Diterbitkan oleh : Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi -BAPPENAS
ISBN :979-3764-0t-s
Tim Penyusun Bulkin.
Editor Utama
: lmron
Editor
: Oktorialdi, Robin Asad Suryo, dan Gunsairi.
Tim Penulis
: Bambang Brodjonegoro, Putu Riasa, Mas Wedar H.
Joko Rizkie Widokarti, dan Yoga Driyanto.
Tim Pendukung
: Suwita, Betty NZ, Sholihin,dan Azis Arief.
Disain Sampul
: Ycrga
Driyanto dan Suwita.
Adji, Rudi Alfian,
PENGANTAR Pembangunan Daerah Dalam Angka (PDDA) edisi 2004 ini merupakan kelanjutan dari publikasi seienis tahun sebelumnya yang disusun oleh Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, De,pud Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional Bappenas, berdasarkan berbagai sumber data. Dalam publikasi ini disajikan informasi dasar tentang perkembangan hasil pembangunan daetah sejak Repehta I sampai dengan tahun 2004 yang disajikan dalam bentuk tabel. Perkembangan hasil pembangunan daetah bidang pembangunan, l airu : i. Geografi II. Demografi III. Ekonomi IV. Keseiahteraan Sosial V. Prasarana \ililayah
ini
dikelompokkan menjadi
5 0t-4
Selain pengelompokkan menurut bidang-bidang pembangunan, edisi kali ini juga menampilkan 2 (dua) buah tulisan yang mengupas tentang pelaksanaan desentralisasi dan dihatapkan pada edisiedrsi berikutnya dapat ditampdkan tulisan-rulisan sejenis khususnya yang berkaitan dengan pembangunan daetah. Disebabkan oleh perbedaan rvaktu pengumpulan data, pada penerbitan ini beberapa data belum mengalami pemuktahiran, dan juga karena keterbatasan data dan perbedaan tahun yang digunakan (tahun anggaran atau kalendet), maka penyajian beberapa tabel tidak selalu dapat mengikuti sistematika yang sama. Untuk lebih memahami data yang drsajrkan tersebut, di setiap kelompok data diberikan pula penjelasan singkat mengenai aspek pokoknya. Publikasi ini dirr,aksudkan untuk memberi gambaran tentang perkembangan hasil pembangunan yang telah dicapai dalam kurun waktu Repelita I sampai dengan tahun 2004.
I(epada semua pihak yang telah belparusipasi, sehingga terbitnya publikasi ini disampaikan terima kasih. Kritik dan satan sangat &harapkan untuk perbaikan pada publi.kasi edisi yang akan datang. Takarta. Desember 2004
Direktur Pe
Ir. I.mron Bulkin-, NIRP. .,,...i
, : it
.:
.)/
DAFTAR ISI
i
Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Sekilas Pembangunan Daerah
I.
ii
iii iv
GEOGRAFI
1.1. Umum 1.2. Pembagian Daerah Administrasi 1.3. Penggunaan Lahan
II.
2
4
DEMOGRAFI
2.1. Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk 2.I.L. Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk 2.7.2. Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk 2.t.3. Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk 2.L.4, Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk 2,2. Ketenagakerjaan..... 2.2.t. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja 2.2.2. Lapangan Pekerjaan Utama
III.
I
Tf,
Tahun 1971 Tahun 1980 Tahun 1990 Tahun 2003
- 1980 - 1990
-
2000
16 L/ 11 I/ 1B
18 18 19
EKONOMI
3.1. PDRB (Pertumbuhan dan Struktur) 3.1.1. Produk Domestik Bruto 3.7.2. PDB Perkapita 3.1.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 3.1,3.1. Struktur Ekonomi Menurut Wilayah
31 31
32 33 33
3.1.3.2. Struktur Ekonomi Menurut Sektor 3.1.3.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi 3,1.3.4. PDRB Perkapita
3.2. Keuangan Daerah..... 3.2.1. Pendapatan Asli Daerah 3,2.1.1. PAD Tingkat L..... 3.2.7.2. PAD Tingkat II .... 3.2.2. Dana Alokasi Umum 3.2.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 3.2,4. Persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri 3.2.5. Persetujuan Penanaman Modal Asing 3.3. Ekspor dan Impor 3.3.1. Ekspor 3.3.2.Impor
34 35 37 39 40 40 40 47 42 45 47 48 4B 4B
..
IV. KESEJAHTERAAN SOSIAL 4.1. Pendidikan 4.2. Kesehatan . 4.2.1. Angka Kematian Bayi 4.2.2. Angka Harapan Hidup 4.2.3. Dokter 4.3. Pendapatan Perkapita (Gini Ratio)
105 108 108 109 111
...,.
4.3.I. Penduduk Miskin 4.3.2. Tingkat Kemerataan Pendapatan (Gini
V. PRASARANA
I12 172
Ratio)
IL4
WILAYAH
5.1. Umum 5.2. Ekonomi 5.2.1. Ke listrikan 5,2.2,Irigasi 5.2.3. Prasarana Jalan . 5.2.4. Telekomunikasi 5.2.5. Moda Transportasi 5.2.6. Moda Angkutan Darat 5.2.7. Moda Angkutan Laut . 5.2.8. Perhotelan dan Pariwisata 5.3. Sosial 5,3.1. Air Bersih 5.3.2. Pendidikan
138 138 138 139 140
147
t4t I4L 142 L44
t44 L44 745 II
5.3.3. Kesehatan 5.3.3.1. Rumah Sakit dan Puskesmas 5.3.3.2. Aootik dan Industri Farmasi ..... 5.3.4. Permukiman
748 748 749 151
DAFTAR TABEL
I,
GEOGRAFI
Tabel Tabel
Tabel
II.
01 02 03
Indonesia Tahun 2003 : Aspek Demografi dan Pembagian Daerah Administrasi Indonesia Tahun 2002 : Penggunaan Lahan Menurut Provinsi Tahun 20Az
5 6
Lq
DEMOGRAFI
Tabel Tabel Tabel Tabel
04 05 06 07
Tabel 0B Tabel 09 Tabel 10
III.
: Luas Daerah dan Pembaqian Daerah Administrasi
Perke.nbangan Jumlah Penduduk Indonesia Per Provinsi Laju Fertumbuhan Penduduk Indonesia Per Provinsi Kepadatan Penduduk Per Provinsi Distribusi Persentase dan Rasio lenis Kelamin Penduduk Tiap Provinsi Terhadap Nasional Menurut Provinsi Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Dan Tingkat Pengangguran Per Provinsi Perkembangan Jumlah Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapanllan Usaha Per Provinsi ..... Struktur Jumlah Penduduk Yang Bekerja Dan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Per Provinsi (persen)
22 24 25 27 28 29
30
EKONOMI
Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14
Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Per Provinsi (juta rupiah) Komposisi Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berf aku Menurut Lapangan Usaha Per Provinsi (persen) ..... .. Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Per Provinsi (persen) ..... .. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 Migas dan Non Migas Per Provinsi (juta rupiah)
iii -
50 57
64
7I I
Tabel 15
Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22 Tabel 23 Tabel 24 Tabel 25
Tabel 26 Tabel 27
Tabel 28 Tabel 29 Tabel 30 Tabel 31
Laju Pertumbuhan Rata-rata Tahunan Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Per Provinsi (persen) .... 73 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas Dasar Harqa Berlaku Per Provinsi (rupiah) 74 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Provinsi (rupiah) 75 Rekapitulasi Prakiraan Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Desa Urban (ribu rupiah) Tahun 1999/2000 - 2001 76 Rekapitulasi Prakiraan Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Desa Rural (ribu rupiah) Tahun 1999/2000 - 2001 77 Perkembangan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Daerah Tingkat I Per Provinsi dan Peranannya Terhadap Total Nasional 7B Perkembangan Komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tingkat I dan Tingkat II dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tingkat I Per Provinsi (juta rupiah) . B0 Dana Alokasi Umum (DAU) Provinsi se-Indonesia Tahun 2002 - 2003 Menurut Provinsi ..... 83 Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten/Kota se-Indonesia Tahun 2002 - 2003 Menurut Provinsi ..... 84 Dana Alokasi Umum (DAU) Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia Tahun 2042 - 2003 Menurut Provinsi .... 85 Perkembangan Posisi Kredit Rupiah dan Valuta Asing (A), Dana Simpanan Rupiah dan Valuta Asing (B) dan Posisi Kredit Usaha Kecil Rupiah dan Valuta Asing (C) Yang Ada di Bank Umum Per Provinsi (miliar rupiah) 86 Alokasi Pengeluaran Pembangunan APBN (Rupiah Murni) Per Provinsi Dalam Repelita VI ... 87 Alokasi Pengeluaran Pembangunan APBN (Rupiah Murni) Masing-masing Sektor Pembangunan Per Provinsi (juta rupiah) Tahun 2001-2003 89 Perkembangan Nilai Persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri Per Provinsi (miliar rupiah) 97 Perkembangan Kontribusi Nilai Persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri Per Provinsi (persen) ..... 98 Perkembangan Nilai Persetujuan Penanaman Modal Asing Per Provinsi (juta US$) 99 Perkembangan Kontribusi Persetujuan Penanaman Modal Asing Per Provinsi (persen) 100 lll-z
Tabel Tabel
IV.
32 33
: Perkembangan Nilai Total Ekspor Migas Dan Non Migas (US$) : Perkembangan Nilai Total Impor Migas Dan Non Migas (US$)
Sekorah, Murid dan Guru Pada Sekolah Dasar (SD) Di Bawah Lingkungan Pendidikan Nasional Menurut Provinsi Sekolah, Murid dan Guru Pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Di Bawah Lingkungan Pendidikan Nasional Menurut Provinsi Sekolah, Murid dan Guru Pada Sekolah Menengah Umum (SMU) Di Bawah Lingkungan Pendidikan Nasional Menurut Provinsi Sekok:h, Murid dan Guru Pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Di Bawah Lingkungan Pendidikan Nasional Menurut Provinsi Perguruan Tinggi, Mahasiswa dan Tenaga Edukatif Negeri Dan Swasta Di Bawah Lingkungan Pendidikan Nasionar Menurut Provinsi (persen) Penduciuk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Yang Ditamatkan Per Provinsi Perkembangan Angka Partisipasi Kasar Sekolah Dasar (SD) Per Provinsi (persen) ..., , Perkembangan Angka Partisipasi Kasar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Per Provinsi (persen) ..,. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Yang Ditamatkan Per Provinsi .... Pengeluaran Konsumsi Per Kapita Per Bulan Per Provinsi (rupiah) Indeks Pengeluaran Konsumsi Per Kapita Per Bulan Per Provinsi (Indonesia=100,00) ... Konsumsi Kalori & Protein Per Kaoita Per Hari Per Provinsi .... Perkembangan Rasio Gini Per Provinsi lumlah dan Persentase Penduduk Miskin serta Proporsinya Terhadap lumlah Penduduk Per Provinsi Angka Kematian Bayi Per Provinsi (per 1000 kelahiran hidup) Angka Harapan Hidup Per Provinsi (tahun) -lumlah Rumah Sakit dan Puskesmas Menurut Provinsi Tahun 7997-2042 ....
iii-
116
117
118
119
120 121
723
t24 725
I27 128
t29 130 < a4
1J1 1"32
133
t34 3
Tabel Tabel Tabel
51 52 53
: lumlah Industri Farmasi dan Apotik Per Provinsi Tahun 1998-2002 : Jumlah Klinik Keluarga Berencana Per Provinsi Tahun 1997-2443 : Jumlah Dokter Menurut Provinsi Tahun 1998-2003
135 136 1--
LJI
V. PRASARANA WILAYAH Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
54 55 56 57 58 59
Penjualan Tenaga Listrik Hasil Pembangunan Listrik Perdesaan Per Provinsi Hasil Pembangunan Irigasi Per Provinsi Hasil Pembangunan Jaringan Rawa Per Provinsi Realisasi Penanganan Prasarana Jalan Provinsi Perkembangan Pembangunan Prasarana Telepon
Kapasitas Air Bersih Dan lumlah Penduduk Terlayani Air Bersih Per Provinsi Kegiatan Pelayaran dan Angkutan Laut Antar Pulau Dan Luar Negeri Per Provinsi Kendaraan Bermotor menurut Polda dan jenis Kendaraan Tahun 1998 - 2A02 Per Provinsi Fasilitas Perhotelan dan Akomodasi Yang Tersedia Menurut Provinsi Tingkat Hunian Hotel (Bintang dan Non Bintang) Menurut Provinsi Rata-rata Lama Menginap Tamu Mancanegara dan Domestik Menurut Provinsi
153
754 155 156 L)/
..
159 160
162 163
..
Tabel 68
164 165
Realisasi Pembangunan Perumahan Melalui Perum
Perumnas Tabel 67
158
L66
Realisasi Pembangunan Perumahan Oleh Perum Perumnas Menurut Tipe Rumah ..... Realisasi Pembangunan Perumahan Melalui Kredit Pemilikan Rumah BTN .
767 168
iii-
4
P[[MNG[I|{NDAIRAII DATAI{ANGKA
2004
$El{l
tA$ PEI'I BAll0 l| }llll DAERIH
DESENTRALISASI DI INDONESIA PASCA REVISI UNDANG-UNDANG: APAKAH MENUJU ARAH YANG LEBIH BAIK? Bambang Brodjonegorol Mas Wedar H.Adii'
Pendahuluan
Di akhir penghujung masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri, ada satu peristiwa penting yang sangat berpengaruh terhadap arah desentralisasi di Indonesia, yaitu disetujuinya oleh parlemen revisi UU no 2211999 tentang Pemerintah Daerah dan UU no 25 / 1,999 tentang Hubungan Keuangan Pusat
dan Daerah. Peristiwa itu sendiri tertutup oleh ramainya pemilihan presiden, akan tetapi pentingnya peristiwa itu tidak dapat dipungkiri. Setelah kurang lebih tiga setengah tahun desentralisasi berjalan, masyarakat nasional dan internasional banyak yang memuji pendekatan desentralisasi di Indonesia yang terkenal dengan big-bang approach, sebagai suatu proses yang sukses dan negara kesatuan Republik Indonesia masih utuh. Meskipun demikian, mereka juga mengakui bahwa proses desentralisasi saat ini masrh jauh dari sempurna dan banyak bagian dari proses tersebut yang perlu dibenahi. Perbaikan yang rnendasar sebaiknya dimulai dengan revisi UU no 22 I 1999 dan UU no 25
I
1999
itu sendiri
karena kedua
UU tersebut merupakan blue print dan white paper dari
desentralisasi di Indonesia. Usaha untuk merevisi kedua undang-undang tersebut telah dilakukan sejak sekitar dua tahun yang lalu, dan pemerintah pusat telah menghasilkan beberapa dokumen. Meskipun demikian telah terjadi ketegangan politik yang mengikuti proses revisi telah sempat menginterupsi dan menghentikan proses revisi tersebut. Ketegangan politik tersebut berasal dari asosiasi pemerintah daerah yang menuduh pemerintah pusat telah berupaya untuk meresentralisasi kewenangan pemerintahan dengan cara tidak melibatkan pemerintah daerah berpartisipasi dalam upaya revisi undang-undang tersebut. Ketegangan juga timbul dari para penulis versi awal UU na 2211999 yang menyatakan bahwa ketidaksempurnaan proses desentralisasi saat ini disebabkan karena ketidakmampuan Departemen Dalam Negeri dalam mengirnplementasi undang-undang tersebut melalui peraturan pemerintah yang terkait. Secara umum perlu diakui bahwa terlepas dari suksesnya proses desentralisasi , masih banyak terdapat celah besar yang berpotensi membingungkan dan menimbulkan konflik arrtara pemerintah daerah vs pemerintah pusat dan kadang-kadang antar pemerintah daerah sendiri. Fokus utama dari revisi kemudian adalah untuk menutup celah tersebut, khususnya yang berkaitan dengan praktek pemerintahan daerah dan keadilan antar pemerintah daerah sendiri.
Agak mengejutkan bahwa upaya untuk merevisi undang-undang tersebut di akhir pemerintahan Megawati berjalan sukses di tengah keluhan pemerintah daerah mengenai rasa sentimen resentralisasi. Awalnya banyak yang berpikiran, hanya UU no 2211999 yang memuat aspek politik dan administrasi desentralisas yang akan disetujui oleh parlemen, akan tetapi akhirnya revisi UU no 25 / 1999 pun juga disetujui parlemen. Kombinasi kedua undang-undang baru tersebut akan memberikan arah baru desentralisasi di bidang politik, administrasi, fiskal dan ekonomi. Artikel ini I 2
Penulis adalah Kepala Program Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Staf Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, Bappenas
Desentralisasi Indonesia Pasea revisi Undang-Undang
IV -
1
:s,*iUi"n
-r
o""n1,
mencoba mengkaji revisi kedua undang-undang tersebut dengan membandingkan dengan versi awal dan kemungkinan impak di masa datang dari desentralisasi di Indonesia. Meskipun aspek politik dan administrasi dari desentralisasi merupakan hal yang penting, akan tetapi penekanan lebih diarahkan ke aspek fiskal dan secara implisit aspek ekonomi dari desentralisasi.
GarqElran dan Proses DesentBlisasi Fiskal Sejak jatuhnya perekonomian nasional, Indonesia telah menghadapi sejumlah krisis yang dipicu oleh
kerusuhan aksi mahasiswa yang memaksa Suharto turun di bulan Mei 1998. Kebanyakan krisiskrisis tersebut mencerminkan hubungan antara demokrasi dan desentralisasi. Indonesia dipaksa untuk melepas kontrol atas Timor Timur, konflik antar beragama di Maluku yang berubah menjadi konflik berdarah, serta ketidakpuasan yang berkepanjangan dari sebagian masyarakat Aceh atas bagi hasil sumberdaya alam juga telah berubah menjadi konflik senjata dan tuntutan kemerdekaan. Gerakan separatis juga terjadi di Papua yang mana disemangati oleh keberhasilan Timor Timur (Ford dan Brodjonegoro, 2004).
Wakil Presiden Habibie yang menggantikan Suharto, mendapat tekanan besar dari dalam untuk mereformasi hubungan fiskal antar pemerintah sebagai bagian penting dari keseluruhan reformasi politik yang diminta oleh kelompok oposan. Dua undang-undang dasar secara tergesa-gesa dirancang di bulan April 1999 dan sebulan kemudian ditandatangani Habibie. Kegagalan Habibie dalam pemilu sebulan kemudian yang selanjutnya digantikan oleh Abdurrahman Wahid, telah diikuti oleh kritik yang tajam atas proses penyusunan undang-undang. Pemerintahan yang baru secara sadar menyatakan tidak akan ada bagian dari negara ini yang akan berpisah lagi. Untuk itu mereka perlu mengantisipasi beberapa isu penting yang berkaitan dengan implementasi undang-undang tersebut. Isu tersebut sebagai akibat upaya yang tergesa-gesa dalam menyusun undang-undang tersebut dalam upaya memenuhi target politik jangka pendek. Isu terebut antara lain: kurang jelasnya prioritas dan tujuan dari reformasi politik, fiskal dan administrasi hubungan antar pemerintah; tidak jelasnya tugas pokok dan fungsi antara tingkat pemerintahan; kurangnya analisis untuk menentukan jumlah yang memadai dari dana yang akan ditransfer ke daerah agar fungsi - fungsi penting pemerintah daerah bedalan; kurangnya desentralisasi sumberdaya keuangan daeruh; kurangnya koordinasi antara departemen kunci (dalam hal ini Departemen Dalam Negeri yang bertanggunjawab atas desentralisasi politik dan administrasi, dan Departemerl Keuangan yang bertanggungjawab atas hubungan keuangan pusat-daerah); kurangnya perhatian terhadap isu transisi yaitu transfer tanggungjawab dan sumberdaya manusia; kurangnya kapasitas baik pemerintah pusat maupun daerah terhadap peran mereka yang baru; kurangnya monitoring untuk melihat apakah proses desentralisasi telah berjalan dengan benar atau tidak (Ford and Brodjonegoro, 2004). Undang-undang yang mengusulkan reorganisasi hubungan antar pemerintah di Indonesia dituangkan ke dalam dua paket yaitu UU no 2211999 dan UU no 25 / 1999. UU no 22 / 1999 dirancang untuk merestrukturisasi susunan politik dan organisasi dari sistem pemerintahan daerah dan hubungannya dengan pemerintah pusat. Gambaran utama mencakup otonomi yang lebih besar di pemerintah daerah (kabupaten dan kota) dengan cara menghapus hubungan hirarki dengan propinsi. Pemerintah kabupaten/kota hanya melapor kepada dewan yang dipilih secara lokal bukan lagi ke gubemur propinsi. Sementara pemerintah propinsi tetap melapor kepada pemerintah pusat. Disamping itu, unit dekonsentrasi dari departemen pusat, kecuali untuk departemen yang memiliki urusan bersifat nasional, ditransfer kebawah kontrol propinsi. Urusan atau kewenangan yang tetap menjadi
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi Undang-Undang
IV -
2
tanggungjawap nasional adalah, pertahanan dan keamanan, luar negeri, keuangan dan hskal, hukum dan agama..
UU no 25/ 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memfokuskan kepada hubungan fiskal antar pemerintah. Ada empat kategori pendapatan pemerintah daerah yang didefinisikan yaitu: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan Sumber Lainnya. Perubahan yang paling penting dikaitkan dengan penetapan dana perimbangan. Perubahan ini timbul dengan diperkenalkannya bagi hasil sumberdaya alam dan reorganisasi sistem transfer. Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Bantuan Pembangunan Daerah (INPRES Blok) telah digabungkan menjadi Dana Alokasi Umum, yang mana total dari alokasi ini ditetapkan 25 persen dari penerimaan domestik pemerintah pusat. Dari sudut pandang politik, mungkin perubahan yang paling signifikan adalah berkaitan dengan bagi hasil sumber daya alam. Seperti yang disebutkan secara implisit, persiapan kedua undang-undang tersebut yang kemudian
diikuti dengan implementasinya dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat. Persiapan kedua undang-undang hanya memakan waktu kurang lebih 4 bulan, sedangkan implementasinya diterapkan satu setengah tahun kemudian setelah diratifikasi. Satu setengah tahun sudah jelas bukan waktu yang cukup untuk mempersiapkan regulasi yang dapat membuat implementasi berjalan lancar. Sebagai hasilnya, disamping keberhasilan yang sedikit, pemerintah menyadari bahwa perbaikan kedua undang-undang dan persiapan dari regulasi yang dibutuhkan merupakan prioritas utama. Sebenarnya sudah ada usaha untuk mengamandemenkan kedua undang-undang tersebut selama tiga tahun terakhir akan tetapr gagal dikarenakan kurangnya dukungan dari pemerintah pusat dan juga kebanyakan pemerintah tlaerah menentangnya. Banyak sudah peraturan pemerintah dikeluarkan akan tetapi masih dirasakan kurang memperlancar implementasi kedua undang-undang tersebut. Akhimya di ujung era kepresidenan Megawati Soekarnoputri, amandemen kedua undang-undang berjalan lancar dan mendapat dukungan dari parlemen. Revisi UU no 2211999 dan UU no 25 I 1999 sekarang sudah selesai dan siap diimplementasikan dan rnenurut sistem perundang-undangan Indonesia, kedua undang-undang tersebut tidak dapat diamandemen lagi sampai tiga tahun kedepan.
