PROSIDING Simposium Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil “Kontribusi IPTEK dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil” Bogor, 18 Nopember 2010
Editor: Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen,DEA Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si Citra Satrya Utama Dewi, S.Pi
ISBN: 978-979-19034-4-8 Kredit: Desain sampul: Pasus Legowo Tata letak: Pasus Legowo, Dharmawan I Pratama, Femi Zumaritha
KATA PENGANTAR Pertama-tama marilah kita panjatkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya jua Simposium Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dapat terselenggara dengan baik, dan seluruh rangkaian acara dan makalah-makalah yang terkait dengan simposium ini dapat disampaikan dalam laporan kegiatan ini. Sebagai Negara megabiodiversity laut terbesar dengan semua ekosistem laut tropis produktif yang melingkupi wilayah pesisir kepulauan nusantara, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam laut yang sangat besar sebagai aset Nasional. Namun tidak dapat pula dipungkiri bahwa kekayaan laut yang sedemikian besar ternyata di satu sisi belum sepenuhnya dioptimalkan dan di sisi lain sedang mengalami kerusakan yang cukup mengkhawatirkan. Karena itu bagaimana kekayaan laut yang sangat besar ini dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa secara berkelanjutan, serta kerusakan yang terjadi dapat diperbaiki dan dipulihkan, seyogyanya suatu pendekatan pengelolaan berbasis iptek menjadi urgen untuk diterapkan bagi keberlanjutan pembangunan kelautan Indonesia. Untuk itulah Simposium dengan tema ”Kontribusi IPTEK dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil”, yang dirancang sebagai kelanjutan kegiatan KONAS VII di Ambon diharapkan dapat mendesiminasikan hasil-hasil penelitian dan kajian, menjalin komunikasi serta berbagi informasi dan pengalaman mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil berbasis iptek di Indonesia. Simposium Nasional ini hanya dapat terlaksana berkat kerjasama antara Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, dengan dukungan dana dari Ditjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional RI. Tak kalah pentingnya bahwa keberhasilan Simposium ini sangat ditentukan oleh para pembicara panel, moderator, notulen, pemakalah, peserta, serta para panitia yang telah berkontribusi menyukseskan simposium ini. Akhirnya, semoga prosiding simposium yang berisikan kumpulan makalah/artikel ini dapat memberikan informasi ilmiah yang esensial tentang peran iptek dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Bogor, April 2011 Ketua Panitia Pelaksana/Sekjen HAPPI, Prof.Dr.Ir. Dietriech G. Bengen, DEA
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................
i
DAFTAR ISI .........................................................................................................
ii
I. TOPIK 1: IPTEK dalam Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil 1. Estimasi daya dukung sosial dalam pengelolaan ekowisata pulaupulau kecil di gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean (Penulis: Alimudin Laapo) .......................................................
I–1
2. Strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan tradisional pelintas batas di Rote-Ndao (Penulis : Anna Fatchiya) ........................
I–5
3. Pemetaan daerah potensial penangkapan ikan tongkol (Euthynnus affinis) di perairan Pantai Selatan Yogyakarta (Penulis : Ati Rahadiati dan Irmadi Nahib) .................................................................
I – 13
4. Identifikasi Penyakit Karang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Penulis: Beginer Subhan, Dondy Arafat, Fadhilah Rahmawati, Mochamad Luqmanul Hakim, Dedi Soedharma)
I - 20
5. Aktivitas antibakteri ekstrak metanol Sinularia dura yang difragmentasi di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Penulis : Mujizat Kawaroe, Dedi Soedharma, Hefni Effendi, Tati Nurhayati, Safrina Dyah Hardiningtyas, Windhika Priyatmoko) ..........
I – 26
6. Daun kelapa dan daun sukun sebagai bahan alternatif pengganti terumbu karang dalam pengoperasian bubu tambun (Penulis : Diniah, Wawan Rowandi, Ari Nado Syahrur Ramadan) .......................
I – 31
7. Analisis perubahan luas dan kerapatan tutupan mangrove menggunakan citra Landsat ETM Multitemporal di pesisir utara Pulau Mendanau dan Pulau Batu Dinding Kabupaten Belitung (Penulis : Irma Akhrianti, Franto, Eddy Nurtjahya, Indra Ambalika) .....
I - 37
8. Ekstrak ascidian Didemnum molle sebagai alternatif sumber antibakteri dari hewan asosiasi terumbu karang (penulis : Irma Shita Arlyza) .........................................................................................
I – 46
9. Analisis ekonomi keterkaitan perubahan hutan mangrove dan udang di Kecamatan Belakang Padang Kota Batam (Penulis : Irmadi Nahib) ........................................................................................
I – 54
10. Kondisi kesehatan terumbu karang Teluk Saleh, Sumbawa: Tinjauan aspek substrat dasar terumbu dan keanekaragaman ikan karang (Penulis : Isa Nagib Edrus, Syahrul Arief, dan Iwan Erik Setyawan) .........................................................................................
I – 60
11. Morfologi gugusan pulau kecil (archipelagic islands) di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang dan Biaro (Penulis :Joyce Christian Kumaat) ................................................................................................
I – 75
12. Kontribusi peta dan citra inderaja dalam kajian optimalisasi penggunaan lahan marginal studi kasus pesisir kecamatan Kubu – Karangasem – Bali (Penulis : Kris Sunarto, Drs. M.Si.) .......................
I – 82
13. Bio-ekologis kepiting bakau pada kawasan konservasi desa Passo Teluk Ambon (Penulis : Laura Siahainenia) ........................................
I – 91
14. Potensi kekerangan abalon Sulawesi Selatan, prospek dan tantangan pengelolaan (Penulis : Magdalena Litaay, Rosana Agus, Rusmidin, st. Ferawati) .........................................................................
I – 99
15. Estimasi potensi ekonomi rumput laut berdasarkan daya dukung perairan di Kepulauan Salabangka Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah(Penulis : Marhawati Mappatoba, Eka Rosyida, Alimudin Laapo) .................................................................................................
