RANGKUMAN HASIL PERTEMUAN NASIONAL EVALUASI DAN PERENCANAAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT 2016 (PERNAS P2P 2016)
Pertemuan Nasional Evaluasi dan Perencanaan Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 2016 (PERNAS P2P 2016) yang dilaksanakan di Kota Tangerang pada 09 –12 Mei 2016 dibuka oleh Menteri Kesehatan. Pertemuan ini bertujuan untuk: 1) mempercepat pencapaian sasaran Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) di Indonesia melalui peningkatan kualitas perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Program; 2) mengkonsolidasikan dukungan seluruh unit utama Kementerian Kesehatan, lintas sektor terkait dan jajaran kesehatan di provinsi dan kabupaten untuk meningkatkan cakupan, kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit; 3) meningkatkan koordinasi dan sinergi antara pusat dan daerah. Memperhatikan arahan Menteri Kesehatan, paparan Dirjen P2P, paparan narasumber dari: Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kemenkeu, dan seluruh Pimpinan Unit Utama Kementerian Kesehatan, serta memperhatikan: Resolusi Rakerkesnas 2016, Hasil Rapat Koordinasi Teknis Direktorat di lingkungan Ditjen P2P dan masukan seluruh peserta pertemuan termasuk para pembahas, maka 400 orang peserta Pernas P2P 2016 yang terdiri dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dari 34 provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dari 5 provinsi wilayah binaan Ditjen P2P, Eselon II dan Kepala UPT di lingkungan Ditjen P2P, Eselon II Kementerian Kesehatan terkait, serta perwakilan organisasi profesi, menyepakati hal-hal sebagai berikut: 1. Memperluas akses tes HIV pada populasi kunci dan populasi beresiko, yaitu Bumil, Penderita TB, Penderita Hepatitis, Pasangan Diskordan, dan Penderita IMS, melalui tes HIV sebanyak 7 juta tes tahun 2016 dan 10 juta tes pada tahun 2017. Langkah ini diperkuat dengan perluasan Layanan Komprehensif Berkesinambungan melalui desentrasilisasi layanan ARV di 34 propinsi, desentralisasi layanan ARV di 500 puskesmas tahun 2016, skrining HIV pada ibu hamil saat ANC hingga 80% pada tahun 2019, dan intensifikasi Kampanye ABAT di 34 propinsi 2. Menemukan kasus Kusta dan Frambusia melalui kegiatan Intensifikasi Case Finding (ICF) dengan pendekatan keluarga, diperkuat dengan Kemoprofilaksis pada kontak kusta. Khusus untuk Frambusia dilakukan POPM di 64 daerah endemis pada tahun 2016 diperkuat dengan serosurvei dalam tahun 2017 di 7 Kabupaten yang telah dilakukan POPM pada tahun 2015. 3. Melakukan intensifikasi Deteksi Dini Hepatitis (DDH) B pada bumil, dan DDHBC pada populasi berisiko melalui pendekatan keluarga; dengan metoda rapid, tahun 2016 sebanyak 500.000 bumil, 112.000 kelompok berisiko, di 34 propinsi, 51 kab/kota. Sedangkan pada 2017 akan dilaksanakan di 153 kab/kota, pada 1.500.000 bumil, dan 200.000 kelompok berisiko 4. Meningkatkan cakupan dan penemuan tatalaksana ISPA di 600 Puskesmas menggunakan Pulse Oksimetri, diperkuat dengan intensifikasi penemuan dan tatalaksana ISPA balita di Poskesdes, Bidan Desa, Posyandu, dengan pendekatan
1
