembangunan. Secara lengkap langkah-langkah KRAPI dapat disebutkan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Formulasi permasalahan dan identifikasi sektor yang rentan terhadap perubahan iklim Analisa basis ilmiah iklim Analisa bahaya akibat perubahan iklim Analisa kerentanan pada sektor dari dampak perubahan iklim Analisa dan evaluasi risiko perubahan iklim untuk sektor Formulasi strategi adaptasi untuk sektor Kajian multi-risiko dan prioritisasi adaptasi Pengarusutamaan strategi adaptasi ke dalam kebijakan pembangunan
Sektor-sektor yang dimaksud pada penjabaran di atas adalah 4 sektor yang telah diidentifikasi pada awal kegiatan yaitu; Sumber Daya Air, Pertanian, Kesehatan, dan Pesisir. Sektor-sektor tersebut juga diidentifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui prioritisasi sektor pada dokumen yang telah disusun yaitu Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap,(BAPPENAS 2010). Secara lebih jelas, proses kajian risiko yang digunakan pada pendekatan KRAPI dapat diilustrasikan pada gambar I-1 dibawah ini:
I‐1
Analisis Baseline Iklim Konsultasi Pemangku Kepentingan
Pengumpulan Data
Analisis Bahaya Perubahan Iklim
Analisa Dasar Ilmiah
Formulasi Masalah & Sektor Rentan akan Perubahan Iklim
Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur
Kajian Kerentanan Dinamis
Analisis Kejadian Ekstrem Curah Hujan
Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur
Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur
Analisa Risiko
Identifikasi Kerentanan Komponen: Exposure (E) Sensitivity (S) Adaptive Capacity (AC)
Risiko Analisis Pada Kondisi Baseline
Risiko Analisis Pada Kondisi Proyeksi
Pembobotan Komponen Kerentanan
Pengembangan Opsi Adaptasi Analisis Kerentanan untuk Baseline
Adaptasi yang Reaktif
Adaptasi yang Antisipatif
Analisis Kerentanan untuk Proyeksi
Gambar I.1 Proses Kajian Risiko pada Pendekatan KRAPI
Dalam kerangka kerja desentralisasi, peningkatan peran pemerintah daerah (Propinsi, Kab/Kota) merupakan salah satu fokus yang ingin dicapai. Melalui kegiatan ini, Pemerintah Pusat berinisiatif untuk meningkatkan kegiatan adaptasi perubahan iklim dengan cara memfasilitasi pemerintah daerah dalam melakukan KRAPI di tingkat meso di area provinsi dan mikro pada area kabupaten/kota. Secara umum, tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan lebih lanjut dan mereplikasi secara nasional hasil kajian di tiga area percontohan (Provinsi Sumatera Selatan, Kota Tarakan, dan Malang Raya), mengembangkan strategi adaptasi, dan mendorong pelaksanaan/tindakan adaptasi termasuk identifikasi ketersediaan pendanaan yang mencukupi. Hasil dari kegiatan KRAPI akan menghasilkan set opsi adaptasi. Selanjutnya, opsi-opsi tersebut diprioritaskan untuk memformulasikan strategi adaptasi melalui kerjasama/ koordinasi dengan pemerintah daerah dari perspektif lokasi. Tindak lanjut dari strategi adaptasi adalah pengarusutamaan/pengintegrasian prioritas opsi adaptasi ke dalam rencana pembangunan di tingkat daerah (RPJMD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
I‐2
BAB II Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim II.1. KRAPI Kota Tarakan Kota Tarakan adalah kota yang terletak pada sebuah pulau kecil yang terletak di sebelah timur Pulau Kalimantan. Secara geografis, Tarakan terletak pada 3o14'23"-3o26'37" Lintang Utara dan 117o30'50"-117o40'12" Bujur Timur. Tarakan gberbatasan langsung dengan sebelah Utara: Kabupaten Kepulauan Tana Tidung; sebelah Timur: Kabupaten Kepulauan Tana Tidung dan Laut Sulawesi; sebelah Selatan dan Barat : Kabupaten Bulungan. Pada saat ini, hampir 80% penduduk Tarakan menghuni wilayah pesisir (sumber: Laporan KRAPI Tarakan). Lebih lanjut, populasi terkonsentrasi di pantai barat Kota Tarakan, terutama di sebelah barat daya dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi dan pemerintahan, dengan populasi terkonsentrasi di wilayah Tarakan Barat.
II.1.1. Basis Saintifik (Science Basis) Kota Tarakan merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang diindikasikan mengalami keterpaparan terhadap perubahan iklim yang dipicu oleh pemanasan global, terutama karena keberadaannya sebagai wilayah di pulau kecil yang hanya meliputi luas sekitar 250,80 km2. Pada studi basis saintifik iklim, data panjang curah hujan dan temperatur udara dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Tarakan harus digabung dengan basis data internasional sehingga memiliki durasi minimal dua kali periode iklim (2 x 30 tahun), yaitu: • Data curah hujan dari Global Historical Climatology Network (GHCN) tahun 1911 – 2009 • Data temperatur permukaan dari University of Delaware (UDEL) tahun 1900 – 2008. Secara umum Kota Tarakan memiliki iklim tropis yang basah dimana kelembaban di bulan paling kering mencapai 87%. Walaupun Tarakan dipengaruhi oleh monsun sehingga angin permukaan berubah setiap 6 bulan sekali, namun curah hujan yang terjadi selalu lebih besar dari 240 mm per bulan, dengan rata-rata 310 mm. Curah hujan ini bertipe ekuatorial (terjadi dua kali puncak hujan yaitu di sekitar April dan November). Temperatur udara rata-rata kota Tarakan sekitar 26,9° C dengan variasi kurang dari 1°C. Perubahan iklim yand dilihat dari segi rata-rata jangka panjang temperatur menunjukkan adanya tren kenaikan sebesar 0,63°C sepanjang 25 tahun terakhir, tetapi jika dilihat pada kurun waktu 50 dan 100 tahun, kenaikannya hanya sebesar 0,2°C/abad (Gambar II.1). Namun, kenaikan temperatur ini perlu penelitian lebih lanjut untuk memisahkan efek pemanasan global dengan proses-proses lokal (urban heat island) dan regional (efek monsun).
II‐1
Gambar II.1. Tren temperatur Kota Tarakan sepanjang 100 tahun (garis biru), 50 tahun (garis hijau), dan 25 tahun terakhir (garis oranye)
Di lain pihak, perubahan iklim juga dapat dilihat dari variabilitas curah hujan dan temperatur dalam bentuk kejadian-kejadian ekstrem (extreme events). Isu yang berkaitan dengan kejadian ekstrem terutama adalah mengenai kekeringan (akibat curah hujan yang sedikit). Kekeringan di Kota Tarakan merupakan potensi bahaya iklim yang banyak dipengaruhi oleh fenomena El-Nino. Kota Tarakan pernah mengalami kekeringan yang panjang pada sekitar tahun 1961-1970an, bahkan di bulan April – Agustus terjadi defisit curah hujan sekitar 100 mm dari nilai-rata-ratanya. Menurut prediksi model curah hujan, kekeringan mungkin akan berulang pada tahun 2010-2020 namun dengan nilai curah hujan yang lebih besar dari pada nilai tahun 1961-1970an (Gambar II.2).
Gambar II.2. Data pengamatan curah hujan (garis hitam) dan model prediksi (garis merah)
Kondisi curah hujan di Kota Tarakan kemudian berubah menjadi tren naik setelah tahun 2030 berdasarkan model IPCC (Intergovernmental Panel for Climate Change) AR-4 pada beberapa skenario (Gambar 3 kiri). Tren kenaikan secara terus menerus terjadi pada temperatur udara (Gambar II.3 kanan).
II‐2
Gambar II.3. Proyeksi curah hujan (kiri) dan Proyeksi temperatur (kanan) melalui beberapa skenario perubahan iklim
Di samping kekeringan, kejadian ekstrem juga meliputi pola curah hujan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek. Sebagai contoh, curah hujan ekstrem tersebut pernah terjadi pada tanggal 1 Agustus 1998 dengan nilai 295 mm/hari. Untuk selanjutnya indikator curah hujan ekstrem harian ini dapat diindikasi dari probabilitas kejadian curah hujan bulanan. Menurut model proyeksi IPCC skenario A1B, probabilitas terjadinya curah hujan sebesar 433 mm/bulan terus menurun hingga sekitar tahun 2020 namun kembali meningkat setelahnya (Gambar II.4).
Gambar II.4.a (kiri) Korelasi antara probabilitas curah hujan bulanan melebihi ambang batas 400 mm dan curah hujan harian yang melebihi 60 (biru), 80 (hijau), dan 100 (mm/hari (merah), dengan pembanding data Singapura (simbol kotak), Kenten (1985-1989, simbol asterisk), Kenten (1990-1994, simbol silang) dan Tarakan (simbol plus) Gambar II.4.b (kanan) Proyeksi tren/kecenderungan probabilitas dari kejadian ekstrem (curah hujan melebihi 433 mm)
Studi basis saintifik laut menyimpulkan adanya kenaikan muka air laut menjadi sekitar 14,7 cm (dengan ketidakpastian sekitar 6,25 cm) pada tahun 2030 relatif terhadap kondisi saat ini. Variabilitas juga terjadi pada muka air laut yaitu akibat fenomena La-Nina dan gelombang badai (storm surges). Untuk tujuan proyeksi penggenangan air laut di pesisir, diprediksi kedua fenomena tersebut akan menaikkan muka air laut maksimal masing-masing sebesar 15 cm dan 30 cm. Nilai-nilai tren dan variabilitas muka air laut tersebut akan melengkapi nilai tertinggi muka air laut pada saat pasang maksimum sebesar 160 cm dan gelombang signifikan sebesar 160 cm untuk dijadikan acuan dalam penentuan tinggi dan luasan penggenangan air laut di pesisir. II‐3
Berdasa arkan mode el proyeksi kejadian ekstrem akib bat El-Nino dan La-Nin na (ENSO, El-Nino Southern Oscillatio ons, lihat Tabel T II.1), antara a tahu un 2001 – 2030 2 proba abilitas keja adian ElNino ku uat kurang dari 6,7%,, sedangkan kejadian El-Nino ku uat sekitar 13%. Diperkirakan kejadian La-Nina akan menimbulkan kenaikan k muka m air lau ut lebih da ari 15 cm di d masa mendattang yang disebabka an efek ko ombinasi dengan ken naikan mukka air lautt akibat pemana asan global. Tabel II.1. Waktu-w waktu kejadia an ENSO be erdasarkan model MRI pada p skenario perubah han iklim SRES A1B
II.1.2. Sektor S Pes sisir Sebaga ai pulau ke ecil yang khas, k wilayyah pesisir Kota Tara akan sanga at rentan te erhadap beberap pa bahaya penggenan ngan air lau ut akibat ad danya fenom mena perub bahan iklim m seperti kenaika an permuka aan laut, ko ondisi ekstre em La Nina a dan gelombang ang gin badai, te erutama yang te erjadi dalam m kondisi ekstrim e saatt air laut pasang pada a level terttinggi. Seca ara fisik, beberap pa wilayah yang memiliki elevasi rendah dan n landai renttan terhada ap bahaya te ersebut. Kerenta anan juga terjadi pad da beberap pa wilayah Kota Tara akan yang memiliki populasi p pendud duk yang cu ukup padat, aktivitas ekonomi e ya ang tinggi, dan d infrastrruktur vital. Hampir 80% da ari total pop pulasi dan beberapa b in nfrastrukturr vital seperrti bandara,, pelabuhan n, kilang minyak, kawasan pemerintahan, bisniss dan area a industri te erletak pad da wilayah pesisir, sehingg ga rentan te erhadap ge enangan airr laut. Di an ntara 20 de esa di Kota a Tarakan, hanya h 5 desa ya ang tidak memiliki m garis pantai attau berbatasan dengan n air laut ya aitu Juata Kerikil K di Kecama atan Taraka an Utara, Karang K Baliik dan Kara ang Anyar di d Kecamattan Tarakan Barat, Selumitt di Kecama atan Taraka an Tengah, dan Kampu ung Enam di d Kecamata an Tarakan Timur.
II‐4
Risiko terhadap perubahan iklim di Kota Tarakan yang diproyeksikan pada tahun 2030 dapat digambarkan pada peta di bawah ini.
Gambar II.5. Peta Risiko Perubahan Iklim Sektor Pesisir Kota Tarakan pada tahun 2030
Berdasarkan karakteristik tipologinya, area pesisir Kota Tarakan dapat dibagi menjadi tiga wilayah atau region yaitu Pantai Utara, Pantai Barat dan Timur (lihat Gambar II.6 di bawah).
Gambar II.6. Peta Regionalisasi Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pesisir Kota Tarakan
Oleh sebab itu terdapat tiga jenis konsep strategi adaptasi yang direkomendasikan kepada Pemerintah Kota Tarakan yaitu: • Konsep adaptasi untuk Pantai Utara Kota Tarakan (Wilayah A) Wilayah ini didominasi oleh hutan lebat, rawa, serta hutan bakau di sepanjang Desa Juata Permai dan Juata Laut. Konsep adaptasi yang diusulkan adalah restorasi II‐5
•
•
mangrove dan hutan pesisir, yang diikuti oleh pendekatan akomodasi melalui strategi perlindungan untuk desa-desa permukiman, dengan menaikkan tinggi dasar lantai bangunan. Konsep adaptasi untuk Pantai Barat Kota Tarakan (Wilayah B) Wilayah ini memiliki populasi padat penduduk (permukiman), aktivitas ekonomi yang cukup tinggi serta beberapa area merupakan hutan bakau dan rawa. Konsep adaptasi yang diusulkan adalah pendekatan akomodasi dengan strategi seperti menaikkan tinggi dasar lantai bangunan, serta perlindungan dan restorasi mangrove. Konsep adaptasi untuk Pantai Timur Kota Tarakan (Wilayah C) Pada wilayah ini terdapat daerah wisata pantai (Pantai Amal) yang dapat bermanfaat di masa depan. Namun, pembangunan pada wilayah ini dibatasi oleh adanya potensi tinggi abrasi atau erosi, akibat gelombang angin tinggi dari Selat Makasar. Oleh sebab itu, diusulkan konsep pengelolaan zona pesisir terpadu (ICZM), terutama melalui penataan/pengelolaan kembali, penetapan garis mundur, dan perlindungan pesisir baik melalui struktur lunak (green belt, beach nourishment, dll) maupun keras (sea wall, sea dike, dlsbnya).
Opsi-opsi adaptasi yang diusulkan menyesuaikan dengan sistem pembangunan Kota Tarakan. Saat ini Pemerintah Kota Tarakan telah mengesahkan RTRW dan RDTR untuk Tarakan Barat, namun RDTR Tarakan Timur, Tarakan Tengah dan Tarakan Utara belum ditetapkan. Berdasarkan identifikasi program-program pembangunan spasial yang ada pada wilayah pesisir, menunjukkan bahwa hampir seluruh program terintegrasi dengan konsep adaptasi serta masih dapat dikembangkan melalui strategi adaptasi yang sesuai. Namun, pada proses penyesuaian juga ditemukan bahwa pengembangan sea wall dan sea dike tidak perlu dilakukan kecuali pada lokasi tertentu yang memerlukan perlindungan struktur keras. Selain itu pada area yang teridentifikasi memiliki risiko tinggi perlu mulai menerapkan konsep ICZM, misalnya melalui mainstreaming pada RDTR seluruh kecamatan. Dalam penerapan opsi-opsi adaptasi yang diusulkan, terdapat empat skenario prioritas adaptasi sesuai dengan kriteria tingkat risiko, jumlah penduduk, infrastruktur vital dan keberadaan kawasan terbangun serta kawasan lahan basah dan mangrove, yaitu: 1. Prioritas adaptasi yang berbasis tingkat risiko sangat tinggi terhadap bahaya genangan air laut pada wilayah pesisir, khususnya pada 5 desa yaitu Sebengkok dan Selumit Pantai di Kecamatan Tengah, serta Lingkas Ujung, Gunung Lingkas, dan Kampung Empat di Kecamatan Tarakan Timur. 2. Prioritas adaptasi yang berbasis tingkat populasi penduduk tertinggi pada wilayah berisiko sangat tinggi terhadap bahaya genangan air laut, khususnya pada 5 desa yaitu Karang Anyar Pantai, Selumit Pantai, Sebengkok, Pamusian, dan Lingkas Ujung. Desadesa tersebut perlu diprioritaskan untuk implementasi pendekatan adaptasi akomodasi dan proteksi. 3. Prioritas adaptasi yang berbasis kawasan terbangun dan lokasi infrastruktur vital terluas pada wilayah berisiko sangat tinggi terhadap bahaya genangan air laut, khususnya pada 5 desa yaitu Karang Harapan, Karang Anyar Pantai, Mamburungan, Pantai Amal, dan Juata Permai, melalui strategi perlindungan pantai dengan struktur lunak dan keras. 4. Restorasi hutan dan mangrove serta strategi perlindungan lingkungan menjadi prioritas adaptasi yang berbasis luasan lahan basah dan mangrove pada wilayah berisiko sangat tinggi terhadap bahaya genangan air laut, khususnya pada 5 desa yaitu Juata laut, Karang Anyar Pantai, Juata Permai, Lingkas Ujung dan Pamusian.
II.1.3. Sektor Air Perubahan iklim dapat menimbulkan risiko pada sektor air berupa banjir, tanah longsor dan kekurangan/krisis air. Secara prinsip, adaptasi terhadap risiko perubahan iklim tersebut II‐6
adalah dengan menerapkan konsep Manajemen Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resource Management - IWRM), yang implementasinya dapat berupa struktur keras maupun lunak, tergantung pada karakteristik alam dan sosial budaya. Pelaksanaan IWRM di Tarakan (seperti halnya pada beberapa daerah lainnya di Indonesia) masih mengalami banyak kendala, antara lain kurang tersedianya data yang representatif, kurangnya keterlibatan pemerintah daerah, dan tumpang tindihnya sebagian kewewenangan instansi di daerah dan pusat. Sebagai contoh, tugas dan wewenang Dinas Pekerjaan Umum di daerah masih belum mencakup pemeliharaan sumber air dan zona air infiltrasi. Berikut adalah strategi adaptasi untuk masing-masing bahaya di Kota Tarakan: a. Bahaya Banjir Agar upaya adaptasi lebih efektif, Kota Tarakan dibagi menjadi 3 zona risiko banjir (Gambar 1)berdasarkan tata guna lahan pada saat ini dan perubahannya berdasarkan RTRW Kota Tarakan 2011-2030, serta daerah bahaya genangan banjir hasil proyeksi model.
