KEBIJAKAN DAN PERMASALAHAN PENYEDIAAN TANAH MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Iwan Isa Direktur Penatagunaan Tanah, BPN-RI
PENDAHULUAN Produksi pangan dalam negeri menjadi unsur utama dalam memperkuat ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan. Upaya ke arah itu menjadi strategis di masa datang. Dalam konteks pertanahan upaya peningkatan produksi tersebut dapat ditempuh melalui dua hal, yaitu: jaminan ketersediaan tanah pertanian (land availability) dan peningkatan akses masyarakat petani terhadap tanah pertanian (land accessibility). Ketersediaan akses terhadap tanah hingga saat ini masih merupakan isu penting di Indonesia, yang dicirikan dengan terjadinya ketimpangan dalam alokasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah antar sektor khususnya antara sektor pertanian dan nonpertanian, yang berdampak kepada penyusutan tanah pertanian terutama tanah pertanian tanaman pangan. Hal ini secara langsung merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan yang dapat berdampak kepada goncangan politik di masa mendatang. Saat ini Indonesia masih merupakan salah satu negara yang harus mengimpor produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Selain itu, mengingat mayoritas masyarakat Indonesia berprofesi petani, maka penyusutan tanah tersebut dapat berdampak kepada terjadinya pengangguran secara masal tenaga kerja pertanian. Sehubungan dengan itu, dalam paper ini akan diuraikan secara singkat tentang kondisi pengunaan tanah, penguasaan tanah, dan kebijakan penyediaan dan akses terhadap tanah. Kemudian diuraikan juga upaya-upaya yang diambil Badan Pertanahan Nasional RI dalam mendukung program ketahanan pangan. PENGGUNAAN TANAH Dari sekitar 192 juta hektar luas daratan Indonesia, ± 123 juta hektar merupakan
82
tanah kawasan hutan. Namun sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, dari 192 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) diantaranya harus digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal budidaya. Sebanyak 57,74% kawasan budidaya tersebut masih berupa hutan. Sebaliknya 12 juta ha atau 18% dari luas kawasan lindung telah diupayakan dengan berbagai kegiatan budidaya. Selanjutnya apabila dipilah antara tanah yang layak dan tidak layak untuk usaha pertanian kemudian dibagi dengan jumlah penduduk agraris, sebenarnya tanah yang tersedia untuk masing-masing tidak terlalu luas. Hanya di Pulau Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya ketersediaan tanah yang layak untuk pertanian per penduduk agraris di atas satu hektar. Sedangkan di Jawa, tanah yang layak untuk pertanian per penduduk agraris kurang dari seperempat hektar. Sementara itu, tanah yang layak untuk pertanian yang luasnya terbatas tidak selalu dimanfaatkan secara tepat. Banyak usaha pertanian di Indonesia yang kurang mendukung pelestarian lingkungan hidup atau tidak dapat bertahan lama secara ekonomis. Kecuali perkebunan, hanya sedikit usaha pertanian yang dirancang untuk perdagangan antarwilayah maupun perdagangan internasional. Selebihnya hanya untuk mendukung kehidupan petani sehari-hari atau hanya untuk perdagangan setempat. Pola pembangunan pertanian dengan penekanan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari tidak banyak berubah sejak masa lampau. Ketika program transmigrasi sedang dilaksanakan secara besar-besaran, pola yang banyak dilaksanakan adalah pola tanaman pangan semusim, walaupun sumberdaya alam yang tersedia lebih layak untuk tanaman keras seperti buah-buahan tropis. Akibatnya, tanah luas yang dirubah menjadi tanah pertanian tidak banyak menyumbang secara berarti kepada peningkatan produksi pangan nasional, maupun produksi pertanian nonpangan.