MTBS dan pendekatan keluarga, serta meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan pandemi influenza di seluruh pintu masuk negara dan di luar pintu masuk negara. 5. Mempercepat pencapaian eliminasi malaria sebelum tahun 2030 melalui penerapan strategi spesifik mengingat bervariasinya endemisitas. Bagi 45 kab/kota endemis tinggi (API > 5 per 1000), diterapkan strategi akselerasi melalui pembagian kelambu massal untuk menjamin semua anggota keluarga memanfaatkan kelambu. Bagi 87 kab/kota endemis sedang (API 1-4 per 1000) dilakukan intensifikasi melalui kampanye kelambu massal fokus. Sementara itu, bagi 147 kab/kota endemis rendah, dilakukan strategi eliminasi dengan surveilans migrasi sebagai fokus kegiatan. Seluruh strategi tersebut didukung dengan penguatan diagnosa dini dan pengobatan cepat-tepat. Secara kumulatif, sebanyak 265 kab/kota akan mencapai eliminasi malaria pada 2017. Bagi kab/kota yang telah mencapai eliminasi terus melakukan upaya pemeliharaan melalui penguatan surveilans dan diagnosa dini serta pengobatan cepat-tepat. Pusat mengupayakan tersedianya logistik dan pembinaan teknis, sementara itu provinsi menyediakan dana untuk KIE dan penguatan SDM; selanjutnya Kab/Kota menyediakan biaya operasional untuk penyimpanan, distribusi, peningkatan kapasitas tenaga puskesmas dan pelaksanaan KIE kepada seluruh masyarakat 6. Mempercepat pencapaian eliminasi filariasis sebelum tahun 2020 melalui kampanye nasional Bulan Eliminasi Kaki Gajah atau BELKAGA, yaitu bulan dimana setiap penduduk kabupaten/kota endemis Kaki Gajah serentak minum obat pencegahan filariasis. Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) dilaksanakan setiap bulan Oktober selama 5 tahun berturut-turut (2015-2020) di 241 kabupaten/kota endemis dengan jumlah peduduk sekitar 105 juta orang. Pada tahun 2017 akan dicapai secara kumulatif sebanyak 35,9 juta penduduk yang meminum obat pencegahan filariasis. Pemerintah pusat menyediakan logistik berupa obat dan bahan KIE, advokasi dan sosialisasi. Di samping itu, pemerintah pusat juga menyediakan anggaran melalui dana Dekon untuk biaya operasional Belkaga. Pemerintah provinsi melakukan pemetaan prevalensi pasca POPM di wilayahnya. Sementara itu, Pemerintah kabupaten menyelenggarakan pelatihan kader dan mendistribusikan obat dan memastikannya melalui monitoring. Keberhasilan terwujudnya Indonesia Bebas Kaki Gajah ditentukan oleh dukungan semua pihak baik di jajaran pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat, termasuk kalangan swasta dan dunia usaha 7. Menurunkan insidens (IR) nasional menjadi <49 per 100.000 penduduk dan tingkat kematian (CFR) menjadi <1% pada 2019, melalui melalui “Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik”. 8. Sebanyak 103 (20%) kab/kota menerapkan “Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik” pada 2017, dan secara bertahap akan mencapai seluruh kabupaten/kota pada tahun 2019 yang akan mendorong seluruh keluarga di Indonesia memastikan setiap rumahnya bebas dari jentik. Pemerintah pusat menyediakan logistik berupa insektisida, larvasida dan bahan KIE. Pusat menyelenggarakan ToT bagi 68 orang perwakilan dari 34 Provinsi pada 2016. Pusat juga menyediakan anggaran melalui dana Dekon untuk penyelenggaraan pelatihan lanjutan di tingkat provinsi dan kabupaten. Pemerintah provinsi menyediakan logistik dan kegiatan advokasi dan sosialisasi. Di tahun 2017, 103 kab/kota Pemerintah kab/kota melakukan revitalisasiPokjanal dan organisasi pendukungnya untuk menggerakan partisipasi masyarakat dan melakukan monitoring untuk memastikan bahwa minimal 95% rumah di satu wilayah telah bebas jentik.
