PT SMI Insight 2016 – Q3 Bandar Udara Part II
“Aviation’s center of gravity continued to shift eastward” -IATA, 2016-
Sinyal Positif Industri Aviasi Sudah sejak lama, bandara telah menjadi elemen krusial bagi infrastruktur transportasi sebuah negara. Bukan hanya sebatas infrastruktur semata, bandara telah tumbuh menjadi bisnis matang yang menyediakan berbagai layanan dan jasa kepada pelanggannya (Bilotkach et al., 2012). Faktor efisiensi waktu, jangkauan daerah, dan biaya yang selama beberapa tahun ini mengalami revolusi besar dengan bermunculannya Low Cost Carrier (LCC), menjadikan bisnis dan okupansi bandara semakin Sumber: Photo by Josè Martìn (www.unsplash.com) meningkat. Dalam ekosistem kebandarudaraan, faktor perusahaan penerbangan tentunya menjadi aspek penting. International Air Transport Association (IATA), sebagai salah satu asosiasi perusahaan penerbangan terbesar di dunia dengan keanggotaan lebih dari 250 airlines yang berasal dari 117 negara, pada tahun 2016 ini mengeluarkan laporan yang menarik untuk dicermati dengan tema besar “Continuing recovery”, yang secara implisit menunjukkan perusahaan penerbangan pernah mengalami perjuangan dalam bisnis aviasi. Secara keseluruhan, selama tahun 2015 pencapaian utama level industri aviasi telah tercapai; perusahaan penerbangan telah sukses menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi dari biaya modal. Secara umum dan sederhana, pertama kali dalam sejarah, perusahaan penerbangan membukukan keuntungan (IATA, 2016). Sebagai cerminan pada level domestik, Garuda Indonesia sebagai flight carrier plat merah, pada tahun 2015 berhasil membukukan laba bersih positif, padahal tahun sebelumnya mengalami kerugian hampir US$340 juta. Hal yang juga menarik Domestic China 10,6% untuk dicermati adalah, Domestic Indonesia 35,4% sinyal positif industri 20,0% Domestic India penerbangan dilihat dari Domestic USA 1,7% origin-destination (OD) Domestic Thailand 34,0% % yoy growth rate penumpang yang ternyata China - Thailand 72,9% datang dari timur. Pada 29,2% Domestic Vietnam 2015, 7 dari 10 OD dengan 41,8% China - Japan penumpang tertinggi 11,7% Domestik Turkey berasal dari Asia, dan 14,1% USA - Mexico Indonesia menempati peringkat ke-2. 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Peningkatan absolut OD (juta) Sumber: IATA, 2016 (digambar ulang)
SMI Insights 2016
PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) I www.ptsmi.co.id
1
Walaupun begitu, peningkatan kebutuhan tersebut dapat jadi seperti pisau bermata dua, yang bukan hanya merupakan kabar positif bagi pelaku bisnis terlebih operator, namun dapat menimbulkan permasalahan seperti keterlambatan penerbangan, dan kebutuhan untuk melakukan ekspansi kapasitas dan kontrol (Chen et al., 2015). Operator bandara harus lebih siap dalam memberikan fasilitas dan layanan modern bagi penumpang penerbangan yang terus tumbuh dari waktu ke waktu (Manzoor, 2010). Dari sisi operator bandara, Airports Council International (ACI) sebagai asosiasi bandar udara di dunia yang menaungi 592 anggota dan 1.853 bandara di lebih dari 170 negara terus mengedepankan aspek keselamatan dan keamanan. ACI menyadari bahwa saat ini dan ke depan, bandara bukan hanya sebagai entitas infrastruktur semata namun dapat menjadi business-minded entity, sehingga fokus yang harus diutamakan adalah melayani penumpang dengan sebaik-baiknya. Pada tahun 2014 dan 2015, tingkat kesehatan operator bandara secara keseluruhan cukup kuat yang ditandai dengan pertumbuhan pendapatan sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan akan transportasi udara (ACI, 2016).
