BAMBANG SETIAWAN: Keekonomian Aspek Terpenting Bangun Smelter Written by David Dwiarto Thursday, 21 March 2013 10:59 - Last Updated Thursday, 21 March 2013 11:02
Oleh: Hendra Sinadia/Resources
Bambang Setiawan (62) adalah tokoh yang tidak asing lagi di sektor pertambangan mineral dan batubara. Beliau merupakan salah satu tokoh penting yang turut membidani lahirnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ("UU Minerba"). Pada saat UU Minerba dibahas di parlemen, beliau menjabat sebagai Direktur Jenderal Mineral clan Batubara. Guna mendapatkan pandangan lebih mendalam mengenai kebijakan peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian dalam negeri seperti yang diamanatkan dalam UU Minerba, redaksi RESOURCES menemui beliau untuk sebuah sesi wawancara di ruangan kerjanya di PT Kideco Jaya Agung. Di perusahaan produsen batubara terbesar ketiga di Indonesia tersebut, beliau duduk sebagai advisor. Selain di PT. Kideco Jaya Agung, Bambang Setiawan juga duduk sebagai komisaris di beberapa perusahaan lainnya. Kesibukan sebagai komisaris, penasehat di berbagai perusahaan dan asosiasi industri inilah yang menyita keseharian dari Doktor lulusan the Ecole Nationale Superiure Des Mines de Paris , Perancis dibidang Geologi dan Eksplorasi Pertambangan, yang juga seorang penggemar berat kelompok musik rock legendaris the Rolling Stones tersebut. Berikut adalah kutipan wawancaranya:
Dasar Pemikiran Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah
Sebagai salah satu pejabat senior pemerintah yang turut membidani Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral clan Batubara ("UU Minerba"), bagaimana sebenarnya "spirit" dari UU tersebut terkait dengan kebijakan peningkatan nilai tambah (PNT) melalul pengolahan clan pemurnian dalam negeri?
Sebenamya kebijakan peningkatan nilai tambah itu sudah dikenal sebelumnya di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Apabila kita melihat rezim UU No. 11/1967, kewajiban tersebut diarahkan ke perusahaan-perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK). Investor asing yang ingin berinvestasi di sektor mineral melaksanakan usahanya dalam bentuk KK yang di dalam masing-masing KK mineral ada ketentuan kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian guna mendukung pembangunan sector hilir pertambangan. Perusahaan KK wajib untuk mengolah bijih (ores) agar menghasilkan konsentrat. Sedangkan bagi pihak nasional, bentuk pengusahaan diberikan dalam bentuk Kuasa Pertambangan (KP) yang belum mewajibkan
1/7
BAMBANG SETIAWAN: Keekonomian Aspek Terpenting Bangun Smelter Written by David Dwiarto Thursday, 21 March 2013 10:59 - Last Updated Thursday, 21 March 2013 11:02
pemegang KP untuk melakukan pengolahan dan pemurnian. Dengan demikian UU Minerba itu hanya menegaskan sikap pemerintah yang " commit" untuk melaksanakan kebijakan peningkatan nilai tambah bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) seperti yang tercantum dalam Pasal 102 dan 103. Sedangkan bagi pemegang KK kewajiban PNT ditegaskan lagi dalam Pasal 170.
Jadi pada soot rezim UU No7 l W 1/ 1967 ada diskriminasi terkait dengan kewajiban PNT bagi perusahaan pemegang KK clan KP?
Tentu saja ada perbedaan, dalam artian bahwa pemerintah memberikan semacam "proteksi" bagi perusahaan nasional yang layaknya masih dalam tahapan “infant industry” untuk dapat mengekspor or es (bijih). Kewajiban itu berbeda dengan pemegang KK yang dimiliki oleh perusahaan asing, karena industri pertambangan dari negara-negara besar sudah lebih maju sehingga pemerintah menuntut agar pemegang KK mengolah lebih lanjut ores yang dihasilkannya untuk mendukung pengembangan industri domestik. Sehingga bagi perusahaan KK, aturan lebih ketat jadi tidak boleh mengekspor ores . Namun bagi masyarakat umum seakan-akan timbul kesan kuat bahwa kebijakan PNT itu baru diperkenalkan oleh UU Minerba padahal para senior penyusun UU No. 11/1967 sudah memikirkan konsep tersebut yang dituangkan dalam KK.
