1
Daftar Isi Pengantar Ketua Umum BEM FEUI……………………………………………………………3
Regulasi Dana Kampanye: Penerimaan dan Pengeluaran yang Belum Sepenuhnya Diatur Muhammad Mulyawan Tuankotta dan M. Alfatih………………………………………………7
Demokrasi, Pemerintah, dan Ekonomi Hazna Nurul Faiza dan Tunggadewi Winarno Putri……………………………………………19
Pemilihan Umum Anggota Parlemen : Dari 2009 menuju 2014 Fajar Muhammad Rhydo dan Wening Ayu Sasmita……………………………………………30
Menggugat Urgensi Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilkada): Merebaknya Kasus Korypsi Kepala Daerah di Era Pilkada oleh Fajri Ramadhan dan Rifqi Alfian Maulana…………………………………………………40
2
Pengantar Ketua Umum BEM FEUI 2013
PERUBAHAN BESAR DIMULAI DARI KARYA KECIL KAMI
Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia! Hidup bangsa Indonesia! Perhelatan besar bangsa Indonesia akan segera dimulai. Seiring dengan itu, gerbanggerbang menuju perbaikan Indonesia pun sedikit demi sedikit mulai terbuka. Harapan terus bermunculan dan ditambatkan kepada calon-calon pemimpin masa depan. Ya. Perhelatan besar itu bernama Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Pemilu menandai berlangsungnya sistem demokrasi yang melibatkan partisipasi langsung masyarakat Indonesia dalam menentukan wakilwakil rakyat di kursi legislatif serta pemimin eksekutif tertinggi di negara ini. Sejenak menengok sejarah Pemilu di Indonesia, sebelum tahun 2002 Pemilu hanya ditujukan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif pusat dan daerah. Setelah Amandemen UUD 1945, Pemilu mulai ditujukan untuk memilih langsung kepala-kepala eksekutif baik di tingkat pusat maupun daerah. Hingga saat ini, Indonesia telah melaksanakan sepuluh kali proses pemilihan umum, yakni tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. Tahun 2014 adalah Pemilu kesebelas yang akan dilaksanakan. Secara umum, Pemilu di Indonesia menganut asas Luber Jurdil: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil. Asas Luber telah ada sejak masa Orde Baru, sedangkan asas Jurdil merupakan penambahan pada masa reformasi. Asas ―langsung‖ berarti pemungutan suara tidak dapat diwakilkan, ―umum‖ berarti Pemilu dapat diikuti oleh setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak pilih, ―bebas‖ berarti tidak boleh ada paksaan dalam menentukan pilihan. Asas ―rahasia‖ berarti suara yang diberikan hanya diketahui oleh pemilih, asas ―jujur‖ ialah pelaksanaan Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku dan asas ―adil‖ artinya memberikan perlakukan yang sama kepada peserta dan pemilih. Dari segi partai politik peserta Pemilu pun sangat bervariasi. Pemilu tahun 1955 diikuti oleh 29 partai politik, Pemilu 1971 oleh 9 partai politik dan 1 organisasi masyarakat, Pemilu
3
1977-1997 hanya diikuti oleh dua partai politik dan 1 Golongan Karya. Lanjut ke Pemilu pada masa reformasi tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu 2004 menjadi Pemilu pertama yang membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk memilih langsung pasangan presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono merupakan presiden pertama yang terpilih melalui mekanisme pemilihan langsung. Untuk Pemilu 2014, akan diikuti oleh 12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal Aceh. Fenomena lain yang cukup menarik untuk diamati dalam Pemilu ialah tingkat golput yang terjadi. Pemilu 1999 mencetak perolehan golput sebesar 10,4% yang lebih rendah dari angka golput pada Pemilu 1955 sebesar 12,34%. Pada Pemilu 2004, jumlah golput mencapai 34 juta orang dan ditengarai bahwa golput adalah pemenang sejati dari Pemilu 2004. Menuju ke Pemilu 2009, jumlah golput mencapai hampir 30% atau sekitar 49,7 juta. Tren kenaikan dikhawatirkan akan terus meningkat pada Pemilu 2014. Berkurangnya partisipasi masyarakat menjadi sebuah hal yang patut dipertanyakan. Siapakah yang salah dalam hal ini? Dari sisi masyarakat, golput mungkin dianggap sebagai pilihan terbaik karena tidak ada lagi kepercayaan kepada partai politik maupun kandidat-kandidat pemimpin yang mencalonkan diri. Ketidakpercayaan ini menjadi penyebab delegitimasi partai politik di mata masyarakat. Rasa ketidakpercayaan dapat timbul dari buruknya citra partai politik terkait terbukanya kasus-kasus korupsi maupun rusaknya sistem pemerintahan Indonesia. Rasa ketidakpercayaan juga mungkin muncul dari kelelahan masyarakat dengan kondisi bangsa Indonesia yang sekarang: ketidakmerataan kesejahteraan, korupsi pemerintah, pengangguran, hingga kemiskinan. Belum totalnya pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan sosial masyarakat tentu menjadi faktor pendukung ketidakpercayaan masyarakat. Dari sisi partai politik, penulis meyakini bahwa apabila partai politik tidak segera memperbaiki kinerja dan citranya, maka jumlah golput pada Pemilu 2014 nanti dapat benarbenat meningkat. Dua-tiga tahun ke belakang ini saja sudah terungkap berbagai kasus korupsi yang melibatkan partai-partai politik besar dan pejabat pemerintahan. Maka, tugas partai politik semakin berat untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat. Dari sisi sosialisasi mengenai Pemilu 2014, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupuan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus bekerjasama untuk memberikan 4
pendidikan politik kepada masyarakat. Definisi pendidikan politik yang penulis maksud bukan mengarahkan untuk memilih partai atau kandidat tertentu, melainkan pendidikan politik yang komprehensif: definisi politik dan demokrasi, peranan dan keterlibatan masyarakat, aneka partai politik berikut visi-misi dan track record-nya, serta keuntungan yang akan didapatkan oleh masyarakat ketika menggunakan hak pilih aktif dalam Pemilu. Di samping itu, KPU dan partai politik peserta Pemilu harus memberikan akses informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengenali calon-calon wakil rakyat dan pemimpinnya. Hal lain yang menarik dari Pemilu 2014 ialah akan banyaknya pemilih pemula (rentang usia 17 hingga 29 tahun), konon katanya akan mencapai sekitar 53 juta pemilih atau hampir 30% dari total Daftar Pemiluh Tetap (DPT), menurut data dari Dr. Affan Sulaeman, pengamat sosial dan politik Indonesia. Golongan muda ini memiliki potensi besar untuk menjadi penentu pemimpin bangsa Indonesia, yang pada akhirnya akan menjadi nakhoda pembangunan Indonesia. Oleh karena itu, KPU maupun LSM harus memanfaatkan peluang pemilih di kalangan pemuda untuk mengurangi tingkat golput dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan demokrasi. Kelebihan lain dari banyaknya pemilih pemula berusia muda ialah karakter pemuda yang biasanya kritis dan cerdas, sehingga diharapkan mampu menjadi pemilih cerdas yang objektif. Selain sosialisasi dan pendidikan politik, penekanan berikutnya ialah aksesibilitas informasi mengenai peserta Pemilu 2014. Tentunya, setiap bangsa Indonesia berharap bahwa demokrasi tidak hanya akan menjadi pesta bagi segelintir orang, tetapi juga menjadi pesta bagi seluruh masyarakat. Jangan sampai golput atau ketidaktahuan akan informasi Pemilu justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan pribadi dan golongan. Penulis meyakini bahwa partisipasi pemuda dan mahasiswa tidak hanya sampai pada partisipasi menggunakan hak pilih, namun lebih besar daripada itu. Pemuda, terutama mahasiswa, seyogyanya menjadi pihak yang mampu memberikan pencerahan kepada pemerintah dan masyarakat, membuka pikiran bahwasanya Pemilu harus menjadi kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Mahasiswa harus mampu menjadi poros perubahan dalam praktik demokrasi di Indonesia. Berangkat dari keinginan dan urgensi untuk berkontribusi itulah, maka kumpulan tulisan dan kajian ini kami sajikan. Departemen Kajian dan Aksi Strategis, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menuangkan pemikiran murni kami melalui 5
tulisan-tulisan sederhana yang semoga mencerahkan. Besar harapan kami, tulisan dan pemikiran mahasiswa akan menjadi sarana bagi perbaikan bangsa Indonesia di masa yang akan datang, bahwa ketika demokrasi dan Pemilu masih menjadi harapan bagi masyarakat untuk mampu menikmati kehidupan berbangsa yang adil dan makmur. Selamat menikmati persembahan karya kami. Karena mahasiswa, tiada lain merupakan insan yang telah tercerahkan pemikirannya ketika berdiri di hadapan kezaliman. Maka selalu ada alasan bagi mahasiswa untuk bergerak, maka selalu ada alasan bagi mahasiswa untuk mengabdi, maka selalu ada alasan bagi mahasiswa untuk berkarya. Selamat melaksanakan Pemilu 2014!
Depok, November 2013 Ma’rifatul Amalia
6
REGULASI DANA KAMPANYE: PENERIMAAN DAN PENGELUARAN YANG BELUM SEPENUHNYA DI ATUR Oleh: Muhammad Mulyawan Tuankotta dan Mochammad Al Fatih
Abstrak Pemilihan umum eksekutif menjadi salah satu agenda besar negeri ini, sebab ini adalah pesta demokrasi seluruh rakyat Indonesia. Seluruh rakyat diberikan kesempatan untuk dapat memilih presiden yang menurut ia layak untuk memimpin negeri ini. Di belakang layar, presiden menyertakan tim kampanye untuk dapat menggalakkan semua sumber dayanya untuk memikat rakyat menjadi pemilihnya. Pemilihan umum yang berbiaya mahal, memungkinkan setiap kandidat lewat tim kampanyenya menyertakan biaya khusus untuk dana kampanyenya. UU no 42 tahun 2008 mengatur tentang regulasi dana kampanye, yang menjadi sorotan adalah belum adanya batasan mengenai berapa jumlah maksimal yang dikeluarkan selama proses kampanye. Batasan untuk pemasukan ada, namun tidak menutup kemungkinan bahwa ada kebocoran untuk dana kampanye yang masuk ke salah satu kandidat lebih dari batas yang diatur di undang undang. Hal ini mendesak bahwa pengaturan untuk pengeluaran memang perlu untuk dilaksanakan. Dalam essay ini, akan disampaikan semua realita kebijakan saat ini, beserta kekurangan sesuai dengan fakta yang muncul. Kemudian, diakhir kami berikan rekomendasi kebijakan sesuai dengan aturan yang harusnya berlaku.