Gambaran Umum Bisnis Bandar Udara
Sumber: Photo by Erez Attias (www.unsplash.com)
Setelah deregulasi industri penerbangan yang dilakukan pada rentang tahun 1999-2000, industri penerbangan di Indonesia tumbuh dengan sangat pesat. Deregulasi tersebut salah satunya memberikan kemudahan dalam perizinan sehingga dapat merangsang investasi dalam bisnis ini (AP I, 2016). Sejak itulah, banyak bermunculan maskapai-maskapai baru seperti Lion Air, Sriwijaya, dan Batavia Air (yang kemudian dinyatakan pailit 2013). Hal ini secara langsung juga berdampak pada kepadatan bandara dan bisnis yang tumbuh untuk mendukung aktivitas kebandarudaraan.
Dari sisi pengelolaan bandara, penerapan UU No. 1 Tahun 2009 (UU No.1) itu juga menjadi tantangan tersendiri bagi operator bandara. UU No.1 membuka kesempatan kepada siapa saja sepanjang memenuhi syarat sebagai Badan Usaha Bandar Udara (BUBU) untuk mengelola bandar udara. Penerapan UU No.1 itu juga berdampak langsung pada pendapatan operator bandara, karena terhitung Januari 2013 terjadi pemisahan layanan Air Traffic Service (ATS) yang diperkirakan mengurangi pendapatan hampir Rp600 miliar per tahun (AP I, 2015). Keberadaan runway bandara, menara pengawas dan fasilitas lainnya menjadi beberapa penyebab bisnis bandara tergolong dalam persaingan tidak sempurna (Domney et al., 2005). Belum lagi dengan tingginya biaya operasional seperti pengadaan lahan untuk ekspansi, tingginya faktor eksternalitas negatif dan tingginya opportunity cost ketika maskapai memindahkan hub operasi mereka. Faktor-faktor tersebut yang menciptakan entry barriers dalam bisnis ini (Domney et al., 2005). Oleh karena itu walaupun adanya deregulasi peraturan, investasi pihak swasta tidak dengan mudah dan serta merta terwujud. Adanya regulasi yang kuat dan mendukung menjadi faktor penting dalam menggiring investasi swasta. Ketika keberadaan regulasi nihil ataupun lemah, maka bisnis bandara akan dengan sendirinya berada dalam persaingan tidak sempurna bahkan cenderung monopoli, mengikuti market power (O’Donnell et al., 2011). Domney et al. (2005) menambahkan proses keterlibatan pihak swasta dalam bisnis bandara harus diiringi dengan regulasi yang jelas dan intervensi dari Pemerintah.
Secara umum, bisnis dan sumber pendapatan bandara dapat dibagi dalam dua besaran; Aeronautika dan Non-Aeronautika. Namun seiring dengan berkembangnya bisnis kargo, beberapa operator dan asosiasi sudah mulai membagi sumber pendapatannya menjadi tiga besaran, yaitu Aeronautika, Non-Aeronautika, dan Warehousing. Sumber: Photo by Illia Cherednychenko (www.unsplash.com)
SMI Insights 2016
PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) I www.ptsmi.co.id
2
AERONAUTIKA
NON-AERONAUTIKA
WAREHOUSING
Aeronautika Secara sederhana, aeronautika merupakan bisnis ‘tradisional’ bandara yang berkaitan langsung dengan kegiatan aviasi seperti jasa runway, parkir pesawat, dan terminal (Bilotkach et al., 2012). Sisi aeronautika sangat erat berhubungan dengan maskapai penerbangan dan penumpang. Secara global, bisnis ini memiliki kontribusi persentase terbesar dalam pendapatan operator bandara, padahal di beberapa negara yang sudah menerapkan privatisasi, aeronautical charges umumnya lebih rendah (Bilotkach et al., 2012). ACI (2016) menyampaikan distribusi pendapatan aeronautika secara global dari operator-operator bandara di seluruh dunia dengan gambaran sebagai berikut: 55,8%
Aircraft-related revenues
Others
Pax charges
Navaid charges 10,3% Ground handling charges 1,5% Parking charges 2,2% 1,6% Security charges
Terminal rentals
Pax-related revenues 33,6%
7,7%
Terminal rentals
10,6%
43,5%
Sumber: ACI, 2016 (digambar ulang)
11,1%
Ratio of Aircraft-Related to Passenger-Related Revenues 2015
Sumber pendapatan terbesar operator bandara secara global berasal dari penumpang melalui passenger charges yang menyumbang lebih dari setengah dari porsi pendapatan aeronautika keseluruhan.