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi Undang-Undang
IV -
3
$ekitas Pembangunan Daerah
Funesi Pemerintah Dag.fah di Era Desentralisasi Dengan penekanan otonomi di pemerintah daerah (kabupaten/kota), hampir semua kewenangan diserahkan pada tingkat pemerintahan tersebut dan sebagai akibatnya terjadi pergeseran Uetanja pemerintah dari yang semula sangat tersentralisasi (didominasi oleh budget pusat atau ApBN) menjadi belanja yang terdesentralisasi (secara proposional mulai diimbangi oleh budget daerah atau APBD). Versi awal UU no 2211999 menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki sebelas kewenangan wajib untuk jasa publik seperti pendidikan, kesehatan, prasarana, investasi, lingkungan dan sebagainya. Meskipun demikian pernyataan tersebut jauh dari jelas dikarenakan tidak- adanya penjelasan yang baik mengenai distribusi kewenangan tersebut antara pemerintah pusat, pemerintah
propinsi dan pemerintah kabupaten. Sebagai contoh, pemerintah kabupatenlkota memiliki tanggungiawab atas penyediaan pendidikan yang baik dan berkualitas untuk masyarakatnya, tapi disini tidak jelas apakah pemerintah kabupaten/kota bertanggungiawab hanya untuk pendidikan dasar ( SD dan Menengah) atau juga mencakup pendidikan tinggi dan perguruan tinggi. Di pendidikan dasar sendiri, kebingungan juga terjadi ketika diketahui bahwa pemerintah pusat memiliki banyak program yang ekstensif di pendidikan dasar yang dibiayai oleh APBN. Meskipun baik versi asli maupun revisi UU no 2211999 secara eksplisit menyatakan bahwa pemerintah pusat hanya akan bertanggungjawab atas isu luar negeri, pertahanan dan keamanan nasional, sistem hukum, agama, moneter dan fiskal, akan tetapi masih ada peran pemerintah pusat dalam memelihara standar dan monitoring dan juga menangani kewenangan yang tidak mau atau tidak bisa dijalankan oleh pemerintah daerah. Dan ini berarti, keberadaan peraturan pemerintah yang mendefinisikan distribusi kewenangan pusat, propinsi dan kabupaten/kota menjadi sangat penting. PP no 25 I 20AA yang mencoba menjelaskan distribusi kewenangan tersebut temyata tidak memenuhi harapan yang diinginkan. PP tersebut hanya rrremuat secara detil daftar kewajiban dari pemerintah pusat dan propinsi dan diasumsikan sisanya akan dikerjakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Pendekatan residual ini tidak dapat memecahkan masalah penyerahan kewenangan ketika disaat pemerintah kabupaten/kota belajar untuk menipraktekan sistem yang terdesentralisasi. Revisi UU no 2211999 mencantumkan daftar kewajiban pemerintah daerah kabupaten/kota yang lebih komprehensif dibandingkan dengan versi aslinya, akan tetapi tetap ada beberapa yang hilang yang dapat menimbulkan dispute. Contoh nyata adalah fungsi wajib pemerintah kabupaten/kota dalam penyediaan jasa publik pendidikan. Di dalam revisi UU tersebut tidak dijelaskan secara detil tingkat pendidikan apayang menjadi tanggungjawab penrerintah kabupaten/kota. Penambahan kata "dasar" di dalam kalimat "penyediaan pendidikan dasar'' akan memberikan arti yang lebih besar dibandingkan dengan apa yang dinyatakan di dalam revisi UU tersebut. Berharap banyak kepada peraturan pemerintah yang rneltyusul dikhawatirkan akan menghasilkan kebingungan yang sama seperti halnya dengan PP no 251 2000. Di tengah kebingungan dan ketidakpastian penyerahan kekuasaan, desentralisasi telah berjalan tiga tahun, dan pcnyerahan riil dari belanja pemerintah semakin baik tercermin dari dari data pengeluaran pemerintah daerah dan pusat (tabel l). Singkatnya di tahun 2002, belanja pemerintah kabupaten/kota mencakup sepertiga dari total belanja pemerintah dan setengah dari belanja pembangunan. Gambaran ini juga menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang relatif terdesentralisasi dibandingkan dengan negara-negara di Asia Timur dan bahkan negara-negara OECD. Di samping itu sekitar tiga perempat pegawai negeri di Indonesia berada di bawair pemerintah daerah.
Desenh'alisasi Indonesia Pasca revisi
Undang-undong
IV -
4
Sekilas Pembangunan Daerah
Tabel
I. Belanja Daerah di Indonesia,
Indikator Belan a daerah / Belania pusat Belan a daerah lTotal Belania Belan a daerah / PDB
Belanja Pembangunan Daerah
I
Belanja
2001
-
2003
2001
2002
35.80% 27.31% 6.14% 72.28%
47.19%;o
2003 37.73%
34.21% 7.07% 94.98%
26.50% 4.93% 6s.77%
11.54% 8.80%
17.41%
16.88%
12.620/o
il.86%
t38%
2.6t%
2.21%
pembangunan pusat
Belania Pembangunan Daerah / Belania pusat Belania Pembangunan Daerah i Total Belania Belania Pembansunan Daerah / PDB
Untuk membiayai pengeluarannya, pemerintah daerah menurut UU no 2511999 dan UU no 34/2000 (tentang pajak dan retribusi daerah) memiliki dua sumber utama penerimaan yaitu transfer dari pemerintah pusat dan pendapatan asli daerah (PAD). Di samping itu apabila ada keadaan dimana anggaran defisit terjadi, maka pemerintah daerah dapat menggunakan sisa saldo tahun anggaran sebelumnya, penerimaan dari aset pemerintah daerah, cadangan daerah atau mengeluarkan obligasi daerah. Transfbr dari pemerintah pusat terdiri atas komponen Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Penerimaan Sumberdaya Alam. Rincian dari transfer pemerintah pusat akan dijelaskan di seksi berikutnya. Pemerintah Propinsi menerima sumber pajak dan retribusi yang relatif lebih menguntungkan ketimbang pemerintah kabupaten/kota melalui pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar dan pajak pengambilan air tanah. Meskipun demikian pemerintah propinsi tidak menerima seluruh penerimaan dari pajak tersebut karena harus dibagikan kepada pemerintah kabupaten/kota di daerahnya. Untuk PKB dan BBNKB hanya 30o/o dari total penerimaan yang dipegang oleh pemerintah propinsi sisanya didistribusikan ke kabupaten/kota di daerahnya. Aturan distribusi bagi hasil tersebut ditentukan oleh pemerintah propinsi dan bervariasi antar propinsi dan ditetapkan di peraturan daerah. Untuk pajak bahan bakar kendaraart bermotor pemerintah propinsi hanya memegang lUo/o dan sisanya didistribusikan ke selurr"rh kabupaten di daerah tersebut. Pemerintah kabupaten dan kota memiliki hak untuk tujuh jenis pajak daerah: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak iklan, pajak lampu jalan, pajak penggalian dan pajak parkir. Di samping itu, pemerintah kabupaten dan kota juga memiliki hak untuk memungut retribusi atas beberapa jasa publik yang diberikan pemerintah daerah seperti retribusi ijin nrendirikan bangunan, retribusi jaringan pipa, dan retribusi pemungutan sampah.
Meskipun baik pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota telah memiliki kewenangan yang lebih atas beragam pajak dan retribusi daerah, cukup nyata bahwa banyak sumber pajak yang lebih signifikan yang masih dikelola pemerintah pusat seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak bumi dan bangunan. Secara umum, kemampuan sumber pajak daerah di Indonesia bisa dianggap lemah dikarenakan tidak adanya sumber pajak yang signifikan tadi yang diserahkan ke daerah. Sistem desentralisasi fiskal yang sekarang setelah revisi UU no 25/1999 masih lebih menekankan kepada bagi hasil pajak bangunan dan tanah, pajak ganti 4ama tanah, dan pajak penghasilan. Meskipun pemerintah daerah menerima jumlah yang pasti dari setiap masing-masing pajak, akan tetapi pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan dalam me4otppkan dasar pajak dan
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi Undang-Ilndang
IV -
5
Sekilas Pembangunan Daerah
tingkat pajaknya. Lebih lanjut lagi, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang sedikit untuk memberikan insentif fiskal terhadap investor lokal-
Otonomi Daerah dan Perdagangan antar Daerah lsu mengenai desentralisasi dan otonomi daerah tetah berkembang sejak tama. lsu ini berkaitan erat
dengan terpusatnya sumber-sumber penerimaan pemerintah di tangan pemerintah pusat sementara
pemerintah daerah sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah pusat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan petayanan masyarakat yang menjadi wewenangnya. Dibertakukannya UU No Z7/1999 dan UU No 25/1999 mengenai Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pusat
dan Daerah membawa perubahan yang sangat mendasar bagi hubungan baru antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sekatigus pada tersedianya dan kuatitas petayanan masyarakat di daerah. Namun demikian UU tersebut sekaligus telah menimbutkan beberapa isu antara (ain masatah
ketimpangan fiskat antardaerah, arogansi kedaerahan, hubungan antarpemerintah (vertikal dan horizontat), kemampuan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan juga pertunya kerjasama antardaerah dalam menangani isu atau masatah bersama. Penetitian yang ditakukan oteh
PERSEPSI
DAEMH menunjukan bahwa permasatahan perdagangan antar daerah cukup kompLeks. Masingmasing daerah bertomba-tomba mengetuarkan peraturan daerah dengan tujuan meningkatkan pendapatan asti daerah. Sepanjang periode 1980-1990an perdagangan daerah terutama di perdesaan
menjadi obyek pungutan dan pajak yang bertebihanl. Mengingat perdesaan umumnya didominasi oteh kegiatan yang bersifat ekstraktif seperti pertanian, perikanan, pertambangan dan juga industri
kecil dan rumah tangga, maka bisa dikatakan sektor-sektor tersebut menjadi obyek pungutan dan regutasi yang mendistorsi mekanisme pasar. Akibatnya, insentif bagi petani, netayan, rumah tangga mengalami penurunan. Proporsi harga yang diterima mereka jauh tebih kecit dibandingkan dengan harga yang berlaku di pasar. Dengan kata lain nitai tukar hasit kerja petani, nelayan dan rumah tangga semakin mengecit dibandingkan dengan nilai tukar barang industri dan jasa. Di beberapa daerah, keadaan ini diperparah juga dengan beberapa kebijakan nasional dan regional yang bersifat mendistorsi pasar seperti pembentukan Sadan Penyangga Produsen Cengkeh (BPPC), pengaturan kuota sapi potong antar daerah dan sebagainya. Sebetum era otonomi daerah, di daerah telah terdapat berbagai jenis pungutan daerah. Di tingkat
propinsi terdapat 6 jenis pajak dan 58 jenis retribusi. Di tingkat kabupaten/kota terdapat 36 jenis pajak dan 134 jenis retribusi. Dari keseluruhan retribusi, rata-rata di setiap propinsi dibertakukan 20
jenis dan di kabupaten/ kota dibertakukan tebih dari 50 jenis. Di samping itu juga terdapat apa yang disebut sebagai Sumbangan Pihak Ketiga yang tidak jelas dasar dan manfaatnya yang penetapannya seringkati metatui Surat Keputusan atau Surat Edaran kepata daerah. Banyaknya
pungutan pajak dan retribusi daerah mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menurunkan pendapatan petani karena beban pungutan tersebut umumnya digeserkan kepada petani.
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi
Undang-undang
IV -
6
Sekilas Pembangunan Daerah
Sehubungan dengan kondisi tersebut, pemerintah mengeluarkan regutasi mengenai perpajakan dan
retribusi daerah datam bentuk undang-undang no 18/1997, Inpres no 1 dan no 2 tahun
1998,
no21/ 1998, Surat Menperindag no 44(MPPlll1998 serta lnmendagri no 9 dan 10 /
1998.
Keppres
Kesemua regulasi tersebut bertujuan menderegulasikan perdagangan antar daerah. Kedua Instruksi
Menteri Datam Negeri yang terakhir mencabut 19 jenis pajak daerah dan 54 jenis retribusi daerah yang sebagian besar menyangkut perdagangan produk hasit pertanian. Setama ini perdagangan hasil
pertanian merupakan sasaran pemerintah daerah oleh karena pembatasan datam penarikan pajak
tainl). Setanjutnya pajak daerah digantikan dengan pajak bahan bakar yang
penghitungannya
ditakukan di tingkat propinsi untuk kemudian dibagihasilkan ke kabupaten/kota di witayah propinsi te15ebut.
UU no 18/1997 membawa dampak positif bagi sektor pertanian. Studi yang dilakukan SMERU Persepsi Daerah menunjukan bahwa pendapatan petani meningkat sebesar 12%. Namun demikian
ini bagi pemerintah daerah dianggap tidak poputer karena bertentangan dengan semangat otonomi daerah disebabkan menyamaratakan jenis pajak dan retribusi yang boteh undang-undang
dipungut pemerintah daerah. Desakan dari daerah akan keletuasaan yang tebih datam pengelolaan pajak dan retribusi daerah
serta masuknya era otonomi daerah menyebabkan pemerintah setanjutnya merevisi UU no 18 dengan mengetuarkan UU
no 34 tahun 2000. UU baru ini memberikan keleluasaan dan
/
1997
kewenangan
yang tebih besar kepada daerah untuk menetapkan pajak baru melalui peraturan daerah. UU ini juga memberikan kriteria retribusi yang dapat diterapkan oleh pemerintah daerah yang terdiri atas tiga kategori yaitu!
(a)
retribusi jasa pubtik
(b)
retribusi jasa bisnis
(c)
retribusi perijinan khusus
Untuk mengantisipasi adanya pajak dan retribusi daerah yang tidak relevan, maka di datam
UU
tersebut menetapkan bahwa pemerintah daerah harus metaporkan kepada pemerintah pusat tentang pajak dan retribusi daerah yang diterbitkan untuk dinitai. Bita perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan UU maka perda tersebut dapat dibatatkan.
Efektivitas dari pengawasan pemerintah pusat ini masih harus diuji, mengingat banyaknya perda dan
kabupaten/kota serta propinsi yang harus dipantau. Disamping
itu
keterbatasan sumberdaya di
pemerintah pusat juga membatasi pengawasan pelaksanaan perda tersebut.
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi
Undang-Undang IV
Sekilas Pembangunan Daerah
Dalam keadaan tersebut bukan tidak mungkin, UU no 34 tahun 2000 tersebut memberikan petuang bagi daerah untuk mengetuarkan perda yang dapat mendistorsi perdagangan antar daerah- Tabel berikut memberikan gambaran perda di beberapa daerah yang diketuarkan pada era otonomi daerah. Beberapa Peraturan yang Menghambat Perdagangan Antar Daerah
Pajak daerah
Perda Kabupaten Flores Perda no 2 tahun 2000
Timur
Sumbangan wajib
Hasil bumi, hutan, laut, industri, hewan dan hasil alam lainnya Hasil pertanian, peternakan, perikanan, hasil laut, hutat dan industri
Pemerintah propinsi Lampung Perda no 6 tahun 2000
Retribusi periiinan
Komoditas keluar dari Lampung
Kabupaten Pasaman
Retribusi asal komidilas
Komoditas masuk dan keluar Kabupaten Pasaman
Perdano2 tahun 2001
-
bertentangan dengan prinsipfree intemal trade Mengakibatkan ekonomi biaya tinggi sumbangan yang ditetapkan lebih bersifat pajak karena bersifat wajib Tidak sesuai dengan UU no 34/2000 Mengakibatkan hambatan terhadap perdagangan antar daerah Mengakibatkan ekonomi biaya trnggi
bertentangan dengan {ilosofi reteribusi km tidak memberikan .jasa melanggar free intemal trade mengakibatkan pungutan berganda Mengakibatkan ekonomi biaya tinqqi
Sumber: htlp:,t,/ttvtr.scrx'itias.c'om uritlt+!g-!JL4!!!-q!,!L:L:t!4rtltU. l9 Februari 2003
Dari analisis atas beberapa perda dapat disimputkan bahwa umumnya perda-perda tentang pungutan daerah atas komoditas
yang diperdagangkan
di
daerah mengakibatkan adanya hambatan perdagangan dan arus komoditas antar daerah. Perda
tersebut juga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi yang kemudian pada gitirannya meningkatkan harga juat komoditi. Dengan harga juat komoditi yang tinggi maka akan mengurangi daya saing komoditas sejenis dari daerah tersebut. Datam skata yang
tebih tuas, pungutan tersebut mengakibatkan berkurangnya daya saing secara nasional sehingga ada kemungkinan komoditas
tersebut tidak dapat menembus pasaran internasional dan kita tidak dapat bersaing di dunia internasionat. Pungutan disamping mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, juga mengakibatkan daerah tersebut kurang menarik bagi investor untuk
di daerah tersebut. Akibatnya tapangan pekerjaan tidak tercipta. Selanjutnya pungutan juga akan membebankan petani (dimana ketompok ini umumnya kelompok berpendapatan rendah) apabita komoditas yang dikenakan adatah hasit berusaha
pertanian. Umumnya pedagang pengumpul akan membebankan beban pungutan tersebut kepada petani dengan cara menekan harga juat hasit pertanian. Kondisi ini bita berlarut-tarut akan menurunkan kesejahteraan ketompok petani. Dan akhirnya upaya
pengentasan kemiskinan dapat terhambat.
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi lJndang-Llndang
IV -
8
Sekilas Pembangunan Daerah
Sebagaimana diperkirakan, total penerimaan asli daerah (PAD) secara relatif tidak signifikan jika dibandingkan dengan penerimailn pajak pusat. Di 2003 misalnya, penerimaan total PAD hanya mencapai 6o/o dari total penerimaan domestik ( penerimaan pajak dan penerimaan lainnya) di dalam APBN. Di tahun 2002 gambaran yang terjadi bahkan lebih rendah. Kondisi ini menggambarkan bahwa kekuasaan daerah dalam pengelolaan pajak tidak menjadi lebih kuat dan trennya mungkin akan berlanjut sampai tiga tahun ke depan setelah revisi UU no 25/1999. Banyak pengamat yang berkesimpulan bahwa desentralisasi di Indonesia lebih ke arah desentralisasi pengeluaran, yang mana sebagian besar didanai oleh transfer dari pemerintah pusat ke daerah disertai sedikit kekuasaan dalam pengelolaan pajak daerah. Meskipun ini bukanlah gambaran yang salah dan merupakan salah satu jenis dari desentralisasi, banyak pengamat percaya bahwa desentralisasi yang benar seharusnya juga mencakup desentralisasi sumber penerimtaan dengan memberikan kekuasaan yang lebih dalam pengelolaan pajak kepada pemerintah daerah. Upaya untuk memperkuat kekuasaan pemerintah daerah dalam pengelolaan pajak melalui pemberian kewenangan dalam pengelolaan pajak bumi dan bangunan ternyata gagal disebabkan karena adanya keengganan dari kantor pajak pusat. Table 2. Penerimaan Pemerinlah Daerah di Indonesia, 2001
Dengan semua kewenangan yang telah diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota, peranan pemerintah propinsi menjadi terbatas kepada jasa yang tidak dapat disediakan oleh pemerintah/kota atau penanganan isu yang bersifat lintas kabupaten/kota. Pemerintah propinsi juga bertanggungfawab untuk menjamin kerjasama dan koordinasi antar kabupaten I kota berjalan lancar. Dari sudut pandang penrerintah pusat, pemerintah propinsi mempunyai peran sebagai perwakilan pemerintah pusat di d:rerah. Kewenangan yang tidak jelas bagi pemerintah propinsi masih merupakan salah satu kelemahan dari skema desentralisasi di Indonesia. Revisi UU no 22/1999 gagal untuk memperbaiki kelemahan ini meskipun daftar kewenangan pemerintah propinsi sudah disebutkan di dalam UU no 3212004 tersebut. Di dalam undang-undang tersebut tidak dijelaskan secara detail pembagian tugas antara pemerintah propinsi dan kabupaten/kota untuk kewenangan di bidang yang sama dan akan menjadi peftanyaan di kemudian hari apabila tidak dipecahkan melalui peraturan pemerintah. Satu hal yang hilang dalam revisi undang-undang tersebut, adalah hubungan antara gubernur propinsi dan kepala daerah kabupaten/kota. Selama tiga tahun pertama implementasi desentralisasi, banyak kasus dimana kepala daerah kabupaten I kota mengabaikan peranan gubernur dan melewati mereka clengan berkomunikasi langsung dengan pemerintah pusat. Sementara pembagian tanggungjawab urusan antara pemerintah propinsi dan kabupaten tidak jelas di dalam UU no 32/2004, ada hal yang menarik untuk diperhatikan berkaitan dengan penyerahan sumber keuangan kepada pemerintah propinsi. Di versi UU no 2511999, pemerintah propinsi menerima l0%o
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi {)ndang-L/ndang
IV
Sekilas Pembangunan Daerah
dari total alokasi DAU dan sisanya diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota. Banyak yang bertanya tentang proporsi pembagian DAU ini karena tidak ada penjelasan yang baik tentang alasan mengapa pemerintah kabupaten menerima 9 kali lebih tinggi dari pemerintah propinsi. Selama tiga tahun pertama desentralisasi beberapa survey dan pengamatan menunjukan bahwa proporsi tersebut cenderung menguntungkan propinsi yang sudah tidak memiliki banyak kewenangan. UU no 33DA04 berusaha merevisi proporsi tersebut dengan menyatakan bahwa pemerintah propinsi akan menerima DAU yang sesuai dengan fungsi dan tugas dasarnya. Meskipun demikian masih jadi pertanyaan bagaimana pemerintah menentukan proporsi yang "benaC' berdasarkan pembagian tanggungiawab antaru pemerintah propinsi dan kabupaten/kota. Prediksi awal adalah dengan cara pemerintah pusat akan memperhatikan proporsi belanja aktual pemerintah propinsi dan belanja aktual pemerintah kabupaten/kota dalam menentukan alokasi DAU-
Kesenianean antar Daerah dan Transfer Keuangan antar Pemerintah Salah satu alasan utama mengapa desentralisasi menjadi kebutuhan dalam integrasi lndonesia adalah adanya kesenjangan antar daerah yang akut yang tidak menunjukan perbaikan yang signifikan dalam waktu yang lama. Secara umum kesenjangan dapat dilihat antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur lndonesia. Banyak pengamat yang menyatakan kesenjangan yang serius adalah antara Jawa dan luar Jawa. Di tingkat yang paling ekstrim adalah antara Jakarta dengan propinsi di luar Jakarta. Salah satu penyebab utama dari kesenjangan yang parah ini adalah kuatnya sentralisasi di
masa
lalu,
oleh karenanya terjadi ketidakseimbangan hubungan keuangan antar pusat
daerah.
Daerah-daerah yang dirugikan oleh hubungan keuangan yang jelek ini adalah daerah-daerah yang kaya akan sumberdaya. Daerah-daerah ini menjadi daerah miskin bahkan termasuk salah satu dari daerah termiskin di Indonesia. Sebelum desentralisasi fiskal, semua daerah di Indonesia tergantung kepada alokasi dari pemerintah pusat dalam bentuk subsidi daerah otonom (untuk kebutuhan belanja rutin daerah) dan bantuan pembangunan daerah. Akibatnya tidak ada perbedaan antara daerah yang kaya dengan daerah miskin. Dalam kenyataannya sistem tersebut cenderung menguntungkan daerah yang padat penduduk seperti Jawa, sehingga tidak mengherankan pemerintah pusat condong ke Jawa. Dengan skema seperti ini jelas terlihat pemerintah pusat mengontrol hampir semua pengeluaran pemerintah daerah. Keuangan daerah dapat dikatakan tidak berarti ketika pemerintah propinsi dan kabupatenlkota hanya memiliki kewenangan untuk mengontrol belanja mereka melalui bantuan blok yang terbatas (terutama di akhir masa sentralisasi) serta PAD yang tidak signifikan seperti yang sudah dijelaskan di depan. Table
3.
Kesenjangan Keuangan Daerah di Indonesia (dalam bentuk koefisien variasi), 2001
Variable
2002
2003
Paiak dan retribusi daerah per kapita Pendapatan daerah per kapita
2.46
1.99
3.62
0.96
Belan a daerah per kapita Belan a rutin daerah per kapita Belan a pembangunan daerah per kapita
r.t7
t.t7
0.77 0.44 0.85
0.34
0.38
0.35
1.57
1.59
1.20
2001
De se nt ral i s as i I ndones i a P asca rev i s i U ndang- u ndang
-
2003
IV-IO
Sekilas Pembangunan Daerah
Adanya UU no 2511999 merubah gambaran keseluruhan dari hubungan fiskal antara pusat dan daerah dan khususnya di bidang keuangan daerah. Untuk mendanai otoritas yang sudah diserahkan ke daerah, pemerintah daerah menerima beberapa jenis transfer dari pemerintah pusat yaitu DAU, DAK dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. Ketika desentralisasi fiskal di Indonesia didominasi oleh transfer, maka DAU meniadi pusat perhatian karena dominasinya di dalam penerimaan pemerintah daerah. Penerimaan dari bagi hasil pajak dan non pajak serta DAK tidak terlalu memberikan kontribusi yang besar keouali untuk beberapa daerah yang kaya akan sumberdaya alam atau yang perekonomiannya maju.Besarnnya ketergantungan kepada transfer dari pusat mengakibatkan PAD daerah kurang dari llYo dari total penerimaan pemerintah (kecuali untuk daerah propinsi Jakarta dan kabupaten Badung).
DAU adalah salah satu bentuk transfer antara pemerintah pusat ke daerah yang mencoba untuk memenuhi ketidakseimbangan fiskal baik secara horisontal maupun vertikal. Konsekuensi logisnya adalah DAU diharapkan dapat membiayai hampir semua kewenangan yang sudah dilimpahkan ke daerah. Selain itu juga untuk mengisi celah antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal daerah. Secara ideal DAU diharapkan dapat memudahkan pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik paling tidak pada tingkat yang standar minimum. Di versi awal UU no 2511999, jumlah total DAU adalah minimum 25o/o dari penerimaan neto domestik pemerintah (Penerimaan total domestik dikurangi bagi hasil) di dalam APBN. Selama tiga tahun pertama implementasi, persentase tersebut telah meningkat sedikit menjadi 25,Soh setelah melalui negosiasi arfiaraparlemen dan pemerintah. Di dalam revisi UU tersebut dinyatakan bahwa persentase tersebut dinaikan menjadi 26% di tahun 2008. Ide untuk menaika:r jumlah total DAU agaknya bertentangan dengan skema baru dari alokasi DAU antar propinsi dan kabupaten seperti yang dijelaskan di depan. Tidak ada alasan yang jelas mengapa DAU harus naik sebanyak 1% dari penerimaan neto domestik. Paling tidak, tidak ada bukti yang menunjukan apakah pemerintah daerah membutuhkan lebih banyak transfer atau sebaliknya apakah mereka memiliki surplus, Sebaliknya distribusi DAU untuk propinsi dan kabupaten akan ditentukan berdasarkan kewenangarl yang sudah diberikan ke kedua pemerintah daerah tersebut.
