Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
Administrative Responsibility Studi Deskriptif tentang Perilaku Kerja Pegawai pada Pelayanan Publik dalam Perspektif Administrative Responsibility di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya Falakhul Firda1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga
Abstrak Pelayanan publik merupakan kewajiban pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Pelayanan tersebut diselenggarakan melalui dinas-dinas yang ditunjuk oleh pemerintah. Dinas sebagai instansi pelayanan tidak terlepas dari keluhan masyarakat, maka dari itu diperlukan perbaikan terhadap setiap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, yaitu melalui tanggung jawab administratif pegawai. Tanggung jawab administratif (administrative responsibility) merupakan sebuah perspektif untuk melihat apakah suatu instansi pelayanan telah memberikan pelayanan yang bertanggung jawab, dalam hal ini yaitu bagaimana bentuk perilaku kerja pegawai Dinas kependudukan dan Catatan Sipil dilihat dari perspektif administrative responsibility dalam pelayanannya. Kata Kunci : Etika Pelayanan Publik, Perilaku Kerja Pegawai, Tanggung Jawab Administratif
Pendahuluan Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Hal ini berarti bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Berdasarkan riset yang telah dilakukan oleh Dwiyanto (2008) bahwa kinerja birokrasi dapat dilihat melalui berbagai dimensi seperti dimensi akuntabilitas, responsivitas, dan orientasi aparat pada pelayanan. Hasil riset menunjukkan bahwa secara umum akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik masih buruk. Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan publik sering kali masih menerapkan standar nilai pelayanan secara sepihak sehingga terjadi lemahnya komitmen aparat untuk akuntabel terhadap masyarakat. Responsivitas aparat juga dinilai masih kurang karena keluhan yang diajukan kepada aparat birokrasi sifatnya hanya ditampung, dijanjikan untuk diselesaikan, dan yang paling sering adalah petugas melempar tanggung jawab kepada petugas lain. Selain itu, aparat birokrasi juga sering kali meninggalkan tugas pelayanan dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tugas-tugas lain di luar tugas pelayanan. Pernyataan tersebut dikarenakan kurang diperhatikannya etika pelayanan publik sehingga pemerintah kurang responsibel dalam 36
penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Kurang responsibelnya pemerintah mengakibatkan banyaknya penyelewengan dalam pemberian layanan yang dikeluhkan oleh masyarakat sebagaimana terdapat dalam data nasional berikut. Menggambarkan bahwa kurang digunakannya etika sebagai pedoman dalam menyelenggarakan pelayanan publik yaitu banyaknya keluhan masyarakat atas pelayanan yang mereka dapatkan. Kurangnya penggunaan etika terlihat dalam bentuk tidak kompetennya para birokrat, adanya keberpihakan dalam memberikan pelayanan, konflik kepentingan, permintaan uang, diskriminasi, penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan paling banyak adalah penundaan berlarut yaitu sebanyak 572 kasus. Sama halnya dengan Indonesia, regional Jawa Timur juga mendapatkan pengaduan atas pelayanan yang ada. Pengaduan layanan tersebut terlihat pada jumlah pengaduan yang ditujukan pada instansi di kabupaten/kota di Jawa Timur.
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
Grafik I.2
Grafik I.3 Polling Kepuasan Masyarakat pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya (2010)
Sumber: http://dispendukcapil.surabaya.go.id/index.php
Sumber: laporan kinerja KPP Jatim tahun 2010
Pengaduan masyarakat atas bidang layanan yang diselenggarakan oleh pemerintah merupakan indikasi bahwa masih banyak instansi di Jawa Timur yang pelayanan publiknya masih belum memuaskan masyarakat. Dari bidang layanan tersebut yang paling banyak mendapat pengaduan adalah layanan pertanahan sebanyak 17 pengaduan dan pada urutan kedua adalah layanan kependudukan sebanyak 5 pengaduan. Sebagai ibukota Jawa Timur, Surabaya menyediakan banyak pelayanan untuk warga Surabaya dan tidak jarang pelayanan tersebut juga masih dikeluhkan karena belum sesuai dengan harapan masyarakat. Berdasarkan hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kota Surabaya merupakan kota terbaik dalam sektor pelayanan publik dari 22 kota se-Indonesia. Hal tersebut juga diiringi dengan peningkatan pelayanan oleh beberapa instansi di Surabaya, salah satunya yaitu Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Kota Surabaya (www.bisnis.com, diakses tanggal 15 Oktober 2011). Dispenduk Capil Kota Surabaya merupakan salah satu dinas yang pelayanan publiknya masih mendapatkan pengaduan dari masyarakat. Baik itu dalam pengurusan kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), akta lahir maupun jenis-jenis surat yang lainnya. Dalam pengaduan, masyarakat banyak mengeluhkan tindakan diskriminatif instansi pelayanan publik. Misalnya, kesulitan mengurus KTP dan kartu keluarga (www.harianbhirawa.co.id, diakses tanggal 19 Oktober 2011).
