BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Data statistik mempunyai peranan penting bagi beberapa kebijakan publik, baik sebagai bahan perencanaan ataupun bahan evaluasi dari sebuah program. Pentingnya statistik bagi sebuah kebijakan publik disampaikan oleh Baillar dkk (2004) bahwa statistik merupakan piranti penting bagi pengetahuan dan kebijakan publik yang rasional dan para pembuat kebijakan publik membutuhkan informasi yang terpercaya untuk membantu mengambil keputusan yang rasional. Kebijakan publik dalam bidang statistik di Indonesia diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Statistik dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Statistik. UndangUndang Nomor 16 Tahun 1997 merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1960 tentang Sensus dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 yang lahir pada akhir rezim orde baru ini sempat menuai pendapat kontra1 pada proses terbentuknya, meskipun demikian faktanya hingga sekarang undang-undang ini masih berlaku2. 1
RUU Statistik, alat kontrol informasi (Oleh Nasyith Majidi), dikutip dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/04/15/0011.html pada 01/09/2015. 2 Dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019 belum ditemukan rencana revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997, dikutip dari : http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-long-list pada 01/09/2015.
1
Hal baru dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 adalah Sistem Statistik Nasional (SSN), yaitu suatu tatanan yang terdiri atas unsur-unsur yang secara
teratur
saling
berkaitan,
sehingga
membentuk
totalitas
dalam
penyelenggaraan statistik. Dijelaskan dalam undang-undang ini bahwa kegiatan statistik bertujuan untuk menyediakan data statistik yang lengkap, akurat, dan mutakhir dalam rangka mewujudkan Sistem Statistik Nasional (SSN) yang andal, efektif, dan efisien guna mendukung pembangunan nasional. Statistik dasar dihasilkan dari BPS, statistik sektoral dihasilkan lembaga pemerintah lain dan statistik khusus dihasilkan oleh masyarakat. Data statistik sektoral diperoleh dari lembaga pemerintah lain sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masingmasing. Dalam penyelenggaraan kegiatan statistik konsep, definisi, klasifikasi dan ukuran-ukuran yang digunakan merupakan bagian penting. Terkait dengan hal ini pada pasal 17 ayat 2 undang-undang tersebut ditegaskan sebagai berikut : Dalam rangka mewujudkan dan mengembangkan Sistem Statistik Nasional, Badan bekerja sama dengan instansi pemerintah dan masyarakat untuk membangun pembakuan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran. Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Statistik hal pembakuan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran ini diatur sebagai berikut pada : Pasal 48
Pasal 49
: Koordinasi dan kerjasama penyelengaraan statistik meliputi hal-hal yang berkaitan dengan : a. pelaksanaan kegiatan statistik; b. pembakuan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran. : Koordinasi dan atau kerjasama penyelenggaraan statistik antara BPS, instansi pemerintah, dan masyarakat dilaksanakan atas dasar prinsip kemitraan dan dengan tetap mengantisipasi serta menerapkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
2
Pasal 50 (1)
(2)
Pasal 55
Pasal 57 (1)
(2)
teknologi. : Koordinasi dan atau kerjasama pelaksanaan kegiatan statistik dilakukan dalam rangka membangun satu pusat rujukan informasi statistik nasional. : Koordinasi dan atau kerjasama pelaksanaan kegiatan statistik mencakup perencanaan, pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan atau analisis statistik. : BPS, instansi pemerintah, dan masyarakat bekerja sama melakukan pembakuan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran untuk mewujudkan dan mengembangkan Sistem Statistik Nasional. : Hasil kerjasama pembakuan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, selanjutnya disusun oleh BPS. : Konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran yang disusun oleh BPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi acuan utama penyelenggaraan statistik di Indonesia.