I – 104
16. Analisis awal pengelolaan pesisir untuk kegiatan wisata pantai (studi kasus Pantai Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat) (Penulis : Muhammad Bakhtiar, Octavianus A. Mainasy, Zikri Sudrajat, Hafidz Fauzi) .........................................................................
I – 108
17. Teknologi tepat guna dalam pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis sumberdaya perikanan (Penulis : Mulyono S. Baskoro dan Ivonne M. Radjawane)..........................................................................
I – 114
18. Penatakelolaan zona pemanfaatan hutan mangrove melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (s. serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur (Penulis : Nirmalasari Idha Wijaya, Fredinan Yulianda, Mennofatria Boer dan Sri juwana)............................................................................................
I – 121
19. Aspek bioteknik dalam pemanfaatan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten (Penulis : Roza Yusfiandayani, M.P. Sobari) ...
I – 131
20. Analisis daya dukung pulau kecil untuk ekowisata bahari dengan pendekatan eccological footprint (studi kasus Pulau Matakus, kab. Maluku Tenggara Barat, provinsi Maluku) (Penulis : Salvinus Solarbesain, Luky Adrianto, Santoso Rahardjo) ...................................
I – 141
21. Deteksi gerombolan bandeng (Chanos chanos) berbeda ukuran berdasarkan fase pantulan gelombang akustik (Penulis : septian T. Pratomo, sri pujiyati, dan Arman D. Diponegoro) ................................
I – 148
22. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan terumbu karang di pulau kecil terluar studi kasus : Pulau Larat, Provinsi Maluku Tenggara Barat (Penulis : Suseno Wangsit Wijaya, Yoniar Hufan Ramadhani, Rahmatia Susanti) .........................
I – 155
Pola spasial kedalaman perairan di teluk bungus, Kota Padang (Penulis : Yulius, Hari Prihatno dan Ifan Ridlo Suhelmi) .........................
I – 160
II. TOPIK 2: IPTEK dalam Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Laut 1.
Perencanaan konservasi berbasis pemetaan terhadap proses keragaman hayati di Pulau Sapudi-Sumenep (Penulis: Romadhon A, Kurniawan F, Hidayat WA) .........................................................
II – 1
2.
Peran swasta dalam pengelolaan pesisir Ujungpangkah, Kabupaten Gresik (Penulis : Angela Ika Y Mariendrasari dan Prof. Dietrich G Bengen) ……………………………………………………
II – 8
3.
Merbau {intsia bijuga (colebr.) o. Kuntze} di Taman Nasional Ujung Kulon Banten (Penulis : Dodo dan Mujahidin) ......................
II – 14
4.
Potensi anggrek sebagai sumberdaya non kayu di kawasan hutan mangrove Pantai Maligano – Pulau Buton, Sulawesi Tenggara (Penulis : Eka Martha Della Rahayu, Izu Andry Fijridianto dan R. Hendrian) ........................................................................................
II – 18
5.
Inventarisasi data luas kerapatan hutan mangrove di Taman Nasional Bali Barat sebagai potensi Kawasan Konservasi Laut dalam pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dengan pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis menggunakan satelit ALOS (Penulis : Firman Setiawan, Rama Wijaya dan Noir P. Poerba) ............................................................
II – 22
6.
Disain rehabilitasi ekosistem mangrove untuk pengelolaan konservasi di daerah penyangga Pulau Dua, Kota Serang, Banten (Penulis : Fredinan Yulianda dan Nyoto Santoso) .........................
II – 27
7.
Sebaran lokasi wisata laut dan budaya di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara (Penulis : Helman) .............................
II – 33
8.
Pengelompokan Jenis Tumbuhan Berdasarkan Kandungan Hara di Hutan Dataran Rendah, Pulau Wawonii - Sulawesi Tenggara (Penulis: Joeni Setijo Rahajoe dan Edi Mirmanto)………………..
II – 37
9.
Implementasi metode blue heart ocean sebagai langkah strategis konservasi terumbu karang dalam wacana jakarta water front city berbasis pemberdayaan masyarakat pesisir pantai Utara Jakarta (Penulis : Nugroho Wiratama dan Nidhom Fahmi) .........................
II – 43
10.
Biodiversitas ikan karang di Kepulauan Padaido, Kabupaten BiakNumfor, Papua (Penulis : Pustika Ratnawati, Muhammad Hafiz, Sukmaraharja,Tia Sulistiani, Hedra Akhrari) ...................................
II – 49
11.
Kajian potensi ekologis dan isu-isu strategis ekosistem karst cagar alam Pulau Sempu, Jawa Timur (Penulis : Rosniati A. Risna dan Tata M. Syaid) ...............................................................
II – 53
12.
Pulau Wawonii: keanekaragaman, potensi dan permasalahannya (Penulis : Rugayah, M. Rahayu & S. Sunarti) ……………………....
II – 60
13.
Flora langka di pulau kecil Batudaka, Sulawesi Tengah (Penulis: Sri Hartini) .......................................................................................
II – 70
14.
Jenis-jenis vegetasi unik dan perlu dilindungi di Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat (Penulis : Sudarmono) ....................................................................................
II – 75
15.
Penentuan kondisi dan potensi konservasi ekosistem mangrove di II – 79 pesisir selatan Kabupaten Bangkalan berbasis teknologi SIG dan penginderaan jauh (Penulis : Wahyu A’idin Hidayat, Zulkarnaen Fahmi) .............................................................................................
16
Tumbuhan Paku di Kawasan Gunung Gamalama, Pulau Ternate (Penulis : Izu Andry Fijridiyanto dan Sri Hartini …………………….
II – 84
III. TOPIK 3: IPTEK dalam Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekosistem Pesisir dan Pulau-pulau Kecil 1.
Pemodelan luas genangan di semarang akibat pasang surut (Penulis : Didik Hartadi, dan Ivonne M.R. ……………………...........
III – 1
2.
