REFLEKSI TERHADAP DESAIN KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN SATU DASAWARSA TERAKHIR.1 Oleh: M. Dawam Rahardjo2
Istilah "kesejahteraan" bisa berdiri sendiri sebagai suatu pengertian. Istilah ini dimaknai sebagai kondisi taraf hidup warganegara yang dalam teori ekonomi bisa diukur, namun terdapat perbedaan pandangan mengenai ukuran itu. Tapi dalam teori ekonomi pembangunan yang konvensional, ukuran itu adalah besaran nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dan PDB yang dibagi dengan jumlah penduduk suatu negara atau pendapatan per kapita. Ukuran itu, secara de fakto, dianut oleh semua negara-negara di dunia, tetapi dipertanyakan terutama oleh negara-negara sedang berkembang. Ukuran PDB menunjukkan besarnya atau kekuatan ekonomi suatu negara dalam aspek kuantitatif. Sedangkan pendapatan per kapita menunjukan tingkat kesejahteraan warganya secara rata-rata. Namun para ahli mempertanyakan indikator pendapatan per kapita sebagai ukuran kesejahteraan, mengingat struktur distribusi pendapatannya yang bisa pincang, yaitu bisa terjadi begian yang cukup besar dari pendapatran nasional dinikmati hanya oleh sebagian kecil penduduk lapisan atas. Sementara itu bagian yang cukup besar dari masyarakat hidup dalam pendapatan yang rendah atau miskin. Karena itu yang dipakai sebagai ukuran kesejahteraan adalah struktur distribusi pendapatan masyarakat yang disebut sebagai tingkat kesejahteraan relatif, yang diukur dengan indikator Rasio Gini. Makin besar angkanya di atas 0,0 makin besar derajat kepincangan atau ketidak-adilannya. Karena itu tingkat kesejahteraan itu sering disebut juga dengan tingkat keadilan. Dalam wacana ekonomi Indonesia, kesejahteraan rakyat tidak hanya diukur dengan tingkat kemakmuran, tetapi juga tingkat keadilan, sehingga tujuan akhir proklamasi kemerdekaan adalah masyarakat yang adil dan makmur. Kondisi masyarakat seperti itu disebut juga kesajahtaraan sosial yang dilawankan dengan kesejahteraan individu. Demikian pula kesejahteraan dapat diukur dengan melihat persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, misalnya 1
Makalah disampaikan pada acara Konferensi Nasional Satu Dekade Perkumpulan Prakarsa tema”Akselerasi Transformasi Menuju Indonesia Sehat dan Sejahtera”, tanggal 07 Oktober 2014 di Hotel Crown Plaza Jakarta. 2 Adalah Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta 1
US$ 1,- atau US$ 2,- per kapita. Jika ukurannya makin besar maka persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan akan makin besar. Makin kecil tingkat kemiskinan, makin tinggi tingkat kesejahteraannya. Dan sebaliknya. Dalam Konstitusi Indonesia istilah yang dipakai untuk menggambarkan kesajehteraan sosial adalah "Adil dan Makmur". Dengan menempatkan istilah adil dimuka menunjukkan bahwa pencapaian kesejahteraan itu harus dilakukan melalui keadilan. Konsekuwensinya adalah kebijakan pembangunan sejak awal harus bertolak dari prinsip atau nilai keadilan. Hal ini nampak pada pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan" Dalam Penjelasan konstitusi yang sudah dihapus dalam UUD Amandemen 2002 itu, sistem usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan itu disebut sebagai Demokrasi Ekonomi yang maksudnya adalah "produksi oleh semua untuk semua' Istilah "oleh semua" dalam teori ekonomi konvensional disebut juga kondisi "full employment" atau tingkat partisipasi yang tinggi dalam kegiatan ekonomi khususnya lapangan kerja. Sedangkan istilah "untuk semua' dimaknai sebagai distribusi pendapatan dengan derajat kemerataan