PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN SEHAT DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Fachrur Rozi dan Ruly Krisdiana Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang
ABSTRAK Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung resiko suatu saat kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian seperti ubijalar misalnya. Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna daging ungu. Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan fungsi hati. Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur dan pelaksanaannya bulan Juli-September 2005. Jumlah responden total adalah 100 orang dengan distribusi secara proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40% produsen (petani), 10% pedagang, dan 10% pengolah (industri). Analisis data disajikan dalam bentuk grafis dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan lebih 85% dari responden menyatakan ubijalar ungu yang diajukan oleh Balitkabi (MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19) lebih baik untuk atribut rasa manisnya dibanding ubijalar yang sudah ada di pasaran. Sedang atribut warna ungu, mencapai hampir 80% memberikan respon pada ketertarikan warnanya. Dari segi produktivitas hasil, lebih dari separuh jumlah responden produsen menyatakan ubijalar ungu mempunyai produktivitas lebih baik dari ubi yang ada di pasaran. Perbedaan harga yang diberikan oleh konsumen berkisar Rp 200-350 lebih tinggi dari harga ubijalar biasa, Demikian pula, produsen memberikan perbedaan harga berkisar Rp 190-270. Manfaat ekonomi atau keuntungan mengusahakan ubijalar ungu sangat menarik dengan tingkat pengembalian untuk berinvestasi (marginal rate of return/MRR) sebesar 350,28% jauh diatas bunga bank. Disamping itu berdampak sosial yaitu peningkatan kesehatan masyarakat dengan dikonsumsinya makanan sehat yang mengandung antioksidan. Kata kunci : ubijalar, daging ungu, makanan sehat, ketahanan pangan
PENDAHULUAN Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung resiko suatu saat kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian seperti ubijalar misalnya. Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan citarasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna daging ungu. Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan fungsi hati ( Suda I et al, 2003). Di Jepang, ubijalar warna ungu banyak digunakan sebagai zat pewarna alami untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan lemak dalam darah. Juga dapat menghalangi munculnya sel kanker serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung koroner (Yoshinaga M, 1995). Pigmen antosianin pada ubijalar lebih tinggi konsentrasinya dan lebih stabil bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena itu, beberapa industri pewarna dan minuman berkarbonat telah menggunakan ubijalar berwarna ungu sebagai bahan baku produknya. Demikian pula, industri ice cream, minuman beralkohol, pie dan roti. Pengamatan di lapang yang banyak kita temui adalah ubijalar warna daging putih, kuning maupun orange. Oleh karena itu, peluang ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan. Menurut Yusuf (2003) saat ini ada dua varietas introduksi dari Jepang yang telah diusahakan secara komersial yaitu Ayamurasaki dan Yamagawamurasaki yang warna daging umbinya sangat gelap dengan potensi hasil 15-20 t/ha dengan. Disamping itu Balitkabi juga memiliki tiga klon harapan ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi untuk dilepas 1-2 tahun mendatang. Klon-klon tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19 yang potensi hasilnya tinggi (22,5 – 27,5 t/ha) dengan bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%).
39
Sejauh ini, pemanfaatan ubijalar berwarna daging ungu di Indonesia masih terbatas pada beberapa jenis produk pangan saja inipun dalam jumlah kecil, paling banyak dijumpai di pasaran adalah kripik. Untuk itu, diperlukan sosialisasi dan promosi keunggulan dari produk ubijalar ini. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mendukung peningkatan produksi dan pengembangan agroindustri ubijalar sekaligus membuka peluang pasar untuk produk-produk olahannya.
METODOLOGI Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Malang-Jawa Timur. Pemilihan daerah tersebut didasarkan pada potensi wilayah yang memungkinkan dapat dikembangkan dan dipasarkan produk yang ditawarkan. Pelaksanaan penelitian bulan Juli-September 2005. Responden dikelompokkan atas produk yang ditawarkan kepada mereka yaitu ubijalar daging ungu. Penarikan sample dilakukan dengan stratified random sampling atas dasar pelaku dalam pengguna produk. Jumlah responden masing-masing wilayah 50 responden, sehingga total adalah 100 orang. Distribusi responden secara proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40% produsen (petani), 10% pedagang, dan 10% pengolah (industri). Data yang dikumpulkan meliputi analisa usahatani dan opini, persepsi dan respon dari responden. Analisis data disajikan dalam bentuk tabulasi silang dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Karakteristik Klon Ubijalar Ungu
Balitkabi memiliki tiga klon harapan ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi untuk dilepas tahun depan (2007). Klon-klon tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19. Perbedaan dari ketiga jenis tersebut adalah tampilan warna ungu. Kepekatan warna ungu selain beda kandungan antosianin juga untuk tujuan penggunaan produk olahan (Yusuf, M et al, 2003). Beberapa potensi dan keunggulannya klon ubijalar ungu, antara lain: Tabel 1. Karakteristik Klon Ubijalar Ungu Aspek produksi: Umur panen
: 120 hst (areal dataran rendah) 135 hst (areal dataran sedang) 180 hst (areal dataran tinggi) Produktivitas : 22,5 – 27,5 t/ha Bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%) Ukuran umbi : panjang 14 cm diameter 7 cm Warna kulit umbi: merah tua Warna daging umbi: ungu tua Tahan penyakit kudis (Spaceloma batacas SP) Aspek mikro nutrien: Rasa enak manis Sebagai zat pewarna alami untuk makanan Mengandung Antosianin tinggi 3,5%
2.
Respon Produsen Ubijalar Ungu
a.
Aspek Teknis
Aspek Pangan: Produk makanan ringan: kripik Produk antara: tepung Produk akhir: mie, es krim, bakpao, dan kue-kue.
Aspek Kesehatan Penawar racun, membantu menyerap kelebihan lemak dalam darah, menghalangi munculnya sel kanker, mencegah sembelit, dan baik untuk penderita jantung koroner.
Kajian persepsi petani produsen dengan melihat lima faktor yang diperkirakan dapat menjadi dasar penilaian petani. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat produktivitas yang dicapai, kebutuhan biaya, resiko kegagalan dalam pengelolaan, umur yang pendek, dan kemudahan dalam pemeliharaan (budidaya). Sedangkan dasar penilaian petani terhadap ubijalar berdaging ungu yang ditawarkan adalah dengan memberikan respon lebih baik, lebih jelek atau sama saja dibanding jenis ubijalar yang biasa petani usahakan.
40
Prinsip produsen (petani) mengusahakan tanaman yang menguntungkan dan mudah dalam penjualan. Persepsi petani dengan melihat tampilan fisik ubijalar ungu hasil dari Balitkabi, maka 58% menyatakan lebih baik. Besarnya respon yang demikian, karena petani belum tahu peta pasar nantinya. Lain halnya dengan ubijalar yang sudah mereka usahakan pasarnya sudah jelas. Karena pasar belum diketahui dengan pasti, persepsi petani banyak mengarah pada penilaian variabel ‗sama saja‘ dengan ubi yang mereka usahakan dan variabel tersebut mempunyai proporsi nilai lebih tinggi. Faktor-faktor yang lain selain produktivitas dianggap sama saja oleh petani dengan ubi yang biasa. Perlu dicermati bahwa respon untuk variabel‘lebih jelek‘ mempunyai nilai rendah (< 27%), hal ini dapat disimpulkan sesungguhnya petani bisa menerima ubijalar ungu tersebut hanya saja kejelasan pasar perlu petani diyakinkan. Persentase (%) 100
Lebih baik
Lebih jelek
Sama saja
80
60
40
20
0
Produktivitas B. Produksi
Resiko
Umur
Budidaya
Sec. umum
Gambar 1. Respon produsen terhadap ubijalar ungu
b. Aspek Ekonomis Tingkat harga merupakan tolok ukur petani (produsen) dalam memperoleh pendapatan dari usahatani ubijalar. Harga per satuan yang tinggi akan mencerminkan juga tingginya pendapatan yang diperoleh. Kelebihan-kelebihan lain dari ubijalar ungu tidak banyak menarik petani seperti warna, kandungan gizi dan ukuran karena selama ini ubijalar banyak dijual ke industri saos. Harga ubijalar biasa yang ada di tingkat petani (putih atau kuning) Rp 600,- per kg. Dengan melihat fisik ubijalar ungu yang akan di ‘launching‘ di lapang, petani berani memberikan perbedaan kenaikan tingkat harga rata-rata Rp 192,- per kg atau 32% dari harga ubi biasa. Dengan begitu penerimaan petani terhadap ubijalar ungu dengan menetapkan tingkat harga berkisar Rp 790-800,- per kg. 3.
Respon Konsumen Ubijalar Ungu
a.
Aspek Fisik
Beberapa faktor yang umumnya dijadikan pertimbangan dalam memilih atau menentukan barang kebutuhan khususnya pangan yaitu rasa, warna, ukuran, dan kandungan gizi. Dalam proses pemasaran hasil faktor-faktor tersebut sangat menentukan karena berkaitan dengan sifat atau kecenderungan pembeli untuk memilih. Dalam era globalisasi dan pesatnya informasi, konsumen memilih barang untuk dibeli tidak hanya mempertimbangkan harga murah, tetapi kemanfaatan untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Komoditas pangan misalnya selain murah, barang tersebut harus mampu memberikan nilai lebih, misalnya kebutuhan kesehatan tubuh yang tercermin dari kandungan gizi. Klon ubijalar ungu yang akan di ‗launching‘ ke pasaran memperoleh respon dari konsumen cukup baik. Pada Gambar 2. menunjukkan bahwa 93% responden menyatakan ubijalar tersebut cukup baik dibanding ubijalar yang sudah ada di pasar (daging putih ataupun orange/kuning). Konsumen paling tertarik pada kandungan gizi yang ada pada ubijalar tersebut, disamping rasa manis cukup terasa dan keunikan warna ungunya (<80%).
41
100
Persentase (%) Lebih baik
Lebih jelek
Sama saja
80
60
40
20
0 Rasanya
Warna
Ukuran
Kand. Gizi
Secara Umum
Gambar 2. Respon konsumen terhadap ubijalar ungu
b. Aspek Ekonomis Dalam kehidupan modern, filosofi makan telah mengalami pergeseran, dimana makan bukanlah sekedar untuk kenyang, tetapi juga untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran optimal. Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang bercita rasa dan penampilan menarik, tetapi juga yang mempunyai komposisi (kandungan) gizi yang baik. Dengan pertimbangan karakteristik produk pangan yang dimaui konsumen demikian, maka faktor harga bukan menjadi alternatif (patokan) utama dan satu-satunya. Sebagai contoh ekspektasi (harapan) tingkat harga yang diberikan oleh konsumen pada ubijalar ungu lebih tinggi dari yang diberikan oleh produsen. Dalam teori, konsumen menginginkan harga yang serendah mungkin dan produsen menginginkan harga setinggi mungkin. Tetapi dalam kasus ini tidak demikian adanya. Tingkat harga ubijalar ungu yang diberikan oleh konsumen adalah berkisar Rp 1000,- per kg lebih tinggi dengan kemauan harga oleh produsen. Besarnya perbedaannya berkisar antara Rp 300-400. Pertimbangan khusus lagi berkaitan dengan karakteristik produk yang dimaui konsumen yaitu adanya perbedaan antara tingkat harga antara ubijalar biasa (daging putih atau kuning) dengan ubijalar ungu. Besarnya perbedaan harga yang diberikan oleh konsumen berkisar Rp 200-350 lebih tinggi ubijalar ungu. 4.
Keunggulan Ekonomis Usahatani Ubijalar Ungu
Pada Tabel 2. menunjukkan ekpektasi keuntungan yang diperoleh petani sangat menarik bila mengusahakan ubijalar ungu. Teknologi yang dibutuhkan adalah menggunakan varietas ubijalar ungu dari Balitkabi tersebut, dengan menambah komponen pemupukan urea 100 kg/ha, SP-36 sebesar 100 kg/ha, dan KCl sebesar 100 kg/ha. Petani biasanya hanya menggunakan pupuk kandang dalam budidaya ubijalar, sehingga hasil kurang optimal. Dengan menambah biaya dari aplikasi teknologi (varietas dan pupuk) tersebut berjumlah Rp 2.595.000, maka besarnya keuntungan yang didapat adalah Rp 12.160.000 per hektar atau peningkatan 3 kali dari keuntungan yang biasa petani peroleh. Dalam suatu analisa usaha, secara teoritis kelayakan ekonomi dinyatakan bisa ‘diterima‘ atau ‘go‘ bila B/C bernilai 2. Usahatani dengan ubijalar ungu dapat memenuhi kriteria tersebut. Disamping itu mempunyai tingkat pengembalian investasi (marginal rate of return/MRR) besar 350,28%. Dari suatu usaha dibidang pertanian yang riskan terhadap resiko, maka nilai tersebut cukup besar. Artinya apabila menginvestasikan dana sebesar 1 juta rupiah, maka akan dapat pengembalian usaha dari nilai manfaatnya sebasar 3,5 juta rupiah.
42
Tabel 2. Analisa Usahatani Ubijalar Struktur analisis per ha
Ubijalar Non ungu
Ubijalar ungu
Nilai manfaat: Hasil bersih (t/ha) 10 22,5 Harga petani (Rp) 600 790*) Penerimaan kotor (Rp) 6.000.000 17.775.000 Biaya variable (dalam perbedaan perlakuan): 1. Benih Jumlah (stek) 40.000 Harga (Rp/stek) 50 Biaya benih (Rp) 2.000.000 2. Pupuk Urea Jumlah (kg) 100 Harga (Rp/kg) 1350 Biaya pupuk urea (Rp) 135.000 3. Pupuk SP-36 Jumlah (kg) 100 Harga (Rp/kg) 2000 Biaya pupuk SP-36 (Rp) 200.000 4. Pupuk K Cl Jumlah (Kg) 100 Harga (Rp/kg) 2200 Biaya pupuk K Cl (Rp) 220.000 5. Aplikasi tenaga kerja pemupukan Jumlah (hok) 6 Upah (Rp/hok) 10.000 Biaya pemupukan (Rp) 60.000 Biaya variable (dalam perlakuan yang sama): 6. Pupuk kandang Jumlah (Kg) 480 480 Harga (Rp/kg) 50 50 Biaya pupuk kandang (Rp) 240.000 240.000 7. Aplikasi tenaga kerja (olah tanah, tanam, pembumbunan, pengendalian hama dan penyakit, panen) Jumlah (hok) 276 276 Upah (Rp/hok) 10.000 10.000 Biaya tanam (Rp) 2.760.000 2.760.000 Total biaya (Rp) 3.000.000 5.615.000 Nilai manfaat (keuntungan) (Rp) 3.000.000 12.160.000 B/C rasio 1,00 2,16 Marginal rate of return/MRR (%) 350,28% Keterangan: * estimasi harga dari kesanggupan konsumen membayar ubijalar ungu (willingness to pay)
5.
Keunggulan Sosial Terhadapkesehatan Masyarakat
Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan bila dimungkinkan pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu. Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (functional food) yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia. Ubijalar berdaging warna ungu adalah termasuk dalam pangan fungsional. Dengan kandungan antosianin yang dipunyai mengandung antioksidan yang sangat diperlukan oleh tubuh kita. Dari laporan FDA, US Departement of Health and Human Service dalam Puspa Jofi (2002) bahwa di Amerika, Jepang dan Eropa, saat ini bahan pangan (makanan dan minuman) fungsional (functional food) sangat digemari masyarakat. Penjualan produk-produk bahan pangan fungsional di pasar mengalami peningkatan yang signifikan. Pasar bahan pangan fungsional di Amerika pada tahun 2001 telah mencapai 18,9 milliar US$ atau sebesar 4% dari total pasar produk-produk makanan dan minuman konvensional. Di Jepang besarnya pasar produk-produk bahan pangan fungsional telah mencapai 19,5 milliar US$ dan di Eropa Barat sebesar 17,5 miliar US$. Bahan pangan fungsional di Jepang dikenal dengan FOSHU (Food for Specified Healthy Use), sedang di Eropa diusulkan dengan nama FUFOSU (Functional Foods Scientific in Europe) dan di Kanada dikenal dengan nama Nutraceutical. Warna ungu dari ubijalar dapat diolah sebagai pewarna alami untuk makanan (food colour), sehingga menjadikan makanan bebas dari zat-zat kimia. Disamping itu, tampilan makanan seperti pada pembuatan ice cream dari ubijalar yang sudah mulai diproduksi dengan pewarna ungu akan menambah daya tarik pembeli (konsumen). Demikian juga dengan aneka kue dan produk makanan lain selain cita rasa,
43
penampilan yang menarik juga menjadikan peningkatan dalam kesehatan tubuh disebabkan oleh kandungan gizinya. Sehingga dapat disimpulkan dalam konsep ketahanan pangan bahwa Indonesia juga mempunyai peluang yang sangat besar untuk mengembangkan produk pangan dari umbi-umbian khususnya ubijalar dengan berbasis pada sifat-sifat fungsionalnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Ubijalar berdaging warna ungu yang diajukan oleh Balitkabi (MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19) dapat diterima oleh masyarakat. Pada karakteristik konsumen menyatakan 93% responden menyatakan ubijalar tersebut cukup baik dibanding ubijalar yang sudah ada di pasar (daging putih ataupun orange/kuning). Konsumen paling tertarik pada kandungan gizi yang ada pada ubijalar tersebut dan rasa manis cukup terasa, sedangkan dari keunikan warna ungunya mendapatkan respon hampir 80%. Produsen belum memberikan respon lebih dibanding konsumen karena belum jelasnya pasar dari ubijalar ini, maka hanya 58% menyatakan lebih baik. Besarnya respon yang demikian, karena petani belum tahu peta pasar nantinya. Lain halnya dengan ubijalar yang sudah mereka usahakan pasarnya sudah jelas. Karena pasar belum diketahui dengan pasti, persepsi petani banyak mengarah pada penilaian variabel ‗sama saja‘ dengan ubi yang mereka usahakan dan variabel tersebut mempunyai proporsi nilai lebih tinggi. Dilihat dari aspek produksi, menunjukkan ekpektasi keuntungan yang diperoleh petani sangat menarik bila mengusahakan ubijalar ungu. Dengan menambah biaya dari aplikasi teknologi (varietas dan pemupukan) sebesar Rp 2.595.000, maka besarnya keuntungan yang didapat adalah Rp 12.160.000 per hektar atau peningkatan 3 kali dari keuntungan yang biasa petani peroleh. Usahatani dengan ubijalar ungu dapat mempunyai nilai B/C sebesar 2,16, berarti memenuhi kriteria kelayakan usaha. Disamping itu mempunyai tingkat pengembalian investasi (marginal rate of return/MRR) besar 350,28%. Dalam konsep ketahanan pangan, Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar untuk mengembangkan produk pangan dari umbi-umbian khususnya ubijalar dengan berbasis pada sifat-sifat fungsionalnya dalam memberikan peningkatan kesehatan pada masyarakat. Perlu ada sosialisasi yang inten oleh peneliti memperkenalkan keunggulan ubijalar ungu pada semua stakeholders, dan dibangun kerjasama yang sinergis antara Balit sebagai penghasil varietas dari ubijalar ungu kaya antosianin dengan BPTP selaku pengguna teknologi sesuai dengan tupoksi, sehinga tugas dan kewajiban masing-masing terprogram.
DAFTAR PUSTAKA Puspa Jofi.2002. Functional Food: Definitions, Legal aspects, Market and Studies; Internal Paper, university Justus Liebig-Giesen. Suda I, Tomoyuki OKI, Mami MASUDA, Mio KOBAYASHI, Yoichi NISHIBA and Shu FURUTA. Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes Containing Anthocyanins and Their Utilization in Foods.Japan Agricultural Research Quarterly (JARQ). Vol. 37. No. 3 July 2003. JIRCAS. Japan. Yashinaga, M. 1995. New Cultivar ‗Ayamurasaki‘ for Colorant Production. Sweetpotato Res. Front, 1,2. In : Suda I et al. Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes Containing Anthocyanins and Their Utilization in Foods.Japan Agricultural Research Quarterly (JARQ). Vol. 37. No. 3 July 2003. JIRCAS. Japan. Yusuf, M. St. A. Rahayuningsih, dan Suluh Pambudi 2003. Pembentukan Varietas Unggul Ubijalar Produksi Tinggi yang Memiliki Nilai Gizi dan Komersial Tinggi. Laporan Teknis. Balitkabi-2003.
44
REKLAMASI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DENGAN PUPUK FOSFOR DAN BAHAN ORGANIK DI SUMATERA UTARA Ali Jamil, Darwin Harahap, Siti Maryam, dan M. Prama Yufdy Peneliti pada BPTP Sumatera Utara
ABSTRAK Status kesuburan tanah yang rendah terdapat pada hampir semua lahan sawah tadah hujan karena pertanaman terus menerus dengan sedikit atau tidak ada penggantian hara dan/atau kesuburan tanah yang rendah secara alami. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan pupuk fosfor dan pupuk kandang sapi sebagai upaya mereklamasi lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara. Percobaan telah dilakukan sejak bulan Juni hingga Oktober, 2004. Perlakuan terdiri dari kombinasi 0; 30; 60; dan 90 kg P 2O5 per ha dan 0; 3; dan 6 ton pupuk kandang sapi per ha. Perlakuan disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dalam bentuk faktorial dengan beberapa sifat tanah sebagai parameter yang diukur dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penggunaan pupuk fosfor dan pupuk kandang sapi nyata meningkatkan ketersediaan hara fosfor tersedia, karbon organik tanah, dan air tersedia dalam tanah. Sementara itu, kedua perlakuan menurunkan nilai retensi fosfor tanah. Disimpulkan bahwa, kedua perlakuan baik pemakaian fosfor maupun pupuk kandang sapi berpengaruh positif terhadap upaya reklamasi tingkat kesuburan tanah, khususnya pada lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara. Secara umum pemberian 90 kg P2O5 per ha dan 6 ton per ha pupuk kandang sapi memberikan nilai kandungan hara paling besar dibandingkan perlakuan lainnya. Kata kunci : reklamasi, lahan sawah, tadah hujan, fosfor, bahan organik, Sumatera Utara
PENDAHULUAN Sistem lahan sawah tadah hujan mencakup sekitar 37 juta ha yang diperkirakan sekitar 1/3 total area yang ditanami padi di dunia (IRRI, 1997). Karena ketersediaan air yang fluktuatif, maka kondisi secara hydrologi sangat bervariasi dari tergenang sempurna tanaman padi hingga kekeringan dimana hal ini sering terjadi dalam musim yang sama. Ketergantungan terhadap curah hujan membuat system usahatani pada lahan sawah tadah hujan ini tidak terprediksi dengan tingkat kemungkinan gagal pertanaman yang sangat besar. Tanah bertekstur liat yang kaya dengan sesquioksida seperti Ultisol, Oxisol, dan juga sulfat masam, gambut dan tanah-tanah sodik di dalam dasar pembentukan mereka mempunyai kadar P-tersedia rendah dan mempunyai kapasitas mengadsorpsi fosfor yang besar (Singh dan Sovyanhadi, 1998). Oleh karena pertanaman yang intensif, bahan organik tanah telah terkuras sehingga akhirnya menurunkan tingkat kesuburan tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah adalah solusi yang terbaik untuk mengatasi penurunan tingkat kesuburan tanah. Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia penghasil beras. Di Sumatera Utara terdapat 89.395 ha lahan sawah tadah hujan yang ditanami dua kali setahun dan 91.362 ha ditanami hanya sekali setahun (BPS Sumatera Utara, 2004). Rataan produktivitas padi pada lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara menurut Erythrina dkk. (2001) adalah sekitar 4,15 t ha-1. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, diperlukan upaya reklamasi melalui pemakaian pupuk fosfor dan pupuk kandang sapi untuk pengembangan produktivitas sistem tanam berbasis padi di lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Langkat.
BAHAN DAN METODE Percobaan dilakukan pada musim kering dari bulan Juni-Oktober 2004 pada lahan sawah tadah hujan di Desa Suka Makmur, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada ketinggian 28 m di atas permukaan laut dengan rataan curah hujan tahunan sekitar 2,462 mm. Lokasi percobaan didominasi oleh jenis tanah Albaquult (Adiwiganda, 1990; Soil Survey Staff, 1998). Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dalam bentuk factorial dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah penggunaan pupuk fosfor dalam bentuk SP-36 (36% P2O5) sebanyak empat tingkat yaitu berturut-turut: P1, P2, P3, dan P4 dengan dosis yaitu 0, 30, 60, dan 90 kg ha-1 P2O5. Perlakuan kedua adalah pemakaian bahan organik dalam hal ini digunakan pupuk kandang sapi sebagai sumber bahan organik pada tiga tingkatan dosis O1, O2, dan O3 yaitu berturut-turut adalah 0, 3, dan 6 t ha-1. Ukuran plot adalah 5 m x 6 m dan ulangan (blok) serta masing-masing blok dipisahkan dengan pematang pada jarak berturut-turut adalah 1,0 m dan 0,5 m untuk memudahkan operasional di lapangan. Dua belas kombinasi perlakuan fosfor dan bahan organik (pukan sapi) adalah sebagai berikut: P0O0, P0O1, P0O2, P1O0,
45
P1O1, P1O2, P2O0, P2O1, P2O2, P3O0, P3O1, dan P3O2. Pemupukan kalium sebagai pupuk dasar telah diaplikasikan pada saat tanam pindah (0 HST) dengan dosis 50 kg KCl ha -1. N (kg N ha-1) diberikan sebagai berikut: 20 sebagai dasar, 30 pada awal pembentukan anakan (14-20 HST), 25 pada pertengahan pembentukan anakan (30-35 HST), dan 45 pada fase pembentukan malai (40-45 HST). Pupuk fosfor diberikan pada saat tanam dan bahan organik (pukan sapi) diberikan dua minggu sebelum tanam. Parameter yang diukur pada percobaan ini terdiri dari kandungan air tersedia tanah, kandungan P tersedia tanah (Bray2), retensi P tanah, dan kandungan karbon organik. Contoh tanah diambil secara komposit dari lima sub contoh dijadikan menjadi satu contoh komposit per plot untuk dianalisa sifat fisika maupun kimianya. Pengambilan contoh tanah dan analisa sifat tanah ini dilakukan pada awal sebelum percobaan dimulai, kemudian setiap 20 hari sekali sejak 15 HST hingga setelah panen padi (15, 35, 55, 75, 95, dan 105 HST). Data dianalisis dengan menggunakan SAS program. Analisis covariance (ANACOVA) telah digunakan untuk menguji pengaruh perbedaan perlakuan terhadap parameter tanah dengan menggunakan prosedur seperti dikemukakan Steel dan Torrie (1980) dan Gomez dan Gomez (1983).
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Tanah dan Bahan Organik yang Digunakan pada Lokasi Percobaan Untuk membahas sifat awal dari tanah lokasi percobaan, digunakan kriteria penilaian kandungan hara dalam tanah seperti yang dikemukakan oleh Hardjowigeno (2003). Tanah pada areal percobaan mempunyai kandungan hara P-tersedia sangat rendah (4,2-4,7 ppm), kandungan C-organik juga tergolong sangat rendah (0,35-0,38%), kapasitas tukar kation tergolong ke dalam kriteria sedang (22,7-22,9 cmol (+) kg-1). Kerapatan lindak berkisar 1,13-1,20 g cm-3, dan kandungan air tersedia yang diukur sebagai selisih antara kandungan air pada kapasitas lapang dengan kandungan air pada titik layu permanent adalah berkisar 0,2-11,9%. Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum penelitian dilakukan, tanah pada lokasi percobaan memiliki status hara P tersedia yang sangat rendah, kandungan karbon organik juga sangat rendah. KTK tergolong sedang. Dibandingkan dengan sifat awal tanah sebelum percobaan dimulai, maka pemakaian kedua P dan bahan organik (pukan sapi) meningkatkan ketersediaan P dalam tanah, kandungan C-organik tanah, dan kadar air tersedia sekitar berturut-turut 102%, 197%, dan 83%. Sementara itu, pemakaian kedua P dan bahan organik menurunkan kerapatan lindak sekitar 9%. Pupuk kandang sapi telah digunakan sebagai sumber bahan organik pada percobaan ini yang diperoleh dari desa Lubuk Bayas, Kabupaten Deli Serdang. Sub contoh telah diambil dan dijadikan satu contoh komposit untuk dianalisa kandungan haranya sebelum diperlakukan ke lapang. Secara rata-rata, pukan sapi yang digunakan pada percobaan ini mengandung 1,04% N-total dan 20,6% C-organik sehingga memberikan nilai C/N 19,8. Disamping itu, kandungan P, K, Ca, dan Mg berturut-turut adalah 0,30; 1,24; 1,62; dan 0,52%. Sifat Tanah sebagai Pengaruh Perbedaan Perlakuan Fosfor tersedia. Pemakaian kedua fosfor dan bahan organik secara nyata (P <0.001) meningkatkan fosfor tersedia dalam tanah dan meningkat dengan waktu sampai 75 HST (Tabel 1). Peningkatan pemberian fosfor sampai 60 kg ha-1 P2O5 dapat meningkatkan kandungan P-tersedia dari 29.4-41.3%; namun, tidak terdapat peningkatan selanjutnya bila dosis pemberian P ditingkatkan dari 60 ke 90 kg ha -1 P2O5. Pemakaian bahan organik juga menghasilkan peningkatan yang nyata untuk fosfor tersedia dalam tanah dari 19,5-38,5%. Kandungan P-tersedia juga meningkat dengan waktu dengan peningkatan yang lebih tinggi pada 75 HST dimana peningkatan ini sekitar 95% dengan penggunaan 6 t ha-1 bahan organic. Interaksi antara pemberian P dengan bahan organik juga nyata pada semua waktu pengamatan kecuali pada 15 dan 75 HST, dimana hal ini terutama disebabkan oleh respon P-tersedia yang lebih besar terhadap pemakaian bahan organic, khususnya pada level P yang lebih tinggi (P2 dan P3). Peningkatan konsentrasi P tersedia dalam tanah kemungkinan besar disebabkan beberapa hal seperti peningkatan kelarutan pupuk kimia dan pelarutan PO4 dari kompleks tidak larut dengan Fe, Al, Ca, dll karena asam humik yang dapat dihasilkan selama pelapukan pukan sapi (Tisdale dkk., 1985). Miller and Donahue (1995) selanjutnya menjelaskan bahwa pupuk fosfat adalah salah satu sumber langsung dari fosfat larut dalam tanah. Pillai (2006) mengemukakan bahwa jika tanah digenangi, beberapa perubahan kimia dan elektrokimia utama akan terjadi yang akan menyebabkan peningkatan pH tanah masam, reduksi kimia, peningkatan pH tanah masam dan penurunan pH tanah-tanah kalkareus atau/dan sodik, yang k Kandungan air tersedia. Kedua pemakaian P dan bahan organik nyata meningkatkan kadar air tersedia dalam tanah
46
(Tabel 4). Kandungan air tersedia meningkat sekitar 27-34% ketika diberikan 90 kg P2O5 ha-1. esemuanya ini mempunyai peran dalam peningkatan kadar P tersedia dalam tanah. Retensi fosfor dalam tanah. Secara umum, penggunaan pupuk P dan bahan organik tidak berpengaruh secara nyata terhadap retensi P dalam tanah, kecuali untuk dua pengamatan terakhir yaitu 95 dan 105 HST adalah nyata berpengaruh terhadap kemampuan tanah untuk meretensi P dalam tanah (Tabel 2). Pukan sapi yang digunakan dalam percobaan ini mengandung nilai C/N rasio sedang (sekitar 20), dimana hal ini memiliki kontribusi terhadap peningkatan maupun perbaikan kesuburan tanah. Gobat dkk. (2004) mengemukakan bahwa, nilai indeks yang baik dari kialitas pukan sapi adalah rasio C terhadap N. Nilai C/N yang tinggi (25-30) sebagai bukti bahwa bahan organik tersebut belum melapuk secara sempurna. Dengan adanya penambahan bahan organik ke dalam tanah diperkirakan akan menurunkan daya retensi tanah terhadap P melalui mekanisme reaksi asam-asam organik sebagai hasil pelapukan bahan organik dimaksud yang lebih reaktif terhadap logam-logam pemfiksasi P dalam tanah. Kandungan karbon organik dalam tanah. Pemakaian kedua P dan bahan organik nyata meningkatkan kandungan karbon organik tanah dan juga meningkat dengan waktu (Tabel 3). Peningkatan karbon organik tanah karena peningkatan pemakaian P dari 0 ke 90 kg P 2O5 ha-1 adalah sekitar 11%-27%. Pengaruh pukan sapi lebih jelas, dimana rataan peningkatan C-organik dari sekitar 24% dan 50% bila diberikan 3 ke 6 t ha-1 pukan sapi. Interaksi nyata antara penggunaan P dan bahan organik hanya terdapat pada pengukuran pertama, dimana hal ini lebih respon terhadap pemakaian bahan organik khususnya pada dosis tanpa pemberian P (P0). Rata-rata peningkatan dari C-organik tanah adalah sekitar 27% bila diberikan 90 kg P 2O5 ha-1. Pemakaian pukan sapi 6 t ha-1 meningkatkan C-organik sekitar 54% (0.86-1,32%) pada 95 HST. Interaksi yang nyata juga diamati antara P dan pukan sapi adalah disebabkan lebih tingginya respon C-organik dalam tanah terhadap pemakaian pukan sapi, khususnya dengan ketiadaan P (P0). Tabel 1. Fosfor Tersedia Dalam Tanah Pada Waktu Pengamatan Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P dan Bahan Organik Hari Setelah Tanam 15 35 55 75 95 105 ---------------------------------------------- ppm --------------------------------------------
Perlakuan P0
4,86 5,89 6,92 5,89 5,93 6,90 7,94 6,92 7,14 7,91 9,88 8,31 6,40 7,65 8,96 7,67
5,83 6,92 7,97 6,91 6,61 8,39 9,08 8,03 8,78 9,14 10,72 9,55 8,34 8,98 10,03 9,12
6,18 7,66 9,38 7,74 7,98 8,64 9,82 8,81 8,90 9,93 11,74 10,19 8,84 9,42 10,54 9,60
5,57 6,98 7,95 6,84 6,58 8,33 9,26 8,06 8,74 9,46 10,79 9,66 8,37 9,00 10,15 9,17
4,83 5,93 7,01 5,92 5,85 6,93 8,23 7,00 6,89 8,01 9,71 8,20 6,65 7,47 8,35 7,49
5,32 6,08 5,77 7,09 6,36 8,42 Rataan 5,82 7,20 Significance P *** *** O *** *** PxO tn *** LSD05 P 0,15 0,17 O 0,13 0,15 PxO 0,29 CV (%) 2,26 2,39 tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001.
7,39 8,36 9,45 8,40 *** *** * 0,24 0,21 0,42 3,13
7,97 8,91 10,37 9,08 *** *** tn 0,15 0,14 1,58
7,32 8,44 9,54 8,43 *** *** *** 0,12 0,10 0,20 1,41
6,06 7,08 8,32 7,15 *** *** *** 0,14 0,12 0,24 1,98
P1
P2
P3
Pukan sapi
O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan Rataan O0 O1 O2
4,67 5,13 5,90 5,23 5,07 5,47 6,24 5,59 6,47 6,76 7,07 6,77 5,09 5,71 6,23 5,68
47
Penggenangan secara terus menerus dalam system padi-padi secara umum berhubungan dengan peningkatan kandungan C-organik tanah (Nambiar, dkk.,1992 dalam Hedge 1996). Fraksi koloid, yang mengandung kedua liat dan humus dari pukan sapi, dikenal sebagai tempat berlangsungnya aktifitas kimia dalam tanah, termasuk kapasitas untuk pertukaran ion dalam tanah (Brady dan Weil, 2002). Untuk tanahtanah liat, bahan organik tanah memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan KTK tanah (Weil dan Magdoff, 2004). Kandungan air tersedia. Kedua pemakaian P dan bahan organik nyata meningkatkan kadar air tersedia dalam tanah (Tabel 4). Kandungan air tersedia meningkat sekitar 27-34% ketika diberikan 90 kg P2O5 ha-1. Tabel 2. Retensi Fosfor Dalam Tanah Pada Waktu Pengamatan Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P dan Bahan Organik PERLAKUAN P0
15.82 15.67 15.29 15.59 15.85 15.98 15.51 15.78 15.95 15.94 15.71 15.87 15.99 15.67 16.04 15.90
15.80 15.72 15.12 15.55 15.88 15.77 15.49 15.71 15.91 15.87 15.73 15.84 15.96 15.60 16.22 15.92
15.57 15.53 15.24 15.45 15.86 15.78 15.55 15.73 15.98 15.73 15.72 15.81 15.98 16.10 15.88 15.99
15.28 14.63 14.17 14.69 16.01 15.24 14.77 15.34 16.06 15.82 15.36 15.74 16.97 16.18 15.42 16.19
14.60 14.34 13.87 14.27 15.54 15.13 15.10 15.26 16.10 15.37 15.34 15.60 17.27 15.49 15.30 16.02
16.07 15.90 15.74 15.81 15.63 15.64 Rataan 15.82 15.78 Significance P tn tn O * tn PxO tn tn LSD05 P O 0.28 CV (%) 2.11 2.15 tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001.
15.89 15.74 15.64 15.75 tn tn tn 2.39
15.85 15.79 15.60 15.74 tn tn tn 4.87
16.08 15.47 14.93 15.49 *** *** tn 0.53 0.46 3.46
15.88 15.08 14.90 15.29 *** *** tn 0.50 0.43 3.35
P1
P2
P3
Pukan sapi
O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan Rataan O0 O1 O2
Hari Setelah Tanam 15 35 55 75 95 105 ----------------------------------------------- % ----------------------------------------------16.05 15.58 15.14 15.59 16.10 15.77 15.37 15.75 16.04 15.80 15.92 15.92 16.11 15.80 16.11 16.00
Pemakaian bahan organik juga meningkatkan kandungan air tersedia dalam tanah sampai sekitar 3033%. Interaksi antara P dan pukan sapi juga nyata kecuali pada pengukuran 15 HST dan 105 HST. Interaksi ini utamanya disebabkan oleh respon yang lebih tinggi oleh air tersedia terhadap pemakaian bahan organik ketika dikombinasikan dengan level dosis tertinggi dari pemakaian P (P3). Kecenderungan umum juga bahwa kandungan air tersedia tanah meningkat dengan waktu (6-12%) sampai 95 HST. Kandungan air tersedia meningkat dengan penambahan kedua P sampai 90 kg ha -1 P2O5) dan pukan sapi (sampai 6 t ha-1) adalah berturut-turut sekitar 34% dan 33%.
48
Tabel 3.
Perubahan Karbon Organik Tanah pada Waktu Pengukuran yang Berbeda Setelah Tanam Akibat Perlakuan P dan Bahan Organik PERLAKUAN
P0
P1
P2
P3
Pukan sapi
Rataan Significance
LSD05
O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan Rataan O0 O1 O2 P O PxO P O PxO
CV (%)
Hari Setelah Tanam 15 35 55 75 95 105 ------------------------------------------------------ % -----------------------------------------------------0.51 0.76 0.82 0.70 0.62 0.81 0.86 0.76 0.69 0.82 1.04 0.85 0.73 0.85 1.06 0.88
0.57 0.78 0.96 0.77 0.63 0.81 1.00 0.81 0.71 0.85 1.07 0.88 0.76 0.86 1.08 0.90
0.62 0.81 0.97 0.80 0.73 0.85 1.02 0.87 0.80 0.90 1.08 0.93 0.83 0.91 1.14 0.96
0.76 0.86 1.01 0.88 0.80 0.92 1.08 0.93 0.81 0.98 1.18 0.99 0.84 1.03 1.16 1.01
0.78 1.04 1.20 1.01 0.83 1.10 1.31 1.08 0.91 1.16 1.36 1.14 0.91 1.18 1.39 1.16
0.63 0.89 1.17 0.90 0.67 0.93 1.19 0.93 0.73 0.95 1.20 0.96 0.80 0.96 1.22 0.99
0.64 0.81 0.94 0.80 *** *** *** 0.02 0.02 0.04 2.98
0.67 0.82 1.03 0.84 *** *** tn 0.05 0.04 5.45
0.74 0.87 1.05 0.89 *** *** tn 0.03 0.03 3.58
0.80 0.95 1.11 0.95 *** *** tn 0.04 0.04 4.71
0.86 1.12 1.32 1.10 *** *** tn 0.06 0.05 5.16
0.71 0.93 1.20 0.95 * *** tn 0.06 0.05 4.75
tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001 Table 4. Kandungan Air Tersedia Tanah pada Waktu Pengukuran Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P dan Bahan Organik PERLAKUAN P0
P1
P2
P3
Pukan sapi
Rataan Significance
LSD05
CV (%)
O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan Rataan O0 O1 O2 P O PxO P O PxO
HARI SETELAH TANAM 15 35 55 75 95 105 ------------------------------------------------------ % -----------------------------------------------------14.53 16.91 17.81 16.42 15.78 17.90 19.90 17.86 16.88 18.38 20.95 18.74 18.36 19.46 26.89 21.57
14.90 16.98 18.08 16.65 16.42 18.10 20.14 18.22 16.91 19.11 22.11 19.38 18.87 20.57 27.20 22.22
14.94 17.02 18.35 16.77 16.49 18.74 20.51 18.58 17.54 20.12 23.39 20.35 18.98 20.72 27.48 22.39
14.98 17.61 18.42 17.00 16.84 18.93 20.60 18.79 17.72 20.32 23.59 20.54 19.07 20.96 27.72 22.58
15.40 18.32 19.59 17.77 17.52 18.97 20.98 19.16 18.18 20.75 23.75 20.89 19.54 21.14 27.91 22.86
14.85 16.25 19.34 16.81 15.92 18.09 20.00 18.00 17.71 17.50 23.14 19.45 17.78 20.57 25.93 21.43
16.39 18.16 21.39 18.65 *** *** tn 1.55 1.39 4.83
16.78 18.69 21.88 19.12 *** *** ** 1.17 1.01 2.03 6.24
16.99 19.15 22.43 19.52 *** *** * 1.45 1.25 2.51 4.67
17.15 19.46 22.58 19.73 *** *** *** 0.66 0.57 1.15 3.42
17.66 19.80 23.06 20.17 *** *** * 1.42 1.23 2.46 4.78
16.57 18.10 22.10 18.92 *** *** tn 1.54 1.33 4.81
tn, tidak nyata, *, **, *** nyata pada P < 0.05, 0.01, dan 0.001
49
KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil percobaan ini adalah, bahwa pemakaian pupuk P dan pukan sapi dapat dijadikan sebagai bahan pereklamasi lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara karena dapat meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah, kandungan C-organik tanah dan air tersedia berturut-turut sekitar 59%, 157%, dan 72%. Perbaikan atau peningkatan sifat tanah dimaksud, tertinggi ataupun terbaik diperoleh bila dikombinasikan antara pemberian 90 kg P 2O5 ha-1 dan 6 t ha-1 pukan sapi.
DAFTAR PUSTAKA ADIWIGANDA, R. 1990. Reklassifikasi Tanah-tanah di Sumatera Utara ke Dalam System Taxonomy USDA. Bulletin Pertanian. Universitas Islam Sumatera Utara. Vol. 9 (1):1-10. BRADY, N. C., and R. R. WEIL. 2002. The Nature and Properties of Soils. 13th ed. Prentice-Hall, Upper Saddle River, NJ. 881 p. BPS Sumatera Utara. 2004. Statistik Luas Baku Lahan Sumatera Utara Pada Tahun 2003. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 94 p. ERYTHRINA, S. MARYAM, SARIMAN, MURIZAB, DARMAWATY, AKMAL, dan Z. ZAINI. 2001. Pengelolaan Hara Terpadu Pada Lahan Sawah Tadah Hujan, Sumatera Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian-Sumatera Utara. Medan. (tidak dipublikasikan). 14 p. GOBAT, J. M., M. ARAGNO, and W. MATTHEY. 2004. The Living Soil. Fundamentals of Soil Science and Soil Biology. Science Publishers, Inc. Enfield (NH), USA. 602 p. GOMEZ, K. A., and A. A. GOMEZ. 1983. Statistical Procedures for Agricultural Research. International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. 680 p. HARDJOWIGENO, S. 2003. Soil Science. Fifth Edition. Akademika Pressindo. Jakarta. (Indonesian Version). 286 p. HEDGE, D. M. 1996. Integrated Nutrient Supply on Crop Productivity and Soil Fertility in Rice (Oryza sativa)-Rice System. Indian J. Agron. 41(1):1-8. IRRI. 1997. Rice Almanac, 2nd Edition. International Rice Research Institute, Manila. 181p. MILLER, R. W., and R. L. DONAHUE. 1995. Soils in Our Environment. Seventh Edition. Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ 07632. 649 p. PILLAI, K. G. 2006. Rice (Oryza sativa L.). http://www.fertilizer.ogr/ifa/publicat/html/pubman/rice.htm p. 1-11. SINGH, V. P. and J. SOVYANHADI. 1998. Kinetics of phosphate fixation in acid sulfate, iron toxic and neutral soils. Oryza. 35(2):95-105. SOIL SURVEY STAFF. 1998. Keys to soil taxonomy. Eighth Edition. United States Department of Agriculture. Natural Resources Conservation Services. 326 p. STEEL, R. G. D. and J. H. TORRIE. 1980. Principles and Procedures of Statistics: A biometrical Approach. McGraw-Hill Book Company. New York. 633 p. TISDALE, S. L., W. L. NELSON, and J. D. BEATON. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Macmillan Publishing Company, New York, Collier Macmillan, Publishers, London. 754 p. WEIL, R. R., and F. MAGDOFF. 2004. Significance of Soil Organic Matter to Soil Quality and Health. In F. Magdoff and R.R. Weil. Soil organic matter in Sustainable Agriculture. CRC Press. Boca Raton London, New York, Washington, D.C. p. 1-43
50
PENGKAJIAN PENGGUNAAN UREA DAN KOMPOS PADA PERTANAMAN JAGUNG VARIETAS LAMURU DI LAHAN KERING BERIKLIM KERING Mulyadi, Sutardi dan B. Sudaryanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta
ABSTRAK Kekahatan unsur hara Nitrogen (N) dalam tanah merupakan salah satu faktor pembatas utama hasil tanaman jagung. Di sisi lain, penggunaan pupuk Urea dan pupuk organik yang efisien dan sesuai dengan kemampuan petani perlu diperhatikan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi dosis penggunaan pupuk Urea dan kompos terhadap hasil jagung komposit varietas Lamuru. Pengkajian dilakukan dalam MH 2005 pada tanah Vertisols di pewakil kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering wilayah Kabupaten Gunungkidul. Pengkajian dilaksanakan secara on farm dengan menggunakan 16 lahan petani kooperator sebagai ulangan. Perlakuan terdiri dari dua macam, yaitu; (A) 450 kg Urea/ha + 2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg Urea /ha + 5,0 ton kompos/ha. Sebagai pupuk dasar digunakan 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl. Luas petak perlakuan berkisar 1.000 – 1.250 m2. Benih jagung yang digunakan adalah benih bersertifikat kelas Breeder Seed (BS) dari Balai Penelitian Jagung dan Serealia (Balitjas), Maros. Benih ditanam satu biji/lubang, jarak tanam 70 cm x 20-25 cm. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa perbedaan komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos (A dan B) tidak berpengaruh nyata terhadap hasil biji jagung kering. Rata-rata hasil biji jagung dari kedua perlakuan adalah 6,69 dan 6,58 ton/ha, berarti subsitusi 150 kg Urea/ha dengan 2,5 ton kompos/ha memberikan hasil biji yang relatif sama. Demikian juga hasil hijauan yang potensial untuk pakan ternak dari masing-masing perlakuan (A dan B) adalah untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 dan 3,72; klobot 7,87 dan 7,71; dan tongkol tanpa biji 5,11 dan 5,01 ton/ha. Kata Kunci : lahan kering, jagung, nitrogen, kompos, produktivitas.
PENDAHULUAN Jagung merupakan salah satu komoditas utama yang banyak diusahakan petani di daerah Kabupaten Gunungkidul yang umumnya termasuk dalam kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering. Tanaman jagung selain diharapkan hasil bijinya juga bahan hijauannya untuk pakan ternak. Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman jagung yang baik dan memperoleh hasil yang tinggi diperlukan kondisi tanah yang gembur dan subur karena tanaman ini memerlukan aerasi dan drainase yang baik serta ketersediaan unsur-unsur hara essensial yang dapat diserap tanaman dalam keadaan cukup. Untuk itu, pada tanah-tanah yang bertektur berat (liat), seperti halnya dijumpai pada kebanyakan tanah Vertisols, pengelolaan tanah yang mengarah untuk perbaikan drainase maupun aerasi baik melalui pengolahan tanah maupun pemberian pupuk organik sangat diperlukan. Di sisi lain, di antara unsur hara makro yang paling banyak diperlukan adalah K, menyusul N dan P (Sutoro et al. 1992). Meskipun, kebutuhan N sedikit lebih rendah daripada K namun ketersediaan N dalam tanah umumnya sangat kurang mencukupi untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal mengingat selain sifat unsur hara N yang sangat labil juga secara alami sumber N dalam tanah sangat tergantung dari kadar bahan organik tanah yang umumnya juga rendah (Tisdale et al., 1993). Tanah-tanah dengan tektur liat, berkadar bahan organik rendah dan miskin unsur hara N pada umumnya banyak dijumpai di kawasan lahan kering beriklim kering khususnya di wilayah Kabupaten Gunungkidul (Puslittanak, 1994). Di Amerika tanaman jagung untuk menghasilkan biji sebanyak 7,5 ton/ha diperlukan sekitar 135 kg N/ha, pada tanah dengan kadar P dan K rendah diperlukan pemupukan 100 kg P 2O5 dan 170 kg K2O/ha (Donahue et al., 1977). Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi dengan berbagai jenis tanah di Indonesia diketahui bahwa pemupukan N sebanyak 135 kg N/ha perlu dilakukan bagi tanaman jagung pada tanah dengan kadar N kurang dari 0,4 % dan tanaman jagung umumnya memberikan respon terhadap pemupukan P dan K masing—masing pada tanah dengan kadar kurang dari 20 mg P2O5 dan 20 mg K2O/100 gram tanah (Sutoro et al., 1992). Namun hasil penelitian juga melaporkan bahwa peningkatan penggunaan pupuk N sampai dengan 142,7 kg N/ha selain meningkatkan hasil biji juga meningkatkan kadar protein dalam jagung (Winarso, 2005). Dalam kaitannya dengan pemupukan N, selama ini macam pupuk yang banyak digunakan petani adalah Urea. Namun demikian, sementara ini masalah keterbatasan ketersediaan pupuk dan harganya yang cenderung meningkat sering menjadi kendala petani untuk dapat memenuhi kebutuhan akan pupuk Urea tersebut. Untuk itu, upaya pemanfaatan sumberdaya lokal seperti pupuk organik/kompos perlu digalakkan kembali sebagai sarana produksi untuk peningkatan produktivitas lahan. Meskipun, kadar N dari pupuk organik tidak setinggi pupuk Urea namun penggunaan pupuk organik dalam takaran yang relatif banyak
51
dapat menyumbangkan sejumlah unsur-unsur hara makro dan mikro. Di samping itu, penggunaan pupuk organik memiliki beberapa keunggulan lain yang tidak dapat digantikan dari penggunaan pupuk kimia/anorganik. Keunggulan tersebut antara lain adalah dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah memegang air dan unsur-unsur hara sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia, mengurangi kehilangan hara akibat pencucian dan menekan erosi. Tulisan ini menyajikan hasil pengkajian tentang penggunaan kombinasi dosis pupuk Urea dengan kompos dari limbah kandang pada pertanaman jagung pada tanah vertisols di daerah lahan kering beriklim kering wilayah Kabupaten Gunungkidul.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilakukan dalam musim hujan (MH 2005) pada tanah Vertisols (Puslittanak, 1994) di pewakil kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering wilayah Kabupaten Gunungkidul (ketinggian tempat < 700 m dan curah hujan < 2000 mm/tahun). Hasil analisis tanah diketahui bahwa rata-rata kadar C organik dan N total masing-masing adalah 0,14 dan 0,09% yang mana secara umum tergolong sangat rendah dan kadar P2O5 dan K2O masing-masing adalah 35,6 dan 7,0 mg/100 g tanah. Pengkajian dilaksanakan secara on farm dengan menggunakan 16 lahan petani kooperator (sebagai ulangan) dari Kelompok Tani Sedya Maju di dusun Ngunut Kidul, Desa Kelor, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Pemilihan lokasi dan kelompok didasarkan pada kesanggupan kelompok untuk memenuhi persyaratan dalam penangkaran benih diantaranya adalah menghindari adanya penanaman jagung di sekeliling lokasi penanaman jagung yang akan dikaji/ditangkarkan, minimal 200 m. Teknologi yang dikaji terdiri dari dua macam perlakuan pemupukan, yaitu; (A) 450 kg Urea/ha + 2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg Urea /ha + 5,0 ton kompos/ha. Sebagai pupuk dasar digunakan 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl. Luas petak perlakuan berkisar 1.000 – 1.250 m2. Pemupukan Urea dilakukan dua kali yaitu 1/3 bagian pada saat tanam dan 2/3 bagian pada saat tanaman berumur 25 hari setelah tanam. Jagung yang digunakan adalah jagung komposit (bersari bebas) varietas Lamuru dengan benih bersertifikat kelas Breeder Seed (BS) dari Balai Penelitian Jagung dan Serealia (Balitjas), Maros. Benih yang digunakan mempunyai daya tumbuh 96% dan benih ditanam satu biji/lubang, jarak tanam 70 cm x 20-25 cm. Panen jagung dilakukan pada saat tanaman berumur 96 hari setelah tanam. Data yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman, berat biji kering dan brangkasan kering. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan antar perlakuan, data dianalisis dengan menggunakan uji T (T test) pada taraf beda nyata 5%. Pengkajian ini selain dimaksudkan untuk mengetahui tingkat produktivitas tanaman juga untuk pengawalan perbanyakan benih dan pembinaan kelompok tani dalam kemampuan dan ketrampilan menangkarkan benih. Untuk itu, dalam pelaksanaan pengkajian dilakukan dengan mengikutsertakan pendampingan dari BPSB Propinsi DIY dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten Gunungkidul.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Pertumbuhan Tanaman Jagung Hasil pengamatan keragaan pertumbuhan (tinggi tanaman) yang diperlakukan dengan perbedaan kombinasi dosis pemupukan Urea dengan kompos disajikan dalam Tabel 1. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perbedaan komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos, yaitu (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg Urea + 5,0 ton kompos/ha tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman baik yang diamati pada saat mulai berbunga maupun saat panen. Tabel 1. Keragaan Tinggi Tanaman Jagung Varietas Lamuru Pada Perbedaan Dosis Pemupukan Urea dan Kompos di Karangmojo, MH 2005 Keragaan Tanaman dan Hasil
Taraf Dosis A (450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha)
Taraf Dosis B (300 kg Urea + 5,0 ton kompos/ha)
Keragaan Pertumbuhan Tanaman : 1. Tinggi tanaman saat mulai berbunga, umur 55 hst (cm) 220,9 208,5 2. Tinggi tanaman saat panen, 96 hst (cm) 225 215 Ket : Semua perlakuan dipupuk 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha; Faktor koreksi untuk hasil dari ubinan adalah 30%.
52
Komponen Hasil Panen Jagung Tanaman jagung selain dimaksudkan untuk produksi biji juga hasil hijauan, klobot dan tongkolnya potensial untuk pakan ternak. Seperti halnya pengaruh terhadap tinggi tanaman, perbedaan perlakuan komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos, yaitu (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg Urea + 5,0 ton kompos/ha tidak berpengaruh nyata terhadap hasil brangkasan/tebon dan jagung berkulit kering termasuk komponen-komponennya (Tabel 2). Rata-rata hasil biji jagung dari kedua perlakuan adalah 6,69 dan 6,58 ton/ha sedangkan hasil hijauan yang potensial untuk pakan ternak dari masing-masing perlakuan (A dan B) adalah untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 dan 3,72; klobot 7,87 dan 7,71; dan tongkol tanpa biji 5,11 dan 5,01 ton/ha. Tabel 2. Hasil Tanaman Jagung Varietas Lamuru Pada Perbedaan Dosis Pemupukan Urea dan Kompos Di Karangmojo, MH 2005 Komponen Hasil Panen Jagung
Taraf Dosis A (450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha)
Taraf Dosis B (300 kg Urea + 5,0 ton kompos/ha)
1.
Berat tebon (brangkasan) ton/ha 11,38 10,88 a. Berat tebon bagian atas tongkol (umumnya untuk pakan 3,48 3,72 ternak) ton/ha b. Berat tebon bagian bawah tongkol (umumnya tidak 7,90 7,16 dimanfaatkan untuk pakan) ton/ha 2. Jagung berkulit kering (ton/ha) 19,67 19,28 a. a. Klobot kering 7,87 7,71 b. b. Tongkol kering tanpa biji 5,11 5,01 c. Jagung pipilan kering kadar air 14 % (ton/ha) 6,69 6,56 Ket : Semua perlakuan dipupuk 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha; Faktor koreksi untuk hasil dari ubinan adalah 30%.
Hasil pengkajian dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa subsitusi 150 kg Urea/ha dengan 2,5 ton kompos/ha memberikan hasil tanaman yang relatif sama. Bila dinilai secara ekonomi, subsitusi penggunaan Urea 150 kg/ha (harga Rp 1.050/kg) dengan 2,5 ton kompos/ha (harga Rp 250/kg) maka pemupukan 300 kg Urea + 5 ton kompos/ha relatif lebih mahal sekitar Rp 467.500/ha, namun ketersedian pupuk kompos yang dapat diproduksi petani sendiri secara lokal lebih mungkin terjamin dan mudah di dapat, khususnya hal ini akan mungkin dapat dipenuhi bagi petani yang mempunyai ternak. Di samping itu, penggunaan kompos secara berkelanjutan berpotensi untuk memperbaiki kesuburan tanah yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap peningkatan hasil tanaman berikutnya. Untuk itu, pengembangan usahatani integrasi tanaman dan ternak di kawasan lahan kering beriklim kering sangat penting artinya karena merupakan usaha yang saling komplementer baik untuk peningkatan pendapatan maupun pemeliharaan keberlanjutan produktivitas lahan.
KESIMPULAN Pada lahan kering dengan tanah Vertisols berkadar C organik dan N total rendah yang ditanami jagung varietas Lamuru dengan pemupukan (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha atau (B) 300 kg Urea + 5,0 ton kompos/ha memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman (brangkasan dan biji kering) yang relatif sama. Penggantian penggunaan Urea 150 kg/ha dengan 2,5 ton kompos/ha tidak mempengaruhi hasil tanaman jagung. Rata-rata hasil biji jagung yang diperoleh adalah 6,58-6,69 ton/ha sedangkan hasil hijauan yang potensial untuk pakan ternak, yaitu untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 - 3,72; klobot 7,71 - 7,87 dan tongkol tanpa biji 5,01 -5,11 ton/ha.
53
DAFTAR PUSTAKA Donahue, R.L., R.W. Miller, and J.C. Shikluna. 1977. Soils. An Introduction to Soil and Plant Growth. Prentice-Hall, Inc. New Yersey. Puslittanak, 1994. Laporan Akhir; Survai Dan Pemetaan Sumberdaya Lahan Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Dan Konservasi Hutan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Laporan Akhir No. 03/PSDT/02.0202.01/94. Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittamnak), Badan Litbang Petanian, Deptan. Sutoro, Y. Soelaeman dan Iskandar. 1992. Budidaya Tanaman Jagung. Paket Informasi Jagung. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Badan Litbang Pertanian. Tisdale, S.L., W.L. Nelson, J.D. Beaton, and J.L. Havlin. 1993. Soil Fertility and Fertilizers, 5th Ed. Macmillan Publishing Company. New York. Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakarta.
54
PENGARUH PERANGKAP LAMPU TERHADAP INTENSITAS SERANGAN HAMA DAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH I.B.K. Suastika1, Agus Thomas Sutiarso2, I.Ketut Kariada2 dan I.B. Aribawa1 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali 2 Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang
ABSTRAK Penelitian pengaruh perangkap lampu terhadap intensitas serangan hama dan produksi pada budidaya bawang merah dilaksanakan di lahan sawah setelah padi di desa Bungkulan, kecamatan Sawan, kabupaten Buleleng dari bulan Oktober sampai Desember 2005. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh perangkap lampu dan introduksi bawang merah varietas kuning terhadap intensitas serangan hama dan hasil. Bibit bawang merah di tanam dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm pada bedengan berukuran lebar 70 cm dalam luasan area 0,5 ha. Pemupukan dengan 90 kg P 2O5/ha sebagai pupuk dasar, 180 kg N/ha (1/3 N Urea + 2/3 N ZA) dan 100 kg K2O5/ha. Pupuk susulan pertama dan kedua diberikan pada 10-15 hari setelah tanam (hst) dan 30 hst, masing-masing ½ dosis. Pemeliharaan tanaman meliputi kegiatan penyiangan dan pengairan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Parameter yang diukur meliputi tibggi tanaman, jumlah daun, populasi hama, populasi telur, larva dan imago S. exigua serta kerusakan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi budidaya bawang merah dengan introduksi varietas unggul Kuning dan penggunaan perangkap lampu berpengaruh terhadap serangan hama dan pertumbuhan bawang merah. Pada umur 45 hst, tinggi tanaman varietas Kuning relatif lebih tinggi (11,55%) dengan jumlah daun lebih banyak sekitar 10,52% dibandingkan dengan varietas Pinggan. OPT yang paling dominan ditemukan pada petak percobaan adalah S. exigua, diikuti berturut – turut oleh Coleoptera, Grillotalpa sp dan jangkrik. Populasi OPT tersebut meningkat sejalan dengan pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada umur 35 dan 42 hst. Penggunaan varietas Kuning ternyata dapat menekan populasi telur S. exigua sebesar 25 %. Fluktuasi populasi S. exigua pada tanaman bawang merah sejalan dengan fluktuasi populasi imago dan telur S. exigua. Populasi tertinggi terjadi pada pengamatan umur 42 hst Dengan menerapkan inovasi teknologi persentase kerusakan tanaman relatif rendah dan berada di bawah ambang pengendalian sebesar 10%. Varietas Kuning relatif lebih tahan terhadap serangan S. exigua dibandingkan dengan varietas lokal Pinggan. Penggunaan teknologi inovasi bawang merah terutama penggunaan varietas Kuning ternyata dapat mempertahankan hasil bawang merah sebesar 2,47 kali. Keuntungan yang diperoleh petani dalam budidaya bawang merah dalam luasan 0,5 ha adalah sebesar Rp. 4.896.900,- dengan R/C rasio sebesar 1,95. Kata kunci: Lampu perangkap, hama dan produksi, bawang merah
PENDAHULUAN Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta bahan obat tradisional. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Rp.2,7 triliun/tahun) dengan potensi pengembangan areal cukup luas mencapai ± 90.000 ha (Dirjen Hortikultura, 2005). Penyebaran yang cukup luas dan besarnya minat petani terhadap komoditas bawang merah terutama disebabkan oleh daya adaptasinya yang luas, yaitu dapat di tanam dan tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-1000 meter diatas permukaan laut (Suwandi, 1989; Suwandi dan Hilman ,1995; Nurmalinda dan Suwandi, 1995). Berdasarkan data periode waktu 1989-2000, rata-rata produksi dan luas panen bawang merah di Indonesia berturut-turut adalah 614.128,5 ton dan 79.819,42 ha/tahun (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, 1999; Basuki et al., 2002). Sementara itu, dalam periode yang sama pola pertumbuhan produksi bawang merah di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, pertumbuhan rata-rata produksi bawang merah di Indonesia yang mencapai 7,75% tampaknya lebih disebabkan oleh peningkatan luas panen daripada peningkatan produktivitas. Hal ini dapat ditunjukkan oleh peningkatan luas panennya (3,83%) yang relatif lebih besar dibandingkan dengan peningkatan produktivitas (3,33%). Dengan demikian, ketidak-stabilan produksi bawang merah secara umum akan lebih dipengaruhi oleh keragaman luas panen dibandingkan dengan keragaman produktivitas. Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 propinsi di Indonesia. Propinsi penghasil utama (luas areal panen > 1000 hektar per tahun) bawang merah diantaranya adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogya, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Kesembilan propinsi ini menyumbang 95,8% (Jawa memberikan kontribusi 75%) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada tahun 2003. Konsumsi rata-rata bawang merah untuk tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38 kg/kapita/bulan, menjelang hari raya keagamaan terjadi kenaikan konsumsi sebesar 10-20% (Dirjen
55
Hortikultura, 2005). Meskipun minat petani terhadap bawang merah cukup besar, namun dalam pengusahaannya masih ditemui berbagai kendala. Beberapa kendala yang dihadapi dalam budidaya bawang merah, antara lain : (1) ketersediaan benih bermutu belum mencukupi secara tepat (waktu, jumlah dan mutu); (2) penerapan teknik budidaya yang baik dan benar belum dilakukan secara optimal; (3) sarana dan prasarana masih terbatas; (4) kelembagaan usaha di tingkat petani belum dapat menjadi pendukung usaha budidaya; (5) skala usaha relatif masih kecil akibat sempitnya kepemilikan lahan dan lemahnya permodalan; (6) produktivitas cendrung mengalami penurunan; (7) harga cendrung berfluktuasi dan masih dikuasai oleh tengkulak; (8) serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) semakin bertambah. Hal tersebut diindikasikan oleh rendahnya tingkat produktivitas yang dapat dicapai, yaitu 7,6 t/ha (Basuki et al. 2002). Hama penting yang menyerang tanaman bawang merah antara lain ulat bawang (Spodoptera exigua), lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis), thrips (Thrips tabaci), orong-orong (Grillotalpa spp), ulat grayak (Spodoptera lutura) dan ngengat gudang Ephestia cautella). Potensi kehilangan hasil oleh OPT utama bawang merah dapat mencapai 138,4 milyar (Anonim, 2004). Salah satu upaya untuk mengurangi serangan OPT, meningkatkan produktivitas dan daya saing komoditas bawang merah adalah melalui pengembangan dan penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian. PTT adalah segala tindakan usahatani secara terpadu yang bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan tanaman optimal, kepastian keberhasilan panen, mutu produk tinggi dan aman untuk dikonsumsi, serta dapat menjaga kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekologis. PTT bersifat spesifik lokasi, dapat berbeda antar petani, integrasi teknologi maju dengan teknologi asli petani (Fliert, 199). Beberapa komponen PTT antara lain : (1) penentuan pemilihan komoditas adaptif sesuai agroklimat, musim tanam; (2) penyediaan lingkungan optimal yang tidak kondusif untuk perkembangan hama/penyakit; (3) penyediaan bibit dan varietas unggul tahan hama/penyakit; (4) pola tanam, rotasi tanaman; (5) pengelolaan hara, tanah, air dan gulma; (6) penerapan PHT; (7) pengelolaan tanaman optimal; (8) panen tepat waktu; (9) penanganan pasca panen dan (10) pemasaran dengan efisien. Dalam peneltian ini komponen PTT yang diterapkan adalah penggunaan perangkap lampu dan varietas unggul. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh perangkap lampu dan introduksi bawang merah varietas unggul kuning terhadap intensitas serangan hama dan hasil.
BAHAN DAN METODA PENELITIAN Penelitian dilakukan di lahan sawah setelah padi di desa Bungkulan, kecamatan Sawan, kabupaten Buleleng, Bali dari bulan Oktober sampai Desember 2005 pada luas areal 0,50 ha. Teknologi budidaya yang diterapkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Penelitian diranacang menggunakan rancangan acak kelompok dengan 2 perlakuan. Perlakuan dimaksud adalah varietas unggul kuning dan varietas lokal (kontrol). Masing-masing perlakuan (bibit bawang kuning dan lokal) ditanam berseling antar bedengan dalam satu petak lahan dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm pada bedengan berukuran lebar 70 cm. Lampu perangkap detempatkan berjejer segera setelah tanam pada pinggiran bedengan (pematang) sebanyak 18 buah dengan jarak antar lampu perangkap ± 15 m. Lampu perangkap dinyalakan dari pukul 06.00 sore – 12.00 malam. Tabel 1. Teknologi yang Diterapkan Dalam Pengembangan Teknologi Inovatif Bawang Merah. Komponen Teknologi Varietas Budidaya
Sistem Tanam Pengendalian OPT
Teknologi Kuning Lokal Pengolahan tanah sempurna Pengapuran bila pH < 5,6 Jarak tanam = 15 x 20 cm Pemupukan : - Pupuk dasar : 90 kg P2O5/ha dan pupuk organik - Pupuk susulan : 180 kg N/ha (1/3 N Urea + 2/3 N ZA) dan 100 kg K2O/ha - Pemupukan susulan I dilakukan pada umur 10-15 hst dan II 30 hst, masingmasing ½ dosis. Monokultur Pengendalian secara mekanik (ngama) Penggunaan perangkap lampu Penggunaan insektisida selektif bila serangan OPT telah mencapai ambang ekonomi
56
Perameter yang diukur meliputi pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan) yang dilakukan pada 15 hst. Pengukuran parameter jumlah OPT dilakukan setiap seminggu sekali dimulai pada 14 hst dengan menghitung banyaknya OPT yang tertangkap pada lampu perangkap. Sementara pengukuran parameter banyaknya masing-masing stadia OPT yang ditemukan pada petak percobaan dilakukan setiap seminggu sekali dimulai pada 14 hst dengan cara pengamatan langsung. Data yang terkumpul dari masing-masing parameter yang diamati kemudian dianalisis menggunakan program Irristat, 2.0, yang dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman bawang merah (tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan) selama percobaan berlangsung disajikan pada Tabel 1, 2, 3 dan Gambar 1, 2, 3. Tinggi Tanaman Terdapat perbedaan pertumbuhan antara varietas Kuning (hasil pelepasan Balitsa) dan varietas Pinggan (lokal). Varietas Kuning relatif lebih tinggi (11,55%) dibandingkan dengan varietas Pinggan. Pada umur 45 HST, tinggi tanaman varietas Kuning mencapai 26,84 cm dan varietas Pinggan mencapai 24,06 % (Tabel 1 dan Gambar 1). Tabel 1. Tinggi Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005. Varietas
Tinggi Tanaman (cm) 30 hst
15 hst
45 hst
Kuning 18,97 a 20,79 a 26,84 a Pinggan 16,98 b 21,73 a 24,06 b KK (%) 4,2 5,6 7,8 BNT 5 % 0,58 ns 1,08 Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
30 25 20 Tinggi Tanaman (cm)
15
Kuning
10
Pinggan
5 0 15
30
45
Umur (hst)
Gambar 1. Tinggi tanaman bawang merah, Buleleng 2005.
Jumlah Daun Hasil pengamatan terhadap jumlah daun bawang merah selama percobaan berlangsung di sajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Dari tiga kali pengamatan dapat dilihat bahwa varietas Kuning mempunyai daun lebih banyak dibandingkan dengan varietas Pinggan sekitar 10,52 %. Tabel 2. Jumlah Daun Bawang Merah, Buleleng 2005. Varietas
15 hst
Jumlah Daun 30 hst
45 hst
Kuning 13,69 a 24,11 a 24,16 a Pinggan 10,43 b 19,52 b 21,86 b KK (%) 6,8 7,9 4,2 BNT 5 % 1,12 3,80 0,63 Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
57
25 20 15 Jumlah Daun
Kuning
10
Pinggan
5 0 15
30
45
Umur (hst)
Gambar 2. Jumlah daun bawang merah, Buleleng 2005.
Jumlah Anakan Dari Tabel 3 dan Gambar 3 dapat dilihat bahwa teknologi yang digunakan berpengaruh terhadap jumlah anakan bawang merah. Penggunaan varietas Kuning ternyata mampu menghasilkan anakan bawang merah lebih besar dibandingkan dengan varietas Pinggan. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa, varietas kuning mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan varietas lokal Pinggan. Tabel 3. Jumlah Anakan Bawang Merah, Buleleng 2005. Varietas
Jumlah Anakan 30 hst
15 hst
45 hst
Kuning 5,23 a 5,58 a 6,08 a Pinggan 4,51 b 4,75 b 5,25 b KK (%) 11,2 9,8 13,2 BNT 5 % 0,51 0,75 0,49 Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
7 6 5 Jumlah Anakan
4 Kuning
3
Pinggan
2 1 0
15
30
45
Umur (hst)
Gambar 3. Jumlah anakan bawang merah, Buleleng 2005.
2) Keragaan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Hasil pengamatan terhadap keragaan OPT pada tanaman bawang merah selama percobaan berlangsung disajikan pada Tabel dan Gambar. OPT dominan yang terdapat pada petak percobaan, baik pada varietas Kuning maupun Pinggan adalah S. exigua. Populasi OPT tersebut berbeda antar varietas yang diuji. Teknologi perangkap lampu yang digunakan dikombinasikan dengan pengendalian secara mekanis dan penggunaan insektisida secara nyata dapat menekan populasi OPT sampai di bawah ambang pengendalian. Beberapa OPT yang tertangkap pada perangkap lampu disajikan pada Tabel 4. OPT yang paling dominan adalah S. exigua, diikuti berturut – turut oleh Coleoptera, Grillotalpa sp dan jangkrik. Populasi OPT tersebut meningkat sejalan dengan pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada umur 35 dan 42 hst.
58
Tabel 4. Keragaan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) – Perangkap lampu, Buleleng 2005. Jenis OPT
14 hst
21 hst
Umur Tanaman 28 hst
35 hst
42 hst
Spodoptera exigua 62,59 a 60,00 a 66,59 a 72,24 a Grillotalpha sp. 2,35 b 4,59 b 3,00 b 4,06 b Coleoptera 4,24 b 9,00 b 9,24 b 11,65 b Jangkrik 2,06 b 1,59 b 2,12 b 2,12 b Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
73,65 a 4,29 b 10,59 b 2,41 b
80 70
Imago (ekor)
60 Spodoptera exigua
50
Orong-orong
40
Coleopthera
30
Jangkrik
20 10 0 14
21
28
35
42
Umur (hst)
Gambar 4. Keragaan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) – Perangkap lampu, Buleleng 2005.
Populasi Telur Spodoptera exigua Pengamatan terhadap telur S. Exigua disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 5. Populasi telur S. Exigua selalu meningkat mengikuti pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada umur 42 hst sebesar 0,60 untuk varietas Kuning dan 0,80 untuk varietas Pinggan. Penggunaan varietas Kuning ternyata dapat menekan populasi telur S. Exigua sebesar 25 %. Tabel 5. Populasi Telur Spodoptera exigua pada Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005. Populasi Telur Spodoptera exigua
Varietas
21 hst
28 hst
35 hst
42 hst
Kuning 0,40 a 0,45 a 0,55 a 0,60 a Pinggan 0,70 a 0,40 a 0,60 a 0,80 a Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT. 0.9 0.8 Populasi Telur
0.7 0.6 0.5
Kuning
0.4
Pinggan
0.3 0.2 0.1 0 21
28
35
42
Umur (hst)
Gambar 7. Populasi telur Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah, Buleleng 2005.
Populasi Larva Spodoptera exigua Fluktuasi populasi S. Exigua pada tanaman bawang merah sejalan dengan fluktuasi populasi imago dan telur S. Exigua. Populasi tertinggi terjadi pada pengamatan umur 42 hst (Tabel 6 dan Gambar 6).
59
Tabel 6. Populasi Larva Spodoptera exigua pada Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005. Populasi Larva Spodoptera exigua
Varietas
21 hst
28 hst
35 hst
42 hst
Kuning 0,95 a 0,75 a 0,70 a 1,15 a Pinggan 0,70 a 0,85 a 1,05 a 0,90 a Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT. 1.4 1.2
Populasi Larva
1 0.8
Kuning
0.6
Pinggan
0.4 0.2 0 21
28
35
42
Umur (hst)
Gambar 6. Populasi larva Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah, Buleleng 2005.
Kerusakan Tanaman Hasil pengamatan terhadap kerusakan tanaman bawang merah selama percobaan berlangsung disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 7. Persentase kerusakan relatif rendah dan ada di bawah ambang pengendalian sebesar 10 %. Penggunaan teknologi PHT pada tanaman bawang merah, yaitu penggunaan perangkap lampu, pengendalian secara mekanis, penggunaan insektisida ternyata dapat menekan serangan S. Exigua. Varietas Kuning relatif lebih tahan terhadap serangan S. Exigua dibandingkan dengan varietas ocal Pinggan. Tabel 7. Kerusakan Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005. Varietas
Kerusakan Tanaman 28 hst (%) 35 hst (%)
21 hst (%)
42 hst (%)
Kuning 3,10 a 4,10 a 4,30 a 4,90 a Pinggan 3,30 a 4,70 a 4,90 a 6,10 a Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
Kerusakan Tanaman (%)
7 6 5 4
Kuning
3
Pinggan
2 1 0 21
28
35
42
Umur (hst)
Gambar 7. Kerusakan tanaman bawang merah, Buleleng 2005.
Rendahnya kerusakan tanaman diduga disebabkan karena banyaknya populasi ngengat S. Exigua yang tertangkap lampu perangkap sehingga kesempatan ngengat untuk meletakkan telur dan menghasilkan larva yang merusak tanaman menjadi lebih sedikit. Jika tidak dikendalikan hama ini dapat menimbulkan
60
kehilangan hasil rata-rata 17,3 ribu ton setiap tahunnya dan mengakibatkan kerugian sebesar 553,7 milyar rupiah (Anonimus, 2004). Hasil Panen Hasil panen bawang merah disajikan pada Tabel 8. Penggunaan teknologi inovasi bawang merah terutama penggunaan varietas Kuning ternyata dapat mempertahankan hasil bawang merah sebesar 2,47 kali. Tabel 8. Hasil Panen Bawang Merah, Buleleng 2005. Varietas
Produksi (Kg) 2
Kuning (2500m ) 3.237 a Pinggan (2500 m2) 1.308 b KK (%) 24,5 BNT 5 % 0,37 Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.
3) Analisis Usahatani Hasil analisis usahatani (Tabel 9) menunjukkan, bahwa usahatani bawang merah seluas 50 are (1 are = 100 m2) memerlukan biaya total sebesar Rp 5.103.100. Dengan hasil yang diperoleh Rp. 10.000.000 (ditebas), usahatani memberikan nilai keuntungan sebesar Rp 4.896.900. Jika dihitung dalam R/C rasio maka diperoleh nilai R/C rasio sebesar 1,95 yang artinya setiap satu rupiah modal yang dikeluarkan untuk usahatani bawang merah akan mempnyai tingakt pengembalian senilai Rp 1,95 rupiah. Tabel 9. Analisis Usahatani Bawang Merah (Per 50 are) di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng 2005. Input Bibit Bokashi/semanggi TSP Urea Dekamon ZA KCl Hostation Proexist Dursban Dithane Antracol Bajak Bedengan Tanam Pemupukan dasar Pemupukan susulan I& II Penyiangan Penyiraman dan semprot Panen Pengangkutan Pasca panen/pritil Sewa lahan Pengairan
Iuran HIPA Pajak bumi Total biaya produksi Nilai jual (tebas) Pendapatan bersih (Rp/450 are) R/C rasio
Kuantitas 350 250 100 50 2bks 75 50 4 1
Unit kg kg kg kg
1 1
kg kg botol Kg l kg kg
8 8
Hkw hkp
Harga per unit 5000/kg 350/kg 80 000/50 kg 55 000/50 kg 22 000/bks 46 000/50 kg 50 000/50 kg
6 4
800 000/are/tahun
4 000/are/tahun 800/are/tahun
Biaya per 50 are 1 750 000 87 500 70 000 55 000 44 000 92 000 130 000 168 000 66 000 84 000 95 000 35 000 350 000 500 000 350 000 50 000 100 000 400 000 375 000 300 000 -
1 300 300 5 103 100 10 000 000 4 896 900 1,95
61
KESIMPULAN 1.
Penerapan teknologi budidaya bawang merah dengan introduksi varietas unggul Kuning dan penggunaan perangkap lampu mampu menekan kerusakan tanaman oleh hama utama S. exigua dibawah ambang pengendalian sebesar 10% serta dapat menekan populasi telur S. exigua sebesar 25%.
2.
Penggunaan varietas unggul kuning dalam budidaya bawang merah setelah padi mampu meningkatkan produksi bawang sebesar 2,47 kali.
3.
Keuntungan yang diperoleh petani dalam budidaya bawang merah dalam luasan 50 are adalah sebesar Rp. 4.896.900,- dengan R/C rasio sebesar 1,95.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Kinerja Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Horticultura 2000 – 2003. Departemen Pertanian. Direktorat Jendral Bina Produksi Horticultura Yakarta. 133 hal. Baharsyah, S. 1992. Dampak pengurangan subsidi pupuk terhadap pendapatan usahatani. Prosiding Efisiensi Penggunaan Pupuk. Puslittanak, Bogor. Basuki, R. S., W. Adiyoga, A. Hidayat dan A. Dimyati. 2002. Profil komoditas dan analisis kebijaksanaan bawang merah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 61 h. Benbrook, C.M. 1991. In: Board on national research council. Sustainable agric. Research and education in the field. Proc. National Academic Press. Washington DC: 1-10. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2005. Kebijakan Pengembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Apresiasi Penerapan Penanggulangan OPT Bawang Merah, Surabaya, 5 – 7 Juli 2005. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1999. Vademekum pemasaran 1990-1999. Direkorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil. Jakarta. Nurmalinda dan Suwandi. 1995. Potensi wilayah pengembangan bawang merah. Dalam Sunarjono, H., Suwandi, A. H. Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 19. Suwandi. 1989. Bawang merah. Dalam Subhan, Sudjoko, Suwandi dan Z. Abidin (Eds.). Bercocok tanam sayuran dataran rendah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Hortikultura Lembang, Proyek ATA-395, Bandung. Suwandi dan Y. Hilman. 1995. Budidaya tanaman bawang merah. Dalam Sunarjono, H., Suwandi, A. H. Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 51.
62
Curah Hujan Curah hujan tertinggi di Desa Bungkulan terjadi pada bulan Januari, Februari dan Maret, sedangkan curah hujan terendah (tidak terdapat hujan) terjadi pada bulan Juli sampai September.
Curah Hujan 14 12 10 8
Curah Hujan
6 4 2 0 J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
Bulan Gambar 2. Curah hujan di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng 2005.
63
PENGKAJIAN SISTIM USAHATANI JAGUNG QPM DI LAHAN KERING DATARAN MEDIUM BER IKLIM BASAH - BANGLI IGK. Dana Arsana Balai Pengkajian Teknoogi Pertanian – Bali
ABSTRAK Pengkajian Sistim Usahatani Jagung (Quality Protein Maize) QPM di Lahan Kering Dataran Medium Ber Iklim Basah dilaksanakan musim tanam tahun 2005, bulan Juni sampai Oktober 2005. Pengkajian ditempatkan di tiga Kelompok Tani yaitu 1) kelompok "Sari Mekar II" di desa Susut dengan pelaksana 17 orang petani luas 2.42 Ha; 2). Subak Abian Pad-Padan, desa Pengootan Kecamatan Susut pelaksana 8 orang, Luas 1,70 Ha dan; 3).kelompok tani "Tiing Desa" Desa Pengootan Kecamatan Susut dengan pelaksana 17 petani luas 2,00 Ha jumlah keseluruhan mencapai 6,12 Ha. Hasil pengkajian menunjukkan walaupun tanaman belum menunjukkan pertumbuhan yang optimal namun masih menguntungkan Pertanaman termasuk diluar musim tanam. Pertanaman di kelompok tani "Sari Mekar II". Jagung QPM–Srikandi Kuning mampu berproduksi 2.9 ton/ha. dengan B/C Ratio 1,65. Setelah di kurangi biaya produksi petani masih mampu mendapatkan keuntungan Rp. 3.337.500/ha. Di kelompok tani Pad-Padan petani mampu mendapatkan keuntungan Rp. 2.390.000,- dengan B/C Ratio 1,92. lebih tinggi dibandingkan di kelompok ‖Sari Mekar II‖. Sedangkan di kelompok "Tiing Desa" petani mampu mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.290.000,- dengan B/C Ratio sebesar 1,79. Kata kunci : usahatani, jagung QPM
PENDAHULUAN Latar Belakang Luas Propinsi Bali yang mencakup areal 5.632,86 km2 (0,29%) dari luas Indonesia, penduduknya bermata pencaharian dalam sektor pertanian. Propinsi Bali terdiri dari beberapa Pulau yaitu Pulau Bali yang merupakan Pulau terbesar, Nusa Penida, Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, Serangan dan Menjangan. Jumlah penduduk Bali Tahun 2002 sebesar 3.216.881 jiwa (Bali Membangun 2002). Luas lahan yang potensial untuk tanaman jagung di Bali mencapai 36.142 hektar terdiri atas lahan sawah dan lahan kering. Bangli merupakan pengembangan untuk usaha peternakan ayam. Hasil PRA (Participatory Rural Apraisal) tahun 2003 menunjukkan bahwa minat petani menanam jagung dan palawija lainnya cukup besar. Kendala yang menghambat adalah kesulitan mendapatkan benih, pemasaran dan penanganan pasca panen (Arsana IGK D, dkk, 2003). Hasil uji multilokasi jagung QPM yang dilaksanakan di Bangli TA. 2004 menunjukkan hasil 5 – 6 ton jagung pipilan kering/ha. Data hasil pengkajian mempunyai kontribusi menyumbang data secara nasional untuk melepas jagung Srikandi Putih dan Srikandi Kuning (Arsana IGK D, dkk, 2004). Hasil pengkajian pemberian pakan jagung QPM terhadap ayam pedaging tahun 2004, secara nyata dapat menghemat biaya pakan tanpa menyebabkan adanya pengaruh buruk terhadap penampilan dan produksi ayam potong. Dari hasil analisis biaya pakan yang diberikan pada setiap perlakuan diketahui bahwa penggantian pakan komersial dengan jagung srikandi kuning sampai 20% akan menghemat biaya pakan sebesar Rp. 222,50 (7,42%) per kg pakan dibandingkan dengan pemberian pakan kmersial 100%, sedangkan penggantian dengan 10% jagung serikandi putih maupun kuning akan menghemat biaya pakan sebesar Rp. 102,50 (3,42%) per kg pakan (Wiguna., et al . 2004). Introduksi varietas unggul baru jagung QPM Srikandi Putih dan Kuning pada lahan kering dataran medium beriklim basah Bangli untuk skala usahatani Metodologi Penelitian Berdasarkan jenisnya termasuk penelitian pengembangan. Sedangkan berdasarkan percepatan adopsi teknologi kegiatan ini termasuk on farm adaptive research. Lokasi pengkajian ditempatkan di tiga kelompok tani yaitu: 1) kelompok ‖Sari Mekar II‖ dengan pelaksana di Desa Susut terdiri dari 17 orang petani = 242 are; 2) subak Abian Pad-Padan 8 orang = 170 are dan; 3) kelompok tani ‖Tiing Desa‖13 petani = 200 are jumlah keseluruhan adalah 612 are atau 6.12 Ha. Masing-masing berada di Desa Pengootan kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Untuk mengevaluasi untung rugi masing-masing komponen teknologi yang dikaji seperangkat analisis dipakai seperti: Analisis kelayakan finansial yang dipergunakan adalah Gros B/C rasio.
64
HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi pengkajian merupakan lahan kering beriklim basah, selama pertumbuhannya tanaman jagung tidak mendapat pengairan. Waktu tanam akhir bulan Mei 2005 tanah masih dalam keadaan lembab namun hal ini menyebabkan pertumbuhan awal tanaman jagung cukup baik. Walaupun telah diuji dibeberapa tempat tanaman jagung Srikandi nampaknya belum menunjukkan kemampuan beradaptasi yang optimal. Tanaman jagung Srikandi kurang tahan terhadap kekeringan. Untuk lahan kering Medium dataran sedang Bangli, waktu tanam dan musim tanam sangat menentukan keberhasilan pertanaman. Karakteristik petani kooperator dalam pelaksanaan pengkajian terutama dari segi umur memberikan gambaran yang menunjang dalam pelaksanaan pengkajian, rata-rata berumur 40-50 tahun. Respon awal petani terhadap adanya pelaksanaan usahatani jagung memberikan informasi bahwa petani takut menanam jagung karena sulit pemasaran. Kemudian sulit penanganan pasca panen dan sisa tanaman jagung berupa batang jagung merupakan kendala dalam pelaksanaan penanamn jagung. Namun setelah pelaksanaan petani ternyata mau melaksanakan pertanaman jagung karena jagung dapat ditanam dan dipanen untuk pakan ternak berupa hijauan. Keragaan Tanaman dan Penerapan Teknologi Keragaan tanaman serta produktivitas jagung selama pengkajian menunjukkan Produktivitas yang sangat bervariasi hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu musim tanam dan curah hujan, disamping itu keadaan lahan petani sudah banyak yang ternaungi oleh tanaman besar seperti sengon sehingga fotosintesis untuk tanaman jagung tidak optimal. Kebiasaan petani di Bangli menanam jagung dan palawija lainnya yaitu bulan Maret. Merupakan satu-satunya kebiasaan untuk lahan kering di Bali yang mempunyai kebiasaan tanam seperti itu. Biasanya kebiasaan petani menanam tanaman jagung maupunpalawija lainnya adalah bulan-bulan awal musim hujan seperti bulan september akhir dan awal bulan Oktober. Petani pelaksana baru pertama menanam jagung Srikandi Putih dan Srikandi Kuning. Selama pertanaman sumberdaya alam kurang mendukung karena kekurangan air untuk pengairan pada saat tanaman jagung memerlukan air pengairan. Dari seluruh jumlah petani pelaksana dilakukan sample pengamatan untuk pertanaman masing masing yaitu di Kelompok ‖Sari Mekar II‖ sebanyak 4 orang, di Pad-padan sebanyak 3 orang dan di ‖Tiing Desa‖ sebanyak 3 orang. Kelompok Sari Mekar II Rata–rata umur berbunga jantan yaitu umur 55,3 hari setelah tanam (Hst) tanaman jagung Srikandi Kuning pada kelompok tani ‖Sari Mekar II‖ (Tabel 1). Dengan kisaran 55-56 hst, Kelompok Tani ‖Sari Mekar II‖ merupakan kelompok yang paling rendah letaknya. Rata-rata berbunga jantan yaitu pada umur 53,5 hst dengan kisaran 55–57 hari setelah tanam. Tinggi tanaman mencapai rata-rata 272,9 cm tinggi tanaman jagung berkaitan dengan keadaan angin yang menyebabkan rebahnya tanaman. Sedangkan hasil jagung pipilan kering per ha berkisar 2,6 t/ha sampai dengan 3,0 t/ha rata-rata 2,9 t/ha. Dibandingkan dengan potensi hasil jagung Srikandi 6-7 t/ha. Tabel 1. Umur Berbunga, Tinggi Tanaman, Tinggi Tongkol, Biomas Pertanaman dan Hasil Ton/ha. Kelompok ‖Sari Mekar II‖. Ulangan/ Srikandi Kuning I II III IV Jumlah Rata-rata
Umur Berbunga Jantan Betina 56 54 55 56 221 55,3
55 55 51 57 218 54,5
Tinggi (Cm) 266,0 274,0 276,4 275,5 1091,9 272,9
Tinggi Tongkol (Cm) 105,7 101,7 118,9 115,5 441,8 110,5
Hasil Ton/Ha
Biomas (Gr/Phn)
2,9 3,0 2,6 2,9 11,4 2,9
1056,4 1025,5 1043,1 1062,6 4187,6 1046,9
Pad – Padan Untuk Kelompok tani Pad-padan, keadaan tanahnya berpasir sehingga sangat porius dan mudah kekeringan. Untuk daerah ini nampaknya penggunaan pupuk kandang lebih cocok untuk pertanaman dari pada mengunakan pupuk kimia saja. Tanaman yang menggunakan pupuk kandang nampak lebih sehat pertumbuhannya dan pengisian biji nampak lebih bernas. Dan tanaman nampak lebih tahan kekeringan. Untuk kedepan integrasi tanaman jagung dengan ternak mutlak dilakukan di daerah seperti ini. Supaya tersedia pupuk kandang yang mencukupi sehingga faktor kesuburan tanah dapat dijaga. Umur tanaman berbunga pada pengkajian di Pad- padan rata rata mencapai umur 55,3 hari (Tabel 2), sedangkan untuk berbunga betina mencapai umur rata-rata 56,7 hari setelah tanam. Sedangkan tingi tonaman mencapai 273,4
65
cm. Tinggi tongkol mencapai 108,8 cm. Produksi berupa jagung pipilan kering kalau dikompersikan ke hektar dapat mencapai rata-rata 4,1 ton/ha. Sedangkan Biomas jagung dapat mencapai rata-rata 1014,6 gram/pohon pada saat umur 75 HST. Selama pertumbuhannya jagung di Pad-padan hampir tidak pernah turun hujan, sehingga tanaman tidak perah mendapat air Tabel 2. Umur Berbunga, Tinggi Tanaman, Tinggi Tongkol, Biomas pertanaman dan Hasil ton/ha. Kelompok Pad-Padan. Ulangan/ Srikandi Kuning I II III Jumlah Rata-rata
Umur Berbunga Jantan Betina 55 56 55 166 55,3
57 57 56 170 56,7
Tinggi (Cm) 270 274 274 821 273,4
Tinggi Tongkol (Cm) 103,4 102,7 120,3 326,4 108,8
Hasil Ton/Ha 2,3 2,7 2,7 7,7 2,6
Biomas (Gr/Phn) 1000,3 1000,4 1043,1 3043,8 1014,6
Tiing Desa Daerah ‖Tiing Desa‖ hampir sama dengan Pad-Padan keadaan topografi. Tanah agak berpasir, sehinga tanaman agak kurus pertumbuhannya karena kekurangan air. Umur berbunga rata-rata mencapai umur 52,3 hari setelah tumbuh (Tabel 3). Umur berbunga betina mencapai 55,0 hari setelah tanam. Tinggi tanaman mencapai 268,0 cm, tinggi tongkol mencapai rata-rata 106.8 cm. Rata – rata hasil mencapai 3,5 ton pipilan kering /ha. Tabel 3. Umur Berbunga, Tinggi Tanaman, Tinggi Tongkol, Biomas tanaman dan Hasil ton/ha. di ―Tiing Desa‖. Ulangan/ Srikandi Kuning I II III Jumlah Rata-rata
Umur Berbunga Jantan Betina 51 52 54 157 52,3
55 56 54 165 55,0
Tinggi (Cm)
Tinggi Tongkol (Cm)
Hasil Ton/Ha
Biomas (Gr/Phn)
265 274 265 804 268,0
102,5 102,7 115,2 320,4 106,8
2,4 2,6 2,5 7,5 2,5
989,8 1000,4 975,8 2966 988,7
Analisa Usahatani Tinjauan pendapatan petani dilakukan dengan menghitung biaya dan pendapatan usahatani (Adnyana, dkk.1995). Jagung Srikandi-Kuning dan Srikandi-Putih mempunyai nilai harga yang sama ditingkat lapangan begitu pula dengan harga jagung lainnya karena petani maupun pedagang belum dapat membedakan jagung Srikandi atau jagung lainnya secara kasat mata. Kedepan perlu disosialisasikan kelebihan kandungan protein jagung Srikandi, sehingga walaupun hasil jagung rendah peternak mau menghargai lebih tinggi dibandingkan dengan jagung biasa. Analisis usahatani untuk kelompok ―Sari Mekar II‖ petani rata-rata mendapat keuntungan ditunjukkan B/C ratio dimana keuntungan dibagi biaya menjadi 1.65, seperti disajikan pada Tabel 4. Petani pelaksana pengkajian rata rata mendapat keuntungan mencapai 65% dari modal. Petani di kelompok tani ―Sari Mekar II‖ yang penting mulai tertarik menanam palawija yang lebih menjajnjikan dan mudah menjualnya. Apabila semua komponen biaya usahatani dimasukkkan kedalam faktor yang mempengaruhi produksi petani akan mendapat keuntungan yang rendah, namun dipedasaan semangat berkelompok terus dibina untuk melaksanakan berusahatani bersama-sama sehingga banyak biaya yang dapat dihemat, seperti tanam bersama ‖Meseka‖. Hasil pengkajian masih tergolong rendah di bandingkan hasil hasil pengkajian yang dilaksanakan dikebun – kebun percobaan Balitser, hal ini diduga oleh rendahnya populasi tanaman, kesesuaian lahan perlu beradaptasi. Seperti produktivitas jagung di tingkat petani masih rendah, yaitu sekitar 3,2 t/ha, di banding dengan potensi varietas untuk jagung bersari bebas 8 t/ha dan jagung hibrida dapat mencapai 11 t/ha. Salah satu penyebab rendahnya produktivtas jagung ditingkat petani adalah karena penggunaan benih yang kurang bermutu. Rendahnya daya tumbuh benih di lapang diatasi dengan penyulaman, akan tetapi hal ini akan berimplikasi terhadap kebutuhan benih yang meningkat, disamping itu tanaman yang tumbuh dari penyuluman tidak lebih baik dari tanaman yang tumbuh sebelumnya. Sedangkan jika kecepatan tumbuh benih lambat, maka tanaman akan kalah bersaing dengan gulma yang tumbuh lebih awal. Pada pengkajian ini telah menggunakan benih yang bermutu namun produksi belum dapat mendekati potensi hasil. Hal ini disebabkan faktor lingkungan yang tidak optimal pada saat pengkajian dilaksanakan. Untuk kelompok tani Pad-padan keadaan lahan pertanian cukup baik untuk pengembangan jagung karena petakannya luas-luas. B/C ratio mencapai 1,92 (Tabel 5).
66
Tabel 4. Analisa Usahatani Jagung Srikandi Jagung QPM Kelompok ―Sari Mekar II‖ Variabel Pendapatan Jagung Pipilan Kering Kelobot jagung Biaya Sarana Produksi Benih Urea TSP KCl Pupuk Organik Tenaga Kerja Pengolahan tanah Pria Angkut pupuk kandang Tanam Pembumbunan Panen/Pasca panen Panen Pengangkutan Mipil
Kg, HOK 2.900
Kg
Rp.
Rp/Ha
2.500
7.250.000 1.250.000 8.500.000
25 250 100 100 5
Kg Kg Kg Kg Truk
10.000 1.250 2.000 2.000 150.000
250.000 312.500 200.000 200.000 750.000 1.712.500
25
HOK
30.000
10
HOK
20.000
750.000 200.000 200.000 400.000 1.550.000
HOK
20.000 20.000
50
Total Biaya Keuntungan B/C Ratio Keterangan : HOK = Hari Orang Kerja
800.000 100.000 1.000.000 1.900.000 5.162.500 3.337.500 1,65
Tabel 5. Analisa Usahatani Jagung Srikandi di Pad-Padan Pengkajian Sistim Usahatani. Variabel Pendapatan Jagung Pipilan Kering Biaya Sarana Produksi Benih Urea TSP KCl Tenaga Kerja Pengolahan tanah Pria Pemeliharaan Pria Panen/Pasca panen Pria Wanita Pemipilan Total Biaya Keuntungan B/C Ratio Keterangan : HOK = Hari Orang Kerja
Kg, HOK
Rp.
Rp/Ha
2.500
Kg
2.000
5.000.000
25 200 100 50
Kg Kg Kg Kg
10.000 1.250 1.700 1.800
250.000 250.000 170.000 90.000 760.000
15
HOK
30.000
450.000
20
HOK
30.000
600.000
10 10
HOK HOK
30.000 20.000
300.000 200.000 300.000 800.000 2.610.000 2.390.000 1,92
Kelompok tani ‖Tiing Desa‖ merupakan petani kelompok petani kecil keadaan serba terbatas, kelompok tani ini juga termsukkelomok petani kecil. Sumber penghidupan petani selain bertani juga membuat kerajinan keranjang dan bedeg, namun akhir-akhir ini pemasaran menjadi kendala dalam berproduksi sehingga petani nampak lebih banyak kesektor pertanian. Hasil pengkajian di ‖Tiing Desa‖ nampak belum maksimal karena pada waktu berperoduksi anaman nampak kekurangan air sehingga tidak
67
optimal pertumbuhannya. Tanaman jagung QPM nampak kurang tahan hidupnya kalau kekurangan air selama hidupnya. Walaupun keadaan seperti itu usahatani jagung masih mampu berproduksi 2.600 kg /ha jagung pipilan kering. Nampak B/C mencapai 1,79 artinya modal petani masih dapat kembali. (Tabel 6). Untuk daerah ‖Tiing Desa‖ dalam berusahatani jagung nampak biaya yang paling tinggi adalah dari komponen pasca panen yaitu pemipilan sama dengan di Pad-Padan, kedepan petani perlu difasilitasi mesin pemipil yang sederhana dana mesin pemotong batang jagung. Tabel 6. Analisa Usahatani Jagung Srikandi Kelompok ‖Tiing Desa‖ Variabel Pendapatan Jagung Pipilan Kering Biaya Sarana Produksi Benih Urea TSP KCL Tenaga Kerja Pengolahan tanah Pria Wanita Pemeliharaan Pria Wanita Panen/Pasca panen Pria Wanita
Kg, HOK
Rp.
Rp/Ha
2.600
Kg
2.000
5.200.000
25 200 100 50
Kg Kg Kg Kg
10.000 1.250 1.700 1.800
250.000 250.000 170.000 90.000 760.000
15 10
HOK HOK
30.000 20.000
20 20
HOK HOK
30.000 20.000
10 10
HOK HOK
30.000 20.000
450.000 200.000 650.000 600.000 400.000 1.000.000 300.000 200.000 500.000 2.910.000 2.290.000 1,79
Total Biaya Keuntungan B/C Ratio Keterangan : HOK = Hari Orang Kerja
KESIMPULAN Tanaman belum menunjukkan hasil yang optimal karena selama pertumbuhannya tanaman tidak mendapatkan hujan. Tanaman termasuk dilaksanakan diluar musim tanam, namun masih menguntungkan. Pertanaman yang dilaksanakan di kelompok tani ‖Sari Mekar II‖. Jagung QPM–Srikandi Kuning mampu berproduksi 2,9 ton/ha. dengan B/C Ratio 1,65. setelah di kurangi biaya produksi petani masih mampu mendapatkan keuntungan Rp. 3.337.500/ha. Di kelompok tani Pad-Padan petani mendapatkan keuntungan Rp. 2.390.000,- dengan B/C Ratio 1,92. lebih tinggi dibandingkan di kelompok ‖Sari Mekar II‖. Sedangkan di kelompok ―Tiing Desa‖ petani mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.290.000,- dengan B/C Ratio sebesar 1,79.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. dan K. Kariyasa (1995). Model Keuntungan Kompetitif Sebagai Alat Analisis dalam Memilih Komoditas Pertanian Unggulan. Informatika Pertanian Vol.5 No.2 Desember 1995. Pusat Penyiapan Program Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta Arsana IGK D, dkk 2003. Laporan Hasil Pengkajian Optimalisasi Lahan Dataram Medium Ber Iklim Basah Bangli Proyek PAATP. Balai Pengkajian Teknologi pertanian Bali 2003. Arsana IGK D, dkk 2004. Laporan Hasil Pengkajian Multilokasi jagung QPM dan Kacang tanah di lahan datarn Medium Ber Iklim Basah Bangli Proyek PAATP. Balai Pengkajian Teknologi pertanian Bali 2004. AAK. 1996. Beternak Ayam Pedaging, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Bali Membangun 2002. Data Bali Membangun 2002. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
68
PENGHEMATAN PUPUK NITROGEN MENGGUNAKAN BWD DAN PUPUK KANDANG PADA PADI SAWAH TADAH HUJAN Rina D. Ningsih dan Aidi Noor Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
ABSTRAK Dalam upaya meningkatkan produksi padi mengakibatkan semakin meningkatnya penggunaan pupuk, oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi penggunaan pupuk tanpa menurunkan produksi padi. Penggunaan bagan warna daun (BWD) dan pemberian kotoran sapi merupakan salah satu cara untuk menghemat pupuk nitrogen dan memperbaiki lingkungan tanaman dalam hal ini tanah sebagai tempat tumbuhnya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian kotoran sapi dan pemupukan N menggunakan BWD terhadap produksi padi sawah tadah hujan. Penelitian dilakukan pada musim hujan 2005/2006 (Desember 2005- April 2006) pada lahan sawah tadah hujan di KP. Pleihari, Kabupaten Tanah Laut. Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu pemupukan dan varietas, yang disusun dengan Rancangan Acak Kelompok, diulang tiga kali. Pemupukan ada 4 macam yaitu : 1. N-petani, pemberian pupuk nitrogen dengan dosis sesuai kebiasaan petani; 2. Pemberian pupuk N berdasarkan pengamatan menggunakan BWD; 3. N-petani + kotoran sapi (2 ton/ha); 4. BWD + kotoran sapi (2 ton/ha). Varietas terdiri dari 3 macam yaitu: IR.66, IR.64 dan Cisokan. Pemberian pupuk P dan K ditentukan dengan menggunakan alat Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Lahan penelitian mempunyai kandungan P dan K yang rendah sehingga dosis pupuk P dan K yang diberikan masingmasing adalah 100 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan BWD dapat menghemat pupuk N. Hasil padi antara perlakuan pemberian N dosis petani (5.39 t/ha) dengan pemberian sesuai pembacaan BWD (5.71 t/ha) tidak berbeda nyata, padahal N yang diberikan lebih sedikit. Pemberian kotoran sapi dengan dosis 2 ton/ha dapat mengurangi penggunaan pupuk N hingga 50% tanpa mengurangi hasil padi. Kata kunci : bagan warna daun (BWD), kotoran sapi, padi, sawah tadah hujan
PENDAHULUAN Lahan sawah tadah hujan di Kalimantan Selatan seluas 163.258, merupakan salah satu potensi sebagai sumber produksi padi, namun demikian hasil padi di lahan sawah tadah hujan ini umumnya masih rendah yaitu rata-rata baru mencapai hasil sekitar 3,5 t/ha (Diperta Kal-Sel, 2004). Rendahnya hasil padi ini disebabkan adanya kendala biofsik lahan seperti rendahnya kesuburan tanah, gangguan hama penyakit, dan belum optimalnya input produksi yang diberikan oleh petani, yang berakibat rendahnya juga produktivitas dan pendapatan petani. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani adalah dengan meningkatkan efesiensi faktor produksi antara lain dengan melakukan rasionalisasi penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida (Fagi et al. 1990, Makarim et al. 1995). Kebutuhan dan efisiensi pemupukan ditentukan oleh faktor yang saling berkaitan antara ketersediaan hara dalam tanah (termasuk air irigasi dan sumber lainnya) dengan kebutuhan hara tanaman. Pemupukan yang kurang dari keperluan tanaman akan menjadikan tidak optimalnya produksi. Kelebihan pemupukan juga berarti pemborosan, yang dapat menyebabkan tanaman rentan terhadap serangan hama dan penyakit, dan dalam jangka lama dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, seperti polusi nitrat dalam air minum yang tercemar. Nitrogen sebagai penyusun asam-asam amino, asam-asam nukleat, nukleotida dan khlorofil, sangat berpengaruh untuk mempercepat pertumbuhan tanaman (tinggi dan jumlah anakan), menambah luas daun dan tajuk tanaman, jumlah gabah per malai dan kandungan protein pada gabah. Hara N juga berpengaruh terhadap semua parameter yang berhubungan dengan hasil (Makarim, et al. 2003). Sebagai unsur hara yang mobil, nitrogen mudah larut juga mudah hilang dalam tanah bila tidak segera diserap oleh tanaman. Pemberian N yang tepat adalah saat tanaman memerlukannya, ini dapat dilihat dari perubahan warna daun karena merupakan bagian tanaman yang paling mudah dilihat bila tanaman kekurangan N. Bagan Warna Daun (BWD) merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur tingkat kehijauan daun tanaman padi guna mengetahui kapan seharusnya tanaman diberi pupuk nitrogen. Pada lahan-lahan marginal seperti di Kalimantan Selatan yang miskin bahan organik dan kesuburan yang rendah, sangat diperlukan tambahan bahan organik agar produksi padi menjadi optimal dan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kotoran sapi dan dan pemupukan N menggunakan Bagan Warna Daun (BWD) terhadap produksi beberapa varietas padi sawah tadah hujan.
69
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada Desember 2005 sampai dengan April 2006 (musim hujan 2005/2006), di KP. Pleihari Kabupaten Tanah laut. Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu pemupukan dan varietas, dan disusun dengan Rancangan Acak Kelompok, diulang tiga kali. Pemupukan ada 4 macam yaitu: (1) N-petani, pemberian pupuk nitrogen dengan dosis sesuai kebiasaan petani yaitu 200 kg/ha diberikan 2x, saat tanam (100 kg/ha) dan umur 4 MST (100 kg/ha), (2) Pemberian pupuk N berdasarkan pengamatan menggunakan BWD, dengan dosis awal saat tanam 100 kg/ha, (3) N-petani + kotoran sapi (2 ton/ha), (4) BWD + kotoran sapi (2 ton/ha). Varietas terdiri dari 3 macam yaitu: IR.66, IR.64 dan Cisokan. Pemberian pupuk P dan K sekaligus saat tanam dengan dosis yang ditentukan berdasarkan alat Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Berdasarkan pengukuran menggunakan PUTS, lahan penelitian mempunyai kandungan P dan K yang rendah sehingga dosis pupuk P dan K yang diberikan masing-masing adalah 100 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha. Sedangkan kadar N dalam tanah berstatus sedang dan tekstur tanah mengandung pasir lebih dari 20%, berdasarkan PUTS diperlukan pemberian pupuk urea dengan dosis 200 kg/ha. Untuk pemberian pertama (3 hari setelah tanam) semua perlakuan diberi urea 100 kg/ha. Pemberian selanjutnya ditetapkan berdasarkan perlakuan. Kotoran sapi diberikan saat pengolahan tanah kedua sekitar 1 minggu sebelum tanam. Padi umur semai 25 hari ditanam dengan sistem jajar legowo (3 : 1), 2-3 rumpun/lubang. Penggunaan BWD: setelah pemupukan pertama 100 kg/ha (3 hst), pengukuran BWD dilakukan pada 17 hari setelah pemupukan pertama dan diulang setiap 7 hari sampai fase primordia. Pengukuran dilakukan secara acak pada 10 rumpun tanaman sehat di hamparan yang seragam, dipilih daun teratas yang telah membuka penuh pada satu rumpun. Warna daun dicocokkan dengan BWD. Jika lebih 5 dari 10 daun yang diamati warnanya dalam batas kritis ( di bawah skala 4,0) diberikan pupuk sebanyak 100 kg/ha. Setelah 15 hari pemberian N susulan, pembacaan BWD dilakukan lagi sampai tanaman mengeluarkan malai. Perlakuan N-petani, urea diberikan dengan dosis 250 kg/ha dengan 2 kali pemberian. Pemberian pertama 100 kg/ha pada umur 3 hst dan pemberian kedua 100 kg/ha pada umur 1 bulan setelah tanam. Perlakuan N-BWD, pemberian urea pertama 100 kg/ha pada umur 3 hst. Bila pembacaan skala BWD harus ditambah urea, maka diberikan urea 75 kg/ha. Pemeliharaan berupa penyiangan gulma dilakukan 2 kali yaitu pada umur 4 MST dan 7 MST. Pengendalian hama penyakit dilakukan sesuai rekomendasi yang berlaku. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan pengamatan terhadap: tinggi tanaman, jumlah anakan produktif per rumpun, panjang malai dan hasil yang diambil dari ubinan 2,5m x 2,5m. Kondisi Tanah Penelitian dan Kandungan Hara Kotoran Sapi Hasil analisa kimia tanah pada Tabel 1 menunjukkan tanah lokasi penelitian tergolong sangat masam dengan kesuburan tanah yang rendah, dimana kandungan bahan organik, unsur hara N, P, K, Ca dan Mg yang rendah dan tekstur tanah lempung berpasir, serta kandungan Fe yang tergolong sedang. Tabel 1. Karakteristik Tanah Percobaan di Pelaihari dan Kandungan Hara Kotoran Sapi Jenis analisa pH (H2O) C Organik N total C/N P Bray I P total Susunan kation : Ca Mg K Na KTK Al-dd Fe Tekstur : Pasir Debu Liat Sumber : *) Noor dan Ningsih (1998).
Tanah Kadar 5,04 0,97 0,12 8,08 3,13 8,94 2,84 0,20 0,05 0,54 7,5 0,45 99,97
Kriteria
% %
M SR R
mg kg-1 P2O5 mg 100g-1 P2O5
SR SR
cmol kg-1 cmol kg-1 cmol kg-1 cmol kg-1 cmol kg-1 cmol kg-1 ppm
R R SR R SR S Lempung Berpasir
Kotoran Sapi *) Kadar 10,08 % 0,92 % 10,98 % 0,23 % 0,38 % 0,38 % 1,03 %
54,36 % 36,10 % 9,54 %
70
Tanah dengan tekstur lempung berpasir dan kandungan bahan organik yang rendah menunjukkan kemampuan tanah menyediakan hara bagi tanaman juga rendah (KTK 7,5 cmol kg -1). Untuk pertanaman, tanah yang demikian sangat memerlukan penambahan unsur hara dan bahan organik. Selain mengandung C-organik yang berfungsi menggemburkan struktur tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation, meningkatkan daya pegang air tanah, kotoran sapi juga mengandung unsur hara N. P, K, Ca dan Mg yang dapat diserap oleh tanaman (Tabel 1).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembacaan BWD Pembacaan skala pada BWD pertama kali pada 17 hari setelah pemberian urea yang pertama dilanjutkan setiap 7 hari, pada 10 daun dari rumpun yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. Pada perlakuan pemberian kotoran sapi, pembacaan skala BWD rata-rata dari pertama sampai akhir pengamatan berkisar dari 3,6 sampai 4,2, masih diatas skala kritis artinya tanaman belum kekurangan N. Sedangkan yang tanpa kotoran sapi pada pembacaan III (28 hst) menunjukkan rata-rata skala 3,0 artinya tanaman perlu tambahan pupuk N. Ini menunjukkan bahwa pemberian kotoran sapi membuat terutama hara N tetap tersedia bagi tanaman. Tabel 2. Pengamatan BWD pada Perlakukan Pemupukan dan Varietas pada MH. 2005/06.
Perlakuan Pemupukan 1.
N-petani
2.
BWD
3.
N-petani + ppk kdg
4.
BWD+ ppk kdg
Pengamatan Skala BWD varietas IR-64 IR-66 Cisokan IR-64 IR-66 Cisokan IR-64 IR-66 Cisokan IR-64 IR-66 Cisokan
I (14 hst) 3,6 3,6 4,2 3,6 4,2 4,0 4,4 4,0 4,8 4,0 4,0 4,0
II (21 hst) 4,0 3,8 3,6 4,0 3,8 3,6 3,8 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0
III (28 hst) 3,2 3,0 3,0 3,2 3,4 3,2 3,8 3,6 3,8 4,0 4,0 3,6
IV (35 hst) 4,0 4,0 4,0 3,8 3,8 4,0 4,0 4,0 4,0 3,8 4,0 4,0
V (42 hst)
VI (49 hst)
4,2 4,2 4,4 3,6 4,0 3,6 4,0 4,2 4,4 4,0 3,8 3,8
4,0 4,2 4,0 3,6 4,0 3,8 3,8 4,2 4,2 3,8 3,8 3,6
Varietas yang peka terhadap kekurangan dan pemberian unsur hara N adalah varietas Cisokan. Ditunjukkan dari rata-rata pembacaan skala BWD (perlakuan tanpa kotoran sapi) pada pengamatan kedua varietas Cisokan cenderung lebih rendah dan setelah diberi tambahan N pembacaan skala BWD pada varietas Cisokan relatif lebih tinggi daripada IR-64 dan IR-66. Pada tanah dengan kandungan N dan bahan organik rendah, pemberian urea 100 kg/ha diawal pertanaman cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman selama 4 minggu, setelah itu diperlukan pemberian N kembali. Pada Tabel 2 terlihat, dari pembacaan skala BWD pada pengamatan ke III mencapai skala ratarata 3. Penggunaan BWD memberikan hasil yang lebih baik bila dikombinasikan dengan pemberian kotoran sapi, karena ternyata berdasarkan pembacaan BWD keperluan tanaman akan N dapat dipenuhi hingga akhir pertanaman dengan pemberian kotoran sapi 2 t/ha dan urea 100 kg/ha. Hal ini berarti dapat menghemat biaya untuk membeli pupuk N juga menghemat tenaga kerja untuk memupuk. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Perlakuan varietas berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun, dan hasil tanaman,. Perlakuan pemupukan berpengaruh terhadap jumlah anakan dan hasil tanaman, sedangkan panjang malai tidak dipengaruhi oleh perlakukan pemupukan maupun varietas. Tinggi tanaman dan panjang malai sangat dipengaruhi oleh genetika tanaman, walaupun kesuburan tanah juga berpengaruh. Sedangkan interaksi pemupukan dan varietas tidak berpengaruh terhadap hasil tanaman (Tabel 3, 4, 5 dan 6). Rata-rata tinggi tanaman varietas Cisokan (97 cm) lebih tinggi dibandingkan varietas IR 66 (84,54 cm) dan IR.64 (83,98 cm), perlakuan pemupukan tidak menunjukan perbedaan (Tabel 3).
71
Tabel 3. Tinggi Tanaman (cm) Pada Perlakuan Pemupukan dan Varietas, KP. Pelaihari Kalimantan Selatan, MH. 2005/06. Pemupukan
IR 66
Varietas IR 64
Cisokan
Rerata
1. 2. 3. 4.
N-petani 83,83 83,87 97,00 88,23 N-BWD 84,73 84,37 94,77 87,96 N-petani+ ppk kdg 85,93 83,60 97,13 88,89 N-BWD+ ppk kdg 83,67 84,10 99,10 88,96 Rerata 84,54a 83,98a 97,00b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 0.05. Table 4. Panjang Malai (cm) Pada Perlakuan Pemupukan dan Varietas, KP. Pelaihari Kalimantan Selatan, MH. 2005/06. Pemupukan
IR 66
Varietas IR 64
Cisokan
Rerata
1. 2. 3. 4.
N-petani 21,70 21,50 21,93 21,73 N-BWD 22,60 22,37 22,50 22,49 N-petani+ ppk kdg 21,80 22,87 23,53 22,73 N-BWD+ ppk kdg 21,90 22,93 23,33 22,72 Rerata 22,02 22,42 22,83 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 0.05. Tabel 5. Jumlah Anakan Pada Perlakuan Pemupukan dan Varietas, KP. Pelaihari, Kalimantan Selatan, MH. 2005/06. Pemupukan
IR 66
Varietas IR 64
Cisokan
Rerata
1. 2. 3. 4.
N-petani 15,23 15,23 15,63 15,37b N-BWD 14,80 13,90 15,87 14,86b N-petani+ ppk kdg 15,03 16,67 18,73 16,81ab N-BWD+ ppk kdg 15,33 17,67 20,30 17,77a Rerata 15,10b 15,87b 17,63a 16,20 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 0.05.
Jumlah anakan varietas IR 64 (15,10) tidak berbeda dengan IR 66 (15,87) tapi berbeda nyata dengan varietas Cisokan (17,63) (Tabel 5). Rata-rata varietas Cisokan mempunyai jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan varietas lainnya, hal ini diperkirakan berhubungan dengan tanggap suatu varietas terhadap pemupukan N. dan pemberian pupuk kandang. Hal ini menunjukkan pemupukan N dan pupuk kandang yang diberikan mampu dimanfaatkan secara optimal oleh varietas Cisokan untuk pertumbuhan vegetatifnya dengan membentuk anakan yang lebih banyak. Tabel 6. Hasil Padi (t/ha) Pada Perlakuan Pemupukan dan Varietas, KP. Pelaihari, Kalimantan Selatan, MH. 2005/06. Pemupukan 1. 2. 3. 4.
N-petani N-BWD N-petani+ ppk kdg N-BWD+ ppk kdg Rerata Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil pada taraf 0.05.
IR 66
Varietas IR 64
Rerata Cisokan
4,97 5,43 5,73 5,38c 5,27 5,73 6,07 5,69bc 5,43 6,07 6,40 5,97ab 5,43 6,23 6,70 6,12a 5,27c 5,87b 6,22a 5,79 yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT
Pemberian kotoran sapi nyata mempengaruhi pertumbuhan tanaman terlihat dengan meningkatnya jumlah anakan per rumpun. Hal ini disebabkan kotoran sapi dapat memperbaiki lingkungan pertumbuhan tanaman. Struktur tanah menjadi lebih gembur, kapasitas tukar kation dan kemampuan menahan air meningkat sehingga pupuk yang diberikan tidak mudah larut, dapat bertahan di tanah dan dapat diserap tanaman pada saat diperlukan. Selain itu juga karena kotoran sapi mengandung unsur hara yang diperlukan tanaman (Tabel 1).