Bagaimana pandangan Bapak mengenai pelaksanaan kewajiban peningkatan nilai tambah oleh perusahaan pemegang KK?
Pasal 170 di dalam UU Minerba mewajibkan perusahaan KK untuk melakukan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Untuk komoditas timah (PT Koba Tin), emas (PT. Nusa Halmahera Minerals, PT Meares Soputan Mining, dll), serta nikel (PT Vale Indonesia) semuanya tidak ada masalah dengan ketentuan ini karena sudah melaksanakannya jauh sebelum UU Minerba dikeluarkan. Akan tetapi untuk PT NNT dan PT FI yang baru melakukan pengolahan sampai dengan konsentrat, ketentuan ini menjadi masalah besar karena pada saat ini pendirian smelter tembaga dianggap tidak ekonomis. Sebenarnya ketentuan yang ada pada pasal 170 tidak mewajibkan kedua perusahaan tersebut untuk mendirikan smelte rnya sendiri, akan tetapi mereka diwajibkan untuk melakukan pemurnian di Indonesia, dimana
2/7
BAMBANG SETIAWAN: Keekonomian Aspek Terpenting Bangun Smelter Written by David Dwiarto Thursday, 21 March 2013 10:59 - Last Updated Thursday, 21 March 2013 11:02
pada saat ini baru dilaksanakan sebesar kurang lebih 30% di smelter Gresik. Oleh kerena itu apabila Pemerintah ingin ketentuan ini berjalan sesuai dengan amanat pasal 170, sebaiknya pendirian smelter tembaga oleh pihak ketiga harus didukung dengan memberikan insentif dan kemudahan agar bisa mencapai keekonomiannya.
Bagaimana Bapak melihat "keriuhan" yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah terkait dengan PNT ini?
Sebenarnya jujur saja bahwa seluruh pemangku kepentingan sangat mendukung tujuan mulia dari kebijakan PNT. Namun yang menjadi masalah adalah cara yang diambil untuk mencapai tujuan tersebut. Atau dengan kata lain, objektifnya sangat bagus, tapi ”the way” untuk mencapai target itulah menimbulkan gejolak di lapangan. Pemerintah terkesan ingin terlalu ideal tapi hal itu sulit untuk dilaksanan secara singkat. Sebenarnya " shock " itu bisa dihindari jika dibangun komunikasi yang baik dengan pelaku usaha, artinva pemerintah perlu duduk bersama dengan pelaku usaha untuk mencari formulasi yang tepat agar pelaksanaan kebijakan PNT dapat berjalan dengan baik.
Pandangan Mengenai Aspek Keekonomian
Bagaimana pandangan Bapak mengenai aspek keekonomian dalam pembangunan smelter?
Keekonomian adalah aspek yang terpenting dalam pengambilan keputusan pembangunan sme lter . Faktor tersebut bukan hanya penting bagi pelaku usaha dalam mengambil keputusan investasi, tetapi juga bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan yang tepat sasaran. Apabila pemerintah tidak mempertimbangkan faktor keekonomian, maka suatu kebijakan sulit untuk dilaksanakan karena akan tidak menguntungkan bagi dunia usaha. Dalam hilirisasi, faktor keekonomian masing-masing komoditas berbeda satu sama lain. Bagi komoditas timah misalnya, secara teknologi dan ekonomi pembangunan smelter sangat layak sehingga hilirisasi berjalan sangat baik untuk timah. Untuk bijih besi (
3/7
BAMBANG SETIAWAN: Keekonomian Aspek Terpenting Bangun Smelter Written by David Dwiarto Thursday, 21 March 2013 10:59 - Last Updated Thursday, 21 March 2013 11:02
iron ores ) misalnya, aspek keekonomian dapat dikatakan relatif baik sehingga bisa segera dilaksanakan. Namun sebaliknya, untuk komoditas logam dasar (tembaga, timah hitam dan seng) faktor keekonomiannya sangat berbeda sehingga hal ini mempengaruhi untuk keputusan investasinya. Hingga saat ini hanya PT Smelting satu-satunya smelter tembaga yang beroperasi di Indonesia.
