REVOLUSI BILANGAN START SEBUAH KEADILAN
SUGIARN0 Jl. Raya Petung 51 Bangsalsari, Jember, Jawa Timur 68154
2002
2
PENGANTAR
Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam upaya melepaskan bangsa ini dari belenggu krisis yang datang silih berganti sejak pasca proklamasi. Dalam hal ini, penulis mengajak pembaca sekalian untuk sejenak merubah posisi keterpakuan cara pandang dalam banyak hal karena ternyata dengan merubah
cara pandang
tersebut ada wajah lain dari Indonesia yang jauh lebih besar daripada yang kita kenal. Untuk itu, buku ini harus dibaca dengan hati. Baik keterpakuan posisi saat memandang maupun merubah cara pandang terhadap sesuatu hanya dapat dimulai dari dunia pendidikan serta hanya dapat dilakukan oleh dunia pendidikan itu sendiri. Oleh sebab itu, krisis multidimensi yang melanda bangsa ini menjadi tidak lepas dari tanggungjawab dunia pendidikan secara keseluruhan. Bukankah, semua “pelaku” penyebab timbulnya krisis tersebut adalah output pendidikan? Dengan kata lain, pemegang kunci penyelesaian krisis multidimensi yang melanda bangsa ini ada pada tangan para pendidik, bukan pada tangan mantan peserta didik --siapapun mereka. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga, sejawat, dan semua pihak yang telah memberikan masukan baik langsung maupun tidak langsung. Semoga budi baik tersebut mendapatkan balasan yang setimpal dari-Nya.
Jember, 6 Desember 2002 Penulis
2
3
INTISARI Sebagai disiplin ilmu yang telah memproklamirkan diri sebagai ratunya ilmu maka kemelut krisis multidimensi yang terjadi di negara ini menjadi tidak lepas dari tanggungjawab Matematika. Hal ini dikarenakan pola menghitung yang curang – mengurangi “kuantitas” saat menghitung …. Reformasi bilangan bermaksud meruntuhkan dominasi sistem bilangan Hindu Arab dengan pola basis seribu (103) yang berlaku di Indonesia dan menggantinya dengan pola basis seratus (102). Penerapan sistem bilangan desimal dengan pola basis seribu (103) dengan menafikan keberadaan basis seratus (102) jelas merupakan sebuah lompatan yang terlalu maju. Bayangkan, dari bilangan desimal basis sepuluh (10) menjadi bilangan desimal basis seribu (103). Untuk itu, sistem bilangan Hindu Arab perlu dikaji ulang agar keuntungan hitungan tidak selalu berpihak pada produsen bilangan saja namun juga berpihak pada konsumen bilangan itu. Hasil reformasi bilangan tersebut menghasilkan sistem bilangan peralihan dan hanya berlaku selama masa transisi. Dengan mereformasi bilangan akan dapat diketemukan satuan bilangan yang tanpa sengaja (?) “dihilangkan”, misalnya : puluh ratusan, puluh ratus ribuan, dan sebagainya. Sistem bilangan peralihan di Indonesia pada masa transisi : (10)0 satu (10)1 sepuluh (10)2 seratus --berasal dari sepuluh-puluh (10)3 sepuluh ratus (10)4 seribu --berasal dari seratus-ratus (10)5 sepuluh ribu (10)6 seratus ribu (10)7 sepuluh ratus ribu (10)8 sejuta --berasal dari seribu-ribu (10)9 sepuluh juta
3
4
(10)10 seratus juta (10)11 sepuluh ratus juta (10)12 seribu juta (“miliar”) --berasal dari seratus-ratus juta (10)13 sepuluh ribu juta (10)14 seratus ribu juta (10)15 sepuluh ratus ribu juta (10)16 setriliun --berasal dari sejuta-juta Berdasarkan susunan di atas, nampak perubahan “satuan bilangan” muncul ketika bilangan desimal dengan basis sepuluh (10) ditata dengan pola deret ukur pada pangkat faktor desimalnya --dan itu lebih mendekati konsisten sebagaimana tuntutan Matematika. Dalam hal ini, pakar Matematika harus membayar hutang yang telah dilakukan terhadap bilangan laksa (10)4 dan keti (10)5 dengan miliar (103)3. Hutang dalam satu masa juga harus dibayar dalam satu masa. Oleh karena itu, untuk sementara waktu “miliar ditidurkan”. Penggunaan sistem bilangan Hindu Arab dengan pola basis seribu (103) tanpa disadari mengakibatkan konsumen bilangan dirugikan dengan prosentase yang sangat fantastis, yaitu jika suatu bilangan bernilai ≥ seribu (103) maka kerugian yang diderita konsumen bilangan itu adalah ≥ 90%. Dan, ternyata penyebab kerugian tersebut adalah karena nilai kualitas bilangan seribu yang digambarkan dengan lambang bilangan 1000 belum proporsional –masih prematur, sehingga berpengaruh pada kuantitas bilangan yang lain. Ironisnya, hal itu baru terasa ketika bilangan sudah masuk dalam pusaran uang. Dengan demikian, tanpa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tanpa larinya investor, tanpa buruknya (?) kinerja pemerintahpun perekonomian akan ambruk dengan sendirinya dan Indonesia akan bangkrut, hanya masalah waktu. Apalagi … Dengan “rusak” -nya pilar ekonomi maka akan sangat mempengaruhi pilar-pilar yang lain, untuk selanjutnya efek dominolah yang akan berbicara.
4
5
Rumus untuk menyembuhkan krisis keuangan /ekonomi yang melanda negara ini adalah dengan mereformasi sistem bilangan Hindu Arab terlebih dahulu dan selanjutnya, pada masa transisi, seluruh keuangan yang menjadi hak negara serta kewajiban negara yang timbul karena hak tersebut dihitung berdasarkan bilangannya (pelafalan /pengucapannya). Sedangkan realita uang yang beredar di masyarakat dihitung berdasarkan lambang bilangannya. Masa transisi memerlukan waktu sembilan tahun dan ini harus jelas, kapan start dan kapan finish. Dalam rentang waktu yang panjang tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
memposisikan diri sebagai Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) II, sedangkan seluruh lembaga tinggi negara beserta seluruh perangkat pendukungnya berada dalam posisi “domisioner”. Bisa dikatakan, jalan di tempat selama sembilan tahun karena biduk yang bernama Indonesia telah salah arah dalam melaju sehingga tak terbilang korban yang berjatuhan. Mulai dari yang konkrit seperti rakyatnya, uangnya, aksaranya sampai dengan yang abstrak seperti bilangannya. Dengan demikian, selama itu, tidak ada hajat nasional. Oleh karena itu, regenerasi kepemimpinan terjadi dengan cara senioritas. Dalam masa transisi, MPR harus menarik keluar institusi-institusi yang berada di bawah payung eksekutif /legislatif dan untuk selanjutnya majelis tersebut akan menelorkan lima buah lembaga tinggi negara –untuk mendampingi lima buah lembaga tinggi negara yang telah lahir terlebih dahulu, yaitu : 1. Badan Keuangan Republik Indonesia; 2. Badan Pendidikan Nasional Indonesia; 3. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; 4. Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional; 5. Dewan Agama Indonesia. Sebuah kerja besar membangun peradaban Indonesia yang utuh, adil, dan hampir melibatkan seluruh rakyat terpampang di depan mata. Apalagi, pada masa transisi akan terjadi “banjir uang”, tersingkapnya jati diri sebagai bangsa Indonesia, dan sebagainya. Dampak psikologi dari keadaan ini harus disikapi secara fleksibel.
5
6
Dengan berakhirnya masa transisi, akan terjadi Revolusi Bilangan. Bilangan dengan basis seratus (102) akan menampakkan kekuatan yang sesungguhnya. Hasil dari revolusi basis seratus (102) adalah Sistem Bilangan Indonesia. Satu pilar utama dominasi barat tumbang di bumi Pertiwi. Sistem bilangan Indonesia : (10)0
satu
(10)1
sepuluh
(10)
2
seratus
(10)4
seribu
(10)8
selaksa
(10)16
seketi
(10)32
sejuta
48
(10)
semiliar
(10)64
senoto
(10)96
setriliun
(10)124
seindonesia Sebagai sebuah sistem, bilangan juga akan mempengaruhi sistem yang lain,
dan itu nyaris menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat dilihat pada saat bilangan melakukan manuver. Bertolak dari noto (10)64, bilangan merambah noto lahan kehidupan (10)76. Kemudian membubung tinggi ke noto uang (10)92, lantas makin tinggi terbangnya dan singgah di noto pendidikan (10)108 , turun dengan santai ke noto agama (10)100. Dari noto agama, bilangan naik vertikal ke noto ilmu (10)104, perjalanan pun dilanjutkan dengan menukik tajam ke noto tarikh (10)88, lantas melesat tinggi ke noto adil (10)112, melesat kian tinggi ke noto bela negara (10)124. Dari noto bela negara, bilangan turun dengan tajam ke kandang sendiri, noto bilangan (10)84. Sejenak bilangan beristirahat untuk mengumpulkan tenaga, lantas dengan santai melenggang ke noto bahasa (10)80, turun dengan tajam ke noto nusa (10)72, makin rendah terbangnya untuk menggapai noto negara (10)68.
6
7
Sontak bilangan melesat jauh tinggi ke noto penguasa (10)120.
Di sana,
bilangan hanya singgah sesaat dan perjalanan dilanjutkan ke titik noto terakhir yang belum dirambahnya, noto bangsa (10)116. Puas mengadakan penjelajahan di noto bangsa, bilangan turun perlahan dan mendarat dengan selamat di pangkuan Ibu Pertiwi. Dengan mengikuti manuver bilangan, ternyata ada wajah lain dari Indonesia yang jauh lebih besar dari yang terpampang di depan mata. Indonesia Raya bukanlah cita-cita kosong, bukan pula mimpi di siang bolong sepanjang seluruh komponen bangsa mau merapatkan barisan dan menyatukan langkah untuk maju bersama.
7
8
DAFTAR ISI Pengantar …………………………………………………………………. …….
2
Intisari ……………………………………………………………………………
3
Daftar Isi …………………………………………………………………………
8
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ……………………………………………….. …….
10
1.2 Tujuan ……………………………………………………………….
11
Bab II Bilangan 2.1 Sitem Bilangan Hindu Arab …………………………………………
12
2.2 Reformasi Bilangan ………………………………………….. …….
30
2.3 Sistem Bilangan Indonesia …………………………………………..
38
2.4 Revolusi Bilangan ……………………………………………. …….
48
Bab III Manuver Bilangan dalam Menata Kehidupan Berbangsa dan Bernegara 3.1 Noto Lahan Kehidupan …………………………………………….
54
3.2 Noto Uang ………………………………………………………….
86
3.3 Noto Pendidikan ……………………………………………………
96
3.4 Noto Agama ……………………………………………………….
123
3.5 Noto Ilmu ………………………………………………………….
144
3.6 Noto Tarikh ………………………………………………………..
148
3.7 Noto Adil…………………………………………………………..
161
3.8 Noto Bela Bangsa………………………………………………….
167
3.9 Noto Bilangan ……………………………………………………..
183
3.10 Noto Bahasa ……………………………………………………..
183
3.11 Noto Nusa ………………………………………………………..
192
3.12 Noto Negara………………………………………………………
195
8
9
3.13 Noto Penguasa……………………………………………………
199
3.14 Noto Bangsa ……………………………………………………..
206
3.15 Langkah-Langkah Strategis ………………………………………
242
Bab IV Penutup 4.1 Kesimpulan ………………………………………………………..
245
4.2 Saran……………………………………………………………….
252
Kepustakaan …………………………………………………………………..
253
Lampiran-Lampiran : 1. Implementasi Reformasi Bilangan ………………………………
257
2. Format Demokrasi ………………………………………………..
267
3. Natar ………………………………………………………………
268
4. Nilai Natar …………………………………………………………
275
5. Sebuah Anekdot……………………………………………………
278
9
10
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis yang berkepanjangan hanyalah akumulasi dari sebuah kondisi ketidakstabilan basis (baca : ilmu dasar). Begitu pula halnya dengan krisis keuangan, krisis kepercayaan, krisis jati diri, dan seluruh krisis-krisis lain yang melanda bangsa ini. Kondisi tersebut harus diselesaikan sebab setiap sebuah dimensi kehidupan mengalami krisis maka akan sangat mempengaruhi peri kehidupan yang lain. Penyelesaian setiap krisis memang berbeda, kasus perkasus. Hanya saja, jika penyelesaian tersebut hanya di permukaan tanpa menyentuh akar permasalahan maka hal itu tak ubahnya dengan menunda datangnya krisis lain yang jauh lebih besar lagi. Dikatakan demikian sebab krisis yang datang kemudian akan lebih kompleks sifatnya, sehingga penyelesaiannya juga semakin rumit. Menggali akar permasalahan untuk dapat menyelesaikan krisis multi dimensi adalah sebuah kerja besar yang harus melibatkan banyak orang didalam menyelesaikannya. Hanya saja, dari mana harus memulai sehingga penyelesaian bisa tuntas dan meminimalisir jatuhnya korban, itu yang menjadi pokok permasalahannya. Sebagai alternatif, bilangan dapat dijadikan pijakan awal. Dengan membilang (baca : menghitung) yang benar maka akan benar pula hasil yang didapat, begitu pula sebaliknya. Kecurangan dalam membilang bukan hanya akan mempengaruhi Matematika namun juga akan berdampak buruk pada yang lain. Dengan bilangan, “materi” dapat dihitung dan akan dapat diketemukan pula “materi” lain yang berkaitan dengannya. 1.2 Tujuan Sebagai masukan bagi Matematisi Indonesia untuk mengadakan kajian ulang terhadap sistem bilangan desimal dengan pola basis seribu (103), bagi dunia pendidikan khususnya, serta bagi penyelenggara negara pada umumnya.
10
11
BAB II BILANGAN
2.1 Sistem bilangan Hindu Arab Sistem bilangan di Indonesia disebut sistem bilangan Hindu Arab, disebut demikian karena menurut sejarahnya sistem ini ditemukan oleh orang Hindu yang oleh orang Arab disempurnakan dan diperkenalkan ke benua Eropa. Sistem ini disebut sistem desimal karena mengggunakan bilangan dasar sepuluh. Dengan demikian, angka yang dipergunakan adalah 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, sedangkan untuk lambang bilangan sepuluh dipergunakan angka 1 dan angka 0 sehingga tertulis 10. Untuk lambang bilangan sebelas digunakan angka 1 dan 1 sehingga tertulis 11, dan begitu seterusnya. Cara penulisan lambang bilangan seperti tersebut disebut dengan sistem nilai tempat atau posisi. Berdasarkan kriterianya, pada bilangan cacah –dari kanan ke kiri-dapat diurutkan sebagai berikut : satuan, puluhan, ratusan, ribuan, puluh ribuan, ratus ribuan, jutaan, dan seterusnya. Pengelompokan tersebut erat kaitannya dengan penulisan bentuk panjang suatu bilangan. Misalnya, pada bilangan xyz, artinya pada bilangan tersebut terdapat
x
kelompok ratusan, y
kelompok puluhan,
dan z
kelompok satuan. Berdasarkan teknik pengelompokan, maka, jika …..m.lkj.ihg.fed.cba adalah suatu bilangan cacah akan terlihat gambaran sebagai berikut : Bilangan
Tempat
Angka
Nilai tempat
a
satuan
satuan
1
b
puluhan
puluhan
10
c
ratusan
ratusan
100
11
12
d
ribuan
ribuan
1.000
e
puluh ribuan
puluh ribuan
10.000
f
ratus ribuan
ratus ribuan
100.000
g
jutaan
jutaan
1.000.000
h
puluh jutaan
puluh jutaan
10.000.000
i
ratus jutaan
ratus jutaan
100.000.000
j
miliaran
miliaran
1.000.000.000
k
puluh muluaran
puluh miliaran
10.000.000.000
l
ratus miliaran
ratus miliaran
100.000.000.000
m
triliunan
triliunan
1.000.000.000.000
Tabel 1
Jika pola tersebut di atas dianggap benar, maka terlihat adanya kejanggalan, atas dasar apa istilah jutaan tidak langsung muncul sesudah ribuan, begitu pula dengan miliaran dan triliunan, mengapa masih harus tersekat oleh istilah lain (Penyimpangan 1). Padahal, desimal berarti persepuluhan. Bandingkan dengan pola desimal pada masa lalu berikut ini. Bilangan
Tempat
Angka
Nilai tempat
1
2
3
4
a
Satuan
Satuan
1
b
Puluhan
Puluhan
10
c
Ratusan
Ratusan
100
d
Ribuan
Ribuan
1.000
e
Laksa
Laksa
10.000
f
Keti
Keti
100.000
g
Juta
Juta
1.000.000 Tabel 2
Kembali pada bilangan xyz , apabila bilangan tersebut ditulis dalam bentuk panjang maka akan terlihat sebagai berikut :
12
13
xyz = (x x 102) + (y x 10) + z = 100 x + 10y + z Berdasarkan penulisan tersebut, pada pengelompokan bilangan bahwa cara yang ditempuh dan pemberian nama berdasarkan atas pemangkatan bilangan 10 (sepuluh). Perhatikan hasil pemangkatan berikut ini. Pada 10n
Hasil
Dibaca
10
0
1
Satu
10
1
10
Sepuluh
10
2
100
Seratus
10
3
1.000
Seribu
10
4
10.000
Sepuluh ribu
105
100.000
Seratus ribu
10
6
1.000.000
Sejuta
10
7
10.000.000
Sepuluh juta
108
100.000.000
Seratus juta
10
9
1.000.000.000
Semiliar
10
10
10.000.000.000
Sepuluh miliar
100.000.000.000
Seratus miliar
1.000.000.000.000
Setriliun
1011 10
12
Tabel 3
Pada hasil pemangkatan dan cara membaca (pelafalan) terlihat jelas bahwa pada bilangan ≤ 1 triliun, penyebutan suatu istilah berubah pada satu, sepuluh, seratus, seribu, sejuta, semiliar, dan setriliun. Berdasarkan pola pemangkatan bilangan (10) sepuluh di atas, nyata sekali bahwa pola yang diterapkan belumlah teratur (Penyimpangan 2). Padahal, sebagai ilmu pasti, Matematika –bilangan-- menganut hukum keteraturan (Ruseffendi E.T, 1993 : 28). Apa hubungan antara pangkat 0, pangkat 1, pangkat 2, pangkat 3, pangkat
13
14
6, pangkat 9, dan pangkat 12 pada bilangan 10 (sepuluh) sehingga menghasilkan bilangan baru? Dari realita pemangkatan bilangan tersebut di atas dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. 1
= (10)0 1
10
= (10)
100
= (10)2
1.000
= (10)3 = 100
= (102)0
100
= 102
= (102)1
1.000.000
= 106
= (102)3
1.000.000.000.000
= 1012
= (102)6
2. 1
= 100
=
(103)0
1.000
= 103
=
(103)1
1.000.000
= 106
=
(103)2
1.000.000.000
= 109
=
(103)3
1.000.000.000.000
= 1012
= (103)4
= 100
= (106)0
1.000.000
= 106
= (106)1
1.000.000.000.000
= 1012
= (106)2
3. 1
4. 1
5. 1 1.000.000.000 6. 1 1.000.000.000.000
= 100
= (109)0
= 109
= (109)1 = 100
= (1012)0
= 1012
= (1012)1
14
15
Perlu diperhatikan bahwa antara satuan bilangan dan satuan tempat suatu bilangan adalah berbeda. Sebab pada satuan bilangan hanya ada satuan, puluhan, ratusan, ribuan, jutaan, miliaran, dan triliunan . Sedangkan pada satuan tempat bilangan dapat dilihat pada pola pertama di atas. Dari pemangkatan faktor desimal di atas terlihat : 1. Pada nilai tempat l, 10, 100, dan 1.000 menerapkan pola deret hitung dengan interval satu pada faktor desimalnya; 2. Deret hitung dengan interval dua --yang terkesan melompat-ompat-- pada faktor desimalnya terlihat pada 1, 100, 1.000.000 dan 1.000.000.000.000; 3. Untuk 1, 1.000, 1.000.000, 1.000.000.000, dan 1.000.000.000.000 menggunakan pola deret hitung dengan interval tiga pada faktor desimalnya; 4. Pada 1, 1000.000, dan 1.000.000.000.000 menggunakan pola deret hitung dengan interval enam pada faktor desimalnya; 5. Pada 1, 1.000.000.000 dan 1.000.000.000.000 menggunakan pola deret hitung dengan interval sembilan pada faktor desimalnya.; 5. Dan, pada 1 dan 1.000.000.000.000 menggunakan pola deret hitung dengan interval dua belas pada faktor desimalnya.
15
16
Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut ini :
Bilangan
Lambang Bilangan
A
B
C
D
E
F
n=10
(n2)
(n3)
(n6)
(n9)
(n12)
(102)0
(103)0
(106)0
(109)0
(1012)0
Satu
1
(10)0
Sepuluh
10
(10)1
Seratus
100
(10)2
Seribu
1.000
(10)3
Sejuta
1.000.000.000
(10)6
Semiliar
1.000.000.000.000
(10)9
Setriliun
1.000.000.000.000.000
(10)12
(102)1 (103)1 (102)3
(103)2
(106)1
(103)3 (102)6
(103)4
(109)1 (106)2
(1012)1
Tabel 4 Dari penggambaran tersebut terlihat bahwa asal usul suatu bilangan terlihat sangat tidak konsisten (Penyimpangan 3). Hal tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : -
Basis seratus (100) atau (102) muncul setelah basis sepuluh (10)2
-
Basis seribu (1000) atau (103) muncul setelah basis seratus (102)x
-
Basis sejuta (1.000.000) atau (106)muncul setelah basis seribu (103)2, mirip dengan pemunculan basis seratus
-
Basis semiliar (1.000.000.000) atau (109) ini muncul setelah basis sejuta (106)y , dan itu mirip dengan pemunculan basis seribu
-
Basis setriliun (1.000.000.00.000) atau (1012) muncul pada saat basis semiliar (109)z
Mengingat pengertian miliar sudah dibakukan dalam Bahasa Indonesia, maka sumber masalah bilangan tinggallah seribu dan setriliun. Kiranya perlu diingat bahwa tanpa ada maksud menafikan “kemerdekaan” dunia Bahasa Indonesia, maka dalam konteks lambang bilangan, sebenarnya basis triliun sudah muncul saat basis sejuta (106)2. Dengan demikian, dalam hal ini, penyimpangan ada pada basis seribu (103).
16
17
Bukti lain penyimpangan penerapan basis seribu (103), juga dapat kita lihat pada realita berikut ini. Perhatikan : 10 x 1.000 = 10.000 (satu nol nol nol nol dibaca sepuluh ribu) 10 x 1.000.000 = 10.000.000 (satu nol nol nol nol nol nol nol dibaca sepuluh juta) 10 x 1.000.000.000 = 10.000.000.000 (satu dengan sepuluh nol dibaca sepuluh miliar) 10 x 1.000.000.000.000 = 10.000.000.000.000 (satu dengan tiga belas nol dibaca sepuluh triliun) Dengan memperhatikan uraian di atas, maka, jika ada sepuluh ribu, sepuluh juta, sepuluh miliar, sepuluh triliun, dan sepuluh xyz yang lain, berarti 10 x 100 = 1000 (baca : sepuluh kali seratus sama dengan seribu). 1 000 dibaca seribu – dianggap seribu-- adalah sebuah penyimpangan yang nyata. Sebenarnya dari sinilah persoalan bilangan muncul. Sebab, selain bilangan memiliki ciri basis sepuluh, lambang bilangan yang kita pakai juga memiliki ciri nilai tempat sebab nilai tiap- tiap angka tergantung pada tempatnya (Heri Sutarno : 1994). Lucunya, pada n ≤ 1000 (103) digunakan basis sepuluh (10) namun pada
n ≥ 1000 digunakan basis seribu (103). Atau dengan kata lain, sistem
bilangan Hindu Arab bermuka dua. Memang, kita dapat menjadikan seribu (103) sebagai basis dan memandang bilangan sepuluh (10) dan seratus (100) dimunculkan untuk melengkapi urutan sistem bilangan dari satu ke seribu atau ke bilangan lainnya (Kosala D Purnomo, 2000 :1). Namun dari situ timbul pertanyaan mendasar.
17
18
Pertama, mengapa basis seribu (103) yang dimunculkan sementara basis seratus (102) baru berusia (102)0, (102)1, dan (102)x . Kedua, bisa jadi, dalam sistem bilangan Belanda /Inggris/ Jerman serta sistem bilangan Amerika Serikat /Perancis penerapan basis seribu (103 ) itu benar. Tetapi, Guru --khususnya guru SD-- di sini mengajarkan bahwa bentuk panjang dari xyz adalah: xyz = (x x 102) + (y x 10) + z = (x x 100) + (y x 10) + z = 100 x + 10 y + z Bukankah, jika seribu (103) dipandang sebagai basis maka bentuk panjang dari xyz adalah : xyx = {x x(103)x } + {y x (103)y} + z = (x x 100) + (y x 10) + z = 100x + 10y + z Meskipun, hasil akhirnya sama –dalam konteks lambang bilangan, pertanyaanya adalah, Mengapa guru dibohongi? Selain itu, jika seribu (103) dipandang sebagai basis bilangan, maka : 3
√ 1000
= 10
--akar pangkat tiga dari seribu = sepuluh
3
√ 1.000.000 = 100
--akar pangkat tiga dari sejuta = seratus
3
√ 1.000.000.000 = 1.000
--akar pangkat tiga dari semiliar = seribu
3
√ 1.000.000.000.000 = x
--akar pangkat tiga dari setriliun = x
Jika sepuluh menempati posisi puluhan, seratus menempati posisi ratusan, dan seribu menempati posisi ribuan. Pertanyaannya adalah, satuan bilangan manakah yang ditempati oleh x? Mungkin, akan dijawab dengan sepuluh ribu. Tetapi, harus diingat bahwa sepuluh ribu bukanlah satuan bilangan, melainkan merupakan satuan nilai tempat bilangan.
18
19
Jika Matematika konsisten memandang seribu (103) –dengan tekanan pada pangkat 3-- sebagai basis bilangan maka seharusnya basis seribu berakhir pada miliar atau (103)3. Perhatikan : 1. Misal : satuan bilangan adalah x Maka : 1. (x)0 = satuan (x)1 = puluhan (x)2 = ratusan (x)3 = ribuan 2. (x3)0 = satuan (x3)1 = ribuan (x3)2 = jutaan (x3)3 = miliar 3. (x9)0 = satuan (x9)1 = miliar (x9)2 = a (x9)3 = b Dari situ terlihat bahwa triliun muncul pada (x9)2 atau x18. Padahal, bilangan desimal yang sepakat digunakan adalah bilangan dasar sepuluh. Dengan demikian, seharusnya, triliun muncul pada saat (10)18 atau 1 dengan 18 nol di belakangnya. Dan, itu baru tepat, sebab sebenarnya, bukankah triliun berasal dari (106)3 atau million x million x million, bukan dari (103)4, apa lagi dari (104)3 …. Jadi, di manakah letak konsistennya sistem bilangan yang kita pakai? Mungkin, para pakar berdalih bahwa mereka menerapkan pola deret hitung, bukan pola deret ukur pada basis seribu (103) sehingga satuan bilangan yang baru akan muncul setiap kelipatan pangkat tiga dari basis sepuluh (10) sehingga jadilah seperti sistem bilangan yang ada sekarang ini – di Indonesia.
19
20
Pertanyaannya, bukankah seribu sendiri muncul setelah sepuluh pangkat tiga? Mengapa hanya seribu (103) sendiri yang diberi keleluasaan seperti itu? Mengapa seratus (102) tidak diberi kesempatan? 2. Misal : bilangan = a satuan bilangan pertama = x satuan bilangan kedua
=y
satuan bilangan ketiga
=z
Maka : (a)1
=x
(a)2
=y
(a)3
=z
Jika : 1. a = sepuluh x = sepuluh y = seratus z = seribu 2. a = seratus x = seratus y=… z = sejuta 3. a = seribu x = seribu y = sejuta z = semiliar 4. a = sejuta x = sejuta y = setriliun z=…
20
21
Dari gambaran di atas muncul pertanyaan : 1. Satuan bilangan manakah yang tepat untuk mengisi y pada item 2? Apakah seribu? Kalau bukan, lantas di mana posisi seribu? 2. Satuan bilangan apa pula yang akan muncul pada z item 4? Fersi 1(Inggris /Jerman /Belanda) atau Fersi 2 (Amerika Serikat /Uni Soviet /Perancis) ? Padahal, kita telah dianjurkan untuk menganut pola dengan Fersi 2, sehingga pada 1015 sudah harus
muncul satuan bilangan baru , sedangkan menurut
pembuktian di atas maka hal itu sangat tidak mungkin untuk terjadi. Memang, dalam konteks lambang bilangan, semua paparan di atas dapat diselesaikan sebagai berikut : y item 2 = (100)2 atau 10.000 --sepuluh ribu z item 4 = (1.000.000)3 atau 1 dengan 18 nol di belakangnya. Tapi perlu dicermati bahwa sepuluh ribu bukanlah satuan bilangan melainkan satuan nilai tempat bilangan. Posisi satuan bilangan lebih tinggi dari satuan nilai tempat bilangan. Dalam hal ini, satuan bilangan, selain berfungsi sebagai satuan bilangan juga berfungsi
sebagai satuan nilai tempat bilangan, dengan demikian
berfungsi ganda, sebaliknya, satuan nilai tempat berfungsi tunggal. Dalam hal ini, ada yang perlu diingat tentang konsep bilangan : “Bilangan merupakan konsep abstrak. Bilangan bukan simbul, bukan pula angka. Tanda-tanda atau goresan yang kita temukan pada kertas, batu, tanah liat, dan sebagainya bukan bilangan tetapi lambang bilangan” (Erman Suherman, 1995 : l08)
21
22
“Penulisan dan penyebutan suatu bilangan lebih tergantung pada konsensus umum di masyarakat. Masyarakat memiliki kebebasan untuk menyepakati apakah bilangan seribu itu terdiri atas angka 1 dan 0 sebanyak tiga atau 0 sebanyak empat” (Kosala D. Purnama, 2000 : 1)
Tetapi kebebasan itu pun perlu dipertanyakan. Benarkah mereka bebas? Bukankah di situ ada tangan kuat (baca “guru” penulisan dan penyebutan suatu bilangan) yang secara sistematik mengajarkan bahwa 1 dengan 0 sebanyak tiga buah atau 1000 dibaca seribu, bukan se-x. Bisa jadi, mereka (guru tersebut) adalah produk “sini” namun dengan lisensi “sana”. Atau dengan kata lain, mereka belajar di sini, namun ilmu yang dipelajari adalah ilmu sana. Kalau hal ini dirunut ke belakang, sebenarnya, para guru tersebut sekedar melaksanakan penyampaian /memasyarakatkan hasil olahan para pakar. Dari waktu ke waktu, mereka mengajarkan ilmu yang telah di terimanya. Mereka tidak harus (?) memikirkan kebenaran
ilmu tersebut
karena memang
bukan dalam otoritas
kewenangannya. Guru adalah perenang, bukan penyelam! Pertanyaan berikutnya adalah, kepada siapa para pakar pada masa kolonial belajar? Maka dengan mudah, telunjuk ini akan mengarah ke barat. Oleh karena itu, jangan heran, jika miliar muncul pada saat 109 dan itu adalah model Inggris /Jerman / Belanda (fersi 1) –sebab pada awal kemerdekaan para orang pintar negara ini belajar di negeri Belanda, sedangkan triliun muncul pada saat 1012 dan itu merupakan fersi Amerika Serikat /Uni Soviet /Perancis (fersi 2). Jika konsisten menggunakan fersi 1, maka seharusnya 1012 akan disebut biliun. Begitu pula, jika konsisten terhadap fersi 2, maka 109 disebut biliun. Perhatikan sistem bilangan besar berikut ini1: Fersi 1 (Inggris /Jerman /Belanda) : 109
miliar
jumlah nol 9
12
biliun
jumlah nol 12
18
triliun
jumlah nol 18
10 10 1
dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, halaman 1047
22
23
1024 30
10
kuadriliun
jumlah nol 24
kuantiliun
jumlah nol 30
Fersi 2 (Amerika Serikat /Uni Soviet /Perancis) : 109
biliun
jumlah nol 9
1012
triliun
jumlah nol 12
1015
kuadriliun
jumlah nol 15
18
kuantiliun
jumlah nol 18
10
dan seterusnya. Kesan asal comot produk sana dapat dimaklumi. Mereka juga sekedar murid yang patuh. Jadi, ganti guru ganti baju. Bergesernya “kiblat” para pakar itulah yang menyebabkan sistem bilangan di Indonesia semrawut. Sebab, jika 109 bernilai miliar, dan 1012 bernilai triliun, lantas dimanakah kedudukan biliun? Atau,
satuan
bilangan manakan
yang
diasumsikan sebagai milion?
Bukankah, milion sudah diartikan dengan juta? Sistem bilangan di Indonesia saat ini2
2
1
= satu
10
= sepuluh
102
= seratus
103
= seribu
106
= sejuta
109
= semiliar (fersi Belanda /Inggris /Jerman)
1012
= setriliun (fersi Amerika Serikat /Perancis)
pada masa lalu /pra kolonial sistim bilangan di Indonesia : 10 satuan = sepuluh, 10 puluhan = seratus;
10 ratusan = seribu; 10 ribuan = 1 laksa; 10 laksa = 1 keti; dan 10 keti = 1 juta
23
24
Dari semua uraian di atas serta dari berbagai adanya penyimpangan pada sistem bilangan desimal yang dipakai di Indonesia, akhirnya terlihat bahwa semua merujuk pada satu masalah, yaitu penerapan basis seribu (103) atau memandang seribu (103) sebagai basis bilangan. Pertanyaannya berikutnya
adalah, benarkah dalam sistem bilangan kita
sekarang, sepuluh kali seratus sama dengan seribu? Meskipun, 10 x 100=1000 Mari, kita buktikan bersama! Misalkan : Sepuluh
=a
Seratus
=b
Seribu
=c
Sejuta
=d
Semiliar
=e
Setriliun
=f
Jika : 10a
= a2
=b
10b
≠ b2
≠c
2
=d
≠ d2
=f
10c
≠ c
10d
Maka dari persamaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu : I
II
III
10a = a2
a2 = b
10a = b
10b ≠ b
2
2
2
10b = c
2
b ≠ c
10c ≠ c
c = d
10c ≠ d
10d ≠ d2
d2 = f
10d ≠ f
Tabel 5
24
25
Pada kelompok I Secara kebetulan 10a = a2
Kebetulan di sini adalah kebetulan yang benar.
Sebab, a = sepuluh Pada kelompok II Terlihat ada penyimpangan, yaitu b2 ≠ c Perhatikan : b2
≠ c
b x b ≠ 10 b (seratus x seratus ≠ sepuluh seratus) bb
≠ 10 b ( seratus ratus ≠ sepuluh ratus ) -- (i)
Jika disubstitusikan ke dalam lambang bilangan, maka : 1002
≠ 1000
100 x 100 ≠ 10 x 100 10 000
≠ 1 000 --(ii)
Dipandang dari segi bilangan – pelafalan-- (i) maupun segi lambang bilangan (ii) memang benar dan tepat. Tetapi, perlu diingat bahwa c = 10 b. Oleh karena itu, benarkah c = 10 b? Perhatikan uraian berikut ini. Pada kelompok III 10 a = b juga terjadi secara kebetulan, dan itu juga merupakan kebetulan yang benar, sebab a dan 10 (sepuluh) bernilai sama. Akibat bertemunya dua satuan bilangan bernilai sama maka akan menghasilkan satuan bilangan baru, sedangkan b = seratus –sehingga 10 a akan sama dengan sepuluh sepuluh. Munculnya dua bilangan yang sama akan melahirkan satuan bilangan berikutnya. Perhatikan pula pemunculan juta dan triliun. Tetapi, kebenaran 10b = c perlu dipertanyakan Perhatikan : 10 b = c
(sepuluh seratus = seribu)
25
26
10 b =10 b
(sepuluh ratus = sepuluh seratus)
Kalau posisi faktor bilangan ditukarkan akan terlihat sebagai : 10 b = b 10
(sepuluh ratus = seratus sepuluh)
Sekali lagi, bilangan merupakan konsep abstrak, tetapi perlu diingat, dengan menggunakan lambang bilangan yang telah disepakati, maka konsep yang abstrak tadi dapat menjadi kongkrit –paling tidak dapat dilihat. Dengan demikian, kebenarannya dapat dibuktikan. Perhatikan : Sepuluh ratus bermakna tunggal yaitu sepuluh kali seratus. Kedudukan sepuluh pada sepuluh ratus sama dengan kedudukan sepuluh pada sepuluh ribu, sepuluh juta, sepuluh miliar, sepuluh triliun, atau sepuluh-x yang lain. Sedangkan seratus sepuluh –dalam hal ini— bermakna perkalian juga, yaitu seratus kali sepuluh. Tetapi, seratus sepuluh dapat juga bermakna seratus ditambah sepuluh. Masalahnya, jika ada dua buah seratus sepuluh, dari manakah kita dapat membedakan bahwa yang satu bermakna penjumlahan sedangkan yang lain bermakna perkalian? Perhatikan : 1. 10b = b10
2. 10c ≠ c10
3. 10d ≠ d10
4. 10 e ≠ e 10
--sepuluh seratus
= seratus sepuluh
sepuluh ratus
= seratus sepuluh
--sepuluh seribu
≠ seribu sepuluh
sepuluh ribu
≠ seribu sepuluh
--sepuluh sejuta
≠ sejuta sepuluh
sepuluh juta
≠ sejuta sepuluh
--sepuluh semiliar ≠ semiliar sepuluh sepuluh miliar
≠ semiliar sepuluh
26
27
5. 10 f ≠ f 10
--sepuluh setriliun
≠ setriliun sepuluh
sepuluh triliun
≠ setriliun sepuluh
Dengan demikian, nyata sekali bahwa dalam hal ini, memandang bilangan sepuluh kali seratus sama dengan seribu itu tidaklah tepat. Keadaan akan menjadi lain, jika seandainya b2 = c dan 10b ≠ c. Penerapan standar ganda --di satu sisi memandang seribu sebagai basis (103) bilangan besar (?) dan di sisi lain memandang seribu sebagai hasil dari 10 ratusan-tersebut mengindikasikan, sadar atau tidak sadar, adanya sesuatu yang disembunyikan oleh produsen bilangan. Dan, sesuatu yang disembunyikan itu sudah barang tentu sangat menguntungkan mereka. Sebab, sesuatu yang disembunyikan itu, akhirnya sangat merugikan konsumen bilangan. Ironisnya, hal ini baru terasa ketika bilangan sudah tidak murni lagi sebagai bilangan. Dalam hal ini, Indonesia berkedudukan sebagai konsumen bilangan. Selain itu, jika kita memandang seribu sebagai basis memang tidak ada salahnya. Namun dari situ timbul pertanyaan mendasar, mengapa basis seribu (103) dimunculkan sementara basis seratus (102) baru berusia (102)0 , (102)1, dan (102)x ? Padahal, basis seratus (102) sendiri muncul setelah basis sepuluh (10)2 . Perhatikan : 1. Basis sepuluh (10) (10)0 = 1 --satu (10)1 = 10 --sepuluh (10)2 = 100 --seratus 2. Basis seratus (102) (102)0
= 1 --satu
(102)1
= 100 --seratus
(102)x
= 1.000 --seribu
27
28
3. Basis seribu (103) (103)0 = 1 –Satu (103)1 = 1.000 --seribu (103)2 = 1.000.000 --sejuta (103)3 = 1.000.000.000 --semiliar (103)4 = 1.000.000.000.000 –setriliun Dengan memperhatikan gambaran di atas, terlihat dengan sangat jelas bahwa pemunculan basis seribu (103) terlalu dipaksakan –prematur. Oleh karena itu, seandainya basis seribu muncul pada saat basis seratus (102)2 secara kasat mata lebih dapat diterima akal. Sungguhpun demikian, bisa jadi para pakar Matematika berdalih bahwa laksa senilai dengan sepuluh ribu (103)x dan itu senilai dengan seratus (102)2 , sedangkan keti senilai dengan seratus ribu (103)y. Dalam konteks lambang bilangan, memang, antara laksa dan sepuluh ribu itu sama, yaitu l dengan 0 sebanyak empat buah. Kemudian antara keti dengan seratus ribu pun sama, yaitu 1 dengan 0 sebanyak lima buah. Namun, secara hakiki antara laksa dengan sepuluh ribu sudah jelas berbeda. Andaikan kereta api, laksa memiliki gerbong sendiri, sementara sepuluh ribu menempati gerbong ribuan. Begitu pula halnya dengan keti. Gerbong keti lain dari gerbong ratus ribuan,
ratus ribuan
merupakan bagian dari gerbong ribuan. Ingat, gerbong ribuan memiliki tiga buah kursi, kursi ribuan, kursi puluh ribuan, dan kursi ratus ribuan. Sementara laksa dan keti tidak memiliki kursi sama sekali, sama halnya dengan ratusan yang kita kenal. Jika para pakar Matematika bersikukuh dengan kebenaran cara memandang bilangan dari basis seribu (103). Ada satu pertanyaan terakhir : “Di kemanakankah sepuluh (10), seratus (100), dan seribu (1000) yang pernah hidup bersama, seiiring, dan harmonis bersama selaksa, seketi, dan sejuta? Bukankah, puluh, ratus, ribu, laksa, keti, dan juta itu merupakan satu kesatuan dari sebuah sistem bilangan?”
28
29
2.2 Reformasi bilangan Merubah cara pandang terhadap asal usul seribu dari sepuluh ratusan menjadi seratus ratusan harus dilaksanakan agar sistem bilangan ini mendekati konsisten. Dengan kata lain, 1.000 baru benar jika dibaca sepuluh ratus --belum mencapai seribu. Sebab, untuk mencapai seribu maka seratus harus kali seratus atau dengan kata lain, 1.0000 = 100 x 100 (satu nol nol no nol dibaca seribu) Ingat, seratus bukan hanya berasal dari sepuluh puluhan melainkan juga berasal dari sepuluh puluh. Pengertian kedua inilah yang sesuai dengan pemunculan sejuta dan setriliun. Dengan demikian, antara seratus (100) dengan seribu (1.0000) terpaut 99 ratus bukan 9 ratus. Sungguhpun demikian, bukan berarti dapat menyelesaikan masalah jika basis seratus (102) dihidupkan sementara pola yang digunakan tetap --pola deret hitung. Sebab, jika pola deret hitung yang diterapkan maka akan terlihat sebagai berikut : (10)0 = 1 (10)1 = 10 (10)2 = 100 -- (102)1
= 100 --seratus
(102)2
= 1.0000
(102)4
= 1.0000.0000 --sejuta
(102)6
= 1.0000.0000.0000 --semiliar
(102)8
= 1.0000.0000.0000.0000
(102)10
= 1.0000.0000.0000.0000.0000
--seribu
--setriliun --se-x
Basis seratus dapat hidup dan mendekati benar --selama masa transisi-- dan sudah dapat menyelesaikan masalah krisis keuangan jika pola yang diterapkan adalah pola deret ukur pada pangkatnya, sehingga interval antar nilai tempat satuan bilangan makin mengecil.
29
30
Perhatikan : 1. (10)0
=1
(10)1
= 10
(10)2
= 100 --seratus
2. (102)1
= 100 --seratus
(102)2
= 1.0000
--seribu
3. (104)1
= 1.0000
--seribu
4 2
= 1.0000.0000
--sejuta
4. (108)1
= 1.0000.0000
--sejuta
(10 )
(108)2 5. (1016)1 (1016)2
= 1.0000.0000.0000.0000
--setriliun
= 1.0000.0000.0000.0000
--setriliun
= se-x
Alhasil, urutan nilai tempat antara satua sampai dengan ribuan
adalah :
satuan, puluhan, ratusan, puluh ratusan, dan --baru—ribuan ….v. w
x
y
z satuan puluhan ratusan puluh ratusan ribuan
Tabel 6
Dengan bertolak pada sistem bilangan Hindu Arab yang menyatakan bahwa sejuta –bisa juga berasal dari seribu kali seribu masih dapat digunakan sebagai pijakan, serta bertolak dari sepuluh kali seratus kali seratus samadengan seribu, maka penulisan lambang bilangan sejuta adalah 1.0000.0000. Sehubungan dengan hal itu
30
31
maka urutan nilai tempat antara ribuan hingga jutaan adalah ; ribuan, puluh ribuan, ratus ribuan, puluh ratus ribuan, dan terakhir adalah jutaan. Perhatikan : … r
s
t
u
v. w x y z ribuan puluh ribuan ratus ribuan puluh ratus ribuan jutaan
Tabel 7
Oleh karena nilai tempat jutaan bergeser ke kanan, maka nilai tempat miliarpun ikut bergeser ke kanan pula, sebab posisinya telah ditempati puluh jutaan. Padahal, yang dimaksud dengan miliar adalah seribu juta. Dengan demikian, maka 1 miliar = 1.0000.0000.0000 = (1012) Hanya saja, --tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap para pendahulu, sebaiknya, demi keruntutan sistem bilangan Indonesia maka selama masa transisi penggunaannya
tidak
dibakukan dalam Matematika. Dalam hal ini, miliar di
perlakukan seperti perlakuan yang diberikan oleh para pakar Matematika terhadap laksa dan keti. Dengan kata lain, miliar di non aktifkan sementara waktu (selama masa transisi) oleh seorang guru untuk membayar hutang para pakar Matematika terhadap bilangan. Hutang dua, hanya bayar satu. Hutang pada laksa (104) dan pada keti (105) harus dibayar oleh miliar (109). Hutang dalam satu masa juga dibayar dalam satu masa. Adil, bukan? Bukankah setiap hutang harus dibayar? Nanti, setelah masa transisi berlalu, kesemuanya –laksa, keti, dan miliar-akan dibangunkan untuk bersama-sama dengan satuan bilangan yang lain membangun Peradaban Matematika Indonesia –khususnya, serta membangun peradaban Indonesia baru.
31
32
Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka istilah baru dalam nilai tempat sesudah jutaan adalah triliunan. Bertolak dari pengertian triliun adalah satu dengan duabelas nol di belakangnya
dan itu identik dengan sejuta kali sejuta
(1.000.000.000.000 = 1.000.000 x 1.000.000),
maka pengertia triliun tetap
dipertahankan, hanya saja lambang bilangannya tidak seperti pada sitem Hindu Arab melainkan menjadi 1 triliun = 1.0000.0000.0000.0000 = (10)16. Di sini terlihat adanya lompatan kekuatan triliun, dari (10)12 menjadi (10)16, inipun masih sementara sifatnya. Lompatan yang signifikan akan terjadi setelah masa transisi. Susunan satuan nilai tempat antara jutaan sampai dengan triliunan adalah jutaan, puluh jutaan, ratus jutaan, puluh ratus jutaan, ribu jutaan, puluh ribu jutaan, ratus ribu jutaan, puluh ratus ribu jutaan, dan triliunan. Perhatikan : ... j. k l
m n . o p q r. s t u v. w x y z jutaan puluh jutaan ratus jutaan puluh ratus jutaan ribu jutaan puluh ribu jutan ratus ribu jutaan puluh ratus ribu jutaan triliunan Tabel 8
Tabel 8
Dengan merubah cara pandang terhadap bilangan seperti terurai di atas maka akan nampak keruntutan “sistem bilangan Indonesia pada masa transisi” seperti tuntutan Matematika –dan mendekati konsisten-- sehingga ketika pola desimal bertemu dengan bilangan berpangkat basis sepuluh (10) akan terlihat sebagai berikut:
32
33
(10)0 = 1 dibaca satu (10)1 = 10 --sepuluh (10)2 = 100 --seratus (10)3 = 1000 -- sepuluh ratus (10)4 = 1.0000 --seribu (seratus-ratus) (10)5 = 10.00000 -- sepuluh ribu (10)6 = 100.0000 --seratus ribu (10)7 = 1000.0000 --sepuluh ratus ribu (10)8 = 1.0000.0000 --sejuta (seribu-ribu) (10)9 = 10.0000.0000 --sepuluh juta (10)10 = 100.0000.0000 --seratus juta (10)11 = 1000.0000.0000 --sepuluh ratus juta (10)12 = 1.0000.0000.0000 --seribu juta (seratus-ratus juta) (10)13 = 10.0000.0000.0000 --sepuluh ribu juta (10)14 = 100.0000.0000.0000 --seratus ribu juta (10)15 = 1000.0000.0000.0000 --sepuluh ratus ribu juta (10)16 = 1.0000.0000.0000.0000 --setriliun (sejuta-juta) Berdasarkan pola di atas, nampak perubahan satuan bilangan dalam nilai tempat muncul ketika bilangan sepuluh (10) dikuadratkan secara bertingkat, perhatikan : (10)0 = 1 dibaca satu (10)1 = 10 dibaca sepuluh (10)2 = 100 dibaca seratus, berasal dari sepuluh x sepuluh (102)2 = 1.0000 dibaca seribu, seribu berasal dari seratus x seratus (104)2 = 1.0000.0000 dibaca sejuta, sejuta berasal dari seribu x seribu
33
34
(108)2 = 1.0000.0000.0000.0000.0000 dibaca setriliun, setriliun berasal dari sejuta x sejuta Bandingkan dengan sistem bilangan Hindu Arab : (10)0 = 1 dibaca satu (10)1 = 10 dibaca dibaca sepuluh (10)2 = 100 dibaca seratus, berasal dari sepuluh x sepuluh (10)3 atau (103)1 = 1.000 dibaca seribu, berasal dari sepuluh x seratus atau seratus x sepuluh atau sepuluh x sepuluh x sepuluh (103)2 = 1.000.000 dibaca sejuta (103)3 = 1.000.000.000 dibaca semiliar (103)4 = 1.000.000.000.000 dibaca setriliun Dari dua format penyebutan asal-usul nilai tempat suatu angka pada suatu bilangan seperti tersebut di atas maka dapat ditarik benang merah tentang adanya kerugian konsumen bilangan –dan tentu saja keuntungan ada pada pihak produsen bilangan tersebut. Untuk itu, agar tercipta gambaran yang lebih jelas perhatikan tabel berikut. No.
Pada nilai tempat
Kerugian konsumen bilangan
%
( x - y) * 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Satu Sepuluh Seratus Seribu Sepuluh ribu Seratus ribu Sejuta Sepuluh juta
0
10 - 10
0
0
1
1
0
2
2
0
10 - 10 10 - 10 4
3
90
5
4
90
10 - 10 10 - 10 6
10 - 10 8
10 -10 9
5
6
10 – 10
90 99
7
99
34
35
9.
Seratus juta
1010-108
10.
Seribu juta
1012- 109 13
99
11.
Sepuluh ribu juta
10 - 10
12.
Seratus ribu juta
1014 - 1011
13. 14.
Sepuluh triliun
15.
…..
99,9 99,9
16
12
99,99
17
13
99,99
10 - 10
Setriliun
99,9
10
10 - 10
* x nilai kualitatif; y nilai kuantitatif Tabel 9
Berdasarkan tabel di atas, dapat dibuat perbandingan pertidaksamaan antara nilai tempat suatu bilangan dengan kerugian konsumen bilangan tersebut. Jika
n
sebagai nilai tempat suatu bilangan dan
t
sebagai kerugian
konsumen bilangan itu, maka pada pertidaksamaan : (10)0 ≤ n ≤ (10)2
maka t = 0 %
(10)3 ≤ n ≤ (10)5
maka t = 90 %
(10)6 ≤ n ≤ (10)8
maka t = 99 %
(10)9 ≤ n ≤ (10)11
maka t = 99,9 %
(10)12 ≤ n ≤ (10)14 maka t = 99,99 % Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa pada n < 1.000 maka t = 0 % dan pada n ≥ 1.000 maka t ≥ 90 %. Kerugian itu disebabkan oleh adanya selisih antara nilai kualitatif dengan nilai kuantitaif suatu bilangan.
Dengan kata lain,
semakin besar sebutan nilai tempat sebuah angka pada suatu bilangan akan berakibat semakin besar pula kerugian yang bakal diderita oleh konsumen bilangan itu, dan ini dikarenakan hilangnya (?) sebutan nilai tempat untuk bilangan tertentu. Pada dasarnya, pelurusan penyebutan nilai tempat yang penulis paparkan ini tidak berpengaruh pada hasil algoritma. Bagi bilangan itu sendiri, hanya berpengaruh pada perubahan penyebutan (nilai) suatu lambang bilangan. Namun pada skala makro, dampak dari manuver bilangan akan menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan.
35
36
Dalam hal nilai bilangan ada yang perlu diperhatikan! Nilai kualitas bilangan adalah parameter untuk mengukur kelayakan bilangan menempati posisinya dengan dasar perhitungan tertentu. Untuk lebih jelasnya perhatikan beberapa contoh berikut ini. Contoh : 1. Dengan memandang seratus (102)
sebagai basis
2 2
bilangan, maka
2 x
kualitas seribu akan sama dengan (10 ) bukan (10 ) maupun (103); 2. Dengan memandang seribu (103), maka (103)0 akan menempati kualitas satuan bilangan
pertama
(103)1 menempati
dan
kualitas
satuan
bilangan kedua. Dengan demikian, keberadaan sepuluh (10) dan seratus (102) hanya sebagai sisipan; 3. Dengan menggunakan bilangan desimal –dengan basis sepuluh (10) murni- maka, kualitas 1 juta = 10 keti = 100 laksa = 1 000 ribuan = 10 000 ratusan = 100 000 puluhan =
1 000 000 satuan
Nilai kuantitas bilangan adalah keberadaan secara hakiki suatu bilangan dan digambarkan dalam bentuk lambang bilangan. Sebagai contoh : 1. Secara hakiki yang dimaksud triliun dalam basis seribu (103) adalah satu dengan dua belas nol di belakangnya. Sedangkan triliun --selama masa transisi-- dalam basis seratus (102) adalah satu dengan enam belas nol di belakangnya ; 2. Secara hakiki, seribu adalah satu dengan tiga buah nol di belakangnya atau 1.000 dalam basis seribu (103).
36
37
Tetapi seribu
adalah satu dengan empat buah nol di belakangnya
atau 1 0000 dalam basis seratus (102); 3. Secara hakiki,
satu dengan
nol sebanyak sekian
buah
akan tetap
menjadi seperti itu dipandang dari basis sepuluh (10), (102), (103), maupun basis (10X). Dengan demikian dapat dipahamkan bahwa kualitas bilangan dapat dilihat pada pelafalannya sedangkan kuantitas bilangan dapat dilihat pada jumlah lambang bilangan /gambar deretan lambang bilangannya. Misalnya : 1. 100 secara kualitas “ia” adalah seratus dan secara kuantitas juga seratus; 2. 1000 secara kualitas menempati posisi seribu, namun secara kuantitas “ia” baru menempati posisi 10 ratusan; 3. 10000 secara kualitas adalah sepuluh ribu, namun kuantitasnya kurang. Kuantitas satu dengan empat buah nol adalah seribu. 2.3 Sistem Bilangan Indonesia Pada dasarnya, seluruh satuan bilangan yang telah dipaparkan di atas hanyalah merupakan satuan bilangan sementara, artinya hanya dipergunakan selama masa transisi. Oleh karena itu, tidak perlu dimasyarakatkan, penerapannya hanya di dalam konteks negara (yang menyangkut hak dan kewajiban negara).
Sebab, hal ini
nantinya akan berkaitan dengan posisi keuangan negara selama masa transisi sebagai yang dimaksud dalam tulisan ini. Jika, dunia pendidikan telah berhasil merumuskan kaidah pendukung maka bilangan akan menampakkan wujud pertumbuhan aslinya, seperti yang diharapkan oleh banyak pihak --kembali ke basis (back to basic) awal.
37
38
Dari gambaran di atas terlihat bahwa asal-usul bilangan menjadi
sangat
serius. Hal ini dikarenakan bilangan harus berbicara dalam konteks kekinian, mundur ke basis awal --masa pra kolonial, masa kini, masuk ke realita masa transisi, dan selanjutnya menyongsong masa depan. Sebagai “makhuk” abstrak, bilangan tidak mungkin dimatikan begitu saja. Dalam kenyataan, laksa dan keti yang telah dikesampingkan oleh penguasa (?) dan terpinggirkan pula oleh denyut dunia pendidikan (?) di dalam masyarakat masih hidup dan lestari –lihat wayang purwa. Oleh karena itu dalam rangka membangun peradaban Matematika Indonesia yang merdeka dan berdaulat atas dasar pemberian perlakuan yang adil terhadap bilangan maka laksa dan keti perlu “dipanggil” kembali, begitu pula halnya dengan miliar. Dengan demikian, saat Indonesia Baru pasca masa transisi Matematika telah memiliki sembilan buah satuan bilangan ≤ triliun, yaitu satuan, puluhan, ratusan, ribuan, laksa, keti, juta, miliar, dan triliun, yang jika dipandang dari basis sepuluh (10) dalam konteks lambang bilangan berkekuatan (10)0, (10)1, (10)2, (10)3, (10)4, (10)5, (10)6, (10)9, dan (10)12. Adapun satuan bilangan
yang
> triliun –
sepengetahuan penulis-- belum pernah terdengar dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan lambang bilangan yang sudah siap menyandang nama sebagai satuan bilangan –jika dipandang dari basis sepuluh (10)-- adalah (10)0, (10)1, (10)2, (10)4, (10)8, dan (10)16. Sembilan buah satuan bilangan dengan enam buah bilangan sudah tentu tidak cukup untuk membangun sebuah pemetaan. Oleh karena itu harus ada tiga buah lambang bilangan baru untuk menggenapinya. Di sisi lain, ternyata, satuan bilangan milik Indonesia yang masih murni, berjaya, dan belum tercemar oleh pengaruh “sana” adalah satuan, puluhan, dan ratusan. Mengingat satuan terlalu “suci” untuk dipermasalahkan dan puluhan merupakan basis awal serta sudah pernah mengabdi pada pertiwi, maka secara otomatis tinggallah ratusan. Dengan demikian ratusan (102) menjadi pijakan untuk memetakan semesta bilangan yang berangotakan dua himpunan sebagai yang dimaksud di atas, yaitu himpunan bilangan dan himpunan satuan bilangan.
38
39
Perhatikan rumusan berikut : Pada : a satuan bilangan pertama, dan b satuan bilangan ke dua Maka a2 = b Dengan demikian : 1. Jika a = puluhan Maka b = ratusan , dalam konteks lambang bilangan maka : (10)2 = (102) (102) = (10)2 Jadi, seratus = (10)2 2. Pada a = ratusan Maka b = ribuan, dalam lambang bilangan maka : (102)2 = (10)4 (10)4 = (104) Jadi, seribu = (10)4 3. Pada a = ribuan Maka b = laksa, dalam lambang bilangan maka : (104)2 = (10)8 (10)8 = (108) Padahal, pada masa transisi (10)8
telah ditempati oleh jutaan, dengan
demikian posisi jutaan bergeser karena tempatnya telah diisi oleh laksa. Jadi, laksa = (10)8 4. Pada a = laksa Maka b = keti, dalam konteks lambang bilangan maka : (108)2 = (10)16 (10)16 = (1016)
39
40
Padahal, pada masa transisi (10)16 telah ditempati oleh triliun, oleh karena itu posisi triliun tergeser karena tempatnya telah diisi oleh keti. Jadi, keti = (10)16 5. Pada a = keti Maka b = jutaan, dalam konteks lambang bilangan akan terlihat : (1016)2 = (10)32 (10)32 = (1032) Dengan demikian, (1032) = juta 6. Pada a = jutaan Maka b = x, dalam konteks lambang bilangan x = (1032)2 = (10)64 Padahal, urutan satuan bilangan setelah jutaan adalah miliar, dan pengertian miliar telah dibakukan dalam Bahasa Indonesia, miliar berarti seribu juta. Lantas kalau begitu, di manakah posisi miliar? Yang jelas, posisi bilangan ini bukan ada pada (10)64 . Oleh karena itu, nama satuan bilangan untuk (10)64 akan diselesaikan kemudian. Bertolak dari pengertian miliar yang sudah baku, yaitu miliar = seribu juta, pengertian seribu dalam hal ini jangan dicampur-aduk dengan pengertian seribu item 2 --sebab ribu dan juta di sini merupakan dua satuan bilangan yang berurutan, ribuan (103) dan jutaan (103)2-Maka : Jika seribu = y maka yang dimaksud juta adalah y2 Dengan demikian, jika y2 = (10)32, maka y = (10)16 Oleh karena itu, dalam konteks lambang bilangan , posisi miliar adalah (10)16 x (10)32 = (10)48 Sedangkan dalam konteks bilangan, pengertian miliar terdapat perubahan yang mendasar yaitu dari seribu juta menjadi seketi juta --keti dan juta adalah dua satuan bilangan yang berurutan.
40
41
7. Di manakah posisi triliun? Triliun berarti million pangkat tiga. Perlu diingat bahwa dalam konteks bilangan million diartikan juta (Efendi El Hanif, 1997 : 552). Dengan demikian, dalam konteks lambang bilangan, triliun = (1032)3 atau dengan kata lain triliun = (10)96 --bandingkan dengan juta (10)6 dan triliun (10)12, manakah yang lebih konsisten? Dari sini timbul pertanyaan, jika juta ada pada (10)32 dan triliun ada pada (10)96, di manakah posisi billiun? Hal ini dapat diselesaikan sebagai berikut : = million
= (10)32
billion = (1032)2
= (10)64
juta
Dengan ditemukannya posisi billion ada pada (10)64 maka satuan bilangan untuk
x
pada item 6 telah terjawab. Mengingat billion tidak dikenal (?) atau
mungkin tidak biasa dipergunakan di Indonesia, sekalipun sudah dianjurkan, maka pada (10)64
--atas saran seorang saudara tua yang sangat penulis hormati--
dinobatkan satuan bilangan baru, yaitu NOTO. Jadi, satuan bilangan biliun tetap tidak dipergunakan. Perlu diketahui, noto berarti raja. Noto juga berarti menata –segala sesuatu yang memang layak untuk ditata. Dalam hal ini, noto berarti menata sistem bilangan Indonesia secara adil dan proporsional. Dengan dua alasan tersebut kepada (10)64 penulis memberi nama noto yang berarti : Raja yang akan menata dengan Adil. Masalahnya, di atas noto masih ada satuan bilangan yang lebih tinggi yaitu triliun (10)96 yang merupakan warisan kegelapan (bayang-bayang barat yang kolonial). Oleh karena itu, untuk menghapusnya, maka pada (1064)2 dimunculkan satuan bilangan baru, Indonesia --mudah-mudahan bangsa ini sepakat dengan penulis. Dengan kata lain, maka :
1 Indonesia = (10)128. Hal ini mengandung harapan,
semoga negara tercinta ini mampu berjaya dan lestari sampai tahun ke –10128 yang akan datang. Di samping itu untuk menunjukkan bahwa sistem bilangan Indonesia adalah sebuah sistem mengenal batas kekuasaannya.
41
42
Dengan demikian asal –usul bilangan dapat dikelompokkan berdasarkan periode kelahiran satuan bilangan tersebut. Setiap satuan bilangan akan memengaruhi satuan bilangan berikutnya sebab pada dasarnya secara keseluruhan satuan-satuan bilangan tersebut adalah sebuah sistem bilangan. Oleh karena itu, kelahiran sebuah satuan bilangan tidak selayaknya mematikan satuan bilangan yang lain. Bukankah dengan
mematikan
berarti
merusak
sebuah
sistem?
Dengan
demikian,
pengelompokan satuan bilangan akan terlihat sebagai berikut: Pada
Satuan bilangan
I
II
III
IV
bilangan a
Satuan
a
a
a
a
b
Puluhan
ba
ba
ba
ba
c
Ratusan
bb
bb
bb
bb
d
Ribuan
bc
bc
cc
cc
e
Laksa
bd
-
-
dd
f
Keti
be
-
-
ee
g
Juta
bf
dd
dd
ff
h
Miliar
dg
-
fg
i
Triliun
gg
gg
ggg
j
Noto
gg
k
Indonesia
jj
Tabel 10 Keterangan : I
Sistem bilangan Indonesia pada masa feodal
II Sistem bilangan Indonesia pada masa republik III Sistem bilangan Indonesia pada masa transisi IV Sistem bilangan Indonesia Merdeka /Indonesia Raya
Dengan demikian, sistem bilangan Indonesia mempunyai 11 buah satuan bilangan, yaitu :
42
43
1. 7 buah satuan bilangan berasal leluhur bangsa Indonesia dari masa feodal (satuan, puluhan, ratusan, ribuan, laksa, keti, dan juta) 2.
2 buah berasal dari masa kegelapan --peradaban--
Indonesia saat di
bawah kekuasaan kolonial (miliar dan triliun), masa republik 3. 2 buah merupakan hasil asimilasi antara budaya asli Indonesia dengan budaya yang ditanamkan oleh kaum kolonial penjajah pada bangsa ini (Noto dan Indonesia). Pembaca yang budiman, ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam sistem bilangan Indonesia sebagai yang penulis paparkan di atas yaitu : Pertama, cara memandang miliar dan triliun. Dalam peri-”kebangsaan” bilangan, keduanya adalah warga bilangan Indonesia keturunan asing. Oleh karena itu --dalam konteks kekinian dan hari esok-- harga miliar dan triliun jauh lebih tinggi daripada di negeri asal mereka. Bahwa harga miliar di atas harga juta, itu wajar, sebab saat diperkenalkan ke bumi Indonesia memang miliar lebih mahal daripada juta. Beruntung kekuatan miliar dibendung oleh noto sehingga miliar dan triliun tidak dapat mendominasi sistem bilangan desimal, lebih-lebih dengan dimunculkannya satuan bilangan tertinggi di Indonesia, indonesia, maka triliun -meskipun besar di di hadapan noto-- menjadi kecil di mata indonesia. Kedua, dalam hal satuan nilai tempat bilangan dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. Satuan nilai tempat bilangan antara satuan sampai dengan noto Kelompok ini terdiri dari satuan, puluhan, ratusan, ribuan, laksa, keti, juta, dan miliar. Pada kelompok ini, tehnik yang diterapkan seperti pada lazimnya perlakuan yang diberikan pada bilangan –sesuai dengan basis bilangan yang digunakan. Misalnya : •
1558 dibaca limabelas ratus limapuluh delapan
43
44
•
12 3456 dibaca duabelas ribu tigapuluh empatratus limapuluh enam
•
575 8923 7561 dibaca dibaca limaratus tujuhpuluh limalaksa delapanpuluh sembilanratus duapuluh tigaribu tujuhpuluh limaratus enampuluh satu. Dalam hal membaca terasa sulit, namun itulah harga yang harus dibayar untuk
sebuah kebenaran bilangan --bukan kebetulan bilangan. b. Satuan nilai tempat antara noto dan Indonesia tidak diterapkan aturanseperti aturan yang berlaku antara satuan sampai dengan noto. Dalam hal ini, antara noto dan Indonesia dipisahkan oleh triliun. Dengan demikian, ada dua kelompok satuan nilai tempat bilangan, yaitu : 1. Satuan nilai tempat bilangan antara noto dengan triliun 2. Satuan nilai tempat bilangan antara triliun dengan Indonesia Pada 1 , dalam hal ini, satuan nilai tempat yang dipergunakan mengunakan satuan bilangan yang menyangkut aspek madani atau yang dipandang sebagai bagian dari aspek itu atau pendukung dari aspek tersebut yang perlu dan /harus ditata oleh penguasa di negeri ini. Amburadulnya aspek madani akan berakibat pada kekalahan madani bangsa ini terhadap bangsa lain, dan muaranya adalah rasa rendah diri sebagai bangsa. Keadaan ini sangat berbahaya, terlebih jika menimpa “pemimpin bangsa”. Sedangkan pada 2, satuan nilai tempat yang dipergunakan adalah satuan bilangan yang menyangkut aspek tsaqofi. Ambruknya aspek ini akan membawa bangsa ini ke arah hilangnya jati diri sebagai bangsa dan keberadaannya menjadi tak lebih dari bak buih di lautan. Kedua aspek tersebut sangat diperlukan untuk membangun peradaban Indonesia seutuhnya, bukankah peradaban suatu bangsa akan bertahan jika di antara ke dua aspek tersebut saling menunjang?