72
Pada perlakuan tanpa kotoran sapi, perlakuan N-petani (200 kg/ha) memberikan hasil yang sama dengan perlakuan BWD (175 kg/ha) (Tabel 6), padahal pupuk yang digunakan pada perlakuan BWD lebih sedikit. Ini menunjukkan bahwa penggunaan BWD dapat menghemat urea sebanyak 12,5% tanpa mengurangi hasil padi. Hal ini disebabkan karena urea diberikan dalam waktu yang tepat pada saat tanaman kekurangan dan memerlukan unsur hara N, sehingga N yang tersedia langsung diserap tanaman. Perlakuan N-petani dengan dosis urea yang lebih banyak memberikan hasil (5,38 t/ha) yang tidak berbeda dengan perlakuan BWD yang dosis ureanya lebih sedikit (5,69 t/ha). Hasil padi antara perlakuan Npetani dengan perlakuan BWD+kotoran sapi berbeda nyata, perlakuan BWD + kotoran sapi memberikan hasil yang lebih tinggi (6,12 t/ha) daripada N-petani (5,38 t/ha). Urea yang diberikan pada perlakuan kebiasaaan petani lebih banyak pada perlakuan tanpa kotoran sapi. Dengan pemberian kotoran sapi dapat menghemat urea hingga 50%, dan mengurangi tenaga kerja untuk memupuk karena tidak ada pemupukan susulan. Analisa kontras orthogonal antara perlakuan tanpa kotoran sapi dengan pemberian kotoran sapi (perlakuan pemupukan 1,2 dengan 3,4) menunjukkan hasil tanaman yang diberi kotoran sapi (6,04 t/ha) lebih tinggi dari pada yang tanpa kotoran sapi (5,53 t/ha). Pemberian pupuk kandang dapat memperbaiki kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya mampu meningkatkan hasil padi. Bahan organik selain dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, juga dapat meningkatkan jumlah dan aktivitas mikroorganisme tanah (Hsieh dan Hsieh, 1990; Boggs et al., 2000). Perombakan bahan organik akan menyumbangkan unsur hara yang dikandungnya untuk tanaman. Hasil penelitian Noor dan Ningsih (1998) menunjukkan pupuk kandang kotoran sapi mempunyai kadar N 0,92%, P 0,23%, K 1,03%, Ca 0,38%, Mg 0,38% (Table 1) yang akan dapat dimanfaatkan oleh tanaman kalau sudah terurai. Peningkatan hasil padi dengan pemberian pupuk kandang bukan saja karena pupuk kandang merupakan sumber hara N dan juga unsur hara lainnya untuk pertumbuhan padi, selain itu pupuk kandang juga berfungsi dalam meningkatkan daya pegang tanah terhadap pupuk yang diberikan dan meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah (Karama, 1990). Aso dan Moriyama (dalam Kumazawa, 1984) mendemonstrasikan bahwa substansi humik dari bahan organik dapat merangsang pertumbuhan akarakar rambut dan daya memanjang akar yang penting dalam meningkatkan daya serap akar terhadap hara. Pemberian bahan organik pupuk kandang selain meningkatkan kapasitas tukar kation juga dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air, sehingga unsur hara yang ada dalam tanah maupun yang ditambahkan dari luar tidak mudah larut dan hilang, unsur hara tersebut tersedia bagi tanaman. Pada tanah yang kandungan pasirnya lebih dari 30% dan kandungan bahan organiknya tergolong rendah dan sangat memerlukan pemberian bahan organik untuk meningkatkan produksi dan mengefesiensikan pemupukan. Pemberian bahan organik pupuk kandang selain menyumbangkan unsur hara yang dikandungnya, tetapi juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara lain di dalam tanah. Pemberian pupuk kandang selain dapat menghemat penggunan pupuk N, tetapi juga dapat mengurangi penggunaan pupuk P dan K serta meningkatkan hasil padi. Menurut Havlin et al. (1999) pemberian bahan organik pada tanah dapat meningkatkan ketersediaan P untuk tanaman, karena bahan organik di dalam tanah berperan dalam hal (1) pembentukan kompleks organofosfat yang mudah diassimilasi oleh tanaman, (2) penggantian anion H2PO4pada tapak jerapan, 3) penyelimutan oksida Fe/Al oleh humus yang membentuk lapisan pelindung dan mengurangi penjerapan P, (4) meningkatkan jumlah P organik yang dimineralisasi menjadi P anorganik. Hasil penelitian Sarwani et al (!995) di lahan sawah tadah hujan di Desa Pampain, Kalimantan Selatan menunjukkan pemberian bahan organik dengan dosis 5,0 t/ha dari jerami padi, kompos jerami padi, kotoran sapi, kotoran ayam dan sesabania sp mampu meningkatkan hasil padi berturut-turut 3,93 t/ha, 4,10 t/ha, 3,84 t/ha, 5,68 t/ha, dan 4,11 t/ha dibandingkan tanpa bahan organik 3,02 t/ha. Hasil penelitiannya juga menunjukkan pemberian bahan organik dapat mengurangi penggunaan pupuk K sampai 50 kg K/ha.
KESIMPULAN 1.
Penggunaan bagan warna daun dapat menghemat pupuk nitrogen hingga 12,5% dari dosis yang biasa digunakan petani tanpa mengurangi hasil padi.
2.
Pemakaian bahan organik pupuk kandang 2 t/ha memberikan hasil lebih tinggi 13,8% dari pada tanpa pupuk kandang, dan dapat menghemat pupuk nitrogen sebanyak 50%.
3.
Masa-masa diperlukannya pemakaian bagan warna daun adalah pada umur 28 hst sampai 50 hst (4 kali pengukuran dengan selang 7 hari)
73
DAFTAR PUSTAKA Boggs, L.C., A.C. Kennedy, and I.P. Reganold. 2000. Organic and biodynamic management : Effect on Soil Biology. Soil Sci. Soc. Am. J. 64 : 1651-1659. Dinas Pertanian Kalimantan Selatan. 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian propinsi Kalimantan Selatan 2004. Banjarbaru. Fagi, A.M., A.K. Makarim, dan M.O. Adnyana. 1990. Efesiensi pupuk pada tanaman pangan. Prosiding Lokakarya Nasional Efesiensi Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 12-13 November 1990. p.145-155. Havlin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale and W.L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizer. Sixth Ed. Prentice-Hall, Inc. New Jersey. 499 pp. Hsieh, S.C. and C. F. Hsieh. 1990. The use of organic matter in crop production. Paper Presented at Seminar on ― The Use of Organic Fertilizer in Crop Production ― at Soweon, South Korea, 18-24 June 1990. Karama A.S. 1990. Penggunaan pupuk dalam produksi pertanian. Puslitbang Tanaman Pangan, 4 Agustus 1999 di Bogor.
Makalah disampaikan pada Seminar
Kumazawa K, 1984. Beneficial effect of organic matter on growth and yield in Japan. In. IRRI. Organic Matter and Rice. p: 431-444. Intern. Rice Res. Inst., Los Banos, Philippines. Makarim, A.K., Ponimin PW, R. Sismiyati, Sutoro, O.Sudarma dan A. Hidayat. 1995. Perbaikan efesiensi dan efikasi pemberin pupuk N pada tanah sawah berdasarkan analisis system. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan II. Buku 3: Padi. P.675-681. Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih S., S. Abdulrachman. 2003. Panduan Teknis Pengelolaan Hara dan pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. Departemen Pertanian. P.38. Noor, A. dan R.D. Ningsih. 1998. Upaya meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah di lahan kering. Dalam. Prosiding Lokakarya Strategi Pembangunan Pertanian Wilayah Kalimantan. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Banjarbaru Sarwani, M., A. Jumberi dan A. Noor 1995. Meningkatkan produksi padi di lahan sawah keracunan besi di Kalimantan Selatan. Dalam. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. Kinerja Penelitian Tanaman pangan : Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor
74
TEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) DI TAPANULI SELATAN, SUMATERA UTARA Akmal, Ali Jamil, dan Darwin Harahap
Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara
ABSTRAK Potensi lahan pertanaman Ubi Jalar di Sumatera Utara cukup luas dan tersebar di seluruh (27) kabupaten, namun produktivitas masih rendah yaitu 9,59 t ha -1, di bawah potensi hasil Jawa Barat yang dapat mencapai 20 t ha -1. Sedangkan di tingkat penelitian, hasil komoditas ini mampu mencapai 40 t ha -1. Untuk meningkatkan produktivitas ubijalar dilakukan pengkajian di Kabupaten Tapanuli selatan dimana lokasi ini merupakan salah satu sentra produksi ubi jalar di Sumatera Utara, pada tahun 2004. Teknologi budidaya yang dikaji adalah penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah, perlakuan stek, penanaman, pemupukan, pembalikan batang, pngendalian OPT. Hasil pengkajian menunjukkan, keragaan hasil terbaik di kabupaten Tapanuli Selatan ditunjukkan oleh varietas Racik Kuning dengan hasil 19,1 t ha-1. Boko dengan hasil 17,2 t ha-1, Sari dengan hasil 17,1 t ha-1, dan Cangkuang dengan hasil 16,3 t ha-1. Kata kunci : teknologi, produktivitas, ubi jalar, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara
PENDAHULUAN Ubi jalar (Ipomea batatas L) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan penghasil karbohidrat, protein, lemak, serat yang tinggi diantara ubi-ubian (Tabel 1). Selain untuk pangan, ubi jalar juga digunakan untuk pakan, bahan baku industri pembuatan tepung, gula cair, makanan ternak, alkohol, dan makanan siap saji. Sedangkan umbi segar juga telah di ekspor ke Singapura, Malaysia dan Jepang (Widodo et al., 1996). Tabel 1. Kandungan Utama Tiap 100 Gram Umbi-Umbian dan Padi Tanaman
Bahan kering (t ha-1 )
Ubi Jalar 30 Ubi Kayu 40 Talas 30 Padi 88 Sumber: (Widodo et al., 1996).
Karbohidrat 85,5 92,5 83,8 88,6
Berdasarkan berat kering (%) Protein Lemak 5,0 1,8 6,6 8,0
1,0 0,5 0,9
Serat 3,3 2,5 1,7 0,2
Energi (kj) 479 643 475 1.478
Luas pertanaman ubi jalar di Sumatera Utara pada tahun 2004 adalah 12. 227 ha, tersebar di seluruh kabupaten. Salah satu sentra ubi jalar terdapat di Kabupaten Tapanuli selatan dengan luas 601 ha dan produktivitas 9,53 t/ha) (BPS, 2004). Produktivitas ubi jalar di Sumatera Utara lebih rendah dari potensi hasil yang didapat di Jawa Barat (20 t/ha), sedangkan di tingkat penelitian, mencapai 40 t/ha (Puslitbangtan, 1993). Hal ini mengindikasikan masih besarnya peluang peningkatan produktivitas ubi jalar di Sumatera Utara. Beberapa penyebab rendahnya hasil adalah belum menyebarnya varietas unggul dan tepatnya teknologi budidaya seperti pemupukan, pemangkasan, pembalikan batang, pengendalian hama dan penyakit serta panen dan pasca panen. Pada umumnya petani masih menanam varietas lokal karena kurangnya informasi tentang varietas unggul. Teknologi budidaya masih bersifat tradisional, padahal Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian telah banyak melepas varietas unggul ubi jalar diantaranya; Mendut, Kalasan, Muara Takus, Cangkuang, Sewu, Sari, Boko, Sukuh, Jago dan Kidal (Balitkabi, 2005). Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu dilakukan pengkajian yang bertujuan untuk mendapatkan paket teknologi sistem usahatani ubi jalar dan peningkatan produksi ubi jalar di Sumatera Utara.
BAHAN DAN METODA Pengkajian dilakukan di Desa Bintuju Kabupaten Tapanuli Selatan dengan ketinggian tempat 300 m dpl berlangsung pada Agustus sampai Desember 2004. Rancangan percobaan yang digunakan pada masing-masing lokasi penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Teknologi budidaya yang diterapkan pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.
75
Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan cangkul sebanyak dua kali, kemudian dibuat guludan dengan lebar 40 cm, tinggi 40 cm dan jarak antar guludan 75 cm. Ukuran petak percobaan 4 x 5 m. Penanaman bibit dilakukan dengan satu stek per lubang dengan kemiringan 60°. Panjang stek 20-25 cm, ditanam dengan jarak tanam 75 cm x 25 cm. Pupuk yang digunakan adalah 100 kg Urea, 50 kg SP36, dan 100 kg KCl/ha. Pupuk Urea diberikan 2/5 bagian pada saat tanam bersamaan dengan seluruh pupuk SP-36 dan KCl. Sedangkan sisa pupuk Urea diberikan pada saat tanaman berumur 4 minggu. Pupuk diberikan secara tugal sedalam 5 cm dengan jarak 10 cm dari tanaman. Penyulaman dilakukan setelah tanaman berumur 10 hari. Penyiangan dan pembumbunan dilakukan dua kali yaitu pada umur 21 dan 65 hari. Pembalikan batang dilakukan pada umur 65 dan 85 hari setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit tidak dilakukan karena pada saat penelitian berlangsung tidak ditemukan adanya serangan hama dan penyakit yang berarti. Pengamatan dilakukan terhadap Panjang umbi, diameter umbi, jumlah umbi, berat umbi, warna kulit umbi, bentuk umbi, tingkat serangan hama boleng dan penyakit lanas. Pengelompokan warna daging, bentuk dan rasa umbi dilakukan oleh 20 orang panelis. Tabel 2. Paket Teknologi Budidaya di Tapanuli Tahun 2004 Uraian Kegiatan
Deskripsi
1. 2.
Varietas Pengolahan tanah
3.
Penanaman Panjang stek Jarak tanam Kemiringan tanam Jumlah Stek/lobang Penyulaman Pemupukan (kg/ha) Dasar (saat tanam) Susulan I (4 MGST) Pemeliharaan Penyiangan dan pembumbunan ke I Penyiangan dan pembumbunan ke II Pembalikan Batang Pengendalian hama dan penyakit Hama Boleng Hama Lanas
4.
5.
6.
7.
Panen dan pasca panen
Sari, Boko, Jago, Racik Kuning, Cangkuang, dan Muara Takus - Sempurna 2 kali bajak dan diratakan - Dibuat guludan lebar 40 cm dan tinggi 40 cn - Permukaan lahan rata 20 – 25 cm 75 x 25 cm 60 0 1 stek 10 HST
-
Urea 40 60 -
SP-36 75 -
KCl 100 -
Umur 21 HST Umur 65 HST Umur 65 dan 85 HST
1. 2.
Pembumbunan Pembumbunan, pencelupan stek dengan insektisida Benlate, dan penggunaan stek pucuk Digali dengan cangkul dikering anginkan dengan disebar di atas tanah, kemudian dikumpulkan dibuang tanah yang melekat pada kulit umbi, pisahkan umbi besar (diameter >5 cm) dan umbi kecil (diameter >5 cm) lalu dimasukkan ke dalam goni dan ditimbang.
Tabel 3. Pengelompokan Warna Daging Umbi, Bentuk Umbi dan Rasa Umbi Berdasarkan Skala Warna daging umbi K K1 K2 K3 K4 M M1 M2 M3 M4 P P1 P2 P3 P4
= Kuning = sangat pucat = pucat = sedang = pekat = Merah = sangat pucat = pucat = sedang = pekat = Putih = sangat pucat = pucat = sedang = pekat
Bentuk umbi 1 = sangat jelek 2 = jelek 3 = bagus 4 = sangat bagus
Rasa umbi 1 = tidak enak 2 = agak enak 3 = enak 4 = sangat enak
76
HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Hasil Rata-rata Jumlah umbi di Kabupaten Tapanuli Selatan dari enam varietas yang diuji berkisar antara 1,4-2,2 buah/tanaman. Varietas Racik Kuning mempunyai jumlah umbi terbanyak (2,4 buah) dan yang paling sedikit pada varietas Muara Takus dan Jago masing-masing 1,4 buah (Tabel 4). Panjang umbi yang terpanjang diberikan oleh varietas Racik Kuning (15 cm) dan terendah varietas Jago (11,0 cm). Diameter umbi berkisar antara 14,0 – 20,0 cm, diameter umbi terlebar terdapat pada varietas Bako (20,0 cm) dan terkecil varietas Jago (14,0 cm) Tabel 4. Rataan Jumlah Umbi/Pohon, Panjang Umbi/Buah, Lingkaran Umbi/Buah, Bobot Umbi/Pohon dan Produksi Umbi/Ha Varietas Ubi Jalar, Bintuju Tapanuli Selatan, MK 2004. Varietas Cangkuang Racik Kuning Sari Muara Takus Bako Jago
Jml umbi/ pohon (buah)
Panjang umbi/buah (cm)
Diameter umbi/buah (cm)
Bobot umbi/batang (g)
Produksi umbi/ha (t/ha)
2,0 b 2,4 c 2,0 b 1,4 a 2,2 bc 1,4 a
13,8 c 15,0 d 13,2 c 12,0 b 12,2 b 11,0 a
17,0 abc 19,0 bc 18,0 abc 15,0 ab 20,0 c 14,0 a
408,6 bc 476,7 c 430,4 bc 371,2 ab 435,8 bc 310,5 a
16,3 bc 19,1 c 17,1 bc 14,1 ab 17,2 bc 12,6 a
Perbedaan panjang dan diameter umbi dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman yang dicirikan oleh bentuk masing-masing varietas. Disamping itu kesuburan dan struktur tanah serta iklim sangat menetukan pertumbuhan dan perkembangan umbi. Secara umum bentuk umbi dari varietas yang diuji adalah tergolong bulat dan lonjong. Varietas Racik Kuning menghasilkan umbi besar terberat (476,7 g) kemudian diikuti oleh varietas Bako (435,8 g dan terendah varietas Jago. Perbedaan berat umbi (besar dan kecil) dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman. Produksi umbi per hektar tertinggi terdapat pada varietas Racik kuning (19,1 t/ha), kemudian diikuti oleh varietas Bako (17,2 t/ha) dan terendah varietas Jago (12,6 t/ha). Perbedaan produksi umbi antar varietas disebabkan oleh sifat genetik dan daya adaptasinya terhadap lingkungan. Varietas yang mempunyai daya adaptasi baik akan memberikan produksi yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Disamping itu produksi ubi jalar juga dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah, hama dan penyakit. Warna dan Penampilan Umbi Warna kulit umbi dari varietas Jago, Racik kuning, dan Muara takus adalah bewarna kuning, sedangkan varietas Sari, Bako, Kidal dan Cangkuang bewarna merah. Sedang warna daging umbi varietas bako warnanya putih dan varietas lainnya adalah bewarna kuning (Tabel 5) Varietas Racik Kuning dan Muara takus mempunyai bentuk umbi yang paling bagus, hal ini dicirikan oleh bentuk umbi yang tidak terlalu banyak lekukannya. Tabel 5.
Warna Kulit Umbi, Warna Daging Umbi dan Bentuk Umbi Varietas Ubi Jalar, Bintuju Tapanuli Selatan, MK 2004 Varietas
Cangkuang Racik Kuning Sari Muara Takus Bako Jago
Warna kulit umbi
Warna daging umbi
Bentuk umbi
M3 K3 M3 K3 M4 K3
K2 K3 K3 K3 P2 K2
3 4 3 4 2 3
77
KESIMPULAN 1.
Teknologi budidaya mulai dari pengolahan tanah, pembuatan guludan, jarak tanam, pemupukan, penyiangan, pembalikan/pemangkasan batang dan pemilihan varietas yang sesuai spesifik dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
2.
Keragaan hasil terbaik ditunjukkan oleh varietas Racik Kuning dengan hasil 19,1 t ha-1, Bako dengan hasil 17,2 t ha-1, Sari dengan hasil 17,1 t ha-1, dan Cangkuang dengan hasil 16,3 t ha-1.
DAFTAR PUSTAKA Adri Yaswar, mulyasdi, dan M.yusuf, 1996. Pengujian Daya Hasil Beberapa Klon dan Varietas Ubi Jalar di Tanah Andosol Gadut, Bukittinggi. Risalah Seminar Balittan Sukarami Vol. IV Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan umbi-umbian Malang, 2005. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan umbi-umbian Malang. 154 hal BPS, 2004. Biro Pusat Statistik Sumatera Utara Ginting E, 1994. Proporsi penggunaan Ubi Jalar dalam Menu Sehari-hari dalam Rangka Mengurangi Konsumsi Beras. Risalah seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro – Industri, Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang Yusuf M, 1994. Penampilan Klon-klon Ubi Jalar dan Potensi Pengembangannya. Risalah seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro-Industri, Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Puslitbangtan, 1996. Diskripsi Varietas Unggul Palawija. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Supriadi dan St.A. Rahayuningsih, 1994. Evaluasi Ketahanan Klon Ubi Jalar Terhadap Hama Boleng. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro-Industri. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang Yudi Widodo dan SS. Antarlina, 1996. Teknologi Produksi dan Agro-industri Ubi Jalar. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 4 Jagung, Sorgum, Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Zuraida, N., Minantyorini dan A. Dimyati. 1994. Seleksi Klon Ubi Jalar Berdasarkan Sifat-Sifat Kualitatif Umbi. Risalah seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro-Industri, Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang.
78
PEMANFAATAN PUPUK GUANO ALAM UNTUK TANAMAN KENTANG DI DATARAN MEDIUM KABUPATEN TAPANULI SELATAN, SUMATERA UTARA Darwin Harahap, Ali Jamil, dan Khadijah EL Ramija Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
ABSTRAK Pemanfaatan pupuk guano alam untuk tanaman kentang di dataran medium Tapanuli Selatan, dilaksanakan di Desa Pargarutan Kecamatan Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan pada ketinggian tempat 560 meter dpl, jenis tanah ultisol. Berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Oktober 2003. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian guano alam untuk tanaman kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli Selatan Penelitian di susun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan: G0=tanpa bahan organik; G1=pemberian pupuk kandang sapi 20 ton/ha; G2=pemberian pupuk guano 5 ton/ ha; G3=pemberian pupuk guano 10 ton/ha; G4=pemberian pupuk guano 15 ton ha-1; G5=pemberian pupuk guano 20 ton /ha, masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Bibit kentang yang ditanam adalah varietas granola. Sebagai pupuk dasar diberikan Urea, SP36 dan KCl dengan takaran masing-masing 200 kg/ha, 400 kg/ha dan 200 kg/ha. Ukuran plot 3 x 4 meter (50 tanaman/plot), jarak tanam 30 x 80 cm. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian guano alam 15 ton ha -1 memberikan produksi tertinggi (15,75 ton ha-1) dan lebih besar dari tanpa pemberian bahan organik (8,60 ton), sedangkan pemberian pupuk kandang sapi 20 ton ha-1 memberikan hasil 13,10 ton. Kata kunci : guano alam, kentang, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara
PENDAHULUAN Dalam budidaya tanaman hortikultura yang meliputi tanaman sayuran, buah-buahan dan tanaman hias, penggunaan pupuk organik sebagai pupuk dasar merupakan suatu keharusan. Pupuk organik berasal dari pelapukan bahan-bahan organik yaitu sisa-sisa yang berasal dari tanaman, hewan dan manusia merupakan sumber hara bagi tanaman serta sumber energi dari sebagian besar organisme tanah (Dardak, 1982; Tisdale, 1985; Sotedjo dkk, 1990). Penurunan bahan organik tanah karena mengalami proses dekomposisi ataupun mengalami pencucian, pemberian pupuk organik diharapkan dapat meningkatkan produksi karena selain menyediakan unsur hara bagi tanaman juga dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah (Nurtika dan Sumarna, 1992). Di Kabupaten Tapanuli Selatan banyak terdapat deposit pupuk guano yang berasal dari kotoran/ limbah kelelawar yang ditemukan disekitar gua-gua pegunungan, lokasinya terdapat di Kecamatan Sosopan. Petani sayuran di daerah tersebut telah memanfaatkan pupuk guano tersebut tetapi dosis yang digunakan belum tepat. Kentang merupakan komoditas sayuran penting di Indonesia yang dikonsumsi oleh penduduk yang berusia tua/muda tanpa memperhatikan tingkat sosial. Komoditas ini mempunyai prospek yang cerah, karena usahataninya dapat menaikan taraf pendapatan petani, berfungsi sebagai bahan baku industri, dibutuhkan setiap saat berpeluang ekspor, dan merupakan sumber vitamin C. Luas panen kentang di Sumatera Utara pada tahun 2004 adalah 10.592 ha, dengan rata-rata produksi 19,16 ton ha-1, dan total produksi 20.204 ton. Produktivitas ini masih rendah bila dibandingkan dengan potensi produksi yang mencapai 40 ton ha -1 (Balithor Lembang, 1989). Salah satu masalah yang menjadi tantangan dalam budaya kentang di Tapanuli Selatan adalah penggunaan bahan organik yang kurang tepat karena tanaman kentang sangat memerlukan bahan organik dilain pihak ketersedian pupuk organik di dataran tinggi Tapanuli Selatan relatif memiliki potensi yang tinggi. Pupuk guano ini sudah banyak digunakan petani dalam usaha tani sayurannya tetapi takaran, kondisi pupuk yang tepat diberikan ketanaman belum diketahui. (Bangun, 2000 dan Ali Jamil 2000). Berdasarkan hal tersebut diatas, perlu dilaksanakan pengkajian pemanfaatan pupuk guano alam untuk tanaman kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli Selatan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian guano alam dan untuk tanaman kentang di dataran medium Tapanuli Selatan.
79
BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan di Desa Pargarutan Kecamatan Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan dengan ketinggian 560 meter dpl, berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Oktober 2003. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan sebagai berikut : G0 = tanpa pemberian bahan organik G1 = pemberian pupuk kandang sapi 20 ton ha -1 G2 = pemberian guano 5 ton ha -1 G3 = pemberian guano 10 ton ha -1 G4 = pemberian guano 15 ton ha -1 G5 = pemberian guano 20 ton ha -1 Luas petak percobaan 3 x 4 m dengan jarak tanam 30 x 80 cm, varietas kentang yang digunakan adalah varietas granola. Pupuk buatan yang diberikan berupa Urea (200 kg/ha), SP-36(400 kg ha-1) dan KCl (200kg ha-1). Pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama/penyakit dilakukan sesuai dengan rekomendasi Badan Litbang Petanian. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, jumlah umbi/sampel, jumlah umbi/petak, berat umbi/sampel, berat umbi/petak dan produksi/ha. Data dianalisis secara statistik menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan diikuti dengan uji beda rata-rata yaitu Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5% (Steel and Torrie, 1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisa Guano Alam Data hasil analisa guano alam yang akan digunakan untuk percobaan ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisa Guano Alam di Kabupaten Tapanuli Selatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Parmeter pH H2O pH KCl C-organik (%) N (%) (C/N) P2O5 (mg/100 g) Ca²+(me/100 g) Mg²+ (me/100 g) Na+ (me/100 g) K+ (mc/100 g) KTK (me/100 g) Kejenuhan basa (%) Kejenuhan Al (%) Al3+ (me/100 g) H+ (me/100 g) Fe²+ ( ppm) Mn²+ (ppm) Cu²+ (ppm0 Zn²+ (ppm)
Nilai 3,80 3,41 16,41 3,27 5,02 49,20 27,98 1,92 0,49 2,86 43,70 76,09 16,93 7,40 7,12 84,00 12,40 9,00 18,00
Tinggi Tanaman dan Jumlah Cabang Utama Pengaruh pemberian pupuk guano alam terhadap tinggi tanaman dan jumlah cabang utama tanaman kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli Selatan di sajikan pada Tabel 2.
80
Tabel 2. Pengaruh Pemberian Pupuk Guano Alam Terhadap Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang Utama Tanamam Kentang di Dataran Medium Kabupaten Tapanuli Selatan Perlakuan
Tinggi Tanaman/cm
Go = tanpa bahan organik G1 = pupuk kandang sapi 20 ton ha-1 G2 = Guano alam 5 ton ha-1 G3 = Guano alam 10 ton ha-1 G4 = Guano alam 15 ton ha-1 G5 = Guano alam 20 ton ha-1 Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama pada kolom tidak pada taraf 5%
Jumlah Cabang Utama
38,50 a 1,90 a 46,40 b 3,60 b 45,70 b 3,50 b 46,80 b 4,70 c 47,40 b 4,70 c 47,30 b 4,80 c berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Pemberian pupuk guano alam memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman. Tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan G4 (guano alam 15 ton ha -1) yaitu 47,40 cm, berbeda nyata dengan G0 (tanpa pemberian bahan organik) dengan tinggi 38,50 cm dan tidak berbeda nyata dengan G1 (pupuk kandang sapi 20 ton ha-1) dengan tinggi 46, 40 cm. Sedangkan untuk jumlah cabang utama, pemberian guano alam memberikan pengaruh nyata, dimana jumlah cabang utama terbanyak diperoleh pada perlahanan G3 (guano alam 10 ton ha -1) dan G4 (guano alam 15 ton ha-1) yaitu 4,70 dan yang terendah adalah perlakuan G0 (tanpa pemberian guano alam) yaitu (1,90). Sedangkan perlakuan G1 (pemberian pupuk sapi 20 ton ha -1) mempunyai jumlah cabang utama sebanyak 3,60. Komponen Produksi Pengaruh pemberian pupuk guano alam terhadap jumlah umbi/sampel, jumlah umbi/petak, berat umbi/sampel, berat umbi/petak dan hasil/ha tanaman kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli Selatan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh pemberian Pupuk Guano Alam Terhadap Jumlah Umbi/Sampel, Jumlah Umbi/Petak, Berat Umbi/Sampel, Berat Umbi/Petak dan Hasil/Ha Tanaman Kentang di Dataran Medium Kabupaten Tapanuli Selatan Perlakuan
Jumlah umbi/sample (buah)
Jumlah umbi/petak (buah)
Berat umbi/ sampel (gr)
Berat umbi/ petak (kg)
Hasil/ha (ton)
G0 = Tanpa bahan organik 4,60 a 126,60 a 452,24 a 10,30 a 8,60 a G1 = Pukan sapi 20 ton ha -1 7,50 b 165,50 b 684,28 b 15,70 c 13,10 b G2 = Guano alam 5 ton ha -1 7,20 b 166,30 b 636,30 b 14,40 b 12,00 b G3 = Guano alam 10 ton ha -1 8,60 b 187,50 c 728,40 c 18,20 d 15,20 c G4 = Guano alam 15 ton ha -1 8,50 b 189,40 c 742,20 c 17,90 d 15,75 c G5 = Guano alam 20 ton ha -1 8,70 b 186,50 c 730,50 c 18,70 d 15,42 c Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada taraf P = 5%
Pemberian guano alam memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah umbi/sample dan jumlah umbi perpetak. Jumlah umbi/sample terbesar diperoleh pada perlakuan G4 = guano alam 15 ton ha -1 (8,70) berbeda nyata dengan perlakuan G0 = tanpa bahan organik (4,60) dan tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan perlakuan G1= pukan sapi 20 ton ha -1 (7,50), G2 = guano alam 5 ton ha-1 (7,20), G3 = guano alam 10 ton ha -1 (8,6) dan G5 = guano alam 20 ton ha-1 (8,5). Sedangkan jumlah umbi/petak pemberian guano alam memberikan pengaruh nyata. Dimana jumlah umbi/petak terbanyak diperoleh pada G4 = guano 15 ton ha -1 (189,40) dan yang paling rendah adalah G0 = tanpa bahan organik (126,60). Sedangkan perlakuan G1 = Pemberian pukan 20 ton ha-1 (165,50) juga memberikan perbedaan yang nyata. Berat umbi/sampel terbesar diperoleh pada perlakukan G4 = guano alam 15 ha -1 (742,20 gr) dan terendah adalah G0 = tanpa bahan organik (452,24 gr), sedangkan G1 = pemberian pukan sapi 20 ton ha -1 memberikan hasil 648,28 gr. Kemudian berat umbi/petak terberat diperoleh pada G4 = guano 15 ton-1 (18,90) dan yang terendah adalah G0 = tanpa bahan organik (10,30). Untuk Perlakuan G1= Pemberian Pukan sapi 20 ton ha -1 (15,70 kg) dan berbeda nyata dengan G2 = guano alam 5 ton ha-1 (14,40 kg), G3 = guano dengan 10 ton ha -1 (18,20 kg), G5 = guano 20 ton ha-1 (18,70).
81
Untuk hasil per hektar, hasil tertinggi diperoleh pada G4 = guano alam 15 ton-1 (15,75 ton) tidak berbeda nyata dengan G3 = guano alam 10 ton ha-1 ( 15,20 ton), dan G5 = guano alam 20 ton ha-1 (15,42 ton). Produksi terendah diperoleh pada G0 = tanpa pemberian bahan organik (8,60 ton), sedangkan G1 = pemberian pupuk kandang 20 ton ha -1 dapat menghasilkan produksi 13,10 ton.
KESIMPULAN 1.
Hasil kentang per ha tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian guano alam 15 ton ha -1 (15,75) dan terendah adalah tanpa pemberian bahan organik (8,60 ton), sedangkan pemberian pupuk kandang sapi 20 ton ha-1 dapat menghasilkan produksi 13,10 ton.
2.
Pemberian guano alam dapat meningkatkan produksi kentang di Kabupaten Tapanuli Selatan.
DAFTAR PUSTAKA Balithor Lembang, 1989. Kentang. Balai Penelitian Hortikultura Lembang Jawa Barat. Bangun. E, Ali Jamil, Darwin Harahap dan M. Nur, 2000. Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Hasil Buncis di Dataran Madiun Tapanuli Selatan. Prosiding Seminar Nasional BPTP Sumatera Utara Medan 1314 Maret 2000. BPS, 2004. Statistik Sayuran Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara. Medan. Dardak, A. 1982. Ilmu Tanah. Pendidikan Diploma Petugas Pertanian Lapangan Terpadu. Fakultas Pertanian USU Medan. Jamil, A : M. Nur, Darwin Harahap dan E. Bangun 2000. Penggunaan Pupuk Organik untuk Meningkatkan Hasil Kentang di Dataran Medium Tapanuli Selatan Prosiding Seminar Nasional BPTP Sumatera Utara, Medan 13-14 Maret 2000. Nurtika, N dan A. Sumarna. 1992. Persyaratan Pupuk Kandang dan Nitrogen Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tomat di Tanah Andosol. Hasil Penelitian Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Steel, R.G and Torrie. 1980. Principles and Procedure of tatistica, Second Editon. Mc. Graw-Hill Book Company. Sutedjo M M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan PT. Rineka Cipta Yakarta. Tisdale, S. L., W.L. Nelson, and J.D. Braton 1985. Soil Fertility and Fertilizers, 4 th. Ed. Mac. Millon Publising Co. Inc. New York and Collier mac. Millon Publisher London.
82
PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO DENGAN SAMBILATA: ANTIFIDAN NABATI WERENG HIJAU VEKTOR VIRUS TUNGRO I Nyoman Widiarta, Anton Yustiano dan Dede Kusdiaman Bagian Hama dan Penyakit, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,
ABSTRAK Penyakit tungro disebabkan oleh virus, paling efektif ditularkan oleh wereng hijau, Nephotettix virescens. Penyakit tungro menjadi masalah di daerah produksi padi di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan. Sambilata, Andrographis paniculata tanaman herbal di daerah tropik pada dosis sub-lethal diketahui mengurangi kemampuan mengisap wereng hijau. Serangkaian percobaan lapang dilakukan untuk mengetahui efikasi sambilata menghambat penyebaran tungro dan mekanisme kerjanya menghambat penularan tungro. Percobaan lapang dilakukan di daerah endemis tungro di Desa Warung Kondang, Cianjur, Jawa Barat pada MH 2003/04 dan MH 2004/05 dan di Desa Lanrang, Sidrap, Sulawesi Selatan pada MK 2005. Percobaan dilaksanakan dengan Rancangan Acak Kelompok. Efikasi sub-lethal dosis Sambilata dibandingkan dengan jamur entomopatogen Metarhizium dan insektisida an-organik komersial. Kemanpuan antifidan Sambilatan menghambat penularan tungro tergantung dari keberadaan tungro. Pada keberadaan tungro tinggi (89,5% pada petakan kontrol), sedang (22,7% pada petakan kontrol) dan rendah (5% pada petakan kontrol) kemampuan antifidan sambilatan menekan penularan tungro oleh wereng hijau berturut-turut 25%, 47% dan 81%. Kepadatan populasi wereng hijau tidak berbeda nyata antara perlakuan Sambilata dan kontrol. Dengan demikian perbedaan kemampuan mengisap menyebabkan perbedaan keberadaan tungro antar perlakuan dan kontrol. Aplikasi sambilata pada dosis sub-lethal menyebabkan perubahan kebiasaan mengisap wereng hijau dari jaringan floem beralih ke jaringan xilim. Hal tersebut menyebabkan wereng hijau berkurang kemampuannya menularkan virus, sebab virus tungro lebih banyak berada pada jaringan floem. Kata kunci: sub-lethal dosis, sambilata, pengendalian, tungro.
PENDAHULUAN Wereng hijau dan wereng loreng merupakan vektor utama virus penyebab penyakit tungro. Diantara spesies wereng hijau dan wereng loreng terdapat perbedaan efisiensi menularkan virus. Rentang efisiensi penularan virus oleh populasi N. virescens antara 35-83 persen (Rivera and Ou,1965), dibandingkan dengan N. nigropictus yang rentang efisiensinya antara 0-27% (Ling, 1979), spesies wereng hijau lainnya seperti N. malayanus dan N. parvus memiliki kemampuan menularkan virus berturut-turut 40% (IRRI, 1973) dan 7% (Rivera et al., 1968) lebih rendah dari N. virescens. Dengan demikian N. virescens merupakan vektor yang paling efisien menularkan virus tungro dibanding jenis vektor lainnya. Kepadatan populasi wereng hijau berfluktuasi, kebanyakan hanya meningkat pada saat tanaman muda sampai pertengahan pertumbuhan tanaman pada pola tanam padi-padi-padi, tetapi pada pola tanam padi-padi-bera/palawija kepadatan populasi umumnya tidak meningkat sama sekali (Widiarta et al., 1999). Hasil analisis Widiarta et al. (1999) dengan menggunakan analisis faktor kunci (key-factor) menunjukkan bahwa kematian pada periode nimfa termasuk pemencaran imago menjadi faktor kematian kunci (key-factor) untuk populasi wereng hijau pada pola padi-padi-padi maupun padi-padi-bera/palawija. Analisis tanggap bilangan (numerical analysis) diketahui, pada pola tanam padi-padi-padi tidak ditemukan adanya tanggap bilangan antara kematian nimfa dengan kepadatan populasi pemangsa, tetapi tanggap bilangan ditemukan pada pola tanam padi-padi-bera/palawija. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi. Peranan pemencaran imago cukup besar pada pola padi-padi-padi, sedangkan pada pola padi-padi-bera/palawija, pemangsa erat terkait dengan kematian pada periode nimfa. Implikasi dari temuan ini untuk pengendalian tungro adalah pada pola tanam padi-padi-palawija/bera konservasi pemangsa sangat penting untuk menekan populasi wereng hijau vektor penyakit tungro, sedangkan pada daerah pola tanam padi-padi-padi, dapat dilakukan dengan mengurangi kemampuan pemerolehan dan penularan virus oleh wereng hijau dengan mengurangi kemampuan mengisap wereng hijau (antifeedant) sebagai komponen utama pengendalian. Mengurangi aktifitas mengisap wereng hijau sebagai vektor penyakit virus dilaporkan sangat efektif membatasi penularan virus. Beberapa bahan kimia sintetis seperti imidacloprid diketahui dapat menekan aktifitas mengisap beberapa spesies aphid seperti Myzus persicae dan M. nicotiana (Nauen et al., 1998). Cartap, bensultap dan nitempyram yang diaplikasikan pada sub-lethal dosis juga mengurangi kemampuan mengisap wereng hijau N. cincticeps maupun N. virescens (Widiarta et al., 1997 b). Ekstrak Sambilata A. paniculata juga memiliki kemampuan megurangi aktifitas mengisap kedua spesies wereng hijau tersebut (Widiarta et al., 1997 a, b).
83
Hasil pengujian di rumah kaca diketahui bahwa aplikasi sambilata dapat menekan pemerolehan maupun penularan virus tungro oleh wereng hijau (Widiarta et al., 1998). Dengan demikian Sambilata memiliki prospek sebagai salah satu komponen teknologi untuk dirakit dalam pendekatan pengendalian terpadu penyakit tungro terpadu namun masih perlu dilakukan uji efikasi di lapang. Mekanisme kerja antifidan nabati Nimba dalam menekan penyebaran penyakit tungro telah diketahui menyerupai mekanisme kerja varietas tahan (Khan and Saxena, 1985). Pada varietas tahan wereng hijau mengisap pada pembuluh tapis (xylem) sedangkan pada varietas peka lebih banyak mengisap pada pembuluh balik (phloem) (Kawabe, 1985). Aplikasi Nimba menyebabkan wereng hijau lebih banyak mengisap pada pembuluh tapis yang diketahui bukan sebagai tempat berkembangnya virus tungro. Aplikasi antifidan imidacloprid lebih banyak menyebabkan serangga beristirahat daripada mengisap, sehingga penularan virus berkurang (Maruyama and Obinata, 1995). Mekanisme Sambilata menekan pemelorehan dan penularan virus pada Sambilata belum diketahui apakah seperti Nimba atau Imidacloprid atau bukan keduaduanya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efikasi lapang dan mekanisme kerja Sambilata sebagai antifidan nabati vektor terhadap penularan tungro di lapang. Diperkirakan bahwa antifidan nabati Sambilata menghambat penyebaran tungro karena menyebabkan perubahan kebiasaan mengisap wereng hijau lebih banyak mengisap pada pembuluh balik (xylem) yang tidak ada virus tungronya. Efikasi sambilata terhadap penyebaran tungro akan dibandingkan dengan Metharizium anisopliae dan juga insektisida komersial yang dilaporkan dapat menghambat penularan virus melalui pengendalian vektor (Widiarta et al., 2005)
BAHAN DAN METODA Penyiapan Ekstrak Sambilata Ekstrak kasar Sambilata yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil ekstraksi tanaman Sambilata. Secara garis besar, proses pembuatan ekstrak kasar Sambilata adalah sebagai berikut: bagian daun dan batang tanaman Sambilata dikeringkan di bawah sinar matahari, kemudian bagian daun dipisahkan dari batang. Bagian batang dipotong-potong sepanjang 3 cm. Batang dan daun direndam dalam 4 l methanol teknis dalam tabung. Dilakukan maserasi selama 7 hari. Hasil maserasi selanjutnya disaring (filtrasi). Kemudian filtrat tersebut dievaporasi dengan menggunakan vakum evaporator sampai berbentuk pasta (Hermawan et al., 1993). Pengaruh Terhadap Penularan Tungro Efikasi lapang. Bibit padi peka tungro Ciherang umur 21 hari setelah sebar ditanam pada sawah petani di daerah endemis tungro. Uji lapang dilaksanakan di Desa Warungkondang, Cianjur-Jawa Barat pada Musim Hujan 2003/2004 dan 2004/2005 dan di Lanrang, Sulawesi Selatan pada musim tanam 2005. Varietas padi yang digunakan di Lanrang adalah TN-1 yang peka tungro. Tanaman dipelihara sesuai dengan budidaya padi petani setempat. Pupuk yang diaplikasikan petani di lokasi percobaan adalah Urea 300 kg/ha, TSP 100 kg/ha dan KCl 50 kg/ha. Pemupukan Urea diberikan dalam 3 kali aplikasi yaitu 100 kg Urea/ha sebagai pupuk dasar, yang diberikan bersama dengan 100 kg TSP/ha dan 50 kg KCl/ha pada saat tanam, selanjutnya masing-masing 100 kg Urea/ha pada saat tanaman mencapai fase anakan maksimum dan primordia. Gulma disiang secara mekanis dengan cara mencabut dengan tangan, kemudian dibenamkan kedalam tanah. Pestisida tidak diaplikasikan kecuali untuk perlakuan. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 6 perlakuan dengan 4 ulangan setiap perlakuan. Ukuran petakan setiap ulangan adalah 5m x 4m. Perlakuan yang dicoba seperti pada tabel 1 dan 2. Aplikasi dilakukan pada saat puncak kedatangan imigran 2 minggu setelah tanam (MST) dan diulang setiap dua minggu sampai saat sebelum terjadinya puncak penularan tungro yang kedua yaitu saat tanaman berumur 6 MST. Table 1. Perlakuan Uji Lapang Sambilatan Menekan Penularan Tungro di Warungkondang, Cianjur-Jawa Barat pada MH 2003/04 dan MH 2004/05 Nomor 1. 2. 3. 4. 5 6
Perlakuan Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 1 x 1,7 x 107 konidia/ml Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 10 x 1,7 x 107 konidia/ml Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 100 x 1,7 x 10 7 konidia/ml Aplikasi antifidan hayati sambilata Aplikasi insektisida komersial Kontrol
84
Table 2. Perlakuan Uji Lapang Kemampuan Antifidan Hayati Sambilata Menekan Penularan Tungro di Lanrang, Sulawesi Selatan MK 2005 Nomor 1. 2 3. 4. 5 6
Perlakuan Aplikasi antifidan hayati sambilata konsentrasi 40 ppm Aplikasi antifidan hayati sambilata konsentrasi 100 ppm Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 10 x 1,7 x 107 konidia/ml Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 100 x 1,7 x 10 7 konidia/ml Aplikasi insektisida komersial Kontrol
Variabel yang diamati adalah populasi wereng hijau dan keberadaan tungro. Keberadaan tungro diamati secara visual dari 100 rumpun tanaman setiap petak ulangan. Kepadatan populasi wereng hijau untuk percobaan di Desa Warung Kondang diamati dengan visual dari 32 rumpun setiap petak, sedang kan pada percobaan di Lanrang digunakan jaring perangkap 10 kali ayunan setiap petak ulangan. Pengamatan dilakukan mulai saat tanaman umur 2 MST diulang setiap 2 minggu sampai tanaman umur 8 MST. Manajemen data. Persentase keberadaan tungro dari masing-masing perlakuan ditransformasi, dengan rumus (x+1)1/2, dalam rumus tersebut x adalah keberadaan tungro, kemudian diuji dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji-DMRT pada taraf 5%. Kepadatan populasi, jumlah telur dan hasil panen setelah ditransformasi log (x+1) diuji dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji-DMRT pada taraf 5%. Mekanisme Kerja Sambilata Bibit tanaman padi varietas IR-64 berumur 20 hari setelah sebar dibersihkan dari lumpur, kemudian akarnya direndam dalam gelas plastik yang berisi zat pewarna erithrosin 2%, dibiarkan direndam selama minimal 6 jam. Erithrosin merupakan zat pewarna yang berwarna merah, dapat diserap oleh akar tanaman padi. Setelah 6 jam bibit tanaman padi disemprot dengan ekstrak daun Sambilata sesuai dengan konsentrasi yang diujikan. Dua imago betina wereng hijau betina dewasa dimasukkan ke dalam kantong plastik (ukuran 5x8 cm) yang ditempelkan pada batang padi. Wereng hijau diberi kesempatan untuk mengisap cairan tanaman selama 24 jam. Setelah 24 jam embun madu yang dikeluarkan oleh wereng hijau diambil ditampung dalam kantong plastik dan diamati warnanya dengan alat spektrofotometer. Perbedaan warna embun madu memberi petunjuk perbedaan lokasi wereng hijau mengisap cairan tanaman, apakah dari xylem atau phloem. Uji ini merupakan modifikasi dari metode yang digunakan Oya and Sato (1981) untuk mepelajari kebiasaan mengisap wereng hijau
HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan Populasi Wereng Hijau Kepadatan populasi wereng hijau sebelum aplikasi tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 3, 4, dan 5). Tabel 3. Populasi Wereng Hijau Pada Uji Lapang Sambilata di Cianjur Akhir MH 2003/04 Perlakuan
Seb-1 (2MST)
Populasi serangga/32 rumpun Set-1 (4MST) Seb-2 (5MST)
Set-2 (7MST)
7
M. anisopliae konst, 1,7 x 10 kon/ml 17,00 a 16,00 b 8,50 a 12,75 a M. anisopliae konst, 1,7 x 108 kon/ml 17,00 a 10,75 ab 8,50 a 7,75 a M. anisopliae konst, 1,7 x 109 kon/ml 14,00 a 7,25 a 7,00 a 9,00 a Insektisida nabati Sambilata 20,25 a 7,75 a 10,00 a 20,25 b Insektisida Baycarb 12,75 a 6,75 a 11,25 a 17,33 ab Kontrol 18,00 a 8,25 a 10,00 a 23,33 b Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%. Seb-: Sebelum aplikasi; Set-: Setelah apalikasi
85
Tabel 4. Populasi Wereng Hijau Pada Uji Lapang Sambilata di Cianjur Musim Tanam 2004/05 Populasi serangga/32 rumpun
Perlakuan
Seb-1 (2MST)
Set-1 (4MST)
Seb-2 (5MST)
Set-2 (7MST)
7
M. anisopliae konst. 1,7 x 10 kon/ml 10,25 a 3,75 a 3,75 a 2,25 a M. anisopliae konst.1,7 x 108 kon/ml 10,75 a 2,75 a 2,75 a 2,00 a M. anisopliae konst. 1,7 x 109 kon/ml 14,75 a 3,00 a 3,00 a 1,75 a Insektisida nabati Sambilata 11,75 a 2,75 a 2,75 a 1,50 a Insektisida (Baycarb) 9,25 a 4,50 a 4,50 a 3,75 b Kontrol 13,75 a 6,50 a 6,50 a 3,25 b Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%.. Seb-: Sebelum aplikasi; Set-: Setelah apalikasi Tabel 5. Populasi Serangga Wereng Hijau Sebelum Aplikasi di Lanrang, Sulawesi Selatan MK 2005 Populasi serangga/10 ayunan
Perlakuan
Seb-1(2MST)
Seb-2(4MST)
Seb-3(6MST)
8
M. anisopliae konst 1,7 x 10 konidia/ml 10,00a 25,00a 27,25a M. anisopliae konst 1,7 x 109 konidia/ml 16,00a 27,00a 33,25a Sambilata 40 ppm 9,25a 16,50a 19,75a Sambilata 100 ppm 17,25a 19,50a 23,00a Insektisida (Confidor) 18,25a 9,50a 13,25a Kontrol 27,75a 21,75a 16,25a Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%. Seb-: Sebelum aplikasi Tabel 6. Populasi Serangga Wereng Hijau Setelah Aplikasi di Lanrang, Sulawesi Selatan MK 2005 Perlakuan
Set-1(2MST)
Populasi serangga/10 ayunan Set-2(4MST) Set-3(6MST)
M. anisopliae konst.1,7 x 108 konidia/ml 12,50a 37,50a 33,00ab M. anisopliae konst 1,7 x 109 konidia/ml 10,75a 32,75a 35,25a Sambilata 40 ppm 7,75a 43,50a 35,00ab Sambilata 100 ppm 11,25a 30,75a 26,00ab Insektisida (Confidor) 12,50a 5,50a 7,50b Kontrol 14,50a 50,00a 28,00ab Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%. Seb-: Set-: Setelah apalikasi
Dari ketiga tabel tersebut dapat dikatakan bahwa pengujian dilakukan mulai dari kondisi kepadatan populasi yang sama sehingga keadaan populasi setelah aplikasi adalah dampak dari perlakuan. Dampak dari perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4 untuk pengujian di Warung Kondang dan pada Tabel 6 untuk pengujian di Lanrang. Kepadatan populasi wereng hijau setelah aplikasi Sambilata tidak berbeda nyata dengan kontrol pada ketiga lokasi. Aplikasi jamur M. anisopliae pada aplikasi ke-1 tidak memberikan dampak yang nyata terhadap kepadatan populasi wereng hijau. Dampak aplikasi ke-2 nyata menekan populasi wereng hijau. Kepadatan populasi wereng hijau berbeda nyata lebih rendah dari kepadatan populasi pada petak kontrol maupun petak yang diaplikasi insektisida nabati Sambilata. Hasil uji efikasi lapang terlihat mendukung perkiraan bahwa dampak aplikasi jamur entomopatogen mempunyai tenggang waktu dan baru terlihat pada generasi berikutnya. Aplikasi ke-1 saat tanaman berumur 3 MST bertepatan dengan generasi imigran imago wereng hijau (Widiarta et al., 1999), sedangkan aplikasi ke-2 saat tanaman umur 5 MST bertepatan dengan puncak kepadatan populasi stadia nimfa kecil (Suzuki et al., 1992). Dampak dari aplikasi pertama menekan keperidian serangga pendatang (generasi migran), aplikasi ke-2 bekerja mematikan nimfa turunan dari generasi migran, sehingga populasi yang rendah pada 7 MST adalah dampak ganda dari entomopatogen yang secara tidak langsung menekan keperidian dan secara langsung mematikan nimfa. Kemampuan menekan populasi generasi pertama setelah imigran diperkirakan berimplikasi positif untuk menekan puncak penularan tungro yang kedua. Sedangakan Samabilata pada dosis yang digunakan tidak mematikan wereng hijau (Widiarta et al., 1997a,b). Keberadaan Penyakit Tungro Keberadaan penyakit tungro tidak berbeda nyata pada antar petak perlakuan (Tabel 7) sebelum aplikasi. Aplikasi jamur entomopatogen menyebabkan keberadan tungro pada petak perlakuan jamur
86
entomopatogen nyata lebih rendah dari keberadaan tungro pada petak kontrol terutama aplikasi Metarhizium dengan konsentrasi konidia 1,7 x 109 kon/ml (Tabel 8). Begitu juga dampak aplikasi insektisida nabati Sambilata dan insektisida komersial (Tabel 8). Tabel 7. Persentase Keberadaan Tungro Sebelum Aplikasi Sambilata, di Cianjur Akhir MH 2003/04 Perlakuan
Sebelum-1 (2MST)
Keberadaan Tungro/100 Rumpun Sebelum-2 Sebelum-3 (5MST) (8MST)
Sebelum-4 (11MST)
M.anisopliae konst. 1,7 x 107 kon/ml 12,25 a 4,75 a 26,00 a 30,75 a M.anisopliae konst. 1,7 x 108 kon/ml 9,25 a 3,00 a 15,00 a 20,00 a 9 M.anisopliae konst. 1,7 x 10 kon/ml 8,25 a 2,25 a 14,00 a 17,75 a Insektisida nabati Sembilata 5,75 a 3,25 a 20,00 a 23,25 a Insektisida Baycarb 4,75 a 5,00 a 12,00 a 16,00 a Kontrol 6,00 a 6,00 a 23,25 a 26,25 a Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5% Tabel 8. Persentase Keberadaan Tungro Setelah Aplikasi Sambilata, di Cianjur Akhir MH 2003/04 Perlakuan
Setelah-1 (4MST)
Keberadaan Tungro Setelah-2 Setelah-3 (7MST) (10MST)
Setelah-4 (13MST)
M.anisopliae konst. 1,7 x 107 kon/ml 6,75 a 10,00 a 27,25 b 19,75 ab M.anisopliae konst. 1,7 x 108 kon/ml 6,25 a 6,25 a 17,00 a 17,00 ab M.anisopliae konst. 1,7 x 109 kon/ml 5,25 a 7,75 a 16,00 a 12,00 a Insektisida nabati Sambilata 5,00 a 14,00 ab 19,75 a 12,00 a Insektisida Baycarb 4,25 a 11,00 a 17,25 a 11,25 a Kontrol 15,50 b 17,75 b 25,25 b 22,75 b Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5%.
Keberadaan tungro pada MH 2004/05 lebih rendah dibandingkan pada pengujian MH 2003/04, akan tetapi kecenderungannya konsisten seperti pada musim sebelumnya. Keberadaan tungro pada percobaan sebelum aplikasi tidak berbeda nyata, akan tetapi setelah aplikasi saat tanaman umur 6 minggu setelah tanam (MST) keberadaan tungro pada petak perlakuan nyata lebih rendah dari kontrol (Tabel 9). Tabel 9. Presentase Keberadaan Tungro Pada Uji Lapang Sambilata di Cianjur, MH 2004/2005 Perlakuan
Keberadaan tungro pada 6 MST/plot
M. anisopliae konsentrasi 1,7x107 kon/ml 1,75 a 8 M. anisopliae konsentrasi 1,7x10 kon/ml 2,25 a M.anisopliae konsentrasi 1,7x 109 kon/ml 1,25 a Insektisida hayati Sembilata 1,00 a Insektisida Baycarb 2,25 a Tanpa insektisida 5,50 b Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5%
Keberadaan penyakit tungro pada saat 2 MST berada diatas ambang kendali karena besar dari 0,02%, dan tidak berbeda nyata antar petak perlakuan (Tabel 10). Sedangkan pada petak yang diaplikasi Sambilata kepadatan populasi wereng hijau tidak berbeda dengan kontrol, namun keberadaan penyakit tungro nyata lebih rendah dari kontrol. Dengan demikian keberadaan tungro yang rendah disebabkan oleh berkurangnya aktifitas mengisap wereng hijau. Keberadaan tungro yang lebih rendah menyebabkan kehilangan hasil lebih rendah. Wereng hijau jarang dilaporkan mencapai tingkat populasi yang dapat menimbulkan kerusakan secara langsung (Widiarta et al, 1990). Kehilangan hasil dapat dikatakan disebabkan oleh penyakit tungro karena populasi wereng hijau rendah. Hal ini sejalan dengan keberadaan penyakit tungro setelah diaplikasi jamur entomopatogen, insektisida hayati (Sembilata) dan insektisida pembanding (Baycarb 500 EC)
87
menunjukkan keberadaan penyakit tungro petak kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan petak yang memakai perlakuan tersebut di atas. Tabel 10. Keberadaan Tungro di Lanrang, Sulawesi Selatan MK 2005. Keberadaan tunngro (%)
Perlakuan
2MST
4MST
6MST
8MST
8
M. anisopliae konst. 1,7 x 10 konidia/ml 0,40a 2,80a 9,00a 68,70a M. anisopliae konst. 1,7 x 109 konidia/ml 0,20a 1,65a 16,40a 80,20a Sambilata 40 ppm 0,50a 2,30a 24,00a 75,90a Sambilata 100 ppm 0,80a 5,45a 26,25a 67,40a Insektisida (Confidor) 0,40a 3,80a 4,60a 23,35b Kontrol 0,40a 4,45a 26,00a 89,55a Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5%
Keberadaan serangan tungro tinggi mencapai 89% pada petak kontrol. Perlakuan pengendalian wereng hijau (vektor penyakit tungro) dengan jamur entomopatogenik Metarhizium atau antifidan nabati Sambilata mampu menekan keberadaan tungro 20% lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pengendalian vektor dengan insektisida an-organik mampu menekan keberadaan tungro 60% lebih rendah dari kontrol. Pengendalian hayati tidak dapat dilakukan dengan berpedoman pada ambang kendali seperti pada pengendalian dengan insektisida an-organik. Mekanisme Kerja Sambilata Berdasarkan pengukuran panjang gelombang terhadap embun madu yang dikeluarkan oleh wereng hijau diketahui bahwa aplikasi ekstrak daun Sambilata berpengaruh terhadap lokasi mengisap wereng hijau (Tabel 11). Tabel. 11. Rata- rata Panjang Spektrum Embun Madu Yang Dihasilkan Wereng Hijau Mengisap Pada Tanaman Padi Yang Diaplikasi Sambilata Perlakuan
Rata-rata panjang spektrum (nm)
S.E. (Standard error)
0 ppm 0,44 10 ppm 0,39 100 ppm 0,25 1000 ppm 0,18 ** Keterangan : ** berbeda nyata antara perlakuan dengan perlakuan 0 ppm pada p<0,01 uji t.
0,05 0,07 0,08 0,05
Pengambilan cairan tanaman pada tanaman yang tidak diaplikasikan dengan esktrak daun sambilata sebagian besar dari floem, sebab spectrum panjang gelombang embun madu nyata lebih pendek. Dengan demikian erythrosin dihisap oleh xilim tidak dihisap oleh wereng hijau dilihat dari spektrum yang lebih panjang. Sedangkan pada tanaman yang diaplikasikan dengan ekstrak daun sambilata lokasi mengisapnya beralih dari floem ke xilem. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis, pada perlakuan ekstrak daun Sambilata 10 dan 100 ppm, rata-rata panjang gelombang embun madu berturut-turut 0,39 nm dan 0,25 nm tidak berbeda nyata dengan kontrol (rata-rata panjang gelombang 0,44 nm). Sedangkan pada aplikasi ekstrak daun Sambilata 1000 ppm berbeda nyata dengan kontrol (rata-rata panjang gelombang 0,18 nm). Ekstrak daun Sambilata juga merupakan antifidan yang dapat mengurangi aktifitas makan wereng hijau (Yustiano, 2001). Pada percobaan 5 diketahui bahwa aplikasi ekstrak daun pada konsentrasi 1000 ppm mempengaruhi lokasi mengisap wereng hijau dari phloem ke xilim. Sehingga aplikasi ekstrak daun Sambilata dapat mengurangi kemampuan wereng hijau dalam hal mendapatkan dan menularkan virus tungro yang berkembang biak di jaringan floem. Hal ini sesuai dengan pendapat Widiarta (1998) yang menyatakan bahwa aplikasi andrografolid komponen ekstrak Sambilata sebagai antifidan mengurangi rata-rata perolehan virus tungro oleh N. virescens. Aplikasi Sambilata mengindikasikan menyebabkan perubahan lokasi mengisap wereng hijau dilihat dari panjang gelombang embun madu. Aplikasi Sambilata menyebabkan wereng hijau mengisap pada jaringan xilem. Hal tersebut serupa dengan dampak dari varietas tahan maupun nimba terhadap kebiasaan makan wereng hijau. Menurut Kawabe (1985) varietas tahan wereng hijau mempengaruhi kebiasaan makan wereng hijau. Pada varietas resisten pengambilan cairan tanaman oleh wereng hijau beralih dari floem ke xilem yang menyebabkan berpengaruh dalam mendapatkan dan penularan virus tungro. Sedangkan hasil percobaan Saxena et al (1987) menunjukkan bahwa perlakuan media tanam yang dicampur dengan ekstrak
88
nimba 150 kg/ha dapat mengurangi insidensi infeksi RTBV dan RTSV. Mekanisme kebiasaan makan wereng hijau dengan aplikasi minyak nimba 10% seperti yang diperlihatkan oleh varietas resisten (Saxena dan Khan, 1985). Cara kerja Sambilata berbeda dengan Imidakloprid dalam menghambat penularan virus oleh wereng hijau. Tanaman padi yang diaplikasikan dengan imidakloprid 0,1 ppm cenderung tidak melakukan aktivitas makan pada sebagian besar waktu pengamatan (Maruyama dan Obinata, 1995; Foug et al., 1996) sehingga penularan virus tungro tidak terjadi.
KESIMPULAN 1.
Kemampuan antifidan Sambilata menekan penularan tungro bervariasi sesuai dengan tekanan keberadaan penyakit. Pada keberadaan tungro tinggi (89,5% pada petakan kontrol), sedang (22,7% pada petakan kontrol dan rendah (5% pada petakan kontrol) kemampuan antifidan Sambilatan menekan penularan tungro oleh wereng hijau berturut-turut 25%; 47% dan 81%.
2.
Aplikasi Sambilata tidak mempengaruhi kepadatan populasi wereng hijau, perbedaan keberadaan tungro dengan kontrol disebabkan oleh perbedaan aktifitas makan wereng hijau.
3.
Sambilata menyebabkan perubahan kebiasaan mengisap wereng hijau.
DAFTAR PUSTAKA Foug, D., R. Senn, dan M. Bolsinger. 1996. Pymetrozine : a novel aphicide wiht a new mode ofaction. Presentation at International Congress of Entomology, Floence, Italy, 25-31 August 1996. p 17-21. Hermawan, W., R. Tsukuda, K. Fujisaki, A. Kobayashi,dan F. Nakasuji. 1993. inluece of crude extract from a tropical plant, Andrographis paniculata(Acanthaceae) on suppression of feeding by diamondbachmoth, Plutella xylostella (Lepidoptera : Yponomeutidae) and the oviposition by the azuki weevil, Callosobruchus chinensis (Coleoptera :Bruchidae). Appl Entomol. Zool. 28: 251254 IRRI. 1973. Annual Report. IRRI Los Banos, Philippines. Kawabe, S. 1985. Mechanism of varietal resistance to the green leafhopper (Nephotettix cincticeps Uhier). JARQ 19: 115-124. Khan, Z. R. and R. C. Saxena. 1985. Behavior and biology of Nephotettix virescens (Homoptera: Cicadellidae) on tungro virus-infected rice plants: Epidemiology implication. Environ. Entomol. 14: 297-304. Ling, K. C. 1979. Rice virus disease. IRRI, Los Banos, Philippines. 142p. Maruyama, M. and T. Obinata. 1995. Effect of admire to supress feeding activity and virus transmission by leaf-planthopper. ―Noyaku kenkyu‖ 42: 19-26 (Bahasa Jepang) Nauen, R., H. Hungenberg, B. Tollo, K. Tietjen and A. Elbert. 1998. Antifeedant effect, biological efficacy and high affinity binding of imidacloprid to acetylcholine receptors in Myzus persicae and Myzus nicotinae. Pestic. Sci. 53: 133-140. Oya, S. and A. Sato. 1981. Differences in feeding habits of the green rice leafhopper, Nephotettix cincticeps Uhler (Hemiptera:Delthochephalidae), on resistant and susceptible rice varieties. Appl. Ent. Zool. 16: 451-457. Rivera, C. T. and S.H. Ou. 1965. Leafhopper transmission of "tungro" disease of rice. Plant. Dis. Rep. 49: 127-131. Rivera, C. T. , S.H. Ou and D.M. Tantera. 1968. Tungro disease of rice in Indonesia. Plant. Dis. Rep. 52: 122-124. Saxena, R. C., dan Z. R. Khan, 1985. Electronicallyrecorded disturbances in feeding behavior of Nephotettix virescens (Homoptera : Cicadellidae) onneem oil-treated rice plants. J. Econ. Entomol. 78: 222225.
89
Saxena, R. C., Z. R. Khan, dan N. B. Bajet. 1987. Reductiaon of tungro virus transmission by Nephotettixvirescens (Homoptera : Cicadellidae) in neemcake-treated rice seddlings. J. Econ. Entomol. 80(5) : 1079-1087. Suzuki, Y., I K. R. Widrawan, I G. N. Gede, I N. Raga, Yasis and Soeroto. 1992. Field epidemiology and forecasting technology ofrice tungro disease vectored by green leafhopper. JARQ 26: 98-104. Widiarta, I N, Y Suzuki, H Sawada, and F Nakasuji . 1990. Population dynamics of the green eafhopper Nephotettix virescens (Distant) (Hemiptera:Cicadellidae) in synchronized and staggered transplanting areas of paddy fields in Indonesia. Res. Popul. Ecol. 32: 319-328. Widiarta, I N., W. Hermawan, S. Oya, S. Nakajima and F. Nakasuji. 1997a. Antifeedant activity of constitutent of Andrographis paniculata (Acanthaceae) against the green rice leafhopper, Nephotettix cincticeps (Hemiptera: Cicadellidae). Appl. Entomol. Zool. 32: 561-566. Widiarta, I. N., N. Usyati and D. Kusdiaman. 1997b. Antifeedant activity of andrographolide and three syntetic insecticides against rice green leafhopper, Nephotettix virescens (Distant) (Hemiptera: Cicadellidae). Bull. Pl. Pest Disease 9: 14-19. Widiarta, I. N., M. Muhsin, dan D. Kusdiaman. 1998. Effect of andrographolide and two synthetic insecticides, antifeedant against Nephotettix virescens, to the rice tungro virus transmission. Indonesian J. Pl. Prot. 4: 1- 8. Widiarta, I. N., D. Kusdiaman dan A. Hasanuddin. 1999. Dinamika populasi Nephotettix virescens pada dua pola tanam padi sawah. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 5: 42-49. Widiarta, I. N. dan D. Kusdiaman. 2005. Uji Lapang Kemampuan Jamur Entomopathogenik, Metharhizium Menekan Pemencaran Wereng Hijau dan Menularkan Tungro. Laporan Akhir Tahun, Balai Penelitian Tanaman Padi. Yustiano, A. 2001. Uji Efektivitas Andografolid dan Ekstrak Daun Sambilata (Andrographis paniculata Nees.) Dengan Aplikasi Foliar Terhadap Aktivitas Makan Wereng Hijau (Nephotettix virescens Distant). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 47 p. (Tidak dipublikasikan).
90
PENGARUH MEDIA TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT PISANG SUSU ASAL BONGGOL DI SAMBELIA , LOMBOK TIMUR NTB Tri Ratna E.1), Awaludin H.1), Agus Sutanto2) 1) Peneliti pada BPTP NTB 2) Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok
ABSTRAK Sambelia merupakan salah satu sentra produksi pisang di Lombok Timur. Umumnya tanaman pisang ditanam petani berasal dari anakan, sehingga untuk pengembangan skala yang lebih luas terkendala dengan terbatasnya jumlah bibit. Termasuk bibit yang berasal dari kultur jaringan disamping harganya relatif mahal. Untuk itu perlu alternatif pembibitan yang lebih baik, murah dan dapat dilakukan petani dengan menggunakan bonggol pisang (bit). Untuk mendapatkan pertumbuhan bibit yang optimal diperlukan media tumbuh yang tepat. Tujuan penelitian adalah mendapatkan media tumbuh terbaik untuk pertumbuhan bibit pisang susu. Penelitian dilaksanakan di Sambelia, Lombok Timur pada bulan Mei sampai Juli 2006. Menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan yang diulang 15 kali. Perlakuan terdiri dari M1 (media tanah), M2 (media pasir), dan M3 (media tanah + pasir). Hasil menunjukkan bahwa media tanah + pasir memberikan pertumbuhan tunas dan daun yang lebih baik dibandingkan dengan media tanah dan media pasir, baik pada umur 21 hari, 28 hari, 35 hari. Keluarnya tunas tercepat terjadi pada media tanah yaitu 14, 44 hari. Tetapi pada perkembangan selanjutnya media Tanah + Pasir memberikan pertumbuhan yang terbaik, diikuti media tanah dan terakhir media pasir. Panjang tunas pada media tanah + pasir, umur 21 hari rata-rata 4,93 cm, umur 28 hari rata-rata 11,87 cm, umur 35 hari rata-rata 35,07 cm, dan jumlah daun sebanyak 1,53 helai. Jumlah tunas yang tumbuh pada bonggol pada tiap-tiap perlakuan tidak berbeda nyata, yaitu berkisar 4,1-4,8 tunas per bonggol. Pembibitan pisang susu melalui bonggol dengan menggunakan media tanah + pasir memberikan prospek pengembangan pembibitan pisang cukup baik bagi petani di Sambelia Lombok Timur, dalam upaya memenuhi kebutuhan bibit di wilayah tersebut khususnya dan NTB pada umumnya. Kata kunci : pisang susu, bibit, media, bonggol
PENDAHULUAN Kabupaten Lombok Timur merupakan pensuplai pisang terbesar di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sekitar 56% (BPS NTB, 2003) pisang di NTB dihasilkan oleh Kabupaten Lombok Timur. Tercatat produksi pisang dari daerah ini tahun 2003 sebanyak 21.891 ton (BPS Lotim, 2003). Dimana salah satu kecamatan yang ada di kabupaten tersebut yaitu Kecamatan Sambelia merupakan pioner penanaman pisang secara monokultur dengan sistem kebun, yang sudah dikelola petani dengan cukup baik. Sistem ini sudah berkembang di wilayah Lombok Timur sejak tahun 2004, dan selanjutnya berkembang pada kabupaten lain bahkan sampai Pulau Sumbawa. Pisang yang keluar dari Kecamatan Sambelia setiap harinya berkisar 600-1.000 tandan, dan jumlah ini masih belum mampu untuk memenuhi permintaan pasar, baik pasar lokal maupun permintaan dari Bali. Melihat kondisi ini, pengembangan pisang dalam areal yang lebih luas masih sangat diperlukan. Dalam upaya pengembangan pisang perlu didukung oleh ketersediaan bibit yang cukup. Selama ini penanaman pisang yang dilakukan petani umumnya menggunakan bibit pisang yang berasal dari anakan. Jika pengembangan mengandalkan bibit berasal dari anakan tidak akan terpenuhi, karena membutuhkan waktu yang lama untuk mempeoleh bibit dalam jumlah yang banyak. Disamping itu, cukup riskan untuk mengambil anakan dalam rumpun pisang karena dapat mengganggu pertumbuhan tanaman utama, juga dapat menimbulkan penyakit dari luka akibat pemotongan anakan. Selain anakan, ada juga bibit yang berasal dari kultur jaringan, tetapi jumlahnya masih terbatas dan harganya relatif mahal ditingkat petani. Untuk itu perlu dicari cara lain untuk dapat memperoleh bibit pisang sehat dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif cepat/singkat dengan biaya yang murah/terjangakau serta mudah dilaksanakan oleh petani. Cara tersebut yaitu dengan menggunakan bonggol pisang. Diharapkan dengan metode bonggol ini petani dapat melakukan pembibitan sendiri, yang akan digunakan untuk memperbaharui/merenovasi kebun pisang yang sudah lama berproduksi, untuk penanaman baru maupun untuk dikomersialkan. Untuk memperoleh bibit pisang yang baik dan sehat dibutuhkan media tumbuh yang tepat. Media tumbuh merupakan tempat penyimpanan atau sumber hara tanaman (Satsijati, 1991). Hal ini tergantung pada bahan media yang digunakan. Media tumbuh dengan bahan yang berbeda mempunyai tingkat mengikat air maupun kandungan hara yang berbeda, tergantung pada tingkat pelapukannya.
91
Dalam melakukan pembibitan pisang, perlu diketahui jenis pisang yang akan dikembangkan. Dalam hal ini dipilih pisang susu karena populasi tanaman ini ditingkat lapangan masih sedikit, sementara permintaan dan harga jual dari jenis pisang ini cukup tinggi dan stabil setiap tahunnya. Tujuan penelitian adalah memperoleh media tumbuh yang terbaik bagi pertumbuhan bibit pisang susu dari bongol, sehingga diperoleh bibit pisang yang baik dan sehat.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di areal petani, di Desa Labuan Pandan, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, pada bulan Mei sampai Juli 2006. Rancangan yang digunakan ialah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan yang diulang 15 kali. Perlakuan terdiri dari media tanah, media pasir, campuran media tanah + pasir dengan perbandingan volume = 4:1, dimana tanah berada dilapisan bawah dan pasir dilapisan atas. Perlakuan diatur pada bedengan, berdasarkan rancangan percobaan yang telah ditentukan. Tinggi bedengan masing-masing 25 cm untuk media tanah dan media pasir, sedangkan untuk campuran media tanah dan pasir, tinggi bedengan 20 cm untuk ketebalan tanah dan 5 cm untuk ketebalan pasir. Dengan posisi tanah dibagian bawah dan pasir dibagian atas. Hal ini dimaksudkan agar aerasi dan drainase baik dipermukaan. Bonggol yang digunakan adalah bonggol yang berdiahmeter ≥ 15 cm. Jenis pisang yang digunakan adalah pisang susu. Bonggol diambil dari rumpun tanaman kemudian dibersihkan dari akar dan tanah. Batang pisang dipotong sekitar 5 cm dari batas leher bonggol. Titik tumbuh dihilangkan dengan cara mencongkel/mengorek empulur bagian tengah batang dengan pisau sampai terlihat bonggol bagian dalam. Bonggol direndam dalam larutan fungisida (2 gram) + insektisida (1 cc) per liter air selama + 15 menit. Bonggol diangkat dan diangin-anginkan sampai agak kering. Bonggol ditanam dalam bedengan sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan, dengan cara menyisakan 5 cm bagian bonggol muncul dipermukaan bedengan. Bagian atas bonggol diusahakan kering artinya tidak tertutup tanah/pasir atau tergenangi air. Bedengan ditutup dengan mulsa jerami. Naungan yang digunakan pada bedengan adalah dari daun kelapa. Penyiraman dilakukan sesuai kebutuhan. Tunas-tunas yang tumbuh dari bonggol pada umur 35 hari dipindahkan ke polybag. Peubah yang diamati adalah waktu/saat keluar tunas, tinggi batang tunas umur 21, 28 dan 35 hari, jumlah daun serta jumlah tunas per bonggol pada akhir pengamatan. Data terkumpul dianalisis, beda rata-rata antar perlakuan uji lanjut menggunakan Anova taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian dari kegiatan percobaan ini disajikan pada Tabel 1 dan 2. Dari Tabel 1, diketahui bahwa ada perbedaan respon pertumbuhan tunas pada pembibitan pisang susu terhadap media yang berbeda. Saat keluar tunas bonggol yang ditanam pada media tanah membutuhkan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu selama 14,47 hari, sementara campuran media Pasir + tanah dan media pasir membutuhkan waktu berturut-turut selama 15,80 hari dan 15,93 hari. Terlihat bahwa media pasir memutuhkan waktu yang paling lama untuk keluarnya tunas. Hal ini disebabkan media tanah memiliki kemampuan mengikat air lebih baik dibandingkan dengan media pasir. Sehingga kebutuhan air untuk keluarnya tunas lebih terpenuhi. Sesuai menurut Sessler (1978) bahwa tanaman (yang dicobakan pada anggerk) akan tumbuh dengan baik bila kebutuhan airnya terpenuhi. Tinggi tunas pada umur 21 hari dan 28 hari, menunjukkan respon pertumbuhan yang berbeda antar media tumbuh. Campuran media tanah + pasir memberikan respon pertumbuhan tunas tertinggi, yaitu 4,93 cm dan 11,87 cm, yang berbeda sangat nyata dengan pertumbuhan tunas pada media tanah dan media pasir yang berturut-turut setinggi 3,27 cm, 9,47 cm dan 2,47 cm, 7,33 cm. Dengan mencampur media tanah + pasir, menyebabkan aerasi dan drainase menjadi lebih baik, kemampuan mengikat air dan unsur hara juga lebih baik dibandingkan dengan media tanah atau media pasir. Sesuai dengan pendapat Buckman, et al., (1982), bahwa pasir mempunyai daya aerasi dan draenase yang baik, tetapi sukar mengikat air dan miskin zat hara. Sementara tanah mempunyai daya mengikat air dan unsur hara yang baik, tetapi cenderung memiliki aerasi dan drainase yang kurang baik.
92
Tabel 1. Pengaruh Media Tumbuh Bonggol Pisang, Terhadap Saat Keluar Tunas, Tinggi Tunas Umur 21 Hari dan 28 Hari, Sambelia, Lombok Timur, 2006. Perlakuan Media Pasir + Tanah Media Tanah Media Pasir
Umur keluar tunas (hari)
Tinggi tunas umur 21 hari (cm)
15,80 a 14,47 b 15,93 c
4,93 a 3,27 b 2,47 c
Tinggi tunas umur 28 hari (cm) 11,87 a 9,47 b 7,33 c
Pada Tabel 2, terlihat bahwa campuran media tanah + pasir pada umur tanaman 35 hari tetap menujukkan pertumbuhan batang tunas bibit yang lebih tinggi dan berbeda sangat nyata dengan pertumbuhan tunas pada media lainnya. Pada media campuran tanah + pasir kebutuhan air dan unsur hara lebih terpenuhi, aerase dan drainase lebih baik, sehingga semua kegiatan fisiologis mulai dari proses biokimia sampai pertumbuhan dan perkembangan jaringan tanaman berjalan dengan baik. Sesuai menurut Sessler (1978) bahwa semua kegiatan fisiologis mulai dari proses biokimia sampai pertumbuhan dan perkembangan jaringan tanaman ditentukan oleh persentase air yang terkandung didalamnya. Pada jumlah daun (helaian daun yang sudah terbuka), media campuran Pasir + tanah, terlihat memiliki jumlah daun lebih banyak yang berbeda sangat nyata dengan jumlah daun pada media lainnya. Jumlah daun pada media campuran Pasir + tanah sebanyak 1,53 helai, sementara media tanah dan pasir jumlah daun berturut-turut yaitu 0,73 helai dan 0,33 helai. Bibit tanaman pisang dari bonggol, pada media campuran pasir + tanah memiliki pertumbuhan yang lebih baik, karena didukung oleh ketersediaan air dan unsur hara yang cukup sehingga proses potosintesis berjalan dengan baik. Menurut Ginting, et al., (2001), dengan unsur-unsur hara yang cukup serta suhu dan kelembaban yang sesuai, maka tanaman akan berfotosintesis dengan baik, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Kekuranagan air di dalam jaringan tanaman akan mengganggu proses fotosintesis karena akan mengganggu transformasi zat hara. Jumlah tunas per bonggol yang dihasil pada tiap-tiap perlakuan media tidak berbeda nyata, yaitu berkisar antara 4,1-4,8 tunas. Jumlah tunas yang dihasilkan oleh setiap bonggol adalah salah satu kelebihan dari sistem perbanyakan ini bila dibandingkan dengan sistem perbanyakan konvensional lainnya, karena dengan menggunakan anakan, hanya satu tanaman dihasilkan oleh satu anakan, tetapi dengan menggunakan bonggol bisa diperoleh lebih dari satu tanaman. Hal ini sangat berguna sekali untuk pembibitan di daerah kering seperti Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Media perlakuan yang dipakai untuk perbanyakan tanaman pisang menggunakan bonggol tidak mempengaruhi perbedaan jumlah tunas atau tanaman yang dihasilkan, tetapi mempengaruhi kecepatan dan pertumbuhan tunas, yang pada akhirnya mempengaruhi kesiapan materi tanaman untuk ditanam di lapang. Tabel 2. Pengaruh Media Tumbuh Bonggol Pisang Terhadap Tinggi Tunas Umur 35 Hari, Jumlah Daun dan Jumlah Tunas/Bonggol, Sambelia, Lombok Timur, 2006. Perlakuan Media Pasir + Tanah Media Tanah Media Pasir
Tinggi tunas umur 35 hari (cm)
Jumlah daun (helai)
Jumlah tunas per bonggol
35,07 a 27,27 b 23,13 c
1,53 a 0,73 b 0,33 c
4,8 4,4 4,1
KESIMPULAN 1.
Media memberikan pengaruh yang nyata dalam kecepatan keluar tunas, meningkatnya tinggi batang tunas pada umur 21; 28 dan 35 hari, serta jumlah daun.
2.
Media campuran Tanah + Pasir menghasilkan pertumbuhan vegetatif (khususnya pada lokasi pengembangan lahan kering).
3.
Media campuran Tanah + Pasir cocok dikembangkan untuk pembibitan pada lokasi lahan kering.
tanaman yang paling baik
93
PUSTAKA Buckman, H.O., and N.C.Brady. 1982. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 788 hal. BPS. 2003. Lombok Timur Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok. BPS. 2003. Nusa Tenggara Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat . Ginting, B., W. Prasetio,dan Toto Sutater. 2001. Pengaruh Cara Pemberian Air , Media, dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Anggrek Dendrobium. Jurnal Hortikultura 11 (1). Badan Litbang Pertanian. Jakarta:22-28. (2001), Satsijati. 1991. 1991. Pengaruh Media Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Bibit Anggrek Dendrobium Youpphadeewan. Jurnal Hortikultura. Badan Litbang Peranian. Jakarta : 1(3):15-22. Sessler, G.J. 1978. Orchid and how to grow them. Prentice Hall. Inc Englewood Cliffs: 370p
94
PENGARUH PUPUK CAIR RAGITA NUTRI TONIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI SAWAH Arifin, Z dan P.E.R. Prahardini Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
ABSTRAK Penggunaan pupuk an-organik yang mendukung peningkatan pertumbuhan dan produksi padi dapat digantikan dengan penggunaan pupuk dalam bentuk cair melalui daun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk cair Ragita Nutri Tonik terhadap pertumbuhan dan peningkatan hasil tanaman padi. Penelitian dilaksanakan di lahan petani Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang yang disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok secara faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah dosis pemberian pupuk anorganik dengan 3 taraf perlakuan yaitu: (a) 1/3 dosis rekomendasi pupuk an-organik yaitu : 100 kg Urea/ha + 25 kg SP-36/ha + 25 kg KCl/ha; (b) 2/3 dosis rekomendasi pupuk an-organik yaitu : 200 kg Urea/ha + 50 kg SP-36/ha + 50 kg KCl/ha; (c) dosis rekomendasi pupuk an-organik yaitu: 300 kg Urea/ha + 75 kg SP-36/ha + 75 kg KCl/ha. Faktor kedua terdiri dari 6 taraf perlakuan, yaitu: (a) tanpa pupuk cair (0 cc/l); (b) konsentrasi pupuk cair 1 cc/l; (c) konsentrasi pupuk cair 2 cc/l, (d) konsentrasi pupuk cair 3 cc/l, (e) konsentrasi pupuk cair 4 cc/l, (f) konsentrasi pupuk cair 5 cc/l, sehingga diperoleh 18 kombinasi perlakuan yang diulang 3 kali dengan petakan unit perlakuan 4m x 5m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan biaya pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ sebanyak 1,7 l/ha diperoleh peningkatan hasil gabah sebanyak 2,46 t/ha dan peningkatan keuntungan sebesar Rp. 3.147.000,- dibandingkan bila menggunakan pupuk anorganik yang sama tanpa pupuk cair. Penambahan biaya produksi dengan menambahkan konsentrasi pupuk cair sampai 8,5 l/ha justru menyebabkan menurunnya keuntungan yang diperoleh akibat menurunnya hasil gabah. Pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dalam konsentrasi 1 cc/l air (1,7 l/ha) yang disemprotkan pada tanaman umur 15; 30; 45 dan 60 HST disarankan untuk digunakan pada tanaman padi sawah yang telah di pupuk an-organik. Kata kunci : pupuk cair Ragita Nutri Tonik, pertumbuhan, hasil, padi sawah
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi padi diantaranya melalui pemupukan untuk memenuhi kebutuhan hara bagi pertumbuhan tanaman padi. Kebutuhan hara bagi tanaman padi dapat berupa unsur hara makro maupun unsur hara mikro. Selama ini kebutuhan hara bagi tanaman hanya dapat dipenuhi dengan memberi pupuk yang mengandung unsur hara makro. Penggunaan pupuk hara terutama N an-organik secara terus menerus ternyata tidak diimbangi oleh peningkatan produksi secara proposional. Menurut Sugito dan Nuraini (2000), penurunan produktivitas sawah saat ini disebabkan oleh penggunaan pupuk organik tanah terus menurun. Tisdale et al. (1975) dan Bastari (1996) menambahkan bahwa pemberian pupuk yang melebihi kebutuhan tanaman yang dilakukan untuk meningkatkan produksi apabila dilakukan secara terus menerus dan tanpa upaya pengembalian unsur-unsur yang diserap tanaman tentunya akan berakibat merugikan kesuburan tanah dan merusak sifat fisik dan kimia tanah. Menurut Taskim et al. (1989) menambahkan bahwa pemberian pupuk N an-organik secara terus menerus dapat menurunkan kandungan C-organik, P-tersedia dan KPK tanah, serta terjadi ketidak keseimbangan hara dalam tanah yang disebabkan tidak adanya penambahan unsur hara lain ke dalam tanah. Disamping itu dengan semakin mahalnya harga pupuk dan sulitnya mendapat pupuk maka berakibat merugikan petani. Upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi pemberian pupuk antara lain melalui dosis pemberian pupuk, cara pemberian dan bentuk pupuk antara lain melalui dosis pemberian pupuk, saat pemberian pupuk, cara pemberian dan bentuk pupuk yang digunakan secara tepat (Landon, 1984). Pemberian pupuk an-organik melalui tanah apabila kurang tepat waktu dan dosisnya dapat menurunkan efisiensi pemupukan serta mengganggu keseimbangan hara dalam tanah. Dari sejumlah pupuk N an-organik yang diberikan hanya sebagian saja yang dimanfaatkan oleh tanaman yaitu sekitar 30%-40% dari pupuk N an-organik yang diberikan ke dalam tanah dapat dimanfaatkan tanaman padi (De Datta, 1981; De Datta, 1987). Selanjutnya Mitsui (1954, Cit Grist, 1978) menambahkan bahwa bahwa sekitar 25%-50% pupuk N yang diberikan tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman padi. Kehilangan N an-organik terutama disebabkan oleh denitrifikasi, volatilisasi, pelindian dan terbawa oleh aliran permukaan (Tejasarwana et al., 1988). Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk an-organik yang diberikan ke dalam tanah diantaranya dengan penggunaan pupuk cair yang disemprotkan pada daun. Selain mengandung unsur makro, menurut Soedomo (1992) pupuk daun dan unsur mikro yang dibutuhkan tanaman. Lingga (1986) menjelaskan bahwa cara pemberian pupuk melalui daun ternyata lebih efektif karena daun dapat menyerap
95
secara langsung dan cepat unsur-unsur hara yang diberikan, disamping itu juga menguntungkan karena menghindari kerusakan akar dan dapat menanggulangi kekurangan unsur mikro. Saptorini et al. (1993) menambahkan bahwa pemberian pupuk melalui daun mempunyai kelebihan karena unsur hara yang terkandung lebih cepat terserat dan merangsang munculnya tunas daun atau bunga lebih cepat. Kebutuhan dalam penggunaan pupuk cair lewat daun dipengaruhi oleh komposisi formulanya. Salah satu produk pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ yang mengandung unsur hara makro dan unsur hara mikro diharapkan dapat mengurangi penggunaan pupuk an-organik yang diberikan melalui tanah. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ terhadap pertumbuhan dan peningkatan hasil tanaman padi.
BAHAN DAN METODE A. Bahan atau Materi Penelitian Varietas padi yang digunakan adalah IR-64. Pupuk an-organik yang digunakan adalah Urea, SP-36, dan KCl. Pupuk cair yang diuji ‖Ragita Nutri Tonik‖ dengan kandungan hara berdasarkan hasil uji PT. Sucofindo (Tabel 1). Tabel 1. Kandungan Hara Pupuk Cair ‖Regita Nutri Tonik‖ yang Diuji Cobakan pada Tanaman Padi Sawah. Unsur hara
Kandungan
Metode Test
K2O
9,32%
Titrimetric
Calcium (Ca)
4,06%
AAS
Chloride (Cl)
0,89%
Titrimetic
Magnesium (Mg)
0,17%
AAS
Nitrogen (N)
13,49%
Kjeldahl distilatation
Total P2O5
7,49%
Spectrophotometric
pH
3,23%
pH meter
Sumber: Hasil analisis Sucofindo
B. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan OHAUS untuk mengukur berat 1000 biji, timbangan 100 kg untuk mengukur berat gabah per petak, tally counter digunakan untuk mengitung jumlah gabah isi dan gabah hampa, meteran untuk mengukur tinggi tanaman serta hand sprayer untuk menyemprot larutan pupuk cair ―Ragita Nutri Tonik‖ maupun pestisida. C. Metode Penelitian Percobaan ini dilaksanakan di lahan petani Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang pada MK II dengan menggunakan petak percobaan berukuran 4m x 5m disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok secara factorial yang diulang 3 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dari dosis pemupukukan an-organik dengan konsentrasi pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ (Tabel 2). Factor pertama terdiri dari 3 perlakuan, yaitu: (a) 1/3 dosis rekomendasi pupuk aonrganik yaitu: 100 kg Urea/ha + 25 kg SP36/ha + 25 kg KCl/ha, (b): 2/3 dosis rekomendasi pupuk anorganik yaitu: 200 kg Urea/ha + 50 kg SP-36/ha + 50 kg KCl/ha, (c): dosis rekomendasi pupuk an-organik yaitu: 300 kg Urea/ha + 75 kg SP-36/ha + 75 kg KCl/ha. Faktor kedua terdiri dari 6 perlakuan, yaitu: (a) tanpa pupuk cair (0 cc/l), (b) konsentrasi pupuk cair 1 cc/l, (c) konsentrasi pupuk cair 2 cc/l, (d) konsentrasi pupuk cair 3 cc/l, (e) konsentrasi pupuk cair 4 cc/l, (f) konsentrasi pupuk cair 5 cc/l.
96
Tabel 2. Perlakuan Kombinasi Pemupukan ‖Ragita Nutri Tonik‖ pada Tanaman Padi, MK II Macam dan Dosis Pupuk Perlakuan
Urea (kg/ha)
SP-36 (kg/ha)
KCl (kg/ha)
Konsentrasi Pupuk Cair (cc/l)
Dosis Pupuk Cair (l/ha)
100 25 25 0 0 A1 100 25 25 1 1,7 A2 100 25 25 2 3,4 A3 100 25 25 3 5,1 A4 100 25 25 4 6,8 A5 100 25 25 5 8,5 A6 200 50 50 0 0 B1 200 50 50 1 1,7 B2 200 50 50 2 3,4 B3 200 50 50 3 5,1 B4 200 50 50 4 6,8 B5 200 50 50 5 8,5 B6 300 75 75 0 0 C1 300 75 75 1 1,7 C2 300 75 75 2 3,4 C3 300 75 75 3 5,1 C4 300 75 75 4 6,8 C5 300 75 75 5 8,5 C6 Keterangan : 1. Pupuk cair Ragita Nutri Tonik diberikan 4 kali pada saat berumur 15, 30, 45 dan 60 hari setelah tanam. 2. Larutan semprot untuk setiap umur tanaman berturut-turut 350, 400, 450 dan 500 l/ha
D. Pelaksanaan Penelitian -
-
-
Tanah diolah sebaik mungkin dengan menggunakan cangkul dan selanjutnya diratakan. Setiap plot percobaan dibatasi pematang, saluran pemasukan dan pengeluaran air. Bibit padi dan varietas IR-64 dipindah tanamkan pada umur 25 hari dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm dam jumlah bibit 3-4 batang per rumpun. Seluruh dosis pupuk P dan K yang berasal dari SP-36 dan pupuk KCl diberikan bersamaan tanam dengan cara disebar merata. Sepertiga dosis pupuk Urea diberikan pada umur 7 hari, sepertiga dosis sisanya masing-masing diberikan pada umur 21 hari dan 30 hari setelah tanam. Pupuk cair Ragita Nutri Tonik diberikan sesuai dosis perlakuan dengan saat pemberian mulai umur 15 hari setelah tanam dengan interval pemberian 15 hari dan diberikan sampai tanaman berumur 60 hari (4 kali pemberian). Pengairan dilaksanakan senaik mungkin, dan tanaman dihindarkan dari kekurangan air selama proses pertumbuhan. Penyiangan dilakukan 2 kali, yaitu umur 15 hari dan umur 28 hari. Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan seintensif mungkin secara mekanis maupun kimia. Panen dilaksanakan apabila 90% gabah telah menguning.
E. Pengamatan -
Status hara tanah sebelum percobaan Tinggi tanaman umur 28, 42 dan 55 HST dan saat panen Jumlah anakan umur 28, 42 dan 55 HST Jumlah malai per rumpun Panjang malai per rumpun Jumlah gabah isi per malai Persentase gabah hampa per malai Bobot 1000 butir Hasil gabah kering panen (t/ha GKP) Analisis usahatani petani
97
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Status Hara Tanah Percobaan Percobaan pemupukan pada padi sawah menggunakan perlakuan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖. Penelitian tersebut dilakukan di lahan petani di Desa Ngenep Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang dengan tekstur tanah tergolong lempung liat berdebu, dengan kandungan hara berdasarkan hasil analisis tanah sebelum penelitian yang dilaksanakan di Laboratorium Tanah Universitas Brawijaya Malang seperti tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Unsur Hara Tanah Sebelum Percobaan Dilakukan di Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang Analisis
Kandungan
Harkat
Tekstur: - Pasir % 13 - Debu % 48 - Liat % 39 - Kelas pH : H2O 6,6 C-organik (%) 1,51 N-Total (%) 0,17 Nisbah C/N 9 P-Olsen (mg kg-1) 13,44 K (me/100g) 0,63 Na (me/100g) 1,07 Ca (me/100g) 9,08 Mg (me/100g) 3,35 KTK (me/100g) 19,81 * Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Tanah Brawijaya Malang.
Lempung Liat Berdebu Netral Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Rendah Tinggi Rendah
Berdasarkan hasil analisi tanah, tampak bahwa lokasi penelitian mempunyai tekstur tanah lempung liat berdebu, dengan kandungan K, Na, dan Mg tergolong tinggi, sedangkan unsur lain tergolong rendah sampai sedang. Dengan demikian tanah di lokasi penelitian mempunya tingkat kesuburan tergolong sedang. B. Pertumbuhan Tanaman Parameter pertumbuhan tanaman dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui lebih jauh karateristik tanaman dalam hubungannya dengan hasil dan bagaimana hal tersebut dapat berubah dengan umur dan lingkungannya. Perlakuan pemupukan an-organik dengan pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ tidak menunjukkan interaksi yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Laju peningkatan tinggi tanaman terjadi setelah memasuki umur tanaman 28 hari setelah tanam (HST), kemudian setelah memasuki umur 55 HST laju perkembangan tinggi tanaman mulai menurun karena pada umur tersebut tanaman memasuki fase generatif, sehingga konsentrasi perkembangan tanaman dalam mendistribusian asimilat lebih banyak pada komponen hasil dan hasil (Tabel 4). Tabel 4. Pengaruh Pemberian Pupuk An-Organik dan Pupuk Cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ Terhadap Tinggi Tanaman Padi Sawah di Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Malang. Perlakuan
Tinggi tanaman (cm) pada umur 28 HST
42 HST
55 HST
Saat panen
Urea + SP36 + KCl (kg/ha) A. 100+25+25 29,42 a 44,62 a 51,43 a 54,12 a B. 200+50+50 29,06 a 44,61 a 51,34 a 53,92 a C. 300+75+75 29,00 a 44,93 a 51,27 a 56,92 a Pupuk Cair Ragita Nutri Tonik 1. 0 cc/l air (0 l/ha) 29,71 a 45,12 a 51,64 a 54,67 a 2. 1 cc/l air (1,7 l/ha) 28,69 a 44,48 a 53,18 a 54,20 a 3. 2 cc/l air (3,4 l/ha) 28,78 a 45,17 a 51,58 a 54,43 a 4. 3 cc/l air (5,1 l/ha) 29,20 a 43,66 a 50,86 a 54,02 a 5. 4 cc/l air (6,8 l/ha) 29,17 a 45,11 a 52,89 a 57,26 a 6. 5 cc/l air (7,5 l/ha) 29,41 a 44,78 a 52,13 a 54,01 a C V (%) 6,75 5,66 7,20 7,30 Keterangan : Angka-angka yang dicikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf 0,05.
98
Perkembangan tinggi tanaman dengan pemberian pupuk an-organik yang berbeda ternyata tidak mempengaruhi tinggi tanaman. Demikian pula dengan penggunaan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ yang diberikan dengan cara disemprotkan dalam konsentrasi 1 hingga 5 cc/l tidak memberikan perbedaan tinggi yang nyata. Jumlah anakan per rumpun padi sawah pada pengamatan umur 28 HST menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan pemupukan an-organik maupun pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖. Namun perkembangan berikutnya pada pengamatan umur 42 HST dan 55 HST tidak menunjukkan perbedaan jumlah anakan akibat pemberian pupuk tersebut. Perlakuan dosis pemupukan an-organik juga tidak menunjukkan peningkatan jumlah malai per rumpun dan panjang malai (Tabel 5). Tabel 5.
Pengaruh Pemberian Pupuk Cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ Terhadap Jumlah Anakan dan Jumlah Malai/Rumpun Padi Sawah di Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Malang. Perlakuan
Jumlah anakan umur 28 HST
42 HST
55 HST
Jumlah malai/ rumpun
Panjang malai (cm)
Urea + SP36 + KCl (kg/ha) A. 100+25+25 11,90 a 16,41 a 30,14 a 15,86 a 19,73 a B. 200+50+50 10,65 a 26,07 a 29,82 a 15,71 a 19,45 a C. 300+75+75 8,75 b 24,76 a 29,86 a 15,17 a 20,10 a Pupuk Cair Ragita Nutri Tonik 1. 0 cc/l air (0 l/ha) 11,83 a 25,37 a 29,25 a 16,68 d 19,12 a 2. 1 cc/l air (1,7 l/ha) 10,57 ab 25,81 a 30,29 a 17,15 a 19,98 a 3. 2 cc/l air (3,4 l/ha) 10,04 ab 27,39 a 30,59 a 16,89 a 19,54 a 4. 3 cc/l air (5,1 l/ha) 10,20 ab 23,70 a 28,84 a 16,00 ab 19,97 a 5. 4 cc/l air (6,8 l/ha) 9,43 b 26,72 a 31,04 a 15,38 bc 19,96 a 6. 5 cc/l air (7,5 l/ha) 10,51 ab 25,47 a 29,63 a 14,37 cd 20,01 a C V (%) 17,87 13,90 12,86 7,51 6,87 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf 0,05.
Pada awal pertumbuhan (fase vegetatif), peranan pupuk an-organik sebagai penyedia unsur Nitrogen, Phosfor, dan Kalium sangat penting untuk mendukung pembentukan dan pemanjangan organ tanaman yang dicirikan oleh pembentukan jumlah anakan. Setelah memasuki umur 55 HST, tanaman sudah memasuki fase generatif. Pada fase ini ketersediaan unsur-unsur dalam tanah kurang kurang berperan dalam mendukung jumlah malai per rumpun dan panjang malai. Fotosintat yang dihasilkan dimanfaatkan untuk pemasakan bulir padi sehingga tampak bernas yang dicirikan dengan persentase gabah isi per malai. Kedua parameter jumlah malai per rumpun dan panjang malai sangat dipengaruhi oleh interaksi faktor genetis dan ketersediaan unsurunsur makro dan mikro dalam tanaman. Dari Tabel 5 tampak bahwa tanaman padi sawah yang disemprot pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dengan konsentrasi 1-5 cc/l air menunjukkan peningkatan jumlah malai per rumpun. Jumlah malai per rumpun tertinggi secara nyata diperoleh dengan pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dalam konsentrasi 1 cc/l air, dan menurun secara nyata bila konsentrasi pupuk cair ditingkatkan menjadi 4-5 cc/l air. Pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ melalui daun pada tanaman padi dengan konsentrasi 1-3 cc/l air masih dapat dimanfaatkan oleh tanaman, tetapi pemberian yang lebih tinggi akan menghambat metabolisme tanaman yang dicirikan mengeringnya organ daun bagian pucuk menyebabkan terganggunya proses fotosintesis sehingga hasil asimilat yang dibutuhkan untuk malai berkurang. Panjang malai tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, akibat pemberian pupuk an-organik maupun pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dengan dosis yang diuji pada penelitian ini. C. Hasil dan Komponen Hasil Komponen hasil dipengaruhi oleh pengelolaan, genotipe dan lingkungan yang secara langsung berhubungan dengan hasil panen yang diperolehnya. Perlakuan pemupukan an-organik serta pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ tidak menunjukkan interaksi yang nyata terhadap komponen hasil maupun hasil padi sawah (Tabel 6).
99
Tabel 6. Pengaruh Pemberian Pupuk An-Organik dan Pupuk Cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ Terhadap Hasil dan Komponen Hasil Padi Sawah, di Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Malang Perlakuan Urea+SP36+KCl (kg/ha) A. 100+25+25 B. 200+50+50 C. 300+75+75
Hasil GKP (t/ha)
Berat 1000 Biji(g)
Jumlah gabah isi/malai
Jumlah gabah hampa/malai
5,09 a 5,51 a 5,54 a
28,81 a 29,14 a 29,06 a
69,17 b 77,89 b 76,37 a
8,25 b 11,59 a 10,96 ab
Pupuk Cair Ragita Nutri Tonik 1. 0 cc/l air (0 l/ha) 4,19 c 28,62 a 62,30 b 9,78 a 2. 1 cc/l air (1,7 l/ha) 6,65 a 29,13 a 80,98 a 9,89 a 3. 2 cc/l air (3,4 l/ha) 6,01 a 29,34 a 76,16 a 9,67 a 4. 3 cc/l air (5,1 l/ha) 5,79 a 28,72 a 79,24 a 10,74 a 5. 4 cc/l air (6,8 l/ha) 5,30 ab 28,94 a 74,52 a 11,29 a 6. 5 cc/l air (7,5 l/ha) 4,94 b 29,24 a 73,67 a 10,24 a C V (%) 13,85 3,49 10,36 8,97 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf 0,05.
Berat 1000 biji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pemberian pupuk an-organik maupun pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖, sedangkan jumlah gabah isi per malai meningkat dengan dosis pemupukan. Peningakatan pemberian pupuk an-organik dari 1/3 dosis hingga dosis penuh menyebabkan jumlah gabah hampa per malai meningkat, sebaliknya pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ tidak menunjukkan peningkatan jumlah gabah hampa per malai secara nyata. Pemberian pupuk an-organik 1/3 dosis (100 kg/ha Urea+25 kg/ha SP-36+25 kg/ha KCl) hingga dosis penuh (300 kg/ha+75 kg/ha SP-36+75 kg/ha KCl) tidak memberikan peningkatan hasil gabah kering panen. Hasil yang dicapai berkisar 5 hingga 5,5 t/ha GKP (Tabel 6). Ini menunjukkan bahwa kandungan hara dalam tanah sudah cukup untuk mensuplai sebagian kebutuhan hara oleh tanaman yang ditunjukkan dari hasil analisis tanah dengan kesuburan tanah tergolong sedang (Tabel 3), sehingga penambahan pupuk anorganik ke dalam tanah dalam jumlah sedikit sudah cukup mampu memberikan peningkatan hasil gabah secara baik. Penambahan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dalam konsentrasi 1 cc/l air melalui daun dan menunjukkan peningkatan hasil gabah dibandingkan tanpa pemberian pupuk tersebut. Peningkatan konsentrasi pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ lebih lanjut hingga 4 cc/ l air tidak menyebabkan perbedaan hasil gabah dibanding pemberian pupuk cair dalam konsentrasi 1 cc/ l air (1,7 l/ha), dan bahkan terjadi penurunan hasil gabah bila konsentrasi pupuk cair ditingkatkan terus sampai 5 cc/l air. Respon tanaman dalam bentuk peningkatan hasil gabah dengan pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ diduga karena komposisi pupuk cair tersebut selain mengandung unsur hara makro juga mengandung hara mikro yang sangat dibutuhkan tanaman padi (N 13,49%; P2O5 7,49%; K2O 9,32%; Ca 4,06%; Cl 0,89%; Mg 0,17%). D. Analisis Usahatani Padi Sawah Pendapatan usahatani padi dipengaruhi oleh besarnya biaya produksi yang dikeluarkan serta hasil tanaman yang diperoleh. Kegiatan dalam usahatani padi mulai dari pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan sampai panen untuk masing-masing perlakuan membutuhkan biaya produksi yang sama, kecuali untuk biaya pemupukan berbeda-beda tergantung besarnya penambahan biaya pemupukan pada tanaman. Perhitungan besarnya biaya pemupukan hanya didasarkan pada tingkat pemberian pupuk cair daun, sedangkan biaya pemupukan untuk pupuk an-organik dianggap sama karena tidak terjadi perbedaan hasil gabah yang nyata pada lokasi penelitian yang mempunyai kesuburan tanah terolong sedang (Tabel 6), sehingga masing-masing perlakuan pupuk cair daun dibebankan biaya pemupukan an-organik yang sama (dosis pupuk rata-rata) yaitu 200 kg/hara Urea + 50 kg/ha SP-36 + 50 kg/ha KCl. Dengan demikian dapat dicari perbedaan biaya pemupukan dari penggunaan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dibandingkan tanpa pupuk cair (kontrol) serta hasil yang diperolehnya. Dari hasil analisis usahatani padi menunjukkan bahwa penggunaan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dalam konsentrasi 1cc/l air (1,71 l/ha) diperoleh peningkatan hasil gabah tertinggi dibandingkan perlakuan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ lainnya (Tabel 7).
100
Tabel 7. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan Tingkat Pemberian Pupuk Cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ Terhadap Padi Sawah di Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Malang.
PPC Ragita Nutri Tonik
Hasil GKP (t/ha)
Δ Hasil Thd Kontrol Hasil (t/ha)
Nilai (Rp/ha)
Biaya*) Pupuk (Rp/ha)
Δ Biaya Pupuk Thd Kontrol (Rp/ha) 51.000 102.000 153.000 204.000 255.000
0 cc/l air (01/ha) (kontrol) 4,19 420.000 1 cc/l air (1,7 l/ha) 6,65 2,46 3.198.000 471.000 2 cc/l air (3,4 l/ha) 6,01 1,82 2.366.000 522.000 3 cc/l air (5,1 l/ha) 5,79 1,60 2.080.000 573.000 4 cc/l air (6,8 l/ha) 5,30 1,11 1.443.000 624.000 5 cc/l air (8,5 l/ha) 4,94 0,75 975.000 675.000 Keterangan: *) Termasuk beban rata-rata penggunaan pupuk anorganik 200 kg Urea + 50 kg SP-36 + 50 kg KCl. Harga Urea = Rp 1.200/kg; KCl = Rp 2.000; SP-36 = Rp 1.600/kg PPC Ragita Nutri Tonik = Rp 30.000/l Gabah Kering Panen (GKP) = Rp. 1.300/kg
Keuntungan = ΔHasil – ΔBiaya Pupuk (Rp/ha) 3.147.000 2.264.000 1.927.000 1.239.000 720.000
Biaya produksi untuk penggunaan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dengan memasukkan beban biaya rata-rata pemupukan an-organik sebanyak 200kg/ha Urea + 75 kg/ha SP-36 +75 kg/ha KCl (Rp. 420.000), sehingga analisis ekonomi lebih ditekankan pada penambahan biaya produksi untuk pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dalam meningkatkan hasil gabahnya. Penambahan biaya pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ sebanyak 1,7 l/ha diperoleh peningkatan hasil gabah sebanyak 2,46 t/ha dan peningkatan keuntungan sebesar Rp. 3.147.000 dibandingkan bila menggunakan pupuk an-organik yang sama tanpa pupuk cair . Penambahan biaya produksi dengan menambahkan konsentrasi pupuk cair sampai 8,5 l/ha justru menyebabkan menurunnya keuntungan yang diperoleh akibat menurunnya hasil gabah.
KESIMPULAN 1.
Pemberian pupuk an-organik dan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ secara mandiri dan interaksinya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif.
2.
Pemberian pupuk an-organik secara mandiri tidak menunjukkan peningkatan yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman, kecuali pada gabah isi dan gabah hampa per malai. Pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ konsentrasi 1-3 cc/l air meningkatkan jumlah malai per rumpun dan gabah kering panen.
3.
Pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dalam konsentrasi 1 cc/l air (1,7 l/ha) yang disemprotkan pada tanaman umur 15; 30; 45 dan 60 HST disarankan untuk digunakan pada tanaman padi sawah yang telah di pupuk an-organik.
4.
Peningkatan keuntungan tertinggi ( Rp. 3.417.000,-) diperoleh dari pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ konsentrasi 1 cc/l air (1,7 l/ha) dibandingkan tanpa pemberian pupuk cair.
DAFTAR PUSTAKA Bastari,T. 1996. Penerapan Anjuran Teknologi Untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian Deptan. Hal 7-36. De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley & Sons.New York-ChicesterBrisbane-Toronto. 618p. -----------------. 1987. Advantages in soil fertility research and nitrogen fertilizer Management for lowland rice. In Efficiency of Nitrogen Fertilizers for Rice.Proc. Of the Meeting of the INSFFER Giffith, New South Wales, Australia 10-16 April 1985. Int. Rice Res. Inst, Los Banos, Philippines. P : 27-41. Grist, D.H. 1978. Rice. Longman, London and New York. 601p. Landon, J.R. 1984. Tropical Soil Manual. Booker Agriculture International Limited.London – England. P 133-137. Lingga P. 1986. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Cetakan I. Penebar Swadaya Jakarta
101
Saptorini, N., E. Widyawati, dan L. Sari. 1993. Membuat Tanaman Cepat Berbuah. P.T. Penebar Swadaya. Seri Teknologi XXIII/274/88. Soedomo, R.P. 1992. Pengaruh Pupuk Daun Gemari Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Buah Cabai di Daerah Bogor. Bull. Pen. Hort. XXI (4) : 1-5 Sugito, Y. Dan Y. Nuraini. 2000. Sistem Pertanian Organik. Hal 14-24. Dalam. Proseding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan Berwawasan Agribisnis. Puslitbang Sosial Ekonomi. Bogor. Taslim, H., A.M. Fagi dan Rochmat. 1989. Dampak Pemupukan NPK Jangka Panjang Terhadap Hasil Padi dan Sawah. Kompilasi Hasil Penelitian 1988/1989. Balittan Sukamandi. Tejasarwana, R., A.M. Fagi, dan H. Taslim. 1988. Peningkatan Efisiensi Pupuk Nitrogen pada Padi Sawah. Dalam Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. p : 250-256. Tisdale, S.L., Nelson, dan J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Machimilan Publising Co. New York.
102
PENGARUH EFEKTIVITAS PUPUK ORGANIK MIXED-G PADA TANAMAN TEBU PLANT CANE DAN RATOON CANE DI YOGYAKARTA Arifin, Z. dan PER Prahardini Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
ABSTRAK Rendahnya kandungan bahan organik tanah (<2%) di wilayah PG. Madukismo-Yogyakarta diperlukan penambahan bahan organik untuk memperbaiki kesuburan tanahnya. Oleh karena itu diperlukan pengujian pupuk Mixed– G pada tanaman tebu dengan tujuan mengetahui efektivitasnya terhadap produksi gula tanaman tebu plant cane dan ratoon cane. Penelitian ini dirancang secara acak kelompok dengan empat ulangan, meliputi: (1) ZA : SP-36 :KCl (800 kg/ha:100 kg/ha:100 kg/ha) (Pupuk standard PG), (2) Mixed-G : Urea : ZA (1400 kg/ha : 200 kg/ha : 200 kg/ha), (3) Mixed-G : Urea : ZA (1400 kg/ha : 150 kg/ha : 200 kg/ha), dan (4) Mixed-G : Urea (1400 kg/ha : 250 kg/ha). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan produksi hablur dan efisiensi biaya pemupukan an-organik pada tanaman tebu Plant Cane dicapai dengan menggunakan pupuk Mixed G 1400 kg/ha + Urea 150 kg/ha + ZA 200 kg/ha, sedangkan pada pertanaman tebu Ratoon Cane menggunakan pupuk Mixed-G 1400 kg/ha + Urea 150 kg/ha + ZA 200 kg/ha diperoleh pengurangan biaya pemupukan, namun terjadi penurunan produksi hablur sehingga pendapatan usahatani tebu lebih rendah dibanding pemupukan an-organik standard pabrik gula (ZA 800 kg/ha + SP-36 100 kg/ha + KCl 100 kg/ha). Kata kunci : pupuk organik Mixed-G, tebu plant cane, tebu ratoon cane, produksi gula
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan hara untuk meningkatkan produktivitas tanaman tebu umumnya dipenuhi dengan memberikan pupuk an-organik (kimia) yang diberikan ke dalam tanah. Penggunaan pupuk an-organik secara terus menerus ternyata tidak selalu diimbangi oleh peningkatan produksi secara proporsional. Menurut Sugito dan Nuraini (2000), penurunan produktivitas lahan saat ini disebabkan oleh penggunaan pupuk an-organik yang terus menerus dalam dosis makin tinggi sehingga kandungan bahan organik tanah semakin menurun. Tisdale et al. (1975) dan Bastari (1996) menambahkan bahwa pemberian pupuk yang melebihi kebutuhan tanaman yang dilakukan untuk meningkatkan produksi apabila dilakukan secara terus-menerus dan tanpa upaya pengembalian unsur-unsur yang diserap tanaman tentunya akan berakibat merugikan kesuburan tanah dan merusak sifat fisik dan kimia tanah. Pemupukan yang tidak berimbang akan mempercepat terkurasnya hara dalam tanah. Menurut Taslim et al. (1989), penggunaan pupuk an-organik secara terus menerus akan menyebabkan penurunan kandungan C-organik, P-tersedia dan KPK tanah. Bahkan sebagian besar tanah sawah di Jawa menurut Karama (2000), mempunyai kandungan C-organik dibawah 1%, sehingga menyebabkan terjadinya kemerosotan kualitas lahan. Upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi pemberian pupuk antara lain melalui dosis pemberian pupuk, saat pemberian pupuk, cara pemberian dan bentuk pupuk yang digunakan secara tepat (Landon, 1984). Pemberian pupuk an-organik melalui tanah apabila kurang tepat waktu dan dosisnya dapat menurunkan efisiensi pemupukan serta mengganggu keseimbangan hara dalam tanah. Dari sejumlah pupuk N an-organik yang diberikan hanya sebagian saja yang dimanfaatkan oleh tanaman dan sisanya hilang melalui denitrifikasi, volatilisasi, pelindian dan terbawa oleh aliran permukaan (Tejasarwana et al., 1988). Oleh karena itu diperlukan penambahan pupuk organik untuk memperbaiki produktivitas lahannya serta meningkatkan efisiensi dalam pemupukan. Tujuan Menguji efektivitas pupuk Mixed-G terhadap produksi gula tanaman tebu plant cane dan ratoon cane.
103
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi penelitian terletak di wilayah kerja PG. Madukismo, Yogyakarta yaitu di Kebun Punthuk (untuk pertanaman plant cane) dan Kebun Ngringinan (untuk pertanaman ratoon cane). Penelitian dirancang secara acak kelompok dengan empat ulangan, meliputi penggunaan Mixed-G yang dikombinasikan dengan pupuk an-organik serta sebagai pembanding adalah pupuk an-organik standard pada tanaman tebu PC dan RC varietas PS 851, yaitu : 1.
ZA : SP-36 :KCl (800 kg/ha : 100 kg/ha : 100 kg/ha) (Pupuk standard PG)
2.
Mixed-G : Urea : ZA (1400 kg/ha : 200 kg/ha : 200 kg/ha)
3.
Mixed-G : Urea : ZA (1400 kg/ha : 150 kg/ha : 200 kg/ha)
4.
Mixed-G : Urea (1400 kg/ha : 250 kg/ha)
Setiap plot perlakuan 10 juring @ 7,5 meter, masing-masing 4 ulangan sehingga luas pengujian : -
Plant Cane
= 4 x 10 x 7,5 x 4 = 1200 meter = 0,12 ha
-
Ratoon Cane = 4 x 10 x 7,5 x 4 = 1200 meter =0,12 ha
Analisis data secara tabulasi sederhana menggunakan uji F dan DMRT. Analisis ekonomi berdasarkan perbandingan biaya pemupukan terhadap hasil tebu. Metode pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara terencana dan terukur dengan teknik pengamatan yang telah baku (Tabel 1). Tabel 1. Parameter Pengamatan Umur (bulan) Sebelum penelitian 5 bulan 10 bulan Menjelang/saat tebang Pengamatan penunjang
Parameter Analisa tanah status hara pada empat blok perlakuanj/ ulangan (4 sampel) dengan empat ulangan (N, P2O5, K2O, pH, unsur mikro, C-organik dan KTK) Tinggi, jumlah dan diameter batang Tinggi, jumlah dan diameter batang, brix tebu dengan Hand Brix Refraktometer Bobot tebu, rendemen tebang berdasarkan gilingan contoh Hama dan penyakit
HASIL DAN PEMBAHASAN Pabrik gula yang mengolah tebu menjadi gula kristal putih mempunyai hasil samping berupa limbah padat seperti blotong, ampas, dan abu ketel sangat potensial sebagai pupuk organik pembenah tanah karena banyak mengandung bahan organik. Berdasarkan hasil analisis tanah yang digunakan untuk pertanaman tebu di wilayah pabrik gula Madukismo mempunyai kandungan C-organik yang rendah, sehingga dibutuhkan penambahan bahan organik untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Dengan mengembalikan bahan organik limbah padat hasil panen tebu ke lahan, secara langsung dapat memperbaiki kesuburan tanahnya. Pupuk organik dengan bahan dasar blotong yang telah diperkaya dengan penambahan unsur hara lainnya, diproduksi pabrik gula di wilayah kerja PT. Madukismo. Pupuk organik ―Mixed-G‖ mengandung unsur hara makro, hara mikro dan C-organik sehingga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk an-organik yang diperlukan oleh tanaman tebu untuk mencapai produksi maksimal. Pertanaman Plant Cane di Kebun Punthuk Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum percobaan menunjukkan bahwa kandungan C-organik dan N tanah tergolong rendah dengan pH tanah agak masam (Tabel 2).