Perubahan status lahan dan tutupan lahan kawasan Pulau Moti, Ternate Maluku Utara (Penulis : H.I.P. Utaminingrum, M.Ridwan, dan Roemantyo) ..............................................................................
III – 4
3.
Distribusi spasial oil spill montara di Celah Timor dari satelit dan dampaknya terhadap sumberdaya hayati laut (Penulis : Jonson Lumban Gaol) .................................................................................. Penentuan parameter paling dominan berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi fitoplankton pada musim kemarau di perairan pesisir Maros Sulawesi Selatan (Penulis : Rahmadi Tambaru, Enan M. Adiwilaga, Ismudi Muchsin, dan Ario Damar) ... Pemanfaatan pengideraan jauh dalam pemantauan kerusakan lingkungan pesisir dan laut di pantai Utara Jawa Barat (Penulis : Riny Novianty dan Anggraeni Nurmartha Vina) ............................... Strategi pemberdayaan nelayan berbasis keunikan Agroekosistem dan kelembagaan lokal (Penulis : Siti Amanah) .............................. Teknologi geospasial untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terpencil (studi kasus di kepulauan Karimunjawa – Jawa Tengah) (Penulis : Yatin Suwarno dan Sri Lestari Munajati) ......................... Identifikasi potensi jenis ikan ekonomis penting dengan analisis keruangan dan hidroakustik di Kep. Tagalaya, Halmahera Utara (Penulis : Zulkarnaen Fahmi, Frensly D Hukom, Wahyu A’idin Hidayat, Jefry Bemba ......................................................................
III – 9
4.
5.
6. 7.
8.
III – 14
III – 19
III – 23 III – 30
III – 36
II-84
TUMBUHAN PAKU DI KAWASAN GUNUNG GAMALAMA, PULAU TERNATE Oleh: Izu Andry Fijridiyanto dan Sri Hartini Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor, LIPI Jl. Ir. H. Juanda 13 P.O. BOX 309 Bogor 16003 Email:
[email protected] ABSTRACT A study on ferns diversity in Mount Gamalama, Ternate Island was carried out. There were three habitats (nutmeg plantation areas, clove plantation areas and forest areas) with elevation up to 1500 meters above sea levels which were observed. In total, 13 species of ferns (5 species of terrestrial and 8 species of epiphytes) were found. Deforestation for clove and nutmeg plantations, and also volcanic activities of Mount Gamalama could be the main reasons for habitats and species lost of ferns in Ternate Island. Keywords: Ferns, Mount Gamalama, Ternate Island Pendahuluan Gunung Gamalama merupakan salah satu gunung berapi di Provinsi Maluku Utara. Selain gunung ini, masih ada gunung berapi lain di Provinsi ini yaitu Gunung Gamkonora di Kabupaten Halmahera Barat, Gunung Ibu dan Gunung Dakona di Kabupaten Halmahera Utara, dan Gunung Kiebesi di Halmahera Selatan. Gunung Gamalama sendiri terletak di Pulau Ternate dan memiliki ketinggian sekitar 1.715 m dpl (Yusup, 2009). Gunung Gamalama ditutupi oleh hutan Montane pada ketinggian 1.200 - 1.500 m dan hutan Ericaceous pada ketinggian di atas 1.500 m (Anonim, 2008). Meski terkesan berbahaya, Gunung Gamalama menyimpan pesona kecantikan yang luar biasa. Maka tidak heran jika banyak para penjelajah alam yang sangat tertarik untuk mendaki gunung tersebut. Hamparan kebun cengkeh dan pala terdapat di sepanjang perjalanan menuju puncak. Dari puncak gunung dapat dilihat pemandangan Pulau Ternate dan beberapa pulau lainnya seperti Pulau Tidore, Pulau Halmahera, dan Pulau Maitara (Kalipaksi, 2008; Yusup, 2009). Selain pemandangannya yang mempesona, di kawasan Gunung Gamalama juga memiliki tempat-tempat yang menarik seperti mata air dalam lekukan batu seluas loyang besar yang oleh masyarakat setempat disebut Mata Air Abdas. Konon mata air ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Selain itu juga ada kuburan leluhur masyarakat Ternate yang sudah berumur ratusan tahun (Kalipaksi, 2008; Yusup, 2009). Gunung Gamalama merupakan sebuah stratovolkano, yakni gunung berapi yang tinggi dan mengerucut, yang terdiri atas lava dan abu vulkanik yang mengeras. Gunung yang berdiameter 11 km ini, memiliki danau kawah dan kawah ganda. Sejak tahun 1538 M hingga saat ini, Gunung Gamalama telah
menyemburkan laharnya lebih dari 70 kali. Enam diantaranya menyebabkan bencana alam, yakni pada tahun 1771—1772 yang menewaskan sekitar 30 orang, sekitar 1.300 orang tewas akibat gelombang badai yang disebabkan letusan pada tahun 1775, dan letusan di tahun 1962 yang memakan korban sekitar 5 orang (Yusup, 2009). Gunung Gamalama terakhir meletus tahun 1983. Tiga tahun sebelumnya yaitu tahun 1980, gunung itu juga meletus sehingga mengakibatkan warga kota Ternate harus mengungsi ke pulau lainnya seperti ke Pulau Tidore dan Halmahera. Pada bulan Mei 2009 Gunung Gamalama tertutup bagi kegiatan pendakian karena statusnya mencapai level Waspada II. (ANTARA News, 2009). Dengan seringnya Gunung Gamalama meletus, maka kemungkinan hilangnya jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di