Prosiding SEMINAR NASIONAL
BIOLOGI Medan, 9 April 2016 Tema :
Implementasi Riset Hayati dan Pengembangannya di Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
Editor : Dr. Erni Jumilawaty, M.Si. (Biologi USU) Dr. Fitmawati, M.Si. (Biologi UNRI) Dr. It Jamilah, M.Sc. (Biologi USU) Prof. Dr. Manihar Situmorang, M.Sc. (Kimia UNIMED) Dr. Salomo Hutahaean, M.Si. (Biologi USU)
2016
USU Press Art Design, Publishing & Printing Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU Jl. Universitas No. 9 Medan 20155, Indonesia Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 usupress.usu.ac.id © USU Press 2016
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN 979 458 904 7 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) Prosiding Seminar Nasional Biologi: Implementasi Riset Hayati dan Pengembangannya di Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) / Editor: Erni Jumilawaty [et.al.] – Medan: USU Press, 2016. x, 402 p.: ilus.; 29 cm ISBN: 979-458-904-7 1. Riset Hayati
Dicetak di Medan, Indonesia
ii
I. Judul
LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 2016 Assalamu‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Seminar Nasional Biologi USUtanggal 9 April 2016 di Medan, merupakan seminar rutin tahunan yang diadakan oleh Departemen Biologi FMIPA USU, yang pada tahun ini mengusung Tema : "Implementasi riset hayati dan pengembangannya di era masyarakat ekonomi Asean (MEA)".Tema ini kami pilih sehubungan dengan diterapkannya MEA oleh pemerintah tahun 2015 ini. Oleh karena itu perlu adanya stategi dalam mengimplmentasikan dan mengembangkan hasil riset hayati supaya dapat bersaing dengan produk lainnya di era MEA ini. Seminar berlangsung selama satu hari dan dibagi atas dua sesi yaitu sesi plenari dan parallel. Sesi plenari disampaikan oleh 4 orang pembicara utama sementara sesi parallel disampaikan oleh beberapa orang pemakalah yang dikelompokkan atasdalam 5 topik dari bidang Biologi yaitu Kenekaragaman hayati, Lingkungan, Mikrobiologi dan Biologi Molekuler, Struktur Dan Fungsi Tumbuhan, Struktur Dan Fungsi Hewan, Biofarmaka Dan Biomedis Kegiatan Seminar Nasional Biologi dihadiri oleh kurang lebih 250 orang peserta, dan 66 orang diantaranya adalah peserta pemakalah. Peserta Seminar datang dari berbagai daerah di wilayah tanah air terutama Sumatera dan Pulau Jawa yaitu antara lain Aceh, Sumatera Barat, Riau, Palembang, Bandung, Bogor dan Sumatera Utara sendiri yaitu (Medan dan P. Sidempuan). Tujuan dari seminar ini adalah memfasilitasi sharing pengalaman dan informasi ilmiah dalam berbagai bidang penelitian hayati di era MEA serta membangun jejaring dan kerjasama penelitian antar lembaga pendidikan tinggi, peneliti, pemerhati dan stakeholders di era MEA. Panitia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung terselenggaranya kegiatan seminar Nasional Biologi hingga selesainya Prosiding khususnya kepada Rektor USU, Dekan FMIPA USU, pemakalah oral dan peserta, sponsor, dan seluruh panitia. Setulusnya kami mohon maaf jika ada kekurangan di sana sini, dimana semua itu bukanlah suatu kesengajaan tetapi karena kelemahan dan keterbatasan kami. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi kita semua Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Medan, 09 April 2016 Dr. Yurnaliza, M.Si
iii
SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PADA PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL BIOLOGI TAHUN 2016 (SABTU, 09 APRIL 2016) Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua. Hadirin yang saya hormati. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena atas Berkah dan Karunia-Nya, kita dapat hadir pada Seminar Nasional Biologi tahun 2016. Rektor Universitas Sumatera Utara mengucapkan selamat kepada Dekan FMIPAUSU, Ketua Departemen Biologi FMIPA-USU dan Panitia Seminar Nasional Biologi, atas terselenggaranya seminar yang merupakan hasil kerjasama yang solid. Universitas Sumatera Utara memperoleh kehormatan menjadi tuan rumah seminar ini, kususnya Biologi FMIPA. Seminar dengan tema “Implementasi Riset Hayati dan Pengembangannya di Era Masyarakat Ekonomi Asean” menjadi satu momen penting bagi para Peneliti, Akademisi, Praktisi, Mahasiswa Strata dan Pasca Sarjana, juga pemerhati ilmu pengetahuan pada umumnya, baik bidang Biologi Biofarmasi, dan Biomedik khususnya. Kita bertemu disini untuk menyampaikan dan berbagi informasi tentang hasilhasil Penelitian Biologi, dan Perkembangan ilmu biologi. Seminar ini pasti banyak memberikan kontribusi hasil-hasil Riset Biologi. Optimalisasi Terapannya untuk membangun Bangsa ini menjadi Mandiri di Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Riset Biologi selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan keilmuan di bidang Biologi sesuai dengan perkembangannya secara nasional maupun internasional. Kekayaan hayati Indonsia sangat banyak dan beragam sudah dikenal dunia diharapkan tidak hanya menjadi semboyan dan senandung para ilmuwan. Kekayaan hayati tersebut merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia yang diamanahkan Sang Pencipta untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kejayaan bangsa. Riset dan implementasinya di bidang Biologi harus lebih didorong untuk maju, ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya dan dilakukan berkesinambungan. terutama dalam menghadapi persaiangan terbuka di era MEA yang sudah dimulai sejak Desember 2015. Hasil dari Riset tersebut selanjutnya dapat diAplikasikan dalam kehidupan untuk membangun kemandirian masyarakat untuk siap menjadi tenaga ahli, sehingga Sumber Daya Manusia Indonesia menjadi komoditi unggulan. Semoga seminar seperti ini dapat berkesinambungan baik di Biologi FMIPA-USU maupun di Perguruan Tinggi daerah-daerah lain di Indonesia. Kami mengucapkan “Selamat Datang Sumatra Utara Medan” kepada Tamu Undangan, Pembicara Kunci, Penyampai Makalah dan Peserta Seminar yang hadir, khususnya yang berasal dari luar Medan semoga mendapatkan Ilmu dan Pengalaman yang berguna selama berada di sini dan Saya ucapkan selamat mengikuti Seminar Nasional Biologi. Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa semoga Seminar Nasional Biologi Tahun 2016 memberikan manfaat bagi kita semua. Selamat pagi, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Medan, 09 April 2016 Rektor Universitas Sumatera Utara
iv
DAFTAR ISI LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 2016 ............................ iii SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS SUMATERA UTARA .......................................... iv DAFTAR ISI ............................................................................................................................. v
PEMBICARA UTAMA BIOLOGI BARU DAN PENGEMBANGANNYA DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) Adi Pancoro ............................................................................................................................... 3 MIKROBIOTA MANUSIA DAN PERANNYA YANG BERAGAM BAGI INANGNYA Diana E. Waturangi ................................................................................................................... 7 KEANEKARAGAMAN KUPU-KUPU SUMATERA DAN PEMANFAATANNYA UNTUK TUJUAN EKOWISATA Dahelmi ..................................................................................................................................... 8 MIKROBA SEBAGAI AGEN REMEDIASI DAN PENGELOLAAN HAYATI RAMAH LINGKUNGAN Erman Munir............................................................................................................................ 19
LINGKUNGAN PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL KULIT DAN DAGING BUAH P ALA (Myristica fragrans Houtt.) TERHADAP MORTALITAS LARVA Aedes aegypti INSTAR III Abdullah, Lisda Arwadeni dan Safrida ................................................................................... 23 AKTIVITAS EKSTRAK DAUN LIDAH MERTUA (Sansevieria trifasciata) TERHADAP PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH Arief Rachmawan, Andi Wijaya dan Cici Indriani Dalimunthe ............................................. 35 KAJIAN MORFOLOGI, MORFOMETRI, DAN STATUS KONSERVASI PARI DI SUMATERA BAGIAN UTARA) Fretty Juniarti dan Mufti Sudibyo ........................................................................................... 41 AKTIVITAS MAKAN PADA GAJAH SUMATERA (Elephas maximus sumatranus) TERHADAP KERENTANAN BUDIDAYA PERTANIAN DI PROVINSI ACEH Kaniwa Berliani, Hadi S.Alikodra, Burhanuddin Masy‘ud, Mirza Dikari Kusrini ................. 48 PERKEMBANGAN ANAKAN KUNTUL BESAR (Egretta alba) DAN CANGAK ABU (Ardea cinerea) DI AREAL BREEDING SITE DESA TANJUNG REJO Karina Adelia, Erni Jumilawaty, Nursal .................................................................................. 62
v
JENIS –JENIS IKAN DI SUNGAI ASAHAN DESA MARJANJI ACEH DAN DESA LUBU ROPA KABUPATEN ASAHAN Mayang Sari Yeanny ................................................................................................................ 70 POLA DISTRIBUSI SPASIAL DAN HABITAT PREFERENSIAL Rusa timorensis DI PULAU PEUCANG TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Mufti Sudibyo, Yanto Santosa, Burhanuddin Masy‘ud, Toto Toharmat ................................. 75 KAJIAN MORFOLOGI, MORFOMETRI, DAN STATUS KONSERVASI HIU DI SUMATERA BAGIAN UTARA Puput Rahayu dan Mufti Sudibyo ............................................................................................ 84 PERILAKU PEMBENTUKAN PASANGAN BURUNG KUNTUL KERBAU (Bubulcus ibis L.) DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA TANJUNG REJO, KECAMATAN PERCUT SEI TUAN, KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA Ristia Diani, Erni Jumilawaty .................................................................................................. 91 HUBUNGAN ANTARA KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIAWI AIR SUNGAI EMPAYANG KASAPSUKAJADI-KABUPATEN LAHAT Saleh Hidayat, Susi Dewiyeti, Desven Hecca .......................................................................... 96
KEHATI STUDI ETNOBOTANI TUMBUHAN OBAT PADA MASYARAKAT SUKU NIAS KECAMATAN GUNUNG SITOLI ALO‘OAKOTA GUNUNG SITOLI Asaaro Telaumbanua, Alief Aththorick, Nursahara Pasaribu ................................................ 107 KAJIAN LIKEN SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA DI KAWASAN TERMINAL PINANG BARIS KOTA MEDAN Ashar Hasairin ........................................................................................................................ 113 KEANEKARAGAMAN JENIS MAKROZOOBENTHOS DI STASIUN RISET YAYASAN GAJAH SUMATERA (YAGASU) ACEH DESA TANJUNG REJO KEC. PERCUT SEI TUAN KAB. DELI SERDANG SUMATERA UTARA Hanifah Mutia ZNA, Ferdinand Susilo, Ida Fauziah ............................................................. 121 METAPOPULASI MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier 1809) DI PULAU JAWA BAGIAN BARAT Hendra Gunawan, Vivin S. Sihombing dan Robby Wienanto ............................................... 130 KERAGAMAN DAN HUBUNGAN KEKERABATAN FAMILI DICROGLOSSIDAE (AMFIBI : ORDO ANURA) BERDASARKAN MORFOMETRIK DI KAWASAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA Junaydy Michael Angelo Ginting, Arlen Hanel John, Saleha Hannum ................................. 141
vi
KEANEKARAGAMAN NEPENTHES DI SUMATERA UTARA Nurmaini Ginting ................................................................................................................... 150 EKOLOGI DAN DISTRIBUSI KEPUNDUNG (Baccaurea racemosa Muell. Arg) DI SUMATERA UTARA BAGIAN SELATAN Rumini Sukarwati, Nursahara Pasaribu dan Saleha Hannum................................................ 160 PERAN KEBUN RAYA SAMOSIR SEBAGAI PUSAT KONSERVASI FLORA PEGUNUNGAN SUMATERA BAGIAN UTARA DAN PENDUKUNG WISATA DANAU TOBA Sugiarti................................................................................................................................... 170 KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU (LEPIDOPTERA: RHOPALOCERA) PADA BEBERAPA HABITAT DI LEUPUNG ACEH BESAR Suwarno, Muhammad Toha Putra, Irvianty .......................................................................... 181 POPULASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax sp.) DI PERAIRAN DANAU TOBA, DESA MARLUMBA, KECAMATAN SIMANINDO, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA Villa Tamora T. purba, Ternala Alexander Barus, Hesti Wahyuningsih .............................. 189
MIKROBIOLOGI DAN MOLEKULER MARKA POLIMORFIK UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaies guineensis Jacq.)DENGAN MENGGUNAKAN RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA (RAPD) Arnen Pasaribu dan Lollie Agustina P.Putri .......................................................................... 201 KEMAMPUAN ISOLAT BAKTERI LAUT DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI E.coli DAN S. aureus PENYEBAB INFEKSI SECARA IN VITRO Diva Utami Anggraini, Fuji Astuti Febria dan Nasril Nasir.................................................. 207 SCREENING BAKTERI DARI PERAIRAN LAUT PARIAMAN PENGHASIL ENZIM PROTEASE Fitri Hepnita, Fuji Astuti Febria dan Anthoni Agustien ........................................................ 210 KARAKTERISTIK MIKROKAPSUL SINBIOTIK BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT PG7 YANG DIENKAPSULASI DENGAN ALGINAT, SUSU SKIM DAN INULIN Harnisya Nasution, It Jamilah, Nunuk Priyani ...................................................................... 214 POTENSI ISOLAT KAPANG ANTIBIOTIK DARI ―KABUTO‖ SEBAGAI INOKULUM YANG MENINGKATKAN KADAR PROTEIN PANGAN LOKAL
Jendri Mamangkey, Nurhayani, Nur Arfa Yanti ................................................................... 222 AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN Colubrina asiatica (L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus Munira, Nora Suraiya, Muhammad Nasir ............................................................................. 235 vii
PENAPISAN BAKTERI HALOFILIK DARI PERAIRAN LAUT KOTA PARIAMAN Rahmadani Marniyelita, Fuji Astuti Febria dan Anthoni Agustien ....................................... 241 KARAKTERISASI MIKROKAPSUL SINBIOTIK BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT UM1 YANG DIENKAPSULASI DENGAN ALGINAT, TEPUNG KACANG ARAB DAN INULIN Ria Yelvi Ningsih, It Jamilah, Dwi Suryanto ........................................................................ 244 TEST QUALITY FRESH VEGETABLES LETTUCE (Lactuca sativa) AND CABBAGE (Brassica oleracea) IN SOME TRADITIONAL MARKET IN MEDAN CITY SEEN FROM CONTENT THE BACTERIA Escherichia coli Sri Natalia Silaen, Herkules Abdullah ................................................................................... 252 PENGARUH SUPLEMENTASI BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT UM 1 DAN INULIN TERHADAP KULTUR BENIH IKAN NILA (Oreochromisniloticus) Virza Ratika Inneke Putri, It Jamilah, Nunuk Priyani ........................................................... 259 APLIKASI ISOLAT Bacillus cereus dan Pseudomonas aeruginosa TERHADAP Pyriculariagrisea PENYEBAB PENYAKIT BLAST PADA PADI CIHERANG Zuraidah, Marjulia Ukhra....................................................................................................... 268
STRUKTUR DAN FUNGSI HEWAN DAN BIOMEDIS DETEKSI DAN IDENTIFIKASI RESISTENSI INSEKTISIDA SINTETIK PADA Aedes aegypti VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA PADANG Hasmiwati, Djong Hon Tjong and Eka Novita ...................................................................... 277 EFEK PETIDIN TERHADAP PSIKOMOTORIK DAN FUNGSI KOGNITIF PADA MENCIT (Mus musculusL.) CEMAS DENGAN MENGGUNAKAN ALAT SISTEM OTOMATIS INTELLICAGE Putri Febriani Hasibuan, Syafruddin Ilyas, Salomo Hutahaean ............................................. 285 EFEK ALPRAZOLAM TERHADAP PERILAKU KOGNITIF DAN PSIKOMOTORIK PADA MENCIT (Mus musculus L.) DENGAN MENGGUNAKAN ALAT SISTEM OTOMATIS INTELLICAGE Rinda Febriananda, Syafruddin Ilyas, Salomo Hutahaean..................................................... 292 PENGARUH EKSTRAK METANOL DAUN SUREN (Toona sureni BL Merr) TERHADAP SGPT DAN JUMLAH ERITROSIT TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN YANG DIPAPARI KARBON TETRAKLORIDA (CCl4) Sera Wida Simatupang, Salomo Hutahaean, Masitta Tanjung .............................................. 302 PENGARUH MUSIK KLASIK MOZART TERHADAP PERILAKU MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIINDUKSI OLEH OBAT KLORPROMAZIN DENGAN MENGGUNAKAN ALAT OTOMATIS INTELLICAGE Siska Renata Sembiring, Syafruddin Ilyas, Emita Sabri ........................................................ 307
viii
UJI PATOGENITAS Beauveria bassiana PADA BEBERAPA MEDIA CAIR BUATAN TERHADAP MORTALITAS LARVA Aedes aegypti Yulia Sari Ismail, Yekki Yasmin, Nina Anggraini ................................................................ 317
STRUKTUR DAN FUNGSI TUMBUHAN KARAKTERISTIK LATEKS BEBERAPA KLON KARET (Hevea brasiliensis) PADA PERIODE BULAN KERING Andi Wijaya, Arief Rachmawan dan Sayurandi ................................................................... 325 HUBUNGAN KONSENTRASI STIMULAN ETEPON DAN PARAMETER PRODUKSI PADA BEBERAPA KLON TANAMAN KARET Atminingsih dan Tumpal H.S. Siregar .................................................................................. 331 PENGARUH 2,4 D, NAA dan KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BIJI BALAKA (Phyllanthus emblica L.) Boby Pranoto, Firda Novita, Aditiya Bungsu, Dwi Febrina, Isnaini Nurwahyuni................ 339 DAYA HAMBATASAM SALISILAT TERHADAP BEBERAPA PENYAKIT PENTING TANAMAN KARET Cici Indriani Dalimunthe dan Radite Tistama ....................................................................... 344 EMBRIOGENESIS SOMATIK DARI SALAK PADANGSIDEMPUAN (Salacca sumatrana) DENGAN PENAMBAHAN LISIN Khairiyah Khairuddin, Elimasni, Isnaini Nurwahyuni .......................................................... 351 UJI POTENSI HASIL PADI SALIBU DENGAN PEMBERIAN BOOSTER ORGANIK DAN BIOCHAR PUPUK KANDANG Martos Havena ....................................................................................................................... 358 POTENSI KAYU, BIOMASSA DAN MASSA KARBON POHON KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg) KOLEKSI PLASMA NUTFAH IRRDB 1981 Muhamad Rizqi Darojat dan Syarifah Aini Pasaribu ............................................................ 364 KADAR KLOROFIL DAN KERAPATAN STOMATA MAHONI (Swietenia macrophylla, King) PADA BEBERAPA LOKASI DI KOTA MEDAN Rani Apriyani Raharja, Isnaini Nurwahyuni, Riyanto Sinaga............................................... 372 HUBUNGAN ANTAR KARAKTER KUANTITATIF DAN ANALISIS KEMIRIPAN GENETIK HASIL PERSILANGAN TETUA KARET BERKERABAT JAUH Sayurandi dan M. Rizqi Darojat ............................................................................................ 379 ANATOMI DAUN DAN PENYAKIT COLLETOTRICHUM PADA TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) IRR SERI 400 Syarifah Aini Pasaribu dan Cici Indriani Dalimunthe ........................................................... 386
ix
ANALISIS KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER PADA BEBERAPA KOLEKSI GANDARIA (Bouea sp.) YANG BERASAL DARI SUMATRA, JAWA, KALIMANTAN, DAN AMBON Tri Harsono, Yusran E Ritonga, Desy Arwita ....................................................................... 397
x
Pembicara Utama
1
2
BIOLOGI BARU DAN PENGEMBANGANNYA DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) Adi Pancoro Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati – Institut Teknologi Bandung Disampaikan pada kegiatan Seminar Nasional Biologi FMIPA USU 2016 Dalam seminar ini disampaikan hal-hal yang berkaitan apa yang dimaksud dengan MEA, masih banyak dari masyarakat kita yang belum atau sudah sadar bahwa tahun akhir 2015 negara ASEAN sudah memasuki era MEA. Hal-hal apa yang perlu kita ketahui dan diantispasi dalam MEA khususnya yang berkaitan dengan daya saing produk dan jasa teknologi & hayati yang dikembangkan dari R&D dan inovasi serta kepemilikan intelektual (HKI) yang berbasis hayati. Kita harus mengetahui produk dan jasa hayati yang akan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan 600 juta penduduk ASEAN dan upaya apa untuk kesiapan sumber daya manusia (SDM), khususnya lulusan perguruan tinggi atau tenaga profesi yang siap berdaya saing dengan lulusan diantara ASEAN yang bekerja di industri, lembaga penelitian, tenaga pengajar di PT/ Universitas dll. Pada kesempatan ini secara umum dan khusus disampaikan bagaimana peran ilmu hayati (Life Science) dalam menciptakan perannya mulai dari penelitian dasar, penelitian terapan sampai menjadi produk teknologi yang berdaya saing. Pada tahun 2007, para pemimpin ASEAN memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015. Dalam cetak biru MEA disebutkan, ada empat elemen kunci dari AEC yang dituangkan : (1) Sebuah pasar tunggal dan basis produksi, (2) Sebuah kawasan ekonomi kompetitif, (3) pembangunan ekonomi yang adil dan (4) Integrasi ke dalam ekonomi global. Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dimulai tahun 2015 secara substansial meliputi antara lain, (1)menghilangkan tarif dan memfasilitasi perdagangan; (2)memajukan agenda liberalisasi jasa perdagangan; (3)liberalisasi dan memfasilitasi investasi; (4)merampingkan dan harmonisasi modal pasar kerangka regulasi dan platform; (5)memfasilitasi mobilitas tenaga kerja terampil; (6)mempromosikan pengembangan kerangka regional di kebijakan persaingan, hak perlindungan konsumen dan kekayaan intelektual; (7)mempromosikan konektivitas; (8)mempersempit kesenjangan pembangunan; (9)dan memperkuat hubungan ASEAN dengan pihak eksternal. Mengapa ASEAN sangat penting sebagai pasar tunggal dan pusat produksi ? ada sekitar 600 juta penduduk, ratusan juta konsumen kelas menengah dengan potensi ekonomi sekitar $2.3 trilliun dan $5.3 trilliun dalam perdagangan global. Oleh sebab itu banyak negara negara maju seperti USA dan Eropa tertarik ke ASEAN. Produk barang dan jasa yang dibutuhkan di ASEAN sangat besar merupakan daya tarik yang luar biasa bagi negara produsen barang dan jasa teknologi/ hayati. Dalam dokumen cetak biru MEA 2025 salah satunya disebutkan membidani pertumbuhan produktivitas yang kuat melalui inovasi, teknologi dan pengembangan sumber daya manusia, dan riset regional intensif dan pembangunan yang dirancang untuk aplikasi komersial untuk meningkatkan keunggulan kompetitif ASEAN dalam bergerak wilayah tersebut sampai rantai nilai global ke teknologi yang lebih tinggi dan pengetahuan-intensif manufaktur dan jasa industri. Dalam penjelasan disebutkan bahwa Daya saing jangka panjang ASEAN bertumpu pada signifikan meningkatkan produktivitas tenaga kerja negara anggota ASEAN dan produktivitas faktor total kinerja jika ASEAN akan bergerak ke rantai nilai global, produktivitas tenaga kerja dan produktivitas faktor total, pada gilirannya, ditentukan oleh efisiensi dalam penggunaan input, dan kemajuan pengetahuan, inovasi dan teknologi kemajuan. Mengingat peran penting adaptasi teknologi dan difusi, serta inovasi dalam 3
pertumbuhan produktivitas dan jangka panjang daya saing ASEAN, negara-negara Anggota ASEAN perlu mengambil upaya bersama untuk meningkatkan mereka inovasi dan kemampuan teknologi. Tantangan ke arah yang lebih inovatif ASEAN adalah dalam hal investasi dalam penelitian dan pengembangan (R & D) dan pengembangan modal manusia, dan penguatan kebijakan dan lingkungan kelembagaan (misalnya rezim HKI) untuk kualitas jaminan, difusi teknologi dan inovasi. Upaya langkah-langkah strategis perlu dilakukan untuk meningkat daya saing diantara anggota negara ASEAN antara lain : 1. Mempromosikan kemitraan strategis antara akademisi, penelitian lembaga dan sektor swasta terhadap kemampuan berkembang dan menciptakan saluran yang efektif untuk transfer teknologi dan komersialisasi; 2. Memperkuat daya saing sektor UKM di ASEAN melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (S & T) alat dan metodologi; dan 3. Meningkatkan sistem dukungan dan lingkungan yang kondusif untuk memelihara yang sangat mobile, cerdas dan kreatif sumber daya manusia yang tumbuh subur pada penciptaan pengetahuan dan aplikasi. Dituliskan dalam dokumen MEA bahwa untuk mempromosikan inovasi, perhatian lebih perlu diberikan kepada pengembangan mekanisme nasional dan lintas batas yang mempromosikan berikut langkah-langkah strategis: I. Berbagi informasi dan jaringan untuk merangsang ide-ide dan kreativitas di universitas dan bisnis; II. Fokus lebih besar pada kewirausahaan, dan pengembangan program inkubator bisnis untuk komersialisasi; III. Kebijakan untuk teknologi transfer, adaptasi dan inovasi, termasuk peningkatan tingkat sebagai kebijakan fiskal dan non-fiskal serta mendukung untuk R & D. IV. Memfokuskan dukungan pada pengembangan riset dan teknologi-park, bersama perusahaan, pemerintah dan / atau penelitian universitas laboratorium, R & D pusat, dan ilmu pengetahuan dan teknologi; V. Mengembangkan dan memperkuat hubungan ASEAN ke global dan regional jaringan R & D; VI. Mempromosikan perlindungan HKI yang kuat di wilayah tersebut; dan VII. Mempromosikan program-program yang meningkatkan partisipasi ASEAN dalam dunia dan nilai rantai dan jaringan produksi, termasuk program dan promosi bersama yang menarik teknologi terkemuka perusahaan untuk mendirikan toko di kawasan, mengembangkan klaster industri dan dukungan industri, dan konektivitas fisik dan kelembagaan ditingkatkan di kawasan ini dan dengan seluruh dunia. Dari point-point diatas dapat dilaksanakan jika kesiapan sumber daya manusia dari setiap anggoata ASEAN yang berdaya saing. Pemerintah secara nasional difokuskan pada peningkatan jumlah lulusan di STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika) lulusan dari perguruan tinggi dan universitas kita. Setiap upaya harus dilakukan untuk memastikan bahwa siswa/lulusan dipersiapkan untuk kerja ilmiah. Lulusan di bidang teknik dan ilmu komputer misal harus memiliki keterampilan dan kompetensi yang diakreditasi oleh lembaga akreditasi eksternal. Setidaknya untuk lulusan life sciences - hayati harus memiliki kompetensi dibidang life science. Lulusan life science/Hayati setidaknya memiliki spesifik Kompetensi yang diperlukan: 1. Biology Knowledge : pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh untuk mendapatkan posisi profesional atau pelatihan profesional dalam biologi. 2. Research skills : Memahami dan menggunakan prinsip-prinsip metode ilmiah dan penerapan teknik eksperimental untuk memecahkan masalah tertentu.
4
3. Field Skills : Menggunakan teknik praktis dan aman untuk melakukan penelitian di lingkungan. 4. Laboratory Skills : Menggunakan teknik praktis dan aman dalam pengaturan laboratorium. Tantangan yang dihadapi manusia di bumi dimana jumlah penduduk dunia yang bertambah sangat terkait dengan (1)pangan, (2)lingkungan,(3) energi dan (4)kesehatan. Dalam kaca mata ahli biologi perlu berpikir merubah mindset menjadi BIOLOGI BARU maka terjemahan ke empat kebutuhan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Menghasilkan tanaman pangan untuk beradaptasi dan tumbuh secara berkelanjutan di lingkungan yang berubah. Biologi baru bisa memberikan pendekatan secara dramatis lebih efisien untuk mengembangkan varietas tanaman yang dapat tumbuh secara berkelanjutan dalam kondisi lokal. Hasil usaha yang terfokus dan terintegrasi ini akan menjadi tubuh pengetahuan, alat-alat baru, teknologi, dan pendekatan yang akan memungkinkan untuk beradaptasi segala macam tanaman tanaman untuk produksi yang efisien dalam kondisi yang berbeda, kontribusi penting terhadap sehingga memungkinkan untuk memberi makan orang di seluruh dunia dengan berlimpah, makanan sehat, disesuaikan dengan tumbuh efisien di banyak lingkungan lokal yang berbeda dan selalu berubah. 2. Memahami dan mempertahankan fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati dalam menghadapi perubahan yang cepat. Kemajuan mendasar dalam pengetahuan dan generasi baru alat dan teknologi yang diperlukan untuk memahami bagaimana ekosistem fungsi, mengukur jasa ekosistem, memungkinkan pemulihan ekosistem yang rusak, dan meminimalkan dampak berbahaya dari aktivitas manusia dan perubahan iklim. Apa yang dibutuhkan adalah biologi baru, menggabungkan basis pengetahuan ekologi dengan orang-orang dari biologi organisme, evolusi dan perbandingan biologi, klimatologi, hidrologi, ilmu tanah, dan lingkungan, sipil, dan sistem rekayasa, melalui bahasa pemersatu matematika, pemodelan, dan ilmu komputer. Integrasi ini memiliki potensi untuk menghasilkan terobosan dalam kemampuan kita untuk memantau fungsi ekosistem, mengidentifikasi ekosistem yang berisiko, dan mengembangkan intervensi yang efektif untuk melindungi dan mengembalikan fungsi ekosistem. 3.
Memperluas alternatif berkelanjutan untuk bahan bakar fosil. Pendayagunaan bahan tanaman biomassa untuk membuat biofuel merupakan tantangan sistem, dan ini adalah contoh lain dari daerah di mana biologi baru dapat memberikan kontribusi penting. Pada sederhana, sistem terdiri dari tanaman yang berfungsi sebagai sumber selulosa dan proses industri yang mengubah selulosa menjadi produk yang berguna. Ada banyak poin dalam sistem yang dapat dioptimalkan. Biologi New menawarkan kemungkinan memajukan pengetahuan dasar, peralatan, dan teknologi yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan sistem dengan mengatasi tantangan secara komprehensif.
4.
Memahami kesehatan individual. Tujuan dari pendekatan Biologi New kesehatan adalah untuk memungkinkan untuk memantau kesehatan masing-masing individu dan mengobati kerusakan apapun dengan cara yang disesuaikan dengan individu tersebut. Dengan kata lain, tujuannya adalah untuk memberikan pengawasan prediksi secara individual dan perawatan. Antara titik awal urutan genom individu dan titik akhir dari kesehatan yang individu adalah web 5
berinteraksi jaringan kompleksitas mengejutkan. Biologi baru dapat mempercepat pemahaman mendasar dari sistem yang mendasari kesehatan dan pengembangan alat-alat dan teknologi yang pada gilirannya akan menyebabkan pendekatan yang lebih efisien untuk mengembangkan terapi dan memungkinkan individual, obat prediktif. Pendekatan atau Tools seperti biologi molekuler, bioteknologi, komputasi, bioinformatika dll memberikan cara pandang yang sedikit berbeda atau baru untuk masuk dalam pola pikir sebagai BIOLOGI BARU. Kita harus bisa mengaktualisasi diri dengan kemajuan zaman untuk menghadapi tuntutan industri yang dapat menjalankan roda ekonomi dinegara kita. Konsep keberlanjutan, produk unggul dan kompetitif sudah harus menjadi pemikiran kita dalam BIOLOGI BARU. Tantangan yang dihadapi dalam MEA tidak kecil tetapi kita optimis untuk bersaing diantara negara ASEAN. Selain itu kita tidak hanya berhenti dalam memahami MEA tetapi badan dunia (United Nations) telah merumuskan apa yang kita sebut Sustainable Development Goals (SDGs). Ada 17 goals yang dituliskan dalam dokumen SDGs. Banyak goals yang dicantumkan berkaitan dengan life science dan ilmu-ilmu lainnya yang harus disinergikan. REFERENSI ICSU, ISSC (2015): Review of the Sustainable Development Goals: The Science Perspective. Paris: International Council for Science (ICSU). A New Biology for the 21st Century. www.nap.edu ASEAN Economic Community Blueprint 2025. Jakarta: ASEAN Secretariat, November 2015
6
MIKROBIOTA MANUSIA DAN PERANNYA YANG BERAGAM BAGI INANGNYA Diana E. Waturangi Fakultas Teknobiologi, Unika Atma Jaya Jakarta Mikrobiota manusia merupakan bakteri yang hidup secara alami pada beberapa area di tubuh manusia, sebagian besar tidak bersifat patogen atau tidak berbahaya malahan kehadirannya sangat menguntungkan kita. Area pada tubuh manusia yang paling banyak menjadi tempat tinggal bakteri ialah saluran pencernaan. Keberadaan dari mikrobiota usus ini bukan hanya sebagai penumpang pasif pada usus kita, namun mikrobiota usus ini bahkan berperan penting dalam pengembangan dan fungsi dari sistem imunitas/ pertahanan diri kita. Hasil riset terakhir menunjukkan bahwa mikrobiota pada usus berperan penting dalam berbagai aspek fisiologi termasuk diantaranya perannya dalam melakukan komunikasi antara usus dan otak manusia; bahkan perannya dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Komunikasi dua arah antara otak dan usus manusia terjadi karena keberadaan mikrobiota usus. komunikasi dari otak terjadi saat kortisol yang dikeluarkan otak dapat mempengaruhi populasi mikrobiota pada usus kita, selain itu stres ataupun semua aktivitas yang mempengaruhi fungsi hipotalamus pada otak juga dapat mempengaruhi populasi mikrobiota pada usus kita. Selain bakteri usus, mikrobiota pada area lain di tubuh kita juga berperan penting. Salah satunya adalah bakteri metilotrof, yaitu bakteri yang mampu memanfaatkan komponen berkarbon tunggal sebagai sumber karbonnya. Kemampuan ini dimungkinkan karena bakteri ini memiliki enzim methanol dehidrogenase yang membuat bakteri ini mampu melakukan metabolism karbon tunggal. Karbon tunggal yang biasa digunakan oleh bakteri ini ialah senyawa volatile atau senyawa yang mengandung sulfide yang umumnya mengeluarkan bau tidak sedap. Beberapa riset menunjukkan bahwa bakteri ini dapat juga ditemukan di beberapa area pada tubuh manusia, seperti mulut, telapak kaki serta ketiak. Dalam penelitian ini kami melakukan studi bakteri metilotrof yang ada pada habitat mulut, kaki, serta ketiak manusia. Sebanyak 55 isolat bakteri metilotrof yang berasal dari ketiak manusia telah berhasil didapatkan, dan dari kaki sebanyak 21 isolat serta 37 isolat dari mulut manusia. Seluruhnya telah dilakukan uji biokimia serta deteksi secara molekuler keberadaan gen mxaF yang menyandikan methanol dehidrogenase. Isolat dari kaki dan mulut telah dilanjutkan untuk melihat aktivitas enzim methanol dehidrogenase,beberapa isolat menunujukkan aktivitas tertinggi yaitu isolat K25-3 (74.444 U/ml), K33-6 (79.815 U/ml), and K43-5 (69.259 U/ml) dari kaki manusia dan isolat M41L3 (135.926 U/ml), M27G2 (85.556 U/ml), M51G1 (103.333 U/ml) dari mulut.Pada riset bakteri yang ada di ketiak manusia kami baru sampai pada isolasi bakteri dan menemukan 55 isolat dari 40 responden laki-laki serta 65 isolat dari 40 responden perempuan. Beberapa isolate diidentifikasi lebih lanjut dan diketahui sebagai Micrococus luteus, Rosemonas gilardii, Afipia felis, Klebsiella serta Enterobacter. Keberadaan bakteri ini sangat penting karena adanya enzim methanol dehidrogenase yang dihasilkan yang bermanfaat mengurai senyawa metantiol yang berbau, sehingga bakteri ini berperan penting mengurangi senyawa berbau pada area-area tersebut. Riset yang lebih mendalam sangat diperlukan terhadap berbagai mikrobiota manusia mengingat perannya yang sangat penting bagi bagi inangnya.
7
KEANEKARAGAMAN KUPU-KUPU SUMATERA DAN PEMANFAATANNYA UNTUK TUJUAN EKOWISATA Dahelmi Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Padang E-mail:
[email protected]
Abstrak Kupu-kupu hanya menjadi bagian kecil yaitu 17.500 spesies dari 155.000 spesies Lepidoptera yang ada di dunia. Bagian yang terbesar adalah ngengat atau dikenal juga dengan kupu-kupu malam. Walau jumlah spesiesnya jauh lebih sedikit dari pada ngengat, kupu-kupu lebih lebih dikenal umum karena sifatnya yang aktif pada siang hari (diurnal) dan warnanya yang cerah dan menarik. Di Sumatera diperkirakan terdapat sekitar 890 spesies kupu, namun dari penelitian dan koleksi yang telah dilakukan selama 20 tahun terakhir, telah tercatat sekitar 516 spesies. Khusus kupu-kupu ekor wallet (Swallowtail butterflies, famili Papilionidae) merupakan salah satu famili yang menarik, dari 121 spesies yang ada di Indonesia, 47 diantaranya tersebar di Sumatera. Kupu-kupu dapat dijumpai hampir di semua habitat asalkan ada tumbuhan pakan yang cocok bagi spesies kupu-kupu tersebut. Hutan primer, hutan sekunder, hutan produksi dan kebun manjadi habitat bagi banyak spesies kupu-kupu. Selain di hutan, kita dapat juga dapat melihat kupu-kupu di sekitar rumah kita. Jika kita menanam berbagai tumbuhan berbunga dan tumbuhan yang menjadi pakan larva, maka halaman rumah dapat dikunjungi berbagai spesies kupu-kupu. Kupu-kupu memiliki peran penting dalam beberapa aspek seperti membantu penyerbukan, menyediakan nilai estetika, sebagai mangsa di rantai makanan dan jaring makanan. Kupu-kupu dapat bertindak sebagai sumber pendapatan melalui konsep yang muncul disebut ekowisata (ecotourism). Karena memberikan nilai yang lebih tinggi di ekowitasa, kebun kupu-kupu (butterfly garden) dan taman kupu-kupu (butterfly park) dibangun di berbagai negara untuk menarik banyak pecinta alam yang pada akhirnya akan menghasilkan devisa bagi negara. Kata kunci: kupu-kupu, keanekaragaman, bunga, butterfly gardens, ekotwisata.
PENDAHULUAN Kupu-kupu hanya menjadi bagian kecil yaitu 17.500 spesies atau < 12 % dari 155.000 spesies Lepidoptera yang ada di dunia. Bagian yang terbesar adalah ngengat atau dikenal juga dengan kupu-kupu malam. Walau jumlah spesiesnya jauh lebih sedikit dari pada ngengat, kupu-kupu lebih lebih dikenal umum karena sifatnya yang aktif pada siang hari (diurnal) dan warnanya yang cerah dan menarik (Peggie, 2014). Diantara beberapa negara dengan biodiversitas tinggi, Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan kupu-kupu terutama Papilionidae (121 spesies) dan tingkat endemisitas yang tinggi yaitu 53 spesies (Collins & Smith, 1995). Mereka sangat sensitif dengan kerusakan habitat dan telah digunakan secara umum sebagai takson indikator untuk riset ekologi (Kremen, 1994; Koh & Sodhi, 2004). Beberapa kupu-kupu Asia Tenggara adalah endemik untuk berbagai daerah dan mereka terancam punah bila kehilangan hutan (deforestation) masih berlanjut (Koh, 2007). Sumatera yang memiliki biodiversitas yang tinggi, akhir-akhir ini biodiversitasnya terancam akibat kehilangan hutan yang cepat. Penebangan hutan (logging) merupakan penyebab utama dari kerusakan habitat tersebut. Penelitian tentang kupu-kupu di Sumatera pernah dilakukan sejak 20 tahun terakhir. Sebanyak 10 famili telah tercatat dari berbagai daerah, spesies yang paling banyak tercatat 8
umumnya berasal dari famili Nymphalidae. Khusus untuk famili Papilionidae telah tercatat 43 spesies yang merupakan kompilasi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Salmah dkk., (1997, 1999; 2006), Dahelmi (2010), Dahelmi & Salmah (2011), Dahelmi & Suwarno (2014) dan Rusman (2015). Di pulau Sumatera sendiri terdistribusi 47 spesies kupu-kupu dari famili Papilionidae ini (Holloway, Kibby and Peggie, 2001). Kupu-kupu berperan penting dalam ekosistem hutan. Kupu-kupu merupakan bagian dari rantai makanan (Kassarov, 2001) dan penyerbuk tumbuhan (Sharma & Sharma, 2013). Pada tulisan ini akan diuraikan tentang keanekaragaman kupu-kupu Sumatera, interakasi kupu-kupu dengan tumbuhan penghasil nektar, kreasi kebun kupu-kupu (butterfly garden) dan taman kupu-kupu (butterfly park) untuk tujuan ekowisata. Dari sekian banyak kupu-kupu yang ada di Indonesia, sebagian telah dipelihara dalam areal tertutup yang dapat digunakan untuk tujuan pendidikan dan ekowisata. Keanekaragaman Kupu-kupu di Sumatera Kupu-kupu digolongkan kedalam superfamili Hesperoidea dan Papilionoidea. Hesperoidea hanya memiliki satu famili yaitu Hesperiidae. Papilionoidea terdiri dari beberapa famili yaitu Papilionidae, Pieridae, Nymphalidae, Lycaenidae, Satyride, Danaidae, Amathusiidae, Libytheidae dan Riodinidae (lihat D‘Abera, 1990, Corbert & Pendlebury, 1990). Kupu-kupu superfamili Papilionoidea memiliki tubuh relatif ramping dengan antena kiri dan kanan berdekatan serta membesar di ujung. Superfamili Hesperioidea memiliki tubuh relatif lebih gemuk dengan antena kiri dan kanan berjauhan serta bersiku di ujung (Peggie dan Amir 2006). Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak memiliki kupu-kupu yang endemik di pulau-pulau tertentu saja. Dari 17.500 spesies kupu-kupu sedunia, sekitar 2.000 spesies terdapat di Indonesia. Di Sumatera diperkirakan terdapat 890 spesies, di Jawa sekitar 640 spesies, di Kalimantan sekitar 800 spesies, di Sulawesi hampir 560 spesies, di Maluku sekitar 400 spesies dan di Papua tercatat lebih dari 500 spesies. Angka-angka tersebut belum mencerminkan keadaan sesungguhnya karena masih banyak area yang belum tersenntuh penelitian di kawasan Timur Indonesia (Peggie, 2014). Kupu-kupu dapat dijumpai hampir di semua habitat asalkan ada tumbuhan pakan yang cocok bagi spesies kupu-kupu tersebut. Hutan primer, hutan sekunder, hutan produksi dan kebun manjadi habitat bagi banyak spesies kupu-kupu. Selain di hutan, kita dapat juga dapat melihat kupu-kupu di sekitar rumah kita. Jika kita menanam berbagai tumbuhan berbunga dan tumbuhan yang menjadi pakan ulat, maka halaman rumah dapat dikunjungi berbagai spesies kupu-kupu. Dari hasil penelitian 20 tahun terakhir dan hasil koleksi kupu-kupu dari penulis yang semuanya tersimpan di laboratorium Taksonomi Hewan FMIPA Universitas Andalas, telah tercatat sebanyak 477 spesies kupu-kupu. Luk et al., (2011) dalam penelitiannya di pulau Siberut mendapatkan 20 spesies kupu-kupu pemakan buah, empat spesies diantaranya belum ditemukan pada penelitian sebelumnya di Sumatera. Baru-baru ini Rusman (2015) meneliti kupu-kupu di kawasan Gunung Sago, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat, yang mana telah didapatkan sebanyak 184 spesies. Famili Nymphalidae memiliki jumlah spesies yang paling banyak yaitu 93 spesies. Sebanyak 35 spesies kupu-kupu belum didapatkan pada penelitian sebelumnya sehingga di Sumatera telah tercatat sebanyak 516 spesies kupu-kupu. Jumlah spesies masing-masing famili dapat dilihat pada Table 1. Kupu-kupu dapat terdistribusi di berbagai habitat dan ketinggian tempat. Hasil penelitian Vu & Decheng (2003) di Vietnam menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan keanekaragaman kupu-kupu diantara perbedaan tipe habitat dan antara area ketinggian rendah dan tinggi. Keanekaragaman, kekayaan spesies dan kepadatan spesies di habitat elevasi rendah lebih tinggi dibanding di habitat elevasi tinggi. Hasil penelitian 9
Rusman (2015) mendapatkan distribusi spesies kupu-kupu pada masing-masing habitat juga bervariasi. Kupu-kupu yang dapat ditemukan di empat tipe habitat yaitu sebanyak 184 spesies. Hutan karet, hutan sekunder dan lahan pertanian memiliki jumlah spesies yang tinggi masing-masing 112 spesies, 95 spesies dan 94 spesies. Famili Tabel 1. Jumlah spesies kupu masing-masing famili yang didapatkan di Sumatera. No. Famili Total spesies 1 Amathusiidae 14 2 Danaidae 39 3 Hesperiidae 56 4 Libytheidae 1 5 Lycaenidae 116 6 Nymphalidae 146 7 Papilionidae 43 8 Pieridae 46 9 Riodinidae 9 10 Satyridae 46 TOTAL 516 Nymphalidae memiliki jumlah spesies yang paling banyak yaitu 93 spesies. Berdasarkan waktu pengamatan, jumlah spesies dan individu kupu-kupu lebih banyak ditemukan pada waktu pagi hari (08.00 sampai 11.59) dibanding siang hari (12.00 sampai 16.00). Jumlah spesies yang ditemukan di empat lokasi penelitian pada pagi hari yaitu sebanyak 172 spesies sedangkan pada siang hari sebanyak 142 spesies. Interaksi Kupu-kupu Dengan Tumbuhan Kupu-kupu umumnya memanfaatkan nektar sebagai sumber pakan utama. Nektar adalah senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjar tumbuhan dalam bentuk larutan gula. Komposisi utama nektar adalah glukosa, fruktosa dan sukrosa. Nektar juga mengandung asam amino (Galetto & Bernardello, 2004) dan lipid. Selain mengisap nektar, beberapa jenis kupu-kupu juga memakan serbuk sari (Gilbert 1972; Hikl & Krenn 2011). Kupu-kupu aktif mengunjungi bunga terutama untuk memperoleh nektar. Nektar merupakan sumber pakan penting bagi serangga polinator, termasuk kupu-kupu. Pada saat mengisap nektar, serbuk sari akan menempel pada probosis atau tungkai kupu-kupu dan akan akan menempel pada kepala putik bunga berikut yang dikunjunginya (Peggie, 2014). Satu jenis tumbuhan dapat dikunjungi oleh satu jenis kupu-kupu atau beberapa jenis dalam famili yang sama atau jenis-jenis dari famili yang berbeda. Kupu-kupu yang teramati mengunjungi bunga di empat lokasi penelitian di Gunung Sago, Sumatera Barat yaitu sebanyak 51 spesies, dimana 12 diantaranya merupakan kupu-kupu famili Papilionidae (Rusman, 2015). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi preferensi pakan kupu-kupu, yaitu habitus, bentuk bunga, panjang tabung mahkota dan warna bunga (Tiple et al., 2009), nektar, serbuk sari dan rewardslainnya (Faheem et al., 2004). Nimbalkar et al., (2011) melaporkan bahwa bunga yang sering dikunjungi kupu-kupu adalah bunga yang memiliki corolla seperti tabung (tubular) dibanding berbentuk non tubular. Kupu-kupu juga lebih sering mengunjungi bunga berwarna merah, kuning, biru dan ungu dibanding bunga berwarna putih dan pink. Tumbuhan semak seperti Lantana camara lebih sering digunakan kupu-kupu sebagai sumber makanan (sumber nektar), tanaman ini berbunga sepanjang tahun. Dari penelitian Mukherjee et al., (2015) didapatkan setidaknya 25 spesies kupu-kupu berkunjung ke bunga Lantana camara. Kelimpahan kupu-kupu didalam area yang ada Lantana camara lebih tinggi dibanding area tanpa tanaman tersebut, 10
memberikan indikasirelatif nilai sumber daya yang kuat dari tanaman dalam hal pengelolaan kupu-kupu. Hasil yang mirip juga didapatkan dari penelitian Mathew & Anto (2017) dimana kebanyakan kupu-kupu berkunjung dan mencari nektar pada bunga Lantana camara, Cuphea sp. dan Ixora sp. Sedangkan Sharma & Sharma (2013) melaporkan sekitar 19 spesies kupukupu telah tercatat berasosiasi dengan bunga Lantana camara dibanding bunga lainnya Ascepias syriaca, Tamarindus indica Diospyros melanoxylon dan Ixora arborea. Pieris (2016) mendapatkan sekitar 15 spesies kupu berkunjung ke bunga Stachytarpheta jamaecensis, umumnya dari famili Nymphalidae (6 spesies). Umumnya kupu-kupu datang berkunjung antara jam 0.800 – 9.30. Duara & Kalita (2014) menyatakan bahwa kupu-kupu berperan sebagai pollinator utama pada bunga Ixora coccinea. Kupu-kupu yang berkunjung ke bunga ini adalah dari faimili Papilionidae (6 species), Pieridae (3 species) and Nymphalidae (2 species). Frekuensi kunjungan kupu-kupu tinggi antara pukul 09:00-13.00 pada bulan April sampai Agustus. Warna bunga berhubungan positif terhadap jumlah kunjungan. Sebanyak 50 spesies kupu-kupu telah tercatat mengunjungi berbagai bunga di kebun, spesies dari famili Nymphalidae merupakan kupu-kupu yang dominan dibanding dengan famili lainnya. Peningkatan yang stabil dalam jumlah populasi kupu-kupu di antara semua famili kupu-kupu menunjukkan pentingnya kebun tersebut dalam menarik danmempertahankan populasi kupu-kupu. Kebun kupu-kupu membantu dalam populasi kupu-kupu liar peduli dan menjaga keanekaragaman hayati dalam ekosistem alami, yang pada gilirannya, dapat meningkatkan eksistensi manusia (Revathy & Mathews, 2014). Hasil penelitian Kumar (2014) mendapatkan 38 spesies kupu-kupu pada habitat urban. Spesies dari famili Nymphalidae lebih dominan didapatkan (11 spesies), diikuti Pieridae (10 spesies), Lycaenidae (6 spesies), Danaidae (4 spesies), Hesperiidae (4 spesies) dan Papilionidae (3 spesies). Sebanyak 25 spesies kupu-kupu yang tergolong kedalam famili Papilionidae, Pieridae, Nymphalidae, Lycaenidae dan Hesperiidae telah tertarik berkunjung ke bunga Chromolaena odorata (Asteraceae). Spesies yang paling banyak berkunjung adalah dari famili Nymphalidae (14 spesies), hal ini menunjukkan bahwa kupu-kupu famili Nymphalidae berperan penting dalam polinasi tumbuhan Chromolaena odorata (Lakshmi & Raju, 2011). Kupu-kupu dan larva mereka tergantung pada tanaman inang spesifik untuk dedaunan, nektar dan serbuk sari sebagai makanan mereka. Jadi keragaman kupu-kupu mencerminkan keanekaragaman tanaman secara keseluruhan, khususnya, bahwa dari tumbuh-tumbuhan dan semak-semak di daerah tertentu (Nimbalkar et al., 2011). Kupu-kupu Pemakan Buah (Fruit Feeding Butterflies) Selain mengisap nektar, kupu-kupu juga terlihat memakan buah busuk. Kupu-kupu dewasa dari famili Nymphalidae yang tertarik memakan buah-buahan membusuk digolongkan sebagai kupu-kupu Nymphalidae pemakan buah (De Vries, Debra & Russell, 1997). Kupu-kupu Nymphalidae pemakan buah di dalam hutan ada yang terbang di permukaan tanah (understory) dan kanopi (De Vries, Debra & Ressell, 1997; Fermon, Waltert & Muhenberg, 2003; Luk et al., 2011). Selain itu, beberapa kupu-kupu juga teramati berkumpul mengisap pasir, lumpur dan tanah yang lembab, di sekitar sungai di hutan sekunder dan hutan karet. Sebagian lagi terlihat mengisap kotoran hewan dan keringat manusia. Perilaku kupu-kupu tersebut umumnya dilakukan oleh kupu-kupu jantan, meskipun kupu-kupu betina, Charaxes bernardus (Beck et al., 1999) Hypolimnas bolina dan Hypolimnas missipus juga melakukannya (Nimbalkar et al., 2011). Perilaku kupu-kupu tersebut dikenal dengan istilah “puddling” (Nimbalkar et al., 2011, Beck et al., 1999, Molleman et al., 2005). Salmah & Abbas (2006) telah melakukan penelitian di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas yang mana telah ditemukan 36 spesies 11
Nymphalidae pemakan buah. Dari penelitian Sitompul (2008) di hutan Rimbo Panti, Pasaman, Sumatera Barat ditemukan kupu-kupu Nymphalidae pemakan buah sebanyak 47 spesies. Kupu-kupu Nymphalidae tertinggi didapatkan pada lokasi hutan kanopi tertutup dibandingkan dengan lokasi yang ada gap. Luk et al., (2011) melakukan penelitian Nymphalidae di Pulau Siberut Mentawai menemukan 20 spesies kupu-kupu pemakan buah yang termasuk kedalam 14 genera. Spesies Dichorragia nesimaschus, Mycalesis maianeas, Mycalesis oresis dan Neorina lowii memiliki tingkat tangkapan yang berbeda signifikan diantara jenis hutan dan stratifikasi vertikal Dari penelitian Gulo (2015) di pulau Nias didapatkan 16 spesies kupu-kupu pemakan buah pada strata understory dan 13 spesies pada kanopi. Sedangkan di pulau Enggano, Pasaribu (2015) menemukan 9 spesies kupu-kupu Nymphalidae pemakan buah, mereka terdistribusi di dua strata yaitu di strata permukaan tanah (understory) sebanyak 9 spesies dan pada strata kanopi sebanyak 6 spesies. Dari 9 spesies kupu-kupu Nymphalidae pemakan buah yang ditemukan di Pulau Enggano tersebut, Amathuxidia amythaonmemiliki jumlah individu yang berbeda signifikan pada strata understory dan kanopi. Dari kompilasi hasil penelitian kupu-kupu Nymphalidae pemakan buah di Sumatera, telah tercatat sebanyak 75 spesies. Umumnya mereka ditemukan pada strata permukaan tanah (understory). Penelitian di Sabah, Malaysia telah tercatat 17 spesies kupu-kupu pemakan buah hanya pada pada level bawah (understory), sementara 3 spesies hanya ditemukan pada level menengah dan 4 spesies pada level atas (canopy). Sebanyak 31 spesies lebih umum pada level bawah sementara 23 spesies lebih umum pda level medium dan level atas (Tangah et al., 2004). Penelitian lain menunjukkan kupu-kupu pemakan buah lebih tinggi diversitasnya pada level bawah dibanding dengan kanopi (Hughes et al., 1998). Hal ini mungkin disebabkan karena buah busuk umumnya jatuh ke permukaan tanah. Kebun Kupu-kupu (Butterfly Garden), Taman Kupu-kupu (Butterfly Park) dan Ekowisata Kupu-kupu memiliki peran penting dalam beberapa aspek seperti membantu penyerbukan, menyediakan nilai estetika, sebagai mangsa di rantai makanan dan jaring makanan. Kupu-kupu berkontribusi dalam menyeimbangkan ekosistem tetap menjaga keanekaragaman hayati. Dan juga kupu-kupu bertindak sebagai sumber pendapatan melalui konsep yang muncul disebut ekowisata (ecotourism). Karena memberikan nilai yang lebih tinggi di ecotourism, kebun kupu-kupu yang dibangun di berbagai negara untuk menarik banyak pecinta alam yang pada akhirnya akan menghasilkan devisa bagi negara. Dengan demikian, mereka memainkan peran berharga dalam menjaga keanekaragaman hayati (Peiris, 2016). Namun, jelas bahwa beberapa spesies tanaman eksotis dan invasif seperti Lantana camara yang digunakan untuk kebun kupu-kupu karena bunga berwarna-warni menarik dan sebagai sumber nektar. Di beberapa negara seperti Singapore, Malaysia, UK, USA dan Jepang, sejumlah kebun kupu-kupu khusus tertutup telah diciptakan. Kebun kupu-kupu yang sama juga didapatkan di India, seperti di Bangalore. Namun di sini adalah sebuah taman unik yang direncanakan yang akan menjadi jenis yang terbuka dan desain adalah sedemikian rupa sehingga akan menarik sejumlah besar kupu-kupu dan wisatawan (Alaka & Pejaver, 2010) . Shetler (1990) menyatakan bahwa alasan di balik pengembangan taman kupu-kupu adalah untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya kebutuhan untuk menyimpan kupu-kupu dan hewan lainnya dan tanaman dengan menyimpan habitat alami mereka (Pyle, 1995). Baru-baru ini, kebun kupu-kupu dan rumah kupu-kupu telah menjadi populer di beberapa negara Asia, Eropa dan Amerika. Pameran kupu-kupu pertama dibuka pada tahun 1960 di Inggris (Hughes & Bennett, 1991). Tujuan utama dari pengaturan kebun kupu-kupu adalah untuk konservasi kupu-kupu, pendidikan lingkungan, penelitian dan hiburan. Kebun 12
kupu-kupu telah menyediakan nektar, ketersediaan tanaman yang lebih baik, habitat yang cocok dansesuaikondisi iklim mikro untuk memfasilitasi pembentukan populasi kupu-kupu. Kebun kupu-kupu juga menarik pengunjung terutama anak-anak dan siswa dan dengan demikian menawarkan kesempatan untuk menghasilkan kesadaran tentang konservasi keanekaragaman hayati. Informasi yang berkaitan dengan keane-karagaman, kelimpahan, pola musiman dan habitat asosiasi kupu-kupu telah dipelajari di tempat yang berbeda dan dilaporkan oleh berbagai peneliti seperti Kunte (1998), Arun (2008) dan Ramesh et al., (2010). Alaka &Pajever (2016) menyatakan bahwa peran kupu-kupu dalam ekowisata antara lain: a. Taman akan menjadi koloni padat untuk banyak spesies kupu-kupu b. Seiring dengan kupu-kupu ini, taman bunga akan berkembang. c. Tata letak dan rencana taman khusus akan menjadi area yang indah d. Kupu-kupu berwarna-warni akan membuat sebuah area indah akan menarik banyak wisatawan (ecotourists) e. Informasi yang disampaikan oleh suku-suku di jalan akan membuat mereka peduli terhadap kupu-kupu dalam rantai makanan dan pentingnya menyelamatkan warisan alam negara kita f. Aliran kontinyu wisatawan akan memberikan pekerjaan masyarakat setempat sebagai pemandu serta mendorong mereka untuk memulai usaha pariwisata berorientasi untuk menambah penghasilan g. Para siswa dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi yang mengunjungi taman ini akan mendapatkan pengetahuan tangan pertama tentang kehidupan kupu-kupu h. Kedatangan wisatawan akan menyediakan pekerjaan bagi penduduk lokal sebagai pemandu serta mendorong mereka memulai usaha berorientasi wisata dalam menambah penghasilan mereka. Disain utama untuk penciptaan butterfly garden adalah sebaiknya lokasi penuh dengan cahaya, tanam tumbuhan sebagai penghalang angin (shelter) sehingga mencegah angin yang kencang memasuki kebun, tumbuhan nektar yang kaya, tumbuhan inang larva, adanya area yang basah atau mud untuk puddling dan adanya batu datar (flat rock) untuk berjemur (Knodel, Fauske & McGinnis, 2016; Garland, 2016). Penggunaan insektisida sebaiknya dihindari karena akan berpengaruh terhadap populasi kupu-kupu baik dewasa maupun larva. Khusus untuk tanaman penghasil nektar, sebaiknya pilih tanaman yang dapat menghasilkan bunga sepanjang tahun. Salah satu tanaman tersebut adalah Lantana camara yang memiliki warna bunga bermacam-macam. Hasil kunjungan penulis ke Bali Buterfly Park (Tabanan Bali), Hiroshima City Forest Park dan Ishikawa Insect Museum di Jepang yang memiliki taman kupu-kupu, tumbuhan Lantana camara merupakan tanaman penghasil nektar yang paling sering dikunjungi kupu-kupu. Beberapa penelitian sebelumnya memang menunjukkan Lantana camara paling banyak dan sering dikunjungi kupu-kupu untuk memperoleh nektar (lihat Nimbalkar et al., 2011; Sharma & Sharma, 2013; Mukherjee et al., 2015). Tumbuhan penghasil nektar lain yang patut dipilih untuk ditanam pada butterfly garden dan butterfly park adalah Caesalpinia spp. Eupatorium odoratum. Hibiscus rosa sinensis, Ixora javanica, Stachytarpheta jamaicensis dan Clerodendron paniculatum. Karakterisstik tumbuhan di atas dapat dilihat pada Tabel 2. Salah satu taman kupu-kupu di Indonesia yang sudah lama dibuka untuk umum adalah Bali Butterfly Park yang berlokasi di Tabanan Bali. Hasil penelitian Syaputra (2011), di dalam taman telah dipelihara sebanyak 14 spesies kup-kupu, 8 spesies tergolong famili Papilionidae, famili Nymphalidae 3 spesies dan Danaidae sebanyak 2 spesies (Tabel 3). Dari kunjungan penulis ke Bali Butterfly Park, masih ada satu spesies yang dipelihara yaitu Idea 13
leuconoe (Danaidae). Kupu-kupu ini cukup menarik, ukuran besar dan terbangnya lambat. Spesies yang sama juga didapatkan di Hiroshima City Forest Park dan Tabel 2. Tumbuhan penghasil nektar yang patut dipertimbangkan untuk Butterfly Garden dan Butterfly Park Warna No. Spesies Famili Habit bunga kuning, 1 Lantana camara* Verbenaceae Semak merah Caesalpinia 2 Caesalpiniaceae Semak merah pulcherrima 3 Eupathorium odoratum Asteraceae Semak purple 4 Hibiscus rosa sinensis Malvaceae Semak merah Bougainvillea 5 Nyctaginaceae Semak merah spectabilis 6 Ixora javanica* Rubiaceae Semak merah Stachytarpheta 7 Verbenaceae Herba violet jamaicensis Clerodendron 8 Lamiaceae Semak merah paniculatum 9 Asistasia spp.** Acanthaceae Herba putih Ket. * prioritas utama, ** juga sebagai tanaman inang larva
ditanam dalam Tipe bunga Tubular Non tubular NonTubular Non Tubular Tubular Tubular Tubular Tubular Tubular
Tabel 3. Kupu-kupu yang dipelihara dalam area Butterfly Park di Tabanan Bali dan Ishikawa Insect Museum yang keduanya berlokasi di Jepang. Tanaman inang No Spesies Famili Spesies Famili Annonaceae Graphium 1 Papilionidaae Annona muricata agamemnon 2 Ornithoptera priamus Papilionidaae Aristolochia tagala Aristolochiaceae Papilionidaae Aristolochiaceae Pachliopta 3 Aristolochia tagala aristolochiae 4 Papilio demolion Papilionidaae Melicope latifolia Rutaceae 5 Papilio helenus Papilionidaae Melicope latifolia Rutaceae 6 Papilio memnon Papilionidaae Citrus grandis Rutaceae 7 Papilio peranthus Papilionidaae Zanthoxylum rhetsa Rutaceae 8 Papilio polytes Papilionidaae Murraya koenigii Rutaceae 9 Troides helena Papilionidaae Aristolochia tagala Aristolochiaceae 10 Chetosia hypsea Nymphalidae Passiflora foetida Passifloraceae Nymphalidae Pseuderanthemum Passifloraceae 11 Doleschalia bisaltide reticulatum 12 Moduza procris Nymphalidae Mussaenda pubescens Rubiaceae 13 Euploea phaenareta Danaidae Apocynaceae Cerbera manghas 14 Euploea core Danaidae Apocynaceae Aganosma sp. Spesies lain yang didapatkan di kedua lokasi ini adalah Papilio polytes, Ideopsis dan Euploea yang semuanya berasal dari daerah tropika. Dari sekian banyak spesies kupu-kupu Sumatera, beberapa diantaranya dapat dipelihara dalam taman untuk tujuan ekowisata. Kebanyakan kupu-kupu yang memiliki warna sayap menarik adalah dari famili Papilionidae sehingga sering dimanfaatkan dan 14
dipelihara dalam Butterfly Park. Agar wisatawan tertarik berkunjung ke Butterfly Park untuk melihat kupu-kupu, maka sangat dianjurkan memasukan spesies kupu-kupu yang berwarna indah, terbangnya lambat, memiliki sifat puddling dan hidupnya lama dalam areal tertutup ini. Beberapa spesies kupu Sumatera yang memiliki peluang untuk dipelihara dalam areal tertutup antara lain Pachliopta aristolochiae, Papilio memnon, Papilio polytes, Papilio demoleus, Troides amphrysus (Papilionidae), Cethosia hypsea (Nymphalidae) dan Idea leuconoe (Danaidae). Kupu-kupu Idea leucone telah menjadi favorit pengunjung dan mascot di Hiroshima City Forest Park dan Ishikawa Insect Museum, karena terbangnya lambat, bisa bertahan hidup lama dalam area tertutup. PENUTUP Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa informasi penting. Spesies kupu-kupu yang ada di Sumatera ada sekitar 890 spesies, sedangkan yang telah tercatat dari beberapa penelitian 20 tahun terakhir ada sekitar 516 spesies. Kupu-kupu banyak yang tertarik kepada bunga sehingga perannya sebagai pollinator tidak diragukan lagi. Dengan menciptakan kebun kupu-kupu (Butterfly Garden), akan banyak kupu-kupu yang berkunjung untuk memperoleh nektar sekaligus meningkatkan populasinya di alam. Beberapa spesies kupu-kupu berpeluang untuk dipelihara dalam Butterfly Park sehingga menarik pengunjung/wisatawan untuk berkunjung sehingga kupu-kupu bertindak sebagai sumber pendapatan melalui konsep yang muncul disebut ekowisata (ecotourism). Kupu-kupu dari famili Papilionidae memiliki peluang yang besar untuk dipelihara dalam area Butterfly Park karena kebanyakan dari mereka memiliki warna menarik. REFERENSI Alaka, B & M. Pajever. 2010. Role of Butterfly Garden in Ecotourism. Proc. Seminar ― Ecotourism-An Indian Perspective‖ 13, Feb. 2010. Arun, P. R. 2008. Seasonality of swallowtail butterfly community (Lepidoptera: Papilionidae) of Siruvani forest, Western Ghats, Southern India. Pro.Sem.Wonderful World of Insects, Dec 2008: pp 66-71. Beck. J., E. Muhlenberg & K. Fiedler. 1999. Mudpudlling behavior in tropical butterflies: in search of proteins or mineral?. Oecologia. 119:140-148. Corbet, A. S & H. M. Pendlebury. 1956. The Butterflies of the Malay Peninsula. Oliver Boyd. Edinburgh and London. Collins, N. M & H. M. Smith. 1995. Threats and priorities in conserving swallowtails. In Scriber, J. M.., Y. Tsubaki and R. C. Lederhouse (eds.). Swallowtail Butterflies: Their Ecology and Evolutionary Biology. 345-357. Scientific Publishers, Gainesville. Dahelmi., S. Salmah dan H. Herwina. 2009. Diversitas Kupu-kupu (Butterflies) Pada Beberapa Taman Nasional di Sumatera. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional. Universitas Andalas. Padang. Dahelmi, 2010. Inventory of Swallowtail Butterflies (Lepidoptera: Papilionidae), Their host Plants and Parasitoids at Several National Parks in Sumatra, Indonesia. Final Report. NEF. Japan. Dahelmi & S. Salmah. 2011. Peningkatan Populasi Kupu-kupu Ekor Walet (Lepidoptera: Papilionidae) Melalui Pengayaan Habitat: Implikasinya Terhadap Ekowisata. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional. Universitas Andalas. Padang
15
Dahelmi dan Suwarno. 2014. Diversitas Kupu-kupu Pada Beberapa Pulau Terluar di Sumatera dan Bioekologinya Untuk Beberapa Spesies. Laporan Tahun I. Hibah Penelitian Pascarajana. Universitas Andalas. Padang. D‘ Arbera, B. 1990. Butterflies of Australian Region. 3 rd edition. Hill House, Melbourne & London. De Vries, P. J., M. Debra & L. Russell. 1997. Species Diversity in Vertical, Horizontal, and Temporal Dimensions of a Fruit-feeding Butterfly Community in an Ecuadorian Rainforest. Journal of the Linnean Society62: 343–364. Duara, P & J. Kalita. 2004. Butterfly as Pollinating Insects of Flowering Plants. Global Journal of Science Frontier Research 14(1C): 1-5 Faheem, H.M., M. Aslam & M. Razak. 2003. Polliantion Ecology With Special Reference to Insect. A Review. Journal of Research (Science) 15(4): 395-409. Fermon, H., M. Waltert & M. Muhlenberg. 2003. Movement and Vertical Stratification of Fruit-feeding Butterflies in Amanaged West African Rainforest. Journal of Insect Conservation7: 7–19. Galetto L, Bernardello. 2004. Floral Nectaries, Nectar Production Dynamics and Chemical Composition in Six Ipomoea Species (Convolvulaceae) in Relation to Pollinators. Annals Botany. 94:269–280. Garland, K. 2016. Fluttering Through Gardening. Creating a Butterfly Habitat. Web site: www.georgiaconservancy.org. Diakses tgl 28 Maret 2016. Gilbert, L.E. 1972. Pollen fFeeding and Reproductive Biology of Heliconius Butterflies. Proc. Na.t Acad. Sci. 69(6):1403-1407. Gulo, H. 2015. Diversitas dan Pergerakan Serta Stratifikasi Vertikal Kupu-kupu Nymphalidae Pemakan Buah di Hutan baruzo dan Hutan Onolari, Pulau Nias. Tesis S2. Program Pascasarjana. FMIPA Universitas Andalas. Padang Hikl, A.L & H.W. Krenn. 2011. Pollen processing behavior of Heliconius butterflies: A derived grooming behavior. J Insect Scienc. 11:1-13. Holloway, J. D., G. Kibby & D. Peggie. 2001. The families of Malesian moths andbutterflies. Brill. Leiden. Boston. Koln. Hughes D.G. & P.M. Bennett. 1991. Captive Breeding and the Conservation of Invertebrates. International Zoo Yearbook 30: 45-51 Hughes, J.B., G.C. Daily. & Ehrlich, P.R. (1998). Use of Fruit Bait Traps for Monitoring of Butterflies (Lepidoptera: Nymphalidae). Revista De Biologia Tropical 46(3): 697– 704. Kassarov. L. 2001. Is Aposematism a Valid Concept in Predator-prey Relationships Between Birds and Butterflies? a Different Point of View. Tropical Lepidop. 12(1-2):1-15 Knodel, J.J., G.M. Fauske & E.E. McGinnis. 2016. Butterfly Gardening in North Dakota. North Dakota State University Fartgo, North Dakota. http://www.ag.ndsu.edu Koh, L. P. 2007. Impacts of Land use Change on South-east Asian forest Butterflies: a Review. Journal of AppliedEcology 44: 703–713 Koh, L. P & N. S. Sodhi, 2004. Importance of Reserves, Fragments, and Parks for Butterfly Conservation in a Tropical Urban Landscape. Ecological Application 14(6): 1695-708
16
Kremen, C., 1994. Biological Inventory Using Target Taxa: a Case Study of the Butterflies of Madagascar. Ecological Applications 4, 407–422. Kumar, A. 2014. Butterfly Abundance and Species Diversity in Some Urban Habitats. International Journal of Advanced Research Volume 2 (2): 367-374 Kunte, K. 1998. Seasonal Patterns in Butterfly Abundance and Speciesdiversity in Four Tropical Habitats in Northern Western Ghats. Journal of Bioscience 22:593-603. Lakshmi, P.V & A.J.S. Raju. 2011. Chromolaena odorata (L.) Kiing & H.E. Robins (Asteraceae), an Important Nectar Source for Adult Butterflies. Journal of Threatened Taxa 3(2): 1542-1547. Luk, C. L., K. H. Upik., Z. Thomas & W. Matthias. 2011. Vertical and Horizontal Habitats of Fruit-feeding Butterflies (Lepidoptera) on Siberut, Mentawai Islands, Indonesia. Journal Ecotropica17: 79–90. Mathew, G & M. Anto. 2007. In Situ Conservation of Butterflies Through Establishment of Butterfly Gardens: A Case Study at Peechi, Kerala, India. Current Science 93 (3): 337-347. Molleman. F., R.H.A Grunsven., M. Liefting ., B.J. Zwaan., & P.M. Brakefield. 2005. Is Male Puddling Behaviour of Tropical Butterflies Targeted at Sodium for Nuptial Gifts or Activity?. Biol J Linnean Socie. 86:345-361 Mukherjee, S., S. Banerjee., P. Basu., G. G. Saha & G. Aditya. 2015. Lantana camara and Butterfly Abundance an Urban Landscape: Benefits for Conservation or Species Invasion?. Ekologia 34(4): 209-328. Nimbalkar, R.K., S.K. Chandekar & S.P. Khunte. 2011. Butterfly Diversity in Relation to Nectar Food Plants from Bor Tahsil, Pune District, Maharashtra, India. Journal of Threatened Taxa 3(3): 1601-1609. Parsons, M. J. 1999. The butterflies of Papua New Guinea: Their systematics and biology. Academic Press. London. 736pp+136 plates. Pasaribu, R. 2015. Diversitas dan Pergerakan Serta Stratifikasi Vertikal Kupu-kupu Nymphalidae Pemakan Buah (Fruit Feeding Nymphalid Butterflies) di Pulau Enggano. Tesis S2. Program Pascasarjana. FMIPA Universitas Andalas. Padang. Peggie. D & M. Amir. 2006. Practical guide to the butterflies of Bogor Botanic Garden. Cibinong (ID): Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI. Pieris, P.U.S. 2016. Study on Butterfly Visitation Patterns of Stachytarpheta jamacensis as a Beneficial Plant for Butterfly Conservation. International Scholary and Scientific Research & Innovation 10(2): 74-72. Peggie, D. 2014. Mengenal Kupu-kupu. Pandu Aksara Publishing. Jakarta Pyle, R. M. 1995. A history of Lepidoptera conservation, with special reference to its Remingtonian Debt. Journal of the Lepidopterists‘Society 49(4): 397-411. Raju, A.J.S., A. Bahattacharya & S. P. Rao. 2004. Nectar Host Plant of Some Butterfly Spesies at Visakhapatnam. Science and Culture 70 (4-5): 187-190. Ramesh, T., Jahir Hussian, K., Selvanayagam, M., Satpathy, K. K. and Prasad M. V. R. 2010. Patterns of diversity, abundance and habitat associations of butterfly communities in heterogenous landscape of the department of atomic energy campus at Kalppakam, South India. International Journal of Biodiversity and Conservation 2(4): 75-85 17
Revathy, V.S & G. Mathew. 2014. Seasonal Fluctuation of Butterfly Population: A Study in Butterfly Garden at Peechi, Kerala, India. International Journal of Agiculture, Environment & Biotechnology 7(1): 29-35. Rusman, R. 2015. Kupu-kupu (Lepidoptera: Papilionoidea) di Gunung Sago, Sumatera Barat: Keanekaragaman dan Preferensi Kunjungan Pada Bunga. Tesis S2. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Salmah, S., K. Nakamaura., I. Abbas., Dahelmi & S. Nakano. 1997. Fluctuation of Butterflies in Sipisang Area, Kayu Tanamm West Sumatra. Annual Report of FBRT Project No. 3. Japan International Cooperation Agency (JICA). Andalas University, Indonesia: 63-74. Salmah, S., I. Abbas dan Dahelmi. 1999. Keanekaragaman Kupu-kupu (Butterflies) dan Tanaman Pakan dari Beberapa Jenis Famili Papilionidae di Taman Nasional Kerinci Seblat.Laporan Penelitian BBI. Universitas Andalas. Padang. Salmah, S., I. Abbas, Dahelmi, 2002. Kupu-kupu Papilionidae di Taman Nasional Kerinci Seblat. KEHATI. Departemen Kehutanan. Taman Nasional Kerinci Seblat. Salmah, S., dan I. Abbas. 2006.Stratifikasi Vertikal dan Pergerakkan Kupu-kupu Nymhalidae Pemakan Buah (Fruit-Feeding Nymphalid Butterflies) di Hutan dengan Elevasi yang Berbeda. Laporan TPSDP Batch III. Jurusan Biologi, FMIPA. Universitas Andalas. Padang Salmah, S., K. Nakamura., I. Abbas., Dahelmi and S. Nakano.1997. Fluctuation of butterflies in Sipisang area, Kayu Tanam, West Sumatra. Annual Report of FBRT Project 3. Field Biology and Training Project. Japan International Cooperation Agency (JICA), Andalas University: 261-270. Sharma, M & N. Sharma. 2013. Nectar Resource Use by Butterflies in Gir Wildlife Sanctuary, Sasan Gujarat. Biological Forum-An International Journal 5(2): 56-63 Shetler, S.G. Butterfly Gardening and Conservation, Butterfly Gardening, Siera ClubBooks. San Francisco: 107-109 Sitompul, A. F. 2008. Keanekaragaman dan Pergerakan Serta Stratifikasi Kupu Kupu Nymphalidae Pemakan Buah (Fruit-feeding Butterflies) di Hutan Cagar Alam Rimbo Panti Kabupaten Pasaman. Tesis Biologi. Universitas Andalas Padang. Spitzer, K., V. Novotny., M. Tonner & J. Leps. 1993. Habitat preferences, distribution and seasonality of the butterflies (Lepidoptera, Papilionidae) in a montane tropical rainforest, Vietnam. Journal Biogeography 20: 109-121. Spitzer, K., J. Jaros., J. Havelka & J. Leps. 1997. Effects of Small-Scale Disturbance on the Butterfly Communities of an Indochine Montane Rain-forest. Biological Conservation 80: 9-15. Syaputra, M. 2011. Pengelolaan Penangkaran Kupu- Kupu di PT Ikas Amboina dan Bali Butterfly Park Tabanan Bali. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutan. Institut Pertanian Bogor. Tiple, A.D., A.M. Khurada., L.H. Roger & R.L.H. Dennis. 2009. Adult butterfly feeding– nectar flower associations: constraints of taxonomic affiliation, butterfly, and nectar flower morphology. J Natural History. 43:855-884.
18
MIKROBA SEBAGAI AGEN REMEDIASI DAN PENGELOLAAN HAYATI RAMAH LINGKUNGAN Erman Munir Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU, Medan 20155
Abstrak Kupu-kupu hanya menjadi bagian kecil yaitu 17.500 spesies dari 155.000 spesies Lepidoptera yang ada di dunia. Bagian yang terbesar adalah ngengat atau dikenal juga dengan kupu-kupu malam. Walau jumlah spesiesnya jauh lebih sedikit dari pada ngengat, kupu-kupu lebih lebih dikenal umum karena sifatnya yang aktif pada siang hari (diurnal) dan warnanya yang cerah dan menarik. Di Sumatera diperkirakan terdapat sekitar 890 spesies kupu, namun dari penelitian dan koleksi yang telah dilakukan selama 20 tahun terakhir, telah tercatat sekitar 516 spesies. Khusus kupu-kupu ekor wallet (Swallowtail butterflies, famili Papilionidae) merupakan salah satu famili yang menarik, dari 121 spesies yang ada di Indonesia, 47 diantaranya tersebar di Sumatera. Kupu-kupu dapat dijumpai hampir di semua habitat asalkan ada tumbuhan pakan yang cocok bagi spesies kupu-kupu tersebut. Hutan primer, hutan sekunder, hutan produksi dan kebun manjadi habitat bagi banyak spesies kupu-kupu. Selain di hutan, kita dapat juga dapat melihat kupu-kupu di sekitar rumah kita. Jika kita menanam berbagai tumbuhan berbunga dan tumbuhan yang menjadi pakan larva, maka halaman rumah dapat dikunjungi berbagai spesies kupu-kupu. Kupu-kupu memiliki peran penting dalam beberapa aspek seperti membantu penyerbukan, menyediakan nilai estetika, sebagai mangsa di rantai makanan dan jaring makanan. Kupu-kupu dapat bertindak sebagai sumber pendapatan melalui konsep yang muncul disebut ekowisata (ecotourism). Karena memberikan nilai yang lebih tinggi di ekowitasa, kebun kupu-kupu (butterfly garden) dan taman kupu-kupu (butterfly park) dibangun di berbagai negara untuk menarik banyak pecinta alam yang pada akhirnya akan menghasilkan devisa bagi negara. Kata kunci: kupu-kupu, keanekaragaman, bunga, butterfly gardens, ekotwisata.
19
20
Lingkungan
21
22
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL KULIT DAN DAGING BUAH PALA (Myristica fragrans Houtt.) TERHADAP MORTALITAS LARVA Aedes aegypti INSTAR III Abdullah, Lisda Arwadeni dan Safrida Prodi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh e-mail:
[email protected]
Abstract The research about “effect of etanol extracted of fruit skin and content of Myristica fragans Houtt. to larva mortality of Aedes aegypti Instar III” was aimed to know the effect etanol extracted of fruit skin and content of Myristica fragans Houtt to larva mortality and to know efective consentration of etanol extracted of fruit skin and content. This reseach was conducted in September 2014. Data analized using ANAVA and Duncan. Reasearch resulted the most effective consentration of etanol extracted of skin Myristica fragans Houtt. to larva mortality of Aedes aegypti Instar III was 1500 ppm with larva mortality was 93,33% in 24 hours observation. This research also conducted that the most effective consentration of etanol extracted of content of Myristica fragans Houtt. to larva mortality of Aedes aegypti Instar III was 1000 ppm and 1500 ppm with larva mortality was 100% in 18 hours observation and 15 hours obaseration. We resumed that etanol extracted of fruit skin Myristica fragans Houtt was more effective to larva mortality of Aedes aegypti Instar III than etanol extracted of fruit content of Myristica fragans Houtt. Kata kunci : fruit content of Myristica fragans Houtt.), larva Aedes aegypti and Larva mortality
PENDAHULUAN Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya semakin luas. Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang terutama menyerang anakanak. Di Indonesia penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan karena masih banyak daerah yang endemik. Daerah endemik DBD pada umumnya merupakan sumber penyakit ke wilayah lainnya. Setiap kejadian luar biasa (KLB) DBD umumnya dimulai dengan peningkatan jumlah kasus di wilayah tersebut (Widoyono, 2008). Tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian di Indonesia dan Provinsi Aceh sampai bulan Agustus 2011 yang merupakan daerah urutan ketiga tertinggi angka kesakitan demam berdarah di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Penyakit DBD adalah penyakit infeksi oleh virus Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, dengan ciri demam tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan (shock) dan kematian. Sampai sekarang penyakit DBD belum ditemukan obat maupun vaksinnya, sehingga satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya penyakit ini dengan memutuskan rantai penularan yaitu dengan pengendalian vektor (Fathi dkk, 2005). Penggunaan insektisida dalam kesehatan ditujukan antara lain untuk membasmi lalat, nyamuk vektor malaria dan demam berdarah. Akan tetapi penggunaan insektisida yang tidak tepat sering kali memberi dampak buruk terhadap kesehatan dan dampak negatif terhadap lingkungan. Semua insektisida adalah toksik, yang berbeda hanya derajat toksisitasnya. Pajanan terhadap insektisida yang berlebihan, dalam 23
jangka panjang dapat berakibat buruk pada kesehatan. Pada rumah tangga, insektisida yang digunakan secara terus menerus, dalam ruangan tertutup, memungkinkan terjadinya akumulasi. Terjadinya akumulasi ini tergantung antara lain dari formulasi insektisida, rute/jalan masuk pajanan insektisida, sikap/perilaku pengguna insektisida (Mariana, 2009). Oleh karena itu, penggunaan insektisida dirasa kurang tepat untuk memutus mata rantai nyamuk Aedes aegypti tersebut. Salah satu cara pengendalian yaitu dengan menggunakan bahan tanaman sebagai insektisida nabati. Cara ini lebih aman dan murah bila dibandingkan dengan penggunaan insektisida sintetik yang memiliki risiko dengan residu yang tertinggal di tanaman yang cukup besar bila penggunaannya kurang tepat. Sifat dari insektisida nabati umumnya tidak berbahaya bagi manusia ataupun lingkungan serta mudah terurai dibandingkan dengan insektisida sintetik (John, 2011). Salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai insektisida nabati adalah tanaman pala. Tanaman pala mengandung minyak atsiri. Menurut Baliadi dan Bedjo (2011) minyak atsiri pala mengandung metil eugenol dan metil isoeugenol, kedua senyawa ini banyak digunakan oleh petani untuk mengatasi serangga hama, selain itu minyak atsiri pala juga bersifat antifeedant yaitu mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot dengan minyak atsiri pala. Minyak atsiri terdapat pada bagian kulit buah dan daging buah pala. Selain itu Kulit buah dan Daging buah pala mengandung myristicin, pinen, kamfen (zat membius), dipenten, pinen safrol, eugenol, iso-eugenol, alkohol, gliseda (asammiristinat, asam-oleat, borneol, giraniol), protein, lemak, pati, gula, vitamin A, B1 dan C (John, 2009). Hal tersebut mendasari pemilihan kulit buah dan daging buah pala sebagai objek dalam penelitian ini dan diharapkan dapat diterapkan daya insektisida nabatinya pada larva Aedes aegypti. Penelitian di Indonesia menggunakan tanaman pala sudah dilakukan oleh Made dkk (2012) yang melaporkan bahwa minyak atsiri pala mempunyai sifat sebagai larvasida terhadap mortalitas ulat bulu gempinis, pemanfaatan ekstrak kulit buah dan daging buah pala yang bersifat larvasida khususnya larva Aedes aegypti belum dilaporkan maka perlu dilakukan penelitian mengenai ―Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit buah dan Daging Buah Pala (Myristica fragrans Houtt) terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti Instar III‖. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menghitung kematian larva Aedes aegypti Instar III sebagai data primer yang diamati pada setiap jenis konsenterasi (500, 1000, dan 1500) ppm yang diamati setiap 1 jam sekali. Bahan yang digunakan adalah ekstrak kulit buah dan daging buah pala, larva Aedes aegypti instar III, air, kertas saring, abate dan etanol 96%. Pembuatan ekstrak kulit buah pala dan daging buah pala menggunakan pelarut etanol 96% Kulit buah pala yang sudah dipisahkan dari dagingnya ditimbang sebanyak 1 kg. kulit buah pala yang diambil adalah kulit buah yang berasal dari buah pala siap panen yang kulit buahnya masih utuh, tidak keriput dan tidak kering. Buah pala ini di peroleh dari Desa Alue Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa, Aceh Barat Daya. Setelahbuahnya dicuci bersih, kemudian buah pala dikupas untuk diambil kulit buahnya saja dan diperoleh 95 g. Selanjutnya kulit buah pala dikeringan dengan cara diangin-anginkan dengan kipas angin selama ± 3 hari dan tidak boleh terkena sinar matahari langsung. Setelah kering kemudian di blender sampai halus. Kulit buah pala yang telah diblender selanjutnya direndam dengan menggunakan pelarut etanol 96% dengan perbandingan pelarut 1:3 selama 48 jam untuk menarik senyawa yang terkandung dalam kulit buah pala.
24
Selanjutnya sediaan disaring sampai terpisah dari ampasnya. Larutan yang diperoleh didestilasi untuk memperoleh ekstrak, kemudian ekstrak diuapkan menggunakan rotary evaporator untuk memperoleh ekstrak murni yang dianggap mempunyai konsentrasi 100% dan suhu yang digunakan selama evaporasi adalah 72ºC dengan tekanan 182 psi, ekstrak yang diperoleh 25,06 g (Semua perlakuan sama terhadap pembuatan ekstrak daging buah pala). Data yang telah terkumpul ditabulasi ke dalam bentuk tabel. Jumlah larva yang mati dihitung dengan menggunakan rumus Abbot, yaitu: 𝑟
P0= x 100% 𝑛
Keterangan : P0 = Presentase mortalitas A. aegypti r = Banyaknya A. aegypti yang mati n = Jumlah keseluruhan larva Data kematian larva dengan berbagai konsentrasi dianalisis dengan analisis probit untuk menentukan nilai LC50 dan untuk melihat apakah ada pengaruh dari ekstrak etanol kulit buah dan daging buah pala terhadap kematian larva Aedes aegypti dilakukan menggunakan Analisis Varian (ANAVA). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi Kulit Buah dan Daging Buah Pala (Myristica fragrans Houtt.) Ekstrak etanol kulit buah dan daging buah pala (Myristica fragrans Houtt.) diperoleh dengan metode ekstraksi yang dilakukan di laboratorium Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan FKIP Unsyiah. Sebanyak 1 kg buah pala utuh yang di pisahkan dari biji dan diambil bagian kulit buah dan daging buahnya menghasilkan 95 g kulit buah pala dan 602,5 g daging buah pala yang kemudian dikeringkan selama 3 hari dan dimaserasi dengan pelarut etanol. Hasil Ekstraksi tersebut menghasilkan ekstrak kulit buah pala sebanyak 25,06 g dan daging buah pala sebanyak 34,26 g. Proses ekstraksi pada penelitian ini menggunakan pelarut etanol, karena etanol mudah menembus membran sel tumbuhan untuk menarik senyawa aktif dalam intrasel. Etanol dipilih karena bersifat pelarut universal yang dapat menarik semua jenis zat aktif metabolit sekunder yang ada pada tumbuhan, baik yang bersifat polar semi polar maupun non polar serta absorbsinya baik dan kadar toksisitasnya relatif rendah terhadap makhluk hidup (Tiwari dkk, 2011). Selanjutnya pelarut dipisahkan dari larutan dengan menggunakan Rotary evaporator (Arifin dkk, 2010). Rotary evaporator yang berfungsi sebagai alat untuk menguapkan pelarut dari ekstrak diputar dengan kecepatan 182 rpm dan suhu yang digunakan 72ºC. Hasil Uji Mortalitas Larva Nyamuk Aedes aegypti Secara deskriptif persentase mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti setelah paparan ekstrak kulit buah pala selama 24 jam yang diberikan perlakuan disajikan dalam Tabel 1.
25
Tabel 1. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kulit Buah Pala Terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti Selama 24 jam No 1 2 3 4 5
Perlakuan KB1 KB2 KB3 KP KN
Konsentrasi Ekstrak Kulit Buah Pala 500 ppm 1000 ppm 1500 ppm 0% 0%
I 6 8 10 10 0
Pengulangan II 5 8 8 10 0
III 5 9 10 10 0
Jumlah total 16 25 28 30 0
Ratarata 5,33 8,33 9,33 10 0
Persen 53,33% 83,33% 93,33% 100% 0,00%
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi esktrak kulit buah pala maka semakin besar persentase kematian larva Aedes aegypti. Pengamatan yang telah dilakukan selama 24 jam pada ulangan I, II, dan III masing-masing 10 ekor sehingga jumlah kematian larva pada kontrol positif sebanyak 30 ekor atau 100% kematian larva. Kematian larva pada kontrol positif mencapai 100% pada jam kedua setelah paparan. Konsentrasi 500 ppm pada ulangan I menyebabkan kematian sebanyak 6 ekor, ulangan II sebanyak 5 ekor, ulangan III sebanyak 5 ekor, sehingga jumlah kematian larva sebanyak 16 ekor atau 53,33% kematian larva dalam 24 jam pengamatan. Konsentrasi 1000 ppm pada ulangan I menyebabkan kematian sebanyak 8ekor, ulangan II sebanyak 8 ekor, ulangan III sebanyak 9 ekor, sehingga jumlah kematian larva sebanyak 25 ekor atau 83,33% kematian larva dalam 24 jam pengamatan. Konsentrasi 1500 ppm pada ulangan I menyebabkan kematian sebanyak 10 ekor, ulangan II sebanyak 8 ekor, ulangan III sebanyak 10 ekor, sehingga jumlah kematian larva sebanyak 28 ekor atau 93,33% kematian larva dalam 24 jam pengamatan. Hasil pengamatan untuk ekstrak kulit buah pala pada konsentrasi 500 ppm (KB1) menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan 2 jam pertama sebanyak 3,33%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24 jam sebesar 16 ekor larva dengan rata-rata 53,33%. Pada perlakuan KB1 ini jumlah kematian larva lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol negatif (KN). Pemberian ekstrak kulit buah pala 500 ppm belum mampu membunuh semua larva dalam waktu 24 jam. Hasil pengamatan untuk ekstrak kulit buah pala pada konsentrasi 1000 ppm (KB2) menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan 2 jam pertama sebanyak 3,33%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24 jam sebesar 25 ekor larva dengan rata-rata 83,33%. Pada perlakuan KB2 ini jumlah kematian larva lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi 500 ppm (KB1). Pemberian ekstrak kulit buah pala 500 ppm belum mampu membunuh semua larva dalam waktu 24 jam. Hasil pengamatan untuk ekstrak kulit buah pala pada konsentrasi 1500 ppm (KB3) menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan 1 jam pertama sebanyak 3,33%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24 jam sebesar 28 ekor dengan rata-rata 93,33%. Pada perlakuan KB3 ini jumlah kematian larva lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2 konsentrasi ekstrak yang lebih rendah sebelumnya yaitu KB1 dan KB2 sebanyak 500 ppm dan 1000 ppm. Pemberian ekstrak kulit buah pala 1500 ppm belum mampu membunuh semua larva dalam waktu 24 jam namun tingkat kematian yang didapat hampir mendekati 100 persen. Pada kontrol yang berisi air sumur tidak ada mortalitas larva sampai dengan paparan selama 24 jam. Hal ini mengindikasi bahwa air sumur pada kontrol negatif bukanlah penyebab mortalitas pada larva nyamuk Aedes aegypti dan berdasarkan pengamatan air sumur tidak mengganggu pertumbuhan larva. Sedangkan pada kontrol positif (KP) yang berisi abate 0,01g kematian larva nyamuk Aedes aegypti terjadi pertama kali pada 1 jam pertama pengamatan sebanyak 83,33% . Kontrol positif abate menunjukkan mortalitas 26
keseluruh larva pada 2 jam pertama pengamatan selama 24 jam sebanyak 100%. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kulit pala ini memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada tiap konsentrasi. Jumlah larva Aedes aegypti yang mati setelah diberikan ekstrak kulit buah pala pada setiap jam selama 24 jam pengamatan tersaji dalam Gambar 1.
Gambar 1.
Rataan Jumlah Larva Aedes aegypti yang Mati pada Setiap Jam Pengamatan Selama 24 jam. Kn : Kontrol negatif (air sumur), Kp : Kontrol positif (100 ml air sumur + abate 0,01 g), KB1 : Ekstrak kulit buah pala konsentrasi 500 ppm, KB2 : Ekstrak kulit buah pala konsentrasi 1000 ppm, KB3 : Ekstrak kulit buah pala konsentrasi 1500 ppm
Hasil analisa statistik dengan uji ANAVA menunjukkan bahwa nilai F hitung > F Tabel dan nilai P < 0,05 yang menunjukkan bahwa ekstrak kulit buah pala berpengaruh terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti, dengan demikian hipotesis penelitian diterima. Tabel 2. Analisis Varian (ANAVA) Pengaruh Ekstrak Kulit Buah Pala Terhadap Mortalitas larva Aedes aegypti SK Db JK Perlakuan 4 1911,66 Galat 10 45,2 Total 14 1956,86 Keterangan : * = Berbeda nyata pada taraf 0,05 SK = Sumber Keragaman DB = Derajat Bebas JK = Jumlah Kuadrat KT = Kuadrat Tengah
KT 40,1 4,52
Fh 8,87
F(0,05) 3,48*
Pada analisis varian diperoleh koefisien keragaman (KK) ekstrak kulit pala 96,64% maka uji lanjutan yang digunakan adalah uji Jarak Nyata Duncan (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa Kontrol negatif (KN) berbeda nyata dengan KB1 (500 ppm ekstrak kulit buah pala). KB1 berbeda nyata dengan KB2 (1000 ppm ekstrak kulit buah pala). KB2 berbeda nyata dengan KB3 (1500 ppm ekstrak kulit buah pala) Sedangkan KB3 sama dengan kontrol positif (KP). Kemampuan ekstrak kulit buah pala membunuh larva Aedes aegypti juga dianalisis menggunakan Analisis Regresi Probit sehingga diketahui nilai LC50 dan LC90 yaitu nilai konsentrasi zat uji yang dibutuhkan untuk membunuh larva sebanyak 50% dan 90% ditetapkan berdasarkan hubungan antara konsentrasi ekstrak dengan persentase kematian larva Aedes aegypti. Semakin kecil LC50 dan LC90, maka akan semakin besar efektifitas ekstrak terhadap kemampuannya membunuh larva Aedes aegypti.
27
Tabel 3. Hasil Analisis Jarak Nyata Duncan (JNTD) Pengaruh Pemberian Ekstrak Kulit Buah Pala Terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti Instar III Perlakuan
Rata-rata 2 5,33 3 1 0,67 3,30 44,08
Beda Real Pada Jarak Perlakuan 3 4 5
KN 0 KB1 5,33 KB 2 8,33 8,33 KB3 9,33 4 KP 10 1,67 P0,05 (p,10) 3,15 3,37 śy JNTD0,05(p-10) 42,08 45,02 Pα (p.v) . S‘y Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
9,33 4,67 3,43 45,82
10 3,15 42,08
BJND (0,05) A B C Cd D
pada kolom yang sama berarti tidak
Hasil Analisis regresi probit menunjukkan perhitungan konsentrasi ekstrak kulit buah pala yang menyebabkan kematian 50% (LC50) adalah 325 ppm dan perhitungan konsentrasi ekstrak kulit buah pala yang menyebabkan kematian 90% (LC90) adalah 1325 ppm. Nilai LC50 yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan ekstrak kulit buah pala bersifat aktif sebagai larvasida karena nilai LC50 dibawah 500 ppm (Wijayanti dkk, 2007). Secara deskriptif persentase mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti setelah paparan ekstrak daging buah pala selama 24 jam yang diberikan perlakuan disajikan dalam Tabel 4 Tabel 4. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daging Buah Pala Terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti Selama 24 jam No
Perlakuan 1 2 3 4 5
DB1 DB2 DB3 KP KN
Konsentrasi Ekstrak Kulit Buah Pala 500 ppm 1000 ppm 1500 ppm 0% 0%
1 7 10 10 10 10
Pengulangan 2 3 6 6 10 10 10 10 10 10 10 10
Jumlah total
Ratarata
19 30 30 30 0
6,33 10 10 10 0
Persen 63,33% 100% 100% 100% 0,00%
Hasil pengaruh ekstrak daging buah pala terhadap larva Aedes aegypti yang terlihat dari Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi esktrak daging buah pala maka semakin besar persentase kematian larva Aedes aegypti. Pengamatan yang telah dilakukan selama 24 jam pada ulangan I, II, dan III masing-masing 10 ekor sehingga jumlah kematian larva pada kontrol positif sebanyak 30 ekor atau 100% kematian larva. Kematian larva pada kontrol positif mencapai 100% pada jam kedua setelah paparan. Konsentrasi 500 ppm pada ulangan I menyebabkan kematian sebanyak 7 ekor, ulangan II sebanyak 6 ekor, ulangan III sebanyak 6 ekor, sehingga jumlah kematian larva sebanyak 19 ekor atau 63,33% kematian larva dalam 24 jam pengamatan. Konsentrasi 1000 ppm pada ulangan I menyebabkan kematian sebanyak 10ekor, ulangan II sebanyak 10 ekor, ulangan III sebanyak 10 ekor, sehingga jumlah kematian larva sebanyak 30 ekor atau 100% kematian larva dalam 24 jam pengamatan. Konsentrasi 1500 ppm pada ulangan I menyebabkan kematian sebanyak 10 ekor, ulangan II sebanyak 10 ekor, ulangan III sebanyak 10 ekor, sehingga jumlah kematian larva sebanyak 30 ekor atau 100% kematian larva dalam 24 jam pengamatan. Hasil pengamatan untuk ekstrak daging buah pala pada konsentrasi 500 ppm (DB1) menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan
28
1 jam pertama sebanyak 3,33%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24 jam sebesar 19 ekor larva dengan rata-rata 63,33%. Pada perlakuan DB1 ini jumlah kematian larva lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol negatif (KN). Pemberian ekstrak daging buah pala 500 ppm belum mampu membunuh semua larva dalam waktu 24 jam. Hasil pengamatan untuk ekstrak daging buah pala pada konsentrasi 1000 ppm (DB2) menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan 1 jam pertama sebanyak 6,66%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24 jam sebesar 30 ekor larva dengan rata-rata 100%. Pada perlakuan DB2 ini jumlah kematian larva lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi 500 ppm (DB1). Hal ini memberikan arti bahwa ekstrak daging buah pala pada konsentrasi 1000 ppm sama ampuhnya dengan abate 10% karena mampu membunuh larva nyamuk Aedes aegypti mencapai 100%. Abate sendiri adalah senyawa sintetis yang telah direkomendasikan digunakan sebagai larvasida (Gandahusada, 2006). Hasil pengamatan untuk ekstrak daging buah pala pada konsentrasi 1500 ppm (DB3) menunjukkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti instar III mulai terjadi pada pengamatan 2 jam pertama sebanyak 10%. Jumlah keseluruhan larva yang mati hingga pengamatan 24 jam sebesar 30 ekor larva dengan rata-rata 100%. Pada perlakuan DB3 ini jumlah kematian larva lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi 500 ppm (DB1) dan 1000 ppm (DB2). Hal ini memberikan arti bahwa ekstrak daging buah pala pada konsentrasi 1000 ppm sama ampuhnya dengan abate 10% karena mampu membunuh larva nyamuk Aedes aegypti mencapai 100%. Pada kontrol yang berisi air sumur tidak ada mortalitas larva sampai dengan paparan selama 24 jam. Hal ini mengindikasi bahwa air sumur pada kontrol negatif bukanlah penyebab mortalitas pada larva nyamuk Aedes aegypti dan berdasarkan pengamatan air sumur tidak mengganggu pertumbuhan larva. Sedangkan pada kontrol positif (KP) yang berisi abate 0,001g kematian larva nyamuk Aedes aegypti terjadi pertama kali pada 1 jam pertama pengamatan sebanyak 83,33% . Kontrol positif abate menunjukkan mortalitas keseluruh larva pada 2 jam pertama pengamatan selama 24 jam sebanyak 100%. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daging buah pala ini memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada tiap konsentrasi. Jumlah larva Aedes aegypti yang mati setelah diberikan ekstrak daging buah pala pada setiap jam selama 24 jam pengamatan tersaji dalam Gambar 2.
Gambar 2. Rataan Jumlah Larva Aedes aegypti yang Mati pada Setiap Jam Pengamatan Selama 24 jam. Kn : Kontrol negatif ( air sumur ), Kp : Kontrol positif (100 ml air sumur + abate 0,01 g), DB1 : Ekstrak daging buah pala konsentrasi 500 ppm, DB2 : Ekstrak daging buah pala konsentrasi 1000 ppm, DB3 : Ekstrak daging buah pala konsentrasi 1500 ppm
29
Hasil analisa statistik dengan uji ANOVA menunjukkan bahwa nilai F hitung > F Tabel dan nilai P < 0,05 yang menunjukkan bahwa daging buah pala berpengaruh terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti, dengan demikian hipotesis penelitian diterima (Tabel 5). Tabel 5. Analisis Varian (ANAVA) Pengaruh Ekstrak Daging Buah Pala Terhadap Mortalitas larva Aedes aegypti SK Db JK KT Fh F(0,05) Perlakuan 4 228,72 57,18 43,31 3,48* Galat 10 13,22 1,32 Total 14 241,94 Keterangan : ** = Berbeda sangat nyata pada taraf 0,05 SK = Sumber Keragaman DB = Derajat Bebas JK = Jumlah Kuadrat KT = Kuadrat Tengah
Pada analisis varian diperoleh koefisien keragaman (KK) ekstrak kulit pala 96,64% dan ekstrak daging buah pala 47,47% maka uji lanjutan yang digunakan adalah uji Jarak Nyata Duncan (Tabel 6). Tabel 6. Hasil Analisis Jarak Nyata Duncan Pengaruh (JNTD) Pemberian Ekstrak Daging Buah Pala Terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti instar III Perlakuan Rata-rata Beda Real Pada Jarak Perlakuan BJND (0,05) 2 3 4 5 KN 0 A DB1 6,33 6,33 B DB 2 10 3,67 10 C DB3 10 0 3,67 10 C KP 10 0 0 3,67 10 C P0,05 (p,10) 3,15 3,30 3,37 3,43 3,15 JNTD0,05(p-10) śy 4,81 5,04 5,15 5,24 4,81 Pα (p.v) . S‘y Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa Kontrol negatif (KN) berbeda nyata dengan DB1 (500 ppm ekstrak daging buah pala). DB1 berbeda nyata dengan DB2 (1000 ppm ekstrak daging buah pala). DB2 sama dengan DB3 (1500 ppm ekstrak kulit buah pala) dan kontrol positif (KP). Kemampuan ekstrak daging buah pala membunuh larva Aedes aegypti juga dianalisis menggunakan Analisis Regresi Probit sehingga diketahui nilai LC90 yaitu nilai konsentrasi zat uji yang dibutuhkan untuk membunuh larva sebanyak 90% ditetapkan berdasarkan hubungan antara konsentrasi ekstrak dengan persentase kematian larva Aedes aegypti. Hasil Analisis regresi probit menunjukkan perhitungan konsentrasi ekstrak daging buah pala yang menyebabkan kematian 90% (LC90) adalah 975 ppm.
30
Uji Larvasida Ekstrak Etanol Kulit Buah dan Daging Buah Pala Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti instar III Berdasarkan hasil analisis data menggunakan ANAVA didapatkan bahwa terdapat pengaruh dari pemberian ekstrak etanol kulit buah dan daging buah pala terhadap mortalitas larva Aedes aegypti. Pemberian ekstrak etanol kulit buah dan daging buah pala terhadap mortalitas larva Aedes aegypti juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kulit buah dan daging buah pala maka akan semakin besar persentase kematian larva Aedes aegypti. Hal ini sesuai dengan pendapat Arneti (2012) bahwa semakin tinggi konsentrasi yang diberikan akan semakin banyak toksin yang akan dikeluarkan sehingga dapat menyebabkan tingginya tingkat kematian serangga. Hasil tersebut dilanjutkan dengan uji lanjutnya berdasarkan nilai keragaman koefisien total. Nilai keragaman koefisien total dari ekstrak kulit buah pala didapatkan sebesar 96,64% dan ekstrak daging buah pala didapatkan sebesar 47,47% sehingga dilanjutkan dengan uji Jarak Nyata Duncan (JNTD). Hasil Uji JNTD menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti pada berbagai konsentrasi. Pada konsentrasi ekstrak kulit buah pala, mortalitas larva Aedes aegypti tertinggi terdapat pada konsentrasi 1500 ppm atau 93,33% yang berarti bahwa konsentrasi tersebut paling mendekati dengan kontrol positif (KP) yang menggunakan abate. Sedangkan pada ekstrak daging buah pala, mortalitas larva Aedes aegypti tertinggi terdapat pada konsentrasi 1000 ppm dan 1500 ppm atau pada DB1 dan DB2 perlakuan dengan jumlah kematian 100% atau setara dengan kontrol positif (KP), yang berarti pada konsentrasi tersebut memiliki efektivitas yang sama dengan kontrol positif, sehingga dapat disimpulkan bahwa konsentrasi 1000 ppm dan 1500 ppm dapat menggantikan senyawa sintetik yang terdapat pada bubuk abate. Mekanisme kematian larva Aedes aegypti yang terpapar oleh senyawa bioaktif yang terkandung di dalam larutan ekstrak kulit buah pala dan daging buah pala yang berupa alkaloid, steroid, terpenoid, minyak atsiri, saponin dan tanin adalah melalui dinding tubuh larva atau mulut pada saat larva mengambil makanan dari tempat hidupnya. Senyawa bioaktif tersebut yang masuk kedalam tubuh larva pada kadar tertentu dapat berperan sebagai racun kontak, racun perut, dan racun pernafasan sehingga merusak seluruh sistem tubuh larva Aedes aegypti (Djojosumarto, 2008). Minyak atsiri merupakan senyawa kimia buah pala yang dapat bekerja sebagai inhibitor kuat pernapasan atau sebagai racun pernapasan. Minyak atsiri mempunyai cara kerja yaitu dengan masuk ke dalam tubuh larva melalui sistem pernapasan. Ketika udara dan oksigen masuk melalui trakea secara difusi dengan bantuan pergerakan abdomen. Zat toksik masuk kedalam tubuh larva melalui sistem pernafasan yang berupa spirakel dipermukaan tubuh yang kemudian akan menimbulkan kelayuan pada syaraf serta kerusakan pada spirakel yang mengakibatkan larva tidak bisa bernapas dan akhirnya mati (Ratih dkk, 2010) Alkaloid yang terkandung didalam ekstrak kulit buah pala dan daging buah pala dapat menghambat proses metamorfosis larva Aedes aegypti. Alkaloid dapat merangsang kelenjarkelenjar endokrin untuk menghasilkan hormon edikson sehingga menyebabkan kegagalan metamorfosis pada serangga (Harbone, 1987). Alkaloid juga menyebabkan rasa pahit sehingga menghambat aktifitas makan larva dan bersifat neurotoksin sehingga berperan dalam kematian larva Aedes aegypti (Wink, 2010). Terpenoid dan steroid bersifat toksik terhadap larva Aedes aegypti dengan berperan sebagai antifeedant. Terpenoid dan steroid mempunyai toksisitas yang rendah terhadap mamalia dan molekul terpenoid serta steroid tergradasi baik di lingkungan sehingga dapat dijadikan bahan pembuat insektisida alami (Ashour dkk, 2010). Larva Aedes aegypti dapat menahan lapar diperkirakan selama 24 jam (WHO, 2005), sehingga diduga bersifat antifeedant dari senyawa golongan terpenoid dan steroid kurang berperan jika berkerja secara terpisah. Hal ini dikarenakan, ada beberapa senyawa golongan metabolit sekunder yang 31
berkerja lebih efektif ketika bersamaan dengan senyawa metabolit sekunder lainnya. Jadi, terpenoid dan steroid tetap berperan dalam menyebabkan kematian larva Aedes aegypti. Saponin dan tanin memiliki sifat sebagai insektisida dengan berbagai cara, yaitu sebagai penolak serangga, merusak saluran pencernaan, dan mengganggu proses pergantian kulit melalui toksisitas tingkat seluler (Geyter, 2007). Selanjutnya Fatna (2010) menambahkan bahwa saponin sebagai bahan yang mirip deterjen mempunyai kemampuan untuk merusak membran tubuh larva. Bahan deterjen dapat meningkatkan senyawa toksik karena dapat melarutkan bahan-bahan lipofilik dalam air. Deterjen tidak hanya mengganggu lapisan lipoid dari epikutikula tetapi juga mengganggu lapisan endokutikula sehingga senyawa toksik dapat masuk dengan mudah ke dalam tubuh larva. Saponin dapat menyebabkan destruksi saluran pencernaan larva dengan cara menurunkan tegangan permukaan sehingga selaput mukosa saluran pencernaan menjadi korosif. Selanjutnya tanin menekan konsumsi makan, tingkat pertumbuhan dan kemampuan bertahan. Tanin dan saponin memiliki rasa yang pahit sehingga dapat menyebabkan mekanisme penghambatan makan pada larva uji. Hal tersebut akan menyebabkan menurunnya aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan karena rasa yang pahit menyebabkan larva tidak mau makan sehingga larva akan kelaparan dan akhirnya mati. Penyebab kelayuan pada saraf adalah senyawa saponin, ini dikarenakan senyawa saponin dapat menghambat kerja enzim asetilkolinesterase. Asetilkolin yang dibentuk oleh sistem saraf pusat berfungsi untuk menghantarkan impuls dari sel saraf ke sel otot. Setelah impuls dihantarkan, prosesnya di hentikan oleh enzim asetilkolinesterase yang memecah asetilkolin menjadi asetil ko-A dan kolin. Adanya senyawa insektisida (alkaloid dan saponin) akan menghambat bekerjanya enzim ini sehingga terjadi penumpukan asetilkolin yang akan menyebabkan terjadinya kekacauan pada sistem penghantaran impuls ke otot yang dapat berakibat otot kejang, terjadi kelumpuhan (paralysis) dan berakhir ke kematian (Rita : 2009). Oleh karena itu, senyawa ini berperan sebagai racun kontak dan racun perut sehingga akhirnya mengganggu saluran pernafasan dan sistem saraf larva Aedes aegypti. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Chapagain (2008) bahwa terdapat korelasi antara senyawa saponin dan tanin yang diuji terhadap tingkat mortalitas Aedes aegypti. Berdasarkan uraian diatas, diduga kematian larva Aedes aegypti terjadi karena ekstrak kulit buah pala dan daging buah pala mengandung senyawa metabolit sekunder berupa alkaloid, terpenoid, steroid, minyak atsiri, saponin dan tanin yang masuk baik dari kulit dan mulut yang selanjutnya mengganggu secara sinergis seluruh sistem pertahanan hidup larva Aedes aegypti hingga menyebabkan kematian. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Pemberian ekstrak kulit buah pala berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva Aedes aegypti instar III. Pemberian ekstrak kulit buah pala yang menunjukkan jumlah kematian terbesar terdapat pada dosis 1500 ppm dengan jumlah kematian 93,33% selama 24 jam pengamatan. 2. Pemberian ekstrak daging buah pala berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva Aedes aegypti instar III. Pemberian ekstrak daging buah pala yang menunjukkan jumlah kematian terbesar terdapat pada dosis 1000 ppm dan 1500 ppm dengan jumlah kematian 100% selama 18 jam dan 15 jam pengamatan. 3. Pemberian ekstrak kulit buah dan daging buah pala menyebabkan larva Aedes aegypti menunjukkan respon kegelisahan (anxiety), menggulungkan badannya, terjadinya perubahan warna tubuh menjadi lebih transparan serta gerakan tubuh larva yang selalu membengkokkan badan yang kemudian diikuti dengan menurunnya jumlah kemunculan larva kepermukaan. 32
UCAPAN TERIMAKASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penelitian ini terutama kepada pihak Laboratorium Biologi FKIP Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan fasilitas penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Arneti. 2012. Bioaktivitas ekstrak buah Piper aduncum L. (Piperaceae) terhadap Crocidolomia pavonana (f.) (Lepidoptera :Crambidae) dan formulasinya sebagai insektisida botani. Skripsi. Universitas Andalas, Padang. Arifin; Helmi; Heppy; Elka. 2010. Efek Ekstrak Etanol Biji Pinang Muda (Areca catechu L.) terhadap Aktifitas Sistem Saraf Pusat Mencit Putih. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. Vol 15 No 1. Ashour; Rinker; Sandall. 2010. Biochemistry of Terpenoids : Monoterpenes, Sequiterpenes and Diterpenes. 2nd edition. Blackwell Publishing Ltd. USA. Vol 40 No 3. Baliadi dan Bedjo. 2011. Serangan ulat bulu di Probolinggo. Seminar Badan Litbang Pertanian, (online), 18 April 2011, (http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/924/fil e/Ulat-Bulu-yang-mudah-diken.pdf , diakses 04 Januari 2014). Chapagain. 2008. Larvasidal Activity of Saponin and Tanin from Balanites aegyptiaca callus Againts Aedes aegypti Mosquito. Biotechnology. Vol 99 No 5. Djojosumarto. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta: Kaninus. Fathi; Soedjajadi; Chatarina. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol 2 No 1. Fatna. 2010. Pengaruh air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium) Terhadap Tingkat Kematian Larva Aedes aegypti Instar III In Vitro. Skripsi. Universitas sebelas maret Fakultas Kedokteran, Surakarta. Gandahusada, Illahude, Pribadi. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Geyter. 2007. Advances with plants as natural insecticides to control pest insect. Pest technology. Vol 1 No 2. Harborne. 1987. Metode Fitokimia Terbitan Kedua. Terjemahan Padmawita dan Sudiro. Bandung: Penerbit ITB. Jhon. 2009. Isolasi Senyawa Alkaloida dari Biji Buah Pala. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan. John. 2011. Pengujian Beberapa Jenis Insectisida Nabati Terhadap Kumbang Sitophylus oryzae L, Pada Beras. Jurnal Agroforestri. Vol 6 No 1. Kementrian Kesehatan RI . 2011. Informasi Umum Demam Berdarah Dengue 2011. Ditjen PP dan PL. Indonesia. Kementrian Kesehatan RI. Made; Ketut; I Wayan; Gusti; I Putu. 2012. Efikasi Minyak Atsiri Tanaman Cengkeh (Syzygium aromaticum (L.) Meer. & Perry), Pala (Myristica fragrans Houtt), dan Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Terhadap Mortalitas Ulat Bulu Gempinis Dari Famili Lymantriidae. Jurnal Agricultural Science and Biotechnology. Vol 1 No 1. Mariana. 2009. Toksologi Insektisida Rumah Tangga dan Pencegahan Keracunan. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Vol 21 No 2. 33
Ratih; Mifbakhuddin; Kiky. 2010. Pengaruh Kosnsentrasi Ekstrak Daun Temblekan (Lantana camara) Terhadap Kematian LarvaAedes aegypti. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 6 no 2. Tiwari; Agarwal; Shankar. 2011. Phytochemical screening and extraction : A Review. Internationale Pharmaceutica Sciencia. Vol 1 No 1. WHO. 2005. Guidelines for laboratory and field testing Of Mosquito Larvacidies. Hal 11-12. (online), (http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_CDS_WHOPES_GCD PP_2005.13.pdf. diakses pada tanggal 10 November 2014) Widiyanti dan Mulyadiharje. 2004. Uji Toksitas Jamur Materliizium anisopliae Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti. Media Litbang Kesehatan. Vol 14 No 3. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.
Penularan,
Pencegahan
&
Wijayanti; Yulfi; Perry. 2007. Minyak Atsiri Dari Kulit Batang Cinnamomum burmannii (Kayu Manis) Dari Famili Lauraceae Sebagai Insektisida Alami, Antibakteri dan Antioksidan. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Vol 17 No 1. Wink, M. 2010. Annual Plant Reviews : Biochemistry of Plant Secondary Metabolism. Blackwell Publishing Ltd. USA. Volume 39.
34
AKTIVITAS EKSTRAK DAUN LIDAH MERTUA (Sansevieria trifasciata) TERHADAP PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH THE ACTIVITY OF Sansevieria trifasciata LEAF EXTRACTS ON WHITE ROOT DISEASE Arief Rachmawan, Andi Wijaya dan Cici Indriani Dalimunthe Balai Penelitian Sungei Putih, Sungei Putih, Galang, Deli Serdang PO. Box. 1415 Medan 20001, Indonesia Telp/faksimile: 061-7980045/061-7980046 Email:
[email protected]
Abstract The Utilization of antagonistic plant is an alternative to control diseases that are cheaper, easier and can be applied in the rubber plantations. Among the many antagonistic plants, Sansevieria trifasciata has the potential to inhibit the activity of white root disease. These plants can produce exudate around the root system, thus altering the physical-biochemical properties of soil and suppressing the development of the disease. This study aims to determine the activity of Sansevieria trifasciata leaf extracts on rubber plant white root disease. The experimental design was completely randomized factorial design with 2 factors, 12 treatment combinations and three replications. The first factor is the extracting solvents (water, methanol and phenolic acid), while the second one is the concentration of the extracts (2.5%, 5%, 7.5% and 10%). The results showed that the phenolic acid extract with a concentration of 7.5% and 10% had the highest inhibitory activity on white root disease with the same value i.e. 94.06%. Thisvalue is significantly different from the other extracting solvents. Keywords: Hevea brasiliensis, Sansevieria trifasciata, white root disease, leaf extract
PENDAHULUAN Penyakit jamur akar putih (Rigidoporus microporus) merupakan penyakit penting di perkebunan karet. Penyakit ini menyerang seluruh stadia pertumbuhan tanaman dan mengakibatkan kematian tanaman serta rendahnya produktivitas. Sampai saat ini, teknik penanggulangan penyakit jamur akar putih (JAP) yang dianjurkan adalah dengan pencegahan dan pengobatan. Pengolahan lahan merupakan teknik yang terbukti efektif, namun dengan biaya mahal. Aplikasi belerang merupakan alternatif yang lebih murah untuk mengendalikan penyakit JAP. Alternatif lain yang lebih ramah lingkungan adalah penggunaan tanaman antagonis. Tanaman antagonis adalah tanaman lokal yang tumbuh di sekitar dan mempunyai kemampuan menghambat perkembangan penyakit. Situmorang et al. (2007) meneliti sembilan macam tanaman antagonis yang berpotensi untuk menghambat pertumbuhan penyakit jamur akar putih (JAP). Dari kesembilan tanaman tersebut, empat diantaranya, yaitu lidah mertua (Sansevieria trifasciata), lengkuas (Alpinia galanga), kunyit (Curcuma domestica), dan cocor bebek (Kalanchoe pinnata) dilaporkan mempunyai potensi untuk mengontrol pertumbuhan jamur akar putih. Penanaman tanaman antagonis tersebut di sekitar tanaman karet sangat dianjurkan untuk mencegah dan mengatasi penyakit jamur akar putih. Tanaman tersebut diduga mengeluarkan eksudat di sekitar sistem perakaran sehingga mengubah sifat biokimia-fisik tanah dan 35
menyebabkan terhambatnya perkembangan jamur akar putih. Selanjutnya, Febbiyanti (2012) melakukan eksplorasi jamur dan bakteri antagonis terhadap JAP dari rizosfer tanaman lidah mertua. Tanaman lidah mertua dipilih karena merupakan tanaman antagonis yang paling efektif dalam mengendalikan JAP serta tahan terhadap kondisi lingkungan ekstrim. Hasil penelitian menunjukkan adanya 4 jenis isolat jamur yang merupakan jamur antagonis terhadap JAP. Selain dugaan adanya eksudat yang bersifat antibiotik, serta ditemukannya jamur antagonis terhadap JAP, dalam tanaman lidah mertua diduga juga terkandung senyawa kimia yang mempunyai aktivitas menghambat JAP. Sampai saat ini, laporan mengenai pemanfaatan ekstrak tanaman lidah mertua untuk mengendalikan penyakit JAP masih terbatas. Penelitian lebih banyak melaporkan tentang penggunaan ekstrak tanaman tersebut untuk keperluan medis. Beberapa diantaranya menyatakan bahwa ekstrak tanaman lidah mertua memiliki aktivitas antidiare (Adeyemi et al., 2009), antialergi (Andhare et al., 2012), antioksidan (Said et al., 2015), antimikroba (Sikder et al., 2011; Komala et al., 2012) serta antidiabetes (Dey et al., 2014; Laimeheriwa et al., 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas dari ekstrak daun lidah mertua terhadap perkembangan JAP. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Maret 2016 di Laboratorium Proteksi Balai Penelitian Sungei Putih dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 12 perlakuan kombinasi dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah pelarut pengekstrak (akuades, metanol dan asam fenolik) dan faktor kedua adalah konsentrasi ekstrak (2,5%; 5%; 7,5% dan 10%). Adapun tahapan kegiatan yang dilakukan adalah: Persiapan sampel Sampel daun lidah mertua dipanen dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih. Sebanyak 11.800 gram sampel dipotong-potong kecil dengan ukuran sekira 3 x 3 cm. Sampel tersebut kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 50°C selama 5 hari. Bobot kering sampel daun lidah mertua adalah 882 gram atau 7,47% dari bobot basah. Sampel yang telah kering dihaluskan menjadi serbuk, dan selanjutnya diekstrak dengan beberapa macam pelarut. Proses ekstraksi Pada proses ekstraksi sampel daun lidah mertua, digunakan tiga macam pelarut yaitu air, metanol dan asam fenolik. Untuk proses ekstraksi dengan air, sebanyak 50 gram serbuk lidah mertua ditambah dengan 800 ml air. Larutan tersebut kemudian dididihkan sampai tersisa sekira setengah dari volume awal. Filtrat disaring (selanjutnya disebut dengan ekstrak air), dan digunakan untuk uji penghambatan jamur akar putih. Ekstraksi serbuk daun lidah mertua dengan asam fenolik dilakukan dengan cara perendaman. Sebanyak 100 gram serbuk daun ditambah dengan 800 ml asam fenolik dan direndam selama 3 hari. Filtrat hasil penyaringan (selanjutnya disebut dengan ekstrak asam fenolik) digunakan untuk uji penghambatan jamur akar putih. Proses ekstraksi serbuk daun lidah mertua menggunakan metanol, juga dilakukan dengan cara perendaman. Sebanyak 100 gram serbuk daun ditambah dengan 800 ml metanol dan direndam selama 3 hari. Proses pengadukan dilakukan beberapa kali selama proses perendaman tersebut. Filtrat dievaporasi pada suhu 80°C sehingga diperoleh padatan/gel (selanjutnya disebut dengan ekstrak metanol). Padatan dilarutkan dalam 50 ml akuades dan digunakan untuk uji penghambatan JAP.