44
45
Ketiga, sistem bilangan Indonesia sebagai yang terurai di atas merupakan sebuah sistem yang baku. Maka dari itu, sebagai sebuah sistem, keberadaannya akan mempengaruhi sistem yang lain. Ini berarti, perbedaan yang memang merupakan sebuah perbedaan asal-usul mengharuskan timbulnya perbedaan dalam memberikan perlakuan. Dalam hal ini, Perlakuan berbeda terhadap satuan nilai tempat bilangan yang digunakan di atas noto disebabkan oleh dua hal, yaitu: a. Meskipun teknik pemunculan satuan bilangan yang digunakan sama --antara satuan sampai dengan Indonesia-- namun dalam teknik pemunculan satuan nilai tempat berbeda. Hal ini dimaksudkan agar seratus (102) --kita-- tidak lupa kepada sepuluh (10) --asal-usul kita. Ingat, --pangkat-- noto berada tepat di tengah antara satu (10)0 dan Indonesia (10)128. Bukankah sangat tidak etis, jika sampai terjadi
kacang lupa kepada kulitnya? Oleh karena itu,
pemunculan satuan nilai tempat antara noto sampai dengan triliun menggunakan pola deret hitung dengan basis seribu (104). b. Noto merupakan satuan bilangan yang sudah sangat besar dan –mungkin-baru akan dipergunakan beberapa abad yang akan datang, atau bahkan mungkin tidak pernah digunakan karena “kebesarannya”. Namun, pada saat penguasa (pemegang kedaulatan rakyat) menata suatu masalah –misalnya noto negara--maka disitu terdapat beban moral yang harus disandang senilai (10)68. Dengan demikian diharapkan mereka lebih arif dan bijaksana sebab yang
dipertanggungjawabkan
bukan
hanya
1
keputusan
/ketetapan
/kebijaksanaan melainkan 1 dengan 0 sebanyak enam puluh delapan buah peri kehidupan bernegara. Kesalahan mereka dalam mengendalikan arah kemudi biduk yang bernama negara ini senilai dengan 1 noto negara, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, dalam sistem bilangan Indonesia, jika dilihat dari basis sepuluh, antara satuan sampai dengan noto akan terlihat sebagai berikut :
45
46
(10)0 = satu (10)1 = sepuluh (10)2 = seratus (10)4 = seribu (10)8 = selaksa (10)16 = seketi (10)32 = sejuta (10)48 = miliar Sedangkan satuan nilai tempat antara noto sampai dengan indonesia akan terlihat sebagai berikut –jika dilihat dari basis sepuluh : (10)64 = noto (10)68 = noto negara (10)72 = noto nusa (10)76 = noto lahan kehidupan (10)80 = noto bahasa (10)84 = noto bilangan (10)88 = noto tarikh (10)92 = noto uang (10)96 = triliun (10)100 = noto agama (10)104 = noto ilmu (10)108 = noto pendidikan (10)112 = noto adil (10)116 = noto bangsa (10)120 = noto penguasa (10)124 = noto bela negara (10)128 = Indonesia
46
47
Yang jelas, setiap satu satuan bilangan besar sebagai termaktub di atas akan membawahi (mengatur) sepuluh macam hal yang harus ditata, dan setiap sepuluh hal tersebut akan dijabarkan lagi masing-masing menjadi sepuluh, begitu seterusnya, sampai ranting terakhir, kelak pada ranting ke se-Indonesia (10)128. Dengan demikian, setiap noto induk akan menata sepuluh noto anaknya. Sebenarnya, sepuluh sebagai yang dimaksud di atas bukanlah angka mati, sebab pada masalah tertentu bisa jadi kurang dari sepuluh dan pada masalah yang lain bisa jadi lebih dari sepuluh. Yang jelas, semua harus melihat kondisi riil bangsa ini. 2.4 Revolusi Bilangan Hal terakhir yang perlu dibahas dalam bab ini adalah kapan satuan bilangan Indonesia ini dapat diterapkan? Sebenarnya, menentukan waktu merupakan masalah yang kesekian. Ada hal lain yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Pertama, yaitu pengakuan pakar –bilangan-- Matematika bahwa penerapan seribu (103) sebagai basis bilangan di Indonesia –lah yang menjadi sumber petaka di negara ini, dan ini ditandai dengan adanya lompatan penerapan satuan bilangan desimal dari basis sepuluh (10) ke basis seribu (103) dengan menafikan keberadaan basis seratus (102). Ini merupakan kesalahan sejarah -- bilangan-- Matematika di Indonesia. Mereka terlalu maju. Bukankah terlalu maju juga tidak baik? Kedua, sekalipun yang berhadapan dengan murid adalah guru, kesalahan bukan ada pada kelompok ini. Sekali lagi, guru hanyalah perenang, bukan penyelam! Bukan pada mereka otoritas menentukan kebenaran suatu ilmu. Oleh karena itu, menurut penulis, hanya ada satu solusi, mundur --dari basis seribu (103) ke basis seratus (102). Masalahnya, beranikah “penyelam” mengakui kesalahan itu dan sepakat dengan revolusi bilangan yang penulis paparkan, itu masalah lain. Atau paling tidak Matematika –sebagai ratunya ilmu-- mampu menelorkan konsep baru yang lebih baik dan benar daripada konsep basis seribu (103) yang nyata-nyata telah membawa
47
48
bangsa ini ke jurang krisis ekonomi yang nyaris tak bertepi, sehingga semua krisis yang menyertai krisis ekonomi pun dapat teratasi. Wallahualam. Kalau pembaca perhatikan, pada uraian di atas terdapat dua buah sistem bilangan yaitu sistem bilangan Indonesia pada masa transisi dan sistem bilangan Indonesia. Meskipun keduanya berpola desimal basis seratus (102), keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut sangat terlihat pada saat pemuculan satuan nilai tempat bilangan. Perhatikan perbedaan mendasar antara keduanya : Sistem bilangan Indonesia pada masa transisi adalah sistem bilangan yang digunakan di Indonesia selama masa transisi (peralihan), artinya sistem bilangan tersebut
hanya bersifat sementara. Dengan demikian jangka waktunya terbatas,
sifatnya peralihan, dan --jauh-- lebih konsisten daripada sistem desimal pola basis seribu (103)
fersi Indonesia selama ini.
perubahan tersebut tidak perlu
Mengingat waktunya terbatas, maka
terlalu dimunculkan ke permukaan, artinya
perubahan cara memandang terhadap bilangan baru terjadi pada level pengawal bilangan (baca : pakar dan guru). Mereka tidak harus menghafal sistem bilangan untuk masa transisi tersebut, malah sistem bakulah –sistem bilangan Indonesia-- yang seharusnya mereka pahami. Mereka perlu mengolah filosofi bilangan --sebagai contoh, bilangan (10)64 sudah tepatkah dinobatkan sebagai Noto, implementasi bilangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara --sebagai contoh, apa hubungan antara (n)0 , (n)1, dengan (n)2 di mana n adalah basis bilangan. Apa hubungan antara 0, 1, dan 2-- dalam menata bangsa, menata negara, menata penguasa, menata peradaban, dan sebagainya agar negara ini dapat “subur makmur loh jinawi, toto tentrem tur raharjo” Karena
sifatnya
yang
sementara
maka
reformasi
bilangan
(2.2)
mengisyaratkan bahwa adanya jeda antara pengakuan kekeliruan membilang, dari pakar bilangan --bahwa pengakuan
kekeliruan tersebut tidak perlu diformalkan
dalam bentuk pernyataan itu lebih baik (?). Bagi penulis tidak menjadi masalah.
48
49
Kita sudah sama-sama tahu. Siapa biang keladinya dan apa sebenarnya tujuan mereka-- sampai dengan start masa transisi, dan juga mengisyaratkan adanya batas akhir (finish) dari sistem bilangan ini. Menurut penulis waktu yang ideal untuk masa transisi ini adalah sembilan tahun. Hal ini didasarkan pada Wajib Belajar 9 tahun. Sebab, bagaimanapun kecilnya, adanya perubahan pada sebuah sistem akan mempengaruhi sistem lain, dan itu butuh waktu panjang. Dan, itu perlu belajar. Mulai dari mengkaji ulang, menyusun konsep, mendiskusikan, seminar, lokakarya, dan sebagainya. Masalahnya, siapakah yang paling berhak menentukan saat start dan saat finish dari masa transisi? Menurut penulis, hanya MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyatlah yang paling berhak menentukannya, sebab dengan berakhirnya masa transisi maka kondisi –segalanya-- akan bergeser sembilan puluh derajat dari tempat semula. Hal ini dikarenakan, dengan mereformasi bilangan akan banyak sekali perubahan mendasar yang terjadi di negara ini. Pertanyaan berikutnya, maukah MPR? Nah, di situlah letak masalahnya. Sekalipun para pakar sepakat, misalnya, apalah arti kesepakatan mereka. Bukan di tangan para pakar letak kedaulatan rakyat berada, tapi sekali lagi di tangan MPR . Sistem bilangan Indonesia
adalah sistem bilangan desimal dengan
2
memandang seratus(10 ) sebagai basis bilangan
yang pada paruh pertama
lambang bilangannya bersifat konkrit sedangkan pada paruh kedua bersifat abstrak. Pada bilangan yang abstrak tersebut terkandung aspek madani dan tsaqofi
yang
akan
dibangun
/dicita-citakan
bangsa
ini
dalam
rangka
merealisasikan amanah Allah, Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi. Saat masa transisi memasuki finish, semua konsep tentang ke –Indonesiaan yang baku dan didambakan telah terwujud. Sementara itu, penopang konsep pun telah terbentuk (dalam arti sudah tersusun). Jadi, konsep baku dan penopang sudah benarbenar siap berangkat. Dan, tibalah giliran sistem bilangan Indonesia masa transisi ditinggalkan. Bersamaan dengan itu terjadi Revolusi Bilangan, sehingga bilangan Indonesia sudah benar-benar konsisten dan baku.
49
50
Dengan berlakunya sistem tersebut maka akan terlihat siapa sebenarnya penguasa bilangan dan siapa penguasa lambang bilangan, siapa yang mendominasi langit atas dan siapa yang mendominasi langit bawah. Bilangan sebagai “makhluk” abstrak kembali dikuasai oleh yang abstrak (baca : negara sebagai produsen) sementara lambang bilangan sebagai “makhluk” konkrit kembali dikuasai oleh yang konkrit (baca : rakyat sebagai konsumen). Dari situ dapat difahamkan bahwa : Pertama, Indonesia dalam hal bilangan sudah memiliki sistem bilangan sendiri. Itu sebagai pertanda satu pilar penopang hegemoni barat tumbang. Satu lagi madani kita sebagai bangsa telah merdeka. Kedua, hak negara pada saat memasuki babak baru Indonesia ada pada bilangannya, sehingga seandainya saat itu kekayaan negara hanya Rp 1 triliun, pada masa transisi – (10)16-- maka sebenarnya kekayaan negara terangkat menjadi Rp 1096 ,00 dan itu dipandang sebagai modal awal. Dari sini terlihat kebenaran teori bahwa bilangan adalah abstrak, baik saat murni sebagai bilangan maupun saat berada pada pusaran uang. Adapun hak yang diterima negara sesudah itu serta kewajiban negara yang timbul karena hak tersebut dihitung berdasarkan lambang bilangan yang harus ditunaikan sesuai rencana penguasa negara untuk masalah tersebut. Sementara itu, hak dan kewajiban rakyat ada pada lambang bilangan yang dipegangnya selama masa transisi, bukan pada bilangannya. Masa transisi sebagai yang dimaksud dalam tulisan ini adalah saat dimulainya perubahan dan diawali dari bilangan –dan itu harus dimulai dari dunia pendidikan-serta dilanjutkan ke bidang-bidang lain untuk masa yang telah ditentukan. Menurut penulis, masa transisi yang diperlukan –sekali lagi-- adalah sembilan tahun. Tanpa adanya batasan, kapan start dan kapan finish dari masa transisi maka akan berakibat tidak kunjung selesainya sebuah reformasi –hal yang baku. Oleh karena itu, semakin cepat datangnya masa transisi akan semakin cepat pula kesembuhan negara ini dari krisis multidimensi yang menderanya, begitu pula sebaliknya. Sebagai catatan
50
51
terakhir, selama masa transisi, semua lembaga tinggi negara beserta seluruh perangkatnya mau-tidak mau, suka atau tidak suka, harus dalam posisi domisioner mundur ke situasi Proklamasi, 17 Agustus 1945. Diharapkan, semua orang meletakkan kepentingan pribadinya, kelompoknya, golongannya, maupun yang senafas dengan itu. Artinya, tidak berulah macammacam, tidak menoleh ke kiri, juga tidak menoleh ke kanan. Mata memandang lurus ke depan. Saat itu MPR bekerja keras menata negara tercinta. Kegagalan dalam menyusun konsep baru selama masa transisi yang lebih adil bagi semua pihak --termasuk dalam hal bilangan-- adalah pertanda
“negara ini
belum merdeka secara hakiki” dan itu berarti kaki tangan kaum kolonial masih bergentayangan! Itu menunjukkan, kemerdekaan yang diperoleh dengan harta, air mata, dan darah oleh para pendahulu ternyata masih berkisar pada kemerdekaan fisik Indonesia belaka, sementara jiwa Indonesia masih tergadai di sana!
51
52
BAB III MANUVER BILANGAN DALAM MENATA KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
“Reformasi” telah bergulir sekian tahun yang lalu. Angin perubahan ke arah yang lebih baik dan benar pun ditunggu oeh seluruh rakyat Indonesia, atau paling tidak sebagian besar penghuni negara ini. Keadaan yang lebih baik dari sebelum reformasi dalam segala bidang akan lebih bernilai jika diikuti oleh kebenaran dan keadilan. Tentu saja, kebenaran dan keadilan tersebut bukan atas ukuran orang-perorang atau kelompok-perkelompok. Namun kebenaran yang hakiki, kebenaran yang memang seharusnya benar karena kebenaran bersifat universal, berdasarkan buktibukti atau paling tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dilihat, atau keadaan yang dapat dirasakan. Jadi, bukan kebenaran yang dipaksakan pun bukan pula adil bagi yang kuat namun sebaliknya bagi yang lemah. Reformasi bilangan seperti yang terurai
pada bab terdahulu akan dapat
berjalan dengan baik, sepanjang tidak dicemari oleh tangan-tangan kotor dan rakus. Apalagi, dengan memperhatikan kerugian konsumen bilangan yang prosentasenya sangat fantastis itu maka adalah hal yang sangat wajar jika Indonesia dari segi ekonomi dilanda krisis keuangan yang hebat, hutang luar negara makin besar, pengangguran dari waktu ke waktu terus bertambah, tindak kejahatan menjadi berita sehari-hari, dan jurang antara si miskin dan si kaya makin menganga lebar. Semua terjadi di depan mata, di sekitar kita. Dengan demikian, tanpa larinya investor ke luar negeri, tanpa KKN, tanpa buruknya kinerja pemerintah (?), tanpa tumpulnya hukum terhadap yang kuat dan memegang kendali kekuasaan –pun Indonesia akan gulung tikar dan selanjutnya perekonomian akan ambruk dengan sendirinya. Di sisi lain, krisis multi dimensi pun akan terjadi sebab bagaimanapun juga masalah keuangan dan semua masalah di
52
53
negara ini berkait erat dengan bilangan, baik langsung maupun tidak langsung. Hanya masalah waktu, cepat atau lambat, semua pasti terjadi! Dalam hal ini, dapat dilihat pada penyebab bubarnya VOC pada 31 Desember 1799. Satu hal yang tidak pernah diungkap, sistem bilangan yang digunakan pemerintah kerajaan Belanda dan sistem bilangan VOC pasti sama. Tetapi, nilai mata uang kerajaan Belanda dengan mata uang VOC, apakah sama? Mereka yang sama-sama orang “sana” saja, pada akhirnya bangkrut, apalagi …. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah keberanian dan kemauan bersama membangun terobosan baru untuk menyeimbangkan adanya perbedaan tersebut. 3.1 Noto Lahan Kehidupan (10)76 Jika sistem bilangan Indonesia –sebagai hasil pelurusan sistem bilangan Hindu Arab-- yang penulis paparkan di atas dapat “tumbuh” di Indonesia, maka dengan sendirinya pecahan uang seribu, lima ribu, sepuluh ribu, dua puluh ribu, lima puluh ribu, dan seratus ribu perlu direvisi –direvisi bilangannya. Langkah tersebut baru merupakan langkah awal perbaikan keuangan /perekonomian Indonesia. Dengan demikian, masih ada langkah lain yang lebih bersifat praktis /ekonomis –dalam hal ini pembahasan lebih tepat jika diungkap oleh para ekonom-- yaitu pada masa transisi digunakan rumusan : Seluruh keuangan yang menjadi hak negara serta kewajiban negara yang timbul karena hak tersebut dihitung berdasarkan bilangannya (pelafalan /pengucapan nominalnya), sedangkan realita uang yang beredar dihitung berdasarkan pada lambang bilangan (jumlah nominal ) uang tersebut. Contoh selengkapnya tentang teknik penerapan sistem bilangan Indonesia pada masa transisi dapat dilihat pada lampiran tersendiri. (lampiran 1) Dari sini timbul pertanyaan, mengapa ada perbedaan perlakuan terhadap uang negara dan terhadap uang yang beredar di masyarakat. Mengapa tidak diperlakukan sama, atau sederet pertanyaan lain. Untuk itu, kita perlu mundur beberapa langkah.
53
54
Adanya lompatan penggunaan basis bilangan –dari basis sepuluh (10) ke basis seribu (103)-- sudah pasti bukan tindakan gegabah. Mereka telah memperhitungkan dengan sangat cermat dan teliti. Dalam hal ini, watak kolonial sangat kental mewarnai , tentu saja dalam upaya menguasai dunia, penetrasi ekonomi, dan dominasi budaya. Satu di antara perilakunya adalah pengerukan sumber daya alam di dunia ketiga. Perlu diingat kekuasaan kaum kolonial bukan hanya bertumpu pada kekuatan --militer-- saja. Namun juga pada seluruh sistem yang mereka bangun. Ada sistem yang
berupa sistem pertahanan, sistem pendidikan, sistem pemerintahan, sistem
ekonomi, dan lain-lain maupun sistem pola pikir yang berupa teori seperti yang diterapkan pada bahasa (baca : linguistik), tulisan (aksara), dan hitungan (bilangan). dari semua sistem tersebut, sistem pola pikirlah yang paling berbahaya, sebab padanya tersimpan kekuatan untuk menguasai bangsa lain tanpa harus melakukan sebuah penjajahan primitif seperti yang dilakukan pendahulu mereka, bak jala sutra. Jika salah satu sistem mereka mengalami penonjolan, maka tak pelak lagi, ekspansi merupakan jalan keluarnya. Mereka akan membangun koloni baru, dan tentu saja, dengan membawa serta seluruh sistem yang lain, baik secara terang-terangan maupun secara terselubung. Daerah koloni pun secara perlahan menjelma menjadi daerah jajahan, baik dalam arti madani maupun tsaqofi. Penduduknya menjadi -sekedar-- pelaksana. Mereka tidak lagi memiliki otoritas dalam menyusun konsep, apalagi dalam menentukan langkah maju. Atau bisa jadi, mereka akan meragukan kemampuan bangsa sendiri, memandang rendah produk bangsa sendiri. Dengan kata lain, menjadi bangsa robot yang selalu patuh kepada tuannya. Semangat nasionalis para pendahulu negara ini berhasil memporakporandakan kekuatan militer mereka, dan ini telah dibuktikan dengan Proklamsi 17 Agustus 1945.
Jadi, secara fisik, kita telah merdeka. Secara madani, kita telah
merdeka. Militer mereka telah enyah dari bumi Pertiwi. Dalam hal ini, sebagai catatan penting, Bahasa Indonesia sudah merdeka jauh lebih dahulu –sebelum diformalkan dalam Undang Undang Dasar 1945-- yaitu dengan adanya pengakuan
54
55
“Menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia” dalam peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 Namun di sisi lain, dalam usianya yang ke sekian puluh tahun sejak proklamasi, jiwa bangsa ini masih terbelenggu oleh sisa sistem warisan mereka. Lihat saja, tulisan yang anda baca ini, apakah menggunakan huruf produk Indonesia? Sistem bilangan yang kita pakai, apakah produk Indonesia? Padahal, dengan menggunakan huruf mereka, bangsa ini akan bergantung pada produk teknologi mereka. Lihat saja mesin ketik dan komputer, bukankah itu produk sana? Belum mampukah kita memproduksinya? Bukankah, kita memiliki ribuan sarjana teknik, sarjana elektro, dan entah sarjana apa lagi? Yang setiap tahun selalu bertambah, dan terus bertambah. Ke manakah gerangan para sarjana teknik
kita pergi? Lantas
apakah arti semua itu? Bisa jadi para pembaca menjawab, kita belum mampu memproduksinya. Jika betul demikian, bagus. Jujur mengakui kekurangan. Jadi, lulusan sarjana kita masih, Ah …? Atau malah mungkin sudah bisa, tapi …. Dengan itu, bukankah berarti, kita harus membayar lisensi atau royalti untuk mereka? Atau, tidakkah sebenarnya kita sadar bahwa negara ini hanya dijadikan pasar dari semua produk mereka? Padahal, seandainya mau, bukankah sudah ada kemampuan untuk itu? Dan pada gilirannya nanti, modal yang kita punya tidak akan lari ke sana? Ini hanyalah sebuah contoh kecil dari masih tergantungnya bangsa ini pada kaum kolonial, termasuk penulis tentunya. Oleh karena itu, melanjutkan sistem yang mereka buat sama artinya dengan semakin membenamkan diri dalam cengkeraman mereka. Begitu pula dengan menjiplak atau memodifikasi sistem baru yang mereka buat akan sama artinya dengan melepaskan diri dari cengkeraman induk dan masuk ke dalam cengkeraman kloningnya, yang lebih rakus dan jahat. Dengan demikian, untuk melepaskan diri bangsa ini dari belenggu kolonialis modern dengan dua anak kembarnya yaitu komunis dan kapitalis-- hanya ada satu kata kunci, meninggalkan sistem mereka.
55
56
“Anda sendiri kan tahu, bahwa orang-orang yang memegang kendali dunia (selalu) berusaha menggunakan penemuan ilmiah untuk memperbaiki kebobrokan dan kehancuran, dalam kepentingan (memperbaiki) pengaruh cengkeraman terhadap bangsa lain, bahkan sampai pada kasus-kasus pengalaman administrasi dan teori-teori administrasi itu sendiri, dari satu sisi, diarahkan
untuk kepentingan bangsa tertentu dan di sisi lain untuk untuk
menguasai
kepentingan-kepentingan bangsa lain, bahkan kejadian psikologis pun dipergunakan untuk menaklukkan bangsa-bangsa tertentu kepada bangsa-bangsa lain” (Sa’id Hawwa, 1989 : 98)
Kegamangan untuk meninggalkan sistem buatan mereka, akan selalu mereka manfaatkan dengan menawarkan bungkus-bungkus kemajuan madani mereka. “Kebaikan” hati mereka bermuara pada satu tujuan, kita semakin masuk dalam bayang-bayang mereka. Itu artinya, negara ini makin terpuruk. Pada saat itu, tanpa kita sadari, seluruh sumber daya yang kita miliki mereka keruk, mereka angkut, dan mereka habiskan untuk memenuhi nafsu rakus mereka akan dunia. Bukankah, mereka memang menjadikan dunia sebagai tujuan? Lantas, apa yang tersisa ? Sampah teknologi mereka? Ataukah tumpukan uang mereka yang terbuat dari helai-helai kertas, bukan? Sebegitu berhargakah uang mereka, sampaisampai kekayaan alam untuk anak cucu pun kita habiskan. Di mana nurani kita sebagai bangsa? Padahal, apakah uang itu? “Uang adalah kertas, emas, perak atau logam lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara sebagai alat penukar atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah” (Kamus Besar bahasa Indonesia, 1990 : 979)
Dengan memperhatikan pengertian uang sebagai yang termaktub di atas maka tak pelak lagi antara uang dan bilangan tidak dapat dipisahkan. Bahkan fungsi awal tersebut telah berkembang seiring dengan tingkat kemajuan suatu bangsa. Hal ini dikarenakan adanya sirkulasi uang dalam kegiatan ekonomi. Pada tingkat ini, seperti yang diungkap oleh M. Manulang, “uang memiliki fungsi sebagai alat penukar, alat pengukur nilai, dan alat penimbun kekayaan” (Setijawan, 1987: 15)
56
57
Adanya pembatasan fungsi tersebut ternyata belum mencukupi. Dalam hal ini dapat dapat dilihat pada kejadian di sekitar kita. Dengan uang, seseoramg dapat memperoleh lahan yang dengan lahan itu yang bersangkutan dapat memenuhi hajat hidupnya. Padahal, lahan kehidupan pada saat ini bukan hanyan berarti lahan dalam arti sesungguhnya, namun sudah bergeser. Lahan kehidupan sudah bisa berarti status –dengan NIP /NRP, pangkat, bahkan suatu jabatan. Dengan statusnya, dengan pangkatnya, begitu pula dengan jabatan yang disandangnya, uangnya pun bertambah. Sepanjang uang dipergunakan untuk membeli lahan kehidupan dalam arti sesungguhnya, misalnya berupa lahan pertanian atau seperangkat alat produksi, yang karena semua itu terjadi di luar sistem birokrasi maka tidak akan menimbulkan masalah. Namun, pada saat uang tersebut sudah digunakan untuk “membeli” lahan kehidupan dalam arti yang kedua maka akan terjadi isu-isu tak sedap. Oleh karena itu, isu money politic setiap ada pemilihan pejabat publik –mulai dari kepala desa hingga gubernur-- dapat dijadikan bukti bahwa dengan uang, jabatan dapat dibeli, apalagi hanya pangkat dan status. Memang, semua itu hanya isu. Siapa pembeli dan siapa pula penjualnya juga tidak jelas. Oleh karena itu, biarlah semuanya menjadi rahasia umum, tidak perlu menjadi rahasia negara. Sungguhpun demikian, sikap realistis, obyektif dan sudi membeningkan hati dalam menilai masalah ini sangat diperlukan. Peluang “ya atau tidak” adanya politik uang adalah satu banding satu. Dalam kondisi tertentu, semua bisa saja terjadi. Juga dalam kondisi tertentu, semua tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, perangkat penangkalnya pun perlu segera dipersiapkan sejak dini. Menurut penulis, persolan tersebut sebenarnya berpulang kepada nurani bangsa, bukan orang-perorang. Dalam hal ini, penulis tidak sependapat jika masalah tersebut ditimpakan sepenuhnya kepada oknum pelaku. Hal ini dikarenakan adanya situasi yang mendukung terjadinya penyelewengan dan di samping itu adanya pihak lain yang diuntungkan dengan situasi seperti itu.
57
58
Dengan kata lain, dalam masalah tersebut lembagalah yang harus mempertanggungjawabkannya. Bukankah oknum bisa datang dan pergi sesuai dengan tuntutan keadaan? Masalah pada gilirannya nanti lembaga minta pertanggungjawaban kepada oknum pelaku penyelewengan, itu masalah lain, dan memang begitulah seharusnya. Dengan demikian, adanya kesempatan untuk melakukan penyimpangan yang mengakibatkan semakin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin sebenarnya berawal dari pola pembagian lahan kehidupan yang tidak jelas. Lahan kehidupan haruslah dibagi secara adil agar tidak menimbulkan masalah. Pembagian yang adil tentu saja bukan dilihat pada saat ini, melainkan harus mundur ke saat negara ini baru lahir. Dengan begitu akan dapat diketahui di mana sebenarnya posisi seseorang dalam mencari lahan kehidupannya. Perhatikan, pembagian lahan kehidupan untuk rakyat negara ini saat start awal Proklamasi, 17 Agustus 1945 berikut ini : 1
AA
Aa
aA
2
aa
X
bb
bB
Bb
BB
Posisi lemah, fasilitas lemah Posisi lemah, fasilitas kuat Posisi kuat, fasilitas lemah Posisi kuat, fasilitas kuat
Tabel 11 Keterangan : Komponen I : Komponen di dalam birokrasi (baca : rakyat birokrasi) Komponen II : Komponen di luar birokrasi (baca : rakyat murni)
58
59
Dalam hal pekerjaan, mereka telah memilih. Dalam hal tempat untuk dapatnya
memenuhi
kebutuhan,mereka
telah
memilih.
Bahwa
demokrasi,
pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mereka laksanakan. Gen murni telah tersusun. Siapa di dalam --struktur birokrasi-- dan siapa di luar –struktur birokrasi-- telah mereka tentukan, tanpa ada paksaan dari siapapun, dan dari manapun. Mereka telah memilih berdasarkan panggilan jiwanya. Oleh karena itu, jika pada akhirnya keturunan mereka sampai memperebutkan kembali lahan kehidupan yang telah mereka bangun, sungguh merupakan sebuah pengingkaran sejarah. Memang, di dalam memperebutkan lahan kehidupan tidaklah seperti pelelangan ikan …. “Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh Rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya”. (Penjelasan pasal 23, Undang-Undang Dasar 1945)
Perhatikan : “Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan
yang layak bagi
kemanusiaan”. (Pasal 27, Undang-Undang Dasar 1945)
Seiring dengan perjalanan waktu, generasi pertama negara ini mulai mengakhiri pengabdiannya pada Pertiwi. Satu persatu, mereka berpulang ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa. Dari sini timbul masalah, sebab adanya aturan main yang berbeda antara Kelompok I dan Kelompok II. Pada Kelompok I : a. Lahan kehidupan tidak diwariskan; b. Lahan kehidupan (pekerjaan) dapat diperoleh sesuai dengan keahlian. Pada Kelompok II : a. Lahan kehidupan dapat diwariskan; b. Lahan kehidupan (pekerjaan) dapat diperoleh sesuai dengan keahlian; c. Lahan kehidupan dapat dibeli.
59
60
Dengan demikian, pintu masuk ke lahan 1 hanya ada satu, yaitu berupa keahlian –dan ini dapat diperoleh dengan pendidikan yang memadai. Sedangkan pada lahan 2, pintu masuknya ada tiga buah, jadi cukup longgar. Namun, karena longgarnya maka memudahkan AA (dari Kelompok I) untuk menembusnya dengan cara membeli, sementara posisinya di lahan 1 tetap. Begitu pula halnya dengan BB (dari Kelompok II), dengan segala kemampuannya, ia pun mampu menembus lahan 1, sementara posisinya di lahan 2 tetap. Dalam hal ini, penulis tidak menafikan adanya perpindahan stratum dalam satu kelompok karena adanya sebab-sebab tertentu di antara mereka, dan itu bisa saja terjadi secara alami. Dengan demikian, pada lahan kehidupan akan terjadi perubahan pemetaan karena munculnya kelompok baru, dan akan terjadi sebagai berikut : Turun
Kelompok I di Lahan 1
Kelompok II di Lahan 2
Kelompok III
an
(di dalam sistem birokrasi)
(di luar sistem birokrasi)
(di luar sistem)
F
AA
Aa
aA
aa
BB
Bb
bB
bb
F1
AA
Aa
aA
BB
BB
Bb
bB
bb
aa
11
AA
Aa
BB
aA
BB
Bb
bB
AA
aa
bb
111
AA
BB
Aa
AA
BB
Bb
AA
bB
aa
bb
F F
Tabel 12
Pada F1 : 1. “aa” dari Kelompok I yang berposisi lemah dengan finansial yang juga lemah tergusur dari tempatnya. Bisa jadi, “aa” berdesakan dengan ‘bb”, masuk Kelompok II di lahan II. Namun, bisa jadi, ia membentuk kelompok baru, kelompok yang tersisihkan /kelompok pencari kerja (Kelompok III) Untuk sementara waktu, tempat “aa” diisi oleh “BB”. BB dapat menembus lahan 1 karena memang mempunyai kemampuan untuk itu. Dengan kata lain, F1 adalah lonceng kematian untuk “aa”
60
61
2. “bb” masih bisa bertahan pada tempatnya karena mendapatkan tempat (warisan) dari F Pada F2 : 1. Dengan segala kelebihan yang dimiliki, “BB” mulai menggeser “aA” dan --mungkin--
tanpa harus menunggu alih generasi, “BB” sudah dapat
berdekatan dengan “AA” dengan menggeser “Aa”. 2. “AA” mulai menggeser “bb”. Hal ini ditandai dengan adanya usaha sejenis yang dilakukan “AA”, dan tentu saja dengan didukung oleh fasilitas dan posisinya yang kuat di lahan 1 (dalam struktur birokrasi). Pada F2 inilah lonceng kematian “bb” bergema. Pada F3 : 1. “AA dan BB” sudah berdekatan, kondisi inilah yang memunculkan pejabat yang juga pengusaha, atau sebaliknya, pengusaha yang juga merangkap sebagai pejabat 2. “aa dan bb” semakin tergeser dan tergusur. Lahan kehidupan hanya dikuasai oleh yang kuat, baik kuat dalam posisi maupun dalam finansial. Kedudukan keduanya hanyalah sebagai pencari kerja. Mereka sudah tidak lagi memiliki lahan kehidupan yang dapat diperjualbelikan serta tak dapat pula diwariskan. Pada F3, deretan makin panjang untuk “aa” maupun “bb” Dalam hal ini, ada yang perlu dicatat bahwa pencari kerja setiap tahunnya kurang lebih 2,5 juta orang, dan akan terus bertambah (Kuncoro Ningrat, Berita Petang TVRI, 26 April 2002)
61
62
Sejauh ini, penulis belum pernah mendengar adanya penelitian empiris tentang nasib keturunan “aa”, baik dari a1a1 sampai dengan a111a111. Begitu pula dengan keturunan “bb”, baik dari b1b1 sampai b11b11. Secara teori, mereka telah termarginalkan sejak F1 untuk a1a1 dan sejak F2 untuk b1b1, terdepak ke luar dari struktur yang telah dibangun bersama gen inti lainnya. Sebagai bangsa yang mengaku “Berkemanusiaan yang adil dan beradab”, ada satu pertanyaan, adilkah melibas lahan kehidupan orang lain? Dalam hal ini, kita tidak perlu menjawab dengan langsung. Kita perlu merenung. Bagaimana seandainya, kita ada di posisi “aa” atau “bb”? Bahwa, mereka tidak pernah menghutangkan perjuangan mereka, itu benar. Bahwa, mereka dulu ikhlas tanpa pamrih, itu pun tidak salah. Namun, ada satu hal yang harus diingat, mereka yang mendirikan negara ini. Mereka yang telah membuka lahan kehidupan. Bisa jadi, pembaca beranggapan bahwa mereka telah memilih, dan termarginalkan itu merupakan konsekuensi hidup. Anggapan itu bisa jadi benar, seandainya Peraturan Pemerintah tentang pensiun (maaf, penulis tidak mamiliki arsip) terbit saat proklamasi. Jadi, mereka sudah tahu akan resiko yang akan diterimanya jika memilih berada di dalam struktur birokrasi. Masalahnya, peraturan pemerintah tersebut terbit saat “aa” sudah mulai uzur serta saat “BB” atau malah mungkin “Bb” mulai mengintervensi lahan 1. Keuzuran “aa”, lemahnya posisi tawar, dan lemahnya finansial membuat “aa” pasrah menerima nasib saat miliknya “dirampas” negara oleh penguasa. Dari sini, timbul pertanyaan. Bukankah mereka telah menerima pensiun? Dan, penulis balik bertanya, bukankah sekian persen dari gaji mereka memang untuk itu? Dengan kata lain, sebenarnya uang pensiun itu milik siapa? Bukantah itu memang miliknya? Tapi, ke mana perginya NIP /NRP --atau mungkin nomor lain yang sejenis dengan itu-- milik mereka? Bukankah NIP /NRP tersebut dapat dianggap sebagai tanda bukti “kepemilikan” mereka terhadap lahan 1?
62
63
Dengan kata lain, NIP /NRP mereka tidak dapat disejajarkan dengan NIP /NRP aparat negera ini dari generasi berikutnya –sebagai nomor registrasi, itu sudah pasti. Mereka bukanlah aparat biasa, namun juga sebagai pemilik seperti halnya AA, Aa, aA, BB, Bb, bB, dan bb --masalah (1). Mereka adalah pembuka lahan kehidupan. Dengan demikian, “aa” juga pemilik lahan kehidupan di negera. Sebagai pembanding, saat Anda naik becak. Anda duduk manis di atas becak dan minta diantarkan. Sesampai di tempat yang Anda tuju, Anda memberi imbalan yang pantas kepada si tukang becak. Lantas, becaknya? Apakah karena Anda telah merasa memberi upah, lantas becaknya juga Anda minta? Dan, kalaupun Anda mengucapkan terima kasih, karena si tukang becak telah bersusah payah, apa ruginya? Bukankah, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa pahlawannya? Atau mungkin, Anda memarkir kendaraan di tempat penitipan sepeda. Setelah hajat Anda selesai, anda membayar ongkos parkir dan berteima kasih. Apakah karena telah merasa membayar, lantas Anda merampas bidang kerjanya? Masuknya “BB” ke lahan 1 bukannya tanpa resiko. Kebiasaan yang terjadi pada lahan 2 –bisa jadi-- terbawa, sebagai contoh jual beli lahan. Bahwa semua pemegang otoritas pengadaan personalia di negara ini membantah, itu sudah pasti. Semua hanya kabar burung, tanpa bukti, fitnah dan entah apa lagi sumpah serapah mereka. Yang jelas, mereka mengelak tegas. --(masalah 2). Dengan demikian, lahan kehidupan yang ada di birokrasi (Lahan 1) telah menelantarkan “aa” --masalah (1)-- serta adanya perilaku (isu) jual beli jabatan /pekerjaan (masalah 2) itu harus segera dihentikan. Masalah pertama merupakan masalah ketidakadilan, sedangkan masalah kedua merupakan masalah harga diri. Kedua masalah ini harus diselesaikan. Dalam hal ini, ada dua pilihan yaitu: 1. Aturan waris yang berlaku pada Kelompok
II
di lahan 2 (luar
birokrasi) juga diterapkan dalam Kelompok I di lahan 1 (dalam birokrasi) 2. Aturan waris pada Kelompok II di lahan 2 (luar birokrasi) dihilangkan seperti perlakuan negara terhadap kelompok I di lahan 1
63
64
Sebuah dilema. Jika aturan pertama diterapkan, maka semua komponen II akan memprotes. Itu, menciptakan feodalisme baru atau malah mungkin memandang itu ciri masyarakat terbelakang. Begitu pula seandainya aturan kedua yang diterapkan, mereka juga akan protes keras. Itu perlakuan sosialis, komunis, dan itu merampas hak rakyat. Dominasi Kelompok II sangat kuat di negeri ini, sampaisampai gen murni dalam birokrasi pun tidak diberi kesempatan tumbuh. Jika menyangkut hak rakyat yang ada di kelompok II dirampas negara, mereka tidak setuju, bahkan mungkin ramai-ramai berunjuk rasa. Namun, di saat yang sama, jika yang dirampas oleh penguasa --atas nama negara-- itu hak rakyat dari kelompok I, setuju-setuju saja. Jadi, aslinya mereka hipokrit bin munafik. Di luar birokrasi diterapkan pola kapitalis, sedangkan di dalam birokrsi diterapkan pola …. Semua milik negara /bersama –termasuk NIP /NRP dari generasi pertama negara ini.Dengan demikian benar sekali bahwa antara komunis dan kapitalis itu bersaudara, kembar malah. Jadi, jika yang satu ada di kiri, maka yang lain ada di kanan. Jika yang satu ada di dalam, dapat dipastikan pasangannya ada di luar. Baik langsung maupun tidak langsung, semua ini terjadi karena uang. Jika “aa”
mampu secara finansial, maka dia akan mampu membiayai pendidikan
keturunannya, sehingga –meskipun-- lemah posisinya, lahannya tidak akan digeser oleh “BB”. Begitu pula dengan “BB”, karena hanya --maaf-- sebuah status (?) dia mau
melepaskan
sedemikian
banyak
uang
untuk
membiayai
pendidikan
keturunannya sehingga mampu menembus lahan 1, dan … semua komponen bangsa ini diam seribu bahasa. Pertanyaannya, Mengapa “aa” di anak tirikan? Oleh karena itu, jika gen murni “BB” adalah x
maka setelah yang
bersangkutan duduk sebagai pejabat, sifat asli bawaannya akan muncul. Jadilah ia seorang pejabat x, sehingga dengan jabatannya akan lancar usaha x sanak keluarganya. Itulah onani jabatan! Mereka hanya memuaskan diri sendiri –keluarga dan kroninya, sumber nepotisme di negara ini.
64
65
Di luar birokrasi, nepotisme merupakam hal yang lumrah, bahkan sangat manusiawi. Mana ada manusia tega melihat sanak keluarganya yang kekurangan, apalagi jika yang menderita itu anaknya sendiri. Padahal, di saat itu dirinya mampu memberikan pertolongan. Lihat saja, tukang cendol akan memberikan gerobak cendolnya saat merasa dirinya sudah uzur kepada anaknya untuk mencari nafkah. Pedagang di pasar akan dengan sukarela memberikan kios miliknya kepada anaknya, atau paling tidak anaknya akan diupayaan memiliki usaha seperti dirinya. Petanipun akan menyerahkan sawah-ladang milik kesayangannya kepada anaknya. Sedangkan di dalam birokrasi praktek semacam itu, tabu. Berhubung “BB” memiliki posisi strategis maka dengan segala cara dan mudah (?) yang bersangkutan menarik masuk sanak keluarganya dalam struktur birokrasi dan mendepak keluar “aa” dari atas kursi pengabdiannya. Tentu saja, harus ada peraturan sebagai perisai. Bagaimana seandainya pejabat x
tersebut meng-x-kan jabatannya? Itulah
pelacuran jabatan! Dengan melacurkan jabatannya yang bersangkutan dapat mengeruk keuntungan pribadi. Dan, itulah kolusi. Sebuah bentuk kong-kali-kong antara orang dalam dengan orang luar. Lantas, bagaimana seandainya pejabat x tersebut meng-x-kan jabatan yang ada di bawahnya? Gawat bukan? Menurut penulis, persaingan tidak sehatlah yang akan terjadi. Ujung-ujungnya, yang menjadi korban perilaku ini adalah “aa atau “bb” lagi. Bahwa kekuasaan itu seperti gula-gula seperti kata sebagian orang ada benarnya juga. Banyak orang yang memikirkan, namun sedikit sekali yang dapat menggapainya. Oleh karena itu, bisa dibayangkan jika gen murni “BB” adalah “benalu” atau malah “rayap”. Mereka akan menggerogoti negara dari dalam. Itulah korupsi!
Di sini,
korupsi bukan hanya berarti korupsi uang negara. Namun juga dapat berarti korupsi waktu. Sudah saatnya bekerja memberikan pelayanan kepada masyarakat malah asyik menyibukkan diri dengan kegiatan lain yang “dipaksa” kerjanya. Korupsi waktu
relevan dengan bidang
hampir dianggap biasa dan nyaris menyentuh seluruh
lapisan, “Hanya, sepuluh menit, atau hanya satu jam”.
65
66
Satu jam masih dianggap “hanya”. Padahal, bagi seorang sopir dalam waktu satu jam sudah dapat menempuh jarak berapa kilometer? Bagi seorang dokter, berapa orang yang dapat diobati, atau malah mungkin diselamatkan? Bagi seorang penyadap getah karet, berapa liter getah dapat diambil? Memang, semua mempunyai alasan, dan semua alasan mereka sangat masuk akal. Namun, di era profesional menjadi suatu keharusan maka ketepatan waktu dalam memberikan pelayanan kepada publik sedikit banyak akan turut membantu percepatan terbentuknya kepercayaan. Sebab, jika dalam masalah waktu saja sudah sering lalai, apalagi …. Masalahnya, siapa yang membuat aturan semacam itu? Pemerintah sendiri! Dengan kata lain, Peraturan Pemerintah tentang pensiun itu hanya menimbulkan borok atau malah “hanya” untuk menutup borok yang bernama korupsi, kolusi, dan nepotisme. Nah, untuk menutup borok tersebut, kepada “aa” diberikan hak pensiun. Padahal, uang pensiun itu adalah uang mereka sendiri. Sekali lagi, lantas dikemanakan NIP /NRP yang bersangkutan? Bukankah deretan angka tersebut sebenarnya dapat dipandang sebagai bukti kepemilikan lahan kehidupan atau semacam sertifikat
tanah sawah bagi petani? Atau semacam kios bagi seorang
pedagang di pasar? Atau semacam BPKB sepeda motor milik tukang ojek? Sekali lagi, mereka tidak seperti aparat negara dari generasi berikutnya. Oleh karena itu, seandainya, keturunan “aa” mulai dari “a1a1 sampai dengan anan” melakukan tindak pelanggaran
dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup
menurut penulis, itu sangat wajar –bukan maksud penulis mentolelir kejahatannya. Pelanggaran yang dilakukan mereka tidak dapat disamakan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh “AA, Aa, aA, BB, Bb, bB, maupun bb” sendiri. Mereka juga butuh hidup, untuk hidup butuh biaya, untuk dapat biaya harus kerja, untuk dapat kerja harus ada lahan yang dikerjakan, dan saat lahan
“aa”
dirampas negara, ke mana harus membuka lahan baru? Bukankah lahan 2 sudah ada pemiliknya?! Sekali lagi, mengapa saat “aa” yang tergusur semua diam? Semua tidak ambil pusing?
66
67
Memang, teorinya, mereka dapat bekerja apa saja. Jadi, intinya peraturan pemerintah tersebut menginginkan (menciptakan) agar keturunan mereka dijadikan kelas pekerja (baca : pencari kerja) atau malah mungkin kelompok tanpa kelas! Bukan lagi kelas pemilik. Padahal, saat start awal, Kelompok I dan Kelompok II sama-sama sebagai pemilik lahan kehidupan. Dari dua gambaran masalah di atas terlihat dengan jelas bahwa sumber petaka yang bernama Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di negara ini adalah uang. Kedudukan para pelaku KKN hanyalah sebagai faktor pemercepat saja, maka penyelesaiannya pun harus dengan uang atau sesuatu yang dapat diuangkan. Penyelesaian seperti itu barulah adil, sungguhpun pahit. Perhatikan : Jika
: untuk masuk ke lahan 1 = p untuk masuk ke lahan 2 = q , dimana p = q
Maka : 1. Pada p dan q bernilai keahlian, maka p = q 2. Pada p dan q bernilai uang, maka x = q 3. Pada p dan q bernilai waris, maka x = q Dari situ terlihat bahwa pintu masuk ke lahan 1 ada dua yang belum terpakai yaitu uang dan waris. Menggunakan uang berarti haruslah ada penjual, ada yang dijual, dan ada pembeli. Dalam hal ini, yang berkedudukan sebagai penjual adalah gen murni aparat birokrasi /negara (Kelompok I, “AA,Aa,aA, dan aa”). Yang dijual adalah miliknya yang paling mendasar sebagai aparat negara, yaitu Nomor Induk Pegawai (NIP) atau Nomor Resimen Pusat (NRP). Sedangkan pembelinya adalah unsur luar birokrasi yang hendak masuk ke birokrasi, dari Kelompok II (BB, Bb, bB, dan bb). Jual-beli NIP /NRP dapat terjadi, jika ada ahli waris yang bersangkutan menjualnya.
67
68
Dengan demikian, sebenarnya, kepemilikan pada lahan 1 juga ada tiga macam, yaitu : melalui keahlian, melalui waris, dan dengan cara membeli. Pintu keahlian baru terbuka pada saat negara membuka lembaga baru, misalnya sebuah departemen baru, sekolah baru, batalion baru, puskesmas baru, dll. Jika, seseorang masuk ke lahan 1 hanya berbekal keahlian tanpa ada tugas membuka lahan baru, maka keberadaanya tidak lebih dari pekerja profesional. --Teknik ini, meskipun dalam konteks yang berbeda telah diterapkan pemerintah
dalam program
transmigrasi. Kepada para transmigran (dari Kelompok II) diberikan lahan pertanian seluas sekian hektar, rumah sebegai tempat tinggal, alat-alat pertanian, dan jaminan hidup sekian bulan. Pintu waris hanya diperuntukkan bagi generasi penerus mereka belaka. Sedangkan, cara membeli, sekalipun sudah tersedia uang yang cukup maka masih tetap harus ditambah dengan persyaratan akademik yang memadai, yang sesuai dengan kebutuhan bidang kerja. Dari sini timbul pertanyaan, bukankah keahlian seorang anak bisa jadi berbeda dengan orangtuanya? Pertanyaan itu memang tepat. Oleh karena itu, jika ahli waris tidak tertarik melanjutkan pekerjaan orangtuanya karena tidak adanya keahlian atau karena ada sebab lain maka ada tiga macam pilihan, yaitu : Pertama, yang bersangkutan dapat menyewakan lahan kehidupannya dalam jangka waktu tertentu kepada orang lain. Seperti halnya anak seorang petani yang enggan melanjutkan pekerjaan ayahnya --karena, misalnya lebih tertarik untuk menjadi pedagang-- bukankah ia dapat menyewakan sawah miliknya? Nah, di sinilah sebenarnya terjadi kontrak kerja --dokter kontrak, guru kontrak, dan sebagainya. Kedua, yang bersangkutan dapat saja menjual lahan miliknya --yang berupa NIP /NRP-- kepada yang menginginkan, dan tentu saja si pembeli harus memenuhi persyaratan akademik dan persyaratan lain yang diperlukan. Tapi, menurut penulis, hal ini akan langka terjadi, di sini ada sebuah kehormatan. Ketiga, yang bersangkutan hanya memetik jasa (baca : pokok gaji) dari leluhurnya dan merelakan posisinya ditempati orang lain. Dalam hal ini, dalam konteks pertanian, dikenal dengan bagi hasil.
68
69
Seandainya, konsep ini diterapkan maka keturunan “aa” atau bahkan mungkin keturunan Kelompok I yang lain tidak akan termarginalkan, atau sekalipun pada akhirnya harus keluar dari birokrasi yang telah dibangunnya maka “aa” sudah mengantongi modal untuk membuka lahan baru di lahan 2. Sehingga, keturunan “aa” tidak sampai menjadi kelompok pencari kerja /penganggur. Sementara itu, “BB” atau dari Kelompok II yang lain tidak mungkin dapat dengan begitu mudah menguasai dua lahan kehidupan sekaligus, sebab untuk “masuk” ke jajaran birokrasi, mereka juga harus membeli terlebih dahulu atau paling tidak mengontrak. Jadi, tidak cukup hanya dengan mengandalkan keahlian seperti yang berlaku selama ini (?). Namun, ada satu hal yang patut disyukuri, “Uang bukanlah segalanya”. Mungkin karena itulah maka keturunan “aa” masih terus bertahan dan berjuang. Jika pada masa lalu “aa” berjuang bersama “AA, Aa, aA, BB, Bb, bB, dan bb” mengusir penjajah, maka keturunannya berjuang sendiri mancari, dan terus mencari lahan baru sekedar untuk mempertahankan hidup. Dengan kata lain, “aa” telah dikhianati oleh kawan seperjuangannya. Mereka hanya bisa pasrah, dan menerima nasib sebagai orang yang dipinggirkan, sebagai warga negara yang tersisihkan oleh sebuah sistem yang diciptakan oleh yang kuat. Keadaan ini, jelas bukan sebuah cermin keadilan. Jadi, demokrasi yang mereka bangun bersama saat proklamasi itu adalah demokrasi cap mobil, “bukan” Demokrasi Pancasila. Pada saat mobil mogok, semua ikut mendorong, seia-sekata dalam pahit-getirnya perjuangan. Namun kala mobil mulai hidup dan lari kencang, mereka ditinggalkan. Dan, dengan ucapan manis si sopir, awak sopir, dan penumpang mengucapkan “Terima kasih, Pahlawan”. Bahwa segudang tanda ucapan terima kasih layak mereka terima, itu sudah pasti. Tapi, jangan lantas merampas hak mereka. Oleh karena itu, pada saat start Indonesia Baru pasca transisi nanti, hak “aa” dan mungkin Kelompok I yang lain selayaknya dikembalikan, dan ini adalah kewajiban pemegang kedaulatan rakyat di negara ini, atau paling tidak menjadi kewajiban pemerintah --lihat lampiran 2.
69
70
Selain itu, masuknya “AA” atau unsur Kelompok I ke lahan 2 pun ada yang perlu diwaspadai. Tidak setiap unsur luar yang masuk berdampak positif, pun tidak selalu masuknya unsur luar berdampak negatif. Namun, jika negatifnya lebih menonjol maka lebih baik unsur luar tersebut dikembalikan ke habitatnya. Dengan kata lain, masuknya “AA” ke lahan 2 bukannya tidak beresiko, sebab sedikit banyak akan mempercepat kematian usaha kecil sejenis di daerah itu (lahan 2). Dan, itu hanya masalah waktu. Menyusutnya lahan pertanian
karena salah
letaknya suatu proyek atau karena berpindah tangan kepada pejabat “kaya”, rusaknya hutan di banyak tempat karena salah urus, menyusutnya air tanah sebagai akibat tidak langsung dari rusaknya hutan, kurang bagusnya mutu bangunan
tempat-tempat
umum –misalnya gedung sekolah dasar-- dapat dijadikan contoh sisi negatif yang perlu dicermati. Semua sisi negatif tersebut sedikit banyak mempercepat kematian “bb”, dan keturunannya makin terpingirkan. Mereka hanya menjadi penonton kemajuan pembangunan. Nasib mereka tak jauh berbeda dengan nasib “aa”, malah mungkin lebih susah. Seyogyanya, kepemilikan lahan berada pada tangan yang tepat. Sebagai contoh : tanah pertanian, paling tepat berada di tangan para petani. Tanah ladang dimiliki oleh peladang, tambak-tambak dikuasai nelayan, dunia pendidikan berada di tangan pendidik –bukan di tangan administratur (?), dunia militer di tangan militer – bukan di tangan sipil, dunia spiritual berada di tangan para rohaniawan,
dan
sebagainya. Secara hakiki, merekalah sebenarnya pemegang otonomi. Bukankah, jika sebuah urusan dipegang oleh yang bukan ahlinya, kita hanya tinggal menunggu saat kehancurannya? Pembaca yang budiman, masalahnya sekarang adalah siapa itu gen murni dari kelompok I dan siapa pula gen murni dari kelompok II? Gen murni kelompok I adalah mereka yang sejak start Proklamasi, 17 Agustus 1945 berada di dalam kelompok I, begitu pula dengan gen murni kelompok II adalah mereka yang sejak start tersebut berada di dalam kelompok II.
70
71
Padahal, saat negara ini memproklamirkan diri, pemegang kedaulatan belum berada di tangan bangsa ini. Bukankah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda baru terjadi pada 27 Desember 1949? Oleh karena itu, pengertian gen murni pun berkembang menjadi siapa yang saat itu berada dalam kelompok I menjadi gen murni kelompok I dan siapa yang saat itu berada pada kelompok II menjadi gen murni kelompok II (1). Dalam perkembangan selanjutnya, negara /pemerintah membuka lembaga-lembaga baru di berbagai sektor kehidupan. Mereka yang berasal dari kelompok I karena faktor x berhijrah ke kelompok II (2), di saat lain, mereka dari kelompok II berbondongbondong pindah ke dalam kelompok I (3). Dari tiga macam rentetan kejadian di atas, akhirnya dapat dijelaskan bahwa gen murni kelompok I adalah : Pertama, mereka yang sejak 27 Desember 1949 telah berada di dalam kelompok I. Kedua, mereka yang berasal dari kelompok II yang mendapat tugas membuka “lembaga baru” yang disediakan oleh negara /pemerintah pada lahan I. Sedangkan gen murni kelompok II adalah : Pertama, mereka yang sejak 27 Desember 1949 telah berada di dalam kelompok II. Kedua, mereka yang berasal dari kelompok I yang memanfaatkan lahan baru yang dibuka oleh negara /pemerintah pada lahan II –dalam hal ini, misalnya ikut program transmigrasi khusus (?). Dengan demikian : 1. Mereka yang saat start awal masa transisi berada dalam kelompok I namun tidak memenuhi salah satu syarat gen murni kelompok tersebut maka, mereka tidak dapat dipandang sebagai gen murni kelompok I. Mereka inilah sebenarnya yang disebut Pegawai Negeri, dan Peraturan Pemerintah tentang pensiun layak ditetapkan kepada mereka.
71
72
2. Gen murni kelompok I memiliki status kepegawaian yang lain /lebih tinggi. Mereka adalah Pegawai Negara bukan hanya sekedar pegawai negeri biasa. Dengan demikian, pola waris lahan kehidupan di lahan I hanya dapat diterapkan pada Pegawai Negara tersebut dan oleh karena itu pegawai negara tidak mendapatkan pensiun. Sejalan dengan hal itu, maka, jika selama ini sebagian gajinya dipotong untuk dana pensiun maka harus dikembalikan …., kecuali jika atas kemauan sendiri yang bersangkutan ikut Taspen. Dari situ timbul dua buah pertanyaan mendasar : Pertama, mengapa Pegawai Negeri tidak dapat mewariskan lahan kehidupannya? Pembaca yang budiman, “membuka” lahan baru tidak dapat disamakan sulitnya dengan “mengerjakan” di atas lahan yang sudah ada. Dalam contoh yang paling sederhana, membuka lahan pertanian baru (yang dikerjakan para transmigran) jauh lebih sulit daripada menanami lahan pertanian saat lahan (baca : sawah, atau ladang) telah terbuka. Pada yang pertama, macam kendala tak terhingga banyaknya mulai dari “kayu-kayu” yang malang-melintang tak karuan, akar-akar yang masih kokoh tertancap, teknik memindah kayu, teknik membongkar akar bercokol sampai “hewan” buas dan berbahaya, teknis menghalau hewan buas, dan sebagainya. Sedangkan pada yang kedua, kendala memang ada, dan penghalang itu hanyalah berupa teknis belaka. Dalam konteks yang lebih dalam, bisa jadi ada yang berpendapat lain, mengisi kemerdekaan tidak lebih gampang daripada merebut kemerdekaan. Pernyataan itu benar dan tepat sepanjang “isi” yang hendak dimasukkan ke dalam “wadah” kemerdekaan belum ada. Jadi, jika “isi” sudah ada, dan “wadah” telah tersedia, lantas di mana letak sulitnya?
72
73
Masalahnya akan sangat lain, jika wadah “merdeka” sudah ada sementara “isi” yang hendak dimasukkan masih harus “mengambil” dari “sumur tetangga”, apalagi … timbanya tidak tersedia! Maka akan terasa sangat sulit. Atau mungkin, sekalipun timbanya ada. Namun, bolong. Kedua, mengapa Pegawai Negara tidak mendapatkan pensiun? Pembaca yang budiman, sebagai “pemilik lahan” maka saat lahan telah diwariskan maka sudah barang pasti status kepemilikannya berpindah kepada keturunannya, atau kalau lahan kehidupannya dijual maka akan berpindah kepemilikannya kepada si pembeli. Lantas, siapa yang memberinya pensiun? negara /pemerintah? Mana mau negara /pemerintah merugi. Dalam hal ini, harus dibedakan antara hak Taspen dengan hak pensiun. Pembaca mungkin akan mengajukan pertanyaan lain, bukankah lahan kehidupan tersebut milik negara? Pembaca memang benar adanya, jangankan lahan kehidupan. Bahkan bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara (ayat 3, pasal 33, UUD 1945). Masalahnya, bukankah sejak awal lahan kehidupan tersebut sudah dibagi secara adil? Lahan pertanian /sawah adalah milik petani, lahan perdagangan /pasar dikuasai pedagang, lahan pendidikan /sekolah merupakan tempat mencari rezeki bagi guru, rumah sakit untuk dokter, pondok pesantren untuk para ulama, asrama /markas untuk militer, dan sebagainya. Marilah, kita belajar kepada alam. Bagaimanapun, ikan hanya dapat hidup dengan tenang di air, burung-burung akan terbang bebas di angkasa, harimau akan menjadi raja saat di hutan, dan sebagainya. Kalaulah sesekali, mereka meninggalkan habitatnya pastilah ada sesuatu yang dicari, dan saat yang dicari telah diketemukan, bukankah mereka akan kembali ke habitat aslinya? Mengapa, manusia tidak mau belajar kepada mereka? Mereka yang tidak memiliki akal budi saja tidak merebut lahan hidup makhluk lain, mengapa manusia sebagai makhluk yang “sempurna” berebut lahan kehidupan? Salah yang mengatur ataukah salah yang diatur? Jika salah yang mengatur, berarti kesalahan ada pada sistem. Namun, jika kesalahan ada pada yang diatur, itu berarti hanya ada satu kata kunci jawaban, tamak!
73
74
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
“aparatur negara” –bukan
pejabat negara-- dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
Pegawai Negara dan
Pegawai Negeri. Dari sini, muncul sebuah pertanyaan, siapa Pegawai Negara? dan siapa pula Pegawai Negeri? Pegawai Negara terdiri dari dua angkatan, yaitu : 1. Angkatan pertama adalah mereka yang pada 27 Desember 1949 telah berada dalam struktur birokrasi; 2. Angkatan kedua yaitu mereka yang mendapat tugas dari negara /pemerintah membuka “lembaga baru” yang disiapkan oleh negara. Dari sini muncul sebuah pertanyaan mendasar, setelah membuka lembaga baru, apa yang dikerjakan? Pembaca yang budiman, setelah membuka lembaga maka yang bersangkutan berkewajiban “mengerjakan” lembaga tersebut. Berapa lama? Bukankah –misal-- perang kemerdekaan saja ada masanya? Jadi, untuk membuka “lembaga baru” -pun harus ada “batas masa” –nya. Kapan dikatakan sebagai “masa membuka” dan kapan dikatakan sebagai “masa mengerjakan”. Menurut penulis, ada patokan yang dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan, yaitu : 1. Wajib Belajar 6 Tahun yang telah ditetapkan oleh Presiden Suharto pada 2 Mei 1984; 2. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang juga telah ditetapkan oleh Presiden Suharto sepuluh tahun kemudian, 2 Mei 1994. Dalam hal ini, mungkin pembaca bertanya, apa hubungan antara “lembaga baru” dengan wajib belajar? Pembaca, jika makna tersurat yang dibaca maka wajib belajar memang hanya akan berlaku pada bidang pendidikan. Padahal, lahan kehidupan bukan hanya ada pada pendidikan. Namun, jika makna tersirat dapat kita tangkap maka cakupan wajib belajar tersebut sangat luas.
74
75
Misalnya, wajib belajar kesehatan, wajib belajar hukum, dan sebagainya, yang kesemuanya akan berujung pada “pembukaan lembaga baru”, misalnya: a. Pada bidang kesehatan berupa pembukaan Puskesmas baru; b. Pada bidang militer berupa pembukaan Koramil baru; c. Pada bidang pendidikan berupa universita /fakultas /sekolah baru; d. dan lain-lain. Dengan demikian, maka “periode” untuk membuka lahan baru dapat dikelompokkan menjadi tiga periode, yaitu : 1. Periode pertama, dimulai pada 27 Desember 1949 dan diakhiri 2 Mei 1984 (25 tahun); 2. Periode kedua, antara 2 Mei 1984 s.d. 2 Mei 1994 (10 tahun); 3. Periode ketiga, antara 2 Mei 1994 s.d. …. Dari ketiga periode pembukaan lahan baru, hanya periode kedua yang telah memilki batasan yang jelas, yaitu Wajib Belajar 6 Tahun. Sedangkan untuk periode pertama belum ada, begitu pula dengan yang ketiga. Untuk itu, mari, kita hitung! Jika : a. Periode kesatu : 27 - 12 - 1949 s.d. 2 - 05 - 1984 = 24 th. 04 bl.05 hari Wajib Belajar yang ditetapkan p b. Periode kedua : 02 – 05 - 1984 s.d. 02 – 05 - 1994 = 10 tahun Waktu yang diperlukan = a + b = 34 th. 04 bl. 05 hari Wajib Belajar 6 Tahun, 6 tahun dimisalkan q c. Periode ketiga : 02 – 05 – 1994 s.d. …. Wajib Belajar 9 Tahun, 9 tahun dimisalkan r
75
76
Maka : 24 th. 04 bl. 05 hari
x q =p
34 th. 04 bl. 05 hari 7
x q
=p
10 Substitusikan : 7
x6 =p
10 42
=p
10 4,2
=p
4 th = p (dibulatkan)
Dengan demikian, pada periode pertama “berlaku” Wajib Belajar 4 Tahun -yang meskipun tidak pernah dikumandangkan oleh Presiden Soekarno. Tidak dikumandangkannya wajib belajar bukan berarti menafikan kewajiban untuk belajar. Bukankah, pada dasarnya wajib belajar itu seumur hidup? Jadi, komando wajib belajar tersebut hanyalah bentuk formal dari sebuah perintah. Ini berarti “masa membuka lembaga baru” ada tiga periode serta dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Periode kesatu : 27 Desember 1949 s.d. 2 Mei 1984 masa membuka lembaga baru adalah 4 tahun; 2. Periode kedua : 2 Mei 1984 s.d. 2 Mei 1994 masa membuka lembaga baru adalah 6 tahun; 3. Periode ketiga : 2 Mei 1994 s.d. … masa membuka lembaga baru adalah 9 tahun. Periode ketiga ini akan berakhir, kelak pada saat pemerintah mengumandangkan adanya Wajib Belajar 12 Tahun --entah, kapan.