22,1% Landing charges Sumber: ACI, 2016 (digambar ulang)
Gambaran tersebut tidak berbeda jauh dengan keadaan pada level domestik. Operator bandara Indonesia, yang secara market size didominasi oleh Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II dengan total 89,7% (AP I, 2016), memiliki porsi bisnis aeronautika yang lebih besar dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya dengan porsi passenger-related juga terbesar. Others
Pax-related
19,02%
77,66%
Terminal rentals
39,89% 60,11%
Others
Aircraft-related
AP I
41,35%
AP II 58,65%
3,32%
Aeronautika
25,57%
6,17%
68,27%
Aeronautika
Sumber pendapatan operator bandara Indonesia (AP I dan AP II)
100%
Sumber: AP I & AP II, 2016 (diolah)
SMI Insights 2016
PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) I www.ptsmi.co.id
3
Non-Aeronautika Dalam bisnis bandar udara, sisi non-aeronautika memiliki kontribusi yang cukup menjanjikan. Terlebih dengan semakin berkembang dan modernnya bandara, maka aspek ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Dalam 25 tahun terakhir, pendapatan komersil dari sisi ini telah tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan dengan pendapatan aeronautika. Bahkan terdapat beberapa bandara yang memiliki sumber pendapatan utama dari sisi non-aeronautika ini (Bilotkach et al., 2012). Van Dender (2007) menyampaikan selama tahun 1998-2002, 55 bandara besar di Amerika Serikat memiliki pendapatan konsesi (merupakan pendapatan non-aeronautika) yang merepresentasikan lebih dari setengah pendapatan total bandara. Bisnis non-aeronautika merupakan sumber pendapatan komersial yang berasal dari operasional di dalam terminal dan lahan bandara termasuk konsesi seperti toko-toko, restoran, rental, parkir kendaraan dan lainnya (Bilotkach et al., 2012). Retail concession
Parkir
Property rent
Ohers
28,00%
22,00%
15,00%
35,00%
Non-aeronautikal revenue proportion
100%
Secara global, dari tahun ke tahun, pendapatan konsesi dari retail tetap menjadi sumber utama pendapatan sisi non-aeronautika. Bahkan pada bandara di wilayah Timur Tengah, konsesi dari retail menyumbang hampir 55% dari total pendapatan non-aeronautika (ACI, 2016).