36
Uji penghambatan ekstrak daun lidah mertua terhadap JAP Uji penghambatan JAP dilakukan dalam petridish dengan media PDA menggunakan metode peracunan (poisoning food). Pengamatan terhadap luas areal perkembangan JAP dilakukan pada 2, 4 dan 6 hari setelah inokulasi (hsi). HASIL DAN PEMBAHASAN Filtrat yang diperoleh dari proses perendaman daun lidah mertua dengan beberapa pelarut mempunyai warna yang berbeda-beda. Pelarut asam fenolik menghasilkan filtrat dengan warna coklat tua, sedangkan pelarut metanol dan air masing-masing menghasilkan filtrat berwarna hijau tua dan hijau pudar. Warna hijau diduga merupakan warna klorofil dari daun, sedangkan warna coklat pada filtrat dari asam fenolik diduga akibat sifat asam yang sudah merusak struktur klorofil daun. Setelah filtrat dievaporasi, diperoleh padatan gel berwarna hijau kehitaman dengan bau khas daun lidah mertua. Padatan tersebut larut dalam akuades. Andhare et al. (2012) melaporkan bahwa ekstrak daun lidah mertua mempunyai sifat fisik semipadat dengan warna coklat kehitaman serta berbau khas. Ekstrak tersebut larut dalam pelarut polar (air, etanol dan metanol), serta tidak larut dalam pelarut aseton, benzen dan toluen. Berdasarkan analisis fitokimia (Tabel 1), daun lidah mertua (Sansevieria trifasciata) yang diekstrak dengan pelarut etanol mengandung kelompok senyawa saponin, steroid, triterpenoid dan flavonoid. Saponin ditemukan dalam kadar tinggi, flavonoid dalam kadar sedang, sementara steroid dan terpenoid hanya ada pada konsentrasi rendah. Tanaman famili Agavaceae memang banyak dikenal sebagai tanaman yang kaya kandungan steroidal saponin. Mimaki et al. (1996) telah berhasil mengisolasi dan menentukan struktur kimia 12 macam steroidal saponin dari ekstrak metanol tanaman Sansevieria trifasciata. Selain kelompok senyawa tersebut, Dey et al. (2014) menyebutkan adanya alkaloid, tannin dan glikosida di dalam ekstrak metanol daun lidah mertua. Tabel 1. Sifat fisik dan kimia daun lidah mertua (Andhare et al., 2012) Parameter Karakteristik Sifat fisik Semipadat, coklat tua kehitaman dengan bau khas Kelarutan Larut (air, etanol, metanol); tidak larut (aseton, benzen, toluen) Nilai Rf 0,75 dalam fase gerak kloroform: metanol: air = 7:4:1 (v/v) UV MeOH 280, 360 (λmax) IR spektra Lidah mertua ~ IR cm: 3366 (–OH Stretch), 2925 (–CH stretch), 1733 (– Vmax, KBr C=O stretch), 1053 Steroidal saponin ~ IR cm: 3450 (–OH stretch), 2920 (–CH stretch), 1740 (–C=O stretch), 1445, 1375, 1260, 1140, 1045, 980 Fitokimia Saponin (+++), steroid (+), terpenoid (+), flavonoid (++) keterangan: +++= tinggi; ++=sedang; +=rendah Hasil uji penghambatan penyakit JAP yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa dari ketiga macam ekstrak daun lidah mertua, ekstrak asam fenolik mempunyai aktivitas penghambatan yang paling potensial. Ekstrak asam fenolik pada konsentrasi 7,5% dan 10% mampu menghambat perkembangan JAP dengan persen penghambatan yang sama yaitu sebesar 94,06%. Pada konsentrasi yang lebih rendah, yaitu 2,5% dan 5%, ekstrak asam fenolik memiliki persen penghambatan JAP masing-masing sebesar 57,05% dan 79,35%. Ekstrak air dan ekstrak metanol memiliki aktivitas penghambatan yang lebih rendah, dan kurang potensial untuk menghambat perkembangan JAP. Pada konsentrasi 10%, kedua ekstrak tersebut memiliki persen penghambatan masing-masing sebesar 52,56% dan 41,52 %. Aktivitas penghambatan JAP dari ekstrak daun lidah mertua selengkapnya disajikan pada 37
Tabel 2, sedangkan visualisasi penghambatan JAP dalam petridisk disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Tabel 2.Aktivitas penghambatan JAP dari ekstrak daun lidah mertua Konsentrasi (%) No Pengekstrak 0 2,5 5,0 1 Air 0,00 34,36 47,42 2 Metanol 0,00 15,63 26,65 3 Asam fenolik 0,00 57,05 79,35
7,5 45,94 39,78 94,06
10 52,56 41,52 94,06
Gambar 1.Aktivitas penghambatan JAP dari ekstrak asam fenolik daun lidah mertua
Gambar 2.Aktivitas penghambatan JAP dari ekstrak metanol daun lidah mertua Berdasarkan uji Anova dua faktor, maka secara keseluruhan terdapat perbedaan yang signifikan (taraf kepercayaan 95%) antar perlakuan, yaitu konsentrasi dan pelarut pengekstrak. Namun, hal tersebut tidak menggambarkan efektivitas penghambatan yang optimal. Daya penghambatan JAP dinilai efektif jika persentase penghambatannya lebih besar dari 80%. Secara umum, sampai konsentrasi 10%, crude ekstrak daun lidah mertua kurang efektif dalam menghambat perkembangan JAP. Hanya ekstrak asam fenolik daun lidah mertua yang dinilai efektif. Aktivitas tersebut diduga bukan disebabkan oleh ekstrak daun lidah mertua, tetapi lebih disebabkan oleh faktor keasaman media. Pada ekstrak air dan metanol, keasaman media berada pada kisaran pH netral, sedangkan pada ekstrak asam fenolik, pH media lebih asam yaitu pada kisaran 4 – 5. Pada media pembanding, yaitu media yang mengandung asam fenolik tanpa ekstrak daun lidah mertua, ternyata perkembangan JAP juga terhambat dengan persen penghambatan yang tidak berbeda nyata (Tabel 3). Pengaruh pH media tumbuh terhadap pertumbuhan jamur patogen telah banyak dilaporkan. Maharshi et al. (2012) melaporkan bahwa jamur Fusarium sp., Curvularia intermedia dan Antrodia sitchensis lebih menyukai pH netral sampai agak basa untuk pertumbuhannya, sedangkan Aspergillus niger tumbuh lebih baik pada pH asam. Neto et al. (2009) menyatakan bahwa jamur Lentinus crinitus dan Psilocybe castanella dapat memodifikasi keasaman media tumbuhnya sehingga mencapai pH optimal mendekati 4,5.
38
Tabel 3.Pengaruh asam fenolik terhadap persentase penghambatan JAP Konsentrasi (%) No Kandungan Media 0 2,5 5,0 7,5 10 1 Ekstrak asam feolik daun lidah mertua 0,00 57,05 79,35 94,06 94,06 2 Asam fenolik tanpa ekstrak daun lidah mertua 0,00 65,95 68,81 92,16 92,16 KESIMPULAN Pada ekstrak air dan metanol, penghambatan JAP kurang efektif, sebaliknya pada ekstrak asam fenolik penghambatan berlangsung lebih optimal. Konsentrasi optimal ekstrak asam fenolik untuk menghambat JAP adalah 7,5% dan 10%,dengan aktivitas penghambatan sebesar 94,06%. Aktivitas penghambatan JAP dari ekstrak asam fenolik lidah mertua tersebut tidak berbeda nyata dengan aktivitas asam fenolik tanpa ekstrak lidah mertua. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet yang telah memfasilitasi penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Adeyemi, O.O., A.J. Akindele, E.A. Ogunleye. 2009. Evaluation of the antidiarrhoeal effect of Sanseviera libericaGerome & Labroy (Agavaceae) root extract. Journal of Ethnopharmacology 123: 459–463. Andhare, R.N., M.K. Raut, S.R. Naik. 2012. Evaluation of antiallergic and antianaphylactic activity of ethanolic extract of Sanseveiria trifasciata leaves (EEST) in rodents. Journal of Ethnopharmacology 142: 627–633. Dey, B., R. Bhattacharjee, A. Mitra, R.K. Singla, A. Pal. 2014. Mechanistic Explorations of Antidiabetic Potentials of Sansevieria trifasciata.Indo Global Journal of Pharmaceutical Sciences, 4(2): 113-122. Febbiyanti, T.R. 2012. Penapisan jamur dan bakteri antagonis terhadap jamur akar putih (Rigidoporus microporus) dari rizosfer tanaman lidah mertua (Sansevieria trifasciata Prain). Jurnal Penelitian Karet, 30(1): 1-11. Komala, O., I. Yulia dan R. Pebrianti. 2012. Uji efektivitas ekstrak etanol daun lidah mertua (Sansevieria trifasciata Prain) terhadap khamir Candida albicans. Fitofarmaka, 2(2): 146-152. Laimeheriwa, C., A.C. Wullur dan W.A. Lolo. 2014. Uji efek ekstrak etanol daun lidah mertua (Sansevieria trifasciata Prain) terhadap penurunan kadar gula darah tikus putih jantan galur wistar (Rattus norvegicus L.) yang diinkubasi sukrosa. Pharmacon, 3(3): 255-262. Maharshi, A.R. and V.S. Thaker. 2012. Growth and Development of Plant Pathogenic Fungi in Define Media. European Journal of Experimental Biology, 2(1): 44-54. Mimaki, Y., T. Inove, M. Kuroda and Y. Sashida. 1996. Steroidal saponins from Sanvevieria trifasciata. Phytochemistry, 43(6): 1325-1331. Neto, S.L.M., D.R. Matheus and K.M.G. Machado. 2009. Influence of pH on the growth, Laccase activity and RBBR decolorization by tropical basidiomycetes. Brazilian Archives of Biology and Technology, 52(5): 1075-1082.
39
Said, A., E.A. Aboutabl, F.R. Melek, G.A.R.A Jabeel, M. Roslan. 2015. Steroidal saponins and homoisoflavanone from the aerial parts of Sansevieria cylindrica Bojer ex Hook. Phytochemistry Letters, 12: 113–118. Sikder, M.A., A.K.M.N. Hossian, A.B. Siddique, M. Ahmed, M.A. Kaisar and M.A. Rashid. 2011. In Vitro Antimicrobial Screening of Four Reputed Bangladeshi Medicinal Plants. Pharmacognosy Journal, 3(24): 72-76. Situmorang, A., H. Suryaningtyas, and T.R. Febbiyanti. 2007. Control of white root disease using antagonistic plant on rubber plantation. Proc. Int. Workshop on White Root Disease of Hevea Rubber. IRRDB. Salatiga, Indonesia.
40
KAJIAN MORFOLOGI, MORFOMETRI, DAN STATUS KONSERVASI PARI DI SUMATERA BAGIAN UTARA) THE STUDY OF MORPHOLOGY, MORPHOMETRY AND CONSERVATION STATUS OF RAYS IN NORTH AREA OF SUMATERA Fretty Juniarti dan Mufti Sudibyo Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan Jl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate Kode Pos 20221 Telp.(061) 6625970 email:
[email protected]
Abstract Rays has a high economic value, especially on their broader body and a pair of pectoral fins that attach on the left and right side of their head. The objective of this research is to analyzed the morphology, morphometry and conservation status of rays in the North area of Sumatera. The sample was taken from the Central Fish Market that located on Cemara Street Sampali Medan. There was found 7 samples of rays, where 4 of them were analyzed using multiple regression by stepwise method. The parameter that be measured was the length size against the body weidth. The result showed that based on morphology, there was found Himantura gerrardi, Dasyatis kuhlii, Himantura jenkinsii, Rhinoptera javanica, Taeniura lymma, Gymnura japonica, and Himantura undulata. Based on morphometry, the length size that contributing in the body weidth was the body length (r= 0,985), gap between the snout to the fifth gill (r= 0,993) and gap between the snout to the cloaca (r= 0,993). The conservation status based on Red list IUCN 2012, showed that Himantura gerrardi, Dasyatis kuhlii and Himantura jenkinsii, Gymnura japonica, and Himantura undulata was not evaluated (NE) while the Rhinoptera javanica was vulnerable (VU) and Taeniura lymma was Near threathened (NT). Key word : Morphology of rays, morphometry of rays, conservation status of rays
PENDAHULUAN Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memanfaatkan sumber daya ikan bertulang rawan (Elasmobranchii) terbesar di dunia, dengan dugaan hasil tangkapan sebesar 105.000 ton pada tahun 2002 dan 118.000 ton pada tahun 2003 (White et al., 2006). Elasmobranchii saat ini sedang menghadapi masalah terhadap tingginya laju kepunahan akibat pengambilan berlebih (over fishing) yang dipicu oleh tingginya permintaan pasar akan daging dan kulit pari. Menurut Red List spesies terancam berdasarkan International Union for the Conservation of Nature (IUCN), memperkirakan 562 spesies Hiu dan Pari (53,9% total) dalam kondisi terancam (Dulvy et al., 2014). Disamping over fishing, ikan bertulang rawan juga memiliki karakteristik berbeda terhadap ikan bertulang sejati dari strategi reproduksinya yang relatif lebih rendah sehingga dalam perkembangannya memiliki strategi hidup yang berbeda (Steven et al., 2000). Meskipun Indonesia tercatat sebagai negara dengan produksi perikanan pari terbesar dan diyakini memiliki kekayaan jenis pari tertinggi di dunia, namun hampir tidak ada kajian atau pun publikasi mengenai aspek biologi maupun komposisi jenis pari dari negara ini. Pengetahuan mengenai pengenalan jenis pari yang ada di Indonesia amatlah dibutuhkan 41
seiring dengan tingkat pemanfaatan yang amat tinggi terhadap populasi jenis ini, serta untuk memperoleh data yang akurat dalam penentuan kebijakan terhadap pengelolaan sumber daya tersebut (White et al., 2006). Selama ini Indonesia tidak memiliki data statistik hasil tangkapan pari menurut spesies, yakni data yang sangat diperlukan untuk mengetahui kecenderungan jumlah dan komposisi spesies hasil tangkapan yang didaratkan. Data dan informasi ini sangat berguna sebagai indikator status perikanan pari di Indonesia. Kepedulian mengenai penangkapan berlebih dan kehancuran (collapse) dari sejumlah stok pari telah mendorong berbagai upaya untuk mengelola dan melestarikan pari. Keberhasilan mengelola dan melestarikan pari sangat ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain berupa pemahaman yang lebih baik tentang perikanan pari dan efek yang ditimbulkannya, termasuk efek biologi dari spesies target, sehingga pengumpulan data biologi yang bersifat spesifik spesies dari perikanan pari sangat diperlukan (Pralampita, 2006). Sampai saat ini jenis pari apa saja yang sering ditangkap dan dikonsumsi terutama yang penangkapannya berasal dari Sumatera Bagian Utara dan apakah Pari yang tertangkap tersebut berstatus dilindungi atau tidak belum ada data. Oleh karena itu penelitian ini mengkaji temuan Pari yang sering tertangkap yang dilakukan pengukuran dan disesuaikan dengan status konservasinya pada IUCN tahun 2012. BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel dilakukan di Pusat pasar ikan Sumatera Utara di Jl. Cemara pada bulan Desember 2015 – Bulan Februari 2016. Sampel dalam penelitian ini mencakup 7 jenis pari yaitu Himantura gerrardi (30 spesies), Dasyatis kuhlii (30 spesies), Himantura jenkinsii (30 spesies), Rhinoptera javanica (30 spesies), Taeniura lymma (4 spesies), Gymnura japonica (2 spesies) dan Himantura undulata (1 spesies). Ikan Pari yang didapatkan diidentifikasi dan dilakuan pengukuran menurut Serena (2005) dan Akhilesh et al (2011) seperti tertera pada gambar di bawah ini. Status konservasi pari dilakukan berdasarkan kajian pustaka, pari yang ditemukan di diselaraskan dengan daftar red list IUCN 2012.
(a)
42
(b) Gambar 1. Teknik morfometri pada Pari (a) Dorsal, (b) Ventral (Serena, 2005) Parameter utama dalam penelitian ini mencakup faktor dependen (Y) = lebar badan, dan faktor independen yang meliputi X1= Panjang total/PT (cm), X2= Panjang badan/PB (cm), X3= Panjang pre orbital/PPO (cm), X4= Jarak inter orbital/JIO (cm), X5= Jarak pre spirakel/JPS (cm), X6= Jarak pre narial/JPN (cm), X7= Jarak inter narial/JIN (cm), X8= Jarak pre oral/JPO (cm), X9= Lebar mulut/LM (cm), X10= Jarak dari ujung moncong ke pembukaan celah insang pertama/JMP (cm), X11= Jarak dari ujung moncong ke pembukaan celah insang kelima/JML (cm), X12= Jarak dari ujung moncong ke kloaka/JMK (cm), X13= Jarak dari kloaka ke ujung ekor/JKE (cm), X14= Panjang ekor/PE (cm). Analisis statistik menggunakan analisis regresi linear berganda dengan metode Stepwise yang diolah dengan bantuan software IBM SPSS Statistics 20 mengikuti formulasi: Y= b0 + b1X1+ b2X2+ b3X3+ b4X4+..........bqXq + ε HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Berdasarkan identifikasi morfologi pada pari bintang memiliki bentuk moncong lancip serta bentuk badan persegi dengan warna badan coklat dipenuhi bintik putih yang bervariasi. Pari karang memiliki bentuk moncong lancip dan pendek serta terdapat garis lebar berwarna hitam melintang diatas mata. Pada pari duri memiliki bentuk badan bulat telur dan bagian tengah tubuh terdapat duri kecil hingga ekor. Pari elang memiliki bentuk moncong tumpul serta memiliki celah dalam di tengahnya hingga membentuk dua buah cuping dengan warna coklat kehitaman. Pari kunyit memiliki bentuk badan bulat telur dengan bintik biru cerah pada bagian ventral dan berwarna kuning pada bagian dorsal. Pari sayap memiliki moncong tumpul dan bentuknya menyerupai burung elang. Sedangkan pada pari harimau bagian atas tubuhnya didominasi oleh corak menyerupai macan tutul. Ikanpari(rays) termasuk ikan bertulang rawan dalam grup Cartilaginous. Ikan pari mempunyai bentuk tubuh gepeng melebar (depressed), sepasang sirip dada (pectoral fins) melebar dan menyatu dengan sisi kiri-kanan kepalanya, sehingga tampak atas atau tampak bawahnya terlihat bundar atau oval. Ikan pari umumnya mempunyai ekor yang sangat berkembang (memanjang) menyerupai cemeti (Last dan Stevens, 2009). Berdasarkan identifikasi menggunakan acuan Akhilesh et al (2011) Pari yang ditemukan adalah Himantura gerrardi, Dasyatis kuhlii, Himantura jenkinsii, Rhinoptera javanica, Taeniura lymma, Gymnura japonica dan Himantura undulata. Secara umum, pari 43
yang ditemukan tidak memiliki ciri spesifik dari Pari yang telah diberi nama sebelumnya, dengan demikian belum memungkinkan adanya nama subspecies. Gambar pari yang di temukan di Pusat Pasar Ikan Sumatera Utara tertera pada gambar 2 dibawah ini.
44
Karakteristik Morfometri Menurut Enjah Rahmat (2011) morfometrik merupakan salah satu cara untuk mendeskripsikan jenis ikan dan menentukan unit stok pada suatu perairan dengan berdasarkan atas perbedaan morfologi spesies yang diamati. Morfometri terhadap 15 parameter terukur pada Pari yang ditemukan tertera pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Pengukuran Morfometri Pari yang ditemukan di Pusat Pasar Ikan Sumatera Utara No. Morfometri Jenis Pari Pari Karang Pari Bintang Pari Duri Pari Elang 25,2±5,3 35,4±6,6 45,2±10,2 46,6±16,6 1. LB 46,7±12,7 80,6±33,7 88,5±16,4 72,4±5,0 2. PT 18,6±4,4 27,8±6,4 34,5±6,0 27,9±7,8 3. PB 3,9±1,6 5,9±1,7 9,1±2,7 1,5±0,5 4. PPO 1,9±0,6 2,8±1,3 5,7±2,5 3,1±1,3 5. JIO 5,7±1,6 7,8±1,6 11,9±3,4 6,1±2,1 6. JPS 3,3±1,1 4,4±1,2 7,4±2,6 3,8±1,6 7. JPN 2,1±0,6 2,5±0,8 4,7±2,1 3,1±1,0 8. JIN 4,5±1,6 5,8±1,3 9,8±3 5,9±2,0 9. JPO 1,9±0,8 2,0±0,6 4,7±2,2 1,8±0,5 10. LM 4,4±1,9 8,8±1,9 13,6±3,1 8,6±2,3 11. JMP 11,5±2,7 13,5±2,7 18,5±4,7 12,5±3,5 12. JML 21,3±5,6 25,3±3,9 33,9±6,1 27,4±8,5 13. JMK 29,9±8 68±25,3 55,3±11,6 43,9±4,7 14. JKE PE 28,8±7,8 66±25,1 51,3±11,6 41,8±4,8 15. Analisis regresi berganda menggunakan metode stepwise yang dilakukan terhadap empat jenis pari yang memenuhi syarat dalam analisis statistik memiliki karakteristik yang berbeda-beda berdasarkan kontribusinya terhadap lebar badan. Pada Pari bintang terdapat tiga faktor independen yang berkontribusi terhadap lebar badan yakni PB 95%, JML 97%, JMK 97%, LM 98%, JPS 98%, dan JPO 99%. Pada Pari karang yang berkontribusi terhadap lebar badan adalah PB 96%, JMK 97%, dan JMP 97%. Pada Pari duri yang berkontribusi terhadap lebar badan adalah JPS 94%, PB 97%, JML 98%, dan LM 99%. Pada Pari elang yang berkontribusi terhadap lebar badan adalah JML 97%, JIN 98%, dan JMK 98%. Persamaan regresi berdasarkan analisis tertera di dalam tabel 2. Dibawah ini Jenis Pari Persamaan regresi Pari Bintang Y = 0,41 X2 + 0,54 X12 +0,92 X9 + 0,71 X5 + 0,55 X8 - 0,49 Pari Karang Y= 0,81 X2 + 0,11 X12 + 0,69 X10 - 4,64 Pari Duri Y= 0,79 X2 + 1,40 X11 - 0,56 X9 - 5,45 Pari Elang Y = 3,10 X11 - 1,88 X7 + 0,78 X12 - 7,93 Status Konservasi dan Sebaran Pari Hampir seperempat chondrichthyes di dunia dalam kondisi terancam, didasarkan pada pengamatan tingkat ancaman jenis yang dikombinasikan dengan model estimasi jumlah data spesies defisien yang mungkin terancam. Dari 1.041 jenis yang dikenal 181 (17,4%) digolongkan terancam (treatern), 25 (2,4%) dinilai berstatus sangat berbahaya (Critically Endangered/CR), 43 (4,1%) berbahaya (Endangered/EN), dan 113 (10,9%) berstatus rentan (Vulnirable/VU) (Dulvy et al., 2014). Selanjutnya 132 (12,7%) dikatagorikan mendekati terancam (near threatern/NT). Chondrichthyes memiliki persentase terendah 23,2% paling sedikit mendapatkan perhatian dari semua kelompok hewan vertebrata dari taksa laut yang dinilai (Hoffmann et al., 2010). 45
Last dan Stevens (2009) menyatakan bahwa Ikan pari (famili Dasyatidae) mempunyai variasi habitat yang sangat luas dengan pola sebaran yang unik. Daerah sebaran ikan pari adalah perairan pantai dan kadang masuk ke daerah pasang surut. Ikan pari biasa ditemukan di perairan laut tropis. Di perairan tropis Asia Tenggara (Thailand, Indonesia, Papua Nugini) dan Amerika Selatan (Sungai Amazon). Status Konservasi dan sebaran pari yang ditemukan tertera pada Tabel 3 di bawah ini. No 1.
Nama Spesies Himantura gerrardi
2.
Dasyatis kuhlii
3.
Himantura jenkinsii Rhinoptera javanica
4.
5.
Taeniura lymma
6.
Gymnura japonica
7.
Himantura undulata
Sebaran Di perairan Indonesia-Pasifik Barat mulai dari India sampai Papua Nugini dan Taiwan Di perairan Indonesia-Pasifik Barat sampai Melanisia termasuk Jepang dan Australia Di perairan Indonesia-Pasifik Barat
Status Konservasi Red list IUCN 2012 : Belum dievaluasi (NE) Red list IUCN 2012 : Belum dievaluasi (NE)
Red list IUCN 2012 : Belum dievaluasi (NE) Di perairan Indonesia-Pasifik Barat Red list IUCN 2012 : Rentan Mengalami kepunahan (VU) Di perairan Indonesia-Pasifik Barat Red list IUCN 2012 : mulai Afrika Selatan sampai Hampir Terancam (NT) Kepulauan Solomon Di perairan Pasifik Utara sebelah Red list IUCN 2012 : barat mulai dari Thailand hingga Belum dievaluasi (NE) Jepang Di perairan Indonesia-Pasifik Barat Red list IUCN 2012 : mulai dari India sampai Jepang dan Belum dievaluasi (NE) bagian Selatan Australia
KESIMPULAN 1. Pari yang ditemukan di perairan Sumatera Bagian Utara adalah Himantura gerrardi, Dasyatis kuhlii, Himantura jenkinsii, Rhinoptera javanica, Taeniura lymma, Gymnura japonica, dan Himantura undulata. 2. Faktor morfometri yang paling berpengaruh terhadap lebar badan pada jenis pari bintang yakni PB 95%, JML 97%, JMK 97%, LM 98%, JPS 98%, dan JPO 99%. Pada Pari karang yakni PB 96%, JMK 97%, dan JMP 97%. Pada Pari duri yakni JPS 94%, PB 97%, JML 98%, dan LM 99%. Pada Pari elang yakni JML 97%, JIN 98%, dan JMK 98%. 3. Status konservasi pari di Sumatera Bagian Utara Himantura gerrardi, Dasyatis kuhlii, dan Himantura jenskinsii, Gymnura japonica, dan Himantura undulata termasuk dalam status Belum dievaluasi (NE) sedangkan Rhinoptera javanica termasuk dalam status Rentan mengalami kepunahan (VU) dan Taeniura lymma termasuk dalam status Hampir terancam (NT). DAFTAR PUSTAKA Akhiles K.V., U. Ganga, N.G.K., Pillari, E.,Vivekanandan,, K.K Bineesh., C.P.R Shanis and Hasyim., (2011), Deep-Sea fishing for chondrichtyan resources and sustainability concerns a case study from southwest coast of India, Indian journal of Geo-Marine Sciences 40 (3): 347- 355.
46
Allen, G. 2000. Marine Fishes of South and East Asia. A Field Guide for Anglers and Diversi. Western Australia. Dudley, S. F. J. and C. A. Simpfendorfer, (2006), Population status of 14 shark spesies caught in the protective gillnets off KwaZulu-Natal beaches, South Africa, 19782003, Marine and Freshwater Research, 57:225-240. Fahmi dan Darmadi, (2005) Status perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya, Jurnal Oseana 30 :1-8. Hoffmann M., Hilton-Taylor C., Angulo A., Butchart HM., Carpenter KE., Chanson J., Collen B., and Cox NA., (2010), The impact of conservation on the status of the world's vertebrates,Science, 33:1503-1509. Hutchings, J.A., (2000), Collapse and recovery of marine fishes. Nature, 406, 882-885. Last, P.R. & J.D. Stevens, (2009), Sharks and Rays of Australia Second Edition, CSIRO, Victoria Australia. Lotze H.K., H.S. Lenihan, B.J. Bourque, R.H. Bradbury, R.G. Cooke, M.C. Kay, S.M. Kidwell, M.X. Kirby, C.H. Peterson, and J.B.C. Jackson., (2006), Depletion, degradation,and recovery potential of estuaries and coastal seas, Science, 312:18061809. Neubauer, P., O.P. Jensen, J.A. Hutchings, and J.K. Baum., (2013), Resilience and recovery of overexploited marine populations. Science, 340:347-349. Patterson H.M and M. J. Tudman., (2009), Chondrichthyan guide for fisheries managers. A practical guide for mitigating chondrichthyan bycatch.Bureau of Rural Sciences and Australian Fisheries Management Authority, Canberra ACT (www.afma.gov.au & www.brs. gov.audi akses tanggal 28 November 2015). Pralampita, W A., Mardijah, S., (2006), Aspek Biologi Pari Mondol (Himantura gerrardi) family Dasyatidae dari Perairan Laut Jawa, Jurnal Lit.Perikanan 12 (1): 69-75. Rahmat, E., (2011), Teknik Pengukuran Morfometrik pada Ikan Cucut di Perairan Samudera Hindia, Jurnal BTL9(2): 2-3. Serena F.,(2005), Field identification guide to the Sharks and Rays of the mediterranean and Black Sea,Food and agriculture organization of the united nations, Rome. Stevens, J. D., R. Bonfil., N. K Dulvy., and P. A. Walker., (2000), The effects of fishing on sharks, rays, and chimaeras (chondrichthyans), and the implications for marine ecosystems, ICES Journal of Marine Science, 57: 476–494. Sri, J., dan Kasijan Romimohtarto, (2009), Biologi Laut, Djambatan, Jakarta. Sulak K.J., P.D. MacWhirter., K.E. Luke., A.D. Norem., J.M. Miller., J.A. Cooper and L.E. Harris.,(2009), Identification guide to skates (Family Rajidae) of the Canadian Atlantic and adjacent regions, Canadian Technical Report of Fisheries and Aquatic Sciences, New Brunswick. White, W.T., P. R. Last., J. D. Stevens., G. K. Yearsley., Fahmi, Dharmadi.,(2006), Economically Important Shark and Rays Indonesia (Hiu dan Pari yang bemilai ekonomis penting Indonesia), CSIRO, Murdoch University, Aciar,Perth.
47
AKTIVITAS MAKAN PADA GAJAH SUMATERA (Elephas maximus sumatranus) TERHADAP KERENTANAN BUDIDAYA PERTANIAN DI PROVINSI ACEH SUMATRAN ELEPHANT (Elephas maximus sumatranus) FEEDING BEHAVIOUR ON SUSCEPTIBITY OF AGRICULTURE COMMODITY IN ACEH Kaniwa Berliani1.2, Hadi S.Alikodra3, Burhanuddin Masy’ud3, Mirza Dikari Kusrini3 1. Fakultas Pascasarjana, Program Konservasi Biodiversitas Tropika,Fakultas Kehutanan IPB. Email:
[email protected] 2. Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Departemen Biologi, Universitas Sumatera Utara 3. Program Konservasi Biodiversitas Tropika, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Abstrak Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) sangat selektif memilih jenis tanaman dan bagian tanaman tertentu untuk dikonsumsi. Penelitian tentang aktivitas makan pada gajah bertujuan mendefinisikan perilaku makan pada gajah terhadap jenis tanaman komoditi pertanian masyarakat yang berbeda secara bersamaan, menganalisis perilaku aktivitas makan pada gajah terhadap jenis tanaman dan menganalisis perilaku aktivitas makan pada gajah sumatera terhadap kerentanan kerusakan jenis tanaman komoditi yang dibudidayakan masyarakat di daerah konflik manusia-gajah. Penelitian telah dilakukan pada bulan Desember 2014 di Pusat Konservasi Gajah Saree Provinsi Aceh. Metode yang digunakan adalah observasional deskriptif dilakukan dengan metode focal animal samplingdengan mengkombinasikandengan continuous sampling pada lima ekor gajah betina dewasa dan lima ekor gajah jantan dewasa terhadap 10 jenis pakan yang merupakan jenis tanaman komoditi masyarakat di daerah konflik manusia-gajah. Data dianalisis menggunakananalisis deskripsi sehingga memberi gambaran secara khusus tentangperilaku aktivitas makan pada gajah terhadap jenis tanaman yang dirusak dan yang tidak dirusak oleh gajah. Hasil penelitian diperoleh bahwa perilaku aktivitas makan pada gajah didefinisikan dengan perilaku mengamati, mengambil, memeriksa, mengolah, menggigit, mengunyah, menelan dan membuang pakan. Aktivitas makan pada gajah merupakan aktivitas yang paling besar, diikuti aktivitas lokomos, aktivitas defekasi dan aktivitas urinasi. Pada perilaku pemilihan jenis pakan yang dikonsumsi, gajah paling sering menunjukkan perilaku memilih tanaman padi (Oryza sativa) dan tanaman pisang (Musasp) sedangkan jenis pakan yang paling sedikit dipilih adalah tanaman coklat (Theobroma cocoa). Disamping, empat jenis pakan yang sedikitpun tidak dikonsumsi gajah betina maupun jantan, namun memperlihatkan perilaku mengamati, perilaku memeriksa dan perilaku membuang. Tanaman tersebut adalah cabai (Capsicum frutescens), kemiri (Aleurites moluccana), kopi (Coffea arabica), dan nilam (Pogostemon cablin). Perilaku aktivitas makan pada gajah terhadap jenis tanaman tertentu dan kerentanan tanaman komoditas terhadap kerusakan oleh gajah akan memperkuat alasan untuk mengatur suatu strategi mengurangi konflik manusia-gajah di propinsi Aceh. Kata Kunci: perilaku, gajah, memilih, jenis tanaman, aktivitas makan.
48
PENDAHULUAN Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa bersifat browser (pemakan semak), folivora (pemakan daun), frugivora (pemakan buah), pemakan biji dan pemakan bagian lain dari tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan mineral.Satwa megaherbivora ini mengkonsumsi lebih dari 400 spesies tumbuhan yang berbeda dan sangat bervariasi memakan bagian-bagian tanaman, misalnya daun, buah, umbut, pelepah, batang muda, bunga, kulit dan juga liana, tergantung pada daerah, cuaca dan ekosistem (Poole 1996; Sukumar 2003; Abdullah et al. 2005; Fowler dan Susan 2006; Sarmah 2009; Abdullah et al. 2010). Akan tetapi gajah juga sangat selektif dalam memilih pakannya (Blake 2002; Fowler dan Susan 2006) dan dipengaruhi oleh tipe vegetasinya (Tehamba 1996). Perilaku satwa merupakan segala tindak tanduk, respon atau ekspresi yang terlihat akibat adanya stimulus dalam (sekresi hormon, faktor motivasi, dorongan alat insentif sebagai akibat aktivitas) dan stimulus luar (suara, pandangan, tenaga mekanis dan kimiawi) yang mempengaruhinya. Jadi perilaku merupakan suatu aktivitas yang melibatkan penerimaan stimulus melalui panca indera, perubahan stimulus ini menjadi aktivitas neural, aksi integrasi susunan syaraf dan akhirnya aktivitas berbagai organ motorik, baik internal maupun eksternal (Tanudimadja dan Kusumamihardja 1985; Mukhtar 1986). Setiap hewan mempunyai banyak macam perilaku yang memungkinkan hewan merespon terhadap segala stimulus yang datang dan berkembang sesuai dengan perkembangan dari proses belajar. Namun perilaku yang utama dan penting dalam kehidupan seekor hewan adalah perilaku makan atau ingestive behaviour (Hafez 1969; Alikodra 1990). Perilaku makan satwasecara mendasar dapat diketahui padabagian anatomi dan adaptasi fisiologis satwa tersebut. Gajah memiliki struktur gigi dan saluran pencernaan yang menentukan jenis tanaman yang dimakannya. Selain itu, kebutuhan terhadap pakan dipengaruhi oleh ukuran tubuh, semakin besar maka diperlukan makanan yang lebih banyak (Sukumar (2003). Mamalia besar ini membutuhkan hijauan dalam jumlah banyak yaitu sekitar 200 – 300 kg biomassa per hari untuk gajah dewasa atau 5 – 10% dari berat badannya (Shoshani dan Eisenberg, 1982),sedangkan gajah dewasa dengan berat 3000 – 4000 kg membutuhkan jumlah pakan yang banyak, yaitu 200 – 300 kg hijauan segar per hari pada kondisi alami. Besarnya konsumsi makanan gajah disebabkan karena sistem pencernaannya kurang sempurna bila dibandingkan dengan hewan herbivora lain karena tidak memamah biak, memiliki lambung tunggal dan rata-rata waktu mencerna yang rendah. Alasan inilah yang menyebabkan gajah menampakkan perilaku makan yang terus menerus (Lekagul dan Mcneely 1977; WWF 2005). Berdasarkan informasi umum dari masyarakat, laporan dari beberapa hasil penelitian maupun pengamatan penggiat konservasi gajah bahwa perilaku gajah menunjukkan adanya fenomena preferensi terhadap tanaman komoditi masyarakat. Hal ini disebabkan adanya faktor selektifitas gajah dalam memilih jenis pakan yang dikonsumsinya.Tingkat preferensi gajah yang tinggi mengindikasikan adanya kesukaan gajah terhadap jenis tanaman komoditi tertentu. Akan tetapi, menurut Sukumar 2003 bahwa kesukaan gajah terhadap tanaman dapat diketahui saat aktivitas makan, yaitu gajah dihadapkan pada beberapa jenis tanaman yang berbeda yang disediakan secara bersamaan. Jadi, berdasarkan aktivitas makan tersebut diduga kuat adanya perilaku makan yang berbeda saat mengkonsumsi tanaman yang disukai dan yang tidak disukai. Meskipun demikian sejauh ini belum ada data dan informasi yang konfrehensif berdasarkan aktivitas makan pada gajah yang menunjukkan bagaimana mendefinisikan perilaku makan dan cara mengolah pakan pada gajah, berapa besar proporsi perilaku gajah pada aktivitas makan, dan bagaimana menganalisis perilaku aktivitas makan pada gajah terhadap kerentanan jenis tanaman. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan : (1) mendefinisikan perilaku makan pada gajah terhadap jenis tanaman komoditi pertanian masyarakat yang berbeda secara bersamaan, (2) menganalisis 49
perilaku aktivitas makan pada gajah terhadap jenis tanaman (3) menganalisis perilaku aktivitas makan pada gajah sumatera terhadap kerentanan kerusakan jenis tanaman komoditi yang dibudidayakan masyarakat di daerah konflik manusia-gajah. BAHAN DAN METODE Hewan penelitian yang diamati yaitu 10 ekor gajah (Elephas maximus sumatranus), masing-masing lima ekor betina dewasa (Butet, Johana, Mega, Ida, Isabella) dan lima ekor jantan dewasa (Abu, Bunta, Lilik, Midok, Ollo). Bahan pakan yang diberikan berupa 10 jenis tanaman komoditi pertanian/perkebunan masyarakat yang diperkirakan dirusak dan tidak dirusak gajah berdasarkan penelitian sebelumnya yaitu pinang (Areca catechu), pisang (Musa sp), kelapa sawit (Elais gueenensis), padi (Oryza sativa), karet (Havea brassiliensis), coklat (Theobroma cocoa), kopi (Coffea Arabica), cabe (Capsicum frutescens), kemiri (Aleurites moluccana), dan nilam (Pogostemon cablin). Peralatan yang digunakan adalah termohigrometer (untuk mengukur suhu dan kelembaban udara), jam (untuk membatasi interval pengamatan), alat tulis, tally sheet (untuk mencatat data pengamatan), dan kamera video (untuk mengamati perilaku gajah). Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2014 di Pusat Konservasi Gajah Aceh, Saree Provinsi Aceh (05o44‘41,65‖LU – 95o72‘47,17‖BT), berada pada ketinggian 436 mdpl dengan tipe iklim B dengan suhu rata-rata setiap pagi hari adalah 19oC sampai 24oC, sedangkan sore hari mencapai 28oC sampai 30.1oC. Disamping itu kelembaban udara ratarata setiap pagi berkisar 78% sampai 84% dan sore hari mencapai 54% sampai 69%. Kisaran suhu dan kelembaban udara tersebut berfluktuasi namun tidak mempengaruhi aktivitas gajah. Keadaan tersebut masih bisa ditolerir, sehingga secara keseluruhan gajah masih dapat beradaptasi terhadap faktor lingkungan tersebut. Pengumpulan data penelitian observasional deskriptif dilakukan dengan metode focal animal samplingdengan mengkombinasikandengan continuous sampling(Martin dan Bateson, 1993). Pengamatan aktivitas makan dilakukan pada pagi hari pukul 07.00 WIB sampai 08.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB sampai 17.00 WIB selama tujuh kali pengamatan sebagai ulangan selama 60 menit (1 jam).Seekor gajah dilepaskan pada jarak 5 meter menghadap tumpukan pakan. Pengujian ini tidak memberikan perlakuan pemuasaan terhadap rasa kenyang pada gajah.Selain itu diupayakan suasana yang tenangsaat perlakuan, karena suasana yang tidak biasa kemungkinan dapat mempengaruhi pola makan gajah, seperti penonton yang terlalu banyak dan mendekati gajah dengan suara bising, dan lain lain. Pengolahan data dilakukan dengan analisis deskripsi sehingga memberi gambaran secara khusus tentangperilaku aktivitas makan pada gajah terhadap jenis tanaman yang dirusak dan yang tidak dirusak oleh gajah. HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Aktivitas Makan pada Gajah Sumatera Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas makan pada 10 ekor gajah selama 140 kali pengamatan diperoleh sebanyak 12.484 titik sampel dengan durasi 504.000 detik. Selama pengambilan data, kondisi gajah dalam keadaan baik dan sehat, karena pemberian pakan yang normal tetap diberikan setelah durasi pengamatan untuk mencegah shock pencernaan akibat perubahan diet. Disamping itu tidak ada pembatasan dan perubahan kegiatan dari kegiatan normal gajah diluar masa pengamatan perilaku terhadap pakan yang diuji coba. Aktivitas makan pada gajahdiawali dengan mendekati pakan kemudian memperhatikan pakan. Setelah itu menunjukkan perilaku memeriksa pakan yaitu menciumi dan menyentuh pakan menggunakan belalainya. Selanjutnya gajah melakukan pemilihan jenis pakan. Gajah menunjukkan perilaku sangat selektif dalam memilih berbagai jenis pakan yang diberikan secara bersamaan. Dengan demikian dari pemilihan tersebut diketahui gajah 50
menyukai jenis pakan tertentu. Sesuai dengan Sukumar (2003) menyatakan bahwa kesukaan atau ketidaksukaan pada tanaman atau bagian tanaman tertentu diketahui saat aktivitas makan yang dihadapkan dengan ketersediaan beberapa jenis tanaman yang berbeda secara bersamaan. Pakan yang dipilih diambil menggunakan belalai, kemudian diolah sebelum di masuk ke dalam mulut untuk dikunyah dan ditelan. Jenis tanaman yang palatable akan segera dimakan sedangkan jenis tanaman yang tidak palatable akan dibuang atau hanya menciumi pakan, tidak menyentuhnya bahkan menghindari pakan tersebut. Jadi gajah akan memakan habis jenis pakan yang disukai dan tidak akan memakan pakan yang tidak disukai dan akan menghindari pakan pada jenis tanaman tertentu (Blake 2002; Sukumar 2003). Perilaku yang ditunjukkan gajah selama pengamatan aktivitas makan dapat didefinisikan sebagai berikut: 1. Mengamati pakan, yaitu perilaku gajah sebelum mengambil pakan maupun setelah mengambil pakan, kemudian memegang dengan menggunakan belalai. 2. Mengambil pakan, yaitu perilaku gajah saat memilih pakan, kemudian memegang dengan menggunakan belalai, menarik atau membawa pakan tidak jauh dari tempat pakan. 3. Memeriksa pakan, yaitu perilaku gajah mencium-cium, memilah-milah, membolak-balik dan mencari-cari pakan dengan menggunakan belalai. 4. Mengolah pakan, yaitu perilaku gajah untuk membersihkan kotoran pada pakan, mengupas pakan yang berkulit keras, membuang bagian tanaman yang tidak palatable atau mematahkan dan membelah pakan menjadi lebih kecil dengan menggunakan belalai, salah satu kaki depan dan gading. 5. Menggigit pakan yaitu perilaku gajah saat memasukkan pakan ke dalam mulut dengan tujuan untuk memotong pakan menjadi bagian yang lebih kecil, menyesuaikan dengan ukuran mulut gajah atau membawa pakan dengan menggunakan gigi. 6. Mengunyah pakan, yaitu perilaku gajah saat mengkonsumsi, menghaluskan pakan dengan menggunakan gigi. 7. Menelan pakan, yaitu perilaku gajah saat memasukkan pakan ke dalam perut. 8. Membuang pakan,yaitu perilaku gajah terhadap pakan yang tidak disukai, pakan dipegang terlebih dahulu kemudian dibuang menggunakan belalai. Khusus perilaku gajah mengolah pakan terdapat perbedaan antara gajah betina dan jantan dalam menangani pakan sebelum dimasukkan ke dalam mulut. Perilaku ini dilakukan dengan menggunakan belalai dibantu dengan salah satu kaki depan atau gading tergantung kepada jenis kelamin gajah dan pakan yang akan dikonsumsi. Pada tanaman pinang, bagian tanaman yang dikonsumsi adalah bagian dalam batang pinang. Gajah betina mengolah pakan diawali dengan menginjak batang pinang kemudian membelah dan mengambil bagian dalam batang untuk dikonsumsi, tetapi gajah jantan sering menggunakan gading untuk membelah, menusuk, memecah batang pinang kemudian menggigit, mengunyah dan menelan pakan tersebut. Pada tanaman pisang, hampir seluruh bagian tanaman di konsumsi gajah. Akan tetapi berdasarkan pengamatan, ada perbedaan pengolahan pakan yang dilakukan untuk setiap bagian tanaman yang akan dikonsumsi. Pada saat mengkonsumsi buah pisang, gajah mengambil pakan dengan belalai kemudian langsung mengunyah dan menelan pakan tersebut tanpa melakukan pengolahan pakan. Akan tetapi bila gajah akan mengkonsumsi daun pisang maka dengan menggunakan belalai, gajah akan mengambil bagian pelepah yang ada daunnya kemudian mengoyak daun dari pangkal sampai ujung daun secara bersamaan selanjutnya dimasukkan ke dalam mulut. Saat mengkonsumsi pelepah pisang, gajah betina sering menggunakan salah satu kaki depannya untuk memijak, membelah dan mengupas pelepah, sedangkan gajah jantan menggunakan gading untuk menusuk dan membelah pelepah untuk memperoleh bagian dalam pelepah kemudian dikunyah dan ditelan. 51
Gajah mengolah bagian pelepah dari tanaman kelapa sawit dengan belalai dan salah satu kaki bagian depan sebelum pakan tersebut dikonsumsi. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan dalam pengolahan pakan yang dilakukan oleh gajah betina maupun gajah jantan. Gajah juga mengkonsumsi daun muda pada bagian ujung-ujung pelepah sedangkan daun yang tua dibuang karena tidak dikonsumsi. Selain itu buah kelapa sawit juga merupakan bagian tanaman yang dikonsumsi gajah dengan bantuan belalai untuk mengambil, mengumpulkan dan memasukkan ke dalam mulut. Seluruh bagian tanaman padi dikonsumsi oleh gajah, mulai dari bagian akar sampai buah. Untuk mengkonsumsi tanaman padi, gajah juga memperlihatkan perilaku mengolah pakan terlebih dahulu, yaitu mengambil dan mengumpulkan tanaman padi, memegang pada bagian batang keatas menggunakan belalai kemudian memukul bagian akar dan batang ke kaki kiri atau kaki kanan depan berulang kali. Kadang kala memukulkan ke bagian depan badan selanjutnya dimasukkan ke dalam mulut untuk dikunyah dan ditelan. Perilaku ini dilakukan gajah untuk membersihkan bagian tanaman padi dari lumpur, tanah bahkan serangga. Berdasarkan pengamatan diketahui perilaku gajah menggigit antara bagian akar dan batang padi kemudian membuang bagian akar yang masih banyak terdapat lumpur atau tanah. Gajah mengkonsumsi bagian ranting dan kulit batang tanaman karet. Perilaku mengolah pakan diawali dengan mengambil dan mengumpulkan ranting-ranting yang muda kemudian menggigit dan menahan ranting-ranting didalam mulut untuk membuang daundaun karet yang tua menggunakan belalai. Gajah juga mengkonsumsi kulit batang namun menurut Blake (2002) bahwa hanya kulit batang tertentu saja yang dipilih gajah sebagai bahan pakan. Diketahui, gajah memilih kulit batang karet untuk dkonsumsi. Ketika gajah akan mengkonsumsi kulit batang karet maka gajah menarik batang karet setelah itu mengolah pakan dengan memijak batang tersebut dengan salah satu kaki depan, selanjutnya mematahkan dan mengupas kulit batang menggunakan belalai kemudian dikunyah dan ditelan. Pada tanaman coklat, gajah hanya mengkonsumsi buah yang sudah masak saja. Perilaku gajah makan diawali dengan mengamati tanaman coklat, memeriksa dengan mencium-cium dan membolak-balikkan tanaman coklat untuk mencari buahnya menggunakan belalai. Setelah gajah menemukan buah coklat, belalai mengambil dan memasukkan kedalam mulut untuk dikunyah kemudian ditelan. Dalam hal ini, gajah tidak menunjukkan perilaku mengolah pakan saat akan mengkonsumsi buah coklat karena pakan yang akan dikonsumsi tidak memerlukan penanganan berlebih. Gajah tidak mengkonsumsi bagian manapun dari tanaman cabai, kemiri, kopi dan nilam. Hal ini diketahui dari perilaku aktivitas makan yang hanya menunjukkan perilaku mengamati pakan, memeriksa, kemudian membuang pakan. Pada saat mendekati tanaman tersebut, gajah memeriksa bagian-bagian tanaman dengan mencium-cium dan menyentuh bagian tanaman menggunakan belalai, bahkan menginjak-injak tanaman tersebut dengan kaki belakang. Jadi dari perilaku aktivitas makan dapat diketahui bahwa gajah tidak menyukai tanaman cabai, kemiri, kopi dan nilam, bahkan menunjukkan perilaku menghindar untuk mengkonsumsinya. Ketika gajah melakukan aktivitas makan, belalainya selalu berperan melakukan aktivitas makan atau membantu proses aktivitas tersebut. Hal ini diketahui saat mendefinisikan perilaku aktivitas makan selama pengamatan. Sebahagian besar, gajah memperlihatkan peran belalai mulai dari perilaku mengamati, mengambil, memeriksa, mengolah, menggigit, mengunyah, menelan dan membuang pakan. Belalai akan bergerak secara konstan ketika gajah bergerak pindah ataupun kondisi berdiri. Ujung belalai selalu bergerak menjulur kebagian depan tubuhnya atau kearah sekeliling seperti mencium-cium jenis tanaman selama aktivitas. Menurut McKay (1990) bahwa gajah memperlihatkan 52
perilaku menciumi lingkungan sekitarnya seperti itu untuk mendeteksi objek apa saja yang ditemukan dan akan memungut benda-benda berukuran kecil yang dianggap berpotensi sebagai pakan sampai habis kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Perilaku Aktivitas Makan pada Gajah Sumatera Terhadap Jenis Pakan Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas makan pada gajah di Pusat Konservasi Gajah Aceh dapat dikelompokkan menjadi dua aktivitas yaitu yang berhubungan langsung dengan pola makan diantaranya aktivitas makan, aktivitas defekasi dan aktivitas urinasi, sedangkan aktivitas yang tidak berhubungan langsung dengan pola makan adalah aktivitas lokomosi. Pada Gambar1, secara keseluruhan aktivitas makan pada gajah merupakan aktivitas yang paling besar yaitu sebesar 90.84%, diikuti aktivitas lokomosi 7.36%, aktivitas defekasi 7.36% dan aktivitas urinasi 0.72%. Tinggi rendahnya pola makan gajah selama pengamatan akan dipengaruhi oleh aktivitas makan, defeksi dan urin.
Gambar 1. Persentase aktivitas makan pada gajah Hasil pengamatan perilaku makan pada gajah menunjukkan bahwa gajah betina dan jantan memiliki pola perilaku yang hampir sama pada pagi dan sore hari. Perilaku makan pada gajah betina pada pagi hari mencapai frekuensi 29.09% dan sore hari mencapai 28.60%. Seperti halnya pada gajah jantan, frekuensi perilaku makan pada pagi hari 16.25% dan sore hari mencapai 16.96%. Disamping itu, aktivitas defekasi dan urinasi pada gajah dilakukan beberapa kali pada pagi dan sore hari. Aktivitas defekasi dan urinasi lebih tinggi dilakukan pada gajah betina daripada gajah jantan. Hal ini mungkin disebabkan kecernaan gajah betina lebih rendah daripada kecernaan gajah jantan, selain itu disebabkan akumulasi bahan pakan yang tidak dapat dicerna secara sempurna oleh organ pencernaan. Lagi pula jika aktivitas makan tinggi dengan kadar air dalam pakan maka akan mempengaruhi tingginya aktivitas urinasi. Jadi tinggi rendahnya aktivitas defekasi dan urinasi tergantung pada kecernaan, metabolisme tubuh dan konsumsi pakan. Aktivitas lokomosi gajah ditunjukkan saat gajah mendekati pakan untuk mengamati, mengambil atau memeriksa pakan. Untuk lebih jelas mengenai frekuensi perilaku makan pada gajah dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
53
Tabel 1. Frekuensi perilaku makan pada gajah pada pagi dan sore Frekuensi perilaku pada gajah (%) Pagi Sore Betina Jantan Betina Defekasi 0.35 0.21 0.23 Lokomosi 2.27 1.27 2.64 Makan 29.02 16.25 28.60 Urinasi 0.29 0.11 0.17
Jantan 0.29 1.18 16.96 0.15
Aktivitas makan pada gajah menunjukkan beberapa perilaku saat mengkonsumsi pakan yaitu perilaku mengamati pakan, mengambil pakan, memeriksa pakan, mengolah pakan, mengunyah pakan, menelan pakan, dan membuang pakan. Perilaku ini terlihat pada gajah jantan dan betina, tetapi ada perbedaan frekuensi perilaku pada masing-masing perilaku. Pada perilaku mengolah pakan terlihat unik dan berbeda dalam menangani pakan yang akan dikonsumsi. Gajah betina sering menggunakan kaki depan untuk menginjak pakan dengan bantuan belalai sehingga pakan patah, terbelah atau pecah, sedangkan gajah jantan sering menggunakan gading dan bantuan belalai untuk menusuk dan membelah pakan sebelum dikonsumsi. Aktivitas makan gajah betina lebih tinggi frekuensinya daripada gajah jantan (Gambar 2). Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pola makan, gajah jantan lebih cepat memakan habis beberapa jenis pakan, sedangkan gajah betina tidak langsung memakan habis beberapa jenis pakan pada saat itu juga, tetapi sedikit demi sedikit sambil sesekali diselingi dengan aktivitas lokomosi dan aktivitas lainnya.
Gambar 2. Perilaku yang ditunjukkan saat aktivitas makan Bila dilihat dari perilaku pemilihan jenis pakan yang dikonsumsi secara keseluruhan, gajah betina paling sering menunjukkan perilaku memilih tanaman padi (Oryza sativa) sebesar 16.92% dan tanaman pisang (Musasp) 13.02% sedangkan jenis pakan yang paling sedikit dipilih adalah tanaman coklat (Theobroma cocoa) 1.59% (Gambar 3). Seperti halnya pada gajah jantan juga menunjukkan perilaku yang sama terhadap pemilihan jenis pakan yang diberikan, lebih sering memilih tanaman padi (11.18%) dan tanaman pisang (7.18%), sedangkan yang paling sedikit dipilih adalah tanaman coklat (1.35%). Disamping itu diketahui empat jenis pakan yang sedikitpun tidak dikonsumsi gajah betina maupun jantan, namun memperlihatkan perilaku mengamati, perilaku memeriksa dan perilaku membuang.
54
Tanaman tersebut adalah cabai (Capsicum frutescens), kemiri (Aleurites moluccana), kopi (Coffea arabica), dan nilam (Pogostemon cablin). Perilaku pemilihan jenis pakan ini menjelaskan bahwa gajah sangat selektif dalam memilih jenis pakannya. Hal ini sesuai dengan Fowler dan Susan (2006); Blake (2002) bahwa gajah bisa sangat selektif dalam memilih makanannya dan akan memakan beberapa taxa dari tumbuhan yang sangat berbeda. Jadi, setelah proses perilaku memilih, gajah menampakkan kesukaannya terhadap jenis pakan berdasarkan banyaknya frekuensi memilih dan jumlah pakan yang dikonsumsi saat di hadapkan pada beberapa jenis pakan secara bersamaan. Sebaliknya, bila gajah tidak mengkonsumsi bahkan menghindari untuk mengkonsumsi pakan tertentu berarti gajah tidak menyukai pakan tersebut.
Gambar 3. Persentase perilaku memilih terhadap jenis tanaman pakan Sifat selektif terhadap pakan akan menunjukkan kesukaan gajah terhadap jenis pakan yang palatable. Jadi, walaupun semua jenis pakan mengandung kadar protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin, namun gajah menghindar mengkonsumsi jenis pakan yang mengandung senyawa kimia yang berbahaya pada pencernaannya. Adanya sifat selektif terhadap pakan merupakan salah satu mekanisme untuk dapat memperoleh zat-zat makanan yang dibutuhkan menyusun ransumnya sendiri. Hal ini sesuai dengan Parakkasi (1999) bahwa sifat selektif dalam memilih pakan yang tersedia, mempunyai sensasi terhadap bahan makanan sebelum dan selama makan, sehingga ada bahan makanan tertentu yang lebih disukai daripada bahan makanan lainnya. Seperti halnya menurut Sentra informasi IPTEK (2005) menambahkan bahwa Palatabilitas merupakan sifat performans bahan-bahan pakan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki oleh bahan-bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptikya seperti kenampakan, warna, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan temperaturnya. Hal inilah yang menumbuhkan daya tarik dan merangsang hewan untuk mengkonsumsi beberapa jenis pakan. Dari hasil pengamatan aktivitas makan, durasi yang paling lama yang digunakan gajah betina untuk memilih jenis pakan adalah saat memilih tanaman padi selama 96773 detik dan tanaman pisang selama 52530 detik. Seperti halnya pada gajah jantan, durasi paling lama memilih tanaman padi selama 92160 detik dan tanaman pisang selama 54065 detik. Dengan demikian durasi yang digunakan gajah tersebut dapat menjadi ukuran kemampuan gajah dalam memilih jenis pakan yang disukainya. Karena itu tanaman padi dan tanaman pisang secara berurutan merupakan tanaman yang disukai gajah. Hal ini disebabkan tanaman tersebut mengandung kadar gizi dan air yang cukup tinggi, sehingga gajah lebih lama 55
menghabiskan waktu untuk menghabiskan pakan tersebut.Sesuai dengan pendapat Stokke dan duTroit (2000) bahwa, gajah akan memilih kualitas dan kuantitas jenis-jenis pakan yang berhubungan dengan kadar serat kasar dan kandungan nutrisi tertentu yang palatable dan dapat mudah dicerna gajah. Dalam kondisi alami gajah juga menyukai tanaman padi dan tanaman pisang ( Nyhus et al 2000; Sitompul 2004; Azmi et al. 2012). Untuk lebih jelas mengenai proporsi durasi yang digunakan gajah dalam memilih jenis pakan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Durasi dalam memilih jenis pakan Durasi memilih pakan (detik) Betina Jantan 2464 4580 4654 4670 32702 23255 24254 27060 1744 3225 2391 3040 2146 3040 96773 92160 18842 19405 52530 54065 13095 17905
Cabe (Capsicum frutescens) Coklat (Theobroma cocoa) Karet (Havea brassiliensis) K Sawit (Elais gueenensis) Kemiri (Aleurites moluccana) Kopi (Coffea Arabica) Nilam (Pogostemon cablin) Padi (Oryza sativa) Pinang (Areca catechu) Pisang (Musa sp) Gerak tidak makan
Berdasarkan pengamatan perilaku aktivitas makan ternyata walaupun gajah sudah memilih jenis tanaman sebagai pakan, akan tetapi belum tentu seluruh bagian tanaman tersebut dikonsumsi oleh gajah. Gajah juga akan memilih bagian dari tanaman yang akan dikonsumsinya (Tabel 3). Terdapat perbedaan dalam mengkonsumsi bagian tanaman bahkan gajah tidak mengkonsumsi bagian manapun dari jenis tanaman yang diberikan. Hal ini sesuai dengandengan Abdullah et al. (2005) bahwa gajah sangat bervariasi dalam memakan bagianbagian tanaman, misalnya daun, buah, umbut, pelepah, batang muda dan bunga. Tabel 3. Bagian-bagian tanaman dari beberapa jenis tanaman yang dikonsumsi gajah Jenis Pakan
Bagian tanaman yang dikonsumsi Kulit Pelepah Daun batang Cabe (Capsicum frutescens) Coklat (Theobroma cocoa) Karet (Havea brassiliensis) Muda +++ + + K Sawit (Elais gueenensis) ++ + Kemiri (Aleurites moluccana) Kopi (Coffea Arabica) Nilam (Pogostemon cablin) Padi (Oryza sativa) +++ +++ +++ +++ Pinang (Areca catechu) Bagian dalam Pisang (Musa sp) +++ +++ +++ +++ Keterangan : +++: bahan pakan yang dikonsumsi paling banyak ++ : bahan pakan yang dikonsumsi sedang + : bahan pakan yang dikonsumsi sedikit - : bahan pakan yang tidak dikonsumsi Batang
56
Ranting
Buah + + +++ +++
Gambar 4. Frekuensi dalam memilih bagian tanaman Pada saat memilih bagian dari tanaman yang akan dikonsumsi, gajah lebih banyak memilih tanaman yang seluruh bagiannya dapat dikonsumsi dibandingkan bagian yang lain dari tanaman (Gambar 4). Akan tetapi gajah betina lebih banyak memilih seluruh bagian tanaman yang dapat dikonsumsi sebesar 23.14% daripada gajah jantan 15.68%. Tanaman tersebut adalah jenis tanaman padi dan tanaman pisang. Disamping itu bagian yang paling sedikit dikonsumsi adalah bagian daun, karena gajah hanya memilih bagian ujung daun yang muda saja untuk dikonsumsi, sedangkan pakan yang diberikan tidak semua daunnya muda. Dalam hal ini, gajah betina lebih banyak 1.20% memilih bagian daun daripada gajah jantan sebesar 0.36%. Perilaku memilih bagian tanaman ini disebabkan karena adanya bagianbagian tanaman yang palatable yang tekstur bagian tanaman tersebut sesuai dengan organoleptik pada gajah (Sentra Informasi IPTEK 2005). Jadi, jenis tanaman yang seluruh bagian tanamannya dikonsumsi gajah menunjukkan seluruh bagian tanaman tersebut mengandung gizi, kadar air dan tidak mengandung senyawa kimia yang berbahaya pada pencernaannya. Selain itu gajah juga memilih batang karet untuk dikonsumsi dengan cara mengupas kulit batang, kemudian memakannya. Hal ini menurut Sukumar (2003) bahwa kulit batang yang dikonsumsi oleh gajah tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan mineral dalam tubuhnya. Perilaku Aktivitas Makan pada Gajah Sumatera Terhadap Kerentanan Kerusakan Jenis Tanaman Komoditi yang Dibudidayakan Masyarakat Perilaku aktivitas makan pada gajah dapat menentukan kesukaan dan ketidaksukaan jenis tanaman yang diberikan sebagai pakan secara bersamaan. Hal ini disebabkan karena frekuensi dan durasi waktu yang digunakan dalam menghadapi jenis tanaman tertentu lebih lama bila dibandingkan pada jenis tanaman yang lain. Jadi, dari 10 macam jenis tanaman yang diberikan, pakan yang disukai gajah secara berurutan adalah jenis tanaman padi, tanaman pisang, tanaman karet, tanaman kelapa sawit dan tanaman pinang. Disamping itu, jenis tanaman yang kurang disukai gajah adalah tanaman coklat, sedangkan tanaman yang tidak disukai gajah adalah tanaman cabe, tanaman kemiri, tanaman kopi dan tanaman nilam. Gajah akan melakukan perilaku yang berbeda pada saat menghadapi jenis pakan yang diberikan. Bila gajah menghadapi jenis dan bagian tanaman yang disukai maka gajah akan memperlihatkan perilaku mengamati, mengambil, memeriksa, mengolah, menggigit, mengunyah dan menelan pakan. Akan tetapi bila gajah tidak menyukai jenis dan bagian 57
tanaman tertentu maka secara berurutan gajah akan memperlihatkan perilaku mengamati, memeriksa dan membuang pakan yang diberikan, bahkan terkadang menghindari jenis tanaman tersebut. Mengacu pada penelitian sebelumnya di daerah konflik manusia-gajah dapat diketahui fenomena umum yang menggambarkan bahwa tinggi rendahnya kategori kerentanan tanaman komoditas masyarakat terhadap kerusakan yang dilakukan oleh gajah (Tabel 4). Karena itu setidaknya ada tiga jenis tanaman yang memiliki kerentanan tinggi (15%) yakni pinang, pisang dan kelapa sawit, sedangkanpadi, karet dan coklat termasuk kerentanan sedang (5-14%), selanjutnya 14 jenis termasuk kerentanan rendah (<5%). Kategori kerentanan tanaman ini kemungkinan karena perilaku aktivitas makan yang berubah dari perilaku makan jenis-jenis tanaman alami di habitatnya menjadi memakan jenis-jenis tanaman komoditi masyarakat. Hal ini disebabkan karena fragmentasi dan degradasi habitat di wilayah jelajah gajah diperkirakan makin meningkat sehingga menurunkan ketersediaan sumber pakan gajah.Untuk mengoptimalkan pencarian makan dan kebutuhan jelajahnya, gajah tersebut keluar dari habitat aslinya kemudian masuk ke perkebunan-perkebunan dan akan memakan berbagai jenis tanaman komoditi pangan masyarakat dan menyebabkan gangguan pada tanaman atau rumah masyarakat (Sukumar 1990; Nyhus et al. 2000; Nyhus dan Tilson 2004; Linkie et al. 2007; Rood dan Singh 2008). Dengan demikian perilaku gajahdapat berubah akibat tingginya kerusakan hutan di Sumatera yang mengakibatkan hilangnya sebagian besar hutan dataran rendah yang juga habitat potensial bagi gajah sumatera (Holmes, 2001). Jadi, dengan mengetahui perilaku aktivitas makan pada gajah jenis tanaman tertentu dan kerentanan tanaman komoditas terhadap kerusakan oleh gajah akan memperkuat alasan untuk mengatur suatu strategi mengurangi konflik manusia-gajah di propinsi Aceh. Tabel 4. Kategori kerentanan jenis tanaman oleh gangguan gajah di wilayah konflik manusia gajah Propinsi Aceh. No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Tanaman
Pinang Pisang Kelapa Sawit Padi Karet Coklat Durian Kacang tanah Nangka
Nama Ilmiah
Areca catechu Musa sp Elais gueenensis Oryza sativa Havea brassiliensis Theobroma cocoa Durio zibethinus Arachis hipogea Arthocarpus heterophyllus 10 Kelapa Cocos nucifera 11 Tebu Sacharum officinarum 12 Cabe Capsicum frutescens 13 Sagu Metroxylon sago 14 Kopi Coffea arabica 15 Jagung Zea mays 16 Mangga Mangifera indica 17 Ketela pohon Manihot esculenta 18 Timun Cucumis sativus 19 Kacang kuning Glicyne max 20 Sengon Albizia chinensi Sumber : Berliani et al (2016)
58
Dirusak gajah menurut Kategori Kerentanan penilaian Responden Tinggi Sedang Rendah (%) 18,82 √ 17.45 √ 16.34 √ 12.74 √ 10.80 √ 5.54 √ 3.88 √ 2.49 √ √ 2.22 1.66 √ 1.66 √ 1.39 √ 1.39 √ 1.11 √ 0.83 √ 0.55 √ 0.55 √ 0.55 √ 0.28 √ 0.28 √
Berdasarkan peningkatan konflik dan kerugian ekonomi yang besar maka dengan mengatur jenis tanaman, baik dalam sistem budidaya monokultur maupun polikultur dapat memperkecil dampak tersebut. Sebagai alternatif, dengan mengacu pada hasil penelitian seperti diuraikan di atas dan untuk memperkecil resiko kerusakan oleh gajah, baik itu berupa kerusakan akibat perilaku mobilitas gajah untuk mencari makan, memakan, mematahkan atau menginjak pakan, maka dapat dikembangkan sistem budidaya monokultur dengan menjadikan jenis-jenis yang tidak dirusak atau kerentanan rendah sebagai komoditas unggulan yang ditanam, seperti coklat, kopi, kemiri, cabe dan nilam. Akan tetapi dalam pengembangan sistem budidaya polikultur dapat dilakukan dengan kombinasi pengaturan jenis-jenis yang tidak dirusak gajah dengan jenis-jenis komoditas yang memiliki kerentanan rendah sampai sedang. Dengan demikian diharapkan jenis tanaman komoditi tersebut dapat mengurangi ganggun atau kerusakan oleh gajah yang sering terjadi didaerah perkebunan atau pertanian yang berbatasan dengan habitat Gajah Sumatera. KESIMPULAN Perilaku aktivitas makan pada gajah dapat didefinisikan dengan beberapa perilaku yaitu perilaku mengamati pakan, mengambil pakan, memeriksa pakan, mengolah pakan, menggigit pakan, mengunyah pakan, menelan pakan dan membuang pakan. Bila gajah menghadapi jenis dan bagian tanaman yang disukai maka gajah akan memperlihatkan perilaku mengamati, mengambil, memeriksa, mengolah, menggigit, mengunyah dan menelan pakan. Akan tetapi bila gajah tidak menyukai jenis dan bagian tanaman tertentu maka secara berurutan gajah akan memperlihatkan perilaku mengamati, memeriksa dan membuang pakan yang diberikan, bahkan terkadang menghindari jenis tanaman tersebut. Aktivitas makan merupakan aktivitas yang paling besar yaitu sebesar 90.84%, diikuti aktivitas lokomosi 7.36%, aktivitas defekasi 7.36% dan aktivitas urinasi 0.72%. Bila dilihat dari perilaku pemilihan jenis pakan yang dikonsumsi, gajah paling sering menunjukkan perilaku memilih paling banyak pada tanaman padi (Oryza sativa) dan tanaman pisang (Musasp) sedangkan jenis pakan yang paling sedikit dipilih adalah tanaman coklat (Theobroma cocoa). Disamping itu diketahui empat jenis pakan yang sedikitpun tidak dipilih untuk dikonsumsi gajah betina maupun jantan, namun memperlihatkan perilaku mengamati, perilaku memeriksa dan perilaku membuang. Tanaman tersebut adalah cabai (Capsicum frutescens), kemiri (Aleurites moluccana), kopi (Coffea arabica), dan nilam (Pogostemon cablin). Perilaku aktivitas makan pada gajah terhadap jenis tanaman tertentu dan kerentanan tanaman komoditas terhadap kerusakan oleh gajah akan memperkuat alasan untuk mengatur suatu strategi mengurangi konflik manusia-gajah di propinsi Aceh. Cara yang dikembangkan adalah membudidayakan sistem monokultur dengan menjadikan jenis-jenis yang tidak dirusak atau kerentanan rendah sebagai komoditas unggulan yang ditanam, seperti coklat, kopi, kemiri, cabe dan nilam. Sedangkan dalam sistem budidaya polikultur dapat dilakukan dengan kombinasi pengaturan jenis-jenis yang tidak dirusak gajah dengan jenis-jenis komoditas yang memiliki kerentanan rendah sampai sedang. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Djufri, Asiah MD. 2010. Analisis kesesuaian habitat dan pemetaan kawasan perlindungan gajah (Elephant Sanctuary) di Hutan terganggu sebagai upaya menyelesaikan konflik gajah dengan manusia. Unsyiah. Banda Aceh. Indonesian, Unpublish Abdullah, DN. ChoesinA, Sjarmidi. (2005). Estimasi Daya Dukung Pakan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus temmick) di Kawasan Hutan Tessonilo, Prov Riau.. Jurnal Ekologi dan Bio diversitas,ITB. Bandung. Vol.4 NO.2.(HAL.37-41) 59
Alikodra, HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. IPB Pres. Bogor (ID). Alikodra, HS. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Azmi W, Hasballah, Trysani F, Kholis M, Kiswayadi D, Linkie M. 2012. Conservation Response Unit in Aceh. Annual proggres report. FFI. Banda Aceh. Tidak diterbitkan. Baruah KK dan BJ Das. 2009. Management of nutrition incaptive elephants. Elephant managers Resource Guide. Directorate of Praject Elephant Ministry of Environment and Forest Government of India.New Delhi.5: 50-60 Berliani K, Alikodra HS, Masy‘ud B, Kusrini MD. 2016. Susceptibility of Cultivated Plants to Sumatran Elephant (Elephas maximus Sumatranus)in the HumanElephants Conflict Area in Aceh Province. JMHT Vol 22 (1)(submit) Blake S. 2002. The ecology of forest elephant distribution and its implication forconservation. A thesis submitted for the degree of PhD University of Edinburgh. Fowler ME, Mikota SK. 2006.Biology, Medicineand Surgery of Elephants. Blackwell publishing professional. Iowa. USA. Hafez ESE. 1969. Animal Growth and Nutrition. Lea Febiger. Philadelphia. Holmes DA. 2001. Deforestation in Indonesia. in E. Wickramanayake, E. Dinerstein, and D. Olson editors. Teresterial ecoregions of the Indo-Pacific: a conservation assessment. Island Press. Washington D.C. Lekagul B, Mcneely JA. 1977. Elephants in Thailand: importance, status and conservation.Tigerpaper 4(3): 22-25 Linkie M, Dinata Y, Nofrianto A, Leader Williams N. (2007) Patterns and perceptions of wildlife crop raiding in and around Kerinci Seblat National Park, Sumatra. Animal Conservation10: 127-135. Martin P, Bateson P. 1993. Measuring Behaviour, An introducing guide. 2nd Ed. Cambridge University Press. Cambridge. Mckey GM. 1990. Behaviour and Ecology of the Asiatic Elephant in Southerastern Ceylon. Asian Elephants. Washington DC MukhtarAS (1986).Vegetasi Habitat dan Tumbuhan Pakan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck) Serta Beberapa Permasalahan Konservasinya di Suaka Satwa Liar Padang Sugihan Sumatera Selatan. Buletin Penelitian Kehutanan Pusat 67 Penelitian dan Pengembangan Hutan.Bogor.pp.1-16. Nyhus PJ, Sumianto,Tilson R. 2000. Crop raiding elephant and conservation implication at Way Kambas National Park, Sumatera Indonesia. J. of Oryx vol. 34 no. 4. 262-274. Nyhus PJ, Tilson R. 2004. Agroforestry, elephants, and tigers: balancing conservation theory and practice in human-dominated landscapes of Southeast Asia. Agriculture Ecosystems & Environment 104: 87-97. RoodJ, Singh R. 2008. Asian elephant (Elephas maximus) in the Rajaji National Park. The Journal of Amerika Science 4: 34-48. Parakkasi A. 1986. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Jakarta: UI-Press.
60
Poole JH. 1996. Coming of age with elephants. Hyperion Press, New York; Hodder & Stoughton, London. Sarmah BC. 2009. Physiological Consideration in Clinical Evaluation of Elephants. Elephant Managers Resource Guide. Ministry of Environment and Forest. New Delhi. ShoshaniJ, Eisenberg JF. 1982. Elephas maximus. Mammalian Species 182: 1 – 8 Sitompul AF. 2004. Conservation implication of human-elephant Interaction in two Nasional Park in Sumatra. Master of Science. Thesis. University of Georgia, Athens, GA, USA. Stokke S, du Toit JK. 2000. Sex and size related differences in the dry season feeding patterns of elephant in Chobe. National Park. Bostwana. Ecography. 23. Inpress. Sukumar R. (1990) Ecology of the asian elephant in southern India. 2. Feeding-habits and crop raiding patterns. J. of Trop. Ecology 6: 33-53. Sukumar R. (2003). The Living Elephants: Evolutionary ecology, behavior and conservation. Oxford University Press, New York. Tanudimadja K, Kusumamiharja.1985. Perilaku Hewan Ternak. Jurusan Anatomi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. TehambaMT.1996. Seosonal forage utilisation by elephant in the Waza-Logone region., Cameroon.in M.Tehamba,T.,editor. Elephant and Their Interaction with People and Vegetation in the Waza-Logone Region, Cameroon. Ponson and Looyeen. Wageningen. [WWF] World Wide Fund for Nature. 2005. Human Wildlife Conflict Manual. Wildlife Management Series. WWF, Southern African Regional Programme Office (SARPO). Harare. Zimbabwe.
61
PERKEMBANGAN ANAKAN KUNTUL BESAR (Egretta alba) DAN DI AREAL BREEDING SITE DESA TANJUNG REJO CHILD GROWTH OF GREAT EGRET (Egretta alba) AND GREY HERON (Ardea cinerea) AT BREEDING SITE AREA TANJUNG REJO VILLAGE Karina Adelia1, Erni Jumilawaty2, Nursal2 Mahasiswa Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara 2 Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara Jln. Bioteknologi No. 1, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara 20155 Email :
[email protected] 1
Abstrak Penelitian mengenai perkembangan anakan Kuntul Besar (Egretta alba)dan Cangak Abu (Ardea cinerea)di area tambak ikan desa Tanjug Rejo, Sumatera Utara telah selesai dilaksanakan pada Oktober 2014 sampai Januari 2015, dengan menggunakan metode pengamatan langsung. Penelitian menunjukan bahwa kedua spesies memiliki kemampuan survival yang rendah. 14 dari 17 telur Cangak Abu (82,35%) yang berhasil menetas, hanya 3 anakan (21,42%) yang survive, sedangkan dari 11 telur Kuntul Besar (100%) hanya 7 anakan (63,63%) yang survive. Anakan Cangak Abu yang seluruhnya bertahan hidup berasal dari sarang 1 dengan 3 anakan, sedangkan anakan Kuntul Besar yang seluruhnya bertahan hidup berasal dari sarang 3 dengan 2 anakan. Perkembangan tarsus merupakan yang paling pesat jika dibandingkan dengan perkebangan culmendan ulnar kedua jenis burung tersebut. Berat rata-rata anakan Cangak Abu yang telah meninggalkan sarang berkisar 300 sampai 400 g, sedangkan berat rata-rata anakan Kuntul Besar yang telah meninggalkan sarang berkisar 100 sampai 200 g. Kata Kunci:Cangak Abu, Kuntul Besar, Anakan, Tanjung Rejo, Mangrove
PENDAHULUAN Desa Tanjung Rejo merupakan salah satu desa yang memiliki luas areal pertambakan sekitar 147,12 Ha dari luas total 310,50 Ha tambak di Kecamatan Percut Sei Tuan. Tambak yang aktif dan tidak memiliki vegetasi mangrove didalamnya sekitar 50% dari jumlah tambak yang telah dibuka(BPS Deli Sedang, 2014). Kehadiran burung air dapat dijadikan sebagai indikator keanekaragaman hayati pada kawasan hutan mangrove. Hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai yang dapat mengurangi dan mencegah terjadinya pengikisan daerah pantai. Hutan ini juga berperan dalam mendukung kehidupan fauna di daerah pesisir dan lautan (Elfidasari & Junardi, 2008). Kuntul Besar dan Cangak membangun sarangnya secara primitif. Sarang dangkal berbentuk datar dan tipis, hanya terdiri dari beberapa lapis ranting, sehingga telur dapat terlihat dari bagian bawah sarang. Umumnya menggunakan material sederhana seperti ranting dan daun tanaman (Rukmi, 2002). Keberhasilan berbiak sangat dipengaruhi oleh sarang, pemangsa, dan lokasi. Perkembangan kelompok burung sangat ditentukan oleh kemampuan bertahan dari pemangsa. Sarang yang terletak pada populasi yang padat lebih terhalangi dari predasi (Govi & Pandav, 2011). Ada banyak jenis burung air yang mempergunakan Tanjung Rejo sebagai 62
lokasi berbiak dengan populasi yang banyak. Hal ini diduga akan mempengaruhi perkembangan anakan burung Kuntul Besar dan Cangak Abu, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk melihat keberhasilan perkembangan anakan Kuntul besar dan Cangak abu. BAHAN DAN METODE Berat anak ditimbang setiap dua hari sekali. Anak diturunkan dengan menggunakan kantong kain. Bagian tubuh yang diukur adalah panjang tarsus, panjang ulnar (sayap), dan panjang culmen (paruh) dengan menggunakan jangka sorong. Panjang culmen dihitung mulai dari ujung paruh bagian atas hingga ke pangkalnya (Rukmi, 2002). HASIL DAN PEMBAHASAN Dari Data yang telah ditemukan anakan Cangak Abu yang berhasil hidup sampai dapat meninggalkan sarang adalah anakan pada sarang 1, sementara untuk anakan yang lain mati pada kisaran usia yang berbeda (Tabel. 1 dan 2). Jika dilihat dari Ukuran berat, anakan Cangak Abu lebih besar pada anak pertama dan diikuti oleh anakan selanjutnya, kecuali pada anakan Cangak Abu sarang 1 dimana anak ke-2 lebih besar dari anak pertama. Begitu juga yang terjadi pada anakan Kuntul Besar dimana anakan nomor 1 lebih menonjol dalam ukuran berat badan dan panjang anggota tubuh, kecuali anak ke-2 sarang nomor 2 yang lebih menonjol dibanding anakan pertama. Tabel 1. Nilai Rata-Rata Pertumbuhan dan Perkembangan Anakan Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara Ukuran Sarang Anak Culmen (cm) Tarsus (cm) Ulnar (cm) Berat (g) 1 I 3,71 16,74 14,16 402,30 II 4,03 19,40 16,54 440,27 III 3,89 18,30 14,09 385,27 2
I II
2,3 2,55
8,87 8,36
6,35 6,1
63,71 59,12
3
I II III IV
3,77 2,92 2,79 2,69
14,18 12,20 11,04 8,72
10,38 8,49 7,84 6,09
251,14 212,70 169,37 157,84
4
I II III
2,76 2,63 2,68
11,24 10,47 9,95
7,37 7,28 7,18
154,45 146,13 110,49
5
I II
1,80 1,67
6,94 6,44
4,82 3,89
83,28 71,12
Jika diamati selama penelitian, berat anak pertama dari masing-maing burung lebih berat jika dibandingkan dengan anak ke-2 dan seterusnya. Induk umumnya memberi makan anak pertama lebih banyak dari anak-anak lainnya. Menurut Kim dan Koo (2009), penetasan telur yang tidak serentak (Asynchronus hatcing) pada jenis Kuntul dan Cangak akan mengakibatkan anak yang pertama lahir lebih unggul dibandingkan dengan adik-adiknya dalam hal penanganan makanan, dan interaksi agresifitas menyebabkan terjadinya kompetisi 63
antara saudara yang dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah untuk adikadiknya. Sedangkan menurut Perins & Birkhead (1983), dijelaskan bahwa penetasan Asynchronus adalah usaha induk dalam mengantisipasi ketersedian pangan yang berfluktuasi. Jika persediaan makanan cukup berlimpah induk dapat memelihara seluruh anakan sama baiknya, namun jika persediaan makanan tiba-tiba menjadi buruk diharapkan masih ada satu anakan yang dapat dibesarkan oleh induknya. Tabel 2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anakan Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara Ukuran Sarang Anak Culmen (cm) Tarsus (cm) Ulnar (cm) Berat (g) 1 I 3,46 17,72 14,13 226,63 II 2,05 10,06 6,53 69,804 III 1,24 5,06 3,35 23,62 2
I II III
2,51 2,79 1,45
12,77 14,34 6,73
9,62 10,46 4,70
166,43 132,58 34,03
3
I II
3,42 3,32
18,52 16,47
15,14 14,64
237,04 204,21
4
I II
2,29 2,16
10,83 10,5
8,14 7,11
113,6 67,5
5
I
2,39
12,45
9,54
125,57
Perbedaan berat badan kedua jenis burung tersebut dapat dikaitkan dengan ukuran tubuh dan kebutuhan asumsi makanan. Semakin besar burung maka semakin banyak makanan yang dibutuhkan. Menurut Rumeu (2007), adapun makanan Cangak dan Kuntul adalah sebagai berikut, Lepidoptera dan Hymenoptera dalam jumlah kecil, Oligochaeta (31,7% pada musim semi, dan 6, 3% pada musim dingin), Odonata, (85,1%), Pisces, Amfibi, Reptil, dan Mamalia. Seleksi makanan tidak hanya terjadi pada sesama jenis, akan tetapi juga terjadi pada jenis burung yang berbeda. Menurut Young (1981), seleksi makanan tergantung pada spesies berdasarkan pola karakteristik pergerakan dan struktur, yang penggunaannya dapat bervariasi sesuai keadaan. Biasanya ada sedikit persaingan antar spesies terhadap hal makanan, bahkan ketika mereka tinggal berdekatan. Pertumbuhan anakan Cangak Abu sarang 1 dan Kuntul Besar sarang 3 disajikan dalam bentuk grafik (Gambar. 1 sampai10). Grafik ditampilkan berdasarkan urutan anakan.
64
Gambar 1.
Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Pertama Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
Gambar 2.
Pertumbuhan Berat Anak Pertama Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
Gambar 3.
Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Kedua Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
65
Gambar 4.
Pertumbuhan Berat Anak Kedua Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
Gambar 5.
Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Ketiga Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
Gambar 6.
Pertumbuhan Berat Anak Ketiga Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
66
Gambar 7.
Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Pertama Sarang Ke-3 Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
Gambar 8. Pertumbuhan Berat Anak Pertama Sarang Ke-3 Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
Gambar 9. Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Kedua Sarang Ke-3 Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
67
Gambar 10. Pertumbuhan Berat Anak Kedua Sarang Ke-3 Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara Dari gambar 1 sampai10 dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan tarsus dan ulnar merupakan pertumbuhan yang paling cepat dibandingkan dengan culmen, dikarenakan tarsus dan ulnar merupakan organ tubuh yang penting dalam pergerakan. Menurut Sulistiani (1991), pertumbuhan kaki (tarsus) dan sayap (ulnar) lebih cepat dibandingkan pertumbuhan paruh (culmen), hal ini berhubungan dengan fungsi kaki dan sayap yang sangat penting untuk mempertahankan diri dari predator. Sedangkan Menurut Rukmi (2002), ukuran panjang tarsus, culmen, ulnar meningkat secara serentak, hanya kemudian terjadi peningkatan yang lebih pesat pada bagian ulnar, diasumsikan berhubungan dengan kemampuan burung untuk terbang. Dari Tabel. 1 dan 2, dijumpai beberapa anakan Kuntul Besar yang mati pada sarang satu, dua, empat, dan lima dan anakan Cangak Abu yang mati pada sarang dua, tiga, empat, dan lima. Diduga karena pada bulan Desember 2014 sering terjadi hujan sehingga menyebabkan anakan banyak yang mati. Diperkuat dari data BMKG (2014) yang menunjukan bahwa curah hujan tertinggi berada pada bulan Desember 2014 sebesar 427 mm, dan curah hujan terendah berada pada bulan Februari 2014 sebesar 44 mm. KESIMPULAN Perkembangan anakan Kuntul Besar dan Cangak Abu di Desa Tanjung rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan terbilang masih rendah. Dari 11 anakan Cangak Abu yang berhasil menetas, hanya 7 anakan (63,63%) yang bertahan hidup. Sementara dari 14 anakan Cangak Abu yang berhasil menetas, hanya 3 anakan (21,42%) yang bertahan hidup. Berat rata-rata anakan Cangak Abu lebih berat jika dibandingkan dengan berat anakan Kuntul Besar. Pertumbuhan tarsus keduanya lebih pesat jika diandingkan dengan pertumbuhan culmen dan ulnar. UCAPAN TERIMAKASIH Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) dalam memberi dana Penelitian Hibah Fundamental 2015. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Balai Besar Wilayah I Medan yang telah memberikan data sekunder stasiun pengamatan Sampali.
68
DAFTAR PUSTAKA BPS [Badan Pusat Statistik] Deli Serdang. 2014. Deli Serdang Dalam Angka 2014. ISBN: 0215.2347 Elfidasari, D., Junardi. 2006. Keragaman Burung Air Dikawasan Hutan Mangrove Peniti, Kabupaten Pontianak. Biodiversitas, 7(1):63-66 Govi, G. V., Pandav, B. 2011. Net Space Partitioning Among Colonial Nesting Waterbirds at Bhitarkanika Mangroves, India. World Journal ofZoology 6(1):61-71 Kim, J., Koo, T. H. 2009. Nest Site Characteristics and Reproductive Parameters of Grey Herons Ardea Cinerea in Korea. Zoological Studies, 48(5):657-664 Perrins, C. M., Birkhead, T. R. 1983. Avian Ecology. Blackie & Son: London Rukmi, D. S. 2002. Perilaku dan kompetisi Interspesifik Kuntul Besar (Egretta alba Linnaeus 1766) dan Cangak Merah (Ardea purpurea Linnaeus 1766) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Jakarta. Institut Pertanian Bogor: Bogor. [Tesis] Rumeu, B., Nogales, M., Rodriguez, A., Rodriguez, B. 2007. Seasonal Diet of the Grey Heron Ardea cinerea on an Oceanic Island (Tenerif, Canary Island): Indirect Interaction with Wild Seed Plants. Acta Ornithologica, 42(01) Sulistiani, E. 1991. Beberapa Aspek Biologi Perkembang-biakan Kuntul Kecil (Egretta garzetta Linaeus 1766) Di Cagar Alam Pulau Rambut. [Skripsi] Young, J. Z. 1981. the Life of Vertebrates. Oxford University Press: New York.
69
JENIS –JENIS IKAN DI SUNGAI ASAHAN DESA MARJANJI ACEH DAN DESA LUBU ROPA KABUPATEN ASAHAN Mayang Sari Yeanny Departemen Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No.1 Kampus USU Medan - 20154 Telp. 061-8223564 Email :
[email protected]
Abstrak Sungai Asahan banyak terdapat berbagai macam aktivitas masyarakat menyebabkan kondisi perairan tersebut menurun sepanjang tahun. Penurunan kondisi perairan juga diakibatkan rencana pembangunann PLTA IV yang berada dilokasi tersebut. Pendekatan dilakukan dengan mengidentifikasi jenis-jenis ikan, dan Pengukuran kualitas air yaitu, suhu, penetrasi cahaya, intensitas cahaya, pH, DO, BOD5, COD, mengunakan metode Purposive Random Sampling dengan 3 stasiun. Hasil penelitian yang didapatkan ada 13 jenis ikan yaitu Tor sp, Pangasius pangasius, Macrones nemurus, Puntius javanicus, Rasbora sp, Puntius Wandersii, Macrobranchium rosenbergii, Hampala macrolipidota, Cyptopterus sp, Tilapia mosambica, Clarias batracus, Gambusia sp, Cyperinus carpio. Kata kunci:Ikan, Kualitas Air, Sungai Asahan, Kabupaten Asahan
PENDAHULUAN Sungai Asahan berada di provinsi Sumatera Utara. Sungai Asahan menpunyai hulu di Danau Toba sebagai pusat utamanya. Panjang Sungai Asahan = 147 km, dengan enam anak sungai utama dan masih banyak lagi aliran yang dilalui oleh anak sungai hingga mencapai ke pemukiman masyarakat yang ada di kota maupun di perkampungan . Luas Sungai Asahan mencapai 3.741 km2. Danau toba sebagai hulu dan mengalir hingga sampai ke teluk Nibung selat malaka. Rata- rata curah hujan yang ada di sungai asahan berkisar 2.112 mm per tahun. Kota utama yang di lalui oleh Sungai Asahan adalah Parapat, Porsea, Balige, Kisaran dan Tanjung balai. Ketinggian tertinggi adalah gunung dolok sibutan dengan tinggi 2.457 mdpl sedangkan yang terendah ada di tanjung jumpul dengan tinggi 0 mdpl. http://uniqpost.com/29829/11-sungai-di-indonesia-untuk-arung-jeram/ Sungai Asahan pada saat ini merupakan sungai yang mengalami penurunan keseimbangan ekosistem, yang ditandai terjadinya penurunan tangkapan ikan bagi nelayan di daerah ini. Hal ini karena kawasan ini telah mengalami perkembangan pemanfaatannya oleh berbagai aktifitas manusia, seperti areal pemukiman, pabrik, PLTA dan potensi parawisata. Sungai Asahan di Desa Marjanji Aceh dan Lubu Ropa Kabupaten Asahan merupakan daerah yang akan dibangun PLTA Asahan IV. Dengan adanya aktivitas tersebut akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairannya. Pemanfaatan sungai sebagai tempat pembangunan PLTA tersebut merupakan dampak dari aktivitas masyarakat terhadap lingkungan yamg dapat menyebabkan perubahan faktor lingkungan sehingga akan berakibat buruk bagi kehidupan biota air. Berubahnya kualitas suatu perairan sangat mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di perairan tersebut. Biota di sungai Asahan seperti ikan yang dapat digunakan untuk bioindikator lingkungan. Dengan sifat demikian, perubahan lingkungan mempengaruhi kepadatan dan
70
keanekaragaman biota air. Kepadatan dan keanekaragaman ini sangat tergantung pada toleransi dan sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Perubahan terhadap kualitas perairan erat kaitannya dengan potensi perairan ditinjau dari kepadatan ikan. Keberadaan ikan disuatu perairan dapat memberikan informasi mengenai kondisi perairan. Ikan dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi kualitas suatu perairan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat jenis-jenis ikan dan kualitas air di Sungai Asahan dengan berbagai pendekatan yaitu : (1) mengetahui jenis – jenis ikan yang terdapat di Sungai Asahan (2) mengetahui kualitas air sungai Asahan. BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel dilakukan pada bulan 12-13 Juli 2014. Dalam penentuan daerah sampling diambil 3 lokasi dengan 3 kali ulangan, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Lokasi penelitian di Sungai Asahan Lokasi Penelitian Nama Desa Stasiun 1 Desa Marjanji Aceh Stasiun 2 Perbatasan Desa Marjanji Aceh dan Desa Lubu Ropa Stasiun 3 Desa Lubu Ropa 1. Pengambilan Sampel Ikan Pengambilan sampel ikan dilakukan di 3 (tiga) lokasi yang telah ditentukan berdasarkan aktivitas masyarakat. Pada pengambilan sampel ikan mengunakan metode purposive random sampling. Selanjutnya pada setiap titik sampel dilakukan pengambilan sampel menggunakan jala/jaring ikan dengan mata jaring 1 cm. Pengambilan sampel ikan secara kualitatif. Sampel ikan yang diperoleh dimasukkan dalam kantung plastik, diawetkan dengan formalin 4 % dan diberi label. Di laboratorium, sampel dicuci dari formalin, direndam dalam air selama lebih kurang satu hari satu malam untuk kemudian dimasukkan dalam botol yang sudah diisi alkohol 70 % selanjutnya dilakukan identifikasi. Identifikasi ikan dilakukan berdasarkan Kottelat et al. (1993). 2. Pengambilan Sampel Kualitas Air Dari kualitas air yang diukur dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kualitas air, alat yang digunakan dan tempat pengukuran. No Kualitas Air Alat Tempat Pengukuran 1. Temperatur Termometer In-situ 2. Kecepatan Arus Bola pingpong In-situ 3. Penetrasi Cahaya Keping Seechi In-situ 4. Intensitas Cahaya Luxmeter In-situ 5. pH pH air In-situ 6. DO {Oksigen Terlarut) Metode Winkler In-situ 7. BOD Metode Winkler & inkubasi Laboratorium 8. COD Metode Refluks Laboratorium HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Jenis –jenis ikan yang ditemukan di Desa Marjanji Aceh dan di Desa Lubu Ropa Sungai Asahan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan jenis-jenis ikan di Sungai Asahan Desa Marjanji Aceh dan di Desa Lubu Ropa pada dilihat pada Tabel 1.
71
Tabel 3. Jenis-jenis ikan yang ditemukan di desa Desa Marjanji Aceh dan di Desa Lubu Ropa No Nama Daerah Nama Ilmiah St I St II St III 1. Jurung + + Tor sp 2. Patin + Pangasius pangasius 3. Baung putih + Macrones nemurus 4. Tawes + + + Puntius javanicus 5. Pora-pora + + + Rasbora sp 6. Lembeduk/Kafiat + + Puntius Wandersii 7. Hampala, Sembarau + + Hampala macrolipidota 8. Lais + Cyptopterus sp 9. Mujair + + + Tilapia mosambica 10. Lele + + Clarias batracus 11. Gobi + + + Gambusia sp 12. Ikan Mas + Cyperinus carpio Stasiun I : Tidak ada aktivitas Stasiun II : Aktivitas domestik Stasiun III : Pariwisata
Dari Tabel 3 dilihat bahwa ditemukan 12 jenis ikan yang hidup di sungai Asahan hamper semua ikan yang ditemukan di Sungai Asahan Marjanji Aceh dan di Desa Lubu Ropa Sungai Asahan adalah ikan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat sekitarnya kecuali ikan Gobi (Gambusia sp). Dari jenis-jenis ikan yang ditemukan di sungai Asahan ada 4 jenis ikan yang terdapat di ketiga stasiun yaitu ikan Tawes (Puntius javanicus), Ikan Pora-pora (Rasbora sp), ikan Mujair (Tilapia mosambica), ikan Gobi (Gambusia sp). Keberadaan ikan tersebut berada disemua stasiun karena makanan ikan tersebut sangat banyak di lokasi penelitian karena ikanikan tersebut termasuk ikan omnivore yaitu ikan pemakan segalanya. Jenis ikan yang hanya ditemukan di satu stasiun yaitu stasiun II adalah ikan mas (Cyperinus carpio), dimana stasiun II merupakan stasiun yang mempunyai aktivitas domestik sehingga sehingga banyak terdapat bahan-bahan organik yang merupakan sumber makanan ikan tersebut. Jenis ikan yang paling banyak ditemukan adalah stasiun I yaitu ikan Tor sp, Pangasius pangasius, Macrones nemurus, Puntius javanicus, Rasbora sp, Puntius Wandersii, , Hampala macrolipidota, Cyptopterus sp, Tilapia mosambica, Clarias batracus, Gambusia sp, Cyperinus carpio, dimana stasiun ini tidak ada aktivitas masyarakat dan kualitas air sungai seperti temperatur 26 o C, kecepatan arus 24 dtk/m, pH 7,1, Do 7,8 mg./l danlain-lain masih menunjukkan kondisi yang baik, sehingga ikan lebih memilih untuk berdiam dilokasi tersebut. 2. Pengambilan Sampel Kualitas Air Berdasarkan hasil penelitian kualitas air di Sungai Asahan Desa Marjanji Aceh dan di Desa Lubu Ropa pada dilihat pada Tabel 4.
72
Tabel 4. Nilai rata-rata kualitas air di sungai Asahan. No Parameter Stasiun I o 1. Temperatur ( C) 26 2. Kecepatan Arus (dtk/m) 24 3. Intensitas Cahaya (Cd) 244 4. Penentrasi Cahaya (cm) 51 5. pH 7,1 6. DO (Mg/l) 7,8 7. BOD5 (Mg/l) 1,58 8. COD(Mg/l) 5,58
Stasiun II 26 71 267 74 7,1 9,3 1,76 6,43
Stasiun III 28 24 228 62 7,5 8,6 1,70 10,34
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa Temperatur air di keempat stasiun berkisar 26280C, dengan suhu tertinggi pada stasiun III , namun secara keseluruhan suhu relatif sama. Kecepatan arus berkisar 24-71 dtk/m. Intensitas cahaya berkisar 244-267 Candela dengan intensitas cahaya tertinggi di stasiun II, hal ini karena kemampuan cahaya untuk mengabsorbsi cukup tinggi.Penetrasi cahaya berkisar 51-74 cm dengan penetrasi cahaya tertinggi di stasiun II, hal ini disebabkan daerah tersebut lebih terbuka (sedikit ditumbuhi tumbuhan), yang mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya lebih mudah masuk ke badan air. pH berkisar 7,1 – 7,5 dengan pH yang tertinggi distasiun III yang namun secara keseluruhan pH hampir sama. Oksigen terlarut (DO) berkisar 7,8 – 9,3 mg/l dengan oksigen terlarut tertinggi di stasiun II, hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang cukup mendukung sehingga fotosintesis berjalan baik untuk menyumbangkan banyak oksigen di perairan tersebut. Biologycal Oxygen Demand (BOD)5 berkisar 1,58 – 1,76 mg/l dengan BOD5 tertinggi di stasiun II yang merupakan daerah pemukiman padat penduduk banyak mengeluarkan limbah domestik berupa bahan organik sehingga oksigen digunakan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik tersebut. Chemycal Oxygen Demand (COD) berkisar5,5810,34 mg/l dengan COD tertinggi di Stasiun III merupakan tempat berkumpulnya substrat dari hulu sungai menyebabkan kandungan organik lebih tinggi sehingga oksigen untuk menguraikan organik tersebut secara kimia juga tinggi. KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan tentang Jenis-jenis ikan di Sungai Asahan Desa Marjanji Aceh dan Lubu Ropa Kabupaten Asahan, dapat disimpulkan bahwa : 1.Jenis-jenis ikan yang ditemukan adalah sebanyak 12 jenisyaitu Tor sp, Pangasius pangasius, Macrones nemurus, Puntius javanicus, Rasbora sp, Puntius Wandersii, Hampala macrolipidota, Cyptopterus sp, Tilapia mosambica, Clarias batracus, Gambusia sp, Cyperinus carpio. 2.Kualitas air Sungai Asahan masih dalam kondisi yang baik DAFTAR PUSTAKA Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan ke-2 UGM Press, Yogyakarta. 10-14. http://uniqpost.com/29829/11-sungai-di-indonesia-untuk-arung-jeram/, Kamis, 8 November 2012 Kottelat, M., A.J. Whiterrn, S.N. Kartikasari, dan S. Wirjoatmodjo.1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Darat dan Sulawesi. Dwi Bahasa Inggris Indonesia: Periplus Editions (HK) Ltd. 73
Lalli,C.M. & T.R. Persons. 1993. Biological Oceanographi : An Introduction. Pergamon Press, New York. pp.186-187 Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 373,397. Rudiyanti, S., 2009. Kualitas Perairan Sungai Banger Pekalongan Berdasarkan Indikator Biologis. Jurnal Saintek Perikanan. Vol. 4, No.2, 2009 : 46-52. Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta. 35,83-87. Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I dan II. Bogor: Bina Cipta. Whitten, A. J, N. Hisyam, J. Anwar & S. J. Damanik. 1987. The Ecology of Sumatera. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 192,209.
74
POLA DISTRIBUSI SPASIAL DAN HABITAT PREFERENSIAL Rusa timorensis DI PULAU PEUCANG TAMAN NASIONAL UJUNG KULON SPATIAL DISTRIBUTION PATTERNS AND PREFERENTIAL HABITAT OF Rusatimorensis INPEUCANG ISLAND UJUNG KULON NATIONAL PARK Mufti Sudibyo1, Yanto Santosa2, Burhanuddin Masy’ud2 , Toto Toharmat3 1 Departement of Biology State University of Medan 2 Department of Ecotourism and Forest Resource Conservation, Faculty of Forestry IPB 3 Department of Nutrition Science and Feed Technology, Faculty of Animal Science, IPB E-mail :
[email protected]
Abstract Rusa timorensis in Peucang island isn‟t fully wild and have unique in behavior. Objective of reseach to observe the spatial distribution patterns and preferential habitat of Timor deer in Peucang Ujung Kulon National Park by Gender and Age Class. The data includes the frequency of attendance deer (Y) altitude msl (X1), slope (X2), the distance from the Strip Patrol m (X3), the distance from the back water m (X4), the distance from pasture m (X5), the distance from beach m ( X6), temperature 0C (X7),% moisture (X8), soil pH (X9), and soil salinity (X10). Geographical position deer uploaded into the data base file (* .dbf) to ArcGIS 9.3. the distance is measured by Euclidean distance. Physical factors in situ measurements. Results showed that the distribution pattern of the Timor deer on Peucang island the doe, the fawn male and female are grouped λ² ≥ λ²0,025. the number of individuals in a meadow in the evening reaches 20-36 individuals. The stag in velvet antler phase spread randomly, being stag with antler hard phase clustered in lowland habitat. The deciding factor presence of deer were humidity, altitude, distance from the Strip patrol, distance from the pasture, and temperature with the equation Y = - 6.61 + 1,74 X8 – 1.40 X1 – 0.32 X3 + 0.17 X5 + 1,56 X7 with correlation (r = 0,897) R2 = 80.4% , p < 0.05. Keywords: Rusa timorensis, spatial distribution patterns, habitat preferences, Peucang island
PENDAHULUAN Rusatermasuk satwa generalis dalam penggunaan habitat(Nagarkoti & Thapa 2007), namun beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa beberapa jenis rusa memiliki kekhasan dalam pemilihan habitatnya. Bello et al. (2001) menyatakan rusa ekor putih (Odocoileus virginianus) jantan lebih memilih habitat tertutup sementara betina cenderung memilih daerah terbuka. Borkowski (2004) dan Borkowski &Ukalska (2008) menyatakan bahwa rusa Roe kurang bergantung pada tutupan dibanding dengan rusa merah karena ukurannya yang lebih kecil, sehingga lebih mudah mendapatkan tempat berlindung dibanding rusa merah yang memiliki ukuran lebih besar. Pada rusa merah cenderung lebih menyukai atau memilih habitat dengan kondisi tutupan yang lebih rapat. Lawrence (1995) melaporkan bahwa rusa mule (Odocoileus hemionus crooki) juga menunjukkan kecenderungan dalam pemilihan habitatnya. Rusa jantan cenderung menyukai habitat dengan ketinggian dan kelerengan yang rendah serta jauh dari sumber air, sedang rusa 75
betina lebih menyukai daerah yang lebih rendah dan lebih dekat dengan sumber air.Purnomo (2010) melaporkan bahwa di hutan Wanagama kehadiran rusa timor di suatu habitat dipengaruhi oleh variabel jumlah spesies pohon, kelerengan dan jarak dari sumber air,sedang Spaggiari & Garin-Wichatitsky (2006) melaporkan bahwa rusa timor di New Zealand lebih menyukai dataran banjir dan hutan sclerophyll. Kencana (2000) melaporkan bahwa rusa timor di Pulau Rumberpon Papua menyukai habitat berupa padang rumput yang sekitarnya terdapat hutan untuk tempat berlindung. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan secara umum ada perbedaan pola sebaran spatial dan habitat preferensial jenis-jenis rusa termasuk rusa timor di suatu kawasan hutan. Salah satu daerah sebaran rusa timor di Indonesia adalah kawasan Pulau Peucang Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan adanya pola atau bentuk sebaran spatial dan habitat yang disukai rusa timor di Pulau Peucang, sehingga timbul pertanyaan penelitiannya bagaimana pola sebaran spatialdan gambaran habitat preferensial rusa timor di Pulau Peucang TNUK Berkaitan dengan kepentingan pengembangan pemanfaatan rusa secara langsung dari dalam kawasan hutan, terutama di kawasan konservasi, maka informasi yang berhubungan dengan bentuk sebaran spatial dan habitat preferensialnya menjadi penting, karena informasi tersebut akan dijadikan sebagai dasar didalam menetapkan manajamen habitat dan pengaturan pemanfaatan populasi secara tepat sesuai pola sebarannya. Nolan dan Walsh (2005) menyatakan bahwa salah satu manajemen efektif pada rusa adalah pendataan kesehatan populasi rusa sesuai daya dukung habitatnya agar tetap terjamin keseimbangan antara kebutuhan pakan dengan jumlah populasi satwa, sehingga tidak terjadi peningkatan tingkat kerusakan lingkungan habitat. Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang sebaran spatialdan habitat preferensial rusa timor di Pulau Peucang TNUK penting dilakukan. Adapun tujuan dari penelitian ini, adalah mempelajari bentuk sebaran spatial rusa timor dan mengidentifikasi habitat yang disukai (habitat preferensial) rusa timor di Pulau Peucang TNUK. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Pulau Peucang Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), memiliki luas 450 ha terletak pada 6044‘23‖ S dan 105015‘30‖ E. Sebagian besar kawasan memiliki topografi berupa dataran rendah sampai landai, dan di bagian tengahnya terdapat bukit yang membentang dari barat daya ke arah tenggara dengan puncak tertinggi 71 m (Goegle Earth image@ 2012 Digital globe, TerraMetrics). Penelitian dilakukan pada bulan September 2011 - bulan Juli 2012. Pengumpulan Data Berdasarkan observasi pendahuluan ditetapkan lima wilayah pengamatan (1) daerah padang rumput Pasanggrahan (PSG), (2) dataran rendah Kiara (KIA), (3) Calingcing (CLC), (4) Karang Copong (KCP), dan (5) dataran tinggi Gunung calling (GNC). Pengamatan dilakukan pada jam 14.00 – 21.00. Pengamatan sebaran populasi rusa dilakukan dengan metode sensus concentration count. Habitat Preferensial Pengumpulan data untuk menentukan habitat yang disukai (preferensial) dilakukan dengan prinsip pendekatan kehadiran rusa di suatu tempat (Y) sebagai peubah tergantung (dependent variabel) dipengaruhi oleh peubah-peubah (variabel) lingkungannya (X) baik biotik maupun abiotik sebagai peubah bebas (independent variabel). Adasepuluh peubah lingkungan (X), meliputi ketinggian mdpl (X1), kelerengan (X2), jarak dari jalur patroli m 76
(X3), jarak dari kubangan m (X4), jarak dari padang rumput m (X5), jarak dari pantai m (X6), suhu 0C(X7), kelembaban % (X8), pH tanah (X9), salinitas tanah (X10). Di setiap tempat ditemukan rusa, semua data tentang peubah-peubah X dicatat. Posisi geografis rusa dimasukkan (upload) ke dalam file database (*.dbf) ke ArcGis 9.3. jarak diukur dengan euclidian distance. Faktor fisik dilakukan pengukuran insitu. Analisis data untuk menentukan bentuk sebaran (distribusi) rusa timor dilakukan dengan Indeks Penyebaran (IP) menurut Ludwig dan Reynold (1988), dengan rumus: IP = , S2 = dimana S2= keragaman jenis, X= rata-rata jenis, n= plot unit contoh. Penentuan bentuk sebaran diuji dengan chi square, n = jumlah plot contoh, dengan kriteria uji sebagai berikut: (a) Jika : pola sebaran seragam (uniform). (b) Jika : pola sebaran random (acak), dan (c) bila : pola sebaran mengelompok Analisis data penentuan perbedaan penggunaan habitat dengan analisis varians (ANOVA) satu arah menurut Nagarkoti & Thapa (2007), penentuan habitat disukai (habitat preferensial) dilakukan dengan membandingkan proporsi luas daerah pengamatan dengan proporsi habitat yang digunakan rusa timor dan diuji dengan uji Chi square – Х2 (Neu et al. 1974 ; Sokal & Rahlf 1998). Perbandingan luas daerah pengamatan dengan areal yang digunakan oleh rusa ditentukan berdasarkan standar selang kepercayaan 95% (Neu et al. 1974; Bayers et al. 1984). Faktor penentu kehadiran rusa di suatu tempat dianalisis dengan regresi metode Stepwise dengan sofware PASW Statistics 18. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola persebaran rusa Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ada perbedaan pola sebaran dan jumlah populasi rusa di setiap lokasi pengamatan. Di wilayah PSG (Pasanggrahan) dan KRC (Karang Copong) pada sore hingga malam hari (14.00-21.00 WIB) rusa timor memiliki pola sebaran populasi yang relatif sama. Tabel 1. Hasil uji X2pola sebaran spasial populasi rusa timor di Pulau Peucang berdasarkan tempat dan waktu (14.00 – 21.00 WIB) PSG KIA CLC KRC GNC Chi square 11.33 18.00 46.67 16.09 34.24 df 18 8 10 19 6 Asymp sig 0,880 0,021 0,000 0,651 0,000 Di daerah PSG merupakan daerah paling banyak ditemukan rusa berkumpul pada waktu sore hingga malam hari sehingga menjadi pembanding dengan daerah lain. Menggunakan uji Chi square, diketahui bahwa wilayah PSG dan KRC menunjukkan pola sebaran rusa yang sama (p > 0.05) dengan jumlah populasi rusa relatif stabil. Hal ini memberi indikasi bahwa rusa timor di Pulau Peucang pada sore hingga malam hari lebih terkonsentrasi memanfaatkan areal padang rumput (PSG) dan hutan pantai (KCP) dibandingkan daerah lain. Apabila dibandingkan dengan wilayah lain yakni KIA, CLC, dan GNC, hasil uji X2menunjukkan bahwa pola sebaran rusa timor di dua kelompok wilayah tersebut berbeda nyata (P <0.05).wilayahKIA, CLC dan GNC lebih digunakan rusa timor sebagai tempat untuk mencari makan pada siang hari dan menjadi daerah lintasan rusa pada sore hari untuk menuju daerah PSG dan KCP sebagai tempat istirahat pada malam hari.
77
Selain itu ketiga daerah tersebut juga diperkirakan sebagai daerah overlap dari kelompok populasi rusa PSG dan KCP dalam mencari makan. Dilihat dari pola sebaran rusa timor di Pulau Peucang menurut ruang (spatial) dan waktu, maka secara keseluruhan hasil pengamatan tersebut gambaran singkat dari pola sebarannya dapat direkap seperti disajikan padaTabel 2. Tabel 2. Bentuk sebaran spasial rusa timor di Pulau Peucang di lima wilayah pengamatan Populasi χ²hitung χ²tabel λ²=IP(n- λ²0.02 λ²0.97 Bentuk ẍ Ekosistem Frek S² IP χ² 1) 5 5 Sebaran PSG 33 12,1 132 10,9 11,3 348.44 31,5 8,2 Mengelompok KIA 33 4,1 6,9 1,7 18,0 53,3 17,5 2,2 Mengelompok CLC 33 4,4 41,8 9,5 46,7 304,.5 20,5 3,3 Mengelompok KRC 33 12 40,8 3,4 16,1 109,2 32,9 8,9 Mengelompok GNC 33 1,9 5,7 3,0 34,2 96,6 14,5 1,2 Mengelompok PSG=Pasanggrahan, KIA=kiara, CLC=Calingcing, KRC=Karang copong, GNC= Gunung calling
Gambar 1. Peta sebaran rusa dan pembagian wilayah lapangan (1. Pasanggrahan (PSG), 2. Kiara (KIA), 3. Cihanda rusa (CHR), 4. Calingcing (CLC), 5. Karang copong (KRC), 6.Gunung Calling (GNC),7. Legon Madura (LGM), 8. Legon kobak (LGK), 9. Ciapus (CIA), 10. Kapuk (KPK), 11. Cangcuit (CCU). Garis pantai warna merah curam, hijau landai berpasir putih, kuning pasir dan karang, hitam berkarang). Berdasarkan bentuk sebaran spasialnya, hasil analisis data dengan uji Chi scuare (X2) menunjukkan bahwa secara umum bentuk sebaran spasial rusa timor Pulau Peucang di lima lokasi pengamatan adalah mengelompok. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santosa (2008) di Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) Habitat Preferensial Rusa Timor Hasil analisis habitat preferensial rusa timor di Pulau Peucang berdasarkan frekuensi kehadiran rusa timor di suatu tempat menggunakan analisis regresi beerganda dengan metode Stepwise menunjukkan bahwa faktor-faktor penentu tersebut adalah kelembaban udara (X8), ketinggian (X1), jarak dari jalur patroli (X3), jarak dari padang rumput (X5), dan temperatur (X7) dengan persamaan regresi Y= -6.61+1.74(X8) - 1.40 (X1) – 0.32(X3) + 0.17(X5) + 1.56(X7), dan nilai koefisien korelasi Pearson (r) sebesar 0.897 dan koefisien 78
determinan (R2) sebesar 0.804 (p < 0.05). Hasil ini mengindikasikan bahwa rusa timor menyukai habitat dengan kelembaban yang lebih tinggi, dekat dengan jalur patroli, jauh dari padang rumput (menuju kawasan KRC), suhu tinggi dan daerah datar atau daerah dengan ketinggian rendah. Rusa timor di Pulau Peucang menyukai habitat yang memiliki kelembaban dan suhu udara tinggi. Padawaktu pagi rusa timor cenderung mendekati daerah pantai sebagai habitat dengan kondisi suhu udara lebih hangat, dan pada siang hari bergerak menuju ke tengah pulau dan berteduh di bawah pohon berkanopi lebar dengan kondisi kelembaban udara relatif tinggi (lebih sejuk). Kesukaan rusa timor menempati habitat dengan pohon berkanopi lebar ini serupa dengan kesukaan rusa merah (Cervus elaphus), namun tidak sama dengan rusa roe (Bokorwski 2004). Menurut Welch et al. (1990) habitat semak belukar lebih banyak digunakan oleh rusa merah dari pada rusa roe, sedangkan habitat dengan tumbuhan berkanopi lebar lebih banyak digunakan oleh rusa roe karena kaya tanaman herba. Pengukuransuhu dan kelembaban udara 28-31 oC, dan kelembaban udara sekitar 5080%. Suhu udara ini termasuk dalam sebaran suhu yang toleran untuk rusa timor. Tuckwell (1998) menyatakan rusa timor kurang tahan terhadap udara dingin, sehingga rusa timor memerlukan shelter yang memadai untuk berlindung dan habitat yang memiliki sumber pakan berenergi tinggi agar dapat bertahan di habitat bercuaca dingin. Pada malam hari rusa timor banyak ditemukan beristirahat di padang rumput (grazing area) + 0.5 ha dengan kondisi yang lebih hangat karena telah menerima paparan sinar matahari sepanjang hari. Rusa timor tidak menggunakan seluruh wilayah ketinggian di Pulau Peucang sebagai habitatnya, namun hanya memilih daerah datar sampai ketinggian tertentu sebagai habitat preferensialnya. Hasil uji statistik (Chi Square - χ2) menunjukkan bahwa perbedaan ketinggian tempat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap keberadaan rusa (nilai χ2 χ2hitung = 15.50 > χ2 (0.05,2) = 5.99). Rekapitulasi hasil perhitungan X2 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rekapitulasi perhitungan χ2 untuk menguji hubungan antara kehadiran rusa dengan ketinggian tempat Ketinggian Luas Proporsi Frekuensi Frekuensi (Oi-Ei)2/Ei (m) (Ha) (%) observasi harapan (Oi) (Ei) 1 2 3 4 5 6 0 - 20 m 74 0.17 15 11.98 0.76 20 - 40 m 252 0.58 52 40.85 3.05 >40 m 106 0.25 3 17.17 11.69 Jumlah 432 70 70.00 15.50 2 Frekuensi harapan rusa (Ei) = kolom 3 x jumlah kolom 4 (Gaspersz 1994), χ hitung = 15.50 > χ2 (0.05,2) = 5.99. Rusatimor lebih menyukai daerah datar sebagai habitatnya terutama untuk tempat istirahat pada malam hari, dan tidak menyukai daerah dengan ketinggian lebih dari 40 m. Hasil perhitungan menunjukkan perbedaan ketinggian tempat berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap keberadaan rusa timor di Pulau Peucang (Tabel 4). Secaraumum rusa timor diakui sebagai satwa yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan termasuk toleransinya terhadap perbedaan ketinggian tempat hingga mencapai 2600 m (Padmala et al. 2003) namun fakta di Pulau Peucang menunjukkan bahwa umumnya rusa timor cenderung lebih menyukai daerah dengan ketinggian 20-40 m.
