REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK INFRASTRUKTUR Latar Belakang Masalah Infrastruktur menyangkut berbagai barang modal, seperti jalan, pelabuhan laut dan udara, energi, irigasi, sistem keuangan, jaringan komunikasi, kawasan ekonomi khusus (KEK), dan lain sebagainya. Ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan kunci sukses dalam percepatan pembangunan suatu negara, baik menyangkut pembangunan ekonomi dan sosial. Kegagalan melakukan investasi infrastruktur secara baik menandakan kegagalan menjaga dan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi suatu bangsa secara berkelanjutan. Manfaat infrastruktur dalam mendukung pembangunan ekonomi dan sosial diantara sebagai berikut : 1.
Meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan modal sehingga menurunkan biaya produksi, meningkatkan laba usaha, meningkatkan jumlah produksi, meningkatkan lapangan kerja, serta meningkatkan pendapatan masyarakat;
2.
Memberi implikasi yang signifikan untuk pencapaian sasaran-sasaran pembangunan berkelanjutan;
3.
Mempercepat pemerataan pembangunan melalui pembangunan infrastruktur yang disesuaikan dengan kebutuhan wilayah;
4.
Mendorong investasi yang baru;
5.
Meningkatkan konektivitas antar penduduk suatu negara dan membuka isolasi bagi masyarakat yang terbelakang;
6.
Memfasilitasi aliran gagasan, barang, dan jasa untuk memeri nilai tambah dalam kegiatan ekonomi dan sosial;
7.
Mendorong peningkatan efisiensi dalam alokasi sumber daya karena infrastruktur memudahkan akses terhadap tenaga kerja dan bahan baku serta memberikan peluang bagi aktivitas-aktivitas alternatif. Apabila infrastruktur tidak tersedia secara memadai maka akan mendatang serangkaian
dampak yang merugikan diantaranya sebagai berikut : 1. Menghalangi pertumbuhan ekonomi dan daya saing internasional suatu bangsa (Delmon, 2006); 2. Menyebabkan rendahnya kualitas hidup serta meningkatkan bahaya penyakit dan kematian (Willoughby, 2004); 3. Kesulitan untuk memberantas kemiskinan; 4. Meningkatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah karena banyaknya kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi yang dapat mengancam eksistensi suatu negara. Berdasarkan hal-hal di atas, maka dibutuhkan upaya yang serius untuk meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang memadai, baik dari segi kuantitas, kualitas, maupun kemudahan akses. Namun demikian, melakukan pembangunan infratruktur relatif membutuhkan biaya besar,
waktu yang cukup lama, serta sering tidak secara langsung memberikan manfaat saat selesai dibangun. Faktor-faktor ini sering menciptakan disinsentif bagi suatu negara untuk melakukan investasi dalam infrastruktur. Hal ini sering diperparah oleh beberapa hal diantaranya: (1) lemahnya kemauan politik pengambil keputusan untuk membangun infrastruktur yang mencukupi; (2) masih terjadinya korupsi yang membuat pembangunan infrastruktur menjadi lebih mahal; serta (3) tidak sinergi dengan infrastruktur yang dibangun dengan infrastruktur yang telah ada sebelumnya. Sebagai salah satu negara berkembang yang berada pada kelompok Low Middle Income Countries, Indonesia membutuhkan pembangunan infrastruktur secara signifikan, baik dari kapasitas maupun kualitas. Hal itu menjadi prasyarat utama untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk meningkatkan pendapatan dan mempercepat pencapaian kesejahteraan bersama. Namun demikian, banyak permasalahan
yang dihadapi
Indonesia dalam bidang infrastruktur. Hal ini membuat kekayaan sumber daya alam yang berlimpah serta jumlah penduduk yang besar kurang mampu diutilisasi untuk memberikan hasil yang jauh lebih besar dari yang diperoleh saat ini. Permasalahan Infrastruktur di Indonesia Beberapa permasalahan utama pada bidang infrastruktur di Indonesia yang dapat dikemukakan di sini adalah sebagai berikut : 1.
Masih buruknya perencanaan pembangunan infrastruktur dan kepatuhan terhadap rencana pada berbagai tingkatan pemerintah sehingga pada satu sisi sering terjadi tumpang tindih pembangunan infrastruktur pada suatu wilayah atau sektor dan di sisi lain sering terjadi suatu integrasi yang baik antara suatu infrastruktur dengan infrastruktur lain yang seharusnya terpadu sehingga infrastruktur yang dibangun memberikan manfaat jauh di bawah apa yang diharapkan;
2.
Penambahan infrastruktur belum mampu memenuhi peningkatan kebutuhan, bagi dari segi kuantitas maupun kualitas;
3.