104
Tabel 2. Analisis Pupuk Mixed-G dan Analisis Tanah di Lokasi Penelitian Kebun Punthuk di Yogyakarta, Tahun 2005. Unsur Kadar air pH C-Organik N-total P2O5 total K2O S Ca Mg Mn Zn Fe Cu KTK *) Balai Penelitian Tanah (2005)
PG. Madukismo-
Analisis tanah
Analisis pupuk Mixed-G 11,43 % 8,56 5,81 % 0,36 % 5,08 % 9,58 % 2,03 % 6,56 % 0,68 % 0,15 % 0,03 % 0,91 % 0,02 % -
Kandungan
Harkat*)
6,13 1,18 % 0,10 % 997 ppm 0,57 me/100 g 2,84 me/100 g 1,24 me/100 g 76,2 ppm 2,20 ppm 91,60 ppm 5,50 ppm 28,40 me/100 g
Agak masam Rendah Rendah Sangat tinggi Sedang Rendah Sedang Sangat tinggi Sedang Sangat tinggi Sedang Tinggi
Rendahnya kandungan C-organik tanah (1,18%) akan mempengaruhi efisiensi pemupukan dan hasil yang diperoleh sehingga dibutuhkan penambahan pupuk organik ke dalam tanah. Pupuk organik Mixed-G produksi PG. Madukismo mempunyai kandungan C-organik 5,81% sehingga jumlah yang ditambahkan ke dalam tanah sebesar 1400 kg/ha. Perlakuan pemupukan pada tanaman tebu PC varietas PS 851 terhadap jumlah, tinggi dan diameter batang serta produksi tebu, rendemen dan produksi hablur tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 3, 4 dan 5). Tabel 3. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Jumlah Batang/m Tanaman Tebu (PC) di Kebun Punthuk PG. Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005 Jumlah batang/m (umur)
Perlakuan Pemupukan
5 bulan
10 bulan
ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) 7,23 a Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) 8,69 a Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) 8,24 a Mixed G : Urea (14 : 2,5) 7,99 a C V (%) 21,24 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda pada taraf 0,05
7,86 a 8,70 a 9,20 a 8,25 a 22,56 nyata dengan DMRT
Jumlah batang/m pada pertanaman tebu varietas PS 851 pada umur 5 bulan tidak terlalu banyak berubah sampai tanaman berumur 10 bulan. Perlakuan pemupukan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata meskipun jumlah batang/m tertinggi dijumpai pada pemupukan Mixed-G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2). Tabel 4. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Tinggi Batang dan Diameter Batang Tanaman Tebu (PC) di Kebun Punthuk PG. Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005 Perlakuan Pemupukan
Tinggi batang (cm) 5 bulan
10 bulan
Diameter batang (cm) 5 bulan
10 bulan
ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) 53,50 a 219,50 a 1,70 a 1,85 a Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) 58,25 a 223,30 a 1,78 a 1,93 a Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) 53,25 a 233,30 a 1,80 a 1,90 a Mixed G : Urea (14 : 2,5) 57,75 a 214,80 a 1,95 a 2,03 a C V (%) 13,29 7,92 13,13 10,78 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf 0,05
Tinggi batang pada umur 5 bulan sekitar 55 cm dan setelah memasuki umur 10 bulan terjadi penambahan tinggi tanaman hampir empat kali lipat dari pengukuran sebelumnya. Diameter batang tanaman
105
tebu yang diamati pada umur 5 bulan terjadi sedikit penambahan diameter batang setelah tanaman tebu berumur 10 bulan. Tabel 5. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Produksi Tebu, Rendemen dan Produksi Hablur Tanaman Tebu (PC) di Kebun Punthuk PG. Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005 PerlakuanPemupukan
Produksi Tebu (Ku/Ha)
Rendemen (%)
Produksi Hablur (Ku/Ha)
ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) 985,11 a 8,38 a 82,80 a Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) 1091,62 a 8,15 a 88,99 a Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) 1118,36 a 8,03 a 89,11 a Mixed G : Urea (14 : 2,5) 1037,82 a 7,95 a 82,94 a C V (%) 23,20 5,07 23,37 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf 0,05
Perlakuan pemupukan Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) diperoleh produksi tebu tertinggi sebesar 1.118,36 Ku/ha dan rendemen 8,03%, sehingga produksi hablur yang diperoleh mencapai 89,11 Ku/ha. Apabila kombinasi pemupukan tersebut diatas (perlakuan No. 3), dimana dosis Urea sebanyak 150 kg/ha ditingkatkan menjadi 200 kg/ha (perlakuan No. 2) justru mengalami penurunan produksi tebu maupun produksi hablur. Pemberian pupuk organik Mixed-G dapat meningkatkan efisiensi pemupukan an-organik pada pertanaman tebu serta diperoleh peningkatan produksi tebu maupun produksi hablur (Tabel 6). Tabel 6. Rekap Hasil Pengujian Pupuk Mixed-G pada Tanaman Tebu (PC) di Kebun Punthuk PG. MadukismoYogyakarta, tahun 2005
Jenis dan Dosis pupuk (kg/ha) ZA SP-36 KCl MixedG Urea ZA Mixed G Urea ZA Mixed G Urea
: 800 kg/ha : 100 kg/ha : 100 kg/ha :1400 kg/ha : 200 kg/ha : 200 kg/ha :1400 kg/ha : 150 kg/ha : 200 kg/ha :1400 kg/ha : 250 kg/ha
Biaya Pupuk (Rp/ha)
ΔBiaya Pupuk Thd Pupuk Standard (Rp/ha)
Produksi Hablur (Ku/ha)
Nilai Produksi (Rp/ha)
ΔNilai Prod. Thd Pupuk Standard (Rp/ha)
ΔNilai Produksi ΔBiaya Pupuk (Rp/ha)
1.859.500
-
82,80
34.776.000
-
-
1.510.400
- 349.100
88,99
37.375.800
2.599.800
2.948.900
1.423.800
- 435.700
89,11
37.426.200
2.650.200
3.085.900
1.238.000
- 621.500
82,94
34.834.800
58.800
680.300
Pemberian pupuk organik Mixed G 1400 kg/ha dikombinasikan dengan pupuk Urea 150 kg/ha dan pupuk ZA 200 kg/ha (perlakuan No. 3) dapat mengurangi biaya pemupukan an-organik standard pabrik gula sebesar Rp. 435.700 serta diperoleh peningkatan nilai produksi hablur sebesar Rp. 2.650.200. Dengan demikian perlakuan pemupukan Mixed-G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) diperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp. 3.085.900 yang berasal dari pengurangan biaya pemupukan dan meningkatnya produsi hablur dibandingkan pemupukan an-organik standard pabrik gula (ZA 800 kg/ha + SP-36 100 kg/ha + KCl 100 kg/ha). Pertanaman Ratoon Cane di Kebun Ngringinan Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum percobaan menunjukkan bahwa kandungan C-organik dan N tanah tergolong rendah dengan pH tanah agak masam (Tabel 7). Rendahnya kandungan C-organik tanah (1,22%) akan mempengaruhi efisiensi pemupukan dan hasil yang diperoleh sehingga dibutuhkan penambahan pupuk organik ke dalam tanah. Pupuk organik Mixed-G produksi PG. Madukismo mempunyai kandungan C-organik 5,81% sehingga jumlah yang ditambahkan ke dalam tanah sebesar 1400 kg/ha.
106
Tabel 7. Analisis Pupuk Mixed-G dan Analisis Tanah di Lokasi Penelitian Kebun Ngringinan di PG. MadukismoYogyakarta, Tahun 2005 Unsur
Analisis pupuk Mixed-G
Kadar air pH C-Organik N-total P2O5 total K2O S Ca Mg Mn Zn Fe Cu KTK *) Balai Penelitian Tanah (2005)
11,43 % 8,56 5,81 % 0,36 % 5,08 % 9,58 % 2,03 % 6,56 % 0,68 % 0,15 % 0,03 % 0,91 % 0,02 % -
Analisis tanah Kandungan
Harkat*)
5,61 1,22 % 0,12 % 445 ppm 0,28 me/100g 3,15 me/100g 1,33 me/100g 78,90 ppm 1,20 ppm 76,70 ppm 6,10 ppm 41,00 me/100g
Agak masam Rendah Rendah Sangat tinggi Rendah Rendah Sedang Sangat tinggi Sedang Sangat tinggi Sedang Sangat tinggi
Perlakuan pemupukan pada tanaman tebu RC varietas PS 851 terhadap jumlah, tinggi dan diameter batang serta produksi tebu dan produksi hablur tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 8, 9 dan 10). Tabel 8. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Jumlah Batang/m Tanaman Tebu (RC) Kebun Ngringinan PG. Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005 Perlakuan Pemupukan
3 bulan
ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) Mixed G : Urea (14 : 2,5) C V (%) Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf pada taraf 0,05
Jumlah batang/m (umur) 6 bulan
9 bulan
10,13 a 10,12 a 9,07 a 10,02 a 10,00 a 8,07 a 10,80 a 10,82 a 8,02 a 10,15 a 10,13 a 8,67 a 6,77 6,87 14,09 yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT
Jumlah batang antara umur 3 bulan sampai 6 bulan relatif stabil, sedangkan pada umur 9 bulan jumlah batang/m mulai terjadi penurunan akibat adanya pengurangan tanaman yang kurang normal atau mati. Tabel 9. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Tinggi Batang dan Diameter Batang Tanaman Tebu (RC) di Kebun Ngringinan PG. Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005 Perlakuan Pemupukan
Tinggi batang (cm) 6 bulan 9 bulan
ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) 80,25 a Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) 78,75 a Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) 87,75 a Mixed G : Urea (14 : 2,5) 86,67 a C V (%) 18,71 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada pada taraf 0,05
Diameter batang (cm) 6 bulan 9 bulan
225,75 a 1,95 a 2,02 a 210,75 a 2,00 a 2,05 a 227,25 a 1,92 a 2,05 a 203,33 a 1,62 a 1,90 a 11,41 6,05 8,57 kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT
Tinggi batang selama 3 bulan dari umur 6 bulan sampai 9 bulan mengalami peningkatan tinggi tanaman tebu hampir tiga kali lipat, sedangkan diameter batang antara umur 6 bulan sampai umur 9 bulan hampir stabil. Perlakuan pemupukan Mixed-G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) diperoleh produksi tebu yang tinggi (1187,75 Ku/ha), namun rendemen yang dicapai rendah (7,29%) sehingga produksi hablur hanya sebesar 86,48 Ku/ha (dibawah produksi hablur pemupukan an-organik standard PG karena rendemen mencapai 9,31%).
107
Tabel 10. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Produksi Tebu, Rendemen dan Produksi Hablur Tanaman Tebu (RC) di Kebun Ngringinan PG. Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005 Perlakuan Pemupukan
Produksi Tebu (Ku/Ha)
ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) Mixed G : Urea (14 : 2,5) C V (%) Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf pada taraf 0,05
Rendemen (%)
Produksi Hablur (Ku/Ha)
1066,50 a 8,31 a 88,77 a 1018,00 a 7,94 ab 80,58 a 1187,75 a 7,29 c 86,48 a 1063,33 a 7,50 bc 80,01 a 9,61 3,48 9,43 yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT
Dengan demikian, perlakuan pemupukan Mixed-G pada tanaman tebu RC diperoleh produksi hablur yang rendah sehingga pendapatan usahatani tebu lebih rendah dibanding penggunaan pupuk an-organik standard pabrik gula (Tabel 11). Tabel 11. Rekap Hasil Pengujian Pupuk Mixed-G Pada Tanaman Tebu (RC) di Kebun Ngringinan PG. MadukismoYogyakarta, Tahun 2005
Jenis dan Dosis pupuk (kg/ha)
Biaya Pupuk (Rp/ha)
ΔBiaya Pupuk Thd Pupuk Standard (Rp/ha)
ZA : 800 kg/ha 1.859.500 SP-36 : 100 kg/ha KCl : 100 kg/ha Mixed G:1400kg/ha 1.510.400 - 349.100 Urea : 200 kg/ha ZA : 200 kg/ha Mixed G:1400kg/ha 1.423.800 - 435.700 Urea : 150 kg/ha ZA : 200 kg/ha Mixed G:1400kg/ha 1.238.000 - 621.500 Urea : 250 kg/ha Keterangan : Harga Urea : Rp. 1.732 /kg ZA : Rp. 1.795/kg SP-36 : Rp. 1.935/kg KCl : Rp. 2.300/kg Mixed-G : Rp. 2.500 Gula/Hablur : Rp. 4.200/kg
Produksi Hablur (Ku/ha)
Nilai Produksi (Rp/ha)
ΔNilai Prod. Thd Pupuk Standard (Rp/ha)
ΔNilai Produksi ΔBiaya Pupuk (Rp/ha)
88,77
37.283.400
-
-
80,58
33.843.600
- 3.439.800
- 3.090.700
86,48
36.321.600
- 961.800
- 526.100
80,01
33.604.200
- 3.679.200
- 3.057.700
Penggunaan pupuk Mixed-G 1400kg/ha + Urea 150 kg/ha + ZA 200 kg/ha (perlakuan No. 3) pada tanaman tebu RC varietas PS 851 diperoleh sedikit pengurangan biaya pemupukan sebesar Rp. 435.700,-, namun produksi hablur lebih rendah sehingga mengurangi nilai produksi sebesar Rp. 961.800. Dengan demikian adanya efisiensi pemupukan dan penurunan produksi hablur menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan usahatani tebu sebesar Rp. 526.100 dibanding pemupukan an-organik standard pabrik gula (ZA 800 kg/ha + SP-36 100 kg/ha + KCl 100 kg/ha).
KESIMPULAN Peningkatan produksi hablur dan efisiensi biaya pemupukan an-organik pada tanaman tebu Plant Cane dicapai dengan menggunakan pupuk Mixed G 1400 kg/ha + Urea 150 kg/ha + ZA 200 kg/ha. Pada pertanaman tebu Ratoon Cane menggunakan pupuk Mixed-G 1400 kg/ha + Urea 150 kg/ha + ZA 200 kg/ha diperoleh pengurangan biaya pemupukan, namun terjadi penurunan produksi hablur sehingga pendapatan usahatani tebu lebih rendah dibanding pemupukan an-organik standard pabrik gula (ZA 800 kg/ha + SP-36 100 kg/ha + KCl 100 kg/ha).
108
DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Tanah, 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Edisi Pertama. Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Bastari,T. 1996. Penerapan Anjuran Teknologi Untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan litbang Pertanian Deptan. Hal 7 – 36. Karama, S. 2000. Tanah Sakit Perlu Sistem Pertanian Organik. Mimbar 27 (305) : 8. Landon, J.R. 1984. Tropical Soil Manual. Booker Agriculture International Limited. London – England. P 133 – 137. Sugito, Y., Y. Nuraini, dan E. Nihayati. 1995. Sistem Pertanian Organik. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 84p. Taslim, H., A.M. Fagi dan Rochmat, 1989. Dampak pemupukan NPK jangka panjang terhadap hasil padi sawah. Kompilasi Hasil Penelitian 1988/1989. Balittan Sukamandi. Tejasarwana, R., A.M. Fagi dan Rochmat, 1989. Dampak pemupukan NPK jangka panjang terhadap hasil padi sawah. Dalam Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. P : 250-256. Tisdale, S.L., W.I. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Macmillan Publishing Co. New York.
109
UJI ADAPTASI VARIETAS DAN KLON KENTANG OLAHAN PADA MUSIM KEMARAU DI DATARAN TINGGI BERIKLIM KERING P.E.R. Prahardini dan Al. Gamal Pratomo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
ABSTRAK Ketersediaan kentang olahan untuk industri pada saat ini semakin terbatas, hal ini disebabkan ketersedian benih kentang varietas Atlantik yang merupakan satu-satunya kentang olahan yang diketahui petani semakin sulit didapat yang berakibat patani engan untuk menanamnya. Untuk mengatasi keterbatasan benih kentang olahan Balitsa Lembang telah mendapatkan beberapa klon dan varietas kentang olahan yang diharapkan dapat mengganti varietas Atlantik. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji adaptasi beberapa klon dan varietas kentang olahan pada musim kemarau di dataran tinggi beriklim kering. Penelitian dilakukan di Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji - Kodya Batu pada bulan April-Agustus 2004. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok diulang 4 kali dengan 5 perlakuan yang berupa klon dan varietas yang diuji. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa klon 1085 pertumbuhan vegetatif nyata lebih baik dan dapat berproduksi hingga 41,927 ton/ha sehingga diharapkan dapat menjadi pengganti varietas Atlantik. Kata Kunci : kentang , benih, pertumbuhan, produksi.
PENDAHULUAN Dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan kentang cenderung meningkat, mengingat kentang merupakan salah satu komoditas yang menjadi prioritas pengembangan. Komoditas kentang digunakan masyarakat di Indonesia sebagai sumber karbohidrat dan mempunyai potensi dalam program diversifikasi pangan. Pemanfaatan kentang bisa digunakan sebagai kentang sayur, puree maupun kentang olahan sebagai bahan baku industri sebagai potato chip/kripik. Produksi kentang di Indonesia saat ini didominasi oleh varietas Granola yang mencapai 90% dari seluruh areal tanam, sedangkan kentang olahan hanya menempati 10% saja (Chujoi, et al, 1999) Salah satu varietas kentang sebagai bahan baku industri yang sudah dikenal adalah kentang Atlantik. Namun kentang Atlantik memiliki beberapa kelemahan antara lain: produksinya rendah, tidak tahan layu, tidak tahan busuk daun dan tidak tahan nematoda akar (Kusmana, 2003). Keterbatasan inilah yang menyebabkan kurang berkembangnya industri makanan olahan kentang di Indonesia. Tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sangat ditentukan oleh interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik (Allard, 1989). Faktor lingkungan meliputi: jenis tanah, tekstur dan struktur tanah kandungan bahan organik dan iklim mikro. Disamping itu salah satu penyebab rendahnya produktivitas tanaman adalah kondisi ekosistem tanaman tersebut harus seimbang dan berkelanjutan sehingga tidak memacu berkembangnya hama dan penyakit tanaman (Sastrosiswojo, 2003). Kota Batu merupakan salah satu dari 15 kabupaten sentra kentang di Jawa Timur, dengan kisaran luas tanam sekitar 700 ha (Dinas Pertanian Jawa Timur, 2005). Wilayah tersebut terletak di lahan kering dataran tinggi dengan iklim kering dan termasuk zona agroekologi III by (Saraswati et al, 2000). Hasil penelitian Balitsa Lembang menyebutkan bahwa varietas kentang yang sesuai untuk olahan memerlukan beberapa kriteria antara lain dilihat dari : ukuran (5-7) cm, spesific gravity (min 1.067), kadar air (+75%) dengan appearance max (16%). Varietas/klon yang memenuhi kriteria tersebut antara lain: Kikondo, klon 1085 dan klon 095 (Kusmana, et al, 2004). Beberapa varietas kentang yang berpotensi sebagai bahan baku olahan tersebut perlu di uji adaptasi di beberapa sentra produksi kentang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adaptasi dan potensi hasil beberapa varietas/ klon kentang pada musim kemarau di dataran tinggi beriklim kering
110
BAHAN DAN METODE Bahan atau Materi Penelitian Bahan penelitian terdiri dari umbi varietas kentang sebagai perlakuan antara lain: A) Klon No 095; B) Varietas Kikondo; C) Klon 1085; D) Varietas Atlantik dan E) Varietas Granola L. Pupuk yang digunakan antara lain: pupuk kandang, SP-36, KCl dan ZA. Pestisida meliputi Proficur, Pylaram, Agriston, Dursban, Furadan, Corzet, Agrep. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan untuk menimbang pupuk dan menimbang umbi hasil panen, hand counter digunakan untuk mengitung jumlah daun dan meteran untuk mengukur tinggi tanaman serta hand sprayer untuk menyemprot larutan pestisida. Metode Penelitian Percobaan ini dilaksanakan di lahan petani Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, dengan ketinggian tempat 1.200 m dpl pada Musim Kemarau II 2004 (bulan April – Agustus) dengan menggunakan petak percobaan berukuran 4 m x 5 m disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok yang diulang 4 kali. Sebagai perlakuan adalah 5 varietas/ klon kentang terdiri dari: A) Klon No 095; B) Varietas Kikondo; C) Klon 1085; D) Varietas Atlantik dan E) Varietas Granola L. Penanaman kentang dilakukan dengan sistem guludan dengan jarak tanam 80 cm x 20 cm. Pengamatan vegetatif dilakukan mulai umur satu bulan sampai umur 2 bulan setelah tanam meliputi: presentase tumbuh, jumlah daun per rumpun, tinggi tanaman, lebar tajuk dan jumlah cabang utama, sedangkan pengamatan komponen produksi meliputi: jumlah umbi per rumpun, berat umbi per rumpun dan produksi tanaman per ha. Untuk membedakan perlakuan antar varietas dilakukan uji pembanding dengan menggunakan Uji Duncan. Pelaksanaan Penelitian 1) Membersihkan lahan dari tanaman pengganggu atau sisa-sisa tanaman dengan menggunakan garpu atau cangkul 2) Mencangkul atau membajak tanah sedalam 30 cm sampai gembur, kemudian dibiarkan selama + 15 hari untuk memperbaiki keadaan tata udara dan aerasi tanah 3) Tanah dicangkul kembali sampai benar-benar gembur, kemudian diratakan 4) Membuat garitan dengan kedalaman 20 cm dan jarak antar garitan 80 cm, menyebarkan pupuk kandang dan pupuk buatan. 5) Apabila pH tanah rendah (asam), dilakukan pengapuran sesuai dengan kebutuhan. 6) Menebarkan tanah di atas pupuk kandang dan pupuk buatan. 7) Meletakkan bibit kentang di atas pupuk yang telah ditutup dengan tanah. 8) Menutup bibit kentang dengan tanah dari antara garitan sampai membentuk guludan dengan ketinggian ± 10 cm. 9) Setelah pembumbunan pertama dan kedua tinggi guludan akan menjadi 30-40 cm. 10) Pemupukan: Pupuk kandang = 10 t/ha; Urea = 300 kg/ha; SP-36 = 300 kg/ha; KCl = 100 kg/ha 11) Pemberian pupuk: Sebagai pupuk dasar adalah pupuk kandang, SP-36 dan ½ dosis KCl, sedangkan Urea dan ½ dosis KCl diberikan saat umur 1 bulan setelah tanam 12) Pengendalian H/P: Hama (aphid, kutu putih, P operculella, dan L. huidobrensis), musuh alami (predator C. humilis dan parasitoid Opius sp). Sedangkan penyakit yang menyerang tanaman kentang ada dua yaitu Layu fusarium dan P. infestans. Pengendalian menggunakan lebih dari satu macam pestisida seperti: Proficur, Pylaram, Agriston, Dursban, Furadan, Corzet, Agrep. Diberikan sesuai dengan dosis anjuran. Disekeliling lahan pertanaman sebelah luar dipasang perangkap kuning. 13) Pembumbunan dan pengguludan: dilakukan dua kali pada umur 2 minggu dan 4 minggu setelah tanam 14) Panen dilakukan pada umur 90 hari setelah tanam dengan kriteria daun sudah menguning dan rebah, dihitung jumlah umbi per rumpun dan bobot umbi per rumpun.
111
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Status Hara Tanah Percobaan Pada awal penelitian diambil contoh tanah untuk mengetahui status hara di lokasi penelitian. Analisis unsur hara dilakukan di Laboratorium Tanah Universitas Brawijaya Malang seperti tercantum pada Tabel 1 Tabel 1. Hasil Analisis Unsur Hara Tanah dan Kandungan Bakteri Pseudomonas Sebelum Percobaan Dilakukan di Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji Kota Batu Jawa Timur* Analisis Tekstur: - Pasir % - Debu % - Liat % - Kelas pH : H2O C-organik (%) N-Total (%) Nisbah C/N P-Olsen (mg kg-1) K (me/100g) Na (me/100g) Ca (me/100g) Mg (me/100g) KTK (me/100g) Bakteri pseudomonas (sel/g)
Kandungan
Harkat
23 65 33 5,4 5,56 0,50 11,00 3,86 0,31 0,50 4,69 0,50 38,85 83 x 10 3
Lempung Berdebu Asam Tinggi Sedang Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Tinggi
* Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Tanah dan Lab Mikrobiologi Universitas Brawijaya Malang. Berdasarkan hasil analisis tanah, tampak bahwa lokasi penelitian mempunyai tekstur tanah lempung berdebu, dengan kandungan K dan N tergolong sedang, sedangkan unsur lain tergolong rendah, kecuali C-organik dan KTK tinggi. Dengan demikian tanah di lokasi penelitian mempunya tingkat kesuburan tergolong cukup baik. Kandungan bakteri pseudomonas di dalam tanah yang berpotensi untuk memacu penyakit layu bakteri juga rendah, sehingga lokasi penelitian mampu mengeliminir munculnya penyakit layu bakteri pada pertanaman. Pertumbuhan Tanaman Pengamatan awal pertumbuhan vegetatif pada umur 1 bulan Keragaan umbi kentang Klon 095 setelah tanam menunjukkan persentase tumbuh antara 81 - 98%, namun pada pertumbuhan vegetatif umur 1,5 dan 2 bulan setelah tanam terlihat perbedaan yang nyata antar varietas terlihat dari parameter pertumbuhan tinggi tanaman, lebar kanopi, jumlah daun/rumpun dan jumlah cabang utama/rumpun (Tabel 2 dan Tabel 3). Tabel 2. Uji Adaptasi Varietas Kentang Terhadap Persentase Tumbuh pada Umur 1 Bulan Setelah Tanam dan Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang Utama/Rumpun, Jumlah Daun/ Rumpun dan Lebar Kanopi pada Umur 1,5 Bulan Setelah Tanam pada Musim Kemarau di Batu Perlakuan/Parameter pengamatan
Persentase tumbuh (%)
Tinggi tanaman (cm)
Lebar kanopi (cm)
Jml. daun/ rumpun
Jml. cabang utama/ rumpun
Klon 095 98 20,83 c 46,20 a 21,88 b 1,58 a Varietas Kikondo 97 28,03 b 38,10 ab 19,78 bc 1,30 a Klon 1085 97 37,03 a 46,37 a 30,38 a 1,53 a Varietas Atlantik 98 18,78 c 32,70 b 13,90 c 1,48 a Varietas Granola 81 29,23 b 47,40 a 19,22 bc 1,58 a CV 12,78 19,50 18,76 14,18 Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata menurut Uji Duncan.
112
Pada Tabel 2 tampak bahwa kelima varietas/klon kentang yang di tanam mampu beradaptasi di wilayah Batu pada musim kemarau yang ditunjukkan dengan persentase tumbuh yang tinggi, kecuali varietas Granola yang tumbuh hanya 81%. Perkembangan benih saat awal pertunasan sangat dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Pecah tunas sangat ditentukan oleh ketuaan umbi dengan ketersediaan air sebagai pengurai bahan makanan yang terdapat pada umbi (Asandhi, et al; 1989). Pada pertumbuhan vegetatif awal tanaman menunjukkan perbedaan tinggi tanaman yang nyata antar varietas. Klon 1085 menunjukkan tanaman tertinggi secara nyata dibandingkan varietas yang lain, demikian pula terlihat dari keragaan lebar kanopi menunjukkan hasil yang lebih lebar dibandingkan varietas Atlantik. Demikian pula halnya dengan pembentukan daun, tampak bahwa klon 1085 menghasilkan daun nyata lebih banyak dibandingkan keempat varietas/klon kentang yang lain dengan rata-rata 30 daun/rumpun. Dilihat dari jumlah cabang utama per rumpun ternyata dari ke lima varietas/klon yang diadaptasikan menunjukkan hasil jumlah cabang/rumpun yang sama. Keragaan umbi kentang Varietas Kikondo
Pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tanaman pada umur 2 bulan setelah tanam merupakan awal pembentukan umbi, hasil pengamatan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Uji Adaptasi Varietas Kentang Terhadap Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang Utama/Rumpun, Jumlah Daun/Rumpun dan Lebar Kanopi pada Umur 2 Bulan Setelah Tanam pada Musim Kemarau di Batu Perlakuan/Parameter pengamatan
Tinggi tanaman (cm)
Lebar kanopi (cm)
Jml. daun/rumpun
Jml. cabang utama/ rumpun
Klon 095 21,83 d 52,78 ab 25,15 c 1,45 a Varietas Kikondo 34,93 b 48,60 ab 38,05 b 1,23 a Klon 1085 42,10 a 55,48 a 52,98 a 1,45 a Varietas Atlantik 19,62 d 40,05 b 17,40 d 1,43 a Varietas Granola 30,23 c 54,40 ab 20,00 cd 1,48 a CV 12,78 17,37 15,57 14,13 Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata menurut Uji Duncan
Dari tabel di atas terlihat bahwa hasil pertumbuhan tinggi tanaman antar varietas terlihat berbeda nyata, tanaman tertinggi dihasilkan oleh klon 1085 dibandingkan varietas Atlantik terjadi peningkatan tinggi tanaman sekitar 53,40%. Kondisi pertumbuhan tanaman dilihat dari lebar kanopinya tampak bahwa klon 1085 menghasilkan kanopi paling lebar yang diikuti pula dengan pembentukan daun yang nyata lebih banyak dibandingkan keempat varietas/klon yang lain. Pada umur dua bulan setelah tanam jumlah cabang utama per rumpun sama dari kelima varietas/klon yang diuji. Daun merupakan organ metabolisme tanaman yang mampu membentuk karbohidrat untuk disimpan dalam umbi. Dengan semakin lebar kanopi dan semakin banyak jumlah daun maka karbohidrat yang terbentuk juga semakin banyak. Keragaan potensi hasil disajikan pada Tabel 4.
Keragaan umbi kentang Klon 1085
Potensi Hasil Kemampuan tanaman untuk tumbuh dan berkembang secara optimal saat pertumbuhan vegetatif tentunya menjadi salah satu indikator keberhasilan dalam menunnjukkan potensi produksinya yang merupakan hasil interaksi antara faktor genetis dan faktor lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh. Potensi produksi dari kelima varietas yang diuji disajikan pada Tabel 4.
113
95
Tabel 4. Uji Adaptasi Varietas Kentang Terhadap Jumlah Umbi/Rumpun, Berat Umbi/Rumpun dan Produksi/Ha pada Musim Kemarau di Batu Perlakuan/Parameter pengamatan
Jumlah umbi/rumpun
Berat umbi/rumpun
Produksi (t/ ha)
Klon 095 8,42 a 369,94 b 26,61 bc Varietas Kikondo 6,89 ab 302,02 b 26,72 bc Klon 1085 6,87 ab 467,89 a 41,93a Varietas Atlantik 5,72 b 391,40 ab 29,48 b Varietas Granola 5,64 b 189,57 c 18,88 c CV 15,55 13,59 17,75 Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata menurut Uji Duncan
Dari Tabel 4 terlihat bahwa klon 095 menghasilkan jumlah umbi per rumpun tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan varietas Kikondo dan klon 1085, namun berbeda nyata dengan varietas Atlantik dan varietas Granola. Namun dari hasil pengamatan berat umbi per rumpun tampak bahwa klon 1085 mampu menghasilkan berat umbi 467,89 g/rumpun. Hasil berat umbi/rumpun ini tertinggi secara nyata dibandingkan varietas/klon yang diuji kecuali dengan varietas Atlantik. Dari hasil di atas terlihat bahwa produksi klon 1085 mampu menghasilkan 41,93 t/ha. Hasil tersebut berbeda nyata dengan keempat varietas/klon yang lain. Klon 1085 mampu meningkatkan hasil sekitar 30% dibandingkan varietas Atlantik, Kikondo dan klon 095 dan mampu meningkatkan hasil sekitar 55% dibandingkan varietas Granola. Varietas Atlantik selama ini telah digunakan sebagai bahan baku industri untuk potato chip dengan peningkatan produksi yang tinggi klon 1085 tersebut mampu berpotensi untuk menggantikan varietas Atlantik sebagai bahan baku industri, demikian juga mampu menggantikan varietas Granola sebagai kentang sayur. Serangan Organisme Pengganggu Pengamatan secara visual belum tampak adanya serangan hama maupun penyakit pada kelima varietas/klon yang diuji. Kelimpahan populasi hama kutu kebul dan P. operculella maupun penyakit P. Infestan yang menyerang pada lima varietas/klon yang diuji relatif rendah. Berdasarkan kondisi agroekologi yang kering di Desa Bumiaji Kota Batu mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang secara optimal. Dengan demikian pemilihan varietas yang akan ditanam petani masih sangat beragam, tentunya pemilihan tidak hanya dilihat dari sisi potensi hasil tetapi juga tingkat preferensi konsumen yang ada.
KESIMPULAN Pada lahan dengan kesuburan cukup baik kelima varietas/klon yang diuji antara lain: Kikondo, Atlantik, Granola, klon 095 dan klon 1085 mampu tumbuh dengan persentase tumbuh yang tinggi antara 81-98% Klon 1085 menghasilkan pertumbuhan vegetatif nyata lebih baik dibandingkan keempat varietas/klon yang lain Klon 1085 menghasilkan jumlah umbi 6,87/rumpun dengan bobot umbi 467,89 g/rumpun dan potensi produksi 41,93 t/ha, dengan peningkatan produksi sekitar 35% dibandingkan varietas Atlantik dan 55% dibandingkan varietas Granola
DAFTAR PUSTAKA Allard, R.W. 1989. Pemuliaan Tanaman 2. Bina Aksara. Jakarta. Hal. 339 – 409. Asandhi, A.A; Sastrosiswojo, S; Suhardi; Abidin,Z dan Subhan. 1989. Kentang. Badan Litbang Pertanian – Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Lembang. Chujoi. E.R.S. Basuki, N. gunadi, Kusmana, O.S. Gunawan and Sudjoko SAT. 1999. Informal survey on potato production constrint in Pangalengan. West Java Indonesia. Pot. Res in Indonesia. Coolaborative Research between RIV – CIP. Dinas Pertanian Jawa Timar. 2005. Laporan Tahunan. 2004. Surabaya.
114
Kusmana. 2003. Laboran Hasil Seleksi Varietas Kentang Processing Menunjang Pengembangan Agroindustri Kusmana, R.S. Basuki dan Dimyati. 2004. makalah usulan pelepasan varietas kentang Klon 380584.3, TS-2, FBA-4, I-1085 dan MF-II sebagai bahan baku kentang Olahan Saraswati, D.P.; Suyamto,H; D. Setyorini dan Al.G. Pratomo. 2000. Zona Agroekologi Jawa Timur. Buku I: Zonasi dan Karakterisasi sumberdaya lahan wilayah Jawa Timur. BPTP Karangploso. 22 hal. Sastrosiswojo S. 2003. Perbaikan komponen teknologi PHT pada tanaman kentang. Jurnal Penelitian Hortikultura.
115
PENGKAJIAN PENGEMBANGAN USAHATANI PADI – UDANG WINDU DI KABUPATEN BABYUWANGI Al. Gamal Pratomo, F. Kasijadi, PER. Prahardini dan Thohir Zubaidi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
ABSTRAK BPTP Jawa Timur telah melaksanakan pengkajian tumpangsari padi-udang windu di dua daerah yang terletak di kawasan pantai Utara yaitu Kabupaten Lamongan dan Sidoarjo dengan hasil yang cukup baik. Untuk lebih memantapkan dan mengembangkan paket teknologi tumpangsari padi-udang windu telah pula dilakukan pengkajian pada daerah yang diperkirakan ada intrusi air laut. Pengkajian ini juga merupakan upaya optimalisasi lahan dalam rangka diversifikasi usahatani, serta meningkatkan produktivitas lahan untuk meningkatkan pendapatan petani lahan sawah. Tujuannya adalah mengetahui dan mempelajari pengelolaan usahatani padi-udang windu di lahan sawah Tambak di Banyuwangi. Pengkajian dilaksanakan di Desa Watukebo Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi. Hasil Pengkajian menunjukkan bahwa karakteristik lokasi pengkajian kurang sesuai karena kandungan pasir pada lokasi pengkajian cukup tinggi yaitu 42%. Produksi padi cara petani sudah mencapai 7 ton/ha dan 7,9 ton/ha untuk cara tanam jajar legowo. Untuk pertumbuhan udang awalnya cukup baik tetapi akibat terkena banjir dan dipanen awal dengan masa pemeliharaan 2 bulan dihasilkan udang seberat 15 kg dengan penebaran 10.000 ekor/ha. Kata kunci : sawah tambak, padi, udang windu, produksi.
PENDAHULUAN Upaya untuk meningkatkan produksi udang windu di tambak payau telah banyak dilakukan, baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi. Namun demikian kenyataan di lapang produksi semakin menurun dan penularan penyakit udang baik yang disebabkan oleh virus maupun bakteri patogen yang menyebabkan kegagalan panen semakin berkembang (Mangampa dkk, 1999). Hal ini disebabkan oleh adanya kemerosotan mutu lingkungan baik di dalam tambak budidaya maupun luar tambak yang menyebabkan para petambak sulit memperoleh air yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan budidaya udang. Sejalan dengan terus merosotnya mutu lingkungan yang berdampak pada rendahnya produktifitas lahan tambak payau, sekarang ini telah banyak diintroduksi usahatani terpadu padi udang windu di air tawar atau sawah tambak. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur telah melaksanakan pengkajian tumpangsari padi-udang windu di dua daerah yang terletak di kawasan pantai Utara yaitu Kabupaten Lamongan dan Sidoarjo dengan hasil yang cukup baik. Untuk lebih memantapkan dan mengembangkan paket teknologi tumpangsari padi-udang windu telah pula dilakukan pengkajian pada daerah yang diperkirakan ada intrusi air laut. Pengkajian ini juga merupakan upaya optimalisasi lahan dalam rangka diversifikasi usahatani, serta meningkatkan produktivitas lahan untuk meningkatkan pendapatan petani lahan sawah. Selain itu usahatani terpadu padi udang windu merupakan salah satu usahatani yang cukup prospektif yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan karena adanya pendapatan ganda selain padi yaitu udang windu. Usahatani terpadu padi udang windu ini merupakan salah satu sistem budidaya yang menerapkan pendayagunaan lahan yang lebih efisien, tepat guna dan berwawasan lingkungan. Di samping itu juga memberikan dampak positif bagi perkembangan agribisnis terutama di pedesaan karena adanya diversifikasi komoditi dan peningkatan produksi terutama padi dan udang windu. Hasil pengkajian Muhariyanto, dkk. (2002), udang windu dapat hidup dan tumbuh dengan baik bersama padi (tumpangsari) pada sawah tambak yang mengandung sedikit kadar garam, sedangkan pada sawah irigasi yang tidak mengandung garam sama sekali udang windu tidak dapat hidup. Lebih lanjut dijelaskan oleh Suseno dan Prayitno, 2001 bahwa budidaya udang windu di air tawar umumnya terhindar dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibriosis Tujuannya adalah mengetahui dan mempelajari pengelolaan usahatani padi-udang windu di Kabupaten Banyuwangi.
116
METODOLOGI Pengkajian akan dilaksanakan di Desa Watukebo Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi, pada bulan Juli-Desember 2005. Bahan berupa: padi varietas Ciherang, udang windu, pupuk Urea, ZA, SP36, KCl, dan Saponin. Kegiatan ini merupakan pengkajian spesifik lokasi yang dimaksudkan untuk mengetahui dan mempelajari usahatani padi-udang windu di lahan sawah tambak. Paket teknologi yang akan diuji adalah sebagai berikut (Tabel 1): Tabel 1. Komponen Paket Teknologi Yang Diuji pada Pengembangan Usahatani Padi-Udang Windu Komponen teknologi
Cara Petani
Varietas Padi Jumlah benih Sistem tanam Jumlah bibit per tanaman Pemupukan
Ciherang 50 kg 20 x 20 cm 3-4 bibit 400 kg Urea + 50 kg SP-36/ha
Ukuran benih udang windu Padat penebaran Waktu pemeliharaan
PL. 50 - 60 10.000 ekor/ha 70 – 80 hari
Teknologi Rekomendasi Ciherang 40 kg Jajar legowo 40 x 20x10 cm 1-2 bibit 300 kg ZA + 100 kg ZA + 50 kg SP-36 + 50 kg KCl/ha PL. 50 - 60 10.000 ekor/ha 70 – 80 hari
Prosedur kerja Pengolahan lahan Tanah dibajak 2 kali dengan kedalaman sekitar 25 cm kemudian dilakukan pelumpuran dan penggaruan sampai rata. Pembuatan Saluran Keliling (Caren) Pembuatan saluran keliling berukuran lebar + 1 meter dan kedalaman 50-70 cm. saluran keliling dibuat sesaat sebelum pengolahan tanah berakhir. Fungsi saluran keliling adalah sebagai tempat hidup udang dan tempat memberi pakan. Penanaman Pada saat tanam kondisi air macak-macak. Penanaman padi secara tanam pindah Pemupukan Pupuk SP-36 dan KCl disebar secara merata sehari sebelum tanam. Pupuk ZA diberikan 3 kali, pertama diberikan sebagai pupuk dasar bersamaan pupuk SP-36 dan KCl, kedua disebar 21 hari setelah tanam dan ketiga disebar pada saat premordia tanaman umur 42 hari, sedangkan pupuk Urea diberikan 2 kali yaitu pada umur 21 hari dan 42 hari setelah tanam. Untuk cara petani dilakukan kebiasaan petani yaitu SP-36 diberikan sebelum tanam dan Urea diberikan 3 kali yaitu pada umur 7 hari setelah tanam, 21 hari setelah tanam dan umur 42 hari setelah tanam. Penyiangan Penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu: penyiangan I pada saat tanaman berumur 17 hari dan penyiangan II pada saat tanaman berumur 30 hari. Pengairan Pengaturan air digunakan pompa air atau pipa untuk pemasukan dan pengeluaran air. Untuk mencegah keluar masuknya udang dan ikan-ikan pemangsa ke dalam petakan sebaiknya dipasang saringan di pangkal pipa. Ketinggian air yang baik untuk pertumbuhan udang di dalam caren berkisar antara 40-50 cm dan 10 cm pada tanaman padi. Secara rinci pengaturan air adalah sebagai berikut: Umur tanaman padi 0-7 hari pengaturan air macak-macak. Umur tanaman padi 7-17 hari, air dimasukkan sesuai tinggi tanaman padi dan ditunggu sampai kondisi air jernih, kemudian benih udang dapat ditebarkan. Umur tanaman padi 17-80 hari, air dipertahankan pada ketinggian tertentu (stabil) dan disesuaikan untuk kondisi pertumbuhan udang. Umur tanaman padi 80-90 hari, air mulai dikeringkan dan udang mulai dipanen
117
Penebaran Udang Penebaran udang dilakukan 21 hari setelah tanam padi, dilakukan pagi atau sore apabila kondisi air sudah jernih. Benih udang sebelum ditebar ke sawah harus disesuaikan terlebih dahulu antara kondisi air dalam pengangkutan dengan air sawah, terutama temperatur dan kadar garam (salinitas). Pada saat penyesuaian suhu dan kadar garam tersebut harus diamati terus menerus sampai kondisi keduanya sama atau hampir sama. Cara penyesuaian temperatur dan kadar garam adalah sbb: Masukan kantong plastik yang berisi benih udang kedalam petakan sawah Biarkan kantung tersebut mengapung selama + 30 menit untuk menyamakan temperatur air sawah dengan air dalam kantong plastik. kemudian dibuka kantong plastiknya dan ukur suhu airnya dengan termometer. Jika suhu antara air sawah dengan air dalam kantong plastik sama atau hanya berbeda 1°C-2°C udang sudah bisa dimasukkan ke dalam sawah tetapi sebelum itu dilakukan pula penyesuaian kadar garam. Penyesuian kadar garam dilakukan dengan cara memasukkan air sawah kedalam kantong plastik sedikit demi sedikit, setelah sama benih dapat ditebarkan. Waktu Pemeliharaan Udang Lama pemeliharaan udang, sampai ukuran konsumsi sekitar 70-80 hari. Pengendalian Hama Padi dan udang Untuk mengantisipasi serangan hama atau penyakit tanaman padi yang ditumpangsarikan dengan udang, dianjurkan untuk menggunakan pestisida nabati. Sedangkan untuk mengendalikan hama udang digunakan biji teh (Saponin) dengan dosis 15-20 kg/ha. Panen - Sebelum udang dipanen, keluarkan air dari petakan secara berangsur-angsur melalui caren agar udang terkumpul untuk memudahkan panen. Udang yang sudah dipanen, untuk sementara diletakkan di dalam wadah/keranjang sebelum dipasarkan. - Sedangkan panen padi dilakukan apabila 95% butir padi telah menguning. Diusahakan kehilangan hasil sekecil mungkin dengan cara pengangkutan dan penyimpanan yang baik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisa tanah dilokasi pengkajian diketahui karakteristik tanah dari segi kimia tanah sudah sesuai terutama kandungan bahan organik, pH tanah, dan unsur-unsur hara lainnya. Tetapi dari sifat fisik tanah terutama tekstur tanah ternyata di lokasi pengkajian tidak sesuai untuk budidaya padi-udang windu (sawah tambak) karena kandungan pasirnya terlalu banyak yaitu 42% (Tabel 2). Dengan tingginya kandungan pasir pada lokasi pengkajian menyebabkan kendala bagi proses pembuatan galengan dan caren karena pembuatannya relatif lebih sulit. Selain itu air yang dicaren perlu diisi lebih banyak agar tidak cepat habis. Menurut Pratomo, dkk (2005) untuk sawah tambak tektur yang sesuai harus mengandung lebih dari 65% liat, 20% debu dan kurang dari 5% pasir. Tabel 2. Karakterisasi Lahan yang Digunakan dalam Kegiatan Padi-Udang Windu di Kabupaten Banyuwangi. No. 1.
2.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Parameter Topografi Elevasi (m dpl) Kemiringan lereng (%) Tekstur : Liat (%) Debu (%) Pasir (%) pH H2O pH KCl C-Organik (%) Bahan organik (%) Salinitas (ppm) Kation Na (me/ 100 mg) Kation K (me/ 100 mg) NH4 (mg/kg) Ketersedian air tawar
Nilai 0 0 23 35 42 7,4 5,5 1,75 3,02 0 2,27 1,76 11,58 Cukup tersedia
118
Untuk budidaya padi pada sawah tambak dilokasi pengkajian tidak terlihat adanya masalah, karena ketersedian air tawar dilokasi penelitian cukup dan salinitas airnya hanya berkisar 0-2 ppm. Menurut Fagi A.M dan Irsal Las (1988) pertumbuhan padi mulai terlihat jelek bila kadar garam/salinitas air sudah mencapai 7,5 ppm. Hasil pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan per rumpun, jumlah malai per rumpun, panjang malai dan berat 1000 butir hampir tidak menunjukkan perbedaan antar dua perlakuan yang dicoba baik itu dengan cara jajar legowo maupun cara petani. Tetapi terhadap produksi ternyata dengan cara tanam jajar legowo memberikan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara petani yaitu masingmasing 7,9 ton/ha untuk cara tanam jajar legowo dan 7 ton/ha untuk cara tanam petani.(Tabel 3). Cukup tingginya produksi padi pada lokasi pengkajian ini karena pupuk yang diberikan pada sawah tambak baik itu dengan jarak tanam cara petani maupun cara jajar legowo cukup lengkap yaitu dengan pemberian pupuk Urea, ZA SP-36 dan KCl. Sedangkan perbedaan produksi antara cara tanam petani dan cara jajar legowo diperkirakan populasi tanaman pada cara jajar legowo lebih banyak dibanding cara petani dan jumlah malai per rumpun pada cara jajar legowo relatif lebih banyak dibanding cara petani. Menurut Nugroho, dkk (2003) bahwa jajar legowo dapat meningkatkan produksi padi sebesar 16,1% dibandingkan cara biasa. Tabel 3. Pertumbuhan dan Produksi Padi di Sawah Tambak dengan Menggunakan Dua Cara Tanam pada Musim Kemarau. No. 1. 2. 3. 4. 6. 7. 8.
Parameter Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan per rumpun Jumlah malai per rumpun Panjang malai (cm) Berat 1000 butir (gram) Produksi GKP (ton/ha) Produksi udang (kg/ha)
Cara petani 137,4 21,5 16,5 23,38 28 7 15
Cara jajar legowo 138,8 22,4 18,1 23,48 29,2 7,9 15
Mengenai budidaya udang windu di sawah tambak dimulai dari pendederan nener menjadi benur glondongan. Ini dilakukan ditambak udang dekat lokasi pengkajian sawah tambak dengan tujuan untuk menghindari kematian akibat tranportasi. Udang windu dipelihara dari benur hingga menjadi udang glondongan selama 30 hari pada kadar garam/salinitas yang sudah rendah yaitu antara 3-5 ppm. Dengan benih ukuran glondongan (PL 50-60) diharapkan udang windu dapat langsung hidup di sawah tambak, karena menurut Fujimura (1989) dalam Partasasmita S. dan Zafran, (1989) bahwa benih udang yang telah melalui proses pendederan selama 1-2 bulan yaitu PL 50-60 hasilnya (produksi) akan lebih baik dibanding benih PL 20-30. Sebelum udang windu dipindahkan di sawah tambak, kondisi air pada sawah tambak harus sudah dikondisikan salinitasnya yaitu dengan memasukan air laut atau menambah garam pada sawah tambak hingga mencapai salinitas 1-3 ppm setelah itu udang windu baru dipindahkan ke sawah tambak. Waktu pemindahannya dilakukan sore hari dengan tujuan untuk mempermudah proses aklimatisasi dimana suhu antara sawah tambak dan tambak relatif sudah sama. Saat dipindahkan terlihat udang sudah langsung beradaptasi di lokasi sawah tambak dan dari pengamatan 1 hari maupun 2 hari berikutnya terlihat udang hidup dan aktif bergerak, hal ini dimungkinkan perbedaan kadar garam di sawah tambak dengan tambak tempat pendederan udang windu tidak terlalu jauh yaitu sekitar 2 ppm. Pengamatan pertumbuhan udang dilakukan satu bulan berikutnya dan dari hasil pengamatan terlihat pertumbuhan udang sudah mencapai panjang antara 5-5,5 cm dari 4,5 cm saat ditebar ke sawah. Pertumbuhan udang hingga berumur satu bulan sudah cukup baik dilihat dari pertumbuhan panjang udang windu yang sudah dapat berkembang hingga 1 cm. Akibatnya adanya banjir panenan udang dipercepat yaitu hanya 2 bulan pemeliharaan atau kurang dari satu bulan pemeliharaan seperti umumnya pemeliharaan udang windu di sawah tambak. Hasil yang diperoleh dari panenan sebanyak 15 kg dari tebaran benih 10.000 ekor/ ha. Produksi udang pada kegiatan pengkajian ini memang masih jauh lebih rendah bila dibandingkan pengkajian Muhariyanto, dkk (2004) dimana dengan penebaran 10.000 ekor/ha dapat menghasilkan udang windu sebanyak 35,5 kg.
119
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : 1.
Dari segi karakteristik lahannya di Kabupaten Banyuwangi kurang sesuai untuk budidaya padi-udang windu karena terlalu banyak mengandung pasir sehingga perlu diperhatikan dalam pembuatan galengan dan pembuatan caren agar tidak mudah runtuh.
2.
Produktivitas padi di sawah tambak dengan cara tanam jajar legowo ternyata menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibanding cara petani.
Saran : Perlu adanya pengkajian lebih lanjut untuk lebih meyakinkan keberhasilan dan mensosialisasi budidaya padi-udang windu di Kabupaten Banyuwangi.
DAFTAR PUSTAKA Fagi, A.M. dan Irsal Las., 1988. Lingkungan Tambak Padi, dalam Ismunadji et.al. (Eds) Padi Buku I. Badan Litbang, Deptan Muhariyanto A, Nugraha Pangarsa P, Bambang S, Sutanto J.T., Yuli A, Diatri K dan Supriyadi, 2002. Laporan Akhir Pengkajian Budidaya Padi-Udang Windu di Sawah Tambak. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Muhariyanto A, 2004. Usahatani Padi-Udang Windu (Pandu) di Sawah Tambak. Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur. Mangampa M, Muh Tjaronge, M. Atmomarsono dan E. Ratnawati, 1999. Budidaya Udang Intensif. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. Partasasmita S. dan Zafran, 1989. Inventarisasi Parasit dan Penyakit Udang Windu di Tempat Pembenihan dan Penampungan Benur di Sulawesi Selatan. Majalah Parasitologi Indonesia 3, 1990 (Edisi Khusus) 63-68. Pratomo,Al.G., F. Kasijadi, A. Muharyanto, D. Krisunari dan D.P. Saraswati, 2005. Kajian Karakteristik dan Potensi Wilayah Pengembangan Usahatani Terpadu padi Udang Windu di Lahan Sawah Irigasi. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Dan Kelembagaan Agribisnis Tahun 2004. Badan Litbang pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Suseno dan Prayitno, 2001. Budidaya Udang Windu di Air Tawar Berwawasan Lingkungan. Akademi Perikanan Sidoarjo.
120
UPAYA MENEKAN KEHILANGAN HASIL AKIBAT CEKAMAN KEKERINGAN PADA KEDELAI DI LAHAN SAWAH Riwanodja, Suhartina dan T.Adisarwanto Balitkabi. P.O.Box 66. Malang.
ABSTRAK Cekaman kekeringan atau kekurangan air merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai. Cekaman pada fase generatif (umur 51-75 hari ) dapat menurun hasil biji 62%, demikian pula bila terjadi penurunan kadar lengas tanah dari 90% menjadi 50% air tersedia akan menurunkan berat biji per tanaman masing-masing sebesar 27% MK I dan 45% pada MK II 2003. Untuk itu kombinasi perakitan varietas unggul baru toleran kekeringan dan efisiensi pengelolaan air merupakan upaya/pendekatan yang potensial dapat menekan penurunan hasil biji kedelai. Galur MLG 2805, merupakan salah satu dari beberapa galur-galur harapan kedelai mempunyai indikasi toleran kekeringan. Kata kunci : kekeringan, hasil biji, galur toleran kekeringan
PENDAHULUAN Di lahan sawah, kedelai masih dominan ditanam setelah tanaman padi. Pada awal musim kemarau (MK) I, waktu tanam yang optimal adalah dimulai akhir bulan Februari sampai pertengahan Maret, sedangkan MK II ditanam pada awal sampai akhir bulan Juni. Walaupun begitu dalam menentukan waktu tanam, para petani kedelai masih dibatasi oleh ketersediaan air, apakah berasal dari saluran irigasi, pompa air maupun air hujan. Selain itu penyiapan lahan untuk tanaman kedelai masih tergantung pula pada saat kapan panen dilaksanakan untuk tanaman padi. Apabila periode panen padi tidak sesuai dengan waktu tanam yang optimal untuk tanaman kedelai, maka seringkali tanaman kedelai mengalami cekaman kelebihan atau kekurangan air pada stadia pertumbuhan tertentu. Pada MK II umumnya kekeringan terjadi pada stadia generatif yaitu awal pembentukan polong. Kramer (1963) menyatakan bahwa defisit air tanaman akan mempengaruhi semua proses metabolik dalam tanaman yang berakibat berkurangnya pertumbuhan tanaman.. Selain itu Fagi dan Tangkuman (1985) menegaskan bahwa rendahnya produktivitas kedelai karena keterbatasan air untuk menunjang pertumbuhan yang optimal.
STADIA PERTUMBUHAN KEDELAI YANG PEKA CEKAMAN KEKERINGAN Cekaman kekeringan yang terjadi pada awal phase pertumbuhan vegetatif menekan tinggi tanaman sebesar 21% dibanding tinggi tanaman cekaman pada phase generatif (51-70 hst). Sedangkan cekaman kekeringan pada phase generatif menghasilkan tinggi tanaman yang sama dengan tanaman yang memperoleh pengairan penuh/optimal selama pertumbuhan. Pada sisi lain cekaman kekeringan pada phase generatif menurunkan jumlah polong isi sebesar 50% yaitu lebih tinggi dibanding bila cekaman terjadi pada phase vegetatif (0-25 hst) yaitu hanya 22% dan menjadi 35% apabila terjadi cekaman pada umur 26-50 hst. Ini membuktikan bahwa cekaman kekeringan pada saat proses pembentukan bunga akan mengurangi jumlah bunga yang terbentuk sehingga jumlah polong juga akan berkurang secara nyata (Tabel 1). Tabel 1. Pengaruh Cekaman pada Beberapa Pase Pertumbuhan Terhadap Tinggi Tanaman dan Jumlah Polong Isi Rumah Kaca, MH 1998/1999 Periode Cekaman Kekeringan Optimal 0-25 hst 26-50 hst 51-75 hst Sumber : Suyamto dan Adisarwanto (1999)
Paramater Pengamatan Tinggi Tanaman (Cm) Jumlah Polong Isi/Tanaman 80,2 a 63,5 b (21%) 62,0 b 81,2 a
49,4 a 38,5 b (22%) 32,3 c (35%) 24,5 d (50%)
Ada interaksi antara genotipe kedelai dan kondisi kekeringan terhadap hasil biji per tanaman. Hal ini berarti bahwa tanggap galur pada perlakuan saat kekeringan terhadap berat biji tidak sama. Pada galur Mlg 2805 penurunan berat biji per tanaman untuk setiap stadia pertumbuhan khususnya periode generatif yaitu
121
hanya 21% lebih kecil dibanding rata-rata galur/varietas yang diuji (62%) dan varietas pembanding Wilis (46%), sehingga dapat dikatagorikan sebagai galur potensial toleran cekaman kekeringan (Tabel 2). Tabel 2. Berat Biji Galur/Varietas Kedelai Terhadap Cekaman Kekeringan pada Beberapa Stadia Tumbuh Kedelai. Rumah Kaca Balitkabi, MH 1998/1999 Genotipe kedelai Periode kekeringan
Optimal
Berat biji (g/tanaman 0-25 hst 26-50 hst
51-75 hst
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
MLG 2999 4,36 4,13 3,93 3,83 MLG 2984 5,06 4,90 4,60 4,36 MLG 2805 6,46 5,93 (8) 4,73 (27) 5,10 (21) MLG 3474 5,80 4,53 4,43 3,83 MLG 3072 5,16 3,70 2,60 3,16 MLG 9065-C-3-1 7,30 5,63 4,40 4,40 MSC 9069-C-3-2 6,06 4,60 3,63 3,50 MSC 9112-C-3-1 5,30 4,70 3,56 2,60 MSC 9019-C-3-1 7,26 5,50 4,76 4,40 MSC 8606-5-11 7,40 5,63 4,46 3,96 Bromo 7,00 5,00 4,70 3,20 Tidar 6,80 5,70 4,93 4,60 Wilis 6,73 4,86 (18) 3,93 (42) 3,63 (46) Rata-rata 6,21 4,99 (19) 4,21 (32) 3,89 (62) BNT (%) 1,06 1,06 KK (%) 13,67 13,70 Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan prosentase penurunan hasil biji dibanding pada kondisi optimal. Sumber : Suyamto dan T.Adisarwanto ( 1999).
PENDEKATAN UNTUK MENEKAN DAMPAK NEGATIF CEKAMAN KEKERINGAN A. Perakitan Varietas Toleran Kekeringan : Varietas kedelai secara genetik mempunyai kemampuan yang berbeda untuk bertahan pada cekaman kekeringan. Disisi lain cekaman kekeringan yang terjadi berbeda tingkat,lama dan stadia tumbuh pada setiap musim tanam. Untuk itu perkaitan varietas unggul baru ditujukan untuk mengantisipasi berbagai saat cekaman kekeringan yang terjadi. Di lapang, cekaman kekeringan selama periode pengisian polong menurunkan hasil 55% (Soegiyatni dan Suyamto, 2000) sedangkan pada kondisi percobaan pot penurunan hasil per tanaman agak menurun yaitu hanya mencapai 22-34% (Sitompul, 1996). Dari hasil penelitian evaluasi lanjut galur Suyamto dan Soegiyanti (2002) menyimpulkan bahwa galur ML 2805 merupakan galur yang toleran kekeringan. Mekanisme toleransi pada aspek ini masih belum jelas, karena prosentase penurunan antara galur toleran dan peka tidak begitu berbeda besar, yang menonjol hanya perbedaan pada potensi daya hasil biji dan nilai ITC yang tinggi (Tabel 3). Tabel 3. Karakter Galur Harapan MLG 2805 Toleran Dibanding Galur Peka Kekeringan Parameter pada kondisi kekeringan
Galur toleran kekeringan MLG 2805 %*
1. Hasil biji (t/ha) 1,75 34 2. Umur panen (hst) 78 5 3. Jumlah polong isi per-tanaman 51 20 4. Ukuran biji (g/100 biji) 6 12 5. Nilai ITC 1,30 Sumber : Suyamto dan Soegiyatni ( diolah, 2002). Keterangan : *) Prosentase penurunan apabila dibanding dengan kondisi optimal.
Galur peka kekeringan LK/3072-1 %* 0,89 85 53 10 0,33
33 2 18 15
Sedangkan Suhartina dkk (2002), meniliti lebih lanjut hasil persilangan dengan memakai empat (4) induk MLG 2805, MLG 3072, MLG 3474 dan MLG 2984 pada kondisi kelengasan tanah yang berbeda yaitu 70% dan 40%, ternyata masih belum mampu menyaingi varietas Tidar. Faktor umur pendek pada Tidar mungkin salah penyebab kenapa memupunyai nilai ITC tinggi, sehingga dapat dikatagorikan eskape dari pengaruh cekaman kekeringan. Selain itu hasil penelitian yang cukup lama oleh Kasno dan Yusuf (1994) menyatakan bahwa MLG 2805 menunjukkan penurunan hasil kedelai paling sedikit (2%) sedangkan genotype lain berkisar antara 40-50%. pada kondisi kekeringan
122
Tabel 3. Toleransi Kekeringan 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Cekaman Sedang dan Berat Berdasarkan Indek Toleran Cekaman. Genotipe
Hasil ( g/tanaman) HC 70
HP
HC 40
Indeks toleransi cekaman ITC 70 ITC 40
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Davros/MLG 2984-V1-6 15,31 12,06 9,28 0,899 Davros/MLG 2984-VI-9 12,94 9,63 8,26 0,608 Davros/MLG 3072-VI-6 12,95 11,33 8,18 0,716 Kipas Putih/MLG 3474-VI-1 13,74 11,66 8,53 0,788 Lokon/MLG 3072-VI-2 13,52 10,65 7,40 0,702 Lokon/MLG 2805-VI-2 13,88 10,98 8,17 0,740 Kipas Putih/MLG 2805-VI-1 15,72 12,82 8,98 0,986 Lokon/MLG 3472-VI-2 14,27 10,74 7,91 0,749 Davros/MLG 2984-VI-2 13,44 10,22 8,74 0,670 MLG 3072 15,49 12,30 8,39 0,928 MLG 3474 14,08 10,71 8,11 0,737 MLG 2805 14,67 11,93 8,83 0,851 MLG 2984 11,91 9,93 7,78 0,577 Tidar 17,27 11,96 8,60 1,029 Wilis 15,52 12,,08 8,84 0,914 Rerata 14,31 11,27 8,40 0,793 HP = hasil pada kondisi potensial(100% LT); HC 70 = hasil pada kondisi cekaman sedang (70%LT) HC 40 = hasil pada kondisi cekaman berat (40% LT); ITC = Indeks Toleransi Cekaman Sumber : Suhartina,Sri Kuntjiyati H dan Tohari ( 2002)
0,691 0,521 0,517 0,573 0,488 0,554 0,689 0,550 0,572 0,633 0,558 0,631 0,452 0,730 0,767 0,595
B. Dengan Cara Budidaya Pengelolaan Kadar Lengas Tanah Hasil penelitian 1999/2000 pada Tabel 4 menunjukkan bahwa ketersediaan lengas tanah sekitar 12,5% dan 25% dibawah kapasitas lapang selama pertumbuhan tanaman memberikan hasil biji tertinggi di tanah Vertisol dan Entisol sedangkan ditanah Inceptisol pada kondisi lengas tanah sekitar 50% air tersedia memberikan nilai efisiensi penggunaan air tertinggi (Rahmiana dkk, 2000). Penurunan lengas tanah dari 90% menjadi 50% menyebabkan penurunan secara nyata tinggi tanaman saat panen berturut-turut 15% dan 17% selama MK I dan MK II 2003 (Tabel 5). Indikasi ini ditunjang oleh penelitian Djuber dan Sunarlim (1986) bahwa penurunan hasil lebih besar pada tekanan kekeringan pada kondisi kelengasan tanah <45%. Disamping itu penurunan lengas tanah tersedia juga akan menurunkan kadar protein biji yang dihasilkan. (Iman, 2001). Sedangkan Aris Budianto dkk (1984) menyatakan bahwa penurunan kelengasan air tersedia >50% menurunkan hasil biji tanaman sampai 50-54% tergantung varietasnya . Tabel 4. Hasil Biji Per Tanaman pada Beberapa Tingkat Air Tanah Tersedia. Rumah Kaca. Balitkabi, 2001. Perlakuan 1. 100% tersedia (KL) 2. 97,5 % air tersedia 3. 75 % air tersedia 4. 50% air tersedia 5. 25% air tersedia Sumber : Rahminana ( 2002).
Aluvial 1 5,73 6,86 5,90 3,68 0,00
a a a b c
Hasil biji ( g/tanaman) Aluvial 2 7,77 8,18 7,59 5,27 2,00
a a a b c
Aluvial 3 7,60 6,86 5,07 2,63 0,00
a a b c d
Tabel 5. Pengaruh Perbedaan Lengas Tanah Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai. Rumah Kaca Balitkabi, MK I dan MK II 2003 Lengas tanah tersedia MK I 2003 90% 50% 1. Tinggi tanaman saat panen (cm) 100 a 85 b 2. Kadar klorofil daun (65 hst) 40 a 38 a 3. Jumlah polong isi/tanaman 46 a 28 b 4. Ukuran biji (g/100 biji) 10 a 10 a 5. Berat biji (g/tanaman) 8,55 a 6,28 b Sumber : Riwanodja , Suhartina dan T.Adisarwanto ( 2003). Karakter
Lengas tanah tersedia MK II 2003 90% 50% 70 a 58 b 42 a 37 b 20 a 13 b 9 a 10 a 3,61 a 1,98 b
123
Tabel 6. Pengaruh Perbedaan Kelengasan Tanah Terhadap Karakter Tanaman. Rumah Kaca Balitkabi, MK I dan MK II 2004. Kelengasan tanah Karakter tanaman
90%
MK I 1. Tinggi tanaman saat panen 78 2. Jumlah bintil akar 100 3. Berat kering bintil akar 0,37 4. Jumlah polong isi 46 5. Ukuran biji (g/100 biji) 9,57 6. Berat biji (g/tanaman) 8,36 Sumber : Riwanodja,Suhartina dan T.Adisarwanto ( 2004 )
50% MK I 69 91 0,25 22 9,20 3,91
MK I 79 100 0,37 36 9,29 6,06
MK II 69 90 0,25 23 7,35 3,80
Penggunaan Mulsa Jerami Padi. Penggunaan jerami padi sebagai mulsa pada budidaya tanaman kedelai setelah padi sawah sudah biasa dilakukan oleh petani. Hasil penelitian manfaat penggunaan mulsa pada kedelai menunjukkan adanya kenaikan hasil biji sebesar 30% apabila tanah tidak diolah dan diberi mulsa (Tabel 6). Hal ini menurut Herlina dan Sulistyono(1990) mulsa jerami mampu menekan evapotranspirasi, menurunkan suhu udara dan tanah sehingga menekan kehilangan air dari permukaan tanah. sehingga mengurangi adanya cekaman kekeringan. Tabel 7. Pengaruh Mulsa Jerami Padi Terhadap Hasil Kedelai di Lahan Sawah MK I 1980. Perlakuan
Hasil biji (t/ha)
1. Tanpa mulsa 2. Tanpa mulsa, tanpa olah tanah 3. Dengan mulsa, tanpa olah tanah 4. Tanpa mulsa, tanah diolah satu kali 5. Dengan mulsa, tanah diolah satu kali Keterangan: mulsa jerami padi 5 t/ha. Sumber : Adisarwanto dan KoesHartoyo ( 1981)
0,95 1,32 1,89 1,64 1,97
KESIMPULAN 1.
Perakitan varietas toleran kekeringan merupakan prioritas utama dalam penanganan cekaman kekeringan
2.
Tanaman kedelai masih toleran apabila tumbuh pada kekeringan hanya sampai pada kondisi 50% lengas air tersedia.
3.
Diperlukan pengelolaan terpadu antara varietas toleran dengan pengelolaan agronomi dalam menekan dampak negatif cekaman kekeringan.
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T dan Koes Hartoyo.1981.Pengaruh Mulching Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Dua Cara Pengolahan Tanah. Hlm:44-52. Laporan Kemajuan Proyek Penelitian Tanaman Pangan Malang. 1979/1980. LP3 Perwakilan Jawa Timur. Malang. Aries Budianto. V.F, Soleh Solahuddin, J.S.Baharsyah dan F.Rumawas. Pengaruh Tekanan Kekeringan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Grumosol Lombok Tengah.: Bull Agr. XIV No. 3 : 17-30. IPB Bogor. Fagi, A.M dan Freddy Tangkuman. 1985. Pengelolaan Air untuk Tanaman Kedelai. Hlm. 135-158. Dalam: Kedelai (II). Edt: Sadikin Somaatmadja, M.Ismunadji, Sumarno, M.Syam, SO.Manurung dan Yuswadi. Puslitbangtan, Bogor. Herlina, M dan R. Sulistyono.1990. Respon Tanaman Kedelai (Glycine max L.Merr) pada Pemakaian Mulsa Jerami dan Tingkat Kandungan Air tanah yang Berbeda. Agrivita 13(1): 35-39 Iman Budisantoso. Pertumbuhan, Hasil tanaman dan ANR daun kedelai pada beberapa lengas tanah dan pemupukan nitrogen. hlm 30-35. BIOSFERA Vol 18 No.1. 2001. Fakultas Biologi Unsoed. Purwokerta
124
Kramer, P.J. 1963. Water stress and plant growth. Agron. J. 55: 31-35. Rahmiana, A.A. 2002. Keragaan tanaman dan hasil kedelai yang ditanam pada berbagai tingkat ketersediaan air pada beberapa fase pertumbuhan tanaman. 15. hlm. Laporan Tehnis. Hasil Penelitian Komponen Taknologi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Tahun 2001. Balitkabi. Riwanodja, Suhartina dan T.Adisarwanto. 2004. Respon galur/varietas terhadap kondisi kelengasan yang berbeda. 10 hlm. Laporan Akhir Tahun. Hasil Penelitian Komponen Teknologi Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian Tahun 2004. Balitkabi. Suhartina, Sri Kuntjiati dan Tohari. Toleransi Beberapa Galur F7 Kedelai Terhadap Cekaman Kekeringan.Pada Stadia Generatif. Hlm. 335-348. Prosiding Teknologi Inovatif Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian Mendukung Ketahanan Pangan. (Edts): M. Yusuf, J. Soejitno, Sudaryono, Darman M.A. A.A Rahmiana, Heryanto, Marwoto. I. Ketut Tastra, M. Muclish Adie dan Hermanto. Puslitbangtan. Suyamto dan T. Adisarwanto. 1999. Respon galur/varietas kedelai terhadap kekeringan pada beberapa stadia tumbuh. Laporan Tehnis Balitkabi. 1999. Suyamto dan Soegiyatni.2002. Evaluasi Toleransi Galur-Galur Kedelai Terhadap Kekeringan : hlm 218-224. Prosiding Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Ketahanan Pangan. (Edts). M. Yusuf, J. Soejitno, Sudaryono, Darman M.A. A.A Rahmiana, Heryanto, Marwoto. I. Ketut Tastra, M. Muclish Adie dan Hermanto. Puslitbangtan. Djuber Pasaribu dan N. Sunarlim.1986. Tekanan kekeringan pada kedelai. 25 hlm. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balittan Bgor. 17-18 Desember 1986. Volume 2 Palawija. (Edts). Soejitno dkk. Balittan Bogor.
125
PROSPEK PENGEMBANGAN LOW-COST ADAPTED SCREENHOUSE UNTUK BUDIDAYA HORTIKULTURA DI DAERAH TROPIS Harmanto, Agung Prabowo dan Ana Nurhasanah Perekayasa Muda, Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong
ABSTRAK Tingginya suhu dan kelembaban udara sepanjang tahun serta potensi serangan hama tanaman (pest) merupakan masalah utama dalam pengembangan greenhouse di daerah tropis. Selain itu, tingginya biaya investasi konstruksi greenhouse yang selama ini diimpor dari luar negeri antara 250 ribu hingga 1 juta rupiah per m² juga menjadi kendala utama bagi pengguna untuk memulai kegiatan agribisnis. Konsep adapted greenhouse telah diusulkan, dikembangkan dan dikaji di daerah tropis dataran rendah untuk dievaluasi secara teknis (iklim mikro dan laju aerasi), agronomis and entomologisnya (kemampuan menahan serangan hama). Adapted greenhouse adalah suatu rumah tanam jenis screenhouse dimana memiliki bukaan ventilasi yang besar untuk peningkatkan laju ventilasi alami dan menjaga iklim mikro didalam greenhouse adaptif dengan suhu diluar greenhouse. Penggunaan kombinasi plastik dan net tipe UV untuk atap dan dinding yang tepat menjadi sangat krusial karena berpengaruh terhadap iklim mikro, laju aerasi, hasil panen dan kualitas produk yang dibudidayakan. Penciptaan low-cost screenhouse berbahan baku lokal (memenuhi standar) dengan biaya investasi antara 150 hingga 250 ribu per m² adalah salah satu terobosan sekaligus insentif menarik bagi petani hortikultura untuk mendukung pemenuhan produk hortikultura secara berkesinambungan. Kata kunci : low-cost adapted screenhouse; nets; iklim mikro; laju ventilasi alami; dataran rendah tropis.
PENDAHULUAN Pada era millenium III sektor agrobisnis-agroindustri hortikultura Indonesia merupakan komoditas yang sangat penting peranannya dalam ekspor non migas. Agrobisnis hortikultura merupakan komoditas yang perlu ditangani secara serius karena komoditas ini mempunyai potensi yang sangat besar dalam peningkatan produktivitasnya dan mempunyai peluang pasar yang sangat luas. Permintaan terhadap komoditas hortikultura mempuyai trend yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia dan juga sudah menjadi kebutuhan primer. Kenyataan di lapangan menunjukkan betapa rendahnya daya saing komoditas hortikultura Indonesia. Produksi produk hortikultura mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir (2001-2003). Pada tahun 2001 produksi buah-buahan sebesar 9,96 juta ton dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 11,66 juta ton dan pada tahun 2003 mencapai 13,55 juta ton. Produksi sayuran meningkat dari 6,92 juta ton pada tahun 2001 menjadi 7,14 juta ton tahun 2002 dan tahun 2003 mencapai 8,57 juta ton. Kontributor terbesar terhadap devisa negara adalah buah-buahan dengan nilai ekspor pada tahun 2003 mencapai US $ 123.157.271 kemudian disusul dengan sayuran dengan nilai ekspor sebesar US $ 56.328.788 (Anonim, 2005). Dalam mengembangan produk hortikultura di Indonesia terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi yaitu munculnya pesaing baru yang berasal dari Asia Tenggara (seperti Thailand, Vietnam, Kamboja), Asia Selatan (India, Sri Langka) dan Afrika, dan perlunya Indonesia meningkatkan kemampuan penetrasi dan daya saing produk hortikultura yang dihasilkannya di lingkungnan pasar internasional. Adapun kemampuan penetrasi pasar dan daya saing yang perlu mendapat perhatian yang lebih serius untuk lebih ditingkatkan lagi adalah penetapan produk hortikultura unggulan dan wilayah andalan untuk produk hortikultura, SDM berbudaya industri, teknologi, manajemen, harga yang bersaing, permodalan, pemasaran/ promosi, dan infrastruktur. Oleh karena itu, perluasan rumah tanam (greenhouse) di daerah dataran rendah merupakan alternatif sekaligus tantangan untuk lebih meningkatkan produksi hortikultura, di samping dataran tinggi yang selama ini telah berhasil. Tingginya suhu udara (iklim micro) sepanjang tahun dan serangan hama pengganggu merupakan masalah utama budidaya hortikultura di dataran rendah. Penciptaan teknologi rumah tanam yang adaptif terhadap kondisi sekitarnya dan tahan terhadap serangan hama (insect pest) merupakan terobosan teknologi inovatif untuk daerah tropis. Tipe rumah tanam dengan sistem bukaan ventilasi selebar mungkin dengan ditutup oleh net (screen) akan memiliki keuntungan dalam hal aerasi yang baik dan untuk menekan serangan hama pengganggu (von Zabeltitz, 1998). Bahkan Bethke (1990) merekomendasikan beberapa ukuran net digunakan untuk menekan serangan hama tanaman. Selain itu, mahalnya biaya investasi dan tingginya biaya operasional budidaya dalam rumah tanam juga merupakan salah satu kendala utama dalam pemenuhan produk hortikultura tersebut. Selama ini konstruksi greenhouse di Indonesia masih diimpor dari beberapa negara seperti: Israel, Eropa, Australia,
126
India, Malaysia dan Cina yang harganya relatif mahal atau berkisar antara Rp. 400 ribu hingga 1 juta per m². Penggunaan bahan (material) lokal yang lebih murah dan mudah didapat (tentu saja harus memenuhi standard yang ada) akan menurunkan biaya investasi konstruksi greenhoue dan biaya pemeliharaannya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam budidaya tanaman hortikultura. Tulisan ini akan memaparkan ulasan tentang apa itu low-cost tropical screenhouse, disain teknis dan kinerjanya, optimasi penggunaan UV-plastik/net dan prospek pengembangannya (dari segi biaya) bagi petani hortikultura secara berkelanjutan.
SEKILAS TENTANG "LOW-COST" TROPICAL SCREENHOUSE Definisi
Greenhouse didefinisikan sebagai bangunan tertutup yang transparan untuk menumbuhkan atau melindungi tanaman atau istilah lain didefinisikan sebagai sebuah bangunan yang dapat menyediakan kondisi optimal untuk pertumbuhan tanaman secara memuaskan sepanjang tahun. Faktor yang berpengaruh seperti suhu, sinar matahari, kelembaban, dan udara disediakan, dipertahankan dan didistribusikan secara merata dalam greenhouse pada level yang optimal (Enoch dan Enoch, 1998). Greenhouse yang baik harus memiliki transmisi cahaya yang tinggi, konsumsi panas yang rendah, ventilasi yang cukup dan efisien, struktur yang kuat, konstruksi, dan biaya operasional yang murah (von Zabeltitz, 1998). Pada daerah tropis, produksi dapat dilakukan sepanjang tahun di dalam greenhouse, dimana produksi dalam lahan yang terbuka tidak memungkinkan karena adanya hujan yang sering dan angin yang kencang. Kebutuhan dan tujuan utama dari greenhouse dan bangunan konstruksinya untuk daerah tropis adalah 1) melindungi tanaman dari hujan yang sangat lebat yang dapat terjadi secara berlebihan, tingginya radiasi matahari dan angin, 2) efisiensi ventilasi yang tinggi, 3) jangka waktu penggunaan plastik film (sekali dalam satu tahun) dan 4) pengumpulan air untuk irigasi dalam musim kemarau (von Zabeltitz, 1998). Untuk itu teknologi "adapted greenhouse" telah diperkenalkan untuk daerah tropis. Adapted greenhouse adalah konstruksi bangunan tanam yang menekankan bukaan ventilasi selebar mungkin untuk mendapatkan suhu dan kelembaban udara didalam hampir sama (adapted) dengan cuaca diluar greenhouse. Hal ini untuk menghindari penggunaan sistem pendingin buatan (fan, pad cooling atau air conditioner lainnya) yang memerlukan biaya operasional dan investasi yang mahal. Struktur greenhouse di daerah tropis sering menggunakan sisinya untuk melindungi dan mengontrol suhu dengan menggunakan ventilasi alamiah maupun terkontrol dengan dilapisi net (screens) yang mampu mengurangi serangan serangga dan hama (Jensen, 2000). Karena porsi penggunaan net kadang lebih besar dari plastik untuk dindingnya tersebut, rumah tanam ini sering disebut juga dengan screenhouse. Umumnya, screenhouse memiliki rasio bukaan ventilasi terhadap luasan lantai (Vr) > 1,0. Mengingat biaya terbesar dari konstruksi screenhouse terletak pada jumlah net yang akan dipasang, maka penggunaan net seminimal mungkin perlu dilakukan untuk lebih menekan biaya. Oleh karena itu optimasi pengunaan kombinasi net dan plastik menjadi sangat penting. Disain dan Konstruksi dari Adapted Greenhouse Secara umum, greenhouse dibedakan dalam beberapa macam dan tipe. Berdasarkan jenis material untuk penutup, greenhouse dikategorikan dalam: 1.
Glass greenhouse: rumah tanam terbuat dari bahan kaca,
2.
Low plastic tunnels: lorong terbuat dari plastik dengan tinggi < 1.8 m,
3.
Plastic film greenhouse: terbuat dari plastik film (tipe-UV) dengan tinggi > 3.5 m, cocok untuk daerah semi-tropis dan tropis.
Adapun kerangka untuk untuk medirikan greenhouse dapat berupa: besi baja kotak, besi siku, pipa baja galvanis ataupun kayu balok. Sedangkan berdasarkan bentuknya, rumah tanam dibedakan dalam bermacam-macam antara lain: tipe Venlo, Vinery, Mansard, Arch, Standard peak, Quonset, Even span Uneven span, Sawtooth, Hillside dan Ridge-furrow gutter connected multispan (Hanan, 1998). Bentukbentuk rumah tanam ini dibuat berdasarkan berbagai pertimbangan kondisi iklim setempat dan lokasi (altitute) greenhouse dimana akan dibangun serta kondisi topografi setempat. Bahkan akhir-akhir ini jenis tanaman yang akan dibudidayakan sangat mempengaruhi jenis dan tipe rumah tanam yang akan dikembangkan apakah tipe single span (satu atap saja) atau multispan (lebih dari satu atap terhubung untuk memperluas ruangan tanam).
127
Untuk lebih menekan biaya produksi hortikultura di daerah tropis yang notabene petani dengan low income, selain menurunkan biaya investasi (konstruksi) yang sekecil mungkin, sistem ventilasi alamiah adalah metode termurah yang harus diaplikasikan. Konsekuensinya adalah pemilihan jenis tanaman yang akan dibudidayakan dan metode pendinginan (dengan ventilasi alamiah) harus benar-benar dikombinasikan dengan baik agar diperoleh hasil dan kualitas yang maksimal. Seperti diketahui, sistem ventilasi alamiah banyak dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu perbedaan suhu (bouyancy effect) dan kecepatan (atau arah) angin. Untuk daerah tropis, arah dan kecepatan angin merupakan faktor penentu dalam mendisain tropical greenhouse. Gambar 1 dan 2 menggambarkan diagram aliran udara dari beberapa tipe greenhouse. Dapat dijelaskan bahwa tipe greenhouse yang selama ini diadopsi di Indonesia umumnya kurang memberikan efek pergantian udara (ventilasi) yang baik (Gambar 1). Ventilasi dari atap kurang begitu dimaksimalkan karena kesalahan disain, padahal ventilasi atap akan memberikan kontribusi pertukaran udara (air exchange rate) didalam greenhouse 20 hingga 40%. Selain itu, pemanfaatan ventilasi atap yang dikombinasikan dengan cukupnya tinggi ruangan greenhouse juga membantu dalam pendinginan udara di ruangan (Harmanto et al., 2006(b); Munoz et al., 1999). Gambar 2 menunjukkan dua arah aliran udara yang berbeda bahwa aliran udara pada atap kurang begitu efektif masuk ke dalam ruangan greenhouse (chamber), sedangan angin dari samping hanya memberikan sedikit kontribusi apabila bukaan ventilasi kecil atau terhalang oleh tingginya tanaman yang dibudidayakan.
(a) Windward direction
(b) Leeward direction
Gambar 1. Diagram aliran udara (ventilasi) dari greenhouse yang ada selama ini
Modifikasi dari greenhouse seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 akan memberikan ventilasi alamiah yang lebih baik apabila ditinjau dari dua macam arah angin yang berbeda.
net
plastik
net
(a) Windward direction net
(b) Leeward direction
plastik
net
(a) Arah angin dari sebelah kiri
(b) Arah angin dari sebelah kanan
Gambar 2. Diagram aliran udara (ventilasi) dari screenhouse yang dimodifikasi
Kemiringan dan disain atap yang agak miring memberikan venetrasi aliran udara apabila arah angin dari sebelah kiri dan menghadap bukaan ventilasi (windward direction) ke dalam greenhouse. Sedangkan
128
apabila arah angin berasal dari sebelah kanan menuju belakang bukaan ventilasi (leeward direction) akan memberikan efek hisap dari dalam ruangan greenhouse (karena perbedaan tekanan udara panas didalam greenhouse dan udara dingin diluar) keluar lewat bukaan pada atap sehingga udara panas di dalam greenhouse akan terhisap keluar. Hal ini akan memberikan sistem aerasi udara yang lebih baik apabila sistem ventilasi alamiah diterapkan. KINERJA DARI ADAPTED SCREENHOUSE DENGAN BERBAGAI TIPE NET
Sejak diperkenalkannya net untuk penutup rumah tanam pada akhir-akhir ini bahkan ada yang dilengkapi dengan ultraviolet (UV) absorbing, penggunaan net semakin jadi kebutuhan. Hal ini disebabkan net sebagai penutup greenhouse mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: 1). memperbaiki sistem ventilasi udara secara alami; 2). sebagai pengontrol hama tertentu (trips, whiteflies); 3). menekan populasi hama; dan 4). menekan penggunaan pestisida. Bethke (1990) merekomendasikan penggunakan beberapa jenis ukuran net didasarkan atas ukuran thorax dari hama insekta yang akan diblok agar tidak masuk ke rumah tanam. Tipe dan jenis net yang harus digunakan untuk menekan serangan beberapa jenis hama dituangkan kedalam Table 1. Tabel 1. Jenis Net Yang Diperlukan untuk Menekan Jumlah Hama Pengganggu Jenis hama insekta (Serpentine) Leafminers (Sweet potato) Whiteflies (Melon) Aphids (Greenhouse) Whitefly (Silver leaf) Whitefly (Western flower) Thrips Sumber: Bethke, 1990
Micron 640 462 340 288 239 192
Ukuran lubang net (screen) Inchi 0,025 0,018 0,013 0,0113 0,0094 < 0,0075
Mesh 40 52 78 81 123 132
Meskipun net membantu menekan jumlah serangan hama pengganggu ke dalam greenhouse, penggunaannya akan menurunkan laju ventilasi (air exchange rate) dan kenaikan suhu udara dalam greenhouse. Oleh karena itu perbaikan konstruksi perlu diperhatikan, salah satunya adalah disain tinggi greenhouse. Dengan tinggi yang cukup akan meningkatkan volume (ruangan) udara sehingga sistem aerasi akan lebih baik yang pada gilirannya akan menurunkan suhu udara di dalamnya. Untuk daerah tropis, ketinggian greenhouse lebih dari 4,5-5 meter sangat direkomendasikan (Connelan, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran net sangat mempengaruhi kinerja iklim mikro, laju ventilasi, hasil dan kualitas produk serta tingkat serangan hama tanaman. Dari tiga jenis net (78; 52 dan 40mesh) yang diuji, ukuran net <52-mesh sangat dianjurkan untuk digunakan untuk mencegah kenaikan suhu udara dan menurunnya laju ventilasi secara nyata (Harmanto et al. 2006 (a).
OPTIMASI UV-PLASTIK DAN NET PADA BUKAAN VENTILASI Optimasi penggunaan UV plastik dan net dilakukan karena ventilasi merupakan komponen terbesar biaya konstruksi. Selain itu harga UV-net bisa mencapai 5 kali lipat harga plastik. Bukaan ventilasi divariasikan 20; 40; 60; 80 dan 100% dari luasan lantai untuk dikaji kinerjanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil bukaan ventilasi akan meningkatkan suhu udara dan menurunkan laju ventilasi. Untuk daerah tropis, Harmanto et el., 2005 (b) menyimpulkan bahwa bukaan minimum sebesar 60% dari luasan lantai diperlukan untuk mencegah tingginya suhu udara dan rendahnya laju ventilasi. Konfigurasi bukaan ventilasi juga menentukan kondisi iklim mikro, laju ventilasi dan tingkat intrusi serangan hama. Gambar 3 menunjukkan optimum disain dari screenhouse bahwa kombinasi bukaan ventilasi atap dengan ukuran mesh kecil dan sebagian bukaan dinding dengan ukuran mesh sedang adalah pengaturan ventilasi terbaik untuk mendapatkan iklim mikro yang cocok bagi pertumbuhan tanaman (Harmanto et al., 2005 (b); Tietel et al., 2006).
129
Kenaikan suhu udara, °C
Rasio bukaan ventilasi terhadap luasan lantai
Gambar 3. Kenaikan suhu udara pada berbagai rasio bukaan ventilasi.
PROSPEK PENGEMBANGANNYA DARI SEGI BIAYA Biaya konstruksi masih merupakan komponen biaya terbesar dari budidaya intensif hortikultura, oleh karena itu dengan menekan komponen biaya ini akan menjadikan insentif penting bagi petani atau pengusaha bisnis hortikulktura. Table 2 memberikan gambaran biaya konstruksi dari berbagai tipe greenhouse (rumah tanam). Tabel 2. Biaya Konstruksi Greenhouse dari Berbagai Tipe (Aldrich & Bartok, 1985) Tipe greenhouse
Material (US $ m-2) 64.80 – 86.40
Tenaga kerja (US $ m-2) 27.00 – 32.40
1. Glass house (konvensional), pondasi beton, rangka galvanis 2. Plastic house, gutter connected, rangka galvanis, 27.00 – 43.20 16.20 – 21.60 pondasi beton 3. FRP plastic house, pondasi pipa besi, rangka 32 18.90 – 27.00 2.70 – 5.40 mm pipa galvanis 4. Plastic house tipe lorong, pondasi pipa, rangka 32 12.96 – 18.36 2.16 – 3.24 mm pipa galvanis 5. Span greenhouse, rangka kayu, penutup PE, 8.64 – 10.80 3.78 – 6.48 pondasi kayu Catatan: Persiapan tempat: 2.70-3.78 $ m-2, lantai: 7.56-8.64 $ m-2, parit: 16.2-48.6 $ m-2
Total biaya (US $ m-2) 91.80 – 118.80 43.20 – 64.80 21.60 – 32.40 15.12 – 21.60 12.42 – 17.28
Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti (White, 1975; Connelan, 2002 dan Harmanto et al., 2006(b)), penggunaan net atau plastik terutama bila dilengkapi UV-reflecting sebagai penutup sistem ventilasi merupakan komponen biaya terbesar dalam konstruksi greenhouse. Penggunaan UV-reflecting net yang optimum (terbatas) akan dapat menekan biaya konstruksi greenhouse. Penggunaan kombinasi plastik dan net yang tepat sebagai penutup bukaan ventilasi akan memberikan keuntungan ganda dari segi ekonomis dan teknis. Berbagai pertimbangan penting dalam pengembangan low-cost screenhouse adalah permainan mengkombinasikan jenis dan kualitas meterial yang tersedia di pasaran lokal adalah tantangan sekaligus peluang. Screenhouse akan memberikan berbagai keuntungan penting dari segi finansial antara lain: 1) biaya investasi yang lebih rendah karena penggunaan material lokal yang memenuhi standar; 2) optimasi penggunaan UV-plastik dan net memberikan keuntungan ganda selain menurunkan biaya investasi akan menekan biaya operasional karena tanpa pengoperasian fan/blower; 3) penghematan lebih lanjut akibat penggunaan net yang tepat dapat menekan bahkan meniadakan biaya untuk pestisida dalam rangka program pengendalian hama terpadu (PHT).
130
KESIMPULAN Dari uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal penting berikut: 1) Screenhouse dengan net 52-mesh untuk bukaan direkomendasikan untuk dataran rendah tropis 2) Minimum rasio bukaan ventilasi 0,6 diperlukan untuk menjaga iklim mikro dan laju ventilasi cocok untuk pertumbuhan tanaman 3) Bukaan ventilasi atap dan dinding adalah kombinasi terbaik dalam sistem ventilasi alami. 4) Keuntungan prototipe ‖low-cost‖ screenhouse: (1) biaya investasi & operasional rendah; (2) disain sederhana; (3) kontrol hama terpadu;(4) budidaya tanaman berkesinambungan
DAFTAR PUSTAKA Aldrich, R.A. dan J.W. Bartok, 1985. Greenhouse Engineering. Agricultural Engineering Department, Univ. of CT, Storrs, CT. Anonim, 2005. Menyiasati Ekspor Hortikultura dengan Mempertahankan Mutu dan Kontinuitas. Temu Teknis Mekanisasi Hortikultura. Ditjen. Bina produksi Horticultura, Jakarta, 20 April 2005. Bethke, J.A., 1990. Screening greenhouse for insect size. Grower Talks. P. 102 Connnelan, G.J., 2002. Selection of greenhouse design and technology option for high temperature regions. Proceedings of International Seminar on Tropical Subtrop Greenhouse, Acta Horticulturae. 578. ISHS. Enoch, H.Z. dan Enoch,Y., 1998, The History and geography of the greenhouse, In : Greenhouse Ecosystem, eds : Stanhill, G. And Enoch H.Z., Elsevier, Amsterdam, 1-16. Hanan, J. J., 1998. Greenhouses Advanced Technology for Protected Horticulture. CRC Press LLC, New York, ISBN: 0-8493-1698-7. Harmanto, H. J. Tantau dan V. M. Salokhe, 2006(a). Influence of Insect Screens with Different Mesh Sizes on Ventilation Rate and Microclimate of Greenhouses in the Humid Tropics. Agricultural Engineering International: the CIGR Ejournal. Manuscript BC 05 017. Vol. VIII. January, 2006 Harmanto, H.J. Tantau dan V.M. Salokhe, 2006(b). Optimization of Ventilation Opening Area of a Naturally Ventilated Net Greenhouse in Humid Tropical Environment, Presented at the International Symposium on Greenhouse Cooling: methods, technologies, and plant response, CSA06-16, 24-27 April 2006, Almeria, Spain. Jensen, M.H., 2000, Plasticulture in the Global Community - View of the Past and Future in The Proceedings of the 15th International Congress for Plastics in Agriculture and 29 th National Agricultural Plastics Congress in 2000 at Hershey, PA. in www.plasticulture.org Munoz, P., J.I. Montero, A. Anton dan F. Giuffrida, 1999. Effect of insect-proof screens and roof openings on greenhouse ventilation. Journal of Agricultural Engineering Research: 73, 171 – 178. Takakura, T. dan Fang, W., 2002. Climate under cover, Kluwer, Dordrecht, pp190. Tietel, M., Barak M. dan Zhao Y., 2006. The effect of roof and side vents on the modes of greenhouse natural ventilation. Presented at the International Symposium on Greenhouse Cooling: methods, technologies, and plant respons. 24-27 April 2006, Almeria, Spain Von Zabeltitz, C., 1998, Greenhouse Structure, Greenhouse Ecosystem, eds: Stanhill, G dan Enoch HZ, Elsevier, Amsterdam, 17-70. White,R.A.J. 1975. Effect of ventilation on maximum air temperatures in twelve identical glasshouses. Acta Horticulturae 46: 63 – 70.
131
PELESTARIAN HARA P DAN K MELALUI REKOMENDASI PEMUPUKAN BERDASARKAN UJI TANAH DI LAHAN SAWAH D.I. YOGYAKARTA 1)
Mulud Suhardjo1), Damasus Riyanto1)., dan Abdul Syukur2) Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)-Yogyakarta 2) Peneliti Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta ABSTRAK
Sejalan dengan pemantapan swasembada beras, penerapan teknologi pemupukan padi sawah semakin penting. Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi erat kaitannya dengan penggunaan pupuk yang semakin meningkat baik jumlah maupun jenisnya. Namun demikian dalam beberapa tahun terakhir ini swasembada padi mulai terancam, karena telah terjadi pelandaian produksi padi, peningkatan produksi hanya 0,11%. Saat ini penggunaan pupuk P dan K belum rasional dan berimbang sehingga pemupukan tidak efisien dan produksi tanaman tidak optimal. Kebutuhan pupuk P suatu tanaman tergantung status dan dinamika hara yang bersangkutan. Penelitian kalibrasi hara P dan K yang menghubungkan status dan dinamika hara tersebut di dalam tanah dengan respon tanaman terhadap pemupukan hara P dapat digunakan untuk menyusun rekomendasi pemupukan yang rasional dan berimbang. Hal ini telah dilaksanakan di Galur Yogyakarta. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang diulang 3 kali. Adapun perlakuannya adalah: metode uji tanah dosis pemupukan TSP dan KCl 25; 50; 75; 100 kg/ha; metode petani dosis pemupukan TSP 50; 100; 150; 200 kg/ha dan KCl 75; 125; 175; 225 kg/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji korelasi antara produksi gabah kering panen dengan dosis rekomendasi pemupukan terbaik adalah rekomendasi pemupukan melalui metode uji tanah yaitu sebesar 0,388 di atas rekomendasi lainnya. Hasil GKP mencapai 10 ton/ha dengan pemupukan 75 kg TSP/KCl per ha. Sedangkan metode petani hanya mencapai 8 ton/ha dengan pemupukan 150 kg TSP dan 175 kg KCl per ha. Di samping itu serapan hara P dan K pada pemupukan melalui uji tanah lebih sedikit/efisien pada perlakuan tersebut, sehingga terjadi pengawetan hara P dan K dan lingkungan tetap terjaga kelestariannya. Kata kunci: pengawetan hara P dan K, uji tanah, rekomendasi pemupukan
PENDAHULUAN Sejalan dengan pemantapan swasembada beras, penerapan teknologi pemupukan padi sawah semakin penting. Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi erat kaitannya dengan penggunaan pupuk yang semakin meningkat baik jumlah maupun jenisnya. Namun demikian dalam beberapa tahun terakhir ini swasembada padi mulai terancam, karena telah terjadi pelandaian produksi padi, peningkatan produksi hanya 0,11% (Sri Adiningsih, 1998). Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang adalah salah satu faktor kunci untuk dapat memperbaiki dan meningkatkan produktivitas pertanian lahan sawah. Penggunaan pupuk yang rasional dan berimbang berati harus memperhatikan kadar unsur hara di dalam tanah, jenis dan mutu pupuk, dan keadaan pedoagroklimat, juga memperhatikan atau mempertimbangkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi optimal (Price, 1978). Penggunaan pupuk untuk padi sawah terbukti nyata meningkatkan produksi padi, dimana telah lama dikembangkan di Jawa dengan program Intensifikasi. Pulau Jawa telah menyumbang produksi padi 60 persen dari produksi Nasional termasuk Wilayah Yogyakarta. Di Yogyakarta sentra produksi padi adalah di Sleman, Bantul dan sebagian di Kulon Progo dan Gunung kidul Namun pada akhir-akhir ini produksi padi menunjukkan kejenuhan berproduksi (pelandaian). Untuk itu telah banyak dikembangkan rekomendasi pemupukan untuk padi sawah. Puslittanak Bogor telah mengembangkan rekomendasi pemupukan berimbang berdasarkan uji tanah. Bahkan telah mengusulkan tindak lanjut implementasi program pemupukan berimbang dengan metoda uji tanah, dan juga telah menyimpulkan bahwa uji tanah (soil test) merupakan pendekatan terbaik untuk menyusun rekomendasi pemupukan tanaman pangan (Anonim, 2000). Hal ini telah direspon oleh BPTPYogayakarta dengan melakukan pemetaan status hara P dan K di beberapa kabupaten di D.I. Yogyakarta Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P dan K di lahan sawah, dibeberapa kabupaten di D.I. Yogyakarta telah dibuatkan peta status hara P dan K, namun penggunaa rekomendasi pemupukan P dan K masih beragam. Menurut Keputusan Menteri Pertanian (SK Mentan Nomor: 01/Kpts/SR.130/1/2006 tanggal 3 Januari 2005) bahwa rekomendasi pemupukan pada lahan sawah harus mengikuti uji tanah. Makalah ini mengemukakan hasil pengkajian rekomendasi pemupukan P berdasarkan beberapa metoda untuk menentukan rekomendasi pemupukan hara P dan K untuk tanaman padi sawah yang efisien sekaligus dapat melestarikan kesuburan tanahnya.
132
METODOLOGI Pengkajian rekomendasi pemupukan dari beberapa metoda melalui uji kalibrasi di lapangan dengan menggunakan percobaan petak kecil. Adapun rancangannya adalah mengunakan Rancangan Acak Kelompok di lahan yang sudah dipetakan status haranya. Adapun perlakuannya adalah sebagai berikut: - Rekomendasi pemupukan P dan K perlakuan berdasarkan uji tanah yang dikaji yaitu untuk pupuk P (TSP) dengan dosis perlakuan: 25 kg/ha; 50 kg/ha; 75 kg/ha dan 100 kg/ha dan untuk pupuk K (KCl) dengan perlakuan: 25 kg/ha; 50 kg/ha; 75 kg/ha dan 100 kg/ha. - Rekomendasi pemupukan berdasarkan perlakuan petani Rekomendasi pemupukan P dan K berdasarkan perlakuan petani yaitu untuk pupuk P (TSP) dengan dosis perlakuan: 50 kg/ha; 100 kg/ha; 150 kg/ha dan 200 kg/ha dan untuk pupuk K (Kcl) dengan perlakuan: 75 kg/ha; 125 kg/ha; 175 kg/ha dan 225 kg/ha.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah sebelum pengkajian menunjukkan bahwa status hara P dan K sedang sampai tinggi baik tersedia maupun total, namun kandungan bahan organiknya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa daya sangga tanah terhadap pemupukan rendah sehingga banyak pupuk hilang, tetapi nilai KTK sedang sampai tinggi hal ini menunjukkan bahwa lahan tersebut sangat respon terhadap pupuk yang diberikan. Tabel 1. Hasil Analisa Tanah Sebelum Pengkajian di Lokasi Pengkajian Sifat kimia Tanah pH H2O pH KCl C-Organik (%) N Total (%) C/N Rasio P2O5 Tersedia (ppm) K2O Tersedia (ppm) P2O5 Total (mg/100g) K2O Total (mg/100g) Ca (cmol/kg) Mg (cmol/kg) K (cmol/kg) Na (cmol/kg) Jumlah (Ca,Mg,K,Na) KTK KB (%) Al ++ (cmol/kg) H + (cmol/kg) Cu (ppm) Zn (ppm)
I 7,0 5,7 0,78 0,08 10 54 286 143,85 50,35 16,59 1,80 0,57 0,50 19,26 18,57 > 100 0,00 0,7 62 115
Lapisan tanah II III 6,8 5,5 1,32 0,16 8 61 305 149,89 52,36 18,10 5,80 0,60 0,67 25,17 20,61 > 100 0,00 0,2 45 69
7,2 5,8 0,36 0,05 7 38 269 83,50 42,29 17,34 7,35 0,53 0,40 25,82 20,71 > 100 0,00 0,2 40 56
IV
Komposit
7,2 5,7 0,42 0,06 7 43 341 97,58 41,29 17,55 7,08 0,66 0,47 25,76 20,31 > 100 0,00 0,4 48 63
6,4 5,2 0,376 0,15 9 71 121 122,73 43,30 17,59 8,56 0,12 0,70 24,97 21,67 > 100 0,00 0,4 42 60
Tabel 2. Hasil Analisa Tanah pada Saat Panen
Perlakuan 25 TSP 50 TSP 75 TSP 100 TSP Perlakuan 25 KCl 50 KCl 75 KCl 100 KCl
Metode Uji Tanah Hara P (Phosphate) Tanah Jaringan Tersedia Total (%) Total (ppm) (ppm) 0,44 0,25 0,23 0,28 0,18 0,15 0,28 0,17 0,15 0,32 0,21 0,18 Hara K (Kalium) Tanah Jaringan Tersedia Total (%) Total (ppm) (ppm) 1,18 0,81 0,66 1,2 1,79 1 1,11 0,72 0,61 1,23 0,84 0,69
Perlakuan 50 TSP 100 TSP 150 TSP 200 TSP Perlakuan 75 KCl 125 KCl 175 KCl 225 KCl
Perlakuan petani Hara P (Phospate) Tanah Jaringan Total (%) Total (%) Tersedia me % 0,34 0,24 0,26 0,29 Jaringan Total (%) 1,16 1,18 1,11 1,11
0,15 0,16 0,17 0,22 Hara K (Kalium) Tanah
0,16 0,13 0,14 0,17
Total (%)
Tersedia me %
0,75 0,85 0,72 0,68
0,64 0,68 0,61 0,6
133
Analisis Korelasi dan Regresi Hasil uji korelasi antara produksi gabah kering panen dengan dosis rekomendasi pemupukan menunjukkan bahwa tertinggi/kedekatannya dengan produksi padi berturut-turut adalah rekomendasi pemupukan melalui metode uji tanah untuk pupuk K yaitu sebesar 0,388 untuk uji tanah K dan 0,241 untuk uji tanah P. sedang untuk perlakuan petabi paling kecil nilai koefisien (r) yaitu sebesar 0,032 (Tabel 3). Tabel 3
Nilai koefisien Kerelasi Beberapa Metoda Rekomendasi Pemupukan Terhadap Poduksi Gabah Kering Panen D.I. Yogyakarta Metode rekomendasi pemupukan
Nilai Korelasi
Uji tanah P Uji tanah K Perlakuan petani P Perlakuan petani K
0,241 0,388 0,190 0,032
Uji kalibrasi metode uji tanah dan perlakuan petani Proporsi pupuk yang digunakan untuk tanaman pangan terutama padi telah mencapai 85% dari total pupuk untuk sektor pertanian. Untuk itu penggunaannya harus efektif dan efisien. Beberapa metode untuk menentukan dosis rekomendasi pemupukan P dan K telah dikembangkan dalam rangka meningkatkan produksi padi di lahan sawah. Agar lebih tepat dan akurat perlu dikaji metode yang terbaik untuk D.I. Yogyakarta ini. Hasil analisis regresinya berdasarkan hasil kalibrasi di lahan sawah menunjukkan bahwa untuk metode uji tanah untuk pupuk P (Y=0,6912 + 8,8608 X +- 17203 X²), metode uji tanah K (Y=2,0504 + 4,0408 X – 0,7704 X²), metode ommision plot P (Y= 5,2058 + 1,728 X – 0,2899 X² ) dan metode ommision plot K (Y= 3,6649 + 3,035 X – 0,5596 X² (Tabel 4 dan Gambar 1 dan 2). Penggunaan pupuk P (SP-36) sebagai sumber P untuk padi sawah telah dilakukan sejak lama bersama-sama pupuk Urea. Efisiensi pupuk P lebih rendah dari pupuk N dan K. Hasil pengkajian kalibrasi pemupukan P berdasarkan metode uji tanah, dengan dosis 75 kg/ha menunjukkan terbaik diantara perlakuan lainnya dan berbeda nyata yaitu hasil gabah kering panen mencapai ±10 t/ha dan ± 7 t/ha pada uji tanah pupuk K, perlu diketahui bahawa pada uji tanah pupuk P pupuk selain P dioptimalkan begitu juga untuk uji tanah pupuk K, selain pupuk K dioptimalkan terlebih dahulu. Pada perlakuan petani hasil gabah kering panen dapat mencapai ± 8 ton/ha, namun dosis pupuk yang diberikan masih terlalu tinggi yaitu 150 kg/ha TSP/SP36 dan 75 kg/ha KCl, hal ini kurang efisien. Di Daerah Nomporejo walaupun status hara P dan K tinggi namun mampu merespon pemupukan yang berlebihan walaupun hasil yang dicapai menurun dengan meningkatnya pemberian pupuk. Metode uji tanah untuk menentukan rekomendasi pemupukan, hasil gabah kering panen menunjukkan lebih tinggi dibandingkan dari hasil pengkajian pemupukan P berdasarkan perlakuan petani. Namun untuk pengkajian pupuk K, perlakuan petani lebih tinggi dari metode uji tanah, kemungkinan dosis pemupukan K yang lebih besar/banyak dari metode uji tanah. Hal ini menunjukkan bahwa metode uji tanah dalam menentukan rekomendasi pemupukan di Yogyakarta ini dipandang lebih baik dan dapat dikembangkan dari metode lainya baik dari segi efisiensi maupun cara melakukannya. Hasil gabah kering panen ( ton/ha )
12
10
8
6
3 4
4
1 y = -0.6912 + 8.8608x - 1.7203x2
2
R 2 = 0.5974
2 y = 2.0504 + 4.0408x - 0.7704x2
1
( meto de uji tanah P ) ( meto de uji tanah K )
R 2 = 0.1977
2
2 3 y = 5.2058 + 1.7281x - 0.2899x
( meto de o misio n plo t P )
R 2 = 0.47
4
y = 3.6649 + 3.1035x - 0.5596x2 R 2 = 0.524
( meto de o misio n plo t K )
0 0
1
2
3
4
5
Takaran pupuk ( kg/ha )
Gamb.1 Tanggap padi sawah terhadap pemupukan berdasarkan metode uji tanah di Nomporejo, Galur, Kulon Progo
134
Tabel 4 Rata-rata Hasil Gabah pada Berbagai Metode Pemupukan Perlakuan kg/ha 25 TSP 50 TSP 75 TSP 100 TSP
Metode uji tanah Gabah kering panen ton/ha 6,633 b 9,600 ab 10,958 a 7,045 ab
Perlakuan kg/ha 50 TSP 100 TSP 150 TSP 200 TSP
Perlakuan petani Gabah kering panen ton/ha 6,763 b 7,146 b 8,171 a 7,361 b
25 KCl 5,449 b 75 KCl 6,242 b 50 KCl 6,666 ab 125 KCl 7,535 a 75 KCl 7,624 a 175 KCl 8,038 a 100 KCl 5,759 b 225 KCl 7,126 ab Keterrangan: Angka-angka pada kolom yang sama, yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata dalam taraf 5%.
KESIMPULAN 1. Metode untuk menentukan rekomendasi dosis pemupukan terbaik adalah metode uji tanah, baik untuk pupuk P maupun pupuk K. 2. Dosis pemupukan pupuk P maupun pupuk K terbaik adalah 75 kg/ha.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2000. Uji Tanah Sebagai Dasar Pemupukan Spesifik Lokasi. Tim Uji Tanah Proyek Pembinaan Kelembagaan Pertanian/ARMP-II bekerjasama dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 2000. Murwati, Noor Amali, dan Hj. Hayatun Fardah. 2000. Hara Tanaman Padi, Jagung, dan Kedele. Badan Litbang Pertanian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. .Price, G.A. 1978. Plant and Soil Analysis a system for detecting nutrient seed of crops., In Palnt nutrient, Proc. Of the 8 th Inter, Colloqium on Plant Analysis and Feretilizer Problem. 28 Aug-1 Sep, 1978. Aucland, New Zealand. Soepardi, G. 1979. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Faperta IPB Bogor. Sri Adiningsih J. 1998. Peranan Efisiensi Penggunaan Pupuk untuk Melestarikan Swasembada Pangan. Inovasi Teknologi Pertanian. Seperempat Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta. Hal: 151-163
135
PENGKAJIAN DAYA HASIL LANJUTAN BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA TIGA JENIS TANAH BERBEDA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA Damasus Riyanto, Mulud Suhardjo dan A.M. Sudihardjo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Pengujian daya adaptasi dan hasil lanjutan beberapa varietas kedelai pada berbagai lokasi dengan jenis tanah dan iklim yang berbeda akan memberikan masukan bagi pengembangan benih-benih unggul kedelai serta mendapatkan calon varietas unggul yang cocok dengan kondisi spesifik lokasi. Pengkajian dilakukan di lahan petani (On Farm Research) dengan menggunakan 3 varietas kedelai yaitu: Cikuray (kedelai hitam), Burangrang, dan Wilis di 3 lokasi dengan jenis tanah yang berbeda, yaitu: Typic Tropaquepts (liat halus), Imogiri-Bantul, Typic Haplustalfs liat halus), Pathuk-Gunungkidul dan Typic Fragiaquepts (berpasir), Mlati-Sleman. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa prosentase daya tumbuh (7 HST) tidak berbeda nyata jika ditanam di lokasi dengan jenis tanah dan tekstur berbeda, sedangkan hasil biji kering panen menunjukkan bahwa hasil tertinggi diraih oleh varietas Burangrang (2,10 ton/ha) pada tanah bertekstur liat dan tidak berbeda nyata dengan varietas Wilis (2,04 ton/ha). Sedangkan di tanah berpasir, kedelai varietas Wilis memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan varietas Burangrang dan berbeda nyata dengan varietas Cikuray (1,62 ton/ha). Hama penyakit utama yang menyerang tanaman kedelai di 3 lokasi berbeda adalah ulat grayak, yaitu rata-rata sekitar 25%. Varietas Burangrang dan Wilis lebih tahan pada hama penggerek daun dibandingkan Varietas Cikuray, namun varietas Burangrang kurang tahan terhadap penyakit sklerotis dibandingkan varietas Wilis dan Cikuray. Secara umum penanaman kedelai di tanah Typic Haplustalfs- Gunungkidul memiliki jumlah polong lebih tinggi pada varietas yang sama jika dibandingkan di tanah Typic Tropaquepts (Bantul) dan Typic Fragiaquepts (Sleman), karena memiliki kandungan P 2O5 yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan serapan hara P yang sangat berperan dalam pembentukan polong biji kedelai. Penambahan bahan zeolit ternyata juga meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara N, P dan K yaitu 21% lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi zeolit (kontrol petani) serta meningkatkan kapasitas penahan air (kelembaban tanah), terutama pada tanah berpasir (lokasi pengkajian kabupaten Sleman). Kata kunci : daya adaptasi, jenis tanah, serapan hara, aplikasi bahan ameliorant.
PENDAHULUAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai luas 318.580 ha, dimana wilayahnya terdiri dari beberapa agroekosistem yang menyebabkan terbentuknya jenis tanah dan agroklimat yang berbeda. Sedangkan klas tekstur tanah yang dominan pada sebaran tanah-tanah utama di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah liat, lempung berdebu dan pasir halus. Sehingga secara umum memiliki karakteristik sifat-sifat kimia, biologi, fisika tanah serta tingkat produktivitas yang berbeda. Produksi tanaman kedelai di tingkat Nasional akhir-akhir ini semakin menurun, yaitu pada tahun 2002 produksinya telah mencapai 1,38 juta ton, namun pada tahun 2004 turun menjadi 1,07 juta ton. Penurunan produksi tersebut mengharuskan Pemerintah mengimpor bahan pangan kedelai untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus bertambah. Ketergantungan kepada sistem impor ini akan riskan bagi ketahanan pangan nasional. Untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kebutuhan kedelai per tahun adalah 95.653 ton, sedang produktivitasnya hanya sekitar 64.906 ton per tahun, sehingga kekurangannya sebesar 30.747 ton perlu didatangkan dari luar provinsi. Oleh karena itu produksitivitas tanaman kedelai perlu terus dipacu dengan mengembangkan inovasi teknologi pertanian di berbagai komponen, baik dalam hal pengembangan suatu rakitan teknologi yang merupakan gabungan dari penyiapan lahan optimal, pemupukan yang berimbang sesuai dengan spesifik lokasi, pemeliharaan yang intensif, pengendalian hamapenyakit, pemilihan varietas unggul yang sesuai dan dapat beradaptasi dengan kondisi agroekologi setempat serta diikuti pula dengan penanganan pasca panen yang tepat.
METODOLOGI Pengkajian dilakukan pada tahun anggaran 2004 di areal dengan 3 jenis tanah yang berbeda, yaitu: Typic Haplustalf di Desa Gelantung, Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul (tekstur liat), Typic Fragiaquepts di Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman (tekstur pasir berlempung) dan Typic Tropaquepts di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Varietas kedelai yang digunakan adalah Cikuray (kedelai hitam), Wilis dan Burangrang. Ukuran petak mengikuti luasan lahan petani (On Farm Research) dengan jarak tanam 40 x 15 cm. Dosis pemupukan yang diaplikasikan adalah 50 kg/ha
136
Urea, diberikan 2 x yaitu saat tanam benih kedelai dan saat primordia (30 HST). SP-36 sebanyak 100 kg/ha dari KCl sebanyak 75 kg/ha. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Pengambilan data meliputi: prosentase daya tumbuh, pertumbuhan agronomis tanaman, jumlah polong, berat biji kering panen (ton/ha), berat 100 butir biji kedelai, analisis serapan hara N, P, K di daun dan biji saat panen, sifat-sifat karakteristik kimia dan fisika tanah, pengamatan hama penyakit yang menyerang serta pengamatan data iklim (curah hujan selama 10 thaun terakhir).
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil analisa laboratorium dapat diketahui bahwa ketiga karakteristik yang berbeda yang disajikan pada Tabel 1 berikut
lokasi pengkajian memiliki
Tabel 1. Sifat Karakteristik Tanah di 3 Lokasi Pengkajian Berbeda di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Lokasi
Struktur
Pasir
Tektur Debu
Liat
10,8
15,5
73,7
5,2
1,00
0,09
24
96
14,61
pH
C-org N ---%---
K2O5 P2O5 ---ppm---
KTK me/100g
Patuk, Gunungkidul
Gumpal
Mlati, Sleman
Lepas
46
35
19
5,8
1,77
0,16
34
38
16,15
Imogiri, Bantul
Gumpal
4
35
61
6,5
1,22
0,11
84
21
48,20
Berdasarkan analisa laboratorium terlihat bahwa di lokasi Patuk, Gunungkidul memiliki klas tekstur liat, dengan kadar C-organik rendah, dan KTK rendah. Sedang di lokasi Mlati, Sleman memiliki klas tekstur berpasir, C-organik rendah, dan kadar KTK tanah rendah dengan tingkat produktivitas tanah rendah, selanjutnya di lokasi Imogiri, Bantul klas tekstur liat, C-organik rendah, dan kadar KTK tanah sedang dengan tingkat produktivitas tanah adalah sedang. Pengamatan daya tumbuh (7 HST) pada ke-3 lokasi pengkajian ternyata memberikan hasil ratarata di atas 90%, hal ini menunjukkan bahwa kualitas benih yang diaplikasikan tergolong baik dan sesuai persyaratan standart pensertifikasian benih kedelai yang berlaku. Walaupun ditanam pada lahan yang relatif kurang produktif, masih terlihat memberikan tingkat daya tumbuh yang baik (Tabel 2). Tabel 2. Prosentase Daya Tumbuh Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Lokasi
Cikuray
Varietas Burangrang
Wilis
Patuk, Gunungkidul 92 a 94 a 94 a Mlati, Sleman 91 a 92 a 93 a Imogiri, Bantul 90 a 93 a 93 a Rerata 91 93 93,66 *) Rerata yang didampingi notasi yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.
Rerata 93,33 92,00 92,33 92,55
Produktivitas beberapa varietas kedelai yang dikaji ternyata memberikan hasil yang berbeda pada lokasi pengkajian yang sama (Tabel 3). Tabel 3. Produksi Berat Kering Panen Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (ton/ha). Lokasi
Cikuray
Varietas Burangrang
Wilis
Patuk, Gunungkidul 1,70 b 1,98 a 2,03 a Mlati, Sleman 1,62 b 1,84 ab 1,92 a Imogiri, Bantul 1,89 b 2,10 a 2,04 a Rerata 1,73 1,97 1,99 *) Rerata yang didampingi notasi yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%
Rerata 1,90 1,79 2,01 1,90
Secara umum varietas Burangrang dan Wilis memberikan hasil yang lebih tinggi pada lokasi yang sama dibandingkan dengan pengujian daya hasil varietas Cikuray (kedelai hitam). Hal ini sesuai dengan penelitian Riyanto D. (2004), yang menunjukkan bahwa hasil rata-rata pengkajian UML dan UDHL kedelai di Bantul untuk varietas pembanding Burangrang dan Wilis ternyata memberikan hasil lebih tinggi, yaitu
137
masing-masing 2,10 ton/ha dan 2,08 ton/ha dan berbeda nyata dengan daya hasil varietas Cikuray (1,89 ton/ha) Tabel 4. Jumlah Polong Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (ton/ha) Lokasi
Varietas Burangrang
Cikuray
Rerata
Wilis
Patuk, Gunungkidul 21,3 b 20,7 a 21,7 b Mlati, Sleman 26,6 b 22,5 a 24,3 a Imogiri, Bantul 23,4 b 22,1 a 23,5 b Rerata 23,7 21,7 23,2 *) Rerata yang didampingi notasi yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%
21,2 24,5 23,0 22,9
Pada pengkajian tanah bertekstur pasir (di lokasi Mlati, Sleman), ternyata varietas Wilis memberikan hasil biji kering lebih tinggi daripada varietas Burangrang, yaitu masing-masing 1,92 ton/ha dan 1,84 ton/ha serta berbeda nyata dengan varietas Cikuray (1,62 ton/ha). Pada umumnya semua varietas yang dikaji masih diserang oleh hama daun ulat grayak (Spodoptera sp), namun populasinya masih dapat ditolelir dan di bawah ambang batas yang diperkenankan (Tabel 5). Hal ini sesuai dengan penelitian dari Muchlish, M.A. (2001), yang menyebutkan bahwa ulat grayak merupakan hama daun utama pada pertanaman kedelai di hampir sebagian besar wilayah Indonesia dan hingga saat ini belum ada varietas kedelai yang bereaksi toleran terhadap hama tersebut. Tabel 5. Hama Penyakit Utama Yang Menyerang Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Varietas
Patuk, Gunungkidul Ulat Karat grayak daun
Hama Penyakit Utama yang menyerang Mlati, Sleman Imogiri, Bantul Ulat Penykt Ulat Karat Pnykt grayak Skerotium grayak daun Hamprosema
Penykt Skerotium
Cikuray 3 1 3 2 3 1 2 Burangrang 2 2 2 1 2 1 2 Wilis 2 2 2 1 2 1 1 Keterangan : Pengamatan HPT kedelai menggunakan system skoring (prosentase yang terinfeksi) sebagai 1 = tahan; 2 = sedikit terinfeksi; 3 = kurang tahan
1 1 1 berikut :
Kandungan hara makro N, P dan K pada daun dan biji tersaji pada Tabel 6 dan Tabel 7, dengan hasil analisis laboratorium ternyata konsentrasi hara N, P, K di biji kedelai ternyata lebih tinggi daripada di daun kedelai yang sehat. Hal ini sesuai dengan penelitian Fauconnier (1986), yang mengemukakan bahwa kadar N optimum pada akhir stadia pembungaan di bagian daun tanaman adalah 4,5-5,5%; P 0,35-0,60% dan K 2,53,7%. Tabel 6. Serapan Hara N, P, K dengan Perlakuan Penambahan Zeolit Pada Tanaman Kedelai di Lokasi Mlati, Sleman (Klas Tekstur Berpasir) Varietas Cikuray Burangrang Wilis
Serapan hara pada daun tanaman kedelai saat panen di lokasi Mlati, Sleman di lokasi petani (kontrol) N (%) P (%) K (%) N (%) P (%) K (%) 2,1 2,5 2,4
0,22 0,26 0,28
0,58 0,83 0,87
1,7 2,08 1,8
0,18 0,20 0,22
0,51 0,71 0,76
Tabel 7. Serapan Hara N, P, K dengan Perlakuan Penambahan Zeolit Pada Biji Kedelai di Lokasi Mlati, Sleman (Klas Tekstur Berpasir) Varietas N (%) Cikuray Burangrang Wilis
5,4 6,8 6,6
Serapan hara pada tanaman kedelai saat panen (90 HST) di lokasi Mlati, Sleman di lokasi petani (kontrol) P (%) K (%) N (%) P(%) K(%) 0,60 0,75 0,70
1,75 1,80 1,92
4,37 5,50 5,41
0,49 0,51 0,56
1,42 1,68 1,57
138
Sedangkan menurut hasil pengkajian Novianti, et. al. (1997), selain penambahan unsur hara makro N, P, K melalui aplikasi di tanah, dapat juga dilakukan penambahan unsur hara melalui penyemprotan Pupuk Pelengkap Cair (PPC) melalui daun dan hasil biji kering kedelai di beberapa lokasi antara di Ngawi dan Way Abung menunjukkan peningkatan yang nyata.
