PROSIDING Simposium Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil “Kontribusi IPTEK dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil” Bogor, 18 Nopember 2010
Editor: Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen,DEA Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si Citra Satrya Utama Dewi, S.Pi
ISBN: 978-979-19034-4-8 Kredit: Desain sampul: Pasus Legowo Tata letak: Pasus Legowo, Dharmawan I Pratama, Femi Zumaritha
KATA PENGANTAR Pertama-tama marilah kita panjatkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya jua Simposium Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dapat terselenggara dengan baik, dan seluruh rangkaian acara dan makalah-makalah yang terkait dengan simposium ini dapat disampaikan dalam laporan kegiatan ini. Sebagai Negara megabiodiversity laut terbesar dengan semua ekosistem laut tropis produktif yang melingkupi wilayah pesisir kepulauan nusantara, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam laut yang sangat besar sebagai aset Nasional. Namun tidak dapat pula dipungkiri bahwa kekayaan laut yang sedemikian besar ternyata di satu sisi belum sepenuhnya dioptimalkan dan di sisi lain sedang mengalami kerusakan yang cukup mengkhawatirkan. Karena itu bagaimana kekayaan laut yang sangat besar ini dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa secara berkelanjutan, serta kerusakan yang terjadi dapat diperbaiki dan dipulihkan, seyogyanya suatu pendekatan pengelolaan berbasis iptek menjadi urgen untuk diterapkan bagi keberlanjutan pembangunan kelautan Indonesia. Untuk itulah Simposium dengan tema ”Kontribusi IPTEK dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil”, yang dirancang sebagai kelanjutan kegiatan KONAS VII di Ambon diharapkan dapat mendesiminasikan hasil-hasil penelitian dan kajian, menjalin komunikasi serta berbagi informasi dan pengalaman mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil berbasis iptek di Indonesia. Simposium Nasional ini hanya dapat terlaksana berkat kerjasama antara Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, dengan dukungan dana dari Ditjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional RI. Tak kalah pentingnya bahwa keberhasilan Simposium ini sangat ditentukan oleh para pembicara panel, moderator, notulen, pemakalah, peserta, serta para panitia yang telah berkontribusi menyukseskan simposium ini. Akhirnya, semoga prosiding simposium yang berisikan kumpulan makalah/artikel ini dapat memberikan informasi ilmiah yang esensial tentang peran iptek dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Bogor, April 2011 Ketua Panitia Pelaksana/Sekjen HAPPI, Prof.Dr.Ir. Dietriech G. Bengen, DEA
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................
i
DAFTAR ISI .........................................................................................................
ii
I. TOPIK 1: IPTEK dalam Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil 1. Estimasi daya dukung sosial dalam pengelolaan ekowisata pulaupulau kecil di gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean (Penulis: Alimudin Laapo) .......................................................
I–1
2. Strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan tradisional pelintas batas di Rote-Ndao (Penulis : Anna Fatchiya) ........................
I–5
3. Pemetaan daerah potensial penangkapan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di perairan Pantai Selatan Yogyakarta (Penulis : Ati Rahadiati dan Irmadi Nahib) .................................................................
I – 13
4. Identifikasi Penyakit Karang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Penulis: Beginer Subhan, Dondy Arafat, Fadhilah Rahmawati, Mochamad Luqmanul Hakim, Dedi Soedharma)
I - 20
5. Aktivitas antibakteri ekstrak metanol Sinularia dura yang difragmentasi di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Penulis : Mujizat Kawaroe, Dedi Soedharma, Hefni Effendi, Tati Nurhayati, Safrina Dyah Hardiningtyas, Windhika Priyatmoko) ..........
I – 26
6. Daun kelapa dan daun sukun sebagai bahan alternatif pengganti terumbu karang dalam pengoperasian bubu tambun (Penulis : Diniah, Wawan Rowandi, Ari Nado Syahrur Ramadan) .......................
I – 31
7. Analisis perubahan luas dan kerapatan tutupan mangrove menggunakan citra Landsat ETM Multitemporal di pesisir utara Pulau Mendanau dan Pulau Batu Dinding Kabupaten Belitung (Penulis : Irma Akhrianti, Franto, Eddy Nurtjahya, Indra Ambalika) .....
I - 37
8. Ekstrak ascidian Didemnum molle sebagai alternatif sumber antibakteri dari hewan asosiasi terumbu karang (penulis : Irma Shita Arlyza) .........................................................................................
I – 46
9. Analisis ekonomi keterkaitan perubahan hutan mangrove dan udang di Kecamatan Belakang Padang Kota Batam (Penulis : Irmadi Nahib) ........................................................................................
