58
Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian
Bahan Diskusi Rencana Tindak Lanjut Inpres Sub Sektor Tanaman Pangan. Pendahuluan Didalam meningkatkan peran sub sektor tanaman pangan terhadap kebijakan pembangunan pertanian, telah dirumuskan melalui kebijakan tanaman pangan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan. Peningkatan tersebut oleh Departemen Pertanian telah menetapkan proiritas pengembangan komoditas utama tanaman pangan yaitu: padi, jagung, kedelai, ubikayu, dan kacang tanah. Isu utama dalam pengembangan tanaman pangan umumnya terkendala oleh: menurunnya pertumbuhan produktivitas, meningkatnya alih fungsi lahan, gangguan OPT dan dampak anomali iklim, kehilangan hasil, lemahnya kelembagaan pertanian, kurangnya akses permodalan dan tidak stabilnya harga Untuk mengatasi permasalahan tesebut, langkah solutif meningkatkan produksi pangan komoditas utama dilakukan melalui kebijakan: (1) peningkatan produktivitas. Oleh karena itu untuk peningkatan dilakukan melalui penerapan pendekatan PTT (Pengembangan Pertanian Terpadu Tanaman-Ternak), penyediaan sarana produksi, perbaikan mutu lahan, percepatan alih fungsi percepatan alih teknologi (benih bermutu, pupuk bio hayati, PHT, Alsintan); (2) peningkatan luas tanam dan luas panen. Ditempuh melalui upaya peningkatan indek pertanaman (IP) penambahan bahan baku lahan dan pengamanan produksi; (3) Penanggulangan OPT dan dampak anomali iklim; (4) penguatan kelembagaan; (5) bantuan permodalan dan (6) regulasi dan tarifikasi dan pengaturan harga. Peran Komoditas Tanaman Pangan Padi Kondisi saat ini Sebagai komoditas ekonomi, padi diusahakan sekitar 18 juta petani dan menyumbang 70% terhadap Produk Domestik Bruto tanaman pangan, memberikan kesempatan kerja dan pendapatan 21 juta rumahtangga dengan sumbangan pendapatan 25-35%. Hingga sampai saat ini sekitar 90% produksi padi nasional dipasok dari lahan sawah irigasi yang sebagian telah terkonversi untuk berbagai keperluan di luar pertanian. Sementara lahan sawah tadah hujan, lahan kering, dan lahan pasang surut belum banyak berkotribusi dalam peningkatan produksi padi. Perkembangan produksi padi hingga tahun 2006, menurut Angka Ramalan (ARAM) II 2006, produksi padi mencapai 54.750.892 ton GKG. Apabila dibandingkan dengan ATAP 2005, berarti diperoleh kenaikan sebesar 599.796 ton GKG (1.11%). Hal ini terjadi karena naiknya luas panen sebesar 27.699 ha (0,23%) dan produktivitas naik sebesar 0, 40 ku/ha (0,87%). Dari total padi tersebut, setelah dikurangi kebutuhan gabah untuk bibit. Pakan, bahan baku industri dan tercecer sebesar 7,4%, serta penggunaan beras untuk non pangan sebesar 3, 33%, dengan jumlah penduduk lebih kurang 222,051 juta jiwa dan dengan asumsi perkapita sama dengan tahun 2005 (139,15 kg/th); maka suplus beras sebesar 110.030 ton.