79
Tabel 4. Indeks Neu preferensi habitat rusa terhadap ketinggian tempat Ketersediaan Perjumpaan rusa Indeks Kelas Lereng Luas Proporsi Tercatat Proporsi Seleksi Terstandar (Ha) (a) (n) (r) (w) (b) 0 - 20 m 74 17 15 21 1.235 0.46 20 - 40 m 252 58 52 74 1.276 0.48 >40 m 106 25 3 4 0.160 0.06 432 100 70 2.671 1.00 Rusatimor di Pulau Peucang hanya menyukai daerah dengan ketinggian 0 – 20 m sampai 20 – 40 m, dan tidak menyukai daerah yang lebih tinggi meskipun bebas dari gangguan manusia. Fenomena ini berbeda dengan rusa merah dalam penggunaan habitatnya selama musim panas dan dingin sesuai dengan pernyataan Palmer dan Truscott (2003) bahwa rusa merah selama musim dingin lebih cenderung menyukai habitat berketinggian rendah, lebih terlindungi dan memiliki tutupan tajuk yang tinggi. Jalur patroli diketahui mempengaruhi keberadaan rusa timor terutama pada siang hingga malam hari. Hasil uji statitik (Chi square – X2) menunjukkan bahwa rusa timor memiliki perbedaan tingkat kesukaan habitat dengan jarak tertentu dari jalur patroli ditandai dengan nilai χ2hitung = 27.68 ≥ χ2 (0.05,3) = 7.81. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa semakin jauh jarak suatu tempat sebagai habitat rusa dengan jalur patroli maka semakin sedikit dijumpai rusa timor. Keberadaanrusa di sekitar jalur patroli paling banyak ditemukan pada jarak 0 sampai 100 m. Rusa timor cenderung memilih habitat yang lebih dekat dengan manusia dengan jarak kurang dari 100 m dari jalur patroli. Kondisi ini menunjukkan bahwa rusa timor di Pulau Peucang justru merasa aman dan nyaman didekat orang dan merasa kurang aman apabila berada di tengah hutan. Rusa timor di Pulau Peucang dapat dikatakan sudah adaptif dengan manusia sehingga menunjukkan perilaku ―jinak‖ bila berada di daerah jalur patroli, namun sangat agresif bila ditemukan di wilayah yang jauh dari jalur patroli (dalam hutan) karena cenderung lebih peka (sensitif) dengan menunjukkan perilaku agresif kemudian lari menjauh dari manusia. Perilaku adaptif atau jinak yang ditunjukkan oleh rusa timor di habitat yang dekat dengan jalur patroli tersebut di atas dapat dimengerti karena jalur patroli tersebut juga merupakan jalur perjalanan wisatawan dengan frekuensi kunjungan yang cukup tinggi. Melalui proses pembiasaan (habituasi) dari intensitas interkasi rusa timor dengan wisatawan yang melewati jalur itu secara terus menerus akhirnya berdampak pada perubahan perilaku rusa menjadi adaptif dan lebih jinak terhadap manusia, bahkan pada jarak sekitar 10 m rusa timor tetap terlihat tenang dan cenderung memberikan respon mendekat apabila ada orang yang melewati jalur patroli tersebut. Berbeda halnya dengan rusa-rusa yang ada di dalam hutan, umumnya menunjukkan perilaku agresif, waspada dan menghindar apabila bertemu dengan manusia. Diperkirakan rusa timor di dalam hutan cenderung menghindari manusia sampai mencapai jarak lebih dari 50 m dari jalur patroli. Keberadaan rusa di padang rumput Pasanggrahan umumnya hanya terlihat pada waktu sore hingga pagi dini hari (jam 14.00 – 04.00 WIB). Sebelum waktu-waktu tersebut rusa timor di Pulau Peucang cenderung menjauh dari padang rumput. Rusatimor menyukai habitat dengan jarak dari padang rumput sekitar 0 – 1000 m dan lebih dari 2000 m, namun tidak menyukai habitat yang berjarak 1000-2000 m dari padang rumput. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa rusa timor di Pulau Peucang memiliki dua arah pergerakan secara berlawanan didalam memanfaatkan suatu habitat sebagai area padang rumput (grazing area) untuk mencari makan. Kelompok rusa timor yang berada di suatu habitat dengan jarak 0-1000 m dari padang rumput cenderung bergerak menuju areal padang 80
rumput di Padangsanggrahan (PSG) untuk istitrahat pada malam hari, namun apabila keberadaan rusa timor tersebut berjarak >2000 m dari areal padang rumput maka cenderung bergerak mengarah ke areal padang rumput di Karang Copong (KRC). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok rusa timor di kedua habitat tersebut (PSG dan KRC) terlihat sudah adaptif dengan kehadiran manusia, sehingga ketika berada di areal padang rumput dari kedua habitat tersebut, rusa tidak lagi menunjukkan perilaku agresif atau menghindar, melainkan rusa tampak tenang dan terus melakukan kegiatan memamahbiak sambil berisitirahat tanpa merasa terganggung dengan kehadiran aktivitas manusiadi sekitarnya. Secara umum rusa timor digolong sebagai pemakan rumput (grazer) seperti halnya rusa sika (Hofmann 1985) meskipun dalam kondisi tertentu dapat bersifat browser atau pemakan semak tergantung pada ketersediaan tumbuhan pakannya di suatu habitat. Hasil pengamatan di Pulau Peucang juga menunjukkan bahwa rusa timor terutama rusa betina dewasa, betina remaja, anak, dan jantan remaja lebih dominan berkumpul dan melakukan aktivitas makan di padang rumput, sehingga dapat menjadi indikasi bahwa rusa timor tersebut tergolong sebagai pemakan rumput (grazer). Berbeda halnya dengan rusa timor berkelamin jantan dewasa pada fase ranggah muda, ternyata diketahui di lapangan cenderung ditemukan terbatas di habitat berupa hutan sehingga lebih bersifat pemakan semak (browser). Fakta menunjukkan bahwa rusa timor jantan fase ranggahh muda sampai ranggahh keras di Pulau Peucang ternyata lebih memilih areal habitat di Cihanda, Calingcing, dan Karang Copong, dan sangat jarang ditemukan di areal Gunung Calling ataupun di Kiara. Fenomena soliter (menyendiri) dari rusa timor jantan fase ranggahh muda ini diduga untuk menghindari dari serangan jantan dewasa yang telah memiliki ranggahh keras, karena kalah bersaing. Memang ada beberapa pengecualian terutama rusarusa jantan yang telah adaptif, maka pada fase ranggah muda mereka masih tetap terlihat berada di areal padang rumput dengan aman dan merasa tidak terganggu baik dengan rusa jantan lain maupun dengan manusia. Fenomena persaingan (kompetisi) antar pejantan lebih terlihat pada saat musim kawin (September-Desember). Rusa jantan dewasa pada fase ranggah keras biasanya keluar menuju areal padang rumput dan terjadi perkelahian antar pejantan untuk memperebutkan betina. Biasanya pejantan yang menang menunjukkan penguasaan wilayah (teritorialitas) sementara pejantan yang kalah dan/atau yang berada pada fase ranggah muda cenderung menghindar dan bergerak ke dalam hutan atau daerah ekoton diantara hutan dan padang rumput. Gambaran kondisi tersebut di atas mengharuskan setiap pengelola untuk dapat mengidentifikasi persebaran kelompok populasi atau individu-individu rusa jantan fase ranggah muda dan menentukan teknik pengelolaan habitatnya agar lebih memungkinkan ketersediaan tumbuhan pakan yang cukup dan berkualitas baik sehingga dapat digunakan oleh rusa-rusa tersebut. Hal ini terutama apabila dikaitkan dengan kepentingan pengaturan pemanfaatan rusa timor sebagai komoditas ekonomi khususnya untuk menghasilkan ranggah muda (velvet antler) sebagai produk utamanya. KESIMPULAN 1. Bentuk sebaran spasial rusa timor di Pulau Peucang adalah mengelompok dengan konsentrasi pengelompokan pada malam hari adalah di daerah pantai dari wilayah Karang Copong dan di padang rumput Pasanggrahan. 2. Preferensi habitat rusa dipengaruhi oleh kelembaban, ketinggian, jarak dari jalur patroli, jarak dari padang rumput, dan suhu dengan persamaan regresi Y (frekeuensi kehadiran) = - 6.611 + 1.743X (kelembaban) – 1.402 X (ketinggian) – 0.317 X (jarak dari jalur patroli) + 0.170 X (jarak dari padang rumput) + 1.563 X (suhu). Koefisienditerminasi R2=80.4%, p < 0,05. 81
DAFTAR PUSTAKA Bayers CR, Steinhorst RK, Krausman PR. 1984. Clarification of a technique for analysis of utilization-availability data. Journal of Wildlife Management 48: 1050-1053. Bello J, Gallina S and Equihua M. 2001. Characterization and Habitat Preferences by WhiteTailed Deer in Mexico. Journal of Range Management 54(5): 537-545 Borkowski J and Ukalska J. 2008. Winter Habitat use by red and roe deer in pine-dominated forest. Forest Ecology and Management 255 (2008) 468-475 Borkowski J. 2004. Distribution and habitat use by red and roe deer following a large forest fire in South-western Poland. Forest Ecology and Management 201:287–293. Hofmann RR. 1985. Digestive physiology of deer: their morphophysiological specialisation and adaptation. Royal Society of New Zealand, Bulletin 22, 393–407 http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts /information / Cervidae.html. Kencana S. 2000. Habitat Rusa Timor (Cervus timorensis) dan kapasitas Tampung Padangan Alam Taman Buru Pulau Rumberpon Manokwari. [Skripsi] Fakultas Pertanian Universitas Cendrawasih Manokwari. Lawrence RK. 1995. Population Dynamics and Habitat use of desert Mule Deer in The Trans Pecos Region of Texas. [Disertation] The Graduate Faculty of Texas Tech University 178p. Ludwig, J. A. and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Method and Computing. A Wiley - Inter Science Publication. John Wi-ley and Sons, Inc. New York Nagarkoti A &Thapa T B. 2007. Distribution pattern and habitat prefference of barking deer (Muntiacus muntjac Zimmermann) in Nagarjun forest Kathmandu. Himalayan Journal of Sciences 4(6): 70-74 Neu CW, Byers CR, Peek JM, Boy V 1974. A Technique for analysis of utilizationavailability data. Journal of Wildlife Management 38: 541-545. Nolan LM, & Walsh JT. 2005. Principles of deer management. Wild deer management in Irland : Stalker training manual. © L. M. Nolan, J. T. Walsh & Deer Alliance HCAP Assessment Committee, 2005 Padmalal UKGK, Takatsuki S and Jayasekara P. 2003. Food habits of sambar Cervus unicolor at the Horton Plains National Park, Sri Lanka. Ecological Research 18 : 775 – 782 Palmer SCF and Truscott AM. 2003. Seasonal habitat use and browsing by deer in Caledonian pinewoods. Forest Ecology and Management 174: 149 - 166 Purnomo DW. 2010. A habitat selection model for Javan deer (Rusa timorensis) in Wanagama I Forest, Yogyakarta. Bioscience 2(2): 84 – 89. Santosa Y, Auliyani D, Priyono A. 2008. Pendugaan Model Pertumbuhan dan Penyebaran Spasial Populasi Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville, 1822) di Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Media Konservasi 13(1): 1 – 7. Sokal RR, Rohlf FJ 1998. Biometry: the principles and practice of statistics in biological research. 4th ed. New York, USA, W. H. Freeman and Company. 850 p. 65 Spaggiari J & de Garin-Wichatitsky M. 2006. Home range habitat use of introduced rusa deer (Cervus timorensis russa) in a mosaic of savannah and native sclerophyll forest of 82
New Caledonia. New Zealand Journal of Zoology 33(3): 175 -183. DOI: 10.1080/03014223.2006.9518442 Tuckwell, C. 1998 Australian Deer Industry Manual, Part 3, Classification and Species Selection. Barton, ACT Welch D, Staines BW, Catt DC, Scott D, 1990. Habitat usage by Red (Cervus elaphus) and Roe (Capreolus capreolus) deer in a Scottish sitka Spruce Plantation. Journal of Zoologyi 221(3): 453 – 476
83
KAJIAN MORFOLOGI, MORFOMETRI, DAN STATUS KONSERVASI HIU DI SUMATERA BAGIAN UTARA THE STUDY OF MORFHOLOGY, MORFHOMETRY AND CONSERVATION STATUS OF SHARK IN NORTH AREA OF SUMATERA Puput Rahayu dan Mufti Sudibyo Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahua Alam Universitas Negeri MedanJl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate Kode Pos 20221 Telp.(061) 6625970 email:
[email protected]
Abstract This objectiveof this research is to analyzed the morphology, morphometry and conservation status of shark in the North area of Sumatera. The sample was taken from the Central Fish Market that located on Jln. Cemara Sampali Medan. There was found 7 samples of shark, where 4 of them were analyzed using multiple regression by stepwise method. The parameter that be measured was the body length against the total length. The result showed that based on morphology, there was found Sphyrna lewini, Squalus megalops, Carcharinus melanopterus, Atelomycterus marmoratus, Chiloscyllium punctatum,Triaenodon obesus, dan Hemigaleus microstoma. Based on morphometry, the body length that contributing in the total length was the length of pectoral fin (r = 0,999), pre pelvic length (r = 0,998) and fork length ( r = 0,991). The conservation status based on Red list IUCN 2010, showed that Carcharinus melanopterus, Atelomycterus marmoratus, Chiloscyllium punctatum, Triaenodon obesus was near threatened (NT), Squalus megalops was date deficient (DD),Hemigaleus microstomawas vulnerable (VU) and Sphyrna lewini was endangered (EN). Keyword : Morphology of shark, morphometry of shark, conservation status of shark.
PEDAHULUAN Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memanfaatkan sumber daya ikan bertulang rawan (hiu) terbesar di dunia. dengan dugaan hasil tangkapan sebesar 105,000 ton pada tahun 2002 dan 118,000 ton pada tahun 2003 (White et al., 2006). Beberapa alat tangkap yang digunakan antara lain adalah jaring insang apung (drift gill net), rawai permukaan (surface longline), rawai dasar (bottom longline) dan jaring hiu (dahulu dikenal sebagai jaring trawl) (Fahmi dan Dharmadi, 2005). Meskipun Indonesia tercatat sebagai negara dengan produksi perikanan hiu terbesar dan diyakini memiliki kekayaan jenis hiu tertinggi di dunia, namun hampir tidak ada kajian atau pun publikasi mengenai aspek biologi maupun komposisi jenis hiu dari negara ini. Pengetahuan mengenai pengenalan jenis hiu yang ada di Indonesia amatlah dibutuhkan seiring dengan tingkat pemanfaatan yang amat tinggi terhadap populasi jenis ini, serta untuk memperoleh data yang akurat dalam penentuan kebijakan terhadap pengelolaan sumber daya tersebut (White et al., 2006). Hiu hidup di lautan tropis maupun subtropis. Hiu hidup di perairan yang sangat bervariasi salinitasnya, di laut dekat pantai dan laut lepas (Mahiswara dan Agustinus, 2007).
84
Penangkapan ikan berlebihan dan degradasi habitat menyebabkan populasi hewan laut sangat berubah (Lotze et al, 2006), terutama hiu dan pari (Dudley dan Simpfendorfer 2006), yang menjadi permasalahan apakah penurunan populasi spesies terdistribusi secara global yang bersifat reversibel secara lokal atau memang merupakan gejala erosi ketahanan dan akumulasi kronis risiko kepunahan spesies laut secara global (Jackson, 2010). Identifikasi secara umum berdasarkan kriteria International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada sejarah kehidupan dan ekologi spesies (famili taksonomi) yang membuat hewan laut rentan terhadap kepunahan dan lokasi geografis dengan jumlah spesies yang besar yang membutuhkan perhatian konservasi yang tinggi (Dulvy et al., 2014). Beberapa jenis hiu di Indonesia juga sudah masuk dalam daftar appendix CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). CITES pada bulan maret 2013 telah memasukan empat spesies hiu ke dalam daftar Appendik II CITES yaitu : Carcharhinus Longimanus (hiu koboy atau Oceanic WHitetip), Sphyrna Lewini (Hammerhead shark), Sphyrna mokarran (Great hammerhead shark) dan SphyrnaZygaena (smooth hammerhead shark). Kemudian pada 24 april 2013 CITES kembali mengeluarkan daftar 12 jenis hiu yang masuk dalam appendix I, II dan III, yaitu sebagai appendix I meliputi enam jenis Pristidae spp (Sawfishes). Appendix II meliputi: (1) Pristidae microdon (Sawfish); (2) Cetorhinus maximum (Basking shark); (3) Cachodon carcharias (Great white shark) dan (4) Rhincodon typus (whale shark). Appendix III meliputi: Sphyrna Lewini (Hammerhead shark) di Kosta Rika dan Lamma nasus (Porbeagle) di beberapa negara Eropa (Anonim, 2015). Sampai saat ini jenis Hiu apa saja yang sering ditangkap dan dikonsumsi terutama yang penangkapannya berasal dari Sumatera bagian Utara dan apakah Hiu yang tertangkap tersebut berstatus dilindungi atau tidak belum ada data. Oleh karena itu penelitian ini mengkaji temuan Hiu yang sering tertangkap yang dilakukan pengukuran dan disesuaikan dengan status konservasinya pada IUCN tahun 2010. BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel dilakukan di Pusat pasar ikan Sumatera Utara di Jl. Cemara pada bulan Desember 2015 – Bulan Februari 2016. Sampel Hiu adalah semua jenis yang ditemukan di pusat pasar. Alat yang digunakan kamera 16,2 mega pixel, pita meter dan alas foto berskala Hiu yang didapatkan diidentifikasi dan dilakuan pengukuran menurut Rahmat (2011) dan Ahmad dan Lim (2012) seperti tertera pada gambar di bawah ini. Status konservasi Hiu dilakukan berdasarkan kajian pustaka, Hiu yang ditemukan di diselaraskan dengan daftar red list IUCN 2010.
Gambar 1. Teknik morfometri pada Hiu (Ahmad and Lim 2012)
85
Parameter utama dalam penelitian ini mencakup faktor dependen (Y) = panjang total, dan faktor independen yang meliputi X1 =Panjang standart/PCL (cm),X2= Panjang sebelum sirip punggung pertama/PD1 (cm), X3= Panjang sebelum sirip punggung kedua/ PD2 (cm), X4= Panjang kepala/HL (cm), X5= Panjang sebelum kepala/PGI (cm), X6=Panjang sebelum spirakel/PSP (cm), X7= Panjang sebelum orbital mata/POB (cm), X8= Jarak antara sirip punggung pertama dan kedua/IDS (cm), X9= Jarak antara sirip dada dan sirip perut /PPS (cm), X10= Panjang sebelum sirip perut/PPL (cm), X11= Panjang sirip perut (cm), X12= Panjang preoral (cm),X13= Panjang moncong (cm), X14= Lebar mulut (cm), X15 = Panjang sirip punggung pertama (cm), X16= Panjang sirip punggung kedua (cm), X17= Panjang sirip dada (cm), X18= Panjang ekor (cm) Analisis statistik menggunakan analisis regresi linear berganda dengan metode Stepwise yang diolah dengan bantuan software IBM SPSS Statistics 20 mengikuti formulasi: Y= b0 + b1X1+ b2X2+ b3X3+ b4X4+..........bqXq + ε HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sampel yang ditemukan adalah Hiu martil ditemukan sejumlah 30 ekor, Hiu duri pasir 30 ekor, Hiu sirip hitam 30 ekor, Hiu tokek 30 ekor, Hiu cicak insang putih 5 ekor, Hiu sirip putih 5 ekor, dan Hiu bintik putih 5 ekor. Berdasarkan identifikasi morfologi pada hiu martil memiliki bentuk kepala melebar kesamping, Hiu duri pasir pada sirip punggung pertama dan kedua memiliki duri, pada hiu sirip hitam di setiap ujung siripnya berwarna hitam, pada hiu tokek di seluruh tubuhnya di penuhi bintik-bintik berwarna abu-abu muda dan putih, pada hiu cicak insang putih kedua sirip punggung hampir sama besar, pada hiu sirip putih di bagian ujung sirip punggung pertama dan sirip ekor berwarna putih, dan pada hiu bintik putih terdapat beberapa tumpukan kecil berwarna putih pada badan. Berdasarkan identifikasi menggunakan acuan Ahmad dan Lim (2012) Hiu yang ditemukan adalah Sphyrna lewini, Squalus megalops, Carcharinus melanopterus, Atelomycterus marmoratus, Chiloscyllium punctatum,Triaenodon obesus, dan Hemigaleus microstoma. Secara umum Hiu yang ditemukan tidak memiliki ciri spesifik dari Hiu yang telah diberi nama sebelumnya, dengan demikian belum memungkinkan adanya nama subspecies. Gambar hiu yang di temukan di Pusat pasar ikan Sumatera Utara tertera pada Gambar 2 dibawah ini.
86
Gambar 2. Hiu yang ditemukan di Pusat pasar ikan Sumatera Utara Karakteristik Morfometri Menurut Enjah Rahmat (2011) morfometrik merupakan salah satu cara untuk mendeskripsikan jenis ikan dan menentukan unit stok pada suatu perairan dengan berdasarkan atas perbedaan morfologi spesies yang diamati. Pengukuran morfometrik dapat dilakukan antara lain panjang total, panjang standar, panjang ekor atau panjang sirip punggung. Morfometri terhadap 21 parameter terukur pada Hiu yang ditemukan tertera pada Tabel 1 di bawah ini.
87
Tabel 1. Morfometri terhadap jenis Hiu yang ditemukan di Pusat Pasar ikan Sumatera Utara No.
Morfometri
Jenis Hiu Sphyrna lewini
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
PT (cm) FL (cm) PCL (cm) PD1 (cm) PD2(cm) HL (cm) PGI(cm) PSP(cm) POB(cm) IDS(cm) PPS (cm) PPL(cm) PSP (cm) PP (cm) PM (cm) LM (cm) PSPP (cm) PSPK (cm) PSD (cm) PE (cm) PSE(cm)
65,9 ± 10,5 46,6 ± 6,6 41,5 ± 6,4 18,3 ± 2,1 36,9 ± 5,2 14,7 ± 1,5 10,6 ± 1,5 2,0 ± 0,4 14,5 ± 2,1 12,8 ± 2,1 27,9 ± 3,3 3,7 ± 0,5 4,4 ± 0,4 4,8 ± 0,8 0,4 ± 0,1 8,9 ± 1,7 2,4 ± 0,4 7,9 ± 1,2 19,0 ± 2,6 7,3 ± 1,3
Squalus megalops 58,5 ± 9,7 48,1 ± 8,9 44,1 ± 8,3 18,8 ± 4,1 37,5 ± 5,5 12,6 ± 1,1 9,3 ± 0,6 6,0 ± 0,9 2,8 ± 0,4 18,6 ± 3,2 14,4 ± 1,9 29,3 ± 4,8 3,7 ± 0,5 3,9 ± 0,8 4,5 ± 0,6 0,5 ± 0,0 5,8 ± 1,1 4,4 ± 1,1 7,8 ± 1,8 13,0 ± 3,2 6,3 ± 1,8
Carcharinus melanopterus 54,1 ± 10,0 44,3 ± 9,0 38,7 ± 7,5 16,6 ± 2,8 32,4 ± 6,0 11,9 ± 2,0 9,1 ± 1,7 3,9 ± 0,5 14,0 ± 2,3 13,3 ± 2,5 26,0 ± 4,8 3,2 ± 0,8 3,6 ± 0,4 4,4 ± 1,1 0,3 ± 0,1 7,4 ± 1,3 3,3 ± 0,6 9,1 ± 1,4 13,9 ± 2,6 5,6 ± 1,2
Atelomycterus marmoratus 56,8 ± 4,1 44,7 ± 2,4 25,0 ± 1,6 37,7 ± 2,3 10,7 ± 0,6 7,6 ± 0,7 5,2 ± 0,4 3,2 ± 0,2 11,0 ± 0,7 11,0 ± 1,0 23,3 ± 1,1 3,7 ± 0,6 2,3 ± 0,2 4,2 ± 0,1 0,4 ± 0,1 6,1 ± 0,5 5,8 ± 0,6 5,6 ± 0,4 9,7 ± 0,6 -
Analisis regresi berganda menggunakan metode stepwise yang dilakukan terhadap empat jenis hiu yang memenuhi syarat dalam analisis statistik memiliki karakteristik yang berbeda-beda berdasarkan kontribusinya terhadap panjang total. Pada Hiu Martil terdapat tiga faktor independen yang berkontribusi terhadap panjang total yakni PGI 92%, PD2 97% dan PSE 97,7%. Pada Hiu duri pasir yang berkontribusi terhadap panjang total adalah FL 92%, PPL 98%, PPL 98%, PSD 98% dan PPS 99%. Pada Hiu sirip hitam FL 98,3%, PPL 99,6%, dan PSD adalah 99%. Pada Hiu tokek PD2 89%, PP 93%, dan PSP 95%. Persamaan regresi berdasarkan analisis tertera di dalam tabel 2. Dibawah ini. Tabel 2. Persamaan regresi berdasarkan metode Stepwise terhadap empat jenis Hiu yang ditemukan di Sumatera Utara. Jenis Hiu Persamaan regresi Y = 3,65 X6 + 0,62 X4 -1,82 X19– 8,99 Hiu Martil Y= 0,67 X1 + 0,74 X11 + 0,38 X19 – 0,89 X18 + 0,71 X10 – 3,36 Hiu Duri Pasir Y= 0,80 X1 + 1,05 X10 – 1,48 X17 + 4,65 Hiu Sirip Hitam Y = 1,40 X3 + 9,25 X12 – 2,02 X11 -9, 63 Hiu Tokek Sebaran dan Konservasi Di dalam daftar merah (red list) IUCN, terdapat beberapa status yang diberikan terhadap jenis-jenis ikan sesuai dengan kondisi sumberdayanya di dunia ataupun di negaranegara tertentu yang memberikan status tersebut. Beberapa status konservasi ikan dalam red list tersebut, disesuaikan dengan kategori sebagai berikut (IUCN-SSC 2001): 1. Punah (Extinct, EX) Kategori ini diberikan kepada jenis yang telah benar-benar tidak ada lagi di dunia. Jenis yang dikatakan punah didasarkan pada tidak ditemukannya jenis tersebut di habitatnya, 88
2.
3. 4. 5.
6.
7.
8.
9.
berdasarkan hasil penelitian yang menyeluruh dan cukup lama pada habitat yang diduga menjadi tempat hidup jenis tersebut. Punah di alam (Extinct in the wild, EW) Kategori ini diberikan pada jenis yang tidak ditemukan lagi di alam bebas, tapi masih ditemukan di tempat penangkaran ataupun lokasi-lokasi yang sudah dilindungi, seperti cagar alam, suaka margasatwa dan sebagainya. Sangat terancam (Critically endangered, CR) Kategori ini diberikan kepada jenis yang diyakini mendekati kepunahan di alam. Terancam (Endangered, EN) Jenis ini diyakini memiliki resiko kepunahan di alam yang sangat tinggi. Rawan (Vulnerable,VU) Kategori ini diberikan kepada jenis ini dikhawatirkan memiliki resiko tinggi terhadap kepunahan di alam. Hampir terancam (Near threatened, NT) Kategori ini diberikan kepada jenis yang diyakini akan terancam keberadaannya di masa mendatang, apabila tidak ada usaha pengelolaan terhadap jenis tersebut. Tidak mengkhawatirkan (Least concern, LC) Kategori ini diberikan kepada jenis-jenis yang tidak termasuk ke dalam kriteria di atasnya. Umumnya diberikan kepada jenis-jenis yang mempunyai sebaran yang luas dan kelimpahan yang tinggi. Minim informasi (Data deficient, DD) Kriteria ini diberikan kepada jenis yang belum mempunyai informasi dan data-data yang cukup untuk bisa dimasukkan dalam kriteria terancam. Untuk itu, masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut, baik mengenai kelimpahan maupun sebarannya. Belum dievaluasi (Not evaluated, NE) Diberikan pada jenis-jenis yang belum dievaluasi untuk ditentukan kriterianya. Berdasarkan acuan Fahmi dan Dharmadi (2005) hiu yang diambil dari pusat pasar Sumatera bagian Utara status dan sebaran dari 7 hiu yang ditemukan tertera di tabel 3. Di bawah ini
Tabel 3. Status dan sebaran Hiu yang ditemukan di Pusat Pasar ikan Sumatera Utara No 1.
Nama Hiu Hiu martil
2.
Hiu duri pasir
3.
Hiu sirip hitam
4.
Hiu tokek
5. 6.
Hiu cicak insang putih Hiu sirip putih
7.
Hiu bintik putih
Sebaran Di seluruh perairan tropis dan subtropis yang bersuhu hangat Di perairan kepulauan Indonesia-Malaya, perairan hangat subtropis dan tropis di Australia Di daerah tropis lautan Hindia, Sentral Pasifik bagian barat dan bagian timur laut Mediterania Di perairan Indonesia-Pasifik Barat dari Pakistan hingga Papua Nugini dan Selatan cina Di perairan Indonesia sampai Pasifik Barat Diseluruh perairan Indonesia sampai Pasifik diseluruh perairan tropis Indo–Pasifik Barat, tidak dijumpai di utara Australia
Status Konservasi Red List IUCN 2010: Terancam (EN) Red List IUCN 2010: Minim informasi (DD) Red List IUCN 2010: Hampir Terancam (NT) Red List IUCN 2010 : Hampir Terancam (NT) Red List IUCN 2010: Hampir Terancam (NT) Red List IUCN 2010: Hampir Terancam (NT) Red List IUCN 2010: Rawan (VU)
89
KESIMPULAN 1. Hiu yang ditemukan di perairan Sumatera bagian utara adalah Sphyrna lewini, Squalus megalops, Carcharhinus melanopterus, Atelomycterus marmoratus, Chiloscyllium punctatum, Triaenodon obesus dan Hemigaleus microstoma. 2. Faktor morfometri yang paling berpengaruh terhadap panjang total pada jenis Hiu martil yakni PGI 92%, PD2 97% dan PSE 97,7%. Pada Hiu duri pasir yang FL 92%, PPL 98%, PSD 98%, PSD 98% dan PPS 99%. Pada Hiu sirip hitam FL 98%, PPL 99%, dan PSD adalah 99%. Pada Hiu tokek PD2 89%, PP 93%, dan PSP 95%. 3. Status konservasi hiu di Sumatera bagian Utara Carcharinus melanopterus, Atelomycterus marmoratus, Chiloscyllium punctatum, Triaenodon obesus adalah hampir terancam (NT), Squalus megalops adalah minim informasi (DD), Hemigaleus microstoma adalah rawan (VU) dan Sphyrna lewini adalah terancam (EN). DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A., dan A.P.K. Lim., (2012), Field Guide to Shark of The Southeast Asian Region,Journal of Seafdec/Merdmd/SP/18:16-20 Anonim, (2015), Hiu dan Usaha Konservasi, (file://c:/users/win 7/download/tulisan hiu dan konservasi.pdf. Dharmadi dan Fahmi, (2005), Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya,JurnalOseana30 (1): 1-8. Dudley, S. F. J. and C. A. Simpfendorfer, (2006), Population status of 14 shark spesies caught in the protective gillnets off KwaZulu-Natal beaches, South Africa, 19782003, Marine and Freshwater Research, 57. 225-240. Dulvy, K. N., S.L. Flowler, J.A. Musick, R.D.Cavanagh, P. M. kyne, L.R. Harrison, J. K. Carlson (2014), Extinction Risk and Conservation of the World's Sharks and Rays." eLife. Hoffmann et al., (2010), The Impact of Conservation on the Status of the World's Vertebrates. Science, 330 :1503-1509. Jackson J.B.C., (2010), The Future of the Oceans Past. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 365:3765-3778. Lotze H.K., H.S. Lenihan, B.J. Bourque, R.H. Bradbury, R.G. Cooke, M.C. Kay, S.M. Kidwell, M.X. Kirby, C.H. Peterson, and J.B.C. Jackson, (2006), Depletion, Degradation, and Recovery Potential of Estuaries and Coastal Seas, Science, 312:1806-1809. Mahiswara, dan Agustinus, A, W, (2007), Sumberdaya Ikan Cucut (Hiu) yang Tertangkap Nelayan di Perairan Laut Jawa, Jurnal Iktiologi Indonesia7 (1):15. Rahmat, E., (2011), Teknik Pengukuran Morfometrik pada Ikan Cucut diPerairan Samudera Hindia, JurnalBTL9 (2): 2-3. Patterson H.M and M. J. Tudman, (2009), Chondrichthyan Guide for Fisheries Managers. A practical guide for mitigating chondrichthyan bycatch.Bureau of Rural Sciences and Australian Fisheries Management Authority, Canberra ACT Sri, J., dan Kasijan, R., (2009), Biologi Laut, Djambatan, Jakarta. Sudjana, (1992), Teknik Analisis Regresi dan Korelasi, Tarsito, Bandung. White, W.T, P. R. Last, J. D. Stevens, G. K. Yearsley, Fahmi, Dharmadi, (2006), Economically Important Shark and Rays Indonesia (Hiu dan Pari Yang bemilai Ekonomi penting Indonesia). CSIRO, Murdoch University, Aciar. Lamb Print, Perth.1 pp
90
PERILAKU PEMBENTUKAN PASANGAN BURUNG KUNTUL KERBAU (Bubulcus ibis L.) DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA TANJUNG REJO, KECAMATAN PERCUT SEI TUAN, KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA BEHAVIOR PAIR FORMATION BUFFALO EGRETS (Bubulcus ibisL.) IN THE MANGROVE FOREST, TANJUNG REJO VILLAGE, DISTRIC PERCUT SEI TUAN, DELI SERDANG, NORTH SUMATRA. Ristia Diani1, Erni Jumilawaty2 Mahasiswa Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara 2 Staf Pengajar Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara 20155 Email :
[email protected] 1
Abstract Bubulcus ibis is one of the birds that use nesting habitat at fish ponds area of Tanjung Rejo by utilizing the wetlands in taking food. The ponds now are filled by fishing, so the existence and breeding of this species become threaten. This research has been studied from March until May 2015 using the Focal Animal Sampling. This research relevated that the behavior of the formation couple has been with the inviting couple consisting of a stand while making the sound beautiful, enforced plumae scapula and formed a fan, swung the body, opened one of the wings, tugging primary feathers, straightened the neck and head, degraded the body with bending the legs and swung the body with the starting position. Keywords: Behavior, Bubulcus ibis, Tanjung Rejo, Mangrove
PENDAHULUAN Desa Tanjung Rejo yang berada di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, adalah salah satu desa yang letaknya berada di wilayah pesisir pantai timur Sumatera. Luas wilayah Tanjung Rejo 310,50 Ha, dengan jumlah penduduk 9.848 orang. Penduduk desa Tanjung Rejo rata-rata bekerja sebagai petani dan nelayan. Desa Tanjung Rejo sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan pesisir dan laut, yang memiliki potensi besar di bidang perikanan, pariwisata, kawasan hutan mangrove dan sumberdaya alam lainnya (BPS Deli Serdang, 2014). Kawasan hutan mangrove dimanfaatkan oleh burung air sebagai habitat dan berbagai aktivitas diantaranya perilaku harian. Burung-burung yang melakukan aktivitas mengundang pasangan di Desa Tanjung Rejo salah satunya adalah burung Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis). Saat musim berbiak tiba yang ditandai dengan musim panen ikan dan padi di Desa Tanjung Rejo, Bubulcus ibis sangat mudah dibedakan dengan burung lainnya dengan melihat perubahan warna bulu. Perubahan warna bulu diawali dengan perubahan bulu pada bagian kepala, leher, dada dan punggung burung tersebut. Ayat (2011) menyatakan saat berbiak, warna putih pada bagian kepala, leher, dada dan punggung menjadi jingga pupus sedangkan pada kaki menjadi merah terang. Lahan basah Desa Tanjung Rejo sangat berperan penting dalam masa berbiak burung Bubulcus ibis sebagai habitat, tempat berlindung, tempat membesarkan anakan dan berbiak burung tersebut. Pada saat ini sebagian lahan basah di Desa Tanjung Rejo digunakan sebagai tempat pemancingan massal setiap hari libur dan hari besar. Keadaan ini secara langsung 91
akan mengganggu aktivitas perilaku harian burung-burung di Desa Tanjung Rejo, salah satunya perilaku pembentukan pasangan saat berbiak. Status konservasi burung Bubulcus ibis adalah Least concern dan habitat burung Bubulcus ibis di Desa Tanjung Rejo telah terganggu karena lahan yang berkurang akibat dijadikannya tempat pemancingan umum. Untuk mengetahui perilaku pembentukan pasangan di kawasan tambak Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara maka dilakukan penelitian bagaimana perilaku pembentukan pasangan burung Bubulcus ibis saat musim berbiak tiba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku pembentukan pasangan di kawasan hutan mangrove Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2015 di Kawasan Hutan Mangrove Desa Tanjung Rejo Sumatera Utara. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera semi SLR, handycam, tallysheet, jam tangan, papan ujian dan alat tulis. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode Focal Animal Sampling. Penentuan burung Bubulcus ibis dilakukan secara acak pada lokasi penelitian dengan mengambil 5 sampel pasangan burung Bubulcus ibis yang sedang berbiak. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perilaku pembentukan pasangan burung kuntul terdiri dari perilaku mengundang pasangan. 1. Perilaku Mengundang Pasangan Perilaku mengundang pasangan oleh burung Bubulcus ibis jantan terjadi di rantingranting pohon Rhizopora apiculata ataupun ranting-ranting semak di kawasan mangrove seperti pada Gambar 1.
Gambar 1.
Burung Bubulcus ibis yang sedang melakukan pengundangan pasangan di Kawasan Hutan Mangrove Desa Tanjung Rejo.
Proses mengundang pasangan diawali dengan pembuatan sarang setengah jadi yang dibuat oleh Bubulcus ibis jantan. Selanjutnya jantan akan mencari pasangan untuk kawin dan meneruskan generasinya. Proses mengundang pasangan oleh Bubulcus ibis jantan terjadi selama 5-10 menit. Proses mengundang pasangan diawali dengan beberapa gerakan tertentu agar menarik perhatian betina diantaranya yaitu berdiri tegak di dahan pohon dengan posisi tubuh tegak menghadap betina kemudian mengeluarkan suara-suara indah seperti (koak-koak-koak) dengan nada pendek dan terputus-putus kemudian disusul dengan mengepakkan bulu sayap 92
sebanyak 6 kali. Setelah itu Bubulcus ibis melakukan goyangan kepala dengan cara menggoyang-goyangkan kepala ke kanan dan ke kiri secara teratur sebanyak 10 kali. Setelah itu Bubulcus ibis jantan memekarkan bulu indahnya seperti burung merak dengan menaikkan bulu-bulunya yang diawali dengan bulu kepala kemudian disusul dengan bulu punggung dan ekor. Perilaku memekarkan bulu ini dilakukan dengan tujuan agar Bubulcus ibis betina tertarik saat melihat Bubulcus ibis jantan. Bulu jantan yang sedang berbiak saat dimekarkan tampak sangat indah dibandingkan bulu betina. Gerakan selanjutnya adalah jantan merendahkan tubuh dengan setengah duduk kira-kira setengah dari tinggi tubuhnya dengan tujuan menghormati dan menghargai Bubulcus ibis betina. Hasil analisis deskriptif terhadap perilaku mengundang pasangan terdiri dari 1) Mengeluarkan suara-suara indah 2) goyangan kepala yang dilakukan dengan cara menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan ke kanan, 3) Menegakkan tubuh, 4) Mengepakkan bulu sayap 5) Memekarkan bulu-bulu indah, 6) Merendahkan tubuh. Dari pengamatan yang dilakukan perilaku yang paling dominan burung Bubulcus ibis adalah Berdiri sambil mengeluarkan suara indah sekitar 25% atau 600 menit dalam sehari. Perilaku yang paling rendah aktivitasnya yaitu Mengayunkan tubuh untuk kembali ke posisi semula sekitar 10%. Mengeluarkan suara sering dilakukan Bubulcus ibis karena untuk menarik perhatian burung betina. Persentase perilaku mengundang pasangan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Persentase Perilaku Mengundang Pasangan Keterangan: A: Berdiri tegak sambil mengeluarkan suara indah B:Menegakkan dan membentuk kipas dengan plumae scapulanya C: Mengayunkan tubuh D: Membuka salah satu sayapnya E: Menelisik atau menarik-narik bulu primer F: Leher dan kepala ditegakkan G: Merendahkan tubuh dengan menekuk kaki H:Mengayunkan tubuh untuk kembali ke posisi semula
Secara umum perilaku pengundangan pasangan semua jenis Kuntul hampersama salah satunya perilaku pengundangan pasangan pada Bubulcus ibis. Menurut Rukmi (2002), burung-burung jantan yang siap untuk berbiak akan menentukan teritori terlebih dahulu, yang kemudian digunakan sebagai tempat atraksi (display). Jantan berdiri tegak, menegakkan dan membentuk kipas dengan plumae scapularnya, kemudian mengayun-ayunkan tubuh. Dilanjutkan dengan membuka salah satu sayap, menyentuh, menelisik atau menarik-narik bulu sayap primer. Setelah itu biasanya diikuti dengan stretch display (leher dan kepala ditegakkan) dengan gerakan menusuk vertikal, merendahkan tubuh dengan menekuk kaki 93
tetapi leher dan kepala tetap vertikal, tubuh sedikit diayun untuk kemudian kembali ke posisi semula. Adapun Bubulcus betina yang menolak dijadikan pasangan oleh Bubulcus jantan karena Bubulcus betina tidak tertarik dengan ritual pengundangan pasangan yang dibuat oleh Bubulcus jantan. Bubulcus betina yang menolak Bubulcus jantan akan pergi meninggalkan jantan saat ritual pengundangan pasangan berlangsung setengah ritual. Menurut Korlandt (1995) dalam Jumilawaty (2006), courtship (percumbuan) dan pembentukan pasangan dimulai dengan mempertunjukkan gerakan–gerakan mengundang pasangannya oleh jantan berupa gerakan sayap yang teratur (wing-waving). Selanjutnya betina akan memilih untuk menerima atau menolak jantan berdasarkan tarian yang dipertunjukannya, karena setiap gerakan yang ditunjukkan oleh jantan memiliki arti khusus yang dimengerti dan dikenal oleh betina. Bubulcus jantan yang sudah menemukan pasangan akan membawa pasangannya ke sarang setengah jadi yang dibuat oleh dirinya sebelum mengundang pasangan untuk meneruskan pembuatan sarang sampai jadi. Proses pembangunan sarang dilakukan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Sepasang Bubulcus ibis yang sedang meneruskan membangun sarang setengah jadi di Kawasan Hutan Mangrove Desa Tanjung Rejo. Menurut Hoyo et al., 1992 dalam Jumilawaty (2004), jantan akan mencari tempat yang sesuai untuk membangun sarang yang akan digunakan selama musim berbiak dan akan melakukan display untuk mengundang pasangannya. Menurut Rukmi (2002), pasangan yang terbentuk membutuhkan sarang untuk meletakkan telurnya. Kedua individu (pasangan) sama-sama berada di tempat sarang akan dibangun. Diasumsikan bahwa jantanlah yang mencari bahan sarang dan mengoperkannya pada betina dari paruh ke paruh. Setelah itu jantan akan pergi lagi, terkadang setelah berdiri beberapa saat. Bahan sarang biasa berupa ranting yang segar (baru dipatahkan) maupun ranting dari sarang lain yang ditinggalkan. Dalam satu hari jantan biasa pulang-pergi beberapa kali. Terkadang betina juga mencari bahan sarang sendiri yang terletak tidak jauh dari sarang. KESIMPULAN Perilaku mengundang pasangan burung Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis) terdiri dari; 1. Mengeluarkan suara-suara indah, Goyangan kepala yang dilakukan dengan cara menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan ke kanan,Menegakkan tubuh,Mengepakkan bulu sayap,Memekarkan bulu-bulu indah,Merendahkan tubuh. 2. Perilakuyang paling dominan burung Bubulcus ibis adalah berdiri sambil mengeluarkan suara indah sekitar 25% atau 600 menit dalam sehari. Perilaku yang paling rendah aktivitasnya yaitu Mengayunkan tubuh untuk kembali ke posisi semula sekitar 10%. 94
UCAPAN TERIMA KASIH Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) dalam memberi dana Penelitian Hibah Fundamental 2015. DAFTAR PUSTAKA Ayat, A. 2011. Burung-burung Agroforest di Sumatera. In: Mardiastuti A, eds. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 112 p. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Daerah Deli Serdang. Jumilawaty, E. 2004. Karakteristik Perkembangan Dan Kurva Pertumbuhan Anakan Pecuk Hitam (Phalacrocoras sulcirostris) dan Pecuk Kecil (Phalacrocoras niger) Di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Teluk Jakarta. Jurnal Komunikasi Penelitian 16 (5). Jumilawaty, E. 2006. Perilaku Harian Pecuk Hitam (Phalacrocoras sulcirostris) Saat Musim Berbiak Di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Jakarta. Jurnal Biologi Sumatera. 1 (1). FMIPA USU Medan. Mardiastuti, A. 1999. Habitat and Nest-Site Characteristic of Waterbirds in Pulau Rambut Nature Reserve, Jakarta Bay, Indonesia. [Disertasi]. Michigan State University: Amerika Serikat. Rukmi, D. S. 2002. Perilaku dan kompetisi Interspesifik Kuntul Besar (Egretta alba Linnaeus 1766) dan Cangak Merah (Ardea purpurea Linnaeus 1766) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Jakarta. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
95
HUBUNGAN ANTARA KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIAWI AIR SUNGAI EMPAYANG KASAP-SUKAJADI-KABUPATEN LAHAT RELATIONSHIP BETWEEN DIVERSITY MACROZOOBENTHOS WITH PARAMETERS EMPAYANG KASAP RIVER WATER CHEMICAL PHYSICS SUKAJADI LAHAT Saleh Hidayat, Susi Dewiyeti, Desven Hecca Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Palembang Telp. (0711-513) (+0620711513022) e-mail:
[email protected];
[email protected];
[email protected]
Abstract Empayang Kasap river has an important role in the life of local communities. People used the river for the needs of everyday life, but accidentally or not, they who did various activities of the river utilization could have an impact for water quality degradation. The river that had a constituent component, namely biotic and abiotic that formed a river ecosystem. If there were a decrease of water quality, then the ecosystem would be disturbed, one of biotic component was macrozoobenthos. Macrozoobenthos was organism that existence was depend on evironmental factors. The research was aimed: Knowing the relationship between the diversity of macrozoobenthos with physical and chemical parameter of water in the river Empayang Kasap Sukajadi Lahat. Research method: research design was done by using Experiment design with descriptive method (Quantitative and Qualitative) through taking sample technique was survey and observation. The conclusion of this research: (1) Based on the research result was found three classes namely: Gastropods, Crustaceans, Insecta with 15 species and 455 individuals; (2) Diversity in the river had a diversity index was on medium average, with the relationship between diversity macrozoobenthos toward the parameters physical and chemical of the river had strong correlation to the width of the river and BOD, then the relationship beetween diversity macrozoobenthos with brightness, temperature, and substrate (C-organic) had a strong correlation, then the relationship of diversity with speed, depth, pH, DO and COD had enough correlation. Very weak correlation was on the relationship between diversity macrozoobenthos with ammonia and phosphate; (3) Diversity, uniformity, dominance and distribution of macrozoobenthos in the Empayang Kasap Sukajadi river influenced by physical and chemical parameters of the river. Keywords: Diversity, Macrozoobenthos, Empayang Kasap river
PENDAHULUAN Sungai Empayang Kasap merupakan salah satu anak Sungai Kikim. Sungai ini terletak di Desa Sukajadi Kecamatan Pseksu Kabupaten Lahat. Sungai Empayang Kasap memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat setempat: seperti keperluan rumah tangga, pertanian, perkebunan, perikanan, dan industri. Masyarakat yang secara terus menerus melakukan kegiatan tersebut tanpa melihat dampak yang terjadi pada lingkungan perairan. Apabila sungai telah mengalami penurunan kualitas air maka ekosistem suatu sungai dapat terganggu (Maruru, 2012).
96
Sungai yang memiliki komponen biotik dan abiotik sehingga membentuk suatu ekosistem, dapat terganggu bila salah satu di antara komponen tidak stabil. Salah satu komponen biotik sungai yaitu makrozoobentos yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan kimia sungai. Makrozoobentos adalah hewan yang bisa hidup di dasar perairan dan menempel pada dasar substrat sungai yang berupa batu, pasir, dan lumpur. Lingkungan tempat tinggal mereka menentukan jumlah, keberadaan, kehadiran dan keanekaragaman makrozoobentos yang sesuai dengan kondisi suatu perairan sungai (Lubis, 2013). Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, peneliti bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keanekaragaman makrozoobentos dengan parameter fisika kimiawi air Sungai Empayang Kasap Sukajadi Kabupaten Lahat. Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi mengenai hubungan keanekaragaman makrozoobentos dengan kondisi lingkungan serta melihat gambaran keadaan kondisi Sungai Empayang Kasap Sukajadi. BAHAN DAN METODE Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif melalui survei dan observasi. Penentuan lokasi sampling menggunakan metode purposive random sampling pada 5 stasiun dengan 3 substasiun pengambilan sampel. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober—November 2015, di Sungai Empayang Kasap Sukajadi, Lahat. Identifikasi makrozoobentos dilakukan di laboratorium FKIP Biologi Universitas Muhammadiyah Palembang dan analisis kimia air dilakukan di laboratorium Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sumatera Selatan. Alat yang digunakan: termometer, keping Secchi, galah panjang, botol plastik, benang nilon, bola pimpong, kertas label, tali rapia, baki, icebox, stopwatch, tisu, ember, gayung, sekop, tanggok, jaring, pinset, jarum pentol, kertas karton putih, sarung tangan, kantong plastik, selotif, gunting, kamera, dan alat tulis. Bahan yang digunakan: formalin, alkohol 70%, akuades. Sampel makrozoobentos diambil dengan menggunakan alat buatan peneliti yang dimodifikasi sendiri, serta menggunakan sekop dan saringan. Pengambilan sampel dengan alat modifikasi dibantu dengan sekop, kemudian disaring, lalu dipindahkan ke kantong sampel berlabel, kemudian beri pengawet formalin berkonsentrasi 4%. Sampel dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Indeks Keanekaragaman Odum (1971), menyatakan untuk melihat keanekaragaman jenis dapat ditentukan dengan indeks Shannon-Wiener sebagai berikut:
Keterangan: H' adalah Indeks Diversitas Shannon-Wiener, S adalah jumlah spesies, pi= ni/N adalah proporsi individu spesies i dalam komunitas. Nilai indeks Shannon-Wiener mempunyai kisaran nilai tertentu yaitu: a) H' < 1 : Keanekaragaman rendah, b) 1 ≤ H' ≥ 3: Keanekaragaman sedang, c) H' > 3: Keanekaragaman tinggi. Indeks Keseragaman Indeks keseragaman (Evenness Index) yang digunakan berdasarkan fungsi ShannonWiener untuk mengetahui sebaran tiap jenis makrozoobentos dalam luasan area pengamatan (Krebs, 1985 dalam Fitriana, 2005).
97
Keterangan: E adalah indeks keseragaman, Hmax adalah keanekaragaman maksimum, Hmax adalah ln S, S adalah jumlah spesies. Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0—1. Nilai Indeks keseragamannya rendah, karena ada jenis yang mendominansi. Bila nilai mendekati 1, maka keseragamannya tinggi dan menggambarkan tidak adanya jenis yang mendominansi sehingga pembagian jumlah individu pada masing-masing jenis sangat seragaman atau merata. Indeks Dominansi Menurut Odum (1971), dominansi pada setiap stasiun yang berbeda. Nilai Dominansi pada setiap stasiun dapat ditentukan dengan indeks dominansi Simpson sebagai berikut:
Keterangan: C adalah Indeks Dominansi Simpson, ni adalah Jumlah individu setiap spesies, N adalah Jumlah total individu. Kriteria dominansi sebagai berikut: 1) Jika nilai C mendekati 0 (< 0,5), maka tidak ada spesies yang mendominasi. 2) Jika nilai C mendekati 1 (≥ 0,5), maka ada spesies yag mendominasi. Indeks Pola Penyebaran Pola distribusi dihitung dengan menggunakan rumus indeks Morista:
Keterangan: Id adalah Indeks Morista, ni adalah jumlah Individu tiap plot, n adalah jumlah individu, N adalah banyak plot. Kriteria ketentuan sebagai berikut Id = 1 pola distribusi adalah acak, Id > pola distribusi adalah mengelompok, dan Id < pola distribusi adalah teratur (Poole, 1983 dalam Riyanto, 2004). HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 15 spesies makrozoobentos yang tergolong ke dalam 3 kelas dengan jumlah total individu 455 individu dapat dilihat pada Gambar 1. Pada stasiun II memiliki jumlah spesies yang paling tinggi dibandingkan dengan keempat stasiun lainnya. Hasil penelitian yang sudah dilakukan perhitungan data keanekaragaman, keseragaman, dominansi, dan pola penyebaran makrozoobentos dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil penelitian di Sungai Empayang Kasap Kabupaten Lahat teridentifikasi 15 spesies makrozoobentos yang tersebar pada lima stasiun penelitian, ke 15 spesies tersebut terdiri dari 8 spesies dari kelas Gastropoda, 2 spesies dari Crustaceae, dan 5 spesies dari kelas Insekta. Jumlah spesies yang paling banyak ditemukan dalam lokasi penelitian berada pada daerah pemukiman masyarakat (stasiun II) dimana terdapat 130 individu dari 13 spesies makroozoobentos dimana yang paling dominan adalah spesies Gerris remigis dengan jumlah 26 individu dan spesies yang paling sedikit yaitu spesies Macrobrachium resenbergii dan spesies Parathelpusa convexa sebanyak 2 individu. Selanjutnya jumlah spesies sedikit ditemukan pada lokasi terakhir pengambilan sampel daerah aktivitas pengerukan pasir dan pembuangan limbah kopi (stasiun V) memiliki 8 spesies dengan jumlah 62, spesies dominan
98
spesies Gerris remigis sebanyak 21 individu dan spesies paling sedikit ditemukan Pantala flavescens dan Pomecea canaliculata dengan masing-masing 3 individu.
Gambar 1: Jumlah Total Individu Makrozobentos Setiap Stasiun Penelitian Tabel 1: Distribusi Spesies, Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, Dominansi dan Pola Penyebaran Makrozoobentos di Sungai Empayang Kasap Sukajadi Kabupaten Lahat No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Taksa Kelas Gastropoda Melanoides granifera Elimia acuta Brotia Tetudinaria Lymnaea stagnalist Lymnaea rubiginosa Pomecea canaliculata Pila polita Menetus sp. Kelas Crustaceae Macrobrachium resenbergii Parathelpusa convexa Kelas Insecta Gerris remigis Rhyacophila dorsalis Simlium damnosum Chironomus plumosus Pantala flavescens
Jumlah Indivdu pada Stasiun III IV V
I
II
14 14 4 12 1 0 0 1
20 21 1 19 15 5 0 0
9 4 11 12 4 10 0 2
13 9 4 26 11 0 1 2
8 4 8 10 5 3 0 0
64 52 28 79 40 18 1 5
0 0
2 2
0 0
0 0
0 0
2 2
16 4 5 3 4 82 11 2,90 1,21 0,13 1,30
26 4 2 3 10 130 13 3,14 1,22 0,13 1,26
5 0 1 0 2 60 10 2,99 1,30 0,14 1,40
48 1 0 2 4 121 11 2,52 1,05 0,23 2,21
21 0 0 0 3 62 8 2,68 1,29 0,19 1,79
116 9 8 8 23 455 15 14,23 1,16 0,14 1,10
∑ ∑ Spesies H' (Indeks Keanekaragaman) E (Keseragaman) C (Dominansi) Id (Pola Penyebaran) Keterangan: Stasiun I : Hulu Desa Sukajadi Stasiun II : Sungai Lubuk Tama Pusat Pemukiman Warga Stasiun III : Sungai Lubuk Panjang Hilir Desa Sukajadi Stasiun IV : Sungai Lubuk Mekam Desa Talang Tinggi Stasiun V : Jembatan Penyeberangan Desa Talang Tinggi dan Desa Batu Niding
∑
99
Berdasarkan Tabel 1 hasil penelitian yang telah dianalisis, diperoleh nilai indeks keanekaragaman kelima stasiun antara (2,52—3,14) tergolong sedang dan tinggi dengan stasiun II yang memiliki indeks keanekaragaman tertinggi. Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan penyebaran jumlah individu tiap jenis yang tinggi dan kestabilan juga tinggi. Berdasarkan Tabel 2 hasil pengukuran faktor fisik-kimia Sungai Empayang Kasap pada kelima stasiun tidak begitu berbeda. Pada kelima stasiun pengamatan, stasiun II yang memiliki nilai indeks tertinggi (3,14) hal ini dikarenakan stasiun II memiliki kondisi atau habitat hidup makrozoobentos yang lebih baik diantara stasiun lain. Sedangkan stasiun IV yang memiliki nilai indeks keanekaragaman terendah (2,52). Rendahnya keanekaragaman disebabkan oleh zona perairan yang menampung bahan pencemaran dari aktivitas sekitar aliran sungai. Pada Tabel 1 hasil penelitian indeks keseragaman (E) kelima stasiun memiliki indeks keseragaman tinggi atau merata, sehingga tidak adanya spesies yang mendominasi. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun III (1,30) dan terendah ada stasiun IV (1,05). Pada stasiun III indeks keseragamannya lebih tinggi dibandingkan stasiun I, II dan V namun juga tetap terdapat jumlah masing-masing jenis yang sangat seragam atau merata, sehingga tidak ada spesies yang mendominasi. Sedangkan pada stasiun IV jumlah masing-masing jenis sangat seragam tetapi lebih rendah dibandingkan stasiun lain. Sedangkan nilai indeks dominansi (C) dari kelima stasiun tidak mendekati 0 (0 < 5), maka tidak ada spesies yang mendominasi dari seluruh stasiun atau bisa dikatakan nilai indeks dominansi rendah. Indeks dominansi tertinggi terdapat pada stasiun IV dan terendah pada stasiun I dan II. Stasiun IV memiliki indeks dominansi (0,23) tidak mendekati nilai 0 (< 0,5), maka tidak ada spesies yang mendominasi namun nilainya lebih tinggi dari stasiun lain. Sedangkan stasiun I dan II juga memiliki indeks dominansi sama (0,13), maka tidak ada juga spesies yang mendominasi tetapi nilainya paling rendah dibandingkan stasiun lain. Sedangkan nilai indeks pola penyebaran di lokasi penelitian memiliki nilai Id > 1, pola penyebaran di Sungai Empayang Kasap Sukajadi termasuk mengelompok. Hal ini menandakan adanya penyebaran sumberdaya untuk mendukung kehidupan makrozoobentos yang mengelompok pada lokasilokasi pengamatan. Hasil penelitian kondisi lingkungan pada Sungai Empayang Kasap dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil penelitian pada Tabel 2 di kelima stasiun tempat dilakukannya penelitian terlihat bahwa yang banyak berpengaruh adalah kedalaman, kecerahan, panjang dan lebar sungai, kecepatan arus, DO dan Fosfat. Sedangkan faktor yang kurang berpengaruh suhu, BOD, COD, dan amonia. Hal ini karena berdasarkan pengukuran pada setiap stasiun memiliki nilai yang relatif sama dan masih dalam ambang batas untuk kehidupan mahkluk hidup. Secara umum setiap stasiun penelitian tidak memiliki kisaran suhu yang berbeda, kisaran suhu yang terdapat pada semua stasiun penelitian merupakan kisaran yang mampu untuk mendukung kehidupan makrozoobentos. Darojah (2005), mengatakan bahwa keadaan suhu yang mempu untuk ditolerir oleh makrozoobentos dalam hidup dan kehidupannya berkisar antara 25–310C, nilai kisaran ini mampu mendukung hidup yang layak dalam ekosistem dimana mereka hidup. Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman dan kecerahan stasiun penelitian di dalam Tabel 2 diperoleh kisaran kedalaman stasiun I (32,34 cm), II (33,56 cm), III (21,22 cm), IV (37 cm) dan V (31,78 cm), sedangkan untuk kisaran kecerahan stasiun I (23,11 cm), II (26,89 cm), III (17,89 cm), IV (33,56 cm) dan V (27,78 cm). Secara kisaran kedalaman dan kecerahan tidak terlalu tinggi pada stasiun penelitian, habitat yang ditempati oleh makrozoobentos sangat dipengaruhi oleh kedalaman dan kecerahan suatu perairan. Menurut Syamsulrizal (2011), kecerahan dipengaruhi oleh partikel tersuspensi di dalamnya, semakin kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan semakin tinggi. Penetrasi cahaya suatu perairan akan semakin rendah apabila kedalamannya meningkat, sehingga cahaya yang 100
dibutuhkan untuk fotosintesis oleh tumbuhan berkurang. Oleh sebab itu interaksi antara faktor kekeruhan dengan kedalaman akan mempengaruhi cahaya yang masuk ke perairan, sehingga berpengaruh langsung pada kecerahan yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan fauna makrozoobentos yang hidup didalamnya. Tabel 2: Kondisi Lingkungan di Lima Stasiun Penelitian di Sungai Empayang Kasap Sukajadi Kabupaten Lahat Pengambilan pada Stasiun keFaktor Lingkungan
I
II
III
IV
V
Fisika Kecepatan Arus (m/s) 0,33 0,29 0,37 0,27 0,39 Kedalaman (cm) 32,34 33,56 21,22 37 31,78 Kecerahan (cm) 23,11 26,89 17,89 36,67 27,77 Suhu (0C) 25,9 26,44 26,22 26,77 26,67 Panjang Sungai (m) 200 400 500 400 300 Lebar Sungai (m) 7,90 7,20 6,90 11,2 7,8 Kimia pH (unit) 6,30 6,85 6,43 6,48 6,56 DO (mg/L) 6,04 6,10 6,27 6,27 6,25 BOD (mg/L) 1,54 1,53 1,57 1,87 1,52 COD (mg/L) 7,73 7,82 6,33 7,65 8,66 Amonia (mg/L) 0,007 0,004 0,012 0,007 0,133 Fosfat (mg/L) 1,1 0,6 0,37 0,47 0,27 Keterangan: Stasiun I : Hulu Desa Sukajadi Stasiun II : Sungai Lubuk Tama Pusat Pemukiman Warga Stasiun III : Sungai Lubuk Panjang Hilir Desa Sukajadi Stasiun IV : Sungai Lubuk Mekam Desa Talang Tinggi Stasiun V : Jembatan Penyeberangan Desa Talang Tinggi dan Desa Batu Niding
Kreteria Mutu Air Berdasarkan Kelas II (Pergub No. 16 Tahun 2005) 6-9 6 2 10 0,5 0,2
Hasil pengukuran kecepatan arus pada Tabel 2 berada pada kisaran 0,27–0,39 m/s pada 5 lokasi penelitian. Pada kelima stasiun penelitian, kecepatan arus deras yaitu pada stasiun V (0,39 m/det) dan kecepatan arus lambat pada stasiun IV (0,27). Menurut Juju (2012), arus tergantung pada alur sungai, lokasi arus tercepat dapat berada di tengah atau pinggiran sungai. Pada arus sungai lurus, arus tercepat berada pada tengah sungai. Sedangkan menurut Apriyani (2010), arus merupakan faktor pembatas utama pada aliran deras, tetapi dasar yang keras terutama bila terdiri dari batu, dapat menyediakan perubahan yang cocok untuk organisme (flora dan fauna) menempel dan melekat serta membedakan antara perairan tergenang dan perairan mengalir. Kecepatan arus sangat berpengaruh pada substrat dasar tempat habitat makrozoobentos, apabila substrat dalam bentuk pasir dapat menyebabkan makrozoobentos bergeser dan bergerak terbawa arus air ke tempat yang lain. Kisaran pH dari hasil pengukuran pada Tabel 2 yaitu 6,30 – 6,85 untuk semua lokasi penelitian. Darojah (2005), menyatakan bahwa dalam kondisi pH yang masih di bawah ambang batas tersebut masih merupakan rentang pH yang dapat ditoleransi oleh kelangsungan hidup makrozoobentos yaitu data rentang 4,5–8,5. Keadaan suatu perairan dengan pH yang di luar batas ambang toleransi dapat menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh makrozoobentos, sehingga dapat terjadi tekanan/stres pada makrozoobentos. Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 2 kisaran BOD 1,52–1,87 mg/l masih dalam batas kisaran toleransi (< 2) dalam kriteria baku mutu air kelas II Pergub no. 16 tahun 2005. Menurut Hidayat (2011), BOD adalah kebutuhan oksigen biokimia yang menunjukkan 101
jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi oksidasi oleh bakteri. Sehingga makin banyak bahan organik dalam air, makin besar BOD-nya sedangkan DO akan semakin rendah. Hasil pengukuran COD terdapat pada kisaran 6,33–8,66 mg/l. Keadaan perairan dengan kandungan COD harus di bawah nilai 10 sesuai dengan kriteria baku mutu air kelas II Pergub no. 16 tahun 2005. Kandungan COD kelima stasiun penelitian masih di bawah nilai 10, jadi kondisinya masih di bawah ambang batas. Menurut Juju (2012), besarnya nilai COD mengindikasikan banyaknya senyawa kimiawi yang ada di dalam perairan dan sebaliknya rendahnya nilai COD mengindikasikan rendahnya senyawa kimiawi yang ada di dalam perairan. Kondisi kisaran DO pada Tabel 2 yaitu 6,04–6,27 mg/l masih sesuai dengan nilai DO = 6 pada kriteria baku mutu air kelas II Pergub no. 16 tahun 2005. Oksigen diperlukan oleh semua makhluk yang hidup di air seperti ikan, udang, kerang, dan hewan lain yang termasuk mikroorganisme seperti bakteri. Hidayat (2011), menyatakan apabila suatu sungai menjadi tempat pembuangan limbah yang mengandung bahan organik, sebagian besar oksigen terlarut digunakan bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik menjadi karbondioksida dan air, sehingga kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan cepat dan akibatnya hewan-hewan seperti ikan, udang dan kerang akan mati. Berdasarkan penelitian hasil pengukuran amonia didapatkan kisaran 0,004–0,133 mg/l, kandungan amonia yang ada diperairan masih di bawah batas ambang kisaran normal. Nilai kandungan amonia tertinggi terdapat pada stasiun V (0,133 mg/l) dan terendah pada stasiun II (0,004). Amoniak dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja, maupun oksidasi senyawa organik oleh mikroba. Penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan pada areal persawahan turut berkontribusi pada peningkatan kadar amoniak di aliran sungai. Sesuai dengan kriteria baku mutu air kelas II Pergub no. 16 tahun 2005 kandungan amonia di perairan tidak boleh melebihi 0,5 mg/l. Menurut Aldya (2013), konsentrasi amoniak yang tinggi pada permukaan air sungai dapat menyebabkan kematian pada biota kecil misal ikan. Pada pH tinggi, amoniak dengan konsentrasi kecil sudah bersifat racun karena sifat toksisitas tersebut, kandungan amoniak pada air minum harus nol dan pada air sungai di bawah 0,5 mg/L. Tabel 3: Korelasi Keanekaragaman Makrozoobentos dengan Faktor Fisik dan Kimia di Perairan Sungai Empayang Kasap Variabel X Variabel Y Nilai R No Keterangan (Dependent) (Independent) R Square 1 Kecepatan arus 0,457 0,208 Korelasi Cukup 2 Kedalaman sungai 0,366 0,134 Korelasi Cukup 3 Kecerahan air 0,726 0,527 Korelasi Kuat 4 Suhu 0,518 0,629 Korelasi Kuat 5 Lebar sungai 0,826 0,682 Korelasi Sangat Kuat 6 Keanekaragaman Substrat C-Organik 0,613 0,376 Korelasi Kuat 7 pH 0,388 0,150 Korelasi Cukup 8 DO 0,424 0,179 Korelasi Cukup 9 BOD 0,937 0,878 Korelasi Sangat Kuat 10 COD 0,493 0,243 Korelasi Cukup 11 Amonia 0,093 0,009 Korelasi Sangat Lemah 12 Fosfat 0,119 0,014 Korelasi Sangat Lemah Selanjutnya hasil penelitian kandungan fosfat pada Tabel 2 didapatkan dengan kisaran 0,27–1,1 mg/l, kandungan fosfat yang ada di lokasi penelitian tidak cukup baik untuk didiami oleh makrobiota. Kandungan fosfat di perairan sudah melebihi kisaran batas ambang (0,2) 102
yang sesuai dalam kriteria baku mutu air kelas II Pergub no. 16 tahun 2005. Hal ini sejalan dengan pendapat Hardiansyah (2014), yang menyatakan bahwa setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air. Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organik. Keberadaan senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem perairan. Selanjutnya setelah diadakan uji regresi, maka diketahui ada hubungan antara keanekaragaman makrozoobentos terhadap kondisi fisik dan kimia Sungai Empayang Kasap. Korelasi yang terjadi berkisar antara sangat lemah sampai sangat kuat. Korelasi antara keanekaragaman dan kondisi fisik-kimia sungai dapat dilihat pada Tabel 3. KESIMPULAN 1. Hasil penelitian makrozoobentos pada Sungai Empayang Kasap Sukajadi Kabupaten Lahat ditemukan 3 kelas yaitu: Gastropoda, Crustaceae, Insecta, dengan 15 spesies dan 455 individu. Nilai indeks keanekaragaman (H‘) sedang dan tinggi dengan kisaran 2,52— 3,14, terendah terdapat di stasiun IV dan tertinggi di stasiun II. Sedangkan nilai indeks keseragaman (E) tinggi, terendah pada stasiun IV dan tertinggi pada stasiun III. Nilai indeks keseragaman semuanya (E > 1) sehingga tidak adanya spesies yang mendominasi sehingga jumlah masing-masing jenis sangat seragamam. Nilai dominansi (C) menunjukkan tidak adanya jenis yang mendominansi. Sedangkan nilai indeks pola penyebaran (Id > 1), hal ini menunjukkan pola penyebaran makrozoobentos secara mengelompok. 2. Secara umum kondisi fisik-kimia Sungai Empayang Kasap masih dapat mendukung untuk pertumbuhan makrozoobentos. Sehingga keberadaan makrozoobentos sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar sungai. Hasil uji regresi antara keanekaragaman dan kondisi fisik-kimia sungai yang dilakukan menunjukkan bahwa kedua komponen tersebut saling berhubungan. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini kami mengucapka terima kasih kepada: 1. Kepala Desa Sukajadi Kecamatan Pseksu Kabupaten Lahat 2. Kepala Laboratorium Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Selatan 3. Kepala Laboratorium Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palembang. DAFTAR PUSTAKA Aldya, Sari. 2013. Pengaruh Debit Alir dan Konsentrasi Amoniak Terhadap Reduksi Limbah Amoniak Pada Aliran Sungai, Skripsi. (Online), (http//Litbag. Patikab.go.id///index/2013/11/24/Pengaruh Debit Alir dan Konsentrasi Amoniak Terhadap Reduksi Limbah Amoniak Pada Aliran Sungai.html, diakses 13 Juni 2015). Apriyani, Raini Dwi Putri. 2010. Pola Longitudinal Ekosistem Sungai. (Online), (http//Rainadpa.blogspot.com./2010/01/20/PolaLongitudinalEkosistemSungai.html, diakses 13 Juni 2015). Darojah, Yuyun. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Ekosistem Perairan Rawapening Kabupaten Semarang. Skripsi Jurusan Biologi MIPA. Universitas Negeri Semarang. (Online), (http///lib.Unnes.ac.id/pdf, diakses tanggal 14 April 2015). Fitriana, Rahma Yulia. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Reabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. ISSN: 1412-033X.
103
Biodiversitas Vol. 7, No 1. (Online), (http//biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D0701/D070117.pdf, diakses 14 April 2015). Hardiansyah, Seto. 2014. Analisis Kandungan Nitrat dan Fosfat Perairan Akibat dari Aktivitas Pertanian Dikawasan Pertanian Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. (Online),(http//Setohardiansyah.blogspot.com/20/ 2014/01/20//Analisis-Kandungan-Nitrat-dan-Fosfat-Perairan-Akibat-dari-Aktivi tas-Pertanian-Dikawasan-Pertanian-Kecamatan-Sungai-Kakap-Kabupaten-Kubu Kalimantan-Barat.html, diakses 13 Juni 2015).
-Raya-
Hidayat, Saleh. 2011. Buku Ajar Limnologi. Palembang: Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Palembang. Juju, Bandung. 2012. Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Air. (Online), (http:///blogspot.com//2012/06/04/Makrozoobentos-sebagai-bioindikator-kualitas-airjujubandung.html, diakses 14 April 2015). Lubis, Melinda, Sari dkk. 2013. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Sungai Naborsahan Kabupaten Toba Samosir Sumatra Utara. Universitas Sumatra Utara. (Online), (http://reseptory.usu.ac.id/bitstrem/123456789/3894/7/ Keanekaragaman-dan-kelimpahan-makrozoobentos-di-sungai-naborsahan-kabupatentoba-samosir-sumatra-utara/Cover.pdf, diakses 14 April 2015) Maruru, Mardiani M, Stevi. 2012. Studi Air Sungai Bone dengan Metode Biomontoring. Penelitian Deskriptif. Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan. Universitas Negeri Gorontalo. (Online), (http://download.portugal.org/articel.phparticel=55951&val=6926&title=////Studikualitas-air-sungai-bone-dengan-metodebiomontoring-suatu-penelitian-deskriftif-yangdilakukan-di-sungai-bone-29, diakses 14 April 2015). Odum, Eugene P. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelphia: W. B. Sauders Company. Riyanto. 2004. Pola Distribusi Keong Mas (Pomaceae canaliculata L.) di Kecamatan Belitang Oku. ISSN 0126-4680. Majalah Sriwijaya, Volome 37, Nomer 1, April 2004. (Online), (http//eprints.unsri.ac.id//pola-distribusi-keongmas-dikecamatan-belitangoku.pdf, diakses 30 November 2015). Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobentos di Hutan Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Baru. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Universitas Hasanudin Makasar. (Online), (http;//reseptory,unhas.ac.id/bitstream/handle/pdf, diakses 29 Agustus 2015).
104
Kehati
105
106
STUDI ETNOBOTANI TUMBUHAN OBAT PADA MASYARAKAT SUKU NIAS KECAMATAN GUNUNGSITOLI ALO’OA KOTA GUNUNGSITOLI 1
Asaaro Telaumbanua1), Alief Aththorick2), Nursahara Pasaribu3) Mahasiswa Pascasarjana Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara 1, 2 Dosen Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara Telepon : 081361329201 E-mail :
[email protected]
Abstract A study on the utilization of medicinal plants to community of Nias, Gunungsitoli Alo‟oa subdistrict, Gunungsitoli city have been done. The purpose of this study was to determine the types of medicinal plants used by tribal people of Nias of subdistrict Gunungsitoli Alo'oa, Gunungsitoli city. The data were collected by semi-structured interviews, and depth interviews on different ages. The research result showed that there were 30 families of 51 species. The most widely used familyis Asteraceae consisting of 5 species, Acanthaceae and Myrtaceae 4 species, while Convolvulaceae, and Lauraceae 3 species each. The plant organs most widely used in the treatment are the leaves as many as 38 species, all parts of the plant 4 species, the rhizome and fruit the 2 species while the other 1 species each. Keywords: Ethnobotany, medicinal plants, subdistrict of Gunungsitoli Alo'oa. Pendahuluan Flora Indonesia diperkirakan berjumlah 100 sampai dengan 150 famili tumbuhtumbuhan, dari jumlah tersebut sebagian dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan juga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Para peneliti etnobotani di berbagai suku di Indonesia telah banyak menemukan berbagai jenis tumbuhan berkhasiat untuk obat serta aman untuk kesehatan. Ancaman berbagai jenis penyakit manusia yang timbul dewasa ini akibat pola hidup dan pola makan yang tidak sesuai, sehingga mendorong berbagai kalangan termasuk para ilmuan dibidang etnofarmakologis untuk memproduksi berbagai jenis obat yang berasal dari tumbuhan. Kondisi ini turut dipengaruhi hasrat masyarakat yang semakin tinggi untuk memanfaatkan tumbuhan sebagai sumber pengobatan. Berbagai informasi tumbuhan obat yang diperoleh membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kembali ke alam (back to nature) dengan memanfaatkan obat-obat alami (Djauhariya dan Hernani, 2004). Letak geografis pulau Nias yang terpisah dari dataran pulau Sumatera dipastikan memiliki kekayaan sumber daya genetik tumbuhan mulai dari rerumputan, herba, perdu, dan pepohonan untuk dimanfaatkan sebagai obat-obatan namum belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Hasil penelitian di beberapa daerah di Indonesia seperti Kampung Nansfori Kabupaten Supiori-Papua, ditemukan sebanyak 48 jenis dari 32 famili (Sada & Tanjung, 2010), di Kabupaten Klungkung 54 jenis dari 31 famili (Hanun et al., 2006), di Kabupaten Sumenep Jawa Timur 119 jenis dari 48 famili (Zaman et al.,2013). Mengingat luasnya hutan dan tersebarnya suku-suku bangsa di Indonesia maka penelitian etnobotani dan etnofarmakologis hendaknya perlu pengidentifikasian dan pengkajian, (Agoes, 2002). Temuan jenis-jenis tumbuhan obat di berbagai suku di Indonesia baik melalui riset maupun dari pengalaman seseorang adalah merupakan aset bangsa yang bernilai tinggi sehingga perlu dikoleksi dan dilestarikan (Hariana, 2008). Tujuan penelitian 107
ini adalah untuk mengetahui jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat suku Nias Kecamatan Gunungsitoli Alo‘oa untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan November-Desember 2014 s/d Januari 2015. Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Gunungsitoli Alo‘oa, Kota Gunungsitoli, Propinsi Sumatera Utara. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur dan open ended menggunakan informan kunci dengan memakai alat perekam. Selanjutnya data dicatat pada lembaran wawancara, data jenis tumbuhan selanjutnya didokumentasikan dalam bentuk koleksi spesimen dan foto guna pengidentifikasian. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian diketahui 30 famili dari 51 spesies tumbuhan obat dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Gunungsitoli Alo‘oa untuk mengobati 25 jenis penyakit seperti tercantum pada tabel 1. Tabel 1. Jenis Tumbuhan Obat berdasarkan Manfaat dan Organ yang digunakan serta Cara Pemanfaatan. No 1 2
3 4
5
Spesies Apium graveolens Andrographis paniculata
Barleria rionitis Graptophylu m pictum
Justicia gendarussa
Nama Umum Siladri
Wungu
Gandra rusa
Nama Lokal
Organ yang digunakan
Siladiri
Daun
Kanine
Daun
Afore hili
Daun
Nazalõ‟u
Daun
Lio-lio
Daun
Cara Pemanfaa tan Obat hipertensi Diperas Manfaat
Obat malaria
Direbus
Obat ginjal
Direbus
Obat penawar racun Obat maag
Diperas
Obat bengkak
Dipepes dibara api Diperas
Obat demam
Diperas
Obat asam urat Diperas 6 7
8 9 10 11 12 13
108
Cocos nucifera Ageratum conyzoides Blumea balsamifera Elephantopus scaber Eupatorium odoratum Gynura segetum Angiopteris evecta Ananas comosus
Kelapa
Ohi
Buah
Babando tan
Sõfõ – Sõfõ
Akar, batang dan daun
Sembung
Gomboyu
Daun
Tapak liman
Ambala danõ Kono-kono
Akar, batang dan daun Daun
Obat ginjal
Direbus
Obat mencret
Diperas
Zini-zini
Daun
Obat bisul
Digiling
Gezero
Daun
Gõna
Buah
Pakupakuan Nenas
Obat hipertensi Bahan larutan Obat demam Diperas Obat sakit mata Diperas Obat malaria Diperas
Obat sakit perut Diperas Obat ginjal
Direbus
Dosis Di minum 1 kali sehari Di minum 1 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 1 kali sehari Di minum 3 kali sehari
Di minum 2 kali sehari Di minum 1 kali sehari
Di minum 2 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 2 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 2 kali sehari Di minum 1 kali sehari
14
15 16 17 18 19
20 21 22 23
Carica papaya
Pepaya
Laurentia Kitolod longiflora Aniseia biflora Ipomoea Ubi jalar batatas Ipomea triloba Excoecaria Sambang cochinchinens darah is Manihot Singkong esculenta Flacourtia rukam Saccharum Tebu officinarum hitam Cinnamomum burmannii
Bala
Daun
Obat malaria
Diperas
Katara
Daun
Digiling Diperas
Daun
Obat bisul Obat katarak mata Obat bisul
Susu gi‟a Bulu gowi
Daun
Obat diare
Diperas
Giti-iti
Daun
Obat diare
Diperas
Bale-bale angi
Daun
Obat demam
Diperas
Gowirio
Daun
Obat mencret
Diperas
Manaze
Daun
Obat cacar air
Direbus
Tewu saitõ
Batang
Diperas
Languwato
Daun
Obat penawar racun Obat terkilir
24
Cinnamomum partenoxylon
Selasihan
Afo,a
Daun
Obat penawar racun Obat memperlancar kelahiran
25
Persea Americana Orthosiphon aristatus Leea indica
Alpukat
Foka
Daun
Obat ginjal
Kumis kucing
Sogambi mao Mali-mali
26 27
28
Allium sativum
29
Hibiscus rosa sinensis Urena lobata
30
31
32 33
Khaya sinegalensis
Lansium parasiticum Melastoma candidum
Akar, batang Obat ginjal dan daun Daun Obat luka bakar Obat menjaga kehamilan Umbi Obat ginjal
Bawang Bawa safusi putih Kembang Sõma- soma Bakal bunga sepatu Pulutan Hefuyu,a Daun
Lanang
Langsat
Boli
Lase
Senggani Nduru-nduru
Digiling Di minum 2 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 2 kali sehari Di minum 2 kali sehari
Di minum 1 kali sehari
Digiling Diperas
Diseduh
Diperas
Direbus Digiling Direbus Direbus
Obat batuk
Diperas
Obat penawar racun
Diperas
Obat batuk
Diperas
Obat Demam
Diperas
Obat hipertensi
Diperas
Obat malaria
Direbus
Obat ginjal
Direbus
Kulit batang
Obat diabetes
Direbus
Daun
Obat penawar racun
Diperas
Akar, kulit, dan batang
Di minum 3 kali sehari
Di minum 3 kali sehari Di minum 1 gelas pada pagi dan sore hari Di minum 3 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 1 kali sehari Di minum 1 kali sehari Di minum 3 kali seminggu Di minum 3 kali seminggu Di minum 2 kali sehari Di minum 2 kali sehari Di minum 1 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 3 kali sehari
109
34 35 36 37
38 39 40 41 43 43 44
Moringa oleifera Artocarpus communis Artocarpus heterophyllus Syzygium aqueum
Psidium guajava Syzygium jambos Syzygium polyanthum Averrhoa blimbi Peperomia pellucida Piper betle Axonopus compressus
Daun kelor Bulu muru
Daun
Sukun
Suku
Daun
Obat menjaga kehamilan Obat diabetes
Direbus
Nangka
Na‟a
Daun
Obat Diabetes
Direbus
Jambu air
Samba
Daun
Obat sakit mata
Diperas
Obat serak
Diperas
Direbus
Jambu biji
Maziambu
Daun
Obat mencret
Diperas
Jambu mawar
Maufa
Daun
Obat serak
Diperas
Wewe usõ
Daun
Obat lever
Direbus
Belimbing
Malimbi
Daun
Obat hipertensi
Diperas
Suruhan
Tima-tima
Obat hipertensi
Diperas
Sirih Rumput gajah paitan
Tawuo Soi-soi
Akar, batang dan daun Daun Daun
Obat bisul Obat luka
Digiling Dikunyak
Obat mencret
Diperas
Obat penawar racun
Diperas
45
Imperata cylindrical
Ilalang
Go.o
Daun
Obat demam
Diperas
46
Uncaria gambir Selaginella doederleinii
Gambir
Gambe
Daun
Obat luka Obat mencret
Dibakar Diperas
Cakar ayam
Lagaene
Daun
Obat luka
Digiling
Obat penawar racun
Diperas Direbus Digiling
47
48 49 50
51
110
Datura Kecubung suaveolens Vitex pinnata. Laban Curcuma domestica
Curcuma xanthoriza
Kunyit
Temu lawak
Sikaso
Daun
Manawa danõ Undre
Daun
Obat menjaga kehamilan Obat luka
Rimpang
Obat demam
Dioleskan
Obat sesak nafas
Diparut
Obat batuk
Diparut
Obat sesak nafas
Diparut
Obat batuk
Diparut
Undre gaza
Rimpang
Di minum 3 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 1 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 1 kali sehari Di minum 2 kali sehari Di minum 3 kali sehari Di minum 2 kali sehari Di minum 3 kali seminggu Di minum 2 kali sehari Di minum 2 kali sehari
Di minum 3 kali seminggu Di minum 3 kali sehari
Di minum 3 kali seminggu Di minum 3 kali seminggu Di minum 3 kali seminggu Di minum 3 kali seminggu
Berdasarkan tabel diatas maka famili yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Gunungsitoli Alo‘oa adalah Asteraceae terdiri atas 5 spesies, diikuti dengan Acanthaceae danMyrtaceae4 spesies, sedangkan Convolvulaceae, Lauraceae 3 spesies. Menurut informan kunci bahwa tumbuhan yang tergolong dalam famili Asteraceae, Acanthaceae, Myrtaceae, Convolvulaceae, dan Lauraceae merupakan tumbuhan yang sebagian besar dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit-penyakit umum seperti demam, malaria, mencret, diare, bisul, terkilir, dan bengkak. Selanjutnya cara pengolahan tumbuhan obat yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat untuk pemanfaatan tumbuhan obat diketahui 30 dengan cara diperas, 14 dengan cara direbus, 8 dengan cara digiling. dan 2 dengan cara diparut. Pengolahan dengan cara diperas, direbus dan digiling menurut informan kunci adalah cara yang cepat, mudah dan paling sederhana untuk melakukan pengobatan penyakit-penyakit umum. Pengolahan dengan diperas dan digiling umumnya pada organ daun sedangkan cara merebus umumnya organ akar, kulit batang, daun dan buah, walaupun pengobatan keduanya diperuntukkan untuk obat dalam (diminum), sedangkan yang digiling diperuntukkan untuk obat luar. Menurut Kusuma dan Zaky (2005) ada dua cara membuat ramuan obat dari tumbuhan yaitu dengan cara direbus dan ditumbuk (diperas), sedangkan penggunaannya ada tiga cara yaitu diminum, ditempelkan, atau dibasuhkan dengan air pencuci. Penggunaan dengan cara diminum biasanya untuk pengobatan organ tubuh bagian dalam, sedangkan dua cara lainnya untuk pengobatan tubuh bagian luar. Selanjutnya pemanfaatan organ tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah daun sebanyak 38 spesies, seluruh bagian tumbuhan yang digunakan 4 spesies, sedangkan bagian rimpang dan buah 2 spesies dan yang lainnya masing-masing 1 spesies. Menurut hasil wawancara dengan informan kunci bahwa organ daun pada tumbuhan paling mudah didapat dan tidak tergantung pada perubahan musim, selain itu cara meramu juga sangat sederhana bila dibandingkan dengan organ akar dan kulit batang. Penelitian yang sama oleh Sada & Tanjung (2010) di kampung Nansfori Kabupaten Supiori-Papua bahwa 52,08 %, masyarakatnya menggunakan organ daun untuk pengobatan, sedangkan organ lainnya seperti akar, kulit batang, dan buah sangat sedikit. Jenis tumbuhan obat yang ditemukan di Kecamatan Gunungsitoli Alo‘oa dapat dimanfaatkan untuk mengobati 25 jenis penyakit dengan kategori : Penyakit umum antara lain : demam, malaria, mencret, sakit perut, diare, batuk, bengkak, dan terkilir.Penyakit paru antara lain : sesak nafas.Penyakit THT antara lain serak.Penyakit kulit dan kelamin antara lain : bisul, luka,luka bakar, cacar air. Penyakit mata antara lain : sakit mata, dan mata katarak. Penyakit kandungan antara lain : menjaga kehamilan dan memperlancar kelahiran.Penyakit dalam antara lain : hipertensi, ginjal, penawar racun, maag, diabetes, asam urat, dan lever. Kategori jenis penyakit yang sering muncul dan paling banyak membutuhkan tumbuhan obat adalah penyakit umum seperti demam, malaria, mencret, sakit perut, diare, batuk, bengkak, dan terkilir. Kesimpulan Masyarakat Nias di Kecamatan Gunung Sitoli Aloa Kota Gunung Sitoli memanfaatkan 51 jenis tumbuhan obat yang termasuk ke dalam 30 famili. Spesies yang paling banyak dimanfaatkan berasal dari famili Asteraceae sebanyak 5 spesies, diikuti dengan Acanthaceae danspesies, dan yang lainnya masing-masing 1 spesies. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui metabolik sekunder yang dikandung tiap-tiap tumbuhan dengan harapan dapat dikembangkan menjadi obat nasional yang bermanfaat untuk bangsa.
111
Daftar Pustaka Agoes. 2002. Inventarisasi Tumbuhan Obat TNKS : Kajian dalam prespektif Etnofarmakologis dan Budaya. Jurnal Bahan Alam Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / SP3T. Sumatera Selatan, 1 (1) : 1-5 Djauhariya, E. dan Hernani. 2004. Gulma Berkhasiat Obat. Penebar Swadaya. Jakarta. Hanun. S.F., Nada. I.N. dan Arnawa. I.B. 2006. Inventarisasi dan Eksplorasi Tumbuhan Usada Bali. Laporan Teknik Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Kebun Raya ―Eka Karya‖ Bali. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun raya―Eka Karya‖ Bali-LIPI, 193-203 Hariana. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Cetakan Kelima. Penebar Swadaya. Jakarta. Kusuma, F.R., dan Zakky. B.M. 2005. Tumbuhan Liar Berkhasiat Obat. PT. AgroMedia Pustaka. Sada, J. dan Tanjung, H.R. 2010. Keragaman Tumbuhan Obat Tradisional di Kampung Nansfori Distrik Supiori Utara, Kabupaten Supiori–Papua. Jurnal Biologi Papua, 2 (2) : 39-46. Zaman. Q., Hariyanto. S., Purnobasuki. H. 2013.Etnobotani Tumbuhan Obat di Kabupaten Sumenep Jawa Timur.Jurnal Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam / Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,16 (1) : 1-47.
112
KAJIAN LIKEN SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA DI KAWASAN TERMINAL PINANG BARIS KOTA MEDAN STUDY LICHENES AS BIOINDIKATOR CONTAMINATION AIR IN TERMINAL PINANG BARIS MEDAN CITY Ashar Hasairin Mahasiswa S3 Program Studi Biologi FMIPA USU Dosen Program Studi Biologi, FMIPA Universitas Negeri Medan
[email protected]
Abstract This research aimed to know the diversity species of lichenes in Pinang Baris Terminal Medan. This research was conducted or 3 months starting in May until July 2015. This research descriptive study, with purposive sampling method. The result of research is obtained by lichenes at strightened of mahoni trees 253 samples thallus that consist of 5 families, 6 genus from 6 spesies with 2 is thallus types (foliose and crustose). Results of this researh showed that Lichenes diversity with diversity index values (H ') in Pinang Baris Terminal (1.00572) were moderate. Lichenes distribution pattern in Pinang Baris Terminal 3 types Lichenes have clumped distribution pattern with the highest value of 12.96 in Graphis scripta and 3 species Lichenes with uniform distribution pattern 0.43 on species Ochrolechia tartarea and Opegraphaatra. Physic-chemical habitats conditons that support the growth and development Lichenes in Pinang Baris Terminal Medan is at an average temperature (30 ° C), humidity average (73.25% ), light intensity (500J) and wind speed (2,1 m/s). Keyword : Diversity, Lichenes, Terminal
PENDAHULUAN Liken merupakan salah satu bagian dari keanekaragaman hayati yang belum banyak mendapat perhatian. Liken merupakan gabungan antara fungi dan alga, sehingga secara morfologi dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Tubuh liken dinamakan talus yang secara vegetatif mempunyai kemiripan dengan alga dan jamur. Liken ini hidup secara epifit pada pohon-pohonan, di atas tanah, di atas batuan dikenal sebagai tumbuhan perintis. Liken memiliki warna yang bervariasi seperti putih, hijau keabu-abuan, kuning, oranye, coklat, merah dan hitam [1]; [2]. Liken di Indonesia berjumlah 40.000 spesies, namun belum banyak peneliti di Indonesia yang menekuni penelitian ini, sehingga peluang untuk meneliti lichenes di Indonesia masih terbuka luas dan berpotensi. Kenyataan yang diketahui dan ditampilkan dalam buku-buku biologi memperlihatkan bahwa hanya beberapa spesies saja yang dikenal. Selain jenis, manfaat lichenes juga belum banyak diulas. Adapun manfaat liken yang diketahui diantaranya sebagai tumbuhan obat, bahan makanan dan pakan ternak, bahan pembuat parfum, mendeterminasi umur bebatuan, bahan/preparat pewarnaan dan lain-lain [3]. Manfaat lain lichen dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara dan dapat mengakumulasi polutan. Hal ini disebabkan lichen sangat sensitif terhadap pencemaran udara. Liken terkenal akan kepekaannya akan kondisi alam tempat hidupnya, apabila terdapat gas polusi maka liken tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik [1].
113
Berdasarkan hasil penelitian Soedaryanto yang menemukan 3 jenis liken pada daerah yang relatif tercemar dan 7 jenis pada daerah kontrol di Denpasar, Bali [4]. Hasil penelitian di kota Pekanbaru menemukan 20 jenis liken di daerah dengan kepadatan kendaraan tinggi, sedang dan rendah [5]. Kenyataan di Kota Medan belum banyak dilakukan penelitian tentang liken, sehingga berpeluang untuk dilakukan. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang ―Keanekaragaman Liken sebagai bioindikator pencemaran udara di Kawasan Terminal Pinang Baris Kota Medan‖. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Kawasan Terminal Terpadu Pinang Baris (TTPB) Medan. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive sampling. Metode yang digunakan deskriptif dengan cara survey eksploratif dan inventarisasi terhadap jenis liken pohon mahoni. Jumlah tegakan pohon mahoni sebanyak 10 pohon. Teknik pengambilan sampel dengan metode “Transek Vertikal” ke atas setinggi satu meter. Untuk 50 cm pertama dibuat sebagai plot satu dan 50 cm ke-2 sebagai plot dua. Jumlah plot pohon tegakan mahoni pada ke dua lokasi sebanyak 10 x 2 x 2 = 40 plot. Setiap jenis liken dikoleksi untuk keperluan identifikasi dan dokumentasi. Untuk pelaksanaan identifikasi menggunakan rujukan ―Key to the lichen genera of Bogor, Cibodas and Singapore‖ [6]. Ditambah dengan buku rujukan ―Grasses, Ferns, Mosses & Liken” [7]; laporan-laporan, catatan-catatan yang berhubungan dengan liken. Parameter yang diamati tipe morfologi talus secara makroskopis, mikroskopis dan karakteristik habitat. Mengukur kondisi fisik-kimia lingkungan (suhu, kelembaban, intensitas cahaya dan kecepatan angin). Selanjutnya menghitung jumlah talus, persentase kehadiran, indeks keanekaragaman menggunakan rumus dari Shannon – Wienner [8]; Pola distribusi setiap jenis lichens menggunakan rumus rasio varians dengan nilai tengah [9]; [10]. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Terminal Terpadu Pinang Baris (TTPB) adalah salah satu dari 2 terminal terpadu perhubungan darat di Kota Medan.Terminal ini khusus menampung bus-bus antar provinsi dan dalam provinsi yang masuk ke Kota Medan dari sebelah barat dalam hal ini terutama bus-bus dari Nangro Aceh Darussalam (NAD).Terminal ini terletak di Kelurahan Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan. Terminal Terpadu Pinang Baris memiliki luas lahan ±4 ha (40.000 m2) dengan jumlah bus dan mobil pengangkutan umum angkot yang keluar dan masuk setiap hari yaitu 3540 unit [11]. 2. Jenis dan Indeks Keanekaragaman Liken di Lokasi Penelitian Keanekaragaman yang diperoleh melalui data hasil penelitian pada lokasi penelitian dapat diambil dari keanekaragaman pada seluruh penarikan plot (sebanyak 20 plot) karena dianggap telah mewakili seluruh komunitas di lokasi penelitiaan. Jenis dan nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Indeks Keanekaragaman dan Pola Distrbusi Liken di TTPB Medan No.
Spesies
1. Graphis scripta 2. Opegrapha atra 3. Ochrolecia tartarea 4. Parmelia saxatilis 5. Pertusaria amara 6. Solenosphora candicans Total Talus Rata-rata Talus Keanekaragaman
Tipe Talus Crustose Crustose Foliose Foliose
∑Talus (% K) 172 6 6 45 3 21 253 36,14 7
67,98 2,37 2,37 17,79 1,19 8,30 -
H’
Varians
0,26233 0,08869 0,08869 0,30706 0,05238 0,20657 1,00572 -
12,96 0,43 0,43 3,39 0,2 1,58
Pola Distribusi Berkelompok Seragam Seragam Berkelompok Seragam Berkelompok
Keterangan: TPBB = Terminal Terpadu Pinang Baris H‘ = Indeks keanekaragaman;(% K) = persentase kehadiran.
114
Gambar 1. Morfologi dari a) Graphis scripta; b) Opegrapha atra; c) Ochrolechia tartarea; d) Parmelia saxatilis; e) Solenosphora candicans; f) Pertusaria amara Kunci Identifikasi Berdasarkan atas ciri-ciri yang diperoleh dari setiap jenis liken yang ditemukan dari kedua lokasi penelitian, maka dapat disusun kunci identifikasi sebagai berikut : 1. a. Tipe talus crustose --------------------------------------------------------------------- 3 b. Tipe talus foliose ------------------------------------------------------------------------ 2 2. a. Talus berwarna hijau tua -------------------------------------------------------------- 4 b. Talus berwarna hijau muda ---------------------------------------------------------6 3. a. Talus berwarna hijau pucat ---------------------------------------------------------7 b. Talus berwarna hijau gelap ---------------------------------------------------------4 4. a. Permukaan talus halus --------------------------------------------------------------6 b. Permukaan talus kasar --------------------------------------------------------------5 5. a. Talus berkerut-kerut -----------------------------------------------------------------10 b. Talus tidak berkerut ------------------------------------------------------------------- 12 6. a. Talus seperti bertepung –------------------------------------------------ Pertusaria amara b. Talus tidak bertepung ---------------------------------------------------------------7 7. a. Talus tebal ------------------------------------------------------------------------------ 9 b. Talus tidak tebal ----------------------------------------------------------------------- 8 8. a. Memiliki garis melintang berwarna hitam –----------------------------Opegrapha atra b. Tidak memiliki garis melintang berwarna hitam ------------------------------11 9. a. alus berlekuk-lekuk –------------------------------------------------- Ochrolecia tartarea b. Talus tidak berlekuk-lekuk ---------------------------------------------------------10 10. a. Talus bertumpuk-tumpuk ----------------------------------------------------------11 b. Talus tidak bertumpuk-tumpuk ------------------------------- Solenosphora candicans 11. a.Talus bergelombang ------------------------------------------------------Parmelia saxatilis b. Talus tidak bergelombang -------------------------------------------------------12 12. a.Terdapat bintil hitam ------------------------------------------------------- Graphis scripta b. Tidak terdapat bintil hitam --------------------------------------------------------20
115
Tabel : Deskripsi dan Identifikasi Jenis Liken Pada Tegakan Pohon Mahoni di Lokasi Penelitian
√
√
√ √
√
√ √
√ √ √
√
√ √
√ √
√
√
√
√
√ √
√ √
√
√
Ochrolecia tartarea Graphis scripta
√ √
Parmelia saxatilis Solenosphora candicans
√ √
Nama spesies
Berwarna
Tidak berwarna
Medula
Bercabang dua (dikotom)
Tunggal tidak beraturan
Sederhana
Tidak ada
Bulbate
Ada Sederhana
√
√ √
√
Rhizines
Cilia
Tepi bergais putih
Hitam
Coklat gelap
Psedocyphellae
Halus
Konsentris
Membulat
Beraturan atau berpola
√
√
√
Permukaan bawah
Permukaan atas
√ √
√
Linier
Lobus
Abu-abu
Hijau Abu-abu
Hitam
Hijau
Hijau kuning
Warna Talus
Opegrapha atra Pertusaria amara
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di kawasan Terminal Pinang Baris, Medan terdapat 6 jenis liken pada tegakan pohon mahoni dengan proporsi jumlah yang berbeda di setiap jenis. Jenis yang ditemukan diantaranya Graphis scripta, Opegrapha atra, Ochrolechia tartarea, Parmelia saxatilis, Pertusaria amara dan Solenosphora candicans. Kawasan Terminal Pinang Baris memiliki keanekaragaman jenis liken yang tergolong sedang. Tinggi rendahnya tingkat keanekaragaman ini dapat memberi gambaran tentang kedewasaan organisasi komunitas tumbuhan disekitarnya [12]. Semakin rendah keanekaragaman liken menunjukkan makin rendahnya organisasi di dalam komunitas tersebut. Kondisi seperti ini muncul sebagai akibat faktor ekologis di kedua lokasi relatif tercemar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sumber polutan di sekitar lokasi penelitian. Pada kawasan Terminal Pinang Baris sekitar ± 3540 unit kendaraan bermotor yang keluarmasuk terminal. Hal ini bertentangan dengan pendapat Panjaitan yang mengatakan bahwa tingkat kepadatan lalu lintas berpengaruh terhadap keanekaragaman lichen yang ditemukan di kulit pohon peneduh jalan di setiap lokasi pengamatan [5]. Semakin rendah tingkat kepadatan lalu lintas, maka akan semakin tinggi keanekaragaman jenis lichen yang ditemukan di suatu lokasi. Pada penelitian ini. Kawasan terminal pinang baris memiliki kepadatan lalu lintas yang lebih tinggi, sehingga mengalami perubahan kondisi lingkungan karena adanya pencemaran udara akibat emisi buangan yang berasal dari transportasi berupa CO2, SO2, NO2, dan debu [13]. Unsur-unsur tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan beberapa hal yang dapat menghambat pertumbuhan, perkembangan maupun keberadaan liken. 4. Karakteristik Habitat Liken Pengamatan karakteristik habitat atau kondisi fisik-kimia lingkungan yang dilakukan pada penelitian ini adalah suhu, kelembaban dan intensitas cahaya. Pengukuran ini dilakukan hanya sekali pengukuran. Kondisi fisik-kimia lingkungan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
116
Tabel 3. Kondisi Fisik-Kimia Lingkungan Pinang Baris (TTPB) Medan Hasil Alat Faktor Lingkungan Pengukuran Pengukur Suhu (°C)
30
Thermometer
Intensitas Cahya (Joule)
500
Luxmeter
Kelembaban (%)
73,25
Hygrometer
2,1
Anemometer
Kecepatan Angin (m/s)
di
Terminal
Terpadu
Keterangan Diukur jam 14.00 siang Diukur jam 14.00 siang Diukur jam 14.00 siang Diukur jam 14.00 siang
Berdasarkan hasil pengukuran kelembaban udara rata-rata pada lokasi penelitian sebesar 73,25%. Hal ini mendukung pendapat dari Noer (2004) dalam Pratiwi (2006) yang menyatakan bahwa liken menyukai tempat yang kering dengan kelembaban 40% – 69%. Kelembaban udara rata-rata di pinang baris rata-ratanya mendekati kisaran yaitu 73,25%, sehingga jenis liken yang tumbuh lebih banyak. Pertumbuhan dan perkembangan liken pada lokasi penelitian juga dipengaruhi oleh kandungan polutan di udara. Pendapat ini diperkuat dalam penelitian sebelumnya mengemukakan bahwa tingkat pencemaran berupa gas emisi buang Pb berpengaruh terhadap kelimpahan jenis liken, di mana semakin dekat dengan jalan raya maka semakin sedikit kelimpahan liken yang ditemukan. Pada lokasi penelitian terlihat bahwa liken dengan tipe morfologi talus crustose memiliki rata-rata luas talus yang relatif lebih tinggi dibanding dengan foliose. Sedang tipe fructicose dan squamulose tidak ada ditemukan. Hasil yang sama juga didapati di Riau menemukan bahwa tipe talus crustose merupakan tipe yang lebih mendominasi dari pada tipe talus foliose [4]; [5]. Hal ini menggambarkan bahwa tipe talus crustose mudah tumbuh. Tipe talus crustose merupakan tipe talus yang paling resisten dibandingkan dengan tipe talus lainnya [4]. Hal tersebut karena liken dengan tipe morfologi talus crustose terlindung dari potensi kehilangan air dengan bertahan pada substratnya, mengingat tipe ini memiliki sifat melekat erat pada substratnya dan tipe jaringan talus homoimerous, yaitu keadaan dimana alga berada disekitar hifa. Tipe crustose memiliki struktur talus seperti lapisan kerak yang melekat erat pada substrat. Pada lokasi penelitian terlihat bahwa liken dengan tipe talus crustose lebih banyak dari foliose. 3. Pola Distribusi Liken di KIM dan Terminal Pinang Baris Untuk mengetahui pola distribusi setiap jenis liken di kedua lokasi penelitian digunakan rumus rasio varians dengan kriteria jika S2/ =1: berdistribusi acak (random), >1: berkelompok (clumed); <1 : berdistribusi seragam (uniform). Pola distribusi liken dari kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Pola Distribusi Liken di Terminal Terpadu Pinang Baris (TTPB) Medan No Nama Spesies Varians Pola Distribusi Keterangan 1 Graphis scripta 12,96 Berkelompok 2 Opegrapha atra 0,43 Seragam 3 Ochrolecia tartarea 0,43 Seragam 4 Parmelia saxatilis 3,39 Berkelompok 5 Pertusaria amara 0,2 Seragam 6 Solenosphora candicans 1,58 Berkelompok
117
Liken yang ditemukan di terminal pinang baris memiliki pola penyebaran yang berbeda-beda. 3 jenis liken memiliki pola penyebaran berkelompok dan 3 jenis liken memiliki pola penyebaran beragam. Spesies yang paling tinggi penyebarannya untuk pola penyebaran berkelompok adalah Graphis scripta (12,96) dan untuk pola penyebaran seragam Opegrapha atra dan Ochrolechia tartarea (0,43). Pola penyebaran liken disebabkan oleh beberapa faktor ekologis yang mendukung. Dimulai dari faktor suhu, kelembaban, intensitas cahaya dan keterkaitannya dengan faktor lainnya yang masih belum ada dalam parameter terukur yang turut mempengaruhi distribusi liken. Misalnya curah hujan, kepadatan tajuk pohon induk, arah angin dan lain-lain. 3. Liken Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Liken berpotensi sebagai bioindikator pencemaran udara. Kehadiran liken dapat dijadikan sebagai penduga terjadinya pencemaran. Liken sangat sensitif terhadap pencemaran udara, memiliki sebaran geografis yang luas. Sifatnya yang peka pada liken sering dipakai sebagai penunjuk adanya pencemaran udara di suatu daerah [19]. Hasil penelitian jenis liken yang memiliki talus terbesar jumlahnya yaitu Graphis scripta diikuti jenis Parmelia saxatilis. Kehadiran jenis liken ini pada dua lokasi yang memiliki keadaan ekologis yang berbeda menunjukkan bahwa liken ini memiliki penyebaran yang cukup luas, mampu untuk tumbuh dengan opitmal pada tegakan pohon mahoni. Liken yang paling sedikit muncul di kedua lokasi adalah Parmelia saxatilis dan Pertussaria amara. Kehadiran Parmelia saxatilis ini di kedua lokasi penelitian menunjukkan bahwa liken jenis ini merupakan jenis liken yang resisten terhadap pencemaran udara dan juga dapat menunjukkan bahwa kedua lokasi tersebut tergolong tercemar, karena Parmelia saxatilis biasanya tumbuh di kulit-kulit pohon yang telah mengalami pengasaman karena adanya polutan dari polusi udara [14]. Namun Parmelia saxatilis kurang peka terhadap polutan sulfur dioksida tinggi. Pada lokasi penelitian ditemukan liken dengan tipe foliose memiliki tipe jaringan talus heteromerous, sehingga talus ini terdiri dari beberapa lapisan. Tipe talus ini dapat memelihara kelembaban, yang dilakukan pada lapisan medula. Meskipun liken tidak dapat mengendalikan kadar air, seperti tumbuhan tingkat tinggi namun tidak berarti bahwa tidak ada variasi dalam genus dan spesies liken yang berbeda dalam mengabsorbsi dan melepaskan air [15]. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab yang memungkinkan tipe talus ini mampu hidup dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian menunjukan liken dengan tipe morfologi talus foliose dapat mengabsorbsi kation-kation logam dengan senyawa kimia yang berbeda. Hal ini diperkuat dengan faktor fisik-kimia lingkungan yang diukur pada penelitian ini. Kawasan terminal pinang baris yang memiliki kelembaban udara rata-rata 73,25%. Kelembaban udara menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan adanya Parmelia glabratula hanya di Kawasan terminal pinang baris Medan. Hasil pengamatan di Kawasan Terminal Pinang Baris paling banyak di temukan liken jenis Graphis scripta. Perbedaan jenis atau keanekaragaman jenis ini dapat dipengaruhi oleh beberpa hal. Salah satu faktor yang mempengaruhi nya adalah kelembaban udara, seperti yang telah dijelaskan di atas. Faktor lainnya yaitu pH kulit pohon. Efek toksik dari pemaparan belerang dioksida dipengaruhi oleh nilai dari pH substrat dimana liken tersebut tumbuh [17]. Pohon-pohon yang tumbuh di tanah asam yang terbentuk dari batuan vulkanik, kulit kayunya memiliki nilai pH berkisar antara 2-4. Spesies liken yang hidup pada kulit pohon dengan pH di bawah 7 dapat dianggap sebagai indikator biologis. Lichen yang hidup pada kulit pohon yang asam jauh lebih peka pada efek beracun dari belerang dioksida.
118
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa : 1. Kawasan Industri Medan di temukan 2 jenis liken dengan indeks keanekaragaman tergolong rendah (H‘ = 0,13904) dan di Terminal Pinang Baris ditemukan 6 jenis liken dengan indeks keanekaragaman yang sedang (H‘ = 1,00572). 2. Tipe talus crustose lebih banyak dibandingkan dengan tipe foliose, sedang tipe fructicosedan squamulose tidak ditemukan. 3. Kehadiran jenis Parmelia saxatilis terdapat pada kedua lokasi yang memiliki keadaan ekologis berbeda. Liken yang paling sedikit muncul di kedua lokasi adalah Parmelia saxatilis dan Pertussaria amara merupakan jenis liken yang resisten terhadap pencemaran udara. 4. Seluruh jenis liken yang ditemukan di Kawasan Industri Medan memiliki pola penyebaran mengelompok. Untuk kawasan Terminal Pinang Baris 3 jenis liken memiliki pola penyebaran mengelompok; sedang 3 jenis lain pola penyebaran seragam. 5. Kondisi fisik-kimia habitat di Kawasan Industri Medan dan Terminal Pinang Baris Medan adalah suhu rata-rata 30,75°C dan 30°C dengan kelembaban rata-rata 75,75% dan 73,25% , intensitas cahaya 371 Jooule dan 500 Joule serta kecepatan angin 1,6 m/s dan 2,1 m/s. Saran-saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan liken sebagai bioindikator pencemaran udara dengan mengukur akumulasi polutan. 2. Faktor fisik-kimia lingkungan masih perlu ditambah untuk melihat faktor-faktor lainnya yang memiliki pengaruh yang nyata terhadap kehadiran liken, diantaranya curah hujan, arah angin, ketinggian tempat, pH tanah dan pH kulit pohon. DAFTAR PUSTAKA [1] Hawksworth, D., L., The Lichen-Forming Fungi. New York. Champman and Hall Publisher, 1984. [2] Tjitrosoepomo, G., „Taksonomi Tumbuhan , Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. 1989. [3]
Dube, H., C., An Introduction to Fungi, Third Edition, New Delhi, Department of Life Sciences Bhavnagar University, Vicas Publishing House PVT LTD. 2006,
[4]
Pratiwi, M. E., Kajian Liken Sebagai Bioindikator Kualitas Udara, Skripsi, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Bogor. Institut Pertanian Bogor, 2006..
[5]
Panjaitan, D.M., Fitmawati, Atria, M., (2012), Keanekaragaman Lichen Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Di Kota Pekanbaru Provinsi Riau, FMIPA Universitas Riau, Riau.
[6]
Sipman, H.J.M., Key to the lichen genera of Bogor, Cibodas and Singapore. 2003. http://www.bgbm.org/sipman/keys/Javagenera.htm.(Diakses Maret 2013)
[7]
Phillips, R. Grasses, Ferns, Mosses & Lichens. Oxford University Press. 1990.
[8]
Juwana, S. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Laut. Jakarta Penerbit Djambatan. 2001.
[9]
Odum, E. P. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta. UGM Press. 1993.
119
[10] Hasairin Ashar; Nursahara Pasaribu; Lisdar I. Sudirman; Retno Widhiastuti . 2014 Biodiversity and Distribution Liken at The Corticoleus of Mahoni (Swietenia Macrophylla) as Walke in Field on Medan. Prosiding Conferensi International Multidisiplin Research. 2014. [11] Maria, F., Analisis Sanitasi Lingkungan Terminal Kendaraan Bermotor Di Kota Medan Tahun 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Medan. USU, 2013, [12] Lubis, S.R., Keanekaragaman Dan Pola Distribusi Tumbuhan Paku Di Hutan Wisata Alam Taman Eden Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara, Medan. FMIPA, USU. 2009. [13] Istam, Y.C., Respon Liken Pada Vegetasi Pohon Sebagai Indikator Pencemaran Udara Di Kebun Raya Bogor Dan Hutan Manggala Wana Bhakti., Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. Bogor. IPB. 2007. [14] Anonim, Parmeliacea, (internet) 2010.http://www.dorsetnature.co.uk/pages-lichen/lch29. html (diakses Juli 2013) [15] Baron, G., Understanding Lichens, England. The Richmond Publishing Co.ltd. 1999, [16] Prasetyo, T.I., Hastuti , U.S., Lichens sebagai salah satu alternatif dalam penanggulangan polusi logam berat, Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA IKIP, Malang. Makalah disajikan pada pertemuan ilmiah tahunan perhimpunan Mikrobiologi Indonesia.Bandung. 1992, [17] Wijaya, A., Penggunaan Tumbuhan Sebagai Bioindikator Dalam Pemantauan Pencemaran Udara, Teknik Lingkungan, Surabaya. ITS, 2012. [18] Noer, I. S., Bioindikator Sebagai Alat Untuk Menengarai Adanya Pencemaran Udara, Forum Komunikasi Lingkungan III, Bandung Kamojang. 2004, [19] Bold, H. C., C. J. Alexopoulus, T. Delevoryas, Morphology of Plants and Fungi. Fifth edition. New York. Harper and Row Publishers. 1987.
120
KEANEKARAGAMAN JENIS MAKROZOOBENTHOS DI STASIUN RISET YAYASAN GAJAH SUMATERA (YAGASU) ACEH DESA TANJUNG REJO KEC. PERCUT SEI TUAN KAB. DELI SERDANG SUMATERA UTARA 1.
Hanifah Mutia ZNA, Ferdinand Susilo,Ida Fauziah Staf pengajar universitas Pembangunan Panca Budi Medan,2 dan 3. Staf Pengajar Universitas Medan Area
Abstrak Penelitian keanekaragaman jenis makrozoobenthos di stasuin riset YAGASU ACEH Desa Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang Sumatera Utara dilakukan untuk mengetahui struktur komunitas makrozoobenthos di stasiun riset YAGASU yang merupakan ekosistem mangrove. Pengumpulan sampel dilakukan dengan membuat plot pengambilan sampel sebanyak 5 plot dengan ukuran 30x30cm di dalam plot pengamatan yang berukuran 20x20m. Sampel makrozoobentos dipisahkan dari sedimen menggunakan saringan yang selanjutnya sampel diawetkan dengan alkohol 70%.Tujuan penelitian ini secara khusus adalah memperoleh data tentang jenis-jenis makrozoobenthos yang terdapat di Stasiun Riset YAGASU ACEH. Sedangkan untuk tujuan jangka panjang, dari hasil penelitian ini, adalah sebagai dasar dalam pengelolaan dan konservasi ekosistem mangrove berbasis potensi ekologi di Stasiun Riset YAGASU ACEH khususnya dan Sumatera Utara umumnya.Hasil penelitian diperoleh 13 jenis makrozoobenthos yang terdiri dari tiga kelas yang berbeda, yaitu polychaeta, Bivalvia dan Gastropoda. Jenis yang terbanyak dari kelas Gastropoda yaitu sebanyak 11 jenis, Bivalvia 1 jenis dan Polychaeta satu jenis. Kelimpahan tertinggi dijumpaii pada jenis Nereis sp dan Glycera sp dengan kelimpahan masing-masing sebesar 111,111 individu/m2
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estuari merupakan daerah yang ekstrim, disamping sebagai lokasi pertemuan antara air tawar dan air laut, juga merupakan daerah yang rawan terhadap pemasukan material terlarut yang berasal dari berbagai aktivitas masyarakat di sekitar daerah tersebut. Dewasa ini daerah Estuari Percut Sei Tuan mengalami berbagai masalah yang diakibatkan adanya pemanfaatan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS). Pada daerah Percut terdapat berbagai aktivitas penduduk, seperti pemukiman, pertambakan, areal pertanian dan lalu lintas perairan yang cukup ramai. Selain itu juga terjadi pendangkalan pada muara sungai karena adanya pertemuan/penggabungan aliran Sungai Deli dan Sungai Percut sehingga mengakibatkan pendangkalan pada Muara Sungai Percut (Sinar Indonesia Baru Tanggal 5 September 2005). Pembukaan dan konversi lahan hutan mangrove yang berada di sekitar estuari menjadi lahan pertanian, pemukiman, pertambakan, perkebunan dan pengambilan batang pohon sebagai sumber bahan baku arang tidak hanya menyebabkan pengurangan areal hutan, tetapi juga menyebabkan pemasukan bahan-bahan terlarut seperti nitrogen dan bahan organik yang berasal dari aktivitas pertambakan dan aktivitas lainnya. Masuknya berbagai bahan terlarut ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan, seperti perubahan sifat-sifat fisika dan kimia perairan yang dapat berpengaruh pada kondisi sedimen dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang berada di lingkungan tersebut, baik itu di badan maupun di dasar perairan. Salah satu ancaman yang serius terhadap
121
kualitas lingkungan estuari adalah berlangsungnya proses pelumpuran dan turbiditas dari daerah sungai (Prasetyo et al. 2000). Pelumpuran dan turbiditas yang tinggi serta didukung oleh berbagai faktor lingkungan, seperti kecepatan arus, akan sangat mempengaruhi proses sedimentasi di daerah estuari yang pada akhirnya akan mempengaruhi berbagai organisme yang berada di dasar perairan (sedimen). Pengaruh penurunan berbagai parameter lingkungan akan sangat jelas terlihat pada struktur komunitas bentos. Hewan-hewan bentos dapat dianggap lebih mencerminkan adanya perubahan-perubahan faktor lingkungan pada suatu ekosistem perairan (Prasetyo et al. 2000). Oleh karena itu dipandang perlu dilakukannya suatu penelitian untuk mengetahui kondisi habitat pada perairan estuari di daerah Percut Sei Tuan dengan melakukan pengukuran terhadap faktor-faktor fisika, kimia dan biologi. BAHAN DAN METODE Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di ekosistem mangrove stasiun riset YAGASU ACEH yang terletak di Desa Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang Sumatera Utara selama 6 (enam) bulan yang terdiri dari penentuan plot pengamatan, pengambilan sampel, identifikasi, dan analisis data. Pengambilan sampel dilakukan pada 5 titik pengamatandengan membuat plot dengan ukuran 30x30cm dan kedalaman 30cm sebanyak 5 plot (Gambar 1). Pengambilan sampel dan pengukuran faktor fisik, kimia dan biologi dilaksanakan saat surut.
3
2
1
Gambar 1. Titik Pengamatan dan Plot Pengambilan Sampel Makrozoobenthos
122
Metode Pengambilan Sampel/Makrozoobenthos Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan pada setiap plot pengambilan sampel dengan membuat plot 30x30x30 cm. Sampel makrozoobentos dipisahkan dari substrat menggunakan saringan bertingkat. Selanjutnya sampel dimasukan ke dalam botol contoh dan diawetkan dengan alkohol 70%, kemudian dihitung jumlah individunya dan diidentifikasi menggunakan buku acuan Azoukskyet al (2000), Barnes RD (1987), Dance SP. (1977), Gosner KL (1990), Sowerbys (1996). Analisis Data Struktur Komunitas Makrozoobentos Komposisi dan Kelimpahan Komposisi jenis makrozoobentos menggambarkan kekayaan jenis yang terdapat dilingkungannya. Kelimpahan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu persatuan luas (Brower et al. 1990). 10000 a K b dengan: K a b 10000
= = = =
kelimpahan makrozoobentos jumlah individu luas plot pengambilan sampel (cm2) konversi cm2 ke m2
Keanekaragaman Keanekaragamanmakrozoobentos yang berada di perairan estuari dihitung dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Shannon-Winner (Krebs 1989). Η ' pi ln pi dengan: H' pi ni N
= = = =
indeks keanekaragaman jenis ni/N jumlah total individu ke-i jumlah total individu
Berdasarkan nilai konversi basis logaritma oleh Brower et al.(1990) kisaran nilai Indeks Keanekaragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut: H' < 3.32 = keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah. 3.32 < H' < 9.96 = keanekaragaman sedang, penyebaran individu tiap spesiesnya sedang dan kestabilan komunitas sedang. H' > 9.96 = keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi. Keseragaman Untuk mengetahui keseragaman (equitabilitas) makrozoobentos yaitu penyebaran individu antar spesies yang berbeda digunakan indeks equitabilitas (Krebs 1989).
' ' max
dengan: E H' H' max S
= = = =
indeks keseragaman jenis indeks keanekaragaman log2 S jumlah spesies
123
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi dan Kelimpahan Makrozoobenthos Makrozoobentosyang didapat selama penelitian sebanyak 13 jenis, yang terdiri atas 1 jenis Bivalvia, 11 jenis Gastropoda dan 1 jenis Polychaeta (Tabel 1). Jumlah individu makroozoobentos yang didapat pada masing-masing stasiun menunjukan nilai yang berbedabeda. Hampir seluruh stasiun didominasi oleh jenis Gastropoda, dengan persentase masingmasing pada stasiun pengamatan yaitu 81 % di stasiun I, 60% di Stasiun II dan 87% di Stasiun III (Gambar 3). Tabel 1. Komposisi Makrozoobenthoas di stasiun pengamatan No Family Spesies 1 Nereidae Nereis sp 2 Tellinidae Tellina sp 3 Assimineidae Assiminaea sp 4 Glyceridae Glycera sp 5 Littoria melanostoma Littorinidae 6 Littorina conica 7 Neritidae Nerita sp 8 Cerithidea quadrata 9 Cerithidea cingulata Potamididae 10 Terebralia 11 Cerithidea obtusa 12 Sipunculids Phascolosoma arcuatum 13 Turbinidae Turbo cidaris
Class Polychaeta Bivalvia
Gastropoda
Jenis Gastropoda merupakan jenis yang paling banyak didapat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan jenis sedimen, Jenis sedimen pada lokasi penelitian berupa lumpur berpasirdan dapat menopang kehidupan makrozoobentos dari jenis Gastropoda. Menurut Barnes (1987) bahwa jenis Gastropoda biasa hidup pada substrat berpasir. Selain itu hal ini juga berhubungan dengan sifat Gastropoda yang lebih toleran terhadap perubahan berbagai parameter lingkungan sehingga penyebarannya bersifat kosmopolit.