Sumber: ACI, 2016 (diolah)
Di Indonesia sendiri, dengan beralihnya usaha ATS kepada Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI), maka operator bandara sangat berkomitmen untuk mengembangkan usaha non-aeronautika dengan konsep Airport City, yaitu perubahan orientasi dan proses bisnis yang mengutamakan sektor non-aeronautikan dan kepuasan pelanggan (AP I, 2016). Secara umum, bisnis non-aeronautikal di Indonesia terdiri dari beberapa segmen, yaitu: 56,90%
Konsesi 24,30%
Sewa-sewa
Parkir dan periklanan
Sarana non-aeronautikal lainnya
10,30%
8,50%
Gambaran bisnis non-aeronautikal dan proporsinya terhadap pendapatan non-aeronautikal Sumber: AP I & AP II, 2016 (diolah)
Menarik untuk mencermati segmen konsesi yang menjadi sumber pendapatan terbesar bagi pendapatan nonaeronautika. Dalam konteks umum, konsesi dapat diartikan sebagai hak bagi perusahaan swasta untuk mengoperasikan layanan infrastruktur dan menerima pendapatan darinya. Konsesi sangat bervariasi bergantung kepada alokasi risiko, insentif, investasi, tanggung jawab, dan bagaimana tarif ditentukan. Biasanya penerima konsesi membayar fee kepada pemberi konsesi, bertanggungjawab atas biaya investasi, dan mengumpulkan pembayaran langsung dari pengguna jasa (OECD, 2010). Konsesi berbeda dengan privatisasi atas dasar tiga aspek utama. Pertama adalah aset fisik tetap dimiliki oleh negara/pemerintah, walaupun penggunaan dari aset tersebut diserahkan kepada penerima konsesi. Yang kedua, terdapat limitasi waktu kontrak (biasanya 10-30 tahun). Dan yang terakhir adalah pemerintah tetap melakukan pengawasan terhadap pengelolaan aset (OECD, 2010).
SMI Insights 2016
PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) I www.ptsmi.co.id
4
Warehousing Warehousing atau pergudangan sejatinya merupakan bisnis di luar aeronautika. Pada beberapa referensi, jenis usaha ini masih tetap dikategorikan sebagai segmen non-aeronautika. Secara definisi usaha pergudangan merupakan bidang usaha kebandarudaraan yang menyediakan pelayanan jasa fasilitas pengiriman barang (AP II, 2016). +34,5% 909
500 400
Warehouse Revenue 891
828
9,8%
800
579
91,2%
600
300 200 100
1.000
262
166
332
404
400 200 0
0 2012
2013 Volume (ribu ton)
2014
2015
Pendapatan (Rp miliar)
Non-Aeronautika Revenue Porsi rata-rata Warehousing terhadap pendapatan Non-aeronautika 2012-2015
Sumber: AP I dan II, 2016 (diolah)
Selama periode 2012-2015, terdapat fenomena yang menarik terkait pertumbuhan bisnis kargo. Dari segi volume (tonase), terdapat penurunan tren sejak tahun 2013 sebesar hampir 5%. Namun demikian, hal tersebut berbanding terbaik dengan pendapatan diterima oleh operator yang justru mengalami kenaikan cukup stabil dengan CAGR sebesar 34,5% (periode 20122015). Sumber: (www.pixabay.com)
Isu Privatisasi Bandara di Dunia Ada tantangan sekaligus juga kesempatan bagi industri penerbangan (maskapai dan operator) dalam menyikapi implementasi UU No.1, yang membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk mengelola bandara dan juga kebijakan ASEAN Open Sky sebagai dalam rangka mewujudkan ASEAN Economic Community. Kedua kebijakan tersebut menuntut kesiapan bandara untuk selalu meningkatkan pelayanan termasuk standar keamanan dan keselamatan penerbangan (AP I, 2016). Isu lain lalu berkembang, yaitu privatisasi. Privatisasi ini menjadi perhatian bagi operator bandara di Indonesia. Pada Laporan Tahunan 2015, bahkan Angkasa Pura I mempersiapkan sumber daya perusahaan agar siap untuk diprivatisasi dalam strategi rencana jangka panjangnya.
