RINGKASAN EKSEKUTIF
RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Berbagai bahan rumusan dan advokasi arah kebijakan pertanian disusun dalam rangka memberikan pertimbangan dan rekomendasi kebijakan pembangunan pertanian bagi pemangku kepentingan/stakeholders, khususnya untuk Menteri Pertanian dan Ditjen lingkup Departemen Pertanian. Rumusan, bahan pertimbangan dan advokasi kebijakan pertanian yang disampaikan pada tahun 2008 mencakup topik sebagai berikut: a) Masukan Untuk Perbaikan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Tahun 2009 (Aspek Teknis, Manajemen dan Regulasi), b) Analisis Dampak Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Untuk Gabah dan Beras, c) Model dan Strategi Pengembangan Pertanian Masa Depan : Perspektif Sosial Budaya dan Kelembagaan, d) Kebijakan Makro Pembangunan Pertanian, e) Memperbandingkan Dampak Penurunan Tarif Jeruk di Indonesia dan Pengenaan Tarif Impor Minyak Sawit Negara Pengimpor/Pakistan, dan f) Tanggapan Atas Surat Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan. Permasalahan langka pasok dan lonjak harga serta distribusi pupuk bersubsidi yang kurang tepat sasaran terus terjadi dan berulang setiap tahun. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan penyaluran dan pengawasan pupuk bersubsidi, baik dari aspek regulasi, manajemen hingga aspek teknis di lapangan. Hasil kajian Masukan Untuk Perbaikan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Tahun 2009 (Aspek Teknis, Manajemen dan Regulasi) memberikan rekomendasi kebijakan untuk jangka pendek tahun 2009 dan jangka menengah. Rekomendasi jangka pendek tahun 2009 adalah : a) penguatan institusi dalam rangka implementasi sistem penyaluran pupuk secara tertutup, b) sosialisasi sistem penyaluran pupuk bersubsidi secara tertutup ke semua stakeholder terkait, termasuk aparat pemerintah pusat dan daerah, c) sosialisasi sistem pemupukan berimbang spesifik lokasi dan pemanfaatan pupuk organik untuk komplementer pupuk anorganik melalui pelatihan dan pilot proyek, d) pengembangan pupuk organik insitu, dan e) peningkatan peran pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung kelancaran penyaluran pupuk. Sedangkan rekomendasi jangka pendek antara lain: a) penyempurnaan sistem distribusi tertutup, b) peningkatan efisiensi penggunaan pupuk anorganik melalui penerapan iptek pupuk dan pengembangan pupuk organik in-situ, c) reposisi kios penyalur pupuk di lini IV diperlukan koordinasi antar Departemen Perdagangan dan Departemen Pertanian, d) pengurangan subsidi pupuk secara gradual dengan pemberlakuan skala prioritas menurut komoditas sehingga pada tahun 2015 subsidi pupuk tidak ada lagi, e) menjamin ketersediaan pupuk dengan penguatan industri pupuk, f) pemerintah perlu menaikkan HET pupuk untuk memaksimalkan volume pupuk bersubsidi sehingga terjadi keadilan sesama petani, dan g) berdasarkan hasil analisis sistem usahatani, kenaikan HET pupuk tidak banyak berpengaruh terhadap keuntungan usahatani padi. Tujuan penetapan HPP gabah dan beras adalah memberikan perlindungan kepada petani padi agar memperoleh pendapatan usahatani yang layak. Dengan produktivitas gabah rata-rata 5,56 ton/ha GKP dan memperhitungkan kondisi MT. 2008, maka dengan HPP Rp 2.200,-/kg GKP petani memperoleh keuntungan Rp 4,87 juta/ha atau 66,2 persen dari biaya produksi. Pada kenyataannya, harga gabah di tingkat petani jauh lebih tinggi dari HPP sehingga tingkat keuntungan petani juga lebih tinggi. Dengan demikian, kebijakan perberasan yang selama ini dilaksanakan telah cukup efektif. Namun demikian ada beberapa justifikasi yang dapat mendukung perlunya penyesuaian HPP gabah dari tingkat yang berlaku saat ini, yaitu: a) harga beras domestik saat ini lebih rendah dari harga di pasar dunia, b) harga gabah aktual lebih tinggi dari HPP sehingga dapat menyulitkan BULOG dalam membeli gabah dari petani,dan c) harga-harga komoditas lain naik lebih tinggi sehingga dapat mengurangi minat petani untuk menanam padi. Di sisi lain, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan yakni, a) kenaikan HPP gabah dan beras dikhawatirkan akan meningkatkan anggaran rumahtangga (terutama rumahtangga miskin, termasuk petani padi) untuk membeli beras, b) peningkatan nilai pengeluaran berdampak langsung pada jumlah penduduk miskin, dan c) mengingat pangsa pengeluaran rumahtangga untuk beras masih relatif tinggi maka peningkatan harga beras dikhawatirkan mendorong peningkatan inflasi. Untuk itu, diusulkan dua kebijakan yakni: 1) Dengan harga GKP saat ini,