I – 54
10. Kondisi kesehatan terumbu karang Teluk Saleh, Sumbawa: Tinjauan aspek substrat dasar terumbu dan keanekaragaman ikan karang (Penulis : Isa Nagib Edrus, Syahrul Arief, dan Iwan Erik Setyawan) .........................................................................................
I – 60
11. Morfologi gugusan pulau kecil (archipelagic islands) di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang dan Biaro (Penulis :Joyce Christian Kumaat) ................................................................................................
I – 75
12. Kontribusi peta dan citra inderaja dalam kajian optimalisasi penggunaan lahan marginal studi kasus pesisir kecamatan Kubu – Karangasem – Bali (Penulis : Kris Sunarto, Drs. M.Si.) .......................
I – 82
13. Bio-ekologis kepiting bakau pada kawasan konservasi desa Passo Teluk Ambon (Penulis : Laura Siahainenia) ........................................
I – 91
14. Potensi kekerangan abalon Sulawesi Selatan, prospek dan tantangan pengelolaan (Penulis : Magdalena Litaay, Rosana Agus, Rusmidin, st. Ferawati) .........................................................................
I – 99
15. Estimasi potensi ekonomi rumput laut berdasarkan daya dukung perairan di Kepulauan Salabangka Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah(Penulis : Marhawati Mappatoba, Eka Rosyida, Alimudin Laapo) .................................................................................................
I – 104
16. Analisis awal pengelolaan pesisir untuk kegiatan wisata pantai (studi kasus Pantai Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat) (Penulis : Muhammad Bakhtiar, Octavianus A. Mainasy, Zikri Sudrajat, Hafidz Fauzi) .........................................................................
I – 108
17. Teknologi tepat guna dalam pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis sumberdaya perikanan (Penulis : Mulyono S. Baskoro dan Ivonne M. Radjawane)..........................................................................
I – 114
18. Penatakelolaan zona pemanfaatan hutan mangrove melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (s. serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur (Penulis : Nirmalasari Idha Wijaya, Fredinan Yulianda, Mennofatria Boer dan Sri juwana)............................................................................................
I – 121
19. Aspek bioteknik dalam pemanfaatan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten (Penulis : Roza Yusfiandayani, M.P. Sobari) ...
I – 131
20. Analisis daya dukung pulau kecil untuk ekowisata bahari dengan pendekatan eccological footprint (studi kasus Pulau Matakus, kab. Maluku Tenggara Barat, provinsi Maluku) (Penulis : Salvinus Solarbesain, Luky Adrianto, Santoso Rahardjo) ...................................
I – 141
21. Deteksi gerombolan bandeng (Chanos chanos) berbeda ukuran berdasarkan fase pantulan gelombang akustik (Penulis : septian T. Pratomo, sri pujiyati, dan Arman D. Diponegoro) ................................
I – 148
22. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan terumbu karang di pulau kecil terluar studi kasus : Pulau Larat, Provinsi Maluku Tenggara Barat (Penulis : Suseno Wangsit Wijaya, Yoniar Hufan Ramadhani, Rahmatia Susanti) .........................
I – 155
Pola spasial kedalaman perairan di teluk bungus, Kota Padang (Penulis : Yulius, Hari Prihatno dan Ifan Ridlo Suhelmi) .........................
I – 160
II. TOPIK 2: IPTEK dalam Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Laut 1.
Perencanaan konservasi berbasis pemetaan terhadap proses keragaman hayati di Pulau Sapudi-Sumenep (Penulis: Romadhon A, Kurniawan F, Hidayat WA) .........................................................
II – 1
2.
Peran swasta dalam pengelolaan pesisir Ujungpangkah, Kabupaten Gresik (Penulis : Angela Ika Y Mariendrasari dan Prof. Dietrich G Bengen) ……………………………………………………
II – 8
3.
Merbau {intsia bijuga (colebr.) o. Kuntze} di Taman Nasional Ujung Kulon Banten (Penulis : Dodo dan Mujahidin) ......................
II – 14
4.
Potensi anggrek sebagai sumberdaya non kayu di kawasan hutan mangrove Pantai Maligano – Pulau Buton, Sulawesi Tenggara (Penulis : Eka Martha Della Rahayu, Izu Andry Fijridianto dan R. Hendrian) ........................................................................................
II – 18
5.
Inventarisasi data luas kerapatan hutan mangrove di Taman Nasional Bali Barat sebagai potensi Kawasan Konservasi Laut dalam pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dengan pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis menggunakan satelit ALOS (Penulis : Firman Setiawan, Rama Wijaya dan Noir P. Poerba) ............................................................