Gambar II.7. Zona adaptasi risiko banjir Kota Tarakan
Zona Wilayah I terletak di sepanjang utara-timur ke selatan-timur Kota Tarakan yang meliputi 5 DAS utama, yaitu Maya, Mangatai, Binalatung, Kuli dan Amal Baru
Pertimbangan Adaptasi Guna lahan eksisting pada wilayah ini berupa hutan, semak dan area pertanian, yang berfungsi sebagai hutan lindung dan hutan kota. Risiko area tergenang pada wilayah ini yaitu 3,3356 km2 dan diprediksikan tahun 2030 akan meningkat menjadi 4,8354 km2 (bertambah sekitar 45%)
Wilayah II mencakup 3 DAS utama yaitu Semunti, Bengawan dan Persemaian
Guna lahan eksisting merupakan hutan, semak dan area pertanian, yang berfungsi sebagai pusat kota baru. Risiko area tergenang pada wilayah ini adalah 2,3576 km2 dan diprediksi pada tahun 2030 meningkat II‐7
Strategi Adaptasi Strategi utama yang diusulkan adalah IWRM dan Pemulihan Fungsi Sungai. Dalam konteks ini IWRM dimulai dari proses perencanaan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan-kegiatan IWRM yang lebih detail, misalnya menangkap pandangan masyarakat, proses perencanaan pembentukan kembali, manajemen sumber daya air dan koordinasi lahan, mengenali hubungan kualitas dan kuantitas air, penggunaan air tanah dan air permukaan yang terintegrasi, perlindungan dan pemulihan sistem alami, serta adanya pertimbangan isu perubahan iklim. Strategi utama yang diusulkan adalah IWRM serta Pemulihan Fungsi Sungai dan Kolam. Konsep IWRM pada wilayah ini sama dengan yang diterapkan pada Wilayah I. Restorasi kolam bertujuan untuk; (1) menangkap limpasan air dari daerah elevasi tinggi dan mempertahankan
Zona
Wilayah III mencakup 4 DAS utama, yaitu Sesanip, Kampung Bugis, Pamusian dan Karungan
Pertimbangan Adaptasi menjadi 5,508 km2 (bertambah sekitar 134%).
Kondisi pada saat ini adalah area terbangun seperti perumahan, pusat bisnis, perdagangan, dan sebagainya. Menurut RTRW Kota Tarakan 2010-2030, wilayah ini akan tetap menjadi pusat kota dengan beberapa infrastruktur vital (bandara, militer, industri, dan pergudangan). Risiko genangan saat ini adalah 3,365 km2 yang mana tahun 2030 akan meningkat menjadi 11,436 km2 (bertambah sekitar 240%).
Strategi Adaptasi limpasan air sebelum mengalir ke sungai, (2) melestarikan dan menjadi pasokan sumber daya air. Guna mencegah atau meminimalkan banjir selama periode air tinggi, lokasi kolam harus berada di area terbuka yang luas Strategi adaptasi yang sesuai berupa pemasangan gerbang pintu air di sungai, tanggul, dan pemompaan
b. Bahaya Longsor Terdapat dua pendekatan adaptasi terhadap bahaya longsor di Kota Tarakan yaitu: 1. Reboisasi untuk menutupi lahan dengan vegetasi pada kawasan dimana populasinya kurang padat. Reboisasi dapat diterapkan di Kecamatan Tarakan Tengah, yang guna lahannya merupakan hutan lindung, hutan kota dan perumahan dengan kepadatan rendah, serta memiliki tingkatan risiko sedang. 2. Rekayasa teknik pada daerah dengan populasi atau area terbangun yang relatif padat. Pendekatan ini dapat diterapkan di Kecamatan Tarakan Utara, yang memiliki banyak area terbangun seperti perumahan berkepadatan tinggi, industri, perdagangan, dan kawasan pemerintahan, di Kecamatan Tarakan Barat, yang terdiri dari perumahan berkepadatan tinggi dan beberapa kawasan perdagangan, serta beberapa bagian dari Kecamatan Tarakan Tengah, yang terdiri dari perumahan berkepadatan tinggi dan daerah pertambangan. 3. Kombinasi dari reboisasi dan rekayasa teknik, yaitu di Kecamatan Tarakan Timur, dimana pemanfaatan lahannya didominasi oleh hutan kota dan perumahan berkepadatan sedang. c. Bahaya Kekurangan/Krisis Air Konsep adaptasi dalam mengatasi risiko kekurangan air (penurunan ketersediaan air) diterapkan pada 6 zona di Kota Tarakan (Gambar II.8). Zona tersebut diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor, yakni lokasi, kesamaan sumber air (air tanah dan air permukaan), kondisi pembangunan yang sedang berlangsung, guna lahan saat ini, dan rencana guna lahan berdasarkan RTRW 2010-2030.
II‐8
Gambar II.8. Zona adaptasi risiko penurunan ketersediaan air Kota Tarakan
Pada dasarnya strategi untuk setiap zona dikembangkan berdasarkan profil risiko, potensi air permukaan, dan potensi air tanah. Oleh sebab itu, adalah dimungkinkan setiap zona memiliki sub-zona agar penanganan adaptasi lebih spesifik. Berikut adalah strategi adaptasi untuk setiap zona:
Zona Zona 1
Zona 2
Zona
Tabel II.2. Strategi Adaptasi Umum untuk Sektor Air Gambaran Penyediaan Pertimbangan Strategi dan Lokasi Air Adaptasi adaptasi Berlokasi di pusat pemerintahan Permintaan air (total): 10,9 Optimalisasi penyediaan air dari PDAM untuk kota saat ini juta m3/tahun (2010) dan Sub Zona 1A Terdiri dari 7 DAS meningkat menjadi 27,3 Untuk Sub Zona 1B, Terbagi menjadi 1A dan 1B Sub juta m3/tahun pada 2030 optimasi penyediaan air Zona Permintaan air (Sub Zona sebagian dari PDAM Permintaan air saat ini dilayani 1A): 4.397.235 m3/tahun dan lainnya dengan oleh 3 IPA dari PDAM (2010) dan meningkat pemanfaatan air tanah (kapasitas maks 10 juta 6.552.654 m3/tahun pada tertekan (kedalaman m3/tahun) 2030 rata-rata: 96,8 m) Permintaan air (Sub Zona 1B) mengalami kenaikan besar sampai 303% dari 6.788.195 m3/tahun (2010) menjadi 20.566.862 m3/tahun (2030) Terdapat reservoir dengan kapasitas mencapai 200.000 m3 Terletak di sekitar pusat Memiliki 2 DAS yang belum Pengembangan IPAs pemerintahan baru digunakan dengan potensi baru, memanfaatkan Terdiri dari 9 DAS air yang besar, yaitu DAS Bengawan dan Penyediaan air saat ini disuplai Semunti (debit 24,724 juta Semunti dengan potensi dari IPA Juata Laut dengan m3/tahun) dan Bengawan debit 0,60 m3/dtk atau 3 debit 30 lt/dtk, sisanya ( sekitar (debit 29,478 juta m /tahun) 18,932 juta m3/tahun 5 lt/dtk) dari sumur dan mataair Permintaan air akan Pengembangan meningkat 19 kali dari saat reservoir untuk ini, yaitu 1,132 juta melengkapi IPAs baru m3/tahun (2010) menjadi Pemanfaatan air tanah dari lapisan akuifer yang 21,599 juta m3/tahun (2030) terletak 130 m di bawah permukaan tanah Berlokasi di Juata Laut dan Permintaan air meningkat Pemanfaatan air
II‐9
Gambaran Penyediaan Pertimbangan dan Lokasi Air Adaptasi 3 Kampung Satu dari 0,127 m3/dtk (4,005 Sebagian besar wilayah ini juta m3/tahun) menjadi belum berkembang, namun 0,788 m3/dtk ( 24,840 juta akan menjadi permukiman, m3/tahun) industri dan perdagangan Sub Zona 3A didominasi Penggunaan air sebagian besar oleh industri, jasa dan diperoleh dari sumur-sumur permukiman, sedangkan lokal dan mata air Sub Zona 3B akan Akan dibagi menjadi Sub Zona didominasi oleh 3A dan 3B permukiman dan pariwisata. Karena itu, Zona 3A akan lebih banyak memerlukan air. Perbandingan permintaan air untuk 3A dan 3B adalah 2,21:1 Potensi air permukaan 3A lebih kecil 1:1,63 dengan 3B Pembuangan optimal pada Zona Terletak di Tarakan Timur hulu Binalatung adalah 4 Lokasi direncanakan sebagai 0,5338 m3/dtk (16.835 juta kawasan permukiman, pariwisata dan area pendidikan m3/ tahun) atau sangat Lokasi dilewati oleh aliran besar dibandingkan sungai kecil dan DAS proyeksi kebutuhan air Binalatung 8.086 m3/tahun DAS Binalatung adalah Sungai Binalatung terletak sumberIPA kampong Skip di ujung utara Zona 4, dengan debit 0,126 m3/dtk membentang dari utara ke selatan dengan panjang Zona ini sedang dibagi menjadi 16 km, sehingga tidak 2 zona; 4A dan 4B akan optimal untuk pembangunan infrastruktur air bersih Zona Berlokasi di Tarakan Selatan Proyeksi kebutuhan air 6,87 5 Masyarakat wilayah ini sudah juta m3/tahun memanfaatkan air tanah untuk Data potensi air tanah pemenuhan kebutuhan airnya masih minim, namun survey Permintaan air 0,234 juta menunjukkan bahwa m3/tahun sebagian besar untuk kualitas potensi air tanah pabrik pengolahan ikan baik Zona Berlokasi di jantung pulau Lokasi merupakan daerah 6 Tarakan yang didominasi oleh konservasi yang berfungsi kawasan hutan lindung pula sebagai kawasan resapan air tanah untuk Tarakan Barat
Zona
Strategi adaptasi permukaan lebih disarankan untuk Zona 3A dan 3B, sebab bila air tanah digunakan dalam waktu lama akan menimbulkan kerusakan lingkungan (karena permintaan yang tinggi sehungan dengan peruntukan lahannya) Pembangunan reservoir di Sungai Mangantai untuk Sub Zona 3A Pengembangan reservoir untuk Sub Zona 3B DAS B
Optimalisasi IPA Binalatung untuk Sub Zona 4A Panen air hujan serta alternatif lain seperti pemanfaatan air tanah dangkal, desalinasi, atau panen air hujan untuk Sub Zona 4B
Pemanfaatan air tanah Alternatif lain adalah desalinasi air laut dan panen air hujan
Konservasi air permukaan dan air tanah
II.1.4. Sektor Kesehatan Sebagai pulau kecil yang rentan terhadap perubahan iklim, Kota Tarakan memiliki potensi bahaya yang tinggi dalam sektor kesehatan. Salah satu dari sepuluh penyakit teratas di Tarakan, diare, merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh perubahan variabel iklim, seperti kekeringan, kenaikan muka air laut, dan pola curah hujan (WHO, 2003). Selain itu bukti ilmiah juga menunjukkan bahwa demam berdarah dengue (DBD), malaria, dan diare adalah jeni-jenis penyakit yang sangat dipengaruhi oleh perubahan pada stimulus iklim seperti suhu dan curah hujan. II‐10
Oleh sebab itu perlu dirumuskan strategi adaptasi terhadap potensi ketiga penyakit tersebut di Kota Tarakan berdasarkan tingkatan bahaya, kerentanan dan risiko di setiap kecamatan. Hasil analisis penilaian risiko di Tarakan saat ini adalah sebagai berikut: ‐ Selumit Pantai, Selumit dan Sebengkok merupakan tiga kelurahan di Kecamatan Tarakan Tengah yang berisiko sangat tinggi terhadap penyakit DBD pada masa mendatang, bukan hanya disebabkan kepadatan penduduk yang tinggi tapi juga prevalensi DBD yang sangat tinggi. Selain itu beberapa kelurahan di Tarakan Timur (Lingkas Ujung), Tarakan Barat (Karang Rejo dan Karang Balik) dan Tarakan Utara (Juata Laut) juga memiliki risiko sangat tinggi, hal ini terutama disebabkan oleh tingkat prevelansi DBD dan cakupan pipa air bersih yang kurang mencukupi. ‐ Kelurahan-kelurahan Lingkas Ujung, Gunung Lingkas di Tarakan Timur dan Juata Laut di Tarakan Utara memiliki risiko paling tinggi terhadap penyakit malaria. Secara umum Tarakan Utara berisiko tinggi karena tingginya populasi penduduk yang tinggal di rumah non-permanen, sementara di Tarakan Timur disebabkan oleh masyarakat yang hidup dan menjalankan aktivitas dekat lokasi perkembangbiakan nyamuk. ‐ Juata Permai dan Juata Kerikil memiliki risiko tertinggi terhadap penyakit diare pada masa mendatang. Oleh sebab itu dua kelurahan ini merupakan prioritas utama dalam pelaksanaan adaptasinya. Diperlukan peningkatan kekuatan lokal terhadap diare pada masa mendatang, mengingat jumlah penduduk yang tinggi dan tingkat sanitasi yang rendah merupakan faktor-faktor utama tingginya risiko penyakit diare tersebut. Secara umum, prinsip dalam perumusan kegiatan adaptasi untuk sektor kesehatan di Tarakan meliputi: • Peralihan kebijakan dari dominasi kuratif (pengobatan) menjadi pencegahan dan kegiatan promotif dalam jangka waktu panjang • Berdasarkan pada kesimpulan dan prediksi dari kajian ilmiah bahwa iklim Tarakan mengalami perubahan dimana kejadian iklim ekstrem semakin sering, maka seluruh strategi adaptasi dan perencanaan di sektor kesehatan harus mempertimbangkan adaptasi perubahan iklim di masa mendatang • Sektor Kesehatan harusnya tidak berjalan sendiri dalam menghadapi situasi ini. Suatu upaya bersama harus melibatkan departemen lainnya. Perubahan kebijakan di masa datang kemungkinan terlihat pada jangka pendek (2010 – 2020), aktifitas mitigasi dan pendekatan adaptasi untuk jangka menengah (2020-2030) dan jangka yang lebih panjang (2030 – 2050). a. Strategi Adaptasi Terhadap Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Strategi adaptasi untuk Kota Tarakan terhadap bahaya penyakit DBD di masa depan diberikan pada tabel berikut. Daerah dengan risiko menengah dapat menerapkan strategi yang kurang/lebih sedikit daripada area risiko tinggi. Kombinasi dari dua atau lebih strategi diharapkan dapat menurunkan insidensi atau kejadian penyakit DBD. Tabel II.3. Strategi Adaptasi Umum Bahaya penyakit Demam Berdarah Dengue Kota Tarakan Tipe Strategi Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) Pengurangan sumber-sumber . Penyemprotan rutin yang 1. Pengembangan Pengendalian nyamuk lebih sedikit (2-3 kali insektisida biologis vektor Penyemprotan rutin musiman setahun berdasarkan yang lebih tahan, penyakit (berdasarkan (3-4 kali setahun, khususnya keberhasilan program murah dan tidak perubahan kelurahan risiko tinggi) jangka pendek) beracun iklim musiman) Penyemprotan tambahan / . Jika berkurangnya KLB 2. Pengembangan insidental (selama Kejadian seperti yang diharapkan rekayasa genetik Luar Biasa, KLB) program, maka nyamuk jantan steril Penggunaan larvicides penyemprotan insidental ekstensif (misalnya temphos dikurangi IGR) . Keberlanjutan dan
II‐11
Peningkatan lingkungan
Pengawasan/ pengamatan agen penyakit
Manajemen infeksi manusia
Secara pribadi melakukan tindakan anti nyamuk (pengusir, jaring nyamuk, kaleng semprot dan pakaian) Pelaksanaan program 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) Plus Penggunaan musuh biologis, predator (basil, jamur, ikan larvivorous) Perumahan dengan sistem penyaluran dan penimpanan air yang lebih baik
pemeliharaan program umum untuk mengurangi sumber nyamuk
. Peningkatan Program 3M 1. Konstruksi Plus pembangunan perumahan semi. Penegakan hukum urban (Perumnas) peraturan daerah (Perda) tentang sanitasi lingkungan utuk mengurangi area kumuh dan . Program perbaikan padat di pusat kota kampung . Review desain bangunan untuk mengurangi potensi habitat berkembang biak nyamuk Pengamatan serologi virus . Pengembangan cara 1. Percobaan masal dengue (peringatan untuk virus diagnos virus yang cepat dari vaksin virus yang berbahaya) seperti yang . Percobaan pada manusia Pengembangan vaksin DBD diharapkan untuk vaksin dengue pentavalen 2. Pengembangan obat anti-DBD Fasilitas penanganan kasus . Pelatihan personel rumah 1. Tujuan jangka Pelaporan insiden yang lebih sakit yang lebih baik, panjang adalah baik terutama saat wabah DBD mengurangi insiden Meningkatkan kesadaran dan kematian akibat . Menurunkan tingkat komunitas (masyarakat) infeksi DBD dengan kejadian menjadi Meningkatkan edukasi minimalisasi bahaya, setengahnya pada tahun masyarakat terhadap risiko kerentanan dan risiko 2030 DBD
b. Strategi Adaptasi Terhadap Penyakit Malaria Strategi pencegahan sangat bermanfaat untuk wilayah Tarakan yang memiliki tingkat risiko sedang. Hal ini sudah dibuktikan dengan kombinasi ITN dan IRS yang dapat mengurangi terjadinya wabah malaria. Sementara masyarakat pada area dengan risiko tinggi, perlu meningkatkan ketahanan misalnya melalui rumah yang permanen, penyediaan fasilitas kesehatan, dan lokasi yang jauh dari tempat berkembangnya nyamuk. Oleh sebab itu perlu dikombinasikan strategi pencegahan terhadap penyakit malaria dengan strategi tanggap darurat. Berikut adalah strategi adaptasi umum dari berbagai risiko penyakit malaria di masa depan yang dapat diterapkan di Tarakan.