sekitar kawasan juga besar. Monk, dkk (1997) menyebutkan bahwa abu dari letusan Gunung Gamalama telah menghancurkan vegetasi di Ternate kecuali pohon-pohon besar. Di sisi lain, pemanfaatan tumbuhan secara umum oleh masyarakat di sekitar kawasan Gunung Gamalama masih kurang. Jenis-jenis pohon berkualitas tinggilah yang dikenal masyarakat, bahkan mereka telah mengeksploitasinya. Jenis-jenis tumbuhan yang sudah sangat akrab dengan kehidupan masyarakat adalah kelapa, cengkeh dan pala. Sedang pengenalan dan pemanfaatan tumbuhan lainnya masih sangat kurang. Padahal di kawasan Gunung Gamalama masih menyimpan kekayaan tumbuhan yang cukup besar dan tidak sedikit diantaranya dapat dimanfaatkan. Tumbuhan paku adalah salah satu kelompok tumbuhan yang belum banyak dikenal masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginventarisasi jenis-jenis tumbuhan paku
II-85
yang terdapat di kawasan Gunung Gamalama. Hasil dari penelitian diharapkan dapat dijadikan data awal dari keragaman tumbuhan di kawasan ini yang sebelumnya belum pernah terungkap. Metodologi Penelitian tentang jenis-jenis tumbuhan paku yang terdapat di kawasan Gunung Gamalama dilakukan pada bulan JuliAgustus 2009. Kawasan yang diamati meliputi kebun pala, kebun cengkeh, serta daerah hutan di kawasan Gunung Gamalama yang terletak pada ketinggian 300-1.500 m dpl. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksploratif. Untuk jenis-jenis yang belum diketahui nama jenisnya diambil spesimen herbariumnya guna dilakukan identifikasi lebih lanjut. Pengamatan dan pengoleksian dilakukan untuk mengetahui keberadaan tumbuhan paku baik yang tumbuh secara terestrial maupun epifit. Selain itu juga dilakukan pencatatan mengenai kondisi umum habitat seperti kondisi vegetasi, ketinggian tempat, suhu dan kelembaban udara serta vegetasi yang ada di sekitarnya. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi terungkap bahwa di kawasan Gunung Gamalama ditemukan 13 jenis tumbuhan paku yang terdiri atas 5 jenis terestrial dan 8 jenis epifit. Ke-13 jenis tersebut disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan kawasan Gunung Gamalama NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
NAMA JENIS Antrophyum reticulatum (Forst.) Kaulf. Asplenium nidus L. Asplenium scortechinii Bedd. Asplenium spathulinum J.Sm. Belvisia mucronata (Fėe) Copel. Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.) Copel. Cyclosorus heterocarpus (Blume) Ching Davallia denticulata (Burm.f.) Mett. ex. Kuhn Grammitis peninsularis Copel. Microsorum heterocarpum Ching Microsorum membranifolium (R.Br.) Ching Schizaea dichotoma (L.) Sm. Vittaria hirta Fėe
paku
di
NAMA SUKU Vittariaceae
HABITUS Epifit
Aspleniaceae Aspleniaceae
Polypodiaceae
Epifit Terestrial, epilithik Terestrial, epilithik Epifit
Cyatheaceae
Terestrial
Thelypteridaceae
Terestrial
Davalliaceae
Epifit
Grammitidaceae
Epifit
Polypodiaceae
Epifit
Polypodiaceae
Epifit
Schizaeaceae
Terestrial
Vittariaceae
Epifit
Aspleniaceae
Pengamatan pada habitat kebun cengkeh dan pala dilakukan di daerah Maliaro dan sekitarnya yang terletak pada ketinggian 300-900 m dpl. Kebun cengkeh dan pala ini merupakan daerah perkebunan yang cukup tua. Menurut keterangan penduduk setempat sebagian besar tanaman cengkeh dan pala telah berumur lebih dari 30 tahun. Pada beberapa daerah yang terbuka penduduk menanaminya dengan tanaman palawija ataupun sayur-sayuran. Suhu udara di lokasi ini pada siang hari sekitar 25ºC pada daerah yang terlindung dan mencapai 30ºC untuk daerah yang terbuka dengan kelembaban udara rata-rata 75%. Di kedua habitat ini jenis tumbuhan paku yang banyak ditemukan adalah Cyclosorus heterocarpus. Jenis ini memang sangat menyukai tempat yang terbuka, sehingga di lokasi ini sangat mendominasi sebagai tumbuhan bawahnya. Di lantai hutan juga ditemukan tumbuhan paku berukuran kecil yang jarang ditemukan di alam, Schizaea dichotoma. Karena perawakannya yang kecil dan menyerupai rumput, maka agak sulit untuk menemukan tumbuhan ini. Selain itu juga ditemukan Asplenium nidus yang tumbuh di batang pohon pala dan Belvisia mucronata yang menempel di pohon cengkeh. Pengamatan di kawasan hutan dilakukan pada jalur pendakian Gunung Gamalama dari Desa Air Tege-Tege. Suhu udara di lokasi ini pada siang hari 190C dengan kelembaban udara rata-rata 78%. Kawasan hutan campuran terletak mulai pada ketinggian 1.000 m dpl. Daerah ini merupakan lokasi proyek reboisasi yang ditanami dengan jenis-jenis tanaman penghijauan seperti kenari (Canarium indicum L.), mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.), dan durian (Durio zibethinus Murr.). Vegetasinya merupakan kawasan hutan hujan tropika pengunungan rendah. Jenis tumbuhan yang mendominasi adalah sengon (Paraserianthes falcataria (L.) I. C. Nielsen), Areca vestiaria Giseke dan paku pohon (Cyathea sp.). Sedangkan tumbuhan herba yang mendominasi adalah Alpinia spp. (Zingiberaceae); Alocasia sp. dan Scindapsus sp. (Araceae), serta Elatostema sp. (Urticaceae). Di lokasi ini juga banyak ditemukan tumbuhan memanjat dari suku Pandanaceae yaitu Freycinetia sp. Di hutan campuran ini ditemukan jenis Cyclosorus heterocarpus, Asplenium scortechinii, Asplenium spathulinum, Vittaria hirta, Davallia denticulata dan Cyathea contaminans. Jenis Cyclosorus heterocarpus menempati lantai hutan, tumbuh bersama Alpinia spp., Alocasia sp., Scindapsus sp., serta Elatostema sp. Asplenium scortechinii
