MASALAH DAN KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Ayip Muflich Diretur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa - Depdagri
PENDAHULUAN Ketahanan pangan merupakan permasalahan lintas sektoral yang dewasa ini muncul sebagai isu nasional seiring dengan merebaknya berbagai kasus rawan pangan di sejumlah daerah di Indonesia, sebuah negara yang konon ”subur-makmur-gemah lipah loh jinawi” yang setiap tahun produksi pertaniannya senantiasa surplus. Disamping itu, menjadi perhatian nasional tatkala di tingkat lokal, ketahanan pangan masyarakat menjadi melemah seiring dengan berbagai persoalan makro pasca krisis ekonomi dan lumpuhnya kelembagaan pangan lokal yang mengakibatkan ketidakberdayaan masyarakat dalam menjaga ketahanan pangannya di tingkat rumah-tangga maupun lokal. Ketergantungan terhadap pemerintah menjadi persepsi yang dominan mendasari sikap masyarakat. Kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan akibat bencana, dan konflik lokal yang berkepanjangan merupakan potret kondisi umum yang langsung dan tak langsung mempengaruhi ketahanan pangan masyarakat. Adakah yang bisa diperbuat untuk memberdayakan masyarakat khususnya dalam mendukung ketahanan masyarakat? Makalah ini mencoba menyoroti permasalahan dan kebijakan pemberdayaan masyarakat mendukung ketahanan pangan yang dilakukan Departemen Dalam Negeri. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Terminologi ”pemberdayaan masyarakat” (people empowerment) yang mulai populer pada tahun 80-an dan umumnya akrab digunakan di kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) saat ini telah ”menasional”. Dengan berbagai interpretasi yang bervariasi, saat ini hampir semua Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) memiliki program pemberdayaan masyarakat atau seti-
daknya concerns memberdayakan masyarakat sebagaimana terefleksi dalam Renstranya masing-masing. Demikian juga di Daerah, hampir semua Dinas/Instansi tak ketinggalan juga memiliki hal yang sama. Bahkan kalangan dunia usaha melalui berbagai perusahaan milik pemerintah maupun swasta pun juga menggemakan pemberdayaan masyarakat melalui komitmen penyediaan dana program Community Social Responsibility yang disisihkan dari keuntungan perusahaan. Berbagai LSM di Indonesia juga ikut menyuarakan jargon pembelaannya terhadap masyarakat melalui berbagai program advokasi dan pemberdayaan masyarakat. Berbagai model pemberdayaan masyarakat dalam dinamika pengembangannya tidak luput dari peran berbagai lembaga donor yang beroperasi di Indonesia. Masing-masing lembaga donor melalui berbagai program/proyek berbantuan luar negeri cenderung memiliki model dan kepentingan untuk ”menjual” modelnya sendiri-sendiri, sehingga menimbulkan situasi di lapangan yang tidak menggembirakan. Perbedaan pendekatan menimbulkan perbedaan perlakuan pada masyarakat dan berbagai implikasi yang ditimbulkannya. Proses replikasi model yang dianggap ”baik”, dengan penyederhanaan proses, terkadang sering menjadikan proses pemberdayaan (empowerment) berubah justru menjadi pelumpuhan masyarakat (community dis-empowerment). Hasilnya banyak daerah menjadi ”bingung” dan masyarakat malah menjadi semakin tergantung dan hanya bisa menunggu bantuan pemerintah. Dalam kontek ini, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) merupakan pelajaran berharga yang perlu kita dudukkan dalam perspektif pemberdayaan masyarakat yang lebih tepat. Melihat perkembangan yang sedemikian pesat dan cenderung kompleks tersebut, maka untuk mengawal proses koordinasi yang lebih baik dan menjamin terlaksananya pemberdayaan masyarakat secara efektif, di daerah dibentuk unit kerja otonom di bawah gubernur/ bupati/walikota yaitu Badan Pemberdayaan Ma-
107