II‐12
Tabel II.4. Strategi Adaptasi Umum untuk Bahaya Penyakit Malaria di Kota Tarakan Tipe Strategi Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) . Pengembangan insektisida biologis yang lebih tahan, murah dan tidak beracun . Pengembangan rekayasa genetik nyamuk jantan steril
Pengendalian vektor penyakit (dirancang untuk malaria endemik di pesisir dan dataran rendah)
Pengurangan sumber-sumber nyamuk Implementasi dari Program WHO Roll back Malaria Penyemprotan insektisida rutin (2-1 kali setahun, khususnya kelurahan risiko tinggi) Penyemprotan tambahan /insidental (selama KLB-kejadian luar biasa) Penggunaan larvicides ekstensif (misalnya temphos IGR) Secara pribadi melakukan tindakan anti nyamuk (pengusir, jaring nyamuk, kaleng semprot dan pakaian)
. Penyemprotan yang lebih sedikit (2-3 kali setahun berdasarkan keberhasilan program jangka pendek) . Jika KLB tidak sesuai yang diharapkan maka penyemprotan incidental dikurangi . Pemeliharaan program umum untuk mengurangi sumber nyamuk . Penggunaan kelambu
Peningkatan lingkungan
Program reklamasi area pesisir Reforestasi ekstensif/ menanam kembali mangrove yang hilang di Tarakan Timur Perumahan yang lebih baik dengan layar anti nyamuk pada pintu dan jendela Pengamatan rutin parasit malaria oleh ahli malaria lapangan dan ahli entomologi
. Pengenalan larva ikan dan . Pengembangan predator lainnya perumahan semi. Pengenalan monyet daerah urban (Perumnas) (bekantan) agar nyamuk agar menjauhi area menjauhi manusia perkembangbiakan nyamuk
Pengawasan/ pengamatan agen penyakit
Manajemen infeksi manusia
. Pengembangan cara diagnosa malaria yang cepat
. Pengembangan vaksin malaria . Pengembangan obat anti-malaria
Fasilitas penanganan kasus dan . Pelatihan personel rumah . Tujuan jangka laporan yang lebih baik sakit yang lebih baik, panjang adalah Meningkatkan kesadaran dan terutama saat malaria mengurangi pendidikan masyarakat mewabah insiden dan Ketersediaan anti-malaria yang lebih . Pelatihan untuk ahli malaria kematian yang baik lapangan disebabkan oleh penyakit malaria akut
c. Strategi Adaptasi Terhadap Penyakit Diare Strategi adaptasi untuk bahaya diare didasarkan pada proyeksi peningkatan curah hujan di Tarakan pada masa depan. Berikut adalah strategi umum untuk berbagai risiko penyakit diare yang dapat diterapkan di Tarakan: Tabel II.5. Strategi Adaptasi Umum untuk Bahaya Penyakit Diare di Kota Tarakan Tipe Strategi Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) . Kawasan penampungan 1. Masyarakat yang lebih . Pengembangan Manajemen untuk korban banjir tanggap terhadap banjir infrastruktur drainase di banjir dengan fasilitas dan 2. Peningkatan manajemen area tergenang banjir sistem yang baik pesisir 2. Memperlebar dan memperdalam saluran 3. Daur ulang limbah dan pipa 2. Rumah isolasi yang dan kanal menyediakan fasilitas air air yang bebas bakteri minum yang steril
II‐13
. Penggunaan air matang 1. Desain perumahan yang . Adaptasi penggunaan tahan terhadap banjir 2. Penggunaan air berklorin air buangan 3. Sistem pembuangan yang 2. Perda mengenai sanitasi berkepanjangan di masa depan lebih baik lingkungan 4. Ketersediaan air sumur 3. Program perbaikan 2. Rencana perumahan yang yang bersih sanitasi di kelurahan lebih baik dengan air ledeng dan pemisah air 4. Peningkatan pipa air limbah (2030) yang ekstensif 1. Pengembangan genetik Pengawasan/ . Pengamatan agen infeksi . Pengembangan agen gastrointestinal (e.coli, diagnosa diare dari patogen diare pengamatan 2. Pengembangan vaksin dan agen penyakit tifus kolera) antibiotik . Fasilitas penanganan 1. Tujuan jangka panjang . Pelatihan personel Manajemen kasus dan laporan yang adalah untuk mengurangi rumah sakit yang lebih infeksi lebih baik baik terutama saat diare insiden dan kematian manusia karena diare 2. Meningkatkan kesadaran mewabah dan pendidikan masyarakat Peningkatan kualitas air
II‐14
II.2. KRAPI Propinsi Sumatera Selatan Provinsi Sumatera Selatan merupakan bagian dari Pulau Sumatera yang mempunyai luas wilayah 91.806,36 Km2, yang terletak pada 1°-4° Lintang Selatan dan 102°-106° Bujur Timur. Provinsi Sumatera Selatan secara administratif dibagi menjadi 11 (sebelas) kabupaten dan 4 (empat) kota, serta 217 kecamatan, 2.777 desa dan 373 kelurahan. Propinsi Sumatera Selatan sebelah utara berbatasan dengan Propinsi Jambi, sebelah selatan berbatasan Propinsi Lampung, sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Bengkulu, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berdasarkan kondisi morfologi Sumatera Selatan, sebagian besar terletak di daerah dataran rendah, dan juga dialiri banyak sungai, 54 sungai induk, 287 anak sungai, 908 ranting sungai dan 1723 sub-ranting sungai.
II.2.1. Basis Saintifik (Science Basis) Kajian basis saintifik ini menjadi dasar bagi sektor-sektor terkait dalam menganalisis dampak perubahan iklim di wilayah Sumatra Selatan. Basis saintifik ini meliputi kajian terhadap pola iklim di atmosfer di seluruh wilayah Sumatra Selatan dan pola oseanografis di sekitar pesisir timur Sumatra. Namun demikian data dan informasi basis saintifik yang bersifat spesifik untuk wilayah Sumatra Selatan masih sangat terbatas. Kondisi Iklim dan Perubahan Iklim di Sumatera Selatan Pola iklim dianalisis dari data historis yang diperoleh dari stasiun BMKG dan dari institusi basis data iklim internasional. Hasil analisis secara umum memperlihatkan bahwa Sumatra Selatan memiliki iklim basah, dimana wilayah ini merupakan batas antara pola monsunal yang dicirikan oleh satu puncak periode hujan dan pola ekuatorial yang dicirikan oleh dua puncak periode hujan. Data di sekitar Palembang menunjukkan dua puncak hujan yang tidak sama magnitudo-nya (Gambar II.9), yaitu di bulan Desember-Januari (sekitar 300-450 mm) dan di bulan Maret (250-350 mm). Data tersebut juga menunjukkan bahwa curah hujan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir (1951-2008) lebih variatif magnitudo-nya dibandingkan periode sebelumnya.
Gambar II.9. Pola curah hujan di sekitar Palembang antara tahun 1901 - 2008
Secara geografis, pola curah hujan tersebut umumnya sama untuk seluruh wilayah Sumatra Selatan. Terdapat sedikit perbedaan di daerah pegunungan di wilayah Barat Laut dimana curah hujan relatif lebih tinggi sepanjang tahun, sehingga musim kering menjadi kurang tampak jelas. Di lain pihak, temperatur udara rata-rata adalah sekitar 27° C untuk sekitar Palembang dan sekitar 26° C untuk rata-rata di seluruh wilayah Sumatra Selatan (Gambar II.10).
II‐15
Dampak pemanasan global di Sumatra Selatan dapat ditengarai oleh adanya tren kenaikan sepanjang 25 tahun terakhir sebesar 0,31°C di sekitar Palembang dan 0,67°C secara ratarata di seluruh Sumatra Selatan. Meskipun demikian, angka tersebut mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kesalahan sistematis dalam pengukuran serta perubahan lokal seperti efek pulau panas perkotaan (urban heat island) dan pergeseran iklim regional, karena jika dilihat pada kurun waktu 50 dan 100 tahun, kenaikannya rata-rata sangat kecil hanya terhitung sekitar -0,12-0,03°C/abad. Pola curah hujan ini dikonfirmasi oleh data di sekitar Singapura (Gambar II.10).
Gambar II.10. Tren temperatur Sumatra Selatan: sekitar Palembang (garis biru), rata-rata Sumatra Selatan (garis hijau), dan sekitar Singapura sebagai perbandingan (garis merah)
Dengan demikian kajian perubahan iklim di wilayah Sumatra Selatan lebih difokuskan pada pola variabilitas curah hujan. Namun berbeda dengan temperatur, perubahan curah hujan tidak dapat didekati secara tren linier. Kajian variabilitas antar-dasawarsa (inter-decadal) dari tahun 1951 hingga sekarang menunjukkan, bahwa sekitar 1965-1970 merupakan periode yang relatif sangat basah, sedangkan tahun-tahun 1990-an merupakan periode dengan curah hujan rata-rata paling sedikit. Tren variabilitas curah hujan antardasawarsa tersebut telah dicoba diprediksi sampai dengan tahun 2020 dengan model empirik (Gambar II.11). Ditinjau dari komponen variasi antardasawarsa tersebut, curah hujan rata-rata dekade ini tidak tergolong kepada kondisi ekstrem. Namun demikian, ancaman bahaya (hazard) iklim yang ada saat ini justru lebih disebabkan oleh variabilitas iklim antar-tahunan (inter-annual) dan curah hujan ekstrem.
Gambar II.11. Variasi curah hujan antar-dasawarsa di wilayah Sumatra Selatan. Data pengamatan curah hujan (garis hitam) antara tahun 1951-2009 dan model prediksi empirik (garis merah) sampai dengan 2020
II‐16
Variabilitas iklim antar-tahunan terutama yang berkaitan dengan fenomena El Nino (ENSO; dari Samudra Pasifik) dan Dipole Mode (+) (IOD; dari Samudra Hindia) dapat menyebabkan terjadinya kekeringan yang lebih panjang dari biasanya, terutama untuk periode bulan JuniJuli-Agustus dan September-Oktober-November. Meskipun fenomena sebaliknya yaitu La Nina dan Dipole Mode (-) umumnya menyebabkan surplus curah hujan, kondisi netral justru menyebabkan ketidakpastian iklim yang lebih tinggi. Hal ini perlu dicermati karena beberapa hasil studi menyebutkan bahwa pemanasan global menyebabkan pergantian antara El Nino dan La Nina yang lebih sering yang berdampak pada ketidakpastian iklim lebih tinggi. Di wilayah Sumatra Selatan ini pengaruh IOD lebih kuat daripada ENSO. Proyeksi perubahan iklim akibat bertambahnya konsentrasi CO2 di atmosfer diturunkan berdasarkan model IPCC (Intergovernmental Panel for Climate Change) AR-4 dengan tiga skenario emisi yaitu B1 (rendah), A1B (sedang), dan A2 (tinggi). Secara umum, dalam semua skenario, tren kenaikan temperatur yang ada saat ini digambarkan akan terus berlangsung dan setidaknya meningkat secara rata-rata sekitar 1°C hingga tahun 2030-an dibandingkan dekade 1990-an (Gambar II.12 kanan). Selanjutnya, tren kenaikan yang lebih tinggi diproyeksikan pada skenario A1B dan A2 hingga mencapai kenaikan sebesar lebih dari 2°C pada tahun 2070-an. Proyeksi perubahan curah hujan memperlihatkan adanya perubahan pola curah hujan yang tidak signifikan hingga tahun 2050-an meskipun masih terjadi beberapa kali fluktuasi. Hasil ini sekaligus memperlihatkan bahwa potensi ancaman bahaya iklim hingga tahun 2030-an masih didominasi oleh ketidakpastian iklim yang diakibatkan oleh variabilitas antar-tahunan dari curah hujan (Gambar II.12 kiri).
Gambar II.12. Proyeksi curah hujan (kiri) dan temperatur (kanan) di sekitar Palembang melalui beberapa skenario perubahan iklim
Di Sumatra Selatan, kejadian curah hujan yang ekstrem tinggi pada skala harian juga merupakan ancaman bahaya yang perlu dianalisis. Dalam hal ini, peluang untuk terlampauinya (probability of exceedence) sangat lebat (definisi BMKG: lebih dari 100 mm/hari) dapat dihitung. Meskipun proyeksi curah hujan dari model IPCC-AR4 hanya dilakukan untuk data bulanan, dari analisis korelasi antara curah hujan harian dengan bulanan dapat diketahui bahwa bulan-bulan dengan akumulasi curah hujan antara 250-400 mm mempunyai peluang tertinggi untuk terjadinya curah hujan ekstrem. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa peluang kejadian curah ekstrem secara rata-rata relatif tidak berubah pada periode 2020-2030-an relatif terhadap kondisi saat ini (2010-an), namun sebenarnya relatif meningkat dibandingkan periode sebelumnya (1991-2000-an) (Gambar II.13).
II‐17
Gamba ar II.13. Peru ubahan peluang terjadin nya curah hujan ekstrem m yang dide eduksi dari korelasi k kuat terhadap curah hu ujan bulanan n
si Oseanog grafi dan Ke enaikan Mu uka Air Lau ut Kondis Kondisi umum din namik perm mukaan air laut dan arus di pa antai timur Sumatera Selatan (termassuk Selat Bangka) B dia analisis dari beberapa model ose eanografi se eperti HYCO OM dan FVCOM M. Selama angin mon nsun Asia berlangsung b g arus di permukaan p laut mengarah ke selatan, dengan maksimum 30 cm/de etik di bula an Januari; sebaliknya a selama monsun Australiia arus perrmukaan te ersebut berrbalik meng garah ke utara denga an kecepata an lebih rendah.. Sedangkan pengarruh arus pasang p surut cukup signifikan di Selat Bangka khususnya untuk fungsi f pembilasan (flushing) di muara m Sung gai Musi pad da saat air menuju surut. Akibat A pola monsun ittu pula, suh hu permuka aan air laut mengalam mi siklus musiman, m dimana a kenaikan hingga ma aksimum terjadi pada bulan Mei mengingatt pemanasa an sinar mataha ari yang intensif dan rendahnya a angin pe ermukaan, serta seba aliknya me engalami penurun nan menuju u minimum pada bulan n Januari. Faktor F yang g banyak m mempengaru uhi suhu permukkaan air lautt ini adalah transpor massa m air lau ut dari Samudra Pasifikk yang mela alui Laut Cina Se elatan.
Gam mbar II.14. Siklus tahuna an suhu perm mukaan air laut di pera airan timur S Sumatera Se elatan
Tren ke enaikan su uhu permukkaan laut di d sekitar pantai p timur Sumatera a Selatan berkisar 0.02°C//tahun yang g setara den ngan nilai ra ata-rata di seluruh s pera airan Indone esia.
II‐18
Gamb bar II.15. Dis stribusi laju kenaikan su uhu permuk kaan air lautt berdasarka an Pathfinde er SST r resolusi 4 km m
Kenaika an muka aiir laut direkkonstruksi dengan d men nggunakan model SODA (Simple e Ocean Data Assimilation) A ), dimana laju l kenaikan di pantai timur Su umatera Se elatan berk kisar 0,3 mm/tah hun antara tahun 187 71-2008. Melalui M gabungan mod del ROMS (Regional Ocean Modelin ng Systemss) dengan SODA, pad da periode 1960-2008 8 laju kenaikan muka air laut menjadi 1 mm/tah hun. Beriku utnya satelitt altimeter mengamati laju kenaikan muka air laut sebesar 4,1 mm/ta ahun sejak tahun t 1993.
Gamb bar II.16. Rek konstruksi kenaikan k mu uka air laut di d wilayah pantai p timur Sumatera Selatan S tah hun 1871-20 008
Estimassi ke depan laju kena aikan muka a air laut berdasarka b n altimeterr, model, dan data pasang surut berkisar antara 0,5-0,7 cm m/tahun. Pro oyeksi kenaikan muka air laut pad da tahun 2030 se ebesar 13.5 5± 6.15 cm relatif terha adap level muka m air lau ut pada tah hun 2000. Di D antara nilai terrsebut, antara 6-15 cm c merupakan hasil kontribusi k p pencairan e es yang die estimasi dengan n model HYC COM dan ECCO. E Kejadia an ekstrem juga berpengaruh te erhadap kenaikan muka air lautt seperti te erjadinya fenome ena La-Nina a (pengaruh dari Sam mudra Pasiifik) yang dapat d menimbulkan kenaikan k sebesar 15 cm terrhadap mukka air laut dalam d kondiisi normal. Di masa de epan fenom mena Laemakin panjjang dan sering s terjad di yang dap pat berakib bat makin tiingginya Nina diprediksi se gelomb bang laut, makin m besarr kecepatan n angin, di samping menaikkan m level muka air laut. Proyekssi ENSO ya ang meliputti fenomena a El-Nino dan La-Nina a berdasarkkan skenario o SRES II‐19
a1b menunjukkan bahwa keduanya akan terjadi hampir pada setiap tahun yang diselingi dengan kondisi normal pada tahun 2013/2014, 2021/2022 dan 2027/2028. Probabilitas kejadian La-Nina, El-Nino, dan kondisi normal masing-masing sekitar 55%, 30% dan 15%. Gelombang signifikan pada pantai timur Sumatera Selatan meninggi pada monsun Asia sekitar bulan Desember-Januari, dan menurun pada monsun Australia pada bulan Mei. Menurut catatan satelit altimeter, gelombang tinggi yang pernah terjadi sekitar 2,5 m pada tahun 2000, 2001, dan 2007 yang diperkirakan disebabkan oleh menguatnya La-Nina dan El-Nino, yang disertai kurangnya pengaruh IOD (Dipole Mode dari Samudra Hindia).
II.2.2 Sektor Pesisir Provinsi Sumatera Selatan memiliki kekhasan dimana sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah sehingga mempunyai tingkat keterpaparan tinggi terhadap perubahan iklim, khususnya bahaya penggenangan pesisir yang disebabkan oleh kombinasi kenaikan muka air laut, gelombang badai, dan fenomena La-Nina pada saat air pasang maksimum. Oleh sebab itu penilaian risiko diperlukan di sepanjang wilayah pesisir Provinsi Sumatera Selatan untuk mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai dampak perubahan iklim dan strategi adaptasi yag tepat dalam mengatasinya. Di antara 15 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, hanya dua kabupaten yang memiliki garis pantai atau berbatasan dengan air laut yaitu Ogan Komering Ilir (OKI) dan Banyuasin. Namun bahaya penggenangan pesisir yang dipicu oleh stimuli perubahan iklim tersebut hingga tahun 2030 dapat mencapai enam kabupaten/kota, yaitu Banyuasin, Muara Enim, Musi Banyuasin, Ogan Ilir, OKI, dan Palembang (Gambar II.17).
Gambar II.17 Peta penggenangan pesisir akibat perubahan iklim hingga tahun 2030
Di antara wilayah-wilayah tersebut khusus Kota Palembang dan sekitarnya memiliki risiko sangat tinggi terhadap penggenangan pesisir mengingat kombinasi faktor-faktor kerentanan seperti rendahnya muka tanah terhadap muka air laut rata-rata, landainya kemiringan topografi, lahan yang banyak digunakan untuk pemukiman dan industri, populasi penduduk terbesar, serta adanya infrastruktur vital (Gambar II.18).