yang tinggi yang disebut juga sebagai egaliter. Dalam pasal 27 ayat 2 ditetapkan bahwa "setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan pendapatan sesuai dengan kemanusiaan" yang sebenarnya merupakan definisi kesejahteraan sosial. Sebenarnya desain kebijakan kesejahteraan pemerintahan Indonesia manapun harus mengikuti atau didasarkan pada Konstitusi. Dalam UUD 1945 yang asli, kebijakan kesejahteraan disebut sebagai Kesejahteraan Sosial yang artinya mengutamakan atau didasarkan pada desain keadilan. Desain itu dibangun menurut pasal 33 dan 34 yang merupakan komponen bab XIV yang terdiri dari 4 ayat. Setiap ayat bertujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial itu. Ayat 1 pasal 33 menjelaskan susunan perekonomian nasional sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan yang menjamin egaliterianisme. Ayat 2 menetapkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dikuasai oleh negara sehingga tidak terjadi kepincangan dalam penguasaan sumberdaya pembangunan karena penguasaan swasta. Demikian pula cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, sehingga hajat hidup rakyat banyak, yang dalam teori ekonomi disebut juga kebutuhan dasar manusia (human basic needs), seperti pangan energi, air, papan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, transportasi dan telekomunikasi bisa diproduksi dan didistribuikan secara lebih merata kepada warga negara. Masalahnya adalah apa yang disebut "dikuasai oleh negara" yang sering diperbincangkan itu. 2
Bung Hatta dalam hal ini pernah mengatakan bahwa menguasai tidak selalu berarti memiliki, melainkan juga dengan mengatur, yaitu melalui legislasi oleh wakil-wakil rakyat. Regulasi itu diwujudkan dalam berbagai UU perekonomian. Karena itu desain kesejahteraan dapat dilihat dari UU itu dan jika dipandang tidak adil atau tidak mendukung kesejahteraan sosial, maka perlu dilakukan penilaian kembali atau judicial review, apakah sesuai dengan konstitusi atau tidak. Ayat 3 mengatakan bahwa "bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Pasal ini berbicara mengenai sumberdaya agraria yang tidak hanya menyangkut pertanian, tetapi juga pertambangan, kelautan dan kehutanan' Bahkan akhir-akhir ini disadari tentang sumberdaya dirgantara, baik untuk komunikasi Nusantara maupun telekomunikasi. Dalam ayat ini dipakai istilah "kemakmuran" dan bukannya "kesejahteraan", karena ayat ini berbicara mengenai kekayaan nasional yang harus dikuasai oleh negara. Tapi negara juga harus memenuhi tuntutan keadilan karena yang dimaksudkan dengan "kemakmuran" disitu adalah kemakmuran rakyat dan bukan kemakmuran negara yang bisa saja diukur dengan PDB. . Akhir-akhir ini dipertanyakan terutama sesudah munculnya teori mengenai indikator kualitas hidup manusia (quality of life) yang tidak terbatas pada terpenuhinya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan, tetapi juga tingkat kesehatan dan pendidikan yang kesemuanya memberikan sumbangan atau pengaruh terhadap tingkat harapan hidup dan juga kebahagiaan hidup, baik material maupun spiritual. PDB dan PDB per kapita dipakai sebagai ukuran, karena cara pengukurannya sederhana, tetapi mengandung asumsi, bahwa jika tingkat pendapatan rata-rata tinggi, maka tingkat pendapatan itu mampu mengakses berbagai kualitas hidup yang diinginkan, misalnya selain mampu membiayai kebutuhan pokok material, juga mampu mengakses pelayanan kesehatan, pendidikan, kesenian dan keagamaan. Meskipun demikian, dalam wacana pembangunan internasional (international development) telah