Sumber: Photo by Rob Bye (www.unsplash.com)
Menteri Perhubungan Indonesia, Budi Karya Sumadi menyampaikan saat ini Kementerian Perhubungan telah menyiapkan tiga bandara di luar Pulau Jawa untuk diprivatisasi oleh swasta. Ketiga bandara tersebut berlokasi di Balikpapan, Makassar, dan Kualanamu. Ia menguraikan bahwa pemerintah ingin swasta bisa menyalurkan dananya membantu pembangunan Indonesia .1 Di dunia, bandara secara umum memang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah, salah satunya melalui badan usaha. Walaupun demikian, isu privatisasi bandara-bandara di dunia menjadi bahasan yang menarik. Banyak negara dengan penganut ekonomi modern menjadikan kebijakan privatisasi dalam upaya untuk menyediakan layanan dan fasilitas yang lebih baik (Manzoor, 2010). Alasan yang sering mengemuka terkait privatisasi ialah untuk mengatasi inefisiensi pengelolaan bandara oleh negara (Domney et al., 2005). Privatisasi bandara diinisiasi pertama kali di Inggris sekitar tahun 80-an. Semenjak itu, beberapa bandara di dunia mulai melakukan privatisasi, seperti di Eropa, Australia, dan Selandia Baru. Lalu diikuti oleh beberapa negara berkembang di Asia, Amerika Latin, dan Afrika (Bilotkach et al., 2012). 1
http://industri.bisnis.com/read/20161027/98/596355/kemenhub-siap-privatisasi-bandara [diakses pada 27/12/2016 pukul 10:33 WIB]
SMI Insights 2016
PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) I www.ptsmi.co.id
5
Kasus #1: Isu Privatisasi Bandara di India India merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk hampir 1,2 miliar, satu tingkat di bawah China, transportasi penduduk menjadi hal yang penting, termasuk di dalamnya transportasi udara. Pertumbuhan transportasi udara di India tumbuh dengan sangat pesat sehingga berakibat pada tingginya kebutuhan akan infrastruktur bandara. Namun sayangnya, banyak bandara di India menghadapi permasalahan infrastruktur yang serius terkait dengan kurangnya fasilitas modern, padatnya penumpang, dan infrastruktur pendukung lainnya (Manzoor, 2010). Banyak pihak yang mendukung, namun tidak sedikit pula pihak yang menentang. Dalam kasus isu privatisasi di India, Manzoor (2010) setidaknya mencatat beberapa dukungan dan kritikan sebagai berikut:
Privatisasi menguntungkan, dapat membantu pemerintah menjadikan bandara lebih modern secara teknis
Privatisasi berbahaya bagi pertumbuhan perkembangan industri penerbangan sipil di India
Bandara modern dapat menggerakkan ekonomi dan juga pariwisata Biaya pengoperasian bandara oleh sisi pemerintah sangat tinggi
Privatisasi berbahaya bagi keamanan nasional, karena operator swasta kurang dapat menyediakan sistem keamanan terbaik di bandara
Peningkatan efisiensi operasi dan level layanan yang maksimal Kebutuhan pendanaan bukan menjadi masalah utama dalam sistem swasta
Operator entitas pemerintah akan kehilangan peran besar dalam sektor aviasi Hilangnya pekerjaan sebesar 40% dan meningkatkan pengangguran
Kasus #2: Privatisasi Bandara di Australia – Sydney, Melbourne, and Brisbane Airports Secara umum, pengelolaan bandara Australia dimiliki dan dioperasikan oleh Pemerintah Federal melalui Federal Airport Commission (FAC). Namun demikian, sejak tahun 1996, FAC mengumumkan bahwa beberapa bandara akan diprivatisasi dengan cara divestasi (Aulich dan Hughes, 2013). Sejak saat itu, tiga bandara besar di Australia diprivatisasi yaitu Sydney, Melbourne, dan Brisbane. Sydney Airport (SYD) telah resmi diprivatisasi sejak bulan Juni 2002 dengan biaya yang harus dibayarkan oleh pihak swasta sebesar $5,6 miliar. Swasta memperoleh hak penuh dengan skema lease selama 50 tahun dan opsi pembaharuan selama 49 tahun untuk mengoperasikan bandara. Sejak diprivatisasi, selain tahun 2007, SYD selalu mengalami kerugian operasional setiap tahunnya. Salah satunya disebabkan karena porsi liabilitas yang meningkat signifikan hampir 7x lipat dibandingkan sebelum privatisasi (Aulich dan Hughes, 2013). Kinerja bisnis tersebut menunjukkan bahwa privatisasi bisnis monopoli tidak pasti mengarah kepada peningkatan kinerja keuangan. Walaupun SYD mampu menghasilkan jumlah perputaran uang 2x lipat dari pelanggan, namun tetap belum mampu memberikan keuntungan berarti (Aulich dan Hughes, 2013)
