Penulis Mulia Astuti dkk.
KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Studi Kasus Evaluasi Program Kesejahteran Sosial Anak di Provinsi DKI Jakarta, DI. Yogyakarta, dan Provinsi Aceh
Editor Drs. Edi Suharto, Ph.D.
P3KS Press (Anggota IKAPI) Tahun 2013
PERPUSTAKAAN NASIONAL: KATALOG DALAM TERBITAN (KDT) Mulia Astuti, dkk Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Studi Kasus: Evaluasi Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) di Provinsi DKI Jakarta, DI. Yogyakarta dan Provinsi Aceh; Jakarta 2013. P3KS Press. vii + 111 hlm. 14.8cm x 21cm. Editor: Drs. Edi Suharto, Ph.D. Penulis: 1. Dra. Mulia Astuti, M.Si. 2. Ir. Ruaida Murni 3. Drs. Ahmad Suhendi, M.Si. Design Cover : Kreasi Tata letak: Kreasi Foto Cover: Peneliti Cetakan Pertama: Desember 2013 ISBN: 978-979-698-365-0 Penerbit : P3KS Press Alamat Penerbit : Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta - Timur Telp. (021) 8017126
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana di maksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENGANTAR PENERBIT
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan nikmat-Nya, buku hasil Studi Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (Studi Kasus Evaluasi Program Kesejahteraan Sosial Anak) dapat diselesaikan. Dalam buku ini memuat informasi menarik tentang Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, khususnya terkait implementasi Program Kesejahteraan Sosial Anak. Oleh karena itu buku hasil studi ini layak untuk diterbitkan. Buku hasil studi ini dapat memberikan manfaat bagi unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Sosial Republik Indonesia, pemerintah daerah setempat dalam upaya pengembangan kebijakan kesejahteraan dan perlindungan anak, serta pembaca pada umumnya yang berkecimpung dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak. Pada siklus perumusan kebijakan sosial, studi ini sesungguhnya dapat menjadi keharusan dalam upaya mengetahui sejauhmana kebijakan sosial yang dibuat telah menjawab kebutuhan dan permasalahan anak yang dihadapi masyrakat. Kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan studi ini, diucapkan terima kasih. Diharapkan buku hasil studi ini layak untuk dibaca
Jakarta, November 2013
Penerbit
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
iii
PENGANTAR EDITOR Puji syukur patut kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmatNya, penulisan buku ini dapat selesai pada waktunya. Buku ini, sesuai dengan judulnya, berisi tentang Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Permasalahan anak menjadi perhatian besar sejak lama. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2006), jumlah anak Indonesia usia di bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 jiwa, dan mengalami peningkatan menjadi 85.146.600 jiwa pada tahun 2008. Sementara itu, Kementerian Sosial melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), sejak tahun 2005 sampai 2013, rata-rata baru bisa menangani 3,7% atau sekitar 170.000 anak/tahun. Pada tahun 2013, penerima manfaat Program Kesejahteraan Sosial Anak sebesar 175.611 anak. Program ini bertujuan mewujudkan pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak dari keterlantaran, kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat terwujud. Program Kesejahteraan Sosial Anak merupakan bagian dari sistem Kesejahteraan Sosial secara luas. Kesejahteraan sosial sendiri adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya (menurut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial). Dalam konsep kesejahteraan sosial, harus terdapat aspek pencegahan (primer), penanganan resiko (sekunder), maupun penanganan korban (tersier). Program Kesejahteraan Sosial Anak juga mencakup aspek perlindungan anak. Disini, titik berat ada pada penanganan masalah yang dialami anak. Konsep ini masuk dalam pelayanan tersier. Dalam PKSA, terdapat 5 cluster pelayanan anak. Cluster tersebut adalah, Anak Balita Terlantar, Anak Terlantar yang tercakup di dalamnya Anak Jalanan,
iv
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Anak Berhadapan dengan Hukum, Anak dengan Kedisabilitasan, dan Anak Memerlukan Perlindungan Khusus. Buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak ini berisikan isu-isu anak, keluarga, dan masyarakat dalam lingkup kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan anak, Lalu, bagaimana respon Kementerian Sosial dan Kementerian/Lembaga lain terhadap isu-isu tersebut. Dan, apakah Program Kesejahteraan Sosial Anak sudah berjalan efektif. Buku ini juga berupaya menyajikan alternatif kebijakan dan rekomendasi kebijakan prioritas dalam kebijakan kesejahteraan dan perlindungan anak. Kami berharap, buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak ini bermanfaat bagi Kementerian Sosial dalam menjalankan Program Kesejahteraan Sosial Anak. Lebih luas lagi, semoga buku ini berguna bagi masyarakat umum. Terutama, Kementerian/Lembaga lain, Dinas Sosial, dan semua pihak yang bergerak dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak. Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti, dan semua pihak yang telah membantu. Dengan dukungan berbagai pihak, buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak ini dapat tersusun.
EDITOR
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
v
DAFTAR ISI PENGANTAR PENERBIT .................................................................. iii PENGANTAR EDITOR ....................................................................... iv DAFTAR ISI ........................................................................................... vi BAB I : PENDAHULUAN ................................................................. 1 BAB II : KESEJAHTERAN, PENGASUHAN, DAN PERLINDUNGAN ANAK ........................................ 13 A. Kesejahteraan Anak .......................................................... 13 B. Pengasuhan Anak ............................................................. 14 C. Perlindungan Anak .......................................................... 16 D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak ............................. 24 BAB III : MASALAH DAN KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN, PENGASUHAN DAN PERLINDUNGAN ANAK ........... 27 A. Masalah Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak ........................................................... 27 B. Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak .......................................................... 52 BAB IV : EFEKTIVITAS PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK .................................. 75 A. Dampak PKSA terhadap Penguatan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial Anak .............................................. 76 B. Dampak PKSA terhadap Penguatan Tanggung Jawab Orangtua/ Keluarga dalam Pengasuhan dan Perlindungan Anak ................................................ 84 C. Dampak PKSA terhadap Kesejahteraan Anak ........... 87 BAB V : ALTERNATIF KEBIJAKAN ............................................. 93 A. Alternatif Kebijakan ...................................................... 93 B. Analisis dan Evaluasi Alternatif Kebijakan ................. 94
vi
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
BAB VI : REKOMENDASI KEBIJAKAN PRIORITAS .................. 97 A. Tujuan Kebijakan ........................................................... 97 B. Sasaran ............................................................................ 97 C. Strategi ............................................................................ 97 D. Komponen Program ...................................................... 98 E. Kelembagaan .................................................................. 98 F. Indikator Kebijakan ....................................................... 100 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 101 INDEK ................................................................................................. 106 SEKILAS PENULIS ............................................................................ 109
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
vii
BAB I PENDAHULUAN
Kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia telah diatur oleh berbagai kebijakan dan program, antara lain mulai dari Undang Undang Dasar 1945, dimana anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak telah mengatur tentang hak anak yaitu “anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar”, dan tanggung jawab orangtua yaitu bahwa “orangtua bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak”. Pada tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keppres 36/1990 pada tanggal 25 Agustus 1990 dimana substansi inti dari KHA adalah adanya hak asasi yang dimiliki anak dan ada tanggung jawab Negara-Pemerintah-Masyarakat-dan Orangtua untuk kepentingan terbaik bagi anak agar meningkatnya efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak secara optimal. Kemudian KHA dikuatkan dengan terbitnya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang Hak dan Kewajiban Anak, serta kewajiban dan tanggug jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua. Di samping itu juga diatur tentang kuasa asuh, perwalian, pengasuhan dan pengangkatan anak, serta penyelenggaraan perlindungan. Permasalahan anak telah direspon oleh berbagai Kementerian/ Lembaga terkait, antara lain Kementerian Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kesehatan, Pendidikan, Agama, Dalam Negeri, Tenaga Kerja, Hukum dan HAM, Kepolisian, Pengadilan Negeri, Lembaga donor dan lembaga kesejahteraan sosial
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
1
di tingkat nasional maupun wilayah. Di lingkup Kementerian Sosial (selanjutnya disebut Kemensos) untuk mempercepat penanganan masalah sosial anak, pada tahun 2009 Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak mulai mengembangkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) melalui kegiatan uji coba penanganan anak jalanan di lima wilayah yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta. PKSA dikuatkan melalui kebijakan pemerintah yaitu keluarnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional, dimana diperlukan penyempurnaan program bantuan sosial berbasis keluarga khususnya bidang kesejahteraan sosial anak balita terlantar, anak terlantar, anak jalanan, anak dengan disabilitas, anak yang berhadapan dengan hukum, dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Selanjutnya PKSA dikuatkan lagi dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, yang menetapkan PKSA sebagai program prioritas nasional yang meliputi PKSA Balita, PKSA Terlantar, PKS-Anak Jalanan, PKS-Anak yang Berhadapan dengan Hukum, PKS-Anak Dengan Kecacatan, dan PKS-Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus. Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden, telah ditetapkan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 15A/HUK/2010 Tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), dan untuk operasionalisasi PKSA telah diterbitkan Pedoman Operasional Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) melalui Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Nomor: 29/RS-KSA/2011 Tentang Pedoman Operasional PKSA. Mulai tahun 2010, layanan PKSA telah diperluas jangkauan target sasaran maupun wilayahnya. PKSA dikembangkan dengan perspektif jangka panjang sekaligus untuk menegaskan komitmen Kementerian Sosial untuk merespon tantangan dan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial anak yang berbasis hak. Perwujudan dari kesungguhan Kementerian Sosial
2
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
mendorong perubahan paradigma dalam pengasuhan, peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan tanggung jawab orangtua/ keluarga, dan perlindungan anak yang bertumpu pada keluarga dan masyarakat, serta mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar anak yang dapat merespon keberagaman kebutuhan melalui tabungan. PKSA merupakan respon sistemik dalam perlindungan anak, termasuk memberikan penekanan pada upaya pencegahan melalui lima komponen program yaitu: 1) pemenuhan kebutuhan dasar, 2) aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, 3) pengembangan potensi dan kreativitas anak, 4) penguatan tanggung jawab orangtua, dan 5) penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak. Secara konseptual PKSA lebih komprehensif dan berkelanjutan dibandingkan program pelayanan sosial anak pada tahun-tahun sebelumnya karena sudah berdasarkan pendekatan kepada anak, orangtua atau keluarga (family base care), dan kepada masyarakat yaitu lembaga kesejahteraan sosial yang khusus menangani anak (LKSA). Sebelumnya, pengasuhan anak dan masalah-masalah perlindungan anak hanya difokuskan pada anak. Keluarga dan masyarakat belum banyak disentuh. Misalnya penanganan anak terlantar, anak jalanan, anak berhadapan dengan hukum lebih banyak diserahkan ke lembaga atau panti sosial dimana di dalam penanganannya orangtua atau keluarga pengganti kurang dilibatkan. Anak lebih banyak dicabut dari lingkungan keluarga. Isu ini dipertegas dengan banyaknya jumlah panti asuhan. Hasil penelitian Save the Children, Depsos RI dan Unicef, 2007, “memperkirakan terdapat 5.250 hingga 8.610 panti asuhan seluruh Indonesia atau terdapat 225.750 hingga 315.000 anak jika jumlah panti sebanyak 5.250 dan 370.230 hingga 516.600 anak jika jumlah panti 8.610”. Walaupun orangtua mereka masih lengkap, karena faktor kemiskinan dan agar anak dapat terpenuhi kebutuhan dasar
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
3
serta memperoleh layanan sosial dasar (pendidikan dan kesehatan) mereka memasukkan anaknya ke panti asuhan. Tiga tahun terakhir ini (2010, 2011, dan 2012), jumlah anak yang telah dilayani melalui panti, luar panti, jumlah tenaga, dan jumlah lembaga yang telah diintervensi melalui PKSA adalah sebagai berikut: Tabel 1. Jumlah anak melalui Panti dan Luar Panti, SDM dan Lembaga yang telah di Intervensi melalui PKSA No.
Jenis Pelayanan
1.
Pelayanan dalam panti
2.
Pelayanan luar panti
3.
Sumber daya manusia (Pekerja Sosial)
4
Lembaga kesejahteraan sosial
2010
2011
2012
2.575
2.470
2.460
138.641
158.015
170.461
350
855
1.111
5.833
5.833
6.728
Sumber: Direktorat Kesejahteraan Anak, 2013.
Dari hasil evaluasi Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak dalam implementasi PKSA masih terdapat kendala antara lain: 1) PKSA belum memiliki data prevalensi yang baik tentang masalah perlindungan anak dan kebijakan perlindungan anak yang komprehensif, 2) Ada beberapa kasus pemanfaatan bantuan yang digunakan tidak mendorong perubahan perilaku seperti digunakan untuk modal usaha, memenuhi kebutuhan keluarga, membayar sewa rumah dan utang serta membeli hewan peliharaan, 3) Belum adanya rumusan indikator tentang orangtua/keluarga yang dapat merawat dan melindungi anak-anak dengan kecacatan, dan 4) Terbatasnya lembaga pelayanan sosial masyarakat, sarana dan prasarananya dalam menangani masalah sosial anak dengan kecacatan. Pada tahun 2011 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia, dan Bank Dunia telah melakukan kajian yang berfokus pada PKSA yaitu menganalisis proses pelaksanaan program serta kontribusinya terhadap pengembangan pendekatan
4
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
perlindungan. Hasil kajian tersebut menunjukkan antara lain: “PKSA memberikan manfaat yang sangat berharga kepada mereka yang membutuhkan, meskipun pelaksanaan program tersebut masih memiliki banyak kekurangan”. Dari hasil penelitian ini juga terungkap bahwa pelaksana PKSA belum memiliki data dasar untuk mengukur keberhasilannya sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan yaitu: 1) Jumlah anak terlantar (termasuk anak balita), anak jalanan, anakanak berhadapan dengan hukum, anak-anak penyandang cacat, dan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang mampu mengakses layanan dasar meningkat. 2) Persentase orangtua atau keluarga yang bertanggung jawab dalam perawatan dan perlindungan anak meningkat. 3) Jumlah anak yang mengalami masalah sosial menurun. 4) Jumlah lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan jasa perlindungan bagi anak-anak meningkat. 5) Jumlah pelayanan yang diberikan LKSA (Lembaga Pelaksana PKSA) meningkat. 6) Jumlah pekerja sosial, tenaga kesejahteraan sosial dan relawan sosial di bidang kesejahteraan sosial meningkat. 7) Jumlah kerangka hukum yang mengatur perawatan dan perlindungan anak sebagai dasar hukum PKSA bertambah. Hasil penelitian ini mengharapkan KEMENSOS dan BAPPENAS harus bekerja dengan lebih terstruktur untuk mempromosikan integrasi perlindungan anak dalam kebijakan Negara di bidang sosial ekonomi. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian dan bukti yang dapat membantu pengembangan sistem kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan anak. Sehubungan dengan masih adanya permasalahan dalam implementasi kebijakan kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan anak khususnya dalam pelaksanaan PKSA, maka Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial memandang perlu melakukan penelitian kebijakan ini. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan bukti terbaik dalam mendukung pengembangan kebijakan, memperjuangkan penyusunan peraturan yang memadai, berpusat pada anak, keluarga, dan masyarakat serta non diskriminatif.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
5
Walaupun sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak mulai dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden sampai dengan Keputusan Menteri, namun dalam implementasinya belum didukung oleh sumber daya manusia (SDM), anggaran, sarana dan prasarana serta sistem yang memadai, sehingga masih banyak bermunculan permasalahan pemenuhan hak-hak dan perlindungan anak. Pada 2011 jumlah Anak Balita Terlantar 1.224.168 jiwa atau sekitar 5,77 persen dari 21,22 juta jiwa anak Balita, Anak Terlantar 3.115.777 jiwa atau 5,36 persen dari 58,17 juta jiwa anak usia 5-17 tahun (Kementerian Sosial RI Dalam Angka 2012), dan anak dengan disabilitas pada tahun 2009 berjumlah 438,39 ribu jiwa atau 0,55 persen dari jumlah seluruh anak (Profil PMKS, 2011). Disamping permasalahan konvensional tersebut, saat ini banyak muncul permasalahan kontemporer seperti anak dengan narkoba atau HIV/AIDS yang belum terakomodir dalam substasi peraturan perundang-undangan. Jumlahnyapun belum terdata secara regular oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tetapi tergantung dari pelaporan keluarga ataupun masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan permasalahan pokok dalam penelitian adalah: 1. Apa saja masalah/isu-isu anak, keluarga, dan masyarakat dalam lingkup kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak? 2. Bagaimana respon Kemensos dan K/L lain terhadap masalah/ isu-isu tersebut? 3. Bagaimana efektivitas Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)? Tujuan penelitian yang diharapkan dapat tercapai adalah: 1. Mengetahui masalah/isu-isu anak, keluarga dan masyarakat dalam lingkup kesejahteraan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak. 2. Mengetahui respon Kementerian Sosial RI dan K/L lain terhadap masalah/isu-isu tersebut dalam bentuk kebijakan.
6
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
3. Mengetahui efektivitas Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). 4. Menyusun rekomendasi pengembangan kebijakan kesejahteraan anak yang memadai, yaitu berpusat pada anak dan keluarga, serta masyarakat. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan dan program yang terkait dengan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak, serta sebagai wacana pengembangan keilmuan, terkait dengan perlindungan Anak. Untuk menyamakan persepsi tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dirumuskan definisi operasional sebagai berikut: 1. Kebijakan adalah suatu ketetapan pemerintah, memuat prinsipprinsip yang mengarahkan cara-cara bertindak untuk mencapai tujuan tertentu. 2. Kebijakan Sosial adalah suatu ketetapan pemerintah yang memberi arah atau petunjuk cara-cara bertindak yang diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan peningkatan kualitas hidup. 3. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 4. Kesejahteraan Sosial Anak adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial anak agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. 5. Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar anak, yang meliputi bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, aksesibilitas
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
7
pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak, penguatan orangtua/keluarga dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak. 6. Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan Program Kesejahteraan Sosial Anak, yang dibentuk oleh masyarakat atau difasilitasi pemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 7. Pendamping PKSA adalah Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial Anak, atau Relawan Sosial yang memenuhi syarat kompetensi untuk melakukan pendampingan, yang direkrut oleh dan bekerja untuk LKSA, yang fungsinya adalah melaksanakan tugas-tugas pelayanan kesejahteraan sosial dan perlindungan khusus kepada anak dan keluarga yang menjadi penerima manfaat PKSA, serta lingkungan komunitas/ masyarakat. 8. Pengasuhan Anak. Dalam kerangka hak anak, keluarga adalah tempat pengasuhan yang utama. Selain itu dalam kerangka hak anak, pengasuhan bukan karena anak adalah properti/milik orangtua, tetapi lebih karena duty (kewajiban). Dalam kerangka hak anak, pengasuhan tidak hanya ada di tangan orangtua yang melahirkannya, tetapi bisa dilakukan oleh “orangtua” yang lain yang bisa menjamin anak akan tumbuh dan berkembang dengan layak. 9. Pelayanan Pengasuhan adalah berbagai jenis pelayanan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan anak akan pengasuhan, baik dalam keluarganya maupun keluarga pengganti. 10. Pengasuhan Alternatif adalah pengasuhan yang diberikan oleh pihak selain keluarga inti kepada anak, akibat ketidakmampuan keluarga inti dalam menyediakan pengasuhan yang baik untuk anak. Pengasuhan ini dapat dilakukan melalui orangtua asuh, perwalian, dan adopsi.