Kurangnya upaya untuk melakukan pemeliharaan terhadap infrastruktur, bahkan pada infrastruktur strategis seperti waduk dan irigasi yang sangat penting dalam pembangunan sektor pertanian. Saat ini lebih dari 50% waduk dan irigasi dalam kondisi rusak;.
4.
Masih banyak terjadi ketimpangan dalam ketersediaan infrastruktur antar wilayah maupun antar sektoral. Sebagai contoh, energi listrik banyak tersedia di Pulau Jawa dan Bali namun sangat minim di luar kedua pulau tersebut sehingga menyulitkan daerah yang lain dsalam mengembangkan investasi sehingga melebarkan kesenjangan antara kedua wilayah tersebut;
5.
Belum tersedianya International Hub Port (IHP) yang menghubungkan Indonesia dengan negara-negara di Asia Pasifik, Eropa, Amerika, dan Australia untuk menggantikan Singapura yang dapat digunakan untuk mengurangi defisit Transaksi Berjalan dari kegiatan jasa;
6.
Belum tersedianya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang memadai terutama di luar Jawa untuk mendapatkan manfaat dari kluster, aglomerasi, dan industri yang terintegrasi;
7.
Masih kurangnya alokasi dana untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur.
Kondisi Beberapa Infrastruktur Utama Indonesia Dibandingkan Beberapa Negara Asean Kondisi Jalan Keberadaan jalan sangat mempengaruhi efisiensi biaya transportasi dan biaya operasional dalam mata rantai ekonomi. Ketiadaan jalan ataupun kondisi jalan yang rusak akan menciptakan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) sehingga menurunkan daya saing ekonomi. Pada seKtor Pertanian, minimnya jalan produksi dan jalan penghubung ke pasar akan membuat kerusakan atas kebanyakan hasil pertanian sehingga merugikan petani. Selain itu menyebabkan disparitas harga yang tinggi di tingkat petani dengan harga di tingkat pedagang. Data mengenai jalan di Indonesia menunjukan bahwa hingga tahun 2011, panjang jalan yang ada sebesar 476.300 km. Panjang jalan di Indonesia
merupakan yang terpanjang di Asean.
Pertumbuhan panjang rata-rata untuk periode 2004-2011 sebesar 3,57%. Bila dikaitkan dengan luas wilayah Indonesia dan ketersediaan jalan yang ada, maka angka pertumbuhan ini relatif rendah. Di kawasan Asean, Malaysia merupakan negara yang memiliki pertumbuhan rata-rata panjang jalan paling tinggi pada periode yang sama, yaitu 10,59%. Namun demikian, Indonesia menempati urutan tertinggi kedua di Asean dalam pertambahan panjang jalan yang diaspal, yaitu tumbuh rata-rata 6,18%, di bawah Malaysia yang tumbuh 11,57%. Dari aspek persentase panjang jalan yang diaspal terhadap total panjang jalan, Indonesia menempati peringkat terendah di antara beberapa negara Asean, yaitu rata-rata 58,46%. Namun karena pertumbuhan panjang jalan yang telah diaspal di Indonesia lebih tinggi dari pertumbuhan total panjang jalan sehingga persentase jalan yang telah diaspal meningkat dari 55,31% pada tahun 2004 menjadi 65,82% pada 2011. Selengkapnya dapat dilihat Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Perkembangan Panjang Jalan Indonesia dan Beberapa Negara di ASEAN, 2004-2011
Sumber : ASEAN-Japan Transport Partnership, www.ajtpweb.org/statistics
Di samping, masih rendahnya panjang jalan yang diaspal dari total pajang jalan yang tersedia, banyak jalan yang mengalami kerusakan parah karena pemeliharaan yang minim. Data Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2012 menunjukan sebanyak 3.800 km atau setara 10% jalan nasional dalam kondisi rusak. Mengingat nilai strategis dari jalan dalam mendorong pembangunan ekonomi dan social yang signifikan, maka pembangunan jalan dan peningkatan kualitas jalan menjadi tantangan pemerintah untuk 5-10 tahun ke depan. Kondisi Pelabuhan Laut Di kawasan Asean, Indonesia memiliki jumlah pelabuhan laut terbanyak, yaitu 2,328 unit dimana 2,187 unit merupakan pelabuhan domestik dan 141 unit pelabuhan internasional pada tahun 2011 (lihat Tabel 1.2). Dari segi jumlah pelabuhan, Indonesia hanya membutuhkan sedikit tambahan pelabuhan laut untuk pulau-pulau terluar. Persoalan mendasar adalah minimnya jumlah dan luas terminal peti kemas serta panjang dermaga pada pelabuhan-pelabuhan utama sehingga memperlambat mobilisasi barang dan meningkatkan biaya transportasi. Tabel 1.2 Perkembangan Pelabuhan Laut Indonesia dan Beberapa Negara di Asean, 2004-2011