Analisis Kebijakan
59
Kondisi yang diharapkan Data produksi padi nasional menunjukan bahwa sejak tahun 2004, telah mengalami surplus produksi. Oleh karena itu kebijakan pengembangan produksi padi periode 2006-2010 diarahkan untuk mempertahankan swasembada secara berkelanjutan. Untuk mendukung peningkatan produksi dan keberlanjutan swasembada, potensi lahan yang dapat dikembangkan untuk perluasan areal pertanaman padi adalah lahan sawah 13,26 juta ha, lahan rawa 5,94 juta ha dan lahan kering 25,33 juta ha. Khusus untuk lahan sawah perlu dipertimbangkan beberapa hal: (1) investasi mahal, (2) kelanggengan fungsi lahan yang baru dibuka; (3) ketersediaan tenaga kerja pertanian; (4) dampak lingkungan atau perubahan ekosistem, degradasi lingkungan dan (5) alternatif lain berupa peningkatan produktivitas dan indeks pertanaman (IP). Selain itu komponen yang mendukung upaya swasembada, seperti penerapan tenologi, terutama benih bermutu dan varietas unggul harus tersedia dan mudah dijangkau oleh petani hingga kepelosok perdesaan. Jumlah varietas unggul yang dilepas hingga tahun 2006, sebanyak 210 varietas unggul, meliputi 190 varietas non hibrida dan 20 hibrida. Didalam mendukung produksi benih, terutama Produksi Benih Sebar (BR) dan berlabel merah jambu (LMJ) padi, meningkat setiap tahunya. Pada tahun 2005 (data sementara) produksi benih padi mencapai 117.020,53 ton (kurang lebih 37% dari kebutuhan benih potensial). Penerapan pemupukan, terutama melalui rekomendasi lahan sawah yang berstatus P rendah, sedang dan tinggi dianjurkan adalah 100, 75 dan 50 kg (TSP/SP-36) per hektar per musim. Lahan sawah yang berstatus hara K rendah direkomendasikan untuk dipupuk 50 Kg KCl per hektar permusim. Sedangkan yang berstatus sedang dan tinggi tidak perlu dipupuk K tetapi jerami dikembalikan ke tanah sebagai sumber bahan organik. Penerapan teknologi, utamanya perbaikan kualitas lahan dapat diupayakan melalui penggunaan bahan organik yang dikombinasikan dengan efesiensi teknologi input (umur bibit, jumlah bibit/lubang, pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman, manajemen air dll) yang dikemas secara sinergis dalam model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Varietas unggul yang dikembangkan melalui PTT dapat memberikan hasil lebih tinggi 20 %, serta mampu menekan tingkat kehilangan hasil akibat hamapenyakit utama menjadi rata-rata 2,4% per tahun. Disamping itu, diperlukan kebijakan yang tegas di tingkat daerah berkitan dengan upaya untuk menghilangkan fenomena alih fungsi lahan yang menyebabkan usaha-usaha perluasan lahan, penjaminan harga penurunan luas lahan subur terutama sawah. Hal ini terlihat dari kecenderungan penurunan ratarata luas panen secara nasional sekitar 0,9% per-tahun. Permasalahan Peningkatan produksi
60
Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian
Permasalahan peningkatan produksi padi yang sering dijumpai antara lain: (1) penggunaan Benih Unggul Bermutu secara nasional baru 37%, (2) Penyebaran Benih Unggul Produksi Tinggi masih sangat terbatas, karena ketersediaan Benih Unggul Bermutu dengan Potensi Produksi Tinggi, (3) Penggunaan pupuk berimbang dan penggunaan bahan organik dan (4) Perlakuan budidaya spesifik lokasi. Jagung Kondisi saat ini Dalam beberapa tahun terakhir proporsi penggunaan jagung oleh industri pakan telah mencapai 50% dari total kebutuhan nasional. Dalam 20 tahun kedepan, penggunaan jagung untuk pakan diperkirakan terus meningkat dan bahkan setelah tahun 2020 lebih dari 60% dari total kebutuhan nasional. Selama periode 2001-2005 rata-rata pertumbuhan produksi sebesar 3,87% atau meningkat dari 9.347.000 ton pada tahun 2001 menjadi 12.523.000 ton pada tahun 2005. Peningkatan luas panen pada periode yang sama dengan rata-rata pertumbuhan 0,46% pertahun atau meningkat dari 3.286.000 hektar tahun 2001 menjadi 3.625.000 hektar tahun 2005 dan peningkatan produktivitas dengan pertumbuhan rata-rata 3,4% dari peningkatan produksi rata-ratai 8,72 ton. Nampak bahwa dalam peningkatan produksi jagung lebih banyak