1
usahatani padi sudah memperoleh pendapatan yang layak. Namun mengingat perkembangan harga dan perbandingannya dengan harga di pasar internasional maka harga gabah perlu disesuaikan. Untuk menghindari dampak spiralnya terhadap inflasi dan aspek makro lainnya, maka diusulkan kenaikan berkisar 10 – 15 persen dari HPP gabah yang berlaku (INPRES 1/2008). HPP yang baru sebaiknya ditetapkan efektif bulan Januari 2009 sehingga pada musim panen raya petani dapat memperoleh harga yang lebih tinggi, dan 2) Selain instrumen HPP gabah, peningkatan pendapatan petani dapat dilakukan melalui kebijakan yang berdampak pada penurunan biaya produksi (subsidi pupuk, benih, kredit) dan meningkatkan fasilitasi non harga (irigasi, infrastruktur lainnya, bantuan alat pasca panen, dan lain-lain). Untuk meningkatkan nilai tambah usahatani padi, petani perlu didorong menjual hasil dalam bentuk beras. Sehubungan dengan itu, Deptan perlu memfasilitasi Gapoktan/Poktan untuk mengembangkan usaha penggilingan padi mini yang mudah diakses petani. Salah satu kelemahan pendekatan pembangunan pertanian adalah kurangnya kesinambungan (sustainability) program untuk meningkatkan kinerja sektoral. Kondisi tersebut mempengaruhi arah dan tingkat pemanfaatan sumber daya yang ada di wilayah pembangunan sektor, termasuk sumber daya pertanian berikut sumber daya kelembagaan pertanian. Perkembangan kegiatan pertanian dalam dekade terakhir lebih mengarah pada penggunaan teknologi regeneratif dan pelestarian lingkungan. Visi pertanian masa depan mengandung beberapa kata kunci yang dapat diramu menjadi suatu konsep terapan, yakni industrial, integrasi, berkelanjutan, luasan lahan dan efisiensi. Sesuai dengan kondisi yang ada, maka pertanian lahan terbatas, terintegrasi dan berkelanjutan merupakan alternatif terbaik bagi pengembangan model pertanian masa depan di Indonesia. Namun demikian masalah dan tantangan pertanian lahan sempit perlu dicermati lebih lanjut. Saat ini kegiatan usahatani lahan sempit sebagai suatu way of life dihadapkan pada kondisi persaingan tekno-ekonomi yang berat. Nilai-nilai sosial yang terkait dengan kegiatan bertani telah bergeser ke arah kegiatan yang dinilai dengan ukuran finansial. Perubahan paradigma dan strategi pengelompokan berdampak pada sikap petani pengguna input dan teknologi pertanian secara menyeluruh. Di sisi lain, usahatani lahan sempit telah menunjukkan kemampuan bertahan yang tinggi berkat kelenturannya untuk beradaptasi terhadap perubahan teknis, ekonomis dan ekologis. Namun demikian usahatani lahan sempit juga tidak akan mampu berevolusi bila bertahan pada komoditas tradisional untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga. Untuk itu usahatani lahan sempit harus mampu mengadopsi teknologi terapan berupa teknik budidaya terintegrasi, multi komoditas dan berorientasi pasar. Ke depan, konsep pertanian lahan sempit perlu dikembangkan menjadi pertanian lahan terbatas, terintegrasi dan berkelanjutan dengan menerapkan secara konsisten tuntutan-tuntutan teknis, ekonomi dan sosio-kultural terkait pembangungan pertanian industrial. Paradigma survival agriculture diubah menjadi industrial agriculture on limited land dengan mempertimbangkan berbagai elemen pendukung pembangunan pertanian lahan terbatas. Pengalaman dari negara maju menunjukkan bahwa tahapan pembangunan berkelanjutan yang digerakkan oleh sektor industri berbasis ilmu dan teknologi modern perlu didahului dengan percepatan pembangunan pertanian yang handal dan pesat. Pertanian menjadi sektor