Keterangan : Jumlah pelabuhan adalah semua jenis pelabuhan Sumber : ASEAN-Japan Transport Partnership, www.ajtpweb.org/statistics
Kondisi dermaga yang belum sesuai kebutuhan dan kualitas fasilitas penunjang pelabuhan laut yang masih minim pada sebagian besar pelabuhan laut di Indonesia, tidak sekedar meningkatkan biaya transportasi tetapi juga mendorong terjadinya penjualan ikan di tengah laut oleh nelayan-nelayan lokal kepada nelayan asing yang mengakibatkan kerugian bagi negara. Oleh sebab itu, panjang dermaga, pelabuhan/terminal peti kemas, dan sarana penunjang pelabuhan laut lainnya semestinya menjadi fokus perhatian dalam pembangunan infrastruktur kelautan. Kondisi Pelabuhan Udara Seperti halnya pelabuhan laut, Indonesia memiliki jumlah pelabuhan udara terbanyak di Asean, yaitu 262 unit dimana 233 unit melayani hanya penerbangan domestik dan 29
unit
pelabuhan internasional pada tahun 2011 (lihat Tabel 1.3). Dari segi jumlahnya, ke depan Indonesia tidak banyak membutuhkan tambahan pelabuhan udara, melainkan lebih banyak pada panjang landasan serta kapasitas terminal untuk meningkatkan memungkinkan pendaratan pesawat berbadan lebar pada pelabuhan-pelabuhan udara potensial.
Tabel 1.3 Perkembangan Pelabuhan Udara Indonesia dan Beberapa Negara di ASEAN, 2004-2011
Keterangan : Jumlah pelabuhan udara adalah semua jenis pelabuhan udara Sumber : ASEAN-Japan Transport Partnership, www.ajtpweb.org/statistics
Walaupun Indonesia memiliki jumlah pelabuhan udara yang banyak, namun kebanyakan dari mereka memiliki tingkat utilisasi yang rendah. Ini disebabkan terbatasnya pesawat yang melayani daerah-daerah kecil. Kondisi Energi Listrik Kondisi energi listrik merupakan persoalan yang sangat krusial di Indonesia, terutama di luar Jawa dan Bali. Ini menimbulkan kesulitan untuk mendatangkan investasi ke daerah yang menyebabkan daerah lain sulit berkembang sehingga pada gilirannya meningkatkan kesenjangan antar daerah pada kegiatan industri dan pendapatan masyarakat. Di samping itu, keterbatasan kapasitas listrik membuat rasio elektrifikasi menjadi rendah. Rendahnya rasio elektrifikasi mengindikasikan masih banyak daerah dan masyarakat yang belum menikmati listrik. Hal ini menyebabkan keterbelakangan masyarakat, kesulitan meningkatkan ekonomi rumah tangga, serta mengganggu perkembangan sumber daya manusia karena waktu untuk belajar sangat terbatas. Ketersediaan listrik di Indonesia sesungguhnya merupakan yang tertinggi di Asean. Pada tahun 2011 kapasitas listrik di Indonesia sebsar 182,384,000,000 kwh. Posisi selanjutnya ditempati Malaysia dengan kapasitas 130,090,000,000 kwh dan Vietnam dengan kapasitas 99.179.000.000 (lihat Tabel 4). Namun bila dikaitkan dengan penduduk serta kebutuhan listrik rumah tangga dan industri, maka kapasitas listrik Indonesia jauh di bawah negara-negara di Asean. Ini terlihat dari fakta lapangan dimana sering terjadinya pemadaman bergilir di berbagai daerah di Indonesia. Kondisi listrik yang ada merupakan penghalang utama bagi percepatan pembangunan ekonomi di Indonesia. Tabel 1.4 Perkembangan Kapasitas Listrik Indonesia dan Beberapa Negara di Asean, 2007-2011
Sumber : World Bank, http://data.worldbank.org/indicator/EG.ELC.PROD.KH
Bila dilihat dari aspek pertumbuhan, kapasitas listrik di Indonesia meningkat rata-rata 6,41% pada periode 1007-2011 dimana masih relatif jauh di bawah Vietnam (10,30%) dan sedikit di bawah Malaysia (7,47%). Hal yang perlu dicermati di sini adalah pertumbuhan listrik di Vietnam. Sebagai Negara yang belum lama keluar dari system ekonomi tertutup, Vietnam menyadari pentingnya listrik sebagai sarana mengejar ketertinggalannya. Bila melihat posisi kapasitas listrik Vietnam pada tahun 2014, Vietnam telah jauh berada di atas negara lain di Asean di luar Indonesia dan Malaysia. Kondisi ini dapat menjelaskan mengapa industri di Vietnam tumbuh relatif lebih cepat. Kondisi Sarana/Prasarana Komunikasi Sarana dan prasarana komunikasi di Indonesia berkembang sangat pesat pada satu dasawarsa terakhir terutama dengan muncul penyedia jasa telepon seluler dan internet. Namun demikian, pada berbagai tempat terjadi kekurangan kapasitas bandwidth