Sumber: Photo by Kazuend (www.unsplash.com)
SMI Insights 2016
PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) I www.ptsmi.co.id
6
Sama seperti SYD, Melbourne Airport (MEL) telah diprivatisasi sejak tahun 1997 dengan nilai yang harus dibayarkan sebesar &1,3 miliar dengan skema lease selama 50 tahun dengan opsi perpanjangan 49 tahun. Semenjak diprivatisasi, MEL mengalami kerugian setiap tahunnya. Namun sejak 2007, untuk pertama kali sejak privatisasi, MEL membukukan keuntungan positif. Tingkat liabilitas MEL jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan SYD yang berakibat pada rendahnya borrowing cost dan jumlah aset MEL yang selalu melampaui tingkat liabiliatas disinyalir menjadi faktornya. Kebijakan MEL untuk melakukan kontrol atas liabilitas dan borrowing cost, menjadikan performanya lebih baik dibandingkan dengan SYD (Aulich dan Hughes, 2013).
Brisbane Airport (BNE) diprivatisasi sejak tahun 1997 dengan nilai sebesar $1,4 miliar dan dengan skema yang sama seperti SYD dan MEL. Tahun pertama sejak di privatisasi, BNE mengalami Break Even Point dengan membukukan profit sebesar $0. Sejak saat itu, performa keuangan BNE bervariasi. Tidak seperti SYD, BNE mampu untuk menghasilkan aliran kas operasi positif dan mampu untuk menjaga positive net assets. Walaupun demikian, data keuangan menunjukkan bahwa privatisasi tidak selalu menghasilkan kinerja keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan FAC (Aulich dan Hughes, 2013).
Beberapa contoh kasus mengenai privatisasi tersebut menunjukkan bahwa, wacana seperti yang disampaikan pada isu di India bahwa privatisasi akan mendorong kepada peningkatan efisiensi operasi dan kinerja keuangan belum tentu demikian. Pemilihan model privatisasi haruslah dipertimbangkan dengan hati-hati, terlebih yang berkaitan dengan fasilitas transportasi besar (Aulich dan Hughes, 2013). Dalam konteks bandara, privatisasi tidak selalu didefinisikan sebagai penjualan keseluruhan dari aset, namun dapat bervariasi mulai dari kontrak suplai & pekerjaan sipil sampai kepada divestasi (Ohri, 2009). Range of Private Sector Options Public
Supply & Civil Works Contracts
Technical Assistance Contracts
Sub contracting
Management Contracts
Contract, less private commitment Sumber: Ohri, 2009 (digambar ulang)
Leasing (aftermage)
BOT and concession (stricto sensu)
Concession-type arrangements
BOO
Divestiture by license
Private
Fully private commitment and responsibility
The World Bank dalam Ohri (2009), merangkum berbagai opsi umum dalam privatisasi yang dituangkan dalam tabel berikut: Alokasi tanggung jawab
Opsi 1
Opsi 2
Opsi 3
Kepemilikan
Negara
Negara
Swasta/ campuran
Investasi
Negara
Swasta/ campuran
Swasta
Manajemen dan operasi
Swasta
Swasta
Swasta
Strategi umum dalam partisipasi pihak swasta
Kontrak manajemen
BOT, sewa jangka panjang, konsesi
BOT, buyout, capital markets
SMI Insights 2016
PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) I www.ptsmi.co.id
7
Penutup Bandara semakin sering dipandang sebagai bisnis, bukan sebatas infrastruktur yang menjadi tanggung jawab pemerintah (Ohri, 2009). Oleh karena itu, pengembangan bisnis di bandara (di luar bisnis aeronautika) menjadi sesuatu yang penting dilakukan. Operator bandara di Indonesia, telah banyak melakukan diversifikasi usaha baik melalui intensifikasi maupun melalui anak perusahaan, terutama pasca deregulasi, pengambilalihan ATS, dan Open Sky Policy. Bidang usaha logistik, properti, hotel, angkutan, dan retail menjadi beberapa lini usaha baru yang dalam beberapa tahun belakangan dikembangkan guna memaksimalkan pendapatan usaha sisi nonaeronautika. Isu lingkungan dan sustainability juga menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pengusahaan bandara, terutama berkaitan dengan pengembangan dan ekspansi. Pengembangan bandara selalu menimbulkan kontroversi karena memiliki dampak langsung terhadap masyarakat lokal/sekitar seperti pembebasan lahan, bising, polusi, dan kemacetan (Kaszewski dan Sheate, 2004).