II – 22
6.
Disain rehabilitasi ekosistem mangrove untuk pengelolaan konservasi di daerah penyangga Pulau Dua, Kota Serang, Banten (Penulis : Fredinan Yulianda dan Nyoto Santoso) .........................
II – 27
7.
Sebaran lokasi wisata laut dan budaya di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara (Penulis : Helman) .............................
II – 33
8.
Pengelompokan Jenis Tumbuhan Berdasarkan Kandungan Hara di Hutan Dataran Rendah, Pulau Wawonii - Sulawesi Tenggara (Penulis: Joeni Setijo Rahajoe dan Edi Mirmanto)………………..
II – 37
9.
Implementasi metode blue heart ocean sebagai langkah strategis konservasi terumbu karang dalam wacana jakarta water front city berbasis pemberdayaan masyarakat pesisir pantai Utara Jakarta (Penulis : Nugroho Wiratama dan Nidhom Fahmi) .........................
II – 43
10.
Biodiversitas ikan karang di Kepulauan Padaido, Kabupaten BiakNumfor, Papua (Penulis : Pustika Ratnawati, Muhammad Hafiz, Sukmaraharja,Tia Sulistiani, Hedra Akhrari) ...................................
II – 49
11.
Kajian potensi ekologis dan isu-isu strategis ekosistem karst cagar alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Penulis : Rosniati A. Risna dan Tata M. Syaid) ...............................................................
II – 53
12.
Pulau Wawonii: keanekaragaman, potensi dan permasalahannya (Penulis : Rugayah, M. Rahayu & S. Sunarti) ……………………....
II – 60
13.
Flora langka di pulau kecil Batudaka, Sulawesi Tengah (Penulis: Sri Hartini) .......................................................................................
II – 70
14.
Jenis-jenis vegetasi unik dan perlu dilindungi di Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat (Penulis : Sudarmono) ....................................................................................
II – 75
15.
Penentuan kondisi dan potensi konservasi ekosistem mangrove di II – 79 pesisir selatan Kabupaten Bangkalan berbasis teknologi SIG dan penginderaan jauh (Penulis : Wahyu A’idin Hidayat, Zulkarnaen Fahmi) .............................................................................................
16
Tumbuhan Paku di Kawasan Gunung Gamalama, Pulau Ternate (Penulis : Izu Andry Fijridiyanto dan Sri Hartini …………………….
II – 84
III. TOPIK 3: IPTEK dalam Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekosistem Pesisir dan Pulau-pulau Kecil 1.
Pemodelan luas genangan di semarang akibat pasang surut (Penulis : Didik Hartadi, dan Ivonne M.R. ……………………...........
III – 1
2.
Perubahan status lahan dan tutupan lahan kawasan Pulau Moti, Ternate Maluku Utara (Penulis : H.I.P. Utaminingrum, M.Ridwan, dan Roemantyo) ..............................................................................
III – 4
3.
Distribusi spasial oil spill montara di Celah Timor dari satelit dan dampaknya terhadap sumberdaya hayati laut (Penulis : Jonson Lumban Gaol) .................................................................................. Penentuan parameter paling dominan berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi fitoplankton pada musim kemarau di perairan pesisir Maros Sulawesi Selatan (Penulis : Rahmadi Tambaru, Enan M. Adiwilaga, Ismudi Muchsin, dan Ario Damar) ... Pemanfaatan pengideraan jauh dalam pemantauan kerusakan lingkungan pesisir dan laut di pantai Utara Jawa Barat (Penulis : Riny Novianty dan Anggraeni Nurmartha Vina) ............................... Strategi pemberdayaan nelayan berbasis keunikan Agroekosistem dan kelembagaan lokal (Penulis : Siti Amanah) .............................. Teknologi geospasial untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terpencil (studi kasus di kepulauan Karimunjawa – Jawa Tengah) (Penulis : Yatin Suwarno dan Sri Lestari Munajati) ......................... Identifikasi potensi jenis ikan ekonomis penting dengan analisis keruangan dan hidroakustik di Kep. Tagalaya, Halmahera Utara (Penulis : Zulkarnaen Fahmi, Frensly D Hukom, Wahyu A’idin Hidayat, Jefry Bemba ......................................................................
III – 9
4.
5.
6. 7.
8.