sehingga sering terjadi gangguan-
gangguan yang merugikan konsumen. Di samping itu, terdapat potensi terjadinya tacit collusion dan kartel dalam harga mengingat adanya hubungan istimewa antar penyedia jasa komunikasi sehingga biaya komunikasi Indonesia masih relatif mahal. Di samping itu, masih banyak daerah di Indonesia yang belum mendapat layanan telepon. Ini terjadi karena kecenderungan penyedia jasa komunikasi hanya ingin masuk pada daerah “gemuk”. Oleh sebab itu, dibutuhkan regulasi yang mengatur tentang kapasitas bandwidth serta kewajiban melayani daerah “kurus”. Solusi Berdasarkan permasalahan yang ada, maka dikemukakan beberapa solusi sebagaimana berikut ini. A. Solusi untuk permasalahan 1 dan 2 Untuk melakukan perencanaan pembangunan infrastruktur yang baik, meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur sesuai kebutuhan, serta mendorong kepatuhan terhadap rencana yang dibuat dibutuhkan serangkaian kebijakan diantaranya sebagai berikut. 1. Meningkatnya kemampuan aparatur perencanaan di kabupaten/kota untuk merencanakan kebutuhan pembangunan infrastruktur di kabupaten/kota masing-masing sesuai kebutuhan, baik kuantitas maupun kualitas. Dan juga, baik yang dapat dibiayai oleh APBD-nya maupun yang membutuhkan bantuan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Oleh sebab itu, setidaknya 80% belanja pemerintah provinsi dan belanja kementerian dan lembaga di daerah harus berdasarkan permintaan dari kabupaten/kota. Oleh sebab itu, proposal dari kabupaten/kota harus dimasukan paling lambat akhir Maret pada periode t-1 dari tahun anggaran agar dapat diajukan pada anggaran provinsi maupun kementerian dan lembaga. 2. Dalam melakukan perencanaan pembangunan infrastruktur perlu dibuat matriks berdasarkan wilayah yang mengaitkan infrastruktur yang akan dibangun dengan infrastruktur yang telah tersedia untuk menghindari tumpang tindih dan meningkatkan sinergitas antar infrastruktur yang ada. Salah satu contoh yang terkait dengan tidak
dijalankan matriks dalam pembangunan infrastruktur yaitu pembangunan dermaga untuk nelayan tidak terkoneksi dengan infrastruktur jalan sehingga nelayan menghadapi kesulitan untuk mengangkut tangkapan ke pasar sehingga akhirnya merugikan nelayan. 3. Perlunya diatur tentang sistem hukuman bagi pelaksana pembangunan infrastruktur daerah yang tidak sesuai rencana ataupun yang bersifat tumpang tindih lewat pengurangan atau penundaan distribusi dana perimbangan atau cara lain yang memungkinkan. B. Solusi untuk permasalahan 3 Akar masalah dari kurangnya upaya untuk melakukan pemeliharaan terhadap infrastruktur diantaranya sebagaiberikut: (1) keterbatasan anggaran yang dialokasikan untuk pemeliharaan infrastruktur,
baik pada APBN maupun APBD; (2) moral hazard oknum
pemerintah untuk menunda pemeliharaan dan membiarkan kerusakan infrastruktur menjadi lebih parah agar perbaikan infrastruktur tersebut membutuhkan biaya besar sehingga peluang mendapat gratifikasi lebih besar; (3) kurangnya kemauan politik pemerintah dan dewan, baik di daerah maupun pusat untuk melakukan pemeliharaan atas infrastruktur yang ada; dan (4) ketidakjelasan kepemilikan atas infrastruktur, apakah pemerintah pusat, pemerintah provinsi, ataukah pemerintah kabupaten/kota, sehingga rakyat yang dirugikan tidak jelas kemana mengasjukan keluhannya. Untuk mengatasi hal permasalahan di atas, maka perlu dilakukan kebijakan sebagai berikut: (1) mewajibkan pemerintah daerah dan kementerian/lembaga untuk menganggarkan minimum sekian persen belanja untuk pemeliharaan; (2) melakukan identifikasi kembali atas infrastruktur yang ada dengan melibatkan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk memperoleh kejelasan kepemilikan atas aset infrastruktur sehingga kegiatan pemeliharaan tidak salah objek dan tidak saling menyalahkan; (3) mencantumkan kepemilikan pada aset infrastruktur utama yang melayani kepentingan umum agar meningkatkan transparansi dan tanggung jawab pemeliharaan, misalnya pada tanda nama jalan dicantumkan juga klasifikasinya, apakah jalan nasional, jalan provinsi, ataukah jalan kabupaten/kota; serta (4) jalan produksi yang dibangun oleh dinas teknis di