Dari peraturan-peraturan tersebut terlihat bahwa ada tiga aktor yang terlibat dalam SSN yaitu : BPS, instansi pemerintah dan masyarakat. Dalam perspektif kebijakan publik, para aktor dalam SSN adalah pelaku kebijakan. Aktor BPS terdiri dari BPS Pusat dan BPS Provinsi atau Kabupaten Kota di seluruh Indonesia. Aktor Instansi pemerintah merupakan semua instansi pemerintah diluar BPS, baik pusat atau daerah. Sementara masyarakat terdiri dari masyarakat awam, penyelenggara kegiatan statistik non pemerintah, ataupun para pengguna data seperti pihak swasta. Ketiga aktor ini diamanatkan dalam peraturan di atas saling berkoordinasi dan bekerja sama dalam pelaksanaan kegiatan statistik dan membangun pembakuan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran. Usaha koordinai dan kerja sama dalam pelaksanaan kegiatan statistik dan pembakuan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran yang dilakukan oleh antar aktor dalam SSN merupakan bentuk implementasi kebijakan publik.
3
Para aktor tersebut merupakan pelaku kebijakan, seperti yang dijelaskan oleh Dunn (2003 :133), bahwa pelaku kebijakan mempunyai andil di dalam suatu kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Terkait dengan keterlibatan banyak aktor atau organisasi dalam sebuah implementasi kebijakan publik, Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 153) menyampaikan bahwa jenis implementasi yang menggunakan struktur multi organisasi memiliki konsekuensi bahwa koordinasi antar unit organisasi dan aspek kerja sama antar aktor menjadi sangat penting dan meskipun koordinasi memiliki peranan sangat penting dalam proses implementasi tetapi koordinasi tidak mudah dilakukan. Dalam kegiatan pengumpulan data statistik, masalah perbedaan data sering mengemuka dan memerlukan perhatian serius karena terkait dengan sebuah kebijakan publik yang lain, yaitu data mana yang akan dijadikan rujukan dalam penyusunan sebuah kebijakan. Perbedaan data disini dimaksudkan adanya perbedaan angka yang dikeluarkan oleh dua atau lebih instansi berbeda untuk objek data yang sama. Dalam sebuah berita di media online3 disampaikan bahwa data ekspor Indonesia yang dicatat oleh BPS lebih rendah dibandingkan dengan data impor yang dicatat oleh negara‐negara mitra dagang Indonesia, dimana perbedaannya mencapai sekitar US$16,48 miliar. Dalam berita tersebut seorang ekonom yaitu
3
Dikutip dari http://www.neraca.co.id/article/12083/sejak-dulu-data-bps-dinilai-ngawur-adaselisih-nilai-ekspor-us1648-miliar Selasa, 03/04/2012 pada 02/12/2015
4
Ahmad Erani Yustika mengatakan bahwa ketidaksinkronan data yang dikeluarkan oleh BPS dan sejumlah instansi sudah sering kali terjadi, bahkan sejak zaman dulu. Masalah perbedaan data ini juga mengemuka pada sebuah dokumen4 pemerintah, dimana disebutkan mengenai kondisi data statistik saat ini di Indonesia ditinjau dari segi proses, beberapa diantaranya adalah : Mekanisme koordinasi tidak jelas. Koordinasi melibatkan kementerian, lembaga dan unit kerja termasuk unit kerja dengan subject matter statistik yang berbeda-beda. Koordinasi dibutuhkan dalam kegiatan statistik (perancangan instrumen, sampling, pengumpulan data, dan validasi data), penyebarluasan hasil dan penggunaan data, pengelolaan data, serta pelatihan dan pengembangan kapasitas. Kendati mekanisme koordinasi telah diatur dalam ketentuan dan regulasi terkait data, koordinasi ini belum berjalan baik karena tatacara koordinasi tidak diuraikan secara cukup jelas. Komunikasi yang tidak optimal. Salah satu implikasi dari persoalan koordinasi adalah tidak optimalnya komunikasi antara lembaga yang bertanggungjawab atas metodologi kegiatan statistik dan informasi geospasial (yakni, BPS dan BIG5) dengan lembaga yang bertanggungjawab atas substansi dari data yang dikumpulkan (yakni, unit kerja di Kementerian dan Lembaga). Ini merupakan salah satu penyebab penting persoalan-persoalan terkait data. Komunikasi yang tidak berjalan menyebabkan perbedaan persepsi, metode analisa ataupun metodologi dan prosedur pengumpulan data (seperti perbedaan definisi, klasifikasi, satuan atau kerangka sampling) yang di gunakan antar K/L6 sehingga berujung pada data yang tidak konsisten. Mekanisme harmonisasi data tidak ada. Tidak terdapat mekanisme untuk melakukan harmonisasi antar-pihak manakala terjadi perbedaan data di kementerian atau lembaga yang berbeda. Ketiadaan mekanisme ini menyulitkan pembangunan konsensus terkait data yang dijadikan rujukan bersama. Harmonisasi semakin sulit berlangsung karena ego masing-masing K/L.