II‐20
Gambar II.18 Peta risiko terhadap penggenangan pesisir akibat perubahan iklim hingga tahun 2030
Untuk mengantisipasi risiko tersebut disusun opsi-opsi adaptasi perubahan iklim yang sesuai dengan kondisi ekoregion dataran rendah dan estuari di pesisir Provinsi Sumatera Selatan. Opsi-opsi adaptasi tersebut pada dasarnya adalah: pemeliharaan dan restorasi dataran rendah, pengelolaan transpor sedimen, penataan pembangunan pesisir, pemeliharaan garis pantai secara alami (soft measures) dan dengan teknologi (hard measures), konservasi habitat spesies, pengelolaan kualitas air, dan ketersediaan sumber daya air. Untuk itu empat tipe adaptasi diajukan berdasarkan pembagian Provinsi Sumatera Selatan ke dalam enam region sebagai berikut (Gambar II.19):
II‐21
Gambar II.19 Peta regionalisasi adaptasi perubahan iklim hingga tahun 2030
1. Wilayah A, area pesisir Banyuasin dan Musi Banyuasin (perikanan dan desa permukiman), yang didominasi oleh hutan lebat, rawa dan mangrove di sepanjang garis pantai desa. Oleh sebab itu, konsep adaptasi yang diusulkan pada area ini adalah restorasi mangrove dan hutan pesisir serta diikuti dengan strategi proteksi-akomodasi bagi permukiman dan tambak perikanan. 2. Wilayah B, Tanjung Api-Api (taman industri masa depan, industri perikanan, dan permukiman), terdiri dari beberapa delta, sistem estuari, lahan basah dan hutan bakau. Wilayah ini akan dikembangkan sebagai pusat ekonomi di masa depan, yaitu sebagai penggerak utama ekonomi (outlet) untuk ekspor sumber daya alam dari Provinsi Sumatera Selatan dan provinsi tetangganya. Konsep adaptasi yang diusulkan pada wilayah ini yaitu strategi proteksi-akomodasi dan diikuti dengan restorasi mangrove. 3. Wilayah C-D-E, Ogan Komering Ilir (perikanan dan desa permukiman), hampir sama dengan wilayah A, didominasi oleh hutan lebat, rawa dan mangrove di sepanjang garis pantai desa. Wilayah ini akan dikembangkan sebagai industri perikananbudidaya kolam ikan dan budaya kelautan lainnya. Namun, pembangunan di daerah ini dibatasi oleh potensi tinggi abrasi atau erosi akibat gelombang tinggi angin harian dari Selat Karimata. Oleh sebab itu, konsep adaptasi yang diusulkan adalah Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu (ICZM), terutama melalui managed realignment dan coastal setback dengan proteksi-soft (memelihara mangrove dan sand dune) 4. Wilayah D, Kota Metropolitan Palembang (permukiman, industri, aktivitas ekonomi), yang merupakan sistem estuari dan sungai yang khas. Wilayah ini terutama akan dikembangkan sebagai permukiman, bisnis, pemerintahan, dan kegiatan transportasi laut. Konsep adaptasi yang diusulkan berupa strategi akomodasi dan proteksi berupa perlindungan dengan teknologi (hard) pada area genangan sepanjang sungai. Selain itu juga diperlukan pemeliharaan dan restorasi Sungai Musi.
II‐22
Tabel II.6 Empat Tipe Adaptasi Berdasarkan Regionalisasi Provinsi Sumatera Selatan WILAYAH KARAKTERISTIK STRATEGI ADAPTASI Wilayah A, area Perikanan dan desa permukiman Restorasi mangrove & hutan pesisir; pesisir Hutan lebat, rawa dan mangrove Diikuti dengan strategi proteksiBanyuasin dan akomodasi : permukiman dan tambak Musi perikanan Wilayah B, Lahan industri masa depan, industri Strategi proteksi-akomodasi Tanjung Api-Api perikanan, dan permukiman Diikuti dengan restorasi mangrove Delta, sistem estuari, lahan basah dan hutan bakau Pengembangan: pusat ekonomi di masa depan untuk ekspor sumber daya alam Wilayah C-D-E, Perikanan dan desa permukiman Pengelolaan zona pesisir terpadu Ogan Komering Hutan lebat, rawa dan mangrove (ICZM), terutama : Ilir Pengembangan: industri perikanan- managed realignment dan (seperti wilayah budidaya dan budidaya kelautan coastal setback A) lainnya dengan proteksi-soft (memelihara Kendala: potensi tinggi abrasi akibat mangrove dan sand dune) gelombang tinggi dari selat karimata Wilayah F, Kota Permukiman, industri, aktivitas Perlindungan dengan teknologi (hard) Metropolitan ekonomi pada area genangan sepanjang Palembang Sistem estuari dan sungai yang khas sungai Pengembangan: permukiman, bisnis, Pemeliharaan dan restorasi sungai pemerintahan, dan transportasi laut musi
Implementasi adaptasi terhadap perubahan iklim pada ke-enam kabupaten/kota yang beresiko tinggi-sangat tinggi tersebut dapat mengikuti peringkat berikut berdasarkan beberapa kriteria (Tabel II.7)
1
2
3
4
Faktor luas daerah yang memiliki tingkat risiko tinggisangat tinggi saja Faktor luas daerah yang memiliki tingkat risiko tinggi-sangat tinggi + Faktor kepadatan penduduk Faktor luas daerah yang memiliki tingkat risiko tinggi-sangat tinggi + Faktor infrastruktur vital dan daerah terbangun Faktor luas daerah yang memiliki tingkat risiko tinggi-sangat tinggi + Faktor ekosistem lahan
Kota Palembang
Kabupaten Ogan Ilir
Strategi Adaptasi Prioritas
Akomodasi dan proteksi 1
2
3
2
1
2
1
3
2
II‐23
Kab. Muara Enim
Kab. Musi Banyuasin
Kriteria
Kab. Ogan Komering Ilir
No
Kab. Banyuasin
Tabel II.7 Peringkat implementasi adaptasi perubahan iklim pesisir Provinsi Sumatera Selatan (Skala prioritas 1 – 6)
4
5
6
3
1
4
3
Akomodasi dan proteksi khususnya pada daerah permukiman di Palembang, Banyuasin, dan Muara Enim Proteksi secara alami (soft) dan teknologi (hard), di daerah industri di Palembang, Banyuasin (fokus: Tanjung Api-Api), dan Muara Enim, serta lahan perikanan di OKI Restorasi hutan dan mangrove, kehidupan di pesisir, dan konservasi lingkungan Fokus: TN Sembilang
Kota Palembang
Kabupaten Ogan Ilir
Kab. Muara Enim
Kab. Musi Banyuasin
Kriteria
Kab. Ogan Komering Ilir
No
Kab. Banyuasin
Strategi Adaptasi Prioritas
basah dan mangrove
II.2.3. Sektor Air Pada prinsipnya, adaptasi di sektor air harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan Manajemen Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resources Management - IWRM). Dalam adaptasi dengan IWRM ini, perubahan iklim menjadi salah satu pertimbangan dasar dalam pengelolaan air, misalnya dalam pengembangan infrastruktur air dan sebagainya. Indikator dari IWRM sebagaimana dinyatakan dalam Laporan IPCC-AR4 (2007) antara lain: mempertimbangkan pandangan masyarakat, mengintegrasikan dengan proses perencanaan, koordinasi manajemen sumber daya air, mengenali keterkaitan kuantitas dan kualitas air, keterkaitan penggunaan air permukaan dan air tanah, melindungi dan memulihkan sistem alam, dan pertimbangan perubahan iklim. Pilihan adaptasi dapat berupa adaptasi hard (pembangunan struktur) maupun adaptasi soft (non-struktur). Berikut adalah pilihan adaptasi pada setiap risiko dalam sektor air yang direkomendasikan di Sumatera Selatan berdasarkan risikonya, dimana banyak di antaranya merupakan adaptasi struktur. a. Adaptasi Terhadap Risiko Kekurangan (Penurunan Ketersediaan) Air Strategi adaptasi pada sektor air dibagi dalam 4 zona utama yang diklasifikasikan berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan susunan sungai, yaitu DAS Musi, DAS Sugihan, DAS Mesuji, dan DAS Banyuasin (Gambar II.20). Pertimbangan lain dalam mengidentifikasi pilihan adaptasi adalah peta risiko kekurangan air dan periode pelaksanaan pilihan adaptasi. Daerah dengan tingkat risiko sangat tinggi sampai medium merupakan prioritas utama dalam adaptasi (Gambar II.21).
Gambar II.20. Empat DAS Utama untuk Zonasi Adaptasi Risiko Penurunan Ketersediaan Air di Sumatera Selatan
II‐24
Gambar II.21. Peta Risiko Penurunan Ketersediaan Air di Sumatera Selatan: (kiri) pada saat ini (kanan) tahun 2030 Tabel II.8 Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Kekurangan Air di Sumatera Selatan
Zona dan SubZona Zona I: DAS Musi, total area 57,845 km2 atau 66.56% dari total area Sumatera Selatan
(I-2) DAS Batangharileko
(I-3) DAS Rawas
(I-4) DAS Lakitan
(I-5) DAS Kelingi
(I-6) DAS Semangus
Strategi Adaptasi Dataran rendah: Regulasi penyediaan air untuk aktivitas perkebunan Peningkatan pelayanan PDAM Pemanfaatan air tanah dengan mengembangkan lubang bor Dataran tinggi: Pemanfaatan air permukaan dari sungai dengan membangun bendungan atau teknologi hidrolik Reboisasi dan konservasi vegetasi lainnya Panen air hujan Regulasi penyediaan air bagi perusahaan perkebunan dan pertambangan Konservasi tanah dan konservasi vegetasi untuk pemeliharaan sumber daya air Peningkatan pelayanan PDAM Konservasi tanah dan konservasi vegetasi untuk pemeliharaan sumber daya air Regulasi perusahaan perkebunan dan pertambangan dalam penyediaan air Pemanfaatan air tanah dan panen air hujan Pembangunan bendungan Konservasi lahan atau reboisasi, dan hutan konservasi Pengembangan air tanah dan panen air hujan Pembangunan bendungan Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Peningkatan pelayanan PDAM Peningkatan infrastruktur air untuk pertanian Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Pembangunan bendungan Peningkatan pelayanan PDAM untuk Kota Lahat dan perkotaan disekitarnya Peningkatan infrastruktur air untuk pertanian Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Pembangunan bendungan II‐25
Zona dan SubZona (I-7) DAS Lematang
(I-8) DAS Ogan
(I-9) DAS Komering
Zona II: DAS Sugihan
Strategi Adaptasi
Zona III: DAS Mesuji
Zona IV: DAS Banyuasin
Zona V: DAS Bengkulu Bagian Atas
Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Peningkatan pelayanan PDAM Peningkatan infrastruktur irigasi/ pengairan Konservasi lahan atau reboisasi, dan hutan konservasi Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Peningkatan pelayanan PDAM Pemanfaatan air tanah dan pembangunan bendungan Konservasi lahan atau reboisasi, dan hutan konservasi Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Peningkatan pelayanan PDAM Pemanfaatan air tanah dan pembangunan bendungan Konservasi lahan atau reboisasi, dan hutan konservasi Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Keberlanjutan konservasi lahan, hutan konservasi dan reboisasi Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Peningkatan infrastruktur irigasi untuk pertanian lahan basah Peningkatan pelayanan PDAM Keberlanjutan konservasi lahan, hutan konservasi dan reboisasi Peningkatan pelayanan penyediaan air publik (PDAM) dan lainnya Peningkatan infrastruktur irigasi Regulasi perusahaan perkebunan dalam penyediaan air Keberlanjutan konservasi lahan, hutan konservasi dan reboisasi untuk pemeliharaan kuantitas dan kualitas penyediaan air Keberlanjutan konservasi lahan, hutan konservasi dan reboisasi untuk pemeliharaan kuantitas dan kualitas penyediaan air
b. Adaptasi terhadap Risiko Banjir Pilihan adaptasi terhadap risiko banjir di Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga area berdasarkan kemiringan lahan Sumatera Selatan yaitu lowland (dataran rendah), midland (dataran menengah) dan highland (dataran tinggi), seperti ditunjukkan pada Gambar II.22 berikut.
II‐26
Gambar II.22. Peta Kemiringan Lahan dan Pilihan Adaptasi di Sumatera Selatan
Area Dataran rendah (Lowland)
Dataran menengah (Middle land)
Dataran tinggi (Highland)
Tabel II.9 Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Banjir di Sumatera Selatan Pilihan Deskripsi Pilihan Adaptasi Adaptasi Kanalisasi Cara paling tradisional dalam sistem drainase. Kanalisasi dilakukan dengan menghilangkan penghalang dari dasar sungai, meluruskan sungai dan memperbaiki tepi sungai sehingga dapat meningkatkan pengangkutan Polder dan Polder melindungi area sungai dari meluapnya air sungai dengan tanggul membangun tanggul sepanjang saluran. Dalam area yang dilindungi diperlukan kolam penyimpanan dan saluran tambahan untuk menyalurkan air lokal pada waduk. Kolam retensi Dirancang untuk mengendalikan limpasan air hujan pada situs, dan pada beberapa kasus dapat menghilangkan polutan. Kolam ini dirancang sebagai tempat penyimpan air sementara sebelum perlahan-lahan mengalir ke hilir. Tindakan Infiltrasi dapat memulihkan tangkapan alami hidrologis. Contoh infiltrasi tindakannya yaitu parit, vegetasi di permukaan, kebun hujan dan trotoar permeabel atau berpori. Kolam Rendaman banjir adalah cara paling efektif untuk mendistribusikan penahan debit air dari waktu ke waktu. Proses rendaman terus menyimpan air (detention dan mengontrol aliran keluaran dengan debit yang terbatas. Terdapat basin) beberapa aplikasi untuk kolam penahan. Kolam penahan dapat ditempatkan pada sungai-sungai maupun taman umum dan wilayah sungai yang juga dapat menjadi lansekap multifungsi Embung Embung (pond) menyediakan dua layanan utama yaitu (1) sebagai cekungan untuk menangkap limpasan air dari daerah tinggi dan mempertahankan limpasan sebelum melepaskannya ke sungai (2) sebagai penyimpanan dan sumber air. Reboisasi
Meskipun pada area ini tidak pernah terjadi banjir, namun perlu diterapkan reboisasi untuk mencegah erosi tanah, mempertahankan lapisan tanah dan infiltrasi.
II‐27
c. Adaptasi Terhadap Risiko Longsor Kawasan tanah longsor dibagi menjadi dua area utama dengan jenis yang berbeda yaitu area permukiman dan non-permukiman. Peta risiko menunjukkan bahwa tingkatan risiko tinggi hanya terjadi pada daerah berpopulasi penduduk, yaitu area irigasi seluas 34.190,8 m2, area permukiman seluas 80.861,3 m2, perkebunan lahan basah seluas 202.220,3 m2 dan lahan pertanian seluas 4.171.510 m2. Berdasarkan data historis Dinas PU Jasa Marga dan Dinas Pertambangan dan Energi di Sumatera Selatan, terdapat 34 kasus longsor yang terjadi di area jalanan (road). Berdasarkan hal tersebut dan proyeksi guna lahan pada saat ini, maka terdapat dua strategi utama dalam menangani longsor akibat perubahan iklim di Sumatera Selatan, yaitu adaptasi pada daerah non-populasi penduduk dan daerah berpopulasi penduduk. Pada prinsipnya adaptasi longsor berupa stabilisasi tanah yang dilakukan untuk mengurangi kekuatan pendorong dan melawannya. Adaptasi pada daerah non-populasi penduduk berupa penghijauan atau menutup tanah dengan populasi vegetasi, sehingga sistem tanah akan menguatkan dan memberi efek stabilisasi. Sementara pada daerah berpopulasi penduduk di mana dominan area terbangun, maka dibutuhkan pengerjaan rekayasa teknik untuk menerapkan penghijauan. Tabel berikut adalah kondisi tanah longsor di Sumatera Selatan beserta rekomendasi pilihan adaptasi yang dapat diterapkan.
Tabel II.10. Pilihan Adaptasi Terhadap Risiko Longsor di Sumatera Selatan Tingkatan Tingkatan Kabupaten Guna lahan Pilihan Adaptasi Bahaya Risiko Empat lawang Pertanian 2,4,5 2,3,4 Reboisasi Lahat Pertanian, industri perhutanan, 2,4,5 2,3,4 Reboisasi dan permukiman rekayasa teknik Muara Enim Pertanian, industri perhutanan, 2,5 2,3,4 Reboisasi dan permukiman rekayasa teknik OKU Selatan Pertanian dan hutan lindung 2,3 2,3 Reboisasi OKU Pertanian, industri perhutanan, 2 2,3 Reboisasi dan hutan lindung, permukiman rekayasa teknik OKU Timur Pertanian, industri perhutanan, 2 2,3 Reboisasi dan perkebunan lahan basah dan rekayasa teknik permukiman Pagar Alam Pertanian, permukiman, 2 2 Reboisasi dan perkebunan lahan basah rekayasa teknik Musi Pertanian 2 2,3 Reboisasi Banyuasin Musi Rawas Permukiman, perkebunan lahan 2 2 Reboisasi basah, pertanian, hutan lindung Lubuk Linggau Permukiman dan pertanian 2 2,3 Reboisasi dan rekayasa teknik Prabumulih Permukiman 2 2,3 Reboisasi Keterangan: 1: sangat rendah, 2: rendah, 3: sedang, 4: tinggi, 5: sangat tinggi
II.2.4. Sektor Pertanian Sektor pertanian merupakan salah satu sektor utama yang mendominasi bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan. Adanya isu perubahan iklim dapat mengancam sektor pertanian dengan asumsi bahwa penurunan produktivitas tanaman dan luas panen memiliki hubungan kuat dengan perubahan suhu udara dan curah hujan. Selain itu naiknya permukaan laut akan menyebabkan berkurangnya luas lahan pertanian. Pada akhirnya, II‐28
perubahan iklim tersebut dapat menimbulkan risiko penurunan produksi pertanian, dimana di Sumatera Selatan didominasi oleh komoditi padi (lahan basah dan lahan kering), jagung dan kedelai. Hasil kajian menunjukkan wilayah-wilayah yang memiliki risiko sangat tinggi terhadap perubahan iklim maupun terhadap kenaikan muka air laut seperti pada Gambar II.23 di bawah (untuk padi lahan basah dan padai lahan kering).