KESIMPULAN 1.
Hasil biji kering panen menunjukkan bahwa hasil tertinggi diraih oleh varietas Burangrang (2,10 ton/ha) pada tanah bertekstur liat dan tidak berbeda nyata dengan varietas Wilis (2,04 ton/ha). Sedangkan di tanah berpasir, kedelai varietas Wilis memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan varietas Burangrang dan berbeda nyata dengan varietas Cikuray (1,62 ton/ha).
2.
Hama penyakit utama yang menyerang tanaman kedelai di 3 lokasi berbeda adalah ulat grayak, yaitu rata-rata sekitar 25%. Varietas Burangrang dan Wilis lebih tahan pada hama penggerek daun dibandingkan varietas Cikuray, namun varietas Burangrang kurang tahan terhadap penyakit sklerotis dibandingkan varietas Wilis dan Cikuray.
3.
Penanaman kedelai di tanah Typic Haplustalfs-Gunungkidul memiliki jumlah polong lebih tinggi pada varietas yang sama jika dibandingkan di tanah Typic Tropaquepts (Bantul) dan Typic Fragiaquepts (Sleman), karena memiliki kandungan P2O5 yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan serapan hara P yang sangat berperan dalam pembentukan polong biji kedelai.
4.
Penambahan bahan zeolit ternyata juga meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara N, P dan K yaitu 21% lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi zeolit (kontrol petani) serta meningkatkan kapasitas penahan air (kelembaban tanah), terutama pada tanah berpasir (lokasi kabupaten Sleman).
DAFTAR PUSTAKA Adi Sarwanto, T.H., Kuntyastuti dan Suhartina. 1996. Paket Usahatani Kedelai Setelah Padi di Lahan Sawah dalam Prosiding Pemantapan Usahatani Palawija untuk Mendukung Sistem Usahatani Berbasis Padi dengan Wawasan Agribisnis (SUTPA) Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbiumbian, Malang. Adisarwanto, T., Budi Santoso, Marwoto, Suryanto dan Sumarno. 1993. Keragaan Paket Teknologi Produksi Kedelai di Lahan Sawah dalam Prosiding Simposium Penelitian Tanah bagian III. Puslittanak-Bogor. Fauconnier, Ing. Agr. Agr. 1986. Fertilizing for High Yield Soya. IPI Bulletin 9. International Potash Institute. Bern-Switzerland. Marwan, I., Sumarno, A. S. Karama dan A.M. Fagi. 1990. Teknologi Pengelolaan Kedelai. Laporan Khusus Puslitbangtan-Bogor. Badan Litbang Pertanian. Novianti S., Fathan M. dan Sri Hutami. 1997. Peranan Pupuk Pelengkap Cair terhadap Peningkatan Hasil Kedelai. dalam Kinerja Penelitian Tanaman Pangan Buku 5. Puslitbangtan-Bogor. Badan Litbang Pertanian Riyanto, D., Reki Hendrata dan A.M. Sudihardjo. 2004. Laporan Pengkajian Pertanaman Kedelai di Lahan Sawah Setelah Padi. Kerjasama BPTP Yogyakarta dan P.T. PUSRI Cabang Yogyakarta. Riwanodjo dan T. Adisarwanto. 1991. Kajian Pemberian PPC/ZPT terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Sawah. Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Puslitbangta-Bogor. Sumarno, D.M., Arsyad dan I. Manwan. 1990. Teknologi Usahatani Kedelai. Risalah Lokakarya Pengembangan Kedelai. Puslitbangtan-Bogor. Tim Survai Puslittanak. 1994. Laporan Survei dan Pemetaan Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Bagian Proyek Pengembangan Sumberdaya TanahPuslittanak-Bogor Tisdale, S.L., W.L. Nelson and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. Mac Millan Publishes Company – New York.
139
PEMUPUKAN P DAN K TERHADAP HASIL KEDELAI SETELAH PERTANAMAN PADI DI LAHAN SAWAH Mulyadi dan Sarjiman Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Budidaya kedelai di lahan sawah merupakan salah satu alternatif yang perlu dikembangkan dalam upaya meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Penanaman kedelai dalam sistem rotasi dengan padi di lahan sawah dapat memberikan keuntungan teknis, yaitu: menekan populasi beberapa macam hama dan penyakit, pemanfaatan air lebih efisien, memelihara kesuburan tanah, meningkatkan intensitas tanam/produktivitas lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk P dan K terhadap hasil kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah. Penelitian dilaksanakan dalam musim kemarau pada tanah Typic Fragiaquepts di Desa Sumberagung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian menggunakan kedelai varietas Wilis yang ditanam dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 10 perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali. Perlakuan terdiri dari kombinasi tidak lengkap dari dosis pupuk sumber P yaitu: 0, 25, 50 dan 100 kg SP-36/ha dan dosis pupuk sumber K yaitu: 0, 37,5, 75 dan 150 kg KCl/ha. Sebagai pupuk dasar digunakan 50 kg Urea/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan P dan K tidak berpengaruh meningkatkan hasil biji kedelai. Rata-rata hasil biji kedelai kering tanpa pemupukan P dan K cukup tinggi yaitu sekitar 1,66 ton/ha. Pengembangan budidaya kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah selain merupakan alternatif untuk peningkatan produksi kedelai dengan biaya input yang relatif rendah juga berpotensi dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah. Kata kunci: kedelai, pupuk, fosfat, kalium, sawah.
PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan salah satu tanaman leguminosae (kacang-kacangan) yang dikenal akarnya mampu menambat nitrogen dari udara melalui simbiose dengan bakteri Rhizobium sp. dan hasil bijinya mengandung protein tinggi, yaitu berkisar 35-43 % (Suprapto, 1995). Biji kedelai, selain sebagai bahan makanan juga merupakan bahan dasar untuk industri sedangkan batang dan daunnya juga dapat bermanfaat sebagai pakan ternak, pupuk hijau dan akar-akar yang tertingal dalam tanah maupun daun yang rontok dapat memperbaiki kesuburan tanah (Anonim, 1995). Penanaman kedelai pada suatu lahan berpotensi memberikan kontribusi dalam perbaikan kesuburan tanah khususnya dalam penyediaan nitrogen (N) dan kegemburan tanah untuk pertanaman berikutnya. Keadaan lingkungan tumbuh yang baik untuk tanaman kedelai adalah tanah gembur dan cukup lembab dengan kadar unsur-unsur hara yang tinggi dan seimbang, penyinaran matahari yang cukup sejak tumbuh sampai pematangan polong, air diperlukan dari sejak tumbuh sampai pengisian polong dan pada masa pematangan polong lahan harus kering. Kekurangan air terutama pada fase pengisian polong akan sangat menurunkan hasil biji baik karena berkurangnya jumlah polong maupun jumlah biji bernas (Suprapto, 1995). Upaya peningkatan produksi kedelai baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi masih perlu terus dilakukan untuk menekan impor dan mengimbangi kebutuhan kedelai yang cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Sebagai komoditas pertanian, kedelai mempunyai nilai ekonomi dan peluang pasar cukup tinggi. Penanaman kedelai dalam sistem rotasi dengan padi sawah berpotensi menekan populasi beberapa macam hama dan penyakit yang umumnya menyerang padi, meningkatkan efisiensi pemanfaatan air, menjaga keseimbangan unsur hara, meningkatkan intensitas tanam dan produktivitas lahan. Bahkan biaya usahatani untuk tenaga kerja mengolah tanah maupun pemupukan N berpotensi untuk dapat ditekan. Schlegel dan Schemith (1976) mengemukakan bahwa pengikatan N2 udara secara simbiotik memungkinkan perolehan nitrogen sebanyak 100-300 kg/ha/tahun. Di lain pihak, hasil penelitian tanpa olah tanah dan tanpa pemupukan N tidak berpengaruh nyata terhadap hasil biji kedelai (Sarjiman, et. al., 2000). Selain unsur hara N, untuk mendukung pertumbuhan dan hasil biji yang tinggi tanaman kedelai juga memerlukan unsur hara P dan K dalam jumlah yang yang banyak. Untuk menghasilkan setiap 1,0 ton biji, tanaman kedelai menyerap hara P dan K masing-masing sebanyak 4,17-5,64 kg P dan 17,33-25,28 kg K (Tisdale, et al., 1985; Suprapto, 1995;). Meskipun demikian, sementara ini berkaitan dengan pemupukan P dan K untuk pertanaman kedelai yang ditanam setelah pertanaman padi di lahan sawah dianggap tidak mutlak harus dilakukan, khususnya pada lahan-lahan sawah intensif yang umumnya penggunaan pupuk P
140
maupun K/jerami dikembalikan telah umum dilakukan pada saat penanaman padi. Hal ini didasari pada anggapan bahwa pada tanah bekas ditanami padi masih terkandung cukup banyak unsur-unsur hara P dan K yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanaman kedelai. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian tentang pemupukan P dan K dalam budidaya kedelai setelah padi di lahan sawah. Diharapkan informasi ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan untuk pengembangan teknologi dan usahatani kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah. BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan pada lahan sawah di Desa Sumberagung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Jenis tanah di lokasi penelitian adalah Typic Fragiaquept, sangat halus, mineral campuran, isohyperthermik (Puslittanak, 1994) dengan sifat fisik dan kimia tanah lapisan atas (0-20 cm) seperti disajikan dalam Tabel 1. Secara umum, tanah di lokasi penelitian mempunyai tekstur lempung, reaksi tanah agak masam, kadar bahan organik dan N rendah, kadar P, K, Ca, Mg tinggi dan kapasitas tukar kation sedang. Tanah demikian dapat diinterpretasikan sebagai tanah yang mempunyai kemampuan memegang air sedang dan menyediakan unsur hara makro cukup tinggi kecuali N. Penanaman kedelai dilakukan setelah pertanaman padi menjelang musim kemarau dalam sistem rotasi tanaman padi-padi-kedelai. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 10 perlakuan dan masing-masing diulang 3 kali. Ukuran petak perlakuan adalah 4,80 m x 5,4 m. Macam perlakuan terdiri dari kombinasi perlakuan dosis pupuk sumber P (SP-36) dan sumber K (KCl) seperti disajikan dalam Tabel 2. Sebagai pupuk dasar digunakan Urea 50 kg/ha yang diberikan pada semua petak perlakuan. Benih kedelai varietas Wilis ditanam secara tugal (2 biji/lubang) dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm. Pupuk Urea dan SP-36 seluruhnya diberikan pada umur 10-15 hari setelah tanam (HST), sedangkan pupuk KCl diberikan 2 kali yaitu setengah dosis diberikan pada umur 10-15 HST bersamaan dengan pemberian pupuk Urea dan SP-36 dan sisanya diberikan pada umur 28 HST. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara dibenamkan dalam tanah di sekitar rumpun tanaman. Data yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang per tanaman, berat biji kering dan brangkasan kering (daun, batang, kulit polong). Data tinggi tanaman dan jumlah cabang dikumpulkan dari pengamatan terhadap 10 tanaman contoh per petak perlakuan sedangkan berat biji dan brangkasan dikumpulkan dari hasil seluruh tanaman per petak. Data yang terkumpul dianalisis secara statistik menggunakan analisis sidik ragam (Analysis Of Variance/ANOVA) dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan digunakan uji beda nyata terkecil/BNT (Least Significant Different/LSD) pada taraf 5%. Untuk analisis data secara statistik dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SAS Versi 5 (SAS Institute Inc. 1985).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis data pertumbuhan, biji kering dan brangkasan kering (batang, daun, kulit polong kering) serta indek panen (perbandingan biji kering terhadap total biomas kering) disajikan dalam Tabel 3. Pemupukan P dan K masing-masing sampai dengan dosis 100 kg SP-36 dan 150 kg KCl/ha ternyata tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, hasil biji kering dan brangkasan kering maupun indek panen. Hal ini nampaknya disebabkan ketersediaan unsur hara P dan K di dalam tanah pada lahan sawah yang digunakan untuk penelitian cukup tinggi (Tabel 1). Keadaan lahan sawah dengan kadar P dan K yang cukup tinggi tersebut banyak dijumpai di sebagian besar wilayah Kabupaten Bantul (Mulyadi et al., 2004) dan mungkin juga daerah-daerah persawahan di wilayah lainnya dimana petani umumnya melakukan pemupukan P dan K/jerami sisa panen dikembalikan ke lahan. Untuk itu, penyisipan tanaman kedelai dalam sistem rotasi tanaman padi-padi-kedelai cukup berpotensi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P dan K di lahan sawah karena residu penggunaan pupuk dalam pertanaman padi sawah sebelumnya dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan dan hasil biji kedelai dengan tingkat hasil yang cukup tinggi. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3 bahwa kisaran rata-rata hasil biji kering kedelai untuk semua perlakuan pemupukan P dan K adalah cukup tinggi, yaitu 1,64 – 1,92 ton/ha bahkan rata-rata hasil biji kering tanpa pemupukan P dan K mencapai 1,66 ton/ha. Hasil ini masih relatif lebih tinggi daripada rata-rata hasil kedelai di Daerah Istimewa Yogyakarta yang umumnya hanya berkisar 1,06 – 1,26 ton/ha (BPS Provinsi DIY, 2005).
141
Tabel 1. Sifat Tanah Fisik dan Kimia Tanah Lapisan Atas (0-20 Cm) di Lokasi Penelitian
Sifat Fisik dan Kimia Tanah Tekstur - Pasir (%) - Debu (%) - Liat (%) pH H2O pH KCl C organik (%) N total (%) C/N P2O5 Potensial (mg/100 g tanah) K2O Potensial (mg/100 g tanah) Kation-kation dapat ditukar - Ca (me/100 g tanah) - Mg (me/100 g tanah) - K (me/100 g tanah) - Na (me/100 g tanah) Kapasitas Tukar Kation/KTK (me/100 g tanah)
Harkat Lempung (Loam) 45 40 15 5,8 5,3 1,65 0,14 12 155 78 13,35 4,94 1,05 0,52 18,64
Tabel 2. Macam Perlakuan Kombinasi Pemupukan P Dan K untuk Kedelai di Lokasi Penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perlakuan Dosis Pupuk (kg/ha) SP-36 0 25 50 100 50 50 50 0 25 100
KCl 75 75 75 75 0 37,5 150 0 37,5 150
Tabel 3. Pengaruh Dosis Pemupukan P dan K Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Varietas Wilis di Lahan Sawah, Desa Sumber Agung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Perlakuan dosis Tinggi Berat Berat biji pupuk tanaman saat Jumlah cabang brangkasan Indek panen kering panen kering SP-36 KCl kg/ha cm batang/tan ton/ha ton/ha (%) 0 75 37,22 a 2,50 ab 1,84 a 1,52 a 54,67 a 25 75 35,16 a 2,66 ab 1,92 a 1,62 a 54,22 a 50 75 31,80 a 2,66 ab 1,79 a 1,58 a 53,22 ab 100 75 36,34 a 2,39 b 1,81 a 1,59 a 53,30 ab 50 0 33,71 a 2,51 ab 1,59 a 1,41 a 52,66 ab 50 37,5 35,82 a 2,83 ab 1,76 a 1,51 a 53,91 ab 50 150 36,24 a 3,15 a 1,84 a 1,75 a 51,31 b 0 0 36,53 a 2,29 b 1,66 a 1,38 a 54,76 a 25 37,5 33,80 a 2,64 ab 1,76 a 1,48 a 54,23 a 100 150 33,42 a 2,13 b 1,64 a 1,40 a 53,94 a KK (%) 9,43 16,16 18,27 18,58 2,85 BNT 5% 5,66 0,72 0,55 0,49 2,62 Keterangan: Angka dalam kolom yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.
142
KESIMPULAN 1.
Pemupukan P dan K sampai dengan dosis 100 kg SP-36 dan 150 kg KCl/ha pada pertanaman kedelai setelah padi di lahan sawah yang biasa dipupuk P dan pengembalian jerami tidak meningkatkan hasil biji kedelai. Rata-rata hasil biji kedelai kering tanpa pemupukan P dan K cukup tinggi yaitu sekitar 1,66 ton/ha.
2.
Pengembangan budidaya kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah selain merupakan alternatif untuk peningkatan produksi kedelai dengan biaya input yang relatif rendah juga berpotensi dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1995. Kedelai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta BPS Provinsi DIY. 2005. Statistik Pertanian Tanaman Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta 2004. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DIY, Yogyakarta. Mulyadi, I. Purwanto, A. M. Gusmida, Sunaryana, Salamhadi, dan Budiono. 2004. Prosiding Seminar Nasional. Penerapan dan Inovasi Teknologi dalam Agribisnis Sebagai Upaya Pemberdayaan Rumah Tangga Tani. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Puslittanak, 1994. Laporan Akhir; Survai dan Pemetaan Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Hutan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Akhir No. 03/PSDT/02.0202.01/94. Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittamnak), Badan Litbang Petanian, Deptan. Sarjiman, Aliudin, dan Suharno. 2000. Laporan Teknis Pengkajian Palawija Spesifik Lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. IPPTP Yogyakarta. SAS Institute Inc. 1985. SAS User’s Guides: statistic, version 5 edition. Cary, NC: SAS Institute Inc. Schlegel, H. G. and K. Schmith. 1976. Algemeine Mikrobiologie. Edisi Indonesia. Mikrobiologi Umum. Penerjemah Tedjo Baskoro. 1994. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fetility and Fertilizers. 4th Ed. Macmillian Publishing Company. New York.
143
KERAGAAN BEBERAPA GENOTIPE PADI MENUJU PERBAIKAN MUTU BERAS Prajitno al KS1), R. Mudjisihono1) dan B. Abdullah2) Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta 2) Peneliti Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
1)
ABSTRAK Laju peningkatan produktivitas padi di DIY tidak beda jauh dengan peningkatan produktivitas padi ditingkat nasional yaitu telah melandai (levelling off), meskipun berbagai upaya telah dilakukan secara maksimal. Hal ini diduga ada kaitannya dengan tidak adanya varietas unggul baru yang berpotensi jauh lebih tinggi dari varietas yang selama ini ditanam oleh petani. Dalam rangka meningkatkan hasil padi, IRRI pada tahun 1988 telah merumuskan prototipe tanaman padi tipe baru (PTB) atau new plant type of rice (NPT). Sifat-sifat penting yang dimiliki NPT tersebut diantaranya: anakan sedikit tapi produktif semua, malai lebat, batang kokoh, tinggi tanaman sedang, daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua, perakaran dalam dan tahan terhadap hama dan penyakit utama, serta mutu beras baik. Pengkajian dilaksanakan di Bantul pada musim kemarau tahun 2004. Sebanyak 12 genotipe padi dikaji dengan Rancangan Acak Kelompok, diulang empat kali. Petak pengkajian berukuran 4 x 5 m, jarak tanam 20 x 20 cm, ditanam 2-3 bibit/rumpun, pemupukan 220 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl dan 2,5 ton/ha pupuk organik. Dua belas genotipe padi yang dikaji adalah (A) BP23F-PN-11, (B) BP360E-MR-79-PN-2, (C) BP360E-MR-79-PN-3, (D) BP143E-MR-7-2-PN-0, (E) B1059F-KN-5-4-PN-2, (F) BP355E-MR-45 (G) IR71190-45-2-1-BT-1, (H) BP252E-MR-7-2, (I) BP226E-MR-73-PN-2, (J) BP2502D-KN-78-1-8, (K) IR64, dan (L) Cisedane. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, umur 50% masak, umur 80% masak, jumlah malai/rumpun, jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah hampa/malai, berat 1000 butir gabah kering dan hasil gabah kering/plot. Data dianalisis ANOVA untuk mengetahui produktivitas genotipe padi yang dikaji. Pengkajian ini dilakukan untuk mendapatkan genotipe padi yang memiliki produktivitas dan mutu beras tinggi. Hasil pengkajian menunjukkan, bahwa makin banyak jumlah malai/rumpun akan diperoleh gabah hampa makin banyak pula. Umur 80% masak sangat ditentukan oleh umur 50% masak dengan ditunjukkan nilai korelasi 0,928. Diperoleh tiga genotipe yang memberikan hasil tinggi yaitu genotipe IR71190-45-2-1-BT-1, BP226E-MR-73-PN-2, dan IR64 masingmasing 19,42; 19,80 dan 19,65 kg/plot. Mutu beras paling baik ditunjukkan oleh genotipe BP23F-PN-11 dengan kadar kotoran terkecil 14,43% dan genotipe BP360E-MR-79-PN-2 dengan jumlah gabah isi/malai tertinggi 158 butir. Gabah bernas dicapai oleh genotipe B1059F-KN-5-4-PN-2 yaitu 552,43 g/l dan BP2502D-KN-78-1-8 sebesar 535,3 g/l. Adapun berat 1000 butir tertinggi dicapai oleh genotipe BP2502D-KN-78-1-8 yaitu 30,78 g. Kata kunci : genotipe, padi sawah, produktivitas, mutu beras.
PENDAHULUAN Laju peningkatan produktivitas padi di DIY tidak beda jauh dengan peningkatan produktivitas padi ditingkat nasional yaitu telah melandai (levelling off), meskipun berbagai upaya telah dilakukan secara maksimal. Hal ini diduga ada kaitannya dengan tidak adanya varietas unggul baru yang berpotensi jauh lebih tinggi dari varietas yang selama ini ditanam oleh petani. Pada tahun 2005 produksi padi sawah di DIY mencapai luas 13.086 ha dengan produksi 668.000 ton GKG dengan rata-rata produktivitas 5,019 ton/ha (BPS, 2005). Produksi padi di DIY pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 81.327 ton GKG atau sekitar 12,5% dari total produksi 750.000 ton GKG akibat dari kemarau panjang pada tahun 1997 (Mudjisihono, et al., 1999). Baehaki (2000) melaporkan bahwa hama dan penyakit tanaman padi merupakan salah satu penghambat peningkatan produksi padi. Hama wereng coklat, penyakit kerdil rumput yang ditularkan oleh wereng coklat (WBC), penyakit virus tungro yang ditularkan oleh wereng hijau, penyakit bakteri, yang dikenal dengan hawar daun bakteri (HDB) merupakan penyakit utama padi (Puslitbangtan, 1995). Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan penyakit ini berkisar antara 21-36% pada musim hujan dan 18-25% pada musim kemarau (Suparyono dan Sudir, 1992). Lebih-lebih dengan adanya kemampuan hama dan penyakit untuk berubah biotipe dan ras sehingga dapat mematahkan ketahanan varietas padi yang sebelumnya tahan dan sumber ketahanan tidak ada di varietas padi budidaya. Hal ini mempersulit pengendalian hama dan penyakit tersebut. Padi liar merupakan sumber gen ketahanan terhadap hama dan penyakit. Karena itu perlu memanfaatkan gen-gen ketahanan tersebut. Beberapa gen ketahanan dari padi liar telah berhasil diintrogresikan ke dalam padi budidaya, seperti ketahanan terhadap wereng coklat dari O. officinalis dan O. australiensis; kerdil rumput dari O. nivara; hawar daun bakteri dari O. longistaminata. dan O. minuta; dan blas dari O. minuta dan O. rufipogon (Brar and Khush, 1997). Abdullah (2002 a) melaporkan bahwa beberapa padi liar merupakan sumber ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri Indonesia strain IV dan VIII. Potensi hasil suatu varietas padi ditentukan oleh empat komponen, yaitu jumlah malai persatuan luas, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi dan berat 1000 butir gabah. Varietas padi lokal mempunyai
144
sifat-sifat sebagai berikut, umur panjang (150-180 hari), tanaman tinggi (>150 cm), anakan sedikit (<8 batang), malai sedang-lebat, daun panjang terkulai, berwarna hijau muda, tidak responsif terhadap pemupukan nitrogen, indek panen sekitar 0,3. Karena itu hasil varietas-varietas tersebut rendah (2-4 t/ha) dalam waktu 5-6 bulan. Peningkatan potensi hasil suatu tanaman dapat dilakukan dengan memodifikasi tipe tanaman, yaitu merakit tanaman dengan tipe tanaman yang ideal sesuai dengan tujuannya (Donald, 1968). Usaha peningkatan potensi hasil padi oleh para pemulia padi disebabkan oleh keberhasilan pemasukan gen yang mengontrol sifat pendek tanaman, sehingga tanaman tahan rebah dan reponsif terhadap pupuk nitrogen pada tahun 1960-an. Dari usaha tersebut pada tahun 1966 dan 1967 berturut-turut IRRI melepas IR8 dan IR5. Karena potensi hasilnya yang 2-3 kali lipat dibanding varietas-varietas padi sebelumnya, maka varietas tersebut dikenal dengan miracle rice atau padi ajaib. Varietas ini yang dikenal dengan semidraft high yielding varieties (HYVs) atau varietas unggul baru (VUB). IR5 adalah hasil persilangan varietas Peta (Indonesia) dan Dee geo woo gen (Taiwan, sedang IR5 hasil persilangan Peta dengan Tangkai Rotan (Malaysia), karena itu di Indonesia dilepas dan dinamakan PB (Peta Baru) 8 dan PB 5. Setelah itu banyak dilepas varietas-varietas lain baik oleh IRRI maupun negara-negara penghasil padi, misalnya Indonesia melepas varietas unggul baru Pelita I-1 dan Pelita I-2 hasil perkawinan IR5 dengan Syntha. Sifat-sifat dari VUB adalah: tinggi pendek-sedang (100-130 cm); umur sedang genjah-sedang (110-135 hari); anakan banyak (>18 batang); malai sedang (100-150 gabah/malai); daun pendek, mendatar-tegak, hijau sampai hijau-tua; responsif terhadap pemupukan nitrogen, indek panen sekitar 0,5. Dengan memodifikasi tipe tanaman padi akan dapat meningkatkan produksi bahan kering tanaman dan indek panen, sehingga masing-masing atau bersama-sama dapat meningkatkan potensi hasil padi. Indek panen varietas unggul baru (VUB) sekarang ini sekitar 0,5 merupakan hasil modifikasi tanaman melalui rekayasa genetik dengan cara penyilangan dan seleksi dari varietas-varietas padi lokal yang mempunyai indek panen 30-35%. Karena itu, untuk menghasilkan 10 t/ha GKG VUB harus ditanam pada lahan yang dapat menghasilkan 20 t/ha bahan kering. Dengan memodifikasi tipe tanaman, indek panen dapat ditingkatkan menjadi 0,6 dan hasil bahan kering menjadi 22 t/ha, maka potensi hasil varietas padi dapat ditingkatkan menjadi 13 t/ha GKG (Khush, 1995b). Dalam rangka meningkatkan potensi hasil padi, IRRI pada tahun 1988 telah merumuskan prototipe tanaman padi tipe baru (PTB) atau new plant type of rice (NPT). Sifat-sifat penting yang dimiliki NPT tersebut diantaranya: anakan sedikit tapi produktif semua (3-4 batang untuk sebar langsung atau 8-10 batang untuk tanam pindah); malai lebat (200-250 gabah/malai dan bernas); batang kokoh; tinggi tanaman sedang (90-100 cm); daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua; umur sedang (100-130 hari); perakaran dalam dan tahan terhadap hama dan penyakit utama, serta mutu beras baik dan indek panen diperkirakan 0,6 (Khush, 1995a). Dengan sifat-sifat yang demikian, potensi hasil PTB diharapkan 30-50% lebih tinggi dari varietas yang ditanam saat ini pada lingkungan yang baik (Peng and Cassman, 1994). Pengkajian beberapa genotipe padi ini dimaksudkan untuk mendapatkan genotipe padi yang memiliki nilai keunggulan dibandingkan varietas padi yang telah ada.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di Bantul pada musim kemarau tahun 2004. Sebanyak 12 genotipe padi dikaji dengan Rancangan Acak Kelompok, diulang empat kali. Petak pengkajian berukuran 4 x 5 m, jarak tanam 20 x 20 cm, ditanam 2-3 bibit/rumpun, pemupukan 220 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl dan 2,5 ton/ha pupuk organik. Dua belas genotipe padi yang dikaji adalah (A) BP23F-PN-11, (B) BP360E-MR-79PN-2, (C) BP360E-MR-79-PN-3, (D) BP143E-MR-7-2-PN-0, (E) B1059F-KN-5-4-PN-2, (F) BP355E-MR45 (G) IR71190-45-2-1-BT-1, (H) BP252E-MR-7-2, (I) BP226E-MR-73-PN-2, (J) BP2502D-KN-78-1-8, (K) IR64, dan (L) Cisedane. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, umur masak 50%, umur masak 80%, jumlah malai produktif, jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah hampa/malai, berat 1000 butir gabah dan berat gabah kering giling (GKG). Data yang terkumpul dilakukan analisis varian hingga didapatkan notasi untuk mengetahui genotipe yang memiliki produktivitas dan mutu beras tinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat tiga genotipe yang keragaan tinggi tanamannya tergolong pendek yaitu 87,3-88,7 cm. Padi yang tinggi tanamannya seperti IR-64 adalah BP360E-MR-79-PN-2 dan BP252E-MR-7-2 (Tabel 1). Penampilan padi makin tinggi tidak diikuti makin tingginya hasil yang dicapai, bahkan sebaliknya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi -0,147 yang artinya ada gejala makin rendah hasil suatu genotipe padi apabila tinggi tanamannya makin tinggi (Tabel 3). Tanaman padi yang pendek biasanya tahan rebah sehingga
145
akan mengurangi kegagalan panen. Karena itu, batang yang kokoh dan pendek merupakan sifat yang dibutuhkan untuk meningkatkan potensi hasil. Meningkatkan potensi hasil juga dapat dilakukan dengan meningkatkan hasil biomas dan/atau indek panen. Meningkatkan biomas tidak sukar, karena dengan menanam tanaman pada lingkungan yang cukup sinar matahari dan lahan subur tanaman akan tumbuh dengan baik sehingga produksi biomasnya tinggi (Akita, 1989). Jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah per malai merupakan 2 komponen hasil yang penting. Jumlah malai per rumpun terbanyak berikan oleh IR-64 yaitu 17,8 sedangkan genotipe B1059F-KN-5-4-PN2 memberikan 17,2 malai. Namun jumlah malai per rumpun tidak nyata korelasinya dengan produksi yang dicapai yaitu ditunjukkan dengan nilai korelasi 0,407 (Tabel 3). Varietas unggul baru (VUB) biasanya mempunyai 20-25 anakan, namun hanya 14-15 anakan yang malainya dapat dipanen, dengan jumlah gabah per malai 100-130 butir (Abdullah B., 2005). Hal ini disebabkan anakan yang tumbuh belakangan terlambat masak sehingga tidak dapat dipanen. Anakan utama juga cenderung menghasilkan gabah yang lebih tinggi dari anakan kedua, ketiga dan seterusnya (P. Rao, 1987). Anakan yang tidak produktif merupakan pesaing dari anakan produktif untuk energi sinar matahari dan hara. Tidak adanya anakan non produktif berarti hasil fotosintesa lebih banyak ke gabah atau meningkatkan indek panen. Anakan non produktif yang banyak akan menyebabkan lingkungan mikro yang lembab sehingga sangat baik untuk perkembangnya hama dan penyakit (misalnya wereng coklat dan hawar daun bakteri). Anakan yang sedikit akan mempunyai saat pembungaan dan panen yang serempak, dan malai lebih seragam. Anakan yang sedikit juga mempunyai korelasi dengan jumlah gabah per malai lebih banyak. Maka dengan jumlah anakan 10 dengan 200 gabah/malai akan mempunyai hasil yang lebih banyak dibanding dengan anakan 15 dengan 100 butir gabah/malai (Fagi, A.M., et al. 2001). Padi di daerah tropis, umur varietas yang optimum untuk dapat berpotensi hasil tinggi adalah 120 hari. Duabelas genotipe padi yang diuji menunjukkan umur pamen berkisar 109,0-122,5 hari (Tabel 1). Umur panen padi makin dalam tidak diikuti hasil makin tinggi, ditunjukkan dengan nilai korelasi 0,169 (Tabel 3). Umur yang lebih pendek, biasanya potensi hasilnya rendah karena tidak mempunyai cukup waktu untuk tanaman menggunakan sinar matahari dan hara di dalam tanah, sehingga tidak cukup waktu pertumbuhan vegetatifnya untuk hasil yang maksimum. Tabel 1. Beberapa Variabel Agronomis pada 12 Genotipe Padi di Bantul MK 2004. Genotipe A) BP23F-PN-11 (B) BP360E-MR-79-PN-2, (C) BP360E-MR-79-PN-3 (D) BP143E-MR-7-2-PN-0 (E) B1059F-KN-5-4-PN-2 (F) BP355E-MR-45 (G) IR71190-45-2-1-BT-1, (H) BP252E-MR-7-2 (I) BP226E-MR-73-PN-2 (J) BP2502D-KN-78-1-8 (K) IR64 (L) Cisedane KK (%)
Tinggi tanaman (cm) 90,7 87,3 107,2 96,5 96,7 97,3 100,3 87,7 101,6 103,2 88,7 97,0 3,72
e f a d d d c f bc b ef d
Jumlah malai/rumpun 15,0 bcd 14,0 d 15,5 abcd 16,5 abc 17,2 ab 14,5 cd 14,6 cd 14,1 cd 14,8 bcd 14,3 cd 17,8 a 8,9 e 10,39
Umur 50% masak (hari) 77,5 83,7 85,5 75,5 82,0 86,0 85,5 80,0 84,0 87,0 81,2 76,7 6,30
f c b g d b b e c a d f
Umur 80% masak (hari) 114,5 117,2 122,0 109,0 116,0 120,5 110,2 115,2 122,5 122,0 116,2 113,5 5,60
ef c a g d b b b a a cd f
Butir gabah yang besar mempunyai berat gabah yang lebih tinggi dibanding butir gabah kecil, namun gabah besar bertendensi mempunyai butir kapur. Karena itu, butir gabah yang sedang (23-26 g/1000 butir) lebih disukai. Bobot 1000 butir gabah pada 12 genotipe padi yang dikaji berkisar 24,5-30,8 g (Tabel 2). IR-64 sebagai pembanding menunjukkan bobot 1000 butir gabahnya 28,2 g, tetapi nampak makin tinggi berat 1000 butir gabah tidak selalu diikuti dengan hasil yang makin tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi antara bobot 1000 butir gabah dengan hasil sebesar -0,120 (Tabel 3). Persentasi gabah isi sangat bervariasi. Persentasi gabah isi per malai sangat menentukan potensi hasil maksimum suatu varietas padi. Hasil fotosintat (karbohidrat) dalam batang dan daun, dan translokasinya serta akumulasinya dalam gabah sangat menentukan tingkat pengisian gabah. Karena itu, daun yang tegak, tebal, sempit dan hijau tua, serta tidak lekas luruh (tua) sangat dibutuhkan untuk pengisian gabah secara maksimum. Daun yang tegak dan sempit merupakan daun yang dapat menerima sinar matahari dari padi sampai sore atau efisien dalam penangkapan sinar untuk proses fotosintesa. Sedang daun yang tebal dan hijau tua menandakan mempunyai banyak klorofil sehingga banyak menghasilkan fotosintat; dan daun yang tidak cepat luruh fotosintat akan dihasilkan sampai menjelang panen. Daun bendera dan satu dibawah daun bendera merupakan daun yang
146
aktif dalam fotosintesa selama proses pengisian gabah. Enam puluh persen fotosintat (karbohidrat dalam gabah dihasilkan dari kedua daun tersebut. Karena itu, bila daun tersebut tidak cepat luruh akan meningkatkan proses pengisian gabah, sehingga hasil bisa maksimal. Cabang primer malai biasanya menghasilkan butir gabah besar (Ahn, 1986). Tabel 2. Beberapa Komponen Hasil Saat Panen pada 12 Genotipe Padi di Bantul MK 2004. Jumlah gabah isi malai
Genotipe A) BP23F-PN-11 (B) BP360E-MR-79-PN-2, (C) BP360E-MR-79-PN-3 (D) BP143E-MR-7-2-PN-0 (E) B1059F-KN-5-4-PN-2 (F) BP355E-MR-45 (G) IR71190-45-2-1-BT-1, (H) BP252E-MR-7-2 (I) BP226E-MR-73-PN-2 (J) BP2502D-KN-78-1-8 (K) IR64 (L) Cisedane KK (%)
121,8 158,1 121,6 144,7 119,4 128,8 150,7 138,1 111,2 134,7 122,4 180,4 13,42
Jumlah gabah hampa/malai
de ab de bcd de cde bc bcde e bcde cde a
14,4 fg 29,6 def 38,9 cd 17,4 efg 18,1 efg 70,0 b 49,0 c 34,4 cde 45,7 cd 49,9 c 10,8 g 91,0 a 20,14
Berat 1000 butir gabah kering 26,6 24,5 29,8 25,3 24,4 29,7 28,6 26,7 30,8 26,9 28,2 30,1 5,60
cde de ab de e ab abc cde a cd bc ab
Hasil gabah/plot (kg) 18,65 17,95 16,00 18,25 18,92 18,20 19,42 17,90 19,80 19,35 19,65 17,05 8,05
ab abc c abc ab abc a abc a ab a bc
Tabel 3. Korelasi Antar Variabel 12 Genotipe Padi di Bantul MK 2004. Variabel Tinggi tanaman Jml malai/rpn Umur 50% masak Umur 80% masak Jml gabah isi/malai Jml gabah hampa/malai Berat gabah 1000 butir Hasil/plot
1 -0,065 0,471 0,559 * -0,184 0,399 0,496 * -0,146
2
3
4
0,160 0,021 -0,742 * -0,832 * -0,381 0,407
0,928 ** -0,314 0,209 0,247 0,169
-0,389 0,306 0,500 * 0,156
5
0,522 * -0,063 -0,354
6
0,638 * -0,300
7
-0,120
8
-
Dari 12 genotipe padi yang dikaji memiliki potensi hasil antara (8,00-9,90) ton/ha GKP termasuk dua varietas sebagai kontrol. Dengan demikian 10 genotipe yang telah dikaji menunjukkan hasil yang cukup tinggi sehingga merupakan calon varietas dimasa mendatang (Tabel 4). Dilihat dari mutu hasilnya hampir semua genotipe memiliki mutu gabah yang cukup baik, hal ini terbukti dari rata-rata komponen pasca panennya sesuai dengan standart mutu gabah di lapangan. Dapat dicatat bahwa rata-rata kadar gabah hampa adalah (8,73%-37,59%); gabah bernas (62,41%-91,27%); kotoran (3,23%-13,15%); dan densitas (504,44552,43) g/l. Karakteristik gabah yang seperti ini akan dihasilkan mutu beras yang cukup baik apabila penanganan pasca panennya dilaksanakan dengan tepat dan benar. Tabel 4. Beberapa Komponen Pasca Panen dan Hasil 12 Genotipe Padi di Bantul MK 2004. Genotipe A) B) C) D) E) F) G) H) I) J) K) L)
BP23F-PN-11 BP360E-MR-79-PN-2, BP360E-MR-79-PN-3 BP143E-MR-7-2-PN-0 B1059F-KN-5-4-PN-2 BP355E-MR-45 IR71190-45-2-1-BT-1, BP252E-MR-7-2 BP226E-MR-73-PN-2 BP2502D-KN-78-1-8 IR64 Cisedane
Hasil gabah (ton/ha)
Kadar air basah (%)
Kotoran (%)
Densitas/liter
9,25 8,98 8,00 9,13 9,47 9,10 9,72 8,95 9,90 9,68 9,82 8,53 9,21 + 0,56
24,93 26,68 25,09 27,37 25,58 27,05 26,34 25,57 25,61 25,84 25,19 25,24 25,87 + 0,80
4,82 7,79 12,03 9,05 3,23 13,15 12,14 9,54 7,40 12,18 4,03 9,78 8,76 + 3,39
525,32 516,28 509,04 513,31 552,43 531,27 517,13 521,27 535,31 504,44 529,63 515,07 552,54 + 13,18
147
Disamping itu kadar air gabah saat panen berkisar (24,94%-27,37%) merupakan kadar optimum bagi gabah hasil panen ubinan yang terbaik menurut rekomendasi pasca panen. Kadar air di atas 27% akan menghasilkan butir hijau yang meningkat dan akhirnya akan membawa akibat rendemen beras gilingnya rendah karena akan terjadi prosentase bekatul dan prosentase beras patahnya tinggi. Sedangkan pemanenan pada kadar air di bawah 24% akan membawa konsekuensi tingkat kehilangan hasil di lapangan besar, karena akan terjadi gabah mudah rontok.
KESIMPULAN Diperoleh tiga genotipe yang memberikan hasil tinggi yaitu genotipe IR71190-45-2-1-BT-1, BP226E-MR-73-PN-2, dan IR-64 masing-masing 19,42; 19,80 dan 19,65 kg/plot atau setara dengan 9,72; 9,90 dan 9,82 ton/ha GKP. Mutu beras paling baik ditunjukkan oleh genotipe BP23F-PN-11 dengan kadar kotoran terkecil 14,43% dan genotipe BP360E-MR-79-PN-2 dengan jumlah gabah isi/malai tertinggi 158 butir. Gabah bernas dicapai oleh genotipe B1059F-KN-5-4-PN-2 yaitu 552,43 g/l dan BP2502D-KN-78-1-8 sebesar 535,3 g/l. Adapun berat 1000 butir tertinggi dicapai genotipe BP2502D-KN-78-1-8 yaitu 30,78 g.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, B. 2002 a. Wild Species Oryza spp.: A prospective source of bacterial blight resistance for rice breeding. Penelitian Pertanian 21(3):1-5. Abdullah, B., S. Tjokrowidjojo, dan B. Kustianto. 2002 b. Status perkembangan pemuliaan padi tipe baru di Indonesia. Lokakarya Penelitian Litkaji dan Pemuliaan Partisipatif, Sukamandi, 22-25 Juli 2002. Ahn, J.K., 1986. Physiological factors affecting grain filling in rice. Philippines at Los Banos.
Ph.D. thesis, University of the
Akita, S. 1989. Improving yield potential in tropical rice. Pp. 41-73. In: Progress in irrigated rice research. International Rice Research Institute, PO Box 933, Manila, Philippines. Badan Pusat Statistik 2005. Statistik DIY 2005. DIY. Baehaki, S.E. 2000. Teknologi pengendalian wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) dengan merekayasa dinamika populasi pada tanaman padi di Indonesia. Brar, D.S. and Khush, G.S. 1997. Alien introgression in rice. Plant Mol. Biol. 35:35-47. Donald, C.M. 1968. The breeding of crops ideotypes. Euphytica 17:385-403. Fagi, A.M., Abdullah, B. dan Kartaatmadja, S. 2001. Peranan padi Indonesia dalam pengembangan padi unggul. Prosiding pada Budaya padi, Surakarta Nopember 2001. IRRI, 1993. Program report for 1992. International Rice Research Institute, Los Baños, Laguna, Philippines, P.O. Box 933, Manila. Khush, G.S. 1995a. Breaking the yield frontierof rice. Geo Journal 35:329-332 Khush, G.S. 1995b. Modern varieties-their real contribution to food supply. Geo Journal 35(3):275-284. Mudjisihono, R., T. Santosa, M. Thamrin dan R. Hendrata. 1999. Laporan Pengkajian SUP Padi Kabupaten Bantul DIY, TA. 1998/1999, 56 hal. Padmaja Rao. 1987. High density grain among primary and secondary tillers of short-and long duration rices. International Rice Research Newsletter 12(4). Puslitbangtan. 1995. Laporan khusus ledakan tungro di Jawa Tengah tahun 1994/1995. 10 hal. Peng, S.G.S. Cassman. 1994. Evaluation of the new plant ideotype for increased yield potential. In K.G. Cassman (ed) Breaking the yield barier. pp. 5-20. Int. Rice. Inst. PO. Box 933. Manila 1099, Philippines Suparyono dan Sudir. 1992. Perkembangan penyakit hawar daun pad stadia tumbuh yang berbeda dan pengaruhnya terhadap hasil padi. Media Penelitian Sukamandi No.12:6-12.
148
PENGARUH RESIDU JENIS DAN DOSIS PUPUK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI DI SUBAK REJASAKABUPATEN TABANAN BALI IK. Kariada dan IB. Aribawa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK Penelitian pengaruh residu jenis dan dosis pupuk organik telah dilaksanakan di subak Rejasa, kabupaten Tabanan, propinsi Bali pada MH. 2004/2005. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh residu dari beberapa jenis dan dosis pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah (Split plot design) dengan tiga kali ulangan. Sebagai petak utama adalah residu tiga jenis pupuk organik yang dihasilkan oleh tiga dekomposer, yaitu : residu pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer cacing tanah (KC) yang disebut dengan kascing; residu pupuk organik yang dihasilkan oleh decomposer Rumino bacillus (RB) dan residu pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer Trichoderma (TD). Anak petak adalah dosis masing-masing jenis pupuk organik yaitu : tanpa pupuk organik (d0); residu 2,0 t ha -1 pupuk organik (d2); residu 4,0 t ha-1 pupuk organik (d4); residu 6,0 t ha-1 pupuk organik (d6) dan residu 8,0 t ha-1 pupuk organik (d8). Parameter tanaman yang diamati adalah komponen pertumbuhan, kompoenen hasil dan hasil padi, seperti tinggi tanaman, jumlah anakan jumlah malai, jumlah gabah isi, bobot 1000 biji dan hasil padi dalam bentuk gabah kering panen per hektar. Hasil penelitian menunjukkan, perlakuan jenis dan dosis pupuk organik tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap semua parameter tanaman padi yang diamati. Hasil padi tertinggi pada jenis pupuk organik terlihat pada pupuk organik yang dihasilkan oleh cacing tanah (kascing), yaitu 7,04 t GKP ha-1, sedang pada dosis pupuk organik, hasil padi tertinggi terlihat pada perlakuan d 8 yaitu 7,23 t GKP ha-1. Kata kunci : residu pupuk organik, lahan sawah dan hasil padi.
PENDAHULUAN Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memantapkan swasembada pangan. Upaya tersebut diantaranya adalah peningkatan mutu intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan. Dalam kaitannya dengan peningkatan mutu intensifikasi, maka teknologi pemupukan memegang peranan yang sangat penting. Penggunaan pupuk urea, TSP/SP-36 dan KCl sangat berperanan dalam meningkatkan produktivitas tanaman pangan. Penggunaan pupuk kimia ini dari tahun ke tahun cendrung semakin meningkat demikian juga dengan harganya bila dibandingkan dengan pupuk organik atau pupuk alternatif yang lainnya. Dengan semakin mahalnya harga pupuk kimia, maka dosis pemupukan yang rasional dan seimbang ke dalam tanah perlu mendapat perhatian, disamping penggunaan pupuk alternatif lain seperti pupuk organik yang dapat menggantikam sebagian peran dari pupuk kimia, sehingga usahatani dapat lebih efisien. Penggunaan pupuk yang tepat dan efisien akan dapat meningkatkan hasil usaha tani dan meningkatkan pendapatan petani dengan menekan biaya produksi per satuan luas. Pendapatan petani dapat ditingkatkan melalui peningkatan efisiensi faktor produksi yang meliputi efisiensi budidaya dan pemanfaatan residu pupuk dalam sistem rotasi pertanaman, disamping rasionalisasi penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida (Makarim et al., 2003). Pemberian pupuk organik, melalui pengembalian sisa panen (brangkasan) ke dalam tanah perlu mendapat perhatian, mengingat dalam sistem usahatani tanaman pangan yang berkelanjutan akan terjadi pengangkutan hara hara dari dalam tanah, baik melalui hasil panen maupun brangkasan yang berkelanjutan pula. Pada sistem usahatani padi dengan tingkat hasil 8,0 t ha -1, akan mengangkut hara dari dalam tanah secara total berturut-turut, 269 kg N ha-1; 44 kg P2O5 ha-1, 207 kg K2O ha-1; 28 kg Mg ha-1 dan 24 kg S ha-1 (Widjanarko et al., 2005), sehingga dengan demikian untuk menjamin stabilitas hasil dan keberlanjutan sistem produksi, pengembalian hara dalam bentuk bahan/pupuk organik mutlak diperlukan. Pemberian pupuk organik ke dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, menyuburkan tanah dan menambah unsur hara, menambah humus, mempengaruhi kehidupan jazad renik yang hidup dalam tanah, disamping dapat meningkatkan kapasitas mengikat air tanah. Pada tanah dengan kandungan C-organik tinggi unsur hara menjadi lebih tersedia bagi tanaman, sehingga pemupukan lebih efisien. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan limbah panen dapat dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, disamping mengurangi penggunaan pupuk N, P dan K dan meningkatkan efisiensinya (Karama, 1990). Hal yang sama dikemukakan pula oleh (Adiningsih, 200; Diwiyanto, 2000) yang mengemukakan bahwa pemberian pupuk organik (kompos) 1,5-2,0 t/ha pada lahan sawah dapat memberikan dampak positif terhadap hasil panen.
149
Pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dan alami dari pembenah buatan/sintetis. Pada umumnya pupuk organik mengandung hara makro N, P dan K rendah, tapi mengandung hara mikro dalam jumlah cukup yang sangat diperlukan pertumbuhan tanaman. Sebagai bahan pembenah tanah pupuk organik mencegah terjadinya erosi, pengerakan permukaan tanah (crusting) dan retakan tanah, mempertahankan kelengasan tanah serta memperbaiki pengatusan dakhil (internal drainage). (Sutanto, 2006). Hasil penelitian mengenai pemberian pupuk organik di lahan sawah, menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik yang menggunakan dekomposer yang berbeda seperti cacing tanah, Trichoderma dan Rumino bacillus dengan dosis 2,0–8,0 t ha-1 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi varietas Fatmawati di subak Rejasa (Aribawa, 2005). Salah satu kelemahan sekaligus keunggulan yang dimiliki oleh pupuk organik adalah penyediaan hara terjadi secara lambat, sehingga mempunyai dampak residu bagi pertanaman berikutnya. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas maka dilakukan penelitian lanjutan di lokasi yang sama untuk mengetahui pengaruh residu dari beberapa jenis dan dosis pupuk organik terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi.
BAHAN DAN METODE Rancangan Percobaan Dalam percobaan ini digunakan rancangan petak terpisah (split plot design) dengan dengan tiga kali ulangan. Sebagai petak utama adalah residu tiga jenis pupuk organik yang dihasilkan oleh tiga dekomposer, yaitu : residu pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer cacing tanah (KC) yang disebut dengan kascing; residu pupuk organik yang dihasilkan oleh decomposer Rumino bacillus (RB) dan residu pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer Trichoderma (TD). Anak petak adalah residu dosis masing-masing jenis pupuk organik yaitu : tanpa pupuk organik (d0); residu 2,0 t ha-1 pupuk organik (d2); residu 4,0 t ha-1 pupuk organik (d4); residu 6,0 t ha-1 pupuk organik (d6) dan residu 8,0 t ha-1 pupuk organik (d8). Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di lahan sawah, subak Rejasa, desa Rejasa, kecamatan Penebel, kabupaten Tabanan, pada MH 2004/05. Wilayah kegiatan merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya yang ditentukan berdasarkan kerjasama dengan instansi terkait seperti Diperta dan BPP. Sedangkan pemilihan petani kooperator pada musim tanam sebelumnya berdasarka masukan dari instansi terkait dan arahan dari ketua Kelompok Tani setempat, sehingga diperoleh petani yang respon terhadap teknologi baru. Pelaksanaan Penelitian Setelah pengolahan tanah dilakukan, maka petak berukuran 6 m x 8 m yang telah dibuat pada musim tanam sebelumnya diperbaiki. Bibit padi yang telah berumur 21 hari ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm dengan 2-3 bibit per lubang. Sebagai pupuk dasar diberikan pupuk urea 250 kg ha-1, 100 kg ha1 SP-36 dan 50 kg ha-1 KCl. Pupuk urea diberikan tiga kali, sedangkan pupuk SP-36 diberikan satu kali dan pupuk KCl diberikan dua kali. Pupuk area dengan dosis 100 kg ha-1, seluruh pupuk SP-36 dan setengah bagian KCl diberikan tujuh hari setelah tanam, sedang sisa KCl dan 100 kg ha -1 urea diberikan 30 hari setelah tanam dan sisa urea berikutnya diberikan 42 hari setelah tanam. Sedangkan pupuk organik sebagai perlakuan diberikan pada musim tanam sebelumnya, sehingga tanaman padi pada musim tanam ini, memanfaatkan residu dari pemberian pupuk organik tersebut. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan konsep PHT, sedangkan pengendalian gulma menggunakan cara mekanis, menyesuaikan dengan keadaan tanaman. Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan terhadap variabel : tinggi tanaman pada saat panen, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per malai, bobot 1000 biji dan hasil gabah kering panen per hektar. Analisis Data Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh perlakuan dalam hal ini jenis pupuk dan dosis dari masing-masing pupuk organik dilakukan dengan uji BNT pada taraf 5 % (Gomez dan Gomez, 1984).
150
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik beberapa sifat kimia pupuk organik yang dihasilkan dari beberapa dekomposer yang diaplokasikan pada musim tanam sebelumnya, disajikan pada Tabel 1 (Aribawa, 2005). Tabel 1. Karakteristik Kimia Pupuk Organik dari Dekomposer yang Berbeda Karakteristik kimia PH C-org (%) N-tot (%) P-tsd (ppm) K-tsd (ppm)
Cacing
Jenis dekomposer Rumino bacillus
Trichoderma
8,05 15,36 0,65 553,17 1109,89
8,85 12,52 0,92 874,42 904,76
9,02 14,21 1,02 926.08 989,97
Tabel 1 di atas memperlihatkan, nilai pH dari pupuk organik yang dihasilkan dari ke tiga dekomposer, menurut Hardjowigeno (1987) berreaksi dari agak alkalis (kascing) sampai alkalis (Rumino bacillus dan Trichoderma). Kadar C-organik ke tiga pupuk organik sangat tinggi, dengan N-total dari tinggi (kascing) sampai sangat tinggi (Rumino bacillus dan Trichoderma). Sedangkan P-tsd dan K-tsd ke tiga pupuk organik mempunyai kadar yang sangat tinggi. Analisis statistik terhadap tinggi tanaman menjelang panen disajikan pada Tabel 2. Perlakuan residu jenis dan dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan residu jenis pupuk terlihat pada pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah, yaitu, 101,42 cm, sedangkan tanaman terrendah dihasilkan oleh perlakuan pupuk organik denga dekomposer Trichoderma yaitu 100,28 cm. Tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan residu dosis pupuk organik terlihat pada perlakuan d 8 yaitu 100,45 cm dan terrendah pada perlakuan d0 yaitu 99,16 cm. Hasil analasis statistik terhadap jumlah anakan maksimum disajikan pada Tabel 2. Perlakuan residu jenis dan dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap jumlah anakan maksimum. Jumlah anakan terbanyak pada perlakuan jresidu enis pupuk terlihat pada pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah yaitu 26,19 batang per tanaman, dan jumlah anakan terrendah terlihat pada perlakuan pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer Rumino bacillus yaitu 25,47 batang per tanaman. Pada perlakuan residu dosis pupuk organik, jumlah anakan terbanyak dihasilkan oleh perlakuan d8 yaitu 20,19 batang per tanaman dan terrendah pada perlakuan d0 yaitu 26,02 batang per tanaman. Tabel 2. Pengaruh Residu Jenis dan Dosis Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi di Lahan Sawah Subak Rejasa, MH 2004/05. Perlakuan
Tinggi tan (cm)
Jml. anakan (batang rumpun-1)
Jml. malai (batang rumpun-1)
Jml. gabah isi malai-1
Hasil t GKP ha-1
Bobot 1000 biji (g)
Petak utama - KC 101,42a 26,19a 22,08a 107,07a 7,04a 29,08a - TD 100,28a 26,02a 22,04a 104,53a 7,02a 29,06a - BC 101,34a 25,47a 21,17a 103,45a 7,00a 29,05a Anak Petak - d0 99,16a 26,12a 22,14a 104,12a 6,97a 29,00a - d2 101,42a 26,14a 22,19a 104,40a 6,99a 29,05a - d4 100,24a 26,05a 22,24a 105,24a 7,02a 29,08a - d6 100,12a 26,18a 22,29a 107,42a 7,12a 29,09a - d8 100,45a 26,19a 22,32a 107,70a 7,23a 29,09a KK (%) 12,8 15,2 14,5 15,4 12,5 10,4 Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf BNT 5%.
Analasis statistik terhadap jumlah malai disajikan pada Tabel 2. Perlakuan residu jenis pupuk dan dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap jumlah malai. Jumlah malai terbanyak pada perlakuan residu jenis pupuk terlihat pada pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah yaitu 22,08 batang per tanaman, dan jumlah anakan terrendah terlihat pada perlakuan residu pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer Rumino bacillus yaitu 21,17 batang per tanaman. Pada perlakuan residu dosis pupuk organik, jumlah anakan terbanyak terlihat pada perlakuan d8 yaitu 22,32 batang per tanaman dan terrendah pada perlakuan d 0 yaitu 22,14 batang per tanaman.
151
Perlakuan jenis pupuk dan dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah gabah isi per malai. Jumlah gabah isi malai terbanyak pada perlakuan residu jenis pupuk terlihat pada pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah yaitu 107,07 butir per malai, dan jumlah gabah isi per malai terrendah terlihat pada perlakuan pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer Rumino bacillus yaitu 103,45 butir permalai. Pada residu perlakuan dosis pupuk organik, jumlah gabah isi per malai terbanyak terlihat pada perlakuan d 8 yaitu 107,70 butir per malai dan terrendah pada perlakuan d0 yaitu 104,12 butir per malai (Tabel 2). Analasis statistik terhadap hasil gabah kering panen per hektar disajikan pada Tabel 2. Perlakuan residu jenis pupuk dan dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap hasil gabah kering panen per hektar. Hasil gabah kering panen per hektar tertinggi pada perlakuan residu jenis pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah yaitu 7,04 ton GKP per hektar, dan hasil gabah terrendah pada perlakuan pupuk organik dengan dekomposer Rumino bacillus yaitu 7,00 ton GKP per hektar. Pada perlakuan residu dosis pupuk organik, hasil gabah tertinggi terlihat pada perlakuan d8 yaitu 7,23 ton GKP per hektar dan terrendah pada perlakuan d 0 yaitu 6,97 ton GKP per hektar. Perlakuan residu jenis pupuk dan dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap bobot 1000 biji. Bobot 1000 biji tertinggi pada perlakuan jenis pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah yaitu 29,08 gram, dan hasil gabah terrendah terlihat pada perlakuan residu pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer Rumnini bacillus yaitu 29,05 gram. Pada perlakuan residu dosis pupuk organik, bobot 1000 biji tertinggi terlihat pada perlakuan d 8 yaitu 29,09 gram dan terrendah pada perlakuan d0 yaitu 29,00 gram (Tabel 2). Pertumbuhan tanaman dalam arti sempit berarti pembelahan sel (peningkatan jumlah) dan pembesaran sel (peningkatan ukuran) dan merupakan proses yang tak dapat balik (Gardner et al., 1986). Hardjowigeno (1987) menyebutkan bahwa pertumbuhan merupakan suatu perkembangan yang progresif dari suatu organisme dan cara yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan menyatakan dalam penambahan berat kering, panjang, tinggi ataupun diameter batang. Dalam percobaan ini untuk melihat pengaruh dari perlakuan residu jenis dan dosis pupuk organik terhadap pertumbuhan tanaman digunakan tinggi tanaman dan jumlah anakan per rumpun dengan mengamatinya pada saat panen. Tinggi tanaman dan jumlah cabang per rumpun tidak dipengaruhi oleh residu jenis dan dosis pupuk organik serta interaksinya. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan meningkatkan kadar bahan organik tanah. Bahan organik tanah merupakan timbunan dari sisa tanaman dan binatang yang sebagian besar telah mengalami pelapukan dan merupakan bahan utama jasad mikro tanah. Bahan organik akan mengalami perubahan terus menerus oleh aktivitas jasad mikro dan tidak mantap. Oleh karena itu bahan organik tanah harus selalu diperbaharui dengan menambah sisa tanaman atau binatang. Kadar bahan organik tanah-tanah mineral umumnya rendah, tidak melebihi 5%, tapi pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan produktivitas lahan sangat besar (Hardjowigeno, 1987). Tanah-tanah, terutama lahan sawah dengan kandungan C-organik rendah (< 2%) sangat memerlukan penambahan bahan organik. Penambahan bahan organik diperlukan untuk : (1) menambah hara bagi tanaman secara kontinu, (2) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), (3) memperbaiki porositas tanah, (4) meningkatkan aktifitas jasad renik dalam tanah (Anon, 2004; Sutanto, 2002a dan Sutanto, 2002b). Dalam penelitian ini, seperti telah dikemukakan di atas, residu jenis pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi. Hal ini diduga disebabkan karena pupuk anorganik yang diberikan (Urea, SP36 dan KCl) sudah mencukupi untuk pertumbuhan dan produksi tanaman padi, disamping karena karakteristik umum yang dimiliki oleh pupuk organik yaitu: (1) kandungan unsur hara rendah dan sangat bervariasi, (2) penyediaan hara terjadi secara lambat dan (3) menyediakan hara dalam jumlah terbatas (Sutanto, 2002a dan Sutanto, 2002b). Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan untuk kegiatan mikroba tanah untuk dialih rupakan dari bentuk ikatan komplek organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang dapat diserap tanaman. Kebanyakan unsur di dalam tanah biasanya tercuci dalam bentuk unsure tersedia dai hasil perombakan bahan organik. Perlakuan residu beberapa jenis pupuk organik menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap semua parameter tanaman yang diamati. Namun demikian, residu pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah memberikan hasil padi tertinggi yaitu 7,04 ton GKPper ha. Hal ini disebabkan karena kascing menyediakan hara (N,P,K, Ca dan Mg) dalam jumlah seimbang dan dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, disamping menyediakan hormon pertumbuhan tanaman ( Sutanto, 2002a dan Sutanto 2002b).
152
Residu pupuk organik yang semakin tinggi memberikan hasil padi yang semakin meningkat. Hasil padi tertinggi terlihat pada perlakuan dosis pupuk organik 8,0 ton per ha (d 8) yaitu 7,23 ton GKP per ha. Semakin banyak pupuk organik yang diberikan atau semakin tinggi dosis pupuk organik berarti semakin banyak kadar hara yang akan dihasilkan dari hasil mineralisasi pupuk organik yang dapat diserap oleh tanaman padi untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan diantaranya : 1.
Perlakuan residu jenis dan dosis pupuk organik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap semua parameter tanaman yang diamati.
2.
Hasil padi tertinggi pada perlakuan residu jenis pupuk terlihat pada pupuk organik dari dekomposer cacing tanah yaitu 7,04 t GKP ha-1.
3.
Hasil padi tertinggi pada perlakuan dosis pupuk organik terlihat pada dosis pupuk organik 8,0 ton ha -1 yaitu 7,23 ton GKP ha-1.
DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, S. 2000. Peranan Bahan Organik Tanah dalam Sistem Usaha Tani Konservasi. Makalah disampaikan sebagai bahan pelatihan ― Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dalam Sistem Usaha Tani‖ di Bogor dan Solo, 21 Februari – 6 Maret 2000. Anonimous. 2004. Padi Tipe Baru : Budidaya dengan pendekatan pengelolaan terpadu. Balitpa. Puslitbangtan. Badan Litbangtan. 50 hlm. Aribawa, IB. 2005. Pengaruh jenis dan dosis pupuk organic terhadap pertumbuhan dan hasil padi di lagan sawah desa Rejasa, kabupaten Tabanan. Proseding Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran Stakeholder Dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bekerjasama dengan BPTP Bali. Hlm. 364-368 Gardner, Franklin P., R. Brent Pearce dan Roger L. Mitchel. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan Herawati Susilo dan Subiyanto. Universitas Indonesia (UI-Press). 428 hlm. Gomez and Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. An International Rice Research Instute Book. A Wiley Interscience Publ. John Wiley and Sons. New York. 680 p. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Ilmu Tanah. PT. Medyatama Perkasa. 216. hlm. Hasanuddin, A. 2004. Pengelolaan tanaman padi terpadu; suatu strategi pendekatan teknologi spesifik lokasi. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB Lainnya 31 Maret – 3 April 2004, di Balitpa, Sukamandi. Diwiyanto, K. 2000. Restrukturisasi Peta Kesesuaian dan Pemberdayaan Sumberdaya Unggulan (Pembangunan Pertanian-Peternakan di Indonesia). Makalah disampaikan sebagai bahan pelatihan ― Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dalam Sistem Usaha Tani‖ di Bogor dan Solo, 21 Februari – 6 Maret 2000. Karama, A.S. 1990. Penggunaan pupuk organik dalam produksi pertanian. Makalah Disampaikan pada Seminar Puslitbangtan, Bogor. 4 Agustus 1990. Makarim, A.K, IN. Widiarta, Hendarsih dan A. Abdulrachman. 2003. Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. Deptan. Puslitbangtan. Bogor. Sutanto, R. 2002a. Penerapan Pertanian Organik : pemasyarakatan dan pengembangannya. Kanisius. Jakarta. Sutanto, R. 2002b. Pertanian Organik : menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan. Kanisius. Jakarta. Wijanarko, A., Sudaryanto dan Sutarno. 2005. Teknik pemulihan kesuburan Alfisol dalam usaha peningkatan produktivitas kacang tanah. Proseding Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran Stakeholder Dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bekerjasama dengan BPTP Bali. Hlm. : 99-104.
153
PENGARUH BERBAGAI MEDIA TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT JERUK BALI (Citrus maxima. Merr) DI KABUPATEN KARANGASEM BALI Mastra Sunantara, IB. Aribawa dan IK. Kariada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK Jeruk Bali besar (Citrus maxima. Merr) yang sering disebut dengan nama Jeruk Bali, merupakan salah satu komoditas buah-buahan unggulan Provinsi Bali. Populasi jeruk Bali dari tahun ke tahun mengalami penurunan, bahkan dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2003 tidak ditemukan data perkembangan yang khusus mengenai Jeruk Bali, dan dikhawatirkan Jeruk Bali ini sudah hampir punah. Keberhasilan pembibitan Jeruk Bali merupakan langkah awal dari keberhasilan untuk meningkatkan populasi jeruk Bali. Penelitian mengenai pembibitan jeruk bali dengan berbagai media tumbuh telah dilaksanakan di Kabupaten Karangasem mulai TA 2005. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan alternatif media tumbuh jeruk Bali. Perlakuan media tumbuh terdiri dari: (a) campuran pupuk kandang (pukan) + tanah; (b) skam + tanah; dan (c) serbuk gergaji + tanah, dengan masing-masing perbandingan (a) 1:3; (b) 1:2; (c) 1:1; (d) 2:1; dan (e) 3:1, sehingga terdiri dari 15 kmobinasi perlakuan. Jumlah bibit yang diamati dari masing-masing perlakuan berjumlah 10 bibit. Parameter bibit yang diamati adalah: tinggi tanaman, jumlah daun, diamater batang, berat kering bagian atas tanaman, jumlah akar lateral, panjang akar dan berat kering akar. Hasil penelitian menunjukkan media tumbuh yang menggunakan pupuk kandang memberikan pertumbuhan semai dan perakaran yang lebih baik bila dibandingkan dengan pertumbuhan semai pada media tumbuh yang lain. Hal ini dapat dilihat, salah satunya dari berat kering akar, berat kering akar tertinggi pada umur 42 MST terlihat pada media pukan + tanah dengan perbandingan 3:1 yaitu 17,79 gram. Kata kunci : adaptasi. jeruk Bali dan media tumbuh.
PENDAHULUAN
Jeruk besar Bali (Citrus maxima. Merr) yang lazim disebut dengan nama Jeruk Bali merupakan salah satu komoditas buah yang sudah dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Bali dan sebagian besar masyarakat di luar Bali, dan umumnya diusahakan di lahan tegalan atau pekarangan. Luas lahan kering (tegalan dan pekarangan) di Bali pada tahun 1988 adalah 170.335 ha (127.190 ha tegalan dan 43.145 ha pekarangan). Dari potensi luas tegalan tersebut 39,7 ha sudah dimanfaatkan untuk pengambangan tanaman jeruk (Anon, 1998). Populasi tanaman Jeruk Bali pada tahun 1990, 1991, 1992, 1993, 1994 berturut-turut 127.223 pohon, 120.917 pohon, 104.081 pohon, 96.922 pohon dan 93.408 pohon. Tahun 1995 sampai dengan tahun 2003 tidak ditemukan data perkembangan Jeruk Bali (Anon, 1998). Penurunan tersebut disamping disebabkan oleh semakin berkurangnya pengembangan tanaman Jeruk Bali, juga karena serangan penyakit Diplodia sp yang menyebabkan tanaman Jeruk Bali mati sehingga populasi dan produksinya menurun. Populasi Jeruk Bali yang dari tahun ke tahun terus menurun, menunjukkan bahwa pengembangan populasi jeruk semakin berkurang yang berarti belum banyak dilakukan usaha pembibitan dan penanaman Produksi jeruk besar per pohon per tahun rata-rata 1,37 kw sedangkan potensi hasil bisa mencapai 2,08 kw per pohon (Sutopo, 1998), sehingga perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil PRA ditemukan bahwa, populasi tanaman Jeruk Bali semakin berkurang dari tahun ke tahun karena keterbatasan bibit yang bermutu dan budidaya tanaman belum dilaksanakan secara intensif. Benih merupakan bagian yang sangat potensial dalam sistem budidaya pertanian. Benih yang baik dan sehat (benih bermutu dari varietas unggul) diharapkan akan dapat menghasilkan tanaman yang baik serta mampu memberikan hasil sesuai dengan harapan. Sedangkan media tumbuh, bentuk dan ukuran pot, berperan dalam pembentukan sistem perakaran yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Pemilihan bahan campuran media tumbuh dapat berbeda untuk setiap penangkar bibit, tetapi mempunyai sasaran yang sama, yaitu mendapatkan media tumbuh yang ringan, homogen, berdrainase baik, mudah didapat dan murah serta mampu memberikan pertumbuhan optimal semai dan bibit jeruk selama periode pembibitan berlangsung. Campuran peat‘/‘perlite‘/‘vermiculite― dan pasir dengan perbandingan tertentu banyak digunakan oleh penangkar bibit jeruk di Florida dan California (Castile, 1986), sedangkan campuran pupuk kandang, pasir dan atau tanah dengan perbandingan tertentu lebih disukai oleh penangkar bibit buah-buahan di Indonesia. Sejak lima tahun yang lalu beberapa penangkar di Indonesia telah mengganti media pasir dengan sekam atau serbuk gergaji (Supriyanto, 1999).
154
Permasalahan yang dihadapi sampai saat ini dalam berbudidaya jeruk adalah bahwa jeruk keprok terserang CVPD, sedangkan diketahui Jeruk Bali kurang disukai oleh vektor CVPD. Hal ini memberi peluang untuk mengembangkan Jeruk Bali sebagai pengganti jeruk keprok yang terserang CVPD (Supriyanto, 1996). Mengantisipasi permasalahan tersebut di atas, maka perlu diupayakan pengembangan Jeruk Bali agar populasinya dapat meningkat. Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah penyediaan benih/bibit yang berkualitas, sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik. Dalam pengkajian ini, sebelum bibit dasar disambung akan dilakukan pengujian beberapa campuran media tumbuh untuk mendukung perkembangan tanaman selama dalam polibag. Adapun tujuan penelitian ini adalah menemukan alternatif media tumbuh jeruk Bali.
BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada lahan tegalan di Desa Padangkerta, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Berdasarkan AEZ Provinsi Bali, lokasi tersebut termasuk agroekosistem lahan kering beriklim sedang, jenis tanah Regosol, kandungan pasir dan debu di atas 60%, struktur tanah gembur, solum tanah lebih dari 1 meter dan kandungan bahan organik sedang. Ketinggian tempat 40 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1500 mm, dengan pH 6,5. Bulan basah dari Oktober sampai April dan bulan kering dari Mei sampai September. Pada keadaan AEZ seperti tersebut, Jeruk Bali dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Metode Analisis Sebelum pengamatan dilakukan terhadap bibit jeruk besar hasil sambungan, dilakukan penelitian pendahuluan terhadap pemilihan bahan campuran media tumbuh. Perlakuan terdiri dari: (a) campuran pupuk kandang (pukan) + tanah; (b) sekam + tanah; dan (c) serbuk gergaji + tanah, masing-masing dengan perbandingan (a) 1:3; (b) 1:2; (c) 1:1; (d) 2:1, dan (e) 3:1 sehingga terdiri dari 15 kombinasi perlakuan. Campuran media tumbuh diperkaya dengan pupuk NPK 1 sendok makan per polibag. Pemberian pupuk tambahan dilakukan setiap 1 bulan sekali. Semai batang bawah jeruk JC berumur 3 bulan dipindahkan kedalam polibag berukuran 5 kg yang telah diisi campuran media tumbuh. Pemeliharaan semai hingga akhir perlakuan dilakukan secara optimal hingga mencapai kapasitas lapang. Seluruh kegiatan penelitian penggunaan bahan campuran media tumbuh dilaksanakan berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri dari 3 ulangan dengan unit percobaan sebanyak 5 tanaman. Parameter yang diamati meliputi komponen pertumbuhan semai, akar yang tumbuh (jumlah akar lateral dan berat kering akar), serta kandungan kimia campuran media tumbuh yang digunakan. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara satistik dengan menggunakan analisis sidik ragam. Apabila interaksi perlakuan menunjukkan pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda pada taraf 5%, jika hanya perlakuan tunggal yang berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNT 5% (Gomez dan Gomez, 1995). Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah tanaman jeruk varietas Rengked, Yeh Buah, dan varietas Famelo yang dipergunakan sebagai batang atas sedangkan jenis RL dan JC digunakan sebagai batang bawah. Pupuk yang digunakan Urea, TSP/SP-36, KCL, dan pupuk kandang sapi. Bahan lain yang juga digunakan adalah tanah, sekam, serbuk gergaji dan untuk mencegah penyakit Diplodia digunakan Bubur Bordeaux. Polibag yang dipakai adalah berukuran 5 kg. Alat yang digunakan adalah gunting pangkas, pisau tempel, cangkul, skop, tali plastik, ember, dan lain-lain.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penanaman benih setelah pemindahan dari pesemaian dalam tanah ke polibag, terjadi stagnasi pertumbuhan ± 24% dari 3000 benih yang dipersiapkan. benih selanjutnya keluar getah dari batang (terserang Diplodia) umur 8 minggu (MST), selanjutnya benih tersebut mati. Benih yang mati kebanyakan terjadi pada penggunaan campuran media sekam 3:1 dan serbuk gergaji 3:1. Benih bisa diselamatkan ±76% dengan pengobatan menggunakan bubur Bordeaux dan pemupukan dengan pupuk daun. Benih yang mati kebanyak yang berasal dari jenis RL, dimana jenis tersebut lebih peka terhadap serangan Diplodia, terutama pada saat
155
dilakukan transplanting. Penggunaan Japansche Citroen (JC) sebagai batang bawah (selling) sementara bibit masih kecil mempunyai daya tahan lebih baik terhadap serangan penyakit Diplodia. Bila dilihat dari penggunaan bahan tanam bibit dasar (selling), pencampuran media tanam sangat menentukan percepatan perkembangan selling setelah dipindahkan ke polibag. Perbandingan bahan dasar media tumbuh yang terbaik dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pertumbuhan Semai pada Umur 16 dan 42 Minggu Setelah Pindah Tanam (MST). Perlakuan
Tinggi 16 MST 42 MST cm
Jumlah daun 16 MST 42 MST
Diameter 16 MST 42 MST cm
Berat kering 16 MST 42 MST Cm
Pukan + Tanah
1:3 1:2 1:1 2:1 3:1
47,00 c 48,89 c 49,61 c 46,56 c 49,39 c
103,17cd 109,00 d 115,55 d 116,58 d 118,11 d
24,33 g 24,44 g 25,55 g 25,44 g 25,55 g
50,00e 50,11ef 53,00ef 53,06ef 55,22 f
0,36cd 0,37cd 0,40 d 0,35cd 0,37cd
0,80de 0,88 e 0,88 e 0,86 e 0,88 e
2,86 e 3,18 f 3,16 f 3,33 f 3,42 f
20,31d 25,18e 25,52e 28,50ef 31,39f
Sekam + Tanah
1:3 1:2 1:1 2:1 3:1
38,33bc 26,38b 19,61ab 14,73ab 10,00ab
107,52cd 81,39c 59,61bc 17,00a 12,81a
19,89f 16,11e 12,00d 8,67bc 7,11b
52,78ef 41,17d 30,50e 11,78b 11,39b
0,32bc 0,27bc 0,23b 0,14a 0,14a
0,81e 0,71d 0,56c 0,16a 0,18a
2,37de 1,49 c 0,90 b 0,39ab 0,34ab
21,20 d 13,73 c 5,67 b 1,04 a 1,03 a
Serbuk gergaji + Tanah
1:3 1:2 1:1 2:1 3:1
10,59ab 6,91a 7,33a 6,89a 6,61a 16,44
52,11ab 20,22a 9,23a 6,89a 6,61a 28,50
8,76bc 4,67ab 4,22ab 4,22ab 3,67a 3,27
31,00c 15,17b 7,33ab 4,33a 3,78a 5,20
0,14a 0,12a 0,11a 0,12a 0,10a 0,05
0,52c 0,25b 0,13a 0,12a 0,10a 0,09
0,37ab 0,20a 0,19a 0,14a 0,12a 0,59
6,63 b 1,18 a 0,77 a 0,29 a 0,22 a 3,41
BNT5 %
Macam media tumbuh dapat mempengaruhi pertumbuhan dan sistem perakaran semai. Tabel 2 merangkum rata-rata pertumbuhan semai pada saat umur 16 minggu setelah pindah tanam (MST) dan pada saat benih umur 42 MST. Tabel 2. Sistem Perakaran Semai pada Umur 16 dan 42 Minggu Setelah Pindah Tanam (MST). Jumlah akar lateral 16 MST 42 MST
Perlakuan
Panjang akar 16 MST 42 MST cm 46,67 e 72,67e 48,50 e 69,25bc 49,75 e 80,50e 49,42 e 80,67e 50,25 e 75,15e
BK akar 16 MST 42 MST Gram 14,0 b 13,09 d 1,41 b 14,50 de 1,74 b 15,20 de 1,86 cd 15,75 e 2,00 cd 17,79 e
Pukan + Tanah
1:3 1:2 1:1 2:1 3:1
126,2 e 125,7 e 108,5 de 111,8 de 115,0 e
134,0 c 137,0 c 181,2 d 137,0 c 127,2 c
Sekam + Tanah
1:3 1:2 1:1 2:1 3:1
103,7 d 92,7 c 72,5 bd 64,3 ac 70,0 bb
110,8 bc 134,7 c 83,8 b 65,5 d 73,3 a
35,83 d 28,50 e 21,92 ab 17,75 a 16,42 a
58,08 b 63,92 bc 36,50 a 52,67 ab 46,17 a
2,10 d 1,53 bc 1,03 b 0,44 a 0,44 a
13,33 d 9,83 e 5,61 b 1,72 a 1,27 a
Serbuk gergaji + Tanah
1:3 1:2 1:1 2:1 3:1
82,7 bc 78,7 bc 56,5 a 47,3 a 59,5 a 20,8
120,2 bc 98,8 b 43,7 a 75,7 a 65,8 a 26,8
38,92d 33,33cd 27,48bc 25,58b 26,67b 6,41
77,33 e 63,58 bc 42,33 a 78,83 c 57,33 b 19,85
0,44 a 0,27 a 0,18 a 0,27 a 0,14 a 0,51
5,90 be 1,16 d 1,08 a 0,53 a 0,38 a 2,04
BNT 5 %
Secara umum dapat dinyatakan bahwa tinggi tanaman, jumlah daun, diameter dan bobot kering (BK) bagian atas tanaman (pucuk) semai yang ditumbuhkan pada media tanah yang mengandung bahan organik pupuk kandang (pukan) lebih baik dibandingkan dengan yang ditumbuhkan pada media sekam maupun serbuk gergaji. Komposisi bahan organik pukan tidak memberikan perbedaan pertumbuhan yang berarti. Sedangkan makin banyak sekam maupun serbuk gergaji sebagai campuran organik dalam media tumbuh, makin lambat pertumbuhan semai terutama pada 42 MST. Pertumbuhan semai pada media tumbuh sekam +
156
tanah (1:3) relatif sama dengan pertumbuhan semai pada media tumbuh yang menggunakan media campuran pukan terutama pada akhir pengamatan. Pertumbuhan semai yang memuaskan ditunjang oleh sistem perakaran yang baik, seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Pertumbuhan jumlah akar lateral, panjang akar dan berat kering (BK) akar mengikuti pola pertumbuhan yang sama dengan pertumbuhan bagian atasnya (Tabel 2). Pada akhir pengamatan, semai yang tumbuh pada media pukan + tanah (1:1) memiliki jumlah akar lateral yang lebih banyak dibandingkan dengan semai yang tumbuh pada media pukan + tanah dengan perbandingan lainnya. Panjang dan berat kering akar relatif sama. Makin banyak kandungan sekam atau serbuk gergaji dalam campuran media, makin baik sistem perakaran yang dibentuk. Campuran media tumbuh sekam + tanah (1:3) mampu memberikan pertumbuhan yang relatif sama dengan sistem perakaran yang dibentuk semai yang ditumbuhkan di media yang menggunakan pukan. Semai yang memiliki pertumbuhan baik memiliki nilai bandingan pucuk dan akar sekitar 1,76-2,41 pada 16 MST dan 1,53-1,79 pada 42 MST. Penambahan pukan, sekam maupun serbuk gergaji dapat menurunkan bobot jenis isi (BI) dan bobot jenis partikel (BJP), tetapi meningkatkan porositas, air tersedia, pori drainase cepat dan lambat (Tabel 3). Penambaha bahan organik menyebabkan jarak antar partikel tanah semakin besar dan terisi oleh hasil dekomposisi bahan organik, sehingga bobot media per satuan volume berkurang. Tabel 3. Sifat-sifat Fisik Campuran Media Tumbuh. BI (Bulk Density
Perlakuan
BJP (Particle Density) gram
Porositas
Air tersedia %
Draenase pori Cepat Lambat % Vol air
Pukan + Tanah
1:3 1:2 1:1 2:1 3:1
1,30 1,14 1,04 0,91 0,93
2,33 2,28 2,27 2,26 2,26
44,21 50,20 54,19 59,73 58,85
8,3 8,9 9,1 12,7 20,7
23,3 23,7 25,2 30,1 30,9
1,3 2,4 2,4 2,8 2,6
Sekam + Tanah
1:3 1:2 1:1 2:1 3:1
1,22 1,22 1,03 0,86 0,70
2,27 1,84 1,74 1,71 1,67
46,26 44,02 50,57 59,07 67,66
5,4 6,3 12,7 15,5 18,2
28,5 31,7 35,1 42,0 48,8
1,6 1,5 1,8 3,3 4,7
Serbuk gergaji + Tanah
1:3 1:2 1:1 2:1 3:1
0,54 1,23 1,13 1,08 0,87
2,30 2,16 2,10 2,04 2,08
46,52 47,68 56,52 57,35 73,25
5,5 6,7 5,8 6,0 6,8
27,3 30,7 36,0 42,3 62,1
1,7 2,5 2,9 3,7 3,8
Dibandingkan sekam dan serbuk gergaji, pukan dapat menciptakan granulasi media tumbuh lebih baik, sehingga tercipta struktur media yang baik pula. seperti yang ditunjukkan dengan persen pori drainase cepat yang labih kacil atau jumlah pori makro yang lebih sedikit. Hal ini berkaitan erat dengan kandungan lignin dan hypoprotein yang relatif resisten terhadap pelapukan berturut-turut tertinggi pada serbuk gergaji, sekam dan pukan. Supardi (1983) menyatakan bahwa 0,2% bagian kotoran sapi merupakan jaringan jasad yang berperan penting dalam aktivitas biologi. Black (1946) menambahkan bahwa kemampuan media tumbuh dalam menunjang pertumbuhan akar yang baik, juga tergantung pada distribusi ukuran pori dan aktivitas jasad mikro. pH media tumbuh yang menggunakan pukan relatif lebih rendah dibandingkan yang menggunakan sekam maupun serbuk gergaji karena asam-asam humik yang dilepaskan oleh jasad mikro. Kenyataan ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi bahan organik dari pukan berlangsung lebih awal daripada sekam dan serbuk gergaji. Selanjutnya proses dekomposisi akan meningkat seperti ditunjukkan dengan menurunnya nilai bandingan C/N (Supriyanto dan Ernawanto, 1986). Dalam proses mineralisasi ini, kation-kation akan segera dilepas, sehingga pH pada akhir pengamatan menjadi lebih besar. Proses mineralisasi bahan organik akan terjadi bila bandingan C/N < 25 (Anonymous, 1984). Media tumbuh yang mengandung pukan memiliki sifat fisik dan kimia yang lebih mantap, sehingga mampu menunjang pertumbuhan perakaran dan semai lebih baik. Semai yang ditumbuhkan pada media yang mengandung pukan cenderung mempunyai laju absorbsi N dan P lebih tinggi. Sedangkan yang ditumbuhkan
157
di media tumbuh yang mengandung sekam, laju absorbsi Ca dan Mg lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Walaupun mempunyai pertumbuhan yang paling lambat, semai yang ditumbuhkan pada media yang mengandung serbuk gergaji cenderung mempunyai kandungan K yang paling tinggi. Hal ini diduga ada kaitannya dengan kemampuan media tumbuh dalam menyediakan unsur-unsur hara tersebut selama pertumbuhan semai berlangsung (Tabel 4). Tabel 4. Kandungan Hara dalam Tanah, Pukan, Sekam dan Serbuk Gergaji (%). Bahan Tanah Pukan Sekam Sebuk Gergaji
C 1,75 25,54 3,56 33,86
N 1,01 0,49 0,48 0,03
P
K
Ca
Mg
1,002 0,260 0,001 0,021
0,020 0,298 0,166 0,375
0,148 0,361 0,181 0,225
0,011 0,206 0,039 0,075
Berdasarkan tabel hasil analisa sifat fisik dan kimia, media tumbuh yang mengandung pukan mempunyai sifat-sifat fisik dan kimia sebagai berikut. BI 0,90-1,22 g/cm3. BJP 2,25-2,31 g/cm3, porositas 46,94-59,85%, air tersedia 6,75-17,13% pori drainase cepat 23,03-30,24 dan pori drainase lambat 1,72-2,88; pH (H2O) berkisar 7,2-7,5 dan pH (KCl) 6,3-6,6 serta bandingan C/N 9,4-18,6. KESIMPULAN 1.
2. 3. 4.
Media tumbuh yang menggunakan pukan memberikan pertumbuhan semai dan perakaran yang lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan semai pada media tumbuh yang mengandung sekam dan serbuk gergaji. Media tumbuh campuran sekam + tanah (1:3) mampu memberikan pertumbuhan semai yang relatif sama dengan yang dihasilkan media tumbuh yang mengandung pukan, terutama pada akhir pengamatan. Pukan mampu menciptakan sifat fisik da sifat kimia media tumbuh yang lebih mantap, sehingga mampu menciptakan sistem penakaran yang baik dan menunjang pertumbuhan semai selanjutnya. Kemampuan semai mengabsorbsi hara N, P, K, Ca dan Mg cenderung berbeda tergantung macam media tumbuhnya.
DAFTAR PUSTAKA Anon. (1984). Survai Tanah. Faperta IPB. Anon., (1998). Kebijakan Pengembangan Hortikultura di Bali. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Daerah TK. I Bali. Makalah dalam Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi Usahatani Hortikultura. Denpasar 28 Desember 1998, 10 hal. Castle, W.S. (1986). An Evaluation of Containereze Systen in Relation to Field Nursery Methode for Propagating Citrus Trees Gomez, A.K. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. UI Press. Jakarta. 698 hlm. Supriyanto. A., (1996). Restrukturisasi dan Reorientasi Pelaksanaan Rehabilitasi Jeruk Keprok Tejakula di Bali Utara. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Tlekung. Batu Malang, 12 hal. Supriyanto, A. (1998). Grape Fruit Cocok ditanam di Indonesia. Trubus 340 TH. XXIX-1 Maret 1998, hal. 39-41. Sutopo. A., Supriyanto dan M. Sugiyarto, (1998). Jeruk Besar Potensi Besar Kurang diperhatikan. Trubus 338 -TH XXIX-Januari 1998, hal 34-40. Sutopo, (1998). Mengebunkan Jeruk Besar secara Intensif. Trubus 340 TH XXIX-Maret 1998, hal 52-54. Supriyanto, A dan Ernawanto. Media Tumbuh untuk Pembibitan Jeruk. Buletin Tanaman Hortikultura XIV Edisi Khusus 23.
158
PENGARUH SISTEM TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA VARIETAS PADI SAWAH DI SUBAK BABAKAN KABUPATEN TABANAN BALI IB. Aribawa dan IK. Kariada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan sawah di Subak Babakan, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali pada MK. 2005. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh sistem tanam terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas tanaman padi. Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah (split plot design) dengan tiga kali ulangan. Petak utama adalah enam varietas padi yaitu: IR-64; Cibogo (Cb); Cigeulis (Cg); Ciherang (Ch); Cimelati (Cm) dan Widas (Wd) dan sebagai anak petak adalah sistem tanam yang terdiri dari: sistem legowo 2:1 (l1); sistem legowo 4:1 (l2) dan sistem tegel 25 x 25 cm (l3). Parameter tanaman yang diamati adalah: pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman), komponen hasil dan hasil padi. Hasil penelitian menunjukkan interaksi perlakuan varietas dan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap hasil padi. Hasil padi tertinggi terlihat pada kombinasi perlakuan varietas Cimelati dengan sistem tanam legowo 2:1 yaitu 8,15 ton GKP ha-1 Kara kunci : sistem tanam, varietas dan hasil padi.
PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas yang menyangkut hajat hidup dan kebutuhan mendasar bagi hampir sebagian besar penduduk Indonesia. Oleh karena itu, tekad meraih kembali swasembada beras nasional menjadi keharusan. Kebutuhan beras setiap tahun makin bertambah, seiring dengan laju pertambahan penduduk. Pada tahun 2002 penduduk Indonesia berjumlah 210 juta jiwa dan produksi padi mencapai 51,4 juta ton gabah kering giling (BPS, 2003). Dengan laju pertambahan pendududk rata-rata 1,7% per tahun dan kebutuhan per kapita sebanyak 134 kg, maka pada tahun 2025 Indonesia harus mampu menghasilkan padi sebanyak 78 juta ton GKG untuk mencukupi kebutuhan beras nasional (Abdullah, 2004). Sementara itu, laju peningkatan produktivitas padi di Indonesia telah melandai (leveling off) meskipun upaya kultur teknis telah dilakukan secara maksimal. Hal ini erat kaitannya dengan tidak adanya varietas unggul baru yang berpotensi lebih tinggi dari varietas yang selama ini ditanam petani secara luas, tertutama padi sawah. Pengembangan Padi Tipe Baru (PTB) seperti Fatmawati, semi PTB seperti Gilirang, Ciapus, Cimelati dan padi Hibrida merupakan suatu terobosan besar dalam upaya peningkatan produktivitas dan produksi padi nasional serta peningkatan pendapatan petani. Pengembangan padi tipe baru ini diharapkan merupakan salah satu penambah alternatif pilihan mengenai inovasi teknologi partisipatif dan spesifik lokasi yang dikenal dengan sebutan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang berkembang dari sejak penulusuran masalah/keinginan petani setempat. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan keserasian dan sinergisme antara komponen teknologi produksi (budidaya) dengan sumberdaya lingkungan setempat. Dengan demikian, paket teknologi yang disiapkan bersifat spesifik lokasi, yang dapat menghasilkan sinergisme dan efisiensi tinggi, sebagai wahana pengelolaan tanaman dan sumberdaya spesifik lokasi (Hasanudin, 2004). Sistem tanam tabela, legowo 4:1 atau 2:1, tapin merupakan alternatif komponen teknologi dalam padi sawah irigasi. Pemilihan komponen teknologi PTT didasarkan pada identifikasi wilayah dan permasalahan usahatani padi dan diharapkan merupakan peluang mengatasi masalah pelandaian produktivitas padi. Sistem tanam legowo adalah sistem tanam berselang-seling antara dua atau lebih baris tanaman padi dan satu baris kosong. Baris tanaman (dua atau lebih) dan baris kosongnya (setengah lebar di kanan dan di kirinya) disebut satu unit legowo. Bila terdapat dua baris tanaman per unit legowo, maka disebut legowo 2:1, kalau tiga baris tanaman per unit legowo disebut 3:1 dan seterusnya (Abdurrachman, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara tanam legowo 2:1 memberikan hasil gabah tertinggi sebesar 6,25 ton per hektar dan hasil gabah terrendah dengan cara tanam tegel 20 x 20 cm sebesar 5,52 ton per hektar, meningkat sebesar 18,1% bila dibandingkan sistem tanam tegel 20 x 20 cm. Variasi peningkatan
159
produktivitas padi ini dengan sistem tanam yang berbeda tergantung juga dengan varietas padi yang digunakan. Dengan menyadari bahwa tidak ada satu varietas padi pun yang paling unggul dan paling disenangi oleh masyarakat dan mampu bertahan lama di semua lokasi lahan irigasi, maka perlu dilakukan pengujian beberapa varietas unggul baru padi lain seperti semi PTB dan VUB lain yang tingkat hasilnya diharapkan melebihi varietas IR-64 yang merupakam varietas unggul yang telah lama mendominasi lahan-lahan sawah di Indonesia dengan menggunakan alternatif paket teknologi PTT. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui daya hasil beberapa varietas padi dengan menggunakan sistem tanam yang berbeda di lahan sawah.
BAHAN DAN METODE Rancangan Percobaan Dalam percobaan ini digunakan rancangan petak terpisah (split plot design) diulang tiga kali. Sebagai petak utama adalah adalah enam varietas padi yaitu: IR-64; Cibogo; Cigeulis; Ciherang; Cimelati dan Widas dan sebagai anak petak adalah sistem tanam yang terdiri dari: sistem legowo 2:1 (l1); sistem legowo 4:1 (l2) dan sistem tegel 25 x 25 cm (l3). Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di lahan sawah Subak Babakan, Desa Subamia, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, pada MK 2005. Pemilihan wilayah kegiatan berdasarkan peta AEZ dan merupakan daerah sentra tanaman padi. Penelitian ini dilakukan bekerjasama dengan instansi terkait seperti Diperta dan BPP setempat. Sedangkan pemilihan petani kooperator juga berdasarka masukan dari instansi terkait dan arahan dari ketua kelompok tani setempat, sehingga diperoleh petani yang respon terhadap teknologi baru. Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah benih padi yang didapat dari Balitpa Sukamandi, pupuk urea, SP-36 dan KCl, pupuk organik. Sedangkan alat yang digunakan adalah alat untuk bercocok tanam, meteran, timbangan dan alat-alat yang lainnya. Pelaksanaan Penelitian Kegiatan penelitian ini melibatkan tujuh orang petani dengan luasan lahan sawah 15-35 are per petani. Masing-masing varietas ditanam dengan sistem tanam yang berbeda mengikuti luasan petakan alami petani. Setiap petani mendapatkan 1-2 varietas padi yang berbeda. Penentuan petani dalam pemilihan varietas ditentukan oleh petugas bekerjasama dengan ketua kelompok tani bersangkutan. Komponen teknologi PTT yang diterapkan di bawah bimbingan petugas teknis yang telah berpengalaman. Setelah pengolahan tanah dilakukan sampai siap tanam, maka bibit padi yang telah berumur 15 hari ditanam dengan sistem tanam sesuai dengan perlakuan, ditanam 2-3 bibit per lubang. Sebagai pupuk dasar diberikan pupuk Urea 300 kg ha-1, 100 kg ha-1SP-36 dan 100 kg ha-1 KCl. Pupuk Urea diberikan tiga kali, sedangkan pupuk SP-36 diberikan satu kali dan pupuk KCl diberikan dua kali. Pupuk area dengan dosis 100 kg ha-1, seluruh pupuk SP-36 dan setengah bagian KCl diberikan tujuh hari setelah tanam, sedang sisa KCl dan 100 kg ha-1 urea diberikan 30 hari setelah tanam dan sisa Urea berikutnya diberikan 42 hari setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan konsep PHT, sedangkan pengendalian gulma menggunakan cara mekanis, menyesuaikan dengan keadaan tanaman. Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan terhadap variabel: tinggi tanaman pada saat panen, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per malai, bobot 1000 biji dan hasil gabah kering panen per hektar. Pengumpulan Data dan Analisis Data Parameter tanaman yang diamati dalam penelitian ini adalah : Umur panen, yaitu jumlah hari sejak sebar sampai saat 50% dari tanaman dalam petak percobaan siap panen. Tinggi tanaman, yaitu rerata tinggi tanaman dari 10 rumpun contoh yang ditentukan secara acak pada setiap petak.
160
Jumlah anakan per rumpun, yaitu rerata jumlah anakan dari 10 rumpun contoh yang ditentukan secara acak Jumlah gabah isi, yaitu rerata jumlah gabah isi dari tiga rumpun contoh yang diambil secara acak untuk jumlah malai per rumpun Bobot 1000 butir gabah isi, yaitu bobot 1000 biji gabah kering bersih kadar air tertentu (14%). Hasil gabah per hektar, yaitu didapat dari konversi bobot gabah yang dipanen dari ubinan berukuran 2 x 2,5 m. Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh perlakuan dalam hal ini varietas padi dan sistem tanam serta interaksinya dilakukan dengan uji BNT pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 1984).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis statistik terhadap komponen pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah anakan) dan komponen hasil (jumlah gabah isi dan bobot 1000 biji) disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan varietas dan sistem tanam serta interaksinya menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman tertinggi terlihat pada varietas Cimelati yaitu 107,69 cm dan tinggi tanaman terendah terlihat pada varietas IR-64 yaitu 104,86 cm. Pada perlakuan sistem tanam, tinggi tanaman tertinggi terlihat pada sistem tanam legowo 2:1 dan tinggi tanaman terendah terlihat pada sistem tanam tegel 25 x 25 cm yaitu 105,88 cm. Hasil analisis statistik terhadap jumlah anakan menunjukkan, perlakuan varietas padi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah anakan per rumpun dan perlakuan sistem tanam menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05 terhadap jumlah anakan. Sedangkan interaksi varietas dengan sistem tanam tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap jumlah anakan per rumpun. Jumlah anakan per rumpun terbanyak terlihat pada perlakuan varietas Ciherang yaitu 24,05 batang per rumpun dan hanya berbeda nyata dengan perlakuan varietas IR-64 dan Cimelati. Sedangkan jumlah anakan per rumpun terkecil terlihat pada varietas Cimelati yaitu 21,83 batang per rumpun. Pada perlakuan sistem tanam, jumlah anakan terbanyak terlihat pada sistem tanam tegel 25 x 25 cm yaitu 23,47 batang per rumpun dan jumlah anakan terkecil terlihat pada perlakuan sistem tanam legowo 2:1 yaitu 22,23 batang per rumpun. Hasil analisis statistik terhadap jumlah gabah isi per malai disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah gabah isi per malai dan perlakuan sistem tanam menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah gabah isi per malai, demikian juga interaksi antara varietas dengan sistem tanam tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap jumlah gabah isi per malai. Tabel 1. Pengaruh Sistem Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi di Lahan Sawah Subak Babakan, Tabanan MK. 2005. Perlakuan
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan (batang/rumpun)
Jumlah gabah isi per malai
Bobot 1000 biji (gram)
Petak Utama IR64 104,86 a 21,91 b 74,24 f 28,37 a Cibogo 106,34 a 22,99 ab 77,56 e 28,38 a Cigeulis 107,52 a 23,08 ab 94,37 b 28,24 a Ciherang 106,74 a 24,05 a 82,54 d 28,51 a Cimelati 107,69 a 21,83 b 117,31 a 28,55 a Widas 107,52 a 23,04 a 88,30 c 28,30 a Anak Petak Legowo 2 : 1 107,87 a 22,23 a 90,41 a 28,27 a Legowo 4 : 1 106,61 ab 23,04 a 89,72 a 28,48 a Tegel 25 x 25 cm 105,88 bc 23,47 a 89,03 a 28,49 a KK (a) 9,2 6,2 5,1 11,0 10,3 7,3 8,7 10,0 KK (b) BNT (a) 5 % 2,64 1,61 BNT (b) 5 % 1,38 Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5 %.
Jumlah gabah isi per malai tertinggi terlihat pada perlakuan varietas Cimelati yaitu 117,31 butir per malai dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sedang jumlah gabah isi terendah
161
terlihat pada varietas IR64 yaitu 74,24 butir per malai. Pada perlakuan sistem tanam, jumlah gabah isi tertinggi terlihat pada perlakuan sistem tanam legowo 2:1, yaitu 90,41 butir per malai dan terrendah pada sistem tanam tegel 25 x 25 cm yaitu 89,02 butir per malai. Hasil analisis statistik terhadap bobot 1000 biji disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1, terlihat perlakuan varietas dan sistem tanam serta interaksinya menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap bobot 1000 biji. Bobot 1000 biji tertinggi terlihat pada varietas Cimelati yaitu 28,55 gram dan terendah terlihat pada varietas Cigeulis, yaitu 28,24 gram. Pada perlakuan sistem tanam, bobot 1000 biji tertinggi terlihat pada perlakuan sistem tanam tegel 25 x 25 cm yaitu 28,49 gram dan terendah pada sistem tanam legowo 2:1 yaitu 28,27 gram. Tabel 2. Tabel Dua Arah Pengaruh Interaksi System Tanam dan Varietas Terhadap Hasil (ton GKP ha-1) Beberapa Varietas Padi di Subak Babakan, Tabanan MK. 2005. Perlakuan
Legowo 2 : 1
Sistem tanam Legowo 4 : 1
Tegel 25 x 25 cm
IR64 7,16 b 6,85 b 6,63 bc Cibogo 7,26 b 7,02 ab 6,93 ab Cigeulis 7,37 b 7,20 a 6,73 bc Ciherang 7,16 b 7,06 ab 6,45 c Cimelati 8,15 a 7,33 a 7,09 a Widas 7,40 b 7,23 a 7,07 a BNT 5% 0,27 Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Hasil analisis statistik terhadap hasil gabah kering panen beberapa varietas padi dengan sistem tanam yang berbeda disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis menunjukkan interaksi perlakuan varietas dengan sistem tanam berpangaruh nyata (P<0,05) terhadap hasil padi. Hasil padi tertinggi terlihat pada kombinasi perlakuan Cml1 yaitu 8,15 ton GKP ha-1 dan hasil padi terendah terlihat pada kombinasi perlakuan IR-64 l3 yaitu 6,63 ton GKP ha-1. Pada pengamatan komponen pertumbuhan tanaman, secara visual pertanaman kelihatan seragam dan hal ini bisa dilihat pada tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata pada masing-masing varietas. Sesuai dengan deskripsi varietas, menunjukkan bahwa masing-masing varietas baik itu varietas unggul baru (VUB) dan semi padi tipe baru (Cimelati) mempunyai tinggi tanaman antara 100-110 cm (Abdullah, 2004). Sehingga dengan demikian faktor genetis masing-masing varietas yang sama tidak mempengaruhi tinggi tanaman. Sedangkan pada sistem tanam pada perlakuan legowo 2:1 memperlihatkan tinggi tanaman yang paling tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada sistem tanam legowo 2:1, populasi tanaman menjadi lebih banyak, bila dibandingkan dengan sistem tegal 25 x 25 cm. Dengan populasi tanaman yang lebih banyak, maka akan memicu terjadinya kompetisi antar tanaman dalam hal pemanfaatan sinar matahari, sehingga memacu tanaman lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi tanaman yang lebih rendah. Jumlah anakan yang paling rendah terlihat pada varietas Cimelati, sebaliknya jumlah gabah isi per malai tertinggi pada varietas Cimelati. Hal ini disebabkan karena varietas Cimelati yang dilepas tahun 2001 termasuk ke dalam varietas padi semi padi tipe baru. Varietas Cimelati belum memiliki semua sifat-sifat padi tipe baru, sehingga digolongkan ke dalam varietas unggul semi PTB. Padi tipe baru memiliki sifat-sifat antara lain: (1) batang kokoh dan pendek; (2) jumlah anakan sedikit hingga sedang (8-12) dan semuanya produktif; (3) malai panjang dan lebat dan (4) akar banyak dengan jangkauan yang dalam (Anon, 2003). Dari pengamatan di lapang terlihat, varietas Cimelati memiliki beberapa sifat di atas seperti jumlah anakan sedikit dengan panjang malai yang lebih panjang dan ini terlihat dari data, yaitu jumlah gabah isi yang lebih banyak bila dibandingkan dengan varietas yang lainnya. Perlakuan sistem tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anakan dan jumlah gabah isi per malai. Hal ini terlihat dari masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Keadaan ini diduga disebabkan karena masing-masing varietas tidak mampu menunjukkan keunggulannya dalam memanfaatkan lingkungan yang berbeda akibat adanya perbedaan sistem tanam. Demikian juga terhadap bobot 1000 biji, masing-masing perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini diduga karena faktor genetis dari masing-masing varietas. Interaksi antara perlakuan varietas dengan sistem tanam menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap hasil gabah kering panen. Hasil gabah kering panen tertinggi terlihat pada varietas Cimelati yang ditanam dengan sistem tanam legowo 2:1, yaitu 8,15 ton GKP ha-1. Varietas Cimelati merupakan varietas unggul semi PTB dengan keunggulan jumlah anakan sedikit, tapi semua produktif dengan jumlah gabah isi
162
per malai yang lebih banyak bila dibandingkan dengan varietas lainnya. Jumlah malai persatuan luas dan jumlah gabah per malai merupakan 2 dari 4 komponen hasil yang menentukan hasil padi. Varietas unggul baru mempunyai anakan 20-25 anakan, namun hanya 14-15 anakan yang malainya dapat dipanen, dengan jumlah gabah 100-130 butir per malai. Sebaliknya PTB yang mempunyai anakan yang sedikit akan mempunyai saat pembungaan dan panen yang serempak, dan malai lebih seragam. Anakan yang sedikit juga mempunyai korelasi dengan jumlah gabah per malai lebih banyak. Maka dengan jumlah anakan 10 dengan 200 gabah per malai akan mempunyai hasil yang lebih banyak dibanding dengan anakan 15 dengan 100 gabah per malai (Abdullah, 2004). Sedangkan sistem tanam legowo 2:1 akan menjadikan semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir, dengan kata lain seolah-olah semua rumpun tanaman berada di pinggir galengan, sehingga semua tanaman mendapat efek samping (border effect), dimana tanaman yang mendapat efek samping produksinya lebih tinggi dari yang tidak mendapat efek samping (Tryni et al., 2004). Tanaman yang mendapat efek samping, menjadikan tanaman mampu memanfaatkan faktor-faktor tumbuh yang tersedia seperti cahaya matahari, air dan CO 2 dengan lebih baik untuk pertumbuhan dan pembentukan hasil, karena kompetisi yang terjadi relatif kecil (Harjadi, 1979). Hasil penelitian yang sama juga dikemukakan oleh Khairuddin (2005) yang mendapatkan hasil tertinggi pada varietas Ciherang didapat dengan sistem tanam legowo 2:1 yaitu 5,5 t GKG ha-1, kemudian diikuti oleh sistem tanam legowo 4:1, tandur jajar dengan jarak tanam 20 x 20 cm dan cara petani dengan hasil padi berturut-turut 5,4 t GKG ha-1; 5,3 t GKG ha-1 dan 5,2 t GKG ha-1.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan diantaranya : 1. Perlakuan varietas menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap tinggi tanaman dan bobot 1000 biji, sebaliknya menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap jumlah anakan per rumpun dan jumlah gabah isi per malai. 2. Perlakuan sistem tanam menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap jumlah anakan per rumpun, jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 biji, tapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tinggi tanaman. 3. Interaksi perlakuan varietas dengan sistem tanam menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap hasil gabah kering panen. Hasil gabah kering panen tertinggi terlihat pada kombinasi perlakuan varietas dengan sistem legowo 2:1 dengan tingkat hasil yang diperoleh 8,15 t GKP ha -1.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, B. Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUTB lainnya. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB Lainnya 31 Maret-3 April 2004, di Balitpa, Sukamandi. Abdurrachman, S. 2004. Teknologi budidaya padi tipe baru. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB Lainnya 31 Maret-3 April 2004, di Balitpa, Sukamandi. Anonimous. 2003. Padi Varietas Unggul Tipe Baru: anjuran budidaya dan daerah pengembangan. Balitpa. Badan Litbangtan. Badan Pusat Statistik 2000. Statistik Indonesia 1999. Jakarta-Indonesia. Gomez and Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. An International Rice Research Instute Book. A Wiley Interscience Publ. John Wiley and Sons. New York. 680 p. Harjadi, S.S. 1979. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. 198 hlm. Hasanuddin, A. 2004. Pengelolaan tanaman padi terpadu; suatu strategi pendekatan teknologi spesifik lokasi. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB Lainnya 31 Maret-3 April 2004, di Balitpa, Sukamandi. Khairuddin. 2005. Perbaikan teknologi budidaya padi melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di lahan sawah irigasi kabupaten Tabalong. Proseding Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran Stakeholder Dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bekerjasama dengan BPTP Bali. Hlm. 2000-2005. Triny S. Kadir, E. Suhartatik dan E. Sutisna. 2004. Petunjuk teknis budidaya PTB cara PTT. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB Lainnya 31 Maret-3 April 2004, di Balitpa, Sukamandi.
163
UJI ADAPTASI GALUR-GALUR HARAPAN PADI DI BALI IB. Aribawa, AANB. Kamandalu dan IB. Swastika Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK Adaptasi galur-galur harapan padi telah dilaksanakan di lahan sawah Subak Kukuh, Kabupaten Tabanan, Bali pada MT 2005. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan adaptasi dari beberapa galur harapan padi sawah yang terpilih. Kemampuan adaptasi yang diukur disini adalah kemampuan galur harapan untuk tumbuh dan berproduksi. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 16 perlakuan dan tiga kali ulangan. Galur harapan yang diuji meliputi: (1) RUTTSG 168-3b-1-1-3-1-1-3; (2) RUTTST 96b-15-1-2-2-2-1; (3) BPT 164c-687-3-2; (4) S3423-PN-4; (5) BP 925-2E-3-2; (6) S 3382-3F-3-1-3; (7) S-4850-9F-6; (8) BP 940-1D-KN-10-SI-31-3; (9) S 4653-1D-4-1-2-2; (10) S 4616E-PN-7-3; (11) RUTTST69B-3-3-1-3-5; (12) IR73885-1-4-3-2-1-6; (13) RUTTSG-69-1B1-1-3-2-1; dengan tiga varietas pembanding: (14) Tukad Unda; (15) Ciherang dan (16) IR-64. Parameter tanaman yang diukur adalah: pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil padi. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan galur harapan menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman), tapi berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap komponen hasil dan hasil padi yang diamati. Hasil padi tertinggi terlihat pada galur harapan BP 925-2E-3-2 yaitu 8,26 ton GKG/ha. Kata kunci : adaptasi, galur harapan, lahan sawah.
PENDAHULUAN Pertanaman padi di Indonesia tersebar di beberapa agroekosistem, seperti lahan sawah irigasi, tadah hujan, lahan kering dan lahan pasang surut. Secara nasional produksi padi sebagian besar atau 98% kontribusinya dari lahan sawah, sedangkan lahan kering dan lahan pasang surut sumbangannya kurang dari 10% (Hasanudin, 2004). Sumbangan produksi padi di lahan sawah sekitar 60-70% berasal dari lahan sawah irigasi. Di lain pihak produktivitas padi di lahan sawah irigasi relatif cukup tinggi (6-7 t/ha-1), sehingga peningkatan selanjutnya semakin sulit yang mengakibatkan terjadinya pelandaian produktivitas padi terutama di daerah-daerah penghasil padi. Pelandaian produktivitas padi di lahan sawah irigasi dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain, penurunan kandungan bahan organik, penurunan penambatan N 2 udara pada lahan sawah, penurunan kapasitas penyediaan hara, N, P dan K dalam tanah, penimbunan senyawa toksik bagi tanaman (H 2S), asamasam organik, ketidak seimbangan penyediaan hara, kahat hara mikro (Cu, Zn, Fe dan S), penyimpangan iklim, tekanan biotik dan kemampuan genetik varietas terbatas (Puslitbangtan, 2001). Selanjutnya Budianto (2002) menyebutkan bahwa pelandaian produktivitas padi juga disebabkan oleh karena sulitnya meningkatkan potensi hasil padi dari varietas unggul yang telah ada dan ditanam secara luas oleh petani, seperti IR-64 dan varietas unggul baru lainnya. Sebagai komponen penting teknologi usahatani, varietas unggul telah terbukti kehandalannya dalam meningkatkan produksi padi. Di Indonesia hingga kini telah dilepas lebih dari 170 varietas unggul padi. Varietas unggul padi nasional yang telah berkembang dikalangan petani saat ini didominasi oleh IR-64 dan Ciherang. Kelemahan varietas unggul yang ada saat ini di petani, terutama IR-64 antara lain, kurang tahan terhadap hama wereng coklat Biotipe 3, tungro, kesenjangan hasil pada musim hujan dan kemarau relatif tinggi, tidak toleran terhadap keracunan besi dan suhu rendah (Simanulang et al., 1995). Walaupun telah banyak varietas unggul, yang dilepas sebagian besar merupakan VUB nasional. Oleh karena itu sejak tahun 2001 dilakukan kegiatan suttle breeding atau pemuliaan partisipatif antara BPTP Bali dengan Balitpa, yang bertujuan untuk mendapatkan VUB padi spesifik lokasi (Drajat, 2001). Pembentukan ataupun perakitan varietas unggul spesifik lokasi akan terwujud apabila tersedia galur-galur harapan hasil persilangan ataupun galur harapan hasil introduksi. Pembentukan varietas baru spesifik lokasi merupakan tujuan utama suttle breeding. Melalui kegiatan ini, diharapkan sejumlah galur generasi awal dan menengah cepat diketahui keunggulan sifat-sifat spesifiknya seperti daya hasil, daya adaptasi dan kesesuaian agroekologinya. Hasil pengujian terhadap galurgalur harapan di delapan kabupaten/lokasi di Bali pada MK 2004, menunjukkan bahwa terdapat empat galur harapan memiliki produktivitas (GKG) cukup tinggi, yaitu: MLS-04-5; MLS-04-1; MLS-04-11 dan MLS-044 (Suharyanto dan Rubiyo, 2005).
164
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan pengujian lanjutan untuk melihat stabilitas hasil dari galur-galur harapan tersebut pada MK 2005. Tujuan dari kegiatan ini adalah mendapatkan galur harapan yang memiliki daya adaptasi baik, tahan hama dan penyakit, potensi hasil tinggi untuk dilepas sebagai calon varietas unggul baru spesifik lokasi.
BAHAN DAN METODE Rancangan Percobaan Dalam percobaan ini digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 16 perlakuan diulang tiga kali. Sebagai perlakuan adalah 13 galur harapan yang di uji adaptasinya diantaranya: (1) RUTTSG 1683b-1-1-3-1-1-3; (2) RUTTST 96b-15-1-2-2-2-1; (3) BPT 164c-68-7-3-2; (4) S3423-PN-4; (5) BP 925-2E-32; (6) S 3382-3F-3-1-3; (7) S-4850-9F-6; (8) BP 940-1D-KN-10-SI-31-3; (9) S 4653-1D-4-1-2-2; (10) S 4616E-PN-7-3; (11) RUTTST69B-3-3-1-3-5; (12) IR73885-1-4-3-2-1-6; (13) RUTTSG-69-1B-1-1-3-2-1; dengan tiga varietas pembanding: (14) Tukad Unda; (15) Ciherang dan (16) IR64. Percobaan dilaksanakan di lahan sawah, subak Kukuh, Desa Kukuh, kecamatan Tabanan, kabupaten Tabanan, pada MK 2005. Pemilihan wilayah kegiatan berdasarkan pengalaman dari penelitian sebelumnya, bekerjasama dengan instansi terkait seperti Diperta dan BPP. Sedangkan pemilihan petani kooperator juga berdasarkan masukan dari instansi terkait dan arahan dari ketua kelompok tani setempat, sehingga diperoleh petani yang respon terhadap teknologi baru. Pelaksanaan Penelitian Setelah pengolahan tanah dilakukan, maka petak berukuran 3 m x 4 m dibuat pada petak alami milik petani, masing-masing ulangan ditempatkan pada petak alami petani yang berbeda. Bibit padi yang telah berumur 15 hari ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm dengan 2-3 bibit per lubang. Sebagai pupuk dasar diberikan pupuk Urea 300 kg ha-1, 100 kg ha-1 SP-36 dan 100 kg ha-1 KCl. Pupuk Urea diberikan tiga kali, sedangkan pupuk SP-36 diberikan satu kali dan pupuk KCl diberikan dua kali. Pupuk Urea dengan dosis 100 kg ha-1, seluruh pupuk SP-36 dan setengah bagian KCl diberikan tujuh hari setelah tanam, sedang sisa KCl dan 100 kg ha-1 Urea diberikan 30 hari setelah tanam dan sisa Urea berikutnya diberikan 42 hari setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan konsep PHT, sedangkan pengendalian gulma menggunakan cara mekanis, menyesuaikan dengan keadaan tanaman. Pengumpulan Data dan Analisis Data Parameter tanaman yang diamati dalam penelitian ini adalah : Umur panen, yaitu jumlah hari sejak sebar sampai saat 50 % dari tanaman dalam petak percobaan siap panen. Tinggi tanaman, yaitu rerata tinggi tanaman dari 10 rumpun contoh yang ditentukan secara acak pada setiap petak Jumlah malai per rumpun, yaitu rerata jumlah malai dari 10 rumpun contoh yang ditentukan secara acak Jumlah gabah isi dan gabah hampa, yaitu rerata jumlah gabah isi dan gabah hampa dari tiga rumpun contoh yang diambil secara acak untuk jumlah malai per rumpun Bobot 1000 butir gabah isi, yaitu bobot 1000 biji gabah kering bersih kadar air tertentu (14%). Hasil gabah per plot, yaitu bobot gabah yang dipanen dari petak percobaan netto (petak percobaan setelah dikurangi satu baris tanaman pinggir sekeliling petak percobaan). Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh perlakuan dalam hal ini galur harapan dilakukan dengan uji BNT pada taraf 5 % (Gomez dan Gomez, 1984).