yang sangat penting bagi perekonomian nasional. Sebagai sektor andalah, sektor pertanian mempunyai peran langsung dan tidak langsung dalam perekonomian nasional. Peranan langsung sektor pertanian adalah melalui pembentukan PDB, penyediaan sumber devisa melalui ekspor, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan perbaikan pendapatan masyarakat. Peranan tidak langsung adalah melalui efek pengganda (multiplier effect) berupa keterkaitan input-output antar industri, konsumsi dan investasi. Pencapaian indikator makro ekonomi pembangunan pertanian dapat dilihat dari berbagai aspek, yakni hingga triwulan II tahun 2006 PDB sektor pertanian tidak hanya sekedar mengalami pertumbuhan namun laju pertumbuhannya juga bertambah besar. PDB sektor pertanian 62 persen berasal dari tanaman pangan, 21 persen dari perkebunan dan 17 persen dari peternakan. Penentu utama PDB pertanian adalah produksi padi. Disisi lain, sektor pertanian dianggap cukup kondusif dari segi kelayakan untuk berinvestasi. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan persetujuan investasi sektor pertanian (PMDN dan PMA) selama periode 2004 dan 2005 masing-masing 126 persen dan 122 persen. Sementara itu pada periode waktu yang sama, penyerapan tenaga kerja juga terjadi peningkatan jumlah yang bekerja di sektor pertanian sebesar 2,97 persen sehingga pangsa serapan tenaga kerja di sektor pertanian meningkat dari 43,33 persen pada tahun 2004 menjadi
2
44,04 persen tahun 2005. Nilai ekspor komoditas pertanian juga tumbuh sebesar 17,16 persen dan neraca perdagangan tumbuh sekitar 32,7 persen pada periode tersebut. Selanjutnya, NTP dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani yang merupakan resultante dari kebijakan antar sektor yang terkait dengan pembangunan pedesaan. Pada bulan Juni 2006, NTP telah berada pada 102,4. Untuk meningkatkan NTP maka Pemerintah mengupayakan agar peningkatan indeks yang dibayar petani tidak terlalu progresif. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan pangan untuk menopang percepatan pertumbuhan ekonomi dan mendorong investasi pertanian dilakukan melalui: a) kebijakan pengembangan pangan, yakni target swasembada lima komoditas pertanian strategis (padi, jagung, kedelai, gula dan sapi potong), b) kebijakan pembangunan subsektor peternakan, dan c) kebijakan untuk mendorong investasi pertanian. Hasil kajian tentang Memperbandingkan Dampak Penurunan Tarif Jeruk di Indonesia dan Pengenaan Tarif Impor Minyak Sawit Negara Pengimpor/Pakistan menghasilkan tiga (3) point penting rumusan kebijakan, yakni: a) Penurunan tarif akan semakin memperlebar kesenjangan keuntungan konsumen dengan kerugian petani pada tingkat elastisitas harga permintaan dan penawaran tertentu. Jadi penurunan tarif yang lebih besar akan berpotensi menekan produksi jeruk di dalam negeri dan pada saat yang sama menghisap devisa untuk pengadaan impor, b) Penggunaan devisa hendaknya ditujukan pada barang modal dan bukan barang konsumsi, seperti jeruk. Oleh karena itu dalam upaya menilai layak tidaknya tarif yang sekarang dipertahankan atau tidak, indikator penggunaan devisa juga sebaiknya menjadi pertimbangan, dan c) Dengan berbagai pertimbangan sosiologis, ekonomis dan politis untuk melindungi petani jeruk dan industri pengolahan minyak nabati dalam negeri, maka pengenaan tarif pada saat ini dapat menjadi suatu pilihan yang dapat dipertimbangkan untuk menekan derasnya tekanan impor. Sebelum tarif diturunkan perlu dipertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap aset dan agroekosistem wilayah karena agribisnis jeruk merupakan suatu proses yang mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung di wilayah tempat tumbuhnya. Tanggapan atas surat Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan No. 30064/TU.220/F1/04/2008 menguraikan konsepsi tentang perlindungan harga, bahwa perlu tidaknya pemerintah menerbitkan kebijakan pengendalian harga sangat tergantung pada situasi ekonomi dalam negeri dan pasar dunia. Berkaitan dengan usulan DPR