Gambar II.23. Risiko Penurunan Produksi Pertanian Akibat Perubahan Iklim: (a) Padi Lahan Basah, (b) Padai Lahan Kering
Gambar II.24. Risiko Penurunan Produksi Pertanian Akibat Perubahan Iklim dan Kenaikan Muka Air Laut: (a) Padi Lahan Basah, (b) Padai Lahan Kering
Oleh sebab itu perlu diterapkan berbagai strategi adaptasi untuk mengatasi perubahan iklim tersebut terutama pada tiga komoditas tanaman utama tersebut. Strategi umum adaptasi tersebut antara lain: 1) meningkatkan produktivitas tanaman melalui varietas benih unggul, teknologi budidaya, pupuk dan peralatan, 2) memperluas lahan pertanian dengan reklamasi, optimasi lahan, dan membuka lahan baru, 3) diversifikasi pangan melalui penanaman tanaman potensial yang dapat beradaptasi dengan perubahan iklim seperti tanaman yang lebih cepat dapat dipanen, tanaman yang tahan terhadap kekeringan, dan yang tahan terhadap genangan air, 4) revitalisasi pola penanaman sesuai dengan perubahan pola distribusi dan frekuensi curah hujan, 5) membatasi konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian dengan kekuatan hukum, 6) koordinasi antar instansi terkait dalam berbagai kegiatan pertanian untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Pengembangan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim disesuaikan dengan tingkat bahaya, kerentanan, risiko pada sektor pertanian dan diprioritaskan pada kabupaten yang
II‐29
berisiko sangat tinggi dan tinggi. Berikut adalah strategi adaptasi umum sektor pertanian di Sumatera Selatan yang sesuai dengan peta risiko pada Gambar II.24 di atas. Tabel II.11. Strategi Adaptasi Umum Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Selatan Jenis Kabupaten Strategi Adaptasi Risiko Penurunan OKU Timur, Musi Banyuasin, Muara Penggunaan bibit unggul dengan produktivitas produkEnim, Prabumulih, Ogan Ilir dan OKI tinggi, umur pendek, dan tahan terhadap tivitas (padi lahan basah) kekeringan atau banjir tanaman OKI, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Peningkatan teknik budidaya pangan misalnya Muara Enim, OKU, dan Prabumulih PTT dan intensifikasi penanaman (SRI dan (jagung) Sistem Legowo) Musi Banyuasin, Muara Enim, OKU Timur, Prabumulih, Ogan Ilir, dan OKI (kedelai) Penurunan Banyuasin dan OKI (padi lahan Peningkatan kapasitas waduk air hujan pada lahan basah) musim hujan pertanian Muara Enim (padi lahan kering) Revitalisasi jaringan irigasi tadah hujan Musi Banyuasin dan Banyuasin Penggunaan bibit unggul padi, jagung, dan biji (jagung) kedelai dengan kualitas tinggi dan pematangan OKU Timur dan Lahat (kedelai) awal Penurunan Banyuasin (padi lahan basah) Peningkatan kapasitas waduk air hujan pada lahan musim hujan pertanian Revitalisasi jaringan irigasi dan pintu air pasang irigasi Konservasi tanah dan air pada lahan pertanian pengaruh bahaya Penggunaan bibit unggul padi, jagung, dan biji Penurunan Tanpa penggenangan pantai oleh kenaikan kedelai dengan kualitas tinggi dan pematangan produksi muka air laut: awal tanaman Peningkatan teknik budidaya pangan misalnya OKU Timur (padi lahan basah) PTT dan intensifikasi penanaman (SRI dan Muara Enim (padi lahan kering) Sistem Legowo) Musi Banyuasin (jagung) Pengembangan sistem tanam raised bed untuk OKU Timur (kedelai) melestarikan tanah dan air pada lahan pertanian tadah hujan Optimalisasi pemanfaatan lahan tadah hujan dengan reboisasi Optimalisasi pemanfaatan lahan reklamasi yang ditinggalkan dan membuka lahan baru Dengan pengaruh bahaya Penggunaan bibit unggul yang tahan terhadap penggenangan pantai oleh kenaikan genangan air yang berkadar garam relatif tinggi muka air laut: Perbaikan saluran irigasi yang umumnya dipengaruhi oleh pasang surut laut Banyuasin dan OKI (padi lahan Penggunaan teknik budidaya pangan yang basah) memperhatikan genangan air yang berkadar Banyuasin dan Muara Enim (padi garam relatif tinggi lahan kering) Konversi lahan pertanian yang tergenang air asin menjadi lahan usaha perkebunan dan tambak Mencetak lahan pertanian baru untuk menggantikannya Sumber: Handoko dan Ruminta, 2011
II.2.5. Sektor Kesehatan Kajian risiko perubahan iklim di setiap kabupaten dan kota di Sumatera Selatan telah menunjukkan bahwa perubahan iklim membawa dampak perubahan tertentu dalam kondisi lingkungan. Pada sektor kesehatan, perubahan pola curah hujan dan temperatur akan mempengaruhi sifat dari agen penyakit tertentu. Untuk itu sektor kesehatan di Sumatera II‐30
Selatan perlu menerapkan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut yang mengandung tiga prinsip yaitu: • Kebijakan secara bertahap beralih dari dominasi kuratif (pengobatan) menjadi kegiatan pencegahan dan promosi jangka panjang • Berdasarkan pada kesimpulan dan prediksi dari kajian ilmiah bahwa iklim Sumatera Selatan mengalami perubahan dimana kejadian ekstrem akan semakin sering, maka seluruh perencanaan sektor kesehatan di Sumatera Selatan harus mempertimbangkan adaptasi perubahan iklim di masa depan • Sektor kesehatan perlu bekerja sama dengan sektor terkait lainnya. Kebijakan di masa mendatang dapat dilakukan bertahap pada periode jangka pendek (2010-2020) untuk tindakan mitigasi dan pendekatan adaptasi pada periode jangka panjang (2030-3050) Secara umum strategi adaptasi terdiri dari dua komponen utama yaitu strategi proaktif yang berkaitan dengan pengurangan dampak perubahan iklim dan strategi reaktif yang berkaitan dengan peningkatan ketahanan atau resistensi masyarakat terhadap penyakit. Berikut penjelasan strategi adaptasi untuk tiga risiko yang berkaitan dengan isu perubahan iklim yaitu penyakit demam berdarah dengue (DBD), malaria dan diare di Sumatera Selatan. a. Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Penyakit Demam Berdarah Dengue di Sumatera Selatan Banyak wilayah di Sumatera Selatan mengalami endemik penyakit DBD. Perubahan iklim dapat mempengaruhi peningkatan limpahan nyamuk Aedes. Meningkatnya frekuensi curah hujan ekstrem dapat menyediakan tempat untuk pembiakan nyamuk dan suhu yang lebih hangat dapat meningkatkan kemungkinan kawin nyamuk tersebut. Untuk itu wilayah yang memiliki risiko tinggi memerlukan perlindungan ekstra sebab biasanya merupakan situs perkembangbiakan nyamuk. Selain itu selama wabah berlangsung (KLB) strategi tanggap darurat bergantung pada manajemen penyakit dan pemulihan yang mengarah pada strategi pencegahan melalui peningkatan lingkungan. Kombinasi dua atau lebih strategi adaptasi dapat lebih menurunkan jumlah kejadian DBD. Pada saat ini terdapat 4 kabupaten di Sumatera Selatan yang memiliki risiko sangat tinggi terhadap risiko DBD yaitu Muara Enim, Banyuasin, Empat Lawang, dan Palembang. Pada masa depan, daerah risiko sangat tinggi tersebut berubah menjadi Muara Enim, Prabumulih, Lubuk Linggau, dan Palembang. Wilayah yang memiliki risiko menengah dan rendah perlu untuk mengimplementasikan strategi pencegahan dalam jangka panjang. Strategi masa depan untuk risiko DBD di Sumatera Selatan didasarkan pada proyeksi iklim di masa depan yang harus disesuaikan dengan bahaya, kerentanan, dan risiko di setiap kabupaten.
II‐31
Tabel II.12. Strategi Adaptasi Umum untuk Risiko Penyakit DBD di Sumatera Selatan Jenis Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang Strategi (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) 1. Penyemprotan rutin yang 1. Pengembangan Pengendalian 1. Pengurangan sumberlebih sedikit (2-3 kali insektisida biologis sumber nyamuk Vektor setahun, berdasarkan yang lebih tahan (berdasarkan 2. Penyemprotan musiman lama, tidak beracun keberhasilan program perubahan rutin (3-4 kali setahun, dan lebih murah jangka pendek) iklim terutama untuk kelurahan 2. Pengembangan 2. Jika KLB berkurang musiman) berisiko tinggi) modifikasi nyamuk seperti yang diharapkan 3. Penyemprotan incidental/ jantan steril secara dengan adanya tambahan saat KLB genetis peningkatan program, 4. Penggunaan ekstensif dari maka penyemprotan larvicides (temephos, IGR) insidental dikurangi 5. Perlindungan pribadi 3. Keberlanjutan dan (pengusir nyamuk, jaring nyamuk, semprotan keberjalanan program nyamuk, dan pakaian yang pengurangan sumbersesuai sumber nyamuk 1. Peningkatan Program 3M 1. Konstruksi rencana Peningkatan 1. Pelaksanaan Program 3M pengembangan 2. Penguatan hukum dari (Menguras, Menutup, Lingkungan permukiman semiPeraturan Daerah Mengubur) Plus urban (Perumnas) (Perda) mengenai 2. Penggunaan ekstensif dari yang mengurangi sanitasi lingkungan musuh biologis/predator kepadatan dan area 3. Program peningkatan (basil, jamur, larva ikan) kumuh di pusat kota dan perbaikan kampung 3. Permukiman yang lebih 4. Review desain bangunan baik dengan sistem untuk mengurangi habitat penyimpanan dan potensial pembiakan penyaluran air tertutup nyamuk 1. Percobaan masal Pengendalian 1. Pengamatan serologi virus 1. Mengembangkan cara DBD diagnosa virus secara vaksin virus cepat 2. Pengembangan Pengamatan 2. Pengembangan lebih jauh untuk vaksin DBD 2. Percobaan pada manusia antibiotik antiviral Agen untuk vaksin dengue Penyakit pentavalen 1. Fasilitas penanganan yang 1. Pelatihan personel RS 1. Menurunkan Manajemen lebih baik yang lebih baik kejadian dan Infeksi 2. Sistem pelaporan yang 2. Menurunkan tingkat kematian karena Manusia lebih baik kejadian menjadi infeksi DBD dengan 3. Peningkatan kesadaran setengahnya pada tahun meminimasi masyarakat 2030 bahaya, kerentanan 4. Peningkatan edukasi dan risiko masyarakat
b. Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Penyakit Malaria di Sumatera Selatan Saat ini kasus penyakit malaria telah terjadi di berbagai kabupaten di Sumatera Selatan. Perubahan iklim dapat mempengaruhi kemungkinan peningkatan kasus tersebut di masa depan. Faktor utama di daerah pesisir yaitu kenaikan muka air laut yang dapat meningkatkan pembentukan daerah rawa, danau dan area tergenang lainnya yang merupakan tempat ideal pembibitan nyamuk Anopheles. Selain itu faktor lainnya adalah kenaikan suhu yang dapat memperpendek siklus gonotropic Anopheles sehingga dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan populasi nyamuk yang signifikan. Malaria disebabkan oleh transmisi plasmodium melalui vektor. Oleh sebab itu strategi adaptasi ditujukan untuk dapat memutus rantai penularan melalui penghapusan etiologi dan vektornya. Daerah berisiko tinggi memerlukan perlindungan ekstra karena lokasinya yang dekat dengan lokasi pembiakan nyamuk. Pada saat ini terdapat dua kabupaten II‐32
dengan risiko sangat tinggi yaitu Ogan Komering Ulu dan Musi Rawas, sedangkan di masa depan tinggal Kabupaten Ogan Komering Ulu saja. Secara umum strategi adaptasi terhadap risiko malaria saat ini dibedakan menjadi empat strategi yaitu; (1) manajemen pengendalian vektor nyamuk, (2) manajemen infeksi pada masyarakat/populasi, (3) peningkatan lingkungan sehat dan (4) pengendalian agen penyakit sebagai program adaptasi jangka panjang. Strategi jangka pendek (2010-2020) lebih bergantung pada menajemen penyakit, sementara strategi jangka panjang lebih mengarah pada pencegahan penyakit melalui teknik pencegahan lingkungan yang diterapkan pada daerah risiko menengah. Oleh sebab itu daerah berisiko tinggi tersebut perlu memiliki ketahanan masyarakat yang kuat terhadap malaria, misalnya dengan keberadaan rumah permanen, penyediaan fasilitas kesehatan, dan lokasi rumah yang jauh dari situs perkembangbiakan nyamuk. Oleh sebab itu setiap daerah perlu untuk mengkombinasikan strategi pencegahan umum dan tanggap darurat terhadap malaria. Berikut adalah strategi adaptasi terhadap berbagai risiko penyakit malaria di Sumatera Selatan berdasarkan proyeksi masa depan yang harus disesuaikan dengan tingkat bahaya, kerentanan dan risiko di setiap kabupaten. Tabel II.13. Strategi Umum untuk Risiko Penyakit Malaria di Sumatera Selatan Jenis Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang Strategi (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) 1. Penyemprotan yang 1. Pengembangan Pengendalian 1. Pengurangan sumber-sumber insektisida lebih sedikit (2-3 kali nyamuk Vektor biologis yang setahun (Dirancang 2. Pelaksanaan Program WHO Roll lebih tahan, berdasarkan untuk malaria Back Malaria yang lebih baik murah dan tidak keberhasilan endemik di 3. Penyemprotan insektisida indoor beracun program jangka wilayah pesisir rutin (1-2 kali setahun, 2. Pengembangan pendek) khususnya kelurahan dengan dan dataran rekayasa genetik 2. Jika KLB tidak rendah) risiko tinggi) nyamuk jantan sesuai yang 4. Penyemprotan steril diharapkan maka insidental/tambahan selama KLB penyemprotan 5. Penggunaan ekstensif larvicides insidental dikurangi (temephos, IGR) 3. Pemeliharaan 6. Perlindungan pribadi (pengusir program umum nyamuk, jaring nyamuk, untuk mengurangi semprotan nyamuk dan pakaian sumber nyamuk yang sesuai) 4. Penggunaan kelambu 1. Pengembangan 1. Program reklamasi pesisir (rawa, 1. Pengenalan larva Peningkatan ikan dan predator perumahan semilaguna, area tergenang) Lingkungan lainnya urban 2. Reboisasi ekstensif/ menanam kembali mangrove yang hilang di 2. Pengenalan monyet (Perumnas) agar timur Sumatera Selatan akibat daerah (bekantan) menjauhi area kenaikan muka air laut agar nyamuk perkembangbiaka 3. Perumahan yang lebih baik menjauhi manusia n nyamuk dengan layar anti nyamuk pada pintu dan jendela 1. Pengembangan Pengendalian 1. Pengamatan rutin parasit malaria 1. Pengembangan oleh ahli malaria lapangan dan cara diagnosa vaksin malaria ahli entomologi malaria yang cepat 2. Pengembangan Pengamatan obat anti-malaria Agen Penyakit 1. Fasilitas penanganan kasus 1. Pelatihan personel 1. Mengurangi Manajemen malaria yang lebih baik rumah sakit yang insiden dan Infeksi 2. Pelaporan kasus malaria yang lebih baik, terutama kematian yang Manusia lebih baik dan cepat saat malaria disebabkan oleh 3. Peningkatan kesadaran mewabah penyakit malaria
II‐33
masyarakat 4. Meningkatkan edukasi masyarakat 5. Ketersediaan anti-malaria
2. Pelatihan untuk ahli malaria lapangan
akut
c. Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Penyakit Diare di Sumatera Selatan Penyakit diare umumnya disebabkan oleh transmisi mikroorganisme pathogen melalui kotoran. Oleh sebab itu strategi adaptasi harus dapat memutus rantai penularan melalui penghapusan etiologi dan meningkatkan kekebalan dalam suatu komunitas. Daerah berisiko tinggi memerlukan strategi yang lebih komprehensif terutama dalam strategi tanggap darurat dan strategi pencegahannya, sementara daerah risiko rendah perlu lebih terkonsentrasi pada strategi pencegahan saja. Pada saat ini terdapat empat kabupaten dengan risiko sangat tinggi yaitu Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir, dan Empat Lawang. Di masa depan, daerah yang berpotensi risiko sangat tinggi berubah menjadi Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Timur, dan Muara Enim. Risiko sangat tinggi terhadap diare sebagian besar dipengaruhi oleh penyediaan fasilitas kesehatan yang tidak memadai. Oleh sebab itu strategi adaptasi yang dirumuskan lebih terkonsentrasi ke arah perbaikan infrastruktur. Selain itu strategi adaptasi pada daerah dengan risiko tinggi dan menengah perlu terkonsentrasi ke arah perubahan perilaku jangka panjang dan pencegahan terjadinya diare. Strategi adaptasi terhadap risiko penyakit diare di masa mendatang dirumuskan guna mengantisipasi proyeksi perubahan pola curah hujan di Sumatera Selatan. Berikut adalah strategi adaptasi umum untuk berbagai risiko diare di masa mendatang yang harus disesuaikan dengan tingkat bahaya, kerentanan dan risiko di setiap kabupaten. Tabel II.14. Strategi Adaptasi Umum untuk Risiko Penyakit Diare di Sumatera Selatan Tipe Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang Strategi (2010-2020) (2020-2030) (2030-2050) 1. Kawasan penampungan 1. Pengembangan 1. Masyarakat yang lebih Manajemen Banjir (iklim untuk korban banjir infrastruktur drainase tanggap terhadap ekstrim; dengan ketersediaan air di area tergenang banjir banjir yang cukup dan fasilitas banjir 2. Peningkatan berkepanjan pembuangan yang baik 2. Memperlebar dan manajemen pesisir gan selama 2. Rumah isolasi yang memperdalam 3. Daur ulang limbah dan musim hujan) menyediakan fasilitas air saluran dan kanal pipa air yang bebas minum yang steril bakteri 1. Adaptasi penggunaan 1. Desain perumahan Peningkatan Peningkatan kualitas air: 1. Penggunaan air matang air buangan yang tahan terhadap Lingkungan 2. Penggunaan air berklorin 2. Perda mengenai banjir berkepanjangan 3. Sistem pembuangan dan sanitasi lingkungan di masa depan penyaluran kotoran yang 3. Program perbaikan 2. Rencana perumahan lebih baik sanitasi di kelurahan yang lebih baik 4. Ketersediaan air sumur 4. Peningkatan pipa air dengan air ledeng dan yang bersih (2030) yang ekstensif pemisah air limbah Pengendalia 1. Pengamatan agen infeksi 1. Pengembangan agen 1. Pengembangan gastrointestinal (e.coli, diagnosa diare genetik dari patogen ntifus, kolera) diare Pengamatan 2. Pengembangan Agen vaksin dan antibiotik Penyakit 1. Fasilitas penanganan 1. Mengurangi insiden 1. Pelatihan personel Manajemen kasus dan laporan yang rumah sakit yang dan kematian karena Infeksi lebih baik diare lebih baik terutama Manusia 2. Meningkatkan kesadaran saat diare mewabah dan pendidikan masyarakat
II‐34
II.3. KRAPI Malang Raya Malang Raya merupakan bagian hulu dari Sungai Brantas yang merupakan sungai strategis nasional. Selain itu, wilayah Malang Raya mencakup tiga wilayah administrasi kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu. Secara geografis, Kabupaten Malang yang merepresentasilan keseluruhan tiga wilayah administrasi tersebut, terlatak pada .25”- 112057’28.17” bujur timur dan 7045’41.86”- 8027’53.58” lintang selatan dengan wilayah seluas 3,519 km2 dimana Kota Batu terletak di bagian utara wilayah Malang Raya pada 112028’19.72”- 112035’26.68” bujur timur dan 7043’58.71”- 7056’28.28” lintang selatan dengan wilayah seluas 189 km2. Sedangkan Kota Malang berada agak ke tengah wilayah Malang terletak pada 112034’39.11”- 112040’37.12” bujur timur dan 7055’11.05”801’59.65” lintang selatan dengan wilayah seluas 110 km2.