76
77
Dengan berakhirnya “masa membuka” maka yang bersangkutan barulah memasuki “masa mengerjakan”.
Pembaca yang budiman, “Pengabdian selama
masa membuka itulah yang dijadikan tiket untuk mendapatkan status sebagai Pegawai Negara”. Bisa jadi muncul pertanyaan, bukankah selama “masa membuka” yang bersangkutan mendapatkan gaji? Dan, penulis balik bertanya, bukankah selama tanah garapan belum menghasilkan --dalam konteks serupa--
para transmigran juga
mendapatkan biaya hidup dari negara /pemerintah? Dan, bukankah sesudah itu, lahan pertanian /tanah garapan tersebut menjadi milik mereka? Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Pegawai Negara angkatan kedua tersebut aterdiri dari tiga gelombang, yaitu : a. Gelombang pertama, periode 27 Desember 1949 s.d. 2 Mei 1984 Misalnya, pada lembaga x adalah : 1. Mereka yang mendapat tugas membuka lembaga x dan mampu bertahan ≥ 4 tahun; 2. Mereka yang mendapat tugas di lembaga x sebelum lembaga tersebut genap berusia 4 tahun dan bertahan ≥ 4 tahun. b. Gelombang kedua, periode 2 Mei 1984 s.d. 2 Mei 1994 Misalnya, pada lembaga y adalah : 1. Mereka yang mendapat tugas membuka lembaga y dan mampu bertahan ≥ 6 tahun; 2. Mereka yang mendapat tugas di lembaga y sebelum lembaga tersebut genap berusia 6 tahun dan bertahan ≥ 6 tahun. c. Gelombang ketiga, periode 2 Mei 1994 s.d. …. Misalnya, pada lembaga z adalah :
77
78
1. Mereka yang mendapat tugas membuka lembaga z pada periode ini dan mampu bertahan ≥ 9 tahun; 2. Mereka yang mendapat tugas di lembaga z sebelum lembaga tersebut berusia 9 tahun dan bertahan ≥ 9 tahun. Dengan pola seperti terurai di atas maka akan terjaring Pegawai Negara yang sampai saat ini “keberadaan dan pengertiannya masih tumpang tindih” dengan Pegawai Negeri. Pegawai Negara inilah sebenarnya gen murni birokrasi (rakyat birokrasi). Dari sini timbul pertanyaan, apakah ini bukan merupakan perlakuan diskriminatif terhadap sesama aparat?
Pembaca yang budiman, perlu diketahui
bahwa tidak semua Pegawai Negeri bersedia untuk mengemban misi membuka lembaga baru. Jadi, mirip saat revolusi, tidak semua rakyat bersedia mengangkat senjata, yang berkolaborasi dengan musuh pun banyak, yang skeptis juga banyak. Hal ini dikarenakan beberapa faktor. Pertama, lembaga baru pada umumnya terletak di daerah yang relatif sulit dan belum terjangkau “kemajuan”. kekurangan.
Ibarat
tumbuhan,
Kedua, lembaga baru masih sarat dengan
mereka
adalah
lumut
yang
masih
harus
menghancurkan batuan. Ibarat lahan pertanian, mereka masih harus mencetak sawah baru, menyiapkan pematang, membuat saluran irigasi, mendirikan dangau, dan sebagainya. Padahal, pada saat yang bersamaan, lembaga baru tersebut juga harus memberikan pelayanan kepada publik. Dengan kata lain, ke bawah membangun basic dan ke atas memberikan servis. Kondisi seperti ini jelas sangat tidak menarik. Sungguh berbeda dengan lembaga yang sudah memiliki basic, pengelola lembaga ini hanya tinggal melanjutkan perjuangan pendahulu lembaga tersebut dalam memberikan pelayanan kepada publik. Dengan berakhirnya “masa membuka” maka dengan sendirinya lembaga tersebut memasuki “masa mengerjakan”. Dengan demikian, sebagai contoh, seandainya si fulan TMT 1 April 1985 mendapat tugas di sebuah lembaga yang didirikan pada 1 Agustus l984 dan ia bertahan sampai tujuh tahun maka :
78
79
a. 1 April 1985 s.d. 30 Maret 1991 adalah “masa membuka” --6 tahun b. 1 April 1991 s.d. 30 Maret 1992 adalah “masa mengerjakan” --1tahun Sekali lagi, “masa membuka” itulah tiket untuk mendapatkan kursi sebagai Pegawai Negara. Dan, menjadi Pegawai Negara berarti pemilik lahan “infra struktur” di dalam negara. Urusan di lembaga mana, bidang apa, di mana, semua itu tergantung pada profesionalis masing-masing. Sebab, bisa saja mereka ada pada dunia militer, dan bisa juga ada di dunia sipil. Mereka adalah sel dari sebuah tangan negara. Sedangkan Pegawai Negeri adalah alat dari sebuah tangan negara. Jadi, Pegawai Negara merupakan bagian dalam dari struktur negara itu sendiri. Sedangkan Pegawai Negeri merupakan alat negara (bagian luar struktur negara). Dari itu, status kepegawaian di antara keduanya selayaknya berbeda, yang pertama lebih tinggi dari yang kedua, oleh karena itu hak merekapun berbeda. Perhatikan dengan apa yang telah mereka lakukan –setiap kegiatan bernilai 1 : No.
Kegiatan
Pegawai Negara
Pegawai Negeri
Rasio
1.
Membuka lahan
1
0
1:0
2.
Mengerjakan lahan
1
1
1:1
2
1
2:1
Jumlah
Tabel 13
Dari tabel di atas terlihat bahwa pegawai negara mengerjakan dua poin kegiatan sedangkan pegawai negeri melakukan satu poin kegiatan., atau dengan kata lain rasio di antara mereka adalah 2 : 1. Ironisnya, hak yang mereka terima sama. Perhatikan penerimaan mereka dalam hitungan kasar : No.
Penerimaan
Pegawai Negara
Pegawai Negeri
Rasio
1.
Gaji pokok ditambah
1
1
1:1
1
1
1 :1
tunjangan* Jumlah * sesuai dengan peraturan pemerintah Tabel 14
79
80
Dengan membandingkan dua buah tabel di atas terlihat dengan jelas bahwa perlakuan tersebut sangat tidak adil sebab memberikan nilai yang sama terhadap mereka yang dua kali kerja dengan yang satu kali kerja. Bukankah seharusnya, kerja dua kali akan mendapat imbalan dua kali juga? Oleh karena itu, MPR harus meluruskan. MPR harus mengembalikan hak pegawai negara. Urusan kewenangan ini dilimpahkan kepada institusi yang berada di bawahnya , itu masalah lain dan wajar. MPR tidak mungkin untuk mengurus hal kecil semacam itu. Menurut penulis, sebagai solusi, tidak ada cara selain dari harus memberikan pemasukan lain kepada mereka agar perbandingan dapat seimbang, 2 :1. Pemasukan lain yang penulis maksud bukan pemasukan berupa kenaikan gaji pokok atau pemberian tunjangan tambahan, sebab jika hal itu ditempuh maka akan menimbulkan kerancuan dalam sistem penggajian pegawai. Seyogyanya, kepada pegawai negara diberikan pokok gaji. Dengan demikian penerimaan pegawai akan terlihat sebagai berikut : No
Penerimaan
1.
Pokok gaji
2.
Gaji
pokok
Pegawai Negara
Pegawai Negeri
Rasio
1
0
1:0
1
1
1:1
2
1
2:1
ditambah
tunjangan* Jumlah
*sesuai dengan peraturan pemerintah Tabel 15
Pokok gaji dan NIP /NRP dari pegawai negara inilah kelak yang akan diwariskan kepada keturunan mereka. NIP /NRP sebagai bukti kepemilikan mereka atas lahan kehidupan di lahan 1 (di dalam birokrasi) , sedangkan pokok gaji ini dapat dipandang sebagai jasa atas saham kepemilikan mereka di lahan 1. Dengan begitu, kelak : 1. Jika keturunan Pegawai Negara akan masuk ke dalam struktur, tidak ada yang dapat menghambatnya, sepanjang orangtuanya telah mengundurkan diri –seperti anak petani mengerjakan sawah orangtuanya.
80
81
Dan, ini tergantung pada keahlian keturunan Pegawai Negara tersebut. Disitulah akan terbukti kebenaran bahwa pahlawan berjuang sampai tetes darah yang terakhir. 2. Jika ada keturunan pendiri “lahan kehidupan” yang karena satu dan lain hal tidak dapat mencari nafkah, maka yang bersangkutan masih dapat membiayai hidupnya dengan warisan leluhurnya. Dengan demikian, kehormatan dia dan kehormatan leluhurnya dapat terjaga. Nah, disitulah bukti nyata dari ucapan,
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat
menghargai jasa pahlawannya” Pembaca yang budiman, oleh karena ada dua angkatan Pegawai Negara dengan dua medan juang yang berbeda bobot perjuangannya –yang pertama mengangkat senjata menghalau penjajah, yang kedua mengangkat kapur tulis menghalau kebodohan /mengangkat jarum suntik menghalau penyakit /mengangkat palu menghalau ketidak-adilan, dsb. --maka adalah wajar jika penghargaan yang mereka terima pun berbeda. Saham generasi pertama lebih tinggi daripada generasi kedua, di sana ada darah dipertaruhkan. Konsekuensi dari perbedaan besar saham mereka adalah adanya perbedaan besar pokok gaji mereka. Dengan melihat pokok gaji seorang Pegawai Negara, maka akan terlihat seberapa besar “saham” yang telah ditanamkan leluhurnya. Yang jelas, sebagai pemilik lahan, Pegawai Negara itulah yang berhak untuk menentukan siapa yang layak untuk duduk pada sebuah jabatan struktural. Peluang ini, tentu saja akan terbuka lebar bagi yang memiliki “saham” besar. Dalam sebuah “perusahaan” hal semacam itu wajar terjadi. Namun dalam hal “negara” maka manjadi tidak wajar. Di situlah perlunya dewan penasihat. Oleh karena itu, jika memungkinkan, hendaknya dewan ini benar-benar terisi oleh para profesional. Pola ini akan menggiring Pegawai Negara untuk “tahu diri”. Ada tanggung jawab moral untuk menjaga nama baik leluhur. Sebagai pemilik lahan, mereka akan dituntut untuk mengoptimalkan mutu perjuangan yang telah dirintis oleh leluhurnya. Kemunduran mereka tak ubahnya mencoreng nama baik leluhurnya sendiri.
81
82
Bagi Pegawai Negeri, modal mereka hanya berupa keahlian, sementara keahlian semacam itu, di luar struktur birokrasi, luar biasa banyaknya. Mereka tidak pernah menanamkan sahamnya. Oleh karena itu, jangan macam-macam, jangan nakal-nakal dalam bekerja, tahu dirilah!! Dari sini muncul pertanyaan, siapa Pegawai Negara dan siapa Pegawai Negeri itu? Pegawai Negara dapat berada di jalur sipil dan dapat juga berada di jalur militer. Selanjutnya, untuk memudahkan pembahasan, mereka yang berada di jalur sipil disebut Aparatur Negara Sipil (ANS), sedangkan yang berada di jalur militer disebut Aparatur Negara Militer (ANM). Sedangkan Pegawai Negeri pun ada dua macam, yang satu berada pada jalur sipil, untuk selanjutnya disebut Pegawai Negeri Sipil (PNS). Satunya lagi berada di jalur militer dan untuk selanjutnya disebut Pegawai Negeri Militer (PNM). ANS dan PNS dapat tersebar di seluruh perangkat birokrasi sipil di negara ini, dari level terendah sampai tertinggi. Sedangkan ANM maupun PNM bisa berada pada ketentaraan maupun kepolisian. Jadi, perbedaan antara pegawai negara dengan pegawai negeri hanya status ke-”pegawaian”-nya. Oleh karena beda status, maka akan berbeda pula haknya dan kewajibannya. Pegawai Negara (ANS dan ANM) angkatan pertama telah purna tugas, angkatan kedua pun mulai menyusul. Satu persatu, mereka mundur dari medan juang karena faktor usia. Masalahnya, siapakah ahli waris dari Pegawai Negara? Mereka adalah semua anak /keturunan yang sah dengan jumlah yang sesuai dengan peraturan kala itu. Dengan demikian, ada dua kelompok besar, yaitu : Pertama, mereka yang belum terkena peraturan 2 (dua) orang anak. Kedua, mereka yang sudah terkena peraturan 2 (dua) orang anak. Maka dari itu, pada segmen pertama masa transisi, F1 /F11 /Fn dari pegawai negara tersebut harus dicari dan didata. Pada segmen kedua, mereka akan dilatih dan dibimbing dengan intensif. Merekalah pewaris sah dari lahan kehidupan yang telah dibangun orangtua mereka. Dalam hal ini, kedudukan Pegawai Negeri (baik PNS maupun PNM) sebagai wali --“anak” yang belum cukup umur.
82
83
Sedangkan pada segmen ketiga, mereka mulai magang, dan untuk selanjutnya menerima “lahan kehidupan” warisan pendahulunya. Kalaupun mereka canggung di awal-awal masa pasca transisi itu adalah hal yang wajar, mereka terlalu lama terluntalunta di “luar sana”. Adalah menjadi tugas kita semua –khususnya para wali-“membimbing” mereka. Dengan masa magang yang cukup, penulis rasa, mereka siap untuk masuk dalam barisan dan mampu menyesuaikan langkah dengan barisan yang telah ada. Pertanyaannya, di mana posisi Pegawai Negeri saat pasca transisi? Pembaca yang budiman, dengan jiwa ksatria, seandainya mereka berada pada jabatan struktural, maka tidak ada kata lain selain mundur. Kursi yang mereka duduki ternyata milik orang lain. Kecuali, jika keahliannya masih diperlukan karena sangat spesifik. Dari sini terlihat betapa sangat pentingnya memberi kesempatan tumbuh kepada birokrasi, baik secara infra struktur (aparatur) maupun secara struktur (kelembagaan) pun juga terlihat betapa tingginya negara memberikan penghormatan kepada para pendahulunya yang telah merintis lahan kehidupan. Jadi, tidak sekedar ucapan “Terima kasih, Pahlawan”. Oleh karena itu, model pemangkasan “sesuka hati” hendaknya ditinggalkan, semua harus mengikuti pola bilangan satu, sepuluh, seratus, dst. Dengan demikian, mereka yang layak untuk dinaikkan akan menduduki jabatan fungsional baru --yang belum pernah ada sebelumnya, baik pada masa transisi maupun pada masa pra transisi (sampai tulisan ini selesai ditulis, 6 Desember 2002). Sedangkan bagi mereka yang dipandang kurang layak, … mundur. Nasib yang menimpa “aa” (Pegawai Negara) yang juga menimpa “bb” sebagai bagian kelompok II yang lemah, kelak juga harus diatasi. Mereka sebagai pemilik lahan kehidupan
--lahan dalam arti sesungguhnya--
tergusur oleh
pembangunan. Jika ketergusuran mereka dapat dibuktikan, dalam arti mereka tidak menerima ganti rugi yang memadai –kala itu-- maka selayaknya sebuah kompensasi yang saling menguntungkan antara negara dengan rakyatnya diperlukan.
83
84
Menurut penulis, solusi terbaik untuk mengatasi masalah “bb” yang tergusur dan tergeser dari lahan kehidupannya adalah keikutsertaan dalam kepemilikan. Ini berarti, sekian persen dari nilai “bangunan” yang berdiri di atas lahan yang tergusur tersebut adalah saham mereka. Mengingat “bangunan” tersebut juga menghasilkan (produktif) maka sudah sewajarnya jika sekian persen dari laba usaha tersebut juga dialirkan kepada mereka. Dengan pola seperti itu, mereka akan ikut merasa memiliki. Rasa itu sangat penting untuk ditumbuhkan dalam hati masyarakat dalam rangka menjaga aset negara. Tanpa adanya rasa tersebut akan menjadi bertambah berat tugas komponen keamanan negara ini, khususnya. Pembaca dapat melihat sendiri perusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab terhadap aset kepentingan umum. Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Sejalan dengan itu, pada gilirannya nanti, Badan Pertanahan hendaknya menertibkan administrasi tanah. Masalah yang sangat rawan ini harus dituntaskan. Jangan sampai --misalnya-- karena intimidasi dari sekelompok lidah api akhirnya merugikan orang lain yang dalam posisi lemah. Badan pertanahan hendaknya mampu memproyeksikan, daerah mana yang ditetapkan sebagai daerah pemukiman, daerah untuk fasilitas umum, daerah resapan, lahan hijau, hutan, berapa luas maksimal hak kepemilikan tanah pemukiman, dan sebagainya. Pola di atas akan menggiring terwujudnya sebuah lahan kehidupan bagi seseorang. Dengan demikian, sungguh tidak pada tempatnya jika ada penganggur di negara ini sementara di sisi lain ada yang kekurangan waktu untuk melaksanakan kewajibannya, karena yang bersangkutan memang mempunyai banyak pekerjaan. Di samping itu, pola di atas juga akan menggiring untuk dapatnya seseorang memiliki tempat tinggal tetap yang layak. Bukankah tidak pada tempatnya, di negara yang luas ini ada warganya yang tercecer di jalanan? Sementara di sisi lain, ada pemilik tanah yang luasnya sampai …. Yang tidak sempat mengurus tanahnya, dan hanya sekedar untuk menumpuk kekayaan. Bukankah penetrasi penguasaan tanah itu pada hakekatnya juga merampas hak orang lain?
84
85
3.2 Noto Uang (10) 92 Selain semua paparan di atas, uang juga dapat dipergunakan untuk membeli uang, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jika tujuannya untuk memudahkan saat transaksi dengan pihak asing maka yang dibeli adalah mata uang asing. Tujuan mulia ini juga telah dipelintir oleh mereka yang sama sekali tidak pernah sekalipun berhubungan dengan pihak asing, namun sangat berkepentingan dengan mata uang mereka, sebab dengan uang tersebut mereka dapat memperoleh keuntungan dalam bentuk uang pula. Ironis memang, melacurkan uang sendiri. Pembelian uang secara tidak langsung inilah yang lebih banyak menyedot pelaku. Lihat saja, dengan iming-iming bunga tinggi, hadiah besar, dan berbagai kemudahan, orang pun berbondong-bondong “membeli uang dengan uang”. Mereka akan “membelanjakan” uang mereka untuk jangka waktu tertentu di bank-bank konvensional, sebulan, triwulan, setahun, atau lebih dari itu. Dan, pada saat yang telah disepakati bersama, mereka akan mengambil kembali uang yang telah mereka “belanjakan” dan sudah barang tentu lengkap dengan anak cucu uang tersebut. Praktek ribawi, jelas tidak senafas dengan Islam. Dalam hal ini, patut disyukuri bank-bank syariah telah tumbuh dan mulai berkembang. Alangkah baiknya, seandainya bank-bank pemerintah memberlakukan sistem ini kepada nasabahnya yang Muslim. Dengan demikian tidak ada lagi keraguan. Dengan kata lain, satu bank dengan dua pintu. Mereka yang Muslim biarlah hidup dengan cara muslimnya. Sedangkan bagi mereka yang non muslim biarlah hidup dengan cara mereka. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Oleh karena itu, sangatlah terpuji jika pihak bank tidak memanfaatkan ketidakberdayaan si Muslim untuk memetik keuntungan sendiri. Dengan pola seperti itu, maka bank sudah andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengingat sudah sedemikian pesatnya fugsi uang dalam kehidupan seharihari, maka tak pelak lagi uang seakan-akan menjadi darah kehidupan, darah ekonomi rakyat. Oleh karena itu, memposisikan Bank
Indonesia
--sebagai bank sentral
85
86
dengan tugas untuk mengkoordinir, membimbing, dan mengawasi seluruh dunia erbankan Indonesia, baik bank-bank pemerintah serta swasta nasional dan maupun bank-bank asing (Undang-Undang Perbankan Nomor 14 Tahun 1967)-- di bawah payung eksekutif dan legislatif sangatlah berbahaya, sebab dapat saja dimanfaatkan oleh komunitas tertentu untuk kepentingan sesaat dan itu sangat berbahaya. Oleh karena itu, harus ada lembaga keuangan nasional, yang untuk selanjutnya penulis beri nama Badan Keuangan Republik Indonesia, dan berdiri sebagai institusi tersendiri dan langsung berada di bawah payung MPR. Jadi, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia pada saat start awal pasca transisi bernaung di bawah lembaga tersebut. Tidak lagi bernaung di bawah presiden. Maka dari itu, pada Badan Keuangan Republik Indonesia akan ada jabatan baru, di atas Kepala Departemen Keuangan Republik Indonesia (sebutan baru untuk mengganti Menteri Keuangan Republik Indonesia) dan Gubernur Bank Indonesia, yaitu Presiden Bank Republik Indonesia. Pejabat yang mempertanggungjawabkan uang negara kepada majelis tertinggi negara (MPR). Dari semua paparan di atas, terlihat dengan jelas bahwa uang telah hampir menguasai kehidupan dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia bisa menjadi senjata ampuh untuk menaklukan bangsa lain, tanpa harus mengangkat senjata. Uang dapat membuat jatuh bangunnya sebuah regim, seorang penguasa, ataupun seorang pejabat publik. Uang juga dapat menentukan posisi negara dalam tataran internasional. Kehebatan uang dalam hal ini dapat dilihat pada perbandingan mata uang setiap negara yang setiap hari dimuat pada berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik.. Kurs Tansaksi Bank Indonesia* : Mata uang
Beli
Jual
US $
9.022,00
9.112,00
Pound
14.329,64
14.477,15
Aust $
5.055,93
5.110,92
86
87
Sin $
5.117,70
5.171,69
MYR
2.373,90
2.398,21
HK $
1.156,71
1.168,29
Yen
75,3403
76,1109
Euro
9.120,34
9.218,61
* Sumber : Kompas, 14 November 2002 Tabel 16
Dari kurs mata uang di atas terlihat betapa hebatnya mata uang AS, bayangkan, 1$ mampu menghadang Rp 9.112,00; 1 poundsterling mampu menjinakkan Rp 14.477,15; dan seterusnya. Padahal, antara dolar, poundsterling, rupiah, dan lainlain tersebut berstatus sama, mata uang tertinggi suatu negara
--yang padanya
melekat kehormatan negara pemiliknya. Dunia bahasa Indonesia mengajarkan bahwa duduk sama rendah, berdiri sama tingi. Namun dalam hal uang, sunguh jauh panggang dari api. Pertanyaannya, adakah yang salah dalam materi pelajaran Bahasa Indonesia tersebut? Dalam hal ini, bisa jadi, para pakar berargumen dengan sederet alasan yang sangat --dan sekali lagi sangat-- masuk akal. Semua argumen tersebut akan bermuara pada satu jawaban yang mendasar. Kita kalah dalam kekuasaan, bangsa ini tak berdaya, negara ini tak berkutik dalam menghadapi uang mereka. Dengan kata lain, Rupiah lemah. Ia menjadi “makhluk” yang tak berdaya. Jangankan dengan mata uang asing, dengan produk domistik pun, ia takluk menyerah. Rupiah tak berdaya mempertahankan kehormatannya. “Ia” terpuruk dipermainkan keadaan. Padahal, sejak proklamasi, sudah berapa kali rupiah didevaluasi? “ …, maka Indonesia telah mengalami tujuh kali tindakan moneter drastis yaitu tiga kali dalam masa Orde Lama dan ditambah masa Liberal dan empat kali di masa Orde Baru” (Setijawan , 1987 : 44)
87
88
Pertanyaannya, mengapa
ekonom selalu gagal menciptakan rupiah yang
stabil? Bukankah dengan devaluasi dimaksudkan untuk memperkuat rupiah atau paling tidak untuk meningkatkan daya saingnya? Atau, hal lain yang masih senafas dengan upaya peningkatan stabilitas ekonomi rakyat? Mengapa selalu gagal? Kegagalan tersebut, menurut penulis, bukan karena kurang piawainya para ekonom penyelenggara negara, namun ada sebab lain di luar otoritas mereka. Mereka telah melanglang buana untuk menimba ilmu untuk diterapkan di negara tercinta, demi
kemakmuran
rakyat
tentunya.
Untuk
itu
harus
dituntaskan
duduk
permasalahannya dengan cara merunut ke belakang agar kesalahan tidak terlalu ditimpakan kepada tim ekonomi.. Sebagi contoh, perhatikan : 1. Gunting Syafrudin Prawiranegara, dari Rp 10.000,00 diturunkan menjadi Rp 100,00 dengan koefisien Rp 1, 00 = 100 sen 2. Kabinet Dwikora, dari Rp 1.000,00 diturunkan menjadi Rp 1, 00 dengan koefisien Rp 1, 00 = 100 sen Dalam konteks lambang bilangan, akan terlihat sebagai berikut : No. 1.
Devaluasi Syafrudin
Dilepas rakyat
Diterima rakyat
Rasio
10 000
100 x 100 = 10 000
1:1
1 000
1 x 100 = 100
10 : 1
Prawiranegara 2.
Kabinet Dwikora
* Koefisien Rp 1, 00 = 100 sen Tabel 17
Dalam konteks bilangan, kita misalkan: satu
=a
88
89
sepuluh
=b
seratus
=c
seribu = d Maka dalam konteks bilangan akan terlihat sebagai berikut : No. 1.
Devaluasi Syafrudin
Dilepas rakyat bd = b. bc
Prawironegoro
Diterima rakyat
Rasio
c.c = cc
1:1
ac
10 : 1
= bb. c = c.c = cc
2.
Kabinet Dwikora
d
= bc
Tabel 18
Dari dua buah tabel di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Dipandang dari sudut ekonomi, gunting Syafrudin Prawironegara sangat tepat, impas. Namun, dari sudut matematika sangatlah bertolak belakang. Mengapa persoalan basis seribu (103) harus diselesaikan dengan menggunakan basis seratus (102)? Bukankah, seharusnya persoalan basis seribu (103) juga diselesaikan sendiri oleh basis seribu (103)? 2. Devaluasi yang dilakukan oleh Kabinet Dwikora, jika dipandang dari segi matematika sangat tepat sebab persoalan basis seribu (103) diselesaikan oleh basis seribu (103). Namun, jika masalah ini dipandang dari segi ekonomi sangat merugikan rakyat. Dengan segala keterbatasan ilmu yang penulis miliki, semua itu disebab kan oleh karena kita menggunakan sistem bilangan yang sama –seperti yang mereka gunakan-- namun menerapkan harga uang yang berbeda. Yang jelas, pengalaman VOC di Indonesia beberapa abad yang lalu patut dijadikan pelajaran.
89
90
Sistem bilangan yang digunakan VOC sama dengan sistem bilangan yang berlaku di negeri Belanda, namun nilai uang mereka berbeda, di mana nilai gulden Belanda lebih tingi dari mata uang yang dikeluarkan oleh VOC. Akhirnya, kongsi dagang Belanda itu pun bangkrut, mereka gulung tikar. Hanya saja, yang selalu kita pelajari dalam pelajaran sejarah adalah sebab kebangkrutan VOC antara lain : peperangan dan pejabat yang korup. Pengalaman pahit VOC diulang kembali oleh Indonesia saat merdeka. Bedanya, penguasa saat itu --tanpa ada maksud menafikan keberadaan raja-raja yang masih berdaulat-- adalah orang Belanda, sedangkan pada saat Indonesia merdeka para penguasa adalah bangsa sendiri. Hanya saja, ada istilah yang belum muncul saat itu, krisis multi dimensi. Problem VOC belum sekompleks saat Indonesia merdeka … Oleh karena itu, ketidakberanian (?) para pakar Matematika di negara ini menciptakan sistem bilangan sendiri setelah merdeka sekian puluh tahun --dalam rangka memperkuat rupiah-- untuk menghadang uang mereka tentunya sangat disayangkan. Masa yang demikian panjang itu, akhirnya terbuang sia-sia. Sungguh sangat beruntung, hidup tidak selalu menggunakan kalkulasi Matematika. Sebab, jika Matematika dijadikan tolok ukur, entah apa yang terjadi. Kembali ke masalah bilangan. Secara hakiki, satu di Amerika Serikat dan dimanapun juga, termasuk di Indonesia adalah sama. Tetapi Rp 1,00 ≠ 1 $ Sangat jauh sekali selisih antara keduanya. Oleh karena adanya perbedaan cara pandang terhadap bilangan setelah masuk ke dalam pusaran uang itulah maka diperlukan keberanian membongkar sistem bilangan lama dan membangun sistem bilangan baru, yang tidak merugikan mereka, namun menguntungkan kita sebagai bangsa. Urusan berani atau tidak itu tanggungjawab kita semua. Apalah artinya seragam dalam sistem bilangan, jika pada akhirnya uang kita (baca rupiah) menjadi tak berdaya di hadapan uang mereka, bahkan menjadi santapan uang mereka belaka. Bukankah –lebih baik--membangun sistem bilangan baru yang lebih adil? Dari sini pun muncul sebuah pertanyaan, beranikah para pakar –penguasa langit atas-- Matematika melakukan? Nah, di situlah letak masalahnya!
90
91
Pada bagian terdahulu telah disingung bahwa sebenarnya nilai kualitas seribu adalah 1 dengan 0 sebanyak empat buah, karena nilai kualitas yang diterima konsumen (baca : negara Indonesia) sengaja dijatuhkan oleh produsen bilangan -maaf, lewat tangan para Pakar Matematika-- sehingga menjadi 1 dengan 0 sebanyak tiga buah, dan ini merupakan sumber petaka krisis keuangan /ekonomi di negara ini maka hak yang seharusnya diterima negara harus dikembalikan. Dengan demikian, secara formal –misalnya-- seribu rupiah tetap seribu rupiah, namun secara materi akan bertambah. Oleh karena itu, pada dasarnya secara formal keuangan negara tetap, tidak bertambah /tidak berkurang. Sunguhpun demikian, kekuatan rupiah akan menanjak tajam, bahkan tajam sekali. Perhatikan peta kekuatan rupiah masa transisi --saat reformasi bilangan! Nilai (Rp)
Rupiah saat ini
Rupiah saat transisi
Rasio kekuatan
Satu
1
1
1:1
Sepuluh
10
10
1:1
Seratus
100
100
1:1
Seribu
1 000
1 0000
1 : 10
Sejuta
1 000 000
1 0000 0000
1 : 100
Semiliar
1 000 000 000
1 0000 0000 0000
1 : 1 000
Setriliun
1 000 000 000 000
1 0000 0000 0000 0000
1 : 1 0000
Tabel 19
Akan terjadi lompatan kuantitas uang. Hal ini dikarenakan, pada saat negara melaksanakan kewajibannya maka Bank Indonesia –sebagai bank sentral-- harus menyiapkan dana sesuai nilai formal uang tersebut. Adanya penambahan kuantitas uang pada saat negara melaksanakan kewajibannya sudah barang pasti berdampak pada perekonomian rakyat. Jika dilihat sekilas, akan terjadi banjir uang. Negara akan banyak
–secara
kuantitas-- mengeluarkan uang, namun secara formal --secara kualitas-- uang yang dikeluarkan negara tetap. Kondisi itu akan lebih baik daripada pemerintah menambah jumlah
peredaran uang dengan meluncurkan program-program pengentasan
kemiskinan.
91
92
Pada yang pertama akan menggairahkan usaha, sedangkan pada yang kedua akan menggairahkan “tangan tengadah”. Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan yang mendasar. Sekalipun secara materi jumlah uang yang beredar sama-sama bertambah, namun dengan mereformasi bilangan terlebih dahulu, secara formal uang yang beredar tidak bertambah. Namun, pada program-program pengentasan kemiskinan, secara formal jumlah uang yang beredar pun bertambah. Dan, bukankah, jika secara formal uang bertambah maka laju inflasi pun akan meroket? Lihat saja, sebagai contoh, setiap ada kenaikan gaji PNS /ABRI atau saat ada kenaikan UMR, prosentasenya
selalu berada di bawah
prosentase kenaikan harga barang kebutuhan di pasar yang mengikutinya. Oleh karena itu, kekhawatiran akan adanya gejolak yang biasa ditimbulkan oleh para spekulan setiap ada devaluasi rupiah sangat tidak beralasan –sebab pada dasarnya tidak ada devaluasi rupiah selama masa transisi. Memang,
saat itu
akan terjadi banjir uang di setiap lini kehidupan. Oleh karena itu, nanti akan muncul orang
kaya
baru.
Mereka
akan
dengan
cepat
menaikkan
strata
sosial
kehidupannya.roda kehidupan akan berputar dengan cepat. Perekonomian akan bangkit, dengan catatan, sekali lagi, asal tidak dikotori oleh tangan-tangan kotor yang tamak dan rakus. Kejadian serupa, kalau penulis tidak salah –dalam konteks berbeda- pernah dialami bangsa Jepang saat revolusi Meiji. Pembaca yang budiman. Devaluasi rupiah memang harus dilaksanakan, namun pelaksanaannya kelak pada pasca masa transisi --Dalam hal ini, ada sedikit hal mendasar yang perlu penulis tambahkan. Perlu diingat bahwa satuan uang kecil di bawah rupiah adalah sen, kelip, ketip, dan tali. Di antara empat satuan uang tersebut, dua di antaranya yang menggunakan bilangan dasar sepuluh adalah sen dan ketip. Perhatikan : 1 rupiah
= 10 ketip
1 rupiah
= 100 sen
1 ketip
= 10 sen
92
93
Sedangkan kelip dan tali mempunyai korelasi tersendiri, dan sepengetahuan penulis tidak ada sangkut-pautnya dengan bilangan dasar sepuluh. Perhatikan : 1 kelip = 5 sen 1 tali = 5 kelip 1 tali = 25 sen Dengan demikian, satuan uang kecil yang berpeluang untuk hidup adalah sen dan ketip. Dari itu, muncul pertanyaan, di mana posisi keduanya? Perhatikan : 1. Karena: 1. Dalam konteks basis seribu (103), 1 rupiah = 10 ketip 2. Pengertian seribu berubah dari (103) menjadi (104) 3. 104 = (103) x (10) Maka
: 1 rupiah
= 10 ketip x 10
= 100 ketip
2. Karena : 1. Dalam konteks basis seribu (103), 1 ketip = 10 sen 2. Pengertian seribu berubah dari (103) menjadi (104) 3. 104 = 103 x 10 Maka
: 1 ketip
= 10 sen x 10 = 100 sen
Oleh karena itu, devaluasi /senering saat itu mirip dengan gunting Syafrudin Prawironegara yang terkenal itu juga mirip dengan devaluasi Kabinet Dwikora. Setiap Rp 1 0000,00 (seribu rupiah) uang lama diturunkan nilainya menjadi Rp 1,00 (satu rupiah) uang baru dengan angka koefisien 1 0000 (seribu). Ini berarti : 1. Rp 1 0000, 00 uang lama akan diturunkan menjadi Rp 1, 00 uang baru; 2. Rp 1, 00 uang baru akan senilai dengan 100 ketip; 3. Rp 1, 00 uang baru akan senilai dengan 1 0000 sen 4. 1 ketip senilai dengan 100 sen
93
94
Dari sini terjadilah perubahan pengertian, perhatikan! Pengertian lama, dalam basis seribu (103) : 1. Ketip n mata uang yang nilainya sama dengan sepersepuluh rupiah atau sepuluh sen, picis seketip sepuluh sen, sepicis 2. Kelip n mata uang dari nikel bernilai lima sen (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 411-435) Pengertian baru, dalam basis seribu (104) : a. Ketip n mata uang yang nilainya sama dengan seperseratus rupiah atau seratus sen, picis seketip seratus sen, sepicis b. Kelip : ditiadakan 3 Pembaca yang budiman, dengan demikian, baik dipandang dari sudut ekonomi maupun dipandang dari sudut Matematika, devaluasi kali ini benar. Ada tiga buah keuntungan mendasar dalam devaluasi pada akhir masa transisi, yaitu : Pertama, rakyat tidak dirugikan. Devaluasi akan sangat tidak bermakna kala rakyat sebagai pengguna (konsumen) uang menderita kerugian, terlebih jika kerugian tersebut mencapai prosentase yang tinggi. Kedua, rupiah menjadi mampu bersaing dengan mata uang asing sehingga membuat mata uang republik ini tidak “diremehkan”. Lebih-lebih dengan adanya dua mata uang kecil di bawah rupiah, maka dengan sendirinya posisi rupiah akan terangkat. “Ia” memiliki dua lapis fondasi. Menurut penulis, itu sudah cukup membuat rupiah kokoh dalam menghadapi dunia. 3
. kalaupun negara mengeluarkan uang lima sen-an, maka tetap dibaca lima sen.
Dengan demikian, tidak perlu memunculkan satuan “uang” lagi, agar tidak rancu
94
95
Ketiga, antara satuan bilangan dengan uang terdapat hubungan –karena masing-masing menggunakan basis bilangan yang sama, dan ini sangat penting. Kembali ke masalah uang. Setelah uang keluar dari kas negara –karena negara melakukan kewajibannyamaka uang akan jatuh ke tangan masyarakat, dan menjadi hak mereka. Secara hakiki, kekayaan yang dimiliki masyarakat adalah lambang bilangannya /jumlah nominal uang, bukan pada bilangannya. Dari sini terlihat adanya dominasi atas dan dominasi bawah, dan juga terlihat daerah kekuasaannya. Dominasi atas (baca : negara) menguasai bilangan yang tertera pada uang sedangkan dominasi bawah (baca : rakyat) menguasai lambang bilangan yang tertera pada uang
tersebut. Dengan
demikian, keduanya mendapatkan daerah “kekuasaan”. Adil, bukan? Dominasi ini akan tetap dipertahankan dan akan dilanjutkan pada saat revolusi bilangan benar-benar terlaksana, sebab sistem bilangan di Indonesia telah baku. Pada hari H nanti --start awal pasca transisi, semua satuan bilangan yang telah ditidurkan oleh para pakar –laksa dan keti-- serta satuan bilangan yang telah dipaksa tidur oleh seorang guru –miliar-- akan dibangunkan oleh MPR untuk berbakti bersama-sama pada Pertiwi. Pada hari itu, kekayaan yang dimiliki negara ada pada bilangan uang sedangkan kekayaan yang dimiliki rakyat ada pada lambang bilangan uang– yang keduanya tertera pada uang yang sama. Nah, pada hari H + 7 --misalnya-- devaluasi /senering rupiah seperti terurai di atas dilaksanakan. 3. 3 Noto Pendidikan (10)108 Tanpa turun tangannya bidang pendidikan, sebagus apapun manfaat sebuah ilmu (baca : sistem) tidak akan dapat berjalan, ilmu hanya akan sebagai ilmu, sebab pada pundak para pendidiklah ilmu tersebut dapat dibumikan kepada tunas-tunas bangsa. Oleh sebab itu, pada bidang pendidikan ada tiga komponen pokok yang saling berkait dan berkelindan yaitu pendidik, peserta didik, dan ilmu.
95
96
Perlu diingat dalam era otonomi daerah, bidang pendidikan –selain perguruan tinggi-- dialihkan ke daerah. Pengalihan tanggung jawab itu sah-sah saja, memenuhi tuntutan daerah (?), dan sambil melihat seberapa besar kesungguhan daerah dalam menangani bidang pendidikan. Namun sebagai bangsa, kita harus realistis. Apa yang diharapkan dari pendidikan dengan pola semacam itu? Apakah memang ada faktor kesengajaan untuk menarik mundur ke situasi pra zaman pergerakan? Mengkotak-kotakkan lagi daerah? Kita harus ingat bahwa di bidang pendidikanlah tempat yang paling stategis untuk menanamkan konsep ke-Indonesia-an.
Bahwa mencerdaskan kehidupan
bangsa itu sudah jelas-jelas termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 , dengan itu nyata sekali bahwa satu di antara tujuan didirikannya negara ini adalah untuk mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, membelokkan pengertian dari negara menjadi daerah –bagi penulis-- sangat sulit untuk dipahami, sungguhpun daerah merupakan bagian integral dari negara itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya karakteristik setiap daerah yang berbeda –baik ditinjau dari sosio budaya, geografis, etnik, maupun “warna” pucuk pimpinan di daerah itu-- dan pendidikan nasional merupakan wadahnya. Jangankan pendidikan berada
di tangan pemerintah daerah, sekalipun
pendidikan masih berada di tangan pusat jika kacamata yang digunakan pemerintah pusat berwarna merah maka akan merah pula pendidikan. Jika kacamata yang digunakan berwarna kuning akan kuning pula pendidikan, demikian pula jika warna hijau yang dikenakan. Masalahnya, sedemikian mudahkah pendidikan berganti warna? Kita dapat melihat perjalanan pendidikan pada masa lalu. Pada saat penguasa mengenakan kacamata
pahlawan, maka semangat heroik sempat mewarnai
pendidikan sampai-sampai muncul mata pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Tak berselang lama, saat Pancasila menjadi tolok ukur moral muncul mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, bahkan sampai dengan diadakan berbagai penataran P4, sedemikian rentannya dunia pendidikan menghadaip intervensi dari
96
97
penguasa. Itu baru dalam hal mata pelajaran /kurikulum, belum lagi soal libur panjang pada pendidikan dasar /menengah, program CBSA, kelas unggulan, sekolah unggulan, SD Inti /SD Imbas, EBTANAS /UAS, UMPT /SPMB, BP3, Komite Sekolah dan entah akan ada apa lagi. Oleh karena itu sangat tidak salah jika sampai ada suara sumbang, ganti Menteri ganti kurikulum, ganti peraturan. Dengan pola kerja semacam itu --yang sering ganti-- kesan asal jalan, kesan coba-coba, dan kesan asal comot tidak dapat dihindarkan. “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan /atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang” (Pasal 1, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989)
Dari situ terlihat bahwa pendidikan dilakukan secara sadar. Jika usaha sadar tersebut
menanamkan konsep ke-Indonesia-an maka peserta didik pun akan
berwawasan Indonesia. Jika konsep barat yang ditanamkan maka peserta didikpun akan kebarat-baratan, bahkan mungkin lebih barat dari orang barat sendiri. Namun, jika konsep kedaerahan yang ditonjolkan maka harapan tumbuhnya wawasan Indonesia akan semakin jauh. Kita harus ingat bahwa dengan mengedepankan konsep ke-Indonesia-an saja masih sering terjadi konflik horisontal lantas apa gerangan yang akan terjadi sekian puluh tahun lagi jika konsep kedaerahan terus dipertahankan. Dalam hal ini, penulis tidak memandang sepi peran pemerintah daerah dalam pendidikan. Jika dipandang dari segi materi yang telah diberikan dapat dipandang cukup, hanya saja pemerataannya yang kurang. Namun pendidikan bukan hanya bersifat materi yang dapat diwujudkan dalam bentuk bangunan fisik, fasilitas, kesejahteraan pendidik, dan sebagainya, masih ada aspek lain yang tidak kalah pentingnya yaitu aspek imateri yang dalam hal ini berupa kurikulum, kompetensi pendidik, profesionalisme pendidik yang pada akhinya akan sangat mempengaruhi mutu pendidikan itu sendiri, dan kesamaan visi dalam membangun Indonesia yang satu. Dalam hal materi, pemerintah daerah dapat dipastikan mampu(?), namun dalam hal imateri?
97
98
Terputusnya herarki pendidikan dari pusat di level atas dengan sekolah di level bawah --bagi penulis-- sangat memprihatinkan. Adanya celah antar institusi pendidikan tersebut dapat dipandang sebagai bukti akan rentannya dunia pendidikan terhadap intervensi politik (?). Bandingkan saja pada masa pra otonomi, meskipun tidak secara keseluruhan, terpecah secara vertikal --pada tingkat provinsi ada Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional dan ada Dinas Pendidikan Provinsi, pada tingkat kabupaten /kodia ada Kantor Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten /Kodia dan ada Dinas Pendidikan Kabupaten /Kodia, di tingkat kecamatan ada Kantor Departemen Pendidikan nasional Kecamatan dan ada Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan. Pembaca dapat saja berargumen bahwa bidang garapan kedua instansi pendidikan tersebut berbeda. Namun, hendaknya juga ingat bahwa “payung” mereka juga berbeda, yang satu bernaung di bawah Menteri Pendidikan Nasional sedang yang lainnya di bawah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Yang jelas, adanya dualisme tersebut merupakan pertanda ketidaksehatan sebuah organisasi. Sesekali beriring sejalan, sesekali bertolak belakang, membuat bingung lapisan bawah. Sedangkan pada era otonomi keadaannya lebih parah lagi, pendidikan dapat dikatakan seatap di bawah, namun terpotong-potong di atas. Dari dua model tersebut muaranya sama, pendidikan terkoyak. Memang, pada setiap model seperti yang tertera di atas ada pihak yang diuntungkan, dan pihak ini akan terus berusaha mempertahankan pola yang dianutnya. Dan, yang berposisi sebagai obyek penderita adalah sama, yaitu: dunia pendidikan secara keseluruhan, atau paling tidak Guru. Dari situ dapat dimengerti, jika pada akhirnya output pendidikan pun juga mudah terkoyak sebab mereka memang sudah membawa virus terkoyak selama dalam pendidikan. Sungguhpun demikian, bukan berarti pendidikan akan lebih baik jika pola sentralisasi kembali diterapkan sehingga dunia pendidikan akan membentuk sebuah kurva lurus.
98
99
Padahal, dari banyak macam warna4 yang tersedia dapat dipastikan hanya ada satu yang benar-benar berkenan di hati peserta didik. Sebuah pilihan yang benarbenar berasal dari lubuk hatinya. Jika “warna” tersebut cocok dengan “warna” penguasa maka tidak akan menimbulkan masalah, namun jika berbeda --apalagi kalau sampai berseberangan-- lagi-lagi output pendidikan yang akan menjadi korban. Oleh karena itu, pada masa pasca transisi, pendidikan harus dilepaskan dari jeratan “warna” –politik pemerintah. Lepas dari jeratan politik berarti keluar dari bayang-bayang pemerintah. Artinya, pendidikan harus merupakan institusi tersendiri yang mandiri, sebuah badan --Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI). Dengan kata lain, badan ini setara dengan lembaga tinggi negara yang lain. BPNI hanya menangani satu bidang garapan negara, yaitu mengurus masalah pendidikan seperti yang diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Badan Pendidikan Nasional Indonesia BPNI merupakan wadah pendidikan di tingkat nasional. Disinilah sebenarnya puncak organisasi satuan pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah badan pendidikan, maka tugasnya adalah mengurus masalah pendidikan nasional dengan segala aspeknya. BPNI inilah yang menghadapi “dunia luar” pendidikan di dalam MPR. Badan ini di bawah pimpinan guru (bukan sipil lain) dengan jabatan struktural guru tertinggi di Indonesia, yaitu Guru Pendidikan Nasional. Dibawah BPNI ini terdapat tiga buah lembaga, yaitu : Pertama, sepuluh buah Satuan Lembaga Pendidikan (SLP) yang masing-masing dipimpin oleh seorang Guru Pendidikan Tinggi Strata 3 Bagian --misalnya : Guru Pendidikan Tinggi S3 Bagian Sumatera, Guru Pendidikan Tinggi S3 Bagian Jawa, Guru Pendidikan Tinggi S3 Bagian Kalimantan, Guru Pendidikan Tinggi S3 Bagian Sulawesi, dsb. Kedua, adalah 4
lihat Noto Agama
99
100
Departemen
Pendidikan
Nasional
(Depdiknas)
dibawah
pimpinan
Kepala
Departemen Pendidikan Nasional (bukan Menteri Pendidikan Nasional), dan ketiga adalah sebuah Lembaga Pendidikan Nasional (Lemdiknas) dibawah pimpinan Gubernur Pendidikan Nasional. Satuan Lembaga Pendidikan Satuan Lembaga Pendidikan (SLP) adalah satuan organik pendidikan. Sebagai sebuah satuan organik akan terlihat perputaran sesungguhnya dari roda kehidupan pendidikan. Hal ini dikarenakan, pada setiap satuan pendidikan terdapat kewenangan untuk mengurus masalah teknis edukatif dan edukatif sesuai lingkupnya. Di dalam struktur organisasinya terdapat : a. Guru --dengan status Aparatur Negara Sipil (ANS); b. Pegawai Guru -- dengan spesialisasi sebagai guru, dengan status tertinggi Pegawai Negeri Sipil (PNS); c. Pegawai Pendidikan
--dengan
status
Aparatur Negara
Sipil (ANS)
yang mengurus masalah non teknis, misalnya : laboran, pustakawan, tata usaha, penjaga, dan sebagainya.; d. Pegawai
Sipil
Pendidikan
--dengan
status tertinggi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang juga mengurus masalah non teknis. Pada SLP inilah sebenarnya terletak otonomi pendidikan. Oleh karena itu, penjenjangan Satuan Lembaga Pendidikan dengan Pendidikan Nasional Indonesia sebagai satuan pendidikan utama (satuan puncak) akan terlihat sebagai berikut :
100
101
No
Jenjang
Jenjang Satuan Pendidikan
Pendidikan 1. 2.
Nomor
Satuan
Satuan
Pendidikan
Pendidikan
Pendidikan dasar
1
SD
dasar
Pendidikan dasar atas
2
SLTP
Pendidikan
Pendidikan menengah dasar
3
SLTA
menengah
Pendidikan menengah atas
4
Diploma 1
5
Diploma 2
6
Diploma 3
7
Diploma 4
3..
Pendidikan
Pendidikan tinggi dasar
8
Strata 1
.
tinggi
Pendidikan tinggi menengah
9
Strata 2
Pendidikan tinggi atas
10
Strata 3
Tabel 20 Pola di atas akan menggiring pada penataan teritorial Indonesia5, penataan penguasa6, dan terbentuknya sebuah piramida besar pendidikan. Hal ini dikarenakan beberapa sebab: Pertama, Pendidikan Nasional Indonesia (Universitas bumi Indonesia) (10)0 lembaga pendidikan di Indonesia. Dengan demikian,
merupakan satuan
idealnya pada “Universitas bumi Indonesia” terdapat 10 buah Pendidikan Tinggi Strata 3 yang terdapat pada setiap bagian Indonesia. Setiap Pendidikan Tinggi Strata 3 mewadahi 10 buah Pendidikan Tinggi Strata 2. Pendidikan Tinggi Strata 2 tersebar di tiap wilayah bagian. Jadi pada setiap wilayah bagian hanya terdapat sebuah Pendidian Tinggi Strata 2.
5
lihat Noto Nusa ;
6
lihat Noto Penguasa
101
102
Setiap Pendidikan Tinggi Strata 2 mewadahi 10 buah Pendidikan Tinggi Strata 1. Pendidikan Tinggi Strata 1 tersebar pada setiap provinsi. Jadi, pada setiap provinsi hanya ada sebuah Pendidikan Tinggi Strata 1. Setiap Pendidikan Tinggi Strata 1 mewadahi 10 Pendidikan Diploma IV. Pendidikan Diploma IV terdapat di tiap karesidenan. Dengan demikian, pada tiap karesidenan hanya ada sebuah pendidikan Diploma IV. Setiap Pendidikan Diploma IV mewadahi 10 Pendidikan Diploma III. Pendidikan Diploma III tersebar di tiap kabupaten. Oleh karena itu, pada tiap kabupaten hanya ada sebuah Pendidikan Diploma III. Setiap Pendidikan
Diploma III mewadahi 10 Pendidikan Diploma
II.
Pendidikan Diploma II berada pada setiap kota. Maka dari itu, pada tiap kota akan terdapat sebuah Pendidikan Diploma II. Setiap Pendidikan Diploma II mewadahi 10 Pendidikan Diploma l. Pendidikan Diploma 1 tersebar di setiap kawedanan. Oleh karena itu, pada tiap kawedanan hanya ada sebuah Pendidikan Diploma I. Setiap Pendidikan Diploma I mewadahi 10 SLTA. Lembaga pendidikan ini tersebar di tiap kecamatan.
Oleh karena itu, sebuah Sekolah Menengah Umum
(SMU) terdapat di tiap kecamatan, sedangkan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) hendaknya ada pada setiap kawedanan --sesuai kebutuhan daerah setempat. Jadi, pada galibnya sebuah SMK untuk 100 SLTP. Setiap SMU mewadahi 10 SLTP. Lembaga pendidikan ini tersebar di tiap desa. Dengan demikian, pada tiap desa harus ada sebuah SLTP. Setiap SLTP mewadahi 10 SD. Setiap SD tersebar di tiap Kelurahan. Dengan demikian, pada tiap kelurahan hanya ada sebuah SD, dan setiap SD tidak harus mewadahi 10 buah TK
--karena TK belum merupakan jalur pendidikan formal
sungguhpun pada beberapa SD favorit menerapkan persyaratan calon murid Kelas I adalah “lulusan” TK.
Yang penulis maksud dengan mewadahi adalah sebagai
“rayon”, bukan jurusan, bukan pula program.
102
103
Dengan pola semacam itu, sepanjang pendidikan masih bersifat “umum” -dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi-- maka peserta didik yang tamat dari sebuah sekolah untuk dapat masuk ke lembaga pendidikan yang memayungi sekolahnya, padanya tidak perlu lagi diberikan tes penerimaan murid baru. Dengan demikian, mereka cukup mengikuti ujian akhir. Tes penerimaan murid baru hanya diberikan, jika peserta didik berasal dari rayon lain. Kedua, pola tersebut juga menggiring dunia pendidikan menjadi sebuah piramida besar dengan satu puncak dan piramida besar tersebut adalah Universitas bumi Indonesia itu sendiri. Piramida-piramida terkecil sebagai penyusunnya adalah sekolah dasar, sedangkan sekolah dasar sendiri tersusun dari dua macam “batu” mata pelajaran . Perhatikan : 1. Pendidikan Dasar Pada Sekolah Dasar terdapat enam tingkat /kelas. Pada enam tingkat /kelas tersebut terdapat mata pelajaran dasar umum dan mata pelajaran dasar khusus. Mata pelajaran dasar umum terdapat pada : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) –seyogyanya untuk yang akan datang diganti dengan Pendidikan Bela Negara sehingga cakupannya lebih luas, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan Matematika. Sedangkan mata pelajaran dasar khusus terdapat pada : Pendidikan Agama, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Olah raga dan Kesehatan, dan Muatan Lokal. Mata pelajaran dasar umum menjadi tugas Guru Kelas, sedangkan mata pelajaran dasar khusus menjadi tugas Guru Mata Pelajaran. Dengan demikian, seharusnya pada setiap sekolah dasar sedikitnya terdapat empat macam guru mata pelajaran. Guru mata pelajaran dasar umum (baca : Guru Kelas) hanya menggarap segi intelektual, sedangkan Guru mata pelajaran dasar khusus mempunyai bidang garapan yang lebih luas, yaitu : segi spiritual (Guru Agama), segi emosional (Guru Kerajinan Tangan dan Kesenian serta Guru Muatan Lokal yang berbasis seni budaya daerah), dan segi motorik (Guru Olahraga).
103
104
Sejalan dengan hal itu, idealnya pada setiap sekolah dasar dengan 6 rombongan belajar, rasio Guru Kelas dengan jumlah kelas (rombongan belajar) adalah 1 : 1, rasio Guru Mata Pelajaran dengan kelas adalah 1 : 6, dan rasio guru : murid –pada SD tipe paling sederhana-- adalah 1 : 10. Dengan kondisi seperti itu, barulah dapat diharapkan “tamatan” Sekolah Dasar memiliki pribadi yang utuh. Hal ini dikarenakan yang bersangkutan mendapatkan “pelayanan” dari ahlinya serta lebih longgar bagi guru untuk dapat memberikan pelayanan individu. Keadaan serupa akan semakin tegas terlihat saat yang bersangkutan menamatkan pendidikan dasar (SLTP), sebab mata pelajaran dasar sudah terpilah lebih jelas --hal ini terlihat dari Guru Kelas (di SD) menjadi Guru Mata Pelajaran di SLTP-- sementara mata pelajaran dasar khusus masih berlanjut. Pola di atas akan menggiring pertumbuhan sekolah dasar sehingga tipe SD pada pasca transisi menjadi empat macam. Perhatikan tabel berikut : No.
Tipe
Jumlah
Guru
Guru
SD
Rombongan
Kelas*
Mapel
Murid
Rasio Guru /Murid
Belajar 1.
A
12
12
8
240
1 : 12
2.
B
6
6
4
120
1 : 12
3.
C
6
5
1
60
1 : 10
4.
D
6
-
1
10
1 : 10
*Belum termasuk pimpinan sekolah. Tabel 21
Bandingkan dengan rasio dosen /mahasiswa beberapa Perguruan Tinggi Negeri : a. Universitas Indonesia
= 1 : 10
b. Institut Teknologi Bandung
=1:7
c. Universitas Diponegoro
=1:6
d. Universitas Gajahmada
= 1 : 15
e. Universitas Airlangga
= 1 : 10
f. Institut Teknologi Sepuluh November
= 1 : 13
(Prestasi Tinggi Mulai di Sini, 2002 : 5)
104
105
Oleh karena itu, memandang ideal rasio guru SD /murid
± 1 : 40 atau 1 :
30 seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0424/U/1993 Tanggal 1 Desember 1993 tentang Pembakuan Tipe Sekolah pada Satuan Pendidikan Dasar jelas merupakan sebuah bentuk diskriminasi yang terlembagakan. Begitu pula dengan memposisikan Guru SD Kecil (SD Tipe C) selama ini yang dikondisikan untuk melaksanakan tatap muka pada dua kelas dengan tanpa memandang jumlah muridnya (sekalipun sudah melebihi ambang batas kewajaran) merupakan sebuah bentuk penganiayaan profesi. Dari sini muncul pertanyaan, bagaimana mungkin institusi di luar pendidikan dapat berlaku adil jika penguasa pendidikan sendiri tidak dapat berlaku adil terhadap para pendidiknya? Bahwa guru akan mampu mengatasi permasalahan, itu benar (?). Namun, perlu diingat bahwa standart pendidikan keprofesionalan Guru SD belum mencapai taraf profesional purna. Pada perguruan tinggi yang staf pengajarnya –mayoritas-sudah berkualifikasi profesional purna saja, rasio tertinggi adalah 1:15. Mengapa pada SD yang para pendidiknya baru berkualifikasi profesional parapurna (berpendidikan SLTA) dan sebagian profesional semipurna II (berpendidikan Diploma II) sudah menerapkan rasio 1: 30 atau malah 1 : 40, apalagi ada yang masih harus mengajar rangkap karena kekurangan guru? Di mana letak keadilannya? Dalam hal ini, mungkin pembaca mengajukan argumen, bukankah di SD banyak juga guru yang berpendidikan S1 Keguruan? Bukankah itu menunjukkan mereka sudah berkualifikasi profesional dekat purna? Pendapat tersebut tidak salah sepanjang pendidikan S1 yang mereka tempuh adalah S1 jurusan Guru Kelas, bukan S1 jurusan Guru bidang studi
--kecuali untuk
Pendidikan Agama, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Olahraga, dan Muatan Lokal. Oleh karena itu, keberadaan pendidikan S1 untuk jurusan Guru Kelas seyogyanya dipertimbangkan /dikembangkan. Pola di atas akan menggiring akan keberadaan sebuah SD pada setiap kelurahan, dan pada gilirannya nanti, sebuah SLTP pada setiap desa, sebuah SMU setiap kecamatan, dan seterusnya hingga pada setiap bagian Indonesia terdapat
105
106
sebuah lembaga Pendidikan Tinggi dengan kualifikasi S3. Dengan pola seperti itu barulah dapat diharapkan tuntasnya Wajib Belajar 9 tahun. Mengingat adanya perubahan pola pada SD, maka dengan sendirinya tipe SLTP harus menyesuaikannya. Dengan demikian, pada masa transisi sebagai langkah persiapan harus dituntaskan perampingan sekolah-sekolah dasar kompleks. Ini berarti, pada setiap lokasi hanya ada sebuah lembaga. Oleh sebab itu, pada masa transisi, dari tiga macam tipe sekolah dasar akan ada lima macam tipe sekolah dasar. Perhatikan : No.
Tipe
Jumlah
Guru
Guru
SD
Rombongan
Kelas*
Mapel
Murid
RasioGuru /Murid
Belajar 1.
A
18
18
12
720
1 : 24
2.
B
12
12
8
480
1 : 24
3.
C
6
6
4
240
1 : 24
4.
D
6
3
1
60
1 : 15
5.
E
6
-
1
18
1 : 18
* Belum termasuk pimpinan sekolah Tabel 22
Dari tabel di atas, akhirnya dapat diproyeksikan pertumbuhan sekolah dasar yang bersangkutan sebagai berikut: Kelak, sekolah dasar dengan tipe A akan ditumbuhkembangkan sehingga pada lembaga tersebut akan lahir sebuah SLTP (menjadi SD + SLTP) dan untuk selanjutnya dari situ juga akan lahir sebuah SLTA (SD + SLTP + SMU) dengan tipe yang paling sesuai. Sedangkan pada tipe B akan dirintis untuk melahirkan sebuah SLTP. Ini berarti, pada lembaga tersebut selain terdapat sebuah SD juga akan terdapat sebuah SLTP. Jadi, masalah tipe mana yang akan ditempati tergantung pada faktor pendukung dan kendala yang ada, dengan demikian sifatnya longgar. Tipe sekolah yang baku hendaknya tidak dijadikan alasan untuk membonsai sebuah sekolah untuk tumbuh, juga tidak dijadikan dalih “untuk menyembunyikan penganggur terselubung …”.
106
107
Dengan demikian, tipe sekolah adalah baku. Namun sebenarnya yang dimaksud baku tersebut adalah tipenya, bukan sekolahnya. Oleh karena itu, tipe sebuah sekolah dapat saja berubah dari tipe yang satu menjadi tipe yang lain. Bisa jadi, suatu saat menjadi tipe yang lebih tinggi dan pada saat yang lain akan turun. Begitu pula halnya dengan SLTP yang sudah ada, lembaga tersebut harus berani membangun basis sendiri. Yang dimaksud dengan membangun basic sendiri berarti membangun sebuah garis lurus dengan sepuluh lembaga pendidikan di bawahnya. Ini berarti SLTP tersebut akan menjadi wadah dari sepuluh SD yang sudah dapat dipastikan berada di dalamnya. 2. Pendidikan Menengah Pada SLTA, mata pelajaran dasar umum (MPDU) dan mata pelajaran dasar khusus (MPDK) mulai menempuh jalur masing-masing. Pada SMU, Mata pelajaran dasar umum dan mata pelajaran Agama merupakan pelajaran wajib, sedangkan mata pelajaran dasar khusus dan mata pelajaran Agama merupakan pelajaran wajib di SMK. Dengan demikian, pada SMK, MPDK menjadi MPDU. Jadi, pada SMK barulah berupa dasar dari penjurusan keterampilan dasar. Dari situ terlihat bahwa tidak ada perubahan yang mendasar dari pola. pendidikan sampai pada level pendidikan menengah bawah. Tetapi, pada pendidikan menengah atas (diploma) --umum, mata pelajaran dasar umum mulai memisahkan diri satu persatu sehingga menjadi mata ajaran. Sehingga, setiap peserta didik menyelesaikan satu periode pembelajaran pada pendidikan menengah atas maka sudah dipandang dapat menamatkan satu paket “mata pelajaran” yang terdiri dari sepuluh mata ajaran. Dengan demikian, seandainya, karena satu dan lain hal, peserta didik tidak dapat menamatkan pendidikannya sampai pada program Diploma IV, maka berarti yang bersangkutan tetap memiliki nilai jual sebab ia telah dapat menamatkan sepuluh mata ajaran di program Diploma III. Begitu pula, seandainya peserta didik terputus di tengah jalan dalam program S1 –nya, maka ia tetap memiliki nilai dari program Diploma IV –nya.
107
108
3. Pendidikan Tinggi Sebagai mana kita tahu, pada perguruan tinggi terdapat beberapa buah fakultas dengan spesifikasi tertentu. Dengan pola bilangan maka akan menuntun munculnya sepuluh macam fakultas pada setiap perguruan tinggi dan akan menggiring lahirnya sepuluh jurusan pada setiap fakultas, yang tentu saja kesemuanya akan berorientasi langsung dengan dunia pasar sebagai pengguna output pendidikan serta dengan tidak meninggalkan jati diri ilmu itu sendiri. Pola bilangan juga menggiring akan makin singkatnya masa belajar pada Pendidikan Tinggi, khususnya pada program S1, sebab untuk dapat masuk ke jenjang tersebut peserta didik telah melewati program Diploma. Dengan demikian, dari seratus sekian Sistem Kredit Semester (SKS) yang harus diselesaikan dalam program S1, maka pada saat pola ini diterapkan hanya tinggal beberapa buah saja. Jadi, setiap setiap satu macam pelajaran menjadi wadah dari sepuluh macam cabang pelajaran dari pelajaran tersebut. Dengan kata lain, pohon pelajarannya ada di Pendidikan Dasar (baca : SD) sedangkan ranting terkecilnya ada di Pendidikan S3. Ingat, setiap pohon bercabang sepuluh, setiap cabang bercabang sepuluh, dan seterusnya. Ketiga, noto pendidikan akan menggiring kelahiran lembaga pendidikan negeri (baca : Sekolah Dasar Negeri sampai dengan Perguruan Tinggi Negeri) baru untuk mendampingi sekolah-sekolah negeri yang telah lebih dahulu lahir (untuk SD, adalah SD Induk dan SD Inpres) Lembaga pendidikan negeri “baru” tersebut adalah lembaga pendidikan swasta yang dinegerikan secara masal pada pasca transisi nanti, dengan kata lain negerinisasi lembaga pendidikan swasta. pendidikan negeri baru tersebut layak menyandang
Lembaga-lembaga
status reformasi, karena
kelahirannya pada zaman reformasi. Hal ini dikarenakan, adanya tuntutan –bilangan-- tiadanya lembaga pendidikan yang setingkat pada sebuah wilayah teritorial. Dengan kata lain, tidak ada lembaga pendidikan tandingan, “satu” daerah teritorial akan diisi “satu” satuan lembaga pendidikan. Dalam hal ini, kualifikasi guru sangat perlu untuk diperhatikan.