Gambar 3. Persentase jumlah jenisGastropoda (■),Bivalvia (■)dan Polychaeta (■)di masingmasing stasiun penelitian 124
Polychaeta merupakan jenis paling sedikit dijumpai, hal ini sangat erat hubungannya dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Rendahnya kelimpahan Polychaeta diduga karena nilai salinitas pada lokasi penelitian masih tergolong payau baik pada surut maupun saat pasang. Sanusi et al. (2005) melaporkan bahwa Polychaeta terutama jenis Nereis sp. ditemui melimpah pada kandungan bahan organik tinggi dan salinitas berkisar antara 22-33 ‰. Kelimpahan makrozoobentos pada Stasiun Riset cukup bervariasi. Kelimpahan makrozoobentos di masing-masing stasiun dapat dilihat pada gambar 4.Rata-rata kelimpahan makrozoobenthos di Stasiun I sebesar 4,444 individu/m2, Stasiun II 6,667 individu/m2 dan di Stasiun III 6,667 individu/m2. Tinggi atau rendahnya nilai kelimpahan makroozoobentos pada suatu perairan sangat tergantung pada kandungan bahan organik yang ada pada substrat. Pearson dan Rosemberg dalam Lardicci et al. (1997) menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam substrat akan mempengaruhi struktur dari komunitas makrozoobentos yang dapat ditandai dengan meningkatnya jumlah spesies yang diikuti dengan meningkatnya biomassa dan selanjutnya peningkatan kelimpahan.
Gambar 4. Rata-rata kelimpahan makrozoobentos di masing-masing stasiun penelitian Keanekaragaman Makrozoobenthos Indeks keanekaragaman makrozoobentos pada Stasiun Riset berkisar antara 1,24 – 2,22 (Gambar 5). Nilai keanekaragaman tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 yaitu sebesar 2.22, hal ini erat kaitannya dengan banyaknya jenis makrozoobentos yang didapat yaitu sebanyak 10 jenis. Kondisi suatu lingkungan perairan dapat ditentukan melalui nilai keanekaragaman. Lardicci et al. (1997) mengemukakan bahwa dengan menentukan nilai keanekaragaman kita dapat menentukan tingkat stress atau tekanan yang diterima oleh lingkungan. Stirn (1981) dalamBasmi (2000) yang dikonversi dengan logaritma basis dua juga menjelaskan antara nilai Indeks Shannon (H') dengan stabilitas komunitas biota, yaitu bila H' < 3 maka komunitas biota dinyatakan tidak stabil, bila H' berkisar antara 3-9 maka stabilitas komunitas biota adalah moderat (sedang) sedangkan bila H' > 9 maka stabilitas komunitas biota bersangkutan berada dalam kondisi prima (Stabil). Dahuri et al. (2004) menambahkan bahwa nilai keanekaragaman yang berada dibawah 3.32 tergolong rendah dan penyebaran individu 125
tiap spesies rendah dan stabilitas komunitas rendah. Namun untuk menentukan apakah keanekaragaman pada Stasiun Riset tergolong rendah atau tinggi perlu ditelaah lebih lanjut, karena sampai saat ini belum ada standar baku untuk indeks keanekaragaman bagi biota di Indonesia.
Gambar 5. Indeks Keanekaragaman makrozoobentos di masing-masing stasiun penelitian Keseragaman Makrozoobenthos Keseragaman jenis pada Estuari Percut diperoleh kisaran nilai 1,208 – 1,844 (Gambar 6). Nilai keseragaman ini menggambarkan keseimbangan ekologis pada suatu komunitas, dimana semakin tinggi nilai keseragaman maka kualitas lingkungan semakin baik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lingkungan Stasiun Riset berada dalam kisaran baik, karena secara keseluruhan nilai keseragaman pada setiap stasiun pengamatan tidak jauh berbeda.
Gambar 6. Indeks Keseragaman makrozoobentos di masing-masing stasiun penelitian
126
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Jumlah Makrozoobenthos yang dijumpai pada stasiun penelitian sebanyak 13 jenis yang terdiri dari kelas Gastropoda, Bivalvia dab Polychaeta 2. Indeks keanekaragaman tertinggi dijumpai pada Stasiun 1 dengan nilai 2,22 3. Indeks Keseragaman tertinggi di jumpai pada Stasiun 1 yaitu sebesar 1,844 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Data Monografi Kecamatan Percut Sei Tuan. Azouksky AI. Chertoprous MV. Kucheruk NV. Rybnikov PV. Sapozhnikov FV. 2000. Fractal Properties of Spation Distribution of Intertidal Benthic Communities.Marine Biology. No. 136. pp: 581 – 590. Badan Pusat Statistik. 2004. Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang. Barnes RD. 1987. Invertebrate Zoology. 5th Edition. Philadelphia. Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor Brower JE. Zar JH. Ende CN. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Edisi Ketiga. Wm C. Brown Publishers. United States of Amerika. Dahuri R. Rais J. Ginting SP. Sitepu MJ. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan ketiga. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Dance SP. 1977. The Encyclopedia of Shells. Bland Ford Press. London. Day J W., Hall CAS. Daan Arancibia AY. 1989. Estuarine Ecology. John Wiley and Sons. New York. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Google Earth. 2007. Citra Satelit Kecamatan Percut Sei Tuan. http://www.maps.google.com. (20 Maret 2007). Gosner KL. 1990. Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates. WileyInterscience. Division of John Wiley and Sons Inc. New York. Holme NA. McIntyre AD. 1971. Methods for the Study of Marine Benthos. International Biological Programme Blackwell Scientific Publication. Philadelphia. Krebs C. J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row. New York. Mann KH. 2000. Ecology of Coastal Water with Implication for Management. 2nd Edition. Blackwell Science Inc. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. PT Djambatan. Jakarta Odum E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Jilid 3. Penerjemah Samingan T. Gajah Mada University Press. Jogjakarta. Odum E.P. 1997. Ecology a Bridge between science and society. Sinauer Associates Inc. Canada.
127
Parsons T R. Takahashi M. Hargrave B. 1977. Biological Oceanographic Processes. Second edition. Pargamon Press. New York. Prasetyo Y. Saraswati R. Sukanta D. 2000. Persebaran Bentos dari Jenis Periglypta di Perairan Teluk Jakarta. Di dalam: Ekosistem Pantai Indonesia; Depok: Departemen Kelautan RI dan Jurusan Geografi UI. Hlm 17-33 Razak A. 2002. Dinamika Karakteristik Fisika-Kimiawi Sedimen dan Hubungannya Dengan Struktur Komunitas Moluska Bentik (Bivalvia dan Gastropoda) di Muara Bandar Bakali Padang. Thesis Pascasarjana IPB. Bogor. Sastrawijaya AT. 1991. Pencemaran Lingkungan. PT Rineka Cipta. Jakarta Sowerbys, 1996. Book of Shells. Crown Publisher, Inc. New York. Sinar Indonesia Baru. 2005. Seratus Massa BPD Percut Sei Tuan Unjuk Rasa Sumut. Sinar Indonesia Baru (SIB) tanggal 5 September 2005. Medan.
ke DPRD
Sumich JL. 1979. An Introduction to The Biology of Marine Life. WM C Brown Company Publisher. USA. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tomaszek JA.1995. Relationship between Denitrification and Redox Potential in Two Sediment-Water Systems. Marine Freshwater Research. 46. pp:27-32. Whilm J L. 1975. Biology Indicators of Pollution dalamWhitton B A. 1975. River Ecology. Vol 2. Blackwell cientific Publication. Oxford. Yulianda F dan Damar A. 1994. Penuntun Praktikum Ekologi Perairan (Pengenalan Dasar, Metoda dan Analisis Dasar). Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan. Bogor. Ziegelmeier E. 1972. Bottom Living Animals Macrobenthos. Dalam; Research Methods in Marine Biology. Sidgwick & Jackson. London; pp 104-141.
128
Tellina sp
Assiminaea sp
Littorina conica
Turbo cidaris
Nerita sp
Terebralia sp
129
METAPOPULASI MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier 1809) DI PULAU JAWA BAGIAN BARAT Metapopulations of Javan Leopard (Panthera pardus melas Cuvier 1809) in the Western Part of the Island of Java 1
2
3
Hendra Gunawan1, Vivin S. Sihombing2 dan Robby Wienanto3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Alamat: Jln. Gunung Batu 5 Bogor; Hp: 085286643529-082123070720; Email:
[email protected] Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Alamat: Jln. Gunung Batu 5 Bogor; Hp. 085273381907; Email:
[email protected] Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Alamat: Jln. Gunung Batu 5 Bogor; Hp: 081287529686; Email:
[email protected]
Abstract Javan leopards (Panthera pardus melas Cuvier 1809) in the western part of Java have evolved in fragmentary metapopulations that face a high risk of extinction. The objective of the research described here was to identify and study the metapopulations of the javan leopard in West Java and Banten Provinces. Data of leopard distribution were obtained through GPS surveys. The distribution pattern of the javan leopard was identified and categorised into classic metapopulations, mainland-island metapopulations, non equilibrium metapopulations, and patchy populations. The research results showed that the population of javan leopard in the western part of Java has been fragmented into five mainland-islands metapopulations; nine classic metapopulations; four patchy populations; and seven non equilibrium metapopulations. Big mountains are the cause of the mainland-island metapopulations, which have become the source of colonization for surrounding habitats. Non-equilibrium metapopulations face higher risk of local extinction than do mainland island metapopulations, patchy populations and classic metapopulations due to their small size and isolation. It is predicted that classic metapopulations will survive if there is exchange of individuals between patches which occurs if there are few obstacles and barriers to movement, and if there are adequate connecting corridors. For managing javan leopards in this wide but highly fragmented home range, a landscape scale of management involving all stakeholders is essential. Moreover, coordination and collaboration between conservation area managers and with managers of protection forests, protected forests, plantations and other land users is required. Keywords: leopard, Panthera pardus, metapopulation, local extinction.
PENDAHULUAN Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) status keterancamannya terus meningkat dari status Vulnerable pada tahun 1978, menjadi menjadi Threatened (1988), Indeterminate (1994) Endangered (1996) dan menjadi critically endangered pada tahun 2008 (IUCN-The World Conservation Union, 1996; Cat Specialist Group. 2002; Ario et al., 2008). Hal ini dikarenakan populasinya yang terus menurun akibat kehilangan habitat, degradasi habitat dan fragmentasi habitat yang diperparah oleh perburuan, baik terhadap macan tutul maupun satwa mangsanya (Gunawan, 2010).
130
Perusakan habitat yang menyebabkan hilangnya habitat, degradasi kualitas dan fragmentasi habitat merupakan penyebab paling signifikan kepunahan populasi dan spesies (Hanski, 1998). Perusakan habitat banyak disebabkan oleh kegiatan manusia yang mengubah tutupan lahan (land cover) atau penggunaan lahan (land use) seperti pengembangan pertanian, pemukiman, industri, jaringan tranportasi, jaringan listrik dan lain-lain. Hal tersebut kemudian menyebabkan degradasi habitat (habitat degradation), kehilangan habitat (habitat loss) dan fragmentasi habitat (habitat fragmentation) (Bureau of Land Management, 2004) Fragmentasi habitat terjadi secara evolusi pada suatu lansekap yang dicirikan oleh pengurangan jumlah total ketersediaan habitat yang sesuai dan isolasi kantong-kantong habitat yang tersisa (McGarigal & Marks, 1995). Fragmentasi dapat menyebabkan pemecahan suatu populasi menjadi sub-sub populasi dalam pulau-pulau habitat (habitat islands) kecil yang lebih rawan tarhadap kepunahan lokal. Suatu model dinamika populasi pada habitat yang terfragmentasi pertama dikemukakan oleh Levins (1969b) sebagai teori metapopulasi yaitu suatu populasi yang tersusun atas populasi-populasi lokal yang dianggap akan mati dan dikolonisasi lagi secara lokal. Hanski dan Gilpin (1991), mendefinisikan metapopulasi sebagai sekumpulan populasi-populasi lokal yang berinteraksi melalui perpindahan individu antar populasi-populasi tersebut. Sementara menurut Hanski dan Simberloff (1997) metapopulasi merupakan sekumpulan populasi-populasi lokal di dalam beberapa area yang lebih besar yang ditandai migrasi dari satu populasi lokal ke beberapa patch lain yang memungkinkan. Metapopulasi umumnya terjadi ketika kondisi lingkungan dan karakteristik spesies memberikan pertukaran yang kurang sempurna dari sumber individu dan genetik di antara sub populasi. Ini terjadi khususnya ketika habitat berada pada kondisi heterogen di suatu wilayah, provinsi atau lansekap yang menyebabkan isolasi parsial individu yang berkembangbiak (Morrison et al., 1992). Fragemntasi yang terjadi di hutan-hutan Pulau Jawa dalam 20 tahun terakhir telah menyebabkan populasi macan tutul jawa terpecah-pecah membentuk metapopulasi (Gunawan, 2010). Sub-sub populasi yang terbentuk akibat fragmentasi memiliki kerentanan yang bervariasi terhadap peluang kepunahan lokal, tergantung pada tipe metapopulasi yang terbentuk. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mempelajari metapopulasi macan tutul jawa, khususnya di wilayah Jawa Bagian Barat, yaitu Provinsi Jawa Barat dan Banten. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2015 di kawasan hutan Provinsi Jawa Barat dan Banten. Provinsi Jawa Barat dan Banten memiliki kawasan hutan daratan seluas 1.018.389,70 Ha, dimana hampir separuhnya (46,1%) merupakan Hutan Produksi (HP) yang dikelola oleh Perum Perhutani, 29,8% Hutan Lindung (HL) yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten dan 14,1% Hutan Konservasi (HK) yang terdiri atas Cagar Alam (CA) 50.316,78 Ha, Suaka Margasatwa (SM) 13.6117,50 Ha, Taman Wisata Alam (TWA) 4.060,39 Ha dan Taman Buru (TB) 12.420,70 Ha yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat-Banten; Taman Nasional (TN) 271.383 Ha yang dikelola oleh Balai Taman Nasional yaitu TN Ujung Kulon (TNUK, TN Gunung Gede-Pangrango (TNGGP), TN Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dan TN Gunung Ciremai (TNGC), serta Taman Hutan Raya (TAHURA) 631,81 Ha yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi.
131
B. Peralatan dan Bahan Peralatan yang dipergunakan antara lain GPS, camera trap, kamera foto, binocular dan PC/Laptop. Bahan-bahan yang digunakan meliputi peta kawasan hutan, peta tutupan lahan, kuesioner dan panduan wawancara. C. Metode Sebaran populasi macan tutul jawa diperoleh melalui data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui wawancara serta kuesioner yang kemudian di-ground check menggunakan GPS untuk konfirmasi kebenarannya. Data primer diperoleh melalui survei populasi menggunakan GPS ke beberapa kawasan hutan yang diduga masih dihuni oleh macan tutul jawa, berdasarkan informasi awal dari pengelola kawasan hutan (Perhutani, BKSDA, BTN dan Dinas Kehutanan). Data GPS sebaran macan tutul jawa kemudian di-overlay-kan dengan peta tutupan lahan dan peta kawasan hutan untuk mengahasilkan peta sebaran macan tutul jawa di poligon-poligon kawasan hutan. Poligon kawasan hutan yang berisi populasi macan tutul disebut patch habitat dan didefinisikan sebagai sub populasi. Pola sebaran patch sub populasi macan tutul jawa kemudian diidentifikasi pola hubungannya antara sub populasi yang satu dengan sub populasi yang lain dan antar sub populasi dengan poligon kawasan hutan yang kosong di dekatnya. Hasilnya dicocokkan kemiripannya dengan tipe-tipe metapopulasi yang dibuat oleh Hanski & Simberloff (1997) serta (Harrison & Taylor 1997) yaitu classic metapopulation, mainland-island metapopulation, nonequilibrium metapopulation, patchy population yang digambarkan pada Gambar 1.
“Classic” (Levins) metapopulation
Nonequilibrium metapopulation
Mainland – Island metapopulation
Patchy Population
Keterangan : patch hitam berpenghuni,
Gambar 1. Tipe-tipe metapopulasi patch putih kosong
HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber: Hanski&Simberloff (1997); A. Tipe Metapopulasi Hasil inventarisasi menemukan titik indikasi keberadaan macan tutul jawa di Pulau Harrison 75 & Taylor (1997) Jawa Bagian Barat (Provinsi Jawa Barat dan Banten). Sebagian besar (63%) habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten merupakan hutan tanaman yang dikelola dengan intensif oleh Perum Perhutani Divisi Jawa Barat dan Banten. Sementara sekitar 37% berada di hutan alam yang dikelola sebagai hutan konservasi dan hutan lindung. Sisanya sekitar 5% berada hutan alam primer di puncak-puncak gunung yang sulit dijangakau manusia (Gunawan & Wiennanto, 2015). Populasi macan tutul jawa di Jawa Barat dan Banten telah terpecah-pecah dan terdistribusi dalam kelompok-kelompok metapopulasi yang dapat dikelompokkan ke dalam empat tipe metapopulasi seperti disajikan pada Tabel 1. Metapopulasi terbentuk secara evolusi seiring perubahan tutupan lahan (land cover) yang mengikuti perubahan penggunaan lahan (land use) di wilayah ini. Hal ini terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
132
(RTRWP) dan Kabupaten (RTRWK). Fragmentasi hutan terjadi akibat perubahan peruntukan atau konversi menjadi lahan non hutnanan, seperti jaringan jalan, jaringan irigasi, pemukiman, pertanian, perkebunan dan industri. Tabel/Table 1. Tipe metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten/Metapopulation types of javen leopard in West Java dan Banten Provinces. No. Tipe Metapopulasi Jumlah Kelompok Populasi Utama (Group of Main (Metapopulation (Number) Population) Types) 1 Mainland-Islands 5 Mainland G. Halimun-Gn. Salak; mainland G. Gede-G. Pangrango; mainland G. Papandayanmetapopulation G. Malabar; mainland G. Patuha-G. Kendeng; mainland G. Galunggung-G. Cikuray 2 Classic metapopulatin 9 Kelompok Gn. Karang-G. Pulasari-G. AseupanMandalika; kelompok Padarincang-Pabuaran; Cikepuh-Jampang; kelompok Leuweungsancang; kelompok Pangandaran; kelompok Selajambe-Lebakwangi-Ciwaru; kelompok Cijambe; kelompok Bojongpicung; kelompok G. Calancang-Wado. 3 Patchy population 4 Ujung Kulon, G. Burangrang, G. Ciremai, G. Syawal 4 Non Equilibrium 7 Cikalong, Cipatujah, G. Sangkur, G. Cakrabuana, G. Malang, Cibarusah, G. metapopulation Tampomas 1.
Mainland-islands metapopulation Wilayah Pulau Jawa Bagian Barat (Provinsi Jawa Barat dan Banten) memiliki banyak gunung-gunung besar yang masih terhubung satu dengan lainnya sehingga membentuk mainland yang menjadi populasi sumber (source). Pusat-pusat Mainland-islands metapopulation di Jawa Barat dan Banten adalah: Gunung Halimun – Gunung Salak Gunung Gede – Gunung Pangrango Gunung Papandayan – Gunung Malabar Gunung Patuha – Gunung Kendeng Gunung Galunggung - Gunung Cikuray Gunung-gunung besar tersebut merupakan mainland atau populasi sumber (source) yang setiap saat akan mengkolonisasi kantong-kantong habitat (patches) kosong di sekitarnya. Mainland Gunung Halimun-Gunung Salak dan mainland Gunung Gede-Gunung Pangrango merupakan kawasan hutan konservasi berstatus taman nasional. Sementara mainland Gunung Papandayan-Gunung Malabar, mainland Gunung Patuha-Gunung Kendeng dan mainland Gunung Galunggung-Gunung Cikuray sebagian besar merupakan kawasan hutan dengan status hutan lindung.
133
Gambar 1. Tipe-tipe metapopulasi macan tutul jawa di Jawa Barat dan Banten. 2.
Classic metapopulation Classic metapopulation umumnya terbentuk ketika hutan terfragmentasi oleh penggunaan non kehutanan secara masif dan ekstensif, namun masih menyisakan koridorkoridor alami yang dapat menghubungkan antara satu fragmen hutan dengan fragmen hutan lainnya, meskipun sulit ditempuh. Classic metapopulation telah terbentuk selama puluhan tahun dan cenderung semakin meningkat. Pasca reformasi dan diberlakukannya otonomi daerah tahun tahun 2000, banyak terjadi pemekaran wilayah dengan pembentukan provinsi dan kabupaten baru. Pemekaran wilayah berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan ruang untuk pembangunan wilayah. Pada tahap awal umumnya didahului dengan pembangunan infrastruktur seperti jaringan jalan, jaringan listrik, jaringan irigasi, pemukiman, sentra-sentra produksi pertanian dan perkebunan, industri dan pusat-pusat pemerintahan. Pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut seringkali menggunakan kawasan hutan melalui mekanisme konversi atau pinjam pakai kawasan. Hal ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan (habitat loss) dan fragmentasi hutan (fragmentation).Pembangunan pemukiman, pertanian dan jalan raya yang memotong kawasan hutan telah memecah-mecah kawasan hutan yang luas menjadi fragmen–fragmen (potongan-potongan) hutan yang sempit dan saling terpisahkan satu sama lain sehingga sulit untuk terjadi perpindahan individu macan tutul jawa dari satu fragmen hutan ke fragmen hutan lainnya. Akibatnya populasi macan tutul jawa yang tersisa menjadi sulit bereproduksi karena tidak mendapatkan pasangan, atau mati dibunuh karena tersesat masuk pemukiman dalam perjalanannya pindah ke fragmen hutan lain.
134
Gambar/Figure 2.
Perubahan vegetasi hutan menjadi kebun kopi dengan pengelolaan intensif dan pembangunan jalan tol melewati kawasan hutan menciptakan fragmentasi habitat/Land cover change into intensive coffea plantation and highway development through forested area create habitat fragmentation in West Java.
3. Patchy population Patchy population umumnya berada di kawasan konservasi yang besar. Meskipun tidaik terhubungkan dengan populasi lain, namun populasi patchy ini dapat melangsungkan hidupnya karena jumlah individunya cukup banyak. Adanya sungai besar, lahan kosong tak berhutan atau garapan illegal seolah memisahkan individu-individu macan tutul dalam subsub populasi, padahal mereka masih terhubungkan satu dengan lainnya dan merupakan satu populasi besar. Individu-individu jantan yang bersifat teritorial seperti membentuk sub populasi tersendiri dengan betina-betina yang ada di dalam ruang jelajahnya. Dengan demikian dalam satu kawasan hutan seolah terdepat beberapa sub populasi, padahal merupakan satu populasi besar. Patchy population terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gunung Ciremai, Suaka Margasatwa Gunung Syawal dan Hutan lindung Gunung Burangrang. 4.
Non equilibrium metapopulation Non equilibrium metapopulation terjadi ketika suatu populasi macan tutul jawa berangsur terfragmentasi dan menyisakan luasan hutan yang sempit dan tidak terhubungkan dengan kawasan hutan lainnya. Akibatnya populasi macan tutul jawa menjadi terisolasi dan sama sekali tidak dapat berhubungan atau berpindah ke patch lain atau kawin dengan individu dari populasi lain. Populasi yang terisolasi lama kelamaan akan mengalami kepunahan lokal karena gagal bereproduksi atau terjadi inbreeding akibat perkawinan antar kerabat dekat, akibatnya individu-individu yang lahir kualitas genetiknya buruk, misalnya lemah sehingga mudah terserang penyakit dan mati. Populasi-populasi dalam keadaan non equilibrium terdapat di komplek hutan Cikalong, Cipatujah, Cibarusah, G. Sangkur, G. Cakrabuana, G. Malang dan G. Tampomas. B. Prediksi Peluang Kepunahan Lokal Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992) ada empat cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal: (1) Spesies mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi; (2) Kantong habitat gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas internal;
135
(3) Fragmentasi menciptakan populasi lebih kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih besar terhadap bencana, variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial; (4) Fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect). Cara pertama - spesies mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi, telah terjadi dengan diindikasikan semakin banyaknya macan tutul yang keluar dari kantong habitatnya. Gunawan & Wienanto (2015) mencatat kasus keluarnya macan tutul dari kantong habitatnya di Jawa Barat sejak tahun 2001 hingga tahun 2012 cenderung meningkat, dari satu kasus pada tahun 2001 menjadi 16 kasus di tahun 2011. Sedangkan sampai Bulan Desember tahun 2012 baru dilaporkan 5 kasus gangguan macan tutul. Kasus terbanyak macan tutul jawa keluar dari kantong habitat terlindungi terjadi di Suaka Margasatwa Gunung Syawal yaitu 30 kasus sejak tahun 2001 (Gunawan & Wienanto, 2015). Cara kedua - kantong habitat gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas internal, tampaknya terjadi bersamaan dengan cara pertama terjadi di Suaka Margasatwa Gunung Syawal. Gunung Syawal merupakan satu kesatuan lanskap dengan hutan lindung dan hutan produksi di sekitarnya. Ketika hutan lindung dan hutan produksi masih bervegetasi hutan alam dan hutan tanaman rasamala dan pinus, populasi macan tutul di suaka margasatwa tersebut memiliki habitat yang luas karena hutan lindung dan hutan produksi menjadi bagian habitatnya terutama untuk mencari mangsa. Ketika hutan lindung dan hutan produksi di sekitarnya digarap oleh masyarakat menjadi kebun kopi rakyat dengan cara menebang habis vegetasi hutan dan tumbuhan bawahnya, maka otomatis habitat macan tutul jawa di Suaka Margasatwa Gunung Syawal menjadi berkurang, karena areal perburuannya menjadi kebun kopi yang sama sekali tidak bisa menjadi habitat satwa-satwa mangsanya yang umumnya herbivora. Cara ketiga - fragmentasi menciptakan populasi lebih kecil dan terisolasi sudah terjadi pada populasi-populasi non equilibrium seperti di Cikalong, Cipatujah, Cibarusah, G. Sangkur, G. Cakrabuana, G. Malang dan G. Tampomas. Populasi-populasi di Cikalong, Cipatujah, Cibarusah memiliki resiko lebih besar terhadap bencana, variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial karena populasinya benar-benar telah mengecil dan terisolasi. Populasi-populasi ini berada di hutan produksi yang sangat rentan gangguan aktifitas manusia. Sementara populasi-populasi di G. Sangkur, G. Cakrabuana, G. Malang dan G. Tampomas, meskipun terisolasi naumn berada di hutan lindung yang relatif lebih aman dari gangguan manusia. Cara keempat - Fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect), dapat dilihat pada kasus Suaka Margasatwa Gunung Syawal. Adanya kegiatan pembuatan kebun kopi dengan mengkonversi hutan alam dan hutan tanaman rasamala dan pinus telah menimbulkan gangguan ekologis, seperti hilangnya beberapa satwa mangsa yang menjadi kunci eksistensi macan tutul jawa di suaka margasatwa tersebut. Kebun kopi rakyat ini juga dikelola dan dijaga secara intensif sehingga aktifitas manusia di dalamnya cukup sering. Hal ini secara tidak langsung juga telah menciptakan efek tepi bagi hutan yang tersisa di Suaka Margasatwa Gunung Syawal. Dengan mempertimbangkan empat cara populasi menuju kepunahan lokal tersebut maka populasi-populasi yang tergabung dalam mainland-islands metapopulation 136
diperkirakan akan bertahan dalam jangka waktu yang panjang ke depan, karena setiap ada kekosongan habitat akibat kematian atau migrasi akan diisi oleh individu-individu baru dari “mainland” yang biasanya merupakan habitat luas dengan populasi besar dengan pusatnya merupakan gunung-gunung yang tinggi dan besar. Populasi besar di mainland yang umumnya relatif aman kaena terlindungi dalam status kawasan hutan konservasi dan hutan lindung akan menjamin kelestarian populasi-populasi yang tergabung dalam tipe mainlan island metapopulatiom. Patchy population jika dilihat secara lanskap, sebenarnya merupakan populasi terisolasi dari populasi lain, namun ukurannya besar sehingga diperkirakan masih akan bertahan dalam beberapa tahun yang akan datang, jika tidak terjadi penyusutan, fragmentasi dan degradasi habitat lebih lanjut.Patchy population yang berada di kawasan konservasi yang cukup luas, dapat menjamin keberlangsungan populasi macan tutul jawa dalam jangka panjang, seperti di Taman Nasional Ujung Kulon, meskipun mungkin populasinya tidak bertambah. Non equilibrium metapopulation merupakan populasi-populasi yang benar-benar terisolasi dan dikelilingi oleh pemukiman dan penggunaan lahan non kehutanan sehingg menjadi penghalang (barrier) bagi perpindahan macan tutul jawa yang ada di populasipopulasi tersebut. Disamping terisolasi, populasi-populasi non equilibrium tersebut juga kecil, sehingga lebih rentan terhadap kepunahan lokal. Populasi non equilibrium yang terdapat di hutan-hutan produksi dikhawatirkan akan segera punah dalam satu atau dua generasi yang akan datang (8-16 tahun), dengan asumsi umura tertua macan tutul di alam adalah delapan tahun. Classic metapopulation dalam kondisi tidak ada fragmentasi lebih lanjut, mungkin akan bertahan dalam satu atau dua dekade mendatang. Masalahnya adalah beberapa sub populasi dalam jaringan classic metapopulation menghadapi ancaman penyusutan habitat hingga sampai hilang akibat penggarapan illegal atau eksploitasi kayu di hutan produksi. Disamping itu, dengan semakin banyaknya jaringan jalan dibangun melewati kawasan hutan akan mengundang aktifitas manusia lainnya seperti pemukiman dan budidaya pertanian yang akan menambah intensif pengaruh tepi sehingga mempercepat proses kepunahan lokal. C. Implikasi Manajemen Fragmentasi memberikan pengaruh negatif karena ada habitat yang hilang; menghasilkan kantong habitat lebih kecil sehingga mendorong pada kepunahan lokal dan isolasi; menyebabkan habitat-habitat tidak lagi bersambungan, khususnya jika fragmentasi disebabkan oleh aktifitas non kehutanan; dan jumlah edge meningkat sehingga merugikan spesies interior (Barnes, 2000). Spesies interior adalah spesies yang menyukai tinggal di bagian tengah (core) habitat dengan vegetasi hutan yang relatif utuh dan jauh dari pinggiran hutan yang biasanya berbatasan dengan tutupan lahan selain hutan, misalnya pertanian lahan kering, sawah, pemukiman, jalan atau perkebunan. Macan tutul jawa termasuk satwa interior dan cenderung menjauhi daerah tepi hutan dan aktifitas manusia. Menurut Gunawan (2016 in press), macan tutul jawa menyukai hutan alam primer di daerah pegunungan dengan elevasi di atas 1000 m dpl dan bertopografi curam dan sangat curam. karena aman dari gangguan aktifitas manusia. Mekanisme dan proses fragmentasi menghasilkan tiga tipe pengaruh, yaitu : (1) pengaruh ukuran patch; (2) pengaruh tepi (edge effect); dan (3) pengaruh isolasi (Fahrig, 2003). Pengelola satwaliar harus memperhatikan semuanya karena ketiganya biasanya terjadi bersama-sama seiring dengan fragmentasi habitat dan masing-masing memerlukan penanganan yang berbeda (Franklin et al., 2002; Fahrig, 2003). Implikasi bagi manajemen adalah agar fragmentasi hutan tidak menyebabkan penyusutan habitat terlalu besar, tidak memberikan efek tepi terlalu luas dan tidak 137
menciptakan isolasi yang terlalu berat dengan cara mencegah terjadinya perubahan tutupan hutan menjadi non kehutanan di sekitar jalan atau infrastruktur lain yang membelah kawasan hutan. Oleh karena itu, pembangunan jalan atau infrastruktur lain melalui kawasan hutan yang menjadi habitat satwa penting, diusahakan agar tidak mengubah status fungsi kawasan hutan menjadi penggunaan lain. Dengan demikian, perijinan pembuatan jalan atau infrastruktur lainnya yang melalui kawasan hutan sebaiknya dilakukan dengan skema ijin pinjam pakai kawasan atau melalui mekanisme kerjasama kolaborasi dengan pengelola kawasan hutan. Implikasi manajemen dari pengaruh ukuran patch yang mengecil akibat fragmentasi adalah melakukan rehabilitasi atau restorasi habitat-habitat yang terdegradasi di sekitar patch yang berisi macan tutul jawa atau menetapkan daerah penyangga (buffer) di sekitar patch yang kecil untuk memperluas habitat. Menurut Gunawan (2010) home range seekor macan tutuo jawa jantan adalah sekitar 600 Ha yang overlap dengan home range betina-betina pasangan kawinnya. Dengan demikian, untuk satu sub populasi diperlukan lebih dari 600 Ha. Oleh karena itu apabila terjadi degradasi atau fragmentasi hutan diusahakan agar tidak sampai menciptakan patch dengan luas kurang dari 600 Ha. Apabila telah terlanjur ata sub populasi acan tutul jawa yang berada pada habitat dengan luasan 600 Ha atau kurang, maka harus dilakukan upaya penyelamatan berupa pengkayaan habitat, perluasan habitat atau translokasi ke lokasi lain. Implikasi manajemen dari isolasi habitat akibat fragmentasi adalah mencegah terjadinya isolasi atau menghubungkan kembali sub-sub populasi yang terisolasi melalui pembangunan koridor perpindahan (movement corridor). Koridor-koridor perlu dibangun untuk menghubungkan sub-sub populasi dalam classic metapopulation maupun dalam non equlibrium metapopulation. Koridor memiliki peranan yang sangat strategis terutama jika antar patch habitat dipisahkan oleh bukan saja jalan raya tetapi juga oleh penggunaan lahan lainnya seperti pemukiman, lahan pertanian, jaringan irigasi dan lain-lain sehingga jarak antar patch habitat cukup jauh (Gunawan, 2014). Menurut Meret (2007) koridor perlu dibuat karena memberikan manfaat: (1) Meningkatkan laju imigrasi antara populasi sehingga dapat memelihara keragaman, meningkatkan ukuran populasi, menurunkan kemungkinan kepunahan dan menghindarkan inbreeding. (2) Meningkatkan areal untuk mencari makan bagi spesies dengan jelajah yang luas. (3) Memberikan tempat melarikan diri dan bersembunyi dari predator, kebakaran dan gangguan lainnya. Sebaran populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten sebagian besar (63%) di hutan tanaman produksi, artinya 63% populasi tersebut menghadapi ancaman akibat penebangan, penggarapan lahan, konversi dan pinjam pakai kawasan serta gangguan oleh berbagai aktifitas manusia lainnya. Hal ini membawa konsekuensi perlunya upaya manajemen populasi macan tutul jawa di hutan produksi, yang pasti membutuhkan perlakuan berbeda dari hutan konservasi. Manajemen khusus ini diperlukan untuk menjaga agar proses penebangan, penggarapan, konversi dan pinjam pakai kawasan tidak sampai menimbulkan degrafasi habitat, kehilangan habitat dan fragmentasi habitat. Karnivora besar seperti macan tutul jawa memiliki wilayah jelajah luas hingga melintasi beberapa kabupaten atau provinsi serta meliputi berbagai tipe dan status penggunaan lahan. Oleh karena itu manajemen populasinya harus berbasis lanskap atau bentang alam yang bisa mencakup beberapa kabupaten atau provinsi. Hal ini tentu memerlukan adanya koordinasi antar pengelola lahan seperti pengelola hutan konservasi, pengelola hutan lindung, pengelola hutan konservasi dan pengelola perkebunan serta pihakpihak lainnya yang terkait. 138
KESIMPULAN DAN SARAN Fragmentasi hutan di Jawa Barat dan Banten telah menyebabkan populasi-populasi macan tutul jawa terdistribusi dalam empat tipe metapopulasi, yaitu: lima mainland-islands metapopulation; sembilan classic metapopulation; empat patchy population; dan tujuh non equilibrium metapopulation. Gunung-gunung besar di wilayah ini menjadi pusat-pusat mainland-islands metapopulation dan menjadi populasi sumber kolonisasi pulau-pulau habitat (habitat islands) di sekitarnya. Populasi-populasi non equilibrium memiliki resiko kepunahan tertinggi dibanding populasi-populasi dalam mainland island, patchy dan classic metapopulation karena dalam jumlah kecil dan terisolasi. Populasi-populasi dalam kelompok classic metapopulation masih bisa bertahan jika pertukaran individu antar patch tidak menghadapi rintangan berat atau dibantu dengan pembuatan koridor perpindahan. Untuk manajemen populasi macan tutul jawa yang memiliki daerah jelajah luas namun telah banyak terfragmentasi diperlukan manajemen dalam skala lanskap yang melibatkan banyak stakeholders. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi dan kerjasama antar pengelola hutan konservasi, pengelola hutan produksi, pengelola hutan lindung, pengelola perkebunan dan pengelola lahan lainnya yang terkait. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat – Banten; Seluruh KPH Perum Perhutani di wilayah Jawa Barat dan Banten; Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat-Banten; Taman Nasional Ujung Kulon, TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun Salak, TN. Gunung Ciremai; Conservation International (CI, Indonesia) dan Taman Margasatwa Cikembulan, Garut yang telah berkontribusi data. Terima kasih juga disampaikan kepada Graham Eagleton yang telah memberikan koreksi bahasa Inggris dan saran perbaikan umum pada naskah ini. DAFTAR PUSTAKA Ario, A., S. Sunarto & J. Sanderson. 2008. Panthera pardus ssp. melas. In: IUCN 2008 Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org. Diakses Tanggal 13 Januari 2009. Barnes, T.G. 2000. Landscape Ecology and Ecosystems Management. Cooperative Extension Services, University of Kentucky, College of Agriculture. UK. http://www.ca.uky.edu. Diakses Tangal 24 Februari 2007. Bureau of Land Management. 2004. Share the Adventure; Tracking Habitat Change. Educator‘s guide: Electronic Field Trip. U.S. Department of the Interior, Bureau of Land Management, Environmental Education and Volunteers Group, Washington, DC. 39p. Cat Specialist Group. 2002. Panthera pardus. In 2006 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN 2006. Diakses 12 Mei 2006. Fahrig, L. 2003. Effects of Habitat Fragmentation on Biodiversity. Annual Reviews of Ecology & Systematics 34:487–515. Franklin, A.B., B.R. Noon & T. L.George. 2002. What Is Habitat Fragmentation? Studies in Avian Biology No. 25:20-29. http://www.humboldt.edu/tlg2/ publications/what_is_habitat_fragmentation. pdf . Diakses Tanggal 11 Mei 2007.
139
Gunawan, H. 2010. Habitat Dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) Di Lanskap Terfragmentasi Di Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Gunawan, H. 2014. Dampak Rencana Pembangunan Jalan Melintasi Kawasan Lindung Terhadap Keseimbangan Ekosistem Dan Habitat. Makalah disampaikan pada National Inception Workshop dengan tema ―Membangun Ketahanan Hutan Hujan Tropis Sumatera untuk Mitigasi Perubahan Iklim and Keanekaragaman Hayati‖, Di Hotel Santika Dyandra, Medan, Tanggal 23-24 September 2014. Gunawan, H. 2016. Preferensi Habitat Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) Di Jawa Bagian Barat. In press. Gunawan, H. & R. Wienanto. 2015. Sebaran Ekologis dan Ancaman Kepunahan Lokal Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) Di Jawa Bagian Barat. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional menyambut Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional Tahun 2015 dengan tema Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan. Bogor, 24 November 2015. Hanski, I. 1998. Metapopulation Dynamics. Nature, Vol 396, 5 November 1998. Macmillan Publishers Ltd. www.nature.com. Diakses tanggal 09 Mei 2008. Hanski, I. & D. Simberloff. 1997. The Metapopulation Approach, Its History, Conceptual Domain, and Application to Conservation. pp. 5–26. In I. A. Hanski and M. E. Gilpin (eds.), Metapopulation Biology. Academic Press, San Diego, Californina. Hanski, I. & M. Gilpin. 1991. Metapopulation Dynamics: Brief History and Conceptual Domain. Biological Journal of the Linnean Society 42:3–16. Harrison, S. & Taylor, A. D. 1997. Empirical Evidence for Metapopulation Dynamics. In: Hanski, I. and Gilpin, M. E. (Eds.) Metapopulation Biology: Ecology, Genetics, and Evolution. Academic Press, San Diego. pp. 27-42. IUCN - The World Conservation Union. 1996. The IUCN Redlist of Threatened Species. Leopard Panthera pardus Linnaeus 1758. http://www.iucnredlist. org. Diakses Tanggal 2 Mei 2007. Levins, R. 1969. Some Demographic and Genetic Consequences of Environmental Heterogeneity for Biological Control. Bulletin of the Entomological Society of America, 15, 237-240 McGarigal, K. & B. J. Marks. 1995. Fragstats: Spatial Pattern Analysis Program for Quantifying Landscape Structure. USDA For. Serv. Gen. Tech. Rep. PNW-351. http://www.innovativegis.com/basis/Supplements/BM_Aug_99/ FRAG_expt.htm. Diakses Tanggal 12 April 2006. Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors. mcmaster.ca.htm. Diakses Tanggal 02-11-2007.
http://www.science.
Morrison, M.L., B.G. Marcot & R.W. Mannan. 1992. Wildlife-Habitat Relationships. The University of Wisconsisn. Madison, Wisconsin.
140
KERAGAMAN DAN HUBUNGAN KEKERABATAN FAMILI DICROGLOSSIDAE (AMFIBI : ORDO ANURA) BERDASARKAN MORFOMETRIK DI KAWASAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA Junaydy Michael Angelo Ginting1, Arlen Hanel John2, Saleha Hannum2 Mahasiswa Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara 2 Staf Pengajar Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara 20155 Email :
[email protected] 1
Abstract The research of diversity and relationship of Family Dicroglossidae (Amphibian : Order Anura) based on morphometrics in Sibolangit, Deli Serdang District has been conducted from January to July 2015 with seven sampling area (Sibolangit Nature Park, Bandar Baru, Sibolangit, Bingkawang, Batu Mbelin, Sembahe and Timbang Lawan village). Survey and direct collection methods were used in this study. Measurement was carried out for 31 morphometrics characters using caliper digital. The result showed that 5 species diversity coefficients was below 20%, because small populations, endemic species, pollutions and food. Dicroglossidae‟s morphometrics relationship for all varieties depend on body size and morphometrics. The similarity of characters could be caused by food related habitat and food habit. Keywords: Amphibi, Dicroglossidae, morphometrics, relationship, Sibolangit
PENDAHULUAN Dicroglossidae (Anderson, 1871) merupakan salah satu famili dari Ordo Anura yang memiliki persebaran yang cukup luas (Iskandar, 1998; Mistar, 2003). Famili ini menyebar di seluruh Asia Tenggara, India, Jepang Selatan, hingga Papua Nugini. Kelompok yang dulu pernah disatukan dengan Ranidae ini memiliki mempunyai tubuh menggembung serta tidak adanya lipatan dorsolateral yang memisahkan famili ini dengan Dicroglossidae. Jari-jari tidak melebar dan tidak membentuk lekuk sirkum marginal (Iskandar, 1998). Penyebaran Dicroglossidae yang sangat luas kemungkinan menyebabkan terjadinya variasi morfologi pada masing-masing spesiesnya. Sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai morfometrik. Pengamatan morfometrik dapat menduga ukuran populasi spesies yang berpengaruh pada keragaman genetik, sehingga dapat menduga kemungkinan populasi tersebut mengalami kepunahan atau terancam (Kamariah, 2011). Selain itu Warwick et al. (1995) menyatakan bahwa ukuran-ukuran tubuh berguna untuk menelusuri asal-usul dan hubungan filogenetik antar hewan yang diamati. Penelitian mengenai morfometrik dan hubungan kekerabatan Amfibi di Sumatera Utara masih sangat minim, khususnya Dicroglossidae. Hanya terbatas pada inventarisasi dan eksplorasi jenis-jenis, seperti kawasan Leuser (Mistar, 2003), TWA Sibolangit dan Sembahe (Siregar, 2010), Desa Batu Mbelin (Pradana, 2012), dan Batang Toru (Handayani, 2014). Penelitian tentang morfometrik di kawasan Sumatera lain, seperti Sumatera Barat telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Gusman (2003) melaporkan bahwa secara morfometri beberapa genus dari Famili Ranidae dan Bufonidae. Fauzan (2009) juga telah melaporkan 141
mengenai Fejervarya limnocharis danNesty (2013) mengenai variasi Duttaphrynus melanostictus. Sumatera Utara merupakan bagian dari pulau Sumatera memiliki kondisi alam yang menarik dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Salah satu kawasan ekosistem yang memiliki tingkat keanekaragaman satwa tinggi adalah kawasan Sibolangit, yang merupakan satu kesatuan dengan hutan Tahura Bukit Barisan, serta memiliki biodiversitas yang sangat tinggi, diantaranya adalah amfibi Berdasarkan kondisi alamnya, Sibolangit merupakan daerah yang memiliki topografi alam berupa pegunungan, sungai, berbukit-bukit, hutan wisata dan pemukiman. Selain itu, kawasan ini merupakan salah satu tempat tujuan objek wisata (Siregar, 2010; Pradana, 2012; Widodo, 2003). Kondisi alam Sibolangit yang bervariasi tersebut menjadi alasan untuk mengetahui variasi morfometrik dan hubungan kekerabatan Dicroglossidae untuk melihat kemungkinan terjadinya variasi morfologi, yang berhubungan dengan status konservasi dan hubungan kekerabatan famili tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman dan hubungan kekerabatan Dicroglossidae berdasarkan morfometrik di hutan kawasan Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Srdang, Sumatera Utara. BAHAN DAN METODOLOGI Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 sampai Juli 2015 di hutan Kawasan Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Metode yang digunakan yaitu pencarian aktif (Survey Eksploratif) dan koleksi langsung pada lokasi di 7 area sampling (TWA Sibolangit, hutan desa Bandar Baru, Sibolangit, Bingkawang, Batu Mbelin, Sembahe dan Timbang Lawan). Pengamatan di masing-masing lokasi dilakukan pada malam hari (jam 19.00-23.00 WIB). Sampel yang diambil maksimal 5 individu per spesies pada masing-masing lokasi. Pengukuran karakter morfometrik dilakukan terhadap 31 karakter morfometrik menurut Nesty (2013) (Gambar 1.) dengan digital caliper, kemudian diidentifikasi dengan buku panduan lapangan Amfibi Kawasan ekosistem Leuser (Mistar, 2003), lalu dilepas kembali di habitatnya. Apabila sampel tidak mencukupi dapat dilakukan pengukuran yang sama pada spesimen di laboratorium yang berasal dari lokasi yang sama.
Gambar 1.PB: Panjang badan, PK: Panjang kepala, LK: Lebar kepala, JMT: Jarak dari moncong sampai tympanum, PM: Panjang moncong, JHM: Jarak dari hidung sampai moncong, JMM: Jarak dari mata sampai moncong, JHT: Jarak dari hidung sampai tympanum, JMH: Jarak dari mata sampai hidung, JMTi: Jarak dari mata sampai tympanum, DT: Diameter tympanum, JMHi: Jarak dari mandibula sampai hidung, JMMD: Jarak dari mandibula sampai mata bagian depan, JMMB: Jarak dari mandibula sampai mata bagian belakang, JIN: Jarak Inter Nares, DM: Diameter mata, JIO: Jarak Inter Orbital, PKM: Panjang kelopak mata, PMD: Panjang manus sampai digiti, PBr: Panjang branchium, PAb: 142
Panjang Antebranchium, PKB: Panjang kaki belakang, PF: Panjang Femur, PT: Panjang Tibia, PMTJ4: Panjang dari metatarsus sampai ujung jari ke empat kaki belakang, PTJ4: Panjang dari tarsus sampai jari ke empat kaki belakang, PJ3KD: Panjang jari ke tiga kaki depan, PJ1KD: Panjang jari pertama kaki depan, PJ4KB: Panjang jari ke empat kaki belakang, PJ1KB : Panjang jari pertama kaki belakang, dan PTM : Panjang tuberkulum metatarsal. Analisis Data Morfometrik Data-data morfometrik yang didapat dianalisis menggunakan Statistik deskriptif yang meliputi rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman, yang dihitung berdasarkan rumus Standsfield (1983), sebagai berikut: Rataan
x
n
x
i 1 i
n
Keterangan : : nilai rataan x : jumlah seluruh sampel pengamatan n xi : data ke-i Simpangan Baku n
s i 1
( xi x ) 2 n 1
Keterangan : : simpangan baku s xi : data ke-i : rataan data pengamatan x : jumlah seluruh sampel pengamatan n Koefisien Keragaman (KK) KK
S 100% x
Keterangan: : koefisien keragaman (%) KK S : simpangan baku : rataan data pengamatan x Analisis Hubungan Kekerabatan Untuk mengetahui hubungan kekerabatan berdasarkan morfometrik, rata-rata morfometrik setiap karakter morfometrik dikelompokkan ke dalam interval menurut Distribusi Frekuensi. Data disusun ke dalam bentuk kelompok mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar berdasarkan kelas-kelas interval dan kategori tertentu. Penentuan interval untuk memudahkan rentang ukuran tubuh katak, dimulai dari nilai 0, yang berarti ukuran sangat kecil/pendek, 1 = ukuran kecil/pendek, 2= ukuran sedang (medium), 3= ukuran besar/panjang, dan 4= ukuran sangat besar/panjang. Pengkodean karakter tersebut mengikuti Amat et al. (2013) namun dimodifikasi terhadap nilai kuantitatif morfometrik. Hasil notasi
143
yang ditemukan di masukkan ke dalam program software Mega 6. dengan metode UPGMA dalam mengkonstruksi filogeninya. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian didapatkan koefisien keragaman morfometrik dan hubungan kekerabatan jenis-jenis Dicroglossidae di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang berdasarkan morfometrik. Koefisien Keragaman Morfometrik Famili Dicroglossidae yang ditemukan terdiri dari 4 spesies. Pengukuran dan analisis morfometrik Dicroglossidae yang ditemukan di Kecamatan Sibolangit didapatkan kisaran koefisien keragaman dan rata-rata koefisien keragaman yang disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kisaran Koefisien Keragaman dan Rata-rata Koefisien Keragaman No. Spesies Kisaran KK Rata-rata KK (%) Katak Hijau, Fejervarya cancrivoraGravenhorst, 1. 2,5 ± 33,6 13,2 1829 Katak Tegalan, 2. 0,9 ± 38,5 10,3 Fejervarya limnocharisBoie, 1835 Katak Panggul, 3. 0,7 ± 21,4 4,6 Limnonectes blythiBoulenger, 1920 Bangkong Tuli, 4. 1,9 ± 66,2 17,7 Limnonectes kuhliiTschudi, 1833 Bancet Sumatra, 5. 2,5 ± 31,9 10,4 Occidozyga sumatranaPeters, 1877 Berdasarkan hasil analisis Statistik Deskriptif dapat dilihat bahwa terdapat variasi kisaran dan rataan KK pada masing-masing spesies. Koefisien keragaman (KK) tertinggi ditemukan pada spesies Limnonectes kuhlii mencapai 17,7%, selanjutnya disusul spesies Fejervarya cancrivora yang mencapai 13,2%, berikutnya spesies Occidozyga sumatrana yang berkisar 10,4%, kemudian spesies Fejervarya limnocharis yang mencapai KK sekitar 10,3%, serta nilai KK paling rendah, ditemukan pada spesies Limnonectes blythi sebesar 4,6%. Kamariah (2011) menjelaskan bahwa koefisien keragaman dapat mengindikasikan bahwa spesies tersebut memiliki status konservasi yang masih dapat dipertahankan maupun yang terancam. Koefisien keragaman yang tinggi mengindikasikan bahwa spesies tersebut memiliki keragaman genetik yang cukup tinggi pula. Syahid (2009) menjelaskan bahwa koefisien keragaman yang mencapai lebih dari 20% merupakan koefisien keragaman yang tinggi, sedangkan apabila kurang dari 20%, maka koefisien keragaman tergolong rendah. Dari seluruh spesies yang ditemukan koefisien keragaman yang didapat tergolong rendah karena lebih rendah dari 20%. Menurut Kamariah (2011) koefisien keragaman yang rendah mengindikasikan bahwa spesies tersebut memiliki keragaman genetik yang cukup rendah dan dapat terancam di masa yang akan datang. Rendahnya koefisien keragaman morfometrik memperlihatkan differensiasi karakter pada masing-masing spesies, mengindikasikan bahwa telah terjadi faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhinya. Salamena et al. (2007) menjelaskan bahwa keragaman dalam suatu populasi dapat menurun karena adanya seleksi alam, perubahan lingkungan dan kematian. Hal tersebut dapat mengurangi jumlah populasi, sehingga keragaman genetik rendah dan menunjukkan semakin besar kemungkinan spesies tersebut punah. Selain itu Kurniati (2007) menjelaskan kawasan hutan Sumatera, khususnya Sumatera 144
bagian utara, termasuk kawasan Sibolangit tengah mengalami ancaman seperti penurunan habitat alami, dan konversi hutan menjadi lahan pertanian, ekowisata dan perkebunan, menjadikan Dicroglossidae terancam keberadaannya. Faktor lain yang menyebabkan keragaman rendah pada suatu spesies, yaitu karena populasi kecil. Fejervarya limnocharis mengalami ancaman karena disebabkan populasi. Spesies ini jauh lebih sedikit di Sibolangit. Menurut IUCN (2015), perambahan (logging) hutan tidak memberikan pengaruh serius bagi spesies ini, namun populasi di Kecamatan Sibolangit dapat menjadi ancaman, sebab deforestasi dapat mengancam populasi yang sedikit. Pada umumnya berkurangnya populasi akan mempengaruhi ukuran populasi dan merujuk kepada ancaman kepunahan, yang akan menyebabkan jenis-jenis di dalamnya akan mulai punah (Pounds & Crumps, 1994; Pounds et al., 1999). Di samping itu jenis katak ini sering diburu untuk dijadikan sebagai makanan ikan hias. Selain karena populasi yang kecil, spesies endemik juga menjadi ancaman karena memiliki koefisien keragaman yang cukup rendah, seperti Occidozyga sumatrana. Spesies endemik memiliki penyebarannya yang terbatas pada suatu wilayah tertentu. Meskipun secara keseluruhan spesies ini tersebar luas di Sumatera, namun tidak sepenuhnya wilayah Sumatera bisa ditemukan spesies-spesies ini. Spesies endemik biasanya memiliki karakteristik-karakteristik tertentu dalam memilih tipe habitatnya (Fiesta-Bianchet & Appolonio, 2003). Kondisi lingkungan yang spesifik dan tertentu menentukan hidup jenis endemik. Spesies endemik umumnya terbentuk dari fragmentasi habitat yang menyebabkan populasi terisolasi. Hal ini juga dipengaruhi variasi cuaca dan iklim yang dimiliki lingkungan secara spesifik (Kruckeberg & Rabinowitz, 1985; Gentry, 1986, dan Major, 1988) Ancaman spesies Dicroglossidae yang menyebabkan keragaman rendah dapat disebabkan oleh beberapa gangguan. Gangguan yang ada di lokasi penelitian antara lain pencemaran air. Katak memerlukan air untuk siklus hidupnya, karena memiliki kulit yang permiabel dan lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan dibandingkan reptil, burung, mamalia (Darmawan, 2008). Gangguan-gangguan tersebut dapat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas telur dan perkembangan telur amfibi (Carey et al. 2003), diantaranya terjadinya malformasi (kecacatan). Kecacatan ditemukan pada 1 jenis. Jenis Limnonectes kuhlii merupakan jenis yang memiliki kecacatan. Kecacatan yang di temukan yaitu jenis Hemimelia (bagian ujung kakinya/jarinya tidak ada) (Gambar 1).
Gambar 1. Kecacatan yang ditemukan pada Dicroglossidae; (A) Jenis Limnonectes kuhlii yang mengalami kecacatan; (B) Hemimelia pada jenis Limnonectes kuhlii Lokasi ditemukannya jenis yang cacat yaitu lokasi Bumi Perkemahan Sibolangit. Lokasi ini memang sedikit tercemar dengan adanya limbah-limbah produk makanan, shampoo, sabun dan bahan kimia aktif lainnya yang bersentuhan langsung dengan sungai. Pencemaran air seperti ini dapat menyebabkan kecacatan (malformasi) pada perkembangan telur katak yang rentan terhadap polusi lingkungan. Selain itu, penduduk menggunakan 145
pestisida untuk tanaman di sekitar sungai dan sisa-sisa sampah wisatawan juga mengambil peran dalam pencemaran di lingkungan tersebut. Tingkat kecacatan masih dianggap normal jika persentase masih kurang dari 5% (Johnson et al.2003). Persentase di lokasi kurang dari 5% karena kecacatan yang ditemukan hanya terjadi pada 1 individu saja, sehingga masih wajar. Namun ini bisa menjadi ancaman dan tingkat kecacatan menjadi meningkat di masa akan datang apabila pencemaran tidak diperhatikan. Apabila keadaan ini akan terus meningkat, tentu saja akan menimbulkan kegagalan reproduksi katak tersebut. Stewart (1995) mengatakan bahwa kegagalan reproduksi terjadi dalam setahun dapat menyebabkan populasi menurun untuk spesies-spesies yang memiliki siklus hidup singkat. Apabila populasi menurun akan sangat mudah terancam apabila terjadi deforestasi hutan di masa yang akan datang. Sementara ancaman lain juga menyerang spesies Dicroglossidae, seperti Limnonectes kuhlii, Fejervarya cancrivora,dan Limnonectes blythi. Penurunan keragaman morfometrik spesies ini disebabkan karena turunnya populasi di alam bebas. Spesies-spesies ini merupakan spesies yang sering dikonsumsi oleh masyarakat (Iskandar, 1998; Nurmainis, 2000; Pratomo, 2002). Pemanfaatan berlebihan juga dapat mengurangi populasi spesies di lingkungan (Cadman, 2007). Biasanya daging katak yang sering dimanfaatkan yaitu katak berukuran besar. Pemilihan individu-individu yang berukuran besar dalam penggunaannya sebagai makanan secara komersil akan meninggalkan populasi yang berukuran kecil. Selain itu pengambilan individu yang berukuran besar dikhawatirkan secara keseluruhan merupakan individu betina yang matang akan reproduksi (siap untuk bertelur). Ini akan sangat mempengaruhi kelangsungan populasi spesies itu sendiri nantinya. Koefisien keragaman yang rendah sangat sesuai dengan spesies Limnonectes blythi yang menurut IUCN berstatus Near Threatened. Near Threatened adalah kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi dan spesies tersebut mendekati persyaratan kategori terancam (kritis, genting dan rentan) dalam waktu dekat (IUCN, 2015). Oleh karena itu, koefisien keragaman yang kecil pada spesies ini menunjukkan bahwa kemungkinan spesies ini akan terancam punah. Kamariah (2011) yang menyatakan bahwa semakin kecil ukuran populasi suatu spesies, maka semakin kecil keragaman genetik, sehingga semakin besar kemungkinan populasi tersebut mengalami kepunahan. Hubungan Kekerabatan Dicroglossidae Berdasarkan Morfometrik Hubungan kekerabatan dilakukan pada 7 spesies yang ditemukan di Kawasan Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang berdasarkan nilai interval dari masingmasing parameter morfometrik. Hubungan kekerabatan berdasarkan famili tersebut disajikan dalam bentuk kladogram (Gambar 2). Kladogram yang disajikan menampilkan jarak genetik pada masing-masing spesies. semakin jauh jarak genetik suatu spesies, maka semakin tinggi perbedaan karakter morfometriknya, dengan kata lain semakin jauh hubungan kekerabatannya. Pada jarak 0,40 memisahkan kelompok Dicroglossidae menjadi dua bagian utama klaster. Bagian klaster pertama, pada jarak 0,35 membagi Dicroglossidae menjadi dua spesies pada cabang 0,05, yaitu Fejervarya cancrivora dan Limnonectes blythi. Pengelompokan kedua spesies ini disebabkan karena ukuran rata-rata kedua spesies ini jauh lebih besar dibandingkan dengan spesies lain.
146
Gambar 2. Hubungan Kekerabatan Famili Dicroglossidae berdasarkan Morfometrik. Pada claster kedua, yaitu pada jarak 0,22, membagi Dicroglossidae menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, pada jarak 0,19 terdapat spesies Limnonectes kuhlii. Pada cabang berikutnya, yaitu jarak 0,16 terdapat dua spesies, yaitu Fejervarya limnocharis dan Occidozyga sumatrana. Pengelompokan kedua spesies ini disebabkan ukuran tubuh kedua spesies ini cenderung lebih kecil dibandingkan spesies Dicroglossidae yang lain, hingga menjadikan dua spesies ini sangat dekat kekerabatannya. Sibuea et al. (1995) menyatakan bahwa persamaan karakteristik dapat disebabkan habitat yang berkaitan dengan makanan dan tingkah laku makan di masing-masing habitatnya. Kedua spesies ini memiliki habitat yang sama, yaitu sungai berarus deras maupun lambat, genangan-genangan air maupun kolam. Setiap spesies Dicroglossidae memiliki variasi berbeda-beda, namun memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Variasi morfometrik yang terjadi pada suatu spesies dengan satu spesies lain dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti kondisi habitat, jarak antar populasi dan isolasi geografis. Semakin jauh jarak antar populasi semakin tinggi perbedaan karakter fenotipnya. Di samping itu, Wibowo (2008) terjadinya diferensiasi karakter morfometri disebabkan oleh adanya isolasi geografis, pengaruh lingkungan dan habitat populasi. Perbedaan spesies satu dengan spesies yang lainnya juga disebabkan karena barier ekologi. Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan morfologi antara spesies dengan yang lainnya, yaitu faktor lingkungan seperti kondisi habitat dan perbedaan ekosistem (Jumilawaty, 2002). Ekosistem suatu spesies sangat mendukung perubahan morfologi dan adaptasi suatu spesies, perbedaan jenis makanan, mekanisme pertahanan dan evolusi spesies. Hal ini menyebabkan perbedaan famili dengan famili lainnya Pengelompokan Dicroglossidae yang diamati pada penelitian ini memberikan hasil yang agak berbeda. Pengelompokkan tersebut terlihat mengelompok berdasarkan ukuran; tidak pada kesamaan ciri dan karakter morfologi. Hasil ini membuktikan bahwa ukuran morfometrik suatu spesies dengan yang lainnya bukan hanya dipengaruhi oleh kesamaan habitat, melainkan perbedaan fisiologis dan morfologis yang tentunya mempengaruhi ukuran tubuh. Thompson & Thoday (1979) menyatakan bahwa variasi kuantitatif pada bobot badan yang dibentuk oleh variasi dalam gen memberikan pengaruh terhadap ukuran dan rata-rata pembelahan sel, susunan otot, fungsi endokrin, panjang tulang nilai metabolisme, asupan nutrisi dan angka kecernaan, yang secara otomatis akan menimbulkan persamaan ukuran tubuh.
147
Daftar pustaka Amat, F., Wollenberg, K. C., Vences., M. 2013. Correlates of Eye Colour and Pattern in Mantellid Frog. Salamandra 49 (1) : 7-17. Cadman, M. 2007. Consuming Wild Life: The Illegal Exploitation of Animal In South Africa Zimbabwe and Zambia. A Preliminary Report for animal Right africa and Xwe African Wild Life. Carey, C., Corn, P.S., Jones, M.S., Livo, L.J., Muths, E. & Loeffler, C.W. (2003) Environmental and life history factors that limit recovery. In: Southern Rocky Mountain populations of borealtoads (Bufo boreas). Status and conservation of North American amphibians (ed. by M. Lanoo), pp. 00–00. University of California Press, Berkeley, CA Darmawan, B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe habitat : Studi Kasus di EksHPH PT. Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana. Fauzan. 2009. Differensiasi Morfometri Fejervarya limnocharis (Gravenhorst, 1829) Di Sumatera Barat. [Skripsi]. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang. Fiesta-Bianchet, M. & Apollonio, M. 2003. Animal Behaviour and Wildlife Conservation. Island Press: Washington DC, USA Gentry A.H. 1986. Endemism in tropical versus temperate communities. In: Soule´ M.E. (ed) Conservation Biology: The Science of Scarcity and Diversity. Sinauer Associates, Sunderland, Massachusetts, pp. 153–181. Gusman, D. 2003. Morfometri Spesies Katak dari Famili Bufonidae dan Dicroglossidae di Sumatra Barat. [Sripsi]. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang. Handayani, S. 2014. Struktur dan Komunitas Amfibi di Stasiun Penelitian Batang Toru. [Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara, Program Sarjana. IUCN. 2015. IUCN Redlist Species Threatened. www.iucnredlist.org. 12 Juli 2015. Iskandar, D.T. 1998. Seri Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang. Biologi LIPI: Bogor. Jumilawaty, E. 2002. Morfometri dan Kompetisi Interspesifik antara Pecuk Hitam (Phalacrocorax sulcirostris) dan Pecuk kecil (Phalacrocorax niger) di Kolonia Utara dan Barat Suaka Margasatwa Pulau Rambut. [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Kamariah. 2011. Analisis Morfometrik Kepala Pada Beberapa Burung Dara Laut (Laridae). [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana. Kruckeberg A.R. & Rabinowitz D. 1985. Biological Aspects of Endemism inHigher Plants. Annual. Review of Ecology Systematics 16: 447–479. Kurniati, H. 2007. The Herpetofauna of The Gold Mining Project Area in North Sumatera: Species Rischness Before Exploitation Activities. Zootaxa. 16(1): 1-11. Major J. 1988. Endemism: A Botanical Perspective. In: Myers A.A. and Giller P.S. (eds) Analytical Biogeography, An Integrated Approach to the Study of Animal and Plant Distributions. Chapman & Hall, London. Mistar, 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Cetakan Pertama. The Gibbon Foundation dan PILI-NGO Movement: Bogor. 148
Nesty, R. Djong, H.T, Henny, H. 2013. Variasi Morfometrik Duttaphrynus melanostictus (Schneider, 1999) (Anura: Bufonidae) di Sumatera Barat yang Dipisahkan Bukit Barisan. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 2(1) 37-42. Nurmainis, 2000. Kebiasaan Makanan Kodok Sawah Rana cancrivora di Kabupaten Bogor Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana. Pounds, J.A. & Crump, M.L. 1994. Amphibian Declines and Climate Disturbance: The Case of The Golden Toad and Harlequin Frog. Conservation Biology 8, 72–85. Pounds, J.A., Fogden, M.P.L. & Campbell, J.H. 1999. Biological Response to Climate Change on A Tropical Mountain. Nature 398, 611–614. Pradana, T.G. 2012. Struktur dan Komunitas Amfibi di Batu Mbelin Kecamatan Sibolangit Kabiupaten Deli Serdang. [Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara, Program Sarjana. Pratomo, H. 2002. Kemampuan Makan Rana limnocharis dan Rana cancrivora di Persawahan Jawa Barat Sebagai Predator Hama Padi dalam Proyek Pengkajian Dan Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 9 April 2002. Jakarta. Salamena, J. F., R. R. Noor, C. Sumantri, & I. Inounu. 2007. Hubungan genetik, ukuran populasi efektif dan laju silang dalam per generasi populasi domba di Pulau Kisar. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32 (2) 71-75. Siregar, A. J. 2010. Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit dan Desa Sembahe Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program Sarjana. Sibuea, T. T., Y. R. Noor, M. J. Silvius, & A. Susmianto. 1995. Burung Bangau, Pelatuk Besi dan Paruh Sendok di Indonesia. Panduan untuk Jaringan Kerja. Perlindungan Hutan dan Pengawetan Alam dan Wetlands International- Indonesia Programme, Jakarta. Stewart, M. M. 1995. Climate Driven Population Fluctuations in Rain Forest Frogs. Journal of Herpetology. 29: 437–446. Syahid, A. 2009. Koefisien keragaman (KK). www. abdulsyahidforum.com/2009/04/koefisienkeragaman-kk.html. Diakses 6 Februari 2011 Thompson, Jr. J. N. & J. M. Thoday. 1979. Quantitative Genetic Variation. Academic Press: New York. Warwick, E. J., J. M. Astuti & W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Widodo. 2003. Identifikasi Obyek dan Lokasi Pendidikan Konservasi di Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit. Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara: Medan Wibowo, A. 2008. Identifikasi Struktur Stok Ikan Belida (Chitala spp.) dan Implikasinya Untuk Manajemen Populasi Alami. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14: 31-44.
149
KEANEKARAGAMAN NEPENTHES DI SUMATERA UTARA Diversity of Nepenthes in North Sumatera Nurmaini Ginting1, Nursahara Pasaribu2 dan Suci Rahayu2 Prodi Pendidikan Biologi,FMIPA, Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan, Jl. Sutan Mohd. Arief No. 32, Padangsidimpuan 2 Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara 1
Abstract Taxonomic study of Nepenthes in North Sumatra has been studied from Februari until August 2011 using survey method. Anatomical variation was studied using technique scraping simple method. There are 32 species of Nepenthes has recorded at ten (10) Sub-Province in North Sumatera, that can be differentiated based an morphological variation (habit, bar, leaf, pitcher, infloresence) and anatomical variaton (stomata). Found anomositik stomata type at Nepenthes. N. lingulata and N. mirabilis have guardian cell and epidermis cell have crystal, while at N. ampullaria, Nepenthes sp. and N. pectinata found surging guardian cell and epidermis cell. Phenetik analysis on morphological and anatomical variations suggest that Nepenthes in North Sumatera are divided into three (3) group with similarity varies from 6394%. Ecological study indicated that most species of Nepenthes are found in Mandailing Natal Sub-province and Center Tapanuli sub-province with 13 species and most Nepenthes type occupy mountain area which is its top represent moss forest and marshy coastal edge area. Keywords: Nepenthes, North Sumatra, Stomata PENDAHULUAN Nepenthes atau lebih dikenal dengan nama kantong semar merupakan salah satu flora unik dan menarik (Bailey, 1992). Nama Nepenthes diambil dari sebuah nama gelas anggur. Di Indonesia, disebut sebagai kantong semar, dengan sebutan beragam di berbagai daerah, periuk monyet (Riau), kantong beruk (Jambi), ketakung (Bangka), sorok raja mantri (Jawa Barat). ketupat napu (Dayak Katingan), telep ujung (Dayak Bakumpai), dan selo begongong (Dayak Tunjung) (Hernawati, 2001). Di Sumatera Utara, Nepenthes biasanya disebut dengan tahul-tahul, terutama di daerah Tapanuli dan Toba Samosir. Sekitar 200 jenis Nepenthes telah teridentifikasi di seluruh dunia. Lebih dari separuhnya terdapat di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Pulau Kalimantan dijuluki sebagai surganya Nepenthes. Sebenarnya Nepenthes banyak terdapat di hutan pantai dan di dataran tinggi, namun seiring terjadinya pembalakan hutan, Nepenthesmenjadi barang langka yang berharga mahal (Suprayandi, 2007). Dari penelitian yang telah dilakukan ditemukan 82 jenis Nepenthes yang kebanyakan tersebar di Malesia (Indonesia, Malaysia dan Filipina) dengan daerah penyebaran utama di Borneo dengan 34 jenis (Rischer, 2001). Sumatera adalah pulau kedua setelah Borneo yang memiliki kekayaan Nepenthes terbesar yaitu 29 jenis yang tersebar di Sumatera (Clarke, 2001). Daun juga merupakan bagian yang penting pada Nepenthes yang digunakan untuk identifikasi dalam taksonomi selain kantung karena keragaman bentuk, warna struktur dan ukurannya (Yusmad, 2008). Daun Angiospermae memiliki struktur anatomi dan morfologi yang amat beragam. Nepenthes saat ini sudah mulai terancam keberadaannya di alam, akibat konversi ataurusaknya habitat alamnya maupun eksploitasi yang berlebihan. Jenis-jenis Nepenthes
150
alam sudah mulai diperjual belikan di Indonesia, terutama di Jawa (Baturraden, Jakarta, Bandung, Jawa Timur, dsb). Dari Sumatera atau Kalimantan penduduk lokal sering mendapat pesanan pemanenan di alam untuk dijual ke Jawa. Hal ini juga dapat menyebabkan terkikisnya populasi Nepenthes di alam bila usaha budidaya tidak dilakukan. Oleh sebab itu pengungkapan informasi tentang keragaman jenis suatu taxa di suatu kawasan penting dan perlu dilakukan sebelum benar-benar punah di alamnya. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juni2009, dengan melakukan eksplorasi ke 10 Kabupaten di Sumatera Utara. Metode jelajah acak serta mengumpulkan informasi dari penduduk lokal. Inventarisasi dilakukan secara eksploratif. Jenis-jenis Nepenthes yang dijumpai diamati morfologinya dengan metode deskriptif. Warna, aroma bila ada, akan menjadi catatan khusus untuk kepentingan identifikasi. Selain itu karakter morfologi yang dapat membedakan antar jenis akan digunakan sebagai kunci identifikasi. Identifikasi dilakukan dengan cara menggunakan acuan spesimen herbarium di Herbarium Medanense maupun penelusuran pustaka. Untuk pengamatan ciri anatomi dengan pembuatanpreparat semi-permanent untuk permukaan epidermis daun (lapisan paradermal) merupakan gabungan Simple Scraping Technique. PEMBAHASAN Dari pengamatan selama penelitian seluruh lokasi pengambilan spesimen umumnya merupakan lahan terbuka, dataran tinggi, tebing-tebing batu yang memiliki tanah yang miskin hara, berupa tanah merah dan tanah berbatu. Habitat berupa semak, rawa dan hutan pegunungan atas. Berdasarkan hasil penelitian telah ditemukan 26 jenis Nepenthes dan 6 jenis hibrid alami yang tersebar pada 10 kabupaten di Propinsi Sumatera Utara. Jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan dengan Propinsi Sumatera Barat yang hanya memiliki 20 jenis dan juga mengalami peningkatan jumlah jenis jika dibandingkan dengan hasil penelitian Clarke tahun 1997 yang hanya menemukan 9 jenis Nepenthes di Sumatera Utara. Sumatera sendiri memiliki 29 jenis dan 26 diantaranya terdapat di Sumatera Utara. Hal ini mengindikasikan Sumatera Utara merupakan daerah yang memiliki keanekaragaman Nepenthes yang sangat tinggi. Tabel 1. Jenis-jenis Nepenthes pada 10 Kabupaten di Sumatera Utara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
N. ampullaria N. beccariana N. densiflora N. diatas N. dubia N. eustachya N. flava N. gracilis N. izumiea N. jamban N. jacquelineae N. lingulata N. mikei N. mirabilis N. naga N. ovata
1 √ √ √ √ √ √
2 √ √ √ √ √ -
3 √ √
4 √ √ √
Lokasi 5 6 √ √ √ -
7 -
8 -
9 √ √ √ √ √ √ √ √
10 √ √ √ -
151
No 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
N. pectinata N. rafflesiana N. reinwardtiana N. rhombicaulis N. spectabilis N. sumatrana Nepenthes sp. N. tobaica N. x hookeriana N. x trichocarpa N. eustachya x N. ampullaria N. eustachya x N. beccariana N. eustachya x N. gracilis N. sumatrana x N. mirabilis N. spectabilis x N. diatas N. spectabilis x N. mikei
Keterangan :
1
2
√ √ √ √ √ 11
√ √ √ √ √ √ √ √ 13
1. Kabupaten Tapanuli Selatan 2. Kabupaten tapanuli Tengah 3. Kabupaten Tapanuli Utara 4. Kabupaten Toba Samosir 5. Kabupaten Karo 6. Kabupaten Langkat
3 √ √ √ √ 6
4 √ √ √ 6
Lokasi 5 6 √ √ √ √ √ √ 3 6
7 √ √ 2
8 √ √ √ √ 4
9 √ √ √ √ √ 13
10 3
7. Kabupaten Pakpak Bharat 8. Kabupaten Dairi 9. Kabupaten Mandailing Natal 10. Pemerintahan kota Sibolga √ = Ditemukan - = Tidak ditemukan
Berdasarkan Tabel 1 dapat kita lihat bahwa Kabupaten Tapanuli Tengah dan Mandailing Natal memiliki jumlah jenis tertinggi. Hal ini dikarenakan ditemukan daerahdaerah eksplorasi baru di kedua daerah tersebut. Jenis di kedua Kabupaten sangat berbeda. Pada Kabupaten Tapanuli Tengah di dominasi oleh jenis-jenis dataran rendah, seperti N. ampularia, N. beccariana, N. eustachya, N. gracilis, N. mirabilis, N. rafflesiana, N. sumatrana, N, x hookeriana, N. x trichocarpa dan beberapa jenis hibrid alami. Hal ini dikarenakan Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan daerah yang dekat dengan pinggiran pantai dan masih banyak daerahnya yang masih merupakan rawa-rawa. Kabupaten Mandailing Natal memiliki banyak daerah pegunungan yang puncaknya merupakan hutan lumut yang sangat cocok untuk tempat hidup berbagai jenis Nepenthes highland. Selain itu, pegunungan dan hutannya yang berbatasan langsung dengan Propinsi Sumatera barat menyebabkan banyaknya kemiripan jenis Nepenthes yang ditemukan seperti N. dubia, N. izumiae dan N. jacquelineae. Jenis-jenis tersebut sebelumnya diketahui endemik di Propinsi Sumatera Barat. Menurut Hernawati & Akhriadi (2006) menyatakan bahwa N. dubia, N. izumiae dan N. jacquelineae endemik di Sumatera barat. Di Langkat juga ditemukan dua jenis yang sebelumnya dilaporkan sebagai jenis yang endemik di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kita ketahui bahwa Langkat merupakan Kabupaten yang langsung berbatasan dengan daerah Aceh dan termasuk ke dalam daerah Taman Nasional Gunung Leuser. Sesuai dengan penelitian Nasution (2005), yang telah menemukan N. densiflora, N. diatas dan silangan alami antara N. diatas dan N. spectabilis. Hernawati (2001), menyebutkan bahwa 20 jenis Nepenthes termasuk dua hibrid alami telah dijumpai di Propinsi Sumatera Barat. Lima diantaranya adalah N. dubia, N. inermis, N. izumiea, N. singalana dan N. talangensis. Clarke (1997), melaporkan sedikitnya 9 jenis Nepenthes yang ditemukan Sumatera Utara yaitu N. rhombicaulis, N. ovata, N. tobaica, N. ampullaria, N. rosulata (N. gymnamphora), N. Sumatrana, N. gracilis, N. alata dan N. reinwardtiana. Clarke (2001) juga melaporkan bahwa Sumatera memiliki 29 jenis dan banyak hibrid alami.
152
Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa daerah yang memiliki jumlah jenis yang tertinggi adalah Kabupaten Mandailing Natal. Nepenthes tersebut ditemukan di daerah pegunungan yang memiliki hutan lumut pada ketinggian 2000 m dpl. Jenis-jenis Nepenthes yang terus bertambah jumlahnya di Sumatera khususnya Sumatera Utara dikarenakan semakin banyaknya daerah yang dieksplorasi. Daerah yang paling banyak ditemukan Nepenthes adalah hutan lumut di pegunungan, hal ini dikarenakan lumut terestrial dan lumut epifit merupakan habitat yang sangat baik untuk Nepenthes. Menurut Clarke (2001), hampir seluruh Nepenthes jenis higland menggunakan lumut sebagai habitat dan media tumbuhnya. Rischer (2001), mengemukakan bahwa jumlah jenis Nepenthes Sumatera telah bertambah menjadi 26 jenis. Cheek & Jebb (2001), melaporkan bahwa telah ditemukan dua jenis hibrid alami di Sumatera, yakni N. x hookeriana (N. ampullaria x N. rafflesiana) dan N. x trichocarpa (N. ampullaria x N. gracilis). Clarke (1997), mengemukakan bahwa Sumatera merupakan tempat yang potensial bagi penemuan jenis-jenis baru. Eksplorasi pada kawasankawasan yang diduga sebagai habitat Nepenthes sangat perlu untuk dilakukan. Distribusi Nepenthes di Sumatera Utara Lokasi pengamatan merupakan kawasan semak, lahan terbuka dan daerah rawa yang selalu basah (ketinggian 0-1200 mdpl), pegunungan (ketinggian 1200-2200 mdpl). Tabel 2.Distribusi Jenis-jenis Nepenthes di Sumatera Utara berdasarkan ketinggian dan habitat. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Jenis N. ampullaria(*)(**) N. beccariana** N. densiflora*** N. diatas*** N. dubia*** N. eustachya** N. flava*** N. gracilis* N. izumiea*** N. jamban*** N. jacquelineae*** N. lingulata*** N. mikei*** N. mirabilis(*)(**) N. naga*** N. ovata*** N. pectinata N. rafflesiana(*)(**) N. reinwardtiana** N. rhombicaulis*** N. spectabilis*** N. sumatrana** Nepenthes sp.*** N. tobaica** N. x hookeriana** N. x trichocarpa(*)(**) N. eustachya x N. ampullaria** N. eustachya x N. beccariana** N. eustachya x N. gracilis** N. sumatrana x N. mirabilis**
Lokasi 0 – 1000 mdpl √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
1001 – 2200 mdpl √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ -
153
No 31 32
0 – 1000 mdpl 15
N. spectabilis x N. diatas*** N. spectabilis x N. mikei*** Jumlah
Keterangan: * = habitat rawa **
Lokasi
Jenis
= habiat semak
***
= habitat pegunungan
√
= ditemukan
-
1001 – 2200 mdpl √ √ 21 = tidak ditemukan
Dari Tabel 2 dapat dilihat jenis-jenis Nepenthes yang termasuk ke dalam jenis dataran tinggi adalah N. densiflora, N. diatas, N. dubia, N. eustachya, N. flava, N. izumiea, N. jamban, N. jacquelineae, N. lingulata, N. mikei, N. naga, N. ovata, N. pectinata, N. rhombicaulis, N. spectabilis, Nepenthes sp., N. spectabilis x N. diatas dan N. spectabilis x N. mikei dengan kisaran ketinggian 1000 – 2200 mdpl. Jenis-jenis dataran rendah adalah N. ampullaria, N. beccariana, N. gracilis, N. mirabilis, N. rafflesiana, N. sumatrana, N. x hookeriana, N. x trichocarpa, N. eustachya x N. beccariana, N. eustachya x N. gracilis dan N. sumatrana x N. mirabilis dengan kisaran ketinggian 0 – 1000 mdpl. Terdapat juga dua jenis yang digolongkan ke dalam jenis intermediate karena terdapat pada dataran tinggi dan dataran rendah yaitu jenis N. reinwardtiana dan N. tobaica yaitu antara ketinggian 200 – 1800 mdpl. Jenis-jenis umum yang merupakan jenis dataran rendah adalah N. ampullaria, N. gracilis, N. mirabilis dan N. rafflesiana. Keempat jenis tersebut dapat di jumpai di Sumatera, Borneo dan Jawa. Populasi yang merupakan jenis intermediate dengan penyebaran mulai dari dataran rendah sampai ketinggian di atas 1000 mdpl antara lain N. longifolia, N. reinwardtiana dan N. tobaica (Clarke, 2001). Jenis Nepenthes yang berada pada hutan pegunungan memiliki jenis yang sangat bervariasi, namun hanya di jumpai pada daerah tertentu saja. Clarke (1997), mengatakan bahwa Nepenthes yang hidup di dataran tinggi memiliki penyebaran yang sangat terbatas. Sebaliknya, jenis Nepenthes yang hidup pada dataran rendah memiliki penyebaran geografis yang lebih luas. Berdasarkan dengan perbedaan kisaran penyebaran Nepenthes pada dataran rendah dan dataran tinggi, Zezza (2003), menyatakan bahwa beberapa taksonom dan ekolog yang secara khusus berkonsentrasi pada jenis-jenis ini, telah mengkategorikan Nepenthes kepada jenis lowland (dataran rendah) yang dijumpai pada ketinggian 0 mdpl sampai dengan 1000 mdpl, jenis highland (dataran tinggi) yang dijumpai pada ketinggian 1000 mdpl, sedangkan jenis yang dapat bertahan hidup pada dataran rendah dan dataran tinggi di sebut dengan jenis intermediate. Pembagian Nepenthes berdasarkan kategori lowland-highland tidak menjadi hal yang mutlak. Hal ini dikarenakan setiap kawasan memiliki level zonasi hutan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kategori jenis Nepenthes pada suatu kawasan eksplorasi, bisa mengikuti aturan klasifikasi hutan yang telah ditentukan bagi kawasan tersebut. Anwar et al., (1984) mengkategorikan hutan di Sumatera berdasarkan ketinggian ke dalam empat kelompok sebagai berikut: 1. 0 – 1200 mdpl merupakan hutan dataran rendah 2. 1200 – 2100 mdpl merupakan hutan pegunungan bawah 3. 2100 – 3000 mdpl adalah hutan pegunungan atas 4. > 3000 mdpl merupakan hutan subalpin Pada hutan pegunungan ditemukan efek Massenerhebung, yaitu semakin tinggi suatu gunung maka zonasinya semakin luas, begitu juga sebaliknya, semakin rendah suatu gunung maka zonasinya semakin sempit (Anwar et al., 1984). Hal ini dapat kita jumpai pada hutan Gunung Sinabung dimana pembagian zonasinya adalah sebagai berikut; (1) Hutan
154
pegunungan bawah: 1400-1900 m dpl, (2) Hutan pegunungan atas: 1900-2250 m dpl, dan (3) Subalpin: 2250-2470 m dpl.Disamping itu dalam menentukan zona subalpin dapat juga dilihat dengan tidak ditemukannya lagi tumbuhan Coniferae. Hal ini sesuai dengan Schaik et al., (1996) dalam Ginting (2008) bahwa daerah subalpin ditandai dengan tumbuhan yang semakin kerdil, banyak dijumpai jenis Ericaceae, Orchidaceae, Nepenthaceae, serta tidak dijumpainya tanaman pinus-pinusan. Pengamatan anatomi dilakukan dengan cara melihat bentuk sel penutup dan sel pengiring pada stomata, menghitung jumlah stomata dan sel epidermis serta menghitung panjang dan lebar dari stomata. Dari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa tipe stomata berdasarkan jumlah sel pengiring pada Nepenthes adalah anomositik (Gambar 1), yaitu memiliki sel epidermis dan sel pengiringnya tidak mudah untuk dibedakan. Dari hasil pengamatan juga diketahui bahwa stomata hanya terdapat pada bagian permukaan bawah daun. Menurut Yusmad (2008), stomata hanya terdapat pada bagian abaksial daun (hipostomatik) dan memiliki tipe anomositik. Fahn (1982) menambahkan, secara morfologi tipe stomata terhadap sel epidermis yang berdekatan dengan sel pengiring ada tipe anomositik, yaitu stomata yang sel pengiringnya dikelilingi oleh sejumlah sel tertentu yang tidak berbeda dengan sel epidermis, baik dalam bentuk maupun ukuran.
1 1 2 3
2 3
4
4
(a) (b) Gambar 11. Tipe stomata anomositik dengan pada Nepenthes, (a) N. diatas, (b) N. diatas x N. spectabilis, (1) Porus, (2) Sel penutup, (3) Sel pengiring, (4) Sel epidermis(Perbesaran 10 x 40) Beberapa jenis memiliki sel epidermis dan sel pengiring yang dinding selnya bergelombang. Jenis-jenis tersebut adalah Nepenthes sp. (Gambar 2a), N. rhombicaulis, N. pectinata dan N. ampullaria. Sebagian jenis yang lainnya memiliki kristal yang terdapat pada sel pengiring dan sel epidermis seperti pada N. lingulata (Gambar 2b) dan N. mirabilis. Menurut Stone (1976), pendekatan anatomi dapat menunjukkan adanya korelasi antara karakter anatomi dan karakter-karakter yang lain. Secara umum telah terbukti bahwa karakter anatomi merupakan dasar yang dapat digunakan untuk membedakan kelompok jenis. Sebagian besar data anatomi mempunyai pengaruh yang penting pada taksonomi.
155
1 2 3 4
1 2 3 4 5
(a) (b) Gambar 2. Sel epidermis dan sel penutup (a) Nepenthes sp. memiliki sel yang bergelombang, (b) N. lingulata, (1) Porus, (2) Sel penutup, (3) Sel pengiring, (4) Sel epidermis, (5) Kristal ( Perbesaran 10 x 40) Ukuran stomata sangat bervariasi di antara seluruh jenis yang ditemukan. N. rafflesiana memiliki ukuran yang paling kecil yaitu 34,43 µm2, sementara ukuran yang terbesar dapat ditemukan pada jenis N. ovata dengan 165,78 µm2 dan jenis N. spectabilis x N. diatas. Secara umum diketahui daun dengan stomata yang lebih banyak mempunyai ukuran stomata yang lebih kecil dan sebaliknya. Frekuensi stomata per unit area juga bervariasi dan memperlihatkan adanya korelasi antara ukuran stomata dan frekuensi. N. x hookeriana dan N. x trichocarpa adalah dua jenis dengan frekuensi stomata yang paling besar sementara Nepenthes sp. mempunyai frekuensi yang paling kecil. Menurut Pasaribu (2010) dapat diinterpretasikan bahwa frekuensi stomata cendrung lebih tinggi pada jenis-jenis yang tumbuh di daerah terbuka seperti hutan sekunder jika dibandingkan dengan di daerah ternaung atau tertutup. Willmer (1983) dalam Pasaribu (2010) mengatakan jenis- jenis yang tumbuh pada tanah kering dan daerah dengan kelembaban rendah ummya mempunyai frekuensi stomata yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis yang tumbuh di tanah-tanah basah dengan kelembaban tinggi. Teori ini sejalan dengan hasil-hasil yang diperolah pada penelitian ini. Kunci Determinasi 1. a. Epifit ................................................................................................................................ 2 b. Teresterial........................................................................................................................ 6 2. a. Kantung atas berbentuk cawan piala ............................................................................... 3 b. Kantung atas berbentuk kendi atau terompet .................................................................. 4 3. a. Tepi tutup kantung atas bergelombang ................................................................. N. flava b. Tepi tutup kantung atas rata ................................................................................. N. dubia 4. a. Kantung atas berbentuk kendi .............................................................................. N. mikei b. Kantung atas berbentuk terompet ................................................................................... 5 5. a. Tonjolan tunggal pada permukaan bawah tutup kantung.................................... .N. ovate b. Tonjolan bercabang pada permukaan bawah tutup kantung ................................. N. naga 6. a. Kantung bawah berbentuk gelas tambun atau cawan piala ........................................... 27 b. Kantung bawah berbentuk kendi..................................................................................... 7 7. a. Bentuk batang bersegi ..................................................................................................... 8 b. Bentuk batang bulat ...................................................................................................... 12 8. a. Zona lilin memiliki spot mata ................................................................ N. reinwardtiana
156
b. Zona lilin polos ................................................................................................................ 9 9. a. Tepi daun berbulu ...................................................................... N. spectabilis x N. diatas b. Tepi daun rata ............................................................................................................... 10 10. a. Taji tunggal .................................................................................................................... 11 b. Taji bercabang .............................................................................................. N. densiflora 11. a. Kantung atas jarang muncul ................................................................... .N. rhombicaulis b. Kantung atas sering muncul ................................................................................N. diatas 12. a.Peristome bercorak ......................................................................................................... 13 b. Peristome polos ............................................................................................................. 20 13. a. Tepi peristome bergelombang ....................................................................................... 14 b. Tepi peristome rata ........................................................................................................ 15 14. a. Tutup kantung orbicular................................................................................ N. eustachya b. Tutup kantung ovate ................................................................................... N. beccariana 15. a. Permukaan batang berbulu............................................................................................. 16 b. Permukaan batang licin ................................................................................................. 17 16. a. Kantung atas berbentuk terompet ramping .................................................. N. spectabilis b. Kantung atas berbentuk kendi ramping ...................................... N. spectabilis x N. mikei 17. a. Mulut kantung orbicular ................................................................................................ 18 b. Mulut kantung ovate ............................................................. N. sumatrana x N. mirabilis 18. a. Kantung atas berbentuk terompet tambun atau tabung .................................................. 19 b. Kantung atas berbentuk kendi berpinggang ............................. N. eustachya x N. gracilis 19. a. Kantung atas berbentuk terompet tambun .......................... N. eustachya x N. beccariana b. Kantung atas berbentuk tabung .......................................... N. eustachya x N. ampullaria 20. a. Kelenjar nektar pada permukaan bawah tutup kantung tersebar ................................... 21 b. Kelenjar nektar pada permukaan bawah tutup kantung hanya pada ujung tonjolan ........................................................................................................... N.lingulata 21. a. Perbungaan berbulu ....................................................................................................... 22 b. Perbungaan licin ............................................................................................................ 25 22. a. Anak tangkai bunga dengan brakteola ........................................................... N. pectinata b. Anak tangkai bunga tanpa brakteola ............................................................................. 23 23. a. Sel pengiring dan sel epidermis bergelombang ........................................... Nepenthes sp. b. Sel pengiring dan sel epidermis rata .............................................................................. 24 24. a. Anak tangkai bunga tunggal ............................................................................ .N. izumiae b. Anak tangkai bunga bercabang dua .......................................................... N. xtrichocarpa 25. a. Pucuk muda ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna perak ............................... N. mirabilis b. Pucuk muda licin ........................................................................................................... 26 26. a. Panjang perbungaan ≥ 25 cm ............................................................................ N. tobaica b. Panjang perbungaan ≤ 25 cm............................................................................ N. gracilis 27. a. Permukaan bagian bawah tutup kantung bercorak ........................................................ 28 b. Permukaan bagian bawah tutup kantung polos ............................................................. 30 28. a. Panjang gigi pada peristome ≥ 0,1 cm ......................................................... N. rafflesiana b. Panjang gigi pada peristome ≤ 0,1 cm ........................................................................... 29 29. a. Panjang sulur 50-70 cm ............................................................................... N. sumatrana b. Panjang sulur 15-30 cm ............................................................................ N. xhookeriana 30. a. Cairan kantung kental .................................................................................................... 31 b.Cairan kantung encer ....................................................................................N. ampullaria 31. a.Lebar peristome ≥ 0,5 cm .......................................................................... N. jacquelineae b. Lebar peristome ≤ 0,5 cm ........................................................................................ N. jamban
157
KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut ditemukan 32 jenis Nepenthes pada 10 Kabupaten di Sumatera Utara dimana diantaranya terdapat 6 jenis hibrid alami. Kabupaten yang memiliki keanekaragaman jenis tertinggi adalah Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Mandailing dengan masing-masing 13 jenis. Kabupaten dengan jumlah jenis terendah adalah Kabupaten Pakpak Bharat dengan jumlah 2 jenis.Nepenthes yang ditemukan memiliki tipe stomata anomositik dan hanya terdapat pada bagian abaksial. Pada N. lingulata dan N. mirabilis terdapat kristal pada bagian sel epidermis dan sel pengiring, sedangkan pada N. ampullaria, N. rhombicaulis dan Nepenthes sp. memiliki sel pengiring dan sel epidermis yang bergelombang. DAFTAR PUSTAKA Anwar, J., J. Damanik. N Hisyam & A. J. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Yogyakarta: UGM Press. Bailey, L.H. 1929. The Standard Cyclopedia of Horticulture. Vol. II. The Macmillan Company. New York. Clarke, C. 1997. Another Nice Trip to Sumatra. International Carnivourus Plant Society (ICPS). www.carnivorousplants.org. Diakses 16 Januari 2011. . 2001. Nepenthes of Sumatra and Peninsular Malaysia . Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia:Natural Publication (Borneo). Fahn, A. 1982. Anatomi Tumbuhan. Edisi Ketiga. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Ginting, N. 2008. Keanekaragaman Tumbuhan pada Zona Subalpin di Hutan Gunung Sinabung Kabupaten Karo Sumatera Utara. Skripsi Mahasiswa Departemen Biologi FMIPA USU. Tidak dipublikasi. Hernawati. 2001. A Preliminary Research to Conserve Nepenthes spp. In West Sumatera. Final Report Nepenthes Project 2001. Supported by BP Conservation. Padang: Nepenthes Team. Hernawati, & P. Akhriadi. 2006. A Field Guide to The Nepenthes of Sumatra, Padang: PILINGO Movement, Nepenthes Team, BP Conservation Programme, Conservation International-Indonesia. Nasution, M. Arifsyah. 2005. Inventarisasi Nepenthes spp. di Kawasan Hutan Tangkahan. Taman Nasional Gunung Lauser. Kabupaten langkat. Penelitian Mahasiswa Biologi S1 Universitas Sumatera Utara. Skripsi Tidak Dipublikasi. Pasaribu, N. 2010. Freycinetia (Pandanaceae) of Sumatra. Disertasi Doktor. InstitutPertanian Bogor. Rischer, H. 2001. A Nepenthes Introducting. www.schaben.de/home/schmidt/ nepenthes/nepintro.htm. Diakses tanggal 12 Nopember 2009 Stone, B.C. 1976. The Morphology and Systematic of Pandanus Today (Pandanaceae). International Botanical Congress Leningrad. Suprayandi, 2007. Nepenthes spp., Tumbuhan Penangkap Serangga. (On-Line). http://pesanantar.wordpress.com/2007/03/17/Nepenthes spp./. Diakses tanggal 11 Oktober 2009.
158
Yusmad, R. 2008. Struktur Anatomi Daun dan Sulur serta Perkembangan Kantung pada Kantung Semar (Nepenthes reinwardtiana Miq.). Tesis Pascasarjana Universitas Andalas. Padang. Diakses 23 Januari 2011 Zezza, F. 2003. Introducing the Genus Nepenthes. www.malawicichlid homepage.com. Diakses tanggal 12 Nopember 2009.
159
EKOLOGI DAN DISTRIBUSI KEPUNDUNG (Baccaurea racemosa Muell. Arg) DI SUMATERA UTARA BAGIAN SELATAN ECOLOGICAL AND DISTRIBUTION OF KEPUNDUNG (Baccaurea Racemosa Muell. Arg) IN SOUTHERN NORTH SUMATERA Rumini Sukarwati1), Nursahara Pasaribu2) dan Saleha Hannum 1) Pascasarjana Biologi FMIPA USU 2) Dosen Pascasarjana Biologi FMIPA USU
Abstract The ecological and distribution of kepundung (Baccaurea racemosa Muell Arg) in southern of North Sumatera had been studied from December 2014 to April 2015. The collection of data were carried out in four locations (South Tapanuli, Mandailing Natal, Padang Lawas and Padangsidimpuan). Physical and chemical analysis of soil (N, P, and K) showed different results for each location. The nitrogen level was 0,17–1,61%, phosphor 11,68–15,47 ppm, and potassium 0,577–0,735 m.e/100 g. The result of ecological study indicates that Kepundung in southern of North Sumatra occupy various types of habitats. Nevertheless, it generally inhabits mix dry land farming on lowland at altitudes 5-908 m above sea level with annual rainfall ranging from 3500-4000 mm/year. Fluvisols is the most common type of soil that was preferred by this species. Kata Kunci: Baccaurea racemosa, distribusi, ekologi, kepundung, PENDAHULUAN Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang memiliki hutan tropika terbesar kedua didunia, kaya dengan keanekaragaman hayati dan dikenal sebagai salah satu dari 7 (tujuh) negara ―megabiodiversity‖kedua setelah Brazilia. Distribusi tumbuhan yang terdapat dihutan tropika Indonesia lebih dari 12%(30.000 tumbuhan tingkat tinggi) dari yang terdapatdi mukabumi(250.000 tumbuhan tingkat tinggi) (Ersam, 2004). Hingga saat ini masih banyak jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui pemanfaatannya dan jenis-jenis tersebut masih tumbuh liardi berbagai kawasan hutan di Indonesia termasuk jenis tumbuhan sebagai penghasil buah-buahan (Uji, 2005). Baccaurea racemosa mempunyai nama yang sangat beragam. Di negara Malaysia dikenal dengan nama asam tambun, kapundung, jinteh merah, rambi, tamut, tampoi sedangkan di Borneo-Brunai Darussalam disebut dengan kokonau (dusun), engkumi, kayu masam, kunau, kunyi, longkumo, moho liox, tunding undang, umbarian. Di Indonesia tumbuhan ini dikenal dengan nama daerah tangkilang, kapundung (Bali), haoundung, ninggih, roesip, kisip, menteng, rambai, tampui (Sumatera), menteng, kapundung, jerek, jirek (Jawa), kokonau (dusun), engkumi, kayu masam, kunau, kunyi, longkumo, moho liox, tunding undang, umbarian (Kalimantan), menteng, rambai, tampui (Lampung), modung (Madura), kapundueng (Minangkabau), bowo (Nias), bencoi, menteng, (Sunda), kapundung, kepundung (Singkep) (Lim, 2012). Tumbuhan ini dimanfaatkan masyarakat sebagai makanan berupa buah. Buah dikonsumsi segar, difermentasi untuk minuman anggur. Daun sebagai obat diare dan peluruh
160
haid. Kayu sebagai kayu bangunan dan untuk perahu serta furniture, kulit batang sebagai pewarna ungu kain, namun tumbuhan ini sudah jarang ditemukan di pasaran. Faktor menurunnya populasi kepundung (Baccaurea racemosa) karena keberadaan areal ruang hijau yang menyempit akibat alih fungsi lahan lebih banyak dimanfaatkan untuk pemukiman, perkantoran, dan industri (Aprilianti, 2009). Baccaurearacemosa adalah tumbuhan berbunga anggota dari suku Phyllanthaceae, menyebar di India, Asia Tenggara dan kawasan Indomalaya hingga Pasifik. Penyebaran marga ini terpusat di sekitar wilayah Malesia bagian barat, yakni Semenanjung Malaya, Sumatera dan Kalimantan (Haegens, 2000). Salah satu daerah penyebaran kepundung di Sumatera Utara antara lain di daerah Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing Natal dan Gunung Sitoli. Tumbuhan ini merupakan jenis tumbuhan liar di daerah dataran rendah. Pohon-pohonnya dijumpai pada berbagai jenis tanah pasir yang kering. Sejauh ini penelitian terkait dengan Baccaurea racemosa belum banyak diketahui khususnya di Sumatera Utara bagian selatan. Kurangnya informasi tentang tumbuhan ini diperkirakan akan dapat menyebabkan penurunan jumlah populasi kepundung dan dikhawatirkan lama kelamaan akan dapat mengalami kepunahan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian terhadap tumbuhan ini untuk mendapatkan informasi dari segi taksonomi dan ekologi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data tentang ekologi dan distribusi kepundung (Baccaurea racemosa Muell. Arg) di Sumatera Utara bagian selatan. METODOLOGI PENELITIAN Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2014 sampai April 2015. Lokasi penelitian dilaksanakan di Sumatera Utara pada kota Padangsidimpuan dengan 6 kecamatan yaitu kecamatan Padangsidimpuan Utara, Padangsidimpuan Selatan, Padangsidimpuan Angkola Julu, Padangsidimpuan Hutaimbaru, Padangsidimpuan Utara dan Padangsidimpuan Batunadua, kabupaten Tapanuli Selatan dengan 7 kecamatan, yaitu Batang Angkola, Sayur Matinggi, Arse, Batangtoru, Angkola Barat, Angkola Timur dan Sipirok. Kabupaten Mandailing Natal di 5 kecamatan yaitu Kotanopan, Siabu, Panyabungan Utara, Kota Panyabungan dan Panyabungan Timur dan tumbuh di kabupaten Padanglawas di kecamatan Ulu Barumun.
Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. 161
Pelaksanaan Penelitian a. Di Lapangan Eksplorasi dilakukan di beberapa lokasi di Sumatera Utara dengan mencatat variabel-variabel biofisik setiap jenisnya. Titik berat lokasi yang akan dikunjungi adalah lokasi yang diyakini memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Dilakukan pengukuran faktor fisik dan kimia lingkungan berupa suhu tanah, pH tanah, intensitas cahaya, dan ketinggian. Pengamatan faktor kimia tanah adalah pengambilan sampel tanah dengan menggunakan bor tanah, tanah sampai kedalaman 20 cm. tekstur tanah yang diamati dihomogenkan, kemudian diambil cuplikan tanah sebanyak 1 kg untuk dianalisis berupa kandungan hara N (Nitrogen), P (Posfor), dan K (Kalium). b. Di Laboratorium Analisa Tanah. Dalam analisis tanah, pengambilan contoh harus mewakili suatu areal tertentu. Pengambilan contoh tanah untuk mengetahui status hara (kesuburan tanah) menggunakan system composite sample, yaitu percampuran contoh yang diambil dari areal yang dikehendaki. Pengambilan contoh tanah umumnya dengan berjalan sambil mengambil contoh tanah berupa irisan sedalam sekitar 20 cm (daerah perakaran). Proses analisis dan perhitungan kandungan unsur hara Nitrogen (N), Posfor (P), dan Kalium (K) pada tanah mengacu pada Mukhlis (2007). Sampel tanah dikeringkan di ruang berfentilasi dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Pengeringan di ruang terbuka dapat dilakukan dengan menempatkan sampel tanah pada wadah yang luas permukaannya, misalnya baki (talam). Wadah dilapisi dengan plastik agar tidak terkontaminasi. Sampel tanah ditabur secara merata agar lebih cepat kering. Temperatur udara tidak lebih dari 35o C selanjutnya sampel tanah di anaisis di laboratorium. Penetapan Nitrogen (N) dengan Metode Kjeldhal Pengukuran kandungan nitrogen pada tanah ada beberapa tahap, destruksi, dan titrasi. Pada tahapan destruksi dimulai dengan menimbang 2 g sampel tanah dan ditempatkan pada tabung digester, ditambahkan 2 g katalis campuran (sebanyak sampel tanah) dan ditambahkan 10 ml H2O, ditambahkan 10 ml H2SO4-asam salisilat dan dibiarkan selama 24 jam. Didestruksi secara bertahap hingga larutan menjadi jernih (temperatur < 200oC), setelah larutan jernih suhu dinaikkan dan dilanjutkan selama 30 menit, didinginkan dan diencerkan dengan menambahkan 15 ml H2O. Pada tahapan destilasi, ditempatkan tabung destruksi pada alat destilasi, ditambahkan 25 ml H3BO3 4% yang ditempatkan pada erlenmeyer 250 cc dan ditambahkan 3 tetes indikator campuran, yang ditempatkan sebagai penampung hasil destilasi. Ditambahkan 25 ml NaOH 40% ke tabung destilasi dan langsung didestilasi. Amoniak hasil destilasi ditampung pada erlenmeyer yang berisi H3BO3, destilasi dihentikan jika larutan pada erlenmeyermenjadi berwarna hijau dan volumenya mencapai ± 75 ml. Pada tahapan titrasi, dipindahkan erlenmeyer hasil destilasi dan dititrasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi merah. Penetapan P dengan Metode Bray II Sampel tanah ditimbang 2 g lalu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 cc, ditambahkan larutan Bray II sebanyak 20 ml dan digoncang dengan shaker selama 30 menit lalu disaring. Diambil filtrat sebanyak 5 ml dan ditempatkan pada tabung reaksi, tambahkan pereaksi fosfat B sebanyak 10 ml, dibiarkan selama 5 menit lalu diukur transmitan pada spectronic dengan panjang gelombang 660 nm. Pada saat yang bersamaan tambahkan masing-masing 5 ml larutan standar P 0-0, 5-1, 0-2, 0-3, 0-4, 0 dan 5, 0 ppm P ke tabung
162
reaksi lalu ditambahkan 10 ml pereaksi fosfat B lalu ukur transmitan pada spectronic dengan panjang gelombang 660 nm. Penetapan Kalium Tukar Tanah Hasil per lokasi (perkolat) dari penetapan kapasitas tukar kation pada Erlenmeyer ditampung dan diukur absorban perkolat pada Flamephotometer atau Atomic Absorbtion Spectrophometer (AAS). Diukur larutan standar K dengan konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40, ppm K pada Flamephotometer atau Atomic Absorbtion Spectrophometer (AAS). b. Morfologi Tanah (1). Perhitungan kandungan Nitrogen (N) N% =
(2). Perhitungan Kandungan Posfor (P) P avl (ppm) = P lrt x Faktor Pengencer
Ket: P lrt: P larutan (3). Perhitungan Kandungan Kalium (K) K tukar = K lrt x Faktor Pengencer
Ket : K lrt: K larutan Ekologi dan Distribusi Kepundung Untuk menampilkan data dalam bentuk peta harus melalui beberapa tahapan berikut: (1). Persiapan data ordinat menggunakan MicrosoftExcel [ ver 2007] Dibuka Excel dan dibuat lembar kerja baru Dimasukkan data pada masing-masing kolom Data lintang dan bujur yang tercatat dalam GPS adalah data dalam bentuk derajat, menit, dan detik. Dilakukan perubahan data tersebut ke dalam bentuk desimal dengan cara: (Derajat) + (Menit/ 60) + (Detik/3600), kemudian data akan berubah ke dalam bentuk desimal. Untuk dapat dipergunakan dalam perangkat lunak ArcView 3.3 data ordinat harus tersimpan dalam bentuk ―(DBF)‖. Untuk itu pada Microsoft Excel harus ditambahkan Extension DBFIV. Dilakukan penyimpanan dengan mengklik Save As, lalu pilih extension DBF, lalu OK. Maka file akan tersimpan dalam bentuk ―DBF‖, dan data siap digunakan pada ArcView 3.3. (2). Membuat Peta dengan ArcView3.3 Dibuka ArcView 3.3 kemudian klik OK pada ―Open a New Project‖, ―Open a New View‖ kemudian pilih add theme dan buat ―layer‖ dengan nama Sumatera. Shp. Diinput data ordinat ke dalam ArcView dengan cara, minimize view dan buka Table lalu pilih Add dan klik OK, pada file ―(DBF)‖ dengan nama Kepundung. 163
Lalu beri tanda centang pada Layer Kepundung dan Layer Sumatera, lalu akan terlihat daerah persebaran kepundung sesuai data yang ada pada GPS. Dilakukan OverLay pada masing-masing peta dengan titik ordinat. OverLay Sumatera curah hujan dengan Kepundung DBF, Sumatera Land cover dengan Kepundung DBF, dan Sumatera Soil FAO dengan Kepundung DBF. Dilakukan perubahan warna peta mengikuti ketentuan yang berlaku, untuk peta tutupan lahan curah hujan, pilih warna sesuai dengan jenis warna yang dikeluarkan BAKOSURTANAL, untuk peta jenis tanah pilih warna sesuai dengan FAOUNESCO Soil Map. Di-LayOut masing-masing peta, klik menu View dan pilih sub menu LayOut. LayOut Sumatera curah hujan dengan Kepundung DBF. Eksport dalam format JPEG, dan LayOut Sumatera Soil FAO dengan Kepundung DBF. Eksport dalam format JPEG. HASIL DAN PEMBAHASAN Koleksi Kepundung Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 131 koleksi di berbagai kecamatan (Tabel 1). Jumlah koleksi terbanyak berasal dari kecamatan Sayur Matinggi yaitu berjumlah 61 dan jumlah koleksi terendah yaitu berjumlah 1 pada kecamatan Padangsidimpuan Selatan, Padangsidimpuan Batunadua, Batang Angkola, Angkola Barat, Angkola Timur, Sipirok, Panyabungan Utara, Kota Panyabungan, Panyabungan Timur dan Ulu BarumunTabel 1. Jumlah Koleksi Kepundung dari Beberapa Kecamatan. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kabupaten/ Kota Padangsidimpuan
Mandailing Natal
Tapanuli Selatan
Padang Lawas
Kecamatan Padangsidimpuan Utara Padangsidimpuan Selatan Padangsidimpuan Angkola Julu Padangsidimpuan Hutaimbaru Padangsidimpuan Batunadua Kotanopan Siabu Panyabungan Utara Kota Panyabungan Panyabungan Timur Sayur Matinggi Batang Angkola Arse Batang Toru Angkola Barat Angkola Timur Sipirok Ulu barumun Jumlah
Jumlah Koleksi 2 1 8 2 1 3 2 1 1 1 61 1 20 23 1 1 1 1 131
Habitat Dari hasil penelitian diketahui bahwa, kepundung tumbuh pada berbagai ketinggian dan faktor lingkungan. Pada ketinggian 5-908 mdpl pada berbagai kecamatan ditemukan habitat berupaperkebunan masyarakat, pemukiman penduduk, hutan sekunder, dan lahan 164
kering campuran, dengan tipe tanah Humic Acrisol dan Distric Fluvisol dengan kelembaban 18-96%. Beberapa gambar habitat kepundung dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2.Habitat Kepundung di (A) Kotanopan, (B) Angkola Julu, (C) Padangsidimpuan Utara,dan(D)PadangsidimpuanSelatan Pohon kepundung pada umumnya tumbuh liar di hutan sekunder, areal kebun dan pemukiman penduduk. Persebaran kepundung di Sumatera Utara khususnya di wilayah kota Padangsidimpuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, dan Padang Lawas berada pada dataran rendah di wilayah dataran dan perbukitan. Hal ini sesuai dengan Lim, (2012) mengatakan bahwa kepundung adalah tumbuhan yang hidup di hutan tropis dan beranekaragam hutan dipterocarp primer hutan sekunder, hutan sungai, hutan rawa air tawar dan hutan pegunungan pada ketinggian sampai 1500 mdpl.
Gambar 3. Peta Distribusi Kepundung (Baccaurea racemosa Muell Arg) Berdasarkan Curah Hujan di Sumatera Utara. Berdasarkan peta jenis tanah (Gambar 4), kepundung tumbuh pada jenis tanah yaitu Humic Acrisols, Dystric fluvisols 2/3a, dan Dystric fluvisols 2/3b. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 64 individu kepundung tumbuh pada tanah Acrisols dan 67 individu tumbuh pada tanah Fluvisol (Aluvial). FAO (2014), menjelaskan bahwa tanah Acrisol (Podsolik) merupakan tanah sangat tercuci yang berwarna abu-abu muda sampai kekuningan 165
pada horison permukaan sedang lapisan bawah berwarna merah atau kuning dengan kadar bahan organik dan kejenuhan basa yang rendah serta reaksi tanah yang masam sampai sangat masamstruktur tanah gumpal dengan permeabilitas rendah. Tanah mempunyai bahan induk batu endapan bersilika, napal, batu pasir dan batu liat. Tanah ini dijumpai pada ketinggian antara 50–350 m dengan curah hujan antara 2500–3500 mm/tahun. Hal ini sesuai dengan jenis tanah di Kabupaten Tapanuli Selatan berjenis acrisols dengan warna kuning, pada ketinggian 5-905 mdpl dan daerah ini memiliki curah hujan rata-rata 1500-2500 mm/thn. Rachim dan Arifin, (2011), mengatakan bahwa Podzolik merupakan tanah merah kuning yang sangat tercuci, lapisan atas berwarna abu-abu muda sampai kekuningan, lapisan bawah merah atau kuning. Terdapat akumulasi liat hingga tekstur relatif berat, struktur gumpal, permeabilitas rendah, stabilitas agregat rendah, bahan organik rendah, kejenuhan basa rendah dan pH rendah (4,2-4,8). Horizon eluviasi tidak selalu jelas. Bahan induk mempunyai karatan kuning, merah dan abu-abu. Bahan induk adalah batuan endapan bersilika, napal, batu pasir, batu liat. Ditemukan pada ketinggian 50-350 mdpl, iklim tropika basah, curah hujan antara 2500-3500 mm/tahun. Tanah Fluvisol (Aluvial) merupakan tanah yang berasal dari endapan alluvial atau koluvial muda dengan perkembangan profil tanah lemah sampai tidak ada. Sifat tanah beragam tergantung dari bahan induk yang diendapkan serta penyebarannya tidak dipengaruhi oleh ketinggian maupuniklim. Rismunandar ( 1993), menjelaskan bahwa tanah aluvial atau tanah endapan, banyak terdapat di dataran rendah, di sekitar muarasungai, rawarawa, lembah-lembah, maupun kanan kirialiran sungai besar. Profilnya biasanya belum jelas. Pada umumnya banyak mengandung pasir dan hat. Tidak banyak mengandung unsur-unsur zat hara. Kesuburannya sedang hingga tinggi. Di seluruh Indonesia tanah-tanah ini merupakan tanah pertanian yang baik dan dimanfaatkan untuk tanaman pangan musim hingga tahunan. Lim, (2012) mengatakan kepundung adalah spesies tropis tumbuh liar pada Dipterocarpaceae primer dan hutan hujan sekunder, hutan sungai, atau hutan rawa air tawar ke hutan sub-montana sampai 1500 mdpl. Tumbuhan ini umum tumbuh pada aluvial kering (di lereng bukit dan pegunungan). Tumbuh pada berbagai jenis tanah, dari tanah berpasir sampai tanah liat (granit kekuningan atau tanah liat merah berpasir) untuk rawa gambut. Berdasarkan peta tutupan lahan (Gambar 5) kepundung mempunyai persebaran yang cukup luas, tumbuh pada berbagai habitat seperti pertanian lahan kering campuran, tanah terbuka, sawah, semak belukar, dan perkebunan. Kepundung tumbuh di persawahan di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan. Pada lahan kering campuran di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal. Pada daerah terbuka di Kabupaten Tapanuli Selatan. Pada kawasan semak belukar tumbuh di Kabupaten Tapanuli Selatan. Pada kawasan perkebunan masyarakat tumbuh di KabupatenTapanuli Selatan dan Padang Lawas. Dari peta tutupan lahan koleksi kepundung sebahagian besar tumbuh di persawahan dan paling sedikit tumbuh di perkebunan masyarakat.
166
Gambar 4. Peta Distribusi Kepundung (Baccaurea racemosa Muell Arg) Berdasarkan Jenis Tanah di Sumatera Utara.
Gambar 5. Peta Distribusi Kepundung (Baccaurea racemosa Muell Arg) Berdasarkan Peta Tutupan Lahan di Sumatera Utara. Unsur Hara Tanah Hasil analisis tanah menunjukkan adanya perbedaan kandungan ketiga unsur dari masing-masing daerah penelitian (Tabel 2). Kandungan unsur hara nitrogen (N) tertinggi di kecamatan Kotanopan dengan nilai 1,61 %, dan yang terendah di kecamatan Ulu Barumun dengan nilai 0,16%. Kandungan unsur posfor (P) yang diperoleh juga berbeda di setiap daerah penelitian dimana nilai P tertinggi diperoleh pada kecamatan Sipirok dengan nilai 15,47 ppm dan terendah pada kecamatan Ulu barumun dengan nilai 9,18 ppm. Kadar kalium 167
(K) tertinggi diperoleh pada kecamatan Ulu Barumun dengan nilai 0,735 m.e/100g dan terendah pada daerah Angkola Julu dengan nilai 0,577 m.e/100g. Tabel 2. Kandungan Unsur Hara Makro Tanah pada Lokasi Penelitian Parameter Asal Daerah/ Kecamatan N (%) P (ppm) Kotanopan 1,61 12,00 Sipirok 0,33 15,47 Angkola Timur 0,30 12,32 Angkola Julu 0,65 11,68 Arse 0,17 12,16 Ulu Barumun 0,16 9,18 Tabel 3. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Sangat SifatTanah Rendah Rendah Nitrogen(%) <0,10 0,10-0,20 P-avlBray-II(ppm)
<8,0
K (m.e/100g) 0,589 0,670 0,580 0,577 0,640 0,735
Sedang 0,21-0,50
Tinggi 0,51-0,75
Sangat Tinggi >0,75
16-25
26-35
>35
8,0-15 SusunanKation
K-tukar(me/100)
<0,1
Sangat Masam Masam pH (H2O) <4,5 4,5-5,5 Sumber : (Hardjowigeno,1995).
0,1-0,2 Agak Masam 5,6-6,5
0,3-0,5
Netral 6,6-7,5
0,6-1,0
>1,0
Agak Alkalis 7,6-8,5
Alkalis >8,5
Kandungan unsur hara makro nitrogen di kecamatan Kotanopan sangat tinggi, kecamatan Sipirok dan Angkola Timur tergolong sedang, di kecamatan Angkola Julu tergolong tinggi sedangkan pada kecamatan Arse dan Ulu Barumun tergolong rendah. Unsur hara K dari hasil analisa di setiap lokasi penelitian tergolong tinggi, yaitu berada pada kisaran 0,580-0,735 m.e/100g. Unsur hara P diperoleh dari hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan pada masing-masing lokasi penelitian. Kandungan P tersedia tergolong sedang di kecamatan Sipirok yaitu 15,47 ppm, sedangkan kadar posfor di kecamatan Kotanopan, Angkola Timur, Angkola Julu, dan Ulu Barumun tergolong rendah berkisar 11,68-12,16 ppm. Sutejo, (2002) mengatakan fungsi N bagi tumbuhan sebagai penyusun protein, pertumbuhan pucuk dan menyuburkan pertumbuhan vegetatif. Fungsi posfor P sebagai salah satu unsur penyusun protein, dibutuhkan untuk pembentukan bunga, buahdan biji, merangsang pertumbuhan akar menjadi memanjang dan tumbuh kuat sehingga tanaman akan tahan kekeringan. Kekurangan P akan menyebabkan tanaman tumbuh kerdil, pembungaan dan pembentukan biji terhambat, serta tanaman menjadi lemah sehingga mudah roboh. Unsur Kberperan dalam proses metabolism seperti fotosintesis dan respirasi yang merupakan hal penting dalam pertumbuhan. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Kepundung terdistribusi di dataran rendah pada daerah pertanian lahan kering campuran, tanah terbuka, sawah, semak belukar, dan perkebunan. ketinggian 5-908 mdpl,
168
2. Kepundung tumbuh pada kisaran curah hujan 1500-5000 mm/tahun, pada tanah humic acrisol dan distric fluvisol, pada habitat pertanian lahan kering campuran, tanah terbuka, sawah, semak belukar, dan perkebunan. 3. Kadar nitrogen berkisar 0,17–1,61%, posfor 11,68–15,47 ppm, dan kalium 0,577–0,735 m.e/100 g DAFTAR PUSTAKA Aprilianti,P. ReniL.,WindaU.P., 2009. Potensi Baccaureaspp.: Studi Kasus Di Kebun Raya Bogor. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI. Ersam, T., 2004. Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia Dalam Merekayasa Model Molekul Alami.Seminar Nasional Kimia VI,F-MIPA. ITS. Surabaya. FAO (Food and Agriculture Organization), 2014. World Reference Base For Soil Resources. International Soil Classification System For Naming Soils and Cerating Legends For Soil Maps.191p. Haegens, R.M.A.P., 2000. Taxonomy, Phylogeny, and Biogeography of Baccaurea racemosa, Distichirhops, and Nothobaccaurea (Euphorbiaceae). Blumue. 12:1-216. (Petikan) http://www.nationaalherbarium.nl/euphorbs/ specB/Baccaurea. Htm. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. IPB. Bogor. Lim, T.K., 2012. Edible Medicinal And Non-Medicinal Plants. Volume 4. Fruits. DOI 10.1007/978-94-007-4053-2-34. Springer Science-Business Media B.V. Mukhlis, 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan. Rachim, D.A. dan Arifin, M., 2011. Klasifikasi Tanah di Indonesia. Pustaka Reka Cipta. Bandung. Rismunandar, 1993.Tanah Algensindo.Bandung.
dan
Seluk
Beluknya
bagi
Pertanian.