timbul dua orientasi pembangunan. Pertama, Bank Dunia condong berorientasi pada PDB yang mencerminkan pandangan bahwa pembangunan itu adalah upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan PDB dan pendapatan per kapita. Hal ini nampak dalam penetapan angka garis kemiskinan dalam nilai uang. Di lain pihak, UNDP (United Nation Development Programme) melahirkan orientasi alternatif yaitu kepada pembangunan manusia (human development). Gagasan yang dipelopori oleh dua tokoh bersahabat, Mahbub ul Haq, teknokrat Pakistan pada masa Presiden Ayub Khan, dan 3
Amatya Kumar Sen, intelektual asal India dikembangkan lebih lanjut dalam konsep Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, disingkat HDI)) yang menilai hasil pembangunan dengan ukuran kualitas hidup manusia. Orientasi HDI inilah yang lebih sesuai dengan konsep kesejahteraan Indonesia. Konsep pembangunan manusia ini sebenarnya sudah lahir sejak awal Orde Baru, yang merumuskan pembangunan sebagai "pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya' yang mula-mula dikemukakan oleh Menteri Agama dalam Kabinet Ampera, Prof. A. Mukti Ali dan diterima oleh Pemerintah Orde Baru dan menjadi konsep pembangunan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Dalam realitas, pembangunan tetap berorientasi kepada PDB yang ditandai oleh pola investasi yang sensitif atau bias terhadap pencapaian pertumbuhan PDB. Namun pada tahun 1978 melalui program Delapan Jalur Pemerataan yang mengandung dua ciri, pertama pemberantasan kemskinan dan kedua partisipasi berbagai kelompok masyarakat, khususnya perempuan dan pemuda dalam kegiatan pembangunan yang diikuti dengan program pemberdayaan masyarakat daerah tertinggal di kawasan perdesaan, orientasi pembangunan mulai bergeser ke arah pencapaian kesejahteraan yang berdampak menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi pada awal dasawarsa 1990-an. Tapi kecenderungan ini menimbulkan arus balik yang kembali pada orientasi PDB dalam dasawarsa itu. Orientasi itu ternyata tetap bertahan di masa Reformasi. Dalam satu dasawarsa terakhir, Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu I dan II dicitrakan sebagai berhasil berdasarkan indikator tingkat pertumbuhan PDB di atas 6% per tahun dalam jangka panjang. Dalam kaitan ini Pemerintah dengan bangga mengumumkan bahwa lembaga pemerintah Golmen Sach telah memasukkan Indonesia ke dalam kelompok MIST yang terdiri dari Mexico, Indonesia, South Africa dan Turkey sebagai kelompok negara yang menjadi tujuan investasi atau globalisasi investasi. Indonesia menjadi tujuan investasi, karena dianggap berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan PDB yang tinggi. Di lain pihak. Perekonomian Indonesia dnilai rendah daya saingnya, karena biaya ekonomi tinggi. Biaya ekonomi tinggi ini sebenarnya menyimpan tingkat kesejahteraan yang rendah. Sementara itu dalam pemeringkatan kesejahteraan menurut ukuran HDI, Indonesia berada pada peringkat ke 108 yang menunjukkan tingkat kesejahteraan yang rendah. Dalam kebijakan ekonomi, Indonesia menerima 10 prinsip pembangunan dalam desain Bank Dunia yang disebut Washington Consensus 1998 yang bersumber pada Bank Dunia. Konsensus Washington 4