II-86
dan Asplenium spathulinum tumbuh di atas bebatuan yang berserasah tebal. Kedua jenis ini memang dapat tumbuh baik secara terestrial maupun epilitik. Sedangkan paku pohon Cyathea contamminans tumbuh dengan subur diantara pepohonan. Jenis Cyathea ini sangat mudah dikenali karena rambut-rambut pada pucuknya yang berwarna putih, serta tangkai daunnya berwarna ungu keputihan. Paku epifit yang ditemukan menempel di pepohonan adalah Vittaria hirta, Davallia denticulata dan Vittaria hirta. Pada habitat hutan yang masih didominasi oleh vegetasi asli, tumbuhan paku yang dijumpai adalah Antrophyum reticulatum, Grammitis peninsularis, Microsorum heterocarpum dan Microsorum membranifolium. Keempat jenis ini merupakan epifit di pohon-pohon besar. Antrophyum reticulatum, Microsorum heterocarpum dan Microsorum membranifolium memiliki perawakan yang besar sehingga mudah dilihat. Pada umumnya ketiga jenis ini tumbuh subur terutama pada pohon yang berhumus tebal. Sedang Grammitis peninsularis agak sulit dikenali, karena selain ukurannya yang kecil, rumpunnya juga kecil-kecil. Namun setelah melihat sori yang berukuran besar di permukaan bawah daunnya, dapat segera dikenali bahwa tumbuhan tersebut adalah paku-pakuan. Kunci menuju jenis : 1.a. Tumbuh secara epifit …………….….…... 2 1.b. Tumbuh secara terestrial ………….……. 9 2.a. Akar rimpang pendek ………………...…. 3 2.b. Akar rimpang panjang ……………..………………. Davallia denticulata 3.a. Daun tersusun dalam roset …………….……………….….. Asplenium nidus 3.b. Daun tidak tersusun dalam roset ………. 4 4.a. Spora tersusun dalam bulir ……………………….….…. Belvisia mucronata 4.b. Spora tidak tersusun dalam………..……. 5 5.a. Daun monomorfik ………………….….…. 6 5.b. Daun dimorfik … …………………… Microsorum membranifolium 6.a Daun berbentuk garis ……….. Vittaria hirta 6.b. Daun tidak berbentuk garis ………..……. 7 7.a. Daun diselimuti rambut-rambut yang panjang ……….………. Grammitis peninsularis 7.b. Daun diselimuti rambut-ramb …………… 8 8.a. Sori tersebar tidak teratur di seluruh helaian daun ……... Microsorum heterocarpum 8.b. Sori tersusun dalam barisan pada uraturat daun ………….…. Antrophyum reticulatum 9.a. Spora tersusun dalam baris …………… 10 9.b. Spora tidak tersusun dalam baris …...…11 10.a. Berdaun tunggal .. Asplenium scortechinii
10.b. Berdaun majemuk ………………….……… Asplenium spathulinum 11.a. Daun majemuk ………………………… 12 11.b. Daun tunggal berbentuk seperti pita dengan bagian ujung melebar menyerupai bulu burung merak …..………..………. Schizaea dichotoma 12.a. Memiliki batang yang panjang seperti pohon ………...… Cyathea contaminans 12.b. Memiliki akar rimpang tegak pendek ……………………….. Cyclosorus heterocarpus Berikut adalah pengetahuan botani dari masing-masing tumbuhan paku yang terdapat di kawasan Gunung Gamalama. Antrophyum reticulatum (Forst.) Kaulf. Jenis paku yang dikenal dengan nama Paku Palea ini dapat ditemukan mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi sekitar 1.300 m dpl. Menyukai tempat yang teduh dan lembab, misalnya pohon atau batu-batuan berlumut tebal yang berada di tepi atau sekitar aliran sungai. Jenis ini juga tidak jarang tumbuh di atas batuan kapur. Daerah penyebarannya meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Irian (Sastrapradja & Afriastini, 1985). A. reticulatum memiliki akar rimpang yang tidak terlalu panjang. Akarnya banyak, ditutupi oleh bulu-bulu halus. Daun merupakan daun tunggal, berbentuk elips sampai lanset memanjang, bertekstur seperti kulit, permukaan atas berwarna hijau gelap, tersusun saling berdekatan, tangkai daun tidak terlihat nyata karena helaian daun tumbuh melanjut sampai ke bagian pangkalnya. Sori tersusun pada urat-urat daunnya yang berbaris memanjang. Urat daun berbentuk seperti jala. Asplenium nidus L. Jenis anggota suku Aspleniaceae ini memiliki beberapa sinonim yaitu Neotopteris nidus (L.) J. Smith, Thamnopteris nidus (L.) Presl., dan Asplenium musifolium J. Smith ex Mett. Jenis ini biasanya dikenal dengan nama bird’s nest fern, pakis sarang burung, atau lokot. Paku epifit dengan akar rimpang kokoh, tegak, bagian ujung mendukung daun-daun yang tersusun roset, di bagian bawahnya terdapat kumpulan akar yang besar dan rambut berwarna coklat, bagian ujung ditutupi sisik-sisik sepanjang sampai 2 cm, berwarna coklat hitam. Tangkai daun kokoh, hitam, panjang sekitar 5 cm. Daun tunggal, panjang sampai 150 cm, lebar sampai 20 cm, perlahan-lahan menyempit sampai bagian ujung, ujung dan dasar meruncing atau runcing. Tulang daun menonjol di permukaan atas daun, biasanya hampir rata ke bawah, berwarna coklat tua pada daun tua. Urat daun bercabang tunggal, kadang bercabang dua, cabang pertama dekat bagian tengah sampai