A. PENERIMAAN DANA KAMPANYE PEMILIHAN PRESIDEN: SISTEM DAN IDEALITA Kampanye menjadi sebuah pendidikan politik jika memang digunakan untuk kepentingan politik jangka panjang. Pemilihan umum di Indonesia terjadi menjadi tiga pemilihan umum, pemilihan legislatif, pemilihan eksekutif, dan pemilihan daerah. Sebagaimana judul yang diangkat dalam tulisan ini, maka dana kampanye yang akan dibahas yakni dana kampanye dalam pemilihan eksekutif, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden. Di tabel dibawah ini akan ditampilkan sedikit simpulan tentang pengaturan dana kampeanye dari sisi penerimaan, yang sudah terangkum hingga ke perubahan perunahan yang termaktubkan dari undang undang. 7
Pengaturan dana kampanye bertujuan untuk memastikan secara legal formil bahwa sumber dana yang diterima oleh kandidat presiden dan wakil presiden benar benar sah menurut undang undang dan hukum positif yang ada di Indonesia. Pengaturan dana kampanye meliputi pengaturan sumber dana, pembatasan sumbangan, dan larangan sumbangan (Perludem, 2013).
1. Sumber dana kampanye Menurut UU no 42 tahun 2008 disitu disebutkan bahwa sumber dana kampanye berasal dari: Pasangan calon presiden, partai politik atau gabungan politik yang mengusulkan kandidat untuk dicalonkan, dan pihak lain. Disini yang dimaksud pihak lain adalah sumbangan dari pihak perseorangan, perusahaan, dan atau badan usaha non pemerintah.
8
2. Pembatasan jumlah dana Sumber dana kampanye selain harusn memenuhi sumber yang sah, besarannya harus pula sesuai dengan peraturan undang undang yang ditetapkan, dalam hal ini UU no 42 tahun 2008. Besaran maksimal untuk satu orang yakni 1 miliar, sebelumnya diatur 100 juta. Sumbangan yang berasal dari badan/perusahaan maksimal 7.5 milliar, sebelumnya diatur sebesar 750 juta.
3. Larangan sumbangan Berdasarkan peraturan UU no 42 tahun 2008 bahwa ada beberapa pihak yang dilarang untuk member sumbangan, mereka adalah pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, hasil tindak pidana dan bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil tindak pidana, pemerintah dan pemerintah daerah, dan pemerintah desa dan badan usaha milik desa. `Hal ini sedikit berbeda dengan peraturan sebelumnya dimana tidak diatur akan pemerintah desan dan badan usaha milik desa.
Fakta menunjukkan bahwa memang pemerintah desa juga memiliki andil besar dalam sumber dana kampanye, hal ini terlihat dari struktur demografi Indonesia yang masih banyak pedesaan. Kondisi pedesaan memiliki budaya demokrasi yang sedikit unik, berbeda dengan konsep demokrasi seperti mana definisin yang cocok berasal dari yunani. Demos cratos. Desa desa di Indonesia memiliki sistem himpun dana yang berasal dan umumnya diletakkan di tokoh masyarakat atau kepala daerah atau RT, terkadang satu desa memiliki kecenderungan untuk berpihak ke salah satu kandidat, hal ini menjadikan mereka sangat mudah untuk memberikan bantuan finansial kepada calon tersebut. Padahal dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat dan desa, namun menjadi sumber dana para kandidat. Melihat banyaknya pedesaan di Indonesia, maka jumlahnya juga signifikan besarnya. Menanggapi akan hal ini, maka dibuatlah aturan yang dapat membatasi hal tersebut. UU no 42 tahun 2008 merevisi UU no 23 tahun 2003.
9
4. Mekanisme Pengawasan Pengawasan akan dana kampanye dapat dijalankan dengan pelaporan dana kampanye. Adanya pelaporan dana kampanye menunjukkan prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana kampanye, baik dari sisi penerimaan maupun pengelolaan. Penyusunan laporan dana kampanye pun harus sesuai dengan kaidah kaidah akuntansi yang berlaku atau ditetapkan.
Dalam laporan dana kampanye setidaknya laporan harus tersusun dari beberapa bagian berikut: 1. Keberadaan rekening 2. Saldo awal 3. Daftar penyumbang 4. Rincian pendapatan 5. Rincian belanja 6. Mekanisme pemeriksaan 7. Pengumuman laporan dana kampanye Untuk mekanisme awal pelaporan, dibuatlah beberapa prosedur awalan, pertama tentantg aturan dibuatnya rekening khusus dana kampanye, UU no 42 2008 mewajibkan para kandidat untuk memiliki rekening khusus dana kampanye. Rekening ini digunakan untuk sistem pelaporan dan dokumen sejak penetapan oleh KPU terhadap kandidat selambat-lambatnya 7 hari. Mengenai format pembukuan dana kampanye, undang undang yang baru menegaskan bahwa pembukuan dana kampanye pemilu presiden terdiri dari penerimaan dan pengeluaran. Pembukuan dana kampanye dibuka sejak 3 hari setelah penetapan pasangan calon, dan ditutup 7 hari sebelum penyampaian laporan pembukuan kepada kantor akuntan public yang ditunjuk KPU (Perludem, 2013). Kemudian untuk pelaporan pasangan calon dan tim kampanye dalam pemilu presiden diatur tentang kewajiban pelaporan penerimaan dana kampanye kepada KPU disampaikan dua kali9. Laporabn pertama disampaikan 1 hari sebelum dimulainya masa kampanye, dan kedua 1 hari setelah berakhirnya masa kampanye. 10
5. Audit dana kampanye Menurut UU 42 tahun 2008, dana kampanye akan diaudit oleh kantor akuntan public yang ditunjuk langsung olehj KPU. KPU akan menerima laporan dana kampanye dari masing masing calon selambat lambatnya 14 hari setelah berakhirnya masa kampanye, kemudian dalam waktu 7 hari selambat lambatnya akan diberikan kepada kantor akuntan publk yang ditunjuk, proses audit dilaksanakan dalam waktu 45 hari, dan kemudian dalam waktu 10 hari diumumkan ke masing masing calon dan ke public masyarakat Indonesia.
6. Sanksi dan penegakan hukum Pengaturan sanksi dan penegakan hukum untuk menjamin terjalannya peraturan yang telah dibuat terbagi menjadi sanksi hukum berupa sanksi pidana atau sanksi administrasi. Pertama, misalkan diatur tentantg siapa saja yang menerima atau member melamapui batas yang ditentukan, sanksinya berupa pidana 6-24 bulan mendekap di penjara ditambah denda 1-5 milliar. Dengan sanksi yang sama, tindak pidana yang berbeda yakni pelaksana kampanye yang menggunakan dana kampanye dari pihak terlarang, tidak mencatat, dan atau tidak melaporkan dana tersebut. Kemudian ada pula sanksi untuk pelaksana kampanye yang menerima dan tidak mencatatkan dana kampanye ke pembukuan khusus dana kampanye, sanksinya berupa 12-48 bulan dan denda sebesar 3 kali jumlah sumbangan yang diterima. Kemudian masih ada lagi banyak tindak pidana lain yang akan dirincikan dalam gambar. B. EVALUASI KEBIJAKAN Secara sadar atau tidak sadar, sistem atau regulasi dana kampanye yang berlaku sekarang masih jauh dari idealita. Hal ini diindikasikan dari masih banyak kelemahan yang terdapat dalam peraturan saat ini yang diatur di UU 42 tahun 2008. Pertama, masih belum adanya sinkronisasi antar lembaga yakni KPU, badan audit, dan partai politik itu sendiri, termasuk
11
didalamnya kandidat calon presiden dan wakil presiden yang diajukan. Hal ini dipaparkan terlihat oleh data berikut: Kedua, kelemahan masih ada pada bagaimana dana dana diterima juga ditelusuri penggungannya, hal yang ditakutkan adalah adanya ketidakseimbangan antara jumlah yang masuk dan jumlah yang keluar, artinya ada peluang untuk penggunaan lebih dari satu rekening memungkinkan tim sukses atau partai politik memiliki dana kampanye yang disimpan di lebih dari satu rekening, sehingga pengeluarannya bias jatuh lebih banyak disbanding dari penerimaan yang masuk ke rekening yang terdaftar. Berikut akan disampaikan analisis pendalamannya: Perhatikan tabel yang diolah dari tim pemantau ICW berikut:
1. High Political Cost dan Penyimpangan Pengaturan Dana Kampanye Pasangan Mega-prabowo memiliki total pendanaan terbesar dalam sejarah pemilihan umum, dengan total sampai 260 miliar rupiah, total pemasukan maksimal yang ada di dalam sejarah. Baru kemudian diikuti kemudian SBY-Boediono dan kemudian Mega-Hasyim pada masa sebelumnya di 2004-2009. Secara tren, dapat dilihat adanya peningkatan dana dalam pemilihan
12
umum, terlihat dari peningkatan signifikan sampai kurang atau lebih dari 100 milyar. High political cost di republik ini. Perubahan yang ada pada revisi UU no 23 tahun 2004 dalam UU 42 tahun 2008 tidak mengubah substansi dari pengaturan dana kampanye. Hal yang diubah hanya pada nominal besaran sumbangan yang maksimal diberikan kepada calon kandidat presiden dan wakil presiden, dimana 100 juta dinaikkan menjadi 1 miliar dan 500 juta dinaikkan menjadi 5 miliar untuk masing masing perseorangan dan perusahaan. Hal ini menunjukkan peningkatan kebutuhan, namun juga menunjukkan bahwa adanya politik berbiaya tinggi. Disamping tingginya biaya untuk pemilu bagi para calon kandidat, ada salah satu persoalan yang kemudian menjadi tren di setiap pemilihan umum, yakni munculnya penyumbang fiktif. Dalam praktek pemilu presiden 2004 misalnya, setelah dipelajari oleh tim pemantau ICW menemukan pasangan calon presiden dan wakil presiden Mega-Hasyim dan SBY-Kalla masih menerima dna menggunakan sumbangan dari perseorangan dan perusahaan yang tidak jelas identitasnya. MegaHasyim menerima 5 penyumbang yang tidak jelas identitasnya dengan total sumbangan sebesar 490 juta, dan sementara pasangan calon SBY-Kalla menerima 2 penyumbang fiktif dengan total sumbangan sebesar 194 juta. Disamping itu, ditemukan pula bentuk fraud terhadap peraturan dana kampanye yang kala itu dibatasi maksimal 500 juta, ada sumbangan yang hingga berkisar 700 juta dan 5 penyumbang yang namanya hanya digunakan untuk menyumbang dengan total 500 juta. Hal yang sama terjadi pada pemilihan umum tahun 2009, berikut adalah beberapa temuan yang ditemukan oleh tim peneliti dari ICW: 1. SBY-Boediono, Terdapat 151 penyumpang yang tidak mencantumkan alamat atau fotokopi KTP dengan jumlah hingga mencapai 27.1 miliar rupiah dan ada sekitar 67 penyumbang yang tidak dengan NPWP dengan total sumbangan sekitar 3.8 miliar. 2. Pada pasangan JK-Wiranto terdapat 54 penyumbang yang tidak mencantumkan alamat dan fotokopi KTP dengan total sumbangan sebesar 319.5 juta dan 9 nama penyumbang yang tidak mencantumkan NPWP dengan jumlah 895 juta. 3. Pasangan Mega-Prabowo ada sekitar 9 nama yang tidak mencantumkan fotokopi KTP dan NPWP dengan total sumbangan hingga 8.1 miliar
13
Sebagai rekapitulasi, berikut merupakan tabel yang diolah dari data yang ditemukan tim pemantau ICW.