untuk melakukan perubahan salah satu pasal RUU Peternakan, yakni ditambahkan kata ”perlindungan harga dan produk hewan dari luar negeri” maka diuraikan dua opsi, yakni : 1) Opsi perubahan tidak perlu dilakukan, namun cukup dengan menggunakan peraturan perundangan yang lebih rendah (Perpres, Permen, dan lain-lain). Kebijakan harga bersifat temporer, jika perlindungan harga dicantumkan dalam UU maka akan sulit melakukan perubahan, dan 2) Opsi jika perubahan tetap dilakukan, maka pemerintah perlu mempersiapkan diri dalam menetapkan instrumen kebijakan seperti: (a) apakah semua jenis produk ternak perlu mendapat perlindungan? Untuk kondisi saat ini, produksi ternak yang perlu mendapat perlindungan adalah daging sapi, daging ayam, susu, telur, jeroan dan doc, (b) persiapan penetapan instrumen kebijakan yang akan dilaksanakan, misalnya kebijakan larangan impor atau kebijakan tarif atau non tarif. Semua kebijakan ini tidak membutuhkan biaya pemerintah, dan (c) jika perlindungan harga dicantumkan dalam UU berarti pemerintah mempunyai kewajiban untuk melakukan perlindungan, konsekuensinya anggaran pemerintah yang dibutuhkan relatif besar. Oleh karena itu dalam UU cukup kata-kata melindungi dengan tidak mencantumkan bentuk perlindungannya, seperti perlindungan harga. Secara rinci bentuk perlindungannya dapat diterbitkan dalam Perpres, dan lain-lain. Lebih lanjut tanggapan tentang penghapusan kata perusahaan peternakan direkomendasikan untuk melihat pasal sebelumnya, yakni apa yang dimaksud dengan ”usaha peternakan, perusahaan peternakan, usaha bidang peternakan”, dan sebagainya. Penghapusan kata ”perusahaan peternakan” berarti bahwa perlindungan harga hanya diberikan kepada usaha rakyat dan usaha bidang peternakan. Pertanyaannya adalah apa dan siapakah yang dimaksud dengan usaha bidang peternakan? Penghapusan kata ”perusahaan peternakan” juga harus melihat pendefinisian apakah ”perusahaan peternakan” setara dengan kata ”usaha peternakan” dan ”usaha bidang peternakan”. Pemerintah perlu melihat dengan baik, siapa saja yang membutuhkan perlindungan harga tersebut.
3
KAJIAN ISSU KEBIJAKAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN 1. Berbagai topik yang berhubungan dengan issu aktual aspek sosial ekonomi pertanian menjadi pokok bahasan dalam kajian analisis kebijakan dan kinerja pembangunan pertanian. Topik yang dibahas yakni : a) Rancangan Model Subsidi Terpadu Sektor Pertanian: Melalui Instrumen Kartu Kendali (Smart Card), b) Evaluasi Kebijakan Sistem Subsidi dan Efektifitas HET Pupuk di Tingkat Petani, c) Simulasi Dampak Penyesuaian HET Pupuk Terhadap Penggunaan Pupuk dan Laba Usahatani Padi, Jagung dan Kedele serta Perkiraan Subsidi Pupuk Tahun 2009, d) Dampak Kebijakan Kenaikan Harga BBM Terhadap Harga Input Produksi dan Laba Usahatani, e) Perkiraan Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Pajak Ekspor Jagung, f) Kebijakan Antisipatif Ketidakstabilan Harga Crude Palm Oil (CPO), g) Kebijakan Antisipatif Terhadap Kelangkaan Produksi Daging (Sapi dan Ayam) Melalui Peningkatan Suplai Dalam Negeri, dan h) Alternatif Kebijakan Menghadapi Kelangkaan Produksi Daging Sapi dan Ayam (Summary Brief) beserta Rumusan Final Perspektif Impor Daging Sapi Dari Brazil. 2. Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan oleh pemerintah dengan cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Di Indonesia, subsidi pertanian hanya berupa subsidi harga input usahatani, yaitu subsidi pupuk, benih dan bunga kredit. Pada kajian Rancangan Model Subsidi Terpadu Sektor Pertanian: Melalui Instrumen Kartu Kendali (Smart Card) diuraikan maksud dan kelebihan subsidi terpadu, antara lain: a) tepat sasaran, kebocoran karena disparitas harga dapat ditekan, b) menggerakkan secara sinergis kemampuan petani dengan kemampuan pemerintah sehingga subsidi yang diberikan bisa lebih rendah, c) mampu mengatasi faktor pembatas produksi, d) menghindari subsidi ganda, e) mencegah over intensification, dan f) mendorong profesionalisme produsen saprodi. Di sisi