III – 14
III – 19
III – 23 III – 30
III – 36
II-53 KAJIAN POTENSI EKOLOGIS DAN ISU-ISU STRATEGIS EKOSISTEM KARST CAGAR ALAM PULAU SEMPU, JAWA TIMUR Rosniati A. Risna1 dan Tata M. Syaid2 Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI, Jl. Ir. H. Juanda 13 Bogor Telp. / Fax.: 02518322187
[email protected] 2 Program Pascasarjana Universitas Pakuan Bogor, Jl. Pakuan PO Box 452 Bogor
1
ABSTRAK Pulau Sempu, sebuah pulau kecil di Jawa Timur bagian selatan, merupakan kawasan ekologis yang unik dan sumberdaya karst yang penting. Dalam kawasan seluas 877 ha, Pulau Sempu memiliki lima jenis ekosistem yaitu hutan primer dataran rendah, hutan pantai, mangrove, danau air tawar dan ekosistem karst. Ekosistem karst di pulau ini dicirikan dengan adanya lembah buta, lembah kering, sistem perguaan, telaga dan mata air yang keluar dari gua, serta kumpulan perbukitan yang berbentuk kerucut. Selain sumberdaya karstnya, kekayaan flora di dalam ekosistem hutan dataran rendahnya digolongkan sangat tinggi; 128 spesies dari 44 famili, belum termasuk epifit, liana dan kriptogam. Keragaman fauna tidak diteliti dalam studi ini, namun dikaji berdasarkan data sekunder. Potensi sumberdaya ekosistem karst di Pulau Sempu dan isu-isu strategis dalam pengelolaannya dipaparkan dalam paper ini. Kata kunci: Pulau Sempu, pulau kecil, karst, flora, fauna PENDAHULUAN Ekosistem karst di kawasan tropis dianggap sebagai habitat island karena morfologinya yang terisolasi dari substrat non-kapur sehingga menjadi pembatas aliran gen yang pada akhirnya mengarah pada endemisitas spesies yang tinggi sehingga memiliki signifikansi dalam hal kekayaan sumberdaya hayati (Clements et al. 2008). Bahkan di Asia Tenggara, ekosistem karst merupakan reservoir yang penting untuk keanekaragaman hayati (Furey et al. 2010). Di Indonesia sendiri, kawasan karst meliputi 145.000 km2 atau 20% dari luas kawasan Indonesia, yang terluas di Asia Tenggara, namun hanya 22.000 km2 atau 15% di antaranya yang dilindungi (Day and Urich 2000 dalam Clements 2006). Kawasan karst merupakan kawasan yang memiliki daya dukung yang rendah dan sukar diperbaiki jika sudah terlanjur mengalami kerusakan (Nasution 2008). Air permukaan jarang dijumpai karena komponen batuan penyusun karst memiliki porositas tinggi sehingga tidak memungkinkan air dapat tinggal di permukaan (Anonim 2007b). Lapisan tanah yang umumnya tipis dengan kesuburan yang rendah juga merupakan karakteristik dari bentang alam karst, sehingga spesies tumbuhan berpembuluh yang dapat tumbuh juga adalah spesies-spesies yang telah beradaptasi terhadap kondisi tersebut
yang mengarah kepada spesiasi dan endemisitas yang tinggi (Clements et al. 2006; Wong et al. 2001). Selain memiliki nilai penting secara biologis bagi riset-riset biogeografi, ekologi, evolusi dan taksonomi, ekosistem karst memberikan signifikansi dalam banyak aspek lain yaitu: berpotensi mengungkap sejarah geologi bumi dan sejarah keberadaan manusia (Clements et al. 2006; Clements et al. 2008; Wong et al. 2001). Indonesia memiliki dua kawasan karst yang terkenal sebagai prototype laboratorium alam karst yaitu Karst Gunung Sewu di Jawa dan Karst Maros di Sulawesi. Namun demikian, masih ada belasan bentang alam karst di Indonesia yang masih perlu mendapat perhatian insentif, di antaranya kawasan karst di Jawa Timur bagian selatan (Herlambang 2008). Di Jawa Timur bagian selatan ini, tepatnya di bagian selatan Kabupaten Malang, terdapat Pulau Sempu, pulau kecil yang memiliki beberapa tipe ekosistem termasuk di antaranya ekosistem karst. Berdasarkan definisi pulau kecil yang dinyatakan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan RI dalam UU No. 41/2000, Pulau Sempu yang berstatus cagar alam tersebut dapat digolongkan sebagai pulau kecil. Cagar Alam Pulau Sempu (CAPS) dipilih sebagai lokasi studi karena selain mewakili pulau kecil di Indonesia dengan keragaman ekosistem di dalamnya termasuk ekosistem karst yang unik, pulau