II-87
±0,5 mm dari tepi daun. Tekstur daun seperti kertas. Sori tersusun dalam bentuk garis, terdapat di atas tiap urat daun dan cabangcabangnya mulai dari dekat bagian tengah daun sampai bagian tepi, hanya sampai bagian tengah lebar daun. Secara umum tumbuhan ini banyak ditemukan baik di dataran rendah maupun daerah pegunungan sampai ketinggian 2.500 m dpl. Sering menumpang di batang pohon tinggi. Menyukai daerah yang agak lembab dan tahan terhadap sinar matahari langsung. Tersebar di seluruh daerah tropik. Jenis ini sudah umum untuk tanaman hias. Selain itu juga dapat digunakan sebagai obat tradisional seperti sebagai penyubur rambut, obat demam, obat kontrasepsi, depuratif, dan sedatif (de Winter and Amorosa, 1992). Asplenium scortechinii Bedd. Jenis ini merupakan anggota suku Aspleniaceae, dikenal dengan nama kadaka dasi. Biasanya tumbuh secara epifit. Akar rimpangnya menjalar pendek, bagian ujung ditutupi oleh sisik-sisik coklat. Daun tunggal, memanjang. Tangkai daun ±3 cm, saat muda bersisik halus. Daun panjang sampai 100 cm, lebar 4-5 cm, meruncing ke arah pangkal dan ujung, tekstur seperti kertas saat kering, berwarna hijau pucat saat segar dan coklat terang saat kering, urat daun jelas tetapi tidak menonjol ke permukaan, tunggal atau bercabang. Sori mulai dari dekat tulang daun sampai sekitar 23 mm dari bagian tepi. Indusia pucat, lebar ±1 mm. Jenis ini biasanya tumbuh di hutan pada ketinggian 500–1.500 m dpl. Menurut Holttum (1966) jenis ini hanya ditemukan di kawasan Malaya. Namun pada kenyataannya dapat ditemukan pula di Sumatera. Perawakannya yang manarik membuat jenis ini berpotensi sebagai tanaman hias. Asplenium spathulinum J.Sm. Jenis ini memiliki akar rimpang yang menjalar pendek, mendukung tangkai-tangkai daun yang tuft, bagian ujung tertutupoleh sisik-sisik berwarna coklat yang panjangnya sekitar 8 mm. Panjang tangkai daun sekitar 30 cm, berwarna hijau abu-abu gelap, glabrescent permukaan atasnya beralur. Helaian daun majemuk ganda dua atau tiga atau semu majemuk ganda tiga di bagian pangkal, panjang sampai 40 cm, lebar 20 cm; anak daun terpisah satu dengan lainnya, bagian yang paling bawah paling panjang, anak daun selanjutnya semakin kecil. Panjang anak daun yang paling besar sekitar 14 cm dan lebar 3-4 cm, panjang tangkai sekitar 5 mm; anak daun letaknya saling berdekatan namun tidak saling tumpang tindih, melebar di bagian pangkal dan membulat di bagian ujung, tekstur seperti
kertas. Sori biasanya agak panjang, indusium coklat, lebar sekitar 0,7 mm; spora gelap. M. heterocarpum di alam tersebar di Sri Lanka, Hainan, dan Malaysia. Biasanya tumbuh di atas bebatuan atau pohon-pohon di hutan yang lembab. Belvisia mucronata (Fėe) Copel. Jenis ini merupakan anggota dari suku Polypodiaceae. Di dunia internasional dikenal dengan nama Needle fern atau Tailed fern. Sebelum dikenal dengan nama Belvisia mucronata (Fėe) Copel., jenis ini juga memiliki nama lain (sinonim) seperti Hymenolepis mucronata Fėe, Macroplenthus mucronatus Tagawa, Hymenolepis callifolia H. Christ, Belvisia callifolia (H. Christ) Copeland, Hymenolepis spicata forma longipaleacea Alderw. dan Hymenolepis mucronata var. nigropunctata C. Chr. B. mucronata memiliki akar rimpang yang menjalar pendek, tebal 2-5 mm, ditutupi oleh sisik-sisik berwarna coklat kemerahan sampai hitam. Panjang tangkai daunnya mencapai 6 cm, diameter 1-2 mm; helaian daun berbentuk garis sampai garis-lanset, 1050 X 1-5 cm, menyempit ke arah pangkal dan ujung. Di bagian ujung daun terdapat bagian fertil berupa bulir berbentuk garis, 3-25 X 0,30,7 cm. Sori terdapat di bagian tepi, menutup rapat seluruh permukaan bawah bulir saat masak, berwarna kecoklatan sampai hitam, bagian tepi rata sampai bergigi. Di alam jenis ini tumbuh epifit di semua jenis pohon atau di atas bebatuan; di hutan primer maupun sekunder, pada ketinggian 0-1.500 m dpl. Daerah penyebarannya meliputi seluruh kawasan Malesia, Sri Lanka, Indo China, Taiwan, Australia, Pasifik dan Polinesia. Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.) Copel. Paku pohon ini merupakan salah satu jenis dari suku Cyatheaceae. Dinamakan paku pohon karena bentuk perawakannya yang mirip pohon. Jenis ini mempunyai beberapa sinonim antara lain Polypodium contaminans Wall. Cat., Alsophila glauca J. Sm., Alsophila contaminans Wall. ex Hook., Alsophila acuta Presl, Alsophila smithiana Presl dan Alsophila clementis Copel (Holttum, 1972). Jenis ini merupakan tumbuhan paku berbentuk pohon, berperawakan ramping, tinggi dapat mencapai 10 m atau lebih. Batang bagian bawah tumbuhan ini berwarna hitam karena ditutupi oleh akar-akar serabut hitam, kasar, rapat, dan tebal. Pada batang yang sudah tua terdapat lekukan-lekukan dangkal yang merupakan bekas tangkai daun yang sudah lepas. Jenis ini memiliki penampilan khusus yang mudah dibedakan dengan jenis