lain, kelemahan mekanisme subsidi terpadu adalah pengadministrasian perlu lebih cermat sehinga perlu persiapan matang dan diaplikasikan secara bertahap. Mekanisme penyaluran pupuk dilakukan dengan pola kartu kendali (smart card) dan diusulkan uji coba penyaluran pupuk pola tertutup dilakukan melalui kartu kendali dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut: a) tahun 2009 : dilakukan terhadap 30 persen petani prioritas tanaman pangan, b) tahun 2010 : dilakukan terhadap 80 persen petani prioritas tanaman pangan + tambahan petani pada sub sektor hortikultura, dan c) tahun 2011 : dilakukan terhadap 100 persen petani prioritas tanaman pangan + tambahan petani pada sub sektor lainnya, seperti peternakan dan perkebunan. Diungkapkan pula kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan mekanisme subsidi pupuk pola tertutup, antara lain: petugas kios dan petani/kelompok tani ada yang belum memahami secara baik pemanfaatan peralatan teknologi tinggi tersebut, koordinasi dan informasi antar instansi terkait belum lancar, terjadi permasalahan pada GPRS yang sinyalnya kurang kuat sehingga dapat menghambat transaksi secara on line, serta kurang lancarnya ketersediaan pupuk bersubsidi di kios setiap saat. 3. Kebijakan subsidi pupuk merupakan pilihan kebijakan yang di satu sisi membutuhkan dukungan pembiayaan cukup besar yang harus dipikul oleh negara, namun di sisi lain selain menghasilkan manfaat positif tetapi juga dampak negatif, yaitu dapat mendistorsi pasar sehingga menimbulkan misalokasi sumberdaya ekonomi. Namun demikian, manfaat yang dapat dinilai lebih besar yakni dampak sosial politik, khususnya dalam pemantapan ketahanan pangan, pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pemantapan stabilitas sosial politik. Sistem distribusi pupuk yang berlaku saat ini dinilai masih mengandung kelemahan, antara lain: peraturan yang masih mengandung kelemahan dengan tidak dilengkapi sistem akuntabilitas yang mandiri, moral hazard, HET yang berlaku kurang realistik, disparitas harga domestik dan harga internasional, keterbatasan anggaran belanja pemerintah serta sistem distribusi pupuk yang bersifat pasif dan semi-tertutup. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap sistem distribusi pupuk bersubsidi maka diperoleh dua kesimpulan, yakni : a) sistem distribusi pupuk bersubsidi perlu diubah dari sistem distribusi yang bersifat pasif dan tidak lengkap ke sistem distribusi yang bersifat aktif dan lengkap, serta b) intensitas penggunaan pupuk pada usahatani padi sudah jauh di atas ambang titik maksimal, sehingga perlu dilakukan penurunan melalui penyuluhan intensif tentang dosis pupuk yang dianjurkan. Untuk itu diusulkan tiga rekomendasi kebijakan, yakni : (1) penyebab utama tidak efektifnya HET pupuk selama ini karena
4
ketersediaan pupuk bersubsidi lebih rendah dari volume pupuk yang dibutuhkan petani. Selain itu HET yang berlaku saat ini tidak realistik lagi. Untuk itu persentase kenaikan HET pupuk harus mempertimbangkan batas kesanggupan petani untuk menebusnya. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa HET keempat jenis pupuk (Urea, Superphos, ZA dan NPK) paling tinggi 12,13 persen, (2) Ke depan, pemerintah perlu mengganti sistem distribusi pupuk yang berlaku saat ini ke sistem distribusi pupuk yang bersifat aktif dan lengkap, serta (3) perbandingan HPP gabah dan HET pupuk perlu dipertahankan pada level yang mendukung pengembangan usahatani. 