II-54 tak berpenghuni ini menghadapi ancaman atau dampak kerusakan lingkungan akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia (Risna dan Narko 2009). Manfaat upaya proteksi terhadap CAPS lengkap dengan potensi-potensi ancaman terhadap keberadaannya telah dikaji oleh Risna dan Narko (2009). Akan tetapi publikasi hasil riset ataupun survey terhadap potensi ekosistem karst di kawasan ini masih sangat terbatas. Padahal di sisi lain, pengungkapan potensi dan pengelolaan sumberdaya karst di pulau kecil seperti CAPS ini sangat penting mengingat kawasan karst maupun pulau kecil adalah kawasan yang rawan terhadap kehancuran karena adanya fragmentasi habitat dan perubahan iklim global. Oleh karena itu, kajian yang disusun berdasarkan hasil observasi langsung di CAPS ini disusun bertujuan untuk memberikan informasi dasar sebagai salah satu acuan dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan konservasi ekosistem karst dan sumberdaya hayatinya. METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di hutan dataran rendah CAPS pada bulan Juni – Juli 2007. CAPS berada di wilayah Desa Sendangbiru Kecamatan Sumbermanjing Kota Malang, Jawa Timur, atau di antara 112040’45”–112042’45”BT dan 8027’24”– 8024’54”LS, sekitar 70 km sebelah selatan Malang. Pulau ini membentang 3,9 km dari barat ke timur dan 3,6 km dari utara ke selatan dan terpisah dari daratan Jawa (mainland) sejauh ± 500 m oleh Selat Sempu (Gambar 1). Pulau tak berpenduduk seluas 877 ha ini ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Menhutbun No. 417/Kpts-II/1999 (Rais et al. 2006). Topografinya bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian 0–102 m dpl dan kemiringan lereng dari datar hingga sangat curam. Sebagian besar kawasannya memiliki bentang alam karst yang membentuk perbukitan berbentuk kerucut. Curah hujan tahunannya mencapai 2.132 mm dengan tipe iklim C berdasarkan Schmidt & Ferguson (Tjandra & Rosni 2009). Pengelolaan Pulau Sempu sebagai cagar alam berada di bawah BKSDA Jawa Timur II Seksi Konservasi Wilayah I Jember. Akan tetapi kawasan
wisata pantai Sendangbiru termasuk Pulau Sempu berada di bawah pengelolaan Pemda setempat. Koleksi dan Analisis Data Data dikumpulkan dengan metode eksploratif. Untuk mencapai lokasi hingga jauh ke dalam hutan, eksplorasi dilakukan dengan survey mengikuti garis-garis transek sepanjang 200 m dengan arah 900 atau 2700 dari jalur hutan dataran rendah. Spesies flora yang diinventarisasi dibatasi pada kelompok tumbuhan tingkat tinggi, namun tidak termasuk spesies anggrek dan liana. Kajian potensi ekosistem karst di CAPS maupun tantangan bagi pengelolaan kawasan juga dilakukan. Data fauna dikumpulkan dari data sekunder, namun karena keterbatasan informasi dan publikasi data yang terkumpul terbatas pada vertebrata terestrial. HASIL Status Ekosistem Karst CAPS Ekosistem karst di CAPS dicirikan oleh adanya sistem perguaan, mata air yang keluar dari mulut gua lembah buta (sungai yang menghilang ke bawah tanah), lembah kering, dan kumpulan perbukitan yang berbentuk kerucut (Gambar 2 dan 3). Sistem perguaan di CAPS masih jarang dan lebih didominasi oleh lubang-lubang kecil. Ada beberapa gua yang cukup besar yang dapat dijumpai di ekosistem karst CAPS, namun tidak semuanya dapat dijangkau karena topografi yang sangat curam (Tjandra dan Rosni 2009). Gua dekat pantai yang mudah diakses terlihat sering dikunjungi pengunjung akan tetapi menjadi sasaran vandalisme. Selain itu -meskipun jarang sekali dilaporkan terjadi -pengambilan batu karang karst secara ilegal pernah ditemukan (Anonim 2007). Lembah-lembah kering sering kali dijumpai di beberapa lokasi penelitian di antaranya di kawasan Teluk Semut, Gua Macan dan Telaga Sat. Lapisan tanah di kawasan hutan dataran rendah CAPS pada umumnya dangkal, namun di beberapa tempat tertutup oleh tanah yan tebal dan kaya bahan organik dengan vegetasi yang rapat. Dari aspek hidrologinya, CAPS memiliki dua telaga yaitu Telaga Lele (luas ±2 ha) dan Telaga Sat (±1 ha), namun Telaga Sat kini telah mengering dan ditumbuhi semak belukar. Terdapat sumber air tawar atau mata air yang keluar dari gua karst di sebuah teluk kecil yang dinamakan