UU
2511999 jug;a memberikan daftar variabel baru yang dipergunakan dalam penentuan alokasi DAU . Variabel kemiskinan digantikan dengan dua variabel baru yaitu, PDRB per kapita dan
Revisi
Indeks Pengembangan lvlanusia (IPM). Variabel kebutuhan fiskal sekarang terdiri atas jumlah penduduk, luas wilayah, indeks harga konstruksi, PDRB perkapita dan IPM. Variabel kapasitas fiskal masih menggunakan yang lama, terdiri atas bagi hasil dan PAD. Revisi lain yang besar adalah adanya pernyataan yang jelas bahwa formulasi DAU didasarkan kepada konsep fiscal gap yaitu kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskal. Tambahan dari rumus dasar DAU adalah adanya penambahan komponen 1'aitu alokasi dasar sama dengan jumlah gaji pegawai daerah. Terobosan baru dari revisi UU no 2511999 berkaitan dengan DAU adalah dihapuskannya penetapan jumlah yang alokasi minrmum sama dengan tahun sebelunrnya (hold-harmless provision) yang akan dimulai di tahun 2008. Adanya penetapan jumlah mirrimum sama dengan tahun sebelumnya mengakibatkan kinerja DAU tidak berjalan seperti seharusnya khususnya dalam hal memperbaiki ketidakseimbangan fiskat secara horisontal selama tiga tahun pertama desentralisasi. Bagaimanapun juga penghapusan sistenr ini rnasih berkaitan dengan pelctapan alokasi dasar. Pemerintah daerah yang memiliki fiscal gap positif akan menerima DAU lebih dari alokasi dasar. Daerah yang memiliki fiscal gap negatif masih akan menerima DAU sepanjang r:iiai absolut fiscal gap tersebut masih lebih
kecil dari alokasi dasar. Yang paling menarik adalah apabila nilai abosolut dari fiscal gap negatif lebih besar dari alokasi dasar maka daerah tersebut tidak akan menerima DAU sama sekali. Kebijakan penetapan DAU nol merupakan langkah pemerintah pusat yang paling berani ditengah tekanan dan protes yang berdatangan dari daerah yang kaya yang akan terkena efeknya nanti. Meskipun demikian skema ini hanya merupakan pendekatan "second best" untuk menjamin keseimbangan fiskal secara horisontal. Pendekatan "first best" adalah penentuan alokasi DAU berdasarkan formula tanpa adanya kendala alokasi dasar.
Disamping perubahan yang signifikan dari DAU, ada beberapa perubahan lainnya dalam bagi hasil, khususnya bagi hasil sumberdaya alam. Perubahan pertama adalah dengan dimasukannya komponen penerimaan bagi hasil panas bumi sebagai bagian dari bagi hasil sumberdaya alam antara pemerintah pusat dan daerah. Sama halnya seperti pertambangan umum dan hasil hutan, 20o/o dari penerimaan panas bumi akan diterima oleh pemerintah pusat dan sisanya didistribusikan ke daerah kabupaten asal, propinsidan daerah lain di propinsi tersebut. Perubahan kedua adalah penambahan 0.5o/o untuk porsi daerah dari bagi hasil penerimaan migas, penambahan ini selanjutnya digunakan atau dialokasikasikan untuk meningkatkan pendidikan dasar di daerah. Persyaratan ini jelas bertentangan dengan filosofi dari DAU dan bagi hasil dimana
penggunaannya tidak diearmark. Dan pemerintah daerah punya kewenangan penuh untuk penggunaan DAU dan bagi hasil. Tampaknya angka 0,5olo merupakan hasil negosiasi antara parlemen, pemerintah dan pemerintah daerah yang kaya sumberdaya alam.
Tabel4. Skema Bagi Hasil Penerimaan Sumberdaya Alam. (7o) ltem
Pusat
Propinsi
Daerah penghasil SDA
Daerah lain di propinsi yang sama
Semua
pemerintah daerah (Equal Share)
Minvak LNG Pertambangan: Land-rent Pertambangan:
84.5
6.2
6.2
69.5
6.1
12.2
12.2
20
r6
61
0
20
I6
32
JZ
20
16
61
0
20
I6
32
32
20 20
I6
)z
JZ
)a
Rovaltv
Kehutanan: Land-rent Kehutansn: Resources
Provision Perikanan Panas bumi
BO
Untuk skema bagi hasil pajak, secara umum tidak ada yang baru kecuali untuk bagi hasil pajak penghasilan yang dinyatakan secara jelas di UU no 33 I 2004. Di versi asli, bagi hasil pajak belum terlihat dan di tiga tahun pertama implementasi desentralisasi fiskal, bagi hasit pajak penghasilan Desentralisasi Indonesia Pasca revisi Undang-Undang
IV -
12
Sekilas PembangunanDaerah
pada prakteknya didasarkan pada UU perpajakan nasional tahun 2000. Hal lain yang dicermati adalah kegagalan total dari pemerintah pusat untuk menggeser atau menyerahkan pajak bumi dan bangunan (PBB) ke pemerintah daerah. Adanya keengganan yang kuat dari kantor pajak pusat merupakan salah satu alasan utama. Disamping itu juga ada anggapan bahwa pemerintah daerah menolak PBB sebagai bagian dari sumber pajak mereka. Meskipun demikian anggapan ini menjadi pertanyaan karena dengan memiliki kewenangan dalam pengelolaan PBB berarti pemerintah daerah sendiri yang menetapkan tingkat dan dasar pajaknya, tidak melulu hanya mengumpulkan pajaknya saja. Hal ini tampaknya bertentangan dengan kenyataan dimana pemerintah daerah berusaha untuk memperoleh berbagai kewenangan akan tetapi mencoba menolak kewenangan untuk PBB. Tabel 5. Bagi hasil Pujak (dalam %) Item
Pemerintah pusal
Pemerintah Propinsi
Pemerintah
Bioyo
Semuo
kabupaten/kota di pemungutan propinsi yang sama
Pajak
Bumi
16.2
64.8
t6
64
8
t2
9
kabupaten/kota di Indonesia (Eoual Share)
l0
dan
Bangunan
Bea
balik
20
nama tanah Pajak penghasilan rumah tangga
80
Yang terakhir dan tak kalah pentingnya dari komponen transfer adalah dana alokasi khusus (DAK). Berbeda dengan DALI dan bagi hasil, DAK ditransfer oleh pemerintah pusat untuk tujuan khusus, berkaitan dengan kepentingan nasional dan efek spill over antar daerah. Saat ini DAK secara relatif kurang signifikan kontribusi di dalam APBD meski di beberapa daerah DAK tersebut melebihi PADnya, dan hanya mencakup beberapa sektor antara lain pendidikan, kesehatan, prasarana dan reboisasi. Di dalam LIU no 3312004 ketentutan DAK sebagai matching grant dihapus. Pemerintah daerah yang miskin tidak lagi harus menyediakan dana pendamping sebanyak l0o/' lagi. UU tersebut juga secara jelas menyatakan bahwa tidak semua daerah menerima DAK. Prioritas daerah yang mendapat DAK adalah daerah yang mengalami defisiensi fiskal yang serius. Akan tetapi ide DAK dengan pendektrtan bottom up tidak tercermin di dalam UU tersebut, dengan kata lain DAK tetap masih dipandang sebagai bantuan yang bersifat top down approach. Penghapusan keharusan menyediakan dana pendamping juga dapat menimbulkan masalah dimana rasa kepemilikan daerah atas proyek I program yang didanai DAK menjadi berkurang.
Isu hubungan antar pemerintah Seperti yang sudah dijelaskan di depan, pada dasarnya pemerintah pusat hanya memiliki beberapa kewenangan dan juga mengkoordinasikan antar tingkat pemerintah. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat seharusnya secara implisit mencerminkan semangat desentralisasi dan membawa aspirasi daerah. Di versi awal UU no 22/1999, disamping fungsi mandat, pemerintah pusat juga bertanggungjawab terhadap perencanaan nasional dan standarisasi. Di versi UU no 3312004
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi Undang-Undang
IV - l3
,
Sekilaif"-Uang,r*oPautnn"
pernyataan tersebut dihapus dan diganti dengan pernyataan yang lebih cocok dengan kondisi saat ini.
Berkaitan dengan perencanaan nasional, di UU tersebut dinyatakan bahwa perencanaan nasional harus memperhatikan perencanaan daerah dan sebaliknya. Berkaitan dengan isu standarisasi, UU tersebut menyatakan bahwa pemerintah pusat harus secara bertahap mendorong penyusunan standar pelayanan minimum. Penambahan kata "bertahap" sangat penting di sini karena mendorong secara drastis akan mengakibatkan pernerintah daerah mengalami krisis keuangan yang serius, mengingat kemampuan keuangan daerah relatif terbatas dalam menerapkan standar tersebut. Pesan penting yang ingin disampaikan adalah pemerintah pusat dan daerah mengerti bahwa mereka harus bertanggungjawab memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dengan pantas. Tiga tahun implementasi juga membuka masalah lama yang belum terselesaikan antata pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan penyerahan otoritas. Sementara UU no 2211999 memberdayakan pemerintah daerah, ada banyak bagian dari pemerintah pusat yang masih enggan menyerahkan kewenangan mereka ke daerah. Salah satu bentuk nyata masalah ini adalah konflik antara UU desentralisasi dan UU sektoral. Karena masing-masing perundang-undangan tersebut memiliki tingkat yang sama, rnaka akan sulit merevisi UU sektoral tanpa adanya keinginan dari instansi sektor tersebut akibatnya adalah kebingungan di tingkat pelaksana teknis. Bentuk lain dari keengganan pemerintah pusat dalam mentransfer kewenangannya adalah keterlibatan yang intensif dari pemerintah pusat di proyek / program yang sebenarnya sudah merupakan kewenangan daerah. Kasus keterlibatan yang intensif dari Departemen Pendidikan Nasional di masalah pendidikan dasar dan menengah adalah salah satu bentuk contoh isu ini. Seharusnya sudah jelas masalah pendidikan dasar dan menengah adalah keu'enangan pemerintah daerah. Pemerintah pusat seharusnya hanya memonitor dan menjamin pelaksanaan sesuai dengan standar nasional ketimbang menciptakan proyek/program yang menggantikan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah. Apabila ada dana berlebih untuk sektor pendidikan dasar, akan lebih baik bila dana tersebut diserahkan ke pemerintah daerah untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya di sektor tersebut, kecuali kalau isunya sudah bersifat lintas daerah.
Merujuk ke paragraf terdahulu, isu desentralisasi vs dekonsentrasi telah menjadi isu yang penting di Indonesia. Meskipun ada semangat desentralisasi ke pemerintah daerah, Bank Dunia (2003) mengindikasikan bahwa ada pembiayaan ekstra di budget pemerintah pusat (APBN) untuk kegiatankegiatan yang sebenarnya sudah di bawah tanggungjawab pemerintah daerah. Pada prakteknya, untuk proyek-proyek dekonsentrasi, instansi teknis terkait membentuk satu team yang bertugas mengawasi jalannya proyek/program dan tim ini juga melibatkan aparat daerah. Satu hal yang pasti p.oy.k tersebut dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan daerah yang menerima benefit dari proyek tersebut. Akan tetapi proyek tersebut tetap merupakan proyek pusat yang didesain oleh pusat dengan masukan dari daerah. Berkaitan dengan transfer antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, transfer DAU ditujukan untuk nternbiayai sebagian besar belanja rutin dan pegawai sehingga sedikit yang tersisa untuk anggaran pembangunan. Karenanya, sebaiknya dekonsentrasi dikurangi sebanyak mungkin dengan mentransfer proyek - proyek yang bersifat lokal dan merupakan tanggungiawab daerah. Jika isu desentralisasi vs dekonsentrasi sudah dapat dipecahkan, maka lembaga pemerintah pusat akan menjadi lebih laugsing dibandingkan sekarang dengan jumlah kementrian teknis yang iebih sedikit. Kelihatannya ironis sekali jika dari 2 juta pegawai negeri yang dilimpahkan ke daerah di 2001 ternyata kebanyakan tenaga guru SD dan tidak mengubah secara signifikan dari karakteristik pemerintah pusat.
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi Undang-Undang
IV -
14
Sekilas
Pgmban
aef-ah,
Meskipun ada semangat dall komitmen untuk membuat proses desentralisasi berjalan sukses, pemerintah pusat dalarn prakteknya ternyata membuat kebijakan yang tidak mendukung proses iersebut, akan tetapi lebih ke arah menjaga keutuhan negara ini. Di tahun 2002 di tengah-tengah pemerintah masalah internal Aceh dan Papua dan trauma karena kehilangan propinsi Timor-Timur, wilayah kedua pusat memutuskan untuli nrengeluarkan undang-undang otonomi khusus untuk juga iersebut. Undang-undang itu ticiak hanya memberikan perlakuan khusus dari segi politik tapi dari segi transfer keuangan. Tidak seperli daerah penghasil migas lainnya, Aceh dan Papua menerima 70yo dari p"n.ii,rlou,i migas sementara daerah lainnya hanya 30% saja. Tambahan dari DAU. bagi hasil sumberdaya ala,n radi. Papua rnasih menerima tambahan dana sebesar 2o/o dari total Dina tersebut harus dirunakan untuk menyediakan pelayanan publik di bidang kesehatan, pendidikan dan prasarana ciasar. Keputusan ini mungkin menjadi pertanyaan jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, akan tetapi temyata aspek politik lebih mendominasi proses pengambilan l.putrr* tersebut. Kebijakan ini menimbulkan aspirasi atau keinginan dari daerah kaya lain yang tidak mengalami problenr seperri fuau dari Kalimantan Timur. Kedua propinsi tersebut berusaha
untuk meniapatkan perlaliuan ),ang sama seperti Aceh dan Papua, akan tetapi pemerintah pusat tetap ke menyatakan bahwa kebijalian,..r.but hanya untuk Aceh dan Papua dan tidak akan direplikasikan daerah lain. 0,50lo Keluhan dari Riau dan Kalinrantan Timur selanjutnya diakomodasikan melalui penambahan yang dari bagi hasil migas unrlrk daerah perrghasil migas di UU no 3312004. Akan tetapi masalah tahun tiga Selama tersebut. pentinf di sini belurn lerpecalikan yuit, masalah pencairan dana mengelola pelaksanaan, pemerintah claerah 1,ang kaya sumberdaya alam mengalami kesulitan dalam tahun di akhir dicairkan dan baru arus kasnya dikarenakan pencairan dana bagi hasil selalu terlambat fiskal berjalan. pencairarr pelranra baru terjadi setelah melewati semester pertama tahun berjalan, pemerinlah sementara pencairan kedira bnrr.r terjadi di akhir tahun berjalan. Kondisi ini menyulitkan daerah yu.rg p"n"rimaanrrl,a tergi.ultung dari bagi hasil sumberdaya alam ini, sebagai akibatnya selalu terjadi iurplur anggaran yang besar dan ir-ri secara implisit baru dapat digunakan di tahun anggaran yang Ueiitutnya. Efek 1ii,r,ryu'adalah pembayaran yang terlambat kepada kontraktor dan supplier jangka pendek yang bekerja pada proyek-prol'ek penrerintah daerah dan pembayaran pinjarnan digunakan uniuk- m.nd,l,,ai liegiatan-kegiatan sebelum menerima transfer bagi hasil tersebut. pernerintah pusat tarnpalinya lcbih suka dengan skema ini, dikarenakan kesulitan memprediksi demikian penerimaan migas diakibr,tkr,,i ketidakpastian dari harga dan produksi migas. Meskipun iindukun p.*.iintul, yang bcLhati-ha1i atas ketidakpastian penerimaan migas mengakibatkan waktu keterlambatan pencairan clana rlikarenakan prediksi harga dan produksi migas membutuhkan
yang agak lama.
juga melakukan intervensi di Disamping pengelolaan r1csenlraiisasi yang asimetris, pemerintah pusat fiskal dan ekonomi. Di beberapa isu pemer-intah riaerah lihususnyi yang berkaitan
Desentralisosi Indonesia Pa'sca revisi \Jndang-Undang
IV -
15
Sekilas Pembangunan Daerah
efektif tidak diijinkan melakukan pinjaman daerah. peringatan dini untuk medamin keberlanjutan fiskal.
UU no 33/2004 telah menciDtakan sistem
Di bidang ekonomi, pemerintah pusat juga melakukan intervensi dan monitroing melalui bidang promosi investasi di daerah. Baik UU no 32 dan 33 tahun 2004, keduanya secara.lelaas menyatakan bahwa pemerintah daerah diminta tidak menciptakan hambatan perdagangan dan pergerakan barang. jasa dan faktor produksi, Untuk menjamin itu. pemerintah pusat memiliki hak untuk mengevaluasi semua peraturan daerah yang berpotensi menciptakan hambatan. UU ini memberikan waktu 60 hari bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi dan menentukan apakah peraturan daerah sesuai dengan UU atau tidak. Di versi lanta, waktu yang disediakan hanya 30 hari. Meskipun demikian buian berarti keputusan pemerintah pusat itu bersifat final. Pengalaman tiga tahun pertama desentralisasi telah memberikan pelajaran bagi pemerintah pusat, dimana pemerintah daerah dapat mengajukan judicial review ke mahkamah konstitusi dan pemerintah daerah dimenangkan dalam kuru, i'i. Kasus tersebut adalah kewenangan daerah atas pengelolaan pelabuhan dan pengelolaan ladang ntinyak di salah satu kabupaten di Jawa Barat. Akuntabilitas Fiskal dan Politik Pemerintah Daerah Satu perbaikan yang signifikan dalam
UU no 32170A4 tentang pemerintahan daerah adalah adanya pemilihan langsung untuk baik untuk anggota parlemen maupun kepala daerah propinsi dan kabupaten/kota. Ini konsisten dengan apa yang telah terjadi di tingkat nasional dengan adanya pemilihan umum 2004. Dengan skema ini, anggota parlemen daerah dipilih langsung oleh masyarakat di daerah tersebut berbarengan dengan pemilihan anggota parlemen nasional. Awalnya, anggota parlemen Indonesia dipilih secara tidak langsung karena masyarakat melakukan pemilihan partai politiknya. Selanjutnya partai politik memilih anggotnay untuk ditempatkan di tingkat nasional atau daerah. Sama seperti anggota parlemen. gubernur, bupati dan walikota selanjutnya akan dipilih secara langsung berdasarkan UU no 32 I 2004 tersebut. Di masa sebelumnya nasib dari kepala daerah ditentukan oleh parlemen daerah. Parlemen daerah di masa lalu memiliki kewenansan penuh untuk mengangkat dan memecat kepala daerah
.
Skema baru dari pemilihan lokal akan menciptakan arah baru dari desentralisasi
politik di Indorresia masa datang. Sekarang anggota parlemen harus bertanggung jawab terhadap masyarakat pernilihnya bukan lagi ke partai politiknya. Loyalitas mereka seharusnya tidak akan penuh j00% kepada partainya akan tetapi lebih kepada pemilihnya. Jika mereka mengabaikan pemilihnl,a. maka akan ada kemungkinan dia tidak terpilih lagi di pemilihan umum berikutnya. Efek paling nvata dari skema pemilihan langsurrg adalah DPRD tidak lagi menjadi satLr-satunya lernbaga yang memiliki otoritas penuh untuk mengangkat dan memberhentikan kepaia daerah. Peranan DPRD sekarang dibatasi hanya untuk memonitor dan mengontrol eksekutif daerah. DPRD boleh saja mengusulkan "impeachment" kepala daerah tapi harus melalui semua prosedur dar-r persetujuan dari masyarakat. Dengan adanya akuntabilitas dari kepala daerah dan DPRD kepada masyarakat pemilih, maka baik eksekutif maupun legislatif harus berhati dalam membuat kebijakan dan kegiatan yang berkaitan dengan APBD. Di dalam tiga tahun pertama implementasi, sudah merupakan rahasia umum bahwa eksekutif dan legislatif daerah berkolusi dalam penggunaan dana APBD. Cerita tentang penyuapan terhadap anggota DPRD, gaji dan fasilitas yang berlebihan, mismanajemen proyek aOilah merupakan topik umum di media massa. Tetapi mulai di akhir 2003, pilar ketiga dari sistem politik yaitu sistem pengadilan lokal mulai menjalankan fungsi dan wewenangnya. Mereka yang terbukti
di
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi
tIndang-Undans
IV -
1
6
Sekilas Pembangunan Daerah
umumnya adalah anggota DPRD dan kasusnya kebanyakan penyalagunaan dana ApBD. Beberapa kepala daerah yang terkait dengan kasus tersebut juga ikut terbukti bersalah. Secara umum masyarakat memuji tindakan pemerintah ini, dan mereka berharap ini merupakan bagian dari upaya serius penghapusan korupsi di Indonesia. Pemilihan langsung lokal memiliki potensi untuk meningkatkan korupsi , altan tetapi pada waktu yang bersamaan juga mendorong masyarakat untuk mengawasi secara ketat pejabat publik. Istilah budget yang pro rakyat juga akan semakin berkembang nantinya di masa datang, dikarenakan baik pemerintah daerah maupun legislatif daerah bersikap transparan dari awal proses perencanaan dan penganggaran .
Di satu sisi, UU no 32 dan 33 I 2004 dapat dipandang sebagai suatu terobosan dalam mempromosikan konsep "good governance" ( transparansi, akuntabilitas dan parlisipasi). Banyak yang cukup detil di dalam kedua undang-undang tersebut, termasuk di dalamnya persyaratan yang ketat untuk menjadi pejabat publik daerah. Di sisi lain UU no 33 12004 gagal untuk *"ngupuyukun sinkronisasi antara konsep pemilihan langsung dengan penguatan sumber keuangan daeran. Dalam skema demokrasi yang ideal, pejabat publik terpilih harus memiliki akuntabilitas kepada masyarakar pemilihnya. Dalam kondisi sekarang di Indonesia, pejabat tersebut bisa saja merealiiasikan akuntabilitasnya melalui sisi pengeluaran budget daerah. Akan tetapi kondisi ini akan kurang powerful dikarenakan sist pendapatan dari budget daerah didominasi oleh transfer dari pemerintah pusat di samping itu peratran pajak langsung yang bersifat lokal tidak signifikan bagi daeiah. Dalam kasus ini pemerintah daerah masih dapat melempar kesalahannya kepada pemerintah pusat yang memiliki kewenangan daiam memungut pajak langsung atas pajak penghasilan dan pajak properti. Sebagaimana disebutkan di depan, sumber pajak langsung daerah di dalam sistem fiskal daeiah yang ada saat ini hanya ada dua yaitu pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor. Kedua jenis pajak tersebut relatif tidak signifikan terhadap pajak langsung pusat. Kedua pajak tersebut hanya memiliki impak yang terbatas terhadap pemilih lokal karena mereka sebagian beiar tidak memiliki kendaraan bermotor dan kendaraan bermotor belum menjadi prioritas lset bagi mereka. Akan menjadi lain, apabila sumber pajak langsung daerah berupa pajak bumi dan bangunan karena tanah dan bangunan lebih vital dan prioritas bagi aset masyarakat. Dengan adanya pajak bumi dan bangunan bagi daerrah, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan paling tidak dalam menentukan tingkat pajak (tax rate) dan dasar pajaknya (tax base). Kebijakan atas tingkat pajak <1an dasar pajak burni bangunan pastinya akan mempengaruhi pemilih lokal karena mereka memiliki kewajiban untuk membayar pajak tersebut. Dan sebagai pihak yang dipengaruhi kebijakan tersebut. mau tidak mau mereka zrkan lebih mernperhatikan dan mengawasi penggunaan uang hasil pajak tersebut oleh pemerintah 1,ang terpilih. Dengan tidak adanya sumber pajak langsung daerah, khususnya PBB di daerah, pemerintah daerah tidak mempunyai insentif untuk mendorong atau memperkuat PAD mereka. Jumlah PAD yang tidak signifikan dibandingkan dengan dana transfer dari pusat hanya akan memperburuk situasi. Studi yang dilakukan oleh Brodjonegoro dan Martinez (2002) menemukan bahwa ada korelasi yang negatif antara jumlah DAU dan PAD. Di masa tiga tahun pertama implementasi desentralisasi. terdapat peningkatan yang cukup signifikan dari PAD di banyak daerah.. dan pemerintah daerah banyak memperbaiki sistem administrasi PAD mereka. Akan tetapi kondisi ini tidak akan berlanjut apabila kemampuan pajak daerah masih lemah seperti kondisi sekarang. Yang terjadi maiah bertentangan dengan semangat desentralisasi dimana pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi daerah. Kondisi ini pada akhirnya mengakibatkan iklim usaha
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi Undang-(Jndang
IV -
I7
Sekilas Pembangunan Daerah
kondusif. Pasal di UU no 3412000 tentang pajak dan retribusi daerah rxc:lungkin pemerintah daerah untuk menerapkan pajak dan retribusi daerah baru sepaniang 'r,e trdapat daerah tidak
persetujuan dari pusat dan terbukri riciak menimbulkan masalah di dunia usaha. Beberapa pcntcrintah daerah didukung parlemennya berinisiatif untuk melegalkan perundangan pajak dan retribusi daerah yang dijelaskan di dalam pasal tersebut. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di depan, sistem hui".tuu di Indonesia memungkinkan untuk dilakukann judicial review atas peraturan daerah rattg dil,r!,r[ oleh pemerintah pusat. Kasus pajak produksi migas 1'ang diterapkan oleh :ilah satu pentcritrtah kabupaten di propinsi Jawa Barat merupakan salah satu contohnYa. dimana Mahkamah Kc.'nstiltr.' menolak keputusan pemerintah pusat sehingga pajak tersebut tetap diterapkan oleh peinei'i:li:L daerah bersangkutan, meskipun penerapan pajak tersebut melanggar konsep aturan dobel pailk
Konsekuensi Ekonomi dari Desentralisasi Fiskal
Analisis efek dari desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional agak sulit dikarenakan proses desentralisasi terjadi di saat perekonomian nasional sedang slow down akibat krisis ekonomi 1998. Hampir tidak mungkin untuk memisahkan r,tek dari krisis ekouonii dari cf'ck desentralisasi fiskal. Sebagai contoh, Indonesia mengalami kekurangan investasi baik domcstik maupun asing semenjak krisis 1998-1999. Ketika perekonomian nasional mulai bergeral' licrlahan, investasi masih tidak bergerak banyak. Rendahnya pertumbuhan investasi dianggap sebagri salah satu rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional, dibandingkan dengan negara lain yang mensalattti krisis juga seperti Korea Selatan, dan Thailand. Pada saat yang bersamaan desentralisasi .iug:t dianggap sebagai salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekortomi trasionel. I,trtrri. mengatakan desentralisasi sebagai penyumbang utama dari rendahnya penumbuhan ekonotttr nasional cukup sulit dikarenakan banyak faktor lain termasuk desentraiisasi yang ikut metnpengarui' perekonomian nasional.