syarakat (BPM) di tingkat provinsi dan Badan/ Dinas/Kantor Pemberdayaan Masyarakat di tingkat kabupaten/kota. Di beberapa daerah, nomenklaturnya bervariasi dan digabung dengan fungsi-fungsi lainnya karena proses reformasi birokrasi. Pemberdayaan masyarakat umum dikenal sebagai ”power transfer” kepada mereka yang tak berdaya agar mampu secara mandiri membuat keputusan atau tindakan yang terbaik untuk kehidupan ke depan. Dalam terminologi pembangunan, secara praktis diartikan sebagai upaya untuk memampukan, melibatkan, dan memberikan tanggung jawab yang jelas kepada masyarakat dalam pengelolaan pembangunan bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan. Aspek-aspek pemberdayaan masyarakat dilihat dari segi hak rakyat, menyangkut tiga dimensi, yaitu dimensi politik, ekonomi, dan sosial. Dari dimensi politik, pemberdayaan masyarakat dimaknai sebagai akses masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang melibatkan publik/masyarakat. Sementara dimensi ekonomi, pemberdayaan masyarakat dimaknai sebagai akses masyarakat atas sumber-sumber pendapatan untuk dapat hidup layak; dan dari dimensi sosial, pemberdayaan masyarakat dimaknai dengan akses masyarakat terhadap pelayanan sosial dasar (kesehatan, pendidikan, air bersih, permukiman, pangan, dll.) yang memerlukan keterlibatan fungsi pelayanan publik pemerintah. Dalam konteks ketahanan pangan, pemberdayaan masyarakat lebih dikaitkan dengan fungsi-fungsi bagaimana proses memampukan, melibatkan, dan memberikan (kewenangan) tanggung jawab kepada masyarakat untuk menjaga ketahanan pangan melalui kelembagaan pangan setempat (lumbung desa, Posyandu, dll). Tentu saja dalam hal ini termasuk juga dalam skala mikro ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/keluarga. Dalam situasi dimana problem kemiskinan meluas, angka pengangguran membengkak dan bencana alam yang merusak lingkungan penghidupan terjadi, maka sebagai efeknya masyarakat akan menghadapi persoalan ketahanan pangan. Permasalahannya menjadi semakin kompleks manakala kelembagaan pangan lokal tak lagi berfungsi sehingga hanya ada ”ketergantungan” yang tersisa di masyarakat. Dalam kondisi keuangan negara yang makin terbatas saat ini dan luasnya geografis
108
wilayah Indonesia, maka hal ini harus dihindari melalui tekad dan kemauan politik semua pihak untuk menggemakan dan membumikan dalam langkah nyata dengan program-program pemberdayaan masyarakat, termasuk pemberdayaan masyarakat untuk ketahanan pangan. Tinggalkan pikiran bahwa semua masalah hanya bisa diselesaikan secara nasional oleh pusat. Lupakan masa lalu bahwa kita pernah ”mengungkung” dan ”memasung” prakarsa dan inisiatif setempat melalui kebijakan sentralisasi. Sebaliknya serta baiknya diingat bahwa kearifan lokal yang harus didorong melalui prakarsa daerah/masyarakat dalam era otonomi daerah saat ini. Menyadari berbagai permasalahan tersebut, maka dalam menggelorakan gerakan pemberdayaan masyarakat secara nasional, pada tahun 2007 Pemerintah akan melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) sebagai wadah berbagai (puluhan) program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang tersebar di berbagai institusi pemerintahan tingkat pusat agar lebih terkonsolidasi dalam suatu gerakan terpadu dan terfokus. Didukung dengan optimalisasi fungsi koordinasi melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) dan jajarannya di daerah dengan TKPKD yang telah terbentuk di seluruh daerah, diharapkan persoalan penanggulangan kemiskinan bisa lebih dipercepat dan berlangsung efektif. Untuk menjamin hal ini, maka di setiap daerah telah pula diwajibkan menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang menjadi pegangan bersama. TKPKD dipimpin oleh wakil gubernur/wakil bupati/wakil walikota dan sekretariatnya di Badan Pemberdayaan Masyarakat setiap Daerah. Dalam SPKD, persoalan kemiskinan dan ketahanan pangan menjadi bagian yang sangat penting dan diangkat sebagai isu lintas sektoral yang memerlukan dukungan politik semua pihak yiatu: pemerintah, dunia usaha, dan civil sociaty. KETAHANAN PANGAN Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan memberikan definisi ketahanan pangan sebagai ”kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedia-