2. Peluang pelanggaran pengaturan dana kampanye Dengan hanya satu rekening saja yang diserahkan kepada KPU untuk ditindak lanjuti, hal ini memungkinkan adanya jumlah nominal penerimaan dana kampanye menjadi lebih besar karena rekening khusus dana kampanye tidak hanya satu pada nantinya, dapat saja rekening lain yang digunakan untuk arus kas masuk dan keluar selama
dana kampanye. Ini adalah sebuah
pelanggaran, baik untuk aturan ataupun untuk kompetisi politik yang sehat. Hal ini dikarenakan setiap orang atau kandidat memungkinkan memiliki sumber pendanaan yang lebih dari satu dengan jumlah yang tak kalah banyak pula. Peraturan tentang regulasi dana kampanye sekarang masih memiliki kelemahan pada seperti apa pemantauan dan pengontrolan sumber pemasukan untuk dana kampanye kandidat, perubahan undang undang hanya mengakomodir besaran nominal, dari semula ratusan juta menjadi 1-7.5 milyar. Potensi untuk pemasukan dapat lebih jauh dari angka tersebut, karena jumlah rekening yang digunakan dapat jauh lebih banyak disbanding rekening yang direkomendasikan dari peraturan perundang perundangan. Perhatikan saja total penerimaan dari kandidat calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2009, berkisar dari 80 miliar hingga 260 miliar. Belum ada yang begitu dengan akurat menelusuri bahwa angka segitu merupakan angka yang berasal dari satu rekening dana kampanye, selalu ada kemungkinan ada rekening ganda, triple, atau pun multiple sehingga 14
potensi pemasukan dana kampanye dapat menunjukkan adanya kompetisi partai politik yang tidak adil.
C. PENGELUARAN DANA KAMPANYE PEMILHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Kampanye presiden dan segala macam pemilihan legislatif pada prosesnya akan menghabiskan dan menggunakan dana dalam beberapa sektor. Di Indonesia, regulasi kampanye baik bentuk dan macamnya ditentukan Sekarang, menurut UU No. 43 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden,walau sudah ada terperinci mengenai metode kampanye,belum ada rincian dalam jenis-jenis pengeluaran kampanye yang diperbolehkan. Pasal 38 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa metode kampanye yang diperbolehkan adalah: 1. Pertemuan terbatas; 2. Tatap muka dan dialog; 3. Penyebaran melalui media cetak dan media elektronik; 4. Penyiaran melalui radio dan/atau televisi; 5. Penyebaran bahan Kampanye kepada umum; 6. Pemasangan alat peraga di tempat kampanye dan di tempat lain yang ditentukan oleh KPU; 7. Debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon; dan 8. Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundangundangan.
Teknis kampanye presiden oleh KPU sudah diatur dalam Keputusan KPU no 48 tahun 2004 , yang 2014 nanti akan direvisi, tetapi tetap tidak ada regulasi pembatasan pada tiap sektorsektor alat kampanye yang bisa digunakan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden. Secara teknis,aturan kampanye juga banyak diatur dalam keputusan-keputusan tambahan oleh KPU yang dibutuhkan untuk melengkapi keputusan utama di atas. Expenditeur dalam kampanye politik tidak disangkal lagi tidak hanya akan terjadi di sektor legal dan konstitutional yang diatur undang-undang. Akan ada sektor ‖gelap‖ yang muncul dan digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencari kekuatan politik yang lebih masif dan eksklusif. Pengeluaran dana kampanye politik, disadur dari Money In Politics 15
Handbook: A Guide to Increasing Transparency in Emerging Democracies, ada 3 sektor expense dalam kampanye,yaitu: 1. Legal Examples: Brochures, Rallies, Transport, Food, Tshirt, Posters, V ads, Radio broadcast 2. Borderline example: Constituents Services (Funeral,School tuitition), Voter favors of significant value 3. Illegal Example: Vote buying, Media bribes, Other bribes
Sektor legal adalah metode-metode yang diatur dalam undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum dalam berkampanye. Sektor borderline adalah metode many-to-many campaign yang mengedepankan sentuhan langsung dengan sosial masyarakat dengan adanya kegiatan bersama langsung dalam kampanye baik itu hal positif maupun negatif. Sektor illegal adalah metode yang tidak diatur oleh penyelenggara dan konstitusi. Metode dalam sektor ini belum tentu salah secara politik walaupun tindakan-tindakan ini bisa disebut inkonstitusional. Sudah menjadi rahasia umum,di Indonesia, illegal expense banyak sekali dilakukan oleh bakal calon kepada masyarakat pemilih,mulai dari money politic sampai kepada suap. Ketidakadilan media antar pasangan juga terlihat timpang dan tak seimbang. Kepemilikan alat-alat media kampanye menjadi hal yang lebih dipentingkan daripada isi dari kampanye sendiri. Stasiun televisi menjadi ajang partai politik untuk menguatkan suaranya sendiri-sendiri. Media cetak dan kenetralannya dalam membuat berita sudah patut dipertanyakan dan masifnya iklan tulis yang dipasang di media cetak,mengalahkan isi berita dari media itu sendiri. Kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh aktivis dan kader tiap partai pun mulai bergelonjak. Baik kegiatan sosial itu akhirnya berjalan ataupun hanya menjadi media promosi partai tersebut. Tidak adanya regulasi dan pembatasan belanja kampanye pemilu presiden ini mendorong pasangan calon untuk menggelar kampanye besar-besaran sehingga mereka juga berusaha menggalang dana segala macam cara. Tentu saja pasangan calon yang gagal menggelang dana akhirnya tidak mampu mengimbangi kampanye yang dilakukan oleh kompetitornya. Padahal tidak semua pemimpin yang bagus mempunyai sponsor partai dan memiliki galangan dana melimpah. Serta kreatifitas tiap calon menjadi terkungkung dan uang menjadi faktor utama untuk memenangkan pemilihan.
16
REKOMENDASI KEBIJAKAN Mengingat begitu banyak kekurangan pada undang undang regulasi dana kampanye saat ini, perlu untuk adanya beberapa tuntutan yang harus diperjuangkan untuk direalisasikan. 1. Perlunya pengawasan dana kampanye yang lebih ketat terkait anggaran pemasukan, memastikan bahwa jumlah anggaran yang diterima tidak melanggar undang undang dan tidak adanya rekening ganda yang digunakan dalam dana kampanye selama proses pemilihan umum a. Perlu dibentuknya tim khusus terdiri dari beberapa orang yang dimasukkan kedalam tim kampanye para kandidat, tim khusus ini merupakan tim independen perwakilan KPU yang berfungsi khusus untuk pengawasan control internal tim kampanye, disitu berapa jumlah rekening yang digunakan, besaran nominal yang diperboleh, siapa yang menyumbang, dapat terintegrasi langsung dengan peraturan dan diawasi secara rutin. b. Perlunya digitalisasi IT yang terintegrasi antara rekening khusus dana kampanye tim kampanye kandidat presiden dan wakil presiden dengan software atau teknologi dari KPU, disini KPU dapat melakukan just in time corrective action, dan memang merupakan implementasi dari transpransi regulasi dana kampanye. 2. Peningkatan etika dalam proses pemilihan umum a. Penanaman nilai moral dan etika berpolitik kepada setiap kandidat lewat seminar, pelatihan, dan sosialisasi. b. Penegakan hokum atas sanksi jika pelanggaran dana kampanye benar dilakukan, tidak pandang bulu dalam menetapkan sanksi.
17
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. Dasar Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Jakarta, 2011. Undang undang nomor 42 tahun 2008, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Supriyanto, Didik dan Wulandari, Lia. Basa Basi Dana Kampanye, Pengabaian Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Peserta Pemilu, Jakarta, 2012. Tuankotta, Mulyawan dan Ditya, Yudistira. Pengelolaan Dana Kampanye berbasis Transpransi dan Akuntabilitas, dipublikasikan di Konferensi EBK Yogyakarta 2012, Depok, 2012.
18
Demokrasi, Pemerintah, dan Ekonomi oleh Hazna Nurul Faiza dan Tunggadewi Winarno Putri Abstrak Demokrasi Indonesia perlu berkaca—Pemilu 2014 dapat menjadi momentum yang tepat untuk hal tersebut. Indonesia dengan bentuk pemerintahan republik dan sistem pemerintahan presidensial masih sarat akan kecacatan demokrasi. ‗Digiringnya‘ kebijakan pengurangan subsidi BBM Juni lalu ke panggung politik sudah sewajarnya membuat rakyat kembali berefleksi, apa yang salah dengan pemerintahan negeri ini? Sistem politik suatu negara pun tidak dapat dipisahkan dari sistem kepartaiannya. Setiap lima tahun sekali, Indonesia merayakan pesta demokrasi yang pada 2014 nanti akan diramaikan oleh 12 partai politik. Pertanyaannya, apakah 12 parpol tersebut sudah merepresentasikan demokrasi di negeri ini? Demokrasi, lagi-lagi tidak dapat berdiri sendiri. Ekonomi adalah salah satu ranah yang saling beririsan dengan demokrasi. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi memiliki relasi dengan demokrasi, seperti yang diutarakan para ahli dalam beberapa literatur. Pemilu yang juga merupakan sarana demokrasi sedikitnya dapat menimbulkan pergerakan positif dalam perekonomian nasional. Bagaimana demokrasi, pemerintahan, dan ekonomi saling berkaitan inilah yang akan penulis berusaha jawab dalam esai ini.