4. Kajian issu kebijakan lainnya tentang pupuk bersubsidi adalah Simulasi Dampak Penyesuaian HET Pupuk Terhadap Penggunaan Pupuk dan Laba Usahatani Padi, Jagung dan Kedele serta Perkiraan Subsidi Pupuk Tahun 2009. Keluaran yang dihasilkan dari kajian ini adalah empat implikasi kebijakan, yakni : (1) subsidi harga pupuk, khususnya urea, relatif tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas penggunaan urea, namun hal yang sebaliknya untuk pupuk SP-36. Insentif dukungan harga gabah lebih efektif daripada subsidi harga pupuk dalam mempengaruhi penggunaan pupuk, (2) intensitas penggunaan pupuk pada usahatani padi sudah jauh di atas ambang titik maksimal sehingga yang perlu dilakukan adalah menurunkannya. Dalam kondisi demikian pemberian subsidi pupuk perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berpengaruh negatif terhadap produksi gabah nasional, (3) petani Indonesia telah ’pupuk minded’ sehingga pilihan kebijakan yang dipandang efektif adalah menjamin pasokan pupuk dan harga gabah yang cukup memadai di tingkat petani. Pengurangan subsidi pupuk secara bertahap melalui peningkatan harga pupuk, serta (4) perbandingan HPP gabah dan HET pupuk perlu dipertahankan pada level yang mendukung pengembangan usahatani. Dengan demikian fenomena over-intensifikasi penggunaan pupuk dapat diperlambat dan penumpukan beban anggaran subsidi pupuk dapat dikurangi. 5. Dalam rangka mengurangi beban subsidi, pemerintah secara periodik melakukan penyesuaian harga BBM agar mendekati harga keseimbangannya. Dampak perubahan harga BBM terhadap usaha pertanian dapat ditelusuri melalui tiga alur transmisi, yakni : a) secara langsung melalui perubahan harga BBM yang digunakan langsung pada usaha pertanian, b) dampak tidak langsung melalui perubahan harga faktor-faktor produksi usahatani, seperti harga pupuk, pestisida, upah sewa alsintan, harga bibit dan upah tenaga kerja, serta c) dampak tidak langsung melalui perubahan harga jual hasil usaha pertanian. Hasil kajian Dampak Kebijakan Kenaikan Harga BBM Terhadap Harga Input Produksi dan Laba Usahatani menunjukkan kesimpulan sebagai berikut: a) kenaikan harga BBM, utamanya solar menyebabkan terjadinya kenaikan biaya operasional usaha jasa traktor sebesar 44 persen. Untuk mempertahankan kelayakan usaha, pengusaha jasa alsintan menaikkan sewa alsintan sebesar 11,76 persen, b) kebijakan perberasan yang dilaksanakan selama ini telah cukup efektif memberikan jaminan keuntungan kepada petani. Dengan demikian peningkatan harga gabah mampu menjadi faktor penyangga keuntungan usahatani sehingga secara umum peningkatan biaya usahatani yang disebabkan kenaikan harga BBM mampu diimbangi oleh peningkatan penerimaan usahatani, serta c) mengingat beban peningkatan biaya operasional hampir seluruhnya dibebankan kepada petani maka peningkatan harga gabah menjadi prioritas utama kebijakan untuk mengimbangi dampak atas kenaikan harga BBM. 6. Kebijakan tarif pada umumnya bertujuan mengamankan harga dalam negeri, melindungi pendapatan petani dan meningkatkan produksi. Sementara kebijakan pajak ekspor bertujuan melindungi stok dalam negeri sehingga kebutuhan dan pendapatan industri yang membutuhkan jagung dapat diamankan. Kajian Perkiraan Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Pajak Ekspor Jagung menguraikan dampak pembebasan tarif jagung bagi pemerintah, pabrik pakan dan dampak terhadap pendapatan peternak. Beberapa pertimbangan bagi pemerintah untuk membebaskan tarif jagung antara lain: a) saat ini dan ke depan harga jagung dunia akan lebih tinggi 25 persen dibandingkan harga jagung lokal sehingga penerapan tarif impor jagung untuk melindungi harga dan produksi jagung dalam negeri tidak diperlukan lagi, b) kebijakan penerapan tarif impor jagung 5 persen hanya menjadi beban bagi peternak, c) peningkatan produksi jagung dalam negeri telah menyebabkan impor jagung oleh industri peternakan terus menurun, dan d) margin harga jagung dunia terhadap jagung lokal relatif besar dan dapat mendorong pedagang mengekspor jagung. Jika pembebasan tarif impor jagung 5 persen mulai diberlakukan tahun 2009 diduga akan menyebabkan perubahan kenaikan surplus konsumen
5