itu dikenal sebagai Neo-liberalisme. Pangaruh Neo-liberalisme ini nampak dalam amandemen UUD 1945 tahun 2002 di masa Pemerintahan Megawati Sukarno Putri yang juga melakukan kebijakan privatisasi yang dilaksanakan langsung oleh Kementerian BUMN yang antara lain membuat PT. Indosat. Bank Sentral Asia, Bank Niaga dan hampir saja Bank BNI jatuh ke tangan asing itu. Ketika mengikuti Konsensus Washington 1998 Indonesia tidak bisa mengelak dari tuduhan mengikuti Neoliberalisme. Tapi dalam amandemen tahun 2002 liberalisasi konstitusi yang menghapuskan istilah "Kesejahteraan Sosial"sebagai judul Bab ke XIV dan Demokrasi Ekonomi dalam Penjelasan pasal 33 itu dibela sebagai mengikuti ideologi Negara Kesejahteraan (Welfare State) model Eropa Barat itu. Dalam sejarah konstitusi Indonesia, istilah "kesejahteraan" muncul dalam dua istilah, yaitu "kesejahteraan umum" dalam Mukaddimah UUD 1945 dan "kesejahetaraa sosial" sebagai judul bab XIV dalam batang tubuh UUD 1945. Tetapi dalam wacana pembangunan yang mengemuka adalah istilah "kesejahteraan sosial". Istilah ini mula-mula dikemukakan dalam Pidato Bung Karno yang bersejarah pada tanggal 1 Juni,1945 dalam sidang Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPU-PKI). Istilah itu merupakan sila keempat Pancasila. Dalam komentarnya, Bung Hatta menyetujui gagasan Bung Karno mengenai Pancasila itu, tetapi mengganti istilah kesejahteraan sosial dengan keadilan sosial. Tapi dalam penjelasannya yang dimaksud dengan keadilan sosial sama dengan yang dimaksud oleh Bung Karno dalam istilah kesejahteraan sosial. Melalui penggodokan dalam Panitia 9 yang melahirkan konsepsi Piagam Jakarta, rumusan Pancasila Bung Karno mengalami perubahan, Intinya adalah menempatkan sila Ketuhanan yang ditambah dengan predikat Yang Maha Esa, atas usul tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo sebagai sila pertama menggantikan sila kebangsaan atau nasionalisme yang diganti dengan istilah "persatuan Indonesia" dan menempatkan sila "Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesa" menjadi sila kelima. Dalam tafsir Nurcholish Madjid, sila pertama merupakan dasar moral sedangkan sila terakhir adalah tujuan dalam bernegara. Dari situ dapat ditarik kesimpulan lebih lanjut bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi Sosialis Religius yang mencita-citakan terwujudnya Keadilan Sosial itu. Dalam Mukaddimah UUD 1945, lima sila yang diluar naskah konstitusi disebut Pancasila itu, sebenarnya adalah dasar-dasar nilai yang menjadi pedoman pemerintahan demokrasi yang disebut dengan istilah kedaulatan rakyat itu. Dalam batang tubuh UUD 1945, istilah Kesejahteraan Sosial menjadi 5
judul Bab XIV yang terdiri dari dua pasal, yaitu 33 dan 34 yang ditafsirkan sebagai rumusan sistem ekonomi Indonesia yang disebut sebagai Demokrasi Ekonomi atau Doktrin Kesejahteraan Indonesia dalam sebutan Sri-Edi Swasono. Dalam Mukaddimah sendiri muncul istilah baru yaitu "Kesejahteraan Umum" yang merupakan istilah lain dari istilah "kesejahteraan publik" (public welfare) yang menjadi misi negara republik itu. Kesejahteraan umum merupakan lawan dari "kesejahteraan induividu" yang menjadi tujuan dari sistem individualisme ekonomi (economic individualism) istilah yang dipergunakan oleh Robert Hessen menggantikan istilah kapitalisme yang dinilainya sebagai sebutan yang salah kaprah (misnomer). Hal itu menimbulkan pertanyaan mengenai perbedaan makna antara istilah kesejahteraan umum yang tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945 dengan istilah Kesejahteraan Sosial dalam judul bab XiV. Dalam Mukadimah, kesejahteran umum nampak sebagai salah satu dari 4 misi negara, disamping "melindungi segenap tumpah darah", "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan "turut serta dalam menegakkan perdamaian dunia yang abadi". Di antara 4 misi itu, nampak bahwa misi "mencerdaskan