165
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis statistik terhadap pertumbuhan tanaman dan komponen hasil, seperti tinggi tanaman dan jumlah malai disajikan pada Tabel 1, galur harapan yang dicoba menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman masing-masing galur harapan dan varietas pendampingnya bervariasi. Rata-rata tinggi tanaman galur harapan terpilih yang diperoleh bervariasi antara 102,11-117,44 cm. Tinggi tanaman tertinggi terlihat pada galur harapan no. 3 yaitu BPT164c-68-7-3-2 dan terendah terlihat pada galur harapan no. 9 yaitu S4653-1D-4-1-2-2 (Tabel 1). Sedangkan tinggi tanaman varietas pendamping berkisar antara 102,78-107,89 cm. Hasil analisis statistik terhadap jumlah anakan produktif per rumpun menunjukkan galur harapan yang dicoba menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Jumlah anakan produktif masingmasing galur harapan bervariasi. Jumlah anakan produktif terendah dihasilkan oleh galur harapan no. 10 (S4616E-PN-7-3) yaitu 19,22 batang per rumpun dan yang terbanyak dihasilkan oleh galur harapan no. 7 ( S4850-9F-6). yaitu, 27,22 batang per rumpun (Tabel 1). Tabel 1. Rata-rata Tinggi Tanaman dan Jumlah Malai Beberapa Galur Harapan Padi Sawah di Subak Kukuh, Tabanan MK. 2005. No
No. Galur
Kode Galur
Tinggi tan (cm)
Jumlah malai rumpun-1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
RUTTSG 168-3b-1-1-3-1-1-3 MLS-05-1 112,22a 27,11a RUTTST 96b-15-1-2-2-2-1 MLS-05-2 107,89a 23,89a BPT 164c-68-7-3-2 MLS-05-3 117,22a 23,45a S3423-PN-4 MLS-05-4 108,78a 22,33a BP 925-2E-3-2 MLS-05-5 106,45a 20,22a S 3382-3F-3-1-3 MLS-05-6 105,89a 23,11a S-4850-9F-6 MLS-05-7 105,78a 27,22a BP 940-1D-KN-10-SI-31-3 MLS-05-8 102,56a 24,89a S 4653-1D-4-1-2-2 MLS-05-9 102,11a 19,78a S 4616E-PN-7-3 MLS-05-10 112,33a 19,22a RUTTST69B-3-3-1-3-5 MLS-05-11 110,33a 19,33a IR73885-1-4-3-2-1-6 MLS-05-12 103,78a 20,11a RUTTSG-69-1B-1-1-3-2-1 MLS-05-13 110,44a 23,22a Tukad Unda MLS-05-14 105,76a 25,78a Ciherang MLS-05-15 102,78a 21,00a IR64 MLS-05-16 107,89a 19,78a KK (%) 5,30 16,30 Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
Hasil analisis statistik terhadap jumlah gabah isi dan hampa per rumpun disajikan pada Tabel 2. Perlakuan galur harapan yang dicoba menunjukka pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap jumlah gabah isi dan hampa per malai. Hasil pengamatan menunjukkan, jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai masingmasing galur harapan terpilih bervariasi. Untuk jumlah gabah isi per malai tertinggi dihasilkan oleh galur harapan no. 5 (BP925-2E-3-2) yaitu 120,84 butir per malai dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan galur-galur harapan yang lainnya, juga dengan varietas padi pembandingnya. Sedangkan jumlah gabah isi terrendah dihasilkan oleh galur harapan no. 12 (IR73885-14-3-2-1-6) yaitu 66,73 butir per malai. Sedangkan untuk jumlah gabah hampa per malai tertinggi dihasilkan oleh galur harapan no. 12 (IR73885-14-3-2-1-6) yaitu, 41,13 butir per malai dan jumlah gabah hampa per malai terrendah dihasilkan oleh varietas Ciherang, yaitu 20,00 butir per malai. Umur panen masing-masing galur harapan terpilih disajikan pada Tabel 3. Umur panen masingmasing galur berbeda dan berkisar antara 102-107 hari. Hasil analisis yang dilakukan terhadap hasil gabah kering giling (GKG) dan bobot 1000 biji masingmasing galur harapan dan varietas pembandingnya disajikan pada Tabel 3. Perlakuan galur harapan yang dicoba menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap hasil gabah kering giling KA. 14%. Hasil gabah kering dalam bentuk gabah kering giling (GKG) k.a. 14% yang diperoleh bervariasi. Hasil padi tertinggi dihasilkan oleh galur harapan (GH) no. 5 (BP952-2E-3-2) yaitu, 8,26 ton per hektar dan hanya berbeda nyata dengan galur harapan no. 3 (BPT164c-68-7-3-2); no. 10 (S4616E-PN-7-3); dan no. 12 ( IR73885-1-4-3-2-16) dan hasil padi terrendah dihasilkan oleh galur harapan no. 12 ( IR73885-1-4-3-2-1-6) yaitu, 3,89 ton per kektar (Tabel 3).
166
Tabel 2. Rata-rata Jumlah Gabah Isi dan Jumlah Gabah Hampa pada Beberapa Galur Harapan Padi Sawah di Subak Kukuh, Tabanan MT. 2005. No
No. Galur
Kode Galur
Jml gabah isi malai-1
Jml gabah hampa malai-1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
RUTTSG 168-3b-1-1-3-1-1-3 MLS-05-1 79,39a-e 31,37ef RUTTST 96b-15-1-2-2-2-1 MLS-05-2 80,41a-e 34,43fg BPT 164c-68-7-3-2 MLS-05-3 77,39a-d 29,13de S3423-PN-4 MLS-05-4 81,76b-e 25,31bcd BP 925-2E-3-2 MLS-05-5 120,84g 29,11de S 3382-3F-3-1-3 MLS-05-6 90,52def 27,51cde S-4850-9F-6 MLS-05-7 72,76ab 24,87bcd BP 940-1D-KN-10-SI-31-3 MLS-05-8 103,77f 24,06abc S 4653-1D-4-1-2-2 MLS-05-9 71,91ab 23,32abc S 4616E-PN-7-3 MLS-05-10 74,72abc 38,88h RUTTST69B-3-3-1-3-5 MLS-05-11 87,95cde 21,53ab IR73885-1-4-3-2-1-6 MLS-05-12 66,73a 41,13h RUTTSG-69-1B-1-1-3-2-1 MLS-05-13 93,63ef 37,60gh Tukad Unda MLS-05-14 78,34a-d 21,29ab Ciherang MLS-05-15 79,48a-e 20,00a IR64 MLS-05-16 85,16b-e 33,99fg KK (%) 9,20 12,90 Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
Hasil analisis statistik terhadap bobot 1000 biji disajikan pada Tabel 3. Perlakuan galur harapan menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap bobot 1000 biji. Pada Tabel 3 terlihat, bobot 1000 biji masing-masing galur harapan bervariasi. Variasi bobot 1000 biji yang dihasilkan berkisar antara 23,50-28,93 gram. Wawancara dengan petani di sekitar lokasi pengkajian menunjukkan, para petani lebih tertarik dengan penampilan galur harapan no. 3 (BPT164c-68-7-3-2). Tabel 3. Rata-rata umur panen, hasil padi dan bobot 1000 biji pada beberapa galur harapan padi sawah di subak Kukuh, Tabanan MT. 2005. No
No. Galur
Kode Galur
Umur panen (hari)
Hasil padi (t GKG ha-1)
Bobot 1000 biji (g)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
RUTTSG 168-3b-1-1-3-1-1-3 MLS-05-1 102 7,16ab 24,47bc RUTTST 96b-15-1-2-2-2-1 MLS-05-2 103 7,42ab 24,53bc BPT 164c-68-7-3-2 MLS-05-3 102 5,51bc 23,50c S3423-PN-4 MLS-05-4 105 7,23ab 25,73bc BP 925-2E-3-2 MLS-05-5 105 8,26a 26,63ab S 3382-3F-3-1-3 MLS-05-6 105 7,87a 28,93a S-4850-9F-6 MLS-05-7 105 6,25abc 25,63bc BP 940-1D-KN-10-SI-31-3 MLS-05-8 105 8,03a 26,33abc S 4653-1D-4-1-2-2 MLS-05-9 105 6,23abc 25,47bc S 4616E-PN-7-3 MLS-05-10 102 5,46bc 26,37ab RUTTST69B-3-3-1-3-5 MLS-05-11 107 7,85a 25,13bc IR73885-1-4-3-2-1-6 MLS-05-12 105 5,07c 24,90bc RUTTSG-69-1B-1-1-3-2-1 MLS-05-13 105 7,97a 25,80bc Tukad Unda MLS-05-14 105 7,12ab 27,50ab Ciherang MLS-05-15 105 7,20ab 26,40abc IR64 MLS-05-16 105 7,45a 26,50abc KK (%) 15,00 6,00 Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
Adanya variasi dari hasil pengamatan terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi beberapa plasma nutfah (galur harapan) tanaman padi yang ditanam di subak Kukuh dimungkinkan karena sifat genetis dari masing-masing plasma nutfah (galur harapan) tanaman padi yang ditanam berbeda. Masingmasing plasma nuftah (galur harapan) tanaman padi menunjukkan kemampuannya sendiri dalam memanfaatkan lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh dan berkembang.
167
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan diantaranya : 1.
Perlakuan galur-galur harapan dan varietas padi yang dicoba daya adaptasinya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap tinggi tanaman, tapi menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap komponen hasil dan hasil padi.
2.
Hasil gabah kering giling tertinggi, dihasilkan oleh galur harapan no. 5 (BP925-2E-3-2) dengan tingkat hasil 8,26 t GKG ha-1.
3.
Hasil wawancara dengan petani, menunjukkan, petani lebih tertarik dengan tampilan tanaman galur harapan no. 3 (BPT164c-68-7-3-2).
4.
Untuk melihat stabilitas hasil maka galur-galur harapan yang telah terpilih ini, perlu di uji lagi pada musim tanam berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA Budianto. 2003. Penelitian Padi : menuju revolusi hijau lestari. Balitpa. Puslitbangtan. Balitbangtan. Drajat, A.A. 2001. Program pemuliaan partisipatif (suttle breeding dan uji multilokasi). Bahan Lokakarya Pernyelarasan Perakitan Varietas Unggul Komoditas HortikulturaMelalui Penerapan Suttle Breeding. Puslitbanghort, Jakarta, 19-20 April 2001. Hasanudin, A. 2004. Pengelolaan tanaman Terpadu; suatu strategi pendekatan spesifik lokasi. Disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB Lainnya. 31 Maret – 3 April 2004 di Balitpa Sukamandi. Puslitbangtan. 2001. Pengelolaan Tanaman Terpadu : pendekatan inovatif system produksi padi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol 23 (2). Badan Litbangtan. Puslitbangtan. Bogor. Simanulang, ZA., Tjubaryat dan E. Suamadi. 1995. pemanduan beberapa sifat baik IR64. Pros. Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balitpa, Sukamandi. Suharyanto dan Rubiyo. 2005. Keragaan galur-galur padi sawah pada pengujian multi lokasi MK 2004 di Bali. Proseding Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran Stakeholder Dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bekerjasama dengan BPTP Bali. Hlm. 287-292.
168
KAJIAN BUDIDAYA SAWI HIJAU DI LAHAN SAWAH IRIGASI SETELAH PANEN PADI I.B.K. Suastika, A.A.N.B. Kamandalu, I Ketut Kariada dan I.G.K. Dana Arsana Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK Budidaya sawi hijau dengan memanfaatkan lahan setelah panen padi pada lahan sawah irigasi pada umumnya dilakukan oleh sebagian besar petani di Kabupaten Tabanan dan Kecamatan Tabanan khususnya. Penelitian dilakukan di Subak Priyuk, Kecamatan Tabanan dari bulan Mei sampai Juni 2006. Penelitian bertujuan untuk mengkaji produktivitas dan besarnya pendapatan yang diterima petani dari budidaya sawi hijau setelah panen padi pada lahan sawah irigasi. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 5 perlakuan Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 6 kali. Perlakuan dimaksud adalah mencampur benih sawi dengan urea sebelum disebar dengan perbandingan (1) 100g benih: 2 kg Urea (P1); (2) 100:3 (P2); (3) 100:4 (P3) dan 100:5 (P4). Benih yang telah dicampur dengan urea kemudian di tanam dengan cara disebar merata pada bedengan berukuran 1,5 m. Pemupukan menggunakan urea sebanyak 6 kg/are yang diberikan pada 14 hari setelah tanam (hst). Penyiangan dan pengairan dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Parameter yang diamati meliputi keragaan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun/tanaman, lebar daun dan panjang daun), jumlah tanaman/m2 dan hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebar daun dan panjang daun sawi hijau yang diberi perlakuan P1, P2 dan P3 lebih besar dan berbeda nyata dibanding P4 yaitu 11,44 cm, 12,13 cm, 11,62 cm dan 17,03 cm, 18,41 cm, 16,8 cm dibanding dengan 9,52 cm dan 13,99 cm. Perlakuan P1, P3 dan P4 meningkatkan jumlah tanaman/m2 dan hasil/m2 dan bebeda nyata dibanding dengan P2 yaitu 116,33, 139,33, 123,67 dan 1970 g, 2416,33 g, 1883,33 g dibanding dengan 87 dan 1790,11 g. Keuntungan yang diperoleh petani dalam satu kali musim tanam dari budidaya sawi hijau setelah panen padi pada lahan sawah irigasi dalam luasan 2 are (0,02 ha) berkisar antara Rp. 2.518.150,- sampai 1.423.750,-. Kata kunci : sawi hijau, budidaya, pendapatan petani, lahan sawah irigasi
PENDAHULUAN Menurut hasil kajian, pendapatan rumah tangga tani pada daerah dengan usahatani berbasis non padi umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah berbasis padi. Perkembangan ekonomi berbasis padi di lahan sawah juga menunjukkan kejenuhan bahkan dari segi produktivitas telah terjadi levelling off. (Anonimus, 2005) Beberapa permasalahan pokok yang menyebabkan kejenuhan usahatani di lahan sawah diantaranya adalah: (1) rata-rata penguasaan lahan kecil dan bahkan makin mengecil; (2) semakin terbatasnya kapasitas ekonomi usahatani padi dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani; (3) terhambatnya upaya diversifikasi akibat kendala teknis, sosial dan ekonomi. Untuk mengantisipasi tantangan tersebut di atas, petani sawah di Bali khususnya telah lama melakukan kegiatan usahatani non padi dengan mengusahakan tanaman sayuran berumur pendek setelah panen padi. Tanaman sayuran yang cukup potensial diusahakan dan memberikan keuntungan yang cukup tinggi adalah sawi hijau (caisim), mentimun, kacang panjang, bayam potong, dan ―gonda‖ (sayuran khas Bali). Diantara tanaman sayuran tersebut, caisim yang paling banyak diusahakan karena ditinjau dari aspek teknis budidaya caisim relatif lebih mudah dibandingkan dengan jenis tanaman hortikultura lainnya. Dari segi pengusahaan, caisim cukup menjanjikan keuntungan yang lebih baik. Sebagai contoh, pengusahaan caisim seluas 2 are (0,02 ha) dengan teknik sebar benih langsung (tanpa pesemaian) dapat dihasilkan 4-5 kwintal atau rata-rata 4,5 kwintal sayur segar pada musim kemarau per periode penanaman. Dengan harga rata-rata Rp. 1500/kg maka akan diperoleh keuntungan tidak kurang dari Rp. 675. 000. Haryanto dkk (2005) melaporkan bahwa dari pengusahaan caisim seluas 1 ha dengan rata-rata produksi 25 ton sayur segar dengan rata-rata harga Rp. 100/kg keuntungan yang diperoleh tidak kurang dari Rp. 13.000.000 pada musim kemarau per periode penanaman. Pengembangan berbagai tanaman hortikultura, khususnya penanaman caisim, mentimun, kacang panjang, bayam potong, dan ‖gonda‖ setelah padi dapat ditingkatkan, namun masih belum seimbang dengan permintaan pasar. Keadaan ini dimungkinkan antara lain sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk, perbaikan pendapatan dan peningkatan kesadaran gizi masyarakat. Selain itu di kota-kota besar tumbuh permintaan pasar yang menghendaki kualitas yang baik dengan berbagai jenis yang lebih beragam. Konsekuensi dari kebutuhan yang demikian menyebabkan permintaan beberapa jenis sayuran meningkat (Pabinru, 1991). Permintaan terhadap komoditas sayuran yang meningkat tersebut menghendaki penanganan yang optimal, baik dari segi produksi, panen dan pasca panen, pemasaran dan pendekatan aspek kelembagaan.
169
Kondisi tersebut di atas dibenarkan oleh Baharsyah (1990), yang menyatakan bahwa pola permintaan pangan dan hortikultura secara umum akan tetap meningkat dengan percepatan disekitar pertumbuhan penduduk dan elastisitas pendapatan yang sudah mengecil. Demikian pula komposisi menu makanan rumah tangga akan berubah secara dinamis kearah peningkatan proporsi konsumsi hasil-hasil peternakan, perikanan dan hortikultura, sehingga terjadi keseimbangan konsumsi karbohidrat, protein dan vitamin serta mineral yang lebih baik. Sementara itu Pasandaran dan Hadi (1994) melaporkan bahwa konsumen sayuran sebagian besar adalah masyarakat perkotaan, dimana rata-rata konsumsi sayuran masyarakat kota perkapita adalah 6,9% lebih tinggi daripada masyarakat desa, yaitu mencapai 29-32 kg/kapita/tahun dari anjuran 60 kg/kapita/tahun. Dengan demikian pengeluaran untuk pangan di pedesaan lebih kecil dari pada perkotaan. Hal yang menarik terjadi adalah semakin tinggi pengeluaran rumah tangga maka semakin tinggi pula pengeluaran untuk sayuran dan buah (Gatoet & Arifin, 1992). Kondisi ini memberikan prospek bagi pengembangan usahatani sayuran di daerah pedesaan yang memiliki nilai ekonomis serta memiliki orientasi pasar. Sementara itu produktivitas dan keuntungan yang diperoleh dari usahatani caisim setelah padi dengan teknik sebar langsung yang biasa dilakukan oleh petani rendah. Karena itu diperlukan adanya inovasi teknologi terutama dalam teknik penanaman untuk memperoleh perlakuan (perbandingan benih caisim dan urea) sebelum disebar yang memberikan produktivitas yang paling optimal. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji produktivitas dan keuntungan yang diperoleh petani dari budidaya caisim setelah panen padi pada lahan sawah irigasi melalui perbaikan teknik penanaman.
BAHAN DAN METODA Penelitian dilakukan di lahan sawah irigasi setelah panen padi di Subak Priyuk, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan dari bulan Mei sampai Juni 2006. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 6 kali. Perlakuan dimaksud adalah mencampur benih sawi dengan urea sebelum disebar dengan perbandingan (1) 100 g benih: 2 kg Urea (P1); (2) 100:3 (P2); (3) 100:4 (P3) dan 100:5 (P4). Benih yang telah dicampur dengan urea kemudian di tanam dengan cara disebar merata pada bedengan berukuran 1,5 m dalam luasan kurang lebih 2 are (0,02 ha). Pemupukan dengan urea diberikan pada 14 hari setelah tanam (hst) dengan dosis 6 kg/0,01m2 (600 kg/ha). Penyiangan dilakukan secara mekanis pada 14 hst. Kegiatan panen dilakukan pada 30 hst. Parameter yang diukur meliputi tinggi tanaman, jumlah daun/tanaman, lebar dan panjang daun dari 5 sampel tanaman serta jumlah tanaman/m2 dan hasil diukur dari 3 sampel dari masing-masing perlakuan. Data yang terkumpul dari masing-masing parameter yang diamati kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS 11.00, yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaan pertumbuhan tanaman caisim sangat dipengaruhi oleh perlakuan terutama terhadap ukuran lebar dan panjang daun, tetapi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun/tanaman (Tabel 1). Tabel 1. Keragaan Tanaman Sawi Hijau yang Diusahakan Setelah Panen Padi pada Lahan Sawah Irigasi di Subak Priyuk, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali. 2006. Perlakuan
Tinggi Tanaman(cm)
P1 = 100 g benih sawi + 2 kg urea P2 = 100 g benih sawi + 3 kg urea P3 = 100 g benih sawi + 4 kg urea P4 = 100 g benih sawi + 5 kg urea Keterangan : Angka dalam kolom yang diikuti oleh Duncan.
Jml daun/ Tanaman
Lebar Daun(cm)
Panjang Daun(cm)
39,81 a 6,13 a 11,44 ab 17,03 b 37,66 a 6,59 a 12,13 b 18,41 b 39,31 a 6,20 a 11,62 b 16,8 ab 38,90 a 5,73 a 9,52 a 13,99 a huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% pada uji
Pada perlakuan P1, P2 dan P3 menunjukkan ukuran lebar dan panjang daun caisim lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan P4 yaitu 11,44 cm; 12,13 cm; 11,62 cm dibandingkan dengan 9,52 cm dan 17,03 cm; 18,41; 16,8 cm dibandingkan dengan 13,99 cm. Lebih tingginya ukuran lebar dan panjang daun caisim pada perlakuan P1, P2, dan P3 dibandingkan dengan P4 menunjukkan kecenderungan
170
lebih disebabkan karena pengaruh jumlah populasi tanaman per satuan luas (kerapatan tanaman/m 2). Pada perlakuan P1, P2 dan P3 jumlah populasi tanaman/m2 cenderung lebih sedikit dibanding dengan perlakuan P4 (Tabel 2) sehingga mengurangi adanya persaingan dalam hal unsur hara, air dan sinar matahari. Hal ini terkait dengan teknik penanaman tanpa melalui proses pesemaian sehingga berdampak kurang baik terhadap pertumbuhan tanaman. Hal senada juga dilaporkan oleh Haryanto dkk (2005) bahwa penanaman sawi yang dilakukan tanpa melalui tahap pesemaian biasanya tumbuh rapat dan kurang teratur sehingga menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara dalam tanah dan berdampak kurang baik terhadap pertumbuhan tanaman. Perlakuan juga mempengaruhi terhadap jumlah tanaman/m2 dan hasil caisim terutama perlakuan P3 dan berbeda nyata disbandingkan dengan perlakuan P2 yaitu 129,33 tanaman/m2 dibandingkan dengan 87,0 tanaman/m2 dan 2416,33 g/m2 dibandingkan dengan 1790,11 g/m2 (Tabel 2). Tetapi jumlah tanaman/m2 dan hasil/m2 pada perlakuan P3 tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P4. Tingginya hasil caisim yang diperoleh pada perlakuan P1, P3 dan P4 dibandingkan dengan perlakuan P2 diduga bahwa ketiga perlakuan tersebut merupakan perlakuan yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman caisim yang paling optimal, sehingga kemungkinan terjadinya persaingan antara tanaman terhadap unsur hara, air dan sinar matahari semakin kecil. Optimalnya pertumbuhan tanaman caisim secara tidak langsung akan mengakibatkan peningkatkan hasil. Tabel 2. Jumlah Tanaman dan Hasil Sawi Hijau yang Diusahakan Setelah Panen Padi pada Lahan Sawah Irigasi di Subak Priyuk, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali. 2006. Perlakuan
Jumlah tanaman/m2
Hasil (g)/m2
P1 = 100 g benih sawi + 2 kg urea 116,33 ab 1970,00 ab P2 = 100 g benih sawi + 3 kg urea 87,00 a 1790,11 a P3 = 100 g benih sawi + 4 kg urea 139,33 b 2416,33 b P4 = 100 g benih sawi + 5 kg urea 123,67 b 1883,33 ab Keterangan : Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% pada uji Duncan.
Dari hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh dari budidaya caisim setelah padi tanpa melalui pesemaian dimana perlakuan P3 memberikan nilai keuntungan yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan terendah perlakuan P2 (Tabel 3). Dengan harga jual rata-rata Rp. 1500,-/kg caisim segar maka perlakuan P3 memberikan keuntungan sebesar Rp.2.518.150,- dan terendah perlakuan P2 yaitu sebesar Rp. 1.423.750,- pada musim kemarau (Mei sampai Juni) per musim tanam. KESIMPULAN Perlakuan P3 dalam budidaya caisim setelah panen padi produktivitas yang tertinggi (2416,33 kg/m2) per musim tanam.
(Mei sampai Juni) memberikan
DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2005. Adakah Prospek Diversifikasi Usahatani di Lahan Sawan Irigasi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 27 (1):13-15. Baharsyah, S. 1990. Pokok-pokok Pemikiran Repelita VI Pertanian. Pengarahan Rapat Kerja Nasional. Departemen Pertanian Jakarta. 15-17 Januari 1990. Gatoet, S.H. & M. Arifin. 1992. Keragaan Konsumsi Sayuran dan Buah Indonesia. Info Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Haryanto, E., Tina Suhartini, Estu Rahayu & Hendro Sunarjono. 2005. Sawi & Selada. Penebar Swadaya. Jakarta. 112 hal. Pabinru, M.A. 1991. Kebijakan Sayuran di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Sayuran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pasandaran, E. & P.U. Hadi. 1999. Budidaya Hidroponik Pada Tanaman Sayuran. Prosiding Pengkajian Teknologi Usahatani Sayuran Pinggiran Perkotaan. BPTP Karangploso. Malang.
171
RESPON KACANG PANJANG TERHADAP PEMUPUKAN ORGANIK DAN ANORGANIK DI LOKASI PRIMA TANI LAHAN KERING KECAMATAN GEROKGAK KABUPATEN BULELENG, BALI I Nyoman Adijaya, Made Rai Yasa dan Made Sukadana Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Kacang panjang (Vigna sinensis) merupakan salah satu komoditas yang diintroduksikan di lokasi Prima Tani di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Komoditas ini diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan harian petani setempat pada musim kemarau. Penelitian dirancang dengan percobaan faktorial dengan dua perlakuan yaitu dosis pupuk organik (pupuk kandang sapi yang difermentasi fermentor Ruminno Bacillus) yaitu 2 ton/ha, 4 ton/ha dan 6 ton/ha, sedangkan dosis pupuk an-organik yang digunakan yaitu A: (25 kg Urea/ha, 25 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha), A2: (2 kali A1) dan A3: (2 kali A2). Hasil analisis menunjukkan terjadi interaksi antara perlakuan pupuk organik dan anorganik yang digunakan pada variabel jumlah panen dan siklus panen sedangkan terhadap variabel ratarata berat buah/panen dan produksi per 100 m2 tidak terjadi interaksi. Perlakuan kombinasi pupuk organik dosis 6 ton/ha dengan dosis pupuk kimia P3: (100 kg Urea/ha, 100 kg SP-36/ha dan 200 kg KCl/ha) memberikan jumlah panen dan siklus panen tertinggi masing-masing 19,07 kali dan 37,56 hari. Rata-rata berat buah/panen tidak berbeda nyata antar perlakuan baik akibat pengaruh perlakuan pupuk organik dan pupuk an-organik dengan kisaran 563,31 gram - 578,78 gram/3m2. Produksi per 100 m2 meningkat akibat pemberian pupuk organik dimana penggunaan 6 ton pupuk organik/ha memberikan produksi 339,42 kg meningkat 6,30% dan 12,43% dibandingkan penggunaan 4 ton/ha dan 2 ton/ha, sedangkan peningkatan pemberian pupuk an-organik sebanyak 100% dan 200% memberikan peningkatan produksi masing-masing 7,06% dan 14,09% dibandingkan perlakuan P1: (25 kg Urea/ha, 25 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha) yang menghasilkan 299,61 kg/100 m2. Kata kunci: respon kacang panjang, pupuk organik dan anorganik, lahan kering
PENDAHULUAN Kacang panjang merupakan tanaman sayuran yang banyak dibutuhkan untuk kebutuhan sayuran setiap hari. Pada umumnya kacang panjang banyak diusahakan di lahan sawah dan sangat jarang dibudidayakan di lahan kering. Di Bali Utara kacang panjang banyak diusahakan di pematang sawah bersamaan dengan tanaman padi. Pada pengusahaannya kebanyakan petani hanya menggunakan pupuk kimia saja, sehingga apabila hal ini dilakukan secara terus-menerus akan menyebabkan terjadi ketergantungan akan pupuk kimia dan penurunan kualitas lahan. Kacang panjang merupakan tanaman hortikultura semusim yang diintroduksikan di lokasi Prima Tani di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Hasil kajian Suratmini dkk., (2003) mendapatkan bahwa usahatani kacang panjang dengan pemanfaatan air embung di musim kemarau memberikan keuntungan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani tanaman pangan seperti jagung atau kacang tanah pada luasan yang sama. Lebih lanjut Adijaya, dkk (2004) menyatakan kacang panjang mampu memberikan tambahan pendapatan petani setempat pada musim kemarau di Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng walaupun skala usahanya sempit. Pada luasan 100 m2 mampu menghasilkan keuntungan setara dengan sepuluh kali luas usahatani jagung, sehingga usahatani kacang panjang menjadi pilihan petani setempat. Introduksi kacang panjang di lokasi Prima Tani di Desa Sanggalangit diharapkan mampu memberikan alternatif pendapatan harian petani di musim kemarau, karena adanya potensi air embung di daerah tersebut. Pada pengusahaannya diintroduksikan teknis budidaya dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal yang ada seperti pemakaian pupuk kandang sehingga pemakaian input luar dapat ditekan. Hasil pengkajian di lokasi penelitian menunjukkan pemanfaatan pupuk kandang/organik memberikan dampak positif pada usahatani tanaman seperti peningkatan produksi bawang merah (Oktafianus, 2003) sehingga perlu dikaji penggunaan pupuk organik dan an-organik pada usahatani kacang panjang. Selain itu dewasa ini kecenderungan yang semakin meningkat adalah tuntutan pelaksanaan sistem pertanian yang berkelanjutan (sustainable) dan ramah lingkungan (ecofriendly), dan dua kata kunci ini merupakan tuntutan global (Rubiyo, et al., 2004)
172
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan lokasi Prima Tani Lahan Kering BPTP Bali di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali pada musim kemarau yaitu dari bulan Agustus sampai dengan Nopember 2005. Penelitian dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan perlakuan dosis pupuk organik (pupuk kandang sapi difermentasi dengan fermentor Rumino Bacillus) dengan tiga tingkat dosis yaitu 2 ton/ha, 4 ton/ha dan 6 ton/ha, serta perlakuan paket dosis pupuk an-organik yaitu P1(25 kg Urea/ha + 25 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha), P2 (2 kali P1) dan P3 (2 kali P2), sehingga diperoleh 9 perlakuan kombinasi yang masing-masing diulang sebanyak 3 kali. Petak percobaan berukuran 3,0 m x 1,0 m dengan jarak tanam 45 cm x 25 cm dua tanaman per lubang tanam. Pupuk organik dan an-organik (SP-36 dan KCl) diberikan 3 hari sebelum penanaman dengan cara ditebarkan pada petak percobaan, sedangkan pemupukan Urea diberikan umur 7 hari dan 28 hari setelah tanam masing-masing setengah dosis. Ajir dipasang pada umur tanaman 14 hari setelah tanam. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman setiap 3-4 hari, penyiangan dilakukan umur 14 hari dan 28 hst, sedangkan pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan penyemprotan insektisida setiap 1 minggu sekali atau disesuaikan dengan kondisi tanaman di lapangan. Variabel yang diamati yaitu jumlah panen, berat buah per panen, siklus produksi dan produksi. Data dianalisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji BNT.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis statistik menunjukkan terjadi interaksi antara perlakuan dosis pupuk organik (pupuk kandang sapi yang difermentasi dengan dekomposer Ruminno Bacillus) dengan perlakuan paket dosis pupuk an-organik yang digunakan terhadap variabel jumlah panen dan siklus produksi kacang panjang sedangkan terhadap variabel berat buah per panen dan produksi tidak terjadi interaksi. Interaksi antara perlakuan dosis pupuk organik Ruminno Bacillus dengan paket pupuk an-organik menunjukkan perlakuan kombinasi pupuk organik dosis 6 ton/ha dengan paket pupuk kimia 100 kg Urea/ha, 100 kg SP-36/ha dan 200 kg KCl/ha (P3) memberikan jumlah panen tertinggi yaitu 19,07 kali (Tabel 1). Peningkatan dosis pupuk organik maupun an-organik pada perlakuan kombinasi menghasilkan jumlah panen yang semakin tinggi dan menghasilkan jumlah panen yang berbeda nyata (P<0,05), kecuali pada perlakuan kombinasi dosis pupuk organik 2 ton/ha peningakatan dosis pupuk kimia sampai menjadi 100% (P3) tidak menunjukkan pengaruh nyata (P>0,05). Tabel 1. Interaksi Pupuk Organik Ruminno Bacillus dengan Pupuk An-organik Terhadap Frekuensi Panen (Kali) Kacang Panjang di Lahan Kering Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali Tahun 2005 Pupuk Anorganik
2 ton/ha
Pupuk Rumino Bacillus 4 ton/ha
P1 (Dosis 25%) 15,00 d 15,34 d P2 (Dosis 50%) 15,11 d 16,96 c P3 (Dosis 100%) 15,12 d 18,45 ab Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada uji BNT taraf 5%
6 ton/ha 17,07 c 18,07 b 19,07 a
Hal yang sama juga terlihat pada variabel siklus produksi kacang panjang, dimana kombinasi perlakuan dosis pupuk organik 6 ton/ha dan dosis pupuk kimia 100% memberikan siklus panen terlama yaitu 37,56 hari tidak berbeda dengan dosis pupuk organik 4 ton/ha dengan siklus produksi 36,67 hari. Peningkatan dosis pupuk kimia maupun dosis pupuk organik memberikan siklus panen yang semakin lama kecuali pada perlakuan pupuk organik 2 ton/ha peningkatan dosis pupuk kimia tidak memberikan siklus produksi yang berbeda (Tabel 2). Terhadap variabel rata-rata berat panen dan produksi per satuan luas menunjukkan tidak terjadi interaksi antara perlakuan dosis pupuk organik dan an-organik yang digunakan. Peningkatan dosis pupuk organik dan paket dosis pupuk kimia yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata berat buah per panen yang dihasilkan, sedangkan terhadap produksi per satuan luas beda nyata (Tabel 3). Kisaran berat buah per panen yang dihasilkan yaitu 563,27 g - 578,31 g dengan perlakuan pupuk kimia sedangkan perlakuan dosis pupuk organik dengan kisaran 567,17 g - 576,59 g per 3 m2.
173
Tabel 2. Interaksi Pupuk Organik Ruminno Bacillus dengan Pupuk An-organik Terhadap Siklus Produksi (Hari) Kacang Panjang di Lahan Kering Desa Sanggalangit, Kec. Gerokgak, Buleleng, Bali Tahun 2005 2 ton/ha
Pupuk Rumino Bacillus 4 ton/ha
6 ton/ha
P1 (Dosis 25%)
30,23 d
30,89 d
30,89 c
P2 (Dosis 50%)
30,22 d
33,78 c
35,78 b
P3 (Dosis 100%)
30,56 d
36,67 ab
37,56 a
Pupuk Anorganik
Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 5%
Produksi kacang panjang per 100 m2 meningkat dengan peningkatan dosis pupuk kimia dari dosis 25% menjadi 50% dan 100% yaitu masing-masing 7,06% dan 14,09%, sedangkan peningkatan dosis pupuk organik dari 2 ton/ha menjadi 4 ton/ha dan 6 ton/ha meningkatkan produksi sebesar 6,30% dan 12,43%. Paket pupuk kimia yang digunakan yaitu Urea, SP-36 dan KCl merupakan pupuk kimia yang merupakan sumber hara N, P, dan K. Unsur hara ini dibutuhkan relatif lebih banyak dibandingkan unsur hara lainnya sehingga keberadaan hara tersebut menjadi salah satu pembatas produksi tanaman. Sutejo (2002) menyatakan N berperan dalam pertumbuhan vegetataif tanaman, semakin tinggi pemberian N akan mempercepat sintesis karbohidrat. Unsur P berperan pada pembentukan bunga dan buah tanaman sedangkan K meningkatkan kualitas buah yang dihasilkan. Dari hasil tersebut diatas peningkatan paket dosis dari 25 kg Urea/ha, 25 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha (dosis 25%) menjadi dosis 100% berkorelasi positif terhadap peningkatan produksi kacang panjang. Tabel 3. Pengaruh Pupuk Organik Ruminno Bacillus dan Pupuk An-organik Terhadap Rata-Rata Berat Panen dan Produksi Kacang Panjang di Lahan Kering Desa Sanggalangit, Kec. Gerokgak, Buleleng, Bali Tahun 2005 Perlakuan
Rata-rata berat buah/panen (g)
Variabel Produksi/3 m2 (kg)
Pupuk Anorganik P1 (Dosis 25%) 578,31 a P2 (Dosis 50%) 571,42 a P3 (Dosis 100%) 563,27 a BNT 5% Pupuk Rumino Bacillus 2 ton/ha 569,25 a 4 ton/ha 576,59 a 6 ton/ha 567,17 a BNT 5% Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama uji BNT 5%
8,99 b 9,62 ab 9,92 a 0,78
Produksi/100 m2 (kg) 299,61 b 320,75 b 341,85 a 28,52
8,72 b 301,89 b 9,63 ab 320,91 ab 10,18 a 339,42 a 0,78 28,52 menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf
Peningkatan pemberian dosis pupuk kandang sapi/pupuk organik dari 2 ton/ha sampai 6 ton/ha juga memberikan tren produksi serupa. Peningkatan dosis akan memberikan peningkatan kandungan hara, selain peran pupuk organik lainnya seperti memperbaiki sifat fisik tanah yang tidak kalah pentingnya. Ma‘shum et. al. (1992) mengemukakan bahwa pupuk organik memasok berbagai macam hara terutama senyawa organik berkonsentrasi rendah dan tidak mudah larut dalam air. Karena memasok berbagai hara dengan konsentrasi rendah dan tidak mudah larut, pupuk organik tidak akan menimbulkan ketimpangan hara dalam tanah, bahkan dapat memperbaiki neraca hara, sehingga pada tanah miskin sangat diperlukan penambahan bahan organik. Lebih lanjut Hairusyah dan Arifin (1992) menyatakan bahwa miskinnya kandungan bahan organik dan unsur hara tanah merupakan faktor pembatas produksi utama disamping keasaman tanah. Rendahnya kandungan bahan organik tanah mengurangi daya sangga tanah dan memudahkan pencucian unsur hara dari lingkungan perakaran sehingga menurunkan efisiensi pupuk. (Karama, et al., 1990). Oleh karena itu penanganan rendahnya kadar bahan organik tanah harus menjadi prioritas utama untuk mempertahankan sistem usahatani berkelanjutan, karena kadar bahan organik tanah yang rendah dapat mempercepat laju degradasi kesuburan tanah.
174
KESIMPULAN -
Terjadi interaksi antara perlakuan pupuk organik dan paket pupuk kimia terhadap jumlah panen dan siklus produksi kacang panjang. Perlakuan kombinasi dosis pupuk organik 6 ton/ha dengan paket dosis pupuk kimia Urea dan SP-36 masing-masing 100 kg/ha serta KCl 200 kg/ha (P3) memberikan jumlah panen dan siklus produksi tertinggi yaitu masing-masing 19,07 hari dan 37,56 hari.
-
Peningkatan dosis pupuk organik menjadi 4 ton/ha dan 6 ton/ha meningkatkan produksi kacang panjang sebesar 6,30% dan 12,43% dari 301,89 kg yang dihasilkan pada dosis 2 ton/ha.
-
Peningkatan paket dosis pupuk an-organik/kimia menjadi dosis 50% dan 100% meningkatkan produksi kacang panjang sebesar 7,06% dan 14,09% dari 299,61 kg yang dihasilkan pada paket dosis 25% (masing-masing 25 kg Urea/ha, 25 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha).
DAFTAR PUSTAKA Adijaya, I.N., M, Suprapto dan M. Rai Yasa. 2004. Succes Strory Pengembangan Sistem Usahatani Terpadu pada Lahan Kering di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hairunsyah dan M.Z. Arifin. 1992. Kajian Pemberian Pupuk Kandang dan Fosfat Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Pipilan Kering pada Tanah Pasiran dan Lempengan. Hasil-Hasil Penelitian Jagung 1991/1992. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Banjarbaru. Karama, A.S., A. Rasyid Marzuki dan I. Manwan. 1990. Penggunaan Pupuk Organik Pada Tanaman Pangan. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 11-13 Nopember 1990. Puslittanak. Bogor. Ma‘shum, M., Lolita, E.S. Mahrup dan Sukartono. 1992. Perubahan Kalium Pada Tanah Tegalan Akibat Pemberian Pupuk Kandang. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian. Unram. Oktafianus, M.M. 2003. Pengaruh Kerapatan Tanam dan Jenis Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah di Lahan Kering. Tesis Pasca Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. Rubiyo, S. Guntoro dan W. Trisnawati. 2004. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Kambing Terhadap Pertumbuhan Awal Kopi Arabika S-795 Hasil Konversi dari Kopi Robusta Bali. Prosiding Seminar Nasional Revitalisasi Teknologi Kreatif dalam Mendukung Agribisnis dan Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Suratmini, I.N. Adijaya, IGAK. Sudaratmaja dan M. Sumartini. 2003. Pengkajian Sistem Usahatani pada Lahan Marginal. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Sutejo, M.M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta. Yakarta.
175
PREFERENSI PANELIS TERHADAP PRODUK OLAHAN MANISAN MANGA W. Trisnawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Mangga merupakan buah-buahan tropis yang mudah sekali mengalami kerusakan, salah satu upaya untuk menyelamatkan harga jual buah mangga terutama pada musim panen raya adalah dengan dikembangkannya pengolahan mangga menjadi suatu bentuk olahan, misalnya manisan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui preferensi atau kesukaan panelis pada manisan mangga basah, manisan yang dipotong kecil-kecil dan manisan kering. Proses pembuatan manisan ini dilakukan pada KWT ‖Sawitra Tani‖ Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng tahun 2005. Preferensi/kesukaan panelis dilakukan dengan menggunakan uji organoleptik skala hedonik skor 1 sampai 5 terhadap warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan terhadap penerimaan secara keseluruhan. Alat analisis dengan menggunakan uji keragaman dilakukan untuk melihat perbedaan preferensi pada produk manisan mangga, bila terjadi beda nyata maka dilanjutkan dengan Uji BNT. Hasil analisis terhadap preferensi panelis produk manisan mangga cara basah memberikan nilai tertinggi pada warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan penerimaan secara keseluruhan dibandingkan dengan manisan dipotong kecil dan manisan yang dijemur kering Kata kunci : mangga, manisan, organoleptik dan panelis
PENDAHULUAN Mangga (Mangifera indica L) merupakan salah satu buah-buahan tropis yang banyak dihasilkan di Indonesia. Dengan produksi mangga sekitar 400.000 ton per tahun, buah ini termasuk lima besar buah berpotensi di Indonesia (Hambali. dkk, 2004). Mangga merupakan buah-buahan tropis yang mudah sekali mengalami kerusakan dan secara nyata kerusakannya terjadi pada saat penanganan, transportasi, penyimpanan dan proses pematangan. Salah satu upaya untuk menyelamatkan harga jual buah mangga terutama pada musim panen raya adalah dengan dikembangkannya pengolahan mangga menjadi suatu bentuk olahan, misalnya manisan (Anugrahwati. dkk, 2005). Manisan mangga dibuat dari buah mangga yang belum matang benar. Pemilihan bahan baku sangatlah penting, karena merupakan salah satu faktor dalam penentu kualitas produk akhir. Seperti misalnya pada produk manisan yang mengutamakan penampilan sebagai salah satu parameter mutu. Dalam hal ini buah yang dipakai harus memiliki ciri-ciri daging buah tebal, sedikit serat atau tidak berserat dan segar (Hambali. dkk, 2004). Manisan kering merupakan bahan makanan awetan dengan kadar gula yang relatif tinggi (+ 20%) dan kadar air 20% - 25%, serta memiliki cita rasa khas (spesifik) dibandingkan dengan buah aslinya. Di samping itu manisan kering ini memiliki tekstur plastis atau dapat dibentuk (Suprapti, 2003). Hal yang harus mendapat perhatian dalam proses pembuatan manisan adalah penampilan produk (warna, keseragaman bentuk dan kemasan); cita rasa dan aroma; daya tahan produk dan kandungan unsur gizi dan kalori; dan hygienis (Suprapti, 2003). Pada proses pembuatan manisan ada beberapa perlakuan pengolahan yang dilaksanakan, yaitu perendaman dalam kapur/tawas bertujuan untuk memperkeras tekstur daging buah sehingga rasa manisan menjadi lebih enak dan penambahan zat warna bertujuan untuk mendapatkan warna manisan yang lebih menarik. Penambahan gula dalam pembuatan manisan bertujuan sebagai pemanis dan benzoat yang ditambahkan berfungsi sebagai pengawet (Satuhu, 1996). Tujuan ditambah zat pengasam ke dalam proses pembuatan manisan adalah sebagai penegas rasa dan warna, atau menyelubungi rasa yang tidak disukai. Zat ini dapat pula bertindak sebagai pengawet karena sifat asam dapat mencegah pertumbuhan mikroba. Bahan inipun dapat mencegah ketengikan dan pencoklatan. Dalam hal ini zat pengasam yang ditambahkan adalah asam sitrat (Purnomo. dkk, 1987). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui preferensi atau kesukaan panelis pada manisan mangga basah, manisan yang dipotong kecil-kecil dan manisan kering
176
METODOLOGI Proses pembuatan manisan ini dilakukan pada KWT ‖Sawitra Tani‖ Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng tahun 2005. Pengolahan produk dilakukan bersama-sama petani di lokasi pengkajian. Perlakukan dalam penelitian ini adalah produk manisan basah, manisan yang dipotong kecil-kecil dan manisan kering. Uji organoleptik dilakukan pada 15 orang panelis yang dipakai sebagai ulangan. Skala yang dipakai pada uji organoleptik adalah skala hedonik dengan skor 1 sampai 5. Penilaian dilakukan terhadap warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan terhadap penerimaan secara keseluruhan. Untuk mengetahui preferensi panelis terhadap jenis mangga yang diujikan, dilakukan dengan analisa statistik menggunakan uji keragaman, bila terjadi beda nyata maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nilai Terkecil (BNT).
HASIL DAN PEMBAHASAN Mnisan merupakan produk pangan dengan kandungan gula tinggi sehingga dapat disimpan lebih lama, konsentrasi gula yang tinggi dengan kadar asam tinggi (pH rendah) mampu berfungsi sebagai pengawet. Konsentrasi gula yang tinggi pada produk manisan mangga menyebabkan sebagian air yang ada pada produk menjadi tidak tersedia, sehingga pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air menjadi berkurang (Buckle, et al, 1987). Preferensi panelis pada ketiga jenis mangga yang dicobakan berdasarkan analisa statistik menunjukkan perbedaan nyata terhadap warna, flavor dan rasa manis (Tabel 1). Nilai tertinggi terhadap warna dengan skor 3,47 (manisan basah) dan terendah pada manisan dipotong kecil (skor 1,93). Pembuatan manisan cara basah memberikan nilai tertinggi pada flavor (3,40) dan rasa manis (3,47). Hal ini menunjukkan bahwa proses pembuatan manisan mangga cara basah lebih disukai konsumen (dari segi warna, flavor dan rasa manis), karena memiliki warna lebih cerah, cita rasa lebih segar dan rasa manis yang kuat. Sedangkan pada pembuatan manisan dipotong kecil atau yang dijemur warna manisan akan memudar dan cita rasa manisan kurang kuat karena terjadinya proses penguapan kadar air sehingga bahan menjadi kering (Suprapti, 2003). Tabel 1. Rata-rata Uji Organoleptik (Warna, Flavor dan Rasa Manis) Keripik Manisan Mangga di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, 2005 Perlakuan
Warna
Flavor
Rasa Manis
Manisan Basah 3,47 b 3,40 b 3,47 b Manisan dipotong kecil 1,93 a 2,80 ab 3,33 b Manisan dijemur kering 3,20 b 2,20 a 2,20 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5% Skor 1=sangat tidak suka; 2=tidak suka; 3=biasa; 4=suka; 5=sangat suka
Tabel 2 menampilkan preferensi panelis manisan mangga terhadap rasa dimulut dan penerimaan secara keseluruhan, dimana manisan basah memberikan penilaian tertinggi dengan skor 3,73 (rasa dimulut) dan 3,53 (penerimaan secara keseluruhan). Ini menunjukkan bahwa pembuatan manisan mangga cara basah lebih diminati konsumen dibandingkan pada manisan dipotong kecil dan manisan dijemur kering. Tabel 2.
Rata-rata Uji Organoleptik (Rasa Dimulut dan Penerimaan Secara Keseluruhan) Manisan Mangga di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, 2005 Perlakuan
Rasa Dimulut
Penerimaan Secara Keseluruhan
Manisan Basah 3,73 b 3,53 b Manisan dipotong kecil 2,87 a 2,47 a Manisan dijemur kering 2,13 a 2,47 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5% Skor 1=sangat tidak suka; 2=tidak suka; 3=biasa; 4=suka; 5=sangat suka
Produk manisan mangga yang diolah dengan proses pengeringan menyebabkan terjadinya perubahan terhadap warna, tekstur, flavor dan rasa dimulut. Akan tetapi produk ini relatif lebih awet
177
dibandingkan dengan manisan mangga basah maupun yang dipotong kecil-kecil, karena memiliki kadar air yang rendah sehingga aktivitas mikroba dapat dihambat (Winarno, 1993). Secara keseluruhan produk manisan mangga cara basah lebih disukai panelis, karena masih memiliki rasa khas segar buah mangga dan memiliki warna yang lebih cerah. Preferensi panelis terhadap manisan basah terhadap rasa manis produk paling disukai karena gula yang dipakai sebagai perendam tidak menyatu atau kering dengan produk, sehingga larutan gula disini berfungsi sebagai sirup yang kental.
KESIMPULAN Preferensi panelis terhadap produk manisan mangga cara basah memberikan nilai tertinggi terhadap warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan penerimaan secara keseluruhan dibandingkan dengan manisan dipotong kecil dan manisan yang dijemur kering
DAFTAR PUSTAKA Anugrahwati. Y, Aman Wirakartakusumah dan Setyadjit. 2005. Perubahan Karakteristik Mutu dan Analisis Kinetika Puree Mangga Selama Penyimpanan. Balai Besar Pasca Panen Bogor Hambali E, Ani Suryani dan Nani Widianingsih. 2004. Membuat Aneka Olahan Mangga. Seri Industri Kecil. Penebar Swadaya Purnomo, H dan Adiono. Ilmu Pangan. 1987. Universitas Indonesia Suprapti, ML. 2003. Manisan Kering Jambu Mete. Teknologi Pengolahan Pangan. Kanisius Satuhu, S. 1993. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya. Winarnao, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pusaka Utama. Buckle, K.A, et al. Diterjemahkan oleh Purnomo H dan Adiono. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia
178
PENGKAJIAN JAGUNG SRIKANDI KUNING MESUBSTITUSI PAKAN KOMERSIAL UNTUK AYAM RAS PEDAGING DI LAHAN KERING DATARAN MEDIUM BERIKLIM BASAH BANGLI TAHUN 2005 IGK. Dana Arsana dan IW. Alit Artha Wiguna Balai Pengkajian Teknologi Pertanian - Bali
ABSTRAK Pengkajian dilaksanakan selama 35 hari pemeliharaan mulai tanggal 22 Nopember 2005 sampai dengan 27 Desember 2005 di Desa Buungan Kecamatan Susut Kabupaten Bangli dan sehari di Laboratorium Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana untuk data, karkas, recahan karkas dan warna lemak. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan (P0, P1, P2 dan P3), dan 5 ulangan pada setiap perlakuan dan setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam. Akhir penelitian diambil sampel 40 ekor, ayam yang digunakan jenis CP 707. Hasil penelitian menunjukkan bahwa substitusi pakan komersial ayam potong jenis BR 511, dengan jagung Srikandi Kuning sampai taraf 20% diikuti penambahan probiotik Starbio, tidak memberikan respon negatif terhadap pertumbuhan ayam, dilihat dari aspek pertambahan bobot ayam dan kualitas karkas. Sedangkan penggantian pakan komersial taraf 20% tanpa penambahan probiotik Starbio sebesar 0,25% pada pakan, memberikan dampak tidak menguntungkan pada ternak ayam, karena bobot ayam hidup maupun karkas yang dihasilkan menjadi rendah. Penambahan probiotik Starbio sebesar 0,25% pada pakan komersial memberikan tambahan bobot badan ayam rata-rata 65,22 gr lebih berat dibandingkan dengan ayam yang diberikan pakan komersial tanpa Starbio. Walaupun secara statistik berbeda tidak nyata. Untuk itu penggantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sebesar 20% diikuti dengan penambahan probiotik Starbio pada pakan ayam potong dapat dianjurkan, karena memberikan respons pertumbuhan yang tidak berbeda nyata dengan ayam yang diberikan pakan komersial 100%. Kata kunci : jagung QPM, ayam ras pedaging
PENDAHULUAN Latar Belakang Hasil pengkajian pemberian pakan jagung QPM terhadap ayam pedaging tahun 2004. Secara nyata dapat menghemat biaya pakan tanpa menyebabkan adanya pengaruh buruk terhadap penampilan dan produksi ayam potong. Dari hasil analisis biaya pakan yang diberikan pada setiap perlakuan diketahui bahwa penggantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sampai 20% akan menghemat biaya pakan sebesar Rp. 222,50 (7,42%) per kg pakan dibandingkan dengan pemberian pakan kmersial 100%, sedangkan penggantian dengan 10% jagung Srikandi Putih maupun Kuning akan menghemat biaya pakan sebesar Rp. 102,50 (3,42%) per kg pakan (Wiguna., et al . 2004). Di Bali luas lahan yang potensial untuk tanaman jagung mencapai 36.142 hektar terdiri atas lahan sawah dan lahan kering. Usahatani jagung pada lahan kering umumnya digunakan sebagai bahan makanan seperti di Buleleng, Karang Asem dan Klungkung (Nusa Penida), sedangkan Bangli merupakan daerah pengembangan jagung untuk usaha peternakan ayam. Pertama di Indonesia, dua varietas unggul jagung dengan mutu protein tinggi telah dilepas. Jagung adalah tanaman biji-bijian yang dikonsumsi oleh ternak dan manusia sebagai sumber energi dan protein. Hasil PRA (Participatory Rural Apraisal) tahun 2003 menunjukkan bahwa minat petani untuk menanam jagung dan palawija lainnya cukup besar. Kendala yang menghambat adalah kesulitan mendapatkan benih, pemasaran dan penanganan pasca panen (Arsana IGK D, dkk 2003). Hasil uji multilokasi jagung QPM yang dilaksanakan di Bangli TA. 2004 menunjukkan hasil 5-6 ton jagung pipilan kering/ha. Data hasil pengkajian mempunyai kontribusi menyumbang data secara nasional untuk melepas jagung Srikandi Putih dan Srikandi Kuning (Arsana IGK D, dkk 2004). Tujuan Melihat pengaruh substitusi pakan komersial dengan jagung pada batas tertentu akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan ternak ayam potong.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan selama 35 hari, tempat di Desa Buungan Kecamatan Susut Kabupaten Bangli tahun 2005 sedangkan data, karkas, recahan karkas dan warna lemak dilaksanakan di Laboratorium Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana. Ayam yang digunakan broiler umur satu hari
179
(day old chick) strain CP 707 sebanyak 100 ekor dengan berat badan awal berkisar 40,564 gram sampai 42,444gram, tanpa membedakan jenis kelamin ”Unsexed”. Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang litter dengan dinding dari bilah-bilah bambu, lantai kandang menggunakan sekam. Setiap unit dilengkapi dengan tempat ransum yang terbuat dari plastik dengan kapasitas 5 kg dan tempat air minum terbuat dari plastik dengan volume ± 4 liter. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum. Bahan penyusun ransum terdiri dari ransum komersial CP 511 berbentuk butiran untuk masa strater dan CP 512 untuk masa finisher dan jagung Srikandi Kuning giling. Jagung bersumber dari petani yang ada di sekitar lokasi pengkajian. Rancangan Penelitian Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan (P0, P1, P2 dan P3), dengan 5 ulangan pada setiap perlakuan dan setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam. Pada akhir penelitian diambil sampel 40 ekor ayam untuk dipotong. Sampel yang diambil secara acak adalah dua ekor setiap perlakuan pada semua ulangan. Ayam yang digunakan adalah ayam potong jenis CP 707 Perlakukan sebagai berikut: 1. P0 adalah ayam yang diberikan pakan komersial 100% 2. P1 adalah ayam yang diberikan pakan komersial ditambah 0,25% Starbio. 3. P2 adalah ayam yang diberikan pakan komersial yang disubstitusi dengan jagung Srikandi Kuning (QPM Kuning) 20% tanpa ditambahkan Probiotik Starbio. 4. P3 adalah ayam yang diberikan pakan komersial yang disubstitusi dengan jagung Serikandi Kuning (QPM Kuning) 20% dan ditambah 0,25% Probiotik Starbio. Penyembelihan dan Pemisahan Bagian-bagian Tubuh Ayam Penyembelihan dilakukan berdasarkan cara USDA (United States Departement of Agriculture, 1997) dengan menggunakan pisau kecil dan tajam, tepat dibagian Vena jugularis dan Arteri carotis. Ayam yang sudah disembelih dicelupkan ke dalam air panas dengan suhu berkisar antara 50-55º C selama 90-120 detik untuk memudahkan pencabutan bulu (Mountney, 1996). Pemisahan bagian-bagian tubuh ayam, yaitu pengeluaran saluran pencernaan, organ dalam, pemotongan cakar serta kepala sehingga didapatkan karkas. Pengeluaran organ dalam kecuali tembolok dilakukan dengan membelah lapisan kulit ventral dari bagian leher yang menutupi bagian tembolok tersebut. Pemisahan kepala dan cakar dari tubuh dilakukan dengan memisahkan bagian Occipitalis (persendian antara kepala dan leher) yaitu pertautan antara tulang atlas dengan tulang tengkorak, sedangkan pemisahan cakar dilakukan dengan memotong sendi Tibia tarsometatarsus. Pengertian karkas dalam penelitian ini adalah bagian tubuh setelah darah, bulu, leher, kepala, cakar dan organ-organ dalam dihilangkan. Untuk memisahkan bagian dada dari punggung dilakukan dengan memotong sepanjang pertemuan antara tulang-tulang rusuk yang melekat pada punggung (Costea vertebrae) dengan tulang rusuk yang melekat pada tulang dada (Costeo sternalis) sampai pada sendi bahu, selain tulang rusuk dan tulang dada. Variabel yang Diamati Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi berat hidup, berat karkas, persentase karkas, recahan karkas serta warna lemak. 1. Berat awal ayam umur sehari (day old chick) dalam gram 2. Berat ayam akhir penelitian yaitu pada umur 5 minggu 3. Pertumbuhan: pertambahan bobot ayam (g) selama penelitian 4. Berat hidup: berat ayam saat akan disembelih setelah dipuasakan selama 12 jam. 5. Berat karkas: berat ayam tanpa darah, bulu, organ dalam, leher, kepala dan cakar. Analisis Statistik Data dianalisis menggunakan Analisis Varian atau Univariate Analysis of Variance, analisisnya dengan Programme for Social Science versi 10.01. Sedangkan untuk pertambahan berat badan ayam selama penelitian di analisis secara regresi linier
180
HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Ayam Awal Penelitian Pada awal penelitian diupayakan bobot ayam adalah sama atau homogen, dengan harapan faktor berat awal akan memberikan pengaruh yang sama terhadap semua perlakukan. Bobot ayam awal penelitian adalah berbeda tidak nyata (Tabel1). Tabel 1. Uji Duncan Terhadap Perbedaan Bobot Ayam (G) Umur 0 Hari Perlakuan
Rataan bobot ayam (g) awal penelitian
1) 2) 3) 4)
P0 Pakan komersial 100% 41,524a P1 Pakan komersial ditambah 0,25% Starbio 42,444a P2 Pakan komersial disubstitusi dengan Jagung 41,708a P3 Pakan komersial substitusi dengan Srikandi 40,564a Kuning 20% ditambah 0,25% Starbio Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata (P>0,05)
Bobot Ayam Penelitian Rataan bobot ayam pada umur 35 hari akhir penelitian, menunjukkan bahwa perlakuan terhadap ayam penelitian menyebabkan adanya perbedaan yang nyata. Tabel 2 menunjukkan bahwa bobot ayam perlakuan P2 sebesaar 1.994,000g nyata paling rendah dibandingkan dengan bobot ayam perlakuan P0 (2.145,652g) dan P1 (2.210,870g), namun tidak nyata lebih rendah dibandingkan perlakuan P3 (2.097,917g). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Probiotik Starbio yang ditambahkan pada pakan komersial, telah memberikan pengaruh yang tidak nyata lebih baik dibandingkan dengan pakan komersial yang tidak ditambahkan Starbio. Walaupun demikian, secara absolut probiotik starbio telah mampu memberikan tambahan bobot badan ayam, yang diberi pakan komersial sebesar 65,22g. Tabel 2. Hasil Uji Duncan Terhadap Bobot Badan Ayam Umur 35 Hari Akhir Pengkajian Perlakuan
Bobot Ayam (gram)
(P0) Pakan komersial 100% 2.145,652 b (P1) Pakan komersial ditambah 0,25% Starbio 2.210,870 b (P2) Pakan komersial substitusi dengan Jagung 1.994,000 a (P3) Pakan komersial substitusi Jagung Serikandi Kuning 20% dan 0,25% Starbio 2.097,917ab Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata (P>0,05).
Selanjutnya hasil penelitian Tabel 3 menunjukkan bahwa substitusi pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sebanyak 20%, tanpa penambahan Starbio memberikan pertumbuhan ayam yang nyata paling rendah. Namun subtitusi pakan komersial sebesar 20% dengan jagung Srikandi Kuning yang diikuti dengan penambahan probiotik Starbio sebanyak 0,25% mampu mendorong pertumbuhan yang lebih baik, sehingga bobot ayam akhir penelitian tidak nyata lebih rendah dibandingkan dengan berat ayam yang diberi pakan komersial 100%, baik yang ditambahkan Strabio maupun yang tidak ditambahkan probiotik Starbio. Di lain pihak pengantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sebesar 20% tanpa diikuti dengan penambahan Starbio sebesar 0,25% menyebabkan pertumbuhan ayam yang kurang baik, sehingga bobot ayam pada umur 35 hari akhir penelitian, nyata lebih rendah dibandingkan bobot ayam yang diberikan pakan komesial 100%, yang ditambahkan Starbio maupun tidak. Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa penggantian atau substitusi pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sebesar 20% telah menurunkan kualitas pakan ayam, sehingga mengurangi nutrisi yang diperlukan ayam. Hal tersebut telah menghambat pertumbuhan ayam, sehingga bobot badan ayam menjadi lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan pakan komersial 100%. Namun substitusi pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning 20% yang diikuti dengan penambahan probiotik Starbio 0,25% mampu meningkatkan nilai nutrisi pakan, sehingga kebutuhan ayam akan nutrisi menjadi lebih terpenuhi. Kondisi tersebut menyebabkan pertumbuhan ayam menjadi lebih baik, sehingga bobot akhir ayam menjadi berbeda tidak nyata dengan ayam yang diberikan pakan komersial 100%. Oleh karena itu, penambahan probiotik Starbio pada pakan yang berkualitas kasar seperti substitusi pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning 20% untuk ayam potong, akan mampu memberikan pertumbuhan yang sama dengan ayam yang diberikan pakan berkualitas standar seperti pakan komersial. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan Fuller (1989) yang menyatakan bahwa starbio adalah probiotik yang berupa pakan
181
tambahan dalam bentuk mikroba hidup yang dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi ternak yang bersangkutan. Selain itu Suharto dalam Rai, dkk (1999) juga menyatakan bahwa penambahan probiotik starbio dapat meningkatkan nilai cerna dari ransum sehingga zat-zat nutrisi seperti lemak, protein, dan karbohidrat lebih banyak diserap dan dimanfaatkan tubuh. Oleh karena itu dengan mengganti pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sampai 20% dan penambahan starbio 0,25% belum mengurangi kebutuhan ayam akan nutrisi. Dengan demikian jika biaya penambahan jagung Srikandi Kuning 20% dan 0,25% starbio harganya labih rendah dibandingkan dengan 20% pakan ayam komersial, akan menyebabkan harga pakan menjadi lebih murah dan usaha akan memberikan keuntungan lebih besar, dengan asumsi tingkat kematian ayam sama dengan perlakuan lainnya. Kenaikan Bobot Ayam (Gr) Selama Penelitian Hasil analisis regresi terhadap kenaikan bobot ayam semua perlakuan menunjukkan pertumbuhan yang sangat nyata selama penelitian, dengan koefisien regeresi lebih dari 0,98 pada semua perlakuan. Ayam pada perlakuan P0 yaitu ayam yang diberikan pakan komersial 100% tanpa adanya penambahan probiotik, pertumbuhannya mengikuti model regersi YP0=525,9X - 508,99 dengan R2=99,63%. Selanjutnya ayam pada perlakuan P1, pola pertumbuhannya mengikuti model regresi YP1=530,64X-529,07 dengan R2=98,93%. Pola pertumbuhan ayam dengan perlakuan P2, mengikuti model regresi linier YP2=481,53X - 481,98 dengan R2= 98,88%. Demikian pula halnya pola pertumbuhan ayam pada perlakuan P3 adalah mengikuti model regersi linier YP3=513,85X - 534,06 dengan R2=99,17% (Gambar 4.3). Dengan demikian ayam pada semua perlakuan tumbuh dengan sangat meyakinkan, dengan R2 di atas 98%. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa pengantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning pada taraf 20%, masih memberikan pertumbuhan yang baik pada ayam broiler jenis CP 707. Ditinjau dari aspek pertambahan bobot badan ayam selama penelitian, maka ayam dengan perlakuan P1 memiliki kenaikan berat badan 2.167,656 g paling tinggi dibandingkan kanaikan berat badan ayam perlakuan lainnya kenaikan berat badan ayam pada perlakuan P0 sebesar 2.109,81 g dan perlakuan P3 (2,061,48 g). Sedangkan ayam dengan perlakuan P2, memiliki kenaikan berat badan paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya yaitu hanya sebesar 1.952,29 g. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa ayam dengan pakan komersial yang ditambahkan probiotik starbio sebanyak 0,25% memberikan pertambahan berat badan paling baik dibandingan dengan perlakuan lainnya, baik pada pakan komersial yang tidak disubstitusi maupun yang disubstitusi dengan jagung Srikandi Kuning 20%. Sedangkan ayam yang diberikan pakan komersial yang disubstitusi dengan jagung Srikandi Kuning sebanyak 20% tanpa penambahan probiotik Starbio, memberikan respon pertumbuhan yang paling rendah. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa penambahan probiotik Starbio sebanyak 0,25% pada pakan ayam broiler akan dapat meningkatkan nilai nutrisi pakan, sehingga pakan menjadi lebih bermanfaat untuk pertumbuhan. Hal tersebut sejalan dengan Suharto yang dikutip oleh Rai dkk (1999) yang menyatakan bahwa penggunaan probiotik starbio dalam ransum ternak akan mampu meningkatkan efesiensi penggunaan ransum melalui mekanisme kerja starbio yang mampu mencerna lemak, serta kasar, dan protein ransum menjadi bahan yang mudah diserap. Selain itu penambahan probiotik starbio dapat meningkatkan nilai cerna dari ransum sehingga zat-zat nutrisi seperti lemak, protein, dan karbohidrat lebih banyak diserap dan dimanfaatkan tubuh. Penambahan probiotik dalam ransum secara nyata dapat meningkatkan pertambahan berat badan ayam. Sebelumnya Ritongga (1992) juga menyatakan hal yang senada bahwa pertambahan berat badan unggas yang semakin meningkat karena keberadaan probiotik dalam ransum yang dapat meningkatkan aktivitas enzim-enzim pencernaan dan meningkatkan absorpsi zat-zat. Di lain pihak Zainudin dkk, (1995) menyatakan starbio adalah sumber probiotik hasil bioteknologi yang dibuat dari koloni alami kecil mikroba rumen sapi yang dicampur dengan tanah, akar rumput dan daun serta dahan pohon, koloni mikroorganisme yang terdapat dalam starbio memiliki mikroba yang spesifik dengan fungsi yang berbeda-beda, seperti cellulomonas, clastridium thrmocellosa yang berfungsi sebagai mikroorganisme pencerna lemak; mikroorganisme lignolitik (agasicus dan coprinus), dan mikroorganisme proteolitik (klebsiella brasillensis). Karkas Ayam (Gr) Hasil menunjukkan penggantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning pada taraf 20% tanpa penambahan probiotik Starbio sebesar 0,25% kurang menguntungkan terhadap bobot karkas ayam. Penggantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sebesar 20% yang dibarengi dengan penambahan probiotik Starbio sebesar 0,25% tidak memberikan pengaruh buruk terhadap berat karkas ayam (Tabel 3). Karkas ayam dengan perlakuan P2 sebesar 1.268,50g nyata lebih rendah dengan perlakuan P3 (1.346,00g), perlakukan P0 (1.359,40g) dan P1 (1.421,30g). Kondisi tersebut memberikan petunjuk penggantian pakan komersial sampai pada taraf 20% dan starbio sebesar 0,25% dapat dianjurkan kepada
182
peternak, tanpa berpengaruh buruk terhadap karkas ayam yang dihasilkan. Namun penggantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning tanpa dibarengi dengan penambahan probiotik Starbio sebesar 0,25% berpengaruh kurang baik terhadap berat karkas (g). Tabel 3. Uji Duncan Terhadap Karkas Ayam Perlakuan 1) 2) 3) 4)
Bobot ayam (g)
(P0) Pakan komersial 100% (P1) Pakan komersial ditambah 0,25% Starbio (P2) Pakan komersial substitusi dengan Jagung (P3) Pakan komersial substitusi Jagung Srikandi Kuning 20% dan ditambah 0,25% Starbio
1.268,50 a 1.346,00 ab 1.359,40 b 1.421,30 b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata (P>0,05)
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa nutrisi pakan pada perlakuan P2 adalah paling rendah menyebabkan bobot badan rendah. Sedangkan penggantian pakan komersial sebesar 20% dengan jagung Srikandi Kuning yang diikuti dengan penambahan probiotik Starbio sebanyak 0,25% dari berat pakan, meningkatkan kualitas pakan, sehingga bobot karkas yang dihasilkan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dengan karkas ayam yang diberikan pakan komersial 100%, baik yang ditambahkan Starbio maupun yang tidak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan komersial 100% akan menyediakan nutrisi yang lebih seimbang dibandingkan dengan adanya penggatian dengan jagung Srikandi. Penggantian pakan komersial dengan jagung kemungkinan besar akan meningkatkan nilai nutrisi tertentu pada pakan utamanya karbohidrat yang akan disimpan delam bentuk lemak oleh ternak ayam. Meningkatnya kandungan karbohidrat pada pakan akan menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan antara lemak dan protein pakan, juga energi dalam pakan.
KESIMPULAN Penggantian atau substitusi pakan komersial ayam potong jenis BR 511, yang diberikan ayam potong CP 707 dengan jagung Srikandi Kuning sampai pada taraf 20% diikuti penambahan probiotik Starbio, tidak memberikan respon yang negatif terhadap pertumbuhan ayam, dilihat dari aspek pertambahan bobot ayam dan kualitas karkas. Penggantian pakan komersial taraf 20% tanpa diikuti dengan penambahan probiotik Starbio 0,25% pada pakan, memberikan dampak yang kurang menguntungkan pada ternak ayam, karena bobot ayam hidup maupun karkas yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Selain itu penambahan probiotik Starbio sebesar 0,25% pada pakan komersial akan memberikan tambahan bobot badan ayam ratarata 65,22g lebih berat dibandingkan dengan ayam yang diberikan pakan komersial tanpa penambahan Starbio.
DAFTAR PUSTAKA Arsana IGK D, dkk 2003. Laporan Hasil Pengkajian Optimalisasi Lahan Dataram Medium Beriklim Basah Bangli Proyek PAATP. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali 2003. Arsana IGK D, dkk 2004. Laporan Hasil Pengkajian Multilokasi Jagung QPM dan Kacang tanah di lahan dataran Medium Beriklim Basah Bangli Proyek PAATP. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali 2004. AAK. 1996. Beternak Ayam Pedaging, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Bali Membangun 2002. Data Bali Membangun 2002. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Wiguna AA. Dkk 2004. Laporan Pengkajian Substitusi Jagung QPM Untuk Ransum Ayam Potong. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Fuller, R. 1989. History and Development of Probioticts, In: Probioticts The Scientific Basis. Ed. Fuller, R. First Ed. Chapman & Hall, London. Hal: 1-10 Mulyadi, H. 1983. Pengaruh penggunaan daun tepung alang-alang dalam ransum terhadap persentase karkas dan bagian giblet ayam jantan tipe medium babcock. Tesis Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Murtinjo, BA. 2002. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Penerbit Kanisus, Yogyakarta. Cetakan ke-15.
183
Rai, Y IM., S. Guntor, AA Wiguna & Suprapto. 1999. Pemanfaatan probiotik pada penggemukan babi. Prosiding Hasil-hasil pengkajian paket teknologi usahatani ternak potong di Bali. IP2TP, Denpasar, Bali. Ritongga, H. 1992. Beberapa cara menghilangkan mikroorganisme patogen. Majalah Ayam dan Telur No. 73 hal: 24-26. Zainudin, DK., Dwijanto dan Suharto. 1995. Utilization of probiotict Starbio in broiler diet with different levels of crude protein. Bulletin of Animal Science. Special Edition. A Publication of The Faculty of Animal Husbandry. Gajah Mada University, Yogyakarta.
184
KERAGAAN GALUR HARAPAN KACANG TANAH DI LAHAN KERING GEROKGAK BULELENG Putu Suratmini dan IGK.Dana Arsana Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Bali
ABSTRAK Pengkajian keragaan beberapa galur harapan kacang tanah telah dilaksanakan di lahan kering Desa Yeh Biu, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, pada tahun 2004. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Lima belas calon varietas (galur harapan) kacang tanah yang ditanam meliputi: GH1, GH 2, GH 3, GH 4, GH 5, GH 6, GH 7, GH 8, GH 9, GH 10, GH 11, GH 12, GH 13, GH 14 dan GH 15, sehingga terdapat 45 petak percobaan. Luas petak 4 m x 5 m dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm dengan dua tanaman per lubang. Parameter yang diamati adalah jumlah tanaman yang dapat dipanen, tinggi tanaman, jumlah polong isi/ph, jumlah polong hampa/ph, bobot polong basah /petak/ph, bobot polong kering/petak/ph, bobot biji/ph, dan bobot 100 biji kering panen. Hasil pengkajian menunjukkan dari semua galur atau calon varietas yang ditanam, jumlah tanaman panen berkisar antara 274,3 (GH 3) – 289,7 (GH 12), sedangkan tinggi tanaman berkisar antara 35,4 cm (GH 1) – 45,5 cm (GH 15). Jumlah polong isi/pohon tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara semua galur yang ditanam, sedangkan jumlah polong hampa berkisar antara 3,3 (GH 13) – 7,7 (GH 2). Bobot polong basah dan polong kering/pohon terlihat paling rendah pada perlakuan GH 11 (83,0 g dan 58,7 g), sedangkan yang tertinggi terlihat pada perlakuan GH 14 (153,7 g dan 101,0 g). Bobot biji/pohon yang paling rendah terlihat pada perlakuan GH 11 (37,0 g) dan yang paling tinggi terlihat pada perlakuan GH 14 (57,7 g). Sedangkan bobot 100 biji berkisar antara 37,0 g (GH 10) – 45,0 g (GH 6). Kata Kunci : galur, kacang tanah, lahan kering
PENDAHULUAN Peningkatan produksi kacang tanah dalam negeri masih terbuka lebar baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam utamanya pada lahan kering. Lahan kering sangat potensial untuk perluasan areal tanaman pangan, akan tetapi untuk menghasilkan produksi yang optimal dibutuhkan masukan teknologi pengelolaan yang relatif tinggi seperti konservasi lahan, pengelolaan air, pemupukan dan penggunaan varietas unggul (Anonim, 1992). Lahan kering di Propinsi Bali sebagian besar terletak di bagian Timur dan Utara Pulau Bali dengan luas kurang lebih 218.119 hektar yang merupakan 38,37% dari luas Propinsi Bali (Statistik Pertanian, 1991). Rata-rata curah hujan berkisar antara 1200-1600 mm/tahun dengan musim penghujan yang pendek 3-4 bulan yang biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Februari (Suprapto, et al., 2003). Kacang tanah mempunyai nilai ekonomi tinggi, karena selain sebagai bahan pangan yang gizinya tinggi, kacang tanah juga dipakai sebagai pakan ternak, dan industri minyak goreng (Anonim, 2003). Kacang tanah merupakan komoditi industri pasar lokal dan eksport seperti industri kacang asin, bumbu-bumbuan, ice crem, selai, permen dan produk lainnya sehingga peluang pasarnya cukup tinggi (Sovan, 2004) Produksi kacang tanah nasional baru mencapai 0,65 juta ton, sedangkan permintaan akan kacang tanah pada tahun 2000 sudah meningkat menjadi 1,9 juta ton (Anonim, 2000). Produktivitas kacang tanah di tingkat petani di Indonesia masih tergolong rendah sekitar 1,6 ton/ha (Anonim, 2000), khusus untuk Kabupaten Buleleng produktivitas kacang tanah baru mencapai 1,03 ton/ha (Anonim, 2001). Hasil tersebut masih relatif rendah bila dibandingkan dengan potensi hasil kacang tanah yang mencapai lebih dari 4 ton polong kering/ha (Adisarwanto et al., 1993). Rendahnya produktivitas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain teknik budidaya, kesuburan tanah, cekaman kekeringan, gangguan hama penyakit, gulma dan belum menggunakan varietas unggul (Sumarno dan Manwan, 1990). Peningkatan produksi kacang tanah persatuan luas dapat dilakukan dengan menanam varietas unggul yang dibarengi dengan perbaikan teknik bududaya. Varietas unggul yang ideal adalah berdaya hasil tinggi, tahan hama penyakit utama dan stabil di berbagai target lingkungan (Kasim, 2002). Pemuliaan kacang tanah ditujukan untuk memperoleh varietas yang mempunyai daya hasil tinggi, tahan atau toleran terhadap penyakit layu (Peseudomonas Solanacearum) karat daun (Puccinia arachydis) dan bercak daun (Cercespora sp), benih genjah (80-100 hari), serta mempunyai biji yang baik. Salah satu tahapan dalam program pemuliaan untuk pelepasan varietas baru adalah pengujian daya hasil pada berbagai lokasi dengan agroklimat yang berbeda. Pada kenyataannya suatu galur sering mempunyai penampilan hasil yang berubah-ubah dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Syafruddin dan Saenong, 1996). Hal ini disebabkan oleh interaksi antara genotipe dengan lingkungan agroklimat. Hasil pengujian multilokasi beberapa galur
185
kacang tanah di Sulawesi selatan menunjukkan perbedaan penampilan hasil antar lokasi (Syafruddin, et al., 1991). Dengan melihat permasalahan tersebut, pengkajian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keragaan galur harapan kacang tanah yang ditanam di lahan kering Gerokgak Bali.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di Desa Yeh Biu, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng pada tahun 2004. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Lima belas calon varietas (galur harapan) kacang tanah yang ditanam meliputi (GH 1, GH 2, GH 3, GH 4, GH 5, GH 6, GH 7, GH 8, GH 9, GH 10, GH 11, GH12, GH13, GH 14 dan GH 15) sehingga terdapat 45 petak percobaan. Benih didapat dari Balai Penelitian Kacang-kacangan (Balitkabi) Malang. Ukuran petak adalah 4m x 5m dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm dengan 2 tanaman/lubang. Pupuk dasar yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCl masing-masing sebanyak 50 kg/ha. Parameter yang diamati adalah jumlah tanaman yang dapat dipanen, tinggi tanaman, jumlah polong isi/ph, jumlah polong hampa/ph, bobot polong basah /petak/ph, bobot polong kering/petak/ph, bobot biji/ph, dan bobot 100 biji kering panen. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan Anova dan BNT (5%).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman disamping dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti tanah dan iklim juga dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman, hal ini terlihat dari galur-galur yang ditanam dengan kondisi yang hampir sama ternyata memberikan tinggi tanaman, jumlah polong maupun berat biji yang berbeda antar galur. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa dari ke 15 galur kacang tanah yang ditanam pertumbuhan dan produksi tanaman ada yang menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dan ada juga yang menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) Jumlah tanaman yang dipanen berkisar antara 274,3 (GH 3) sampai 289,7 (GH 12), sedangkan galur-galur yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 1). Tinggi tanaman yang terrendah terlihat pada galur GH 1 (35,4 cm) dan berbeda nyata dengan galur GH 15 (45,5 cm), sedangkan dengan galur-galur yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 1. Jumlah Tanaman yang Dapat Dipanen dan Tinggi Tanaman dari 15 Galur Kacang Tanah yang Ditanam di Lahan Kering Gerokgak, Buleleng, 2004. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Keterangan :
Galur Harapan (GH)
Jumlah tanaman Panen
Tinggi tanaman (cm)
GH 1 278,0 ab 35,4 a GH 2 289,0 b 36,4 abc GH 3 274,3 a 38,7 a-d GH 4 278,7 ab 36,3 ab GH 5 281,0 ab 41,0 a-d GH 6 276,3 ab 44,0 cd GH 7 279,7 ab 43,9 bcd GH 8 283,0 ab 39,6 a-d GH 9 283,3 ab 37,1 abc GH 10 281,3 ab 37,1 abc GH 11 282,7 ab 39,8 a-d GH 12 289,7 b 40,5 a-d GH 13 286,3 ab 36,7 abc GH 14 280,7 ab 36,4 abc GH 15 283,3 ab 45,5 d CV% 10,0 10,0 Huruf yang sama pada kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf 0,05.
Tingkat hasil suatu tanaman ditentukan oleh interaksi antara faktor genetis dan lingkungan seperti kesuburan tanah, ketersediaan air dan pengelolaan tanaman. Dalam pengujian daya hasil suatu varietas biasanya digunakan paket rekomendasi yang sudah baku, baik yang berkaitan dengan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta pengelolaan tanaman lainnya. Tingkat hasil yang diperoleh biasanya bervariasi, tergantung kepada faktor lingkungan tumbuh seperti tersebut di atas. Pada saat pelaksanaan pengkajian dapat dikatakan diluar musim dan diluar kebiasaan petani. Pelaksanaan tanam kacang tanah yaitu tanam akhir bulan Juni dan panen pada bulan Oktober sehingga tanaman mengalami kekeringan.
186
Jumlah polong isi per pohon tidak berbeda nyata dari semua galur harapan yang ditanam (Tabel 2). Sedangkan jumlah polong hampa/tanaman paling rendah terlihat pada galur GH 13 (3.3) dan hasil ini tidak berbeda nyata dengan galur-galur yang lain kecuali dengan galur GH 2 (7.7). Bobot polong basah/pohon paling tinggi ditunjukkan oleh GH 14 (153,7 g), kemudian diikuti oleh GH 7 (133,3 g), GH 6 (132,0 g) dan yang paling rendah adalah GH 11 (83.0 g). Tabel 2. Komponen Hasil Kacang Tanah dari 15 Galur Yang Ditanam di Lahan Kering Gerokgak, Buleleng 2004. No.
Galur Harapan (GH)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Jumlah Polong hampa/ Polong isi/Pohon Pohon
GH 1 GH 2 GH 3 GH 4 GH 5 GH 6 GH 7 GH 8 GH 9 GH 10 GH 11 GH 12 GH 13 GH 14 GH 15 lCV% Keterangan : Huruf yang sama 0,05
Bobot Polong basah/ Pohon (g)
Polong kering/ pohon (g)
10.1 a 6.1 ab 101.7 abc 67.7 ab 12.3 a 7.7 b 113.3 abc 76.0 abc 11.2 a 4.9 ab 87.0 a 61.0 ab 13.3 a 4.6 ab 97.3 abc 69.7 ab 13.7 a 3.9 a 94.0 ab 62.0 ab 11.4 a 4.6 ab 132.0 bcd 88.3 bc 11.4 a 5.9 ab 133.3 cd 88.0 bc 14.9 a 4.1 a 109.3 abc 73.0 ab 12.3 a 4.5 a 92.0 a 63.0 ab 12.9 a 5.1 ab 94.3 ab 65.3 ab 10.7 a 4.3 a 83.0 a 58.7 a 11.9 a 4.2 a 98.3 abc 69.7 ab 15.1 a 3.3 a 103.7 abc 71.3 ab 14.5 a 3.4 a 153.7 d 101.0 c 12.9 a 4.5 a 108.3 abc 71.3 ab 20.7% 36.2% 18.3% 20.1% pada kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf
Bobot polong kering/pohon terlihat paling tinggi pada GH 14 (101,0 g), kemudian diikuti oleh GH 6 (88,3 g), GH 7 (88,0 g) dan paling rendah terlihat pada galur GH 11 (58,7 g), sedangkan galur-galur yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 2). Tabel 3. Bobot Biji/Pohon, Bobot Polong Basah/Petak, Bobot Polong Kering/Petak dan Bobot 100 Biji dari 15 galur Kacang Tanah yang Ditanam di Lahan Kering Gerokgak, Buleleng, 2004. Galur Harapan (GH)
Bobot Biji /pohon (g)
Bobot polong basah/ petak (g)
Bobot polong kering/petak (g)
100 Biji (g)
GH 1 43.7 ab 2340.3 a 1464.3 a 38.0 ab GH 2 46.3 ab 2663.3 a 1699.0 a 38.3 abc GH 3 41.3 ab 2956.0 a 1896.0 a 43.3 abc GH 4 42.3 ab 2475.7 a 1654.7 a 40.3 abc GH 5 47.3 ab 2460.7 a 1747.7 a 44.7 bc GH 6 55.7 b 2800.7 a 1798.3 a 45.0 c GH 7 56.7 b 3078.3 a 1843.0 a 43.3 abc GH 8 49.3 ab 2959.3 a 1471.0 a 40.3 abc GH 9 44.0 ab 2510.3 a 1603.0 a 41.3 abc GH 10 40.7 ab 2414.3 a 1704.0 a 37.0 a GH 11 37.0 a 2308.0 a 1431.0 a 44.3 bc GH 12 47.3 ab 2898.3 a 1874.3 a 43.0 abc GH 13 51.3 ab 2673.7 a 1904.7 a 39.0 abc GH 14 57.7 b 2228.7 a 1529.3 a 40.0 abc GH 15 48.0 ab 2498.3 a 1651.3 a 43.0 abc 19.8% 23.0% 26.7% 8.6% CV% Keterangan : Huruf yang sama pada kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf 0,05
Pada Tabel 3 terlihat bobot biji/tan terlihat paling rendah pada galur GH 11 (37,0 g) dan galur ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan galur-galur yang lain kecuali dengan galur GH 6(55,7 g), GH 7 (56,7 g) dan GH 14 (57,7 g). Bobot biji/pohon yang paling rendah pada GH 11 disebabkan oleh karena bobot polong basah dan bobot polong kering per pohon juga rendah yaitu 83,0 g dan 58,7 g (Tabel 2). Bobot polong basah dan bobot polong kering/petak dengan koefesien keragaman 23,0% dan 26,7%. menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) untuk semua galur yang ditanam. Sedangkan bobot 100 biji paling
187
rendah terlihat pada galur GH 10 (37,0 g) dan paling tinggi pada galur GH 6 (45,0 g) sedangkan galur-galur yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa berat 100 biji (g) dari semua galur kacang tanah yang ditanam berkisar antara 37.0 g sampai 45.0 g, hal ini menunjukkan bahwa semua galur yang ditanam mempunyai berat lebih dari 35 g yang mana berarti bahwa semua galur harapan kacang tanah yang ditanam dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada lahan kering Gerokgak. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudaryono (2002), yang mengatakan bahwa tanaman kacang tanah dikatakan dapat tumbuh normal dan beradaptasi dengan baik apabila tanaman kacang tanah dapat menghasilkan lebih dar 15 polong/tan (polong isi dan polong hampa) atau lebih dari 30 polong/rumpun (dua tanaman) dan berat 100 biji dapat mencapai lebih dari 35 gram. Daerah pengkajian yang mempunyai sistem pengairan dengan embung merupakan daerah yang baik untuk pengembangan pembenihan kacang tanah karena dapat diusahakan dengan tanam diluar musim tanam. Dampak akibat dari pertanaman diluar musim petani disekitar pengkajian tidak akan kesulitan mencari benih kacang tanah pada saat membutuhkan pada saat musim tanam.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan: 1. Dari semua galur harapan kacang tanah yang ditanam ternyata memiliki tanggapan yang berbeda terhadap kondisi lahan kering tempat tumbuhnya, dimana galur GH 14 memberikan bobot polong basah/ pohon, bobot polong kering/pohon dan bobot biji/pohon paling tinggi yaitu sebesar 153.7 g, 101.0 g dan 57.7 g. 2. Galur GH 11 memberikan bobot polong basah, bobot polong kering dan bobot biji/pohon paling rendah yaitu sebesar 83.0 g, 58.7 g dan 37 g., sedangkan galur-galur yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. 3. Semua galur harapan kacang tanah yang ditanam di lahan kering Grokgak dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik yang mana ditunjukkan oleh berat 100 biji semua GH melebihi 35 g Saran Untuk pengembangan kacang tanah di lahan kering Gerokgak perlu dilanjutkan dengan membuat sistem perbenihan dengan cara menanam kacang tanah disekitar daerah embung sehinga tersedia benih pada saat petani memerlukan. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sdr. Abdul Rachim sebagai dataser pada pengkajian ini.
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T., A.A. Rahmianna dan Suhartina. 1993. Budidaya Kacang Tanah. Dalaam Kacang tanah. Monograf Balittan Malang. No. 12. Anonimus. 1992. Usahatani di Lahan Kering. Departemen Pertanian. Jakarta. Anonimus. 2000. Program Pengembangan Komoditi Kacang-kacangaan. Program Regional Peningkatan Produksi Tanaman Pangan Wilayah Tengan Yogyakarta. Departemen Pertanian. Anonimus. 2001. Laporan Statistik Pertanian Tanaman Pangan. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Buleleng. Anonimus. 2003. Kumpulan Buku Tanaman Pangan, Tanaman Sayur, Tanaman Buah, Tanaman Kebun dan Tanaman Obat-obataan. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian. Jakartaa. Astanto Kasno (2002). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uji Multilokasi Tanaman Kacang-Kacangan. Makalah disampaikan pada Pembinaan Teknis dan Manajemen Uji Multilokasi, di Balai Penelitian KacangKacangan dan Umbi-umbian, tanggal 21 -22 Desember 2002.
188
Kasim, F. 2002. Konsep Pemuliaan Partsipatif dan Uji Multilokasi Jagung. Pembinaan Teknis dan Manajemen Shuttle Breeding Palawija. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Robert G. D. Stel dan James H. Torrie, 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sovan, M. 2004. Kebijakan Pengembangan Komoditas Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Guna Meningkatkan Daya Saing Petani. Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan Bogor. Statistik Pertanian Propinsi Bali. 1991. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Bali. Sudaryono. 2002. Pemberdayaan Alfisol untuk Pengembangan Sentra Tanaman Kacang Tanah di Indonesia. Makalah Laporan Hasil Penelitian Balitkabi 2002, Balitkabi Malang. Sumarno and I. Manwan. 1990. National Coordinated Research Program; Grain Legumes. Research Inst. For Food Crops, Bogor. 90 pp.
Central
Suprapto, Adijaya dan Rai Yasa. 2003. Pengkajian Sistem Uasahatani Agribisnis Tanaman dan Ternak di Lahan Marginal. Laporan Akhir Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Syafruddin, S. Saenong dan M. Basir. 1991. Penampilan dan Stabilitas Hasil Galur-galur Harapan Kacang Tanah di Sulawesi Selatan. Titian Agronomi 3:43-48. Syafruddin dan S. Saenong. 1996. Stabilitas Hasil Genotipe Kacang Tanah (Arachis hypogaea L. Merr). Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Pengendalian Bimas. 1977. Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija, Sayur-sayuran. Jakarta. 240 hal.
189
UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG DI LAHAN KERING GEROKGAK BULELENG Putu Suratmini dan I Nyoman Adijaya Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Bali
ABSTRAK Pengkajian uji adaptasi beberapa varietas jagung telah dilaksanakan di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, pada tahun 2005. Pengkajian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 ulangan. Perlakuan jagung terdiri dari 4 varietas jagung yaitu Varietas Maros Sintetik-2, Sukmaraga, Bisma dan Srikandi Kuning ditanam secara tugal dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm dengan 2 tanaman per lubang. Pemupukan yang diberikan adalah Urea 250 kg/ha, TSP 50 kg/ha dan KCl 50 kg/ha. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan Anova dan BNJ. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tinggi tanaman menunjukkan perbedaan yang nyata diantara varietas yang ditanam, dimana tinggi tanaman yang tertinggi terlihat pada varietas Srikandi Kuning (210,80 cm) dan yang terendah terlihat pada varietas Bisma (135,90 cm). Berat segar brangkasan yang tertinggi terlihat pada varietas Srikandi Kuning (441,25 g/tan) dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan varietas Sukmaraga dan varietas Bisma, sedangkan berat segar terendah terlihat pada varietas Maros Sintetik-2 (348,68 g/tan). Berat kering berangkasan antara varietas Srikandi Kuning, Bisma dan Sukmaraga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu berkisar antara 109,00 g – 107,75 g/tan akan tetapi berbeda nyata dengan varietas Maros Sintetik-2 (93,75 g/tan). Berat tongkol dengan klobot (saat panen) antara keempat varietas menunjukkan perbedaan yang tidak nyata berkisar dari 21,.30-220,63 g/tan. Berat biji pipilan kering panen juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, dimana berat biji berkisar antara 114,73 g – 118,75 g/tan. Produksi biji pipilan kering per ha terlihat dari keempat varietas yang ditanam menunjukkan perbedaan yang nyata dimana varietas Bisma memberikan hasil yang paling tinggi (5,55 t/ha) kemudian diikuti oleh varietas Maros sintetik-2 (,.41 t/ha), vareietas Sukmaraga (5,24 t/ha) dan hasil yang paling rendah ditunjukkan oleh varietas Srikandi Kuning (5,12 t/ha). Kata kunci : uji adaptasi, varieas jagung, lahan kering
PENDAHULUAN Kebutuhan jagung di dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat, dalam periode 1990-2000 laju permintaan akan jagung cukup tinggi mencapai 6,4% per tahun. Sementara itu laju peningkatan produksi hanya mencapai 5,6% per tahun. Pada tahun 2000 produksi jagung dalam negeri mencapai 9,676 juta ton, sedangkan kebutuhan jagung pada tahun yang sama mencapai 10,913 juta ton, sehingga import diperlukan sebesar 1,237 juta ton . Import jagung diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2010 yang mencapai 2,2 juta ton (Kasryno, 2002). Untuk mengimbangi import yang semakin tinggi maka peningkatan produksi jagung dalam negeri perlu mendapat perhatian yang serius. Produksi jagung nasional masih dapat ditingkatkan melalui perluasan areal tanam (ektensifikasi) utamanya pada lahan kering ataupun dengan peningkatan hasil per satuan luas (intensifikasi). Produktivitas jagung yang dicapai oleh petani masih relatif rendah sehingga pengembangan usahatani jagung merupakan tantangan yang sangat mendesak (Sudaryanto dkk., 1988). Peningkatan produksi jagung nasional melalui upaya peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam berlangsung pada berbagai lingkungan ekosistem beragam mulai dari lingkungan berproduktivitas tinggi (lahan subur) sampai yang berproduktivitas rendah (lahan marginal). Pertumbuhan dan produksi jagung sangat dipengaruhi oleh faktor iklim (cahaya matahari dan curah hujan), kondisi lahan dan jenis jagung (varietas) yang ditanam (Sutoro et al.,1988). Rendahnya produksi jagung di lahan petani sering disebabkan oleh penggunaan varietas lokal dengan pengelolaan tanaman yang kurang optimal (Anonimus, 1993). Diantara teknologi yang dihasilkan melalui penelitian, varietas unggul sangat menonjol peranannya, baik dalam peningkatan hasil per satuan luas maupun sebagai salah satu komponen pengendalian hama dan Penyakit (Subandi et al., 1998). Hasil Farm Record Keeping (FRK) yang dilakukan di lahan kering Desa Patas menunjukkan bahwa petani pada umumnya membudidayakan jagung varietas lokal dengan produksi lebih kurang 3,0 ton/ha ( Suprapto et al., 2000). Varietas unggul yang ideal adalah berdaya hasil tinggi, tahan hama penyakit utama, dan stabil di berbagai target lingkungan. Perbaikan varietas jagung sampai saat ini lebih banyak ditekankan pada peningkatan potensi hasil. Dengan beragamnya agroekologi target pengembangan jagung, maka perbaikan genetik juga dilakukan untuk mengatasi cekaman lingkungan. Sehingga untuk lahan kering pengembangan
190
varietas unggul diarahkan pada varietas unggul jagung yang berdaya hasil tinggi, toleran atau tahan cekaman biotis dan abiotis.(Kasim, 2002). Sejak awal Pelita 1, Departemen Pertanian telah melepas sebanyak 43 varietas unggul jagung, baik yang bersari bebas ataupun jagung hibrida. Varietas unggul bersari bebas yang popular pada PJP1 adalah Arjuna dan Kalingga. Selain berdaya hasil tinggi, kedua varietas ini tahan terhadap penyakit bulai dan memiliki daya adaptasi yang luas. Di Malang, varietas Arjuna mampu memberi hasil rata-rata 4,3 t/ha (Subandi dan Manwan, 1990). Varietas Bisma yang dilepas tahun 1995 mulai popular dewasa ini karena keunggulannya dalam beberapa pengujian di lahan kering (tegalan). Dalam kondisi kekeringan pada musim kering 1994 di Jakenan, Pati, jagung Bisma masih mampu menghasilkan 2,0 t/ha, sedangkan Arjuna dan Kalingga hasilnya hanya 1,0-1,1 t/ha (Budiarti et al., 1997). Hasil penelitian yang dilakukan di lahan kering Nusa Tenggara Barat, mendapatkan bahwa produksi dari varietas jagung Maros Sintetik-2 sebesar 5.07 t/ha (Awaludin et al., 2003) Kasim (2002) menyatakan keragaman sistem produksi jagung di Indonesia berkaitan dengan faktorfaktor iklim dan geografis, cekaman biotis dan abiotis, umur masak, dan tipe biji yang ditanam petani. Selain itu terdapat pula perbedaan dalam pengelolaan pertanaman: yakni antara usahatani jagung intensif dengan agro input tinggi sampai cara subsisten yang biasanya terkait dengan marginalitas agroekologi (Kasno, 2002). Dengan melihat permasalahan di atas pengkajian uji adaptasi beberapa varietas jagung di lahan kering perlu dilakukan.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng pada tahun 2005. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 ulangan ( lahan petani). Pengkajian dilakukan di lahan petani akan tetapi teknik budidaya seperti penanaman, pemupukan, penyiangan, pemberantasan hama penyakit mengunakan juknis yang sama. Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan oleh peneliti yang dibantu oleh detaser. Perlakuan terdiri dari 4 varietas jagung yaitu varietas Maros Sintetik-2, Sukmaraga, Bisma dan Srikandi Kuning. Benih jagung ditanam secara tugal dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm dengan 2 tanaman/lubang. Luas petak adalah 3 m x 2,5m dengan jarak antar petak adalah 0,5 m dan petani sebagai ulangan (4 petani). Pupuk dasar yang diberikan adalah 250 kg Urea/ha, 50 kg TSP/ha dan 50 kg KCl/ha. Pemupukan Urea dilakukan sebanyak 2 kali (1/3 umur 7 hst dan 2/3 umur 35 hst). Sedangkan pupuk TSP dan KCl diberikan umur 7 hst. Penyiangan gulma dilakukan 2 kali yaitu umur 14 hst dan 35 hst sebelum pemupukan. Parameter yang diamati adalah: tinggi tanaman, berat segar dan berat kering brangkasan (g/tan dan t/ha), berat tongkol (g/tan dan t/ha), berat biji pipilan kering panen (g/tan dan t/ha). Penamatan dan pengumpulan Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan Anova dan BNT.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi tanaman dari semua varietas yang ditanam menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dimana tinggi tanamn yang tertinggi terlihat pada varietas Srikandi Kuning (210,80 cm), yang menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan varietas Bisma (135,90 cm) sedangkan dengan varietas Sukmaraga (186,18 ) dan Maros Sintetis-2 (203,19) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. (Tabel 1). Tabel 1. Tinggi Tanaman, Berat Segar Brangkasan (Saat Panen) dan Berat Kering Brangkasan (Oven). Varietas
Tinggi tanaman (cm)
Maros S-2 203,19 b Sukmaraga 186,18 ab Bisma 135,90 a Srikandi K 210,80 b Keterangan : Huruf yang sama pada kolom
Berat segar brangkasan (g/tan)
Berat segar brangkasan (t/ha)
Berat kering brangkasan (g/tan)
348,68 a 17,78 a 93,75 a 432,38 b 20,38 b 107,75 b 419,30 b 20,28 b 109,00 b 441,25 b 21,49 b 108,25 b yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf 0,05
Brat kering brangkasan (t/ha) 4,69 5,18 5,27 5,25
a b b b
Pada Tabel 1.terlihat bahwa berat segar dan berat kering brangkasan jagung (g/tan) dipengaruhi oleh jenis (varietas) jagung yang ditanam, berat segar brangkasan yang paling rendah ditunjukkan oleh varietas Maros Sintetik-2 (348,68 g/tan dan 17,78 t/ha), dimana hasil ini berbeda nyata (P<0,05) dengan hasil varietas Sukmaraga, Bisma dan Srikandi kuning, sedangkan antara ketiga varietas tersebut tidak berbeda nyata. Berat
191
segar brangkasan yang paling tinggi ditunjukkan oleh varietas Srikandi Kuning (441,25 g/tan dan 21,49 t/ha). Berat segar brangkasan baik per tanaman maupun per hektar pada varietas Srikandi kuning lebih tinggi disbanding varietas yang lain kemungkinan disebabkan oleh karena tinggi tanaman pada varietas ini juga paling tinggi (Tabel 1). Pada varietas Maros sintetis dan varietas Bisma terjadi hal sebaliknya dimana tinggi tanaman lebih tinggi pada varietas Maros sintetis dibanding varietas Bisma sedangkan berat basah dan berat kering brangkasan terlihat lebih rendah. Berat kering brangkasan yang paling tinggi ditunjukkan oleh Varietas Bisma (109,00 g/tan dan 5,27 t/ha) akan tetapi varietas ini menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dengan varietas Sukmaraga dan Srikandi Kuning. Hal ini menunnjukkan bahwa pengukuran parameter tinngi tanaman tanpa dibarengi dengan pengukuran parameter jumlah daun, indek luas daun dan diametr batang belum menjamin berkoralasi positif dengan berat brangkasan tanaman. Berat tongkol dengan kelobot dan berat biji pipilan kering (g/tan dan t/ha) ternyata menunjukkan perbedaan yang nyata diantara ke empat varietas yang ditanam (Tabel 2). Pada Tabel 2. terlihat bahwa berat tongkol dengan kelobot (g/tan) tidak menunjukkan perbedan yang nyata (P>0,05) pada ke empat varietas yang ditanam, akan tetapi berat tongkol dengan klobot (t/ha) terlihat paling tinggi ditunjukkan oleh variatas Bisma (10,28 t/ha), sedangkan ketiga varietas yang lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 2. Berat Tongkol Dengan Kelobot (Saat Panen), Berat Biji Pipilan Kering (g/tan) dan Berat Biji Pipilan Kering (t/ha) Varietas
Berat tongkol dg kelobot (g/tan)
Berat tongkol dg kelobot (t/ha)
Maros S-2 215,30 a Sukmaraga 217,55 a Bisma 219,90 a Srikandi K 220,63 a Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama
Berat biji pipilan kering (g/tan)
9,93 a 117,34 a 9,88 a 115,30 a 10,28 b 118,75 a 9,84 a 114,73 a berarti berbeda tidak nyata pada taraf 0.05
Berat biji pipilan kering (t/ha) 5,41 5,24 5,55 5,12
b ab b a
Berat biji pipilan kering (g/tan) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara ke empat varietas yang ditanam dimana berat biji pipilan kering (g/tan) berkisar antara 114.73-118.75 g/tan. Berat biji pipilan kering (t/ha) tertinggi dihasilkan oleh varietas Bisma (5.55 t/ha), dimana hasil ini tidak berbeda nyata dengan hasil varietas Maros S-2 (5.41 t/ha) dan Sukmaraga (5.24 t/ha). Varietas Srikandi kuning memberikan hasil biji pipilan kering (t.ha) paling rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Tinggi tanaman yang paling tinggi ditunjukkan oleh varietas Srikandi Kuning (210,80 cm) dan yang terendah terlihat pada varietas Bisma (135,90 cm). Berat segar brangkasan paling tinggi (21,49 t/ha) ditunjukkan oleh varietas Srikandi Kuning akan tetapi berat kering brangkasan yang paling tinggi ditunjukkan oleh varietas Bisma (5,47 t/ha).
Dari keempat varietas yang ditanam ternyata memberikan berat tongkol dengan klobot (g/tan) dan berat biji pipilan kering (g/tan) yang tidak berbeda nyata. Sedangkan berat tongkol dengan klobot dan berat biji pipilan kering (t/ha) terlihat paling tinggi pada varietas Bisma (10,28 t/ha dan 5,55 t/ha) dan yang paling rendah adalah varietas Srikandi Kuning (9,84 t/ha dan 5,12 t/ha).
Saran Untuk pengembangan jagung di lahan kering Gerokgak semua varietas yang diuji memberikan hasil yang hampir sama sehingga petani bisa memilih varietas mana yang lebih disenangi. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sdr. Abdul Rachim sebagai dataser pada pengkajian ini.
192
DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 1993. Deskripsi Varietas Unggul Palawija (Jagung, Sayuran, Kacang-kacangan dan Umbiumbian) (1918-1992). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Deptan. Awaludin H., K. Kuncoro, B.T.R. Erawati, M. Yasin HG, dan F. Kasim. 2003. Kajian Adaptasi Jagung Bermutu Protein Tinggi di Lahan Kering Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional Revitalisasi Teknologi Kreatif dalam Mendukung Agribisnis dan Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan penelitian dan Pengembangan. Deptan. Budiarti, S.G., Sutoro dan Subandi. 1997. Uji Kekeringan beberapa varietas jagung di di rumah kaca dan di lapang. Makalah disampaikan pada symposium Nasional dan Kongres III PERIPI. Bandung, 24-25 September 1997 Kasno, A. (2002). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uji Multilokasi Tanaman Kacang-kacangan. Makalah disampaikan pada Pembinaan Teknis dan Manajemen Uji Multilokasi, di Balai Penelitian Kacangkacangan dan Umbi-umbian, tanggal 21 -22 Desember 2002. Kasim, F. (2002). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uji Multilokasi Tanaman Jagung. Makalah disampaikan pada Pembinaan Teknis dan Manajemen Uji Multilokasi, di Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, tanggal 21 -22 Desember 2002. Kasyrno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia Selama Empat Decade yang lalu dan Implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Bogor Badan Litbang Pertanian. Robert G. D. Stel dan James H. Torrie, 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Subandi, I. G. Ismail dan Hermanto. 1998. Jagung Teknologi Produksi dan Pascapanen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor 37 hal. Subandi, dan I. Manwan. 1990. Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia. Laporan Khusus Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor hal. 67. Sudaryanto, T, K. Noekman dan F. Kasryno. 1988. Kedudukan Komoditi Jagung dalam Perekonomian Indonesia. Buku Jagung Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor 423 hal. Suprapto, N. Adijaya, M. R. Yasa, dan K. Mahaputra. 2000. Sistem Usahatani Diversifikasi pada Lahan Marginal. Laporan Akhir IPPTP Denpasar. Sutoro, Y. Sulaeman, dan Iskandar. 1988. Budidaya Tanaman Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor
.
193
PENGARUH PENGGUNAAN JENIS AIR PERASAN SANTAN DALAM PROSES PEMBUATAN VIRGIN COCONUT OIL (VCO) CARA FERMENTASI TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU PRODUK Dian Adi A. Elisabeth, Ni Pt. Sutami, dan Ni Wyn. Trisnawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Kelapa merupakan komoditas perkebunan yang memegang peranan strategis bagi masyarakat Bali. Pengolahan minyak kelapa secara tradisional di Bali menghasilkan produk yang disebut minyak kelentik atau ‘minyak tandusan‘. Minyak kelentik dianggap kurang sehat dan memiliki daya simpan rendah (cepat tengik) sehingga dikembangkan cara pembuatan minyak yang meminimalisasi penggunaan panas dan bahan kimia sehingga dihasilkan minyak sehat yang bermutu baik, disebut minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO). Penelitian untuk melihat pengaruh penggunaan jenis air perasan santan dalam proses pembuatan virgin coconut oil (VCO) cara fermentasi terhadap rendemen dan mutu produk telah dilakukan di sentra produksi kelapa di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng pada bulan Mei sampai Juli 2006. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah jenis air untuk memeras santan, yaitu air hangat (suam-suam kuku, dengan suhu antara 35 sampai 40°C) dan air kelapa, yang terdiri dari 4 faktor, yaitu : (1) air kelapa dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 1 : 1, (2) air kelapa dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 2 : 1, (3) air kelapa dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 1 : 2, dan (4) air hangat 100%. Parameter yang diamati adalah rendemen minyak kelapa murni yang diperoleh. Minyak kelapa murni dengan rendemen tertinggi kemudian dianalisis mutunya, meliputi kadar air, kadar asam lemak bebas, bilangan peroksida, serta kandungan asam lemak. Hasil analisis menunjukkan bahwa minyak kelapa murni yang dibuat dengan menggunakan air perasan santan dari campuran air kelapa dan air hangat dengan perbandingan 1 : 1 menghasilkan rendemen tertinggi, yaitu 16,82 persen. Hasil analisis mutu adalah kadar air 0,22 persen, kadar asam lemak bebas 0,13 persen, dan bilangan peroksida 0,46 meq/kg minyak; dengan kandungan asam laurat 51,7 persen. Hasil analisis mutu dan kandungan asam lemak ini telah sesuai dengan standar CODEX 19-1991 rev. 2-1999. Kata kunci : minyak kelapa murni, virgin coconut oil (VCO), cara fermentasi
PENDAHULUAN Luas areal pertanaman kelapa di Propinsi Bali tahun 2003 adalah 71.042 hektar, dengan total produksi sebesar 73.532,042 ton. Luas areal ini mencakup 44,6 persen dari total areal perkebunan rakyat di Bali yang mencapai luasan sebesar 159.165 hektar (Bali Membangun, 2004). Komoditas perkebunan kelapa memegang peranan sangat penting dan strategis bagi masyarakat Bali, baik secara ekonomis, sosial, dan budaya. Jenis kelapa yang mendominasi di areal pertanaman kelapa di Bali adalah kelapa dalam lokal atau ‗kelapa dalam Bali‘. Kelapa dalam merupakan jenis kelapa yang memiliki daging buah tebal dan berwarna putih bersih. Kelapa ini memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi dan pada umumnya dimanfaatkan dalam pembuatan minyak. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Kelapa (Balitka) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa kadar minyak dari kelapa dalam lokal pada umur panen 11-12 bulan mencapai 59,63 sampai 60,37 persen (Rindengan dan Novarianto, 2004). Pengolahan minyak kelapa secara tradisional di Bali menghasilkan produk yang disebut minyak kelentik atau ‘minyak tandusan‘. Dalam pembuatannya, minyak kelentik diproses dengan menggunakan panas yang tinggi, sehingga minyak ini dianggap kurang memenuhi standar kesehatan karena beberapa vitamin dan asam lemak, seperti kaprat dan kaprilat telah hilang akibat pemanasan (Fife, 2005). Selain itu, karena proses pembuatan masih dilakukan secara tradisional, maka mutu minyak yang dihasilkan masih belum optimal. Beberapa konsumen menyebutkan minyak kelentik yang dihasilkan masih kurang tahan simpan dan cepat menjadi tengik. Untuk menyiasati masalah ini, dilakukan pengembangan teknologi pembuatan minyak kelapa guna memperbaiki mutu minyak yang dihasilkan sehingga memiliki nilai kesehatan yang lebih baik. Teknik pembuatan minyak ini menerapkan penggunaan panas yang minimal dan sama sekali tidak menggunakan bahan kimia. Hasil produksi minyak yang diperoleh dikenal dengan nama Minyak Kelapa Murni atau Virgin Coconut Oil (VCO). Penggunaan panas minimal dimaksudkan untuk mempertahankan kandungan kimia dan nutrisi, terutama asam lemak di dalam minyak sehingga minyak yang dihasilkan menjadi lebih sehat dan memiliki kandungan asam lemak yang mirip dengan buah kelapa segarnya sebelum diproses (virgin). Ciriciri minyak kelapa murni adalah bening (tidak berwarna), memiliki aroma dan rasa khas buah kelapa (Alam Syah, 2005).
194
Beberapa cara pembuatan minyak kelapa murni yang telah dikenal antara lain : cara mekanis, cara pancingan, dan cara fermentasi (Alam Syah, 2005). Pembuatan minyak kelapa murni dengan cara fermentasi termasuk cara yang sederhana. Cara fermentasi tidak memerlukan teknologi yang terlalu rumit, peralatan yang sederhana, dan langsung dapat menghasilkan minyak kelapa murni; oleh sebab itu, pada saat ini, cara fermentasi lebih banyak diterapkan oleh petani-petani di lapangan untuk produksi berskala rumah tangga. Bahan baku dalam pembuatan minyak kelapa murni cara fermentasi adalah santan dari buah kelapa segar. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan jenis air perasan santan dalam proses pembuatan virgin coconut oil (VCO) cara fermentasi terhadap rendemen dan mutu produk.
METODOLOGI 1.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah buah kelapa yang cukup tua (umur 10-12 bulan) yang ditandai oleh kulit luar yang telah berwarna kecoklatan, air kelapa, dan air hangat. Alat yang digunakan terdiri dari : timbangan, alat pemarut, saringan, panci, kompor, wadah/boks plastik bening, gelas ukur, sendok sayur, corong plastik, kertas saring, dan botol kemasan. 2.
Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan yang digunakan adalah jenis air untuk memeras santan, yaitu air hangat (suam-suam kuku, dengan suhu antara 35 sampai 40OC) dan air kelapa, yang terdiri dari 4 faktor, yaitu : (1) air kelapa dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 1 : 1, (2) air kelapa dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 2 : 1, (3) air kelapa dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 1 : 2, dan (4) air hangat 100%; dengan 5 kali ulangan. Parameter yang diamati adalah rendemen minyak kelapa murni yang diperoleh. Hasil pengamatan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam, yang dilanjutkan dengan Uji Duncan jika hasil yang diperoleh berbeda nyata. Minyak kelapa murni dengan rendemen tertinggi kemudian dianalisis lebih lanjut untuk melihat mutunya. Analisis mutu meliputi kadar air, kadar asam lemak bebas, dan bilangan peroksida yang dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana; serta analisis kandungan asam lemak di Laboratorium Kimia Organik, Universitas Gajah Mada. 3.
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan di sentra produksi kelapa di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng pada bulan Mei sampai Juli 2006 dengan melibatkan anggota kelompok wanita tani secara langsung. 4.
Metode Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) Kelapa Tua (10 – 12 bulan) Kupas, cungkil
Daging buah kelapa Cuci, tiriskan, parut, tambah air, Peras Santan Diamkan 4-6 jam Pisahkan Endapan, Air + Santan Prima/Kental Campur dengan air kelapa yang telah terfermentasi Diamkan 15-24 jam Minyak Kelapa Murni + Blondo Putih Panaskan Minyak Kelapa + Blondo Coklat
(Sumber : Balitbangtan, 1987 dan Indonext, 2004 yang telah dimodifikasi) Gambar 1. Prosedur pembuatan minyak kelapa murni cara ferementasi
195
HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Winarno (1997), lemak atau minyak dapat diekstraksi dari jaringan hewan dan tanaman dengan tiga cara, yaitu rendering atau pemanasan, pengepresan (pressing), dan dengan menggunakan pelarut. Dalam pembuatan minyak kelapa murni, proses sebaiknya dilakukan dengan meminimalkan penggunaan panas dan bahan kimia; oleh karena itu, untuk mengekstraksi komponen minyak dari santan digunakan panas minimum. Pada suhu 35°C asam kaprat akan mulai terurai, dan pada suhu di atas 60°C asam-asam lemak yang lain, seperti kaproat dan kaprilat menguap (Duryatmo, 2005). Dasar inilah yang digunakan untuk memilih air hangat (suam-suam kuku, dengan suhu antara 35 sampai 40°C) sebagai air perasan santan. Sementara, penggunaan air kelapa sebagai perlakuan air perasan santan (termasuk juga untuk starter pada proses fermentasi santan kental) didasarkan pada aspek pemanfaatan, karena selama ini air kelapa hanya menjadi limbah dari buah kelapa, padahal ketersediaannya dapat mencapai sekitar 25 persen dari berat total buah kelapa (Jefri dan Kaunang, 1990). Air kelapa mengandung bahan kimia dan nutrisi yang cukup tinggi dan beragam, yang juga berfungsi sebagai zat perangsang tumbuh yang berguna bagi perkembangan mikroba (Rumokoi, 1991), termasuk juga mikroba yang berperan membantu proses pemisahan komponen minyak dari santan. Tabel 1. Rendemen Minyak Kelapa Murni
Perlakuan
Jumlah Kelapa (butir)
Berat Kelapa Parut (gram)
Jumlah Santan (ml)
Jumlah Santan Kental (ml)
Jumlah Minyak Kelapa Murni (ml)
*)
Rendemen Minyak Kelapa Murni (%)
**)
Rendemen Minyak Kelapa Murni (%)
Air kelapa : air 9,40 5.160 11.680 3.600 600 5,12 c 16,82 b hangat = 1 : 1 Air kelapa : air 9,00 4.570 11.650 2.650 98 0,84 a 3,17 a hangat = 2 : 1 Air kelapa : air 9,00 4.540 11.410 2.866 367 3,22 bc 12,99 b hangat = 1 : 2 Air hangat 10,00 4.880 12.700 3.830 355 2,79 ab 9,27 ab 100% Keterangan : *) Rendemen minyak kelapa murni (kolom 7) dihitung sebagai persentase perbandingan jumlah minyak kelapa murni yang diperoleh (kolom 6) dengan jumlah santan (kolom 4). **) Rendemen minyak kelapa murni (kolom 8) dihitung sebagai persentase perbandingan jumlah minyak kelapa murni yang diperoleh (kolom 6) dengan jumlah santan kental (kolom 5).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan air perasan santan berpengaruh pada rendemen minyak kelapa murni yang diperoleh (Tabel 1). Rendemen minyak kelapa murni yang diperoleh dari perlakuan air kelapa yang dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 1 : 1 menghasilkan rendemen minyak kelapa murni tertinggi, yaitu 16,82 persen. Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan air kelapa yang dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 1 : 2. Sementara, rendemen minyak kelapa murni terendah diperoleh dari perlakuan air kelapa yang dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 2 : 1, yaitu 3,17 persen. Rendahnya rendemen minyak kelapa murni yang didapatkan kemungkinan disebabkan oleh lebih sedikitnya volume air hangat yang digunakan sebagai air perasan santan pada perlakuan ini; sementara telah disebutkan sebelumnya bahwa panas merupakan salah satu cara untuk mengekstrak lemak/minyak dari jaringan tanaman. Analisis mutu produk minyak kelapa murni dilakukan terhadap beberapa sifat kimia, meliputi analisis bilangan peroksida, asam lemak bebas, dan kadar air dari produk dengan rendemen minyak kelapa murni tertinggi, yaitu minyak kelapa murni yang dibuat dari campuran air kelapa dan air hangat dengan perbandingan 1 : 1 untuk air perasan santannya (Tabel 1). Hasil analisis menunjukkan bahwa mutu minyak kelapa murni yang dibuat telah sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, yaitu standar CODEX 19-1991 rev.2-1999. Hasil analisis mutu kimia selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Analisis Mutu Kimia Minyak Kelapa Murni No. 1. 2. 3.