2
9. Mempercepat pencapaian eliminasi rabies pada 2020 melalui pendekatan “One Health”, yaitu pendekatan lintas sektor yang mengintegrasikan langkah perencanaan, pelaksanaan dan penilaian dalam pengendalian zoonosis untuk mencegah kematian akibat rabies. Sebanyak 145 kab/kota endemik rabies di 25 provinsi akan mencapai eminasi rabies pada tahun 2017. Secara kumulatif sebanyak 264 kab/kota endemik rabies 25 provinsi diharapkan akan mencapai eliminasi rabies di tahun 2020, yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan eliminasi rabies. Pengendalian difokuskan pada pelaksanaan kegiatan surveilans dan sistem kewaspadaan dini serta penanggulangan KLB secara Nasional, dan diperkuat dengan sistem pelayanan kesehatan hewan dan kesehatan manusia yang didukung dengan penguatan strategi komunikasi. Pemerintah pusat menyediakan bahan KIE dan Vaksin Anti Rabies (VAR) sebanyak 70 % dari kebutuhan nasional. Dana Dekonsentrasi disediakan pusat untuk mendukung Provinsi menyelenggarakan pembinaan teknis kepada petugas kabupaten/kota untuk menjamin tata-laksana penanganan kasus gigitan HPR sesuai dengan SOP. Pemerintah kab/kota memastikan Puskesmas melakukan penata-laksanaan kasus gigitan. Di samping itu, setiap Kab/kota endemis rabies menetapkan minimal 1 fasyankes yang mudah dijangkau masyarakat serta dapat melaksanakan penanganan kasus gigitan HPR sebagai Rabies Center 10. Memperkuat dukungan dalam pencapaian eliminasi, penurunan kasus serta memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap penyakit tular vektor melalui upaya Pengendalian Vektor Terpadu yaitu kombinasi beberapa metode pengendalian vektor (fisik, biologi, kimiawi ) yang dilakukan berdasarkan azas keamanan, rasionalitas dan efektivitas pelaksanaannya serta dengan mempertimbangan kelestarian keberhasilannya dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Tahun 2017 akan tercapai 204 kabupaten/kota yang melakukan pengendalian vektor secara terpadu dan tahun 2019 secara kumulatif mencapai 272 kabupaten/kota di 34 provinsi. Pemerintah pusat meningkatkan jumlah dan kapasitas tenaga entomolog, menyediakan alat dan bahan surveilans serta bahan pengendalian vektor. Disamping itu Pemerintah Pusat menyediakan dana dekonsentrasi untuk mendukung provinsi dalam melaksanakan pelatihan bagi 600 tenaga entomolog pada tahun 2017 dari seluruh Indonesia. Kabupaten/Kota menyediakan biaya operasional untuk melaksanakan surveilans dan pengendalian vektor terpadu. 11. Menggerakan 49 (46%) Kabupaten/kota yang memiliki pintu masuk negara pada tahun 2016 dan 68 kab/kota pada 2017 untuk menyusun dokumen rencana kontigensi (renkon) sehingga memiliki kesiapsiagaan dalam merespons kejadian kedaruratan kesehatan masyarakat (KKM). Pemerintah Pusat menyediakan anggaran untuk mendukung kegiatan tersebut dan kabupaten/kota terkait memberikan komitmen dan melakukan langkah yang diperlukan untuk penyusunan renkon dan pelaksanaan simulasi. Langkah ini diperkuat dengan peningkatan pemanfaatan Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) berbasis web oleh Tim Gerak Cepat (TGC) dalam melakukan tindak-lanjut detect, prevent dan respons terhadap penyakit potensial KLB/wabah di seluruh Indonesia. 12. Menjamin pemeliharaan dan distribusi vaksin hingga ke tempat pelayanan, pemeliharaan rantai dingin dan penyediaan sumber daya manusia yang cukup dan kompeten oleh pusat dan daerah dalam upaya mewujudkan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata dengan layanan yang berkualitas dan terjangkau. Bagi kabupaten yang mempunyai daerah-daerah sulit dijangkau, pelayanan imunisasi dilakukan pendekatan SOS, yaitu pelayanan imunisasi minimal 4 kali dalam setahun dengan interval waktu yang sama untuk menjangkau seluruh sasaran. 3