Cerita yang sama juga terjadi ketika kita mencoba menganalisis dampak desentralisasi tr.r.il terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah. Pola skema transfer antar pem(:il:it:til yang sudah dijelaskan di depan jelas mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah dan selanjutnva pembangunan ekonomi daerah, khususnya untuk daerah daerah-daerah yang kaya surnberdaya alamnya. Krisis ekonomi 1998 ternyata juga mempengaruhi secara signifikan pola pertumbtthan ekonomi daerah. Sebagai contoh, propinsi-propinsi seperti Jakarta dan yang kaya sumberdavit alam yang pertumbuhan ekonominya didorong oleh ekspor dan investasi, setelah krisis \truktur perekonomian di daerah ini berubah menjadi tergantung dengan konsumsi s$'asta sepcrtr halnya propinsi yang lain di Indonesia. Saat ini perekonomian propinsi-propinsi tersebut mulai bct'artgsurangsur pulih kembali ke keadaan semula. Impak dari skema transfer antar pemerintah ntungkitt al'rrrr baru tampak di masa datang atau dalam jangka panjang mengingat nilai transf'er tet'sebut nrasilr relatif rendah dibandingkan dengan PDRB dari daerah-daerah tersebut. lv{eskinun dctttikiarr sttdah mulai bermunculan pusat-pusat pertumbuhan daerah yang baru seperti Pakanbaru (Riau;. Palenrbarrg (Sumatera Selatan), Balikpapan-samarinda-Tenggarong (Kalimantan Timur). Tarakan (Kalimantan Timur) dan lainnya. Satu hal yang masih belum terlihat dari pola pembangunan ekonomi regional saat
ini adalah 'itasth
sedikitnya daerah-daerah yang memiliki struktur perekonomian yang spesifik yang menjadi motor ekonomi nasional. Dengan kata lain, perekonomian daerah masih sangat dipengaruhi oleh perekonomian nasional dan sebagai akibatnya konsentrasi ekonomi nasional di beberapa daerah saja
Desentralisqsi Indonesia Pasca revisi Undang-lJndang
lV
l8
Sekilas Pembangunan Drerah
juga sangat tinggi. Daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam gagal untuk menjadi pusat daerah yang baru. Daerah-daerah tersebut terkenal dengan proyek-proyek publiknya yang tidak produktif seperti pembangunan kantor pemerintah yang megah, dunia fantasi. sarana olahraga dan sebagainya. Pertumbuhan ekonomi yang fenomenal dari Bangalore, India dapat menjadi salah satu c(lnloh yallg bagus bagaimana desentralisasi mampu mendorong pemerintah daerah untuk berinisiatrl dalam merancang perekonomian daerahnya sehingga menjadi kompetitif tidak saja di tingkat na.r()r)arl tapi juga internasional. Sebagai hasilnya, Bangalore merniliki struktur perekonomian yang relati!- be rbeda dibandingkan dengan daerah lain di India. Salah satu alasan yang masuk akal mengapa daerah kurang berinisiatif utttuk ntengenrhrtitgkart perekonomian lokalnya adalah disebabkan karena UU no 22 dan 25 I 1999 dan revisinl'a ticlak menyebutkan secara jelas bahwa pemerintah daerah bertanggungjar.r'ab untuk mempromosikarr perekonomian daerah rrrelalui perlun"rbuhan PDRB. penciptaan lapangan keria dan perbaikar, pendapatan rumah tangga. Secara implisit, perekonomian daerah diperlakukan sebagi turun;"'i iiari perekonomian nasional bukan sebagai upayapenuh dari pemerintah daerah. Utl no 32 dan 33 :t)tj'+ memberikan penekanan k.epada kebutuhan untuk mempromosikan perekonomian daerah. khu:;usrtya melalui monitoring peraluran daerah yang berkaitan dengan pajak dan retribusi. Akan tetapi hal tersebut tidak efektif dikarenakan tidak ada kewenangan yang besar dari pemerintah daerah di dalam pengelolaan pajak dan juga keterbatasan insentif 1'ang bisa diberik:n oleh pemerintah daerah. Tidak adanya pajak langsung di kabupaten / kota rnengakibatkan terbatasnya kemampuan ntcttthglifun1l insentif fiskal. Lebih lanjut lagi pemerintah daerah kesulitan menciptakan insentif n,rn tlskal dikarenakan kurangnya kapasitas mereka dan juga rendahnya komitmen ntereka untuk tlcrtctapkan pertumbuhan ekonomi caerah sebagai target utama pembangunan daerah. Bukan rahasia kalau pemerintah daerah lebih tertarik dengan isu-isu yang terkait dengan budget daerah tanpa lll!-n\a(ilrr bahwa dengan membatasi diri akan justru membahal'akan isu lain vang lebih pcnting. trtitu pertumbuhan ekonomi daerah (pertumbuhan PDB) yang mana pada akhirnva dapat meuguranui pengangguran di daerah. Analisis dampak desentralisasi fiskal terhadap kualitas dari jasa publik lokai sarna rumitnl'a dcngai: analisis terdahulu. Untuk mengkaji kualitas jasa publik lokal maka fokus analisis diarahkan I .'nrclir beberapa indikator seperli tingkat kemiskinan dan indeks pembangunan manusia (HDI). Selan,: tis,a tahun implementasi desentralisasi fiskal, kedua indikator tersebut menunjukan perbaikan )'ang signifikan. HDI harnpir di semua daerah di tahun 2002 menunjukan angka 1'ang lebiir tinggi dibandingkan dengan tahun 1999. Sementara tingkat kemiskinan disemua daerah menunjukan penurllnan yang signifikan. Gambaran yang menjanjikan ini dapat rnengindikasikan hah*a .lasa publik dasar yang disediakan pemerintah daerah lebih cocok dan well targeted dengan kott.li'r lokal. Meskipun demikian, perlu diingat _iuga bahwa program nasional seperti progranl pctricrltasatr kemiskinan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap gambaran tersebut. Pro!.ram ini bersifat lintas sektor dan lintas daerah. Antusias daerah dalam memperbaiki jasa publik .iLrgrr tercermin di dalam pembangunan prasarana dasar seperti air mitrttm, listrik dan telepott Desentralisasi telah mendorong pemerintah daerah untuk nlempercepat pelnbangllllan pritsararlri dasar tanpa terlalu harus membebani budget mereka. Terlepas dari impak yang tidak terlalu terlihat dari desentralisasi fiskal terhadap pembangun.ii" daerah, ada beberapa pola yang menjanjikan berkaitan dengan isu moneter, meskipun isu nrrlneter merupakan kewenangan pusat. Akan tetapi ada beberapa isu vang memberikan ef-ek cukup sigr,ri,l.rn
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi Undang-Llndang
IV -
I9
Sekilas Pembangunan Daerah
bagi perekonomian daerah. Pertama, distribusi dari tabungan dan kredit antar propinsi menunjukan dampak positif dari desentralisasi dimana terdapat arus uang dari Jawa ke luar Jawa yang lebih banyak. Meskipun konsentrasi uang beredar masih terfokus di Jawa khususnya Jakart4 akan tetapi proporsi di luar Jawa meningkat dengan signifikan. Ini menunjukan bahwa ada peningkatan kegiatan ekonomi yang lebih banyak di luar Jawa dibandingkan masa sebelum desentralisasi. Kedua, tingkat harga daerah atau inflasi daerah. Secara nasional tingkat inflasi didominasi oleh indeks harga konsumen di Jakarta dan tingkat harga beras. Meskipun demikian di tingkat daerah, faktor non moneter dapat memberikan kontribusi yang positif ketimbang faktor moneter. Dan faktor non moneter umumnya datang dari besarnya pengeluaran pemerintah daerah khususnya pengeluaran rutin. Karena tingkat inflasi bervariasi antar daerah, maka pemerintah daerah sebaiknya menaruh perhatian kepada upaya penekanan tingkat inflasi. Paling tidak pemerintah daerah sebaiknya berupaya agar pendapatan real masyarakatnya tidak menurun dan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif. Dari kacamata nasional, desentralisasi pemerintahan daerah pada tahap tertentu dapat membantu upaya bank sentral untuk mencapai target inflasi yang ditetapkan.
Di tingkat nasional, dampak dari desentralisasi fiskal terhadap APBN adalah gambaran yang lebih besar dari keberlanjutan fiskal. Di sisi pengeluaran, transfer dari pemerintah pusat (DAU, DAK, dan bagi hasil) adalah komponen utama disamping belanja gaji, subsidi dan pembayaran hutang dan bunga. Keberadaan komponen ini telah mengakibatkan hanya ada sedikit ruang bagi pemerintah pusat untuk melakukan belanja modal. Ancaman terberat terhadap keberlanjutan fiskal terjadi ketika harga minyak melonjak mencapai US$ 50 per barel. Dengan kondisi ekstrim ini, pemerintah pusat
menerima windfall profit akan tetapi pada saat yang bersama pemerintah pusat juga harus meningkatkan subsidijika asumsi harga minyak di APBN tidak diubah. Windfall revenue ini juga harus dibagi dengan pemerintah daerah yang memiliki hak untuk bagi hasil. Dengan kondisi sekarang sebagai net importir minyak, kenaikan harga minyak Iebih banyak membawa masalah ketimbang benefit bagi APBN. Daerah yang kaya migas akan menerima benefit karena bagi hasil migas yang akan mereka terima juga meningkat tanpa harus ikut menanggung beban subsidi. Setiap usulan untuk menambah proporsi bagi hasil ke daerah, jelas merupakan usulan yang tidak popular bagi pemerintah pusat dan selanjutnya juga akan membahayakan keberlanjutan fiskal baik di pusat maupun daerah.
Tabel 6. Transfer dari pemerintah pusat, Pembayaran hutang , ond Budget nasional
jelas menjanjikan langkah untuk membuat desentralisasi Indonesia berjalan lancar dan berada di jalur )'ang benar. Semangat utama dari UU no 3212041 adalah untuk mempromosikan demokrasi daerah dan tata pemerintahan daerah yang baik (gooo governance) yang konsisten dengan isu di tingkat nasional. Di sisi lain, UU no 3312004 mendorong ide untuk keberlanjutan fiskal dan transfer antar pemerintah yang lebih merata. Kedua selnangat tersebut kurang mendapat penekanan di versi awal kedua undang-undang tersebut. Semangat inilah yang sebenarinya dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia di tengah-tengah kebingungan arah desentralisasi di masa datang. Satu hal yang sangat penting yang tidak ada di dalam UU no 32 dan 33 tahun 2004 adalah senrangat mengintegrasikan kedua undang-undang yang dalam beberapa hal menimbulkan kesulitan koordinasi antara departemen dalam negeri dan departemen kcttitrlgan. Koordinasi adalah kata kunci dari proses desentralisasi di Indonesia yang perlu diperbaiki baik antar instansi pemerintah maupun antar pusat dan daerah. Undang-undang sektor seharusnl'a detrgan
UU no 32 dan 33 tahun 2004
secara
semangat koordinasi melakukan penyesuaian dengan desentralisasi.
Implementasi dari UU no 32 dan 33 I 2004 selanjutnya menjadi isu yang sulit. Versi au'al ULl ini masih meninggalkan banyak pekerjaan yang belum selesai dimana banl'ak neraturan ps-rllerintah yang masih belum dibuat atau belum selesai disusun. UU inidalam beberapa hal dapat menoloug menyelesaikan pekerjaan tersebut, akan tetapi juga berpotensi untuk menciptakan keruwetau baru dengan dibutuhkannya peraturan baru atau men,vesuaikan peraturan yang ada. Kemauan politik dari pemerintah pusat dan daerah merupakan syarat dasar untuk melewati proses ini. Kemauan politik yang kuat harus dibarengi dengan kapabilitas sumberdaya manusia yang baik, khususnya di trngkat daerah. UU no 32 I 2004 telah rnenyentuh isu sumberdaya manusia dengan mengijinkan perpindahan pegawai negeri antar daerzrh tapi kasus yang paling mendasar adalah kualitas dari pegarvai negeri itu sendiri. Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia yang berlanjut merupakan keharusan dari desentralisasi.
Masalah implementasi la:n yang perlu dipecahkan adalah duplikasi administrasi atatr kortrpetisi antara pemerintah pusat (melalui departemen teknis) dan pemerintah daerah. Pengalaman I)l' no 25l 2000, yang gagal untuk menjelaskan secara baik tentang penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah, dapat menjadi petajaran untuk memperbaiki PP yang akan dikeluarkan berkaitan dengan kedua undang-undang tersebut. PP yang akan dikeluarkan seharusnya cukup detil sehingga tidak akan terjadi duplikasi atau konflik antara pemerintah pusat dan daerah. PP yang lebili baik juga akarr menjadi langkah awal yerng baik untuk realisasi prinsip "n'toney .follov,s fttnclion" yang secara implisit menunjukan konsistensi antara kedua undang-undang desentralisasi tersebut. Pada saat yang bersamaan. kemauan
politik dari pemerintah pusat yang dibutuhkan pertatna atjalalr
melakukan penyesuaian trndang-undang sektoral terhadap undang-undang desentralisasi tersebut. Selanjutnya mengurangi kekuasaan departemen teknis dan menyerahkannya kepada pemerintah daerah. Deparlemen teknis seharusnya secara bertahap menyerahkan kegiatan-kegiatan dekonsentrasinya kepada pemerintah daerah atau beralih ke kegiatan desentralisasi. Penguatan Dana Alokasi Khusus dapat merrjadi salah satu solusi 1'ang baik untuk isu ini. samping masalah politik dan administrasi. desentralisasi fiskal juga menimbulkan bcberapa masalah yang perlu diperhatikan. Pertama, usulan untuk menghapus mekanisme alokasi "rn hold-
Di
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi L|ndattg-{Jndong
lV
2l
Sekilas Pembangunan Daerah
harmless provision" di tahun 2008. Apabila nantinya sistem ini diterapkan, maka akan acla Jaerah yang tidak memperoleh DAU. Pemerintah pusat harus mengantisipasi masalah resistcrrsi dari pemerintah daerah berkaitan dengan isu ini. Pemerintah pusat sebaiknya mulai mensosialisasikan isu ini dan mempersiapkan mekanisme pencairan bagi hasil sumberdaya alam yang lebih baik mengingat daerah-daerah yang kaya akan sumberdaya alam kemungkinan besar adalah daerahdaerah yang menerima DAU kecil atau sama dengan nol. Kedua, lemahnya kemampuan sumber pajak daerah dikarenakan kegagalan menyerahkan pajak bumi dan bangunan ke daerah. memberikan
beberapa implikasi. Salah satu implikasi tersebut adalah tidak adanya "tax price'' )'ang mengakibatkan masyarakat di daerah kurang memiliki insentif untuk memperhatikan akuntabilitas pemerintahannya dalam menyediakan barang dan jasa publik. Implikasi lain adalah dengan tidak adanya kemampuan untuk memberikan insentif fiskal lokal maka kondisi ini mengtrarrbat pemerintah daerah untuk lebih fokus kepada upaya peningkatan pertumbuhan PDRB nya ketimbang hanya terfokus kepada APBDnya saja. Ketiga, kemungkinan pemerintah daerah daiam mengeluarkan obligasi atau melakukan pinjaman di masa datang. Di masa datang kebutuhan untuk melakukan pinjaman daerah dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas prasarana dasar daerah, tidak dapat dihindari di masa datang, dan pemerintah pusat telah mengeluarkan saf-eti' guardsnya di dalam UU no 3312004. Komitrnen dari pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan prinsip-prinsip tersebut akan dapat menghindarkan Indonesia menjadi kasus "Brazil kedua" di masa datang. Terlepas dari masalah adanya kekurangan dan pandangan yang skeptis dari kemauan politik pemerintah, kedua UU baru tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan untuk menjaga arah desentralisasi Indonesia tetap di jalurnya. Kedua undang-undang tersebut cukup responsif terhadap isu-isu yang berkembang selama tiga tahun pertama impiementasi desentralisasi. Bahkan beberapa bagian dari undang-undang tersebut mencakup hal*hal kecil tapi agak penting seperti adanya regulasi baru yang melindungi nelayan dari dari satu daerah ketika berlayar ke daerah lain. Awalnya, isu ini menjadi masalah di beberapa daerah mengingat ada pemerintah daerah berhak melarang nelayan dari daerah lain masuk ke wilayah perairannya. Semangat untuk mendorong investasi di daerah juga merupakan respon yang cepat atas keluhan investor lokal terhadap perilaku beberapa pemerintah daerah. Tidak berlebihan jika dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi dalam merevisi ULI lama telah mencapai pemecahan masalah pada tingkat yang agak optimal untuk menjamin proses desentralisasi berjalan di.ialLrnrya.
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi IJndang-lJndanT
lV -
22
Sekilas Pembangunan Daerah
Referensi Brodjonegoro, Bambang (2002), "Fiscal Decentralization in Indonesia". in Hadi Susastro. r\rrthony L Smith, and Han Mui Ling (eds), Governance in Indonesia : Challenges Facing the llle gau,ati Presidency, The Institule of Southeast Asian Studies, Singapore. Brodjonegoro. Bambang {'2004), "The Effects of Decentralisation on Business in Indonesia". rn M.Chatib Basri, and Pierre van Der Eng (eds), Business in Indonesia ; New Challenges, Otd Problents, The Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Brodjonegoro, Bambang (2004), "Three Years of Fiscal Decentralization in Indonesia : Its Impact on Regional Economic Development and Fiscal Sustainability", presented at The International Symposium on Decentralization in Asian Countries. Hitotsubashi tJniversity, Tokyo, Japan. Feb 2004, and at the Tolgto Conference on Indonesia. JICA, Tokyo, Japan, Aug 2004. Brodjonegoro, Bambang arrd Jorge Martinez (2002)."An Analysis of Indonesia's Transfer System : Recent Performance and Future Prospects", presented at The Andrew Young School of Policy Studies sponsored conJbrence on "Can Decentralization Help Rebuild Indonesia ? ", Georgia State University, Atlanta.
Brodjonegoro, Bambang and Shinji Asanuma (2000), "The Regional Autonomy and Iriscal Decentralization in Democratic Indonesia". Hitotsubashi Journal of'Economics. Vol. 4l No.2Tokyo. Economics Laboratory University of Indonesia (2003), "Factors Determining Regional Inflation Rate in Indonesia", unpublished report for Bank Indonesia. Ford, J Fitz G, and Bambang Brodjonegoro (2003), "Inter-Governmental Fiscal Relations and State Building: The Case of Indonesia", in Bird (ed). Asl,rnyrusrlc Fi.scal Decentralization; Glue or Solvent?, World Bank, V/ashington DC, USA, fbrthcon-ring
Mahi, Raksaka, and Banrbang Brodjonegoro (2003),"The Indonesian Political Ec
International Syntposiunt on Indonesiu's Decentralizalion Policy
;
Problents and Policl,
Directions, Hitotsubashi University, Tokyo.
World Bank (2003)."Decenlralizing Indonesia : A Regional Public Expenditure Reviev, Ovcrvieu, Report ". East Asia Poverty Reduction and Economic Management Unit, Jakarta.
Desentralisasi Indonesia Pasca revisi Undans-Undang
IV
LJ
PIIMNGII|{NDAIRAH DATAI{NGKA 2004
$Elfl tA$ PEl'lBAll0
U
llAll DAERill
Sekilas femUi, gua"" Daerah
TINJAUAN PELAKSANAAN KEB IJAKAN DESENTRALISASI FISKAI Oleh: Nau Mnc.Sl Mas lY/edarH. Adjit Pula
I.ATAR BELAKANG I(risis multi dimensi yang rnenandai akhir masa pemeflntahan orde baru telah menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memberikar: perhauan yang lebih besar pada sistem penyelenggar^afl l:.egara yang bersifat desentralistik. Srstem dimaksud diyakini dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah serta perwujudan masyarakat yang adrl dan makmur'. Salah satu prinsip dasar yang diberlakukan dalam sistem tersebut adalah ntonel follow funclion, artinya bahwa pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daeralL (adntmislraliue decentraliryztion) dtsertai dengan pelimpahan penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kekavaan negara secara proporsioal dan berkeadilan (fscal decentraliTalion). Seiak diberlakukannya ket>ijakan desentralisasi fiskal telah terjadi perubahan peta pengelolaan dan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan negara yang sangat mendasar, lang ditandai dengan semakin meningkatnya transfer dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) kepada Pemerintah Daerah. Sejalan dengan itu, Pendapatan Asli Daerah €AD) iuga mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Pada riisi lain, meningkatnya jumlah dana 1'ang dikuasai dan dikelola sudah batang tentu disertai dengan tantangan dan tuntutan bagi pemerintah daerah untuk bertangung jawab secara lebih besar atas pen)rediaan layanan publik (senice deliuery) baik dari segi kuantitas maupun kualitas, serta pengembangan ekonomi lokal (econontic pmrnotion) sebagai bagan dari kekuasl an pemerintahan daerah, yang semata-mata dioptimalkan unfuk mencapai tujuan bernegara, yaitu; menciptakan masyankat yang adil dan makmur di seluruh daerah.
Dalam perlalanannlr^ y^ng relauf singkat, banvak kemaiuan vang dapat dicapai. Namun, di pihak lain, disadari bahrva masjh banl'ak I'ang hams dibenahi, baik di trngkat pusat maupun di tingkat daerah. Benkut adalah uraian bagalnana lune{a kebijakan desentralisasi fiskal, apa permasalahan dan tzntangan yang dihadapi, setta alternatrf solusi yang petlu dipertimbangkan.
PERKEMBANGAN DESENTRAIISASI FI SKAI
UMUM Esensi pelimpahan kervenangan dan pembiavaan kepada pemerintah daerah bukan sekedar membagilain; (i) bagi kewenang^n ant^r pr.rsat dan daerah, akan tetapi menyangkut beberapa aspek, ^ntara menjaga kesinambungan fiskal, (ir) mengoreksi kesenjangan fiskai antara pusat dan daerah, serta antar daerah, dan (iii) menumbuhkan partisip2si masl'alakat dalam proses perumusan kebijakan publik. Di atas semua itu, dan yang lebih penting lagi adalah vpay^ untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
tK epala Sub Direktorat Pengembangan Keuangan Daerah, Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah, Bappenas. Staf Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, Bappenas.
2
Tiniauan Pelal<sanaan Kebiiakan Desentralisasi
Fiskal IV -
1
Sekilas Pembangunan Daerah
pengelolaan sumber daya keuangan yang semakin terbatas untuk meningkatkan pelayanan dan kese
j
ahteraan masyatakat.