1. Demokrasi dalam Pemerintah 1.1
Konsep Demokrasi
‗Demokrasi‘ adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani, gabungan dari ‗demos‘ yang berarti rakyat dan ‗kratos‘ yang berarti pemerintahan. Maka, ‗demokrasi‘ dapat diartikan sebagai kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Dalam Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat, khususnya oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiada distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan. Sementara itu, jika mengambil definisi dari salah satu founding fathers Indonesia, yakni Moh. Hatta, demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 19
1.2
Rupa Sistem Pemerintahan dan Politik
Maka, jelas di sini bahwa demokrasi menekankan peran rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara. Indonesia, di satu sisi, menjalankan sistem demokrasi langsung di mana pemerintahan dijalankan dengan suatu sistem perwakilan. Untuk mengetahui sejauh mana kesiapan demokrasi Indonesia kini, perlu digarisbawahi terlebih dahulu pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 yang keempat: 1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi. 2. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial. 3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Mulai masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket. 4. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. 5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan. 6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. Dalam pokok-pokok tersebut, terlihat jelas bahwa Indonesia menganut trias politika hasil pemikiran John Locke. Fungsi eksekutif dijalankan oleh presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan serta dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggungjawab kepadanya. Fungsi legislatif dijalankan oleh DPR dan DPD yang juga sekaligus merupakan anggota MPR. Terakhir, fungsi yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Sistem pemerintahan Indonesia sendiri sempat berubah dari sistem pemerintahan presidensial menjadi parlementer ketika menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) selama periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950. Sementara itu, sistem politik dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan (termasuk pendapat, prinsip, penentuan tujuan, upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, skala prioritas, dll) yang terorganisir dalam sebuah negara untuk mengatur pemerintahan dan 20
mempertahankan kekuasaan demi kepentingan umum dan kemaslahatan rakyat. Indonesia menjalankan Sistem Politik Demokrasi Pancasila di mana keseluruhan kegiatan yang telah disebutkan di atas dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai luhur pancasila dan dijalankan secara demokratis. Sistem Politik Demokrasi Pancasila memiliki prinsip-prinsip sbb: 1. Pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif berdasarkan hukum. 2. Pemerintah berdasarkan konstitusi. 3. Jaminan kebebasan individu dalam batas-batas tertentu. 4. Pemerintahan yang bertanggung jawab. 5. Pemilu langsung dan multipartai. Pemilu langsung dan sistem multipartai sendiri merupakan salah satu aspek penting dalam perpolitikan Indonesia. Indonesia sendiri mulai menyelenggarakan pemilu sejak tahun 1955 yang melibatkan 178 peserta pemilu. Selanjutnya, sebanyak 10 Parpol mengikuti bursa pemilu pada tahun 1971, kemudian bertambah menjadi 48 parpol pada tahun 1999, dan kembali berkurang menjadi 24 parpol pada tahun 2004. Pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, di sisi lain, hanya diikuti oleh tiga parpol besar, yakni: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketiga partai tersebut berasal dari penggabungan parpol-parpol yang ikut serta dalam Pemilu tahun 1971. PPP, misalnya, merupakan hasil fusi dari Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti, sedangkan PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba bergabung ke dalam kubu PDI. Prof. Miriam Budiharjo dalam buku ‗Dasar-dasar Ilmu Politik‘ mengklasifikasikan sistem kepartaian menurut banyaknya jumlah partai dalam suatu negara, yaitu: 1. Sistem Partai Tunggal, contoh negara: Eropa Timur, Afrika, dan Cina. 2. Sistem Dwi Partai, contoh: Inggris (Partai Buruh dan Partai Konservatif), USA (Partai Republik dan Partai Demokrat), Jepang, dan Kanada. 3. Sistem Multi Partai, contoh: Indonesia.
21
1.3
Cacat Demokrasi di Indonesia
Trias politika Indonesia memiliki satu catatan penting: terdapat distribution of power antarpemegang fungsi. Pembagian kekuasaan ini menyebabkan presiden memiliki kewenangan legislatif juga yudikatif, seperti kewenangan mengajukan RUU dan kewenangan memberikan grasi, abolisi, dan amnesty. Dalam waktu bersamaan, kewenangan presiden juga sangat dibatasi. DPR memiliki bargaining power yang kuat atas segala keputusan presiden. Dari segi pertanggungjawaban, meski hakikatnya presiden bertanggungjawab terhadap rakyat, perlu dipertanyakan rakyat yang mana yang berhak ‗menuntut pertanggungjawaban‘ presiden. Fungsi alat pengawas pemerintahan yang dilaksanakan DPR hingga kini lebih banyak mengakibatkan terhambatnya pengambilan-pengambilan keputusan penting yang celakanya dipenuhi intrikintrik politik. Keputusan strategis di tataran eksekutif dapat tiba-tiba berpindah tangan ke tataran legislatif dan berubah menjadi panggung politik sewaktu-waktu. Salah satu contohnya adalah kebijakan pengurangan subsidi BBM pada bulan Juni lalu. Pengurangan subsidi BBM yang dampaknya akan menaikkan harga bahan bakar minyak tersebut di pasar ‗dibawa‘ ke meja sidang paripurna DPR. Hakikatnya, sidang tersebut diadakan untuk memutuskan postur APBN Perubahan yang harus dibuat karena kebijakan pemerintah mengurangi subsidi. Namun sebaliknya, yang muncul dalam sidang adalah banyaknya perdebatan mengenai perlu atau tidaknya kenaikan harga BBM. Padahal, kenaikan harga tersebut adalah sepenuhnya wewenang kebijakan pemerintah dan bukan sesuatu yang perlu dibahas oleh Banggar maupun Komisi IX. Sidang paripurna pemutusan RAPBN-P 2013 akhirnya menjadi panggung politik partai-partai yang berlomba untuk memikat hati rakyat, khususnya untuk pemilu 2014 mendatang. Dahulu, presiden bertanggungjawab terhadap MPR yang dapat pula sekaligus membubarkan pemerintahan apabila tidak memperlihatkan kinerja yang baik. Kini, tidak ada lagi lembaga setara MPR yang dapat melakukan demikian. Hal ini memberi celah bagi pemegang posisi eksekutif untuk tidak berfungsi secara maksimal. ‗Hilangnya‘ MPR dari badan pemerintahan Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab tarik ulur keputusan antara presiden dan DPR. Di Amerika Serikat, hal seperti ini tidak terjadi karena mekanisme separation of power dan checking power with power. Terdapat pemisahan tugas yang jelas antarbadan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Check and balance yang dilakukan pemerintahan pusat dapat terlaksana 22
dengan adanya mekanisme tersebut. Congress yang merupakan badan legislatif AS—terdiri dari Senat dan House of Representatives—mempunyai kekuasaan untuk di antaranya: membuat UU Federal, menyatakan perang, menyetujui perjanjian, memiliki the power of purse (pembatasan pendanaan) dan impeachment (menurunkan pemerintah). Khusus untuk impeachment, tentunya mensyaratkan beberapa tahapan dan peradilan yang sesuai mekanisme. Di sisi lain, presiden memiliki kekuasaan untuk memegang komando tertinggi militer, memveto Rancangan UndangUndang (RUU), menandatangani RUU untuk menjadi UU, menunjuk kabinet dan pejabat negara, dan menegakkan UU dan peraturan. Sebaliknya, Supreme Court sebagai lembaga yudikatif berwenang untuk menafsirkan UU dan memastikan UU sesuai dengan Konstitusi (UUD). Keunikan lain yang dimiliki AS dalam kelembagaan pemerintahannya, terutama legislatif, adalah kedua badan dalam Kongres (Senat dan House of Representatives) yang memiliki kekuasaan/kedudukan yang sama. Keduanya memiliki keterlibatan absolut dalam pembuatan perundang-undangan. Namun demikian, masing-masing memiliki keunikan dalam otoritasnya. Misalnya, Senat memiliki otoritas untuk meratifikasi perjanjian serta memberikan persetujuan untuk posisi penting dalam pemerintahan, sedangkan House of Representatives memiliki otoritas dalam perancangan UU dan juga melakukan impeachment (yang prosesnya harus melalui peradilan yang merupakan hak dari Senat). Membandingkan sistem pemerintahan Indonesia dan Amerika Serikat tentu bukanlah komparasi yang setara (apple to apple). Amerika Serikat telah mencatat jauh lebih banyak lembaran sejarah dan pengalaman di usianya yang ke-237 pada 4 Juli lalu, berbeda dengan Indonesia yang baru genap 68 tahun. Indonesia sebagai ‗anak bawang‘ masih perlu banyak belajar untuk mencari jati diri sistem pemerintahannya. Sementara itu, sistem multipartai di Indonesia pun perlu untuk dilakukan pengkajian ulang. Berikut kelebihan dan kekurangan sistem multi partai yang kini diterapkan di Indonesia.
Kelebihan: 1.
Demokrasi berjalan dengan baik.
2. Aspirasi rakyat mampu menciptakan suatu partai. 3. Rakyat bebas bersuara. 4. Adanya oposisi antara partai satu dan yang lainnya.
23
Kekurangan: 1. Menimbulkan persaingan tidak sehat. 2. Saling menjatuhkan antara partai satu dan yang lainnya. 3. Dapat menghambat kelancaran program kerja pemerintah. 4. Partai-partai politik dalam arti tidak sehat dapat melakukan money politic (lobi-lobi) dan memberikan uang kepada rakyat sebagai kompensasi atas dukungan dalam pemilu. 5. Berujung pada permusuhan dan perpecahan di antara partai satu dan yang lainnya. 6. Pemerintah tidak fokus lagi terhadap rakyat, melainkan fokus pada bagaimana cara mempertahankan kekuasaan. 7. Adanya konflik SARA. 8. Kekuatan partai politik satu dengan yang lainnya tidak akan terlalu jauh, sehingga muaranya akan ke arah pembagian ‗kue‘ kekuasaan. 9. Pemerintahan akan semakin gemuk sebagai akibat dari banyaknya kepentingan partai yang harus diakomodir dan sulit menempatkan orang yang ‗benar di tempat yang benar‘. 10. Biaya politik yang sangat besar karena adanya subsidi pemerintah kepada partai-partai. 11. Semakin banyak partai berakibat pada semakin banyaknya pilihan. Semakin banyak pilihan akan mempersulit rakyat untuk memilih, yang kemudian meningkatkan probabilitas rakyat untuk memilih golput. Besarnya jumlah rakyat yang golput mengindikasikan semakin mundurnya arti sebuah demokrasi. Meski konsep ini masih menimbulkan pertentangan, namun sedikit banyak dapat menggambarkan demokrasi Indonesia saat ini. 12. Banyak uang yang diinvestasikan pada hal-hal yang ‗kurang produktif‘ bagi masyarakat banyak. Misalnya, menjelang pemilu, hampir semua tempat diramaikan oleh sticker, baliho, spanduk, bendera dan iklan politik. Perdebatan masih seringkali terjadi di tataran konsep kepartaian bangsa ini. Perlu dipertanyakan apakah kondisi Indonesia sekarang ini masih membutuhkan, sekaligus dapat mengakomodasi sistem multipartai. Demokrasi adalah suatu konsep yang rentan, di mana negara dengan demokrasi yang tidak siap akan berujung pada pemenuhan kepentingan sebagian rakyat atas sebagian besar rakyat yang lain.