Karakteristik Kadar air Kadar asam lemak bebas Bilangan peroksida
Standard CODEX 19-1991 rev. 2-1999 (Alam Syah, 2005) Maks. 0,1 – 0,5 ≤ 0,5% ≤ 3 meq/kg minyak
Kandungan 0,22 0,13% 0,46 meq/kg minyak
196
Hasil analisis kadar air minyak kelapa murni sebesar 0,22 persen menunjukkan bahwa kandungan air dalam minyak kelapa murni sangat rendah dan rendahnya kadar air inilah yang memungkinkan minyak kelapa murni tahan lama untuk disimpan dan tidak cepat menjadi tengik. Air, baik yang terdapat di dalam minyak maupun yang berasal dari udara adalah penyebab utama terjadinya ketengikan hidrolisis. Hidrolisis lemak menghasilkan gliserol dan asam-asam lemak bebas (Alam Syah, 2005). Asam lemak bebas dengan berat molekul rendah, bersama dengan campuran aldehid, keton, asamasam oksi dan hidroksi adalah komponen yang terbentuk pada proses kerusakan minyak. Asam lemak bebas terdapat di dalam minyak atau lemak sejak bahan mulai dipanen dan jumlahnya akan terus bertambah selama proses pengolahan dan penyimpanan (Alam Syah, 2005). Keberadaan asam lemak bebas biasanya dijadikan indikator awal terjadinya kerusakan minyak (Budijanto, dkk, -). Hasil analisis kadar asam lemak bebas minyak kelapa murni sebesar 0,13 persen menunjukkan bahwa minyak tersebut memiliki kualitas yang bagus. Menurut Salunkhe, et. al. (1992), minyak kelapa mentah yang berkualitas bagus memiliki kandungan asam lemak bebas sampai dengan 3 persen. Analisis bilangan peroksida digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan oksidasi minyak atau lemak. Kerusakan oksidasi berlangsung apabila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Senyawa peroksida merupakan produk yang terbentuk pada awal proses oksidasi, yang sifatnya tidak stabil dan mudah terdekomposisi (Budijanto, dkk, -). Hasil analisis bilangan peroksida sebesar 0, 46 meq/kg minyak menunjukkan bahwa tingkat kerusakan oksidasi minyak kelapa murni masih sangat rendah. Secara umum, nilai asam lemak bebas dan bilangan peroksida yang sangat rendah menunjukkan bahwa minyak kelapa murni lebih tahan terhadap ketengikan dibandingkan minyak kelapa biasa (minyak kelentik). Selain itu, untuk produk minyak kelapa murni yang dibuat juga dilakukan analisis kandungan asam lemak. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan asam lemak dari produk minyak kelapa murni yang dibuat telah sesuai dengan standar CODEX 19-1991 rev.2-1999. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Kandungan Asam Lemak Minyak Kelapa Murni No. 1. 2 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis Asam Lemak C6:0 asam kaproat C8:0 asam kaprilat C10:0 asam kaprat C12:0 asam laurat C14:0 asam miristat C16:0 asam palmitat C18:0 asam stearat C18:1 asam oleat C18:2 asam linoleat C18:3 – C24:1
Standard CODEX 19-1991 rev. 2-1999 (Alam Syah, 2005) 0,4 – 0,6 % 5,0 – 10,0 % 4,5 – 8,0 % 43,0 – 53,0 % 16,0 – 21,0 % 7,5 – 10,0 % 2,0 – 4,0 % 5,0 – 10,0 % 1,0 – 2,5 % <0,5 %
Kandungan 0,5% 8,4% 7,1% 51,7% 17,4% 7,1% 2,2% 4,9% 0,8% Tidak tercantum
Kandungan asam laurat yang tinggi merupakan ciri khas dari produk minyak kelapa murni, sehingga berdasarkan kandungan asam lemaknya minyak kelapa digolongkan ke dalam minyak laurat. Kandungan asam laurat yang didapatkan dari hasil pengukuran adalah 51,7 persen, dengan total kandungan asam lemak rantai sedang sebesar 67,7 persen (Tabel 3). Asam lemak yang terdapat pada minyak kelapa terdiri dari 90 persen asam lemak jenuh dan 10 persen sisanya adalah asam lemak tak jenuh berupa oleat dan linoleat. Kandungan asam lemak jenuh dalam minyak kelapa murni yang dibuat didominasi oleh laurat (51,7 persen) dan miristat (17,4 persen). Tingginya asam lemak jenuh ini menyebabkan minyak kelapa murni tahan terhadap proses ketengikan akibat oksidasi (Alam Syah, 2005).
KESIMPULAN Minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO) yang dibuat dengan menggunakan air perasan santan dari campuran air kelapa dan air hangat dengan perbandingan 1 : 1 menghasilkan rendemen tertinggi, yaitu 16,82 persen. Hasil analisis mutu dari produk minyak kelapa murni yang dibuat adalah kadar air 0,22 persen, kadar asam lemak bebas 0,13 persen, dan bilangan peroksida 0,46 meq/kg minyak. Nilai kadar air, kadar asam lemak bebas, dan bilangan peroksida yang rendah menunjukkan bahwa produk minyak kelapa
197
murni memiliki ketahanan simpan yang tinggi dan tidak cepat tengik. Kandungan asam laurat produk minyak kelapa murni yang dibuat adalah 51,7 persen. Hasil analisis mutu dan kandungan asam lemak ini telah memenuhi persyaratan standar, yaitu CODEX 19-1991 rev. 2-1999.
DAFTAR PUSTAKA Alam Syah, A.N. 2005. Virgin Coconut Oil. Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Agromedia Pustaka. Jakarta. Balitbangtan. 1997. Pengolahan Buah Kelapa dan Hasil Ikutannya. BPTP Biromaru, Manado. Budijanto, S, N. Andarwulan, D. Herawati. -. Kimia dan Teknologi Lipida (Modul Praktikum). Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, IPB, Bogor. Duryatmo, S. 2005. Singkap Khasiat VCO. Artikel dalam Majalah Trubus edisi 427 (XXXVI), Juni 2005. Fife, B. 2005. Kembalilah ke Minyak Kelapa. Artikel dalam Majalah Trubus edisi 428 (XXXVI), Juli 2005. Indonext. 2004. Minyak Kelapa Tahan Simpan. Diakses dari ― www.indonext.com.‖ Minggu, 30 Oktober 2004. Jefri dan R. Kaunang. 1990. Air Kelapa sebagai Substitusi Pakan Ternak. Buletin Balitka No. 11, Manado. Mei 1990 hal 41-45. Rindengan, B dan Hengki N. 2004. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni. Penebar Swadaya, Jakarta. Rumokoi, M.M.M. 1991. Aspek Mikrobiologis dalam Budidaya Tanaman, Pengolahan, Diversifikasi dan Kerusakan Produk Kelapa. Buletin Balitka No. 13, Manado. Januari 1991. Hal 18-24. Salunkhe, J. K., R. N. Chavan, S. S. Adsule, dan Khadam. 1992. World Oilseeds : Chemistry, Technology, and Utilization. New York : AVI Book Publ. by van Nostrans Reinhold. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
198
KERAGAAN GALUR-GALUR PADI TOLERAN KERACUNAN BESI DI LAHAN SULFAT MASAM KALIMANTAN SELATAN Aidi Noor, M. Sabran dan Rina D. Ningsih Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
ABSTRAK Keracunan besi merupakan kendala utama pada lahan pasang surut jenis tanah sulfat masam yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman yang berakibat rendahnya hasil panen dan bahkan pada keracunan besi yang berat dapat menyebabkan kegagalan panen. Penggunaan varietas toleran merupakan salah satu cara mengatasi keracunan besi di lahan sulfat masam yang lebih murah dibandingkan teknologi produksi lainnya seperti penggunaan bahan amelioran dan pemupukan. Untuk mengetahui adaptasi dan toleransi galur-galur padi terhadap keracunan besi telah dilakukan pengujian sebanyak 7 galur yang telah diketahui toleran Fe dalam kegiatan observasi tahun sebelumnya (MH.2003/04) dengan 3 varietas pembanding (Margasari, Banyu Asin, dan Lambur). Pengujian dilaksanakan di lahan sulfat masam Blandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan pada MK. 2004 dan MK. 2005. Padi ditanam dengan jarak tanam 25x25 cm pada petak percobaan berukuran 4x5 cm, menggunakan rancangan acak kelompok dengan ulangan 3 kali. Hasil pengujian menunjukkan 7 galur yang diuji selama 2 musim tanam termasuk toleran terhadap keracunan besi dengan rata-rata nilai skoring Fe pada dua musim tanam berkisar antara 2.8-3.7. Hasil gabah dari 7 galur yang diuji berkisar antara 3.0-4.4 t/ha atau meningkat 5.2-52.4 % dibandingkan varietas pembanding dengan hasil gabah tertinggi Banyu Asin (2.9 t/ha). Kata kunci : galur-galur padi, toleran keracunan besi, sulfat masam.
PENDAHULUAN Meningkatnya kebutuhan terhadap pangan dari tahun ketahun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk mengisyaratkan perlunya meningkatkan produktivitas padi di Indonesia. Salah satu alternatif pengembangan areal pertanian adalah ke lahan-lahan marginal di luar Jawa seperti lahan pasang surut. Lahan pasang surut di Kalimantan Selatan yang mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan khususnya padi adalah seluas 201.77 ha (Diperta, 2004), dan 80% dari total luas lahan pasang surut umumnya didominasi oleh tanah sulfat masam (Noorsyamsi dan Sarwani, 1989). Produktivitas padi di Kalimantan Selatan di lahan pasang surut masih rendah, yaitu rata-rata 3,2 t/ha (Diperta, 2004). Rendahnya produksi padi di lahan ini disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman, kahat hara, kemasaman yang tinggi, keracunan Al, Fe dan H2S (Sarwani et al, 1994). Varietas-varietas padi berpotensi tinggi yang telah dilepas sering tidak mampu menampilkan potensinya secara maksimal dan hasilnya sangat rendah di lahan pasang surut karena peka keracunan besi (Ismunadji dan Ardjasa, 1989; Ismunadji et al., 1989; Anwarhan dan Sulaiman, 1985). Keracunan besi merupakan kendala utama pada sawah bukaan baru dan lahan rawa berdrainase jelek, dan lahan sawah di daerah cekungan (Harahap et al., 1989; Sarwani et al., 1994). Hasil-hasil penelitian menunjukkan keracunan besi pada padi di lahan pasang surut merupakan gejala yang umum, dan dapat menurunkan hasil sebesar 50-90%. Penelitian Ismunadji et al (1973) di Cihea memperlihatkan bahwa tanaman yang keracunan besi menghasilkan padi 52% lebih rendah dibandingkan tanaman yang sehat. Pada tanaman padi yang terserang berat pertumbuhan sangat jelek, anakan tidak tumbuh sehingga hasil yang didapatkan sangat rendah. Untuk meningkatkan produktivitas pada lahan ini sebagai sumber produksi padi diperlukan teknologi yang tepat. Penggunaan varietas toleran merupakan salah satu cara mengatasi keracunan besi di lahan sulfat masam yang lebih murah dibandingkan teknologi produksi lainnya seperti penggunaan bahan amelioran dan pemupukan. Menurut Daradjat (2001), varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang memiliki peran nyata dalam meningkatkan produksi dan kualitas hasil komoditas pertanian. Selama ini sumbangan varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional cukup besar (Soewito et al., 1995). Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi hasil galur-galur padi dan toleransinya terhadap keracunan besi di lahan sulfat masam.
199
BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan selama dua musim tanam pada MK.2004 dan MK. 2005 di lahan pasang surut sulfat masam di Blandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Galur yang diuji sebanyak 7 galur yang telah diketahui toleran Fe dalam kegiatan observasi tahun sebelumnya (MH. 2003/04) dengan 3 varietas pembanding (Margasari, Banyu Asin, dan Lambur). Padi pada umur semai 21 hari ditanam dengan jarak tanam 25 x 25 cm ditanam pada petak percobaan berukuran 4x5 m yang disusun dalam rancangan acak kelompok, dengan ulangan 3 kali. Pemupukan seperti N, P, K dilakukan berdasarkan rekomendasi pemupukan setempat yaitu Urea = 200 kg/ha, SP-36 = 100 kg/ha, dan KCl = 100 kg/ha. Pupuk N (Urea) diberikan 2 kali pada saat tanam dan 30 hari setelah tanam, sedangkan pupuk P (SP36) dan K (KCl) diberikan sekaligus pada saat tanam. Pemeliharaan berupa penyiangan gulma dilakukan 2 x, umur 4 minggu dan 7 minggu setelah tanam. Pengendalian hama penyakit dilakukan sesuai rekomendasi yang berlaku. Data yang dikumpulkan meliputi: gejala keracunan besi pada saat akhir vegetatif, tinggi tanaman, umur panen, hasil dan komponen hasil (jumlah malai/rumpun, jumlah gabah isi/malai. Skoring Keracunan Besi (IRRI, 1996) : Skoring Fe 1 2 3 5 7 9
Gejala pada tanaman Pertumbuhan dan pembentukan anakan normal Pertumbuhan dan pembentukan anakan hampir normal, pada ujung daun tua terdapat bercak (spot) berwarna coklat kemerahan atau orange Pertumbuhan dan pembentukan anakan hampir normal, daun tua berwarna coklat kemerahan, ungu atau kuning orange Pertumbuhan dan pembentukan anakan terhambat, beberapa daun berwarna coklat kemerahan atau kuning orange Pertumbuhan dan pembentukan anakan terhambat/terhenti, banyak daun (hampir semua daun) berwarna coklat kemerahan atau kuning orange Hampir semua tanaman mati.
Toleransi Toleran Toleran Toleran Agak toleran Peka Sangat Peka
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tanah Percobaan Dari hasil analisis tanah dapat dilihat beberapa kendala yang dihadapi untuk pertanaman padi di lahan ini adalah kemasaman tanah yang tinggi (pH 3,84) dan kandungan Fe (719 ppm) dan Al-dd yang tinggi (8,66 me/100 g), serta ketersediaan P dan Ca yang rendah (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik Tanah Percobaan di Lahan Pasang Surut, Blandean, Barito Kuala Ciri-ciri tanah
Nilai
pH (H2O) 3,84 C Organik (%) 9,20 N total 0,27 P Bray I (mg kg-1 P2O5) 2,81 P total (mg 100g-1 P2O5 ) 16,67 Susunan kation Ca (cmol kg-1) 0,06 Mg (cmol kg-1) 0,73 K (cmol kg-1) 0,57 Na (cmol kg-1) 0,83 KTK (cmol kg-1) 43,85 Al-dd (cmol kg-1) 8,66 Fe (ppm) 719,18 Tekstur (%) : Pasir 0,63 Debu 45,28 Liat 54,09 Keterangan : SM = Sangat Masam, SR = Sangat Rendah, R = Rendah, S = Sedang, T = Tinggi.
Kriteria SM T R SR R SR R S S T T
Liat
Salah satu yang menjadi masalah dalam pertanaman padi di lahan pasang surut sulfat masam adalah masalah keracunan besi, sehingga salah satu tujuan dalam melakukan evaluasi galur-galur padi adalah untuk
200
mendapatkan varietas yang toleran terhadap keracunan besi. Keracunan besi merupakan kendala yang utama terutama di lahan pasang surut, sawah bukaan baru, sawah berdrainase jelek dan daerah depresi yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi (Harahap et al., 1989). Luas pertanaman padi sawah yang keracunan besi di Indonesia sekitar satu juta ha, angka ini bertambah lagi bila ditanami varietas IR-64 dan PB 26, terlebih bila diikuti dengan pemupukan N yang tidak diimbangi dengan pemupukan P dan K (Ottow et al., 1982; Prade et al., 1988; Ismunadji dan Ardjasa, 1988). Penilaian keracunan besi Hasil pengamatan jegala keracunan besi pada tanaman padi fase akhir vegetatif menunjukkan galurgalur padi yang ditanam pada musim tanam MK. 2004 berkisar antara 2,3-3,7 dengan varietas pembanding 1,3-3,7 sedangkan pada musim tanam MK. 2005 skoring keracunan besi agak lebih tinggi yaitu antara 3,3 3,7 dengan varietas pembanding antara 3,0-4,3. Rata-rata pengamatan keracunan besi pada galur-galur padi selama dua musim tanam menunjukkan tanaman padi termasuk toleran terhadap keracunan besi yaitu berkisar antara 2,8-3,7 (Tabel 2). Cekaman lingkungan yang berat di lahan pasang surut sulfat masam Blandean yang dapat dilihat dari hasil analisis tanah (Tabel 1) dengan pH yang sangat masam, dan kandungan unsur meracun Al dan Fe yang tinggi. Dalam keadaan tergenang konsentrasi Fe dalam larutan tanah akan meningkat dan daya oksidasi akar tanaman juga menjadi lemah mengakibatkan kadar besi yang larut semakin mudah diserap oleh tanaman. Mekanisme keracunan besi dimulai dari meningkatnya permeabilitas sel-sel akar terhadap ion Fe2+ seiring dengan meningkatnya aktivitas mikroba pereduksi Fe di daerah perakaran tanaman, sehingga penyerapan ion ferro meningkat pesat. Reduksi Fe3+ yang terjadi di daerah perakaran secara terus menerus menyebabkan rusaknya oksidasi Fe sehingga influks Fe2+ tidak terkendali masuk dalam perakaran padi. Keracunan Fe pada tanaman padi juga berhubungan dengan berbagai faktor seperti stres berbagai hara (K, P, Ca, dan/atau Mg) yang cenderung mengurangi kemampuan oksidasi akar, kondisi lingkungan seperti drainase buruk dan tanah selalu tergenang, maupun varietas yang peka keracunan Fe seperti IR-64 (Makarim dan Supriadi, 1989; Makarim et al., 1989; Ottow et al., 1982). Tabel 2. Hasil Pengamatan Gejala Keracunan Besi pada Tanaman Padi Pertumbuhan Vegetatif Akhir, Blandean, MK. 2004 dan MK. 2005 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama galur/var B8239G-KN-13 IR58511 B10214F-KN-2-3-1-2 B9851-D-Mr-15-1 IR50584-1-1-Mr-1 IR61242 IR35664 Margasari Banyu Asin Lambur Rata-rata
Skoring keracunan Fe akhir vegetatif MK.04 MK.05 3,3 3,0 3,7 3,0 3,0 3,0 2,3 1,3 3,7 3,7 3,0
3,7 3,3 3,7 3,3 3,3 3,3 3,3 3,0 4,3 3,7 3,5
Rata-rata 3,5 3,2 3,7 3,2 3,2 3,2 2,8 2,2 4,0 3,7
Nilai skoring besi menunjukkan seberapa berat tanaman keracunan, semakin tinggi nilai skoring semakin berat tanaman keracunan besi dan semakin rendah nilai skoring semakin ringan keracunan. Pada nilai skoring 5 menunjukkan tanaman peka terhadap keracunan besi sedangkan pada nilai 3 menunjukkan tanaman toleran terhadap keracunan besi. Nilai skoring Fe berkorelasi dengan banyaknya Fe yang diserap oleh tanaman yang ditunjukkan oleh gejala yang dimulai pada ujung daun tua terdapat bercak (spot) berwarna coklat kemerahan atau oranye, pada keracunan besi yang berat akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan pembentukan anakan. Tanaman padi yang keracunan besi disebabkan tingginya serapan besi (>300 ppm) pada tanaman padi, penyebabnya beragam bisa disebabkan oleh faktor-faktor tanah seperti kandungan Fe tinggi, pH rendah (van Bremen dan Moorman, 1978), kahat hara dan keseimbangan hara (Tanaka dan Tadano, 1972; Benckiser et al., 1982). Konsentrasi besi di dalam tanah yang dapat menyebabkan keracunan besi di dalam tanah menurut beberapa hasil penelitian tergantung dengan pH tanah. Dalam tanah pada konsentrasi Fe 100 ppm dengan pH 3.7 dan konsentrasi Fe 300 ppm dengan pH 5.0 dapat meracun bagi tanaman (Tadano dan Yoshida, 1978). Hasil penelitian Sulaiman et al., 1997) menunjukkan batas kritis konsentrasi Fe (ekstraksi 1N NH4OAC pH 4,8) di dalam tanah yang dapat menyebabkan keracunan besi pada tanaman di lahan pasang
201
surut adalah 260 ppm Fe, sedangkan batas kritis keracunan Fe jaringan tanaman padi IR-64 adalah sebesar 200 ppm Fe. Toleransi tanaman padi terhadap keracunan besi diperkirakan disebabkan oleh perbedaan kemampuan tanaman dalam mengurangi serapan Fe dalam tanaman padi. Sampai sekarang belum diketahui secara pasti bagaimana mekanisme tanaman dalam mencegah atau mengurangi serapan Fe dalam tanaman, walaupun telah lama diketahui adanya perbedaan varietas padi dalam toleransinya terhadap keracunan besi (Ponnamperuma, 1982). Pertumbuhan tanaman Rata-rata tinggi tanaman galur-galur padi yang ditanam selama dua musim tanam berkisar antara 73,2-84,2 cm dengan varietas pembanding antara 73,7-75,9 cm. Pengamatan terhadap umur panen galurgalur yang ditanam selama dua musim tanam termasuk berumur sedang yaitu berkisar antara 120,8-123,2 hari, sedangkan varietas pembanding berkisar antara 118,7-120,5 hari (Tabel 3). Tabel 3. Tinggi dan Umur Panen Tanaman Padi, Blandean, MK. 2004 dan MK. 2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama galur/var B8239G-KN-13 IR58511 B10214F-KN-2-3-1-2 B9851-D-Mr-15-1 IR50584-1-1-Mr-1 IR61242 IR35664 Margasari Banyu Asin Lambur Rata-rata
Tinggi tanaman (cm) MK.04 MK.05 78 75 72 81 79 80 88 102 77 80 81,1
80,57 81,63 74,67 79,33 73,8 83 80,23 101,13 70,3 72,1 79,7
Ratarata 79,3 78,2 73,2 80,2 76,5 81,4 84,2 101,4 73,7 75,9
Umur panen (hari) MK.04 Mk.05 121,0 121,0 119,0 120,3 118,3 121,0 121,0 116,0 116,3 119,0 119,3
124,0 124,7 123,0 123,7 123,3 125,3 124,0 125,0 121,0 121,3 123,5
Ratarata 122,5 122,9 121,0 122,0 120,8 123,2 122,5 120,5 118,7 120,2
Hasil dan komponen hasil Hasil dan komponen hasil galur-galur yang diuji selama dua musim tanam disajikan pada Tabel 4 dan 5 berikut. Pengamatan jumlah malai per rumpun selama dua musim tanam menunjukkan rata-rata galur-galur padi yang ditanam berkisar antara 14,5-17,7, sedangkan varietas pembanding berkisar antara 12,5-16,8. Rata-rata jumlah gabah isi per malai galur-galur yang ditanam selama dua musim tanam berkisar antara 81,8123,5, sedangkan varietas pembanding berkisar antara 88,3-96,3 (Tabel 4). Tabel 4. Komponen Hasil Tanaman Padi, Blandean, MK. 2004 dan MK. 2005. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama galur/var B8239G-KN-13 IR58511 B10214F-KN-2-3-1-2 B9851-D-Mr-15-1 IR50584-1-1-Mr-1 IR61242 IR35664 Margasari Banyu Asin Lambur Rata-rata
Jumlah malai/rumpun MK.04 MK.05 13,6 15,2 15,0 14,4 17,7 15,9 15,8 17,8 15,8 12,7 15,4
16,7 14,2 14,0 16,8 17,8 15,1 14,1 15,8 12,6 12,3 14,9
Ratarata 15,1 14,7 14,5 15,6 17,7 15,5 15,0 16,8 14,2 12,5
Jumlah gabah isi/ malai MK.04 MK.05 109,6 93,0 80,7 117,3 69,6 118,1 120,9 82,9 81,6 101,5 97,5
127,4 106,7 82,8 129,7 80,7 111,6 108,5 96,7 95,0 91,1 103,0
Ratarata 118,5 99,9 81,8 123,5 75,1 114,8 114,7 89,8 88,3 96,3
Hasil gabah galur-galur dan varietas yang diuji selama dua musim tanam menunjukkan rata-rata hasil pada MK. 2004 lebih tinggi dibandingkan pada musim tanam MK. 2005. Pada musim tanam MK. 2004 hasil gabah galur-galur yang diuji berkisar antara 3,61- 5,09 t/ha dengan hasil gabah tertinggi diperoleh oleh galur IR 35664 (5,09 t/ha), sedangkan pada MK. 2005 hasil gabah berkisar antara 2,98-3,84 t/ha dengan hasil tertinggi galur IR 61242 (3,84 t/ha). Rata-rata hasil gabah selama dua musim tanam galur-galur yang diuji
202
berkisar antara 3,0-4,4 t/ha dengan hasil tertinggi diperoleh pada galur IR 35664 (4,4 t/ha). Hasil gabah galurgalur yang diuji meningkat sebesar 5,2-52,4% dibandingkan denagan varietas pembanding Banyu Asin (2,9 t/ha). Dari hasil Tabel 5 menunjukkan galur-galur yang diuji selama dua musim tanam memberikan hasil yang lebih tinggi sampai >20%, kecuali satu galur yang hasilnya hanya lebih tinggi 5,2% (B10214F-KN-2-31-2) dibandingkan varietas pembanding. Tabel 5. Hasil Gabah Tanaman Padi, Blandean, MK. 2004 dan MK. 2005.
No.
Nama galur/var
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
B8239G-KN-13 IR58511 B10214F-KN-2-3-1-2 B9851-D-Mr-15-1 IR50584-1-1-Mr-1 IR61242 IR35664 Margasari Banyu Asin Lambur Rata-rata
Hasil gabah (t/ha) MK.04 MK.05 4,28 3,21 4,51 2,98 3,61 2,46 4,38 3,09 4,11 3,03 4,45 3,84 5,09 3,70 3,34 2,31 3,46 2,31 3,24 2,01 4,0 2,9
Rata-rata
Peningkatan terhadap Banyu Asin (%)
3,7 3,7 3,0 3,7 3,6 4,1 4,4 2,8 2,9 2,6
29,9 30,0 5,2 29,5 23,9 43,9 52,4 -
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut sulfat masam diperlukan varietas adaptif yang toleran terhadap keracunan besi dengan potensi hasil tinggi. Dari galur-galur yang diuji menunjukkan tidak semua galur yang mempunyai toleransi lebih tinggi terhadap keracunan besi mempunyai potensi hasil lebih tinggi dibandingkan galur lain yang toleransinya terhadap keracunan besi lebih rendah. Sehingga pemilihan galur selain melihat toleransinya terhadap keracunan besi, juga mempertimbangkan potensi hasilnya serta penilaian penerimaan fenotipik yang dinilai berdasarkan penampilan bentuk tanaman dan bentuk malai serta gabah. Penggunaan varietas adaptif di lahan pasang surut merupakan salah satu teknologi yang murah dan mudah diadopsi oleh petani. Penggunaan varietas yang tidak adaptif di lahan pasang surut untuk mendapatkan produksi yang tinggi memerlukan input produksi yang lebih tinggi, seperti pemberian amelioran dan pupuk yang lebih tinggi. Hasil penelitian Noor dan Jumberi (1998) menunjukkan varietas yang peka terhadap keracunan besi seperti IR-64 memerlukan pemberian kapur 0.5 t/ha lebih banyak dibandingkan varietas yang cukup toleran terhadap keracunan besi seperti Kapuas untuk mendapatkan hasil gabah yang sama di lahan pasang surut sulfat masam. Pendekatan penggunaan varietas unggul yang spesifik lokasi ataupun adaptif merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan upaya perakitan dan pengembangan varietas unggul di lahan pasang surut. Beberapa sifat agronomik penting yang diinginkan di lahan pasang surut adalah (1) tinggi tanaman 100-135 cm, cepat tumbuh dan kuat serta toleran genangan, (2) toleran terhadap kemasaman tanah dan keracunan besi, kekeringan dan salinitas, (3) tahan hama penyakit seperti wereng coklat, wereng hijau, blas, bercak coklat, bakteri busuk daun, cercospora, dan virus tungro, dan (4) berumur pendek sampai sedang (Harahap dan Silitonga, 1993).
KESIMPULAN Tujuh galur yang diuji selama 2 musim tanam termasuk toleran terhadap keracunan besi dengan rata-rata nilai skoring Fe pada dua musim tanam berkisar antara 2.8-3.7. Hasil gabah dari 7 galur yang diuji berkisar antara 3.0-4.4 t/ha atau meningkat 5.2-52.4% dibandingkan varietas pembanding dengan hasil gabah tertinggi Banyu Asin (2.9 t/ha). Galur-galur yang diuji mempunyai tinggi tanaman berkisar antara 73.2-101.4 cm, umur panen 120.8-123.2 hari, jumlah malai per rumpun 14.5-17.7, dan jumlah gabah isi per malai 75.1123.5.
203
DAFTAR PUSTAKA
Anwarhan, H., dan S. Sulaiman. 1985. Pengembangan pola usahatani di lahan pasang surut dalam rangka peningkatan produksi tanaman pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 4:91-95. Benckiser, G., J.C.D. Ottow, I. Watanabe and S. Santiago. 1984. The mechanism of excessive iro-uptake (iron toxicity) of wetland rice. J. Plant Nutr. 7 :177-185. Diperta. 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Kalimantan Selatan 2004. Banjarbaru. Daradjat, A.A. 2001. Program Pemuliaan Partisifatif (Shuttle Breeding dan Uji Multilokasi) pada Tanaman Padi: Konsep dan Realisasi. Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Penyelarasan Perakitan Varietas Unggul Komoditas Hortikultura melalui Penerapan program Shuttle Breeding, Jakarta, 1920 April 2001. 14 p. Harahap, Z., M. Ismunadji, J. Sujitno, A.M. Fagi dan D.S. Damardjati. 1989. Perkembangan dan Sumbangan Penelitian untuk Pelestarian Swasembada Beras. Dalam : M. Syam (Eds). Buku I. Risalah Simposium II Penelitian Tanaman Pangan. Ciloto, 21-23 Maret 1988. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. p : 135-185 Harahap, Z. dan T.S. Silitonga. 1993. Perbaikan Varietas Padi. Dalam. Ismunadji, M., M. Syam, S. Partohardjono, dan A. Widjono. Padi Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. p : 335-362 IRRI. 1996. Standar Evaluation System for Rice. Ed. 4 th. International Rice Research Institute. Manila, Phillippines. 52 p. Ismunadji, M., L.N. Hakim, I. Zulkarnaini, and F. Yazawa. 1973. Phisiological disease of rice in Cihea. Contr. Res. Inst. Agric. 4:10 p. Ismunadji, M., dan W.S. Ardjasa. 1988. Pengaruh fosfat dan hara lain terhadap keracunan besi pada padi sawah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. -------------------------------------------. 1989. Potash feretilization for lowland rice can prevent iron toxicity losses. Better Crops Int. Dec : 12-14. -------------------------------------------, and H.R. von Uexkull. 1989. increasing productivity of lowland rice grown on iron toxic soil. Paper presented at International Symposium on Rice production on Acid Soils of tropics, june 26-30, 1989. Kandy, Sri Lanka. Makarim , A.K., M. Ismunadji, and von Uexkull. 1989. An overview of major nutritional constrain to rice production on acid soils of Indonesia. In. P. Deturck and F.N. Ponnamperuma (eds). Rice production on acid soils of the tropics. Kandy, Sri Lanka. p. 199-203. Makarim, A.K. dan H. Supriadi. 1989. Status hara tanaman padi berkeracunan besi di Batumarta, Sumatera Selatan. Penelitian Pertanian 9(4) : 166-170. Noor, A. dan A. Jumberi. 1998. Peranan bahan amelioran, pupuk kalium dan varietas dalam mengatasi keracunan besi pada tanaman padi di lahan pasang surut. Dalam : Prosiding Lokakarya Strategi Pembangunan Pertanian Wilayah Kalimantan, 2-3 Desember 1997 di Banjarbaru. Badan Litbang Pertanian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. p: 275-279. Noorsyamsi, H. and M. Sarwani. 1989. Management of tidal swampland for food crops. Kalimantan experiences. IARD Journal (11) : 18-24.
Southern
Ottow, J.C.D., G. Benckiser, and I. Watanabe. 1982. Iron toxicity of rice as a multiple nutritional soil stress. Trop. Agric. Res. Ser. No. 15. Ponnamperuma, F.N. 1982. Breeding crop plants to tolerate soil stresses. In. Vasil, I.K., W.R. Scowroft, K.J. Frey (eds). Plant Improvement and Somatic Cellgenetics, Academic Press, Inc, Fift Avenue, New York. Prade, K., J.C.D. Ottow, and V. Jacq. 1988. Excessive iron uptake (iron toxicity) by wetland rice (Oryzae sativa L.) on an acid sulphate soils in Casamance/Senegal. In: Dost, H. 1988. Selected paper of the Dakar Symposium on acid sulphate soils. Publ. No. 44. ILRI, Wageningen, The Netherlands.
204
Sarwani, M., M. Noor, dan Masganti. 1994. Potensi, Kendala dan Peluang Pasang Surut dalam Perspektif Pengembangan Tanaman Pangan. Dalam. Pengelolaan Air dan Produktivitas Lahan Rawa Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Banjarbaru. Soewito, T., Z. Harahap, dan Suwarno. 1995. Perbaikan Varietas Padi Sawah Mendukung Pelestarian Swasembada Beras. Dalam: Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. Kinerja Tanaman Pangan Buku 2. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. p: 398-411. Sulaiman, A., Arifin, dan G. Nohoi. 1997. Studi korelasi pertumbuhan tanaman padi dengan besi tanah. J. Kalimantan Agrikultura. 2 (4): 1-14. Tadano, T., S. Yoshida. 1978. Chemical change in submerged soils and their effect on rice growth. In. Soil and Rice. International Rice Research Institude. Manila. Phillipines. Tanaka, A. and T. Tadano. 1972. Potassium in relation to iron toxicity of the rice plant. Potash Rev. 21:112. Van Bremen, N., and F.R. Moorman. 1978. Iron toxic soils. In. Soil and Rice. International Rice Research Institude. Manila. Phillipines.
205
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH IRIGASI MELALUI PENDEKATAN PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU (PTT) Khairuddin, Sumanto dan Rina DN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru
ABSTRAK Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Irigasi Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Pengkajian dilaksanakan mulai bulan Nopember 2002 sampai dengan bulan Maret 2003 (MH. 2002/2003) di lahan sawah irigasi Riam Kanan desa Penggalaman, kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. PTT adalah suatu pendekatan untuk mengoptimalkan potensi secara terpadu, sinergi dan partisipatif dalam upaya meningkatkan produksi padi. Metode yang digunakan adalah metode observasi dengan 3 ulangan. Dari luasan areal hamparan pertanaman padi varietas unggul IR66 dengan model PTT di lahan sawah irigasi Riam Kanan desa Penggalaman, Kabupaten Banjar sekitar 40 ha, diantaranya 1 ha ditanami padi varietas IR66 dengan jarak tanam 20x20 cm dengan model PTT lengkap, 38 ha dengan perlakuan PTT petani dan 1 ha sebagai kontrol (teknologi petani). Hasil pengkajian di lahan sawah irigasi Riam Kana desa Penggalaman, kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar menunjukan bahwa produksi padi varietas unggul IR 66 dengan model PTT lengkap memberikan hasil yang paling tinggi, yaitu 5,264 t GKG/ha, kemudian diikuti model PTT petani 4,448 t GKG/ha dan non-PTT (teknologi petani) hanya 3,466 t GKG/ha. Atau dengan menggunakan model PTT terjadi peningkatan produktivitas padi sekitar 18 % - 51 % dibandingkan dengan teknologi petani. Keuntungan usahatani padi yang diperoleh dengan menggunakan model PTT cukup tinggi, yaitu Rp. 3.771.500,- dengan R/C rasio sekitar 2,34 Kata Kunci : Budidaya Padi, Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan Sawah Irigasi
PENDAHULUAN Dimasa mendatang kecenderungan tingkat konsumsi beras per kapita mengalami penurunan, walaupun dengan laju penurunan yang relatif kecil. Namun karena jumlah penduduk Indonesia masih terus meningkat sekitar 1,2 – 4,8 % per tahun, maka secara agregat total permintaan beras juga akan meningkat mencapai 34,3 juta ton tahun 2004 dan tahun 2005 diperkirakan mencapai 35,8 juta ton. Dilain pihak laju peningkatan produksi padi pada prioede ke priode tertentu menurun sangat tajam. Pelandaian produksi tersebut sampai tahun terakhir masih berlanjut disebabkan sulitnya menaikan produktivitas padi di lahan sawah terutama di wilayah intensifikasi (Hasanudin, A., 2004; A.M. Fagi et. al., 2002). Pelandaian produktivitas lahan sawah dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain penurunan kandungan bahan organik, penurunan penambatan N2 udara pada tanah sawah, penurunan kecepatan penyediaan hara N, P, dan K dalam tanah, penimbunan senyawa-senyawa toksik bagi tanaman (gas H2S), asam-asam organik, ketidakseimbang-an penyediaan hara, kahat hara mikro (Cu, Zn) kahat Fe dan S, tanah terlalu reduktif, penyimpangan iklin, tekanan biotik dan varietas (Puslitbangtan, 2001). Dalam situasi yang makin kompetitif, maka usahatani padi harus dilaksanakan dalam sistem yang lebih efisien dengan produktivitas yang tinggi dan mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang mencukupi, berkelanjutan, berkualitas dan memiliki daya saing tinggi sehingga mampu berkompetisi di pasar global, bila tidak maka usahatani padi akan tertinggal oleh usahatani lainnya (Hasanuddin, A., 2004). Upaya terobosan untuk mengatasi peningkatan produktivitas padi terutama pada daerah pelandaian produktivitas adalah melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT), suatu pendekatan untuk mengoptimalkan potensi secara terpadu, sinergi, dan partisipatif dalam upaya meningkatkan produksi padi di setiap daerah. Atau suatu pendekatan yang mempertimbangkan keserasian dan sinergisme antara komponen teknologi produksi (budidaya) dengan sumber lingkungan setempat. Hasil uji coba model PTT pada MK. 2001 di 8 propinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan) masing-masing pada lahan seluas 5 ha menunjukan adanya peningkatan produktivitas padi antara 7,1% - 38,4% dibanding teknologi petani (Fagi., A.M., et. al., 2002). Hasil uji coba tersebut menunjukan bahwa PTT mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut.
206
Oleh karena itu pada tahun 2002 sampai 2003 pengembangan PTT dilaksanakan di sentra produksi padi (16 propinsi) di Indonesia meliputi ; Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Model PTT ini dikembangkan dengan tujuan (1) meningkatkan produktivitas padi sawah irigasi dan (2) meningkatkan nilai ekonomi/keuntungan usahatani melalui efisiensi input.
KOMPONEN TEKNOLOGI PENCIRI PTT Sebagai tahap awal introduksi teknologi Badan Litbang Pertanian yang diterapkan dalam sistem PTT terdiri dari komponen-komponen teknologi sebagai berikut : 1. 2.
Benih bermutu (kemurnian dan daya kecambah tinggi). Varietas unggul baru yang sesuai lokasi, termasauk padi tipe baru (Fatmawati dsb) dan padi hibrida (Maro, Rokan dsb). 3. Bibit muda (<21 HSS). 4. 1-3 bibit per lubang 5. Jarak tanam jajar legowo 4 : 1, 6. Pemberian bahan organik atau kompos sebanyak 2 ton/ha, 7. Pemupukan N berdasarkan bagan warna daun (BWD); 8. Pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah serta pemecahan masalah kesuburan tanah apabila terjadi; 9. Irigasi intermitten; 10. Pengendalian gulma terpadu 11. Pengendalian hama dan penyakit sistem PHT; 12. Panen dan pasca panen menggunakan alat perontok secara beregu (Las, et. al., 2003). Berdasarkan sifatnya, teknologi diatas terbagi atas:(1) teknologi untuk pemecahan masalah setempat/spesifik; dan (2) teknologi untuk perbaikan cara budidaya yang lebih efisien dan efektif. Dalam pelaksanaannya tidak semua komponen teknologi di atas harus diterapkan sekaligus, terutama pada lokasi yang mempunyai permasalahan spesifik. Namun, ada 6 komponen PTT yang umum diperlukan hampir di setiap lokasi dan sebagai penciri PTT, yaitu (1) benih bermutu (kemurnian dan daya kecambah tinggi); (2) varietas unggul baru yang sesuai lokasi; (3) bibit muda (<21 HSS) apabila kondisi lingkungan memungkinkan; (4) 1-3 bibit per lubang; (5) pemupukan N berdasarkan bagan warna daun (BWD); (6) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah serta pemecahan masalah kesuburan tanah apabila terjadi. Adanya teknologi compulsory tersebut selain sebagai penciri PTT, juga pada umumnya komponen teknologi tersebut dapat diterapkan dan besar pengaruhnya terhadap kenaikan hasil, dan pendapatan petani.
BAHAN DAN METODA Pengkajian dilaksanakan mulai bulan Nopember 2002 sampai dengan bulan Maret 2003 (MH. 2002/2003) di lahan sawah irigasi Riam Kanan desa Penggalaman Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Dari luasan pertanaman padi dengan model PTT di lahan sawah irigasi Riam Kanan desa Penggalaman, sekitar 40 ha, diantaranya 1 ha ditanami varietas unggul IR-66 dengan perlakuan model PTT lengkap, 38 ha dengan perlakuan model PTT petani dan 1 ha perlakuan kontrol (cara tradisional petani), dengan metode yang digunakan adalah observasi dengan 3 ulangan. Perlakuan dengan pola PTT lengkap terdiri dari beberapa komponen utama seperti penggunaan bibit muda umur 15 hari setelah semai (HSS) dengan 1-3 bibit/rumpun, pemberian pupuk kandang dengan takaran 2 t/ha, pemberian pupuk N dilakukan berdasarkan hasil kesesuaian warna daun pada skala BWD <4, sedang pemberian pupuk P dan K ditentukan berdasarkan hasil analisis tanah. Kemudian komponen teknologi PTT lainnya adalah penggunaan varietas unggul (IR66), penggunaan benih bermutu (seleksi benih dengan air garam), perlakuan benih dengan insektisida Fipronil 0,5 l/ha, penanaman padi dengan cara tegel menggunakan jarak tanam 20x20 cm, pengendalian gulma terpadu (herbisida + manual), pengendalian hama penyakit berdasarkan monitoring populasi hama dan perbaikan panen dan penaganan pasca panen.
207
Sedangkan perlakuan PTT petani adalah model PTT yang tidak lengkap, akan tetapi ada sebagian komponen model penciri PTT yang mereka gunakan. Sebagai kontrol diamati pertanaman padi pola tradisional petani. Pemberian pupuk kandang dengan takaran sekitar 2 t/ha dilakukan sesaat sebelum pengolahan tanah terakhir. Bibit muda varietas unggul baru IR66 berumur sekitar 15 hari setelah semai (HSS) sampai 20 HSS, ditanam 1-3 bibit per lubang dengan cara tanam tegel (jarak tanam) 20x20 cm. Sebagai pupuk dasar diberikan pupuk N dengan takaran 75 kg Urea/ha, 75 kg SP-36/ha, dan 50 kg KCl/ha pada 7 hari setelah tanam dengan cara disebar merata pada areal pertanaman padi. Pupuk P dan K diberikan seluruh takaran sebagai pupuk dasar, sedang pemupukan N susulan (ke 2) diberikan lagi 75 kg urea/ha bila warna daun padi dengan bagan warna daun (BWD) pada skala <4. Pengamatan warna daun padi dengan menggunakan alat BWD dilakukan setiap 7-10 hari setelah pemberian pupuk urea sebagai pupuk dasar dan pemberian pupuk urea susulan. Monitoring dengan alat BWD dihentikan bila tanaman padi sudah keluar malai 10%. Pemeliharaan tanaman dilaksanakan dengan pengendalian gulma terpadu dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pengendalian gulma dilakukan dua kali, yang pertama dilakukan pada umur sekitar 3 minggu setelah tanam dengan herbisida dan yang kedua dilakukan pada umur sekitar 6 minggu setelah tanam secara manual dengan tangan. Sedangkan pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan monitoring populasi hama secara priodek. Apabila terjadi serangan hama, maka dilaksanakan penyemprotan dengan menggunakan insektisida sesuai anjuran dan mengikuti kaidah pengendalian hama terpadu. Parameter yang diamati dalam pengkajian ini adalah analisa tanah sebelum penanaman dan hasil padi (t/ha, k.a. 14%). Hasil padi ditentukan dari rata-rata ubinan 2 m x 5 m dengan ulangan 3 kali.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik dan Kimia Tanah Sifat fisik dan kimia tanah pada lokasi pengkajian di lahan sawah irigasi Riam Kanan desa Penggalaman kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.
Sifat fisik dan kimia tanah pada lokasi lahan sawah irigasi Riam Kanan desa Penggalaman Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, MK. 2002
Sifat Fisik dan Kimia Tanah pH-H2O C-organik N-total (%) P-Bray I (ppm) P-total (ppm) K-dd (me/100g) Tektur (%) Pasir Debu Liat Sumber : Lab. Tanah Faperta Unlam Banjarbaru, 2002
Kandungan 4,42 1,26 0,62 0,58 119,24 0,05
Kriteria sangat masam rendah tinggi rendah tinggi sekali redah sekali
32,85 41,38 25,78
Dari Tabel 1 di atas diketahui bahwa kondisi kesuburan tanah pada lokasi pengkajian dilihat dari sifat fisik dan kimia tanahnya adalah termasuk kurang subur, hal ini dicirikan oleh pH yang sangat masam, bahan organik (C-organik) yang rendah, kandungan P dan K tersedia rendah. Dari hasil analisis tanah ini dapat diketahui takaran untuk pemupukan P dan K untuk tanaman padi di lokasi pengkajian masing-masing adalah 75 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha (Makarim, A.K., et.al., 2003). Teknologi Budidaya Padi Tradisional Petani Teknologi budidaya padi secara tradisional petani yang selama ini diterapkan petani di lahan sawah irigasi Riam Kanan desa Penggalaman adalah sangat sederhana sekali, yaitu benih yang digunakan sebagian petani untuk bibit adalah benih yang berasal dari tanaman padi tahun sebelumnya. Bibit yang digunakan untuk ditanam berumur antara 20 sampai dengan 30 hari setelah semai dengan jumlah bibit sekitar 3-5 bibit/lubang dan jarak tanam sekitar 20 x 20 cm tetapi tidak teratur. Pemupukan yang dilaksanakan tidak berimbang, yaitu hanya diberi pupuk N dan P saja, masingmasing dengan takaran 200-250 kg urea/ha dan 100-150 kg SP-36/ha, sedangkan pupuk K umumnya tidak diberikan, karena harga pupuk K cukup mahal dan petani belum memahami bahwa dengan pemupukan berimbang akan dapat meningkatkan hasil padi. Pemberian pupuk organik juga tidak dilakukan.
208
Pemeliharaan tanaman dalam hal ini pengendalian gulma dilakukan umumnya 2 kali secara manual dengan tangan. Sedangkan pengendalian hama dan penyakit dilakukan kalau ada serangan. Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan insektisida sesuai anjuran dan untuk hama tikus umumnya hanya dilakukan dengan pengumpanan beracun (pestisida). Karena terbatasnya tenaga kerja untuk panen, biasanya hanya tenaga kerja keluarga yang dipakai, maka masih banyak petani yang menumpuk sementara hasil panen diatas rumpun padi yang sudah dipanen, setelah selesai panen seluruhnya baru hasil panen dikumpulkan disuatu tempat khusus untuk proses perontokan padi. Perontokan padi sebagian masih ada dengan cara di pukulkan/dibanting dan di injak-injak dengan kaki. Peningkatan produktivitas padi sawah irigasi dengan model PTT Pengamatan hasil padi dilakukan melalui ubinan 2 m x 5 m dengan 3 ulangan. Hasil pengamatan menunjukan bahwa perlakuan model PTT lengkap memberikan hasil padi yang paling tinggi, yaitu 5,264 t GKG/ha, kemudian diikuti model PTT petani 4,448 t GKG/ha dan non PTT (teknologi petani) 3,466 t GKG/ha (Tabel 2). Tabel 2. Hasil padi unggul IR66 di lokasi pengembangan PTT di sawah irigasi desa Penggalaman, kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar, MH. 2002/2003. Perlakuan
Produksi padi (t GKG/ha)
PTT lengkap
5,264
PTT petani
4,448
Non-PTT (Teknologi Petani)
3,466
Dari Tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa produksi padi dengan perlakuan model PTT lengkap dan model PTT petani dibandingkan dengan produksi non PTT (teknologi petani) menunjukan adanya peningkatan produktivitas padi yang sangat nyata masing-masing sebesar 51% dan 18%. Pengkajian model PTT di Sukamandi memberikan hasil padi lebih dari 8 t GKG/ha dengan R/C rasio lebih besar dari 2,0 (Puslitbangtan, 2001). Demikian pula hasil pengkajian PTT di 8 propinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan) masing-masing pada lahan seluas 5 ha menunjukan adanya peningkatan produktivitas padi antara 7,1% - 38,4% dibanding teknologi petani. Hal ini sejalan dengan pernyataan oleh (Gani, A., 2002) bahwa dalam PTT komponen-komponen utamanya bersinergi sesamanya sehingga secara kombinasi akan memberikan potensi yang besar untuk kenaikan hasil padi. Seperti dilaporkan oleh (Makarim, A.K., dan Irsal Las, 2004) penerapan komponen PTT pada padi sawah di berbagai kabupaten di Indonesia ternyata menghasilkan gabah yang bervariasi dari 3 hingga 10 t/ha. Besarnya keragaan ini disebabkan oleh beragamnya kondisi lingkungan biofisik tanaman, seperti intensitas hama dan penyakit tanaman, kondisi kesuburan tanah, ketersediaan air dan tingkat pengelolaan lahan. Dari sebanyak 20 kabupaten contoh, 13 kabupaten mempunyai kisaran hasil padi antara 5-7 t GKG/ha. Dua kabupaten yaitu Deli Serdang (Sumatera Utara) dan Blitar (Jawa Timur) menghasilkan 7-8 t GKG/ha. Hanya satu kabupaten yaitu Madina (Sumatera Utara) yang melaporkan mendapat hasil 10 t GKG/ha. Sebaliknya, hasil yang sangat rendah (3 t/ha) terjadi di Kabupaten Sambas yaitu petani yang menerapkan PTT dan nonPTT masing-masing memperoleh 3 t/ha dan 2,3 t/ha. Di lokasi ini lingkungan tanaman tidak menguntungkan, karena selain lahannya sering terkena banjir dengan kualitas air rendah (salinitas dan kadar besi tinggi), juga tingginya serangan hama dan penyakit. Hasil PTT antara 4-5 t/ha terjadi di 3 kabupaten, yaitu Rokan Hulu, Banjar dan Pinrang dimana ketiganya memiliki kendala kesuburan lahan, termasuk ketersediaan air yang kurang dan serangan hama dan penyakit. Model PTT disamping meningkatkan produktivitas padi juga efisiensi usaha tani, dari pemakaian pupuk urea dapat dihemat sekitar 33%, demikian pula pemakaian benih dapat di hemat minimal 33% dari yang semula (30-50) kg/ha menjadi hanya sekitar 20 kg/ha. Dilain pihak pengembangan padi dengan pola PTT ini juga dapat meningkatkan pendapatan (Tabel 3).
209
Tabel 3. Analisis Kelayakan Usahatani Padi Model PTT lengkap di lokasi pengembangan PTT di sawah irigasi Riam Kanan, desa Penggalaman, Kabupaten Banjar, MH. 2002/2003. A. B.
Keterangan Penerimaan (kg)
Jumlah Fisik 5.264
C.
Biaya Produksi 1. Benih (kg) 2. Pupuk (kg) a. Urea b. Sp36 c. KCl d. Pupuk kandang Total Biaya Pupuk 3. Pestisida dan Herbisida a. Insektisida b. Rodentisida & pengumpanan c. Herbisida Total Biaya Insektisida dan herbisida 4. Tenaga Kerja (HOK) a. Penyiapan lahan b. Menanam c. Memupuk d. Menyiang e. Menyemprot f. Panen dan Pasca Panen Total biaya tenaga kerja Total Biaya
D.
Keuntungan
E.
R/C rasio
Harga (Rp/satuan) 1.250
Nilai (Rp) 6.580.000
20
3.500
70.000
150 75 50 2.000
1.200 1.900 1.900 100
180.000 142.500 95.000 200.000 687.500 136.000 100.000 40.000 276.000
28 14 4 15 4 58
15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000
420.000 210.000 60.000 225.000 60.000 870.000 1.845.000 2.808.500 3.771.500 2,34
Dari Tabel 3 diketahui bahwa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan model PTT lengkap cukup tinggi, yaitu Rp 3.771.500,- dengan R/C rasio sekitar 2,34.
KESIMPULAN Pengembangan padi dengan menggunakan model PTT lengkap, PTT petani di lahan irigasi Riam Kanan desa Penggalaman, kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar memberikan produktivitas padi yang cukup tinggi, yaitu 5,264 t GKG/ha dan 4,448 t GKG/ha, kemudian diikuti oleh produktivitas padi non PTT (teknologi petani) hanya sekitar 3,466 t GKG/ha. Atau model PTT dapat meningkatkan produktivitas padi berkisar antara 23% sampai dengan 51%. Dilain pihak pengembangan padi dengan model PTT juga dapat meningkatkan efisiensi usahatani padi, seperti pemakaian pupuk urea dapat dihemat sekitar 33 %, begitu juga dengan pemakaian benih padi, sedangkan keuntungan bersih yang diperoleh dari usahatani padi cukup tinggi, yaitu Rp. 3.771.500,- dengan R/C rasio sekitar 2,34.
DAFTAR PUSTAKA A.M. Fagi. et. al. 2003. Penelitian Padi Menuju Repolusi Hijau Lestari. A.M. Fagi, Irsal Las, M. Syam, A.K. Makarim, dan A. Hasanuddin (Penyusun). Badan Litbang Pertanian - Jakarta. Anischan Gani, 2002. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu danSinergisme Komponen Teknologi. Makalah pada pelatihan tenaga Pendamping. Kegiatan P3T, Bogor-Sukamnadi, 7 – 12 Maret 2002. Hasanuddin, A. 2003. Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu : Suatu StrategiTeknologi Spesifik Lokasi. Makalah Panduan Pelatihan Pemasyarakatan dan Pengembangan Padi Varietas Unggul Tipe Baru, Balitpa-Sukamandi, 31 Maret – 3 April 2003. Makarim, A.K. et.al. 2003. Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. A.K. Makarim, I.N. Widiarta, HendarsihS, Dan S. Abdulrachman (Penyususun). Departemen Pertanian-Puslitbangtan Bogor.
210
Makarim, A.K. dan Irsal Las, 2004. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Irigasi Melalui Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Seminar Kebijakan Padi pada Pekan Padi Nasional II, 15 Juli 2004, Sukamandi. Puslitbangtan, 2001. Pengelolaan Tanaman Terpadu : Pendekatan Inovatif Sistem Produksi Padi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 23 No. 2. Badan Litbang Pertanian-Puslitbangtan Bogor.
211
KERAGAAN BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU DI LAHAN SAWAH IRIGASI JARO DESA KAMPUNG BARU KABUPATEN TABALONG KALIMANTAN SELATAN Khairuddin dan Rina DN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
ABSTRAK Keragaan Beberapa Varietas Unggul Baru di Lahan Sawah Irigasi Jaro Desa Kampung Baru Kabupaten Tablong Kalimantan Selatan. Kajian keragaan beberapa varietas unggul baru dilaksanakan di lahan sawah irigasi Jaro Desa Kampung Baru, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, dimulai bulan Juni sampai dengan bulan Oktober 2004. Ada 6 varietas padi unggul baru yang digunakan dalam kegiatan ini, yaitu 2 varietas padi hibrida (Maro dan Rokan), 2 varietas unggul tipe baru (Fatmawati dan Gilirang), dan 2 varietas unggul baru (Cigeulis dan Ciherang). Teknik budidaya yang digunakan dalam kajian keragaan beberapa varietas padi unggul baru ini menerapkan pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Metoda yang digunakan adalah metoda observasi dengan tiga ulangan. Hasil padi yang paling tinggi ditunjukkan oleh padi hibrida Maro dan Rokan, yaitu 7,2 t gkg/ha dan 6,8 t gkg/ha, diikuti oleh varietas unggul baru Cigeulis dan Ciherang, yaitu 6,5 t gkg/ha dan 6,2 t gkg/ha dan varietas unggul tipe baru Fatmawati dan Gilirang masing-masing 6,1 t gkg/ha dan 5,7 t gkg/ha. Hasil padi beberapa varietass unggul baru ini jauh lebih tinggi dari hasil padi varietas unggul baru Ciherang yang ditanam petani (teknologi petani), yaitu hanya 3,5 t gkg/ha. Hal ini menunjukan bahwa beberapa varietas unggul baru seperti padi hibrida Maro dan Rokan, dan juga padi tipe baru Fatmawati dan Gilirang dapat beradaptasi cukup baik di lahan sawah irigasi Jaro Desa Kampung Baru, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan dalam hubungannya dengan hasil padi yang diperoleh. Dengan demikian daerah Kalimantan Selatan sangat berpotensi atau sesuai untuk wilayah pengembangan padi hibrida Maro dan Rokan dan padi tipe baru Fatmawati dan Gilirang. Kata Kunci : padi hibrida, padi tipe baru, padi unggul baru, PTT dan lahan sawah irigasi.
PENDAHULUAN Kebutuhan beras setiap tahun makin bertambah seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2002, penduduk Indonesia berjumlah 210 juta jiwa dan produksi padi mencapai 51,4 juta ton gabah kering giling (GKG). Dengan laju pertambahan penduduk rata-rata 1,7% per tahun dan kebutuhan per kapita sebanyak 134 kg, maka pada tahun 2025 Indonesia harus mampu menghasilkan padi sebanyak 78 juta ton GKG untuk mencukupi kebutuhan beras nasional. Dengan cara budidaya dan menggunakan varietas unggul yang ada pada dewasa ini, pada tahun 2025 pemerintah harus mengimpor beras sebanyak 18 juta ton atau setara dengan 24 juta ton GKG (B. Abdullah, 2004). Dilain pihak laju peningkatan produktivitas padi di Indonesia telah melandai (levelling off). Pelandaian produktivitas lahan sawah dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain penurunan kandungan bahan organik tanah, penurunan penambatan N2 udara pada tanah sawah, penurunan kecepatan penyediaan hara N, P dan K dalam tanah, penimbunan senyawa-senyawa toksik bagi tanaman (gas H2S), asam-asam organik, ketidak seimbangan penyediaan hara, kahat hara mikro (Cu, Zn), kahat Fe dan S, tanah terlalu reduktif, penyimpangan iklim, tekanan biotik dan varietas (Puslitbangtan, 2001). Namun demikian, peluang peningkatan produksi masih terbuka melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) dan memanfaatkan gejala heterosis pada varietas unggul padi hibrida dan perakitan varietas unggul padi tipe baru dengan memanfaatkan padi jenis javanika atau japonika tropis sebagai tetua persilangan (Suwarno et. al., 2003). Di Cina, India, Vietnam, dan Filipina, penerapan teknologi padi hibrida secara komersial mampu meningkatkan hasil padi sebesar 15-20% dibanding varietas unggul inbrida. Belajar dari keberhasilan negaranegara tersebut dalam pengembangan padi hibrida, Badan Litbang Pertanian berupaya pula merakit padi hibrida yang sesuai untuk dikembangkan di Indonesia. Dalam beberapa pengujian, terutama di lahan yang subur dan tidak endemis hama dan penyakit, hasil padi hibrida yang telah dihasilkan 10-20% lebih tinggi dibanding varietas unggul IR-64, Memberamo, dan Ciherang (Suwarno, et. al., 2003). Badan Litbang Pertanian juga telah merakit padi tipe baru (PTB) dengan memanfaatkan plasma nutfah yang ada. Padi tipe baru dirancang agar fotosintat terdistribusikan secara lebih efektif ke malai/gabah. Potensi hasil PTB diharapkan 20-30% lebih tinggi dari varietas unggul baru (VUB) IR-64 dan Ciherang. Peningkatan selanjutnya diharapkan dapat dicapai dengan memanfaatkan gejala heterosis melalui pengembangan padi hibrida dengan menggunakan padi tipe baru sebagai tetua (Suwarno, et. al, 2003).
212
Namun untuk dapat menerapkan teknologi padi hibrida dan padi tipe baru diperlukan penyediaan varietas unggul padi hibrida dan padi tipe baru yang berdaya hasil tinggi, teknologi produksi benih yang ekonomis, sistem perbenihan yang mampu menjamin ketersediaan benih, dan teknologi budidayanya. Adapun tujuan dari kajian keragaan beberapa varietas unggul baru ini adalah untuk mengetahui adaptasi dari beberapa varietas unggul baru yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil padi yang diperoleh di lahan sawah irigasi Jaro Desa Kampung Baru Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan.
BAHAN DAN METODE Kajian keragaan beberapa varietas unggul baru ini dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan bulan Oktober 2004 di lahan sawah irigasi Jaro Desa Kampung Baru, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong dengan luas areal tanam sekitar 1,7 ha atau sekitar 0,3 ha per varietas unggul baru yang ditanam. Teknologi budidaya kajian keragaan beberapa varietas unggul baru ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT). Metode yang digunakan adalah metoda observasi dengan 3 ulangan. Ada 6 varietas unggul baru yang digunakan adalah 2 varietas padi unggul tipe baru (Fatmawati dan Gilirang), 2 varietas unggul padi hibrida (Maro dan Rokan), dan 2 varietas unggul baru (Cigeulis dan Ciherang). Sebagai kontrol diamati juga tanaman padi petani (teknologi petani). Paket teknologi PTT yang digunakan terdiri dari beberapa komponen teknologi utama seperti penggunaan bibit muda umur antara (15-20) HSS, ditanam menggunakan jarak tanam 20cm x 20cm dengan jumlah bibit (1-3) bibit per rumpun, kecuali padi hibirida Maro dan Rokan umur 21 hss dengan 1 bibit per rumpun, pemberian bahan organik (pupuk kandang) dengan takaran 2 ton/ha, pemberian pupuk N dilakukan berdasarkan hasil kesesuaian warna daun dengan skala BWD <4 untuk varietas unggul baru (Ciherang dan Cigeulis) dan skala BWD <5 untuk varietas unggul tipe baru (Fatmawati dan Gilirang) dan padi hibrida (Maro dan Rokan), pemberian pupuk P dan K berdasarkan hasil uji tanah. Kemudian komponen teknologi lainnya yaitu pengendalian gulma terpadu dengan herbisida 1 kali dan secara manual 1 kali, pengendalian hama dan penyakit berdasarkan monitoring populasi hama. Pemupukan urea (N) dengan menggunakan bagan warna daun (BWD) pada umumnya diberikan 2 kali pemberian. Pemupukan urea pertama sebagai pupuk dasar diberikan pada umur 7 hari setelah tanam (HST), dengan takaran 75 kg Urea/ha untuk varietas unggul baru (Cigeulis dan Ciherang) dan 100 kg Urea/ha untuk padi tipe baru (Fatmawati dan Gilirang dan padi hibrida (Maro dan Rokan). Sedangkan seluruh takaran pupuk P dan K masing-masing 75 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha diberikan sebagai pupuk dasar pada umur 7 hst. Pemberian pupuk Urea (N) susulan ke 2 dengan takaran 75 kg Urea/ha dilakukan apabila warna daun padi sudah mendekati warna skala <4 pada BWD untuk varietas unggul baru, sedangkan bila warna daun padi pada skala BWD < 5 diberikan pupuk urea susulan ke 2 dengan takaran masing-masing 100 kg Urea/ha untuk varietas padi tipe baru dan padi hibrida. Monitoring dengan alat BWD dihentikan bila tanaman padi varietas unggul baru sudah keluar malai sekitar 10%, namun untuk padi tipe baru dan padi hibrida masih diberikan pupuk urea susulan ke 3 dengan takaran masing-masing 50 kg Urea/ha. Pemeliharaan tanaman dilaksanakan dengan pengendalian gula terpadu dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pengendalian gulma umumnya dilakukan 2 kali, yang pertama dilakukan pada umur sekitar 21 hari setelah tanam dan yang kedua dilakukan pada umur sekitar 42 hari setelah tanam. Penyiangan pertama dilakukan dengan menggunakan herbisida dan penyiangan kedua secara manual dengan tangan. Sedang pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan monitoring populasi hama secara priodek. Apabila terjadi serangan hama, maka dilaksanakan penyemprotan dengan menggunakan insektisida sesuai dosis anjuran. Untuk mengatasi serangan tikus, maka di areal pertanaman dilakukan pemasangan/pemagaran plastik. Pengamatan yang dilakukan pada kegiatan ini adalah: (1) Analisa tanah sebelum tanam, (2) Hasil gabah (t/ha), k.a. 14%), ditentukan dari rata-rata ubinan ukuran 2m x 5m dengan tiga ulangan, (3) Komponen hasil, ditentukan dari rumpun contoh, meliputi jumlah malai/rumpun, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi, dan bobot 1000 butir gabah isi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik dan Kimia Tanah Lokasi Kegiatan Hasil uji tanah pada lokasi kajian keragaan beberapa varietas unggul baru di lahan sawah irigasi Jaro Desa Kampung Baru , Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong disajikan pada tabel 1.
213
Tabel 1. Sifat Fisik dan Kimia Tanah pada Lokasi Kegiatan Keragaan Penampilan Beberapa Varietas Unggul Baru di Lahan Sawah Irigasi Jaro Desa Kampung Baru Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan MK. 2004. Sifat fisik dan kimia tanah
Kandungan hara tanah
pH – H2O C-organik (%) N-total (%) P- Bray I (ppm) P-HCl 25 % (mg/100 g) K-dd (me/100 gr) K- HCl 25 % (mg/100 g) Tekstur (%) Pasir Debu Liat Sumber: Laboratorium Tanah BPTP Kalsel, 2004.
Kriteria
5,75 0,97 0,18 1,14 38,33 0,06 9,60
sedang rendah tinggi rendah sedang rendah rendah
14,00 27,50 60,50
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa kondisi kesuburan tanah pada lokasi kajian keragaan beberapa varietas unggul baru dilihat dari sifat fisik dan kimia tanahnya adalah termasuk kurang subur, hal ini ditandai dengan kandungan C-organik yang rendah, kandungan P tanah (HCl 25%) tergolong sedang dan kandungan K tanah (HCl 25%) termasuk rendah. Dari hasil uji tanah inilah dapat diketahui rekomendasi (anjuran) takaran pupuk P (SP-36) dan K (KCl) di lokasi kegiatan, masing-masing adalah 75 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha (Makarim, et. al., 2003). Kajian Keragaan Hasil Beberapa Varietas Padi Unggul Baru Hasil padi dari kajian keragaan beberapa varietas unggul baru di lahan sawah irigasi Jaro Desa Kampung Baru Kabupaten Tabalong seperti varietas unggul tipe baru (Fatmawati dan Gilirang), variertas unggul padi hibrida (Maro dan Rokan), dan varietas unggul baru ( Cigeulis dan Ciherang) disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Hasil dan Komponen Hasil Padi pada Keragaan Penampilan Beberapa Varietas Unggul Baru, 2 Varietas Tipe Baru (Fatmawati dan Gilirang), 2 Varietas Unggul Padi Hibrida (Maro dan Rokan), 2 Varietas Unggul Baru (Cigeulis dan Ciherang) di Desa Jaro, Kab. Tabalong, MK. 2004. Varietas
Fatmawati Maro Rokan Gilirang Cigeulis Ciherang Ciherang (kontrol)
Hasil (t/ha) GKG
Gab. Isi/malai (biji)
Gab. Isi/malai (%)
Jumlah Anakan (bh)
Tinggi Tan (cm)
6,1 7,2 6,8 5,7 6,5 6,2 3,5
270 179 170 145 145 164 111
70,27 85,20 84,00 91,20 94,16 90,11 75,83
11,4 17,2 18,3 11,1 17,4 18,0 12,7
100,6 105,1 100,5 95,3 100,2 95,7 90,1
Dari Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa hasil padi hibrida (Maro dan Rokan) adalah paling tinggi, yaitu 7,2 t/ha gkg dan 6,8 t/ha gkg, kemudian diikuti oleh masing-masing hasil padi varietas unggul baru (Cigeulis dan Ciherang) dan hasil padi tipe baru (Fatmawati dan Gilirang), yakni berturut-turut 6,5 t/ha gkg, 6,2 t/ha gkg, 6,1 t/ha gkg dan 5,7 t/ha gkg. Hasil padi ini sejalan dengan hasil padi yang dilaporkan oleh (Balitpa, 2003) bahwa pada wilayah yang sesuai, varietas padi hibrida Maro dan Rokan ini mampu memberikan hasil 1,0 -1,5 t/ha atau 15-20% lebih tinggi dari pada varietas inbrida IR-64. Keberhasilan pengembangan padi hibrida sebagian terletak pada penyediaan benihnya. Benih padi hibrida hanya dapat digunakan untuk satu musim tanam, sehingga setiap kali tanam harus menggunakan benih baru. Bila hasil panen ditanam ulang maka hasil pertumbuhan tanaman tidak seragam, sebagian steril, dan hasil yang diperoleh rendah (Laporan Tahunan, 2004). Hal ini memberi peluang bagi industri benih untuk mengembangkan padi hibrida di Indonesia. Berbeda dengan pengembangan benih varietas unggul (inbrida) yang lebih mudah diadopsi petani, sepanjang benihnya tersedia di daerah setempat. Sayangnya, pengalaman sejumlah petani di beberapa daerah menunjukan bahwa benih varietas unggul baru tidak mudah diperoleh. Hal ini merupakan tantangan dalam pengembangan varietas unggul.
214
Hasil padi tipe baru Fatmawati yang diperoleh pada kegiatan keragaan penampilan beberapa varietas unggul baru yang dilaksanakan di sawah irigasi Jaro Desa Kampung Baru adalah 6, 1 t gkg/ha. Hasil padi tipe baru Fatmawati ini sejalan dengan hasil pengkajian oleh Balitpa di lahan-lahan petani yang dilaksanakan oleh BPTP di beberapa lokasi, yaitu berkisar 5,9 t gkg/ha - 10,5 t gkg/ha (Makarim, et. al., 2004). Penelitian dan pengkajian ini menunjukkan bahwa produktivitas VUTB Fatmawati beragam antar lokasi. Keragaman produktivitas itu mengindikasikan perlunya perhatian terhadap kesesuaian VUTB dengan lingkungan dan penerapan teknik budidaya yang tepat pada lingkungan tersebut. Hasil padi yang tinggi diperoleh oleh padi hibrida dan padi tipe baru pada kajian keragaan beberapa varietas unggul baru yang dilaksanakan di lahan irigasi Jaro Desa Kampung Baru, mengindikasikan bahwa di wilayah (lokasi) tersebut sesuai untuk pengembangan padi hibrida dan padi tipe baru. Sehingga varietasvarietas unggul baru tersebut dapat beradaptasi cukup baik di lokasi tersebut. Hal ini berarti bahwa varietasvarietas unggul baru seperti padi hibrida (Maro dan Rokan) dan juga padi tipe baru (Fatmawati dan Gilirang) dapat dikembangkan di lahan irigasi yang sesuai di Kalimantan Selatan.
KESIMPULAN Lahan sawah irigasi Jaro di Desa Kampung Baru, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan sangat sesuai atau berpotensi untuk pengembangan padi hibrida Maro dan Rokan, dan juga padi tipe baru Fatmawati dan Gilirang terutama dalam hubungannya dengan hasil padi yang diperoleh. Untuk padi hibrida (Maro dan Rokan) hasil padi yang diperoleh lebih tinggi, yaitu 7,2 t gkg/ha dan 6,8 t gkg/ha, kemudian diikuti oleh hasil padi unggul baru (Cigeulis dan Ciherang), yaitu 6,5 t gkg/ha dan 6,2 t gkg/ha dan padi tipe baru (Fatmawati dan Gilirang), yakni 6,1 t gkg/ha dan 5,7 t gkg/ha.
DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Tanaman Padi, 2003. Deskripsi varietas unggul 1999-2002. Balitpa. Badan Libang Pertanian. B. Abdullah, 2004. Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUTB lainnya. Panduan Pelatihan Pemasyarakatan dan pengembangan padi varietas unggul tipe baru. Balitpa, Sukamandi, 31 Maret-3 April 2004. Makarim, Irsal Las, A.M. Fagi, I. N. Widiarta, D. Pasaribu, 2004. Pedoman Bagi Penyuluh Pertanian. Padi Tipe Baru : Budi daya dengan Pendekatan Pengelolaan Terpadu. Hermato (Penyunting). Badan Litbang Pertanian. Puslitbangtan. Balitpa Sukamandi. Makarim, I.N. Widiarta, Hendarsih S., dan S. Abdurahman. 2003. Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit. Puslitbangtan. Deptan, Bogor. Laporan Tahunan, 2004. Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sunihardi dan Hermanto (Penyusun). Badan Litbang Pertanian. Puslibantan, Bogor. Suwarno, B. Suprihatno, Satoto, B, Abdullah, U.S. Nugraha dan I.N. Widiarta., 2002. Panduan Teknis : Produksi Benih dan Pengembangan Padi Hibrida dan Padi Tipe Baru. Badan Litbang PertanianDeptan. 24p Puslitbangtan, 2001. Pengelolaan Tanaman Terpadu.: Pendekatan Inovatif Sistem Produksi Padi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 23 No. 2. Badan Litbang Pertanian-Puslitbangtan, Bogor.
215
KAJIAN TEKNOLOGI PEMBERIAN BAHAN ORGANIK DALAM PERBAIKAN LAHAN PERTANIAN PASCA TSUNAMI DI DESA BOTOHILITANO KABUPATEN NIAS SELATAN Deddy Romulo Siagian, Delima Napitupulu dan I Putu Cakra Putra A. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
ABSTRAK Bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi di Nias Selatan membuat semakin terpuruknya keadaan sosial ekonomi masyarakat, terlebih pada petani yang lahannya terkena luapan air laut. Air laut yang masuk ke daratan akan menurunkan tingkat kesuburan melalui garam-garam yang terakumulasi di lahan pertanian. Salah satu cara dalam mengurangi pengaruh salinitas ini di lahan pertanian adalah dengan memberikan bahan organik (pupuk kandang) yang dalam kegiatan ini dipadukan dengan menggunakan varietas yang toleran dengan tanah yang salinitasnya tinggi, misalnya Banyuasin dan Kapuas. Tujuan dari kegiatan adalah ingin melihat bagaimana pengaruh pemberian bahan organik pada pertumbuhan dan produksi tanaman padi di lahan bekas tsunami. Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Botohilitano Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan pada bulan September 2005 sampai Februari 2006. Varietas yang digunakan Ciherang, Banyuasin dan Kapuas dengan system tanam tegel (20 cm x 20 cm). Juga memasukkan teknologi-teknologi PTT antara lain: 1) Penggunaan varietas unggul baru, 2) Bibit umur muda 15 hari, 3) Jumlah bibit 1-2 bibit/rumpun, 4) Waktu pemupukan Urea menggunakan Bagan Warna Daun (BWD), 5) Dosis pupuk SP-36 dan KCl berdasar analisa tanah. Dikarenakan tidak tersedianya saluran irigasi di daerah ini, maka teknologi pengairan secara berselang ”intermitten” tidak dapat dilaksanakan. Hasil menunjukkan bahwa dengan menggunakan bahan organik produksi Ciherang, Banyuasin dan Kapuas masing-masing adalah 3,02; 3,44 dan 3,57 ton GKG/ha. Sedangkan tanpa pemberian pupuk kandang hasil produksi dari Ciherang, Banyuasin dan Kapuas adalah 2,75; 3,09 dan 3,22 ton GKG/ha. Dari hasil penelitian ini sangat diharapkan agar aplikasi bahan organik (pupuk kandang) dapat diterapkan dilapang untuk musim tanam berikutnya. Kata kunci: bahan organik, lahan pertanian pasca tsunami, nias selatan
PENDAHULUAN Nias Selatan yang merupakan kabupaten baru dari Sumatera Utara, hasil pemekaran dari Kabupaten Nias mempunyai jumlah penduduk 275.499 jiwa. Masyarakatnya sebagian besar bekerja sebagai nelayan dan petani. Kabupaten ini berjarak 92 mil dari Sibolga dan berjarak 120 km dari G. Sitoli. Karena terletak di daerah khatulistiwa sehingga ia mempunyai rata-rata curah hujan yang tinggi yaitu 3077,1 mm/tahun dan banyaknya hari hujan 270 hari/tahun. Gempa bumi dan tsunami yang terjadi di daerah ini menyebabkan menurunnya tingkat sosial ekonomi masyarakat sekitar karena bencana ini telah merusak sarana dan prasarana mereka dalam bekerja. Khususnya dalam ruang lingkup pertanian, pengaruh tsunami dapat kita perhatikan dalam hal (1) Sampahsampah yang menutupi areal pertanian, misalnya batang-batang pohon, mobil, kapal dan lain-lain (2) Sedimentasi baik yang berupa pasir dan liat yang juga menutupi areal pertanian (3) Pencemaran air tanah (4) Salinitas, yang terjadi akibat dari pengaruh genangan air laut. Dengan melihat pengaruh tsunami diatas dikhawatirkan produktivitas padi Kabupaten Nias Selatan (2 ton/ha) yang masih dibawah rata-rata produktivitas nasional (4 ton/ha) menjadi lebih rendah lagi. Ditinjau dari sumber daya manusianya, masyarakat Nias Selatan ini sangat rendah pendidikannya sehingga untuk kedepannya sangat diharapkan masukan-masukan teknologi dari instansi pemerintah melalui kerjasama antara pihak Pemda Tk I dan Tk II dalam mengatasi masalah-masalah yang ada khususnya di lahan pertanian melalui pelatihan, diskusi dan pembuatan demplot di daerah yang terkena dampak tsunami guna aplikasi langsung yang dapat dijadikan contoh bagi petani setempat. Sebagai salah satu contoh, bahan organik yang ada dilapangan tidak dimanfaatkan petani setempat karena mereka tidak mengetahui guna dari bahan organik itu (misalnya, jerami dan pupuk kandang. Padahal bahan organik yang diberikan kedalam tanah mempunyai banyak fungsi, yaitu: a.
Memperbaiki struktur tanah (fisika tanah). Tanah yang mempunyai salinitas tinggi, mempunyai kadar Na yang tinggi pula (sebagai pendispersi tanah). Sejalan dengan Na yang tinggi maka struktur tanah dapat hancur sehingga koloid-kolid tanah tidak dapat memegang kation-kation (KTK dapat menurun pula). Dengan memberikan bahan organik maka dapat memperbaiki struktur tanah. Dapat lebih meningkatkan keterikatan antara koloid tanah yang satu dengan yang lainnya. Dan juga dapat menurunkan tingkat pencucian pada unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman.
216
b.
Menyumbang unsur hara (kimia tanah). Penambahan bahan organik kedalam tanah akan meningkatkan kation-kation yang dapat dipertukarkan dan tentu saja mengurangi kadar Na di dalam tanah (yang merupakan unsur dalam menaikkan salinitas) melalui pertukaran kation tersebut.
c.
Memperbaiki kualitas biologi tanah. Dengan semakin membaiknya sifat fisika dan kimia tanah maka akan meningkatkan peluang hidup dan berkembangnya biota yang ada didalam tanah. (Janes, 2005)
METODOLOGI Prosedur Pengkajian Terlebih dahulu lahan demplot dibersihkan dari gulma dan sampah-sampah bekas tsunami (seperti batang kelapa, perahu, botol-botol bekas dan lain-lain). Benteng dan pematang diperbaiki sehingga air dapat masuk untuk mengairi sawah. Tanah diolah 2 kali secara manual dengan menggunakan cangkul kemudian diratakan. Varietas yang ditanam Ciherang, Kapuas dan Banyuasin. Umur benih 15 hari untuk siap ditanam sebanyak 1 bibit per rumpun dengan sistem tanam Tegel (20 cm x 20 cm). Pemupukan dilaksanakan sesuai dengan rekomendasi bertitik tolak dengan hasil analisis tanah. Dosis pemupukan yang diberikan 200 kg Urea, 100 kg SP36 dan 100 kg KCl per hektar. Seluruh pupuk SP36 dan KCl diberikan pada saat tanam sedangkan Urea diberikan sesuai dengan anjuran Bagan Warna Daun (BWD). Penggunaan bahan organik dengan pupuk kandang dibuat 2 paket, paket pertama lahan dengan menggunakan bahan organik 2 ton/ha dan paket kedua lahan tanpa penggunaan bahan organik. Semua aplikasi dari teknologi PTT diterapkan dilapang kecuali pengairan secara berkala ”intermitten” karena tidak tersedianya saluran irigasi di daerah ini, mereka hanya bertumpu pada ketersediaan air hujan saja. Lokasi Pengkajian Kegiatan dilaksanakan pada padi sawah di lahan pasca tsunami berlokasi di Desa Botohilitano Kecamatan Teluk Dalam Kab. Nias Selatan pada bulan September 2005 sampai Februari 2006. Rata-rata curah hujan 3077,1 mm/tahun dengan rata-rata hari hujan 22 hari/bulan. Suhu udara rata-rata 21-36 0C dan kelembaban 80-90 %. Tekstur tanah Lempung Berdebu dengan pH (H2O) 7,24 dan nilai EC (Elektro Conductivity) yaitu 1,31 mmhos/cm. Dari nilai ini dapat diinterpretasikan bahwa rendahnya kadar garam yang ada di tanah tidak membuat tanah pada lahan demplot ini menjadi ‗miskin‘ akan unsur hara makro. Metode Analisis Pengkajian ini menyampaikan data secara kualitatif dengan menggunakan 3 ulangan dan dilakukan uji lanjutan dengan uji t pada 2 beda rataan antara 2 perlakuan dari hasil yang diperoleh dari lapang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Lahan pertanian di Nias Selatan masih sangat berpotensi untuk ditumbuh kembangkan baik dari sisi intensifikasi maupun ekstensifikasi. Dari hasil survey menunjukkan bahwa masih banyaknya lahan-lahan kosong yang memang layak untuk dipakai karena kesuburan tanahnya masih tergolong baik, hal ini dapat diperhatikan dari parameter-parameter yang ada dari hasil analisa laboratorium dibawah ini. Tabel 1. Hasil Analisa Tanah Awal Desa Botohilitano (Kab. Nias Selatan) Parameter pH (H2O) pH (KCl) EC (mmhos/cm) P-Bray I (ppm) Ca (mg/100 g) Mg (mg/100 g) Na (mg/100 g) K (mg/100 g) Tekstur: Pasir (%) Debu (%) Liat (%)
Alat pH meter pH meter Conductivity Spectrophotometry AAS AAS AAS AAS Hydrometer Hydrometer Hydrometer
Nilai 7,24 6,86 1,31 9,91 73,47 3,62 3,32 0,53 7,8 64,4 27,8
Kriteria Agak Tinggi Tinggi Rendah Agak Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Sedang
Lempung Berdebu
217
Dari hasil analisa tanah diatas menunjukkan bahwa tsunami tidak membawa dampak yang begitu besar dilapangan. Nilai EC 1,31 mmhos/cm termasuk kriteria rendah dan pengaruhnya tidak begitu besar terhadap ketersediaan unsur hara makro. Menurut Lindsay Evans (Manajemen Tanah Akibat Tsunami) bahwa jika nilai EC<3,0 maka tidak akan terjadi penurunan hasil produksi khususnya untuk tanaman padi. Sama halnya dengan ketersediaan bahan organik (pupuk kandang dan jerami) yang cukup besar dan sangat berpotensi tetapi tidak diaplikasikan dilapang sehingga sangat disayangkan. Maka disamping teknologiteknologi PTT yang diterapkan dilapang juga diberikan pelatihan kepada petani berupa praktek langsung tentang pembuatan bahan organik dan juga begaimana cara meningkatkan produktivitas lahan sawah mereka yang terkena dampak tsunami di lahan demplot sehingga mereka akan lebih mudah mengerti. Tabel 2. Data Pengamatan Pertumbuhan dan Potensi Hasil Produksi Pada 2 Aplikasi Bahan Organik Yang Berbeda Parameter Tinggi tanaman (cm) Anakan Maks (buah/rumpun) Anakan Produktif (buah/rumpun) Produksi (ton/ha)
Ciherang Tanpa BO Dengan BO
Varietas Kapuas Tanpa BO Dengan BO
Banyuasin Tanpa BO Dengan BO
90,1 a
89,76 a
102,6 a
104,43 a
103,26 a
102,96 b
17,90 a
22,63 a
18,63 a
23,73 a
18,10 a
19,40 b
9,30 a
10,46 b
10,93 a
11,03 b
9,53 a
12,43 a
2,75 a
3,02 b
3,22 a
3,57 b
3,09 a
3,44 b
Dari hasil kegiatan pengkajian diatas dapat kita lihat bahwa varietas Ciherang dan Kapuas memiliki respon yang sama pada masa pertumbuhan terhadap pemberian bahan organik, bahwa pada parameter tinggi tanaman dan anakan maksimum kedua varietas ini tidak berbeda nyata hasilnya setelah diuji dengan uji t. Sedangkan untuk varietas Banyuasin memberikan pengaruh yang nyata setelah diberi bahan organik pada kedua parameter ini. Memasuki masa generatif terjadi perubahan sebaliknya, dimana Varietas Ciherang dan Kapuas memberikan pengaruh yang nyata setelah diberi bahan organik pada pengamatan jumlah anakan produktif. Sedangkan untuk varietas Banyuasin antara perlakuan yang diberi bahan organik dan tanpa bahan organik tidak memberikan pengaruh yang nyata lagi pada parameter jumlah anakan produktif (setelah diberikan uji lanjutan dengan uji t pada taraf 5%). Dari hasil kegiatan diatas terlihat adanya perbedaan hasil yang tidak begitu besar antara aplikasi bahan organik dengan tanpa diberi bahan organik. Varietas Banyuasin dan Kapuas yang diberi bahan organik mempunyai perbedaan 0,35 ton GKG/ha dengan yang tanpa diberi bahan organik, sedangkan untuk varietas Ciherang mempunyai perbedaaan jauh lebih rendah dibanding kedua varietas yang toleran terhadap salinitas itu, yaitu 0,27 ton GKG/ha. Dari hasil uji lanjutan dengan uji t (taraf 5 %), diperoleh data bahwa ketiga varietas (Ciherang, Banyuasin dan Kapuas) berbeda nyata hasilnya antara perlakuan yang tanpa bahan organik dan yang diberikan bahan organik. Dari gambaran diatas sudah dapat dilihat adanya pengaruh pemberian bahan organik di lahan demplot, walaupun sedikit peningkatan hasil produksinya tetapi sudah memberikan bukti kepada petani bahwa bahan organik dapat memberikan peningkatan produksi. Peningkatan hasil yang tidak begitu besar mungkin disebabkan karena unsur hara yang disumbangkan oleh bahan organik ini memang kecil. Sifat dari bahan organik itu sendiri adalah menyumbangkan unsur hara yang kecil tetapi jumlah unsur yang disumbang adalah besar. Pada intinya aplikasi bahan organik di lahan demplot adalah memperbaiki sifat fisika tanah. Karena dalam menurunkan tingkat salinitas di lahan demplot ini, kita harus memperbaiki sifat fisika tanahnya sehingga proses pencucian garam yang ada di dalam tanah itu dapat semakin cepat. Perbedaan antara petakan dari lahan demplot ini adalah hanya pengaplikasian bahan organik saja, sedangkan introduksi teknologi PTT (dari mulai pengelolaan lahan sampai panen) semuanya sama penerapannya. Sehingga hal inilah yang membuat hampir samanya produktivitas ketiga varietas tersebut.
218
KESIMPULAN 1.
Produktivitas padi yang tertinggi terdapat pada Varietas Kapuas dengan pemakaian bahan organik 2 ton/ha yaitu 3,57 ton GKG/ha, diikuti oleh Varietas Banyuasin dan Ciherang masing-masing produktivitasnya 3,44 dan 3,02 ton GKG/ha.
2.
Varietas Banyuasin dan Kapuas yang diberi bahan organik berbeda 0,35 ton GKG/ha dengan yang tanpa diberi bahan organik, sedangkan Varietas Ciherang sendiri 0,27 ton GKG/ha.
3.
Produksi antara perlakuan tanpa bahan organik dan bahan organik berbeda nyata hasilnya pada masingmasing varietas (Ciherang, Kapuas dan Banyuasin).
4.
Produktivitas yang tinggi dapat dicapai jika Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) benar-benar diaplikasi dilapangan disertai dengan pemberian bahan organik.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2003. Nias Selatan Dalam Angka Tahun 2003 Dinas Pertanian dan Kehutanan Nias Selatan, 2005. Laporan Tahunan Kabupaten Nias Selatan. Dinas Pertanian dan Kehutanan Nias Selatan Janes, J. 2005., Rehabilitasi Kualitas Tanah Pada Areal-Areal Yang Rusak Pasca Tsunami di Aceh NAD. Curtin University of Technology. Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Tanah Akibat Tsunami-Untuk Penanaman Padi dan Tanaman Lainnya di Medan pada tanggal 9 – 14 Mey 2005. Lindsay Evans. 2005. Manajemen Tanah Akibat Tsunami dalam Pelatihan Manajemen Tanah Akibat Tsunami-Untuk Penanaman Padi dan Tanaman Lainnya di Medan pada tanggal 9 – 14 Mey 2005.
219
PENAMPILAN BEBERAPA GALUR HARAPAN/VARIETAS PADI AROMATIK DAN PADI KONVENSIONAL ASAL IRRI DI SUMUT Nieldalina, Akmal dan Helmi Balai Pengkajian Terknologi Pertanian Sumatera Utara
ABSTRAK Di Propinsi Sumatera Utara sekitar 70% areal persawahan masih didominasi oleh varietas IR-64. Mengingat tenggang waktu pertanaman varietas ini sudah cukup lama, maka kemurniannya diperkirakan telah menurun, dan mulai rentan terhadap hama dan penyakit. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan penelitian uji multilokasi padi sawah untuk mendapatkan varietas unggul yang berpotensi hasil tinggi dan beradaptasi baik. Penelitian multilokasi beberapa galur harapan padi aromatik dan padi konvensional asal IRRI dilakukan MH tahun 2001/2002. Pengujian dilakukan di sentra produksi padi Pasar Miring, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Dari 16 galur harapan padi aromatik dan konvensional yang di uji, ditambah 3 varietas pembanding diperoleh 11 galur harapan/varietas yang lebih tinggi produksinya dibanding IR-64 yang hanya menghasilkan 4,46 t/ha, antara lain 5 galur harapan dengan produksi 4,46 - 5 t/ha, 5 galur harapan/varietas dengan produksi >5 t/ha, dan 1 galur harapan yang nyata lebih tinggi. Lima Galur harapan dengan produksi lebih tinggi dari produksi IR-64 tetapi masih di bawah 5 t/ha yaitu IR 59682-132-1-1-2, IR 71146-122-1-1-2-1, IR 71146-97-1-2-1-3, IR 71143-223-3-2-2-3 dan IR 71137-184-3-2-3-3, masing-masing sebesar 4,90 t/ha, 4,81 t/ha, 4,80 t/ha, 4,54 t/ha dan 4,53 t/ha. Lima galur harapan/varietas dengan produksi 5 t/ha atau lebih yaitu masing masing IR 51672-62-1-1-2-3 (konvensional), IR 60819-34-2-1 (konvensional), Sintanur, IR 65617-52-2-33-2-3 dan IR 71137-49-1-2 (masing-masing aromatik) yaitu masing-masing sebesar 5,27 t/ha, 5,26 t/ha, 5,22 t/ha, 5,01 t/ha dan 5 t/ha. Sementara galur IR 59552-21 (konvensional), nyata paling tinggi hasilnya yaitu sebesar 5,53 t/ha. Diharapkan bahwa galur-galur harapan dan varietas ini nantinya dapat menggantikan padi IR-64. Kata kunci : galur/varietas harapan, padi aromatik, padi konvensional.
PENDAHULUAN Penciptaan varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi, merupakan salah satu langkah yang dilakukan dalam upaya peningkatan produksi padi di Sumatera Utara. Upaya ini ditempuh karena Produktivitas padi Sumut (4,32 t/ha), masih di bawah rata-rata produktivitas nasional 4,5 t/ha (BPS Sumut, 1997; Diperta Sumut, 1999). Luas panen tahunan Sumatera Utara tahun 2004 telah berkembang menjadi 744.947 ha, tersebar di 25 kabupaten dengan berbagai keragaman jenis tanah, dan ketinggian tempat (BPS Sumut, 2004). Gambaran ini mengindikasikan peluang peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas dengan menggunakan teknologi spesifik lokasi masih cukup besar. Varietas padi unggul baru yang berumur genjah dan berpotensi hasil tinggi merupakan harapan petani, karena dapat meningkatkan pendapatan melalui peningkatan indeks pertanaman (IP). Kondisi ini sejalan dengan program Pemerintah, untuk pencapaian target IP 300% ( Las, et al, 1999). Penciptaan varietas unggul baru juga menciptakan keragaman genetik yang dapat mengatasi cekaman lingkungan terutama ketahanan terhadap hama, penyakit utama dan kesesuaian terhadap lahan marginal (Castano, 1991). Dihasilkannya varietas unggul baru yang berumur genjah dengan potensi hasil tinggi, diharapkan dapat mengurangi penyebaran varietas Cisadane dan IR-64 yang menguasai 80% areal pertanaman padi Indonesia. Di Propinsi Sumatera Utara terdapat sekitar 70% areal persawahan masih didominasi varietas IR-64. Mengingat tenggang waktu pertanaman varietas ini sudah cukup lama, maka kemurniannya diperkirakan telah menurun, dan mulai rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan penelitian uji multilokasi, untuk mendapatkan dan melihat penampilan galur harapan padi sawah romatik ataupun konvensional yang memiliki potensi hasil tinggi dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit sebagai calon varietas unggul spesifik Sumatera Utara
220
BAHAN DAN METODA Lokasi dan Waktu Pengkajian Pengujian ini dilakukan di sentra produksi padi Pasar Miring Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara pada musim hujan TA. 2001/2002. Lokasi ini sekitar 8,2 km dari ibukota kabupaten dan 36 km dari ibukota Propinsi Sumut. Tabel 1. Galur-Galur Harapan Padi Sawah Konvensional dan Aromatik yang Diadaptasikan di Kebun Percobaan Pasar Miring, pada TA. 2002 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Nama Galur/varietas IR 71143-223-3-2-2-3 IR 71146-97-1-2-1-3 IR 71137-184-3-2-3-3 IR 65610-24-3-6-3-2-3 IR 67406-6-3-2-3 IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-3-3-2-3 IR 67406-49-2-3-1-3-3 IR 71146-407-2-1-2-1 IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2 IR 59682-132-1-1-2 IR 60819-34-2-1 IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3 IR 64 WAY APOBURU SINTANUR
Keterangan Aromatik Aromatik Aromatik Aromatik Aromatik Aromatik Aromatik Aromatik Aromatik Aromatik Aromatik Aromatik Konvensional Konvensional Konvensional Konvensional Konvensional Konvensional Aromatik
Prosedur Pengkajian Pengujian 19 Galur padi aromatik dan konvensional (Tabel 1) dilaksanakan dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Ukuran petak perlakuan 4 x 5 m, jarak antar ulangan 1 m dan jarak antara petakan 0,5 m. Pengolahan tanah dilakukan dengan sempurna. Untuk mengatasi serangan hama bibit ditaburkan curater dengan dosis 18 kg/ha menjelang tanam. Umur bibit 21 hari, ditanam 3 btg/rumpun dengan jarak 20x20 cm. Dosis pemupukan berdasarkan hasil analisis tanah. Pupuk Urea diberikan 3 kali, masing-masing sepertiga bagian saat tanam, umur 4 mst, dan umur 7 mst. Pupuk SP36 dan KCL diberikan pada saat tanam bersamaan dengan pemberian Urea pertama. Penyiangan dilakukan pada umur 4 mst dan 8 mst, disesuaikan dengan banyaknya gulma dilapangan, sedangkan pengendalian hama dan penyakit dilakukan apabila terlihat gejala serangan. Data yang dikumpul meliputi kondisi lahan penelitian sebelum tanam, komponen pertumbuhan, serangan hama/ penyakit, komponen hasil dan hasil. Jumlah tanaman sampel yang diambil setiap plot adalah 10 rumpun ditentukan secara acak dalam petak perlakuan dengan tidak memasukkan 2 baris tanaman pinggir. Selain itu dalam penghitungan produksi juga tidak dimasukkan 2 baris tanaman pinggir. Data yang diperoleh di analisis secara statistik dengan menggunakan analysis of variance (ANOVA) dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan LSD pada taraf 5% (Steel and Torrie, 1993), dengan padi IR-64 sebagai kontrol.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Tanah Hasil analisis tanah (Tabel 2) memberikan gambaran bahwa tekstur tanah lempung berpasir dengan kandungan pasir, debu dan liat lapisan olah kedalaman 0-10 cm masing-masing sebesar 37,5%, 33% dan 29,5%, sementara pada kedalaman 11-20 cm masing-masing sebesar 37%, 33% dan 30%. Tanah dengan KTK rendah ini mempunyai kandungan N tanah (PPT, 1983 dalam Hardjowigeno, 1987) berstatus rendah, kandungan P-total tanah termasuk sedang, sementara kandungan K-dd termasuk rendah, dan pH tanah adalah masam, selain itu Ca, Mg dan Na yang dapat dipertukarkan berstatus sangat rendah.
221
Tabel 2. Hasil Analisis Tanah pada Petak Sawah Pasar Miring, Tahun 2002 Macam analisis Pasir Debu Liat PH H2O PH KCl N-total Ca-dd Mg-dd K-dd Na-dd P-total KTK
Satuan % % % % me/100g me/100g me/100g me/100g % me/100g
Kedalaman 0 - 10 cm
11 - 20 cm
37,5 33 29,5 5,15 4,04 0,14 0,10 0,24 0,20 0,03 0,03 7,58
37 33 30 5,1 4,1 0,15 0,10 0,22 0,21 0,03 0,05 7,75
Tinggi Tanaman Maksimum dan Jumlah Anakan Produktif Tinggi tanaman maksimum sangat bervariasi, antara 93,2 - 121,5 cm. Paling tinggi Sintanur, paling rendah Way Apoburu masing masing 121,5 cm dan 93,2 cm. Dibanding IR-64 (96,4 cm) ternyata ada 4 galur padi aromatik dan varietas yang tidak berbeda nyata, 2 galur nyata dan 12 galur dan varietas sangat berbeda (Tabel 3 dan Grafik 1). Tanaman padi yang lebih rendah biasanya lebih tahan terhadap resiko kerebahan akibat hujan atau angin. Perbedaan tinggi tanaman sangat ditentukan oleh sifat genetik tanaman (Bari,dkk, 1974). Rata-rata galur dan varietas padi aromatik dan konvensional yang ditanam tidak berbeda jumlah anakan produktifnya dibanding padi IR-64, kecuali 2 galur padi aromatik yaitu IR 71130-51-2 dan IR 71143223-3-2-2-3 serta padi Sintanur nyata lebih sedikit jumlah anakan produktifnya (Tabel 3 dan Grafik 2). Persentase Serangan Sundep Serangan hama sundep yang terjadi sekitar 1,03 - 3,40%, namun setelah diolah nilai CV cukup besar, sehingga diperlukan transformasi semua data asli dengan menggunakan Transformasi Akar Kuadrat (X+0,5)1/2. Rata-rata nilai tengah ditampilkan pada Tabel 3, Grafik 3). Ternyata ketahanan semua galur harapan dan varietas padi yang diuji tidak berbeda dibanding IR-64, kecuali galur IR 66696-49-1-2 nyata lebih tinggi persentase terserang hama Sundep. Umur Panen Umur panen juga bervariasi antara 108 hari sampai 125 hari. Umur paling panjang ditunjukkan oleh Galur padi konvensional IR 51672-62-1-1-2-3 dan IR 60819-34-2-1, 125 hari dan 124 hari, kemudian diikuti varietas Sintanur, 119 hari. Varietas Way Apoburu sama umur panennya dengan IR-64 yaitu 110 hari. Umur paling pendek (108 hari) ditunjukan oleh 3 galur padi aromatik yaitu IR 71137-49-1-; IR 65617-52-2-3-3-2-3, dan IR 67406-49-2-3-1-3-3. Tujuh galur lainnya dipanen pada umur 109 hari (Tabel 3, Grafik 4). Rata-rata Jumlah Malai/3 Rumpun dan Panjang Malai Rata-rata jumlah malai per 3 rumpun berkisar 28,00-38,00. Tidak ada perbedaan nyata dibandingkan IR-64 (32,33). Meskipun demikian terdapat 12 galur yang cenderung lebih tinggi jumlah malainya. Paling tinggi adalah varietas Way Apoburu sebanyak 38 malai (Tabel 3, Grafik 5). Tanaman dengan jumlah malai lebih banyak dapat mengurangi resiko kegagalan total dari serangan hama tikus.
222
Grafik 1. Tinggi Tanaman Maksimum Padi Aromatik dan Padi Konvensional di Pasar Miring MT 2001/2002 140.0
Grafik 2. Jumlah Anakan Produktif Padi Aromatik dan Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002
IR 71143-223-3-2-2-3
IR 71137-184-3-2-3-3
13.0
IR 65610-24-3-6-3-2-3
Tinggi TAnaman (cm)
Jumlah Anakan Produktif (btg)
IR 67406-6-3-2-3
100.0
IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2
80.0
IR 65617-52-2-3-3-2-3 IR 67406-49-2-3-1-3-3 IR 71146-407-2-1-2-1
60.0
IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2
40.0
IR 71143-223-3-2-2-3 IR 71146-97-1-2-1-3 IR 71137-184-3-2-3-3 IR 65610-24-3-6-3-2-3 IR 67406-6-3-2-3 IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-3-3-2-3 IR 67406-49-2-3-1-3-3 IR 71146-407-2-1-2-1 IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2 IR 59682-132-1-1-2 IR 60819-34-2-1 IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3 IR 64 WAY APOBURU SINT ANUR
13.5
IR 71146-97-1-2-1-3
120.0
IR 59682-132-1-1-2
12.5 12.0 11.5 11.0 10.5
IR 60819-34-2-1
20.0
10.0
IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3
9.5
IR 64
0.0 Rata-rata Galur/varietas
1
WAY APOBURU SINT ANUR
Galur/Varietas
Grafik 3. Transformasi (X+0,5)1/2 Persentase Serangan Sundep Padi Aromatik dan PAdi Konvensional di Pasar Miring MT. 2001/2002
Grafik 4. Umur Panen Padi Aromatik dan Padi Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00 1 Galur Harapan/ Varietas
125.0 120.0 Umur Panen (hari)
Persentase Serangan Sundep (%)
130.0
IR 71143-223-3-2-2-3 IR 71146-97-1-2-1-3 IR 71137-184-3-2-3-3 IR 65610-24-3-6-3-2-3 IR 67406-6-3-2-3 IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-3-3-2-3 IR 67406-49-2-3-1-3-3 IR 71146-407-2-1-2-1 IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2 IR 59682-132-1-1-2 IR 60819-34-2-1 IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3 IR 64 WAY APOBURU SINTANUR
115.0 110.0 105.0 100.0 95.0 1
IR 71143-223-3-2-2-3 IR 71146-97-1-2-1-3 IR 71137-184-3-2-3-3 IR 65610-24-3-6-3-2-3 IR 67406-6-3-2-3 IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-3-3-2-3 IR 67406-49-2-3-1-3-3 IR 71146-407-2-1-2-1 IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2 IR 59682-132-1-1-2 IR 60819-34-2-1 IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3 IR 64 WAY APOBURU SINTANUR
Varietas
Rata-rata panjang malai 21,50-27,63 cm, tidak ada perbedaan nyata dibandingkan IR-64 (24,08 cm), kecuali 1 varietas sangat nyata lebih pendek malainya yaitu IR 65610-24-3-6-3-2-3 sepanjang 21,50 cm dan 3 galur yang sangat nyata lebih panjang yaitu IR 66696-49-1-2 ; IR 67406-49-2-3-1-3-3 dan IR 67406-6-3-2-3, masing-masing 26,33, 26,91 dan 27,63 cm (Tabel 3, Grafik 6). Grafik 6. Panjang Malai Padi Aromatik dan Padi Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002
Grafik 5. Jumlah Malai 3 Rumpun Padi Aromatik dan Padi Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002
35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1 Galur/Varietas
IR 71143-223-3-2-2-3 IR 71146-97-1-2-1-3 IR 71137-184-3-2-3-3 IR 65610-24-3-6-3-2-3 IR 67406-6-3-2-3 IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-3-3-2-3 IR 67406-49-2-3-1-3-3 IR 71146-407-2-1-2-1 IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2 IR 59682-132-1-1-2 IR 60819-34-2-1 IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3 IR 64 WAY APOBURU SINT ANUR
30.00 25.00 Panjang Malai (cm)
Jumlah Malai 3 rumpun (tangkai)
40.00
20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1 Galur/ Narietas
IR 71143-223-3-2-2-3 IR 71146-97-1-2-1-3 IR 71137-184-3-2-3-3 IR 65610-24-3-6-3-2-3 IR 67406-6-3-2-3 IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-3-3-2-3 IR 67406-49-2-3-1-3-3 IR 71146-407-2-1-2-1 IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2 IR 59682-132-1-1-2 IR 60819-34-2-1 IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3 IR 64 WAY APOBURU SINT ANUR
Jumlah Gabah Isi dan Jumlah Gabah Hampa Jumlah gabah isi/malai berkisar antara 85,17-113,40 butir, varietas kontrol (IR-64) 88,30 butir. Yang nyata paling tinggi dari IR-64 adalah IR 67406-6-3-2-3, IR 66696-49-1-2 dan IR 71137-184-3-2-3-3, masing-masing 112,07, 112,80 dan 113,40 butir (Tabel 3, Grafik 7). Hal ini menunjukkan bahwa galur-galur ini responsif dan efektif dalam pemanfaatan unsur hara dari tanah maupun pupuk yang diberikan.
223
Grafik 7. Jumlah Gabah Isi/malai Padi Aromatik dan Padi Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002
Grafik 8. Jumlah Gabah Hampa Padi Aromatik dan Padi Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002 60.00 IR 71143-223-3-2-2-3 IR 71146-97-1-2-1-3 IR 71137-184-3-2-3-3 IR 65610-24-3-6-3-2-3 IR 67406-6-3-2-3 IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-3-3-2-3 IR 67406-49-2-3-1-3-3 IR 71146-407-2-1-2-1 IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2 IR 59682-132-1-1-2 IR 60819-34-2-1 IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3 IR 64 WAY APOBURU SINTANUR
50.00
100.00
IR 71143-223-3-2-2-3 IR 71146-97-1-2-1-3 IR 71137-184-3-2-3-3 IR 65610-24-3-6-3-2-3 IR 67406-6-3-2-3 IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-3-3-2-3 IR 67406-49-2-3-1-3-3 IR 71146-407-2-1-2-1 IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2 IR 59682-132-1-1-2 IR 60819-34-2-1 IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3 IR 64 WAY APOBURU SINTANUR
80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
Jumlah Gabah Hampa (butir)
Jumlah Gabah Isi/malai (butir)
120.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1
1
Galur/Varietas
Galur/Varietas
Tabel 3. Rata-rata Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Produktif, Persentase Serangan Sundep {Transformasi Data dengan AkarKuadrat (X+0,5)1/2}, Umur Panen, Jumlah Malai/3 Rumpun, Panjang Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa Berat 1000 butir dan Produksi Galur-galur harapan Padi Sawah Aromatik dan Konvensional pada Pengkajian Uji Multilokasi di Pasar Miring, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. MH 20021/2002
Galur/Varietas
IR 71143-223-32-2-3 IR 71146-97-1-21-3 IR 71137-184-32-3-3 IR 65610-24-3-63-2-3 IR 67406-6-3-2-3 IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-33-2-3 IR 67406-49-2-31-3-3 IR 71146-407-21-2-1 IR 71146-122-11-2-1 IR 71130-51-2 IR 59682-132-11-2 IR 60819-34-2-1 IR 59552-21 IR 51672-62-1-12-3 IR 64 WAY APOBURU SINTANUR CV S.E.D. LSD 5 % LSD 1 %
104,1 **
11.17 *
Persentase Serangan Jumlah Jumlah Sundep (%) Umur Panjang Jumlah Berat Produksi Malai per Gabah (Trans. Panen Malai Gabah Isi 1000 KA.14% 3 rumpun Hampa Akar(hari) (cm) (butir) butir (g) (t/ha) (malai) (butir) Kuadrat (X+0,5)1/2 1.29 ns 113.00 ** 33.00 ns 24.72 ns 104.67 ns 45.20 ** 28.42 ns 4.54 ns
105,7 **
12.20 ns
1.77 ns
113.00 ** 35.00 ns
24.53 ns
102.77 ns 29.67 ns
27.28 ns 4.80 ns
106,6 **
12.03 ns
1.64 ns
109.33 ns 34.00 ns
24.87 ns
113.40 *
33.63 ns
28.31 ns 4.53 ns
102,2 *
11.77 ns
1.66 ns
109.00 *
29.00 ns
21.50 **
96.87 ns
22.83 ns
28.91 ns 3.45 *
106,4 ** 111,1 ** 99,8 ns 104,7 **
11.97 ns 12.23 ns 12.27 ns 13.03 ns
1.68 ns 1.94 * 1.32 ns 1.79 ns
109.00 * 109.00 * 108.00 ** 108.00 **
31.00 ns 28.00 ns 34.00 ns 35.00 ns
27.63 ** 26.33 ** 24.63 ns 24.56 ns
112.07 * 112.80 * 83.70 ns 104.23 ns
33.23 ns 31.27 ns 22.40 ns 55.67 **
27.51 ns 27.44 ns 29.67 ns 27.86 ns
116,6 **
12.50 ns
1.72 ns
108.00 ** 33.00 ns
26.91 **
102.80 ns 45.57 **
27.46 ns 4.38 ns
106,0 **
13.03 ns
1.43 ns
109.00 *
37.33 ns
25.31 ns
88.80 ns
49.00 **
27.05 ns 4.30 ns
96,8 ns
12.23 ns
1.59 ns
109.00 *
31.67 ns
24.58 ns
94.90 ns
35.50 ns
30.28 *
108,6 ** 97,8 ns
11.37 * 12.80 ns
1.76 ns 1.47 ns
109.00 * 29.33 ns 113.00 ** 35.00 ns
24.82 ns 25.00 ns
94.77 ns 27.23 ns 104.20 ns 31.83 ns
28.93 ns 4.41 ns 24.52 ** 4.90 ns
108,1 ** 101,5 * 109,3 **
12.03 ns 13.17 ns 12.87 ns
1.26 ns 1.32 ns 1.23 ns
124.00 ** 33.33 ns 113.00 ** 33.67 ns 125.00 ** 37.67 ns
23.57 ns 24.09 ns 23.62 ns
93.93 ns 97.20 ns 85.17 ns
32.40 ns 51.00 ** 28.30 ns
27.75 ns 5.26 ns 27.15 ns 5.53 * 27.80 ns 5.27 ns
96,4 93,2 ns
12.97 13.27 ns
1.41 1.58 ns
110.00 32.33 110.00 ns 38.00 ns
24.08 24.08 ns
88.30 85.83 ns
27.03 16.23 ns
27.73 4.46 27.91 ns 4.06 ns
121,5 ** 2,8 % 2,483 5,026 6,732
11.07 * 7,2 % 0,726 1,469 1,967
1.39 ns 18,6 % 0,234 0,474 0,636
119.00 ** 0,4 % 0,404 0,819 1,099
24.76 ns 3,7 % 0,739 1,495 2,003
108.27 ns 13,5 % 10,880 22,025 29,503
21.43 ns 21,3 % 5,863 11,870 15,899
30.19 * 5,1 % 1,160 2,349 3,146
Tinggi Jumlah Tanaman Anakan Maksimu Produktif m (cm) (batang)
31.33 ns 16,4 % 4,463 9,035 12,102
3.62 * 4.04 ns 5.00 ns 5.01 ns
4.81 ns
5.22 ns 10,6 % 0,400 0,809 1,804
224
Jumlah gabah hampa/malai berkisar antara 16,23-55,67 butir, sementara varietas kontrol (IR-64) 27,03 butir. Penampilan yang sangat nyata paling banyak dibanding IR-64 adalah IR 71143-223-3-2-2-3, IR 67406-49-2-3-1-3-3, IR 71146-407-2-1-2-1, IR 59552-21 dan IR 65617-52-2-3-3-2-3, masing-masing mencapai jumlah gabah hampa 45,20, 45,57, 49,00, dan 51,00 dan 55,67 butir. Jumlah gabah hampa ditentukan oleh sifat genetiknya (Tabel 3, Grafik 8). Berat 1000 butir Berat 1000 butir berkisar antara 24,52-30,28 g. Berat 1000 butir IR-64 adalah 27,73 g. Diperoleh 2 galur yang nyata lebih tinggi yaitu Sintanur dan IR 71146-122-1-1-2-1 masing-masing 30,19 dan 30.28 g. Juga diperoleh satu galur yang sangat nyata lebih ringan yaitu galur IR 59682-132-1-1-2 sebesar 24.52 g. Selebihnya galur padi yang diuji tidak berbeda nyata dibandingkan dengan IR-64. (Tabel 3, Grafik 9) Grafik 9. Berat 1000 butir Padi Aromatik dan Padi Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002
Grafik 10. Produksi Padi Aromatik dan Padi Konvensional KA 14% di Pasar Miring, MT 2001/2001 6.00
35.00
Berat 1000 butir (gr)
30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
IR 71143-223-3-2-2-3 IR 71146-97-1-2-1-3 IR 71137-184-3-2-3-3 IR 65610-24-3-6-3-2-3 IR 67406-6-3-2-3 IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-3-3-2-3 IR 67406-49-2-3-1-3-3 IR 71146-407-2-1-2-1 IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2 IR 59682-132-1-1-2 IR 60819-34-2-1 IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3 IR 64 WAY APOBURU SINTANUR
5.00 Produksi KA14% (t/ha)
IR 71143-223-3-2-2-3 IR 71146-97-1-2-1-3 IR 71137-184-3-2-3-3 IR 65610-24-3-6-3-2-3 IR 67406-6-3-2-3 IR 66696-49-1-2 IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-3-3-2-3 IR 67406-49-2-3-1-3-3 IR 71146-407-2-1-2-1 IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2 IR 59682-132-1-1-2 IR 60819-34-2-1 IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3 IR 64 WAY APOBURU SINTANUR
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
1
1
Galur/Varietas
Galur/Varietas
Produksi pada KA 14% Rata-rata produksi pada KA.14% berkisar antara 3,45-5,53 t/ha (Grafik 9 dan 10), produksi IR-64, 4,46 t/ha. Hal ini dapat disebabkan karena respon tanaman terhadap pemupukan N pada kondisi kadar hara N tanah yang rendah, sementara kandungan hara P tanah yang sedang, sudah dapat mencukupi kebutuhan tanaman ditambah dengan pemupukan P sampai 97,5 kg SP-36/ha. Begitu juga dengan kandungan hara K tanah yang sangat tinggi yang menyebabkan tidak adanya respon tanaman terhadap penambahan pupuk K. Kondisi di atas diperlihatkan oleh produksi rata-rata tertinggi cendrung diperoleh pada perlakuan pemupukan N Supra Insus dengan 97,5 kg kg SP 36/ha dan 0 kg KCl/ha, yaitu 5,71 t/ha pada KA 14% atau setara dengan 6,22 t/ha GKP.
KESIMPULAN Diperoleh 5 galur harapan dengan produksi lebih tinggi dari IR-64 (4,46 t/ha) yaitu IR 59682-132-11-2 (4,90 t/ha); IR 71146-122-1-1-2-1 (4,81 t/ha); IR 71146-97-1-2-1-3 (4,80 t/ha); IR 71143-223-3-2-2-3 (4,54 t/ha) dan IR 71137-184-3-2-3-3 (4,53 t/ha). Lima galur harapan dengan produksi 5 t/ha atau lebih yaitu masing masing IR 51672-62-1-1-2-3 (konvensional), IR 60819-34-2-1 (konvensional), Sintanur, IR 65617-52-2-3-3-2-3 dan IR 71137-49-1-2 (masing-masing aromatik) yaitu masing-masing sebesar 5,27 t/ha, 5,26 t/ha, 5,22 t/ha, 5,01 t/ha dan 5 t/ha. Sementara galur IR 59552-21 (konvensional), nyata paling tinggi hasilnya yaitu sebesar 5,53 t/ha. Diharapkan bahwa galur-galur harapan dan varietas ini nantinya dapat menggantikan padi IR-64.
225
DAFTAR PUSTAKA Aradeau, M.A. and Z. Harahap. 1986. Relevant upland rice breeding objective. Pp 189-198 in Progres in Upland Rice Research. IRRI, Philippines. Bari,A., S.Musa dan E Syamsudin. 1974. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian. IPB Bogor BPS Sumut, 2004. Sumatera Utara dalam angka 2004. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. Castano, J.Z. 1991. Status of research on blast (pyricularia oryzae Cav) in upland rice at Sumatera and management of the disease. Sukarami research Institute for Food Crops. Padang, West Sumatera. 73 p. Daradjat, A.A. 1998. Metode non parametrik untuk analisis interaksi genotipe Dengan Lingkungan. Makalah Pelatihan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran – Balai Penelitian Padi (BALITPA) Sukamandi. 25 p Diperta Sumut, 1999. Kesimpulan rapat kerja Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sesumatera Utara, Hotel Sahid, Medan. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 19 p. Fagi, A. M. dan Z.Zaini, 1996. Sistem usahatani berbasis dengan wawasan agribisnis. Prosiding seminar nasional Prospek tanam benih langsung padi sawah di Indonesia. Makalah pada seminar himpunan ilmu gulma Indonesia. Hal 8-20 Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta Kantor Statistik Sumut, 1997. Ringkasan eksekutif statistik Sumatera Utara. Meningkatkan intensitas tanaman pangan Sumatera Utara. Perwakilan BPS, Kantor Statistik Sumatera Utara. 16 p. Las, I, A.Karim Makarim, Sumarno, Sirman Purba, Maesti Mardiharini dan S.Kartaatmadja, 1999. Pola IP padi 300 Konsepsi dan Prospek Implementasi Siatem Usaha Pertanian Berbasis Sumberdaya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 66 p Steel, R.G. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan prosedur statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 748 p.
226
DINAMIKA FOSFOR DAN KARBON ORGANIK PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI SUMATERA UTARA Ali Jamil, Darwin Harahap, Khadijah EL Ramija, dan Novia Chairuman Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara ABSTRAK Secara umum, semua lahan sawah tadah hujan (LSTH) memiliki status kesuburan tanah yang rendah karena pertanaman terus menerus dengan sedikit atau tidak ada penggantian hara dan/atau kesuburan tanah yang rendah secara alami. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi dinamika fosfor dan C-organik dalam tanah selama masa pertanaman padi secara tanam pindah sebagai pengaruh pemakaian pupuk fosfor dan pupuk kandang sapi pada LSTH di Sumatera Utara. Percobaan telah dilakukan sejak bulan Juni hingga Oktober, 2004. Perlakuan terdiri dari kombinasi 0; 30; 60; dan 90 kg P2O5 per ha dan 0; 3; dan 6 ton pupuk kandang sapi per ha. Perlakuan disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dalam bentuk faktorial dengan beberapa sifat tanah sebagai parameter yang diukur dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan P tersedia hingga 75 hari setelah tanam (HST) dan menurun hingga 105 HST. Demikian juga kandungan karbon organik tanah meningkat hingga umur 95 HST dan menurun pada saat 105 HST. Secara umum, terjadi peningkatan yang nyata pada kandungan P tersedia dan kandungan karbon organik dalam tanah sebagai pengaruh pemberian pupuk P dan bahan organik selama masa pertumbuhan tanaman padi secara tanam pindah. Disimpulkan bahwa terdapat peningkatan P tersedia dan C-organik pada LSTH di Sumatera Utara hingga 75 maupun 95 HST. Pemberian 90 kg P2O5 per ha dan 6 ton per ha pupuk kandang sapi memberikan nilai kandungan hara paling besar dibandingkan perlakuan lainnya. Kata kunci: dinamika, fosfor, karbon-organik, lahan sawah, tadah hujan, Sumatera Utara
PENDAHULUAN Sistem lahan sawah tadah hujan mencakup sekitar 37 juta ha yang diperkirakan sekitar 1/3 total area yang ditanami padi di dunia (IRRI, 1997). Karena ketersediaan air yang fluktuatif, maka kondisi secara hydrologi sangat bervariasi dari tergenang sempurna tanaman padi hingga kekeringan dimana hal ini sering terjadi dalam musim yang sama. Tanah bertekstur liat yang kaya dengan sesquioksida seperti Ultisol, Oxisol, dan juga sulfat masam, gambut dan tanah-tanah sodik di dalam dasar pembentukan mereka mempunyai kadar P-tersedia rendah dan mempunyai kapasitas mengadsorpsi pupuk fosfor yang besar (Singh dan Sovyanhadi, 1998). Oleh karena pertanaman yang intensif, bahan organik tanah telah terkuras sehingga akhirnya menurunkan tingkat kesuburan tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah adalah merupakan solusi yang terbaik untuk mengatasi penurunan tingkat kesuburan tanah. Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia penghasil beras. Di Sumatera Utara terdapat 89.395 ha lahan sawah tadah hujan yang ditanami dua kali setahun dan 91.362 ha ditanami hanya sekali setahun (BPS Sumatera Utara, 2004). Rataan produktivitas padi pada lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara menurut Erythrina dkk. (2001) adalah sekitar 4,15 t ha-1. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, diperlukan teknologi pengelolaan hara secara spesifik lokasi untuk pengembangan produktivitas sistem tanam berbasis padi di lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Langkat. Penekanan khusus adalah untuk pengelolaan fosfor dan bahan organik pada lahan sawah tadah hujan. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi dinamika fosfor dan karbon organik dalam tanah pada lahan sawah tadah hujan selama masa pertumbuhan tanaman padi tanam pindah, khususnya di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.