II.3.1. Basis Saintifik (Science Basis) Kajian basis saintifik mendasari kajian sektor-sektor dalam menganalisis dampak perubahan iklim di wilayah Malang Raya, baik yang sedang terjadi saat ini maupun yang diproyeksikan akan terjadi di masa depan. Hasil analisis terhadap data iklim dari tahun 1900 memperlihatkan bahwa Malang Raya memiliki iklim monsun yang dicirikan oleh satu puncak periode hujan antara bulan Desember- Februari (selama musim dingin di Asia) dan musim kering yang tegas pada periode bulan Juni- Agustus (selama musim dingin di Australia). Di lain pihak, temperatur udara rata-rata adalah sekitar 25° C, dengan dua puncak di sekitar bulan April-Mei dan Oktober-November, serta temperatur “terdingin” di sekitar bulan Juli. Dampak pemanasan global di wilayah Malang dapat ditengarai oleh adanya tren kenaikan sebesar 0,69°C sepanjang 25 tahun terakhir. Meskipun demikian, angka tersebut mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kesalahan sistematis dalam pengukuran serta perubahan lokal seperti efek pulau panas perkotaan (urban heat island) dan pergeseran iklim regional, karena jika dilihat pada kurun waktu 50 dan 100 tahun, kenaikannya rata-rata hanya terhitung sekitar 0,5°C/abad (Gambar II.25).
Gambar II.25. Tren temperatur di Malang Raya sepanjang 100 tahun (garis biru), 50 tahun (garis hijau), dan 25 tahun terakhir (garis oranye)
II‐35
Berbeda dengan temperatur, tren perubahan curah hujan tidak dapat didekati secara linier tetapi pengaruh perubahan iklim dapat dilihat dari variabilitas antar-dasawarsa (interdecadal), antar-tahunan (inter-annual), dan curah hujan ekstrem. Meskipun dasawarsa 1980-an merupakan periode yang relatif sangat basah dan sekitar tahun 1990-an merupakan periode dengan curah hujan rata-rata paling sedikit, namun curah hujan rata-rata dekade hingga 2020 tidak tergolong kepada kondisi ekstrem (Gambar II.26). Ancaman bahaya (hazard) iklim yang lebih nyata pada saat ini justru lebih disebabkan oleh variabilitas iklim antar-tahunan (inter-annual) dan curah hujan ekstrem.
Gambar II.26. Variasi curah hujan antar-dasawarsa di wilayah Malang Raya. Data pengamatan curah hujan (garis hitam) antara tahun 1980 sampai dengan 2009 dan model prediksi empirik (garis merah) sampai dengan 2020
Variabilitas iklim antar-tahunan terutama yang berkaitan dengan fenomena El Nino (pengaruh iklim dari Samudra Pasifik) dan Dipole Mode (+) (pengaruh iklim dari Samudra Hindia) yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan. Malang Raya setidaknya pernah mengalami defisit curah hujan yang panjang pada sekitar tahun 1997/98 akibat pengaruh El Nino kuat dan mungkin sekitar tahun 1995 akibat kejadian Dipole Mode (+). Meskipun fenomena sebaliknya yaitu La Nina dan Dipole Mode (-) umumnya menyebabkan surplus curah hujan di wilayah Malang Raya, kondisi netral justru menyebabkan ketidakpastian iklim yang lebih tinggi. Hal ini perlu dicermati karena beberapa hasil studi menyebutkan bahwa pemanasan global menyebabkan pergantian antara El Nino dan La Nina menjadi lebih sering yang berdampak pada ketidakpastian iklim lebih tinggi. Proyeksi perubahan iklim akibat bertambahnya konsentrasi CO2 di atmosfer diturunkan berdasarkan model IPCC (Intergovernmental Panel for Climate Change) AR-4 dengan tiga skenario emisi CO2 yaitu B1 (rendah), A1B (sedang), dan A2 (tinggi). Secara umum, dalam semua skenario, tren kenaikan temperatur yang ada saat ini digambarkan akan terus berlangsung dan setidaknya meningkat secara rata-rata sampai 1° - 1,5° C hingga tahun 2030-an dibandingkan dekade 1990-an (Gambar 3 kanan). Selanjutnya, tren kenaikan yang lebih tinggi diproyeksikan pada skenario A1B dan A2 hingga mencapai kenaikan sebesar lebih dari 2° C pada tahun 2070-an. Proyeksi perubahan curah hujan memperlihatkan adanya sedikit kenaikan nilai rata-ratanya hingga tahun 2030-an disertai dengan penurunan nilai yang cukup signifikan antara tahun 2030-an sampai dengan 2050-an. Hasil ini sekaligus memperlihatkan bahwa potensi ancaman bahaya iklim (pola curah hujan) hingga tahun 2030-an masih didominasi oleh ketidakpastian iklim yang diakibatkan oleh variabilitas antar-tahunan dari curah hujan (Gambar II.27 kiri). II‐36
Gambar II.27. Proyeksi curah hujan (kiri) dan temperatur (kanan) melalui beberapa skenario perubahan iklim di Malang Raya
Di samping potensi perubahan pada curah hujan rata‐rata, bahaya iklim juga dapat berasal dari kejadian curah hujan yang tinggi pada skala harian (curah hujan ekstrem). Dari data historis selama lebih dari 25 tahun, dapat diketahui bahwa kejadian curah hujan (harian) ekstrem atau sangat lebat dapat diperkirakan dari data curah hujan bulanan yang sedang yaitu sekitar 250‐450 mm. Dengan demikian, dapat diproyeksikan bahwa peluang kejadian curah hujan ekstrem secara rata‐rata akan meningkat antara sekitar 5% hingga tahun 2030‐an relatif terhadap kondisi saat ini (Gambar II.28).
Gambar II.28. Perubahan dari probabilitas curah hujan bulanan yang berkorelasi kuat dengan curah hujan harian ekstrem di Malang Raya
II.3.2 Sektor Air Sebagaimana dinyatakan oleh lembaga Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) AR4, adaptasi perubahan iklim dalam sektor air harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan Manajemen Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resources Management, IWRM). Dalam adaptasi ini, perubahan iklim harus menjadi salah satu pertimbangan dasar dalam pengelolaan air, misalnya dalam pengembangan infrastruktur air dan lainnya. Beberapa indikator dari IWRM antara lain: menangkap pandangan masyarakat, membentuk kembali proses perencanaan, koordinasi manajemen sumber daya air, mengenali keterkaitan kuantitas dan kualitas air, penggunaan air permukaan dan air tanah yang II‐37
terhubung, melindungi dan memulihkan sistem alam, pertimbangan perubahan iklim dan menghilangkan hambatan dalam penyampaian informasi. Pengelolaan air di wilayah Malang Raya sebenarnya sudah cukup baik jika dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kendala dan hambatan seperti ketidaktersediaan data, finansial, teknologi, sumber daya manusia. Langkah penerapan dan pelaksanaan IWRM di setiap daerah berbeda-beda tergantung pada karakteristik alami dan sosial budayanya. Berikut adalah pilihan adaptasi yang direkomendasikan di Malang Raya berdasarkan tingkat risikonya. a. Adaptasi Terhadap Risiko Kekurangan Air Peta risiko kekurangan (penurunan ketersediaan) air dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar II.29. Peta Risiko Kekurangan Air di Malang Raya pada saat ini (kiri) dan proyeksi tahun 2030 (kanan)
Pada saat ini (baseline) risiko ini hanya ditemukan pada tingkat sangat rendah hingga tinggi, namun pada proyeksi tahun 2030 terdapat beberapa daerah yang memiliki risiko sangat tinggi di sekitar Malang selatan. Untuk mempermudah perumusan strategi adaptasi, wilayah Malang Raya dibagi dalam 5 zona utama dan sub zonanya masing-masing, yang diklasifikasikan berdasarkan aliran sungai (DAS). Opsi adaptasi (Tabel II.15) dirumuskan berdasarkan karakteristik bahaya, kerentanan dan risiko di setiap zona (Gambar II.30).
Gambar II.30 Zonasi Adaptasi Risiko Kekurangan Air di Malang Raya
II‐38
Tabel II.15 Pilihan Adaptasi terhadap Risiko Kekurangan Air di Malang Raya
Zona dan Cakupan DAS I A, Sumber Brantas I B, Bango
Wilayah Administrasi (Kecamatan) Batu, Junrejo, Bumiaji (Kota Batu) Karangploso, Singasari, Pakis utara, Lawang selatan, Lowokwaru timur, Blimbing, Purwantoro, Klojen timur
Pilihan Adaptasi -
-
-
I C, Amprong
Pakis SelatanTengah, utara Poncokusumo, Tumpang, Jabung (Kabupaten Malang), Blimbing dan Kedung-kandang (Kota Malang)
-
-
-
II A, Bag. barat MetroLahorMelamon
II B, Bag. timur MetroLahorMelamon
Dau, Wagir, Pakisaji, Kapanjen, Ngajum, Kromengan, Wonosari, Kepanjen (Kabupaten Malang), Lowokwaru barat, Klojen barat, Sukun (Kota Malang). Blimbing, Kedung Kandang (Kota Malang), Tajinan, Bululuwang, Turen,
-
-
-
-
Reforestasi dan rehabilitasi lahan rusak Konservasi sumber daya air Implementasi pembangunan rendah dampak (LID) Reboisasi atau vegetasi pada daerah tegalan Pada lower area/urban, perlu mengimplementasikan konservasi sumber air untuk suply misalnya dengan (a) pengembangan kawasan resapan air buatan, (b) pengembangan green roof, dan (c) pemeliharaan drainase Pada upper area/rural, pelu (a) mengembangkan forestasi/vegetasi pada tegalan, (b) agro-kehutanan sebagai sistem isi ulang air alami (konservasi), (c) resapan alami dengan membangun parit/selokan di perkebunan, (d) membangun bendungan kecil Seluruh area harus mengimplementasikan konservasi sumber daya air an pembangunan bersih (LID), misalnya dengan adaptasi lunak Pada lower area/urban, perlu mengimplementasikan konservasi sumber air untuk suply misalnya dengan (a) pengembangan kawasan resapan air buatan, (b) pengembangan green roof, dan (c) pemeliharaan drainase Pada upper area/rural, pelu (a) mengembangkan forestasi/vegetasi pada tegalan, (b) agro-kehutanan sebagai sistem isi ulang air alami (konservasi), (c) resapan alami dengan membangun parit/selokan di perkebunan, (d) membangun bendungan kecil Seluruh area harus mengimplementasikan konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID), misalnya dengan adaptasi lunak Pada lower area/urban, perlu mengimplementasikan konservasi sumber air untuk suply misalnya dengan (a) pengembangan kawasan resapan air buatan, (b) pengembangan green roof, dan (c) pemeliharaan drainase Pada upper area/rural, pelu mengembangkan (a) forestasi/vegetasi pada tegalan, (b) agro-kehutanan sebagai sistem isi ulang air alami (konservasi), (c) resapan alami dengan membangun parit/selokan di perkebunan, (d) membangun bendungan kecil Seluruh area harus mengimplementasikan konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID), misalnya dengan adaptasi lunak Konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID) di seluruh area Kolaborasi dengan area sub DAS dalam upaya adaptasi banjir dan kekurangan air Pengembangan agro-kehutanan sebagai sistem resapan II‐39
Zona dan Cakupan DAS
II C, Lesti
Wilayah Administrasi (Kecamatan) Pagelaran, Bantur utara, Gedangan Utara, Sumber Manjing Utara, Pagak Timur (Kabupaten Malang) Bagian selatan Poncokusumo, Wajak, Dampit, Tirtoyudo utarabarat (Kabupaten Malang)
III, Soetami
Sumber pucung, bagian atas Kalipare, Pagak Utara
IV A, Pantai Selatan Barat
Kalipare, Pagak, Gedangan Batur, Donomulyo, (KabupatenMala ng)
IV B, Pantai Selatan Timur
Sumbermanjing, bag selatan Tirtoyudo, bagian selatan Ampel Gading (Kabupaten Malang)
Pilihan Adaptasi air alami/konservasi dan pembangunan parit/selokan pada perkebunan - Pembangunan sistem resapan alami dengan kolam penahan atau embung - Pemeliharaan drainase dan sungai
- Konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID) di seluruh area - Upper dan middle area (a) forestasi/vegetasi pada tegalan, (b) agro-kehutanan sebagai sistem isi ulang air alami (konservasi), (c) resapan alami dengan membangun parit/selokan di perkebunan, (d) membangun bendungan kecil, (e) minimasi erosi tanah - Lower area/urban perlu (a) pengembangan sistem resapan air alami dan (b) pemeliharaan drainase - Konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID) di seluruh area - Kolaborasi dengan area sub DAS dalam upaya adaptasi banjir dan kekurangan air - Area Upper (a) forestasi terutama pada tegalan dan (b) pencegahan erosi tanah - Area Lower (a) rekayasa pada dam, (b) evaluasi katup, (c) katup darurat, (d) evaluasi bendungan, (e) pencegahan penyaluran air dam (6)mengurangi sedimentasi dan pengerukan - Konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID) di seluruh area - Pengembangan agro-kehutanan sebagai sistem resapan air alami/konservasi dan pembangunan parit/selokan pada perkebunan - Pengembangan sumber air permukaan pada sungai pendek yang airnya berlimpah - Pengembangan air tanah atau permukaan pada daerah kapur - Panen air hujan pada kawasan yang tidak punya potensi air tanah - Konservasi sumber daya air dan pembangunan bersih (LID) di seluruh area - Pengembangan agro-kehutanan sebagai sistem resapan air alami/konservasi dan pembangunan parit/selokan pada perkebunan - Pengembangan sumber air permukaan pada sungai pendek yang airnya berlimpah - Pengembangan air tanah atau permukaan pada daerah kapur - Panen air hujan pada kawasan yang tidak punya potensi air tanah - Desalinasi air laut jika diperlukan II‐40
Zona dan Cakupan DAS V A, Konto
Wilayah Administrasi (Kecamatan)
Pilihan Adaptasi - Reforestasi dan rehabilitasi lahan rusak - Implementasi konservasi sumber daya air (a) agrokehutanan, (b) peningkatan kapasitas mata air, (c) membuat mata air buatan (parit/selokan) untuk perkebunan - Implementasi pembangunan bersih (LID) - Forestasi atau vegetasi pada area tegalan - Implementasi konservasi sumber daya air (supply) - Implementasi pembangunan bersih (LID) - Forestasi atau vegetasi pada area tegalan - Pengembangan sistem pipa air PDAM pada Kecamatan Lawang untuk mengambil air tanah - Pengembangan agro-kehutanan sebagai sistem resapan air alami/konservasi dan pembangunan parit/selokan pada perkebunan - Implementasi pembangunan bersih (LID) - Implementasi konservasi sumber daya air (supply) - Forestasi atau vegetasi pada area tegalan
Pujon, Ngantang, dan Kasembon (Kabupaten Malang)
V B, Lawang
Bagian utara Lawang (Kabupaten Malang)
V C, Ampelgading
Dari utara sampai timur Ampelgading (Kabupaten Malang)
Berdasarkan deskripsi pilihan adaptasi di atas, maka disusun kriteria implementasi adaptasi pada setiap kota/kabupaten sebagai berikut (Table II.16): Table II.16 Kriteria dan Ranking Implementasi Adaptasi Risiko Kekurangan Air di Malang Raya (Skala Prioritas 1-3)
No 1
2
3
Kriteria
Kota Malang
Kab. Malang
Kota Batu
Faktor wilayah yang luas yang hanya memiliki risiko tinggi
2
1
3
Faktor wilayah yang luas yang hanya memiliki risiko tinggi + Faktor kebutuhan air
1
2
3
Faktor wilayah yang luas yang hanya memiliki risiko tinggi + faktor suplai air
3
Prioritas Strategi Adaptasi
Adaptasi keras + Adaptasi lunak
Fokus pada Adaptasi keras, disertai dengan Adaptasi lunak 2
1
b. Adaptasi Terhadap Risiko Banjir Adaptasi terhadap risiko banjir pada wilayah Malang Raya (Tabel II.16) dirumuskan berdasarkan tingkatan risiko di setiap kecamatan, guna lahan saat ini dan proyeksi guna lahan di masa depan berdasarkan rencana tata ruang wilayah (masing-masing lihat Gambar II.31 kiri dan kanan).