Grafik I.3 menunjukkan bahwa pelayanan publik oleh Dispenduk Capil Kota Surabaya dianggap memuaskan oleh masyarakat tetapi kepuasan tersebut berbeda tipis dengan jumlah masyarakat yang kurang puas atas pelayanan yang diberikan. Sebanyak 43% yang menyatakan puas dan sebanyak 40% yang menyatakan kurang puas atas pelayanan Dispenduk Capil Kota Surabaya. Salah satu penyebab ketidakpuasan masyarakat atas pelayanan Dispenduk Capil Kota Surabaya adalah masih adanya diskriminasi dalam pemberian layanan dan kesulitan dalam pengurusan KTP dan KK dan diskriminasi merupakan salah satu bentuk pelanggaran dari etika birokrasi. Saat ini isu mengenai etika terus mendapat sorotan dalam beberapa literatur administrasi publik. Isu etika menjadi sangat vital dalam administrasi publik utamanya dalam penyelenggaraan pelayanan sebagai inti dari administrasi publik. Rohr (1989:60 dalam Keban 2008:166) menyatakan bahwa diskresi administrasi menjadi starting point bagi masalah moral atau etika dalam dunia administrasi publik. Etika pelayanan publik di Indonesia belum begitu diperhatikan. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran (Keban, 2008:176). Kajian mengenai etika birokrasi dalam pelayanan publik oleh Mustafa Hasbar dalam Jurnal Lipi (http://isjd.pdii.lipi.go.id). Fokus penelitian ini yaitu pada bagaimana aplikasi etika birokrasi dalam pelayanan publik dalam pengurusan SIM di Satlantas Polres Khususnya Kabupaten Barru. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu pelayanan yang diselenggarakan di tempat tersebut tidak memenuhi etika dan prosedur dalam menjalankan pelayanan, ada kecenderungan sebagian masyarakat yag memiliki uang yang cukup sengaja memanfaatkan kesempatan ini karena tidak ingin dipusingkan dengan urusan yang berbelit-belit, tidak adanya tindakan hukum atau sanksi terhadap pelanggaran yang telah dilakukan secara turun temurun sehingga terkesan cenderung menjadi suatu budaya. Berdasarkan hal tersebut menurut peneliti sangatlah penting untuk melakukan penelitian mengenai administrative responsibility sebagai kontrol 37
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
internal dari birokrasi dikarenakan kontrol formal dianggap tidak lagi memenuhi fungsi kontrol atas perilaku kerja pegawai. Penelitian ini mempunyai fokus pada bagaimana bentuk perilaku kerja pegawai dalam perspektif administrative responsibility dan faktor-faktor yang mendorong munculnya perilaku kerja pegawai tersebut. Selain itu, penelitian ini penting untuk dilakukan agar permasalahan pelayanan publik yang berkaitan dengan etika bisa segera terselesaikan, etika bisa menjadi pegangan bagi pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik, dan pelayanan publik menjadi semakin baik. 1. Bagaimanakah bentuk perilaku kerja pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya dalam perspektif administrative responsibility? 2. Faktor-faktor apakah yang mendorong munculnya perilaku kerja pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya dalam perspektif administrative responsibility? Good Governance Governance menurut Rochman (dalam Widodo 2011:107), adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif. Sementara itu, Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyebutkan bahwa governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services, dan praktik terbaiknya disebut good governance. UNDP mengajukan beberapa prinsip good governance, antara lain: • Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung mapun melalui intermediasi yang mewakili kepentingannya. • Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. • Transparancy. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau. • Responsiveness. Lembaga-lembaga atau prosesproses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders. • Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur. • Effectiveness and efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin. • Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. 38
•
Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai prespektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.
Etika Birokrasi Etika birokrasi merupakan etika profesi yang berisi norma-norma yang harus menjadi pegangan bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pelayan kepentingan masyarakat. Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya (Dwiyanto, 2008:192). Dalam etika birokrasi yang mempunyai fungsi pelayanan kepada masyarakat, maka dalam etika birokrasi juga mencakup etika pelayanan publik. Etika pelayanan publik dapat diibaratkan sebagai sensor dalam administrasi publik yaitu pada penyelenggaraan pelayanan publik. Etika pelayanan publik adalah suatu panduan atau pegangan yang harus dipatuhi oleh para pelayan publik atau birokrat untuk menyelenggarakan pelayanan yang baik untuk publik. (Keban, 2008:166). Etika mempersoalkan baik atau buruk dan bukan benar atau salah tentang sikap, tindakan, dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya, baik dalam masyarakat mapun organisasi publik atau bisnis, maka etika mempunyai peran penting dalam administrasi negara/birokrasi publik (Widodo, 2011:52). Administrasi negara (birokrasi publik) memiliki kewenangan dalam menjalankan kebijakan politik yang secara umum disebut dengan discretionary power, yakni keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program atau proyek. Untuk menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara benar dan tidak secara salah maka diperlukan etika dalam administrasi negara (Widodo, 2011:53). Terdapat seperangkat nilai dalam birokrasi publik yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Nilai-nilai tersebut antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness (Widodo, 2011:63). • Nilai efisiensi artinya tidak boros. Mereka akan menggunakan dana publik (risorsis publik) secara berhati-hati agar memberikan hasil yang sebesarbesarnya bagi publik. • Nilai membedakan milik pribadi dengan milik kantor. Mereka tidak akan menggunakan milik kantor untuk kepentingan pribadi. • Impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal.
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
•
• •
•
Merytal system, dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience). Responsible berkaitan dengan pertanggung jawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Accountable. Menurut Herman Finer (1941 dalam Widodo 2011:67), akuntabilitas merupakan konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik. Responsiveness, Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhinya.
Administrative Responsibility Administrative responsibility telah dipelajari sejak studi administrasi publik dimulai. Gibson Winter (1966 dalam Cooper 2006) menyatakan bahwa responsibility merupakan istilah yang relatif baru dalam etika. Menurut Lenvine (dalam Dwiyanto 2008:51), responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Sementara itu, responsibility menurut Carl J. Friedrich (dalam Widodo 2011) merupakan konsep yang berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator dalam menjalankan tugasnya. Administrator dinilai responsibel jika pelakunya memiliki standar profesionalisme atau kompetensi teknis yang tinggi. Administrative responsibility disebut juga subjective responsibility. Berbeda dengan objective responsibility/akuntabilitas yang tanggung jawabnya dimulai oleh orang atau institusi yang berada diluar dirinya atau dikatakan akuntabel jika dinilai secara objektif oleh orang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Subjective responsibility sebagaimana dinyatakan oleh Widodo (2011), berarti mempunyai rasa tanggung jawab (sense of responsibility) dan dapat pula berarti memiliki kemampuan dan kecakapan (capable to do atau professionality) yang memadai dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Administrative responsibility merupakan bagian utama dari penegakan etika birokrasi. Menurut Plumlee, administrative responsibility melibatkan dua hal yaitu perilaku administrator dan harapan dari masyarakat. Jika perilaku administrator dekat dengan harapan masyarakat dapat dikatakan bahwa administrator telah responsibel sedangkan jika perilaku administrator menyimpang dari yang diharapkan oleh masyarakat maka administrator dikatakan tidak responsibel.