nya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Ketahanan pangan dapat dicapai, apabila ada sistem pangan nasional yang kuat, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia. Konsep ketahanan pangan berkaitan dengan beberapa konsep turunannya, yaitu kemandirian pangan yang menunjukkan kapasitas suatu kawasan (nasional) untuk memenuhi kebutuhan pangan secara swasembada (self sufficiency). Semakin besar proporsi pangan dan bahan pangan yang dipenuhi dari luar sistem masyarakat kawasan, maka semakin berkurang derajat kemandiriannya dalam penyediaan pangan dan begitu sebaliknya. Kemandirian pangan yang rendah juga ditunjukkan oleh lemahnya kapasitas kawasan (nasional) untuk menyediakan pangan bermutu, aman, dan terjangkau melalui usaha-usaha sendiri/ mandiri tanpa bantuan pihak lain. Konsep lain yang terkait dengan ketahanan pangan adalah yang kita kenal dengan “Kedaulatan Pangan”, yaitu selain memperhitungkan ketersediaan pangan secara memadai dan mandiri bagi masyarakat yang hidup pada kawasan bersangkutan, juga memperhitungkan siapa yang menguasai sumber-sumber pangan dan siapa yang termarjinalisasi atas sumbersumber pangan yang tersedia di kawasan tersebut. Semakin tinggi proporsi penguasaan sumber-sumber pangan, jumlah produksi, distribusi, kontrol mutu, dan keamanan pangan oleh anggota masyarakat lokal, maka semakin tinggi derajat kedaulatan pangannya. Begitu sebaliknya, jika proporsinya semakin rendah, maka keberdaulatan pangannya semakin lemah pula. Pada tataran regional, dijumpai agregasi beragam ketahanan sistem sosial masyarakat lokal yang secara bersama membangun sistem ketahanan pangan regional. Salah satu pendekatan dalam kerangka desain besar penguatan ketahanan pangan nasional adalah penguatan kelembagaan dan pengembangan kelembagaan baru dalam menopang ketahanan pangan. Dalam semangat desentralisasi, ketahanan pangan dapat diupayakan melalui penguatan dan memberdayakan infrastruktur kelembagaan pemerintahan (governmental institution empowerment) dalam kerangka penca-
paian program keamanan pangan. Swasta dan masyarakat umum merupakan komponen yang semestinya ikut berpartisipasi aktif dalam program ini. Pada tingkat regional, ketahanan pangan dikembangkan oleh sistem kelembagaan kolaboratif antar pihak yang mencakup tiga komponen, yaitu: (a) negara atau pemerintah sebagai aktor dan sekaligus regulator pembangunan, (b) pasar atau sektor swasta sebagai pelaku bisnis dan penggerak sistem perekonomian regional, (c) civil society masyarakat sipil yang diawali oleh beberapa jenis organisasi dan asosiasi kemasyarakatan serta kelembagaan adat. Pola pengembangan kelembagaan yang penting berikutnya adalah menumbuhkan kemitraan diantara tiga pihak tadi, baik di tingkat satuan wilayah antara lokal maupun regional. Satuan wilayah meliputi semacam kecamatan atau satuan wilayah ekositem tertentu. Pada tingkat lokal, sejarah lama sistem ekonomi produksi tradisional telah menemukan sistem ketahanan pangan asli (indigenuns food security institutions) yang cukup beragam di seluruh provinsi. Misalnya di Jawa Tengah, konsep lumbung padi yang menghimpun kelebihan hasil panen setiap rumah tangga petani untuk mengatasi kelangkaan di musim paceklik adalah aset kelembagaan yang tidak ternilai harganya. Namun demikian, perubahan sosial di perdesaan yang berlangsung secara dramatis selama 5 dekade terakhir telah menggerus eksistensi kelembagaan pangan lokal ini dan menggantikannya dengan sistem pengadaan pangan berbasiskan ekonomi transaksional yang sangat tergantung pada fluktuasi supply dan demand (pasar) pangan yang rawan pengaruh eksternal. Situasi dan kondisi ketersediaan, distribusi dan harga pangan di daerah, tidak terlepas dari peran pemerintah daerah dalam memantau situasi pangan di wilayah masing-masing. Oleh karena itu, koordinasi di daerah menjadi sangat penting. Peran gubernur dan bupati/walikota selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan di daerah, dituntut lebih proaktif dalam menganalisa dan mengevaluasi hasil pemantauan terhadap situasi dan kondisi ketersediaan, distribusi dan harga pangan di masing-masing wilayahnya. Saat ini, kelembagaan ketahanan pangan di Indonesia dengan berbagai perangkat dan tata kelembagaan yang ada ternyata belum