daerah, misalnya jalan yang dibangun oleh Dinas Pertanian seharusnya diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum begitu selesai dikerjakan agar pemeliharaan dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum sebab umumnya Dinas Pertanian tidak dialokasikan anggaran untuk pemeliharaan jalan produksi. C. Solusi untuk permasalahan 4 Terjadinya ketimpangan dalam ketersediaan infrastruktur antar wilayah terutama disebabkan oleh kebijakan pembangunan infrastruktur yang lebih condong ke Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan pertimbangan jumlah penduduk dan keberadaan industri. Di samping itu, pembangunan infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia (KTI) umumnya berbiaya lebih tinggi mengingat kondisi geografis di KTI yang merupakan daerah kepulauan serta bahan baku untuk membangun infrastruktur umumnya dipasok dari Jakarta dan Surabaya. Oleh sebab itu,
pembangunan infrastruktur di KTI membutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan dewan. Khusus untuk energi listrik, terjadi kesenjangan yang lebar dalam pasokan pada Pulau Jawa dan Bali dengan wilayah di luar mereka. Hal ini menyulitkan daerah di luar Jawa dan Bali menarik investasi ke daerahnya. Di samping penyebab yang bersifat umum di atas, terjadinya kesenjangan pasokan listrik antar daerah disebabkan pula oleh luasnya wilayah
cakupan
layanan PLN sehingga membuat BUMN tersebut menanggung beban berat dan tidak fokus. Oleh sebab itu, PLN sebaiknya di-spin off menjadi dua perusahaan terpisah dimana satu melayani KBI dan satunya melayani KTI. D. Solusi untuk permasalahan 5 Indonesia belum memiliki International Hub Port (IHP) yang dapat menggantikan posisi Singapura. Ini disebabkan kebijakan pengembangan pelabuhan laut banyak diarahkan untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung priok dan Tanjung Perak. Dari aspek posisi strategis, kedua pelabuhan berada di jalan “buntu” bila dikaitkan dengan perdagangan internasional. Oleh sebab itu, pemerintah perlu membangunan IHP di utara Indonesia, yaitu di Sumatera Utara untuk melayani Eropa, Asia Selatan, Afrika, dan Timur tengah dan di Sulawesi Utara untuk melayani kawasan Asia Pasifik dan Amerika. Untuk pembangunan IHP perlu melakukan konsorsium dengan melibatkan Main Line Operator (MLO) internasional untuk secara tidak langsung memaksa mereka untuk mengarahkan kapal-kapal di bawah kelolaan mereka untuk memanfaatkan IHP yang dibangun. Hal ini untuk menghindari under utilization atas IHP. E. Solusi untuk permasalahan 6 Pembangunan industri selama ini yang terpusat di Pulau Jawa akan semakin memberatkan wilayah tersebut serta menimbulkan disparitas yang tinggi dengan daerah di luar Jawa. Dengan demikian, pemerintah perlu mempermudah pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang memadai di luar Jawa, terutama di pulau-pulau besar. Pembangunan KEK itu sendiri pada dasarnya untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di Indonesia. Selain penyiapan lahan, hal pokok lain yang perlu dilakukan adalah mencari investor yang akan beroperasi di KEK, baik investor domestik maupun asing. Sebaiknya industri yang dibangun di KEK menggunakan bahan baku yang banyak tersedia di wilayah tersebut sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal seandainya karakter masyarakat di wilayah tersebut tidak tahan untuk melakukan aktivitas yang monoton yang umumnya terjadi di pabrik. F. Solusi untuk permasalahan 7 Kurangnya alokasi dana untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur terutama timbul karena sebagian besar anggaran pemerintah terserap untuk belanja wajib terutama belanja gaji serta subsidi bahan bakar dan energi yang jumlahnya masing-masing di atas belanja infrastruktur. Oleh sebab itu perlu dilakukan beberapa kebijakan strategis diantaranya sebagai berikut. Pertama,
melakukan kebijakan negative growth terhadap jumlah pegawai yang
didahului dengan analisis beban kerja untuk menentukan kebutuhan jumlah pegawai untuk