8
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
11. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus pada PKSA. Lokasi penelitian ditentukan di tiga provinsi. Sesuai dengan hasil konsulatasi dengan Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, dipilih lokasi dimana PKSA sudah dilaksanakan untuk semua kluster yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan DKI Jakarta. Pada masing-masing provinsi ditentukan dua kabupaten/kota. Pada masing-masing kabupaten/kota ditentukan informan yaitu penerima PKSA (anak dan orangtua), pendamping, LKSA, dan tokoh masyarakat. Selain itu juga ada beberapa informan dari pemangku kepentingan antara lain: Pada tingkat pusat: Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Direktur Kesejahteraan Sosial Anak, Direktur Pemberdayaan Keluarga dan Kelembagaan Sosial Masyarakat, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, UNICEF, Komnas Perlindungan Anak, dan Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota: Dinas Sosial Provinsi, Dinas Sosial kabupaten/kota, Anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota, Bappeda provinsi dan kabupaten/ kota, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pendidikan, Kepolisian RI, Pengadilan Anak, Forum LKSA, TPA/KB, Rumah Singgah, FKKADK, PSAA, Pendamping PKSA, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), Tokoh Masyarakat, Orangtua/anak, Seksi Sosial Kecamatan, dan unsur terkait lainnya. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam secara perorangan dan kelompok (FGD), observasi, dan studi Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
9
kepustakaan/dokumentasi dengan menggunakan pedoman. Secara rinci jumlah informan yang terkait dengan penerima PKSA dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Jumlah Informan Berdasarkan Lokasi dan Fokus Penelitian Lokus Aceh: xx Kabupaten Aceh Besar xx Kota Banda Aceh
DKI: xx Jakarta Timur xx Jakarta Pusat
Fokus xx ABT xx ABH xx ADK xx Antar xx ABH xx AMPK xx ABT xx Anjal
DIY: xx Antar xx Kabupaten Sleman xx AMPK xx Kota Yogyakarta xx ADK xx Anjal
Informan Anak Orangtua LKS Pendamping Pengawas kab & prov Tokoh masyarakat Anak Orangtua LKS Pendamping Pengawas kab & prov Tokoh masyarakat Anak Orangtua LKS Pendamping Pelaksana kab & prov Tokoh masyarakat
Jumlah 8 orang 8 orang 4 orang 4 orang 3 orang 4 orang
Keterangan Masing-masing fokus 2 anak+ 2 Ortu + 1 SP +1 LKS +1 petugas prov + 2 petugas kab/kota + tokoh masyarakat 4
8 orang 8 orang 4 orang 4 orang 3 orang 4 orang
Jumlah di setiap lokus (prov) 31 orang
8 orang 8 orang 4 orang 4 orang 3 orang 4 orang
Jumlah keseluruhan 93 orang
Dalam pelaksanaan pengumpulan data terdapat berbagai hambatan antara keterbatasan waktu di lapangan sehingga tidak semua informan yang direncanakan dapat dihubungi dan terkait dengan informan yang sulit dihubungi karena kesibukan mereka sebagai pelaksana kebijakan, baik di tingkat nasional maupun di provinsi dan kabupaten/kota. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis retrospektif yaitu mengkaji kebijakan sosial setelah kebijakan itu diimplementasikan. Fokus kajian menggunakan model analisis dampak yaitu mengevaluasi efektivitas kebijakan sosial berdasarkan tujuan atau hasil-hasil yang ingin dicapai oleh kebijakan tersebut. Penelitian ini mengkaji kebijakan kesejahteraan dan perlindungan
10
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
anak yang sudah diimplementasikan dengan studi kasus mengevaluasi pelaksanaan PKSA selama 3 tahun terakhir (2010-2012). Data yang telah terkumpul dilakukan pengelompokan, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan model analisis sebagai berikut: Gambar 1. Model Analisis Kebijakan
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
11
12
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
BAB II KESEJAHTERAN, PENGASUHAN, DAN PERLINDUNGAN ANAK Kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak adalah tiga konsep yang tidak terpisahkan dimana untuk mencapai kesejahteraan, anak membutuhkan pengasuhan dan perlindungan. Bab ini menguraikan tentang ketiga konsep tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. A. Kesejahteraan Anak Sebagaimana diuraikan dalam Child and Family Services Review process, ada tiga variabel kesejahteraan. Tiga variabel kesejahteraan dikonseptualisasikan dalam kerangka berikut yaitu: Pertama, kesejahteraan dalam arti keluarga memiliki peningkatan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Konsep ini mencakup pertimbangan kebutuhan dan pelayanan kepada anakanak, orangtua, dan orangtua asuh serta keterlibatan anak-anak, remaja, dan keluarga dalam perencanaan pemecahan masalah. Dalam hal ini kunjungan pekerja sosial dengan anak-anak dan orangtua merupakan hal yang penting, karena hasil penelitian pada 52 negara bagian dan teritori telah menemukan hubungan yang kuat dan positif yang signifikan secara statistik antara kunjungan petugas sosial dengan anak-anak dan hasil keselamatan dan/kesejahteraan anak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Biro Anak, ada nilai "kekuatan" untuk kunjungan petugas sosial dengan anak yang berkaitan secara bermakna dengan nilai “pencapaian substansial” untuk peringkat kelima dari tujuh hasil (www.acf.hhs.gov/program/ cb, diambil September 28, 2004). Kedua, kesejahteraan dalam arti: anak-anak dan remaja menerima layanan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Ketiga, kesejahteraan dalam arti: anak-anak dan remaja menerima pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kesehatan mental Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
13
mereka. (CHILD WELFARE, For The Twenty-First Century, 2005) Dalam kenyataannya, yang pertama adalah yang paling umum dan paling luas cakupannya. Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979, diamanatkan bahwa Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. B. Pengasuhan Anak Pengasuhan adalah sebuah proses mengasuh, merawat, membimbing, dan mendukung anak baik secara fisik, sosial, intelektual, dan beragam aspek perkembangan lainnya. Sebesar apa sense of giving pelaku pengasuhan menjadi kunci yang akan menentukan kualitas proses pengasuhan yang didapatkan anak (Goldenline, STIF in Padang, 10_12_2013). Anak merupakan anugerah yang tidak dapat dinilai oleh apapun bagi pasangan suami isteri yang membentuk dalam suatu keluarga. Karena tidak setiap pasangan suami isteri diberikan keturunan berupa anak. Setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini harus mendapatkan kehidupan yang layak. Sampai seorang Aristoteles, mengatakan bahwa “anak layaknya bagian tubuh orangtuanya, oleh sebab itu orangtua memiliki hak atas pengasuhan anaknya”. Pendapat senada juga dikemukakan oleh John Lock, yang mengatakan “anak diproduksi atas jerih payah orangtua, oleh sebab itu orangtua punya hak atas pengasuhan anaknya”. Bahkan menurut teori property dikatakan, bahwa anak adalah milik orangtua. Oleh karena itu, anak wajib diasuh dengan sebaik-baiknya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan semestinya. Menurut Mohamad Afrizal, pengasuhan anak merupakan salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama pada masa kritis yaitu usia 0-8 tahun. Kehilangan pengasuhan yang baik, misalnya perceraian, kehilangan orangtua,
14
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
baik untuk sementara maupun selamanya, bencana alam dan berbagai hal yang bersifat traumatis lainnya sangat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologisnya. Dengan demikian, kehilangan atau berpisah dari keluarga ini akan meningkatkan risiko kesehatan, perkembangan, dan kesejahteraan anak secara keseluruhan. Risiko ini akan meningkat, apabila kehilangan ini terjadi dalam masa kritis pertumbuhan anak, yaitu masa awal kanak-kanak. Akibat bencana alam, perang, perceraian, kematian orangtua dan anggota keluarga lainnya, dan kelahiran tak dikehendaki seorang anak dapat mengalami kesulitan berkembang menjadi manusia dewasa seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan dengan mengacu kepada konsep dasar tumbuh kembang, maka secara konseptual pengasuhan adalah upaya dari lingkungan agar kebutuhan-kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang (asah, asih, dan asuh) terpenuhi dengan baik dan benar, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Akan tetapi, praktiknya tidaklah sesederhana itu karena praktik ini berjalan secara informal, sering dibumbui dengan hal-hal yang tanpa disadari dan tanpa disengaja serta lebih diwujudkan oleh suasana emosi rumah tangga sehari-hari yang terjadi dalam bentuk interaksi antara orangtua dan anaknya serta anggota keluarga lainnya. Dengan demikian hubungan inter dan intra personal orang-orang di sekitar anak tersebut dan anak itu sendiri sangat memberi warna pada praktik pengasuhan anak. Menurut Sunarwati dalam Mohamad Afrizal (2007), pengasuhan anak oleh substitusi ibu, baik yang paruh waktu (misalnya di tempat penitipan anak) maupun yang punya waktu (misalnya oleh pramusiwi) harus selalu memperhatikan hal-hal tersebut di atas yaitu pada dasarnya agar prinsip asah, asih, dan asuh didapatkan anak dengan baik dan benar. Oleh karena itu, dalam pengasuhan anak ada empat hal yang harus dipenuhi, yaitu bahwa setiap anak membutuhkan orangtua, dan tumbuh secara alamiah dengan saudara Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
15
kandung yang dimilikinya, di dalam rumah mereka sendiri, dan di dalam lingkungan yang mendukungnya (http://mohamadafrizal. wordpress.com/paud/pengasuhan-anak/, diunduh 10_12_2013). C. Perlindungan Anak Di Indonesia, Perlindungan Anak diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Azas dan Tujuan Perlindungan Anak Penyelenggaraan perlindungan anak berazaskan Pancasila dan berlandaskan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: non diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
16
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Sejalan dengan tujuan tersebut, maka hakekat perlindungan anak Indonesia adalah perlindungan keberlanjutan, karena merekalah yang akan mengambil alih peran dan perjuangan mewujudkan citacita dan tujuan bangsa Indonesia. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Layanan Perlindungan Anak (Child Protective Services/ CPS) Program layanan perlindungan anak ( CPS) merupakan program inti di semua lembaga kesejahteraan anak yang mengupayakan keselamatan anak bekerjasama dengan lembaga masyarakat. Lebih luas, CPS “mengacu pada perangkat hukum yang sangat khusus, mekanisme pendanaan, respon lembaga bersama pemerintah untuk melaporkan penyalahgunaan dan penelantaran anak” (Waldfogel, 1999). Dasar program CPS berasal dari hukum yang dibentuk di setiap negara yang mendefinisikan kekerasan dan penelantaran anak serta menentukan bagaimana lembaga CPS harus menanggapi laporan penganiayaan anak. Pekerja sosial di lembaga-lembaga CPS memiliki tanggung jawab untuk mengatasi efek dari penganiayaan, menerapkan respon layanan yang akan menjaga anak-anak dan remaja aman dari penyalahgunaan dan penelantaran, serta bekerjasama dengan keluarga untuk mencegah kemungkinan terjadinya penganiayaan di masa yang akan datang (Depanfilis & Salus 2003, Departemen Kesehatan dan Layanan Manusia US, 1988). Dalam mendukung kesejahteraan anak dan remaja para penulis (Altman; Cohen, Hornsby, and Priester; Kemp, Allen- Eckard, Ackroyd, Becker, and Burke; and Chahine and Higgins) dalam tulisannya Systemic Issues in Child Welfare, fokus pada beberapa faktor kunci dalam bekerja dengan keluarga yaitu melibatkan anak dan remaja, keluarga dan masyarakat dalam proses asesmen melalui konfrensi tim. Filosofi layanan perlindungan anak menurut De Panfilis dan Salus 2003, Lembaga Layanan Perlindungan Anak
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
17
bekerja berdasarkan keyakinan filosofis bahwa setiap anak memiliki hak untuk pengasuhan dan pengawasan yang memadai dan bebas dari penyalahgunaan, penelantaran, dan eksploitasi. Hukum melindungi anak-anak dan remaja, menganggap bahwa itu adalah tanggung jawab orangtua untuk memperhatikan kebutuhan fisik, mental, emosional, dan kesehatan anak-anak mereka terpenuhi secara memadai. Asumsi lainnya adalah bahwa Layanan Perlindungan Anak harus campur tangan ketika orangtua meminta bantuan atau gagal, atau lalai dalam memenuhi kebutuhan dasar anak-anak mereka dan menjaga mereka agar aman dari penyalahgunaan atau penelantaran, seperti yang didefinisikan oleh undang-undang negara sipil (Gerald P. Mallon and Peg Mc Cartt Hess, 2005). Penyalahgunaan dan Penelantaran Anak Penelantaran dapat didefinisikan sebagai kelalaian dalam pengasuhan oleh orang yang bertanggung jawab (misalnya, orangtua atau pengasuh lainnya), yang mengakibatkan kerugian signifikan atau risiko bahaya yang signifikan terhadap anak dan remaja (Dubowitz, 2000). Penelantaran lebih lanjut dapat didefinisikan sebagai kegagalan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak-anak dalam perawatan fisik, pengawasan, dan perlindungan, pemeliharaan, pendidikan, dan kesehatan. Kekerasan fisik dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang ditimbulkan oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak atau remaja itu, yang mengakibatkan cedera fisik yang signifikan atau risiko cedera tersebut (Dubowitz, 2000). Contoh tindakan yang ditimbulkan termasuk meninju, memukul, menendang, menggigit, mengguncangkan, melempar, menusuk, mencekik, membakar, atau memukul dengan tangan, tongkat, tali, atau benda lain (Goldman & Salus, 2003). Pelecehan seksual dapat didefinisikan sebagai tindakan seksual tanpa kesepakatan, motivasi perilaku seksual yang melibatkan anak
18
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
dan remaja, atau eksploitasi seksual terhadap anak (Berliner, 2000) oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Pelecehan seksual anak termasuk perilaku yang lebih luas, seperti oral, anal penetrasi penis, atau alat kelamin, digital anal atau genital atau penetrasi lain, kontak kelamin dengan non intrusi, cumbuan payudara anak atau pantat, penampilan senonoh, supervisi yang tidak memadai atau tidak dari kegiatan sukarela seksual anak, dan penggunaan anak atau remaja dalam prostitusi, pornografi, kejahatan internet, atau kegiatan seksual eksploitatif lainnya (Goldman & Salus, 2003). Penganiayaan psikologis dapat didefinisikan sebagai pola berulang dari perilaku atau kejadian ekstrim oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak yang menyampaikan kepada anak bahwa ia tidak berharga, cacat, tidak dicintai, tidak diinginkan, terancam, atau hanya bernilai jika menemukan orang lain yang membutuhkan, oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak (Masyarakat profesional Amerika tentang Penyalahgunaan Anak, 1995). Penganiayaan psikologis meliputi baik tindakan pelecehan terhadap anak atau remaja dan kelalaian dalam pengasuhan. Bentuk penganiayaan psikologis termasuk penolakan secara angkuh (misalnya, perilaku bermusuhan menolak dan merendahkan); teror (misalnya, ancaman untuk menyakiti anak atau seseorang yang penting untuk anak), mengeksploitasi atau merusak (misalnya, mendorong anak atau remaja untuk berpartisipasi dalam merusak diri sendiri atau perilaku kriminal); menyangkal respon emosional (misalnya, mengabaikan atau gagal untuk mengekspresikan kasih sayang), dan mengisolasi (misalnya, membatasi anak mendapatkan pengalaman sesuai dengan tahapan perkembangan) (Brassard & Hart, 2000). Tahapan proses Layanan Perlindungan Anak Untuk memenuhi tujuan perlindungan anak, CPS menerima laporan penganiayaan anak yang dicurigai, menilai risiko
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
19
dan keamanan anak-anak dan remaja, dan menyediakan atau mengatur layanan untuk meningkatkan keamanan, kestabilan dan kesejahteraan anak-anak dan remaja yang telah disalahgunakan atau diabaikan atau yang beresiko disalahgunakan atau ditelantarkan. Setiap penanganan masalah dilakukan melalui satu atau lebih rangkaian tahapan proses CPS yaitu: (1) penerimaan, (2) asesmen awal/investigasi, (3) penilaian keluarga, (4) perencanaan intervensi, (5) penyediaan layanan, (6) Evaluasi kemajuan kasus, dan (7) penutupan kasus. Keputusan kunci bervariasi pada masing-masing tahapan proses (De Panfilis & Salus, 2003). Intake (penerimaan) CPS bertanggung jawab untuk menerima dan menanggapi laporan pelecehan dan penelantaran anak yang dicurigai. Keputusan kunci pada tahap ini adalah: (1) menentukan apakah informasi yang dilaporkan sesuai kriteria yang ada dalam pedoman lembaga untuk penganiayaan anak yang didasarkan hasil kontak tatap-muka dengan anak atau remaja dan keluarganya dan (2) untuk menentukan urgensinya, lembaga harus menanggapi laporan tersebut. Petugas penerimaan mewawancarai orang yang menelepon tentang laporan pelecehan atau penelantaran anak yang dicurigai untuk membuat keputusan. Asesmen awal Setelah menerima laporan, CPS melakukan penilaian awal/ penyelidikan dengan mewawancarai anak atau remaja, saudara, orangtua atau pengasuh lainnya, dan individu lain yang mungkin memiliki informasi mengenai dugaan penganiayaan. Jika informasi menunjukkan bahwa kejahatan mungkin telah dilakukan, kontakkontak dengan CPS biasanya dikoordinasikan dengan penegak hukum. Dua penilaian utama yang dilakukan pada tahap ini adalah penilaian terhadap keselamatan anak (misalnya, apakah ada risiko besar akan kerusakan parah) dan penilaian risiko penganiayaan
20
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
(yaitu, kemungkinan penganiayaan anak di masa depan). Keputusan kunci pada tahap ini adalah untuk menentukan: (1) apakah penganiayaan anak terjadi seperti yang didefinisikan oleh hukum negara, (2) apakah kelangsungan keselamatran anak atau pemuda mengkhawatirkan dan, jika demikian, intervensi yang akan dilakukan untuk menjamin perlindungan anak, (3) apakah ada risiko penganiayaan masa depan dan tingkat resikonya, dan (4) apakah jasa keagenan terus diperlukan untuk membantu keluarga menjaga keamanan anak, mengurangi risiko penganiayaan di masa depan, dan mengatasi efek penganiayaan anak. Beberapa kasus ditutup pada tahap ini jika tidak ada dasar untuk memberikan layanan kepada anak atau remaja dan keluarga. Asesmen keluarga Asesmen keluarga adalah suatu proses yang komprehensif untuk mengidentifikasi, mengingat, dan mencari faktor yang mempengaruhi keselamatan, kestabilan dan kesejahteraan anak atau remaja. Tujuan dari asesmen ini adalah untuk mengembangkan kemitraan dengan keluarga, rencana pelayanan yang diperlukan untuk menjamin keselamatan, kestabilan, dan kesejahteraan anak (Department Kesehatan dan Layanan Manusia US, 2000). Pada tahap ini, pekerja CPS melibatkan anggota keluarga dalam proses untuk memahami kekuatan, risiko, dan kebutuhan intervensi. Keputusan kunci pada tahap ini adalah untuk menentukan: (1) faktor risiko yang menyebabkan kekhawatiran bahwa anak dapat dianiaya di masa depan, (2) faktor-faktor protektif atau kekuatan yang dapat mengurangi kemungkinan penganiayaan masa depan, (3) efek penganiayaan yang diamati pada anak dan/atau anggota keluarga lainnya, dan (4) tingkat motivasi atau kesiapan anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam intervensi yang akan mengurangi risiko penganiayaan dan mengatasi efek penganiayaan.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
21
Rencana Intervensi Untuk mencapai hasil program CPS yaitu, keselamatan, kestabilan, dan kesejahteraan anak, serta keluarga, intervensi harus direncanakan dan bertujuan. Hasil ini dicapai melalui tiga jenis rencana: (1) rencana keselamatan, yang dikembangkan berdasarkan bahwa anak berada pada risiko kerusakan parah dalam waktu dekat, (2) rencana kasus, yang mengikuti asesmen keluarga dan menetapkan hasil dan tujuan dan menjelaskan bagaimana keluarga bekerja menuju hasil tersebut, dan (3) jika seorang anak atau remaja telah ditempatkan dalam pengasuhan luar rumah (out-ofhome care), dalam waktu bersamaan disusun rencana kasus dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk alternatif bagaimana penyatuan kembali atau keajekan dengan orangtua baru dapat tercapai jika usaha untuk menyatukan kembali gagal. Keputusan penting pada tahap perencanaan kasus adalah untuk menentukan: (1) hasil kasus yang menjadi target intervensi (misalnya, fungsi keluarga ditingkatkan, mengontrol perilaku emosi, meningkatkan harga diri, meningkatkan interaksi orangtua-anak), (2) tujuan kasus yang akan membantu anggota keluarga berhasil, (3) intervensi terbaik yang mendukung pencapaian tujuan-tujuan dan hasil, dan (4) penyedia terbaik intervensi. Penyediaan layanan Tahap di mana rencana kasus diimplementasikan. Pada tahap ini peran pekerja CPS adalah untuk mengatur, memberikan, dan/atau mengkoordinasikan pelayanan kepada anak-anak yang teraniaya, orangtua atau pengasuh lainnya, serta keluarga. Pelayanan selektif untuk membantu keluarga mencapai manfaat dan tujuan berdasarkan kesesuaian pelayanan dengan tujuan dan prinsip-prinsip praktak terbaik. Keputusan penting pada tahap ini meliputi: (1) mengidentifikasi layanan khusus yang akan diberikan dan intensitas serta durasi pelayanan, (2) menentukan siapa yang
22
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
terbaik diposisikan untuk memberikan layanan ini, (3) menentukan interval yang tepat untuk mengevaluasi kemajuan keluarga, dan (4) menetapkan mekanisme untuk mengkoordinasikan para penyedia layanan (misalnya, mengembangkan berbagi informasi, jadwal pertemuan tim). Evaluasi kemajuan Penilaian adalah proses yang berkelanjutan yang dimulai dengan kontak dengan klien dan berlanjut sepanjang penanganan kasus. Kemajuan pencapaian hasil dan tujuan harus dievaluasi secara resmi setidaknya setiap 3 bulan. Keputusan kunci yang harus dibuat selama tahap proses ini mencakup penilaian: (1) status keamanan anak atau remaja saat ini, (2) tingkat pencapaian manfaat keluarga, (3) tingkat pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas sesuai rencana kasus, (4) perubahan risiko dan faktor perlindungan yang telah diidentifikasi, dan (5) tingkat keberhasilan dalam mengatasi salah satu dari efek penganiayaan pada anak atau remaja dan anggota keluarga lainnya. Penutupan kasus Proses mengakhiri hubungan antara pekerja CPS dan keluarga dengan melibatkannya dalam proses penilaian kemajuan kasus sejak dari awal, tengah, dan akhir. Secara optimal kasus ditutup ketika keluarga telah mencapai manfaat dan tujuan mereka, yaitu anakanak atau remaja aman, dan risiko penganiayaan telah dikurangi atau dihilangkan. Kasus kadang-kadang ditutup, namun keluarga masih membutuhkan bantuan. Bila kebutuhan masih jelas, upaya lain dilakukan untuk membantu keluarga menerima layanan melalui lembaga masyarakat yang sesuai. Untuk mengukur keberhasilan perlindungan anak menurut ASFA (1997) lembaga CPS merancang pengukuran pencapaian hasil program perlindungan anak yaitu: 1) anak dan remaja dalam keadaan aman, 2) anak dan remaja stabil hidup dalam keluarga, 3) anak dan remaja sejahtera, dan 4) keluarga sejahtera (Courtney, 2000).