II-88
paku lainnya yaitu tangkai daun dan rakisnya berwarna keunguan dan berduri, selain itu pada ujung batang dan pangkal tangkai daun terdapat bulu-bulu halus berwarna coklat keputihan. Di alam jenis ini biasanya tumbuh di hutan yang telah dibuka dan di tempat-tempat yang terbuka, khususnya di dekat sungai. Dapat ditemukan pada ketinggian 200-1.600 m dpl. Daerah penyebarannya di seluruh kawasan Malaysia dan di Semenanjung India. Tumbuhan ini mempunyai banyak manfaat. Batangnya banyak digunakan untuk bahan patung, tiang-tiang dekorasi rumah mewah atau hotel-hotel, vas bunga, maupun sebagai media tanam. Daun yang masih menggulung digunakan sebagai bahan sayur. Bulu-bulu halus digunakan untuk ramuan obat rebus. Cyclosorus heterocarpus (Blume) Ching. Jenis yang termasuk suku Thelypteridaceae ini memiliki beberapa sinonim yaitu Aspidium heterocarpum Blume, Dryopteris heterocarpa (Blume) O. Kuntze, Thelypteris heterocarpa (Blume) Morton, dan Sphaerostephanos heterocarpus (Blume) Holttum. Di alam jenis ini tersebar mulai dari China Selatan, seluruh Asia Tenggara sampai Australia dan Polinesia. Biasanya tumbuh di tempat ternaung di dataran rendah sampai ketinggian 1.500 m dpl, di dekat sungai atau jalan setapak di hutan. Di daerah pegunungan dapat tumbuh lebih besar. Daunnya dapat digunakan untuk obat leucoderma, selain untuk tanaman hias (de Winter and Amoroso, 2003). C. heterocarpus merupakan tumbuhan paku terestrial yang berdaun majemuk, berambut, anak-anak daun mereduksi di tangkai daun. Rimpangnya tegak, biasanya bercabang dekat bagian pangkal, bersisik coklat. Daunnya majemuk tunggal atau semi majemuk ganda, panjang tangkai daun 50-80 cm; helaian daun jorong–lanset, panjang sampai 120 cm, anak daun garis sampai garis melanset, panjang sampai 20 cm, yang fertil lebih sempit dari yang steril, duduk. Sori bulat, berderet di sepanjang tepi daun. Davallia denticulata (Burm.f.) Mett. ex. Kuhn. Tumbuhan paku yang dikenal dengan nama daerah Paku tertutup atau pulak ini memiliki sinonim Adiantum denticulatum Burm.f.; Davallia elegans Swartz; dan Trichomanes chaerophylloides Poir. ini pada umumnya tumbuh menempel di batang-batang pohon. Paku ini dapat pula tumbuh pada tanah-tanah cadas, karang atau batu-batu (de Winter and Amoroso, 2003). Di kawasan Gunung Gamalama jenis ini tumbuh dengan subur. Di alam jenis ini tersebar di Asia Tropika, Polinesia, dan Australia. Biasanya
tumbuh di dataran rendah terutama di daerahdaerah di sekitar pantai. Perawakannya cukup menarik untuk tanaman hias. Dapat ditanam baik di tempat yang terlindung maupun terbuka. Jenis paku ini mempunyai rimpang yang kuat, berdaging, dan agak menjalar. Rimpang yang muda ditutupi oleh sisik-sisik berwarna coklat terang dan padat. Daunnya majemuk, tumbuh menjuntai, panjang sampai 1 meter. Daun berbentuk segitiga, menyirip ganda tiga atau empat, kaku dan kuat, permukaan licin mengkilat. Tangkai daun berwarna coklat kehitaman. Indusia terdapat di lekukan-lekukan di sepanjang tepi daun, berbentuk menyerupai setengah lingkaran. Grammitis peninsularis Copel. Tumbuhan ini memiliki akar rimpang pendek dengan sisik-sisik berwarna coklat terang sepanjang 2-3 mm. Tangkai daun sekitar 1 cm, berambut pendek. Daun tunggal, panjang 3-7 cm, lebar 3-5 mm, perlahan-lahan menyempit ke bagian pangkal, bagian ujung melebar membundar, seluruh permukaannya ditutupi rapat oleh rambut-rambut berwarna merah gelap sepanjang 0,25-0,5 mm, tekstur tipis, tidak mengkilat dan tidak jelas adanya uraturat daun.Sori terletak di dekat tulang daun, kadang-kadang bersentuhan satu dengan yang lain ketika telah masak. Jenis ini biasanya ditemukan di pohonpohon yang berlumut di hutan yang lembab di dataran tinggi (Holttum, 1966). Microsorum heterocarpum Ching. Holttum (1966) menyebutkan bahwa jenis ini memiliki basinim Polypodium heterocarpum Bl. Sedang sinonimnya adalah Polypodium zollingerianum Kze dan Pleopeltis scortechinii (Bak.) Bedd. Akar rimpang M. heterocarpum menjalar pendek, diameter sekitar 5 mm, mendukung daun setiap kurang lebih 5 cm, bagian yang muda bersisik coklat. Tangkai daun bersayap mulai dari bagian pangkal, sayap perlahan-lahan melebar ke bagian atas dan menyatu dengan helaian daun, panjang 15-50 cm. Daun tunggal, panjang 20-40 cm, lebar 6-10 cm, dari bagian tengah ke arah pangkal melebar, bagian ujung meruncing, tepi rata, tekstur tipis, tulang daun menonjol di bagian bawah, urat daun agak tidak beraturan. Sori tersebar tidak teratur, ukuran agak besar, biasanya berbentuk bulat, ketika masak lebarnya lebih dari 1 mm. Jenis ini di alam tersebar di Malaysia. Biasanya tumbuh di atas bebatuan yang terdapat di dekat sungai di hutan primer mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 4.000 feet.