109
mampu mengantisipasi, mencegah dan menangani persoalan rawan pangan dan gizi buruk. Sementara kelembagaan pangan lokal sebagai struktur penting penopang sistem ketahanan pangan telah banyak mengalami pelumpuhan, marjinalisasi, serta digantikan oleh pranata formal yang terkesan asing bagi komunitas tertentu. Oleh karenanya, upaya pemberdayaan sekaligus merekonstruksi kelembagaan ketahanan pangan asli untuk mengatasi masalah rawan pangan dan gizi buruk di Indonesia menjadi penting dilakukan. Hal ini dilandasi atas kenyataan, bahwa kelembagaan ketahanan pangan asli (ketahanan pangan masyarakat) telah lama diyakini berhasil dalam menopang sistem ketahanan pangan, terutama di perdesaan atau pada tataran lokalitas mikro di masa lalu. Kehadiran kelembagaan pangan formal dan mekanisme distribusi pangan yang sepenuhnya mengandalkan mekanisme pasar telah meminggirkan eksistensi kelembagaan pangan asli yang selama ini menopang sistem ketahanan pangan masyarakat. Kehilangan aset kelembagaan sosial pangan akan memberikan implikasi yang sangat signifikan pada kapasitas ketahanan pangan masyarakat, terutama bagi komunitas di kawasan terisolasi atau rumah tangga pada lapisan sosial terendah (miskin), dimana aksesibilitas terhadap pangan sangat rendah. Pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan sosial pangan asli yang mampu menyediakan sistem ketahanan pangan handal di tingkat lokal perlu memperhitungkan semua permasalahan dan isue-isue yang terkait dengan upaya untuk merevitalisasinya. PERMASALAHAN Mencermati berbagai persoalan ketahanan pangan selama ini, maka tidak berlebihan bila mekanisme antisipasi kerawanan pangan model lumbung pangan atau modifikasi model lumbung pangan dapat dihidupkan dan dikembangkan lagi di berbagai kawasan. Persoalannya adalah sejumlah persyaratan dan asumsi seperti sistem pelapisan sosial, sistem nilai ekonomi, dan struktur ekonomi yang perlu dikaji ulang untuk perekayasaannya. Oleh karena itu berubahnya struktur sosial dari orientasi nilai budaya masyarakat desa ke arah sistem ekonomi yang profit oriented dan makin kapitalistik agak sulit rasanya mengembangkan kelembagaan-kelembagaan berbasiskan kolektivi-
110
tas lokal dan solidaritas sosial yang tinggi. Namun demikian, upaya ke arah pembentukan dan penumbuhan semacam lumbung dapat tetap memberikan harapan selama masih ada kemauan ke arah tersebut. Melalui Kepmendagri dan Otda No. 6 tahun 2001 tentang Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat Desa/Kelurahan, Departemen Dalam Negeri secara berkelanjutan telah mendorong proses pemberdayaan masyarakat melalui fasilitasi untuk berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan asli dan lokal dalam bentuk lumbung pangan masyarakat. Kehadiran kelembagaan ini, dimaksudkan untuk mendorong partisipasi masyarakat di bidang pangan sesuai dengan potensi modal sosial yang selama ini telah terbentuk di tingkat grass root/lokal. Kelembagaan tersebut difasilitasi dengan tetap mempertahankan fungsi sosial ke arah usaha yang berorientasi ekonomi sebagai pelengkap penunjang sistem ketahanan pangan lokal secara dinamis. Namun demikian persoalannya adalah kelembagaan sejenis lumbung pangan masyarakat, terasa sulit untuk mampu berperan dalam kerangka antisipasi kerawanan pangan pada masyarakat dalam komunitas lokal, mengingat mekanisme operasionalisasi kelembagaan lumbung pangan masyarakat menganut azas koperasi dan hanya terbatas melayani anggotanya. Merujuk Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan, mekanisme antisipasi kerawanan pangan dapat dikembangkan pula dengan memodifikasi kelembagaan pangan lokal sejenis lumbung di setiap desa. Kelembagaan pangan lokal dalam bentuk lumbung desa diharapkan mampu hidup dan tumbuh kembali sebagai Lembaga Cadangan Pangan Pemerintah Desa, yang memiliki peran dan fungsi sebagai unit pelayanan pemerintah di bidang pangan tingkat lokal (lini pertama), maupun sebagai stok pangan lokal semacam ”Bulog” di tingkat desa. Namun demikian, persoalannya tidak semudah yang dibayangkan. Dari 19.000 Lumbung Pangan Masyarakat Desa (LPMD) yang terdaftar di Depdagri pada tahun 2002, saat ini yang aktif hanya tinggal 5.140 buah dan itu pun kebanyakan di Jawa. Sementara pengembangan kelembagaan Cadangan Pangan Pemerintah Desa hanya berlanjut di beberapa desa saja dan itu pun sebagian besar masih berpikir