Dalam operasionalisasinya, kebijakan dsentralisasi fiskal minimal mengambil 3(tigr) bennrk dasar, yaitu; (i) pemberian kewenangan kepada daetah untuk memungut dan menentukan serta pengelola sumbersumber pajak daenh (taxiry power) (i) transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (irtergoaenmental transJe); (iii) pemberian kevrenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pembiayaan (bomwing c@asi$, terutama untuk percepatan pembangunan daerah. Selanjutnya, masingmasing kewenangan tersebut dikelola dalam format Pendapatan Asli Daerah (?AD), Dana Perimbangan pP), dan Pinjaman Daerah (PD).
PENDAPATAN ASLI DAERAH Umumnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dikategorikan sebagai alat ukur kemandirian daerah dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya. Dalam tiga tahun terakhir, secala nominal PAD rnengalami peningkatan yang cukup signifikaq baik pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten /kotz.Ifal ini sejalan dengan semakin kondisi ekonomi nasional yang ditopang oleh membaiknya perekonomian daetah. Namun, demikian bila dilihat dari kontribusinya dalam pembentukan APBD temyata masih telatif kecil. Dalam kurun waktu 2000-2002, rata-rata. rasio PAD terhadap APBD berkisar anta:m 25-30 persen untuk tingkat provinsi, dan berkisar 10-20 persen saja untuk tingkat kabupaten/kota. ^nt^ra
Dilihat distribusi per wilayah, sebagian terbesar PAD terkonsentrasi di wilayah Kawasan Barat Indoensia (I{BI), rerurna daenh Jawa dan Bali. Dalam tahun anggaran 2003, dari total PAD terdistribusi secata berturut-turut untuk wiiayah Jawa dan Bah (2.9o/o), Sumatera Q4.1,o/o), Kalimanran (8.7o/o), Sulawesi
01.6n,
dan Daerah Lainnya (12.60/0).
TABELl. DISTRIBUSI PAD MENURUT WII-AYAH (dalam WII.AYAH
2001
2002
%o)
2003
Sumatera
24.2
28.2
Jawa Bali
44.1 9.2 9.7
49.1
24.7 42.9
10.3 1a t
11.6
Lainnva
12.1
14.0
12.6
KBI
68.9 -)l.l
I t.-t ?a1
100.0
100.0
67.0 33.0 100.0
Kalimantan Sulawesi
KTI INDONESIA Samber: Ditjen
8;7
APK, Depaftemer l{taangat (dto/ah)
Pada sisi lairr, perkembangan upaya optimalisasi potensi pajak (tax efort),yitu; rasio antara PAD terhadap Produk Domestik Regional Brulo (PDRB), juga mengalami peningkatan baik pada tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. Namun demikian nilainya belum menunjukkan kondisi yang ideal.
Hal ini
mengindikasikan bahwa basis PAD tidak didasarkan pada struktur ekonomi daerah. Pada sisi lain, dapat diperkirakan bahwa perangkat pengelolaannya belum berjalan secara optimal, baik pada tat^ran sistem, kelembagaan, maupun individu. Hal lain yang masih sering mengemuka bahwa memang basis PAD relatif kecil, terbatas pada obyek-obyek pajak tertentu saja, yang kurang potensial. Sementara obyek pajak yang potensial menjadi hak pemedntahanyanglebih tinggi.
Ti nj auan P e I aks anaan Ke
b
ij a ka n D e s e nt ral
i s as
i F i s kal
IV
Sekilas Pembangunan Daeralr
Tabel2. Petbandi Indikator
PAD de
indikator ekonomi
be
2001
Pendapatan asli daerah/ Pendapatan domestik
5.04
2002 7.04
2003 6.08
neto
Pendapatan asli daerah/ PDB Pendapatan daerah/ Pendapatan domestik
DANA PERIMBANGAN Dana perimbangan merupakan transfer dana dari pemerintah pusat kepada daerah (inkrgouernmental lransJer) yang ditujukan unruk membiayai pelaksanaan tugas desentralisasi dan otonomi daerah. Secara keseluruhan perkembangan dana perimbangan menunjukhan peningkatan yang sangar signifikan dari tahun ke tahun sejalan dengan semakin jelasnya pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. TABEL 3. PERKEMBANGAN DANA PERIMBANGAN
S ur
be
r : D i g'e n,4 PK, D ep afte rue r
I{c u a nga
n (di o la h )
Dana Bagi Hasil Komponen pertama dana perimbangan adalah dana bagi hasil (DBH), y"itu; rransfer dari pusat ke daerah yang ditujukan untuk mengatasi kenmpangan penguasaan sumber kekayaan ncgara antara pusat dan daerah (aelical inbalance,l. ge.gvla garis besar komponen ini terdiri dari dana bagi hasil yang berasal dari pajak dan dana bagi has;l bukan pajak. Sejalan dengan meningkatnya penerimaan dalam negeri, dana baei hasil meningkat cukup signifikan dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 200i mencapai sckitar Rp. 20 triliun meningkat meniacli sekitar Rp. 30 triliuan pada tahun 2()02. I]al yang perlu dicermati disini bahwa perhitungan dana bagi hasil didas atkan pada daerah penghasil (by ongtn), sehingga ada kencederungan komponen irri justeru mendorong teriadinya ketimpanean daerah. Hal ini disadari ^ntar bahwa sumber penerimaan dari komponen ini hanya terkonsentrasi di beberapa daenh saja, seperti; Nangro Aceh Darussaiam, Riau, Kalimantan Timur dan Papua.
DanaAlokasi Umum Komponen kedua adalah dzna alokasi umum (DAU). Komponen ini diharapkan dapat mengoreksi terjadi ketimpangan fiskal antar daenh (hoiryilal inltalance). Secara nasional, besaran DAU ditetapkan minimal 25 persen dari penerimaan dalam negeri netto, dengan proporsi 10 persen untuk provinsi dan 90 persen untuk kabupaten/l.ota. Dalam perkembangannya, DAU menyumbangkan kontribusi terbesar dai dana perimbangan, yainr sekitat 80 persen, dan jumlah terus meningkat dari tahun ke tahun. pada tahun 2001 total DAU mencapai sekitar Rp. 60 triliun meningkat meniadi sekitar Rp. 77 triliun pada
Tinjauan Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi
Fiskal IV
Sekilas Pembangunan Daerah
tahun 2002. Yang pedu dicermati disini bahwa secara relatif telah terjadi distribusi yang semakin seimbang, namun demikian secara absolut masih terkonsentrasi di Kawasan Barat Indonesia (KRI). Hal ini tidak dapat dihindari bahwa jurnlah penduduk di KBI iauh lebih besar dibandingkan dengan KTi. TABEL4. DISTRIBUSI DAU MENURUT WII-AYAH (%)
WII-AYAH
2001
2002
2003
Sumatera
24.2
28.2
24.1
Jawa Bali
44.7 9.2
49.1
42.9
I U,J
8.7
9.1
12.4
1,L.6
Kalimantan Sulawesi Lainnva
12.1
14.0
12.6
KBI
68.9
77.3
67.0
KTI INDONESL\
31.1
JZ- |
33.0
100.0
100.0
100.0
Sumber: Diyen PKPD, Departemen l(eaangan (dio/ah) dalan %
Dana Alokasi Khusus
Komponen ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah dana alokasi khusus @AI9. Meskipun ditinjau dari segi besaran aiokasi dana telatif kecil, namun dari segi penangarrarr mempunyai nilai yang sangat strategis, karena menyangkut kepentingan dan prioritas nasional. Pendekatan yang digunakan dalam DAK adalah upaya unruk menjamin tingkat pelayanan dasar yang lebih baik (public senice proaision gEr) Secara programatik, DAK dibedakan menjadi 2(dua) komponen, yairu; (1) DAK Dana Reboisasi, dan (2) DAK Non Dana Reboisasi. Unruk yang terakhir,hanya dialokasikan untuk daerah tertenru dan untuk
membiayai kegiatan khusus, perikanan.
^nt^t^
lain; bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur) serta kelautan dan
TABEL 5. PERKEMBANGAN ALOKSAI DAK NON DR ( dalam rnilyat) BIDANG PENANGANAN Pendidikan Kesehatan
2004 625.0
Infrastruktur
0 (i, (ii,
2003
Prasarana Jalan
1.221.0
375.0 1.181-0
1.196.3
1.533.0
8 J9.1 357.2 0.0 228.0 305.5 0.0
945.0 384.5 203.5
8.12.
Prasarana Irigasi Prasarana Air Bersih
3
t
38.5 0.0 88.0 0.0 0.0
Prasarana Pemerintahan
Kelautan dan Perikanan Pertanian
f'otal
2.269.0
Smber: Ditjen APK,
2005 652.6 456.2
2.838.5
620.0
14B.0
322.0 770.0
4.074.0
Departemen l{etangan
Tinjauan Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi
Fiskal IV -
4
Sekilas Pembangunan Daerah
KINERJA DESENTRALISASI FISKAL Beberapa catatan penting yang periu diperhatikan dalam menyikapi perekembang^n pelaksanaan ^p^k^h kebijakan desentralisasi fiskal telah mengarah pada; (1) peningkatan efisierrsi pengalokasian sumber dava nasional dan daerah, (2) pemenuhan aspirasi daerah, dalam rangka memperbaiki struktur fiskal dan mobilisasi pendapatan pemerintah daetah secata rcgonal maupun nasional, (3) peningkatan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam perwnusan kebijakan, (4) perbaikan kesimbangan fiskal antar daerah dan memastikan adanya pelayanan masyarakat yang berkualitas.
Efisiensi alokasi sumberdaya Dalam hal mencermati kinerja dari segi efisiensi dapat Atli]n2t dalj, angka inremealal {-opila/ oulnl ralio (ICOR), yang dapat mengindikasikan bahwa semakin tinggr ICOR menunjukkan semakin tidak efisien alokasi sumber daya. Kcnsep ICOR adalah berapa banyak unit stok kapital atau investasi yang diburuhkan untuk menarnbah satu unit output tambahan3. Dalam prakteknya, pengukuran ICOR menggunakan data Penanrbahan Modal "Ietap terhadap Domestjk Bruto dan PDB atau PDRB. Gambar 1. menunjukan perubahan ICOR secara tahunan berdasarkan wilayah di Indonesia dari tahun 20AA-20A2. Periode tersebut diambil untuk melihat apakah ada perubahan yang signifikan akibat adanya penerapan desentralisasi fiskal di Inclonesia di tahun 2000. Da/' g mbr tersebut menunjukan bahwa remyam uen ICOR menunjukan peningkatan di semua rvilayah kecuali unruk Sulawesi dimana perkembangan ICOR relatif konstan di periode tersebut. Peninekatan ICOR &pat mengindikasikan terjadinya inefisiensi di dalam investasi, karena untuk menghasilkan satu unit output dibutuhkan lebih banyak investasi. Inefi.siensi dapat disebabkan berbagai faktor yang mana semuanya tercermin dari biaya investasi yang Iebih tinggi. Dengan kata lain telah ada indikasi ekonomi biaya tinggi di daerah-daerah tersebut. Salah satu penyebab ekonomi braya ting;i adalah karena adanya peraturan daerah mengenai pajak dan retdbusi
'
Rumus perhitungan ICOR secara sederhana adalah ICOR,= lt-t /PDRBI-PDRB, ,). Lihat Gerald M. Meir, ,,Leading Issues in Economic Development".oxford University press. New york 1995. Hal 165.
jika dilihat dari tingkat pajak atau retribusi yang dikenakan kecil akan tetapi karena berulang kali dikenakan menjadikan nilainya menjadi besar. Hal ini disebabkan obyek pajak atau retribusi tersebut bergerak dari satu daerah administrasi ke daerah lainnya. Kondisi ini mengakibatkan perekonomian daerah menjadi kurang bersaing dan berbiaya tinggi. Studi yang daerah yang mungkin
dilakukan oleh KPPOD pada tahun 2002 menunjukan dari total sekitar 1300-an peraturan daerah, sekitar 87%o merupakan peraturan daerah yang berkaitan dengan pajak dan retribusi. Bukan salah pemerintah daerah apabl,a pemerintah daerah menetapkan pajak dan retribusi baru di daerahnya. Hal ini disebabkan karena sumbet keuangan daerah yang "gemuk" masih dikuasai oleh pemerintah pusat dan belum diserahkan ke daerah. Sementara alokasi dana perimbangan masih lebih memihak kepada daerah yangkaya sumbetdaya alam.
Mobilisasi Pendapatan Pemerintah Daerah Mobilisasi pendapatan pemerintah daerah dapat rlilihat dari perkembangan PAD. Sebelum otonomi daerah, komponen PAD memberikan kontribusi yang kurang signifikan di hampir di semua daerah kecuali beberapa daerah tertentu seperti Kabupaten Badung dan Propinsi DKI. Indikator PAD digunakan karena menunjukan kemampuan pemerintah daerah dalam mengumpulkan pendapatan dall. masyarakatnya.Dengan kata lain, PAD merupakan variabel pendapatan yang sepenuhnya dibawah kendali pemerintah daerah.
Di tabel 2 terdahulu gambaran beberapa indikator yang berkaitan dengan pendapatan pemerintah dalam hal ini PAD disajikan secara detil, sementara tabel 6 menunjukan perkembangan realisasi Tinjauan Pelaksanaan Kebijakan Desentrolisasi
Fiskal IV -
6
Sekilas PembangunanDaerah
PAD selama 2000-2002. Idealnya dengan adanya otonomi daerah, kewenangan daerah dalam mengelola keuangan dacrahnya menjadi lebih besar. Dari sisi pendapatan, dengan adanya kewenangan mengelola sumber-sumber keuangannya, maka jumlah PAD juga akan meningkat baik secara nominal maupun persentasenya terhadap total pendapatan. Tabel 6. Perkembangan PAD Propinsi dan Kabupaten /kota (2000-2002)
dan kabupaten/kota PAD (Rp juta)
21
,205.979
PAD thd total pendapatan
PAD (Rp juta)
14,131,030.8'l
7,189,490.8
Sumber: data diolah rlari y
11
1,1!11!g1i.gq.!11
Secara nasional perkembzrngan PAD menunjukan tren yang meningkat. Tampaknya otonomi daerah memberikan dampak yang positif bagi perkembangan PAD. Ini terlihat di tabel 6 bahwa secara nominal, nilai PAD melonjak hampir 4 kali di tahun 2002 dibandingkan dengan tahun 2000. Peranan PAD terhadap total pendapatan juga menunjukan tren yang meningkat meskipun masih di bawah 20%o. Gambaran yang bagus terlihat di tingkat propinsi akan tetapi kondisi yang sebaliknya terjadi di tingkat kabupaten. Jumlah PAD propinsi meningkat hampir 7 kali selama periode 2000-2002, sementara di tingkat kabupaten PAD hanya meningkat sekitar 3 kalinya di periode yang sama. Di samping itu, tren peranan PAD menunjukan arah penurunan di dalam periode tersebut. Ini mengindikasikan peranan PAD semakin kurang berperan dan di sisi lain menunjukan daerah kabupaten/kota semakin tergantung dengan sumber pendapatan lain, dalam hal ini transfer dari pemerintah pusat.
Di dalam UU T/2A04, pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk memungut pajakdan retribusi daerah dengan beberapa catatan bahwa pajak dan retribusi tersebut tidak menghambat perdagangan antar daerah, mobilisasi barang dan jasa dan manusia. Di samping itu pemerintah pusat akan mengevaluasi peraturan daerah yang berkaitan dengan pajak dan retribusi tersebut dan apabila bertentangan dengan prinsip di atas peraturan daerah tersebut dapat dibatalkan. Meskipun demikian sistem perundangan di Indonesia masih memungkinkan pemerintah daerah untuk meminta Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial review atas pembatalan perda tersebut. Terlepas dari adanya kemungkinan pemerintah daerah memenangkan judicial review tersebut, di dalam undang-undang tersebut telah ditetapkan beberapa rambu-rambu atau permainan dari penetapan pajak dan retribusi daerah yang baru.
Tiniauan Pelaksanaan Kebiiakan Desentralisasi
Fiskal IV -
7
Sekilas Pembangunan Daerah
Ttansparansi, Akuntabilitas, dan Partisipasi (TAP)
Di masa lalu penyusunan APBD lebih didominasi oleh eksekutif. Kemudian di era desentralisasi dimana kedudukan legislatif "sedikit lebih tinggi" dari eksekutif, maka penyusunan APBD di banyak daerah legislatif dan eksekutif dimana kolusi ini lebih menguntungkan diwarnai dengan kolusi ^ntara dan kelompok tertentu ketimbang publik. Dengan kata lain legislatif
kepentingan golongan pihak belum memanfaatkan posisinya yang "lebih" untuk kepentingan publik sedangkan pihak eksekutif lebih mementingkan keberadaan posisi pejabat teftentu ketimbang kepentingan publik. Adanya kasus-kasus korupsi penyelewengan dana APBD baik oleh legislatif maupun eksekutif yang tenrngkap akhir-akhir ini merupakan bukti meningkatnya kolusi tersebut. Sehubungan dengan isu di atas dan sejalan dengan proses demokratisasi, tuntutan akan pemerintahan yang baik dan bersih juga semakin meningkat. Definisi pemerintahan yang baik @ood governance) beragam, masing-masing lembaga memiliki definisi dan prinsip yang berbeda-beda. Akan tetapi dari semua definisi tersebut ada kesamaan atau saripati dimana pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang menerapkan prinsip-prinsip TAP.
Undang-undang mengenai pemerintahan daerah dan keuangan daerah menginginkan pemerintah daerah yang otonom, efisien, efektil akuntabel, transparan dan responsif secara berkesinambungana. Dengan kata lain undang-undang tersebut menuntut pemerintah daerah untuk menjalankan pemerintahan yang baik dengan menerapkan prinsip-prinsip TAP tersebut. Persenyawaan ketiga prinsip tersebut jika diterjemahkan dalam istilah yang lebih membumi adalah safeguarding. Ketiga prinsip tersebut (TAP) merupakan satu mekanisme yang efektif dalam mengebumikan semangat good gove rnance tersebut.
Safeguarding dapat diartikan sebagai upaya untuk mengamalkan setiap tahap penyelenggaraan program pembangunan melalui penerapan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik, khususnya transparan si, akuntabi I itas pub I ik dan partisipas i. Secara umum bentuk dari safeguarding terdiri atas 4jenis sistem penghantaran (delivery system)s yaitu: l. penyebarluasan informasi 2. evaluasi manfaat 3. penanganan kepedulian masyarakat 4. temu publik.
Berdasarkan keempat sistem penghantaran tersebut dan ditambah aspek kinerja kelembagaan, Bappenas (2004) mengadakan studi mengenai penerapan prinsip TAP dalam pengelolaan DAK non dana reboisasi di daerah penerima DAK non dana reboisasi. Dari sekitar 200-an kabupaten penerima DAK non DR yang dikirimi angket self assestment tentang penerapan TAP dalam pengelolaan DAK, sekitar 30Yo yang mengirim kembali dan menjawab angket tersebut. Dari pengolahan hasil angket tersebut didapat beberapa temuan antara lain:
a
Bappenas,"Kumpulan Materi Seminar Nasional: Penerapan Prinsip Transparansi, Akuntabilitqs dan Partisipasi dalam Alokasi Khusus (DAK) non Dana Reboisasi Tahun 2004 di Daerah:. Jakarta, 2004. Hal 2. 'Ibid. halaman 5. Pengef olaan Dana
Tinjauan Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi
Fiskal IV -
8
Sekilas Pembangunan Daerah
l.
Untuk kinerja kele nbagaan, diperoleh gambaran sekitar 60% kabupaten penerima DAK telah memiliki kinerja kt:lernbagaan yang baik sekali dan baik. Artinya kabupaten/kotrr penerima DAK non DR 2004 memiliki semangat dan kemampuan untuk melakukan koordinasi kesiatan DAK non DR 20046. Gambaian ini juga Gambar 2. Kinerja Kelembagaan Kabupaten Penerima DAK dapat menunjukan seberapa besar kemauan politik pemerintah daerah untuk menialankan good governance melalui penyusunan kelembagaan yang sesuai dengan peraturan yang ada.
2.
Hasil studi atas kine ria penerapan TAP dalam pengelolaan DAK menunjukan gambaran yang tidak jauh berbeda dengan kinerja kelembagaan. Sebanyak sekitar 50o/o dari kabupaten penerima DAK non DR berada dalam kelompok baik dan baik sekali. Sisanya sekitar 22 oh berada dalam kelornpok kurang baik. Secara lengkap hasil studi tersebut disajikan digambar 2.
a
-)-
Meskipun gambarar di atas diambil dari sampel pengelolaan DAK akan tetapi gambaran kiranya Gambar 3. Kinerja Pcnerapan Transparansi, ,Akuntabilitas dan l:'artisipasi Kabupaten Pen,;:rima DAK
dapat
mengindikasikan apa yang ter.iadi di
daerah secara umum
dalam pengelolaan APBD mereka, khususnya
di tingkat
kabupaten. Bisa dikatakan bahwa pemerintah daerah paling tidak memiliki kemauan untuk menerapkan TAP dalanr pengelolaan APBDnya.
6lbid, halaman
7
Tinjauan Pelaksanaan Kebiiakan Desentralisasi
Fiskal IV -
9
Sekilas Perr,bangunar:L Darrrah
Keseimbarrgan Fiskal Berbicara tentang keseimbangan fiskal, maka secara tidak iangsung kita membicz,rakan irub;ngan keuangan pusat dan daerah dan secara tidak langsunq membicarakan sistem atau mekanisme tleLn:;fr:r dari pemerintah pusat ke daerah. Secara umum transfer dari pemerintah pusat ke daerah mt,r:'riiili dua dimensi. Di-mensi pertama berkaitan dengan jumiah (siie) ,vang akan dibagikan ke daeran. l)imcnsi kedua adalah bagaimana mendisuibusikan jumlah tersebut antar claerah. Qlahl, 1999). Dimensi portama berkaitan dengan keseimbangan fiskal vertikal (antara pusat dan daerah). Dimensi kedu:r berkaitan dengan keseimbangan fiskal hrtrisontalT. Berkaitan dengan keseimbangan fiskai vcrtikai, sejak dibedakukannya otonomi daerah di tatrun 2000, te{adi perubahan vang signifikan. Sebelum otonomi dacrah, lrubungan keuangan pu';rrt ,faera}r dicerrninkan dari dua komponen utama anggaran nasionai yaitu subsich daerah otorrom d:,trr blrntuan pembangunan daerah (inpres). Di era otonomi ini, hubungan keuangan pusat da,:rah d,i'::enlinkan melalui alokasi dana perimbangan (DAU, DAK dan bagi hasil pajak clan bukan paja'<).i\{en,-rrut. llairl, bcrdasarkan praktek internasional, ada tiga jenis sistem uansfer dari pusat ke dacrah yaini bepj hasil perrdapatan pcmerintah pusat, bcrdasarkan keputusan adhoc sesun dengan persetujuan parlr,rnen, dan pembavaran kcmbali (reirnburseQ olcir pemerintah pusat atas pengeluaran yang sudah disetrrfr:i. Unruk kasus Indonesia, dua iral pettama yang dianut yartu sistem bagi hasil dan alokasi tertcnru yangl rilretapkan olch undang undang.
f'tansfcr dari pusat ke daerah secara detil digambarkatr di gambar 2. L)ari qa-rrhar ini teriiirat bahrva kcseimbangan fiskal vcrtikal mcnunjukarl trcit vanra scmakin kc arah berimbang. Ini tcdihat clari porsi baqlan pendapatan domestik pemerintah pusaf vang diserahkan kc dacrah semaki:r bcsar. l)i masa sebclum dcscntralisasi fiskal, porsi ini hanya bcrkisar 15o,/o. Dalam waktu 3 trrhun pr:lzrksanaan desentralisasi, porsi ini rnelonjak sekitar 2 kali. menlad-i sekitar 33% dl tahun 2003. Garnbararr fanq sama juga terjadi untuk transfer yang bersifat blok. Ilibah pusat yang bcrsifat blok menunjukan 1:r,:,r:;i yang scmakin meningkat dari sekitar 13% dr tahun 1999 mcnjadi sekitar 22u/o dt tahun 2i03. Tc;:lcpas dari kenyataan bahrva angka ini masih lebih rendah dibandingkan )rang dipatok di dalam JLI 22 /lt!t99 yaitu minimal adalah 25ol, dan total pendapatan domestik, akan tetapi trcn tcrsebut menunjuf.arr adanva kcmauan politik dari pemerintah pllsat urrtuk nrelaksanakan dcsentraiisasi fisl.al datr l;c:rupava mcmperbaikr kescimbangan
fi
skal verukal.