Di sisi penggunaan tanah, saat ini diperkirakan banyak tanah-tanah yang belum dimanfaatkan secara efisien bahkan banyak yang tidak atau belum dimanfaatkan sama sekali. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain. Faktor tersebut antara lain adalah penguasaan tanah secara absentee, penguasaan tanah untuk tujuan spekulasi, tanah-tanah dalam persengketaan, kekurangan modal, penguasaan tanah yang terlalu luas, tanah-tanah yang terlalu sempit sehingga tidak efisien bila diusahakan, tanah kurang subur dan faktor lainnya. Indikasi sementara menunjukkan tanah-tanah yang belum dimanfaatkan secara efisien pada umumnya terletak di wilayahwilayah pedesaan di pinggiran kota besar. Oleh karenanya hambatan sarana dan prasarana produksi pertanian bagi pemanfaatannya diperkirakan tidak akan terlalu berat. Permasalahan timbul terutama menyangkut aspek legalitas. Tanah tersebut pada umumnya tanah dilekati oleh hak-hak atas tanah yang sekaligus memberikan kewenangan kepada pemilik tanah untuk menguasai dan mengelola tanahnya. Oleh karena itu perlu diupayakan penertiban tanah-tanah terlantar tersebut oleh pemerintah baik melalui langkah persuasif maupun penegakan hukum. PENGUASAAN TANAH Orientasi pengelolaan pertanahan di waktu lampau tidak diarahkan kepada upaya pemerataan aset produksi. Tanah lebih ditekankan sebagai aset produksi dan dialokasikan kepada sektor ekonomi kuat dan besar, karena diyakini akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akibatnya petani kecil semakin terpinggirkan dan menjadi penggarap yang semakin kecil atau menjadi buruh tani. Akibatnya petani miskin bertambah miskin, hal ini semakin parah karena tanah pertanian juga diubah menjadi daerah perumahan, perluasan kota, pengembangan prasarana, dsb. Keadaan ini juga berdampak kepada meningkatnya konflik-konflik pertanahan. Di satu pihak, petani kecil membutuhkan tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup mereka, sedangkan pihak lainnya (wirausahawan) pada umumnya memerlukan tanahtanah tersebut untuk mengembangkan kegiatan usaha ekonomi.
Dalam kurun waktu 3 dekade terakhir pola konflik pertanahan menjadi lebih bersifat vertikal, dalam arti konflik tersebut ditandai dengan adanya perebutan hak atas tanah antara masyarakat di satu sisi dengan negara (instansi pemerintah tertentu) dan pemilik HGU. Sebagai contoh, maraknya konflik mengenai tanah-tanah perkebunan (HGU), akibat penggarapan tanah perkebunan oleh masyarakat, baik tanah perkebunan yang terlantar atau tidak, baik yang HGU-nya sudah berakhir maupun yang belum. Masalah tersebut perlu segera diselesaikan. Untuk itu Badan Pertanahan Nasional RI telah membentuk satu kedeputian khusus untuk mengkaji dan menyelesaikan konflik pertanahan. Dengan demikian penyelesaian konflik pertanahan akan lebih terfokus dan sekaligus dapat lebih memberikan akses kepada masyarakat kecil untuk menguasai tanah. Hal ini tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi petani, tetapi juga memberikan peluang untuk mengembangkan kemampuannya. Optimalisasi penguasaan dan penggunaan tanah melalui program landreform merupakan suatu alternatif strategis baik dalam rangka penyediaan tanah bagi masyarakat luas, pewujudan fungsi sosial hak atas tanah dan sekaligus menunjukan keberpihakan pemerintah kepada perekonomian rakyat kecil di sektor pertanian. Langkah ini penting, tidak saja bagi pembangunan sektor pertanian dalam jangka panjang yakni dengan meningkatnya efisiensi pemanfaatan tanah, tetapi juga dalam mengatasi kondisi kelangkaan tanah bagi masyarakat pedesaan dan pengentasan kemiskinan (poverty aleviation). Peningkatan akses terhadap tanah melalui landreform merupakan salah satu strategi pengentasan kemiskinan. KEBIJAKAN PERTANAHAN DAN PELAKSANAANNYA Dasar kebijakan pertanahan adalah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 5 tahun 1960 (UUPA). Pada pasal 2 ayat (1) UUPA ditegaskan lagi bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya
83
pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa hak menguasai dari negara memberikan wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. c.
Menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Terhadap azas “negara menguasai” tersebut, maka dalam hubungan antarnegara dan masyarakat, kedudukan masyarakat tidak dapat di subordinasikan di bawah negara, karena justru negara menerima kuasa dari masyarakat untuk mengatur tentang peruntukan, persediaan dan penggunaan tanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas. Kewenangan mengatur oleh negara pun dibatasi, baik oleh UUD maupun relevansinya dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam perjalanannya, implementasi ketentuan UUPA banyak menghadapi kendala yang berdampak kepada permasalahan-permasalahan pertanahan. Permasalahan Pertanahan tersebut disebabkan oleh berbagai kerancuan normatif dan implikatif dalam pengelolaan sumberdayanya antara lain: 1. Terdapat kecenderungan pelaku ekonomi untuk melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya tanah secara berlebihan dan dipusatkan untuk pemenuhan jangka pendek serta manfaatnya hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. 2. Tanah dianggap sebagai mekanisme akumulasi modal yang berakibat terpinggirkannya hak-hak pemilik tanah pertanian, sehingga pemilikan/penguasaan tanah semakin timpang, luas tanah yang dikuasai golongan ekonomi lemah terutama petani terus menyusut yang disertai meningkatnya jumlah petani gurem dan buruh tani. 3. Seiring dengan perkembangan kapitalisme, nilai tanah hanya dilihat berdasarkan nilai ekonomisnya (tanah hanya dianggap seba-
84
gai komoditas), sehingga nilai-nilai sosial tanah menjadi terabaikan. 4. Globalisasi ekonomi mendorong pembangunan pada masa yang lalu yang berdasarkan atas pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pertanahan dan operasionalisasinya yang semakin adaptif terhadap mekanisme pasar, namun belum diikuti dengan penguatan akses rakyat dan masyarakat hukum adat/tradisional/lokal terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah. 5. Kenyataan tersebut difasilitasi oleh peraturan perundang-undangan sektoral yang tumpang tindih, bahkan bertentangan satu sama lain, ditambah lagi dengan inkonsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya. UPAYA BADAN PERTANAHAN NASIONAL RI Permasalahan-permasalahan pertanahan tersebut dapat melemahkan ketahanan pangan karena sulitnya mendapatkan tanah untuk keperluan usaha pertanian dan mengancam kelangsungan kehidupan bangsa di kemudian hari. Oleh karena itu harus segera diupayakan langkah-langkah penyelesaiannya. Desakan masayarakat luas untuk melakukan pembaruan agraria melalui suatu reformasi dinilai sangat tepat. Namun demikian, haruslah disadari bahwa permasalahan tersebut bukanlah semata-mata dampak dari kelemahan hukum dan tata laksana pertanahan semata, melainkan dampak kumulatif dari suatu proses pembangunan yang lebih menyeluruh. Oleh karena itu, reforma agraria yang dipandang perlu dilaksanakan, tidaklah akan memberikan hasil berarti apabila tidak disertai dengan reformasi kebijakan pembangunan nasional sektor-sektor lain. Dalam kaitannya dengan pembangunan pedesaan dan pertanian, Badan Pertanahan Nasional dewasa ini sedang menjalankan Upaya Perlindungan Tanah Pertanian Produktif serta Program Penguatan Hak-Hak Rakyat atas Tanah dan Pemberdayaannya, melalui (1) redistribusi tanah dengan pemberian hak milik atas tanah (termasuk sertifikat tanah), dilanjutkan dengan (2) konsolidasi ta-
gangan dan jasa-jasa lainnya yang memerlukan tanah yang luas, sebagian diantaranya berasal dari lahan pertanian termasuk sawah.
nah, kemudian (3) kemitraan dengan pengusaha ataupun secara mandiri oleh petani. Perlindungan Tanah Pertanian Produktif Ditinjau dari aspek pertanahan, pengembangan sektor pertanian dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain: •
Terbatasnya sumberdaya tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian
•
Sempitnya tanah pertanian per kapita penduduk Indonesia
•
Makin banyaknya jumlah kepala keluarga petani gurem
•
Cepatnya konversi tanah pertanian menjadi nonpertanian.