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
23
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak antara lain: pelaksanaan peran dan fungsi keluarga atau keluarga pengganti, dan keberfungsian lembaga perlindungan anak dan penerapan sanksi terhadap pelaku perlakuan salah terhadap anak. Setiap keluarga memiliki sejumlah peranan yang mesti dilaksanakan. Menurut Jhonson (1988), peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut: 1) Ayah sebagai suami dan ayah dari anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. 2) Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. 3) Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Selain memiliki peranan, setiap keluarga juga memiliki sejumlah fungsi yang mesti dilaksanakan. Menurut Zastrow (1999), beberapa fungsi keluarga, yaitu: 1) Replacement of the population. Replacement yang berarti adanya fungsi regenerasi. 2) Care of the young, yang berarti pengasuhan dan perawatan, sampai anak memasuki usia remaja. Dalam posisi seperti ini keluarga merupakan meta institusi di dalam kehidupan anak. 3) Sosialization of new members, fungsi untuk mensosialisasikan nilai-nilai budaya, norma, bahasa, dan
24
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
lain-lain kepada anggota keluarga. 4) Regulation of Sosial behavior, fungsi pengaturan perilaku sosial. Kegagalan pengaturan perilaku sosial akan menghasilkan ketidakcocokan dengan harapan yang diinginkan. 5) Source of affection. Fungsi untuk memberikan kasih sayang, cinta yang tulus kepada semua anggota keluarga. Bilamana hal ini mengalami kegagalan, maka keluarga akan menjadi kurang harmonis. Berdasarkan uraian tentang konsep kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak dan remaja sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dalam merumuskankan kebijakan, pelaksanaan program dan kegiatan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak seyogyanya memperhatikan kaidah-kaidah dari konsep tersebut.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
25
26
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
BAB III MASALAH DAN KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN, PENGASUHAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Anak merupakan anggota masyarakat yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan kelangsungan hidup bangsa. Anak yang tumbuh kembang secara wajar dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan pembangunan bangsa. Sebaliknya jika mereka mengalami berbagai hambatan dalam tumbuh kembangnya akan menjadi beban bagi masyarakat dan Negara. Hambatan dalam tumbuh kembang anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain tidak terpenuhi hak-haknya oleh orangtua, keluarga, msyarakat, dan pemerintah. Bab tiga ini menguraikan tentang masalah/isu-isu dalam kontek kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak serta kebijakan Kementerian Sosial RI dan K/L lainnya dalam merespon masalah/isuisu tersebut. Masalah dan kebijakan yang disajikan merupakan hasil kajian data sekunder maupun primer hasil penelitian lapangan. A. Masalah Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak Masalah/isu-isu yang terkait dengan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi. Kesejahteraan sosial anak sangat dipengaruhi oleh kewajiban orangtua dalam pengasuhan anak, dan kewajiban orangtua, keluarga, masyarakat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya melindungi anak dari tindak kekerasan dan perlakuan salah. Ditinjau dari kesejahteraan sosial, permasalahan anak disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan anak baik jasmani, rohani, dan sosial sehingga akan mempengaruhi tumbuh kembang anak secara wajar. Bila dilihat dari konvensi hak anak, permasalahan anak disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak anak yaitu 1) Hak sipil dan kebebasan fundamental, 2) Kesehatan,
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
27
gizi, air dan sanitasi lingkungan, 3) Lingkungan keluarga dan perawatan alternatif, 4) Pendidikan, waktu bersantai dan main & kegiatan budaya, dan 5) Perlindungan khusus. Permasalahan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak dapat bersumber dari berbagai pihak yaitu anak itu sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, dan lingkungan yang lebih luas lagi yaitu kemajuan teknologi komunikasi dan globalisasi. Dalam tulisan ini masalah/isu-isu tentang anak dilihat dalam konteks kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak diuraikan berikut ini. 1. Masalah/Isu-isu dalam konteks Kesejahteraan Anak Dalam konteks kesejahteraan sosial anak, permasalahannya adalah belum terpenuhinya hak-hak dasar anak seperti hak sipil dan kebebasan fundamental, kesehatan, gizi, air dan sanitasi lingkungan, dan pendidikan. Kondisi anak yang demikian kita kenal dengan keterlantaran pada anak, baik pada anak Balita maupun pada anak usia 6-17 tahun. Kondisi Balita terlantar di Indonesia dapat dilihat pada uaraian berikut. Diagram 1. Perkiraan Persentase Balita menurut Kategori Keterlantaran
Jumlah Balita di Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan 21,22 juta jiwa (Susenas, 2009). Persentase Balita Terlantar tercatat 5,77 persen, hampir terlantar 20,17 persen, dan tidak terlantar 74,06. Kebanyakan mereka barada di Perdesaan yaitu 6,25 persen dan di Perkotaan 5,23 persen.
Sumber: BPS RI - Susenas MSPB 2009
28
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Menurut Profil PMKS (2011:h.104), Anak Balita Terlantar adalah “anak berumur 0-4 tahun yang karena suatu sebab, orangtuanya melalaikan kewajibannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhannya dengan wajar, baik secara jasmani, rohani, maupun sosial”. Kriteria keterlantaran pada Balita antara lain: 1) Balita yang tidak pernah diberi air susu ibu (ASI), 2) Balita tidak mempunyai bapak/ibu kandung, 3) Frekunsi makan makan pokok Balita, 4) Frekuensi makan lauk pauk berprotein tinggi, 5) Ibu Balita yang bertanggung jawab, bekerja, 6) Balita sakit tidak diobati, dan 7) Pengasuh Balita. Balita terlantar menurut BPS dalam Pusdatin 2011, pada Tahun 2009 kondisinya adalah sebagai berikut: a. Balita yang tidak diberi ASI selama seminggu terakhir 74,44 persen. b. Sebagian besar yaitu 97,72 persen Balita Terlantar masih punya orangtua. Balita yang orangtuanya tidak lengkap persentasenya cukup kecil yaitu 2,28 persen yang terdiri dari yatim 1,16 persen dan piatu 0,62 persen, dan yatim piatu 0,41 persen. c. Balita terlantar yang makan makanan pokok kurang dari 14 kali sebesar 83,33 persen. d. Persentase Balita terlantar yang makan makanan berprotein tinggi nabati kurang dari 4 kali seminggu adalah 84,65 persen, sedangkan untuk protein hewani yang kurang dari dua kali seminggu berjumlah 82,80 persen. Hal ini diduga karena ketidakmampuan orangtua/penanggung jawab Balita untuk membeli pangan yang harganya cukup mahal. e. Persentase Balita terlantar yang sakit, namun tidak diobati relatif masih tinggi yaitu pada tahun 2009 sebesar 17,05 persen. f. Sebanyak 63,15 persen Balita terlantar memiliki ibu kandung/ penanggung jawab yang aktifitas utamanya bekerja dan 34,99 persen yang aktifitasnya mengurus rumah tangga dan kegiatan lainnya sebesar 1,86 persen. Bagi mereka yang bekerja Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
29
mayoritas lapangan usaha utamanya adalah di sektor pertanian (42,79 persen), perdagangan (22,19 persen), dan jasa (19,87 persen). Sebagian besar Balita terlantar memiliki ibu kandung/ penanggung jawab, bekerja sebagai pekerja tidak dibayar (33,05 persen), buruh/karyawan 32,21 persen, dan berusaha sendiri 16, 77 persen. Peran ibu dalam proses kehidupan Balita sangat dominan. Ibulah yang berperan besar dalam tumbuh kembang Balita. Sejak bayi lahir, ibu yang menyusui dan menyuapi makanan ke mulut bayi. Pada masa Balita, anak masih sangat tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Namun pada kenyataannya masih banyak anak Balita yang terlantar karena kemiskinan sehingga ibu bekerja. Akibatnya ibu kurang mengurus anak dan bila sakit tidak memeriksakannya ke dokter/Puskesmas bahkan ke Posyandu pun belum pernah dibawa. Hal ini bisa dilihat dari hasil wawancara berikut: “..... anak saya terlepas dari bersih atau belum bersih mandi sendiri dan mengambil baju sendiri yang sudah disiapkan di lemari. Saya hanya menyiapkan peralatan mandi dan mengawasi. Ketika anak sakit, saya memberi obat yang dibeli dari warung dan langsung sembuh. Sampai saat ini saya belum pernah membawa anak berobat ke dokter ketika anak sakit, karena tidak mau membiasakan anak berobat ke dokter, karena takut ketagihan obat dokter dan mahal. Saya tidak punya kartu KJS karena saya bukan penduduk DKI, dan sampai saat ini saya belum pernah memberikan vitamin kepada anak”.
Keluarga ini tinggal di rumah kontrakan Rp. 250.000/bulan, dengan ukuran 3x3 m, tidak memiliki ruang dapur, ruang tidur, dan lain-lain (satu ruang untuk semua kegiatan rumah tangga kecuali masak di luar rumah/di teras). Sumber air sumur pompa, MCK umum (bersama) dengan para warga yang mengontrak rumah. Frekuensi makan makanan pokok dan lauk pauk berprotein tinggi, melihat penghasilan keluarga masih dirasakan kurang belum mencukupi. Anak mandi sendiri bahkan sudah bisa memandikan adiknya yang berusia 3,5 tahun, karena kesibukan orangtua mencari
30
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
nafkah, mereka tidak sempat merawat anaknya. Bila sakit orangtua hanya memberi obat yang ada di warung, tidak sanggup untuk membawa ke Puskesmas atau dokter. Data di atas menunjukkan, bahwa keterlantaran Balita tersebut disebabkan kedua orangtua bekerja di pasar dari pagi sampai siang, tidak sempat merawat anak, makanan apa adanya sesuai perolehan pendapatan. Keluarga ini juga belum mengakses pelayanan kesehatan karena faktor kependudukan. Kondisi seperti ini dialami oleh beberapa keluarga penerima manfaat Taman Anak Sejahtera (PKS ABT). Demikian pula halnya dengan Anak Terlantar yaitu “anak yang berusia 5-17 tahun tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial” (Profil PMKS, 2011:h.104). Diagram 2. Perkiraan Persentase Anak 5-17 Tahun menurut Kategori Keterlantaran 2009
Berdasarkan pendekatan kebutuhan minimum, baik kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial, jumlah anak usia 5-17 tahun berjumlah 58,17 juta anak. Dilihat dari kategori keterlantaran jumlah anak dengan kategori terlantar sebanyak 3,1 juta anak (5,36 persen) dan hampir terlantar 7,2 juta anak (12,23 persen).
Sumber: BPS RI-Susenas Modul 2009
Bila dilihat dari jenis kelamin, proporsi anak terlantar lakilaki lebih besar dibanding anak terlantar perempuan (5,82 persen dibanding 4,85 persen). Tempat tinggalnya lebih banyak di perdesaan dibanding perkotaan (7,62 persen berbanding 2,69 persen).
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
31
Ketelantaran pada anak (Profil PMKS, 2011) dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu: a. Pendidikan anak terlantar Pendidikan dasar dimulai sejak usia 7 tahun sebagai awal usia program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan Pemerintah. Untuk itu anak yang berumur 7 tahun harus sekolah. Salah satu penentu derajat keterlantaran anak adalah tingkat partisipasi sekolah. Anak dikatakan tidak bersekolah apabila tidak/belum pernah sekolah atau sudah tidak sekolah lagi. Pada tahun 2009, tingkat partisipasi sekolah anak 66,04 persen yang tidak/belum pernah sekolah sama sekali 8,99 persen dan tidak bersekolah lagi 24,96 persen. Adapun alasan anak terlantar tidak/belum pernah atau tidak sekolah lagi sebagian besar adalah tidak ada biaya, kemudian tidak suka/malu, bekerja, dan sekolah jauh. b. Kesehatan anak terlantar Sehat merupakan hak setiap manusia termasuk anak. Pada tahun 2009 persentase anak terlantar yang mengalami keluhan kesehatan selama sebulan terakhir menurut jenis keluhan adalah panas (53,27 persen), batuk (53,80 persen), dan pilek (53,48 persen) merupakan keluhan yang paling banyak dirasakan. Kemudian sakit kepala berulang (15,71 persen), sakit gigi (6,26 persen), dan diare (6,25 persen). c. Kegiatan ekonomi anak terlantar Anak usia 7-17 tahun seyogyanya masih menikmati dunia bermain dan sekolah. Namun beberapa anak terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah karena situasi dan kondisi keuangan keluarga tidak mencukupi untuk dapat mengakses pendidikan, sehingga anak kehilangan kesempatan untuk memperoleh haknya bersekolah. Kebutuhan hidup sehari-hari semakin meningkat dan semakin sulit untuk dipenuhi menjadi
32
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
penyebab orangtua merelakan anaknya membantu mencari nafkah, sehingga harus meninggalkan bangku sekolah. Pada tahun 2009 persentase terbesar anak usia 10-14 bekerja kurang dari 15 jam seminggu terakhir adalah 41,08 persen, dan 15–28 jam sebesar 35,22 persen, dan anak terlantar usia 15-17 tahun sebagian besar (32,56 persen) bekerja lebih atau sama dengan 35 jam perminggu. d. Kegiatan sosial budaya anak terlantar Seorang anak selayaknya melakukan aktivitas sosial dan budaya bahkan proporsi yang lebih besar dari pada bekerja seperti akses terhadap media massa. Sebagian besar (70,84 persen) anak terlantar mengases televisi, kemudian radio 13,15 persen, dan surat kabar/majalah paling sedikit diakses. Kondisi anak terlantar sebelum masuk panti menurut anak adalah sebagai berikut: “ ..... saya anak yatim yaitu anak ke 4 dari 5 bersaudara, usia saya 14 tahun, saat ini tinggal di panti sejak 3 tahun yang lalu. Sebelumnya saya tinggal di Bekasi bersama dengan ibu kandung dan saudara-saudara. Tiga tahun lalu bapak saya meninggal dunia. Saya sudah memiliki akte kelahiran sejak kecil.
Kasus di atas menujukkan keterlantaran hanya disebabkan tidak punya ayah (anak yatim). Dari segi pendidikan sebelum masuk panti anak sudah akses ke pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari umur dan kelas yang yang diduduki yaitu 14 tahun di kelas 3 M.Ts (setingkat SMP). Kelihatannya orangtua hanya tidak mampu menyekolahkannya karena ayahnya meninggal, ibunya takut anaknya putus sekolah. Jadi anak diserahkan pengasuhannya ke LKSA karena faktor kemiskinan dan untuk akses anak ke pendidikan.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
33
Kasus Anak Terlantar Luar Panti yang tinggal bersama orangtuanya, permasalahannya sebagian besar karena kemiskinan orangtua. Hal ini digambarkan oleh hasil wawancara dengan anak dan observasi sebagai berikut: ..... Saat saya tinggal di Kampung Jawa Lr. 5 Dusun Tengku Muda bersama dengan kedua orang tua dan ketiga adik-adik, tinggal di area/lokasi sebuah penampungan barang-barang bekas. Memiliki rumah yang sangat sederhana terbuat dari kayu bekas, dinding kayu campur bekas kardus, atap yang terdiri dari berbagai jenis atap (asbes, genteng, seng plastik bekas, dan lain-lain). Ruangan yang ada terdiri dari 1 ruang yang disekat menjadi 2 ruang, 1 ruang makan merangkap ruang tidur anak ruang istirahat ruang tamu dan lain-lain, 1 ruang tidur orang tua.
Anak akses terhadap sistem pendidikan dan kesehatan, namun demikian kadang-kadang terlibat dalam membantu orangtua mencari nafkah seperti hasil wawancara berikut: Saat ini anak sekolah di SD kelas 2, anak tidak pernah meninggalkan sekolah kecuali sedang sakit. Setiap tiga kali seminggu anak ikut bimbingan belajar dengan Open Kommuniti yang diadakan oleh Mahasiswa dan instansi lain (anak dan orang tua tidak tau dari instansi mana). Anak tidak bekerja, sesekali ikut orang tua menjadi pemulung, saat libur sekolah, atau hari minggu.
Kasus LA menggambarkan anak rawan terlantar, karena kemiskinan orangtua, (pekerjaan orangtua sebagai pemulung) dan tempat tinggal yang kurang layak huni di daerah kumuh, dan anak kadang-kadang terlibat dalam pekerjaan memulung. Anak jalanan merupakan bagian dari anak terlantar dapat dikelompokkan menjadi empat kategori. Pengertian untuk kategori pertama adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap
34
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang, baik berkala ataupun dengan jadual yang tidak rutin. Kategori kedua adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya. Kategori ketiga adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Kategori keempat adalah anak berusia 5-17 tahun yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari (http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan). Menurut Pusdatin Kementerian Sosial RI anak jalanan pada tahun 2011 berjumlah 135.983 jiwa. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan informan anak jalanan diketahui bahwa Rudi (nama samaran) adalah tergolong kategori tiga yaitu anak jalanan yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Kondisi ini terjadi karena bapaknya meninggal. Hal ini tergambar dari hasil wawancara berikut: “..... saya anak ketiga dari 3 bersaudara, kedua kakak (laki-laki dan perempuan) telah berkeluarga. Pada tahun 2006 ayah kami meninggal dunia, pada saat itu saya duduk di kelas 1 SMP, berhenti sekolah. Ibu berusia 60 tahun menjadi pengemis dan pengamen di jalanan. Rifki juga ikut mengamen di jalanan.
Kasus selanjutnya adalah Ratna (nama samaran) menurut orangtuanya permasalahan Keluarga Ratna adalah sebagaimana tergambar dari hasil wawancara berikut ini.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
35
Ratna lahir di Sleman, 11 Juni 1998 anak ke 2 dari dua bersaudara. Jumlah anggota keluarga 4 orang, hubungan anak dengan kepala keluarga anak angkat. Sejak bayi diangkat oleh seorang perempuan/ ibu istri dari bapak N dan diberi nama Ratna. Pada usia 1,5 tahun ibu angkat Ratna meninggal dunia. Kemudian bapak N menikah lagi dengan seorang perempuan bernama P yang telah mempunyai satu orang anak perempuan. Jadi pasangan ini mengasuh dua orang anak perempuan. Keduanya anak tiri dari N. Saya bekerja sebagai pemulung dan P sebagai penarik becak dan buruh serabutan dan tinggal di daerah pinggir dimana akses ke air bersih tidak ada. Semuanya dilakukan di sungai.
Kasus Ratna dapat dikategorikan anak yang rentan menjadi anak jalanan, karena orangtua miskin, tinggal di daerah di pinggiran kota yang padat penduduk, ibu bekerja sebagai pemulung. Data di atas menunjukkan bahwa masalah/isu-isu anak dalam kontek kesejahteraan terkait dengan kurang terpenuhinya kebutuhan pangan, pendidikan kesehatan, karena faktor kemiskinan dan orangtua/orangtua pengganti sebagai pengemban tugas pengasuhan sibuk bekerja. Hal ini sesuai dengan konsep kesejahteraan anak yang diuraikan pada bab dua yaitu Pertama, kesejahteraan dalam arti: Keluarga memiliki peningkatan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Kedua, Kesejahteraan dalam arti: Anak-anak dan remaja menerima layanan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Ketiga, Kesejahteraan dalam arti: Anak-anak dan remaja menerima pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kesehatan mental mereka. Untuk mengatasi masalah anak tersebut perlu memperhatikan peningkatan kapasitas keluarga untuk memenuhi hak-hak mereka sesuai Konvensi Hak Anak, baik kapasitas di bidang ekonomi, pengasuhan dan perlindungan terhadap anak-anak mereka.
36
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
2. Masalah/isu-isu dalam Konteks Pengasuhan Anak Dalam konteks pengasuhan anak, permasalahan dilihat dari pelaksanaan kewajiban orangtua atau orangtua pengganti dan lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) dalam pengasuhan anak. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa keterlantaran disebabkan oleh pengabaian kewajiban orangtua/orangtua pengganti dalam pemenuhan hak-hak dasar anak. Anak adalah amanah yang dititipkan pada orangtua untuk dijaga dan diasuh, serta dididik dengan layak. Akan tetapi seiring dengan mobilitas kedua orangtua, maka menjadikan anak diasuh bukan oleh kedua orangtuanya. Banyak alternatif yang dipilih oleh orangtua dalam mencari pengasuh pengganti selama orangtua bekerja atau beraktivitas. Pada tahun 2009 mayoritas pengasuhan Balita terlantar yang ibu kandung/ penanggung jawabnya bekerja di luar rumah adalah dititipkan atau diasuh oleh pihak lainnya (33,28 persen) yaitu diasuh tetangga, baby sitter, pembantu, penitipan anak dan ditinggal sendiri. Kemudian dititipkan ke family (25,99 persen) dan dibawa serta bekerja/ beraktivitas (21,96 persen). Pertanyaannya adalah apakah orangtua pengganti selama ibu bekerja faham dengan konsep pengasuhan pada anak? Kondisi anak Balita terlantar temuan lapangan hasil wawancara dengan ibu (Penerima PKSA Balita Terlantar) adalah: orangtua mereka berasal dari keluarga miskin dimana kedua orangtua bekerja di luar rumah. Hal ini dikemukakan oleh informan orangtua yaitu: “… saya bekerja sebagai pengupas bawang dan bapaknya dagang sayur di pasar induk dengan penghasilan kami berdua Rp.800.000,- per bulan”.
Keluarga ini tinggal di rumah kontrakan Rp.250.000/bulan, dengan ukuran 3x3 m, tidak memiliki ruang dapur, ruang tidur dan lain-lain (satu ruang untuk semua kegiatan rumah tangga kecuali masak di luar rumah/di teras), Sumber air sumur pompa, MCK Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
37
umum (bersama dengan para warga yang mengintrak rumah). Frekuensi makan makanan pokok dan lauk pauk berprotein tinggi, melihat penghasilan keluarga masih dirasakan kurang belum mencukupi. Hal ini terungkap dari pernyataan informan: “..... anak makan 3 kali sehari dengan menu makan nasi, sayur, kadang-kadang pakai daging, atau ikan sekali-sekali ada buah. Saya menyiapkan makanan, kadang-kadang mendampingi, sering membiarkan kedua anak makan sendiri karena kedua orang tua bekerja di pasar induk, berangkat pagi-pagi. Sedangkan anak kadangkadang tidak mau diajak ke pasar, sehingga anak harus mengambil sendiri makanannya, dan mengambilkan makan untuk adiknya”.
Anak juga mandi sendiri bahkan sudah bisa memandikan adiknya yang berusia 3,5 tahun, karena kesibukan orangtua mencari nafkah, mereka tidak sempat merawat anaknya. Bila sakit orangtua hanya memberi obat yang ada di warung, tidak sanggup untuk membawa ke Puskesmas atau dokter. Gambaran ini dapat dilihat dari hasil wawancara berikut: “..... anak saya terlepas dari bersih atau belum bersih dan mengambil baju sendiri yang sudah disiapkan di lemari. Saya hanya menyiapkan peralatan mandi dan mengawasi. Ketika anak sakit saya memberi obat yang dibeli dari warung dan langsung sembuh. Sampai saat ini saya belum pernah membawa anak berobat ke dokter ketika anak sakit, karena tidak mau membiasakan anak berobat ke dokter, karena takut ketagihan obat dokter dan mahal. Saya tidak punya kartu KJS karena saya bukan penduduk DKI dan sampai saat ini saya belum pernah membrikan vitamin kepada anak”.