kehidupan bangsa" tergolong ke dalam atau merupakan komponen dari misi "menciptakan kesejahteraan umum". Dalam diskursus filsafat sosial, pengertian "kesejahteraan umum' mengacu kepada pengertian utilitarianisme yang mengatakan bahwa kebenaran itu adalah "memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyak manusia" (the greatest hapiines for the greatest number of people). Kesejahteraan umum juga berkaitan dengan sistem Demokrasi Ekonomi yang menyatakan bahwa "kepentingan umum harus didahulukan dengan kepentingan individu". Sedangkan keadilan sosial mengacu kepada teori keadilan. Sistem ekonomi kapitalis diasosiasikan dengan pengertian pertama, sedangkan Sosialisme mengacu kepada yang kedua. Dalam kebijakan publik Pemerintah sejak Orde Baru, dibedakan antara kebijakan dan program perekonomian yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi secara umum dengan kebijakan dan program kesejahteraan sosial. Misi pertama diemban oleh departemen-departemen atau kementerian-kementerian industri, perdagangan, pertanian, pekerjaan umum dan yang bertugas mencapai pertumbuhan ekonomi lainnya. Sedangkan fungsi kesejahteraan sosial diemban terutama oleh departemen-departemen dan kementarian-kementerian kesehatan, pendidikan, sosial dan agama. Sementara itu dalam UU Kesejahteraan Sosial hanya menjelaskan tugas Departemen Sosial yaitu yang menjelaskan cakupan misi Departemen Sosial, seolah-olah tugas 6
menciptakan kesejahteraan sosial itu dibatasi hanya dalam ruang lingkup Kementerian Sosial saja. Sementara itu, Kementarian Sosial sering diasosiasikan sebagai kementarian yang memberikan bantuan sosial kepada warga negara. Dengan demikian maka, pengertian tentang Kesejahteraan Sosial itu mengandung multitafsir yang berpotensi menimbulkan distorsi dan inkonsistensi dalam kebijakan dan program pembangunan. Tapi pada pokoknya dalam tataran ideologis mengerucut ke dalam dua aliran pemikiran saja. Pertama kesejahteraan sosial dimaknai sebagai tujuan pembangunan. Sebagai tujuan pembangunan, kesejahteraan sosial mencakup tidak saja terpenuhinya kebutuhan pokok tetapi mencakup keseluruhan dari aspek-aspek kualitas hidup manusia (quality of life). Sebagaimana dijelaskan oleh Sri-Edi Swasono dalam konsepsinya mengenai Doktrin Kesejahteraan Sosial Indonesia' tujuan itu dicapai melalui 4 ayat yang terkandung dalam pasal 33 dan 34 yang mencerminkian desain Kesejahteraan Sosial Indonesia. Aliran kedua, membedakan aspek pertumbuhan ekonomi dalam ukuran PDB dan PDB per kapita di satu pihak dan "kesejahteraan sosial" dalam arti yang terbatas, bahkan sempit. Konsepsi kesejahteraan sosial dalam makna kedua itu identik dengan pengertian kesejahteraan dalam konsep Negara Kesejahteraan Eropa Barat yang merupakan komplemen dari Kapitalisme. Doktrin Kesejahteraan Sososialisme radikal atau Komunisme. Tandanya adalah bahwa kebijakan yang intinya adalah memberikan asuransi sodsial kepada kaum buruh itu, disertai dengan pengeluaran UU Anti Sosialis (Anti-Socialist Act) tahun 1879 yang mengunduh dukungan dari kaum majikan Tentu saja UU itu ditolak oleh gerakan buruh sosialis dan akhirnya dihapus. Tetapi modus kebijakan kesejahteraan yang komplementer atau menutup kelemahan sistem Kapitalisme itu terus berlanjut dan berkembang menjadi ideologi Negara Kesejahteraan. Dengan demikian, maka kebijakan dan program kesejahteraan dalam konsepsi Negara Kesejahteraan adalah bagian yang tak terpisahkan dan bersumber dari Kapitalisme. Indonesia, sejak Orde Baru sebanarnya sudah mengikuti disain kebijakan kesejahteraan dalam rangka Negara Kesejahteraan itu. Desain itu masih dipakai hingga satu dasawarsa terakhir yang nampak dalam struktur pemerintahan yang dalam bidang ekonomi dibagi menjadi dua kementerian koordinator, yaitu koordinator Perekonomian yang berorientasi pada pencapaian pertumbuhan PDB di satu pihak dan Koordinator Kesejahetaraan Sosial (Kesra) di lain pihak. Yang kedua merupakan komplemen yang pertama yang berfungsi meredam kemungkinan gejolak sosial. 7