II-55 Air Tawar, namun karena letaknya tepat di bibir pantai maka mata air tersebut tertutup air laut pada saat pasang naik. Mata air ini masih dimanfaatkan oleh sebagian penduduk maupun nelayan yang sedang melabuhkan perahunya di pesisir P. Sempu sebagai sumber air tawar. Perbukitan kerucut karst dan tebing terjal yang berbentuk melingkar dengan lorong besar memungkinkan masuknya air laut ke dalam lingkaran karst sehingga membentuk laguna dengan pemandangan yang sangat cantik. Bentang alam karst ini dapat dijumpai di Segara Anakan (Gambar 2). Inventarisasi Biota CAPS Total jumlah spesies tumbuhan yang dijumpai dalam ekosistem hutan dataran rendah di kawasan karst selama pengamatan adalah sebanyak 128 spesies yang mewakili 44 famili (Lampiran 1), belum termasuk spesies dari kelompok epifit, liana dan kriptogam. Lima spesies pohon yang paling sering dijumpai di lokasi pengamatan adalah Wadang (Pterocarpus javanicum dan P. diversifolium), Durenan (Myristica teijsmannii), Bendo (Artocarpus elasticus), dan sejenis Ketapang (Terminalia bellirica). Pada ekosistem mangrove, Mujiono (2005) melaporkan delapan jenis mangrove dijumpai di CAPS yaitu Teruntun (Aegiceras corniculatum), Tanjang Merah (Bruguiera gymnorrhiza), Mentigi (Ceriops tagal), Bakau kacang (Rhizophora apiculata), Bakau hitam (Rhizophora mucronata), Bakau (Rhizophora stylosa), Buta-buta (Excoecaria agallhoca) dan Nyiri hutan (Xylocarpus granatum). Fauna besar yang berhasil diinventarisasi di CAPS adalah sekitar 159 spesies yang terdiri dari 144 spesies burung, 12 spesies mamalia dan 3 spesies reptil (Wahyudi 2010). Spesies burung langka yang dapat dijumpai di CAPS adalah elang jawa (Spizaetus bartelsi), julang emas (Aceros undulatus), dara laut putih (Gygis alba), rangkong badak (Buceros rhinoceros), pelatuk ayam (Dryocopus javavensis), kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris), cekakak jawa (Halcyon cyanoventris). Fauna besar yang pernah dijumpai saat penelitian adalah kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa), lutung jawa (Trachypithecus auratus), macan tutul (Panthera pardus) dan burung rangkong
(Buceros undulatus). Informasi flora dan fauna yang berhasil diidentifikasi di CAPS ini bukanlah merupakan spesies khas ekosistem karst karena dalam penelitian ini inventarisasi tidak dibedakan menurut lokasi karst dan non-karst. PEMBAHASAN Potensi Sumberdaya Karst CAPS Secara geomorfologi, daerah karst di CAPS digolongkan sebagai karst transisi sebagaimana karst di Jawa Timur bagian selatan lainnya (Herlambang 2006). Diperkirakan sistem perguaan di kawasan ini memiliki pola drainase yang belum terbentuk secara kompleks namun beberapa potensi manfaatnya telah lama dirasakan dan dinikmati oleh penduduk maupun pengunjung. Manfaat tersebut di antaranya adalah 1) mata airnya sebagai sumber air tawar bagi penduduk maupun pengunjung kawasan, 2) telaga air tawar merupakan sumber air bagi pengunjung yang camping dan bagi hewan, 3) tanah dan batuannya menjadi substrat bagi berbagai spesies flora, 4) sebagian gua dan tebing karst dimanfaatkan hewan sebagai tempat perlindungan dan berkembang biak, 5) sistem batuan yang kokoh dan keras melindungi pulau dari hantaman ombak Samudra Indonesia, 6) perbukitan kerucut karst dan tebing terjal di daerah Segara Anakan membentuk laguna menyuguhkan pemandangan yang sangat cantik, 7) potensi karst lengkap dengan keragaman biota dan keindahan alam di dalamnya sangat bermanfaat sebagai laboratorium alam bidang biologi, geologi, juga pariwisata baik wisata biasa maupun wisata minat khusus. Di antara 128 spesies hutan dataran rendah dan 8 spesies mangrove yang dijumpai di CAPS, 7 spesies dimasukkan ke dalam daftar IUCN Redlist (IUCN 2009). Dari ketujuh spesies dalam daftar merah IUCN tersebut, 2 di antaranya merupakan spesies terancam kepunahan yaitu Myristica teijsmannii (Myristicaceae) yang dikategorikan genting atau endangered dan Sindora javanica (Caesalpiniaceae) yang dikategorikan rawan atau vulnerable, sedangkan sisanya termasuk lower risk. Myristica teijsmannii sendiri adalah spesies endemik Jawa Timur berdasarkan data herbarium dan studi populasi yang dilakukan oleh Risna et al. (2010, submitted). Hilangnya hutan di lokasi-lokasi