Data di atas menunjukkan, bahwa keterlantaran Balita tersebut disebabkan kedua orangtua bekerja di pasar dari pagi sampai siang, tidak sempat merawat anak, makanan apa adanya sesuai perolehan pendapatan. Keluarga ini juga belum mengakses pelayanan kesehatan karena faktor kependudukan. Kondisi seperti ini dialami
38
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
oleh beberapa keluarga yang mengakses Taman Anak Sejahtera (PKS ABT). Selanjutnya pada anak terlantar usia 6-17 tahun juga terjadi permasalahan pengasuhan oleh orangtua inti atau orangtua penggati. Keberadaan orangtua kandung sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak terutama perkembangan kepribadian dan perilakunya. Tetapi tidak semua anak beruntung diasuh oleh kedua orangtua mereka dalam masa tumbuh kembangnya. Keberadaan orangtua kandung anak terlantar pada tahun 2009, sebagian besar anak terlantar masih memiliki orangtua lengkap (97,72 persen), 1,16 persen adalah anak yatim, 0,62 persen piatu, dan 0,41 yatim piatu. Aktivitas yang paling banyak dilakukan oleh anak terlantar adalah menonton televisi dan makan bersama. Menurut BPS dari jumlah anak terlantar 3,1 juta anak (5,36 persen), sebagian besar masih memiliki orangtua lengkap (97,72 persen). Anak terlantar banyak dikirim atau ditempatkan pada panti asuhan. Isu ini dipertegas lagi dengan banyaknya jumlah panti asuhan. “Diperkirakan terdapat 5.250 hingga 8.610 panti asuhan seluruh Indonesia. Walaupun orangtua mereka masih lengkap, karena faktor kemiskinan dan agar anak dapat terpenuhi kebutuhan dasar dan akses ke pendidikan mereka memasukkan anaknya ke panti asuhan”. Masalah pengasuhan yang dilakukan oleh LKSA, beberapa temuan inti dari penelitian Save the Children bekerjasama dengan Departemen Sosial RI dan Unicef adalah: a. Panti Sosial Asuhan Anak lebih berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan akses pendidikan kepada anak dari pada sebagai lembaga alternatif terakhir pengasuhan anak yang tidak dapat diasuh oleh orangtua atau keluarganya. b. Anak-anak yang tinggal di panti umumnya (90 persen) masih memiliki kedua orangtua dan dikirim ke panti dengan alasan utama untuk melanjutkan pendidikan.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
39
c. Berdasarkan tujuan panti ke arah pendidikan, anak-anak harus tinggal lama di panti sampai lulus SLTA dan harus mengikuti pembinaan dari pada pengasuhan yang seharusnya mereka terima. d. Pengurus panti tidak memiliki pengetahuan memadai tentang situasi anak yang seharusnya diasuh di dalam panti, dan pengasuhan yang idealnya diterima anak. Data di atas menunjukkan sebagian besar orangtua anak terlantar masih ada, terutama ibu yang paling berperan dalam pengasuhan, namun karena faktor kemiskinan mereka sibuk bekerja di luar rumah baik di sektor pertanian, jasa maupun perdagangan. Keluarga miskin ini pada umumnya pendidikannya juga rendah. Sehubungan dengan itu kapasitanya dalam pengasuhan anak masih rendah. Untuk memperoleh akses pendidikan sebagian mereka menitipkan di panti sosial asuhan anak, baik milik masyarakat maupun pemerintah. Di panti sosial pun belum fokus pada peran pengasuhan secara ideal hanya dalam hal pemenuhan kebutuhan makan, tempat tinggal, akses pendidikan, dan kesehatan. Untuk kasih sayangnya masih terabaikan. 3. Masalah/Isu-Isu Dalam Kontek Perlindungan Anak Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak, diamanatkan salah satu hak anak adalah mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Terkait dengan perlindungan, secara umum semua anak membutuhkan perlindungan, baik dari orangtua, masyarakat, maupun pemerintah. Namun dalam beberapa situasi, anak membutuhkan perlindungan secara khusus. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
40
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual (ngamen, ABH Panti) anak yang diperdagangkan (contoh ABH Panti), anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan anak, korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Peningkatan perlindungan bagi anak merupakan salah satu prioritas pembangunan bidang sosial, salah satunya perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang memerlukan perlindungan khusus. Dalam proses tumbuh kembang anak menuju generasi muda yang berkualitas, banyak faktor yang dapat mempengaruhi, baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya, yang menyebabkan muncul permasalahan. Permasalahan yang dihadapi anak adalah merupakan pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh orang lain, baik orang dewasa maupun teman sebaya, orang terdekat dengan anak maupun orang lain. Pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh orang dekat anak (orangtua, kerabat dan lain-lain) pada umumnya terkait dengan kondisi rumah tangga atau keluarga yang juga sedang bermasalah. Seperti yang dikatakan bahwa terjadinya perdagangan anak dikarenakan keterpaksaan orangtua dan kekhawatiran yang sangat mendalam terhadap kondisi hidup mereka dalam membiayai keluarganya. Mereka menyetujui anaknya ditukarkan dengan harga uang, tidak sama sekali tahu menahu mau dikemanakan anak mereka itu, mau diapain nanti anak mereka dirawat oleh orang lain. Yang ada di pikiran mereka adalah ingin terhindar dari kesusahan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. (http://www.kpai.go.id/ artikel/maraknya-perdagangan-anak-akibat-pemerintah-terjebakmasalah-korups). Kerapuhan ekonomi dan kehidupan yang serba kurang memberikan tekanan bagi keluarga, dan kemudian memunculkan rasa frustasi. Keadaan frustasi ini, dengan pemicu
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
41
yang seringkali sederhana, mampu membangkitkan tingkah laku agresi. Objeknya adalah sesama anggota keluarga, dan seringkali anak karena posisinya yang lemah. Menurut Liunir Z, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak antara lain: (1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa. (2) Kemiskinan keluarga, banyak anak, (3) Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu dalam jangka panjang, atau keluarga tanpa ayah. (4) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak, harapan orangtua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak lahir di luar nikah. (5) Penyakit gangguan mental pada salah satu orangtua. (6) Pengulangan sejarah kekerasan: orangtua yang dulu sering ditelantarkan atau mendapat perlakukan kekerasan sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama, serta (7) Kondisi lingkungan sosial yang buruk, keterbelakangan (http:// file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_ KELUARGA/194903201974122-LIUNIR_ZULBACHRI/makalah_ Ke\ke rasan_terhadap_Anak.pdf). Beberapa faktor lain yang sebenarnya menjadi fakta penyebab pelanggaran hak anak bukan saja karena faktor kemiskinan tetapi adalah karena rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, lemahnya kesadaran hukum oleh orangtua/masyarakat sehingga mampu melakukan tindakan pelanggaran hak anak dan lemahnya penegak hukum atau tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran hak anak. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak bahwa data dari lembaga perlindungan anak yang ada di 30 provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus,
42
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
dan pada 2007 jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus. Kemudian Komnas Anak melaporkan bahwa selama periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat mereka seperti orangtua kadung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga. Pada tengah tahun 2013, menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, data pelanggaran hak anak sekitar 59.396.336 kasus dari 80 juta jumlah anak Indonesia, http://news. detik. com/read/2013/07/18/154429/2307141/10/komnas-anak-59juta-dari-80-juta-anak-indonesia-dilanggar-haknya. Selain itu, lembaga-lembaga perlindungan yang seyogyanya memberikan perlindungan penuh terhadap anak sebagai penerima pelayanan di lembaga tersebut, justru sering mengalami berbagai tindak kekerasan. Ditemukan di lapangan, bahwa pengurus lembaga tidak memahami hak anak yang harus dipenuhi oleh lembaga tersebut. Kemudian lembaga yang mendidik kedisiplinan terhadap anak dengan memberikan beban kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan anak, sehingga terjadi tindak kekerasan ketika anak tidak mampu melakukannya, seperti bentakan, pukulan, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian anak belum mendapatkan perlindungan, baik dari orangtua maupun lembaga, dan lembaga dan orangtua telah melanggar hak anak. Keberadaan lembaga yang belum mampu memberikan perlindungan terhadap anak, terkait dengan kurangnya kuantitas dan kulitas SDM lembaga, serta sarana dan prasarana yang dimiliki masih belum memenuhi kriteria lembaga yang mampu memberikan perlindungan terhadap anak. Perlindungan yang belum mampu diberikan oleh orangtua, masyarakat maupun lembaga, merupakan pelanggaran hak anak. Sebagai contoh anak yang dieksploitasi secara ekonomi adalah anak yang sebagian besar waktunya berada dan/atau bekerja dan hidup di jalanan. Menurut Pusdatin Kementerian Sosial RI, anak jalanan pada tahun 2011 berjumlah 135.983 jiwa. Data lapangan ditemukan anak yang sengaja menjadi pengamen di jalanan untuk Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
43
mendapatkan uang jajan. Berbagai penyebab anak harus berada di jalan, diantaranya adalah karena orangtua (bapak meninggal dunia) sehingga anak harus mencari sendiri kebutuhan hidupnya, karena pencari kerja utama yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup tidak ada lagi. Kemudian ditemukan juga anak yang terjebak dalam perdagangan orang dan mengalami tindak kekerasan seksual. Kemudian anak yang membutuhkan perlindungan khusus lainnya adalah anak dengan disabilitas. Berdasarkan hasil Susenas 2006 dan 2009, bahwa persentase anak dengan disabilitas mengalami kenaikan, baik dalam jumlah maupun persentase. Jumlah anak dengan disabilitas pada tahun 2006 tercatat sebanyak 193,35 ribu anak atau sekitar 0,26 persen dari jumlah anak. Sedangkan pada tahun 2009 angka tersebut mengalami kenaikan dua kali lipat menjadi 438,39 ribu anak atau 0,55 persen dari seluruh anak (Profil PMKS, 2011:h.104). Secara umum proporsi anak dengan disabilitas berdasarkan jenisnya paling tinggi adalah disabilitas tubuh sebesar 31,71 persen, diikuti anak disabilitas mental/tuna grahita sebesar 22,05 persen, dan disabilitas wicara/bisu sebesar 13,75 persen. Sementara jenis disabilitas rungu/tuli dan disabilitas jiwa merupakan yang paling rendah dengan persentase masing-masing sebesar 5,16 persen dan 2,28 persen (Profil PMKS, 2011:h.103-106). Beberapa hal yang saat ini sering juga didiskusikan adalah banyaknya anak-anak yang terkena kasus-kasus yang mengakibatkan anak tersebut mau tidak mau harus berhadapan dengan hukum. Anak yang berhadapan dengan hukum merupakan salah satu dari anak yang memerlukan perlindungan khusus. Kasus-kasus hukum yang menjerat anak tidak terlepas dari berbagi persoalan yang ada, baik di lingkungan keluarga, tetangga, teman sebaya (peers group), maupun lingkungan sekolahnya. Berbagai kasus hukum yang menjerat anak tersebut mulai dari kasus kriminal, eksploitasi, pelecehan seks
44
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
hingga penyalahgunaan zat adiktif dan tawuran pelajar, pelanggaran lalu lintas, yang senyatanya masih berada pada jenjang tumbuh kembang. Kasus itu bukanlah terjadi begitu saja, melainkan karena ada faktor pemicu dan pemacunya. Mulai dari penyebab sangat klasik, seperti desakan ekonomi (kemiskinan), dekadensi moral yang dipicu dari tereduksinya kasih sayang orangtua (pengawasan dan perhatian), hingga tekanan psikologis yang disebabkan manusia dewasa dalam berbagai kasus yang menyertainya. Tidak ketinggalan faktor kemudahan akses teknologi informasi memiliki andil besar atas terjadinya kondisi yang mungkin dialami sebagian anak-anak saat ini. Seperti juga yang terjadi pada kasus-kasus ABH yang ditemukan dalam penelitian ini. Seorang anak harus berhadapan dengan hukum karena perkenalannya yang secara singkat melalui handphon dengan teman laki-lakinya, yang menyebabkan menjadi korban tindak kekerasan seksual. Hal ini selain akses teknologi yang semakin mudah, juga kurangnya pengawasan dan perhatian orangtua sehingga anak lebih mudah melakukan apa yang dia mau tanpa memperhatikan akibat negatif yang mungkin terjadi. Kemudian anak yang harus melakukan kegiatan ekonomi karena orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhannya dan terjebak dalam penjualan anak. Secara konseptual Anak berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anakanak tersebut berusia di bawah 18 tahun. Dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Pedoman Umum Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, diperjelas, bahwa Anak yang berhadapan dengan hukum termasuk korban, pelaku, dan saksi. Berbagai permasalahan yang dihadapi ABH antara lain: (a) mereka menghadapi proses persidangan dan dimasukkan dalam penjara; (b) Seluruh ABH yang menjalani masa hukuman di Rumah Tahanan
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
45
tidak lagi melanjutkan sekolahnya; (c) Ruangan dan rumah tahanan sangat tidak representatif untuk anak-anak karena ABH di rutan bercampur dengan Napi dewasa; (d) ABH senantiasa mendapat julukan/label dari masyarakat sebagai “narapidana” atau anak nakal; (e) Kesadaran lembaga penegak hukum tentang pentingnya perspektif anak dalam penanganan ABH dengan pendekatan restoratif belum diselenggarakan sepenuhnya. Menurut Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin, tercatat ada 1.182 anak yang menjadi tahanan dan terjerat kasus asusila. Jumlah ini berada di bawah tahanan anak, dan anak pidana yang terjerat kasus pencurian sebanyak 1.957 orang, kasus narkotika 931 anak, kasus penganiayaan 358 anak dan kasus pembunuhan 224 anak. Sedangkan berdasarkan kategori usia, masih didominasi anak-anak berusia 17 dan 18 tahun. Namun ada enam orang tahanan anak yang ada di kategori usia sekolah dasar (SD). Terdiri dari masing-masing satu anak usia 9 dan 10 tahun serta empat anak usia 12 tahun, (http:// www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/07/23/mqdjhzmenkumham-kasus-asusila-di-kalangan-anak-sedang-tren.) Sedangkan menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak yang dilansir oleh Tempo online menyebutkan, bahwa tercatat 788 anak terjerat permasalahan hukum selama periode Januari hingga Juli 2012. Sedangkan penyebab anak berhadapan dengan hukum menurut Komnas Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum harus berada di kursi pesakitan akibat melakukan berbagai jenis kejahatan, seperti pencurian, kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan lainnya. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist M. Sirait dalam konferensi pers di kantornya Senin, 23 Juli 2012 mengatakan; kemiskinan telah menjadi akar utama permasalahan anak berhadapan dengan hukum, (http:// sosbud.kompasiana.com/2012/10/15/anak-dan-problematikabangsa-501440.html), 4 september 2013.
46
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Komnas Perlindungan Anak juga mencatat sebanyak 774 kasus anak yang berhadapan dengan hukum berasal dari kalangan ekonomi bawah, 11 kasus dari kalangan menengah, dan tiga kasus berasal dari kalangan atas. Jumlah tersebut sebagian besar adalah anak dari keluarga miskin dan putus sekolah mencapai 420 kasus. http:// komnaspa.wordpreAni.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-2011komisi-nasional-perlindungan-anak/. Jumlah tersebut hanya jumlah yang tercatat pada instansiinstansi yang terkait dengan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dan instansi dan lembaga perlindungan anak, jumlah yang dilaporkan oleh masyarakat maupun oleh lembaga-lembaga yang menangani masalah anak. Jumlah tersebut bisa jadi akan lebih banyak, karena banyak anak yang berhadapan dengan hukum, baik pelaku maupun korban yang sengaja maupun karena ketidaktahuan sehingga tidak dilaporkan kepada pihak yang seharusnya menangani kasus tersebut. Sebagai temuan lapangan ABH adalah secara konkrit masalah anak berhadapan dengan hukum dari hasil studi kasus terhadap empat orang informan ABH yaitu dua orang anak laki-laki sebagai pelaku masing-masing Andi (bukan nama sebenarnya) pelaku pencurian, dan Udin (bukan nama sebenarnya) pelaku tawuran, perkelahian, bentrok dengan guru, dan dua orang anak perempuan sebagai korban masing-masing Lia (bukan nama benarnya) korban pelcehan seksual (percobaan perkosaan oleh pacar) dan Ani (bukan nama sebenarnya) pelecehan seksual (pemerkosaan oleh kakak ipar) dan perdagangan anak yang dilakukan oleh teman sekolahnya. Dari hasil wawancara dengan anak, orangtua dan pendamping, gambaran kasus ABH yang ditemukan di lapangan adalah seperti kasus yang menimpa Udin, kasus pemukulan dan rentan berhadapan dengan hukum, akibat dari kenakalan anak. Keluarga Udin tinggal di lingkungan yang sering terjadi tawuran anak-anak sekolah dan
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
47
anak-anak yang disebut sebut sebagai anak kampung. Menurut orangtuanya, Udin sering terpancing dengan ajakan temannya, sehingga dikhawatirkan akan terlibat kasus dengan kepolisian. Sampai saat ini Udin tidak mau lagi sekolah dan diarahkan ibunya untuk bekerja. Kemudian kasus pelecehan seksual dan perdagangan orang yang dialami oleh Lia. Lia saat itu berusia 12 tahun mengalami dua kali kasus; Pertama, kasus perkosaan oleh kakak iparnya dan kasus kedua pelecehan seksual dan perdagangan orang oleh teman sekolahnya (SMP). Lia terkecoh dengan janji yang diberikan temannya, teman sekolahnya menawarkan pekerjaan, Lia tertarik dan dibawa ke tempat yang telah dijanjikan sebagai pekerjaan, ternyata Lia dijual temannya untuk menjadi pelayan orang dewasa. Ketertarikan Lia dengan tawaran pekerjaan yang ditawarkan temannya karena Lia membutuhkan uang jajan yang ia rasakan masih kurang diberikan orangtuanya. Orangtuanya mengakui, tidak pernah tau kalau anaknya ditawarkan pekerjaan oleh temannya. Selanjutnya adalah pencurian, Andi sebagai pelaku pencurian saat ini masih sekolah di SMP kelas 1(satu). Menurut orangtuanya, andi merupakan anak baik, penurut, dan rajin belajar. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan Andi setelah pulang sekolah hanya belajar, main di sekitar rumah dan pada malam harinya (kecuali malam Sabtu) belajar mengaji di Masjid. Hal seperti ini dilakukan Andi sejak sebelum terjadi masalah hukum yang menimpanya. Saat Andi terlibat kasus hukum masih bersekolah di kelas 5 SD. Masalah hukum yang terjadi pada Andi adalah masalah pencurian, yang sebenarnya dilakukan oleh salah seorang temannya. Namun karena saat itu Andi bersama dengan temannya yang melakukan pencurian, maka Andi juga ikut terkena imbasnya. Andi bersama temannya disidang oleh pemuka kampung untuk diadili. Kemudian kasus selanjutnya merupakan pelecehan seksual yang dialami oleh Ani. Ani anak ketiga dari tiga bersaudara. Menurut
48
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Ani kronologis kejadian adalah pada saat itu Ani berkenalan dengan seorang laki-laki melalui ponsel, setelah beberapa kali saling telephon, Ani menjalin pertemanan bersama pelaku, sampai pada akhirnya keduanya sepakat tidak saja hanya sebagai teman, tetapi bersahabat dekat (pacaran). Pada satu kesempatan, Ani diajak jalanjalan ke rumah pelaku, saat itu situasi di rumah pelaku sepi, tidak ada orang. Ani dibuatkan minuman oleh pelaku, setelah Ani meminum minuman yang dihidangkan pelaku, tiba-tiba Ani merasa pusing, dan saat itu pelaku mencoba memperkosa Ani. Kemudian salah satu permasalahan anak membutuhkan perlindungan khusus lainnya yang ditemukan di lapangan adalah Anak dengan HIV/AIDS (ADHA). Secara umum masalah yang dihadapi anak dengan HIV/AIDS (ADHA) bersumber pada 2 (dua) pihak secara bersamaan. Pertama, bersumber dari anak dan keluarga anak itu sendiri, Masalah yang bersumber dari anak terkait dengan stabilitas atau daya tahan mental (aspek psikologis) anak sebagai penyandang masalah. Hal ini sekaligus terkait dengan kemampuan keluarga anak dalam memberikan dukungan kepada anak (baik dukungan sosial, emosional, dan ekonomi). Dukungan ini sekaligus tercermin dalam pola pengasuhan yang diterapkan keluarga terhadap anak sebagai penyandang masalah. Kedua, bersumber dari masyarakat sekitar anak dan keluarga anak itu. Masalah yang bersumber dari masyarakat sekitar terkait dengan pengetahuan, persepsi, sikap dan atau perilaku masyarakat lingkungan sekitar anak dan keluarga sehubungan dengan statusnya sebagai penyandang HIV/AIDS. Masalah uatamanya adalah stigma yang berkembang di tengah masyarakat yang kemudian tercermin dalam sikap dan perilaku aktual dalam bentuk prasangka dan diskriminasi. Stigma berkembang di tengah masyarakat dalam bentuk pemberian cap atau label negatif kepada anak dan penyandang HIV/AIDS dan keluarganya didasarkan pada penilaian subjektif. “Sebenarnya kata orang sih, tidak menular kalau Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
49
cuma berteman biasa. Tapi kita tetap takut, buktinya anak itu tertular dari orangtuanya. Jadi kita tetap aja was-was menjaga diri”, demikian pengakuan seorang tetangga anak yang menjadi informan. Dari hasil wawancara dengan pendamping, gambaran kasus anak terinfeksi HIV/AIDS adalah sebagai berikut: Pada bulan Maret klien opname di rumah sakit selama dua minggu. Di rumah sakit ini klien diperiksa penyakit dan gejala penyakit lainnya. Orangtua setuju anaknya diperiksa HIV. Orangtua tidak menduga anaknya positif HIV, karena anak pertama dan kedua hasilnya negatif. Namun orangtua baru menyadari ketika melahirkan klien, saat itu mereka sudah positif HIV. Keluarga lain tidak ada yang tahu kecuali orangtua klien, bahkan klien saja tidak mengetahui bahwa mereka menderita HIV/AIDS. Dahulu ayah klien sering mabuk-mabukan dan masuk penjara. Dua tahun yang lalu keluar dari penjara. Setelah keluar dari penjara ayah klien sudah tobat dan sekarang ayah banyak berdiam di rumah. Ketika ada orang yang menawarkan kerjaan serabutan ia kerjakan. Isteri yang menderita sakit HIV saat ini tetap bekerja untuk kebutuhan hidup dalam keluarganya. Kasus klien di atas, anak terinfeksi melalui ibunya. Dan ibu terkena karena bapaknya yang suka mabuk-mabukan dan pernah masuk penjara. Jadi permasalahan tidak hanya dialami anak tetapi juga orangtua. Selanjutnya penilaian subjektif ini menghambat proses tumbuh kembang anak secara maksimal karena masyarakat cenderung membatasi diri dalam interaksi sosialnya. Secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak disadari, anak menjadi sulit mengakses layanan sosial yang dibutuhkan, bahkan mengalami pengucilan dalam pergaulannya. Kondisi ini terungkap dari pengakuan seorang nenek yang merawat cucunya yang mengalami HIV/AIDS, sebagai berikut:
50
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
“Kalo sepintas sih … gak ada masalah, mereka baik-baik aja melihat cucu saya, tapi sebagai neneknya, saya kan bisa merasakan. Gimana ya, mereka agak jaga jarak, ngomong seperlunya, dan kayak dibuat-buat, gitu lo mas”.