4
Dikutip dari : Cetak Biru Satu Data untuk Pembangunan Berkelanjutan, halaman 11 - 14 BIG : Badan Informasi Geospasial 6 K/L : Kementerian/ Lembaga Non Kementerian 5
5
Berdasarkan uraian dari dokumen tersebut dapat disampaikan bahwa kata koordinasi menjadi salah satu kunci terkait usaha membentuk sebuah data base terpadu yang berguna bagi pembangunan. Permasalahan perbedaan data ini muncul di daerah-daerah pada beberapa bidang. Seperti di Kabupaten Gunungkidul perbedaan data statistik mengemuka dalam hal data pendidikan. Perbedaan ini dilansir oleh beberapa media online, seperti tersaji dalam kutipan berikut : “Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, DIY, kebakaran jenggot dengan data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai tingginya angka buta huruf lewat Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2012”, (http://news.okezone.com/read/2013/03/17/510/776991/pemkab-gunungkidultantang-bps-adu-data-angka-buta-aksara; diakses pada 28 Agustus 2015). “Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Gunungkidul Supriyadi mengatakan terdapat perbedaan data berkaitan warga buta aksara di Gunungkidul. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan jumlah buta aksara di Gunungkidul mencapai 79.000 orang, setelah dilakukan klarifikasi ternyata jumlahnya tinggal 10.000 orang”, (http://www.boyolalipos.com/2014/data-buta-aksara-di-gunungkidul-masihsimpang-siur-526150; diakses pada 28 Agustus 2015). Terkait dengan masalah data penduduk buta huruf, dalam sebuah kajian7 disebutkan bahwa : “Pendataan penyandang buta aksara telah menjadi masalah bertahun-tahun dan telah menjadi polemik yang berkepanjangan, terutama ketidaksinkronan data antara data yang dikeluarkan oleh BPS dengan data yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan, baik pada tingkat kabupaten/kota, propinsi, bahkan nasional. Masalah tersebut disebabkan oleh belum adanya kesepakan model pendataan yang bisa diakui bersama”.
7
Kajian Pengembangan Model Penyelenggaraan Penuntasan Buta Aksara Di Provinsi Jawa Timur halaman 4
6
Data mengenai penduduk buta huruf menurut Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) dan BPS Kabupaten Gunungkidul terlihat dalam tabel berikut : Tabel 1. Jumlah Penduduk Buta Aksara Tahun 2010 Kabupaten Gunungkidul No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Wonosari Paliyan Panggang Playen Patuk Nglipar Karangmojo Semin Ponjong Semanu Tepus Rongkop Ngawen Saptosari Gedangsari Tanjungsari Purwosari Girisubo Jumlah
Dinas Dikpora 1112 702 488 866 399 421 334 414 1067 1603 1077 799 1111 2071 1093 1098 374 798 15827
BPS 2007 1755 1753 1413 629 1279 1092 2475 1892 2728 1553 1093 1746 4036 2709 1602 755 1026 31543
Sumber data : Dinas Dikpora Kabupaten Gunungkidul
Perbedaan data antara Dinas Dikpora dan BPS Kabupaten Gunungkidul tidak hanya mengenai buta huruf saja, melainkan juga terjadi pada Angka Partisipasi Kasar (APK) ataupun Angka Partisipasi Murni (APM), seperti terlihat dalam tabel-tabel berikut :
7
Tabel 2. APK Kabupaten Gunungkidul Jenjang SD (dalam persen) Tahun 2010 2011 2012 2013
Dinas Dikpora 101,30 98,54 100,55 105,33
BPS 107,37 103,32 107,15 113,92
Tabel 3. APK Kabupaten Gunungkidul Jenjang SMP (dalam persen) Tahun 2010 2011 2012 2013
Dinas Dikpora 117,70 113,27 98,99 100,40
BPS 92,57 89,90 91,04 76,72
