LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
Tahun 2016
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .......................................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL .............................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................................
iv
BAB I.
PENDAHULUAN .............................................................................................
1
A. VISI DAN MISI .........................................................................................
1
B. LATAR BELAKANG ................................................................................
2
C. TUJUAN ..................................................................................................
5
D. TUGAS POKOK DAN FUNGSI ...............................................................
6
E. STRUKTUR ORGANISASI ......................................................................
7
F.
SUMBER DAYA MANUSIA .....................................................................
7
G. SISTEMATIKA PENULISAN ...................................................................
9
PERENCANAAN KINERJA .............................................................................
10
A. PERENCANAAN KINERJA ......................................................................
10
B. PERJANJIAN KINERJA ..........................................................................
13
AKUNTABILITAS KINERJA ............................................................................
15
A. CAPAIAN KINERJA .................................................................................
15
B. REALISASI ANGGARAN .........................................................................
78
PENUTUP .......................................................................................................
82
BAB II.
BAB III.
BAB IV.
BAB VI. LAMPIRAN LAMPIRAN 1. PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016
ii |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
BAB I PENDAHULUAN A. VISI DAN MISI Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah kesejahteraan rakyat, Midgley (2009) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “..a condition or state of human well-being that exists when people needs are met, problems are managed, and opportunities are maximized.” Kondisi sejahtera dapat dicapai manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan terpenuhi; serta memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang mengancam kehidupannya. Derajat kesehatan masyarakat adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam kesejahteraan karena menyangkut hak-hak dasar warga negara yang mutlak dipenuhi. Oleh karena itu usaha untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dilakukan melalui perbaikan cakupan, mutu, dan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, perbaikan sarana prasarana kesehatan, pemberdayaan tenaga kesehatan, mendorong partisipasi masyarakat untuk hidup sehat, pengendalian penyakit baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular, serta penyehatan lingkungan. Setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi pembangunan nasional. Visi dan Misi Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 mengikuti Visi dan Misi Presiden Republik Indonesia yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong”. Upaya untuk mewujudkan visi ini adalah melalui 7 misi pembangunan yaitu: 1. Terwujudnya keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan. 2. Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan negara hukum. 3. Mewujudkan politik luar negeri bebas dan aktif serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim. 4. Mewujudkan kualitas hidup manusia lndonesia yang tinggi, maju dan sejahtera. 5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing. 6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional, serta 7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan. Selanjutnya terdapat 9 agenda prioritas yang dikenal dengan NAWA CITA yang ingin diwujudkan yakni:
1|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara. 2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. 3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. 4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. 5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. 6. Meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional. 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. 8. Melakukan revolusi karakter bangsa. 9. Memperteguh ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Kementerian Kesehatan mempunyai peran dan berkonstribusi dalam tercapainya seluruh Nawa Cita terutama dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Terdapat dua tujuan Kementerian Kesehatan pada tahun 2015-2019, yaitu: 1) meningkatnya status kesehatan masyarakat dan; 2) meningkatnya daya tanggap responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di bidang kesehatan. Peningkatan status kesehatan masyarakat dilakukan pada semua kontinum siklus kehidupan (life cycle), yaitu bayi, balita, anak usia sekolah, remaja, kelompok usia kerja, maternal, dan kelompok lansia. Tujuan indikator Kementerian Kesehatan bersifat dampak (impact atau outcome). dalam peningkatan status kesehatan masyarakat, indikator yang akan dicapai adalah: 1.
Menurunnya angka kematian ibu dari 359 per 100.00 kelahiran hidup (SP 2010), 346 menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012).
2.
Menurunnya angka kematian bayi dari 32 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup.
3.
Menurunnya persentase BBLR dari 10,2% menjadi 8%.
4.
Meningkatnya upaya peningkatan promosi kesehatan dan masyarakat, serta pembiayaan kegiatan promotif dan preventif.
5.
Meningkatnya upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat.
pemberdayaan
B. LATAR BELAKANG Tantangan pembangunan kesehatan semakin kompleks, Tantangan tersebut diantaranya semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat pada pelayanan kesehatan yang bermutu
2|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
; beban ganda penyakit (di satu sisi, angka kesakitan penyakit infeksi masih tinggi namun di sisi lain penyakit tidak menular mengalami peningkatan yang cukup bermakna); disparitas status kesehatan antar wilayah cukup besar, terutama di wilayah timur (daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan/DTPK); peningkatan kebutuhan distribusi obat yang bermutu dan terjangkau; jumlah SDM Kesehatan kurang, disertai distribusi yang tidak merata; adanya potensi masalah kesehatan akibat bencana dan perubahan iklim, serta integrasi pembangunan infrastruktur kesehatan yang melibatkan lintas sektor di lingkungan pemerintah, Pusat-Daerah, dan Swasta. Dalam studi mengenai Beban Penyakit, Trauma dan Faktor Risiko di Indonesia tahun 2010 diketahui ada tiga besar penyakit penyebab kematian di Indonesia. Di urutan pertama adalah stroke, tuberkulosis, dan kecelakaan lalu lintas. Kondisi ini menunjukkan Indonesia sedang menuju pada masa transisi dari negara berkembang ke negara maju. Dari pola penyakit, Indonesia pada transisi menuju negara maju dengan pendapatan per kapita lebih tinggi. Pola penyakit negara maju adalah penyakit tidak menular seperti stroke, hipertensi, jantung, kanker, dan sebagainya. Sementara penyakit menular seperti tuberkulosis dan diare, lebih banyak terjadi di negara miskin. Sementara itu di wilayah Indonesia Timur masalah sanitasi dan kebersihan masih jadi persoalan. Disamping isu beban penyakit dan faktor risiko, isu lain yang muncul dalam pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan adalah perubahan lingkungan strategis baik global, regional maupun nasional. Beberapa yang kita hadapi kedepan antara lain : 1.
Perkembangan Penduduk. Pertumbuhan penduduk Indonesia ditandai dengan adanya window opportunity di mana rasio ketergantungannya positif, yaitu jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dari pada yang usia non-produktif, yang puncaknya terjadi sekitar tahun 2030.
2.
Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara efektif pada tanggal 1 Januari 2016. Pemberlakukan ASEAN Community yang mencakup total populasi lebih dari 560 juta jiwa, akan memberikan peluang (akses pasar) sekaligus tantangan tersendiri bagi Indonesia. Implementasi ASEAN Economic Community, yang mencakup liberalisasi perdagangan barang dan jasa serta investasi sektor kesehatan.
3.
Berakhirnya agenda Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, banyak negara mengakui keberhasilan dari MDGs sebagai pendorong tindakantindakan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pembangunan masyarakat. Khususnya dalam bentuk dukungan politik. Kelanjutan program ini disebut Sustainable Development Goals (SDGs)
4.
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan respon global yang paling kuat terhadap tembakau dan produk tembakau (rokok), yang merupakan penyebab berbagai penyakit fatal
5.
Agenda Ketahanan Kesehatan Global (Global Health Securty Agenda/GHSA) dicanangkan di Washington DC dan Gedung PBB Genewa secara bersamaan pada tanggal 13 Februari 2014.
3|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Melihat tantangan, isu dan perubahan lingkungan strategis diatas serta amanat Undangundang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 yang berisi upaya-upaya pembangunan bidang kesehatan yang disusun dan dijabarkan dalam bentuk program, kegiatan, target, indikator termasuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaannya. Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program Indonesia Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan. Sasaran yang akan dicapai dalam Program Indonesia Sehat pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 (RPJMN 2015-2019) adalah meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan melalui strategi pembangunan nasional. Dalam Undang Undang No. 36 tahun 2009 disebutkan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan dalam bentuk kegiatan dengan strategi pendekatan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dengan telah ditetapkannya RPJMN 2015-2019 melalui Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015 dan Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019 melalui Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.02.02/2015, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) telah menyusun Rencana Aksi Program PP dan PL tahun 2015 – 2019 yang merupakan jabaran kebijakan Kementerian Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Penyakit sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Ditjen P2P termasuk langkah-langkah antisipasi tantangan program selama lima tahun mendatang. Dengan adanya SOTK baru maka telah dilakukan revisi pada Rencana Aksi Program PP dan PL Tahun 2015-2019 menjadi Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2015-2019. Meskipun demikian sampai dengan diterbitkannya Laporan Kinerja ini, Revisi Rencana Aksi Program P2P Tahun 2015-2019 belum ditetapkan sehingga sasaran dan indikator masih menggunakan Rencana Aksi Program yang lama dengan melakukan penyesuaian pada indikator yakni menghilangkan indikator persentase kabupaten/kota yang memenuhi syarat kualitas kesehatan lingkungan sebesar 40%. Hal ini terjadi karena pindahnya Direktorat Penyehatan Lingkungan ke Direktorat Kesehatan Masyarakat . Sasaran Program P2P dalam Rencana Aksi Program ditetapkan dengan merujuk pada sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN dan Renstra yakni: 1.
Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi sebesar 95%
2.
Jumlah kab/kota dengan eliminasi malaria sebesar 300 kab/kota
3.
Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1 persen sebesar 75 kab/kota
4|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
4.
Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta sebesar 34 provinsi
5.
Prevalensi TB sebesar 245 per 100.000 penduduk
6.
Prevalensi HIV (persen) < 0,5 %
7.
Prevalensi merokok pada penduduk usia ≤ 18 tahun sebesar 5,4%
8.
Persentase kabupaten/kota yang mempunyai Kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 100%.
9.
Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra di wilayah layanan BTKL sebesar 90%
10. Persentase teknologi tepat guna PP dan PL yang dihasilkan BTKL meningkat 50 % dari jumlah TTG tahun 2014. 11. Persentase Pelabuhan/Bandara/PLBD yang melaksanakan kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 100%. Untuk mengukur tingkat pencapaian kinerja Ditjen P2P maka setiap tahun ditetapkan perjanjian kinerja yang berisikan sasaran kinerja, indikator kinerja dan target yang ingin dicapai. Perjanjian kinerja yang telah ditetapkan merupakan sasaran program dalam Rencana Aksi Program dengan merujuk pada sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN dan Renstra serta memperhatikan tugas pokok dan fungsi Ditjen P2P. Perjanjian kinerja yang telah ditetapkan tersebut akan dievaluasi pada tahun berikutnya melalui Laporan Kinerja. C. TUJUAN Penyusunan Laporan Kinerja merupakan wujud melaksanakan Perpres No. 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Permenpan dan RB Nomor 53 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja Dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah. Tujuan penyusunan Laporan Kinerja Direktorat Jenderal P2P adalah untuk: 1. Memberikan informasi kinerja Ditjen P2P selama tahun 2016 yang telah ditetapkan dalam dokumen perjanjian kinerja. 2. Sebagai bentuk pertanggung jawaban Ditjen P2P dalam mencapai sasaran/tujuan strategis instansi. 3. Sebagai upaya perbaikan berkesinambungan bagi Ditjen P2P untuk meningkatkan kinerjanya. 4. Sebagai salah satu upaya mewujudkan manajemen pemerintah yang efektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil yang merupakan salah satu agenda penting dalam reformasi pemerintah.
5|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
D. TUGAS POKOK DAN FUNGSI Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan terjadi perubahan SOTK Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menjadi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit memiliki 1 Sekretariat dan 5 Direktorat yakni:
1. 2. 3. 4.
Sekretariat Direktorat Jenderal. Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan (SKK) Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ) 5. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) 6. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2PMKJN) Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit melaksanakan fungsi antara lain sebagai berikut: 1.
Perumusan kebijakan di bidang surveilans epidemiologi dan karantina, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor, penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
2.
Pelaksanaan kebijakan di bidang surveilans epidemiologi dan karantina, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor, penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
3.
Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang surveilans epidemiologi dan karantina, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor, penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
4.
Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang surveilans epidemiologi dan karantina, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor, penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
5.
Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang surveilans epidemiologi dan karantina, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor,
6|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA); 6.
Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit; dan
7.
Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
E. STRUKTUR ORGANISASI Selain itu, terjadi juga perubahan struktur organisasi yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan sebagai berikut:
F.
SUMBER DAYA MANUSIA Pada tahun 2016 jumlah pegawai Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P) sebanyak 4473 orang dengan distribusi yakni jumlah pegawai pada Balai Besar/Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit (B/BTKL– PP) sebanyak 763 orang (17%), Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) sebanyak 3092 orang (69%), dan jumlah pegawai Ditjen P2P pada unit pusat adalah 618 orang (14%).
7|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Grafik 1.1
DISTRIBUSI PEGAWAI DI LINGKUNGAN DITJEN P2P Kantor Pusat 618 14%
B/BTKL PP 763 17%
Kantor Pusat
KKP B/BTKL PP KKP 3092 69%
Dari jumlah pegawai di kantor Pusat, Direktorat SKK sebanyak 97 pegawai (16%), Direktorat P2PTM sebanyak 79 orang (13%), Direktorat P2PTVZ sebanyak 98 orang (16%), Direktorat P2PML sebanyak 103 pegawai (16%), Direktorat P2MKJN sebanyak 45 orang (7%) dan Sekretariat sebanyak 196 orang (31%)
Grafik 1.2
DISTRIBUSI PEGAWAI DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT DITJEN P2P Dit SKK 97 16%
Dit P2MKJN 45 7% Sekretariat 196 32%
Sekretariat Dit P2PML Dit P2PTVZ
Dit P2PTM 79 13%
Dit P2PTVZ 98 16%
Dit P2PML 103 16%
Dit P2PTM Dit SKK Dit P2MKJN
8|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
G. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisasi Laporan Pengendalian Penyakit terdiri dari: 1. Kata Pengantar 2. Daftar Isi 3. Bab I. Pendahuluan A. Visi dan Misi B. Latar Belakang C. Tugas Pokok dan Fungsi D. Struktur Organisasi E. Sumber Daya Manusia F. Sistematika Penulisan
Kinerja
Direktorat
Jenderal
Pencegahan
dan
4.
Bab II. Perencanaan Kinerja Pada bab ini diuraikan ringkasan/ikhtisar perencanaan kinerja dan perjanjian kinerja tahun yang bersangkutan.
5.
Bab III Akuntabilitas Kinerja A. Capaian Kinerja Organisasi Pada sub bab ini disajikan capaian kinerja organisasi untuk setiap pernyataan perjanjian kinerja sasaran strategis organisasi sesuai dengan hasil pengukuran kinerja organisasi. B. Realisasi Anggaran Pada sub bab ini diuraikan realisasi anggaran yang digunakan untuk mewujudkan kinerja organisasi sesuai dengan dokumen Perjanjian Kinerja termasuk efisiensi penggunaan sumber daya.
6.
Bab IV. Penutup Pada bab ini diuraikan kesimpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta tindak lanjut di masa mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
7.
Lampiran
9|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
BAB II PERENCANAAN KINERJA A.
PERENCANAAN KINERJA Perencanaan Kinerja merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu satu sampai dengan lima tahun secara sistematis dan berkesinambungan dengan memperhitungkan potensi, peluang dan kendala yang ada atau yang mungkin timbul. Dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) perencanaan kinerja instansi pemerintah terdiri atas tiga instrumen yaitu: Rencana Strategis (Renstra) yang merupakan perencanaan 5 tahunan, Rencana Kinerja Tahunan (RKT) dan Perjanjian Kinerja (PK). Perencanaan 5 tahunan Ditjen P2P mengacu kepada dokumen Rencana Aksi Program Ditjen PP dan PL Tahun 2015-2019. Terkait dengan perubahan SOTK baru sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan maka telah dilakukan revisi terhadap Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2015-2019.
Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2015-2019 Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program Indonesia Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan. Program Indonesia dituangkan dalam sasaran pokok RPJMN 20152019 yaitu: (1) meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak; (2) meningkatnya pengendalian penyakit; (3) meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan; (4) meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN Kesehatan, (5) terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin; serta (6) meningkatkan responsivitas sistem kesehatan. Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan 3 pilar utama yaitu paradigma sehat, penguatan pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan nasional. Pilar paradigma sehat di lakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan promotif preventif dan pemberdayaan masyarakat. Pilar penguatan pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem rujukan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, menggunakan pendekatan continuum of care dan intervensi berbasis risiko kesehatan. Sementara itu pilar jaminan kesehatan
10 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
nasional dilakukan dengan strategi perluasan sasaran dan benefit serta kendali mutu dan kendali biaya. Dengan telah ditetapkannya RPJMN 2015-2019 melalui Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015 dan Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019 melalui Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.02.02/2015, Direktorat Jenderal PP dan PL menyusun Rencana Aksi Program PP dan PL tahun 2015 – 2019 yang merupakan jabaran kebijakan Kementerian Kesehatan dalam Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal PP dan PL termasuk langkah-langkah antisipasi tantangan program selama lima tahun mendatang. Sehubungan dengan belum ditetapkannya revisi Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit maka Rencana Aksi Program masih menggunakan Rencana Aksi Program PP dan PL 2015 – 2019. Dalam Rencana Aksi Program PP dan PL 2015 - 2019 tidak ada visi dan misi Direktorat Jenderal tetapi telah mendukung pelaksanaan Renstra Kemenkes yang melaksanakan visi dan misi Presiden Republik Indonesia yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong”. Sasaran Strategis Direktorat Jenderal P2P merupakan sasaran strategis dalam Renstra Kemenkes yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi Ditjen P2P. Sasaran tersebut adalah meningkatnya pengendalian penyakit yang ditandai dengan: a)
Persentase penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu sebesar 40%.
b)
Persentase Kab/Kota yang mampu melaksanakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 100%.
c)
Menurunnya prevalensi merokok pada pada usia ≤ 18 tahun sebesar 5,4%.
d)
Meningkatnya Surveilans berbasis laboratorium sebesar 50 %
e)
Persentase pelabuhan/bandara/PLBD yang melakukan yang melaksanakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 100%.
Sedangkan indikator kinerja sasaran sebagai berikut:
11 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
TABEL 2.1 SASARAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TAHUN 2015 - 2019 TARGET SASARAN Menurunnya penyakit menular dan tidak menular serta meningkatnya kualitas kesehatan lingkungan
INDIKATOR 2015
2016
2017
2018
2019
1. Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi
75
80
85
90
95
2. Jumlah kab/kota dengan eliminasi malaria
225
245
265
285
300
35
45
55
65
75
4. Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta
21
23
25
26
34
5. Prevalensi TB per 100.000 penduduk
280
271
262
254
245
<0,5
<0,5
<0,5
<0,5
<0,5
7. Prevalensi merokok pada penduduk usia ≤ 18 tahun
6,9
6,4
5,9
5,6
5,4
8. Persentase kab/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 100%
29
46
64
82
100
9. Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisis matra di wilayah layanan BTKL sebesar 90%
50
60
70
80
90
10.Persentase teknologi tepat guna PP dan PL yang dihasilkan BTKL meningkat 50% dari jumlah TTG tahun 2014
30
35
40
45
50
11.Pesentase pelabuhan/bandara/PLBD
60
70
80
90
100
3. Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1 persen
6. Prevalensi HIV (persen)
12 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
TARGET SASARAN
INDIKATOR 2015
2016
2017
2018
2019
yang melaksanakan kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 100%
B.