24
2. Demokrasi dan Ekonomi 2.1 Hubungan Demokrasi dan Ekonomi Berbicara mengenai hubungan demokrasi dan ekonomi, memang tidak semudah membicarakan hubungan demokrasi dengan bidang lain, misalnya politik. Demokrasi dan ekonomi adalah suatu konsep yang berbeda namun sesungguhnya saling beririsan. Maka, dalam hal ini penulis mencoba menjelaskan hubungan demokrasi dan ekonomi, yang penulis kerucutkan menjadi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi mengantarkan suatu negara kepada situasi yang lebih maju dalam beberapa aspek, termasuk pemerintahan. Ingleheart (2000) mengatakan bahwa pembangunan ekonomi membawa perubahan-perubahan budaya terus menerus yang membuat masyarakat umum makin menginginkan institusi yang demokratis. Dengan tingkat pembangunan ekonomi yang bertambah, pola-pola budaya yang muncul akan makin membuat rakyat umum makin menginginkan suatu konsep demokrasi dan lebih pintar dalam mendapatkannya. Barro (1996) memperlihatkan perhitungannya bahwa perbaikan standar hidup pada suatu negara –dihitung melalui pendapatan per kapita, tingkat kematian, dan pencapaian sekolah dasar-secara substansial meningktakan peluang bagi sebuah instusi menjadi lebih demokratis. Hal tersebut sejalan dengan temuan Acemoglu dan Robison (2012) yang mengatakan bahwa negaranegara yang kurang maju pembangunan ekonominya cenderung memiliki political dan economic extractive institution yang menghasilkan suatu institusi yang tidak demokratis dan berdampak pada kekayaan yang kemudian hanya dinikmati oleh sebagian elit pejabat serta membuat kekuatan politik tertentu dalam suatu negara. Dari hal tersebut, kita dapat melihat sebuah pola, yaitu hubungan positif antara demokrasi dan pembangunan ekonomi. Negara yang semakin maju pembangunan ekonominya, memiliki tingkat demokrasi yang semakin dewasa di Pemerintahan, yang bercirikan bahwa demokrasi tidak hanya dijalankan secara prosedural namun juga mengedepankan sebuah substansi dari konsep demokrasi itu sendiri. Sementara, jika kita menelisik pada hubungan demokrasi dengan ruang lingkup ekonomi lainnya, yaitu pertumbuhan ekonomi, terdapat suatu kesimpulan yang berbeda. Pertumbuhan 25
ekonomi, yang notabene memiliki definisi berbeda dari pembangunan ekonomi, memang lebih menekankan pada peningkatan dari PDB riil dari suatu negara pada waktu tertentu, yaitu peningkatan dari tahun sekarang dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, pembangunan ekonomi memiliki cakupan yang lebih luas daripada sebuah peningkatan PDB. Pembangunan ekonomi memperhatikan bagaimana perekonomian memberikan pengaruh pada perkembangan masyarakat, oleh karena itu pembangunan ekonomi sering mencakup dimensi yang lebih kompleks yaitu pendapatan per kapita dari setiap orang, pendidikan, kesehatan, dan beberapa aspek lainnya. Untuk itu, apabila kita melihat hubungan antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, akan menghasilkan suatu kesimpulan yang berbeda dengan pembangunan ekonomi.
Hubungan Tingkat Demokrasi dan PDB 12
GDP per Kapita 2000
10 8 6 4 2 0 -15
-10
-5
0 5 Tingkat Demokrasi (polity)
10
15
Sumber: World Bank dan Integrated Network for Societal Conflict Research, diolah oleh penulis Scatterplot diatas mencoba menjelaskan hubungan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat demokrasi, dalam hal ini penulis menggunakan variabel polity. Pada scatterplot diatas, terdapat suatu hubungan non linear dari kedua variabel tersebut. Maksudnya, bahwa semakin tinggi tingkat demokrasi suatu negara maka berdampak pada beberapa negara yaitu rendahnya tingkat PDB per kapita yang dihasilkan, namun pada titik tertentu semakin tinggi tingkat demokrasi suatu negara diikuti dengan pertumbuhan PDB per kapita nya yang tinggi pula.
26
Relasi non linear ini, dijelaskan oleh Barro (1996) berdasarkan Gastil‘s (1982-1983). Misalnya, dalam sebuah pemerintah yang memiliki sistem diktator yang sangat tinggi, kenaikan tingkat demokrasi, yang dijelaskan dengan hak bersuara dan berpolitik, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dikarenakan manfaat dari kebebasan lebih yang diperoleh untuk berkreasi daripada kekuasaan pemerintah sebelumnya, sehingga memacu negaranya untuk berkembang dan kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, dalam poin lainnya pada beberapa negara yang sudah meraih tingkat demokrasi yang sangat baik, kenaikan tingkat demokrasi lebih lanjut dapat menganggu pertumbuhan karena kebebasan berpolitik dan berpendapat yang semakin terbuka membuat masyarakat lebih menuntut hal-hal yang lebih penting dari sekedar pertumbuhan ekonomi, misalnya redistribusi pendapatan.
2.2 Pemilihan Umum 2014 dalam Ekonomi Pemilu yang dilaksanakan sebagai prosedur dari konsep demokrasi pada dasarnya memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam perekonomian. Terlebih, pemilihahan umum yang akan berlangsung pada tahun 2014 merupakan pesta demokrasi besar yang akan dicatat dalam lembar sejarah pemerintahan Indonesia. Hal tersebut terjadi karena pemilu 2014 nanti tentunya akan menjadi kompetisi sengit antar para calon pemimpin baru, khususnya dalam pemilihan calon presiden. Bisa dikatakan tahun 2014 adalah momentum turning point kedua setelah 2004 dalam kancah pemilihan pemimpin negara semenjak era reformasi, bahkan dalam sejarah pemilihan umum Indonesia. Semenjak dilaksanakannya pemilu dari tahun 1955-2009, negeri ini baru menjalankan pemilihan umum Presiden yang benar-benar demokratis pada tahun 2004 dan 2009, karena pada masa Orde Baru (1977-1997) pemilhan presiden tidak pernah berjalan demokratis dikarenakan manipulasi kekuasaan yang begitu besar. Kemudian, setelah terjadinya reformasi, Indonesia akhirnya baru dapat melaksanakan pemilihan pemimpin negara secara demokratis pada tahun 2004 dan 2009, dengan SBY sebagai calon presiden yang terpilih pada kedua tahun pemilu tersebut. Berangkat dari hal tersebut, pemilihan umum terlebih untuk memilih calon presiden pada 2014 nanti akan menjadi pesta demokrasi besar bagi Indonesia. Sosok pemimpin lama yang tidak
27
dapat mencalonkan kembali, membuat pertempuran politik semakin panas untuk merebut kursi nomor satu Indonesia. Tentunya, dilihat dari sisi ekonomi hal ini dapat berdampak positif. Pemilihan umum pada tahun politik 2014 dapat memberikan sumbangsih dalam peningkatan konsumsi rumah tangga di masyarakat akibat belanja kampanye seperti mencetak baliho dan spanduk, membuat kaos kampanye dan aktivitas lain yang dapat mendorong perekonomian. Apabila dibandingkan dengan pemilu 2009 jumlah peserta legislatif pada pemilu 2014 memang lebih sedikit, namun biaya dari pencalonan diri sebagai calon anggota legislatif yang sangat besar hingga Rp 2 miliar, tetap dapat membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar kurang lebih 0,2%. Bahkan, di Filipina pemilihan umum berhasil menggenjot perekonomian Filipina tahun 2010 sebesar 0,4% menjadi 7,3%. Kontribusi belanja politik ini tentu sangat berguna bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang notabene sedang mengalami penurunan di tahun 2013 ini akibat beberapa hal, khususnya tingkat inflasi yang tinggi. Peluang ini tentunya harus dioptimalkan oleh pemerintah dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia.
28
Dafar Pustaka
Barro, Robert., 1996. Democracy and Growth‖, Journal of Economic Growth, Vol.1, No.1
Inglehart, Ronald dan Wayne Baker., 2000. Modernization, Cultural Change, and the Persistence of Traditional Values. American Sociological Review. Vol 65 (February; 19-51)
Integrated Network for Social Conflict Research, 2013. INSCR Page [online] dapat diakses di http://www.systemicpeace.org/inscr/inscr.htm (09 November 2013)
Mainwaring, Scott, Presidensialism, Multy Party Systems, and Democracy : The Difficult Equation, Working Paper 144 – September 1990.
Philippines: Election spending boosts Q1 economic growth -- NSCB. (2010, Jun 01). Asia News Monitor. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1027505056?accountid=13771 (08 November 2013) Syafiie, Inu Kencana dkk. 2007. Perbandingan Pemerintahan. Bandung : Refika Aditama World Bank, 2013. World Data Bank [online] dapat diakses di http://databank.worldbank.org/data/views/reports/tableview.aspx?isshared=true&ispopular=serie s&pid=3 (08 November 2013)
29
Pemilihan Umum Anggota Parlemen : Dari 2009 menuju 2014 oleh Fajar Muhammad Rhydo dan Wening Ayu Sasmita
Abstrak Pemilihan umum adalah sarana bagi rakyat Indonesia dalam memlilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR, bukan hanya sebagai ajang prosedural sebagai penanda status Negara demokrasi semata. Pemilu 2014 sudah di depan mata, menyuguhkan beberapa pembaharuan dalam aturan pelaksanaan dari pemilu sebelumnya. Pembaharuan – pembaharuan ini mengarah pada suatu tujuan peningkatan kualitas serta penyederhaan kepartaian di Indonesia.ada beberapa peraturan yang mengalami perubahan dari peraturan pemilihan umum sebelumnya. peraturan – peraturan yang semakin ketat dan spesifik ini mengarah pada semacam tujuan tertentu dalam pencapaian demokrasi Indonesia. Namun ada pula peraturan yang sama sekali tidak mengalami perubahan yang berpengaruh, padahal telah terjadi ―kecolongan‖ dalam pemilihan umum sebelumnya. Akan seperti apakah pelaksanaan pemilihan umum 2014 nantinya? Dengan segala peran dari peraturan yang telah tercipta.