Pada saat yang bersamaan stigma dan diskriminasi ini menimbulkan ketidakadilan terhadap ODHA dan keluarganya sekaligus mempengaruhi kapasitas individu ADHA, keluarga, dan masyarakat, bahkan menjadi menghadapi akibat epidemi ini. Berdasarkan wawancara dengan sejumlah informan dan didukung dengan hasil diskusi kelompok, permasalahan ini terjadi karena beberapa hal seperti: (1) ketidaktahuan (keterbatasan) masyarakat akan informasi HIV/AIDS secara utuh; (2) berkembangnya mitosmitos tertentu tentang HIV di masyarakat; (3) adanya ketakutan irasional akan tertular HIV/AIDS; dan (4) HIV/AIDS sering dikaitkan dengan isu-isu moral. Lebih jauh hal ini mempengaruhi pemahaman anak dan keluarganya akan dirinya sendiri sehingga pada sisi tertentu merasa cap buruk yang diberikan kepadanya sudah sewajarnya diterima sebagai suatu kenyataan, merasa malu, dan rendah diri. Perasaan ini membawa tekanan psikologis, sehingga pada saat tertentu keluarga cenderung merahasiakan keberadaan anak dengan penyakitnya. Hal ini dikemukakan oleh informan masyarakat lingkungan (tetangga) seorang ADHA yaitu: “..... sebenarnya apa sih penyakit anak itu pak, kok bisa dapat bantuan khusus dari negara. Soalnya kalau mereka ditanya, jawabannya suka berubah-ubah”.
Sikap tertutup ini juga ditunjukkan keluarga ADHA kepada penulis selaku peneliti dengan melarang memotret anak yang menderita HIV/AIDS dengan menyatakan:
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
51
“..... wah jangan difoto mas, takutnya beredar kemana-mana, makin banyak yang tahu masalah ini, kan makin gede bebannya?”.
Situasi umum ini mencerminkan kompleksitas permasalahan anak dengan HIV/AIDS yang dialami anak bersama keluarganya. Dalam suasana kekalutan seperti ini PKSA hadir di tengah masyarakat dengan mengandalkan tenaga pendamping sebagai ujung tombaknya. Berdasarkan observasi dan wawancara, diketahui bahwa ADHA pada umumnya terinfeksi dari orangtuanya. Orangtua ADHA yang juga penderita AIDS pada umumnya tidak lengkap. Dengan demikian ADHA mempunyai status yatim, piatu, dan yatim piatu. Dengan demikian pengasuhan berlangsung timpang karena dilaksanakan oleh orangtua yang tidak utuh atau bahkan orangtua pengganti seperti nenek-kakek atau anggota kerabat lainnya yang pada umumnya juga mempunyai latar belakang kemiskinan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa, masih banyak anakanak yang belum dapat terpenuhi hak-haknya dalam mendapatkan perlindungan baik oleh orangtua maupun lembaga. Hal ini akibat dari keterbatasan orangtua maupun lembaga yang berkewajiban memberi perlindungan. Keterbatasan lembaga terlihat dari keterbatasan SDM, baik kuantitas maupun kwalitas, sarana prasarana, dan dana. B. Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak 1. Kebijakan Kesejahteraan, dan Perlindungan di Indonesia Gambaran Umum Perlindungan Sosial Mengacu pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Sejalan dengan hal ini, bagi Indonesia proses bernegara dan berbangsa dimaksudkan untuk menciptakan kesejahteraan bagi warganya. Ini berarti bahwa para pemimpin, pembuat kebijakan,
52
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
dan siapa saja yang tergerak membangun Indonesia harus menengok dan memperkuat konsepsi manajemen pemerintahan berdasarkan tujuan negara yang digagas oleh para pendiri bangsa dan negara (Suharto, 2006), sebagaimana tercantum dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 “..... melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lebih jauh (Suharto, 2006) menjelaskan, sebagai negara kesejahteraan, Indonesia harus fokus pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of citizenship) di satu pihak dan kewajiban negara di lain pihak (state obligation). Perlindungan dan jaminan sosial merupakan hak setiap warga negara sebagai mana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Lebih jauh Pasal 34 Ayat 2 Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 menyatakan bahwa, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat ......”. Beberapa pasal lain di dalam UUD 1945 lebih mempertegas pentingnya penghidupan yang layak bagi setiap warga negara, misalnya: Pasal 31 ayat 1 “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Pasal 34 ayat 1 “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Perlindungan Sosial di Indonesia Sebagaimana dijelaskan oleh Yohandarwati, dkk. (2003) gambaran umum sistem perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia diawali oleh adanya beberapa permasalahan pokok, yaitu: a. Belum adanya kepastian perlindungan dan jaminan sosial untuk setiap penduduk (WNI) agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana yang diamanatkan dalam
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
53
Perubahan UUD 1945 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat”. Perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini belum mampu mencakup seluruh warga negara Indonesia termasuk anak dengan disabilitas. b. Belum adanya satu lembaga dan peraturan perundangundangan yang melandasi pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial yang berlaku secara universal bagi seluruh warga Negara Indonesia. Pelaksanaan masing-masing jenis perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini masih dilandasi oleh UU dan atau PP yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terpisah-pisah dan bahkan tumpang tindih, sehingga benefit (kuantitas dan kualitas) yang diperoleh juga masih terbatas. Saat ini memang sudah ada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS. Lembaga ini dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sesuai Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba. Berdasarkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT Askes, dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT Jamsostek. Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek menjadi BPJS dilakukan secara bertahap. Pada awal tahun 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan, selanjutnya pada 2015 giliran PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Lembaga ini bertanggung jawab terhadap Presiden. BPJS berkantor pusat di Jakarta, dan bisa memiliki kantor perwakilan di tingkat provinsi serta kantor cabang di tingkat kabupaten/
54
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
kota. Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Ini sesuai Pasal 14 UU BPJS. Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan kemudian. Sedangkan bagi warga miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui program bantuan iuran. Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun juga pekerja informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan. Para pekerja wajib mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang diinginkan. Jaminan kesehatan secara universal diharapkan bisa dimulai secara bertahap pada 2014, dan pada 2019 diharapkan seluruh warga Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan tersebut. Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi menyatakan BPJS Kesehatan akan diupayakan untuk menanggung segala jenis penyakit namun dengan melakukan upaya efisiensi. Ini berarti bahwa hingga saat ini perlindungan sosial sebagai serangkaian hak dasar dan bantuan sosial langsung yang memungkinkan dan memberdayakan semua anggota masyarakat untuk dapat mengakses barang dan jasa minimum kapan saja belum terlaksana di Indonesia. Secara ekplisit kenyataan di lapangan masih menunjukkan belum semua warga memiliki akses terhadap perawatan kesehatan pokok dan pendidikan, belum semua anak mendapatkan jaminan untuk memastikan akses terhadap nutrisi, pendidikan, dan pengasuhan. 2. Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Sosial Anak di Indonesia Untuk merespon masalah/isu-isu tentang anak, berbagai kebijakan telah dikeluarkan Pemerintah sebagai dasar dalam Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
55
mewujudkan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan bagi anak Indonesia yang diawali oleh Pancasila dan UUD RI 1945 sebagaimana telah diuraikan di atas. Lebih spesifik lagi yaitu Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang ini mengatur tentang kesejahteraan anak, usia anak, hak anak termasuk hak anak yang tidak mempunyai orangtua, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan, dan anak cacat. Undang-undang ini juga mengatur tentang tanggung jawab orangtua terhadap kesejahteraan anak, dan usaha kesejahteraan anak. Selanjutnya, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden RI Nomor 36/1990, pada 25 Agustus 1990, dan sesuai ketentuan dalam KHA, tiga puluh hari kemudian KHA berlaku di Indonesia yakni mulai tanggal 5 Oktober 1990. Konsekuensi dari mengadopsi dan meratifikasi KHA adalah Masyarakat, Bangsa, dan Negara Indonesia wajib mengakui dan memenuhi hak-hak Anak yang dirumuskan dalam KHA. Dalam wacana HAM, ”Anak” (manusia) sebagai pemegang hak; sedang ”Negara” adalah pihak yang berkewajiban memenuhi hak anak. Negara-negara peserta ratifikasi, akan mengambil semua langkah legislatif, administratif, dan lain sebagainya. Untuk mengimplementasikan KHA, di Indonesia ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tanggal 22 Oktober 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sebagai tindak lanjut dari kebijakan tersebut dibentuk ”Komisi Perlindungan Anak Indonesia” (KPAI), yang ”independent” (Pasal 74 UU PA). Prinsip-prinsip umum KHA yaitu non diskriminasi, menghargai pendapat anak, kepentingan terbaik bagi anak, dan hak hidup; kelangsungan hidup; perkembangan (UU PA Pasal 2). Hak anak dalam KHA meliputi: “hak sipil dan kebebasan
56
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
fundamental, hak kesehatan, gizi, air dan sanitasi lingkungan, hak lingkungan keluarga dan perawatan alternatif, hak pendidikan, waktu bersantai dan main & kegiatan budaya, dan hak perlindungan khusus”. Dalam hal ini anak adalah sebagai pemangku hak yang bertanggung jawab untuk bertindak dan menyatakan hak-hak mereka; dan Negara sebagai pengemban tugas yang bertanggung jawab untuk bertindak dan memenuhi/ melindungi/menghormati hak-hak pemangku hak. Dalam undang-undang ini dijelaskan Peran Keluarga yaitu: ”keluarga paling berkewajiban mengakui dan memenuhi hak-hak anak, keluarga berada pada posisi sentral dan utama dalam memberikan perlindungan pada anak, keluarga adalah lingkungan terdekat bagi anak dan keluargalah yang paling mengenali kebutuhan dan kondisi anak” (Pasal 26 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak); Peran Masyarakat yaitu: ”Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak, peran masyarakat dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (Pasal 72 UU Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak); dan Peran Pemerintah yaitu: ”bertanggung jawab atas pelaksanaan tahapan pada aspek legislatif, administratif, dan lainnya dengan memaksimalkan sumber yang ada, bertanggung jawab dalam hal pembuatan laporan kepada PBB dan masyarakat, dan bertanggung jawab untuk melakukan diseminasi KHA baik kepada semua pihak termasuk anak-anak”. Pada tahun 2009 lahir Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial yang mengatur penyelenggaraan kesejahteraan sosial, penanggulangan
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
57
kemiskinan, tanggung jawab dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah, sumber daya penyelenggaraan kesejahteraan sosial, peran masyarakat, pendaftaran dan perizinan lembaga kesejahteraan sosial, akreditasi dan sertifikasi, pembinaan dan pengawasan serta pemantauan dan evaluasi. Undangundang ini juga mengatur bahwa Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pada Pasal 6 diamanatkan bahwa “penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada: 1) perseorangan; 2) keluarga; 3) kelompok; 4) dan/atau masyarakat. Penyelenggaraan sejahteraan sosial diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial yaitu: kemiskinan; ketelantaran; kecacatan; keterpencilan; ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; korban bencana; dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: rehabilitasi sosial; jaminan sosial; pemberdayaan sosial; dan perlindungan sosial”. Salah satu respon pemerintah terhadap pemecahan masalah Balita Terlantar adalah melalui pengangkatan anak. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, mengenai Pengangkatan Anak dalam PP ini adalah “suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkat”. PP ini juga mengatur tentang jenis pengangkatan anak, syarat-syarat pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak, bimbingan dalam melaksanakan pengangkatan anak, pelaksanaan pengawasan pengangkatan anak, dan pelaporan. Secara lebih rinci persyaratan pengangkatan anak diatur melalui Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/HUK/2009. Selanjutnya untuk operasionalisasi perlu dibentuk suatu tim yang diatur
58
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
dengan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 37/ HUK/2010 tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Pusat. Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Pusat yang selanjutnya disebut Tim PIPA Pusat adalah Tim yang memberikan pertimbangan kepada Menteri dalam memberikan izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing atau pengangkatan anak yang salah satu Calon Orangtua Angkat Warga Negara Asing atau pengangkatan anak oleh orangtua tunggal. Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Daerah yang selanjutnya disebut Tim PIPA daerah adalah Tim yang memberikan pertimbangan kepada gubernur c.q. kepala instansi sosial dalam memberikan izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antar Warga negara Indonesia. Respon terhadap masalah pengasuhan anak di dalam panti atau lembaga kesejahteraan sosial (LKSA), Kementerian Sosial Republik Indonesia telah menetapkan standar pengasuhan melalui Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial. Permen ini mengatur tentang prinsip-prinsip utama pengasuhan alternatif untuk anak, standar penentuan respon yang tepat bagi anak (standar peran LKSA dalam pelayanan bagi anak dan standar perencanaan pengasuhan), standar pelayanan pengasuhan (standar pendekatan awal dan penerimaan rujukan, standar pelayanan pengasuhan oleh LKSA, standar pelayanan berbasis LKSA, standar pelaksana pengasuhan dan standar evaluasi dan pengakhiran pelayanan), standar kelembagaan yang mencakup visi, misi, perizinan, dan fasilitas. Untuk masalah kesehatan bagi anak terlantar dalam panti, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1259/Menkes/SK/XII/2009 tentang Program Jamkesmas bagi
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
59
Penghuni Panti Sosial, Korban Bencana dan Penghuni Lapas dan Rutan. Sebagai petunjuk pelaksanaanya, pada tahun 2011 dikeluarkan Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Panti oleh Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan. Dalam merespon akses kesehatan anak dan remaja, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengatur tentang kesehatan anak dan remaja (Pasal 128 s/d Pasal 137) yang menjelaskan: (1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis; (2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus; dan (3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum (Pasal 128). Selanjutnya Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif (Pasal 29) dan Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak (Pasal 30). Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun. Pada ayat (3) upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orangtua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah, dan pemerintah daerah (Pasal 131). Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak tumbuh
60
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
dan berkembang secara sehat dan optimal. Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi (Pasal 132). Selanjutnya setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Pasal 133). Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/ atau kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut. Standar dan/atau kriteria dimaksud harus diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 134). Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat. Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan dimaksud wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak membahayakan kesehatan anak (Pasal 135). Demikian pula Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi. Upaya pemeliharaan kesehatan remaja dimaksud, termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat dan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (Pasal 136). Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
61
Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab. Pada ayat (2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai, agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 137). Respon terhadap akses pendidikan anak dan remaja, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, telah mengatur mengenai Hak dan Kewajiban Warga Negara. Pada undang-undang ini diamanatkan, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat (Pasal 5). Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan (Pasal 6). Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/ atau informal. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok
62
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan (Pasal 28). Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi (Pasal 32). Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Menteri Agama RI, Menteri Sosial RI, dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 0318/P/1984, Nomor 43/HUK/ KEP/VII/1984 tentang Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak dengan Kecacatan, dan Anak bertempat tinggal di daerah Terpencil dalam rangka pelaksanaan Wajib Belajar. Respon terhadap masalah/isu anak jalanan, telah diatur dalam Kesepakatan Bersama antar: Kementerian Sosial Republik Indonesia, Kementerian Dalam Negeri RI, Kementerian Pendidikan Nasional RI, Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Agama RI, Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, dan Kepolisian RI tentang Peningkatan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan. Kesepakatan bersama ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dalam upaya penanganan dan peningkatan kesejahteraan sosial anak jalanan yang berbasis hak anak. Pada kesepakatan bersama ini diatur tentang tugas dan tanggung jawab pihak-pihak yang bersepakat.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
63
Bagi penanganan anak dengan disabilitas dasar hukumnya tidak ada secara khusus tetapi sama dengan penyandang disabilitas secara umum yaitu Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Penyandang Cacat dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Belum ada kebijakan yang mengatur secara khusus anak dengan disabilitas. Perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum telah diatur melalui Kesepakatan Bersama antara Direktur Jenderal PRS Departemen Sosial RI dengan Direktur Jenderal PAS Departemen Hukum dan HAM RI Nomor 20/PRS-2/ KEP/2005, tentang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Didik Pemasyarakatan dan Kesepakatan Bersama Menteri Sosial RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kesehatan RI, Menteri Agama RI, Kepolisian Negara RI Nomor: 12/PRS-2/KPTS/2009, Nomor M.HH.04.MH.0302. Tahun 2009; Nomor 11/XII/2009; Nomor 1220/Menkes/SKB/ XII/2009; Nomor 06/XII/2009; Nomor B/43/XII/2009, tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum. Pengadilan bagi anak berhadapan dengan hukum telah diatur oleh Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang ini diantaranya mengatur tentang keadilan restoratif, diversi, dan acara peradilan anak. Yang dimaksud Keadilan Restoratif adalah “penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”. Diversi adalah “pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana”. Selanjutnya Kementerian Pemberdayaan
64
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Perempuan dan Perlindungan Anak juga mengaturnya melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum. Bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK) secara spesifik belum ada kebijakan yang mengaturnya. Dalam penanganannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku umum untuk semua usia seperti: Pertama, Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini melarang kekerasan baik fisik, psikologis, maupun seksual dalam rumah tangga termasuk terhadap orang yang bekerja dalam rumah tangga, dan memberikan sanksi bagi para pelanggarnya. Pembantu rumah tangga termasuk pihak yang dilindungi oleh undang-undang ini (pasal 2). Kedua, Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia. Kebijakan ini memberikan dasar hukum bagi pelarangan perdagangan manusia termasuk anak. Disamping itu memberikan kekuatan bagi para aparat penegak hukum untuk mengivestigasi dan menuntut para pelanggar berbagai bentuk perdagangan manusia. Ketika seorang korban adalah anak-anak, maka kebijakan ini menambahkan 1/3 sanksi tambahan (ayat 17). Undang-undang ini juga memberikan layanan perlindungan sangsi. Respon Kementerian/Lembaga lainnya terkait dengan pekerja anak yaitu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada Bab sembilan mengatur tentang perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan yaitu pengusaha dilarang mempekerjakan anak (pasal 68) dan dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Pengusaha yang Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
65
mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi persyaratan: a) izin tertulis dari orangtua atau wali, b) perjanjian kerja antara pengusaha dengan orangtua atau wali, c) waktu kerja minimal 3 jam, d) dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, e) keselamatan dan kesehatan kerja, f) adanya hubungan kerja yang jelas, dan g) menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kecuali bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Selanjutnya pasal 75 mengamanatkan Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Maksudnya adalah untuk menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya ini harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan terorganisasi dengan instansi terkait. Respon terhadap isu perkawinan dini, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 6 mengamanatkan “untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua, dan pasal 7 mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai usia 16 (enam belas) tahun”. Dalam rangka pemenuhan hak sipil, Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran Dalam Rangka Perlindungan Anak. Pedoman ini dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam melaksanakan percepatan kepemilikan Akta Kelahiran bagi anak Indonesia. Dalam melaksanakan pedoman ini Deputi Bidang Perlindungan Anak membentuk Forum Koordinasi Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dan forum ini menyelenggarakan rapat koordinasi secara berkala, sekurang-
66
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
kurangnya 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun yang diikuti oleh anggota Forum Koordinasi wakil dari kementerian/lembaga terkait. Pemenuhan Hak Sipil Anak dimana setiap anak berhak atas identitas diri yang diwujudkan dalam bentuk Akta Kelahiran yang merupakan Hak Dasar Anak oleh undang-undang diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan setiap penduduk untuk melaporkan peristiwa kependudukan termasuk kelahiran anak kepada instansi yang melaksanakan pelayanan dalam urusan administrasi kependudukan, serta mengamanatkan Pemerintah untuk melakukan pelayanan pencatatan sipil dengan mengeluarkan Akta Kelahiran. Pada pelaksanaan undangundang ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan Undang Undang Nomor 23 tentang Administrasi Kependudukan. Berhubung di masyarakat masih banyak anak-anak Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran, maka pada tahun 2012 Kemnterian KPP-PA mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 06 Tahun 2012 tentang Pedoman Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran Dalam Rangka Perlindungan Anak. Pedoman ini dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam melaksanakan percepatan kepemilikan akta kelahiran bagi anak Indonesia. 3. Kebijakan Provinsi dan Kabupaten/Kota Pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak di daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota seyogyanya diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). Namun belum semua kebijakan pusat atau di tingkat nasional ditindaklanjuti di daerah provinsi, apalagi di tingkat kabupaten/kota. Berdasarkan
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
67
hasil penelitian di tiga lokasi sampel, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sudah menindaklanjuti Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 dengan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang dapat dijadikan acuan didalam membuat kebijakan kesejahteraan dan perlindungan anak. Untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta khusus kesejahteraan dan perlindungan anak secara umum belum ada, tetapi sudah ada kebijakan khusus untuk anak yang hidup di jalan yaitu Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan. Peraturan ini mengatur tugas dan kewenangan pemerintah daerah, pelaksanaan perlindungan anak yang hidup di jalan yang meliputi upaya perlindungan, pencegahan, penjangkauan, dan upaya pemenuhan hak-hak (identitas, hak pengasuhan, kebutuhan dasar, kesehatan, pendidikan dan hak mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum). Disamping itu juga mengatur kewajiban anak, Lembaga Kesejahteraan Sosial, Forum Perlindungan Anak yang hidup di Jalan. Operasionalisasinya diatur melalui Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 31 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penjangkauan dan Pemenuhan Hak Anak yang Hidup di Jalan, mengatur tata cara penjangkauan (pembentukan tim, pemetaan, dan pendataan), pemenuhan hak anak (penempatan, pelayanan hak anak), penelusuran keluarga, pengembalian ke keluarga asal dan pengawasan. Mengenai keanggotaaan forum diatur melalui Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 181/ KEP/2012 Tentang Pembentukan Forum Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan mengatur tentang keanggotaan forum dan tugas forum yaitu melaksanakan koordinasi antar lembaga dalam upaya perlindungan anak yang hidup di jalan yaitu: 1) melakukan koordinasi dengan Dinas/Instansi/Lembaga/Yayasan terkait dalam pemenuhan hak-hak anak sesuai dengan bidang tugas
68
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
masing-masing, 2) menyiapkan bahan dan merumuskan konsep kebijakan berkaitan dengan penanganan dan pelayanan anak yang hidup di jalan, 3) menerima laporan program dan kegiatan perlindungan anak yang hidup di jalan, 4) menyebarluaskan informasi dan peraturan yang berkaitan dengan penanganan anak yang hidup di jalan, dan 5) monitoring dan evaluasi pelaksanaan perlindungan anak yang hidup di jalan. Forum Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Gubernur. Bagi anak dengan disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta telah terdapat Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas sebagai penjabaran dari Undangn Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Penyandang Disabilitas disini termasuk anak dengan disabilitas. Dalam rangka mendukung perumusan kebijakan daerah tentang kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak, Unicef sedang menyusun “Pedoman Penyusunan Peraturan Daearah terkait dengan Perlindungan Anak”. Pedoman ini masih dalam proses penyusunan. Diharapkan dengan selesainya pedoman ini dapat mejadi acuan bagi pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam menyusun Perda tentang Perlindungan Anak. 4. Pendapat Informan tentang Implementasi Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak Hasil wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan yang terkait dengan kesejahteraan dan perlindungan anak diketahui bahwa antara peraturan perundang-undangan yang satu dan lainnya “belum harmonis”, seperti masalah batasan usia anak dan para pelaksana belum mempunyai pemahaman yang sama tentang isi peraturan perundang-undangan tersebut,
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
69
dan antara peraturan nasional “belum sinkron atau masih ada yang belum menindaklanjuti”, dengan peraturan daerah (Perda). Hal ini dapat dilihat dari hasil FGD dan wawancara mendalam dengan informan sebagai berikut: Di antara perundangan-undangan belum ada harmonisasi antar undang-undang yang ada, contoh batasan usia anak pada undangundang perkawinan dengan undang-undang tenaga kerja dan undang-undang perlindungan anak (hasil FGD di DKI).