PERJANJIAN KINERJA Perjanjian kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit merupakan dokumen pernyataan kinerja/kesepakatan kinerja/perjanjian kinerja Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dengan Menteri Kesehatan untuk mewujudkan target-target kinerja sasaran Ditjen P2P pada akhir Tahun 2016. Perjanjian Kinerja Ditjen P2P disusun berdasar Rencana Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2015-2019. Perjanjian Kinerja merupakan Rencana Kinerja Tahunan (RKT) dan telah mendapat persetujuan anggaran. Perjanjian Kinerja Ditjen P2P Tahun 2016 telah disusun, didokumentasikan dan ditetapkan setelah turunnya DIPA dan RKA-KL Tahun 2016. Target-target kinerja sasaran kegiatan yang ingin dicapai Ditjen P2P dalam dokumen Perjanjian Kinerja Tahun 2016 adalah sebagai berikut:
TABEL 2.2 PERJANJIAN KINERJA PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TAHUN 2016 NO
INDIKATOR
TARGET
1
Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi
80%
2
Jumlah kab/kota dengan eliminasi malaria
245 kab/kota
3
Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1 persen
45 kab/kota
4
Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta
23 provinsi
5
Prevalensi TB sebesar 280 per 100.000 penduduk
6
Prevalensi HIV (persen)
<0,5%
7
Prevalensi merokok pada penduduk usia ≤ 18 tahun
6,4%
271 per 100.000 penduduk
13 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
NO
INDIKATOR
TARGET
8
Persentase kabupaten/kota yang mempunyai Kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
46%
9
Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra di wilayah layanan BTKL
60%
10
Persentase teknologi tepat guna PP dan PL yang dihasilkan BTKL meningkat 50 % dari jumlah TTG tahun 2014
35%
11
Persentase Pelabuhan/Bandara/PLBD yang melaksanakan kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
70%
Pada Perjanjian Kinerja Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dialokasikan anggaran sebesar Rp. 4.098.559.756.000.
14 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
BAB III AKUNTABILITAS KINERJA A. CAPAIAN KINERJA Dalam mengukur kinerja program pencegahan dan pengendalian penyakit di tahun 2016 terdapat beberapa sasaran strategis yang tertuang dalam dokumen Rencana Aksi Program P2P tahun 2016. Berikut adalah target dan capaian indikator program pencegahan dan pengendalian penyakit tahun 2016.
Tabel 3.1 Target Dan Capaian Indikator Program P2P Tahun 2016 NO
INDIKATOR
TARGET
CAPAIAN
KINERJA
1
Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi.
80%
80.7%
100.9%
2
Jumlah kabupaten/kota eliminasi malaria.
dengan
245 kab/kota
247 kab/kota
100.8%
3
45 kab/kota
46 kab/kota
102.2%
23 Provinsi
23 Provinsi
100%
5
Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1 persen. Jumlah Provinsi dengan eliminasi kusta. Prevalensi TB per 100.000 penduduk
271 per 100.000 penduduk
257 per 100.000 penduduk
105,2%
6
Prevalensi HIV (persen)
<0,5%
0.37%
126%
7
Prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun Persentase kabupaten/kota yang mempunyai kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra diwilayah layanan BBTKL sebesar 90%
6,4%
8.8%
62,5%
46%
47.2%
102.6%
60%
95%
158.3%
4
8
9
15 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
NO
INDIKATOR
TARGET
CAPAIAN
KINERJA
10
Persentase teknologi tepat guna PP dan PL yang dihasilkan BTKL meningkat 50% dari jumlah TTG tahun 2014 Persentase pelabuhan/bandara/ PLBD yang melaksanakan kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 100%
35%
135%
146.9%
(64 TTG)
(94 TTG)
70%
70.75%
11
101%
Gambaran atas keberhasilan upaya peningkatan pengendalian penyakit sepanjang tahun 2016 digambarkan melalui beberapa indikator yang terkait sasaran strategis di bawah ini: 1. Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi sebesar 80% a. Penjelasan Indikator Imunisasi menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Imunisasi memberikan perlindungan baik secara individu dan komunitas di suatu daerah dari Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Apabila suatu daerah, dalam hal ini kabupaten/kota memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap minimal 80% dari sasaran bayinya, maka kabupaten/kota tersebut memiliki sasaran yang telah terlindungi dari PD3I. b. Definisi Operasional Persentase kabupaten/kota dimana minimal 80% bayi 0-11 bulan di kabupaten/kota tersebut telah mendapat satu kali imunisasi Hepatitis B, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB (DPT-HB-Hib), empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak dalam kurun waktu satu tahun. c. Rumus/Cara perhitungan Jumlah kabupaten/kota yang memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap minimal 80% dari sasaran bayinya dalam kurun waktu satu tahun dibagi jumlah seluruh kabupaten/kota selama kurun waktu yang sama dikali 100%. Rumus:
∑K80% IDL %K80% IDL =
∑KK
X 100%
16 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Keterangan: %K80%IDL : Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap pada bayi ∑K80%IDL : Jumlah kabupaten/kota yang memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap minimal 80% dari sasaran bayinya dalam kurun waktu satu tahun ∑ KK : Jumlah seluruh kabupaten/kota selama kurun waktu yang sama
d. Capaian Indikator Grafik 3.1 Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen Imunisasi Dasar Lengkap pada bayi tahun 2015-2016
Pada tahun 2015, sebanyak 339 (66%) kabupaten/kota telah memenuhi minimal 80% sasaran bayinya mendapatkan imunisasi dasar lengkap sehingga dari target sebesar 75%, capaian pada tahun 2015 sebesar 88%. Pada tahun 2016, sebanyak 415 (80.7%) kabupaten/kota telah mencapai target minimal 80% sasaran bayinya mendapatkan imunisasi dasar lengkap sehingga capaian sebesar 100.9% dari target 80%. Sehingga pada tahun 2016 target persentase kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap telah tercapai. Apabila dibandingkan dengan indikator Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 untuk Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit yakni indikator Persentase Penurunan Kasus Penyakit Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu, maka capaian Kab/Kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap pada bayi telah sejalan dengan terjadinya penurunan kasus PD3I dari tahun 2013 (baseline Renstra Kemenkes) sampai tahun 2016. 17 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Grafik 3.2 Penurunan Kasus PD3I Tahun 2013 dan 2016
e. Analisa Penyebab Keberhasilan Pada tahun 2016, indikator ini telah berhasil mencapai target yang ditetapkan, dan mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan tahun 2015. Keberhasilan ini dikarenakan adanya umpan balik secara rutin yang dilakukan secara berjenjang dari tingkat pusat kepada provinsi untuk senantiasa memperbarui data. Meskipun begitu, masih ada beberapa hambatan dalam pelaksanaan program imunisasi di lapangan antara lain adanya penolakan terhadap imunisasi baik dikarenakan efek simpang maupun kampanye negatif. Penolakan ini belum didukung oleh pemberian informasi dan edukasi yang baik dan optimal baik dari tenaga kesehatan maupun melalui media-media. Kurang optimalnya komunikasi, informasi dan edukasi yang didapat masyarakat menyebabkan masih kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang imunisasi dan manfaatnya. Selain itu, tingginya tingkat pergantian petugas terlatih menyebabkan terhambatnya pelaksanaan program dilapangan terutama untuk daerah-daerah yang memiliki kondisi geografi sulit yang memerlukan upaya yang lebih keras untuk dapat melaksanakan pelayanan dan mencapai target.
f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator Peningkatan kesadaran masyarakat melalui: Iklan Layanan Masyarakat (ILM). Pekan Imunisasi Dunia. Pemberdayaan organisasi masyarakat melalui sinergisitas dengan organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, organisasi keagamaan 18 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
dan LS terkait (MUI, Perdhaki, Muslimat NU, Aisyiah, Fathayat NU, PKK, TOMA, TOGA dsb) missal keluarnya fatwa MUI tentang Imunisasi, keterlibatan dalam kegiatan PIN sehingga mencapai target.
Peningkatan kualitas pelayanan melalui : Pelatihan untuk petugas supaya menjadi lebih terampil. Pengadaan vaksin dan cold chain yang berkualitas dan sesuai standar. Peningkatan koordinasi antara pengelola program dengan pengelola vaksin
g. Kendala/masalah yang dihadapi - Masalah geografis terutama untuk daerah-daerah yang sulit terjangkau sehingga pelayanan imunisasi tidak bisa optimal; - Kualitas pelayanan imunisasi belum merata, terutama dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM) termasuk tingginya tingkat pergantian petugas terlatih; - Sistem Pencatatan dan pelaporan yang belum berjalan optimal; - Penerapan One Gate Policy atau sistem satu pintu mengenai vaksin didaerah belum berjalan optimal, terutama dalam hal koordinasi antara pengelola program dengan pengelola vaksin sehingga menyebabkan keterlambatan pendistribusian vaksin ke daerah; - Belum optimalnya ketersediaan coldchain yang sesuai standar terutama pada unit pelayanan primer; - Masih banyak rumor negatif tentang imunisasi (black campaign). h. Pemecahan Masalah - Pelaksanaan kegiatan SOS di daerah sulit (Daerah Terpencil, Perbatasan, Terluar dan Kepulauan) - Peningkatan kapasitas petugas pengelola imunisasi di setiap jenjang administrasi (provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas); - Pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan berbasis elektronik; - Pemanfaatan sistem Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) Imunisasi dan berbagai perangkat pemantauan program imunisasi (Data Quality Selfassessment, Effective Vaccine Management dan Supervisi Suportif); - Penyediaan peralatan cold chain secara bertahap sesuai dengan kebutuhan program imunisasi di tingkat pelayanan primer melalui pembiayaan APBN maupun dana hibah; - Advokasi dan sosialisasi kepada tokoh dan kelompok masyarakat serta penyampaian informasi melalui berbagai media bekerjasama dengan lintas program dalam Kemenkes maupun lintas sector dan berbagai organisasi masyarakat.
19 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
2. Jumlah kab/kota dengan eliminasi malaria sebesar 245 kab/kota a. Penjelasan Indikator Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019, Eliminasi malaria merupakan salah satu sasaran utama dan juga merupakan Indikator Kinerja Program (IKP) dari pencegahan dan pengendalian penyakit dengan target jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi malaria. Indikator eliminasi malaria berdasarkan pada Kepmenkes No. 293 tahun 2009 yakni kabupaten/kota, provinsi, dan pulau dinyatakan sebagai daerah yang bebas penularan malaria/mencapai eliminasi malaria bila tidak ditemukan lagi kasus penularan setempat (indigenous) selama 3 (tiga) tahun berturut-turut serta dijamin dengan kemampuan pelaksanaan surveilans yang baik. Dengan memperhatikan indikator penilaian eliminasi malaria yaitu: -
Menilai pelaksanaan penemuan dan tatalaksana kasus malaria. Menilai pencegahan dan penanggulangan faktor risiko. Menilai surveilans dan penanggulangan KLB. Menilai peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) Menilai peningkatan Sumber Daya Manusia. Menilai Komitmen Pemerintah Daerah.
b. Definisi operasional Upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat (indigenous) dalam satu wilayah geografis tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus malaria impor serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut sehingga tetap dibutuhkan kegiatan kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali. c. Rumus/cara perhitungan Akumulasi jumlah kab/kota yang mencapai eliminasi malaria. d. Capaian indikator Kabupaten/kota yang telah mencapai eliminasi malaria pada tahun 2016 yaitu sebanyak 247 kabupaten/kota dari target yang ditentukan sebesar 245 kab/kota atau pencapaian kinerja sebesar 100,8%. Terjadi peningkatan jumlah Kabupaten/Kota yang telah mencapai eliminasi malaria dari tahun 2013 sebanyak 1 Kab/Kota, meningkat menjadi 213 Kab/Kota pada tahun 2014, meningkat menjadi 232 Kab/Kota pada tahun 2015 dan meningkat menjadi 247 pada tahun 2016.
20 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Grafik 3.3
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa jumlah kabupaten/kota yang telah mencapai eliminasi Malaria semakin meningkat setiap tahunnya. Persentase capaian eliminasi malaria per Provinsi di Indonesia dapat dilihat pada peta dan tabel dibawah ini: Peta 3.1 Sebaran Eliminasi Malaria Per Provinsi
21 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Tahapan eliminiasi malaria dimulai dari Kepulauan Seribu, Bali dan Batam pada tahun 2010. Selanjutnya Jawa, Provinsi Aceh dan Provinsi Riau pada tahun 2015. Tahap ketiga adalah Sumatera kecuali Aceh dan Kepulauan Riau, NTB, Kalimantan dan Sulawesi sampai tahun 2020. Terakhir adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua pada tahun 2030. Pada tabel dibawah ini tersaji secara rinci jumlah Kab/Kota dengan eliminasi malaria per Provinsi di Indonesia. Tabel 3.2 Jumlah Kab/Kota dengan eliminasi malaria per Provinsi di Indonesia No
Provinsi
Kab/ Kota 23
Eliminasi
%
No
Provinsi
18
78%
18
NTB
Kab/ Kota 10
Eliminas i 3
% 30%
13
4
31%
14
5
36%
14
2
14%
1
Aceh
2
Sumatera Utara
33
18
55%
19
3
Sumatera Barat
19
16
84%
20
4
Riau
12
7
58%
21
Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat
5
Kepulauan Riau
7
3
43%
22
Kalimantan Timur
10
3
30%
6
Jambi
11
3
27%
23
Kalimantan Utara
5
1
20%
7
Bengkulu
10
3
30%
24
Sulawesi Utara
15
3
20%
8
Sumatera Selatan
17
7
41%
25
17
8
47%
9
Bangka Belitung
7
5
71%
26
Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah
13
3
23%
10
Lampung
15
5
33%
27
Sulawesi Selatan
24
14
58%
11
DKI Jakarta
6
6
100%
28
Gorontalo
6
2
33%
12
Jawa Barat
27
23
85%
29
Sulawesi Barat
6
1
17%
13
Banten
8
6
75%
30
NTT
22
0
0%
14
Jawa Tengah
35
28
80%
31
Maluku
11
0
0%
15
DI Yogyakarta
5
4
80%
32
Maluku Utara
10
0
0%
16
Jawa Timur
38
37
97%
33
Papua Barat
13
0
0%
17
Bali
9
9
100%
34
Papua
29
0
0%
NASIONAL
514
247
48%
Sampai akhir tahun 2016 beberapa kemajuan telah dicapai, antara lain: 1) Sebanyak 247 kabupaten/kota telah menerima sertifikat eliminasi malaria dan dalam dalam tahap pemeliharaan/ bebas penularan malaria. Sesuai dengan RPJMN 2015-2019, tahun 2016 ditargetkan sejumlah 245 kabupaten/kota menerima sertifikat eliminasi malaria. 2) Total kabupaten/kota dengan API < 1 per 1000 penduduk meningkat dari 379 kabupaten/kota pada tahun 2015 menjadi 400 pada tahun 2016 dan telah mencapai target Renstra sebesar 360 pada tahun 2016. 3) Kabupaten/kota dengan tingkat endemis rendah meningkat dari 143 menjadi 153 kabupaten/kota.
22 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
4) Kabupaten/kota dengan endemis sedang menurun dari 87 menjadi 69 kabupaten/kota. 5) Jumlah kabupaten/Kota dengan tingkat endemis tinggi sama dengan tahun sebelumnya sebesar 45. Berikut jumlah kab/kota dengan kategori status endemisitas dari tahun 2014 sampai 2016: Tabel 3.3 Status endemisitas malaria No.
1 2 3 4
PENCAPAIAN MENURUT JUMLAH KAB/KOTA 2014 2015 2016
STATUS ENDEMISITAS Eliminasi Bebas Penularan Setempat, tidak ada kasus indigenous Rendah (API < 1 per 1000 penduduk Sedang (API 1-5) per 1000 penduduk Tinggi (API > 5 per 1000 penduduk)
213
232
247
152
147
153
88
87
69
58
45
45
Selain capaian target diatas, target RPJMN dan Renstra pada tahun 2016 juga telah tercapai. Ada 2 indikator RPJMN yang merupakan indikator pemantauan Program Prioritas Janji Presiden tahun 2016 oleh KSP (Kantor Staf Presiden) yakni 1) persentase suspek malaria yang dilakukan konfirmasi laboratorium baik menggunakan mikroskop maupun Rapid Diagnostik Test (RDT) dari semua suspek yang ditemukan dan 2) Persentase pengobatan standar malaria, seperti yang terlihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.4 Capaian Indikator Program Prioritas Janji Presiden/Wakil Presiden Kriteria Keberhasilan
Target
Persentase kasus suspek malaria yang dikonfirmasi (dengan mikroskop/RDT)
>95%
Capaian
98%
2015 Keterangan Jumlah suspek: 1.599.247 jumlah sediaan darah yang diperiksa : 1.567.539
Capaian
97%
2016 Keterangan Jumlah suspek: 921.315 jumlah sediaan darah yang diperiksa : 889.297
23 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Persentase kasus malaria positif yang diobati dengan ACT (Arthemisinin Based Combination Therapy)
> 85%
91%
Jumlah Positif Malaria : 217,025 Jumlah Pengobatan ACT : 195.780
94%
Jumlah Positif Malaria : 130.627 Jumlah Pengobatan ACT : 122.892
Berdasarkan data pada tabel diatas ditemukan suspek yang ditemukan pada tahun 2016 yaitu sebesar 921.315 menurun dibanding tahun sebelumnya yaitu 1.599.247 dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa sebesar 889.297 sehingga persentase pemeriksaan sediaan darah pada tahun 2016 sebesar 97%. Capaian tersebut masih diatas target persentase pemeriksaan sediaan darah yang diharapkan adalah di atas 95 %. Persentase tersebut berdasarkan laporan Januari-November 2016 dengan kelengkapan laporan sebesar 82% sehingga presentase capaian tersebut masih dapat terjadi perubahan kembali. Dari tahun 2012 – 2016 pemeriksaan sediaan darah (konfirmasi laboratorium) terhadap suspek malaria mengalami fluktuatif yaitu pada tahun 2012 sebesar 93% sedangkan pada tahun 2016 meningkat menjadi 97 % yang dapat dilihat seperti pada grafik dibawah ini : Grafik 3.4
Pemeriksaan laboratorium malaria terdiri dari pemeriksaan secara mikroskopis dan penggunaan rapid diagnostic test (RDT). Kualitas pemeriksaan sediaan darah dipantau melalui mekanisma uji silang, panel testing dan supervisi dan dilaksanakan secara berjenjang. Pada tahun sebelumnya digunakan indikator tingkat kesalahan (error rate), saat ini telah diganti dengan pengukuran yang lebih spesifik yaitu sensitifitas, spesifisitas dan akurasi spesies yang masing masing harus diatas 70% pada tingkat layanan. Pada tahun 2015 dilakukan uji kompetensi pada tingkat layanan 24 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
pada 5 provinsi didaerah KTI dengan hasil yaitu sensitivitas sebesar 80,6%, spesifisitas sebesar 84,2% dan akurasi spesies sebesar 60,7%. Secara umum cukup baik hanya pada pembacaan akurasi spesies yang masih dibawah 70%. Grafik 3.5
Persentase pasien malaria positif yang diobati dengan standar adalah proporsi pasien positif yang diobati dengan ACT dan non ACT sesuai pedoman dibandingkan dengan jumlah pasien positif. Angka ini digunakan untuk melihat kualitas pengobatan kasus malaria apakah sesuai dengan standar nasional atau tidak. ACT merupakan obat yang efektif untuk membunuh parasit malaria, sementara obat lama yang masih beredar yaitu Klorokuin telah resisten. Pemberian ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Jumlah pasien positif yang ditemukan pada tahun 2016 yaitu sebesar 130.627 menurun dari tahun sebelumnya sebesar 217,025 dengan jumlah yang diobati sesuai standar yaitu sebesar 122.892. Pada grafik diatas terlihat bahwa persentase pasien malaria positif yang diobati ACT pada tahun 2016 adalah sebesar 94%, angka ini meningkat dibanding tahun 2015 mencapai 91%, target persentase pengobatan sesuai standar yaitu sebesar 85%.