Administrative responsibility menuntut lebih dari sekedar kepatuhan terhadap peraturan dan wewenang/kekuasaan. Administrative responsibility mewajibkan seseorang untuk merefleksikan kewenangan yang mereka miliki untuk menghasilkan tindakan yang bertanggung jawab. Responsibilitas menjadi aktif dimana seseorang menyatukan dua hal yakni peraturan, kekuasaan/kewenangan dan pengalaman untuk menentukan tindakan yang tepat (Alexander, 1997:354). Alexander (1997) mengemukakan terdapat tiga konsepsi yang berbeda dari administrative responsibility. Berikut klasifikasinya sebagai ahli yang netral, utusan, dan wali yang mengetahui kebenaran. a. Administrator yang bertanggung jawab sebagai ahli yang netral. Konsepsi ini mengasumsikan bahwa untuk mencapai perilaku bertanggung jawab dalam administrasi publik dapat dicapai dengan ketaatan terhadap prosedur dan peraturan organisasi. b. Administrator yang bertanggung jawab sebagai utusan. Dalam konsepsi ini Friedrich (dalam Alexander 1997) menyebutkan bagaimana administrator memenuhi tugas sebagai perwakilan. Menurut Friedrich, bahwa otoritas legal formal dapat terdistorsi oleh keinginan seseorang, dan administrator untuk memenuhi tanggng jawab mereka harus menjalankan posisinya sesuai dengan jalur yang telah ditentukan. Karena itu, administrative responsibility menuntut tindakan administrator sebagai delegasi yang informatif untuk masyarakat. c. Administrator yang bertanggung jawab sebagai wali Dalam perspektif ini, administrator yang bertanggung jawab tidak lagi sebagai kekuatan yang netral dan delegasi, tetapi sebagai seorang enlightened trustee/guardian yang mencari keseimbangan antara customary morality dan tujuan dari negara. Cooper’s (1990 dalam Alexander 1997), menyatakan mengenai salah satu versi dari etika demokrasi, bahwa administrator mengkombinasikan keahlian teknis dengan nilai-nilai “New Public Administration”, seperti keadilan sosial, partisipasi masyarakat, dan kepentingan publik untuk dapat mencapai perilaku bertanggung jawab. Menurut Dotson (1957) terdapat beberapa pendekatan dasar administrative responsibility. Pendekatan tersebut merupakan penjelasan bagaimana administrative responsibility muncul. a. The conservative reaction (reaksi tradisional) Pendekatan ini menyatakan bahwa administrative responsibility muncul karena konspirasi pegawai administratif untuk mengambil kekuasaan legislatif dan degenerasi 39
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
semangat kebebasan untuk merdeka. Untuk mencapai administrative responsibility dibutuhkan pengembalian sistem politik pada keteraturan tradsional. b. Rule of law (penegakan hukum) Defnisi dari administrative responsibility adalah sebagai fungsi dari rule of law. Administrative responsibility dinyatakan ada disaat rule of law juga ada. Ketika kekuasaan dipisahkan/dibagi, proses hukum diakui, pemeriksaan pengadilan dan aturan-aturan memiliki pengaruh maka administrative responsibility telah hadir. c. Executive supremacy (supremasi eksekutif) Pandangan ini menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi ada pada eksekutif. Administrative responsibility pada dasarnya tidak hanya ada pada sektor publik, sektor privat pun memiliki administrative responsibility. Pada pandangan ini eksekutif bertindak sebagai general manager yang mengomando diwujudkannya kondisi administrative responsibility. Kondisi administratif merupakan fungsi dari organisasi dan manajemen. d. Corporate objectivity Pandangan ini menentang paham traditional reaction dan the rule of law. Hal ini dikarenakan paham sebelumnya dianggap tidak bisa lagi menjelaskan masalah-masalah administratif terkini. Berkebalikan dengan paham traditional reaction bahwa yang membuat hukum adalah legislatif, paham ini berasumsi bahwa sebuah peraturan tidak harus dibuat oleh lembaga tertentu karena masyarakat umum yang capable pun sebenarnya bisa membuat peraturan tanpa masuk dalam sebuah lembaga. e. Legislative supremacy (supremasi legislatif) Paham ini menyatakan bahwa legislatif mempunyai kewenangan yang lebih dalam pemerintahan. Pada sistem demokrasi keberadaan pemerintah adalah untuk kebahagiaan rakyat dan tujuan utamanya adalah penyediaan pelayanan untuk kebutuhan rakyat. Legislatif mempunyai posisi yang spesial karena legislatif mempunyai tugas untuk memenuhi kepentingan masyarakat dan mempunyai kewenangan untuk membuat hukum/ peraturan. Dalam pelayanan publik administrative responsibility diwujudkan dalam bentuk perilaku kerja pegawai. Secara konseptual, menurut Kast dan James E.Roseszweig, perilaku adalah cara bertindak, ia merujuk pada tinggal laku seseorang. Perilaku atau aktivitas yang ada pada individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi merupakan akibat dari stimulus atau dorongan yang diterima oleh individu yang bersangkutan, baik stimulus eksternal maupun stimulus internal (Nawawi, 2009:2). Menurut Widodo (2011) Implementasi administrative responsibility dalam pelayanan publik mencakup rasa tanggung jawab dan kompetensi aparat birokrat yang merupakan kemampuan aparatur 40
pemerintah (pengetahuan, keterampilan, kecakapan), responsivitas dan kejujuran dalam pelaksanaan apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Mempunyai rasa tanggung jawab, artinya birokrasi publik akan melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya secara serius dan sungguhsungguh, meskipun tidak ada pihak lain yang mengawasinya. Sementara itu, birokrasi publik yang bertanggung jawab dalam arti “capable to do atau professionality” menuntut birokrasi publik mempunyai kemampuan dan kecakapan teknis yang memadai dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, baik yang bersifat adminstratif maupun fungsional yang diberikan kepadanya. Menurut Friedrich (dalam Shafritz 2007), administrative responsibility merupakan sesuatu yang berhubungan dengan internal/diri seseorang, yaitu profesionalisme, standar profesional atau kode. Untuk meningkatkan kompleksitas kebijakan modern dibutuhkan suatu keahlian dan kemampuan yang khusus dari birokrat dan