Hal serupa juga di kemukakan oleh informan dari KPPPA, yang menyatakan sebagai berikut: Masih sangat terbatas peraturan perundang-undangan yang harmonis, misalnya undang-undang perkawinan dan undangundang perlindungan anak. Demikian pula antara pusat dan daerah, banyak yang belum menindaklanjuti dengan Perda.
Sedangkan informan UNICEF, menyatakan bahwa kebijakan yang telah dibuat merupakan tantangan di dalam implementasi di lapangan sebagaimana yang dikemukakan sebagai berikut: Tantangan kebijakan antara lain berbagai undang-undang tidak harmonis seperti masalah umur dan pemahaman dan bagaimana perundangan-undangan di tingkat pusat terimplementasi di tingkat daerah.
Namun dalam pelaksanaannya menurut KPAI, mengenai umur atau usia anak tetap mengacu kepada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Permasalahan lain adalah belum ada pemahaman yang sama tentang subsantsi peratutan perundang-undangan, misalnya tentang eksploitasi pada anak. Hal ini dapat dilihat dari salah satu pernyataan informan:
70
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Saya dan salah satu pengasuh baru saja mengikuti sosialisasi Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tetang Perlindungan Anak, sekarang “saya merasa“ takut menugaskan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan domestik panti, seperti mencuci piring, menyapu, karena takut dikatakan mengeksploitasi, apakah itu eksploitasi?
Demikian pula pemahaman tentang kekerasan pada anak ini juga menjadi polemik dalam masyarakat. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia memiliki berbagai budaya dan norma yang berbeda di tiap-tiap daerah (pluralisme) dalam budaya dan agama. Contohnya memukul anak dalam penerapan disiplin melaksanakan shalat dalam agama Islam ada hadis yang menyatakan: “Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur mereka (putera-puteri)” (HR. Abu Dawud). Pukulan ini bila dterjemahkan secara harafiah merupakan salah satu tindak kekerasan terhadap anak. Sehubungan dengan itu pukulan seperti apa yang dibolehkan? belum ada kesepakatan atau definisi yang operasional untuk seluruh budaya dan agama yang terdapat di Indonesia. Di lain pihak Jamal Abdurrahman Athfal al-Muslimin, kaifa Rabbahum an-Nabiy al-Amin dalam Liza (2010), Pola Asuh Orangtua Anak Menurut Ajaran Rasullullah, antara lain menyatakan: Nabi tidak pernah memukul anak-anak selamanya, tetapi beliau menjelaskan prinsip-prinsip dasar dan aturan dalam memukul. Kaidah-kaidahnya adalah sebagai berikut: 1) Pukulan tidak boleh diberikan sebelum usia sepuluh tahun. 2) Pukulan boleh diberikan pada anggota tubuh yang memungkinkan, batas maksimal hukuman hanya sepuluh kali itupun hanya kepada anak yang baligh dan mukallaf. Dan jangan memukul terlalu
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
71
keras sehingga sampai terangkat ketiak, dan jangan tempat sensitif seperti wajah atau kepala. Sehubungan dengan itu agar tidak terjadi pemahaman yang berbeda-beda diperlukan sosialisasi dan perumusan definisi operasioanal setiap konsep yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, sehingga pengasuh dapat bertndak secara terukur. Sistem pemerintahan otonomi memerlukan adanya peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (Perda) yang mengatur kesejahteraan dan perlindungan anak sebagai implementasi dari kebijakan pemerintah (nasional). Dari hasil penelitian menunjukkan beberapa daerah sudah menindaklanjuti undangundang perlindungan anak dan juga ada yang belum, misalnya kasus DIY menurut informan (DPRD Provinsi): • Perda yang sudah ada terkait dengan Perlindungan Anak antara lain; HIV, Anak yang Hidup di Jalan, Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas termasuk anak dengan disabilitas, Narkoba. • Implementasinya belum cukup, masih banyak anak yang hidup di jalan. Hal ini disebabkan adanya kendala koordinasi dengan kabupaten/kota dan dengan Polda. • Alokasi anggaran untuk perlindungan anak sebenarnya tidak ada masalah bagi DPRD, yang penting diajukan dengan dukungan data yang lengkap oleh SKPD terkait, pasti akan di support. • Dalam menangani anak jalanan misalnya perlu dilakukan secara komprehensif dari segala aspek. Untuk itu perlu dibentuk satu tim adhoc seperti KPK, perlu manajemen Adhoc dan diberi rentang waktu misalnya dua tahun melalui SK Gubernur untuk menangani kasus perkasus seperti Sekber Kartomantul dalam menangani pariwisata. • Pembuatan Perda Anak yang Hidup di Jalan adalah inisiatif eksekutif, Narkotika inisiatif DPRD, Penyandang Disabilitas inisiatif eksekutif, HIV inisiatif DPRD.
72
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Menurut informan DPRD Kabupaten Sleman dalam FGD menyatakan: • Persoalan anak adalah persolan mendasar, contoh perlindungan anak untuk tidak menonton tontonan yang dapat merusak. Masalah ini cukup serius dengan adanya globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi. Seperti yang terjadi satu bulan terakhir ada 10 kejadian anak menikah di bawah umur akibat hamil. • Perlu dipikirkan upaya pencegahannya misalnya pelarangan penggunaan HP, atau penataan pengelolaan warnet. • Lemahnya kontrol sosial perlu ditingkatkan kearifan lokal. • Regulasi berupa Perda baru dibahas atas inisiatif DPRD – baru sampai naskah akademis yaitu Raperda Perlindungan Anak. Pembahsan awal bukan dari Komisi D karena di Komisi D overload, tetapi ditangani oleh Komisi lain.
Implentasi kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak dalam bentuk program dan kegiatan di provinsi dan kabupaten/kota sudah dialokasikan di berbagai SKPD terkait. Hasil wawancara menunjukkan bahwa setiap SKPD terkait dengan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak sudah menganggarkan dalam bentuk kegiatan, namun dalam pelaksanaan masing-masing SKPD masih berjalan sendirisendiri atau belum ada sinkronisasi ataupun koordinasi. Seperti untuk pendidikan wajib belajar 9 tahun belum menyentuh anak jalanan dengan berbagai alasan seperti anak belum punya akta, atau tidak bisa diterima karena berbagai macam alasan. Dua kasus anak jalanan di Kota Yogyakarta keduanya sekolah di sekoalah swasta yang setiap bulannya harus membayar uang sekolah. Dari hasil diskusi juga terungkap masih minimnya sarana dan prasarana pendukung dalam perlindungan anak
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
73
misalnya rumah aman, lapas anak, dan masih kurangnya jumlah dan kapasitas SDM yang memahami tentang masalah dan kebijakan perlindungan anak.
74
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
BAB IV EFEKTIVITAS PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) dirancang sebagai upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial dan bantuan kesejahteraan sosial anak bersyarat (conditional cash transfer) yang meliputi: 1). Bantuan sosial/subsidi pemenuhan hak dasar (akta kelahiran, tempat tinggal, nutrisi, air bersih, dan lain-lain) 2) Peningkatan aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar (akses pendidikan dasar, akses pelayanan kesehatan, akses pelayanan rehabilitasi sosial, dan lainlain 3) Pengembangan potensi diri dan kreatifitas anak. 4) Penguatan tanggung jawab orangtua/keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan anak 5) Penguatan kelembagaan kesejahteraan sosial anak. Anak sebagai penerima manfaat PKSA dikelompokkan dalam enam kluster yaitu, anak Balita Terlantar, Anak Terlantar, Anak Jalanan, Anak dengan Kecacatan, Anak yang Berhadapan dengan Hukum dan Anak yang membutuhkan Perlindungan Khusus. Hasil evaluasi terhadap PKSA masing-masing kluster disajikan pada uraian berikut ini. Populasi penyandang masalah kesejahteraan sosial anak masingmasing kluster dapat dilihat pada gambar berikut: Diagram 3. Populasi PMKS anak
Sumber: Profil PMKS 2011, Dirjen PAS 2012, Pusdatin 2010 Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
75
Diagram 4. Penerima Manfaat PKSA 2011-2013
Sumber: Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak September 2013
Bab empat ini menguraikan hasil evaluasi terhadap hasil yang dicapai dari PKSA dilihat dari dampaknya terhadap penguatan kelembagaan kesejahteraan sosial anak, penguatan tanggung jawab orangtua/keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan anak dan manfaatnya terhadap pemenuhan hak dasar (akta kelahiran, tempat tinggal, nutrisi, air bersih, peningkatan aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, akses pendidikan dasar, akses pelayanan kesehatan, akses pelayanan rehabilitasi sosial). A. Dampak PKSA terhadap Penguatan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial Anak Pelaksana program kesejahteraan sosial anak adalah lembaga kesejahteraan sosial (LKSA) dan didalamnya terdapat Sakti Peksos yang ditempatkan di LKSA, tenaga kesejahteraan sosial dan relawan sosial yang berperan sebagai pendamping. Sakti Peksos adalah tenaga profesional yang khusus ditempatkan sebagai pendamping dalam PKSA, namun jumlahnya tidak seimbang dengan jumlah LKSA yang mengelola PKSA. Hal ini dapat dilihat pada diagram berikut.
76
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Diagram 5. Sasaran LKSA dan SDM Pelaksana PKSA Tahun 2013-2012
Sumber: Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak 2013
Data di atas menunjukkan bahwa jumlah LKSA yang telah diintervensi untuk mengelola PKSA jauh lebih banyak dibandingkan jumlah Sakti Peksos (SDM) yang difasilitasi sebagai pelaksana pendampingan dalam melaksanakan PKSA. Pada tahun 2012 terdapat 6.728 PKSA pelaksana PKSA, sedangkan pendampingnya yang berasal dari Sakti Peksos hanya 1.111 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar LKSA tidak memiliki pendamping yang berasal dari Sakti Peksos. Bagi mereka yang tidak memiliki Sakti Peksos, pendampingan dilakukan oleh SDM yang dimiliki dan difasilitasi oleh LKSA jumlahnya cukup banyak yaitu sekitar 83,5 %. Hal ini akan berpengaruh pada hasil yang dicapai. Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa 6 LKSA yang dijadikan kasus, 3 LKSA diantaranya yaitu Panti Asuhan Pengayoman (AT-DKI) , Rumah Singgah Ahmad Dahlan (Anjal- DIY) dan Seksi Sosial Kecamatan (ADK-DKI) tidak mempunyai Sakti Peksos. Pada LKSA Ahmad Dahlan sebelumnya ada satu orang Sakti Peksos, tetapi pada saat penelitian sudah mengundurkan diri karena mendapatkan pekerjaan baru. Tugas pendampingan dilakukan oleh Peksos Rumah Singgah. Pada LKSA Pengayoman pendampingan dilakukan oleh
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
77
pengasuh yang belum mempunyai kompetensi secara khusus. Sedangkan untuk SSK pendampingan dilakukan oleh PSM. Dampak PKSA terhadap penguatan LKSA adalah peningkatan tugas dalam perlindungan anak dapat dilihat dari dua aspek yaitu pelaksanaan tugas LKSA dan tugas pendamping yang ditunjuk untuk melaksanaan pendampingan terhadap penerima bantuan. Pelaksanaan Tugas LKSA Keberhasilan LKSA dapat dilihat dari pelaksanaan tugasnya dalam mengelola PKSA sesuai dengan Pedoman Operasional PKSA yaitu: 1. Menyiapkan data PKSA secara lengkap (by name by address, karaktaristis masalah dan potensi dan sumber daya sosial ekonomi). Kegiatan ini sudah dilakukan dengan baik untuk hal data nama dan alamat lengkap. Namun untuk karaktaristik, kebutuhan dan sumber daya sosial dan ekonomi belum dilakukan secara lengkap dan terinci, terutama bagi LKSA yang tidak mempunyai Sakti Peksos. 2. Melakukan penjangkauan dan pendampingan sosial terhadap anak yang membutuhkan layanan PKSA dengan melibatkan Pekerja Sosial Anak, TKSA dan Relawan Sosial Anak. Kegiatan ini sudah dilakukan namun belum maksimal karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan pendamping, keterbatasan anggaran yang tersedia untuk melakukan kunjungan dan rasio yang cukup besar. 3. Memfasilitasi penyelenggaraan layanan bagi anak dan keluarga yang menjadi penerima manfaat PKSA termasuk mendampingi anak dan orangtua/wali dalam proses pembukaan Tabungan Kesejahteraan Sosial Anak pada Bank setempat atau Lembaga Keuangan Mikro yang berbadan hukum. Kegiatan ini sudah dilakukan dengan pendamping. 4. Menangani kasus yang melibatkan profesional dan instansi terkait, sudah dilaksanakan tapi belum maksimal.
78
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
5. Melakukan pembinaan, supervise, monitoring dan evaluasi. Kegiatan yang dilakukan baru sebatas monitoring masalah keuangan, tetapi belum mengevaluasi hasil. Hal ini terlihat dari belum tersedianya data keberhasilan. Misalnya seorang anak diterminasi belum ada yang berhasil, tetapi karena usianya sudah 17 tahun atau melakukan pelanggaran terhadap penggunaan uang. 6. Melakukan advokasi sosial kepada lembaga-lembaga mitra penyelenggaraan kesejahteraan sosial anak. Kegiatan ini belum sempat dilakukan karena kesibukan mengurusi hal-hal yang sifatnya administrates. 7. Membangun jaringan dengan pihak terkait. Kegiatan ini sudah dilakukan dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan dan akta kelahiran. 8. Membuat laporan pelaksana PKSA sesusi dengan tugas-tugas dan kewenangan yang dimiliki. Pelaporan sebagian besar substansinya masih terbatas pada pertanggungjawaban administratif, belum menyangkut penilaian pencapaian target fungsional. Dari uraian di atas terlihat bahwa sebagaian besar tugas pokok LKSA dalam melindungi anak masih terbatas. Hal ini disebabkan antara lain ketergantungan LKSA dalam pelaksanaan tugasnya kepada dana operasional yang jumlahnya terbatas dan keterbatasan jumlah dan kualitas pendamping. Pelaksanaan Tugas Pendamping Tugas pendampingan pada umumnya sudah dilakukan, namun belum sumuanya melakukan sesuai dengan tugas pokoknya sebagai pendamping. Dari hasil wawancara dengan beberapa orang informan ada 4 kategori asal pendamping yaitu dari pengasuh pada panti asuhan, dari sakti peksos yang ditempatkan pada LKSA, dari pekerja sosial LKSA (TKSA) dan dari pekerja sosial masyarakat (PSM) yang kegiatannya tidak melalui LKSA. Adapun pelaksanaan tugas pendamping dari empat kategori tersebut adalah sebagai berikut:
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
79
1. Pendamping dari panti asuhan (pengasuh), hasil penelitian menunjukkan bahwa “Sampai saat ini informan tidak pernah dilibatkan dalam hal penerimaan anak dan administrasi, demikian juga dengan PKSA. Informan hanya diberi tugas sebagai pengasuh. Kondisi anak asuh di panti, saat masuk banyak yang belum memiliki akta kelahirann, Yayasan berusaha mengurus akta lahir, namun sampai saat ini belum semua anak asuh dapat memiliki akta lahir, karena kesulitan dengan perbedaan tempat tinggal orangtua dan tempat lahir anak dengan tempat tinggal anak saat ini”. Informasi tersebut menunjukkan bahwa tugastugas pendampingan belum diketahui dan dilaksanakan. 2. Pendamping (Sakti Peksos) yang sudah melaksanakan tugasnya, hasil wawancara dengan informan menunjukkan: a. Melakukan pendekatan dengan orangtua tentang pengasuhan dan masalah anak, (1)menanyakan apakah butuh dukungan lain atau sumber lain, kalau ya maka pendamping akan (2)menghubungkan dengan sumber lain. (3) melihat perkembangan anak dan melakukan bimbingan kepada anak. (4) melakukan asesmen kebutuhan dan asesmen pada anak dan keluarga yang membutuhkan, dilakukan untuk pencairan dana. Anak yang didampingi tidak semua dapat dikunjungi dalam satu priode, karena lokasi jauh dan tidak setiap berkunjung belum tentu bertemu. b. Pendamping juga melakukan layanan peningkatan potensi diri anak dengan cara membuka kesempatan anak untuk mengikuti les, baik oleh lembaga maupun perorangan. Kadang-kadang pendamping ikut membimbing ketika akan mengikuti ulangan/ujian/ujian nasional. c. Penguatan tanggung jawab orangtua/keluarga: bimbingan tentang pengasuhan anak. d. Untuk pencairan dana, kadang orangtua sudah belanja duluan, sehingga asesmen tidak dilakukan, berdasarkan bon belanja, maka dilakukan penarikan dari bank.