108
109
Dari situ muncul pertanyaan, di mana peran masyarakat dalam pendidikan? Pembaca yang budiman, sebagai mana telah diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa satu di antara tujuan didirikannya negara ini adalah mencerdaskan peri kehidupan bangsa. Jadi, menjadi tugas negaralah untuk mencerdaskan bangsa ini. Kelak, tugas negara tersebut, dalam konteks pembagian daerah kerja, telah diemban oleh Badan Pendidikan Nasional Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada dalih bagi negara untuk mengalihkan tanggungjawabnya kepada masyarakat. Bahkan pada saat inipun, menurut penulis, peran masyarakat yang diartikan sebagai penyelenggara pendidikan pun adalah sebuah bentuk lari dari tanggung jawab dan –secara mikrosangat berbahaya bagi dunia pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, jangan heran jika ada suara sumbang tentang amburadulnya dunia pendidikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan seringnya muncul ijazah aspal (asli tapi palsu), atau yang disinyalir oleh Adri Wibowo (HR & Division Head PT Gotrans Interna Express) bahwa ijazah dapat dibeli (Tarbawi, edisi 38 Th. 4 : 33), model belah bambu dalam menangani lembaga pendidikan sejenis, maupun berita miring yang lain. Dengan demikian, kelak, penetrasi pendidikan tidak hanya pada daerahdaerah tertentu dan dunia pendidikan benar-benar diperuntukkan bagi seluruh anak bangsa –tanpa memandang status sosial (dalam kondisi tertentu, memang perlu). Dengan model semacam itu baik dunia pendidikan maupun masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan akan sama-sama diuntungkan. Oleh karena itu, jika Guru Pendidikan Nasional adalah satuan pertama dan “utama”
jabatan struktural dalam dunia pendidikan maka jabatan struktural
organik pendidikan akan berkembang menjadi sebagai berikut : 1. Guru Pendidikan Tinggi Strata 3
--pra transisi : Rektor
Pendidikan
Tinggi dengan kualifikasi S3 2. Guru Pendidikan Tinggi Strata 2 --pra transisi : Rektor Pendidikan Tinggi dengan kualifikasi S2
109
110
3. Guru Pendidikan Tinggi Strata 1 --pra transisi : Rektor Pendidikan Tinggi dengan kualifikasi Sl 4. Guru Pendidikan Tinggi --pra transisi : Dekan Diploma 4 5. Guru Pendidikan Menengah Atas --pra transisi : Dekan Diploma 3 6. Guru Pendidikan Menengah Dasar --pra transisi : Dekan Diploma 2 7. Guru Pendidikan Dasar --pra transisi : Dekan Diploma 1 8. Guru SLTA --pra transisi : Kepala SLTA 9. Guru SLTP – pra transisi : Kepala SLTP 10. Guru SD –pra transisi : Kepala SD Dari situ terlihat bahwa sebenarnya Kepala Sekolah Dasar pada masa pra transisi (saat ini) adalah sebuah jabatan struktural terendah pada dunia pendidikan. Oleh karena itu, sungguh sangat naif jika menafikan keberadaanya. Kelak, hak Kepala Sekolah Dasar yang berupa tunjangan struktural harus dikembalikan untuk mendampingi kewajiban yang telah dilaksanakannya. Jabatan sebagai tersebut di atas merupakan jenjang jabatan struktural, oleh karena itu selama masih dalam jalur pendidikan “umum” maka dari Guru Sekolah Dasar sampai dengan Guru Pendidikan Tinggi Strata 3 akan membentuk sebuah kurva lurus. Oleh karena itu, ke depan perlu ada pendidikan umum di atas SLTA (baca :SMU). Merekalah kelak yang akan menjadi Sarjana Pendidikan sebenarnya -jadi sarjana pendidikan bukan output dari FKIP. Merekalah yang dapat diharapkan mampu merumuskan arah pendidikan secara utuh. Kelak, pola di atas akan menggiring ke situasi tidak ada “pejabat administrasi” di atas jabatan guru atau lebih tepatnya, atasan guru adalah Guru. Guru mempunyai tugas membimbing guru. Dengan demikian, sebagai contoh : 1. Atasan Guru Kelas I/II/III/IV/V/VI dan Guru mata pelajaran Agama, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Olahraga, dan Muatan Lokal pada SD adalah Guru SD;
110
111
2. Atasan Guru SD adalah Guru SLTP. Selain membawahi sepuluh orang Guru SD, Guru SLTP juga membawahi seluruh guru yang ada di SLTP – nya. Pada kondisi sempurna (SLTP tipe A) antara Guru SLTP dan guru yang ada di SLTP terdapat jabatan Guru MIPA /Sosbud /BK /lain-lain sesuai kebutuhan. Guru MIPA akan menjadi atasan lansung Guru Mata Pelajaran Matematika, Fisika, dan Biologi. Guru Sosial Budaya akan membawahi Guru Mata Pelajaran Geografi, Sejarah, dan Ekonomi. Dengan kata lain, jabatan struktural guru tergantung pada satuan pendidikan tempatnya mengabdikan diri, semakin besar piramida pendidikan semakin panjang pula deretan jabatan struktural yang tersedia. Adapun fungsional guru dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, fungsional dalam arti pekerjaan guru. Kedua, fungsional dalam arti pekerjaan pendidikan. hal itu dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Fungsi guru dalam arti pekerjaan guru terdiri atas : a. Pada pendidikan tinggi
: Guru mata kuliah x
b. Pada pendidikan menengah
: Guru mata ajaran x
c. Pada pendidikan dasar
:
1. Guru mata pelajaran x 2. Guru kelas x 2. Fungsi guru dalam arti pekerjaan pendidikan –untuk selanjutnya digunakan istilah fungsi pendidikan. Dalam hal ini berarti ada dua lapis. Lapis pertama menduduki jabatan struktural dan lapis kedua menduduki jabatan fungsional. Jabatan struktural dalam bidang pendidikan sudah terinci di bagian atas. Sedangkan jabatan fungsional guru bukan ada pada pekerjaan guru. Dengan demikian ternyata bahwa fungsi guru dalam pekerjaan maupun dalam bidang pendidikan adalah berbeda. Perbedaan tersebut terlihat dari adanya beban tambahan yang harus diselesaikan, baik berupa beban pekerjaan administrasi maupun beban dalam masalah bimbingan konseling.
111
112
Dari situ muncul sebuah pertanyaan. Fungsi guru
yang manakah yang
dihitung sehingga pada mereka diberikan tunjangan fungsional? Fungsi pertama atau fungsi kedua? Sebab, dalam kenyataan, fungsi guru bukan hanya sekedar sebagai guru (fungsi guru), padanya masih dibebani tugas lain (fungsi pendidikan) dan tugas itu tidak diemban semua guru yang –maaf-- tidak ada hitungannya, atau semacam kerja bakti. Sebagai contoh : 1. Guru Kelas I SD, secara otomatis akan merangkap sebagai Wali Kelas I. Pekerjaan (baca : fungsi guru) yang bersangkutan adalah Guru Kelas I. Sedangkan Wali. Kelas I adalah jabatan fungsional (baca : fungsi pendidikan); 2. Guru mata pelajaran Matematika SLTP Negeri 1 yang juga sebagai Wali Kelas II, maka pekerjaan (fungsi guru) yang bersangkutan adalah Guru mata pelajaran Matematika. Sedangkan Wali Kelas II adalah jabatan fungsional (fungsi pendidikan); 3. Guru Biologi SMU Negeri IX yang tidak menjadi wali kelas.Pekerjaan (fungsi guru) yang bersangkutan adalah Guru Biologi, sedangkan jabatan fungsional yang bersangkutan tidak memiliki. 4. Guru olahraga SD yang tidak menjadi wali kelas. Pekerjaan (fungsi guru) yang bersangkutan adalah Guru Olahraga dan jabatan fungsional tidak dimilikinya. Dengan kata lain, pemberian tunjangan fungsional kepada guru selama ini sangat tidak tepat sasaran, sebab semua guru mendapatkannya. Keadaan akan menjadi lain, jika istilah yang digunakan adalah “tunjangan pendidikan”. Sedangkan tunjangan fungsional hanya diberikan kepada guru yang memegang jabatan fungsional. Dalam hal ini jabatan fungsional harus dibedakan dengan jabatan struktural. Dengan demikian, seharusnya kepada nomor satu dan dua sebagai contoh di atas mendapatkan dua macam tunjangan yaitu tunjangan pendidikan dan tunjangan fungsional. Sedangkan untuk nomor tiga dan empat hanya mendapatkan satu macam tunjangan (tunjangan pendidikan) saja.
112
113
Fungsi pendidikan adalah merupakan kedudukan guru pada suatu daerah satuan pendidikan. Bagi guru di sekolah dasar fungsi guru menjadi tumpang-tindih dengan fungsi pendidikan, bayangkan selain sebagai guru kelas juga merangkap sebagai wali kelas. Padahal, di antara keduanya terdapat hak dan kewajiban yang berbeda. Jadi, Wali Kelas adalah satuan --wali (guru)-- yang pertama dan terkecil itu setingkat dengan kepala urusan di kantor kelurahan. Dengan demikian, jabatan fungsional guru berikutnya adalah : 1. Wali Guru SD 2. Wali Guru SLTP 3. Wali Guru SLTA 4. Wali Guru Diploma 1 5. Wali Guru Diploma II 6. Wali Guru Diploma III 7. Wali Guru Diploma IV 8. Wali Guru Pendidikan Strata 1 9. Wali Guru Pendidikan Strata 2 10. Wali Guru Pendidikan Strata 3 Contoh : 1. Seharusnya seorang Guru Kelas I di Sekolah Dasar mendapatkan dua macam tunjangan –selain tunjangan istri/anak/beras-- yaitu: tunjangan pendidikan karena berprofesi sebagai guru, dan tunjangan fungional karena menjadi Wali Kelas I. Sedangkan guru mata pelajaran x
di
Sekolah Dasar hanya mendapatkan satu macam tunjangan, yaitu tunjangan pendidikan sebab yang bersangkutan “hanya” menjadi guru mata pelajaran x, tidak menjadi wali kelas.
113
114
2. Wali Guru SD membawahi 6 Wali Guru Kelas --yaitu Wali Guru Kelas I, Wali Guru Kelas II, wali Guru Kelas III, Wali Guru Kelas IV,
Wali
Guru Kelas V, dan wali Guru Kelas VI-- dan 4 Wali Guru Mata Pelajaran (Agama, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikann jasmani dan kesehatan, dan Muatan Lokal) dari sepuluh buah sekolah dasar. Pada merekalah tugas membimbing berada. Dengan model seperti itu akan dapat ditekan pemborosan biaya /waktu “penataran” ataupun pelatihan. 3. Wali Guru x, Fakultas y, Universitas z --pada Pendidikan Tinggi dengan kualifikasi S-- (sebelum transisi, baca : Ketua Jurusan x, Fakultas y, Universitas z) membawahi sejumlah Guru Mata Kuliah yang ada pada jurusan x. Para wali guru tersebutlah yang mempunyai tugas membimbing dan melatih guru dalam meningkatkan pengetahuan /keterampilan yang kesemuanya akan memacu peningkatan mutu “keprofesional” guru. Sebagai contoh, 1. Wali Guru Kelas I mempunyai tugas membimbing Guru Kelas I; 2. Wali Guru Agama SD mempunyai tugas membimbing Guru Agama SD; 3. Wali Guru SD mempunyai tugas membimbing Guru SD; 4. Wali Guru Agama SLTP mempunyai tugas membimbing Guru Agama SLTP; 5. Wali Guru Fisika SLTP bertugas membimbing Guru Fisika SLTP. Namun perlu diingat, wali guru bukan jabatan struktural melainkan jabatan fungsional. Kewenangan mereka sebatas melatih , bukan menilai. Oleh karena itu, mereka tetap mempunyai tugas melaksanakan tatap muka sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, sebagai contoh :
114
115
1. Pada Sekolah Dasar, jabatan Wali Guru Sekolah Dasar itulah sebenarnya tempat bagi Ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah Dasar. Jabatan Wali Guru Kelas I. itulah sebenarnya tempat Ketua Kelompok Kerja Guru Kelas I, dan seterusnya; 2. Pada SLTA, jabatan Wali Guru MIPA menjai tempat bagi Ketua jurusan MIPA (bukan IPA); 3. Pada perguruan tinggi, Wali Guru Hukum Internasional itulah tempat bagi Ketua jurusan Hukum Internasional, dan seterusnya. Adapun pangkat guru, menurut penulis, sebenarnya terdapat pada jabatan guru yang disandangnya. Konsep ini akan menyederhanakan sistem kepangkatan guru. Dengan demikian, seorang guru pratama dengan pangkat pengatur muda, IIa. Maka seharusnya, pangkat guru tersebut adalah guru pratama. Sedangkan golongan ruangnya adalah IIa. Dalam hal pangkat /golongan ruang guru, tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada para guru, seyogyanya, kelak juga dimulai dari I a. Bukankah, pada dasarnya yang penting bukan tinggi pangkatnya, melainkan tingkat kesejahteraannya? Apalah arti sebuah pangkat yang tinggi menjulang, jika ternyata tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh keluarganya jauh dari yang seharusnya? Bukankah malah membuat malu “penguasa guru”? Dengan pola semacam itu, lulusan Diploma 1 jurusan pendidikan sudah dapat menjadi guru Sekolah Dasar. Keadaan ini jelas membantu percepatan pengurangan pengangguran. Pertanyaan yang muncul dari kondisi ini adalah, bagaimana dengan mutu guru tersebut, dapatkah dipertanggungjawabkan? Sudah menjadi rahasia umum, peserta didik yang agak pintar alergi untuk menjadi guru. Dan, itu wajar, sebab selain, gaji guru tergolong minim juga karena, mungkin, kurang menantang. Jadi, sebelum dana pendidikan memadai, janganlah berbicara mutu. Jangan pula menuntut yang muluk-muluk dari dunia pendidikan. Namun, dengan reformasi bilangan, 20 % dari APBN sudah lebih dari cukup!
115
116
Disamping itu, tidak digunakannya pangkat pegawai negeri dalam pangkat guru dimaksudkan untuk membedakan institusi guru dengan institusi pegawai negeri lain yang menaunginya. Dengan kata lain, pangkat guru akan terlihat sebagai berikut : 1. Guru Juru, Ia 2. Guru Juru Tingkat I, Ib 3. Guru Bantu, Ic 4. Guru Bantu Tingkat I, Id 5. Guru Pratama, IIa 6. Guru Pratama Tingkat I, IIb 7. Guru Muda, IIc 8. Guru Muda Tingkat I, IId 9. Guru Madia, IIIa 10. Guru Madia Tingkat I, IIIb 11. Guru Dewasa, IIIc 12. Guru Dewasa Tingkat I, IIId 13. Guru Pembina, IVa 14. Guru Pembina Tingkat I, IVb 15. Guru Utama Muda, IVc 16. Guru Utama Madia, IVd 17. Guru Utama, IVe Makin panjangnya pangkat guru akan membuat lebih longgar ruang kepangkatan guru sehingga mereka tidak berdesak-desakan. Hal ini dikarenakan, adanya perubahan start awal kepangkatan guru. Guru Juru, diperuntukkan bagi calon guru tamatan SLTA yang sudah menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Guru Juru. Karena modal akademik calon guru adalah SLTA, maka yang bersangkutan telah mengantongi kelebihan 3 poin di atas Wajib Belajar 9 Tahun atau satu tingkat lebih tinggi dari tamatan pendidikan dasar.
116
117
Maka dari itu, secara akademik yang bersangkutan telah layak mengajar di Sekolah Dasar. Mungkin ada pertanyaan begini, sudah layakkah tamatan SLTA menjadi guru? Jika si calon guru berasal dari luar keluarga guru, pertanyaan tersebut sangat relevan. Sebab, mereka “asing” dengan kesibukan guru. Namun, jika calon guru berasal dari keluarga guru, pertanyaan tersebut menjadi aneh. Sebab, pertama, secara genetika sifat bawaan akan menurun, sekalipun tidak semurni induknya. Kedua, sedikit banyak, mereka telah tahu peri kehidupan “dunia” guru. Kekurangmurnian ini akan tertutup dengan dua cara, pertama dengan pendidikan dan ke dua dengan pelatihan. Jika jalur pendidikan yang ditempuh, maka berarti harus masuk ke pandidikan guru. Namun, jika jalur pelatihan yang ditempuh, maka ia harus mengikuti penataran. Penataran sebagai aplikasi dari pendidikan sebagai yang dimaksud menjadi kewajiban Departemen Pendidikan Nasional, kelak. Departemen Pendidikan Nasional Departemen Pendidikan Nasional hanya akan mengurus dua masalah yaitu edukasi (baca : pendidikan untuk calon pendidik) serta melaksanakan kepengawasan. 1. Masalah Edukasi Masalah edukasi dimunculkan dalam bentuk keberadaan sekolah yang harus ditangani. Pada sekolah-sekolah tersebut itulah tempat para Widya Iswara mendarmakan ilmunya untuk kemajuan pendidikan. Mereka menjalankan fungsi guru sekaligus menjalankan fungsi pendidikan. Dengan demikian, bidang garapan untuk masalah edukasi adalah Sekolah Pendidikan Guru dan Sekolah Pendidikaan Non Guru. Pada Sekolah Pendidikan Guru ini ada empat buah jenjang yang masingmasing berdiri lepas namun merupakan sebuah kesatuan /berkesinambungan serta sebuah sekolah jabatan guru. Perhatikan :
117
118
1. Sekolah Pendidikan Guru terdiri dari: a. Sekolah Pendidikan Guru Juru; b. Sekolah Pendidikan Guru Pratama; c. Sekolah Pendidikan Guru Madia; d. Sekolah Pendidikan Guru Pembina; 2. Sekolah jabatan guru yang dimaksud adalah Sekolah Guru. Sedangkan Sekolah Pendidikan Non Guru diperuntukkan bagi tenaga di lingkup pendidikan non guru yang meliputi : a. Sekolah Juru; b. Sekolah Pratama; c. Sekolah Penata; d. Sekolah Pembina. Keberadaan Sekolah Pendidikan Guru, Sekolah Guru, dan Sekolah Pendidikan Non Guru dimaksudkan untuk menampung gen murni pendidikan (dari Kelompok I) yang akan mewarisi lahan kehidupan orangtuanya untuk mendapatkan keahlian mendidik /kecakapan khusus. Dalam hal ini, mereka harus memenuhi persyaratan umum. Misalnya, berpendidikan SLTA untuk masuk ke Sekolah Pendidikan Guru Juru,
berpendidikan
Diploma
untuk
Sekolah
Pendidikan
Guru
Pratama,
berpendidikan S1 untuk masuk ke Sekolah Pendidikan Guru Madia dan seterusnya. Keberadaan sekolah ini harus dibedakan dengan Diploma Pendidikan /Fakultas Pendidikan, juga dibedakan dengan PGSD /FKIP /lainnya. Lembaga pendidikan guru tersebut –mulai dari Sekolah Pendidikan Guru Juru sampai dengan Sekolah Pendidikan Guru Pembina --dipersiapkan untuk mencetak tenaga guru, sedangkan Sekolah Guru dipersiapkan untuk guru-guru yang akan menduduki jabatan struktural. Adalah sebuah keniscayaan, setiap Guru yang akan menduduki jabatan struktural wajib untuk mengenyam terlebih dahulu Sekolah Guru tersebut. Dengan demikian, mereka tidak gagap edukasi.
118
119
Sedangkan Diploma Pendidikan/Fakultas Pendidikan –yang bernaung di bawah Satuan Lembaga Pendidikan--
yang mempelajari ilmu murni pendidikan
tersebut diperuntukkan bagi gen luar (dari Kelompok II) yang akan masuk ke dalam Kelompok I dengan cara kontrak, membeli, atau sebagai
pegawai pada “lahan
kehidupan” guru. 2. Masalah Kepengawasan Kepengawasan dimunculkan dengan keberadaan Inspektorat Pendidikan dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan. Dengan demikian, pada level terendah, sebuah Kantor Inspektorat Pendidikan
Kecamatan (F) akan mengawasi kinerja
sepuluh buah lembaga pendidikan dasar (baca : 10 SLTP), sedangkan untuk tingkat desa yang ada adalah Kantor Kepenilikan Pendidikan Desa (F1), lembaga ini akan menjadi institusi pengawas bagi sepuluh buah sekolah dasar yang tersebar di sepuluh buah kelurahan Oleh karena itu, pada kantor kepenilikan tersebut akan muncul sepuluh jabatan penilik, yaitu : Penilik Kelas I, Penilik Kelas II, Penilik Kelas III, Penilik Kelas IV, Penilik Kelas V, Penilik Kelas VI, Penilik Agama, Penilik Kerajinan Tangan dan Kesenian, Penilik Olahraga, dan Penilik Muatan Lokal. Kesepuluh macam penilik tersebut dibawah pimpinan seorang Penilik Sekolah Dasar. Lembaga Pendidikan Nasional Lembaga Pendidikan Nasional (Lemdiknas) mengurus masalah non teknis /non edukatif pendidikan . Dengan demikian, lembaga ini dapat dipandang sebagai sebuah alat untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik dan dunia pendidikan pada umumnya. Bisa juga dipandang sebagai sebuah badan usaha milik pendidikan. Di bawah lembaga ini bernaung beberapa buah dinas, misalnya :
119
120
a. Dinas Kesejahteraan Guru; b. Dinas Kesehatan Guru; c. Dinas Bantuan Hukum Tenaga Pendidikan; d. dan sebagainya, sesuai kebutuhan. Masing-masing dinas membawahi beberapa bidang garapan. Misalnya : 1. Dinas Kesejahteraan Guru bergerak dalam bidang perbankan (bank guru /bank pendidikan), perumahan (realestat guru), asuransi, dan sebagainya; 2. Dinas Kesehatan Guru akan mendorong tumbuhnya rumah sakit milik guru. Ke sanalah para guru akan dapat memperoleh pelayanan kesehatan bagi diri dan keluarganya dengan sangat memuaskan, karena semua personal yang bekerja di rumah sakit tersebut berada di bawah “payung” guru. Model ini termasuk satu di antara kiat untuk mengangkat citra guru. Dengan demikian, guru tidak digiring ke situasi untuk mendirikan lembaga pendidikan tandingan sendiri. Guru mengalihkan bidang usahanya. Bahwa semua yang terpapar di atas tidak dapat dikerjakan oleh guru, itu memang benar. Semua bidang tersebut harus berada di tangan ahlinya. Nah, di situlah letak partisipasi guru dalam dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Guru, sebagai person, mampu menyediakan lapanga kerja untuk mantan anak-anak didiknya. Sebagai sebuah badan usaha, dinas-dinas sebagai dimaksud di atas merupakan sebuah Badan Usaha Milik Guru dan merupakan unit usaha waralaba yang padanya melekat nuansa edukasi. Maka orientasi pasar yang hendak dibidik pun harus jelas. Pembaca yang budiman, pola tersebut di atas terpaksa akan meninggalkan model lama dunia pendidikan. Keunggulan model tersebut antara lain:
120
121
Pertama, segi edukasi. Di dalam pola ini tidak ada organisasi setara di dalam organisasi /daerah teritorial, sehingga tidak ada dua /lebih pucuk pimpinan dalam satu daerah kerja –yang satu sebagai kepala sedangkan yang satunya lagi sebagai ketua, tidak ada siapa menjadi kepanjangan tangan siapa, juga tidak ada siapa akan dimanfaatkan siapa. Jadi, loyalitas guru kepada atasannya tidak dapat begitu saja diartikan secara sempit. Atasan bisa datang dan pergi seiring perjalanan waktu, namun satuan pendidikan? Dengan demikian, loyalitas guru kepada atasan adalah selama atasan tidak merugikan lembaga pendidikannya. Rasa ikut memiliki “ satuan pendidikan” sangat diperlukan sebab dengan adanya rasa tersebut yang bersangkutan dapat menentukan sikap dengan benar terhadap isu-isu inovasi pendidikan, setiap ada intervensi
dari
luar
terhadap
satuan
pendidikannya,
serta
berani
mempertanggungjawabkan sikap yang telah diambilnya. Kedua, segi profesi. Persaingan murni dalam kelompok pendidikan mulai level terendah sampai dengan level tertinggi akan memacu semangat untuk lebih profesional. Di sinilah letak perlunya kompetensi guru. Dengan kompetensi yang tepat akan dapat diharapkan munculnya guru yang profesional. Pada gilirannya nanti, peserta didik pun akan mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan tingkat kebutuhan mereka. Satu di antara parameter yang paling sederhana untuk mengukur kompetensi yaitu lewat pendidikan. Di samping itu, oleh karena arena perjuangan guru adalah adalah lembaga pendidikan, maka setinggi apapun pangkat dan jabatannya, padanya masih melekat kewajiban melaksanakan tatap muka. Kewajiban yang satu ini tidak dapat didelegasikan begitu saja kepada guru /orang lain. Ingat, Guru adalah Guru, dan predikat itu akan sirna saat yang bersangkutan tidak memiliki murid seorangpun. Oleh karena itu, jika Guru SD (baca : saat pra transisi Kepala SD) memiliki kewajiban tatap muka selama enam jam pelajaran per minggu, maka harus dihitung dengan cermat berapa jam pelajaran kewajiban tatap muka seorang Guru Pendidikan Nasional per tahun.
121
122
Ketiga, segi kesejahteraan guru dan tenaga lain yang ada pada lingkungan pendidikan. Dengan adanya Lemdiknas, maka kesejahteraan guru /tenaga lain dapat diproyeksikan sebagai berikut: •
Keberadaan Dinas Kesejahteraan Guru akan melahirkan Bank Guru. Bank ini sangat diperlukan untuk menopang perekonomian guru. Gaji guru, hutangpiutang guru, jual beli lahan kehidupan guru, ataupun kontrak kerja guru akan diurus oleh ahlinya dibawah pengawasan orang dalam (baca :guru).
•
Keberadaan Dinas Kesehatan Guru akan memungkinkan guru mendapatkan pelayanan
kesehatan yang lebih memuaskan dari sebelumnya, dan jika
dikelola dengan baik maka tidak mustahil akan menjadi sumber pendapatan asli pendidikan. •
Dinas Bantuan Hukum Tenaga Pendidikan jelas merupakan kemajuan tersendiri. Dinas inilah yang akan mengurus /menyelesaikan masalah hukum antara guru dengan pihak lain.
•
dan seterusnya.
3. 4 Noto Agama (10)100 Masalah adanya perbedaan “warna” output pendidikan tersebut jika dirunut ke belakang maka akan terlihat bahwa sumbernya ada pada pendidikan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada beberapa fase proses pendidikan. Fase pertama, input pendidikan adalah anak yang masih polos, polos dalam arti sesungguhnya. Mereka masih bebas dari
segala warna
kehidupan, ambisi
pribadi, primordialisme, maupun -isme-isme yang lain. Mereka memandang dunia dengan mata penuh ceria, hanya karena keinginan orangtua maka mereka masuk ke lingkungan pendidikan --formal.
122
123
Fase kedua, selama proses pembelajaran (baca : bersekolah) kepada peserta didik diperkenalkan aneka warna kehidupan. Sejak dari a sampai z –nya kehidupan, termasuk “warna ekonomi” --misalnya tentang laba-rugi, bunga, kurs, “warna politik” –misalnya tentang organisasi, susunan pemerintahan, daerah pemerintahan, wilayah-dan berbagai warna yang lain. Fase ketiga, jika peserta didik mampu menembus perguruan tinggi maka “warna” pilihan peserta didik makin mengkristal --lihat saja, ada elemen mahasiswa yang berkibar di bawah bendera merah, bendera putih, atau mungkin bendera lain -dan ini akan terus terbawa sampai yang bersangkutan kembali ke masyarakat, habitat asalnya. Yang, kesemuanya memang ada di dalam sebuah masyarakat yang majemuk. Kondisi seperti itu dapat diejawantahkan sebagai seberkas sinar putih yang menembus sebuah prisma bening sehingga menghasilkan warna pelangi yang langsung ditangkap sebuah layar. Pelangi memang indah, mereka saling memberi ruang gerak pada warna yang lain, tidak ada dominasi. Masalahnya, dunia nyata tidaklah seindah dan semengerti pelangi. Oleh karena itu, negara ini harus mampu menyiapkan prisma bening kedua yang bersifat mengikat saat peserta didik dikembalikan ke tengah masyarakat sehingga peserta didik dapat kembali putih seperti sediakala, yang mau-tidak mau harus dilaluinya. Hanya disitu terdapat perbedaan, saat sebagai input, peserta didik masih putih dan polos karena belum mengerti, namun saat sebagi output yang bersangkutan putih dan polos karena sudah mengerti. Dengan menggunakan mata dan hati yang benar-benar bening, barulah output pendidikan dapat memandang wajah asli “dunia”. Ia akan dapat membedakan mana merah karena memang kodratnya
merah atau merah karena kacamata yang
dikenakan merah. Mana kuning yang kodratnya memang kuning atau kuning karena lensa kacamatanya berwarna kuning, dan seterusnya. Mata dan hati yang bening hanya akan terwujud jika negara mampu --sekali lagi-- membangun prisma bening kedua sebelum peserta didik dilepaskan.
123
124
Jika membilang diawali dari satu –kecil, maka akan diakhiri dengan satu – besar. Jika pembelajaran warna hidup berbangsa dan bernegara diawali dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pula peserta didik mengakhiri masa belajarnya. Dengan berakhir masa belajar pada jenjang pendidikan formal, berarti kembali ke tengan masyarakat. Kembali ke masyarakat, berarti masuk ke pendidikan “umum” nasional Ini berarti, prisma kedua yang harus dipasang oleh pendidikan adalah ilmu yang berdasarkan pada moral transedental, sebab hanya ilmu tersebut yang dapat membeningkan seluruh ilmu di mayapada ini. Dengan demikian, prisma kedua tersebut adalah ajaran agama. Pendidikan agama harus dipahami, diyakini, dan untuk diamalkan sesuai dengan kemampuan dan keyakinan agama yang dianutnya.
Dengan demikian, pada level terakhir pendidikan nanti –Pendidikan Nasional Indonesia-- negara harus mampu meluruskan pandangan-pandangan yang keliru, dengan kata lain, Pendidikan Nasional Indonesia harus mampu menyeimbangkan “ warna” pada diri peserta didiknya. Bahwa pada akhirnya ada kecondongan hati pada salah satu “warna” itu sudah alami. Adalah hal sangat mustahil menyukai “semua warna”. Namun setidaknya, peserta didik memiliki bekal yang cukup sehingga kelak tidak memandang rival kepada yang berseberangan dengannya. Itu teorinya, berhasil atau tidaknya berpulang pada niat masing-masing. Bukankah, sebagus apapun bingkai yang dipasang, fokus pandangan akan tetap jatuh ke pusat bingkai? Penulis percaya bahwa untuk menambah jam pelajaran agama dalam pendidikan (baca : sekolah) itu tidak gampang, harus ada terobosan baru. Mereka yang berkeberatan akan mengajukan berderet-deret argumen Dari pandangan bahwa agama merupakan urusan individu –hak asasi--
sampai dengan parameter yang
digunakan untuk mengukur tingkat pemahaman yang diwujudkan dalam bentuk pengamalan --yang ikhlas. Padahal, pada dasarnya, mereka (!) sangat berkepentingan dengan semakin dangkalnya tingkat pemahaman agama bangsa ini.
124
125
Mereka sangat berkepentingan dengan tumbuhnya tunas-tunas bangsa yang asing dengan ajaran agamanya. Padahal, mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Oleh karena itu, jangan heran jika ada lembaga pendidikan --negeri-- yang sampai belasan tahun tidak memiliki Guru Agama, dalam arti formal. Beruntung, pendidik pada lembaga tersebut seagama dengan peserta didik, dan masih beruntung pula ada tokoh-tokoh agama setempat yang peduli. Jika tidak, apa gerangan yang terjadi? Dalam hal ini, penanggung jawab pendidikan dapat mengajukan sederet alasan seperti pelajaran alasan yang mereka terima dari atasan mereka, dan atasan mereka pun akan mengajukan deretan alasan lagi seperti deretan alasan yang mereka terima dari atasannya lagi, dan akhirnya, siapa yang berada di balik itu semua? Muara dari semua jawaban ada pada sistem pendidikan itu sendiri. Bisa jadi pembaca beranggapan bahwa generalisasi yang penulis paparkan di atas keliru, tidak tepat, atau tanpa dasar. Tapi, dari banyak kejadian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa agama hanya dijadikan sarana untuk mencari dukungan saat yang bersangkutan membutuhkan dukungan, agama hanya dijadikan benteng terakhir saat mereka terjepit, saat tumbang dari kekuasaan di depan mata, atau malah saat nyawa sudah sampai di batang tenggorok. Mereka baru sadar dan baru berlindung pada baju agamanya dan peduli pada kewajibannya. Mereka lupa bahwa selama berkuasa, politik belah bambu telah mereka praktekkan, sebagian kecil diangkat dan selebihnya diinjak. Lihat saja, mereka yang komitmen terhadap ajaran agamanya malah dituduh sebagai sok alim oleh kanan-kiri, ektrem oleh penjajah Belanda, sampai dengan stempel teroris oleh polisi dunia dan kawan-kawannya. Padahal, sejarah membuktikan bahwa tanpa turun tangannya mereka yang “sok alim”, yang “ekstremis”, dan yang “teroris” maka negara ini belumlah merdeka dan kaum penjajah tetap bercokol di negara ini. Memang, dari masa ke masa, secara materi terjadi pergantian individu. Tetapi, kita harus selau ingat bahwa populasi mereka sama, komunitas mereka sama, mereka adalah umat beragama.
125
126
Dari situ timbul pertanyaan, umat agama yang mana? Bukankah ada enam macam agama yang diakui sah berlaku di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buda, dan Khong Hu Chu lantas yang mana? Dalam hal ini, kita harus realistis. Jika komunitasnya kecil, populasinya kecil maka kontribusi yang diberikan juga kecil dan cakupannya pun kecil, begitu pula sebaliknya. Kondisi seperti itu sudah sesuai dengan hukum alam, yang kecil akan menggunakan ruang kecil, dan yang besar akan membutuhkan ruang lebih besar. Kalau pada akhirnya ruang gerak yang mereka gunakan sama luasnya, maka di situ ada keserakahan dari yang kecil dan ada faktor luar yang mengakibatkan ketidakberdayaan pada yang besar. Dalam masalah yang peka ini, kita harus menggunakan mata bening dengan hati jernih. Menghilangkan prasangka buruk dengan mau secara suka rela melepaskan kepentingan pribadi atau kelompok. Harus diakui, kontribusi yang diberikan oleh umat Islam terhadap negara ini jauh lebih besar daripada umat lain. Jumlah mereka sebagai mayoritas jelas merupakan sebuah modal kelebihan sepanjang tidak keliru dalam mengelolanya, sebaliknya jika salah dalam pengelolaan maka akan menimbulkan masalah yang besar pula. Dalam hal ini, penulis rasa tidak pada tempatnya untuk membahas hal tersebut. Oleh karena itu, rasa saling pengertian dengan mengalah sedikit untuk tujuan bersama yang jauh lebih besar sangat diperlukan. Dan, tujuan bersama tersebut adalah membangun Indonesia yang satu, yang adil, yang aman serta damai, dan citacita mulia yang lain. Dengan kondisi seperti itu maka pikiran, tenaga, dan dana yang harus umat Islam keluarkan juga menjadi jauh lebih besar. Apalagi, selain dana wajib sebagai warga negara yang berupa pajak, bagi umat Islam yang mampu juga masih harus mengeluarkan zakat. Dengan demikian --langsung atau tidak langsung, umat Islam akan “bayar” dua kali untuk hidup di bumi yang bernama Indonesia ini, sedangkan umat lain cukup satu kali.
126
127
Perhatikan --sebelum Khong Hu Chu ditetapkan sebagai agama-- : No.
Umat
Frekuensi
%
Rata-rata
1.
Islam
2
33,33…
20
2.
Kristen Katolik
1
16,66…
20
3.
Kristen Protestan
1
16,66…
20
4.
Hindu
1
16,66…
20
5.
Buda
1
16,66…
20
Jumlah
6
100
100
Tabel 23
Dari gambaran di atas terlihat bahwa umat Islam sudah mensubsidi negara. Padahal, apa yang penulis paparkan di atas barulah berupa nilai kasar yang berupa frekuensi --cermin kesetiakawanan sosial nasional. Bisa dibayangkan seandainya angka-angka itu merupakan angka yang sebenarnya. Oleh karena itu, sangat wajar jika hendak memperbaiki tempat ibadah saja --di antara mereka-- ada yang harus tengadahkan kaleng dipinggir jalan dari pagi hari sampai sore hari …. Jadi, bukan salah mereka! Bisa jadi, dalam hal ini, pembaca berpendapat bahwa bukankah zakat berputar pada kalangan umat Islam sendiri? Pendapat itu memang benar adanya. Tetapi, bukankah pajak yang mereka bayar itu akan dipakai oleh negara untuk belanja negara dan pengguna negara ini bukan hanya umat Islam saja? Jadi, pemanfaatan pajak tanpa memandang agama mereka lagi. Kondisi seperti itu, jelas merupakan ketidakadilan sosial sebuah sistem, sebab pada akhirnya yang memanfaatkan adalah negara --baik langsung maupun tidak langsung. Sistem seperti itu, menurut penulis-- merupakan sebuah pola pemiskinan yang sistematis dan sangat terselubung oleh negara kepada rakyatnya. Dari sini timbul pertanyaan, untuk apa negara memiskinkan rakyatnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mundur ke situasi pra kemerdekaan. Perhatikan kronologi berikut ini:
127
128
1. 22 Juni 1945 Panitia sembilan menghasilkan Piagam Jakarta. Kompromi politik yang bernama Piagam Jakarta ini adalah “benang pertama” – benang putih-- yang dihasilkan oleh para petinggi nasional, pendiri negara. 2. 7 Agustus 1945 PPKI terbentuk. 3. 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. 4. 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang mengagendakan pertemuan dimulai pukul 09.30, ternyata sampai pukul 11.30 belum juga dimulai. Apa yang terjadi dalam dua jam tersebut itu ternyata sesuatu yang amat penting bagi sejarah konstitusi Indonesia. Hatta menuturkan bahwa petang hari 17 Agustus 1945, seorang apsir Angkatan Laut Jepang datang padanya, dan mengatakan bahwa orangorang Protestan dan Katholik dalam kawasan opsir tersebut keberatan sangat atas anak kalimat Islami dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar. Karena begitu serius rupanya, sebelum sidang dimulai saya ajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kita mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dengan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Sehubungan
dengan
peristiwa
tersebut,
menyampaikan catatan sebagai berikut : Reaksi
Prawoto
Mangkusasmito
positif Teuku Hasan atas usul
perubahan tersebut dapat dipahami, karena dia sama sekali tidak tergolong kelompok nasionalis Islami. Sedangkan H.A. Wahid Hasyim tidak hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945 itu karena dia sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur. Sementara itu, Kasman Singodimedjo, yang menjadi anggota baru sebagai tambahan, menerima undangan baru pada pagi itu dan dapat dimengerti bila dia sama sekali tidak siap untuk berurusan dengan masalah tersebut. Jadi—seluruh
128
129
tekanan psykologis tentang hasil atau tidaknya penentuan Undang-Undang dasar terletak di atas pundak Ki Bagus Hadikusumo, sebagai satu-satunya exponen perjuangan Islam pada saat itu. Sangat penting untuk dicatat , bahwa hanya empat orang penandatangan Piagam Jakarta yang ditunjuk dan dipilih sebagai anggota Panitia Persiapan, yaitu: Soekarno, Hatta, Subardjo, dan Wahid Hasyim. Karena, Wahid Hasyim --satu-satunya penandatangan dari pihak Islam yang dapat diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan-- sedang ke Jawa Timur maka praktis hanya tinggal tiga orang penandatangan Piagam Jakarta yang terlibat dalam perubahan penting yang menghilangkan kalimat Islami dari Pembukaan Undang-Undang dasar 1945, ketiga-tiganya dari kelompok nasionalis sekuler Perubahan tersebut tentu saja diterima dengan sepenuh hati oleh kaum nasionalis sekuler dan sungguhpun kecewa, kelompok nasionalis Islami menunjukkan toleransinya. Lebih-lebih dengan adanya janji Soekarno saat mengambil alih pimpinan. (Al- Muslimun, 1985, No. 179 : 60) Singkatnya, hasil pertemuan sidang PPKI sebagai berikut : a. Kata “Mukadimah” diganti dengan kata “Pembukaan”; b. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihilangkan; c. Pasal 6, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. d. Pasal 29, “Negara berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluk -nya”, diganti dengan “Negara berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Dengan hilangnya tujuh kata itu, kaum nasionalis sekuler mempunyai hutang sejarah kepada kaum nasionalis Islami. Islam mengalah, Pancasila mulai tampil memimpin negeri. Pancasila adalah “telur kedua” –benang merah-- yang dihasilkan oleh kaum nasionalis negara, petinggi pendiri negara ini.
129
130
5. Sepuluh tahun kemudian, yaitu sesudah pemilihan umum pertama tahun 1955, di bawah payung UUDS 1950, kembali Pancasila dan
Islam
bergumul pada pelataran konstitusional, dalam Dewan Konstitutuante. Sekalipun seru, Konstituante baru dapat menyelesaikan
90% dari
tugasnya saat Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 (A. Syafii Maarif, 1993 : 198) Penulis tidak hendak menceritakan pasang surut Pancasila sebagai dasar negara, karena memang tidak ada relevansinya dengan maksud dibuatnya tulisan ini. Yang jelas, dasar negara tersebut telah menghasilkan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Dengan kata lain, benang merah
--hukum merah-- telah
menetas dan bahkan beranak pinak. Sebagai produk hukum, semua bersifat mengikat. Dalam kurun waktu yang panjang itu terjadi berbagai persoalan melanda, misal : krisis keamanan --DI/TII (1948), PRRI/Permesta (1958), RMS (1950), GAM, dsb., krisis politik (1965), krisis moneter (1997), kisis kepercayaan, krisis jati diri atau lebih lengkap biasa disebut krisis multi dimensi. Dari sini timbul pertanyaan sederhana, mengapa? dan muara dari jawabannya adalah pemegang amanah tidak dapat menunaikan amanah yang dipegangnya. Pemegang amanah tersebut tahu bahwa hukum di bawah naungan Pancasila dapat disiasati, semua bisa diatur. Bukankah pembuat hukum tersebut adalah mereka (baca : manusia) sendiri? Oleh karena itu, jangan heran, jika hukum menjadi tumpul pada saat berhadapan dengan yang orang “besar”, uang, atau segala sesuatu yang memiliki akses kekuasaan. Ironisnya, hukum menjadi sangat tegak saat berhadapan dengan yang kecil, lemah, atau yang semakna dengan itu. Jadi, sejatinya hukum yang mereka buat itu hanya diperuntukkan bagi rakyat yang lemah. Padahal, posisi lemah akan ditempati oleh mayoritas penduduk negeri ini, dan mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Jadi, hukum yang mereka buat itu pada galibnya memang untuk mengatur umat Islam, dengan kata lain, umat Islam menjadi obyek hukum. Mereka belum menjadi subyek hukum.
130
131
Jadi, sebenarnya … penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut adalah tikaman pertama teman seperjuangan. Sedangkan Dekrit Presiden yang terkenal itu adalah tikaman kedua dari seorang penguasa kepada umat Islam. Dari sini timbul pertanyaan sederhana, mengapa?
jawabnya pun sederhana, sebab pada
awalnya, semua pasal-pasal dalam UUD 1945 memang diperuntukkan menopang Piagam Jakarta, bukan untuk menopang Pancasila. Bukankah menurut Matematika, jika langkah pertama diubah maka akan “mengubah” seluruh langkah selanjutnya dan hasil akhir? Islam sebagai agama, telah membekali dirinya sendiri dengan hukum. Hukum Islam sudah sangat lengkap. Padanya terdapat aturan yang sempurna, bahkan sangat sempurna, karena pembuat hukum Islam adalah Sang Maha Pencipta sendiri, pencipta manusia. Ahli fikih Islam dapat menguraikan lebih luas, lebih rinci, dan lebih jelas. Sebagai hukum positif, Islam bersifat mengikat terhadap siapa yang menganutnya. Dengan terkondisikannya umat Islam dalam posisi lemah, maka akan memudahkan pihak lain (yang juga atas jasa kaum orientalis)
datang sebagai
pahlawan untuk membantu. Mereka bak dewa penolong datang membantu musafir yang kehausan di padang pasir, mulai dalam bentuk makanan; melayani para transmigran seperti yang diberitakan Mingguan Hidup, No. 16/ 17, 15-22 April 1984 (Al-Muslimun, 1984), beasiswa, sampai dengan pinjaman lunak tuan besar IMF atau tuan besar
yang lain. Bantuan tersebut sebenarnya adalah sembilan puluh
sembilan bungkus manis terhadap satu maksud mereka yang sesungguhnya. Bukankah pada setiap bantuan tersedia perangkap yang akan menghilangkan pertumbuhan ekonomi dan integritas nasional seperti yang pernah disinyalir oleh M. Amin Rais? (1994 :89) Mereka sangat ahli dalam membungkus satu kebusukan dengan sembilan puluh sembilan macam kebaikan. Dan, kebusukan tersebut sungguh-sungguh akan menghapus tandas seluruh kebaikan mereka saat tersingkap. Perlu diingat, musuh utama
kaum kolonialis adalah
Islam (ingat
dendam barat akibat perang salib). Mereka memelihara dengan baik naluri untuk menguasai, sedangkan Islam mengajarkan kemerdekaan.
131
132
Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim maka tidak ada pilihan lain, penghancuran peradaban Indonesia dengan segala cara, dan itu artinya sebuah penjajahan haruslah dilaksanakan, dengan tangan sendiri (penjajahan primitif) atau dengan penjajahan internal, pinjam tangan bangsa Indonesia sendiri (penjajahan modern). Penjajahan model kedua ini lebih aman bagi mereka, lebih efektif, dan juga akan lebih menguntungkan. Sampai pada titik ini, misi kaum orientalis berhasil dengan nyaris sempurna, dan ini tidak lepas dari hasil pendidikan nasional. Pendidikan Nasional tidak mampu membangun secara optimal prisma bening ke dua. Prisma bening hanya muncul dalam pelajaran agama yang sangat kecil prosentasenya. Selebihnya, siswa maupun “siswa” mencari sendiri di kegiatan keagamaan di lingkungan sekolah (ekstra kurikuler) atau di luar sekolah. Pendidikan, sekalipun mengklaim bertujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya, pada kenyataannya, lebih menekankan pada aspek kognitif --intelektual (IQ)-- sedangkan aspek afektif dan spirituial – perasaan dan keagamaan (EQ dan SQ) kurang. Pendidikan kering jika hanya mengejar target kurikulum. Pendidikan lupa bahwa sekalipun IQ tinggi jika tidak dibentengi dengan EQ dan SQ yang memadai akan menghasilkan manusia pandai yang “nakal”. Kondisi semacam itu, jelas sangat berbahaya. Oleh karena itu, pada masa pasca transisi, institusi agama harus ditarik keluar dari payung pemerintah, maupun lembaga tinggi negara. Agama terlalu agung untuk bernaung pada payung itu. Ini berarti agama berdiri sendiri sebagai badan (dewan). Pada level nasional –yang setara dengan lembaga tinggi negara-- ini akan diisi oleh tokoh umat beragama dengan komposisi berimbang. Mereka akan duduk semeja. Dari situ muncul pertanyaan, bukankah tokoh agama yang tertarik pada “politik” pemerintahan (negara) telah tersebar pada berbagai partai politik. Partai politik yang mana?
132
133
Dalam hal ini, kita harus membedakan antara partai agama dengan agama partai –sekalipun muaranya sama. Partai agama adalah partai politik yang membawa simbul-simbul agama tertentu ke dalam partai, simbul agama tersebut dimaksudkan sebagai tanda adanya keterikatan partai tersebut dengan agama tertentu sehingga mudah dikenali, sekalipun oleh awam. Jadi, di sini posisi simbul menjadi sangat penting. Sedangkan agama partai adalah azas yang dianut oleh sebuah partai politik. Dengan melihat azas partai, akan terlihat isi partai, apakah itu Nasionalis Islami, nasionalis sekuler, atau sosialis. Jika azas yang digunakan adalah x maka akan di kelompokkan sebagai golongan x, dan dalam perkembangan selanjutnya, bisa jadi azas partai tersebut tidak hanya satu, semuanya tergantung pada misi apa yang akan dipersembahkan pada negeri ini. Di samping itu, kita hendaknya juga ingat bahwa pemuka-pemuka tiap agama juga telah mengkristal. Suara mereka, fatwa mereka sangat diharapkan /diperhatikan untuk dilaksanakan oleh umat. Dengan demikian, sungguhpun tujuan mereka “sama”, harus ada pemilahan medan juang antara daerah pemuka agama dengan daerah partai politik bebasis agama. Maka dari itu, Dewan Agama Indonesia akan menjadi wadah bagi : Majelis Ulama Indonesia, Wali Gereja Indonesia, Dewan Gereja Indonesia, Parisada Hindu Darma, Walubi, dan lainnya. Pada dewan agama itulah para pemuka agama duduk semeja. Dalam hal ini, mereka bukan untuk berdoa bersama seperti yang akhir-akhir ini sering kita dengar. Sebagai pemuka umat beragama, mereka berkewajiban memberikan timbangan wahyu terhadap semua keputusan majelis teringgi. Dewan Agama Indonesia ini sudah selayaknya diisi dengan komposisi yang berimbang, sesuai dengan prosentase agama penduduk Indonesia. Dewan Agama Indonesia inilah kelak yang menjadi elemen moral bagi MPR, karena padanya melekat hak menolak keputusan majelis yang dirasa merugikan umat beragama. Sedangkan bidang “pemerintahan agama”akan diisi oleh partai agama mayoritas komunitas umat beragama (baca : penganut agama terbanyak) di sebuah daerah teritorial, di sinilah tempat perjuangan partai agama itu.
133
134
Dengan demikian, dalam Noto Agama pada : Teritorial x Mayoritas penganut agama y Maka pada teritorial x harus ada pemerintah agama y Dengan menggunakan pola seperti itu akan terlihat, sebagai contoh: 1. Teritorial Indonesia. “Pemerintah Pusat Agama” akan diisi oleh komunitas Islam, mereka –partaipartai Islam --
akan membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi), bukan partai Masyumi!, dan mengurus urusan “dalam negeri” umat Islam. Oleh karena itu, pada Masyumi inilah tempat Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), partai-partai Islam lainnya, dan ormas-ormas Islam (misalnya : NU, Muhammadiah, Al Irsyad, Persis, dan lain-lain) berada. Di bawah Masyumi inilah Departemen Agama Islam (Depag Islam) bernaung, departemen ini dipimpin oleh Kepala Departemen Agama Islam Pusat (bukan Menteri Agama, meskipun jabatan tersebut setingkat menteri). Pada daerah teritorial yang lebih kecil serta mayoritas penduduknya Muslim maka akan didirikan Depag. Islam pula. Dengan demikian akan ada Depag. Islam Provinsi Jawa Timur, Depag. Islam Provinsi Sulawesi Selatan, dan sebagainya. Yang kesemuanya dipimpin oleh Kepala Depag. Islam Provinsi. Turunan Depag. Islam ini akan terus paralel dengan level pemerintahan sampai yang terendah. 2. Teritorial Sulawesi Utara “pemerintah provinsi agama” akan diisi oleh komunitas Nasrani --jika umat Protentan dan Katolik berkoalisi. Di sana akan terdapat Depatemen Agama Nasrani dan dipimpin oleh Kepala Departemen Agama Nasrani Provinsi Sulawesi Utara.
134
135
Departemen Agama Nasrani Provinsi Sulawesi Utara ini akan mengurus urusan “dalam negeri” umat Nasrani. Depag. Nasrani ini pun akan paralel dengan level pemerintahan sampai yang terendah di daerah itu. 3. Teritorial Bali “pemerintah provinsi agama” akan diisi oleh komunitas HinduBuda --jika umat Hindu-Buda berkoalisi. Departemen Agama Hindu-Buda akan berdiri di sana. Depag. Hindu-Buda Provinsi Bali akan mengurus urusan “dalam negeri” umat Hindu-Buda di sana. Depag. Hindu-Buda akan dipimpin oleh Kepala Departemen Agama Hindu-Buda dan akan terus paralel dengan level pemerintahan di daerah itu. 4. Teritorial Kabupaten Jember “pemerintah kabupaten agama” akan didisi oleh komunitas Islam. Dengan demikian akan ada Depag. Islam Kabupaten Jember dipimpin oleh Kepala Depag. Islam Kabupaten Jember. Depag. Islam ini akan mengurus “urusan dalam negeri” umat Islam Kabupaten Jember. 5. Teritorial Kecamatan Bangsalsari “pemerintah kecamatan agama” akan diisi oleh komunitas Muslim. Dengan demikian, pada kecamatan tersebut akan ada Departemen Agama Islam Kecamatan Bangsalsari dipimpin oleh Kepala Depag Islam Kecamatan Bangsalsari. Depag Islam Kecamatan Bangsalsari ini akan mengurus urusan “dalam negeri” umat Islam di Kecamatan Bangsalari. 6. Teritorial kelurahan x dengan mayoritas penganut agama y, maka di situ akan ada departemen agama y. Dengan pola seperti di atas pada gilirannya nanti akan terlihat, umat mana yang seharusnya tampil sebagai pemimpin umat beragama. Juga akan terlihat umat mana sebenarnya yang merupakan rahmat bagi negeri, dan umat mana sebagai pembawa laknat bagi negeri. Pun juga akan terlihat, umat mana yang “nakal” dalam usaha penyebaran agamanya. Dengan demikian, butir ajaran demokrasi bahwa keputusan –dalam hal ini kepemimpinan-- diambil dari suara terbanyak dibuktikan. Hanya dengan melihat hasil sensus penduduk maka akan dengan mudah akan didapat penganut agama mayoritas pada suatu wilayah teritorial di negera ini.
135
136
Keberadaan Dewan Agama Indonesia ini menjadi sangat penting bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi sebuah negera yang majemuk seperti Indonesia ini. Hal ini dikarenakan beberapa sebab. Pertama, dengan semakin canggihnya teknologi maka deal-deal politik, lalu lintas informasi, pendelegasian kewenangan, dan sebagainya menjadi tidak dapat dilacak perangkat hukum karena nyaris minimnya /tak ada saksi. Sebagai contoh, kasus Supersemar, Tanjung Priok, rekaman kaset Theo Syafii, Bullogate, dan sebagainya akan dapat selesai dengan sumpah agama -Muhabalah. Sumpahnya para tertuduh /saksi di muka majelis hakim dalam persidangan selama ini tidak dapat disamakan dengan sumpah agama. Sekalipun sama-sama mengatasnamakan Tuhan, ataupun di bawah kitab suci sebab dalam persidangan tersebut tidak digunakan hukum agama /sanksi agama. Pertanyaannya, bukankah Indonesia bukan negara agama? Perlu diingat bahwa bangsa ini telah mengaku ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengakuan tersebut menunjukkan bahwa bangsa ini --suka atau tidak suka-- tunduk kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Masalah adanya perbedaan konsep ketuhanan antar ajaran agama, serta urusan siapa yang dimaksud tuhan oleh Pancasila dan siapa yang dimaksud Tuhan oleh agama, itu masalah lain pula, sebab ternyata pada atheispun masih dikenal tuhan
--hanya tuhan mereka berbeda dengan Tuhan milik umat
beragama pada umumnya. “Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa tidak identik agama tetapi berkaitan dengannya. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua pemeluk agama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk berkembang di Indonesia. Nilai ini berfungsi sebagai kekuatan mental spiritual dalam Ketahanan Nasional. Dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Atheisme tidak berhak hidup di bumi Indonesia”. (Ketahanan Nasional, 1997 : 43)
136
137
Kedua, umat beragama tidak hanya menjadi obyek hukum negara namun juga sebagai subyek hukum negara itu sendiri. Ini berarti, mereka tidak hanya dikendalikan oleh hukum negara tetapi juga sebagai pengendali. Konkritnya, selain sebagai pemain, umat beragama juga sebagai sutradara. Sebagai sutradara, mereka akan berpegang pada pakem. Masalahnya, pakem tersebut diyakini penganutnya bukanlah produk manusia namun wahyu dari Sang Maha Pencipta yang tertulis dalam kitab suci ajaran agama yang mereka imani. Oleh karena itu pada mereka juga ada beban pertanggungjawawaban
kepada Tuhan
mereka. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara negara hukum
--Indonesia,
“negara Pancasila” dengan negara hukum --Indonesia -- baru, negara Pancasila. Dengan pola seperti itu, antara konteks negara dengan kontek agama terlihat sejalan, tidak lagi siapa mengendarai siapa. Pada yang pertama, posisi hukum sangat sentral, sampai-sampai harus ditegakkan dengan segala daya. Padahal hukum tersebut adalah buah akal budi manusia biasa yang bisa saja suatu saat akan usang dan mungkin ditinggalkan. Lihat, nasib negara hukum “komunis”. Sebaliknya, pada yang kedua, posisi hukum sebagai alat untuk menegakkan ajaran agama yang dianut oleh rakyatnya, tegaknya agama akan membuat tegak pula negaranya. Pada yang pertama, hukum dapat tegak karena rakyat dipaksa ikut menegakkan, sedangkan pada yang kedua hukum akan tegak karena rakyat sadar akan fungsi hukum. Ketiga, sebagai timbangan
kalbu (moral), Dewan Agama Indonesia me-
miliki hak untuk menolak keputusan yang telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat serta lembaga tinggi negara yang lain
jika keputusan
tersebut beresiko bagi umat beragama. Konkritnya, sekalipun anggota Dewan Agama Indonesia merangkap sebagai anggota MPR, sebagai dewan padanya melekat hak veto dan hak ini tidak boleh dimiliki oleh lembaga tinggi yang lain. Oleh karena itu, dewan ini dapat dipandang sebagai rem bagi majelis tertinggi. Dengan demikian suara mayoritas, baik dalam pemilu maupun saat penetapan
137
138
rancangan tidak lagi berfungsi dan bukan merupakan suatu jaminan untuk mengegoalkan sebuah skenario. Apalah arti mayoritas “kelas beo”, “kelas perkutut”, “kelas bebek”, lebih-lebih, apalah arti mayoritas “kelas tikus” jika pada akhirnya hanya mampu menggasak tandas isi lumbung yang harus dijaganya. Sebab, muara dari semua kelas tersebut adalah kesengsaraan rakyat banyak. Keempat, dengan adanya institusi agama dalam struktur negara maka akan nampak perubahan yang sangat signifikan. Agama akan menjadi pemain dalam kenegaraan, dan Islam sebagai pemain utamanya, bukan sebagai figuran. Sebagai mayoritas, ia akan mendapat tempat tersendiri. Dengan tampilnya Islam sebagai pemain inti dari “regu putih” --regu agama-- akan menopang regu merah, dalam menjalankan biduk yang bernama Indonesia. Saat itulah, cakrawala baru tersingkap. Dan, hal ini akan selaras dengan yang pernah diungkap oleh mantan Wakil Presiden RI Umar Wirahidikusumah bahwa Pancasila tanpa agama akan kosong (Al Muslimun, 172 : 97) Nah, disini perlu ada kejelasan dari agama mana yang dimaksud. Dari sinilah, kita baru bisa berharap adanya nurani pada hukum. Tanpa itu, tuntutan tegaknya hukum hanyalah sebuah bumerang, bukankah takkan pernah ada Keadilan yang adil dan beradab tanpa ada Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa? Selain itu, konsep ini juga semakin memperjelas, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa pada Pancasila. Dengan pola seperti yang terurai di atas, maka pada pasca tarnsisi nanti, giliran “benang putih” –Piagam Jakarta, yang telah dipersiapkan sejak awal oleh PPKI, akan menjahit Merah Putih yang sobek di sana-sini, mendampingi “benang merah” –Pancasila, yang aus dimakan zaman. Hanya saja, ada satu syarat yang harus dipenuhi untuk itu, yaitu pada H minus sekian (misalnya, minus 7), semua isi lembaga pemasyarakatan harus dikeluarkan tanpa kecuali, baik tahanan politik maupun tahanan kriminal, atau tahanan yang lain. Mereka masuk tempat tersebut –sekalipun bersalah-berhukum pada hukum yang timpang, hukum yang tidak adil. Atau dengan kata lain diadakan pemutihan hukum.
138
139
Dengan demikian, pada hari pertama pasca transisi, lembaga tersebut dalam keadaan kosong. Semua orang diharapkan jujur menilai dirinya masing-masing – termasuk dari mana asal-usul hartanya. Dari sini timbul pertanyaan, mungkinkah? Bukankah, sangat mustahil meminta maling mengaku? Hanya Tuhan Yang Tahu. Bukankah, Tuhan Maha Kaya? Sebagai solusi untuk memebersihkan keraguan, menjaga nama baik, dan demi kebaikan semua, seyogyanya diadakan sedekah nasional untuk negara. Jika sedekah tersebut berupa materi, maka, kelak harus dilelang secara terbuka, dan hasil pelelangan tersebut masuk kas negara. Pada H minus 1, diadakan pertobatan nasional. Semua komponen bangsa saling memaafkan. Semua dendam lama, semua sakit hati, semua intrik buruk untuk menjegal atau menjatuhkan teman yang dianggap pesaing, maupun yang dipandang sebagai lawan harus ditinggalkan. Dan, ini sifatnya wajib. Sebab pasca transisi nanti, hukum telah mempunyai nurani, tanpa pandang bulu, dari rakyat jelata sampai dengan individu pemegang kedaulatan rakyat (wakil rakyat di MPR) … Jika bersalah akan dihukum dengan hukuman yang setimpal, hukum yang mereka pilih sendiri. Pada pertobatan nasional itulah terdapat relevansi antara halal bi halal dengan kegiatan kenegaraan, sebab hajat tersebut bukan lagi merupakan hajat seorang penguasa melainkan hajat negara. Dengan demikian, hajat tersebut tidak hanya mengikat umat Islam saja, namun juga mengikat umat agama lain. –lihat noto tarikh. Dengan kata lain, pada masa pasca transisi nanti, mereka berhukum kepada hukum merah atau berhukum kepada hukum putih tergantung pada pilihannya. Nah, saat itulah kita mulai menata hidup baru sebagai bangsa. Hukum merah --Pancasila-mengatur siapa, dan hukum putih –Islam-- akan mengatur siapa. Dalam hal apa dan dalam hal bagaimana kedua hukum itu bertemu menjadi tugas praktisi hukum untuk membahasnya, mempersiapkan perangkat pendudukungnya, dan mensosialisasikan. Kalaupun pembaca memaksa bertanya tentang dasar penggunaan “benang putih”
tersebut, maka silakan baca dan renungkan kembali alinea ketiga dalam
Pembukaan UUD RI 1945,
139
140
“Atas berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Siapa Allah yang dimaksud dalam alinea tersebut? Itu adalah Tuhannya umat Islam, yang pada-Nya melekat segala sifat Maha, dan para pendiri negara ini pun telah mengakui. Hal itu dipertegas, dan dapat juga dilihat sebelum tujuh kata pada sila pertama Pancasila dihilangkan, dan kata “Islam” pada ayat 1, pasal 6 diganti dengan kata “Indonesia asli”. Oleh karena itu, pada saat itulah hutang
konstitusi
--generasi awal--
mereka kepada Muslim terbayar dan lunas. Demikian pula, hutang penguasa yang semena-mena terhadap Konstituante terbayar. Kalau tidak, sampai kapan hutang konstitusi itu dilunasi?
Beruntung, hutang mereka hanya dihitung pokok
pinjamannya saja, tanpa ada bunga! Di atas telah disinggung bahwa satu terlalu suci untuk disinggung dan dibicarakan. Oleh karena itu, satu di sini berarti Indonesia itu sendiri. Dengan demikian, satuan terbesar dalam negara ini adalah Negara Indonesia, yang padanya terdapat rakyat, budaya, bentang alam, dan seluruh yang ada di dalamnya. Jadi, sekalipun seekor semut, sepanjang tidak membuat “keributan” ia berhak hidup dan mendapatkan perlindungan. Oleh karena itu, sikap konsisten terhadap pola menghitung seyogyanya juga terpancar pada perilaku “ negara”. Bilangan telah mengajarkan tentang adanya 11 satuan bilangan, di mana “satuan” adalah satuan puncak dengan sepuluh satuan lain sebagai penopangnya. Kondisi ini, jika ditarik ke konteks negara akan sesuai dengan hasil yang dicapai oleh MPR, sebab selama masa transisi MPR memposisikan diri sebagai PPKI –MPR sebagai PPKI II-- pra sidang 18 Agustus 1945. Dengan demikian , dari uraian di atas dapat ditarik sebuah benang Merah Putih sebagai berikut :
140
141
1. Jika, PPKI pada 18 Agustus 1945 menghasilkan “satu” dasar negara yaitu Pancasila. Maka MPR sebagai PPKI II menghasilkan “satu” jiwa dari dasar negara, yaitu Piagam Jakarta. Dari situ baru terbukti kebenaran bahwa Piagam Jakarta menjiwai Pancasila seperti pengakuan mantan Presiden Soekarno pada Pengantar Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Jiwa tanpa masuk ke dalam raga bagai air tanpa wadah, begitu pula sebaliknya. Pengakuan tanpa diformalkan oleh yang berwenang untuk itu maka kedudukannya menjadi tidak lebih dari sebuah pengakuan, tanpa ada ikatan, hanya sebatas lisan; 2. Jika, pada PPKI I nasionalis Islami mengalah, maka pada PPKI II nanti tiba giliran nasionalis Sekuler yang harus mengalah --bayar hutang! Sebab, kalau tidak saat itu, sampai kapan hutang turunan tersebut disandang? Bayar hutang memang terasa berat namun karena hal tersebut adalah sebuah kewajiban maka betapapun beratnya harus ditunaikan; 3. Jika, MPR sebagai “satuan tertinggi” lembaga negara, maka MPR akan membawahi sepuluh lembaga tinggi negara yang lain, sehingga MPR menjadi lembaga tertinggi negara . Penulis percaya, konsep ini akan mengundang gelombang penolakan dari banyak pihak. Jangankan berskala nasional, berskala provinsi saja --jika menyangkut nasib umat Islam-- sering terabaikan, lihat nasib Nangro Aceh Darussalam, berapa lama mereka “berjuang”? Bandingkan dengan Timor Timur, berapa lama mereka berjuang? Padahal, pada yang pertama memperjuangkan status istimewa yang memang layak disandangnya, dan pada yang kedua memperjuangkan lepas dari pelukan Pertiwi. Konteks kesejarahan masuknya dua daerah tersebut ke wilayah Indonesia tidak dapat dijadikan alasan, sebab pada dasarnya Indonesia tidaklah menganeksasi Timor Timur, dan disamping itu pengorbanan militer pada yang kedua sangat besar, begitu pula dana yang harus dikeluarkan negara ini. Kalaupun terjadi juga penolakan, maka mereka yang menolak tersebut dapat dipastikan mengidap Islam phobia atau
141
142
bisa juga lantaran sangat ketakutan kehilangan “telur emas” yang selalu dihasilkan oleh umat Islam. Dalam hal ini, penulis maklum, bukankah bangsa ikan merasa ketakutan untuk tinggal di perairan yang jernih? Jika penolakan tersebut datang dari umat non Muslim, kepada mereka penulis bertanya, apakah hak anda mengatur peri kehidupan Muslim? Dan kalaupun penolakan datang dari kelompok Muslim sendiri, kepada mereka penulis hanya dapat mendoakan semoga cepat sadar, bertobatlah. Agama anda memerintahkan untuk masuk Islam secara kafah, jangan menerima yang sebagian dan menolak sebagian yang lain. Dan, bukankah dapat dibuktikan dengan referendum –khusus bagi umat Islam-- tentang hal ini? Anda tidak bisa berdalih bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Dalih semacam itu memang tepat saat diucapkan oleh orang yang belum memeluk Islam. Namun saat Islam sudah Anda pilih sendiri, tidak ada yang menyuruh, juga tidak ada yang memaksa, dan Anda telah berada dalam pelukannya, dengan sendirinya dalih tersebut tidak berlaku lagi. Jadi, sebenarnya, Andalah yang paling bertanggungjawab atas lemahnya kondisi jutaan umat Islam di negara ini! Bagaimana? Bukankah kemunduran umat Islam karena meninggalkan aturan agamanya? Oleh karena itu, dalam perjalanannya nanti, dari segi ekonomi negara maka baitul maal akan terbentuk sehingga pajak bagi umat Islam ditiadakan karena sudah ada zakat --baik zakat fitrah, zakat ternak, maupun zakat yang lain. Yang jelas, jika umat lain bayar satu untuk negara maka umat Islam juga bayar satu, meskipun pada yang satu tersebut ada penjelasan lebih lanjut. Tentang detail dua setengah persen, lima persen, sepuluh persen, atau dua puluh persen serta bagaimana hubungan antara baitul maal dengan pendapatan /belanja negara, penulis tidak mampu menjelaskan. Tapi percayalah, di luar sana, ribuan ahli hukum syariah siap menguraikan dengan rinci.