Pendahuluan Berdasarkan definisi dalam Undang – Undang no 8 tahun 2012, Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sistem pemilihan umum Republik Indonesia menganut prinsip multi member constituency. Artinya, dalam suatu daerah pemilihan, masyarakat memilih beberapa orang. (bukan satu orang seperti pada prinsip single member constituency/sistem distrik) sebagai wakil mereka untuk duduk di parlemen. Biasanya sistem ini disebut sebagai sistem Proporsional atau sistem perwakilan berimbang. Jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu partai politik, sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Berdasarkan UU no 8 tahun 2012, untuk pemilu 2014 Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka. Dengan sistem ini, Indonesia dibagi menjadi 77 daerah pemilihan, dimana masing – masing daerah pemilihan mengutus beberapa orang untuk duduk di parlemen (maksimal 12 orang dari masing – masing daerah pemilihan, angka pastinya berbeda – beda untuk setiap daerah pemilihan, ditentukan berdasarkan asas perimbangan jumlah penduduk). Kemudian, tiap – tiap partai peserta pemilu mengajukan calong anggota legislatif 30
maksimal sebanyak jumlah kursi tersedia di daerah pemilihan tersebut. (contoh: untuk daerah pemilihan Maluku Utara tersedia 8 kursi, maka setiap partai hanya boleh mengajukan calon anggota legislatif sebanyak 8 orang untuk bertarung di daerah pemilihan Maluku Utara). Setelah itu, para calon anggota legislatif akan berkampanye bukan hanya untuk partainya, tetapi juga untuk memperjuangkan keterpilihannya sendiri, karena yang akan dipilih oleh masyarakat adalah calon secara perseorangan, partai hanya bersifat sebagai ―penyedia‖ calon. Dengan demikian yang berhak menjadi anggota parlemen adalah calon yang meraih suara terbanyak secara proporsional. Dikarenakan belum ada peraturan KPU mengenai cara penentuan caleg terpilih untuk pemilu 2014, maka kita berasumsi bahwa cara yang digunakan sama dengan tahun 2009. Pada tahun 2009, cara penentuan caleg terpilih melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah penentuan kuota jumlah suara (Bilangan Pembagi Pemilih) agar seseorang terpilih, yaitu dengan cara membagi jumlah suara sah dengan jumlah kursi tersedia di dapil tersebut. Bila ada caleg yang memenuhi kuota ini, maka ia langsung terpilih, otomatis jumlah kursi yang masih tersedia berkurang. Kemudian, untuk mengisi kursi yang tersisa, jumlah seluruh suara yang diperoleh oleh calon dalam satu partai digabungkan, apabila suara ini memenuhi kuota, maka calon dari partai tersebut yang perolehan suaranya tertinggi berhak atas kursi sisa. Begitu seterusnya. Apabila setiap partai tidak lagi memiliki jumlah suara yang bisa memenuhi kuota, maka suara dari tiap – tiap partai akan ―diserahkan‖ kepada partai yang sisa suaranya terbanyak.
Evaluasi 2009 menuju 2014 Jika kita membahas rangkaian kegiatan pemilu secara keseluruhan, maka pembahasannya juga akan meliputi syarat – syarat keikutsertaan partai dan calon anggota legislatif, pelaksanaan kampanye, pemungutan suara, hingga penentuan anggota DPR terpilih, disertai dengan syarat – syarat khusus misalnya Parliamentary Treshold. (Ada beberapa hal lagi yang termasuk kegiatan pemilu, namun tidak dimasukkan dalam pembahasan) Berdasarkan Peraturan KPU no 12 tahun 2012, Partai politik yang berhak mengikuti pemilu 2014 harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
31
c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota; f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota kepada KPU.
Aturan mengenai syarat keikutsertaan suatu partai politik ini mengalami perubahan dari pemilu sebelumnya. Jika pada 2009 lalu, setiap partai hanya diwajibkan untuk memiliki kepengurusan di 2/3 dari jumlah provinsi serta 2/3 dari jumlah kabupaten atau kota di provinsi bersangkutan. Artinya setiap partai harus memiliki minimal kepengurusan di 22 provinsi di Indonesia. Tentu aturan untuk pemilu 2014 menjadi lebih berat karena harus memiliki kepengurusan di 33 provinsi.
Dari 34 partai politik yang mendaftar untuk ikut pemilu 2014, hanya 12 partai politik yang lolos tahapan verifikasi dan dinyatakan berhak sebagai peserta pemilu 2014. Peserta pemilu 2014 lebih sedikit dibandingkan pemilu 2009. Dari 12 partai tersebut, hanya 1 partai yang merupakan ―pemain baru‖ dalam pemilu. Selebihnya adalah partai yang telah pernah mengikuti pemilu sebelumnya. Hal ini terjadi karena persyaratan untuk menjadi peserta pemilu jauh lebih sulit sehingga partai – partai baru ataupun partai – partai lama yang tidak memiliki perwakilan di DPR tidak siap untuk memenuhi persyaratan tersebut. Untuk tahun 2009 saja, jumlah partai yang ikut pemilu masih lebih banyak dibandingkan partai yang mendaftar untuk pemillu 2014. Tampaknya pengetatan syarat ini telah berhasil menyederhanakan partai di Indonesia, namun tak 32
dapat dipungkiri akan terjadi pula penguatan pada partai – partai besar dan mengarah pada pembentukan mayoritas. Sedangkan untuk bakal calon Anggota DPR, wajib memenuhi persyaratan : a. telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; h. sehat jasmani dan rohani; i. terdaftar sebagai pemilih; j. bersedia bekerja penuh waktu; k. mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; 33
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan. Dari persyaratan huruf k, terdapat aturan bahwa seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif harus mengundurkan diri. Aturan ini tidak terdapat pada pemilu 2009 lalu. Berarti pada tahun 2009, kepala daerah boleh mencalonkan diri dalam pemilu tanpa harus mengundurkan diri, hanya cuti untuk kampanye saja. Perubahan aturan ini dilakukan untuk menghindari adanya praktik penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pemilu serta agar pelaksanaan pemerintahan daerah tetap berjalan efektif. Namun dalam persyaratan diatas tidak disinggung mengenai penjabat posisi Menteri dalam Kabinet. Itu artinya, setiap Menteri Negara yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif tidak diharuskan untuk mengundurkan ini. Ada semacam kejanggalan yang muncul, ketika kepala daerah, PNS, Polisi, TNI, dan pejabat BUMN diharuskan untuk mengundurkan diri sementara Menteri yang jelas – jelas ruang lingkup pekerjaan serta tanggung jawabnya lebih besar dibiarkan untuk terus merangkap sebagai menteri dan caleg. Ada potensi terabaikannya tugas Negara oleh Menteri maupun penyalahgunaan wewenang dan fasilitas Menteri untuk kepentingan kampanye. Bahkan tidak jarang para menteri memanfaatkan iklan layanan publik dari kementerian yang ia pimpin untuk mengampanyekan dirinya secara langsung. Dari ketentuan diatas, tidak ada persyaratan yang menuntut kualifikasi tertentu (dalam artian kualitas intelektual emosional spiritual, kepemimpinan, kepribadian, pengetahuan tentang fungsi DPR, dsb) sehingga siapapun yang bisa memenuhi syarat – syarat yang terlalu normatif tersebut bisa menjadi anggota DPR. Memang dalam demokrasi bahwa setiap orang berhak memilih dan dipilih, akan tetapi kita tentu tidak mau diwakili di lembaga yang akan memperjuangkan keberlangsungan kehidupan kita di Negara ini oleh orang – orang yang tidak berkompetensi. Setelah terdaftar secara resmi sebagai peserta pemilu, maka tahapan selanjutnya ada pelaksanaan kampanye. Berdasarkan UU Pemilu, Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu. Bentuk – bentuk kampanye meliputi: a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka; 34
c. penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum; d. pemasangan alat peraga di tempat umum; e. iklan media massa cetak dan media massa elektronik; f. rapat umum; dan g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye Pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun yang dikategorikan sebagai larangan kampanye adalah sebagai berikut : a. mempersoalkan dasar Negara Pancasila, pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Rebublik Indonesia; b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau Peserta Pemilu yang lain; d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat; e. mengganggu ketertiban umum; f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain; g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu; h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye; dan k. memobilisasi Warga Negara Indonesia yang belum memenuhi syarat sebagai Pemilih.
Sedangkan peraturan terperinci mengenai alat peraga kampanye yaitu tidak boleh ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan; Peserta Pemilu dapat memasang alat peraga kampanye luar ruang dengan ketentuan: 1. baliho atau papan reklame (billboard) hanya diperuntukan bagi Partai Politik 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya memuat informasi nomor dan tanda gambar 35
Partai Politik dan/atau visi, misi, program, jargon, foto pengurus Partai Politik yang bukan Calon Anggota DPR dan DPRD; 3. bendera dan umbul-umbul hanya dapat dipasang oleh Partai Politik pada zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan atau KPU Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah. 4. spanduk dapat dipasang oleh Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ukuran maksimal 1,5 x 7 m hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan atau KPU Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah Selain larangan – larangan yang disebutkan diatas, ada pula larangan yang menyebutkan bahwa dalam kampanye tidak diperkenankan untuk mengikutsertakan beberapa unsur seperti : a. Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawahnya, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi; b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; c. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia; d. Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah; e. pegawai negeri sipil (boleh menjadi peserta kampanye tapi tidak diperkenakan menjadi pelaksana kampanye ataupun menggunakan atribut partai politik pada saat jadi peserta kampanye) f. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; g. kepala desa h. perangkat desa
Dari berbagai ketentuan mengenai kampanye pemilihan umum yang disebutkan diatas, bisa kita bandingkan bagaimana pelaksanaan kampanye pada pemilu 2009 yang mana peraturannya tentu tidak jauh berbeda. Pelanggaran demi pelanggaran dilakukan, mulai dari hal yang kecil seperti penempatan alat peraga yang ditempatkan pada tempat yang tidak sepantasnya maupun pemanfaatan alat – alat Negara yang tidak sepatutnya digunakan untuk kepentingan partai politik. 36
Bukan hanya pada pemilu 2009 lalu, untuk tahun 2013 ini saja sudah mulai banyak partai politik dan calon anggota legislatif yang melaksanakan kampanye yang melanggar aturan. Bentuk yang paling sering ditemui adalah pemasangan baliho dan spanduk dari setiap calon anggota legislatif, bahkan disaat daftar calon tetap belum dikeluarkan KPU sekalipun. Tampaknya pelanggaran 2009 lalu banyak yang terulang kembali. Bagaimana demokrasi Negara ini akan menjadi sehat bila genderang perang resmi belum ditabuh pun pelanggaran demi pelanggaran telah dilakukan.
Untuk pemilihan umum 2014, pelaksanaan kampanye melalui pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga akan dilaksanakan mulai tanggal 11 Januari 2013 sampai dengan
5 April 2014. Pelaksanaan
kampanye melalui rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2014 hingga 5 April 2014. Mulai dari tanggal 6 April hingga hingga 8 April adalah hari tenang dimana tidak boleh dilakukan sama sekali praktik – praktik kampanye serta peserta pemilu juga diharuskan untuk mencabut seluruh alat peraga kampanye seperti spanduk, baliho, dll. Tanggal 9 April pun akan dilangsungkan pemilihan umum 2014. Untuk pemilu 2014, cara pemungutan suara kembali dilakukan dengan cara pencoblosan, tidak lagi pencontrengan sebagaimana dilakukan pada pemilu 2009. Yang dicoblos adalah nomor urut atau nama calon anggota legislatif.