Disamping itu, untuk menghentikan penyebaran isu negatif tentang imunisasi di berbagai daerah diterbitkan PERDA dan dukungan tokoh masyarakat serta tokoh agama. Langkah ini diperkuat dengan pemanfaatan vaksin baru yang mengandung antigen: pneumococcus, rubella, japanese encepalilitis, dan measles di 130 kab/kota pada tahun 2017. 13. Saat ini penyebab kematian utama di Indonesia adalah penyakit tidak menular 51 % yaitu stroke 21,1 %, jantung 12,9 %, diabetes melitus 6,7 %, Hipertensi 5,3 % serta PPOK 4,9 % (Data SRS 2014). Data Riskesdas 2007 dan 2013 menunjukkan peningkatan yang signifikan dari PTM seperti DM dari 5,7% menjadi 6.9% (sekitar 10 juta orang), dan hipertensi menjadi 25,8% (42 juta orang). Faktor risiko bersama PTM masih sangat tinggi yaitu konsumsi tembakau di atas 15 tahun dari 34,7% ke 36.3%, Konsumsi sayur dan buah kurang (93,5%) dan kurang beraktifitas fisik (26,1%). 80% dari PTM dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko bersama tersebut. Dengan demikian terobosan pengendalian PTM diarahkan pada upaya yang komprehensif dengan penekanan pada upaya promotif preventif. 14. Upaya peningkatan kepedulian masyarakat akan perilaku hidup sehat perlu digalakkan melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) khususnya promosi konsumsi sayur buah, aktifitas fisik dan pengendalian konsumsi rokok yang didukung dengan perluasan upaya deteksi dini faktor risiko PTM. Germas dilaksanakan oleh seluruh sektor di tingkat pusat dan daerah di seluruh kabupaten/kota untuk menjamin terbangunnya lingkungan kondusif pembudayaan perilaku CERDIK (Cek Kesehatan, Enyahkan asap rokok, Rajin aktivitas fisik, Diet gizi seimbang, Istirahat cukup dan Kelola stress). Bappenas mengkoordinasikan alokasi anggaran untuk mendukung GERMAS baik di Kementerian Kesehatan maupun lintas sektor pada tingkat pusat dan daerah. 15. Perluasan Posbindu PTM dilakukan melalui integrasi dengan UKBM lain seperti Posyandu, Rumah Sehat Desa, Poskestren , Sekolah dan Tempat kerja. Jumlah Posbindu diharapkan menjangkau 10 persen dari masyarakat berusia (15-59 tahun) dan mencakup minimal 30% desa di Indonesia pada tahun 2017 (24.000 desa). Upaya perluasan posbindu PTM, diperkuat juga dengan upaya integrasi skrining PTM dalam JKN serta pendekatan keluarga. Hal ini dimaksudkan agar dapat menjangkau dan mendeteksi 70 persen kasus PTM (sekitar 117 juta) di masyarakat yang belum terdiagnosis dan belum mengakses layanan kesehatan untuk mencegah terjadinya peningkatan kasus PTM dengan komplikasi, kecacatan dan peningkatan pembiayaan kesehatan. 16. Peningkatan jangkauan dan akses masyarakat terhadap pelayanan PTM berkualitas, dilakukan melalui pelayanan PTM terintegrasi di FKTP. Saat ini baru sekitar 2500 FKTP yang mempunyai layanan PTM terpadu dan secara bertahap seluruh FKTP harus mampu melakukan layanan PTM terpadu, mengingat hal ini sudah masuk ke RPP SPM (Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Standar Pelayanan Minimal) yaitu skrining kesehatan pada usia produktif serta pelayanan kesehatan hipertensi dan pelayanan kesehatan Diabetes Melitus di FKTP. Pelayanan PTM terpadu walaupun berbasis UKP tetapi dilakukan secara komprehensif mulai dari promotif, preventif, kuratif, paliatif dan rehabilitatif. 17. Peran Pusat mendukung pelaksanaan perluasan Posbindu PTM dan peningkatan jangkauan dan akses terhadap pelayanan PTM berkualitas melalui alokasi dana dekonsentrasi, DAK, BOK, JKN, pajak rokok daerah untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pengadaan logistik dan biaya operasional. Daerah diharapkan mengoptimalkan sumber-sumber dana tersebut serta mengalokasikan dana APBD untuk mendukung percepatan pelaksanaan kegiatan. Selain itu daerah 4