suatu fungsi. Dengan kemajuan teknologi yang ada, maka semestinya kebutuhan pegawai untuk melakukan suatu fungsi seharusnya jauh lebih sedikit dibanding saat teknologi masih rendah. Bilamana telah diperoleh jumlah yang optimal lewat analisis beban kerja, maka kebijakan negative growth untuk pegawai akan dihentikan dan diganti menjadi kebijakan zero growth jika komposisi pegawai telah optimal. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi ataupun meminimalkan penambahan belanja pegawai. Kedua, pemerintah dan dewan perlu kembali melakukan moratorium atas pemekaran wilayah sebab pemekaran wilayah memberi dampak yang signifikan terhadap peningkatan belanja pegawai. Dengan demikian dapat mencegah pembengkakan belanja pegawai yang akan mengambil porsi belanja infrastruktur. Ketiga, dana dekonsentrasi yang disalurkan selama ini sebagian besar untuk belanja barang dan belanja bantuan sosial yang sering kurang produktif. Oleh sebab itu, sebaiknya dana dekonsentasi lebih diarahkan untuk belanja modal infrastruktur. Untuk hal tersebut, pemerintah kabupaten/kota diharapkan dapat mengajukan kegiatan pembangunan infrastruktur yang akan dibiayai dengan dana dekonsentrasi sehingga dapat mengubah alokasi belanja dari dana dekonsentrasi. Kesimpulan Kuantitas dan kualitas infrastruktur Indonesia secara umum masih belum mendukung pembangunan ekonomi dan sosial secara optimal, bila dikaitkan dengan ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Secara lebih rinci dikemukakan sebagai berikut. 1.
Perencanaan pembangunan infrastruktur belum dilakukan dengan baik pada berbagai tingkatan pemerintah. Hal ini menyebabkan sering terjadinya tumpang tindih pembangunan infrastruktur di satu wilayah ataupun tidak terkoneksinya suatu infrastruktur dengan infrastruktur yang lain yang semestinya harus terintegrasi sehingga sinergitasnya menjadi rendah dan bahkan pada beberapa kasus infrastruktur yang dibangun tidak digunakan. Kondisi ini timbul karena kelemahan sumber daya manusia pemerintah dalam perencanaan maupun keterlibatan legislatif yang seringkali bersifat destruktif bagi pembangunan infrastruktur yang baik.
2.
Masih banyak infrastruktur dalam keadaan rusak, terutama jalan dan irigasi yang disebabkan oleh kurangnya kegiatan pemeliharaan. Ini disebabkan oleh: (1) keterbatasan anggaran yang dialokasikan untuk pemeliharaan infrastruktur, baik dalam APBN maupun APBD; (2) moral hazard
oknum pemerintah yang membiarkan kerusakan menjadi parah agar perbaikan
membutuhkan biaya besar yang mendatangkan peluang mendapat gratifikasi ataupun korupsi dengan jumlah lebih besar; (3) kurangnya kemauan politik pemerintah dan dewan, baik di daerah maupun pusat untuk melakukan pemeliharaan atas infrastruktur yang ada; dan (4) ketidakjelasan kepemilikan atas aset infrastruktur antar tingkatan pemerintahan.
3.
Terjadinya ketimpangan ketersediaan infrastruktur antara KBI dan KTI terutama disebabkan oleh kebijakan pembangunan infrastruktur selama ini lebih condong ke KBI. Di samping itu, pembangunan infrastruktur di KTI umumnya berbiaya lebih tinggi mengingat kondisi geografis KTI yang merupakan daerah kepulauan serta bahan baku untuk membangun infrastruktur umumnya dipasok dari Jakarta dan Surabaya.
4.
Indonesia membutuhkan pembangunan International IHP di bagian utara untuk menggantikan peran Singapura. Pembangunan yang terlalu difokuskan pada Pelabuhan Tanjung priok dan Tanjung Perak adalah kurang tepat karena keduanya berada pada “jalan buntu” dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri.
5.
Pembangunan industri selama ini yang terpusat di Pulau Jawa akan menambah beban wilayah tersebut serta menimbulkan disparitas yang tinggi dengan daerah di luar Jawa.
6.
Pemerintah mengalami kendala dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur sebab anggaran belanja banyak terserap oleh belanja wajib yang sering tidak produktif.
7.
Ketersediaan listrik di Indonesia merupakan yang terbesar di Asean. Namun bila dikaitkan dengan jumlah penduduk, luas wilayah, serta kebutuhan rumah tangga dan industri, maka jumlahnya masih jauh dari memadai untuk mendorong kegiatan investasi secara signifikan. Selain itu terjadi kesenjangan dalam pasokan listrik antara Pulau jawa dan Bali dengan pulaupulau di luarnya. Salah satu penyebabnya adalah
luasnya wilayah cakupan layanan PLN
sehingga membuat BUMN tersebut menanggung beban berat dan tidak fokus. 8.