Sementara itu konsep pembangunan manusia mencakup dua sektor itu dan bahkan tidak mengenai dual sector itu, tetapi mencakup keseluruhan human development index (HDI) yang sejalan dengan Doktrin Kesejahteraan Sosial sebagaimana ditulis oleh Sri-Edi Swasono. Selama satu dasawarsa terakhir ini Indonedia mengikuti desain kesejahteraan Neo Liberal. Neo-libneralisme sebenarnya merupakan koreksi terhadap Kapitalisme atau Liberalisme Ekonomi atau Individualisme Ekonomi dalam pengertian Hessen. Inti Neo-liberalisme adalah meneguhkan privatisme ekonomi atau fundamentalisme pasar di satu pihak, tetapi disertai dengan adopsi terhadap kebijakan dalam disain Negara Kesejahteraan. Dalam Neo-liberalisme itu negara yang dicegah memasuki pasar itu ditugasi untuk mengeluarkan belanja sosial, namun dengan menghapuskan subsidi terhadap dunia usaha yang dianggap sebagai intervensi dan menimbulkan distorsi terhadap pasar. Strategi di atas menimbulkan kesulitan dan dilema yang dihadapi oleh Pemerintah. Contohnya adalah kasus subsidi BBM. Menurut Konsensus Washington, subsidi BBM harus dihapuskan, karena dianggap mendistorsi pasar. Tapi jika subsidi BBM dicabut, maka daya saing perekonomian Indonesia akan merosot dan selain itu meningkatkan persentase masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam kasus itu harga BBM harus mengikuti harga BBM di tingkat internasional yang terus meningkat itu. Sementara itu harga BBM yang sangat tinggi itu adalah harga yang terjadi karena besarnya permintaan energi di negara-negara industri maju. Seluruh peradaban Kapitalis bisa runtuh jika tidak memiliki dan tidak bisa mempergunakan energi yang sudah merupakan kebutuhan pokok negara modern di dunia itu. Tapi rakyat di negara-negara industri masih mampu membayar harga energi, karena harga itu masih bisa dibebankan pada biaya produksi seluruh produk global negara-negara industri maju, tapi rakyat dan pemerintah negara-negara sedang berkembang tidak mampu membayar. Sehingga karena itu konsumsi energi masyarakat negara-negara industri harus dibayar dan menjadi beban masyarakat dan pemerintah negara-negara sedang berkembang. Indonesia sendiri menghadapi dilema, apakah rakyat yang harus menanggung, ataukah pemerintah ? Dengan menaikkan harga BBM, maka rakyatlah yang harus menanggung. Tapi yang dirugikan sebenarnya bukan hanya rakyat, tetapi juga perekonomian yang menanggung beban biaya ekonomi tinggi. Hanya saja Pemerintah memberikan koinpensasi berupa bantuan langsung tunai (BLT) dan jika akan diputuskan kenaikkan harga BBM, maka Pemerintah menjanjikan program sosial. Kebijakan itu merupakan modus yang mengikuti Konsensus Washington atau Neo-liberalisme yang disalah 8