II‐41
Gambar II.31 Peta Risiko Banjir di Kota Batu (atas), Kota Malang (tengah), dan Kabupaten Malang (bawah), baik pada saat ini (kiri) dan proyeksi tahun 2030 (kanan)
Pada saat ini (baseline), wilayah yang banyak memiliki risiko sangat tinggi terhadap bahaya banjir adalah Kota Malang (18,67% terhadap luas totalnya). Diproyeksikan, luasan risiko sangat tinggi di Kota Malang tersebut bertambah menjadi 80,23%. Tabel II.17. Luasan Wilayah yang Beresiko dan Pilihan Adaptasi terhadap Risiko Banjir di Malang Raya Kota Batu Kota Malang Kab. Malang Tingkat BaseProBaseProBaseProPilihan Adaptasi Risiko line yeksi line yeksi line yeksi (km2) (km2) (km2) (km2) (km2) (km2) 1.Sangat Reforestasi, Kolam 179.38 160.68 57.22 6.88 3059.4 2494.5 rendah detensi,Embung Reforestasi, Kolam 2. Rendah 11.68 7.75 3.14 3.80 177.58 347.08 detensi Reforestasi, Embung, 3.Menengah 1.59 2.71 4.03 1.30 97.15 104.59 Tindakan Infiltrasi Reforestasi, Tindakan 4.Tinggi 3.32 0.70 25.55 9.00 66.90 228.36 Infiltrasi, Kolam detensi
II‐42
Tingkat Risiko
Kota Batu BaseProline yeksi (km2) (km2)
Kota Malang BaseProline yeksi (km2) (km2)
Kab. Malang BaseProline yeksi (km2) (km2)
Pilihan Adaptasi
5.Sangat Tinggi
0.001
20.53
7.71
Reforestasi, Tindakan Infiltrasi, Kolam retensi
24.14
89.48
233.21
Wilayah-wilayah yang berkaitan dengan pilihan adaptasi dapat dilihat pada Tabel II.17 Tabel II.18. Pilihan Adaptasi terhadap Risiko Banjir di Level Kecamatan Malang Raya Pilihan Adaptasi Kecamatan Pujon, Batu, BumiAji, Jabung, Dau, Wagir, Reforestasi Ngajum, Poncokusumo Pujon, Bumiaji, Singosari, Gondanglegi, Wajak, Kolam detensi Tumpang Pujon, Batu, Bumiaji, Jabung, Dau, Wagir, Embung Wajak, Dampit, Turen Kolam retensi Kedung Kandang, Pakisaji, Kepanjen, Tajinan Lowokwaru, Blimbing, Kedung Kandang, Dinoyo, Sukun, Buring, Klojen, Purwantoro, Tindakan Infiltrasi Mulyorejo, Oro Oro Dowo, Pakisaji, Bululawang, Kepanjen
c. Adaptasi Terhadap Risiko Longsor Peta risiko dan luasan area longsor di Malang Raya baik pada saat ini maupun proyeksi pada tahun 2030 dapat dilihat pada Gambar II.32 dan Tabel II.18
Gambar II.32 Peta Risiko Longsor di Malang Raya pada saat ini (kiri) dan proyeksi tahun 2030 (kanan)
Untuk kondisi saat ini, daerah yang beresiko sangat tinggi meliputi daerah terbangun (3.352,39 m2), perkebunan (45.934,96 m2), permukiman (111.493,88 m2), dan sawah irigasi (27.890,22 m2). Sedangkan untuk kondisi proyeksi tahun 2030 daerah dengan risiko sangat tinggi meluas melingkupi fasilitas publik (15.634,89 m2), hutan lindung (60,78 m2), industri dan pergudangan (2,908.91 m2), pariwisata (41.603,05 m2), perkebunan (3.673,96 m2), jasa dan perdagangan (70.600,75 m2), permukiman (624.679,50 m2), ruang terbuka hijau (19.507,86 m2), dan pinggiran sungai (13.654,42 m2). Berdasarkan informasi di atas direkomendasikan pilihan adaptasi yang utama antara lain berupa konservasi tanah dan manajemen lahan; forestasi, proteksi tebing sungai, stabilisasi lereng yang memiliki masalah longsor, dan pengembangan database area rawan terhadap longsor. Berdasarkan hal tersebut dan proyeksi guna lahan saat ini, maka terdapat dua strategi utama dalam menangani bahaya longsor akibat perubahan iklim di Malang Raya,
II‐43
yaitu adaptasi pada daerah non-populasi (yang tidak memiliki populasi penduduk) dan daerah yang memiliki populasi penduduk. Pada prinsipnya adaptasi longsor berupa stabilisasi tanah yang dilakukan untuk mengurangi kekuatan pendorong dan melawannya. Adaptasi pada daerah non-populasi berupa penghijauan atau menutup tanah dengan populasi vegetasi, sehingga sistem tanah akan menguatkan dan memberi efek stabilisasi. Sementara pada daerah yang memiliki populasi penduduk dimana area terbangun mendominasi, maka dibutuhkan pengerjaan rekayasa teknik untuk menerapkan penghijauan. Tabel II.19 Pilihan Adaptasi Risiko Longsor di Malang Raya Pilihan Adaptasi Guna Lahan Kecamatan Kasembon, Ngantang, Proteksi tebung Pujon, Pakisaji, Air Tawar sungai Kepanjen, Sumberpucung Kasembon, Ngantang, Pujon, Bumiaji, Batu, Jabung, Dau, Wagir, Belukar/ Semak, Hutan, Hutan Ngajum, wonosari, Rawa, Kebun, Donomulyo, Bantur, Rawa, Rumput, Pagak, Gedangan, Forestasi Sawah Irigasi, Sumbermanjing, Sawah Tadah Dampit Tirtoyudo, Hujan, Tanah Ampel Gading, Berbatu, Tanah Poncokusumo, Ladang /Tegalan Gondang Legi, Lawang, Singosari, Karang Ploso Kasembon, Pujon, Empang, Ngantang, Bumiaji, Gedung, Pasir Batu, Jabung, Kedung Pekerjaan Darat, Pasir Kandang, Buring, rekayasa Blimbing, Klojen, Pantai, Sukun, Mulyorejo, Pemukiman Pakisaji, Turen
II.3.3 Sektor Pertanian Analisis suhu udara dan curah hujan di Malang Raya mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan iklim pada wilayah ini. Laporan basis saintifik menunjukkan bahwa suhu udara meningkat sekitar 0,69°C dan curah hujan menjadi lebih fluktuatif sejak tahun 1981. Sebagai dampak ke sektor pertanian, musim tanam dan panen untuk tanaman padi dan jagung telah bergeser. Indikasi lain juga ditunjukkan oleh perubahan hythergraph dan jenis iklim (klasifikasi Oldeman) di wilayah Malang Raya. Potensi dampak perubahan iklim pada sektor pertanian di Malang Raya cukup signifikan mengingat wilayah ini memiliki populasi petani sebesar 36,5% dari total penduduk saat ini yang berjumlah 3.392.634 jiwa serta area pertanian sekitar 47,5% dari total luasnya. Malang Raya memiliki 3 jenis sistem pertanian yaitu dataran rendah (padi sawah), menengah (padi lahan kering) dan dataran tinggi. Kecamatan Dampit, Turen, Kepanjen, dan Singosari merupakan penghasil padi terbesar dengan produksi lebih dari 20 ribu ton pada tahun 2010. Kecamatan Kalipare, Bantur, Gedangan, Poncokusumo, Wajak, Turen, Dampit, Tajinan, dan II‐44
Tumpang adalah penghasil jagung terbesar dengan produksi lebih dari 10 ribu ton pada tahun 2010. Selain itu, Malang Raya (terutama Kecamatan Poncokusumo dan Bumiaji) merupakan pusat produksi apel di Indonesia. Kondisi ini menjadikan sektor pertanian Malang Raya berpotensi mengalami risiko akibat perubahan iklim seperti penurunan produktivitas dan area pertanian, yang akhirnya berdampak pada penurunan produksi pertanian akibat peningkatan suhu udara dan perubahan curah hujan. Peta risiko perubahan iklim pada komoditi padi lahan basah dan padi lahan kering dapat dlihat pada Gambar II.33 di bawah.
Gambar II.33. Risiko Penurunan Produksi Pertanian Akibat Perubahan Iklim: (kiri) Padi Lahan irigasi, (kanan) Padi Lahan Kering
Oleh sebab itu perlu dirumuskan tindakan penanganan untuk mengatasi kemungkinan dampak negatif dari perubahan iklim di Wilayah Malang Raya. Delapan prinsip adaptasi yang perlu diaplikasikan, yaitu (1) koordinasi, (2) kolaborasi, (3) partisipasi, (4) representatif, (5) kapasitas, (6) ekuitas, (7) skala prioritas, (8) sumber daya alam yang berkelanjutan dalam aspek lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan fungsi yang terintegrasi antar instansi dan pemangku kepentingan yang terkait. Institusi pendidikan dan penelitian berbasis pertanian perlu berkolaborasi dengan DNPI, BMKG, BAPPEDA, dan instansi terkait lainnya. Demikian pula lembaga-lembaga pemerintah harus berkoordinasi dengan instansi teknis dan kelompok teknis lain di kabupaten/kecamatan seperti P3A, PPL, Kelompok Tani, dan Kontak Tani. Secara umum, upaya adaptasi terhadap risiko penurunan produksi komoditi pertanian (khususnya padi dan jagung) akibat perubahan iklim di Malang Raya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel II.20. Strategi Adaptasi Sektor Pertanian Terhadap Tingkat Risiko Perubahan Iklim yang Sangat Tinggi di Wilayah Malang Raya
Faktor Kecamatan Dominan Prioritas Kerentanan Dampit, Turen, Penurunan Sensitivitas (banyaknya Produksi Kepanjen, lahan yang Komoditi Singosari, dan tidak ada/ Pertanian Pagelaran (Padi (padi dan kurang irigasi, lahan basah ) banyak lahan Dampit (Padi lahan jagung) Bahaya
II‐45
Strategi Adaptasi 1. Menggunakan benih unggul padi, jagung, dan kedelai dengan kualitas tinggi dan pematangan awal 2. Meningkatkan teknik budidaya pertanian melalui intensifikasi (misalnya SRI)
kering) di dataran rendah, dan Wajak (Jagung) rendahnya kesejahteraan petani)
3. Optimalisasi pemanfaatan lahan yang ditinggalkan dengan reklamasi dan membuka lahan baru. 4. Merevitalisasi jaringan irigasi. 5. Melakukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan petani untuk adaptasi perubahan iklim, misalnya dengan SLI (Sekolah Lapang Iklim).
Untuk kasus khusus apel Batu, meskipun perubahan iklim telah mengakibatkan dampak negatif terhadap produksi pertanian, namun penurunan produksi apel di Kota Batu merupakan gabungan faktor iklim tersebut dan input produksinya, termasuk faktor sosialekonomi yang terkait dengan harga jual dan produktivitas tanaman. Data-data yang tersedia tidak dapat membedakan dampak dari beberapa faktor tersebut. Beberapa strategi adaptasi dapat dilakukan untuk mengantisipasi dampak tersebut antara lain:
1. Revitalisasi menggunaan lahan tanaman apel berdasarkan kesesuaian tanaman apel 2. 3. 4. 5. 6. 7.
dengan kondisi lingkungannya. Menanam bibit apel yang unggul yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim terutama perubahan suhu dan curah hujan. Meningkatkan teknik budidaya apel yang lebih intensif dan berorientasi pada pertanian tanaman apel yang berkelanjutan. Meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan pestisida yang mengarah pada upaya konservasi lahan dan pertanian ramah lingkungan. Rehabilitasi penanaman apel dan mengganti tanaman apel yang sudah tua oleh tanaman apel muda. Mencegah konversi lahan tanaman apel menjadi lahan tanaman non apel. Memberikan insentif bagi petani tanaman apel agar petani tetap bergairah menanan apel dan tidak beralih profesi menjadi petani non apel.
II.3.3. Sektor Kesehatan Berdasarkan hasil analisis tingkat bahaya, kerentanan dan risiko di Malang Raya menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim membawa perubahan tertentu dalam kondisi lingkungan. Secara khusus, peningkatan curah hujan dan temperatur akan mempengaruhi sifat dari agen penyakit. Strategi adaptasi perubahan iklim dalam sektor kesehatan di Malang Raya meliputi dua prinsip umum yaitu: ‐ Kebijakan secara bertahap beralih dari dominasi kuratif menjadi kegiatan pencegahan dan promosi jangka panjang ‐ Sektor kesehatan tidak dapat bekerja sendiri dalam mengatasi perubahan iklim, melainkan harus berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya seperti BMKG, dinas pekerjaan umum, pusat penelitian, dll. Kebijakan di masa mendatang dapat dilakukan bertahap pada periode jangka pendek (2010-2020) dan pendekatan adaptasi pada periode jangka panjang (2030-3050)
II‐46
Secara umum strategi adaptasi terdiri dari dua komponen utama yaitu strategi proaktif yang berkaitan dengan pengurangan dampak perubahan iklim dan strategi reaktif yang berkaitan dengan peningkatan kekuatan masyarakat atau resistensi komunitas terhadap penyakit. Berikut penjelasan strategi adaptasi untuk tiga risiko penyakit yang berkaitan dengan isu perubahan iklim yaitu demam berdarah, malaria dan diare di Malang Raya. • Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Demam Berdarah di Wilayah Malang Raya Banyak wilayah di Malang Raya mengalami endemik penyakit demam berdarah, namun endemisitasnya tidak homogen. Pada kurun waktu 5 tahun terakhir beberapa area mengalami risiko yang sangat tinggi terhadap penyakit DBD ini, yaitu: semua kecamatan di Kota Malang (Sukun, Klojen, Blimbing, Lowok Waru), beberapa kecamatan di Kabupaten Malang (Dau, Sumber Pucung, dan Turen), serta 2 kecamatan di Kota Batu (Batu dan Junrejo). Umumnya wilayah-wilayah tersebut memiliki kepadatan penduduk tinggi yang ideal untuk penularan penyakit sekaligus lokasi ideal bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti pada lokasi-lokasi yang kumuh. Oleh sebab itu pada lokasi tersebut membutuhkan perlindungan ekstra dan strategi tanggap darurat untuk pencegahan baik melalui manajemen penyakit maupun pemulihan, terutama selama wabah berlangsung (KLB). Kombinasi dari beberapa strategi dapat menurunkan tingkat kejadian DBD. Area dengan risiko moderat; yaitu Tumpang, Singosari, Pakisaji dan Bumiaji, perlu mengimplementasikan strategi yang bersifat pencegahan dalam jangka waktu panjang, serta lebih sedikit daripada area dengan risiko tinggi. Berdasarkan analisis model penyebaran penyakit DBD, tingkat risiko penyakit DBD yang sangat tinggi di tahun 2030 masih tetap dialami oleh Kota Malang dan Kota Batu (Sukun, Klojen, Blimbing, Lowok Waru, Batu dan Junrejo), sedangkan kecamatan Turen di Kabupaten Malang menjadi risiko tinggi. Strategi berikut dirumuskan berdasarkan pada proyeksi kesehatan dan iklim di Malang Raya untuk masa depan, dan harus disesuaikan dengan kondisi bahaya, kerentanan dan risiko yang berbeda pada setiap kecamatan yang ada. Tabel II.21 Strategi Adaptasi Bahaya Demam Berdarah Untuk Masa Depan Wilayah Malang Raya
Jenis Jangka Pendek Strategi (2010-2020) Pengendalian 6. Pengurangan sumber-sumber Vektor nyamuk (berdasarkan 7. Penyemprotan perubahan musiman rutin (3-4 iklim kali setahun, terutama musiman) untuk kelurahan berisiko tinggi) 8. Penyemprotan incidental /tambahan saat KLB 9. Penggunaan ekstensif dari larvicides (temephos, IGR) 10. Perlindungan pribadi (pengusir nyamuk, jaring nyamuk, semprotan nyamuk, dan pakaian yang sesuai) Peningkatan 4. Pelaksanaan Program
Jangka Menengah Jangka Panjang (2020-2030) (2030-2050) 3. Pengembangan 4. Penyemprotan rutin insektisida biologis yang lebih sedikit (2-3 yang lebih tahan kali setahun, lama, tidak beracun berdasarkan dan lebih murah keberhasilan program 4. Pengembangan jangka pendek) modifikasi nyamuk 5. Jika KLB berkurang jantan steril secara seperti yang genetis diharapkan dengan adanya peningkatan program, maka penyemprotan insidental dikurangi 6. Keberlanjutan dan keberjalanan program pengurangan sumbersumber nyamuk
5. Peningkatan Program 2. Konstruksi rencana II‐47
3M (Menguras, Menutup, Mengubur) Plus 5. Penggunaan ekstensif dari musuh biologis/predator (basil, jamur, larva ikan) 6. Permukiman yang lebih baik dengan sistem penyimpanan dan penyaluran air tertutup Pengendalian 3. Pengamatan serologi virus DBD Pengamatan 4. Pengembangan lebih jauh untuk vaksin Agen DBD Penyakit Lingkungan
Manajemen Infeksi Manusia
5. Fasilitas penanganan dan pelaporan yang lebih baik 6. Peningkatan kesadaran masyarakat dan edukasi masyarakat
pengembangan 3M permukiman semi6. Penguatan hukum dari urban (Perumnas) Peraturan Daerah yang mengurangi (Perda) mengenai kepadatan dan area sanitasi lingkungan kumuh di pusat kota 7. Program peningkatan dan perbaikan kampung 8. Review desain bangunan untuk mengurangi habitat potensial pembiakan nyamuk 3. Mengembangkan cara 3. Percobaan masal vaksin virus diagnosa virus secara 4. Pengembangan cepat antibiotik antiviral 4. Percobaan pada manusia untuk vaksin dengue pentavalen 3. Pelatihan personel RS 2. Menurunkan yang lebih baik kejadian dan 4. Menurunkan tingkat kematian karena kejadian menjadi infeksi DBD dengan setengahnya pada meminimasi tahun 2030 bahaya, kerentanan dan risiko
• Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Malaria di Wilayah Malang Raya Saat ini kasus malaria dilaporkan jarang terjadi di perkotaan seperti Kota Malang dan Kota Batu namun dilaporkan saat ini sering terjadi di beberapa kecamatan di Kabupaten Malang seperti Ngantang, Sumber Pucung, Kasembon, Donomulyo, Bantur, dan Ampelgading, sehingga dikategorikan beresiko tinggi. Kejadian malaria biasanya terjadi di pemukiman yang dekat dengan sarang nyamuk Anopheles Sp. seperti rawa, kebun, sawah, ladang, dsb. Sehingga perubahan iklim di Malang Raya dapat mempengaruhi kemungkinan peningkatan kasus malaria di masa depan, khususnya di daerah-daerah yang dekat dengan sarang nyamuk malaria. Melihat kondisi geografis Kabupaten Malang, kenaikan air laut di Pantai Selatan Kabupaten Malang diperkirakan dapat meningkatkan pembentukan daerah rawa dan genangan, yang merupakan tempat ideal perkembangbiakan bagi nyamuk Anopheles. Selain itu, kenaikan suhu dapat memperpendek siklus gonotropic Anopheles sehingga dapat meningkatkan populasi nyamuk. Strategi pencegahan sangat bermanfaat pada area dengan risiko sedang (moderate). Telah terbukti bahwa kombinasi ITN dan IRS dapat mengurangi terjadinya penyakit malaria. Daerah-daerah dengan risiko tinggi pada saat ini tersebut di atas harus memiliki ketahanan masyarakat yang kuat terhadap malaria, misalnya dengan keberadaan rumah permanen, penyediaan fasilitas kesehatan, dan lokasi rumah yang jauh dari lokasi perkembangbiakan nyamuk. Oleh sebab itu setiap daerah perlu untuk mengkombinasikan strategi pencegahan umum dan tanggap darurat terhadap malaria. Berdasarkan analisis risiko mendatang, di tahun 2030, terdapat dua kecamatan saja dengan risiko tinggi yaitu: Sumber Pucung an Donomulyo. Berikut adalah strategi adaptasi terhadap berbagai risiko malaria di Malang Raya berdasarkan proyeksi masa depan yang penerapannya harus disesuaikan dengan bahaya, kerentanan dan risiko di setiap kecamatan.
