REFERAT I.
PENDAHULUAN
Katarak senilis adalah penyakit gangguan penglihatan yang dikarakteristikkan dengan penebalan lensa yang berlangsung bertahap dan progresif. Katatak senilis merupakan salah satu penyebab utama kebutaan di dunia saat ini. Hal ini disayangkan karena mempertimbangkan angka morbiditas penglihatan yang diakibatkan oleh katarak senilis dapat dikurangi. Seperti halnya, deteksi awal, pemonitoran secara dekat, dan intervensi pembedahan yang terjadwal harus diperhatikan dalam manajemen katarak senilis.
II. EPIDEMIOLOGI
Setidaknya 300.000 sampai 400.000 angka kejadian katarak di amerika serikat. Pada penelitian Framingham eye study dilakukan pada tahun 19731975 didapatkan katarak senilis sebanyak 15,5% dari 2477 pasien yang diperiksa dan pembagiannya (nuklear 65,5%, kortikal 27,7% dan subkapsular posterior 19,7%). Katarak senilis terus menjadi sebab utama cacat penglihatan dan kebutaan di dunia. Setidaknya 5-10 juta kasus katarak baru terjadi per tahun di dunia. Data yang dipublikasikan menunjukan bahwa 1,2% dari seluruh populasi di afrika mengalami kebutaan dengan katarak menyebabkan 36% dari kebutaan ini. Dalam sebuah survei di tiga distrik pada dataran punjab menunjukan angka kejadian katarak 15,3% diantara 1269 pasien dengan 67% pada pasien usia diatas 70 tahun. Risiko kematian akibat katarak dan ekstraksi katarak sangatlah kecil, tetapi penelitian menunjukan bahwa terjadi peningkatan risiko kematian pada pasien setelah menjalani operasi katarak. Dalam pembandingan 167 pasien diatas 50 tahun yang menjalani operasi katarak di New England Medical Center dalm periode 1 tahun dibandingkan dengan 824 pasien yang menjalani 6 macam operasi lain didapatkan bahwa angka mortalitas pasien yang menjalani operasi katarak dua kali lipat dibandingkan operasi lain. Analisis lebih lanjut menunjukan tidak ada korelasi signifikan antara diabetes dan peningkatan mortalitas. Dalam penelitian analisis mortalitas 5 tahun pada pasien usia 75 tahun setelah operasi katarak menunjukan angka mortalitas terikat usia lebih
tinggi diabandingakan angka mortalitas normal. Data ini menunjukan asosiasi antara katarak senilis dan peningkatan mortalitas. Meddings et al menyatakan katarak senilis merupakan marker dari proses penuaan menyeluruh.1 Hirsch dan Schwartz menyatakan konsep katarak senilis merefleksikan fenomena sistemik, bukan hanya penyakit lokal mata.2 Walaupun ras diduga sebagai faktor resiko untuk katarak senilis tetapi sedikit sumber literatur mendukung teori ini. Tetapi pada beberapa kesempatan diketahui pada penderita katarak yang tidak dioperasi menyebabkan tingkat kebutaan yang lebih tinggi pada kulit hitam dibanding putih. Pada Framingham Eye Study dalam kurun waktu 1973-75, didapatkan wanita memiliki prevalensi lebih tinggi dibanding pria (63% dibandingkan 54,1%). Sperduto dan Hiller menyatakan masng – masing dari tiga tipe katarak senilis ditemukan lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. Pada studi lain oleh Nishikori dan Yamamoto didapatkan ratio 1:8 dengan predominasi wanita pada pasien berusia lebih dari 65 tahun untuk katarak senilis. Usia adalah faktor resiko yang penting dalam katarak senilis. Seiring dengan bertambahya usia maka kemungkinan mendapatkan katarak senilis meningkat. Pada Framinghan Eye Study dalam kurun waktu 1973-1975 didapatkan pada kelompok usia 45-64 didapatkan angka kejadian 23 kasus per 100.000 penduduk sedangkan pada kelompok usia 85 tahun keatas didapatkan angka kejadian 492,2 kasus per 100.000 penduduk.