yang paling tahu mengenai luas pekerjaannya itu adalah birokrat itu sendiri sehingga terdapat administrative responsibility sebagai pengendali internal dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu, dalam Berkley and Rouse (2009) disebutkan bahwa administrative responsibility meliputi akuntabilitas, responsivitas, dan kejujuran. Sebagaimana uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, perilaku berdasarkan administrative responsibility dalam pelayanan publik terwujud dalam rasa tanggung jawab, kompetensi, responsivitas, dan kejujuran pegawai dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang telah dibebankan kepadanya. Pertama, perilaku berdasarkan rasa tanggung jawab. Tanggung jawab berarti kesanggupan seorang pegawai untuk menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul resiko atas keputusan yang diambilnya atau tindakan yang dilakukannya. Widodo (2011) menyatakan bahwa administrator negara harus bertindak berdasarkan tanggung jawab moral yang mereka sadari terhadap publiknya. Yang termasuk dalam unsur tanggung jawab terdiri atas sub-sub unsur sebagai berikut: • Menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat pada waktunya • Tidak melemparkan kesalahan kepada orang lain • Menyimpan dan memelihara barang milik negara yang dipercayakan kepadanya • Dalam segala keadaan tetap berada di tempat tugas • Mengutamakan kepentingan dinas dari pada kepentingan diri sendiri, orang lain atau golongan • Berani dan ikhlas memikul resiko (Kumorotomo, 2011:406)
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
Sementara itu, Pasolong (2010) menyatakan bahwa tanggung jawab merupakan hal yang menjadi keharusan pemegang jawaban untuk: • Menerima diri sebagai penyebab utama mengenai suatu kejadian, baik atau buruk, benar atau salah. • Menerima diri untuk dibenarkan atau disalahkan mengenai suatu kejadian. • Menerima hukuman jika salah melakukan sesuatu. • Memberi jawaban dan penjelasan dalam hal tertentu. Masalah tanggung jawab timbul apabila ada keinginan dan dirasakan perlu untuk memaksakan adanya penyesuaian si individu dengan rencana kelompok. Sanksi memainkan bagian yang penting didalam fungsi memaksakan tanggung jawab wewenang, dibanding dengan dimainkannya didalam kegunaan-kegunaan lainnya (Simon, 2007:228). Kedua, perilaku yang berdasarkan atas kemampuan dan kecakapan teknis atau kompetensi teknis pegawai dalam melaksanakan tugasnya (capable to do or professionality). Kemampuan tersebut merupakan kemampuan dan kecakapan teknis yang memadai dalam menjalankan tugas, baik yang bersifat administratif maupun fungsional yang diberikan kepadanya. Menurut Covey, Roger dan Rebecca Merril (dalam Mangkunegara 2010), kompetensi mencakup: a. Kompetensi teknis: pengetahuan dan keahlian untuk mencapai hasil-hasil yang telah disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan mencari alternatif-alternatif baru. b. Kompetensi aktual: kemampuan untuk melihat gambar besar,untuk menguji berbagai pengandaian dan pengubah perspektif. c. Kompetensi untuk hidup dalam saling ketergantungan kemampuan secara efektif dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk mendengar, berkomunikasi. Sementara itu, menurut Moeheriono (2009:15), terdapat lima dimensi kompetensi, yaitu: • Task skills, yaitu keterampilan untuk melaksanakan tugas-tugas rutin sesuai dengan standar di tempat kerja. • Task management skils, yaitu keterampilan untuk mengelola serangkaian tugas yang berbeda yang muncul dalam pekerjaan. • Contingency management skills, yaitu keterampilan mengambil tindakan yang cepat dan tepat bila timbul suatu masalah dalam pekerjaan. • Job role environment skill, yaitu keterampilan untuk bekerja sama serta memelihara kenyamanan lingkungan kerja. • Transfer skills, yaitu keterampilan untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja baru. Kompetensi seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari dalam (internal)
maupun dari luar (eksternal), faktor-faktor tersebut yaitu bakat bawaan, motivasi kerja yang tinggi, sikap, motif dan cara pandang, pengetahuan yang dimiliki, keterampilan atau keahlian yang dimiliki, dan lingkungan hidup dari kehidupan mereka sehari-hari (Moeheriono, 2009:17). Ketiga, responsivitas pegawai. Menurut Dwiyanto (2008:62) responsivitas adalah kemampuan untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas yang dimaksud di sini adalah perilaku / tindakan pegawai untuk merespon harapan, keinginan dan aspirasi serta tuntutan masyarakat. Sementara itu, Zeithmal, Parasuraman, dan Berry (dalam Pasolong 2010) menyatakan bahwa responsivitas adalah kerelaan untuk menolong pengguna layanan dan menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas atau bisa juga dikatakan sebagai keinginan staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Unsur-unsur dalam responsivitas pegawai yakni: • Terdapat tidaknya keluhan dari pengguna jasa • Sikap aparat birokrasi dalam merespon keluhan dari pengguna jasa • Penggunaan keluhan dari pengguna jasa sebagai referensi perbaikan penyelenggaraan pelayanan pada masa datang • Berbagai tindakan aparat birokrasi untuk memberikan kepuasan pelayanan kepada pengguna jasa. Keempat, kejujuran pegawai. Jujur merupakan tindakan pengakuan, perkataan atau pemberian suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Dalam praktiknya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pegawai dalam bertindak jujur yaitu karakter, pendidikan, lingkungan. Metode Penelitian Penelitian ini mkenggunakan metode penelitian kualitatif, tipe penelitian deskripstif yakni mendeskripsikan suatu fenomena sosial, Teknik penentuan informan : Purposive Sampling dilanjutkan dengan Snowball Sampling pada pegawai Dispnduk Capil Kota Surabaya dengan 12 orang informan. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data digunakan dengan pengolahan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Teknik pemeriksaan keabsahan data dengan membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen, membandingkan pendapat satu orang dengan orang lain.