Rp 2231 milyar, penurunan surplus produsen Rp 2125 milyar, penurunan penerimaan pemerintah Rp 48,3 milyar dan surplus netto Rp 58,3 milyar. Di sisi lain dipaparkan pula dampak kebijakan penerapan pajak ekspor jagung terhadap kenaikan harga jagung sebagai berikut: a) produsen jagung pada daerah terisolir dari sentra produksi pakan menyebabkan pedagang jagung enggan untuk melakukan ekspor sementara biaya transportasi relatif mahal, akibatnya merugikan petani dan produksi jagung di wilayah tersebut menurun, b) produsen jagung pada daerah sentra produksi pakan seperti di Jawa tidak akan mengalami dampak buruk, sementara kegiatan ekspor dapat ditahan atau dikurangi, dan c) dalam kasus monopsoni atau oligopsoni pembelian jagung dapat menyebabkan harga jagung di tingkat petani turun dan selanjutnya menurunkan pendapatan petani. 7. Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Penerapan pajak ekspor pada CPO dan produk turunannya mengandung konsekuensi yang menguntungkan dan merugikan. Secara potensial, pihak yang diuntungkan dari penerapan pajak ekspor adalah pembeli dalam negeri (industri hilir minyak sawit), pemerintah dan pesaing ekspor Indonesia untuk produk-produk tersebut. Sedangkan pihak yang dirugikan dari penerapan pajak ekspor adalah produsen kelapa sawit dan CPO nasional, pembeli (importir) CPO dan produk turunannya di luar negeri, penyedia jasa di pelabuhan dan pemasok input perkebunan kelapa sawit serta negara. Fenomena harga CPO di pasar internasional yang sangat rentan dengan distorsi menyebabkan stakeholders harus bersinergi untuk mengantisipasinya. Strategi antisipatif tersebut harus memuaskan semua pihak, yakni Pertama, perlu dilakukan peninjauan kembali ketentuan besaran tarif pajak ekspor yang berlaku dengan tujuan untuk lebih melindungi petani. Kedua, PNBP dari pajak ekspor CPO agar dapat digunakan untuk kegiatan tertentu, meliputi penelitian dan pengembangan teknologi, pengadaan sarana produksi, pendidikan dan pelatihan, pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu dan pelestarian sumberdaya alam. Ketiga, berdasarkan perhitungan profit-loss analisis maka terdapat PNBP dari pajak ekspor CPO sekitar Rp 6,13 trilyun per tahun. Jika dana ini belum digunakan untuk point kedua di atas, maka diusulkan untuk digunakan sebagai dana talangan (penyangga, seperti halnya untuk komoditas tebu/gula) harga TBS di tingkat petani sehingga petani mendapat dukungan moral dan insentif untuk berproduksi. Keempat, pemerintah harus mampu menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap USD karena distorsi nilai tukar rupiah merupakan faktor penentu yang penting. 8. Isu sentral yang dihadapi oleh Indonesia pada aspek produksi pangan hewani berkisar pada pertumbuhan daging dalam negeri yang relatif lambat. Secara spesifik, jenis produk hewani yang perlu mendapat perhatian karena perannya dalam konsumsi dan terkait dengan perilaku harga adalah daging sapi dan daging ayam broiler. Ketidakseimbangan produksi dan permintaan berdampak terhadap kenaikan harga kedua jenis daging tersebut. Untuk itu dalam studi tentang Kebijakan Antisipatif Terhadap Kelangkaan Produksi Daging (Sapi dan Ayam) Melalui Peningkatan Suplai Dalam Negeri bertujuan untuk : a) menganalisis produksi daging sapi dan ayam, b) menganalisis perilaku harga daging sapi dan daging ayam broiler, dan c) memformulasikan beberapa kebijakan antisipatif sehubungan dengan peningkatan produksi ternak. Berdasarkan hasil analisis diungkapkan bahwa saat ini struktur produksi daging dunia maupun Indonesia didominasi oleh daging unggas. Ke depan, dengan semakin terbatasnya sumberdaya lahan maka pengembangan unggas potensial untuk lebih diperhatikan. Terlihat pula bahwa telah terjadi kelangkaan populasi ternak sapi lokal yang sangat mengkhawatirkan menuju kepunahan. Pada daerah sentra konsumsi, peran sapi dan daging impor untuk memenuhi permintaan konsumen semakin meningkat. Kenaikan harga daging sapi lokal yang berkembang irasional telah mendorong percepatan pengurasan ternak sapi lokal. Kondisi ini mengakibatkan sebagian konsumen beralih mengkonsumsi daging ayam dan telur. Di sisi lain, kelangkaan bahan baku kedelai, jagung dan tepung ikan dunia telah meningkatkan harga daging ayam yang dapat menekan permintaan terhadap daging ayam. Laju peningkatan tersebut lebih besar dari laju peningkatan harga daging sapi. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut akan mengganggu ketahanan pangan nasional karena sebagian konsumen yang beralih mengkonsumsi daging ayam akan mengurangi konsumsi daging ayam dan bahkan beralih ke makanan yang relatif lebih inferior. Untuk itu disampaikan rekomendasi kebijakan dalam jangka pendek dan panjang. Jangka pendek : a) meningkatkan impor sapi bakalan dan daging sehingga harga daging sapi lokal dapat dikoreksi, b) kebijakan pembangunan peternakan