Kcseimbangan fiskal horisontal diganrbarkan dalam gambar 4. Disini keseimbangan hor-is,.rnra1 adalah distribusi alokasi kc masing-masins claerah. I)ata yang digunakan adalah alokasi DAtl dari raLLurr 2001, 2003. Dcngan mcn&lunakan indikator t'ocffitietl oJ' u,tianrc * daprt dilihat persebaran dur:r indir.idu obscrvasi terhadap rilat nta-tata. Gambar 4 menunjukan perkembangan dari coefrcilnt oif utllttnte l)Al) untuk propinsi dan kabupaten. l)ari gambar tersebut tcdihat bahwa alokasi l)AU unt rk tingi-at propinsi menunjukan tren yang semakin membaii'. terlihat dari nilai coelficient of uaiance yang semakir; rn,:ngecil. 'l-ampaknya tcrlihat upaya pemerintah untuk semakin mcndistribusikarr transfcr dari rusat vzLnil bersifar blok secara lebih merata. Di tingkat kabupatcn, keseimbangan fiskal horisontal menunjukar tron yang tidak banyak bembah selama tiga tahun peiaksanaan desentralisasi fiskal. Scmakirr banyakny:r kasus ' Roy Bahl,"lmplementation Rules for Fiscal Decentralization". Intemational Studies Program : School of t,olicy Studies, Georgia State University . Atlanta, Georgia. January 1999. E Coeffcient of variance adalah semacam alat pengukur seberapa jauh persebaran individu terhadap nilai utkt.- rata. Angka yang dihasilkan biasanya dalam persentase. Semakin besar nilai persentasenya, semakin beragam perseb:rran individu observasi terhadap nilai rata-ratanya. Rumus dari coefficient of variance adalah : cofficient of va,rortcz: (standar deviasi / nilai rata-rata) x 100%. Lihat h t p 111"115 \!!r).1rgr-\ ! i d q 1
!
Tinjauan I'elaksanaan Kebijakan Desentralisa.ri
Fiskal I V -
10
Sekilas Pembangunan Daerah
pemecahan kabupaten nrenjadi beberapa kabupaten baru diduga menjadi penyebab mengapa tidak terjadi banyak perubahan yang membaik dalam kescimbangan fiskal horisontal di tingkat kabupaten/kota.
Gambar 4. Perkembangan Transfer Pusat-Daerah (, % thd Total Pendapatan Domestik Negara), Periode 1999-2003
40Yo
30%
f-1
14.92%
20Yo
10.83%
tffi ,
10% 0To
,9.20/o
2000
tr
% tnansfer ke daenh
E
%
tnnsfer
32.71%
30.84%
26.96%
71zz.t"r"
zo.t"t"
|
&
I I
m F
T
rrun
Lffi Lffi 2002
2001
2003
hd pendapatan domestik pem. Pusat
ke daerah yg bersifat blok thd penerimaan domestik pem.pusat
Gambar 5. Perkembangan Keseimbangan Fiskal Horisontal Dicerminkan oleh Coefficient of Variance dari Alokasi DAU (2001 - 2003)
90%
78%
80% o 0 c
G
7jYo
51%
60%
6
o o '6 o o
(-)
52%
50Yo
tr
2001
40o/o
22002
30%
tr
2003
20Yo 10o/o
jYo Propinsi
Ke
sei
Kabupaten /Kota
ahter aaln Masy arakat
Untuk mengukur seberapa jauh impak dari desentralisasi fiskal terhadap kesejahteraan masyarakat seharusnya diburuhkan waktu, mengingat investasi yang dilakukan pemerintah daerah (misalnya pendidikan, dan kesehatan) tidak langsung memberikan hasil. Investasi di bidang ini lebih ke arah
Tinjauan Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi
Fiskal IV -
I
1
Sekilas Pembangunan Daerah
peningkatan produktivitas di masa datang. Meskipun demikian ada beberapa indikator yang dapat menunjukan keterkaitan desentralisasi fiskal dengan kesejahteraan masyarakat. Indikator tersebut ^rrtara lain tingkat partisipasi anak sekolah (school enrollrnent rate), tingkat melek huruf untuk bidang pendidikan, angka harapan hidup dan tingkat kematian bayi atau ibu melahirkan. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk mengelola penyediaan jasa danbarang publik dasar termasuk di dalamnya adalah jasa publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Idealnya kedua bidang ini mendapat perhatian yang lebih (terutama dari sisi penyediaan angaran) oleh pemerintah daerah. Dengan demikian diharapkan kualitas dan kuantitas jasa dan barang publik tersebut semakin meningkat sehingga pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Tabel 8. Perkembanqan Betrerarra Indikator Sosial
2000
Indikator Tingkat melek huruf
2002
2001
2003
89
87
90
90
74
11
8l
8l
92
92
93
Tingkat partisipasi pendidikan sekolah (%) SMP SD
Angka harapan hidup
68
69
66
n.a.
Angka kematian bayi per 1000 kelahiran
44
J+
35
n.a.
sumber: BPS
Tabel 9 memberikan gambaran perkembangan beberapa indikator sosial yang berkaitan
dengan
keseiahteraan masyarakat dan diperkirakan berhubungan erat dengan desentralisasi fiskal. Terlihat bahwa semua indikator menunjukan anh / tren yang membaik seiring dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Meskipun diakui bahwa banyak variabel yang mempengaruhi perkembangan indikator tersebut, akan tetapi kewenangan pengelolaan unruk bidang pendidikan dan kesehatan sudah diserahkan ke pemerintah daerah. Dengan demikian faktor penentu banyak ditenrukan oleh intervensi pemerintah daerah melalui alokasi afiggaran di sektor kesehatan dan pendidikan.
ISU DI MASA DATANG Dalam usianya yang relatif muda, pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal tidak terlepas berbagai titik kritis yang berpotensi memunculkan permasalahan, diantaranya :
l.
Kewenangan, ketidakjelasan kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten merupakan permasalahan yang cukup serius dalam pelaksanaan desentralisasi. fIaI ini mengakibatkan kebingungan antar tingkat pemerintah dalam memberikan pelayanan masyarakat sehingga terjadtnya saling lempar tanggungjawab antar tingkat pemerintahan dalam memberikan
pelayanan publik. Sejauh ini Peraturan kebijakan yang ada belum dapat menggambarkan kewenangan masing-masing tingkat pemedntahan secara jelas dan bahkan bertentangan satu sama lainnya, sebagai contoh PP 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonomi saat ini bertentangan dengan beberapa peraruran perundangan sektoral. Untuk itu pemerintah diharapkan dapat melakukan langkah strategis guna mencegah berkembangnya permasalahan tersebut.
Tinjauan Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi
Fiskal IY -
12
Sekilas Pembangunan Daerah
2.
Manaiemen Keuangan, salah satu permasalahan dalam pelaksanaan desentralisasi belum didesentralisasikan sumber daya keuang n y^rrg potensial, adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas terhadap penggunaan keuangan pemerintah. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi yang prda al
Dad sisi penerima:rn, sumber keuangan daerah vang beqpotensi bagi daerah kurang drbenkan ke daerah. Sumber-sumber keuang^n yang berpotensi seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan
nilai, pajak ekspor dan pajak bumi dan bangunan masih dikelola oleh pemerintah pusat. (lMeskipun beberapa sudah ada yang dibagihasrlkan ke daerah). Akibatnya pemerintah daerah sangat tergantung dengan transfer dana dari pusat dalam bentuk dana perimbangan. Kondisi mengakrbatkan baryak pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan daerah yang bertujuan meningkatkan PAD mereka. Pajak dan retribusi daerah yang ditetapkan seringkali bersifat kontra produktif bagi per:ekonomian daerah dalam jangka p^nla:ng. Komite Pengawasan Pelaksanaan Otonomi Daerah II(PPOD) dalam studinya menemukan bahwa sekitar 70o/o dan total peraturan daerah yang dikelrtarkan berupa penetapan pajak dan retribusi daerah. Dalam jangka panjang
kondisi iru akan merugikan daerah sendrri karena pada akhrrnya investor akan pindah karena merasa ikhm ekonomi local kurang kondusif bagi mereka. Beberapa pernerintah daerah seperti I(abupaten Solok, dan Jembrana telah sukses meningkatkan PAD mereka dengan cara efisiensi dan tanpa mengehrarkan perda pajak dan retribusi yang baru. Hal seperti ini mungkrn yang perlu direpl-ikasikan ke daetah lain. 3.
Standar Pelayanzrn Minimum, sampai saat ini pemerintah belum memiliki standar pelayanan miilmum yang ielrs dan terukur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketiadaan ini menrmbulkan perinasalahan tidak hanya dalam pelaksanaan pelayanan masyarakat, akan tetapi juga dalam peren(:anaan anggaran. Penentuan alokasi angg t^n akan jauh lebih mudah apabila zda standar pelayanan rninirnum. Selama rni pihak pengusul dan pembahas arrggprarr menggunakan sanran urut vang berbeda. Dengan adanya standar pelayanan minirnum, maka perdebatan yang tidak perlu antara pengusul dan pembahas dapat ditekan sehingga dapat r^n. Di samping itu dengan adanya standar pelayanan mempercepat proses pen1ry5.rtrutr ^trgg minimum, maka ltihak terkait dapat melakukan pengawasan atas penyediaan barang dan jasa publik tersebut.
4.
Perencanaan, Penganggaran, Evaluasi dan Pelapotan, perencanaan dan penganggaran pembangunan merupakan tahap awal dalam melaksanakan pembangsn^n. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah ketrdaklelasan mekanisme perenc naarr dan penganggaran yang ada. Undang-Undang 1t5 tahun 2004 tentang mekanisme perencanaan pembangunan nasional belum Tiniauan Pelaksanaan Kebiiakan Desentralisasi
Fiskal IV -
13
Sekilas
dapat memberikan arahan yang jelas mengenai mekarusme perencanaan pembangunan tingkat kabupaten, sementara itu mekanisme yang drgunakan oleh sebagian besar pemerintah daerah belum dapat mengkomodasi kebutuhan masyarakat. Selain itu keterlibatan DPRD yang cukup besar dalam mekanisme tersebut mengakibatkan terciptanya intervensi politik dalam penentuan keputusan terhadap perencana n dan penganggaran pembangunan. Untuk itu perbaikan terhadap mekanisme perencanaan dan penganggar^rt yang ada hendaknyz dapat mengadopsi prinsip-prinsip good go\rernance (transparansi, partisipasi dan akuntabilitas) sehrngga dapat mengembalikan proses perencanaan dan pengangga-ran pembangunan kedalam t^t^ran proses pembangunan komitrnen stakeholders secara keseluruhan untuk mencapai kepentingan bersama. Perencanaan dan penganggaran tidak akan memberikan hasil yang maksimal apabila tidak diikuti
dengan evaluasi dan pelaporan yang baik dari pelaksanaan program. Saat ini belum ada mekanisme evaluasi dan pelaporan yang baku. I(alaupun ada, pemanfaatan dari hasil evaluasi dan pelapotan masih terbatas. Evaluasi yang komprehensif relatif janng dilaLrrprtt oleh stakeholder yang terkait.
PENUTUP
7.
Desentralisasi frskal merupakan salah satu upaya dalam pengolahan kekayaan negara secara
proporsional dan berkeadrlan demr mendukung percepatan perwujudan
kesejahteraan
masyarakat dr seluruh daerah.
2.
Desentralisasi fiskal di Indonesia bisa dikatakan masih telatif muda. Masih banyak yang harus dipetsiapkan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Beberapa aturan (ru/es) yangdikembangkan oleh Bahl sekranya dapat digunakan sebagai acuan atau standar perkembangan desentralisasi fiskal. Disini peran pemerintah pusat dalam menyiapkan kerangka regulasi desentralisasi fiskal sangadah penting. Penyiapan tidak akan berarti jika tidak diikuti dengan implementasi regulasi dan konsistensi penerapan regulasi baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Inkonsistensi dan ketrdakjelasan dalam implementasi regulasi akzn menimbulkan kebingungan bagi pemenntah daerah )rang mana sehari-hari berhadapan langsung dengan publik.
3.
Desentralisasi fiskal memiliki kelemahan ftekurangan) dan kelebihan. Meteka yang kontra dengan desentralisasi beranggapan bahwa desentralisasi akan menimbulkan disintegrasi bangsa karena masing-masing daerah dapat bertindak secara sendiri-sendiri. Di samprng itu ada juga yang beranggapan bahwa desentralisasi hanya rnernindahkan isu korupsi dari pusat ke daerah dan ini diperkuat dengan kondisi di lapangan bahwa banyak kasus-kasus penyimpangan dana APBD yang diajukan ke persidangan. Terlepas dari pandangan kontra tersebut, Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat heterogen baik dari segi penduduk maupun karakteristik daerahnya, desentralisasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik dari pemerintah kepada masyal2ftx6tya. Desentralisasi juga merupakan cara untuk meningkatkan mobilitas pendapatan daerah, inovasi dalam kegiatan ekonomi, akuntabilitas dad pejabzt terpilih dan partisipasi dari masyarakat bawah dalam pemerintahano. Dal^m iangka panjang, desentralisasi juga akan dapat membenkan distribusi kota-kota yang lebih meta:t^.
e
Roy Bahl. Opcit
Ti n i auan P
e I al{s
an
aan Ke b i i akan D
es entr
al is as
i
Fis kal
IV
T4
$ekilqs, pu.g-tunryf
lp,f-ffi
,,
Adanya kewenarLgan pemerintah kota untuk mengelola tingkat pajak di perkotaan dapat rnenekan arus mllrasi ke kota-kota besar, sehingga beralih ke kota-kot^ y^ng lebih kecil dan pada gilrrannya kota-kc>ta kecil berkembang lebilr pesat. A +.
5.
Berikutnya yang harus diperhatikan juga adalah pentingnya monitoring dan evaluasi yang kuat dari pelaks^n?afl regulasi yang berkaitan dengan desentralisasi fiskal. Peran monitoring dan evaluasi akan menentukan apakah desentraU.sasi fiskal sudah berjalan di arah yang benar atau tidak.
Terakhtr yang tak kalah penungnya adalah kemauan politik dari pemerintah pusat untuk menjalankan desentralisasi fiskal secara konsisten. Kemauan politik disini tidak hanya menyerahkan ur-rsan yang menjadi rvewenang pusat ke pemerintah daerah saja, tapi iuga termasuk pembiayaannya (sumberdayanya). Senngkah penyerahan wewenang udak dibarengi dengan penyerahan sumber pembiayaannl,a kepada pemerintah daerah. Akibatnya pemerintah daetah kelabakan dalam membiayai urusan yang sudah diserahkan ke daerah.
Refetensi Badan Pusat Statistik, "Pendapatan Domestik Regional Bruto".Beberapa tahun penerbitan. Jakarta.
Bahl, Roy,"Implementation Rules for Fiscal Decentralization". International Studies Program : School of Policy Studies, Georgia State University . Atlanta, Georgia. January 1999. Bappenas, "Kumpulan Materi Seminar Nasional: Penerapan Prinsip Transparansi, Akuntabilitas dan Partisipasi dalam Pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) non Dana Reboisasi Tahun 2004 di Daerah". Jakarta, 2004.
Indonesia," Progress Report on the Millenium Development Goals". Jakarta, February 2004. Matsui, Kazuhis,t,"Decentralization in Nation State Building of Indonesia". IDE Research Paper no 2. August 200:i.
Meir, Gerald M.'(Leading Issues New York 1995.
in Economic Development".Oxford University
Press.
Nota l{euangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, berbagai tahun penerbitan.
Tinjauan Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi
Fiskal IV - l5
MSNOIINNDAIRAH DATAilINOI(A 2004
PENJELA$AN UilIU]I|
NIIBNOIINNDAIRAH DATAIINOI(A 2004
GEOGRAFI
Pembangunan Daerah Dalam Angka 20M
E|AEI r GiEC)Gif,lrLFl5 1.1. Umum Secara geograi'is, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kelautan dengan luas laut sekitar 7,9 juta km2 (81 persen) dari luas
juta km'(19 persen), terdiri atas L3.667 pulau \/ang sudah mempunyai nama dengan jumlah pulau yang keseluruhan wilayahnya. Sementara luas daratan 1,9
berpenghuni sekitar 957 pulau, dengan garis pantai sepanjang lebih dari 81.000 km
dan daerah pesisir yang menyertainya. Kepulauan tersebut tersebar antara 6o 0B' Lintang Utara dan 11o i-5' Lintang Selatan dan antara 94o 45' Bujur Timur dan 141o 05' Bujur Timur. Di Indonesia tegiapat tiga daerah waktu
:
a. Daerah waktu indonesia Bagian Barat (WIB), meliputi Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Madura, Provinsi Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
b, Daerah wakl:u Indonesia Bagian Tengah (WITA), meliputi Pulau Bali, Kepulauan Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Pulau Sulawer:i.
c. Daerah waktu Indonesia
Bagian Timur (WIT), meliputi Maluku dan Papua.
Sejak tahun 2A0L, Indonesia terbagi menjadi 30 Provinsi dengan 4 (empat) tambahan Provinsi, yaitu Kepulauan bangka Belitung, Banten, Gorontalo, dan Maluku Utara (sejak tahun 1993 Timor Timur tidak lagi merupakan wilayah Indonesia). Pada tahun 2003 Provinsi-F'rovinsi tersebut terdiri 348 Kabupaten, 92 Kota, 4.994 Kecamatan, dan 70.921. Desa. Sebetulnya sampai akhir tahun 2003 jumlah Provinsi di Indonesia telah berjumlah 32 buah dengan adanya pembentukan 2 (dua) Provinsi
baru yaitu Irian Jaya Barat (Irjabar) yang disahkan pada tanggal 7 Juni 2000 dan Kepulauan Riau (Kepri) yang disahkan 25 Oktober 2OO2, namun karena tidak tersedianya data maka l:edua Provinsi tersebut belum dapat disajikan.
Selain ada pemerkaran Provinsi, sejak tahun 2000 lalu terdapat
2
(dua)
Pembangunan Daerah Dalam nngka2904,,r
Provinsi yaitu Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya sesuai dengan perubahan status
menjadi daerah otonom berubah nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua.
Dengan kondisi geografis sebagai negara kepulauan yang sangat besar, masalah seperti persebaran penduduk, pemerataan, serta pertumbuhan yang tinggi menjadi masalah yang penting untuk ditangani pemerintah. Dalam hal ini peranan
pemerintah dalam mengembangkan usaha-usaha pemecahan permasalahan kependudukan tersebut perlu terus dilanjutkan.
L.2. Pembagian Daerah Administrasi Tabel O1 memperlihatkan bahwa Indonesia yang luas wilayah daratannya 1,99 juta km2, terdiri atas 30 propinsi, di mana 26 merupakan Provinsi lama dan 4 Provinsi baru. Keduapuluh enam Provinsi lama tersebut tidak termasuk Timor-Timur
yang berpisah dari Indonesia pada September l-999. Sementara itu jumlah kabupaten (348 buah), kotamadya (92 buah), kecamatan (4.994 buah), serta desa/kelurahan QA.927 buah). Dilihat dari luas wilayahnya, Kawasan Timur Indonesia memiliki luas wilayah 1,3 juta km2 atau hampir 2 kali dari luas Kawasan Barat Indonesia yang hanya 0,6
juta km2. Apabila dibandingkan kepadatan penduduknya pada tahun 2000, Kawasan Timur Indonesia yang hanya 28 jiwa/km2 masih kalah jauh dengan KBI yang 27A jiwa/km2. Grafik 01 menunjukkan perbandingan luas wilayah administrasi Indonesia menurut Provinsi dan pada Grafik 02 dapat dilihat perbandingan luas wilayah KBI dan KTI.
Pembangunan Daerah Dalam Angka 2004
GRAFIK 1.1. PERBANDINIGAN LUAS WILAYAH ADMINISTRASI INDONESIA MENURUT PROVINSI TAHUN 2OO3
400,000 350,000 300,000 250,000
E
Y
200,000 150,000 100,000
s0,000
0
aao€qsb6E-AaE!oqi64F 6O9dCIOOC9dcFts !6J1q!t5!pro! riE6la6!casul g I a F o b a I. t 4 4qc66dbd!6XE4244 dr,@ab>dv!o 6bq xt' V
o.i
d
r
a
6
!4r!A6OUoZ& 6 4
4
C
/
oo ..
Provinsi
PERB,\NDINGAN LUAS WILAYAH KBI DAN KTI TAHUN 2OO3
tr Kaw. Barat Indonesia
nKaw. Timur lndonesia
A
Pembangunan Daerah Dalam Angka 20M
Demikian pula pada aspek administrasi pemerintahan daerahnya. Kawasan Timur Indonesia dengan wilayah lebih luas hanya terdiri atas L4 Provinsi, 132
kabupaten,
25
kotamadya, 1.589 kecamatan, serta 22.439 desa/kelurahan.
Sementara KBI dengan wilayah lebih kecil terbagi dalam 16 Provinsi, 170 kabupaten, 64 kotamadya, 3.329 kecamatan, dan 48.021 desa/kelurahan.
Apabila dibandingkan antar Provinsi (Tabel OZ), Jawa Timur merupakan Provinsi dengan jumlah kabupaten/kota pating banyak yaitu 38 kabupaten/kota, sementara Gorontalo dan DI Yogyakarta merupakan Provinsi dengan jumlah kabupaten/kota paling sedikit yaitu 5 kabupaten/kota. Sementara bila dibandingkan jumlah desa/kelurahannya, terbanyak adalah Provinsi Jawa Tengah dengan 8.556 desa/kelurahan, sementara terkecil adalah Provinsi Bangka Belitung dengan hanya 318 desa/kelurahan.
1.3, Penggunaan Lahan Pada Tahun 2002, luas lahan yang digunakan untuk usaha pertanian mencapai
46,9 juta hektar, sedangkan untuk luas lahan yang tidak diusahakan untuk pertanian mencapai 15,9
juta hektar (Tabel O3). Luas lahan tersebut belum termasuk luas
lahan yang ada di Provinsi Maluku dan Papua. Bila diperinci menurut penggunaannya/ lahan yang paling luas adalah lahan yang digunakan untuk perkebunan yaitu sebesar 16,4 juta hektar (26,LO persen). Urutan terbesar selanjutnya lahan yang digunakan
untuk tegalan/kebun sebesar L3,4 juta hektar (21,,29 persen), kemudian lahan untuk tanaman kayu-kayuan dan sawah masing-masing sekitar 8,3 juta hektar dan 7,7 juta
hektar (13,27 persen dan 12,35 persen). Selain itu, lahan sementara yang tidak diusahakan mencapai 8,5 juta hektar (13,60 persen), sedangkan untuk bangunan dan halaman mencapai 5,3 juta hektar (8,46 persen). Penggunaan untuk padang rumput dan kolam/tebat/empang, masing-masing sebesar 2,0 juta hektar {3,25 persen) dan 0,6 juta hektar (0,91 persen). Penggunaan lahan terkecil adalah sekitar 0,5 juta hektar (0,76 persen) untuk tambak.
N O Q !g ql.$ !o. :t \r o- Qc?o) O- @- -: os0NreN
cO cD
N o l.- r o) @ @ $ @ r O @ o $ N O I O o (Or@@Noo6€ss$ v@ @ts r- $- N N- 9- r)- s v- @ r_ o- o- oON N. ry m \i^ O- 0- N rN Or@ @ l_O-
N(QoNvN |: s @ !q n IN 3O€€$.1 !: NOr- $
O r N o 6v 0- @ ri N
;o
NO 6 h nN € OO rN o tON v - N n NON$ bO@r O - Ci) N O S - O OO Nr rDrO @
o
rri
S F N rq e
{
N @Nf)O
()@@€r@S
-
s
N rD O)CJ (c) r
O) r
N r
N q Oe
r
m N N r
N (\ N
N
o
o 0,
o
r
O$OcoOO NNN
O 0VOO@
N ()
6
so
o 'e
O O) N O O C! O |.r) N
qq
\N
o 3K 6o c egX
q
q
r u) q 1 \.. q q \.. n.: e OO
N O N N O oO O
c? e?
qqqaq N N r
O (r) N r
o
F.:sg)F o
rN
|!