Adapun mengenai ketentuan "dead line" Januari, tahun 2014, sebenarnva kalau kita merujuk kepada Pasal 102 UU Minerba, tidak ada ketentuan bahwa kebijakan PNT untuk IUP harus sudah berjalan pada tahun 2014, dengan kata lain berdasarkan ketentuan pada pasal tersebut, Pemerintah sebenarnya mempunyai ruang untuk lebih fl exible dalam penerapannya. Tentunya sangat diharapkan kebijakan kedepan memperhatikan aspek keekonomian dan kesiapan dari setiap komoditi dalam proses hilirisasinya. Untuk itu sebaiknya Pemerintah dapat mengevaluasi lagi batasan minimum pengolahan dan pemurnian bagi setiap komoditas dan batas tahun penerapannya agar semuanya dapat berjalan dengan baik.
Menurut bapak bagaimana soal kelayakan smelter untuk komoditas timbal-seng (lead-zinc)?
Kelayakan ekonomi untuk komoditas timbal-seng sangatlah spesifik karena hingga saat ini hanya PT Dairi Prima Mineral satu-satunya perusahaan tambang yang mengusahakan timbal-seng. Dengan cadangan yang sangat terbatas sekitar 10 juta ton dan umur tambang dari cadangan di Anjing Hitam relatif singkat sekitar 6-7 tahun, maka mewajibkan perusahaan tersebut untuk membangun smelter yang jangka waktu investasinya sangat panjang, bisa lebih dari 20 tahun, sangatlah tidak tepat. Tidak mungkin perusahaan tersebut mendapatkan pendanaan yang besar, mungkin sekitar 500-600 juta dolar, untuk membiayai suatu proyek yang secara ekonomis tidak menguntungkan. Dengan demikian untuk saat ini kewajiban pembangunan smelter bagi komoditas timbal-seng belum tepat. Mungkin dalam waktu ke depan apabila muncul banyak perusahaan yang mengolah komoditas sejenis maka kebutuhan akan pembangunan smelter dapat lebih ekonomis. Tapi tentunya hal ini juga perlu mempertimbangkan banyak factor-faktor lain seperti penyediaan infrastruktur.
Bagaimana seharusnya suatu kebijakan PNT yang mempertimbangkan aspek keekonomian disusun?
4/7
BAMBANG SETIAWAN: Keekonomian Aspek Terpenting Bangun Smelter Written by David Dwiarto Thursday, 21 March 2013 10:59 - Last Updated Thursday, 21 March 2013 11:02
Menurut hemat saya, kebijakan PNT seharusnya tidak boleh disusun dengan sistem "pukul rata" yang berlaku bagi seluruh komoditas. Karena faktor keekonomian berbeda satu sama lain, maka kebijakan PNT seharusnya tidak "generic". Nah, dalam kebijakan tersebut, faktor insentif juga akan berbeda di masing-masing komoditas. Tentunya pemerintah tidak perlu menyamaratakan insentif yang diberikan bagi seluruh komoditas.
Pandangan Mengenai Inpres No. 3/2013 dan Aspek Kelembagaan
Masyarakat melihat bahwa seakan-akan ada "dualism" dalam kewenangan terkait dengan kebijakan PNT, yaitu antara Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian. Bagaimana pandangan Bapak atas aspek kelembagaan tersebut?
Sebenamya sejarah telah membuktikan bahwa Ir. Sukarno presiden pertama kita, memiliki visi kedepan yang luar biasa dengan menyatukan Kemenperin dan ESDM. Pada waktu itu, sekitar tahun 1963-1964, beliau membentuk Departemen Industri Dasar dan Pertambangan yang disingkat dengan PERDATAM, yang pada saat itu dipimpin oleh Chairul Saleh. Bukti sejarah saat ini adalah perumahan Perdatam di sekitar jalan Pancoran. Poinnya adalah bahwa sebenarnya pada jaman dulu para senior kita sudah mempunyai visi jangka panjang untuk menyatukan pengelolaan pertambangan dan logam dasar dalam satu instansi. Justru dengan perkembangan jaman, pemisahan kedua instansi tersebutlah yang membuat kepusingan, he…he…he… Seharusnya masalah itu tidak terjadi saat ini apabila kedua instansi tersebut berada dalam satu atap.