Referensi [ACI] Airport Council International. 2016. Annual Report 2015. Montreal (CA). [AP I] PT Angkasa Pura I (Persero). 2015. Laporan Tahunan 2014. Jakarta (ID). [AP I] PT Angkasa Pura I (Persero). 2016. Laporan Tahunan 2015. Jakarta (ID). [AP II] PT Angkasa Pura II (Persero). 2016. Laporan Tahunan 2015. Jakarta (ID). Aulich C, Hughes M. 2013. Privatizing Australian Airports: Ownership, Divestment and Financial Performance. Public Organization Review. 13:175-184.doi:10.1007/s11115-013-0226-y. Bilotkach V, Clougherty JA, Mueller J, Zhang A. 2012. Regulation, privatization, and airport charges: panel data evidence from European airports. Journal of Regulatory Economics. 42:73-94.doi:10.1007/s11149-011-9172-1. Domney MD, Wilson HIM, Chen E. 2005. Natural monopoly privatisation under different regulatory regimes: A comparison of New Zealand and Australian airports. International Journal of Public Sector Management. 18(3):274292.doi:10.1108/09513550510591551. Chen X, Li J-h, Gao Q. 2015. A simple process simulation model for strategic planning on the airside of an airport: a case study. Journal of simulation. 9(1):64-72. [IATA] International Air Transport Association. 2016. Annual Review 2016. Montreal (CA). Kaszewski AL, Sheate WR. 2004. Enhancing The Sustainability Of Airport Development. Sustainable Development. 12(4):183-199. Manzoor KP. 2010. Airport Privatization in India: Importance and Challenges. The IUP Journal of Infrastructure. 8(4):58-69. O’Donnell M, Glennie M, O’Keefe P, Kwon SH. 2011. Privatisation and ‘Light-Handed’ Regulation: Sydney Airport. The Economic and Labour Relations Review. 22(1):65-80. [OECD] Organization for Economic Co-operation and Development. 2010. Concession. OECD Journal: Competition Law And Policy. 2008:1-2. Ohri M. 2009. Discussion Paper: Airport Privatization in India. Network and Spatial Economics. 12:279-297.doi:10.1007/s11067009-9117-8. Van Dender K. 2007. Determinants of fares and operating revenues at US airports. Journal of Urban Economics. 62(2):317–336.
Disclaimer All information presented were taken from multiple sources and considered as true by the time they were written to the knowledge of PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) can not be held responsible from any inacuracy contained in the material. PT SMI follows all internal and external guidelines and regulations that govern the evaluation process on determining the financing feasibility of an infrastructure project. Every decision to finance or not to finance a project is therefore based on a responsible and thorough due diligence process. Any complaint can be submitted to: Corporate Secretary PT SMI Tel : +62 21 5785 1499 Fax : +62 21 5785 4298 Email :
[email protected] Public complaints on PT SMI service will be kept strictly confidential and handled by a special committee to ensure that complaints are addressed appropriately.
SMI Insights 2016
PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) I www.ptsmi.co.id
8