Sinar
Baru
Sutejo,M. 2002. Pupukdan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. Uji, T. 2005. Keanekaragaman Jenis dan Sumber Plasma Nutfah Durio (Durio spp) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah11(1) : 28– 33.
169
PERAN KEBUN RAYA SAMOSIR SEBAGAI PUSAT KONSERVASI FLORA PEGUNUNGAN SUMATERA BAGIAN UTARA DAN PENDUKUNG WISATA DANAU TOBA THE ROLE OF SAMOSIR BOTANIC GARDEN AS A CENTER FOR NORTH SUMATERAN MOUNTAIN FLORA CONSERVATION AND IN SUPPORT OF ECOTOURISM IN LAKE TOBA Sugiarti Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI. Jl.Ir.H.Juanda no.13, Bogor, telp/fax 02518322187, Email:
[email protected], Hp 0811111595
Abstract In the last two decades, Sumateran tropical rain forest has been severely damaged by changing land-use, illegal logging, encroachment and forest fires. The rate of extinction of flora and fauna is very difficult to measure but is certainly on the rise. Ex-situ conservation is one of the ways to save species from extinction, especially if the conservation activities are carried out at a location nearby the original habitats. Such a location is likely to have ecological conditions that match those of the original flora. Accordingly, the government has launched the development of new botanic gardens in various regions of Indonesia. One example of these newly established regional botanic gardens is Samosir Botanic Garden (KRS), which is representative of the ecoregion of Northern Sumatera. The development of Samosir Botanical Garden aims to save various species of north Sumateran mountain flora from extinction, in particular species found on the large inland island of Samosir in Lake Toba and its surrounding areas. The method for development of the Samosir Botanic Garden includes planning; infrastructure development; plant exploration; establishment and management of collections; promotion; and cooperation with relevant stake-holders. By the end of2015,Samosir Botanical Garden alreadyhad acollection of99speciesof flora planted out in the Garden. Another 155speciesarecurrently being preparedin the nursery. The planting concept for Samosir Botanic Garden is to combine elements of modern plant taxonomy with Batak ethnic understanding of the local flora and its uses. Samosir Botanic Garden has also been established as a new tourist attraction to complement Lake Toba ecotourism and the Geopark Toba which is being proposed as a world heritage location. Keywords: botanic garden, Samosir, flora, conservation, ecotourism
PENDAHULUAN Dalam dua dekade terakhir, hutan hujan tropis Sumatera paling parah mengalami degradasi akibat konversi, pembalakan liar, perambahan dan kebakaran hutan. Sehingga pada tahun 2011 UNESCO menempatkan hutan hujan tropis Sumatera kedalam daftar In Danger World Heritage atau Warisan Dunia yang Terancam. Sumatera telah kehilangan lebih dari setengah hutan alam karena perkebunan untuk produksi kertas dan minyak sawit, dan hutan yang tersisa pun sudah terfragmentasi parah. Secara global, penyebab utama deforestasi adalah perluasan area pertanian termasuk ternak komersial, minyak sawit dan kedelai, perambahan oleh petani skala kecil, penebangan yang tidak berkelanjutan dan pengumpulan kayu bakar. Selain itu pertambangan, pembangkit listrik tenaga air dan proyek infrastruktur
170
lainnya yang menyediakan jalan baru dengan membuka hutan untuk pemukiman dan pertanian dapat pula menjadi penyebab deforestasi. (www.wwf.or.id) . Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan sebagai habitat flora, fauna dan mikroba, laju kepunahan spesies pun terus meningkat.Tercatat 327 species flora Sumatera yang dikelompokkan menjadi 54 famili termasuk dalam kategori terancam punah berdasarkan Red list IUCN 2013. Species tumbuhan terancam punah tersebut terutama berasal dari famili Dipterocarpaceae, Orchidaceae, Nepenthaceae, Podocarpaceae, Myristicaceae, Leguminosae, Anacardiaceae, Zibiberaceae dan Meliaceae (http://www.iucnredlist.org). Selain itu terdapat flora endemik yang sangat populer si Sumatera yaitu Rafflesia arnoldi (Puspa Langka Indonesia), Johannesteijsmannia altifrons, Amorphophallus titanum, Vanda Sumtrana dan Cymbidium hartinahianum (Hartini, S dan Puspitaningtyas, DM. 2005). Berdasarkan data di atas maka upaya penyelamatan keanekaragaman hayati di habitat asalnya (in situ) melalui penetapan kawasan dilindungi saja tidaklah cukup, diperlukan upaya lain yang secara paralel dan sinergi dapat menyelamatkan keanekaragaman hayati dari kepunahan melalui pembangunan kawasan konservasi ex situ dalam bentuk kebun raya. Kebun Raya adalah kawasan konservasi tumbuhan secara ex situ yang memiliki koleksi tumbuhan terdokumentasi dan ditata berdasarkan pola klasifikasi taksonomi, bioregion, tematik, atau kombinasi dari pola-pola tersebut untuk tujuan kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, wisata dan jasa lingkungan (Butir 1, Pasal 1 Perpres No 93 Tahun 2011). Kebun Raya Samosir adalah salah satu dari 7 kebun raya di Sumatera yang dikelola oleh pemerintah daerah dibawah koordinasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melalui Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. UPT Kebun Raya Samosir seluas 100 hektare dikukuhkan melalui Peraturan Bupati Samosir Nomor 19 Tahun 2010 dengan mengusung tema konservasi flora pegunungan Sumatera Utara. (Sugiarti. 2012). Sejalan dengan pembangunan Kebun Raya Samosir, Danau Toba dan sekitarnya telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).KSPN adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan.(Peraturan Pemerintah RI No.50 Tahun 2011). Pembangunan Kebun Raya Samosir bertujuan mengkonservasi jenis-jenis tumbuhan pegunungan Sumatera Utara dalam bentuk Kebun Raya Samosir melalui tahapan pembangunan serta penataan koleksi tumbuhan berdasarkan taman-taman tematik yang memadukan prinsip taksonomi dan etnik Suku Batak yang mendukung pengembangan ekowisata Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional dan Geopark Kaldera Toba. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Kebun Raya Samosir dibangung sejak Tahun 2008 dan sampai sekarang masih terus dilakukan. Terletak di Pailit Desa Tomok, Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera Utara dengan posisi koodinat geografis 2°37‘54‖LU dan 98°52‘07‖BT.
171
Sumber gambar: Masterplan KR Samosir. 2008 Gb 1. Pulau Samosir di Provinsi Sumatera Utara (kiri) dan lokasi Kebun Raya Samosir (kanan) Metode Metode pembangunan Kebun Raya Samosir meliputi tahapan perencanaan, pembangunan infrastruktur, eksplorasi, penanaman dan pengelolaan koleksi tumbuhan, promosi serta kerjasama. sesuai Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2011 tentang Kebun Raya. Eksplorasi flora ke hutan alam pegunungan di Sumatera Utara merupakan salah satu metode untuk mendapatkan bahan tanaman koleksi. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Aspek Perencanaan Perencanaan Kebun Raya Samosir sesuai ketentuan Pasal 7 Perpres Nomor 93 Tahun 2011 meliputi kegiatan : (a) studi kelayakan lokasi, paling kurang meliputi status lahan, kesesuaian lahan, penentuan lokasi yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan aksesibilitas lokasi; (b) inventarisasi dan analisis sumberdaya yang ada; (c). inventarisasi kebutuhan infrastruktur pendukung; dan (d) penyusunan Rencana Induk (master plan). Berdasarkan konsep pola pemanfaatan ruang wilayah nasional sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWN), lokasi Kebun Raya Samosir ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi, hal ini sangat mendukung dalam pelaksanaan pembangunan Kebun Raya Samosir sebagai fungsi konservasi flora(vegetasi) dan fungsi penelitian. Status lahan seluas 100 hektar merupakan hibah dari masyarakat marga Sidabutar kepada Pemerintah Kabupaten Samosir untuk dikelola sebagai sebuah kebun raya. Kegiatan pengukuran batas kawasan, topografi dan situasi (existing) pada wilayah Kebun Raya Samosir dilakukan untuk memberikan informasi akurat mengenai kondisi batasbatastanah di sekitarkawasan, relief permukaan (elevasi/ beda tinggi) (DPU. 2008)
172
Gb.2 Pengukuran batas wilayah, topografi dan situasi (existing) Rencana Induk (master plan) Kebun Raya Samosir disusun bersama antara Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Kabupaten Samosir dan Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI (Pasal 6 Perpres Nomor 93 Tahun 2011). Rencana Induk meliputi: kondisi eksisting, analisis tapak,analisis sosial dan budaya, zonasi Kebun Raya, rencana tapak dan rencana utilitas, pentahapan pembangunan dan rencana pembiayaan. Kebun Raya Samosir memiliki Tema ―Konservasi Flora Pegunungan Sumatera Utara‖. Tema-tema tersebut diimplementasikan dalam penataan ruang (zonasi). Tema Kebun Raya Samosir dimaksudkan untuk membuat keanekaragaman pola lanskap (landscape pattern). Semakin beragam pola lanskap maka semakin baik bagi keanekaragaman hayati (Dale, et al., 1994). Kebun Raya Samosir dikelola dengan sistem zonasi (blok) menurut tema tanaman sebagaimana Gambar.3
Gb.3. Rencana zonasi Kebun Raya Samosir(atas,) design infrastruktur yang akandibangun (bawah)
Unit Pelaksana Teknis Kebun Raya Samosir & Arboretum Aek Natonang ditetapkan oleh Bupati Samosir melalui Peraturan Bupati Nomor 19 Tahun 2010 sebagai organisasi 173
pengelola Kebun Raya Samosir yang berada di bawah Dinas Kehutanan & Perkebunan Kabupaten Samosir. Dipimpin oleh seorang Kepala UPT eselon IV, saat ini pengelola Kebun Raya Samosir terdiri dari 6 orang PNS dan 10 pegawai honorer.
Gb.4. Struktur organisasi pengelola Kebun Raya Samosir B. Implementasi Pembangunan Fisik (Infrastruktur) Pembangunan fasilitas kebun raya yang telah dilaksanakan oleh pemkab Samosir sampai saat ini masih terbatas pada ruang kerja pengelola, pembibitan, embung (kolam penampungan air) dan jalan masuk menuju Kebun Raya Samosir. Bantuan pembangunan infrastruktur yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan masih diprioritaskan bagi kebun raya yang terletak di area perkotaan (Roadmap Kebun Raya Indonesia 2015-2019). Namun penyusunan Detil Engineering Design (DED) akses jalan, jembatan, pagar, kolam penyiraman (embung) dan fasilitas perkantoran telah dilaksanakan Tahun 2014 oleh Kementerian PUPR. Berdasarkan SK Kepala LIPI Nomor 2/F/2015 telah ditetapkan bahwa Kebun Raya Samosir akan diresmikan pada Tahun 2017.ditetapkan bahwa Kebun Raya Samosir akan diresmikan pada Tahun 2017.
Gb.5 Beberapa sarana fisik yang sudah terbangun di Kebun Raya Samosir :Kolam penampungan air/embung dan pembibitan (atas), kantor pengelola dan jalan menuju KRS (bawah) 174
C. Eksplorasi Sumber Koleksi & Pengelolaan Koleksi Tumbuhan Pengadaan dan peningkatan jenis koleksi tumbuhan di kebun raya dilakukan melalui kegiatan eksplorasi, pertukaran spesimen dan sumbangan material tumbuhan.(Pasal 10, Perpres RI Nomor 93 Tahun 2011). Beberapa kawasan lindung dan hutan alam di Sumatera Utara yang pernah dijadikan lokasi eksplorasi flora tim peneliti PKT Kebun Raya LIPI adalah: Cagar alam Sibolangit, Hutan Lindung Sibayak, Taman Hutan Raya Bukit Barisan, TWA Lau Debuk-debuk, TWA Deleng Lancuk, Hutan Lindung Sinabung, TWA Sicikehcikeh, Suaka Margasatwa Siranggas, Cagar Alam Dolok Sibual-buali, Cagar Alam Dolok Sipirok, Cagar Alam Dolok Tinggi Raja, Suaka Margasatwa Dolok Surungan, Suaka Margasatwa Barumun, Dusun Baniara Desa Partu Kuna Ginjang Toba Samosir (Hartini S, 2005), Hutan Alam Luban Julu Toba Samosir (Rahayu S, 2012), Simalungun Toba Samosir dan hutan-hutan di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir (Junaedi DI, 2013). Hingga akhir tahun 2015 Kebun Raya Samosir telah memiliki 99 species koleksi flora yang telah ditanam dan 155 species yang masih dipersiapkan di pembibitan. Data koleksi tumbuhan meliputi : asal-usul koleksi, nomor akses, tanggal dan lokasi tanam di kebun serta nama jenis. Anggrek adalah salah satu koleksi Kebun Raya Samosir yang banyak diperoleh dari hasil eksplorasi, yaitu 134 nomor akses yang terdiri dari 118 jenis anggrek termasuk sub species. Sekitar 75% dari anggrek yang dikumpulkan adalah epifit dan 25% adalah terestrial. Genera dominan adalah Bulbophyllum 20 jenis, Eria 15 jenis, Liparis 10 jenis. Ada 21 jenis endemis dan sub jenis Phalaenopsis sumatera, Ceratostylis crassipetala, Cleisostoma callosilabum, Coelogyne salmonicolor, C. speciosa subsp. Fimbriata, Dendrochilum ovatum, D. krauseanum dan Gastrochilus sumatranus. Jenis anggrek terestrial yang jarang ditemukan adalah Calanthe chrysoglossoides dan C. taenioides. (Metusala,D dan Fijriyanto I.A. 2015) a
Gb 6. Pendataan tanaman hasil eksplorasi (kiri), bibit-bibit tanaman hasil eksplorasi di pembibitan (kanan). Contoh Tabel pendataan hasil eksplorasi Formulir Kolektor Lokasi Tanggal No. 21 22 23 24 25
: A1 Tanaman Umum : Decky Indrawan Junaedi, Tatang Usin,Rosita : Simalungun, Tobasa, Samosir : 3-22 September 2013
Nomor Kolektor DQ 336 337 338 339 340
Nama Ilmiah Weinnmania blumei sp. Huperzia Pinus merkusii Polyalthia sp. Styrax benzoin
Suku Cunon. Pinac. Annon. Styrac.
Habitus T Ep. T T T
Altitude (m dpl) 1467 1467 1479 1479 1434
Koordinat (Latitude & NLongitude) 02039‘05.0‖ E N 0 098039‘05.0‖ 59‘59.2‖E 02 N 00 09839‘03.6‖ 59‘59.2‖E 02 N 0 099039‘03.6‖ 0001.4‖ E 02 N 00 09938‘55.9‖ 02 0001.4‖ E 098059‘42.8‖
Habitat, pH, RH, pH=6.5, dll. RH=84%, pH=6.5, T=220C, hs RH=84%, pH=6.9, T=220C, hs RH=70%, pH=6.9, T=260C, hs RH=70%, pH=6.1, T=260C, hs RH=86%, T=220C, hs 175
Nomor Kolektor 26 341 27 342 28 343 29 344 30 345 31 346 32 347 33 348 34 349 35 350 36 351 37 352 38 353 39 354 40 355 Keterangan: No.
Nama Ilmiah GENDUB Flacourtia rukam sp. Quercus Eurya sp. Eurya sp. Pyrenaria sp. Trevesia sp. Syzygium sp. Castanopsis sp. Turpinia sp. GENDUB Anthurium sp. Syzygium sp. Impatiens sp. Schima wallichii
Suku Laur. Flac. Faga. Theac. Theac. Theac. Aral. Myrt. Faga. Staph. Myrt. Ara. Myrt. Balsam. Theac.
Habitus T T T Sh. Sh. Sh. T T T T T Sh T Sh. T
Altitude (m dpl) 1434 1434 1434 1434 1434 1434 1474 1474 1474 1474 1474 1474 1481 1481 1482
Koordinat (Latitude & NLongitude) 0 02 N 38‘55.9‖ E 0 098038‘55.9‖ 59‘42.8‖E 02 N 00 09838‘55.9‖ 59‘42.8‖E 02 N 0 098038‘55.9‖ 59‘42.8‖E 02 N 00 098 59‘42.8‖E 02 38‘55.9‖ N 00 09838‘55.9‖ 59‘42.8‖E 02 N 0 098038‘56.2‖ 02 59‘42.8‖E N 00 09838‘56.2‖ 59‘44.7‖E 02 N 0 098038‘56.2‖ 59‘44.7‖E 02 N 00 09838‘56.2‖ 59‘44.7‖E 02 N 0 098038‘56.2‖ 59‘44.7‖E 02 N 00 09838‘56.2‖ 59‘44.7‖E 02 N 0 098038‘53.7‖ 02 59‘44.7‖E N 00 09838‘53.7‖ 59‘47.4‖E 02 N 0 098038‘52.7‖ 59‘47.4‖E 02 0 098 59‘46.1‖
Habitus (Perawakan) Material T= Pohon (Tree) S= Biji (Seed) Lokasi = Desa, kecamatan, tempat persis mis. Taman Nasional Kerinci Seblat Sh.= Semak (Shrub) C= Setek (Cutting) Habitat = Mis. hutan primer (hp), hutan sekunder (hs), rawa, tepi sungai, jurang,tebing, dll. Cl.= Merambat (Climber) R= Rhizoma (Rhizome) W.Cl.= Merambat (Woody Climber) B= Umbi (Bulb) A= Semusim (Annual) P= Tanaman (Plant) P = Lebih dari satu tahun (Perennial) H= Herbarium Aq.= Tanaman air (Aquatic) Sp= Spora (Spore) Habitat Anggrek/Paku Ep. = Epifit Tr. = Terestrial Sr. = Saprofit
Habitat, pH, RH, pH=6.1, dll. RH=86%, pH=6.1, T=220C, hs RH=86%, pH=6.1, T=220C, hs RH=86%, pH=6.1, T=220C, hs RH=86%, pH=6.1, 0 T=22 C, hs RH=86%, pH=6.1, 0 T=22 C, hs RH=86%, pH=6.5, T=220C, hs RH=92%, pH=6.5, T=190C, hs RH=92%, pH=6.5, T=190C, hs RH=92%, pH=6.5, T=190C, hs RH=92%, pH=6.5, T=190C, hs RH=92%, pH=6.5, T=190C, hs RH=92%, pH=6.8, T=190C, hs RH=92%, pH=6.8, T=190C, hs RH=92%, pH=7, T=190C, hs RH=90%, T=200C, hs
Selain eksplorasi untuk memperoleh material tumbuhan, pendataan untuk memperoleh informasi manfaatnya pun dilakukan melalui wawancara masyarakat maupun pemuka adat suku Batak. Salah satunya adalah wawancara di pusat pembuatan tenun ulos dengan pewarna alami dari tumbuhan Merdi Sihombing di Desa Lumban Suhisuhi Toruan, Kec.Pangururan dan wawancara bumbu khas Batak di Pajak Balerong di Balige (Muadz S, 2015)
176
a
b
d
e
c
f
Sumber foto: Muadz. 2015 Gb.7 Jenis-jenis ulos yang menggunakan bahan pewarna alami Keterangan Foto :a) Hasil perebusan Salaon (Indigofera sp) menghasilkan warna biru tua sebagai bahan pewarna benang ulos, selain itu kunyit (kuning), putri malu (hijau), kulit kayu Jabi-jabi (pitch), kulit kayu angsana (merah), akar mengkudu (merah), kulit kayu manga (hijau tua), daun Gambir (merah), akar kayu kuning (abu-abu), alpukat, lidah mertua, pacar cina, buah sukun, daun melinjo, kulit pohon Mindi;b) Limbah hasil perebusan tumbuhan Salaon (Indigofera); c) Benang hasil pewarnaan alami dari tumbuh-tumbuhan;. d-e) Kain tenun Ulos dengan menggunakan pewarna alami; f) Buku Perjalanan Tenun Ulos karya desainer Merdi Sihombing. a
b
c
d
Gb.8 Wawancara menggali informasi pemanfaatan bumbu khas Batak di Pajak Balerong, Balige Keterangan Foto :a-b) wawancara pedagang yang menjual Mobe. Buah Mobe memiliki rasa asam & digunakan untuk membuat arsik; c-d)Wawancara pedagang yang menjual Antarasa. Buah Antarasa digunakan sebagai lalapan, berbuah setahun sekali. Tumbuhan hasil eksplorasi yang memiliki fungsi khusus seperti pewarna ulos alami dan bumbu masakan Suku Batak seperti disampaikan di atas kemudian ditanaman dan ditata di area taman tematik Ethnobotani Suku Batak. Sedangkan jenis-jenis kantong semar dan anggrek ditanam mengisi taman tematik hias.
177
Gb.9 Jenis- jenis Nepenthes dan anggrek hasil eksplorasi di Kebun Raya Samosir Salah satu tantangan yang dihadapi Kebun Raya Samosir adalah kurangnya tutupan kanopi untuk naungan. Solusi yang telah dilakukan adalah penanaman jenis fast growing tree species (FGPT) untuk memenuhi kebutuhan naungan dalam waktu relatif singkat. Jenis FGPT eksotis invasif yang terpilih kemudian dianalisis resiko invasifnya berdasarkan Weed Risk assessment. Diperoleh beberapa jenis tumbuhan FGPT yang potensial untuk Kebun Raya Samosir, yaitu: Samanea saman, Annona squomosa dan Cedrella odorata, Acacia spp, Albizia, Falcataria dan Leucaena. (Junaedi, D.I dan Sugiarti. 2015) D. Sumber Daya Manusia Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola Kebun Raya Samosir dilakukan melalui Diklat Perkebunrayaan yang diselenggarakan secara berkala setiap tahunnya di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI. Diklat terbagi menjadi dua jenis, yaitu tingkat manajemen bagi para pimpinan kebun raya daerah dan tingkat teknis bagi para tenaga kerja lapangan pengelola kebun raya. Materi diklat meliputi perkembangan kebun raya di dunia dan Indonesia, strategi konservasi flora Indonesia, teknik eksplorasi, pengelolaan koleksi data base koleksi, teknik pembibitan dan perbanyakan tanaman, penyelenggaraan program pendidikan lingkungan serta promosi. Selain melalui rangkaian pelatihan, upaya pengembangan kapasitas SDM pengelola Kebun Raya Samosir juga dilakukan melalui pendampingan tenaga Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang khusus diseleksi oleh PKT Kebun Raya-LIPI untuk ditempatkan di Kebun Raya Samosir sejak Tahun 2015.
Gb.10.Diklat perkebunrayaan pengelola kebun raya daerah (kiri), pendampingan PTT di KR Samosir (kanan). 178
E. Promosi dan Kerjasama Untuk mensosialisasikan keberadaan kebun Raya Samosir diperlukan program promosi dan kerjasama sehingga memperoleh dukungan masyarakat, pemerintah pusat maupun daerah, universitas, NGO serta swasta. Informasi koleksi tumbuhan dan kegiatan konservasi flora di Kebun Raya Samosir telah disebarluaskan melalui berbagai media seperti website, newsletter, brosur dan penyelenggaraan event-event lingkungan. Mahasiswa dari beberapa universitas di Sumatera telah melakukan penelitian flora dan memanfaatkan data koleksi flora Kebun Raya Samosir, seperti Orchidaceae, Nepenthaceae, Rafflesia dan tanaman obat.
Gb.11. Informasi Kebun Raya Samosir melalui media cetak maupun online Kerjasama dengan berbagai pihak seperti Kementerian PUPR, LIPI, WWF Indonesia, Bank Mestika dan perusahaan-perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility bertujuan untuk mempercepat pembangunan Kebun Raya Samosir.
Gb.11. Event penanaman di KRS (kiri), display herbarium koleksi tumbuhan KRS di Pusat InformasiGeopark Kaldera Toba (tengah dan kanan) KESIMPULAN Kebun Raya Samosir yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Samosir cukup efektif untuk konservasi berbagai spesies flora pegunungan Sumatera Utara. Lokasi Kebun Raya Samosir berada di jalur wisata Pulau Samosir – Danau Toba, sejalan dengan program dan kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah yang menetapkan Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Nasional, daerah tujuan wisata dan usulan sebagai Geopark. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Mangindar Simbolon (Bupati Samosir 2005-2015), Kepala UPT Kebun Raya dan Arboretum Aek Natonang beserta staf (Elman Silalahi, Reinheart Simarmata, Eva Erika Hutagalung, Ridho Siahaan cs), Pemilik lahan yang menghibahkan tanahnya seluas 100 ha untuk Kebun Raya Samosir (Victor Sidabutar, Raja Muda Sidabutar 179
dan seluruh keluarga besar), rekan-rekan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI yang pernah bersama-sama menjadi pendamping pembangunan KR Samosir sejak tahun 2008 hingga saat ini (Irawati, Lugrayasa, Mustaid Siregar, Joko Ridho Witono, Rismita Sari, Yayan K, Sri Rahayu dan Mujahidin), Pegawai PTT yang pernah dan sedang bertugas di Kebun Raya Samosir (Hendra Nughara, Sahal Muadz, Apri Wijaya dan Han Prasetya Adhi) serta sahabat yang senantiasa membantu dalam penyusunan makalah ini (Hendra Gunawan dan Graham Eagleton) DAFTAR PUSTAKA Hartini, S dan Puspitaningtyas, DM. 2005. Flora Pegunungan Sumatera Utara. PKT Kebun Raya-LIPI. Bogor IUCN 2013. http://www.iucnredlist.org. Red list data book. Junaedi, D.I dan Sugiarti. 2015. Analisis Risiko Penggunaan Tumbuhan Eksotis Dalam Pengembangan Kebun Raya Samosir. Prosiding Ekspose dan Seminar Pembangunan Kebun Raya Daerah. Lipi Press. Jakarta. Metusala D dan Fijriyanto IA.2015. Keragaman Jenis Anggrek Orchidaceae dari Kawasan Hutan Dolok Pinapan dan Dolok Partangisan, Kab Samosir Sumatera Utara. Prosiding Ekspose dan Seminar Pembangunan Kebun Raya Daerah. Lipi Press. Jakarta. Muadz, S dan Nughara H. 2015. Laporan Pendampingan PTT di Kebun Raya Samosir. Peraturan Presiden RI Nomor 93 Tahun 2011 Tentang Kebun Raya Peraturan Pemerintah RI No.50 Tahun 2011 Tentang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional WWF Indonesia. http://www.wwf.or.id/en/news_facts/?uNewsID=38842. Lebih dari 80% Deforestasi Terkonsentrasi pada 11 Wilayah di Dunia, 28 April 2015 diunduh pada 3 April 2016.
180
KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU (LEPIDOPTERA: RHOPALOCERA) PADA BEBERAPA HABITAT DI LEUPUNG ACEH BESAR THE COMPOSITION AND BIODIVERSITY OF BUTTERFLIES (LEPIDOPTERA: RHOPALOCERA) AT SOME HABITATS IN LEUPUNG ACEH BESAR Suwarno1, Muhammad Toha Putra2, Irvianty3 1,2,3,4 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala, Jl. Syekh Abdur Rauf No.3 Darussalam Banda Aceh, 23111, Indonesia, telp. 082161906994 e-mail:
[email protected]
Abstract This study aims to determine the composition and biodiversity of butterflies in Leupung Aceh Besar. An exploratory method was conducting in this study. The butterflies were collected on three habitats, there were the secondary forest, farm and the bush, every week for two months. The butterflies were captured by using the insect net, from 8:00 am to 5:00 pm. The result showed that there were four families (Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae and Lycaenidae), 35 species 473 of individuals found during the study. The highest number of species was found in the farm (32 species), meanwhile lowest were in the bush (14 species). Nymphalidae was the most family (the number of species and individuals) in all of habitats. Keywords: butterflies, biodiversity, composition, habitat
PENDAHULUAN Kupu-kupu merupakan kelompok fauna yang memiliki keanekaragaman sangat tinggi. Diperkirakan terdapat sebanyak 4.000-5.000 jenis kupu-kupu di Indonesia, namun baru 50% yang teridentifikasi (Tsukada dan Nishiyama, 1982). Keanekaragaman kupu-kupu dipengaruhi oleh penyebaran dan kelimpahan tumbuhan inang (host plant) (Suwarno et al, 2013). Kerusakan habitat saat ini merupakan ancaman terbesar bagi serangga di daerah tropis, namun demikian perubahan iklim global dewasa ini juga akan memberikan efek yang serupa (Chen et al., 2009) Keanekaragaman kupu-kupu juga dipengaruhi oleh ketinggian (altitude), suhu, kelembaban, intensitas cahaya, cuaca, musim, dan ketersediaan nektar tumbuhan (Rizal, 2007). Kupu-kupu tersebar dari dataran rendah sampai ketinggian 750 meter di atas permukaan laut (mdpl). Serangga ini dapat ditemukan pada habitat hutan, pinggiran hutan, ladang, semak belukar, dan di sepanjang aliran air (Corbet dan Pendlebury, 1992). Perbedaan habitat akan mempengaruhi komposisi dan keanekaragaman jenis kupu-kupu yang ditemukan (Salmah et al., 2002). Kupu-kupu memainkan peranan penting fungsi ekologi seperti siklus nutrien dan penyerbukan (Bonebrake et al., 2010). Kupu-kupu juga dapat digunakan sebagai indikator kerusakan atau perubahan lingkungan (Koh dan Sodhi, 2004).Kupu-kupu menyukai tempattempat yang bersih, sejuk dan tidak terpolusi oleh insektisida, asap, bau yang tidak sedap dan lain-lain (Odum, 1993). Kerusakan alam seperti berubahnya ekosistem hutan, dan semak yang menjadi habitat bagi kupu-kupu, dapat menyebabkan penurunan jumlah maupun jenis kupu-kupu di alam (Suwarno et al., 2013). 181
Hasil penelitian Suwarno et al. (2013), di Kawasan Wisata Sungai Sarah, Aceh Besar mendapatkan sebanyak 60 jenis kupu-kupu yang tergolong ke dalam lima family yaitu Hesperidae, Lychaenidae, Nymphalidae, Papilionidae, dan Pieridae. Sementara itu Aini (2000) melaporkan 64 jenis kupu-kupu yang tergolong kedalam tujuh famili (Danaidae, Hesperidae, Lychaenidae, Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae, dan Satyridae) ditemukan di Taman Hutan Raya Cut Nyak Dien Seulawah, Aceh Besar. Kecamatan Leupung merupakan daerah yang memiliki beragam tipe habitat. Habitat yang terdapat di sekitar kawasan tersebut adalah hutan sekunder, semak, kebun/ladang, dan persawahan. Kondisi habitat-habitat tersebut di atas sering mengalami perubahan akibat aktivitas masyarakat di sekitarnya. Terjadinya perubahan kondisi dan daya dukung habitat akan mempengaruhi kelimpahan dan keragaman kupu-kupu di kawasan tersebut. Hingga saat ini belum ada informasi tentang keanekaragaman kupu-kupu di Kecamatan Leupung. BAHAN DAN METODE PENGKOLEKSIAN KUPU-KUPU Pengkoleksian kupu-kupu di lapangan dilakukan dengan metode eksploratif menggunakan jalur transek (Suwarno et al., 2013). Pengkoleksian kupu-kupu dilakukan pada tiga habitat yaitu hutan sekunder, semak, dan kebun/ladang masing-masing dengan transek sepanjang 2 km dan lebar 50 m. Pengkoleksian sampel kupu-kupu pada habitat yang sama dilakukan mulai pukul 08.00 sampai 16.00 wib, setiap minggu selamadua bulan. Kupu-kupu ditangkap dengan menggunakan jaring seranggaberdiamater 50cm dan panjang gagang/tangkai 2m(Suwarno et al.,2013; Dahelmi et al., 2009; Salmah et al., 2002). Kupu-kupu yang tertangkap dikeluarkan dari jaring serangga secara hati-hati. Selanjutnya, kupu-kupu tersebut dimatikan dengan cara menekan pada bagian dada, sayap kupu-kupu dilipat ke atas dan dimasukkan ke dalam kertas segitiga. Kertas segitiga yang sudah berisi sampel kupu-kupu selanjutnya disimpan dalam kotak koleksi supaya tidak rusak atau patah. Setelah itu sampel yang didapat dibawa ke laboratorium untuk dijadikan spesimen kering guna keperluan identifikasi. PEMBUATAN SPESIMEN KUPU-KUPU Kupu-kupu yang terdapat dalam kertas segitiga dikeluarkan secara hati-hati. Setelahdikeluarkan, kemudian kupu-kupu ditusuk dadanya dengan jarum serangga. Selanjutnya sayap kupu-kupu direntangkan diatas papan perentang,dan diatur sedemikian rupa sehingga sayap ini tidak patah dan menjadi indah. Kupu-kupu yang sudah siap direntang dan dipin pada papan perentang selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC selama 5-7 hari. Spesimen kupu-kupu yang sudah kering selanjutnya diidentifikasi, diberi label dan disimpan dalam kotak koleksi. Guna mencegah serangan semut dan organisme perusak lainnya ke dalam kotak koleksi diberi kapur barus sebagai pengawet. IDENTIFIKASI SAMPEL Kupu-kupu yang telah dijadikan spesimen kering selanjutnya diidentifikasi dengan melihat ciri-ciri utama pengidentifikasian seperti bentuk tubuh secara umum, warna, sebaran warna, bentuk dan venasi sayap serta ciri lainnya. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah dengan menggunakan beberapa macam buku literatur acuan (Otsuka, 2010; Corbet dan Pendlebury, 1992; Fleming, 1975) dan specimen yang ada di insektarium Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah.
182
ANALISIS DATA Data jenis kupu-kupu yang tertangkap, dianalisis terhadap nilai frekuensi relatif, kelimpahan relatif, dan indeks keragaman Shannon-Wiener dengan rumus sebagai berikut: Frekuensi Kehadiran Jumlah plot yang ditempati suatu jenis FK = Jumlah total plot Kelimpahan Relatif KR =
Jumlah individu suatu jenis 100% Jumlah individu seluruh jenis
Indeks Keanekaragaman Untuk memperoleh Indeks Keanekaragaman menggunakan rumus Shannon-Wieneryaitu: H= −∑ Piln Pi dimana : H = Indek keanekaragaman spesies Pi = ni/ N ni = Jumlah individu panda spesies ke-i N = Total jumlah individu seluruh spesies
kupu-kupu
dihitung
dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengkoleksian terhadap kupu-kupu yang telah dilakukan pada tiga macam habitat di Leupung Aceh Besar tertangkap sebanyak 35 jenis yang tergolong ke dalam empat famili yaitu Lycaenidae (2 jenis), Nymphalidae (18 jenis), Pieridae (8 jenis)dan Papilionidae (7 jenis).Jumlah jenis kupu-kupu yang didapat di habitat ladang (32 jenis) lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan di hutan sekunder (28 jenis) ataupun di semak (20 jenis) (Tabel 1). Jumlah jenis kupu-kupu dari hasil penelitian ini lebih sedikit dibanding dengan hasil penelitian sebelumnya Suwarno et al. (2013) di Sungai Sarah Aceh Besar, yang mendapatkan 60 jenis kupu-kupu, tergolong dalam 10 subfamili dan 5 famili. Namun demikian, jumlah jenis dan jumlah individu yang tergolong famili Nymphalidae mendominasi pada kedua lokasi. Tabel 1. Komposisi kupu-kupu yang terdapat di Leupung Aceh Besar Hutan Ladang / Familia / Jenis Semak Sekunder Kebun LYCAENIDAE 1. Anthene emolus 3 5 6 2. Euchrysops cnejus 2 1 3 NYMPHALIDAE 3. Cirrochoroa orissa 0 1 0 4. Danaus chrysippus 5 6 1 5. Danaus gemutia 0 2 0 6. Elymnias nesaea 0 1 0 7. Euploea eunice 3 2 3 8. Euploea eyndhovii 8 7 4 9. Euploea mulciber 8 5 6 10. Euploea radamanthus 9 6 6
FK
KR
1.00 1.00
2.96 1.27
0.33 1.00 0.67 0.33 1.00 1.00 1.00 1.00
0.21 2.54 0.42 0.21 1.69 4.02 4.02 4.44 183
Familia / Jenis 11. Hypolimnias bolina 12. Idea stolli 13. Ideopsis vulgaris 14. Junonia alamanda 15. Junonia atlites 16. Junonia iphita 17. Neptis hylas 18. Paraantica agloides 19. Paraantica aspasia 20. Tanacea iapis PAPILIONIDAE 21.Graphium antiphates 22. Graphium doson 23. Graphium sarpedon 24. Lamproptera curius 25. Pachliopta aristolochiae 26. Papilio nephelus 27. Papilio polytes PIERIDAE 28. Appias libythea 29. Appias lyncida 30. Appias nero 31. Delias hyparete 32. Eurema hecabe 33. Eurema sari 34. Hebomoia glaucippe 35. Leptosia nina
Hutan Sekunder 5 5 10 0 0 3 8 10 11 0
Ladang / Kebun 3 3 13 4 2 2 9 8 1 1
1 5 18 4 12 0 8 10 6 1 13 18 20 13 4 223
Semak
FK
KR
1 0 9 0 0 0 0 10 3 0
1.00 0.67 1.00 0.33 0.33 0.67 1.00 1.00 1.00 0.33
1.90 1.69 6.77 0.85 0.42 1.06 3.59 5.92 3.17 0.21
0 2 7 6 8 3 2
0 0 2 0 6 0 3
0.33 0.33 1.00 1.00 1.00 0.33 1.00
0.21 1.48 5.71 2.11 5.50 0.63 2.75
3 0 0 8 12 17 11 3 164
0 2 0 4 6 8 2 1 86
0.67 0.67 0.33 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 26.33
2.75 1.69 0.21 5.29 7.61 9.51 5.50 1.69 100
Perbedaan rona lingkungan di kedua lokasi penelitian merupakan penyebab adanya variasi jumlah jenis yang ditemukan. Kawasan hutan sekunder di Leupung sudah mengalami konversi menjadi perkebunan masyarakat dan sudah ditanami tanaman ekonomi seperti durian (Durio zibethinus), belimbing (Averhoa bilimbii), manggis (Garcinia mangostana), sirsak (Annona muricata), pala (Myristica fragrans), dan kayu manis (Cinnamomum burmanii). Menurut Hill et al. (2003), kelimpahan spesies kupu-kupu menurun pada hutan yang mengalami penebangan. Kurangnya tanaman pakan (food plant) dan tanaman inang (host plant) bagi kupu-kupu di Leupung akibat konversi lahan diduga menjadi faktor penyebab kurangnya jumlah jenis yang ditemukan.
184
Gambar 1. Jumlah spesies pada masing-masing famili
Gambar 1. Persentase jumlah individu pada masing-masing famili Nymphalidae merupakan kelompok kupu-kupu yang paling banyak tertangkap di Leupung Aceh Besar baik dalam jumlah jenis (51,43%) (Gambar 1) maupun dari jumlah individu (43,13%) (Gambar 2). Famili Nymphalidae paling banyak tertangkap pada habitat kebun/ladang (18 jenis) dibanding hutan sekunder (12 jenis) dan semak (9 jenis) (Tabel 1). Hal ini karena banyaknya tanaman pakan dan tanaman inang di habitat kebun/ladang. Menurut Peggy dan Amir (2006) sumber pakan Nymphalidae adalah Leguminoceae dan Compositae. Banyaknya sumber mineral dan buah busuk yang terdapat dikawasan kebun/ladang hutan sekunder seperti juga menjadi salah satu faktor banyaknya jumlah jenis yang didapatkan dari famili Nymphalidae. Menurut Suwarno dan Yusti (2012) kupu-kupu dari famili Nymphalidae paling banyak melakukan puddling secara berkelompok. Nymphalidae dilaporkan mendominasi komunitas kupu-kupu di beberapa lokasi, seperti, di Taman Nasional Gunung Halimun (Amir et al., 2003), dan di Sungai Sarah, Aceh Besar, Aceh (Suwarno et al., 2013). Nymphalidae merupakan familia kupu-kupu yang mempunyai anggota paling banyak dan penyebaran lebih luas dibandingkan dengan famili kupu-kupu lainnya (Corbet dan Pendlebury, 1992).
185
Jenis kupu-kupu yang paling dominan dari famili Nymphalidae adalah Parantica agloides dan Ideopsis vulgaris (Tabel 1). Kedua jenis kupu-kupu ini menyukai tempat yang agak terbuka namun tidak terdedah langsung dengan cahaya matahari. Kupu-kupu dari familia Pieridae juga banyak ditemukan (Tabel 1, Gambar 1 dan 2). Tingginya populasi famili Pieridae pada penelitian ini diduga berkaitan dengan berlimpahnya tumbuhan dari famili Leguminoceae dan Loranthaceae. Tumbuhan dari famili Leguminoceae, Capparidaceae, dan Loranthaceae merupakan tanaman inang utama bagi famili Pieridae (Otsuka, 2001). Beberapa jenis juga telah dilaporkan terdapat di Sungai Sarah, Aceh Besar (Suwano et al., 2013) seperti, Appias libythea, Appias lyncida, Delias hyparate, Eurema hecabe, Hebomoia glaucippe, dan Leptosia nina. Sebanyak tujuh jenis kupu-kupu yang tergolong fmilia Papilionidae ditemukan pada penelitian ini (Tabel 1), enam diantaranya dikoleksi pada habitat hutan sekunder dan kebun/ladang yang lokasinya berdampingan. Kehadiran enam jenis kupu-kupu dari familia Papilionidae pada hutan sekunder diduga akibat adanya konversi hutan sekunder menjadi kebun/ladang. Pada kawasan tepi hutan sekunder banyak terdapat tanaman kayu manis (Cinnamomum burmanii) dan sirsak (Annona muricata) yang merupakan tanaman inang bagi beberapa jenis Graphium. Selain itu tanaman jeruk (Citrus sp.) juga banyak terdapat di habitat kebun/ladang yang merupakan tanaman inang dari Papilio spp. Menurut Salmah et al. (2002) tanaman pakan dari jenis Graphiumsarpedon, G. doson, dan G. evemon adalah dari famili Lauraceae dan Annonaceae. Semua jenis dari Papilionidae yang terdapat di Leupung ini juga ditemukan di Sungai Sarah Aceh Besar (Suwarno et al., 2013). Famili Lycaenidae merupakan kelompok kupu-kupu yang paling sedikit tertangkap baik dalam jumlah jenis (5,71%) (Gambar 1) maupun dari jumlah individu (4,23%) (Gambar 2). Jenis yang ditemukan jenis yaitu Anthene emolus dan Euchrysops cnejus (Tabel 1).Kupukupu dari familia Lycaenidae yang didapatkan umumnya ditemukan pada pagi hari sedangkan pada siang hari yang panas jarang ditemukan famili ini,karena ukuran tubuh yang kecil menyebabkan jenis dari suku ini tidak tahan terhadap panas yang menyengat. Menurut Peggie dan Amir (2006) kupu-kupu ini umumnya dijumpai pada hari yang cerah dan di tempat yang terbuka. Frekuensi kehadiran jenis-jenis kupu-kupu yang terdapat di Leupung ini tergolong tinggi, hanya beberapa jenis saja yang frekuensi kehadirannya rendah (Tabel 1). Hal ini diduga jenis-jenis yang ditemukan merupakan kelompok kupu-kupu yang menyukai kawasan terbuka dan tersedianya tanaman inang dan tanaman pakan pada semua tipe habitat. Beberapa jenis yang mendominasi seperti Ideopsis vulgaris dan Parantica agloides (Nymphalidae), Delias hyparete, Eurema sari dan Eurema hecabe (Pieridae). Menurut Yamamoto et al. (2007) kehadiran spesies kupu-kupu yang tinggi didukung oleh tersedianya tumbuhan sebagai sumber pakan. Hasil analisis keanekaragaman kupu-kupu pada masing-masing habitat di Leupung menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman kupu-kupu di hutan sekunder (H‘=3.13) dan kebun/ladang (H‘=3.19) tergolong dalam kategori tinggi, sedangkan semak (H‘=2.81) tergolong dalam kategori sedang (Tabel 2). Kategori ini sesuai dengan pendapat Odum (1993),yang menyatakan bahwa apabila H' ≤ 2.0 maka indeks keanekaragaman rendah, apabila 2.0 < H' < 3.0 maka indeks keanekaragaman sedang, dan apabila H' ≥ 3.0 maka indeks keanekaragaman tinggi. Secara keseluruhan indeks keanekaragaman kupu-kupu (ketiga habitat) di Leupung adalah H‘= 3.21 termasuk dalam kategori tinggi.
186
Tabel 2. Indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu yang terdapat di Leupung A. Besar Habitat Indeks Keanekaragaman Hutan Sekunder 3.18 Ladang / Kebun 3.12 Semak Belukar 2.81 Tinggi rendahanya nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H), sangat ditentukan oleh jumlah spesies (species richness), kelimpahan individu setiap spesies (abundance) dan jumlah total individu. Rona lingkungan menjadi faktor penentu perbedaan jumlah spesies dan jumlah total individu sehingga mempengaruhi nilai indeks keanekaragaman. Adanya perbedaan rona lingkungan menyebabkan keanekaragaman organisme yang tidak toleran menurun, sebaliknya organisme yang toleran akan tinggi.Hal ini terlihat pada perbedaan keanekaragaman kupu-kupu antara hutan sekunder dan kebun/ladang. Suwondo et al. (2004), menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara keanekaragaman dengan kualitas lingkungan. Keanekaragaman banyak dipakai untuk mengindikasikan kondisi lingkungan suatu ekosistem. Odum (1993) menyatakan bahwa keanekaragaman identik dengan kestabilan suatu ekosistem, yaitu jika keanekaragaman suatu ekosistem relatif tinggi maka kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil. KESIMPULAN Hutan sekunder di Leupung Aceh Besar sudah mengalami konversi dan fragmentasi, namun masih cukup sesuai bagi kehidupan kupu-kupu, terlihat dari nilai indeks keanekaragamannya yang masih tergolong tinggi (H‘ = 3.13). Kupu-kupu yang tertangkap sebanyak 35 jenis yang tergolong ke dalaam empat famili (Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae and Lycaenidae). Kupu-kupu dari famili Nymphalidae mendominasi baik dari segi jumlah jenis maupun dari jumlah individu. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih ditujukan kepada Ketua Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah yang sudah memberikan izin pemakaian alat-alat laboratorium dan fasilitas lainnya. Kepada masyarakat Leupung juga diucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama penelitian. DAFTAR PUSTAKA Aini, L. 2000. Keanekaragaman Rhopalocera Diurnal di Taman Hutan Raya Cut Nyak Dhien Seulawah, Aceh Besar. Skripsi. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Amir, M., Noerdjito, W.A., dan Kahono, S. 2003. Kupu (Lepidoptera). Di dalam: Amir, M., dan Kahono, S., editor. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Bogor: Biodiversity Conservation Project LIPI-JICA. Bonebrake, T. C. Ponislo, I. C. Boggs, C. I. and Erlich P. R. (2010). More than just indicators: a review of tropical butterfly and conservation. Biological Conservation. Vol 143, p. 1831-1841 Chen, L-C. Shiu, H-J. Benedick, S. Holloway J. D., Chey, V. K. Barlow, H. S.. Hill J. K and Thomas, C. D (2009). Elevation increases in moth assemblages over 24 years on a tropical mountain. Proceeding of the National Academy of Sciences USA, Vol. 106 p. 1479-1483 Corbet, A.S., dan Pendlebury, H.M. 1992. The Butterflies of The Malay Peninsula 2nd ed. British Museum. Tweeddale Court. Edinburgh, London. 187
Dahelmi., Salmah, S., dan Primaldavi, I. 2009. Kupu-kupu di Pulau Marak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Proc. Seminar dan Rapat Tahunan BKS-BTN Wilayah Barat ke-21. Padang. Fleming, W.A. 1975. Butterflies of West Malaysia and Singapore. Volume Two. Second Edition. Longeman, Kuala Lumpur. Hill, J.K., Hamer, K.C., Dawood, M.M., Tangah, J., dan Chey, V.K. 2003. Rainfall but not selective logging affect changes in abundance of a tropical forest butterfly in Sabah, Borneo. J Trop Ecol 19: 35-42. Koh L. P. and Sodhi, N. S. (2004). Importance of reserves, pfragments and parks for butterfly conservation in a tropical urban landscape. Ecological Application Vol. 14, p. 16951708 Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Terjemahan dari Fundamental of Ecology Third Edition, oleh Tjahjono Samingan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Otsuka, K. 2001. A fiel Guide to the Butterflies of Borneo and South East Asia. Hornbill books- adivision of iwase bookshop Sdn. Bhd, Malaysia. Peggie dan Amir, M. 2006. Practical Guide to the Butterflies of Bogor Botanic Garden – Panduan Praktis Kupu-kupu di Kebun Raya Bogor. Bidang Zoologi, pusat penelitian biologi, LIPI Cibinong dan Nagao Natural Environment Foundation. Tokyo. Rizal, S. 2007. Populasi kupu-kupu di kawasan wisata Lubuk Minturun Sumatera Barat. Mandiri 9: 170-184. Salmah, S., Abbas, I., dan Dahelmi. 2002. Kupu-kupu Papilionidae di Taman Nasional Kerinci Seblat. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta. Sodhi, N.S., Koh, L.P., Brook, B.W., dan Peter, K.L. 2004. Southeast asian biodiversity: an impending disaster. Trends in Ecol Evol 19: 654-660. Suwarno dan Yusti, E. 2012. Puddling Behaviour Kupu-kupu di Kawasan Wisata Sungai Sarah Kecamatan Leupung Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional Hasil Riset dan Standarisasi Industri, Balai Riset dan Standarisasi Industri Aceh, 228-241, ISBN: 978602-19327-0-4. Suwarno, Fuadi, S dan Mahmud, A.H. 2013. Keragaman dan Kelimpahan Kupu-kupu Pasca Tsunami di Kawasan Sungai Sarah Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional BKS-PTN Barat. Universitas Lampung, 10-12 Mei 2013, hlmn. 123-133. Suwondo, Elya Febrita, Dessy dan Mahmud Alpusari. 2004. Kualitas Biologi Perairan Sungai Senapelan, Sago Dan Sail di Kota Pekanbaru Berdasarkan Bioindikator Plankton dan Bentos. Biogenesis. 1 (1) : 15-20. Tsukada, E., dan Nishiyama, Y. 1982. Butterflies of the South East Asian Island. Vol. 1, Papilionidae. Translate into English by Morishita, K and Kaneko, M. Plapac co.ltd. Tokyo, Japan. Yamamoto, N., Yokoyama, J., dan Kawata, M. 2007. Relative resources abundance explains butterfly biodiversity in island communities. PNAS 104: 10524-10529.
188
POPULASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax sp.) DI PERAIRAN DANAU TOBA, DESA MARLUMBA, KECAMATAN SIMANINDO, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA Villa Tamora T. purba1, Ternala Alexander Barus2, Hesti Wahyuningsih2 1 Mahasiswa Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara 2 Staf Pengajar Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera utara Jln. Bioteknologi No.1 Kampus USU, Medan-20155 E-mail:
[email protected]
Abstrak Populasi lobster air tawar (Cherax sp.) di periaran Danau Toba, khususnya di Desa Marlumba telah dilakukan penelitian pada Februari 2016. Penentuan titik lokasi penelitian menggunakan metode ―Purposive Sampling‖ dengan menentukan tiga stasiun. Alat yang digunakan dalam penangkapan lobster adalah bubu. Banyaknya individu lobster yang diperoleh dari hasil tangkapan ketiga stasiun adalah sebanyak 54 ekor. Kepadatan lobster tertinggi ditemukan pada stasiun II dengan nilai 0,033 ind/m2. Pola pertumbuhan dapat diketahui dari hubungan panjang-berat lobster air tawar. Berdasarkan hasil penelitian pada ketiga stasiun, pola pertumbuhan lobster air tawar bersifat allometrik positif (stasiun I dan II), yang berarti pertumbuhan berat lebih dominan dibandingkan dengan panjang, sedangkan stasiun II bersifat allometrik negatif yang berarti pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan berat. Suhu dan kelarutan oksigen (DO) dasar berkorelasi sangat kuat terhadap kepadatan lobster air tawar di perairan Danau Toba. Keywords: Cherax sp.,Danau Toba, Lobster Air Tawar
PENDAHULUAN Lobster air tawar (Cherax sp.), termasuk jenis udang-udangan (crustacea), bagian tubuh lobster air tawar terdiri atas tiga bagian yaitu kepala dan dada yang disebut (chepalothorax), bagian badan (abdomen) serta bagian ekor (telson). Bagian kepala lobster ditutupi oleh kulit yang keras atau disebut cangkang kepala (carapace), di bagian kepala bagian depan disebut (rostrum)berbentuk meruncing (Mulis, 2012). Menurut Iskandar (2003), di Indonesia belum banyak orang yang mengetahui keberadaan lobster air tawar. Awalnya benih lobster yang dibudidayakan didatangkan dari Australia dan Cina. Lobster air tawar mempunyai prospek yang cukup cerah dalam sektor perikanan, selain harga jualnya yang lebih tinggi dibanding dengan produk perikanan airtawar lainnya, lobster air tawar juga mudah dibudidayakan, tidak mudah terserang penyakit, bersifat omnivor, pertumbuhan cepat dan memiliki daya bertelur tinggi. Bila dilihat dari aspek teknis budidaya dan potensi pasar, lobster air tawar layak dikembangkan secara luas di masyarakat sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi dan tetap terjaga kelestariannya. Danau Toba merupakan sumberdaya alam akuatik yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi serta fungsi ekonomis. Pemanfaatan danau memberikan imbas terhadap penurunan kualitas air akibat berbagai aktivitas masyarakat di mana Danau Toba juga digunakan sebagai tempat membuang berbagai jenis limbah yang dihasilkan dari
189
kegiatan pertanian di sekitar Danau Toba, limbah domestik dari pemukiman dan perhotelan, limbah nurtrisi dari sisa pakan ikan yang tidak habis dikonsumsi oleh ikan yang dibudidayakan dalam keramba jaring apung, limbah pariwisata dan limbah transportasi air. Berbagai penelitian di Danau Toba memberikan indikasi telah terjadi penurunan kualitas air dilokasi-lokasi yang terkena dampak kegiatan masyarakat (Barus, 2007). Demikian banyaknya aktivitas yang terjadi di sekitar wilayah danau, termasuk banyaknya transportasi air dan kapal-kapal penumpang yang beroperasi di wilayah perairan danau, maka tentu kualitas air danau akan mengalami perubahan. Akibat berbagai kegiatan yang terjadi di sekitar wilayah Danau Toba, maka perairan danau akan menerima suatu dampak lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia di sekitarnya dan kehidupan organisme akuatik yang ada dalam badan air danau. Kehidupan akuatik yang dipengaruhi sangat komplek yaitu terhadap rantai makanan (food chain) dan jaring makanan (foodweb) dalam ekosistem perairan (Parlindungan, 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi lobster air tawar (Cherax sp.) serta menganalisis hubungan faktor lingkungan (fisik kimia air) dengan populasi lobster air tawar (Cherax sp.) di Desa Marlumba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. BAHAN DAN METODE 1.Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilakukan selama bulan Februari 2016 di daerah perairan Danau Toba, Desa Marlumba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara dan Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL) Universitas Sumatera Utara, Medan. 2. Pengambilan Sampel Lobster Pengambilan sampel lobster dilakukan menggunakan jaring bubu yang luasnya 57,336 m2. Sampel lobster diambil dari 3 stasiun Masing-masing stasiun dibagi menjadi 3 plot, jarak antar plot adalah 5 m. Setiap plot diletakkan bubu masing-masing 5 buah. Umpan yg digunakan dalam penangkapan lobster adalah potongan kelapa yang telah dibakar. Pengambilan sampel lobster ini dilakukan selama 2 hari yaitu, hari pertama pemasangan jaring bubu dilakukan pada pukul 09.00 WIB dan diambil kembali pada hari berikutnya pada pukul 08.00 WIB. Sampel lobster yang diperoleh dimasukkan kedalam toples yang telah disediakan dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. 3. Hubungan Panjang-Bobot Sampel lobster yang telah diperoleh, diukur panjangnya dengan menggunakan penggaris dan bobotnya dengan menggunakan timbangan digital. Dicatat hasil pengukuran setiap individu sampel. 4. Rasio Kelamin Jenis kelamin masing-masing lobster dilihat dari ciri-ciri morfologinya dengan menggunakan kaca pembesar. 5. Suhu (˚C) Suhu (temperatur) diukur dengan menggunakan termometer air raksa berskala 01000C yang dimasukkan pada perairan kira-kira 3 menit atau sampai penunjuk pada skala konstan. Diamati dan dibaca berapa suhu yang tertera pada termometer.
190
6. pH (Potential of Oxygen) Pengukuran pH menggunakan pH-meter yang telah dikalibrasi, kemudian dimasukkan pH meter ke dalam air lalu dibaca skala yang tertera pada pH meter tersebut. Sedangkan pH substrat diukur menggunakan pH meter tanah, dimasukkan pH meter tanah ke dalam substrat yang telah diambil dari dasar perairan dan dibaca skala yang tertera pada pH meter tersebut. 7. DO (Dissolved Oxygen) Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode Winkler. Kandungan oksigen di dasar perairan di ukur dengan mengambil sampel air dari ketinggian 1 meter diatas substrat perairan dengan menggunakan lamnot. 8. BOD5 atau Biochemical Oxygen Demand (mg/L) Pengukuran BOD5 dilakukan dengan metode Winkler. Sampel air yang diambil dari ketinggian 1 meter diatas substrat perairan, diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20oC. Diukur nilainya dengan menggunakan metode winkler dimana nilai BOD5 didapat dari pengurangan DO awal – DO akhir. 9. Jenis Substrat Substrat diambil dari dasar perairan sebanyak 500 gr dengan menggunakan Ekman Grap, dimasukkan kedalam plastik. Kemudian dibawa ke Laboratorium Tanah Jurusan Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk dianalisis jenis substratnya. 10. Analisis dan Pengolahan Data Kepadatan Lobster Dihitung jumlah lobster yang diperoleh per luas bubu dengan menggunakan rumus: ni K (ind/m2) = A Dimana ni: jumlah individu suatu spesies, A: Luas bubu (57,336 m2). Kepadatan Relatif Lobster KR =
jumlah K dalamsetiap spesies x100 % total K
Apabila KR > 10 % maka suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme. Frekuensi Kehadiran (FK) Jlh plot yg ditempati suatu jenis
FK =
Jlh total plot
x100%
Apabila nilai FK : 0-25%= kehadiran sangat jarang, 25-50%= kehadiran jarang, 50-75%= kehadiran sering, 75 - 100%= kehadiran absolut (sangat sering). Hubungan Panjang-Bobot Hubungan Panjang-Bobot lobster dapat dilakukan untuk melihat pola pertumbuhan lobster di alam, yang ditentukan dengan rumus sebagai berikut: W= aLb Dimana: W: Bobot tubuh lobster (g), L: Panjang total lobster (cm), a: Konstanta, b: Koefisien pertumbuhan.
191
Pendekatan regresi linier dilakukan untuk melihat hubungan kedua parameter tersebut. Nilai b digunakan untuk menduga laju pertumbuhan kedua parameter yang dianalisis. Hipotesis yang digunakan adalah: Jika b=3 maka disebut isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan berat). Jika b≠3 disebut allometrik yaitu: a. Jika b>3 disebut allometrik positif (pertumbuhan berat lebih dominan) b. Jika b<3 disebut allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan. Analisis Korelasi Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berkorelasi terhadap nilai kepadatan lobster. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver. 21.00. Keterangan: 0,00-0,199 : Sangat rendah 0,20-0,399 : Rendah 0,40-0,599 : Sedang 0,60-0,799 : Kuat 0,80-1,00 : Sangat kuat HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Lingkungan Biotik Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Lobster Nilai kepadatan, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran lobster yang diperoleh di setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.Data kepadatan (ind/m2), kepadatan relatif (%) dan frekuensi kehadiran (%) lobster pada setiap stasiun pengamatan. Spesies Stasiun I Stasiun II Stasiun III K FK K FK K FK Cherax sp. 0,018 100 0,033 100 0,010 66,66 0,018 100 0,033 100 0,010 66,66 Total Tabel 2. diatas menunjukkan bahwa nilai kepadatan dan frekuensi kehadiran yang paling tinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu, pada daerah keramba. Hal ini dapat disebabkan substrat dasar perairan yang mengandung pasir, bebatuan dan lumpur dimana ketiga substrat tersebut mendukung lobster untuk tetap hidup. Selain itu pada daerah keramba juga mengandung bahan organik yang cukup dari sisa pelet yang diberikan pada ikan sebagai bahan makanan. Kepadatan dan frekuensi kehadiran yang paling rendah terdapat pada stasiun 3, yaitu pada daerah pemukiman. Hal ini dapat disebabkan karena sisa pembuangan limbah rumah tangga yang mengandung bahan organik maupun non-organik yang mencemari perairan tersebut. Sehingga memungkinkan lobster tidak cocok untuk hidup pada daeran pemukiman tersebut. Kepadatan relatif ketiga stasiun memiliki nilai rata-rata 100%. Pada habitat asalnya, lobster ini suka berdiam diri di sela-sela bebatuan di dasar sungai yang berfungsi sebagai tempat pelindungan dari cahaya matahari yang berlebihan dan menghindari dari predator. Selain itu habitatnya di danau, rawa atau sungai yang berlokasi di daerah pegunungan. Di samping itu dalam melaksanakan siklus hidup lobster inimemiliki ciri-ciri khusus pada habitatnya yaitu tepi relatif dangkal dilengkapi dasar yang terdiri dari campuran lumpur, pasir dan batuan (Jones, 1990).
192
Di tempat budidaya lobster menyukai pakan buatan berupa pelet. Lobster memanfaatkan antena panjangnya untuk mendeteksi makanan, kemudian menangkapnya dengan menggunakan capit selanjutnya dipegang dengan menggunakan kaki jalan pertama dan di belakang di dekat mulut untuk di konsumsi secara perlahan–lahan hingga habis (continous feeder) (Iskandar, 2003). Habitatalami lobster di perairan dangkal, termasuk hewannocturnal artinyahewan yang melaksanakan aktivitas pada malam hari (makan pada malam hari). Pakan adalah salah satu faktor input produk untuk mencapai peningkatan produksi. Pakan yang baik adalah pakan yang mengandung unsur–unsur seperti protein, lemak, karbohidrat serta asam amino esensial (Ekawati dkk, 1998). Parameter kualitas air ada beberapa parameter antara lain suhu, derajat keasamanan (pH), Oksigen terlarut (DO), kesadahan (hardness), gas asam arang (CO) maupun amonia sebagai parameter kunci dalam kualitas air memang harus diupayakan optimal atau paling tidak nilainya masih ada di bawah batas ambang. Kualitas air memiliki peranan yang cukup penting dalam pertumbuhan lobster. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa air memiliki karakter tertentu terhadap faktor-faktor lingkungan tempat hidup lobster, respon lobster terhadap kualitas air tergantung dari jenisnya (Iskandar, 2006). Hubungan Panjang-Berat Lobster Hubungan panjang-berat lobster digunakan untuk mengetahui pola pertumbuhan lobster pada masing-masing stasiun. Hubungan panjang-berat lobster dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Data hubungan panjang-berat lobter Stasiun B Pola Pertumbuhan No 1 I 3,132 Allometrik (+) 2 II 2,680 Allometrik (-) 3 III 3,739 Allometrik (+) Hubungan panjang-berat lobster dapat dilihat keeratannya pada Tabel 3 yaitu lobster air tawar (Cherax sp.)pada stasiun I dan III memiliki nilai b 3,132 dan 3,739 yang bersifat allometrik positif artinya pertumbuhan berat lebih dominan dibandingkan dengan panjang. Apabila nilai b>3 maka hubungan panjang-berat lobster bersifat allometrik positif yang artinya pertumbuhan berat lebih dominan dibandingkan dengan panjang. Sedangkan stasiun II memiliki nilai b 2,680 yang bersifat allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan berat. Apabila nilai b<3 maka hubungan panjang-berat lobster bersifat allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan berat. Hal ini dapat disebabkan oleh keberadaan lobster yang lebih dominan untuk diam tanpa melakukan banyak pergerakan. Adanya perbedaan hubungan panjang-berat lobster di atas dapat disebabkan oleh tersedianya bahan makanan di daerah tersebut, suhu perairan, dan faktor kimia perairan. Pertumbuhan dalam istilah sederhana dapat dirumuskan sebagai penambahan ukuran panjang dan berat dalam suatu waktu sedangkan pertumbuhan dalam populasi diartikan sebagai pertambahan jumlah. Pertumbuhan merupakan proses biologis yang komplek dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor ini dapat digolongkan menjadi 2 bagian besar, yaitu faktor dalam (intrinsik) dan luar (ekstrinsik) Faktor dalam antara lain meliputi keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan utamanya adalah makanan dan suhu perairan (Effendi, 2002). Pakan merupakan pemasok energi bagi organisme untuk pertumbuhannya, energi dari pakan digunakan untuk kegiatan metabolisme tubuh, pertumbuhan dan pembentukan gonad. 193
Setiap bagian tubuh organisme memerlukan energi yang berbeda dan tergantung pada stadia serta jenis organismenya (Rejeki, 2001 dalam Priyono, 2009).
Stasiun I. Daerah Bebas Aktivitas Stasiun II. Daerah Keramba
Stasiun III. Daerah Pemukiman Gambar 3. Pola pertumbuhan Lobster air tawar (Cherax sp.) yang diperoleh pada ketiga stasiun. Lobster air tawar (Cherax sp.) pada stasiun I, II dan III memiliki nilai R2 yaitu antara 0,945-0,975 yang artinya apabila nilai R2 mendekati atau sama dengan 1 (100%) hubungan panjang dan berat lobster sangat kuat. Proses pertumbuhan pada bangsa crustacea menurut Asbar (1994) adalah: 1. crustacea berganti kulit dengan melepaskan diri dari kulit luarnya yang keras, 2. air diserap sehingga ukuran udang menjadi lebih besar, 3. kulit luar yang baru tumbuh, 4. secara bertahap diganti oleh jaringan baru. Menurut Holdich dan Lowery (1988) pertumbuhan crustaseae adalah pertambahan berat dan panjang tubuh yang terjadi secara berkala saat setelah pergantian kulit (molting). Jadi pertambahan bobot dan panjang tubuh tidak akan terjadi tanpa didahului proses molting. Frekuensi ganti kulit udang tergantung pada umur dan makanan, yaitu jumlah dan mutu makanan yang diserap. Rasio Kelamin Perbandingan jenis kelamin jantan dan betina lobster air tawar selama penelitian dapat dilihat pada tabel 4.
194
Tabel 4. Data perbandingan jenis kelamin lobster air tawar pada setiap stasiun No Stasiun Jantan Betina 1 I 6 10 2 II 12 16 3 III 4 5 Total 22 31 Dari tabel 4 diatas diperoleh jumlah total lobster air tawar berjenis kelamin jantan sebanyak 22 ekor dan 31 ekor berjenis kelamin betina. Lobster air tawar berjenis kelamin betina lebih banyak dibandingkan dengan lobster air tawar berjenis kelamin jantan, hal ini kemungkinan disebabkan telur yang berhasil saat penetasan kebanyakan berjenis kelamin betina. Pada umumnya Cherax quadricarinatus betina memiliki lajupertumbuhan yang lambatdibandingkandengan yang jantan pada umur yang samakarena mengalami fase dalam menghasilkan telur dimana untuk aktifitas tersebut dibutuhkan energi, namun peluang teluruntuk menetas menjadi jantan kurang dari50% (Carman dkk, 2008). Affandi dan Tang (2006) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kelulusan hidup organisme adalah faktor biotik antara lain kepadatan populasi, umur dan kemampuan organisme untuk beradaptasi dengan lingkungan, serta factor abiotik lingkungan pemeliharaan. 2. Faktor Abiotik Lingkungan Pengukuran faktor fisik kimia di perairan Danau Toba selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Data pengukuran faktor fisik-kimia perairan Danau Toba pada setiap stasiun No Parameter Satuan Stasiun I Stasiun II Stasiun III A Fisika 0 1 Suhu C 26 27 27 _ 2 Jenis substrat P Lp Lp B Kimia 3 Oksigen Terlarut mg/L 6,6 6,3 6,2 (DO) dasar 4 Derajat Keasaman 7,4 7,7 7,5 (pH) 5 BOD dasar mg/L 3,8 4,2 4 Keterangan: P : Pasir Lp: Lempung berpasir Parameter Fisika Tabel 5 menunjukkan nilai rata-rata parameter fisika di setiap stasiun. Suhu berkisar antara 26-27oC dan merupakan suhu perairan yang baik bagi lobster. Suhu terendah terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 26oC dan suhu tertinggi terdapat pada stasiun II dan III yaitu 27oC. Variasi suhu tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan waktu saat pengukuran suhu di setiap stasiun tersebut. Setiawan (2006) menyatakan bahwa temperatur yang ideal dalam pemeliharaanlobster air tawar adalah 24-310C, temperatur dibawah atau diatas angka tersebut sangat membahayakan kehidupan lobster air tawar. Substrat juga memiliki peranan yang cukup penting bagi kehidupan lobster. Jenis substrat yang dihasilkan pada stasiun I adalah Pasir, sedangkan pada stasiun II dan III adalah Lempung berpasir. Lobster air tawar biasanya hidup di danau, rawa atau sungai air tawar yang terletak di kawasan perairan Papua, Papua Nugini, dan Australia. Umumnya, tempat
195
hidup (habitat) lobster air tawar memiliki ciri-ciri khusus, seperti sungai yang tepinya dangkal dan bagian dasarnya terdiri atas campuran lumpur, pasir dan bebatuan. Selain itu, lobster air tawar juga mudah ditemukan di sungai atau danau yang banyak ditumbuhi tanaman air atau tanaman darat yang akar atau batangnya terendam air, sedangkan daunnya berada di atas permukaan air (Setiawan, 2010). Parameter Kimia Tabel 4 menunjukkan nilai rata-rata parameter kimia di setiap stasiun. Nilai oksigen terlarut dasar perairan berkisar 6,2-6,6 mg/L. nilai oksigen terlarut tersebut masih bagus untuk untuk lobster. Menurut Wetzel dan Likens (1979) dalam Siagian (2009), tinggi rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan juga dipengaruhi oleh faktor temperatur, tekanan dan konsentrasi berbagai ion yang terlarut dalam air pada perairan tersebut. Nilai oksigen terlarut pada ketiga stasiun dianggap masih ideal untuk pertumbuhan lobster. Kadar oksigen terlarut sangat mempengaruhi metabolisme tubuh lobster, dalam repirasi selalu dibutuhkan oksigen sehingga untuk kelangsungan hidup lobster perlu sarana oksigen yang cukup. Oksigen yang terlarut dalam air sangat dibutuhkan lobster untuk respirasi berkisar antara 4-8 mg/l, jika kebutuhan oksigen terpenuhi maka pertumbuhan dan aktifitas lobster akan lebih baik (priyono, 2009). Derajat keasaman (pH) di setiap stasiun berkisar antara 7,4-7,7. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 2 dan yang terendah di stasiun 1. Menurut Cole (1983) dalam Siagian (2009), bahwa adanya perbedaan nilai pH pada suatu perairan disebabkan penambahan atau kehilangan CO2 melalui proses fotosintesis yang akan menyebabkan perubahan pH di dalam air. Nilai pH yang didapat di setiap stasiun masih bagus untuk mendukung kehidupan organisme di dalam perairan, sesuai dengan pendapat (Bachtiar, 2006), pH optimal untuk pemeliharaan lobster adalah 7,2-8,5. Nilai BOD merupakan salah satu indikator pencemaran perairan. Nilai BOD dasar perairan berada pada kisaran 3,8-4,2. Menurut Kristanto (2002), BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen ¬terlarut di dalam air, maka berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. 3. Nilai Analisis Korelasi Pearson Analisis korelasi Pearson diperoleh dengan menganalisi hubungan kepadatan lobster dan faktor fisik-kimia perairan Danau Toba dengan menggunakan metode pearson. Nilai indeks korelasi (r) dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Nilai korelasi Pearson antara kepadatan lobster dengan sifat fisik-kimia perairan Danau Toba. No Parameter Nilai Korelasi A Fisika 1 Suhu 1 B kimia 2 Oksigen terlarut (DO) dasar -0,971 3 Derajat keasaman (pH) 0,756 4 BOD dasar -0,415 Tabel 6 menunjukkan hasil uji analisis korelasi antara parameter fisik-kimia perairan dengan kepadatan lobster di perairan Danau Toba tidak berbeda nyata pada tingkat korelasi dan signifikansinya. Nilai suhu dan DO dasar berpengaruh sangat kuat terhadap kepadatan 196
lobster yaitu 0,971 dan 1. Nilai pH berpengaruh kuat terhadap kepadatan lobster yaitu 0,756. Nilai BOD dasar kurang mempengaruhi kepadatan lobster di perairan Danau Toba yaitu 0,415. Suhu berperan dalam menentukan keberadaan lobster. Suhu air berpengaruh sangat kuat terhadap proses pertukaran metabolisme lobster di perairan yang mempengaruhi tingkat populasinya. Selain suhu, DO juga sangat berpengaruh kuat terhadap keberadaan lobster, khususnya DO dasar perairan, karena lobster merupakan hewan yang hidup di dasar perairan, sehingga membutuhkan asupan oksigen yang cukup untuk melakukan proses pertukaran metabolisme. Menurut Widodo (2005) dalam Priyono (2009), Suhu optimal untuk pertumbuhan lobster adalah antara 260-320Clebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh lobster akan berlangsung cepat imbasnya kebutuhan oksigen terlarut meningkat, ini berarti harus ada penambahan aerasi. Menurut Widha (2003) lobster memerlukan oksigen untuk pembakaran makanan sehingga terbentuk energi untuk pertumbuhan, reproduksi dan beraktivitas. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air. Kontak udara dengan air, luas permukaan air dan senyawa senyawa yang terdapat di dalam air. KESIMPULAN a. Populasi lobster yang diperoleh dari ketiga stasiun berjumlah 54 ekor dan yang paling banyak ditemukan di stasiun 2 yaitu daerah keramba. b. Suhu dan kelarutan oksigen dasar perairan berpengaruh sangat kuat terhadap kepadatan lobster di perairan Danau Toba khususnya di Desa Marlumba. DAFTAR PUSTAKA Affandy, R., dan Tang, U. 2006. Fisiologi Hewan Air. Universitas Riau. Riau. 217p. Asbar. 1994. Hubungan Tingkat Eksploitasi dengan Struktur Populasi dan Produksi Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) di Segara Anakan. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Bachtiar, Y. 2006. Usaha Budidaya Lobster Air Tawar di Rumah. Agromedia Pustaka. Jakarta. Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi. USU Press: Medan. Darsono, V. 1992. Pengantar Ilmu Lingkungan. Penerbit Universitas Atmajaya. Yogyakarta. Barus, T.A. 2007. Keanekaragaman Hayati Ekosistem Danau Toba dan Upaya Pelestariannya. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UniversitasSumatera Utara. Medan. Carman, O., Jamal, M.Y., dan Alimuddin. 2008. Pemberian 17a Metiltestosteron Melalui Pakan Meningkatkan Persentase Kelamin Jantan Lobster Air TawarCherax Quadricarinatus. Jurnal Akuakultur Indonesia. 7(1): 25-32. Effendi, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. Effendi, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor. Ekawati, A.W., Rustidja dan Maleno.1998. Studi tentang Pertumbuhan udang (Penaeus Mondom Fab. ) Pada Tambak Tradisionel Plus da Sidoarjo Jawa Timur. Buletin Ilmiah Perikanan. Edisi V. Fakultas Perikanan UniversitasBrawijaya, Malang. Holdich, D. M. & R. S. Lowery. 1988. Freshwater Crayfish: Biology Management, and Exploitation. Croom
197
198
Mikrobiologi dan Molekuler
199
200
MARKA POLIMORFIK UNTUK IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaies guineensis Jacq.) DENGAN MENGGUNAKAN RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA (RAPD) Arnen Pasaribu1) dan Lollie Agustina P.Putri2) Mahasiswa Program Magister Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Jalan Prof. A. Sofyan No.3, Medan 20155 2) Dosen Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Jalan Prof. A. Sofyan No.3, Medan 20155 Corresponding author :
[email protected]
1)
Abstract Identification of variation genetic is the first step to find how much genetic variation contained in genotype. Now, the genetic material of palm oil has an inbreeding depression so the genetic identification in moleculer level is important. The use of RAPD can be used as an alternative to identifiying the moleculer level diversity. The main problem at the moleculer level identification are primers was used are not compatibel with the composition of the target base nucleotide. The objective of this experiment was to find genetic variation in palm oil (E. guineensis Jacq.) by using three RAPD primers. The results of this experiment only two informative RAPD primers showed genetic variation they are OPH-16 and OPH-13. PCoA analysis showed that the moleculer varian were 43.05%. Keywords : Genetic Variation, Palm oil, RAPD
PENDAHULUAN Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang bernilai ekonomi yang tinggi karena kelapa sawit dapat dijadikan keberbagai produk, bahan baku dalam pembuatan bahan pangan dan produk kosmetik. Informasi genetik sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan konservasi dan pemuliaan tanaman. Besarnya keragaman mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk kegiatan seleksi dalam memperbaiki sifat agronomi dari aksesi atau genotipe tertentu harus didasarkan pada perkiraan determinasi genetik yang lebih akurat sehingga penentuan individu tanaman dalam perbaikan genetik dapat dilakukan dengan tepat (Rahayu dan Handayani, 2010). Weishing et al. (2005) menjelaskan bahwa akhir-akhir ini pengamatan di tingkat molekuler terus berkembang termasuk pada jenis teknologi dan peralatannya sehingga pengamatan ditingkat DNA pada tanaman akan terus dilakukan. Hal yang penting dalam analisis keragaman genetik adalah pemilihan primer yang akan digunakan, dimana primer tersebut harus polimorfik dan kualitas pita DNA yang dihasilkan tajam sehingga memudahkan interpretasi dan keakuratan data (Prana dan Hartati, 2003). Polimorfisme yang muncul sebagai hasil teknik RAPD menggambarkan adanya variasi pada situs pelekatan primer dan dari perbedaan panjang DNA antar situs pelekatan primer. Fenotip dengan fragmen DNA yang muncul pada marka RAPD bersifat dominan (Liu, 1998). Keragaman suatu individu tanaman ditentukan oleh cetak biru yang terdapat dalam setiap selnya yaitu informasi genetik yang terkandung dalam inti, kloroplas dan mitokondria (Sobir dan Syukur, 2015). Marka RAPD merupakan salah satu marka yang bersifat dominan, pita
201
yang muncul menunjukkan genotipe homozigot dominan (AA) sedangkan pita yang tidak muncul menunjukkan genotipe homozigot resesif (aa) (Zulfahmi, 2013). Dalam penyusunan program persilangan pada tanaman kelapa sawit, marka RAPD dapat digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman. Penggunaan marka RAPD untuk tanaman kelapa sawit telah diterapkan oleh penelitian terdahulu diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Setiyo (2001), Satish dan Mohankumar (2007), Thawaro (2009) dan Odenore et al. (2015). Seleksi primer RAPD sangat mempengaruhi keberhasilan proses amplifikasi DNA target. Primer yang digunakan dalam teknik RAPD merupakan DNA pendek yang terdiri atas beberapa nukleotida sebagai pemula pada proses sintesis DNA sehingga tidak membutuhkan primer forward dan reverse (Surahman et al. 2007). Oleh sebab itu, pemilihan primer yang dapat menunjukkan adanya polimorfisme pada marka RAPD merupakan langkah awal untuk mempelajari adanya keragaman genetik tanaman yang sudah mengalami proses inbreeding. Keberhasilan dalam memperoleh primer polimorfik dapat dijadikan sebagai marka untuk menunjukkan adanya keragaman dalam suatu genotipe tertentu. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Agustus sampai dengan Desember 2015 di Laboratorim Terpadu Fakultas Kedokteran USU, Medan. Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah daun berusia tiga Minggu Setelah Tanam (MST) yang berasal dari benih kelapa sawit DxP Unggul Socfindo La Me. Jumlah tanaman yang dijadikan sebagai sampel sebanyak 30 tanaman. Bahan lain seperti N2 cair, buffer CTAB, buffer TAE, buffer TE, choloroform isoamilalkohol (KIAA) perbandingan (24:1) , β-mercaptoethanol, agarosepromega V3121, dan master mix (promega M7122). Alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas mesin PCR-AB Applied Biosystem Veriti 96 thermal cycler, gel documentationUV Cambridge dan seperangkat alat elektroforesis-biorad, Identifikasi genetik tanaman kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan tiga jenis primer yaitu OPD-16 (5‘-GGTGACTGTG-3‘),OPH-13 (5‘–CTGGGGCTGA-3‘) dan OPH-9 (5‘-CTGACGTCAC-3‘). Prosedur isolasi DNA diadaptasi dengan metode CTAB oleh Orozco-Castilo (1994) yang dimodifikasi. Jumlah daun yang diisolasi sebanyak 30 sampel dengan berat 0.2-0.7 g. Setelah dilakukan proses isolasi DNA langkah selanjutnya adalah melakukan proses PCR pada masing-masing primer RAPD. Tahapan dari proses PCR mengikuti prosedur berdasarkan Setiyo (2001) yang terdiri atas predenaturasi 94°C selama 2 menit, denaturasi 94°C selama 1 menit, anneling 34°C selama 1 menit dan ekstensi 72°C selama 2 menit dan final ekstension 72°C selama 10 menit. Setelah dilakukan proses PCR, langkah selanjutnya adalah proses elektroforesis menggunakan gel agarose dengan pewarna ethidium bromida, larutan TAE1X, dan DNA Bench Top 1kb DNA ladder. Hasil elektroforesis kemudian didokumentasikan dengan menggunakan Gel doc. Pita DNA hasil dokumentasi diubah kedalam data biner dimana jika pita muncul di beri kode (1) dan jika tidak muncul diberi kode (0) dengan menggunakan microsoft excel 2007, kemudian dihitung nilai PIC dengan menggunakan rumus : PIC=2fi (1-fi) Keterangan : PIC : Polymorphic Information Content fi : frekuensi dari pita yang muncul 1-fi : frekuensi dari pita yang tidak muncul Nilai PIC untuk dominan marker seperti RAPD memiliki nilai maksimum yaitu 0.5 untuk fi = 0.5 (Ma et al. 2013). Pengelompokkan terhadap keragaman genetik berdasarkan analisis factorial Principal Coordinates Analysis (PCoA) dengan menggunakan DARwin Softwere Versi 6 (Perreira dan Jacquemoud-Collet, 2014).
202
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil peelitian yang dilakukan telah diperoleh amplifikasi primer OPD16, OPH-13 dan OPH-9 pada 30 DNA kelapa sawit Varietas DxP Socfindo La Mê. Primerprimer tersebut digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman genetik pada tanaman yang diuji. Amplifikasi DNA pada masing-masing genotipe berbeda yang menunjukkan adanya variasi genetik. Hasil amplifikasi DNA pada masing-masing primer dapat dilihat pada Gambar 1. Pada Gambar 1. dapat diketahui bagaimana pola pita yang dihasilkan pada masingmasing primer. Ketiga primer yang digunakan yang terdiri atas OPH-16, OPH-13 dan OPH-9 telah mampu menunjukkan adanya keragaman genetik pada kelapa sawit Varietas DxP Socfindo La Mê. Primer yang dapat dijadikan sebagai marka untuk menunjukkan keragaman dapat menunjukkan adanya pita yang terampifikasi pada masing-masing genotipe yang diuji. Pada Gambar 1. dapat diketahui bahwa primer yang menunjukkan jumlah pita terbanyak adalah primer OPH-13 dengan jumlah pita teramplifikasi sebanyak 6 pita, semakin banyak jumlah pita yang dihasilkan maka akan semakin berpotensi primer tersebut menunjukkan tingkat keragaman. Hal inilah yang menjadi salah satu kelebihan dari RAPD dimana RAPD dapat menunjukkan adanya keragaman genetik, Gunereen et al. (2010) menyatakan bahwa primer RAPD merupakan salah satu marka yang dapat menunjukkan adanya diversitas genetik pada setiap individu. Pada Gambar 1. juga dapat diperhatikan bahwa primer OPH-9 belum dapat teramplifikasi pada hampir seluruh sampel yang diuji, hal ini dapat dibuktikan dari 30 sampel tanaman yang diuji hanya 6 sampel yang dapat teramplifikasi. Hal ini disebabkan oleh primer OPH-9 tidak sesuai dengan DNA target sehingga hasil gel dokumentasi tidak memperlihatkan adanya pita. Ariani (2014) menjelaskan bahwa primer yang tidak sesuai dengan sequence DNA-nya tidak akan mampu menghasilkan produk amplifikasi, hal serupa juga terdapat dinyatakan oleh Irawan (2008) yang menyatakan bahwa primer akan dapat mengamplifikasi DNA pada situs yang komplemen. M
5 18 23 21 15 20 29 27 8 16 11 44 26 38 35 31 36
9 40 2 47 6 42 45 3 48 30 37 24 12
1 kb 300
A
M 5 18 23 21 15 20 29 27 8 16 11 44 26 38 35 31 36 9 40
2 47 6 42 45 3 48 30 37 24 12
1 kb
B
3000 bp 1000 bp 250 bp M 5
18
23 21 15 20 29 27
8 16 11 44 26 38 35 31 36
9 40 2 47 6 42 45 3 48 30 37 24 12
1 kb
3000 bp 1000 bp
C
250 bp
0 bp
Gambar 1. Elektroforegram amplifikasi 30 DNA Kelapa Sawit Varietas DxP Socfindo La Mê 1000 bp Keterangan : A= Primer OPD-16, B= Primer OPH-13 dan C=Primer OPH-9 250 bp
203
Pada Gambar 1. juga dapat dipahami dari 30 individu tanaman yang telah diuji berarti bahwa hanya ada 6 sampel yang menunjukkan adanya perbedaan dengan 24 individu lain pada primer OPH-9. Zulfahmi (2013) menyebutkan bahwa RAPD merupakan marka yang berisifat dominan sehingga berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa 6 individu yang teramplifikasi menunjukkan sifat dominan sedangkan 24 individu lainnya menunjukkan sifat resesif. Jika diperhatikan lagi bahwa 6 individu tersebut menunjukkan adanya perbedaan dimana nomor individu #38 menunjukkan adanya perbedaan dengan kelima individu lain. Pita no. #38 pada 429 bp. Hal ini berarti bahwa primer OPH-9 dapat dijadikan sebagai marka dominan spesifik untuk individu #38. Hasil analisis genetik 30 DNA Kelapa Sawit Varietas DxP Socfindo La Mê selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel. 1. Hasil Analisis Genetik pada DNA Kelapa Sawit Varietas DxP Socfindo La Mê Susunan No. Primer Oligonukleutida Panjang Pita (bp) Jumlah Pita PIC 5‘→ 3‘ 1. OPD-16 -GGTGACTGTG274 – 1810 4 0.480 2. OPH-13 –CTGGGGCTGA1740 – 12.884 6 0.484 3. OPH-9 -CTGACGTCAC328 – 854 5 0.064 Pada Tabel 1. dapat diketahui bahwa nilai PIC pada tiga primer ini berada pada kisaran 0.064 sampai dengan 0.484. Ma et al. (2013) menjelaskan bahwa PIC menggambarkan tingkat keinformatifan dari primer yang digunakan, nilai maksimum PIC pada RAPD marker yaitu 0.5. Diantara primer-primer yang telah diuji tersebut primer yang dapat menunjukkan adanya keragaman terdapat pada primer OPH-16 dan OPH-13. Liu (1998) menyatakan bahwa polimorfisme yang muncul sebagai hasil teknik RAPD menggambarkan adanya variasi pada situs pelekatan primer dan dari perbedaan panjang DNA antar situs pelekatan primer sehingga berdasarkan hal ini maka primer OPH-16 dan OPH-13 merupakan primer yang informatif untuk menunjukkan adanya keragaman. Pengelompokkan terhadap keragaman genetik berdasarkan analisis factorial Principal Coordinates Analysis (PCoA) dapat dilihat berdasarkan Gambar 2.
Gambar 2. Analisis faktorial Principal Coordinates Analysis (PCoA) aksis 3 (Horizontal) dan aksis 4 (Vertikal) yang dianalisis berdasarkan matrix dissimilarity simple matching
204
Pada Gambar 2. dapat diketahui bagaimana kemampuan primer OPD-16, OPH-13 dan OPH-9 dalam menjelaskan keragaman. Hasil analisis PCoA menunjukkan bahwa kemampuan primer untuk menunjukkan adanya keragaman molekuler berdasarkan jarak dissimiliarity adalah sebesar 43.05%. Hal ini juga menjelaskan bahwa tingkat ketidakmiripan antar 30 individu kelapa sawit Kelapa Sawit Varietas DxP Socfindo La Mê adalah sebesar 43.05%. KESIMPULAN Dua primer informatif yaitu OPD-16 dan OPH-13 untuk menunjukkan keragaman pada kelapa sawit Varietas DxP Socfindo La Mê dengan tingkat keragaman molekuler sebesar 43.05%. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada PT Socfin Indonesia yang telah bersedia membantu penulis dengan memberikan benih kelapa sawit sebagai bahan genetik untuk penelitian ini. Selain itu juga, selanjtunya ucapan terima kasih kepada UPT.BIBD Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara, Medan atas izin dalam penggunaan nitrogen cair. Selain itu, ucapan terima kasih juga kepada pihak-pihak yang telah terlibat dalam penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Gunereen, G., Akyuz, B., and Ertgrul, O., 2010. Use of RAPD-PCR for Genetik Analyses The Native Catle Breefs in Turkey. Journal of Ankara Univ Vet Derg 57:167-168. Irawan, B., 2008. Genetika Molekuler. Airlangga University Press. Surabaya. Liu, B.H.1998. Strategical Genomic : Linkage, Mapping, and QTL analysis. CRC Press LCC. United State of America. Odenore, V.D., Eke, C.R., Asemoto, O., and Shittu, H.O. 2015. Determination of Phylogenetic Relationship among Oil Palm (Elaeis guineensis) Varieties With Random Amplified Polymorphic DNA. European International Journal of Science and Technology. Vol. 4.No.2. 155-160. Omar, W.S.W., Laura, B.W., Chokyun, R., Anthony, J.S., Umi, S.R., Abdul, M.M.Y., Ghulam, K.A.P., and Ravigadevi, S., 2008. Isolation and Utilization Acetyl-CoA Carboxylase from Oil Palm (Elaeis guineensis) Mesocarp. Journal of Oil Palm Research Special Issue on Malaysia-MIT Biotechnology Partnershpi Program. Vol.2.-Oil Palm Metabolic Engineering. 97-107. Prana , T.K. dan Hartati, S.N., 2003. Identifikasi Sidik Jari DNA Talas (Colocasia esculenta L. Schoot) Indonesia dengan Teknik RAPD. Jurnal Natur Indonesia 5 (2) :107-112. Perreira dan Jacquemoud-Collet, 2014. Softwere DARwin (Dissimiliarity Analysis Representation for Windows). Diakses dari: http://darwin.cirad.fr Last update 2014/10/20. Rahayu, E.S. dan Handayani, S., 2010. Kergaman Genetik Pandan Asal Jawa Barat berdasarkan Penanda Inter Simple Sequence Repeat. Markara Sains. 14 :158-162. Setiyo, I.E. 2001. Pemetaan dan keragaman genetik RAPD pada kelapa sawit sungai pancur (RISPA). Tesis S2. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Sobir dan Syukur, M., 2015. Genetika Tanaman. IPB Press. Bogor.
205
Surahman M, Muhamad S, Toding T. 2007. Perakitan Varietas Semangka (Citrullus lanatus (Thunberg) Matsum & Nakai) Banpa biji Tahan Terhadap Penyakit Layu Fusarium dengan Memanfaatkan Marka RAPD [laporan penelitian hibah bersaing]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Thawaro, S., 2009. Screening and Detection of Hybrid Oil Palms by DNA Markers and Their Propogation. [Dissertation]. A Thesis Submitted in Partial Fufilment of Requirenment for the Degree of Doctor of Philosophy in Plant Science. Prince of Songkla University. Thailand. Weising, K., Hilde, N., Kristen, W., and Gunter, K., 2005. DNA Fingerprinting in Plants, Principles, Methods, and Application. Second Edition. CRC Press. Taylor & Francis Group. Zulfahmi, 2013. Penanda DNA untuk Analisis Genetik Tanaman. Jurnal Agroteknologi. 3:41-42.
206
KEMAMPUAN ISOLAT BAKTERI LAUT DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI E.coli DAN S. aureus PENYEBAB INFEKSI SECARA IN VITRO ABILITY OF MARINE BACTERIA TO INHIBIT THE GROWTH OF E. coli AND S. aureus CAUSE INFECTION IN VITRO Diva Utami Anggraini*), Fuji Astuti Febria dan Nasril Nasir Laboratorium Riset Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang, 25163 *) email :
[email protected]
Abstract Research on the ability of marine bacteria to inhibit the growth of E. coli and S. aureus cause infection in vitro carried out from August to November 2015 in the Research Laboratory of Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Andalas, Padang. This study aims to determine the ability of marine bacteria to inhibit the growth of E. coli and S. aureus causes infections invintro. This research uses experimental method and the data were analyzed descriptively. The research on antagonist test showed that all isolates can inhibit bacterial growth test with the formation of inhibition zone from the scratched areas. Keywords : Isolates, Infection, Inhibition Zone, Invitro
PENDAHULUAN Penyakit infeksi merupakan jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu penyebab penyakit infeksi yaitu bakteri. Penyakit infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi yang disebabkan oleh Escherichia coli dan Staphylococcus aureus (Darmadi, 2008). Bakteri Escherichia coli termasuk bakteri yang berbentuk batang, Gram negatif, fakultatif anaerob dan tak mampu membentuk spora (Hogg, 2005). Penyakit pada manusia akibat E. coli terjadi ketika adanya kontaminasi dari air yang digunakan. Infeksi E. coli juga dapat terjadi karena memakan makanan yang belum matang, kontaminasi pada daging, maupun pada susu yang belum dipasteurisasi (Belk dan Maier, 2010). Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang dapat penyebabkan infeksi (membentuk nanah) dan bersifat toksik bagi manusia. Sehingga dapat menyebabkan berbagai masalah pada kulit seperti bisul, hordeolum, bahkan masalah serius seperti pneumonia, mastitis, meningitis, dan infeksi saluran kemih (Todar, 2001). Penelitian terdahulu Febria dan Zakaria (2015) menemukan 85 isolat bakteri laut di kawasan kota Pariaman. Namun, belum diketahui kemampuan isolat bakteri laut dalam menghambat bakteri penginfeksi secara invitro. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan isolat bakteri laut dalam menghambat pertumbuhan bakteri E.coli dan S.aureus penyebab penyakit infeksi secara invitro.
207
BAHAN DAN METODA Metoda Penelitian Metoda yang digunakan dalam penelitian adalah metoda eksperimen. Data yang diperoleh berupa tabel dan gambar disajikan secara deskriptif. Tahap penelitian meliputi uji antagonis. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah inkubator, autoklaf, cawan petri, sentrifugator, labu Erlemeyer, gelas ukur, jarum Ose, lampu spiritus, lemari pendingin, tabung reaksi, timbangan analitik dan kamera digital. Adapun bahan yang digunakan adalah isolat bakteri koleksi Dr. Fuji Astuti Febria dan Dr. Indra Junaidi Zakaria yang diisolasi dari kawasan Pariaman, air laut, spiritus, kapas, kasa, tissue, karet gelang, kertas label, Medium Marine Agar (MA) dan Medium Plate Count Agar (PCA). Persiapan Kultur Bakteri Sebelum digunakan dalam penelitian, isolat bakteri dilakukan peremajaan bakteri dengan cara menginokulasikan isolat bakteri kedalam medium marine agar (MA) dengan metoda streak plat dan diinkubasi selama 24 jam. Uji Antagonis Uji antagonis dilakukan untuk melihat aktivitas bakteri laut terhadap organisme uji. Pengerjaannya dilakukan dengan membagi cawan petri menjadi 2 area. Pada area pertama ditumbuhkan kultur cair isolat bakteri laut dengan metoda spread plate. Area kedua ditumbuhkan kultur cair bakteri uji dengan metoda spread plate, dan diinkubasi selama 48 jam. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya zona bening atau tidak menyebarnya isolat bakteri dari daerah goresan (Naid et al., 2013). HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Antagonis Bakteri Laut Uji antagonis isolat bakteri laut dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kemampuan isolat Bakteri laut dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji Escherichia coli Staphylococcus aureus Kode Pertumbuhan Pertumbuhan Isolat Zona bening Zona bening Isolat isolat I2A3 (S) + Tidak menyebar + Tidak menyebar I3A3 (S) Menyebar + Tidak menyebar I7A3 (S) + Tidak menyebar Menyebar I9A3(S) Menyebar Menyebar I5K3(S) + Tidak menyebar + Tidak menyebar I7K2 (S) + Tidak menyebar Menyebar I11K3(S) + Tidak menyebar Menyebar I7T (A) Menyebar Menyebar I9T2 (S) Menyebar Menyebar Keterangan : (+) = Positif, (-) = Negatif, (S) = Sedimen, (A)= Air laut
208
Tabel 1. menunjukan lima isolat bakteri laut (I2A3, I7A3, I5K3, I7K2, I11K3) dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji E. coli dan tiga isolat bakteri laut (I2A3, I3A3, I5K3) dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji S. aureus yang ditunjukan denganterbentunya zona bening atau tidak menyebarnya isolat bakteri disekitar goresan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Naid et al., (2013) yang mengatakan bahwa hasil positif ditandai dengan terbentuknya zona bening atau tidak menyebarnya isolat bakteri dari daerah goresan. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang kemampuan isolat bakteri laut dalam menghambat pertumbuhan bakteri E.coli dan S. aureus penyebab infeksi secara invitro maka dapat disimpulkan bahwa sembilan isolat bakteri laut dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji E.coli dan S.aureus dengan terbentuknya zona bening dari daerah goresan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Fuji Astuti Febria, Dr. Nasril Nasir, Dr. Anthoni Agustien, Dr. phil. Nat. Nurmiati dan Dr. Indra Junaidi Zakaria atas bantuan dan masukan dalam kesempurnaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Belk, C. and Maier V.B. 2010. Biology: Science for Life with Physiology. Ed ke-3. San Francisco: Pearson/Benjamin Cummings. Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial:Problematika dan pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika. Febria, F.A. dan Zakaria, I.J. 2015. Eksplorasi Bakteri Laut Asal Perairan Laut Pariaman. Jurusan Biologi FMIPA Unand. Padang. Unpublished Hogg, S. 2005. Essential Microbiology. John Wiley dan Son, Cichestes. Naid, T., Syaharuddin, K., Asnah, M. dan Sumarheni. 2013. Produksi Antibiotika Secara Fermentasi dari Biakan Mikroorganisme Simbion Rumput Laut Eucheuma cottonii.Laboratorium Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar Todar, Kenneth, 2001. Biological identity of Procaryotes.www.bact.wisc.edu.Departement of Baceriology University of Wisconsin-Madison.USA.
209
SCREENING BAKTERI DARI PERAIRAN LAUT PARIAMAN PENGHASIL ENZIM PROTEASE Fitri Hepnita*, Fuji Astuti Febria dan Anthoni Agustien 1) Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas * Koresponden:
[email protected]
Abstract The research on Screening Bacteria of Pariaman Sea Waters Producing Protease enzyme had been done in August until November 2015 in Microbiology Research Laboratory, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Andalas, Padang. This study aims to determine the potential of bacterial isolates ocean to produce extrasellular enzymes protease. This study uses method of experiment and data were analyzed descriptively. The result showed 4 isolates is proteolytic and index value proteolitic highest found in isolates each I1.T3 an index value of each 0.64. Keyword :Screening, Protease and Marine Periaman
PENDAHULUAN Enzim memiliki peranan yang sangat besar dalam perkembangan bidang industri. Saat ini enzim yang banyak digunakan dan diaplikasikan secara komersial dalam proses industri adalah kelompok enzim hidrolase. Beberapa enzim hidrolase yang banyak digunakan dalam proses industri adalah enzim protease. Dalam proses industri enzim protease memegang peranan penting seperti berperan dalam pengolahan pangan (Pastor et.al. 2001), penenunan (Helmann, 1995), penyamakan kulit, deterjen, textil dan pengolahan limbah cair. Pada tahun 2000, penjualan enzim merupakan peringkat yang tinggi dalam bidang bioteknologi dan diperkirakan mencapai US$ 1,6 milyar (Pawiroharsono, 2008). Enzim dapat diperoleh dari berbagai sumber, salah satunya enzim dari mikroorganisme. Mikroorganisme merupakan sumber untuk menghasilkan enzim yang potensial karena mampu berkembang dengan cepat, mempunyai berbagai jenis aktivitas enzim dan hidup pada kondisi-kondisi ekstrim seperti pada sedimen dan perairan laut (Gray dan Elliott, 2009). Beberapa penelitian tentang bakteri penghasil enzim dari laut telah banyak dilakukan, diantaranya Rani (2013) melaporkan 10 isolat bakteri dari perairan Pantai Bandealit Kabupaten Jember yang memiliki aktivitas enzim protease dan 1 isolat yang memiliki aktivitas fibrinolitik. Yulianti (2012) mengisolasi dan melakukan penapisan bakteri dari perairan laut Sangihe Talaud dan mendapatkan 7 isolat yang menghasilkan enzim Lglutaminase. Isolat bakteri dari sedimen dan perairan laut kota Pariaman ditemukan sebanyak 85 isolat bakteri (Febria dan Zakaria, 2015) namun belum diketahui kemampuan isolat tersebut dalam menghasilkan enzim protease, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menyeleksi bakteri yang mampu menghasilkan enzim protease ekstraseluler. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 isolat bakteri dari laut Pariaman koleksi laboratorium yang diisolasi oleh Dr. Fuji Astuti Febria dan Dr. Indra Junaidi Zakaria,
210
air laut, spiritus, kapas, kasa, tissue, karet gelang, kertas label, medium Marine Agar,Marine Broth, Skim milk, plastik wrap, aluminium foil. Alat yang digunakan adalah tabung reaksi, rak tabung reaksi, vortex, autoklaf,hot plate, shaker, kertas saring Whatman, effendorf, stirer, cawan Petri,Erlenmeyer, gelas ukur, jarum ose, mikropipet, bunsen, spatula, masker, sarung tangan, kamera digital, timbangan digitaldan mikroskop. Persiapan Kultur Bakteri Isolat bakteri yang selanjutnya akan digunakan dalam penelitian diremajakan dengan cara memindahkan masing-masing isolat ke dalam media agar miring MA pada tabung reaksi dengan teknik goresan. PenapisanBakteri Penghasil Enzim Protease Penapisan dilakukan berdasarkan kemampuan mendegradasi polisakarida, protein, selulosa dan lipid. Penapisan bakteri penghasil amilase dilakukan berdasarkan prosedur Bairagi et al. (2002). Kultur masing-masing isolat bakteri diremajakan ke dalam kultur cair yang ditambahkan skim milk (1%) kemudian diinkubasi selama 24 jam. Setelah diinkubasi, sebanyak 5 ml kultur cair isolat tersebut dipindahkan kedalam Erlenmeyer yang berisi medium Marine Broth yang telah diperkaya dengan skim milk (1%) lalu di shaker selama 24 jam. Isolat yang telah di shaker diambil sebanyak 1,5 ml, dimasukkan kedalam affendorf dan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Diambil supernatant, diteteskan diatas ke paper disc blank kemudian diangkat dengan pinset steril dan dikeringanginkan, setelah itu diletakan pada media MA yang telah dimodifikasi. Inkubasi selama 24 jam dan amati zona bening di sekitar paper disc blank. Selanjutnya dilakukan pengukuran zona bening yang terbentuk dengan mengukur diameternya (Setyati, 2012). Zona bening yang terbentuk dari masing-masing isolat dihitung nilai indeksnya. Indeks dihitung mengacu pada indeks proteolitik yang dilakukan (Agustien, 2005)dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Indeks Proteolitik = Diameter Zona Bening – Diameter Koloni Diameter Koloni HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan Bakteri Penghasil Enzim Protease Penapisan dilakukan terhadap 10 isolat bakteri laut yang berasal dari 3 lokasi pulau yang berbeda di Pariaman yaitu pulau Kasiak, pulau Angso Duo dan pulau Tangah. Kementrian Perikanan dan Kelautan (2015) menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut termasuk kawasan konservasi perairan daerah Pariaman dimana pulau Kasiak merupakan kawasan bertelurnya penyu langka belimbing sedangkan pulau Angso Duo dan pulau Tangah merupakan kawasan konservasi terumbu karang. Hasil penapisan bakteri penghasil enzim protease terhadap 10 isolat bakteri dari perairan laut Pariaman diperoleh empat isolat bakteri yang terindikasi sebagai bakteri proteolitik. Indeks masing-masing enzim disajikan dalam Tabel 1.
211
Tabel 1. Indeks enzim ekstraseluler hidrolase isolat bakteri laut kota Pariaman Indeks Proteolitik No. Lokasi Isolat IP 1. I1. K2.1 0,29 2. I11.K2 3. I I9.K2 4. I10.K1 0,29 5 I6. K1 6. I6.A2 7. II I8.A 0,57 8. I12.A 9. I1. T3 0,64 III 10. I1.T2 Ket: Lokasi I = Pulau Kasiak, Lokasi II = Pulau Angso II, Lokasi III = Pulau TangaH Pada tabel 1 juga dapat diamati bahwa isolat I1.T3 memiliki nilai indeks proteolitik terbesar yaitu 0.64. Pengujian enzim protease diamati dari zona bening yang terbentuk oleh bakteri yang mensekresikan protease kedalam medium yang ditambahkan dengan susu skim, sehingga protein susu akan terhidrolisis dan menyebabkan adanya zona bening disekitar koloni. Dirnawan (2000) menyebutkan bahwa zona bening terbentuk akibat adanya sekresi enzim protease pada medium susu skim sehingga akan menghidrolisis kasein yang terdapat pada susu dan menyebabkan medium menjadi lisis (Gambar 1)..
Gambar 1. Zona bening Proteolitik Berdasarkan nilai indeks yang terdapat pada tabel 1 dapat dilihat nilai indeks yang dihasilkan oleh masing-masing isolat berbeda. Hal ini disebabkan oleh besarnya zona bening atau zona presipitasi yang terbentuk oleh bakteri. Besarnya zona bening yang dihasilkan disebabkan oleh jumlah dan aktifitas enzim dari masing-masing isolat yang disekresikan pada medium berbeda. Aktifitas enzim tersebut ditentukan oleh konsentrasi enzim, konformasi enzim, urutan asam amino pembentuk enzim dan jenis asam amino pembentuk enzim (Agustien, 2005). Berdasarkan tabel 1 isolat I11.K2; I9.K2; I6. K1; I6.A2; I12.A; I1.T2 yang diujikan tidak menghasilkan enzim protease, hal ini disebabkan karena isolat bakteri laut yang diujikan tidak mampu menghidrolisis medium yang ditambahkan dengan komponen makromolekul organik (skim milk) menjadi molekul yang lebih sederhana atau juga dikarenakan bakteri tersebut kemungkinan tidak memiliki gen penghasil enzim atau memiliki gen penghasil enzim tetapi tidak terekspresikan (Suhartono, 1998).
212
KESIMPULAN Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa dari sepuluh isolat yang diuji, empat isolat bakteri terindikasi sebagai bakteri proteolitik yaitu isolat I10.K1, I1.K2.1, I1.T3 dan I8.A dengan indeks tertinggi 0.64. DAFTAR PUSTAKA Agustien, A. 2005. Isolasi dan Karakterisasi Enzim Amilase Termostabil dari Bakteri Isolat Sumbar. 4: 18 Bairagi, A., K. Ghosh, S. Kumarsen,& A. K. Ray. 2002. Enzyme producing bacterial flora isolated from fish digestive tracts. Aquaculture International.10: 109-121 Dirnawan, H. A. Suwanto dan T. Purwadaria. 2000. Eksplorasi Bakteri Penghasil Enzim Hidrolitik Ekstraseluler dari Sumber Air Panas Gunung Pancar. Hayati. 7:52-55 Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. 2015. Data Kawasan Konservasi. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta Febria, F. A dan Zakaria, I. J. 2015. Eksplorasi Bakteri Laut Asal Perairan Laut Pariaman. Jurusan Biologi FMIPA UNAND. Padang. (Unpublished) Gray J. S dan Elliott M. 2009. Ecology of Marine Sediments Ed ke-2. New York: Oxford Press Pawiroharsono, S. 2008. Penerapan enzim untuk penyamakan kulit Ramah lingkungan.Pusat Teknologi Bioindustri-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta Rani, D. E. P. 2013. Skrining Agen Fibrinolitik Isolat Bakteri Pantai Bandealit Kabupaten Jember. Skripsi. Jurusan Biologi. Universitas Jember Setyati, W. A dan Subagiyo. 2012. Isolasi dan Seleksi BakteriPenghasil Enzim Ekstraseluler (Proteolitik, Amilolitik, Lipolitik dan Selulolitik) yang Berasal dari Sedimen Kawasan Mangrove. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Semarang Suhartono, M. T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Antar Universitas, Bioteknologi, IPB. Bogor Yulianti, Tanti., Ekowati Chasanah.,dan Usman Sumo Friend Tambunan. 2012. Screening And Characterization Of L-Glutaminase Produced By Bacteria Isolated From Sangihe Talaud Sea. Research and Development Center for Marine and Fisheries Product Processing and Biotechnology. Jakarta.
213
KARAKTERISTIK MIKROKAPSUL SINBIOTIK BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT PG7 YANG DIENKAPSULASI DENGAN ALGINAT, SUSU SKIM DAN INULIN Harnisya Nasution1, It Jamilah1, Nunuk Priyani1 1) Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Jln. Bioteknologi No.1, Kampus. USU, Padang Bulan, Medan 20155, Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstract The application of probiotics in aquaculture represents an alternative way for fish disease prevention. However, low viability and survival in application of probiotic still being an obstacle. Encapsulation has been used to maintain probiotic viability during storage and application. In the present study, combination of alginate-skim milk and inulin prebiotic were used to encapsulate lactic acid bacteria PG7 isolated from digestive tract of tilapia fish (Oreochromis niloticus) from previous study. Encapsulation ha been prepared by extrusion method, then the encapsulated bacteria were tested for its survival during storage time, simulated gastointestinal condition, drying process, contaminant and release speed. The result obtained indicated that encapsulation effectively protected the probiotic from drying process, simulated gastointestinal condition and storage. The spherical microcapsule was obtained with size of 1.91±0,27 mm and encapsulation efficiency was 92.96%. Encapsulated probiotic could be completely released from microspheres in simulated intestinal fluid (pH 6.8). The viability of encapsulated probiotic retained around 7.19 log CFU/g when stored at 4 °C for 4 weeks. The survival of encapsulated probiotic in simulated gastric fluid (pH 2; 2 h) was 85.75%. Total yeast contamination in microsphere after 4 weeks of storage were about 2.48-2.77 log CFU/g. This synbiotic microcapsule showed good characteristic and efficient in maintaining viability of bacteria, therefore it might be usefull to be applied in aquaculture. Keywords : Encapsulation, lactic acid bacteria, probiotic, viability.
PENDAHULUAN Pengembangan budi daya ikan tawar sering terkendala penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen. Dalam upaya mengatasi serangan patogen, petani dan pengusaha ikan banyak menggunakan bahan-bahan kimia maupun antibiotik yang dapat meningkatkan resistensi bakteri patogen dan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, ikan yang bersangkutan dan manusia yang mengkonsumsinya. Oleh sebab itu, diperlukan langkah antisipatif untuk pengendalian penyakit pada ikan yang berpedoman pada kaidah keseimbangan ekosistem salah satu-nya adalah penggunaan bakteri probiotik sebagai agen kontrol mikroba (Khasani, 2007). Probiotik didefinisikan sebagai sel mikroba yang jika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup akan memberikan manfaat kesehatan. Probiotik pada sistem akuakultur dapat memberikan pengaruh meng-untungkan bagi inang melalui modifikasi bentuk asosiasi dengan inang atau bagi komunitas mikroba lingkungan hidupnya, meningkatkan respon kekebalan inang terhadap patogen, meningkatkan nilai nutrisi pakan, dan meningkatkan kualitas air (Verschuere et al. 2000). Aplikasi probiotik akuakultur untuk mengendalikan patogen pada budi daya ikan telah banyak dilakukan. Akan tetapi, viabilitas dan kelangsungan hidup probiotik yang rendah 214
selama penyimpanan dan aplikasi masih menjadi kendala. Ketika probiotik masuk ke dalam saluran pencernaan, viabilitas probiotik dapat mengalami penurunan karena pengaruh pH saat kontak dengan asam lambung dan garam empedu. Selain itu kondisi selama masa penyimpanannya (oksidasi, perubahan suhu, kadar air, kontaminasi) dapat mempengaruhi ketahanan hidup probiotik, sehingga diperlukan pertahanan fisik bagi sel probiotik untuk menghadapi kondisi lingkungan yang kurang mengun-tungkan, salah satunya dengan metode enkapsulasi. Enkapsulasi merupakan proses penyalutan suatu substansi, dalam hal ini probiotik sebagai bahan inti dengan menggunakan bahan enkapsulasi tertentu yang berperan sebagai membran pelindung untuk memisahkan material inti dengan lingkungannya hingga material tersebut terlepas (release) ke lingkungan. Beberapa metode untuk menyiapkan bakteri terenkapsulasi telah dikembangkan, misalnya penjeratan sel mikroba dalam kalsium-alginat. Enkapsulasi menggu-nakan kalsium-alginat untuk melindungi probiotik dalam kondisi saluran pencernaan menunjukkan viabilitas yang lebih tinggi dibanding sel bakteri bebas. (Sheu & Marshall, 1993). Penggunakan kalsium-alginat ini relatif lebih praktis, murah, dapat terurai dalam tubuh serta tidak beracun sehingga aman bila digunakan. Enkapsulasi menggunakan alginat biasa ditambahkan dengan berbagai jenis bahan tambahan yang berfungsi sebagai bahan pengisi atau sebagai penyalut (coating) untuk meningkatkan ketahanan mekanik kapsul. Penggunaan bahan tambahan untuk enkapsulasi perlu dipertim-bangkan, karena masing-masing bahan mempunyai karakter yang berbeda dan belum tentu sesuai dengan bahan inti yang dienkapsulasi. Dari beberapa penelitian, penggunaan bahan penyalut berbasis protein memberikan hasil ketahanan yang lebih baik. Salah satunya adalah susu skim (Adrianto, 2011; Hsio et al., 2014; García, 2011; FritzenFreire., 2013). Selain bahan enkapsulan, proses enkapsulasi juga disertai dengan penambahan prebiotik untuk meningkatkan viabilitas sel bakteri seperti inulin. Kombinasi antara probiotik dan prebiotik sering disebut dengan sinbiotik. Pada penelitian ini, campuran alginat-susu skim dan prebiotik inulin digunakan untuk mengenkapsulasi bakteri asam laktat isolat PG7 yang diisolasi dari saluran pencernaan ikan nila (Oreochromis niloticus). Karakteristik mikrokapsul akan dikaji melalui parameter kualitatif meliputi bentuk dan ukuran kapsul, kontaminasi dan viabilitas bakteri terenkapsulasi terhadap pengaruh suhu, masa simpan, lama pengeringan, dan kondisi saluran pencernaan ikan serta kecepatan release (pembebasan) sel yang terperangkap di dalam kapsul. METODE PENELITIAN Pemeriksaan dan Persiapan Kultur BAL PG 7 Bakteri asam laktat isolat PG 7 merupakan hasil isolasi dari saluran pencernaan ikan nila (Sitinjak, 2015)terlebih dahulu disubkultur dalam 10 ml MRSB dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Pemanenan kultur dilakukan dengan menum-buhkan kembali BAL PG 7dalam 10 ml MRSB selama 24 jam pada suhu 37 °C. Satu ml dari kultur diinokula-sikan pada 100 ml MRSB, yang digunakan sebagai kultur antara. Sebanyak 10 ml kultur antara ditumbuhkan pada 1000 ml MRSB (1:100) yang digunakan untuk produksi biomassa. Selanjutnya biomasa dipanen pada akhir fase logaritmik (kultur berumur 18 jam). Sel dipanen dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 5000 xg selama 10 menit pada 4 °C, dan dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali. Enkapsulasi Sinbiotik dengan Teknik Ekstrusi Pelet bakteri yang diperoleh dilarutkan ke dalam 100 ml campuran susu skim 2% (b/v), gliserol 5% (v/v), inulin 2% (b/v) dan CaCO3 0,1% (b/v), diperangkap selama 45 menit di dalam 100 ml larutan alginat steril dengan konsentrasi 3% (b/v). Campuran tersebut 215
diteteskan pada CaCl2 (0,1 M) steril menggunakan syringe 23G x 1¼ (0,60 x 32 mm) dengan jarak tetes ±10 cm dan dilakukan pengadukan 150-200 rpm menggunakan magnetic stirrer. Pengerasan mikrokapsul dilakukan selama satu jam. Mikrokapsulyang dihasilkan dibilas dengan NaCl (0,85%) steril Penghitungan jumlah sel yang terenkapsulasi dalam mikrokapsulmengacu pada metode Sheu dan Marshal (1993). Sebanyak 1 gram mikrokapsul basah disus-pensikan ke dalam PBS (0,1 M; pH 7,1) dan dicukupkan volumenya hingga 10 ml, lalu dihomogenkan dengan vorteks selama 30 menit dan diencerkan berseri menggunakan garam fisiologis. Sebanyak 1 ml dari pengenceran diinokulasikan pada MRS agar dengan metode tuang, diinkubasi pada suhu 37 °C selama 48 jam dan dihitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan ukuran dan bentuk mikrokapsul. Penghitungan efisiensi enkapsulasi adalah sebagai berikut:
EE Xt Xi
= Efisiensi Enkapsulasi (%) = Jumlah sel bakteri terenkapsulasi (log CFU g-1) = Jumlah sel bakteri inisial yang akan dienkapsulasi (log CFU g-1)
Pengeringan Mikrokapsul Pengeringan dilakukan dengan metode hot air oven pada suhu 40 °C. Mikrokapsul disebarkan ke dalam cawan petri steril kemudian dimasukkan ke dalam oven bersuhu 40 °C. Setiap 30 menit dilakukan penghitungan jumlah sel yang bertahan di dalam kapsul. Uji Viabilitas Sinbiotik Terenkapsulasi pada Suhu dan Masa Simpan Pengujian viabilitas terhadap suhu dan masa simpan dilakukan dengan cara menyimpan kapsul dalam wadah steril selama 4 minggu pada suhu 4 °C dan suhu ambient. Penurunan viabilitas sel dihitung setiap 1 minggu. Analisis Total Kapang Khamir Mikrokapsul Mikrokapsul yang telah disimpan selama 1, 2, 3, dan 4 minggu pada suhu 4°C dan suhu ambient dihitung jumlah kapang khamir yang mengkontaminasi dengan metode hitungan cawan setelah diinkubasi pada suhu 25 °C selama 48 jam.. Uji Viabilitas Sel Bebas dan Sinbiotik Terenkapsulasi dalam Simulasi pH Lambung dan Cairan Usus Ikan Bakteri asam laktat isolat PG7merupakan hasil isolasi dari saluran pencernaan ikan Nila, sehingga untuk melakukan uji ketahanannya disesuaikan dengan kondisi saluran pencernaan ikan Nila. Sel bebas dalam larutan NaCl fisiologis dan 1 gram kapsul dimasukkan ke dalam 9 mL garam fisiologis pH 2 (simulasi pH lambung) diinkubasi selama 120 menit pada suhu 37 oC. Kemudian kapsul ditransfer ke dalam larutan PBS pH 6,8 (simulasi cairan intestinal), diinkubasi selama 180 menit pada suhu 37 °C (Rodrigues et al. 2006; Li et al. 2009). Populasi sel yang bertahan di dalam kapsul dihitung setiap 30 menit dengan cawan hitung pada media MRS agar lalu diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Analisis Kecepatan Pembebasan (Release) Sel Terenkapsulasi Sebanyak 1 gram kapsul dimasukkan ke dalam PBS pH 6,8 (disesuaikan dengan pH cairan intestinal) dan dicukupkan volumenya hingga 10 ml, diinkubasi pada suhu 37 °C dengan kecepatan 100 rpm. Jumlah sel bakteri yang terbebas (release) dihitung setiap 30 menit dengan metode hitungan cawan pada media MRS agar setelah diinkubasi pada 37 °C selama 48 jam. 216
HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran, Morfologi dan Efisiensi Enkapsulasi Mikrokapsul Enkapsulasi probiotik menggunakan campuran alginat, susu skim, dan inulin dengan teknik ekstrusi menghasilkan mikrokapsul dengan diameter rata-rata 1,91±0,27 mm dan memiliki struktur yang kompak berbentuk bola (spherical) (Gambar. 1).
Gambar 1. Mikrokapsul sinbiotik isolat BAL PG7 hasil enkapsulasi metode ekstrusi Pada penelitian ini, diperoleh efisiensi enkapsulasi sebesar 92,69% yang menunjukkan bahwa mikrokapsul memiliki efektivitas yang tinggi dalam menjerat sel. Tingginya tingkat efisiensi pada mikrokapsul ini dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pengkapsul. Penelitian Castilla et al. (2010) menemukan bahwa efisiensi enkapsulasi meningkat secara signifikan dengan meningkatnya konsentrasi biopolimer. Viabilitas Mikrokapsul Setelah Pengeringan Dari hasil yang didapatkan menunjukkan adanya penurunan jumlah bakteri terenkapsulasi seiring dengan lamanya waktu pengeringan (Gambar 2).