menggantungkan pada intervensi pemerintah pusat bila sewaktu-waktu ada kerawanan. Dalam perspektif ketahanan pangan maupun pemberdayaan masyarakat, fenomena ini cukup berbahaya dan perlu segera diluruskan kembali untuk format awalnya. Eksistensi peran dan fungsi lembaga pangan lokal (lumbung) ke depan, baik yang dikelola oleh masyarakat maupun pemerintah desa akan mencerminkan kondisi dimana masyarakat desa memiliki kemampuan dalam mengelola aspek ketersediaan, distribusi pangan, meningkatkan akses terhadap pangan, mengelola konsumsi pangan dengan gizi berimbang dan aman, serta mampu mengatasi masalah pangan. Persoalan rawan pangan dan kasus gizi buruk yang merebak di berbagai wilayah, salah satunya disebabkan oleh ketidakberfungsian dan peminggiran kelembagaan pangan lokal dan kelembagaan pangan asli, seperti lumbung ataupun kelembagaan Posyandu. Ke dua bentuk kelembagaan tersebut selama ini berfungsi sebagai infrastruktur sosial penopang sistem ketahanan pangan lokal-daerah yang mampu memelihara status gizi dan pangan penduduk lokal hingga satuan desa atau bahkan dusun/kampung. Proses modernisasi suplai pangan dimana kelembagaan distribusi dan kelembagaan stok pangan formal yang mengandalkan sepenuhnya pada mekanisme pasar dan beroperasi luas hingga ke pelosok desa telah mengubah tata pengelolaan pangan dari basis lokal ke basis pasar serta kekuatan negara (pusat) yang bermain di sektor pasar. Dalam pola yang demikian, pasokan pangan menjadi sangat riskan, karena hanya mengandalkan bekerjanya logika pasar yang mengedepankan insentif dan profit. Dengan demikian, distribusi pangan hanya akan terselenggara secara efektif pada area yang menguntungkan secara ekonomi. Sementara pada kawasan dan lapisan masyarakat lokal yang tidak profitable, pasar tidak akan mampu menyentuh mereka. Artinya, mekanisme pasar menjadi tidak efektif untuk menjaga ketersediaan pangan dan mendistribusikan bahan pangan hingga ke wilayah-wilayah yang secara spasial terisolasi ataupun tidak terjaga secara memuaskan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pada dasarnya, persoalan kerawanan sistem ketahanan pangan di tingkat mikro-lokal yang disebabkan oleh ketiadaan mekanisme
ketahanan pangan asli di tingkat komunitas lokal (desa-kampung) hingga tingkat rumah tangga, diduga kuat berkaitan dengan ”hancurnya” kelembagaan pangan asli dan lokal yang selama ini telah tumbuh. Kelembagaan rumah tangga sebagai basis terakhir dan sistem terkecil ketahanan pangan, dimana individuindividu memperoleh jaminan kecukupan pangan, seolah-olah bekerja sendirian dalam mempertahankan status pangan, persoalan rawan pangan, dan gizi buruk para anggotanya. Dari prespektif sosiobudaya, ketidakberdayaan peran kelembagaan dalam menjamin ketersediaan menjadi titik paling krusial sistem ketahanan pangan secara keseluruhan. Ketidakberdayaan kelembagaan terjadi di berbagai tingkatan. Pada tingkat birokrasi pemerintahan, dijumpai ketidakberfungsian kelembagaan yang relevan dalam pengembangan sistem ketahanan pangan. Dewan Ketahanan Pangan/ Badan Ketahanan Pangan Daerah dinilai kurang optimal secara fungsional dan secara politis dalam memperjuangkan strategi penjaminan akses pangan bagi masyarakat. Di sisi lain, di beberapa daerah dinilai masih belum menunjukkan komitmen dan keberpihakan kepada eksistensi kelembagaan lokal pangan di daerah masing-masing. Pada tataran operasional, tugas aparat pemerintah pada beberapa instansi teknis di daerah belum menunjukkan adanya sinkronisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan program ketahanan pangan di daerah masing-masing, hal ini disebabkan instansi masing-masing tidak mempunyai tugas yang jelas dan hanya terfokus pada pelaksanaan program