142
143
Dengan berdirinya baitul maal, barulah dapat ditata ekonomi rakyat dengan adil. Bahkan, di samping itu, kita baru dapat mempersiapkan diri untuk menyongsong revolusi industri jilid dua. Jika jilid satu model Eropa yang didanai riba hasilnya adalah kerusakan bumi --Indonesia, maka pada jilid dua nanti yang didanai oleh dana umat Islam akan terlihat sebaliknya. 3. 5. Noto Ilmu (10)104 Di atas ada disinggung bahwa daerah ilmu adalah daerah pikir dengan cakupan yang terbatas, sebatas materi yang dapat ditangkap nalar. Adanya dikotomi antara ilmu umum dengan ilmu agama --mungkin-- dikarenakan adanya anggapan bahwa agama itu juga termasuk ilmu. Padahal, di dalam agama itulah ilmu bernaung. Ini berarti ada bagian agama yang tidak dapat ditangkap ilmu, dan bagian tersebut hanyalah dapat diterima oleh iman (keyakinan). Adalah hal yang sia-sia jika ada keinginan untuk menguak areal iman. Dalam konteks ke-Indonesia-an, ilmu menjadi sangat penting dalam rangka membangun peradaban bangsa. Lebih-lebih sejak pasca Proklamasi 1945 hingga saat ini, tak henti-hentinya derita melanda penduduk negeri ini. Bukankah seharusnya setelah merdeka, menata langkah untuk maju bersama? Bukan malah sikut kiri, sikut kanan. Atau malah lebih parah lagi, menggunting dalam lipatan untuk maju sendiri. Apalah artinya, seorang jenderal terangkat ke singgasana jika ribuan prajurit menjadi penopang singgasananya itu. Masalahnya, sudahkah ilmu Indonesia itu merdeka? Sebagaimana pendapat para ahli bahwa ilmu itu bercabang-cabang, masing-masing cabang melahirkan cabang baru lagi, beranting-ranting, dan beranting-ranting lagi. Semua berkembang seiring dengan lajunya pengetahuan umat manusia. Lahirnya ranting ilmu yang terlalu dini akan membuat merana ilmu itu sendiri, sebab “pasar” belum siap menerimanya. Bahkan, bisa-bisa yang melahirkan ilmu tersebut dianggap miring.
143
144
Begitu pula sebaliknya, jika ranting terlalu banyak --dan sejenis-- maka, pasarpun akan menjadi jenuh. Muara dari titik jenuh itulah yang disebut dengan pengangguran. Kondisi ini sudah ada di depan mata. Dari sini, dapat dimengerti, jika awam berpendapat untuk apa menuntut ilmu --yang membutuhkan banyak biaya -- jika pada akhirnya hanya menjadi seorang pengangur. Bisa jadi, para penanggung jawab pendidikan berkilah bahwa tugas lembaga pendidikan hanya membekali siswanya dengan kail. Urusan mengail di mana itu sudah bukan tanggungjawabnya lagi. Dalih semacam itu tidak salah, sepanjang masih ada kolam, empang, perigi, danau, atau laut yang masih sarat dengan ikan. Namun saat tempat-tempat yang seharusnya berisi ikan tersebut telah kosong, bahkan airnya pun telah lenyap, lantas untuk apa gerangan kail yang mereka cari dengan susah payah itu?
Bahwa
pendidikan berganti haluan, membekali siswanya dengan parang pun tak akan berguna saat kayu-kayu di hutan telah tinggal pokok-pokok pepohonannya saja. Semua telah habis, dan tandas. Dari itu, seharusnya, pendidikan mampu membekali siswanya dengan ilmu yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Pembaca yang budiman, perlu diingat bahwa tugas pendidik (guru) dan pengajar ( baca : dosen) hanyalah sebagai penyampai, tugas pokok mereka bukanlah “menemukan” ilmu, sekalipun pada guru tertentu dan pengajar ada tugas tambahan untuk itu –sesekali menjadi penyelam. Untuk itu, wadah para ilmuwan Indonesia perlu ada. Pada merekalah tertumpu lahirnya ilmu yang berguna bagi zamannya, bahkan kalau mungkin, bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Yang penulis maksud dengan berguna bagi zamannya adalah ilmu tersebut berguna bagi pencari ilmu saat yang bersangkutan tamat dari lembaga pendidikan karena dunia kerja memerlukan ilmu tersebut. Dengan demikian, mereka tidak perlu lagi mencari tambahan ilmu pengetahuan di luar lembaga pendidikan. Mencari tambahan ilmu menunjukkan kurangnya bobot bekal ilmu yang mereka terima dari lembaga pendidikan. Dan, jika itu terjadi berarti ada kesenjangan yang dalam antara dunia pendidikan dengan dunia kerja.
144
145
Itu menunjukkan lembaga pendidikan yang dimaksud tidak menghasilkan lulusan yang siap pakai juga dapat dipandang sebagai adanya kekurang percayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Kalau kondisi seperti ini tercipta, siapa yang rugi? Output pendidikan, bukan? Menjamurnya Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) di berbagai kawasan di satu sisi memang baik, sebab dapat dipandang ada semacam gairah menimba ilmu. Namun, di sisi lain, sisi gelap membayang pada pencari ilmu dari keluarga yang hidupnya pas-pasan. Ini, jelas sebuah ketidakadilan dalam penyebaran ilmu. Dengan model semacam itu, akhirnya ilmu hanya akan tersebar pada mereka yang mampu, sedangkan pada mereka yang tidak /kurang mampu cukuplah sebagai penonton. Padahal, jumlah mereka yang tidak mampu jauh lebih banyak daripada mereka yang mampu. Beruntung, banyak LBB yang memberikan semacam beasiswa kepada siswa-siswanya dengan persyaratan tertentu., dan itu sudah merupakan sebuah pengorbanan (?) dari LBB tersebut. Dalam kondisi seperti itu, kita kembali kepada hukum alam. Oleh karena itu, terlalu menggiring peserta didik ke arah yang tidak sejalan dengan jalur hidupnya hanyalah akan menghasilkan kekecewaan. Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa saat memasuki bangku sekolah (baca :pendidikan) peserta didik diibaratkan seberkas sinar putih yang menembus prisma bening dan darinya akan terlahir banyak macam warna yang akan ditangkap layar. Dalam hal ini, seluas “layar” Indonesia. Jika sinar putih tadi diganti dengan ilmu murni Indonesia maka akan nampak aneka warna ilmu, misalnya : ilmu tatanegara, ilmu kesenian, ilmu kesehatan, ilmu bahasa, dan sebagainya. Kesemuanya berakhir pada ilmu “tradisional”. Memang, dari yang tradisional itulah akan lahir yang nasional. Namun, memandang nasional adalah hasil penjumlahan dari yang tradisional tidak selalu tepat. Persoalan tidak semua yang tradisional dapat terangkat ke permukaan Indonesia sehingga menjadi milik nasional harus diatasi. Sebagai contoh, bahasa Indonesia yang terlahir dari rumpun bahasa Melayu akan membuat bangga orang Sumatera, karena satu di antara banyak bahasa daerah yang ada di Indonesia dapat
145
146
tampil sebagai bahasa nasional. Perjalanan waktu yang ditempuh bahasa Melayu untuk dapat menasional cukup panjang. Namun, hasil yang dicapai juga gemilang, mampu menguasai jagat Indonesia. Bagaimana dengan ilmu yang lain? Keengganan menerima kelebihan
budaya etnik lain yang sebangsa jelas bukan sikap yang
diharapkan dalam membangun peradaban Indonesia secara keseluruhan. Padahal, tidak diragukan, jika kelebihan tersebut dimanfaatkan dan ditambah sedikit polesan akan melepaskan bangsa ini dari belenggu tiran kolonialis modern. Apakah arti kolonialis kalau bukan penjajahan. Pertanyaannya, masihkan bangsa ini terjajah? Menurut hemat penulis, sepanjang negara tidak mampu memasang prisma bening kedua, maka kemerdekaan masih jauh. Mari kita buktikan tentang masih adanya penjajahan dari ilmu yang dihasilkan pakar dan diajarkan oleh guru untuk bangsa ini! Sepanjang “pengetahuan” penulis, ada empat macam penjajahan, yaitu: penjajahan tarikh7, penjajahan aksara8 , penjajahan bilangan9, dan penjajahan internal10, yang kesemuanya bersimpul pada satu simpulan. Pembaca yang budiman, dari pentingnya ilmu yang berakar di Indonesia demi masa depan bangsa dan negara ini maka harus ada satu wadah yang lebih besar bagi para ilmuwan. Untuk itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai lembaga bentukan pemerintah sangat layak untuk dinaikkan statusnya menjadi sebuah lembaga tinggi negara. Dengan demikian, LIPI bernaung di bawah MPR. lembaga ini mendapat mandat dari pemegang kedaulatan rakyat serta mendapat tugas tambahan untuk menggali “ilmu murni (ilmu dasar)” Indonesia dan segala bentuk pertangungjawaban keilmuan menjadi tanggungjawabnya. Pada “ilmu murni” Indonesia itulah terletak jati diri sebagai bangsa. Oleh karena itu, badan ini diharapkan merangkul ilmuwan-ilmuwan lain yang masih terkotak-kotak di luar, seperti ICMI misalnya. Kotak-kotak ilmuwan tersebut dapat dipandang sebagai satuan organik. Kehadiran badan ini menjadi sangat penting karena setiap ilmu yang berakar dan tumbuh di Indonesia akan melahirkan sebuah sistem yang “merdeka”. Dengan sistem itulah, peradaban Indonesia dibangun. 7
lihat Noto Tarikh ; 8 lihat Noto Bahasa; 9 lihat Noto Bilangan; 10 lihat Noto Bela Negara
146
147
3. 6 Noto Tarikh Indonesia (10)88 Tarikh yang dipakai di Indonesia adalah tarikh Masehi (samsiah), itu artinya produk barat, bukan produk timur. Bangsa-bangsa timur lazimnya menggunakan tarikh bulan (komariah). Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara bulan dengan hari besar agama mereka. Bukan hanya agama pagan semisal Hindu dan Buda yang mempergunakannya, bahkan Islam pun menyandarkan perhitungan tarikhnya pada bulan. Dalam konteks Indonesia mempunyai beberapa kelemahan, antara lain: a. Dipandang dari sudut agama Ini berarti mengistimewakan umat Nasrani –Kristen Katolik dan Kristen Protestan- dengan menafikan (?) umat lain -Islam, Hindu, dan Buda- dalam masalah perhitungan waktu. Itu sama artinya dengan dua makan tiga, atau minoritas menguasai mayoritas. Padahal, umat Nasrani hanyalah minoritas dan hari Minggu adalah hari Tuhan mereka, sedangkan umat Islam yang mayoritas dengan hari Jumat sebagai hari Tuhan mereka. Hari Tuhan minoritas dijadikan hari libur umum, di mana gerangan hari Tuhan mayoritas? Lantas di mana hari Tuhan Hindu dan Buda? belum lagi urusan taklif dan berbagai ritual yang ada hubungan langsung dengan masalah waktu, misalnya Ramadhan, liburan sekolah, dan sebagainya. b. Dipandang dari segi tarikh itu Pada 1 Masehi, di manakah posisi Indonesia? Di mana pula posisi umat Nasrani -Indonesia-? Sejarah tanah air dimulai dari Kutai, lantas apa gerangan hubungan antara Kutai dengan Masehi? Bukankah agama Masehi sendiri masuk Indonesia bersamaan dengan masuknya Portugis di Maluku? Bukankah dalam rentang waktu yang panjang antara Kutai dengan masuknya bangsa barat tersebut di
147
148
tanah air ini telah ada negara berdaulat, dan sebagai negara berdaulat dan berbudaya, bukankah dari situ dapat dipastikan saat itu, Kutai telah memiliki tarikh sendiri? Bukankah mereka mengadakan pemujaan secara periodik? Bahkan, bukankah sampai detik-detik proklamasipun secara hukum Aceh masih berdaulat di samping Yogyakarta? Itu artinya, Indonesia belum jatuh ke tangan penjajah. Jadi, klaim sejarahwan bahwa Indonesia telah dijajah bangsa barat selama ratusan tahun perlu dipertanyakan sebab Yogyakarta dan Aceh masih berdaulat, hanya saja wilayah –Indonesia- makin sempit karena sebagian besar jatuh ke tangan asing. Selain itu masih ada bukti lain yang membingungkan, jika kita mau merenung : Satu tujuh delapan tahun empat lima Itulah hari kemerdekaan kita Hari merdeka, nusa dan bangsa Hari lahirnya bangsa Indonesia Merdeka ………………… (Lagu wajib, H. Mutahar) Berarti, masa sebelum 17 agustus 1945 bangsa Indonesia belum ada. Dan, kalau belum ada, bagaimana mungkin bisa terjajah selama ratusan tahun? Memang, secara materi -wilayah dan populasi penghuninya- jatuh ke tangan bangsa barat, namun, bukankah mereka semua belum menjadi “Bangsa Indonesia”? Jadi, untuk apa gerangan mempelajari sejarah Kutai, Sriwijaya, Mataram, Medang, Majapahit, sampai dengan kerajan-kerajaan bercorak Islam seperti Goa, Mataram, Banten, dan sebagainya, jika ternyata semua itu bukan Indonesia, karena Indonesia sendiri belum lahir. Bukankah pengakuan satu bangsa baru muncul saat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928? Itu menunjukkan bahwa, sebenarnya bangsa Indonesia baru terjajah Belanda sejak Sumpah Pemuda sampai dengan masuknya Jepang ke
148
149
tanah air ini. Sebelum itu, mereka masih merupakan bangsa (bukan suku bangsa) Jawa, bangsa Batak, bangsa Ambon, bangsa Pasundan, Bangsa Sulawesi, dan sebagainya, yang dalam hal kepemudaan dimunculkan dalam bentuk organisasi pemuda mereka. Dari situ dapat difahamkan bahwa pengakuan dan pembelajaran kepada peserta didik sebagai bangsa yang dijajah selama ratusan tahun sangat tidak tepat dan menyesatkan. Penulis maklum, bukankah para sejarahwan mempelajari sejarah negara sendiri pada bangsa -yang memandang dirinya sebagai bangsa- superior Belanda, dan memandang bangsa ini sebagai bangsa inferior yang perlu ditata, diatur, dan diarahkan untuk menjadi bangsa “beradab” seperti yang mereka inginkan. Dengan kata lain, ada kesengajaan agar bangsa ini dihinggapi rasa rendah diri karena memiliki masa lalu yang suram, sebagai bangsa terjajah. Sungguh sangat berbahaya, jika rasa rendah diri ini sampai menghinggapi bangsa, apalagi para pemimpin negara ini, saat jalinan hubungan bilateral maupun multilateral menjadi sebuah kebutuhan bagi sebuah negara. Dengan adanya rasa rendah diri, maka akan hilanglah rasa percaya diri, meragukan kemampuan bangsa sendiri, dan berbagai sifat negatif lain dan ini akan bermuara pada memberi kemudahan bagi “barat” untuk mendiktekan kemauannya untuk dipatuhi. Lagi-lagi, rakyat yang menjadi korban. Pembaca yang budiman dapat melihat hal ini pada setiap perjanjian antara negeri ini dengan pihak barat, mulai dari Linggarjati, 25 Maret 1947, sampai dengan AFTA dengan model pasar bebasnya. Apa arti semua itu? Kita hanya digiring untuk menjadi bangsa figuran, atau mungkin paling tinggi sebagai bangsa pajangan. Negara ini hanya akan dijadikan “sapi perah” bahan mentah dan pada gilirannya nanti menjadi “tong sampah” teknologi mereka. Bahwa teknologi itu penting, memang benar. Namun, apa arti sebuah teknologi, jika pada akhirnya membuat tanah tercemar, air tercemar, udara penuh asap, ozon bolong, hutan gundul, ekonomi ambruk, dan mempercepat tumbuhnya pengangguran serta masalah sosial lain. Bahwa bangsa ini membutuhkan teknologi
149
150
mereka untuk melaksanakan pembangunan, itupun tidak salah. Namun hendaknya tidak dilupakan bahwa negara ini masih memiliki nilai tawar yang tinggi.
Mereka
masih membutuhkan suplai bahan mentah dan pasar. Di samping itu, sebelum sejarah dimulai disebut zaman pra sejarah yang -dalam hal ini pembabakannya didasarkan pada alat-alat yang mereka pergunakan-dikelompokkan dua masa, yaitu zaman batu dan zaman logam. Zaman batu sendiri dipilah lagi menjadi tiga masa, yaitu zaman batu tua (paleoliticum), zaman batu tengah (mesoliticum), dan zaman batu muda (neoliticum) yang masing-masing mempunyai ciri sendiri-sendiri. Adapun zaman logam dipilah lagi menjadi dua zaman, yaitu zaman perunggu dan zaman besi. Oleh karena itu, jika tarikh Masehi dimulai dengan 1 M, dan sejarah Indonesia dimulai dari Kutai (400 M), maka masa pra sejarah Indonesia adalah masa sebelum Kutai. Ini berarti, masa pra sejarah Indonesia terpisah menjadi dua, yaitu zaman sebelum Masehi dan zaman antara 1 M dengan 400 M. Pemilahan tersebut jelas tidak adil. Sebab pertama, zaman pra sejarah itu sendiri merupakan sebuah rentang waktu yang padanya terdapat lima zaman. Apalagi, konon rentang waktu masing-masing ratusan sampai dengan ribuan tahun. Kedua, apakah dapat dipastikan bahwa zaman logam diawali 1 M dan diakhiri saat Kutai berdiri, sementara zaman batu berakhir pada 1 SM? Jika tarikh Masehi dikaitkan dengan pendidikan, maka akan lebih runyam lagi. Kita tahu, bahwa mayoritas penduduk negara ini adalah Muslim yang setiap tahun mempunyai kewajiban menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Pro-kontra tentang perlu tidaknya Ramadhan dijadikan hari efektif telah terjawab dengan munculnya istilah hari efektif fakultatif. Ini menunjukkan akumulasi kebingungan dunia pendidikan dengan realita. Pendidikan menghadapi dilema, akan meliburkan bukan saatnya libur, sementara akan mengefektifkan … bukan saat yang tepat untuk berefektif. Akhirnya, sebagai solusi, silakan masuk jika ingin masuk. Dengan kata lain, tidak ada keharusan. Jika masuk, maka akan menjadi tugas berat bagi Guru Agama, ia ahlinya.
150
151
Sebaliknya, jika diliburkan maka lembaga pendidikan akan dipandang kurang /tidak proaktif dengan kondisi religius. Akhirnya, hanya lembaga pendidikan tertentu saja yang mampu (?) melaksanakan dengan baik (?), dan hasilnya juga baik (?). Situasi yang mengambang seperti itu, jelas sulit untuk menghasilkan hasil yang optimal, terlebih lagi apabila asal melaksanakan. Menyikapi keadaan seperti itu ada yang perlu direnungkan bersama. Pertama, adanya hari efektif fakultatif selama ± 15 hari (dibulatkan) dan jika dikonversikan ke dalam jam petemuan akan menjadi ± 630 jam pertemuan pada hari efektif. Kedua, pembelajaran tidak dapat disamakan dengan pekerjaan administrasi atau pekerjaan lain yang dapat dihentikan di tengah jalan untuk kemudian dilanjutkan pada waktu yang akan datang. Pembelajaran adalah sebuah proses dari awal sampai akhir tahun pelajaran, yang kalau dihentikan di tengah jalan maka tak ubahnya dengan kegiatan memasak di dapur yang berhenti di tengah jalan, lantas apa yang terjadi? Bukankah akan membuat “makanan” menjadi masak setengah? Mentah, tidak, dikatakan masak juga belum. Keadaan akan menjadi lain, seandainya, penanggung jawab pendidikan berinisiatif menambah jumlah jam pertemuan pada mata pelajaran Pendidikan Agama, dari dua jam pertemuan menjadi ± 5 jam pertemuan setiap minggunya. –tiga jam menjadi tugas Guru Agama, sedangkan yang dua jam itu tempat bagi Guru Mengaji! Guru Al Kitab! Atau yang sejenis dengan itu. Sudah saatnya, mereka ditarik masuk struktur!-- Dengan kata lain, tidak ada hari efektif fakultatif. Hari efektif, ya, efektif. Hari libur, ya, libur. Bukankah, pembelajaran akan lebih berhasil saat disampaikan sedikit demi sedikit, namun teratur dan berkesinambungan? Dari gambaran di atas terlihat bahwa dalam konteks Indonesia, penggunaan tarikh Masehi hanya menimbulkan penjajahan internal terhadap mayoritas yang akhirnya bermuara pada kebingungan penguasa mengelola waktu kerja dan juga menentukan waktu libur
yang tepat, karena mayoritas penduduk negara ini
menyandarkan hitungan waktunya pada bulan bukan pada matahari.
151
152
Oleh karena itu, mengembalikan penggunaan tarikh komariah (bulan) sangatlah tepat. Menempatkan hari Jumat sebagai hari libur umum, juga tepat, sebab mayoritas penduduk Indonesia Muslim. Hanya saja perlu diingat, kita berbicara dalam koridor Merah Putih. Dan di samping itu, saat Proklamasi 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Romadhon 1364 H pun hari Jumat. Dengan demikian, sekalipun menggunakan tarikh komariah maka nanti yang ditetapkan sebagai Tahun 1 Indonesia adalah saat berdirinya Kutai di bumi Kalimantan. Jadi, untuk tahun dimulai dari Kutai (pengaruh agama pagan), untuk bulan menggunakan bulan Hijriah (pengaruh Islam), sedangkan untuk hari menggunakan
hari
Masehi
(pengaruh
Nasrani).
Jadi,
semua
agama
menyumbangkan andil sebagai saham untuk membangun tarikh Indonesia. Dari situ muncul pertanyaan, mengapa tidak sekalian saja menggunakan tarikh Hijriah? Pembaca yang budiman, kembali penggunaan tarikh Hijriah secara total dengan menggantikan tarikh Masehi akan sama artinya dengan
membalik
dominasi, giliran yang besar makan yang kecil. Juga akan terkesan meng-Arab-kan Indonesia, atau bisa juga dipandang meng-Islam-kan Indonesia. Hal semacam itu haruslah dihindari, sebab pada masa pasca transisi nanti, bangsa ini sudah harus berani mengucapkan “selamat tinggal, dominasi”. Apapun bentuknya, sebab yang namanya dominasi sangatlah menyebalkan bagi yang didominasi. Oleh karena itu, rasa ikut memiliki yang akan lebih memperkokoh mozaik Indonesia haruslah dibangun bersama. Pertanyaanya, kapan tahun baru Indonsia? Apakah seperti tahun baru hijriah ataukah seperti tahun baru saka? Menurut hemat penulis, tidak seperti kedua-duanya. Tarikh Indonesia, sekalipun menggunakan bulan sebagai dasar pehitungan, mempunyai tahun baru sendiri. Bagi mayoritas penduduk Indonesia di antara dua belas bulan dalam dalam kalender hijriah terdapat sebuah bulan yang istimewa yaitu bulan Syawal yang juga biasa disebut Lebaran. Lihat saja, mulai hiruk-pikuknya dapur, pasar, pusat-pusat perbelanjaan, sampai dengan arus mudik saat itu.
152
153
Oleh karena itu, nantinya, pengertian Syawal dan Lebaran harus dipertegas. Perhatikan : Syawal adalah bulan bulan kesepuluh dalam perhitungan Tahun Hijriah; Lebaran hari raya umat Islam sehabis menjalankan ibadah puasa (tanggal 1 Syawal); idhulfitri; (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990 : 506 /878)
Pada 1 Syawal, umat Islam di seluruh dunia –bukan hanya di Indonesia-bergembira karena dapat “lulus ujian” dalam menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Dengan demikian, masa penggemblengan untuk dapat kuat dalam memerangi hawa nafsu “selesai”. Dalam hal ini ditandai dengan dilaksanakannya shalat Idhul Fitri. Jadi urusan Ramadhan “selesai” pada 1 Syawal dengan Idhul Fitrinya. Oleh karena itu, pengertian Syawal lebih mendunia. Sedangkan pengertian lebaran sekalipun yang dimaksud adalah sama, namun “semesta” –nya hanya sebatas Indonesia. Dengan kata lain, semesta lebaran lebih sempit, sebatas bumi Indonesia. Dengan kata lain, lebaran adalah produk akal budi manusia Indonesia. Di luar sana, sesudah shalat Idhul Fitri, mereka kembali bekerja. Padahal, untuk masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim
--Muslim
Indonesia-- tidaklah berakhir begitu saja, masih ada acara lain, yaitu berhalal bi halal. Sepengetahuan penulis, acara ini dirintis oleh presiden pertama negara ini. Memang, kegiatan tersebut senafas dengan Islam karena di dalamnya ada silaturahmi, dan itu sangat dianjurkan. Namun, merayakan lebaran itu adalah budaya murni Indonesia. Jadi, menurut penulis, memformalkan silaturahmi pada bulan Syawal tersebut tidak ada kaitan langsung dengan Islam. Bukankah silaturahmi dapat dilakukan kapan saja? Begitu pula dengan bermaaf-maafan, tidak harus menunggu datangnya bukan Syawal, bukan? Bukankah, jika merasa bersalah akan lebih baik apabila segera minta maaf, mengapa harus menunggu datangnya Syawal?
153
154
Oleh karena kegiatan tersebut adalah budaya Indonesia --yang dalam hal ini bisa jadi melibatkan umat agama lain, baik langsung maupun tidak langsung-- maka Islam berposisi sebagai pengisi bingkai budaya. Sehingga, ketika isi bingkai sudah menempati 1 Syawal, maka dengan sendirinya si bingkai akan menempati 2 Syawal. Nah, pada 2 Syawal itulah start awal budaya Indonesia. Padahal, start harus dimulai dari satu, tidak dari dua, apalagi dari nol --konsep ini secara keseluruhan menampik nihilisme-- Dengan demikian, maka 2 Syawal = 1 Lebaran. Oleh karena itu, menurut penulis, 1 Lebaran lebih tepat jika ditetapkan sebagai tahun baru Indonesia (penggunaan istilah lebaran ini untuk membedakan antara kalender Indonesia dengan kalender Islam agar tidak membingungkan saudarasaudara sebangsa yang Muslim, kelak). Dari sini muncul pertanyaan, apakah sistem tersebut tidak terlalu mengistimewakan Islam? Praduga semacam itu wajar, sebab, jika hanya diperhatikan sekilas, maka nanti akan terlihat bahwa libur semester 2 dan libur sekitar proklamasi bersamaan dengan bulan suci Ramadhan, dan libur sekitar tahun baru beriringan dengan Idhul Fitri. Namun sesungguhnya yang terjadi tidaklah seperti itu, justru Indonesia yang akan memetik keuntungan. Perhatikan : Pertama, bulan Ramadhan sebagai bulan suci dapat benar-benar dibuktikan kesuciannya dengan “nihil” aktifitas selain ibadah, nihil aktifitas jangan diartikan tidak bekerja. Dengan Ramadhan umat Islam berkesempatan untuk meningkatkan kualitas ibadahnya. Mereka secara otomatis akan menghentikan segala aktifitas yang bertentangan dengan norma agama kecuali mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsu mereka sendiri. Dengan kata lain, beraktifitas sebelas bulan, menata batin sebulan.Sehingga usai Ramadhan akan lahir pribadi baru yang lebih baik. Di saat mereka merayakan kemenangan tersebut, tibalah tahun baru Indonesia. Dengan bagusnya akhlak mayoritas isi negara ini maka akan membawa ke arah kebaikan pula, begitu pula sebaliknya. Muatan positif Islam akan terasa membumi manakala negara dapat memanfaatkan dengan baik dan benar, sebaliknya muatan tersebut hanya akan bermanfaat bagi umat Islam secara mikro saat negara
154
155
mengabaikannya. Dalam hal ini, pendapat dari Karen Amstrong dalam The Battle for God yang perlu untuk direnungkan bersama : “Di bawah kerajaan Islam, agama Yahudi dan Kristen mampu hidup damai secara harmonis selama lebih dari enam ratus tahun . … Mereka tidak menjadi korban pembantaian seperti di belahan Eropa lainnya” (Sabili, 01 Th. X : 17)
Kedua, bagi dunia pendidikan khususnya, akan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk beristirahat panjang. Sehingga, saat masuk kembali sekolah (belajar) suasana, benar-benar baru karena tahun ajaran telah berganti. Sedangkan bagi dunia kerja, situasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh para pekerja untuk mengambil cuti tahunan mareka –kecuali untuk bidang-bidang tertentu-- sehingga sesudah berlibur, semangat kerja dan produktifitas meningkat. Terus terang, penulis merasa kagum atas pandangan jauh ke depan presiden pertama negara ini dalam membaca muatan positif yang dibawa oleh Islam. Hanya saja, tindak lanjut dari apa yang telah dibangunnya menjadi hampa dan kurang bermakna bagi Indonesia seutuhnya karena budaya yang telah dibangun tersebut hanya berhenti sampai di situ (baca : sesudah halal bi halal, ya, “sudah”). Jadi, jika ingin muatan positif yang dibawa Islam bermakna bagi negara karena bersifat mondial, tidak ada cara lain tinggalkan tarikh Masehi. Dengan demikian, rintisan budaya yang telah dibangun Ir. Soekarno tidak sia-sia. Ketiga, dengan 1 Lebaran sebagai tahun baru Indonesia, budaya hedonistis yang identik dengan hura-hura dengan sendirinya akan minggir dan “pulang” ke negara asalnya. Dari situ dapat difahamkan bahwa Ramadhan adalah embrio untuk melahirkan budaya Indonesia yang santun, yang secara keseluruhan bertolak belakang dengan ciri budaya hedonistik. Dari sini muncul pertanyaan, bukankah sering terjadi ada dua fersi 1 Syawal? Lantas yang manakah yang dipakai sebagai pedoman 1 Lebaran. Keberadaan dua fersi tersebut tidaklah lantas begitu saja menggugurkan ketepatan penggunaan tarikh
155
156
bulan. Sebab, sejak jaman Rasulullah SAW. pun kejadian serupa pernah juga terjadi (?). Oleh karena itu, jika pada hari H (yang pertama) itu adalah 1 Syawal, hari rayanya umat Islam. Maka pada H + 1 itu adalah 1 Lebaran, tahun baru Indonesia. Dan, bisa jadi, pada suatu ketika antara 1 Syawal fersi kedua akan bertemu dengan 1 Lebaran dalam sehari. Dalam hal ini, ada sedikit hal yang perlu penulis tambahkan, bahwa agar lebih meng-Indonesia, maka seyogyanya nama-nama bulan tarikh Indonesia menggunakan dialek Indonesia. Misalnya : Suro untuk bulan Muharam. Dari sini muncul pertanyaan, bagaimana dengan hari libur yang lain? Pembaca yang budiman, menurut penulis, semua hari besar nasional yang kita rayakan setiap tahun hanyalah sebuah seremonial yang ”kering” karena nyaris tak ubahnya dengan membaca cepat sejarah bangsa maupun cita-cita sang pembina upacara.
Jadi, sekalipun
amanah Pembina Upacara terdengar menggelora dan
membakar semangat. Namun kenyataannya, berapa persen dari isi negara ini yang peduli dengan isi amanahnya? Atau berapa persen penduduk yang hadir dalam upacara tersebut? Atau lebih dalam lagi, berapa persen dari yang hadir yang serius dalam mengikuti upacara? Atau, apa yang didapat peserta upacara dan bangsa ini sesudah mengikuti upacara? Padahal, bukankah negara ini milik kita semua? Jadi, berkaitan dengan itu, maka libur nasional cukup dua kali, yaitu : a. Libur sekitar proklamasi, meliputi : (10)0 = 1 hari libur untuk detik-detik proklamasi; (10)1 = 10 hari libur untuk sekitar proklamasi; b. Libur tahun baru Indonesia (10) = 10 hari sebagai hari libur tahun baru Indonesia. Daripada waktu, pikiran, dana, dan sebagainya terbuang sia-sia karena seringnya ada peringatan-peringatan hari besar yang tidak jelas manfaatnya, lebih baik untuk “bekerja”. Sudah saatnya bangsa ini giat bekerja bukan malah disibukkan dengan upacara peringatan. Bukankah mengenang perjuangan para pendahulu tidak identik dengan mengadakan peringatan yang sesudah itu, sudah! Jika pendahulu “giat” menghalau musuh, menjadi tugas penerus “giat” mengisi kemerdekaan.
156
157
Sedangkan libur untuk hari-hari besar agama mendapatkan porsi lebih, yaitu setiap agama mendapatkan jatah masing-masing tiga hari, sehingga dalam setahun akan terlihat pemanfaatan hari --pada lingkungan pendidikan-- sebagai berikut : 1. Hari efektif
=
247 hari
2. Hari libur 6 agama @ 3 hari
=
18 hari
3. Hari libur umum
=
4. Hari libur semester 1
=
5. Hari libur semester 2
=
10 hari
6. Hari libur Proklamasi
=
1 hari
7. Hari libur sekitar Proklamasi
=
10 hari
8. Hari libur sekitar Tahun Baru
=
10 hari
9. Cadangan
=
1 hari
=
355 hari
Jumlah
48 hari 10 hari
Bandingkan dengan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur Nomor 188/701/108.03/2002 tentang Hari Sekolah dan Hari Libur bagi Sekolah di Propinsi Jawa Timur Tahun Pelajaran 2002 /2003, dengan rincian sebagai berikut : 1. Hari efektif
=
241 hari
2. Hari efektif fakultatif
=
18 hari
3. Hari libur umum
=
52 hari
4. Hari libur hari besar
=
14 hari
5. o Libur semester 1
=
12 hari
o Libur semester 2
=
12 hari
6. Libur permulaan puasa
=
3 hari
7. Libur sekitar hari raya
=
12 hari
=
364 hari
Jumlah
157
158
Dengan demikian, selama masa transisi segmen kedua, adalah menjadi tugas para sejarahwan untuk menyusun tarikh Indonesia yang baru, yang juga tidak berkiblat ke manapun. Mereka juga berkewajiban menata ulang sejarah bangsa /negara ini. Mereka harus menyusun konsep untuk dapat mengembalikan image kebesaran Indonesia yang telah berhasil diporakporandakan oleh kaum orientalis sebagai kaki tangan imperialis modern. Hal ini dikarenakan, pada pasca transisi nanti, pembabakan sejarah Indonesia akan terlihat sebagai berikut : 1. Masa sebelum Kutai disebut masa pra sejarah Indonesia … < tahun 1 Sebelum Indonesia ( … < 1 SI); 2. Masa antara Kutai sampai dengan Proklamasi dalam tarikh Masehi disebut Indonesia pada masa feodal. Jika dikonversikan dalam tarikh Indonesia akan menjadi: tahun 1 sampai dengan tahun x; 3. Masa antara Proklamasi sampai dengan berakhirnya masa transisi dalam tarikh Masehi disebut Indonesia pada masa republik. Jika dikonversikan akan menjadi : tahun x sampai dengan tahun y; 4. Indonesia
pasca
transisi disebut
Indonesia Merdeka,
dan itu baru
tercapai pada tahun y. Dengan pengelompokan /pembabakan sejarah seperti itu, barulah terasa faedah mempelajari sejarah bangsa sendiri /sejarah tanah air sebab ternyata, yang dimaksud dengan INDONESIA itu adalah Kutai sampai dengan Indonesia. Bahwa pada zaman pra sejarah, wajah Indonesia seperti “itu”. Pada masa feodal wajah Indonesia seperti “ini” karena waktu itu madani dan tsaqofinya mulai dirongrong bangsa asing. Pada masa republik, wajah Indonesia seperti “ini” karena madani telah merdeka, sementara tsaqofi yang merdeka barulah bahasa Indonesia dan
158
159
politik luar negeri, sementara yang lain belum. Karena tiadanya “rem” pada MPR, hukum hanya dapat tegak di atas yang lemah sementara pada yang kuat, hukum menjadi tumpul. Karena tiadanya kekuatan agama masuk dalam struktur negara, maka politik luar negeri yang seharusnya diterapkan pemerintah adalah bebas aktif menjadi begini, kadang condong ke sana, kadang condong ke sana. Dan disamping itu, terjadi pendangkalan akidah agama dan bahkan pemurtadan (dengan berbagai cara) karena penyebaran agama yang vulgar. Islam hanya dijadikan kendaraan politik. Karena kesalahan sistem bilangan, maka terjadilah krisis keuangan. Karena masuknya srtuktur luar birokrasi ke dalam birokrasi serta menafikan keberadaan Pegawai Negara maka terjadilah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan pengangguran. Karena masuknya struktur dalam birokrasi ke struktur luar birokrasi maka terjadilah pengangguran, dan dari keduanya terciptalah kelas baru, kelas pekerja. Karena militer berada di bawah sipil maka militer menjadi represif, sipil (baca : -isme) yang berkuasa cenderung ingin menyingkirkan sipil lain yang dianggap menjadi pesaing beratnya dengan memanfaatkan kekuatan militer. Karena mengadopsi aksara ciptaan barat maka matilah industri berbasis aksara. Karena terlalu banyaknya “piramida” dalam pendidikan, maka pendidikan menjadi tidak maju-maju, dan seterusnya, dan seterusnya. Bahwa wajah Indonesia setelah merdeka seperti ini, semua -isme hidup berdampingan dengan damai karena pada dasarnya kesemuanya adalah hasil buah pikir (budaya) umat manusia di bawah naungan iman kepada Yang Maha Kuasa, semua nampak transparan, namun bukan berarti telanjang. Saat itulah, krisis jati diri sebagai bangsa lenyap karena setiap orang berani menampilkan jati dirinya yang sesungguhnya dengan rasa aman. Negara memandang
milik
rakyat,
kekuasaannya
bukan adalah
milik
penguasa
sebuah
karena
amanah
penguasa
yang
harus
dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada atasannya, namun juga kepada atasan dari atasannya, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
159
160
Hukum tegak di atas semua rakyat tanpa pandang bulu, baik mereka yang ada di dalam struktur birokrasi maupun mereka yang berada di luar birokrasi, baik kepada yang lemah maupun kepada yang kuat, dan seterusnya. 3.7 Noto Adil (10)112 Di atas ada disingung bahwa sejak 17 Agustus 1945 bangsa ini memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, sementara di bagian lain juga disinggung adanya penjajahan bangsa atas bangsa ini sendiri. Keadaan yang sepertinya mustahil ini, karena bertolak belakang, akan terlihat saat pembaca membuka perjalanan sejarah bangsa ini. Sejak awal, jadi sebelum proklamasi kemerdekaan, ada tiga buah -isme yang menonjol di tanah air yaitu nasionalis Islami, nasionalis sekuler, dan sosialis, yang pada dua yang terakhir ini sering dikaburkan menjadi satu, nasionalis sekuler. Di bagian lain juga ada disinggung bahwa Islam mempunyai dimensi iman dengan demikian pada nasionalis Islami ada dasar iman di sana, bumi ini milik Allah SWT –jadi, bukan hanya berdasarkan ilmu. Kedudukan manusia hanyalah sebagai hamba-Nya. Dari situ dapat ditarik benang merah bahwa Islam sebenarnya bukanlah sebuah -isme, sebab Islam bukan produk manusia. Sebaliknya, -isme yang lain adalah produk manusia, buah akal budinya. Adanya perbedaan akar tersebut bukannya tidak menimbulkan masalah dalam perjalanan politik bangsa. Kita bisa melihat, bagaimana perlakuan penguasa negera ini terhadap tokoh-tokoh Islam dari waktu ke waktu saat mereka dianggap mendekati “kursi kekuasaan”, mulai dari Karto Suwiryo, Kahar Muzakar, Andi Azis, Mohammad Natsir, Buya Hamka, sampai dengan Abu Bakar Baasyir. Jangankan kepada mereka, kepada sesama -isme yang sama-sama produk manusia pun saling sikut. Lihat peristiwa berdarah 1965, yang oleh CIA dinamakan “salah satu pembunuhan massal paling buruk abad 20” (Prof. Peter Dale Scott, 1998 : 3). itu semua menunjukkan adanya tangan kuat bermain di sana.
160
161
Pertanyaannya, siapa tangan kuat tersebut? Behwa untuk membabat gerakan berbasis Islam maka militer bergerak sendiri, sebaliknya untuk menumpas -isme yang lain, maka militer memerlukan dukungan Islam. Dengan kata lain, Islam dimanfaatkan oleh militer, Islam hanya dijadikan –maaf-- kuda troya. Pertanyaan berikutnya, siapa yang memanfaatkan militer? “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara” (Pasal 10,Undang-Undang Dasar 1945)
Perlu diingat bahwa, pasal-pasal pada batang tubuh UUD 1945 sebenarnya dipersiapkan untuk menopang “Piagam Jakarta” bukan untuk menopang Pancasila, sebab jika dasar negara ini –misalnya-- Piagam Jakarta, maka presiden –yang orang Islam (Pasal 6, UUD 1945)-- akan mempertanggungjawabkan pekerjaannya secara Islam, di mana yang bersangkutan akan selalu terkondisi dan dikondisikan pada koridor amar ma’ruf nahi mungkar dengan bingkai Merah Putih. Oleh karena itu, dengan dihilangkannya tujuh kata pada Piagam Jakarta dan mengubah Pasal 6,
tanpa ada perubahan pada Pasal 10 itulah penyebab
ketidakstabilan politik dan keamanan di dalam negeri --Lihat, karena kepiawaian mendiang Presiden Soekarno merengkuh militer, maka Konstituante dapat dibubarkan dengan Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Padahal, lembaga dengan tugas utama menyusun konstitusi negara tersebut hampir dapat menyelesaikan tugas yang diembannya. Karena kurang berhasil merangkul militer, mantan Presiden Abdulrahman Wahid gagal membubarkan DPR dengan dekritnya. Padahal, presiden adalah Kepala Negara (penjelasan pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 UUD 1945)-- Bahkan, untuk mempersubur
kekuasaan, diciptakan pula massa mengambang. Massa
mengambang, bak buih di lautan, dapat dipandang sebagai massa tanpa jati diri. Mereka akan rapat-rapat mengunci jati dirinya agar tidak dituduh kanan atau kiri.Padahal, apalah arti kanan atau kiri saat sudut pandang dibalik.
161
162
Dalam konteks dunia, dalam teks yang abadi, siapakah musuh Islam sebenarnya? Penulis tidak perlu mencarikan rumusan, sebab rumusan tersebut sudah ada sejak sekian abad yang silam. “Dan orang-orang Yahudi dan Nashara tidak akan suka kepadamu hingga engkau turut agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (sebenar-benar) petunjuk”. Dan sesungguhnya jika engkau turut kemauan-kemauan mereka, sesudah datang
pengetahuan
kepadamu, maka engkau tidak akan dapat dari Allah, pengawal dan (tidak) pembantu” (QS, Al Baqoroh : 120)
Di samping itu, ada beberapa pendapat barat yang dikeluarkan oleh tokoh mereka yang perlu direnungkan dalam menata Indonesia : 1.
“Missi utama yang dibebankan oleh negara-negara Kristen kepada kita bukanlah menjadikan kaum muslimin sebagai orang Kristen, karena hal itu adalah soal hidayah dan kemuliaan. Missi utama kita ialah mengeluarkan seorang muslim dari Islam, supaya menjadi orang yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Allah, sehingga ia tidak mempunyai ikatan akhlak sebagai pegangan hidup umat Islam. Dengan demikian akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di kerajaan-kerajaan Islam. Tugas kalian adalah mempersiapkan generasi baru
yang jauh dari
Islam, tetapi
tidak usah
memasukkannya ke dalam Kristen. Generasi muslim yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang pemalas, dan hanya mementingkan kepuasan hawa nafsunya. Dengan demikian missi utama kalian bisa terpenuhi dengan sebaik-baiknya,” Samuel Zweimer, Direktur organisasi missi pada konferensi para missionaris di kota Qudus tahun 1935. (DR. Jalal ‘Alam, 1996 : 54) 2.
Pimpinan redaksi majalah Time dalam bukunya yang berjudul Safar Asia, memberikan nasihat kepada pemerintah Amerika membangun suatu pemerintahan diktator militer di negara-negara Islam. Tujuannya tidak lain untuk mempermainkan umat Islam sehingga tetap dalam penjajahan barat. (DR. Jalal ‘Alam, 1996 : 58)
162
163
Dalam konteks Indonesia, gambaran yang tertuang
dalam wahyu Illahi,
berbagai -isme, militer berseberangan dengan militansi sipil, adanya perbedaan latar belakang bersatu, dan perbedaan tujuan masing-masing untuk bersatu serta adanya sedikit metamorfose --pengakuan sebangsa, bangsa Indonesia--, dan adanya kecurigaan terhadap sumber falsafah lain di luar Pancasila. Hal terakhir ini pernah disinyalir oleh L.B Moerdani, mantan Panglima ABRI, “ …Dari segi sumber-sumber ancaman itu sendiri, kiranya perlu secara jelas dapat diuraikan sifat-sifat yang menunjukkan bahwa marxisme dan komunisme dan falsafah-falsafah lainnya di luar Pancasila memang benar-benar ancaman”. (Al Muslimun, No. 172 : 96)
Keadaan ini sungguh merupakan sebuah tantangan yang harus diselesaikan dengan cantik. Padahal, semua perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan dari bangunan sebuah bangsa yang majemuk, dan itu merupakan hukum alam yang tak terpatahkan sepanjang masa, sebuah sunatullah. Sebuah bangunan yang besar tidak hanya terdiri dari satu macam bahan, di situ ada aneka ragam unsur pendukung yang saling menunjang dan saling melengkapi. Oleh karena itu, saat satu “-isme” menguasai sistem birokrasi dan militer berada dalam kendalinya, sedangkan sistem yang lain
dengan –isme yang lain
menguasai luar birokrasi maka umat Islam pada posisi terjepit. Image sebagai penebar teror pun segera menguasai jagat media informasi, opini masyarakat digiring untuk mendiskriditkannya. Padahal, umat Islam (garis keras) hanyalah membela diri dari kepungan musuh-musuh Islam, baik yang terang-terangan
maupun yang
terselubung. Ingat, umat Islam mempunyai andil besar dalam mendirikan negara ini. Melupakan andil mereka tak ubahnya dengan tidak tahu berterima kasih. Namun, apa yang diperoleh? Mereka hanya disibukkan dengan ritual –baru-dan pemenuhan hajat hidup sehingga tidak sadar bahwa mereka telah terkepung dari segala penjuru.
163
164
Dengan demikian, nyatalah bahwa Pasal 10 UUD 1945 tersebut akan menggiring penguasa --siapa saja dan dari golongan mana saja-- untuk melenyapkan saingannya atau yang dianggap sebagai pesaingnya, dengan halus maupun kasar. Padahal, konon, negara ini berfaham demokrasi. Bukankah dalam demokrasi seharusnya beda pendapat (baca : beda pandangan --isme) adalah sesuatu yang wajar? Bukankah, semuanya berhak untuk hidup? Sungguh sangat beruntung, umat Islam –di Indonesia, khususnya-- masih menggenggam erat pedoman hidupnya, “Sesungguhnya sembahyangku, dan ibadahku, dan hidupku, dan matiku, adalah karena Allah, Tuhan bagi sekalian makhluk” (QS. Al An’am, 6 :162)
Jadi, sebenarnya medan perjuangan umat Islam (di Indonesia) tidaklah hanya sebatas teritorial Indonesia ini saja. Medan perjuangan mereka seluas bumi ini. Nasionalisme mereka melampaui luas “nasionalisme” yang lain. Sangat berbeda jauh dengan pedoman hidup yang diajarkan oleh dunia pendidikan. Perhatikan : Padamu negeri kami berjanji Padamu negeri kami berbakti Padamu negeri kami mengabdi Bagimu negeri jiwa raga kami (Lagu wajib, Kusbini)
Lagu tersebut merupakan sebuah ajaran yang sangat menyesatkan peserta didik. Bagi bangsa ini, yang mayoritas Muslim, itu sebuah ajaran yang akan menggiring mereka untuk melakukan perbuatan syirik. Jadi, sangat bertolak belakang dengan pedoman mayoritas bangsa ini. Bayangkan, jiwa raga dipersembahkan untuk negeri! Salah atau benar negeri harus dibela! Apakah ini tidak bertentangan dengan ajaran sila pertama dari Pancasila? Dan, pada gilirannya
nanti, sekalipun
penguasanya zalim harus dibela!
164
165
Apakah itu bukan merupakan sebuah bentuk pemujaan diluar ajaran Islam? Apakah itu bukan berarti menuhankan negeri? Dengan kata lain, lagu tersebut akan menggiring muslim di negeri ini untuk menjadi seorang musyrik dengan sangat halus /tanpa disadari oleh Muslim itu sendiri. Sampai pada titik ini, misi Kristen di Indonesia seperti yang diungkap oleh Samuel Zweiner tercapai dengan sangat menggembirakan, bagi mereka, namun tentunya akan menjadi sebaliknya bagi si muslim. Sebuah ketimpangan religi. Negeri (baca : negara Indonesia) memang harus dicintai, dijunjung, dan dibela sampai tetes darah terakhir. Namun, harus ada penjelasan lebih lanjut tentang batas paling kiri dan batas paling kanan dari pembelaan tersebut. Tanpa adanya batasan, maka tak ubahnya sebuah cinta yang membabi buta. Dan, kalaupun pada akhirnya mati di dalam pembelaannya itu, maka matinya akan mirip dengan kematian Sang Kumbakarno. Demi Alengka, ia korbankan jiwa raganya. Padahal, ia pun tahu bahwa Rahwana adalah seorang yang keji. Padahal, ia pun tahu bahwa dirinya hanya dimanfaatkan. Sebuah kematian yang sia-sia! Ia hanya mati sebagai pahlawan untuk satu masa saja. Pada saat terjadi pergantian regim yang berkuasa, maka bisa jadi penghormatan itu hilang dan berganti dengan kebalikannya. Hal ini sejalan dengan penuturan Yusril Ihza Mahendra, SH yang mengungkap pendapat Prof. Muchtar Lintang dari Universitas Kebangsaan Malaisia, “Sebenarnya Tuhan itu, hanyalah menciptakan satu bumi untuk di huni manusia, tetapi manusia sendirilah, yang telah membagi-bagi bumi ini ke dalam wilayah-wilayah, yang mereka katakan, sebagai milik leluhur mereka sendiri.” (Al Muslimun, 172 : 80)
Dari situ, dapat dimengerti jika Hizbullah tampil ke permukaan, baik secara perseorangan maupun kelompok. Mereka akan tampil dengan berbagai nama, sesuai dengan jamannya. Mereka akan membela saudaranya sesama Muslim di dalam negara ini khususnya dari kepungan musuh yang semakin beragam dan kian samar, karena … bisa jadi, sebangsa.
165
166
Di samping itu, dapat juga dimengerti jika suatu saat Hizbullah membantu saudaranya yang lain di luar negara ini.
Bukankah dimensi perjuangan mereka
melampaui batas teritorial sebuah negara? Mengingat pentingnya arti militer bagi negara dalam mengendalikan pertahanan dan keamanan negara di satu sisi serta adanya kekuatan besar di luar struktur birokrasi /negara sejak Proklamasi, 17 agustus 1945 di dalam negara ini (baca : Tentara Tuhan /Hizbullah), maka harus ada pemilahan daerah kekuasaan masing-masing –lihat noto bela negara. Ini harus dilakukan sebelum terjadi benturan terbuka antara militer yang dikendarai sipil dengan Hizbullah sebagai militansi Islam. Konflik bersenjata antara keduanya memang selalu diharapkan oleh pihak ketiga, sebab merekalah yang akan diuntungkan.
3. 8. Noto Bela Negara (10) 124 Oleh karena itu, pada pasca transisi nanti militer harus ditarik keluar dari payung pemerintah /payung sipil. Dengan kata lain, militer berdiri sendiri sebagai sebuah badan, Badan Pertahanan dan Keamanan Indonesia. Itu berarti, Pasal 10 UUD 1945 harus diamandemen --urusan setuju atau menolak, itu masalah lain.. Dengan begitu maka panglima tertinggi militer adalah seorang militer, bukankah hanya militer yang tahu seluk beluk militer? Dari sini, kita baru bisa berharap azas netralitas militer dapat berjalan dengan benar. Setahu penulis, struktur organisasi militer adalah sebuah struktur yang paling solid dibandingkan dengan struktur arganisasi yang lain. Sungguhpun demikian perlu ada parameter tentang hubungan sipil-militer. Dalam hal ini harus jelas, siapa militer, siapa sipil --dan siapa pula rakyat, sebab pada keduanya terdapat hak dan kewajiban membela negara (Pasal
30 UUD 1945) yang lebih dikenal dengan pertahanan
keamanan rakyat semesta (Hankamrata).
166
167
Militer : tentara; anggota tentara; ketentaraan Sipil
: berkenaan dengan penduduk atau rakyat (bukan militer)
Rakyat : segenap penduduk suatu negara (sebagai imbangan pemerintah)
Dari pengertian tersebut di atas, jika ditarik mundur ke belakang
saat
proklamasi maka terlihat bahwa militer terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Polisi Republik Indonesia (Polri)
yang
kesemuanya masuk ke dalam sistem birokrasi, sedangkan Hizbullah memposisikan diri di luar birokrasi. Mereka yang berada di dalam sistem itulah cikal-bakal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), merekalah gen murni pertahanan dan keamanan (militer) negara ini. Di situlah letak kebenaran ABRI berasal dari rakyat. Sedangkan Hizbullah adalah gen murni pertahanan dan keamanan sipil. Dalam perjalanan berikutnya, Polri melepaskan /dilepaskan (?) dari ABRI, dan difungsikan sebagai pertahanan negara. Selama ini, Hizbullah sebagai Tentara Tuhan belum mendapatkan tempat dalam struktur birokrasi /negara, namun fungsinya telah ditempati oleh institusi lain… Memang, dalam kapasitas papan nama, Hizbullah dapat muncul dengan berbagai nama, secara materi dapat saja berganti individu, namun pada hakekatnya institusi mereka adalah sama. Mereka adalah Tertara Allah, Tantara Tuhan, yang akan selalu dan selalu hadir di setiap zaman, di seluruh penjuru bumi –bukan hanya di Indonesia. Oleh karena itu, tidak memberi tempat kepada institusi tersebut
--menurut penulis--
seperti membiarkan “gunung karang” terbang. Itu sangat berbahaya. Oleh karena itu, berkaitan dengan adanya dua kekuatan besar, keberadaan militer, keberadaan sipil, dan keberadaan rakyat serta jika dihubungkan dengan Noto Adil maka pada pasca masa transisi nanti, jika, bela negara adalah satuan bela negara yang pertama dan utama,maka satuan bela negara berikutnya adalah:
167
168
No.
Nomor satuan
A
1
Pertahanan dan keamanan negara
Aparatur Negara Militer
2
Pertahanan dan keamanan sipil
Aparatur Negara Sipil
3
Petahanan dan keamanan rakyat
Rakyat
4
Keamanan negara
Pegawai Negeri Militer (TNI)
5
Keamanan sipil
Tentara Tuhan
6
Keamanan rakyat
Keamanan Rakyat (Kamra)
7
Pertahanan negara
Polisi
8
Pertahanan sipil
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
9
Pertahanan rakyat
Pekerja
10
Pertahanan dan keamanan rakyat semesta
Seluruh rakyat Indonesia
B
C
D
Satuan bela negara
Unit kerja pembelaan
Tabel 24
Dari kolom nomor pada tabel di atas dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut : A. Kelompok ini adalah pemilik lahan kehidupan, generasi pertama negara ini. B. Kelompok ini berisi para ksatria negara; C. Kelompok ini terisi para profesional dan “profesional” D. Kelompok ini terisi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecualai, baik yang berada pada dunia militer, dunia sipil, dan rakyat murni. A. Kelompok pemilik lahan kehidupan Aparatur
Negara Militer
dan Aparatur Negara Sipil
berada di dalam
struktur birokrasi dan selanjutnya berstatus sebagai Pegawai Negara. Sedangkan rakyat berada di luar struktur birokrasi. Sebagai pemilik lahan kehidupan, padanya melekat
sederet
(mengalihkan),
hak-hak menyewakan,
istimewa
kepemilikan,
mengontrakkan,
misalnya mewariskan
memperjualbelikan,
maupun
melepaskan kepemilikannya.
168
169
1. Unit kerja pertahanan dan keamanan negara ditempati oleh Aparatur Negara Militer. Dengan demikian, adanya tuntutan sementara pihak agar militer pulang ke barak tidak sepenuhnya tepat. Bahwa barak adalah habitat militer itu ada benarnya, namun harus diingat bahwa barak --dalam konteks pendidikan-- dapat disejajarkan dengan sekolah, dalam konteks perdagangan dapat disejajarkan dengan pasar, dalam konteks pertanian dapat disejajarkan dengan sawah. Mengingat beratnya tugas yang diemban, yaitu menjaga eksistensi negara secara keseluruhan, maka menggiring sepenuhnya militer pulang ke barak akan sama artinya dengan menempatkan pagar di dalam kamar, bukan pada tempatnya. Dengan kata lain, pola tersebut akan membelenggu militer dan muaranya, saat pemerintah sipil “kalah” secara politis dengan pemerintah sipil negara lain, siapa yang rugi? Oleh karena itu, harus ada penjelasan yang lebih rinci tentang militer mana yang harus berada di dalam barak tersebut. Mengingat aparatur ini dapat berada pada satuan organik AD, AL, dan AU. Maka, jika mereka berada pada satuan organik itulah ada benarnya tuntutan militer pulang ke barak. Menurut konsep bilangan, keberadaan “pemerintah militer” perlu sampai ke tingkat kelurahan
--level terendah pemerintah sipil. Jadi, seyogyanya, di bawah
Komando rayon Militer (Koramil) –yang selanjutnya bernama Komando Pertahanan dan Keamanan Kecamatan-- masih ada dua institusi militer lagi, yaitu di tingkat desa dan di tingkat kelurahan. Bagaimana akan mampu dengan cepat menyerap informasi adanya infiltrasi /subversi atau anasir-anasir berbahaya jika keberadaanya masih “agak” jauh. Ketakutan akan represifnya militer sudah saatnya ditinggalkan. Militer sudah netral. Pada markas komando itulah tempat sebenarnya bagi aparatur tersebut. Sejalan dengan hal tersebut di atas, petinggi militer dari struktur terendah sampai tertinggi dipilih dari militer dan oleh militer sendiri tanpa ada campur tangan sipil. Dengan demikian, mereka --secara perseorangan /institusi-- tidak mempunyai beban hutang budi
kepada sipil yang memilih /mendukungnya.
Bagaimanapun, keinginan membayar hutang budi adalah hal yang manusiawi.
169
170
Oleh karena itu, dengan dihilangkannya peluang untuk itu, militer akan sulit untuk dimanfaatkan sipil untuk mendukung kepentingan sipil sesaat, terlebih jika kepentingan sipil tersebut sampai menjurus pada lepasnya “kedaulatan”. Jadi, keberadaan “pemerintah militer” hendaknya tidak dipandang sebagai pemerintah bayangan. Militer mempunyai kewajiban untuk itu, dan bahkan, dalam hal tertentu militer berkewajiban mendampingi sipil –sebagai suport energi. Tugas apatur ini adalah menghadapi segala macam bentuk ancaman bagi negara yang datang baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, baik ancaman langsung maupun tidak langsung. Jika dipandang perlu, mereka dapat diperbantukan ke sipil. Yang penulis diperbantukan adalah untuk
menangani
masalah tertentu karena sipil tidak /belum mempunyai kemampuan untuk itu. 2. Unit kerja pertahanan dan keamanan sipil diisi oleh Aparatur Negara Sipil. Mereka dapat saja tersebar pada berbagai institusi sipil sesuai dengan keahlian masing-masing di dalam struktur birokrasi. Dengan demikian, fungsi unit ini akan diisi oleh Aparatur Negara Sipil. Pada Aparatur Negara Sipil inilah sebenarnya terdapat hak untuk memilih dan dipilih untuk duduk dalam jabatan “pemerintahan” sipil, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Jadi, menurut konsep ini sebagai contoh : •
Jabatan pada pemerintah dari lurah sampai dengan presiden dipilih dari dan oleh Aparatur Negara Sipil yang ada pada bidang tersebut;
•
Jabatan pendidikan, dari Guru Sekolah Dasar sampai dengan Guru Pendidikan Nasional dipilih oleh dan dari Aparatur Negara Sipil yang ada di bidang pendidikan (baca : Guru) di daerah itu. Dengan demikian, “sipil” memilih sendiri siapa yang tepat sebagai
pemimpinnya. Oleh karena itu, berdasarkan konsep ini, presiden bukan dipilih oleh MPR. Presiden pun tidak boleh berasal dari militer. Presiden juga tidak boleh dari rakyat murni.
170
171
Dengan kata lain, pola ini akan menggiring ke situasi persaingan murni tanpa mengabaikan senioritas. Begitu pula dengan jabatan lain dalam lingkup sipil. Jika dipandang perlu, sipil dengan keahlian tertentu dapat diperbantukan ke militer, misalnya untuk menangani administrasi, kebersihan, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak ada halangan bagi sipil untuk hidup di dunia militer, dan begitu pula sebaliknya, semua tergantung kebutuhan. 3. Pertahanan dan keamanan rakyat diisi oleh rakyat yang menguasai unit-unit produksi, baik unit prokduksi dalam arti sesungguhnya maupun dalam arti produksi jasa, serta dalam arti jasa itu sendiri. Pada unit produksi, mereka dapat terlihat dalam penguasaan lahan pertanian, perikanan, perkebunan, perindustrian, dan sebagainya. Sedangkan pada unit produksi jasa dapat terlihat pada penguasaan sarana jasa, misalnya alat-alat pertanian (baca : traktor, dsb.), alat transportasi (baca : taksi, bis, sado, dsb.), alat komunikasi (baca : wartel, warnet), sarana hiburan, dan sebagainya. Jasa itu sendiri dapat berupa jasa tenaga, jasa keahlian, dan sebagainya. B. Kelompok ksatria negara secara keseluruhan. Pada kelompok ini, nasionalis ilmu dan nasionalis iman bertemu dalam satu paket dengan bidang garapan yang berbeda. 4. Keamanan Negara diisi oleh warga negara Indonesia yang melaksanakan /terkena wajib militer. Oleh karena itu, doktrin militer (baca : Sapta Marga) mengikat mereka. Dengan demikian, berdasarkan pola ini, mereka dapat berasal dari gen murni militer, gen murni sipil, dan dapat pula berasal dari gen murni rakyat. Perhatikan : •
Apabila mereka berasal dari keturunan militer, maka yang bersangkutan adalah Militer Wajib yang melaksanakan Wajib Militer.
•
Jika berasal dari keturunan sipil, maka yang bersangkutan adalah Sipil Wajib yang melaksanakan Wajib Militer.
171
172
•
Sedangkan jika berasal dari rakyat, maka mereka adalah rakyat yang melaksanakan Wajib Militer .
Butir satuan keamanan negara ini, jika ditempati oleh militer yang berasal dari rakyat maka yang bersangkutan berstatus sebagai Pegawai Negeri Militer. Dengan statusnya itu, hak dan kewajiban sebagai pegawai negeri melekat padanya. Mereka berada di dalam Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). 5. Keamanan Sipil ditempati oleh militansi sipil. Kelompok ini tidak lain adalah Tentara Tuhan di muka bumi. Maka dari itu, modal pembelaan mereka kepada negara adalah iman. Pada posisi puncak, fungsi ini ditempati oleh Hizbullah, sedangkan pada level yang lain akan sejalan dengan Pemerintahan Agama yang ada. Dengan demikian, untuk daerah Bali misalnya akan diisi oleh Pacalang, untuk Minahasa akan diisi oleh Tentara Salib, dan sebagainya. Dari sini muncul sebuah pertanyaan, mengapa bukan keturunan F? Perlu diingat bahwa keimanan sebagai dasar seseorang masuk ke dalam barisan itu tidaklah dapat diwarisi, iman juga tidak dapat dibeli. Bukankah tidak menutup kemungkinan, ada yang orang tuanya seperti Sultan Agung Hanyokrokusuma sedangkan anaknya seperti Amangkurat? atau malah mungkin sebaliknya …. Tugas mereka adalah menghadapi “sipil” yang mengganggu /mengancam keamanan sipil lain. Dengan demikian, seharusnya, tempat polisi yang kita kenal selama ini adalah tempat bagi mereka, tempat polisi bukan di sana. Mereka memiliki kekuatan yang luar biasa, karena dilandasi oleh iman, maka keberadaan mereka harus ditarik ke dalam struktur.