Tabel 4. APK Kabupaten Gunungkidul Jenjang SMA (dalam persen) Tahun 2010 2011 2012 2013
Dinas Dikpora 68,49 68,18 79,07 81,13
BPS 64,15 79,36 84,31 96,83
Tabel 5. APM Kabupaten Gunungkidul Jenjang SD (dalam persen) Tahun 2010 2011 2012 2013
Dinas Dikpora 88,75 87,05 89,24 90,19
BPS 98,94 90,96 93,67 99,89
Tabel 6. APM Kabupaten Gunungkidul Jenjang SMP (dalam persen) Tahun 2010 2011 2012 2013
Dinas Dikpora 77,50 73,80 74,39 78,09
BPS 81,90 71,95 73,04 73,59
8
Tabel 7. APM Kabupaten Gunungkidul Jenjang SMA (dalam persen) Tahun 2010 2011 2012 2013
Dinas Dikpora 49,82 50,93 56,26 58,56
BPS 50,57 55,55 65,18 68,16
Sumber data : Dinas Dikpora dan BPS Kabupaten Gunungkidul, diolah
Terkait data penduduk buta huruf, fakta menunjukkan bahwa angka melek huruf (sebagai lawan dari buta huruf) Kabupaten Gunungkidul masih yang terbawah jika dibandingkan kabupaten kota lain di Daerah Istimewa Yogyakarta (Tabel 8). Hal tersebut menjadi salah satu alasan pentingnya data penduduk buta huruf bagi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan pihak terkait dalam pembangunan. Tabel 8. Angka Melek Huruf Di Daerah Istimewa Yogyakarta Kabupaten/Kota
2010
2011
2012
2013
Kota Yogyakarta
98,03
98,07
98,1
98,43
Kab.Sleman
92,61
93,44
94,53
95,11
Kab.Bantul
91,03
91,23
92,19
92,81
Kab.Kulon Progo
90,69
92,00
92,04
93,13
Kab.Gunungkidul
84,66
84,94
84,97
85,22
Sumber data : http://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/data_profil/html2print/513/0/2/2010-2014, pada 25/09/2015
Oleh karena itu masalah perbedaan data di atas perlu dijadikan perhatian para aktor yang terlibat, sehingga koordinasi antara BPS dan pemerintah daerah kabupaten dalam hal ini Dinas Dikpora Kabupaten Gunungkidul untuk membahas hal tersebut merupakan sebuah kebutuhan atau tuntutan.
9
Bagi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, data penduduk buta huruf, APK dan APM mempunyai nilai penting dalam perencanaan pembangunan di Kabupaten Gunungkidul. Dijelaskan dalam Peraturan Bupati Gunungkidul Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Rencana Kerja Pembangunan Daerah Tahun 2015 pada halaman II-18 disampaikan bahwa analisis kinerja atas fokus kesejahteraan sosial dilakukan terhadap indikator-indikator : angka melek huruf, angka rata-rata lama sekolah, angka partisipasi kasar, angka pendidikan yang ditamatkan, angka partisipasi murni, angka kematian bayi, angka usia harapan hidup. Konsep, definisi, klasifikasi dan ukuran merupakan sebuah titik awal dari proses munculnya sebuah data, sehingga penggunaan konsep, definisi, klasifikasi dan ukuran yang berbeda akan menghasilkan data yang berbeda pula. Perbedaan angka-angka di atas dimungkinkan terjadi karena perbedaan konsep, definisi, klasifikasi dan ukuran-ukuran yang digunakan dalam pengumpulan data statistik yang dilakukan oleh masing-masing instansi. Perbedaan APK, APM dan jumlah penduduk buta huruf hasil pendataan yang dilakukan oleh BPS Kabupaten Gunungkidul dan Dinas Dikpora Kabupaten Gunungkidul yang terlihat dalam tabel di atas mengindikasikan ada masalah pada koordinasi antar instansi mengenai konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuranukuran yang digunakan dalam pengumpulan data statistik. Kata koordinasi antar aktor baik pada level pusat atau daerah menjadi sesuatu yang perlu digarisbawahi dalam kasus perbedaan data ini.