II‐48
Tabel II.22. Strategi Adaptasi Bahaya Malaria Untuk Masa Depan di Wilayah Malang Raya
Jenis Jangka Pendek Strategi (2010-2020) Pengendalian 1. Pengurangan sarang nyamuk Vektor 2. Penyemprotan insektisida (Dirancang indoor rutin (1-2 kali untuk malaria setahun, khususnya endemik di kelurahan dengan risiko wilayah pesisir tinggi) dan dataran 3. Penyemprotan rendah) insidental/tambahan selama KLB 4. Penggunaan ekstensif larvicides (temephos, IGR) 5. Perlindungan pribadi (pengusir nyamuk, jaring nyamuk, semprotan nyamuk dan pakaian yang sesuai) Peningkatan Lingkungan
4. Program reklamasi pesisir (rawa, laguna, area tergenang) 5. Reboisasi ekstensif/ menanam kembali mangrove yang hilang akibat kenaikan muka air laut 6. Perumahan yang lebih baik dengan layar anti nyamuk pada pintu dan jendela
Pengendalian 2. Pengamatan rutin parasit malaria oleh ahli malaria lapangan dan ahli Pengamatan entomologi Agen Penyakit 6. Fasilitas Manajemen penanganan kasus Infeksi malaria yang lebih baik Manusia 7. Pelaporan kasus malaria yang lebih baik dan cepat 8. Peningkatan kesadaran masyarakat 9. Meningkatkan edukasi masyarakat 10. Ketersediaan antimalaria
Jangka Menengah Jangka Panjang (2020-2030) (2030-2050) 3. Pengembangan 1. Penyemprotan insektisida biologis yang lebih sedikit yang lebih tahan, (2-3 kali setahun murah dan tidak berdasarkan beracun keberhasilan 4. Pengembangan program jangka rekayasa genetik pendek) nyamuk jantan steril 2. Jika KLB tidak sesuai yang diharapkan maka penyemprotan insidental dikurangi 3. Pemeliharaan program umum untuk mengurangi sumber nyamuk 4. Penggunaan kelambu 3. Pengenalan larva ikan dan predator lainnya 4. Pengenalan monyet daerah (bekantan) agar nyamuk menjauhi manusia
2. Pengembangan
2. Pengembangan
3. Pengembangan vaksin malaria 4. Pengembangan obat anti-malaria
cara diagnosa malaria yang cepat
3. Pelatihan personel rumah sakit yang lebih baik, terutama saat malaria mewabah 4. Pelatihan untuk ahli malaria di lapangan
II‐49
perumahan semiurban (Perumnas) agar menjauhi area perkembangbiakan nyamuk
2. Mengurangi insiden
dan kematian yang disebabkan oleh penyakit malaria akut
• Strategi Adaptasi Terhadap Risiko Diare di Wilayah Malang Raya Epidemi penyakit diare di kota seperti Malang dan Batu dapat terkait dengan faktor iklim berupa dampak tidak langsung. Sebagai contoh, daerah yang memiliki sanitasi yang buruk dan pelayanan air bersih yang kurang, ketika terjadi kekeringan maka daerah tersebut akan bertambah parah, sehingga wabah diare dan kolera akan lebih mudah terjadi. Secara umum, kurangnya pasokan air bersih di Malang Raya memainkan peran penting dalam peningkatan penyakit diare, terutama saat musim kering berkepanjangan. Sumber air bersih yang cukup adalah isu prioritas dalam menangani masalah diare di area dengan risiko tinggi. Oleh sebab itu strategi adaptasi yang dirumuskan pada area ini lebih terkonsentrasi pada perbaikan infrastruktur, yaitu pada Kecamatan Sukun dan Batu. Sementara untuk masa mendatang, strategi adaptasi terhadap risiko diare di Malang Raya dirumuskan berdasarkan proyeksi peningkatan curah hujan di Malang Raya. Perhatian khusus harus diberikan untuk daerah rawan banjir, karena genangan banjir akan mencemari sumber air bersih penduduk, sehingga wabah diare dan kolera akan lebih mudah terjadi. Dalam penerapannya, tindakan adaptasi disesuaikan dengan tingkatan bahaya, kerentanan dan risiko di setiap kecamatan serta harus dapat memutus rantai penularan melalui penghapusan etiologi dan meningkatkan ketahanan sosial. Berdasarkan analisis risiko diare mendatang, tahun 2030, kecamatan dengan risiko diare sangat tinggi adalah Batu dan Bumiaji, dan risiko tinggi adalah Blimbing dan Junrejo. Daerah berisiko sangat tinggi atau tinggi memerlukan strategi yang lebih komprehensif terutama dalam strategi tanggap darurat dan strategi pencegahannya, sementara daerah risiko rendah perlu lebih terkonsentrasi pada strategi pencegahan saja. Berikut adalah strategi adaptasi umum untuk berbagai risiko diare di Malang untuk Raya masa mendatang. Tabel II.23. Strategi Adaptasi Bahaya Diare Untuk Masa Depan di Wilayah Malang Raya
Tipe Strategi Manajemen Banjir (iklim ekstrim; banjir berkepanjangan selama musim hujan)
Peningkatan Lingkungan
Jangka Pendek (2010-2020) 1. Kawasan penampungan untuk korban banjir dengan ketersediaan air yang cukup dan fasilitas pembuangan yang baik 2. Rumah pengungsian yang menyediakan fasilitas air minum yang steril Peningkatan kualitas air: 5. Penggunaan air matang 6. Penggunaan air berklorin 7. Sistem pembuangan dan penyaluran kotoran yang lebih baik 8. Ketersediaan air sumur yang bersih
Jangka Menengah (2020-2030) 1. Pengembangan infrastruktur drainase di area tergenang banjir 2. Memperlebar dan memperdalam saluran dan kanal
Jangka Panjang (2030-2050) 1. Meningkatkan jumlah masyarakat yang lebih tanggap terhadap banjir 2. Peningkatan manajemen pesisir 3. Daur ulang limbah dan pipa air yang bebas bakteri
1. Adaptasi penggunaan air buangan 2. Perda mengenai sanitasi lingkungan 3. Program perbaikan sanitasi di kelurahan 4. Peningkatan pipa air (2030) yang ekstensif
1. Desain perumahan yang tahan terhadap banjir berkepanjangan di masa depan 2. Rencana perumahan yang lebih baik dengan air ledeng dan pemisah air limbah
II‐50
Pengendalian Pengamatan Agen Penyakit
Manajemen Infeksi Manusia
2. Pengamatan agen infeksi gastrointestinal (e.coli, tifus, kolera) 3. Fasilitas penanganan kasus dan laporan yang lebih baik 4. Meningkatkan kesadaran dan pendidikan masyarakat
1. Pengembangan agen diagnosa diare
1. Pelatihan personel rumah sakit yang lebih baik terutama saat diare mewabah
II‐51
1. Pengembanga n genetik dari patogen diare 2. Pengembanga n vaksin dan antibiotik 1. Mengurangi insiden dan kematian karena diare
II‐52
BAB III Program Unggulan Terkait Adaptasi Perubahan Iklim Hasil dari Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) perlu diarusutamakan / diintegrasikan ke dalam rencana dan kebijakan pembangunan daerah/lokal guna dimanfaatkan demi arah pembangunan yang lebih baik. Proses pengarusutamaan hasil KRAPI melibatkan beberapa langkah, termasuk identifikasi agenda di rencana nasional, provinsi, atau lokal yang berhubungan dengan KRAPI. Dokumen-dokumen ini menyertakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 20052025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2008-2013, Rencana Pembangunan Tahunan (RKP) 2012, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 20102030. Tujuan identifikasi tema-tema tersebut dalam dokumen daerah Provinsi Sumatera Selatan adalah mencari pintu masuk untuk diskusi dengan para pemangku kepentingan mengenai hal yang dihasilkan dari kegiatan KRAPI, sehingga pemangku kepentingan memiliki dasar pengkaitan dari dokumen yang ada. Sejalan dengan proses di atas, opsi adaptasi yang diminati juga diidentifikasikan dalam konsultasi pemangku kepentingan. Dalam proses ini faktor-faktor yang menentukan kesempatan dari pelaksanaan pilihan adaptasi yang diusulkan oleh para ahli teridentifikasi. Langkah selanjutnya adalah kerjas sama dengan pejabat pemerintah, khususnya dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dalam analisis kompatibilitas antara opsi adaptasi yang terprioritisasi dengan program yang ada atau kegiatan-kegiatan yang ditetapkan dalam RKP. Tujuannya adalah untuk menyusun rekomendasi akan opsi adaptasi yang perlu diintegrasikan lebih lanjut ke dalam rencana pembangunan tahunan pemerintah daerah yang selanjutnya. Menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi tersebut maka kegiatan Focus Group Discussion yang melibatkan pejabat pemerintah pusat dan daerah dari sektor terkait perlu diadakan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengsinkronisasi program atau kegiatan yang direkomendasi oleh pemerintah daerah dengan program pemerintah pusat. Pada tahap ini kami mengidentifikasi kantor pemerintah pusat yang mengatur suatu program atau kegiatan yang sama dengan program yang direkomendasikan oleh tahap sebelumnya, juga untuk mengidentifikasi mekanisme pendanaan yang potensial guna mengimplementasikan program atau kegiatan. Tahap terakhir dari pengarusutamaan KRAPI ke dalam rencana pembangunan adalah memformulasikan program-program “Champion” bagi Sumatera Selatan berdasarkan rekomendasi proses sebelumnya yaitu prioritas adaptasi. Program-program “Champion” ini diajukan ke pemerintah pusat agar mendapatkan komitmen pendanaan baik dari anggaran negara atau anggaran non-negara, termasuk dana internasional.
III‐1
PROGRAM UNGGULAN TERKAIT ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM HASIL WORKSHOP SINKRONISASI PROGRAM PUSAT DAN DAERAH TANGGAL 17 APRIL 2012 DI BOGOR
No
Lokasi
Program Unggulan/ Program Terpadu
Sektor Terkait
Program Sektor Terkait
1
Kota Tarakan (Pesisir Tarakan Barat)
Program Penataan Kawasan Kumuh Pesisir Tarakan Barat secara Terpadu dan Menyeluruh
Pesisir
Program Penataan Kawasan Kumuh Pesisir
Air
Program Pelaksanaan Normalisasi Sungai
Kesehatan
Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular
2
Propinsi Sumatera Selatan
Program Penanggulangan Dampak Perubahan Iklim
Pesisir
Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Baku Program Penataan dan Rehabilitasi Permukiman Nelayan Kec.
Kegiatan yang Terkait
• Survei topografi detail, garis pantai, dan level bangunan pantai • Peninggian level lantai bangunan • Rehabilitasi/normalisasi saluran sungai • Program peningkatan pembersihan dan pengerukan sungai/kali • Penyemprotan (fogging) nyamuk • Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan Program 3M Plus secara rutin • Pelayanan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular Peningkatan pelayanan air bersih perpipaan (PDAM)
III‐2
Kementerian/ Lembaga Terkait
Antisipasi terhadap Risiko Perubahan Iklim
Faktor Dominan Kerentanan
Kemen-Pera; Kemen-KP DJKP3K; Kemen-PU DJCK Kemen-PU DJSDA
Penggenangan air laut di pesisir
• Kepadatan penduduk tinggi dengan tingkat sosial- ekonomi yang relatif kurang, sehingga memperbesar peluang penularan penyakit seperti DBD dan diare • Topografi pesisir landai, sehingga memperlama waktu penggenangan, baik oleh air laut, air hujan, dan air sungai serta beresiko timbulnya penyait malaria • Banyaknya infrastruktur, misalnya bandara, industri pengolahan hasil perikanan
Banjir
Kemenkes DJP2PL
• Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) • Penyakit Malaria
Kemen-PU DJCK
• Penyakit DBD • Penyakit Diare
Kemen-Pera; Kemen-KP DJKP3K; Kemen-DJCK
Penggenangan air laut di pesisir
Topografi pesisir Sumsel yang landai dan sangat luas yang disertai dengan banyak
No
Lokasi
Program Unggulan/ Program Terpadu
Sektor Terkait
dari Hulu DAS Musi hingga Daerah Pesisir Provinsi Sumatera Selatan Pertanian
Air
Kesehatan
Program Sektor Terkait
Kegiatan yang Terkait
Sungsang Kab. Banyuasin Program Restorasi Hutan Pesisir (Mangrove) Kec. Sungsang Kab. Banyuasin Evaluasi dan Revitalisasi Jaringan Irigasi, Rawa, dan Jaringan Pengairan Lainnya yang Dipengaruhi oleh Pasang Surut Laut di Kec. Makarti Jaya, Kab. Banyuasin Aplikasi Teknik Budidaya dan Bibit Unggul yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim di Kec. Makarti Jaya, Kab. Banyuasin Pemulihan/ Rehabilitasi Lahan di Daerah Resapan Bendungan Irigasi Ulu Musi Kab. Lahat Perbaikan
Antisipasi terhadap Risiko Perubahan Iklim
Kemen-KP DJKP3K; Kemen-Hut; Kemen-LH Kemen-PU DJSDA
Penurunan Produksi Pertanian
Kemen-Tan DJPSP; Kemen-Tan BPTP
III‐3
Kementerian/ Lembaga Terkait
Faktor Dominan Kerentanan
rusaknya hutan mangrove sebagai buffer, menyebabkan luas dan lamanya waktu peng-genangan oleh air laut. Penggenangan tersebut menimbulkan dampak seperti rusaknya pemukiman yang tergenang dan berkurang-nya lahan pertanian yang banyak terdapat di daerah pesisir. Pengurangan lahan pertanian tersebut dapat mengancam potensi Sumsel sebagai salah satu lumbung pangan nasional.
Kemen-Hut DJBPDAS-PS; KLH
• Penurunan Ketersediaan Air • Banjir
Banyaknya konversi lahan hutan di daerah resapan
Kemen-Pera;
• Penyakit DBD
Kepadatan penduduk
No
Lokasi
Program Unggulan/ Program Terpadu
Sektor Terkait
Program Sektor Terkait
Kegiatan yang Terkait
Lingkungan Permukiman Kumuh di Kota Palembang
3
Malang Raya (Kota Batu, Kab. Malang, Kota Malang)
Program • Air Konservasi • Pertanian Sumber Daya Air Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas Hulu
Kesehatan
Program Pemulihan/ Rehabilitasi Lahan
• Reboisasi, terutama pada tegalan dan daerah pembuangan • Agro-forestry • Hutan rakyat murni
Antisipasi terhadap Risiko Perubahan Iklim
Faktor Dominan Kerentanan
Kemen-PU DJCK
• Penyakit Diare
Kemen-Hut DJBPDAS-PS; KLH
• Penurunan Ketersediaan Air • Banjir • Longsor • Penurunan produksi pertanian, akibat pengurangan lahan pertanian Penyakit malaria
tinggi dan tingkat sosialekonomi yang relatif kurang, sehingga memperbesar peluang penularan penyakit DBD dan diare Banyaknya konversi lahan hutan menjadi lahan permukiman, pariwisata, dan pertanian di daerah hulu DAS Brantas
Program Pengembangan Sumber Daya Air
Pembangunan Embung
Kemen-PU DJSDA
Program Pemulihan/ Rehabilitasi Lahan (tambahan) Program Pembangunan saluran drainase/goronggorong, dipadukan dengan: Program Pengembangan Lingkungan Sehat
Penambahan hewan mamalia (kera, dsb) di hutan
Kemen-Hut
Perbaikan saluran drainase, pembuangan air hujan, dan penampungan air bersih
Kemen-PU DJCK dan Kemen-kes DJP2PL; KLH
III‐4
Kementerian/ Lembaga Terkait
• Penyakit DBD • Penyakit malaria • Penyakit Diare
Kurangnya hewan mamalia sebagai pengalih sasaran nyamuk malaria Banyaknya saluran drainase, pembuangan air hujan, dan penampungan air bersih yang kurang memenuhi standar kesehatan lingkungan
No
Lokasi
Program Unggulan/ Program Terpadu
Sektor Terkait
Program Sektor Terkait
Kegiatan yang Terkait
Kementerian/ Lembaga Terkait
Antisipasi terhadap Risiko Perubahan Iklim
Faktor Dominan Kerentanan
4
Tarakan, Sumatera Selatan, Malang Raya
Program Inventarisasi dan Standarisasi Data Terkait Perubahan Iklim
Basis Saintifik
Program Inventarisasi dan Standarisasi Data Terkait Iklim
• Standarisasi data iklim • Standarisasi data kelautan • Inventarisasi data iklim • Inventarisasi data kelautan
BMKG; Badan Informasi Geospasial; Kemen-Ristek LIPI LAPAN
Semua risiko sektoral
Kurangnya kuantitas data yang tidak memenuhi standarisasi data iklim dapat menyebabkan kurangnya akurasi hasil analisis dan proyeksi perubahan iklim, yang pada gilirannya dapat menimbulkan kurangtepatnya rekomendasi adaptasi perubahan iklim
III‐5