Gambar 2. Grafik pengaruh lama pengeringan terhadap viabilitas BAL isolat PG7 terenkapsulasi Jumlah sel bakteri cenderung stabil hingga jam ke-5, dan mulai mengalami penurunan yang signifikan pada jam ke-6. Selama pengeringan terjadi penurunan 1,1 log CFU g-1 pada jam ke-7. Hingga jam ke-10, populasi bakteri terenkapsulasi menurun2,63 log CFU g-1. Penurunan jumlah sel bakteri ini disebabkan karena kadar air mikrokapsul yang semakin berkurang, akan tetapi penurunan populasi bakteri dinilai lambat karena penurunan yang terjadi kurang dari 1 log per jam nya. Ketahanan mikrokapsul sela-ma pengeringan juga dipengaruhi oleh bahan pengisi yang digunakan, yaitu susu skim. Ketersediaan laktosa dan protein susu pada susu skim akan berinteraksi dengan membran sel bakteri untuk mencegah kerusakan membran selama proses penghilangan air (Hsio et al. 2011). 217
Viabilitas Mikrokapsul Selama Penyimpanan Viabilitas bakteri terenkapsulasi menurun seiring dengan mening-katnya masa simpan (Gambar 3). Pada suhu 4 °C, penurunan jumlah sel bakteri mikrokapsul setelah 4 minggu adalah 0,88 log CFU g-1 dengan viabilitas sebesar 89,10%, secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada suhu ambient dimana terjadi penurunan 2,06 log CFU g-1 dan viabilitas mikrokapsul sebesar 74,47%.
Gambar 3. Grafik viabilitas BAL isolat PG7 terenkapsulasi selama penyimpanan pada suhu 4 °C dan suhu ambient Dalam hal ini penyimpanan mikrokapsul pada suhu 4 °C lebih baik dibandingkan suhu ruang karena pada suhu 4 °C pertumbuhan bakteri lebih lambat sehingga nutrisi dapat tersedia untuk pertumbuhan dalam waktu yang lebih panjang, oleh karena itu sel bakteri dapat bertahan hidup dalamwaktu yang lebih lama. Pada penelitian ini, viabilitas mikrokapsul masih cukup tinggi pada suhu 4 °C hingga minggu ke-4 yakni 1,6 x 107 CFU g-1. Jumlah ini masih layak digunakan karena jumlah minimal probiotik yang baik untuk digunakan menurut WHO adalah 107 CFU g-1. Analisis Total Kapang Khamir Mikrokapsul Setelah penyimpanan ditemukan adanya kontaminasi khamir pada mikrokapsul tetapi tidak ditemukan kapang. Total khamir pada mikrokapsul yang disimpan pada suhu 4 °C dan suhu ambien hingga minggu ke-4 berturut-turut ialah2,48 dan 2,77 log CFU g-1 (Gambar 4.4).
Gambar 4. Grafik jumlah kontaminasi khamir pada mikrokapsul BAL isolat PG7 selama penyimpanan
218
Jumlah Sel Bakteri (log CFU g-1)
Viabilitas Sel Bebas dan Mikrokapsul dalam Kondisi Simulasi pH Lambung dan Cairan Usus Dalam menjalankan perannya, sel probiotik harus bertahan hidup pada sistem pencernaan untuk dapat memberikan manfaat bagi inang. Simulasi asam lambung dan usus halus dilakukan untuk menguji ketahanan bakteri dalam bentuk sel bebas dan terenkapsulasi terhadap kondisi pH lambung dan usus. Hasil penelitian menunjukkan sel probiotik dalam bentuk terenkapsulasi memberikan ketahanan yang lebih baik terhadap pH lambungdibandingkan dalam bentuk sel bebas (Gambar 5). Setelah inkubasi selama 2 jam pada simulasi asam lambung, penurunan populasi sel terenkapsulasi hanya sebesar 1,09 log CFU g-1 dengan persentase ketahanan 85,75%,sedangkan penurunan populasi pada sel bebas lebih besar yakni 3,97 log CFU ml-1 dengan persentase ketahanan 67,62%. Ketahanan mikrokapsul yang tinggi berkaitan dengan sifat bahan enkapsulan yaitu alginat yang tidak larut pada pH rendah dan membentuk struktur gel yang kompak. Penambahan prebiotik inulin pada proses enkapsulasi juga turut memberikan pengaruh ketahanan yang tinggi pada mikrokapsul. Inulin berperan dalam menghalangi pori pada matriks mikrokapsul sehingga, mencegah difusi asam ke dalam mikrokapsul. Iyer dan Kailasapathy (2005) juga melaporkan bahwa ko-enkapsulasi probiotik dengan prebiotik himaize memberikan ketahanan yang lebih tinggi pada simulasi gastrointestinal dibandingkan dengan enkapsulasi bakteri tanpa prebiotik. Selama simulasi pH cairan usus, populasi sel bebas tetap stabil dan tidak mengalami penurunan jumlah sel yang signifikan. Hal ini disebabkan karena pH simulasi cairan usus adalah pH netral yang merupakan kondisi yang sesuai bagi sel bakteri untuk tetap hidup. Sedangkan pada sel terenkapsulasi, jumlah sel di dalam mikrokapsul berangsur-angsur menurun diduga karena sel keluar dari mikrokapsul menuju cairan usus. Pada cairan simulasi usus, struktur mikrokapsul mengembang, menyebabkan pori-pori mikrokapsul semakin membesar sehingga sel yang terperangkap dalam kapsul keluar menuju cairan usus (Kailasapathy et al. 2002). Hasil yang hampir sama juga diperoleh Annan et al. (2008), dimana populasi B. adolescentis dalam bentuk sel bebas tetap stabil pada simulasi cairan usus hingga 4 jam diduga karena sel bakteri melakukan pemulihan (recovery) setelah kerusakan akibat terpapar pH rendah. 12
Sel Bebas
Sel Terenkapsulasi
10 8 6 4 2
0
0
1 simulasi pH lambung
2
3
4
5
simulasi pH cairan usus
Lama Inkubasi (jam)
Gambar 5. Grafik populasi sel bebas dan sel terenkapsulasi BAL isolat PG 7 pada kondisi simulasi pH lambung dan cairan usus Kemampuan Pelepasan (Release) Sel Terenkapsulasi Kemampuan sel untuk keluar dari mikrokapsul setelah direndam pada PBS (PhosphateBufferSaline) pH 6,8 meningkat secara signifikan seiring dengan meningkatnya waktu inkubasi. Pada 30 menit pertama persentase jumlah sel yang keluar sebesar 43,67% 219
dari jumlah sel awal kemudian meningkat hingga 98,09% setelah 3 jam. Setelah diinkubasi selama 4-5 jam, kemampuan sel release berturut-turut sebesar 98,65% dan 99,91% (Gambar 6).
Gambar 6. Kemampuan sel terenkap-sulasi isolat PG7 release pada pH netral Kecepatan sel release ini diduga dipengaruhi oleh konsentrasi alginat. Semakin rendah konsentrasi alginat yang digunakan, akan mempercepat pelepasan sel dari mikrokapsul. Alginat digunakan sebagai penyalut dikarenakan oleh sifatnya yang tidak larut pada pH rendah, namun dapat larut pada pH netral atau basa. Pada penelitian ini, sifat biopolimer alginat yang bergantung pada pH digunakan untuk menjaga penurunan sel probiotik dan melepaskannya pada kondisi pH netral. KESIMPULAN Probiotik air tawar yang dienkapsulasi dengan alginat-susu skim dan penambahan prebiotik inulin memiliki ketahanan tinggi selama proses pengeringan, lama penyimpanan, dan kondisi pH saluran pencernaan. Viabilitas probiotik air tawar terenkapsulasi secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk sel bebas pada simulasi pH saluran pencernaan. Probiotik air tawar juga mampu keluar dari mikrokapsul secara keseluruhan pada pH netral selama 3 jam. Mikrokapsul probiotik air tawar dengan penambahan prebiotik inulin inimenunjukkan karakteristik yang cukup baik dan efisien dalam mempertahankan viabilitas probiotik pada kondisi pH saluran pencernaan, lama penyimpanan, pengeringan, tingkat kontaminasi, serta mampu keluar pada pH netral sehingga cukup baik untuk diaplikasi pada budi daya ikan air tawar. DAFTAR PUSTAKA Adrianto, A. 2011. Enkapsulasi Lactobacillus casei dengan Teknik Ekstrusi Sebagai Starter untuk Pembuatan Dadih Susu Sapi. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Annan, N.T., Borza, A.D., Hansen, L.T., 2008. Encapsulation in Alginate–coated Gelatin Microspheres Improves Survival of The Probiotic Bifidobacterium adolescentis 15703T during Exposure to Simulated Gastrointestinal Condition. Food Research International. 41: 184–193. Castilla, O. S., Calleros, C. L., Galindo, H. S. G., Ramirez, J. A. and Carter, E. J. V. 2010. Textural Properties of Alginate–Pectin Beads and Survivability of Entrapped Lactobacillus casei in Simulated Gastrointestinal Condition and in Yoghurt. Food Research International. 43: 111–117. Fritzen–Freire, C.B., Prudêncio, E.S., Pinto, S.S., Muñoz I.B. and Amboni R.D.M. C. 2013. Effect of Microencapsulation on Survival of Bifidobacterium BB–12 Exposed to 220
Simulated Gastrointestinal Conditions and Heat Treatments. Food Science Technology. 50: 39–44. Hsio, H. C., Lian, W. C. and Chou, C. C. 2004. Effect of Packaging Conditions and Temperature on Viability of Micro-encapsulated Bifidobacteria During Storage. Journal of the Science of Food and Agriculture. 84(2): 134–139. Kailasapathy, K. 2002. Micro-encapsulation of Probiotic Bacteria: Technology and Potential Applications. Current Issues Interest of Microbiology. 3(2): 39–48. Khasani, I. 2007. Aplikasi Probiotik Menuju Sistem Budi Daya Perikanan Berkelanjutan. Media Akuakultur. 2(2): 86–90. Li, X. Y., Chen, X. G., Cha, D. S., Park, H. J. and Liu, C. S. 2009. Microencapsulation of A Probiotic Bacteria with Alginate–Gelatin and Its Properties. Journal of Microencapsulation. 26(4): 315–324. Rodrigues, A. P., Hirsch, D., Figueiredo, H. C. P., Logato, P. V. R. and Moraes, A. M. 2006. Production and Characterisation of Alginate Microparticle Incorporating Aeromonas hydrophila Designed for Fish Oral Vaccination. Process Biochemistry. 41: 638–643. Sheu, T. Y. and Marshall, R. T. 1993. Microencapsulation of Lactobacilli in Calcium Alginate Gels. Journal of Food Science.54: 557 – 561. Sitinjak, T. P. 2015. Pengendalian Biofilm Edwardsiella tarda pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC dengan Senyawa Antimikroba yang Dihasilkan oleh Bakteri Asam Laktat (BAL). [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Verschuere, L., Rombaut, G., Sorgeloos, P. and Verstraete, W. 2000. Probiotic Bacteria as Biological Control Agents in Aquaculture. Microbiology and Molecular Biology Reviews. 64: 655–671
221
POTENSI ISOLAT KAPANG ANTIBIOTIK DARI “KABUTO” SEBAGAI INOKULUM YANG MENINGKATKAN KADAR PROTEIN PANGAN LOKAL 1 2 3 Jendri Mamangkey *, Nurhayani , Nur Arfa Yanti Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Universitas Halu Oleo, Kendari *
[email protected]
Abstract Kabuto is a Southeast Sulawesi fermented food made traditionally through natural fermentation from cassava (Manihot esculenta Crantz). The local mold isolates have previously been isolated and tested for antibiotic by Budadana (2014). Four types of local mold isolates were used: K03 isolate, K23 isolate, K31 isolate, and K1C isolate. Antimicrobial activity was tested using well diffusion method. The number of spore ineach mold isolate was first counted by using haemocytometer in order to obtain 106spore/mL. The mold isolates were injected to cassava roots to determine their capacity in increasing the content of protein in ―Kabuto‖withinthe periods of 0, 2, 4, and 6 days. Biuret method was used to measure the content of protein. The data were then analyzed by using SAS (Statistical Analysis System) software. The result of applying local mold isolates on cassava showed that the four types of isolates and fermentation time have a real effect on the change in the content of protein in ―Kabuto‖. Sequentially percentage of proteincontent for each isolate on the 6thwere Aspergillus niger K23 (7.93%),Aspergillus niger K1c (8.65%), Aspergillus niger K03 (9.35%), Aspergillus terreus K31 (10.60%). K31 isolate on the 6th day of fermentation was the best treatment that increased the content of protein in ―Kabuto‖, compared to the other three treatment and controlled. Keywords: Local mold, fermentation, protein, Kabuto.
PENDAHULUAN Umbi ubi kayu merupakan salah satu bahan pangan dengan sumber energi yang mengandung karbohidrat tinggi, Harris and Koomson (2011), menyatakan bahwa kandungan karbohidrat umbi ubi kayu 80 hingga 90%, sedangkan kandungan proteinnya sangat rendah. Menurut Charles et al. (2005), kandungan protein umbi ubi kayu hanya berkisar 1 hingga 2% dalam 100 gr. Aplikasi teknologi pengolahan umbi ubi kayu perlu dilakukan dalam upaya perbaikan mutu gizi pangan lokal. Salah satu teknologi pengolahan yang dilakukan yaitu melalui fermentasi. Proses fermentasi digunakan untuk meningkatkan kadar protein umbi ubi kayu, sehingga dapat dibuat menjadi ―Kabuto‖ yang memiliki nilai gizi yang lebih baik dari sebelumnya. Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi pada umbi ubi kayu merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan kapang, karena kapang memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber C bagi pertumbuhannya. Perlakuan pemberian isolat kapang lokal ke dalam bahan pangan tradisional merupakan salah satu bagian fermentasi. Isolat kapang yang digunakan dalam penelitan ini adalah isolat K03, K23, K31 dan K1C, keempat isolat kapang tersebut merupakan jenis isolat terpilih yang berpotensi menghasilkan antibiotik. Keempat isolat kapang diisolasi langsung dari ―Kabuto‖ hasil pengolahan oleh masyarakat Sulawesi Tenggara (Budadana,2014).
222
Salah satu makanan tradisional di Sulawesi Tenggara adalah ―Kabuto‖. ―Kabuto‖ merupakan salah satu produk pangan yang dibuat secara tradisional melalui proses fermentasi alami. ―Kabuto‖ berbahan dasar umbi ubi kayu yang telah dikeringkan, kemudian disimpan hingga umbi tertutupi oleh koloni mikroorganisme yaitu kapang. Produk ini biasa dikonsumsi sebagai pelengkap makan masyarakat suku Muna dan Buton Sulawesi Tenggara. Berbagai hasil penelitian telah berhasil mengungkapkan bahwa melalui fermentasi, bahanbahan makanan akan mengalami perubahan fisik dan kimia yang sangat berguna untuk perbaikan dan menambah nilai gizi makanan. Mirwandhono dkk. (2006), melaporkan bahwa setiap variasi konsentrasi inokulum kapang Aspergillus niger selama 4 hari fermentasi pada tepung kulit ubi kayu mampu meningkatkan kadar protein terutama pada jumlah inokulum kapang Aspergillus niger 2,00 gr/100gr bahan. Peningkatan protein kasar pada fermentasi selama 2 hari dan fermentasi selama 4 hari sangat tinggi bila dibandingkan dengan protein kasar kulit ubi kayu tanpa fermentasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ―pengaruh isolat kapang lokal dan waktu fermentasi terhadap perubahan kadar protein dan asam sianida ―Kabuto‖ makanan fermentasi tradisional Sulawesi Tenggara‖ menjadi penting untuk dilakukan. BAHAN DAN METODE Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf bertekanan 1 atm/1210C yaitu alat sterilisasi, alat yang digunakan untuk pengerjaan secara aseptik adalah Laminar air flow, alat yang digunakan untuk mengamati struktur kapang adalah mikroskop serta alat instrumen, alat-alat gelas lainnnya sebagai penunjang penelitian. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan ―Kabuto‖ dengan pemberian isolat kapang lokal adalah umbi ubi kayu yang langsung diambil di Kabupaten Muna, empat isolat kapang lokal (K03, K23, K31, dan K1C) hasil isolasi dan pengujian antibiotik sebelumnya dari ―Kabuto‖ serta media-media pertumbuhan kapang. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis protein adalah Aquades, CuSO4.5H2O, NaOH 0,2 N, Na-K-Tartrat, BSA (Bovine SerumAlbumin). Prosedur Penelitian Sterilisasi Alat dan Media Peralatan dan bahan yang akan digunakan pada penelitian, terlebih dahulu disterilkan dengan metode pemanasan basah. Sterilisasi dengan pemijaran digunakan untuk sterilisasi ose. Penyiapan dan PembuatanMedia Media PDA (Potato DextroAgar) Proses pembuatan media yaitu, mencampurkan ekstrak kentang sebanyak 1000 mL, dengan 20 gr dextrosa, dan 15 gr agar kemudian dipanaskan serta dihomogenkan menggunakan stirrer magnetic. Media PDA (Potato Dextro Agar) selanjutnya disterilkan dengan menggunakan autoklaf (Fardiaz, 1993; Joetono dkk., 1973; Lay, 1994; Waluyo, 2010). Media PDB (Potato Dextro Broth)modifikasi Media PDB akan digunakan sebagai media inokulum kapang yang siap diinokulasikan pada ubi kayu. Proses pembuatan media yaitu, mencampurkan tepung ubi kayu dengan PDB (Potato Dextro Broth), kemudian dipanaskan dan dihomogenkan menggunakan stirrer magnetic. Media PDB (Potato Dextro Broth)modifikasi selanjutnya disterilkan dengan menggunakan autoklaf (Fardiaz, 1993; Joetono dkk., 1973; Lay, 1994; Waluyo, 2010). Perbanyakan/Peremajaan Isolat Kapang Lokal Isolat kapang lokal diremajakan yaitu dengan menginokulasikan 1 ose kultur murni ke dalam PDA miring pada masing-masing tabung reaksi sebanyak 2 tabung reaksi, 1 tabung
223
reaksi sebagai stok kultur murni dan 1 tabung reaksi sebagai biakan kultur murni, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 34hari. Penyiapan Substrat Umbi Ubi Kayu Umbi ubi kayu (Manihot utilissima) yang digunakan sebagai substrat untuk fermentasi ―Kabuto‖ dengan inokulum kapang lokal berasal dari Kabupaten Muna. Tahapan selanjutnya dilakukan sterilisasi UV pada Laminar Air Flow selama 2 x 45 menit (Buamah et al.,1997). Preparasi Inokulum dan Enumerasi Spora Kapang Kultur kapang yang berumur 96 jam dalam media PDA modifikasi, kemudian pemisahan spora kapang lokal pada media PDA miring menggunakan jarum inokulasi dan dimasukkan dalam erlenmeyer 100 mL, kemudian mengambil isolat kapang dalam erlenmeyer tersebut sebanyak 10 mL kedalam botol balsem steril. Jumlah spora dihitung dengan haemocytometer untukmendapatkan 106 spora/mL yang akan digunakan sebagai inokulum. Menurut Jutono dkk. (1973) perhitungan jumlah sel dilakukan berdasarkan rumus berikut: Jumlah sel = n x 4x106 x faktor pengencer (sel/mL) Keterangan : n =Jumlah sel dalam kotak yang dipilih 5 x 16 Inokulasi Inokulum Pada Umbi Ubi Kayu Inokulum yang telah disiapkan sebelumnya sebanyak 10 mL, dengan jumlah spora 106spora/mL dan diinokulasikan pada umbi ubi kayu tersterilisasi UV. Kemudian inokulum dicampur secara merata dalam umbi ubi kayu.Selanjutnya dilakukan proses fermentasi didalam ruangan. Fermentasi Fermentasi dilakukan menggunakan wadah toples plastik kecil, penutup toples menggunakan kain kasa. Fermentasi dilakukan selama 6 hari, pengamatan dilakukan dengan selang waktu 2hari. Pengukuran Kadar Air “Kabuto” Prosedur kerja yang dilakukan yaitu menimbang 1 gr ubi ―Kabuto‖, kemudian memasukkan ke dalam oven dengan suhu 1050C, selama 4 jam.Setelah 4 jam mengeluarkan ―Kabuto‖ dari oven, kemudian timbang kembali, selanjutnya menggunakan timbang analitik, kemudian menghitung kadar air denganrumus. Berat bobot % kadar air =x 100% Berat awal sampel Metode Pengukuran Kadar Protein (Sudarmadji, 1984) Penentuan kadar protein pada penelitian ini menggunakan metode Biuret, larutan diukur nilai absorbansnya menggunakan spetrofotometer UV pada panjang gelombang 645 nm. Selanjutnya menghitung kadar protein denganrumus.
224
Berat bobot % kadar Protein =
x4 x 100% Berat awal sampel
Analisis Data Data yang diperoleh dari masing-masing perlakuan dianalisis dengan analisis varians (Anava) dua faktorial. Selanjutnya apabila perlakuan berpengaruh nyata (F hitung >F tabel) terhadap parameter yang diamati maka dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% (Steel, 1993). Analisis data dilakukan menggunakan software SAS (Statistical AnalysisSystem). HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Kapang Selama Fermentasi Pertumbuhan kapang diketahui dengan menghitung jumlah koloni yang tumbuh pada media Potato Dextrose Agar (PDA) menggunakan metode hitungan cawan. Jumlah kapang untuk masing-masing perlakuan yang tumbuh pada ―Kabuto‖ selama fermentasi ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Pertumbuhan Kapang Selama Fermentasi ―Kabuto‖ (CFU/gr) Kode isolat Waktu Fermentasi K03 K23 K31 K1C Kontrol
0 4,0 x 101 2,0 x 101 6,0 x 101 7,5 x 101 8,0 x 101
2 1,7 x 102 1,9 x 102 2,0 x 102 2,3 x 102 1,6 x 102
4 2,0 x 105 2,7 x 105 8,5 x 105 9,8 x 105 2,3 x 105
6 9,3 x 106 2,6 x 106 2,1 x 107 9,7 x 106 3,7 x 106
Berdasarkan data Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi ―Kabuto‖ jumlah pertumbuhan kapang yang tumbuh semakin meningkat. Fermentasi hari kedua pada perlakuan pemberian isolat K03 pertumbuhan kapang masih sedikit, yaitu 1,7 x 102CFU/gr. Peningkatan jumlah kapang dimulai hari keempat yaitu 2,0x105CFU/gr hingga mencapai 9,3x106CFU/gr pada fermentasi hari keenam, kemudian fermentasi hari kedua pada perlakuan pemberian isolat K23 pertumbuhan kapang yakni 1,9 x 102 CFU/gr. Peningkatan jumlah sel pada hari keempat yaitu 2,7x105CFU/gr, hingga fermentasi hari keenam jumlah kapang meningkat menjadi 2,6x106CFU/gr. Jumlah kapang pada perlakuan pemberian isolat K31 pertumbuhan kapang yaitu 2,0x102CFU/gr dihari kedua, mulai mengalami peningkatan jumlah pertumbuhan pada hari keempat yaitu 8,5x105CFU/gr. Jumlah kapang setelah fermentasi hari keenam meningkat menjadi 2,1x107CFU/gr. Selanjutnya fermentasi pada perlakuan pemberian isolat kapang K1C pertumbuhan kapangyaitu 2,3x102CFU/gr pada hari kedua, mulai mengalami peningkatan jumlah sel pada hari keempat yaitu 9,8x105CFU/gr. Fermentasi hari keenam jumlah kapang meningkat menjadi 9,7x106CFU/gr. Jumlah kapang pada kontrol (tanpa perlakuan pemberian isolat kapang) mulai mengalami peningkatan jumlah sel pada hari keempat yaitu 2,3x105CFU/gr. Fermentasi hari keenam jumlah kapang meningkat menjadi 3,7x106CFU/gr. Berbeda dengan perlakuan pemberian isolat kapang, pertumbuhan kapang pada kontrol diawal fermentasi lebih banyak, hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadi pertumbuhan secara spontan kapang tanpa melakukan adaptasi media terhadap umbi ubi kayu sebagai bahan dasar pembuatan ―Kabuto‖, hal ini berbeda dengan perlakuan pemberian isolat kapang. Perlakuan dengan pemberian isolat kapang menggunakan media PDB (Potato Dextrose Broth) modifikasi yaitu PDB ditambahkan tepung umbi ubi kayu sebagai inokulum, sehingga 225
kapang perlu melakukan adaptasi terlebih dahulu terhadap umbi ubi kayu sebagai bahan dasar pembuatan ―Kabuto‖ diawal fermentasinya. Waktu fermentasi ―Kabuto‖ sangat mempengaruhi kepadatan jumlah kapang yang tumbuh, selama nutrisi kapang masih terpenuhi maka pertumbuhan akan tetap terjadi. Hal ini sesuai dengan penelitian Tetchi et al. (2012), menyatakan bahwa sebelum fermentasi jumlah kapang yang tumbuh pada ―Attieke‖ (produk fermentasi umbi ubi kayu dari afrika) sangat rendah yaitu 3x103CFU/gr, setelah dilakukan fermentasi jumlah kapang yang tumbuh menjadi 2,5x107CFU/gr pada hari ketiga. Umbi ubi kayu sebagai bahan dasar pembuatan ―Kabuto‖ mengandung karbohidrat tinggi, sehingga kapang dapat dengan mudah tumbuh. Karbohidrat merupakan salah satu nutrien yang sangat diperlukan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan kapang. Gupta et al. (2010), menyatakan bahwa pati merupakan sumber karbon terbaik terhadap kerja produksi amilase oleh Aspergillus niger. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Unakal et al. (2014), bahwa sumber karbon paling optimal untuk pertumbuhan dan menunjang kerja enzim kapang yakni glukosa dan fruktosa, sehingga kedua jenis monosakarida tersebut sangat penting keberadaannya dalam media pertumbuhan kapang. Pertumbuhan kapang selama fermentasi menjadi ―Kabuto‖ disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Pertumbuhan pada masing-masing isolat kapang selama fermentasi Kurva pertumbuhan isolat kapang pada Gambar 1, menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan dengan pemberian isolat kapang dan lama fermentasi, memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan kapang. Hari keenam fermentasi, jumlah pertumbuhan kapang pada perlakuan dengan pemberian isolat K31 lebih banyak yaitu 2,1x107CFU/g dibandingkan dengan perlakuan pemberian isolat K03, K23 dan K1C. Menurut Fardiaz (1992), aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme pada proses fermentasi melalui 6 fase berturut-turut yaitu fase adaptasi (fase lag), fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritmik (fase log), fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap dan fase kematian. Data pertumbuhan kapang pada Tabel 1 menunjukkan jumlah kapang yang tumbuh paling sedikit terjadi diawal fermentasi. Sel-sel kapang pada fase ini masih dalam fase adaptasi terhadap lingkungan atau disebut dengan fase lag. Ingraham et al. (2007), menyatakan bahwa fase lag merupakan fase dimana mikroorganisme masih beradaptasi dengan media pertumbuhannya. Fermentasi hari kedua memasuki fase pertumbuhan awal, dimana kapang tumbuh dengan kecepatan rendah karena sel-sel kapang sebagian besar juga masih melakukan adaptasi. Menurut Waluyo (2007), fase pertumbuhan awal merupakan fase setelah sel 226
mikroorganisme melewati fase adaptasi, sel kapang mulai tumbuh dalam jumlah yang relatif sedikit, karena sebagian sel masih dalam tahap adaptasi. Selanjutnya waktu fermentasi hari keempat, sel-sel kapang berada pada fase pertumbuhan logaritmik, ditandai dengan tingkat pertumbuhan kapang tinggi. Selkapang pada fase ini menggunakan energi yang berasal dari media pertumbuhan dengan maksimal. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Thiel (1999), fase logaritmik fase dimana kecepatan pertumbuhan paling tinggi dan waktu generasinya sangat singkat. Selama fase ini metabolisme akan berlangsung terus sampai salah satu atau beberapa nutrien habis. Fermentasi pada hari keenam, laju pertumbuhannya mulai melambat. Pertumbuhan kapang pada fase ini mulai menurun karena nutrisi penting bagi pertumbuhan kapang telah berkurang (Hidayat dkk., 2006). Menurut Hajoeningtijas (2012), mikroorganisme sama dengan makhluk hidup lainnya, memerlukan suplai nutrisi sebagai sumber energi dan pertumbuhan selnya. Kekurangan atau ketiadaan sumber-sumber nutrisi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Novianti dkk. (2004), produksi spora penghasil β-karoten dari kapang Neurospora sitophila dipengaruhi oleh jumlah nutrisi yang terkandung dalam substrat, akan terjadi kompetisi pada media fermentasi karena tiap spora Neurospora sitophila membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhannya, sehingga semakin lama waktu fermentasi mengakibatkan jumlah nutrisi tidak cukup seimbang untuk memenuhi kebutuhan dari tiap spora yang akan tumbuh. Rendahnya pertumbuhan kapang pada fermentasi lebih dari 4 hari disebabkan karena kapang tersebut telah melampaui waktu optimumnya. Menurut Melgar et al. (2013), pertumbuhan mikroorganisme akan semakin menurun seiring dengan penggunaan media sebagai pertumbuhan dan metabolisme sel mikroorganisme. Selanjutnya pada waktu fermentasi hari keenam jumlah kapang yang tumbuh tidak terlalu tinggi, kemungkinan setelah ini sel-sel kapang akan memasuki pertumbuhan tetap/fase stasioner, dimana jumlah sel yang hidup sama dengan jumlah sel yang mati.
Hasil Analisis Kadar Protein “Kabuto” Pengukuran kadar protein ―Kabuto‖ dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sumbangsih protein yang diberikan oleh keempat jenis kapang pada ―Kabuto‖ setelah terjadi fermentasi. Pengukuran kadar protein ―Kabuto‖ dilakukan dengan menggunakan metode biuret. Selanjutnya data dianalisis menggunakan Rancangan Acak Langkap (RAL), dan data hasil persentase protein di analisis melalui Analisis varians (Anava), menggunakan software SAS (Statistical Analysis System), jika hasilnya menunjukkan perbedaan nyata, dilakukan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan95%. Analisis varians (anava) dua arah dilakukan untuk mengetahui nilai F hitung lebih besar atau lebih kecil F tabel pada taraf kepercayaan 95%, dalam menentukan berpengaruh dan tidaknya kedua faktor yang telah ditentukan yaitu jenis isolat kapang dan waktu fermentasi terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖. Hasil analisis varians (data tidak ditunjukkan), bahwa secara umum perlakuan isolat kapang dan waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖. Diperoleh F hitung: 33,55> F tabel : 2,02 pada taraf kepercayaan 95%, maka hipotesis H1 diterima dan H0 ditolak, sehingga ada pengaruh penggunaan isolat kapang lokal dan waktu fermentasi terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖, selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan mandiri untuk variabel jenis isolat kapang terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖dapat dilihat pada Tabel 2.
227
Tabel 2. Hasil uji Duncan untuk pengaruh pemberian isolat kapang terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖ Kode Isolat K31 K1C K03 K23 Kontrol
Kadar Protein “Kabuto” (%) 5,88667 5,40000 5,12750 4,54917 3,53333
Notasi a b c d e
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan α 0,05 Hasil uji analisis secara mandiri untuk perlakuan menggunakan beberapa isolat kapang adalah berbeda nyata pada setiap perlakuannya. Selanjutnya hasil uji lanjut Duncan mandiri untuk variabel waktu fermentasi terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖ dapat dilihat pada Tabel3. Tabel 3. Hasil uji Duncan pengaruh waktu fermentasi (hari) terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖ Hari Kadar Protein “Kabuto” (%) Notasi 6 8,84800 4 5,60467 2 3,40333 0 1,74133 Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan α 0,05
a b c d
Hasil uji analisis secara mandiri untuk perlakuan waktu fermentasi pada masing-masing perlakuan berbeda nyata terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖. Selanjutnya hasil uji lanjut Duncan untuk interaksi jenis isolat kapang dan waktu fermentasi terhadap perubahan kadar protein ―kabuto‖ dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil uji Duncan interaksi jenis isolat kapang dan waktu fermentasi terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖ Isolat kapang K31 K1C K03 K23
0 2.3567 as 1.5967 bs 2.2667 as 1.3767 bcs
Kontrol
1.1100 cs
Waktu fermentasi (Hari) 2 4 4.0833 ar 6.5100 bq 4.2233 ar 7.1333 aq 3.4900 br 5.4000 cq 3.5533 br 5.3333 cq 1.6667 cr
3.6467 dq
6 10.5967 8.6467 9.3533 7.9333 7.7100
ap cp bp dp dp
Keterangan: Angka-angka yang didampingi huruf yang sama tidak berbedanyata pada uji Duncan α 0,05 Tabel 4 menunjukkan bahwa pengamatan 0 hari pada perlakuan isolat K31 dan K03 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata pada perlakuan dengan isolat K1C dan K23. 228
Pengamatan hari kedua pada perlakuan K1C dan K31 tidak berbeda nyata, dan perlakuan K23 dan K03 juga tidak berbeda nyata, namun semua perlakuan menggunakan isolat kapang dihari kedua berbeda nyata dengan kontrol. Selanjutnya pengamatan hari keempat pada perlakuan isolat K23 dan K03 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata perlakuan dengan isolat K1C dan K31. Sedangkan dihari keenam perlakuan isolat K23 dan kontrol tidak berbeda nyata, namun untuk semua perlakuan pada masing-masing jenis isolat kapang berbeda nyata terhadap perubahan kadar protein―Kabuto‖. Hasil interaksi menunjukkan bahwa perlakuan dengan isolat K31 hari keenam fermentasi dapat meningkatkan kadar protein ―Kabuto‖ paling tinggi. Perubahan kadar protein ―Kabuto‖ berhubungan dengan pertumbuhan kapang, kapang sangat berkontribusi positif terhadap peningkatan kadar protein―Kabuto‖. Hubungan antara jumlah kapang yang tumbuh dengan perubahan kadar protein ―Kabuto‖ dapat dilihat pada Gambar 2. a.
b. 7
10
6
5
4
0 2 4 6 Waktu fermentasi (Hari) K03 K23 K31 K1C Kontrol
KadarProteinKabuto(%)
12
Log.JumlahKapang(CFU/g)
8
8
6 0 4
2 4 6 Waktu Fermentasi (Hari) K03 K23 K31 K1C Kontrol
3
Gambar 2. Histogram jumlah isolat kapang dan kadar protein pada kabuto selama 2 jumlah kapang (CFU/g), (b) Kadar fermentasi oleh 4 isolat kapang. (a) Log 2 protein(%) Data pada Gambar 2, menggambarkan bahwa hasil fermentasi ―Kabuto‖ menggunakan 0 1 mulai mengalami peningkatan kadar protein pada hari kedua sampai hari keempat isolat K03 yaitu 3,49% menjadi 5,40% dan peningkatan kadar protein tertinggi hari keenam mencapai 9,35%. Kemudian fermentasi ―Kabuto‖ menggunakan isolat K23 mengalami peningkatan 0 kadar protein pada hari kedua sampai hari keempat yaitu 3,55% menjadi 5,33% dan peningkatan kadar protein tertinggi dihari keenam mencapai 7,93%. Selanjutnya hasil fermentasi ―Kabuto‖ menggunakan isolat K31 mengalami peningkatan kadar protein cukup tinggi pada hari kedua sampai hari keempat yaitu 4,08% menjadi 6,51% dan peningkatan kadar protein tertinggi dihari keenam mencapai 10,60%. Data pada Gambar 2, menunjukkan hasil fermentasi ―Kabuto‖ menggunakan isolat K1C mengalami peningkatan kadar protein cukup tinggi pada hari kedua sampai hari keempat yaitu 4,22% menjadi 7,13% dan peningkatan kadar protein tertinggi dihari keenam mencapai 8,65%. Selanjutnya hasil fermentasi ―Kabuto‖ tanpa menggunakan isolat kapang juga mengalami peningkatan kadar protein, peningkatan protein mulai hari keempat sampai hari keenam yaitu 3,65% menjadi 7,71%. Peningkatan kadar protein ―Kabuto‖ pada masingmasing perlakuan menggunakan keempat jenis isolat kapang terpilih semuanya sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu fermentasi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian 229
Pothiraj and Eyini (2007), bahwa kandungan protein berangsur-angsur meningkat setelah melewati waktu fermentasi, dimana perlakuan menggunakan Aspergillus niger pada substrat ampas umbi ubi singkong setelah fermentasi hari keempat protein meningkat dari 44,8 mg/g menjadi 58,2 mg/g. Semakin lama waktu fermentasi maka cenderung protein ―Kabuto‖ mengalami peningkatan, hal ini dikarenakan kapang genus Aspergillus dapat meningkatkan kandungan protein yang ada dalam bahan ―Kabuto‖ disebabkan oleh lamanya waktu fermentasi dapat memberikan kesempatan Aspergillus untuk tumbuh dan berkembang sehingga akan meningkatkan massa mikrobial yang kaya protein. Sesuai dengan hasil penelitian Wardoyo (1992) yang menyatakan bahwa tepung singkong yang difermentasi 3–5 hari dengan menggunakan kapang Aspergillus niger dapat meningkatkan protein tepung singkong dari 3% menjadi 18 – 40%. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rahman (1992), bahwa selama terjadinya proses fermentasi kandungan asam amino akan meningkat. Selanjutnya asam amino ini menjadi penyusun terbentuknya protein. Berdasarkan data pada Gambar 2, menunjukkan bahwa isolat kapang terpilih yaitu K31, K23, K03 dan K1C memberikan pengaruh berbeda terhadap meningkatkan kadar protein ―Kabuto‖. Melalui data diagram batang tersebut, dapat ditentukan isolat yang lebih unggul dalam meningkatkan kadar protein. Isolat K31 merupakan isolat yang meningkatkan kadar protein ―Kabuto‖ paling tinggi pada hari keenam yaitu 10,60% dibandingkan dengan isolat kapang lainnya. Menurut Budadana (2014), isolat K31 identik memiliki kemiripan yang tinggi dengan Aspergillusterreus. Meningkatnya kadar protein ―Kabuto‖diikuti oleh peningkatan jumlah kapang, sebab kontributor utama terhadap peningkatan kadar protein ini bersumber dari biomassa sel kapang. Peningkatan jumlah biomassa mikroorganisme berimplikasi terhadap perubahan kandungan nutrisi produk fermentasi, dimana kandungan protein merupakan representatif dari jumlah biomassa mikroorganisme (Raimbault, 1998). Menurut Sharma (2012), bahwa selama waktu fermentasi 5 hari diamati bahwa ada peningkatan biomassa Aspergillus niger setelah diamati nilai OD (optical dencity) pada spektrofotometer UV. Hasil penelitian ini juga didukung Pothiraj et al. (2006), menyatakan bahwa perlakuan fermentasi padat pada ampas umbi ubi singkong menggunakan Aspergillus terreus dapat meningkatkan protein dimulai hari kedua yakni sebesar4.5 %, dan hari keempat 7,6%. Winarno (1991), juga mengemukakan adanya pertumbuhan dan perkembangan Aspergillus niger yang merupakan sel tunggal, sehingga semakin banyak pertumbuhan Aspergillus niger akan meningkatkan kadar protein kasar. Selama proses fermentasi kapang akan tumbuh dan berkembang pada substrat organik yang sesuai. Perubahan kadar protein produk fermentasi mengindikasikan terjadinya fluktuasi pertumbuhan mikroorganisme. Kadar protein yang tinggi mengindikasikan proses pertumbuhan kapang berjalan dengan baik karena sumber nutrisi pada umbi ubi singkong terpenuhi selama pertumbuhan. Proses fermentasi kapang akan menghasilkan enzim yang akan mendegradasi senyawa- senyawa kompleks menjadi lebih sederhana, sehingga kapang mampu mengkonversi bahan menjadi protein. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Chancharoonpong et al. (2012), fermentasi substrat padat (Solid Substrate Fermentation) sangat cocok untuk pertumbuhan kapang, karena kadar air yang rendah miselium kapang dapat melakukan penetrasi hingga substrat yangpadat. Menurut Prescott et al. (2005), enzim terdapat pada setiap sel hidup, dan ada dalam semua sel mikroorganisme. Masing-masing strain mikroorganisme menghasilkan sejumlah besar enzim yang menghidrolisis, mengoksidasi atau mengurangi, dan semuanya berhubungan dengan metabolisme secara alami. Volk dan Wheeler (1993), menyatakan bahwa semua reaksi metabolisme sel dikatalisis oleh enzim yang terbuat dari protein.
230
Menurut Yusak (2004), kapang bergenus Aspergillus dikenal sebagai salah satu jenis mikroorganisme yang memiliki kemampuan tinggi untuk menghasilkan berbagai enzim penting untuk penerapannya dalam industri pangan seperti amilase. Sukara (1988), menyatakan bahwa selama fermentasi singkong yang dilakukan oleh kapang Aspergillus niger terjadi penguraian pati yang terkandung pada singkong oleh enzim hidrolisis yaitu amilase. Enzim amilase berfungsi menyediakan gula sederhana (glukosa) sebagai bahan dasar untuk sintesis protein. Menurut Varalakshmi et al. (2008), amilase menghidrolisis ikatan glikosidik pati dan molekul glikogen, amilase enzim penting yang bekerja menghidrolisis pati menjadi glukosa. Glukosa merupakan sumber dari asam piruvat, yang merupakan komponen utama untuk pembentukan asam amino. Glukosa yang terbentuk akan digunakan oleh kapang Aspergillus niger untuk pertumbuhannya. Anto et al. (2006), menyatakan bahwaamylase adalah suatu kelompok enzim hidrolisis secara spesifik dapat memutuskan ikatan glikosidik dalam amilum, ada dua kelompok penting amilase yaitu glukoamilase dan α-amilase. Menurut Alva et al. (2007), aktivitas enzim amilase kapang Aspergillus sp. akan meningkat setelah proses fermentasi dan terjadi penurunan kembali aktivitas enzim jika waktu fermentasi diperpanjang. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian isolat kapang lokal berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖. Pemberian isolat K31 memberikan hasil yang terbaik dalam meningkatkan kadar protein ―Kabuto‖. Waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar protein ―Kabuto‖. Hasil terbaik dalam meningkatkan kadar protein ―Kabuto‖ ditunjukkan fermentasi selama enam hari, sehingga interaksi dengan pemberian isolat kapang dan waktu fermentasi berpengaruh nyata pada peningkatan kadar protein―Kabuto‖. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kepada Ibu Wa Ode Ati telah bersedia membuatkan ―Kabuto‖ yang digunakan sebagai sumber isolat dalam penelitian ini, dan Ibu Iswati, M.P. selaku kepala Laboratorium Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo atas segala bantuan selama analisis di laboratorium. DAFTAR PUSTAKA Abeer, A., Foukia, E., Mouafi, Kahil, T., Fadel, M., and Abedo, A.A., 2014, Hyper Production of Glucoamylase by Aspergillus oryzae FK-923 Under Solid State Fermentation, World Applied Sciences Journal, 30(11), 1447- 1461. Alva, et al., 2007, Production and Characterization of Fungal Amylase Enzyme Isolated from Aspergillus sp. JGI 12 in Solid State Culture, African Journal of Biotechnology,6(5). Anto, H., Trivedi U.B., and Patel, K.C., (2006), Glucoamylase Production by Solid State Fermentation using Rice Flake Manufacturing Waste Products as Substrate, Bioresour Technol., 97(10),1161-1166. Buamah, R., Dzogbefia V.P., Oldham, J.H., 1997, Pure Yeast Culture Fermentation of Cocoa (Theobroma cacao L) Effect on Yield of Sweatings and Bean Quality,World J. Microbiol. Biotech., 13(4), 457-462.
231
Budadana, W.D.C., 2014, Isolasi dan Karakterisasi Kapang Penghasil Antibiotik selama Fermentasi ―Kabuto‖ Khas Sulawesi Tenggara, Skripsi, Universitas Halu Oleo,Kendari. Chancharoonpong, C., Hsieh, C.P., and Sheu, C.S., 2012, Production of Enzyme and Growth of Aspergillus oryzae on Soybean Koji, International Journal of Bioscience, 2(4), 106. Charles, A.L., Sriroth, K., and Huang, T.C., 2005, Proximate composition, mineral contents, hydrogen cyanide and phytic acid of 5 cassava genotypes, J. Food Chemistry, 92(1). Fardiaz, S., 1993, Analisis Mikrobiologi Pangan, PT Raja Grafindo Persada Jakarta. Fardiaz, S., 1992, Mikrobiologi Pangan I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gupta, A., Gautam, N., and Modi, R.D., 2010, Optimization of α- AmylaseProduction from Free and Immobilized Cells of Aspergillus niger, Journalof Biotechnology and Pharmaceutical, 1(1). Hajoeningtijas, D.O., 2012, Mikrobiologi Pertanian, Graha Ilmu, Yogyakarta. Harris, M.A., and Koomson, C.K., 2011, Moisture Pressure CombinationTreatments for Cyanide Reduction in Grated Cassava,Journalof Food Science,76(1). Hidayat, N., Padaga, C.M., dan Suhartini, S., 2006, Mikrobiologi Industri, CV Andi Offset, Yogyakarta. Ingraham, L.J., Maaloe, O., and Neidhardt, C.F., 2007, Microbial Growth, Thomson Brooks Cole, Canada. Joetono, J.S., Hartadi, S., Kabirun, Suhadi dan Soesanto, 1973, Pedoman Praktikum Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Lay, B.W., 1994, Analisis Mikroba di Laboratorium, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Melgar, Z.G., Assis, Rocha, Fanti, C.S., Sette, D.L., and Porto, M.L.A., 2013, Growth Curves of Filamentous Fungi for Utilization in Biocatalytic Reduction of Cyclohexanones, Global Journal of Science Frontier Research Chemistry,13(1). Mirwandhono, E., Bachari, I., dan Situmorang, D., 2006, Uji Nilai Nutrisi Kulit Ubi Kayu yang Difermentasi dengan Aspergillus niger, Jurnal Agribisnis Perternakan,2(3). Novianti, T., Wignyanto, dan Nurika, I., 2004, Optimasi Produksi Spora Penghasil β-karoten dari Kapang Neurospora sitophila menggunakan Metode Permukaan Respon (Kajian : Lama Fermentasi dan Konsentrasi Starter), Jurnal Teknologi Pertanian, 5(2), 64-75. Pothiraj, C., and Eyini, M., 2007. Enzyme Activities and Substrate Degradation by Fungal Isolates on Cassava Waste During Solid State Fermentation, Journal of Microbiology, 35(4),196-204. Pothiraj, C., Balaji, P., Eyini, M., 2006, Enhanced Production of Cellulases by Various Fungal Cultures in Solid State Fermentation of Cassava Waste, African Journal of Biotechnology, 5(20).
232
Prescott, L.M., Harley, J.R., and Klein, D.A., 2005. Microbiology. Mc Graw Hill, New York Press, Florida.
Rahman, A., 1992, Pengantar Teknologi Fermentasi, Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas. Raimbault, M., 1998, General and Microbiological Aspects of Solid Substrate Fermentation, Electronic Journal of Biotechnology, 1(3). Sastramihardja, I., 1989, Prinsip Dasar Mikrobiologi Industri, PAU, ITB, Bogor. Schlegel, 1994, Mikrobiologi Umum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sudarmadji, S., 1984, Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian.Edisi Ketiga, Liberty, Yogyakarta. Sharma, N., Kausal, R., Gupta, R., and Kumar, S., 2012, A biodegradation study of forest biomass by Aspergillus niger F7: correlation between enzymatic activity, hydrolitic percentage and biodegradation index, Braz J. Microbial, 43 (2). Steel, R.G.D., 1993, Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik, Penerjemah B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suryani, Y., 2013, Optimization of Cassava Waste from Bioethanol Post Production Through Bioactivity Process Consortium of Saccharomyces cerevisiae, Trichoderma viride and Aspergillus niger, Asian Journal of Agriculture and Rural Development, 3(4),154-162. Tetchi, A.F., Solomen, W.O., Celah, A.K., 2012, Effect Of Cassava Variety and Fermentation Time On Biochemical and Microbiological Characteristics of Raw Artisanal Starter for Attiéké Production, Journal Innovative Romanian Food Biotechnology,10. Thiel, T., 1999, Micobes in action, Department of biology, University of Missouri- St.Louis. Unakal, C., Sadashiv, S.O., Bhairappanavar, S., Sindagi, A., 2014, Screening of Endophytic Fungus Aspergillus sp. for Amylase Production, International Journal of Pharmaceuticals and Health care Research, 2(2),40-45. Varalakshmi, N.K., Kumudini, S.B., Nandini, N.B., Solomon, J., Suhas, R., Mahesh, B., and Kavitha, P.A., 2008, Production and Characterization of α-Amilase from Aspergillus niger JGI 24 Isolated in Bangalore, Journal of Microbiology, 58(1),29-36. Volk, W.A, and Wheeler, M.F., 1993, Mikrobiologi Dasar Edisi Kelima Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta. Waluyo, 2010, Teknik Metode Dasar Mikrobiologi, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Waluyo, 2007, Mikrobiologi Umum, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. 233
Wardoyo, 1992, Pengaruh Pemberian Fermentasi Tepung Singkong menggunakan Kapang Aspergilus niger dalam Ransum terhadap Penampilan Produksi Ayam Broiler, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yusak, Y., 2004, Pengaruh Suhu dan pH Buffer Asetat terhadap Hidrolisa CMC oleh Enzim Selulase dari Ekstrak Aspergillus niger dalam Media Campuran Ongkok dan Dedak,Jurnal sain.
234
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN Colubrina asiatica (L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus ANTIBACTERIAL ACTIVITY EXTRACT OFLEAVESOF Colubrina asiatica (L.) ON THE GROWTH Staphylococcus aureus Munira1, Nora Suraiya1, Muhammad Nasir2 Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Aceh, 23352, Indonesia 2 Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 23111, Indonesia Email:
[email protected] 1
Abstract This study was conducted to determine the effect of the juice and water extract of leaves of Colubrina asiatica (L.) to inhibit the growth of Staphylococcus aureus. This study used a completely randomized design (CRD) which is divided into 3 treatments and 5 replications consisting of distilled water as a control, juice of the leaves of Colubrina asiatica (L.) and water extract of leaves of Colubrina asiatica (L.). Tests on the growth of Staphylococcus aureus is done using the disc diffusion method on media Nutrient Agar.Microbiological test is done by measuring the diameter of inhibition zone is formed. Phytochemical test results showed that the juice and water extract of leaves of Colubrina asiatica (L.) contains antibacterial compounds are alkaloids, saponins, polyphenols and flavonoids. Based on the results of ANOVA test showed that the extract of leaves of Colubrina asiatica (L.) influence on the growth of Staphylococcus aureus (P = 0.000). Duncan test showed that the juice (9,80 mm) was not significantly different from the water extract (10,52 mm) of leaves of Colubrina asiatica (L.). Results of this study can be concluded that the extract of leaves of Colubrina asiatica (L.) is can inhibit the growth of Staphylococcus aureus. Keywords:Colubrina asiatica (L.), juice, water extract, antibacterial,Staphylococcus aureus
PENDAHULUAN Penyakit infeksi merupakan penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat. Infeksi dapat disebabkan oleh jamur, virus dan bakteri. Bakteri merupakan mikroorganisme yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop (Yuwono, 2012). Ada beberapa bakteri patogen yang dapat menyebabkan infeksi dan mudah ditularkan seperti Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi pada jaringan yang ada di saluran pernapasan, saluran kemih, mata dan kulit. Biasanya berupa abses, yaitu nanah atau cairan dalam jaringan. Infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus dapat terjadi secara langsung maupun tak langsung. Sumber utama penyebab infeksi bakteri ini adalah luka terbuka dan benda-benda (seperti kapas dan debu) yang dapat menyebabkan terkontaminasinya luka tersebut (Jawetz et al.,1995). Luka dapat ditandai dengan hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan, membran mukosa dan tulang atau organ yang lain (Kozier, 2004). Secara umum, penyakit infeksi dapat disembuhkan dengan menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik untuk infeksi lokal telah dikurangi karena kecenderungan menimbulkan hipersensitivitas secara lokal pada kulit atau membran mukosa (Ganiswara,1995). Antibiotik juga sering menyebabkan terjadinya resistensi bakteri terhadap 235
zat antibiotik (Zaraswati, 2004). Di samping obat-obatan modern yang berkembang di pasar, berbagai obat tradisional dipercaya memiliki khasiat untuk penyakit tertentu dan digunakan sebagai salah satu alternatif pengobatan karena sifatnya yang alami, murah, mudah terjangkau dan sedikit menimbulkan efek samping dibandingkan dengan obat kimia (Susanty, 2003). Salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional adalah daun peria laut. Tumbuhan ini memiliki khasiat untuk mengobati gangguan pencernaan, kudis, tonik, pencahar, obat penurun panas, dan penyakitkulit (Austin, 1999). Menurut pengalaman masyarakat Aceh, daun peria laut dapat digunakan sebagai obat bisul dengan caradiperas kemudian dioleskan pada bisul atau bagian yang sakit. Hasil penelitian Nivas danGaikwad (2014) menunjukkan bahwa daun peria laut mengandung senyawa kimia di antaranya flavonoid, saponin dan polifenol. Senyawasenyawa tersebut memiliki peran sebagai antiinflamasi dan antibakteri. Sejauh ini belum ada penelitian tentang aktivitas antibakteri daun peria laut dengan menggunakan metode perasan dan maserasi ekstrak air. Oleh karenaitu, perlu dilakukan uji daya hambat daun peria laut dengan menggunakan metode tersebut terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun peria laut dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus. BAHAN DAN METODE Penelitian ini bersifat eksperimental. Penelitian ini telah dilakukan di LaboratoriumMikrobiologi Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Aceh pada bulan JanuariFebruari 2016. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang dibagi ke dalam 3 kelompok perlakuan yaitu, aquades sebagai kontrol, perasan dan ekstrak air daun peria laut dengan masing-masing 5 ulangan.Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah diameter zona hambat. Data dianalisa menggunakan uji Anova. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, timbangan digital, toples kaca bertutup, gelas ukur, vakum rotary evaporator, pipet ukur, hot plate, beaker glass, erlenmeyer, cawan petri, kertas pH, tabung reaksi, rak tabung, labu ukur, spatula, corong kaca, batang bengkok, ose bulat, lampu bunsen, pinset, spidol, autoklaf, inkubator dan penggaris. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun peria laut (Colubrina asiatica (L.) Brong.) yang diperoleh dari Desa Lamtengoh,Ingin Jaya, Aceh Besar, aquades, NaCl 0,9%, Asam sulfat 1% (v/v), Barium klorida 1% (b/v), bakteri Staphylococcus aureus, media Nutrien Agar (NA), kapas, kertas saring, kertas label dan kertas buram. Penyiapan simplisia daun peria laut Daun peria laut terlebih dahulu dilakukan identifikasi di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Selanjutnya dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Kemudian dikering anginkan. Lalu diserbukkan atau dihaluskan dengan blender. Ekstraksidaun peria laut dengan metode maserasi Serbuk daun peria laut ditimbang sebanyak 100 gram. Kemudian dimasukkan kedalam wadah tertutup. Lalu direndam dengan air sebanyak 1000 mL lalu ditutup dan disimpan selama 2 hari terlindung dari cahaya dan sesekali diaduk.Setelah 2 hari, hasil rendaman disaring melalui corong kaca yang dilapisi kertas saring, sehingga ampas dan sari terpisah.Kemudiandiuapkan dengan vacum rotary evaporator.Dihidupkan alat dan diatur pada suhu 40-50°C hingga diperoleh ekstrak kental.
236
Uji fitokimia a. Uji Alkaloid Sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dibasahi dengan ammonia 10%, selanjutnya ditambahkan kloroform secukupnya dan diaduk. Setelah dilakukan pengadukan, lapisan kloroform dipisahkan dan ditempatkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian tambahkan larutan HCl 2N, dikocok jangan terlalu kuat dan di diamkan. Selanjutnya dipisahkan larutan ke dalam 3 tabung dan tambahkan pereaksi Mayer, Hager dan Bouchardat masing-masing 2 tetes. Alkaloid positif dalam sampel ditandai dengan terbentuknya endapan dengan sekurang-kurangnya pada 2 pereaksi yaitu pereaksi Mayer terbentuknya larutan berwarna putih keruh dan pereaksi Hager ditandai dengan perubahan warna. Pereaksi Bouchardat terbentuknya larutan berwarna coklat jingga. b.
Saponin Sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan air panas dan dipanaskan selama 5 menit dan diambil bagiannya. Dikocok vertikal selama kurang lebih 1 menit, adanya pembentukan busa (buih) yang stabil selama 10 menit dan tidak hilang setelah penambahan 1 tetes HCl 0,1 N menunjukkan bahwa sampel positif mengandung saponin. c.
Polifenol Sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan dengan 10 mL air panas.Ditambahkan 1-2 tetes FeCl31%. Polifenol dalam sampel positif ditandai dengan timbulnya warna biru kehitaman atau hijau kehitaman. d.
Flavonoid Sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan sedikit larutan HCl 2% dan propanol. Kemudian didiamkan selama 15-30 menit, apabila terlihat pembentukan warna coklat pada sampel maka sampel positif mengandung flavonoid. Pembuatan cakram Kertas saring dibentuk bulat dengan pelubang kertas ukuran ± 5 mm.Kertas saring dimasukkkan ke dalam wadah kaca dan ditutup.Kertassaring disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121°C selama 15 menit. Pembuatan media Nutrient Agar (NA) Serbuk media NA ditimbangsebanyak 3 gram.Ditambahkan aquades sebanyak 150 mL dan dipanaskan sampai larut.Dilakukan pemeriksaan pH kemudian disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.Setelah steril dibiarkan temperaturnya turun hingga ± 45°C.Media siap dituangkan dalam petri disk. Pembuatan suspensi standar 0,5 Mc. Farland Larutan Asam sulfat 1% sebanyak 9,95 mL dimasukkanke dalam tabung reaksi.Ditambahkan larutan Barium klorida 1% sebanyak 0,05 mL.Dikocok hingga homogen. Pembuatan suspensi bakteri Staphylococous aureus diambil dari stok kultur dengan menggunakan ose. Disuspensikan masing-masing ke dalam 5 mL NaCl 0,9%.Dikocok hingga membentuk kekeruhan yang setara dengan standar 0,5 Mc. Farland.
237
Uji mikrobiologi Media NA dituangkan sebanyak 15-20 mL ke dalam masing-masing lima cawan petri dan didiamkan hingga mengeras.Diinokulasi suspensi bakteri Staphylococcus aureus sebanyak 0,1 mL diatas permukaan media, lalu diratakan dengan menggunakan batang bengkok.Dibagi masing-masing media menjadi 3 daerah (P0, P1, P2). P0 diletakkan cakram yang berisi aquades sebagai kontrol.P1 diletakkan cakram yang telah dicelupkan ke dalam perasan daun peria laut. P2 diletakkan cakram yang telah dicelupkan ke dalam ekstrak air daun peria laut. Semua spetri diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 x 24 jam dengan posisi petri dibalik.Diamati pertumbuhan bakteri pada setiap perlakuan.Diukur diameter zona hambat dengan menggunakan penggaris. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil uji fitokimia yang telah dilakukan di Laboratorium Kimia FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, diperoleh hasil bahwa perasan dan ekstrak air daun peria laut mengandung senyawa alkaloid, saponin, polifenol, dan flavonoid. Berdasarkan hasil uji mikrobiologi menunjukkan bahwa perasan dan ekstrak air daun peria laut dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus. Hal ini ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar cakram. Rata-rata diameter zona hambat yang terbentuk pada perasan dan ekstrak air daun peria laut masing-masing adalah 9,8 mm dan 10,52 mm. Berdasarkan analisa data dengan menggunakan uji Anova menunjukkan bahwa perasan dan ekstrak air daun peria laut sangat berpengaruh (P=0,000) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus (Tabel 1). Hal ini disebabkan karena adanya senyawa antibakteri yang terkandung di dalam perasan dan ekstrak air daun peria laut. Berdasarkan hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa perasan dan ekstrak air daun peria laut positif mengandung senyawa alkaloid, saponin, polifenol dan flavonoid Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nivas danGaikwad (2014), di mana hasil uji fitokimia daun peria laut juga mengandung senyawa yang sama yaitu alkaloid, saponin, polifenol dan flavonoid. Tabel 1. Hasil uji anova perasan dan ekstrak Staphylococcus aureus Sum of Squares Between Groups 345,381 Within Groups 19,708 Total 365,089
air daun peria laut terhadap pertumbuhan Df 2 12 14
Mean Square 172,691 1,642
F 105,150
Sig. ,000
Senyawa alkaloid yang terkandung di dalam perasan dan ekstrak daun peria laut berfungsi sebagai antibakteri dengan menghambat pertumbuhan bakteri yang menyebabkan lisis sel dan perubahan morfologi sel (Karou, 2006). Pada uji alkaloid dengan menggunakan pereaksi Mayer hasil positif ditandai dengan terbentuknya larutan berwarna putih keruh. Hal ini disebabkan karena nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari Kalium Tetraiodomerkurat (II) membentuk komplek kalium-alkaloid yang mengendap (Marliana et al., 2005 ; Sangi et al., 2008). Senyawa saponin berfungsi sebagai antibakteri yang bekerja dengan cara merusak membran plasma (Retnowati, 2011). Saponin merupakan senyawa yang mempunyai gugus hidrofilik dan hidrofob. Hasil uji saponin positif ditandai dengan terbentuknya busa yang cukup stabil sampai lebih dari 10 menit. Hal ini disebabkan karena pada saat dikocok gugus hidrofilik akan berikatan dengan air sedangkan gugus hidrofob akan berikatan dengan udara sehingga membentuk buih. Senyawa polifenol bekerja sebagai antibakteri dengan cara mendenaturasi protein sel dan menghambat sintesis asam nukleat (Bachtiar, 2012). Hasil polifenol positif ditandai 238
dengan terbentuknya warna biru kehitaman pada sampel setelah dilakukan penambahan FeCl3 1%. Hal ini sesuai dengan pendapai Sangi et al (2008) yang menyatakan bahwa polifenol ditandai dengan perubahan warna yang terjadi ketika penambahan FeCl3 yang bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa polifenol dan senyawa tersebut akan membentuk kompleks dengan ion Fe3+. Senyawa flavonoid berfungsi sebagai antibakteri yang bekerja dengan cara menyebabkan koagulasi atau penggumpalan protein sehingga menyebabkan denaturasi dan protein tidak berfungsi lagi (Dwijoseputro, 2005). Flavonoid bersifat polar sehingga lebih mudah menembus lapisan peptidoglikan yang juga bersifat polar pada bakteri. Hasil positif flavonoid ditandai dengan terbentuknya larutan berwarna coklat. Setelah dilakukan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa adanya perbedaan antar perlakuan. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil uji lanjut rata-rata diameter zona hambat perasan dan ekstrak air daun peria laut terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus Perlakuan Rata-rata Diameter Zona Hambat Kategori Aquades 0,00a ± 0,00 Lemah Perasan 9,80b ± 1,64 Sedang b Ekstrak air 10,52 ± 1,49 Kuat Keterangan : Superscript huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Tabel 2) menunjukkan bahwa rata-rata diameter zona hambat untuk kontrol berbeda nyata (P<0,05) dengan perasan dan ekstrak air daun peria laut. Tetapi rata-rata diameter zona hambat perasan tidak berbeda nyata dengan ekstrak air daun peria laut. Hal ini disebabkan karena perasan dan ekstrak air daun peria laut mengandung senyawa antibakteri yang sama yaitu alkaloid, saponin, polifenol dan flavonoid. Perasan daun peria laut dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus termasuk kategori sedang dengan rata-rata diameter zona hambat yang terbentuk sebesar 9,8 mm, sedangkan ekstrak air daun peria laut termasuk dalam kategori kuat dengan rata-rata diameter zona hambat yang terbentuk sebesar 10,52 mm. Hal ini sesuai dengan pendapat Morales et al (2003) yang menyatakan bahwa kategori diameter zona hambat bakteri dapat digolongkan menjadi 4 kategori yaitu dikategorikan sangat kuat jika memiliki diameter daerah hambatan >20-30 mm, kuat jika memiliki diameter zona hambatan >10-20 mm, sedang jika memiliki diameter zona hambatan 5-10 mm, dan lemah jika memilki diameter zona hambatan <5 mm. KESIMPULAN Perasan dan ekstrak air daun peria laut sangat berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus (P=0,000). Rata-rata diameter zona hambat perasan daun peria laut adalah 9,8 mm dan tidak berbeda nyata dengan rata-rata diameter zona hambat ekstrak air daun peria laut yaitu10,52 mm. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Jurusan Farmasi Poltekkes Aceh dan semua pihak yang telah banyak membantu demi selesainya penelitian ini.
239
DAFTAR PUSTAKA Austin, D.F. 1999. Ethnobotany of Florida‘s Weedy Vines. Proceedings of the 1998 joint symposium of the Florida Exotic Pest Plant Council and the Florida Native Plant Society. Edited by David T. Jones and Brandon W. Gamble. Florida ExoticPest Plant Council. Bachtiar, D.J, Tjahjaningsih, W, Sianita, N. 2012. Pengaruh Ekstrak Alga Cokelat (Sargassum sp.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli. Journal of Marine and Coastal Science. 1 (1). P 53-60 Dwijoseputro, D. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jembatan, Malang. Ganiswara, G. S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Fakultas Kedokteran Bagian Farmakologi, Jakarta. Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N. Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran.Edisi ke-20. (Alih bahasa : Nugroho & R.F. Maulany). Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Karou, D. 2006. Antibacterial activity of alkaloids from sida acuta. African J. of Biotechnology. 5 (2) : 195- 200. Kozier, B., Erb., and Oliver, R. 2004. Fundamental of nursing; consept, process and practice, (fourth edition) California: Addison-Wesley Publishing CO. Marliana, S.D., Suryanti, V. dan Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechiumedule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi. 3 (1) : 26-31. Morales, G., Sierra, P., Mancilla., Paredes, A., loyola, L.A., Gallardo, O., Borquez, J. 2003. Secondary Metabolites from Four Medical Plant from North Chile. Antimicrobial Activity and Biotoxcity againt Artemia Salina. J Chile Chem. 48 (2) : 13-8 Nivas, D and Gaikwad, D.K. 2014. Phytochemical screening and in-vitro antioxidant activities of Colubrina asiatica Brong. J. Chem. Pharm. Res., 6 (9) : 282-288 Retnowati Y, Bialangi N, Posangi NW. 2011. Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus Pada Media yang Diekspos dengan Infus Daun Sambiloto (Andrographis paniculata). Saintek. Universitas Negeri Gorontalo. Vol 6 (2) Sangi, M. S., Runtuwene, M.R.J., Simbala, H.E.I. dan Makang, V.M.A. 2008. Analisis Fitokimia Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa Utara. Chem.Prog, 1 (1) : 47-53. Susanty, D.W. 2003. Cara Bijak Menggunakan Obat Herbal. MajalahKedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Kedokteran Krida Wacana. Vol 11 (29), Jakarta. Yuwono dan Biomed, M. 2012. Mikrobiologi Penyakit Infeksi, Departemen Mikrobiologi FK Unsri, Palembang. Zaraswati, 2004. Dasar-dasar Mikrobiologi. UNHAS, Makassar.
240
PENAPISAN BAKTERI HALOFILIK DARI PERAIRAN LAUT KOTA PARIAMAN Rahmadani Marniyelita*), Fuji Astuti Febria dan Anthoni Agustien Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Andalas, Padang Koresponden*):
[email protected]
Abstract Research on Screening Bacteria halophilic of Aquatic Sea at Pariaman city was held in November 2015 - January 2016 in the Laboratory of Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Andalas, Padang. This study aims to select halophilic bacteria by using 2 treatments NaCl concentrations (2.5% and 5%) based on the turbidity (OD). The method used in this study is an experiment and the data were analyzed descriptively. The results showed that nine isolates of marine bacteria can grow well at a concentration of 5% NaCl and the bacteria are included into the group of moderate halophilic bacteria. Keywords: Screening, marine bacteria, halophilic, Optical Density (OD)
PENDAHULUAN Bakteri halofilik merupakan kelompok mikroorganisme ekstrimofil yang dapat tumbuh secara optimal di lingkungan dengan konsentrasi garam tinggi, mikroorganisme halofilik membutuhkan kadar garam tinggi untuk dapat tumbuh secara optimal (Ventosa, Nieto, dan oren,1998). Bakteri halofilik dapat ditemukan di air laut, danau berkadar garam tinggi, tanah atau gurun berkadar garam tinggi, kolam-kolam pemanenan garam dan makanan yang diasinkan. Menurut Kushner (1989) kelebihan dari bakteri halofilik adalah kemampuannya yang dapat tumbuh di kadar garam yang tinggi, sehingga dapat mengurangi resiko kontaminasi dan mudah tumbuh dengan kebutuhan nutrisinya yang sederhana. Kelebihan ini membuat bakteri halofilik memiliki potensi yang tinggi untuk dimanfaatkan. Menurut Madigan dan Martinko (2006) mikroorganisme halofiliktumbuh di media dengan kandungan 1%-5% NaCl dan hal inilah yang membedakannya dengan mikroorganisme halotoleran yang dapat tumbuh optimal di lingkungan tanpa kadar garam ataupun di lingkungan dengan kadar garam yang tinggi. Bakteri halofilik dapat dibagi menjadi dua kelompok dominan yaitu, bakteri halofilik moderat yang tumbuh optimal pada media dengan konsentrasi antara 7%-15% NaCl dan bakteri halofilik ekstrim yang tumbuh optimal pada media yang mengandung 15%-30% NaCl. Beberapa peneliti tentang bakteri halofilik yang telah ditemukan dari beberapa penelitian diisolasi dari habitat yang berbeda. Vilhelmsson et al.(1996) dan Barat et al.(2002) mengisolasi bakteri halofilik dari ikan cod (bachalao) yang diawetkan denganpenggaraman. Penelitian lain, Pangastuti et al.(2002) menemukan bakteri halofilik dari kolam berlumpur yang memiliki kadar garam tinggi (Bledug Kuwu, Jawa Tengah)danFebria dan Zakaria (2015) mengisolasi bakteri dari sedimen dan perairan laut kota pariaman dan menemukan sebanyak 85 isolat bakteri. Namun belum diketahui isolat bakteri tersebut termasuk kelompok bakteri halofik, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah isolat bakteri tersebut termasuk halofilik atau tidak.
241
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 9 isolat bakteri laut Pariaman pada tiga titik lokasi sampling (Pulau Kasiak, Pulau Tangah dan Pulau Angso Duo) koleksi Dr. Fuji Astuti Febria dan Dr. Indra Junaidi Zakaria, air laut, spiritus, Medium Merine Broth,aquadest, NaCl dan Alat yang digunakan adalah jarum oce, autoklaf, erlemeyer, cuved, test tube, shaker dan spektrofotometer. Persiapan Kultur Bakteri Peremajaan bakteri menggunakan Medium MA. Komposisi medium MA dibuat dengan melarutkan 5 g peptone, 1 g yeast ekstrak dan 15 g bacto agar kemudian dilarutkan dalam 1 L air laut. Medium di homogenkan dan didihkan dengan hot plate dan disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC tekanan 15 lbs selama 15 menit (Setyati,2012).Isolat bakteri diremajakan yang digunakan selanjutnya dalam penelitian dengan cara memindahkan masing-masing isolat ke dalam media agar miring MA pada cawan petri dengan teknik goresan dengan menggunakan jarum oce. Penapisan Bakteri Halofilik Pada penapisan bakteri halofilik menggunakan medium cair Marine Broth (MB) dengan komposisi medium dengan melarutkan 5 g peptone, 1 g yeast ekstrak yang dilarutkan dengan aquadest steril dan konsentrasi NaCl 2,5% dan 5%. Selanjutnya masukkan 3 oce masing-masing isolat bakteri laut kedalam erlemeyer untuk selanjutnya dishaker slama 1 x 24 jam hinga berubah warna dan terlihat keruh. Selanjutnya diukur tingkat kekeruhannya/Optical Density (OD) dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penapisan bakteri halofilik terhadap 9 isolat bakteri laut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Penapisan Bakteri Halofilik Berdasarkan Tingkat Kekruhan (OD) No Kode Isolat Optical Density (OD) NaCl 2.5% NaCl 5% 1. I11.T1 0,910 1,013 2. I1.A 0,380 0,910 3. I3.K2 0,613 0,839 4. I7.T2 0,827 0,865 5. I11.T 0,714 0,921 6. I11.K 0,697 0,928 7. I12.K1 0,618 0,903 8. I4.A 1,071 0,996 9. I1.T1 0,996 0,959 Hasil penapisan bakteri halofilik terhadap 9 isolat (I4.A, I1.T1, I11.T1, I1.A, I3.K2, I7.T2, I11.T, I11.K, I12.K1) dari perairan laut pariaman berdasarkan nilai OD pada masing-masing perlakuan dapat tumbuh pada kedua perlakuan berdasarkan nilai OD berkisar dari 1,0130,839 dan nilai OD tersebut ditemukan lebih tinggi pada perlakuan NaCl 5% yang tergolong bakteri halofilik moderat. Hal ini sesuai dengan Buckle et al, (1987) yang menyatakan bahwa bakteri halofilik dapat bertahan hidup sampai tingkat penggaraman yang tinggi. Bakteri halofilik membutuhkan konsentrasi NaCl minimal tertentu untuk pertumbuhannya (Srikandi
242
F, 1992). Bakteri laut tergolong kedalam kelompok bakteri halofilik yaitu kelompok bakteri yang membutuhkan kadar garam sebagai media pertumbuhannya (savitri, 2006). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penapisan bakteri halofilik dari perairan laut kota Pariaman menunjukkan bahwa sembilan isolat bakteri laut dapat tumbuh baik pada konsentrasi NaCl 5% dan bakteri tersebut termasuk kedalam kelompok bakteri halofilik moderat. DAFTAR PUSTAKA Barat, J.M., Barona, S.R., Andres, A. dan Fito, P.. 2002. Influence of Increasing Brine Concentration in the Cod-Salting Process. J. Food Science 67(5): 1922-1925 Buckle, K.A, R.A. Edwards, G.H. Fleet, and M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Oleh Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia. Jakarta. Pangastuti, A., Wahjuningrum, D. dan Suwanto, A. 2002. Isolasi, Karakterisasi, dan Kloning gen Penyandi α-Amilase Bakteri Halofilik Moderat asal Bledug Kuwu. J.Hayati. 9(1):10-14 Savitri, S. D. N. 2006. Isolasi dan karakterisasi bakteri halotoleran pada peda ikan kembung (Rastrelliger sp.). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Setyati, W. A Dan Subagiyo. 2012. Isolasi dan Seleksi Bakteri Penghasil Enzim Ekstraseluler ( Proteolitik, Amilolitilk, Lipolitik, Dan Selulolitik) yang Berasal dari Sedimen Kawasan Mangrove. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Doponegoro. Semarang. Srikandi, F., 1992, ―Mikrobiologi Pangan I‖, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Vilhelmsson, O., Hafsteinsson, H., dan Kristjsnsson, J.K.. 1996. Isolation and Characterization of Moderately Halophilic Bacteria from Fully Cured Salted Cod (Bachalao). J. Appl. Bacteriology81(1) : 95-103
243
KARAKTERISASI MIKROKAPSUL SINBIOTIK BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT UM1 YANG DIENKAPSULASI DENGAN ALGINAT, TEPUNG KACANG ARAB DAN INULIN Ria Yelvi Ningsih1, It Jamilah1, Dwi Suryanto1 Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Jln. Bioteknologi No.1, Kampus. USU, Padang Bulan, Medan 20155, Indonesia e-mail:
[email protected] 1)
Abstract The addition of probiotics in various food products have been known to provide beneficial health for consumers. In the application of probiotics, its cell viability is often decreased as influenced by the environmental factors such as temperature and pH. The purpose of this research was to maintain the viability of lactic acid bacteria (LAB) isolate UM1 from unfavorable environmental conditions. UM1 was encapsulated by the double coating extrusion technique with alginate, arabic bean flour and inulin as prebiotic, then dried by hot air oven at 40 oC. The microcapsules were spherical in shape, diameter of 1.92±0.23 mm and brownish white colour, with cell viability was about 90.86%. LAB cell viability encapsulated were able to survive up to 107 CFUg-1 (90.19%) after 4 weeks of storage at 4 oC. Synbiotic microcapsules were incubated in simulated gastric acid liquid (pH=2) for 2 hours and simulated intestinal fluid (pH=6.8) for 3 hours at 37 °C. Encapsulated UM1 Isolate maintained cell viability in simulated gastric acid liquid ±94%, followed by releasing cells in simulated intestinal fluid. Isolate UM1 has been released from microcapsule after 30 minutes at simulated fish gut pH (pH=6.8) as much as 40.44%, continued to increase up to 94.67% after 150 minutes, and tend to be stable until 300 minutes (97.45%). Therefore, synbiotic microcapsules in this study has the ability as a probiotic in the gastrointestinal. Keywords: alginate-arabic bean flour; encapsulation; inulin; lactid acid bacteria; synbiotic
PENDAHULUAN Pengembangan dan kelangsungan budi daya ikan air tawar sering menghadapi kendala, salah satunya terjadi serangan penyakit baik penyakit infeksi maupun non infeksi. Serangan patogen seperti virus, bakteri, jamur, protozoa, maupun parasit merupakan golongan penyakit infeksi. Penyakit non infeksi meliputi penyakit yang diakibatkan oleh lingkungan, pakan, genetik dan tumor (Aryani et al., 2004). Sebagian besar pelaku budi daya ikan menggunakan bahan kimia seperti antibiotik untuk mengatasi penyakit akibat bakteri, namun penggunaan antibiotik secara terus-menerus dan tidak terkontrol dapat menyebabkan timbulnya resistensi bakteri patogen terhadap bahan kimia tersebut. Selain itu, antibiotik juga dapat menjadi residu pada daging ikan dan udang, serta dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Salah satu alternatif untuk mengatasi penyakit bakterial pada organism akuakultur adalah penggunaan probiotik (Farzanfar, 2006) Probiotik adalah bakteri hidup yang diberikan sebagai suplemen makanan. Bakteri ini sangat menguntungkan bagi kesehatan inang, karena dapat menyeimbangkan mikrobiota intestinal inang. Umumnya bakteri probiotik yang digolongkan sebagai bakteri asam laktat adalah yang memproduksi asam laktat terutama dari golongan Lactobacilli dan Bifidobacteria (Antarini, 2011). Keuntungan lainnya dari penggunaan probiotik antara lain 244
ialah meningkatkan imunitas inang, produksi senyawa-senyawa penghambat patogen dan merangsang pertumbuhan inang (Farzanfar, 2006).Bakteri probiotik UM1 yang digunakan pada penelitian ini didapat dari penelitian yang telah dilakukan oleh Hutagaol (2015). Bakteri ini diisolasi dari usus ikan mas dan memiliki karakteristik sebagai berikut: Bentuk koloni kokkus, gram positif, mampu menguraikan H2O2 menjadi H2O dan ½O2.Viabilitas bakteri probiotik sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu dan bahan kimia. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan viabilitasnya, yaitu dengan cara enkapsulasi. Enkapsulasi merupakan teknik penyalutan suatu bahan sehingga bahan yang disalut dapat dilindungi dari pengaruh lingkungan. Bahan penyalut disebut enkapsulan sedangkan yang disalut/dilindungi disebut inti (Young et al., 1995). Enkapsulasi dapat mempertahankan viabilitas bakteri probiotik dibandingkan dengan sel bebas tanpa enkapsulasi (Chandramouli et al., 2003). Cara ini dapat dilakukan pada bakteri probiotik untuk memberikan perlindungan dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti suhu dan pH lambung (Widodo et al., 2003). Selain itu, enkapsulasi juga dilakukan untuk memperpanjang masa simpan dan mempermudah dalam penggunaan (Krasaekoopt et al., 2003). Probiotik dan prebiotik apabila digabung akan menjadi sinbiotik. Salah satu contoh prebiotik yaitu inulin. Enkapsulasi sinbiotik yang ditambahkan bahan enkapsulan seperti alginat dapat menghasilkan viabilitas tertinggi dari probiotik (Chen et al., 2005). Menurut penelitian Purba (2015) komposisi enkapsulan yang paling efektif dalam menjaga viabilitas sel ialah alginat-susu skim-inulin (ALSI) dan alginat-tepung kedelai-inulin (ALTI). Sama halnya dengan Natalia (2015) melaporkan bahwa BAL sinbiotik dengan inulin sebagai prebiotik, bahan pengkapsul alginat-tepung kacang hijau dan alginat-tepung gram memberikan perlindungan yang cukup baik pada simulasi asam lambung dan simulasi usus tiruan, dengan persentase sel bakteri hidup 92% dan 97% pada simulasi asam lambung. Berdasarkan alasan diatas peneliti tertarik mempelajari cara untuk mempertahankan viabilitas bakteri asam laktat UM1 dengan melakukan enkapsulasisinbiotik menggunakan bahan penyalut alginat dan tepung kacang arab (Cicer arietinum)dan uji viabilitasnya dalam variasi suhu, lama pengeringan, kadar air, lama penyimpanan dan pH pada saluran pencernaan. Sehingga didapatkan UM1 terenkapsulasi yang memiliki daya simpan panjang dan viabilitas yang tinggi. BAHAN DAN METODE Persiapan kultur bakteri asam laktat UM1 Pemanenan biomassa sel UM1 dilakukan dengan menumbuhkan kembali bakteri asam laktat UM1dalam 10 ml MRSB (deMan Ragosa Sharp Broth) selama 24 jam pada suhu 37 °C. Satu ml dari kultur diinokulasikan pada 100 ml MRSB yang digunakan sebagai kultur antara. Sebanyak 10 ml kultur antara ditumbuhkan pada 1000 ml MRSB (1:100) yang digunakan untuk produksi biomassa sel. Selanjutnya biomassa sel dipanen pada akhir fase logaritmik, kultur berumur 21 jam (Hutagaol, 2015). Sel dipanen dengan cara disentrifugasi pada kecepatan 4500 xg selama 15 menit pada suhu 4 °C, dan dicuci dengan PBS (Phospate Buffered Saline) pH 7,3 sebanyak 3 kali (Li et al., 2009 yang telah dimodifikasi). Enkapsulasi sinbiotik dengan teknik ekstrusi Sel bakteri yang diperoleh dari hasil sentrifugasi dilarutkan pada 100 ml campuran yang terdiri atas tepung kacang arab 2% (b/v), gliserol 5% (v/v), inulin 2% (b/v), dan CaCO3 0,1% (b/v), diperangkap selama 45 menit di dalam 100 ml larutan alginat steril dengan konsentrasi 3% (b/v). Campuran tersebut diteteskan pada CaCl2 (0,1 M) dengan menggunakan syringe 23G×1 (0,60×32mm) dengan jarak tetes ±15 cm dan dilakukan pengadukan 150-200 rpm menggunakan magnetic stirrer. Pengerasan gel dilakukan selama 245
satu jam (Li et al., 2009). Gel yang terbentuk dipindahkan dalam larutan NaCl fisiologis (0,85%) untuk mendapatkan struktur gel yang kompak. Mikrokapsul yang terbentukselanjutnya dimasukkan ke air destilasi dan diputar secara perlahan selama satu jam untuk menghilangkan residu CaCl2, kemudian dilakukan penghitungan jumlah sel yang terenkapsulasi dalam mikrokapsul. Pengeringan mikrokapsul Pengeringan dilakukan dengan metode hot air oven pada suhu 40 °C. Mikrokapsul disebarkan ke dalam cawan petri steril kemudian dimasukan ke dalam oven bersuhu 40 °C. Setiap 15 menit dilakukan penghitungan jumlah sel dan penimbangan mikrokapsul. Uji Viabilitas Sinbiotik Terenkapsulasi pada Suhu dan Masa Simpan Pengujian viabilitas terhadap suhu dan masa simpan dilakukan dengan cara menyimpan kapsul dalam wadah steril selama 4 minggu pada suhu 4 °C dan suhu ambient. Penurunan viabilitas sel dihitung setiap 1 minggu. Analisis Total Kapang Khamir Mikrokapsul Mikrokapsul yang telah disimpan selama 1, 2, 3, dan 4 minggu pada suhu 4 °C dan suhu ambient dihitung jumlah kapang khamir yang mengkontaminasi dengan metode hitungan cawan setelah diinkubasi pada suhu 25 °C selama 48 jam. Uji Viabilitas Sel Bebas dan Sinbiotik Terenkapsulasi dalam Simulasi pH Lambung dan Cairan Usus Ikan Bakteri asam laktat isolat PG7merupakan hasil isolasi dari saluran pencernaan ikan Nila, sehingga untuk melakukan uji ketahanannya disesuaikan dengan kondisi saluran pencernaan ikan Nila. Sel bebas dalam larutan NaCl fisiologis dan 1 gram kapsul dimasukkan ke dalam 9 mL garam fisiologis pH 2 (simulasi pH lambung) diinkubasi selama 120 menit pada suhu 37 oC. Kemudian kapsul ditransfer ke dalam larutan PBS pH 6,8 (simulasi cairan intestinal), diinkubasi selama 180 menit pada suhu 37 °C (Rodrigues et al. 2006; Li et al. 2009). Populasi sel yang bertahan di dalam kapsuldihitung setiap 30 menit dengan cawan hitung pada media MRS agar lalu diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Analisis Kecepatan Pembebasan (Release) Sel Terenkapsulasi Sebanyak 1 gram kapsul dimasukkan ke dalam PBS pH 6,8 (disesuaikan dengan pH cairan intestinal) dan dicukupkan volumenya hingga 10 ml, diinkubasi pada suhu 37 °C dengan kecepatan 100 rpm. Jumlah sel bakteri yang terbebas (release) dihitung setiap 30 menit dengan metode hitungan cawan pada media MRS agar setelah diinkubasi pada 37 °C selama 48 jam. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil enkapsulasi sinbiotik dengan metode ekstrusi menggunakan jarum syringe 23G x 1¼ (0,60 x 32 mm) diamati dengan menggunakan mikroskop stereo. Diameter mikrokapsulberkisar 1,92±0,23 mm, memiliki struktur yang kompak dan berbentuk bola (spherical), serta berwarna putih kecoklatan (Gambar 1.).
246
Gambar 1. Mikrokapsul sinbiotik isolat BAL PG7 hasil enkapsulasi metode ekstrusi Viabilitas kultur bakteri asam laktat setelah melalui proses enkapsulasi dengan bahan penyalut alginat dan tepung kacang arab sangat baik yaitu sekitar 90,86 %. Rata-rata jumlah bakteri sebelum enkapsulasi yaitu 10,28 log CFU/mL dan setelah dienkapsulasi turun menjadi 9,34 log CFU/mL, berarti hanya terjadi penurunan populasi sebesar 0,94 log CFU/mL. Penurunan jumlah sel kemungkinan disebabkan oleh sel terbawa dalam larutan CaCl2 dan mengalami kematian atau kehilangan viabilitasnya selama di dalam beads (Castilla et al. 2010). Faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas enkapsulasi probiotik adalah konsentrasi sel awal sebelum dienkapsulasi (initial cell concentration). Peningkatan konsentrasi sel di dalam suspensi bahan pengkapsul akan meningkatkan jumlah sel di dalam beads sehingga akan meningkatkan efisiensi enkapsulasi (Mortazavian et al. 2007). Pengaruh Lama Pengeringan terhadap Viabilitas Mikrokapsul Pengeringan mikrokapsul dilakukan dengan metode hot air oven menggunakan suhu o 40 C. Rata-rata jumlah sel awal bakteri asam laktat terenkapsulasi sebelum melalui proses pengeringan yaitu sebesar 9,34 log CFU/g. Pengeringan selama 5 jam pertama menunjukkan bahwa viabilitas bakteri asam laktat terenkapsulasi masih cenderung stabil yaitu di atas log 9, dan ketika pengeringan diperpanjang selama 6 sampai 7 jam viabilitas BAL terenkapsulasi masih relatif tinggi. Rata-rata jumlah bakteri pada jam ke-6 dan ke-7 relatif sama yaitu 8,76 log CFU/g dan 8,26 log CFU/g (Gambar 2.).
Gambar 2. Grafik hubungan viabilitas dengan lama pengeringan.
bakteri
probiotik
isolat UM1 terenkapsulasi
Pengeringan selama 8-10 jam mengakibatkan viabilitas BAL terenkapsulasi sedikit mengalami penurunan. Rata-rata jumlah sel bakteri pada jam ke-8, ke-9 dan ke-10 masingmasing yaitu 7,61 log CFU/g, 6,94 log CFU/g dan 6,46 log CFU/g dengan kadar air berturutturut sebesar 94,49%, 93,68% dan 91,02%, meskipun mengalami sedikit penurunan rata-rata jumlah sel bakteri masih menunjukkan jumlah di atas standar minimum yaitu di atas 106 CFU/g. Penurunan jumlah sel BAL setelah hot air oven (40 oC) kemungkinan diakibatkan karena hilangnya air yang merupakan komponen utama sel yang sangat dibutuhkan pada proses metabolisme. Menurut Adrianto (2011), jumlah sel BAL terenkapsulasi mengalami penurunan yang kecil setelah hot air oven, hal ini dikarenakan suhu pertumbuhan BAL 15-45 247
o
C, sehingga pada suhu pengeringan tersebut masih memungkinkan bakteri yang dienkapsulasi tetap hidup. Pengeringan dengan cara ini lebih baik dibandingkan dengan cara spray drying dan freez drying. Pada pengeringan menggunakan freeze drying, penurunan jumlah sel disebabkan karena pembekuan air yang menyebabkan kesetimbangan sel terganggu. Sedangkan penurunan sel pada pengeringan menggunakan spray drying terjadi karena penggunaan suhu inlet yang terlalu tinggi (100-175 oC). Pengurangan kadar air yang terlalu cepat pada spray drying menyebabkan kerusakan membran sel. Ketika spray drying digunakan untuk pengawetan kultur probiotik, banyak aktivitas spesifik yang dimiliki probiotik hilang setelah beberapa minggu penyimpanan pada suhu ruang (Anal and Singh, 2007). Uji Viabilitas Mikrokapsul Selama Masa Penyimpanan Rata-rata jumlah populasi bakteri asam laktat terenkapsulasi sebelum penyimpanan yaitu sebesar 8,26 log CFU/g (Pengeringan selama 7 jam). Setelah disimpan selama 1 minggu rata-rata jumlah sel BAL terenkapsulasi pada suhu 4 oC menjadi 8,05 log CFU/g, sedangkan pada suhu ambient sebesar 7,68 log CFU/g. Pada minggu ke-4 rata-rata jumlah populasi bakteri asam laktat terenkapsulasi pada suhu 4 oC sebesar 7,45 log CFU/g, sedangkan pada suhu ambient sebesar 6,32 log CFU/g (Gambar 3.).
Gambar 3. Grafik populasi bakteri probiotik UM1 terenkapsulasi selama penyimpanan Viabilitas bakteri setelah disimpan selama satu bulan pada suhu 4 oC mengalami penurunan sebesar 0,81 log sehingga viabilitas bakteri tinggal 107 CFU/g, sedangkan pada suhu ambient mengalami penurunan yang lebih tinggi yaitu sebesar 1,94 log sehingga viabilitas bakteri tinggal 106 CFU/g. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 4 oC lebih baik dibandingkan penyimpanan pada suhu ambient. Meskipun jumlah bakteri mengalami penurunan selama masa simpan, namun rata-rata jumlah populasi bakteri probiotik isolat UM1 terenkapsulasi pada penyimpanan suhu 4 oC dan suhu ambient masih di atas 106 CFU/g. Uji Ketahanan Sel Bebas dan Sinbiotik Isolat BAL UM1 Terenkapsulasi dalam Simulasi pH Saluran Pencernaan Ikan Pada 2 jam pertama dilakukan uji viabilitas sel bebas bakteri asam laktat dan bakteri asam laktat terenkapsulasi pada kondisi simulasi pH lambung (pH=2). Pada 3 jam berikutnya dilakukan uji viabilitas sel bebas BAL dan sel BAL terenkapsulasi pada kondisi simulasi pH usus (pH=6,8), diharapkan pada kondisi ini banyak sel yang terlepas (release) dari mikrokapsul, agar dapat melaksanakan fungsinya di dalam usus. 248
Setelah melalui simulasi pH lambung selama 2 jam, viabilitas sel BAL terenkapsulasi tetap terjaga, hanya terjadi penurunan jumlah sel bakteri sebesar 0,56 log CFU/g (6,78%), sedangkan sel bebas tanpa enkapsulasi mengalami penurunan yang cukup drastis yaitu sebesar 4,68 log CFU/g (45,53%). Hal ini menandakan bahwa enkapsulasi dapat mempertahankan viabilitas sel BAL terhadap simulasi pH lambung dibandingkan sel bebas tanpa enkapsulasi. Pada 3 jam berikutnya yaitu simulasi pH usus (pH=6,8) didapatkan bahwa sel bakteri asam laktat terenkapsulasi telah terlepas (release) dari mikrokapsul dalam jumlah yang cukup tinggi yaitu sebesar 5,3 log CFU/g (64,17%), sedangkan sel bebas yang mampu mencapai usus yaitu sebesar 4,2 log CFU/g (40,85%), dapat dilihat pada (Gambar 4.).
Gambar 4. Penurunan jumlah bakteri asam laktat UM1 selama inkubasi pada pH 2 selama 2 jam dan pH 6,8 selama 3 jam ( ) sel bebas dan ( ) sel terenkapsulasi. Bakteri asam laktat isolat UM1 terenkapsulasi mampu mempertahankan viabilitasnya dalam simulasi lambung (pH=2). Hal ini dikarenakan BAL UM1 yang dienkapsulasi dengan dua bahan penyalut memiliki struktur mikrokapsulyang kompak dengan pori-pori yang kecil pada permukaan mikrokapsul, sehingga dapat mengurangi efek merusak dari larutan simulasi asam lambung terhadap sel bakteri. Ketahanan mikrokapsul mengalami penurunan setelah memasuki pH 6,8. Penurunan ketahanan mikrokapsul ini kemungkinan dipengaruhi oleh ketidaksesuaian antara bahan pengkapsul dengan kondisi pH usus, dimana bahan gelatinasi alginat lebih resisten pada pH 2-5 selanjutnya kemampuan gelatinasi sedikit menurun pada pH>5, sehingga mengakibatkan pori-pori mikrokapsul membesar dan sel BAL yang ada di dalam mikrokapsul mampu terlepas (release). Penelitian ini membuktikan bahwa enkapsulasi probiotik dengan penambahan prebiotik (sinbiotik) terbukti mampu mempertahankan viabilitas probiotik, dengan melindungi sel probiotik dari pengaruh suhu, lama pengeringan dan pH rendah dibandingkan dengan sel bebas tanpa enkapsulasi. Analisis Kecepatan Pelepasan Sel Probiotik dari Mikrokapsul Bakteri asam laktat UM1 terenkapsulasi telah terlepas (release) sebesar 40,44% dalam simulasi pH usus ikan atau pH netral (6,8) pada menit ke-30, terus mengalami peningkatan mencapai 94,67% setelah 150 menit, selanjutnya cenderung stabil hingga menit ke-300 (97,45%), (Gambar 5.).
249
Gambar 5. Grafik kecepatan pelepasan (release) sel bakteri asam laktat UM1 terenkapsulasi Terlepasnya BAL dari mikrokapsul dikarenakan matriks kalsium alginat sangat berpori, dimana pada pH netral akan memungkinkan terjadinya difusi air keluar dan masuk dalam mikrokapsul melalui pori tersebut.Menurut Vidhyalakshmi et al. (2009), material yang dienkapsulasi dapat keluar (release) dengan beberapa cara seperti pemecahan dinding bahan pengkapsul, pelarutan bahan pengkapsul, dan difusi melewati bahan pengkapsul (Rokka and Rantamaki, 2010). Kemampuan isolat UM1 release pada pH netral menandakan bahwa isolat UM1 tersebut mampu release di dalam air, sehingga mampu memberikan efek positif bagi akuakultur. Irianto (2003) menyatakan bahwa probiotik selain untuk perbaikan pakan, dimaksudkan juga untuk perbaikan lingkungan hidup ikan. KESIMPULAN Mikrokapsul sinbiotik bakteri asam laktat UM1 lebih mampu mempertahankan viabiltasnya terhadap pengaruh suhu, lama pengeringan dan masa simpan. Suhu 4 oC merupakan suhu terbaik untuk penyimpanan mikrokapsul dibandingkan dengan suhu ambient. Bakteri asam laktat isolat UM1 terenkapsulasi dapat mempertahankan viabilitasnya pada simulasi saluran pencernaan lambung (pH=2), dan usus (pH= 6,8) dibandingkan dengan sel bebas tanpa enkapsulasi. Bakteri asam laktat UM1 terenkapsulasi telah terlepas (release) sebesar 40,44% di pH usus ikan (pH=6,8) pada menit ke-30, terus mengalami peningkatan mencapai 94,67% setelah 150 menit, selanjutnya cenderung stabil hingga hingga menit ke300 (97,45%). DAFTAR PUSTAKA Adrianto, A. 2011. Enkapsulasi Lactobacillus casei dengan Teknik Ekstrusi sebagai Starter untuk Pembuatan Dadih Susu Sapi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Anal, A. K. and Singh, H. 2007. Recent Advances in Microencapsulation of Probiotics for Industrial Applications and Targeted Delivery. Trends in Food Science & Technology. 18: 240-251. Antarini, A. A. N. 2011. Sinbiotik antara Prebiotik dan Probiotik. Jurnal Ilmu Gizi. 2(2):148155. Aryani, N., Henny S., Iesje L. and Morina R. 2004. Parasit dan Penyakit Ikan. UNAI Press. Pekanbaru. Castilla, O. S., Calleros, C. L., Galindo, H. S. G., Ramirez, J. A. and Carter, E. J. V. 2010. Textural Properties of Alginate-Pectin Beads and Survivability of Entrapped Lactobacillus casei in Simulated Gastrointestinal Condition and in Yoghurt. Food Research International. 43: 111-117.
250
Chandramouli, V., Kailasapathy, K., Peiris, P. and Jones, M. 2003. An Improved Method of Microencapsulation and Its Evaluation to Protect Lactobacillus spp. in Simulated Gastric Condition. Journal of Microbiological Methods. 56: 27-35. Chen, K., Chen, M., Liu, J., Lin, C. and Chiu, H. 2005. Optimization of Incorporated Probiotics as Coating Materials for Probiotic Microencapsulation. Journal of Food Science. 70: 260-266. Farzanfar, A. 2006. The Use of Probiotics in Shrimp Aquaculture. FEMS Immunoligy Medical Microbiology. 48: 149–158. Hutagaol, N. 2015. Potensi Senyawa Antimikrob Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar dalam Pengendalian Biofilm Aeromonas salmonicida pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC. [skripsi]. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Krasaekoopt, W., Bhandari, B. and Deeth, H. C. 2003. Evaluation of Encapsulation Techniques of Probiotics for Yogurt. International Dairy Journal. 13: 3-13. Li, X. Y., Chen, X. G., Cha, D. S., Park, H. J. and Liu, C. S. 2009. Microencapsulation of A Probiotic Bacteria with Alginate-Gelatin and Its Properties. Journal of Microencapsulation. 26(4): 315-324. Mortazavian, A., Razavi, S. H., Ehsani, R. M. and Sohrabvandi, S. 2007. Principles and Methods of Microencapsulation of Probiotic Microorganisms. Iranian Journal of Biotechnology. 5(1): 1-18. Rodriges, A. P., Hirsch, D., Figueiredo, H. C. P., Logato, P. V. R. and Moraes, A. M. 2006. Production and Characterisation of Alginate Microparticle Incorporating Aeromonas hydrophila Designed for Fish Oral Vaccination. Process Biochemistry. 41: 638-643. Vidhyalaksmi, R., Bhakyaraj, R. and Subhasree, R. S. 2009. Encapsulation ―The Future of Probiotic‖-A Review. Advance in Biological Research. 3(3-4): 96-103. Widodo, S. and Wahyuni, E. 2003. BioenkapsulasiProbiotik (Lactobacillus casei) dengan Pollard dan Tepung Terigu serta Pengaruhnya Terhadap Viabilitas dan Laju Pengasaman. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 14: 98-106. Young, S. L., Sarda, X. and Rosenberg, M. 1995.Microencapsulating Properties of Whey Proteins with Carbohydrate. Journal of Diairy Science. 76: 2878-2885.
251
TEST QUALITY FRESH VEGETABLES LETTUCE (Lactuca sativa) AND CABBAGE (Brassica oleracea) IN SOME TRADITIONAL MARKET IN MEDAN CITY SEEN FROM CONTENT THE BACTERIA Escherichia coli Sri Natalia Silaen, Herkules Abdullah Pascasarjana Biologi USU, Dosen Biologi UNIMED Jl. Bioteknologi No.1 Kampus USU Medan, Jl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate Email :
[email protected]
ABSTRACT The aims of research is to determine the content of Escherichia coli were found in samples of lettuce and cabbage vegetables by the maximum limit microbial contamination in food. Samples studied were fresh lettuce and cabbage from 3 sources and markets market in the city of Medan . The results showed 8 samples of fresh vegetables that were tested can be seen that all the samples tested positive for Escherichia coli with the average value of 1 is on the distributor APM 9.2/g. The existence of Escherichia coli indicates that vegetable lettuce was contaminated by pathogenic bacteria. Keywords : Vegetables lettuce, Vegetables cabbage, Escherichia coli.
Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang agraris memiliki banyak jenis sayuran segar yang beranekaragam. Sayuran merupakan kelompok komoditas pangan yang pada umumnya sangat banyak dikonsumsi oleh masyarakat, baik sebagai sayuran mentah (lalapan) ataupun dengan cara dimasak terlebih dahulu. Mengonsumsi sayuran memberi sumbangan terutama vitamin A dan C, serta serat yang sangat penting bagi tubuh. Sayuran diklasifikasikan sebagai tanaman hortikultura karena jenis-jenis sayuran yang sering dengan mudah dijumpai, baik di pasar-pasar tradisional maupun di pasar swalayan meliputi: wortel, tomat, sawi hijau dan putih, kangkung, buncis, bayam, seledri, daun bawang, labu siam, selada, terong (Sri, 2010). Vitamin yang banyak terdapat pada sayuran adalah vitamin C dan B komplek. Beberapa sayuran juga merupakan sumber bagi vitamin A, D, dan E. Karotenoid (prekursor vitamin A), vitamin C, dan vitamin E merupakan antioksidan alami, yang sangat berguna untuk melawan serangan radikal bebas penyebab penuaan dini dan berbagai penyakit kanker. Mineral yang banyak terdapat pada sayuran adalah zat besi, seng, mangan, kalsium, dan fosfor.Dibandingkan dengan sumber serat yang lain, sayuran merupakan sumber yang paling baik dan utama. Kandungan serat pada sayuran sangat bermanfaat dalam pencegahan berbagai penyakit. Sayuran menjadi penangkal kanker usus besar, aterosklerosis dan penyakit jantung, kencing manis (diabetes melitus), penyakit batu empedu, dan lain-lain (Made, 2010). Masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan untuk mengkonsumsi lalapan. Lalapan bermanfaat untuk kesehatan karena mengandung zat gizi relatif tinggi yang sangat dibutuhkan tubuh, yaitu vitamin dan mineral. Hampir semua jenis vitamin dan mikronutrien (terutama mineral) yang penting bagi tubuh terdapat di dalam lalapan. Vitamin dan mineral penting berguna untuk menjaga metabolisme tubuh. Selain vitamin dan mineral, lalapan memiliki kandungan serat yang tinggi. Serat sering kali disebut sebagai the forgotten nutrient (zat gizi yang dilupakan) karena pada awalnya tidak diketahui fungsinya (Sudjana, 1991).
252
Populasi dan Sampel a. Populasi Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sayuran selada dan kol yang dipasarkan di beberapa Pasar Tradisional di Kota Medan. b. Sampel Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah selada dari 3 distributor sayuran dari pasar tradisional yang mana dari ketiganya diambil 1 jenis sayuran baik itu selada dan kol dan dari lokasi pasar modern juga diambil satu sampel yang sama dari 1 sumber, sehingga jumlah sampel yang diteliti berjumlah 9 sampel dari 3 lokasi pasar tradisional tempat sampel dipasarkan dan 1 sampel dari pasar modern, sehingga jumlah seluruh sampel ada 10 sampel. Alat dan Bahan Pengujian Escherichia coli Adapun peralatan yang digunakan yaitu : incubator 44°C ±1°C, inkubator 35° ± 1°C, stomacher, botol schoot, tabung durham, cawan petri ukuran 15 mm x 90 mm, tabung reaksi, timbangan dengan ketelitian 0,0001 g, pipet atau pipetor 1 ml, 5ml, 10ml, Erlenmeyer, spatula, plastic steril, hot plate dan stirrer, autoklaf, laminar air flow dan oven, mikroskop, alat tulis. Adapun media/bahan yang digunakan yaitu : sampel sayur selada, sampel sayur kol, larutan Butterfield‘s phosphate Buffered (BF), media Lauryl Tryptose Broth (LTB), Brilliant Green Lactose Bile (BGLB), media Levine‘s Eosin Methylen Blue (L-EMB), media Plate Count Agar (PCA), MEDIA Tryptone broth (Indole), media MR-VP Broth, media Simmon Citrate Agar (SCA), Pereaksi kovacs, pereaksi VP, indicator MR. Prosedur Penelitian Uji Escherichia coli Persiapan sampel Menimbang sampel sebanyak 25 gram a) Menuangkannya ke dalam 225 ml larutan BFP (pengenceran 10-1) dan menghomogenkannya. Tahap analisa a) Menyiapkan pengenceran 10-2 dengan cara melarutkan 1 ml larutan 10-1 kedalam 9 ml larutan pengencer Butterfield‘s phosphate Buffered. Melakukan pengenceran selanjutnya sampai ke pengenceran 10-3. Kemuadian melakukan pengocokan agar koloni bakteri tersebut merata. b) Memindahkan dengan menggunakan pipet steril sebanyak 1 ml larutan dari setiap pengenceran kedalam 3 seri tabung Lauryl Tryptose Brith (LTB) yang berisi tabung durham. c) Menginkubasi tabung-tabung tersebut selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 35°C±1°C. Memperhatikan gas yang terbentuk. Tabung positif ditandai dengan kekeruahn dan terbentuknya gas didalam tabung durham. Uji pendugaan Escherichia coli a) Menginokulasi tabung-tabung LTB ysng positif kedalam tabung Brilliant Green Lactose Bile (BGLB) yang berisi tabung durham dengan menggunakan jarum ose. Kemudian menginkubasinya di inkubator selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 44 °C±1°C. b) Memeriksa tabung BGLB yang positif (ditandai dengan kekeruhan dan adanya gas didalam tabung durham). 253
c) Dari tabung-tabung BGLB yang positif dengan menggunakan jarum ose,lalu menggoreskannya media LEMB. Menginkubasinya selama 24 jam ± 2 jam pada suhu 35°C±1°C. d) Koloni Escherichia coli terduga memberikan ciri yang khas (typical) yaitu hitam pada bagian tengah atau tanpa hijau metalik. e) Ambil lebih dari satu koloni (typical) Escherichia coli dari masing-masing cawan LEMB dan goreskan ke media PCA miring dengan menggunakan jarum tanam. Inkubasi selama 24 jam± 2 jam pada suhu 35°C±1°C. UJI MORFOLOGI a) Melakukan uji morfologi dengan pewarnaan gram dari setiap kolonu Escherichia coli terduga. Biakan diambil dari PCA miring. Dengan menggunakan mikroskop, bakteri Escherichia coli termasuk bakteri gram negative, berbentuk batang pendek atau coccus. Uji BIOKIMIA a) Produksi Indol (I) b) Uji Voges Proskauer (VP) c) Uji Methyl Red (MR) d) Uji Sitrat (C) Metode dan Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu dengan menyajikannya dalam bentuk table dan gambar. Untuk Escherichia coli dilakukan dengan metode APM dan di cocokkan dengan table APM (Angka Paling Mungkin). Data kualitas selada dianalisis dan dibandingkan dengan SNI (Standart Nasional Indonesia) tentang batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan, yaitu pada sayuran untuk konsumsi langsung (selada). Hasil Penelitian Dalam penelitian ini dilakukan analisis mutu mikrobiologi selada segar yang didistribusikan di Pasar Sentral, Petisah dan Sei Sikambing Medan. Sampel diambil diatas jam 3 pagi saat distribusi antara pedagang dan agen terjadi. Sampel yang diambil baik itu selada dan kol diambil dalam keadaan dan warna yang masih segar dan hijau. Agar mengetahui mutu dan kualitas selada dan kol yang diambil, maka dilakukanlah analisis bakteri Escherichia coli sebagai indikator pencemaran. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang kualitas sayuran segar selada dan kol segar dari beberapa sumber diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.1. Escherichia coli positif (+) dan nilai APM/g tiap sampel KodeSampel Sumber sampel Nilai APM/25g Distributor 1 Pasar Sentral >300koloni/25g Distributor 1 Pasar Petisah >30 koloni/25g Distributor 1 Pasarseisekambing >30 koloni/25g Hasil pengujian sebelumnya yang dilakukan oleh Sembiring (2005), menunjukkan bahwa dari 3 sampel yang diambil dari 3 pasar tradisional semuanya positif Escherichia coli dengan jumlah koloni yang berbeda-beda. Tingkat kontaminasi Escherichia coli pada sayuran selada yang diambil dari pasar tardisional dan rumah makan di Medan, yaitu 1500 koloni di pasar Pringgan, pasar Sambu sebanyak 3433 koloni, pasar Sukaramai sebanyak 3000 koloni, jumlah Escherichia coli tersebut melebihi batas maksimum cemaran Escherichia coli dalam sayuran mentah atau lalapan, yaitu sekitar 102 koloni. kebanyakan sampel yang diambil 254
mengandung bakteri Escherichia coli karena bakteri tersebut lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dibandingkan bakteri pathogen lainnya. Selada (Lactuca sativa) ditimbang sebanyak 25 gr dimasukkan kedalam plastik steril dan diblender bersama larutan BF untuk menghomogenkannya. Homogenat ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-1. Setelah itu menyiapkan pengenceran 10-2 dengan cara melarutkan 1 ml larutan 10-1 ke dalam 9 ml larutan pengencer BF, dan selanjutnya adalah pengenceran 10-3 dengan cara melarutkan 1 ml larutan 10-2 ke dalam 9 ml larutan pengencer BF. Dengan menggunakan pipet steril sebanyak 1 ml larutan sampel selada (Lactuca sativa) dari setiap pengenceran ke dalam 3 seri tabung yang berisi larutan LB yang berisi tabung durham. Kemudian menginkubasi tabung-tabung selama ± 48 jam dan ± 2 jam pada suhu 35 ⁰C ±1. Hasil positif ditandai dengen kekeruhan dan gas dalam tabung durham.
(A) (B) (C) Gambar 4.1. (a). Sampel selada dan kol; (b). Sampel yang telah ditimbang sebanyak 25 gr; (c). Sampel yang telah dimixer menggunakan media LB (tahap pra pengkayaan).
Gambar 4.2 (a) LB sebelum diinkubasi;
(b) LB setelah diinkubasi incubator 37°C.
Gambar 4.3 (a) LB positif
255
Hasil yang positif (+) dari proses pengujian yang menggunakan media LB diinokulasikan ke dalam media BGLB, yang berisi tabung durham dengan menggunakan jarum ose, dan menginkubasi BGLB dalam incubator selam 48 jam ± 2 jam pada suhu 44°C. Hasil positif ditandai dengan kekeruhan dan terdapat gas pada tabung durham.
Gambar 4.4. Media BGLB dan BGLB (+) Fermentasi Glukosa oleh bakteri Escherichia coli Glukosa Asam piruvat + Asam Asetat + CO2 Hasil fermentasi glukosa oleh bakteri menghasilkan gas CO2, sehingga membentuk gelembung udara di dalam tabung reaksi yang berisi media Lactosa Broth (LB) dan emdia BGLB yang sama-sama mengandung glukosa (Koneman et al.,1983). Hasil yang positif dari media BGLB dengan menggunakan jarum ose kemudian digores ke LEMB agar dan diinkubasi selama 24 jam ± 2 jam pada suhu 37°C ± 1°C. Koloni Escherichia coli terduga memiliki ciri yang khas yaitu hitam pada bagian tengan dengan atau tanpa metalik kehijauan.
Gambar 4.5 LEMB positif Hasil yang positif dari LEMB Agar diambil dan digoreskan ke media PCA miring dengan menggunakan jarum tanam, dan menginkubasinya selama 24 jam ± 2 jam pada suhu 37°C±1°C. Dari media PCA miring dilanjutkan dengan Uji Biokimia (IMVIc). Uji IMVIc merupakan sebuah uji biokimia yang berguna dalam mengidentifikasi bakteri enterobacteriaceae. Dalam reaksi ini metabolism yang terjadi pada medium agar akan menjadi indicator positif atau negatifnya suatu reaksi yang akan diinterpretasikan sesuai dengan sifat biokimia bakteri sehinggan akan membantu dalam menentukan klasifikasi dari bakteri yang diidentifikasi tersebut (Azharou,2013). IMViC terdiri dari Produksi Indol (I); Uji Voges Proskauer (VP); Uji METHYL Red (MR); Uji Sitrat (C) dan semuanya menjadi standart baku dalam menentukan sifat biokimiawi bakteri Escherichia coli. Reaksi Escherichia coli negatif : Indol : Setelah ditetesi reagen Kovacs terbentuk cincin kuning MR : Setelah ditetesi indicator Methyl Red terjadi perubahan warna menjadi kuning atau oranye
256
VP : Setelah penambahan alpha neptol dan KOH akan mengalami perubahan warna dari kuning muda menjadi kuning eosin Sitrat : Setelah diinkubasi selama 96 jam akan terjadi perubahan warna pada media dari hijau menjadi biru Reaksi Escherichia coli negatif Indol : Setelah ditetesi reagent Kovacs terbentuk cincin merah MR : Setelah ditetesi indikator Methyl Red terbentuk warna merah VP : Setelah penambahan alpha naptol dan KOH tidak terjadi perubahan warna (kuning muda) Sitrat : Setelah proses inkubasi selama 96 jam tidak terjadi perubahan warna pada media hijau Uji Indol dinyatakan positif ditandai dengan terbentuknya cincin yang berwarna merah cerry di permukaan biakan apabila ditambahkan beberapa tetes pereaksi Kovac‘s yang terdiri dari p-dimetilaminobenzaldehid, butanol, dan asam. Uji ini menggunakan media Tryptone Broth yang mengandung substrat triptofan. Bakteri Escherichia coli dapat memproduksi indol dari pemecahan asam amino triptofan dengan menggunakan enzim tryptophanase. Produksi indol akan dideteksi dengan menggunakan pereaksi Erlich atau reagen Kovacs. Indol akan bereaksi dengan aldehyde dalam reagen dan menberikan warna merah. Sebuah lapisan alcohol merah akan terbentuk seperti cincin di bagian atas menandakan indol positif. Reaksi positif terjadi karena reaksi tryptofan dikonversi menjadi indol (Azharou,2013). Uji Methyl Red positif ditandai dengan biakan yang berwarna merah jika ditambahkan 5 tetes larutan methyl merah dan dikocok. Warna merah terjadi karena fermentasi glukosa menghasilkan asam. Uji ini digunakan untuk menentukan adanya fermentasi asam campuran. Beberapa bakteri fermentasi glukosa dan menghasilkan berbagai produk bersifat asam sehingga dapat menurunkan pH media pertumbuhannya menjadi 5,0 atau lebih rendah. Penambahan indicator pH methyl red dapat menunjukkan adanya perubahan pH menjadi asam. Uji ini sangat berguna dalam identifikasi kelompok bakteri yang menempati saluran pencernaan termasuk Escherichia coli. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari 3 pasar tradisional di kota Medan, maka diperolehlah beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1) Hasil uji Escherichia coli pada sampel selada (Lactuca sativa) dan kol segar dari masing – masing sumber yang telah diuji dapat diketahui bahwa semua sampel positif mengandung Escherichia coli. 2) Hasil pengujian menunjukkan rata-rata APM Escherichia coli pada sumber 1 adalah 7,3 APM/g; sumber 2 adalah 12,7 APM/g dan pada sumber yang ke3 adalah 13.9 SPM/g Sedangkan batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan, yaitu pada sayuran untuk konsumsi langsung untuk APM Escherichia coli<3/g, Sehingga, dari penelitian ini diketahui bahwa sayuran selada yang didistribusikan di pasar Sentral, Petisah dan Sei-Sikambing Medan belum layak untuk dikonsumsi, karena kandungan mikrobanya melebihi batas maksimum. DAFTAR PUSTAKA Dasipah, Budiyono dan Julaeni, Media.Bandung
2010.Sayuran segar sebagai lalapan. Pustaka
Haryanto dkk,1996.Sayuran Lalapan yang baik untuk dikonsumsi.Penebar Swadaya.Jakarta
257
Isyanti, M. 2001. Mutu Mikrobiologi Sayuran Lalap dari Pasar Tradisional di Daerah Bogor dan Pengaruh Pascapanen Minimal untuk Menjamin Keamanannya. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Jenie, B.S.L. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Made Astawan.2010.Pencegahan penyakit pada sayuran segar.Pustaka.Semarang Rukmana, Rahmat. 1994. Budidaya Selada dan Andewi. Kanisius. Yogyakarta. Rahadi, F,Palungkun R, Budiarti A. 1999. Agribisnis Tanaman sayuran. Penebar Swadaya. Jakarta. Sudjana,1991.Kandungan serat dalam lalapan.Bina Media.Surabaya. Rini,Sri.,(2010),http://www.crayonpedia.org/mw/Hasil_Pertanian_Tanaman_Pangan(diakses Desember 2013)
258
PENGARUH SUPLEMENTASI BAKTERI ASAM LAKTAT ISOLAT UM 1 DAN INULIN TERHADAP KULTUR BENIH IKAN NILA (Oreochromisniloticus) Virza Ratika Inneke Putri1, It Jamilah2, Nunuk Priyani2 1 Mahasiswa Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU 2 Staf Pengajar Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU Departemen Biologi, FMIPA Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No.1 Kampus USU Padang Bulan, Medan- 20155 Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemberian pakan berupa probiotik Bakteri Asam Laktat (BAL) Isolat UM 1 dan prebiotik (Inulin) pada sintasan, laju pertumbuhan spesifik, dan efisiensi pakan dari benih ikan nila (Oreochromis niloticus). Perlakuanterdiri ataskontrol (kontrol positif dan kontrol negatif), probiotik, prebiotikdansinbiotik. Masing-masingp erlakuan terdiri atas 10 ekor benih ikan nila.Penelitian inidilakukanpadaakuarium (40 x 25 x 28 cm)selama21hari.Ikan tersebut diberi pakan perlakuan selama 15 hari sebelum diuji tantang. Setelah itu, ikan diuji tantang dengan disuntik Aeromonas hydrophila. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik dan efisiensi pakan ikan nila selama masa suplementasi tidak memberikan efek yang signifikan pada semua perlakuan. Namun, tingkat kelangsungan hidup ikan setelah diinfeksi Aeromonas hydrophilamemberikan hasil yang signifikan dalam meningkatkan sintasan benih ikan nila, yaitu pada perlakuan A (kontrol +) sebesar 42%, perlakuan C (probiotik) sebesar 89%, perlakuan D (prebiotik) sebesar 85% dan perlakuan E (sinbiotik) sebesar 96%. Penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik pada pakan ternyata dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup ikan akibat infeksi Aeromonas hydrophila. Kata Kunci: ikannila, probiotik, prebiotik, sinbiotik, Aeromonas hydrophila
Pendahuluan Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki paparan perairan yang sangat luas. Luas perairan Indonesia merupakan terbesar keduasetelah Amerika Serikat. Besarnya luas perairan ini membuat potensi perikananIndonesia menjadi sangat besar (Bank Indonesia, 2008).Ikan nila merupakan salah satu komoditas ikanair tawar yang mendapat perhatian besar bagi usahaperikanan terutama dalam usaha peningkatan gizi masyarakat di Indonesia. Perkembangan ikan nila di Indonesia cukup pesat, hal ini ditandai dengan adanya peningkatan produksi ikan nila dari tahun 1996 –2005 (Gustiano et al., 2008). Hal ini dikarenakan ikan nila memiliki sifat-sifat yang menguntungkan, yaitu mudah berkembang biak, tumbuh cepat, dagingnya tebal dan kompak, toleran terhadap lingkungan yang kurang baik, dapat hidup dan berkembang biak di airpayau serta mempunyai respon yang luas terhadap makanan(Yuliati et al., 2003). Masalah penyakitdapatmenjadikendala utamakarenadapat merugikan usaha budidaya ikan seperti penurunan produksi, penurunan kualitas air, bahkan kematian total.Penyakit dapat disebabkan oleh beberapa jenis patogen seperti, virus, parasit, jamur, dan bakteri.Salah satu jenis penyakit bakterial yang menyerang ikan-ikan budidaya air tawar adalah Motile Aeromond Septicemia (MAS) atau Haemorrhagic Septicemia (Post, 1987; Austin dan Austin, 1993). Penyakit ini memperlihatkan gejala-gejala seperti kehilangan nafsu makan, luka-luka 259
pada permukaan tubuh, pendarahan pada insang, perut membesar berisi cairan, sisik lepas, sirip ekor lepas, jika dilakukan pembedahan akan terlihat pembengkakan dan kerusakan pada jaringan hati, ginjal dan limfa. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila (Post, 1987; Austin dan Austin,1993). Biasanya bakteri ini menyerang ikan Mas, Gurami, Mujair (Pasaribu,dkk, 1990), serta ikan Nila (Arie, 2000). Kamiso (1993) melaporkan bahwa penyakit ini menyebabkan kematian diatas 80% dalam waktu relatif singkat. Hal ini dikarenakan tingkat keganasan bakteri A. hydrophila sangat tinggi (Afrianto dan liviawaty, 1992). Permasalahan kesehatan ikan, nutrisi danefisiensi pakan dapat diatasi denganprobiotik, prebiotik, dan sinbiotik.Menurut Khalwan (2012),penggunaan probiotik dalam bidang akuakulturbertujuan untuk menjaga keseimbangan mikrobadan pengendalian patogen dalam saluranpencernaan, dan lingkungan perairan melalui proses biodegradasi, sedangkan penambahan prebiotik pada pakan akan menstimulasi perbaikan mikroflora normal di dalam saluran pencernaan ikan. Prebiotik pun menjadi sumber energi bagi keberadaan probiotik. Pemberian probiotik yang diiringi oleh pemberian prebiotik (sinbiotik) diharapkan akan mampu menstimulir keberadaan bakteri probiotik yang akan menguntungkan bagi inangnya (Farouq, 2011). BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 sampai November 2015 di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah akuarium dengan ukuran 40 x 25 x 28 cm sebanyak 15 buah, neraca analitik, aerator, sentrifuse, syringe, dan spektrofotometer. Bahan yang digunakan adalah benih ikan nila dengan ukuran5-8 cm yang berumur 45-60 hari sebanyak 150 ekor, media TSB (Tryptic Soy Broth), biakan bakteri Aeromonas hydrophila, probiotik Bakteri Asam Laktat (BAL) isolat UM1,prebiotik inulin, dan media MRSA (de Man Sharpe Rogose Agar). Penelitian dilakukan secara deskriptif yang terdiri atas 5 perlakuan dengan 3 kali ulangan dengan menguji pengaruh suplementasi probiotik, prebiotik, dan sinbiotik terhadap benih ikan nila yang kemudian dilakukan pengamatan dengan parameter pengukuran tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, dan efisiensi pakan pada benih ikan nila. Setelah itu, benih ikan diinfeksikan dengan Aeromonas hydrophila kemudian diamati tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu persiapan wadah, pemeliharaan ikan, penyediaan probiotik, prebiotik, dan sinbiotik, pembuatan pakan ikan, pemberian pakan ikan,penyedian kultur Aeromonas hydrophila,serta uji tantang. Persiapan Wadah Wadah pemeliharaan yang digunakan adalah akuarium yang berukuran 40x25 x 28 cm sebanyak 15 buah. Sebelum digunakan, akuarium dicuci bersih dan diisi dengan air kemasan isi ulang lalu diaerasi penuh. Pemeliharaan Ikan Ikan dipelihara pada tiap akuarium sebanyak 10 ekor, pada suhu stabil yakni antara 2830 °C dalam ruangan tertutup selama 21 hari.