10
Masalah-masalah di atas juga akan menimbulkan kebingunan bagi publik, yaitu data mana yang menggambarkan kondisi sesungguhnya dan bagi pemerintah perbedaan data ini akan memunculkan sebuah pertanyaan, yaitu data mana yang akan digunakan sebagai rujukan terkait program pemerintah yang lain atau sebagai bahan dalam perencanaan. O’Toole (dalam Hill dan Hupe, 2002 : 8) menyebutkan bahwa studi implementasi kebijakan mengacu pada kaitan antara apa yang pemerintah maksudkan dengan hasil yang sebenarnya. Implementasi sebuah kebijakan yang gagal dapat terjadi karena masalah dalam koordinasi antar atau intra lembaga, interaksi pelaksana kebijakan di lapangan dengan target sasaran kebijakan, ataupun disain kebijakan itu sendiri yang buruk (Fischer dkk, 2007 : 52). Penelitian mengenai implementasi sebuah kebijakan publik dalam bidang statistik belum pernah dilakukan sebelumnya di Kabupaten Gunungkidul. Penelitian ini bermaksud untuk mendalami permasalahan perbedaan data-data di atas dalam konteks koordinasi antar penyelenggara kegiatan statistik di Kabupaten Gunungkidul, yaitu bagaimana koordinasi antar aktor dalam hal penggunaan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran pada kegiatan pengumpulan data statistik dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Statistik
dan
Peraturan
Pemerintah
Nomor
51
Tahun
1999
Tentang
Penyelenggaraan Statistik. Dalam undang-undang tersebut disampaikan bahwa ketiga aktor yaitu BPS, instansi dan masyarakat saling bekerja sama untuk membangun pembakuan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran. Berdasarkan fakta tentang
11
perbedaan data antara BPS Kabupaten Gunungkidul dengan Dinas Dikpora Kabupaten Gunungkidul, maka penelitian ini dibatasi hanya pada koordinasi antara aktor BPS dan aktor instansi yang terkait dengan data-data pendidikan seperti ditampilkan pada tabel-tabel sebelumnya, yaitu untuk mengetahui apakah sudah ada koordinasi yang terbentuk dalam penggunaan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran pada kegiatan pengumpulan data statistik. Jika belum ada koordinasi yang dimaksud, faktor-faktor apakah yang menyebabkan belum terbentuknya koordinasi tersebut?. Sementara jika koordinasi yang dimaksud sudah terbentuk, faktor-faktor apakah yang menyebabkan koordinasi berhasil atau belum dilaksanakan secara maksimal. Pertanyaanpertanyaan tersebut penting untuk mengetahui implementasi ataupun pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999 dalam hal koordinasi pembakuan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran di daerah. Pertanyaan-pertanyaan di atas merujuk kepada pernyataan yang disampaikan Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 153) sebelumnya bahwa implementasi yang menggunakan struktur multi organisasi memiliki konsekuensi bahwa koordinasi dan kerja sama antar aktor menjadi sangat penting. Juga berdasarkan apa yang dijelaskan oleh O’Toole (dalam Hill dan Hupe, 2002 : 8) bahwa implementasi sebuah kebijakan yang gagal dapat terjadi karena masalah dalam koordinasi antar atau intra lembaga, ataupun disain kebijakan itu sendiri yang buruk.
12
Berdasarkan uraian di atas yang menggaris bawahi kata koordinasi, maka sebagai judul penelitian adalah “Koordinasi Antar Aktor Dalam Pengumpulan Data Statistik Bidang Pendidikan : Studi Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Statistik dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Statistik di Kabupaten Gunungkidul”. 1.2 Rumusan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan penelitiannya adalah Bagaimana Koordinasi Antar Aktor Dalam Penggunaan Konsep, Definsi, Klasifikasi dan Ukuran-Ukuran; Metode Pengumpulan Data; Analisis Data dan Penyajian Data Untuk Kegiatan Pengumpulan Data Statistik Bidang Pendidikan di Kabupaten Gunungkidul ?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui apakah sudah terbentuk koordinasi antar aktor dalam penggunaan konsep, definsi, klasifikasi dan ukuran-ukuran untuk kegiatan pengumpulan data statistik bidang pendidikan di Kabupaten Gunungkidul. 2. Untuk mengetahui hambatan atau faktor-faktor yang menyebabkan koordinasi antar aktor yang dimaksud belum terbentuk ataupun untuk mengetahui hambatan atau faktor-faktor yang muncul dalam pelaksanaan koordinasi yang sudah terbentuk antar aktor tersebut.
13