ditentukan oleh adanya peningkatan produktivitas daripada peningkatan luas tanam. Peluang peningkatan produksi jagung sebagian besar dapat dihasilkan oleh pertanaman pada sawah irigasi dan sawah tadah hujan, sekitar 57% produksi jagung dihasilkan oleh pertanaman jagung pada MH, 24% pada MK I, dan 19% pada MK II. Kondisi yang di harapkan Apabila laju kecepatan peningkatan produksi jagung dalam negri dipertahankan 4,24%, seperti rata-rata tahun 2000-2004 dan laju peningkatan kebutuhan tetap, maka pada tahun 2006 tercapai swasembada jagung, bahkan kelebihan produksi sebanyak 187.760 ton yang dapat diekspor. Proyeksi produksi jagung hingga tahun 2009, secara rinci pada tahun 2007 diperkirakan sebesar 13.123.000 ton dengan tingkat kebutuhan untuk konsumsi 4.049.000 ton, untuk industri 2.854.000 ton, dan pakan ternak 5.619.000 ton, maka terdapat kelebihan sebesar 601.000 ton. Pada tahun 2008 proyeksi produksi 13.718.000 ton dengan total kebutuhan sebesar 12.923.000 ton ada kelebihan 796.000 dan di tahun 2009 prediksi produksi sebesar 14.341 ribu ton dengan total kebutuhan sebesar 13.354.000 ton sehingga ada kelebihan produksi 987.000 ton. Upaya dalam meraih keberhasilan tersebut antara lain dilakukan melalui program swasembada jagung 2007 sesuai rencana ”Business Plan” dan ”Peningkatan Produktivitas jagung. Langkah operasional peningkatan produksi jagung diupayakan melalui ” Crash Progam Jagung 2007” pada 8 daerah (Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Utara) seluas 603.808 hektar, kebutuhan benih
Analisis Kebijakan
61
9.067 ton. Kebutuhan alsintan, seperti drayer 1967 unit, corn sheller 3.298 unit, hand sprayer 49.659 unit, pompa air 16 unit, hand traktor 16 unit, traktor besar t unit, gudang 15 unit dan lantai jemur 36 unit. Permasalahan Permasalahan peningkatan produksi jagung yang sering dijumpai antara lain: (1) penerapan inovasi teknologi ditingkat petani cukup beragam, bergantung pada orientasi produksi (subsisten, semi komersial, komersial) kondisi kesuburan tanah, resiko yang dihadapi, dan kemampuan petani membeli atau mengakses sarana produksi. (2) Penyebaran penggunaan varietas masih rendah, (3) Penggunaan pupuk berimbang dan penggunaan bahan organik dan (4) Perlakuan budidaya spesifik lokasi. Kedelai Kondisi saat ini Kedelai yang merupakan tanaman cash crpo dibudidayakan di lahan sawah dan lahan kering. Sekitar 60% areal pertanaman kedelai terdapat dilahan sawah dan 40% di lahan kering. Luas areal tanaman kedelai sejak tahun 2000 terus menurun dan hanya 0,53 juta hektar pada tahun 2003. Penurunan areal tanam ada kaitannya dengan masuk kedelai impor, sehingga nilai kompetetif dan komperatif usahatani kedelai dalam negeri menurun. Produksi kedelai pada tahun 2004 meningkat 7,40% dari 0,67 juta ton pada tahun 2003 menjadi 0,72 juta ton pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 0,808 juta ton. Dari total kebutuhan kedelai pada tahun 2004 sudah mencapai 2,02 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri lebih rendah dari total kebutuhan, maka kekurangannya diperlukan impor. Hanya sekitas 35% dari total kebutuhan yang dapat dipenuhi produksi dalam negeri. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan terus menerus, mengingat potensi lahan cukup luas, teknologi dan sumber lainnya cukup tersedia. Kondisi yang diharapkan Dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), dimana untuk komoditi kedelai telah ditetapkan swasembada kedelai pada tahun 2012. Namun demikian, akan diupayakan swasembada kedelai dipercepat pada tahun 2009 dalam bentuk ”Crash Program Kedelai 2007-2009” Upaya-upaya yang akan dilakukan antara lain akan dikembangkan dalam kawasan 1000 hektar terdapat 100 hektar yang akan diberi bantuan secara penuh (full package), sedangkan 900 hektar diberi bantuan benih sebagai trigger peningkatan produksi kedelai. Bantuan saprodi, alsin dan pengapuran pada areal model 100 hektar setiap kawasan 1000 hektar sebagai trigger, serta bantuan benih dan Kaptan pada areal 900 hektar sebagai kawasan pengembangan.