II-89
Microsorum membranifolium (R.Br.) Ching. Sinonim dari jenis ini adalah Polypodium membranifolium R. Br. dan Polypodium membranifolium var. subsimplex Domin (Andrews, 1990), Polypodium nigrescens Blume, Phymatodes nigrescens (Blume) J. Smith, Pleopeltis nigrescens (Blume) Bedd., Microsorum nigrescens (lume) Copel., dan Phymatosorus nigrescens (Blume) Pichi Serm (De Winter and Amoroso, 2003). Paku ini dikenal dengan nama Pimple fern. Akar rimpangnya menjalar pendek, berdaging, berwarna kehijauan, bersisik coklat. Daunnya tunggal atau majemuk, panjang 40 sampai 1 m lebih; antar tangkai daun berjarak 1-2 cm; helaian daun berwarna hijau pucat, gundul, bercuping sangat dalam, sering dengan 3-5 pasang cuping, kadang lebih banyak lagi; cuping oval menyempit sampai memita, panjang 15-33 cm, lebar 3-5 cm, menyempit ke arah pangkal, bagian ujung meruncing panjang, bagian tepi kadang bergelombang, cuping ujung biasanya memanjang. Sori tanpa indusia, tersusun dalam satu baris pada setiap sisi. Jenis ini biasanya tumbuh epifit atau terestrial di hutan hujan. Tersebar mulai dari Sri Lanka sampai Polinesia. Di Queenslands terdapat di bagian timur laut. Schizaea dichotoma (L.) J.E. Smith. Jenis ini dikenal dengan nama rumput bulu merak (Sastrapradja, dkk, 1978). Nama ini mengacu pada bentuk daunnya yang seperti pita sehingga mirip sekali dengan rumput, dan di bagian ujung daun melebar menyerupai bulu burung merak, tempat sporangia. Tinggi tumbuhan ini 20-25 cm. Di Pulau Belitung penduduk memanfaatkan akarnya untuk obat batuk dan sakit tenggorokan. Selain itu juga digunakan sebagai obat setelah melahirkan. Di alam jenis ini tumbuh di tempat yang teduh dan lembab pada ketinggian 100 – 1.000 m di atas permukaan laut. Meskipun demikian di daerah yang kering, jenis ini dapat tumbuh dengan baik. Keberadaannya menyebar di seluruh kawasan hutan. Jenis ini tersebar mulai dari Madagaskar sampai ke Polinesia dan Australia. Vittaria hirta Fėe. Tumbuhan ini memiliki sinonim Vittaria pumila Mett. (Holttum, 1966). Akar rimpang dari tumbuhan ini menjalar pendek, mendukung daun-daun yang letaknya saling berdekatan. Daun tunggal, panjang 3-10 cm, lebar sekitar 1 mm, ketika masih sangat muda ditutupi oleh rambutrambut halus berwarna hitam sepanjang sekitar 1 mm, sebagian dari rambut ini tetap menempel sampai daun tua; tulang daun membentuk lekukan ke dalam di permukaan atas daun dan menonjol di permukaan
bawahnya. Sori terletak diantara tulang dan bagian tepi daun. Kesimpulan Inventarisasi tumbuhan paku di kawasan Gunung Gamalama, Pulau Ternate berhasil mengumpulkan 13 jenis yang sebagian besar merupakan tumbuhan paku epifit (8 jenis). Dua jenis tumbuh secara terestrial dan epilitik. Jenis-jenis yang juga umum ditemukan di daerah lain di Indonesia adalah Antrophyum reticulatum, Belvisia mucronata, Cyathea contaminans, Cyclosorus heterocarpus Davallia denticulata, Microsorum heterocarpum, Microsorum membranifolium dan Asplenium scortechinii. Sedang jenis Schizaea dichotoma, Vittaria hirta, Grammitis peninsularis, dan Asplenium spathulinum merupakan jenis-jenis yang termasuk jarang ditemukan di alam. Perubahan kawasan hutan menjadi kebun-kebun kelapa, cengkeh dan pala menyebabkan hilangnya habitat tumbuhan paku secara alami. Hanya jenis-jenis yang dapat beradaptasi dengan kondisi demikian yang masih dapat tumbuh dan berkembang. Aktivitas dari gunung berapi bisa menghancurkan vegetasi di sekitarnya sehingga bisa menghilangkan jenis-jenis tumbuhan yang tumbuh di kawasan tersebut. Pustaka Andrews SB (1990) Ferns of Queensland. Brisbane. Queensland Department of Primary Industries. Anonim (2008) Gunung Gamalama. http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option =com _content&task=view&id=3597&Itemid=1497). Diakses tanggal 8 Februari 2010 ANTARA News (2009) Gunung Gamalama di Ternate Terttup untuk Pendakian. http://www.antara.co.id/view/ ?i=1243446191&c=NAS&s=UMM. Diakses tanggal 8 Februari 2010. De Winter WP and VB Amorosa (Editors) (1992) Ferns and Fern Allies. Plant Resources of South East Asia No.15 (2). Bogor. Indonesia. Holttum RE (1966) A Revised Flora of Malaya. Vol.II. Ferns of Malaya. Singapore. Authority Government Printing Office.
II-90
Holttum RE (1972) Cyatheaceae. in Flora Malesiana. Vol.6 Serie II.. Groningen, The Netherlands.Wolters-Noordhoff Publishing Hoshizaki BJ and RC Moran (2001) Fern Grower’s Manual. Revised and Expanded Edition. Portland, Oregon. Timber Press. Hovenkamp PH, MTM.Bosman, E Hennipman, HP.Nootebom, G Rodl-Linder and MC Roos (1998) Polypodiaceae. in Flora Malesiana Vol. 3 Series II - Ferns and Fern allies. Rijksherbarium. Leiden. The Netherlands. 1234. Kalipaksi S (2008) Sebuah Catatan Tentang Gunung Gamalama. http://kalipaksi.multiply.com/reviews/item/166. Diakses tanggal 8 Februari 2010. Monk KA., Y de Fretes & G. ReksodiharjoLilley (1997) The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore. Sastrapradja S dan JJ Afriastini (1985) Kerabat Paku. Bogor. Lembaga Biologi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sastrapradja S, JJ Afriastini, D Darnaedi, dan EA Widjaja (1978) Jenis Paku Indonesia. Bogor. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Yusup (2009) Gunung Gamalama. http://wisata.voucher-hotel.com/wisata /maluku-utara/gunung-gamalama.html. Diakses tanggal 8 Februari 2010.