Untuk menentukan partai yang berhak menempatkan calonnya di DPR, pemilu 2014 kembali menggunakan sistem ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 3,5 % dari jumlah suara sah nasional. Artinya hanya partai yang perolehan suara secara nasionalnya melebihi 3,5% lah yang berhak menempatkan anggotanya di DPR. Sedangkan untuk partai yang perolehan suara nasionalnya kurang dari 3,5% tidak berhak menempatkan wakilnya di parlemen serta perolehan suaranya dianggap hangus dan tidak diikutsertakan dalam penghitungan kuota keterpilihan calong anggota legislatif (partai yang tidak lolos parliamentary threshold bukan hanya tidak berhak menempatkan wakilnya di DPR RI, tapi juga di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota). Artinya, untuk menentukan kuota (bilangan pembagi pemilih) sebagaimana telah diuraikan di awal, dilakukan dengan cara menghitung jumlah suara sah dikurangi dengan jumlah suara partai yang tidak memenuhi ambang batas, kemudian baru dibagi dengan jumlah 37
kursi yang tersedia. Angka ambang batas parlemen untuk pemilu 2014 mengalami kenaikan dari pemilu 2009 yang hanya sebesar 2,5 %. Dengan adanya penerapan ambang batas parlemen disertai dengan ―penghangusan‖ suara partai yang tidak lolos ambang batas, menimbulkan dilema baru. Indonesia lebih memilih sistem pemilu proporsional daripada sistem distrik dengan alasan supaya tidak ada suara yang terbuang dan tidak terwakili, karena pada sistem distrik berlaku prinsip winner takes all, suara yang kalah menjadi tidak dianggap. Maka sebenarnya dalam sistem proporsional yang dianut Indonesia untuk pemilu 2014, juga terdapat suara – suara yang terbuang. Apalagi dengan adanya kenaikan persentase ambang batas parlemen, tentu suara yang terbuang menjadi lebih banyak. Kemudian mari kita pikirkan lagi mengenai arah dari pelaksanaan pemilu kita yang demokratis ini. dimulai dari pengetatan syarat, pelaksanaan kampanye, dan parliamentary threshold. Pengetatan syarat keikutsertaan partai politik telah berhasil dilakukan. Pengetatan ini mengarah kepada upaya agar partai politik di Indonesia tidak terlalu banyak tetapi tetap menganut sistem multipartai. Artinya, penyederhanaan jumlah partai dilakukan secara ―halus‖ dan sistematis tanpa adanya pemaksaan seperti di era orde baru. Mengenai pelaksanaan kampanye, tidak adanya perubahan aturan mengindikasikan bahwa sistem kampanye yang telah ada merupakan yang paling ideal menurut pembuat aturan, sehingga tidak perlu perbaikan lagi meskipun banyak terjadi
banyak pelanggaran. Dengan demikian,
pengawasan yang ketat harus diberlakukan. Tidak cukup melalui pengetatan syarat saja, penyederhanaan jumlah partai juga dilakukan melalui penerapan parliamentary threshold. Jika pengetatan syarat keikutsertaan hanya pada level peserta pemilu saja, penerapan threshold berakibat pada penyederhaan jumlah partai di parlemen. Artinya, jumlah partai di DPR diharapkan semakin sedikit dengan kekuatan yang lebih besar tentunya. Pembentukan mayoritas yang efektif pun menjadi lebih mudah di DPR, sehingga DPR cenderung menjadi lebih stabil.
38
Daftar Pustaka
Peraturan KPU no 6 tahun 2013 tentang perubahan keempat atas peraturan KPU no 7 tahun 2012 tentang tahapan, program, dan jadual penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Peraturan KPU no 7 tahun 2013 tentang Pencalonan anggota DPR,DPRd Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Peraturan KPU no 12 tahun 2013 tentang Perubahan atas peraturan KPU no 8 tahun 2013 tentang Pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Peraturan KPU no 13 tahun 2013 tentang Perubahan atas peraturan KPU no 7 tahun 2013 tentang Pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota Peraturan KPU no 14 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan KPU no 8 tahun 2013 tentang Pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Peraturan KPU no 15 tentang Perubahan atas peraturan KPU no 1 tahun 2013 tentang pedoman pelaksanaan kampanye pemilihan umum anggota DPR, DPRD dan DPD Peraturan KPU no 19 tahun 2008 tentang Pedoman pelaksanaan kampanye pemilihan umum Peraturan KPU no 26 tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan KPU no 15 tahun 2009 tentang pedoman teknis penetapan dan pengumuman hasil pemilihan umum, tata cara penetapan perolehan kursi, penetapan calon terpilih dan penggantian calon terpilih Undang – Undang no 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Undang – Undang no 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota www.kpu.go.id
39
MENGGUGAT URGENSI PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG (PILKADA): MEREBAKNYA KASUS KORUPSI KEPALA DAERAH DI ERA PILKADA oleh Fajri Ramadhan dan Rifqi Alfian Maulana
Abstrak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah sebuah sistem pemilihan untuk memilih kepala daerah (Gubernur,Walikota dan Bupati) semenjak tahun 2005. Tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah pilkada membuka kesempatan bagi siapapun sekaipun orang tersebut bukan kader sebuah partai. Melalui pilkada inilah muncul pemimpin-pemimpin baru yang membawa perubahan bagi daerahnya masing-masing seperti Joko Widodo di propinsi DKI Jakarta dan Ridwan Kamil di Kota Bandung,propinsi Jawa Barat.Namun pilkada ini juga tak lepas dari banyak kekurangan.Yang paling kami soroti disini adalah besarnya biaya kampanye yang dikhawatirkan menjadi tendensi korupsi yang berpotensi dilakukan oleh calon kepala daerah yang telah berhasil menjadi kepala daerah. Sebagai komparasi untuk pilkada provinsi sebesar DKI Jakarta saja ada 1 orang calon gubernur yang mengeklarkan dana sebesar 62,6 miliar rupiah, padahal gaji dan tunjangan gubernur DKI Jakarta tidak mencapai 10 juta rupiah. Pada essai ini, kami akan memaparkan kelebihan,kekurangan dan kasus korupsi terkait pilkada di Indonesia. Kami juga akan memaparkan solusi mengenai permasalahan tingginya biaya pilkada di Indonesia.
Pemilihan Kepala Daerah atau lebih dikenal dengan Pilkada, seakan menjadi lompatan besar bagi perpolitikan Indonesia. Setelah Indonesia baru saja melaksanakan pemilihan umum secara langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden pada tahun 2004, pada 2005 Indonesia mulai menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung di seluruh kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia. Tercatat dengan jumlah 33 provinsi (belum dengan Provinsi Kalimantan Utara baru terbentuk 2012) dan 497 kabupaten/kota di Indonesia telah terselenggara 924 pilkada selama rentang waktu 2005-2013. Tak dapat dipungkiri hal itu menyebabkan Indonesia disebut sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia1.
1
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/09/120903_hillaryjakarta.shtml Diakses pada tanggal 19 Oktober 2013. Pukul 20.00 WIB.
40
Namun, lompatan besar tersebut tentu bukan tanpa konsekuensi. Dimulai dari anggaran untuk mengadakan Pilkada yang begitu besar.Bayangkan saja, biaya pilkada Kabupaten Garut, Jawa Barat yang penduduknya hanya 2.445.911 jiwa (Disdukcapil, 2012) sebesar 33 miliar rupiah hanya untuk satu putaran. Untuk tingkat provinsi seperti Jawa Barat misalnya, anggaran yang dihabiskan untuk mengadakan Pilkada sebesar 1,047 triliun rupiah. Angka ini sungguh fantastis karena biaya tersebut lebih besar dari pendapatan asli daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat yang hanya 792,55 miliar rupiah. Hal tersebut masih bisa bertambah apabila ada yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi dan diputuskan untuk pemilihan ulang. Tidak hanya anggaran untuk penyelenggaraan Pilkada, dana yang harus disiapkan untuk para calon kepala daerah juga tak kalah mencengangkan. Sudah menjadi rahasia umum untuk menjadi seorang kepala daerah dibutuhkan sumber daya yang maha besar. Tidak banyak peserta Pilkada yang mempublikasikan dana kampanyenya. Sebagai contoh Pilkada Kota Medan dimana ada 10 calon wali kota dan wakil wali kota. Dari 10 calon tersebut, 5 diantaranya mengeluarkan dana diatas 1 miliar rupiah dan hanya 2 calon yang mengeluarkan dana kurang dari 500 juta rupiah. Bahkan salah satu calon ada yang mengeluarkan dana 4,25 miliar rupiah. Dana besar itu masih kampanye untuk tingkat kota, untuk tingkat provinsi tentu lebih fantastis. Pada Pilkada DKI Jakarta misalnya, dari 6 calon gubernur dan wakil gubernur, 4 calon mengeluarkan dana lebih dari 20 miliar. Bahkan salah satu calon mengeluarkan dana 62,6 miliar rupiah atau hampir 15 kali lipat dana kampanye pasangan calon gubernur dengan biaya kampanye terendah yang sebesar 4,1 miliar rupiah. Maka tak heran dengan pengeluaran dana yang besar ini akhirnya mendatangkan masalah baru bagi Indonesia. Dengan biaya politik yang begitu besar ini ada tendensi dari tiap calon untuk dapat mengembalikan dana kampanye yang besar tersebut dengan segala cara. Untuk komparasi, penulis berhasil mendapatkan data mengenai gaji yang didapatkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama . Gaji yang diperoleh Joko Widodo pada bulan Februari dan Maret tahun 2013 sebesar Rp3.448.500 dengan tunjangan sebesar Rp5.130.000 (Setelah dipotong pajak). Sedangkan gaji yang diperoleh Basuki pada bulan Februari dan Maret tahun 2013 sebesar Rp2.810.000 dengan tunjangan sebesar Rp.4.104.000.
41
Dapat kita komparasikan biaya pemilu yang besar mencapai milyaran rupiah dengan gaji pokok dan tunjangan strata tertinggi kepala daerah yaitu gubernur yang jumlahnya tidak mencapai 10 juta rupiah menimbulkan sebuah potensi besar untuk mengembalikan dana yang telah digelontorkan oleh calon kepala daerah melalui cara-cara yang melanggar hukum. Akhirnya ketika mereka benar-benar menjabat, potensi mereka memakai kewenangannya untuk memperkaya diri sangat besar. Belum lagi kesepakatan-kesepakatan kepada pihak ketiga yang membiayai kampanye memunculkan jual beli kebijakan di pemerintah daerah.