II-56 di mana ditemukan spesies ini di daratan P. Jawa memperbesar kemungkinan bahwa kini populasi alami M. teijsmannii hanya dapat dijumpai di CAPS. Hal ini tentu menambah nilai penting CAPS sebagai kawasan konservasi. Isu-isu Strategis Salah satu kegiatan nelayan yang terpantau saat penelitian adalah dijadikannya pantai kawasan Teluk Air Tawar menjadi tempat perbaikan dan pengecatan kapal nelayan pada saat air laut surut. Padahal residu cat dan bahan bakar merupakan bahan kimia berbahaya yang dapat merusak mangrove, habitat terumbu karang serta flora-fauna yang bergantung padanya. Penebangan dan pencurian kayu bernilai ekonomis beberapa kali terjadi serta ditindak oleh petugas Resort CAPS meskipun dalam frekuensi dan kuantitas yang rendah (Sutikno, 2007, komunikasi pribadi). Selain dampak antropologi, CAPS sebagai pulau kecil yang berbatasan langsung dengan samudera juga menghadapi potensi ancaman karena perubahan iklim global. Tanpa aksi yang tepat terhadap perubahan iklim, Indonesia diperkirakan akan kehilangan 2000 pulau-pulau kecilnya pada tahun 2030 (Ikawati 2008). Masalah-masalah strategis dalam pengelolaan aspek ekologi kawasan karst umumnya terletak pada kerawanan ekosistem karst terhadap degradasi atau kerusakan lingkungan baik yang disebabkan oleh faktor manusia maupun alam. Untuk kasus CAPS, isu-isu strategis dalam upaya konservasi biota dan ekosistem karst yang tercatat dalam penelitian ini adalah: 1. kerusakan eksokarst akibat pengambilan batu karang dan vandalisme pengunjung terhadap ornamen gua, 2. penggundulan vegetasi karst maupun non-karst karena pencurian kayu, 3. penurunan volume telaga akibat pendangkalan dan invasi semak belukar serta besarnya penguapan karena perubahan iklim mikro, 4. penurunan kualitas sumber air karena aktivitas manusia di sekitar telaga dan aliran muatan suspensi karena erosi tanah permukaan, 5. konflik kepentingan antara tujuan konservasi dan ekoturisme; hal ini disebabkan belum terintegrasinya
kerjasama antara otoritas Kementrian Kehutanan (BKSDA) dengan PEMDA setempat. Implikasi untuk Konservasi Secara umum, pulau sebagai cagar memiliki keuntungan karena ditentukan dalam batas yang jelas sehingga tidak mudah untuk dilanggar batasnya. Keuntungan ini disebabkan pulau merupakan unit ekologi yang relatif mandiri, dan pulau sebagai cagar memiliki kemampuan mengembangkan keseimbangan antara luas pulau dengan jumlah spesies di dalamnya (MacKinnon & MacKinnon 1993). Namun dijadikannya CAPS sekaligus sebagai kawasan tujuan wisata lingkungan (ekoturisme) seperti selama ini terjadi, dapat menjadi ancaman akan introduksi spesies asing yang hidup bersama-sama manusia yang dapat mengakibatkan malapetaka bagi flora dan fauna asli pulau. Informasi dasar mengenai flora dan fauna gua yang khas dalam ekosistem karst CAPS belum pernah dilaporkan. Diharapkan penelitian-penelitian ke arah ini dapat segera dilakukan untuk memperkuat basis ilmiah signifikansi CAPS untuk konservasi kawasan (ekosistem) pulau kecil dan konservasi spesies. Hal ini tentu akan memberi kontribusi penting bagi strategi aksi mitigasi dan adaptasi mengatasi dampak perubahan iklim global dan tekanan akibat aktivitas manusia. Karakter ekosistem karst yang unik, keragaman flora dan fauna yang tinggi, keberadaan ekosistem mangrove dan keindahan alam CAPS membuat kawasan ini memiliki signifikansi yang tinggi dalam konservasi dan pengelolaan kawasan beserta sumberdaya hayati di dalamnya. Upaya konservasi dan pengelolaan tersebut menjadi sangat penting mengingat keterancaman yang dihadapi oleh ekosistem karst sebagai habitat island dan pulau kecil dalam arti sesungguhnya, yang keduanya sekaligus dimiliki oleh CAPS. Status perlindungan legal kawasan sebagai cagar alam merupakan nilai lebih bagi konservasi, sehingga perlu dimanfaatkan dengan sebenar-benarnya secara terencana, sistematis dan terpadu. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan pada Bapak Dwi Narko (Kebun Raya Purwodadi) atas bantuannya selama penelitian di lapangan
II-57 dan sumbangan fotonya. Bantuan teknis dari staf Resort CAPS juga sangat penulis apresiasi. REFERENSI Anonim (2007a) Pengambilan ilegal batu karang di pulau sempu ancam kelestarian cagar alam. http://www.profauna.org/content/id/pressrel ease/2007. Diakses 20 Desember 2007. Anonim (2007b) Rencana aksi pengelolaan ekosistem Karst Gunung Seru (Konservasi dan pengendalian kerusakan) tahun 2008-2018. Deputi Peningkatan Konservasi SDA dan pengendalian Kerusakan Lingkungan, Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta. Clements R, Sodhi NS, Schilthuizen M, Ng PKL (2006) Limestone karst of Southeast Asia: imperiled arks of biodiversity. BioScience (45)9:733-742. Clements R, Ng PKL, Ambu S, Schilthuizen M, Bradshaw CJA (2008) Using biogeographical patterns of endemic lands snails to improve conservation planning for limestone karst. Biol. Cons. 141:2751-2764. Furey NM, Mackie IJ, Racey PA (2010) Bat diversity in Vietnamese limestone karst areas and the iImplications of forest degradation. Biodiv. Cons. 19:1821-1838. Herlambang S (2008) Potensi dan pengelolaan sumberdaya karst di Jawa Timur bagian selatan. Prosiding Seminar Nasional Pertemuan Ilmiah Tahunan IX IGI Tahun 2007. USU Press, Medan, h 322328. Ikawati Y (2008) Perubahan iklim: selamatkan pantai dan pulau-pulau kecil. http://www.dekin.dkp.go.id. Diakses 22 April 2009. IUCN (2009) The IUCN red list of threatened species. http://www.iucnredlist.org. Diakses 29 Mei 2009. MacKinnon J, MacKinnon K (1993) Pengelolaan kawasan yang dilindungi di daerah tropika (Amir HH, penerjemah). Gadjah Mada University Press. Mujiono I (2006) Potensi vegetasi hutan mangrove di kawasan Cagar Alam Pulau Sempu. [Skripsi]. Universitas Muhammadiyah Malang. Nasution AI (2008) Kawasan karst dan konservasi. http://karstaceh.com/entrance/kawasan-
karst-dan-konservasi. 23 Oktober 2008. Rais S et al (2006) Kawasan konservasi Indonesia 2006. Jakarta: Ditjen PHKA Departemen Kehutanan, Lestari Hutan Indonesia, Japan International Cooperation Agency. Risna RA, Narko D (2009) Sempu Island Nature Reserve: a contribution to small island’s plant diversity and karst ecosystem conservation as a potential investment in climate change mitigation and adaptation activity. Prosiding Konservasi Flora Indonesia dalam Mengatasi Dampak Pemanasan Global, h.481-490. Risna RA, Setiadi D, Widyatmoko D (2010, in press). Population study of Myristica teijsmannii Miq. (Myristicaceae) in Sempu Island, East Java. Reinwardtia. Tjandra MY, Rosni (2009) Evaluasi manajemen operasional Cagar Alam Pulau Sempu. http://digilib.petra.ac.id/junkpe/d3/pari/2002 /junkpe-ns-d3-2002-91399034-1144pulau_sempu-chapter4.pdf. Diakses 17 April 2009. Wahyudi BN (2010) Sempu, surga flora dan fauna Jawa Timur. http://www.jtv.co.id. Diakses 4 November 2010. Wong T, Hamilton-Smith E, Chape S, Friederich H (Eds.)(2001) Proceedings of Asia Pacific forum on karst ecosystems and world heritage.
II-58
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Gambar 2. Deskripsi situasi ekosistem karst di Segara Anakan CAPS (Foto: Dwi Narko).
Gambar 3. Air permukaan berupa telaga air tawar di CAPS. Kiri: Telaga Lele; kanan: Telaga Sat yang telah mongering (Foto: Rosniati Risna).
Lampiran 1. Daftar spesies yang dijumpai di Cagar Alam Pulau Sempu (tidak termasuk epifit dan mangrove).
II-59