41
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
Gambaran umum kajian penelitan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Kota Surabaya merupakan satuan kerja perangkat daerah yang membantu melaksanakan sebagian urusan pemerintahan dibidang: kependudukan dan catatan sipil dan bidang otonomi daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian. Dispenduk Capil Kota Surabaya yang beralamatkan di Jalan Manyar Kertoarjo No.6 melayani ratusan masyarakat setiap harinya, baik itu dalam pengurusan kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), akta kelahiran, akta nikah maupun akta perceraian. Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana bentuk perilaku kerja pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya dalam perspektif administrative responsibility. Administrative responsibility dalam pelayanan publik tertuang dalam perilaku kerja pegawai yang berdasarkan atas tanggung jawab, kompetensi, responsivitas dan kejujuran pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Penyajian data, analisis, dan interpretasi teoritik III.1 Analisis Dan Interpretasi Teoritik Rasa Tanggung Jawab Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, pegawai Dispenduk Capil Kota Suabaya berusaha untuk bekerja dengan baik yaitu menyelesaikan tugas dengan cepat, tepat, tidak menunda pekerjaan, tanpa keterlambatan dan telah sesuai dengan tupoksi masing-masing. Berkas-berkas yang diterima oleh petugas loket akan langsung diberikan kepada back office untuk kemudian secara langsung diproses. Selama proses berlangsung pegawai menjalankan peran masing-masing sesuai dengan yang telah ditetapkan pada tupoksi. Pemrosesan berkas-berkas akan dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada dan diselesaikan tepat pada waktunya. Pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya jarang atau hampir tidak pernah keluar kantor untuk keperluan yang lain. Kalaupun pegawai pergi keluar kantor, maka keperluan tersebut adalah untuk kepentingan dinas atau kantor dan keperluan yang penting. Kebanyakan pegawai tetap di kantor dan berusaha untuk menyibukkan diri dengan membantu pekerjaan teman yang membutuhkan bantuan, menunggu pekerjaan selanjutnya dari perintah atasan, browsing hal-hal yang bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan secara umum pegawai berusaha untuk mencari kegiatan yang bisa dilakukan pada saat itu agar tidak menganggur. Termasuk juga dalam perilaku tanggung jawab yang disebutkan oleh Kumorotomo bahwa pegawai harus mendahulukan kepentingan dinas daripada kepentingan sendiri atau golongan. Pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara otomatis diharapkan untuk mendahulukan kepentingan dinas. Kepentingan dinas memang yang 42
utama karena hal tersebut sudah menjadi kewajiban seorang pegawai, tetapi pegawai sebagai individu juga mempunyai kepentingan pribadi, maka pertimbangan untuk menentukan mana yang harus didahulukan dilakukan secara manusiawi dan masih ada toleransi untuk kepentingan pribadi yang sangat mendesak. Hal ini sedikit tidak sesuai dengan yang diungkapkan oleh Kumorotomo bahwa pegawai harus medahulukan kepentingan dinas. Sebagaimana dinyatakan oleh Pasolong (2010) bahwa pegawai dalam menghadapi kesalahan yang ia lakukan yaitu mau menerima diri sebagai penyebab utama kejadian, menerima diri untuk disalahkan, menerima hukuman dan memberikan penjelasan atas kesalahannya. Sesuai dengan hal tersebut bahwa pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya bersedia mengakui kesalahan, menerima sanksi yang ada dan bersedia untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Namun dalam memberikan sanksi untuk pegawai yang melakukan kesalahan tidak sembarang cara dilakukan. Ada prosedur yang harus dilalui dan sanksi pun tidak boleh sembarangan diberikan karena harus disertai dengan bukti yang cukup atas kesalahan tersebut. Sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No.53 tahun 2010 mengenai Disiplin Pegawai Negeri dimana di dalamnya mengatur tentang kewajiban dan larangan pegawai secara umum dan sanksi yang mengikuti pelanggaran yang dilakukan. Selain sikap pegawai yang mau mengakui kesalahan dan menerima sanksi, pegawai juga sanggup untuk memperbaiki kesalahan, berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Salah satu hal yang juga temasuk dalam bentuk tanggung jawab pegawai menurut Kumorotomo yakni menyimpan dan memelihara barang milik negara yang dipercayakan kepadanya dengan baik. Partisipasi pegawai dalam memelihara sarana yang juga merupakan bentuk tanggung jawab pegawai yaitu sikap pegawai dalam menggunakan, menjaga, dan memelihara sarana yang terdapat di kantor untuk menunjang kelancaran pelayanan. Dalam pemeliharaan dan penggunaan sarana yang ada, pegawai berusaha untuk menggunakannya sebaik mungkin, menggunakannya sesuai dengan kebutuhan dan ikut menjaganya seperti milik mereka sendiri. Meskipun telah disediakan anggaran tersendiri untuk pemeliharaan sarana yang ada, pegawai tetap menjaga sarana tersebut dengan baik. Sebagai pegawai yang berada di tempat itu untuk waktu yang lama, pegawai sudah menganggap sarana yang ada seperti milik mereka sendiri. Jika peralatan bermasalah maka pegawai akan berusaha untuk memperbaikinya sebisa mungkin. Kompetensi Pada dasarnya setiap pekerjaan yang dibebankan kepada seorang pegawai harus disertai dengan kompetensi yang memadai. Menurut Widodo (2010) kompetensi yaitu kemampuan dan kecakapan
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