tersebut. Komitmen sektor swasta dalam industrialisasi ketahanan pangan masih belum optimal. Apabila ada, fungsi pelayanan terhadap masyarakat dalam hal ketahanan pangan dan pemenuhan kualitas gizi masih sebatas jargon dalam strategi besar corporate social responsibility and community development. Sementara persoalan struktural kelembagaan pangan lokal berbenturan dengan sistem ketahanan pangan formal dan struktur-struktur ketahanan pangan nasional (pasar) yang bekerja di tingkat lokal. Struktur formal tersebut sulit mampu menjangkau dan dijangkau oleh sebagian komunitas lokal, sehingga akses pangan menjadi tidak merata. Rawan pangan dan gizi buruk dalam konteks struktural adalah kegagalan pasar (market-failure) dalam distribusi pangan dan pemberi akses pangan ke semua pihak.
111
Stok pangan nasional yang terpusat dan merupakan kebijakan pemerintah, selama ini tidak memberikan ruang yang memadai dan memungkinkan bagi kelembagaan pangan lokal untuk berkembang dengan baik. Sementara kelembagaan pangan lokal seperti Lumbung Pangan Masyarakat Desa (LPMD) ataupun Cadangan Pangan Pemerintah Desa yang diharapkan bisa berkembang, terasa tidak mudah untuk menumbuh-kembangkan dalam ”zaman modern” sekarang ini, kecuali secara politis terdukung dan secara teknis ada modifikasi fungsi yang progresif dari fungsi sosial ke sosial dan ekonomi produktif. Era otonomi daerah yang diharapkan mampu memberikan angin segar terhadap perubahan pola pengelolaan ketahanan pangan yang lebih terdesentralisasi dan menghargai aset kelembagaan pangan lokal, ternyata belum cukup mampu mengangkat modal sosial pangan lokal untuk berkembang. Justru sebaliknya, ketergantungan pada pemerintah pusat dalam sistem distribusi pangan semakin kuat. KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Upaya pemberdayaan masyarakat dalam konteks ketahanan pangan dapat dilakukan melalui: 1. Mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan di daerah melalui pemantapan, pengembangan, aktualisasi pendekatan program pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan ketahanan pangan dalam skala lokal maupun regional, yang dilaksanakan melalui: (a) penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang sensitif terhadap upaya peningkatan ketahanan pangan dalam skala regional dan lokal; (b) penguatan institusi percepatan penanggulangan kemiskinan melalui pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPD) untuk mengawal pelaksanaan SPKD yang menjadi komitmen lintas sektor di daerah; (c) pelaksanaan gerakan nasional keberpihakan dan kepedulian pada masyarakat miskin melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM); dan (d) pola kemitraan dalam sistem ketahanan pangan yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat
112
sipil harus dibangun dan dikembangkan di semua daerah, agar tersusunnya strategi ketahanan pangan yang baik dan berbasiskan pada proses dialog, saling pengertian, apresiasi dan mutual respect. 2. Merevitalisasi, merekonstruksi, dan memberdayakan kelembagaan pangan asli dalam rangka meningkatkan sistem ketahanan pangan di tingkat lokal melalui: (a) revisi Kepmendagri dan Otda No. 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat dan Desa/Kelurahan beserta pedoman umumnya, untuk disesuaikan dengan perkembangan permasalahan dan tuntutan dinamika di lapangan; (b) menghidupkan kembali unit pelayanan pemerintah di bidang pangan kepada masyarakat setempat melalui penerapan sistem penyediaan Cadangan Pangan Pemerintah Desa sesuai Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan dan didukung dengan penyediaan sebagian Alokasi Dana Desa (ADD) di seluruh desa untuk Cadangan Pangan Pemerintah Desa ini. Mengingat nilai strategis soal pangan dan timbulnya kerawanan pangan akhir-akhir ini, maka mulai tahun 2007 mendatang seluruh desa, terutama di daerah-daerah yang rawan pangan, sudah harus memiliki Cadangan Pangan Pemerintah Desa dalam berbagai bentuk yang umumnya dalam bentuk kelembagaan Lumbung Pangan; dan (c) mempertahankan dan bahkan lebih mengembangkan kelembagaan pangan lokal berbasis pemberdayaan masyarakat dalam bentuk Lumbung Desa sebagai model pengembangan alternatif yang relevan dalam rangka menangani dan mencegah kerawanan pangan dan gizi. Hal ini penting agar masyarakat desa memiliki kemampuan mengelola ketersediaan dan distribusi pangan, meningkatkan akses terhadap pangan, serta mengelola konsumsi pangan secara berkelanjutan. 