harus membuat regulasi melalui peraturan daerah untuk pengendalian konsumsi produk tembakau. 18. Upaya pengendalian PTM inovatif tersebut diperkuat dengan public private partnership antara lain melalui kerjasama dengan berbagai coorporate sbg bentuk pelaksanaan contohnya rencana kampanye Indonesia lawan diabetes, aksi Deteksi Dini DM di 25 pasar binaan PD pasar Jaya (kerjasama Nutri Food, Pemda DKI dan Kemkes), operasi katarak massal mataku dengan PT Sidomuncul dan program sejuta kacamata dengan Gapopin melalui Komatnas, kegiatan promotif “Kalahkan Kanker” dengan PT Roche 19. Meningkatkan jumlah kabupaten/kota yang memiliki puskesmas yang mampu menyelenggarakan pelayanan keswa dan napza dalam upaya meningkatkan akses masyarakat dan mewujudkan bebas pasung di Indonesia paling lambat tahun 2030. Hal ini diperkuat dengan ketersediaan tenaga kesehatan dan psikofarmaka di FKTP dan FKTRL. Dalam upaya mencapai target 180 kabupaten/kota yang memiliki 20% puskesmas yang mampu menyelenggarakan pelayanan keswa dan napza pada tahun 2017, pemerintah pusat menyediakan anggaran untuk penyelenggaraan pelatihan bagi sekitar 1.000 SDM Keswa di 34 provinsi. Pemerintah daerah menjamin retensi tenaga yang telah terlatih untuk kesinambungan pelayanan keswa dan napza. Pemerintah daerah menerbitkan peraturan terkait program penanggulangan pasung untuk menjamin adanya kebijakan dan ketersediaan sumberdaya dalam rangka mewujudkan Indonesia bebas pasung. Di samping itu, bagi provinsi yang belum memiliki RS Jiwa akan memulai langkah pembangunan RS untuk memenuhi amanat UU Keswa no. 18 tahun 2014 serta mengupayakan tersedia tenaga profesional keswa. 20. Meningkatkan jumlah fasyankes (FKTP dan FKTRL) sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan rehabilitasi medis bagi penyalahguna Napza. Sebanyak 100 IPWL aktif pada tahun 2016 akan disediakan pemerintah pusat dan daerah. Hal ini juga dilakukan pada tahun 2017. Dengan demikian secara kumulatif tersedia 200 IPWL aktif pada 2017. Dukungan disediakan oleh Pemerintah Pusat melalui kegiatan TOT untuk menyediakan tenaga pelatih yang akan mendukung kegiatan pelatihan di tingkat provinsi dan kab/kota. Pelatihan pada tahun 2017 akan menghasilkan 3000 tenaga kesehatan yang kompeten untuk mendeteksi, skrining dan menangani kedaruratan penyalahgunaan Napza. Jumlah ini akan terus bertambah sehingga pada tahun 2019 dapat mendukung 400 IPWL aktif di seluruh Indonesia. Di samping itu, pemerintah pusat menyediakan anggaran melalui Dana Dekonsentrasi dan DAK untuk penyediaan sarana pendukung, kegiatan pelatihan dan sosialisasi di daerah. Upaya penanggulangan napza diperkuat dengan upaya mengurangi dampak buruk penggunaan napza melalui Program Terapi Rumatan Metadon di 92 Fasyankes di seluruh Indonesia yang melayani lebih dari 2000 penyalahguna Napza. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menyelenggaraakn kampanye publik di wilayahnya untuk pencegahan penyalahgunaan Napza di masyarakat dengan memanfaatkan dana Dana Dekon, DAK dan APBD. Upaya-upaya penanganan masalah penyalahgunaan napza didukung dengan kerjasama lintas sektor dan masyarakat di berbagai tingkatan.
5
Hasil Rangkuman ini disampaikan kepada Dirjen P2P untuk mendapat perhatian dan ditindak-lanjuti bersama oleh jajaran pemerintah pusat dan daerah serta dilaporkan kepada Menteri Kesehatan.
Kota Tangerang, 11 Mei 2016 Atas Nama Seluruh Peserta Pernas P2P 2016
6