teknis atau kompetensi teknis pegawai dalam melaksanakan tugasnya (capable to do or professionality). Kemampuan tersebut merupakan kemampuan dan kecakapan teknis yang memadai dalam menjalankan tugas, baik yang bersifat administratif maupun fungsional yang diberikan kepadanya. Sesuai dengan uraian sebelumnya bahwa dalam melaksanakan tugas pegawai dituntut untuk berkompeten dibidangnya. Pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya telah mempunyai kompetensi teknis untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsi yang telah diberikan kepadanya dan kemampuan teknis tersebut telah sesuai dengan tupoksinya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Covey, Roger, and Merril, kemampuan teknis yaitu pengetahuan dan keahlian untuk mencapai hasil-hasil yang telah disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan mencari alternatif-alternatif baru. Kebanyakan pekerjaan yang terdapat di Dispenduk Capil Kota Surabaya adalah menulis, maka kemampuan yang dibutuhkan adalah kecermatan dan ketelitian dari pegawai. Dispenduk Capil Kota Surabaya sebagai instansi pelayanan juga membutuhkan kesabaran dan keramahan dalam melayani dan menghadapi masyarakat yang heterogen, serta membutuhkan penguasaan dalam permasalahan untuk dapat memberikan informasi yang baik, benar dan mudah dipahami oleh masyarakat. Kemampuan teknis pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya dalam melaksanakan tugas telah terpenuhi. Meskipun begitu, pegawai tetap harus terus belajar mengenai peraturan yang ada karena kemampuan pegawai dalam pemahaman mengenai perkembangan peraturan dinilai masih kurang dan tugas dan fungsi yang ada harus diimbangi dengan perkembangan peraturan. Dalam melaksanakan tugas tidak jarang pegawai menemui permasalahan yang menjadi kendala dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moeheriono (2009) bahwa kompetensi pegawai juga meliputi contingency management skills, yaitu keterampilan mengambil tindakan yang cepat dan tepat bila timbul suatu masalah dalam pekerjaan. Pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya yang terkadang juga menemui kendala dalam pekerjaannya, mengambil tindakan untuk berkonsultasi dengan atasan untuk memperoleh solusi dari permasalahan atau kendala yang dihadapi. Jika permasalahan tersebut cukup rumit, maka atasan akan turun secara langsung untuk menyelesaikannya. Namun adakalanya permasalahan yang ada masih dapat diselesaikan sendiri oleh pegawai, maka mereka cukup bertanya kepada rekan kerjanya. Temuan data di lapangan menggambarkan bahwa sikap pegawai jika menemui permasalahn dalam pekerjaannya adalah berkonsultasi dengan atasan/pimpinan. Hal ini kurang sesuai dengan yang diungkapkan oleh Moeheriono dikarenakan dalam
tataran pegawai tidak mempunyai banyak kewenangan dalam menyelesaikan masalah yag ada. Dalam melaksanakan pekerjaan tentunya dibutuhkan kerjasama dengan pegawai lain. Moeheriono (2009) menyatakan bahwa kompetensi pegawai meliputi Job role environment skill yaitu keterampilan untuk bekerja sama serta memelihara kenyamanan lingkungan kerja. Kemampuan pegawai dalam hal ini dilihat dari sikap mereka dalam bekerja sama untuk menyelesaikan tugas yang ada. Sesuai dengan pernyataan Moeheriono bahwa pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya mempunyai kerjasama yang baik antar pegawai yang pada akhirnya menimbulkan lingkungan kerja yang nyaman. Kerjasama antar pegawai secara sederhana terlihat petugas front office dan back office. Selain itu kerjasama juga terlihat pada digantikannya petugas front office oleh back office apabila petugas tersebut tidak masuk, peng-handle-an tugas seorang pegawai apabila pegawai tersebut harus keluar kantor untuk tugas dinas. Sehingga mudah tercipta lingkungan kerja yang nyaman bagi pegawai. Responsivitas Zeithmal, Parasuraman, dan Berry menyatakan bahwa responsivitas adalah kerelaan untuk menolong pengguna layanan dan menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas atau bisa juga dikatakan sebagai keinginan staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Dispenduk Capil Kota Surabaya sebagai instansi yang melayani masyarakat secara otomatis membawa pegawainya pada mindset melayani. Dalam pelayanan yang dilakukan pegawai berusaha untuk menyelenggarakan pelayanan yang baik, sebagaimana SOP yang telah ditetapkan dan standar yang telah ditentukan. Pegawai harus memenuhi standar pelayanan yang menuntut mereka untuk ramah, cepat tanggap, dan transparan dalam hal biaya dan waktu penyelesaian. Dalam pelayanan, pegawai menghadapi masyarakat dengan bertutur kata yang baik dan memberikan penjelasan yang baik dan benar. Pegawai melayani masyarakat dengan penuh kesabaran dan keramahan serta dengan menguasai permasalahan yang ada agar dapat memberikan penjelasan sedetail mungkin untuk masyarakat pemohon. Sebagai instansi pelayanan Dispenduk Capil Kota Surabaya tidak lepas dari keluhan masyarakat. Dispenduk Capil Kota Surabaya yang sampai saat ini masih menerima keluhan dari masyarakat menjadi indikator bahwa pelayanan yang ada membutuhkan perbaikan secara terus menerus. Untuk menyatakan responsivitas pegawai menurut Dwiyanto dilihat dari sikap aparat birokrasi dalam merespons keluhan dari masyarakat. Keluhan terhadap Dispenduk Capil Kota Surabaya didengarkan dan direkam oleh pegawai, masyarakat yang mengajukan keluhan diberikan informasi yang mudah dipahami oleh masyarakat dimana penjelasan tersebut tidak menyinggung 43
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
masyarakat yang mengadukan keluhan dan tidak merendahkan dinas. Selanjutnya pemohon dapat mengajukan keberatan mengenai apa yang menjadi keluhannya. Dwiyanto menyatakan, untuk menunjukkan responsivitas keluhan yang ada harus digunakan sebagai referensi perbaikan untuk pelayanan yang akan datang. Sesuai dengan pernyataan tersebut bahwa keluhan terhadap Dispenduk Capil Kota Surabaya telah menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan pelayanan. Kejujuran Jujur merupakan tindakan pengakuan, perkataan atau pemberian suatu informasi yang sesuai dengan kenyataan dan kebenaran. Dalam praktiknya, tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Kejujuran dalam hal ini kejujuran pegawai dalam melaksankan tugas yaitu seberapa tepat pengakuan yang dibicarakan pegawai dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Berkley and Rouse menyatakan bahwa kejujuran merupakan kombinasi fokus individu pada proses yang seharusnya/hak dengan maksud keadilan dan didesain untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan dan keputusan yang berubahubah. Kejujuran pegawai sering dikaitkan dengan uang. Beberapa pelayanan Dispenduk Capil Kota Surabaya menjadi salah satu hal yang mudah untuk dijadikan ukuran kejujuran pegawai karena dengan pelayanan yang gratis tidak ada yang dapat mereka ambil untuk memperoleh keuntungan pribadi. Kejujuran pegawai juga terlihat pada dipegang teguhnya peraturan yang ada, sebagaimana yang tercantum dalam surat edaran disiplin maupun pakta integritas pegawai. Dalam peraturan disebutkan bahwa pegawai dilarang untuk menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau orang lain dan dalam pakta integritas disebutkan bahwa pegawai tidak boleh menerima uang tip, uang suap atau gratifikasi dalam bentuk apapun. Kerawanan pada kejujuran pegawai terletak pada peluang ketika masyarakat pemohon mengajukan berkas-berkas surat yang kurang lengkap. Ketidaklengkapan tersebut dikarenakan sulitnya mendapatkan salah satu syarat misalnya pengantar RT. Faktor-faktor yang Mendorong Munculnya Perilaku Kerja Pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya dalam Perspektif Administrative Responsibility Perilaku berdasarkan administrative responsibility yang ditunjukkan oleh pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya juga dilatarbelakangi oleh suatu hal yang mendorong pegawai untuk menunjukkan perilaku tersebut. Menurut Simon (2007) terdapat dua faktor yang 44