Panjang jalan di Indonesia merupakan yang terpanjang di Asean, namun persentase jalan yang diaspal dari total panjang jalan merupakan yang terendah di Asean. Di samping itu banyak jalan kondisi rusak. Khusus untuk jalan nasional, 10% dalam keadaan rusak.
9.
Dari segi jumlah, Indonesia memiliki pelabuhan laut terbanyak di Asean, namun memiliki persoalan dengan panjang dermaga, terminal peti kemas, serta sarana dan prasarana penunjang pelabuhan laut lainnya.
10. Indonesia memiliki pelabuhan udara terbanyak di Asean, namun masih memiliki kelemahan pada panjang landasan pada pelabuhan udara utama, kelemahan pada sarana dan prasarana penunjangnya, serta rendahnya frekuensi penerbangan di daerah, terutama daerah kecil. 11. Perkembangan infrastruktur komunikasi di Indonesia terutama infrastruktur telepon selular dan internet sangat pesat namun kualitasnya masih rendah dan berbiaya tinggi. Pada bisnis ini terdapat kemungkinan adanya tacit collusion maupun kartel karena hubungan istimewa antar penyedia jasa layanan sehingga biaya komunikasi masih relatif tinggi.
Rekomendasi Berdasarkan kajian ini, maka diketengahkan beberapa rekomendasi untuk melakukan pembenahan terhadap infrastruktur di Indonesia untuk mempercepat pembangunan di Indonesia.
1. Persoalan infrastruktur yang paling krusial di Indonesia adalah terbatasnya energi listrik yang menjadi penghambat kegiatan investasi terutama di luar Jawa dan Bali. Oleh sebab itu, pemerintah perlu lebih memfokuskan pada pembangunan infrastruktur listrik secara signifikan di luar Jawa dan Bali. Kebijakan yang perlu diambil diantaranya sebagai berikut. a.
Mempercepat penggantian pembangkit listrik bertenaga diesel dengan sumber lain yang berbiaya lebih murah.
b.
Mengembangkan desa swadaya listrik untuk desa yang berada di remote area dengan memanfatkan sumber-sumber pembangkit listrik yang tersedia setempat. Ini untuk mengurangi penurunan daya listrik di jalan karena harus melayani remote area. Dengan demikian, listrik dari pembangkit PLN dapat lebih difokuskan pada wilayah padat penduduk serta kawasan industri dan perdagangan.
c.
Melakukan spin-off
terhadap PLN menjadi dua perusahaan terpisah dimana satunya
melayani Kawasan Barat Indonesia dan lainnya Kawasan Timur Indonesia agar lebih fokus dalam membenahi kesenjangan listrik antar wilayah. 2. Pengembangan pelabuhan laut sebaiknya lebih difokuskan pada perpanjangan dermaga dan fasilitas penunjang kegiatan pelabuhan dan merealisasikan pembangunan dua International Hub Port (IHP) di wilayah utara Indonesia, yaitu di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara untuk memperbaiki sistem logistik nasional untuk menekan beban transpor domestik sehingga menaikan daya saing produk Indonesia di pasar global. 3. Dalam pembangunan IHP sebaiknya dibentuk konsorsium dengan melibatkan Main Line Operator (MLO) internasional. Melibatkan MLO internasional dalam konsorsium IHP dimaksudkan untuk secara tidak langsung memaksa mereka untuk mengarahkan kapal-kapal di bawah kelolaan mereka untuk memanfaatkan IHP yang dibangun. 4. Salah satu penyebab masalah dalam infrastruktur di Indonesia adalah lemahnya kegiatan perencanaan. Akibatnya, sering pembangunan infrastruktur daerah tidak sesuai dengan kebutuhan daerah ataupun tumpang tindih. Untuk membenahi kelemahan ini maka perencanaan infrastruktur sebaiknya dilimpahkan ke pemerintah kabupaten/kota. Untuk itu dibutuhkan
kebijakan
kabupaten/kota
untuk
untuk
meningkatnya
merencanakan
kemampuan
kebutuhan
aparatur
pembangunan
perencanaan
di
infrastruktur
di
kabupaten/kota masing-masing sesuai kebutuhan daerah masing-masing, baik yang dapat dibiayai oleh APBD mereka sendiri maupun yang membutuhkan bantuan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Untuk mendukung hal ini, setidaknya 80% belanja pemerintah provinsi dan belanja kementerian dan lembaga di daerah harus berdasarkan permintaan dari kabupaten/kota. Untuk menerapkan hal ini, proposal dari kabupaten/kota sebaiknya dimasukan paling lambat akhir Maret pada periode t-1 dari tahun anggaran agar dapat diajukan pada anggaran provinsi maupun kementerian dan lembaga untuk dibelanjakan pada tahun anggaran berikut (t).