Pemakaian kelambu berinsektisida merupakan salah satu strategi untuk mengurangi faktor resiko penularan malaria. Kelambu dibagikan kepada penduduk yang tinggal di daerah endemis tinggi malaria (API > 5 per 1000), dengan target minimal 80% penduduk di daerah tersebut mendapatkan perlindungan kelambu berinsektisida. Setiap keluarga mendapatkan 2 buah kelambu. Sedangkan di daerah endemis sedang (API 1-5 per 1000) kelambu dibagikan hanya kepada kelompok risiko tinggi yang tinggal didaerah fokus yaitu ibu hamil dan bayi. Untuk daerah endemis rendah dan eliminasi, 25 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
pembagian kelambu merupakan salah upaya penanggulangan KLB dan pencegahan di daerah reseptif secara selektif. Sampai dengan Desember tahun 2016, cakupan penduduk beresiko tinggi yang mendapat perlindungan kelambu berinsektisida di daerah endemis tinggi telah mencapai 100%. Dan diperkirakan cakupan distribusi kelambu di Kawasan Timur Indonesia mencapai 100%. Hal ini terlihat dari jumlah kelambu yang didistribusikan dan cakupan kelambu pada penduduk berisiko. Total nasional sejak tahun 20042016 sejumlah lebih dari 23 juta kelambu telah didistribusikan untuk seluruh Indonesia seperi yang terlihat dalam grafik dibawah ini.
Grafik 3.6 Distribusi Kelambu Tahun 2004-2016
Penduduk sasaran di daerah endemis tinggi diperkirakan lebih dari 10 juta orang dengan kebutuhan kelambu mencapai 5 juta unit, baik di KTI dan nonKTI pada periode 2014-2016. Pada 2014 telah dilaksanakan distribusi kelambu massal yang mencakup 58 kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia dan melindungi kurang lebih 6,2 juta populasi melalui 3,5 juta kelambu. Dan pada tahun 2016 distribusi kelambu total nasional mencapai 2,4 juta kelambu, dimana 1,5 juta kelambu mencakup Pekan Kelambu Massal Fokus yang dilaksanakan di 7 Provinsi dan 40 kabupaten/kota di Sumatera Utara, Sumatera barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, NTT, Maluku, dan Maluku Utara. Sejumlah hampir 1 juta kelambu didistribusikan kepada sasaran ibu hamil dan bayi di daerah endemis. Dengan demikian 100% populasi berisiko tinggi tertular malaria telah terlindungi dengan kelambu. Untuk tetap melindungi populasi tersebut, maka kelambu yang akan kadaluarsa setelah 3 tahun akan diganti dengan yang baru pada 2017 dan 2019.
26 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Hasil survey KAP yang dilakukan bersama Balitbangkes di wilayah Kalimantan dan Sulawesi tahun 2014-2015, diperoleh proporsi anggota rumah tangga yang tidur dalam kelambu sekitar 80%. Survei penggunaan kelambu ini sangat penting dilakukan karena memberikan gambaran intervensi pencegahan menularan malaria dimasyarakat. Penggunaan kelambu menjadi salah satu indikator MDG untuk pengendalian malaria adalah penggunaan kelambu pada anak balita. Kegiatan ini dilaksanakan bersama dengan Badan Litbangkes pada 5 provinsi dan 10 kabupaten/kota di wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Pengumpulan data dilakukan pada bulan November-Desember 2014 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 4480 rumah tangga. Kegiatan pengumpulan data selesai pada bulan Maret 2015 dengan hasil sebagai berikut: - Proporsi rumah tangga (RT) yang memiliki kelambu (total) sebesar 83,1%. - Proporsi ART yang patuh tidur dalam kelambu (total) sebesar 72,9%. - Proporsi ART yang patuh tidur dalam kelambu (pembagian) sebesar 74,7%. - Proporsi Balita yang patuh tidur dalam kelambu (total) sebesar 80,6%. (indikator MDGs). - Proporsi Bumil yang patuh tidur dalam kelambu (total) sebesar 73,2%. e. Analisa Penyebab Keberhasilan Jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi malaria pada tahun 2016 sebanyak 247 kabupaten/kota, jumlah tersebut telah melebihi target indikator RPJMN sebanyak 245 Kabupaten/kota. Beberapa hal yang mempengaruhi keberhasilan tersebut seperti: 1. Kegiatan penemuan kasus malaria melalui kegiatan surveilans migrasi Kegiatan surveilans migrasi dilaksanakan sebagai strategi penanggulangan malaria di daerah endemis rendah yang masih memiliki daerah reseptif (daerah yang masih ada vektor malaria dan memungkinkan adanya vektor malaria) untuk mencegah terjadinya penularan malaria, mobilisasi penduduk yang tinggi merupakan salah satu ancaman penularan malaria disuatu daerah, pencegahan penularan dengan melakukan pemeriksaan sediaan darah malaria pada pendatang dari daerah endemis malaria dilakukan dalam surveilans migrasi, kegiatan tersebut biasanya dilaksanakan oleh JMD (Juru Malaria Desa). 2. Penyelidikan epidemiologi setiap kasus malaria Daerah yang telah mencapai endemis rendah harus melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus malaria, laporan mingguan SKDR (Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon KLB) melaporkan kasus malaria setiap minggu yang ditindaklanjuti dengan penyelidikan epidemiologi untuk setiap kasus, kegiataan tersebut bertujuan untuk menentukan asal penularan sehingga dapat melakukan upaya pencegahan yang sesuai. 27 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
3. Sosialisasi Surveilans Malaria tingkat Puskesmas di Setiap Kabupaten/kota Tahun 2015-2016 telah dilakukan sosialisasi surveilans malaria di sekitar 6.200 puskesmas, kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas surveilans malaria yang merupakan salah satu strategi utama menuju eliminasi malaria. 4. Skrining Malaria pada Ibu Hamil Kegiatan skrining ibu hamil dilakukan di Kabupaten/Kota endemis sedang dan endemis rendah malaria yang masih memiliki desa atau puskesmas endemis tinggi dan sedang malaria. Ibu hamil merupakan salah satu populasi berisiko apabila tertular malaria, kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi risiko penularan pada ibu hamil. f.
Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator 1) Pencegahan dan Tatalaksana Kasus a) Kegiatan ini merupakan kegiatan utama program yang merupakan “core bussiness” b) Pengendalian vektor (kelambu massal, penyemprotan dinding rumah/IRS, Larvasiding, manajemen lingkungan) c) Pencegahan malaria (penggunaan kelambu anti nyamuk, kemoprofilaksis, dll) d) Penemuan dan diagnosis Malaria e) Pengobatan Malaria dan pemantauannya f)
Tatalaksana kasus Malaria di masyarakat
2) Manajemen Program Kegiatan ini merupakan pendukung (supporting) bagi terlaksananya kegiatan utama “core business” maupun kelompok kegiatan program yang komprehensif. a) Perencanaan dan pembiayaan program b) Pengorganisasian program c) Pengelolaan logistik program Malaria d) Pengembangan ketenagaan program Malaria e) Regulasi, Advokasi dan Promosi Program f)
Informasi Strategis Program Malaria
g) Monitoring dan Evaluasi Program 3) Kegiatan penunjang program malaria komprehensif.
28 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Kegiatan ini merupakan kegiatan yang bersifat ekspansif agar kegiatan bermutu dan berkelanjutan (sustainabilitas). Kegiatan ini dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. a) Kemitraan Program Malaria b) Penguatan Layanan dan jejaring laboratorium Malaria c) Ekspansi Layanan Kesehatan (Public-Private Mix) d) Kolaborasi Malaria – Imunisasi, Kesehatan ibu dan Anak e) Upaya Layanan Malaria Berbasis Masyarakat (Posmaldes, Mobilisasi sosial) f)
Monitoring mutu obat malaria antara lain uji efikasi obat, uji resistensi obat, pharmacovigilance, dan uji mutu obat.
g) Pendekatan tatalaksana malaria terpadu (IMCI/MTBS, IMAI/MTDS, dan lain-lain)
g. Kendala/Masalah yang Dihadapi 1) Koordinasi multi sektoral kurang optimal dalam upaya pengendalian yang lebih komprehensif dan terpadu. 2) Pemanfaatan potensi mitra, (sektor pemerintah, swasta, masyarakat dan pasien) belum optimal. 3) Kurangnya komitmen pemerintah daerah pemerintah.
dan keterbatasan sumber daya
4) Kecenderungan donor dependence. 5) Meningkatnya potensi faktor risiko (lingkungan, iklim), resistensi OAM, insektisida. 6) Keterbatasan akses pelayanan kesehatan khususnya di daerah terpencil. 7) Manajemen program yang belum optimal. - Kualitas pemeriksaan Mikroskopis, error rate tinggi. - Sistem informasi data kasus malaria belum optimal (sistem, akurasi, validitas) - Masih lemahnya pengelolaan logistik malaria. - Turn over petugas masih tinggi. - Surveilens Vektor belum berjalan sepenuhnya.
h. Pemecahan Masalah 1)
Peningkatan akses layanan malaria yang bermutu - Penerapan sistem jejaring public-privite mix layanan malaria. 29 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
- Penerapan pemantapan mutu laboratorium - Peningkatan kapasitas diagnosis dan tatalaksana kasus 2)
Pencegahan dan Pengendalian vektor terpadu
3)
Pemantauan efektifitas dan resistensi OAM.
4)
Penguatan Surveilans termasuk surveilans migrasi, Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) dan penanggulangan KLB.
5)
Penguatan kemandirian masyarakat melalui Posmaldes dan UKBM lainnya.
6)
Penguatan kemitraan melalui Forum Gerakan Berantas kembali Malaria (GebrakMalaria).
7)
Penguatan manajemen fungsional program, advokasi dan promosi program dan berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan.
8)
Penguatan komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam kesinambungan pemenuhan kebutuhan program.
9)
Penguatan sistem informasi strategis dan penelitian operasional untuk menunjang basis bukti program berbasis web base.
10) Integrasi dengan progam lain seperti surveilans dalam mengembangkan sistem SKDR serta data rumah sakit (SIRS)
3. Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1 persen sebesar 45 kab/kota a. Penjelasan Indikator Indikator ini digunakan untuk melihat jumlah kabupaten/kota yang berhasil dalam menurunkan prevalensi mikrofilaria (mf Rate) menjadi <1% melalui program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis selama 5 tahun berturut-turut. b. Definisi operasional Jumlah kab/kota yang telah selesai melakukan Pemberian Obat Pengobatan Massal (POPM) Filariasis selama 5 tahun berturut, kemudian 6 bulan setelahnya pada pemeriksaan darah jari berhasil menurunkan angka mikrofilaria (mf rate) menjadi < 1%. c. Rumus/cara perhitungan Akumulasi jumlah kab/kota endemis yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria menjadi < 1%.
30 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
d. Capaian indikator Target indikator Laporan Kinerja tahun 2016 adalah 45 kabupaten/kota berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%, pada realisasi kinerja 2016 telah dicapai 46 kabupaten/kota yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% dengan capaian 2016 sebesar 102.2% seperti yang terlihat dalam tabel dibawah ini.
Terjadi peningkatan jumlah kab/kota endemis filariasis yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1% dari tahun 2013-2016. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya komitmen kabupaten/kota dalam melaksanakan program pengendalian Filariasis melalui Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis selama 5 tahun berturut-turut sehingga dapat menurunkan angka mikrofilaria menjadi <1%
31 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Sebelum suatu kabupaten/kota dinilai penurunan mikrofilarianya, kabupaten/kota tersebut harus melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis pada seluruh penduduk sasaran di kabupaten/kota tersebut selama 5 tahun berturut-turut dengan cakupan pengobatan minimal 65%. Berdasarkan hal tersebut, keberhasilan penurunan angka mikrofilaria sangat bergantung pada partisipasi masyarakat untuk minum obat filariasis. Kendala atau masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan POPM diantaranya kurangnya sosialisasi kepada masyarakat untuk minum obat pencegahan filariasis yang menyebabkan partisipasi masyarakat dalam minum obat, keterlambatan distribusi obat sampai ke kabupaten/kota sehingga pelaksanaan POPM mundur dari waktu yang telah ditentukan juga mempengaruhi partisipasi masyarakat. Adapun kabupaten/kota yang dapat menurunkan angka mikrofilaria <1% adalah sebagai berikut: Tabel 3.5 Kab/Kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1 persen NO
KAB/KOTA
NO
KAB/KOTA
1 2
Bangka Barat
24
Bekasi
Belitung
Kota Depok
3 4
Kota Dumai
25 26
5 6
27 28
Jayapura
Kota Bogor
Luwu Timur
7 8
Kota Gorontalo Gorontalo
29 30
Tidore Kepulauan
9 10
Gorontalo Utara
31 32
Pesisir Selatan
11 12
Parigi Mountong
33 34
13 14
35 36
Sigi
Kolaka Utara
Lebak
15 16
Polewali Mandar
37 38
Hulu Sungai Utara
17 18
Rote Ndao
39 40
Bovendigoel
19 20
Labuhan Batu
41 42
21 22
43 44
Donggala
Tangerang Bandung
45 46
Pasaman Barat
23
Lima Puluh Koto Kota Waringin Barat
Pahuwoto Bombana Enrekang Alor Pelalawan Kota Serang Tangerang Selatan
Merauke Kota Bukit Tinggi Agam Kuantan Singingi Tanjung Jabung Barat Nias Subang Pidie Mappi Buton Deli Serdang
32 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
e. Analisa penyebab keberhasilan Indikator jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1 persen telah tercapai. Hal ini dipengaruhi oleh cakupan penduduk minum obat pencegahan filariasis terutama pada tahun 2016 yang semakin meningkat terutama dengan adanya kampaye Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA). Upaya tersebut sesuai dengan hasil penelitian para ahli yang menunjukkan bahwa cakupan minum obat yang efektif dapat menurunkan angka mikrofilaria. Selain itu, pembangunan fisik dan perkembangan di daerah-daerah endemis juga semakin meningkat sehingga mengurangi tempat-tempat perindukan nyamuk vektor filariasis. f.
Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator 1.
Bulan Eliminasi Kaki Gajah (Belkaga) Salah satu upaya strategis yang dilakukan untuk meningkatkan cakupan pemberian obat massal pencegahan (POPM) filariasis adalah dengan menjadikan bulan Oktober sebagai “Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA)”. Dengan adanya program bulan POPM Filariasis diharapkan seluruh lapisan masyarakat dari pusat hingga daerah tergerak dengan serempak mendukung POMP Filariasis di wilayahnya, seiring dengan pemahaman masyarakat yang semakin tinggi terhadap pentingnya program pengendalian filariasis di Indonesia.
2. Sosialisasi Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis secara Intensif Sosialisasi POPM Filariasis secara intensif dilaksanakan ke seluruh lapisan masyarakat serta Lintas Sektor dan Lintas Program terkait untuk meningkatkan cakupan dalam minum obat pencegahan Filariasis baik melalui pertemuan maupun melalui media KIE 3. Penyediaan Dana untuk kegiatan pengendalian dan Operasional POPM Filariasis melalui Dana Dekon.
g. Kendala/Masalah yang Dihadapi 1)
Kurangnya partisipasi masyarakat dalam minum obat sehingga cakupan POPM Filariasis masih dibawah target (< 65%).
2)
Keterlambatan distribusi obat ke kabupaten/kota sehingga pelaksanaan POPM mundur dari waktu yang telah ditentukan.
3)
Adanya efisiensi menyebabkan berkurangnya dukungan dana dekon dalam membiayai sosialisasi maupun operasional POPM Filariasis di daerah
33 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
h. Pemecahan Masalah 1)
Peningkatan promosi POPM Filariasis melalui media yang efektif dengan menggunakan pendekatan kearifan lokal.
2)
Mempersiapkan SDM baik di tingkat pusat maupun daerah, konsolidasi, koordinasi serta upaya penguatan kapasitas lainnya.
3)
Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi filariasis di tingkat provinsi, kabupaten, dan puskesmas.
4. Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta sebesar 23 provinsi a. Penjelasan Indikator Eliminasi merupakan upaya pengurangan terhadap penyakit secara berkesinambungan di wilayah tertentu sehingga angka kesakitan penyakit tersebut dapat ditekan serendah mungkin agar tidak menjadi masalah kesehatan di wilayah yang bersangkutan. Eliminasi kusta berarti angka prevalensi < 1/ 10.000 penduduk. Secara nasional, Indonesia telah mencapai eliminasi sejak tahun 2000, sedangkan eliminasi tingkat provinsi ditargetkan dapat dicapai pada tahun 2019.
b. Definisi operasional Jumlah provinsi yang mempunyai angka prevalensi kusta kurang dari 1/10.000 penduduk pada tahun tertentu. c. Rumus/cara perhitungan Jumlah kumulatif provinsi yang telah mencapai eliminasi kusta (angka prevalensi <1/10.000 penduduk) pada tahun tertentu. Sedangkan rumus menghitung prevalensi sebagai berikut :
Jumlah kasus kusta yang ada X 10.000 Jumlah seluruh penduduk Pembilang (nominator) adalah jumlah kasus / penderita kusta yang terdaftar di suatu provinsi. Sedangkan Penyebut (denominator) adalah jumlah seluruh penduduk yang ada di provinsi tersebut. Jika hasilnya di bawah angka 1, maka provinsi tersebut telah berhasil mencapai eliminasi kusta. d. Capaian indikator Target indikator yang ingin dicapai di tahun 2016, yakni 23 provinsi dengan realisasi pencapaian sebesar 23 provinsi sehingga pencapaian indikator ini sebesar 100%. Apabila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2015 (21 provinsi), jumlah provinsi yang mencapai eliminasi di tahun 2016 meningkat dengan penambahan pencapaian status eliminasi pada Provinsi Aceh dan 34 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Provinsi Kalimantan Utara. Adapun 11 provinsi yang belum mencapai eliminasi adalah Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, serta Papua Barat. Grafik 3.9
Dari hasil analisis lokal spesifik daerah, didapatkan beberapa temuan yang mendorong teracapainya target tersebut. Di Provinsi Aceh, berbagai upaya advokasi dan pendekatan terhadap pemegang kebijakan dilakukan. Hasilnya program kusta berhasil masuk dalam program prioritas dan mendapat alokasi Dana Otonomi Khusus. Melalui dukungan dana pusat dan daerah, diselenggarakan beberapa kegiatan promosi dan penemuan kasus aktif berupa penyebaran informasi kusta kepada masyarakat dan Rapid Village Survei (RVS) secara intensif. Melalui kegiatan tersebut, banyak kasus-kasus tersembunyi yang ditemukan terutama berasal dari daerah-daerah terpencil yang selama ini belum pernah terjangkau oleh kegiatan penemuan kasus. Semakin banyak kasus yang ditemukan, maka akan semakin banyak kasus yang mendapat pengobatan dan tidak menjadi sumber penularan bagi masyarakat sekitar. Selain kegiatan penemuan kasus, anggaran otonomi khusus juga dimanfaatkan untuk menyelenggarakan berbagai pelatihan bagi bidan, dokter, hingga eselon 3 dan 4 di tingkat kabupaten/kota. Strategi lain yang dijalankan adalah dengan melakukan pendekatan kepada tokoh agama untuk memberikan pemahaman yang benar akan penyakit kusta sehingga dapat menurunkan stigma di masyarakat, serta memperluas jangkauan cakupan penemuan kasus hingga ke madrasah dan pesantren.
35 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Dari Provinsi Kalimantan Utara terlihat bahwa adanya kegiatan peningkatan kapasitas bagi wasor provinsi dan kabupaten serta kegiatan on the job training bagi petugas puskesmas berpengaruh besar terhadap perbaikan program pengendalian kusta, terutama dalam peningkatan kemampuan pengelola untuk validasi kasus dan validasi data. Mengingat pengaruh kegiatan validasi data (cleaning register) yang cukup besar terhadap pencapaian status eliminasi kusta, Subdit PTML bersama Provinsi Aceh dan Kalimantan Utara melaksanakan validasi data secara terus menerus dan berkesinambungan, karena kurang optimalnya kegiatan validasi data dapat berakibat tetap tingginya kasus kusta yang terdaftar di suatu wilayah. Peta 3.2
e. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator 1. Menyelenggarakan peringatan Hari Kusta Sedunia bertempat di Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur. Dalam kesempatan tersebut, dilakukan pencanangan kegiatan pencarian kasus menggunakan metode Self screening dengan pendekatan keluarga yaitu mengikutsertakan masyarakat dalam program deteksi dini kusta dimana setiap keluarga akan melakukan skrining terhadap anggota keluarganya sendiri. Suspek yang ditemukan kemudian akan dikonfirmasi diagnosisnya oleh tenaga kesehatan terlatih. 2. Intensifikasi penemuan kasus kusta dan frambusia di wilayah endemis menggunakan metode Self screening dengan pendekatan keluarga yang dilakukan di 25 kabupaten/kota di beberapa provinsi, di antaranya Aceh, Sumatra Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi 36 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Selatan, dan Maluku Utara. Kegiatan self screening dengan pendekatan keluarga dirasakan memiliki dampak positif dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian kusta, mengurangi beban kerja petugas kesehatan dan memperluas cakupan program.
Gambar 3.1 Wasor Kabupaten bersama-sama dengan Wasor Provinsi sedang melakukan pemeriksaan bercak dalam kegiatan Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia 3. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan (pengelola program puskesmas, kabupaten/kota, provinsi) dalam tata laksana kasus dan program yang diselenggarakan sebanyak 2 batch. 4. Menyelenggarakan Pertemuan Regional Monitoring dan Evaluasi Program Kusta dan Frambusia di Wilayah Sumatera; Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara; serta Wilayah Kalimantan untuk memonitoring dan mengevaluasi program dan capaian program di provinsi yang berada di wilayah tersebut sekaligus mensosialisasi isu terkini dan kebijakan nasional baru P2 Kusta dan Frambusia. 5. Menyelenggarakan Pertemuan Koordinasi Pokja/Komli untuk penyusunan PNPK Kusta dengan mengundang organisasi profesi di antaranya Persatuan Dokter Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik Indonesia (PERDOSRI), Perhimpunan Ahli Bedah Orthopedi Indonesia (PABOI), Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Dengan adanya PNPK ini diharapkan dapat tercipta pelayanan kusta yang komprehensif dan terstandar.
37 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
6. Melakukan upaya pembersihan data (data cleaning) dan validasi kasus di provinsi Aceh yang ditargetkan mencapai eliminasi dengan tujuan untuk mendapatkan data yang akurat tentang prevalensi kusta di provinsi tersebut. 7. Menyelenggarakan Pertemuan Koordinasi dan Evaluasi Studi Operasional Kemoprofilaksis di Indonesia untuk merevisi Petunjuk Teknis Kemoprofilaksis berdasarkan pengalaman yang dipakai pada saat studi operasional kemoprofilaksis yang sudah dilaksanakan di beberapa kabupaten/kota. 8. Melanjutkan kegiatan pengobatan pencegahan kusta/kemoprofilaksis di beberapa wilayah endemis di Indonesia, yaitu Kabupaten Sampang, Sumenep, Kota Bima, Kabupaten Bima, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dan Kabupaten Mumugu; serta rencana menambah daerah implementasi kemoprofilaksis di tahun 2017. 9. Menyelenggarakan Pertemuan Drug Resistance Surveilans untuk mengetahui situasi terkini perkembangan kasus resisten serta pengembangan dan penguatan sistem surveilans kasus resisten. 10. Membuat Iklan layanan masyarakat berupa jingle kusta “Ayo Temukan Bercak” yang bertujuan menciptakan atmosfir yang ceria dan bersemangat dalam kegiatan deteksi dini kusta di masyarakat.
Gambar 3.2. Iklan Layanan Masyarakat Jingle “Ayo Temukan Bercak”
11. Menyelenggarakan Mid-Term Evaluation for Leprosy Elimination and Yaws Eradication bekerjasama dengan WHO untuk melakukan monitoring dan evaluasi pencapaian program eliminasi kusta dan eradikasi frambusia.
38 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
f.
Kendala/Masalah yang Dihadapi 1. Sebagian besar daerah kantung kusta berada di lokasi yang sulit dijangkau menyebabkan sulitnya pencarian kasus dan akses masyarakat menuju pelayanan kesehatan. 2. Sebagian besar wilayah kantong kusta tidak mendapat dukungan lintas program dan sektor dalam program pencegahan dan pengendalian kusta. Dukungan lintas program dan sektor sangat diperlukan dalam keberhasilan eliminasi kusta terutama dalam penentuan kebijakan pengalokasian sumber daya dan upaya menghilangkan stigma terhadap OYPMK. 3. Angka mutasi petugas kesehatan yg cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan program pencegahan dan pengendalian kusta di daerah berjalan kurang maksimal karena perlunya melakukan pelatihan kepada tenaga yang baru. 4. Beban kerja petugas kesehatan di daerah cukup tinggi di mana jumlah petugas terbatas berbanding terbalik dengan banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan, sehingga hasil yang dicapai kurang maksimal. 5. Masih adanya self stigma pada penderita kusta akibat kurangnya pengetahuan dan pemahaman penderita terhadap penyakit yang dideritanya. Hal tersebut dapat menghambat mereka untuk mendapatkan pengobatan sedini mungkin. 6. Masih tingginya stigma masyarakat terhadap penderita kusta. Masyarakat yang belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang kusta, cenderung memberikan stigma kepada penderita dan keluarganya. 7. Perlunya perbaikan dalam hal manajemen logistik dimulai dari sistem pelaporan kebutuhan MDT secara berjenjang dari kabupaten ke pusat, hingga distribusi MDT dari pusat ke provinsi, kabupaten/ kota. 8. Adanya efisiensi anggaran tahun 2016 menyebabkan tidak terlaksananya beberapa kegiatan sesuai peta jalan program yang telah ditentukan.
g.
Pemecahan Masalah 1. Meningkatkan kegiatan advokasi dan sosialisasi program terhadap pemangku kepentingan terkait agar dapat meningkatkan komitmen dalam pencapaian eliminasi kusta. Dengan kegiatan tersebut diharapkan pemangku kepentingan terkait dapat merumuskan kebijakan strategis dan meningkatkan alokasi sumberdaya daerah dalam pelaksanaan program. 2. Menganggarkan dan melaksanakan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan secara rutin untuk mengatasi masalah angka mutasi petugas yang tinggi, agar pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian kusta dapat tetap berjalan lancar. 3. Melaksanakan intensifikasi penemuan kasus di khusus daerah remote area, untuk meningkatkan jangkauan penemuan dan pengobatan penderita kusta. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk memutus dan menghilangkan sumber penularan penyakit kusta. 4. Meningkatkan promosi dan sosialisasi kepada masyarakat untuk menghilangkan stigma kusta di masyarakat. 39 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
5. Memperkuat jejaring kemitraan dengan lintas program, lintas sektor, organisasi profesi, Rumah Sakit dan Dokter Swasta agar memperoleh dukungan dalam pelaksanaan program sesuai dengan tupoksi masingmasing. 6. Memperkuat sistem manajemen logistik MDT di semua level. 5. Prevalensi TB sebesar 271 per 100.000 penduduk a. Penjelasan Indikator Prevalensi TB adalah indikator yang sangat bermanfaat mengenai beban penyakit TB dan dapat memberikan petunjuk seberapa besar penularan yang sedang berlangsung di populasi. Angka ini menggambarkan jumlah kasus TB di populasi, tidak hanya kasus TB yang datang ke pelayanan kesehatan dan dilaporkan ke program. b. Definisi operasional Jumlah kasus TB semua kasus (berbasis mikroskopis) per seratus ribu penduduk di wilayah tertentu dan waktu tertentu.
c. Rumus/cara perhitungan Jumlah kasus TB semua kasus dalam suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu x 100.000 penduduk Jumlah penduduk dalam suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu
Data ini idealnya diperoleh dari Survei Prevalensi TB (SPTB). Akan tetapi, SPTB tidak dapat dilaksanakan setiap tahun dikarenakan biaya yang sangat besar, sehingga Sub Direktorat (Subdit) TB melakukan pemodelan estimasi prevalensi TB (berbasis mikroskopis) yang dibantu oleh KOMLI TB yang sudah terbentuk pada tahun 2016 oleh Menteri Kesehatan melalui Kepmenkes No HK.02.02/Menkes/454/2016.
d. Capaian indikator Berdasarkan Global Report TB tahun 2015, capaian indikator prevalensi TB tahun 2015 sebesar 647 per 100.000 penduduk. Meskipun estimasi prevalensi TB di tahun 2015 lebih tinggi dari estimasi di tahun sebelumnya, angka ini tidak menunjukkan peningkatan prevalensi. Metode survey dari Survey Prevalensi TB tahun 2013-2014 menggunakan metode yang lebih sensitif dan spesifik 40 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
dibandingkan metode yang dilakukan pada Survey Prevalensi TB tahun 2004. Angka ini dianggap lebih akurat karena menggunakan metode penelitian yang sesuai dengan strandar WHO yang terbaru. Berdasarkan estimasi beban TB, prevalensi kasus TB (per 100.000 penduduk) pada tahun 2016 sebesar 257 per 100.000 penduduk. Grafik 3.10
Berdasarkan grafik di atas, capaian prevalensi kasus tahun 2014 mencapai 267 per 100.000 penduduk dengan target 272 per 100.000 penduduk, kemudian menurun tahun 2015 menjadi 263 per 100.000 penduduk dengan target 280 per 100.000 penduduk dan tahun 2016 sebesar 257 per 100.000 penduduk dengan target 271 per 100.000 penduduk. Indikator ini adalah indikator negatif yang artinya jika semakin besar realisasi semakin buruk kinerjanya dan sebaliknya jika semakin kecil realisasi maka semakin baik kinerjanya. Dengan demikian pada tahun 2016, indikator Prevalensi TB telah mencapai target.
e. Analisa Penyebab Keberhasilan Tercapainya target ini terjadi sejalan dengan ekspansi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) sehingga lebih banyak kasus TB yang dapat ditemukan. Ekspansi DOTS dimaksudkan untuk memperluas layanan DOTS di fasilitas pelayanan kesehatan tidak hanya Puskesmas, tetapi juga sudah ada layanan pada RS Pemerintah dan RS Swasta, Dokter Praktek Mandiri dan klinik termasuk klinik di lapas/rutan. Selain itu, mutu pengobatan TB juga dapat dipertahankan dengan baik. Hal ini terlihat dari angka keberhasilan pengobatan (Success Rate/SR) BTA positif yang dapat dipertahankan minimal 85% sejak tahun 1999.
41 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
f.
Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
8.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini tercatat jumlah terduga TB yang diperiksa sebanyak 18 juta orang, jumlah pasien TB yang ditemukan dan diobati mencapai 3.084.000 dan 2.672.000, atau lebih dari 86% berhasil disembuhkan di seluruh Indonesia. Upaya akselerasi yang dilakukan program nasional sejak pertama kali diputuskannya DOTS sebagai strategi penanggulangan TB di Indonesia selama kurun waktu 8 tahun pertama (1999-2007) menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sejak tahun 2009 hingga tahun 2015, Program TB telah berhasil menemukan 33.453 terduga TB MDR/RR di mana 6.084 kasus terkonfirmasi TB MDR/RR dan 4.625 kasus mendapatkan pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini kedua. Sejak tahun 2009 hingga tahun 2015, sebanyak 78.017 kasus TB mengetahui status HIV dan di antara mereka terdapat 14.904 kasus yang hasil tes HIV positif. Dari kasus TB HIV posiif tersebut, 4.969 kasus mendapatkan Anti Retroviral Therapy (ART) dan 6.559 kasus mendapatkan Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK). Ekspansi laboratorium pemeriksaan TB. Pada tahun 2015 terdapat 6.820 laboratorium mikroskopis TB yang terdiri dari puskesmas, rumah sakit, dan laboratorium klinik swasta. Sampai dengan tahun 2016, terdapat 16 laboratorium biakan yang sudah terstandarisasi dan 13 laboratorium biakan dan uji kepekaan yang tersertifikasi. Selain itu, pemeriksaan molekular TB juga sudah tersedia di 34 provinsi yang tersebar di 6 laboratorium dan 76 rumah sakit untuk mendiagnosis TB RO dan TB HIV. Ekspansi fasilitas pelayanan TB resistensi obat. Sampai dengan akhir Desember 2016, terdapat 36 RS rujukan TB MDR di 32 provinsi, 30 RS sub rujukan TB MDR di 20 provinsi, dan 1.217 fasyankes satelit TB MDR di 27 provinsi. Pendanaan pemerintah pusat untuk penanggulangan TB telah meningkat secara bermakna dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2016 berjumlah Rp. 2,026 milyar. Menjadi salah satu upaya exit strategy dari ketergantungan terhadap dana dari donor.
g. Kendala/Masalah yang Dihadapi
Meningkatnya epidemi kasus TB resisten obat. Belum semua kasus TB berhasil dijangkau. Pendekatan yang terlalu sentralistis dan global. Sebagian besar Kab/Kota belum mempunyai komitmen politis yang ditandai dengan adanya peraturan daerah dan peningkatan anggaran untuk P2TB. Lemahnya aspek manajemen program.
42 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Meskipun pendanaan pemerintah pusat meningkat, kontribusi anggaran dari provinsi dan kabupaten untuk pengendalian TB masih tetap minimal di kebanyakan daerah. Banyak mitra pemain tetapi kurang terintegrasi menjadi kekuatan yang sinergis. Masih lemahnya kemitraan yang bersifat sinergis.
h. Pemecahan Masalah Untuk mencapai target, Program TB melaksanakan kegiatan yang berdasarkan 6 strategi yaitu: 1)
Penguatan Kepemimpinan Program TB di Kabupaten/Kota - Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial - Regulasi dan peningkatan pembiayaan - Koordinasi dan sinergi program
2)
Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TB” yang Bermutu - Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-private mix) - Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat - Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL, dan lain sebagainya - Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat / saran diagnostik yang baru - Kepatuhan dan Kelangsun - gan pengobatan pasien atau Case holding - Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan Semesta (health universal coverage).
3)
Pengendalian Faktor Risiko - Promosi lingkungan dan hidup sehat. - Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB. - Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB. - Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan dan keberhasilan pengobatan yang tinggi.
4)
Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TB - Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat - Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah
5)
Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TB - Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat. - Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan pengobatan TB. - Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan berbasis keluarga dan masyarakat. 43 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
6)
Penguatan Sistem kesehatan - Sumber Daya Manusia. - Logistik. - Regulasi dan pembiayaan. - Sistem Informasi, termasuk mandatory notification. - Penelitian dan pengembangan inovasi program.