Dalam dunia pewayangan, mereka adalah Gunawan
Wibisono. Mereka mencintai negaranya, namun juga berani bersikap kritis terhadap penguasanya. Bahkan bila perlu, berseberanganpun,
mereka tidaklah gentar.
Relefansi pengabdian mereka kepada negara tidaklah sebatas dunia yang fana, di situ ada warna pengabdian kepada Yang Maha Kuasa.
172
173
Dari sini, muncul pertanyaan, lantas di manakah posisi polisi berada? Untuk itu, silakan lihat pada butir pertahanan negara. Sebab, menempatkan sesuatu jika bukan pada tempatnya akan menimbulkan masalah bagi “sesuatu” itu sendiri. 6. Keamanan rakyat ini akan ditempati oleh rakyat dengan identitas tertentu. Fungsi ini ditempati oleh Keamanan Rakyat (Kamra) yang kita kenal selama ini. Sungguhpun demikian, perlu diingat bahwa kelahiran Kamra jauh terjadi sesudah proklamasi kemerdekaan negeri ini. Dengan kata lain, Kamra memang anak kandung dari gen ketiga, oleh karena itu bidang garapan dan regenerasi di antara mereka perlu dikaji lebih lanjut oleh para pakar pertahanan dan keamanan nasional. Saat ini, dalam konteks yang sederhana, posisi Kamra telah ditempati oleh Satpam yang dapat dilihat kehadirannya pada tempat-tempat tertentu. Dan, dalam konteks yang paling sederhana mereka muncul sebagai penjaga keamanan “seorang” rakyat, dalam hal ini mereka dikenal sebagai pengawal pribadi. Oleh karena sangat pentingnya arti Kamra bagi suatu komunitas atau bagi orang-orang tertentu, maka ada baiknya jika keberadaannya dibina dengan lebih intensif sehingga keberadaannya membawa rasa aman bagi yang melahirkan di satu sisi serta tidak menimbulkan gangguan keamanan bagi “pasangan” yang melahirkan. Sebagai contoh, pasangan pedagang adalah pembeli /pelanggan. Pasangan guru adalah murid. Pasangan sopir /awak angkutan adalah penumpang, dan sebagainya. Pada dasarnya, tugas mereka adalah menjaga keamanan rakyat dari gangguan rakyat. Sebagai contoh, rakyat pedagang akan melahirkan Kamra pedagang. Dengan demikian, di satu sisi, pada Kamra Pedaganglah tugas menghadapi preman, tukang palak, dan sebagainya dan di sisi lain, mereka dapat menimbulkan rasa aman bagi pembeli. Rakyat petani akan melahirkan Kamra petani. Rakyat nelayan akan melahirkan Kamra nelayan, dan begitu seterusnya.
173
174
C. Kelompok ini diisi oleh kelompok profesi /semua komponen (baca: militer, sipil, dan rakyat) yang terkena kewajiban melakukan pertahanan 7. Pada butir pertahanan negara akan ditempati oleh militer tertentu yang terkena kewajiban. Dengan demikian,berdasarkan konsep bilangan maka satuan ini sebenarnya masih bernaung dibawah payung pertahanan dan keamanan negara. Dengan demikian, posisi ini ditempati oleh Polisi Republik Indonesia (Polri). Namun polisi yang dimaksud bukanlah polisi yang kita kenal selama ini. Dari sini muncul pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan militer tertentu itu? Pembaca yang budiman, militer yang dimaksud adalah militer yang telah mencapai kondisi tertentu, misalnya karena faktor usia. Dengan demikian, batasan antara seorang tamtama, bintara, atau perwira untuk dialihfungsikan haruslah jelas. Misalnya, untuk seorang tamtama adalah 48 tahun, untuk bintara 54 tahun, dan untuk perwira adalah 60 tahun. Dengan demikian, polisi adalah tempat pengabdian yang terakhir bagi militer apapun statusnya kepada Pertiwi. Tugas mereka adalah menghadapi segala macam ancaman bagi negara yang datang dari dalam negara, baik ancaman yang datang dari sipil maupun dari rakyat. Maka dari itu, tempat bagi mereka adalah menjaga aset negara. Aset tersebut berupa barang tidak bergerak seperti aset perkantoran, aset budaya, pertambangan, hutan, laut, maupun aset negara yang lain. Aset bergerak seperti kendaraan, serta aset lain yang berupa jaminan keamanan bagi penyelenggara negara. Dalam konteks yang paling sederhana, aktivitas mereka adalah mengawasi absensi pegawai negeri pada sebuah institusi negara dan menjaga keamanan institusi tersebut. Dari sini muncul pertanyaan, lantas di manakah posisi polisi yang kita kenal selama ini? Pembaca yang budiman, tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada polisi, tempat mereka bukan di sana. Selagi mereka masih muda dan energik, posisi mereka adalah di dunia militer, bukan di dunia sipil. Kelak, saat usia sudah berangkat senja maka dengan sendirinya mereka akan masuk ke dunia sipil.
174
175
Urusan sipil, biarlah diurus oleh sipil murni sendiri –lihat keamanan sipil di atas. Dengan demikian, kelak, tidak ada polisi berusia muda. 8. Pertahanan sipil ditempati oleh sipil dengan identitas tertentu. Yang penulis maksud dengan identitas tertentu bukan menyangkut suku, agama, ras, atau golongan (SARA) melainkan identitas melekat yang berupa profesionalis /keahlian /kecakapan yang
bersangkutan. Keahlian mereka
dibutuhkan oleh
negara
/pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan. Dengan kata lain, sipil dengan identitas tertentu tersebut dapat berasal dari militer, dari sipil sendiri, dan dapat pula berasal dari rakyat murni. •
Jika mereka berasal dari militer, maka mereka adalah Militer Wajib yang menjalankan wajib Sipil;
•
Jika berasal dari sipil sendiri, maka mereka adalah Sipil Wajib yang menjalankan Wajib Sipil;
•
Sedangkan jika berasal dari rakyat, maka merekalah yang selama ini dikenal sebagai Pegawai Negeri Sipil. Jadi, pegawai negeri sipil adalah rakyat yang melaksanakan Wajib Sipil.
9. Pertahanan rakyat. Jika ditarik mundur ke saat Proklamasi, 17 Agustus 1945, pola ini akan menggiring kita pada spesialisasi yang telah dipilih gen murni para pendahulu negeri ini. Spesialisasi gen murni nampak pada mata pencaharian yang berkaitan dengan keahlian mereka. Dengan demikian, pada dasarnya, pada mata pencaharian rakyat itulah sesungguhnya fungsi rakyat dalam pertahanan rakyat. Pertahanan rakyat dapat dilihat pada berbagai sektor kehidupan, misalnya : buruh, tukang, sopir, artis, sekretaris, akuntan, dan sebagainya. Jadi pada dasarnya, kelompok ini diisi oleh para pekerja dari segala strata kehidupan sosial. Pertumbuhan
175
176
kelompok ini sangat cepat, baik dilihat dari angka pencari kerja maupun dari pertumbuhan keahlian itu sendiri. Oleh karena itu, keberadaan proyek-proyek padat karya dalam berbagai lini kehidupan sangat membantu terhindarnya ledakan pengangguran dan berbagai masalah sosial lain yang menyertainya. Mengingat pada fungsi pertahanan rakyat sangat mudah terjadi permutasian, maka pembekalan kecakapan /keahlian yang diberikan oleh pendidikan hendaknya ditingkatkan. Baik porsi, macam, maupun intensitasnya Sehingga output pendidikan tidak sampai ketinggalan kereta “pasar tenaga kerja” yang membutuhkan. Bahkan, bila dipandang perlu Balai Latihan Kerja (BLK), kursus-kursus, dan yang sejenis dengan itu diperbanyak. D. Pertahanan dan keamanan rakyat semesta 10. Unit kerja pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Dalam hal ini ada dua pengertian yang perlu diperhatikan. Pengertian pertama, pertahanan dan keamanan dalam arti sempit. Dengan kacamata mikro, maka yang dimaksud oleh dunia militer akan berbeda dengan yang dimaksud oleh dunia sipil, begitu pula dengan dunia rakyat. Masing-masing mempunyai pandangan sendiri-sendiri, sebagai gambaran sederhana : •
Militer akan menjaga “pertahanan dan keamanan” dunia militer dari ganguan dunia sipil maupun dari dunia rakyat;
•
Sipil akan menjaga “pertahanan dan keamanan” dunia sipil dari intervensi dunia militer, dunia sipil lain, maupun dari dunia rakyat;
•
Pendidik akan menjaga “pertahanan dan keamanan” dunia pendidikan dari pengaruh negatif yang datang dari dunia lain agar peserta didik dapat menjadi pribadi yang utuh;
•
Rakyat akan menjaga “pertahanan dan keamanan” rakyat dari serbuan dunia sipil, dunia militer, atau dunia rakyat lain.
176
177
Gangguan tidak selalu harus diartikan dalam bentuk gangguan keamanan atau fisik belaka, sebab dalam keseharian bentuk gangguan dapat saja berupa kebijakan yang tidak populer karena merugian rakyat banyak atau merugikan sebagian rakyat, sementara ada “rakyat lain” diuntungkan. Dalam hal ini, sangat banyak sekali contoh yang dapat dilihat dan dirasakan. Dengan demikian, pada dasarnya masing-masing “kehidupan” mempunyai naluri untuk mempertahankan diri dari gangguan keamanan yang datang dari “kehidupan” lain. Padahal, pada Noto Kehidupan kepemilikan lahan kehidupan telah terbagi sejak pasca Proklamasi, 17 Agustus 1945 yang lalu. Dari sini, dapat dimengerti bahwa secara mikro penanggung jawab pertahanan dan keamanan rakyat semesta menjadi tanggung jawab mereka sendiri, sesuai dengan tempat mereka berada. Mereka yang berada di dalam srtuktur menjaga pertahanan dan keamanan dari dalam struktur, sementara mereka yang berada di luar struktur menjaga pertahanan dan keamanan dari luar struktur birokrasi. Dengan kata lain, mereka yang berada di dalam struktur birokrasi melaksanakan hak dan kewajibannya dalam bela negara lewat jalur birokrasi (baik sipil maupun militer). Adapun, mereka yang berada di luar struktur birokrasi melaksanakan hak dan kewajibannya lewat jalur parlemen. Baik jalur birokrasi maupun jalur parlemen akhirnya akan bermuara pada satu titik yang sama, yaitu majelis tertinggi11. Masalahnya, tempat yang telah tertata pada generasi pertama menjadi kacau. Mereka yang seharusnya berada di lahan satu tempat tergeser oleh kekuatan lain tanpa ada yang meluruskan. Bahwa A tidak mungkin digantikan oleh B, begitu pula sebaliknya. Memang, dalam kondisi tertentu substitusi dapat dilakukan, namun memposisikan A = B jelas sangat tidak adil. Bukankah seharusnya, siapa yang datang lebih dahulu akan menempati barisan
di depan? Pola tersebut di atas akan
menggiring masuknya rakyat pada lembaga perwakilan rakyat di dalam struktur negara yang selanjutnya disebut lembaga perwakilan rakyat (parlemen). 11
lihat Noto Penguasa
177
178
Untuk selanjutnya lembaga perwakilan tersebut (DPR) akan melakukan fungsi legislatif. Oleh karena itu, di dalam DPR --atau turunannya, wakil rakyat harus jelas basisnya sehingga saat menyuarakan aspirasi rakyat menjadi jelas rakyat mana yang diwakilinya. Begitu pula saat rakyat mengadukan nasibnya, akan jelas pula, kepada siapa mereka akan mengadu. Dari sini muncul pertanyaan, bukankah di DPR sudah terdapat komisi-komisi dengan bidang garapan yang berlainan? Bukankah seharusnya kepada mereka rakyat mengadu? Memang, komisi telah ada dan akan secepatnya (?) merespon aspirasi rakyat. Namun perlu diingat bahwa pada komisi-komisi tersebut para wakil rakyat masih akan membawa pandangan fraksi /partainya atau dengan kata lain masih mambawa kepentingan sempit. Adanya perbedaan cara pandang setiap partai itulah yang membuat sebuah masalah menjadi tidak cepat selesai, terkatung-katung, dan akhirnya terabaikan karena rumitnya memadukan perbedaan cara pandang. Pada
akhirnya,
rakyat
sendirilah
yang
rugi.
Muaranya
adalah
ketidakpercayaan rakyat terhadap para wakil mereka yang telah mereka antarkan sampai ke kursi parlemen. Ketidakpercayaan akan membuahkan kekecewaan. Pada saat rasa kecewa mencapai puncaknya, bisa saja mereka lupa pada rambu-rambu kehidupan yang dijunjungnya. Berdasarkan konsep bilangan, akhirnya dapat ditelusuri bahwa lembaga perwakilan rakyat haruslah ada sejak dari tataran terendah pemerintah sampai tingkat nasional, dan itu berarti harus ada sebelas macam satuan lembaga legislasi. Oleh karena itu, jika lembaga legislatif tingkat pusat (baca : DPR RI) adalah satuan perwakilan rakyat yang pertama dan utama, maka akan ada sepuluh macam satuan legislatif yang ada dibawahnya, yaitu : l. Bagian
: DPR Bagian
2. Wilayah
: DPR Wilayah
3. Provinsi
: DPR Provinsi
4. Karesidenan
: DPR Karesidenan
178
179
5. Kabupaten
: DPR Kabupaten
6. Kota
: Perwakilan Rakyat Kota
7. Kawedanan
: Perwakilan Rakyat Kawedanan
8. Kecamatan
: Perwakilan Rakyat Kecamatan
9. Desa
: Perwakilan Rakyat Desa
10. Kelurahan
: Perwakilan Rakyat Kelurahan
Mengingat yang dimaksud rakyat adalah mereka yang berada di luar struktur birokrasi yang di dalam hak dan kewajiban pembelaan negara serta pemenuhan hajat hidup tidak lagi memandang –isme maka dari itu keberadaan partai politik “praktis” menjadi tidak perlu. Negara ini sudah merdeka. Jadi, apa untungnya membentur-benturkan rakyat di dalam pemilihan umum. Apalagi dengan dana yang bukan main besarnya. Dengan demikian, yang diperlukan adalah partai politik yang sesuai dengan kondisi riil mereka. Sebuah partai yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan mendasar mereka, sebuah partai politik praktis. Dengan kata lain, partai yang diperlukan adalah partai yang sesuai dengan warna dasar mereka di luar yang berbau suku, agama, ras, maupun antar golongan /isme (SARA). Bahwa posisi suku sudah mendapatkan tempat pada bangsa, posisi agama sudah mendapatkan tempat terhormat dalam struktur negara, ras sudah luruh dalam pengertian manusia Indonesia, dan masa bakti -isme sudah berlalu dengan merdekanya bangsa.. Maka dari itu, akhirnya dapat diketahui bahwa warna dasar selain yang berbau SARA adalah pekerjaan. Sebagai contoh “partai politik” petani, “partai
politik” pedagang, “partai politik” nelayan, “partai politik” pengusaha,
“partai politik” pekerja pabrik, “partai politik” seniman, dan sebagainya itulah yang mereka perlukan. Dengan demikian, tingkat keprofesionalan, basis, dan keterkaitan batin antara pemilih dan yang dipilih dapat dipertanggungjawabkan. Kondisi seperti ini jelas tidak seperti pola menjual kucing dalam karung, yang pada akhirnya mengecewakan para pemilih. Dan, lagi-lagi yang menjadi korban adalah rakyat.
179
180
Dasar perjuangan partai mereka sama, yaitu Pancasila
--yang telah
mempunyai nurani karena Piagam Jakarta telah mengisi kekosongan jiwanya. Dengan demikian, tidak pada tempatnya menaruh kecurigaan akan tumbuh suburnya sebuah – isme di dalam partai. Ingat, agama sudah mempunyai posisi kontrol yang kuat dari lembaga tertinggi negara sampai lembaga terendah negara sehingga tipis kemungkinan bagi sebuah “partai” untuk keluar dari rel yang telah ditentukan. Pola ini akan menggiring ke arah terciptanya sebuah lahan kehidupan yang adil bagi seluruh rakyat. Pola ini pun akan menggiring rakyat untuk menjadi pemilik lahan kehidupan tertentu. Jika petani, di mana sawahnya. Jika pedagaang, di mana tempat berdagangnya. Jika penjahit, di mana tempat usahanya. Jika sopir pada perusahaan apa, trayeknya mana. Jika tukang, tukang apa, dan sebagainya. Semuanya dapat dilacak dan akan tertata. Sebab, di situlah sumber pendapatan mereka. Mereka yang memilih sendiri dan peran mereka dalam pembangunan benar-benar dipertaruhkan. Oleh karena itu, dengan numerisasi penduduk berdasarkan matapencaharian secara tepat dan akurat akan dapat memproyeksikan penataan sesuai keahlian dan /jumlah kebutuhan tempat usaha mereka. Dengan demikian, semua akan tertata, tidak kacau-balau. Mereka yang ahli hukum akan bergerak di bidang hukum, misalnya. Oleh karena spesialisasi mereka yang majemuk, maka berdasarkan konsep bilangan dapatlah dilacak berapa orang jumlah ideal anggota lembaga legislatif dari level terendah sampai level tertinggi. Jika “bilangan desimal basis sepuluh (10)” diganti dengan “basis kehidupan” yang berarti pekerjaan, maka pada langit bawah parlemen akan terisi oleh 10 unsur basis kehidupan di daerah itu. Dengan kata lain, pada Perwakilan Rakyat Kelurahan sampai dengan Perwakilan Rakyat Kota adalah 10 orang. Sedangkan pada langit atas parlemen, penggunaan hitungan dengan menggunakan bilangan desimal basis sepuluh (10) sudah ditinggalkan karena pada tataran tersebut dimensi kehidupan makin bervariasi sehingga dipergunakan basis seratus (102), oleh karena itu pada DPR kabupaten sampai dengan DPR Bagian beranggotakan 100 orang.
180
181
Dari sini muncul pertanyaan, berapa orang anggota DPR RI? Perlu diingat bahwa seratus tidak hanya berasal dari sepuluh puluhan, namun juga berasal dari sepuluh puluh. Dengan demikian, jika pengertian pertama telah dipergunakan pada parlemen tingkat daerah (baca : DPR Kabupaten sampai dengan DPR Bagian), maka pengertian kedua akan digunakan pada parlemen tingkat pusat. Oleh karena itu, DPR RI pun beranggotakan 100 orang dan sudah barang tentu dengan prosentase yang seimbang antar basic kehidupan rakyat. Berdasarkan konsep tersebut, dengan sendirinya, dengan kepala tegak, militer akan keluar dari parlemen, dan … begitu pula dengan keberadaan dan partai-partai politik! Itulah saatnya bagi partai politik yang selama ini mengaku berisi kaum profesional membuktikan kebolehannya. Sejalan dengan hal itu, maka kementerian (istilah pengganti departemen) akan menyesuaikan keberadaannya sehingga DPR dapat melakukan fungsinya dengan tepat, dan nyambung …. Sehingga misalnya, Kementerian Pertanian akan diawasi oleh Partai politik Petani. Kementerian Perindustrian akan diawasi oleh Partai politik Kerajinan /Industri, dan sebagainya. Begitu pula halnya dengan dinas-dinas yang ada pada tataran daerah. Pengertian kedua, pertahanan dan keamanan rakyat semesta dapat diartikan sebagai upaya bertahan dari gangguan keamanan secara bersama-sama. Mengingat asal-usul gangguan tidak hanya berasal dari dalam negara namun juga dapat berasal dari luar negara, maka sepanjang gangguan yang datang dari dalam tersebut tidak ada niatan untuk melepaskan diri dari pelukan Pertiwi seyogyanya dihadapi dengan lembut dan persuasif. --Bukankah, saat seorang anak menolak untuk makan belum tentu makanannya tidak enak? Bisa jadi, ia sedang sakit, kecewa, atau mungkin sebab lain yang tidak dapat diungkapkan secara terbuka. Bukannya langsung dihajar! Disitulah perlunya dialog, baik lintas agama, lintas sektor, lintas generasi, maupun lintas-lintas yang lain. Dengan demikian, setiap permasalahan akan menjadi jelas duduk persoalannya. Sebaliknya, apapun bentuknya, semua gangguan yang datang dari luar harus dihadapi bersama.
181
182
3.9 Noto Bilangan (10)84 Masalah ini selengkapnya dapat dilihat kembali pada Bab II. Namun di sini, ada sedikit hal yang perlu penulis tambahkan. Pertama, bahwa karena sistem bilangan Hindu Arab yang dipakai di Indonesia --andaikan pohon-- tidak berakar di Indonesia maka menurut penulis sampai kapanpun hutang Indonesia sulit untuk lunas, malah makin membengkak. Keuntungan akan tetap lari ke sana, pemodal. Sebab, bagaimanapun, di dalam menghitung uang digunakan bilangan. Jadi, saat bilangan yang dipelajari ternyata salah karena adanya kecurangan, maka …. Lantas, apa yang masih tersisa ? Kedua, keberadaan sistem bilangan Indonesia akan mempengaruhi sistem lain dan itu adalah hal yang wajar. Menurut penulis, dengan segala keterbatasan ilmu yang penulis miliki, sistem bilangan Indonesia akan menuntun ke arah keadilan yang hakiki. Dengan bilangan, semua materi --yang layak dihitung-- dapat dihitung. Ketiga, kelak, pada saat ada sepuluh negara tetangga /lain yang dengan “suka rela” mau tunduk dan bernaung di bawah kibaran Merah Putih akan muncul satuan puncak bilangan Indonesia, 1 Indonesia Raya (10)256. Keempat, bilangan dengan sistem bilangan Indonesia mempunyai batas. Ini menandakan adanya keterbatasan kemampuan manusia. Bilangan di atas (10)256 sudah bukan daerah kekuasaan manusia, sudah merupakan daerah kekuasan-Nya. Pola bilangan menggiring manusia Indonesia untuk tahu batas, sehingga tidak menjadi manusia yang melampaui batas /tidak tahu batas. 3.10 Noto Bahasa (10)80 Sebagai satu di antara unsur budaya, bahasa mempunyai dua buah unsur pendukung yaitu, bahasa itu sendiri (linguistik) dan aksara. Yang, antara keduanya dapat diibaratkan sebagai suami istri. Dalam tulisan ini, pokok permasalahan lebih dititik beratkan pada aksara Indonesia sebagai pasangan bahasa Indonesia.
182
183
Perlu diingat bahwa sebelum 1901 bahasa Melayu ditulis dengan menggunakan huruf Arab-Melayu dan dibeberapa tempat ditulis dengan menggunakan huruf latin. Karena adanya ketidak-seragaman tersebut, atas perintah dari Pemerintah Hindia Belanda maka sejak 1896 Charles Adrian Van Ophuysen memulai usahan penciptaan ejaan untuk menuliskan bahasa Melayu. Usaha tersebut dapat diselesaikan pada 1901 serta dibukukan dalam “Kitab Logat Melajoe”. Untuk selanjutnya, agar tidak terjadi kerancuan dalam pengertian, penulis manggunakan kata aksara sebagai pengganti kata ejaan. Dalam perjalanannya, aksara ciptaan Van Ophuysen itu dimodifikasi beberapa kali dengan maksud agar lebih praktis tentunya. Modifikasi terakhir adalah dengan ditetapkannya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) oleh mantan Presiden Soeharto pada 17 Agustus 1971. Jadi, pada dasarnya EYD adalah meta- morfose terakhir dari ejaan Van Ophuysen. Sebagai seorang ahli bahasa, Van Ophuysen dapat membaca ke arah mana sebenarnya arah dari perintah yang diterimanya. Membangun sebuah pintu “masuk” bagi sebuah budaya baru. Sejak itu, perang budaya baru dimulai. Daerah jajahan tidak lagi sekedar sebagai “sapi perah” namun juga menjelma sebagai
“satelit”
budaya mereka. Dengan kata lain, mereka mulai melakukan penaklukan budaya dengan melalui “pintu aksara”. Bukankah, bahasa adalah bangsa? Bukankah bahasa baru lengkap setelah disandingkan dengan aksara? Jadi, sekalipun bahasa Indonesia telah merdeka, maka kemerdekaannya menjadi kurang mampu bersaing karena belum lahir aksara Indonesia. Dengan demikian, pada dasarnya bangsa ini baru sebatas bisa bicara …. Apakah arti semua itu? Pembaca yang budiman, sebagai bangsa yang telah berbudaya sejak Kedatuan Kutai hingga Kesultanan Yogyakarta bangsa ini telah mengenal aksara, dari huruf Palawa, pra nagari, Jawa, Batak, Bugis, Arab, dan sebagainya, yang hingga saat ini ada di antara aksara tersebut masih bertahan dan jika aksara tersebut milik etnik (baca : suku bangsa) tertentu untuk selanjutnya disebut sebagai aksara daerah.
183
184
Gencarnya pembelajaran bahasa Indonesia mempercepat terpinggirkannya aksara daerah. Ini berarti aksara daerah telah berada dalam stadium koma, di ambang kematian. Bisa jadi, hal itu dikarenakan adanya anggapan bahwa aksara daerah kurang praktis. Namun, anggapan tersebut juga lemah, sebab pada EYD pun terdapat sederet kelemahan. Pertama, pada EYD terdapat konsonan rangkap seperti sy, ny, ng, dan sebagainya. Kedua, pada EYD terdapat vokal rangkap seperti ai, au, dan oi. Ketiga, EYD tidak dapat membedakan aksara untuk vokal /e/ pepet , vokal /e/ taling, dan vokal /e/. Juga tidak dapat membedakan aksara konsonan d pada /dupa/ dan d pada /dada/, dan sebagainya. Jadi, anggapan kurang praktisnya aksara daerah pun sebenarnya lemah. Begitu pula dengan anggapan Van Opusyen tentang tidak praktisnya aksara Arab, bukankah aksara Arab lebih banyak “macamnya” ? dari situ dapatlah dimengerti bahwa penggunaan aksara dengan EYD tentulah didorong oleh faktor lain, ini berarti ada tangan kuat di balik itu. Pertanyaannya adalah siapa tangan kuat yang dimaksud ? Dengan digunakannya aksara produk mereka di negeri ini, maka teknologi mereka yang berbasis aksara akan laku di sini. Lihat saja mulai dari mesin ketik sampai dengan komputer adalah produk mereka, dan ini dipermulus dengan bahasa mereka yang gencar juga dimasyarakatkan --dengan adanya jam muatan lokal Bahasa Inggris sejak Sekolah Dasar pada sekolah-sekolah tertentu. Memang, pada zaman kolonial Belanda, mereka yang mampu berbahasa Belanda dengan aktif akan memudahkan yang bersangkutan untuk mendapatkan posisi /tempat dalam pemerintahan kolonial. Dan, sekarang, mereka yang mampu berbahasa Inggris makin berpeluang untuk tampil sebagai pemenang dalam kompetisi “karir”. Pertanyaannya, apakah sekarang bangsa ini telah jatuh ke dalam kolonialis baru, imperialis Inggris, atau lebih tepatnya penjajahan linguistik Inggris? Atau malah ke penjajah linguistik yang lain? Kalau tidak, untuk apa membebani semua peserta didik –di SLTP /SLTA-- mempelajari “bahasa” mereka? Berapa persen dari mereka yang pada akhirnya menggantungkan hidup pada bahasa tersebut?
184
185
Berapa persen yang tidak? Jadi, dengan kata lain, demi satu dua butir telur dunia pendidikan mengorbankan yang sekeranjang …. Menurut penulis, tidak ada jeleknya
mempelajari bahasa asing asal ada
manfaat bagi yang mempelajarinya, sehingga “masa” yang dipergunakan untuk belajar tidak terbuang sia-sia. Mereka hidup di Indonesia, temannya orang Indonesia, tetangganya orang Indonesia,di pasar orang Indonesia, di atas kendaraan umum orang Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari berhubungan dengan orang Indonesia. Lantas untuk apa susah-susah belajar bahasa asing kalau pada akhirnya hanya berhubungan dengan mereka yang sebangsa dan sebahasa pula? Oleh karena itu, menurut penulis, seyogyanya pembelajaran bahasa asing tidak memanfaatkan jam efektif namun dimasukkan pada kegiatan ekstra kurikuler, sehingga, hanya mereka yang berkeinginan saja yang perlu mempelajari sedangkan yang tidak berkepentingan tidak terbebani. Bukakah di negara yang berbahasa Inggris, bahasa Indonesia juga tidak diajarkan di tingkat dasar? Jadi, untuk apa bangsa ini terlalu mengalah? Memang ada pepatah Cina mengatakan jika ingin mengalahkan lawan maka harus tahu isi perut lawan. Masalahnya, untuk mengetahui isi perut lawan tidak mungkin dapat ramai-ramai, cukup beberapa orang saja. Jadi, hanya mereka yang benar-benar tertarik dan ada kemampuan untuk itu saja yang dibimbing dengan intensif. Sedangkan peserta didik yang lain biarlah mempelajari ilmu yang lain. Dengan demikian, mereka semua dapat belajar sesuai dengan yang mereka butuhkan. Perlu diingat bahwa bahasa Inggris tidak hanya digunakan di negeri asalnya, namun juga di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia --Mereka adalah negaranegara yang madaninya maju. Itu berarti produk teknologi mereka yang berbasis aksara
menguasai negara ini, jadi bukan hanya sekedar laku. Bahkan, dalam
perkembangan selanjutnya penguasaan bahasa Mandarin, Jepang, Korea pun ikutikutan menentukan mendapatkan posisi (lahan kehidupan). Itu menunjukkan, makin banyak tangan asing berkuasa di bumi Pertiwi. Jadi, mereka adalah kaum kapitalis, baik pemain lama –negara barat--
maupun pemain baru
–negara Asia, yang
185
186
menjadikan Indonesia di satu sisi hanya sebagai sapi perah bahan mentah serta penyedia tenaga kerja yang murah dan di sisi lain sebagai pasar produk mereka. Lantas untuk apa? Dengan digunakannya aksara yang sama seperti aksara yang mereka gunakan akan memudahkan mereka untuk mengadakan kontrol terhadap kemajuan yang telah dicapai bangsa ini. Mereka tidak perlu belajar lagi, rahasia kita telah berada di tangan mereka. Sebaliknya, siswa-siswa kita harus membagi waktu, mempelajari aksara sendiri (aksara daerah) agar tidak punah dan mempelajari aksara mereka agar dapat dikategorikan bangsa “maju”, bahkan bila memungkinkan untuk mendapatkan predikat “daerah bebas buta aksara” untuk daerahnya, atau “negara bebas buta aksara” untuk negaranya. Ini berarti, siswa-siswa kita belajar dua, sedangkan siswa mereka belajar satu. Waktu yang dipergunakan siswa kita lebih banyak, dengan kata lain … jalan di tempat. Semakin pandai output pendidikan –dalam ilmu aksara mereka, maka semakin memperkokoh posisi mereka sebagai kapitalis! Itulah tujuan mereka, membuat kita jalan di tempat setelah berhasil menghalau mereka dari bumi Nusantara sebagai bangsa imperalis sekian puluh tahun silam. Atau, paling tinggi berputarputar pada tiang tambatan yang mereka buat. Memang, saat penghuni negara ini menjadi melek huruf “aksara mereka” ada pihak yang diuntungkan, yaitu media massa. Namun, sadarkah kita bahwa dengan begitu akan semakin mematikan aksara kita sendiri? Dari kenyataan tersebut muncul pertanyaan, bagaimana cara melepaskan diri dari “sihir” mereka yang semakin bervariasi dan semakin canggih? Jawabannya tegas, tinggalkan produk mereka! Meninggalkan “produk” mereka bukan menyelesaikan masalah selama aksara mareka tetap kita pakai di sini. Oleh karena itu, sastrawan, pujangga, ahli bahasa daerah, dan ahli bahasa Indonesia duduk semeja untuk menciptakan aksara baru. Mereka yang berkompeten tersebut mempunyai tugas membangun peradaban aksara Indonesia sebagai penopang bahasa Indonesia yang sudah terlebih dahulu merdeka. Dengan kata lain, aksara
186
187
Indonesia harus mengejar ketertinggalannya. Dalam hal ini tentulah sangat berat dan sulit, terlebih jika tidak ada akar budaya yang kuat di masyarakat. Ini berarti, aksara baru nanti harus berupa huruf daerah yang sudah baku sebagai cikal bakal sedangkan huruf daerah yang lain melengkapi aksara yang belum ada. Menurut penulis, dinamakan aksara daerah untuk aksara-aksara milik daerah itupun belumlah benar. Sebab, pertama, belum pernah ada semacam Sumpah Pemuda yang mencanangkan “Menjunjung aksara persatuan, aksara Indonesia” atau mengakui aksara “anu” sebagai aksara Indonesia. Kedua, pada galibnya, aksara daerah tersebut adalah aksara sebuah bangsa pra Sumpah Pemuda. Bukankah sebelum Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, mereka belum mengaku sebagai bangsa Indonesia? Dengan demikian, sebagai contoh, Yong Celebes marupakan organisasi pemuda -bangsa-- Celebes. Hanya saja, saat posisi sebagai bangsa diturunkan sebagai suku bangsa, posisi aksara milik mereka tidak serta-merta mengikutinya. Aksara tersebut masih bertahan di tempatnya. “Ia” masih berdaulat penuh, hanya sebutannya saja diubah menjadi aksara daerah oleh dunia Bahasa Indonesia, dari aksara sebuah negara menjadi aksara sebuah negeri. Dalam konteks yang berbeda, dalam cerita pewayangan, nasib aksara daerah ini mirip dengan nasib Dewi Drupadi kala dijadikan taruhan oleh suaminya yang kalah dalam permainan dadu! Pembaca yang budiman, sampai saat ini masih ada sembilan buah aksara daerah yang mampu bertahan hidup, yaitu : aksara Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Karo, Mandailing, Lampung, Rejang, dan Toba Jika kita perhatikan dengan seksama maka akan terlihat bahwa antara aksara Sunda, Jawa, dan Bali ada kesamaan. Demikian juga antara aksara yang ada di pulau Sumatera dengan aksara yang ada di Sulawesi. Jadi, kalau ditarik garis tegas, hanya ada dua model aksara, yaitu model sujali (Sunda /Jawa /Bali) dan model sutera susi (Sumatera /Sulawesi) dengan kelebihan /kekurangan masing-masing. Di samping itu, keberadaan aksara Arab yang tetap dipelajari oleh umat Islam pun tidak boleh diabaikan.
187
188
Jadi, sebenarnya sampai saat ini ada sebelas aksara “bangsa” yang hidup di bumi Indonesia dengan komposisi aksara sebagai berikut : a. Aksara Bali
= 21 buah
b. Aksara Jawa
= 22 buah
c. Aksara Sunda
= 21 buah
d. Aksara Bugis
= 23 buah
e. aksara Karo
= 21 buah
f. Aksara Mandailing
= 19 buah
g. aksara Lampung
= 21 buah
h. Aksara Rejang
= 22 buah
i. Aksara Toba
= 19 buah
j. Aksara Arab
= 29 buah
k. Aksara Van Opusyen dengan EYD-nya = 26 buah (Kamus Besar bahasa Indonesia, 1990 : 1056/1057)
Adanya keseimbangan dalam jumlah aksara di atas, bukanlah berarti adanya kemutlakan kesamaan fonem aksara tersebut. Sebagai contoh, pada aksara Jawa fonem /dh/, /ny/, /th/,/ng/, /re/, /le/ dan hanya terdiri dari satu aksara. Pada aksara Bugis, fonem /mp/, /ng/, ngk/, /nr/, /ny/, /nyc/ pun hanya terdiri dari satu aksara. Pada aksara Arab, /dl/, /gh/, /ts/, dan sebagainya juga hanya satu akara. Dan, begitu pula dengan aksara-aksara yang lain, ada yang berfonem sama --tentu saja dengan aksara berbeda. Dalam hal ini, kita hendaknya ingat bahwa dalam Indonesia baru pasca transisi nanti, semua daerah diberi kesempatan untuk menjadi sentral, dalam arti sebuah sentral budaya bangsa. Oleh karena itu, jika bahasa Indonesia berakar dari ranah Sumatera, bilangan berakar di Jawa, maka untuk aksara --menurut penulis-lebih tepat jika diakarkan di daerah yang belum menjadi sentral. Bukan maksud penulis menggiring opini Pembaca budiman agar menunjuk ranah Sulawesi, namun jika memungkinkan mengapa tidak. Dan, jika ada kekurangan-lengkapan, maka saat itulah ditarik “sumbangan” aksara dari daerah lain. Kelak, satu fonem, satu aksara. Dengan demikian, jumlah aksara Indonesia akan semakin banyak dan lengkap.
188
189
Pertanyaannya, dengan lahirnya aksara Indonesia, apakah masih diperlukan keberadaan aksara daerah? Pertanyaan ini memang agak sulit untuk menjawabnya. Hal ini dikarenakan, pada saat Indonesia benar-benar menjadi satu, maka identitas lokal (baca : aksara daerah) pun melebur menjadi satu. Nah, kondisi seperti ini tidak muungkin tercipta dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Oleh karena itu, untuk menjadi lebur
dan menjadi satu tersebut sangat diperlukan sebuah
pengorbanan. Dengan demikian, semua unsur aksara --daerah-- sebagai disebut di atas harus melepaskan konsesi, melepaskan kedaulatannya. Dan, ini tidak dapat dilakukan oleh ahli bahasa Indonesia, melainkan oleh para budayawan etnik. Ketidak relaan melepaskan konsesi dengan dalih melenyapkan satu unsur budaya daerah pun, menurut penulis, kurang tepat. Sebab dengan mempertahankan keberadaan satu aksara lain sebagai tandingan satu aksara Indonesia akan memperlemah kedua-duanya. Keadaan ini tentu sangat tidak menguntungkan konsep Indonesia yang satu. Agar tidak hilang begitu saja, maka pembelajaran bahasa daerah / aksara daerah dimunculkan pada kegiatan ekstra kurikuler sehingga keberadaannya akan menopang budaya daerah. Dengan demikian, secara formal, pada tataran pendidikan dasar, pembelajaran aksara daerah
maupun bahasa daerah
harus ditinggalkan.
Kelak, pada jenjang pendidikan menengah, aksara daerah dan bahasa daerah barulah dimunculkan sebagai mata pelajaran wajib. Sedangkan mata pelajaran bahasa asing, pada pendidikan dasar
--dalam
kondisi normal-- tidak diajarkan. Mata pelajaran ini, pada pendidikan menengah dasar (baca : SLTA) baru muncul sebagai muatan lokal, dan baru pada pendidikan menengah atas (baca : diploma) menjadi mata ajaran wajib. Oleh karena itu, aksara latin dengan EYD-nya barulah dipelajari siswa pada tingkat /jenjang ini. Pola
di
atas
akan
menggiring
peserta
didik
untuk
memperkuat
nasionalismenya sehingga bahasa Indonesia dapat berjalan seiring dengan aksara Indonesia. Dengan demikian, genderang perang budaya yang dicanangkan oleh Van
189
190
Ophuysen sejak 1911 telah terjawab! Lihatlah, penjajahan linguistik sudah menguasai dunia pendidikan, sampai-sampai pada SLTP dan SMU -pun bahasa Inggris diebtanaskan. Kedudukannya disejarkan dengan bahasa Indonesia, tentu saja dengan dalih … bahasa Inggris adalah bahasa dunia. Pertanyaannya, dunia yang mana? Apa relevansi bahasa Inggris dengan kehidupan riil peserta didik? Sekali lagi, jangan karena sebutir telur sampai harus mengorbankan yang sekeranjang! Oleh karena itu, pada gilirannya nanti, Lembaga Bimbingan Belajar hanya akan memfokuskan materi pembelajarannya pada bahasa /aksara asing, sedangkan materi yang lain cukuplah diterima siswa di sekolah. Dengan demikian tidak terjadi pengulangan meteri, tidak terjadi sekolah-sekolah bayangan sebagai tandingan sekolah-sekolah formal, dan memberi kesempatan kepada LBB untuk membuka lahan kehidupan yang baru. Dari sini muncul pertanyaan, apakah itu bukan suatu kemunduran? Sesungguhnya, apalah artinya mundur sembilan tahun jika sesudah itu mampu melepaskan diri dari jeratan mereka? Bukankah, deretan panjang para pahlawan telah memberi contoh dengan merelakan dirinya berjuang “ratusan tahun” tanpa mengenal kata menyerah sampai tetes darah yang terakhir? Jika pendahulu saja bisa, mengapa kita tidak? Memang, pada akhirnya, kita semua harus belajar lagi sebab ternyata kita masih buta huruf! Sangkaan, bahwa mayoritas (?) bangsa ini sudah melek huruf ternyata keliru. Karena ternyata, hurufnya sendiri belum ada, belum pernah tercipta. Disitulah letak perlunya masa transisi sembilan tahun! Guru, murid, dan semua isi penghuni negara ini harus kembali belajar. Pada tahun pertama pasca transisi, murid Kelas I Sekolah Dasar akan memulai babak baru. Merekalah generasi yang benar-benar merdeka. Dengan adanya satu aksara Indonesia yang stiril dari pengaruh imperialis, barulah kita dapat berharap tumbuhnya industri yang berbasis aksara di negeri ini. Dengan demikian, tenaga terdidik untuk bidang itu tidak lari ke luar negeri. Di sini lapangan kerja luas tersedia, dan itu berarti pengurangan pengangguran dan hemat devisa, pasar dalam negara berada dalam genggaman sendiri.
190
191
3.11 Noto Nusa (10)72 Nusa di sini bararti wilayah teritorial. Satuan teritorial pertama dan utama yaitu Indonesia. Oleh karena itu, satuan teritorial berikutnya adalah : 1. Bagian 2. Wilayah 3. Provinsi 4. Karesidenan 5. Kabupaten 6. Kota 7. Kawedanan 8. Kecamatan 9. Desa 10. Kelurahan Dengan pola seperti itu, terlihatlah bahwa ternyata tidak ada satupun wilayah teritorial di negara Indonesia ini yang bernama Indonesia. Jadi, ibarat pohon “ia” tidak memiliki akar. Oleh karena itu, jika sampai terjadi masalah disintegrasi -menurut penulis-- wajar. Logikanya, Bagaimana mungkin sebuah pohon akan kokoh berdiri tanpa sehelai akarpun yang menghujam ke bumi? Sebab, ternyata ada yang kurang untuk dapat mempunyai rasa ikut memilikinya. Maka dari itu, kelak, dari 10 bagian teritorial Indonesia hendaknya 1 bagian untuk Indonesia, dan diberi nama Bagian Indonesia, sedangkan 9 bagian yang lain diberi nama disesuaikan dengan faktor geografisnya, misal : Bagian Sumatera, Bagian Kalimantan, Bagian Irian, Bagian Bali, dan sebagainya. Bagian Indonesia tadi --setelah dipecah menjadi 10 wilayah-- disisakan lagi 1 wilayah untuk Indonesia, dan diberi nama Wilayah Indonesia. Nama sembilan wilayah yang lain –misalnya-- disesuaikan dengan kondisi sejarah.
191
192
Dengan demikian akan terlihat : a. Wilayah Indonesia, Bagian Indonesia b. Wilayah x, Bagian Indonesia c. Wilayah y, Bagian Indonesia d. dan seterusnya. Begitu pula halnya dengan “Bagian –teritorial-- Indonesia” yang lain, jika memungkinkan masing-masing dipecah lagi menjadi 10 wilayah dan satuan wilayah pertama diberi nama seperti “fenotipnya” dan satuan wilayah kedua deberi nama Indonesia. Dengan demikian, misalnya : 1. Pada Bagian Sumatera, akan ada : a. Wilayah Sumatera, Bagian Sumatera b. Wilayah Indonesia, Bagian Sumatera; c. Wilayah x, Bagian Sumetera; 2. Pada Bagian Irian akan ada : a.Wilayah Irian, Bagian Irian; b.Wilayah Indonesia, Bagian Irian c. Wilayah x, Bagian Irian; Sedangkan “bagian” yang tidak memungkinkan untuk dipecah karena terbatasnya wilayah teritorial maka dengan sendirinya tidak perlu dipecah lagi sehingga pada tataran “wilayah”, Indonesia tidak muncul. Dalam hal ini, bisa jadi teritorial Indonesia baru akan muncul pada satuan wilayah teritorial yang lebih kecil, lebih kecil, atau mungkin lebih kecil lagi, dan bahkan bisa jadi pada satuan teritorial paling kecil, yaitu kelurahan. Misalnya : Kab. Indonesia, Karesiden x, Prov. Bali, Wilayah Bali, Bagian Bali.
192
193
Untuk selanjutnya, Wilayah Indonesia dipecah lagi menjadi 10 provinsi dan satu di antaranya adalah Provinsi Indonesia. Sedangkan urusan nama sembilan provinsi yang lain terserah keadaan
/kondisi /sejarah
/kesepakatan penduduk
setempat, dan begitu seterusnya. Begitu pula halnya dengan wilayah yang lain. Jika memungkinkan, juga dipecah lagi menjadi 10 provinsi, satu diberi nama Indonesia, satu diberi nama seperti nama wilayah, dan satu diberi nama seperti bagian, dan seterusnya sampai ke level terendah wilayah teritorial (kelurahan). Keuntungan yang dapat dipetik Indonesia dengan model seperti itu adalah Indonesia akan memiliki akar yang kokoh karena pada tiap-tiap wilayah teritorialnya benar-benar memiliki “wilayah”. Menurut penulis, selama ini “wilayah” Indonesia masih ada pada “bungkus” dan di awang-awang. Jadi, belum menyentuh “isi”. Dari itu, jika sering terjadi benturan antar isi, sekali lagi, wajar. Oleh karena itu, cara pandang “apalah arti sebuah nama” dalam konteks ke-Indonesia-an perlu ditinggalkan, sebab pada nama terkandung sebuah makna. Kelak, 10 % dari (10)128 kelurahan di Indonesia adalah Kelurahan Indonesia, 10% dari (10)96 desa di Indonesia adalah Desa Indonesia, 10 % dari (10)64 kecamatan di Indonesia adalah Kecamatan Indonesia, 10 % dari (10)48 kawedanan di Indonesia adalah Kawedanan Indonesia, 10 % dari (10)32 kota di Indonesia adalah Kota Indonesia, 10% dari (10)16 kabupaten di Indonesia adalah Kabupaten Indonesia, 10 % dari (10)8 karesidenan di Indonesia adalah Karesidenan Indonesia, 10 % dari (10)4 provinsi di Indonesia adalah Provinsi Indonesia, 10 % dari (10)2 wilayah di Indonesia adalah Wilayah Indonesia, 10 % dari 10 bagian Negara Indonesia adalah Bagian Indonesia, dan 1 Negara Indonesia. Pola ini akan menggiring Indonesia untuk memiliki akar yang
kokoh
sehingga dapat mencengkeram ke bawah, karena pada setiap sudutnya telah tertancap ujung sebuah akarnya, yaitu Kelurahan Indonesia. Dengan demikian, dapat diketemukan letak sebenarnya “pohon” Indonesia.
193
194
Seyogyanya, daerah yang diperuntukkan bagi Indonesia adalah daerah baru yang merupakan daerah pemekaran sehingga tidak mengurangi nama daerah yang sudah ada. Oleh karena itu, pada para sejarahwan dan para pini sepuh bangsa ini diharapkan sumbangsarannya agar dalam pemetaan pemekaran wilayah tersebut tidak terlalu menyimpang jauh dari konteks sejarah. Misalnya, daerah tapal kuda, lebih tepat sebagai Provinsi Blambangan ataukah Provinsi Indonesia? Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam konsep bilangan, antara desa dan kelurahan adalah berbeda. Sepuluh buah kelurahan akan menjadi sebuah desa. Jadi sangat berbeda dengan pengertian selama ini.
3. 12 Noto Negara (10)68 Pada noto negara (10)68 akan muncul pemegang kedaulatan negara. Jika satuan noto negara adalah (10)0 = 1, maka 1 yang dimaksud adalah pelaku pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini. Perlu diingat Pasal 1, UUD RI 1945, menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian, yang dimaksud dengan noto negara adalah majelis tertinggi itu sendiri. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa antara jabatan Kepala Negara dengan jabatan Kepala Pemerintahan (Presiden) tidaklah sama. Sebab, di dalam sistem bilangan tidak ada satuan bilangan yang merangkap sebagai satuan bilangan yang lain. Oleh karena itu, konsep bilangan ini akhirnya menuntun kepada jabatan yang ada di atas Presiden. Padahal, kita tahu “person” yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Presiden adalah Ketua Majelis Permusyawaratan (MPR). Dengan demikian, akhirnya dapat diketahui bahwa jabatan Kepala Negara ini disandang oleh Ketua MPR. Pola ini akan menggiring ke arah “satu orang, satu kursi kekuasaan”.
194
195
Jadi, kelak tidak ada rangkap jabatan. Rangkap jabatan terbukti membuat kisruhnya “langit atas” dan dampaknya sangat terasa di “bumi”. Ingat dengan kasus Dekrit Presiden oleh mantan Presiden Ir. Soekarno dan geger soal pembekuan DPR oleh mantan Presiden Abdulrahman Wahid. Mengingat hak dan kewajiban antara
seorang “ketua” dengan seorang
“kepala” berbeda, seyogyanya di dalam MPR terdapat elemen pemegang nurani. Sehingga, meskipun keputusan Kepala Negara tersebut tergolong “ludah api” akan tetap berada pada jalur yang lurus. Selain sebagai pensuplai energi moral juga berfungsi sebagai kontrol terhadap keputusan lembaga tertinggi negara. Perlu diingat bahwa noto negara adalah satuan bilangan pertama dan utama dalam menata negara untuk level negara. Dengan demikian, pada satuan bilangan kedua akan muncul satuan negara berikutnya. Oleh sebab itu, masih ada 10 satuan noto negara yang berada di dalamnya. Satuan noto negara tersebut untuk selanjutnya disebut lembaga tinggi negara. Pada galibnya setiap lembaga tinggi negara akan menopang lembaga tinggi negara yang lain, baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, kelak akan lahir lima buah lembaga tinggi negara untuk mendampingi lima buah lembaga tinggi yang sudah ada selama ini. Menurut penulis, keberadaannya sangat diperlukan dalam rangka membangun peradaban Indonesia seutuhnya. Perhatikan satuan noto negara pada lapis kedua berikut ini : No.
Satuan noto negara
Lembaga tinggi negara
1.
Agama
Dewan Agama Indonesia
2.
Ilmu
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
3.
Pendidikan
Badan Pendidikan Nasional Indonesia
4.
Uang
Badan Keuangan Indonesia
5.
Pertahanan dan keamanan
Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia
6.
Eksekutif
Kepresidenan
7.
Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat
195
196
8.
Yudikatif
Mahkamah Agung
9.
Pengawas keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan
10
Pertimbangan
Dewan Pertimbangan Agung Tabel 25
Pada dasarnya, setiap satuan noto negara akan memiliki turunan, semakin panjang --sampai di tingkat kelurahan-- menunjukkan semakin sempurnanya satuan penguasa negara tersebut. Perlu diingat bahwa pada kasus tertentu hal semacam itu tidak mungkin, sebab malah akan menimbulkan masalah lain. Misalnya untuk masalah keuangan yang diperiksa oleh Badan Keuangan Indonesia. Jadi, pertumbuhan setiap noto negara harus realistis, tidak dipaksakan, dan melihat skala prioritas. Dari sini muncul pertanyaan, berapa anggota masing-masing lembaga tinggi negara tersebut? Sistem bilangan Indonesia menunjukkan bahwa seratus merupakan bilangan tertinggi yang masih belum tercemar. Bilangan tersebut akan menuntun kita kepada jumlah anggota yang ada pada lembaga tinggi negara tersebut. Oleh karena itu, misalnya : a. Lembaga kepresidenan akan beranggotakan 100 orang “presiden” serta dipimpin oleh seorang Presiden. Ini berarti, lembaga kepresidenan berbentuk presidium. Di bawah presiden tersusun 10 buah kementerian yang masing-masing dipimpin oleh seorang menteri. Turunan paling sederhana dari lembaga kepresidenan adalah lembaga kelurahan. Bedanya, jika pada lembaga kepresidenan beranggotakan 100 orang, maka pada lembaga kelurahan hanya beranggotakan 1 orang yaitu lurah. Pada level inilah terdapat kepemimpinan tunggal. b. Dewan Pertimbangan Agung akan berisi 100 orang penasihat serta dipimpin oleh Penasihat Agung (bukan Ketua DPA). Keseratus orang penasihat tersebut mengelompok menjadi sepuluh kelompok (komisi), sesuai dengan jumlah lembaga tinggi negara yang ada.
196
197
Dengan demikian, ada Penasihat Kepresidenan, Penasihat Pendidikan, Penasihat Militer, dan sebagainya. Jika pola bilangan dilanjutkan maka setiap orang dari penasihat tersebut akan mempunyai sebuah lahan dengan sepuluh buah bidang garapan. Sebagai contoh, pada kelompok penasihat untuk bidang pendidikan akan muncul : 1. Penasihat Sekolah Dasar; 2. Penasihat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; 3. Penasihat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas; 4. Penasihat Pendidikan Diploma 1; 5. Penasihat Pendidikan Diploma 2; 6. Penasihat Pendidikan Diploma 3; 7. Penasihat Pendidikan Diploma 4; 8. Penasihat Pendidikan Tinggi Strata 1; 9. Penasihat Pendidikan Tinggi Strata 2; 10. Penasihat Pendidikan Tinggi Stata 3. c. Badan Pendidikan Nasional Indonesia pun beranggotakan 100 orang. Ingat, badan pendidikan ini dipimpin oleh seorang Guru Pendidikan Nasional. Mereka mengelompok menjadi sepuluh kelompok (komisi) dan masing-masing kelompok tersebut beranggotakan 10 orang. Tiap kelompok mempunyai satu “garapan” pada jenjang satuan pendidikan. Sebagai contoh, pada kelompok Sekolah Dasar akan muncul jabatan: 1. Guru Pendidikan Nasional Kelas I Sekolah Dasar; 2. Guru Pendidikan Nasional Kelas II Sekolah Dasar; 3. Guru Pendidikan Nasional Kelas III Sekolah Dasar; 4. Guru Pendidikan Nasional Kelas IV Sekolah Dasar; 5. Guru Pendidikan Nasional Kelas V Sekolah Dasar; 6. Guru Pendidikan Nasional Kelas VI Sekolah Dasar; 7. Guru Pendidikan Nasional Agama Sekolah Dasar;
197
198
8. Guru Pendidikan Nasional Kerajinan Tangan dan Kesenian Sekolah Dasar; 9. Guru Pendidikan Nasional Olahraga dan Kesehatan Sekolah Dasar; 10. Guru Pendidikan Nasional Muatan Lokal.
Sudah pasti untuk lembaga tinggi - lembaga tinggi yang lain, kelompokkelompok (komisi) di dalam lembaga tinggi tersebut menyesuaikan diri. 3.13 Noto Penguasa (10)120 Berdasarkan pemetaan wilayah teritorial dan pemetaan noto negara, maka akhirnya dapat ditelusuri
satuan-satuan penguasa pada setiap wilayah tersebut.
Satuan-satuan penguasa tersebut secara keseluruhan pernah ada, dan sebagian masih terpakai, sebagian tumpang tindih pengertiannya, dan hanya sebuah satuan penguasa yang benar-benar baru, yaitu Gubernur Madia. Dalam hal ini, sebagai contoh, jika presiden ialah penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi di bawah Majelis (baca : MPR) menjadi satuan pertama pada noto penguasa eksekutif dalam bidang pemerintahan, maka akan ada 10 satuan penguasa eksekutif
yang bernaung di bawahnya. Penguasa eksekutif di bawah
presiden ada sepuluh tingkatan. Perhatikan urutan “kepala eksekutif” berikut ini : 1. Gubernur Jendral : Bagian Negara (bukan negara bagian!) 2. Gubernur Madia : Wilayah 3. Gubernur
: Provinsi
4. Residen
: Karesidenan
5. Bupati
: Kabupaten
6. Wali kota
: Kota
7. Wedana
: Kawedanan
8. Camat
: Kecamatan
198
199
9. Petinggi
: Desa
10. Lurah
: Kelurahan
Dengan pola seperti tersebut di atas serta dikaitkan dengan “ajaran” sistem bilangan maka pertumbuhan struktur organ negara /pemerintahan akan terpola (10)0, (10)1, (10)2, dan seterusnya, mengikuti pola bilangan. Jadi, pertumbuhan struktur organ negara /pemerintahan tidak “sesuka hati” tanpa bentuk seperti pepohonan di rimba raya yang pada akhirnya hanya memberi tempat hidup dan ruang gerak yang cukup bagi yang kuat, juga tidak dipangkas “sesuka hati” oleh penguasa dengan mengorbankan yang lemah. Sudah saatnya, politik belah bambu ditinggalkan! Pertumbuhan birokrasi akan sangat mengurangi bahkan menghambat pembusukan birokrat, dan itu sangat penting bagi sebuah negara yang sedang tumbuh /berkembang untu mendapatkan bentuk ideal. Keteraturan ini sangat diperlukan dalam memerintah rakyat /menata bangsa. Dari konsep di atas, apabila ditarik ke dalam konteks pendididikan, sebagai contoh lain, maka susunan penguasa edukasi akan terlihat sebagai berikut. Jika Guru Pendidikan Nasional adalah jabatan struktural edukasi pertama dan utama (baca : tertinggi) maka jabatan struktural edukasi berikutnya akan menjadi : 1. Guru Pendidikan Bagian
: Bagian
2. Guru Pedidikan Wilayah
: Wilayah
3. Guru Pendidikan Provinsi
: Provinsi
4. Guru Pendidikan Karesidenan
: Karesidenan
5. Guru Pendidikan Kabupaten
: Kabupaten
6. Guru Pendidikan Kota
: Kota
7. Guru Pendidikan Kawedanan
: Kawedanan
8. Guru Pendidikan Kecamatan
: Kecamatan
9. Guru Pendidikan Desa
: Desa
10. Guru Pendidikan Kelurahan
: Kelurahan
199
200
Satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa jabatan struktural edukasi berbeda dengan jabatan struktural organik pendidikan –lihat halaman 102. Struktural edukasi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan struktural organik pendidikan. Dengan demikian, pada jabatan strukural edukasi itulah sebenarnya terletak kewenangan memberikan penilaian tentang prestasi kerja seorang guru, apapun status, pangkat, maupun golongannya. Oleh karena itu, mengingat baik /buruknya prestasi kerja seorang guru --termasuk profesi lain-- tergantung banyak faktor, maka penilaian tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya, bukan kepada pengguna jasa pendidikan. Dengan kata lain, di situlah tempat gen murni pendidikan. Dalam garis besar, pembagian kerja institusi pendidikan akan terlihat sebagai berikut : o Badan Pendidikan Nasional
: Pemerintah edukasi
o Satuan Lembaga Pendidikan
: Satuan organik pendidikan
o Depatemen Pendidikan Nasional
: Penghasil /pengawasan pendidikan
o Lembaga Pendidikan Nasional
: Kesejahteraan pendidikan
Sebagai contoh lain, untuk pemerintah militer, maka jika Komando Pertahanan dan Keamanan Nasional adalah satuan pemerintah militer yang pertama dan “utama” maka satuan pertahanan dan keamanan negara berikutnya adalah
:
1. Komando Pertahanan dan Keamanan Bagian 2. Komando Pertahanan dan Keamanan Wilayah 3. Komando Pertahanan dan Keamanan Provinsi 4. Komando Pertahanan dan Keamanan Karesidenan 5. Komando Pertahanan dan Keamanan Kabupaten 6. Komando Pertahanan dan Keamanan Kota 7. Komando pertahanan dan Keamanan Kawedanan 8. Komando Pertahanan dan Keamanan Kecamatan 9. Komando Pertahanan dan Keamanan Desa 10.Komando Pertahanan dan Keamanan Kelurahan
200
201
Masalah militer akan menggunakan istilah panglima atau komandan untuk pucuk pimpinan pada masing-masing level pemerintahan militer agaknya perlu dikaji lebih jauh, yang jelas mereka bukan penguasa organik militer. Namun, mengingat pada markas-markas komando itulah sebenarnya tempat gen murni militer, maka sudah selayaknya pada Markas Komando Pertahanan dan Keamanan Nasional itu nanti menjadi tempat bagi Panglima Tertinggi Militer. Oleh karena itu, jika “sepuluh” penguasa teritorial yang setara berada dalam satu majelis maka tersusunlah pemerintahan daerah dan di situlah tempat bagi penguasa daerah, atau Kepala Daerah. Dengan kata lain, Kepala Daerah adalah turunan dari Kepala Negara –bukan turunan kepala eksekutif. Jadi, pada dasarnya, pada majelis daerah tersebutlah sebenarnya letak otonomi daerah. Karena majelis bersifat mengikat, maka musyawarah harus diutamakan, sehingga harus saling sedikit mengalah. Dengan demikian, berdasarkan konsep bilangan maka seharusnya ada 10 buah “Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)” di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yaitu : 1. “MPR” Bagian 2. “MPR” Wilayah 3. “MPR” Provinsi 4. “MPR” Karesidenan 5. “MPR” Kabupaten 6. “MPR” Kota 7. “MPR” Kawedanan 8. “MPR” Kecamatan 9. “MPR” Desa 10. “MPR” Kelurahan Sungguhpun “MPR” merupakan turunan dari MPR, pada majelis tersebut tidak terdapat kedaulatan rakyat sepenuhnya. Hal ini dikarenakan, jika pada “MPR” juga ada hak berdaulat atau otonomi penuh maka keadaan tersebut tak ubahnya dengan keberadaan negara di dalam negara.
201
202
Oleh karena itu, menurut penulis, kedaulatan “MPR” hanyalah sebatas menerjemahkan garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh pemerintahan pusat ke dalam garis-garis kecil. Kongkritnya, sebuah garis besar akan diurai menjadi sepuluh garis kecil yang mampu untuk dilaksanakan. Sebuah garis kecil diturunkan kembali kepada pemerintahan yang berada di bawahnya untuk diterjemahkan lagi menjadi sepuluh garis yang lebih kecil lagi, sedangkan yang sembilan buah dikerjakan sendiri, dan begitu seterusnya hingga sampai pada tingkat terendah pemerintahan. Dan, dalam hal ini, sudah bukan menjadi kewajiban penulis untuk menguraikannya. Dengan demikian, “sepuluh yang besar” dikerjakan sendiri, sedangkan “sepuluh yang kecil” dikerjakan oleh bawahannya. Pola di atas akan memberikan keseimbangan beban kerja antara yang di atas dengan yang di bawah dan di samping itu akan dapat memberikan tempat yang lebih sesuai dengan kapasitas seseorang. Oleh karena itu, jangan heran, saat seharusnya berada “di belakang meja” menyelesaikan tugas dalam memberikan pelayanan kepada publik malah berada di tempat lain yang tidak semestinya. Dengan demikian, tidak sisa-sia bangsa ini mengangkat mereka sebagai penguasa. Perlu diingat bahwa berdasarkan pola bilangan, maka kelurahan adalah satuan ‘pemerintah eksekutif pusat” yang terendah. Jadi, posisi lurah (baca : bukan perangkat kelurahan) adalah tempat bagi gen murni eksekutif pusat sebab pemerintahan pusat telah tersusun pasca proklamasi, 18 Agustus 1945. Dari sini, muncul pertanyaan, di mana posisi pemerintah eksekutif daerah? Berdasarkan butir ajaran demokrasi, pemerintah berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka, jika pemerintah eksekutif pusat telah tersusun dan mencapai bentuk sempurna --karena telah sampai di tingkat kelurahan-- dengan sendirinya yang dimaksud dengan pemerintah eksekutif daerah adalah susunan pemerintahan yang tersusun di bawah kelurahan Dalam kehidupan manusia, bentuk pemerintahan yang paling sederhana adalah keluarga. Di dalam keluarga, siapa yang menjadi pemimpin dan siapa yang dipimpin sudah jelas. Rambu-rambu hak dan kewajiban dari masing-masing anggota
202
203
keluarga telah tertanam sedemikian rupa sehingga meskipun sudah menjadi kaidah umum, kadangkala masih terjadi silang pendapat. Itu manusiawi. Maka dari itu, posisi keluarga menjadi sentral pembentukan basic pemerintahan. Baik atau buruknya masyarakat pada sebuah “pemerintah daerah” merupakan cermin dari kelurga-keluarga penyusunnya. Begitu pula dengan baik atau buruknya kinerja pemerintah pusat tergantung pada baik atau buruknya kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu, jika keluarga adalah basis dari pemerintah eksekutif daerah dan kelurahan merupakan basis pemerintah eksekutif pusat maka antara kepala keluarga dan lurah itulah posisi penguasa eksekutif daerah. Padahal, di satu sisi antara kepala keluarga sampai dengan lurah --pada masa pra transisi-- terdapat Ketua RT, Ketua RK, dan Kepala Dusun; dan di sisi lain, pada masa transisi posisi dusun telah ditingkatkan menjadi kelurahan. Masalahnya, posisi lurah ≠ kepala dusun, sebab : 1. Lurah adalah gen murni sipil pada tingkat terendah sedangkan kepala dusun adalah gen murni rakyat pada tingkat tertinggi; 2. Lurah memperoleh “tempat” karena perjuangan orangtuanya /leluhurnya di masa lalu. Dengan kata lain, lurah duduk di kursi peninggalan orangtuanya sedangkan kepala dusun mendapatkan “tempat” dari hasil perjuangan sendiri. Dari sini muncul pertanyaan, siapakah yang lebih tinggi posisinya? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita belajar bersama kepada saudara-saudara kita yang Muslim. Mereka mempunyai perilaku yang menarik saat melaksanakan salat berjamaah (salat bersama), siapa yang datang lebih awal akan menempati sof depan dan siapa yang datang kemudian akan menempati sof berikutya. Konsep sederhana itu ternyata menyimpan makna yang dalam. Menurut penulis, hal tersebut dapat dijadikan rujukan dalam menata penguasa, sebab sangat tidak etis, jika yang datang kemudian –untuk duduk-- masih harus mengusir orang lain dari tempat duduknya, baik dengan cara halus maupun kasar.