6
harus diarahkan pada pembenahan kembali (restrukturisasi) populasi ternak sapi dan kerbau, khususnya pada daerah padat populasi sapi, dan c) meningkatkan produksi jagung, kedelai dan tepung ikan dalam negeri sehingga harga daging ayam broiler dapat ditekan dan konsumsi daging ayam meningkat. Peningkatan konsumsi daging ayam akan mengurangi tekanan permintaan terhadap daging sapi. Jangka panjang: a) pembinaan dan pengembangan ayam buras, itik pedaging lokal dan unggas lainnya mencakup pembibitan, pemeliharaan dan teknologi pakan berbasis sumberdaya lokal, b) pemberian skim kredit pada peternak sapi yang kegiatannya menghasilkan sapi bakalan dengan berat antara 300-500 kg. Skim kredit ini diutamakan untuk pengadaan pakan pada peternak dengan skala minimal 30 ekor, dan c) pembenahan kembali wilayah-wilayah sentra produksi sapi, kerbau dan kuda. 9. Kajian Kebijakan Antisipatif Terhadap Kelangkaan Produksi Daging Sapi dan Ayam Melalui Peningkatan Suplai Dalam Negeri dipaparkan dalam dua versi, yakni makalah utuh hasil kajian yang secara ringkas telah diuraikan pada nomor 22 di atas dan dalam bentuk summary brief yang menguraikan hasil singkat kajian tersebut untuk kebutuhan pengguna utama. Selain itu dilengkapi pula dengan diskusi ilmiah ”Perspektif Impor Daging Sapi dari Brazil” yang diselenggarakan di Bogor, 14 Oktober 2008 yang diselenggarakan oleh Puslitbang Peternakan bekerja sama dengan Balai Besar Penelitian Veteriner (B-balitvet) dan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). Secara ringkas, hasil diskusi disajikan sebagai berikut: a) masih diperlukan impor 30 persen dari kebutuhan nasional. Untuk itu impor merupakan salah satu strategi jangka pendek-menengah untuk mengurangi pengurasan sapi dalam negeri dan strategi ini digunakan untuk perencanaan jangka panjang dalam meningkatkan industri sapi potong dalam negeri menuju swasembada daging, b) Indonesia berpeluang untuk melakukan impor daging sapi dari Brazil dengan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) jika Indonesia telah lebih dahulu mengubah status importasi daging dari country base ke zone base. Dalam pelaksanaannya diperlukan pertimbangan faktor teknis, ekonomi dan sosial sesuai payung hukum yang berlaku, c) sistem penanganan kesehatan hewan di Brazil dinilai baik dan hal ini mengindikasikan bahwa tingkat biosecurity industri peternakan sapi sangat ketat, d) hasil analisis resiko oleh tim independen yang ditunjuk Ditjen Peternakan menunjukkan bahwa resiko impor daging sapi dari zona bebas PMK tanpa vaksinasi adalah amat sangat rendah (extremely low) dan dari zona bebas PMK dengan vaksinasi adalah sangat rendah (very low), e) masih terdapat opini yang bervariasi terhadap tingkat resiko tertular PMK sebagai akibat apabila Indonesia mengimpor daging sapi dari Brazil, f) perkembangan industri sapi potong menunjukkan kinerja yang baik dalam 10 tahun terakhir, g) kajian competitiveness dari segi harga sangat diperlukan, h) impor daging sapi dari Brazil hendaknya memperhatikan aspek sosial ekonomi sehingga dampak penurunan harga daging sapi di Indonesia dapat diminimalkan, i) perlu dilakukan kajian berapa harga terbaik daging sapi di Indonesia yang mendukung bagi peningkatan produksi agar petani memperoleh harga tukar terbaik, dan j) kebijakan impor daging sapi dari Brazil berdasarkan zona (zone base) dapat menjadi entry point untuk negara-negara produsen daging sapi lain yang juga menginginkan ekspor produknya ke Indonesia. Tindak lanjut yang direkomendasikan adalah Indonesia dapat mengimpor daging sapi dari Brazil berdasarkan zona base dengan mempertimbangkan berbagai aspek di atas.
7