6. Prevalensi HIV (persen) < 0,5 % a.
Definisi operasional Angka pada laporan terakhir estimasi dan proyeksi prevalensi HIV penduduk Indonesia 15-49 tahun.
b. Rumus/cara perhitungan Mempergunakan perhitungan mathematic modelling c. Capaian indikator Perhitungan angka prevalensi di Indonesia tidak dilakukan melalui survey karena membutuhkan sumber daya yang sangat besar, melainkan didapatkan dari hasil pemodelan matematika. Dari hasil pemodelan tahun 2014 diketahui bahwa prevalensi dalam populasi umum masih rendah. Namun demikian dari hasil sero surveilans maupun Surveilens Terpadu Biologi dan Perilaku pada populasi beresiko tahun 2015 diketahui bahwa prevalensi HIV diatas 5%. Hal ini menunjukkan pola epidemi HIV AIDS di Indonesia masih terkonsentrasi. Grafik 3.11 Target dan Realisasi Capaian Prevalensi HIV Tahun 2016
44 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Grafik 3.12 Target dan Realisasi Capaian Prevalensi HIV Tahun 2014-2016
Kegiatan perhitungan estimasi dan pemodelan matematika dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali dengan bantuan software AEM (Asean Epidemiology Modelling). Semenjak tahun 2009 sampai 2016 telah dihasilkan 3 laporan estimasi dan pemodelan matematika yaitu laporan tahun 2009, tahun 2012, dan tahun 2014. Capaian prevalensi pada tahun 2014-2016 menggunakan laporan tahun 2014 yaitu masing-masing 0.35%, 0.36%, 0.37%. Grafik 3.13. Jumlah Kasus HIV dan Kasus AIDS Tahun 2014-2016
Adanya penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS pada tahun 2016 menggambarkan peningkatan dalam upaya pencegahan penularan HIV. Sejak HIV pertama kali ditemukan di Indonesia berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan ODHA, memberikan pengobatan dan perawatan ODHA, dan mencegah penularan kepada orang yang belum terinfeksi. Berbagai kebijakan terus dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan dan 45 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
komitmen kebijakan global, tentunya dengan cara mengadaptasi kebijakan dan pedoman penanggulangan HIV yang sesuai dengan kondisi dan sumber daya di Indonesia. d. Upaya yang Dilaksanakan Untuk Mencapai Target Indikator Meningkatkan pembiayaan pengendalian HIV AIDS melalui APBN khususnya pengadaan reagen tes HIV, obat ARV dan IMS. Meningkatkan kerja sama lintas program dan lintas sektor dalam upaya pencegahan dan pengendalian penularan HIV. Peningkatan pengetahuan komprehensif melalui media KIE cetak dan elektronik serta kampanye sosialisasi ABAT.
Gambar 3.3. Media KIE HIV/AIDS
Gambar 3.4. Sosialisasi HIV/AIDS di sekolah Mendorong daerah untuk menyusun regulasi tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
46 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Meningkatkan pengembangan layanan komprehensif berkesinambungan sehingga menjadi 113 kabupaten/kota. Peningkatan jumlah outlet, distribusi, dan promosi penggunaan kondom. Meningkatkan jumlah Puskesmas yang mampu melakukan inisiasi ART Peningkatan jumlah layanan Konseling dan Tes (KT) HIV dan layanan Infeksi Menular Seksual (IMS) Peningkatan jumlah layanan Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Akselerasi peningkatan orang yang melakukan konseling dan tes HIV antara lain melalui mobile konseling dan tes HIV
Gambar 3.5. Mobile Konseling dan test HIV Akselerasi peningkatan ODHA memakai ARV melalui SUFA (strategic use of ARV), dengan memperluas inisiasi dini ART, untuk segera mendapatkan pengobatan ARV berapapun jumlah CD4 nya pada kelompok populasi kunci (WPS, Penasun, Waria, LSL) dan kelompok khusus (ibu hamil, pasien koinfeksi TB-HIV, pasien ko-infeksi Hepatitis B-HIV, dan ODHA yang pasangan tetapnya HIV negatif) Peningkatan jumlah kabupaten/kota yang mampu melaksanakan SUFA di tahun 2016. Dilakukan dengan melakukan sosialisasi, workshop, dan supervisi/pendampingan, terutama pada kabupate/kota dengan prevalensi HIV tinggi. Peningkatan pencatatan dan pelaporan data program baik berbasis manual maupun elektronik. Pelaksanaan kampanye HAS (Hari AIDS Sedunia) disertai dengan promosi tes HIV sebagai upaya pencegahan penularan sedini mungkin.
47 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Gambar 3.6. Kampanye Hari AIDS Sedunia
e. Analisa Penyebab Keberhasilan Peningkatan atau penurunan angka prevalensi HIV dari tahun ke tahun tidak semata-mata menggambarkan keberhasilan atau kegagalan pengendalian HIV AIDS di Indonesia. Peningkatan prevalensi HIV menunjukkan bahwa adanya upaya dalam penemuan kasus HIV dan meningkatkan jumlah orang yang mendapatkan pengobatan ARV sehingga dapat menurunkan penularan. Oleh sebab itu peningkatan jumlah layanan HIV dari tahun ke tahun menunjukkan upaya yang terus menerus dari Kementerian Kesehatan dalam memperluas dan meningkatkan akses pelayanan terhadap masyarakat yang membutuhkan. Selain itu pengembangan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di beberapa kabupaten/kota di Indonesia serta penerapan SUFA (Strategic Use of ARV) dan TOP (Temukan, Obati, dan Pertahankan) dalam upaya pencegahan dan pengobatan dapat mendukung akselerasi upaya pencegahan dan penanggulan HIV AIDS. Upaya pencegahan yang telah dilaksanakan antara lain dengan mengedukasi masyarakat dengan cara memperbanyak jumlah dan memperluas jangkauan distribusi media KIE baik cetak maupun elektronik agar meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap HIV AIDS. Selain itu terus dilakukannya distribusi kondom kepada populasi berisiko tinggi (seperti WPS, LSL, Penasun, dll) bekerjasama dengan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) dan LSM di seluruh Indonesia. Pengembangan dan pemeliharaan sistem informasi online untuk pencatatan dan pelaporan program HIV AIDS juga merupakan suatu upaya penting sehingga keberhasilan dari kebijakan yang telah dilaksanakan dapat terukur dengan baik. Oleh karena itu fokus dalam monitoring dan evaluasi bukan hanya pada terlaksananya program tetapi juga pada berjalannya pencatatan dan pelaporan di setiap jenjang.
48 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
f.
Kendala/ Masalah yang Dihadapi 1. Masih tingginya penularan HIV dan IMS a) Penularan HIV pada subpopulasi heteroseksual masih terus terjadi termasuk penularan pada subpopulasi homoseksual dan biseksual. b) Penularan IMS dan HIV pada populasi WPS, Waria belum berhasil dikendalikan. Hal ini berkorelasi kuat dengan rendahnya tingkat pemakaian kondom secara konsisten pada setiap kontak seks berisiko dan kesadaran untuk pemeriksaan dan pengobatan IMS yang benar. c) Penularan IMS dan HIV pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak sudah menunjukkan kecenderungan meningkat, terutama di provinsi-provinsi berprevalensi HIV tinggi. 2. Masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang pencegahan penularan HIV a) Perubahan sikap dan perilaku pada masyarakat khususnya populasi berisiko belum mencapai titik aman agar penularan HIV-AIDS dan IMS dapat dikendalikan. Peningkatan kesadaran pada populasi berisiko untuk menolong diri sendiri dan bertanggung jawab pada anggota keluarga serta masyarakat dari risiko penularan HIV-AIDS dan IMS sudah mulai terlihat namun belum maksimal. b) Kesadaran dan keinginan masyarakat termasuk populasi berisiko untuk mengetahui status HIV nya masih relatif rendah. c) Masih adanya sikap stigma dan perlakuan diskriminatif masyarakat dan petugas kesehatan kepada ODHA. 3. Terbatasnya Ketersediaan layanan kesehatan komprehensif HIV AIDS dan IMS a) Masih terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang peduli, terlatih dan terampil dalam melaksanakan program pengendalian HIV AIDS dan IMS serta penyakit oportunistiknya jika dibandingkan dengan luas wilayah prioritas dan besarnya populasi berisiko. b) Jumlah dan kualitas fasilitas layanan kesehatan yang mampu memberikan layanan kesehatan komprehensif terkait masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan. 4. Hambatan dalam sistem pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan evaluasi a) Pencatatan dalam dokumen primer yaitu rekam medis belum mencerminkan Penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di Indonesia. b) Pelaporan pelayanan kesehatan promosi, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi terkait HIV dan IMS belum terintegrasi dalam sistem informasi fasilitas layanan kesehatan c) Keterbatasan jumlah dan kapasitas SDM petugas pencatatan dan pelaporan program HIV AIDS dan IMS
49 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
d) Monitoring dan evaluasi yang tidak kontinyu akibat ketidak seragaman komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam pembinaan, pengawasan dan penganggaran kesehatan menyulitkan pengambilan kebijakan yang tepat dalam pengendalian HIV AIDS dan IMS terutama dalam era desentralisasi g. Pemecahan Masalah Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia; Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas; Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan promotif; Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, dengan berfokus pada daerah yang memiliki risiko tertinggi dan beban tertinggi Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS melalui Adinkes (Asosiasi Dinas Kesehatan seluruh Indonesia); Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS; Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS; dan Penguatan sistem logistik sebagai upaya perbaikan dalam mendistribusikan reagen dan obat HIV AIDS dan IMS sehingga tepat guna, serta mengurangi risiko kekosongan obat ataupun obat expired
Revitalisasi pengendalian IMS di Puskesmas dan RS, Penguatan surveilans IMS dan HIV di kabupaten/kota prioritas, Peningkatan keterlibatan komunitas/LSM peduli AIDS, populasi kunci dan kader masyarakat dalam upaya penjangkauan, Perluasan jangkauan pengobatan ARV sampai ke tingkat Puskesmas, Perluasan kampanye tentang HIV dan AIDS, bahaya Napza, dan seks bebas di lingkungan pendidikan formal dan non-formal. Meningkatkan peranan KDS dan keluarga sebagai petugas pendamping ODHA Peningkatan kemampuan layanan dan SKPD di daerah dalam melakukan analisis situasi berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif yang telah tersedia.
50 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
7. Prevalensi merokok pada penduduk usia ≤ 18 tahun sebesar 6,4% a.
Penjelasan Indikator Merokok merupakan salah satu faktor risiko bersama (Common Risk Factor) yang dapat menyebabkan PTM, dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Sehingga dengan menurunkan prevalensi merokok diharapkan dapat menurunkan angka prevalensi PTM. Berdasarkan Riskesdas 2013 dan hasil sementara Sirkesnas 2016 di Indonesia jumlah perokok laki-laki dewasa (usia ≥ 15 tahun) meningkat dari 66% menjadi 68.1%. Demikian juga terjadi peningkatan pada perokok pemula laki-laki usia anak 10 – 14 tahun meningkat tajam dari 4.8% (2013) menjadi 6.4% (2016). Namun demikian terjadi penurunan prevalensi perokok pemula pada perempuan dari 2.5 % (2013) menjadi 0.1% (2016). Sekitar 78% perokok mengaku mulai merokok sebelum umur 19 tahun dan sepertiga dari siswa sekolah mengaku mencoba menghisap rokok pertama kali sebelum umur 10 tahun. Selain itu Indonesia sebagai negara dijuluki “baby Smoker” karena memiliki 239.000 perokok anak dibawah 10 tahun (GYTS 2014). Oleh karena itu untuk menggambarkan pengendalian PTM dan faktor risikonya disusun indikator ini yang dapat menggambarkan tingkat keparahan kondisi konsumsi rokok dimasyarakat, karena anak merupakan kelompok masyarakat yang rentan untuk mencontoh perilaku orang dewasa dan gencarnya paparan iklan produk di sekitarnya. Selain itu, timbulnya penyakit dampak rokok akan semakin cepat dengan semakin mudanya seseorang memulai kebiasaan merokok dan terkena paparan asap rokok.
b.
Pengertian - Anak perokok adalah anak yang dalam 1 bulan terakhir kadang-kadang atau setiap hari merokok. - Penduduk usia 10 sampai dengan 18 tahun adalah penduduk yang berusia 10 tahun (> 120 bulan) sampai dengan 18 tahun (216 bulan) pada saat pengumpulan data dilakukan.
c.
Definisi operasional Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun adalah jumlah anak di Indonesia yang berusia 10 sampai dengan 18 tahun yang diketahui sebagai perokok melalui pengambilan data faktor risiko baik survei atau metode lainnya, dibandingkan dengan jumlah semua anak yang berusia 10 sampai dengan 18 tahun di Indonesia yang terdata di tahun tersebut (data BPS).
51 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
d.
Rumus/cara perhitungan
Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun
e.
=
Jumlah anak di Indonesia yang berusia 10 sampai dengan 18 tahun yang diketahui sebagai perokok melalui pengambilan data faktor risiko baik survei atau metode lainnya x 100% Jumlah semua anak yang berusia 10 sampai dengan 18 tahun di Indonesia yang terdata di tahun tersebut (data BPS).
Capaian indikator Indikator ini merupakan indikator Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 20152019. Capaian indikator prevalensi merokok ini diperoleh melalui metode survei indikator kesehatan nasional, November 2016, yang dilaksanakan oleh Balitbangkes. Hasil survei prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun tahun 2016 adalah sebesar 8,8%. Jika dibandingkan dengan target pada tahun 2016 adalah sebesar 6,4% yang berarti terjadi peningkatan prevalensi merokok. Sehingga pencapaian indikator sebesar 62,5%. Grafik 3.14 Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun Tahun 2016
Prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun tahun diharapkan terjadi penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 tidak dilaksanakan survei indikator nasional sehingga tidak dapat dilihat hasilnya. Apabila dibandingkan dengan survei yang dilaksanakan sebelumnya pada tahun 2013 (baseline data), prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun adalah sebesar 7,2%. Hal ini merupakan tantangan yang sangat besar dalam menurunkan prevalensi merokok ada usia ≤ 18 tahun. 52 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Banyak faktor yang menyebabkan indikator prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun meningkat. Hasil capaian indikator komposit yang rutin dipantau dalam mendukung upaya penurunan prevalensi merokok ada usia ≤ 18 tahun yaitu persentase kab/kota yang memiliki peraturan tentang kawasan tanpa rokok dan indikator persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal 50% sekolah. Kinerja kedua indikator tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Grafik 3.15 Persentase Target dan Realisasi Kab/Kota yang memiliki Peraturan Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Tahun 2015-2016
Jika dilihat dari persentase kab/kota yang memiliki peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tahun 2015 dengan 2016, terjadi penambahan jumlah kab/kota yang memiliki peraturan tentang KTR. Walaupun terjadi penambahan dan telah mencapai target yang diharapkan, namun kab/kota yang memiliki peraturan tentang KTR masih dibawah 50%, kemungkinan hal ini berpengaruh terhadap lingkungan dan perilaku anak usia ≤ 18 tahun dalam perilaku merokok. Indikator komposit lainnya dalam mendukung upaya penurunan prevalensi merokok usia ≤18 tahun adalah Persentase Kabupaten/Kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal 50% sekolah. Indikator ini merupakan indikator untuk melindungi anak usia sekolah yang menjadi target sasaran dalam perilaku merokok. Jika dibandingkan pencapaian tahun 2015 dengan 2016 terjadi peningkatan jumlah kab/kota yang telah mengimplementasikan kebijakan KTR di 50% sekolah. Namun baru 20% kab/kota yang telah mengimplementasikan kebijakan KTR pada 50% sekolah, sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap perilaku merokok pada usia ≤ 18 tahun yang merupakan usia anak sekolah.
53 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Grafik 3.16 Persentase Target dan Realisasi Kab/Kota yang Melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Minimal 50% Sekolah Tahun 2015-2016
f.
Analisa Penyebab Kegagalan Indikator Apabila dibandingkan dengan survei yang dilaksanakan sebelumnya pada tahun 2013 (baseline data), prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun adalah sebesar 7,2% yang seharusnya menurun menjadi 6.4 % tidak tercapai bahkan terjadi peningkatan hingga 8.8% (2016). Peningkatan ini terutama terjadi pada perokok laki-laki sebesar 17.2% sedangkan pada perokok perempuan sebesar 0.2% Berdasarkan best practice pengendalian konsumsi rokok strategi yang harus dilakukan berupa: 1) Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok untuk memberikan perlindungan terhadap paparan asap rokok melalui penerbitan Perda dan penerapannya di seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota 2) Layanan Upaya Berhenti merokok dengan melaksanakan layanan konseling berhenti merokok di FKTP dan FKRTL serta sekolah oleh guru terlatih 3) Peningkatan kewaspadaan masyarakat akan bahaya rokok melalui iklan layanan masyarakat, sosialisasi dan pencantuman Pictorial Health Warning (Peringatan Kesehatan Bergambar) di bungkus rokok 4) Pelarangan iklan, promosi dan sponsor produk tembakau di media massa baik cetak maupun elektronik, dalam gedung maupun luar gedung terhadap anak-anak. 5) Menurunkan akses terhadap produk tembakau dengan meningkatkan pajak rokok (tax) dengan demikian harga rokok naik sehingga tidak mudah dibeli oleh anak-anak dan remaja. 54 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Strategi tersebut diatas tidak dapat dilakukan hanya oleh Kementerian Kesehatan, keterlibatan seluruh unsur Kementerian/Lembaga lain, sektor swasta, serta masyarakat madani menjadi unsur penting dalam mendukung upaya penurunan prevalensi perokok di Indonesia. Kementerian Kesehatan telah berupaya untuk melaksanakan strategi tersebut diatas sesuai dengan kewenangannya, namun keterlibatan kementerian lain dalam mendukung strategi tersebut belum optimal.
g.
Upaya Yang Dilaksanakan Untuk Mencapai Indikator Upaya dan kegiatan yang telah dilaksanakan dalam rangka penurunan prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun disepanjang tahun 2015 sebagai berikut: Peningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan dan Pendidikan Dalam Upaya Implementasi KTR di Sekolah. Penyebaran Informasi dan edukasi kepada masyarakat melalui media cetak dan elektronik. Review Implementasi KTR di daerah yang telah memiliki peraturan KTR. Sosialisasi dan Tindak Lanjut Hasil Review Implementasi KTR. Pertemuan Pemanfaatan Pajak Rokok Daerah Dalam Rangka Pengendalian PTM. Peningkatan kapasitas Layanan Quitline upaya berhenti merokok. Penyedian Layanan Quit Line (Layanan Konsultasi Jarak Jauh Upaya Berhenti Merokok) Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengendalian Dampak Rokok dan Implementasi Kawasan Tanpa Rokok. Evaluasi Implementasi Kawasan Tanpa Rokok Di Daerah Yang Telah Memiliki Peraturan KTR. Penyusunan Pedoman Surveilans Kawasan Tanpa Rokok. Penyusunan Buku Pedoman Tentang Penyakit Dampak Rokok.
h.