80
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
e. Memonitor pemanfaatan bantuan dengan meminta bukti pembelian barang dan menyesuaikan dengan hasil asesmen kebutuhan f. Mengevaluasi pelayanan, melaporkan hasil dan menindaklanjuti hasil evaluasi. g. Melakukan koordinasi dengan sekolah anak. h. Mencatat dan mendokumentasikan kegiatan, data anak dan keluarga. Membuat laporan penanganan kasus setiap terjadi kasus, membuat laporan tertulis per triwulan dan dikirim ke Subdit Anak Terlantar Kementerian Sosial RI melalui Pos. 3. Pendamping dari TKSA (Pekerja Sosial LKSA) Kegiatan Pendampingan PKSA yang diakukan (mulai dari merencanakan, melaksanakan sampai pada melaporkan) antara lain: penjangkauan, identifikasi masalah anak, melakukan rujukan ke panti, ke RPSA dan reunifikasi dengan keluarga asalnya, serta membuat laporan lemabaga. Jenis Kegiatan yang dilakukan: a Mengidentifikasi anak yang mengalami masalah dengan pengasuhan dan perlindungan caranya Pendekatan ke anak. b Melakukan pendekatan terhadap orangtua/keluarga sebagai penanggung jawab pengasuhan dan perlindungan anak melalui wawancara dan observasi. c Menyeleksi data awal penerima layanan dengan memilahmilah data. d Melakukan kunjungan ke tempat tinggal anak/orangtua/ keluarga melalui observasi dan wawancara. e Melakukan asesmen kebutuhan pada anak dan keluarga yang membutuhkan. f Merencanakan intervensi dan melaksanakan pelayanan sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan penerima manfaat dengan mengadakan diskusi dengan orangtua dan anak.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
81
g Peningkatan akses terhadap pelayanan sosial dasar dengan mengembalikan anak ke sekolah dan berobat ke Puskemas bila sakit. h Peningkatan potensi diri dan kreativitas anak melalui kerjasama dengan voluntir dan pengusaha lokal. i Membantu proses membuka rekening tabungan atas nama anak melalui pendekatan ke bank BPD. j Memonitor pemanfaatan bantuan sesuai dengan peruntukkannya, setiap pengambilan melalui usulan dengan formulir yang telah disediakan. k Melakukan koordinasi dengan lembaga rujukan melalui surat, rapat, dan telp untuk menentukan titik operasi bersama l Mencatat dan mendokumentasikan data anak/orangtua/ keluarga penerima manfaat. m Membuat laporan penanganan kasus setiap terjadi kasus dan dikirim ke dinas sosial provinsi. n Membuat laporan tertulis per triwulan yang ditujukan kepada Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak dan dikirim melalui dinas sosial provinsi sebagai laporan lembaga akhir tahun. Informasi di atas menunjukkan bahwa tenaga kesejahteraan sosial pada LKSA sudah cukup mumpuni dalam melaksanakan kegiatan PKSA. Hal ini dipengaruhi oleh pendidikan dan pelatihan yang dimiliknya dan dukunagan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan seperti dana, sarana dan prasarana, jiwa kerelawanan pendamping itu sendiri. 4. Pendampingan dilakukan oleh pendamping sosial yang juga sebagai pembimbing sosial masyarakat terhadap anak-anak yang menjadi klien PKSADK. Menurut kepala SSK Pasar Rebo, pendamping melakukan kegiatannya mulai dari pekerjaan administrasi terkait dengan lembaga, mengecek permintaan kebutuhan klien, sampai pelaksanaan monitoring dan evaluasi melalui kunjungan rumah (home visit) jika diperlukan. Jika
82
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
klien sakit, orangtuanya datang ke lembaga untuk melapor agar dapat mencairkan dana tabungan termasuk ketika akan membeli kebutuhan ADK. Secara umum dari informasi di atas, hasil pengamatan dilapangan dan data sekunder yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian besar waktunya digunakan untuk mengurus hal-hal yang sifatnya administratif seperti mencatat dan menyetujui penggunaan uang oleh anak dan membuat laporan-laporan untuk pertangungjawaban administrative. Selain itu pendamping sudah melakukan penguatan keluarga, tetapi sifatnya massal dan hanya satu kali, belum melakukannya secara individual sesuai dengan situasi masalah anak dan keluarga. Pendamping yang berasal dari sakti peksos jauh lebih profesional dari pendamping yang berasal dari LKSA. Dapat dikatakan bahwa manfaat bagi lembaga yang terlibat dalam proses pelaksanaan, PKSA bukan hanya sekedar meringankan beban tanggung jawab kelembagaan dalam menjalankan programnya. Lebih jauh, lembaga juga merasakan efek pencerahan sehingga lembaga juga sekaligus mengalami pemberdayaan. LKSA pelaksana PKSA mengalami peningkatan akses dan jaringan. Sementara SDM lembaga mengalami perbaikan kapasitas seperti kemampuan dalam melakukan pendampingan walaupun belum sepenuhnya memenuhi harapan. Keberhasilan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: 1. Pengetahuan dan keterampilan pendamping tentang masalah anak didampingi misalnya pendamping Anjal, ABH, ADK dan AMPK harus memiliki pengetahuan khusus tentang anak yang didamping misalnya untuk ABH pendamping harus mengerti tentang hukum dan peradilan anak. Hal ini belum diperoleh dari penguatan yang pernah mereka terima. 2. Dana untuk home visit, hanya diberikan untuk dua kali kunjungan ke penerima manfaat. Sedangkan untuk memulihkankan AMPK Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
83
dan ABH dperlukan lebih dari itu misalnya 10 kali per anak per tahun. 3. Rasio penerima pendamping dan manfaat. Hasil penelitian menunjukkan belum ada ketentuan tentang hal ini. Dari 6 kasus LKSA yang ada sangat bervariasi misalnya untuk Puspelkesos di Aceh 87 anak didampingi oleh 2 orang pendamping, di LKSA Akur Kurnia Jakarta 272 anak didampingi oleh dua orang Sakti Peksos bahkan banyak yang tidak didampingi oleh Sakti Peksos. 4. Dukungan masyarakat, adanya sumbangan dari tingkat gampong/kecamatan/kabupaten yaitu berupa ATK dan dana operasional sebesar Rp1.750.000,- di tahun 2013 termasuk dari Dinas Sosial Provinsi sudah memberikan ATK sebanyak dua kali. Masyarakat pada umumnya mendukung kegiatan PKSA, namun belum banyak yang tau persis tentang kegiatan PKSA. 5. Dukungan sarana dan prasarana seperti alat transportasi (motor). Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dampak PKSA terhadap penguatan kelembagaan kesejahteraan sosial anak adalah peningkatan peran LKSA dalam perlindungan anak walaupun peningkatan belum maksimal. Hal ini disebabkan karena lembaga belum didukung oleh pedoman pelaksanaan LKSA (masing-masing kluster), manajemen SDM, manajemen keuangan dan manajemen data yang memadai. B. Dampak PKSA terhadap Penguatan Tanggung Jawab Orangtua/ Keluarga dalam Pengasuhan dan Perlindungan Anak Salah satu aspek dalam kesejahteraan sosial sebagaimana konsep yang telah dikemukakan pada bab dua adalah peningkatan kapasitas orangtua/orangtua pengganti dalam pengasuhan anak. Aspek ini juga merupakan tujuan PKSA yaitu penguatan tanggung jawab orangtua/keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan anak. Dampak PKSA tehadap penguatan tanggung jawab orangtua/ keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan anak hasil penelitian adalah sebagai berikut:
84
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
1. Peran Orangtua dalam Peningkatan Kesejahteraan Anak a. Meningkatnya peran orangtua dalam pemenuhan makan bergizi, hal ini dapat dilihat dari 1) orangtua menyiapkan makanan anak tiga kali sehari, komposisi makan: nasi, ikan, kadang-kadang sayur dan buah dan kadang-kadang susu, sesuai kemampuan, 2) orangtua menyediakan alat kebersihan (sabun mandi, odol, sikat gigi), membimbing membersihkan lingkungan, membiasakan membersihkan tempat tidur sendiri terutama pada penerima manfaat anak Balita terlantar. b. Orangtua sudah mengakseskan anaknya ke pelayanan kesehatan dapat dilihat dari: bila anak sakit orangtua sudah membawa anak ke Puskesmas dengan menggunakan Jamkesmas. Disamping itu keluarga juga mempunyai Kartu Menuju Sejahtera (KMS) untuk Kota Yogyakarta. Namun demikian masih ada orangtua yang enggan memeriksakan kesehatan anak karena keterbatasan waktu (orangtua bekerja) dan biaya seperti yang dikemukakan informan (orangtua anak Balita) di bawah ini. …ketika anak sakit, saya memberi obat yang dibeli dari warung dan langsung sembuh, sampai saat ini saya belum pernah membawa anak berobat ke dokter ketika anak sakit, karena tidak mau membiasakan anak berobat ke dokter, takut ketagihan obat dokter dan mahal. Saya tidak memiliki kartu Jamkesmas karena tidak memiliki KTP DKI.
c. Orangtua telah mengakseskan anaknya ke pelayanan pendidikan, hal ini dapat dilihat dari: 1) Bagi anak Balita orangtua membawa anak ke Taman Anak Sejahtera (TAS) untuk belajar pra sekolah. Selain belajar di TAS orangtua juga membimbing anak belajar di rumah (berhitung, membaca dan lain-lain). Sedangkan untuk pendidikan agama, selain belajar mengaji di Masjid, orangtua mengajarkan anak mengaji di rumah. 2) Bagi anak usia sekolah yang tadinya
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
85
rumah/putus sekolah sudah kembali ke sekolah. 3) Semua peralatan dan keperluan sekolah disediakan orangtua memakai dana bantuan PKSA. 2. Peran Orangtua Dalam Pengembangan Potensi Diri dan Kreatifitas Anak. a. Orangtua mengantarkan/memasukkan anak les bahasa Inggris dan mengaji di pesantren setelah pulang sekolah. b. Mengikutsertakan anak dalam kegiatan ekstra kulikuler sekolah dan memfasilitasi dengan biaya transportasi perlengkapan kegiatan, bayaran seperti kegiatan berkemah. 3. Peningkatan Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Pengasuhan dan Perlindungan Anak a. Bertambahnya pengetahuan orangtua tentang cara mengurus dan membimbing anak dengan baik, pola makan yang baik dan sehat, belajar anak yang baik, dan menjaga kebersihan anak agar tetap sehat. b. Orangtua lebih memperhatikan kebutuhan dan hak anak. c. Kalau anak melakukan kesalahan, orangtua menasehati, tidak dengan memarahi. Dalam pelaksanaan pengasuhan dan perlindungan anak oleh orangtua/orangtua pengganti penerima PKSA terdapat dukungan dan hambatan. Adapun faktor pendukung antara lain bantuan yang telah diberikan kepada anak, dan adanya dukungan dari dinas sosial provinsi melalui Tim Reaksi Cepat. Sedangkankan factor penghambatnya adalah: 1) Masih adanya kesulitan dalam mengurus akta kelahiran, karena asal usul anak yang sulit ditemukan. 2) Motivasi/niat anak dan orangtua rendah untuk ke luar dari jalan, anak dieksploitasi orangtua mulai bayi (Anjal). 3) Kebanyakan anak tidak mau diajak ke orangtua, takut kena marah, karena anak harus setor ke orangtua. 4) Orangtua juga bermasalah, sehingga tidak mampu mengasuh dan melindungi anaknya. 5) Biasanya orangtua
86
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
tidak mendukung anak keluar dari jalan, karena akan mengurangi penghasilan dengan alasan anak saya terserah saya. Bagi keluarga penerima PKSA secara psikologis dimaknai sebagai titik balik atau momentum penyadaran kembali akan pelaksanaan tanggung jawab terhadap anak. Dikatakan demikian karena keluarga pengasuh justru lebih menyadari adanya fungsi pengasuhan yang tidak terlaksana sebagaimana mestinya sebelum kehadiran PKSA. Ini berarti bahwa kehadiran PKSA membawa perbaikan dalam pola dan proses pengasuhan keluarga terhadap anak walaupun belum mencapai tahap ideal. Pada saat yang bersamaan, keluarga sangat merasakan berkurangnya beban tanggung jawab keuangan. C. Dampak PKSA terhadap Kesejahteraan Anak Keberadaan PKSA membawa dampak positif bagi banyak pihak, antara lain bagi penerima manfaat (klien), keluarga, masyarakat, dan pemerintah daerah. Dampak dalam hal ini difokuskan kepada penerima manfaat yang dapat dilihat dari sisi “sebelum dan sesudah”, PKSA diimplementasikan. 1. Bagi Anak Balita Terlantar Anak terpenuhi kebutuhan nutrisi, transport berobat, pemenuhan kebutuhan sekolah yaitu akses terhadap Taman Anak Sejahtera (TAS). 2. Bagi Anak Terlantar Kasus Anak Terlantar Dalam Panti a. Meningkatnya pemenuhan kebutuhan akan makanan bergizi, yang sebelumnya menu makanan seadanya, setelah mendapatkan batuan dari PKSA menu makanan menjadi lebih baik sebagaimana dikemukakan anak yang berada di dalam panti.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
87
“pelayanan yang diberikan panti sudah sangat mencukupi, baik dari segi makan, pakaian, keperluan sekolah dan lain-lain. Makan sehari 3x, kadang-kadang ada makan tambahan seperti kacang hijau, susu, buah dan lain-lain. Untuk ke sekolah tidak membutuhkan transportasi karena sekolah tempat anak bersekolah adalah milik panti dan hampir menyatu dengan panti. Jika sakit anak diberi obat oleh petugas panti, tapi bila belum sembuh maka maka dibawa berobat oleh petugas panti ke Puskesmas”.
b. Anak menjadi lebih sehat. c. Anak akses ke pelayanan pendidikan. d. Anak akses ke pelayanan kesehatan. e. Anak akses memiliki akta kelahiran, walaupun masih ada beberapa anak yang belum selesai pengurusannya karena adanya hambatan seperti alamat orangtua, dan anak tidak sama. Sebenarnya anak di dalam panti tidak memahami bantuan yang diberikan melalui PKSA, yang dia tau adalah semua yang didapat (makan, pakaian, peralatan sekolah, jajan sekolah dan lain-lain), merupakan pemberian dari panti, sehingga ketika ditanya pelayanan yang diberikan, anak sama sekali tidak tau, kecuali pelayanan panti. Menurut anak, pelayanan yang diberikan panti sudah sangat mencukupi, baik dari segi makan pakaian, keperluan sekolah dan lain-lain. Anak Terlantar di Luar Panti a. Anak terpenuhi kebutuhan makanan bergizi (makan sehari tiga kali, terdiri dari nasi, sayur, lauk, kadang-kadang ada buah, tanpa susu) b. Anak akses ke pendidikan dasar, Anak baru masuk sekolah setelah mendapatkan bantuan PKSA, kegiatan seharihari anak sekolah, belajar, dan sesekali masih ikut ayahnya mencari barang bekas. 3 x seminggu ikut bimbingan belajar yang diadakan oleh Oven Komuniti. Menurut anak, materi
88
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
bimbingan belajar memuat semua pelajaran sekolah (MTK, IPA, CALISTUNG dan lain-lain), bercerita, bermain (bermain sambil belajar). c. Kebutuhan akan buku pelajaran dan alat tulis, buku seragam, dan kebutuhan sekolah, menurut informan semua lengkap. d. Anak bergaul dengan teman sebaya di lingkungan tempat tinggalnya dan dengan teman sekolah bermain dan belajar bersama. e. Kegiatan lingkungan yang diikuti oleh anak adalah kegiatan keagamaan, hari besar Islam maupun nasional. f Anak juga akses ke kesehatan, mendapat kemudahan dalam berobat dengan menunjukkan KK dan KTP orangtua. g. Akses dalam pengurusan akta lahir oleh pendamping. 3. Untuk Kasus Anak Jalanan: a Anak kembali ke sekolah, mendapat akses ke Puskesmas bila sakit melalui Kartu sehat. b Persentase anak turun ke jalan menurun baik dari segi jumlah dan lama di jalan yang tadinya 5 jam menjadi 3 jam misalnya. Namun masih ada 2 % yang masih turun di jalan lebih dari 5 jam seperti untuk ABT 19 % masih ada di jalan selama 5 - 9 jam, yaitu 12 % untuk 5 jam dan 7 % untuk 9 jam, 15 % masih di jalan 3 jam dan 66 % sudah tidak di jalan sama sekali (0 jam). c Memperoleh kemudahan dalam mendapatkan akses fasilitas dan pengobatan kesehatan, tetapi tidak untuk makanan bergizi d Memperoleh kemudahan dalam mendapatkan informasi tentang bahaya-bahaya termasuk bahaya di jalanan e Memperoleh kemudahan mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan, termasuk pelecehan seksual f Memperoleh kemudahan mendapatkan termasuk penelantaran dari ibunya.
perlindungan
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
89
Untuk mengeluarkan anak dari jalan diperlukan dukungan keluarga dan lingkungan, namun dalam kenyataannya masih ada keluarga yang kurang mendukung (masih menyuruh anaknya ke jalan membantu ekonomi keluarga) dan juga masih ada lingkungan yang kurang mendukung yaitu masih memberikan stigma kepada anak jalanan dan belum melibatkan anak di kegiatan lingkungan. 4. Untuk Kasus Anak dengan Kecacatan Dengan adanya batuan keluarga dapat terbantu untuk memenuhi kebutuhan anaknya seperti pemenuhan kebutuhan nutrisi, transport berobat, pemenuhan kebutuhan sekolah, sehingga bebannya berkurang, orangtua lebih percaya diri, dan anak lebih terlihat sehat. Hal ini dapat diketahui dari informan orangtua sebagai berikut: Sebelum: Orangtua yang mempunyai ADK masih enggan/malu diketahui orang luar rumah, ADK tidak disekolahkan/kurang perhatian, dan tidak mengurus akta kelahiran ADK. Sedangkan Keluarga dalam memberikan pemenuhan kebutuhan kepada anaknya dilakukan apa adanya sesuai dengan kemampuan, orangtua ada yang minder karena mempunyai ADK, anak kelihatan kurang segar/sehat, dan anak tidak sekolah, hanya baru mengikuti kegiatan rehabilitasi berbasis masyarakat di rumah pendamping sosial. Sesudah Keluarga mau terbuka/tidak malu dengan orang lain, sudah bisa sekolah, dibuatkan akta kelahiran secara kolektif sebanyak 13 anak, jika sakit dibawa ke Puskesmas, dan ada yang dapat bantuan kursi roda untuk aktivitas ADK.
5. Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum Manfaat PKSA bagi anak berhadapan dengan hukum adalah anak akses terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan dan terpenuhinya hak dasar anak yaitu memiliki akta kelahiran dan
90
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
adanya perubahan perilaku anak. Hal ini diketahui dari informan pendamping dan LKSA sebagai berikut: Informan Pendamping Sebelum: anak tidak melanjutkan sekolah, jika anak sakit berobat harus bayar, kurang informasi dan pemahaman tentang pembuatan akta kelahiran Sesudah: anak dapat melanjutkan sekolah, dapat berobat gratis, dan mengetahui proses pembuatan akta, orangtua/keluarga dan masyarakat sangat mendukung PKSA dengan ikut berpartisipasi.
Informan Pengurus LKSA Sebelum: minum obat-obatan terlarang, tingkah laku tidak normative, belum akses akta kelahiran Sesudah: tingkah laku sudah mulai normatif, sudah tidak tawuran,akses ke akta kelahiran
6. Bagi Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus Sejalan dengan tujuan PKSA, anak sangat terbantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak, baik kebutuhan fisik, sosial, dan psikologis. Pada aspek fisik anak terbantu dalam kebutuhan makanan dan minuman. Walaupun masih jauh dari standar gizi, paling tidak anak peserta program ini sudah makan secara teratur dengan menu yang relatif lebih baik dari sebelumnya. Bagi anak penyandang HIV/AIDS manfaat fisik ini semakin terasa sehubungan dengan tuntutan penyakit yang diderita. “…ya setelah ikut program ini, makan lebih teratur anaknya”. Demikian pengakuan seorang nenek yang mengasuh cucunya. Manfaat sosial psikologis yang dirasakan akan terlihat dengan meningkatnya interaksi sosial anak dengan keluarga dan masyarakat sekitar. Kunjungan Pendamping PKSA dan pejabat
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
91
terkait ketika menjalankan supervisi, monitoring, dan evaluasi menjadikan anak ini pusat perhatian. Sejalan dengan hal ini, anak merasa mendapat dukungan sosial dalam berbagai bentuk.
92
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
BAB V ALTERNATIF KEBIJAKAN
A. Alternatif Kebijakan Dari hasil studi kebijakan sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dapat dikatakan bahwa: Pertama, masalah/ isu-isu tentang kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak sebenarnya sudah banyak direspon oleh pemerintah sebagai pengemban tugas bertanggung jawab untuk bertindak dan memenuhi/melindungi/menghormati hak-hak pemangku hak (anak). Namun dalam implementasi dari kebijakan tersebut oleh K/L terkait masih terdapat kelemahan dan hambatan, seperti masalah manajemen SDM, data, dana, pemahaman pelaksana, koordinasi pelaksanaan sehingga hasilnya masih belum maksimal. Kedua, PKSA baru bermanfaat bagi anak yaitu dalam hal pemenuhan kebutuhan makan dan gizi, akses ke pelayanan sosial dasar seperti pendidikan (membeli perlengkapan dan peralatan sekolah, transportasi dan bahkan untuk uang sekolah) dan kesehatan (transportasi kerumah sakit atau tempat rehabilitasi). Orangtua atau keluarga dan masyarakat yang direpresentasikan melalui LKSA belum begitu menjadi sasaran utama sebagaimana diprogramkan pada Panduan Umum PKSA yaitu 1) pemenuhan kebutuhan dasar, 2) aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, 3) pengembangan potensi dan kreatifitas anak, 4) penguatan tanggung jawab orangtua, dan 5) penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak. Secara konseptual kesejahteraan dan perlindungan sangat tergantung pada peran orangtua dan masyarakat dalam hal ini adalah LKSA. Oleh sebab itu peningkatan kapasitas orangtua dalam pengasuhan dan perlindungan anak untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka adalah kegiatan sangat strategis yang perlu mendapat perhatian khusus program kesejahteraan sosial anak.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
93
Sehubungan dengan itu ada beberapa alternatif kebijakan yang perlu dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak yaitu: 1. Perumusan Peraturan Pemerintah yang mengatur penanganan masalah/isu-isu kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak secara terintegrasi antar K/L terkait 2. Perumusan Peraturan Menteri Sosial tentang Integrasi Pelaksanaan PKSA dengan Direktorat terkait di lingkungan Kementerian Sosial RI. 3. Perumusan Pedoman Kerja LKSA tentang Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak Dari ketiga alternatif kebijakan tersebut dapat ditetapkan alternatif mana yang diprioritaskan untuk dilaksanakan lebih dahulu melalui analisis dan evaluasi alternatif kebijakan. B. Analisis dan Evaluasi Alternatif Kebijakan Kriteria pemilihan alternatif kebijakan menggunakan metode analisis SWOPA yaitu mengukur alternatif kebijakan dari segi kekuatan (strengtheness), kelemahan (weaknessess), peluang (opportunities), masalah (problem) dan aksi (action). 1. Kekuatan (strengtheness), merupakan keunggulan kebijakan dilihat dari dampaknya terhadap kehidupan masyarakat yang mengalami masalah sosial, dukungan publik dan beban anggaran. 2. Kelemahan (weaknessess) merupakan kekurangan kebijakan dilihat dari alternatif yang ditawarkan seperti beban anggaran yang besar, kurang menarik secara politis, serta kelembagaan yang kurang pas. 3. Peluang (opportunities), melihat kesempatan/peluang eksternal apa yang akan mendukung diterimanya kebijakan ini oleh policy audience dari political agenda (kebijakan ini sejalan dengan kebijakan pemerintah), public interest, sejalan dengan meningkatkan kualitas SDM/investasi sosial, Global Trend,
94
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
kebijakan akan didukung oleh masyarakat luas yang sedang gandrung meningkatkan praktak good governance jika kebijakan tersebut mengarah pada hal tersebut. 4. Masalah (problem), masalah-masalah apa yang mungkin menghambat diterimanya kebijakan oleh policy audience dilihat dari alternatif yang ada. 5. Tindakan (action), tindakan atau langkah apa yang dapat atau perlu dilakukan untuk mengatasi kelemahan dan masalah dari masing-masing alternatif kebijakan. Penilaian kelayakan mencakup apakah kebijakan ini realistis atau mengawang-awang, sulit untuk diimplementasikan. Pertanyaannya apakah tindakan yang dilakukan akan mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, sesuai atau tidak besaran tindakan sebagai solusi dengan target masalah yang akan dipecahkan.