5. Dalam melakukan perencanaan pembangunan infrastruktur perlu dibuat matriks infrastruktur berdasarkan wilayah yang mengaitkan infrastruktur yang akan dibangun dengan infrastruktur yang telah tersedia untuk menghindari tumpang tindih dan meningkatkan sinergitas antar infrastruktur yang ada serta menghindari pembangunan infrastruktur yang mubazir. 6. Perlunya diatur tentang sistem hukuman bagi pelaksana pembangunan infrastruktur daerah yang tidak sesuai rencana ataupun yang bersifat tumpang tindih lewat pengurangan atau penundaan distribusi dana perimbangan atau cara lain yang memungkinan. 7. Kurangnya kuantitas dan kualitas infrastruktur serta banyaknya infrastruktur yang rusak disebabkan oleh kurangnya kegiatan pemeliharaan. Untuk membenahi hal tersebut perlu dilakukan kebijakan sebagai berikut. a.
Mewajibkan pemerintah daerah dan kementerian/lembaga untuk menganggarkan persentase minimum tertentu dari total belanja untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pada setiap tingkatan pemerintah untuk beberapa kurun waktu ke depan sehingga ketersediaan infrastruktur yang baik dianggap cukup memadai.
b.
Melakukan identifikasi kembali atas infrastruktur yang ada dengan melibatkan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk memperoleh kejelasan kepemilikan atas aset infrastruktur sehingga objek yang harus dipelihara oleh tiap tingkatan pemerintah menjadi jelas.
8. Pembangunan industri selama ini yang terpusat di Pulau Jawa akan semakin memberatkan wilayah tersebut serta menimbulkan disparitas yang tinggi dengan daerah di luar Jawa. Dengan demikian, pemerintah perlu mempermudah pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang memadai di luar Jawa, terutama di pulau-pulau besar. Pembangunan KEK itu sendiri pada dasarnya dibutuhkan untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di Indonesia. 9. Selain penyiapan lahan, hal pokok lain yang perlu dilakukan adalah mencari investor yang akan beroperasi di KEK, baik investor domestik maupun asing. Sebaiknya industri yang dibangun di KEK menggunakan bahan baku yang banyak tersedia di wilayah tersebut sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal seandainya karakter masyarakat di wilayah tersebut tidak tahan untuk melakukan aktivitas yang monoton yang umumnya terjadi di pabrik. 10. Untuk memperbesar alokasi dana untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur maka perlu dilakukan beberapa kebijakan strategis diantaranya sebagai berikut. a.
Melakukan pengurangan porsi belanja pegawai melakukan kebijakan negative growth terhadap jumlah pegawai yang didahului dengan analisis beban kerja untuk menentukan kebutuhan jumlah pegawai untuk suatu fungsi. Kebijakan negative growth nantinya akan diganti dengan kebijakan zero growth jika komposisi pegawai negeri telah optimal.
b.
Pemerintah dan dewan perlu kembali melakukan moratorium atas pemekaran wilayah sebab pemekaran wilayah memberi dampak yang signifikan terhadap peningkatan belanja pegawai. Dengan demikian dapat mencegah pembengkakan belanja pegawai yang dapat mengambil porsi belanja infrastruktur.
c.
Dana dekonsentrasi yang disalurkan selama ini sebagian besar untuk belanja barang dan belanja bantuan sosial yang sering kurang produktif. Oleh sebab itu, sebaiknya dana dekonsentasi lebih diarahkan untuk belanja modal infrastruktur. Untuk hal tersebut, pemerintah kabupaten/kota perlu diwajibkan mengajukan kegiatan pembangunan infrastruktur yang akan dibiayai dengan dana dekonsentrasi berdasarkan perencanaan yang terintegrasi sehingga dapat mengubah alokasi belanja dari dana dekonsentrasi.
Perlu dilakukan revisi regulasi dalam bidang komunikasi untuk mewajibkan penyedia jasa komunikasi untuk melayani daerah kecil (pasar kurus) jika mereka ingin memperluas cakupan di daerah besar (pasar gemuk) berdasarkan suatu rasio pembanding tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan komunikasi di seluruh wilayah Indonesia. Kepustakaan Delmon, J. (2006), “Infrastructure at the Crossroads : Lessons from 20 Years of World Bank experience,” Washington DC: The International Bank for Reconstruction and Development. Willoughby, C. (2004), "Infrastructure and the Millennium Development Goals,” Complementarity of Infrastructure for Achieving the Millennium Development Goals, Berlin: United Nations: 1-33. ASEAN-Japan Transport Partnership, www.ajtpweb.org/statistics World Bank, http://data.worldbank.org/indicator/EG.ELC.PROD.KH