Kendala/Masalah Yang Dihadapi Kegiatan advokasi dan sosialisasi di daerah dalam pengendalian konsumsi tembakau pada Kab/Kota belum maksimal. Belum optimalnya koordinasi antara Lintas Program dan Lintas Sektor di tingkat Kab/Kota dalam upaya pengendalian konsumsi rokok. Daerah yang memiliki kebijakan KTR di daerah masih terbatasnya jumlahnya, dan penerapan kebijakan di daerah yang telah memiliki kebijakan KTR belum optimal. Monitoring faktor risiko Penyakit Tidak Menular termasuk kebiasaan merokok dilaksanakan melalui kegiatan Pelaksanaan Survey tahunan di Litbangkes tiap tahunnya mulai tahun 2016, sedang Riset Kesehatan Dasar dilaksanakan setiap 3 tahun, termasuk Global Youth Tobacco Survey . Sosialisasi mengenai peraturan KTR di daerah kepada masyarakat dan pihak terkait dilakukan minimal 1 tahun setelah disahkannya aturan 55 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
i.
tersebut, agar masyarakat dapat memahami pentingnya regulasi terkait KTR. Sistem pencatatan pelaporan melalui Surveilans berbasis web PTM belum optimal. Kesadaran masyarakat yang masih rendah akan bahaya konsumsi rokok
Pemecahan Masalah Meningkatkan komitmen daerah dalam pengembangan dan implementasi regulasi tentang pengendalian tembakau di berbagai level pemerintahan. Meningkatkan dukungan oleh semua pihak terkait dan masyarakat diberbagai tatanan melalui berbagai kegiatan:
Mendorong penegakan hukum (law enforcement) secara konsisten sesuai dengan peraturan yang berlaku terutama yang telah memiliki kebijakan dan peraturan di daerah. Penyebarluasan informasi tentang dampak kesehatan akibat konsumsi rokok kepada seluruh lapisan masyarakat dengan melibatkan stakeholder termasuk masyarakat, organisasi profesi, akademisi, lembaga sosial masyarakat (LSM). Pengendalian konsumsi rokok harus dilakukan secara komprehensif, berkelanjutan, terintegrasi dalam suatu kebijakan publik dan melalui periode pentahapan pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Kuatnya komitmen pemerintah dalam penyelenggaraan pengendalian tembakau melalui APBN, APBD dan sumber penganggaran lainnya. Peningkatan kapasitas sumber daya dan kelembagaan dalam pengendalian tembakau diberbagai bidang. Mensinergikan kegiatan melalui strategi MPOWER yang meliputi Monitoring konsumsi produk tembakau; Perlindungan Terhadap Paparan Asap Rokok; Upaya Pelayanan Berhenti merokok ; Peningkatan kewaspadaan masyarakat akan bahaya produk tembakau ; Eliminasi iklan, promosi dan sponsor produk tembakau dan Menurunkan akses terhadap produk tembakau.
56 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
8.
Persentase kabupaten/kota yang mempunyai Kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 46% a. Penjelasan Indikator Era globalisasi tidak hanya membawa kemajuan ekonomi dan perkembangan laju transportasi dari ke suatu tempat lain tetapi juga membawa ancaman importasi dan eksportasi penyakit menular dari negara lain (misalnya Polio, SARS, Flu Burung, MERS, Ebola dll). Setiap negara diharapkan mempunyai kemampuan dalam sistem kesehatannya untuk mampu melakukan pecegahan, pendeteksian, melakukan tindakan penanggulangan dan melaporkan suatu kejadian yang berpotensi kedaruratan kesehatan masyarakat. International Health Regulations (2005) yang diberlakukan Tahun 2007 merupakan Regulasi Kesehatan Internasional yang disetujui oleh 194 negara anggota WHO dalam sidang World Health Assembly (WHA) ke-58 sebagai bentuk komitmen, tanggung jawab dan upaya bersama dalam mencegah penyebaran penyakit lintas negara. IHR (2005) bertujuan mencegah, melindungi dan mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara dengan melakukan tindakan sesuai dengan risiko kesehatan yang dihadapi tanpa menimbulkan gangguan yang berarti bagi lalu lintas dan perdagangan internasional. Dalam regulasi internasional ini setiap negara berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas inti untuk mencapai tujuan IHR (2005). Indonesia secara bertahap telah mengembangkan kapasitas inti tersebut dan berdasarkan penilaian telah Implementasi penuh IHR (2005). Regulasi ini merupakan modal utama untuk mengembangkan jejaring dan kerjasama internasional dalam menghadapi dan menanggulangi potensi terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKM-MD) atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan upaya cegah tangkal dalam rangka perlindungan Indonesia dan dunia terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKM-MD) melalui koordinasi, integrasi, singkronisasi lintas sektor yang telah dilakukan dapat tetap terjaga dan mempertahankan kemampuan dalam hal deteksi, verifikasi, penilaian, pelaporan dan penanggulangan potensi terjadinya KKM-MD. Untuk menjamin bahwa negara mempunyai kemampuan tersebut maka pendekatan surveilans, preparedness dan respon harus dibangun disetaip wilayah. Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di pintu gerbang negara (pelabuhan, bandara dan pos lintas batas negara) harus berjalan dengan optimal. Sejalan dengan hal tersebut kekarantinaan kesehatan di wilayah (provinsi dan kabupaten kota) harus dapat mengantisipasi jika diperlukan untuk diberlakukan. Karantina di wilayah meliputi karantina rumah, karantina rumah sakit (isolasi), karantina wilayah administratif dan pembatasan aktifitas sosial hingga skala besar harus dapat dijalankan dengan kerjasama lintas sektor.
57 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Untuk itu dipandang sangat penting, setiap kabupaten kota memiliki kontijensi plan dalam menghadapi kedaruratan kesehatan yang potensial terjadi di daerah masing masing.
b. Definisi operasional Kab/kota yang memiliki pintu masuk internasional dalam hal ini pelabuhan, bandar udara dan PLBDN melakukan kesiapsiagaan terhadap potensi kedaruratan kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh penyakit, bahan kimia, radio nuklir dan keamanan pangan. Upaya kesiapsiagaan tersebut termasuk menyusun dokumen kebijakan bersama lintas program dan lintas sektor terkait (satuan ker ja perangkat daerah) untuk penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah.
c. Rumus/cara perhitungan Jumlah kabupaten/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah x 100% Jumlah kabupaten/kota yang memiliki pintu masuk internasional
Nominator adalah Jumlah kabupaten kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah. Denominator adalah jumlah kabupaten/kota yang memiliki pintu masuk internasional. Kriteria pengukuran adalah periode prevalence kumulatif. Indikator diukur per tahun.
d. Capaian indikator Indikator ini merupakan indikator Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 20152019. Pada tahun 2016, persentase kabupaten/kota dengan pintu masuk internasional yang memiliki dokumen rencana kontinjensi penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) telah mencapai 47,2% dari target 46% sehingga pencapaian sebesar 103.7%. Sedangkan pada tahun 2015, persentase kab/kota yang memiliki dokumen rencana kontinjensi penanggulangan KKM sebanyak 27.35% dari target 29%.
58 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Grafik 3.17
Peta 3.3
e. Analisa Penyebab Keberhasilan Sampai dengan tahun 2016 tercapai 50 kab/kota yang menyusun dokumen rencana kontinjensi. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian target indikator antara lain:
59 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
-
-
f.
Persiapan pelaksanaan kegiatan dengan melakukan komunikasi dan koordinasi baik verbal maupun surat kepada propinsi/kabupaten/kota sasaran penyusunan dokumen. Adanya sosialisasi dan advokasi dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan lintas sektor. Adanya workshop dan penyusunan dokumen rencana kontinjensi di kab/kota dengan anggaran bersumber dari pusat dan dana dekonsentrasi. Adanya rambu petunjuk perencanaan sehingga Dinas Kesehatan Provinsi dapat menganggarkan kegiatan terkait kesiapsiagaan penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat di wilayah.
Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator 1.
2. 3.
4.
5.
6.
Sosialisasi dan advokasi regulasi kesehatan internasional atau International Health Regulations (2005) termasuk kapasitas inti IHR dan paket aksi keamanan kesehatan global. Penilaian pencapaian kapasitas inti IHR di pintu masuk negara, wilayah dan nasional dengan melibatkan lintas sektor terkait. Sosialisasi dan advokasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap faktor risiko kedaruratan kesehatan masyarakat dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan lintas sector. Melaksanakan workshop penyusunan rencana kontingensi mencakup konsep pedoman penyusunan renkon, identifikasi potensi KKM, membangun komitmen lintas sektoral dan pengumpulan data dasar. Melaksanakan kegiatan penyusunan rencana kontigensi KKM dengan melibatkan seluruh lintas sektoral pemerintah daerah yang terkait dengan kesiapsiagaan, respon dan koordinasi penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat. Review dan update dokumen kebijakan yang telah disusun di kab/kota
g. Kendala/Masalah yang Dihadapi 1.
2.
3.
Penyusunan dokumen kebijakan ini merupakan suatu pendekatan program baru di kabupaten/kota sehingga memerlukan penyamaan pemahaman dan persepsi lintas sektoral, karena Masih adanya pemahaman lintas sektor terkait dokumen yang disusun menjadi tanggung jawab bidang kesehatan. Adanya efisiensi anggaran dan kebijakan untuk tidak melaksanakan kegiatan selama kurang lebih 3 minggu menyebabkan rangkaian kegiatan penyusunan rencana kontinjensi tidak berjalan sesuai jadwal/rencana dan dapat berdampak pada kualitas penyusunan dokumen renkon. Pelaksanan kegiatan penyusunan dokumen rencana kontinjensi berbeda di beberapa daerah karena adanya efisiensi anggaran. Ada beberapa kabupaten/kota dengan komponen pembiayaan lengkap mulai dari sosialisasi, workshop dan penyusunan dokumen, sementara dibeberapa kabupaten lain hanya didukung dengan kegiatan sosialisasi dan penyusunan. 60 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
h. Pemecahan Masalah 1) Mengintensifkan kegiatan sosialisasi kebijakan kesiapsiagaan terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat kepada pemerintah daerah sasaran untuk menyamakan pemahaman dan rencana tindak lanjut pelaksanaan kegiatan pembuatan dokumen rencana kontingensi. Hal ini dapat meningkatkan komitmen daerah dalam melaksanakan program yang disepakati. 2) Mendorong kabupaten/kota sasaran untuk menyelesaikan hambatan administrasi agar kegiatan dapat terlaksana sesuai dengan rencana yang telah disepakati baik melalui mekanisme pembiayaan dekonsentrasi maupun pusat 3) Memaksimalkan potensi sumber daya manusia untuk memenuhi permintaan narasumber dari berbagai daerah untuk memfasilitasi pembentukan dokumen rencana kontigensi. 4) Mengoptimalisasikan potensi daerah dalam kesiapsiagaan kedaruratan khususnya kedaruratan bencana alam untuk memperkaya dan memperkuat substansi kedaruratan kesehatan masyarakat. 5) Menyesuaikan metode penyusunan dokumen dengan waktu yang tersedia termasuk design kegiatan yang interaktif (diskusi, table top, simulasi) dan penyusunan draft awal sebelum pertemuan.
9.
Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra di wilayah layanan BTKL sebesar 60% a. Penjelasan Indikator Indikator respon Sinyal Kewaspadaan DIni (SKD) dan Kejadian Luar Biasa (KLB), bencana dan kondisi matra di wilayah layanan B/BTKLPP dilakukan oleh seluruh B/BTKLPP untuk kegiatan SKD KLB, kegiatan bencana dan kondisi matra di seluruh wilayah layanan kerja B/BTKLPP. b. Definisi operasional Jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra yang direspon < 24 jam terhitung mulai diterimanya laporan dari stakeholders dibandingkan dengan jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra yang dilaporkan stakeholders.
c. Pengertian Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadiaan kesakitan kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu (Undang Undang Wabah, 1984). 61 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD KLB) merupakan kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi KLB beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan, upayaupaya pencegahan dan tindakan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat. Respon sinyal SKD dan KLB adalah respon kewaspadaan dini yang dilakukan dalam rangka mengantisipasi terhadap terjadinya penyakit potensial KLB yang diperoleh berdasarkan deteksi dini KLB di wilayah kerja B/BTKL-PP dan atau dari permintaan stakeholder serta respon penanggulangan KLB sesuai dengan pedoman. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh factor alam dan/atau factor nonalam maupun factor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kondisi Matra adalah keadaan dari seluruh aspek pada matra yang serba berubah dan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pelaksaan kegiatan manusia yang hidup dalam lingkungan tersebut, seperti Ibadah Haji, arus mudik, arus balik hari raya dan tahun baru, Jambore, dan lain lain. Stakeholder adalah suatu masyarakat, kelompok, komunitas atau individu manusia yang memiliki hubungan dan kepentingan terhadap suatu organisasi seperti Dinas Kesehatan, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Laboratorium, RS, dan lain-lain. d. Rumus/cara perhitungan Jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra yang direspon < 24 jam terhitung mulai diterimanya laporan dari stakeholders x 100% Jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra yang dilaporkan stakeholders
e. Capaian indikator Jumlah kejadian SKD KLB, Bencana dan kondisi matra tahun 2016 sebesar 336 kejadian dan jumlah kejadian yang direspon < 24 jam sebesar 320 kejadian, sehingga capaian indikator tahun ini adalah 95%. Capaian target ini menurun dari tahun sebelumnya, namun jika melihat dari target yang ditetapkan tahun 2016 yaitu 60% maka realisasi capaian indikator telah mencapai target. 62 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Grafik 3.18 Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra diwilayah layanan BBTKLPP Tahun 2015-2016
f.
Analisa Penyebab Keberhasilan Tercapainya target ini antara lain didukung dengan adanya jejaring kerja dan koordinasi yang sudah berjalan baik dengan berbagai stakeholder di wilayah kerja B/BTKL-PP, peningkatkan kemampuan SDM dalam verifikasi rumor penyakit potensial KLB dan penyelidikan epidemiologi, kajian untuk evaluasi kewaspadaan dini penyakit berpotensi KLB, pengembangan kapasitas laboratorium dalam pengembangan metode pemeriksaan penyakit dan adanya evaluasi dan monitoring kegiatan B/BTKL-PP untuk memantau keberhasilan kegiatan dalam mendukung tercapainya indikator.
g. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator 1. 2.
3. 4. 5. 6.
Pelaksanaan advokasi, koordinasi, sosialisasi penguatan respon dan jejaring kerja dengan instansi terkait di wilayah layanan. Melakukan penyelidikan epidemiologi, konfirmasi laboratorium, dan pemantauan faktor risiko lingkungan dan penyakit di wilayah layanan dalam upaya penanggulangan KLB. Melakukan kajian untuk evaluasi kewaspadaan dini penyakit berpotensi KLB. Melaksanakan peningkatan kualitas Penyelidikan Epidemiologi. Peningkatan pertemuan forum lintas bantas terkait upaya kewaspadaan dini SKD dan penanggulangan KLB. Survei dan investigasi data epidemiologi penyakit di masyarakat dan sarana kesehatan. 63 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
21.
Pemeriksaan sampel air minum, air bersih, makanan dan sampel darah. Pemantauan dan pengendalian vektor penyakit. Secara periodik melihat data di website SKDR untuk wilayah layanan B/BTKL-PP dan berita di grup media sosial SKDR Dinkes Provinsi. Mengkonfirmasi wilayah bila ada peningkatan kasus penyakit/peringatan dini dari website SKDR. Melakukan pemantauan penyakit dan kejadian kecelakaan selama arus mudik dan balik hari raya. Melakukan pemeriksaan faktor risiko PTM pada pengemudi bus umum AKAP/AKDP. Pemberian bantuan logistik untuk kegiatan KLB/bencana/matra. Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat. Penganggaran dana dan dukungan untuk kegiatan dalam indikator B/BTKLPP. Penyusunan proposal kegiatan serta instrument yang diperlukan dalam pengumpulan data kegiatan. Persiapan alat dan bahan kegiatan. Pembekalan pada petugas yang akan melakukan kegiatan. Meningkatkan kemampuan SDM epidemiologi dalam PE KLB penyakitpenyakit potensial KLB, PHEIC dan Emerging Infectious Disease. Meningkatkan dan mengembangkan kapasitas laboratorium BBTKLPP Jakarta dalam pengembangan metode pemeriksaan penyakit EID, reemerging, NTD dan pengambilan spesimen KLB. Evaluasi dan monitoring kegiatan B/BTKL-PP.
h. Kendala/Masalah yang Dihadapi 1. Laporan/informasi KLB yang terlambat dari daerah atau stakeholder terkait, sehingga tidak didapatkan data yang akurat dan sampel yang tidak memenuhi syarat untuk diperiksa. 2. Jejaring kemitraan dengan daerah belum maksimal. 3. Dalam kegiatan pementauan wilayah setempat dan pengendalian faktor risiko kondisi matra, pemeriksaan parameter tertentu belum dapat dilakukan secara cepat karena masih menggunakan metode konvensional. 4. Keterbatasan sumber daya untuk melakukan kegiatan respon kejadian KLB < 24 jam dan mobilisasi logistik yang tidak bisa dilakukan di seluruh wilayah layanan, karena wilayah layanan yang luas dan kondisi geografis yang beragam. 5. Kurangnya pengetahuan dan ketrampilan sumberdaya dalam rangka kewaspadaan dini, pengendalian penyakit emerging, bencana, kegiatan matra/situasi khusus dan penyelidikan epidemiologi. 6. Kurangnya jumlah personil dalam mendukung kegiatan. 7. Hambatan dalam Identifikasi Kasus, Jumlah kasus umum, karateristik masyarakat, peguatan Surveilans SKD-KLB tingkat Kab/Kota/Provinsi. 64 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
8. Keterbatasan kemampuan/dukungan laboratorium antara kain alat (PCR), reagen dan RDT. 9. Keterbatasan alat uji laboratorium sebagai alat konfirmasi diagnostik dan hasil konfirmasi sampel penyakit yang belum cepat. 10. Tidak terlibatnya B/BTKL-PP dalam sistem yang terbentuk, sehingga pendekatan dilakukan intens mandiri oleh BBTKLPP kepada stakeholder terkait. 11. Sarana dan prasarana pengendalian vektor masih terbatas jumlahnya. 12. Dukungan dana untuk kegiatan dalam indikator B/BTKL-PP masih terbatas. 13. Indikator kegiatan tidak spesifik untuk B/BTKL-PP. 14. Daerah sering sulit memutuskan bahwa kasus suatu penyakit adalah KLB sehingga mengurangi serapan dana PE. i.