203
204
Sudah saatnya ditanamkan, “Kalau ingin duduk di dalam /di luar silakan buat kursi sendiri, atau paling tidak bawa sendiri. Jangan rampas kursi orang lain, juga jangan duduk di kursi orang”. Oleh karena itu, berdasarkan ajaran tersebut posisi lurah lebih tinggi dari kepala kampung. Untuk selanjutnya, agar padu, maka ketua RT diubah menjadi Kepala RT, ketua RK diubah menjadi Kepala RK. Perubahan seperti terurai di atas sangat perlu dilakukan, dan itu menunjukkan bahwa status keberadaan mereka pun sudah dinaikkan sedemikian rupa. Dengan demikian, mereka telah masuk ke dalam jajaran pemerintahan. Jadi, jabatan Kepala Kampung adalah jabatan tertinggi pada pemerintah eksekutif daerah. Maka, pola pemilihan setiap kepala eksekutif daerah pun menerapkan persaingan murni. Pola seperti itu hendaknya dipertahankan. Pemerintah eksekutif daerah pada dasarnya adalah pemerintahan rakyat, menafikan keberadaannya akan sama artinya dengan mematikan demokrasi “generasi” berikut, sebaliknya jika menarik masuk semua pemerintah eksekutif daerah ke dalam payung pemerintah eksekutif pusat akan sama artinya dengan memandang sebelah mata akan hasil pendidikan. Dengan demikian, pada tataran kelurahan pemerintah eksekutf pusat dan dan pemerintah eksekutif daerah bertemu, hanya sebatas garis merah putih. Pemerintah eksekutif pusat (baca : pemerintah sipil) diwujudkan dengan keberadaan lurah, sedangkan pemerintah eksekutif daerah (baca : pemerintah rakyat) diwujudkan dengan keberadaan Kepala Kampung. Jika pemerintah pusat, yang dalam hal ini diwakili oleh keberadaan gen murni sipil maka Kepala Kampung mewakili gen murni rakyat. Pada kelurahan itulah, lembaga perwakilan rakyat dimulai dan lembaga ini setara dengan lembaga pemerintahan pusat di kelurahan. Dari sini muncul pertanyaan, apakah hal itu tidak mengistimewakan gen murni yang ada di dalam birokrasi? Pembaca yang budiman, jika dilihat sepintas, kesan tersebut memang sangat terlihat. Oleh karena itu, penulis balik bertanya. Siapakah yang lebih berhak menjadi penerus Anda, keturunan Anda atau pekerja Anda? Masalah keturunan Anda tidak bersedia karena satu dan lain hal, itu masalah lain, dan pemecahan yang adil telah ada.
204
205
Untuk itu, agar lebih jelas, silakan baca kembali Noto Lahan Kehidupan. Menurut penulis, banyaknya masalah di dalam birokrasi dikarenakan oleh satu sebab yaitu negara menafikan pemilik pada lahan 1. Penguasa negara memandang lahan 1 sebagai daerah tak bertuan, sehingga siapapun dia asal bisa masuk, masuklah dia. Penguasa negara tidak peduli dengan asal-usul kepemilikan lahan 1, masalah nanti diurus nanti, toh … itu bisa diatur! Dan buah dari “itu bisa diatur” sudah sangat “telanjang” di depan mata.
3. 14 Noto Bangsa (10)116 Penulis tidak tahu dengan pasti, manakah yang lebih dulu lahir dasawisma ataukah catur warga. Namun secara umum diketahui bahwa yang dimaksud dengan dasawisma adalah sekumpulan tempat tinggal yang terdiri dari sepuluh buah rumah /kepala keluarga. Sedangkan catur warga adalah keberadaan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari 1 orang ayah, 1 orang ibu, dan 2 orang anak. Dengan demikian, pada dasa wisma maka jumlah wisma /kepala keluarga yang menjadi pijakan, sedangkan pada catur warga maka jumlah batih yang menjadi sandaran penghitungan. Dengan demikian, jika : a. 10 keluarga = 1 RT 10 RT
= 1 RK
10 RK
= 1 kampung (dusun)
1 kampung = 1 kelurahan b. 1 keluarga = 4 jiwa Maka : Penduduk 1 kelurahan
± 4000 jiwa
Penduduk 1 kelurahan
± 1000 kepala keluarga
205
206
Jika, misalnya, setiap keluarga menempati tanah hunian seluas 100 m2 maka setiap kelurahan yang dihuni 4000 jiwa tersebut akan membutuhkan lahan seluas ± 0,10 km2 dan jika ditambah fasilitas lain seluas 100% maka setiap kelurahan baru akan membutuhkan tempat seluas ± 0,20 km2. Padahal, luas daratan Indonesia adalah ± 1.919.443 km2 (Datta Wardana, 1998 : 3) dan penulis mengasumsikan yang 10 % untuk daerah pemukiman, maka daerah pemukiman akan menempati areal seluas ± 191.944,3 km2. Ternyata, tanah yang diperlukan untuk membangun tempat tinggal bangsa ini, sementara waktu masih lebih dari cukup. Jika, misalnya jumlah penduduk Indonesia mencapai 300 juta maka akan membutuhkan 75.000 buah kelurahan. Jadi pada dasarnya pertumbuhan kelurahan melihat pertumbuhan penduduk. Dari sini muncul pertanyaan, perlukah pertumbuhan kelurahan “memakan” lahan pertanian? Sepengetahuan penulis, makan memang bukan tujuan hidup, namun untuk dapat bertahan hidup maka harus makan. Masalahnya, jika lahan pertanian menyusut dari tahun ke tahun karena pertumbuhan penduduk maupun karena pembangunan maka tidak menutup kemungkinan pada suatu ketika akan terjadi pula kelangkaan pangan karena adanya penyusutan suplai bahan pangan. Oleh karena itu, seyogyanya, pembangunan daerah pemukiman “baru” tidak digiring ke samping, namun digiring ke atas. Dengan demikian, konsep rumah susun sangatlah tepat. Bahkan, menurut konsep bilangan, rumah susun yang ideal adalah 11 lantai, di mana lantai dasar dipergunakan untuk meletakkan barang-barang bergerak semacam kendaraan bermotor, dan sepuluh tingkat di atasnya digunakan sebagai tempat hunian. Hal tersebut diutarakan dengan alasan, sebuah kelurahan hanya memerlukan lahan seluas 20 ha, 10 ha di antaranya untuk hunian dan 10 ha yang lainnya untuk pengadaan fasilitas umum yang diperlukan, misalnya jalan, sarana ibadah, sekolah, pusat perbelanjaan, bank, dan sebagainya. Pada tempat hunian terdapat 10 petak rumah susun yang masing-masing petak akan terisi 100 kepala keluarga.
206
207
Pertanyaannya adalah, siapa yang harus menyiapkan rumah rakyat tersebut? Pembaca yang budiman, pembukaan UUD 1945 mengisyaratkan bahwa satu di antara tujuan didirikannya negara ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Jika kondisi ini ditarik mundur pada pasca proklamasi, maka akan terlihat bahwa baik rakyat maupun negara dalam kondisi lemah, karena baru lahir. Bahwa rakyat dalam kondisi lemah karena energi yang mereka miliki telah terkuras untuk merebut kemerdekaan, sementara itu kondisi negara pun lemah karena baru saja lepas dari cengkeraman kuku kolonial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada saat itu keduanya lemah. Posisi lemah negara dan rakyat, pada sutu titik berpisah, posisi negara makin lemah karena terpuruk oleh berbagai krisis yang melandanya sementara posisi rakyat, sebagian semakin kuat dan sebagian yang lain tetap lemah, dan sebagian di antara yang sudah lemah tersebut semakin lemah. Dengan reformasi bilangan, posisi negara menjadi kuat, rakyat yang sudah kuat tidak berkurang kekuatannya, sementara rakyat yang lemah akan menjadi kuat, karena pada kedua macam rakyat tersebut telah ada kepastian keadilan di dalam hidupnya. Bahwa, yang besar mendapat “kue kemerdekaan” lebih besar dari yang kecil itu wajar, dan sangat wajar. Begitu pula dengan setiap pelanggaran yang dilakukan. Meskipun “rakyat besar”, jika melakukan kesalahan akan tetap mendapatkan sanksi, begitu pula dengan “rakyat kecil”, tidak ada keistimewaan bagi seseorang di bumi Pertiwi. Dengan kata lain, semua setara di mata hukum. Kembali ke masalah rumah rakyat. Untuk membangun rumah, maka harus ada lahan dan rumah itu sendiri. Pertanyaannya, siapakah pemilik lahan untuk rumah itu? jika yang satu mengatakan bahwa bumi itu milik Allah SWT., negara mengklaim juga sebagai milkinya, sementara itu di luar sana, permukaan bumi telah dikapling-kapling oleh penghuninya. Jadi, siapa sebenarnya pemiliknya? Pengakuan umat beragama benar sekali adanya. Bahwa bumi sebagai satu di antara sekian banyak ciptaan-Nya adalah milik Sang Maha Pencipta itu sendiri. Posisi negara sebagai pemilik hanya sebagai tanda batas kekuasaan (?) yang mencakup kedaulatan, pengelolaan, dan pemanfaatannya.
207
208
Sedangkan,
rakyat
sebagai
“person”
kepemilikannya
hanya
sebatas
pemanfaatan saja. Oleh sebab itu, rakyat tidak boleh menelantarkan tanah miliknya. Jadi, jika dilihat dari segi pengelolaan dan pemanfaatannya maka tanah yang sudah dimiliki rakyat adalah milik rakyat itu sendiri di bawah kendali pengawasan negara. Maka dari itu, sepanjang tidak melakukan pelanggaran yang telah disepakati bersama12, rakyat (baca : penduduk) suatu daerah tidak dibenarkan mengusir rakyat (baca : penduduk) lain –apapun alasannya. Masalahnya, tidak semua rakyat “berkesempatan” memiliki tanah, padahal tanah adalah prasyarat untuk keberadaan tempat tinggal. Oleh karena itu, pada saat seorang rakyat sudah beranjak dewasa dan telah siap berkeluarga dan berkehendak memisahkan diri dari orangtua, maka menjadi kewajiban negara memenuhinya. Dengan demikian, urusan tempat tinggal (baca : rumah) –bagi rakyat yang tidak beruntung tersebut-- menjadi kewajiban negara. Saat itulah, hutang negara kepada rakyat yang telah “memerdekakan”-nya terbalas. Bukankah, pada saat merebut “kemerdekaan negara”,
rakyat juga telah mengorbankan seluruh miliknya?
Masalahnya, tanah-tanah yang dikuasai oleh negara telah dimanfaatkan untuk berbagai usaha dalam rangka menghidupi negara itu sendiri, sementara tanah milik rakyat telah ada pula pemiliknya pada saat pasca proklamasi. Bahwa mengambil tanah milik rakyat untuk diberikan kepada “rakyat” lain, jelas bukan solusi cerdas. Untuk itu, harus ada pemecahan yang saling menguntungkan. Rakyat sebagai pemilik tanah mendapat untung, rakyat yang membutuhkan rumah untung, dan negara yang menunaikan kewajibannya juga untung. Dalam hal ini, menurut penulis, pola bagi hasil akan dapat membantu penyelesaiannya. Rakyat sebagai pemilik tanah “menanamkan” saham berupa “tanah” untuk pemukiman, dengan demikian, kepemilikan tidak berpindah tangan. Masalah prosentase laba, menentukan pengembang, dan lain sebagainya sudah menjadi kewajiban negara. Pada waktu yang telah ditentukan, misalnya setiap bulan, pemilik tanah tinggal mengambil “jasa” dari milknya yang dimanfaatkan oleh negara. 2
bentuk kesepakatan sebagai yang dimaksud, sepengetahuan penulis “belum ada”
208
209
Rakyat yang tidak memiliki tempat tinggal dapat diibaratkan sebagai anakanak bangsa yang belum beruntung dalam perantauan yang panjang (baca: puluhan tahun merdeka). Pada saat seorang anak tidak berhasil “ di rantau”, ke mana harus kembali? Bukankah, mereka akan pulang ke pangkuan Ibu? Masalah akan terjadi kejutan psikhologis, itu sudah pasti. Untuk itu pemuka agama, psikholog, pendidik, dan mereka yang peduli pada masalah-masalah sosial perlu bahu membahu dalam mengatasinya. Hanya saja, ada satu hal yang perlu diingat bahwa kewajiban negara hanyalah sebatas menyediakan rumah untuk tempat tinggal yang layak. Jadi, bukan pada menentukan pilihan “tempat rumah”. Urusan mereka sendiri dalam menentukan, mau di petak 1, petak 2, di lantai 1, lantai 2, atau kamar 1, atau di kamar berapa, terserah mereka. Mereka juga akan memilih sendiri, siapa pemimpin-pemimpin mereka. Siapa yang akan menjadi Kepala Kampung, Kepala RT, dan sebagainya. Dari sini, muncul pertanyaan, apakah mereka harus membeli? Dan, penulis balik bertanya. Jika ada kemampuan, adakah yang mau tinggal di tempat-tempat kumuh seperti di pinggir-pinggir sungai, di tepian rel kereta api, di kolong-kolong jembatan, atau bahkan tercecer di pasar atau di jalan-jalan sebagai gelandangan? Jadi, mereka tinggal menempati. Jika pembaca merasa iri dengan keberuntungan yang mereka terima karena manuver bilangan, silakan ikuti jejak mereka! Gampang, bukan? Sistemlah yang telah menggiring mereka talantar di negara yang kaya dan makmur. Dari situ, janji manis bahwa fakir-miskin dan anak-anak telantar menjadi tanggungan negara direalisasikan dalam karya nyata. Rumah yang merupakan sebuah kebutuhan mendasar sebagai manusia telah dipenuhi oleh negara. Dengan pola seperti itu, tidak akan ada daerah kumuh. Pinggir-pinggir rel kereta api akan bersih dari pemandangan yang memilukan, daerah tepian sungai akan berfungsi sebagaimana mestinya, kolong-kolong jembatan akan stiril dari gelandangan, dan sebagainya. Dan, saat mereka terkumpul dalam satu kelurahan, itulah kelurahan Indonesia! itulah potret kemerdekaan yang diagungkan!
209
210
Memang, penulis mendengar, ada “rakyat besar” dari negara seberang yang pernah mengatakan bahwa “Jangan kau tanyakan, apa yang telah diberikan negara kepadamu. Tapi, bertanyalah, apa yang telah engkau berikan kepada negaramu”. Namanya juga omongan “rakyat besar”, maka dalam tempo yang tidak terlalu lama menjadi rujukan pendapat dan mendapatkan pembenaran dari kaum oportunis yang setia mengitarinya. Pernyataan tersebut sekarang dibalik oleh “rakyat kecil” dengan ungkapan senada, “Negara, jangan lagi kau tanyakan apa yang telah diberikan rakyat kepadamu. Tapi bertanyalah, apa yang telah kau berikan kepada rakyatmu? Apakah murah sandang, murah pangan? Apakah rasa aman? Apakah rasa keadilan? Ataukah ketakutan, kelaparan, dan kenistaan?” Hanya penguasa yang mampu menjawabnya! Dari sini muncul pertanyaan, siapakah rakyat Indonesia? Pembaca yang budiman, pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa pada saat proklamsi, dalam hal ini, lahan kehidupan telah terbagi dengan adil, sebagian rakyat berada di dalam sistem birokrasi dan sebagian di luar sistem birokrasi. Mereka yang berada di dalam struktur birokrasi terbagi menjadi dua kelompok, yang satu berada pada jalur sipil, dan yang lain berada pada jalur militer. Oleh karena itu, pada garis besarnya, rakyat Indonesia dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu rakyat sipil, rakyat militer, dan rakyat murni. Pengelompokan seperti itu bukan terjadi secara kebetulan, sebab bukan tanpa alasan mereka masuk ke dalam sebuah komunitas dengan natar tertentu. Di situ, ada panggilan jiwa dan iklim yang mendukung. Rakyat sipil akan menurunkan rakyat sipil, rakyat militer akan menurunkan rakyat militer, begitu pula dengan rakyat murni. Jika terjadi penyimpangan garis “nasab”
sudah dapat dipastikan adanya
ketidakberesan dalam alur kehidupan. Masalah nasib bisa berbeda, namun masalah “nasab” tidak dapat begitu saja dibelok-belokkan. Itu semua terjadi karena penguasa negara hanya memberi tempat tumbuh kepada rakyat murni, sementara di sisi lain, negara memandang keberadaan “rakyat sipil” dan “rakyat militer” hanya sebagai tumbal kemerdekaan. Hal semacam itu, menurut konsep bilangan, tidaklah tepat!
210
211
Meskipun prosentase rakyat sipil dan rakyat militer tersebut sangat kecil, keberadaannya harus diperhitungkan dan harus pula dikembalikan hak-haknya. Dengan demikian, mereka dapat melanjutkan pengabdiannya kepada Pertiwi. Itu, jika penguasa negara mau berlaku adil terhadap semua rakyatnya. Dalam konteks apapun, penguasa negara hendaknya adil terhadap semua rakyatnya. Jadi, yang selama ini dipandang sebagai rakyat kecil hanyalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, atau mungkin masyarakat kelas pinggir jalan, tidak terlalu tepat, sebab masih ada rakyat kecil “yang lain” yang juga terjepit. Ke mana harus mencari lahan kehidupan, karena lahan kehidupannya “diserbu” oleh rakyat lain. Jika kondisi tersebut ditarik ke pasca transisi, maka rakyat sipil akan kembali ke dunia sipil dan mengelola pemerintahan sipil, rakyat militer akan kembali ke dunia militer dan mengelola pemerintahan militer, dan rakyat murni akan kembali ke dunia rakyat murni serta mengelola pemerintahan rakyat murni. Transfer antar mereka dapat saja terjadi dan untuk itu sudah ada kejelasan tentang aturan aturan mainnya. Hanya saja, perlu diperhatikan. Mengingat, rakyat agama dan rakyat sipil agama pun telah muncul pada masa pasca transisi maka “agama rakyat” menjadi fokus. Oleh sebab itu, pada daerah yang mayoritas rakyatnya beragama x maka, seyogyanya, ditempatkan rakyat sipil x dan juga rakyat militer x. Begitu pula pada daerah yang mayoritas rakyatnya beragama y maka, seyogyanya, ditempatkan rakyat sipil y dan rakyat militer y. Ini semua dilakukan untuk mencegah masuknya radikal bebas negatif ke dalam sebuah sistem. Bagaimanapun, radikal bebas negatif akan sangat berbahaya bagi sebuah komunitas saat pada posisi yang tidak semestinya. Dari situ muncul pertanyaan, apakah itu bukan berarti diskriminasi terhadap agama? Jawabannya, tidak. Masing-masing agama telah diberi tampat tumbuh serta diberi kesempatan yang sama untuk menjadi nomor satu pada setiap komunitas. Jadi, pada akhirnya penempatan rakyat sipil dan rakyat militer harus memperhatikan agama rakyat murni setempat, lebih-lebih bagi mereka yang ditempatkan pada jabatan struktural baik pada stratum organik maupun non organik.
211
212
Di samping itu, ada hal lain yang tidak kalah pentingnya. Rasio antara rakyat sipil, rakyat militer, rakyat agama, rakyat sipil agama, dan rakyat murni pada setiap kelurahan dapat dijadikan perbandingan. Di atas telah disinggung, idealnya sebuah kelurahan berisi 1000 kepala keluarga. Itu berarti 4000 jiwa, yang terdiri dari 1000 orang ayah, 1000 orang ibu, dan 2000 orang anak. Dari 1000 keluarga tersebut terinci sebagai berikut : a. Rakyat militer
:
1 keluarga
b. Rakyat sipil
: 10 keluarga
c. Rakyat agama
:
d. Rakyat sipil agama
: 10 keluarga
e. Rakyat murni
: 978 keluarga
1 keluarga
Dari 978 keluarga rakyat murni tersebut dapat dirinci lebih jauh tentang posisi mereka di dalam sistem sebagai berikut : a. Pegawai negeri militer
:
10 keluarga
b. Pegawai negeri militer sipil (Polisi)
:
10 keluarga
c. Pegawai negeri sipil
:
100 keluarga
d. Pegawai negeri sipil agama
:
10 keluarga
e. Pegawai Daerah Negeri Sipil
:
111 keluarga
f. Lembaga perwakilan kelurahan
:
11 keluarga
g.”MPR” kelurahan
:
1 keluarga
:
253 keluarga
Jumlah
Dengan demikian, dari 978 keluarga rakyat murni, yang 253 telah terserap ke dalam sistem pemerintahan daerah kelurahan. Jadi, sisa 725 keluarga. Nah, pada mereka inilah lahan kehidupan di luar sistem birokrasi /negara diperuntukkan. Mereka dapat bergerak dalam bidang usaha. Seandainya, wanita tidak “harus” bekerja di luar rumah maka peluang bagi kaum pria untuk berhasil dan mendapatkan penghasilan lebih akan terbuka lebar-lebar .… Dengan demikian, wanita tinggal mengurus rumah tangga suaminya.
212
213
Karena kondisinya tidak seperti itu, maka secara otomatis lapangan kerja yang harus tersediapun akan lebih banyak. Bayangkan, tiap 2000 penduduk dewasa, 275 orang di antaranya telah terserap di dalam, sementara sisanya belum mendapatkan tempat. Jadi, mereka harus berada di luar. Pembaca yang budiman, rakyat –secara keseluruhan-- negara ini tidak dapat dipisahkan dari bangsa negara ini sendiri. Justru, rakyat tersebut dapat dipandang sebagai unsur utama penyusun bangsa. Bukankah timbangan pemerintah adalah rakyat? Dari sini, muncul pertanyaan, siapakah bangsa Indonesia itu? Jika noto bangsa menempatkan bangsa Indonesia sebagai satuan bangsa yang pertama dan utama, maka satuan bangsa berikutnya adalah x. Bangsa n 1 kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri; 2 golongan manusia, binatang, atau tumbuhtumbuhan yang mempunyai asal-usul sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; 3 macam; jenis; 4 kedudukan (keturunan) mulia (luhur); 5 jenis kelamin. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 76)
Merujuk pada pengertian pengertian pertama, maka yang dimaksud dengan bangsa Indonesia adalah hasil penjumlahan dari seluruh suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia (1). Sebab, asal-usul mereka sama, konon dari Hindia Belakang, Yunan. Adat-istiadat mereka, meskipun tidak sama persis, ada kesamaan. Bahasa pemersatu mereka miliki, bahkan pada bahasa daerah pun ada kemiripin. Begitu pula dengan sejarah masa lalunya, mereka senasib, sepenanggungan. Dan, di samping itu, mereka telah memiliki pemerintahan sendiri, dan telah pula mendapatkan pengakuan dari dunia (baca : negara lain). Pengertian tersebut menjadi lebih jelas setelah dikaitkan dengan pengertian kedua, sebab pada pengertian tersebut terlihat bahwa yang dimaksud dengan bangsa Indonesia adalah golongan menusia yang mempunyai asal-usul sama dan sifat-sifat khas atau bersamaan.
213
214
Dari sini, muncul pertanyaan, dari mana asal-usul manusia Indonesia? Sebagai bangsa yang beragama, maka sudah dapat dipastikan adanya pengakuan bahwa bangsa ini tidaklah muncul dengan sendirinya. Mereka ada karena ada yang menciptakan, dan Sang Maha Pencipta tersebut adalah Tuhan YME. Tentang bagaimana proses penciptaan manusia pertama sampai dengan tumbuhnya bangsa ini bergantung pada keyakinan agama masing-masing manusia Indonesia itu sendiri. Di samping karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki, masalah tersebut sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan iman. Pada daerah tersebut, ilmu tidak mampu menjangkaunya. Adalah hal yang sia-sia jika ada keinginan menguak areal tersebut. Pertanyaan berikutnya, siapa manusia Indonesia? Pembaca yang budiman, Pancasila mengajarkan bahwa sila kelima dijiwai oleh sila keempat. Sila keempat dan kelima dijiwai oleh sila ketiga. Sila ketiga, keempat, dan kelima dijiwai oleh sila kedua. Dan, sila kedua, ketiga, keempat, dam kelima dijiwai oleh sila pertama. Dengan demikian, manusia Indonesia adalah manusia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dari itu, pengakuan tentang ke-Esa-an Tuhan menjadi sentral parameter dan sekaligus menjadi tolok ukur menjadi atau tidak menjadinya seseorang sebagai manusia Indonesia (2). Sebagai catatan kecil, ke-Esa-an adalah sifat mutlak Tuhan-nya manusia Indonesia. Oleh karena itu, dalam hal ini, tidak ada “modifikasi” oleh tangan manusia –siapapun mereka dan apapun alasannya. Dengan demikian, manusia Indonesia tidak akan menuhankan Tuhan YME sembari memuja tuhan lain sebagi tandingan. Padahal, menuhankan sesuatu di luar makhluk akan menggiring pemujanya untuk memeluk suatu agama. Masalahnya, manusia beragama yang mengakui keEsa-an Tuhan tidak hanya tinggal di antara Sabang sampai Meraoke. Mereka dapat bertempat tinggal di mana saja, di seluruh penjuru bumi, dari belahan bumi bagian utara sampai belahan bumi bagian selatan, dari ujung timur sampai ujung barat.
214
215
Dengan hipotesa (1) sebagai penalaran --penulis-- tentang pengertian bangsa Indonesia, maka untuk menjadi bangsa Indonesia hanya ada lima syarat yang harus dipenuhi, yaitu : pengakuan kesamaan asal usul, adanya kesamaan adat, memiliki kesamaan sejarah, dan berpemerintahan sendiri. Sedangkan hipotesa (2) sebagai penalaran --penulis-- tentang perwujudan manusia Indonesia itu adalah manusia beragama yang mengakui ke-Esa-an Tuhan dengan segala konsekuensinya. Dengan kata lain, manusia beriman. Oleh sebab itu, manusia Indonesia dapat muncul sebagai bangsa apa saja, apa pun warna kulitnya, dan di manapun tempat tinggalnya. Jadi, konsep ini menuntun kepada satu pengertian yang sangat mendasar bahwa yang dimaksud dengan manusia Indonesia itu sebenarnya adalah bangsa manusia --secara keseluruhan-- yang mengakui ke-Esa-an-Nya. Sebaliknya, mereka yang menampik ke-Esa-an Tuhan, sekalipun mengaku sebagai bangsa Indonesia ternyata bukan manusia Indonesia. Maka dari itu, cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya ternyata hanyalah sebuah fatamorgana. Ssebab bagaimana mungkin akan menjadi manusia Indonesia seutuhnya jika jiwanya pecah. Di satu sisi memuja Tuhan YME, di sisi lain memuja tuhan lain. Di satu sisi memuja Tuhan YME, di sisi lain memuja kekuasaan. Di satu sisi memuja Tuhan YME, di sisi lain menuhankan uang. Di satu sisi mengaku ber-Tuhan Yang Maha Esa, di sisi lain menentang aturan yang datang dari Tuhannya. Bukankah pada setiap pengakuan ada aturan lain yang mengikat? Oleh karena itu, sebagai konsekuensi pengakuan sebagai manusia Indonesia, maka mereka harus tunduk sepenuhnya pada aturan main yang telah ditetapkan oleh
agama yang
dianutnya. Dengan demikian, mereka harus taat sepenuhnya kepada Tuhan YME, taat kepada Rasulullah SAW. –jika Islam-- /ajaran yang dibawa oleh penyebar agama mereka, dan taat kepada pemerintahnya (a). Ketaatan kepada Tuhan YME dan taat kepada ajaran agama sudah sering dibahas oleh para pemuka agama dalam berbagai kesempatan. Masalah sering timbul pada tataran ketaatan kepada pemerintah. Sejak manusia dilahirkan, perintah pertama datang dari orangtua, kemudian dari guru, dan terakhir dari pemerintah itu sendiri (b).
215
216
Baik pada (a) maupun pada (b), jika antara ketiganya sejalan maka tidak akan menimbulkan masalah, namun pada saat terjadi perbedaan arah tujuan perintah maka suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju harus dikembalikan pada ajaran agama. Bukankah ajaran agama Tuhan Yang Maha Esa tidak mungkin bertentangan dengan perintah Tuhan Yang Maha Esa? Oleh karena itu, pada saat ada perbedaan pandangan dalam hal apa pun juga, bukan serta merta senapan yang harus berbicara. Oleh karena manusia Indonesia adalah manusia yang ber-Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa maka sudah sepantasnya, mereka yang bukan manusia Indonesia menghormati eksistensinya. Pola ini akan menggiring budaya permisif yang datang dari “sana”
pulang ke negeri asalnya Sebagai contoh sederhana, kegembiraan
menyambut “tamu asing” dengan aneka suguhan yang tidak sesuai dengan ajaran Tuhan YME dengan imbalan segepok uang mereka tak ubahnya dengan melacurkan negeri untuk menghidupi anak bangsa ini. Bukankah, jika negara ini sebagai Ibu Pertiwi, maka bangsa ini sebagai anak-anaknya? Sebagai anak, mana mungkin melacurkan Ibunya, apa lagi “menjualnya”. Dengan kata lain, mereka yang melacurkan Ibu Pertiwi, sekalipun mengaku sebagai bangsa Indonesia ternyata bukan manusia Indonesia, mereka adalah anak tetangga! Mereka adalah penumpang gelap! Maka dari itu, di dalam menata bangsa ini tidak ada pilihan lain, ajaran agama dari Tuhan YME harus dijadikan landasan yang utama oleh pemegang kekuasaan. Tanpa itu, berarti penguasa telah mengingkari dasar negara sendiri. Dari sini muncul pertanyaan. Jika manusia Indonesia dapat muncul dari mana saja, dari belahan bumi manapun, apapun warna kulitnya, apapun bahasa ibunya, lantas bagaimana membedakan manusia Indonesia dengan manusia lain? Pembaca budiman, pertanyaan tersebut mengarah pada ciri-ciri khusus manusia Indonesia. Kita berbicara dalam konteks moral. Jadi tolok ukur yang digunakan bersifat normatif yang tidak dapat dijabarkan dengan angka-angka mati. Dengan demikian, skala penilaian adalah baik dan buruk. Penulis tidak memberi tempat bagi nilai antara keduanya dengan maksud agar jelas. Jikalau baik, agar menjadi terang akan baik baginya, dan jikalau buruk menjadi terang akan keburukan yang ada padanya.
216
217
Ciri-ciri manusia Indonesia dapat ditelusuri dari kata kunci yang ada pada Pancasila, falsafah bangsa Indonesia sendiri. Sepanjang pemahaman penulis, katakata kunci yang padat tersebut menjadi ciri dasar manusia Indonesia. Kata-kata kunci13 tersebut antara lain : Ber-Tuhan Yang Maha Esa; (berperi) kemanusiaan; adil; beradab; (mau) bersatu (bukan hanya jasadnya, namun juga jiwanya); (dapat mengambil) hikmah; (me) rakyat; bijaksana; (suka) musyawarah; dan (berjiwa) sosial. Dalam hal ini, penulis tidak hendak menafsirkan Pancasila sesuai kehendap penulis sendiri, sebab falsafah tersebut sudah baku, jelas, padat, dan rinci. Jadi, tergantung pada individu untuk mengaplikasikan dalam kehidupannya. Dengan demikian, bagi penulis, kata-kata kunci menjadi itu skala penilaian. Bahwa tidak ada yang sempurna di dunia, itu pasti. Namun, setidaknya dengan skor enam menunjukkan seseorang sudah baik. Pada dasarnya, semua kata kunci tersebut merupakan bentuk pengamalan (?) tentang pengakuan ke-Esa-an Tuhan. Dengan kata lain, bagi manusia Indonesia, Tuhan YME adalah sentral. Dia adalah asal dan tujuan akhir manusia Indonesia. Dengan adanya pengakuan bahwa dirinya lahir di dunia atas kehendak-Nya, hidup atas kehendak-Nya, dan kalaupun mati maka kematian itupun atas kehendak-Nya. Pada saat manusia Indonesia berada pada posisi apapun juga, mereka akan sabar, teguh hati, lapang dada, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Sungguhpun demikian, karena hanya ada dua pilihan --meskipun hidup menyediakan banyak pilihan-- maka tergantung pada dirinya sendiri untuk menentukan keadaan yang baik maupun keadaan yang tidak baik baginya. Dengan demikian, manusia Indonesia bukan “makhluk” statis. Mereka dinamis, inovatif, kreatif, dan berbaik sangka. Jadi, kongkritnya, manusia Indonesia adalah orang beriman. Sebagai orang beriman, manusia Indonesia tidak akan , melakukan kesalahan berulangkali, cukup satu, dua, dan paling banyak tiga kali. Sebagai makhluk berakal, manusia Indonesia tidak mau terperosok untuk kedua kali pada lubang yang sama. Dan, agar tidak terperosok pada lubang lain, mereka akan waspada dan berhati-hati. 13
jika ternyata keliru, penulis akan rujuk pada pendapat yang benar
217
218
Dengan demikian, manusia Indonesia tidak menjadikan harta dan kekuasaan sebagai tujuan hidupnya. Keduanya dipandang sebagai sarana untuk sebuah pengabdian total kepada Tuhan YME. Oleh sebab itu, mereka tidak akan berdalih membangun, padahal sebenarnya merusak, mereka tidak akan berbuat zalim namun juga tidak mau dizalimi, mereka tidak gentar panasnya peluru yang mematikan dalam membela yang benar, mereka tidak takut kelaparan karena telah tahu mana makan yang baik dan halal baginya, mereka tidak silau terhadap kemilau dunia meskipun berada di tengah kemilau dunia, mereka juga tidak congkak saat berada di puncak kekuasaan. Pendeknya, karena berbenteng iman, manusia Indonesia memandang harta dan kekuasaan sebagai amanah, sebagai barang titipan, yang pada keduanya terdapat hak orang lain yang harus ditunaikan dan ada pertanggungawaban. Dengan kata lain, seluruh aktivitas manusia Indonesia hanya dalam rangka mencari ridho-Nya. Jadi, jika mengaku beragama Islam, mereka akan hidup secara Islami. Jika beragama Nasrani, mereka akan hidup sebagaimana ajaran Al Masih. Jika sebagai pengikut Hindu maka ajaran Weda menjadi pedoman hidupnya. Jika memposisikan diri sebagai penganut Buda maka ajaran Sang Buda akan dipatuhi. Jika menempatkan diri sebagai penganut Khong Hu Chu, maka akan menjadi penganut yang baik. Manusia Indonesia berusaha mengaplikasikan ajaran agamanya sebatas kemampuan maksimal yang ada pada dirinya. Dengan demikian, yang dapat menilai bukan orang lain. Penilaian orang lain seringkali keliru, sebab tidak jarang, kita terkecoh dengan penampilan seseorang. Kita menyangka baik, ternyata culas dan pendendam. Kita menyangka jahat, ternyata berhati lembut,dan sebagainya. Pertanyaannya, adakah ajaran agama-agama yang dianut manusia Indonesia membimbing ke arah hidup glamour, vulgar, otoriter, anarkhis, atau mengajarkan halhal negatif yang lain? Tidak bukan? Kita sering terjebak oleh ulah orang lain…. Sekarang saatnya menghitung, apakah kita –termasuk penulis-- meskipun dilahirkan,
218
219
dibesarkan, tinggal, dan kelak akan mati di negara Indonesia (?) termasuk manusia Indonesia? Jika tidak, andalah kaki tangan penjajah!
Manusia Indonesia dapat muncul dalam berbagai strata kehidupan, dari rakyat jelata sampai penguasa, dari si miskin yang papa sampai pengusaha kaya raya. Jika muncul sebagai rakyat, mereka akan menjadi rakyat yang baik. Saat menjadi penguasa, ia akan menjadi penguasa yang baik, yang tahu akan kesulitan rakyatnya. Saat miskin karena kefakirannya, ia tidak menjadi peminta-minta. Begitu pula saat kaya, mereka suka berderma. Sifat baiknya, prasangka baiknya, dan hal-hal baik yang ada pada mereka itulah yang seringkali dimanfaatkan oleh orang lain yang bukan manusia Indonesia. Nah, disitulah letak perlunya Tentara Tuhan pada setiap level pemerintahan. Mereka akan berada pada posisi keamanan sipil. 0leh karena itu, sangat berbahaya saat yang bukan manusia Indonesia duduk sebagai pengendali kekuasaan. mereka akan membawa ke situasi ketidakpastian. Negara dan bangsa akan terombang-ambing, rakyat gelisah, “kemelut” nyaris terjadi di segala lini kehidupan. Pertanyaannya, jika sebagai rakyat, sudahkah Anda menjadi rakyat yang baik? Sudahkah Anda penuhi kewajiban Anda sebagai rakyat? Jangan hanya menuntut hak Anda! Jika penguasa, sudahkah Anda menjadi penguasa yang baik? Sudahkan Anda penuhi hak-hak rakyat Anda? Hak-hak bawahan Anda? Janganlah Anda hanya pandai menuntut kewajiban mereka, penuhi pula hak mereka. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jika bangsa Indonesia adalah satuan noto bangsa yang pertama dan “utama”, maka untuk melacak satuan noto bangsa yang lain adalah sebagai berikut : a. (10)0
=1 (10)
adalah basis bangsa Indonesia, suku-suku bangsa di Indonesia
219
220
0
adalah Sumpah Pemuda, peleburan bangsa-bangsa Nusantara
1
adalah bangsa Indonesia
b. (10)0
=1
(10)
adalah bangsa Indonesia
0
adalah proklamasi
1
adalah rakyat Indonesia
c. (10)0
=1 (10)
adalah rakyat Indonesia
o
adalah reformasi bilangan
1
manusia Indonesia
d. (10)0
=1
(10)
adalah manusia Indonesia
o
adalah noto bangsa
1
natar manusia Indonesia
Sekarang, mari kita tarik ke dalam konteks bilangan. Berdasarkan hitungan noto bangsa, ternyata bahwa : (10)0 = 1
--1 bangsa Indonesia
(10)1 = 10
--10 rakyat Indonesia
(10)2 = 100
--100 manusia Indonesia
(10)4 = 1 0000
--1 0000 natar manusia Indonesia
Dari situ dapat difahamkan bahwa hanya ada satu bangsa Indonesia dengan sepuluh macam rakyat Indonesia. pertanyaannya, bukankah rakyat Indonesia hanya ada satu? Rakyat Indonesia memang hanya satu yang tinggal di Indonesia, sedangkan yang sembilan tidak tinggal di Indonesia, mereka tercecer di sembilan manca negara.
220
221
Ini berarti pola bilangan dengan sistem Indonesia menggiring bangsa Indonesia menjadi bangsa agresor, atau dengan kata lain melakukan intervensi. Padahal, pembukaan UUD 1945 mengisyaratkan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Jadi? Bangsa Indonesia adalah manusia yang ber-Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, kelompok bangsa manusia beriman. Jadi, sepanjang eksistensi sembilan rakyat Indonesia (baca : orang beriman) yang tinggal di manca negara tidak diganggu, maka tidak ada alasan bagi Indonesia melakukan ekspansi, apalagi menganeksasi. Perlu dicatat, ekspansi (kalaupun terjadi) tersebut bukan dimaksudkan untuk menjajah seperti ekspansi barat terhadap dunia timur, justru untuk memerdekakannya. Dari situ dapat ditengarai akan adanya kekuatan lain yang mendorong lepasnya Timor Timur dari pelukan Pertiwi. Oleh sebab itu, kelak, tidak ada alasan bagi penguasa negara untuk menghalangi keberangkatan Tentara Tuhan (baik Hizbullah, Tentara Salib, Pacalang, dsb.) ke negara lain, dalam rangka membebaskan rakyat Indonesia sendiri. Justru, negara harus memfasilitasinya. Apakah ini bukan berarti, Indonesia mencari musuh? Tidak. Sebagai inti negara manusia beriman, justru di situlah letak dari pertanggungjawabannya. Siapa yang menyuruh dasar negaranya ber-Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa? Bukankah kekuasaan Tuhan YME tidak mengenal batas teritorial? Jadi, intinya, intervensi tersebut bukan dalam rangka menjajah melainkan dalam rangka membebaskan manusia beriman dari belenggu penindasan manusia tidak beriman, sebuah perang suci. Di medan laga itulah, mereka yang Islam dapat menunaikan jihatnya, yang Nasrani dapat martir di sana, yang Hindu /Buda dapat melakukan puputan di sana. Bahwa tidak semua manusia beriman mempunyai kekuatan fisik yang memadai atau karena adanya halangan lain bukan merupakan alasan baginya untuk menunaikan kewajiban agamanya dengan cara lain.
221
222
Di sanalah barisan orang beriman bertemu dengan barisan orang tidak beriman. Mereka akan saling menolong sesamanya. Orang beriman menolong orang beriman, orang tidak beriman pun akan menolong orang tidak beriman. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika sesama orang beriman harus “berkelahi” di rumah sendiri. Kondisi itu sangat merugikan dan memperlemah diri orang beriman sendiri, dan di sisi lain membuat orang tidak beriman bersorak dan semakin kuat. Dengan kata lain, mereka yang untung, kita sendiri yang buntung. 9 (sembilan) adalah angka yang besar, terbesar malah. Itu menunukkan bahwa ternyata masih banyak orang beriman di negara lain yang belum merdeka. Dalam hal ini, bisa jadi mereka saling bertikai dengan sesamanya. Ini berarti, tugas besar membayang di depan mata. Itulah sebabnya, jika penguasa negara tidak di tangan orang beriman (manusia Indonesia) maka Indonesia akan tetap “indonesia” tidak akan pernah menjadi INDONESIA. Ternyata, jalan masih panjang dan berliku untuk menuju Indonesia Raya. Indonesia Raya adalah negara besar tempat orang-orang beriman, apapun agamanya, akan mendapatkan perlindungan yang adil dari penguasa. Oleh sebab itu, bersatulah dan hadapi musuh bersama. Silakan melaksanakan ritual sesuai agama masing-masing, agar hati menjadi tenteram, jiwa menjadi tenang. Silakan hidup sesuai dengan keyakinan agama masing-masing. Jangan melanggar trilogi kerukunan umat beragama, baik terang-terangan maupun terselubung. Dari sepuluh “macam” rakyat Indonesia, karena hanya satu yang tinggal di Indonesia, maka dengan sendirinya manusia Indonesia pun hanya tinggal sepuluh “macam”. Mereka tersebar di dalam agama-agama. Jika, sekarang hanya ada enam agama di Indonesia, maka seyogyanya yang empat macam tersebut berani menampakkan diri, tidak terus menerus bersembunyi di balik baju agama-agama lain. apakah penulis mengada-ada? Tidak. Dalam hal ini, kita sering melihat /mendengar adanya ritual-ritual tertentu di daerah tertentu yang bukan merupakan ajaran agama yang kita kenal. Apakah ritual tersebut bukan merupakan sebuah bentuk pelaksanaan sebuah ajaran agama?
222
223
Memang, pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang bersangkutan akan menyebutkan agama x, agama y, atau agama z. Namun, jika x, y, maupun z tidak memerintahkan penganutnya untuk melaksanakan ritual semacam itu. Apakah itu termasuk sekte agama tertentu? Tidak, bukan? Kalau demikian adanya, maka itu adalah agama tersendiri, bukan agama yang kita kenal. Nah, dari pada merusak citra agama tertentu akan terlihat lebih ksatria jika berani menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya. Dan, jika mereka mau kembali ke fitrahnya, agama asalnya, tentunya lebih baik bagi dirinya. Seandainya, mereka mengetahui …. Dari 1 0000 natar manusia Indonesia, hanya 100 macam yang tinggal di Indonesia, sedangkan sisanya tersebar di sembilan manca negara. Natar adalah warna dasar ( semacam kecenderungan). Warna dasar tidak mengenal ras, etnis, agama, maupun golongan. Dari asal-usulnya dapat dilihat natarnya. Sebagai ilustrasi sederhana: petani, nelayan, penambang bernatar alam. Pelawak, artis, dalang, dan pelukis bernatar seni budaya. Dengan melihat natarnya, maka akan dapat dilacak letak sebenarnya dari lahan hidupnya. --lihat lampiran 3 Pembaca yang budiman, dari 100 natar manusia Indonesia maka 12 macam di antaranya sudah jelas. Mereka ada pada jalur birokrasi di lahan 1, sedangkan yang 88 berada pada jalur rakyat di lahan 2. Keberadaan natar di lahan 1 (jalur birokrasi) dan natar di lahan 2 (jalur rakyat murni) tersebut harus diselesaikan agar “kue kemerdekaan” tidak hanya menetes di bawah dan melimpah ruah di atas. Pada awalnya, setiap orang mengantongi sebuah natar namun karena satu dan lain hal, bisa juga lebih dari itu. Nah, pada segmen pertama dari masa transisi adalah masa untuk melacak natar seseorang sehingga pada pasca transisi nanti satu orang berarti satu lahan kehidupan, tidak boleh duduk di antara dua kursi.Perlu diingat bahwa seratus (102) lahir karena basis sepuluh (10) yang dikuadratkan. Pola ini akan menggiring ke asal-usul natar. Menurut pemahaman penulis, asal-asul natar adalah satu yaitu natar agama (addin) dan berkembang menjadi 10 macam, yaitu :
223
224
1. Natar militer 2. Natar sipil 3. Natar alam 4. Natar perdagangan 5. Natar komunikasi 6. Natar transportasi 7. Natar seni budaya 8. Natar industri 9. Natar jasa 10. Natar x Bagi seorang “penyelam”, pengelompokan tersebut bisa jadi kurang tepat. Terlebih lagi dengan munculnya natar x. Namun, bagi “perenang” yang terbawa arus dan tenggelam maka dengan sisa-sisa nafas yang masih ada, hanya itu yang terlihat. Mungkinkah natar x tersebut adalah natar para pendiri negara? Bisa jadi anggapan penulis benar, sebab, sejak awal pejabat tinggi negara diposisikan bukan sebagai aparat biasa. Mudah-mudahan para “penyelam” berkenan melakukan penyelaman ulang yang lebih dalam, sehingga dalam penataannya lebih tepat --lihat lampiran 2. Di manapun, dari bangsa apapun, natar militer akan memiliki ciri khas yang sama. Siap! Natar sipil, jelas berbeda dengan natar militer, baik dalam kedisiplinan maupun yang lain. Natar nelayan akan berlainan dengan natar petani. Natar pendidik berbeda dengan natar perdagangan, dan sebagainya. Sunguhpun demikian, karena pendidikan, pembiasaan, situasi yang mendukung, dan tekanan lain dari luar dirinya maka kecenderungan sebuah natar akan berubah. Namun, suatu ketika pada saat “terdesak” maka natar dasarnya akan muncul kembali. Oleh sebab itu, agar tidak mengganggu natar asli suatu komunitas di dalam mencari penghidupan, maka posisi natar harus dibagi secara proporsional. Dengan demikian, semua manusia Indonesia berkesempatan sama. Sebagai contoh, natar alam
224
225
akan
menjadi
natar
induk
dari
natar-natar
yang
mengandalkan
sumber
penghidupannya dari alam, seperti : natar petani, natar peladang, natar perkebunan, natar kehutanan, natar nelayan, natar peternak, natar penambang, dan sebagainya. Oleh sebab itu, tidak ada halangan bagi natar petani untuk mengembangkan usahanya sepanjang masih di dalam dunia tanah, sebab tanah masih masuk di dalam lingkup alam dan menghasilkan hasil bumi. Dia boleh menjadi petani dengan sepetak tanaman sayuran sampai dengan menjadi petani dengan sawah sekian hektar (sesuai batas maksimal). Tidak ada halangan bagi peternak unggas menjadi peternak lembu, atau mungkin menjadi peternak gajah. Begitu pula dengan natar pedagang. Ia bisa muncul, mulai dari pedagang sayur keliling dari rumah ke rumah, pemilik kios di pasar, sampai dengan pemilik pasar swalayan semisal Hero, Atrium, Matahari, Alfa, dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan natar sipil, ia bisa muncul dari tukang sapu pada sebuah institusi negara sampai dengan presiden. Pendeknya, selama berusaha di lahan kehidupan masing-masing, tidak ada hambatan … asal jangan rangkap. Misalnya, sudah memposisikan diri sebagai natar sipil hendaknya tidak nyelonong ke lahan perdagangan, begitu pula sebaliknya. Semua itu hanya demi sebuah keteraturan sebuah sistem. Mengapa hal semacam itu ditabukan? Sederhana saja, di sana sudah ada penghuninya. Dengan demikian, berdasarkan konsep bilangan, setiap natar leluasa untuk tumbuh dan bebas bergerak secara vertikal, bukan horisontal. Ini berarti ada kebebasan untuk berkembang tanpa harus bersaing apalagi mematikan “tetangga”. Bahasa Indonesia mengajarkan bahwa untuk masuk kandang kambing harus mengembik, dan untuk masuk kandang harimau harus mengaum. Ajaran tersebut sesungguhnya bukan untuk menggiring siswa menjadi “manusia bunglon” . Itu adalah sebuah etika untuk menghormati tuan rumah. Itulah uniknya Indonesia, sebuah negara multi etnik, multi ras, multi budaya, multi natar, dan multi-multi yang lain. Perbedaan bukan merupakan petaka. Dus, di situlah letak menariknya! Jika ajaran tersebut ditarik ke dalam konteks noto bangsa maka jika seseorang dari natar tertentu untuk berusaha di lahan kehidupan natar lain harus mengikuti
225
226
aturan yang ada pada natar yang dituju. Masalahnya tidak sesederhana itu, sebab belum ada perangkat pendukungnya. Oleh sebab itu, harus diciptakan sebuah aturan yang jelas, lengkap, dan tidak saling merugikan. Ibaratnya, tuan rumah tidak terganggu, dan si tamu merasa betah dan nyaman. Sebagai alternatif, penulis menawarkan aturan main sebagai berikut : Pertama, perolehan natar dengan pola waris. o Berdasarkan garis keturunan dengan start awal proklamasi 17 Agustus 1945. Dengan model seperti itu, maka secara otomatis natar seorang istri ikut suaminya. Dari sini muncul pertanyaan, mengapa? sederhana, wanita yang sudah bersuami akan mengikuti suaminya … sepanjang tidak diajak melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran agama mereka. Oleh sebab itu, pada jalur lahan 1 (lahan di dalam birokrasi) sudah jelas. Adapun di lahan 2 (lahan di luar birokrasi) natar seseorang belum jelas. Seiring dengan perjalanan waktu, natar mereka akan muncul dengan bagaimana cara hidup mereka. Jika, mereka menghidupi keluarganya dengan mengandalkan lahan pertanian maka akan masuk pada natar alam. Jika, mereka hidup sebagai penggali pasir maka mereka memiliki natar alam. Jika, mereka mencari nafkah dari dunia seni, baik sebagai penari, penyanyi, dalang, pelawak, dan sebagainya, maka mereka bernatar seni budaya. Jika mereka mencari nafkah di pasar, baik sebagai penjaja sayuran, penjual nasi, pedagang kain, dan sebagainya maka dengan sendirinya mengantongi natar pedagang. Dengan demikian, pada lahan 2 ada dua kemungkinan : 1. Andaikan, pada saat start transisi, si suami telah tiada dan si istri dapat menunjukkan lahan kehidupannya –misalnya dengan KTP-- maka di situlah natarnya. Jika tidak ada tanda bukti dan saat itu usianya belum mencapai 64 tahun maka kepada yang bersangkutan diberi kebebasan untuk memilih.
226
227
Dari sini muncul pertanyaan, mengapa usia 64 tahun? Pembaca yang budiman, jika bilangan berbasis sepuluh maka usia berbasis umur. Bukankah, pada (10)64 bilangan menjadi noto? Dengan demikian, apabila (10) kita ganti dengan (umur) maka pada umur ke-64 yang bersangkutan sudah harus menjadi noto. Itulah, posisi puncak usia manusia …, sudah saatnya mundur dari hiruk-pikuknya dunia. Itulah saat alih generasi, saat-saat terakhir bagi seseorang untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupan lain yang abadi. Kemudian, berapa batasan usia produktif? Ringkasnya, usia produktif adalah ± 24 tahun sampai dengan 64 tahun. 2. Andaikan, pada saat start transisi, suami /istri dari F (baca : generasi pertama) telah tiada dan si anak tidak dapat membuktikan natar ayahnya maka, jika laki-laki, sepanjang si anak berusia produktif diberi kebebasan untuk memilih salah satu natar yang ada di lahan 2, sedangkan –jika perempuan-- ia ikut natar suaminya. o Natar diturunkan lewat garis ayah. Dengan demikian, 1 orang anak akan mendapat 1 natar dari orangtuanya, baik mereka yang berada di lahan 1 maupun mereka yang berada di lahan 2; o Pada saat peraturan jumlah anak belum ada, maka semua anak (F1) akan memperoleh natar yang sama nilainya dengan natar yang diterima orangtuanya (F), baik mereka yang berada di lahan 1, maupun yang di lahan 2. Gender tidak dipermasalahkan; o Pada F1, terjadi perkawinan. Sepasang suami istri, bisa jadi memiliki natar yang sama dan bisa pula berbeda. Yang pasti, mereka telah memegang natar sendiri sendiri sebagai warisan dari orangtuanya. Mereka memiliki keturunan (F2). Dengan demikian :
227
228
1. Jika keturunan mereka tunggal, maka kedua natar orangtuanya menjadi miliknya. Ia bebas memilih, pada lahan mana yang bersangkutan akan melanjutkan. Jadi, satu natar dimanfaatkan untuk mencari nafkah. Sedangkan satu natar yang lain, terserah dia --misalnya dijual, disewakan, dikontrakkan, dan sebagainya. 2. Jika keturunan mereka lebih dari satu –satu yang dimaksud adalah ketentuan pemerintah, maka si anak diberi kebebasan untuk memilih garis ayah atau garis ibu. Jika pemilih sebuah natar lebih dari seorang maka nilai nominal natar dibagi secara adil, atau sesuai kesepakatan mereka. Artinya, menganut pola waris fersi agama masing-masing atau fersi konvensional (dibagi rata) … hanya saja, nilai nominalnya berkurang. Sedangkan natar yang “menganggur”, terserah kepada mereka. Dengan demikian, tiap anak tetap memegang sebuah natar. Pola ini akan menggiring kepada kepemilikan yang sesungguhnya sebuah lahan kehidupan, baik mereka yang berada di lahan 1 maupun di lahan 2. Kedua, perolehan natar berdasarkan usaha sendiri. Perlu diingat, pada lahan 1 kepemilikan lahan telah tertata dalam noto lahan kehidupan. Dengan demikian, mereka yang dapat menembus lahan 1 dan memenuhi syarat sebagai yang dimaksud berhak untuk mendapatkan sebuah natar. Satu hal yang perlu diperhatikan, nilai nominal natar pada gelombang pertama harus lebih tinggi daripada gelombang berikutnya. Mereka dapat berasal dari Kelompok I maupun Kelompok II --(a). Pada lahan 2, sepengetahuan penulis, hanya terjadi pada pertanian dengan terlaksananya transmigrasi umum. Oleh karena itu, mereka pun mengantongi sebuah natar --(b). Baik (a) maupun (b) dapat memperoleh natar dua kali karena usahanya – maksudnya pada lahan kehidupan yang sama namun pada petak yang berbeda. Pembatasan dua kali tersebut dimaksudkan untuk tidak menjadikan mereka sebagai “perintis” terus menerus. Mereka cukup menjadi perintis dua kali. Rintisan pertama
228
229
terjadi karena mereka memanfaatkan peluang yang diberikan negara /pemerintah, sedangkan rintisan kedua karena faktor lain yang harus terjadi di luar kehendaknya. Dengan demikian, tidak ada yang dirugikan. Oleh sebab itu, paling tidak, F1 akan mengantongi sebuah natar dari orangtuanya. Sedangkan mereka yang mau memanfaatkan peluang yang diberikan negara /pemerintah dengan berusaha sendiri maka dengan sendirinya dapat lebih dari satu. Dan, maksimal seorang F1 akan memegang tiga macam natar. Sebuah berasal dari orangtuanya, dan dua buah atas usaha sendiri. Yang bersangkutan tidak mungkin dapat menggunakan /mengerjakan kesemuanya maka dua diantaranya harus dilepaskan dengan berbagai cara. Dan, sebagai catatan, natar yang sejenis (satu lahan) dapat dikumpulkan menjadi satu. Natar bukan berupa materi seperti halnya sawah, ladang, toko, pabrik, atau berupa unit-unit produksi. Dalam konteks noto bangsa, natar adalah warna dasar seseorang untuk hidup pada sebuah lahan kehidupan. Dengan demikian, natar generasi pertama harus diwujudkan dalam sebuah sertifikat natar yang diterbitkan oleh negara. Sejalan dengan hal itu, bagi mereka yang berada di jalur birokrasi akan menjadi tugas instansi terkait. Sedangkan bagi mereka yang berada di luar birokrasi akan menjadi tugas perangkat pemerintah daerah. Yang jelas, masalah natar harus selesai dalam tempo tiga tahun. Di dalam sertifikat natar harus jelas tercantum identitas diri dan nilai nominal. Dalam hal ini, negara memberikan natar secara gratis kepada yang berhak menerimanya --baik rakyat militer, rakyat sipil, maupun rakyat murni. Kelak, natar juga hanya dapat dibeli dengan natar --tidak dengan uang! Berdasarkan alternatif pertama dan kedua tersebut di atas, maka sertifikat natar diberikan kepada : 1. Generasi pertama sebuah keluarga dengan garis lurus ke atas. Artinya, natar diberikan kepada orangtua, selama orangtua masih ada. Mereka adalah generasi pertama negara ini. Jika orangtua sudah tiada, bagi Kelompok I dapat dibuktikan dengan surat-surat keputusan orangtua yang mereka miliki atau bukti lain sebagai
229
230
pendukung bahwa yang bersangkutan benar-benar anak dari si fulan – meskipun namanya tidak tercantum pada surat keputusan sebagai yang dimaksud. Bagi mereka yang berasal dari Kelompok II, maka sartifikat natar jatuh kepada keturunannya sesuai kecenderungan mereka sendiri. 2. Generasi pertama dari sebuah lembaga /institusi /transmigran di suatu petak (lokasi). Mereka yang berada di lahan 1 (jalur birokrasi), kelak berstatus sebagai aparatur negara (sipil /militer), dan mereka yang berada di lahan 2 (jalur rakyat murni) berstatus sebagai rakyat negara. Ketiga, nilai nominal sertifikat natar harus jelas, misalnya sekian juta rupiah. Kelak, pada saat sertifikat natar dipecah kepada ahli waris maka dengan sendirinya natar pun pecah. Yang dimaksud pecah di sini bukanlah nilai nominalnya, melainkan nilai “nilai natar”. Artinya, jika pada F1 bernilai “A” , pada F11 bernilai “B”, dan pada F111 bernilai “C”. Adanya perbedaan nilai tersebut akan menunjukkan senioritas pemegang natar. Kemudian juga harus ada penjelasan rinci, bahwa sekian “C” akan senilai dengan sekian “B”, dan seterusnya. Sebagai penjelasan , nilai nominal natar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu nilai “nilai natar”, nilai nominal natar, dan nilai sertifikat natar. Dengan demikian, pada setiap sertifikat natar akan memuat tiga macam nilai yaitu nilai “nilai natar”, nilai natar, dan nilai sertifikat natar. Perhatikan : Nilai “nilai natar” merupakan bilangan yang menunjukkan posisi pemegang natar. Perlu diingat bahwa dua macam rakyat telah jelas kedudukannya, rakyat birokrasi berada di dalam (lahan 1) dan rakyat murni berada di luar (lahan 2). Tetapi, di atas keduanya masih ada rakyat lain (natar x). Dengan demikian, ada tiga macam rakyat. Jika dikelompokkan berdasarkan kuantitas, maka jumlah paling sedikit adalah
230
231
rakyat x, kemudian diikuti oleh rakyat birokrasi, dan terbanyak akan diisi oleh rakyat murni. Bilangan telah mengisyaratkan bahwa hanya ada tiga macam satuan bilangan yang masih suci dan belum tercemar pengertiannya, yaitu satuan (100), puluhan (101), dan ratusan (102). Dari situ dapat difahamkan bahwa rakyat x menempati satuan. Ini menunjukkan bawa mereka menempati posisi pertama (I) karena jumlah mereka paling sedikit dan berada di atas dua rakyat yang lain /dua lahan. Posisi kedua (II) ditempati oleh rakyat birokrasi, dan dengan sendirinya posisi ketiga (III) diisi oleh rakyat murni. Untuk selanjutnya, nilai “nilai natar” disebut Kelompok Natar . Dengan kata lain : I
menunjukkan rakyat x
II menunjukkan rakyat birokrasi III menunjukkan rakyat murni Pengelompokan tersebut bukan berarti memandang rakyat x adalah warga negara kelas satu, atau pandangan lain yang semacam itu, melainkan hanya untuk memilah medan juang mereka. Mengingat natar bersifat absolut, maka jika F adalah I, maka pada F1 juga I, pada Fn pun I. Begitu pula, jika F adalah II maka pada F1 juga II, dan Fn pun II. Demikian pula halnya, jika F adalah III, maka F1 juga III, dan Fn pun III. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa rakyat birokrasi telah berkembang, begitu pula halnya dengan rakyat murni Nilai nominal natar adalah bilangan yang menunjukkan nilai yang diperoleh pemegang natar, baik karena usaha sendiri, diperoleh dari waris, maupu membelinya. Nilai sertifikat natar adalah besaran yang menunjukkan penghargaan yang diberikan oleh negara kepada seluruh rakyatnya secara adil. Itu berarti, penghargaan terhadap I, II, dan III adalah sama. Namun, karena jumlah mereka berbeda maka akan berbeda pula besar kuantitas yang mereka terima. Berapa?
231
232
Perlu diingat bahwa satuan bilangan tertinggi sebelum dominasi barat adalah juta (106) atau (10)6. Dengan demikian, penghargaan terhadap I, II, dan III adalah Rp 1000000 --satu dengan enam buah nol. Ini berarti, 1. Nilai sertifikat natar untuk rakyat x adalah : (10)2 x 1 000 000
=n
100 x 1 000 000
=n
100 000000
=n
Jadi nilai sertifikat natar rakyat x adalah Rp 1 0000 0000,00 2. Nilai sertifikat natar untuk rakyat birokrasi adalah : (10)1 x 1 000 000
=n
10
=n
x 1 000 000
10 000 000
=n
Jadi nilai sertifikat natar rakyat birokrsi yaitu Rp 1000 0000,00 3. Nilai sertifikat natar untuk rakyat murni adalah : (10)0 x 1 000 000
=n
1 x 1 000 000
=n
1 000 000
=n
Jadi nilai sertifikat natar rakyat murni adalah Rp 100 0000,00 Sepanjang pemegang sertifikat natar tidak melanggar peraturan pemerintah tentang jumlah anak maksimal yang dimiliki maka nilai nominal sertifikat natar bersifat absolut. Ini berarti, jika F bernilai x rupiah, maka pada F1 pun bernilai x rupiah. Tetapi, jika mereka melanggar maka nilai nominal sertifikat natar pun akan berkurang. Perhatikan : Nilai sertifikat natar pada F adalah x Jumlah anak maksimal adalah 2 orang
232
233
F mempunyai 5 orang anak, maka pada F1 nilai sertifikat natar adalah : 2x : 5 = 0,4 x Dalam hal ini, ada yang perlu dicermati bahwa : •
Peraturan dua orang anak sebagai contoh di atas hanya mengikat rakyat x dan rakyat birokrasi. Rakyat x dikenai peraturan tersebut karena mereka sendiri yang membuatnya. Dengan kata lain, peraturan tidak hanya mengikat yang diatur, tetapi juga mengikat si pengatur (pembuat aturan) sendiri. Sementara rakyat birokrasi terikat dengan peraturan tersebut karena lahan hidup mereka di lahan 1.
•
Dalam perkembangan selanjutnya negara (melalui pemerintah) membuka “lahan” baru baik di lahan 1 maupun di lahan 2 oleh karena itu, besaran nilai nominal serifikat natarpun berbeda. Selengkapnya, lihat lampiran 4.
. Dari sini muncul pertanyaan, apa fungsi sertifikat natar? Sertifikat natar akan sangat bermanfaat bagi negara, bermanfaat bagi rakyat secara keseluruhan, dan akan bermanfaat dalam pemerataan “kue kemerdekaan”. Dalam hal ini, merata bukan berarti harus sama besar, juga bukan berarti harus tidak sama besar. Merata bersifat relatif, pada kondisi tertentu semua mendapatkan dan pada kondisi tertentu pula tidak semua yang mendapatkan. Semua mendapat bagian sesuai amal baktinya. Bagi negara,
sertifikat natar dapat dipandang sebagai balas budi negara
kepada seluruh rakyat yang telah memerdekakan dan “memerdekakan” -nya. Mereka yang bekerja satu mendapat satu, mereka yang bekerja dua mendapat dua, sedangkan mereka yang hanya sebagai penonton di tepi lapangan …. Itulah “rampasan perang” yang dibagi oleh noto bangsa kepada rakyatnya. Meskipun terlambat! Bagi rakyat, sertifikat natar akan menuntun generasi berikut kepada lahan kehidupan yang dibangun oleh orangtua /leluhurnya. Urusan, mereka tidak mau
233
234
melanjutkan jalan yang dirintis oleh pendahulunya karena telah memiliki pilihan sendiri, itu masalah mereka sendiri. Yang jelas, barisan bagi generasi berikut sudah tertata lurus. Jalan yang terbentang di hadapannya pun sudah lurus. Tinggal bagaimana mereka melangkah, bersantai, atau berlari untuk sampai ke garis finis itu urusan mereka. Perlu diingat bahwa rakyat murni yang hidup di jalur birokrasi dapat dikelompokkan berdasarkan tempat “badan” atau lembaga tinggi negara yang menaunginya. Mereka dapat berada pada lingkup eksekutif, pendidikan, militer, dan sebagainya. Dengan kata lain, pada dasarnya, mereka berada dalam dua buah kelompok besar, yaitu Korp Militer dan Korp Sipil. Sementara, Korp Sipil sendiri terdiri dari sepuluh macam. Dan, saat 11 macam “tokoh” mereka tergabung dalam sebuah wadah maka di situlah kamar pertama dari parlemen. Untuk selanjutnya wadah tersebut disebut Parlemen Birokrat. 88 macam natar yang merupakan pecahan dari 8 macam natar induk berada di jalur parlemen murni. Oleh sebab itu, setiap natar induk digiring untuk berani mendirikan “pemerintah” sendiri. Untuk membedakan antara “pemerintah” di bawah payung birokrasi dengan “pemerintah” di bawah payung parlemen murni, maka untuk selanjutnya “pemerintah” di bawah perlemen murni disebut pamong. Oleh sebab itu akan ada 8 buah pamong di dalam jalur parlemen –untuk selanjutnya disebut Parlemen Pamong. Setiap pamong menjadi lahan kehidupan bagi 11 macam natar. Jadi, baik buruknya, maju tidaknya, sejahtera tidaknya setiap natar rakyat murni menjadi tanggung jawab pamong masing-masing bukan menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, jika pada saat start proklamasi hanya rakyat sipil dan rakyat militer yang berada di dalam struktur birokrasi, maka pada start pasca transisi rakyat murni juga berada di dalam struktur pamong --awas, yang dimaksud di dalam adalah di dalam pemerintahan mereka sendiri. Begitu pula halnya, jika pasca proklamasi rakyat militer dianggap duri (?) saat berada di dalam parlemen murni oleh
234
235
sebagian komponen maka, kelak, dengan kepala tegak, militer akan keluar dari kamar parlemen murni untuk masuk ke kamar parlemen birokrasi. Pada tingkat nasional, jika parlemen birokrat dan parlemen pamong berkumpul dalam satu wadah maka di situlah posisi Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPRI) dan beranggotakan 1 000 orang (masing-masing natar 10 orang wakilnya). Sedangkan pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) beranggotakan 100 orang (10 % dari DPRI). Dari situ dapat dipahamkan bahwa, rakyat sipil dan rakyat militer yang berada di dalam pemerintah membentuk parlemen birokrasi, sedangkan rakyat murni yang berada di dalam perlemen membentuk pamong. Sekalipun yang dimaksud antara pemerintah dan pamong adalah sama, namun karena asal-usulnya berbeda maka pucuk pimpinan pamong disebut Ketua, bukan kepala. Pembaca yang budiman, dengan menggunakan natar manusia Indonesia, suara seluruh rakyat –murni-- sudah dapat masuk ke parlemen. Seratus macam suara mereka! Lantas apa manfaat politik “praktis”? Berdasarkan konsep bilangan, politik “praktis” tidak diperlukan. Eranya sudah berlalu, kita sudah MERDEKA. Sudah saatnya rakyat murni, rakyat sipil, dan rakyat militer melangkah maju bersama, bukan beroposisi (dalam arti negatif) satu dengan yang lain, bukan pula tukang stempel. Di situlah saat untuk membuktikan kepedulian dan keprofesionalan para wakil rakyat –masing-masing. Bahwa pemilihan umum masih diperlukan, itu benar, namun bukan pemilu seperti yang seperti selama ini. Kelak, harimau bersaing dengan harimau, ayam bersaing dengan ayam, mahoni bersaing dengan mahoni, ikan bersaing dengan ikan. Itulah persaingan murni! Siapa yang terbaik di antara mereka silakan tampil sebagai pemimpin, orang nomor satu pada natar masing-masing. Sudah barang pasti untuk mewujudkannya dibutuhkan perangkat hukum, infrastuktur, SDM, dan faktor pendukung yang lain. Semua itu adalah kerja besar, berat, dan nyaris melibatkan semua orang. Nah, di situlah perlunya masa transisi 9 tahun. Demi masa yang masih panjang untuk generasi berikut.