62
Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian
Pelaksanaan Crash Program kedalai 2007-2009 didaerah kabupaten pada 20 propinsi dengan total luas 600.000 hektar dengan total biaya Rp 579.948 juta dengan rincian: (1) kawasan model seluas 60.000 hektar dengan bantuan benih senilai Rp 16.800 juta, pupuk bio Rp 30.000 juta, pupuk organik Rp 60.000 juta, Kaptan Rp 30.000 juta, obat-obatan Rp 12.000 juta, threser Rp 2.340, pompa air Rp 2.340 juta, dan pembinaan Rp 1.800 juta, sehingga total bantuan Rp 155.280 juta ; (2) kawasan pengembangan seluas 540 hektar dengan bantun benih senilai Rp 151.200 juta, Kaptan Rp 270.000 juta dan pembinaan Rp 3.468 juta, sehingga total bantuan Rp 424.668 juta Permasalahan. Salah satu tantangan besar pengembangan kedelai yang merupakan tanaman asli negara sub tropis yang ditanam didaerah tropis adalah tingginya gangguan OPT. Oleh karena itu, pengoraganisasian produksi di sentra-sentra produksi kedelai perlu diperkuat guna: (1) penerapan pengendalian hama terpadu (PHT), (2) pengolahan tanah yang seragam dan pengelolaan air yang cukup dan (3) penerapan sistem pertanian yang baik (Good Agriculture Practices) Dukungan Pengelolaan Lahan dan Air Terhadap Rencana Program Ketahanan Pangan dan Energi. Padi Dukungan pengelolaan air terhadap rencana progaram komoditi tanaman padi dari tahun 2007 hingga tahun 2009, melalui aspek aspek intensifikasi (optimasi) melalui kegiatan; a) pengembangan usahatani konservasi lahan secara berturut-turut dari tahun 2007-2009 seluas15.000 hektar, 20.000 hektar dan 25.000 hektar, b) pengembangan usahatani sawah metode SRI secara berturutturut pada tahun yang sama seluas 10.000 hektar, 20.000 hektar dan 15.000 hektar, c) reklamasi lahan berturut-turut seluas 5.500 hektar, 6.000 hektar dan 7.000 hektar, d) sertifikasi lahan petani dari tahun 2007-2009 jumlahnya sama , yaitu 20.000 bidang, Aspek ekstensifikasi (perluasan) pada 2007-2009, melalui kegiatan; a) pencetakan sawah secara berturut-turut seluas 35.000 hektar, 50.000 hektar, 75.000 hektar, b) dukungan kelambagaan 350 paket, 500 paket dan 750 paket, c) pengembangan jalan usahatani berturut-turut sepanjang 2000 km, 4000 km dan 3000 km, d) Saprotan seluas 35.000 hektar, 50.000 hektar dan 75.000 hektar, e) pembangunan saluran irigasi seluas 35.000 hektar, 50.000 hektar dan 75.000 hektar, d) optimasi lahan seluas 20.000 hektar, 30.000 hektar dan 20.000 hektar dan f) sertifikasi lahan sawah petani jumlahnya sama yaitu 20.000 bidang. Jagung Dukungan pengelolaan air terhadap komoditi jagung dari tahun 2007-2009 melalui aspek intesifikasi, diantaranya adalah; a) pengembangan usahatani konservasi lahan berturut-turut seluas 10.000 hektar, 15.000 hektar dan17.000
Analisis Kebijakan
63
hektar, b) Sertifikasi lahan jagung petani pada tahun 2007-2009 sama mencapai 10.000 bidang dan c) reklamasi lahan berturut-turut 3000 hektar, 4000 hektar dan 3500 hektar Aspek ekstensifikasi (perluasan) pada 2007-2009, melalui kegiatan; a) perluasan areal lahan kering secara berturut-turut seluas 1.000 hektar, 5.000 hektar, 10.000 hektar, b) pengembangan jalan usahatani berturut-turut sepanjang 2000 km, 3000 km dan 2000 km, c) optimasi lahan seluas 10.000 hektar, 15.000 hektar dan 10.000 hektar dan f) sertifikasi lahan sawah petani jumlahnya sama yaitu 5000 bidang. Kedele Dukungan pengelolaan air terhadap komoditi jagung dari tahun 2007-2009 melalui aspek intesifikasi, diantaranya adalah; a) pengembangan usahatani konservasi lahan berturut-turut seluas 5.000 hektar, 7.000 hektar dan17.000 hektar, b) Sertifikasi lahan kedele petani pada tahun 2007-2009 sama mencapai 5.000 bidang dan c) reklamasi lahan berturut-turut 3000 hektar, 5.500 hektar dan 6.500 hektar. Aspek ekstensifikasi (perluasan) pada 2007-2009, melalui kegiatan; a) perluasan areal lahan kering secara berturut-turut seluas 200 hektar, 5.00 hektar, 1.000 hektar, b) pengembangan jalan usahatani