Pemecahan Masalah 1. Peningkatan jejaring kerja dengan wilayah regional dan stakeholder terkait di wilayah layanan B/BTKL-PP. 2. Mensosialisasikan kepada daerah untuk segera mengirimkan form W1 sesegera mungkin bila terjadi kasus KLB, minimal menginformasi terlebih dahulu penyebab yang diduga sebagai sumber utama terjadinya KLB. 3. Meningkatkan kualitas SDM terutama dalam rangka kewaspadaan dini, pengendalian penyakit re-emerging dan new-emerging, kegiatan matra/situasi khusus, tanggap bencana dan respon cepat < 24 jam baik yang diadakan melalui pendidikan dan pelatihan. 4. Mengupayakan pemberian bimtek penyelidikan epidemiologi oleh tenaga JFT 5. Pengembangan dan optimalisasi laboratorium penyakit dan penambahan sarana dan prasarana untuk pemeriksaan laboratorium. 6. Menyusun bersama draft regulasi pedoman pemeriksaan spesimen penyakit potensial KLB dan PHEIC. 7. Peningkatan kapasitas tenaga laboratorium dan tenaga teknis lainnya. 8. Pengadaan sarana dan prasarana pengendalian vektor seperti mobil vektor kontrol dan penyediaan kendaraan bermotor kesehatan lingkungan. 9. mengusulkan biaya pengiriman logistik. 10. Pengembangan SKDR berbasis website di B/BTKLPP sehingga dapat mengakses dan menginput dalam aplikasi untuk mengetahui indikasi terjadinya KLB di suatu wilayah. 11. Pengembangan lebih lanjut SKDR berbasis laboratorium. 12. Melakukan revisi legal aspek untuk memasukkan peran B/BTKLPP sebagai Unit Surveilans Regional dan Labkesmas. 13. Memberikan peran kepada semua B/BTKLPP dalam sistem kewaspadaan dini yang terbentuk di pusat maupun daerah seperti Tim Gerak Cepat (TGC) 14. Menggunakan dana yang ada dengan efisien. 15. Menyusun indikator khusus untuk B/BTKL-PP.
65 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
10. Persentase teknologi tepat guna PP dan PL yang dihasilkan BTKL meningkat 35% dari jumlah TTG tahun 2014 a. Definisi operasional Peningkatan jumlah model dan atau jenis Teknologi Tepat Guna (TTG) bidang P2P yang dihasilkan 10 Balai dan atau Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BBTKLPP) dalam waktu 1 tahun dibandingkan dengan baseline jumlah model dan atau jenis TTG yang sudah dihasilkan di tahun 2014 oleh 10 B/BBTKLPP yang kemudian dinyatakan dalam persen. Dengan target di tahun 2019 akan meningkat sebanyak 50% dari jumlah model dan atau jenis TTG di tahun 2014.
b. Rumus/cara perhitungan Jumlah kumulatif TTG sampai tahun evaluasi – Jumlah TTG pada saat baseline x 100% Jumlah TTG pada saat baseline
Baseline jumlah Teknologi Tepat Guna (TTG) = 40 TTG
c. Capaian indikator Setiap tahun B/BTKLPP menghasilkan Teknologi Tepat Guna yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Jumlah TTG yang dihasilkan B/BTKLPP pada tahun 2014 sebanyak 40 TTG, bertambah 54 TTG pada tahun 2015 dan bertambah lagi sebanyak 40 TTG sehingga total TTG yang dihasilkan tahun 2015 – 2016 sebanyak 83 TTG seperti yang terlihat dalam grafik berikut ini:
66 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Persentase peningkatan TTG yang dihasilkan BBTKLPP meningkat dari tahun 2015 meningkat sebesar 35% dan tahun 2016 meningkat sebesar 138% dari jumlah TTG yang dihasilkan pada baseline tahun 2014 seperti terlihat dalam tabel berikut ini:
Berikut ini Teknologi Tepat Guna yang dihasilkan oleh B/BTKLPP pada tahun 2016 antara lain: Tabel 3.6 Teknologi Tepat Guna yang dihasilkan B/BTKLPP Tahun 2016 No 1
BBTKLPP BBTKLPP Batam
TTG - Instalasi Pengolahan Air Baku menjadi Air Minum dan Air Bersih. - Sistem Pengolahan Tinja Daerah Pesisir
2
BBTKLPP Jakarta
- Jamban pasang surut. - Lavitrap toples bening - Lavitrap toples hitam
3
BBTKLPP Jakarta
- Lavitrap - Breeding Trap - Dust Lon - Perangkap nyamuk dengan lampu LED - Respirator sederhana - Prototype penetralisir derajat keasaman 67 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
4
BTKLPP Yogyakarta
- Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok Pesantren model kapasitas kecil Teknologi 2 lampu UV. - Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok Pesantren model kapasitas kecil dengan ozon. - Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok Pesantren model kapasitas kecil air drier. - Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok Pesantren model kapasitas besar Teknologi 3 lampu UV. - Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok Pesantren model kapasitas besar Teknologi ozon dan lampu UV. - Model/Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Pondok Pesantren model kapasitas besar Teknologi air drier dan lampu UV. - Prototipe Pengolahan Udara Di Daerah Padat Lalu Lintas teknologi Zigzag dengan absorber kapas sintetis, arang aktif, zeolite. - Prototipe Pengolahan Udara Di Daerah Padat Lalu Lintas teknologi Spray dengan absorber kapas sintetis, pasir kuarsa, arang aktif. - Prototipe Pengolahan Udara Di Daerah Padat Lalu Lintas teknologi Vertikal dengan absorber zeolit, arang aktif, aktivated clay. - Prototipe Alat Penangkap Dan Pemusnah Bakteri Tahan Asam Dan Bakteri Patogen di Udara.
5
BBTKLPP Banjarbaru
- Pembuatan clorin diffuser - Prototype pengembangan teknologi pengolahan air gambut - Uji efektifitas kelambu berinsektisida - Pembuatan alat penyaring udara sederhana - Pembuatan alat penyaring partikel untuk ventilasi udara ruang - Teknologi pengendalian vektor - Prototype pengembangan teknologi pengolahan air payau
68 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
6
BBTKLPP Surabaya
-
Teknologi pengendalian vektor Aedes sp. dari toples bekas "OVILARTRAP" - Teknologi pengendalian vektor Aedes sp. dari ban bekas "OVILANTA" - Teknologi pengendalian vektor Aedes sp. dari timba bekas "OVITRAP" - Teknologi pengendalian pinjal dengan bambu “Bu Dalpin” - Teknologi pengendalian pinjal dengan pipa “Pa Dalpin” - Teknologi sabun berbahan ekstrak “Rosella” - Teknologi anliseptik tisu basah "HATI - RDT E Coli dengan metode H2S - RDT Boraks - RDT Formalin - Teknologi Pembersih Udara Personal (PUP) - Teknologi Pengolah limbah B3 Laboratorium model evaporasi
d. Analisa Penyebab Keberhasilan Tercapainya indikator ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: 1.
Adanya peningkatan kapasitas untuk SDM baik melalui pelatihan rancang bangun ataupun pelatihan teknis lainnya sehingga meskipun dari segi kuantitas jumlah SDM belum memadai tetapi dari segi kualitas SDM nya telah terlatih.
2.
Meningkatnya jejaring kerja dan kerjasama berbagai stakeholder di wilayah kerja B/BTKL-PP.
3.
Adanya komitmen B/BTKL-PP untuk terus menghasilkan Teknologi Tepat Guna yang bermanfaat di masyarakat.
e. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator 1) Mengirim SDM untuk pelatihan rancang-bangun dan pelatihan teknis lainnya. 2) Merancang dan mendesain model TTG (prototype) sesuai prioritas masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat. 3) Membuat model TTG dan melakukan uji coba model TTG skala laboratorium.
69 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
4) Melakukan koordinasi dan survey awal ke lokasi yang sesuai untuk penempatann alat pengolahan TTG. 5) Uji coba model dilokasi pemasangan. 6) Sosialisasi dan deseminasi model TTG kepada masyarakat pengguna. 7) Pemantauan penggunaan TTG.
f.
Kendala/Masalah yang Dihadapi 1) Jumlah SDM yang kurang, sehingga banyak yang rangkap tugas. 2) Terbatasnya inovasi-inovasi kegiatan pembuatan model dan teknologi. 3) Beberapa model dan teknologi yang dibuat biaya masih terlalu tinggi untuk bisa diimplementasi sendiri oleh masyarakat. 4) Pada saat pembuatan model dan teknologi masih kesulitan mencari penyedia jasa yang sesuai dengan kebutuhan 5) Hak paten dan merk yang diusulkan kepada Kementerian Hukum dan HAM memakan waktu minimal 2 tahun. 6) Kurangnya sosialisasi TTG kepada masyarakat sehingga tidak memiliki daya ungkit yang signifikan 7) Kurangnya supply bahan alami yang berpotensi dikembangkan menjadi TTG 8) Teknologi yang terus berkembang menuntut personil untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan model teknologi tepat guna di bidang kesehatan lingkungan. 9) Adanya efisiensi anggaran sehingga beberapa kegiatan teknologi tepat guna tidak terlaksana.
g. Pemecahan Masalah 1) Peningkatan kompetensi dan kapasitas SDM terkait TTG Pencegahan dan Pengendalian Penyakit melalui pendidikan dan pelatihan. 2) Mengusulkan penambahan jumlah SDM sesuai keahlian yang dibutuhkan ke eselon I. 3) Meningkatkan jejaring kerja lintas sektor untuk mencegah doubling bantuan alat yang ditempatkan di masyarakat. 4) Memberdayakan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi penempatan alat TTG. 5) Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat dan advokasi kepada pemerintah daerah maupun institusi terkait lainnya dalam penerapan TTG P2P.
70 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
6) Meningkatkan sarana penyediaan tanaman alami TTG P2P termasuk penyiapan lahan 7) Mengajukan usulan hak paten kepada Kementerian Hukum dan HAM
11. Persentase Pelabuhan/Bandara/PLBD yang melaksanakan kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 70% a. Penjelasan Indikator Indonesia secara bertahap telah mengembangkan kapasitas untuk to prevent, to detect, to report dan to respond di pintu masuk negara dalam rangka pengendalian penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat (KKM). Kapasitas tersebut sesuai dengan regulasi IHR (2005). Regulasi ini merupakan modal utama untuk mengembangkan jejaring dan kerjasama internasional dalam menghadapi dan menanggulangi potensi terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD) atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan upaya cegah tangkal dalam rangka perlindungan Indonesia dan dunia terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKM-MD), adalah melalui penguatan koordinasi, integrasi, sinkronisasi lintas sektor dan mempertahankan kemampuan dalam hal deteksi, verifikasi, penilaian, pelaporan dan penanggulangan potensi terjadinya KKM-MD. Adanya rencana kontinjensi di pintu masuk dengan prioritas pintu masuk negara dipandang sangat penting dalam menghadapi kedaruratan kesehatan yang potensial terjadi. b. Definisi Operasional Jumlah pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional yang memiliki kebijakan kesiapsiagaan berupa dokumen rencana kontijensi penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah. c. Rumus/Cara perhitungan Jumlah pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional yang memiliki kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah dibagi jumlah pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional dikali 100 persen d. Capaian Indikator Pada tahun 2016, persentase pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional yang memiliki dokumen rencana kontinjensi penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) telah mencapai 70,75% dari target 70%. Sedangkan pada tahun 2015, persentase pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional yang memiliki dokumen rencana kontinjensi penanggulangan KKM sebanyak 64,15% dari target 60% seperti dalam grafik dan tabel dibawah ini:
71 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Grafik 3.21 Persentase pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional yang memiliki dokumen rencana kontijensi
Peta 3.4
e.
Analisa Penyebab Keberhasilan Sampai dengan tahun 2016 tercapai 75 pintu masuk internasional yang menyusun dokumen rencana kontinjensi dari target 74 kab/kota. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian target indikator antara lain: 1. Persiapan pelaksanaan kegiatan dengan melakukan komunikasi dan koordinasi kepada stakeholder di lingkungan pelabuhan/bandar udara/PLBDN serta pemerintah daerah setempat. 2. Adanya sosialisasi dan advokasi dengan melibatkan stakeholder di lingkungan pelabuhan/bandar udara/PLBDN dan lintas sector terkait lainnya. 3. Adanya kegiatan penyusunan dokumen rencana kontinjensi dengan anggaran bersumber dari APBN. 72 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
4. Adanya rambu petunjuk perencanaan sehingga Kantor Kesehatan Pelabuhan dapat menganggarkan kegiatan terkait kesiapsiagaan penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat di pintu masuk negara f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator 1) Sosialisasi dan advokasi regulasi kesehatan internasional atau International Health Regulations (2005) termasuk kapasitas inti IHR dan paket aksi keamanan kesehatan global 2) Penilaian pencapaian kapasitas inti IHR di pintu masuk negara, wilayah dan nasional dengan melibatkan lintas sektor terkait 3) Sosialisasi dan advokasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap faktor risiko kedaruratan kesehatan masyarakat dengan melibatkan stakeholder di lingkungan pelabuhan/bandar udara/PLBDN dan lintas sektor terkait 4) Melaksanakan penyusunan rencana kontingensi mencakup konsep pedoman penyusunan renkon, identifikasi potensi KKM, membangun komitmen lintas sektoral dan pengumpulan data dasar dengan melibatkan seluruh lintas sektoral pemerintah daerah yang terkait dengan kesiapsiagaan, respon dan koordinasi penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat. 6) Review dan update dokumen kebijakan yang telah disusun di pintu masuk negara f. Kendala/masalah yang dihadapi Beberapa Kantor Kesehatan Pelabuhan yang menganggarkan penyusunan/reviu dokumen rencana kontinjensi mengalami efisiensi anggaran sehingga tidak dapat dilakukan. g. Pemecahan Masalah Tetap mengintensifkan kegiatan sosialisasi dan advokasi kebijakan kesiapsiagaan penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat kepada stakeholder di lingkungan pelabuhan/bandar udara/PLBDN serta lintas sektor terkait sasaran, dengan tujuan untuk meningkatkan komitmen daerah dalam melaksanakan program yang disepakati, serta menjadikan penyusunan/reviu rencana kontinjensi sebagai salah satu prioritas kegiatan.
Selain 11 indikator tersebut yang telah dijelaskan diatas, terdapat 3 indikator yang merupakan indikator Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 yakni: 1. 2. 3.
Persentase kabupaten/kota yang mempunyai kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah. Persentase penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tertentu. Prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun.
73 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Dari ketiga indikator tersebut diatas yang belum digambarkan secara jelas adalah indikator Persentase penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tertentu seperti yang dijelaskan berikut ini: 12.
Persentase penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tertentu a. Penjelasan indikator Beberapa penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia dan merupakan komitmen global wajib diikuti oleh semua negara salah satunya adalah Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Penyakit PD3I dapat dicegah dengan pemeberian imunisasi. Imunisasi merupakan salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang terbukti sangat cost efektif. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang saat ini menjadi program prioritas pemerintah adalah Tuberculosis, Hepatitis B, Polio, Difteri, Pertusis, Tetanus, Hemophilus influenza type B serta campak, yang beberapa diantaranya sering menyebabkan kejadian luar biasa (KLB) dibeberapa daerah. Surveilans yang berkualitas ditujukan untuk mengukur beban penyakit, mendeteksi wabah dan mengevaluasi dampak imunisasi untuk penyakit dapat dicegah dengan imunisasi, termasuk polio, campak, rubella, kongenital rubella syndrome (CRS), Difteri, Tetanus Neonatorum, Hepatitis B dan Pertusis. PD3I merupakan komitmen global yang semua Negara mengikutinya termasuk Indonesia yaitu eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Campak, Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) serta kontrol Rubella/CRS. Eradikasi polio merupakan kesepakatan internasional yang ditetapkan sebagai salah satu resolusi dalam sidang WHA Mei 1988 untuk dicapai secara global pada tahun 2020. Sejalan dengan target global tersebut Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya untuk membebaskan setiap wilayahnya dari keberadaan virus polio, melalui pemberian imunisasi polio secara rutin, pemberian imunisasi tambahan (PIN, Sub PIN, Mopping-up) pada anak balita, surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis), dan pengamanan virus polio di laboratorium (Laboratory Containtment). Pada tanggal 27 Maret 2014 Regio Asia Tenggara telah mendeklarasikan pernyataan bebas polio dimana Indonesia termasuk salah satu negara yang menerima sertifikat tersebut. Selain pencapaian dalam hal eradikasi polio, Indonesia kini juga sedang bersiap menuju eliminasi campak pada tahun 2020 dan kontrol rubella/CRS tahun 2020. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target untuk eliminasi campak dan control rubella/CRS tahun 2020 sesuai dengan target global yaitu: mencapai cakupan imunisasi campak dosis pertama lebih dari 95% di tingkat nasional dan Kota/Kota, menurunkan angka insiden campak menjadi kurang dari 5 per 1.000.000 penduduk setiap tahun dan mempertahankannya, menurunkan angka kematian campak minimal 95%, dan melakukan konfirmasi laboratorium campak 100% terhadap kasus-kasus klinis dari seluruh Kota/Kota. Pada tahun 2016 Indonesia di validasi oleh Tim WHO dan Unicef dalam rangka pencapaian Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal. Hasil dari validasi Indonesia di 74 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
nyatakan sudah Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal yang dibuktikan telah terimanya sertifikat Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal oleh Menteri Kesehatan di Srilanka.
b.