3. Merevitalisasi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia sebagai aktualisasi nyata pertisipasi masyarakat dalam pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat dan didukung dengan peran aktif Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan kader-kader PKK di bawah pembinaan Tim Penggerak PKK secara berjenjang. Dinamika masyarakat dalam proses revitalisasi ini akan
didukung dengan para fasilitator umum tingkat desa yang disebut dengan Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dan saat ini Depdagri sedang menyiapkan keberadaan KPM paling tidak 10 orang KPM per desa/kelurahan. 4. Menumbuh-kembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan berbagai usaha produktif di dalamnya, termasuk usaha bidang pangan sesuai PP No. 72 tahun 2005 tentang desa, guna menjamin akses sumber pendapatan keluarga dan mendukung pelaksanaan otonomi desa. Dalam kaitan dengan ini, perlindungan dan pengembangan Warung Desa sebagai unit distribusi pangan saat ini sedang dalam pemikiran untuk dikembangkan, seiring dengan mengguritanya waralaba dengan mega kapital ke perdesaan. 5. Mengawal dan mendorong regulasi di daerah yang lebih memberikan peluang bagi upaya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kemampuan masyarakat, pelibatan masyarakat serta pemberian tanggung jawab yang jelas. Kini saat kita harus meyakinkan masyarakat terutama di perdesaan bahwa mereka sesungguhnya memiliki potensi kemampuan, mengetahui apa yang dibutuhkan, dan sadar akan tanggung jawabnya untuk ikut serta mensukseskan berbagai program pembangunan. Hanya saja, mereka perlu diberi kesempatan dan tempat yang tepat sesuai kemampuannya, serta pendampingan yang diperlukan agar tidak senantiasa tergantung pada pihak lain, termasuk dalam upaya menjaga ketahanan pengan masyarakat. PENUTUP Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi yang sangat penting bagi upaya meningkatkan ketahanan pangan khususnya di tingkat lokal yang pelaksanaannya membutuh-
kan dukungan penuh dan konkrit dari semua pihak dalam upaya untuk memampukan, melibatkan, dan memberikan tanggung jawab yang lebih jelas kepada masyarakat dalam mengelola ketahanan pangan di tingkat lokal. Kelembagaan pangan lokal seperti Lumbung Pangan Masyarakat Desa (LPMD), Posyandu, dan lainnya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sebagai aktualisasi proses pemberdayaan masyarakat, secara progresif perlu terus di dorong untuk semakin berkembang fungsinya dengan menyesuaikan pada kebutuhan dan dinamika tuntutan masyarakat. Untuk efektivitas upaya meningkatkan ketahanan pangan terkait dengan kondisi permasalahan kemiskinan di Indonesia, maka sinkronisasi gerak langkah dalam kerangka program kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dipandang merupakan langkah strategis yang harus dilakukan terutama dalam pelaksanaan agenda ketahanan pangan dalam dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang ada di masing-masing daerah. Departemen Dalam Negeri melalui Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) sebagai lembaga pemerintah yang memperoleh mandat untuk mengemban misi koordinasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di Indonesia, siap bekerja sama untuk dapat memainkan peran mediasi dan fasilitasi berbagai aspek kebijakan dan program-program ketahanan pangan berbasis pemberdayaan masyarakat. Pada akhirnya, keberhasilan berbagai upaya peningkatan ketahanan pangan di Indonesia terutama ketahanan pangan masyarakat akan terletak pada bagaimana berbagai komponen bangsa mampu digerakkan melalui proses interaksi stakeholders yang dijiwai dengan semangat dan komitmen untuk benar-benar mau memberdayakan masyarakat.
113