berturut-turut sepanjang 1000 km, 2000 km dan 1000 km, c) optimasi lahan seluas 10.000 hektar, 15.000 hektar dan 10.000 hektar dan f) sertifikasi lahan sawah petani jumlahnya sama yaitu 3000 bidang. Ternak Sapi Dukungan pengelolaan air terhadap komoditi jagung dari tahun 2007-2009 melalui aspek intesifikasi, diantaranya adalah; a) pengembangan usahatani konservasi lahan berturut-turut seluas 3.000 hektar, 5.000 hektar dan7.000 hektar, b) Sertifikasi lahan jagung petani pada tahun 2007-2009 sama mencapai 10.000 bidang dan c) reklamasi lahan berturut-turut 3.750 hektar, 4.250 hektar dan 4.500 hektar. Aspek ekstensifikasi (perluasan) pada 2007-2009, melalui kegiatan; a) perluasan areal (padang pengembalaan/kebun HMT) secara berturut-turut seluas 200.000 hektar, 400.000 hektar, 400.000 hektar, b) pengembangan jalan produksi berturut-turut sepanjang 1000 km, 2000 km dan 1000 km, c) sumber air 40 unit, 80 unit dan 80 unit, dan f) sertifikasi lahan sawah petani jumlahnya sama yaitu 5.000 bidang. Tebu Dukungan pengelolaan air terhadap komoditi tebu dari tahun 2007-2009 melalui aspek intesifikasi, diantaranya adalah; a) pengembangan usahatani konservasi lahan berturut-turut seluas 100.000 hektar, 200.000 hektar dan 200.000 hektar, b) Sertifikasi lahan tebu petani pada tahun 2007-2009 sama
64
Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian
mencapai 20.000 bidang dan c) reklamasi lahan berturut-turut 2.000 hektar, 3.000 hektar dan 3.500 hektar. 37.Aspek ekstensifikasi (perluasan) pada 2007-2009, melalui kegiatan; a) perluasan areal/PBL berturut-turut seluas 100.000 hektar, 200.000 hektar, 200.000 hektar, b) pengembangan jalan usahatani berturut-turut sepanjang 1000 km, 2000 km dan 2000 km, c) optimasi lahan seluas 5.000 hektar, 10.000 hektar dan 5.000 hektar.
Analisis Kebijakan
65
Adilkah Kita Kepada Pertanian? Pada saat memberikan sambutan dalam pembukaan The 26th Conference of the International Association of Agricultural Economists (IAAE) di Gold Coast, Australia, 12 Agustus 2006 yang lalu, Dr.Prabhu Pingali sebagai Presiden IAAE yang juga sebagai salah satu Direktur di FAO, menutup sambutan dengan pertanyaan: for the low income country with a high share of rural population, if not agriculture then what? Pertanyaan ini tentu sangat relevan bagi kita bangsa Indonesia, yang tergolong negara dengan pendapatan perkapita rendah dan mayoritas penduduknya masih tinggal di pedesaan. Apakah sudah ada alternatif lain di luar kegiatan pertanian yang bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan rumah tangga di pedesaan?.Kalau jawabannya belum, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan peran sektor pertanian?. Apakah sektor ini benarbenar sudah berfungsi dan diposisikan sesuai dengan peran dan kontribusinya dalam pembangunan selama ini? Sampai saat ini sebagian besar dari pemerhati dan praktisi pembangunan di Indonesia sepakat akan arti pentingnya pembangunan pertanian, sebagai salah satu pilar pembangunan nasional. Pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) oleh Presiden Juni tahun lalu dan dikukuhkannya kembali sektor pertanian sebagai sektor andalan dalam pembangunan nasional, pada saat Kongres ISEI di Manado beberapa waktu yang lalu, merupakan beberapa bukti dari kesepakatan di atas. Namun berbagai kesepakatan itu saja tentulah tidak memadai, dibutuhkan dukungan yang lebih riil dalam berbagai bentuk program dan kebijakan yang jelas-jelas memihak pada pembangunan pertanian dan pedesaan dalam arti luas. Paradoksal Pertanian Berbagai bukti empiris selama ini telah banyak menunjukkan akan arti pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia. Pada saat krisis ekonomi yang lalu misalnya, ketika secara keseluruhan ekonomi nasional mengalami kontraksi sebesar 13,68 persen, sektor pertanian masih dapat tumbuh 0,22 persen. Demikian juga dengan kemampuan sektor ini dalam menyerap angkatan kerja yang