260
Penyediaan Probiotik, Prebiotik,dan Sinbiotik Probiotik yang digunakan adalah Bakteri Asam Laktat (BAL) UM 1 diisolasi dari saluran pencernaan ikan, prebiotik yang digunakan adalah inulin, sedangkan sinbiotik yang digunakan adalah gabungan antaraBAL UM 1 dan inulin. Pembuatan pakan ikan Pakan yang diberikan adalah pakan komersial yang dibeli di pasar dengan merk dagang Agaru. Pakan tersebut dicampurkan dengan kultur cair probiotik, larutan prebiotik, dansinbiotik. Pencampuran terhadap pakan dilakukan dengan penambahan kuning telur sebanyak 2% (v/v) secara merata yang berfungsi sebagai binder (pengikat) (Wang, 2007). Pemberian pakan ikan Sebelum perlakuan dimulai ikan dipuasakan selama 24 jam guna menghilangkan sisa pakan dalam saluran pencernaan. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation sebanyak 3 kali sehari yaitu pada pukul: 09.00, 12.00, & 16.00 WIB. Pakan perlakuan yang diberikan ke ikan uji pada masa suplementasi yaitu : Perlakuan A (kontrol), perlakuan B (pakan + probiotik), perlakuan C (pakan + prebiotik), dan perlakuan D (pakan + sinbiotik). Perlakuan pakan yang diberikan ke ikan uji setelah uji tantang denganAeromonas hydrophilayaitu : Perlakuan A : Pakan uji dan diinfeksi Aeromonas hydrophila (kontrol positif). Perlakuan B : Pakan uji (kontrol negatif). Perlakuan C : Pakan uji dengan penambahan probiotik 1% (w/w) dari bobot pakan dan diinfeksi Aeromonas hydrophila (Farouq, 2011). Perlakuan D : Pakan uji dengan penambahan prebiotik 2% (w/w) dari bobot pakan dan diinfeksi Aeromonas hydrophila. Perlakuan E : Pakan uji dengan penambahan sinbiotik (probiotik 1% dan prebiotik 2%) dari bobot pakan dan diinfeksi Aeromonas hydrophila. Penyediaan Kultur Aeromonas hydrophila Satu ose penuh biakan Aeromonas hydrophila dikultur dalam 10 ml mediaTSB (Tripticase Soy Broth). Setelah 24 jam, diambil sebanyak 1 ml media biakan untuk dikultur kembali ke dalam 24 ml media TSB yang baru. Setelah 24 jam, media tersebut dipanen dan digunakan sebagai bakteri uji tantang. Setelah itu dilakukan pengecekan isolat dengan pewarnaan Gram dan pengujian karakter biokimia. Uji Tantang Ikan diuji tantang selama kurun waktu 5 hari dengan menyuntikkan biakan Aeromonas hydrophila dengan kepadatan 109 CFU/ml. Ikan disuntik di bagian dorsal dengan dosis suntikan 0,1 ml/10 gram bobot ikan. Pengamatan tingkat kelangsungan hidup ikan dilakukan setiap hari selama 5 hari. Parameter Pengamatan Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan tingkat kelangsungan hidup(Survival Rate), laju pertumbuhan spesifik, & efisiensi pakan. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Tingkat kelangsungan hidup ikan (Survival Rate) dihitung dari persentase jumlah ikan yang hidup di akhir masa pemeliharaan dibanding dengan jumlah ikan pada saat tebar awal, dapat dihitung dengan menggunakan rumus: 261
SR=
x 100%
Keterangan:(Effendie, 1979) SR : Survival Rate (%) Nt : Populasi saat t (ekor) t : waktu N0 : Populasi awal (ekor) Laju Pertumbuhan Spesifik Ikan Ikan disampling bobot rutin setiap 5 hari sekali. Pertumbuhan spesifik ikan (Specific Growth Rate) adalah besarnya laju pertumbuhan harian ikan. SGR dapat dihitung dengan menggunakan rumus: SGR =
x 100%
Keterangan : (Huisman, 1987) SGR : Laju pertumbuhan spesifik (%/hari) Wt : Berat rata-rata ikan pada saat akhir (gram) W0 : Berat rata-rata ikan pada saat awal (gram) T : Lama pemeliharaan (hari) Efisiensi Pakan Ikan Efisiensi pemberian pakan dihitung dari persentase jumlah biomassa ikan yang dihasilkan dibanding dengan jumlah pakan yang diberikan, dihitung dengan menggunakan rumus: EP =
x 100%
Keterangan : (Takeuchi, 1988) EP : Efisiensi Pakan (%) Bd : Bobot ikan mati (gram) Bt : Bobot ikan akhir (gram) F : Jumlah pakan (gram) Bo : Bobot ikan awal (gram) HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Masa Suplementasi Tingkat kelangsungan hidup ikan pada perlakuan A dan B sama-sama menunjukkan angka 93,3%, pada perlakuan C sebesar 90%, dan perlakuan D sebesar 96,6% (Gambar 1). Perlakuan C (prebiotik) memberikan hasil tingkat kelangsungan hidup terendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini diduga karena benih ikan yang digunakan masih terlalu muda yang saluran pencernaannya masih sangat sederhana dan belum memliki mikroflora
262
normal dalam jumlah yang cukup banyak untuk mencerna inulin, sehingga membutuhkan penyesuaian yang lebih untuk dapat beradaptasi dengan pakan prebiotik dibanding dengan pakan perlakuan yang lain, Hal ini yang diduga menjadi penyebab pakan prebiotik belum maksimal dimakan oleh benih ikan, belum maksimalnya pakan yang dimakan benih ikan, menyebabkan kondisi benih ikan makin melemah.Menurut Rustikawati et al. (2004), kondisi ketahanan tubuh ikan yang berukuran benih masih lemah dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
Keterangan : * A (kontrol ), B (probiotik), C (prebiotik) dan D (sinbiotik) Gambar 1. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila setelah suplementasi pakan Perlakuan D (sinbiotik) memberikan hasiltingkat kelangsungan hidup tertinggi diantara perlakuan lainnya diduga karena bakteri asam laktat (BAL)akan bekerja lebih baik jika diberikan bersamaan dengan prebiotik (sinbiotik), prebiotik akan dicerna oleh bakteri probiotik dan akan memperbanyak jumlah bakteri probiotik dalam saluran pencernaan ikan. Meningkatnya jumlah bakteri probiotik pada saluran pencernaan ikan, diduga akan membuat sistem imun ikan menjadi lebih baik. Menurut Saputra et al. (2013), probiotik yang diberikan bersama prebiotik mampu tumbuh dan memanfaatkan prebiotik pada usus ikan serta diduga dapat menstimulasi sistem imun ikan. Laju Pertumbuhan Spesifik Ikan Laju pertumbuhan spesifik ikan pada perlakuan A menunjukkan angka 2,35%, pada perlakuan B 2,19%, pada perlakuan C 1,97%, dan pada perlakuan D sebesar 2,3% (Gambar 2).Ikan yang diberi pakan perlakuan memiliki nilai laju pertumbuhan spesifik yang hasilnya tidak lebih baik dibandingkan kontrol. Hal ini diduga karena pakan dengan perlakuan memiliki rasa yang sedikit berbeda dengan pakan tanpa perlakuan, sehingga benih ikan membutuhkan adaptasi terhadap pakan yang diberi perlakuan yang menyebabkan ikan lebih banyak memakan pakan tanpa perlakuan (kontrol), yang kemudian hal iniberdampak pada laju pertumbuhan spesifik ikan. Menurut Effendie (1979), pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satuan waktu yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti keturunan, seks, umur, parasit, pakan, dan kondisi perairan.
263
Keterangan : * A (kontrol), B (probiotik), C (prebiotik) dan D (sinbiotik) Gambar 2. Laju pertumbuhan spesifik ikan nila setelah suplementasi pakan Perlakuan C (prebiotik) menunjukkan angka laju pertumbuhan spesifik terendah jika dibandingkan dengan perlakuan lain, hal ini mungkin dikarenakan pemberian pakan prebiotik, diperlakukan terhadap benih ikan yang memiliki saluran pencernaan yang masih sangat sederhana dan belum memiliki mikroflora usus dalam jumlah yang cukup untuk mencerna prebiotik sementara prebiotik tidak dapat dicerna oleh inang. Ahmadi et al. (2012) menyatakan bahwaenzim dalam saluran pencernaanbenih ikan belum tersedia dalam jumlahyang memadai karena saluranpencernaannya belum sempurna. Olehkarena itu, pakandengan kandungankarbohidrat dan serat kasar yang tinggitidak dapat dicerna dengan baik. Efisiensi Pakan Ikan Efisiensi pakan ikan pada perlakuan A menunjukkan angka 18,27%, pada perlakuan B menunjukkan angka sebesar 17,03%, perlakuan C menunjukkan angka 16,54%, dan pada perlakuan D menunjukkan angka 19,51% (Gambar 3).Perlakuan C (prebiotik) menunjukkan hasil efisiensi pakan ikanterendah dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini diduga karena prebiotik yang digunakan (inulin) memiliki rasa manis yang menyebabkan ikan cenderung enggan memakan pakan yang diberikan. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya jumlah pakan yang dimakan ikan, yang juga menyebabkan rendahnya nilai efisiensi pakan ikan.Menurut Franck (2002), inulin standar memiliki rasa manis yang sangat ringan (10% kemanisan dibanding dengan gula).
* A (kontrol), B (probiotik), C (prebiotik) dan D (sinbiotik) Gambar 3. Efisiensi pakan ikan nila setelah suplementasi pakan Perlakuan B (probiotik) menunjukkan hasilefisiensi pakan ikan yang lebih rendah daripada perlakuan A (kontrol), hal ini diduga karena benih ikan yang digunakan masih terlalu kecil dengan sistem pencernaan yang masih sangat sederhana, sehingga probiotik yang diberikan pada masa suplementasi belum memberi hasil yang signifikan dalam meningkatkan 264
nilai efisiensi pakan ikan.Handayani (2006) menyatakan bahwa kemampuan ikan dalam mencerna pakan sangat bergantung pada kelengkapan organ pencernaan dan ketersediaan enzim pencernaan. Perkembangan saluran pencernaan berlangsung secara bertahap dan setelah ikan mencapai ukuran atau umur tertentu maka saluran pencernaannya akan mencapai kesempurnaan. Perkembangan struktur pencernaan tersebut diikuti pula oleh perkembangan enzim pencernaan.PerlakuanE(sinbiotik)menunjukkan hasil tertinggi pada parameter ini, hal ini dikarenakan pemberian probiotik yangdiiringi dengan prebiotik (sinbiotik) mampu memaksimalkan penyerapan nutrisi pada pakan. Prebiotik pada pakan akan merangsang pertumbuhan probiotik yang terdapat pada pakan dan pada saluran pencernaan benih ikan, sehingga jumlah probiotik akan mengalami peningkatan yang pesat. Bakteri probiotik juga mampu mensekresikan enzim-enzim pencernaan yang akan membantu benih ikan dalam mencerna pakan.Menurut Daniels et al. (2010) penelitian tentang sinbiotik telah menunjukkan keuntungan dalam penggunaanya untuk peningkatan laju pertumbuhan, konversi pakan, dan kondisi tubuh ikan. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan setelah Uji Tantang Uji tantang dilakukan setelah 15 hari masa suplementasi pakan. Ikan diuji tantang selama kurun waktu 5 hari dengan menyuntikkan biakan Aeromonas hydrophila. Tingkat kelangsungan hidupikan setelah diinfeksi Aeromonas hydrophila pada perlakuan A (kontrol positif) menunjukkan angka sebesar 42,56%, perlakuan B (kontrol negatif) sebesar 100%, perlakuan C (probiotik) sebesar 89,6%, perlakuan D (prebiotik) sebesar 85,13%, dan E (sinbiotik) sebesar 96,6% (Gambar 4). Hasil tingkat kelangsungan hidup ikan setelah uji tantang dengan Aeromonas hydrophilayang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan B (kontrol negatif) menunjukkan hasil tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain dalam mempertahankan kelangsungan hidup ikan, hal ini karena pada perlakuan B (kontrol negatif), ikan hidup padakeadaan lingkungan perairan yang normal tanpa terinfeksi dengan bakteri patogen.Perlakuan sinbiotik menunjukkan hasil tertinggi setelah kontrol negatif. Hal ini dapat saja dikarenakan oleh pemberian probiotik yang diiringi dengan prebiotik (sinbiotik) dapat menekan dengan baik pertumbuhan bakteri patogen yang ada pada ikan, sehingga ikan pada perlakuan sinbiotik memilki kemampuan bertahan hidup paling baik dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Irianto (2003) menyatakan bahwa probiotik dapat mengatur lingkungan mikrobia pada usus, menghalangi mikroorganisme patogen dalam usus dengan melepas enzim-enzim yang membantu proses pencernaan makanan.Menurut Ringo et al. (2010), prebiotik oligosakarida dapat meningkatkan kesehatan dan keberadaan bakteri usus yang menguntungkan serta menekan bakteri yang berpotensi merusak, sehingga kelangsungan hidup ikan meningkat. Sehingga jika probiotik dan prebiotik diberikan secara bersamaan (sinbiotik), daya tahan ikan akan lebih tinggi terhadap serangan bakteri patogen.
265
* A (kontrol +), B (kontrol -), C (probiotik), D (prebiotik) dan E (sinbiotik) Gambar 4. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila setelah diuji tantang dengan Aeromonas hydrophila Hasil yang diperoleh tidak berbeda jauh dengan penelitian Farouq (2011) yang menggunakan ikan nila dewasa serta di uji tantang dengan bakteri Streptococcus agalactiae yang menunjukkan hasil pada masing-masing perlakuan yaitu kontrol positif 50%, kontrol negatif 90%, probiotik 73%, prebiotik 76%, dan sinbiotik 80%. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pakan perlakuan dengan penambahan sinbiotik menunjukkan hasil tertinggi pada tingkat kelangsungan hidup ikan dan efisiensi pakan ikansaat masa suplementasi. Perlakuan dengan penambahan prebiotik menunjukkan hasil terendah pada parameter tingkat kelangsungan hidup ikan saat masa pemeliharaan,dan laju pertumbuhan spesifik ikan. Perlakuan kontrol menunjukkan hasil tertinggi pada parameter laju pertumbuhan spesifik ikan. Penambahan sinbiotik dapat mengurangi tingkat kematian pada kondisi perairan yang stabil dan dapat meningkatkan efisiensi pakan. Sementara ikan yang diberi pakan probiotik, prebiotik dan sinbiotik dan diinfeksi patogen Aeromonas hydrophila memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi (berturut-turut sebesar 89,6%, 85,13% dan 96,6%) dibandingkan dengan ikan kontrol positif (sebesar 42,56%).Penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik pada pakan dapat mengurangi tingkat kematian ikan akibat infeksi Aeromoas hydrophila. Saran Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh waktu masa pemeliharaan yang lebih lama, dan penggunaan ikan yang lebih banyak, serta proses pembuatan pakan probiotik, prebiotik dan sinbiotik yang lebih efisien dan penelusuran lebih lanjut akan manfaat BAL UM 1 terhadap ikan dewasa. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, H., Iskandar, & Kurniawati, N. 2012. Pemberian probiotik dalam pakan terhadap pertumbuhan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) pada pendederan II. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3 (4): 99-107. Afrianto E, Liviawaty E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Kanisius, Jogjakarta.
266
Austin B, Austin DA. 1993. Bacterial Fish Pathogens. In Disease in Farmed and wild fish. Ellis Horwood Ltd, Publisher,Chichester, England. Daniels CL, Merrifield DL, Boothoryd DP, Davies SJ, Factor JR, Arnold KE. 2010. Effect of dietary Bacillus spp. and mannan oligosaccharides (MOS) on European Lobster Homarus gammarus L. larvae growth performance, gut morphology and gut microbiota. Aquaculture 304: 49–57. Effendie, M.I., 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri Bogor, Bogor. Farouq, A. 2011. Aplikasi probiotik, prebiotik, dan sinbiotikdalam pakanuntuk meningkatkan responimun dan kelangsunganhidup ikan nilaOreochromis niloticus yang diinfeksiStreptococcus agalactiae. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Franck, A. 2002. Technological Functionality of Inulin and Oligofructose in British. Journal of Nutrition. Volume 87. CABI Publishing, UK. Gustiano, R., O. Z. Arifin, E. & Nugroho. 2008. Perbaikan pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan seleksi famili. Media Akuakultur. 3 (2): 98-106. Handayani, S. 2006. Studi efisiensi pemanfaatan karbohidrat pakan bagi pertumbuhan ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac.) sejalan dengan perubahan enzim pencernaan dan insulin. Institut Pertanian Bogor. Huisman, E.A., 1987. Principles of Fish Production. Departement of Fish Culture and Fisheries, Wageningen Agricultural University, Nedherland. Irianto, A. 2003. Probiotik akuakultur. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Khalwan., Irianto, A., Rachmawati, F.N. 2012. Pengaruh suplementasi Bacillus sp. melalui perifiton terhadap jumlah total mikroba intestinal dan gambaran darah ikan gurami (Osphronemus gouramy). Bioteknologi. 9 (2): 35-40. Pasaribu HF, Dalimunthe N, Poeloengan M. 1990. Pengobatan Pencegahan Penyakit Ikan Bercak Merah. Prosiding Seminar Nasional II Penyakit Ikan dan Udang. Editor A.Rukyani dkk. Bultkanwar Bogor. Post G. 1987 . Bacterial Disease of Fish Health. T. F H. Publication Inc., New York. Ringo E, Olsen RE, Gifstad TO, Dalmo RA, Amlund H, Hemre GI. 2010. Prebiotic in aquaculture: a review. Aquaculture Nutrition. 16 (2): 117–136. Rustikawati, I., Rostika, R., Iriana, D., & Herlina, E. 2004. Intensitas dan Prevalensi Ektoparasit pada Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio l.) yang Berasal dari Kolam Tradisional dan Longyam di Desa Sukamulya Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Akuakultur Indonesia.3 (3) : 33-39. Saputra, D.A., Sukenda., & Widanarni. 2013.Aplikasi sinbiotik dengan dosis probiotik berbeda untuk pencegahan penyakit vibriosis pada ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis.Jurnal Akuakultur Indonesia. 12 (2): 170–178. Takeuchi, 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutriens. P.179-233, in Watanabe (Ed) Fish Nutrition and Mariculture. Kanagawa International Fisheries Training. Japan International Cooperation Agency (JICA), Japan. Wang Y., 2007. Effect of probiotics on growth performance and digestive enzyme activity of the shrimp Panaeus vannamei. Aquaculture 269, 259-264. Yuliati, P., Kadarini, T., Rusmaedi., & Subandiyah, S. 2003. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan sintasan dederan ikan nila gift (Oreochromis niloticus) di kolam. Jurnal Iktiologi Indonesia. 3 (2): 63-66.
267
APLIKASI ISOLAT Bacillus cereus dan Pseudomonas aeruginosa TERHADAP Pyriculariagrisea PENYEBAB PENYAKIT BLAST PADA PADI CIHERANG Zuraidah*, MarjuliaUkhra JurusanPendidikanBiologiFakultasTarbiyahdanKeguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Kompleks UIN Ar-Raniry, 23111, Darussalam,Banda Aceh * Email:
[email protected]
Abstrak Penelitiana plikasi bakteri Bacilluscereus dan Pseudomonas aeruginosa dalam menghambat penyakit blast yang disebabkan oleh cendawan patogen Pyricularia grisea pada tanaman padi varietas Ciherang telah dilakukan di lahan milik BPTP Aceh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan bakteri Bacillus cereus dan Pseudomonas aeruginosa serta konsorsium dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen Pyricularia grisea penyebab penyakit blast pada tanaman padi varietas Ciherang. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 5 perlakuan dan tiga ulangan. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam pada taraf kepercayaan 95% (ANAVA) dan dilanjutkan dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (α = 0,05) dengan menuggunakan SPSS 16.0. Prosedur kerja dalam penelitian ini dimulai dengan menyiapkan bibit tanaman padi varietas Ciherang menggunakan tanah yang telah dicampur dengan tanah dan campuranpupuk (3:1:1), peremajaan cendawan patogen, peremajaan isolat bakteri, uji reaksi hipersensitif isolat uji serta isolat patogen Pyricularia grisea terhadap tanaman tembakau, dan aplikasi bakteri terhadap Pyricuraia grisea secara in vivo. Pengamatandilakukan pada panjang dan lebar lesio tanaman padi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya penghambatan miselia Pyricularia grisea yang terbentuk pada perlakuan dengan isolat bakteri biokontrol. Isolat bakteri endofit yang juga mampu menghambat pertumbuhan cendawan patogen Pyricularia grisea adalah: konsorsium, Pseudomonas aeruginosa dan Bacillus cereus. Kata Kunci: Pyricularia grisea, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, konsorsium, tanaman padi varietas Ciherang, daya hambat, dan penyakit blast
PENDAHULUAN Varietas Ciherang dengan umur tanaman 121 hari dapat mencapai hasil 8 t/ha sementara varietas lokal hanya mampu menghasilkan rata-rata 4 t/ha.Padi Ciherang termasuk dalam padi Indica. Padi indica adalah padi yang tidak lengket dan berbulir panjang.Padi ini merupakan kelompok padi sawah yang sangat cocok ditanam di lahan sawah irigasidataran rendah. Padi ini dapat ditanam pada musim hujan dan kemarau dengan ketinggian di bawah 500 m2 dari permukaan laut. Padi varietas Ciherang merupakan hasil persilangan antara varietas padi IR18dengan varietas padi IR19 (Agust 2003). Hasil wawancara dengan pihak BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) , diperoleh informasi bahwa di daerah Aceh, petani pada umumnya menggunakan varietas padi Ciherang. Selain itu, penggunaan padi varietas Ciherang karena padi ini memiliki mutu beras yang baik dan produktivitas yang tinggi dibandingkan padi Indica yang lain seperti IR64. Selain itu, biji padi varietas Ciherang juga memiliki daya regenerasi yang tinggi yaitu 69% dibandingkan dengan padi varietas Inpari. Padi Ciherang disukaipara petani dan
268
sebagian masyarakat karena sebagian sifat IR64 juga dimilikioleh Ciherang seperti tekstur nasinya yang pulen, bentuk beras panjang danramping, warna gabah kuning bersih dengan tingkat kerontokan sedang sehingga relatif memudahkan petani dalam proses perontokan.Varietas Ciherang akhir-akhir ini dilaporkan sering terserang penyakit blast yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea. Penyakit blast merupakan salah satu faktor kendala budidaya padi, yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea. Di Indonesia serangan penyakit blast dapat mencapai luas1.285 juta ha atau sekitar 12% dari totalluas areal pertanaman padi diIndonesia. Penyakit tanaman muncul karena adanya kultivar yang pekaterhadap patogen, dan peka terhadappengaruh lingkungan. Praktek budidayadapat menyebabkan timbulnyapenyakit, seperti halnya pemupukannitrogen dengan dosis yang tinggidapat mempengaruhi perkembanganpenyakit blast. Penyakit ini dapatmerusak daun, malai, dan batang padi (Sheila, et al.2013). Pyricularia griseapenyebabpenyakitblas yang dapatmenginfeksitanamanpadasemua stadium tumbuhdanmenyebabkantanamanpuso (Deptan 2009). Penyakit pada tanaman padi yang disebabkan oleh cendawan atau bakteri, seperti hawar pelepah padi (Rhizoctonia solani), blas (Pyricularia oryzae), dan hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv oryzae) dapat menurunkan produksi padi. Penggunaan konsorsium bakteri sebagai agens biokontrol berperan melindungi tanaman dari serangan patogen dan menjadi alternatif untuk menggantikan pengendali dari bahan kimia. Dari hasil konsorsium bakteri A5 (Bacillus firmus E 65, Pseudomonas aeruginosa C32b), A6 (B.firmus E 65, P. aeruginosa C32b, B.cereus II 14), dan A8 (B.firmus E 65, Serratia marcescens E31, P. aeruginosa C32b, B. cereus II 14) secara signifikan menunjukkan daya hambat terhadap pertumbuhan patogen pada tanaman padi (Nisa 2012). Penggunaan alternative biokontrol dengan aplikasi mikrob mampu menghasilkan zat anti mikrob tanpa mencemari lingkungan. Pseudomonassp. Mampu memproduksi metabolit sekunder seperti antibiotik, pyocianin, sideroforpengkelat besi, amonia, dansianida.Sedangkan bakteri Bacillus cereus sangat resisten terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan, tidak tahan terhadap udara terbuka, aerobik atau aerobik fakultatif. Di antara berbagai jenis probiotik, genus Bacillus memiliki keuntungan bahwa, kapasitas mereka untuk bersporulasi, bertahan hidup pada suhu lingkungan (Nisa 2012). MenurutNunung 2013 bahwa perlakuan kombinasi Psedomonas sp. DanBacillus sp. (konsorsium) paling baik dalam menekan penyakit yang disebabkan oleh cendawan patogen yakni sbesar F. oxysporum 55,56%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi dua isolat sebagai agens biokontrol saling kompatibel dalam mengendalikan cendawan patogen. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan bakteri Bacillus cereusdan Pseudomonas aeruginosa, serta kemampuan isolat ekonsorsium dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen Pyricularia grisea penyebab penyakit blas pada tanaman padi varietas Ciherang. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga Agustus 2015 di lahan milik BPPTP (Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian) Aceh dan Laboratorium Mikrobiologi, Prodi Pendidikan Biologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Peremajaan Isolat Bakteri Semua isolat bakteri Bacillus cereus yang digunakan diremajakan pada media NA dan bakteri Pseudomonas aeruginosa yang diremajakan pada media King‘s Bdiinkubasi selama 24-48 jam pada suhuruang.
269
Uji Reaksi Hipersensitif isolat Uji serta Isolat patogen Pyricularia grisea terhadap Tanaman Tembakau Uji reaksi hipersensitif dilakukan pada daun tembakau (Nicotiana tobacum.) Isolat Pseudomonas aeruginosa diperbanyak pada medium King‘s B cair dan Bacillus cereus di dalam media cair NB. Sedangkan cendawan Pyricularia grisea ditumbuhkan pada media Potato. Masing-masing inokulum diinjeksi sebanyak 1 ml menggunakan syringe steril berukuran 1ml tanpa jarum pada bagian belakang helaian daun tembakau yang sehat. Sebagai kontrol negatif digunakan akuades steril. Daun tembakau diberi label sesuai isolat yang diinjeksi. Respon tanaman diamati dalam jangka waktu 24-48 jam. Pengamatan pada daun tembakau terjadi nekrosis (kematian patologis satu atau lebih sel atau sebagian jaringan atau organ, yang dihasilkan dari kerusakan ireversibel berupa bintik-bintik atau bercak-bercak hitam pada tanaman) atau tidak. Isolat-isolat yang tidak menimbulkan reaksi hipersensitif dipilih untuk diuji daya hambatnya terhadap cendawan patogen. Aplikasi Bakteri terhadap Pyricularia grisea secara in vivo Bibit padi ditanam pada pot-pot berdiameter 30 cm yang berisi campuran tanah sawah, pupuk kompos, dan pupuk kandang. Isolat Bacillus cereus,Pseudomonas aeruginosa, dankonsorsiumditumbuhkanpada media cair. Aplikasi penyemprotan terhadap tanaman padi dilakukan secara kuratif pada padi yang terdapat pada pot-pot. Semua pot yang berjumlah 15 dengan lima perlakuan dan tiga ulangan, setiap perlakuan disemprot pada masing-masing pot sebanyak 40 ml. Perlakuan penyemprotan bakteri dilakukan dengan selang 5 hari, penyemprotan pertama setelah tanaman padi berumur 14 hari. Selanjutnya penyemprotan kedua dilakukan pada hari ke- 19 (hst), dan penyemprotan ketiga dilakukan pada hari ke- 24 (hst). Dua hari kemudian (yaitu hari ke- 26 hst) dilakukan pengolesan Pyricularia grisea pada daun dan batang padi yang ditanam pada pot. Kemudian dilakukan penyemprotan dengan perlakuan isolat bakteri yang sama, berselang 5 hari demikian seterusnya sampai pada penyemprotan ketiga. Perlakuan kontrol positif dilakukan menggunakan penyemprotan senyawa kimia fungisida (merek Trymenyl dengan bahan aktif mancozeb) dan kontrol negatif menggunakan air steril. Pengamatan terhadap penyakit blast diamati selang 2 hari setelah inokulasi Pyricularia grisea. Tanaman padi yangdiamati gejala/pertumbuhannya yaitu terdapat pada helaian daun dan batang padi yang sudah diinokulasi dengan cendawan patogen. Pengukuran gejala penyakit blast dengan pengukuran lebar dan panjangnya lesio yang terbentuk. HASIL DAN PEMBAHASAN KarakterPyricularia grisea Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop setelah dilakukan pewarnaan menunjukkan bahwa spora cendawan Pyricularia grisea mempunyai karakteristik konidiaberbentuk bulat, lonjong, tembus cahaya, dan bersekat dua (3 ruangan)seperti terlihat pada Gambar 1 di bawahini.
Gambar 1. Spora Pyricularia grisea 270
Uji Reaksi Hipersensitif Isolat Uji serta Isolat Patogen Pyricularia grisea Terhadap Tanaman Tembakau Pengujian reaksi hipersensitif pada tanaman tembakau setelah 48 jam di injeksi inokulum P1 (Bacillus cereus), P2 (Psidomonas aeruginosa) dan P3 (konsorsium) menunjukkan ciriciri tidak terjadi perubahan terhadap warna daun tembakau dan tidak menyebabkan nekrosis (Gambar2) artinya bakteri biokontrol tidak patogenik terhadap tanaman tembakau sehingga tidak menyebabkan jaringan kolaps dan mati.
Gambar 2. Uji Hipersensitif pada Daun Tembakau Injeksi perlakuan kontrol dengan aquades steril dan fungisida tidak terjadi nekrosis. Semua bakteri biokontrol tidak menimbulkan reaksi hipersensitif terhadap tanaman tembakau sehingga dapat dilanjutkan dengan pengujian daya hambat isolat-isolat tersebut terhadap tanaman padi varietas Ciherang secara in vivo di lahan BPPTP. Aplikasi Bakteri Terhadap Pyricularia grisea secara in vivo Panjang lesio dan lebar lesio Pengamatan intensitas penyakit blas yang disebabkan oleh Pyricularia grisea dilakukan empat kali setiap minggu dimulai pada saat tanaman berumur 14 hari setelah inokulasi (hsi). Bercak pertama timbul sangat kecil di bagian inokulasi yang dilakukan. Bercak mula-mula berwarna hitam kecoklatan, berbentuk satu titik kecil dengan panjang 1–2 cm, setelah beberapa hari pengamatan titik kecil tersebut membesar dan sedikit memanjang dan membentuk seperti belah ketupat dan berwarna coklat seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Daun Padi yang Terserang Penyakit Blas Pengukuran intensitas perkembangan penyakit blast dengan mengukur lebar dan panjang daun yang terserang penyakit blas serta mengukur panjang dan lebar lesio yang muncul pada daun. Penyemprotan dengan perlakuan menggunakan konsorsium (isolat bakteri Bacillus cereus dan Pseudomonas aeruginosa) merupakan perlakuan terbaik dalam menekan intensitas penyakit blas pada tanaman padi varietas Ciherang dengan nilai presentase 0,04 % (Gambar 4).
271
Grafik 4. Luas Lesio pada Daun Padi Isolat bakteri yang paling baik menghambat cendawan pathogen penyebab penyakit blast dimulai dari urutan yang paling baik adalah konsorsium, fungisida, dan Pseudomonas aeruginosa, Bacillus cereus, dan air steril. Penggunaan konsorsium bakteriP.aeruginosa dan B. cereus sebagai agens biokontrol berperan melindungi tanaman dari serangan patogen dan menjadi alternatif untuk menggantikan pengendali dari bahan kimia.Isolat bakteri P. aeruginosa menghasilkan indeks glukanolitik tertinggi. Sedangkan bakteri B.cereus mempunyai senyawa alkaloida, fenol, flavonoida, glikosida dan fitoaleksin yang berfungsi dapat meningkatkan produksi dan ketahanan terhadap stres lingkungan pada beberapa tanaman. Kemampuan B.Cereus dan P. aeruginosa menghasilkan IAA yang dapat memicu pertumbuhan tanaman kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang dapat menguatkan sistem pertahanan tanaman terhadap serangan patogen. Menurut Hanudin et al. 2010 bahwa adanya induksi ketahanan system ikoleh bakteri yaitu adanya sumbangan lipopolisakarida oleh bakteri dan asam salisilat. Tinggi tanaman padi Tinggi tanaman padi pada minggu 9 mst masing-masing perlakuan diikuti oleh huruf yang sama (a) dengan angka pada perlakuan berturut-turut P3, P2, KP, KN, dan P1 adalah 75.3, 75.0, 73.6, 72.7, dan 70.5 dengan demikian pada minggu 9 mst tidak terdapat perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan.
Gambar 5. Tinggi Tanaman Padi
272
Panjang daun padi Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa pada masing-masing perlakuan terlihat perbedaan pertumbuhan pada setiap minggu. Secara keseluruhan minggu ke-2, 3, 4, 5, 6 perlakuan dengan menggunakan isolat bakteri P. aeruginosa terdapat kesecendrungan panjang daun tanaman padi. Minggu ke-7, 8, dan 9 perlakuan dengan menggunakan konsorsium terdapat kecendrungan panjang daun pada tanaman padi. Perlakuan dengan menggunakan fungisida berada pada titikpaling rendah pada minggu ke-2, 3, 4, dan 5 sedangkan pada minggu ke-7, 8, dan 9 perlakuan dengan menggunakan air steril berada pada titik paling rendah.
Gambar 6. Panjang Daun Padi Jumlah anakan padi Berdasarkan gerafik di atas terlihat bahwa secara keseluruhan pertumbuhan jumlah anakan terdapat perbedaan pada setiap minggunya berdasarkan perlakuan yang dilakukan. Minggu ke-1, 2, dan 3 terlihat pada grafik masing-masing perlakuan berada pada titik yang sama. Minggu ke-3, 4 dan 5 terdapat kecendrungan jumlah anakan menggunakan perlakuan isolat bakteri P. aeruginosa sedangkan pada minggu ke- 6 dan 7 perlakuan dengan menggunakan isolat bakteri B. cereus terletak pada titik tertinggi. Minggu ke-8 dan 9 juga terdapat kencendrungan jumlah anakan menggunakan P. aeruginosa. Perlakuan dengan menggunakan fungisida pada minggu ke-4, 5, 6, dan 7 terletak pada titik terendah pada jumlah anakan padi. Sedangkan perlakuan dengan menggunakan air steril berada pada titik terendah yaitu pada minggu ke-8 dan 9.
Gambar 7. Jumlah Anakan Padi 273
Jumlah malai Jumlah malai pada tanaman padi dilakukan saat 9 mst perlakuan penyemprotan dengan isolat P1, P2, P3, fungisida dan akuades steril pada tanaman padi yang terserang penyakit blas tidak berbeda nyata. Masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda dilihat dari pertumbuhan malai pada masing-masing perlakuan. Secara berturut-turut pertumbuhan malai yang bagus pada masing-masing perlakuan yaitu dimulai dari perlakuan dengan menggunakan Pseudomonas aeruginosa, fungisida, airsteril, Bacillus cereus, dan konsorsium.
Gambar 8. Jumlah Malai Padi DAFTAR PUSTAKA AbdelS, 2005. Antagonistic interactions between fungal patogen and leaf surface fungi of onion (Allium cepa L.). Pakistan Journal of Biological Science Juni,4:838-842. August P, 2003. Kajian beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah diKabupaten Minahasa,Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Utara, hlm. 130-131. Bambang S, et al. 2009. Deskripsi Varietas Padi, Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, hlm. 109110. Bourett, T.M. and R.J. Howard. 2010. In Vitro Development of Penetration Structure in the Rice Blast Fungus Magnaporthe grisea. Can. J. Bot, 68: 329–342. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Ciherang varietas fenomenal, diakses padatanggal 10 Maret 2015 dari situs https://wongtaniku.wordpress.com/2009/05/21/deskripsi-varietas-ciherang/ Nisa R, 2012. Formula Konsorsium Mikrob Ramah Lingkungan untuk Pengendali Penyakit Blast, Hawar Daun Bakteri, dan Hawar Pelepah Padi dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Tanaman Padi Organik, Skripsi, Bogor: IPB, hlm. 11-12. Nunung S, 2013. Pengendalian Cendawan Patogen Akar Kedelai secara Koinokulasi Strain Psedomonas sp. Dan Bacillus cereus sp. Dengan Bradyrhizobiumjaponicum, Jurnal Penelitian Saintek, Vol.18, Nomor 1, hlm. 10-13. Sheila D, et al. 2013. Ketahanan Beberapa Genotipe Padi Hibrida (Oryza sativaL.) Terhadap Pyricularia oryzae Cav. Penyebab Penyakit Blas Daun Padi,Jurnal HPT, Vol.1, No.2, Juni, hlm. 13-15.
274
Struktur dan fungsi Hewan dan Biomedis
275
276
DETEKSI DAN IDENTIFIKASI RESISTENSI INSEKTISIDA SINTETIK PADA Aedes aegypti VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA PADANG Detection and Identification of Synthetic Insecticide Resistance in Aedes aegypti Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Vector in Padang Hasmiwati1, Djong Hon Tjong2 and Eka Novita1 Parasitology Division, Medical Faculty, Andalas University, Padang, Email:
[email protected]. 2Biology Department, Mathematics and Science Faculty, Andalas University, Padang 1
Abstract One of a genetically effort of Ae.aegypti as Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) vector is by using a synthetic insecticide that is an effective way to break the chain of transmission of dengue. However, the use of insecticides intensively for a long time could cause resistance. Some ways to detect synthetic resistance are susceptibility test (bioassay) according to the WHO, biochemistry, and molecular detection. The purpose of this study was to detect mutations at codon 989 and codon 1016 of VGSC genes, associated with vector resistance to insecticide temephos. Detection of VGSC gene mutations was performed by susceptibility test according to WHO, DNA of mosquito larvae which were still alive (resistance) then were extracted and amplified with Aed3 and Aed2 primers, and obtained DNA was sequenced. The results of this study showed >80% of mortality rate, while based on the confirmation of sequencing, mutation was detected at codon 1016 of valine to glycine, and codon 989 of serine to prolin of Aedes aegypti which derived from Pasar Ambacang village of Padang, related to insecticide resistance temephos that used to larvae control. The conclusion of this study was the occurrence of point mutation in S989P and V1016G of VGSC gene Aedes aegypti larvae, as a target site resistance marker on synthetic of organophospat in Padang. Keywords: Aedes aegypti, insecticide resistance, Voltage Gated Sodium Chanel (VGSC), point mutation.
PENDAHULUAN Setiap tahun kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di kota Padang selalu meningkat yang merupakan salah satu indikasi bahwa program pengendalian nyamuk vektor Ae.aegypti belum berhasil. Pada tahun 2012 jumlah kasus DBD di kota Padang sebanyak 1.626 kasus dengan Case Fatality Rate (CFR) 0,6% atau setara dengan 10 kematian. Selanjutnya pada tahun 2013 terjadi penurunan hingga tahun 2014 dengan jumlah 998 kasus menjadi sebanyak 666 kasus. Namun pada tahun 2015 jumlah tersebut kembali meningkat menjadi sebanyak 1126 kasus. Sehubungan dengan tersebut Dinkes Sumatera Barat mencatatbahwa kota Padang merupakan daerah dengan kasus DBD tertinggi dibandingkan dengan 18 kota/kabupaten endemik lainnya sejak tahun 2006 hingga 2015 (DKK Padang, 2015). Di Indonesia telah dilakukan berbagai program untuk pengendalian vektor DBD, yaitu dengan manajemen lingkungan, partisipasi masyarakat, perlindungan individu, pengendalian biologis dan pengendalian kimiawi. Pengendalian kimiawi dapat berupa fogging untuk nyamuk dewasa dan penggunaan larvasida atau abatisasi untuk larva nyamuk (Kemenkes RI, 2010). 277
Abatisasi merupakan salah satu tindakan pengendalian nyamuk Ae. Aegypti yang masih dilaksanakan hingga saat ini. Abatisasi adalah suatu tindakan pengendalian kimiawi yang dilakukan terhadap larva nyamuk Aedes sp. Di Indonesia, tindakan abatisasi dilakukan dengan menggunakan temephos 1% dengan dosis 1 ppm. Kandungan bahan aktif dari Temephos adalah Tetramethyl Thiodi, P-Phenylene, Phasporothioate 1%, dan inert ingredient 99%. Walaupun usaha pencegahan DBD telah dilakukan dengan pengendalian vektornya, namun masih terjadi peningkatan kasus DBD, karena resistensi vektor DBD terhadap insektisida (Dinkes, 2013;WHO, 2012) Lima et al., (2008) melaporkan pada beberapa kota di negara Brazil bahwa nyamuk vektor Ae.aegypti telah resistensi terhadap insektisida temephos. Mulyanto et al., (2012) juga melaporkan adanya resistensi larva Ae. aegypti terhadap temephos di kota Surabaya, dengan kematian larva beragam dari 20% hingga 60%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa strain nyamuk di kota Surabaya telah resisten terhadap temephos yang digunakan untuk abatisasi. Penggunaan insektisida dengan dosis, obat, sasaran dan cakupan yang tepat akan mampu mengendalikan vektor DBD. Sebaliknya, jika insektisida digunakan secara tidak tepat dan dalam jangka waktu tertentu akan menimbulkan resistensi vektor (Kemenkes RI, 2010). Penggunaan temephos yang telah lebih dari 30 tahun juga memungkinkan terjadinya perkembangan resistensi (Setiawan dan Fikri, 2014). Penentuan resistensi bergantung kepada bioassay, konsentrasi insektisida yang tetap dan menghitung waktu pemaparan dan data dilaporkan sebagai persentase kematian serangga atau efek Knock Down (KD). WHO telah menetapkan dosis diagnosis standar untuk setiap insektisida (Corbel dan N‘Guessan, 2013). Jika mortalitas, serangga uji <80% pada suatu populasi serangga tersebut dinyatakan telah resisten, sehingga tidak bisa lagi digunakan jenis insektisida tersebut untuk pengendalian vektor (IRAC, 2011). Munculnya resistensi vektor terhadap insektisida yang semakin meluas menambah sulit untuk menanggulangi penyakit yang ditularkan vektor. Mekanisme resistensi terhadap insektisida mempunyai dasar secara biokimia. Dua bentuk mekanisme utama resistensi secara biokimia adalah : 1). Target site resistance yang terjadi apabila insektisida tidak lagi dapat mengikat target/ sasaran. 2). Detoxification enzyme-based resistance yang terjadi karena peningkatan aktivitas enzym esterase, oxidase, atau glutathione- S-transferase (GST) untuk degradasi insektisida sebelum mencapai tempat sasaran (target site) (Brogdon et al., 1998). Deteksi dini status kerentanan vektor terhadap insektisida dapat bermanfaat sebagai informasi program untuk pemilihan insektisida yang tepat dalam pengendalian vektor secara lokal spesifik. Deteksi resistensi vektor terhadap insektisida dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu : 1. Deteksi secara konvensional dengan metode standart WHO susceptibility test, 2. Deteksi secara biokimia atau enzimatis menggunakan mikroplate, dan 3. Deteksi secara molekuler. Prinsip dasar deteksi resistensi pada vektor secara molekuler adalah mengidentifikasi mutasi gen yang menjadi target kelompok insektisida secara konvensional, yang salah satunya adalah gen voltage gated sodium channel (VGSC) akibat penekanan secara selektif insektisida kelompok Organofosfat dan Pyrethroid serta gen Acetylcholin esterase (AceI)(French- Costant, 2004). Pada serangga yang telah resisten terhadap insektisida perytroit dan organofosfat mekanisme resistensi penting diketahui untuk mendeteksi perubahan atau mutasi pada gen VGSC. Secara molekuler pada gen VGSC terjadi perubahan satu basa nukleotida pada asam amino yang berkaitan dengan resistensi. Berdasarkan uraian diatas tujuan penelitian ini untuk mendeteksi dan identifikasi mutasi pada kodon V1016G dan kodon S989P gen VGSC yang berkaitan dengan resistensi vektor Aedes aegypti terhadap insektisida temephos di kota Padang.
278
BAHAN DAN METODE A.Uji Resistensi dengan metode standar WHO Susseptibility test Metode uji kerentanan melalui metode bioassay. Biassay larva dilakukan menggunakan temephos pestanal 250 mg 97,5% (Sigma-Aldrich) pada larva instar III atau awal instar IV yang ditempatkan pada gelas eksperimen. Konsentrasi temephos yang digunakan adalah sesuai standar WHO (1981) yaitu standar diagnostik 0,02 mg/l dilakukan pada 20 ekor larva dan kontrol. Pengamatan dilakukan pada jumlah kematian larva setelah pengamatan selama 24 jam. Uji resistensi dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali untuk meminimalisasi kesalahan pengukuran. Kriteria dilakukan menurut Herath : (i). kematian sebesar 99- 100% = Rentan. (ii) kematian 80-98% = toleran/perlu verifikasi. (iii) kematian < 80% resisten. B. Uji Molekuler Metode molekuler yang digunakan meliputi beberapa langkah seperti berikut : Isolasi DNA dari larva nyamuk Ae.aegypti hasil uji bioassay dengan menggunakan kit Isolasi dari Invitrogen protokol sesuai dengan yang direkomendasikan pabrik. Selanjutnya PCR (Amplifikasi) menggunakan sepasang primer Aed3 F ; 5ʼ ACT ACA TCG GAA TGT GGA TCG 3ʼdan Aed2 R: 5ʼ TTG TTG GTG TGC GTT GTC GGC CGT CGG 3ʼ, Marcombe et al., (2012). DNA hasil amplifikasi dipurifikasi sebelum disekuensing di Macrogen Korea. Pengeditan hasil sekuensing dilakukan dengan program Bioedit software yang diakses secara online pada situs: NCBI:http://www.mbio.ncsu.edu/bioedit/. Selanjutnya dilakukan analisiss SNP menggunakan program Geneious versi 5.5.7 untuk mengetahui adanya mutasi kodon pada gen VGSC. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Bioassay Hasil bioassay uji resistensi standar WHO susceptibility test beberapa sampel nyamuk Aedes aegypti di Kota Padang menunjukan adanya resisten terhadap temephos dengan konsentrasi diagnostik 0,02 mg/l (kelompok Organopofosfat). Hasil uji resistensi tersebut digunakan untuk menyeleksi nyamuk yang telah resisten yang akan digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi mutasi gen VGSC yang berperan dalam resistensi insektisida. Hasil susceptibility test menggambarkan bahwa larva nyamuk yang tidak mati atau masih hidup dengan kematian <80% dinyatakan resisten. Bioassay sussuptibility test yang juga dilakukan oleh Litbangkes RI (2015) melaporkan bahwa di Sumatera Barat nyamuk Ae.aegypti telah resisten di kota Bukittinggi dan Kabupaten Pesisir Selatan sedangkan di kota Padang masih kisaran toleran terhadap temephos (Komonikasi Pribadi). Perbedaan hasil uji bioassay yang dilakukan di kota Padang mungkin disebabkan oleh perbedaan lokasi karena penggunaan larvasida di masing-masing lokasi dengan intensitas yang berbeda. Temephos merupakan gologan insektisida organofosfat yang banyak digunakan oleh masyarakat dan juga digunakan oleh pemerintah untuk program pengendalian nyamuk namun penggunaannya tidak terkontrol sehingga menyebabkan resistensi pada vektor nyamuk tersebut. Mekanisme resistensi yang terjadi akibat insektisida golongan organofosfat adalah metabolik resisten yaitu adanya enzim-enzim yang dapat mendegradasi insektisida sebelum mencapai sasaran atau target site. Data resistensi nyamuk yang didapatkan dari lokasi berbeda dan dari waktu kewaktu sangat diperlukan untuk pengembangan strategi manejemen pengendalian vektor . Selanjutnya dengan konfirmasi data sekuensing dideteksi dan diidentifikasi terjadinya mutasi pada gen VGSC nyamuk Aedes aegypti dari kelurahan Pasar Ambacang Kuranji Padang.
279
Uji Molekuler Isolasi DNA larva menggunakan kit Invitrogen dan di amplifikasi dengan menggunakan primer Aed3 F dan Aed2R menghasilkan fragmen gen VGSC sesuai dengan sekuen target dengan panjang 579 bp. Hasil PCR tersebut pada beberapa larva Ae.aegypti di elektroforesis pada gel agarose 1,5% diperlihatkan pada Gambar 1. Hasil PCR tersebut kemudian di sekuensing yang menghasilkan 579 pasangan basa nukleotida.
Gambar 1 : Elektroforegram hasil Amplifikasi Fragmen DNA gen VGSC Hasil analisis sekuen DNA tersebut menunjukan adanya 2 titik mutasi pada kodon 989 pengkode Serin (TCA) berubah menjadi Prolin (CCA) dan mutasi pada titik 1016 kodon pengkode Valin (GTA) berubah menjadi Glysin GGA). Hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.. Mutasi titik yang didapatkan pada penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu di Martique Perancis oleh Marcombe et al., (2012) di India 2013 oleh Kuswah et al., (2015) di Amerika Latin, Asia Tenggara dan Cina Chun Xiau Li (2015). Namun hasil penelitian ini berbeda dengan Widiarti et al.,. (2011) di kelurahan Simongan Kota Semarang yang mendeteksi mutasi kodon 1014 Leusin (TTA) berubah menjadi Fenilallanin (TTT) serta oleh Ghiffari et al.,(2013) di Palembang yang berhasil mendeteksi mutasi 1016 Valin menjadi Isoleusin. Hal ini diduga karena penggunaan primer dan target sekuen yang berbeda. Mutasi- mutasi yang terjadi pada gen VGSC. Sampai saat ini telah di temukan beberapa mutasi titik yang berbeda pada beberapa serangga. Pada Ae.aegypti di ketahui mutasi gen terjadi pada titik : 1) I1011M (ATA menjadi ATG) (Daborn et al., 2002), 2) I1011V (ATA menjadi GTA) (Yanola et al., 2011), 3) F1552C (TTC menjadi TGC)(Kawada et al.,2009), 4) F1534C (TTC menjadi TGC) (Yanola et al., 2010),5) V1023G (GTA menjadi GGA) (Lima et al., 2008), V1016G (Srisawat et al., 2010 dan Kasai et al., 2011) dan 6) F1023C (TTC menjadi TGC (Kasai et al., 2011). Hasil penelitian ini mengkonfirmasikan bahwa mutasi titik gen VGSC yang berbeda beda sesuai dengan jenis insektisida yang digunakan, desain primer serta lokasi pengoleksian larva Ae.aegypti.
280
Gambar 2 : Hasil analisis data sekuensing adanya mutasi pad kodon S989P Ae. aegypti
Gambar 3 : Hasil analisis data sekuensing adanya mutasi pad kodon V1016G Ae. aegypti
281
Pada saat ini pengendalian vektor larva Ae.aegypti yang dilakukan pemerintah adalah dengan menggunakan temephos terutama di kota dan didaerah daerah endemik DBD termasuk di kota Padang. Pada pertemuan tekhnis dari The National Resistance Monitoring of Ae. aegypti ( MoReNAa ) tahun 2006 di tentukan bahwa program pengendalian vektor di kota-kota dengan rasio resistensi Ae.aegypti lebih besar dari 3 harus menggunakan insektisida lain dengan mekanisme kerja yang berbeda agar mengurangi tekanan seleksi terpajan (Ministerio da Saude, 2006). Disamping penggunaan insektisida alternative, populasi harus di pantau terus menerus untuk mengetahui resistensi terhadap temephos sampai insektisida ini bisa dipakai kembali. Selain itu perlu terjadi perubahan budaya didalam masyarakat agar mengenadlikan Ae aegypti secara terus menerus dan secara keseluruhan daerah dengan efektif. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor DBD di kelurahan Pasar Ambacang Kuranji di Kota Padang telah resisten terhadap temephos yang di gunakan sebagai larvisida, Deteksi dan identifikasi resistensi secara molekuler juga mendapatkan mutasi pada kodon S989P (Serin berubah menjadi Prolin) dan Kodon V1016G (Valin berubah menjadi Glysin). DAFTAR PUSTAKA Brogdon, W.G. and. J.C.McAllister. 1998. Insecticide Resistance and Vector Control. Emerging Infectious Diseases. Vol 4: 605-61 3. Corbel, V., R. N‘Guessan. 2013. Distribution, mechanism, impact, and management of insecticide resistance in malaria vectors: a pragmatic review. Diakses dari http://www.intechopen.com/books/anopheles-mosquitoes-new-insights-into-malariavectors/distribution-mechanisms-impact-and-management-of-insecticide-resistancein-malaria-vectors-a-pragmat pada tanggal 26 Desember 2015. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. 2013. Profil kesehatan Provinsi Sumatera Barattahun2013. Diakses dari https://dinkeskotapadang1.files.wordpress.com/2014/08/profil-tahun-2013edisi2014.pdf pada tanggal 21 Desember 2015. 282
Daborn ,P.J., Yen, Bogwitz,J.L., Le Goff, M.R., Feil, E., Jeffers, S., Tijet, N., Perry, T., D.Heckel,., P. Batterham.2002. A single P450 alleleassociatewith insecticide resistance in Drosophila. Science. ;297:2253-2256 Ffrench - Constant, R. H.; Philip J. Daborn and Gaelle Le Goff.2004. The genetics and genomics of insecticide resistance. TRENDS in Genetics. Vol. 20 (3): 163-170. Ghiffari, A., Fatimi, H., Anwar, C. 2013. Detection of Insecticide Synthetic Pyrethroid Resistance on Dengue Vector Aedes aegypti (L.)in Palembang using Polymerase Chain Reaction. Aspirator vol 5. P:37-44 Herath, P.R.J. Insecticide Resistance Status in Disease Vectors and itsPracticalImplications Intercountray Workshop on Insecticide Resistance of Mosquito Insecticide Resistance Action Committee. 2011. Prevention and management of resistance in vectors of public health importance 2nd edition. Diakses dari http://www.iraconline.org /content /uploads /VM-Layout-v2.6_LR.pdf pada tanggal 24 Desember 2015. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Buletin jendela epidemiologi volume 2. Diakses dari http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/p usdatin/buletin/buletindbd.pdf pada tanggal 22 Desember 2015. Kasai S, Ching, L. Lam-Phua, S.G., Tang,C.S., Itokawa, K., Komagata, O., Kobayashi,M. and Tomita, T. 2011. First Detection of a Putative Knockdown Resistance Gene in Major Mosquito Vector, Aedes albopictus. Jpn. J. Infect. Dis. 2011; 64:217-221. Kawada, H., Higa, Y., Komagata, O. 2009. Widespread Distribution of A Newly Found Point Mutation in Voltage-Gated Sodium Channel in Pyrethroid Resistant Aedes aegypti Populations in Vietnam. PloS Neglected Tropical Diseases. Vol. 3, 5271-5277 Kuswah, R. B.S., Dykes, C. L., Kapoor, N., Adak, T. and Sing, O.P. 2015.PyrethroidResistance and Presence of Two Knockdown Resistance (kdr) Mutations, F1534C and a Novel Mutation T1521I, in Indian aedes aegypti. Plos Necleted Tropical Deseases.Vol. ((1):1-8. Lima, E.P., Paiva, M.H.S., de Araújo, A.P., da Silva, É.V.G, da Silva, U.M., de Oliveira, et al. 2008. Insecticide Resistance in Aedes aegypti Populations from Ceará, Brazil. Parasites & Vectors. Vol 4(5): 1-12. Marcombe, S.,Mathieu, R.B.,Pocquet, N., Riaz, M. A.,Poupardin, R.,Seilor, S.,Darriet, F.,Reynaud, S.,Yebakima, A., Corbel, V., David, J.P and Chandre, F. 2012.Insecticide Resistance in the dengue Vector aedes aegypti from Martinique: Distribution,Mechanisms and Relathions with Envirotmental Factors. Plos One. Vol. 7 (2):1-10. Mulyanto, K.C., Yamanaka, A., Ngandino, Konishi, E. 2012. Resistance of Ades aegypti (L.) larvae to temephos in Surabaya, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health,43(1):29-33. Ministerio de Saude. 2006. Secretaria de Vigilância em Saúde, Coordenação Geral do Programa Nacional de Controle da Dengue. Reunião técnica para discutir status de resistência de Aedes aegypti a inseticidas. Brasília, Ministério da Saúde
283
Srisawat R, Komalamisra, N.and Eshita, Y. 2010. Point Mutations in Domain II of the Voltage Gated Sodium Channel Gene in Deltamethrin Resistant Aedes aegypti(Diptera: Culicidae). Appl. Entomol. Zool. Vol. 45: 275-282. Setiawan, Y.D., Fikri, Z. 2014. Efektifitas larvasida temephos (abate 1G) terhadap nyamuk Aedes aegypti Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul DIY Tahun 2013. Media Bina Ilmiah, 8(4):33-36 Suroso, T. 1996. Dengue haemorrhagic fever in Indonesia: Epidemiological trend anddevelopment of control policy. Dengue Buletin, 20:35-40. Chun-Xiao Li, Kaufman, P.E., Rui-De Xue, Ming-Hui Zhao, Wang, G., Yan, T., XiaoXia Guo, Ying-Mei Zhang, Yan-De Dong, Xing, D., Heng-Duan Zhang and Tong-Yan Zhao 1* Relationship between insecticide resistance and kdr mutationsin the dengue vector. Aedes aegyptiin Southern China. Parasites & Vectors. Vol 8 :325 : 1-9 Yanola J, Somboon, P., Walton, C., Nachaiwieng, W.,Somwang, P., Prapanthadara, L. 2011. High Throughput Assays for Detection of The F 1 534C Mutation in The Voltage Gated Sodium Channel Gene in Permethrin Resistant Aedes aegypti and The Distribution of This Mutation Throughout Thailand. Tropical Medicine and International Health. Vol. 16(4): 501- 509. Widiarti, Boewono, D.T., Garjito, T. A.,Tunjungsari,R., Asih, P.B.S.dan Syafruddin, D.2012. Identifikasi mutasi Noktah Gen Voltage Gated Sodium Channel Aedes aegypti Resisten terhadap Insektisida Pyretroid di Semarang Jawa Tengah. Bul. Penelit. Kesehat, vol.40 (1) World Health Organization. 1981. Instruction for determining the susceptibility or resistance of mosquito larvae to insecticides. Diakses dari http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/69615/1/WHO_VBC_81.807_eng.pdf pada tanggal 26 Desember 2015. World Health Organization. 2012. Global strategy for dengue prevention and control. Diakses dari http://apps.who.int/iris/ bitstream/10665 /75303/1/9789241504034_eng.pdf pada tanggal 21 Desember 2015.
284
EFEK PETIDIN TERHADAP PSIKOMOTORIK DAN FUNGSI KOGNITIF PADA MENCIT (Mus musculusL.) CEMAS DENGAN MENGGUNAKAN ALAT SISTEM OTOMATIS INTELLICAGE THE EFFECT OF PETHIDINE ON PSYCHOMOTORIC AND COGNITIVE FUNCTION ANXIOUS MICE ( Mus musculusL.) USING AUTOMATIC SYSTEM INTELLICAGE 1
Putri Febriani Hasibuan1, Syafruddin Ilyas2, Salomo Hutahaean2 Mahasiswa Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara; 2Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera UtaraJln. Bioteknologi No.1 Kampus USU, Medan-20155 E-mail:
[email protected]
Abstract Pethidine is a narcotic analgesic drug that works on the central nervous system that is center of the coordination and behavior. This Research aims to determine the effect of petidhine on psycomotoric and cognitive functionsof anxious mice (Mus musculus L.) using automatic IntelliCage system. The reasearch has been conducted from May to September 2015. The variable used to determine the behavior were duration and the number of visit, the duration and number of nosepoke, the duration and number of lick. The sample used were male miceweighting (25-30 grams) with a total of 12 mice. Mice were deprived for 24 hours and observed for 6 hours with provision of air-puff as anxious stimulation. The provision of LED is used to form a tendency to move at every corner of IntelliCage. Pethidine testing was done by dividing the 12 mice into 3 groups: blank control, saline control, petidhine treatment. Using One Way ANOVA test, the group of petidin had showed an increase in psychomotoric function in mice based on duration of visit while it decreased the psychomotoric fuction based on number of visit, number of nosepoke and number of lick. Pethidine also affected the cognitive function of mice which was showen by changing in tendency to move at every corner of IntelliCage. Keywords: Air-puff, Anxious, IntelliCage, Mice, Pethidine PENDAHULUAN Kecemasanmerupakan efek fisiologis tubuh terhadap stimuli yang mengancam.Kecemasan dapat dihasilkan dari berbagai macam stressor yaitu berupa stressor psikologis.Stressor dapat menyebabkan perubahan tingkah laku.Dibutuhkan adaptasi untuk menyesuaikan diri agar mampu menanggapi stress. Apabila penyesuaian diri tidak dapat dilakukan, stressor dapat dengan mudah melahirkan keadaan yang bersifat patologi (Pasiak, 2005). Ada banyak yang cara digunakan untuk menanggulangi rasa cemas, penggunaan obat narkotika dan golongan obat opioid seringkali menjadi solusi untuk mengurangi kecemasan dan menciptakan perasaan bahagia (Dhabhar & McEwen, 2001). Petidin atau meperidin merupakan golongan obat opioid.Istilah opioid meliputi keseluruhan senyawa yang memiliki hubungan dengan opium suatu produk alami yang dihasilkan dari poppy (Bruton & Keith, 2006).Petidin atau meperidin merupakan golongan obat opioid sintetik turunan fenilpiperidin yang pertama kali disintesis dengan tujuan untuk studi sifat spasmolitik, tetapi memiliki sifat analgesik dengan derajat yang jauh lebih tinggi dan memiliki kecenderungan adiksi (Wilson and Gisvold‘s, 1982).Petidin yang penggunannya paling banyak dewasa ini memberikan efek euphoria (Siswandono, 1995).Sasaran reseptor yang bekerja obat ini terdapat pada somastostatin yang berfungsi sebagai neurotransmitter dengan efek masukan sensorik, 285
aktifitas psikomotrik, fungsi kognitif dan menunjukkan perubahan perilaku secara signifikan (Ganong, 2008). Mencit dan tikus merupakan hewan coba yang dapat mewakili semua jenis model kecemasan dan studi perilaku akibat induksi obat(Bourin, 1997).Safi et al., (2006), pada penelitiannya telah melakukan penelitian efek farmakologik obat dengan metode kecemesan pada mencit betina dengan obat turunan benzodiazepine lainnya yaitu diazepam dengan menggunakan alat intelliCage. Hewan diberi kecemasan berupa semburan angin (air-puff). Untuk mendapatkan hasil yang akurat dengan menggunakan IntelliCage, model kecemasan hewan di modifikasi dengan Vogel Water-lick Conflict,yaitu dengan tidak memberi akses minum kepada mencit (puasa) selama minimal 18 jam sebelum pemberian obat diazepam.Setiap mencit yang melakukan kunjungan dihitung durasi dan jumah kunjungan, hendusan dan jilatan didalam sistem intelliCage. Hasilnya obat turunan benzodiazepine terbukti berpengaruh jilatan, hendusan dan aktivitas motorik yang dapat dilihat secara kuantitas. Dalam penelitian ini digunakan paparan LED sebagai stimulasi pada setiap corner yang telah tersedia pada alatIntelliCage. Sekitar 90% dari mamalia mampu menangkap adanya perubahan cahaya karena adanya pengolahan sinyal pada fotoreseptor mencit (Puller, 2011).IntelliCageadalah sistem otomatis yang lengkap, untuk pemantauan dan pengujian lokomotor dan perilaku sosial mencit dan dapat mendeteksi perubahan pola harian serta ingatan mencakup durasi dan jumlah kunjungan, hendusan dan jilatan mencit selama berada didalam sudut. Alat ini memiliki beberapa warna lampu (LED), auditory systemhukuman berupa Air puff (semburan angin) sebagai stressor(Safi et al., 2006). BAHAN DAN METODE Penelitian ini bersifat eksperimental. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Terpadu, Laboratorium Ilmu Dasar (LIDA) Universitas Sumatera Utara bulan Juli-September 2016. Penelitian ini menggunakan sistem otomatis IntelliCage. Sampel dibagi ke dalam 3 kelompok perlakuan yaitu, hewan tanpa injeksi sebagai kontrol, pemberian saline sebagai kontrol negatif dan pemebrian petidin sebagai perlakuan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah durasi dan jumlah kunjungan, durasi dan jumlah jilatan setra durasi dan jumlah hendusan. Data dianalisa menggunakan uji ANOVA dan menggunakan data otomatis pada IntelliCage. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Digital Camera, Transponder, Injector khusustrasnponder, Timbangan Digital, Generator,serangkaian alatIntelliCage, Hand Scanner, Personal Computer (PC). bahan yang digunakan adalah mencit (Mus musculusL.)jantan, air, pakan mencit,tissue, sekam padi, obat anti nyeri (analgesiknarkotika), petidin 10 mg/ml, garam fisiologis 0,9%, ketamin 10 mg/ml, spuit 1ml. Persiapan hewan coba Mencit (Mus musculusL.) jantan yang berusia 5-7 minggu dengan berat badan 20-30 gram, sebanyak 12 ekor. Mencit diaklimatisasi selama beberapa hari di dalam IntelliCage guna penyesuain terhadap suhu lingkungan. Dosis normal petidin pada manusia adalah 70100 mg (Siswandono, 1995), dosis yang setara adalah 0,26 mg/20gBB mencit setelah dihitung dengan faktor konvesi (Paget and Barnes, 1946). Anastesi dan Implantasi Transponder Setelah dua hari periode aklimatisasi (habituasi), semua mencit diimplan dengan micro-transponder. Implantasi dilakukan setelah pemberian zat anastesi (ketamin 1,18 mg/20 g BB; im). Transponder diinjeksikan melalui subkutan dengan injector khusus transponderuntuk sekali pemakain pada masing-masing mencit. Proses ini berlangsung ± 60 menit sebelum efek anastesi yang digunakan hilang. 286
Adaptasi di dalam IntelliCage Dua belas ekor mencit yang telah di implan micro-transponderdi scan untuk mendapatkan nomor setiap mencit yang akan dimasukkan kedalam data pada komputer (setiap micro-transponder memiliki nomor seri yang berbeda-beda) guna membedakan mencit satu dengan lainnya dan setiap aktivitas mencit selama di dalam IntelliCagedapat di deteksi oleh komputer. Mencit dimasukkan kedalam IntelliCage dan beradaptasi selama 2 hari. Bebas minum kesemua sudut pada IntelliCage yang setiap sudutnya dilengkapi dengan 2 botol air minum. Metode Pembelajaran (Learning Phase) Mencit yang berjumlah 12 ekor dibagi menjadi 3 kelopmpok K1, K2 dan K3. Setelah beradaptasi secara bebas di dalam IntelliCage, dilanjutkan dengan metode pembelajaran, metode pembelajaran ini terdiri dari 2 periode, dimana 1 periode terdiri dari masa puasa selama 24 jam dan masa pengamatan selama 6 jam. Disebut masa puasa karena sudut (yang merupakan akses ke air ditutup) dan disebut masa pengamatan karena sudut (yang merupakan akses ke air dibuka) setelah mencit masuk kedalam sudut dan minum selama 3 detik mencit akan menerima semburan angin (air puff) selama 3 detik. Data yang digunakan adalah data selama pengamatan. Metode Pengenalan (Conditioning Phase) Setelah mencit menerima efek kecemasan akibat semburan angin (air puff) yang diterimanya sebagai hukuman pada setiap sudut mencit berlanjut menerima fase berikutnya yaitu metode pengenalan (Conditioning Phase). Pada fase ini menggunakan LED yang terdapat pada alat IntelliCage. Lampu akan menyala disetiap sudut. sama seperti fase sebelumnya fase ini terdiri dari atas 2 periode. 1 periode terdiri dari masa puasa 24 jam dan masa pengamatan selama 6 jam. Pada masa puasa semua pintu pada sudut yang merupakan akses ke air ditutup selama 24 jam kemudian setelah masa puasa habis berlanjut ke masa pengamatan yang berlangsung selama 6 jam, pada masa ini semua pintu pada sudut yang merupakan akses ke air dibuka Ketika mencit masuk kedalam sudut dan minum selama 3 detik mencit akan menerima semburan angin selama 3 detik. Lampu akan menyala baik pada masa puasa maupun masa pengamatan (waktu dilanjutkan dari learning phase).
Corner2
Corner3
Corner2
Corner1
Corner 4
Corner1
(a)
Corner3
Corner 4
(b)
(a) (b) Gambar 1.4. Pola stimulus LED pada IntelliCage (a) pola warna periode 1 pada fase pengenalan (b) pola warna periode 2 pada fase pengenalan; angka pada gambar menunjukan penomoran sudut (corner). 3.3.6 Metode Pengujian (Treatment Phase) Pada metode pengujian mencit diberi perlakuan: a. Kelompok K1 sebagai kontrol blank (tanpa injeksi) b. Kelompok K2 diberi injeksi larutan saline sebagai kontrol negatif c. Kelompok K3 diberi injeksi dengan petidin sebagai perlakuan 287
Fase uji ini dilanjutkan dari fase sebelumnya yang juga terdiri dari 2 periode yaitu masa puasa 24 jam dan masa pengamatan 6 jam. Setelah mencit dibagi menjadi kelompok diatas, mencit akan menerima perlakuan berdasarkan kelompoknya, pemberian zat perlakuan dilakukan 30 menit sebelum masa puasa berakhir. Injeksi dilakukan secara intramuscular. Masa puasa dan masa pengamatan sama dengan fase pengenalan (Conditioning Phase) sebelumnya yaitu dibuka, ditutupnya pintu, pemberian air puff serta lampu yang menyala sesuai warna setiap periode pada fase conditioning. 3.3.8 Variabel Pengujian Berbagai variabel variasi yang telah ditunjukkan pada setiap kelompok: Jumlah kunjungan: Frekuensi mencit untuk kembali ke corner. Durasi kunjungan: total waktu yang dihabiskan mencit didalam corner Jumlah jilatan: jumlah semua jilatan selama masa mencit minum. Durasi jilatan: waktu yang dihabiskan mencit untuk minum. Jumlah Hendusan: total jumlah yang digunakan mencit untuk berusaha mencari air pada botol di dalam sudut dengan hendusan. Durasi hendusan: Total waktu yang digunakan mencit untuk berusaha mencari air pada botol di dalam sudut dengan hendusan. 3.3.9 Analisis Data Data yang didapat dari setiap parameter uji diuji dengan bantuan SPSS ver-22 untuk melihat korelasi data antara sebelum dan sesudah pemberian obat, kemudian digunakan uji parametrik one way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji bootsrapping untuk melihat korelasi data antara sebelum dan sesudah pemberian obat dan menggunakan data otomatis yang direkam pada AnalyzerIntelliCage. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan masing masing parameter uji didapatkan bahwa rata-rata durasi kunjungan yang paling lama terdapat pada mencit yang telah diberikan obat petidin. Hal ini menunjukkan bahwa petidin mampu meningkatkan aktifitaspsikomotorik mencit selama di dalam corner. walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Petidin merupakan analgesik opioid kuat turunan sintetik morfin (fenil piperidin) yang penggunaannya paling banyak dewasa ini. Golongan ini umumnya menimbulkan euphoria (Siswandono, 1995). rata-rata jumlah kunjungan dari kontrol saline dan kelompok perlakuan petidin lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol blank. Hal ini menunjukkan bahwa petidin sedikit nya mengurangi frekuensi mencit kembali berkunjung ke dalam corner. Somastostatin tempat bekerja obat ini ditemukan dibagian otak, yang tampaknya berfungsi sebagai neurotransmiter dengan efek pada masukan sensorik, aktivitas lokomotrik (Ganong, 2008). Perbedaan berdasarkan parameter durasi hendusan mencit menunjukkan hasil yang signifikan antara kelompok kontrol blank dan kontrol saline tetapi tidak terdapat perbedaan antara kontrol blank dan perlakuan petidin. Hal ini dikarenakan dosis petidin yang digunakan belum memberikan pengaruh terhadap durasi hendusan mencit sedangkan pemberian saline dengan penambahan stressor memberikan efek penurunan perilaku sedangkan, rata-rata jumah hendusan dari masing-masing kelompok lebih rendah namun tidak berbeda secara signifikan. Rata-rata dari kelompok perlakuan petidin lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol blank. Hal ini menunjukkan pemberian obat petidin sedikitnya menurunkan jumlah hendusan mencit meskipun tidak signifikan. Obat petidin merupan analgesik narkotik yang langsung bekerja pada sistem saraf pusat yang memengaruhi sistem saraf otonom sehingga menyebabkan perubahan pergerakan psikomotorik mencit menghendus corner/sudut. 288
Hendusan mencit sedikitnya berkaitan dengan pernafasan mencit. Petidin berpengaruh pada sistem saraf pernafasan yang menyebabkan depresi pernafasan. Durasi jilatan mencit pada kelompok kontrol blank dan kontrol saline menunjukkan hasil yang signifikan. Sedangkan kontrol blank dan perlakuan petidin tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini dikarenakan dosis petidin yang digunakan belum memberikan pengaruh terhadap durasi jilatan mencit dan pemberian obat satu kali dalam masa pengamtan 6 jam belum efektif dalam memberikan pengaruh terhadap durasi jilatan mencit. jumlah jilatan mencit pada kelompok kontrol saline terdapat perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol blank dan kelompok perlakuan petidin. Tetapi dapat dilihat berdasakan rata-rata pada setiap kelompok Kelompok perlakuan petidin lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol blank. Hal ini menunjukkan petidin dapat menurunkan frekuensi mencit untuk kembali menjilat pada setiap corner. Variabel jumlah jilatan pada mencit sedikit banyak nya dihubungkan dengan perilaku mencit mencari minum dan melakukan aktivitas minum. Zat atau obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan saraf pusat dan menimbulkam kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya ganguguan fisiologis, gangguan berfikir, perubahan perasaan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) (www. Narkoba-metro.org). Tabel 1. Persentase Kunjungan Mencit pada masing-masing Corner/Sudut IntelliCage dengan Pemaparan LED Sebelum dan Sesudah Pemberian Petidin Corner/ Conditioning 2 Treatment 2 Conditioning 1 Treatment 1 Sudut Pemaparan Pemaparan Pemaparan LED Pemaparan LED + IntelliCage LED LED + petidin Petidin 1 0% 0% 0% 3% 2 0% 0% 10% 36% 3 40% 17% 52% 25% 4 60% 83% 38% 36% Pada Tabel 1. diatas dapat dilihat bahwa pada conditioning 1, treatment 1 dan paa conditioning 2 menunjukkan persentasi kunjungan yang dominan ke corner/sudut 3 dan 4. Tetapi masa treatment 2 menunjukkan persentasi yang berbeda atau hampir merata di setiap sudut/corner dan tidak lagi menunjukkan kecendrungan sudut ke 3 dan ke 4.Hal ini dikarenakan oleh, pemberian LED sebelumnya telah membentuk rangsangan pada mencit untuk bergerak kearah corner 3 dan 4. Menurut Vainino et al., (1995), Walter et al., (2001), farmakodinamik obat ini dapat menimbulkan efek berlanjut sedasi, perubahan mood, pusing, mengaburkan mental, dan hilangnya keterampilan motorik. Efek samping jangka panjang dapat dilihat dalam proses belajar yang memerlukan persepsi, perhatian, memori serta pengambilan keputusan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa golongan obat opioid merusak fungsi kognitif individu. Tabel 4.2. Persentase Hendusan Mencit pada masing-masing Corner/Sudut IntelliCage dengan Pemaparan LED Sebelum dan Sesudah Pemberian Petidin Corner/ Conditioning 1 Treatment 1 Conditioning 2 Treatment 2 Sudut Pemaparan Pemaparan Pemaparan LED Pemaparan LED IntelliCage LED LED + petidin +Petidin 1 2 3 4
0% 0% 14% 86%
0% 0% 22% 78%
0% 3% 42% 55%
12% 31% 28% 29% 289
Pada Tabel 2. diatas dapat dilihat bahwa pada conditioning 1 treatment 1 dan conditioning menunjukkan persentasi mencit menghendus yang dominan ke sudut/corner 3 dan 4, Tetapi masa treatment 2 menunjukkan persentasi yang berbeda atau hampir merata di setiap sudut/corner dan tidak lagi menunjukkan kecendrungan menghendus ke sudut/corner ke 3 dan ke 4. %. Menurut Dahlstrom et al., (1975), Blomm et al., (1976), Eidelberg & Erspamer (1975), baikopioidendogendaneksogenmenyebabkan perubahangerakpada tikus. Hal ini, menunjukkanbahwapeptidaendogenmemainkanperanpentingdalamregulasiperilaku. Tabel 4.3. Persentase Jilatan Mencit pada masing-masing Corner/Sudut IntelliCage dengan Pemaparan LED Sebelum dan Sesudah Pemberian Petidin Corner/ Conditioning 1 Treatment 1 Conditioning 2 Treatment 2 Sudut Pemaparan Pemaparan Pemaparan LED Pemaparan IntelliCage LED LED + petidin LED+Petidin 1 0% 0% 0% 0% 2 0% 0% 6% 73% 3 0% 11% 78% 3% 4 100% 89% 16% 24% Pada Tabel 3. dapat dilihat bahwa pada conditioning 1 yang hanya diberi paparan LED menunjukkan persentasi mencit menjilat atau minum ke sudut/corner 4, pada masa treatment 1 yang dipapari dengan LED dan pemberian petidin masih menunjukkan kecendrungan ke corner 4 Pada masa conditioning 2 yang hanya diberi paparan LED, masih kembali kecendrungan sudut/corner menjadi tinggi pada corner 3. Pada masa treatment 2 menunjukkan persentasi yang berbeda, yaitu mencit melakukan jilatan yang cenderung ke sudut/corner 2 Tidak ada angka yang jelas untuk membandingkan kecendrungan sudut.tetapi jelas terlihat bahwa terjadi perubahan aktivitas mencit menjilat dan minum pada conditioning 1 dan treatment 2. Menurut Kalechstein et al., (2007),beberapa gangguan kognitif pada pengguna berbagai macam jenis opioid dapat menyebabkan gangguan memori, kemampuan belajar, kecepatan psikomotor, transmisi dan respon untuk menahan diri. KESIMPULAN Obat petidin meningkatkan psikomotorik mencit cemas berdasarkan durasi kunjungan pada perhitungan rata-rata namun tidak menunjukkan hasil yang signifikan, Efek obat petidin menurunkan psikomotorik mencit cemas berdasarkan jumlah kunjungan dengan perhitungan rata-rata namun tidak tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Efek obat petidin menurunkan psikomotorik mencit cemas berdasarkan jumlah hendusan. Efek obat petidin menunjukkan hasil perbedaan psikomotorik yang signifikan berdasarkan durasi jilatan dan jumlah jilatan.Obat petidin dapat mengganggu fungsi kognitif (ingatan) mencit cemas berdasarkan persentase kecenderungan kunjungan, hendusan, jilatan mencit pada masingmasing sudut/corner IntelliCage. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih banyak TSE sebagai pencipta alat New Behavior IntelliCage Plus Manual dan kepada laboraturium terpada LIDA (USU) Universitas Sumatera Utara. DAFTAR PUSTAKA Bourin, M., 1997. Animal models of anxiety are they suitable for predicting drug action in humans. Pol. J. Pharmacol. 49: 79–84.
290
Bloom, F., Segal, D and Guillemin, R. 1976. Endorphins: Profound Behavioral Effect in Rats Suggest New Etiological Factors in Mental Illness. 194: 130-133. Dahlstrom, B., Paalzow, G & Palzow, L. 1975. A Pharmacokinetic Appoarch to Morphine Analgesia and Its Relation to Regional Turn Over of Rat Brain Catecholamines. Life Sci. 17: 11-15. Dhabhar, F. S., & McEwen, B. S. (2001). Bidirectional effects of stress and glucocorticoid hormones on immune function: Possible explanations for paradoxical observations. In R. Ader, D. L. Felten, & N. Cohen (Eds.), Psychoneuroimmunology (3rd ed., pp. 301– 338). San Diego, CA: Academic Press. Eidelberg, E. and Ersparmer, R. 1975. Dopaminergic Mechanisms of Opiate Action in Brain. J. Pharmacil. Exp Ther. 192:50-55. Ganong, W.F. 2008.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC. hal. 116-117. Ghodse And Hamid. 2002. Drugs and Addictive Behaviour. New York. Camridge University Press.page: 95. Kalechstein, A. De La Garza, R. Mahoney, J. Fantegrossi, W. And Newton, T. F. 2007. MDMA Use and Neurocognition: a Meta-analytic Review. Psychopharmacology. 189 (4): 531. Lumbantobing, S. M. 2007. Serba Serbi Narkotika. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal. 150153. Pasiak, T., Aswin, S., Susilowati, R. 2005. Hubungan reseptor dopamin D1 di cortex prefrontalis tikus ( Rattus norvegicus ) dengan memori kerja setelah stres kronik. BNS . 6(3):155 -165. Puller, C. Haverkamp, S. 2011. Bipolar cell pathways for color vision in nonprimate dichromats. Vis Neurosci 28: 51–60. Wilson and Gisvold, 1982.Textbook of Organic Medicinal and Phormaceutical Chemistry. JB Lippicont Company East Washington Square. Philadephia. Safi, K., Wespy, F. N., Welzl, H. dan Lipp, H. P. 2006. Mouse Anxiety Models an Example of Experimental Setup Using Unconditioned Voidance in an Automated SystemIntellicage. Romanian Associated for Cognitive Science. 4: 475-488. Siwandono, dan Soekardjo, B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya. Airlangga University Press.hal: 531-535. Vainio A, Ollila J, Matikainen E, Rosenberg P, Kalso E. 1995.Driving ability in Cancer Patients Receiving Long-term Morphine Analgesia.Lancet; 346:667-670. 39. Way, E.L., and Shen, F. H. 1969. Simultaneous Quantitative Assessment Of Morphine Tolerance And Physical Dependence. J. Pharmac. 167: 1-8.
291
EFEK ALPRAZOLAM TERHADAP PERILAKU KOGNITIF DAN PSIKOMOTORIK PADA MENCIT (Mus musculus L.) DENGAN MENGGUNAKAN ALAT SISTEM OTOMATIS INTELLICAGE Rinda Febriananda1, Syafruddin Ilyas2, Salomo Hutahaean2 1 Mahasiswa Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara 2 Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera UtaraJln. Bioteknologi No.1 Kampus USU, Medan-20155 E-mail:
[email protected]
Abstract Alprazolam is an effective medicine that acts as anxiolytic and additional drugs in the treatment depression, but it has adverse side effects, including cognitive and psychomotoric impairments. This research aims to determine the effect of drugs on cognitive behavioral (memory) and psychomotoric mice (Mus musculus) using IntelliCage. The variable covered the number and duration of the visits, number and duration of nosepokes, as well as the number and duration of lickings on learning corner. Twelve mice were divided into four groups: blank control groups, saline control groups, treatment of alprazolam and saline groups, and treatment of saline and alprazolam groups. Mice have beendeprived for 18 hours, then they were observed for six hours later by directing them only to one corner. They were given access to drink and punishment in the form of air-puff. The result showed that alprazolam impaired cognitive function (memory) and there was significant difference in the number of visits and nosepoke at the learning corner (p<0,05). Alprazolam could cause interference damages on cognitive and psychomotoric function of mice (Mus musculus). Keywords: Alprazolam, anxiety drug effects, IntelliCage, neurosaince, Mus musculus L.
PENDAHULUAN Kecemasan (ansietas/anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan takut atau khawatir yang mendalam dan berkelanjutan (Hawari, 2001). Kecemasan merupakan gangguan mental terbesar (Gail, 2002) dan sebanyak 47,7 % remaja sering mengalami cemas (Haryadi, 2007). Kecemasan sangat mengganggu homoestasis dan fungsi individu, kerena itu perlu dihilangkan dengan berbagai macam cara penyesuaian (Maramis, 2005). Salah satu cara untuk menghilangkan kecemasan yang berkelanjutan adalah dengan mengkonsumsi obat penenang. Obat penenang yang biasanya digunakan merupakan dari benzodiazepine, salah satu diantaranya ialah obat penenang alprazolam. Alprazolam mempunyai daya kerja yakni khasiat anxiolitik (menghalau rasa takut dan kegelisahan), antikonvulsi, sedatif-hipnotik, dan relaksasi otot (Gavish et al., 1999). Alprazolam bersifatsedatif-hipnotik.yang menekan susunan saraf pusat (Rahadian, 2009). Sedatif berfungsi menurunkan aktifitas, mengurangi ketegangan dan menenangkanpenggunanya (Tjay & Rahardja, 2007).Sedasi merupakan suatu keadaan di mana terjadi penurunan kecemasan, aktifitas motorik dan ketajaman kognitif (Rosenfeld & Loose, 2007). Fungsi kognitif adalah kemampuan berpikir dan rasionalisasi, termasuk proses belajar, mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan. Gangguan fungsi kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak karena kemampuan untuk berpikir akan dipengaruhi oleh otak. Gangguan fungsi kognitif adalah suatu gangguan fungsi otak berupa gangguan orientasi, perhatian, konsentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual (Freidl et al., 292
1996).Pada saat tercapai dosis maksimal dalam plasma, benzodiazepine dalam dosis hipnotik dapat menyebabkan kehilangan koordinasi motorik, gangguan fungsi mental dan psikomotor (Charney et al., 2001). Alprazolam memiliki efek samping, yaitu mengantuk, kelemahan otot, ataksia, gangguan mental, amnesia, ketergantungan, depresi pernapasan, kepala terasa ringan hari berikutnya, dan bingung. Masih banyak keluhan yang disampaikan oleh para pengguna obat ini. Keluhan tersebut antara lainhangover yaitu efek sisabenzodiazepin di dalam plasma darah seperti kurang konsentrasi, daya reaksi, kehilangan ingatan untuk sementara,gangguan pernafasan dan masih banyak lagi (Tjay & Rahardja, 2007; Mantooth, 2001). IntelliCage merupakan alat otomatis yang dilengkapi dengan komputer yang dapat merekam tingkah laku mencit secara otomatis.Design atau parameter yang ingin diketahui bisa dirancang pada program tersendiri pada IntelliCage, dan hasilya dapat dilihat pada program yang disebut controller dan data yang didapatkan langsung dianalisis oleh program analyzer pada IntelliCage untuk selanjutnya dapat diolah lebih lanjut. Bahan dan Metoda Penelitian a. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah digital camera, transponder (sebagai pendeteksi keberadaan mencit), injektor khusus trasnponder, alat handscanner transponder, PC (Personal Computer), serangkaian alat IntelliCage. Bahan yang digunakan adalah mencit (Mus musculus L.) jantan, air, pakan mencit, obat anticemas alprazolam kemasan 1 mg, garam fisiologis 0,9%, ketamin 5 ml, spuit 1 ml, dan tissue. b. Persiapan hewan coba Mencit (Mus musculus) jantan yang berusia 5-7 minggu dengan berat badan 20-30 gram, sebanyak 12 ekor.Masukkan ke dalam IntelliCage selama dua hari untuk periode aklimatisasi (habituasi) dengan pemberian akses minum yang bebas dan pemberian makanan secara ad-libitum (secara melimpah). c. Anastesi dan Implantasi Transponder Mencit diimplan dengan microtransponder. Implantasi dilakukan setelah pemberian zat anestesi (ketamin 0,3 mg) secara intramuskular terlebih dahulu. Transponder diinjeksikan melalui subkutan leher bagian atas dengan injektor khusus transponder untuk sekali pemakaian pada masing-masing mencit. d. Adaptasi di dalam IntelliCage Dua belas ekor mencit yang telah di implan micro-transponder di scan untuk mendapatkan nomor setiap mencit yang akan dimasukkan kedalam data pada komputer (setiap micro-transponder memiliki nomor seri yang berbeda-beda) guna membedakan mencit satudengan lainnya dan setiap aktifitas mencit selama di dalam IntelliCage dapat di deteksi oleh komputer. Mencit dimasukkan kedalam IntelliCage dan beradaptasi selama 2 hari. Bebas minum kesemua sudut pada IntelliCage yang setiap sudutnya dilengkapi dengan 2 botol air minum. e. Tahap pembelajaran Mencit dipuasakan (tidak diberikan minum) selama 18 jam kemudian mencit diberikan akses ke air secara ad-libitum ke-satu sudut (corner) pada IntelliCage. Setelah mencit masuk dan 3 detik minum didalam sudut (corner), mencit akan menerima semburan angin yang disebut hukuman.Waktu pemberian minum yang diberikan hanya 6 jam (yaitu sisa waktu 24 293
jam dikurangi 18 jam waktu puasa pada mencit) proses ini disebut 1 periode. Periode ini dilakukan selama 2 hari. f. Perhitungan Dosis Faktor konversi untuk mencit yang beratnya ± 20 g adalah 0,0026 (Paget and Barnes, 1946). Berdasarkan konversi dosis tersebut, maka diperoleh dosis alprazolam untuk mencit adalah 2mg x 0,0026 = 0,0052 mg/ 20 g BB. g. Tahap Pengujian Dua belas ekor mencit dibagi menjadi 3 kelompok yang terdiri dari 4 ekor di setiap kelompoknya: (a) Kelompok kontrol saline (KS) di cekok dengan garam fisiologis 0,9% pada hari ketiga dan keenam. (b) Kelompok perlakuan alprazolam dan saline (P1) di cekok dengan alprazolam pada hari ketiga dan garam fisiologis 0,9 % (saline) pada hari keenam. (c) Kelompoksaline dan alprazolam (P2) di cekok dengan garam fisiologis (saline) 0,9 % pada hari ketiga dan alprazolam pada hari keenam. Pencekokan hanya diberikan satu kali selama satu periode dan pemberian obat diberikan 30 menit sebelum masa puasa berakhir (Safi et al., 2006).Periode ini berlangsung selama tiga hari (pada hari kedua dan keiga hanya dilakukan pengamatan tanpa ada penambahan pemberian obat). Setiap kelompok perlakuan akan diuji dengan semburan angin yang disebut hukuman seperti metode pembelajaran sebelumnya guna untuk mendapatkan perbandingan berdasarkan variabel yang akan diuji. Berdasarkan prosedur yang telah dirancang terdapat 4 kelompok: (a) Kelompok kontrol blank (KB), yaitu tanpa pencekokan obat dan saline. (b) Kelompok kontrol saline (KS), yaitu pencekokan garam fisiologis 0,9 % (saline) pada hari ketiga dan keenam. (c) Kelompok perlakuan pertama (P1), yaitu pencekokan alprazolam pada hari ketiga dan garam fisiologis 0,9 % (saline) pada hari ke-enam. (d) Kelompok perlakuan kedua (P2), yaitu pencekokan garam fisiologis 0,9 % (saline) pada hari ketiga, dan alprazolam pada hari ke-enam. h. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini dirancang untuk mengaktifkan sistem pada IntelliCage mengunakan software Design khusus IntelliCage.Rancangan penelitian dijalankan setelah masa puasa berakhir agar variabel uji didapatkan dengan baik.
Gambar 3.1. Rancangan Penelitian. Pada rancangan di atas terdapat visit yaitu kunjungan mencit. Setiap kali mencit berkunjung, pintu akan terbuka. Timer berguna mengaktifkan hembusan pada kunjungan mencit setelah 3 detik minum. 294
i. Variabel Pengujian Berbagai variabel yang telah ditunjukkan pada kelompok kontrol yang dicekokkan dengan garam dan pada kelompok perlakuan yang dicekokkan dengan alprazolam. Variabel tersebut adalah: (a) Jumlah kunjungan: jumlah kunjungan mencit ke sudut selama pengamatan. (b) Durasi kunjungan: jumlah total lamanya waktu yang duhabiskan mencit di dalamsudut selama pengamatan. (c) Jumlah jilatan: jumlah jilatan mencit pada saat minum selama pengamatan. (d) Durasi jilatan: waktu yang dihabiskan mencit untuk minum selama pengamatan. (e) Jumlah hendusan: banyaknya jumlah hendusan mencit pada saat berkunjung ke sudut selama pengamatan. (f) Durasi hendusan: lamanya waktu pada saat mencit menghendus pada saat berkunjung ke sudut selama pengamatan. Variabel ini dapat diperoleh dari total waktu yang digunakan mencit untuk berusaha mencari air pada botol di dalam sudut dengan hendusan selama pengamatan (berhasil atau tidak berhasil) (Safi et al., 2006). j. Analisis Data Data yang didapat dari setiap parameter uji (variabel), pengamatan dicatat dan disusun ke dalam bentuk tabel.Data kuantitatif (variabel dipenden) yang didapatkan diuji kemaknaan terhadap kelompok perlakuan (variabel independen) dengan bantuan program statistik SPSS ver-22 untuk melihat korelasi data antara masing-masing kelompok dengan menggunakan uji parametrik one way ANOVA.Data yang signifikan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Multiple Comparison Bonferroni Bootstrapping untuk melihat korelasi data antara masing-masing kelompok. Hasil dan Pembahasan a. Hasil Deskriptif Pengaruh Alprazolampada Fungsi Kognitif Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil pengaruh alprazolam terhadap perilaku kognitif mencit (Mus musculus) (Gambar 1). Pada hari pertama dan kedua disebut pembelajaran atau kontrol blank (KB). Pada hari pertama dan kedua, mencit tidak diberi alprazolam ataupun saline.Mencit hanya diajarkan menuju sudut ke-2 untuk menguji ingatannya, tetapi hukuman diberikan berupa air-puff ketika minum lebih 3 detik. Sudut yang terbuka dan terdapat minuman hanya sudut dua.Pada hari pertama dan kedua, sudut yang paling banyak dikunjungi adalah sudut yang kedua. Pada hari ketiga, masing- masing kelompok telah diberikan perlakuan.Kelompok KS diberikan saline, kelompok P1 diberikan alprazolam, dan kelompok P2 diberikan saline.Setelah pemberian perlakuan obat, kelompok perlakuan pertama (P1) lebih banyak mengunjungi sudut ketiga.Berbeda dengan hewan yang hanya diberikan saline atau larutan garam fisiologi secara oral yang masih lebih sering mengunjungi sudut yang kedua yang telah diarahkan pada saat pembelajaran. Hal ini terjadi karena alprazolam dapat menurunkan fungsi kognitif untuk sementara pada dosis terapi dan pengobatan dalam jangka waktu yang pendek. Pada pengamatan selanjutnya mencit kembali ke sudut dua lagi seperti pembelajaran awal. Alprazolam menyebabkan gangguan fungsi kognitif (daya ingat), sehingga pada efek lanjutnya dapat menyebabkan gangguan ingatan sementara.Hasil penelitian yang didapatkan mencit yang diberikan alprazolam dapat merusak memori atau ingatan mencit sementara pada hari ketiga.Kelompok hewan uji P1 yang biasanya lebih banyak mengunjungi sudut dua, setelah diberikan alprazolam lebih bnyak mengujungi sudut tiga.Alpazolam merupakan turunan benzodiazepin yang bekerja langsung pada sistem saraf pusat.Benzodiazepin meningkatkan kerja neurotransmiter GABA (Gamma-aminobutyric acid) sebagai inhibitor sehingga menurunkan aktivitas neuron.Oleh sebab itu, terjadi gangguan kognitif dan 295
ingatan.Pada pemberian alprazolam di hari keenam, tidak ditemukan perubahan fungsi kognitif seperti pada hari ke tiga.Kelompok hewan uji tetap lebih banyak mengujungi sudut dua sesuai dengan metode pembelajaran.
Gambar 1.Data pengamatan jumlahkunjungan pada setiap sudut selama 8 hari pengamatan. Menurut MDL Information System (1997), efek alprazolam adalah mengganggu ingatan jangka pendek dan anterograde amnesia (tidak dapat mengingat apapun yang baru terjadi), serta nyeri sendi dan nyeri pada dada. Block & Berchou (1984) telah menemukan penurunan memori pada tikus yang telah diinduksi benzodiazepine.Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Borde et al., (1997), yang menginjeksi tikus dengan diazepam, lalu mengujinya dengan menggunakan labirin berbentuk T. Hasilnya, tikus yang diinjeksikan tidak melewati labirin dengan baik dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan tikus yang tidak di injeksi. b. Psikomotorik Berdasarkan JumlahKunjungan ke Sudut Pembelajaran (Corner) Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji dengan Analisis Varians (ANOVA), jumlah kunjungan memiliki perbedaan signifikan antara mencit yang diberi saline dan alprazolam dengan mencit kelompok kontrol. Dilakukan uji lanjut menggunakan metode Bonferroni dan Bootstrapping, maka didapatkan perbandingan jumlah kunjungan antara masing-masing kelompok(Gambar 2). Berdasarkan Gambar 2, hasil uji lanjutan untuk variabel jumlah kunjungan dengan uji perbandingan Berganda (Multiple Comparison Test) menggunakan Metode Uji Bonferroni, dapat dilihat perbedaan jumlah kunjungan yang signifikan antara kelompok KB dan P1, KB dan P2, dan KB dan KS, namun tidak didapatkan berbedaan yang signifikan antara KS, P1, dan P2. Pada perlakuan P1, didapatkan jumlah rata-rata kunjungan yang paling rendah dibandingkan semua kelompok meskipun tidak signifikan.KS merupakan kontrol negatif, karena pemberian perlakuan non farmakologik dapat menyebabkan perubahan tingkah laku.Pada penelitian ini, jumlah kunjungan diharapkan mewakili aktifitas motorik dari hewan uji.Sehingga dapat disimpulkan hasil penelitian sesuai dengan hipotesis, yaitu pemberian obat alprazolam dapat menurunkan fungsi psikomotorik dari mencit (Mus musculus).Penurunan tersebut berpengaruh pada terganggunnya neurotransmiter GABA yang bekerja sebagai inhibitor.Obat alprazolam yang merupakan turunan dari benzodiazepin, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan peningkatan daya kerja GABA.Peningkatan kerja GABA menyebabkan
296
penurunan kerja saraf motorik, sehingga menyebabkan penurunan aktivitas motorik yang signifikan.
Gambar 2. Rata-rata jumlah kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 8 hari (pengamatan 6 jam/hari). Keterangan KB: Kontrol Blank; KS: Kontrol Saline; P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam.
c. Psikomotorik Berdasarkan Durasi Kunjungan ke Sudut Pembelajaran (Corner) Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji dengan Metode Analisis Varians (ANOVA) dapat diketahui bahwa durasi kunjungan memiliki perbedaan yang tidak signifikan (Gambar 3).
Gambar 3. Rata-rata durasi kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 8 hari (pengamatan 6 jam/hari). Keterangan KB: Kontrol Blank; KS: Kontrol Saline; P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam; s: second (detik). Pada Gambar 3, rata-rata durasi kunjungan dari tiap kelompok yang paling rendah adalah pada kelompok P1. Hal ini menunjukkan alprazolam menurunkan fungsi psikomotorik berupa durasi kunjungan, namun perbedaannya tidak signifikan dibandingkan dengan 297
perlakuan lainnya.Alprazolam dapat mengakibatkan efek sedatif yang dapat menurunkan aktifitas motorik mencit apabila diberikan pada dosis rendah di siang hari, sehingga menurunkan rata-rata kunjungan dan durasi kunjungan mencit.Hasil data yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa pemberian alprazolam dalam dosis rendah pada siang hari dapat menurunkan fungsi psikomotorik pada mencit (Mus musculus). Pemberian obat-obat seperti hipnotik-sedatif menyebabkan penurunan koordinasi motorik karena depresi sistem saraf pusat (Salan, 1998).Secara umum gangguan aktivitas motorik adalah berupa melambatnya gerakan, ataksia, dan akinesia, atetosis, dan lain-lain (Ganong, 2002). d. Psikomotorik Berdasarkan Jumlah Hendusan Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji dengan Analisis Varians (ANOVA) dapat diketahui bahwa jumlah hendusan memiliki perbedaan yang signifikan (Lampiran 1.3). Dilakukan uji lanjutan menggunakan metode Bonferroni dan Bootstrapping, maka didapatkan perbandingan jumlah hendusan antara kelompok kontrol dan perlakuan (Gambar 4).
Gambar 4. Rata-rata mencit pada saat berkunjung kesudut pembelajaran (Corner) selama 8 hari (pengamatan 6 jam/hari). Keterangan KB: Kontrol Blank; KS: Kontrol Saline; P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat hasil uji perbandingan berganda untuk variabel jumlah hendusan dengan Uji Perbandingan Berganda (Multiple Comparison Test) menggunakan Metode Bonferroni dan Bootstrapping, dapat dilihat perbedaan jumlah hendusan yang signifikan antara KB dan P1. Pada kelompok KS, P1, dan P2 tidak ditemukan perbedaan yang signifikan.Pemberian alprazolam dapat menurunkan jumlah hendusan mencit.Perilaku menghendus dideteksi dan dicatat secara otomatis oleh IntelliCage selama mencit berkunjung disetiap sudut.Alprazolam dapat mengganggu perilaku yaitu pada fungsi psikomotorik, sehingga terjadi penurunan perilaku menghendus pada mencit (Mus musculus).Hal ini masih berhubungan dengan neurotransmitter GABA sebagai inhibitor.Kerja GABA semakin meningkat apabila mengkonsumsi benzodiazepin, sehingga terjadi gangguan penghantaran impuls pada saraf dan terjadi gangguan psikomotorik.
298
e. Psikomotorik Berdasarkan Durasi Hendusan Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji dengan Analisis Varians (ANOVA) dapat diketahui bahwa durasi hendusan menurun namun tidak signifikan.
Gambar 5. Rata-rata durasi hendusan mencit pada saat berkunjung kesudut pembelajaran (Corner) selama 8 hari (pengamatan 6 jam/hari).Keterangan KB: Kontrol Blank; KS: Kontrol Saline; P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam; s: second (detik). Berdasarkan Gambar 5 rata-rata durasi hendusan masing-masing kelompok meningkat namun tidak signifikan.Kelompok P2 lebih tinggi dibandingkan kelompok KB, KS dan P1.Hal ini menunjukkan pemberian obat alprazolam meningkatkan lamanya perilaku menghendus pada mencit yang diberikan saline dan alprazolam (P2).Pada variabel jumlah hendusan didapatkan rata-rata yang lebih rendah antara perlakuan dan kontrol, namun pada durasi didapatkan rata-rata yang lebih lama antara perlakuan dan control. Safi et al., (2006), menyatakan bahwa mencit yang diberikan diazepam memiliki ratarata durasi hendusan yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Pada penelitiannya, Safi tidak memasukkan parameter jumlah hendusan dalam penelitiannya, melainkan hanya durasi hendusan yang diketahui meningkat.Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini adalah terjadi penurunan jumlah pernafasan yang signifikan (p<0.05), tetapi terjadi peningkatan jumlah hendusan, tetapi tidak signifikan.Dinyatakan pemberian obat sedatif-hipnotik dapat memengaruhi fungsi psikomotorik mencit (Mus musculus). f. Psikomotorik Berdasarkan JumlahJilatan Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji dengan Analisis Varians (ANOVA) dapat diketahui bahwa jumlah jilatan memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Rata-rata jumlah jilatan pada perlakuan lebih tinggi dibandingkan kontrol (Gambar 6). Pada Gambar 6, rata-rata jumlah jilatan dari masing-masing kelompok perbedaan namun tidak signifikan. Pada kelompok P2 terjadi peningkatan perilaku jumlah jilatan yang tinggi dibandingkan kelompok KS dan P1.Pemberian alprazolam setelah pemberian saline (P2) dapat menyebabkan peningkatan jumlah jilatan dibandingkan pemberian alprazolam sebelum saline (P1). Pada P1 rata-rata jumlah jilatan yang didapatkan hampir sama seperti kontrol blank (KB). Berdasarkan hasil diatas, alprazolam dapat meningkatkan fungsi psikomotorik dalam perilaku menjilat pada sudut pembelajaran
299
Gambar 6. Rata-rata jumlah jilatan mencit pada saat berkunjung kesudut pembelajaran (Corner) selama 8 hari (pengamatan 6 jam/hari). Keterangan KB: Kontrol Blank; KS: Kontrol Saline; P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam.
g. Psikomotorik Berdasarkan Durasi Jilatan Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji dengan Analisis Varians (ANOVA) dapat diketahui bahwa durasi jilatan memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Rata-rata durasi jilatan pada perlakuan lebih lama dibandingkan dengan kontrol (Gambar 7).
Gambar 7. Rata-rata durasi jilatan mencit pada saat berkunjung kesudut pembelajaran (Corner) selama 8 hari (pengamatan 6 jam/hari). Keterangan KB: Kontrol Blank; KS: Kontrol Saline; P1: Alprazolam dan Saline; P2: Saline dan Alprazolam; s; second (detik). Berdasarkan Gambar 7 rata-rata durasi jilatan dari masing-masing kelompok terlihat perbedaan namun tidak signifikan.Durasi jilatan pada kelompok perlakuan lebih lama dibandingkan kelompok kontrol.Durasi jilatan paling lama terdapat pada kelompok pemberian alprazolam dan saline (P1).Berdasarkan data yang didapatkan, alprazolam meningkatkan jumlah dan durasi jilatan.Perilaku menjilat merupakan salah satu dari fungsi psikomotorik.Alprazolam meningkatkan fungsi psikomotorik dalam perilaku durasi jilatan. Menurut Giriwijoyo (2005), tubuh melakukan metabolisme untuk menghasilkan energi didalam tubuh, diantaranya kerja syaraf, kelenjar, otot, membentuk zat-zat baru dan mempertahankan suhu tubuh. Penggunaan obat-obatan seperti obat diuretika, sedativa 300
(penenang), dan anticholinergik juga dapat meningkatkan metabolisme tubuh.Diperlukan asupan air yang cukup agar tubuh dapat melakukan metabolisme dengan baik. Daftar Pustaka Block, R. I. and Berchou, R. 1984. Alprazolam and Lorazepam Effects on Memory Acquisition and Retrieval Processes. Pharmacol.Biochem.Behav.20: 233–241. Borde, N., Krazem, A., Jaffard, R., and Beracochea, D. 1997. Memory deficits following diazepam administration inmice: evidence for retrieval memory impairments. Psychobiology.25: 202–209. Charney, D. S., Mihic, S. J., and Harris, R. A. 2001.Hypnotics and Sedatives. In Hardman JG, Gilman GA, and Limbird LE eds: Goodman & Gilman‟s The Pharmacological Basic of Therapeutics. 10th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc. Pages: 399424. Freidl, W., Schimdt, R., Stronegger, W. J. 1996. MMSE: Influence of Sociodemographic Environmental and Behaviour Factors and Vascular Risk Factors. J Clin Epidemiol. 48 (1): 73-8. Gail, S. W. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. ECG. Jakarta. Hal: 144. Ganong. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta. Hal: 255-256, 259, 261. Gavish, M., Bachman, L., Shoukrun, R., Katz, Y., Veenman, L. Weisinger, G., and Weizman, A. 1999. Enigma of The Peripheral Benzodizepine Reseptor. J Pharmaco Rev. 51 (4): 629-650. Giriwijoyo, S. 2005. Manusia dan Olahraga. Penerbit ITB. Bandung. Haryadi,D. 2007. Perilaku bermasalah dini.http://www.duniaguru.com.(19 Oktober 2015).
remaja
muncul
lebih
Hawari, D. 2001. Manajemen Stres Cemas dan Depresi.Edisi ke-1.Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Mantooth, R. 2001. Toxicity, Benzodiazepine.www.emedicine.com.http//www.emidicene.com.emerg/topic58.htm.( 5 Oktober 2015). Maramis, W. F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press. Surabaya. Hal: 38, 107. MDL Information System. 1997. http: //fscimage.fishersci.com/ msds/ 81384.htm. (19 September 2016). Rahadian, D. D. 2009.Pengaruh Ekstrak Biji Pala (Myristica fragrans Houtt.) Dosis7,5 mg/25 grBB Terhadap Waktu Induksi Tidur dan Lama Waktu Tidur Mencit BALB/c yang Diinduksi Thiopental. [Skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Rosenfeld, G. C. and Loose, D.S. 2007.Pharmacology.4th edition.Lippincott Williams & Walkins. USA. Hal: 101. Safi, K., Wespy, F. N., Welzl, H. dan Lipp, H. P. 2006. Mouse Anxiety Models an Example of Experimental Setup Using Unconditioned Voidance in an AutomatedSystemIntelliCage. Romanian Associated for Cognitive Science. 4: 475-488.
301
PENGARUH EKSTRAK METANOL DAUN SUREN (Toona sureni BL Merr) TERHADAP SGPT DAN JUMLAH ERITROSIT TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN YANG DIPAPARI KARBON TETRAKLORIDA (CCl4) 1
Sera Wida Simatupang1, Salomo Hutahaean2, Masitta Tanjung2 Mahasiswa Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara; 2Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera UtaraDepartemen BiologiJln. Bioteknologi No.1 Kampus USU, Medan-20155E-mail:
[email protected]
Abstrak Penyakit hati tergolong salah satu penyakit yang merupakan problema di Indonesia dan penderita kanker hati datang mencari pertolongan dokter atau kerumah sakit dalam keadaan klinis yang buruk. Oleh sebab itu penelitian ―Pengaruh ekstrak metanol daun suren (Toona sureni BL Merr) terhadap kadar SGPT dan jumlah eritrosit (Rattus norvegicus) wistar jantan yang dipapari oleh Karbon tetraklorida (CCl4)‖ telah dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Masing-masing kelompok terdiri dari empat hewan uji yang dibagi ke dalam 6 kelompok yaitu 2 kontrol positif, kontrol normal, 3 perlakuan yaitu pemberian ekstrak suren dengan konsentrasi berbeda 100, 150 dan 200 mg/Kg/BB /oral. Perlakuan di papari CCl4 selama 10 hari kemudian diberi pemulihan ekstrak suren selama 14 hari dan darah diambil dari jantung. Hasil menunjukkan pemberian ekstrak daun suren menurunkan kadar SGPT dan meningkatkan jumlah eritrosist secara signifikan pada dosis 100 mg/ Kg BB/oral. Kata Kunci : Eritrosit, Jumlah eritrosit, SGPT, Toona sureni Bl Merr.
PENDAHULUAN Penyakit hati tergolong salah satu penyakit yang merupakan problema di Indonesia, baik negara berkembang, bahkan negara yang sudah maju (Hadi, 2000).Penderita kanker hati datang mencari pertolongan dokter atau kerumah sakit dalam keadaan klinis yang buruk (Suswono et al., 1994).Kerusakan sel hati akan memengaruhi kadar enzim-enzim hati, meningkatkan kadar bilirubin total, alanin aminotransferase (ALT) dan alkalin phosfatase (ALP), dan sebaliknya menurunkan kadar protein total dalam serum (Rao et al., 2006 dalam Panjaitan, 2006). Oleh sebab itu diperlukan cara atau sarana yang dapat digunakan untuk mengobati kerusakan hati. Suren belum banyak diteliti. namun menurut masyarakat suren berpotensi untuk menyembuhkan penyakit hati (liver). Suren mengandung senyawa-senyawa aktif yang dapat menjadi tumbuhan obat potensial untuk mengurangi radikal bebas yang terdapat dalam tubuh. Menurut Antira (2013), ekstrak metanol daun suren mengandung alkaloid, flavonoid, polifenol dan terpenoid. Dalam penelitian ini sampel yang diambil dari hewan percobaan adalah darah dan serum. Menurut Saputra dan Dwisang (2009), darah merupakan sejenis jaringan cair yang mengisi tubuh manusia. Kandungan darah terdiri daripadat 45% terdiri atas sel darah, dan cairan 55% plasma darah. Sel darah merah yang sudah tua atau rusak dihancurkan di dalam limpa. Zat besi yang dihasilkan dari perombakan tersebut disimpan di dalam hati dan limpa untuk kemudian digunkan kembali dalam pembentukan sel darah merah yang baru.
302
Perombakan sel darah merah menghasilkan empedu di hati. Fungsi sel darah merah adalah mengangkut oksigen yang berikatan dengan hemoglobin. Rancangan penelitian Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan jumlah ulangan sebanyak 4 ekor dengan dan dibagi ke dalam 6 kelompok dan darahnya diambil melalui jantung. Tabel 3.3.1. Taraf Pembagian Perlakuan 2. Kelompok Pembagian Perlakuan 3. Kontrol 6. CS10H : diberi larutan CCl4 (0,7 mL/200 g/ BB selama 10 4. positif hari) dibedah hari ke 11 5. 7. CS24H : diberi larutan CCl4 (0,7 mL/200 g/ BB selama 10 hari) dibedah hari ke 25 8. Normal 9. Akuades selama (24 hari) 11. CS100 : diberi larutan CCl4 + ekstrak suren 100 mg/ Kg/BB 14 hari, dibedah hari ke 25 12. CS150 : diberi larutan CCl4 + ekstrak suren 150 mg/ Kg/BB 10. Perlakuan 14 hari dibedah hari ke 25 13. CS200 : diberi larutan CCl4 + ekstrak suren 200 mg/ Kg /BB 14 hari dibedah hari ke 25 Pembuatan Ekstrak Daun Suren Serbuk daun suren dimasukan ke dalam wadah dan dimaserasi dengan menggunakan metanol selama 3 hari sesekali diaduk. Setelah itu disaring dan dilakukan berulang kali hingga perendaman sampai reaksi uji flavonoid negatif. Lalu tanin dipisahkan dengan cara melarutkan ekstrak metanol dengan etil asetat. Lalu filtrat etil asetat diuapkan sampai habis, kemudian ekstrak kering dilarutkan dengan metanol. Filtrat metanol diekstrak dengan nheksan. Bagian metanol pada lapisan bawahditampung, lalu diuapkan sampai kering dan diperoleh flavonoid total. Pembuatan Larutan CCl Menurut Haki (2009), dosis CCl4 yang menunjukkan efek kerusakan hati adalah (7 x -3 10 mL CCl4 dalam 0,1 mL minyak kelapa/20 g pada mencit. Setelah dikonversikan untuk tikus diperoleh dosis 0,049 mL/200 g untuk membuat stok larutan dibutuhkan sebanyak 4,9 mL CCl4 dicampur dengan 70 mL minyak kelapa. Dosis larutan yang diberikan kepada tikus sebanyak 0,7 mL/tikus. Penentuan kadar SGPT Darah tikus disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit hingga didapatkan serum. Serum sampel dimasukkan 100 µ/L ke dalam tabung bersih dan ditambahkan working reagent SGPT reagent 1 Tris, pH 7,5, L-alanin, LDH), reagent 2 (2oxaglutarate, NADH) sebanyak 1.000 µ/L, kemudian di baca pada alat spektrofotometer mikrolab 300 dan di catat hasilnya (Subrata, 1988). Hitung Jumlah Eritrosit Sebanyak 1.990 µL larutan hayem (pengencer) dimasukkan kedalam tabung, ditambahkan 10 µL darah EDTA, lalu dihomogenkan. Bilik hitung diletakkan dibawah mikroskop dan ditutup dengan cover glass, kemudian darah diambil dengan menggunakan
303
pipet tetes, lalu diteteskan dibilik hitung eritrosit, kemudian dihitung jumlahnya pada 5 bilik hitung daerah R. Analisis Data Data yang didapat dari setiap parameter (variabel) pengamatan dicatat dan disusun ke dalam bentuk tabel. Data kuantitatif (variabel dependen) yang didapatkan, diuji dengan bantuan program statistik komputer yakni program SPSS release 20untuk melihat korelasi data antara masing-masing kelompok dengan menggunakan uji parametrik one way ANOVA. Data yang signifikan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Multiple Comparison BonferroniBootsrapping untuk melihat korelasi data antara masing-masing kelompok. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Ekstrak Suren Terhadap Fungsi Hati KadarSGPT Hasil penelitian perlakuan ekstrak suren terhadap kadar SGPT tikus dapat dilihat pada Gambar 4.1.1. hasil uji bonfferoni menunjukkan perlakuan ekstrak suren 100 mg/Kg/BB memberikan hasil yang signifikan terhadap C24H danmendekati kontrol normal, sehingga dapat disimpulkan CS100 memiliki efek proteksi terhadap disfungsi hati, dengan ditandai menurunnya kadar SGPT.Hal ini disebabkan adanya flavonoid yang terdapat pada suren yang berperan sebagai antioksidan yang mampu mengikat radikal bebas yang terdapat pada tikus, sehingga ada perbaikan fungsi hati dari antioksidan tersebut.
Gambar 4.1.1. Kadar SGPT tikus putih yang diberi ekstrak metanol daun suren dengan konsentrasi berbeda. C10H (kontrol positif), C24H (kontrol positif dibiarkan hidup selama 14 hari), K (kontrol normal), CS100, CS150 dan CS200 (kontrol perlakuan, pemberian ekstrak suren dengan konsentrasi berbeda 100 mg, 150 mg dan 200 mg). Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun nonenzim. Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan superoksida dan dengandemikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Aktivitas antioksidannya mungkin dapat menjelaskan mengapa flavonoid tertentu dapat mengobati gangguan fungsi hati (Robinson, 1995). Menurut Antira (2013) ekstrak daun suren Toona sureni (Blume) Merr mempunyai respon yang besar terhadap penghambatan radikal bebas. Hasil kadar SGPT pada CS150 dan CS200 lebih tinggi dibandingkan kontrol normal dan sama dengan C10H, menyimpulkan bahwa CS150 dan CS200 tidak effektif untuk memperbaiki fungsi hati. Hal ini mungkin terjadi karena dosis diatas 150 sudah menjadi racun dan pro-oksidan bagi hati tikus. Kemungkinan hal ini diduga karena senyawa fenolik 304
dan triterpenoid yang bertanggung jawab sebagai antioksidan jumlahnya sangat tinggi, sehingga aktivitasnya bukan lagi sebagai antioksidan, tetapi berubah menjadi pro-oksidan, demikian juga vitamin C, yang merupakan antioksidan. Menurut (Julian 1969; Yomes 2000 dalam Indarto 2013), mengatakan vitamin C dengan kadar yang tinggi dapat bersifat racun bagi tubuh. Vitamin C dapat berfungsi sebagai antioksidan jika kadarnya dalam serum sebesar 5 mg/mL. Sedangkan pada konsentrasi maksimum 50 mg/mL, vitamin C berfungsi sebagai pro-oksidan sehingga dapat membunuh sel kanker, tetapi dapat juga membunuh sel normal. Menurut penelitian Suhatri (2012), mengatakan bahwa senyawa hasil isolasi dari fraksi etil asetat suren dapat memproteksi disfungsi sel endotel hanya dosis 5 mg/kg/BBdaun Suren dan efek berkurang bila dosis ditingkatkan. Pengaruh Ekstrak Suren Terhadap Fungsi Hati Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit) Hasil penelitian menunujukkan bahwa ekstrak suren berpengaruh signifikan terhadap Jumlah sel darah merah (gambar 4.2). Hasil uji bofferoni menunjukkan CS100 signifikan terhadap kontrol positif dan kontrol normal, yaitu menaikkan jumlah eritrosit dalam keadaan normal. Demikian juga kontrol positif dan kontrol normal tidak menunjukkan perbedaan yang signnifikan. Dengan demikian CCl4 tidak berpengaruh dalam merusak eritrosit, namun kenaikan jumlah eritrosit pada CS100 dimungkinkan memiliki kemampuan yang baik dalam meningkatkan jumlah eritrosit meskipun dalam rentang normal jumlah eritrosit. Peningkatan jumlah sel diduga karena ada senyawa-senyawa yang terdapat pada daun suren yang berhubungan dengan pembentukan dan pematangan eritrosit atau daun suren mungkin memiliki efek yang dapat memberikan nutrisi bagi proliferasi eritrosit. Dari hasil uji skirining fitokimia yang dilakukan ekstrak suren memiliki kandungan flavonoid, alkaloid, steroid dan saponin, yang memungkinkan sel darah merah menjadi lebih banyak.
Gambar 4.2. Jumlah eritrosit tikus putih yang diberi ekstrak metanol daun suren dengan konsentrasi berbeda. C10H (kontrol positif), C24H (kontrol positif dibiarkan hidup selama 14 hari), K (kontrol normal), CS100, CS150 dan CS200 (kontrol perlakuan, pemberian ekstrak suren dengan konsentrasi berbeda 100 mg, 150 mg dan 200 mg). Sundaryono (2011), mengatakan dalam keadaan normal, jumlah eritrosit yang berstimulasi dipertahankan dalam keadaan seimbang antara produksi yang berlangsung disumsum tulang dan peristiwa kematian eritrosit pada sistem aliran darah. Dalam keadaan sehat, setiap 24 jam akan dihancurkan 1 % dari jumlah eritrosit yang bersirkulasi dan diganti 305
oleh sel yang baru dalam jumlah yang sama. Hal ini didukung oleh penelitian (Gultom, 2003 dalam Widyawati, 2007) yang mengatakan bahwa flavonoid mampu meningkatkan sjumlah hematokrit, hemoglobin, dan eritrosit pada tikus yang diinduksi CCl4.Penelitian yang dilakukan Sundaryono (2011), Pemberian ektrak etanol daun G. segetum yang di dalamnya terkandung senyawa flavonoid dapat menaikan jumlah eritrosit pada mencit.