mengertikan sebagai disain kebijakan kesejahteraan sosial Indonesia itu. Kesemuanya itu terjadi karena distorsi dalam pemahaman Doktrin Kesejahteraan Sosial Indonesia dan khususnya dalam sepuluh tahun terakhir, sebagai akibat dari penghapusan istilah Kesejahteraan Sosial pada bab XIV UUD 1945 yang telah dihapus dalam UUD Amandemen 2002. Jika tetap mengacu kepada Doktrin Kesejahteraan Sosial, maka yang dilakukan oleh Pemerintah seharusnya adalah dengan konsisten membendung inflasi dengan meningkatkan arus barang, terutama kebutuhan pokok dan yang paling strategis merupakan sumber inflasi adalah pangan dan energi. Dengan kebijakan itu, maka Pemerintah berarti menjaga dan bahkan meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia dengan menurunkan biaya ekonomi tinggi. Tapi yang dipilih oleh Pemerintah adalah membiarkan biaya ekonomi tinggi tetap berlangsung dengan menaikkan harga BBM guna mengikuti harga yang ditetapkan oleh negara-negara industri maju konsumen energi terbesar. Dan jika timbul kantong-kantong kemiskinan baru sebagaimana disebut oleh Joseph Stiglitz, maka Pemerintah menurunkan program kesejahteraan versi Neo-Liberalisme yang menggantikan subsidi sosial dengan bantuan sosial yang mereduksi konsepsi kesejahteraan versi Doktrin Kesejahteraan Sosial Indonesia. Jika mengikuti Doktrin Kesejahteraan Sosial Indonesia menurut UUD 1945, maka kebijakan kesejahteraan yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menegakkan kedaulatan pangan dan energi terlebih dahulu dengan melepaskan Indonesia dari ketergantungan modal, teknologi dan pasar. Dewasa ini Pemerintah masih mempertahankan ketergantungan itu karena tidak mampu melapaskan diri dari cengkeraman rezim impor pangan dan energi yang hanya menguntungkan kelompok borjuasi nasional dan internasional. Namun perjuangan ke arah kedaulatan pangan dan energi masih bisa dilakukan, terutama melalui inovasi. Sebenarnya dihadapan rezim Konsensus Washington, Pemerintah harus berani melakukan strategi berjuang dari pinggiran atau dari daerah dengan mencapai swasembada pangan dan energi setahap demi setahap. Di bidang energi misalnya, Pemerintah harus melakukan belanja sosial untuk memproduksi energi alternatif dari bio-massa umpamanya yang tersedia secara melimpah di Indonesia. Ini dilakukan misalnya dengan memproduksi briket arang pengganti minyak tanah dan Elpiji, dan bio-diesel dari minyak jarak untuk transportasi yang tidak mengandung konflik dengan produksi pangan itu dan kemudian bio enerji untuk industri dan charcoal pengganti batubara untuk energi listrik, walaupun suplai listrik ini secara lokal bisa dimulai dengan program pembangunan mikro-hidro dan enerji solar dan energi angin di 9
daerah pantai dan pulau-pulau kecil. Program kedaulatan pangan dan energi ini, adalah bagian yang integral dari kebijakan kesejahteraan. Masalahnya adalah bahwa Indonedia kini telah kehilangan kedaulatan politiknya. Sementara itu kedaulatan politik hanya bisa ditegakkan dengan melapaskan diri dari ketergantungan ekonomi. Tapi puncak dari masalah itu adalah karena bangsa Indonesia hampir telah kehilangan kepribadiannya di bidang kebudayaan yang terkandung pada nilai Pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, kemandirian ekonomi atau berdiri di atas kaki sendiri itu selama ini dipahami sebagai masalah kebijakan Pemerintah Pusat, karena harga BBM misalnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Sementara itu pangan dan energi itu bisa dan pada dasarnya dapat diproduksi secara lokal atau bisa merupakan kebijakan yang diputuskan oleh Pemerintah Daerah. Karena itu maka kebijakan dan program kemandirian pangan dan energi yang merupakan prioritas atau urgendi dalam pencapaian kesejahteraan umum dan kesejahteraan sosial, dapat dijalankan melalui strategi pembangunan daerah yang didisain bersama-sama dengan DPRD dan didukung dengan gerakan moral dan sosial. Jakarta, 27 September, 2014.
10