BAHAN DAN METODE Percobaan dilakukan pada musim kering dari bulan Juni sampai Oktober 2004 di Desa Suka Makmur, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, pada lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara pada ketinggian sekitar 28 m di atas permukaan laut dengan rataan curah hujan tahunan sekitar 2.462 mm. Lokasi percobaan didominasi oleh jenis tanah Albaquult (Adiwiganda, 1990; Soil Survey Staff, 1998). Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dalam bentuk factorial dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah penggunaan pupuk fosfor dalam bentuk SP-36 (36% P2O5) sebanyak empat tingkat yaitu berturut-turut: P0, P1, P2, dan P3 dengan dosis yaitu 0, 30, 60, dan 90 kg ha-1 P2O5. Perlakuan kedua adalah pemakaian bahan organik dalam hal ini digunakan pupuk kandang sapi sebagai sumber bahan organik pada tiga tingkatan dosis berturut-turut adalah 0, 3, dan 6 t ha-1. Ukuran plot adalah 5
227
m x 6 m dan ulangan (blok) serta masing-masing blok dipisahkan dengan pematang pada jarak berturut-turut adalah 1.0 m dan 0.5 m untuk memudahkan operasional di lapangan dan pengelolaan lainnya termasuk pengumpulan data yang dibutuhkan. Dua belas kombinasi perlakuan fosfor dan bahan organik (pukan sapi) adalah sebagai berikut P0O0, P0O1, P0O2, P1O0, P1O1, P1O2, P2O0, P2O1, P2O2, P3O0, P3O1, dan P3O2. Pemupukan kalium sebagai pupuk dasar telah diaplikasikan pada saat tanam pindah (0 HST) dengan dosis 50 kg KCl ha-1. N (kg N ha-1) diberikan sebagai berikut: 20 sebagai dasar, 30 pada awal pembentukan anakan (14-20 HST), 25 pada pertengahan pembentukan anakan (30-35 HST), dan 45 pada fase pembentukan malai (40-45 HST). Pupuk fosfor diberikan pada saat tanam dan pukan sapi diberikan dua minggu sebelum tanam. Parameter yang diukur pada percobaan ini adalah kandungan P tersedia dan karbon organik tanah selama pertumbuhan tanaman padi tanam pindah. Contoh tanah diambil secara komposit dari lima sub contoh dijadikan menjadi satu contoh komposit per plot untuk dianalisa sifat-sifatnya. Pengambilan contoh tanah dan analisa sifat tanah ini dilakukan pada awal sebelum percobaan dimulai, kemudian setiap 20 hari sekali sejak 15 HST hingga setelah panen padi (15, 35, 55, 75, 95, dan 105 HST). Data dianalisis dengan menggunakan SAS program. Analisis Covariance (ANACOVA) telah digunakan menguji pengaruh perbedaan perlakuan terhadap parameter tanah dengan menggunakan prosedur seperti dikemukakan Steel dan Torrie (1980) dan Gomez dan Gomez (1983).
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Tanah dan Bahan Organik yang Digunakan pada Lokasi Percobaan Untuk membahas sifat awal dari tanah lokasi percobaan, telah digunakan kriteria penilaian kandungan hara dalam tanah seperti dikemukakan Hardjowigeno (2003). Secara umum, variasi sifat tanah dalam areal percobaan adalah kecil seperti disajikan pada Tabel 1. Tanah pada areal percobaan mempunyai kandungan hara P tersedia sangat rendah (4,2-4,7 ppm), kandungan C-organik juga sangat rendah (0,350,38%), kapasitas tukar kation sedang (22,7-22,9 cmol(+)kg-1). Kerapatan lindak berkisar antara 1,13-1,20 g cm-3, dan kandungan air tersedia berkisar antara 10,2-11,9%. Dibandingkan dengan sifat awal tanah sebelum percobaan dimulai, maka pemakaian kedua P dan bahan organik (pukan sapi) meningkatkan ketersediaan P dalam tanah, dan kandungan karbon organik tanah sekitar 102% dan 197%. Walaupun terjadi peningkatan untuk kandungan P tersedia dan karbon organik dalam tanah, nilai yang diperoleh pada akhir percobaan ini masih tergolong kepada kriteria sangat rendah ke rendah untuk kedua parameter di atas karena kandungan yang sangat rendah dalam tanah sebelum percobaan dimulai. Tabel 1. Nilai Rataan Sifat Tanah Awal pada Areal Percobaan Sebelum Pertanaman Parameter No.
Plot
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
P0O0 P0O1 P0O2 P1O0 P1O1 P1O1 P2O0 P2O1 P2O2 P3O0 P3O1 P3O2 Rataan SE
P-tersedia (ppm) 4,4 4,3 4,2 4,4 4,4 4,3 4,5 4,7 4,6 4,6 4,5 4,7 4,5 0,33
C-organik (%) 0,36 0,38 0,38 0,37 0,37 0,38 0,37 0,37 0,38 0,38 0,35 0,37 0,37 0,03
KTK (cmol(+)kg-1) 22,7 22,8 22,8 22,8 22,8 22,8 22,9 22,8 22,8 22,8 22,8 22,8 22,8 0,09
Kerapatan lindak (g cm-3) 1,20 1,15 1,15 1,20 1,16 1,14 1,13 1,17 1,19 1,13 1,18 1,18 1,16 0,02
Air tersedia (%) 10,5 10,9 11,0 11,2 10,6 11,0 11,4 11,3 10,6 10,2 11,7 11,9 11,0 0,75
Pupuk kandang sapi telah digunakan sebagai sumber bahan organik pada percobaan ini yang diperoleh dari Desa Lubuk Bayas, Kabupaten Deli Serdang. Sub contoh telah diambil dan dijadikan satu contoh komposit untuk dianalisa kandungan haranya sebelum diperlakukan ke lapang. Secara rata-rata, pukan sapi yang digunakan pada percobaan ini mengandung 1,04% N-total dan 20,6% C-organik dengan nilai C/N 19,8. Disamping itu, kandungan P, K, Ca, dan Mg berturut-turut adalah 0,30; 1,24; 1,62; dan 0,52%.
228
Dinamika Fosfor dan Karbon Organik Dalam Tanah Fosfor tersedia. Pemakaian kedua fosfor dan bahan organik secara nyata (P<0.001) meningkatkan fosfor tersedia dalam tanah dan meningkat dengan waktu sampai 75 HST (Tabel 2). Peningkatan pemberian fosfor sampai 60 kg ha-1 P2O5 dapat meningkatkan kandungan P tersedia dari 29.4-41.3%; namun, tidak terdapat peningkatan selanjutnya bila dosis pemberian P ditingkatkan dari 60 ke 90 kg ha -1 P2O5. Pemakaian bahan organik juga menghasilkan peningkatan yang nyata untuk fosfor tersedia dalam tanah dari 19,5-38,5%. Kandungan P tersedia juga meningkat dengan waktu dengan peningkatan yang lebih tinggi pada 75 HST dimana peningkatan ini sekitar 95% dengan penggunaan 6 t ha -1 bahan organik. Interaksi antara pemberian P dengan bahan organik juga nyata pada semua waktu pengamatan kecuali pada 15 dan 75 HST, dimana hal ini terutama disebabkan oleh respon P tersedia yang lebih besar terhadap pemakaian bahan organik, khususnya pada level P yang lebih tinggi (P2 dan P3). Peningkatan konsentrasi P tersedia dalam tanah kemungkinan besar disebabkan beberapa hal seperti peningkatan kelarutan pupuk kimia dan pelarutan PO4 dari kompleks tidak larut dengan Fe, Al, Ca, dll karena asam humik yang dapat dihasilkan selama pelapukan pukan sapi (Tisdale dkk., 1985). Miller and Donahue (1995) selanjutnya menjelaskan bahwa pupuk fosfat adalah salah satu sumber langsung dari fosfat larut dalam tanah. Sebagai tambahan bahwa kadar P tersedia meningkat dengan waktu, tetapi lebih respon terhadap P dan pukan sapi bila diberikan bersama. Pillai (2006) mengemukakan bahwa jika tanah digenangi, beberapa perubahan kimia dan elektrokimia utama akan terjadi yang akan menyebabkan peningkatan pH tanah masam, reduksi kimia, peningkatan pH tanah masam dan penurunan pH tanah-tanah kalkareus atau/dan sodik, yang kesemuanya ini mempunyai peran dalam peningkatan kadar P tersedia dalam tanah. Oleh karena rendahnya kandungan karbon organik pada awal percobaan, diharapkan bahwa penggunaan pukan sapi ke dalam tanah akan memperbaiki sifat kimia dan fisika tanah, seperti diamati pada percobaan ini dimana kandungan P tersedia meningkat dengan meningkatnya pemberian P maupun pukan sapi. Olk dkk. (2000) mengemukakan bahwa, tanah bertekstur liat sering ditandai dengan struktur maupun aerasi yang jelek, keduanya akan dapat diperbaiki melalui penambahan bahan organik (Sparling dkk., 1992; Angers dkk., 1993; dan Miller dan Donahue, 1995). Tabel 2. Fosfor Tersedia Dalam Tanah pada Waktu Pengamatan Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P dan Bahan Organik PERLAKUAN P0
P1
P2
P3
Pukan sapi
O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan Rataan O0 O1 O2
HARI SETELAH TANAM 35 55 75 95 105 -------------------------------------- ppm ------------------------------------4,67 4,86 5,83 6,18 5,57 4,83 5,13 5,89 6,92 7,66 6,98 5,93 5,90 6,92 7,97 9,38 7,95 7,01 5,23 5,89 6,91 7,74 6,84 5,92 5,07 5,93 6,61 7,98 6,58 5,85 5,47 6,90 8,39 8,64 8,33 6,93 6,24 7,94 9,08 9,82 9,26 8,23 5,59 6,92 8,03 8,81 8,06 7,00 6,47 7,14 8,78 8,90 8,74 6,89 6,76 7,91 9,14 9,93 9,46 8,01 7,07 9,88 10,72 11,74 10,79 9,71 6,77 8,31 9,55 10,19 9,66 8,20 5,09 6,40 8,34 8,84 8,37 6,65 5,71 7,65 8,98 9,42 9,00 7,47 6,23 8,96 10,03 10,54 10,15 8,35 5,68 7,67 9,12 9,60 9,17 7,49 15
5,32 6,08 7,39 5,77 7,09 8,36 6,36 8,42 9,45 Rataan 5,82 7,20 8,40 Significance P *** *** *** O *** *** *** PxO tn *** * LSD05 P 0,15 0,17 0,24 O 0,13 0,15 0,21 PxO 0,29 0,42 KK (%) 2,26 2,39 3,13 Keterangan : tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001.
7,97 8,91 10,37 9,08 *** *** tn 0,15 0,14 1,58
7,32 8,44 9,54 8,43 *** *** *** 0,12 0,10 0,20 1,41
6,06 7,08 8,32 7,15 *** *** *** 0,14 0,12 0,24 1,98
229
Pukan sapi yang digunakan dalam percobaan ini mengandung nilai C/N rasio sedang (sekitar 20), dimana hal ini memiliki kontribusi terhadap peningkatan maupun perbaikan kesuburan tanah. Gobat dkk. (2004) mengemukakan bahwa, nilai indeks yang baik dari kualitas pukan sapi adalah rasio C terhadap N. Nilai C/N yang tinggi (25-30) sebagai bukti bahwa bahan organik tersebut belum melapuk secara sempurna. Kandungan karbon organik dalam tanah. Pemakaian kedua P dan bahan organik nyata meningkatkan kandungan karbon organik tanah dan juga meningkat dengan waktu (Tabel 3). Peningkatan karbon organik tanah karena peningkatan pemakaian P dari 0 ke 90 kg P 2O5 ha-1 adalah sekitar 11%-27%. Pengaruh pukan sapi lebih jelas, dimana rata-rata peningkatan karbon organik dari sekitar 24% dan 50% bila diberikan 3 ke 6 t ha-1 pukan sapi. Interaksi nyata antara penggunaan P dan bahan organik hanya terdapat pada pengukuran pertama, dimana hal ini lebih respon terhadap pemakaian bahan organik khususnya pada dosis tanpa pemberian P (P0). Tabel. 3. Perubahan Karbon Organik Tanah pada Waktu Pengukuran yang Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P dan Bahan Organik PERLAKUAN P0
P1
P2
P3
Pukan sapi
O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan O0 O1 O2 Rataan Rataan O0 O1 O2
15 0,51 0,76 0,82 0,70 0,62 0,81 0,86 0,76 0,69 0,82 1,04 0,85 0,73 0,85 1,06 0,88
HARI SETELAH TANAM 35 55 75 95 -------------------------------------- % ------------------------------------0,57 0,62 0,76 0,78 0,78 0,81 0,86 1,04 0,96 0,97 1,01 1,20 0,77 0,80 0,88 1,01 0,63 0,73 0,80 0,83 0,81 0,85 0,92 1,10 1,00 1,02 1,08 1,31 0,81 0,87 0,93 1,08 0,71 0,80 0,81 0,91 0,85 0,90 0,98 1,16 1,07 1,08 1,18 1,36 0,88 0,93 0,99 1,14 0,76 0,83 0,84 0,91 0,86 0,91 1,03 1,18 1,08 1,14 1,16 1,39 0,90 0,96 1,01 1,16
0,64 0,67 0,74 0,81 0,82 0,87 0,94 1,03 1,05 Rataan 0,80 0,84 0,89 Significance P *** *** *** O *** *** *** PxO *** tn tn LSD05 P 0,02 0,05 0,03 O 0,02 0,04 0,03 PxO 0,04 CV (%) 2,98 5,45 3,58 Keterangan : tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001
0,80 0,95 1,11 0,95 *** *** tn 0,04 0,04 4,71
0,86 1,12 1,32 1,10 *** *** tn 0,06 0,05 5,16
105 0,63 0,89 1,17 0,90 0,67 0,93 1,19 0,93 0,73 0,95 1,20 0,96 0,80 0,96 1,22 0,99 0,71 0,93 1,20 0,95 * *** tn 0,06 0,05 4,75
Kandungan C-organik adalah nyata meningkat dengan peningkatan pemberian P dan pukan sapi (Tabel 3). Rata-rata peningkatan dari kedua C-organik adalah sekitar 27% bila diberikan 90 kg P 2O5 ha-1. Pemakaian pukan sapi 6 t ha-1 meningkatkan kandungan C-organik sekitar 54% (0.86-1,32%) pada 95 HST. Interaksi yang nyata juga diamati antara P dan pukan sapi adalah disebabkan lebih tingginya respon kandungan C-organik dalam tanah terhadap pemakaian pukan sapi, khususnya dengan ketiadaan P(P0). CO2 larut air yang dihasilkan selama pelapukan pukan sapi merangsang pembentukan asam karbonat yang akan mampu melarutkan mineral-mineral primer tanah (Tisdale dkk., 1985). Sehingga dengan demikian, kandungan C-organik maupun KTK tanah akan juga meningkat bilamana terjadi pelapukan pukan sapi dan dihasilkan humus yang mana memiliki muatan negatif lebih tinggi sehingga mineral-mineral tanah meningkatkan KTK tanah. Penggenangan secara terus menerus dalam sistem padi-padi secara umum berhubungan dengan peningkatan kandungan C-organik tanah Nambiar dkk. (1992 dalam Hedge 1996). Fraksi koloid, yang mengandung kedua liat dan humus dari pukan sapi, dikenal sebagai tempat berlangsungnya aktifitas kimia dalam tanah, termasuk kapasitas untuk pertukaran ion dalam tanah (Brady dan Weil, 2002). Kontribusi relatif
230
dari liat dan pukan sapi dalam tanah terhadap KTK tanah secara umum ditentukan oleh jumlah bahan organik tanah, mineralogy liat, dan pH tanah. Untuk tanah-tanah liat, bahan organik tanah memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan KTK tanah (Weil dan Magdoff, 2004).
KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil percobaan ini adalah, bahwa pemakaian P dan pukan sapi meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah, kandungan C-organik tanah, berturut-turut sekitar 59%, dan 157% bila dibandingkan dengan nilai awal tanah sebelum dilakukan percobaan. Kandungan P tersedia tanah meningkat hingga umur 75 HST dan kemudian menurun sampai umur 105 HST yang hal ini sangat erat kaitannya dengan masa penggenangan tanah sawah dimaksud. Sementara itu, kandungan C-organik meningkat hingga umur 95 HST dan kemudian menurun hingga umur 105 HST. Perbaikan atau peningkatan sifat tanah tertinggi diperoleh bila dikombinasikan antara 90 kg P 2O5 ha-1 dan 6 t ha-1 pukan sapi.
DAFTAR PUSTAKA Adiwigandra, R. 1990. Reklassifikasi tanah-tanah di Sumatera Utara ke dalam system Taxonomy USDA. Bulletin Pertanian. Univ. Islam Sumatera Utara. Vol. 9 (1):1-10. Angers, D. A., Samson, N., and A. Legere. 1993. Early changes in water-stable aggregation induced by rotation and tillage in soil under barley production. Can. J. Soil Sci. 73:51-59. Brady, N. C., and R. R. Weil. 2002. The nature and properties of soils. 13th ed. Prentice-Hall, Upper Saddle River, NJ. 881 p. BPS Sumatera Utara. 2004. Statistik luas baku lahan Sumatera Utara pada tahun 2003. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 94 p. Erythrina, S. Maryam, Sariman, Murizab, Darmawaty, Akmal, dan Z. Zaini. 2001. Pengelolaan hara terpadu pad lahan sawah tadah hujan, Sumatera Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian-Sumatera Utara. Medan. (tidak dipublikasikan). 14 p. Gobat, J. M., M. Aragno, and W. Matthey. 2004. The Living Soil. Fundamentals of Soil Sci. and Soil Biology. Science Publishers, Inc. Enfield (NH), USA. 602 p. Gomez, K. A., and A. A. Gomez. 1983. Statistical procedures for agricultural research. International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. 680 p. Hardjowigeno, S. 2003. Soil science. Fifth Edition. Akademika Pressindo. Jakarta. (Indonesian Version). 286 p. Hedge, D. M. 1996. Integrated nutrient supply on crop productivity and soil fertility in rice (Oryza sativa)rice system. Indian J. Agron. 41(1):1-8. IRRI. 1997. Rice almanac, 2nd Edition. International Rice Research Institute, Manila. 181p. Miller, R. W., and R. L. Donahue. 1995. Soils in our environment. Seventh Edition. Englewood Cliffs, NJ 07632. 649 p.
Prentice Hall,
OLK, D. C., C. V. Kessel, and K. F. Bronson. 2000. Managing soil organic matter in rice and non rice soils: agronomic questions. In Kirk, G. J. D., and D. C. Olk. 2002. Carbon and Nitrogen Dynamics in Flooded Soils. IRRI. p. 27-47. Pillai, K. G.2006. Rice (Oryza sativa L.). http://www.fertilizer.ogr/ifa/publicat/ html/pubman/rice.htm. p. 1-11. Singht, V. P. and J. Sovyanhadi. 1998. Kinetics of phosphate fixation in acid sulfate, iron toxic and neutral soils. Oryza. 35(2):95-105. Soil Survey Staff. 1998. Keys to soil taxonomy. Eighth Edition. United States Department of Agriculture. Natural Resources Conservation Services. 326 p.
231
Sparling, G. P., Shepherd, T. G., and Kettles, H. A. 1992. Changes in soil organic C, microbial C and aggregate stability under continuous maize and cereal cropping, and after restoration to pasture in soils from the Manawatu region, New Zealand. Soil Till. Res. 24:225-241. Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1980. Principles and procedures of statistics: A biometrical approach. McGraw-Hill Book Company. New York. 633 p. Tisdale, S. L., W. L. Nelson, and J. D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Macmillan Publishing Company, New York, Collier Macmillan, Publishers, London. 754 p. Weil, R. R., and F. Magdiff. 2004. Significance of Soil Organic Matter to Soil Quality and Health. In F. Magdoff and R.R. Weil. Soil organic matter in sustainable agriculture. CRC Press. Boca Raton London, New York, Washington, D.C. p. 1-43
232
RESPON TANAMAN PADI TERHADAP PEMUPUKAN FOSFAT PADA LAHAN SAWAH DI DESA RAWANG PASAR-V, KECAMATAN MERANTI, KABUPATEN ASAHAN Darwin Harahap dan Ali Jamil Balai Pengakjian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
ABSTRAK Respon tanaman padi terhadap pemupukan fosfat pada lahan sawah di Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Agustus 2002. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dan ulangan 4 kali. Sebagai perlakuan adalah tingkat dosis pupuk fosfat yang terdiri dari: P0 = 0 kg SP-36/ha, P1 = 25 kg SP-36/ha, P2 = 50 kg SP-36/ha, P3 = 75 kg SP-36/ha, P4 = 100 kg SP-36/ha. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk SP-36 sebanyak 75 kg/ha memberikan produksi tertinggi (6,72 ton/ha). Rekomendasi pemupukan fosfat (SP-36) untuk Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan adalah 75 kg SP-36/ha. Kata kunci: fosfat, padi, lahan sawah irigasi.
PENDAHULUAN Rekomendasi pemupukan adalah suatu rancangan yang meliputi jenis pupuk, dosis pupuk, cara pemupukan dan waktu pemupukan untuk suatu tanaman yang diharapkan dari suatu rekomendasi pemupukan adalah tepat jenis, tepat dosis, tepat cara dan tepat waktu. Metode pendekatan bisa berupa metode uji tanah, analisis tanaman maupun dengan metode pemupukan (Tim Uji Tanah, 1999). Rekomendasi pupuk yang berlaku di tingkat nasional sampai saat ini masih bersifat umum, statis dan tidak efisien sehingga 20-30 tahun di daerah intensifikasi lahan sawah dilaporkan adanya ketidak seimbangan hara dalam tanah yang khususnya diakibatkan oleh fosfat (Hanson, 1994). Berdasarkan hasil penelitian Puslittanak menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah intensifikasi di Jawa, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Lombok sudah tidak respon terhadap pemupukan P dan K (Setyorini, dkk., 1995). Sampai saat ini rekomendasi pemupukan P dan K untuk padi sawah khususnya di Sumatera Utara masih bersifat umum yaitu berkisar 100-150 kg/ha SP-36/ha/musim dan 100 kg KCl/ha/musim. Penentuan rekomendasi tersebut dilakukan tanpa mempertimbangkan kandungan hara P dan K dalam tanah dan kebutuhan hara bagi tanaman sehingga kurang efisien. Oleh karena itu perlu diketahui berapa kandungan hara lahan sawah agar penentuan dosis pupuk lebih akurat. Areal persawahan di Kabupaten Asahan seluas 52.402 Ha berdasarkan uji status P tanah diketahui bahwa yang berstatus P rendah seluas 19.150 ha (37%), bersatus P sedang 22.123 ha (42%), dan berstatus P tinggi 11.129 ha (21%) (Harahap, D., dkk., 2002). Lokasi percobaan di Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, berdasarkan peta P dan K mempunyai status P sedang dengan kadar P-ekstrak HCl 25% (24,6-34,2 mg/100 g). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rekomendasi pemupukan P spesifik lokasi di Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan. Dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2002, menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 ulangan. Sebagai perlakuan adalah lima dosis pupuk fosfat yang terdiri dari: P0 = 0 kg SP-36/ha, P1 = 25 kg SP-36/ha, P2 = 50 kg SP-36/ha, P3 = 75 kg SP-36/ha, P4 = 100 kg SP-36/ha. Sebagai pupuk dasar diberikan Urea 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan pupuk kandang sapi 3 ton/ha. Luas petak-petak percobaan adalah 4 x 6 m, menggunakan sistem tanam tegel, dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Varietas padi yang digunakan adalah Ciherang. Untuk setiap petak-petak percobaan dibuat tersendiri saluran air masuk dan air keluar, sehingga pengaruh perembesan pupuk yang terlarut dalam air irigasi dapat dihindari. Bibit dipindahkan pada umur 15 hari dari persemaian. Pengendalian hama dan penyakit serta gulma dilakukan secara optimal dan bersifat preventif.
233
Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan diikuti dengan uji lanjutan menggunakan DMRT pada taraf 5%, untuk melihat perbedaan antar perlakuan (Steel and Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Tanah Data analisis tanah sebelum dilakukan percobaan menunjukkan bahwa derajat kemasaman tanah (pH 5,42), tekstur tanah lempung berliat, dengan kandungan P-total dan K-total tergolong sedang [P (HCl 25%) = 31,6 mg/100 g dan K (HCl 25%) = 12,9 mg/100 g). Sedangkan Ca, Mg dan S tergolong sedang (Lampiran 1). Lokasi Desa Rawang Pasar-V merupakan wilayah Supra-Insus sejak tahun 1986 atau telah mengalami tanam padi sawah lebih dari 20 musim tanam dengan menggunakan takaran pupuk rekomendasi nasional yaitu 250 kg Urea, 50 kg ZA, 100 kg TSP, dan 100 kg KCl. Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Maksimum dan Jumlah Anakan Produktif Hasil analisa statistik terhadap tinggi tanaman, tidak terdapat pengaruh dari pemberian pupuk fosfat. Pemberian pupuk fosfat berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan maksimum. Jumlah anakan maksimum terbanyak dihasilkan pada pemberian pupuk SP-36 dengan dosis 90 kg/ha (13,68) dan terendah pemberian pupuk SP-36 dengan dosis 100 kg/ha (12,0) Tabel 1. Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Maksimum/Rumpun, Jumlah Anakan Produktif/Rumpun Padi di Desa Rawang Pasar-V, Kabupaten Asahan. Perlakuan (kg SP-36/ha)
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan/ rumpun (batang)
Jumlah anakan produktif/rumpun (batang)
Po = 0 103,95 a 12,18 a 9,14 a P1 = 25 106,33 a 13,14 b 10,48 b P2 = 50 106,03 a 13,08 b 10,56 b P3 = 75 105,30 a 13,15 a 10,32 b P4 = 100 104,82 a 12,0 a 9,24 a Ket: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf dengan uji DMRT 5%
Dari hasil di atas terlihat bahwa peningkatan dosis pemberian pupuk fosfat pada tanaman padi sampai dengan takaran 50 kg SP-36/ha, adanya kecendrungan peningkatan jumlah anakan sampai batas optimum, sedangkan pemberian pupuk fosfat lebih dari 50 kg SP-36/ha, cenderung terjadi penurunan jumlah anakan. Pemupukan fosfat memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anakan produktif (Tabel 1). Jumlah anakan produktif tertinggi diperoleh pada pemberian pupuk SP-36 dengan dosis 50 kg/ha (10,56) dan jumlan anakan produktif terendah pada tanpa pemberian pupuk SP-36 (9,14). Panjang Malai, Jumlah Biji Bernas Per Malai, Bobot 1000 Butir, Biomas dan Produksi/ha Pemupukan fosfat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang malai (Tabel 2). Jumlah bulir per malai, terlihat bahwa pemberian dosis pupuk fosfat memberikan perbedaan yang nyata terhadap jumlah bulir bernas per malai. Jumlah bulir bernas per malai terbanyak diperoleh pada pemberian pupuk SP-36 dengan dosis 50 kg/ha (52,36) dan terendah adalah tanpa pemberian pupuk fosfor (49,65). Tabel 2.
Panjang Malai, Jumlah Bulir Bernas Per Malai, Bobot 1000 Butir, Biomas dan Produksi Per Ha, Desa Rawang Pasar-V, Kabupaten Asahan.
Perlakuan (kg Panjang malai Jumlah bulir Bobot 1000 Produksi/ha Biomas (g) SP-36/ha) (cm) bernas per malai butir (g) (kg) Po = 0 23,20 a 49,60 a 27,15 a 139,64 a 5,70 a P1 = 25 24,50 a 51,10 a 27,30 a 142,20 a 6,40 b P2 = 50 24,60 a 52,30 b 27,30 a 142,70 a 6,40 b P3 = 75 24,40 a 50,80 a 27,90 a 141,30 a 6,70 b P4 = 100 24,30 a 51,40 a 27,80 a 141,40 a 6,35 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf dengan uji DMRT 5%
234
Pemberian pupuk fosfat tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap bobot 1000 butir. Biomas, terlihat bahwa tingkat dosis pupuk SP-36 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot biomas. Bobot biomas berkisar antara 139,64 g - 141,72 g. Pemberian pupuk fosfat menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap hasil/ha. Produksi tertinggi diperoleh pada pemupukan SP-36 dengan dosis 75 kg/ha (6,72 t/ha) dan yang terendah adalah tanpa pemberian pupuk SP-36 (5,76 t/ha). Anjuran pemberian pupuk SP-36 untuk lahan sawah berstatus P rendah, sedang dan tinggi masing-masing sebanyak 100 kg, 75 kg dan 50 kg SP-36/ha (Sofyan, 2000).
KESIMPULAN 1.
Pemberian pupuk SP-36 75 kg/ha memberikan hasil tertinggi yaitu 6,72 t/ha.
2.
Rekomendasi pemupukan fosfat (SP-36) untuk Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan adalah 75 kg SP-36/ha.
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2001. Luas lahan sawah di Kabupaten Asahan. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara. Medan 2001. Hanson, R.G. 1994. Soil testing for efficient fertilizer in regional research and development. A Part of Project Pre-Appraisal. Setyorini, D., A. Kasno, I.G.M. Subiksa, D. Nursyamsi, Sulaeman dan J. Sri Adiningsih. 1995. Evaluasi status P dan K lahan sawah intensifikasi sebagai dasar penyusunan rekomendasi pemupukan P dan K di Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Pembahasan Paket Teknologi Hasil Penelitian ARMP-I, Cisarua. Sofyan, A. dan J. Suryono. 2002. Petunjuk teknis pembuatan peta status P dan K lahan sawah skala 1:50.000. Puslitbangtanak Bogor, Litbang Pertanian. Stell, R.G. and J.H. Torrie. 1980. Principles and procedures of statistica, Secon Edition.Mc Graw-Hill Book Company. Tim Uji Tanah. 1999. Laporan Kegiatan Pemantapan Program Uji Tanah dan Analisis Tanaman di BPTP. Kerjasama Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dengan ARMP-II. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
235
Lampiran 1. Hasil Analisis Tanah Pendahuluan Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan Analisis
Satuan
Hasil
Tekstur
Status Lempung berliat
Pasir
%
20
Debu
%
34
Liat
%
46
pH H2O
5,42
Masam
pH KCl
3,5
Sangat masam
N-total
%
0,18
P (HCl 25%)
Mg/100 g
31,6
Sedang
K (HCl 25%)
Mg/100 g
12,9
Sedang
Ca-dd
Mg/100 g
0,17
Sedang
Mg-dd
Mg/100 g
0,24
Sedang
%
0,03
Sedang
Cu
ppm
26
Tinggi
Zn
ppm
34
Tinggi
KTK
ppm
24,5
Tinggi
S
236
PENGARUH ZEOLIT DAN BAHAN HUMIK PADA ULTISOL TERHADAP KETERSEDIAAN HARA DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L) Nurhayati 1), Amrizal Saidi 2), dan Junaidi 2) 1) BPTP Kep. Bangka Belitung 2) Staf Dosen Jurusan Tanah Faperta Unand
ABSTRAK Penelitian pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik pada Ultisol terhadap ketersediaan hara dan hasil jagung, bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik pada Ultisol dan interaksinya terhadap ketersediaan hara dan produksi jagung. Penelitian berbentuk Faktorial 2x3, ditempatkan menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri dari dua faktor; Faktor zeolit (Z) yang terdiri dari dua taraf yaitu Zo=0 ton/ha dan Z1=6 ton/ha. Faktor bahan humik (H) yang terdiri dari 3 taraf yaitu Ho=0 mg/kg, H1=75 mg/kg dan H2= 150 mg/kg. Diuji menggunakan uji F (Fisher's Test) dan uji lanjutan Duncan's New Multiple Range Test (DNMRT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi zeolit dan bahan humik belum memperlihatkan peningkatan N total, P tersedia dan K tersedia tanah, tetapi telah dapat menurunkan Al-dd tanah dan meningkatkan KTK tanah. Pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha dapat menurunkan kejenuhan Al sebesar 0,08 me/100 g, pemberian bahan humik sebanyak 75 mg/kg menurunkan kejenuhan Al sebesar 0,38 me/100 g dan pemberian bahan humik 75 mg/kg dan zeolit 6 ton/ha secara bersamaan dapat meningkatkan KTK tanah sebesar 2,41 me/100 g. Kata kunci: Zeolit, bahan humik, Ultisol, ketersediaan hara, produksi
PENDAHULUAN Lahan kering yang masih berpotensi untuk perluasan areal pertanian, umumnya ditempati oleh tanah marginal atau tanah bereaksi masam. Salah satu tanah yang bereaksi masam di Indonesia adalah Ultisol, yakni seluas 38,401 juta hektar dan tersebar di pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya (Hardjowigeno, 1986). Selain bereaksi masam, menurut Ahmad (1990) Ultisol merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut dan didominasi oleh mineral liat kaolinit. Walaupun Ultisol mempunyai potensi yang besar, namun produktifitas tanahnya rendah. Hal ini disebabkan oleh sifat-sifat tanah seperti: pH dan KTK tanah yang rendah, miskin terhadap kation basa, Al-dd tinggi yang dapat meracun tanaman, fiksasi unsur N, P, K dan Ca serta mudah tererosi (Nyakpa, et al. 1988). Usaha-usaha untuk meningkatkan produktifitas Ultisol ini telah banyak dilakukan seperti dengan pengapuran, pemupukan, penambahan bahan organik dan bahan-bahan lain yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Salah satu usaha yang belum banyak dilakukan untuk memperbaiki sifat tanah ini yaitu dengan pemberian zeolit. Pemberian zeolit pada tanah masam dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Menurut Mumpton (1983), zeolit merupakan bahan pemantap tanah yang dapat meningkatkan reaksi pada tanah masam dan memperbaiki sifat kimia tanah, meningkatkan kemampuan memegang air serta dapat memegang hara dan melepasnya secara perlahan-lahan. Alternatif lain yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah, baik sifat fisik, kimia, dan biologi tanah adalah dengan penambahan bahan humik. Tan (1982) mengatakan bahwa bahan humik adalah bahan koloidal terpolidispersi yang bersifat amorf, berwarna kuning hingga coklat-hitam dan mempunyai berat molekul relatif tinggi. Bahan humik berperanan dalam reaksi kompleks dalam tanah dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, dapat memperbaiki kesuburan tanah dengan mengubah kondisi fisik, kimia dan biologi tanah. Secara langsung bahan humik dapat merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan terhadap proses fisiologi lainnya (Tan, 1982). Dari uraian di atas dikatakan bahwa dengan pemberian zeolit maupun bahan humik dapat memperbaiki kesuburan tanah. Diharapkan dengan pemberian zeolit dan bahan humik secara bersamaan pada tanah akan lebih meningkatkan kesuburan tanah dan produktifitas tanah. Untuk itu penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh Pemberian Zeolit dan Bahan Humik pada Ultisol terhadap Ketersediaan Hara dan Produksi Jagung (Zea mays L.). Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian zeolit, bahan humik pada Ultisol dan interaksinya terhadap ketersediaan dan hasil tanaman jagung.
237
BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang, Tanah yang digunakan adalah Ultisol. Sebagai perlakuan digunakan beberapa takaran zeolit yang berasal dari Pusat Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM) Bandung dan bahan humik yang digunakan diperoleh dengan mengekstrak tanah gambut pada tingkat pelapukan saprik dengan NaOH 0,1 M (Lampiran 1). Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini berbentuk Faktorial 2x3 yang ditempatkan menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Faktor I (Z = takaran zeolit) : Zo = 0 ton/ha (tanpa zeolit) Z1 = 6 ton/ha (21 g zeolit/pot) Faktor II (H = takaran bahan humik) : Ho = 0 mg bahan humik/kg tanah (tanpa bahan humik) H1 = 75 mg bahan humik/kg tanah (525 mg bahan humik/pot) H2 = 150 mg bahan humik//kg tanah (1050 mg bahan humik/pot) Pengambilan tanah dilakukan pada kedalaman 0-20 cm secara bulk komposit. Zeolit dan bahan humik diberikan berdasarkan berat tanah yang digunakan tiap pot sesuai dengan perlakuan. Zeolit diberikan dengan cara dicampur secara merata dengan tanah, sedangkan bahan humik dilarutkan dengan air sampai penyiraman tanah pada kapasitas lapang, lalu ditutup dengan plastik, selanjutnya diinkubasi selama 3 minggu. Pemupukan dasar dilakukan sehari sebelum tanam, masing-masing Urea 200 kg/ha (4 g urea/pot), SP-36 sebanyak 175 kg/ha (3,5 g SP-36/pot) dan KCl 150 kg/ha (3 g KCl/pot). Penanaman jagung dilakukan sehari setelah pupuk dasar dengan menugalkan 3 benih jagung tiap pot. Biji sebelum tanam dicampur dengan Rhidomil agar tanaman tidak terserang penyakit bulai. Setelah tanaman berumur satu minggu dilakukan penjarangan dengan mempertahankan satu tanaman masing-masing pot. Pemeliharaan meliputi penyiangan, penyiraman serta pemberantasan hama dan penyakit. Penyiangan dilakukan setiap ada gulma yang tumbuh, sedangkan penyiramana dilakukan setiap hari (1 kali sehari) dan dipertahankan dalam keadaan kapasitas lapang. Panen dilakukan apabila jagung cukup tua, yaitu bila kulit (kelobot) sudah kuning setelah berumur 13 minggu. Pengamatan Analisis contoh tanah awal meliputi: C-organik, pH tanah, N-total, P tersedia, Al-dd, K-dd; Na-dd; Ca-dd dan Mg-dd, serta KTK tanah. Sedangkan analisis tanah setelah inkubasi meliputi: C-organik, pH tanah, P tersedia, N total, K tersedia, Al-dd dan KTK. Untuk penetapan produksi parameter yang diamati adalah berat biji kering pipilan, yang dikonversikan keberat pada kadar air 14%.
HASIL PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN Sifat Kimia Tanah Awal Hasil analisis sifat kimia tanah awal yang dinilai berdasarkan kriteria ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Awal. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 12.
Sifat Tanah C-Organik (%) N-Total (%) Ratio C/N P-tersedia (ppm) Ca-dd (me/100 g) Mg-dd (me/100 g) Na-dd (me/ 100 g) K-dd (me/100 g) KTK (me/100 g) AI-dd (me/100 g) Kej. Al (%) pH H2O pH KC1
Nilai
Kriteria
2,05 0,14 14,64 5,70 0,83 0,20 0,11 0,15 11,12 2,05 57,50 4,75 3,90
sedang rendah sedang rendah sangat rendah sangat rendah rendah rendah rendah sangat tinggi masam -
238
Dari Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa tanah yang digunakan dalam penelitian ini bereaksi masam dengan pH H2O 4,75, tingkat kesuburan tanah rendah, meliputi P-tersedia dan N-total rendah, C-organik dan ratio C/N sedang, kandungan basa-basa berkisar rendah sampai sangat rendah, kejenuhan Al yang sangat tinggi 57,5%, serta mempunyai KTK tanah yang rendah yaitu 11,12 me/100g. Secara keseluruhan tanah yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai tingkat kesuburan rendah (Tabel 1) meliputi N total, P tersedia, K tersedia yang rendah, pH tanah rendah dan kejenuhan Al sangat tinggi. Kondisi tersebut menurut Soepardi (1983) umumnya ditemukan pada Ultisol yang telah berumur lanjut dengan bahan induk batuan masam dan terletak pada zone iklim tropis basah dengan curah hujan yang tinggi, sehingga terjadi pencucian intensif terhadap kation-kation basa dan menyebabkan kandungan hara menjadi rendah serta rendahnya pH tanah akibat tingginya kandungan Al dan fiksasi P. Sifat Kimia Tanah Sesudah Inkubasi Hasil analisis sifat kimia tanah setelah masa inkubasi yang dinilai dengan kriteria LPT, 1983 adalah C organik dan pH tanah, sedangkan yang diuji dengan uji F dan dilanjutkan dengan uji lanjutan DNMRT adalah N total, P tersedia, K tersedia, AI-dd dan KTK tanah. Hasil analisis C-organik dan pH tanah setelah masa inkubasi disajikan pada Tabel 2, sedangkan sifat kimia tanah N total, P tersedia, K tersedia, AI-dd dan KTK tanah setelah masa inkubasi disajikan pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 2. Hasil Analisis C-Organik dan pH Tanah Setelah Inkubasi. Zeolit ( t o n / h a ) 0 6 0 6 0 6 Keterangan: r = rendah
Bahan Humik ( mg / kg ) 75
0 C-organik (%) 1,97 r 2,25 s pH H2O 4,51 m 4,40 sm pH KCl 3,90 3,90 m = masam s = sedang
150
2,26 s 2,19 s
2,54 s 2,40 s
4,43 sm 4,40 sm
4,42 sm 4,35 sm
3,92 3,92 sm = sangat masam
3,91 3,92
Dari Tabel 2 dilihat bahwa setelah perlakuan terlihat kecenderungan peningkatan kandungan Corganik, dibandingkan dengan tanah awal. Pemberian zeolit tanpa bahan humik dapat meningkatkan kandungan C-organik dan pemberian bahan humik tanpa zeolit juga meningkatkan kandungan C-organik. Pemberian perlakuan zeolit 6 ton/ha dan bahan humik 75 dan 150 mg/kg (Tabel 2), terlihat kecenderungan peningkatan kandungan C-organik tanah dibandingkan dengan tanah awal. Kandungan Corganik tanah meningkat karena zeolit dapat memperbaiki kondisi tanah dengan cara memperbaiki aerasi tanah yang mengakibatkan mikroorganisme tanah aktif melakukan dekomposisi sehingga dapat meningkatkan kandungan C-organik tanah. pH H2O tanah setelah inkubasi secara keseluruhan menunjukkan penurunan dari 4,75 menjadi 4,51 sampai 4,35 (Tabel 2). Hal ini terjadi karena zeolit mempunyai kandungan Al2O3 yang cukup tinggi, sehingga dapat menurunkan pH tanah. Tabel 3. Nilai F dari Pengaruh Zeolit dan Bahan Humik Terhadap Sifat Kimia Tanah Parameter N total tanah P tersedia K tersedia Al-dd KTK
Keterangan:
F. hitung Humik
Zeolit 17,20* 30,85* 3,25ns 2,00 ns 141,12*
*)
berbeda nyata
5,06* 0,32 n s 0,95 ns 7,88* 41,23* ns)
Interaksi ns
2,98 4,20* 0,56ns 5,38* 16,86*
Zeolit 4,75 4,75 4,75 4,75 4,75
F. tabel 5% Humik 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88
Interaksi 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88
berbeda tidak nyata
Penurunan pH H2O setelah pemberian zeolit 6 ton/ha (Tabel 2), karena zeolit mempunyai kandungan Al2O3 sebesar 10,81% (Lampiran 2) sehingga Al akan berikatan dengan OH- dan konsentrasi H+ meningkat, sedangkan penurunan pH H2O akibat pemberian bahan humik 75 dan 150 mg/kg, karena bahan humik mengandung asam-asam yang dapat menyumbangkan H+ kedalam tanah.
239
Kandungan N Total Tanah Berdasarkan hasil uji F dan uji DNMRT terhadap kandungan N total tanah setelah inkubasi dapat disajikan Tabel 4. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada taraf ini belum ada interaksi pemberian zeolit dan bahan humik terhadap kandungan N-total tanah. Dengan pemberian zeolit 6 ton/ha dapat menurunkan kandungan N-total tanah secara nyata. Pemberian bahan humik 150 mg/kg dapat meningkatkan kandungan N-total tanah. Peningkatan N-total tanah ini disebabkan oleh sumbangan N dari bahan humik yang ditambahkan, karena bahan humik kaya akan unsur nitrogen. Tabel 4. Pengaruh Pemberian Zeolit dan Bahan Humik Terhadap N-Total Tanah Setelah Inkubasi (%) Zeolit (ton/hal)
Rata-rata
0 0,17 a 6 0,13 b Bahan humik (mg/kg) Rata-rata 0 0,13 a 75 0,15 ab 150 0,17 b Keteragan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menurut kolom tidak berbeda nyata menurut DNMRT taraf 5%
Penurunan kandungan N total tanah setelah pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha (Tabel 4) diduga karena zeolit mempunyai muatan negatif yang dapat menarik kation ke pemukaan dalam antara satuan kisi mineral. Ion NH4+ berukuran hampir sama dengan rongga kisi kristal, sehingga ion-ion tersebut diikat erat dan hanya dapat dilepaskan secara perlahan untuk tanaman (Sarief, Komar, Hulaimi, 1990). Namun walaupun demikian diharapkan ion NH4+ yang diikat merupakan sebagai cadangan unsur hara untuk tanaman berikutnya. Peningkatan N total setelah pemberian bahan humik 150 mg/kg disebabkan oleh sumbangan N dari bahan humik yang kaya akan unsur nitrogen. Kandungan P tersedia tanah Pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik terhadap kandungan P tersedia tanah setelah masa inkubasi disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh Zeolit dan Bahan Humik Terhadap P Tersedia Tanah (ppm) Zeolit (ton/ha)
0
Bahan Humik (mg/kg) 75
150
0 5,76a (A) 6,57a (A) 5,65a (A) 6 4,44a (B) 4,07a (B) 5,02a (A) Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menurut baris dan huruf besar yang sama menurut kolom tidak berbeda nyata menurut DNMRT taraf 5%.
Dari Tabel 5 terlihat bahwa ada interaksi antara pemberian zeolit dan bahan humik terhadap P tersedia tanah. Tetapi pemberian bahan humik dan penambahan takarannya belum memperlihatkan peningkatan P tersedia tanah. Pemberian bahan humik sebanyak 150 mg/kg (Tabel 5), dapat meningkatkan P tersedia tanah. Hal ini diduga karena takaran bahan humik yang diberikan belum mampu membentuk kompleks metal organik maupun khelat dengan ion logam terutama Al dan Fe sehingga mengurangi kelarutannya. Menurut Tan (1982), P tersedia akan meningkat bila pada tanah diberikan asam organik, asam-asam organik akan berikatan dengan ion Al dan Fe yang berada dalam larutan tanah. Kandungan K tersedia tanah Hasil analisis memperlihatkan tidak ada interaksi zeolit dan bahan humik terhadap K tersedia tanah, hal ini dapat dilihat padaTabel 6. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa tidak ada pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik terhadap Ktersedia tanah dan juga tidak ada pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik terhadap ketersediaan K tanah.
240
Tabel 6. Pengaruh Pemberian Zeolit dan Bahan Humik Terhadap K Tersedia Tanah Perlakuan
Rata-rata (me/100 g)
Zeolit (ton/ha) 0,16a 0,25 a Bahan Humik (mg/kg) 0 0,24 a 75 0,22 a 150 0,18 a Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menurut kolom tidak berbeda nyata menurut DNMRT taraf 5%. 0 6
Kandungan Al-dd Tanah Pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik terhadap kandungan Al tanah setelah masa inkubasi disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh Pemberian Zeolit dan Bahan Humik Terhadap Al-dd (me/100 g) Zeolit (ton/ha)
0
Bahan Humik (mg/kg) 75
150
0
2,28 a (A)
1,672 b (A)
2,128 a (A)
6
1,976 a (B)
1,9 a (A)
1,9 a (A)
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menurut baris dan huruf besar yang sama menurut kolom berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5%
Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa ada interaksi antara pemberian zeolit dan bahan humik terhadap kandungan Al-dd tanah. Pada perlakuan Zo (0 ton zeolit/ha) pemberian bahan humik 75 mg/kg dapat menurunkan Al-dd, tetapi dengan penambahan takaran sampai 150 mg/kg kandungan Al-dd meningkat kembali. Pada perlakuan Z1 (6 ton zeolit/ha) pemberian bahan humik belum memperlihatkan perbedaan nyata terhadap penurunan kandungan Al-dd. Pada perlakuan Ho (0 mg /kg) pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha menurunan kandungan Al-dd tanah secara nyata. Tetapi pada perlakuan H1 (75 mg bahan humik/kg) dan H2 (150 mg bahan humik/kg) pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha' belum dapat menurunkan kandungan kandungan Al-dd secara nyata. Pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha justru memperlihatkan penurunan P karena mempunyai kandungan Al203 yang cukup tinggi, disamping itu terjadi hidrolisis Al sehingga dapat meningkatkan konsentrasi H+ kedalam tanah sehingga dapat memasamkan tanah. KTK Tanah Berdasarkan hasil uji F dan uji DNMRT terhadap data hasil analisis KTK tanah setelah masa inkubasi disajikan pada Tabel 8. Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa ada interaksi pemberian zeolit dan bahan humik terhadap KTK tanah. Pada perlakuan Z0 (0 ton/ha), pemberian bahan humik berpengaruh nyata terhadap peningkatan KTK tanah. Sedangkan pada perlakuan Z1 (6 ton/ha), pemberian bahan humik belum berpengaruh nyata terhadap peningkatan KTK tanah. Pada perlakuan H0 (0 mg/kg) dan H1 (75 mg/kg), pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha sudah meningkatkan KTK tanah secara nyata, kecuali pada perlakuan H 2 (150 mg/kg) pemberian zeolit 6 ton/ha belum meningkatkan KTK secara nyata. Tabel 8. Pengaruh Pemberian Zeolit dan Bahan Humik Terhadap KTK (me/ 100 g). Zeolit (ton/ha)
0
Bahan Humik (mg/kg) 75
150
0
12,24 c (A)
12,59 b (A)
13,32 a (A)
6
13,32 a (B)
13,53 a (B)
13,55 a (A)
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menurut bans dan huruf besar yang sama menurut kolom berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5%
Peningkatan KTK tanah setelah pemberian zeolit 6 ton/ha (Tabel 8), karena KTK zeolit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan KTK tanah, sehingga pemberian zeolit dapat meningkatkan KTK tanah. Menurut Ushioda (1989 cit. Suwardi dan Suryaningtyas, 1995) zeolit merupakan mineral silikat berongga yang
241
mempunyai KTK sangat tinggi sekitar 150 me/100 g. Pemberian bahan humik 150 mg/kg juga dapat meningkatkan KTK tanah, yang sebabkan oleh tingginya KTK bahan humik. Menurut Nyakpa et al. (1988) koloid humus yang terdiri dari asam humin, humik dan vulfik mempunyai KTK yang sangat besar berkisar 150-300 me/100 g. Produksi Nilai F hitung hasiI analisis sidik ragam produksi jagung disajikan pada Tabel 9 di bawah ini. Pada Tabel 9 dapat dilihat interaksi zeolit dan bahan humik belum memperlihatkan peningkatan produksi jagung. Tabel 9. Hasil Analisis Uji F Produksi Jagung Parameter Berat biji
F. hitung H
Z 0 ,033
ns
0,057
ns
Interaksi 0,0134
ns
Z
F. tabel H
4,75
3,88
Interaksi 3,88
Keterangan: *) berbeda nyata ns ) tidak berbeda nyata
Pemberian zeolit dan bahan humik belum memberikan pengaruh nyata terhadap berat biji kering tanaman. Hal ini diduga pemberian perlakuan masih belum optimal mempengaruhi sifat kimia tanah, seperti masih rendahnya ketersediaan hara, tingginya kandungan Al tanah, dan masih rendahnya pH tanah. Menurut Soeprapto (1995) pH optimal bagi pertumbuhan tanaman jagung adalah 5,5 sampai 7,0.
KESIMPULAN Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Interaksi pemberian zeolit 6 ton/ha dengan bahan humik 75 dan 150 mg/kg belum berpengaruh nyata terhadap N total, K tersedia, dan hasil jagung, tetapi berpengaruh nyata terhadap P tersedia, kejenuhan Al dan KTK tanah.
2.
Pemberian bahan humik 150 mg/kg secara mandiri sudah dapat meningkatkan kandungan N total tanah. Pemberian zeolit secara mandiri dapat meningkatkan KTK tanah secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, F. 1990. Penggunaan asam organik terhadap mobilitas Al dan peningkatan kapasitas tukar kation (KTK) tanah Ultisol. Pusat Penelitian Universitas Andalas. Padang. 29 hal. Hardjowigeno, S. 1986. Genesa dan klasifikasi tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 284 hal. Mumpton, F.A.1983. Natural zeolites.Zeo-Agriculture Zeolite. New York. hal 33-43. Nyakpa, M.Y., A.M. Lubis, M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, G.B. Hong dan Hakim. 1988. Kesuburan tanah. Universitas Lampung. Lampung. 258 hal. Sarief, S, Komardi P.A. dan A. Hulaimi. 1990. Peranan zeolit untuk meningkatkan produktivitas tanah dan hasil tanaman rumput raja. Seminar/Kolokium Pusat Pengembangan Teknologi Mineral PPTM. Bandung. 17 hal. Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 591 hal. Soeprapto, H.S. 1995. Bertanam jagung. Seri Pertanian XXVII / 82 / 87. Penebar Swadaya. Jakarta. 59 hal. Suwardi dan D.T. Suryaningtyas. 1995. Pengaruh pemberian zeolit terhadap Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah dan produksi tanaman tomat. Jurnal Pertanian Indonesia vol. 5 (2). 1995. hal 82-89. Tan, K.H. 1982. Principles of soil chemistry. Marcel Dekker Inc. New York. 267 p.
242
Lampiran 1. Prosedur ekstraksi asam humat (Tan, 1982) 1.
Sampel lolos ayakan 2 mm dimasukkan kedalam tabung sentrifus dan ditambah 0,01 N NaOH dengan perbandingan 1:5 (w/v) dikocok selama 24 jam.
2.
Sentifus dengan 10.000 rpm selama 15 menit untuk mengumpulkan solusi pada suhu 4°C.
3.
Residu dicuci dengan cara menambah aguades 25 ml (sebanding dengan jumlah NaOH) kedalam tabung sentrifus. Setelah itu disentrifus lagi dengan 15.000 rpm selama 10 merit dan disaring dengan kertas Whatman 40.
4.
Filtrat ditambah dengan 0,1 N HCl 25 ml hingga pH 2 sehingga fraksi asam humat mengendap, dibiarkan 24 jam.
5.
Lakukan pemisahan dengan sentrifus 15.000 rpm selama 10 menit sehingga asam humat akan terkumpul dan dilakukan penyaringan. Filtrat yang mengandung asam fulvat ditandai dengan warna kekuning-kuningan dan residu berwarna kehitaman adalah asam humat.
6.
Residu dicuci dengan alkohol 65% untuk melarutkan asam himatomelanat dan filtratnya dipisahkan. Residu dioven dengan suhu 40°C sehingga diperoleh berat konstan. Berat ini merupakan berat asam humat yang terkandung dalam sampel.
Catatan : Untuk mendapatkan bahan humik untuk percobaan ini hanya sampai cara kerja no. 3.
243
VARIABILITAS BEBERAPA GENOTIP CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) PADA DUA KETINGGIAN TEMPAT Sri Romaito Dalimunthe 1), Ade Elvita 2), Emmy Harso K. 3) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kep. Babel, 2) Alumni Fakultas Pertanian USU 3) Dosen Fakultas Pertanian USU
ABSTRAK Penelitian Variabilitas Beberapa Genotip Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Pada Dua Ketinggian Tempat dilaksanakan di Jl. Ekawarni Gedung Johor, Medan dengan ketinggian tempat 25 meter dpl dan di Berastagi Kabupaten Tanah Karo dengan ketinggian tempat 1200 meter dpl dan berlangsung dari bulan April hingga Oktober 2003. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui variabilitas beberapa genotif cabai merah pada dua ketinggian tempat. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan dua faktor perlakuan yakni, Faktor I adalah varietas cabai merah (V) dengan tiga taraf yaitu Jago (V1), Taro (V2) dan Sudra (V3). Faktor II adalah ketinggian tempat tanam dengan dua taraf perlakuan yaitu 25 meter dpl (L1) dan 1200 meter dpl (L2). Peubah yang diamati meliputi pertambahan tinggi tanaman (cm), pertambahan jumlah cabang (cabang) , umur berbunga (hari), umur berbuah (hari), hasil (g), jumlah buah (buah), panjang buah (cm), keragaman dan heritabilitas. Dari hasil perhitungan diperoleh KVG tertinggi pada pertambahan tinggi tanaman 10 MST sehingga dapat diketahui bahwa KVG yang bernilai rendah adalah pertambahan tinggi tanaman 9 dan 11 MST, umur berbunga, umur berbuah dan panjang buah, yang bernilai sedang adalah pertambahan tinggi tanaman 8 MST, pertambahan jumlah cabang 8 dan 12 MST, yang bernilai tinggi adalah pertambahan jumlah cabang 10 MST, hasil, dan jumlah buah, sedangkan pertambahan tinggi tanaman 10 dan 12 MST bernilai sangat tinggi. Dari hasil perhitungan juga diketahui bahwa parameter yang memiliki nilai heritabilitas rendah adalah pertambahan tinggi tanaman 9 dan 11 MST serta panjang buah, yang bernilai sedang adalah pertambahan tinggi 12 MST, pertambahan jumlah cabang 8 dan 12 MST, umur berbunga, umur berbuah, produksi dan jumlah buah sedangkan yang bernilai tinggi adalah pertambahan tinggi 8 dan 10 MST dan pertambahan jumlah cabang 10 MST. Kata kunci : variabilitas, heritabilitas, KVG, genotip
PENDAHULUAN Permintaan terhadap cabai terus meningkat sehingga perlu didukung perbaikan teknologi budidaya dan pasca panen, hal ini secara langsung membantu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, memperluas kesempatan kerja, menunjang pengembangan agribisnis dan meningkatkan eksport. Tingginya harga cabai merah besar (Capsicum annum var. longum) beberapa tahun terakhir ini (bahkan sampai Rp. 20.000/kg) menyebabkan cabai termasuk agenda pembicaraan nasional. Betapa tidak, cabai mampu menyebabkan tingginya laju inflasi nasional. Hal ini menunjukkan bahwa cabai merupakan komoditas sayuran yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari (Prajnanta,2001). Salah satu usaha untuk meningkatkan produksi suatu tanaman adalah dengan menggunakan varietas unggul. Varietas yang unggul pada suatu daerah belum tentu unggul pada daerah lain, karena keunggulan varietas tersebut mungkin dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti keadaan unsur hara di dalam tanah (Harjadi, 1996). Stabilitas fenotip disebabkan oleh kemampuan organisme untuk dapat beradaptasi terhadap lingkungan beragam sehingga tanaman tidak banyak mengalami perubahan sifat fenotipnya. Pemulia mengharapkan agar varietas yang diciptakan tetap berpotensi, walaupun ditanam pada macam-macam lingkungan (Poespodarsono, 1988). Variabilitas genetik telah ditunjukkan pada seluruh produk dan perkembangannya dimungkinkan melalui seleksi dalam program pemuliaan tanaman. Di lain pihak sebenarnya seluruh produk tersebut mempunyai karakter yang berinteraksi dengan lingkungannya dari tingkatan medium sampai tinggi, ini berarti seluruh produk tersebut masih harus dievaluasi dari beberapa lingkungan tertentu untuk mendapatkan hasil rata-rata yang sebenarnya (Welsh, 1991). Interaksi antara genotip dengan lingkungan (G x L) adalah perbedaan ekspresi genotip akibat lingkungan. Hal tersebut akan berpengaruh bagi fenotip dari nilai genotip yang ada sehingga akan menyebabkan seleksi dari suatu lingkungan tetapi menjadikannya kurang baik di lingkungan lain, hal ini menguatkan para pemulia untuk menguji adaptasi genotip. Pengukuran G x L menjadi penting untuk menentukan strategi pemuliaan yang berhubungan dengan tipe genotip dengan adaptasi yang cukup baik bagi sasaran lingkungan (Hayward, et.al, 1993).
244
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabilitas genotip cabai merah berdasarkan ketinggian tempat tanam.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada dua tempat yakni L1 di Kelurahan Gedung Johor, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl dan L2 di Berastagi, Kabupaten Tanah Karo dengan ketinggian tempat 1200 m dpl, dengan menggunakan 3 varietas cabai yaitu Jago F1 (V1), Taro F2 (Taro) dan Sudra F1 (Sudra) yang berlangsung dari akhir bulan April sampai dengan Oktober 2003. Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan mengecambahkan benih cabai. Setelah benih berkecambah, benih dipindahkan ke polibag kecil yang telah berisi media tanah, kompos, pasir (1:1:1) dan sedikit TSP dan NPK yang telah dihaluskan kemudian diletakkan di bedengan persemaian yang telah dinaungi. Setelah bibit berumur 30-35 hari (sehat dan cukup kuat) dan telah memiliki daun sekitar 5-8 helai maka bibit dipindah tanam ke lapangan yang telah diolah dan diberi mulsa plastik hitam perak dan diberi pupuk dasar. Ukuran plot 120x180 cm, dengan tinggi bedengan 30 cm, jarak antar blok 100 cm, jarak antar plot 70 cm dan diberi parit keliling. Jarak tanam yang digunakan adalah 60x70 cm. Setelah kurang lebih sebulan, dilakukan pemasangan ajir pada tiap tanaman dengan panjang ajir 120 cm dan lebar 4 cm dan ketebalan 2 cm yang ditancapkan pada lubang tanam dengan jarak ± 10 cm dari tanaman. Pemeliharaan tanaman terhadap hama penyakit dilakukan sesuai kondisi dan anjuran setempat. Panen pertama dilakukan ketika buah cabai berwarna merah menyeluruh dan panen berikutnya interval 5 hari. Pada setiap lokasi pengujian digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan jumlah ulangan 6 per perlakuan. Jumlah tanaman 6 per plot, Jumlah sampel 3 per plot, jumlah plot 36. Keragaman Keragaman dapat dihitung setelah terlebih dahulu menghitung varians fenotipik (σ2F) dan varians genotipik (σ2G). Untuk menghitung varians fenotipik (σ2F) dan varians genotipik (σ2G) disajikan model sidik ragam disertai nilai kuadrat tengah, mengikuti cara Johnson et al (1995). Genotip, ulangan, dan galat dianggap bersifat acak. Tabel 1. Model Sidik Ragam, dan Nilai Kuadrat Tengah Sumber Keragaman
DB
KT
HKT
F hitung
Lingkungan L-1 M1 σ2e +σ2GL+Gσ2r+rGσ2l M1/M2 Ulangan dalam lingkungan L(r-1) M2 σ2e+ Gσ2r Genotip G-1 M3 σ2e+rσ2GL+rL σ2G M3/M5 GxL (L-1)(G-1) M4 σ2e+ rσ2GL Galat L(G-1)(r-1) M5 σ2e 2 Dimana : r = ulangan, σ e = komponen ragam acak, G = Genotip, L = Lingkungan, σ2GL = komponen ragam genotip x lingkungan
Berdasarkan sidik ragam di atas, varians fenotipik (σ2F) dan varians genotipik (σ2G) dapat diduga dengan rumus sebagai berikut : (σ2F) = M3/rL (σ2G) = (M3-M4)/rL Koefisien variasi genetik (KVG) dan koefisien variasi fenotipik (KVF) dihitung berdasarkan rumus : KVG
σ 2G
X 100%
X KVF
σ2F
X 100%
X
Dimana , X = rataan populasi
245
Menurut Rebin, dkk (1995), koefisien variasi genetik yang telah diperoleh dan diklsifikasikan 4 kriteria yaitu : Rendah
= 0-25% dari KVG tertinggi
Sedang
= 25%-50% dari KVG tertinggi
Tinggi
= 50%-75% dari KVG tertinggi
Sangat tinggi
= >75% dari KVG tertinggi
Untuk menentukan luas sempitnya variasi genetik suatu karakter yaitu karakter yang mempunyai koefisien variasi genetik relatif yang rendah dan sedang digolongkan sebagai karakter yang bervariabilitas sempit, koefisien varian genetik yang tinggi dan sangat tinggi digolongkan sebagai karakter yang bervariabilitas luas. Heritabilitas Heritabilitas dapat didefenisikan sebagai proporsi keragaman yang disebabkan oleh faktor genetis terhadap keragaman fenotip dari suatu populasi. Keragaman dari suatu populasi disebabkan oleh faktor genetis (σ2G) dan factor lingkungan (σ2G). nilai heritabilitas dapat dihitung dengan rumus : h
2
2 σ G 2 σ F
dimana h2 = heritabilitas, σ2G = varians genotip, σ2F = varians fenotip HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas berpengaruh tidak nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman, pertambahan jumlah cabang, umur berbunga, umur berbuah, produksi, dan jumlah buah, tetapi nyata pada pengamatan panjang buah. Perlakuan ketinggian tempat menunjukkan pengaruh yang nyata pada semua peubah kecuali pertambahan jumlah cabang 10 dan 11 MST. Interaksi antara varietas yang digunakan dengan ketinggian tempat tumbuh memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap semua peubah amatan kecuali panjang buah yang memberikan pengaruh nyata (Tabel 2). Tabel 2. Rangkuman Rataan Hasil Penelitian di Medan dan Berastagi Perlakuan L1 L2 V1 V2 V3 L1V1 L1V2 L1V3 L2V1 L2V2 L2V3
1
2
3
4
5
6
7
8
13,22 a 12,75 a 10,64 a 9,93 a 9,49 a 11,94 a 28,07 a 40,91 a 3,50 b 4,38 b 8,87 a 9,85 a 18,49 a 4,62 b 13,63 b 25,46 b 8,02 a 8,12 a 9,30 a 11,61 a 12,58 a 8,69 a 19,11 a 31,14 a 8,37 a 8,59 a 9,82 a 9,34 a 16,20 a 8,66 a 22,00 a 35,86 a 8,68 a 8,99 a 10,14 a 9,18 a 13,20 a 7,49 a 21,44 a 32,55 a 12,31 11,75 12,29 11 8,48 13,22 23,45 38,56 13,35 13,02 9,57 10,48 11,42 12,17 30,61 44,45 14 13,5 10,06 8,33 8,6 10,45 30,17 39,73 3,74 4,5 6,32 11,32 16,7 4,17 14,78 23,72 3,4 4,17 10,08 8,21 20,99 5,17 13,39 27,28 3,38 4,5 10,22 10,03 17,81 4,55 12,73 25,39
9
10
52,72 b 66,72 a 60,08 a 59,38 a 59,69 a 53,56 52,33 52,28 66,61 66,44 67,11
62,14 b 66,72 a 72,33 a 72,58 a 72,02 a 61,83 62,72 61,89 82,83 82,44 82,17
11
12
13
234,89 a 11,35 b 297,43 a 39,89 b 13,37 a 196,94 b 118,50 a 12,06 b 223,72 a 164,25 a 13,24 a 270,83 a 129,42 a 11,78 b 247,00 a 203,67 11,96 274,95 280,67 11,42 315 220,33 10,7 302,33 33,33 12,17 172,5 47,83 15,08 226,67 38,5 12,87 191,67
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5% uji jarak berganda Duncan (1) Pertambahan Tinggi 8 mst (cm) (2) Pertambahan Tinggi 9 mst (cm) (3) Pertambahan Tinggi 10 mst (cm) (4) Pertambahan Tinggi 11 mst (cm) (5) Pertambahan Tinggi 12 mst (cm) (6) Jumlah Cabang 8 mst (cabang) (7) Jumlah Cabang 10 mst (cabang) (8) Jumlah Cabang 12 mst (cabang) (9) Umur Berbunga (HST) (10) Umur Berbuah (HST) (11) Jumlah Buah (Buah) (12) Panjang Buah (cm) (13) Produksi (g)
246
Keragaman Nilai σ2G, σ2F, σ2e, KVG dan KVF untuk masing-masing sifat yang diamati dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3. Nilai Komponen Variasi, Koefisien Variasi Genetik (KVG) dan Koefisien Variasi Fenotipik (KVF) untuk Masing-Masing Sifat yang Diamati No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13
Parameter Pertambahan Tinggi 8 MST Pertambahan Tinggi 9 MST Pertambahan Tinggi 10 MST Pertambahan Tinggi 11 MST Pertambahan Tinggi 12 MST Pertambahan Jumlah Cabang 8 MST Pertambahan Jumlah Cabang 10 MST Pertambahan Jumlah Cabang 12 MST Umur Berbunga Umur Berbuah Produksi Jumlah Buah Panjang Buah
σ2G
σ2F
0,10 0,19 0,17 1,20 3,74 0,47 2,35 5,87 0,12 0,07 554,86 570,93 0,62
0,16 0,04 3,13 0,19 3,52 0,18 3,90 5,29 0,078 0,03 522,97 294,28 0,12
σ2e
KVG
KVF
0,61 0,81 0,7 1,83 2,29 1,36 1,22 1,22 0,09 0,05 1,58 2,89 1,05
0,79 0,38 3,02 0,72 2,23 0,84 1,57 1,15 0,07 0,03 1,54 2,08 0,45
2,25 4,02 16,56 10,46 16,97 9,24 47,04 85,62 1,77 2,09 5790,83 2865,48 0,68
Pada Tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa KVG tertinggi adalah 3,02 pada parameter pertambahan tinggi tanaman 10 MST, sehingga dpat diketahui bahwa KVG yang bernilai rendah adalah pertambahan tinggi 9 dan 11 MST, umur berbunga, umur berbuah dan panjang buah, yang bernilai sedang adalah pertambahan tinggi tanaman 8 MST, pertambahan jumlah cabang 8 dan 12 MST, yang bernilai tinggi adalah pertambahan jumlah cabang 10 MST, jumlah buah, sedangkan pertambahan tinggi tanaman 10 dan 12 MST bernilai sangat tinggi Heritabilitas Nilai heritabilitas dari setiap parameter yang diamati dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai Heritabilitas Pada Parameter yang Diamati No
Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pertambahan Tinggi 8 MST Pertambahan Tinggi 9 MST Pertambahan Tinggi 10 MST Pertambahan Tinggi 11 MST Pertambahan Tinggi 12 MST Pertambahan Jumlah Cabang 8 MST Pertambahan Jumlah Cabang 10 MST Pertambahan Jumlah Cabang 12 MST Umur Berbunga Umur Berbuah Produksi Jumlah Buah Panjang Buah
Heritabilitas 0,61 0,17 0,94 0,13 0,48 0,27 0,62 0,47 0,39 0,3 0,48 0,34 0,16
Tabel 4 menunjukkan bahwa parameter yang memiliki nilai heritabilitas rendah adalah pertambahan tinggi tanaman 9 dan 11 MST serta panjang buah, yang bernilai tinggi diperoleh pada pengamatan pertambahan tinggi 8 dan 10 MST serta pertambahan jumlah cabang 10 MST, yang bernilai sedang adalah pertambahan tinggi 12 MST, pertambahan jumlah cabang 8 dan 12 MST, umur berbunga, umur berbuah, produksi dan jumlah buah. Hasil Analisis statistik memperlihatkan bahwa Koefisien Variabilitas Genetik (KVG) untuk semua parameter bervariasi mulai dari rendah hingga sangat tinggi. KVG dengan nilai tertinggi adalah pada pengamatan pertambahan tinggi tanaman 10 MST, disusul sebagai nilai yang juga sangat tinggi adalah pertambahan tinggi tanaman 12 MST, untuk nilai KVG yang tinggi terdapat pada pertambahan jumlah cabang 10 MST, hasil (g) dan jumlah buah (buah), nilai sedang terdapat pada parameter pertambahan tinggi
247
8 MST, pertambahan jumlah cabang 8 dan 12 MST, dan yang bernilai rendah adalah pertambahan tinggi tanaman 9 dan 11 MST, umur berbunga, umur berbuah dan panjang buah. Hal ini menunjukkan keragaman yang bervariasi pada beberapa sifat yang diamati. Heritabilitas dengan nilai tinggi diperoleh pada pengamatan pertambahan tinggi 8 dan 10 MST serta pertambahan jumlah cabang 10 MST, yang bernilai sedang adalah pertambahan tinggi 12 MST, pertambahan jumlah cabang 8 dan 12 MST, umur berbunga, umur berbuah, produksi, dan jumlah buah. Dan yang bernilai rendah adalah pertambahan tinggi 9 dan 11 MST serta panjang buah. Pengklasifikasian ini sesuai dengan kriteria menurut Stansfield (1991) dimana heritabilitas dikatakan rendah jika bernilai di bawah 0,2; sedang bila bernilai antara 0,2-0,5 dan dikatakan tinggi jika di atas 0,5; semakin mendekati 0 berarti keragaman hanya disebabkan oleh faktor genotip. Dalam penelitian ini sebahagian besar parameter menunjukkan nilai heritabilitas yang sedang (antara 0,2-0,5) hal ini menunjukkan untuk sifat-sifat tersebut keragaman yang terjadi diakibatkan oleh lingkungan dan genotip secara seimbang. Ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit juga dapat dikatakan baik, dikatakan demikian karena serangan hanya dalam taraf ringan tidak sampai mengganggu pertumbuhan dan hasil tanaman. Hasil antar varietas per pohonnya dalam satu lokasi jika dikonversikan dalam ha juga terlihat berbeda. Jika populasi 1 ha adalah 17.000 pohon dengan jarak tanam 60 x 70 cm, pada L1 (Medan, 25 m dpl) produksi V1 (Jago) dalam lima kali panen adalah 4.674,15 kg/ha, V2 (Taro) sebanyak 5.355 kg/ha dan V3 (Sudra) sebanyak 5.139,61 kg/ha, sedangkan pada L2 (Brastagi, 1.200 m dpl produksi V1 (Jago) dalam lima kali panen adalah sebesar 2.932,5 kg/ha, V2 (Taro) sebesar 3.853,39 kg/ha dan V3 (Sudra) sebesar 3.258 kg/ha. Dari perhitungan matematis sederhana ini dapat diperoleh keterangan bahwa pada L1 produksi terbanyak adalah V2 diikuti V3 dan V1. sedangkan pada L2 produksi terbanyak adalah dengan urutan yang sama yaitu V2 diikuti V3 dan V1, dari sini juga dapat dilihat bahwa produksi pada L1 lebih tinggi daripada L2.
KESIMPULAN 1.
Nilai variabilitas dan heritabilitas yang diperoleh sangat beragam mulai dari yang bernilai rendah sampai tinggi bahkan sangat tinggi
2.
Berdasarkan data produksi lima kali panen jika dikonversikan dalam kg/ha diperoleh varietas terbaik adalah V2 (Taro) yang ditanam pada L1 ( Medan, 25 m dpl) sebesar 5.355 kg/ha diikuti V3 (Sudra) sebesar 5.139,61 kg/ha dan V1 (Jago) sebesar 4.674,15 kg/ha.
DAFTAR PUSTAKA Harjadi, S.S. 1996. Pengantar Agronomi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. p.70 Hayward M.D., N.O. Bosemark, and I. Romagosa. 1993. Plant Breeding Principles and Prospects. Chapman & Hall, 2-6 Boundary Roe, London. Chapter 22. Johnson, H.D, N.O. Bosemark, and I. Romagosa. 1993. Plant Breeding Principles and Prospects. Chapman & hall, 2-6 Boundary Roe, London. Chapter 22. Poespodarsono, S. 1998. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor. Prajnanta, F. 2001. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta. Rebin, S., Purnomo, A. Somaryono, Soegito dan L. Moenir. 1995. pendugaan Parameter Genetik hasil dan Komponen Hasil Anggur. Balai Penelitian Hortikultura I : 1-7 Stansfield, W.D. 1991. Genetika. Diterjemahkan oleh Machidin Apandi dan Lanny, T. Hady. Erlangga. Jakarta. Welsh, J.R. 1991. Dasar-dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Erlangga. Jakarta.
248
PRODUKTIVITAS PADI GOGO SEBAGAI TANAMAN TUMPANGSARI HUTAN JATI MUDA Husin M Toha Staf Peneliti Ekofisiologi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
ABSTRAK Secara umum pertanaman padi gogo di Indonesia terdapat pada tiga sub ekosistem, yaitu: a ) pada lahan datar termasuk bantaran sungai; b) pada lahan perbukitan daerah aliran sungai (DAS); dan c) sebagai tanaman tumpangsari pada pertanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda. Batas naungan maksimum pada budidaya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dengan tanaman keras adalah sampai naungan tanaman pokok mencapai 50%, untuk selebihnya perlu diseleksi varietas yang tahan naungan. Naungan tanaman karet dan kelapa sawit mencapai 50% pada umur 3-4 tahun tergantung jarak tanamnya, demikian juga untuk hutan tanaman industri (jati, Acasia mangium, sengon dan mahoni). Bila siklus tanaman karet, kelapa sawit dan juga hutan jati klon unggul, sengon dan A. Mangium adalah 25 tahun sekali, maka luasan areal yang dapat ditumpangsarikan dapat mencapai 16% areal. Sedangkan untuk perkebunan kelapa dalam, pertanaman tumpangsari dapat dilalakukan pada peremajaan sampai tahun ke empat dan setelah umur 25 tahun, mahkota t anaman kelapa akan mengecil lagi dan sangat leluasa untuk pertanaman tumpangsari. Secara potensi luas areal yang dapat ditanami tanaman pangan khususnya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dapat mencapai lebih dari 2 juta ha. Rata -rata hasil 12 varietas padi gogo yang ditanam bersamaan dengan tanaman jati klon unggul mencapai 5,41 t/ha GKG dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata). Pada percobaan lain dari 12 galur harapan dan 2 varietas, rata -rata mencapai 5,93 t/ha GKG dengan kisaran 5,22 (BP606D-18-13-1) sampai 6,91 t/ha (BP760F-2-2-Pn-1). Hasil pertanaman pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami) dengan vegetasi semak belukar dan alang -alang, dari 12 varietas yang diuji rata-rata mencapai 3,98 t/ha GKG dengan kisaran 3,21 (Cirata) sampai 4,98 (Jatiluhur). Sedangkan dari 12 galur harapan yang diuji pada areal yang sama, rata-rata mencapai 4,11 t/ha dengan kisaran 3,27 t/ha (TB203C-CKY-1-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Penelitian berkelanjutan tumpangsari padi gogo dengan hutan jati muda di Desa Sanca (Gantar-Indramayu), pada tahun kedua (jati 1 tahun), rata-rata hasil 8 varietas mencapai 5,53 tha GKG dengan kisaran 4,69 t/ha (Cirata) sampai 6,01 (Situ Patenggang). Pada tahun ketiga (Jati 2 tahun) rata-rata mencapai 3,26 t/ha GKG dengan kisaran 2,44 (Danau Gaung) sampai 4,37 (Towuti). Sedangkan pada tahun keempat (jati 3 tahun) rata-rata 8 varietas mencapai 3,22 t/ha dengan kisaran 2,14 t/ha (C 22) sampai 4,41 t/ha (Batu Tegi). Dampak positif dari pertanaman tumpangsari padi gogo (pola tanam tumpangsari), selain ada tambahan hasil tanaman pangan, pertumbuhan pohon jati juga menjadi lebih baik yang tercermin dari pertumbuhan diameter batang pada pola tanam intensif mencapai 6,42 cm, sedangkan dengan pola tanam kurang intensif hanya mencapai 4,81 cm.
Kata kunci : padi gogo, tumpangsari, jati muda,
PENDAHULUAN Tantangan pengadaan pangan nasional ke depan akan semakin berat mengingat banyaknya lahan irigasi subur yang terkonversi untuk kepentingan non pertanian dan penduduk terus bertambah. Menururt Irawan et al., (2001) dalam kurun waktu 1981-1999 telah terjadi alih fungsi lahan seluas 1,6 juta ha, sekitar 1 juta ha diantaranya terjadi di P Jawa. Bila diasumsikan produktivitas lahan sawah sebesar 6 t/ha GKP, maka kehilangan produkasi dapat mencapai 9,6 juta ton GKP (Agus et al., 2004). Pada pihak lain, laju pertambahan produktivitas lahan sawah juga semakin menurun akibat diterapkan teknologi yang semakin intensif, tetapi pupuk yang diberikan tidak seimbang dengan hara yang terangkut panen serta jerami padi banyak yang diangkut ke luar petakan atau dibakar. Dengan semakin menciutnya luas lahan sawah irigasi akibat pengalihan fungsi dan menurunnya tingkat produktivitas lahan, maka lahan kering untuk pengembangan pertanian harus segera dikembangkan dan dimanfaatkan. Peluang pengembangan pertanian di lahan kering cukup besar baik dari segi potensi sumber daya lahan, maupun peningkatan produktivitasnya melalui penerapan paket-paket teknologi yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian (Suwarno et al., 2005). Luas panen padi gogo saat ini sekitar 1,12 juta ha atau sekitar 10% luas panen padi nasional dengan produksi 2,88 juta ton atau sekitar sekitar 5% dari produksi padi nasional. Tingkat produktivitas padi gogo rata-rata baru mencapai 2,58 t/ha atau 45% dari tingkat prduktivitas padi sawah yang telah mencapai 5,68 t/ha (BPS, 2005). Secara potensi padi gogo pernah mencapai 7,2 t/ha di Peru (de Datta, 1975) dan penelitian di Boyolali varietas Poso pernah mencapai 6,8 t/ha (Toha dan Hawkins, 1990). Penelitian lain di Garut selatan, varietas Cirata pennah mencapai hasil 6,7 t/ha (Permadi dan Toha, 1996) dan varietas Jatiluhur yang ditanam secara tumpangsari dengan hutan jati muda di KPH Purwakarta mencapai 5,5 t/ha (Guswara dan Toha, 1995)
249
Luas lahan kering yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan, khususnya padi gogo ada sekitar 5,1 juta ha (Tim Badan Litbang, 1998). Budidaya padi gogo umumnya dilakukan pada; a) areal datar yang terletak dibantaran sungai atau sekitar halaman rumah, b) disekitar perbukitan daerah alirang sungai (DAS), dan c) sebagai tanaman tumpangsari perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda (Toha, 2005). Budidaya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari terbatas sampai naungan mencapai 50% (Sopandie et al., 2003; 2005). Untuk tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit masing-masing sampai umur 3 dan 4 tahun, kelapa dalam sampai 4 tahun dan setelah umur 25 tahun mahkotanya mengecil dan seterusnya dapat diusahakan tanaman tupangsari lagi (Toha dan Hasanuddin, 1997). Sedangkan untuk hutan jati muda mulai tahun pertama sampai 3 tahun tergantung populasi tanaman pokoknya (Toha, 2005). Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, akhir-akhir ini makin sering terdengar adanya penjarahan hutan. Tanaman kehutanan (jati, mahoni, dll) sebelum umur panen, sudah dijarah masyarakat sekitar hutan yang umumnya masyarakat miskin. Untuk mengembalikan fungsi hidrologi hutan, hutan yang rusak perlu segera direhabilitasi atau direboisasi. Pada pihak lain, program peremajaan hutan yang rutin ada sekitar 50.000-200.000 ha/tahun (BPS 2005). Untuk mengurangi terjadinya penjarahan hutan, maka program perhutanan sosial perlu lebih dikembangkan agar petani merasa lebih memiliki dan memelihara hutan (Bratamiharja (1996). Petani dapat menarik manfaat dengan diikut sertakan menanam tanaman tumpangsari diantara tanaman pokok hutan. Akhir-akhir ini juga telah dilontarkan program pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM), dimana masyarakat sekitar hutan diikut sertakan dalam pengelolaan hutan dengan ketentuan masyarakat boleh menanam tanaman semusim diantara tanaman hutan sepanjang masih memungkinkan dan pada pihak lain masyarakat juga berkewajiban memelihara tanaman pokok hutan. Sedangkan pihak Perhutani mempunyai kewajiban membina petani tersebut dan mengawasi tanaman pokoknya (Perhutani, 2004). Berdasarkan besarnya naungan yang ada, pada pola peremajaan tanaman hutan atau perkebunan, pengusahaan tanaman tumpangsari terbatas sampai tahun ke tiga atau ke empat. Batasannya sampai naungan mencapai 50% (Sopandie et al., 2003; 2005), tanaman karet sampai tahun ke tiga, kelapa sawit dan kelapa dalam sampai tahun ke empat. Khusus untuk tanaman kelapa dalam setelah umur di atas 25 tahun, mahkota/tajuknya mengecil lagi dan penetrasi cahaya dapat mencapai diatas 80% (Toha, 2005), sistem tanam tumpangsari dapat diusahakan lagi. Bila peremajaan tanaman karet dan kelapa sawit, tiap 25 tahun sekali dan tanaman tumpangsari dapat diusahakan sampai tahun ke empat, maka secara potensi pengusahaan tanaman tumpangsari dapat mencapai 16% dari luasan lahan perkebunan yang ada (Toha dan Hasanuddin, 1997). Selain peremajaan tanaman perkebunan, peremajaan hutan setiap tahunnya mencapai antara 50.000-200.000 ha. Potensi tanaman tumpangsari perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda dapat mencapai lebih dari 2,0 juta ha/tahun (Toha, 2005). Sedangkan untuk peremajaan hutan yang dikaitkan dengan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) tanaman tumpangsari dapat diusahakan 2 sampai 5 tahun tergantung jarak tanamnya. Khusus untuk RPH Sanca (KPH Indramayu), dimana solum tanahnya dalam, dapat diusahakan pertanaman hutan jati jenis (klon) unggul yang umur panennya lebih genjah. Jenis jati lokal umur panennya dapat di atas 40 tahun, sedangkan jati unggul hanya sekitar 25 tahun dan dapat ditanam lebih jarang. Jarak tanam jati lokal biasanya (3,0 x 3,0) meter, sedangkan jati unggul jarak tanam antar baris 6 meter dan didalam barisan antara 1-2 meter. Berdasarkan jarak tanam seperti ini, tanaman tumpangsari bisa diusahakan lebih lama dapat mencapai 6-7 tahun. Bila di hitung dengan masa persiapan panen (1-2 tahun) dan persiapan tanam 1 tahun, maka usaha tanaman tumpangsari secara total dapat mencapai 7-9 tahun atau sekitar 25% dari potensi hutan jati yang diusahakan. Tanaman pangan sebagai tanaman tumpangsari yang umum diusahakan petani adalah; padi gogo, kacang-kacangan dan juga sayuran. Tanaman pangan yang diusahakan sebagai tanaman tumpangsari, sebaiknya mengacu pada pola tanam berbasis padi gogo, yaitu padi gogo-kedelai-kacang tunggak/kacang hijau. Padi gogo ditanam pada awal musim hujan, dikuti oleh kedelai dan terakhir kacang hijau atau kacang tunggak yang lebih tahan kering. Budidaya padi gogo membutuhkan bulan basah (>200 mm/bulan) secara berurutan minimal 4 bulan, sedangkan untuk tanaman palawija lainnya minimal 100 mm/bulan (Oldeman, 1975). Untuk efisiensi tenaga kerja dan mengurangi resiko terjadinya erosi yang berlebihan sebaiknya menggunakan sistem olah tanah minimal. Pengolahan tanah yang agak intensif hanya untuk padi gogo dan dilakukan pada akhir musim kemarau, jadi tanah dalam keadaan kering. Sedangkan untuk pertanaman kedua dan ketiga (kedelai dan kacang hijau/kacang tunggak) dilakukan dengan tanpa olah tanah. Untuk menekan pertumbuhan gulma dan menjaga kelembaban tanah, sisa tanaman sebelumnya dijadikan mulsa. Dengan demikian permukaan tanah akan terusik secara minimal dan erosi dapat diminimalkan. Berdasarkan pengalaman (hasil penelitian sebelumnya), tingkat hasil gabah dapat mencapai antara 2,5-5,5 t/ha GKG, kedelai sekitar 1,0-1,5 t/ha dan kacang hijau sekitar 1,0 t/ha. Bila dihitung dengan nilai setara gabah,
250
penerapan pola tanam intensif dengan olah tanah minimum, hasil yang mencapai sekitar 10 t/ha/tahun, tidak kalah dengan produktivitas lahan sawah (Toha et al., 2006). Beberapa keuntungan dengan adanya usaha tanaman tumpangsari diantara tanaman pokok hutan yang masih muda adalah: 1) produksi tanaman pangan meningkat, pendapatan petani meningkat; 2) berfungsi dalam persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman pokok, mengurangi biaya penyiangan; 3) kesuburan tanah meningkat (residu pupuk tanaman pangan, penambahan bahan organik tanah/jerami); 4) mengurangi pengembalaan ternak, pemeliharaan ternak lebih intensif; dan 5) dampak sosial/ekonomi yang baik bagi masyarakat sekitar hutan, mengurangi penjarahan hutan (Toha, 2002; 2005). Pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM) dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan so sial. Dalam pelaksanaannya masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra kerja Perum Perhutani dapat berperan aktif dalam memelihara kelestarian sumberdaya hutan. Dalam aspek perencanaan dan pembinaan, Perum Perhutani mempunyai tanggung jawab penuh dan bersama pemerintah daerah langsung mengarahkan dan mensosialisasikan kegiatan yang akan dilakukan bersama masyarakat sekitar hutan. Secara simultan akan diupayakan sumberdaya hutan tetap lestari, pendapatan Perum Perhutani meningkat dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat (Perhutani, 2004).
BAHAN DAN METODA. Penelitian lapang terdiri dari 5 (lima) unit kegiatan yang semuanya dilakukan di Kecamatan Gantar pada kawasan KPH Indramayu dari MH 2003/2004 sampai MH 2005/2006. Penelitian unit 1 dan 2 dilakukan di Desa Bantarwaru, sebagai tanaman kedua setelah penebangan hutan, tetapi bersamaan dengan penanaman hutan jati klon unggul pada MH 2004/2005. Penelitian unit 3 dan 4 dilakukan di Desa Sanca, sebagai tanaman kedua yang sebelumnya merupakan lahan tidur (semak belukar dan penuh vegetasi alang-alang), pada lokasi ini belum ada perencanaan tanam ulang. Sedangkan unit 5 dilakukan selama 3 tahun berurutan dari MH 2004/2005 sampai MH 2005/2006 di Desa Sanca sebagai penanaman ketiga, keempat dan kelima. Penelitian di Desa Bantarwaru (2 unit) mengacu kepada pola rancangan acak kelompok dengan 3 (tiga) ulangan secara tersarang. Perlakuan pada unit pertama adalah menguji 12 varietas unggul padi gogo termasuk kontrol varietas lokal Seratus Malam (Tabel 1). Perlakuan pada unit kedua adalah menguji 12 galur harapan padi gogo ditambah 2 varietas kontrol (Tabel 2). Varietas kontrol adalah varietas Towuti (asal padi gogo) dan varietas Ciherang (asal padi sawah) tetapi umum ditanam petani setempat. Penelitian di Desa Sanca (3 unit) juga mengacu kepada pola rancangan acak kelompok dengan 3 (tiga) ulangan. Perlakuan pada unit ketiga adalah menguji 12 varietas unggul padi gogo termasuk kontrol varietas lokal Seratus Malam (Tabel 3). Perlakuan pada unit keempat adalah menguji 12 galur harapan padi gogo (Tabel 4). Sedangkan perlakuan pada unit kelima menguji 8 varietas (tahun pertama), 10 varietas (tahun kedua) dan 7 varietas (tahun ketiga) yang dilakukan secara berurutan (Tabel 5). Pengaturan pertanaman di lapangan dengan melibatkan petani pesanggem, tetapi di bawah pengaturan peneliti. Tiap varietas atau galur harapan ditanam dalam satu lorong, lebar 6 meter dan panjang 50 meter. Sedangkan ulangan dibuat secara tersarang, didalam petak besar (6 m x 50 m) ditentukan secara acak 3 petak khusus dengan ukuran (6 m x 5 m) yang selanjutnya dijadikan ulangan. Padi gogo untuk semua unit kegiatan ditanam secara tugal 4-5 butir/lubang dengan jarak tanam sistem jajar legowo (30 x 20 x 10) cm. Pelaksanaan tanam dilakukan pada awal musim hujan, setelah curah hujan agak kerep atau telah mencapai 60 mm/10 harian (dekade). Pemupukan dilakukan 3 kali pada: 15 hari setelah tumbuh (HSTbh), 35 HSTbh dan saat primordia bunga. Cara pemupukan pertama dan kedua dengan dilarik pada barisan ganda (20 cm), setelah pupuk dialur dalam larikan segera ditutup kembali dengan tanah. Pemupukan secara larikan akan lebih efisien dan bila dibandingkan dengan cara sebar lansung dapat meningkatkan hasil gabah dari 4,1 menjadi 4,7 t/ha GKG (Pirngadi et al., 2001). Sedangkan untuk pemupukan ketiga dilakukan dengan disebar merata, karena tanaman sudah menutup. Pupuk pertama terdiri dari campuran 50 kg Urea dan seluruh pupuk SP-36 dan KCl. Pupuk kedua dan ketiga hanya pupuk urea, masing-masing 75 kg/ha. Jadi secara keseluruhan pertanaman dipupuk 200 kg Urea, 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha. Pengendalian gulma dilakukan pada umur 10-14 HSTbh dan 30-34 HSTbh (sebelum pemupukan pertama dan kedua) dengan cara dikored. Pengendalian hama dilakukan pada umur 30 HSTbh (hama belalang dan penggerek) dan saat bunting serta pada matang susu untuk pengendalian penggerek batang dan walang sangit. Pelaksanaan panen dilakukan bila penampakan gabah pada malai sudah masak lebih dari 90% dan panen tidak serempak antar varietas yang dicoba tergantung keserempakan masak masing-masing varietas.
251
Petak ubinan untuk menduga hasil dilakukan pada masing-masing ulangan dengan ukuran (2 x 5) meter. Pada petak ubinan tersebut terdiri dari 8 barisan (4 barisan ganda) dengan panjang 5 meter (50 rumpun), total ubinan secara potensi terdiri dari 400 rumpun. Cara panen dengan arit, kemudian dirontokan (digebot), lalu dibersihkan dan ditimbang. Untuk menyeragamkan data hasil ubinan, selesai ditimbang lalu diukur kadar airnya dengan 3 ulangan. Hasil gabah kering panen (GKP) dapat diketahui langsung, sedangkan untuk hasil gabah kering giling (GKG) dapat diketahui berdasarkan perhitungan (dikonversi) dengan kadar air 14%. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji adaptasi 12 varietas unggul padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dengan hutan jati klon unggul rata-rata mencapai 5,82 t/ha GKP atau 5,41 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 4,03 (Sentani) sampai 6,58 t/ha (Cirata). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 4,76 t/ha GKP tidak berbeda nyata dengan varietas Sentani dan Situ Patenggang serta Way Rarem, sedangkan dengan varietas lainnya berbeda nyata (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon Unggul di Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.*) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Varietas
Hasil t/ha GKP
Batu Tegi 6,04 a Cirata 6,58 a C 22 6,50 a Danau Gaung 5,96 a Limboto 6,10 a Seratus Malam 4,76 bc Sentani 4,03 c Situ Bagendit 6,44 a Situ Patenggang 5,77 ab Towuti 6,25 a Way Rarem 5,77 ab Jatiluhur 6,50 a Rata-rata 5,82 k k (%) 12,2 *) Padi gogo tanam akhir Oktober, jati klon unggul tanam akhir Desember 2004.
Hasil t/ha GKG 5,594 a 6,12 a 6,06 a 5,54 a 5,67 a 4,43 bc 3,75 c 5,99 a 5,36 ab 5,81 a 5,37 ab 6,06 a 5,41 12,2
Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar varietas yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai 5,41 t/ha dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 4,43 t/ha tidak berbeda nyata dengan varietas Sentani, Situ Patenggang maupun Way Rarem. Dari 12 varietas yang diuji, varietas Jatiluhur, C 22 dan Cirata mencapai hasil GKG lebih dari 6 t/ha. Masing-masing mencapai: 6,06; 6,06 dan 6,12 t/ha GKG (Tabel 1). Hasil pengujian 12 galur harapan dan 2 varietas unggul padi gogo/sawah sebagai kontrol pada pertanaman tumpangsari dengan hutan jati klon unggul rata-rata mencapai 6,43 t/ha GKP atau 5,93 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 5,61 t/ha (BP606D-18-13-1) sampai 7,49 t/ha (BP606C-18-9-6). Hasil varietas Towuti (kontrol varietas padi gogo) mencapai 6,24 t/ha GKP dan Ciherang (kontrol varietas padi sawah) mencapai 6,10 t/ha GKP keduanya tidak berbeda nyata dengan hasil galur harapan lainnya (Tabel 2). Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar galur harapan dan varietas (kontrol) yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai 5,93 t/ha dengan kisaran 5,22 t/ha (BP606D-18-13-1) sampai 6,97 t/ha (BP606C-18-9-6). Hasil varietas Towuti (kontrol varietas padi gogo) mencapai 5,52 t/ha GKP dan Ciherang (kontrol varietas padi sawah) mencapai 5,39 t/ha GKP keduanya tidak berbeda nyata dengan hasil galur harapan lainnya kecuali dengan galur terbaik BP606C-18-9-6 (Tabel 2). Galur harapan yang hasilnya mencapai lebih dari 6 t/ha GKG adalah: B9071F-TB-7, BP720C-5-Si-1-1, TB47H-MR-10, BP760F-2-2-Pn-1 dan BP606C-18-9-6 masing-masing mencapai: 6,38; 6,47; 6,48; 6,91 dan 6,97 t/ha GKG (Tabel 2).
252
Tabel 2. Hasil Pertanaman Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon Unggul di Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005. *) No.
Galur Harapan
Hasil t/ha GKP
Hasil t/ha GKG
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
TB203C-Cky-1-13 6,37 abc BP606D-18-13-1 5,61 c B9071F-TB-7 6,85 abc B8503E-TB-19-13 6,00 bc TB47H-MR-10 6,97 abc IR30176-1-B-Mr 6,17 abc Bio 511-61-2-3-1 5,85 c BP606C-18-9-6 7,49 a BP720C-5-Si-1-1 6,95 abc BP785C-12-4-1 6,07 abc BP760F-2-2-Pn-1 7,42 ab S4849-1-1G-1-1-3-3 5,96 c Ciherang 6,10 abc Towuti 6,24 abc Rata-rata 6,43 k k (%) 13,3 *) Padi gogo tanam akhir Oktober, jati klon unggul tanam akhir Desember 2004.
5,93 ab 5,22 b 6,38 ab 5,58 b 6,48 ab 5,51 b 5,44 b 6,97 a 6,47 ab 5,65 b 6,91 a 5,54 b 5,39 b 5,52 b 5,93 13,1
Pemanfaatan lahan tidur dalam kawasan hutan untuk tanaman pangan juga dapat berpengaruh positif bagi masyarakat sekitar hutan dan juga bagi pengelola hutan (Perhutani). Proses terjadinya lahan terlantar akibat penjarahan yang tidak terkendali dan belum bisa ditanami ulang (perencanaan tanam ulang masih terbatas). Kalau tidak ditanami, lahan tersebut dijadikan padang pengembalaan ternak yang bila dibiarkan terus akan menjadi lahan kritis. Sambil menunggu giliran tanam ulang, lahan tersebut dapat diusahakan oleh petani sekitar hutan untuk budidaya tanaman semusim. Keuntungan dari kebijaksanaan tersebut, dapat memudahkan untuk perencanaan tanam dan petani penggarap dapat dijadikan petani kooperator program PHBM seterusnya. Hasil uji adaptasi 12 varietas unggul padi gogo termasuk varietas lokal (Seratus Malam) sebagai kontrol rata-rata mencapai 4,32 t/ha GKP atau 3,98 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 3,49 (Cirata) sampai 5,35 t/ha (Jatiluhur). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 3,66 t/ha GKP tidak berbeda nyata dengan varietas lainnya kecuali dengan varietas terbaik Jatiluhur (Tabel 3). Tabel 3. Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Pada Lahan Terbuka Bekas Hutan Jati (Sementara Belum Ditanam Ulang) di Desa Sanca blok Tegal Sapi, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005. N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Varietas Batu Tegi Cirata C 22 Danau Gaung Limboto Seratus Malam Sentani Situ Bagendit Situ Patenggang Towuti Way Rarem Jatiluhur Rata-rata k k (%)
Rata-rata hasil (t/ha) GKP 4,69 ab 3,49 b 4,81 ab 4,17 ab 4,67 ab 3,66 b 4,03 ab 4,32 ab 4,25 ab 4,13 ab 4,29 ab 5,35 a 4,32 16,0
GKG 4,36 ab 3,21 b 3,81 ab 4,19 ab 4,34 ab 3,36 b 3,75 b 4,02 ab 3,89 ab 3,85 ab 4,06 ab 4,98 a 3,98 14,7
Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar varietas yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai 3,98 t/ha dengan kisaran 3,21 t/ha (Cirata) sampai 4,98 t/ha (Jatiluhur). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 3,36 t/ha tidak berbeda nyata dengan varietas lainnya kecuali dengan varietas terbaik Jatiluhur. Dari 12 varietas yang diuji, varietas yang hasil dapat mencapai diatas 4,0 t/ha pada lahan tidur adalah: Situ Bagendit, Danau Gaung, Limboto, Batu Tegi dan Jatiluhur, masing-masing mencapai: 4,02; 4,19; 4,34; 4,36 4,98 t/ha GKG (Tabel 3).
253
Hasil uji adaptasi 12 galur harapan rata-rata mencapai 4,42 t/ha GKP atau 4,11 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 3,51 t/ha (TB203C-Cky-1-13) sampai 5,28 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar galur harapan yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai 4,11 t/ha dengan kisaran 3,27 t/ha (TB203C-Cky-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Galur harapan yang hasilnya mencapai di atas 4,0 t/ha adalah: BP785C-12-4-1; TB47H-MR-10; IR30176-1-B-Mr; B9071FTB-7; Bio511-61-2-3-1 dan BP720C-5-Si-1-1 masing-masing mencapai: 4,20; 4,26; 4,59; 4,60; 4,82 dan 4,91 t/ha GKG (Tabel 4). Tabel 4. Hasil Pertanaman Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Pada Lahan Terbuka Bekas Hutan Jati (Sementara Belum Ditanam Ulang) di Desa Sanca blok Tegal Sapi, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Galur Harapan TB203C-Cky-1-13 BP606D-18-13-1 B9071F-TB-7 B8503E-TB-19-13 TB47H-MR-10 IR30176-1-B-Mr Bio 511-61-2-3-1 BP606C-18-9-6 BP720C-5-Si-1-1 BP785C-12-4-1 BP760F-2-2-Pn-1 S4849-1-1G-1-1-3-3 Rata-rata k k (%)
Rata-rata hasil (t/ha) GKP 3,51 d 4,25 abcd 4,94 abc 3,77 cd 4,58 abcd 4,94 abc 5,18 ab 4,10 abcd 5,28 a 4,51 abcd 3,89 bcd 4,13 abcd 4,42 15,4
GKG 3,27 d 3,95 abcd 4,60 abc 3,50 cd 4,26 abcd 4,59 abc 4,82 ab 3,78 abcd 4,91 a 4,20 abcd 3,62 bcd 3,84 abcd 4,11 15,5
Untuk melihat bagaimana renspon hasil beberapa varietas unggul padi gogo sebagai tanaman tumpangsari jati klon unggul, telah dilakukan penelitian adaptasi padi gogo secara berurutan selama 3 tahun dari MH 2003/2004 sampai MH 2005/2006. Adapun pada pertanaman MH 2003/2004 tanaman jati sudah memasuki tahun kedua dan pertanaman padi gogo merupakan pertanaman ketiga (sebelumnya pertanaman padi gogo oleh petani sudah 2 kali tanam). Hasil pertanaman uji adaptasi 8 varietas unggul padi gogo sebagai pertanaman tumpangsari dengan hutan jati 1 tahun di Desa Sanca pada MH 2003/2004 rata-rata mencapai 5,90 t/ha GKP atau 5,53 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 5,36 t/ha (Batu Tegi) sampai 7,08 t/ha (Limboto). Berbeda dengan hasil GKP, hasil GKG tertinggi dicapai oleh varietas Situ Patenggang (6,01 t/ha) dan hasil terrendah oleh varietas Cirata (4,69 t/ha) sedangkan secara rata-rata mencapai 5,53 t/ha GKG. Varietas padi gogo yang hasilnya mencapai lebih dari 5,5 t/ha GKG pada pertanaman tumpangsari dengan jati klon unggul umur 1 tahun adalah: C 22; Limboto; Towuti; Situ Bagendit dan Situ Patenggang, masingmasing mencapai: 5,51; 5,52; 5,64;5,90 dan 6,01 t/ha (Tabel 5). Hasil pertanaman MH 2004/2005 atau pertanaman penelitian tahun kedua dan tanaman jati sudah umur 2 tahun, hasil rata-rata 10 varietas yang diuji mencapai 3,26 t/ha GKP atau 3,26 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 2,61 t/ha (C22) sampai 4,68 t/ha (Towuti). Sedangkan kisaran hasil GKG antara 2,36 (Limboto) sampai 4,37 t/ha (Towuti). Varietas yang hasilnya mencapai lebih dari 3,5 t/ha pada pertanaman tumpangsari padi gogo dengan hutan jati umur 2 tahun adalah: Jatiluhur, Situ Patenggang, Situ Bagendit, Way Rarem, dan Towuti, masing-masing mencapai: 3,54; 3,64; 3,67; 3,72 dan 4,37 t/ha GKG (Tabel 5). Rata-rata hasil 7 varietas padi gogo pada pertanaman penelitian tumpangsari tahun ketiga (MH 2005/2005) mencapai 3,49 t/ha GKP atau 3,22 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 2,31 (C 22) sampai 4,60 t/ha (Batu Tegi). Sedangkan kisaran hasil GKG antara 2,14 t/ha (C 22) sampai 4,41 t/ha (Batu Tegi). Varietas yang hasilnya dapat mencapai 3,5 t/ha GKG pada pertanaman tumpangsari jati klon unggul umur 3 tahun adalah: Jatiluhur, Limboto dan Batu Tegi, masing-masing mencapai 3,84; 3,97 dan 4,41 t/ha GKG (Tabel 5).
254
Tabel 5.
No.
Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon Unggul (Umur 1, 2 Dan 3 Tahun) di Desa Sanca, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu *) Varietas
Jati 1 tahun (MH 2003/2004) GKP GKG
Jati 2 tahun (MH 2004/2005) GKP GKG
Jati 3 tahun (MH 2005/2006) GKP GKG
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. *)
Batu Tegi 5,36 4,97 3,59 3,35 4,60 4,41 C 22 5,54 5,51 2,62 2,39 2,23 2,14 Cirata 5,38 4,69 3,54 3,16 Towuti 6,00 5,64 4,68 4,37 2,43 2,20 Way Rarem 5,22 5,28 4,55 3,72 3,48 3,19 Limboto 7,08 5,52 2,61 2,36 4,25 3,97 Situ Patenggang 6,67 6,01 4,14 3,64 Situ Bagendit 5,96 5,90 3,99 3,67 Danau Gaung 2,65 2,44 3,10 2,81 Jatiluhur 3,55 3,54 4,35 3,84 Rata-rata 5,90 5,53 3,59 3,26 3,49 3,22 Padi gogo penelitian mulai tanam akhir Oktober 2003, jati klon unggul tanam akhir Nopember 2002. Pertanaman padi gogo petani tahun pertama MH 2001/2002 dan tahun kedua MH 2002/2003 umumnya menggunakan varietas lokal (Midun dan Umbul-umbul) serta sebagian varietas Ciherang. Jarak tanam Jati unggul (6 x 2) m dan padi gogo (30x20x10) cm. Pertanaman penelitian padi gogo mulai MH 2004/2005 (jati 1 tahun) seluruhnya dilakukan oleh petani tetapi diberikan benih dan pupuk sebanyak 200 kg Urea, 50 kg SP-36 dan 50 kg KCl. Khusus untuk pertanaman kedua petani hanya memupuk Urea dan SP-36 masing-masing 150 dan 50 kg/ha.
Untuk lebih menyakinkan bahwa pertanaman tumpangsari tanaman pangan khususnya padi gogo mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan tanaman pokok jati klon unggul telah dilakukan pengukuran diameter batang pokok jati pada tahun ke empat. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa bila tanaman pangan diusahakan lebih intensif, pertumbuhan jati juga lebih baik. Diameter batang pada pertanaman pangan yang intensif mencapai 6,42 cm, sedangkan pada pola yang kurang intensif hanya mencapai 4,81 cm (Tabel 6). Hal ini dapat dimengerti bahwa dengan penerapan pola tanam yang intensif residu pupuk dan limbah (jerami) tanaman pangan juga lebih banyak yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman jati. Selain itu pertumbuhan gulma pada pola tanam yang lebih intensif juga lebih sedikit, baik gulma rumput maupun yang merambat ke pokok jati. Tabel 6. Pengaruh pertanaman tumpangsari (padi gogo dan kedelai) terhadap perumbuhan(diameter batang) jati umur 4 tahun di Desa Sanca (Dusun Salp) Kecamatan Gantar, KPH Indramayu. No.
Pola Tanam Intensip (peneliti) Petani Diameter (cm)
No.
Pola tanam biasa (petani) Petani Diameter (cm)
I II II IV
Padi gogo- kedelai 6,09 V Padi gogo- kedelai 4,82 Padi gogo- kedelai 6,51 VI Padi gogo- kedelai 5,15 Padi gogo- kedelai 6,59 VII Padi gogo- bera 4,92 Padi gogo- bera 6,48 VIII Bera 4,33 Rata-rata 6,42 Rata-rata 4,81 Keterangan : 2001/2002 dan 2002/2003 pertanaman padi gogo pertama dan kedua oleh petani umumnya menggunakan varietas lokal, 2003/2004 penelitian tahun pertama, 2004/2005 penelitian tahun kedua, dan 2005/2006 penelitian tahun ketiga. Kelompok I s/d IV penerapan pola tanam oleh peneliti Kelompok V s/d VIII penerapan pola tanam oleh petani (kontrol) Tanam Jati Nopember 2002, pengukuran diameter batang Maret 2006.
KESIMPULAN 1.
Hasil pengujian 12 varietas padi gogo yang ditanam secara tumpangsari dengan klon jati unggul, ratarata mencapai 5,41 t/ha GKG dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata).
2.
Hasil pengujian 12 galur harapan dan 2 varietas padi gogo/sawah yang ditanam secara tumpangsari dengan klon jati unnggul, rata-rata mencapai 5,93 t/ha GKG dengan kisaran 5,22 t/ha (BP606D-18-13-1) sampai 6,91 t/ha (BP760F-2-2-Pn-1).
3.
Hasil pengujian 12 varietas padi gogo yang ditanam pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami, dengan vegetasi sebelumnya berupa semak belukar dan alang-alang), rata-rata mencapai 3,98 t/ha GKG dengan kisaran 3,21 t/ha (Cirata) samapai 4,98 t/ha (Jatiluhur).
255
4.
Hasil pengujian 12 galur harapan yang ditanam pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami, dengan vegetasi sebelumnya berupa semak belukar dan alang-alang) rata-rata mencapai 4,11 t/ha GKG dengan kisaran 3,27 t/ha (TB203C-CKY-1-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1).
5.
Penelitian berkelanjutan selama 3 tahun, pada tahun kedua (jati 1 tahun) dari 8 varietas, rata-rata mencapai 5,53 t/ha GKG dengan kisaran 4,69 t/ha (Cirata) sampai 6,01 t/ha (Situ Patenggang), pada tahun ketiga (jati 2 tahun) rata-rata mencapai 3,26 t/ha GKG dengan kisaran 2,44 t/ha (Danau Gaung) sampai 4,37 t/ha (Towuti). Sedangkan pada tahun keempat (jati 3 tahun) rata-rata mancapai 3,22 t/ha GKG dengan kisaran 2,14 t/ha (C22) sampai 4,41 t/ha (Batu Tegi).
6.
Pertanaman tumpangsari padi gogo dan penerapan pola tanam yang intensif berpengaruh positif terhadap pertumbuhan diameter batang pohon jati. Pada pola tanam yang lebih intensif diameter batang pada tahun keempat mencapai 6,42 cm, sedang pola tanam yang kurang intensif hanya mancapai 4,81 cm.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan Irawan, 2004. Alih guna dan aspek lingkungan lahan sawah. Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. (Agus et.al Eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembnagan Pertanian, Departemen Pertanian. Hal 305- 328. BPS, 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 604 p. Bratamiharja, M., 1996. Perhutanan Sosial di Pulau Jawa. Buletin Bina Swadaya, Badan Pengembangan Swadaya Masyarakat. No. 9 (IV) : 14-19. De Datta, S.K., 1975. Upland Rice Around the World: Major Research in Uplad Rice. The International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. p: 1-11. Guswara, A. dan H. M. Toha, 1995. Perbaikan budidaya padi gogo tingkat petani peserta perhutanan sosial. Laporan Penelitian Kelti Ekofisiologi, Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Irawan B., S Priyanto, A Supriyanto, I S Anugrah, N A Kirom, B Rahmanto dan B Wiryono. 2001. Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Oldeman. L.R., 1975. Agroclimatic map of Java. Contr. Centr. Res. Inst. for Agriculture, Bogor Indonesia. 17:1-22. Perhutani. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Perum Perhutani, KPH Indramayu. 17 hal. Permadi, P dan H. M. Toha, 1996. Peningkatan produktivitas padi gogo dengan penanaman kultivar unggul dan pemupukan nitrogen. Jurnal Penelitian Pengambangan Wilayah Lahan Kering. No. 18: 27-39. Lembaga Penelitian UNILA. Pirngadi, K., H.M. Toha, K. Permadi dan A. Guswara, 2001. Cara tanam dan pemupukan terhadap hasil padi gogo sebagai tanaman sela hutan jati muda. Makalah disampaikan pada Seminar Apresiasi dan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi 14-15 Nopember 2001. 14 hal. Sopandie, D., M.A. Chosim, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti dan Sahardi, 2003. Toleransi terhadap naungan pada padi gogo. Hayati 10 : 71-75. Sopandie, D., N. Khumaida dan S. Yahya, 2005. Pemberdayaan Aspek Fisiologi Fotosintesis Tanaman Padi dalam Upaya Peningkatan Produksi: Adaptasi terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku satu). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 211- 227. Suwarno, H.M. Toha dan Ismail B P., 2005. Ketersediaan Teknologi dan Peluang Pengembangan Pado Gogo. Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku satu). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 129-143. Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian. 1998. Laporan Hasil Peenelitian Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian dalam Pelita VII. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. 386p.
256
Toha, H.M. dan Hawkins, 1990. Potensi peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui perbaikan variertas dan pemupukan di DAS Jratunseluna bagian hulu. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 103p. Toha, H.M. dan A. Hasanuddin, 1997. Kemungkinan penerapan sistem usaha pertanian padi gogo pada tanaman perkebunan muda dan Hutan Tanaman Industri. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Teknologi Budidaya Padi Gogo di Propinsi Sulawesi Utara, IP2TP Kalasey-Manado, 17-19 Nopember 1997. 17 p. Toha, H..M., 2002. Padi Gogo Sebagai Tanaman Sela Perkebunan dan HTI Muda. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Padi. Toha, H M. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 48 hal. Toha, H M., K Pirngadi dan Iwan Yuliardi. 2006. Peningkatan produktivitas padi gogo sebagai tanaman sela hutan jati muda melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Laporan Tahunan 2005. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. 37 hal.
257
PENGARUH ASAL BIBIT TERHADAP PERTUMBUHAN BEBERPA JENIS PISANG DI LAHAN KERING Tri Ratna E.1, Awaludin H.1), Agus Sutanto2) Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 2) Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok 1)
ABSTRAK Pisang merupakan tanaman yang berpotensi di kembangkan di lahan kering, karena memiliki daya adapasi yang cukup tinggi terhadap kekeringan. Dalam pengembangannya perlu didukung oleh asal bibit dan jenis pisang yang sesuai, sehingga prosentase tumbuh dan pertumbuhan tanaman optimal. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan macam bibit dan varietas pisang yang cocok diusahakan dilahan kering. Penelitian dilaksanakan di Sambelia, Lombok Timur pada bulan Januari sampai Juli 2006 dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial yang diulang 3 kali. Faktor I adalah macam bibit, yaitu B1 (anakan), dan B2 (kultur jaringan). Faktor II adalah Varietas, yaitu (V1) Kepok. (V2) Ketip, dan (V3) Susu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa macam bibit dan varietas menentukan kecepatan pertumbuhan dan jumlah anakan. Tanaman yang berasal dari bibit asal kultur jaringan menghasilkan vegetatif paling baik, saat beranak paling cepat dan jumlah anakan lebih banyak pada semua varietas yang diuji. Pisang varietas kepok asal kultur jaringan memiliki penamabahan tinggi tanaman tertinggi dan memiliki lingkar batang terbesar (193,20 cm; 58,50 cm) dibandingkan varietas ketip (169,20 cm; 51,20 cm) dan susu (167,70 cm; 49,90 cm), tetapi varietas ketip memiliki jumlah daun dan jumlah anakan lebih banyak yaitu 13,90 helai dan 4,40 batang dibandingkan kepok (11,80 helai; 3,70 batang) dan susu (13,90 helai; 3,50 batang). Untuk mengantisipasi kekurangan air pada saat musim kemarau sebaiknya bibit yang digunakan berasal dari kultur jaringan dengan mengusahakan pisang varietas kepok dan ketip. Kata kunci : pisang, macam bibit, varietas, lahan kering
PENDAHULUAN Nusa Tenggara Barat memiliki lahan kering yang cukup luas, yaitu sekitar 1.814.340 ha. Untuk dapat mengoptimalakan lahan kering tersebut perlu dilakukan pengelolaan yang baik dengan pemilihan komoditas yang tepat dan sesuai dengan kondisi wilayah tersebut. Salah satu komoditas yang memiliki adaptasi yang baik pada kondisi kering adalah pisang. Selain karena daya adaptasinya, pisang juga memiliki keunggulan lain yaitu usahataninya menguntungkan sehingga meningatkan pendapatan petani, dapat membuka peluang kesempatan kerja serta mempunyai fungsi konservasi tanah dan air (Fagi dkk., 1988; Kepas, 1988; Nurhardiyati, 1988). Tanaman pisang sering juga dipergunakan sebagai tanaman pelindung cengkeh, kopi dan kakao, karena mempunyai sistem perakaran dangkal dan batangnya banyak mengandung air (Nurhardiyati, 1988). Dapat juga digunakan sebagai sumber karbohidrat (serat) dan mineral untuk bahan pakan tambahan, khususnya pada musim kering saat rumput dan hijauan pakan ternak sulit didapatkan (Munadjim, 1983) Disamping itu pisang merupakan komoditis unggulan daerah dan unggulan nasional, yang memiliki peluang pasar cukup tinggi, baik pasar lokal, pasar nasional maupun pasar dunia. Sementara ini, permintaan buah pisang di dalam wilayah NTB sendiri, lebih banyak dibanding produksi pisang NTB. Untuk itu produksi pisang perlu ditingkatkan melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Terutama ekstensifikasi melalui perluasan areal penanaman pisang. Pada umumnya penanaman pisang yang dilakukan petani pada sentra produksi menggunakan bibit pisang yang berasal dari anakan. Selain bibit dari anakan, ada juga bibit dari kultur jaringan yang memiliki beberapa keunggulan, tetapi bibit ini belum umum digunakan petani. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian pada macam bibit tersebut terhadap tingkat adaptasinya di kondisi lahan kering. Pada tanaman pisang terdapat berbagai macam jenis yang memiliki keunggulan yang berbeda setiap jenisnya. Untuk itu perlu dikaji jenis-jenis pisang yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap kekeringan, dan memiliki peluang pasar tinggi, atau banyak diminati konsumen diantaranya; pisang ketip, susu dan kepok. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan asal bibit dan jenis pisang yang paling sesuai dikembangkan di lahan kering.