mempengaruhi rasa tanggung jawab seseorang yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu adanya kesadaran atas segala perbuatan dan akibatnya dan faktor eksternal yaitu adanya sanksi yang berasal dari peraturan atau hukum tertentu yang memaksa seseorang untuk bertanggung jawab atas segala tindakannya. Sebagaimana faktor-faktor yang terdapat pada Dispenduk Capil Kota Surabaya, secara umum terdapat faktor internal dan eksternal yang mendorong pegawai untuk menunjukkan perilaku bertanggung jawab. Faktor pertama yang mendorong pegawai untuk menunjukkan perilaku berdasarkan administrative responsibility adalah untuk menjaga integritasnya yaitu menjaga kepercayaan orang lain atas dirinya. Dispenduk Capil Kota Surabaya yang merupakan instansi pelayanan, membawa pengaruh tersendiri bagi pegawai yang ada di dalamnya. Pegawai akan terbawa instansi mempunyai mindset pelayanan untuk menghadapi masyarakat dan mungkin berbeda jika dibandingkan dengan instansi yang bukan pelayanan. Pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya yang telah memiliki tugas dan fungsi masing-masing menyadari akan tugas dan fungsinya tersebut. Mereka secara sadar dan mengerti untuk apa mereka berada di dinas tersebut. Dengan kata lain bahwa kesadaran pegawai akan fungsinya di dinas menjadi dorongan tersendiri bagi mereka untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab. Motivasi utama bagi pegawai bukanlah uang tetapi hal ersebut menjadi beban moral tersendiri bagi mereka. Kesejahteraan pegawai yang telah diperhatikan dengan baik sudah sepatutnya diiringi dengan kinerja yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab. Selain itu, peran pemimpin juga penting dalam mendorong pegawai untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab. Sebagai instansi yang bekerja secara tim dibutuhkan dukungan dari pimpinan kepada pegawai agar pegawai mampu bekerja sesuai dengan yang diharapan. Peran tersebut dapat diwujudkan melalui kebijakan yang dibuat oleh pimpinan. Di Dispenduk Capil Kota Surabaya diwujudkan dalam surat edaran mengenai disiplin pegawai, yaitu kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi. Tidak hanya itu peran pimpinan juga dijadikan sebagai panutan pegawai untuk menunjukkan perilaku bertanggung jawab. Berdasarkan gambaran yang telah diuraikan, dapat dinyatakan secara sederhana bahwa temuan data di lapangan sesuai dengan pernyatan Simon bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi rasa tanggung jawab seseorang yaitu faktor internal dan eksternal. Begitu juga pada Dispenduk Capil Kota Surabaya terdapat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi munculnya perilaku kerja pegawai berdasarkan administrative responsibility. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku kerja pegawai yaitu kesadaran pegawai akan tugas dan fungsinya, usaha pegawai untuk menjaga integritasnya, dan mindset pegawai untuk melayani. Sementara faktor
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
eksternal yang mempengaruhi pegawai adalah adanya kebijakan atau peraturan yang harus dipatuhi oleh pegawai, kesejahteraan pegawai yang telah baik dan peran pemimpin dalam mendorong pegawai untuk menunjukkan perilaku kerja berdasarkan administrative responsibility. Peraturan, kesejahteraan dan peran pimpinan merupakan hal diluar diri pegawai yang mendorong mereka untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab. Adanya peraturan selalu diikuti dengan sanksi yang siap diberikan kepada pegawai apabila mereka tidak bekerja dengan baik serta kesejahteraan dan dorongan dari pemimpinan yang secara tidak langsung menjadi motivasi mereka. Kesimpulan 1. Bentuk Perilaku Kerja Pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya dalam Perspektif Administrative Responsibility Bentuk perilaku kerja pegawai berdasarkan administrative responsibility terlihat pada rasa tanggung jawab, kompetensi, responsivitas dan kejujuran pegawai dalam melaksanakan tupoksinya masing-masing. Pertama, rasa tanggung jawab pegawai. Rasa tanggung jawab pegawai dalam melaksanakan tugas sehari-hari terlihat pada sikap pegawai untuk menyelesaikan tugas, usaha untuk selalu berada di tempat kerja, sikap untuk mendahulukan kepentingan dinas daripada kepentingan pribadi atau golongan, sikap dalam menghadapi kesalahan yang dilakukan, dan sikap pegawai dalam menggunakan serta memelihara sarana yang terdapat di kantor. Usaha pegawai dalam menyelesaikan tugas dilakukan dengan baik dan cepat. Pegawai tidak menunda pekerjaan dan tugas yang dilaksanakan oleh pegawai telah sesuai dengan tupoksi masing-masing. Pegawai tidak pernah keluar kantor kecuali untuk keperluan dinas. Kegiatan yang dilakukan oleh pegawai jika luang yaitu membantu tugas teman yang membutuhkan bantuan, menunggu perintah atasan untuk tugas selanjutnya, dan browsing hal-hal yang bermanfaat untuk menambah pengetahuan. Secara umum pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya memang lebih memilih mengutamakan kepentingan dinas daripada kepentingan pribadi atau golongan. Tetapi hal tersebut tidak dilaksanakan secara kaku dikarenakan pegawai sebagai individu/pribadi juga memiliki kepentingan yang terkadang sangat mendesak. Selain itu, terdapat toleransi antar pegawai yang apabila seorang pegawai berhalangan untuk masuk kantor maka pegawai lain masih bisa memaklumi dan membantu meng-handle pekerjaan yang ditinggalkan. Dalam melaksanakan tugas sesekali pegawai melakukan kesalahan. Pegawai yang bertanggung jawab tidak akan melempar kesalahan pada orang lain. Sikap pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya dalam menyikapi kesalahan yaitu bersedia mengakui, memperbaiki, dan siap menerima sanksi yang ada.