3.
Faktor ekonomi, yaitu tingginya tingkat keuntungan (land rent1 atau rentabilitas lahan) yang diperoleh sektor nonpertanian dan rendahnya land rent dari sektor pertanian itu sendiri.
4.
Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian sehingga tidak memenuhi skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
5.
Degradasi lingkungan, antara lain kemarau panjang yang menimbulkan kekurangan air untuk pertanian terutama sawah; penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan yang berdampak pada meningkatnya serangan hama tertentu akibat musnahnya predator alami dari hama yang bersangkutan serta meracuni air irigasi; rusaknya lingkungan sawah sekitar pantai mengakibatkan terjadinya intrusi air laut ke daratan, yang berpotensi meracuni tanaman padi.
Tingginya konversi tanah pertanian menjadi nonpertanian dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sebagai berikut: •
Menurunnya produksi pangan yang menyebabkan terancamnya ketahanan pangan.
•
Hilangnya mata pencaharian petani yang menimbulkan pengangguran, dan pada akhirnya memicu masalah sosial.
•
Hilangnya investasi infrastruktur pertanian (irigasi) yang menelan biaya sangat tinggi.
Sampai saat ini, undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan dan pengendalian tanah pertanian produktif belum diterbitkan. Ketentuan perlindungan terhadap tanah sawah beririgasi teknis tertuang dalam berbagai peraturan/keputusan/surat edaran menteri dan Kepala BPN sampai dengan peraturan daerah. Namun demikian, peraturan tersebut belum mampu mengendalikan konversi tanah sawah secara efektif; oleh karena itu diperlukan suatu peraturan setingkat undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan tanah pertanian. Faktor-faktor yang menyebabkan cepatnya konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian antara lain: 1.
2.
Faktor kependudukan: pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya. Kebutuhan tanah untuk kegiatan nonpertanian antara lain pembangunan real estate, kawasan industri, kawasan perda-
Selain itu, sebagai acuan bagi pemerintah, pihak swasta dan masyarakat, kiranya perlu ditetapkan zonasi tanah pertanian yang dilindungi (tidak dapat dikonversi) dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan/ Peraturan Presiden yang mengikat baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dengan demikian, upaya pengendalian alih fungsi tanah pertanian subur dapat berjalan efektif dengan tidak mengabaikan hak-hak keperdataan masyarakat dan kepentingan pembangunan yang berkelanjutan. Khusus untuk bidang pertanahan, ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat diaplikasikan dalam menindaklanjuti permohonan administrasi pertanahan pada tanah-tanah pertanian. Kebijakan bidang pertanahan dalam rangka pengendalian konversi tanah pertanian adalah terintegrasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pasal 10 Peraturan Peme1
Land rent merupakan kontribusi faktor produksi lahan untuk setiap aktivitas yang dilaksanakan di atasnya. Land rent merupakan selisih antara total penerimaan dengan total pengeluaran faktor-faktor produksi kecuali lahan.
85
rintah nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah menetapkan bahwa setelah penetapan RTRW, penyelesaian administrasi pertanahan hanya dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi persyaratan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan arahan peruntukan dalam RTRW. Dengan demikian, peran rencana tata ruang menjadi sangat dominan dalam upaya pengendalian konversi tanah pertanian. Kenyataan masih banyak RTRW yang mengalokasikan kegiatan nonpertanian di tanah-tanah subur/sawah tentunya perlu dievaluasi. Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Dalam rangka perlindungan dan pengendalian tanah pertanian secara menyeluruh dapat ditempuh melalui 3 (tiga) strategi yaitu: (1) memperkecil peluang terjadinya konversi; (2) mengendalikan kegiatan konversi tanah; dan (3) mengembangkan instrumen pengendalian konversi tanah. Sehubungan dengan itu, kebijakan prioritas yang diusulkan oleh BPN-RI dalam rangka pengendalian konversi tanah pertanian adalah sebagai berikut: 1.