Biaya politik yang mahal tidak hanya terjadi pada saat penyelenggaraan Pilkada berlangsung, tetapi juga ketika ada sengketa pilkada yang harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Dimana para calon tersebut harus membiayai baik itu honor maupun akomodasi pengacara, saksi, dan pihak-pihak lain yang notabene banyak berasal dari daerah asal mereka yang kemungkinan jauh dari Jakarta. Belum lagi praktik politik transaksional yang terjadi dalam proses putusan sengketa pilkada tersebut.Apalagi ternyata Hakim Konstitusi sebagai pihak yang dianggap adil dalam memutuskan sengketa Pilkada bisa disuap juga.2 Masih hangat di tengah masyarakat kasus korupsi Mahkamah Konstutusi terkait sengketa Pilkada Kabupaten Lebak. Tentu saja karena tendensi ingin menjabat sekaligus ingin agar dana yang telah dikeluarkan untuk kampanye kembali, salah satu kontestan Pilkada Kabupaten Lebak yang kalah ini menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi dengan harapan hasil Pilkada Kabupaten Lebak dianulir dan dilakukan pemilihan ulang. Kasus korupsi di Mahkamah Konstitusi ini bukanlah kasus korupsi pertama yang melibatkan kepala daerah atau kaitannya dengan Pilkada. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat sebanyak 309 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus korupsi sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005 hingga Oktober 2013. Hal ini meleset dari perkiraan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri yang hanya sebesar 300 kepala daerah pada akhir tahun 2013.
2
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/10/08/mucwgv-kemdagri-309-kepala-daerah-terjeratkasus-korupsiDiakses pada tanggal 19 Oktober 2013. Pukul 20.15 WIB.
42
Maka tak heran banyak pihak yang menyuarakan perombakan dalam Pilkada agar potensi terjadinya korupsi karena mahalnya biaya politik bisa diminimalisir. Kemendagri misalnya mengusulkan pelaksanaan pilkada tidak langsung atau melalui perwakilan rakyat di DPRD untuk tingkat kabupaten dan kota. Hal ini setidaknya memiliki dua keuntungan besar yaitu meminimalkan
atau
bahkan
menghilangkan
anggaran
yang
sangat
besar
untuk
menyelenggarakan Pilkada langsung dan akhirnya para calon kepala daerah tidak perlu mengeluarkan dana untuk kampanye. Namun, jelas hal ini bukan tanpa kontroversi. Tidak adanya pemilihan langsung justru semakin menambah potensi korupsi dan transaksi politik karena secara otomatis pemilih mereka hanya sebanyak anggota DPRD. Akan sangat mudah bagi para calon kepala daerah untuk menyuap para anggota DPRD agar mau memilih mereka. Selain itu patut dipertanyakan pula sampai seberapa besar anggota DPRD mewakili aspirasi masyarakat karena sangat sedikit anggota DPRD yang turun langsung ke masyarakat untuk menggali aspirasi atau minimal lewar sosial media. Ditambah lagi sistem pemilihan anggota DPRD juga memiliki masalah yang sama dengan Pilkada sehingga semakin dipertanyakan kapabilitasnya. Apalagi ditengah isu dinasti politik dimana ekskutif (baik bupati, wali kota, hingga gubernur) dan legislatifnya dikuasai oleh satu keluarga membuat potensi untuk tidak adanya perubahan dalam kepemimpinan suatu daerah sangat besar apabila hak untuk memilih kepala daerah diberikan untuk DPRD. Tidak dapat dipungkiri, diluar biaya yang besar dan potensi untuk melakukan korupsi, Pilkada secara langsung berjasa untuk menghasilkan pemimpin yang luar biasa walaupun jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan pemimpin yang mengecewakan. Joko Widodo di Propinsi DKI Jakarta, Tri Rismaharini di Kota Surabaya, hingga Ridwan Kamil di Kota Bandung adalah segelintir pemimpin pendobrak hasil suara rakyat yang tersalurkan lewat Pilkada. Mereka membawa perubahan di daerah masing-masing dan mampu membawa aspirasi masyarakatnya. Selain itu Pilkada membuka potensi siapapun untuk menjadi pemimpin sekalipun bukan kader atau diusung partai politik atau dikenal dengan sebutan calon independen. Setidaknya hingga 2008 tercatat 4 calon independen memenangkan Pilkada3.
3
http://www.tempo.co/read/news/2008/12/25/055152574/Sudah-Empat-Calon-Independen-Menang-SiapaMenyusul Diakses pada tanggal 20 Oktober 2013. Pukul 14.00 WIB.
43
Sehingga pilihan untuk menghilangkan Pilkada secara langsung bukanlah pilihan yang baik. Pilkada secara tidak langsung tidak akan menghilangkan potensi korupsi. Maka perlu dilihat bahwa Pilkada pada dasarnya adalah sebuah konsep yang baik, karena Pilkada membuka akses untuk siapa pun yang memiliki kapabilitas untuk bisa memimpin. Hanya dalam pelaksanaannya yang buruk sehingga menimbulkan potensi untuk korupsi. Oleh karena itu perlu adanya pengetatatn regulasi agar potensi ini bisa diminimalkan. Regulasi yang paling penting dan harus segera dimasukkan dalam peraturan terkait Pilkada adalah pembatasan biaya kampanye. Karenadengan biaya kampanye yang bebas membuat potensi untuk melakukan kecurangan ketika pilkada dan korupsi ketika menjabat semakin besar. Selain itu, sekalipun akses untuk mencalonkan diri sudah terbuka lebar, tetapi karena adanya kebebasan untuk mengeluarkan dana kampanye maka secara tidak langsung menutup peluang calon yang memiliki dana minim untuk bisa memenangkan Pilkada. Pembatasan biaya kampanye adalah suatu hal yang wajar dalam demokrasi, banyak negara yang bahkan lebih dulu menerapkan demokrasi daripada Indonesia melaksanakannya. Contoh negara tersebut bisa dilihat di tabel 1.
44
Tabel 1. Pembatasan Dana Kampanye di Berbagai Negara
Sumber: Ingrid van Biezen, ―Political parties as public utilities‖, Party Politics, 2004 Pembatasan biaya kampanye diberbagai negara juga beragam metodenya misalnya saja pembatasan berdasarkan jabatan publik yang diperebutkan dalam pemilu. Misalnya, calon presiden USD 50 miliar, calon gubernur USD 25 miliar, walikota USD 10 miliar. Pembatasan nilai ini memudahkan proses audit laporan keuangan para calon. Ada juga yang menerapkanpembatasan dana kampanye dilakukan dengan cara negara (KPU) menyediakan ruang dan waktu untuk berkampanye di media massa dengan ketentuan ruang dan durasi yang sama bagi selurh partai politik peserta pemilu dan calon. Pembatasan dana kampanye juga bisa dilakukan dengan membatasi masa kampanye. Asumsinya semakian panjang masa kampanye
45
akan semakin besar kebutuhan dana kampanye. Oleh karena itu agar dana kampanye bisa ditekan sesedikit mungkin atau dibatasi, maka masa kampanye dipotong4. Selain itu, perlu adanya kewajiban yang tertuang pada peraturan yang mengikat bahwa tiap-tiap calon untuk menerapkan sistem transparan dan akuntabel karena masyarakat sebagai pemilih seharusnya berhak tahu mengenai dari berapa besar dananya, berasal dari manakah dananya, dan digunakan untuk apa saja dana kampanye tersebut. Selain melaporkan mereka juga wajib untuk diaudit oleh auditor independen karena laporan-laporan tersebut seringkali sarat dengan manipulasi. Dengan begitu masyarakat bisa menilai siapa yang bersih dan jauh dari kepentingan. Sudah sewajarnya masyarakat memilih calon yang transparan dan akuntabel, karena apabila pada masa Pilkada saja mereka selalu menutup-nutupi terutama terkait pendanaan, bagaimana nanti ketika sudah memimpin daerahnya. Pada akhirnya, hal ini menjadi kebijakan baik itu eksekutif maupun legislatif dalam menentukan bagaimana pemilihan kepala daerah yang paling baik. Hal yang terpenting adalah seluruh pemangku kepentingan atas pemilihan kepala daerah perlu merumuskan solusi untuk mencegah berlanjutnya kasus korupsi kepala daerah yang semakin menambah kasus-kasus korupsi lain yang masih belum terselesaikan. Semoga di rangkaian pemilihan kepala daerah selanjutnya sudah ada langkah konkrit untuk menyelesaikan permasalahan ini.
4
Perludem, 2013
46
DAFTAR PUSTAKA Ahok. ―Jumlah Gaji Gubernur dan Wagub Bulan Maret 2013.‖ http://ahok.org/berita/news/jumlah-gaji-gubernur-dan-wagub-bulan-maret-2013/ Berita Satu. ―Foke-Nara Paling Banyak Habiskan Dana Kampanye.‖ http://www.beritasatu.com/pilkada-dki/59010-foke-nara-paling-banyak-habiskan-danakampanye.html(20 oct. 2013). Berita Sore. ―KPU Umumkan Audit Dana Kampanye Pilkada Putaran 1.‖ http://beritasore.com/2010/06/09/kpu-umumkan-audit-dana-kampanye-pilkada-putarani/(20 oct. 2013). ICW. ―Anggaran Pilkada Masih Angka Estimasi.‖ http://www.antikorupsi.org/id/content/anggaran-pilkada-masih-angka-estimasi (20 oct. 2013). Jamil, Ahmad Islamy& Faqih, Mansyur. ―Usulan Pemerintah Soal RUU Pilkada Dianggap Jadi Langkah Awal.‖http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/07/11/mps3n4usulan-pemerintah-soal-ruu-pilkada-dianggap-jadi-langkah-awal(20 oct. 2013). Lombok News. ―Demi Biaya Pilkada NTB Biaya Infrastruktur Dipangkas.‖ http://lomboknews.com/2012/11/29/demi-biaya-pilkada-ntb-biaya-infrastrukturdipangkas/(20 oct. 2013). Muhammad, Jibril. ―Anggaran Pilgub Jabar Setara 15314 Kelas Baru.‖ http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/12/09/05/m9v50ianggaran-pilgub-jabar-setara-15314-kelas-baru (20 oct. 2013). P, Feri. ―Pilkada Garut Habiskan Anggaran Rp 33 Miliar.‖ http://www.antarajawabarat.com/lihat/berita/45543/pilkada-garut-habiskan-anggaranrp33-miliar (20 oct. 2013). Pemkab Garut. ―Penduduk dan Sex Ratio.‖ http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/sosbud_demografi_sex_ratio(20 oct. 2013). Perludem. (n.d.). Pembatasan Dana Kampanye: Gagasan Untuk RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. October 20, 2013. http://perludem.or.id/.
47