III. ETIOLOGI Telah banyak penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor resiko pada perkembangan katarak senilis. Banyak hal yang dicurigai, termasuk keadaan lingkungan, penyakit sistemik dan usia. West dan Valmadrid menyatakan bahwa catarak yang terkait dengan usia merupakan penyakit multifaktorial dengan bermacam faktor resiko diasosiasikan dengan jenis katarak yang berbeda – beda. Mereka juga menyatakan bahwa katarak kortikal dan katarak posterior subkapsular terkait erat dengan stress lingkungan, seperti pajanan sinar ultraviolet (UV), diabetes, dan konsumsi obat. Tetapi, katarak nuklear tampaknya memiliki korelasi dengan merokok. Alkohol telah diasosiasikan dengan semua tipe katarak. Analisis yang serupa dilakukan oleh Miglior et al. mereka menemukan bahwa katarak kortikal diasosiasikan dengan adanya diabetes selama lebih dari 5 tahun dan peningkatan kalium serum dan natrium serum. Riwayat pembedahan dalam anestesi umum dan penggunaan obat sedatif
diasosiasikan dengan pengurangan resiko katarak senilis kortikal. Katarak posterior subkapsular diasosiasikan dengan penggunaan steroid dan diabetes, sementara katarak nuklear memiliki korelasi signifikan dengan asupan kalsitonin dan susu. Katarak senilis dan penyakit sistemik. Katarak senilis telah diasosiasikan dengan banyak penyakit sistemik, termasuk diantaranya: cholelithiasis, alergi, pneumonia, penyakit jantung koroner dan insufisiensi jantung, hipotensi, hipertensi, retardasi mental dan diabetes. Hipertensi sistemik ditemukan secara signifikan meningkatkan resiko katarak subkapsular posterior. Dalam studi oleh Jahn et al, hipertrigliseridemia, hiperglikemia dan obesitas ditemukan membantu pembentukan katarak subkapsular posterior pada usia dini. Mekanisme yang mungkin pada peran hipertensi dan glaukoma pada pembentukan katarak senilis adalah induksi perubahan pada struktur protein konformasional dalam kapsul lensa, mengakibatkan perubahan transport membran dan permeabilitas ion dan meningkatkan tekanan intraokular menyebabkan eksaserbasi pembentukan katarak. Sinar ultraviolet dan katarak senilis. Hubungan
The association of UV light and development of senile cataract has generated much interest. One hypothesis implies that senile cataracts, particularly cortical opacities, may be the result of thermal damage to the lens. • An animal model by Al-Ghadyan and Cotlier documented an increase in the temperature of the posterior chamber and lens of rabbits after exposure to sunlight due to an ambient temperature effect through the cornea and to increased body temperature.9 • In related studies, people living in areas with greater UV exposure were more likely to develop senile cataracts and to develop them earlier than people residing in places with less UV exposure. Other risk factors •
•
• ο
ο
ο
Significant associations with senile cataract were noted with increasing age, female sex, social class, and myopia. Consistent evidence from the study of West and Valmadrid suggested that the prevalence of all cataract types was lower among those with higher education.6 Workers exposed to infrared radiation also were found to have a higher incidence of senile cataract development. Although myopia has been implicated as a risk factor, it was shown that persons with myopia who had worn eyeglasses for at least 20 years underwent cataract extraction at a significantly older age than emmetropes, implying a protective effect of the eyeglasses to solar UV radiation. The role of nutritional deficiencies in senile cataract has not been proven or established. However, a high intake of the 18-carbon polyunsaturated fatty acids linoleic acid and linolenic acid reportedly may result in an increased risk of developing age-related nuclear opacity.
IV. PATOLOGI
Patofisiologi di balik katarak senilis adalah kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Seiring dengan bertambahnya usia lensa, berat dan ketebalan lensa bertambah sementara kekuatan akomodatifnya berkurang. Bertambahnya lapisan kortikal dengan pola yang konsentrik maka nukleus sentralis terkompresi dan mengeras dalam suatu proses yang disebut sclerosis nukleus. Banyak mekanisme menyebabkan kehilangan kejernihan lensa yang progresif. Epitelium lensa diyakini mengalami perubahan yang berhubungan dengan usia, khususnya berkurangnya kepadatan sel - sel epithelium dan penurunan deferensiasi sel - sel serabut lensa. Walaupun epitelium dari lensa katarak memiliki tingkat kematian sel secara apoptotik yang rendah, yang kecil kemungkinannya menyebabkan penurunan yang signifikan pada densitas sel, akumulasi dari kehilangan epitel dapat menyebabkan perubahan pembentukan dan homeostasis serabut lensa yang mengakibatkan kehilangan kejernihan lensa. Lebih lanjut, dengan bertambahnya usia lensa terjadi penurunan pemasukan air dan metabolit yang larut dalam air ke dalam sel nukleus lensa melalui epitelium dan korteks bersamaan dengan penurunan transpor air, zat nutrien dan antioksidan. Kerusakan oksidatif yang progresif terhadap lensa dan dengan proses penuaan yang berlangsung menyebabkan perkembangan katarak senilis. Berbagai penelitian menunjukan adanya peningkatan produk oksidasi (glutathione teroksidasi) dan penurunan vitamin antioksidan dan enzim dismutase superoksida menegaskan peran penting proses oksidatif pada pembentukan katarak. Mekanisme lain yang terlibat adalah perubahan dari protein sitoplasma terlarut dengan berat molekul yang rendah menjadi protein sitoplasma terlarut teragregasi dengan berat molekul tinggi, fase yang tidak terlarut dan matriks protein yang tidak terlarut. Perubahan protein mengakibatkan fluktuasi mendadak pada indeks refraksi lensa, penyebaran sinar dan penurunan transparansi. Katarak senilis dapat diklasifikasikan kepada tiga tipe utama: katarak nuklear, katarak kortikal dan katarak posterior subkapsular. Katarak nuklear disebabkan proses sklerosis dan penguningan nuklear yang berlebihan, dengan
pembentukan opasitas lentikular sentral. Dalam beberapa kejadian, nukleus dapat menjadi sangat opak dan coklat, dinamakan katarak nuklear bruenescent. Perubahan pada komposisi ionik korteks lensa dan perubahan pada hidrasi serat lensa menghasilkan katarak kortikal. Pembebntukan dari opasitas granular dan plak pada korteks subskapular posterior sering menunjukan pembentukan katarak subkapsular posterior.