Definisi Operasional Penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tertentu adalah penurunan Kasus PD3I tertentu di seluruh provinsi dalam satu tahun dari baseline data tahun 2013, dinyatakan dalam persen. Yang dimaksud dengan PD3I tertentu yaitu Difteri, Campak Klinis, Tetanus Neonatorum dan Pertusis.
c. Rumus/cara perhitungan Jumlah kasus PD3I tertentu pada baseline tahun 2013 - jumlah kasus PD3I tertentu pada tahun berjalan x 100% Jumlah kasus PD3I tertentu pada baseline tahun 2013
d. Capaian Indikator Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu meliputi difteri, tetanus neonatorum, campak, dan pertusis. Presentase penurunan kasus dihitung dati baseline data jumlah kasus tahun 2013, yaitu difteri 775 kasus, tetanus neonatorum 78 kasus, campak 11.521 kasus dan pertussis 4.681 kasus (per Desember 2014). Tahun 2016 (per 31 Desember 2017) tercatat kejadian difteri sebanyak 340 kasus, Tetanus neonatorum 14 kasus, campak 6.890 kasus dan pertusis 1.240 kasus. Pada tahun 2015 tercatat kajadian Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu sebesar 8.484 kasus. Terjadi penurunan kasus sebesar 8.571 kasus dengan presentase penurunan sebesar 50,26% dibandingkan angka kasus tahun 2013.
75 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Grafik 3.22 Indikator Dan Realisasi Persentase Penurunan Kasus PD3I Tertentu Tahun 2016
e. Analisa Keberhasilan Tercapainya target ini antara lain didukung dengan adanya penguatan imunisasi rutin, penguatan surveilans PD3I, penguatan jejaring dan koordinasi mekanisme kerja antar lintas program dan sektor, peningkatan kapasitas petugas surveilans PD3I dan evaluasi pelaksanaan program surveilans PD3I di daerah dengan melakukan monitoring, pertemuan evaluasi dan melakukan feedback kinerja.
f.
Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator 1) Menyelenggarakan peningkatan kapasitas petugas surveilans PD3I 2) Mempertahankan kinerja Surveilans AFP dan PD3I lainnya 3) Melakukan penguatan jejaring kerja surveilans PD3I dengan klinisi dan laboratorium 4) Melakukan pertemuan dengan Komite ahli Eradikasi Polio, Komite Surveilans AFP dan Komite Ahli Campak dan Rubela/CRS untuk mendapatkan rekomendasi untuk pencapaian indikator. 5) Mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan kasus PD3I berbasis website 6) Monitoring dan Evaluasi surveilans PD3I 7) Melakukan feedback ke provinsi yang ditujukan ke gubernur cc kepala dinas kesehatan provinsi
76 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
g. Kendala/Masalah yang Dihadapi 1) Cakupan Imunisasi yang belum tinggi dan merata di semua wilayah 2) Penggantian petugas yang tinggi sehingga belum terlatih. 3) Sebagian besar petugas surveilans PD3I memiliki tugas rangkap sehingga tidak fokus pada fungsinya. 4) Kondisi geografis yang sulit di jangkau sehingga petugas mengalami kesulitan saat melakukan PE. 5) Kurangnya komitmen dan dukungan pemerintah daerah baik provinsi dan kab/kota untuk program surveilans PD3I, dnegan penganggaran tidak berkelanjutan. 6) Penanggulangan KLB tidak tuntas dan efektif baik di tingkat provinsi maupun kab/kota sehingga kasus PD3I tetap ada. 7) Sistem pelaporan kasus fasyankes swasta belum terlibat.
h. Rencana Pemecahan Masalah 1) Penguatan / revitalisasi KOMITMEN pemerintah daerah 2) Mendorong Kepala Dinas dan jajarannya ikut memperkuat dan memantau kemajuan Erapo di wilayahnya 3) Advokasi pada pemerintah daerah tentang dukungan anggaran dan operasional surveilans PD3I. 4) Memberikan umpan balik rutin secara berjenjang 5) Mengusulkan kegiatan surveilans PD3I untuk daerah melalui dana dekon dan DAK/BOK 6) Melibatkan praktek swasta dalam penemuan kasus secara bertahap sereta mengaktifkan Surveilans Aktif RS (SARS) dan Hospital Record Review (HRR). 7) Meningkatkan peran jejaring organisasi profesi dalam case finding 8) Mengadakan pertemuan validasi data di setiap tingkat 9) Melakukan pelatihan penanggulangan KLB dan analisa data kepada Petugas Surveilans PD3I. 10) Melakukan pengkajian efektifitas penanggulangan KLB
77 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
B. REALISASI ANGGARAN 1.
Realiasi Anggaran Pagu Awal Anggaran Ditjen P2P Tahun Anggaran 2016 adalah Rp. 4.098.559.756.000 dan pada akhir Tahun Anggaran menjadi Rp. 4.580.562.750.000 yang terdiri dari:
Sesuai dengan Inpres 8 Tahun 2016 dilakukan self blocking sebesar Rp. 964.343.791.000. Adapun pagu dan realisasi terlihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.7 Pagu Dan Realisasi Anggaran Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
No Sumber Dana 1 RUPIAH MURNI 2 PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK 3 HIBAH LANGSUNG LUAR NEGERI Jumlah
Pagu Realisasi % Self Blocking (Inpres 8 Th 2016) % Setelah Self Blocking 3.849.427.184.000 2.778.022.280.837 72,17 954.822.786.000 95,97 122.148.572.000 100.267.093.013 82,09 9.521.005.000 89,03 608.986.994.000 598.171.862.791 98,22 98,22 4.580.562.750.000 3.476.461.236.641 75,90 964.343.791.000 96,14
Realisasi anggaran Ditjen P2P sebelum self blocking sebesar 75.9% tetapi setelah self blocking menjadi 96.14%
78 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Sesuai dengan kewenangan, pagu anggaran terbagi antara Kantor Pusat sebesar Rp. 3.086.277.739.000, KKP sebesar Rp. 831.461.823.000, B/BTKL-PP sebesar Rp. 300.332.565.000 dan Dekonsentrasi sebesar Rp. 362.490.623.000.
Tabel 3.8 Pagu Dan Realisasi Anggaran Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Berdasarkan Kewenangan Tahun 2015-2016
NO
KEWENANGAN
1 KANTOR PUSAT 2 KANTOR DAERAH 1). KKP 2). B/BTKL-PP 3 DEKONSENTRASI 4 TUGAS PEMBANTUAN JUMLAH
TA 2015 PAGU BELANJA 1.667.006.919.000 1.400.459.123.650 693.090.694.000 588.147.970.257 529.142.550.000 460.558.542.328 163.948.144.000 127.589.427.929 221.063.331.000 157.009.384.277 116.165.495.000 99.836.393.306 2.697.326.439.000 2.245.452.871.490
% 84,01 84,86 87,04 77,82 71,02 85,94 83,25
TA 2016 PAGU BELANJA 3.086.277.739.000 2.368.333.020.051 1.131.794.388.000 893.477.381.294 831.461.823.000 668.379.212.858 300.332.565.000 225.098.168.436 362.490.623.000 214.650.835.296 4.580.562.750.000 3.476.461.236.641
% 76,74 78,94 80,39 74,95 59,22 0,00 75,90
Pagu Ditjen P2P mengalami peningkatan dari tahun 2015 sebesar Rp. 2.697.326.439.000 menjadi Rp. 4.580.562.750.000 pada tahun 2016. Meskipun demikian realisasi tahun 2015 lebih besar pada tahun 2015 (83.25%) dibandingkan dengan tahun 2016 (75.9%).
Tabel 3.9 Pagu Dan Realisasi Anggaran Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Berdasarkan Satuan Kerja Tahun 2016
NO KD_SATKER 1 2 3 4 5 6
465827 465833 465858 465842 401733 465889
SATKER SEKRETARIAT DITJEN P2P DIREKTORAT P2PML DIREKTORAT SKK DIREKTORAT P2PTVZ DIREKTORAT P2MKJN DIREKTORAT P2PTM JUMLAH
KW KP KP KP KP KP KP
BELANJA PEGAWAI BELANJA BARANG BELANJA MODAL PAGU BELANJA % PAGU BELANJA % PAGU BELANJA 236.480.491.000 215.460.184.218 91,11 132.833.396.000 89.272.819.856 67,21 13.526.167.000 7.773.190.840 - - 1.386.464.892.000 1.113.444.589.505 80,31 1.896.309.000 1.850.786.820 - - 703.670.309.000 523.886.438.209 74,45 21.920.312.000 20.462.358.283 - - 319.346.325.000 235.110.165.798 73,62 23.288.000.000 18.893.145.790 - - 33.451.000.000 21.270.294.135 63,59 100.000.000 98.505.000 - - 165.697.472.000 76.667.306.440 46,27 47.603.066.000 44.143.235.157 236.480.491.000 215.460.184.218 91,11 2.741.463.394.000 2.059.651.613.943 75,13 108.333.854.000 93.221.221.890
% 57,47 97,60 93,35 81,13 98,51 92,73 86,05
PAGU 382.840.054.000 1.388.361.201.000 725.590.621.000 342.634.325.000 33.551.000.000 213.300.538.000 3.086.277.739.000
TOTAL BELANJA 312.506.194.914 1.115.295.376.325 544.348.796.492 254.003.311.588 21.368.799.135 120.810.541.597 2.368.333.020.051
Realisasi tahun 2016 masih rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
79 |
% 81,63 80,33 75,02 74,13 63,69 56,64 76,74
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
1. Pengadaan barang/jasa di Direktorat Surveilans Karantina Kesehatan sebesar Rp. 9.000.000.000 tidak dapat dilaksanakan karena gagal lelang yang terdiri dari: Logistik surveilans Congenital Rubella Syndrom sebesar Rp. 793.000.000 Paket penanggulangan KLB Campak sebesar Rp. 3.400.000.000 KIE imunisasi lanjutan sebesar Rp. 5.700.000.000 2. Pengadaan barang/jasa di Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung sebesar Rp. 109.800.000.000 tidak dapat dilaksanakan yang terdiri dari: Pengadaan reagen IMS dan Bahan Habis Pakai (BHP) sebesar Rp. 52.600.000.000 Pengadaan rapid HIV dan IMS sebesar Rp. 22.400.000.000 Pengadaan reagen hepatitis dan BHP bahan deteksi dini ibu hamil dan kelompok beresiko sebesar Rp. 18.100.000.000 Pengadaan reagen dan BHP Bahan Layanan Pengawasan Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis sebesar Rp. 16.800.000.000 Pengadaan barang/jasa ini tidak terlaksana karena sumber dana refocusing, keterbatasan waktu dan penyedia tidak sanggup menyediakan garansi. 2. Efisiensi Sumber Daya Pada tahun 2016, dilakukan pemotongan efisiensi anggaran di Ditjen P2P sebesar Rp.218.984.000.000 (efisiensi tahap I) dan Rp.964.343.791.000 (efisensi tahap II). Untuk menjamin semua indikator dalam perjanjian kinerja tetap mencapai target beberapa upaya dibawah ini telah dilakukan yakni: 1.
Menggabungkan beberapa pertemuan/pelatihan.
pertemuan/pelatihan
menjadi
satu
2.
Mengurangi tahapan kegiatan tetapi tetap mempertahankan materi dan esensi kegiatan.
3.
Melakukan monitoring evaluasi terintegrasi dengan program lain seperti monitoring program malaria dilakukan terintegrasi dengan program filariasis.
4.
Melakukan kegiatan dengan menggunakan sumber dana lain selain APBN yakni Hibah Luar Negeri (HLN).
Dari hasil pemantauan e Monev Bappenas tahun 2016 dapat dibandingkan antara realisasi kinerja dengan realisasi anggaran sebagaimana tabel berikut ini:
80 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Tabel 3.10 Realisasi Anggaran dan Realisasi Kinerja Ditjen P2P Tahun 2016
Dari tabel tersebut diatas dapat dilihat beberapa hal antara lain: 1. Realisasi anggaran Ditjen P2P tahun 2016 sebesar 81.04% sedangkan realisasi kinerja sebesar 105.92% dengan efisiensi sebesar 25% 2. Efisiensi tertinggi berada di Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular sebesar 94%. Hal ini disebabkan perhitungan capaian kinerja diukur dari 2 indikator RKP yaitu Persentase puskesmas yang melaksanakan Pengendalian PTM terpadu dan persentase kab/kota yang melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) minimal 50% sekolah. Pencapaian kinerja Persentase puskesmas yang melaksanakan Pengendalian PTM terpadu sebesar 247% dan pencapaian persentase kab/kota yang melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) minimal 50% sekolah sebesar 106%. 3. Realisasi kinerja terendah berada di Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dimana anggaran yang direalisasikan lebih besar (71.07%) dari pada kinerja yang dihasilkan (65.77%)
81 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Pencapaian kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah berjalan baik sesuai dengan Perjanjian Kinerja yang telah ditetapkan. 2. Berdasarkan pengukuran indikator kinerja dalam Perjanjian Kinerja Tahun 2016, dari 11 Indikator kinerja sasaran Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016, sebanyak 10 indikator telah mencapai target yang ditetapkan, sedangkan 1 indikator tidak mencapai target dengan pencapaian diatas 60%. 3. Berdasarkan penyerapan dan pengukuran kinerja anggaran tahun 2016 diketahui bahwa kinerja anggaran Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit sebesar 75,9%. 4. Mengingat penyakit tidak mengenal batas wilayah administrasi, pemerintahan, maupun negara, maka penyelenggaraan penanggulangan penyakit secara nasional dilakukan dengan prinsip konkuren, yaitu dilakukan bersama-sama antara unsur pemerintahan di pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap permasalahan penyakit dan faktor risikonya yang timbul di suatu wilayah perlu ditangani secara bersama antara unsur pusat dan daerah, sedangkan untuk pintu masuk negara dilakukan upaya khusus melalui upaya kekarantinaan kesehatan dalam rangka cegah tangkal penyakit antar negara sebagai bentuk komitmen kesehatan dalam menjaga kedaulatan negara. 5. Pada laporan kinerja ini belum bisa dihitung realisasi anggaran untuk masingmasing indikator karena belum adanya instrumen untuk mempermudah perhitungan realisasi.
B. TINDAK LANJUT 1. Perlu dilakukan review terhadap Rencana Aksi Program Tahun 2015-2019 dalam rangka memastikan semua indikator dapat dicapai pada akhir tahun evaluasi. 2. Perlu dikembangkan teknologi dalam memantau pencapaian kinerja secara berkala. 3. Kementerian Kesehatan perlu mengembangkan suatu instrumen berbasis teknologi untuk memantau realisasi anggaran setiap sasaran indikator. 4. Penetapan penanggungjawab laporan kinerja disusun dari awal tahun setelah Perjanjian Kinerja ditandatangani.
82 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Direktorat Jenderal P2P selalu berupaya untuk memberikan alternatif solusi terhadap seluruh masalah penyakit guna mencegah, mengendalikan berbagai penyakit menular dan penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik yang bersifat endemis, potensial menimbulkan wabah, maupun antisipasi terhadap munculnya penyakit baru.
83 |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
GRAFIK Grafik 1.1
Distribusi Pegawai di lingkungan Ditjen P2P ....................................
8
Grafik 1.2
Distribusi Pegawai di lingkungan Kantor Pusat Ditjen P2P ...............
8
Grafik 3.1
Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen Imunisasi Dasar Lengkap pada bayi tahun 2015-2016 .....................................
17
Grafik 3.2
Penurunan kasus PD3I Tahun 2013 dan 2015 .................................
18
Grafik 3.3
Jumlah kabupaten/kota eliminasi malaria tahun 2013-2016 .............
21
Grafik 3.4
Persentase pemeriksaan sediaan darah ..........................................
24
Grafik 3.5
Persentase pengobatan sesuai standar ...........................................
25
Grafik 3.6
Distribusi Kelambu Tahun 2004-2016 ..............................................
26
Grafik 3.7
Jumlah kabupaten/kota endemis filaria berhasil menurunkan mikrofilaria <1% Tahun 2016 ............................................................
31
Jumlah kabupaten/kota endemis filaria berhasil menurunkan mikrofilaria <1% Tahun 2013-2016...................................................
31
Target dan capaian indikator Provinsi dengan eliminiasi kusta tahun 2014-2016 ..............................................................................
35
Grafik 3.10
Prevalensi TB per 100.000 penduduk tahun 2012-2016 ...................
41
Grafik 3.11
Target dan realisasi capaian prevalensi HIV Tahun 2016 .................
44
Grafik 3.12
Target dan realisasi capaian prevalensi HIV Tahun 2014-2016........
45
Grafik 3.13
Jumlah Kasus HIV dan Kasus AIDS Tahun 2014-2016 ....................
45
Grafik 3.14
Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia ≤ 18 tahun....
52
Grafik 3.15
Persentase target dan realisasi Kab/Kota yang memiliki peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Tahun 2015-2016 ................
53
Persentase target dan realisasi Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal 50% sekolah Tahun 2015-2016 .............................................................................
54
Persentase kabupaten/kota yang mempunyai Kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah .................................................
59
Grafik 3.8
Grafik 3.9
Grafik 3.16
Grafik 3.17
iv |
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
Grafik 3.18
Persentase Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra di wilayah layanan BBTKLPP .....................................
63
Grafik 3.19
Jumlah TTG yang dihasilkan BBTKLPP Tahun 2014-2016 ..............
66
Grafik 3.20
Persentase peningkatan TTG yang dihasilkan BBTKLPP ................
67
Grafik 3.21
Persentase pelabuhan/bandar udara/PLBDN Internasional yang memiliki dokumen rencana kontijensi .............................................
72
Indikator Dan Realisasi Persentase Penurunan Kasus PD3I Tertentu Tahun 2016 .......................................................................
76
Distribusi Anggaran Berdasarkan Sumber Dana Tahun 2016 .........
78
Grafik 3.22
Grafik 3.23
v|
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2016
TABEL Tabel 2.1 Sasaran Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2015 – 2019 ......................................................................................................
12
Tabel 2.2 Perjanjian Kinerja Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2016 ...............................................................................................
13
Tabel 3.1 Target dan Capaian Indikator Program P2P Tahun 2016 .........................
15
Tabel 3.2 Jumlah Kab/Kota dengan eliminasi malaria per Provinsi di Indonesia ......
22
Tabel 3.3 Status endemisitas malaria ......................................................................
23
Tabel 3.4 Capaian Indikator Program Prioritas Janji Presiden/Wakil Presiden .........
23
Tabel 3.5 Kab/Kota endemis filariasi berhasil menurunkan angka mikrofilaria .........
32
Tabel 3.6 Teknologi Tepat Guna yang dihasilkan B/BTKL-PP Tahun 2016 ..............
67
Tabel 3.7 Pagu dan realisasi anggaran Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ...................................................................................................
78
Tabel 3.8 Pagu dan realisasi anggaran Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Berdasarkan Kewenangan .........................................................
79
Tabel 3.9 Pagu dan realisasi anggaran Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Berdasarkan Satuan Kerja .........................................................
79
iii |