Dalam melaksanakan tugas yang ada terdapat sarana untuk menunjang pekerjaan pegawai. Penggunaan dan pemeliharaan sarana tersebut juga membutuhkan tanggung jawab dari pegawai. Pegawai dalam menggunakan sarana yang ada telah disesuaikan dengan tupoksi masing-masing. Meskipun telah disediakan anggaran pemeliharaan dari kantor tetapi pegawai tetap ikut menjaga dengan memakai seperlunya dan memperbaiki peralatan jika ada yang rusak agar pelayanan bisa tetap berjalan. Kedua, kompetensi pegawai. Kompetensi ini meliputi kemampuan teknis pegawai, kemampuan pegawai untuk mengatasi masalah yang muncul dan kemampuan untuk bekerja sama. Pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya memiliki kemampuan untuk cermat dan teliti sesuai dengan pekerjaan yang kebanyakan dilakukan di Dispenduk Capil Kota Surabaya, yaitu menulis. Pegawai juga memiliki kesabaran, keramahan, penguasaan masalah agar dapat memberikan penjelasan yang baik, benar, dan detail dalam melayani masyarakat. Dalam melaksanakan tugas tersebut terkadang terdapat masalah yang muncul. Untuk menyelesaikan masalah yang ada pegawai berkoordinasi dengan atasan apabila pegawai tidak mampu menyelesaikan maka atasan lah yang akan langsung turun menangani masalah yang ada. Sementara itu, kemampuan pegawai untuk bekerja sama dalam melaksanakan tugas dilakukan dengan baik. Ketiga, responsivitas pegawai. Responsivitas pegawai terlihat pada sikap pegawai terhadap masyarakat yang dilayani dan sikap pegawai terhadap keluhan yang ada. Dalam melayani masyarakat pegawai menunjukkan sikap yang ramah, bertutur kata yang baik, menunjukkan rasa empati dengan memberikan penjelasan yang baik, benar, dan mudah dipahami oleh masyarakat. Jika terdapat keluhan dari masyarakat pegawai mendengarkan dan merekam apa yang menjadi keluhan. Kemudian masyarakat yang mengeluh akan diberikan penjelasan yang tidak menyinggung mereka dan merendahkan dinas. Apa yang menjadi keluhan akan diperbaiki sampai pemohon merasa puas dan keluhan tersebut akan dijadikan sebagai referensi diwaktu mendatang. Keempat, kejujuran pegawai. Kejujuran pegawai dalam pelayanan ditunjukkan dengan tetap dipegang teguhnya peraturan yang ada. Sesuai dengan teori bahwa kejujuran pegawai dilihat dari seberapa tepat yang diungkapkan oleh pegawai dengan yang sebenarnya. Kejujuran pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya dalam pelayanan ditunjukkan dengan tetap dipegang teguhnya peraturan yang ada. Persyaratan untuk mengurus sebuah berkas harus dipenuhi sesuai dengan peraturan yang ada. Pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya tidak bersedia menerima uang suap maupun hadiah dari seseorang untuk mempermudah urusan orang tresebut.
45
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
2.
Faktor-Faktor yang Mendorong Perilaku Kerja Pegawai Dispenduk Capil Kota Surabaya dalam perspektif Administrative Responsibility Faktor-faktor yang mendorong munculnya perilaku kerja pegawai berdasarkan administrative responsibility terbagi menjadi dua: faktor internal yaitu: Pertama, usaha pegawai untuk menjaga integritasnya. Kedua, adanya kesadaran pegawai akan tugas dan fungsinya. Ketiga, mindset pegawai untuk melayani. Faktor eksternal yaitu: Pertama, kesejahteraan pegawai yang telah diperhatikan dengan baik. Kedua, peraturan dan sanksi. Untuk dapat bertanggung jawab, pegawai sebagai aparatur memiliki peraturan yang harus dipatuhi. Ketiga, peran pemimpin. Sebagai bagian dari tim, pemimpin mempunyai peran penting yaitu sebagai contoh dan panutan bagi pegawai dalam berperilaku berdasarkan administrative responsibility. Daftar Pustaka Alexander, Jennifer. 1997. Avoiding the Issue: Racism and Administrative Responsibility in Public Administration. The American Review of public administration, 27 (4): 343-361 Berkley, George., and Rouse, John. 2009. The Craft of Public Administration, Tenth Edition. New York: McGraw-Hill Cooper, Terry L. 2006. The Responsible Administrator, An Approach to Ethics for The Administrative Role, Fifth Edition. USA: Jossey-Bass Dotson, A., 1957. Fundamental Approaches To Administrative Responsibility. Political Research Quarterly, 10 (701) Dwiyanto, Agus (ed.). 2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Dwiyanto, Agus. 2008. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Ilmu dan Teori. Yogyakarta: Gava Media Kumorotomo, Wahyudi. 2011. Etika Administrasi Negara, Edisi I cetakan ke-10. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Mangkunegara, Anwar Prabu. 2010. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: Refika Aditama Moeheriono. 2009. Pengukuran Kinerja Berbasis Kompetensi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia Nawawi, Ismail. 2009. Perilaku Administrasi, Kajian Paradigma, Konsep, Teori dan Pengantar Praktik. Surabaya: ITS Press Pasolong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik, cetakan kedua. Bandung: Alfabeta, CV Shafritz, Jay M. 2007. Introducing Public Administration, Fifth Edition. New York: Pearson Education, Inc Simon, Herbert A. 2007. Administrative Behavior. Perilaku Administrasi, Suatu Studi tentang 46
Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi. Diterjemahkan oleh St. Anjung Edisi ke-3. Jakarta: Sinar Grafika Widodo, Joko. 2011. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Malang: Bayumedia Publishing Internet : http://dispendukcapil.surabaya.go.id/index.php, diakses tanggal 25 Oktober 2011 http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2206920_19787103.pdf, tanggal 11 November 2011 http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4307160169.pdf diakses pada tanggal 11 November 2011 http://www.bisnis.com/articles/surabaya-jadi-kotaterbaik-dalam-pelayanan-publik, diakses tanggal 15 Oktober 2011 http://www.harianbhirawa.co.id/utama/3737-layananbpn-dispenduk-dan-dinas-perizinan-banyakdikeluhkan-, diakses tanggal 19 Oktober 2011 http://www.ombudsman.go.id/Website/archieve/Tahun an/1/id, diakses tanggal 19 April 2011
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
47