-m ON
6 o 6
N( Od
N.t
N
oao
rf .f N (o N c) N I (ol-.- o r) 6 () o o r f) 0 - o lr) 6 F O @(O O lO $ 6 N m O @ < N N r N (O o (o \o G f) r o) o € r, U) N N N @ C) S - e o o) @
o r) cD
v€c.ioFri(oooo()NoNcooN@o O m d $K)$Orr(O(OgN$tO N
E' P 5d;5OH : c P E?i E:=-=,X F_ -S o E'cee2qoPP*PE* Rrc .E ;6E tsfi H IE d= A6-a6 {doEiiZitF:FF:>r: ! c E g-6 6 6 O o O O o o o o o o D -E -.: o 6i66ii6E oF d d d d d d 6666 d a o o 6o 66* o ol o ts6 o!€6 | 2 ! ? 1J^ ! I I l: X:6 0 6 CC6 6tu o o G 6 o o o o o 6 rc o o o o o o YVYVYYYYYYYYYYYYYYY
si A ooOOo o oRo oi oi o Gir oiGi o s < - v < ai o vo - s o o @O OO S NC.lrO O@ '@rOrO S € N
sO
Or
No-N
a a
o'1 q
s
o
^.o
N;
c
ft rt (D 6 d
o q
@
@
o
G-
; o 6
6J gtr c C) C)
9;n
;:o lii o F:N
J nE o o
sE
ilEr 5sb
' r*
P €-s . :-s
=c EB*:
*
€'b HH'*d.EE* se8'FHgsg
P
3
F
A?? _t=-EEsFtE Esrs:*{*,p EE EE e' R $ 6E'9 5 E E -;5€ 5'e43'='= s F F i e F 5F-sr= !i! e; EE EEi E Ei E; "
:;;;s;$55XiiiEF;ssee;;;;di -
si o
so
€i
r d o P:S
P
:: I :
a
E
P 3 R e N RN R R
tg
3
o : G
J
o EI {)' 2 T (t) o
z
ic fic :'6
m-j
PIilIBNOMNDAIRAH DAI,A[{NOI(A 2004
DE]TilOGRAFI
Pembang:unan Daerah Dalam Angka 2004
E tlie, e DETVIOGi;it/lFl 2.L. Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk Peftumbuhan penduduk Indonesia dalam kurun waktu tahun 797I - 2003 cukup menarik untuk rlicermati. Pada tahun L971, 1980, dan 1985 jumlah penduduk Indonesia masing-mari;ing sekitar 118,3 juta jiwa, \47,3 juta jiwa dan 164,0 juta jiwa, sedangkan pda tahun 1990, 1995 dan tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia masing-masing sebesar 179,2 juta jiwa, 194,5 juta jiwa dan ZAL,2 juta jiwa (berdasarkan hasil Scnsus Penduduk 2000 yang dilakukan oleh BPS jumlahnya
menjadi
201.241.95i9
jiwa. Sedangkan untuk tahun 2003 jumlah
penduduk
Indonesia adalah 208..1.22.000 'iiwa berdasarkan data Podes 2003 BPS
Grafik 2.1. Kepadatan Penduduk Per Wilayah Tahun 1995, 2OOO, dan 2OO3
936
1,000
933
900 800 700 600 E
Y
500
.: a
400 300 200
\7 16
100
Sumatera
Jawa+Bali
Kalimantan
24
Sulawesi
Indonesia lainnva
Wilayah
lc
Pembangunan Daerah Dalarn ltngka 2004
2.1.1. Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk Tahun 1971-19130 Apabila dicermati, jumlah penduduk sebesar 118,4 juta jiwa pacla tahrr.r: L97L
terdiri atas 58,3 juta jiwa (49,2 persen) laki-laki dan 60,0 juta jiwa (50,8 pr:r'sen) perempuan (Tabel O4). Dari jumlah tersebut,9B,9 juta (83,6 persen) brcr;:
Tingkat kepadatan penduduk antarkawasan maupun antarProvirrsi tal'r,.Irr 197L bervariasi (Tabel O6). Kepadatan penduduk di KBI sekitar 161 jiwa/knr2 atau harmpir 11 kali kepadatan penduduk KTI yang hanya 75 jiwa/kmz. Provinsi cJengat jumlah penduduk terpadat adalah DKI lakarta dengan 6.847 jiwa/km2, semerntarar Provinsi dengan kepadatan penduduk terendah adalah Papua dengan penduduk kurang clari
5
jiwa per kmZ luas wilayahnya. Berdasarkan Sensus Penduduk 1980, jumlah penduduk Indonesia adalah 747,3 juta jiwa, terdiri atas 73,2 juta jiwa (49,7 persen) laki-laki dan 74,f iulier jiwa (50,3 persen) perempuan. Dari jumlah tersebut 727,7 juta (86,6 persen) b,r-.rada di
KBi dan 25,6 juta (13,4 persen) di KTL Dari hasil sensus tersebut, kc,rserrtrasi penduduk masih berada di Provinsi lawa Timur dengan jumlah penduduk 219,21 juta jiwa, sementara jumlah penduduk terkecil terdapat di Provinsi Timor-Timun sebesar 555,4 ribu jiwa.
Tingkat kepadatan penduduk antarkawasan maupun antar Provinsi pa:lei ':ahun 1980 bervariasi. Kepadatan penduduk di KBI adalah 198 jiwa/km2 luas wirayalr dan KTI 20 jiwa/km2. Provinsi terpadat penduduknya adalah DKI lakarta denq;'rr", 9.761 jiwa/km2, sementara terjarang Papua dengan penduduk kurang dari 5 jiwa pr,:lr l.:m2.
Dalam kurun waktu
9 tahun, dari tahun I971
sampai 1980, r-atti-rata pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 2,32 persen pertahun. Dibandingl,:an ratarata nasional, pertumbuhan penduduk KBI relatif lebih rendah '.2,!0 plersen), sementara KTI lebih tinggi yaitu 2,86 persen. Namun demikian laju perrr.rnnl:uhan tertinggi untuk tingkat Provinsi berada di KBI, yaitu di Lampung (5,77 persen). Tingginya pertumbuhan penduduk di Lampung disebabkan tingginya aru:; nrigrasi
16
Pembangpnan Daerah Dalam,{ngka 2004
dari luar Provinsi. Sr,:mentara terendah ada di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan pertumbuhan hanya i ,10 persen (Tabel 05).
2.1.2.
Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk Tahun 1980-1990
lumlah pendudi-tk Indonesia pada tahun 1990 sebesar !79,2 juta jiwa dengan rasio jenis; kelamin 91,',4 (99,4 laki-laki dari 1-00 perempuan). Dari jumlah tersebut, sekitar t46,7 juta (8.1.,9 persen) berada di KBI dan 32,5 juta (18,1 persen) di KTL Konsentrasi pendudu| masih tetap berada di Pulau Jawa dan Bali, namun Provinsi yang mernpunyai jum ah penduduk terbanyak adalah Jawa Barat dengan jumlah 35,4 juta jiwa. Kepadatan pen
25 jiwa/km2. Provirrsi terpadat adalah DKI lakarta dengan 12.392
jiwa1km2,
sementara yang terja'ang adalah Provinsl Papua dengan tingkat kepadatan kurang dari 5 jiwa per km2.
2.1.3.
Pertumbuh,i,rn dan Persebaran Penduduk Tahun 199O-2OOO
Berdlasarkan Se,nsus Penduduk 2000,
jumlah penduduk Indonesia
adalah
20I,3 juta jiwa dengan rasio jenis kelamin 100,6. Dari jumlah tersebut 164,8 juta (82 persern) berada di KBI dan 36,5 juta (18 persen) di KTL Provinsi dengan penduduk terbesar ade lah Jawa Barat dengan jumlah 35,7 juta jiwa, sementara yang
terkecil aderlah Provinsi Maluku Utara dengan jumlah penduduk hanya 0,67 juta jiwa.
Dalam kurun waktu 1990 pertumbuhan pendudr-
-
2000 tersebut (perhitungan tahun (n)
k rata-rata 1,72 persen pertahun.
=
9,67),
Dibandingkan rata-rata
di KBI relatif lebih rendah (1,65 persen), sementara di KTI 2,04 persen. Laju pe,tumbuhan tertinggi berada di wilayah KTI, yaitu di Provinsi nasional, pertumbuhar
Kalimantan Barat (72,18 persen). Sementara laju pertumbuhan terendah di Provinsi Sulawesi Terngah yaitu i;ebesar minus 13,08 persen. Kepadatan pendrrduk di KBi pada tahun 2000 adalah 269 jiwa/km2 dan di KTI
27 jiwa/krrr2. Provinsi terpadat penduduknya masih tetap dipegang DKI
Jakarta
17
Pembangunan,Daeralr Dalam Alrgka 2004
(L2.57L jiwa/km2), sementara terjarang adalah Provinsi Papua dengan kepadatan hanya 4 jiwa/kmt luas wilayah.
2.1.4.
Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk Tahun
l.inclkat
2OO3
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2003 sebesar 208.1 juta jiwa rlelrrgan rasio jenis kelamin 99.5 (99,5 laki-laki dari L00 perempuan). Dari jumlah ters:ebut,
sekitar 169.1juta (81.26 persen) berada di KBi dan 39.0 juta (18.74 persen) di KTI. Konsentrasi penduduk masih tetap berada di Pulau Jawa dan Bali, namun F'r,c,,rinsi yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak adalah Jawa Timur dt,:ngan jurnlah 35,0 juta jiwa.
Kepadatan penduduk di KBI pada tahun 2003 adalah 275.4 jiwa/km2 clan di KTI 30.5 jiwa/km2. Provinsi terpadat adalah DKI Jakarta dengan 11.106,8 jivrra/462, sementara yang terjarang adalah Provinsi Papua dengan tingkat kepadatari [.lurang dari 6.5 jiwa per km2.
2,2.
Ketenagakerjaan 2,2.t. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Tenaga kerja merupakan modal bagi bergeraknya roda pembangunan Jumlah
dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengar pr-oses
demografi. Bagian dari tenaga kerja yang aktif dalam kegiatan ekonom di:;ebut Angkatan Kerja. Untuk menggambarkan persentase angkatan kerja yangl bekerja digunakan parameter Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TTPAK.) yang menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 tenaga kerja.
Penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) digolongkan sebagai angkat.irrr kerja bila mereka bekerja atau mencari pekerjaan. Sedangkan bila bersekolah, rrrenr;urus rumah tangga dan lainnya, digolongkan bukan angkatan kerja.
18
Pembangunan Daerah Dalam Angka 2004
Grafik 2.2. Ti ngkat Pengangguran Menurut provinsi Tahun 2OO3
o o
$ c o
{,
o
$€3€;dg;;EEiEF Provinsi
Pencluduk yang termasuk sebagai angkatan kerja dan sedang tidak bekerja
atau sedang mencari pekerjaan digolongkan sebagai penganggur. Perbandingan antara jumlah penganllgur dengan banyaknya jumlah angkatan kerja disebut sebagai tingkat pengangguran Pada Tabel O8 terlihat bahwa tahun 20AZ (berdasarkan survei angtkatan kerj e nasional yang dilakukan BPS), jumlah angkatan kerja mencapai 90.7 juta jiwa dengan tingkat pengangguran 9.5 persen. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan Provinsi dengan tingkat pengangguran yang paling tinggi (t6,Sl7 persen) can Provinsi Kalimantan Timur sebagai Provinsi dengan tingkat pengangguran terendalr (3,85 persen).
2.2.2.
Lapangan Pekerjaan Utama
Lapangan peker,aan utama dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok yaitu pertanian; pertambanr:;an, penggalian dan listrik, gds, dan air bersih; industri
19
Pembangunan Daerah Dalam.A"ngka 2004
pengolahan; bangunan; perdagangan besar serta lainnya. Lapanqan p,:lkerjaan kelompok lainnya meliputi sektor-sektor, transportasi, keuangan, dan iasa la nnya.
Grafik 2.3. Struktur Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utrrma Per Kawasan Tahun 2OO3
l j
35,000,000
3
0,000,o00
2
5,000,000
(s
20,400,400
L
15,000,000
10,000,0o0
5,000,000
o
Sumatera 1.
Pertanian
Jawa +Bali
2. Pertambangan, penggalian, listrik dan gas 3. Industri, pengolahan, bangunan, perdag.b€sar, angk.&trans. Ke0angan dan jasa
Berdasarkan Tabel 10, dapat
dilihat bahwa pada tahun
2OO2:;udah :;;elrnakin
banyak (12 Provinsi) yang persentase penduduknya yang bekerja di serktor;:,::ft,anian kurang dari 50 persen yaitu Provinsi DKI Jakarta (0.50 persen), P"ovins;i l3ilnten
(23.93 persen), Provinsi Jawa Barat (32.90 persen)/ Provinsi Bali (37,5ii persen) Provinsi D.L Yogyakarta (39.25 persen), Provinsi Kalimantan Timur (40.15 persen), Provinsi Jawa Tengah (42.22 persen), Provinsi Riau (42,72 persen), Provirr:;i Jawa Timur (47.O9 persen), Provinsi N.Aceh Darussalam (47,62 persen), Prr>vinsi Kalimantan Selatan (49.38 persen) dan Sulawesi Utara (49.68 perser). Senentara itu jumlah persentase penduduk yang bekerja di sektor lainnya tidak jauh, b,r:r'beda antara satu Provinsi dengan Provinsi lainnya. Persentase jumlair pendudr.rk yang bekerja di sektor industri di KBi jauh lebih besar yaitu 13.42 persen sementi:rra pada saat yang sama
di KTI hanya 5.7t persen.
Persentase jumlah p::ndutlu[<: yang
20
Pembangunan Daerah Dalam Angka 2004
bekerja di sektor inc ustri untuk antar Provinsi relatif tidak bervariasi, Hanya terdapat B Provinsi ( ;;' di Jawa dan bali, 1 di Sumatera) yang lebih dari 10 persen penduduknya bekerja rji sektor industri, sedangkan di 22 Provinsi lainnya kurang dari 10 persen.
lFe;!:.E :c.i:6>* EiEEE€* 'see99q : > o d d dsl ,, ::,,
@o
N@s-
@
F
!.9.g
NNF-O@N@ oAiooovojo OO@ONF@O ooo@oNNq -o-
6
j!!iq: ;oas<9
cf)
c{
F
d
E N
o o
N- @- N- O-
N- r- @_ O, O- @- N- 9- (')- O- r- @- @. O- N- $- @- O- @- 1 N- O- r: @- r- O- O- O_ N_ 9 () F@$ FO @ OTNOOON OO N O _ON SN F @ NNO I @ r))r @O @ @ @ONO o F \l A Or t OO .'r N O O O ONoo sl .q q N q q q q o q c? q,:,: -O o q o o @ o e Q aq q \ c.! .q @ ! N clQNNeo O O:@F:O-F s
!- o- @- s_ N-q o- a. \$oN @@ ,Q@Q qo? €qa c\9r! NQN@ N v@ $o
o-
O- N- O_ O- S- O- N- l')- q- -- r- A_ S_ r_ @- O- @- ._- O- 6- O- O- N- O- Q- O- N_ r, O, F O e O Oo O@{ F-Ns OO I N@ I @ ts O r @ r:) AO SF r:) O @t o @ o * oF o N NF @ 60 too Nro o N o -Nq@o N9@Oil)@S-@ NOOOO6OO-OOVQ O@$N c)@ FF NJ crorsi._o o cjso-xrj'-----o -
$- o- r- N,
o-
@FSA q!qv2
I
.{ N\l@ ._ oNF^{ c)O $ O OO F-ONr S@ -iF$sru<j-o r
.-o- c! 6- O_ a- O- o- O'_- NNO 1l)F-- o q O@@ rOe N NN@ O t OO @ S rl)t AO |) O N O F ts O er@ oodms@oo-cjci-oisOO O
6
O- @- O- Od @o O OO u)o @N @ e ro rq or d6iGi;d
O- @- !:)- O- t- O- (q N- -_ 0- O- O- @- O- N- O- O. O- @- o_ O- O- O- trN oN @O O O i:)t OSeN@ASOoS r SoO
s)_ O_ G
o E
@ F,l N N,t fi
rO r O
O- $- t- r- o- N- @_ o_ O ON r@ OO @ SNFON ( @ O@r@ OO@ O @ oo-
Oo@ {@ F@
NrONr O@ - O -@ '-@N@@O { Fo @@ e @ ooooo@@ o o @soooo ;_ F_ o vsrj_ss=._
oo
N
9@
N, O- O,
O- @, o@ @
c! @o oo N_
O@NQ
a\sc? NON@
G
h-- @_ @,
od;
@N
u)G = J
ots o@ NO o@ @o
o{ O, o- N- o- N- o- -- (rl o)_ @- o- @, O. o_ a 11 @- o- o_ r: @. o- O- o- O- o- O- O- O,
Nd
oo+-
;
o- 6- o- N. 6NOq .: c? c! u? OOFQ N
NO
@
0q
OQ tso s@ @o
NN
\@
Dd ro DN t@
N
o N-
@-
@OOr
N
NO ON
N
c
ggP F
ci@
L !
o U z o o
O_ @- -{ O @ 'O F O
F J
q.{ sl-: q q n c! a N a.,r c! \ONN-O q@OFFSeO
s?
O- @, r@ e ON -
qoa
ry
9- N_ e, eNO$N Aq.:!q OQNO
O_ q- O- @- @- N- O- @- @N O$@ { O NO !_@ O @ S O NOO oq @ @ @ FO
qq
6o o
t
G ts
!t, N- o- N_ o- q- N- o. o$r9@o9@ i-@N$rF@O
ota@qqcq-:.:
s
C)F$ON@FO
N- @- o_ o- o@oNNN @OFON
\c!':qq @NOOO oo
-
a 6
o
E
E
o 6
JEt ut)u m?o. !z r< (9 z o
D. N.
o- :q
qo bQ a@
*
rdH
R
dd.i
i*d o
rt-N-o-F-@_@_@,@c!ooN<@o@ .-ON@OOFN c?\qqq.qau"l r-oN--o N
@- o^ @- o- o- e- @- o,9- o- N, o, @- o- o- @- @- r- o- o- @- r_ o_ o- s- o qoo4 @ r o I o No4N soo N@ oo oN@Ne wsN oooosNor@qs oo@N@NF@ro@oN9o@NN oooooNo
z o t
N
.3v
o otd..j
N-
0-: o o 5.? G-
o
o@
N
a
4-
o- !q @N N
@-
9- OON NO NN ots @o
o-
N
a
N
Er a
lq -l @a aZ
gz
F
d:o afl
o-
c 3
ul
Y
r- 6- O- N- @- O- O_ O- 6-'-: .: @_ r- @- $- O- Q_ O- O- 4vrov@Nooaooao@o@@6oo@o@ooNro6o o@v@oo@NNoNs@Noo@oooooooF@oo@o u? .! oq .{ q o a \ o q .! q *: \ .: \ oq q 9 q \FFvqN@ r@@@@T9SOOFNNe rOOO N_
N, r- 6- €- C! 6, o- o- o- N- o_ q- 9- o, N- o- c! @- o- oS@-OTFoNoNOO$O@OTOoONNF@oO@Oo@ OOSOO6O@9aNONN@Oor$FrSoNOOO9@O NoNFS@@6@oN9oFf f @o
d€
a a o
@-
o F
N
-O@Ol @.:9-l
---l
=E
o_
N
oo
.!
NN
N
l
l!
a
lo
I
6:o c >a E !! =
-;
d
NNOONOFOSTFFO@NONt@NoO@OOO-SO@ O@o@O@N@@@OSt@NOo@Sf tsFN@qootsO@ q q oq q 1 q ": \ q @ q1 q g,: q q 09 u? g c! c! c?,.,.9 gONotsQ@OoOONoN@Os@oe ry I FON9Oo@Oo o oNeo6orro o s :EsRr-@@oNstoo
o- @, o_ €- o- O- N o o O r o o o N o 9 a F r N o o o oooc -- v- \* ocjo@ ruo^oor;s nof o.j@N c ooo cnogr'\_o!?qrr'o o oir'o6iicib,ii d- ooooib ci-o oooo
@@ooo@o$NNO6@ooo@@NOOSO@SO@@@r s oo o N o $ N o N o s_- ot-.!O @ 6 d N 6 di 6 _ @ a o s o N ooo@ N d- ci.jo o do da o g".goo@ci --o----'.-J-5'.;-.,i.-;-;-:
@oovNoNooNsNo 33RNSgBg93S9No@oN ii 3 q 3 P x 3 x ; h E 3 s s s 33 a F -v rjN doj .dej F- c6N od ciii so i(6 oj o - o -j ; i.: ;..j,r; ; : ; R ExF 5F; il:; HPe IEil F P [ $ 3 H ]EE p S E $- S g ": oi+-ai-ci c'icjvsja;@;;; .j: d
t U
}<_ -o
g
Cl
c oNO @o@
ai C,
c c
oriri
tES3bES333S33333X F @ @s o o rd 6- r: i qqNa?o S53$43'$oo@No @o ._ &S3 g:3 R p S 9 14 r- I \ L. -\ oj N rj q o - - rj oj *- -* oi ; gEssb:RB gBsss*FsFsHFuH$NFFI!!
c.
9 p
;-di
-
@
g E
o
.f-
@
o
s9 od ze
3FRRgE3SB33Ss@N@o@v@NroFooo@o qqq.
Hf: Sr^< -sz
3
7 l
Ft
eqcJ3:?3[PNS33g53b3*P FEETSESE?E3qFS6g3sNP:3Rs3333R q q q q N N N !r q q a q + o q 9 o iri ii o o di id o rr o o N N ec?e.
r
-Ne-
NNoNo
orF
ci
:.; 3.9.3. g R.E Eq 3-& R 3 b g Sd- 3 s 3 3 3 I ND rN r oo ooo@o - ooo
g-g--
t\l fl q, cr ql
-_
Fri qP
(.
c
do
I __o
333
3e o_
@rOO @s$o od@ri
NN NN
!o so
c (l
z:-
-F r< ZY
<(, Oz
A; us =^< Y
u
IF
Q P O !o 0q (o N.f o $N a g ry @ N o q o.Q @ n @o o o 6NNNO$O@Nor\ q q c'1,' q c! a N3 33 3 3S 3 f, @ o N o @ o @ N @ @ N oi N @ N N @ +o uj o N .- N Aj d c) @ s @ @ v s N - @@ q 9 !o q\ s s kr d 6 !! y^i o q'. oo r o v N o oo a NN o'a @@ o ;o q!
.
:q
nsad
\: ;
J6i oNo
@
o
t\
ojd d (b 66 E 6+ i2 :
c? N
@
3 3RB
q N
.:-
FilSEqDESSEF$SF!F36gS?RRE3g3R6S N @ s o o o o o 9 oN F: F N @ N @ o 6 ci i iri il c @ @ rN o o
NI
ol oj
SsFE€P3HFH;$€Nil;$N;3R$H$*g;8!€ rr9F@
@
o
@
N
(9o oNoO @N$ooO@r o svooo@o@@@o@oso@oooNoror!
No rvN {)@e@ OS6qN ox oryV OOllo_ 6 :ll; ;_El; -o+@NoooSbos oroov 5U - *o6o@ocj+oollo_ gS N g R g g gilF S gS oaq ; 6 o@ @ N d 6 irj :: o i.: 6l irj -l i;.i l; +
o N@o@oov--d;gNbI3; @': q - o N o o $ Noj-o,i - oo9o -cj-:-OO@TONNTSO@<
;5F
= --
^j
NJ @l
ai
@i
;
l T F
t\
n
f1
Z
o
@
ql
@
N
ft
ilc)
.ul G
c
la;;;
.9
a z
z g
. Er* 6
:= EF$=- "hr$i: cc
Ee
-
nbF
0
ul
st$ fif _r. er- tftt:"eoepp=s ;$fi ,:$Ei gr$ *F b5 _EEE€ qE 6ee:j € E E.sF
z,i,i
t;
EP-gF;5fl st E:
d
I
d -! o s s
r No rr b (o N @ - 3 f
S
E
;
EEEE
4s5g
g E=
t 6 *u $= i o.j{ ; s ;; ;2 2:E
3:p I :: 3R &N RNK
S NK
R
z ct
L o
-
o a
6
r; o o I I
; t;
N
c\t
O f- N o) N fQ r) 99 !- r) _q qr (O N 90 F- @ 6 - NO o_r A i N rj Se y? q) o QN S r o Fr !c -{ Na ;si ni .t-ni
@
r
h
o, (o N ry c! C? co (o I.- co o c) N co F_ o 6 ce - c) p !O o, + (o + ; {F- co o io co o N o N o \Or e r o Oo 16 ; N 6 r- r) o cc o rr F o c.j * oj A :: S 99 rj i x oj n,rt cd c.i ; b ; si N -. (.) J (o (O N () L r co N r 6 o t* o i- b r- ia o - o r._ o + F-
je.jp-g;-
.j.j
i\ v ;;
@
N .f d ;o o co ao N d 6 ai ;;
<- F- o d 66b ;6 ;c5 ;; d, ; +"-:cn 6
6!oov (o *' oo R3b333E33;\ 3NE5 ob g6.rSS6 3: 6S E 6 \r co r.) (o f..- .o .o ro
;:SINigt!