ada, ketika banyak kalangan dibuat pusing karena makin kecilnya elastisitas penciptaan lapangan kerja baru untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian malahan menunjukkan kinerja yang sebaliknya, setiap satu persen pertumbuhan sektor pertanian mampu menyerap hampir 400.000 tenaga kerja baru. Selain kontribusi langsung sebagaimana disebutkan di atas, sektor pertanian juga memiliki kontribusi tidak langsung yaitu efek pengganda (multiplier effect) berupa keterkaitan input-output antar industri, konsumsi dan investasi. Dampak pengganda tersebut relatif besar, sehingga secara keseluruhan peran sektor ini jauh lebih besar lagi. Jika dari berbagai besaran di atas kita telah mengalami pertumbuhan yang cukup menggembirakan, dari sisi kesejahteraan petani kita masih harus mencari langkah-langkah terobosan agar kehidupan petani dan citra pertanian dapat diperbaiki. Tidak seimbangnya kontribusi sektor pertanian primer 11,36% (tidak termasuk perikanan dan kehutanan) terhadap PDB nasional dengan jumlah orang yang bekerja di sektor pertanian yang mencapai 45 persen dari total orang
66
Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian
yang bekerja, merupakan akar persoalan yang perlu secara serius dipikirkan pemecahannya. Sekitar separuh dari angkatan kerja kita belum mampu terserap sektor industri dan jasa, sehingga masih harus bekerja di sektor pertanian primer. Di sisi lain, dukungan terhadap sektor pertanian belum sepenuhnya seperti yang diharapkan. Satu indikator yang paling relevan adalah soal alokasi anggaran. Anggaran yang dialokasikan untuk Departemen Pertanian hanya sekitar 1% dari total APBN, tidak seimbang dengan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, mahalnya harga input produksi, biaya distribusi serta biaya modal, menyebabkan margin keuntungan yang diperoleh petani relatif kecil. Ditambah lagi mereka harus menghadapi ketidak pastian harga komoditas yang mereka hasilkan, yang seringkali jatuh pada saat panen. Disamping itu, seringkali berbagai kebijakan yang ditetapkan banyak kalangan lebih banyak bersifat disinsentif bagi sektor pertanian. Beragam retribusi atas kegiatan pertanian seperti retribusi air, industri pengolahan pertanian, pajak atas berbagai komoditas primer pertanian (PPN) serta pajak ekspor, merupakan berbagai bentuk disinsentif bagi sektor petanian. Sementara itu dukungan program bagi kegiatan produksi, katakanlah bantuan permodalan melalui skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP) misalnya, secara akumulatif besarnya hanya sekitar Rp 3,0 triliun. Bila kita bandingkan dengan kredit non pertanian di Indonesia, jumlahnya tersebut masih sangat timpang. Bandingkan dengan kredit non pertanian yang dikucurkan pemerintah saat krisis ekonomi untuk rekapitulasi perbankan yang jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah. Berbeda dengan petani di negara-negara maju yang memperoleh dukungan domestik (domestic support) yang memadai, petani Indonesia sangat minim dukungan domestik, bahkan selalu harus menerima beban ketidakefisienan sektor lainnya. Naiknya harga input dan dibatasinya kenaikan harga komoditas pangan tanpa dukungan domestik yang memadai, misalnya, merupakan jawaban mengapa petani kita tidak kunjung sejahtera dan pertanian primer menjadi kurang menarik bagi generasi muda. Otonomi daerah dan Dukungan Sektor lain Departemen Pertanian sebagai fasilitator dan dinamisator pembangunan pertanian di Indonesia, sangat terbatas kewenangannya. Karena itu strategi pembangunan yang dipilih lebih mengedepankan partisipasi petani dan pelaku agribisnis lainnya. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka basis pembangunan pertanian berada di kabupaten/kota. Persoalannya sekarang, karena belum disepakatinya acuan baku bagi standar pembangunan pertanian di kabupaten/kota, maka komitmen pemerintah kabupaten/kota terhadap pembangunan pertanian sangat beragam dan sangat tergantung pada figur pimpinan daerah. Keadaan ini jelas menyulitkan upaya Departemen Pertanian dalam mengakselerasi pembangunan wilayah. Selain itu dengan sistem pemilihan langsung pada pemilihan kepala daerah, dalam beberapa kasus juga menyulitkan