235
236
Apakah ini berarti pendidikan akan mandek selama itu? Tidak, pendidikan terus berjalan dengan pola lama, hanya saja, pada tahun ke sepuluh, murid Kelas I Sekolah Dasar akan mulai membuka lembaran baru, merekalah anak-anak yang merdeka. Merdeka dalam arti sesungguhnya. Jadi, perubahan tidak dilakukan secara drastis, satu-demi satu. Tahun kesebelas Kelas I dan Kelas II. Tahun kedua belas Kelas I, Kelas II, dan Kelas III, dan begitu seterusnya. Dengan demikian, guru dan murid akan maju bersama, hukum yang akan ditegakkan oleh subyek hukum kepada obyek hukum dapat seiring, dan sebagainya. Yang jelas, tidak ada generasi tumbal. Pola ini akan menggiring keseimbangan antara pemerintah yang di atas dengan rakyat yang di bawah. Jika selama masa republik, rakyat hanya berposisi /diposisikan sebagai obyek (?) pembangunan maka kelak secara keseluruhan mereka juga akan sebagai subyek pembangunan itu sendiri. Sebaliknya, jika selama masa republik pemerintah hanya berposisi sebagai tukang perintah atau subyek perintah namun kelak menjadi pula tukang melaksanakan keinginan atau obyek perintah. Dengan demikian, kecemburuan sebagian rakyat murni terhadap birokrat terobati. Oleh karena itu, seluruh tetek bengek “lahan” yang tidak ada kaitan langsung dengan pemerintah seyogyanya diserahkan kepada pamong
yang berhak
mengelolanya. Misalnya, sawah, ladang, hutan, dan segala yang berkaitan dengan alam deserahkan kepada Pamong Alam. Pengelolaan pasar, pabean, sampai eksporimpor diserah terimakan kepada Pamong perdagangan. Masalah jalan raya, jembatan, SIM, dan sebagainya kepada Pamong Transportasi. Keempat, sumber dana. Pembaca yang budiman, untuk mewujudkan itu semua tentunya dibutuhkan dana yang bukan main besarnya. Sudah bukan masanya membangun dengan dana pinjaman. Bagaimanapun, kebiasaan berhutang harus ditinggalkan. Oleh karena itu, semua pemilik natar mengumpulkan sertifikat natar kepada pemerintah /pamong masing-masing untuk dijadikan jaminan pinjaman kepada Bank Indonesia.
236
237
Dengan demikian, jika yang bersangkutan bekerja pada lingkup natar induk yang sesuai dengan natar miliknya maka dipandang bekerja pada lahan sendiri. Jika mereka Muslim, tidak dikenai pajak melainkan dikenai zakat sesuai nisob /ketentuan. Sebaliknya jika bekerja diluar natar induknya maka dipandang sebagai pekerja. Pekerja yang berada di lingkungan sipil dengan status tertinggi pegawai negeri sipil, pekerja yang bekerja di lingkungan militer dengan status tertinggi sebagai pegawai negeri militer, pekerja yang bekerja di lingkungan pamong dengan status tertinggi pekerja negeri rakyat. Kepada kelompok inilah “pajak” berganda dikenakan. Pajak –jika Muslim zakat-- pertama akan menjadi pemasukan bagi negara, sementara “pajak” kedua (dapat dipandang sebagai sewa lahan kehidupan) akan menjadi pemasukan bersih pemerintah /pamong. Secara keseluruhan, di satu sisi pola ini akan mendorong seseorang untuk menekuni lahan kehidupan masing-masing. Dengan kata lain, silakan menjadi “besar” di rumah sendiri. Di sisi lain menghindari terjadinya monopoli lahan kehidupan. Oleh sebab itu, pemilik modal –baik dalam arti sesungguhnya maupun dalam arti lain-akan berpikir dua atau tiga kali sebelum melibas lahan kehidupan “tetangga”. Menurut penulis, dengan pola ini akan tercapai “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga jurang antara si kaya dengan si miskin tidak kian melebar /dalam, serta akan terhindar terjadinya keserakahan kolektif. Kelima, pemerintah dan pamong mempunyai kewajiban memberi biaya hidup “rakyat”-nya. Kewajiban ini dimaksudkan untuk pemerataan pendapatan. Mungkin pembaca bertanya, dari mana dananya? Pembaca tentunya masih ingat bahwa sertifikat natar dijadikan barang jaminan yang dalam pengelolannya dilakukan oleh pemerintah jika mereka adalah rakyat sipil /militer dan oleh pamong masing-masing jika mereka berasal dari rakyat murni, serta di samping itu adanya pajak-pajak yang dikenakan terhadap para pekerja (lihat butir keempat). Jadi, dana tersebut berasal dari “jasa” sertifikat natar dan pemasukan bersih –misal, dari sewa-- yang lain.
237
238
Pendapatan-pendapatan itulah yang dipergunakan oleh pemerintah /pamong untuk menghidupi “rakyat” mereka. Untuk selanjutnya, pada aparatur negara biaya hidup tersebut disebut pokok gaji dan pada rakyat negara disebut gaji rakyat. Dengan demikian, rakyat sipil yang berposisi sebagai aparatur negara sipil dan rakyat militer yang berposisi sebagai aparatur negara militer mendapatkan pokok gaji. Begitu pula halnya dengan rakyat murni, mereka akan mendapatkan gaji rakyat –lihat lampiran 4. Sekalipun pada dasarnya yang dimaksud pokok gaji dengan gaji rakyat adalah sama, namun agar tidak rancu maka istilah yang dipergunakan berbeda. Dengan demikian akan terjadi sirkulasi pendapatan nasional secara merata. Nah, dengan noto bangsa maka rakyat sipil, rakyat militer, dan rakyat murni sebagai sesama pemilik lahan kehidupan (lihat 2.1) diposisi manapun juga akan aman, sehingga sekalipun terlempar keluar dari sistem yang mereka bangun sendiri, andil mereka terhadap negara masih memiliki nilai –bukan sekedar nilai “sejarah”, dan nilai itu masih dapat diuangkan sebagai biaya hidupnya /keturunannya. Bukankah “saat terlempar” itu hanya masalah waktu? Oleh karena itu, pemerintah /pamong masing mempunyai kewajiban menyalurkan
tenaga
“rakyat”
–sesuai
keahlian--
masing-masing.
Disitulah
pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat /negaranya. Pembaca yang budiman, dari penggambaran noto bangsa yang dalam perjalanannya bertemu dengan beberapa noto yang lain, akhirnya dapat diketahui bahwa, ternyata merombak sistem bilangan akan mempengaruhi sistem yang lain. Perhatikan : 1. Parlemen rendah (DPRI) berisi 1000 orang anggota, dengan rincian : •
110 orang dari parlemen birokrat --11 natar rakyat murni yang ada pada jalur birokrasi @ 10 orang
•
880 orang dari parlemen pamong --88 natar rakyat murni yang ada pada jalur pamong @ 10 orang
•
10 orang dari natar rakyat murni x
238
239
2. Parlemen tinggi (DPR RI) berisi 100 orang anggota, dengan rincian : •
11 orang dari unsur parlemen birokrat --11 natar rakyat murni yang ada pada jalur birokrasi @ 1 orang
•
88 orang dari unsur parlemen pamong --88 natar rakyat murni yang ada pada jalur pamong @ 1 orang
•
1 orang dari natar rakyat murni x Sejalan dengan hal itu, agar terjadi perimbangan kekuatan di dalam lembaga
tinggi negara, karena setiap lembaga tinggi negara akan beranggotakan 100 orang. Dengan demikian, semua lembaga tinggi negara adalah sebuah badan dan pada badan tersebut semua unsur penopang –dari yang terendah sampai tertinggi harus terlihat. Atau dengan kata lain, pada tataran lembaga tinggi negara akan muncul sebuah suara dari elemen “peri kehidupan”. Oleh sebab itu, jika masalah ini ditarik ke dalam konteks noto negara, maka pada MPR akan ada 1000 orang anggota, 100 orang utusan dari 10 bagian Indonesia14 – tiap bagian Indonsia mengirimkan 10 orang utusannya, 10 orang ketua fraksi (mereka adalah pucuk pimpinan lembaga tinggi negara), dan 1 orang pucuk pimpinan MPR. Pada majelis tertinggi itulah posisi Kepala Negara. Hanya saja, seyogyanya tidak digunakan istilah kepala ataupun ketua. Sebab, kepala adalah sebutan untuk pucuk pimpinan di bawah payung birokrat sipil sedangkan ketua untuk sebutan pucuk pimpinan di bawah payung parlemen. Jadi? Bertanyalah kepada bahasa Indonesia, “ia” telah merdeka! Begitu pula halnya dengan sebutan para pucuk pimpinan majelis (kepala daerah) yang ada pada setiap wilayah teritorial, seyogyanya juga tidak menggunakan sebutan kepala atau ketua. Turunan untuk itu sudah disediakan oleh bahasa Indonesia. Pada posisi Kepala Negara dan Kepala Daerah itulah baru terdapat kebenaran pemilihan langsung oleh rakyat secara keseluruhan (baca : rakyat militer, rakyat sipil,
239
240
dan rakyat murni). Dengan demikian, isu pemilihan presiden secara langsung yang digulirkan akhir-akhir ini, berdasarkan konsep bilangan tidaklah tepat. Presiden “hanyalah” kepala pemerintahan, bukan kepala negara. Dengan kata lain, justru “Ketua” MPR –lah yang harus dipilih secara langsung.
14
Tiap bagian Indonesia mengirimkan 10 orang wakilnya dari unsur-unsur yang belum terwakili,
misalnya dari unsur natar rakyat murni x yang belum terwakili
3. 15 Langkah-langkah Strategis Untuk dapat melaksanakan /mewujudkan kebijakan serta menelorkan badanbadan sebagai yang dimaksud di atas, tidak ada cara lain selain menarik terlebih dahulu semua institusi yang dimaksud terlebih dahulu dari naungan payung pemerintah /lain, dan kewenangan itu hanya berada di tangan majelis tertinggi (MPR). Oleh sebab itu, dukungan lahir-batin dari seluruh rakyat Indonesia sangat diperlukan. Bahwa ada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena posisinya telanjur kuat di lahan orang, itu sudah pasti. Itu wajar dan manusiawi. Jangankan tidak tahu, berhutangpun terasa berat saat membayar. Benar, bukan? Maka dari itu, selama masa transisi, posisi negara mundur ke suasana proklamasi, atau tepatnya pagi 18 Agustus 1945. Dengan demikian kendali negara ada pada MPR. Selama masa transisi, MPR --yang memposisikan diri sebagai PPKI II dan menerapkan langkah-langkah sebagai berikut : Pertama, MPR menetapkan kapan start awal masa transisi dan kapan berakhirnya --seyogyanya diawali 18 Agustus tahun x dan diakhiri 17 Agustus tahun x + 9. Dengan adanya masa transisi sembilan tahun tersebut, diharapkan semua hasil
240
241
kerjanya --yang bersifat mendasar-- nanti akan tidak bersifat sementara, dengan kata lain hasilnya sudah baku. Di samping itu, MPR tidak dikejar-kejar “waktu”. Jika penulis tidak salah dalam menghitung, maka pada penghujung tahun 2014 adalah saat terakhir generasi pertama turun dari hiruk-pikuknya percaturan dunia.
Oleh karena itu, selepas dari tahun itu, sekalipun masih bermanfaat, tulisan
ini akan kurang mengena pada sasaran sebab ada butir yang dimatikan. Dan, butir yang dimatikan tersebut menyangkut aspek keadilan sosial. Kedua, MPR menetapkan berlakunya sistem bilangan di masa transisi. Ketiga, MPR menelorkan lima buah badan /lembaga tinggi negara baru yang akan
dipersiapkan sebagai penopang negara ini untuk mendampingi lima
lembaga tinggi negara yang sudah ada. Kelima badan tersebut adalah: a. Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI); b. Dewan Agama Indonesia (DAI); c. Badan Keuangan Republik Indonesia (BKRI); d. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); e. Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional (BPKN); Keempat, pada tahun terakhir masa transisi, MPR menetapkan berlakunya Piagam Jakarta. Namun harus diingat, semua masih harus belajar. Dan, wajib belajar tersebut adalah 9 tahun. Dengan demikian, Syariat Islam dilaksanakan setahap demi setahap dan baru dapat ditegakkan dengan sempurna pada tahun ke sepuluh pasca transisi. Selama masa transisi, posisi lembaga-lembaga tinggi negara serta seluruh perangkat pendukung --sekali lagi-- dalam suasana domisioner. Dengan kata lain, selama sembilan tahun itu negara ini jalan di tempat. Jalan di tempat dalam arti tidak melanjutkan perjalanan ke arah yang salah karena banyak menimbulkan korban dan
241
242
ketidakadilan di sana sini, namun membelokkan arah tujuan bernegara sembilan puluh derajat dari arah semula. Dengan demikian, “melanjutkan” hubungan dengan luar negeri seperti biasa, semua perangkat negara tetap bekerja seperti biasa, melanjutkan program-program yang telah direncanakan sebelumnya, dan di atas itu semua adalah segera mempersiapkan
diri untuk dapat merealisasikan setiap butir keputusan MPR
sehingga pada saat berakhirnya masa transisi semua sudah siap. Di atas sudah ada disinggung bahwa masa transisi yang lamanya sembilan tahun itu dipilah menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Tiga tahun pertama akan dipergunakan oleh MPR untuk mengolah konsep ini sampai dengan menghasilkan ketetapan. Setiap sebuah ketetapan dihasilkan, maka institusi yang dimaksud harus segera dilepaskan dari payung eksekutif dan segera mengadakan penataan ke dalam. Selain itu, semua pakar menyatukan visi ke-Indonesiaan-nya agar jiwa bangsa dan negara ini benar-benar dapat terlepas dari cengkeraman kolonial sehingga anak-cucu /generasi penerus bangsa ini dapat tampil sebagai pemenang dalam perang peradaban. Dengan demikian, mereka yang memiliki dasar dari segala jurusan ilmu berkepentingan untuk merumuskan konsep ilmu murni Indonesia (sebagai ilmu dasar) tersebut dengan lokakarya, penataan wilayah, pemetaan natar, dan sebagainya. 2. Tiga tahun kedua dipergunakan untuk sosialisasi. Dalam hal ini, diisi dengan penataran --bukan indoktrinasi, pelatihan, dan pendidikan. 3. Tiga tahun ketiga dipergunakan untuk magang, dan dilanjutkan dengan menunjukkan habitat masing-masing. Dalam hal ini, mereka
diberi
kebebasan untuk memilih, melanjutkan pengembaraan di habitat (lahan kehidupan) orang lain atau kembali ke habitat (lahan kehidupan) sendiri.
242
243
Dengan berakhirnya masa transisi, Indonesia memasuki babak baru dalam berbangsa dan bernegara. Ini berarti semua aturan lama yang merugikan sebagian komponen bangsa dan hanya menguntungkan sebagian komponen lain bangsa ini telah dihilangkan /diluruskan. Selain itu, Pancasila (pancasila merah) dan Piagam Jakarta (pancasila putih) telah terbang beriringan melanglang buana Indonesia. Saat itulah, hukum memiliki nurani dan akan tegak di atas semua orang, tanpa pandang bulu. Siapapun dia, apapun jabatannya, dari manapun asal-usulnya, jika salah akan tetap salah dan akan mendapatkan ganjaran yang sesuai. Kelak, sesudah masa transisi berlalu, wajah Indonesia akan sangat berbeda dengan saat ini. Pada saat itu andaikan Indonesia itu sebuah keluarga besar, maka mereka tidak lagi menempati sebuah rumah besar dengan beberapa buah kamar, karena semua anak-anaknya telah beranjak dewasa. Mereka sudah memiliki rumah sendiri-sendiri. Pada saat itu “Fondasi yang dapat ditembus rayap telah dilapisi beton anti rayap dan karat. Genting-genting ditata untuk menempati atap bangunan, tidak berserakan. Genting yang masih utuh diletakkan di atas. Tiang-tiang penyangga diletakkan pada tempatnya. Rumah besar untuk keluarga besar, rumah kecil untuk keluarga kecil. Kamar ukuran besar untuk anak yang dewasa, kamar ukuran kecil untuk anak yang kecil. Baju besar untuk kakak yang besar, baju kecil untuk adik yang masih kecil. Tanaman sudah terpagar sesuai dengan kelayakannya, pagar kebun berbeda dengan pagar halaman. Pagar taman berbeda pula dengan pagar kandang. Ikan-ikan kembali ke air, capung dan belalang kembali ke padang, harimau-harimau pun kembali ke hutan. Pendidikan tidak lagi mengajari ikan untuk berlari, namun mengajar ikan untuk dapat berenang lebih cepat. Tidak mengajari kambing berenang namun mengajari kambing untuk menghadapi serigala. Tidak juga mengajari durian berbiji pasilan, semua digiring kembali ke habitat masing-masing, dan sebagainya. Saat itu, start awal sebuah persaingan murni. Saat itu start awal sebuah keadilan! Dari semua uraian di atas akhirnya dapat diketahui bahwa sumber petaka yang benama krisis multi dimensi yang menerpa bangsa ini ternyata mempunyai sebab
243
244
yang berbeda dan saling berkaitan. Semua penyebab tersebut berawal dari dalam dunia pendidikan. Jadi, menurut penulis, penyelesaiannya pun tergantung pada dunia pendidikan itu sendiri. Masalahnya, beranikah dunia pendidikan “merombak” dirinya sendiri dengan mengadakan otokritik yang berdasarkan kebeningan hati dan mengedepankan kejujuran intelektual? Kiranya, hanya waktu yang akan dapat menjawabnya. Wallahualam.
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. Bilangan adalah sebuah sistem yang jika penataannya benar maka akan dapat menata sistem lain dengan benar pula, sebaliknya jika sistem bilangan itu sendiri kacau /curang maka tak ayal lagi, akan kacau pula sistem yang lain. Sistem bilangan Indonesia dengan bilangan desimal dengan memandang seratus sebagai basis akan dapat mengatasi banyak masalah (krisis multidimensi) sepanjang tidak dikotori oleh tangan-tangan tamak dan culas; 2. Dengan memandang Proklamasi, 17 Agustus 1945 sebagai start awal pembagian lahan kehidupan maka ada dua lahan kehidupan yaitu : lahan 1 terdapat di jalur birokrasi dan lahan 2 terdapat di jalur rakyat.
244
245
Keduanya lahan tersebut memiliki rakyat tersendiri. Saat itu, demokrasi telah mereka tegakkan, siapa di dalam (lahan 1) dan siapa di luar (di dalam lahan 2) telah mereka pilih sendiri. Dengan demikian, memandang lahan 1 sebagai daerah tak bertuan /milik bersama adalah sebuah kesalahan. Kesalahan cara pandang itulah di satu sisi sebagai penyebab timbulnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan di sisi lain sebagai pemicu lahirnya pengangguran; 3. Penerapan sistem bilangan yang sama dengan negara asing namun tidak sama dalam menilai harga uang tertinggi (Indonesia : Rupiah) merupakan penyebab krisis ekonomi. Dengan demikian, jika nilai uang tidak sama maka sistem bilangan yang digunakan juga seharusnya tidak sama. Penguasa uang (Badan Keuangan Republik Indonesia) harus independen. Badan tersebut langsung bertanggungjawab kepada majelis tertinggi. Di bawah badan ini, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia bernaung dan mempertanggungjawabkan hasil kerjanya. Uang adalah satu di antara beberapa pilar penopang kehormatan negara. Oleh karena itu, harus ada dua lapis mata uang di bawah rupiah –maaf, sebagai pakaian dalam rupiah. Di situlah letak perlunya dilakukan senering yang benar; 4. Pendidikan harus merupakan satu wadah atau sebuah piramida besar dengan sebuah puncak yang ditopang oleh sepuluh piramida yang lebih kecil, dan begitu seterusnya. Semua terpola satu - sepuluh. Pendidikan harus berada di bawah sipil pendidikan, bukan sipil eksekutif. Oleh karena itu dimunculkan Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI).
245
246
Di bawah badan ini satuan organik pendidikan, Lembaga Pendidikan Nasional, dan Departemen Pendidikan Nasional bernaung. Satuan organik pendidikan ada sepuluh macam dan itu merupakan sebuah kesatuan, diwali dari Sekolah Dasar dan diakhiri pada Pendidikan Tinggi Strata 3. Lembaga Pendidikan Nasional dipimpin oleh Gubernur Pendidikan Nasional akan menangani masalah non teknis /non edukatif pendidikan, misalnya : Dinas Kesejahteraan Guru, Dinas Kesehatan Guru, Dinas Bantuan Hukum Tenaga Pendidikan. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional yang dipimpin oleh Kepala Departemen Pendidikan Nasional menangani masalah edukasi (baca : pendidikan untuk natar pendidikan) dan pengawasan. 5. Sekalipun Indonesia bukan negara agama --karena ada banyak agama yang dianut oleh rakyatnya, agama menempati posisi sentral. Agama harus berdiri sendiri sebagai sebuah lembaga tinggi, Dewan Agama Indonesia (DAI). Pada dewan agama itulah terkumpul majelis-majelis tinggi umat beragama dengan komposisi yang berimbang. DAI mempunyai hak menolak keputusan MPR jika dipandang keputusan tersebut merugikan umat beragama. Di bawah dewan ini, pemerintah pusat agama (baca : Masyumi) bernaung. Departemen Agama Islam, Departemen Agama Nasrani, Departemen Agama Hindu, Departemen Agama Buda, dan Departemen Agama Khong Hu Cu berada di bawah pemerintah pusat agama.
246
247
Kedudukan departemen-departemen tersebut sebagai pemerintah daerah agama; 6. Ilmu murni Indonesia harus digali sebab pada ilmu tersebutlah terletak identitas sebagai bangsa dan sebagai negara. Ilmu murni tersebut, misalnya : tarikh, bahasa, dan bilangan. Jika dikembangkan, ilmu murni Indonesia akan semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan. Dari pentingnya ilmu --dasar, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sudah dibentuk pemerintah
perlu ditingkatkan statusnya
sebagai lembaga tinggi negara dengan tujuan agar lebih bebas /leluasa dalam melangkah; 7. Penggunaan tarikh Masehi di Indonesia perlu dikritisi, baik dalam bidang pendidikan maupun dalam “manfaat”
--khususnya bagi mayoritas
penghuni negara-- memiliki kelemahan sebab menggunakan matahari sebagai dasar perhitungannya. Untuk itu, Indonesia harus berani melahirkan tarikhnya sendiri yang dengan itu, Tarikh Indonesia tidak berkiblat kemanapun. Tahun pertama dimulai dari Kutai di bumi Kalimantan. Bulan pertama dimulai dari Lebaran –start budaya Indonesia. Hari pertama dimulai dari Jumat --Ingat, saat proklamasi kemerdekaan juga hari Jumat. Tahun baru Indonesia bertepatan dengan 2 Syawal, bukan 1 Syawal. Dengan demikian 1 Lebaran = 2 Syawal. Pola ini akan membawa Indonesia menjadi tuan di negara sendiri. 8. Keadilan yang hakiki baru akan terwujud di bumi Indonesia jika hutang konstitusi kaum nasionalis sekuler terhadap nasionalis Islami terbayar.
247
248
Hutang penguasa kepada konstituante terbayar. Piutang pertama dan kedua pada dasarnya sama, yaitu Piagam Jakarta. Jika hutang tersebut dapat dilunasi, dengan sendirinya krisis kepercayaan /hukum akan terselesaikan. Hukum akan dapat tegak di atas semua rakyat, tidak pandang siapa mereka, baik pejabat maupun rakyat jelata; 9. Hak dan kewajiban membela negara harus tegas batasannya. Bela negara dilakukan oleh rakyat melalui sepuluh macam saluran, yaitu : a. Pertahanan dan keamanan negara
: Aparatur Negara Militer
b. Pertahanan dan keamanan sipil
: Aparatur Negara Sipil
c. Pertahanan dan keamanan rakyat
: Rakyat
d. Keamanan negara
: Pegawai Negeri Militer (Korp TNI)
e. Keamanan sipil
: Tentara Tuhan
f. Keamanan rakyat
: Keamanan Rakyat (Kamra)
g. Pertahanan negara : Polisi h. Pertahanan sipil
: Pegawai Negeri Sipil (Korp Sipil)
i. Pertahanan rakyat
: Pekerja
j. Pertahanan dan kemanan rakyat semesta : Seluruh rakyat Indonesia 10. Bahasa Indonesia yang sudah merdeka sejak 28 0ktober 1928 sudah saatnya memiliki pasangan hidup. Bahasa (linguistik) Indonesia harus berpasangan dengan aksara Indonesia, bukan aksara manca yang dimodifikasi. Ketidakberanian menciptakan aksara Indonesia sungguh tidak beralasan. Sejarah sudah membuktikan bahwa siapa yang menguasai bahasa akan menguasai media massa /dunia tanpa harus mengangkat senjata. Embrio sudah ada, aksara model sujali (Sunda-Jawa-Bali) atau model sutera susi (Sumatera-Sulawesi). Keduanya memiliki akar budaya, hanya saja,
248
249
sebagai saran, seyogyanya digunakan model Sutera Susi dengan tekanan pada Susi, sebab ranah Sulawesi belum terwakili dalam peradaban Indonesia; 11. Dengan menggunakan pemetaan nusa, terlihat bahwa tidak sebuah titik pun di Indonesia yang bernama “Indonesia”. Ternyata, Indonesia adalah negara di atas, sebuah negara maya. Agar yang “maya” menjadi konkrit, maka teritorial dibagi menjadi sepuluh dan satu di antaranya diberi nama Indonesia, dan begitu seterusnya. Idealnya, sebuah daerah teritorial akan mencakup sepuluh daerah teritorial yang lebih kecil. Pada noto nusa akan terlihat satuan teritorial sesudah negara sebagai berikut : bagian, wilayah, provinsi, karesidenan, kabupaten, kota, kawedanan, kecamatan, desa, dan kelurahan. Dengan pola ini akan dapat ditemukan, di mana sebenarnya “akar pohon” Indonesia. Di situlah letak perlunya pemekaran wilayah. Dengan kata lain, pemekaran harus mengikuti pola.
Jika konsep ini ditarik ke noto pendidikan, maka pada setiap kelurahan terdapat sebuah sekolah dasar. Pada setiap desa terdapat sebuah SLTP – Ingat kelurahan berbeda dengan desa. Pada setiap kecamatan akan terdapat sebuah SLTA, dan seterusnya. 12. Berdasarkan konsep bilangan, dapat ditemukan bahwa seharusnya, di bawah lembaga tertinggi negara terdapat sepuluh buah lembaga tinggi negara. Lima di antaranya telah lahir, yaitu : DPR, Presiden, BPK, MA, dan DPA. Sedangkan yang lima belum lahir. Lima lembaga tinggi yang belum ada tersebut akan menangani agama, ilmu, pendidikan, keuangan, serta pertahanan dan keamanan.
249
250
Masalah agama akan diurus oleh Dewan Agama Indonesia (DAI), masalah ilmu oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), masalah pendidikan oleh Badan Pendidikan Nasional Indonesia (BPNI), masalah keuangan oleh Badan Keuangan Republik Indonesia (BKRI), sedangkan pertahanan dan keamanan akan diurus oleh Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional (BPKN). 13. Pemerintah adalah tempat bagi rakyat birokrasi, sedangkan pamong adalah tempat bagi rakyat murni. Sekalipun yang dimaksud antara pemerintah dan pamong itu sama, namun karena perbedaan asal-usul maka digunakan istilah yang berbeda. Ada enam macam pemerintah –yang berdiri setara. Sedangkan pamong terdiri dari sepuluh macam. Dengan demikian, wadah rakyat untuk masuk ke dalam struktur negara sudah ada. Dalam hal ini, pertumbuhan pamong lebih cepat dari pertumbuhan pemerintah. Pemerintahan /pamong ada sebelas tingkat, dan ini sesuai dengan daerah teritorial yang ada. Pada tataran teritorial yang sama akan berdiri setara. Di sinilah letak perlunya pertumbuhan birokrasi dalam rangka mencegah pembusukan birokrat. Bagaimanapun, pembusukan birokrat sangat merugikan negara, rakyat birokrasi, dan rakyat murni sendiri. Mengingat pemerintah adalah timbangan dari rakyat
--timbangan
pamong-- maka Kepala Pemerintahan berbeda dengan Kepala Negara. Kepala Negara dijabat oleh Ketua MPR, sedangkan Kepala Daerah dijabat oleh Ketua “MPR”;
250
251
14. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Konsekuensi dari pengakuan tersebut mereka memeluk sebuah agama sesuai dengan keyakinannya. Dengan demikian, rakyat Indonesia tergolong manusia beriman. Natar adalah warna dasar. Manusia Indonesia dapat dilacak natarnya dengan melihat posisi yang bersangkutan pada start negara ini berdiri, yaitu antara 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949, bisa juga dilihat dengan menggunakan parameter tertentu. Dengan diketemukannya natar seseorang, ketepatan posisi mereka dapat dideteksi. Adanya mobilitas, pendidikan, maupun pengaruh lain sebagai faktor perpindahan jalur harus diatasi dengan cantik. Tanpa itu, mereka yang kuat akan semakin kuat dan sebaliknya yang lemah akan kian tersingkir. Jika semua itu dapat diatasi, maka saat itulah start sebuah keadilan.
4.2 Saran Tulisan ini hanyalah sebuah solusi alternatif dalam rangka mengentaskan bangsa dan negara tercinta ini dari terpaan krisis yang datang silih berganti. Dengan demikian, kajian yang lebih mendalam dari para pakar /ahli sangat diharapkan. Demi Indonesia tercinta
251
252
KEPUSTAKAAN
Aghnides B.L, Nicolas P, M.A., Ph. D, Pengantar Ilmu Hukum Islam, AB Sitti Sjamsijah, Solo, 1956 Alam Jalal, Dr, dkk, Dendam Barat dan Yahudi Terhadap Islam CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1996. Amjas, Moch., Risalah Zakat ke mana bagiankoe …? berikan akoe lapar, Ponpes Sirajul Anwar Pecoro Rambipuji, Jember,1420 H Anshari, Endang Saifuddin, H, Sejarah Konsensus nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekular tentang Dasar Negara Republik Indonesia, Al Muslimun, 179: 60, Bangil, 1985.
252
253
Al-Qordawi, Yusuf, Dr, Membumikan Syariat Islam, Dunia Ilmu, Surabaya, 1997. Arifin, M, H, Drs, M.Ed, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1992. Azis, Jum’ah Amin Abdul, Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan, Asy Syaamil Press & Grafika, Bandung, 2002. Darhim, Drs., dkk, Pendidikan Matematika 2, Buku III IA Modul 7,
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Peningkatan Mutu Guru SD Setara D II, Jakarta, 1994. Dhofir, Syarqawi, Hadiah Untuk Kebangkitan Islam, Al Muslimun,169: 78, 1984 Djono, I.A, dkk., Kumpulan Nyanyian, Jaya Baya, Surabaya, 1975 Hasan, Said Hamid, M.A., Ph.D, Pendidikan IPS 2, Buku IV 3A Modul 6, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Penigkatan Mutu
Guru SD setara D II, Jakarta, 1994 Hawwa, Sa’id, Agar Kita Tidak Dilindas Zaman, Pustaka Mantiq, Solo, 1989 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Ketahanan Nasional, PT Balai Pustaka –Lemhanas, Jakarta, 1997 Maarif, Syafii. A, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1994 Manager Gerald, Prestasi Tinggi Mulai di Sini, Lembaga Pendidikan Primagama, 2002
253
254
Purwanto, Ngalim, M, Drs. MP., Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, PT Rosda Karya, bandung, 1997. Rais, Amien. M. Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung, 1994 Ridwan, Nurkholis. M, Mengapa Menolak Syariat Islam?, Sabili, No. 01 Th. X : 3, Juli 2002 Ruseffendi E.T, S.Pd, M.Sc, Ph.D,Prof.,dkk (1993), Pendidikan Matematika 3, Buku IV IA Modul 2, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Peningkatan Mutu Guru SD setara D II dan Pendidikan Kependudukan, Jakarta.
Scott, Peter Dale. Prof, Konspirasi Soeharto-Cia Penggulingan Soeharto 1965-1967, PMII Unair-Pekad, Surabaya, 1998 Setijawan, Pengaruh Devaluasi dengan Kepercayaan Masyarakat terhadap Uang – Skripsi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Jember, Fakultas Hukum, 1987 Shabana, Whs, Kedengkian Barat terhadap Dunia Islam suatu Telaah Kasus, Al Muslimun, 265 : 69, Bangil, 1412 H /1992 M Soedijarto, H, Dr, Prof, Kemampuan Profesional Tenaga Kependidikan (Terutama Guru) dan Implikasinya dalam Penyususnan Kurikulum Lembaga Pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga, 1997
254
255
Sugiono, MA, Politik Luar Negeri Indonesia : Antara Keinginan Mandiri dan Ketergantungan, Tarbawi, 39 Th. 4 : 50, 2002 Suparman, Drs, dkk., IPS Sejarah 2, Tiga Serangkai, Solo, 1995 Sya’Rawi, Mutawalli, M, Dr, Prof, Islam Di Antara Kapitalisme dan Komunisme, Gema Insani Press, Jakarta, 1992 Uhin, Pendidikan Dasar 9 Tahun dalam Pembakuan Tipe Sekolah pada Satuan Pendidikan Dasar Penyempurnaan Angka Kredit Kenaikan Pangkat Bagi Guru, CV Kloang Klede, 1994 Wibowo, Andri, HR&GA Division Head PT Gentrans Interna Express, Tarbawi, 38 Th. 4 : 32, Juli 2002 Wardana, Datta, dkk., Ilmu Pengetahuan Sosial 3, Departemen
Pendidikan dan
Kebudayaan, 1998 Yamani MCJ LL M, Ahmad Zaki, Syari’at Islam Yang Abadi, PT Al Ma’arif, Bandung, 1980 Perundang-undangan /Peraturan : 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Apollo, Surabaya – sebelum amandemen 2. Biro Hukum dan Humas, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992
255
256
Lampiran : 1 Implementasi bilangan pada masa transisi Contoh 1 Pada Tahun Anggaran 2001, cadangan devisa negara adalah Rp 1 triliun, ini berarti cadangan devisa negara adalah Rp 1.0000.0000.0000.0000,00 bukan Rp. 1.000.000.000.000,00 Penjelasan : Adanya lompatan jumlah devisa negara dalam bentuk rupiah, membuat pemerintah tidak memiliki alasan apapun untuk membuat hutang baru pada lembaga keuangan manapun, tidak ada alasan untuk menaikkan BBM, tarif dasar listrik, pajak, dan atau yang sejenis dengan itu. Dengan kekuatan 10.000 kali di atas Rp 1 triliun sebelumnya, maka akan mengundang
“tikus” semakin menggila. Dengan
demikian, “kucing-kucing” harus dipersiapkan dengan
sebaik mungkin. Mereka
inilah yang berkewajiban menggiring “tikus” –dari yang kelas comberan sampai
256
257
tikus putih kelas kantoran (?) kembali ke habitatnya. Pencatatan kekayaan para penyelenggara negara menjadi sangat diperlukan. .Contoh 2 Gaji seorang pegawai negeri sipil (PNS) pada bulan Januari 2001 adalah satu juta rupiah (Rp 1.000.000,00). Maka, seharusnya gaji yang diterima adalah Rp 1.0000.0000,00. Bukan Rp 1.000.000,00 --satu dengan enam nol di belakangnya belum mencapai satu juta. Penjelasan : Perubahan penerimaan gaji PNS seperti contoh tersebut di atas bukan merupakan kenaikan gaji, sebab uang yang mereka terima selama ini belum sekualitas dengan yang seharusnya mereka terima. Sehingga, sebenarnya, tuntutan agar aparat negeri ini memberikan pelayanan yang baik kepada rakyat merupakan tuntutan yang semena-mena, sehingga –maaf-- ada di antara mereka yang “nakal”. Baik nakal dalam arti sesungguhnya maupun nakal dalam arti –maaf- melacurkan jabatan. Misal: PNS merangkap sebagai x. Pejabat merangkap sebagai y. Dengan pekerjaan dan /jabatan yang disandangnya, ia memuluskan jalan usahanya di satu sisi pun itu berarti merebut lahan hidup orang lain di sisi lain. Padahal, antara bidang x dan bidang pekerjaan si PNS tidak ada hubungannya sama sekali, kalaupun dipandang ada, itu pun terlihat sangat dipaksakan. Antara jabatan dan bidang y si pejabat pun tidak ada relevansinya. Memang, tidak ada halangan bagi siapapun untuk berusaha dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya, sepanjang dilakukan di luar jam dinas serta tidak memanfaatkan fasilitas dan /statusnya. Jadi, kesalahan total bukan ada pada mereka. Kalau, ada di antara mereka yang nakal … itu wajar, dan sangat wajar sekali. Tapi, percayalah. PNS yang baik –yang komitmen terhadap tugasnya- -jauh lebih banyak daripada mereka yang nakal, begitu pula dengan pejabat (?). Dengan bertambahnya pendapatan PNS –yang hanya satu di antara sekian kran keluarnya uang negara-- maka pada gilirannya nanti akan meningkatkan pula pendapatan rakyat. Bukankah PNS tidak mungkin menyimpan uangnya ke luar negeri? Juga terlalu berlebihan, jika mencurigai mereka akan
257
258
membelanjakan rupiah ke manca negara. Mereka sudah dilatih untuk berpola hidup sederhana, terlebih bagi golongan rendah. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan : Pertama, seorang PNS tidak mutlak menerima gaji sebesar terurai di atas selama masa transisi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan masa kerja yang bersangkutan antara 27 Desember 1949 sampai dengan start masa transisi. Dengan demikian ada masa pembetulan gaji. Ini berarti, semakin panjang masa kerja seorang PNS maka akan semakin
panjang pula jangka penerimaan, sebaliknya semakin
sedikit masa kerjanya akan semakin singkat pula penerimaannya. Dengan demikian seandainya masa transisi dimulai 18 Agustus 2003 dan diakhiri 17 Agustus 2012 dan itu (9 tahun) = 108 bulan, dan 27 Desember 1949 s.d. 18 Agustus 2003 = 62 tahun 08 bulan – lebih dari 14 hari dibulatkan menjadi 1 bulan = 752 bulan. Maka cara menghitung masa “pembetulan gaji” adalah = (masa kerja keseluruhan : 752) x 108 x 1 bulan. Kedua, dengan berakhirnya masa pembetulan gaji, maka harus diadakan rasionalisasi gaji. Rasionalisasi gaji sangat diperlukan sebab –bagi PNS sebagai contoh di atas-- penerimaan gaji 100 kali lebih besar dari penerimaan tentunya akan menimbulkan dampak psikhologi yang luar biasa, dari (10)0 satuan gaji menjadi (10)2 satuan gaji atau secara sederhana dari pangkat nol menjadi pangkat dua. Ini terlalu maju. Oleh karena itu harus dimundurkan, sehingga menjadi pangkat satu atau (10). Dengan demikian, besar rasionalisasi gaji adalah 10 kali dari gaji yang diterimanya. Misalkan : •
Anton, gaji Rp 1 000 000,00 (satu juta rupiah) dengan masa kerja keseluruhan 30 tahun 05 bulan = 365 bulan
258
259
Maka, masa pembetulan gaji = (365 : 752) x 108 x 1 bulan = 51 bulan. Dari itu, Anton menerima pembetulan penerimaan gaji selama 51 bulan. Itu berarti, gaji September 2003 sampai dengan 51 bulan berikutnya (Desember 2008) tertulis Rp 1.000.000,00, namun yang diterima Anton adalah Rp 1.0000.0000,00 Sesudah itu, gaji dirasionalisasikan sebagaimana seharusnya. Dengan demikian, pada bulan Januari 2009 dalam daftar gaji Anton menerima 10 x gaji atau 10 x Rp 1.000.000,00 sehingga tertulis Rp 1000.0000,00.
–jadi, pada Januari 2009 Anton menerima sebesar Rp
1000.0000,00 •
Supali, pensiunan 1 Januari 1980 dan angkatan pertama negara ini. Gaji Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dengan demikian masa kerja yang bersangkutan dari 27 Desember 1949 sampai dengan 1 Januari 1980 adalah 30 tahun = 360 bulan. Maka , masa pembetulan gaji = (360 : 752 ) x 108 x 1 bulan = 51 bulan. Supali menerima pembetulan gaji dari September 2003 sampai dengan 51 bulan berikutnya (Desember 2008). Dengan demikian, pada daftar gaji tertulis
Rp 500.000,00 namun yang diterima adalah Rp
500.0000,00 Pada Januari 2009, gaji Supali pun dirasionalisasikan sehingga ia menerima 10 x Rp 500.000,00 = Rp 500.0000,00
pada daftar gaji Supali
sudah tertulis Rp 500.0000,00 •
Armando, seorang hakim angkatan 1 April 1997 dengan gaji, misalnya : Rp 2.000.000,00. Dari itu masa kerja keseluruhan Armando adalah 06 tahun 04 bulan = 52 bulan Maka, masa pembetulan gaji = (52 : 752) x 108 x 1 bulan = 7,5 bulan -- dibulatkan menjadi 8 bulan. Armando menerima pembetulan gaji selama 8 bulan, mulai September 2003 sampai dengan 8 bulan berikutnya (April 2004). Dengan demikian, pada daftar gaji tertulis Rp 2.000.000,00 namun yang diterima adalah Rp 2.0000.0000,00. Sedangkan pada bulan ke
259
260
sembilan (Mei 2004), gaji Armando telah disesuaikan
(dirasionalisasikan)
sehingga tertulis Rp 2000.0000,00, dan deretan angka tersebut berasal dari 10 x Rp 2.000.000,00 Sebagai catatan terakhir untuk masalah ini, seyogyanya selama masa transisi dan setusnya agar tidak menimbulkan masalah tiap orang memiliki struktur gaji sendiri-sendiri, seperti para pensiunan, dan menggunakan jasa bank. Contoh 3 Pada hari Senin, 21 Agustus 2001, harian Jawa Pos menuliskan bahwa akibat carut-marut MSAA kerugian yang diderita negara adalah Rp 80 triliun. Berdasarkan sistem dan /rumusan di atas, kerugian yang diderita negara baru mencapai Rp 80 ribu juta (Rp 80 miliar). Sebab, dalam hal ini kerugian menjadi kewajiban negara. Penjelasan : dengan adanya perubahan cara memandang bilangan, maka secara hakiki kerugian yang diderita negara pun akan mengecil. Mengecil dalam arti kualitas kerugiannya, sedangkan secara kuantitas tetap. Masalahnya, manakah yang lebih penting antara nilai penting
kualitas dan
nilai kuantitas? Memandang salah satu lebih
dari yang lain, jelas merupakan kesalahan yang fatal.
Dan, itu akan
membuat timpangnya keadilan. Apalah artinya sebuah kualitas tanpa diimbangi dengan kuantitas yang memadai, begitu pula sebaliknya. Masalah ini akan terjawab setelah rupiah didevaluasi, yaitu pada saat sistem bilangan Indonesia berlaku --revolusi bilangan dikukuhkan. Hanya, jika ingin berhasil dalam satu hari itu berarti mimpi di siang bolong, namun jika berbilang tahun dan dilakukan bersama dengan penuh kesadaran itu –baru-- sebuah harapan. Contoh 4 Pada awal tahun 2001, hutang luar negeri Indonesia sebesar Rp 50 triliun dan pada triwulan pertama akan dibayar Rp 1 miliar. Berapa sisa hutang luar negeri Indonesia?
260
261
Jawab : Hutang = Rp 50 triliun = Rp 50.000.000.000.000,00 Bayar = Rp 1 miliar Sisa hutang
= Rp 1.000.0000.0000,00
= Rp 49.000.000.000.000,00
Ingat, bayar hutang merupakan kewajiban. Penjelasan : Sepanjang hutang tersebut tidak menggunakan mata uang asing sebagai alat pembayarnya maka contoh di atas sudah sangat jelas. Namun, jika pembayaran dengan menggunakan valuta asing maka jumlah dana yang disediakan untuk itu dikonversikan dengan mata uang asing yang dimaksud. Adalah menjadi tugas para ekonom untuk menahan laju kekuatan uang mereka. Bahwa, jumlah hutang luar negeri pemerintah mencapai Rp 1.280,1 triliun (Sabili, 2000 : 21) benar-benar menyuramkan masa depan anak-anak yang saat ini masih berada di bangku sekolah. Mereka tidak ikut berhutang, mereka yang harus mempertanggungjawabkan. Malang nian …. Contoh 5 Harga sekaleng sarden kecil Rp 2.000,00 Maka, sebenarnya harga sarden tersebut baru mencapai dua puluh ratus rupiah, belum sampai dua ribu rupiah --dua ribu rupiah = Rp 2.0000,00 Penjelasan : dalam hal ini, perubahan hanya terjadi pada pelafalan –bilangan. Namun sebenarnya yang terjadi adalah kualitas ribuan turun menjadi puluh ratusan, sedangkan kuantitas 2 dengan 0 sebanyak tiga buah –sebagai kekayaan hakiki rakyattidak diusik.
Contoh 6 Pajak yang dikenakan kepada si A sebagai pemilik sebidang sawah adalah Rp 40.000,00. Dengan demikian, si A membayar sejumlah lambang bilangan yang menjadi kewajibannya –empat nol nol nol nol yang dalam sistem bilangan Hindu arab
261
262
dibaca empat puluh ribu rupiah tetapi karena penerima pajak adalah negara, dan selanjutnya menjadi hak negara, maka negara tidak lagi melihat deretan bilangan penyusunnya melainkan menghitung pelafalannya --bilangannya, oleh karena itu empat puluh ribu = Rp 40.0000,00 (perhatikan perbedaan jumlah nol-nya). Penjelasan : dengan
konsep ini tidak ada lagi bagi alasan pemerintah untuk
menaikkan penerimaan negara dari sektor pajak, sebab pajak yang diterima negara nilai kualitas uangnya telah dinaikkan. Dengan demikian, Bank Indonesia –sebagai bank sentral--
berkewajiban
menggenapi kuantitas yang sesuai dengan kualitas pajak yang masuk negara. Dalam hal ini –sesuai contoh – penyelesaiannya adalah Bank Indonesia berkewajiban menyediakan dana sebesar Rp 360 000,00 sebagai selisih antara Rp 40 000,00 dengan Rp 40 0000,00 –perhatikan perbedaan jumlah nol –nya. Adapun, jika ada rencana pemerintah untuk menggali pajak dari potensi yang belum tergarap selama ini, itu tidak menjadi masalah, sebab itu merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak. Apalagi, bagi sebuah negara yang beranjak “maju” penerimaan sektor ini akan menjadi tulang pungung perekonomian nasional dan tentunya sangat diandalkan. Contoh 7 Pada hari Jumat, 5 April 2002, harian Kompas memuat berita bahwa kurs tengah Bank Indonesia terhadap dolar AS adalah : 1$ =Rp 9.733,00 (sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh tiga rupiah). Berdasarkan rumusan di atas, maka kurs mata uang tersebut sebenarnya baru bernilai sembilan puluh tujuh ratus tiga puluh tiga rupiah. Jadi, belum mencapai seribu rupiah. Penjelasan : Ingat, dalam hal ini tidak ada devaluasi. Dan, memang, diharapkan selama masa transisi pemerintah tidak melakukan devaluasi, apapun alasannya. Sungguhpun demikian, para ekonom mempunyai kewajiban untuk membendung
262
263
kekuatan dolar AS --khususnya dan /mata uang asing lainnya agar tidak sampai menembus level Rp 10 000,00. Kepiawaian menerapkan ilmu yang telah mereka serap dari “sana” harus dibuktikan.
Memang, ada sekelompok spekulan yang malah bersyukur dengan
melemahnya rupiah, mereka malah memetik keuntungan yang tak terkira besarnya. Mereka adalah pemilik modal. Sebenarnya, mereka telah cukup lama menikmati keuntungan dengan melemahnya rupiah –mereka memiliki sesuatu sebagai harga tawar. Namun, sebagian besar penghuni negara ini akan merasakan akibat langsung dari melemahnya rupiah. Contoh 8 Dalam tahun angggaran 2002, Pemerintah mengalokasikan dana Bantuan Operasional untuk Sekolah Dasar
@ Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) maka
seharusnya dana yang dicairkan adalah lambang bilangan dua dengan delapan buah di belakangnya atau Rp 2.0000.0000,00 –perhatikan perbedaan jumlah nol-nya. Penjelasan : Bisa pembaca bayangkan, dengan dana sebesar itu, Sekolah Dasar (SD) tidak perlu lagi menarik iuran /sumbangan apaun namanya dari orangtua /wali muridnya. Rakyat boleh –dan sah-sah saja-- menuntut peningkatan mutu pendidikan sebab dana yang tersedia memang sangat, sekali lagi sangat, mencukupi. Tanpa ada kenaikan alokasi angggaran pendidikan pun, dana sudah sangat cukup. Dengan dana sebesar itu, SD yang kekurangan guru dapat merekrut sendiri tenaga yang diperlukan. SD akan mampu membayar tenaga terampil untuk mengajarkan kecakapan tertentu –bahkan tenaga ahli sekalipun. SD akan mampu menyiapkan fasilitas dan segala sesuatu yang memang selayaknya ada pada tingkat SD. Penulis rasa, hal serupa juga akan terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Rasanya tidak berlebihan, jika dengan Reformasi Bilangan maka pendidikan akan gratis. Gratis dalam arti sebenarnya, bukankah sesungguhnya “mencerdaskan kehidupan bangsa” itu merupakan kewajiban negara?
263
264
Dalam bidang ini saja, terlihat adanya pendistribusian tenaga kerja – khususnya tenaga terdidik. Bisa dibayangkan, jika sebuah SD saja mampu menyerap empat orang guru baru15 dan ditambah lima orang tenaga terampil non guru16 . Maka berapa ratus ribu orang pencari kerja yang tertampung SD di seluruh tanah air ini? Rakyat menuntut sekolah sehari pun tidak menjadi masalah, sebab gaji guru sudah sangat mencukupi. Mereka sudah dapat duduk setara dengan rekan-rekan mereka dari negera tetangga ataupun dari negara maju. Di atas kertas, semua terasa mudah. Semuanya, tergantung pada niat baik pengelola pendidikan. Contoh 9 45 x 301 = n
n = 1 3545
Dibaca : empat puluh lima kali tiga ratus satu = n n = seribu tiga puluh lima ratus empat puluh lima 15
guru yang dibutuhkan sekolah karena sekolah kekurangan tenaga guru
16
tenaga terampil, tenaga honorer yang dipanggil sekolah untuk mengajarkan keterampilan tertentu,
misalnya keterampilan elektronik.
Penjelasan : di sini terlihat bahwa secara metematis, reformasi bilangan tidak merubah hasil . Perubahan hanya terlihat pada berubahnya kualitas bilangan
--
pelafalan bilangan-- dan untuk memudahkan pemahaman maka tehnik penulisan menggunakan empat digit dipisahkan.
Contoh 10 B Bea retribusi setiap masuk terminal bagi sebuah kendaraan umum
adalah
Rp5.000,00 (lima ribu rupiah). Penjelasan : Bea retribusi termasuk pendapatan asli daerah –negara. Oleh karena itu, bagi awak angkutan berkewajiban membayar
sejumlah lambang bilangan
penyusunnya yaitu lima nol nol nol, yang dalam sistem bilangan Hindu Arab dibaca lima ribu rupiah Tetapi, karena penerima adalah Pemerintah Daerah –yang
264
265
merupakan kepanjangan tangan dari penguasa negara, maka lima ribu rupiah tidak lagi berupa Rp 5.000,00 melainkan Rp 5.0000,00 –perhatikan perbedaan lambang bilangan penyusunnya.
265
266
Lampiran 2 Sebuah Format Demokrasi Pemerintah Militer
Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional
Natar Militer
Natar X
Dewan Pertimbangan Agung
Rakyat Militer
Rakyat X
Rakyat Murni
Rakyat Birokrasi
Rakyat Indonesia
Natar Sipil Eksekutif Rakyat Sipil
Natar Alam Pamong Alam
Rakyat Agama
Pemerintah Sipil
Natar Pedagang Natar Sipil Hukum Natar Agama
Kepresidenan
Pamong Pedagang
Pemerintah Hukum Natar Transportasi Mahkamah Agung
Natar Sipil Pendidikan
Dewan Agama Indonesia Pamong Transportasi
Natar Pendidik Natar Ilmu
Natar Sipil Agama
Pemerintah Edukasi
Badan Pendidikan Nasional Indonesia
Natar Komunikasi Pamong Komunikasi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Pemerintah Agama
Natar Seni Budaya Pamong Seni Budaya
Natar Rakyat X Natar Sipil Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan
Natar Industri Natar Jasa Pamong Industri
Pemerintah Keuangan
Pamong Jasa
Badan Keuangan Republik Indonesia
Pamong Pegawai Negeri Korp Sipil
Parlemen Pamong
Pamong Pegawai Negeri Korp TNI
Parlemen Birokrasi
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat RI
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia
266
267
Lampiran 3 TABEL NATAR
No.
Natar Induk
Natar Manusia
Ruang Gerak
Keterangan
4
5
Indonesia 1
2
1.
Natar militer
3 1. Angkatan Darat
Pemerintah Militer
Lahan 1
Dewan Agama
Lahan 1
Indonesia
/Militansi sipil
Sesuai kebutuhan
Lahan 1 /2
2. Angkatan Laut 3. Angkatan Udara 4. Polisi 5. Tentara Tuhan : a. Hizbullah b. Tentara Salib c. Pacalang d. Lain-lain 6. Kamra 7. Lain-lain 2.
Natar Sipil
1. Pamong praja
Militansi rakyat 1. Pemerintah
Lahan 1
Eksekutif 2. Agama
2. Pemerintah Agama
3. Pendidikan
3. Pemerintah Edukasi
4. Keuangan
4. Pemerintah Keuangan
5. Hukum
5. Pemerintah Hukum
267
268
1 3.
2 Natar Alam
3 1. Pertanian
4
5
Pamong Alam
Lahan 2
Pamong Pedagang
Lahan 2
2. Peladang 3. Perkebunan 4. Peternakan 5. Kehutanan /Utas 6. Perajin 7.Nelayan /kelautan 8. Perlistrikan 9. Pertambangan 10. Lain-lain 4.
Natar Perdagangan
1. Pedagang hasil bumi : a.tanaman pangan b.tanaman sandang c. tanaman keras d. lain-lain 2.Pedagang hasil industri: a. logam b. kimia dasar c. aneka industri d. industri kecil e. industri rumah tangga 3. Lain-lain
268
269
1 5.
2
3
4
Natar
1. Pos
Pamong
Komunikasi
2. Telepon
Komunikasi
5 Lahan 2
3. Telegram 4. Media cetak 5. Media elektronik 6. Penerjemah 7. Juru bahasa 8. Wartawan 9. Kurir 10. Lain-lain 6.
Natar
1. Perhubungan darat
Pamong
Transportasi
a. Kereta api
Transportasi
Lahan 2
b. Bukan kereta api dalam bagian c. Bukan kereta api antar bagian d.Perhubungan sungai e. Perhubungan danau 2. Perhubungan laut a. Antar pulau b. Antar negara
269
270
1
2
3
4
5
3. Perhubungan udara a. Penerbangan nasional b. Penerbangan internasional 3. Lain-lain 7.
Natar Seni
1. Seniman tradisional
Pamong Seni
Budaya
2. Awak seni tradisional
/Budaya
Lahan 2
3. Artis /aktor 4. Penyanyi 5. Pelawak 6. Pesulap 7. Akrobatik 8. Sulih suara 9. Awak seni kontemporer 10. Lain-lain 8.
Natar Industri
1. Industri logam :
Pamong Industri
Lahan 2
a. Mesin b. Elektronik 2. Industri kimia dasar 3. Aneka industri : a. Pangan b. Sandang
270
271
1
2
3
4
5
c. Serat dan kimia d. Bangunan 4. Industri kecil 5. Industri rumah tangga 6. Lain-lain 9.
Natar Jasa
1. Tenaga : a. Jasa militer :
Pamong Pegawai
Lahan 1
1.PNM pada lingkup AD Negeri Korp TNI 2.PNM pada lingkup AL 3.PNM pada lingkup AU 4. PNM pada lingkup sipil 5. PNS pada lingkup AD 6. PNS pada lingkup AL 7. PNS pada lingkup AU 8. Militansi sipil pada lingkup militer 9. Militansi sipil pada lingkup “sipil” 10. Militansi rakyat pada lingkup militer
271
272
1
2
3
4
5
b. Jasa sipil :
Pamong
1. PNS pada lingkup
Negeri Korp Sipil
Pegawai Lahan 1
agama 2. PNS pada lingkup eksekutif 3. PNS pada lingkup pendidikan 4. PNS pada LIPI 5. PNS pada lingkup hukum /peradilan 6. PNS pada lingkup pemerintah keuangan 7. PNS pada lingkup BPK 8. PNS pada lingkup DPA 9. PNS pada lingkup DPR 10. PNS pada lingkup lain-lain c. Jasa tenaga lain-lain
Pamong Jasa
Lahan 2
2. Konsultasi 3. Rancang 4. Busana 5. Peralatan
272
273
1
2
4
3
5
6. Kendaraan 7. Hunian 8. Wisata 9. Pendidikan 10.Lain-lain : 10
Natar X
1. Pendiri negara
Dewan
a. Raja-raja
Pertimbangan
b. Proklamator
Agung (DPA)
Lahan 1
c. Tokoh pendiri negara d. Lain-lain 2. Rakyat murni :
Dewan Perwakilan
a. LSM
Rakyat (DPR)
Lahan 2
b. Lain-lain
273
274
Lampiran 4 NILAI NATAR N0
Periode
Usia Lembaga
.
1
2
1.
17-08-1945
2.
Kel.
Nilai
Nilai
Pokok
Natar
Natar
Nominal
Gaji
Sertifikat
/gaji
Natar
rakyat
(Rp)
(Rp)
6
7
3
4 I
5 100
108 7
Ket.
8
1000,00 *
s.d.
II
10
10
27-12-1949
III
1
106
10,00 ***
10
107
100,00 Wajar
27-12-1949
00 th 01 bl s.d.
s.d.
00 th 05 bl
02-05-1984
00 th 06 bl s.d.
II.1.1
100,00 **
4 II.1.2
9
9 x 106
90,00 Tahun
II.1.3
8
8 x 106
80,00
01 th 03 bl s.d. II.1.4
7
7 x 106
70,00
II.1.5
6
6 x 106
60,00
02 th 01 bl s.d. II.1.6
5
5 x 106
50,00
00 th 10 bl 00 th 11 bl s.d. 01 th 02 bl 01 th 07 bl 01 th 08 bl s.d. 02 th 00 bl 02 th 05 bl
274
275
1
2
3 02 th 06 bl s.d.
4
5
6
7
8
II.1.7
4
4 x 106
40,00
II.1.8
3
3 x 106
30,00
II.1.9
2
2 x 106
20,00
II.1.10
1
1 x 106
10,00
II.2.1
10
1 x 106
10,00 Wajar
02 th 10 bl 02 th 11 bl s.d. 03 th 02 bl 03 th 03 bl s.d. 03 th 07 bl 03 th 08 bl s.d. ≥ 04 th 3.
02-05-1984
00 th 01 bl s.d.
s.d.
00 th 07 bl
02-05-1994
00 th 08 bl s.d.
6 II.2.2
9
9 x 105
9,00 Tahun
II.2.3
8
8 x 105
8,00
II.2.4
7
7 x 105
7,00
II.2.5
6
6 x 105
6,00
II.2.6
5
5 x 105
5,00
II.2.7
4
4 x 105
4,00
II.2.8
3
3 x 105
3,00
II.2.9
2
2 x 105
2,00
01 th 02 bl 01 th 03 bl s.d. 01 th10 bl 0l th 11 bl s.d. 02 th 05 bl 02 th 06 bl s.d. 03 th 00 bl 03 th 01 bl s.d. 03 th 07 bl 03 th 08 bl s.d. 04 th 03 bl 04 th 04 bl s.d. 04 th 11 bl 05 th 00 bl s.d. 05 th 06 bl
275
276
1
2
3 05 th 07 bl s.d.
4
5
6
7
8
II.2.10
1
1 x 105
1,00
II.3.1
10
1 x 105
1,00 Wajar
≥ 06 th 4. 02-05-1994 s.d. …
00 th 01 bl s.d. 00 th 11 bl 01 th 00 bl s.d.
9 II.3.2
9
9 x 104
II.3.3
8
8 104
0,80
II.3.4
7
7 x 104
0,70
II.3.5
6
6 x 104
0,60
II.3.6
5
5 x 104
0,50
II.3.7
4
4 x 104
0,40
II.3.8
3
3 x 104
0,30
II.3.9
2
2 x 104
0,20
II.3.10
1
1 x 104
0,10
0,90 Tahun
01 th 11 bl 02 th 00 bl s.d. 02 th 11 bl 03 th 00 bl s.d. 03 th 11 bl 04 th 00 bl s.d. 04 th 11 bl 05 th 00 bl s.d. 05 th 11 bl 06 th 00 bl s.d. 06 th 11 bl 07 th 00 bl s.d. 07 th 11 bl 08 th 00 bl s.d. 08 th 11 bl ≥ 9 th * Rakyat X /Pendiri Negara ** Rakyat birokrasi *** Rakyat murni
276
277
Sebuah Anekdot
Suatu pagi. Seorang ibu tani yang tinggal di pedalaman pulau Jawa hendak menanam padi. Ia membawa serta dua orang anaknya yang masih kecil ke sawah. Seorang masih bayi dan yang seorang baru mulai disapih. Sementara anak-anaknya yang lebih besar sibuk menyelesaikan urusan mereka masing-masing. Ibu tani tersebut berbekal sebungkus singkong (telo, Jawa) rebus sebagai pengganjal perut dan sebotol air. Sebuah bekal makanan yang sangat sederhana. Ia tidak mengetahui kandungan gizi pada makanan yang dikonsomsinya, yang penting kenyang. Matahari semakin tinggi, hangat panasnya mulai terasa. Ia tak peduli. Satu demi satu, peluhnya mulai menetes membasahi bumi pertiwi. Dari kejauhan, sesekali dilihatnya dua orang anaknya. Diam-diam, ia tersenyum. “Bu, lo!” terdengar teriakan nyaring anak sapihannya. “Ya, ambillah!” jawabnya singkat. “Lo, Bu! Lo!” teriakan si anak makin keras. “Ya, ambil! Jangan teriak-teriak!” jawab ibu tani tak mau kalah kerasnya, “Makan …! Telo itu memang untuk dimakan!” Si anak sapihan terus berteriak-teriak, ”Lo! Lo!!” dan si ibu juga tetap menjawab dengan teriakan-teriakannya yang jauh lebih keras. Ia tak bergiming dari tempatnya. Bahkan, kala si bayi menangis dan menjerit pun, ia masih terus sibuk dengan dunianya sendiri. Ia ingin tanaman padinya cepat tumbuh, cepat besar, cepat berbuah, dan panen. Bahkan, khayalannyapun sempat melayang! Seiring dengan semilirnya angin, anak sapihannya telah diam. Ia sudah tidak berteriak-teriak lagi. Ia telah lelah berteriak-teriak. Tangisan si bayi pun telah tak terdengar. Tentu saja, ibu tani merasa senang. Ia menyangka, anak sapihannya telah makan dan kenyang. Ia semakin giat bekerja!
277
278
Matahari mulai condong. Ibu tani telah menyelesaikan tugasnya. Senyum tersungging di sudut bibirnya yang tipis. Ia puas melihat hasil kerjanya. Dengan langkah kakinya yang ringan, ia menuju dangau tempat dua orang anaknya …. Kala dilihat anak sapihannya meringkuk pucat di sudut dangau dengan noda darah yang telah mengering dan bayinya lenyap, ibu tani terkesiap, “Di mana adikmu?” “Lo, Bu! Lo!” jawab si sapihan sambil menunjuk semak-semak yang bergerak-gerak di kejauhan sana. Ia berusaha mengungkapkan yang ia tahu agar ibunya mengerti. “Lo, lagi! Lo, lagi!” gumannya pendek. Rupanya, ibu tani lupa bahwa masih ada “Lo” lain selain “telo” yang telah menelan bayinya. Ia masih terus celingukan mencari, entah sampai kapan
…
Sementara itu, sepasang mata menatap tajam dari rimbun semak-semak!!!***
278