258
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di lahan petani di Desa Sugian, Kabupaten Lombok Timur, NTB, mulai Bulan Januari sampai Juli 2006. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor I adalah Asal bibit yang terdiri dari (A1) Anakan dan (A2) Kultur jaringan. Faktor II adalah varietas pisang yang terdiri dari (V1) Kepok, (V2) Ketip dan (V3) Susu, sehingga terdapat enam kombinasi perlakuan. Bibit asal anakan diperoleh dari petani sentra produksi Sambelia, dengan tinggi bibit berkisar 118 cm pada ketiga jenis pisang yaitu kepok, ketip dan susu. Sementara bibit asal kultur jaringan diperoleh dari Balai Benih Induk Hortikutura, Sedau, Narmada dengan tinggi bibit rata-rata 30 cm atau empat helai daun. Pembersihan lahan menggunakan herbisida. Penanaman dilakukan sesuai dengan perlakuan pada musim hujan yaitu bulan Januari 2006. Bibit ditanam pada lubang tanam ukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm, yang sebelumnya sudah diberi pupuk kompos sebanyak 15 kg/lubang, dengan jarak tanam 4x3 m. Pemupukan I dilakukan 1 bulan setelah tanam dengan dosis 200 g Urea + 200 g SP-36 + 100 g KCl/rumpun/ aplikasi. Pemupukan II diberikan 6 bulan setelah aplikasi pemupukan I, dengan dosis yang sama. Penyiangan dilakukan sesuai dengan kondisi gulma. Peubah yang diamati meliputi; tinggi tanaman awal, pertambahan tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun dan jumlah anakan. Data yang terkumpul kemudian dianalisis, perbedaan pada rata-rata perlakuan diuji lanjut dengan Anova 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan vegetatif tanaman di lapangan menunjukkan perbedaan, baik pada asal bibit maupun 3 varietas pisang yang diuji. Bibit asal kultur jaringan mengalami pertumbuhan lebih cepat, lebih vigor dan lebih tinggi dibanding bibit asal anakan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh Asal Bibit Terhadap Penambahan Tinggi Tanaman, Lingkar Batang, Jumlah Daun dan Jumlah Anakan, Pada Umur 6 Bulan Setelah Tanam di Lahan Kering, Sambelia Lombok Timur 2006. Perlakuan
Tinggi Tanaman Awal (cm)
Pertambahan tinggi tanaman (cm)
Lingkar batang (cm)
Jumlah Daun (helai)
Jumlah anakan (pohon)
Anakan
118
66,40 a
48,73 a
11,63 a
1,87 a
Kultur jaringan
30
176,70 b
53,20 b
12,90 b
3,87 b
Keterangan : angka-angka pada kolom ang sama yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda berdasarkan anova pada taraf 5%.
Tabel 1, menunjukkan bahwa terjadi perbedaan respon pertumbuhan tanaman yang sangat nyata antara bibit asal anakan dengan kutur jaringan pada semua peubah yang diamati yaitu penambahan tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun, dan jumlah anakan. Dimana kultur jaringan memperlihatkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding bibit asal anakan. Dikarenakan bibit asal kultur jaringan memiliki sisitem perakaran yang lebih baik, banyak dan kuat (meskipun tinggi bibit awalnya lebih pendek), sehingga lebih mampu menyerap air dan unsur hara bagi tanaman, yang tentunya mendukung proses fotosintesis berjalan dengan baik. Sesuai menurut Sudaryono, 1996; bahwa pada proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman diperlukan energi. Kandungan air dan karbohidrat yang cukup pada tanaman akan membantu ketersediaan energi untuk menopang pertumbuhan tanaman. Sementara bibit asal anakan meskipun tinggi awalnya lebih tinggi dibanding kultur jaringan tetapi akar tanaman relatif lemah, sehingga energi tanaman pada tahap awal akan lebih banyak digunakan untuk pembentukan akar. Ini yang menyebabakan lambatnya pertumbuhan tanaman asal anakan pada tahap awal. Sesuai menurut Sudaryono, 1996, bahwa pertumbuhan bibit asal anakan agak lambat karena seringkali mengalamai stagnasi pada awal pertumbuhannya. Dengan demikian bibit asal kultur jaringan lebih mampu beradaptasi dengan kondisi lahan kering khususnya di Sambelia, dibandingkan dengan bibit asal anakan.
259
Tabel 2. Pengaruh Varietas Pisang Terhadap Penambahan Tinggi Tanaman, Lingkar Batang, Jumlah Daun dan Jumlah Anakan, Pada Umur 6 Bulan Setelah Tanam di Lahan Kering, Sambelia Lombok Timur 2006 Pertambahan tinggi tanaman (cm)
Lingkar batang (cm)
Jumlah Daun (helai)
Jumlah anakan (pohon)
Kepok
136,30 a
56,50 a
11,00 c
3,10 a
Ketip
106,30 c
45,95 c
13,05 a
2,76 b
Susu
122,10 b
50,45 b
12,75 b
2,75 b
Perlakuan
Keterangan : angka-angka pada kolom ang sama yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda berdasarkan anova pada taraf 5%.
Dari Tabel 2, diketahui bahwa ada perbedaan pertumbuhan tanaman pada ketiga jenis pisang dari semua peubah yang diamati. Dimana varietas kepok, ketip dan susu yang berasal dari kultur jaringan menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih vigor dan seragam dibandingkan tanaman yang berasal dari anakan. Sampai dengan umur tanaman 6 bulan setelah tanam, tanaman pisang kepok, ketip dan susu yang berasal dari anakan pertumbuhannnya tidak seragam. Ini menunjukkan bahwa penanaman pisang Kepok, Ketip dan Susu cocok ditanam dilahan kering apabila menggunaan bibit asal kultur jaringan. Tabel 3. Pengaruh Asal Bibit Terhadap Peubah yang Diamati pada Tiga Jenis Pisang di Lahan Kering Sambelia Lombok Timur 2006 Perlakuan Faktor I Anakan
Kutur Jaringan
Faktor II
Penamabahan tinggi tanaman (cm)
Kepok Ketip Susu Kepok Ketip Susu
79,40 43,40 76,50 193,20 169,20 167,70
Peubah Lingkar Jumlah Daun Batang (cm) (helai) 54,50 40,70 51,00 58,50 51,20 49,90
10,20 12,20 12,50 11,80 13,90 13,00
Jumlah anakan (pohon) 2,50 1,12 2,00 3,70 4,40 3,50
Pada Tabel 3, terlihat bahwa ada pengaruh nyata asal bibit terhadap penambahan tinggi tanaman pada ketiga jenis pisang. Bibit asal kutur jaringan menunjukkan penambahan tinggi tanaman terbaik pada ketiga jenis pisang yaitu Kepok, Ketip dan Susu. Jenis pisang yang memberikan penamabahan tinggi tanaman terbaik adalah pisang kepok yang berasal dari kultur jaringan yaitu 193,20 cm. Ini terjadi karena didukung oleh lingkar batang yang lebih besar, yang tentunya perakarannya akan lebih baik, sehingga penyerapan air dan unsur hara relatif lebih banyak, sehingga proses fotosintesis berjalan lebih lacar. Begitu juga halnya dengan peubah besarnya lingkar batang terjadi perbedaan pada ketiga jenis pisang yang bibitnya berasal dari kultur jaringan dan anakan. Lingkar batang terbesar terjadi pada jenis pisang kepok yang bibitnya berasal dari kultur jaringan yaitu sebesar 58,50 yang berbeda nyata dengan jenis pisang lainnya. Ini menunjukkan bahwa asal bibit berpengaruh terhadap besarnya lingkar batang. Pada jumlah daun terjadi perbedaan juga. Dimana jumlah daun terbanyak terjadi pada pisang ketip yang berasal dari kultur jaringan, yang berbeda dengan jumlah daun yang berasal dari anakan. Ini berarti bahwa asal bibit berpengaruh terhadap pertumbuhan pisang dengan jenis yang sama. Begitu juga halnya dengan jumlah anakan pada ketiga jenis pisang terdapat perbedaan jumlah anakan. Bibit yang berasal dari kultur jaringan memberikan pertumbuhan jumlah anakan yang lebih banyak pada ketiga jenis pisang dibandingkan dengan bibit yang berasal dari anakan pada tiga jenis pisang yang sama. Terutama yang paling terlihat perbedaan pertumbuhan jumlah anakan adalah pada pisang ketip. Dimana jumlah anakan pisang ketip yang berasal dari kultur jaringan menunjukkan pertumbuhan anakan terbanyak yaitu 4,40 (pohon) dibanding kepok dan susu, berturut-turut sebesar 2,50 pohon dan 2,00 pohon. Sementara bibit asal anakan pada varietas pisang ketip menunjukkan pertumbuhan jumlah anakan terkecil yaitu 1,12 pohon dibanding dengan kepok (1,50 pohon) dan Susu (2,00 pohon). Pisang ketip asal kultur jaringan memberikan pertumbuhan jumlah anakan terbaik. Dengan demikian asal bibit berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan pada ketiga jenis pisang. Secara umum, sampai umur tanaman enam bulan setelah tanam, ketiga varietas pisang yang duji menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Ini mengindikasikan bahwa ketiga varietas tersebut mempunyai kemampuan menyesuaikan diri pada kondisi kering. Lewis dan Christiansen (1981), mengemukakan bahwa
260
pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan hasil interaksi antara kemampuan genetis tanaman dengan lingkungan dimana tanaman tumbuh.
KESIMPULAN 1.
Asal bibit berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tiga varietas tanaman pisang yaitu kepok, ketip dan susu.
2.
Bibit asal kutur jaringan menunjukkan pertumbuhan tanaman terbaik.
3.
Varietas kepok dan ketip yang berasl dari kutur jaringan memberikan pertumbuhan terbaik dibandingkan susu.
4.
Pada lahan kering sebaiknya mengembangkan pisang dengan bibit yang berasal dari kutur jaringan, dengan varietas yang dikembangkan adalah ketip, karena kepok meskipun menunjukan pertumbuhan yang baik tetapi masih riskan terhadap penyakit bakteri dan fusarium. Sementara pisang susu dari segi komersial sangat potensial untuk dikembangkan, tetapi keberhasilannnya perlu didukung oleh tersedianya sumber air.
DAFTAR PUSTAKA Fagi, A.M., I.G.Ismail, U. Kusnadi, Suwarjono dan A.S. Bagyo. 1988. Penelitian Sistem Usahatani di daerah Aliran Sungai. Risalah Lokakarya Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di DAS, Salatiga, 14 Maret 1988. Kelompok Penelitian Agro-Ekosistem (Kepas). 1988. Pedoman Usahatani Konsevasi Tanah Lahan Kering: Zona Agro-Ekosistem Batuan Kapur. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Lewis, C.W., and M.N. Christiansen. 1981. Breeding plants for stress invironment. Pp.151-177.In: Frey,K.J (Ed.) Plant breding II. The Iowa State University Press/Ames. Munadjim, 1983. Teknik engolahan Pisang. Gramedia, Jakarta. Nurhardiyati, M., 1988. Kahian Potensi Tanaman Pisang pada Pola Tanam Konservasi Lahan Kering DAS Jratunseluna Bagian Hulu. Risalah lokakarya Hasil Penelitian Lahan Kering danKonservasi di Das, Salatiga, 14 Maret 1998. Sudaryono, T., D.D. Widjajanto dan S.R. Soemarsono. 1996. Evaluasi Penerapan paket Teknologi Pembibitan : Uji macam Bibit Pisang di Lahan Kering DAS Brantas. Risalah Hasil Penelitian 1994/1995. Pembentukan Arsitektur Tanaman Buah-buahan dan studi Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas Hortikultura. BPTP Karangploso. Malang. 103-108 hal.
261
POTENSI HASIL GALUR HARAPAN JAGUNG HIBRIDA PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI LOMBOK TIMUR Awaludin Hipi 1) B. Tri Ratna Erawati dan Andi Takdir M 2) 1) Peneliti pada BPTP NTB 2) Pemulia pada Balitsereal Maros Sul-Sel
ABSTRAK Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan unggulan di NTB yang cocok dan banyak diusahakan petani baik di lahan kering pada musim hujan maupun di lahan sawah setelah padi. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan jagung nasional, peluang agribisnis jagung masih terbuka melalui peningkatan produksi dan produktivitas. Dalam rangka mendukung Gerakan 1 Juta Ton Jagung yang telah dicanangkan oleh Pemda NTB, penggunaan varietas yang berpotensi hasil tinggi merupakan salah satu komponen teknologi yang dapat menunjang peningkatan produktivitas. Pemanfaatan varietas dari tipe hibrida merupakan salah satu cara dalam peningkatan hasil jagung karena memiliki gengen dominan penentu hasil tinggi. Namun dalam perkembangannya tipe hibrida pada umumnya sangat peka terhadap pengaruh lingkungan tumbuh. Oleh karena itu evaluasi daya hasil perlu dilakukan sebelum dilepas kepada petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi hasil Galur Harapan hibrida pada agroekosistem lahan kering. Penelitian dilakukan di Desa Perigi kecamatan Suela Lombok Timur pada MH. 2005/2006. Lokasi penelitian merupakan sentra produksi jagung pada lahan kering di Kecamatan Suela. Terdapat 14 galur hibrida yang diuji dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang masing-masing diulang sebanyak 4 kali. Sebagai varietas pembanding digunakan varietas Bima-1 dan BISI-2. Setiap plot pengujian terdiri atas 2 baris dengan jarak tanam 0.75 x 0.20 m dengan panjang plot 5 m. Dari 14 galur yang diuji terdapat 4 galur yang berpotensi hasil lebih tinggi dibanding varietas pembanding (Bima-1 dan Bisi-2) yaitu galur Nei92002/Mr4 (9,22 t/ha), Mr4/B11-209 (8,95 t/ha), G193/Mr4 (8,53 t/ha), B11-136/Mr14 (8,30 t/ha). Diperlukan pengujian lanjutan baik dilahan kering maupun di lahan sawah, untuk mengetahui stabilitas hasil. Kata kunci : potensi hasil, galur hibrida, lahan kering
LATAR BELAKANG Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan Provinsi Nusa Tenggara Barat, karena disadari bahwa peranan jagung ke depan semakin strategis baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun sebagai komoditas agribisnis. Luas panen jagung di NTB pada tahun 2003 adalah 33.140 ha dengan produktivitas rata-rata sebesar 2,15 t/ha masih lebih rendah dibanding produktivitas rata-rata nasional pada tahun yang sama sebesar 3,1 t/ha (Dirjen Tanaman Pangan , 2005). Kehadiran varietas jagung unggul introduksi, baik bersari bebas ataupun hibrida telah berkontribusi secara nyata terhadap peningkatan produktivitas ataupun produksi jagung nasional. Namun demikian, distribusi dari varietas-varietas introduksi tersebut berjalan lambat, dimana pada tahun 1997 porsi varietas introduksi baru mencapai 44% (CIMMYT, 1994). Tipe hibrida mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi daripada tipe bersari bebas, karena hibrida memiliki gen-gen dominan yang mampu untuk memberi hasil tinggi. Hibrida dikembangkan berdasarkan adanya gejala hybrid vigor atau heterosis dengan menggunakan galur tanaman generasi F1 sebagai tanaman produksi. Oleh karena itu benih hibrida selalu dibuat ataupun diperbaharui untuk mendapatkan generasi F1. Penggunaan tipe hibrida selain meningkatkan hasil, jagung hibrida juga memberikan beberapa keuntungan lain yaitu lebih toleran terhadap hama penyakit, lebih tanggap terhadap pemupukan, pertanaman dan tongkol lebih seragam, di samping itu jumlah biji lebih banyak dan lebih berat (Jugenheimer, 1985). Namun demikian, kondisi lingkungan untuk pertanaman jagung sangat bervariasi dari waktu ke waktu dan beragam pada berbagai lokasi, sedang tipe hibrida sangat peka terhadap lingkungan tumbuhnya. Soemartono (1995) mengatakan bahwa untuk memperbaiki atau mengembangkan genotipe tanaman agar tahan terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan dapat dilakukan dengan introduksi tanaman budidaya baru atau mengembangkan varietas tahan. Tipe hibrida yang dikembangkan, sebagian di dalam negeri, sebagian diintroduksi dan ini salah satu cara memperbanyak plasmanutfah. Sebelum dikembangkan, introduksi harus mengalami evaluasi potensi hasil dan daya adaptasinya dibandingkan dengan tipe hibrida yang ada.
262
Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui karakter pertumbuhan dan potensi hasil dari beberapa galur jagung hibrida di NTB. Diharapkan dari kajian ini dapat di temukan beberapa galur hibrida yang dapat beradaptasi dengan baik dan berpotensi hasil tinggi yang dapat dilepas sebagai varietas unggul baru.
BAHAN DAN METODA Kajian dilaksanakan di Desa Perigi Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur pada MH. 2005/2006. Lokasi kajian adalah lahan kering beriklim kering yang merupakan daerah sentra produksi jagung di Kecamatan Suela. Pengkajian menggunakan rancangan acak kelompok, dimana jenis jagung yang diuji sebagai perlakuan dan diulang masing-masing 4 kali. Terdapat 14 galur hibrida yang diuji dan 2 varietas (Bisi-2 dan Bima-1) sebagai pembanding. Setiap galur ditanam dua baris pada petakan dengan panjang 5 meter. Penanaman dengan jarak tanam 75 x 20 cm, 2 biji per lubang tanam. Pada umur 2 minggu setelah tumbuh (MST) dilakukan penjarangan menjadi 1 tanaman/rumpun, jika ada lubang yang kosong/tidak tumbuh maka rumpun sebelahnya tidak perlu dijarangkan. Tanaman diberi pupuk 138 kg N, 36 kg P2O5 dan 30 kg K2O. Pemupukan dasar dilakukan pada saat jagung berumur 7 HST dengan menggunakan pupuk 1/3 bagian N serta seluruh pupuk P 2O5 dan K2O, ditugal pada jarak 5 cm di samping tanaman. Pemupukan susulan dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan setelah tanam (BST) dengan menggunakan 2/3 bagian N dengan cara ditugal disamping tanaman pada jarak 10-15 cm. Sumber pupuk berasal dari Urea, SP-36 dan KCl. Penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat tanaman berumur 2 MST dan 4 MST sekaligus untuk pembumbunan. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan memberikan carbofuran pada saat tanam. Pengairan berasal dari irigasi terbatas dengan pola giliran air 2-3 minggu sekali. Panen dilakukan pada saat masak fisiologis dimana kelobot jagung berwarna kuning kecoklatan. Peubah agronomis yang diamati adalah tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, umur berbunga jantan dan betina, jumlah tanaman panen, jumlah tongkol panen, aspek tanaman, aspek kelobot dan aspek tongkol dan produktivitas. Aspek tongkol diberi skor 1-5, dimana skor 1=sangat baik, 3=sedang dan skor 5=sangat jelek. Sedangkan aspek kelobot menggunakan skor 1-5 dimana: Skor 1=Kelobot menutup rapat dengan baik, sehingga beberapa tongkol dapat diikat menjadi satu pada ujung tongkol; Skor 2=Kelobot menutup ketat hanya sampai ujung tongkol saja; Skor 3=Kelobot menutup agak longgar diujung tongkol; Skor 4=Kelobot menutup tongkol kurang baik, ujung tongkol terlihat; Skor 5=Kelobot menutup tongkol sangat jelek, sebagian biji nampak tidak dilindungi kelobot. Data yang terkumpul dianalisis dengan One Way Anova (in Randomized Blocks), dan dilanjutkan dengan uji LSD 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 menyajikan rata-rata umur berbunga, tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, dan produktivitas jagung hibrida. Hasil analisis terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tinggi tanaman antar galur jagung yang diuji, dimana tanaman tertinggi dicapai pada galur Mr4/B11-209 yaitu 237,65 cm, sedang letak tongkol tertinggi dicapai pada galur B11-209/Mr14 yaitu 128,50 cm. Kisaran umur berbunga jantan dan betina dari galur hibrida yang diuji masing-masing 54-58 hari dan 55-59 hari. Umur berbunga tergolong normal dengan jarak antara umur berbunga jantan dan betina terpaut 1-2 hari, sehingga sangat memungkinkan sinkronisasi pembungaan. Analisis terhadap produktivitas menunjukkan bahwa galur Nei92002/Mr4 memberikan hasil yang lebih tinggi (9,22 t/ha) dibanding galur lainnya. Dari rata-rata hasil yang diperoleh di lokasi pengujian menunjukkan bahwa terdapat empat galur hibrida yang berpotensi hasil tinggi dan dapat dikembangkan di NTB yaitu Nei92002/Mr4 (9,22 t/ha), Mr4/B11-209 (8,95 t/ha), G193/Mr4 (8,53 t/ha), dan B11-136/Mr14 (8,30 t/ha). Menurut Subandi et.al. (1985), adanya interaksi genotip-lingkungan akan mempengaruhi kemajuan seleksi, ada genotip yang baik di suatu lingkungan tetapi kurang baik di lingkungan yang lain.
263
Tabel 1. Rata-rata Umur Berbunga, Tinggi Tanaman, Tinggi Tongkol, dan Produktivitas pada Jagung Hibrida di Perigi. Lombok Timur. MH. 2005/2006 Galur/Varietas Nei92002/Mr4 E54-2/Mr14 CML 165/Mr4 E45/Mr14 B11-209/Mr14 B11-126/Mr14 G180/Mr14 Mr4/B11-132 CML 431/Mr14 B11-157/MR14 B11-136/Mr14 Mr4/B11-209 G193/Mr4 B11-132/MR14 Kontrol Bisi-2 Bima-1 KK (%) LSD 5 % Sumber : Data primer
Umur berbunga (hari) Jantan Betina
Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tongkol (cm)
Produktivitas (t/ha)
55 56 54 57 57 58 55 54 55 57 55 57 57 55
56 57 56 58 58 59 56 55 56 58 56 58 58 56
216,90 224,20 218,50 204,60 238,60 221,20 232,65 231,45 234,20 233,00 223,55 237,65 225,80 223,55
113,25 116,25 108,50 103,05 128,50 117,70 117,40 122,75 121,35 119,70 125,10 124,75 122,25 111,70
9.22 7.28 7.81 7.64 7.83 7.59 8.13 7.55 8.23 7.70 8.30 8.95 8.53 7.56
56 55 1,5 1,216
57 57 1,6 1,306
242,20 233,50 3,40 11,00
137,05 119,10 4,90 8,40
8.07 8.21 6,6 0,75
Rata-rata jumlah tanaman panen per plot berkisar 46-48 tanaman (Tabel 2) atau kurang lebih 96% dari jumlah tanaman. Dari jumlah tanaman panen tersebut dihasilkan tongkol panen yang berkisar 45-48, hal ini berarti bahwa terdapat beberapa tanaman yang dapat menghasilkan 2 tongkol dan terdapat pula tanaman yang tidak menghasilkan tongkol. Tabel 2. Rata-rata Jumlah Tanaman Panen, Jumlah Tongkol Panen, Aspek Kelobot, dan Aspek Tongkol pada Beberapa Galur Jagung Hibrida di Perigi Lombok Timur. MH.2005/2006 Galur/Varietas Nei92002/Mr4 E54-2/Mr14 CML 165/Mr4 E45/Mr14 B11-209/Mr14 B11-126/Mr14 G180/Mr14 Mr4/B11-132 CML 431/Mr14 B11-157/MR14 B11-136/Mr14 Mr4/B11-209 G193/Mr4 B11-132/MR14 Kontrol Bisi-2 Bima-1 KK (%) LSD 5 % Sumber : Data primer
Jlh Tan panen
Jlh Tkl panen
Bobot 1000 biji (gr)
Aspek kelobot
Aspek tongkol
48 47 46 48 46 46 48 49 48 47 47 48 48 47
48 47 46 48 46 45 47 47 47 48 47 49 47 48
39,57 38,50 34,72 35,30 35,45 38,02 37,17 38,12 37,55 34,92 35,17 39,47 35,82 37,85
1,00 1,50 2,00 1,25 1,25 1,00 1,25 1,50 1,00 1,00 1,25 1,50 1,50 1,25
1,00 1,50 1,25 2,00 1,00 1,50 1,25 2,00 1,00 1,50 1,25 1,00 1,25 1,75
48 47 2,4 1,647
47 47 4,3 2,857
37,90 39,02 3,801 7,20
1,25 1,00 -
1,25 1,25 -
Penilaian terhadap aspek tongkol menunjukkan bahwa rata-rata dari galur jagung yang diuji tergolong baik yang ditandai dengan panjang dan lingkar tongkol yang relatif seragam dan kerusakan hama dan penyakit hampir tidak ditemukan. Sedangkan penilaian terhadap aspek kelobot menunjukkan bahwa semua galur yang diuji tergolong mempunyai kelobot yang dapat menutup rapat dengan baik.
264
Hasil pengamatan visual terhadap serangan penyakit di dua lokasi pengujian, didapatkan 2 jenis penyakit yang dominan yaitu karat daun (Pucinia sp) dan hawar daun (Helminthosporium maydis), namun intensitas serangan tergolong rendah.
KESIMPULAN Dari 14 galur hibrida yang diuji, menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) galur yang berpotensi hasil setara atau lebih tinggi dari varietas pembanding, dimana hasil tertinggi dicapai pada galur Nei92002/Mr4 sebesar 9,22 t/ha. Dari rata-rata hasil yang diperoleh di lokasi pengujian menunjukkan bahwa terdapat empat galur hibrida yang berpotensi hasil tinggi yaitu Nei92002/Mr4 (9,22 t/ha), Mr4/B11-209 (8,95 t/ha); G193/Mr4 (8,53 t/ha); dan B11-136/Mr14 (8,30 t/ha).
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2004. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama Kantor Perwakilan Biro Pusat Statistik Propinsi NTB dengan Kantor Bappeda TK.I. NTB. CIMMYT. 1994. World Maize Facts and Trends. Maize Seed Industries. Emerging Roles of the Publics and Private Sectors. Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2005. Program Kebijakan dan Pengembangan Agribisnis Jagung. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya jagung nasional. Makasar 29-30 September 2005. Jugenheimer, R.W.1985. Corn Improvement, Seed production, and Uses. John Wiley, New York. Subandi, 1985. Perkembangan jagung hibrida di Indonesia. Buletin Penelitian Balittan Bogor, hal.1-12.
265
KERAGAAN HASIL UJICOBA VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH Kunto Kumoro dan Sabar Untung Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
ABSTRAK Salah satu langkah dalam upaya meningkatkan produktivitas padi sawah di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dilakukan ujicoba varietas unggul baru yang bertujuan untuk mengetahui kinerja varietas unggul padi sawah di lahan usahatani petani di pulau Lombok dan kecenderungan (preferensi) petani terhadap beberapa varietas unggul padi sawah yang pernah dilepas. Ujicoba dilakukan dengan memperkenalkan beberapa varietas unggul seperti Ciapus, Sunggal, Batang gadis, Gilirang, Cigeulis yang dilaksanakan di Kabupaten Lombok Barat di Desa Kuranji dan Merembu, Kabupaten Lombok Tengah di Desa Bonjeruk, Sintung, dan Sepakek, Kabupaten Lombok Timur di Desa Suralaga. Hasil kajian menunjukkan bahwa varietas Cigeulis mencapai produktivitas tertinggi sebesar 8,1 ton/ha, disusul Gilirang 7,7 ton/ha, Ciapus dan Sunggal 7,1 ton/ha dan Batang gadis 6,6 ton/ha. Dari ujicoba tersebut petani banyak menyukai varietas Cigeulis karena berdaya hasil tinggi dan mempunyai rasa nasi yang enak. Karena umumnya petani kurang menyukai aroma harum yang dimiliki varietas Gilirang dan Batang gadis, maka kedua varietas padi ini tidak lagi dikembangkan oleh petani. Kata kunci : varietas unggul baru, padi sawah, P Lombok, NTB
PENDAHULUAN Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, lahan sawah irigasi tetap menjadi tulang punggung dalam sistem produksi padi nasional. Melalui program intensifikasi peningkatan produksi padi selalu diupayakan dengan mengeksploitasi sebagian besar lahan sawah irigasi. Laju peningkatan produktivitas padi sawah dalam dekade terakhir ini ternyata melandai, bahkan ada yang menurun di beberapa lokasi. Pendekatan sistem intensifikasi yang selama ini diterapkan tidak lagi mampu meningkatkan produksi dan produktivitas padi secara nyata (Hasanuddin, 2003). Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi yang memasok stok beras nasional. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat NTB yang bergantung pada sektor pertanian selalu mengusahakan lahan sawahnya untuk usahatani padi sawah. Tahun 2000 produksi padi sawah NTB sebesar 1.394.627 ton yang dihasilkan lahan seluas 300.003 ha, dengan tingkat produktivitas 46,49 kuintal/ha. Sedang tahun 2004 produksi padi sawah NTB menurun dan hanya dihasilkan 1.345.271 ton dari lahan seluas 277.451 ha, dengan tingkat produktivitas sedikit meningkat mencapai 48,49 kuintal/ha (BPS NTB, 2004). Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian merupakan salah satu upaya dalam menciptakan dan melestarikan ketahanan pangan serta mengembangkan agribisnis yang menjadi tujuan pembangunan pertanian di Nusa Tenggara Barat (NTB). Mashur (dalam BPTP NTB, 2002) menyatakan bahwa salah satu inovasi teknologi dalam upaya peningkatan produksi padi di NTB adalah pengembangan VUB (varietas unggul baru) padi sawah. Balai Penelitian Padi di Sukamandi telah berhasil merakit varietas unggul padi yang memiliki sifat-sifat potensi hasilnya tinggi, rasa nasi enak, mutu beras naik, tahan terhadap hama dan penyakit serta kualitas tinggi. Upaya peningkatan produktivitas padi sawah selalu diprogramkan setiap tahun guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu tahun 2004/2005 telah dilakukan ujicoba daya hasil beberapa varietas unggul baru padi sawah di beberapa desa di pulau Lombok. Tujuan dilakukannya ujicoba ini untuk memperkenalkan beberapa varietas unggul baru padi sawah yang berpotensi hasil tinggi sekaligus untuk mendapatkan gambaran kecenderungan (preferensi) petani terhadap varietas unggul yang diujicoba. METODOLOGI Ujicoba varietas unggul baru padi sawah dilaksanakan dengan pendekatan on farm research, dimana ujicoba ini dilakukan di lahan sawah milik petani pada musim hujan tahun 2004/2005 (Desember 2004 sampai dengan April 2005) dengan melibatkan petani secara aktif dengan bimbingan peneliti dan penyuluh, pada beberapa desa di pulau Lombok yang menjadi lokasi binaan BPTP NTB dalam kegiatan pengembangan klinik teknologi pertanian; dua desa di Lombok Barat yaitu Desa Kuranji dan Merembu, tiga desa di Lombok Tengah yaitu Desa Sintung, Sepakek dan Bonjeruk, satu desa di Lombok Timur yaitu Desa Suralaga.
266
Sebelum ujicoba dilaksanakan, petani dibekali dengan informasi teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah yang merupakan suatu pendekatan yang holistik dan bersifat patisipatif yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi sehingga bukan merupakan paket teknologi yang harus diterapkan di semua lokasi. Diharapkan petani dapat menerapkannya dan menggunakan sarana produksi secara lebih efisien. Varietas unggul baru padi sawah yang diujicoba antara lain: Ciapus, Cigeulis, Gilirang, Batang gadis dan Sunggal. Data yang dikumpulkan berupa data agronomis. Data dianalisis dengan Analisis Statistik Sederhana dan dijabarkan secara diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum penampilan agronomis pertanaman beberapa varietas unggul padi sawah di beberapa lokasi ujicoba menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Hal ini di dukung oleh kondisi iklim yang cukup baik dan terbukti tidak adanya keluhan petani yang muncul karena tidak baiknya cuaca saat ujicoba. Pengamatan yang dilakukan pada setiap varietas meliputi: tinggi tanaman, jumlah anakan maksimal, jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi/5 rumpun, jumlah gabah hampa/5 rumpun (Tabel 1). Tabel 1 . Penampilan Agronomis Varietas Unggul Padi Sawah di Beberapa Desa di NTB, 2005. Varietas +lokasi Ciapus Lobar
: Kuranji Merembu Loteng : Bonjeruk Sepakek Sintung Lotim : Suralaga Rerata Gilirang Lobar : 112 Kuranji 119 7,1 Merembu 108 15 12 5406 1421 10 8 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 17 16 5851 1351 119 7,1 Merembu 108 15 12 5406 1421 10 8 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 16 5851 1351 119 7,1
Tinggi tan (cm)
Jumlah anakan maks
Jumlah anakan produktf
Jml gabah isi/5 rmp
Jml gbh hmpa/5 rmp
120 115 123 110 123 ~ 118
14 12 19 14 20 ~ 16
13 10 17 13 18 ~ 14
5270 4903 6276 5454 6650 ~ 5711
1361 1508 1224 1323 1035 ~ 1290
Umur panen
Prodtvs (t/ha) GKP
114 110 109 110 122
6,2 5,4 8,5 6,5 9,0 ~ 7,1
113
Merembu 108 15 12 5406 1421 10 8 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 5851 1351 119 7,1 1351 119 7,1 Merembu 108 15 12 5406 1421 10 8 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 119 7,1 Merembu 108 15 12 5406 1421 10 8 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 7,1 Merembu 108 15 12 5406 1421 10 8 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 Merembu 108 15 12 5406 1421 10 8 5,0 Loteng :
267
Bonjeruk 106 Merembu 108 15 12 5406 1421 10 8 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 108 15 12 5406 1421 108 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 15 12 5406 1421 108 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 12 5406 1421 108 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 5406 1421 108 5,0 L oteng : Bonjeruk 106 1421 108 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 108 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 5,0 Loteng : Bonjeruk 106 Loteng : Bonjeruk 106 Loteng : Bonjeruk 106 106 17 16 5787 1361 106 7,0 Sepakek 110 17 16 5787 1361 106 7,0 Sepakek 110 16 5787 1361 106 7,0 Sepakek 110 5787 1361 106 7,0 1361 106 7,0 Sepakek 110 106 7,0 Sepakek 110 7,0 Sepakek 110 Sepakek 110 Sepakek 110 110 20 17 6342 1137 20 17 6342 1137 118 17 6342 1137 118 8,8 Sintung 137 9 18 6372 1158 121 6342 1137 118 8,8 1137 118 8,8 Sintung 137 9 18 6372 1158 121 118 8,8 Sintung 137 9 18 6372 1158 121 8,8 Sintung 137 9 18 6372 1158 121
1
1
1
1
Sintung 137 1 9 18 6372 1158 121 Sintung 137 1 9 18 6372 1158 121 137 19 18 6372 1158 121 8,8 Lotim : Suralaga 106 19 18 6372 1158 121 8,8 Lotim :
268
Suralaga 106 18 6372 1158 121 8,8 Lotim : Suralaga 106 6372 1158 121 8,8 L otim : Suralaga 106 1158 121 8,8 Lotim : Suralaga 106 121 8,8 Lotim : Suralaga 106 8,8 Lotim : Suralaga 106 Lotim : Suralaga 106 Lotim : Suralaga 106 106 20 18 6557 1105 110 9,0 Rerata 114 18 16 6052 1255 11 4 7,7 Cigeulis 20 18 6557 1105 110 9,0 Rerata 114 18 18 6557 1105 110 9,0 Rerata 114 18 16 6557 1105 110 9,0 R erata 114 18 16 605 2 1255 114 7,7 Cige ulis Lobar 1105 110 9,0 Rerata 114 18 16 6052 12 55 114 7,7 Cigeulis 110 9,0 Rerata 114 9,0 Rerata 114 18 1 6 6052 1255 114 7,7 Rerata 114 18 16 60 52 1255 114 7,7 Cig eulis Lobar Rerata 114 18 16 60 52 1255 114 7,7 Cig eulis Lobar 114 18 16 6052 1255 114 7,7 Cigeulis 18 16 6052 1255 114 7,7 Cigeulis 16 6052 1255 114 7,7 Cigeulis 6052 1255 114 7,7 C igeulis Lob 1255 114 7,7 Cigeulis Lobar 114 7,7 Cigeulis 7,7 Cigeulis Cigeulis Cigeulis L Lobar : Kuranji Merembu Loteng : Bonjeruk Sepakek Sintung Lotim : Suralaga Rerata Sunggal Lobar : Kuranji Merembu Loteng : Bonjeruk Sepakek Sintung Lotim : Suralaga Rerata Batang Gadis Lobar : Kuranji Merembu
108 117 120 108 127 105 114
17 14 16 12 20 19 16
16 13 15 10 19 18 15
6945 5837 6324 4764 8249 7357 6579
1045 1605 1205 1820 942 926 1257
112 113 105 115 120 110 112
8,7 6,2 8,0 5,6 10,9 9,0 8,1
~ 103 105 108 114 103 107
~ 13 17 18 20 16 17
~ 11 16 16 18 14 15
~ 4587 5835 5905 6866 5821 5763
~ 1425 1392 1263 1081 1327 1299
~ 102 104 114 112 113 109
~ 4,5 6,9 7,5 9,2 7,2 7,1
105 104
14 12
13 10
5009 4813
1206 1213
108 103
6,6 5,5
269
Loteng : Bonjeruk Sepakek Sintung Lotim : Suralaga Rerata
103 108 ~ 111 106
17 18 ~ 14 15
16 16 ~ 13 14
5112 5853 ~ 5006 5159
1210 1159 ~ 1200 1198
105 118 ~ 112 109
6,8 7,5 ~ 6,6 6,6
Sumber : Data primer diolah
Dari Tabel 1. di atas tampak bahwa varietas Cigeulis mencapai produktivitas tertinggi sebanyak 8,1 t/ha GKP, disusul Gilirang 7,7 t/ha GKP, Ciapus dan Sunggal masing-masing 7,1 t/ha GKP dan produktivitas terendah dicapai Batang gadis sebanyak 6,6 t/ha GKP. Rata-rata tinggi tanaman berkisar 106-118 cm. Tanaman tertinggi dipunyai oleh varietas Ciapus (118 cm) dan terendah (106 cm) dicapai oleh varietas Batang gadis. Rata-rata jumlah anakan produktif berkisar 14-16 anakan. Secara rinci hasil ujicoba tiap varietas akan diuraikan berikut ini. Ciapus Varietas ini diujicoba di Desa Kuranji, Merembu (Lombok Barat) dan Bonjeruk, Sepakek dan Sintung (Lombok Tengah). Dari Tabel 1. tampak bahwa tinggi tanaman varietas Ciapus berkisar 110-123 cm dengan rata-rata tinggi tanaman 118 cm dan jumlah anakan produktif berkisar 10-18 dengan rata-rata 14. Anakan produktif tertinggi (18) dihasilkan varietas Ciapus di Desa Sintung. Produktivitas varietas Ciapus tertinggi dicapai petani Desa Sintung (9,0 t/ha GKP) dan terendah dicapai petani Desa Merembu (5,40 t/ha GKP). Rata-rata produktivitas varietas Ciapus di Pulau Lombok sebesar 7,1 t/ha GKP. Beberapa petani menyatakan bahwa gabah varietas Ciapus terkesan agak sulit untuk dirontokkan, sehingga varietas ini kurang dapat berkembang. Gilirang Varietas Gilirang yang dilepas tahun 2002 merupakan salah satu jenis padi aromatik karena mempunyai ciri khas wangi sejak di pertanaman dan rasa nasi yang harum serta tekstur nasi yang pulen. Potensi hasilnya sebesar 6-7,3 t/ha GKG (Balitpa, 2004). Varietas ini diujicoba petani di Desa Kuranji dan Merembu (Lombok Barat), Bonjeruk, Sepakek, Sintung ( Lombok Tengah) dan Suralaga (Lombok Timur).. Dari Tabel 1. tampak bahwa varietas Gilirang mempunyai tinggi tanaman berkisar 106-137 cm dengan rata-rata tinggi tanaman 114 cm, jumlah anakan produktifnya berkisar 12 s/d 18 anakan. Rata-rata jumlah anakan produktif sebanyak 16 anakan. Produktivitas tertinggi varietas Gilirang dicapai petani Desa Suralaga (9,0 t/ha GKP), sedangkan produktivitas terendah ada di Desa Merembu (5,0 t/ha GKP) dengan rata-rata produktivitas sebesar 7,7 t/ha GKP. Petani di Pulau Lombok menyatakan bahwa mereka kurang menyenangi beras yang harum, sehingga varietas ini kurang berkembang di Pulau Lombok. Bagi pengusaha rumah makan, beras dari varietas Gilirang ini dapat menjadi campuran untuk menghidangkan nasi putih yang agak beraroma harum. Cigeulis Varietas Cigeulis yang dilepas tahun 2002, tekstur nasi pulen, dan potensi hasilnya sebesar 5-8 t/ha GKG. Varietas ini diujicoba oleh petani di Desa Kuranji, Merembu, Bonjeruk, Sepakek, Sintung dan Suralaga. Tabel 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman varietas Cigeulis terendah terjadi di Desa Suralaga (105 cm) dan tertinggi di Desa Sintung (127 cm). Jumlah anakan produktif berkisar 10-19 anakan dengan rata-rata 15 anakan produktif. Produktivitas tertinggi varietas Cigeulis dicapai petani Desa Sintung (10,9 t/ha GKP) dan terendah di Desa Sepakek (5,6 t/ha GKP). Menurut petani Cigeulis kurang tahan terhadap penggerek leher batang. Sunggal Varietas Sunggal dilepas pada tahun 2002, tekstur nasi pulen dan potensi hasilnya 5-8 t/ha (BPTP NTB, 2002). Varietas ini diujicoba di Desa Merembu (Lobar), Bonjeruk, Sepakek, Sintung (Loteng) dan Suralaga (Lotim). Dari Tabel 1. tampak bahwa tinggi tanaman padi varietas ini berkisar 103-114 cm dengan rata-rata tinggi 107 cm. Jumlah anakan produktifnya yang dapat dicapai berkisar 11-18 anakan dengan rata-rata sebanyak 15 anakan. Produktivitas varietas Sunggal yang dapat dicapai berkisar 4,5-9,2 t/ha GKP, dan ratarata produktivitasnya mencapai 7,1 ton/ha GKP. Produktivitas tertinggi (9,25 ton/ha GKP) dicapai petani
270
Desa Sintung, Lombok Tengah. Sedangkan produktivitas terendah dicapai oleh petani Desa Merembu (Lombok Barat) sebesar 4,5 ton/ha GKP Batang Gadis Varietas Batang gadis dilepas tahun 2001, tekstur nasinya pulen dan potensi hasilnya 6,4 t/ha (BPTP, 2002) merupakan salah satu varietas padi aromatik yang rasa nasinya beraroma harum. Varietas ini diujicoba di Desa Kuranji dan Merembu (Lobar), Bonjeruk, Sepakek (Loteng) dan Suralaga (Lotim). Di Tabel 1. tampak bahwa tinggi tanaman varietas Batang gadis berkisar 103-111 cm dengan tinggi tanaman rata-rata 108 cm. Jumlah anakan produktif yang tumbuh pada varietas Batang gadis berkisar 12-18 anakan. Rata-rata produktivitas varietas Batang Gadis mencapai 6,6 ton/ha GKP. Produktivitas tertinggi (7,5 ton/ha GKP) dicapai oleh petani Desa Sepakek. Produktivitas terendah (5,5 ton/ha GKP) dicapai petani Desa Merembu.
KESIMPULAN Dari hasil ujicoba varietas unggul baru (VUB) padi sawah yang dilakukan di beberapa desa di Pulau Lombok dapat disimpulkan: 1.
Varietas Cigeulis yang mencapai produktivitas tertinggi ( 8,1 t/ha GKP) merupakan varietas yang pantas untuk dikembangkan mengingat varietas ini berpotensi hasil tinggi dengan jumlah gabah berisi cukup besar dan jumlah gabah hampa kecil.
2.
Selain Cigeulis untuk petani yang menyukai nasi beraroma harum dapat mengembangkan varietas Gilirang yang mempunyai produktivitas tinggi di bawah Cigeulis (7,7 t/ha GKP).
3.
Varietas unggul lain dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan untuk pergiliran tanaman.
DAFTAR PUSTAKA BPS NTB, 2004. NTB dalam angka tahun 2004. Balitpa, 2004. Diskripsi Varietas Unggul Baru Padi Sawah. Badan Litbang Pertanian. Sukamandi. hal 34-45. BPTP NTB, 2002. Diskripsi Varietas Unggul Padi. Badan Litbang Pertanian, Mataram, 40 hal. Hasanuddin, A. 2003. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi. Panduan Teknis. Departemen Pertanian. Bogor, 32 hal.
271
KAJIAN TEKNOLOGI SPESIFIK LOKASI MELALUI UJI MULTI LOKASI GALUR HARAPAN PADI SAWAH TAHAN TUNGRO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO DI NUSA TENGGARA BARAT Muhammad Zairin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Uji multilokasi daya hasil dan adaptasi galur-galur harapan padi sawah tahan tungro bertujuan untuk mendapatkan beberapa galur harapan padi sawah yang beradaptasi baik, berpotensi hasil tinggi, tahan terhadap tungro spesifik koloni NTB untuk mempertahankan produksi dalam mendukung ketahanan pangan. Pengkajian ini dilaksanakan di Lombok Timur, menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang diulang 3 kali, ukuran petak 4 x 5 m, jarak tanam 25 x 25 cm ( 1 tanaman/rumpun), umur bibit 21 hari. Jumlah perlakuan sebanyak 12 (10 galur dan pembanding tahan tungro Bondojudo dan pembanding rentan IR-64). Pengkajian dipupuk dengan Urea sebanyak 250 kg, 100 kg SP36 dan 100 kg/ha KCl. Hasil kajian menunjukkan bahwa persentase serangan tungro sangat rendah sekali yakni 0,015% (GT8) dan GT10 (0,010%), pembanding rentan (IR-64)hanya 5,20% sedangkan galur lain dan pembanding tahan tidak ada serangan. Produksi yang dicapai rata-rata 5,59 t/ha GKG, tetinggi galur GT1 (6,47 t/ha), dan terendah galur GT6 (4,49 t/ha), sedangkan pembanding Bondojudo 5,72 t/ha dan IR-64 sebesar 5,40 t/ha GKG. Galur harapan tahan tungro ini diharapkan dapat diuji lanjut di daerah-daerah endemis untuk memperoleh galur-galur harapan yang mantap ketahanannya untuk pelepasan varietas tahan tungro spesifik koloni NTB. Kata kunci: galur tahan tungro, spesifik koloni NTB, produktivitas.
PENDAHULUAN Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu daerah penghasil beras nasional dengan tingkat produksi 1,2 juta ton per tahun. Penanaman padi di daerah ini sebagian besar di areal sawah irigasi yang mencapai luas 220.000 ha lebih. Dalam 5 tahun terakhir terjadi kecenderungan penurunan produktivitas dengan rata-rata 16,25 kg/ha (BPS NTB, 1999). Penurunan produktivitas padi yang terus-menerus ini diperkirakan karena menurunnya daya dukung lahan akibat penggunaan bahan kimia berupa pupuk dan pestisida secara kurang bijaksana. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah akibat cekaman biotik seperti serangan hama penyakit dan cekaman abiotik berupa kekeringan khususnya pada ekosistem sawah tadah hujan (Meindertsma, 1997). Pada MH 1996/1997 sekitar 4000 ha pertanaman padi terserang penyakit blast (Pyricularia oryzae), disusul terjadinya kekeringan akibat pengaruh Elnino yang menyebabkan sekitar 5400 ha pertanaman padi mengalami kekeringan. Pada MH. 1998/1999 seluas 15.000 ha pertanaman padi terserang penyakit virus tungro dan 8.000 ha diantaranya fuso yang sangat merugikan petani (BPTPH - NTB, 1999). Dari areal sawah seluas 220.000 ha lebih di NTB, 52,40% diantaranya ditanami IR-64 disusul IR-66 12%, Cilosari 5,90% dan Ciliwung 5,20%. Varietas lain seperti IR-74, Membramo dan Tukad Patanu yang relatif toleran virus tungro hanya mencapai luasan kurang dari 5%. (BPSBTPH Wilayah X, 2000). Beberapa varietas unggul baru pengganti IR-64 seperti Way Apo Buru, Widas, Ciherang dan lain-lain, yang memiliki keunggulan setara IR-64 dengan tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap hama penyakit, belum mampu menggeser dominasi IR-64 secara nyata karena tingkat produktivitasnya yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Karena itu, upaya untuk menemukan varietas unggul baru (VUB) tahan tungro spesifik koloni NTB. Varietas unggul seperti ini diperlukan untuk meningkatkan keragaman varietas yang tahan terhadap tungro. Penanaman varietas unggul toleran penyakit tungro, sangat penting mengingat di NTB daerah endemis semakin meluas meliputi Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu dan Bima. Apabila permasalahan tungro ini tidak segera diatasi, diperkirakan sebagian besar wilayah NTB akan menjadi daerah endemis. Varietas toleran tungro tersebut diperlukan untuk menambah keragaman varietas untuk keperluan pergiliran varietas antar musim guna menghambat penularan virus oleh wereng hijau. Rendahnya produksi yang dicapai karena teknologi budidaya yang belum baik, menggunakan varietas lokal dan serangan hama dan penyakit. Untuk meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan pangan yang cukup banyak permintaannya diperlukan suatu teknologi baru, diantaranya varietas unggul baru (VUB) yang spesifik lokasi yang beradaptasi baik dan berpotensi hasil tinggi guna meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
272
Upaya penciptaan VUB melalui serangkaian kegiatan pemuliaan tanaman yaitu perakitan keragaman genetik sifat-sifat yang diinginkan dan evaluasi serta identifikasi genotipe-genotipe unggul untuk dijadikan VUB telah dilaksanakan sejak tahun 1999-2003 (L. Wirajaswadi dkk, 1999, Sudradjat dan Zairin, 2000, Zairin, dkk, 2001, Zarin dkk 2003) di daerah endemis tungro di Lombok Timur (satu lokasi/musim/ tahun) dan menunjukkan reaksi tahan dan perlu diuji lanjut untuk memenuhi syarat pelepasan VUB yakni 20 lokasi (2 musim/lokasi pada 10 lokasi yang berbeda). Penelitian keunggulan suatu genotipe terhadap varietas lain yang dijadikan pembanding biasanya didasarkan atas konsisten tidaknya, penampilan hasil tinggi yang diragakan oleh genotipe tertentu diserangkaian lingkungan tumbuh. Kenyataan menunjukkan bahwa, sering terjadi genotipe unggul disuatu lokasi dalam satu musim atau lebih, berpenampilan jelek di lokasi lain. Oleh karena itu cara evaluasi yang terbaik dan mungkin yang termudah adalah mengevaluasi genotipe-genotipe harapan di lingkungan tumbuh dimana genotipe-genotipe tersebut akan diusahakan. Cara ini varietas dirakit secara langsung pada kondisi spesifik lingkungan tumbuh tertentu, sehingga diharapkan mampu memperlihatkan potensi genetiknya secara maksimum (Balitpa, 1999). Untuk menopang pelepasan VUB padi sawah tahan tungro maka harus dilakukan uji multi lokasi genotipe-genotipe unggul baru. Uji multi lokasi merupakan tahap penting terakhir dalam siklus kegiatan pemuliaan tanaman untuk memutuskan suatu genotipe harapan layak dilepas sebagai VUB. Oleh karena itu uji multilokasi mutlak dilaksanakan pada berbagai lingkungan tumbuh untuk menguji potensi hasil, kesetabilan hasil, ketahanan terhadap hama penyakit dan sifat agronomis lainnya. Penelitian ini bertujuan: (1) Mendapatkan galur-galur harapan padi sawah tahan tungro, yang beradaptasi baik, berpotensi hasil tinggi, tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik untuk diuji kembali kemantapannya untuk pelepasan VUB spesifik koloni NTB yang disenangi oleh pengguna/petani, (2) Mengidentifikasi galur-galur harapan padi yang mempunyai adaptasi khusus di daerah sentra produksi, termasuk preferensi petaninya. (3) Mengidentifikasi kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh petani dalam menerapkan teknologi baru pada sentra produksi. Pengujian ini bertujuan untuk menghasilkan galur-galur harapan padi tahan tungro dengan keunggulan agronomis dan ketahanan yang mantap sesuai kondisi agroekologi spesifik lokasi. Galur tersebut akan dijadikan materi pengujian selanjutnya sehingga dihasilkannya varietas unggul tahan tungro. Varietas-varietas unggul tersebut diharapkan mampu mengatasi permasalahan cekaman biotik maupun abiotik dan menunjukkan keunggulannya berupa daya hasil tinggi dengan konsistensi yang tinggi, rendemen tinggi, mutu beras baik dan dapat dijadikan bagian dari pengendalian hama penyakit melalui konsep PHT. TINJAUAN PUSTAKA
Keberhasilan upaya meningkatkan produksi padi sangat tergantung pada penampilan varietas unggul dalam program intensifikasi maupun perluasan areal tanam. Penanaman secara luas varietas-varietas unggul tersebut telah mempersempit areal tanam varietas lokal. Keseragaman genetik akibat penanaman hanya beberapa varietas padi memperbesar peluang ancaman hama-penyakit yang sebelumnya tergolong kurang penting (Widjono dan Syam, 1982). Dalam upaya meningkatkan produksi padi, penggunaan varietas unggul tampaknya lebih berhasil dibandingkan usaha lainnya, karena varietas unggul lebih mudah diadopsi oleh petani. Karena itu pemulia tanaman dituntut untuk selalu dapat menghasilkan varietas unggul baru agar dapat menambah pilihan bagi petani sekaligus menambah keragaman genetik di lapangan. Keragaman lingkungan tumbuh padi yang cukup luas, memerlukan keragaman varietas yang mampu beradaptasi optimal pada kondisi spesifik lokasi, karena itu uji multilokasi mutlak diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui daya adaptasi dan stabilitas hasil suatu galur harapan padi yang mencerminkan kemampuan produktivitas (Tirtowirjono, 1988; Cooper et al, 1999). Berkaitan dengan pentingnya uji multilokasi, Suwarno dkk (1984) menyebutkan bahwa hasil uji multilokasi galur-galur harapan sering menunjukkan adanya perbedaan daya hasil di masing-masing lokasi. Suatu galur harapan yang memberikan hasil tinggi di suatu lokasi sering tidak konsisten di lokasi yang lain. Stratifikasi lingkungan berdasarkan persamaan faktor-faktror lingkungan makro seperti faktor iklim, ekosistem dan elevasi dapat secara efektif mengurangi besarnya inkonsistensi tersebut. Penemuan varietas unggul baru umumnya diarahkan untuk memperoleh varietas berdaya hasil tinggi, umur genjah, mutu beras baik, rasa nasi enak dan toleran terhadap hama-penyakit utama (Yitnoprastowo, 1993). Mutu beras dan rasa nasi menjadi semakin penting artinya dan seringkali menjadi pertimbangan dalam memilih varietas terutama dalam kondisi kecukupan beras dewasa ini (Harahap dan Silitonga, 1989). Selain daya hasil, mutu beras dan rasa nasi, faktor umur seringkali menjadi pertimbangan utama petani dalam menentukan varietas yang akan ditanam. Bagi wilayah dengan curah hujan terbatas yang tidak didukung pengairan, penanaman padi umur genjah lebih menjamin keberhasilan panen ketimbang umur dalam (Cooper et al, 1999). Penanaman varietas umur sedang, lebih-lebih umur dalam di wilayah yang sering mengalami periode penghujan yang singkat menyebabkan kegagalan panen karena hujan sering
273
terhenti pada saat padi dalam fase pembungaan atau pengisian malai. Suyamto dkk, (1989) melaporkan bahwa keberhasilan padi gogorancah di Nusa Tenggara Barat karena didukung tersedianya varietas padi umur genjah seperti Dodokan, Jangkok dan IR-36. Namun varietas tersebut telah menunjukkan kemunduran daya hasil dan ketahanan terhadap hama-penyakit khususnya wereng coklat dan tungro. Varietas padi umur sedang dibutuhkan untuk wilayah dengan irigasi cukup dimana produktivitas tinggi dan mutu padi menjadi tujuan utama. Hasanuddin dkk (1998) melaporkan bahwa dalam lima tahun terakhir ini pemerintah telah melepas 13 varietas yang hampir seluruhnya berumur sedang dengan daya hasil tinggi dan mutu beras baik. Namun karena dinamika lingkungan yang berubah-ubah, dan kecenderungan petani untuk menanam satu varietas terus-menerus dan saat tanam yang tidak serempak menyebabkan sejumlah varietas tidak mampu bertahan terhadap cekaman biotik khususnya serangan hama-penyakit. Hal tersebut sesuai laporan Sama (1983) dalam Muis dkk (1989) menyebutkan bahwa penanaman satu varietas toleran secara terus-menerus dapat mematahkan ketahanan varietas tersebut terhadap hama penyakit. Suatu varietas meningkat tajam kepekaannya karena hama-penyakit mampu beradaptasi dengan varietas toleran sehubungan dengan berkembangnya strain baru. Suherman dkk (1992) juga melaporkan bahwa, pada keadaan keterbatasan varietas unggul yang memiliki ketahanan terhadap hama-penyakit tertentu dikhawatirkan terjadinya ledakan serangan di daerah endemik. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka semua varietas unggul yang disukai petani idealnya memiliki latar belakang genetik yang luas. Salah satu penyakit padi yang dianggap penting adalah virus tungro, penting karena sering menimbulkan kerusakan berat dalam skala luas dan sangat sulit dikendalikan. Menurut Koesnang dkk (1993), dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, penyakit tungro telah tersebar di 23 propinsi pada 142 kabupaten. Daerah endemik tungro meliputi Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Cara yang paling mudah dan murah untuk mengendalikan tungro adalah dengan penanaman varietas unggul toleran tungro. Sama et al (1991) melaporkan, penyakit tungro di Sulawesi Selatan berhasil dikendalikan dengan cara memadukan waktu tanam yang tepat dengan pergiliran varietas tahan wereng hijau sebagai vektor tungro. Dengan menanam varietas toleran secara berganti-ganti dari musim ke musim menyebabkan wereng hijau mengalami kesulitan beradaptasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa penemuan varietas toleran dalam jumlah yang memadai secara terus-menerus sangat diperlukan guna mencegah ledakan serangan penyakit tungro.
METODOLOGI Materi Materi pengujian ini berupa galur harapan padi sawah tahan tungro seluruhnya berasal dari Balai Penelitian Padi (BALITPA) galur tahan tungro sebanyak 10 galur, dua varietas pembanding yakni IR-64 sebagai pembanding (peka) dan Bondojudo pembanding tahan selengkapnya tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Materi Uji Multilokasi Galur Harapan Padi Sawah Tahan Tungro, di NTB No
Varietas/Galur Tahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
GT 1 GT 2 GT 3 GT 4 GT 5 GT 6 GT 7 GT 8 GT 9 GT10 Bondoyudo IR-64
Metode Pengujian pendahuluan dilaksanakan di Desa Kerumut Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur. Penentuan lokasi dilakukan bersama-sama dinas instansi terkait termasuk PPL setempat. Terpilihnya lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan: Memiliki potensi besar untuk pengembangan padi sawah, terbatasnya varietas unggul tersedia sesuai kebutuhan spesifik lokasi dan Desa Krumut tergolong salah satu
274
wilayah endemis serangan tungro di NTB, yang diperkirakan dapat dikurangi dengan penyediaan varietas tahan dalam pergiliran dan penganeka-ragaman varietas. Pengujian dilakukan pada lahan sawah milik petani sekaligus sebagai kooperator. Menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), setiap perlakuan diulang 3 kali. Ukuran petak 4 x 5 m, umur bibit dipindahkan 21 hari setelah sebar (HSS), umur bibit 21 HSS (1batang/rumpun), jarak tanam 25 cm x 25 cm. Menggunakan Urea 250 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Seluruh SP-36 dan KCl diberikan saat tanam, Pemberian urea dibagi tiga masing-masing 1/3 bagian pada saat tanam, 4 minggu dan 7 minggu setelah tanam. Pengendalian hama penyakit dengan pemantauan sesuai konsep pengendalian hama terpadu. Pengendalian gulma secara manual pada umur 3 dan 5 minggu setelah tanam. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman, komponen hasil, hasil gabah dan perkembangan hama-penyakit selengkapnya sebagai berikut: tinggi tanaman, saat mulai berbunga, Jumlah malai/rumpun, gabah isi/malai, gabah hampa/malai, bobot 1.000 biji, hasil (t/ha) pada kadar air 14%. Untuk penyakit tungro adalah persentase seranganya. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan langsung di lapangan menggunakan lembar pengamatan . Data terkumpul dianalisis dengan Analisis Sidik Ragam, kemudian diuji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT). Khusus untuk menghitung persentase serangan tungro, tanaman terinfeksi dengan formula: P = a/(a + b) x 100% (Hasanuddin, 1999) P = Persentase tanaman terinfeksi/terserang a = jumlah rumpun terinfeksi b = jumlah rumpun sehat
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah galur yang diuji adalah 10 galur, 2 varietas pembanding (IR64 dan Bondojudo). Penampilan galur harapan tahan tungro disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Umur Berbunga, Tinggi Tanaman, Umur Panen , Anakan Produktif Galur Harapan Tahan Tungro di Krumut Pringgabaya Lombok Timur Varietas/galur
Umur berbunga (hari)
Umur panen (hari)
Tinggi tanaman (cm)
GT 1 87 115 126,00 d GT 2 87 120 135,33 e GT 3 87 110 100,00 a GT 4 92 110 107,33 bc GT 5 92 115 107,66 c GT 6 92 106 98,33 a GT 7 83 110 127,00 d GT 8 87 111 110,33 c GT 9 83 106 121,33 d GT10 91 115 104,00 abc B.Judo 85 111 100,66 ab IR64 85 106 100,33 a Rerata 86,92 111,2 111,05 CV (%) 3,3 Angka sekolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT 0.05.
Anakan produktif/ rumpun (batang) 13,33 a 15,66 abc 18,66 c 17,66 abc 17,66 abc 17,00 abc 14,66 abc 13,66 ab 13,66 ab 17,00 abc 14,66 abc 17,33 abc 16,07 14,3
Pada Tabel 2 diperlihatkan bahwa umur berbunga 50% berkisar 83-92 hari dengan rata-rata 86,92 hari, sedangkan umur panen berkisar 106-120 hari dengan rata-rata 111,03 hari . Untuk tinggi tanaman ratarata 111,03 cm dengan kisaran 98,33-135,33 cm. GT2 paling tinggi yakni 135,33 cm diibandingkan dengan semua galur maupun varietas pembanding IR-64 (100,333 cm) dan Bondoyudo 100,66 cm. Jumlah anakan produktif/rumpun rata-rata 16,07 dengan kisaran 13,66-18,00. Jumlah anakan terbanyak dicapai oleh GT3 yakni 18,66, GT417,66 dan GT5 sebanyak 17,66 anakan, namun tidak berbeda dengan galur lain dan pembanding, kecuali berbeda dengan GT1 hanya 13,33 dan GT1 tidak berbeda dengan galur lain maupun pembanding.
275
Hasil gabah isi yang dicapai oleh semua perlakuan berkisar 60,33-94,67 dengan rata-rata 77,25 butir/malai. GT1 mencapai 94,67 butir/malai namun tidak berbeda dengan galur lain dan pembanding, kecuali GT1, GT2,GT8 (Tabel 3). Sedangkan gabah hampa rata-rata 42,46 dengan kisaran 29,00-64,67 butir/malai, tertinggi GT9 yakni 64,67 butir/malai dan tidak berbeda dengan GT1, GT7 dan pembanding tahan Bondojudo yakni 52,333 buti/malai, terendah GT3 yakni 29 butir/malai tidak berbeda dengan pembanding IR-64 (28,67 butir/malai), GT4, GT6, GT6, dan GT8. Bobot 1000 biji rata-rata 27,10 gr dengan kisaran 24,33 -27,10 gr, tertinggi dicapai oleh IR-64 dan terendah GT6. Tabel 3. Gabah Isi, Gabah Hampa, Berat 1000 Biji dan Hasil di Lombok Timur. Varietas/galur
Gabsi/malai (butir)
Gaham/malai (butir)
B1000 biji (gr)
Hasil GKG (t/ha)
GT 1 94,67 d 54,67 cd 27,00 GT 2 68,00 abc 46,00 bc 25,00 GT 3 60,33 a 29,00 a 25,00 GT 4 71,33 ad 43,00 abc 25,33 GT 5 78,66 ad 35,67 ab 25,33 GT 6 69,33 ad 32,00 ab 24,33 GT 7 81,33 ad 54,67 cd 24,00 GT 8 62,00 ab 28,33 a 26,66 GT 9 92,66 cd 64,67 d 25,66 GT10 88,00 bcd 46,67 bc 24,66 B.Judo 92,00 cd 52,33 cd 25,33 IR64 86,66 ad 28,67 a 26,00 Rerata 77,25 d 42,46 27,10 CV (%) 17,4 19,1 Angka sekolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT 0.05.
6,47 d 6,06 bcd 5,35 b 5,54 b 53,20 b 4,49 a 6,33 cd 5,34 b 5,17 bc 5,33 b 5,70 bcd 5,40 b 5,59 7,1
Produksi yang dicapai rata-rata 5,59 t/ha GKG dengan kisaran 4,49-6,47 t/ha, tertinggi dicapai oleh GT1 6,47 t/ha dan tidak berbeda dengan GT2, GT7 dan pembanding tahan Bondojudo 5,70 t/ha. Sedangkan terendah dicapai oleh GT6 yakni 4,49 t/ha GKG dan berbeda dengan semua galur dan pembanding rentan IR64 (5,40 t/ha)GKG. Produksi yang dicapai rata-rata cukup tinggi yakni 5,59 t/ha hal ini karena didukung oleh komponen hasil seperti anakan produktif, gabah isi, gabah hampa dan berat 1.000 biji yang relatif baik, dan tidak adanya/rendahnya serangan tungro pada galur yang diuji (Tabel 4). Tabel 4. Presentase Serangan Tungro di Krumut Pringgabaya Lombok Timur Galur harapan
Jumlah rumpun yang terserang
Tanaman terserang (%)
GT 1 GT 2 GT 3 GT 4 GT 5 GT 6 GT 7 GT 8 GT 9 GT10 GT 11 B.Judo IR64 Rerata
0 0 0 0 0 0 0 3 0 2 0 0 10 1,15
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,015 0,0 0,010 0,0 0,0 5,20 0,40
Persentase serangan tungro sangat rendah sekali yakni 3 rumpun (0,015%) pada GT8 dan GT 10 sebanyak 2 rumpun (0,010%). Untuk pembanding rentan IR-64 hanya 10 rumpun (5,20%), sedang pembanding tahan Bondojudo dan galur tahan yang tidak mendapat serangan tungro. Rendahnya serangan tungro diduga karena berkaitan dengan kehadiran wereng hijau N. virecens pembawa virus pada areal tanaman sangat rendah sekali sehingga galur yang diuji kebanyakan tidak terserang (Hasanuddin, 1999).
276
KESIMPULAN DAN SARAN Persentase serangan tungro sangat rendah sekali yakni 0,015% (GT8) dan GT10 (0,010%), pembanding rentan hanya 5,20% sedangkan galur lain dan pembanding tahan tidak ada serangan. Produksi yang dicapai rata-rata 5,59 t/ha GKG, tetinggi galur GT1 ( 6,47 t/ha), dan terendah galur GT6 (4,49 t/ha), sedangkan pembanding Bondojudo 5,72 t/ha dan IR64 sebesar 5,40 t/ha GKG. Hasil kajian ini disarankan untuk diuji lanjut untuk mengetahui daya adaptasi, kestabilan hasil dan kemantapan ketahanan terhadap OPT terutama tungro untuk pelepasan varietas tahan tungro spesifik NTB.
DAFTAR PUSTAKA Balitpa (1999). Petunjuk Teknis Uji Multilokasi Galur-galur harapan Padi Sawah Berumur Genjah, Sedang dan Tahan Tungro. Badan Litbang Pertanian. BPS (1999). Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 1999. Biro Pusat Statistik (BPS NTB). BPSBTPH(2000). Laporan Tahunan penggunaan varietas unggul di NTB Diperta Propinsi Dati I. NTB (1999). Selayang Pandang Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan di NTB Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I. NTB. Strategi Pengendalian Penyakit Tungro di Propinsi Nusa Tenggara Barat, Maret 1999 Gomez and Gomez (1995). Prosedir Statistik untuk Penelitian Pertanian, Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia IRRI (1996). Standar Evaluation System for Rice. Inger Genetik Resources Center. 4th edition July 1996. McLaren, C.G., 1995. Basic Statistical Analysis System B. Stat. Versin 5.02. June 1995 Sudradjat dan Zairin (2000). Laporan Uji Daya Hasil dan Adaptasi Galur-galur Padi sawah Tahan Tungro di daerah Endemik Tungro di Lombok Timur NTB. Kerjasama Balitpa Sukamandi dengan IPPTP Mataram. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian Widiarta, I.N., (1999). Laporan Monitoring Keadaan Tungro di NTB pada MP 1998/1999. Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. Subang Jawa Barat Wirajaswadi, M.Zairin, dan J.A.Gani (1999). Respon Beberapa Varietas dan Galur Harapan Padi Sawah Tahan Terhadap Penyakit Tungro. Makalah disampaikan pada Pertemuan Komisi Pengkajian Teknologi Pertanian tgl 21 Desember 1999 di Mataram. IPPTP Mataram Zairin, Wirajaswadi L., Awaludin (2001). Laporan Uji Multilokasi Galur Harapan padi Umur Genjah, Sedang dan Tahan Tungro di NTB. BPTP NTB. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian Zairin, Wirajaswadi L., dan Awaludin (2002). Laporan Uji Multilokasi Galur Padi sawah Umur Genjah, Sedang dan Tahan Tungro di NTB. BPTP NTB. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian
277
PENGARUH PEMANFAATAN JAMUR MIKORIZHA ARBUSKULAR (JMA) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT MANGGIS Muji Rahayu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Jamur Mikoriza Arbuskular (JMA) dan 3 level pemupukan P digunakan untuk mempelajari pengaruhnya terhadap pertumbuhan bibit manggis yang sangat lambat akibat dari sistem perakaran bibit manggis tidak berkembang dengan baik. Penelitian lapangan dilakukan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB, dari bulan Januari 2005 sampai Mei 2006. Percobaan disusun secara Acak Kelompok berpola Faktorial dengan 2 Faktor yaitu pertama inokulasi JMA (inokulasi JMA dan tidak diinokulasi) dan kedua adalah dosis pemupukan P (0%, 50% dan 100%). Dosis pemupukan P yang dipergunakan adalah 600 mg tanaman-1 bulan-1. Hasil percobaan menunjukkan bahwa bibit manggis yang tidak diinokulasi JMA menunjukkan tinggi tanaman dan jumlah daun lebih sedikit dibanding yang diinokulasi. Pertumbuhan tanaman pada kombinasi perlakuan inokulasi JMA dan pemupukan dosis P 50% atau 300 mg tanaman-1 bulan-1 menunjukan hasil terbaik yang diindikasikan tinggi tanaman dan jumlah daun tertinggi dibanding kombinasi perlakuan yang lain. Kata kunci: JMA, dosis pupuk P, bibit manggis, pertumbuhan.
PENDAHULUAN Salah satu masalah serius dalam budidaya manggis hingga kini adalah sangat lambatnya laju tumbuh dan panjangnya masa remaja tanaman sehingga untuk mulai berbuah memerlukan waktu sekitar 1015 tahun. Hal demikian disebabkan pada awal pertumbuhan sistem perakaran bibit manggis tidak berkembang dengan baik. Akarnya sedikit, tumbuh lambat, mudah rusak akibat lingkungan yang tidak menguntungkan, dan rambut akar terbatas (Lukitariati et al., 1996). Hal tersebut menyebabkan hara dan air yang terserap tidak cukup untuk mendukung proses metabolisme dalam tubuhnya sehingga bibit manggis tumbuh lambat dan kurang adaptif terhadap berbagai perubahan kondisi lingkungan. Mekanisme penyerapan hara yang tidak berjalan sempurna akibat keterbatasan dan lambatnya pertumbuhan akar manggis telah dipelajari dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Informasi penting dari penelitian sebelumnya diantaranya adalah inokulasi Jamur Mikoriza Arbuskular (JMA) tidak memberikan hasil yang efektif sampai umur tanaman mencapai minimal 5 (lima) bulan setelah semai (Syarif, A., 2002). Pentingnya keberadaan JMA dalam mendukung pertumbuhan tanaman dan produktivitas pada berbagai tanaman dengan beragam tipe pertumbuhan mendorong untuk diterapkannya pada pembibitan manggis. Manfaat JMA pada tanaman dapat memperluas daerah jelajah akar dan meningkatkan pertumbuhan akar dan membebaskan hara terikat menjadi tersedia bagi tanaman (Rao, N.S.S., 1994). Kebergantungan tanaman terhadap JMA cukup tinggi pada tanah-tanah yang mengandung P tersedia rendah, namun pupuk P tetap diperlukan dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan tanaman. Karena P bersifat tidak mobil maka akar tanaman harus datang ke sumber P. Dengan demikian pemberian P harus dekat dengan akar atau pada tanaman-tanaman yang akarnya kurang berkembang perlu bantuan mikroorganisme yang mampu membantu penyerapan P oleh akar tanaman, misalnya mikoriza. Rekomendasi dosis pemupukan P untuk bibit manggis adalah 400-600 mg tanaman-1 bulan-1, tetapi dengan inokulasi mikoriza maka dosis P tersebut perlu dipelajari kembali khususnya dalam penerapannya di lapangan hingga dapat ditemukan dosis optimal untuk menghasilkan bibit manggis yang pertumbuhanya lebih baik.
METODOLOGI Percobaan telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat yang terletak pada ketinggian 41 meter diatas permukaan air laut. Jenis tanah yang dipergunakan adalah Entisol dengan kandungan P tersedia tergolong cukup. Percobaan dimulai Bulan Mei 2005 sampai Juni 2006. Pada percobaan ini inokulum JMA yang dipergunakan adalah inokulum komersial produk dari Balai Penelitian Buah di Solok yang telah distandarisasi sporanya yaitu 300 spora g-1. Percobaan disusun secara Acak Kelompok berpola Faktorial dengan 2 Faktor dengan demikian terdapat 6 kombinasi perlakuan. Faktor pertama adalah inokulasi JMA (inokulasi JMA dan tidak diinokulasi) dan Faktor ke dua
278
adalah dosis pemupukan P (0%, 50% dan 100%). Dosis pemupukan P yang dipergunakan adalah 600 mg tanaman-1 bulan-1 Percobaan diulang 3 kali, sehingga didapatkan 18 unit percobaan. Setiap unit percobaan menggunakan 5 tanaman. JMA diaplikasikan pada pemindahan persemaian pertama yaitu pada bibit yang berumur 5 bulan dengan takaran 5 g tanaman-1 bulan-1. Untuk pemeliharaan tanaman juga diberikan pupuk Urea sebesar 200 mg tanaman-1 bulan-1 dan KCl sebesar 150 mg tanaman-1 bulan-1. Teknologi pembibitan dilakukan seperti halnya teknologi petani, yaitu ditanam dalam bedengan dengan jarak tanam 40 cm x 60 cm. Parameter komponen pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang. Selain pertumbuhan tanaman, pada perakaran bibit manggis umur 18 bulan atau 12 bulan setelah diinokulasi JMA juga diamati keberadaan spora, hifa dan vesikula melalui mikroskop dengan pembesaran 60 kali milik Fakultas Pertanian Universitas Mataram yang sebelumnya melalui proses pembeningan KOH 10% dan pengecatan trypan blue 0,05% dalam laktoglyserol (Brundrett et al, 1996). Analis kandungan P awal di lokasi percobaan dilakukan di Laboratorium BPTP NTB.
HASIL DAN PEMBAHASAN Infeksi JMA pada Perakaran Bibit Manggis Kondisi perakaran bibit manggis umur 17 bulan atau 12 bulan setelah bibit manggis umur 5 bulan diinokulasi dengan JMA 5 g tanaman-1, perakaran menunjukkan adanya infeksi. Hasil itu sesuai dengan pendapat penelitian Muas, 2003 yang menyatakan bahwa efektifitas pemberian JMA terlihat pada aplikasi setelah bibit manggis berumur lebih dari 5 bulan akibat dari suplai hara tercukupi dari cadangan makanan yang masih tersisa dari biji manggis yang ukurannya cukup besar. Hal itu terlihat pada gambar jaringan perakaran yang diinokulasi JMA dan tidak diinokulasi JMA. Pada jaringan perakaran manggis yang diinokulasi JMA terlihat adanya infeksi JMA yang diindikasikan adanya spora JMA, hifa dan vesikula (Gambar 1).
Gambar 1. Foto jaringan akar bibit manggis umur 17 bulan yang terinfeksi JMA
Pertumbuhan Bibit Manggis Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang diekspresikan oleh tinggi bibit, diameter batang, jumlah cabang serta jumlah daun bibit manggis menunjukkan bahwa inokulasi JMA berpengaruh terhadap pertumbuhannya (Tabel 1, 2, 3 dan 4). Pengaruh yang sangat nyata dari pertumbuhan bibit manggis akibat interaksi JMA dan pemupukan disebabkan hifa eksternal dari akar bibit manggis bermikoriza yang berkembang pada zona perakaran akan meningkatkan volume tanah yang dapat dieksploitasi untuk penyerapan fosfor (Bayraj, 1992). Peningkatan kemampuan penyerapan P oleh bibit manggis yang terinfeksi oleh JMA diduga akibat adanya peningkatan aktivitas enzim fosfatase asam (AP) pada rizosfir dan akar bibit manggis tersebut. Beberapa penelitian menyatakan bahwa aktivitas AP pada beberapa tanaman budidaya yang terinfeksi JMA lebih tinggi dibanding tanaman yang tidak terinfeksi (Rao; Dodd et al., 1987 dan Subiksa, I.G.M., 2001). Meskipun serapan P pada pupus manggis tidak diamati tetapi hasil penelitian Khalil et al., 1999 menyatakan bahwa aktivitas enzim AP secara positif berkorelasi dengan penyerapan P dan pertumbuhan tanaman.
279
Kombinasi inokulasi JMA dan pemberian P pada takaran 50% dari dosis rekomendasi atau 300 mg tanaman-1 bulan-1 menunjukkan pertumbuhan lebih baik dari perlakuan lainnya. Hal ini diduga meskipun eksplorasi akar yang terinfeksi JMA jelajahnya lebih jauh sehingga dapat menyerap P lebih banyak dibanding kontrol, tetapi P tetap dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan kelangsungan hidup dari JMA itu sendiri. Kandungan hara P tersedia di lokasi percobaan cukup tinggi mengakibatkan pemberian P pada takaran 100% dari dosis rekomendasi atau 600 mg tanaman-1 bulan-1 tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan takaran 50% dari dosis rekomendasi atau 300 mg tanaman-1 bulan-1. Dengan demikian dosis optimal untuk pertumbuhan bibit manggis cukup diberikan 300 mg tanaman-1 bulan-1. Tabel 1 Tinggi Tanaman Bibit Manggis Umur 17 Bulan Atau 12 Bulan Setelah Inokulasi JMA dan Pemberian Pupuk Fosfat (P). Pupuk fosfat (P) mg tanaman-1 bulan-1 0 300 600 -------------------------------------cm-----------------------------------
JMA (M) Inokulasi JMA
40,22
44,22
44,20
Tidak di inokulasi
58,10
68,24
68,20
Keterangan : Berdasarkan sidik ragam (M) dan (MxP) teruji beda nyata taraf 0,05 Tabel 2. Jumlah Cabang Tanaman Bibit Manggis Umur 17 Bulan Atau 12 Bulan Setelah Inokulasi JMA dan Pemberian Pupuk Fosfat (P). Pupuk fosfat (P) mg tanaman-1 bulan-1 0 300 600 -------------------------------------cm-----------------------------------
JMA (M) Inokulasi JMA Tidak di inokulasi
3,20
3,80
3,84
1
1
1
Keterangan : Berdasarkan sidik ragam (M) dan (MxP) teruji beda nyata taraf 0,05 Tabel 3. Jumlah Daun Tanaman Bibit Manggis Umur 17 Bulan Atau 12 Bulan Setelah Inokulasi JMA dan Pemberian Pupuk Fosfat (P). Pupuk fosfat (P) mg tanaman-1 bulan-1 0 300 600 -------------------------------------lembar-----------------------------------
JMA (M) Inokulasi JMA
28
34
34
Tidak di inokulasi
14
16
16
Keterangan : Berdasarkan sidik ragam (M) dan (MxP) teruji beda nyata taraf 0,05 Tabel 4. Diameter Batang Tanaman Bibit Manggis Umur 17 Bulan Atau 12 Bulan Setelah Inokulasi JMA (M) dan Pemberian Pupuk Fosfat (P). Pupuk fosfat (P) mg tanaman-1 bulan-1 0 300 600 -------------------------------------cm-----------------------------------
JMA (M) Inokulasi JMA
1,71
1,76
1,78
Tidak di inokulasi
1,12
1,20
1,21
Keterangan : Berdasarkan sidik ragam (M) teruji beda nyata taraf 0,05
KESIMPULAN 1.
Kebergantungan bibit manggis sampai umur 17 bulan terhadap JMA sangat tinggi yang diindikasikan dengan terjadinya infeksi pada perakaran tanaman.
2.
Kombinasi pemupukan P dan inokulasi JMA berpengaruh nyata sampai batas pemupukan 300 mg tanaman-1 bulan-1.
3.
Dosis pupuk P sbesar 300 mg tanaman-1 bulan-1dapat dipergunakan rekomendasi untuk pemupukan pembibitan manggis yang menggunakan bantuan mikoriza.
280
DAFTAR PUSTAKA Bagyaraj, D.J. 1992. Vesicular-arbuscular mycorrhiza: Aplication in agriculture. Mhetods in Microbiol. 24 : 359-373 Brundrett, M., N. Bogher, B. Dell, T. Grove and N. Malajezuk, 1995. Working with mycorrhyzal in forestry and agriculture. CSIRO Centre for Mediterranean Agricultural Research. Wembley, WA. Dodd, J.C., C.C. Burton, R.G. Burns, and P. Jeffries, 1987. Phosphatase activity assosiated with the roots and the rhizosphere of plants infected with vesiculer-arbuscular mycorrhizal fungi. New Phytol. 107: 163 - 172 Lukitariati, S., N.L.P. Indriyani, Susiloadi dan Anwaruddinsyah, 1996. Pengaruh naungan dan konsentrasi indol butirat terhadap bibit batang bawah manggis. Jurnal Hortikultura 6(3): 220-226 Khalil, S., T.E. Loynachan, and M.A. Tabatai, 1999. Plant determinants of mycorrhizal dependency in soybean. Agron. J. 91: 135-141. Muas,I., 2003. Peranan Mikoriza Arbuskula terhadap Peningkatan Serapan Hara oleh Bibit Pepaya. J.Hortikultura 13(2): 105-113. Rao, N.S.S., 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Penerjemah: Susilo, H. Edisi Kedua. Penerbitr Universitas Indonesia. Jakarta Subiksa, I.G.M., 2001. Pemanfaatan Mikoriza untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Paper LIPI P.026.00008 Syarif, Auzar., 2002. Mycorrhizal dependency of Mangosteen Seedling. September 2002.
Stigma Vol. X. No.3, Juli-
281
DAMPAK PENGAIRAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KAPAS + KACANG TANAH PADA LAHAN SAWAH SESUDAH PADI Sudarto dan Arif Surahman Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Pengkajian telah dilaksanakan di Desa Selengen Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Barat bulan April sampai dengan bulan Oktober tahun 2005 pada musim kemarau pertama (MK I), luas areal 33,5 ha dengan melibatkan 45 KK. Menggunakan pendekatan on farm research, (OFR) bekerja sama dengan petani dan sekaligus petani dijadikan kooperator yang dalam kegiatannya didampingi oleh petugas lapang yang dibantu oleh peneliti dan penyuluh. Data yang dikumpulkan adalah data agronomi dan sosial ekonomi. Data agronomi meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang per pohon, jumlah bol per tanaman, jumlah bol yang dipanen per tanaman, berat bol dan produksi per hektar; sedang data ekonomi meliputi input dan output usahatani tumpangsari kapas+kacang tanah dan sebagai pembanding adalah usahatani kacang tanah secara monkultur (eksisting teknologi). Untuk mengetahui kelayakan ekonomi usaha tani yang diintroduksikan menggunakan analisis B/C ratio. Hasil pengkajian adalah pada tanaman kapas yang mendapat pengairan 1 kali terdapat perbedaan tinggi tanaman dengan yang mendapat pengairan 2 kali dan 3 kali, yaitu masing-masing 70,3 cm, 90,01 cm dan 96,6 cm. Begitu pula pada jumlah cabang yang terbentuk yaitu 7,4 cabang/tanaman; 9,8 cabang/tanaman dan 10,9 cabang/tanaman serta jumlah bol sebanyak 16,2 bol/tanaman; 22,7 bol/tanaman dan 27,4 bol/tanaman. Bahkan ada kecenderungan ukuran bol terlihat kecil-kecil sehingga sebagai konsekuensinya berpengaruh terhadap rata-rata berat bolnya yaitu masing-masing 2,57 gram/bol, 3,10 gram/bol dan 3,50 gram/bol. Tanaman kapas yang mendapat pengairan satu kali produksi yang dihasilkan sebanyak 378 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 311 kg/ha sehingga mengalami kerugian sebesar Rp. 595.050; pengairan dua kali sebanyak 633 kg/ha kapas berbiji kacang tanah 394 kg/ha dan mendapat keuntungan sebesar Rp. 121.800 sedangkan yang mendapat pengairan sebanyak tiga kali produksi kapas dapat mencapai 988 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 865 kg/ha dengan keuntungan sebesar Rp. 2.044.500. Usaha tani kacang tanah secara monokultur produksi yang dihasilkan 515 kg/ha sehingga mengalami kerugian sebesar Rp. 198.250. Kata kunci : tumpangsari, kapas + kacang tanah, on farm research,
PENDAHULUAN Ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas, peningkatan produksi pertanian dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti pendidikan petani, penyediaan sarana produksi yang tepat waktu, pengolahan tanah, cara tanam, pengaturan jarak tanam, pemupukan dan pengaturan irigasi. Penanaman kapas yang selama ini dikembangkan pada lahan kering kurang berkembang, karena banyak ditemui masalah. Masalah utama pengembangan kapas pada lahan kering diantaranya faktor iklim (kesuburan tanah, curah hujan dan lain-lain), selain itu juga faktor internal seperti modal terbatas, pendidikan petani dan faktor lainnya. Ketersediaan air sering menjadi faktor pembatas dalam usahatani kapas pada lahan kering. Untuk lebih berkembangnya tanaman kapas, maka dicoba pengembangannya pada lahan sawah sesudah padi. Pengembangan kapas pada lahan sawah sesudah padi lebih sesuai bila diusahakan pada wilayah yang memiliki pola tanam padi-palawija-bera. Dengan pola tersebut kapas dapat ditanam sesudah panen padi dan dapat ditumpangsarikan dengan palawija yang merupakan eksisting teknologi petani, karena kedua jenis tanaman ini memiliki kanopi dan sistem perakaran yang berbeda. Rusim (2001) menyatakan bahwa sebagian besar pertanaman kapas di Indonesia ditanam bersamaan dengan palawija. Umumnya kapas ditumpang sarikan dengan jagung dan kacang-kacangan. Selanjutnya Haynes, 1980; Francis, 1989: dalam Rusim (2001) menyatakan pula tanaman yang berakar dalam akan lebih sesuai untuk dikombinasikan dengan tanaman berakar dangkal dan kombinasi keduanya lebih efisien dalam penggunaan air dan hara. Sistem tumpangsari akan memberi hasil ganda dan apabila tanaman yang ditumpangsarikan memiliki umur yang berbeda akan dapat memberi nilai tambah pada pola tersebut. Pada kondisi lahan yang memiliki pola tanam padi-palawija-bera, air merupakan komponen utama yang harus diperhatikan. Kondisi yang demikian dalam pengelolaan usahatani akan sangat bergantung pada ketersediaan debit air setiap tahunnya (Gambar 1). Dampak dari ketersediaan air akan berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas tanaman. Air merupakan komponen penting dan menentukan keberhasilan dalam budidaya kapas dimusim kemarau (Machfud, 2002). Kebutuhan air untuk tanaman kapas dapat disesuaikan dengan kebutuhan air tanaman palawija. Pada lokasi pengkajian, selama pertumbuhannya biasanya tanaman palawija mendapat pengairan paling sedikit tiga kali. Sumber air untuk pengairan berasal dari dam Irigasi Sambijengkel yang pengelolaannya oleh P3A. Kenyataan dilapang dengan menurunnya debit air pada dam
282
tersebut pengairan tidak dapat dilakukan secara optimal sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kapas.
800
Debit air (lt/dt)
700 600 500 400 300 200 100
M EI JU N JU L AG T SE P O KT N O P D ES
FE B M AR AP R
JA N
0
Bulan Gambar 1. Rata-rata debit air dam Sambijengkel Desa Selengen Kecamatan Kayangan, Lombok Barat tahun 1992-2005.
METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan di Desa Selengen Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Barat bulan April sampai dengan bulan Oktober tahun 2005 pada musim kemarau pertama (MK I), luas areal 33,5 ha. Menggunakan pendekatan on farm research, bekerjasama dengan petani dan sekaligus petani dijadikan kooperator yang dalam kegiatannya didampingi oleh petugas lapang yang dibantu oleh peneliti dan penyuluh. Paket teknologi yang diterapkan adalah teknologi tumpangsari kapas + kacang tanah, dengan komponen teknologi sebagai berikut: (a). Pengolahan tanah sempurna dengan menggunakan ternak sapi, (b). Varietas unggul Kanesia 7, (c). Teknik pengelolaan air, (d). Pemupukan (tanaman kapas: umur 0-7 HST pupuk yang diberikan 50 kg ZA+75 kg SP-36+25 kg KCl per hektar dan umur 42 HST 100 kg Urea; kacang tanah 50 kg Urea+50 kg SP-36+25 kg KCl/ha pada saat tanam), dan (e). Pengendalian hama dengan konsep PHT. Data yang dikumpulkan adalah data agronomi dan sosial ekonomi. Data agronomi meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang per pohon, jumlah bol per tanaman, jumlah bol yang dipanen per tanaman, berat bol dan produksi per hektar; sedang data ekonomi meliputi input dan output usahatani tumpangsari kapas + kacang tanah dan sebagai pembanding adalah usahatani kacang tanah secara monokultur (eksisting teknologi). Pengumpulan data dilakukan sejak pengkajian berlangsung hingga akhir kegiatan. Data dikumpulkan dengan metode survey yaitu dengan wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan yang terstruktur (Muhajir, 2000; Mulyana, 2001; Bailey, 1978). Untuk mengetahui kelayakan ekonomis teknologi usahatani kapas + kacang tanah dianalisa menggunakan B/C ratio (Malian et.al, 1987)
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Agronomi Tanaman Kapas pada Fase Vegetatif dan Generatif Prosentase tumbuh pada semua petani rata-rata cukup baik, karena pada saat penanaman kondisi lahan masih cukup lembab. Frekuensi pengairan sangat mempengaruhi pertumbuhan kapas pada fase vegetatif maupun fase generatif .
283
Tabel 1. Data Agronomi Tanaman Kapas pada Fase Vegetatif dan Generatif Berdasarkan Frekuensi Pengairan di Desa Selengen Kecamatan Kayangan, tahun 2005.
Uraian Pengairan 1 kali Pengairan 2 kali Pengairan 3 kali
Tinggi tanaman (cm)
1 bln
2 bln
3 bln
bol Rerata dipanen/ berat tan bol (gr) 4 bln 5 bln
-
-
13.4
16,2
7.7
2,57
9.8
-
-
17.6
22,7
10.7
3.10
10.9
-
-
22.6
27.4
14.5
3.50
Jumlah cabang/pohon
1 bln
2 bln
3 bln
4 bln
1 bln
2 bln
3 bln
21.9
38.2
50.8
70.3
-
3.1
5.8
27.2
43.5
67.6
90.01
-
3.1
35.9
58.4
75.4
95.6
-
3.4
6.2 7.4
Jumlah bol/tanaman
4 bln 7.4
Sumber : data pengamatan diolah.
Tabel di atas terlihat bahwa dampak dari lahan yang mendapat pengairan yang tidak sama sangat mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kapas. Pada awal pertumbuhannya kapas terlihat normal, karena persediaan air masih cukup tersedia untuk mengairi areal kapas milik semua petani. Akan tetapi menginjak bulan ke dua pertumbuhan dan seterusnya tanaman mulai terganggu pertumbuhannya akibat menurunnya debit air pada dam irigasi Sambi Jengkel. Hal ini terlihat pada tinggi tanaman, walaupun setiap bulannya ada pertambahan tinggi tanaman dan jumlah cabang tetapi jumlah bol yang terbentuk relatif kurang. Pada umur 4 bulan dengan kondisi lahan yang mendapat pengairan 1 kali berbeda dengan yang mendapat pengairan 2 kali dan 3 kali, tinggi tanaman yang dihasilkan masing-masing 70,3 cm, 90,01 cm dan 96,6 cm. Begitu pula pada jumlah cabang yang terbentuk yaitu 7,4 cabang/tanaman; 9,8 cabang/tanaman dan 10,9 cabang/tanaman serta jumlah bol sebanyak 16,2 bol/tanaman; 22,7 bol/tanaman dan 27,4 bol/tanaman. Bahkan ada kecenderungan ukuran bol terlihat kecil-kecil sehingga sebagai konsekuensinya berpengaruh terhadap rata-rata berat bolnya yaitu masing-masing 2,57 gram/bol, 3,10 gram/bol dan 3,50 gram/bol. Kekurangan air dapat menimbulkan gangguan pada pertumbuhan tanaman kapas seperti; tanaman tumbuh kerdil, cabang generatif yang terbentuk sedikit, kuncup bunga mudah gugur, dan hasil tanaman menjadi sangat rendah (Machfud, 2002). Menurut Riajaya dan Kadarwati (1997) pengairan yang ideal pada tumpangsari kapas dan palwija di lahan sawah sesudah padi dilakukan sebanyak lima kali. Empat kali pengairan pada saat masih ada tanaman palawijanya. Umur tanaman kapas dan palawija berselisih 2,5 bulan, dengan ketersediaan air yang terbatas kapas masih mampu memberikan hasil pada musim kemarau kedua (bera). Keragaan Ekonomi Usaha Tani Kapas + Kacang Tanah Interval pengairan yang diterima oleh petani sangat bervariasi. Pengairan yang diterima oleh petani dari satu kali hingga tiga kali pengairan, sehingga produksi yang diperoleh juga bervariasi. Untuk mengetahui hasil analisis ekonomi berdasarkan pengairan yang diterima leh petani dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Analisis Ekonomi Kapas + Kc. Tanah Berdasarkan Frekuensi Pengairan di Desa Selengen Kecamatan Kayangan, Tahun 2005. Uraian
Pengairan 1 kali
Pengairan 2 kali
Pengairan 3 kali
Saprodi (Rp/ha) 902.500 902.500 Tenaga kerja (Rp/ha) 1.305.000 1.355.000 Total 2.207.500 2.257.500 Produksi - Kapas (kg/ha) 378 633 - Kacang tanah (kg/ha) 311 394 Penerimaan - Kapas (kg/ha) 850.500 1.424.500 - Kacang tanah (kg/ha) 761.950 965.300 1.612.450 2.389.800 Pendapatan kotor (Rp/ha) (595.050) 121.800 Keuntungan (Rp/ha) (0,26) 0,05 B/C ratio R/C ratio 0,73 1,06 Sumber : Data primer diolah Harga kapas : Rp.2.250/kg kapas berbiji : kacang tanah Rp. 3.500/kg.
Kacang monokultur
902.500 1.395.000 2.297.500
420.000 1.040.000 1.460.000
988 865
515
2.223.000 2.119.250 4.342.250 2.044.500 0,89 1,89
1.261.750 1.261.750 (198.250) (0,13) 0,86
Tabel di atas tampak bahwa ada kesenjangan hasil yang diperoleh petani antara yang mendapat pengairan satu kali, dua kali dan tiga kali. Yang mendapat pengairan satu kali, produksi yang dihasilkan sebanyak 378 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 311 kg/ha; pengairan dua kali sebanyak 633 kg/ha kapas
284
berbiji kacang tanah 394 kg/ha, sedangkan yang mendapat pengaian sebanyak tiga kali produksi kapas dapat mencapai 988 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 865 kg/ha. Petani yang mendapatkan pengairan satu kali tidak diperoleh keuntungan bahkan mengalami kerugian sebesar Rp. 595.050 dengan B/C ratio (-0,26), hal ini karena air yang diperoleh setelah tanaman berumur 60 hari setelah tanam sehingga aplikasi pemupukan kedua (susulan) juga terlambat. Akibatnya pertumbuhan tanaman kurang sempurna yang menyebabkan bol yang terbentuk kurang, ukuran kecil. Keuntungan yang diperoleh pada petani yang mendapatkan pengairan dua kali sebesar Rp. 121.800 dengan B/C ratio 0,05, walaupun mendapat pengairan sampai dua kali namun interval pengairannya juga tidak tepat. Tanaman kapas baru mendapat pengairan setelah penanaman berumur 60 hari dan 115 hari setelah tanam. Keuntungan yang diperoleh petani yang mendapat pengairan tiga kali sebesar Rp. 2.044.500 dengan B/C ratio 0,89. Sedangkan petani yang menanam kacang tanah monokultur (petani pembanding) mengalami kerugian sebesar Rp. 198.250 dengan B/C ratio (-0,13).
KESIMPULAN Dampak pengairan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi, yang mendapat pengairan satu kali produksi yang dihasilkan sebanyak 378 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 311 kg/ha sehingga mengalami kerugian sebesar Rp. 595.050; pengairan dua kali sebanyak 633 kg/ha kapas berbiji kacang tanah 394 kg/ha dan mendapat keuntungan sebesar Rp. 121.800,- sedangkan yang mendapat pengairan sebanyak tiga kali produksi kapas dapat mencapai 988 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 865 kg/ha dengan keuntungan sebesar Rp. 2.044.500. Usahatani kacang tanah secara monokultur produksi yang dihasilkan 515 kg/ha sehingga mengalami kerugian sebesar Rp. 198.250. Untuk mengurangi resiko kegagalan panen, meningkatkan produktivitas lahan, meningkatkan nilai tambah petani pada wilayah yang memiliki pola tanam padi-palawija-bera, kacang tanah dapat ditanam secara tumpangsari dengan kapas.
DAFTAR PUSTAKA Bailey, KD. 1978. Methods of Social research. The Free Press. A. Division of Macmilan Publishing Co. Inc. New York. Francis,C.A. 1989. Biological Efficiencies in Multiple-Cropping System. Advences in Agronomy Vol. 42, p1-41. Haynes, R.J. 1980. Competitive Aspects Of The Grass Legume Association. Adv. Agron. 33:227-261. Machfud, M. 2002. Budidaya Kapas di Lahan Sawah. Kapas. Buku 2. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang. Malian, H., A. Djauhari dan Venn. V.D. 1987. Analisis dalam Penelitian Sistem Usahatani. NTASP Proyek P3NT. Badan Litbang. Departemen Pertanian. Muhajir Noeng. 2000. metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Rake Sarasin. Yogyakarta. Mulyana Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan ilmu sosial lainnya. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Riajaya,P.D. dan F.T. Kadarwati. 1997. Frekuensi Pemberian Air Pada Tumpangsari Kapas dan Kedelai. Jurnal Penelitian Tanaman Industri II (5): 223-234. Rusim Mardjono. 2001. Pemuliaan Kapas di Indonesia. Kapas. Buku 1. Monograf Balittas No. 7. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tembakau dan Serat. Malang.
285
INOVASI TEKNOLOGI PENGELOLAAN HARA SPESIFIK LOKASI PADA TANAMAN JAGUNG DI LAHAN MARGINAL Forita Dyah Arianti1), Her. Supadmo 1) dan Arif Surahman 2) 1) Peneliti BPTP Jawa Tengah 2) Peneliti pada BPTP NTB
ABSTRAK Jagung merupakan komoditas yang cukup potensial untuk dikembangkan karena selain dapat digunakan sebagai pangan sumber karbohidrat dan protein juga penting artinya sebagai bahan baku pakan ternak dan bahan baku industri. Jagung adalah tanaman yang banyak membutuhkan hara N, P dan K. Sebagai gambaran umum, untuk setiap ton hasil biji, tanaman membutuhkan 27,4 kg N; 4,8 kg P; dan 18,4 K (Cooke,1985). Angkutan hara yang besar tersebut, sebagian harus dicapai dari pemberian pupuk yang jumlahnya dapat bervariasi, sangat tergantung pada kondisi tanah, iklim, air, varietas (genetik) dan manajemen yang menentukan tingkat pertumbuhan tanaman. Pengelolaan hara N, P dan K yang optimal spesifik lokasi dengan metode omission plot (petak omisi) perlu dilakukan di samping akan menjamin pertumbuhan dan produktivitas jagung yang memuaskan, juga akan meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan petani, meskipun tinggi rendahnya tingkat produktivitas jagung putih di lahan kering juga disebabkan oleh terbatasnya tingkat pengelolaan usaha tani seperti penggunaan benih berkualitas pengendalian hama/penyakit, gulma, dan kecukupan air. Takaran pupuk pada perlakuan menggunakan takaran Urea 400kg/ha, SP 36 200 kg/ha dan KCl 200 kg/ha. Hasil keragaan tanaman nampak kerdil pada petak dengan pupuk NK (tanpa pupuk P). Tanaman pertumbuhannya sangat terhambat bahkan ada beberapa tanaman yang mati karena kekurangan pupuk tersebut. Pada perlakuan dengan pupuk PK (tanpa pupuk N), di semua lokasi tanaman menguning nampak defisiensi N, meskipun tanaman lebih tinggi dibanding pertumbuhan tanaman pada perlakuan tanpa pupuk P tetapi pembentukan tongkolnya juga terhambat. Tanaman yang dipupuk NP (tanpa pupuk K), pertumbuhannya masih cukup baik dan tidak nampak gejala defisiensi K meskipun kadar K tersedia di dalam tanah rendah. Untuk menghasilkan jagung putih dengan rata-rata hasil 5 ton/ha serapan hara N; 14.140; P: 1.405 dan K: 18.530 kg/ton biji. Pada jagung putih dengan rata-rata hasil 5 ton/ha efisiensi serapan pupuk N: 24%; P: 16% dan K: 30%. Peneliti BPTP Jawa Tengah. Kata kunci : inovasi teknologi, spesifik lokasi, jagung, lahan marginal.
PENDAHULUAN Jagung merupakan komoditas yang cukup potensial untuk dikembangkan karena selain dapat digunakan sebagai pangan sumber karbohidrat dan protein, juga penting artinya sebagai bahan baku pakan ternak, ikan, dan bahan baku industri. Komiditas ini dapat di tanam di lahan tegalan dan sawah. Di Jawa Tengah jagung diproduksi pada agroekosistem yang beragam mulai dari yang berproduktivitas tinggi sampai rendah dengan lahan subur hingga marjinal yang meliputi wilayah dengan curah hujan/ketersediaan air cukup hingga terbatas. Lahan kering umumnya miskin unsur hara esensial seperti N, P, K, Ca, dan nilai tukar kation (KTK) rendah sehingga unsur hara mudah lepas dan tercuci. Hara N banyak yang hilang karena proses pencucian secara horisontal dan perkolasi (Prasad et al, 1996). Menurut Kondo (1996), pengelolaan hara N dan P sangat penting artinya karena sangat vital dalam proses pertumbuhan tanaman padi, sementara ketersediaannya sangat sedikit di tanah. Penggunaan pupuk pada pertanaman jagung sangat beragam tergantung kondisi lahan, dan orientasi produksi. Estimasi terkini menyampaikan bahwa 80% areal pertanaman jagung dipupuk secara pukul rata dengantakaran sekitar 85 kg N, 25 kg P2 O 5 dan 8 KG K2O/ ha pertanaman (IFA, 2002). Takaran N lebih dari 150 kg/ha (300 Urea kg/ha) adalah umum diberikan pada lahan sawah irigasi; bahkan pada beberapa tempat pertanaman jagung di lahan irigasi ada yang memupuk urea lebih dari 500 kg/ha. Pola tanam dilahan kering dataran tinggi pada umumnya berbasis palawija dan didominasi (79%) oleh tanaman jagung. Tanaman jagung (Zea mays L.) termasuk tanaman yang memiliki arti penting dalam perekonomian nasional (Sudaryanto, dkk, 1988). Oleh karena itu perhatian terhadap pengembangan komoditas jagung di lahan kering perlu terus ditingkatkan. Jagung yang ditanam petani di lahan kering kebanyakan jenis jagung putih varietas lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan, dan sebagai bahan industri pangan (marning, emping jagung dan lain-lain). Hingga saat ini masih sulit ditemui varietas unggul jagung putih bersari bebas. Hal ini merupakan salah satu penyebab tingkat produktivitas yang rendah bagi jagung lokal bahan pangan diberbagai wilayah seperti di Jawa Tengah rata-rata produktivitasnya 1,6 ton/ha. Rendahnya produktivitas jagung di tingkat petani disebabkan oleh berbagai masalah, antara lain adalah: (1) teknis produksi; (2) sosial ekonomi dan (3) managemen usahatani. Masalah teknis produksi
286
berhubungan dengan penggunaan varietas yang ditanam dan penerapan teknik budidaya. Sementara itu masalah sosial ekonomi antara lain berhubungan dengan ketersediaan input (sarana produksi, tenaga kerja dan modal) harga serta pemasaran hasil. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan hara N, P dan K yang optimal spesifik lokasi perlu dilakukan di samping akan menjamin pertumbuhan dan produktivitas jagung yang memuaskan, juga akan meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan petani, meskipun tinggi rendahnya tingkat produktivitas jagung putih di lahan kering juga disebabkan oleh terbatasnya tingkat pengelolaan usahatani seperti penggunaan benih berkualitas pengendalian hama/penyakit, gulma dan kecukupan air.
METODOLOGI PENGKAJIAN Pengkajian dilakukan di lahan kering milik petani pada sentra produksi jagung di Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Pengkajian pengelolaan hara spesifik lokasi menggunakan petak omisi (omission plot) adalah sebagai berikut. -
Tata letak petak omisi sejumlah lima petak, masing masing petak berukuran ± 6 x 4,2 m (15 tanaman x 7 baris, 2 tanaman per lubang, jarak tanam 40 x 70 cm). 6m
4,2 m
NPK + BO
NPK
NP
NK
PK
Takaran pupuk : - Pada perlakuan yang dipupuk N, takaran Urea 400 kg/ha. -
Pada perlakuan yang dipupuk P, takaran SP 36 200 kg/ha.
-
Pada perlakuan yang dipupuk K, takaran KCl 200 kg/ha.
Model Pendekatan Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi Pendekatan baru untuk rekomendasi pemupukan diusulkan dalam QUEFTS model yang pada awalnya dikembangkan untuk tanaman jagung di Afrika Timur (Jansen et al. 1990; Smaling and Janssen, 1993), dan selanjutnya diperbaiki dan digunakan dalam strategi pengelolaan hara spesifik lokasi pada padi Asia (Witt et al. 1999; Wang et al. 2001; Dobermann et al. 2002). Pada pendekatan fokus perhatian ditujukan untuk mengkuantitaskan kebutuhan hara N, P, dan K . FX(kg/ha)
UX
UX0x REX
Dimana : X : adalah unsur hara N, P, dan K. FX : adalah kebutuhan hara pupuk untuk mencapai target hasil tertentu. UX : adalah penyerapan hara tanaman optimal yang terprediksi untuk target hasil tertentu (kg/ha). UXox : Penyediaan hara asli tanah diukur berdasarkan penyerapan hara pada plot omisi (kg/ha). REX : Efisiensi penyerapan hara dari pupuk yang digunakan (%). Model penyerapan hara adalah serangkaian persamaan yang disusun ke dalam empat langkah sebagai berikut : 1.
Menduga potensi hara masing-masing N, P, dan K. Ini merupakan penjumlahan pasokan hara asli dari tanah dan dari pupuk yang tersedia bagi tanaman selama satu penanaman. Pasokan hara asli tanah diduga berdasarkan pengukuran tanaman (plot omisi hara) atau pun nilai uji tanah dengan menggunakan model yang terkalibrasi.
2.
Menduga serapan hara aktual sebagai fungsi pasokan potensial.
287
3.
Menduga kisaran hasil yang mungkin dicapai sebagai fungsi penyerapan hara (N, P, dan K) aktual didasarkan pada ‖amplop‖ yang menggambarkan kisaran hasil yang mungkin dicapai per unit penyerapan hara.
4.
Menduga hasil akhir pengintegrasikan kisaran hasil yang diperoleh untuk N, P, dan K.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil analisis tanah di lokasi pengkajian didapatkan bahwa lokasi kajian didominasi tanah andosol/inseptisol dimana pH asam berkisar 4,6 - 4.9; tekstur liat dengan kadar liat 59 - 80%; N total sangat rendah yaitu 0.08 - 0.09; C organik anatara 0.75 - 0.87%; P205 potensial sedang-tinggi; 14-40 mg/100g., K dapat ditukar rendah sampai sedang; 0,27-0.43 me/100 g; KTK: 19.08-28.19 me/100 g. Di samping itu umumnya di lokasi kajian kandungan P potensial semua tinggi dan P tersedia semuanya rendah. Kandungan K potensial berstatus sedang, tetapi K tersedia termasuk rendah. Dari hasil pengamatan terhadap tanaman jagung terlihat bahwa respon tanaman di semua lokasi tampak jelas terhadap pupuk N dan P, hal ini sesuai dengan kandungan N dan P tanah yang rendah. Pada perlakuan tanpa pupuk N atau tanpa pupuk P, terlihat tinggi tanaman berbeda nyata dengan tanaman yang diberi pupuk NPK, tetapi pada perlakuan tanpa K, tinggi tanaman tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk lengkap. Untuk tanaman yang tanpa diberi pupuk P terlihat kerdil, warna daun ungu, banyak yang tidak mampu menghasilkan tongkol. Tinggi tanaman jagung perlakuan tanpa pupuk P rata-rata hanya mencapai 145,5 cm, dan hasil ini tampak jauh dari tinggi tanaman yang diberi pupuk NPK + BO yang mencapai 229 cm. Pada perlakuan tanpa N , tinggi tanaman rata-rata mencapai 174,7 cm dan tanpa K adalah 203,5 cm. Pertumbuhan tanaman juga tercermin dalam berat brangkasan. Berat brangkasan kering terendah didapat pada perlakuan tanpa pupuk P yaitu 1,9 ton/ha, perlakuan tanpa pupuk N adalah 2.24 ton/ha dan hal ini jauh di bawah perlakuan pupuk NPK yang mencapai 4,34 ton/ha. Pada perlakuan pupuk tanpa K berat brangkasan mencapai 3,89 ton/ha yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk NPK lengkap. Dari hasil penambahan pupuk organik sebanyak 5 ton/ha berupa pupuk kandang sapi masih mampu meningkatkan berat brangkasan menjadi 5,53 ton/ha (Tabel 1). Penambahan pupuk organik di samping menambah unsur hara juga dapat memperbaiki kegemburan tanah di wilayah perakaran, memperbaiki lengas tanah, mengurangi kelarutan Al (Supadmo, dkk, 2004). Menurut Ar-RiZa (2002), penggunaan bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah terutama dalam meningkatkan kandungan C-organik, Ca, K, P, kapasitas tanah memegang air, menurunkan kejenuhan Al dan bulk density tanah. Selanjutnya dikemukakan bahwa pemberian pupuk organik dapat mengefisienkan penggunaan pupuk N buatan. Untuk meningkakatkan efisiensi dan efektifitas pupuk organik, khususnya pupuk kandang, pemberiannya dianjurkan pada lubang tugal tanaman. Oleh sebab itu untuk tetap mempertahankan tingkat kesuburan tanah pemberian pupuk organik perlu dilakukan. Tabel 1. Komponen Hasil Pengamatan Terhadap Tanaman Jagung Selama Pengkajian Perlakuan
Tinggi Tan. (cm)
Berat brks kering (t/ha)
Berat biji ka. 15,5% (t/ha)
PK 174,7 ab 2,24 ab NK 145,5 a 1,93 a NP 203,5 bc 3,89 bc NPK 215,6 c 4,54 c NPK + Org 229,0 c 5,53 c NPK - Luar 226,4 c 5,06 c Keterangan : angka pada kolom yang sama yang dikikuti dengan
Nisbah berat biji/tongkol
Nisbah berat biji/brks
1,93 a 0,693 ab 0,862 1,53 a 0,669 a 0,793 4,35 b 0,726 ab 1,12 4,96 b 0,751 ab 1,14 5,67 b 0,773 b 1,025 5,66 b 0,754 ab 1,119 huruf yang sama tidak beda nyata pada taraf 0.05 .
Dari Tabel 2 terlihat bahwa pada perlakuan tanpa pupuk P di semua lokasi pertumbuhannya kurang baik tetapi di lahan D masih agak baik dan masih memberi hasil 3.08 t/ha tetapi di lahan A dan B hanya mencapai sekitar 0,6 t/ha hal ini karena di lahan D kandungan P 2 O5 larut HCl mencapai 58 mg/100g sedang di lahan A dan B nilainya 33 dan 39 mg/100g. Di samping itu unsur Al terlarut juga berperan dalam kelarutan P karena Al di dalam tanah akan mengikat P menjadi suatu ikatan Al fosfat sehingga P tidak dapat diserap tanaman. Di lahan D dengan kadar P HCl 59 mg/100g dan Al 0,23 mg/100g hasil jagung tanpa pupuk P mencapai 3,081 t/ha tetapi di lahan E dengan P HCl 54 mg/100g dan Al 0,09 me/100g hasil jagung hanya mencapai 1,884 t/ha dan di lahan B HCl 39 me/100g Al 2,212 me/100g hasil jagung hanya mencapai 0,627 t/ha. Pada perlakuan tanpa pupuk K (perlakuan NP) hasil jagung tak berbeda nyata dengan pada perlakuan pupuk NPK maupun pupuk NPK + organik meskipun secara statistik tidak berbeda nyata penambahan pupuk
288
K sebanyak 200 kg/ha masih mampu meningkatkan hasil sekitar 600 kg/ha. Nampaknya tanah di lokasi kajian dengan status K sedang-tinggi respon tanaman jagung terhadap pupuk K rendah. Penambahan pupuk organik pada perlakuan pupuk NPK meskipun tak berbeda nyata tetapi masih meningkatkan hasil rata-rata 5 lokasi 700 kg/ha. Penambahan pupuk organik disamping menambah unsur hara juga memperbaiki kegemburan tanah. Hal ini sesuai pendapat Harjowigeno (1987) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk kandang selain dapat memberi tambahan unsur hara juga dapat memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan nilai tukar kation dan kegiatan biologi tanah. Tabel 2. Hasil Analisa Tanah, Hasil Jagung, Rekomendasi Pupuk dan Effisiensi Serapan Pupuk N, P, K di Kaloran, Kabupaten Temanggung. Unsur N total (%) C-organik (%) P2 O5 HCl (mg/100g) P2 O5 Bray (ppm) K2 O HCl (mg/100g) Kdd (me/100g) Aldd (me/100g) PK NK NP NPK NPK + Organik NPK Luar
A 0,07 0,84 33 2,4 42 0,76 0,53 2,000 0,610 2,848 3,940 4,092 5,348
N Urea
164 357
P2 O5 SP 36
69 192
K2 O KCl
110 183
N P K
0,173 0,143 0,187
B
Kooperator C Hasil analisis tanah
0,05 0,06 0,75 0,84 39 32,2 2,5 2,7 25 15 0,44 0,25 2,12 0,88 Hasil Jagung (t/ha, ka 15.5%) 2,762 0,443 0,627 1,461 5,335 4,018 6,452 4,581 6,867 4,763 6,638 5,933 Rekomendasi Pupuk (kg/ha) 164 198 357 430 71 197
78 216
87 39 145 65 Effisiensi serapan hara dari pupuk 0,309 0,292 0,230 0,094 0,244 0,350
D
E
Rata-rata
0,05 0,87 58 4,3 20 0,3 0,23
0,07 0,83 56 5,3 16 0,27 0,99
0,062 0,826 43,64 3,44 23,6 0,404 0,95
1,958 3081 4,835 4,696 5,489 5,078
2,505 1,884 4,703 5,151 7,118 5,323
1,934 1,533 4,348 4,964 5,666 5,664
165 359
181 393
174 378
55 153
60 167
67 185
43 72
37 62
63 105
0,221 0,114 0,534
0,218 0,226 0,274
0,243 0,161 0,296
Dari nilai serapan hara dan efisiensi serapan pupuk, arahan rekomendasi pupuk N, P dan K di lahan kering Desa Getas Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung sebagai berikut: Takaran pupuk N berkisar antara: 164-198 kg, setara pupuk Urea: 357-430 kg/ha, rata-rata Urea 378 kg/ha, takaran pupuk P berkisar antara 24-34 kg/ha setara P2 O5 55-78 kg/ha atau 153-216 kg/ha SP-36. Rata-rata di 5 lokasi tersebut 185 kg/ha SP-36. Takaran pupuk K berkisar antara 31-91 kg/ha setara K2 O 37-110 kg/ha atau 62-183 kg/ha KCl. Rata-rata 5 petani 105 kg/ha KCl. Dari tiga unsur tersebut takaran pupuk K variasinya masih cukup besar karena dari 5 lokasi lahan yang tanpa pupuk K sangat bervariasi hasil jagungnya yaitu berkisar dari 2,8485,335 t/ha. Untuk takaran N dan P variasinya tidak terlalu besar, karena pada perlakuan tanpa N hasil jagung mencapai sekitar 2 ton/ha, kecuali di lokasi lahan C hasilnya 0,443 t/ha. Hal ini dimungkinkan karena kadar liatnya sangat tinggi mencapai 80% (lihat Tabel 1), sehingga tanaman yang kekurangan N perakarannya sulit berkembang dan menderita defisiensi N, pertumbuhan terhambat, pembentukan tongkol terhambat. Demikian juga pada perlakuan tanpa P, hasil jagung yang sangat berbeda hanya di lahan lokasi D dengan hasil 3,081 t/ha sedang yang lain berkisar antara 0,610-1,884 t/ha.
289
KESIMPULAN 1.
Tanah di Desa Getas, Kecamatan Kaloran didominasi tanah andosol/inseptisol yang mempunyai pH asam, tekstur liat, kandungan NP dan bahan organik sangat rendah, K berstatus rendah, K berstatus rendah sampai sedang.
2.
Penambahan pupuk organik (pupuk kandang sampi 5 t/ha) pada perlakuan pupuk NPK lengkap masih meningkatkan hasil jagung dari kisaran: 3.940-6,452 ton/ha menjadi 4,092-7,118 ton/ha (rata-rata meningkat dari 4,964 ton/ha menjadi 5,667 ton/ha.
3.
Untuk menghasilkan jagung putih dengan rata-rata hasil 5 ton/ha serapan hara N: 14,140, P: 1,405 dan K: 18.530 ke/ton biji.
4.
Pada jagung putih dengan rata-rata hasil 5 t/ha efisiensi serapan pupuk N: 24%; P: 16% dan K: 30%.
DAFTAR PUSTAKA Ar-RiZa, I. 2002. Teknologi Aplikatif Produksi Padi Gogo di Lahan Kering Beriklim Basah. Prosiding Seminar Nasional Oertanian Lahan Kering dan Lahan Rawa, Banjarbaru, 18-19 Desember 2002. Dobermann, A.C. Witt, D.Dawe, G.C. Gines, R. Nagarjan, S. Satawathananont, T.T. Son, P.S. Tan, G.H. Wang, N.V. Chien. V.T.K. Thoa, C.V. Phung. P. Stalin, P.Muthukrishnan, V.Ravi, M. Babu, S. Chatuporn, M.Kongchum, C. Sun, R. Fu G.C. Simbahan and M.A.A. Adviento, 2002. Site- specific Nutrient Management For Intensive Rice Cropping Systems in Asia. Field Crops Res. 74: 37-66. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu tanah. Mediyatama Sarana Perkasa .Jakarta. IFA, 2002. Fertilizer use by crop. 5 ed. IFA, IFDC, IPI, PPI, FAO, Rome. Janssen, B.H.; F.C.T. Guiking; D.Van Der Eijk; E.M.A. Smaling, J.Wolf and H.Van Reuler, 1990. A System for Quantitative Evaluation of the Fertili of Tropical Soils (QUEFTS). Goederma 46: 299-318. Kondo, M. 1996. Interaction of Nutrien and water in upland rice with emphasis on root ecophysiology. Upland rice research in partnership. In : C. Pigin, B. Curtois, and V. Schmit (Eds). Pros. Of the Upland Rice Consortium Workshop. International Rice Research Institute. Manila. Phillippines Prasat, K. C.V. Singh. R.K. Singh, and K.C. Mathur. 1996. Upland rice in India Prospectts and prorities. Upland rice research in partnership. In : C. Pigin, B. Curtois, and V.Schmit (Eds). Pros. Of the Upland Rice Consortuis Workswhop. International Rice Research Institue Manila. . Phillippines Soepadmo, H., Forita , D.A, Dede Juanda J.S dan Sutrisno. 2004. Kajian Inovasi Teknolologi Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi pada Tanaman Jagung. Laporan Hasil Pengkajian BPTP Jawa Tengah. Witt, C., A. Dobermann, S. Abdurachman; H.C. Gines, G.H. Wang; R. Nagarajan, S. Satawathananont; T.T. Son; P. S. Tan; L.V. Tiuem, G.C. Simabahan and D.C. Olk. 1999. Internal Nutrient Efficiencies of Irrigated Lowland rice in Tropical and Sub Tropical Asia. Field Crops Res. 63: 113-138. Witt, C. V. Balasulabramaniam, A. Dobermann and R.J. Buresh, 2002. Nutrient Management P. 1-45. In. T.H. Fairhust and C. Witt (Ed) Rice : A Practical Guide to Nutrient Management PPI / PPC, IRRI, Singapure, Manila.
290