V. GEJALA KLINIS Pada katarak senilis didapatkan gejala klinis yang ditunjukan dengan keluhan pasien dan tanda fisik. Pengambilan anamnesis penting untuk menentukan progresivitas penyakit dan gangguan fungsi penglihatan serta menyingkirkan atau menemukan penyebab lain dari kekeruhan lensa. Pada pasien katarak senilis umumnya didapatkan penurunan dan gangguan penglihatan yang perlahan dan progresif. Penurunan ketajaman penglihatan adalah keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien dengan katarak senilis. Perbedaan tipe katarak menghasilkan efek yang berbeda pada ketajaman penglihatan. Pada katarak subkapsular posterior tingkat sedang dapat menyebabkan penurunan yang parah pada tajam penglihatan dengan penglihatan dekat lebih terpengaruh dibandingkan penglihatan jauh, diduga akibat miosis akomodatif. Pada katarak nuklear diasosiasikan dengan penurunan tajam penglihatan jauh tetapi tajam penglihatan dekat baik. Pada katarak kortikal keluhan didapatkan bila serpihan katarak korteks sudah mengganggu axis visual.
Glare •
•
Increased glare is another common complaint of patients with senile cataracts. This complaint may include an entire spectrum from a decrease in contrast sensitivity in brightly lit environments or disabling glare during the day to glare with oncoming headlights at night. Such visual disturbances are prominent particularly with posterior subcapsular cataracts and, to a lesser degree, with cortical cataracts. It is associated less frequently with nuclear sclerosis. Many patients may tolerate moderate levels of glare without much difficulty, and, as such, glare by itself does not require surgical management.
Myopic shift •
The progression of cataracts may frequently increase the diopteric power of the lens resulting in a mild-to-moderate degree of myopia or myopic shift. Consequently, presbyopic patients report an increase in their near vision and less need for reading glasses
•
as they experience the so-called second sight. However, such occurrence is temporary, and, as the optical quality of the lens deteriorates, the second sight is eventually lost. Typically, myopic shift and second sight are not seen in cortical and posterior subcapsular cataracts. Furthermore, asymmetric development of the lens-induced myopia may result in significant symptomatic anisometropia that may require surgical management.
Monocular diplopia •
•
At times, the nuclear changes are concentrated in the inner layers of the lens, resulting in a refractile area in the center of the lens, which often is seen best within the red reflex by retinoscopy or direct ophthalmoscopy. Such a phenomenon may lead to monocular diplopia that is not corrected with spectacles, prisms, or contact lenses.
Physical After a thorough history is taken, careful physical examination must be performed. The entire body habitus is checked for abnormalities that may point out systemic illnesses that affect the eye and cataract development. •
•
A complete ocular examination must be performed beginning with visual acuity for both near and far distances. When the patient complains of glare, visual acuity should be tested in a brightly lit room. Contrast sensitivity also must be checked, especially if the history points to a possible problem. Examination of the ocular adnexa and intraocular structures may provide clues to the patient's disease and eventual visual prognosis. •
A very important test is the swinging flashlight test which detects for a Marcus Gunn pupil or a relative afferent pupillary defect (RAPD) indicative of optic nerve lesions or diffuse macular involvement. A patient with RAPD and a cataract is expected to have a very guarded visual prognosis after cataract extraction. • A patient with long-standing ptosis since childhood may have occlusion amblyopia, which may account more for the decreased visual acuity rather than the cataract. Similarly, checking for problems in ocular motility at all directions of gaze is important to rule out any other causes for the patient's visual symptoms. Slit lamp examination should not only concentrate on evaluating the lens opacity but the other ocular structures as well (eg, conjunctiva, cornea, iris, anterior chamber). •
•
• ο ο ο
Corneal thickness and the presence of corneal opacities, such as corneal guttata, must be checked carefully. Appearance of the lens must be noted meticulously before and after pupillary dilation. The visual significance of oil droplet nuclear cataracts and small posterior subcapsular cataracts is evaluated best with a normal-sized pupil to determine if the
visual axis is obscured. However, exfoliation syndrome is appreciated with the pupil dilated, revealing exfoliative material on the anterior lens capsule. ο After dilation, nuclear size and brunescence as indicators of cataract density can be determined prior to phacoemulsification surgery. The lens position and integrity of the zonular fibers also should be checked because lens subluxation may indicate previous eye trauma, metabolic disorders, or hypermature cataracts. The importance of direct and indirect ophthalmoscopy in evaluating the integrity of the posterior pole must be underscored. Optic nerve and retinal problems may account for the visual disturbance experienced by the patient. Furthermore, the prognosis after lens extraction is affected significantly by detection of pathologies in the posterior pole preoperatively (eg, macular edema, age-related macular degeneration).
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
VII.DIAGNOSIS
VIII.
PENATALAKSANAAN
IX. PROGNOSIS
X. DAFTAR PUSTAKA