Pemerintah baru saja menerbitkan Inpres No. 3 Tahun 2013 untuk percepatan pembangunan hilirisasi. Apakah menurut Bapak Inpres tersebut dapat mendorong pembangunan hilirisasi?
Tentu saja Inpres tersebut seharusnya dapat mendorong percepatan hilirisasi sektor pertambangan. Khusus untuk instruksi yang diberikan kepada Kementerian ESDM, saya lebih menyoroti adanya instruksi khusus ke-pada ESDM untuk melakukan evaluasi peraturan perundang-undangan di bidang mineral yang menghambat upaya percepatan peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Dalam hal ini pemerintah dapat menggunakan Inpres ini sebagai dasar untuk melakukan revisi terhadap semua peraturan yang dapat dianggap menghambat kearah proses hilirisasi tersebut, dimana perubahan yang terjadi
5/7
BAMBANG SETIAWAN: Keekonomian Aspek Terpenting Bangun Smelter Written by David Dwiarto Thursday, 21 March 2013 10:59 - Last Updated Thursday, 21 March 2013 11:02
harus memperhatikan semua kepentingan "stakeholder", sehingga dengan demikian bisa dihasilkan suatu kondisi yang sifatnva " win-win ".
Apa pandangan Bapak mengenai pernyataan dari salah satu petinggi di ESDM yang mengusulkan agar pemerintah yang membangun smelter dengan menggunakan dana APBN?
Secara konsep tentu tidak ada salahnya pemerintah untuk terjun membangun smelter guna memicu pembangunan hilirisasi. Namun dalam kondisi keuangan Negara yang sedang tidak menguntungkan, apalagi dengan defisit perdagangan baru-baru ini, maka gagasan tersebut mungkin kurang tepat. Tentunya tidak mudah bagi otoritas keuangan memberikan lampu hijau bagi permohonan membangun smelter karena masih banyak bidang lain yang juga sangat membutuhkan dukungan pendanaan. Akan tetapi, hal itu bisa dilakukan, jika pemerintah menetapkan itu sebagaikeputusan politik. Sebagai keputusan politik, kebijakan pembangunan smelter dapat dilakukan ” at any cost” meskipun secara ekonomis tidak menguntungkan.
Kesibukan sehari-hari selepas pensiun dari Kementerian ESDM
Bagaimana Bapak menyikapi kesibukan setelah pensiun sebagai birokrat?
Saya sangat menikmati masa-masa pensiun sekarang ini. Lingkungan sangat berbeda pada saat saya jadi pejabat dengan sekarang. Saat menjadi pejabat, kita harus bekerja dalam suatu norma-norma dan koridor-koridor yang sudah ditetapkan atau digariskan, dan memang harus demikian karena kalau tidak kacau-balau negara ini. Hal itu cukup melelahkan sebenarnya, karena kadang-kadang kita bicara sesuatu yang walaupun kita tahu tidak … saya tetap harus mengatakan itu. Saya bahagia sekarang setelah saya menjadi orang biasa semuanya "welcom e ", sehingga saya dapat terus aktif untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran ke sektor yang saya cintai ini. Kalau mau pergi kemanapun, saya tidak perlu khawatir disorot publik misalnya kerena
6/7
BAMBANG SETIAWAN: Keekonomian Aspek Terpenting Bangun Smelter Written by David Dwiarto Thursday, 21 March 2013 10:59 - Last Updated Thursday, 21 March 2013 11:02
naik b usiness atau first class , membeli sesuatu juga tidak perlu khawatir dengan KPK kerena proporsional dengan penghasilan dan pajak yang dibayarkan. Terlepas dari segala suka-dukanya selama masih aktif sebagai pegawai negeri, saya sangat berterima kasih diberi kesempatan untuk mengabdi kepada negara sampai dengan umur 60 tahun, kerena tidak semua orang bisa mengabdi hingga umur 60 dan mencapai jenjang karier yang tertinggi sebagai pegawai negeri. Sampai kapanpun selama masih diberi kemampuan dan kesehatan, saya siap untuk membantu pemerintah dan seluruh " stakeholder " guna membangun sektor pertambangan yang saya cintai ini.
Sumber : Majalah RESOURCES, Edisi 02/Tahun 01/ March 2013
7/7