!Q
I I I (o o o o (o 6 (o N t- o o
()
co N ; 5 BsRFft iqUilil $ ! gF H gh NH ry or oj rj d rj v oj ci x aj dj N a; oj d
sB x qeHHEH
ro
HH
gsEsEHHtsHKB;ss5::XH:3:F;R333r A9 a
Fco
3338R9:-833sBRR3+R5gg-NNNgjE** rNrO-Nr
u.l
YA ul z u5 (Jo ZE t xuJ fo'
t'.-
cr) (o
co(o
c o
$o s(o
trr Lc ri
oNco $oc.) OON oi ricri NCn
O N
rf) N o O
r)
-()t(f o6)oco ". q q.! oo(co) co@oo @I=N(O
or{-N(o oo)cotf N(OOO cD c\i ct :f (OF-r(.) @rNr
l'* A
N-
o
r $ o q
q;
tt
(o
O
o
6 N N rt
N
b
lr)
o @
ca
s
d
s
@
oo
;
r(O (r) (o 19N 6N
3
'-G
c',
ro (o
I
o .t
'.q
(o
E l
q) !' cq @ o, N 3 o) ro co F. c9 $ Q cl, ro tf - o N o co o) o ; o o A (9 9 @ 9, N !o N r \O cO :O f.- !- @ F N F- !9 N A O {- O N N g yt s. o c'i cd <' r.r od c.; N t@ e L 9 q! N Y? @ € -(o :.q o r o oD @.f6i - $ O N -
J-
o
E
j E q) A c-! - $ (r o <.t-^i9S r-oo-
P !! I N q? 9q co ce O
o \t N (o r* c.j trl .q ci rri O }ri rso $ bo o ;
f.io r) ni N
o, F- fo N c.i bc + F: iri ; d ; sj o o ri ^i o N ^j
o $ N 6 6 c, rO (i N Ja6 J ;=
lf)ef'-NN
\mv
-jdci (oort
o
(.)NC')
N
(o r o 6 !! :f ry o * o) m N r N o o) t\ @ N o o O o rl $ o (O N c9 N (o cr l- r n * F i co o N in o t €o N <.l o @ !.l F- Fr (o N 6 N cr co co ; bo r) ir + o b dc o ai o; : g- 6d rA\o $rj €jsidatrjv oai ; ;
E
()
6r
I
o o O) o
N N
c
c;
.c
c{ o,
tt o
C
a c 6 !
h o !+
or)$ oc.tt orici rON
s .q
qi
0E f, E
(g
g
E= uJ
N c, .f
rc
q< 3:z1 rlrJ{
-uJ
c.j
c! S N co co N r $ N N O co @ ro r co N O) r {) \ r N 9 ry Iqt !o \f N ro a? 09 ro ro IN --F ('J ru co .t br s o s
1 g.
a<-* =< *r == zfr <= @=
N
NO
l'.- f.- tt oeN d; oi
r) r r) (.) sI q? !a I F lq a 99 q (o { (o o) t r L') $ o vt'- N @ ; cct rj xj :{ oj So q 92 g {) I. o tf -@ !f \qa?o or N o) N rt o ; N -Gi
N o o, d r
(o o N N co N () o F_ N c) :$ o) \N lr E o o, Q o r F $ o @ @ o.c- fj N s (o b ij i{ + r N No co - o) : o - co N (.i o 5 +
oroN rS(O
r
NOO
cd-; o)o)N \aoq
@F - C.I
N
;
NC'TO
N
@-
;ci mr
;o j o o ci v
.o a
i c o a D c c o od O
:
'- 6 G c
c o
6
o.g
-==
E
a*
s
==sE= '.H$E g5f;FH p r* FfiPaa -E PE= EEEE:"i{{s'P'=q e
3ef v)i Eg F-tt $E €E.g= :: tE q€^ a: € n P P F; ''re
F
i
€E >- o'- Etr Etr Ftr FF gE x g g * * i 2 6 d e 4 6ii d -5 c, 3 5 i ; i s EE5 F ;5; aa 2j g s c N co <- .o (o r- co o> 3 : : : : P g 5 PPR I N R N R R R R R B rc
o
J
cF
t=
+
] E}; .;f,=E e NF
;z6c
-g
G.L
G
6
l J
lrl
f
o C G
c o o c) c a G Q c io G
0)
E
Y E
z x6 I
aG co
:{ @
c a o C 6 l o
cc G6 (! (g
33 6(o
G G q
z a
a 0-
I
.c 6
) c a o
E
-o gs E l
a
o
:<
I 3 3.8 388838888389388888388988888888
ooool ooool ooool
88 88 3 8 3 8 3 8 8 3 3 3 3 3 I 3 3 8 3.8.8 3 3.8
a
3.
3 S R- [ q 5
s
R
e
s
3q
q
q !. g ]. g8€
;.
e"
33E3e53Rg
I
R,5-e C 3.3 8 3-3-:.P": E @ ts F e o
e
3.
jgg:gg g+!;3 ;;?393$sBPss P-
.$.
ry. _8-
g3
l
q
5. s. 3.
F.
E.
o :t
ii
.;
EE
N_r
q
g aN
i
PF 6irio
I
'-"1 l oo-ol
36P
NT -- $,
o++ql
FNN@I
s o $ a N @o @s r
- N N tNt
6i6
$o
o, oaooNl ,j r-; ts Nl o@
J
6A
oo o- o_ oo co
{:
)-
(:)
f,).
:
ca
! ii) o Dl
(!
d
o el I
t.0
I I I
I
:o-
c 6
R3g
f
R
SS CRSb S 3S3 3
;3R3;.3&-83.3
33
q
oo
oq o- @.
-l D @ O $l
F
"'"1
-ooOOOO-N9OON'_OOOOOOOeOOOOOC
t;
---l O r'-l
ro-
;.--l
a.
E
(n
E
I
o
!
1l
;; Ll
t,
N(A
;
r@
NOOO tsrrO oooo
oFN @! r OO Vot_OO O@6 o o @O @ @ N N O O O $ oe 6 : 6 + < o @ - ts o N- N- v. q o. q q s- -_ q N- d. o_ S_ q o- 6. N_ @. a -NNo;._dac-pooo@oo@No@o@-Nort@c N rNo6--d Ni\;-._NN -s
@-q
t\
5 e
o
Sb355&
6.9 o F l
E 6,(,
E]
tr= :ci
z
o - ooiujdso ..(i::Ne a,:
XI l< OF d.)
888
E
I 3I
888
I
388
8. 8.
I
8
8. 8- 8-
8
8. 8, 8.
8
8. 8, 8. 8.
__l
oNq@ N---S-\ NOO@
{.
c'!
loo q ooool a- o- o, o-i lo- q ooool oo9ol
loo
o-
;: ; o
@-
,ri
ts
o:i
t99 9:l
-oool @N@@l
----l o@@.jl
N--
oo
;., NJ) 6<:
F I I I
I
s
0G6
b- R.
O os
E3
Is
e e N, F 3 3_ o O S - - !? !!:
s.
33
e,
r;
e.
E @ N 6 !_ o O rN-N
i
3q3E @ ts s O O
a: @t
q, q.
.3 o S O _3
-
l-o q roool {- v, o,6-l loN @
3.0
lr
e R63 35 3 jr
a0
*s^jo
G
R
3 8 b S p g.;.3-g g e 9.5 :.R.N-3 g 9,3_R FN E e o oos oN$No
o - N so
$ ar$
rN
-
t--
60@o go_N o, t" roooN
6-
G '-
c)i
i
o o
--l @ u){ *c)l
----l la-l-' o-'t ooool
:
I
I I
--"1 {cl
;l : ol vl
J
I I
lN
to lo IN
o
m
l = l F Y f, t F
o
j
mu*.a(D z< E V<
I<
o-oNo o
o
FXJ;6
z< uo La
\--l
>oruol r o o al ao ioo6ii
R.*.E;.6
rNN6o{)oOq:t@NroNN N@ $ O@r$@ N@FN6: 6 L ij vi s il o o : ;- F- o- o. o- o. o, s- N, o. @- {- t- @- @- @, a- @- o- \ SoO $ SOO o - @ ON r @oNoS!O@@ O ru o o o o NN-FF-'_ r-oNNr._r -ri\;-N.--
:93XH
f< oa
9Fro
-NNrQo o
s8 s838888888888888888888888888
z) 6? ^
6trif, <9'l
S E R.E 1.3.3.&;.6.R"R
_s.
r(o
=t
3:3
o o o o - e -o
p. A I 3 E g. s. 5. p 3. X R 3. S 3 E, b. F 3. A R i a 6. .8g55xe53R I F. fi. S. sRNjg :ae?o9' R9 RRRSR-Ni
3 3 3 S 3 N 3 8 S 3 I 3 N K I 3-S $,3-P 3 :-3 E F h,3.+ 3 6 Shsa's Rfi Sb d3RS35536 g g?3333h p63P o
I
N_
-- r-:
L13353
l'-
U'
= o
N
E
= f;5 Esc q;E
*'sE:
i55;E F FFE;E fi E: E I 555 5 z
l:-
s5f;s8 =r[EF s ** H*Pgg HsE EEEE?*!3?flH;i
olK -:. I G I-le t;
d c l c
lv)
lo t o
L_
-.16
lu;
gE g
g*
.No$o@ts@-3:*9:PP:P9R&NRNKRNRRF
g
9
gE
ct ';;
in @
E
-!e=,*E
o
Ia
lF g =.!
leFgl ;
16SZa' I
]d
c o c o I
c o
lc
I
l"
o
ln
I
I
C
r6
h
los
a c 'o
IF
I
aii
E
I
!1 !?
(: l: ii :r ii l: o.. t{:: l: at rc crt
E5 .t
"l! -ut ti: lu I ",
Z;
lE
a
l;
.E
ti l3 - t..
:i
!: ::
N a
.a
-
It
J
N co
o o
o
PII{BNOIII{NDAIRAH DATAIINOI(A 2004
EKONO]UII
Pembangunan Daerah Datam Angka 20M
e/^8 3 EK()NOMTI 3.1. PDRB (Pertumbuhan dan Struktur) 3.1.1. Produk Domerstik Bruto (PDB) Berdasarkan perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga konstan 1993, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2003 adalah sebesar 4,10 persen. Apabila pada tahun 2OO2 nilai PDB Rp 426,9 trilyun, sedangkan
tapna migas sebesat- Rp. 394,5 trilyun, maka pada tahun 2OO3 diperkirakan meningkat menjadi sebesar Rp 444,5 trilyun sementara tanpa migasnya menjadi Rp.
4I2,7 trilyunl. Keseluruhan se
gas dan air bersih sebesar 6,82 persen. Sektor ekonomi ketiga
tertinggi
pertumbuhannya adalah sektor bangunan yaitu sebesar 6,70 persen, kempat sektor keuangan-persewaan dan jasa perusahaan yaitu sebesar 6,28 persen, kelima sektor perdagangan, hotel clan restoran sebesar 3,74 persen. Berikutnya adalah, sektor industri pengolahan, sektor jasa-jasa, sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian masing-milsing sebesar 3,50 persen,3,44 persen, 2,48 persen dan 0,46 persen.
Beralihnya seb;rgian masyarakat Indonesia dari sektor pertanian ke sektor industri pengolahan dapat terlihat dari besarnya peranan sektor industri pengolahan terhadap pembentukan PDB Indonesia. Sejak tahun 1991 hingga saat ini sumbangan terbesar dihasilkan oleh sektor industri pengolahan.pada tahun 2003 sumbangan
sektor industri pengolahan sebesar 24,65 persen, sedangkan sumbangan sektor pertanian sebesar 16,58 persen. Selain kedua sektor tersebut, sektor yang kontribusinya terbilan,J besar adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel dengan 1
Statistik Indonesia 2003, Bl)S
Pembangunan Daerah Dalam Angka 200a
andil sebesar t6,32 persen, sektor pertambangan dan penggalian sebesar \0,70 persen, dan sektor jasa-jasa sebesar 10,39 persen pada tahun yang sama. Adapun sumbangan empat sektor lainnya masih kurang dari 10 persen, dengan penyumbang terkecil adalah sektor listrik, gas dan air bersih yaitu hanya 2,22 persen. Dilihat dari sisi penggunaan PDB atas dasar harga berlaku, sebagian besar PDB digunakan untuk pengeluaran konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2003 besarnya
pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah sekitar 1.238,9 trilyun rupiah atau sekitar 69,34 persen dari total PDB Indonesia. Selain itu, kegiatan perdagangan luar negeri juga cukup besar yaitu untuk ekspor sekitar 558,1 trilyun rupiah atau sekitar
3I,24 persen dan untuk impor sekitar 459,7 trilyun rupiah atau sekitar 25,70 persen dari total PDB. Penggunaan PDB untuk pengeluaran konsumsi pemerintah adalah yang terkecil persentasenya yaitu sekitar 9,16 persen atau dengan nilai sekitar L63,7
trilyun rupiah. Berdasarkan harga konstan 1993,
laju pertumbuhan semua komponen PDB
menurut penggunaan pada tahun 2003 mengalami peningkatan. Laju pertumbuhan komponen penggunaan PDB tertinggi berupa pengeluaran konsumsi pemerintah yaitu tahun 2003 meningkat sebesar 9,84 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Berikutnya diikuti oleh ekspor barang dan jasa yaitu sebesar 4,04 persen, dan konsumsi rumah tangga sebesar 4,02 persen. Selanjutnya impor dan pembentukan modal tetap domestic bruto merupakan komponen yang laju pertumbuhannya paling rendah yaitu masing-masing sebesar 1,96 persen dan 1,36 persen.
3.1.2, PDB Perkapita Secara umum pendapatan setiap penduduk indonesia dicerminkan oleh pendapatan nasional per kapita. Pada tahun 2003 ini besarnya pendapatan nasional per kapita atas dasar harga berlaku meningkat dari 6,6 juta rupiah pada tahun 2OO2 menjadi sekitar 7,L juta rupiah pada tahun 2003. Laju pertumbuhan pendapatan nasional perkapita pada tahun 2003 juga meningkat yaitu sebesar 2,85 persen sementara tahun 2002 pertumbuhan pendapatan nasional per kapita turun sbeesar minus 1,58 persen.
JI
Pembanglrnan Daer-ah Dala& Arigka 2004:
3.1.3. Produk Domer;tik Regional Bruto (PDRB) Perekonomian di setiap daerah terbentuk dari berbagai macam kegiatan ekonomi yang timbul di daerah tersebut. Data PDRB menggambarkan kemampuan daerah dalam menge:lola sumberdaya alam yang mereka miliki. Oleh sebab itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing propinsi sangat tergantung dengan potensi sumbe:rdaya alam yang dimiliki
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) biasanya digunakan untuk mengukur
kinerja ekonomi suat: daerah. Dari PDRB dapat dilihat beberapa indikator turunan yang mencerminkan perkembangan perekonomian daerah secara rinci, antara lain struktur perekonomiarr, laju pertumbuhan, dan PDRB perkapita.
3.1.3.1. Struktur Ekonomi Menurut Wilayah Jika dilihat per wilayah, hingga tahun 2002, peranan Provinsi-Provinsi di KBI masih dominan dalam perekonomian nasional. Pada KBI total PDRB atas harga berlaku adalah Rp. 1{1,022,8 dengan perbandingan pada sektor migas sebesar Rp. LO6,4 trilyun dan selctor non migas sebesar Rp. 916,4. Sedangkan untuk KTI total PDRb atas harga berlaku sebesar Rp.5!7,4 trilyun dengan perbandingan pada sektor migas sebesar Rp.53,9 dan untuk sektor non migas sebesar Rp.463,5. Pada tahun 2002, Total PDRB nasional atas harga berlaku adalah Rp 1,54O,2
trilyun atau naik 12,7 persen dibandingkan sebelumnya. Sektor migas memberikan sumbangan Rp 160,3 trilyun, sementara non migas Rp 1.379,9 trilyun.
Pada tahun 2()02 pula Provinsi DKI lakarta merupakan kontributor terbesar
dengan Rp 254,74 trilyun (16,55 persen dari Total PDRB nasional), Provinsi berikutnya adalah Jerwa Timur dan Jawa Barat, dengan nilai PDRB masing-masing Rp.226,96 trilyun darr Rp.214,30 trilyun atau masing-masing t4,74 persen dan 73,92 persen. Sedangkan Provinsi yang merupakan kontributor terkecil adalah Provinsi Gorontalo dan Malukl Utara dengan nilai PDRB Rp 2,25 trilyun dan 1,99 trilyun atau keduanya kurang dari 1 persen dari angka nasional.
Pembangunan Daerah Dalam Angka 2004
Grafik 3.1. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Per provinsi Tahun 2OO2 70.0011.000
6C,000,00c
50,000,000
&
s 40,0oo,000
6 3C,000.00c
20,000,00c
10,000,000
EE:.9F {;Eg6 q i 9
E
;: =
F'
ts:!? z+if, iE0
3.1.3.2. Struktur Ekonomi Menurut Sektor Pada tahun 2002 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha secara nasional mencapai Rp 1.540.200,1 milyar, Rp L60.329,1 milyar diantaranya disumbangkan dari sektor migas. Angka PDRB terbesar disumbangkan Provinsi DKI Jakafta dengan Rp 254.735,4 milyar, sementara terkecil adalah Gorontalo dengan Rp 1.084,5 milyar.
Dalam struktur Total PDRB Indonesia tahun 2002 tersebut, secara nominal sumbangan sektor pertanian absolut menjadi sekitar Rp 27I.791,2 milyar
dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya Rp 244.238,1 milyar. Walaupun demikian pangsanya dalam PDRB menurun dari L7,87 persen pada tahun 2001 menjadi t7,65 persen pada tahun 2AO2. Sektor lainnya tetap menjadi yang terbesar dalam menyumbang Total PDRB nasional dengan Rp 619.570,3 milyar (4O,23 persen), disusul sektor industri pengolahan Rp 395.952,2 milyar (25,7L persen).
34
Pembangunan Daerah Dqlam.ttngka 2004:'
Dalam struktur PDRB sektor industri pengolahan pada tahun 20A2 tersebut, sumbangan dari KBI rnencapai Rp 279.4L0,4 milyar (27,32 persen) dari Total PDRB nasional, sementara l(TI yang sektor industrinya belum berkembang sepesat KBI hanya menyumbang s;ebesar Rp 116.54I,8 milyar (22,53 persen). Pada tingkatan Provinsi, Jawa Barat menjadi Provinsi tertinggi penyumbang Total PDRB sektor industri pengolahan dangan Rp 79.911,7 milyar (20,18 persen), disusul Jawa Timur Rp 60.337,5 milyar (75,24 persen), DKI Jakarta Rp 54.252,8 milyar (13,70 persen), Jawa Tengah Rp 47.72.2,6 milyar (L2,O5 persen), serta Kalimantan Timur Rp 35,553,0
milyar (8,98 persen). Sedangkan sumbangan terendah berasal dari Nusa Tenggara Timur dengan Rp 162 milyar (0,04 persen).
Grafik 3.2. Konrposisi PDRB Menurut Sektor Per Wilayah Tahun 2OOz
o
o e o
c
Tambang & Pengolahannya
I
It-l
tr
lnd. Pengolahan
Surnatera t Jawa+Bali
Listrik, Gas & Air
BeFih
El
Kalimantan
El
Sulawesi
E
Lainnya
I
3.1.3.3. Laju Perturnbuhan Ekonomi Dampak kebijakan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan dapat tergambar dalam pertumbuhan ,:konomi. Bagi daerah, pertumbuhan ekonomi menjadi indikator
35
Pembanguoan Daerah Dalaar Angka 200*
penting untuk mengetahui pencapaian pembangunan dan untuk menentukan arah pembangunan selanjutnya. Untuk melihat perkembangannya secara riil digunakan data PDRB berdasarkan harga konstan. Data ini lebih mencerminkan perkembangan
riil ekonomi daerah, karena telah mengeluarkan tingkat harga dalam pengukurannya sehingga menggambarkan kemampuan ekonomi masyarakat secara lebih nyata. Secara nasional, pertumbuhan ekonomi periode tahun 1996-2002 (Tabel 15) adalah sebesar 16,79 persen pertahun, sedangkan untuk laju pertumbuhan pDRB non
migas untuk periode yang sama adalah t7,24 persen pertahun. Hampir semua Provinsi mengalami pertumbuhan positif, Provinsi Maluku merupakan Provinsi dengan laju pertumbuhan tertinggi PDRB total dengan 26,67 persen pertahun dan PDRB non migas sebesar 26,74 persen. Sementara itu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam mengalami pertumbuhan paling kecil IL,L7 persen untuk PDRB total dan 16,58 persen untuk PDRB non migas.
Grafik 3.3. Laju Pertumbuhan Total PDRB Pertahun (Periode 1993-20O2)
40.00 35.00
30.00
-l-
25.00
o (g
20.00
o g
o
o.
g
()o
't
5.00
10.00 5.00
(5.00)
g ; €: tE$ €$5; Y E s .,
E u>s F aEfi fr ' si; (f
;
c0F FF
2
f,
(
=@
G
()
(10.00)
36
Pembangunan Daerah Dalam Angka 2004
3.L.3,4. PDRB Perkapita Pada tahun 19'lB, Total PDRB perkapita atas dasar harga berlaku (termasuk migas) nasional menr:apai sekitar Rp 2,9 juta yang berarti meningkat sekitar 13,7 persen dibandingkan dengan tahun L997 (Tabel 16). Menurut kawasan, PDRB perkapita rata-rata di KBI mencapai sekitar Rp 3 juta, sedangkan di KTI sebesar Rp 2,6 juta. PDRB perkapita (non migas) nasional mencapai sekitar Rp 2,7 juta. Jika dilihat sep,intas tidak terlihat perbedaan mencolok antara KBI dan KTI, tetapi perlu diingat bahwa tingginya PDRB perkapita di KTI, khususnya Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, lebih disebabkan karena sedikitnya jurnlah penduduk, bukan tingginya kinerja perekonomian daerah tersebut. Selain itu, :;umbangan sektor pertambangan untuk Papua dan Kalimantan Timur juga cukup tinggi.
Bila pada tahun 1998, PDRB perkapita (termasuk migas) hanya Rp 3 juta, maka tahun 1999 naik menjadi Rp 4,4 juta. Hal tersebut berarti meningkat sekitar 48,5 persen. Seperti halnya indikator lainnya, PDRB perkapita antar Provinsi juga bervariasi. PDRB perlcapita Provinsi Kalimantan Timur masih yang terbesar. Pada tahun 1!)99, secara nasional Total PDRB perkapita atas dasar harga berlaku meningkat sekitar 13,22 persen (Tabel 16) dari tahun sebelumnya. Sebagian besar Provinsi mengalami kenaikan antara 5 persen - 20 persen, kecuali dua Provinsi yang mengalami penurunan yaitu Maluku dengan -18,8 persen, dan Papua dengan
6,6
-
persen.
Pada tahun 2t100 terjadi kenaikan PDRB perkapitan nasionaI sebesar 16,18 persen dari tahun 1999, sebagian besar disumbangkan dari sektor non migas yaitu sebesar Rp. 5,1 juta iltau 80,90 persen dari total PDRB perkapita nasional. Nilai PDRB
perkapita tertinggi sebesar Rp. 26,6 juta di Kalimantan Timur, sementara terendah di Nusa Tenggara Timur sebesar Rp. 1,6 juta. Pada tahun 2(101 terjadi kenaikan PDRB perkapita nasional sebesar 12,L2 persen dari tahun 2C00, sebagian besar disumbangkan dari sektor non migas yaitu sebesar Rp. 5,78 jut,a atau 88,67 persen dari total PDRB perkapita nasional. Nilai PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 31,97
juta di Kalimantan Timur,
terendah di Nusa Tenggara Timur sebesar Rp.1,91 juta.
sementara
Pembangunan Daerah Dalam Angka 20M
Besarnya PDRB perkapita pada suatu daerah tergantung pada besarnya pDRB dan jumlah penduduk di daerah tersebut. Meski pada tahun 2001, sekitar Rp 219,g5
trilyun atau 16,15 persen dari Total PDRB nasional berasal dari propinsi DKI Jakarta, PDRB perkapita terbesar justru berasal dari Provinsi Kalimantan Timur yang pDRB-nya hanya Rp 80,56
trilyun.
PDRB perkapita Provinsi Kalimantan Timur mencapai Rp 3L,97 trilyun, sementara DKI Jakarta hanya Rp 26,26 trilyun. Sebagian besar pDRB
Kalimantan
Timur
berasal dari sektor migas, sementara
di Provinsi DKI lakarta
seluruhnya berasal dari sektor non migas. Pada tahun 2002
terjadi kenaikan PDRB perkapita nasional sebesar 2,38 persen dari tahun 2001-, sebagian besar disumbangkan dari sektor non migas yaitu sebesar Rp. 5,50 juta atau 2,55 persen dari total PDRB perkapita nasional. Nilai PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 34,29 juta di Provinsi Kalimantan Timur disusul oleh DKI Jakarta dan Riau masing-masing sebesar Rp. 30,39 juta dan Rp. r2,s7 juta, sementara terendah di Nusa tenggara Timur sebesar Rp. 2,20 juta.
Berdasarkan PDRB
per kapita atas dasar harga berlaku dengan migas,
Kalimantan Timur, DKI Jakarta, dan Riau merupakan Provinsi yang mempunyai besaran per kapita tertinggi. PDRB perkapita DKI Jakarta lebih kecil dari Kalimantan Timur karena karena jumlah penduduk DKI Jakarta lebih besar dari Kalimantan Timur.