Analisis Kebijakan
67
upaya percepatan pembangunan pertanian di daerah. Pimpinan terpilih biasanya lebih mengutamakan kepentingan konstituennya, yang terkadang tidak sepenuhnya sejalan dengan upaya percepatan pembangunan pertanian di wilayah tersebut. Alih fungsi lahan pertanian subur di berbagai wilayah dan sulitnya mendapatkan dukungan anggaran APBD terhadap dana dekonsentrasi serta tugas perbantuan yang dialokasikan Departemen Pertanian, merupakan beberapa bukti dari sinyalemen di atas Hal lain yang menyulitkan upaya percepatan pembangunan pertanian adalah besarnya jumlah tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor primer ini. Untuk itu perlu upaya yang serius dalam mengembangkan berbagai peluang usaha baru di pedesaan, untuk menarik tenaga kerja yang ada ke luar dari sektor primer. Pengembangan sektor pertanian harus dilakukan sejalan dengan upaya pengembangan kegiatan lain, terutama yang masih terkait dengan kegiatan pertanian seperti agroindustri. Departemen Pertanian bukannya tidak menyadari masalah ini, namun ruang gerak dari lembaga ini tidak sepenuhnya bisa leluasa menggarap berbagai peluang tersebut, karena harus berbenturan dengan kepentingan sektor lain. Padahal peluang untuk memperbaiki tingkat hidup petani justru ada di luar kegiatan budidaya pertanian. Dalam situasi seperti ini jelas sekali bahwa pembangunan pertanian memerlukan dukungan yang maksimal dari sektor lain. Membangun masyarakat desa tidak dapat lagi dilakukan dengan pendekatan sektoral seperti yang selama ini dilakukan, diperlukan pendekatan wilayah dan lintas sektor. Kesadaran tentang masalah ini sudah lama ada di benak para pengambil kebijakan di negeri ini, namun ironisnya dalam tataran praktis Departemen Pertanian tetap dibiarkan berjalan sendiri tanpa dukungan yang memadai dari sektor lain. Dari sisi poduksi, apa yang dihasilkan petani kita, mulai dari produk pangan, buah-buahan, produk pekebunan dan tanaman hias misalnya merupakan barang-barang tropis dengan mutu terbaik. Lemah dan rendahnya daya saing kita dalam pasaran global, tidak terkait dengan kualitas produk yang dihasilkan petani dan pelaku agribisnis, tetapi lebih karena buruknya pengemasan yang kita lakukan, mahalnya transportasi serta berbagai bentuk ekonomi biaya tinggi lainnya. Mengatasi persoalan ini jelas memerlukan sinergi yang kuat antar berbagai pihak terkait. Pada tataran praktis di tingkat usahatani, kita dihadapkan pada marginalisasi pertanian, karena makin sempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani dan tidak berfungsinya berbagai kelembagaan yang bersinggungan dengan kehidupan petani. Kondisi ini tidak saja memperlemah posisi petani, namun juga membuat mahal biaya kebijakan (transaction cost) yang harus dikeluarkan pemerintah pada setiap program dan kebijakan yang diluncurkannya. Setiap kebijakan yang dikeluarkan memerlukan biaya sosialisasi dan monitoring yang lebih besar karena makin tersebarnya petani dan tidak berfungsinya berbagai kelompok yang ada di tingkat petani Bercermin dari berbagai permasalahan di atas, tentu tidak ada salahnya kita kembali bertanya, betulkah kita konsisten dengan berbagai wacana yang kita lontarkan tentang arti pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan nasional kita? Kalau memang kita konsisten, mari kita bergandeng tangan dan duduk
68
Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian
bersama merancang, merencanakan dan melaksanakan pembangunan pertanian dan pedesaan dalam arti yang sebenarnya. Hanya dengan cara seperti ini berbagai kegagalan yang telah kita alami selama ini dapat kita atasi, dan jangan biarkan Departemen Pertanian berjalan sendiri.