1
2
02 Kekuatan (Sthrengtheness)
01
Kelemahan (Weaknesses)
No
Kriteria
Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan dari Alternatif Kebijakan
Peluang (Opportunities)
3
PP yang mengatur Penanganan Masalah Anak secara Terintegrasi antar K/L Terkait 03
Permensos ttg Integrasi PKSA dengan Direktorat Terkait di lingkungan Kementerian Sosial 04
xx Berdampak luas terhadap xx Jangkauan pelayanan bisa kesejahteraan dan lebih banyak Perlindungan Anak xx Kualitas pelayanan lebih xx Komitmen KPPPA baik sebagai Koordinator xx Anggaran dari masingkebijakan masing direktorat lebih efisien penggunaannya xx Ruang Lingkupnya xx Kurang menarik bagi Nasional direktorat terkait xx Pelaksanaan Koordinasi xx Ego direktorat masih ada masih lemah xx Ego sektor di masingmasing K/L xx Komitmen DPRD dan xx Kebijakan akan didukung SKPD terkait oleh masyarakat peduli kesejahteraan dan xx Masing-masing SKPD Perlindungan Anak memiliki anggaran yang cukup besar xx Dana dari masing2 direk torat terkait akan terfokus pada kesejahteraan dan perlindungan anak xx Daerah akan menindak lanjuti melalui SKPD terkait
Pedoman Kerja LKSA tentang Pelaksanaan Kesejahteran dan Perlindungan Anak 05 xx LKSA lebih professional xx Anak lebih sejahtera dan terlindungi
xx Keterbatasan SDM untuk mensosialisasikan xx Keterbatasan anggaran xx Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak xx Beban pemerintah akan berkurang
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
95
02 Masalah (Problem)
01 4
Tindakan (Action)
5
03 xx Hambatan dalam koordinasi perencanaan, antar K/L terkait xx Hambatan di tingkat pelaksana yang paling bawah
04 05 xx Hambatan dalam koordinasi xx Besarnya Jumlah perencanaan antar LKSA dan tersebar di direktorat terkait seluruh Indonesia xx Pengetahuan LKSA tentang Kesejahteraan anak terbatas xx MoU di tingkat pelaksana xx Menyusun Perencanaan xx Sosialisasi ke seluruh di pusat, provinsi dan yang dikoordinasikan Biro LKSA kabupaten/Kota Perencanan xx Pelatihan xx Koordinasi dalam Pendamping/ pelaksanaan, terutama xx Pekerja Sosial LKSA dalam penentuan sasaran
Berdasarkan analisis dan evaluasi dari ketiga alternatif, maka alternatif yang memiliki kekuatan yang lebih banyak, kelemahan paling sedikit, peluang yang lebih besar walaupun masalahnya lebih banyak, dan memiliki banyak tindakan yang memungkinkan dilakukan untuk mengatasi kelemahan dan masalah adalah alternatif dua yaitu Merumuskan Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak dalam bentuk Peraturan Menteri Sosial RI Tentang Integrasi Pelaksanaan PKSA dengan Direktorat Terkait di Lingkungan Kementerian Sosial. Disamping itu Alternatif ini dipilih didasarkan pada: 1) dengan asumsi bahwa penyusunan kebijakan dalam ruang lingkup Kementerian Sosial lebih memungkinkan dilaksanakan dalam waktu dekat, 2) telah mendapat dukungan dari Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, dan 3) sesuai dengan perubahan paradigma kesejahteraan sosial anak dan keluarga yaitu:
96
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
BAB VI REKOMENDASI KEBIJAKAN PRIORITAS Dari tiga alternatif kebijakan yang dikemukan dalam bab lima, setelah melakukan analisis dengan menggunakan SWOPA, dan dengan mempertimbangkan kemungkinan dapat dilaksanakan dengan segera, maka dipilih suatu kebijakan yang dianggap dapat memperluas jangkauan dan meningkatkan kualitas penerima manfaat yaitu “Perumusan Peraturan Menteri Sosial RI Tentang Integrasi PKSA dengan Direktorat Terkait di lingkungan Kementerian Sosial”. A. Tujuan Kebijakan 1. Pemenuhan kebutuhan dan hak Anak, melalui penguatan kapasitas orangtua/orangtua pengganti dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial dan masyarakat lingkungan dalam penagsuhan dan perlindungan anak. 2. Meningkatkan jangkauan pelayanan dan fungsi pencegahan 3. Meningkatkan kualitas hidup anak B. Sasaran 1. Anak 2. Orangtua /orangtua pengganti 3. Masyarakat lingkungannya 4. LKSA 5. Pendamping/Pekerja Sosial Anak yang ada di LKSA C. Strategi 1. Sosialisasi Peraturan Menteri Sosial dan PKSA 2. Pemberdayaan (ekonomi dan parenting skill) 3. Partisipasi masyarakat (community development)
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
97
D. Komponen Program 1. Penyuluhan Sosial 2. Bantuan Sosial 3. Pemberdayaan Keluarga Miskin dan Pengembangan Masyarakat 4. Diklat pendamping /Tenaga Kesejahteraan Sosial Anak 5. Penguatan orangtua /orangtua pengganti dalam hal “Parenting Skill” E. Kelembagaan 1. Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak Peran dan tugas Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak diarahkan pada penguatan keluarga dalam rangka peningkatan kapasitas keluarga untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Peningkatan kapasitas keluarga atau keluarga pengganti dilakukan oleh pekerja sosial anak yang bernaung di bawah lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA), melalui kunjungan rumah. Dalam mendukung kesejahteraan anak dan remaja pekerja sosial fokus pada beberapa faktor kunci dalam bekerja dengan keluarga yaitu melibatkan anak dan remaja, keluarga dan masyarakat dalam proses asesmen melalui suatu konfrensi tim. Secara filosofis dengan pendekatan keterlibatan berpengaruh terhadap efektivitas penilaian, yang pada gilirannya, ditemukan kesepakan dalam merumuskan rencana pelaksanaan pemecahan masalah dan akhirnya bermanfaat bagi anak-anak, remaja, dan keluarga. 2. Direktorat Jaminan Sosial - Ditjen Jaminan dan Perlindungan Sosial Peran dan tugas Direktorat Jaminan Sosial diarahkan pada Bantuan langsung tunai bersyarat terhadap anak untuk pemenuhan kebutudan dasar, akses ke pelayanan sosial dasar pendidikan dan kesehatan. Kegiatan ini bisa digabung dengan
98
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
proram keluarga harapan (PKH) karena tujuannya sama yaitu untuk kesejahteraan anak. 3. Pemberdayaan Keluarga dan Karang Taruna - Ditjen Pemberdayaan Sosial Pada kegiatan pemberdayaan keluarga yang dulu disebut Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK) dan sekarang diberi nama Family Care Unit (FCU) yang sedang diujicobakan dapat dimanfaatkan bagi keluarga muda, miskin dan memiliki anak (sesuai sasaran PKH) sebagai kegiatan Family Support dalam rangka mendukung kesejahteraan dan perlindungan anak. Peran Direktorat Pemberdayaan Keluarga adalah pemberdayaan ekonomi keluarga agar mereka mampu membiayai anaknya melalui usaha ekonomi produktif (UEP) atau kelompok usaha bersama (KUBE). Keegiatan Karang Taruna juga bisa disinergikan dengan PKSA dalam hal pencegahan masalah anak jalan, keterlantaran, kenakalan pada anak dengan kegiatan-kegiatan pengisian waktu luang dan kegiatan-kegiatan peningkatan kreatifitas anak. 4. Pusat Penyuluahan Sosial - Sekretariat Jenderal Pusat Penyuluhan Sosial dapat berperan dalam mensosialisakan PKSA dan Perlindungan Anak baik secara langsung maupun melalui media massa, sebagai gerak dasar pembangunan kesejahteraan sosial. 5. Badiklit Kesejahteraan Sosial Untuk meningkatkan kapasitas pendamping/pekerja sosial dari LKSA di bidang kesejahteraan dan perlindungan anak khususnya lagi dalam penanganan masing-masih kluster (ABT, AT, Anjal, ABH, ADK dan AMPK) diperlukan pendidikan pelatihan. Kegiatan ini bisa dilaksanakan oleh Pusat Pendidikan dan Latihan Kesejahteraan Sosial di Jakarta dan Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
99
Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial yang keberadaanya ada di enam wilayah kerja yaitu Padang, Bandung, Yogyakarta, Banjarmasin, Makasar dan Papua. F. Indikator Kebijakan 1. Dikeluarkannya Peraturan Menteri Sosial RI tentang Cross Cutting program antar direktorat/balai besar di lingkungan Kementerian Sosial RI 2. Meningkatnya jumlah orangtua/keluarga yang mempunyai kapasitas dalam pengasuhan dan perlindungan anak 3. Meningkatnya kualitas pekerja sosial pendamping anak 4. Meningkatnya jumlah TKSA yang profesional dalam memberikan pelayanan 5. Meningkatnya jumlah anak yang terpenuhi hak-haknya 6. Meningkatnya jumlah anak yang terlindungi 7. Meningkatnya kesejahteraan sosial anak Pelaksanaan Permensos ini akan efektif bila ada suatu keinginan bersama para pihak terkait dalam merencanakan, melaksanakan dan melakukan pemantauan secara bersama, dengan sasaran yang sama yaitu keluarga miskin yang mempunyai masalah anak. Masingmasing direktorat terkait punya target atau indikator sendiri-sendiri sesuai perannya masing-masing. Keuntungan dari integrasi program ini adalah anggaran tidak menumpuk di satu direktorat dan dapat menyelesaikan masalah besar yaitu kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup anak dan terlindunginya anak-anak Indonesia dari tindak kekerasan dan perlakuan salah.
100
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-undangan: UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia. Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, mengenai Pengangkatan Anak. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
101
Keputusan Presiden RI Nomor 36/1990, pada 25 Agustus 1990 Tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child (Konvensi Te ntang Hak-Hak Anak). Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/HUK/2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak. Keputusan Menteri Sosial Nomor 15A/HUK/2010 tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 37/HUK/2010 tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Pusat. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1259/Menkes/SK/ XII/2009 tentang Program Jamkesmas bagi Penghuni Panti Sosial, Korban Bencana dan Penghuni Lapas dan Rutan. Kesepakatan Bersama antara Direktur Jenderal PRS Departemen Sosial RI dengan Direktur Jenderal PAS Departemen Hukum dan HAM RI Nomor 20/PRS-2/KEP/2005, tentang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Didik Pemasyarakatan. Kesepakatan Bersama Menteri Sosial RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kesehatan RI, Menteri Agama RI, Kepolisian Negara RI Nomor: 12/PRS-2/ KPTS/2009, Nomor M.HH.04.MH.0302. Tahun 2009; Nomor 11/XII/2009; Nomor 1220/Menkes/SKB/XII/2009; Nomor 06/ XII/2009; Nomor B/43/XII/2009, tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum.
102
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 31 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penjangkauan dan Pemenuhan Hak Anak yang Hidup Di Jalan. Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 181/ KEP/2012 Tentang pembentukan Forum Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan. Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Nomor: 29/RSKSA/2011 tentang Pedoman Operasional PKSA. Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial. Buku-buku: Kementerian Sosial RI, Badan Pusat Statistik. (2012). Profil PMKS, Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, INDONESIA 2011. Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial RI. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia dan Bank Dunia. (2011). Membangun Sistem Perlindungan Anak di Indonesia, Sebuah Kajian Pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial RI dan Kontribusinya terhadap Sistem Perlindungan Anak. Hikmat, Hari. (2006). Pedoman Analisis Kebijakan Kesejahteraan Sosial, Pada Tgl 05 Maret 2008 Disampaikan dalam Kegiatan Finalisasi Pedoman Analsis Kebijakan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI. Mallon, Gerald P and Peg McCartt Hess. (2005). Child Welfare For The Twenty-First Century. A Handbook of Practices, Policies, and Program. Columbia University Press.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
103
Nota Kesepahaman Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Sosial, Menteri Agama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dalam Rangka Perlindungan Anak. David S, Sawicki, & Carl V. Patton. (1993). Basic Methods of Policy Analysis and Planning, Prentice Hall. Englewood Cliffs, New Jersey 07632. William N., Dunn. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Gajah Mada University Press. Suradi. (2011). Studi Kebijakan Penanggulangan Anak Jalanan di DKI Jakarta. Jakarta: P3KS Press. Unicef, Child Protection Task Force Workshop, 2 Juli 2013, JakartaIndonesia, Better Gavernance for Indonesia’s Child Protection System. Website: Anak Jalanan: http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan. Data Penyandang Masalah Sosial (PMKS) dan Potendi Kesejahteraan Sosial (PSKS). (2011). http://database.kemsos.go.id/modules. php?name=Pmks2011. Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak: Menggugat Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat dan Orangtua Dalam Menjaga dan Melindungi Anak. http:// komnaspa.wordpreAni.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun2011-komisi-nasional-perlindungan-anak/www.acf.hhs.gov/ program/cb, diambil September 28, 2004.
104
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Menkumham: Kasus Asusila di Kalangan Anak Sedang Tren. http:// www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/07/23/mqdjhzmenkumham-kasus-asusila-di-kalangan-anak-sedang-tren,4 september 2013. Dinda Satria: Anak dan Problematika Bangsa, http://sosbud. kompasiana. com/2012/10/15/anak-dan-problematika-bangsa-501440.html. diakses 4 september 2013.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
105
INDEK
A
ABH 11, 41, 45, 46, 47, 84, 101 ABT 10, 31, 39, 48, 89, 101 Action 94, 95, 96 ADHA 49, 51, 52 ADK 10, 77, 83, 84, 90 Aktivitas 33, 37, 39, 90 Alternatif kebijakan 12, 93, 94, 95, 99 AMPK 10, 65, 84, 101 Anak 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 101, 102 Analisis 10, 11, 12, 94, 96, 99 Analisis Retrospektif 10 Anjal 10, 77, 87, 101 Asesmen 17, 20, 21, 80, 81, 100 ASI 29
B
Bantuan langsung tunai bersyarat 100 Bappenas 4, 5, 9 BPJS 54, 55 BPS 6, 28, 29, 31, 39 Broken home 42
C
Community development 99 CPS 17, 19, 20, 21, 22, 23 Cross cutting program 102
106
D
Dekadensi moral 45 Disabilitas 2, 6, 44, 54, 63, 64, 69 DIY 9, 10, 72, 77 DKI 2, 9, 10, 30, 38, 70, 77, 83 Duty 8
E
Efektif 102 Eksploitasi 18, 19, 44, 58, 70 Evaluasi 4, 20, 58, 59, 69, 75, 76, 79, 81, 83, 92, 94, 96
F
FCU 101 FGD 10, 70, 73 FKKADK 9 Fundamental 27, 28, 57
H
Hak dasar 28, 55, 67, 75, 76, 91 HIV/AIDS 6, 49, 50, 51, 52, 92 Home visit 83, 84
I
Indikator 4, 5, 12, 102 Intake 20 Intelektual 14, 62
K
KB 9, 62 Kebijakan 1, 2, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 12, 25, 27, 52, 55, 56, 60,
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 93, 94, 95, 96, 99 Kebijakan sosial 7, 10, 11 Kekerasan 9, 16, 17, 18, 27, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 58, 61, 65, 71, 90, 102 Kekerasan fisik 18 Kelompok minoritas 16, 41 Kendala 4, 72 Kesejahteraan sosial anak 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 12, 27, 28, 37, 63, 75, 76, 78, 79, 82, 84, 93, 96, 100, 102 Keterlantaran Balita 31, 38 KHA 9, 56, 70 Konvensional 6 KPAI 9, 56, 70 KUBE 101
L
LKSA 3, 5, 8, 9, 33, 37, 39, 59, 76, 77, 78, 79, 81, 82, 83, 84, 91, 93, 94, 95, 96, 99, 100, 101
M
MCK 30, 37 Monitoring 69, 79, 83, 92
N
NAD 9, 14 NAPZA 16, 41
Optimal 9, 15, 16, 23, 40, 60
P
Parenting skill 99, 100 Peers group 44 Pelecehan seksual 18, 19, 47, 48, 90 Pendamping 8, 9, 10, 47, 50, 52, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 89, 90, 91, 92, 96, 99, 100, 101, 102 Penelantaran 16, 17, 18, 20, 41, 90 Penganiayaan psikologis 19 Pengasuhan alternatif 8, 59 Pengasuhan anak 3, 8, 11, 14, 15, 16, 18, 19, 27, 37, 39, 40, 59, 80, 85 Perlindungan khusus 2, 5, 8, 16, 28, 40, 41, 44, 49, 57, 65, 75, 91 PKH 101 PKSA 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 37, 52, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 99, 101 PKSADK 82 Pluralisme 71 PMKS 6, 29, 31, 32, 44, 75 Prioritas 2, 41, 58, 94, 99 Problem 94, 95, 96 PSAA 109
O
Observasi 10, 34, 52, 81 Opportunities 94, 95 Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
107
Q
Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008, 68
S
Sakti Peksos 76, 77, 78, 79, 80, 83, 84 SDM 4, 6, 43, 52, 74, 77, 83, 84, 93, 94, 95 SKPD 72, 73, 95 Strengtheness 94 Substitusi 15 Supervisi 19 SWOPA 94, 99
U
UEP 99 Undang Undang Dasar 1945 1, 52 Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2009, 57, 64 Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 1979, 56 Unicef 3, 9, 39, 69, 70
W
Wawancara mendalam 10, 70 Weaknessess 94
T
Target 2, 22, 79, 95, 102 TAS 86, 88 Terisolasi 16, 41 TPA 9, 62 Traumatis 15
108
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
SEKILAS PENULIS Dra. Mulia Astuti, M.Si. Lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat
(1954). Pendidikan terakhir Pasca Sarjana (S2) Program Kajian Ketahanan Nasional (UI 1997). Mengawali karir sebagai pegawai negeri sipil Departemen Sosial RI (1978) ditempatkan di Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial. Mulai menjadi peneliti (1987). Pernah ditempatkan pada jabatan struktural sebagai Kepala Bidang Program pada Pusat Penelitian Kesejahteraan Sosial(2000), Kepala Bidang Pemberdayaan Pranata Sosial (2001) dan Kepala Bidang Kerjasama dan Publikasi (2006) pada Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat. Kemudian di mutasi ke Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial sebagai Kepala Sub Direktorat Pelayanan Sosial Anak Terlantar (2007), terakhir Kasubdit Kelembagaan, Perlindungan dan Advokasi Sosial (2009). Pernah mengikuti “Asean Training-Overview of Sosial Services (1991) di Singapura dan pernah mengajar pada Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) untuk jurusan Kesejahteraan Sosial (1989-1994). Pada tahun 2010 kembali pindah ke Puslibang Kesejahteraan sebagai peneliti. Sejak tahun 1987 sampai sekarang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan penelitian baik kelompok maupun perorangan, kegiatan seminar dan menulis buku, artikel yang dimuat di Jurnal maupun majalah ilmiah.
Ir. Ruaida Murni. Lahir di Takengon tanggal 17 Juli 1962, menyelesaikan
S1 di Universitas Negeri Jambi. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Dan sebagai anggota tim penilai jabatan fungsional Litkayasa Kementerian Sosial RI. Penelitian yang telah dilaksanakan antara lain Peranan Pelayanan dan Bantuan Sosial Proyek Atma Brata CCF Terhadap Kesejahteraan Sosial Keluarga Miskin di Kecamatan Cilincing; Pengembangan
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
109
Metode dan Teknik Penyuluhan dan Bimbingan Sosial Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan; Kebutuhan Pelayanan Kesejahteraan Sosial di Kawasan Industri; Metode dan Teknik Pelayanan Anak Pada Kelompok Bermaian dan Taman Penitipan Anak; Permasalahan Sosial Migran Perkotaan di Propinsi Riau; Penelitian Kemandirian Penerima Pelayanan Panti Sosial Asuhan Anak dan Panti Sosial Bina Netra; Model Rehabilitasi Sosial Penyalahguna NAFZA di Beberapa Institusi Swasta; Pengembangan Uji Coba Model Pemberdayaan Remaja Melalui Karang Taruna; Akreditasi Panti; Uji Coba Model Pengentasan Anak Terlantar Melalui Kekerabatan; Pergeseran Pola Relasi Gender Ex TKW; Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam; dan Uji Coba Model Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam, Studi Kebijakan Penanganan Korban Tindak Kekerasan: Kasus Perdagangan Perempuan di Wilayah Perbatasan dan Studi Kebijakan Pengembangan Kegiatan Sakti Peksos di Panti Sosial Masyarakat
Drs. Ahmad Suhendi, M.Si. Lahir di Tangerang pada tanggal 30
Juni 1958, menyelesaikan pendidikan Sarjana Kesejahteraan Sosial pada tahun 1992 di STKS Bandung dam Pasca Sarjana Jurusan Kesejahteraan Sosial UI Jakarta tahun 2006. Bekerja di Kementerian Sosial RI sejak tahun 1982 sebagai Staf Peneliti. Saat ini sebagai Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Diklat yang diikuti antara lain: Latihan Prajabatan Tingkat II, Pelatihan Tenaga Peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial Tingkat Dasar, Diklat Analisa Data Angkatan II, Pemantapan Petugas Penyuluh dan Bimbingan HIV/AIDS Bidang Sosial, Diklat Adum, Pelatihan Metodologi Penelitian Kebijakan Responsif Gender Tingkat Analis, Diklat SKTA, Dilat Peneliti Tingkat Lanjutan. Penelitian yang dilakukan antara lain: Studi Penjajagan
110
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
Aspek Sosial Kemiskinan, Permasalahan Sosial di Perkotaan, Pelaksanaan Program Pemberian Beasiswa Sekolah Dasar oleh PT. Indofood Sukses Makmur Tbk Sebagai Wujud Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Kasus di Sekolah Dasar Negeri 06 Desa Sukadanau Kecamatan Cikarang Barat Kabupaten Bekasi), Indikator Ketahanan Sosial Keluarga, Replikasi Model Desa Berketahanan Sosial melalui Pemberdayaan Pranata Sosial di Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, Pengembangan Desa Berketahanan Sosial melalui Pemberdayaan Pranata Sosial (Replikasi Model di Empat Provinsi), Analisis Kebutuhan Sosial Dasar dalam Pemberdayaan Masyarakat Daerah Tertinggal: Studi Kasus di Desa Simpur Kabupaten Pulang Pisau, dan Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan: Studi Evaluasi Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni bagi Keluarga Miskin di Perkotaan.
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak
111