Menyusun peraturan perundang-undangan tentang ketentuan perlindungan tanah pertanian produktif, baik dalam bentuk Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah maupun Undang-undang
2.
Menetapkan zonasi (lokasi) tanah-tanah pertanian yang dilindungi, misalnya sawah perlindungan abadi, sawah konversi terbatas dan sawah konversi, dalam bentuk Keputusan Presiden
3.
Menetapkan bentuk insentif dan disinsentif terhadap pemilik tanah dan Pemerintah Daerah setempat
4.
Mengintegrasikan ketiga ketentuan tersebut dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota
5.
Membentuk Komisi Pengendali Tanah Sawah baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota, dengan keputusan kepala daerah yang bersangkutan.
Keseluruhan kebijakan prioritas di atas hendaknya dapat diaplikasikan secara terkoordinasi antarinstansi terkait. Dalam rangka pemberian perizinan, seperti Izin Lokasi, IMB dan
86
perizinan lainnya, serta dalam rangka penyelesaian administrasi pertanahan, ketentuan pengendalian konversi ini haruslah menjadi acuan prioritas. Demikian pula mekanisme insentif perlu dikembangkan untuk mendorong petani mempertahankan tanah pertaniannya, misalnya dalam bentuk keringanan PBB, bantuan saprodi dan perkreditan lunak, peningkatan jaringan irigasi dan kegiatan lainnya yang menunjang. Dalam rangka pelaksanaan Keputusan Presiden nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional telah melaksanakan inventarisasi dan penetapan zonasi tanah sawah beririgasi dalam rangka ketahanan pangan nasional. Kegiatan ini diharapkan dapat mempersiapkan infrastruktur pengelolaan tanah sawah secara nasional, dengan memberikan informasi data luasan sawah yang baku serta rancangan kebijakan dan strategi pengelolaan tanah sawah secara berkelanjutan. Selanjutnya, diharapkan hasil kegiatan ini dapat menjadi masukan yang berharga dalam penetapan perlindungan tanah sawah abadi. Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Upaya ini utamanya ditujukan untuk perkebunan-perkebunan (HGU) sekala besar, ketentuannya tertuang dalam PP No. 36 Tahun 1998 jo. Keputusan Kepala BPN No.24 Tahun 2002. Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan salah satu instrumen dalam menegakkan hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah dalam rangka mewujudkan pengelolaan pertanahan yang berkeadilan dengan tetap memperhatikan pihak ekonomi lemah sesuai dengan norma-norma UUPA. Dalam implementasinya, upaya ini mencakup enam tahap, yaitu: (a) pelaksanaan inventarisasi tanah yang diindikasikan terlantar; (b) pelaksanaan identifikasi tanah yang diindikasikan terlantar; (c) pelaksanaan penilaian hasil identifikasi tanah yang diindikasikan terlantar; (d) Penetapan tindakan pendayagunaan tanah terlantar; (e) Pemantauan pelaksanaan penetapan tindakan pendayagunaan tanah terlantar; (f) Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.
PENUTUP Penyusutan tanah pertanian, ketimpangan struktur penggunaan tanah dan penguasaan tanah akan menjadi hambatan serius dalam memperkokoh ketahanan pangan nasional di masa datang. Optimalisasi pemanfaatan tanah melalui program landreform, pemanfaatan tanah terlantar dalam rangka penye-
diaan tanah serta reorientasi penataan ruang kawasan merupakan suatu alternatif strategis untuk mendukung pengembangan pertanian berbasis pedesaan. Langkah ini penting bagi pembangunan sektor pertanian dalam jangka panjang yakni dengan meningkatnya efisiensi pemanfaatan tanah, terlebih lagi dalam mengatasi kondisi kelangkaan tanah.
87