DAFTAR PUSTAKA Antira, B., Hazli, N., Adlis, S. 2013. Isolasi Dan Karakterisasi Senyawa Triterpenoid Dan Uji Antioksidan Dari Ekstrak Daun Surian (Toona sureni (Blume) Merr). Jurnal Kimia Unand. 2 (1). Asmaliyah. 2010. Pengembangan Biofarmaka di Sumatera Selatan. Palembang. Hadi, S. 2000. Hepatologi. Bandung. Penerbit Mandar Maju. Haki, M. 2009. Efek Ekstrak Daun Talok (Muntingia calabura L) Terhadap Aktivitas Enzim SGPT Pada Mencit Yang Diinduksi Karbon Tetraklorida[Skripsi]. Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Panjaitan, R. 2011. Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Metanol Akar PasakBumi dan FraksiFraksi Turunannya. Jurnal Veteriner. 12 (4). 319-325. Indarto, M. D. 2013. Aktivitas Enzim Transaminase Dan Gambaran Histopatologi Hati Tikus (Rattus norvegicus) Wistar Jantan Yang Diberi Fraksi N-heksan Daun Kesum (Polygonum minus Huds.). Pasca Induksi Sisplatin. [Skripsi]. Pontianak: Universitas Tanjung Pura. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam. Bandung: Penerbit ITB.. Saputra, L dan Dwisong, L. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Perawat dan Paramedis. Tanggerang Selatan: Binarupa Aksara. Seattle Treatment Education Project. 2000. Subrata, G. 1988. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat. Suhatri, Yanwirasti, Dachriyanus, dan Ellyza. 2012. Aktivitas Senyawa Isolasi Daun Surian terhadap Disfungsi Sel EndotelHiperkholesterolemia. Jurnal Farmasi Indonesia. 6 (2). Sundaryono, A. 2011.Uji Aktivitas Senyawa Flavonoid Total Dari Gynura segetum (Lour) Terhadap Peningkatan Eritrosit Dan Penurunan Leukosit Pada Mencit (Mus musculus). Jurnal Exacta. 9 (2). Supriasa, I., Bakri, B., Fajar, I. Kedokteran. 145.
2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku
Suswono. 1994. Suplemen Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker. Widyawati, W. 2007 Efek Ekstrak Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour) Merr.) Terhadap Kadar Metil Merkuri Darah Dan Karakteristik Eritrosit Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Paska Pemaparan Metil Merkuri Klorida. [Skripsi] :Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Yuhernita dan Juniarti, 2011. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder Dari Ekstrak Metanol Daun Surian Yang Berpotensi Sebagai Antioksidan. Makara Sains. 15 (1).
306
PENGARUH MUSIK KLASIK MOZART TERHADAP PERILAKU MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIINDUKSI OLEH OBAT KLORPROMAZIN DENGAN MENGGUNAKAN ALAT OTOMATIS INTELLICAGE Siska Renata Sembiring1, Syafruddin Ilyas2, Emita Sabri2 1 Mahasiswa Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara 2 Staf Departemen Biologi, FMIPA , Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1, Medan, 20155, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini telah dilakukan untuk mengamati dan menganalisis pengaruh musik klasik Mozart terhadap perilaku mencit (Mus musculus L.) yang diinduksi oleh obat Klorpromazin dengan alat otomatis IntelliCage. Mencit diberikan obat Klorpromazin secara oral sebagai penginduksi kecemasan. Mencit dianestesi menggunakan Ketamin secara intramuskular untuk dilakukan pengimplanan microtransponder melalui subkutan. Tahapan yang dilakukan pada penelitian ini adalah tahap adaptasi, tahap pembelajaran, tahap pengujian dan tahap perlakuan. Mencit dipuasakan selama ± 24 jam, kemudian akses minum secara ad-libitum ke empat sudut selama 6 jam. Lama suatu tahapan adalah dua periode, satu periode terdiri atas 2 hari. Musik klasik diperdengarkan selama masa pengamatan dan masa puasa. Melalui hasil penelitian ini, diketahui bahwa pemberian obat Klorpromazin memengaruhi secara nyata dengan rendahnya aktivitas pernafasan dan aktivitas minum (p< 0,05) sehingga kecemasan meningkat. Musik klasik mozart tidak memengaruhi secara nyata dengan meningkatnya aktivitas motorik dan aktivitas pernafasan (p> 0,05). Kata Kunci: IntelliCage, Kecemasan, Klorpromazin, Mencit, Musik Klasik Mozart.
PENDAHULUAN Kecemasan adalah suatu wujud tingkah laku yang rumit dari interaksi dinamis antara organisme dan lingkungan sekitar. Hal ini diperantarai oleh sistem limbik, talamus, korteks frontal dan sistem hormonal (Tomb 2004). Salah satu jenis hormon yang memengaruhi kecemasan pada suatu organisme adalah hormon dopamin. Hormon ini penting pada otak mamalia karena mengontrol fungsi lokomotorik, kognisi, emosi dan mengatur fungsi organ faal di dalam tubuh (Ikawati 2006). Kadar hormon dopamin apabila mengalami penipisan pada bagian saraf pusat dan saraf tepi maka akan terjadi berbagai respon negatif bagi tubuh tersebut, diantaranya kekakuan anggota gerak, kurangnya mobilitas, postur tidak stabil dan rasa acuh terhadap lingkungan (Kruger 2003). Salah satu induksi obat yang dapat menghambat pelepasan dopamin adalah Klorpromazin. Begitu banyak studi tentang hewan yang difokuskan untuk melihat tingkah laku seperti kecemasan dengan pemberian obat, tetapi penelitian tentang tingkah laku akibat pajanan musik klasik yang diterima, hanya mendapatkan sedikit perhatian (Cruz et al., 2010). Musik juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan telah diketahui mempunyai efek secara langsung dan tidak langsung terhadap fungsi fisiologis tubuh (Rauscher et al., 1993). Musik yang digunakan dalam hal ini adalah musik klasik oleh Mozart. Den‘etsu Sutoo dan Akiyama (2004) menyatakan bahwa musik Mozart bekerja secara efektif dalam
307
memperbaiki gejala penyakit akibat gangguan hormonal dopamin. Hal ini diperkirakan karena musik Mozart yang terdiri atas nada-nada yang rumit dapat memperlancar pola-pola saraf sehingga kembali mengaktifkan fungsi hormonal pada otak (Campbell 2002). IntelliCage digunakan untuk menguji penelitian fenotip dan genotip, kemampuan kognitif hewan coba seperti pola dan frekuensi aktifitas. Hal ini digunakan pada bidang Biomedis dan dasar tingkah laku, neurobiologi, dan genetika (TSE, 2013). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati dan menganalisis pengaruh musik klasik Mozart terhadap aktivitas motorik, aktivitas pernapasan dan aktivitas jilatan pada mencit (Mus musculus L.) dan untuk mengamati dan menganalisis obat Klorpromazin terhadap aktivitas motorik, aktivitas pernapasan dan aktivitas jilatan pada mencit. BAHAN DAN METODE 1. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah serangkaian alat IntelliCage, Personal Computer (PC), Multimedia Speaker 2.0 Mini Channel dan Compact Disc Mozart Effect for Children (CD), kamera digital, microtransponder, jarum gavage, injector khusus transponder, hand scanner transponder. Bahan yang digunakan adalah mencit (Mus musculus L.) jantan, air, pakan mencit, Obat antipsikotik Klorpromazin (CPZ) kemasan 100 mg, larutan ringer NaCl murni (saline), Ketamin 10 mg/ml, spuit 1 ml, tissue gulung. 2. Pelaksanaan Percobaan a. Persiapan hewan coba Mencit (Mus musculus L.) jantan berusia 5-7 minggu dengan berat badan 25-30 g sebanyak dua belas ekor dipelihara serta diberi makan dan minuman secara ad-libitum di dalam kandang selama ± satu minggu. b. Penentuan Dosis Obat dan Zat Anestesi Dosis Klorpromazin (CPZ) pada manusia adalah 200-600 mg/hari (Siswandono &Soekardjo, 1995). Faktor Konversi untuk mencit dengan berat20 g adalah 0,0026 (Paget & Bornes, 1964). Jadi, dosis CPZ untuk mencit adalah 200 mg x 0,0026 = 0,52 mg/ 20g BB mencit. Dosis Ketamin pada manusia adalah 6,5 mg/ 70 kg BB manusia secara intramuskular (Siswandono & Soekardjo, 1995). Faktor Konversi untuk mencit dengan 20 g adalah 0,0026 (Paget & Bornes, 1946). Jadi dosis Ketamin untuk mencit adalah 6,5 mg x 70 kg BB manusia = 455 mg x 0,0026 =1,18 mg/ 20 g BB mencit. c. Anestesi dan Implantasi Transponder Setelah dua hari periode aklimatisasi (habituasi). Semua mencit diimplan dengan microtransponder. Implantasi dilakukan setelah pemberian zat anestesi (ketamin 1,18 mg) secara intramuskular terlebih dahulu. Transponder diinjeksikan melalui subkutan dengan injector khusus transponder untuk sekali pemakaian pada masing-masing mencit. Proses ini berlangsung selama ± 60 menit sebelum efek anestesi hilang (Safi et al., 2006). d. Adaptasi di dalam IntelliCage (Adapting Phase) Dua belas ekor mencit yang telah diimplan microtransponder, discan untuk mendapatkan nomor seri setiap mencit yang akan dimasukkan ke dalam data pada komputer. Hal ini dilakukan untuk membedakan mencit satu dengan yang lainnya dan setiap aktivitas mencit selama di dalam IntelliCage dapat dideteksi oleh komputer. Mencit dimasukkan ke dalam IntelliCage dan beradaptasi selama beberapa hari. Akses minum ke sudut pada
308
IntelliCage dibebaskan dimana setiap sudutnya telah dilengkapi dengan 2 botol air minum (Safi et al., 2006). e. Tahap Pembelajaran (Learning Phase) Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, dimana setiap kelompok terdiri atas 4 ekor mencit. Metode pembelajaran ini terdiri dari 2 periode, dimana 1 periode terdiri dari masa puasa selama ± 24 jam dan masa pengamatan selama 6 jam. Disebut masa puasa karena sudut (yang merupakan akses menuju ke air) akan ditutup, dan masa pengamatan karena sudut dibuka. Mencit masuk ke dalam sudut dan minum, mencit akan menerima semburan angin(air puff) selama 3 detik. Data pengamatan akan disimpan di dalam program Analyzer pada PC (Safi et al., 2006). f. Tahap Pengujian (TestingPhase) Pada fase ini dimana setiap kelompok akan mendapat perlakuan yang berbeda: KB atau Kontrol Blank (tanpa injeksi). KS atau Kontrol Saline, dimana mencit diberikan saline. PO atau Perlakuan Obat, dimana mencit diberikan obatKlorpromazin. Pemberian senyawa perlakuan dilakukan 30 menit sebelum masa puasa berakhir. Mencit dipuasakan (tidak diberi minum) selama ± 24 jam dan semua pintu akan ditutup. Setelah masa puasa berakhir, semua sudut akan dibuka selama 6 jam. Mencit akan diarahkan ke semua sudut sebagai akses menuju air secara ad-libitum. Setiap mencit yang melakukan kunjungan ke sudut akan menerima semburan angin selama 3 detik. Tahap pengujian ini dilakukan selama 2 periode. Data pengamatan akan disimpan di dalam Analyzer pada PC (Safi et al., 2006). g. Stimulasi Audio Musik Klasik Jarak antara komputer dan kandang adalah 1 meter (rata-rata tingkat pendengaran 65 dB sampai 75 dB) dengan range frekuensi 100-16.000 Hz (Cruz et al., 2010). Musik yang digunakan adalah Mozart Effect for Children Vol. 2, dimana musik ini bertujuan untuk memberikan pengaruh ketenangan dengan total durasi 46 menit yang dimainkan secara berulang selama tahap perlakuan berlangsung (masa puasa dan pengamatan). h. Tahap Perlakuan (Treating Phase) Selama tahap ini diberikan musik klasik Mozart. Mencit dipuasakan (tidak diberi minum) selama ± 24 jam dan semua pintu akan ditutup. Setelah masa puasa berakhir, semua sudut akan dibuka selama 6 jam. Mencit akan diarahkan ke semua sudut sebagai akses menuju air secara ad-libitum. Setiap mencit yang melakukan kunjungan ke sudut akan menerima semburan angin selama 3 detik. Tahap pengujian ini dilakukan selama 2 periode. Data pengamatan akan disimpan di dalam Analyzer pada PC (Safi et al., 2006). i. Variabel Pengujian Berbagai variasi parameter yang telah ditunjukkan pada kelompok kontrol yang telah dicekok dengan larutan saline dan kelompok perlakuan yang dicekok dengan Klorpromazin. Jumlah kunjungan: jumlah kunjungan ke setiap sudut masing- masing hewan selama enam jam. Durasi kunjungan: variabel dalam mengamati jumlah total waktu yang dihabiskan oleh hewan percobaan di dalam sudut selama memiliki akses ke air. Jumlah jilatan: jumlah semua jilatan selama mencit minum. Durasi jilatan: waktu yang dihabiskan mencit untuk minum.
309
Jumlah hendusan: variabel ini dapat diperoleh dengan jumlah yang digunakan mencit untuk berusaha mencari air pada botol di dalam sudut dengan hendusan (berhasil atau tidak) Durasi hendusan: waktu yang digunakan mencit untuk berusaha mencari air (Safi et al., 2006). Hasil dan Pembahasan Pengaruh Pemberian Klorpromazin 1. Efek Obat Pemberian Klorpromazin Terhadap Aktivitas Motorik Berdasarkan Jumlah Kunjungan dan Durasi Kunjungan Berdasarkan Gambar 4.1.1.a, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah kunjungan kelompok mencit KB adalah 3,375; KS adalah 2 dan PO adalah 1,25. Rata-rata jumlah kunjungan mencit setelah pemberian obat Klorpromazin mengalami pengurangan dibandingkan dengan kelompok mencit KB dan KS
Gambar 1.a. Rata-rata jumlah kunjungankelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase pengujian. Berdasarkan Gambar 1.b, dapat dilihat bahwa durasi kunjungan pada kelompok mencit KB adalah 8,235 detik; KS adalah 5,030 detik dan PO adalah 3,103 detik. Uji yang dilakukan dengan metode ANOVA Oneway menyatakan bahwa jumlah kunjungan dan durasi kunjungan memiliki perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok mencit perlakuan dan kelompok mencit kontrol.
Gambar 1.b. Rata-rata durasi kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase pengujian. Rata-rata durasi kunjungan mencit menunjukkan bahwa pemberian obat dapat mengakibatkan kunjungan yang dilakukan mencit lebih singkat dibandingkan kelompok 310
mencit KB dan KS.Pemberian obat ini membuat mencit cenderung lebih kaku dan tidak ingin melakukan aktivitas sosial seperti menggaruk dan berlari. Menurut Yoganingrum (1996),Klorpromazin menimbulkan efek menidurkan yang disertai rasa acuh tak acuh terhadap rangsangan dan lingkungan. Ini dikarenakan menurunnya sekresi dopamin pada ujung-ujung saraf dopaminergik atau menurunkan efek dopamin pada neuron yang selanjutnya (Guyton, 1997). 2. Efek Pemberian Klorpromazin Terhadap Aktivitas Pernafasan Berdasarkan Jumlah Hendusan dan Durasi Hendusan Berdasarkan Gambar 2.a, dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah hendusan kelompok mencit KB adalah 3,5; KS adalah 1,5 dan PO adalah 0,75.
Gambar 2.a. Rata-rata jumlah hendusan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase pengujian. Berdasarkan Gambar 2.b, dapat dilihat bahwa durasi hendusan pada kelompok mencit KB adalah 3,213 detik; KS adalah 0,914 detik dan PO adalah 0,6 detik. Uji yang dilakukan dengan metode ANOVA Oneway-Bonferroni menyatakan bahwa jumlah hendusan dan durasi hendusan memiliki perbedaan yang signifikan.
Gambar 2.b. Rata-rata durasi hendusan kelompok mencit ke sudut pembelajaranselama fase pengujian (pengamatanselama 6 jam). Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa kelompok mencit yang diberikan obat Klorpromazin melakukan hendusan pada sudut yang paling singkat. Jika suatu kondisi memengaruhi pernafasan, hal itu dipastikan bahwa suatu subyek merasakan kecemasan secara berlebihan (Anonim, 2013). Klorpromazin adalah reseptor blocker di sinapsis dopamin, artinya bahwa Klorpromazin mengikatkan diri pada reseptor-reseptor dopamin tanpa mengaktifkannya (Pinel, 2009). 311
3. Efek Pemberian Klorpromazin Berdasarkan Aktivitas Minum Berdasarkan Jumlah Jilatandan Durasi Jilatan Berdasarkan Gambar 3.a, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah jilatan kelompok mencit KBadalah 4,875; KS adalah 2,375 dan PO adalah 0,875. Uji yang dilakukan dengan metode Oneway ANOVA-Bonferroni menyatakan bahwa jumlah jilatan memiliki perbedaan yang signifikan. Berdasarkan uji statistik, mencit yang diberikan obat menjadi lebih rendah keinginannya untuk minum karena kelompok mencit PO memiliki jumlah jilatan yang paling rendah dibandingkan kelompok KB dan KS. Klorpromazin mampu menurunkan keinginan untuk konsumsi air sehingga mencit mengalami kecemasan.
Gambar 3.a. Rata-rata jumlah jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase pengujian (pengamatan selama 6 jam).
Gambar 3.b. Rata-rata durasi jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase pengujian (pengamatan selama 6 jam). Berdasarkan Gambar 3.b, dapat dilihat bahwa rata-rata durasi jilatan pada kelompok mencit KB adalah 3,36 detik; KS adalah 1,13 detik dan PO adalah 0,25 detik. Uji yang dilakukan dengan metode ANOVA Oneway menyatakan bahwa durasi jilatan memiliki perbedaan yang tidak signifikan.Rata-rata durasi jilatan mencit PO memiliki durasi yang paling singkat untuk menjilat dibandingkan dengan kelompok mencit KB dan KS. Ini dikarenakan jumlah jilatan yang dilakukan juga rendah sehingga dapat membuktikan bahwa efek obat Klorpromazin mampu menurunkan keinginan mencit untuk melakukan aktivitas menjilat. Hal ini menyebabkan mencit mengalami kecemasan akibat pemberian obat.
312
Cemas akan mengganggu sistem keseimbangan tubuh dengan mengaktifkan sistem saraf dansistem endokrin yaitu Hipotalamus-Pituitari-Adrenal. Hipotalamus merupakan daerah pengatur sistem limbik yang mengatur emosi dan tingkah laku, osmolalitas cairan tubuh, dorongan konsumsi makan danminum serta mengatur berat badan (Guyton, 1997). Pengaruh Musik Klasik Mozart 1. Pengaruh Musik Klasik Mozart Terhadap Aktivitas Motorik Berdasarkan Jumlah Kunjungan dan Durasi Kunjungan Berdasarkan Gambar 1.a, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah kunjungan kelompok KB mencit adalah 2,215; KS adalah 0,875 dan PO adalah 4,5.
Gambar 1.a. Rata-rata jumlah kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase pengujian (pengamatan selama 6 jam). Keterangan KB: Kontrol Blank ; KS: Kontrol Saline ; PO: Perlakuan Obat. Berdasarkan Gambar 1.b., dapat dilihat bahwa rata-rata durasi kunjungan pada kelompok mencit KB adalah 8,580 detik; KS adalah 1,145 detik dan PO adalah 12,33 detik. Uji yang dilakukan dengan metode ANOVA Oneway menunjukkan bahwa jumlah kunjungan dan durasi kunjungan memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Namun, aktivitas motorik mencit menunjukkan bahwa jumlah kunjungankelompok mencit PO lebih tinggi dari kelompok mencit KB dan KS.
Gambar 1.b. Rata-rata durasi kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase pengujian (pengamatan selama 6 jam). Umumnya musik yang bertempo lambat, titik nada yang rendah dan tidak memiliki lirik digunakan untuk mengurangi stres dan kecemasan serta menggiatkan kerja sistem saraf. Musik dapat berperan sebagai penenang dan memberikan pengaruh positif bagi (Chanda & Levitin, 2013). 313
2. Pengaruh Musik Klasik Mozart Terhadap Aktivitas Pernafasan Berdasarkan Jumlah Hendusan dan Durasi Hendusan Berdasarkan Gambar 2.a, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah hendusan kelompok mencit KB adalah 3,5; KS adalah 1 dan PO adalah 3,5.
Gambar 2.a. Rata-rata jumlah hendusan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase perlakuan (pengamatan selama 6 jam). Berdasarkan Gambar 2.b, durasi hendusan pada kelompok mencit KB adalah 3,02 detik; KS adalah 0,15 detik dan PO adalah 5,35 detik. Uji yang dilakukan dengan metode ANOVA Oneway menyatakan bahwa jumlah hendusan dan durasi hendusan memiliki perbedaan yang tidak signifikan.
Gambar 2.b. Rata-rata durasi hendusan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase perlakuan (pengamatan selama 6 jam). Ini menunjukkan bahwa mencit pada kelompok pemberian obat mengalami ketenangan sehingga aktivitasnya meningkat dari kelompok lain. Periode waktu musik klasik dengan segera mengawali perasaan tenang ketika bergabung dengan hormon dopamin yang dilepaskan oleh kaudatus (Chanda & Levitin, 2013). 3. Pengaruh Musik Klasik Mozart Terhadap Aktivitas Minum Berdasarkan Jumlah Jilatan dan Durasi Jilatan Berdasarkan Gambar 3.a, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah jilatan kelompok mencit KB adalah 24,25; KS adalah 0,57 dan PO adalah 3,87. Uji yang dilakukan dengan metode ANOVA Oneway-Bonferroni menyatakan bahwa jumlah jilatan memiliki perbedaan yang signifikan antara kelompok mencit PO dan KB terhadap KS. Kelompok mencit PO lebih rendah jika dibandingkan kelompok mencit KB dikarenakan pengaruh musik klasik tidak 314
memberikan efek yang begitu besar terhadap aktivitas minum mencit.Penelitian yang dilakukan oleh Xu et al., (2009), menyatakan bahwa stimulasi audio musik dapat meningkatkan jumlah jilatan dan durasi jilatan pada mencit setelah pemajanan selama 4 hari. Pada penelitian ini musik klasik diperdengarkan hanya selama 2 hari secara bertahap, sehingga pengaruhnya tidak begitu terlihat. Musik klasik harus diperdengarkan selama 4 hari agar mendapatkan hasil yang lebih berarti.
Gambar 3.a. Rata-rata jumlah jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase perlakuan (pengamatan selama 6 jam).
Gambar 3.b. Rata-rata durasi jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama fase perlakuan (pengamatan selama 6 jam). Berdasarkan Gambar 3.b, dapat dilihat bahwa rata-rata durasi jilatan pada kelompok mencit KB adalah 1,663 detik; KS adalah 0,361 detik dan PO adalah 0,55 detik. Uji yang dilakukan dengan metode ANOVA Oneway menyatakan bahwa durasi jilatan memiliki perbedaan yang tidak signifikan. KS melakukan aktivitas minum yang paling rendah, dimana jumlah jilatan yang dilakukan lebih rendah dan durasi jilatan yang lebih singkat dibandingkan kelompok KB dan PO. Suatu cairan dikatakan sebagai cairan isotonis apabila osmolalitasnya sama dengan plasma sel sebagai cairan fisiologis NaCl yang dapat mencegah dehidrasi (Kurniawan, 2010). Kesimpulan dan Saran a. Obat Klorpromazin mampu memengaruhi secara nyata terhadap jumlah hendusan dan durasi hendusan, serta jumlah jilatan mencit.
315
b. Musik Klasik Mozart tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas motorik dan aktivitas pernafasan berdasarkan durasi hendusan mencit. Ucapan Terima Kasih Terima kasih penulis ucapkan kepada LIDA Terpadu Universitas Sumatera Utara, dr. Bob, Sp.U, TSE Germany, Don Campbell dan Kimia Farma atas bantuan berupa alat, bahan utama penelitian (zat anastesi dan musik klasik) serta kesempatan dan tempat sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Daftar Pustaka Anonim. 2013. Anxiety and Depression. Manchester. United Kingdom. Campbell, D. 2002. Efek Musik Mozart: Memanfaatkan Kekuatan Musik Untuk Mempertajam Pikiran, Meningkatkan Kreativitas dan Menyehatkan Tubuh. Gramedia Pustaka. Jakarta. Chanda, M.L and Levitin, D. 2013. The Neurochemistry Of Music. Psychology. 4: 180-185. Cruz, J. N, Lima, D. D., Magro, D and Cruz, J. G. P. 2010. Effect of Classic Music As Part of Environtmental Enrichment in Captive Mus musculus (Rodentia: Muridae). Biotemas. 23: 191. Guyton, A. C and Hall, J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran: ECG. Jakarta. Ikawati, Z. 2006. Pengantar Farmakologi Molekuler. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Kruger, R. 2003. Parkinson Disease Genetic Types. Departement of General Neurology and Hertie Institute for Clinical Brain Research. University Tuebingen. Germany. Kurniawan, 2010. Cairan dan Elektrolit Tubuh. Universitas Dipenogoro. Semarang. Pinel, J. 2009. Biopsikologi. Edisi Ke tujuh. Pustaka Belajar. Yogyakarta. Rauscher, F.H. 1993. Prelude or Requim for The Mozzart Effer. Reply. Nature, 30: 400. Safi, K., Wespy, F.N., Welzl, H and Lipp, H.P. 2006. Mouse Anxiety Models And An Example Of An Experimental Setup Using Unconditioned Avoidance In An Automated System Intellicage. Journal Cognition, Brain and Behavior. 10: 478-479, 483-484. Sutoo, D and Akiyama, K. 2004. Music Improves Neurotransmission: Demonstration Based On The Effect Of Music On Blood Pressure Regulation. Brain Res. 2: 255-262. Siswandono dan Soekardjo, B. 1995. Kimia Medisinal. Airlangga Universitas. Surabaya. Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi Keenam. Penerbit Buku Kedokteran: ECG. Jakarta. TSE. 2013. New Behavior Intellicage Plus Manual. Zurich. Switzerland, pp. 1. Xu, J., Yu, L., Cai, R., Zhang, J and Sun, X. 2009. Early Auditory Enrichment With Music Enhances Auditory Discrimination Learning And Alters NR2B Protein Expression In Rat Auditory Cortex. Behav Brain Res. 1: 49-54
316
UJI PATOGENITAS Beauveria bassiana PADA BEBERAPA MEDIA CAIR BUATAN TERHADAP MORTALITAS LARVA Aedes aegypti PATHOGENICITY TEST OF Beauveria bassianaIN SOME ARTIFICIAL LIQUID MEDIATO MORTILITY OF Aedes aegypti LARVAE Yulia Sari Ismail*, Yekki Yasmin*, Nina Anggraini* *Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia Email :
[email protected]
Abstract This research aimed to examine the pathogenicity of Beauveria bassiana that were reproduced in some kind of liquid media. The research was conducted to June 2015 in Microbiology Laboratory and Zoology Laboratory of Mathematics and Natural Sciences Faculty of Syiah Kuala University. Experimental method using Completely Randomized Designed (CRD) Factorial which consists of dilution level of B. bassiana suspension treatments and artificial liquid media treatments with 72 units combined was used in this research. Dilution level of B. bassiana suspension used were 10-1,10-2,10-3,10-4,10-5, and 106 . Potato, cassava, and maize used as the media. The result obtained that dilution level were significantly different toward mortality of Aedes aegypti larvae instar III. Dilution level of 10-1 of B. bassiana suspension caused 43,07% mortality during five days of observation. The artificial liquid media were also significantly different toward mortality of A. aegypti larvae instar III. The artificial liquid media were different with control toward the mortality of mosquito larvae. Keywords : Aedes aegypti, Beauveria bassiana, artificial liquid media, dilution level
PENDAHULUAN Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus. Virus ini dikategorikan sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kematian pada penderitanya dalam waktu yang singkat. Demam berdarah dengue (DBD) terjadi karena adanya vektor yang mengantarkan virus tersebut masuk ke dalam tubuh manusia. Vektor utama DBD adalah nyamukAedes aegypti (Yasmin dan Fitri, 2010). Nyamuk A. aegypti merupakan nyamuk cosmo tropis yaitu nyamuk yang berada di daerah tropis dan berfungsi sebagai vektor paling penting dalam membawa penyakit. Distribusi dan densitas A. aegypti dipengaruhi oleh beberapa faktor pembatas yaitu ketinggian, suhu, curah hujan, kelembaban, musim, habitat dan penyebarannya. Aedes aegypti sering ditemukan berkembang biak pada wadah alami seperti lubang pohon dan perkembangbiakannya selalu berada disekitar kediaman manusia (Abdalmagid and Alhusein, 2008).Nyamuk A. aegypti merupakan ancaman yang sangat mematikan di Indonesia. Oleh karena itu, keberadaannya pada berbagai tempat harus diminimalisir atau dikurangi. Penyebaran nyamuk yang telah meluas menyebabkan semua daerah di Indonesia beresiko terjangkit penyakit DBD, kecuali daerah yang memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut.Penyakit DBD dapat dicegah dengan melakukan penyuluhan dan memperbaiki perilaku masyarakat dengan cara kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
317
(PSN), fogging, pelaksanaan 3M (menguras, menutup,dan mengubur), dan abatisasi (Fathi et al., 2005). Penanganan yang perlu dilakukan untuk mencegah kehadiran nyamuk A. aegypti dilakukan dengan cara menggunakan pestisida kimiawi. Tetapi penggunaan pestisida kimiawi yang terus menerusakan menyebabkan resistensi bagi serangga pengganggu dan menimbulkan masalah bagi lingkungan. Salah satu upaya lain yang dapat digunakan untuk mengendalikan nyamuk A. aegypti yaitu dengan menggunakan pengendalian hayati. Menurut Yasmin dan Fitri (2010), pengendalian hayati yang sering digunakan adalah pemanfaatan jamur entomopatogen yang dapat menginfeksi larva nyamuk (larvasida).Salah satu entomopatogen yang dapat dimanfaatkan sebagai pengendalian hayati adalah jamur Beauveria bassiana. Jamur ini menyerang inang melalui kontak langsung. Penempelan B. bassiana pada serangga dibantu oleh angin, hujan dan oleh serangga lainnya yang telah terinfeksi. Setelah terjadi kontak langsung, B. bassiana akan melakukan penetrasi melalui kutikula serangga. Selanjutnya akan bereproduksi, keluarnya propagul patogen dari inang, penyebaran dan persistensi propagul patogen di lingkungan (Purnomo, 2010). Beauveria bassiana telah banyak digunakan dalam penelitian untuk mengendalikan serangga hama. Umumnya B. bassiana diperbanyak dengan menggunakan media padat seperti tepung jagung (Yasmin dan Fitri, 2010), Potato Dextrose Agar (PDA) (Tenrirawe dan Pabbage, 2013), dan beras (Herlinda et al., 2008). Selain media padat, perbanyakan B. bassiana dapat pula menggunakan media cair buatan.Bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan media cair buatan yaitu kentang (Solanum tuberosum), jagung (Zea mays), dan ketela (Ipomoea batatas). Kentang (Solanum tuberosum), jagung (Zea mays), dan ketela (Ipomoea batatas) mengandung nutrisi yang diperlukan oleh B. bassiana. Kentang mengandung vitamin C dan B1, kalsium, karbohidrat, protein, lemak, fosfor, besi dan air (Setiadi, 2009). Jagung memiliki kandungan gizi utama berupa pati yaitu amilosa dan amilopektin, selain itu terdapat pula protein, asam lemak, serta vitamin A dan E sebagai antioksidan alami. Jagung juga mengandung mineral esensial seperti K, Na, P, Ca dan Fe (Suarni dan Widowati, 2007). Ketela mengandung karbohidrat, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B1, B2, dan C serta air (Suprapti, 2003). Beauveria bassiana adalah mikroorganisme yang mudah didapat dan memiliki harga yang ekonomis. Keuntungan mengembangbiakkan B. bassiana padamedia cair ialah menghasilkan koloni jamur yang lebih banyak. Penelitian mengenai patogenitas B. bassiana yang diperbanyak pada media cair buatan kentang (Solanum tuberosum), jagung (Zea mays), dan ketela (Ipomoea batatas) untuk mengendalikan nyamuk A. aegypti sampai saat ini masih sangat kurang. Penelitian ini bertujuan untuk menguji patogenitas jamur B. bassiana yang diperbanyak pada beberapa jenis media cair. BAHAN DAN METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Jamur Beauveria bassiana dikembangbiakkan pada beberapa media cair buatan (kentang, jagung dan ketela). Jamur B. bassiana yang telah diperbanyak di media cair buatan kemudian diencerkan sebanyak 6 kali pengenceran, sehingga didapat tingkat pengenceran 10-1, 10-2, 10-3, 10-4,10-5, dan10-6. Larva nyamuk Aedes aegypti yang diperoleh dari lapangan selanjutnya dikembangbiakkan di Laboratorium. Ketika larva memasuki instar III, larva dapat digunakan sebagai hewan target pengaplikasian jamur B. bassiana. Larva nyamuk yang digunakan yaitu sebanyak 20 individu dalam 20 ml akuadest, sementara itu koloni jamur yang dimasukkan yaitu sebanyak 20 ml ke dalam cawan petri yang terdapat larva nyamuk. Pengamatan dilakukan selama lima hari dengan melihat mortalitas per hari dan melihat kerusakan tubuh larva nyamuk.
318
Pembuatan Media Proses pembuatan media diawali dengan mempersiapkan terlebih dahulu bahan-bahan yang akan digunakan seperti jagung, kentang dan ketela. Bahan yang akan digunakan ditimbang terlebih dahulu sebanyak 195 g. Setiap bahan yang digunakan, proses pembuatannya dilakukan secara terpisah. Pembuatan media kentang dan ketela selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah kemudian dicuci bersih dengan menggunakan air. Setelah bersihbahan dikupas hingga tak ada kulit yang tertinggal. Bahan kentang dan ketela yang telah bersih kemudian dipotong dadu dan direndam di dalam air agar tidak terjadi oksidasi pada bahan.Bahan dicuci kembali dengan menggunakan air hingga air cucian menjadi bening. Pembuatan media jagung agak sedikit berbeda dari pembuatan media kentang dan ketela. Pembuatan media dengan menggunakan bahan jagung tidak melalui proses pengupasan karena jagung yang digunakan adalah jagung pipil. Gelas erlenmeyer disiapkan sebagai tempat perebusan media kemudian dimasukkan kentang, ketela dan jagung pada tempat terpisah dan ditambahkanakuades sebanyak 650 ml.Akuades dan bahan yang telah bercampur kemudian ditambahkan gula sebanyak 32,5 g. Campuran tersebut kemudian direbus dengan suhu 100oC di atas penangas hingga air mendidih dan dibiarkan 15-20 menit kemudian penangas dimatikan. Air rebusan dan bahan dipisahkan, selanjutnya air rebusan (media cair) dimasukkan ke dalam erlenmeyer lainnya. Setelah selesai direbus kemudian dilakukan sterilisasi media dengan menggunakan autoklaf dan selanjutnya disinari dengan UV selama 15 menit untuk mengurangi kontaminasi. Inokulasi dan fermentasi isolat ke media cair Isolat B. bassiana dimasukkan ke dalam 100 ml media cair sebanyak satu inokulum jarum ose. Isolat tersebut diambil dari inokulum yang tersedia. Sebelum media cair ditutup rapat terlebih dahulu ditambahkan minyak untuk mengurangi gas yang diproduksi oleh mikroorganisme.Minyak yang digunakan yaitu sebanyak satu sendok makan kemudian media yang telah berisi isolat ditutup rapat. Setelah itu, erlenmeyer yang telah berisi B. bassiana diletakkan pada shaker selama proses inkubasi. B. bassiana yang telah diinkubasi selama dua hari, kemudian disimpan di dalam lemari pendingin agar B. bassiana itu tidak terus mengalami perkembangbiakkan. B. bassiana ini yang nantinya akan digunakan untuk setiap perlakuan. Pengenceran Beauveria bassiana Sebanyak 10 ml suspensi B. bassiana yang diambil dari biakan awal dimasukkan ke dalam 90 ml akuadesdan diperoleh pengenceran 10-1. Selanjutnya disiapkan erlenmeyer lainnya yang telah diisi dengan 90 ml akuades. Ke dalam akuades tersebut dimasukkan 10 ml B.bassiana dari pengenceran 10-1, kemudian dikocok hingga larutan homogen maka larutan itu menjadi pengenceran 10-2. Pengenceran dilanjutkan dengan cara yang sama hingga diperoleh pengenceran 10-3, 10-4,10-5, dan10-6. Pengaplikasian Dipersiapkan cawan petri yang telah berisi akuades sebanyak 20 ml dengan larva nyamuk sebanyak 20 ekor untuk setiap perlakuan. Wadah yang telah berisi larva nyamuk kemudian dimasukkan suspensi B. bassiana sebanyak 20 ml. Jumlah kematian larva nyamuk A. aegypti diamati pada 1 hingga 5 hari untuk melihat kelainan fisiknya setelah diaplikasikan Beauveria bassiana. Selanjutnya kematian larva nyamuk A. aegypti dilihat setelah lima hari setelah pengaplikasian.
319
Parameter Penelitian Parameter yang diamati dalam penelitian ini yaitu: 1. Mortalitas larva Pengamatan terhadap kematian larva dilakukan dengan menghitung persentase larva Aedes aegypti yang telah mati setelah lima haripengaplikasian yang dilakukan terhadap larva. Mortalitas larva dapat dihitung dengan menggunakan rumus Abbot menurut Shinta et al. (2008) :
2. Jumlah konidiospora dalam masing-masing konsentrasi perlakuan Perhitungan jumlah konidiospora dapat dilakukan dengan menggunakan rumus: Jumlah konidiospora= rata-rata konidiospora x 250.000 (konstanta) Analisis Data Data persentase mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis varian (ANAVA) berdasarkan uji F taraf 5%.Terdapat beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur)pada taraf 5% menggunakan program SPSS. Hasil persentase mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti sebelum diolah dengan analisis varian (ANAVA) terlebih dahulu ditransformasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti instar III menggunakan jamur Beauveria bassiana pada beberapa media cair buatan menunjukkan bahwa tingkat pengenceran yang digunakan berbeda nyata terhadap mortalitas larva nyamuk. Tingkat pengenceran yang digunakan sebagai faktor pertama adalah pengenceran 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, 10-5, dan 10-6. Pengenceran 10-1 menunjukkan mortalitaslarva nyamuk A. aegypti paling banyak terjadi dibandingkan tingkat pengenceran yang lainnya. Tabel 1. menunjukkan persentase mortalitas larva nyamuk A. aegypti yang diamati selama lima hari. Dapat dilihat bahwa pada tingkat pengenceran 10-1 persentase mortalitas mencapai 43,07%, sedangkan pada tingkat pengenceran lainnya tidak menunjukkan mortalitas yang berbeda nyata antara satu dengan lainnya. Tabel 1. Persentase mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti pada beberapa perlakuan aplikasi jamur Beiveria bassiana pada setiap hari pengamatan Tingkat Pengenceran Mortalitas Larva (%) -1 10 43.07b ± 17.44 -2 10 25.24a ± 13.04 10-3 25.15a ± 10.57 -4 10 24.73a ± 12.79 10-5 27.14a ± 15.34 -6 10 24.37a ± 12.69 Keterangan: huruf-huruf yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%.
320
Banyaknya larva nyamuk yang mati pada pengenceran 10-1 karena memiliki jumlah konidiospora jamur yang lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pengenceran yang lainnya. Menurut Adhi et al. (2013), kerapatan konidiospora tergantung pada kemampuan jamur B. bassiana untuk bertahan. Kemampuan bertahan jamur yang semakin baik maka kerapatan konidiosporanya juga semakin tinggi. Kerapatan konidiospora yang tinggi pada jamur B. bassiana mampu menghasilkan enzim dan toksin yang cukup tinggi pula hingga dapat menguraikan dan menghancurkan struktur tubuh serangga. Larva nyamuk yang dipelihara pada pengenceran 10-1 telah mengalami mortalitas pada hari pertama pengaplikasian. Terlihat pada tabel 2. persentase mortalitas larva nyamuk per harinya. Larva nyamuk yang dipelihara pada semua tingkat pengenceran pada umumnya telah mengalami kematian mulai dari hari pertama pengaplikasian jamur B. bassiana. Tingkat pengenceran 10-1 pada hari pertama pengamatan persentase rata-rata mortalitas adalah sebanyak 15,18%. Setiap hari mortalitas larva nyamuk mengalami peningkatan sampai pada hari kelima pengamatan. Akan tetapi, pada tingkat pengenceran lainnya pada hari pertama pengamatan mortalitas larva nyamuk lebih sedikit dibandingkan dengan pengenceran 101 ,kemudian pada pengamatan hari berikutnya mortalitas larva nyamuk A. aegypti tidak mengalami peningkatan jumlah yang banyak. Tabel 2. Persentase (%) mortalitas larva nyamuk A. aegypti pada tingkat pengenceran jamur per hari No 1 2 3 4 5 6
Pengenceran -1
10 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6
1 15,18 5,75 10,23 6,11 8,91 9,54
Hari Pengamatan Ke2 3 4 20,46 27,50 34,68 10,33 18,05 20,77 13,54 16,72 19,43 12,02 16,74 20,20 13,78 18,30 21,93 14,04 16,45 19,00
5 43,07 25,24 25,15 24,73 27,14 24,37
Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa mortalitas larva nyamuk A. aegypti terjadi secara perlahan-lahan. Hal ini karena pertumbuhan jamur B. bassiana memerlukan waktu yang lebih lama untuk proses pertumbuhan yang lebih baik. Menurut Utami et al. (2014), bahwa mortalitas larva memerlukan waktu beberapa hari setelah jamur entomopatogen (B. bassiana) diaplikasikan. Lebih lanjut menurut Herlinda et al. (2008) bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menyebabkan kematian serangga uji bervariasi tergantung pada virulensi patogen, sifat resistensi inang dan kondisi lingkungan mikro di tubuh inang. Wilyus dan Yudiawati (2005) juga mengemukakan bahwa semakin tinggi konsentrasi dari larutan jamur B. bassiana maka akan semakin cepat pula waktu yang dibutuhkan untuk menyebabkan infeksi dan mortalitas terhadap serangga uji. Selain itu, semakin tinggi konsentrasi jamur B. bassiana, akan semakin banyak pula jumlah konidiospora yang terkandung di dalam setiap mililiter larutan, sehingga penyebaran konidiospora pada permukaan tubuh larva akan lebih merata. Dengan demikian, bidang penyerangan semakin luas dan peluang konidiospora untuk tumbuh dan menembus kutikula juga semakin besar, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan infeksi dan kematian larva juga semakin pendek.
321
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu: 1. Mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti instar III menggunakan jamur Beauveria bassiana pada beberapa media cair buatan menunjukkan bahwa perlakuan dengan menggunakan tingkat pengenceran berbeda nyata. 2. Pada tingkat pengenceran 10-1 mengalami tingkat mortalitas larva yang mencapai 43,07% mortalitas pada hari kelima pengaplikasian. DAFTAR PUSTAKA Abdalmagid, M.A. and Alhusein. 2008. Entomological Investigation of Aedes aegypti in Kassala and Elgadarief State, Sudan. Sudanese Jornal of Public Health. 3 (2): 77-80. Adhi, E. P., Wignyanto dan Sakunda, A. 2013. Pengaruh Suhu dan Substrat Terhadap Produksi Konidia Beauveria bassiana. Teknologi Industri Pertanian, Brawijaya. Fathi, Keman, S., dan Chatarina, U.W. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2 (1):1-10. Herlinda, S., Hartono dan Irsan, C. 2008. Efikasi Bioinsektisida Formulasi Cair Berbahan Aktif Beauveria bassiana(BALS.) VUILL. dan Metharizium sp. Pada Wereng Punggung Putih (Sogatella furcifera HORV.). Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008 hal1-15. Purnomo, H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. ANDI, Yogyakarta. Setiadi. 2009. Budidaya Kentang. Penebar Swadaya, Jakarta. Shinta, Sukowati, S. dan Asri, F. 2008. Kerentanan Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Bogor Terhadap Insektisida Malathon Dan Lambdacylothrin. Jurnal Ekologi Kesehatan. 7(1): 722-731. Suarni dan Widowati, S. 2007. Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung. Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Hal 410-426 Suprapti, L. 2003. Tepung Ubi Jalar Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta. Tenrirawe, A. dan Pabbage, M.S. 2013. Isolasi dan Identifikasi Jamur Entomopatogen Yang Menginfeksi Hama Penggerek Tongkol Jagung (Helicoverpa armigera). Seminar Nasional Serealia. Hal 461-471. Utami, S. R., Isnawati dan Reni, A. 2014. Eksplorasi dan Karakterisasi Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana dari Kabupaten Malang dan Magetan. LenteraBio. 3 (1): 59–66. Wilyus dan Yudiawati, E. 2005. Kemangkusan Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dalam Menghambat Perkembangan Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). Jurnal Agronomi. 9(2): 103-106. Yasmin, Y. dan Fitri, L. 2010. The Effect Of Metharizium anisopliae Fungi on Mortality of Aedes aegypti Larvae. Jurnal Natural. 10 (1): 31-35.
322
Struktur dan Fungsi Tumbuhan
323
324
KARAKTERISTIK LATEKS BEBERAPA KLON KARET (Hevea brasiliensis) PADA PERIODE BULAN KERING LATEX CHARACTERISTICS OF SOME RUBBER CLONES (HEVEA BRASILIENSIS) IN DRY MONTH PERIOD Andi Wijaya, Arief Rachmawan dan Sayurandi Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet PO BOX 1415 Medan 20001 Telp/Faksimilie: 061-7980045/061-7980046 Email :
[email protected]
Abstract Dry months in North Sumatra generally occurred in January to April. Based on data from the last ten years, the average amount of rainfall in those months is less than 100 mm/month. According to Oldeman classification, the condition belongs to the dry season (autumn). In response to this condition, rubber trees shed their leaves periodically as an effort to reduce transpiration rate. This leaf fall conditions will affect the photosynthetic activity of plants, so it‟s assumed that latex characteristics will also change. This study aims to provide information about latex properties of four clones i.e., IRCA 230, RRIM 2020, IRR 104 and PB 260 in dry months. Latex was taken from rubber trees which had a d/2 tapping frequency. The Results showed that dry rubber content (DRC) ranged from 25.26 to 43.25%; total solid content (TSC) ranged from 27.18 to 45.44%; volatile matter content ranged from 0.35 to 0.43%; dirt content ranged from 0.42 to 0.78%; Po ranged from 32-52% and the PRI ranged from 18.75 to 69.23%. The latex properties of all clones are qualified to SNI standards of SIR 10, except the dirt content and the PRI of PB 260. Keywords : Hevea brasiliensis, latex properties, clones, dry months, SNI standard
PENDAHULUAN Tanaman karet berasal dari daerah tropika di lembah Amazon, Brazil dengan curah hujan 2.000-3.000 mm/tahun dan hari hujan antara 120-170 hari/tahun (Sutardi, 1981). Sebagian besar areal perkebunan karet Indonesia terletak di Sumatera dan Kalimantan dengan curah hujan 1.500-4.000 mm/tahun dengan rata-rata bulan kering 0-4 bulan per tahun dan terletak pada elevasi kurang dari 500 m di atas permukaan laut (Wijaya, et.al., 2009).Pada umumnya bulan kering (musim kemarau) di Sumatera Utara terjadi pada bulan Januari sampai dengan bulan April. Berdasarkan data sepuluh tahun terakhir, pada bulan-bulan tersebutrata-rata jumlah curah hujan di bawah 100 mm/bulan. Menurut klasifikasi Oldeman curah hujan di bawah 100 mm/bulan tergolong pada bulan kering (musim kemarau). Oldeman mengklasifikasikan iklim menjadi bulan basah dengan curah hujan di atas 200 mm/bulan, bulan lembab dengan curah hujan 100-200 mm/bulan, dan bulan kering dengan curah hujan di bawah 100 mm/bulan (Bayong, 2004).
325
Curah hujan (mm bulan1)
500 400 300 Rerata Minimum Maksimum
200 100 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Bulan
Gambar 1. Grafik curah hujan 10 tahun terakhir di Sumatera Utara Pada saat musim kemarau ketersediaan air berkurang sehingga air menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan produksi tanaman karet. Pengaruh ketersediaan air terhadap produksi karet sangat besar karena sekitar 60-70% dari lateks adalah air (Cahyo, et.al., 2011). Menurut Chang (1968) kekurangan air akan mempengaruhi laju fotosintesis karena dehidrasi fotoplasma. Dalam penelitian Syamsu, et al. (2009) dilaporkan bahwa lateks kebun yang dikumpulkan dari pohon karet pada kondisi pohon yang normal lebih stabil dibandingkan dengan lateks kebun yang berasal dari pohon karet pada kondisi gugur daun. Namun, penelitian tersebut belum dijelaskan secara kuantitatif maupun kualitatif terhadap besarnya nilai mutu lateks yang dihasilkan oleh tanaman yang sedang mengalami gugur daun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik mutu lateks beberapa klon, yaitu IRCA 230, RRIM 2020, IRR 104 dan PB 260 pada kondisibulan kering. Diduga pada kondisi bulan kering, lateks yang dihasilkan dari tanaman karet Hevea akan menurun mutunya, baik kadar karet kering maupun sifat teknis lainnya terhadap nilai standar SNI untuk diolah menjadi SIR 10. BAHAN DAN METODE Sampel lateks dianalisis di Laboratorium Teknologi Karet Balai Penelitian Sungei Putih. Sampel lateks diambil dari tanaman karet sesuai klon dengan frekuensi penyadapan d/2 dan posisi panel BO-1 dengan jumlah tanaman masing masing sebanyak 15-20 pohon dengan tiga kali ulangan. Metode analisis lateks untuk kadar karet kering dan total solid content sesuai ASTM-D 1076-88, sedangkan untuk analisis kadar kotoran, kadar zat menguap, Po dan PRI sesuai dengan metode SNI 1903-2011. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik mutu lateks yang meliputi KKK, TSC, kadar zat menguap, kadar kotoran, Po dan PRI ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik mutu lateks beberapa klon tanaman karet Parameter Analisis Klon KKK Zat Menguap Kotoran TSC (%) (%) (%) (%) RRIM 2020 43,25 45,44 0,39 0,78 IRR 104 32,10 34,71 0,43 0,75 IRCA 230 29,12 31,52 0,43 0,47 PB 260 25,26 27,18 0,35 0,42 SNI/SIR 10 0,80 0,08 326
Po (%) 48 52 32 32 30
PRI (%) 64,58 69,23 56,25 18,75 50
Lateks kebun yang dihasilkan oleh tanaman karet dari beberapa klon memiliki warna yang berbeda-beda pada saat diolah menjadi karet remah (crumb rubber). Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing klon memiliki komposisi senyawa karoten yang berbeda-beda di dalam lateks (sifat genetik tanaman), sehingga warna karet berubah menjadi kuning kecoklatan. Seperti yang dilaporkan Darussamin, et al. (1990) bahwa adanya reaksi polifenoloksidase dengan oksigen atau karoten dari fraksi Frey Wyssling di dalam lateks menyebabkan warna karet berubah menjadi coklat atau kehitaman. Pada klon PB 260 dan IRCA 230 memiliki karet remah berwarna putih cerah, sementara klon RRIM 2020 dan IRR 104 memiliki warna kuning kecoklatan. Penampakan warna pada lateks yang diolah menjadi karet remah dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penampakan warna karet masing-masing klon
Nilai KKK&TSC (%)
Kadar Karet Kering dan Total Solid Content (TSC) Kadar karet kering dan total solid content/TSC(kadar jumlah padatan) lateks kebun masing-masing klon memiliki variasi yang tinggi. Nilai kadar karet kering bervariasi antara 25,26-43,25% dan TSC sebesar 27,18-45,44%. Data yang diperoleh memperlihatkan bahwa klon PB 260 mempunyai KKK yang paling rendah (25,26%), sedangkan klon RRIM 2020 memiliki KKK paling tinggi (43,25%). Hal ini menunjukkan bahwa pada klon PB 260 yang memiliki KKK rendah sangat responsif terhadap perubahan kondisi tanaman dan lingkungan khususnya gugur daun, di samping itu juga dengan penyadapan d/2 (penyadapan dilakukan setiap dua hari sekali) memberikan indikasi bahwa metabolisme tanaman pada klon PB 260 tidak berjalan dengan baik, dikarenakan adanya eksploitasi yang berlebih (d/2) sehingga sukrosa dan fosfat anorganik di dalam tanaman tidak digunakan untuk mensintesis isoprene (partikel karet) melainkan untuk pertumbuhan tanaman dalam kondisi gugur daun. Seperti yang dijelaskan oleh Lynen (1969) bahwa fosfat anorganik berperan dalam proses penyediaan energi anabolisme dan sintesis isoprena melalui ikatan adenosin fosfat dan pirofosfat. 50.00 40.00
45.44 34.71
31.52
43.25
27.18
30.00 32.10
29.12
20.00
25.26
KKK TSC
10.00 RRIM 2020
IRR 104
IRCA 230
PB 260
Klon
Gambar 3. Grafik nilai KKK dan TSC masing-masing klon 327
Nilai Zat Menguap dan Kotoran (%)
Kadar Zat Menguap dan Kotoran Kadar zat menguap menggambarkan adanya uap air dan zat-zat lain yang mudah menguap yang masih terkandung di dalam karet remah. Penentuan ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa karet telah mengalami pengeringan yang sempurna. Nilai kadar zat menguap yang dihasilkan bervariasi antara 0,35-0,43%. Semakin rendah nilai kadar zat menguap maka sampel karet semakin baik. Semua sampel dari masing-masing klon telah memenuhi standar SNI (1903:2011) tentang karet spesifikasi teknis untuk diolah menjadi SIR10. Analisis kadar kotoran merupakan parameter yang mengindikasikan adanya bahan pengotor yang tidak larut dan tidak dapat lolos melalui saringan 325 mesh. Dari data tersebut nilai kadar kotoran bervariasi antara 0,42-0,78%. Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat proses pencucian selama penggilingan tidak terjadi dengan baik, sehingga masih adanya bahan pengotor yang masih tertinggal di dalam lateks. Dalam proses pengolahan menjadi barang jadi karet, kadar kotoran yang tinggi akan merusak mutu karena akan berpengaruh terhadap ketahanan retak lentur dan umur pakai barang jadi karet (Suparto, et al. 2009). Semua sampel dari masing-masing klon tidak memenuhi standar SNI (1903:2011) untuk diolah menjadi SIR 10.Hal ini diduga karena pada proses pencucian saat penggilingan karet remah tidak dilakukan dengan baik, sehingga masih adanya bahan pengotor berupa pasir atau tanah yang masih tertinggal. 1
0.78
0.8
0.75
0.6
0.47
0.42
0.4 0.2
Zat Menguap 0.39
0.43
0.43
RRIM 2020
IRR 104
IRCA 230
0.35
Kotoran
0 PB 260
Klon
Gambar 4. Grafik nilai kadar zat menguap dan kotoran masing-masing klon Po dan PRI Nilai plastisitas awal (Po) masing-masing klon bervariasi antara 32-52%. Dari data tersebut terlihat bahwa nilai plastisitas awal tertinggi diperoleh pada klon IRR 104 (52%), sedangkan terendah diperoleh pada klon IRCA 230 dan PB 260 (32%). Hal ini diduga bahwa klon IRR 104 memiliki metabolisme yang lebih stabil dalam mensintesis partikel karet dengan rantai molekul yang panjang dibandingkan dengan ketiga klon lainnya, yaitu RRIM 2020, IRCA 230 dan PB 260. Rachmawan et al. (2007) menyatakan bahwa plastisitas awal mempunyai korelasi dengan viskositas Mooney dan panjang rantai molekul karet (isoprene) yang disintesis oleh tanaman. Nilai PRI karet masing-masing klon juga bervariasi antara 18,75-69,23%. Nilai PRI tertinggi diperoleh pada klon IRR 104 (69,23%), sedangkan terendah diperoleh pada klon PB 260 (18,75%). Nilai PRI mengindikasikan ketahanan karet terhadap oksidasi pada suhu tinggi. Semakin tinggi nilai PRI maka semakin baik pula tingkat ketahanan karet terhadap pemanasan. Nilai PRI karet ditentukan oleh penanganan bahan olah karet selama penyimpanan. Hal ini dijelaskan pada penelitian yang dilakukan Suwardin, et al. (1996) bahwa bahan olah karet yang disimpan dalam perendaman selama beberapa hari memiliki 328
nilai PRI yang rendah. Selain itu, faktor lain yang dapat menurunkan nilai PRI adalah proses pengeringan karet mentah yang terlalu panas dan bahan olah karet terkena sinar matahari langsung dalam jangka waktu yang lama. 80 Nilai Po&PRI (%)
70
64.58
69.23 56.25
60 50 40
48
52 32
30 32
20
Po PRI
10
18.75
0 RRIM 2020
IRR 104
IRCA 230
PB 260
Klon
Gambar 4. Grafik nilai Po dan PRI masing-masing klon KESIMPULAN Secara umum semua klon tersebut memenuhi standar SNI untuk diolah menjadi SIR 10. Karakteristik mutu lateks yang dihasilkan pada tanaman saat gugur daun tidak sepenuhnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai standar SNI. Untuk nilai yang tidak memenuhi dapat dilakukan pencampuran dengan bahan olah karet lain, sehingga dapat diolah menjadi SIR 10 atau 20. DAFTAR PUSTAKA ASTM-D 1076-88.1989. Annual Book of ASTM Standards. Philadelphia, USA. Bayong, T. 2004. Klimatologi. Penerbit ITB, Bandung. Cahyo, A.N., R. Ardika, dan T. Wijaya. 2011. Konsumsi Air dan Produksi Karet Pada Berbagai Sistem Pengaturan Jarak Tanam dalam Kaitannya Dengan Kandungan Air Tanah. Jurnal Penelitian Karet, 29(2) : 110-117. Chang, J.H. 1968. Climate and Agriculture. University of Hawaii. Hlm.303 Darussamin, A., T. Chaidamsari dan Y. Syamsu. 1990. Sifat Lateks Beberapa Klon Anjuran 1988-1990. Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet. pp. 216-239 Lynen, F. 1969. Biochemical Problems of Rubber Synthesis. Journal Rubb. Research. Malaya.21:851-853 Rachmawan, A. dan Sumarmadji. 2007. Kajian Fisiologi dan Sifat Karet Klon PB 260 Menjelang Buka Sadap. Jurnal Penelitian Karet. 25(2):59-70 SNI 1903:2011. Karet Spesifikasi Teknis. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Suparto, D., Y. Syamsu, A. Cifriadi, dan S. Honggokusumo. 2009. Sifat Teknis Karet Remah dengan Viskositas Mooney dan Kadar Gel Rendah. Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet. hlm:368-373. Sutardi. 1981. Faktor Ekologi Daerah Budidaya Karet di Jawa dan Beberapa Pengembangan di Luar Jawa. Pertemuan Teknis Perkebunan II, Research Center Getas, Salatiga.
329
Suwardin, D., A. Anwar, S. Honggokusumo, A.M. Santosa, dan A.F.S. Budiman. 1996. Studi Hubungan Ketebalan sebagai Parameter Mutu Bokar Dengan Mutu Teknis Karet Remah. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (GAPKINDO) dengan Pusat Penelitian Karet. Syamsu, Y., S. Woelan, dan A. Rachmawan. 2009. Kesesuaian Lateks Klon IRR Seri 100 dan 200 Untuk Pengolahan Lateks Pekat. Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet. hlm:356-358. Wijaya, T., M.J. Rosyid, Sudiharto, dan M. Lasminingsih. 2009. Adaptasi Klon dan Tindakan Kultur Teknis Untuk Penanaman Karet di Lahan Sub-Optimal. Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet.
330
HUBUNGAN KONSENTRASI STIMULAN ETEPON DAN PARAMETER PRODUKSI PADA BEBERAPA KLON TANAMAN KARET Concentration of Ethepon Stimulant and Yield Parameters Correlation on Several Clones of Rubber Tree Atminingsih dan Tumpal H.S. Siregar Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet PO BOX 1415 Medan 20001 Sumatera Utara Email:
[email protected]
Abstrak Produktivitas tanaman karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg) di Indonesia. masih rendah. Salah satu upaya peningkatan produksi yang selama ini banyak dilakukan adalah penggunaan stimulan etepon. Respon terhadapstimulan etepon berbeda tiap klonnya, sehingga perlu diketahui respon pada klon-klon harapan sebelum direkomendasikan kepada pekebun. Diharapkan dengan diketahui respon tersebutsejak awal perakitan klon,maka dapat digunakan sebagai pedoman pencapaian produksi yang optimal.Penelitian ini dilaksanakan pada areal tanaman karet plot promosi (PP/07/03) tahun tanam 2004 di Balai Penelitian Sungei Putih. Rancangan yang digunakan adalah rancangan petak tersarang (nested design) dengan dua perlakuan. Perlakuan pertama adalah klon tanaman karet yang terdiri dari 6 jenis yaitu: IRR 412, IRR 417, PB 260, BPM 24, IRR 420, dan IRR 406.Perlakuan kedua adalah konsentrasi stimulan yang terdiri dari 3 taraf yaitu: Kontrol (S0): tanpa perlakuan stimulan, S1: ethepon 2,5%, dan S2 :ethepon 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon dan kosentrasi stimulan nyata mempengaruhi parameter produksi, indeks penyumbatan, dan kadar karet kering. Sementara interaksi keduanya hanya berpengaruh terhadap indeks penyumbatan. Hubungan korelasi antar parameter nyata terlihat antara parameter kadar karet kering dan indeks penyumbatan. Pengamatan terhadap parameter produksi perlu dikaji lebih dalam dikombinasikan dengan beberapa sistem sadap sehingga diperoleh hasil yang optimal pada setiap klon. Kata kunci: Hevea brasiliensis, stimulan etepon, produksi, klon
PENDAHULUAN Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muel Arg) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang dibudidayakan secara luas di Indonesia.Pada tahun 2012, areal perkebunan karet di Indonesia merupakan yang terluas di dunia yaitu mencapai 3,48 juta ha dengan produksi karet alam mencapai 3,04 juta ton tetapi produktivitas nasional hanya 1.080 kg/ha/tahun (Ditjenbun, 2013).Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya produksi karet alam Indonesia dibandingkan dengan Thailand yang memiliki luas areal yang lebih sedikit. Salah satu faktor penyebab rendahnya produksi adalah kurangnya penggunaan bahan tanam klonal terutama pada perkebunan rakyat dan penerapan sistem penyadapan yang tidak sesuai sehingga penggalian produksi tidak optimal.Upaya peningkatan produktivitas tanaman karet sudah banyak dilakukan yaitu dengan beberapa teknik penyadapan termasuk penggunaan stimulan. Salah satu stimulan yang umum digunakan di indonesia adalah stimulan berbasis etepon. Sejak penggunaan ethepon diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 1970-an 331
mengalami perkembangan yang pesat sehingga hampir semua perkebunan menggunakan stimulan tersebut hingga saat ini. Penggunaan stimulan secara komersial berpedoman pada dua hal yaitu memperpanjang lamaaliran lateks dan penurunan biaya penyadapan melalui penurunan intensitas penyadapan (Tistama dan Siregar, 2010). Pada prinsipnya penggunaan stimulan dapat memperpanjang aliran lateks sehingga semakin banyak lateks yang keluar dari pembuluh lateks.Dalam jaringan pembuluh latek ethepon akan terhidrolisis menghasilkan hormon berupa gas etilen (C2=H4). Gas etilen merupakan bahan aktif yang dapat mendorong stabilitas lateks untuk mengalir lebih lama (misalnya dari 3 - 4 jam menjadi 9 -10 jam), sehingga produksi lateks harian meningkat, khususnya pada klon yang responsif (Sumarmadji dan Atminingsih.,2010).Pengaruh stimulan berbeda pada setiap klon tanaman karet yang ditandai dengan banyak sedikitnya produksi lateks yang dihasilkan. Pada klon yang responsif terhadap stimulan peningkatan produksi lateks signifikan dibandingkan tanpa penggunaan stimulan etepon. Sementara pada klon yang tidak responsif terhadap stimulan peningkatan produksi tidak signifikan. Pengetahuan respon terhadap stimulan penting untuk diketahui terutama sejak awal perakitan klon dalam hal ini adalah klon harapan.Oleh karena itu pengaruh tingkat kosentrasi stimulan etepon pada beberapa klon harapan (IRR seri 400) perlu dilakukan sehingga dapat diketahui respon tersebutsejak awal. Hal tersebut dapat dijadikan dasar dalam penggalian produksi nantinya, sehingga produksi yang dihasilkan optimal sesuai dengan kapasitas setiap klonnya. BAHAN DAN METODE Penelitian inidilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih, pada areal plot promosi (PP) tahun tanam 2004.Areal ini merupakan salah satu tahapan dari tahap perakitan klon yaitu Plot Promosi (PP/07/03) di Blok 31 dan 32 KP Balai Penelitian Sungei Putih. Penelitian berlangsung dari bulan Juli 2014 hingga Februari 2015, yakni pada saat kondisi daun sempurna dan tidak mengalami gugur daun. Posisi panel sadap berada di kulit basal yang kedua (BO-2) dengan sistem sadap sebelum perlakuan 1/2S d/3 ET 2.5%.18/y(2w). Penelitian disusun berdasarkan rancangan petak tersarang (nested design) dengan dua perlakuan, dimana faktor kedua dan ulangan tersarang pada faktor pertama.Faktor pertama adalah perlakuan klon tanaman karet terdiri dari 6 jenisyaitu: (1). IRR 412, (2). IRR 417, (3). PB 260, (4). BPM 24, (5). IRR 420, dan (6). IRR 406.Faktor kedua merupakan konsentrasi stimulan (ethepon) yang terdiri dari 3 taraf yaitu (1). Kontrol atau tanpa stimulan(S0), (2). Konsentrasi stimulan ethepon 2,5% (S1), (3). Konsentrasi stimulan etepon 5% (S2). Tahap awal pelaksanaan penelitian adalah ploting areal penelitian. Ploting dilakukan untuk menentukan pohon sampel yang digunakan agar memiliki posisi bidang sadap dan morfologi yang seragam. Keseragaman morfologi dilakukan dengan pendekatan keseragaman lilit batang dengan koefisien keragaman lebih kecil dari 15%. Parameter yang diamati antara lain: Produksi (gram/pohon/sadap) Pengamatan terhadap produksi tanaman karet dilakukan setiap penyadapan kemudian ditabulasi tiap bulannya terhitung sejak aplikasi stimulan (bulan setelah aplikasi). Pengamatan dilakukan dengan menimbang lateks dari setiap satuan percobaan pada hari sadap dan lump mangkok yang dilakukan 1-2 hari setelah penyadapan. Nilai produksi diperoleh dengan menjumlahkan produksi lateks dan lump dikalikan dengan nilai kadar karet kering latek dan kadar karet kering lump.
332
Indeks penyumbatan (IP) Indeks penyumbatan merupakan perbandingan dari laju pengaliran lateks per menit dengan volume lateks total dikalikan 100 (Milford, et al.,1969). Indeks penyumbatan dapat mengambarkan aliran lateks dan lama aliran dalam pembuluh. Pengamatan dilakukan sekali dalam sebulan dan diamati pada saat mulai penyadapan (pukul 5.30 WIB) diukur voleme lateks pada 5 menit pertama dan volume lateks pada akhir atau total dengan gelas ukur pada setiap sampel di satuan percobaan.
Kadar karet kering (%). Pengukuran KKK dilakukan dengan mengambil 100 g sampel lateks dari setiap satuan percobaan dan dilakukan satu kali sebulan. Sebanyak 10 g ditimbang dari 100 g sampel yang diambil, kemudianditambahkan asam format 10% hingga lateks membeku. Latek yang membeku digiling di mesin penggiling lump yang dialiri air hingga membentuk lembaran tipis.Setelah itu dikeringkan di oven 2 x 24 jam dengan suhu 65°C hingga berat konstan. Nilai KKK diperoleh menggunakan metode gravimetri dengan membandingkan bobot kering karet dengan bobot basah karet dikali 100%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi (g/p/s) Produksi merupakan respon terpenting dari setiap klon tanaman karet yang diberi perlakuan stimulan ethepon. Produksi nyata dipengaruhi oleh konsentrasi stimulandanklon (Tabel 1).Pengaruh tertinggi terdapat padakonsentrasi S2 yang mencapai 79,7% di atas kontrol (41,72 g/p/s) yaitu sebesar 74,98 g/p/s. Peningkatan konsentrasi stimulan memberikan pengaruh peningkatan produksi yang lebih tinggi. Hal ini terbukti perlakuan konsentrasi stimulan S1 hanya mencapai produksi 40,5% di atas kontrol.Produksi tertinggi terdapat pada IRR 406 yaitu mencapai 85,57 g/p/s. Produksi IRR 412 dan PB 260 berturut-turut mencapai 80,58 g/p/s dan 54,69 g/p/s. Sedangkan produksi terendah terdapat padaIRR 417 yang hanya mencapai 36,11 g/p/s.Produksi semua klon berbedanyatakecualiantara BPM 24 dan IRR 420 Tabel 1. Pengaruh klon dan konsentrasi stimulan terhadap produksi tanaman karet selama penelitian. Perlakuan Produksi (g/p/s) Konsentrasistimulan: S0 (Kontrol) 41,72 C S1 (ET 2,5%) 58,61 B S2 (ET 5%) 74,98 A Klon: IRR 412 80,58 B IRR 417 36,11 E PB 260 54,69 C
333
Perlakuan Produksi (g/p/s) BPM 24 47,68 D IRR 420 46,00 D IRR 406 85,57 A Interaksi Tidak nyata Catatan:Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dankelompokperlakuanmenunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT(Duncan Multiple Range Test) dengan taraf P0,01. Secara umum terjadi peningkatan produksi pada keenam klon yang diuji dengan pemberian konsentrasi stimulan yang berbeda (Gambar 1). Akan tetapi, besarnya pengaruh perubahan produksi bervariasi pada tiap klon. Sebagian klon menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi dari kontrol ke perlakuan ethepon 2,5% dan 5 % memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan produksi. Respon produksi lateks oleh perlakuan penyadapan di samping dibandingkan dalam satuan g/p/s, juga dibandingkan dalam satuan kg/ha/tahun sebagai koreksi untuk pembandingan yang seimbang dalam satuan luas areal dan jangka waktu yang sama (Sumarmadji, 1999; Siregar, 2001).
Gambar 1. Rerata produksi (g/p/s) setiap klon pada ketiga taraf konsentrasi selama penelitian Bila dibandingkan dengan produksi kontrol, peningkatan produksi tertinggi akibat perlakuan stimulan terdapat pada klon IRR 412 dan IRR 406. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa kedua klon mempunyai respon peningkatan produksi yang tinggi terhadap pemberian stimulan. Sementara peningkatan produksi pada klon IR 420, IRR 417, dan PB 260 tidak signifikan, hal ini mengindikasikan bahwan klon tersebut memiliki respon yang rendah terhadap stimulan. Sejalan dengan penelitian ini, Sumarmadji (2002) melaporkan bahwa respon pada klon AVROS 2037 dan BPM 24 terhadap pemberian stimulan dengan konsentrasi yang berbeda (0, 2,5% dan 5%) dapat meningkatkan produksi rata-rata 80-84% di atas kontrol (0%). Peningkatan produksi pada klon BPM 24 selama penelitian tergolong tinggi (69% dan 109%) meskipun mempunyai nilai produksi (g/p/s) dibawah peningkatan produksi klon IRR 412 dan IRR 406. Pada klon yang responsif terhadap ethepon, perlakuan stimulasi
334
berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi lateks akibat perubahan IP dan KKK yang berkaitan dengan lama aliran lateks (Sumarmadji, et al. ,2004b). Stimulasi ethephon pada tanaman karet pada dasarnya adalah proses dari luar (eksogenus) yang digunakan untuk meningkatkan produksi di atas normal pada saat penyadapan (Priyadarshan, 2012). Sumarmadji (2000) menyebutkan ada dua jalur utama peran etilen meningkatkan produksi yaitu meningkatkan biosintesis karet dan memperpanjang lama aliran lateks. Secara seluler aplikasi etilen eksogenos meningkatkan etilen endogenus di dalam sel-sel pembuluh lateks, Induksi ini berkaitan dengan peningkatan biosintesis etilen (Wang et al., 2002). Indeks Penyumbatan (IP) Indeks penyumbatan nyata dipengaruhi oleh klon, stimulan, dan interaksi keduanya . Peningkatan konsentrasi stimulan dari S0 ke S1 dan S2 berpengaruh terhadap penurunan IP.Indeks penyumbatan tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol (S0) dan terendah pada perlakuan konsentrasi stimulan ethepon 5% (S2). Penurunan IP pada perlakuan S2 mencapai 56% dibanding kontrol yaitu dari 3,4 menjadi 1,5. Sedangkan penurunan IP pada perlakuan S1 mencapai 50% dibandingkan kontrol (Gambar 2).Indeks penyumbatan tertinggi terdapat pada klon IRR 412, dan berturut-turut selanjutnya BPM 24 dan IRR 406, IRR 417, PB 260, serta terendah pada IRR 420.
Gambar 2. Rerata nilai indeks penyumbatan (IP) tiap klon pada ketiga taraf konsentrasi stimulan selama penelitian. Gunaseraka, et al (2007) mengemukakan bahwa pemberian stimulan ethepon (2,5%) pada beberapa genotipe tanaman karet memberikan pengaruh penurunan IP. Indeks penyumbatan sangat erat berkaitan dengan produksi karena mencerminkan lama aliran lateks. Jika indeks penyumbatan tinggi berarti aliran lateks dapat berlangsung lebih lambat. Sejalan dengan Jacob, et al., (1998) yang menyatakan bahwa faktor pembatas produksi lateks adalah lamanya aliran lateks setelah sadap dan regenerasi lateks diantara dua penyadapan. Penggunaan ethepon diduga meningkatkan influks air dalam sistem pembuluh lateks (Pakiananthan et. al., 1989), menstabilkan lutoid (Jacob et al.,1989) dan menyebabkan lateks mengalir lebih lama setelah penyadapan. Aliran lateks ditentukan oleh besarnya tekanan turgor, transfer air dari floem ke pembuluh lateks, dan proses koagulasi lateks (Jacob et.al, 1989). Stimulan ethepon dapat menyebabkan sitosol menjadi alkalin dan berpengaruh terhadap stabilitas karet sehingga karet tidak cepat menggumpal jika dikombinasikan suplai air yang memadai menyebabkan aliran lateks lebih lama (Tistama, 2013).
335
Kadar Karet Kering Lateks (%) Kadar karet kering (KKK) mencerminkan jumlah padatan karet yang terkandung di lateks. Lateks mengandung bahan padatan sebesar 25-50% dan sebanyak 90% merupakan partikel karet (Priyadarshan, 2011). Nilai rata-rata KKK semua klon mencapai 31,4744,48%. Kadar karetkering nyata dipengaruhi oleh konsentrasi stimulandan klon (Tabel 2). Peningkatankonsentrasi stimulandari 0, 2,5%, dan 5% terlihat menurunkan nilai KKK pada hampirsemua klon yang diamati. Kadar karet kering pada S2 lebih rendah dibandingkan dengan S1 dan kontrol.Rerata penurunan KKK akibat perlakuan stimulan S1 mencapai 11% yaitu dari nilai KKK sebesar 39,61% pada kontrol menjadi 35,43%. Sedangkan penurunan KKK pada perlakuan S2 mencapai 13% (Tabel2). Tabel 2. Pengaruh klon dan konsentrasi stimulan terhadap kadar karet kering lateks (%) selama penelitian Perlakuan Kadar karetkering (%) Konsentrasistimulan: S0 (Kontrol) 39,61 A S1 (ET 2,5%) 35,43 B S2 (ET 5%) 34,56 C Klon: IRR 412 36,30 C IRR 417 32,58 E PB 260 37,22 B BPM 24 36,60 C IRR 420 34,28 D IRR 406 42,22 A Interaksi Tidaknyata Catatan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dankelompokperlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf P0,01. Kadar karet kering tertinggi terdapat pada klon IRR 406 dengan sedikit penurunan KKK yaitu 6% (S1) dan 10% (S2)dibandingkan perlakuan kontrol. Bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada masing masing klon,tertinggi penurunan KKK terdapat pada klon BPM 24 dan IRR 412. Dimana perlakuan S1 pada BPM 24 menurunkan KKK hingga 14% dan 21% (S2). Sedangkan pada klon IRR 412, perlakuan S1 dan S2 menurunkan KKK hingga 18%.
Gambar 3. Hubungan korelasi antara peubah Indeks penyumbatan dan kadar karet kering 336
Pemberian stimulan pada keenam klon tanaman karet menurunkan KKK pada semua klon dengan tingkat penurunan nilai yang berbeda. Sumarmadji dan Tistama(2004a) menyatakan bahwa nilai IP dan KKK berkaitan dengan lama aliran lateks. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian, dimana KKK dan IP mempunyai korelasi yang nyata dengan r = 0,59.Hal ini terbukti pada klon yang memiliki respon penurunan KKK tinggi yaitu BPM 24 dan IRR 412 juga memberikan nilai penurunan IP yang tinggi. Aplikasi stimulan merangsang terjadinya penurunan KKK dalam lateks menyebabkan aliran lateks lebih lancar sehingga indeks penyumbatan menjadi rendah. KESIMPULAN 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon dan kosentrasi stimulan nyata mempengaruhi parameter produksi, indeks penyumbatan, dan kadar karet kering 2. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi stimulan yang diaplikasikan pada tanaman, maka semakin tinggi peningkatan produksi dan semakin rendah nilai indeks penyumbatan dan kadar karet kering. 3. Respon setiap klon terhadap stimulan berbeda-beda, secara umum klon yang responsif antara lain IRR 406, IRR 412, dan BPM 24, sedangkan yang kurang responsif adalah IRR 420, IRR 417 dan PB 260. 4. Pengamatan terhadap parameter produksi perlu dikaji lebih dalam dikombinasikan dengan beberapa sistem sadap sehingga diperoleh hasil yang optimal pada setiap klon. DAFTAR PUSTAKA [Ditjenbun]. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Produksi dan produktivitas karet di Indonesia. http/:www.dirjenbun.go.id, di akses 7 Januari 2014. Gunaseraka, H.K.L.K, E.A. Nugawela, W.A.J.M. De Costa, and D.P.S.T.G. Attanayake. 2007. Possibility of early commencement of tapping in rubber (Hevea brasiliensis) using different genotypes and tapping system. Expl. Agric Vol 43. Cambridge University Press. Pp.201-221 Jacob, J.L, J.C. Prevot, and R.G.O. Kekwick. 1989, General metabolism Hevea brasiliensis latex, p.102-141. In J.d‘Auzac and H. Chrestin (eds). Physiology of Rubber Tree Latex, CRC Press. Boca Raton. Jacob, J.L., J.C. Prevot, R. Lacrote, E. Gohet, A. Clement, R Gallois, T. Joet, V. PujadeRenaud, and J. d‘Auzac 1998. Les mecanimes biologiques de la production de cautchouc par Hevea brasiliensis p 8-17 in Plantation, recherche and developpment. Milford, G.FJ., E.C. Paarderkooper, and H.C. Yee. 1969. Latex vessel plugging: its importance to yeild ang clonal behaviour. J.Rubb.Res.Inst. Malaya 21, 274-282. Pakianathan, S.W., G. Haridas and J d‘Auzac. 1989. Water relation on latex flow. P 233256. In J. d‘Auzac, J.L. Jacob and H. Chrestin (eds) Physiology of Rubber Tree Latex, CRC Press. Boca Raton. Priyadarshan, P.M. 2011. Biologi of Hevea Rubber. CAB International. United Kingdom. p.224 Siregar, T.H.S. 2001. Tanggap Produksi dan Karakteristik Fisiologi Lateks terhadap Sistem Eksploitasi pada Beberapa Klon Karet IRR Seri 100. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 60h Sumarmadji.2000. Sistem Ekploitasi Tanaman Karet yang Spesifik Diskriminatif. Warta Pusat Penelitian Karet 19(1-3): 31-39 337
Sumarmadji. 1999. Respon Karakter Fisiologi dan Produksi lateks beberapa klon tanaman karet terhadap stimulasi etilen. Disertasi Doktor.Program Pacasarjana, IPB.123h Sumarmadji. 2002. Aplikasi Etefon pada tanaman karet dilihat dari segi produksi lateks dan pembentukan etilen jaringan kulit. Jurnal Penelitian Karet. 20 (1-3): 43-45 Sumarmadji, dan Radite Tistama. 2004a. Deskripsi Klon Karet Berdasarkan Karakter Fisiologi Lateks untuk Menetapkan Sistem Eksploitasi yang Sesuai. Jurnal Penelitian Karet Vol 22 (1): 27-40 Sumarmadji, Siswanto, dan Sudirman Yahya. 2004b. Penggunaan parameter fisiologi lateks untuk penentuan sistem eksploitasi tanaman karet. Jurnal Penelitian Karet. Vol. 22 (1): 41-52. Sumarmadji, dan Atminingsih. 2010. Falsafah Penyadapan Tanaman Karet dan Metabolisme Lateks. Kumpulan makalah Workshop Optimalisasi Produksi Melalui Teknik Eksploitasi Tanaman Karet. Medan 4-7 Oktober 2010Tistama dan Siregar, 2010 Tistama, R.. 2013. Peran Seluler Etilen Eksogenus terhadap peningkatan produksi lateks pada tanaman karet (Hevea brasiliensis L). Warta Perkaretan Vol 32(1), h. 25-37 Wang, K.L.C., H. Li, and J.R. Ecker. 2002. Ethylene Biosynthesis and Signaling Networks. The Plant Cell: 131-151
338
PENGARUH 2,4 D, NAA dan KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BIJI BALAKA (Phyllanthus emblica L.) Boby Pranoto*, Firda Novita, Aditiya Bungsu, Dwi Febrina, Isnaini Nurwahyuni Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara E-mail:
[email protected]
Abstrak Balakka umumnya tumbuh di daerah tropis dan subtropis termasuk China, India, Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Potensi balakka di Sumatera Utara belum banyak diketahui. Tanaman ini mengandung polifenol pada buah, daun dan akar, di samping itu daun dan akarnya mengandung flavonoida dan daun juga mengandung saponin. Keberhasilan penyebaran dan pertumbuhan tanaman balakka secara alami masih sangat rendah, karena masa dormansi yang panjang dan sulit untuk dipatahkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlakuan yang tepat untuk mempercepat pemecahan dormansi dan komposisi ZPT yang tepat dalam mendukung pertumbuhan balakka dengan tehnik kultur jaringan. Perlakuan yang diberikan adalah perendaman biji dengan dan tanpa testa pada H20, H2SO4(P) dan larutan Ethrel. Secara kultur jaringan, ZPT yang diberikan MS0, MS+2,4-D, MS+Kinetin 1mg/L, MS + 2,4-D + Kinetin 1mg/L, MS+NAA 2mg/L, MS+Kinetin 2mg/L, MS + NAA 2 mg/L + Kinetin 2 mg/L. Hasil percobaan menunjukkan proses pematahan dormansi dapat di percepat dengan perendaman Ethrel dan air selama satu malam dalam kondisi tanpa testa,. sedangkan pemberian ZPT terbaik MS + 2,4-D + Kinetin 1mg/L dengan rerata tinggi akhir kultur mencapai 10 cm setelah 6 minggu penanaman. Kata Kunci : Phyllanthus emblica, Balakka, ZPT, dormansi
PENDAHULUAN Balakka umumnya tumbuh di daerah tropis dan subtropis termasuk China, India, Indonesia dan Semenanjung Malaysia (Summanen, 1999; Liu et al., 2007). Nama umum Phyllanthus emblica di Indonesia adalah kimalaka, kemlokoatau balakka (Uji, 2006).Potensi balakka di Sumatera Utara belum mendapat perhatian, baik kandungan, budidaya bahkan keragaman individu belum diketahui keberadaannya. Sejauh ini tumbuhan ini lebih banyak dikenal hanya sebatas campuran bumbu masakan tradisional khususnya ikan Mas. Habitus Balakka adalah pohon dengan tinggi 10-16 m. Batang Kemloko memiliki sistem percabangan monopodial, warna coklat keputihan, tegak dan bulat (Gambar 1). Komposisi daun majemuk, berbentuk lonjong, pangkal dan ujung runcing, panjang 14-22 mm, lebar 3,5 mm, pertulangan daun menyirip dan berwarna hijau. Bunga Balakka memiliki komposisi tunggal, berbentuk bulat, terletak di ketiak daun dengan panjang 5-6 mm. Benangsari berjumlah tiga, berwarna putih, tangkai putik berlekatan berwarna hijau pucat. Mahkota bunga berwarna merah keunguan buah kemloko berbentuk bundar, beruang tiga dan berwarna kuning pucat. Rasa dari buah Kemloko adalah sepat, asam-asam pahit. Biji buah berbentuk lonjong pipih, keras dan berwarna coklat. Kemloko memiliki perakaran tunggang, berwarna putih kotor, dan memiliki waktu pertumbuhan sangat lambat. Kemloko ini hidup liar di hutan, di ladang-ladang dan tempat lainnya yang memiliki hawa panas.Buah, daun dan akar kemloko mengandung polifenol. Daun dan akar mengandung flavanoida dan khusus daun mengandung saponin. Buah kemloko mengandung vitamin C dan kulitnya mengandung zat warna yang dapat digunakan sebagai zat pewarna biru bagi kain( Khoiriyah, 2015). Daun dan akar mengandung flavanoida dan khusus daun mengandung saponin. Buah kemloko 339
mengandung vitamin C dan kulitnya mengandung zat warna yang dapat digunakan sebagai zat pewarna biru bagi kain( Khoiriyah, 2015). Balakkamengandung polifenolpada buah, daun dan akar, di samping itu daun dan akarnya juga mengandung flavonoida dan daunnya juga mengandung saponin. Fungsi aktivitas senyawa flavonoid adalah sebagai antimikroba (Leo et al. 2004).Saponin yang umumnya larut dalam air beracun bagi ikan dan kebanyakan jenis tumbuhan beracun mematikan seperti Atropa belladonna L. mengandung racun golongan senyawa saponin. Fungsi aktifitas senyawa saponin menurut Hostettman dan Marston (1995) adalah sebagai antimikroba, fungisida, antibakteri, antivirus, molluscisida dan insektisida (Khoiriyah, 2015). BAHAN DAN METODE a. Pembuatan Media Media yang digunakan adalah media MS (Murashige&Skoog, 1962) yang diberi perlakuan tanpa penambahan Zat Pengatur Tumbuh untuk MS0 dan dengan penambahan Zat Pengatur Tumbuh dengan konsentrasi: 2,4D 1 mg/L, Kinetin 1 mg/L, 2,4D 1 mg/L + Kinetin 1 mg/L, NAA 2 mg/L, Kinetin 2 mg/L, dan NAA 2 mg/L + Kinetin 2 mg/L. Tahap awal pembuatan media adalah pembuatan larutan Stok terlebih dahulu. Unsur-unsur lain seperti sukrosa dan agar ditimbang sesuai kebutuhan dalam pembuatan media. Media yang dibuat sebanyak 250 ml. Media diautoklaf dengan suhu 121ºC dengan tekanan 2 atm selama 15 menit, media disimpan diruang kultur lebih kurang selama 1 minggu sebelum digunakan. b. Treatment Pemecahan Dormansi Perlakuan pecah dormansi yang diberikan meluputi perendaman dengan H2SO4 10% selama 10 menit, perendaman dengan menggunakan Ethrel dan air selama 1 malam dengan kondisi eksplan yang terbungkus testa dan tanpa testa. Selanjutnya, masing-masing eksplan yang telah mendapat perlakuan disterilisasi dengan tehnik yang sama sebelum ditanam kedalam media kultur. Penanaman eksplan untuk perlakuan pecah dormansi dilakukan dengan menggunakan medium MS0 untuk mengurangi bias pemberian ZPT dalam pertumbuhan eksplant. c. Sterilisasi Eksplan Sterilisasi eksplan berdasarkan metode Zulkarnain (2009) yang dimodifikasi. Biji Balakka (Phyllanthus emblica L.) diambil dan dibersihkan dengan air mengalir. Lalu dicuci dengan deterjen selama kurang lebih 5 menit lalu dibilas dengan akuades steril. Eksplan dimasukkan ke dalam larutan NaOCl 1 % selama kurang lebih 5 menit lalu dibilas dengan akuades steril. Tahap selanjutnya eksplan direndam dalam HgCl2 0,5 % selama ± 5 menit, bilas 3 kali dengan akuades steril masing-masing 5 menit. Eksplant dikeringkan diatas cawan peri yang berisi kertas saring steril. d. Pemeliharaan Kultur Eksplan yang telah ditanam di dalam botol kultur diletakkan pada rak pemeliharaan dengan suhu 25ºC ± 27ºC. Botol-botol yang berisi eksplan tersebut disusun dengan rapi sehingga memudahkan dalam pengamatan. Untuk mengurangi tingkat kontaminasi, dilakukan penyemprotan alkohol 70 %. Penyemprotan botol dilakukan setiap harinya sampai eksplan berbentuk kalus atau organ. Eksplanyang terkontaminasi segera dikeluarkan dari rak kultur agar tidak mengkontaminasi kultur yang lainnya.
340
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Perlakuan Pecah Dormansi Data perlakuan pematahan dormansi biji Balakka dapat dilihat padatabel berikut: Tabel. 4.1 Tanggal Media MSO (Minggu ke-) Penana Perlakuan Keterangan man I II III IV V VI VII VIII Perendama n HS2O4 Perkecambahan epikotil, 18 Maret 10% _ _ _ MP MB TM T T kotiledon terangkat keatas. Daun 2015 SELAMA muda muncul 2 helai 10 Menit Perendama Perkecambahan epikotil, n dengan MP MB TM T T T T T kotiledon terangkat keatas. Daun air tanpa muda muncul 2 helai testa Perendama Perkecambahan epikotil, n dengan _ MP MB TP T T T T kotiledon terangkat keatas. Daun air ada testa muda muncul 2 helai 20 Maret Perendama 2015 Perkecambahan epikotil, n dengan MP MB TM T T T T T kotiledon terangkat keatas. Daun ethrel tanpa muda muncul 2 helai testa Perendama Perkecambahan epikotil, n dengan _ MP MB TM T T T T kotiledon terangkat keatas. Daun Ethrel ada muda muncul 2 helai testa Kerterangan: MP : Mulai Pecah, MB: Mulai Berkecambah, TM: Tunas Muncul, T:Tumbuh
Dari Tabel 4.1 didapatkan data bahwa perlakuan pecah dormansi terbaik adalah dengan perendaman Ethrel dan air selama satu malam dalam kondisi tanpa testa. Hal ini ditunjukkan dengan pada pengamatan minggu pertama (Hari Ke-3) pasca tanam dormansi eksplan sudah mulai pecah. Disamping itu, pada perlakuan dengan perendaman Ethrel dan air selama satu malam dalam kondisi dengan testa mulai mengalami pecah dormansi pada minggu ke kedua (Hari ke-8) pasca tanam. Menurut Maksum (2010), imbibisi merupakan awal dari perkecambahan dan salah satu proses difusi yang terjadi pada tanaman. Imbibisi merupakan masuknya air pada ruang interseluler dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Proses imbibisi tidak melibatkan membran seperti pada peristiwa osmosis. Menurut Sumarmadji et al (2004), etefon atau ethrel adalah senyawa 2-chloroethylposphonic acid atau sering disingkat CEPA yang digunakan sebagai stimulan atau perangsang untuk meningkatkan produksi hormon etilenendogen pada tanaman. Oleh sebab adanya hormon etilen pada biji yang direndam akan dapat memacu perkecambahan dan pertumbuhan tanaman. Hal yang berbeda terjadi pada eksplant yang diperlakukan dengan perendaman H2SO4 10% selama 10 menit, pecah dormansi baru terjadi pada minggu keempat (Hari ke-32) pasca tanam. Menurut Sadjad et al. (1975), perlakuan kimia seperti H2SO4 pada prinsipnya adalah membuang lapisan lignin pada kulit biji yang keras dan tebal sehingga biji kehilangan lapisan yang permiabel terhadap gas dan air sehingga metabolisme dapat berjalan dengan baik. Sagala (1991) diacu dalam Rozi (2003) mengatakan bahwa perlakuan dengan menggunakan 341
H2SO4 pada benih biasanya bertujuan untuk merusak kulit benih, akan tetapi apabila terlalu berlebihan dalam hal konsentrasi atau lama waktu perlakuan dapat menyebabkan kerusakan pada embrio. Dalam hal ini benih tersebut akan rusak dan tidak dapat tumbuh. b. Pertumbuhan Kultur Phyllanthus emblica L (Tabel. 4.2) No 1
MS0
Pengamatan (Minggu Ke-) I II III IV V VI - MB TM T T* T*
2
MS + 2,4-D
- MB
TM
T
T*
T*
3
MS + Kinetin 1mg/L
- MB
TM
T
T*
T*
4
- MB
TM
T
T*
T*
5
MS + 2,4-D + Kinetin 1mg/L MS + NAA 2mg/L
- MB
TM
T
T*
T*
6
MS + Kinetin 2 mg/L
- MB
TM
T
T*
T*
7
Media
MS + NAA 2 mg/L + - MB TM T T* T* Kinetin 2 mg/L Keterangan : MB : Mulai Berkecambah, TM : Tunas Muncul, T: Tumbuh, T: Tumbuh dan Terjadi Pertambahan Tinggi.
Keterangan Rerata tinggi akhir kultur 4 cm Rerata tinggi akhir kultur 2,6 cm Rerata tinggi akhir kultur 7 cm Rerata tinggi akhir kultur 10 cm Rerata tinggi akhir kultur 1 cm Rerata tinggi akhir kultur 3.5 cm Rerata tinggi akhir kultur 3 cm
Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa komposisi media terbaik dalam kultur Balakkaadalah MS + 2,4-D + Kinetin 1mg/L dengan rerata tinggi akhir kultur mencapai 10 cm. Hasil terendah didapatkan pada kultur dengan media tanam MS + NAA 2mg/L yang hanya mencapai rerata tinggi akhir kultur 1 cm setelah 6 minggu pengamatan. Sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah BAP dan Kinetin (George dan Sherrington, 1984 dalam Nurjanah, 2009). BAP adalah sitokinin yang sering digunakan karena paling efektif untuk merangsang pembentukan tunas, lebih stabil dan tahan terhadap oksidasi serta paling murah diantara sitokinin lainnya (Bhojwani dan Razdan, 1983 dalam Nurjanah, 2009) Menurut Santoso (2013), pengaruh sitokinin dipengaruhi oleh konsentrasi auksin. Adanya meristem apikal, maka auksin menekan pertumbuhan tunas aksilar. Meristem apikal dibuang, konsentrasi sitokinin meningkat, merangsang pertumbuhan tunas aksilar. Sitokinin berperan dalam menghambat pertumbuhan akar melalui peningkatan konsentrasi etilen. Sitokinin menghambat pembentukan akar lateral melalui pengaruhnya pada sel periskel dan memblok program pengembangan pembentukan akar lateral.Menurut Sumarsono (1999),konsentrasi ZPT yang ditambahkan kedalam media kultur menjadi perhatian utama untuk memperoleh hasil yang baik. Sebab ZPT akan bekerja baik pada konsentrasi yang cukup atau sedikit. KESIMPULAN Perlakuan pecah dormansi terbaik didapatkan pada perlakuan perendaman biji tanpa testa pada air dan larutan ethrel selama 1 malam. Perkecambahan terjadi pada hari ke 3 pasca penanaman. Pemberian ZPT pada media dalam kultur Phyllanthus emblica L adalah MS + 2,4-D + Kinetin 1mg/L dengan rerata tinggi akhir kultur mencapai 10 cm. Sedangkan hasil terendah di dapatkan pada kultur dengan media tanam MS + NAA 2mg/L yang hanya mencapai rerata tinggi akhir kultur 1 cm setelah 6 minggu pengamatan. Pada perlakuan lainnya didapatkan hasil yang cukup beragam, diataranya perlakuan MS + 2,4-D menghasilkan kultur dengan tinggi akhir 2,6 cm, perlakuan dengan MS + Kinetin 1mg/L 342
menghasilkan kultur dengan tinggi akhir 7 cm, perlakuan dengan MS + Kinetin 2 mg/L menghasilkan kultur dengan tinggi akhir 3,5 cm, perlakuan dengan MS + NAA 2 mg/L + Kinetin 2 mg/L menghasilkan kultur dengan tinggi akhir 3 cm dan pada perlakuan kontrol dengan menggunakan media MS0 mampu menghasilkan kultur dengan tinggi akhir 4 cm. DAFTAR PUSTAKA Khoiriyah, U. 2015. Taksonomi dan Distribusi Balakka (Phyllanthus emblica L.) di Sumatera Utara Bagian Selatan. Tesis. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Dalimoenthe, S.L., 1987. Kultur Jaringan Sebagai Sarana untuk Menghasilkan Metabolit Sekunder. Risalah Seminar nasional Metabolit Sekunder. PAU Bioteknologi UGM. Yogyakarta Gunawan L.W. 1987. Teknik Kultur Jaringan.Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU Bioteknologi. IPB Bogor. Santoso, B, B. 2013. Zat Pengatur Tumbuh Dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Universitas Sam Ratulangi. Nurjanah, E. 2009. Pengaruh Kombinasi NaCl dan ZPT IBA Pada Media MS Terhadap Pertumbuhan Galur Mutan Padi Secara Invitro. Skripsi. Prodi Biologi.Fakultas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Mahadi, I. 2011. Pematahan Dormansi Biji kenerak (Goniothalamus umbrosusu) Menggunakan hormon 2,4-D dan BAP Secara Mikropropagasi. Vol 10 (20) Intan, R, D, A. 2008. Peranan dan Fungsi fitohormon Bagi Pertumbuhan Tanaman. Makalah. Fakultas Pertanian. Universitas Pajajaran. 43 hal. Hoesen; D.; S. Hazar; Priyono & H. Sumarnie. 2000. Peranan zat pengatur tumbuh IBA, NAA, dan IAA pada perbanyakan Amarilis Merah (Amaryllidaceae). Prosiding Seminar HariCinta Puspa dan Satwa Nasional. LabTreub Balitbang Botani PuslitbangBiologi, LIPI Bogor. Sylvia, I. (2009). Pengaruh IBA dan NAA terhadap stek Aglonema Var. Donna Carmen dengan perendaman. Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Riyadi, I. 2014. Media Tumbuh : Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh dan Bahan-bahan Lain. Materi disampaikan pada Pelatihan Kultur Jaringan Tanaman Perkebunan. BPBPI Bogor 19 – 23 Mei 2014 Kartasapoetra, A.G., 2003. Teknologi Benih, Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum.Cetakan keempat. Rineka Cipta. Jakarta. Harjadi, S. S. 1994. Dormansi Benih. Dalam Prosidding Kursus Singkat Pengujian Benih.Institut Pertanian Bogor. Sutopo, L. 2004. Teknologi Benih. CV Rajawali. Jakarta.
343
DAYA HAMBAT ASAM SALISILAT TERHADAP BEBERAPA PENYAKIT PENTING TANAMAN KARET Salicylic Acid Inhibitoryagainst Several Major Disease of Rubber Plant Cici Indriani Dalimunthe dan Radite Tistama Balai Penelitian Sungei Putih, PO BOX 14 15 Medan 20001 Email:
[email protected]
Abstract Salicylic acid is one of the plant chemical defense. It was formattedas adefense response to pathogenic attack. The purpose of this study was to determine concentrations of salicylic acid to inhibit the growth of several major disease of rubber plant. This study designed byCompletely Ranzomized Design (CRD) non factorial with four treatments and three replications. The treatments were salicylic acid consentrations of 0%, 0.5%, 1% and 2%. The testing method used the food poisoning. The diseases tested are white root disease (Rigidoporus microporus), mouldy rot (Ceratocystic fimbriata) andleaf fall diseases (Colletotrichum gloeosporioides and Corynespora cassiicola). The results showed that Salicylic acid concentration of 0,5%can inhibit the growthof white root disease(Rigidoporus microporus) about92.12%.Salicylic acid concentration of 1% can inhibit the growth of mouldy rot (Ceratocystic fimbriata) about 94,20%. Salicylic acid concentration of 2% can inhibit the growthof Colletotrichum gloeosporioides dan Corynespora cassiicola leaf fall diseases about 87,09% and 93,07%. It was describesignificantly different between range of salicylic acid consentrations to several major disease of rubber plant. Keywords: Hevea brasiliensis, salicylic acid, white root disease, mouldy rot, Colletotrichum and Corynespora leaf fall diseases.
PENDAHULUAN Pada perkebunan karet terdapat beberapa jenis penyakit yang sering menyebabkan kerusakan seperti penyakit akar, batang/bidang sadap dan penyakit daun.Penyakit jamur akar putih yang disebabkan oleh Rigidoporus microporus dapat mengakibatkan kerugian mencapai 40% pada kasus serangan berat yang pada umumnya terjadi pada tanaman karet muda berumur 3-5 tahun (Sujatno dan Pawirosoemardjo, 2001). Serangan JAP di Propinsi Kalimantan Barat pada enam tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan dari luas serangan 14.335 Ha pada tahun 2000 menjadi seluas 26.981 Ha pada tahun 2006 (Hanis et al., 2007). Kerugian finansial yang dihitung secara nasional mencapai 300 miliar setiap tahunnya (Situmorang et al., 2007). Pada bidang sadap, mouldy-rot (Ceratocystis fimbricata) merupakan penyakit yang umum ditemukan. Penyakit ini sering timbul pada musim hujan, terutama di areal pertanaman karet yang lembab dan gelap. Penyakit ini menimbulkan kerusakan kulit yang sedang mengalami pemulihan setelah disadap. (Soekirman et al. 1992).Kehilangan produksi yang disebabkan oleh mouldy-rot dapat mencapai 250-500 kg karet kering/ha/tahun. Penyakit mouldy-rot menyerang bidang sadap, terutama kulit sadap yang luka baru (segar) akibat penyadapan, tepatnya diatas alur sadap. Gejala awal serangan mouldy-rot ditandai dengan adanya jalinan benang jamur yang berwarna kelabu muda tepat diatas alur sadap. Gejala
344
penyakit pada tingkat lanjut ditandai dengan adanya warna kelabu kehitaman, yang terdiri dari jamur patogen dan jamur sekunder (Dalimunthe, 2011). Penyakit gugur daun disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporioides, Oidium heveae dan Corynespora cassiicola menyerang tanaman karet baik di pembibitan, tanaman muda, tanaman menghasilkan dan tanaman entres. Pada tanaman menghasilkan, penyakit ini dapat merugikan karena daun-daun yang berguguran mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat sehingga produksi lateks menurun. Untuk penyakit Colletotrichumgloeosporioides mengakibatkan penurunan produksi 7 – 45%, tergantung dari intensitas serangan yang terjadi (Pawirosoemardjo dan Suryaningtyas, 2008). Sedangkan penyakit gugur daun Corynespora cassiicoladapat mengakibatkan penurunan produksi 30 – 40 %. Bahkan pada klon-klon yang rentan, serangan penyakit ini dapat mengakibatkan kematian. Upaya pengendalian yang banyak dilakukan yaitu pengendalian penyakit dengan menggunakan fungisida. Cara ini mahal, tidak efektif, dan mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, manusia, dan sumber daya hayati. Mengaktifkan gen pertahanan dari tanaman merupakan salah satu cara pengendalian penyakit secara hayati dan mempunyai kelebihan dibandingkan pengendalian dengan menggunakan pestisida. Dalam evolusi tanaman terbentuk mekanisme pertahanan secara alami yang membantu tanaman melindungi dirinya sendiri dari serangan penyakit. Asam salisilat merupakan senyawa penting bagi tanaman berperan dalam proses pertahanan terhadap patogen. Menurut Viot et al. (2009), asam salisilat diketahui merupakan sinyal endogenous pada ketahanan sistemik. Menurut Gautam & Stein (2011), asam salisilat merupakan komponen kunci dari jalur sinyal transinduksi yang mengaktivasi gen ketahanan terhadap berbagai macam jamur, bakteri dan virus secara sistemik. Ketahanan sistemik yang diperoleh tersebut memberikan sinyal pertahanan pada tempat patogen berada. Sinyal ini bersifat sistemik dan bergerak dalam floem. Pada tempat terjadinya infeksi, asam salisilat dan PR-Protein (pathogenesis related protein) terakumulasi sangat banyak. Peran asam salisilat adalah sebagai penghambat pergerakan sistemik penyakit secara tidak langsung melalui pembuluh tanaman inang sehingga sifatnya hanya menunda gejala penyakit (Gunaeni et al, 2014). Tujuan penelitian ini adalah bertujuan untuk mengetahui konsentrasi asam salisilat dalam menghambat pertumbuhan beberapa penyakit penting tanaman karet yakni Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus), Mouldy Rot (Ceratocystic fimbriata), Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloesporioidesdan Penyakit Gugur Daun Corynespora cassiicola. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Balai Penelitian Sungei Putih pada bulan Januari - Maret 2016. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat Rigidoporus microporus, isolat Ceratocystic fimbriata, isolat Colletotrichum gloeosporioides dan Corynespora cassiicolasebagai patogen yang diuji aktivitas dengan asam salisilat, selanjutnya media potato dextrose agar (PDA) untuk pertumbuhan jamur, aquades, spiritus, alkohol 70%, petridish, autoklaf, oven, cork borer, jarum ose, Bunsen,aluminium foil, laminar air flow, planimeterdan bahan/alat pendukung lainnya. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non factorial dengan empat perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah konsentrasi asam salisilat yakni 0%, 0,5%, 1% dan 2%. Metode pengujian menggunakan teknik umpan beracun (food poisoning). Tahapan pertama dari kegiatan penelitian ini adalah isolasi jamur patogen dari setiap tanaman dilakukan dengan metode Radu & Kqueen (2002) yang dimodifikasi. Jaringan tanaman (akar, batang dan daun karet) yang terserang penyakit dipotong sepanjang ± 1 cm dan dicuci dengan air mengalir selama 20 menit. Selanjutnya permukaan akar tanaman disterilisasi dengan merendam secara berurutan dalam: etanol 75% selama 2 menit, 345
sodium hipoklorit 5,3% selama 5 menit dan etanol 75% selama 30 detik, selanjutnya dibilas dengan akuades steril sebanyak 2 kali, lalu dikeringanginkan. Kemudian ditanam di media Potato Dextrose Agar (PDA). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama ± 3 hari dan selanjutnya diuji antagonis dengan asam salisilat. Selanjutnya inokulumpatogen yang berumur 6 hari diambil dari biakan murni dan ditumbuhkan pada media PDA yang telah dicampur dengan asam salisilat. Inokulum yang berbentuk bulat dengan diameter 0,5 cm diletakkan di tengah cawan petri. Selanjutnya perlakuan disimpan dalam incubator dengan suhu kamar 280C. Penyakit yang diujiantara lain penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporusmicroporus), penyakit mouldy rot (Ceratocysticfimbriata) dan penyakit gugur daun (Colletotrichumgloeosporioides dan Corynesporacassiicola. Perlakuan secara terpisah pada setiap penyakit dengan tujuan agar lebih detail dalam mengetahui pengaruh setiap konsentrasi asam salisilat yang diuji. Parameter yang diamati adalah luas pertumbuhan jamur (cm) yang diukur setiap 2, 4, 6 dan 8 hari setelah inokulasi (hsi). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat planimeter pada kertas transparan yang telah terpola berdasarkan luas pertumbuhan jamur di setiap pengamatan. Parameter selanjutnya adalah persentase penghambatan jamur terhadap asam salisilat dengan menggunakan rumusdalamFairuzahet al (2014): x–y TE = x 100% x Keterangan : TE = Daya Hambat (Tingkat Efikasi) x = Luas pertumbuhan jamur pada kontrol y = Luas pertumbuhan jamur pada perlakuan ekstrak akar Bangun-Bangun HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh asam salisilat terhadap luas pertumbuhan jamur/patogen Asam salisilat (SA) berperan sebagai molecule system signal yang menginduksi pembentukan pathogenesis related (PR) protein dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Chen et al. 2010). Hasil pengamatan di Laboratorium menunjukkan bahwa jamur akar putih tidak dapat berkembang dengan pemberian asam salisilat konsentrasi 0,5%. Hal ini berbeda nyata dengan kontrol (tanpa perlakuan) di mana jamur akar putih dapat tumbuh baik di medium PDA (potato dextrose agar) (Tabel 1). Beda halnya dengan penyakit Mouldy Rot yang menunjukkan bahwa pemberian asam salisilat dengan konsentrasi 0,5% jamur masih dapat tumbuh sebesar 12,75 cm sedangkan pada konsentrasi 1 dan 2% jamur Ceratocystic fimbriata tidak dapat tumbuh (Tabel 2). Hal ini disebabkan asam salisilat yang diberikan tersebut berperan dalam sistem pertahanan tanaman terhadap serangan beberapa penyakit (Khaosaad et al. 2007). Tabel 1. Pengaruh asam salisilat terhadap luas pertumbuhan penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus) skala laboratorium Luas pertumbuhan jamur (cm) pengamatan ke ... No Perlakuan Rataan 2 hsi 4 hsi 6 hsi 8 hsi 1 SA 0,5 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a 2 SA 1 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a 3 SA 2 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a 5 Kontrol 1,9b 13,3b 45,7b 63,5b 31,12b Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%
346
Dalam kondisi yang demikian serta tidak aktifnya gen pertahanan apabila tidak ada rangsangan patogen (infeksi) maka manipulasi buatan terhadap sistem pertahanan tersebut diharapkan akan menginduksi timbulnya pertahanan tanaman. Gen pertahanan mengatur sintesis senyawa-senyawa metabolit sekunder, yang hanya efektif jika ada serangan patogen. Gen-gen pertahanan sering terlambat berfungsi atau produk yang disintesisnya tidak mencapai jumlah yang cukup untuk melawan patogen. Supaya efektif gen-gen pertahanan memerlukan waktu yang cukup untuk mengekspresikan diri. Gen pertahanan untukmenjadi aktif perlu adanya faktor penginduksi. Tabel 2. Pengaruh asam salisilat terhadap luas pertumbuhan penyakit Mouldy Rot (Ceratocystic fimbriata) skala laboratorium Luas pertumbuhan jamur (cm) pengamatan ke ... No Perlakuan Rataan 2 hsi 4 hsi 6 hsi 8 hsi 1 SA 0,5 % 1,1b 5,1b 15,9b 28,9b 12,75b 2 SA 1 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a 3 SA 2 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a 4 Kontrol 3,1c 11,9c 29,1c 52,0c 23,99c Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% Pada Tabel 3 dan 4 dapat dilihatpengaruh asam salisilat terhadap pertumbuhan jamur Colletotrichum gloeosporioides dan Corynespora cassiicolamenunjukkan daya hambat terbaik ada pada konsentrasi 2%. Sedangkan pada konsentrasi 0,5 dan 1% jamur masih dapat tumbuh pada kisaran rataan 2,64–4,93cm (Colletotrichum gloeosporioides) dan 1,09– 3,18 cm (Corynespora cassiicola). Sedangkan bila dibandingkan dengan kontrol terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan. Colletotrichum gloeosporioides dapat tumbuh baik pada medium PDA (potato dextrose agar) dengan rataan luas sebesar 13,70 cm sedangkan Corrynespora cassiicola memiliki rataan luas sebesar 24,17 cm (kontrol). Tabel 3. Pengaruh asam salisilat terhadap luas pertumbuhan penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides skala laboratorium Luas pertumbuhan jamur (cm) pengamatan ke ... No Perlakuan Rataan 2 hsi 4 hsi 6 hsi 8 hsi 1 SA 0,5 % 0,6b 1,5c 5,9c 11,7c 4,93c 2 SA 1 % 0,7c 0,8b 1,8b 7,2b 2,64b 3 SA 2 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a 4 Kontrol 1,3d 6,5d 18,8d 28,3d 13,70d Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% Menurut Suganda et al. (2002), penginduksi ketahanan dengan berbagai perlakuan eksternaltidak menjadikan tanaman menjadi imun atau tidak terserang sama sekali, tetapi hanya meningkatkanderajat ketahanan, yaitu menghambat perkembangan penyakit. Keempat jenis patogen masingmasing memberikan kemampuan yang berbeda dalam merespon pemberian asam salisilat. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa respon asam salisilat terkuat terdapat pada penyakit jamur akar putih karena jamur Rigidoporus microporus pada umumnya tidak menyukai kondisi masam. Hasil pengujian di petridish dengan metode umpan beracun (food poisoning) dapat dilihat pada Gambar 1. 347
Tabel 4. Pengaruh asam salisilat terhadap luas pertumbuhan penyakit Gugur Daun Corynespora cassiicola skala laboratorium Luas pertumbuhan jamur (cm) pengamatan ke ... No Perlakuan Rataan 2 hsi 4 hsi 6 hsi 8 hsi 1 SA 0,5 % 0,8b 1,2c 3,7c 7,1c 3,18c 2 SA 1 % 0,7b 0,8b 1,4b 1,6b 1,09b 3 SA 2 % 0,5a 0,5a 0,5a 0,5a 0,50a 4 Kontrol 2,4d 12,7d 29,6d 52,1d 24,17d Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% a
c
b
d
Gambar 1. Uji asam salisilat terhadap penyakit JAP (a), Mouldy Rot (b), Penyakit Gugur Daun Colletotrichum (c) dan Penyakit Gugur Daun Corynespora (d) dengan metode umpan beracun (food poisoning) Daya hambat asam salisilat terhadap beberapa penyakit penting tanaman karet Daya hambat asam salisilat terhadap penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus), Mouldy Rot (Ceratocystic fimbriata), penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides dan Corynespora cassiicola dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa asam salisilat dapat menghambat perkembangan jamur akar putih (JAP) sebesar 92,12%, Mouldy Rot dengan kisaran 52,92-94,20%, Penyakit Gugur Daun (PGD) Colletotrichum dengan kisaran 63,55-87,09% dan Penyakit Gugur Daun (PGD) Corynespora dengan kisaran 82,75-93,07%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa keempat patogen tersebut memiliki respon yang berbeda-beda terhadap asam salisilat. Tabel 5. Daya hambat asam salisilat terhadap beberapa penyakit penting tanaman karet skala Laboratorium Rataan Persentase Daya hambat (%) No Perlakuan Mouldy PGD PGD JAP Rot Colletotrichum Corynespora 1 SA 0,5 % 92,12b 52,92b 63,55b 82,75b 2 SA 1 % 92,12b 94,20c 74,79c 89,54b 3 SA 2 % 92,12b 94,20c 87,09d 93,07c 5 Kontrol 0,00a 0,00a 0,00a 0,00a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%
348
Asam salisilat pada konsentrasi 0,5% dapat menghambat pertumbuhan penyakit jamur akar putih (Rigidoporus microporus). Sedangkan daya hambat asam salisilat terhadap Mouldy Rot (Ceratocystic fimbriata) dan penyakit gugur daun (Colletotrichum gloeosporioides dan Corynespora cassiicola) masing-masing terdapat pada konsentrasi 1 dan 2% (Gambar 2).
Gambar 2. Grafik Persentase Daya Hambat Asam salisilat terhadap beberapa penyakit penting tanaman karet KESIMPULAN Asam salisilat dapat menghambat pertumbuhan Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus), Mouldy Rot (Ceratocystic fimbriata), Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides dan Corynespora cassiicoladengan kisaran persentase daya hambat > 85% pada konsentrasi tertentu. Perlu dilakukan penelitian lanjutan skala lapangan untuk mengetahui lebih detail mengenai respon asam salisilat terhadap keempat patogen tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini disampaikan terima kasih kepada Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet atas fasilitas yang diberikannya untuk kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Dalimunthe, C.I. 2010. Pengujian fungisida berbahan aktif azoxystrobin 200g/l, difenokonazol 125 g/l untuk mengendalikan penyakit mouldy rot (ceratocystic fimbriata) pada tanaman karet. Laporan Orientasi. Balai Penelitian Sungei Putih, 1-20. Fairuzah, Z., C.I. Dalimunthe, Karyudi, S. Suryaman, dan W.E. Widhayati. 2014. Keefektifan Beberapa Fungi Antagonis (Trichoderma sp.) dalam biofungisida Endohevea terhadap penyakit jamur akar putih (Rigidoporus microporus) di Lapangan, Jurnal Penelitian Karet, 32(2), 198-205. Gautam, P and Stein, J. 2011. Induction of systemic acquiredresistance to Puccinia sorghi in corn,International Journalof Plant Pathology, 2(1),43-50. Gunaeni, AW. Wulandari dan A. Hudayya. 2015. Pengaruh Bahan Ekstrak Tanaman terhadap Pathogenesis Related Protein dan Asam Salisilat dalam Menginduksi Resistensi Tanaman Cabai Merah terhadap Virus Kuning, Jurnal Hortikultura, 25(2), 160-170.
349
Hanis, I., Sajarwadi, S. Hardiati, & E. Taviana. 2007. Serangan JAP pada Tanaman Karet di Kalimantan Barat. In: Hadi, H., Sudiharto, Setiono, Soekirman P., & B. Setyawan (eds.), Pros. Lok. Nas. JAP pada Tanaman Karet 2006. Balai Penelitian Getas, Pusat Penelitian Karet, Salatiga, 33-42. Khaosaad T., Garcia-Garrido J.M., Steinkellner S., Vierheilig H. 2007. Take-all disease is systemically reduced in roots of mycorrhizal barley plants. Soil Biol. and Bichem. 39(3), 727-734. Pawirosoemardjo, S dan H. Suryaningtyas. 2008. Strategi pengendalian penyakit gugur daun dan pencegahan penyakit hawar daun amerika selatan pada tanaman karet di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Agribisnis Karet 2008, Yogyakarta, 20-21 Agustus 2008, 194-212. Radu, S dan CY Kqueen. 2002. Preliminary screening of endophytic fungi from medicinal plants in Malaysia for antimicrobial antitumor activity. Malaysian J Med Sci, 9(2), 23-33. Situmorang, A., H. Suryaningtyas & T.R. Febyanti. 2007. Pengendalian Penyakit Akar Putih dengan Pemanfaatan Tumbuhan Antagonis pada Perkebunan Karet. In: Hadi, H., Sudiharto, Setiono, Soekirman P., & B. Setyawan (Eds.). Pros. Lok. Nas. JAP pada Tanaman Karet 2006, Balai Penelitian Getas, Salatiga, 69-87. Soekirman P., H. Soepena & A. Situmorang. 1992. Sebaran Penyakit Utama Tanaman Karet. Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet 1992,Medan, 7-9 Desember 1992, 209216. Suganda, T, Rismawati, E, Yulia, E & Nasahi, C 2002. Pengujian bahan kimia dan air perasan daun tumbuhan dalammenginduksi resistensi tanaman padi terhadap penyakit bercak daun Cercospora,Jurnal. Biologi,4, 17 - 20. Sujatno & S. Pawirosoemardjo. 2001. Pengenalan dan Teknik Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih pada Tanaman Karet secara Terpadu. Warta Pusat Penelitian Karet, 20(1-3), 64-75. Vlot, AC, Dempsey, DA & Klessig, DF 2009, Salicylic acid, a multifacated hormone to combat disease. Journal Phytopathology, 47, 177-206.
350
EMBRIOGENESIS SOMATIK DARI SALAK PADANGSIDEMPUAN (Salacca sumatrana) DENGAN PENAMBAHAN LISIN Khairiyah Khairuddin1, Elimasni2, Isnaini Nurwahyuni2 Mahasiswa Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU 2 Staf Pengajar Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU Departemen Biologi, FMIPA Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No.1 Kampus USU Padang Bulan, Medan- 20155 Email:
[email protected] 1
Abstract A research of Somatic Embryogenesis From Salak Padangsidempuan (Salacca sumatrana) With Adding Of Lysine has been conducted at the Laboratory of Physiology and Plant Tissue Culture, Faculty of Mathematics and Natural Science USU, Medan On June 2015 – January 2016. This study aimed at determining the effect of lysine treatment on the growth and development of somatic embryos in salak padangsidempuan. The experimental used sample salak with adding of amino acid lysine six levels to medium, concentrations: 0 mg/L; 10 mg/L; 20 mg/L; 30 mg/L; 40 mg/L and 50 mg/L. The result statistical analysis design randomized. The results showed the best lysine concentration 10 mg/L for survival rate and wet weight, the best lysine concentration 40 mg/L to form somatic embryo. The histological analysis showed that somatic embryos formed at globular and heart phase. Keywords: Lysine, Salak, Salacca sumatrana, Somatic Embryogenesis.
PENDAHULUAN Buah-buahan Indonesia mempunyai gizi yang tinggi dan juga dapat dimanfaatkan sebagai terapi kesehatan, salah satunya adalah salak. Salak merupakan tanaman asli Indonesia (Soetomo, 2001). Indonesia terdapat 2 jenis salak yang mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi yaitu spesies Salacca sumatrana Becc dan Salacca zalacca (Ashari, 2005). Budidaya salak di masyarakat masih sederhana sehingga produksi buah masih rendah (Soetomo, 2001). Salah satu teknik perbanyakan alternatif yang tepat adalah teknik kultur jaringan (Husain, 2012). Embriogenesis somatik merupakan teknik in vitro yang paling menguntungkan untuk spesies yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Blanc et al. 1999). Keberhasilan teknik embriogenesis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1) genotip tanaman, (2) kondisi fisiologis tanaman (Jimenez, 2001), (3) jenis dan kondisi fisik medium, (4) zat pengatur tumbuh dan (5) lingkungan kultur (Utami et al. 2007). Faktor lingkungan kultur seperti media pertumbuhan. Media merupakan campuran air, pemadat, gula, zat pengatur tumbuh dan asam amino (Gunawan 1995). Asam amino umumnya ditambahkan untuk meningkatkan induksi kalus, regenerasi dan pertumbuhan tunas (Winarto, 2011). Penambahan asam amino pada media dapat meningkatkan keberhasilan pembentukan kalus embriogenik (Gunawan, 1988). Asam amino dalam konsentrasi yang tepat dapat memberikan pengaruh positif terhadap keberhasilan kultur. Beberapa jenis asam amino seperti alanin, arginin, asparaginin, sistein, glutamin, glisin, leusin, isoleusin, lisin, metionin, ornitin, fenilalanin, prolin, serin, treonin, triptofan, tirosin dan valin. Lisin dapat membantu dalam ikatan hidrogen dan sebagai untuk mengubah kecepatan reaksi kimia (Winarto, 2011). Hasil penelitian Ruangsak dan Dheeranupattana (2014), produksi alkaloid tertinggi pada kultur Stemona sp. pada konsentrasi 20 mg/l untuk 1 mingggu. 351
Produksi buah salak masih rendah, karena tidak berasal dari bibit atau benih yang unggul sehingga perlu dilakukan penelitian ini. Teknik embriogenesis somatik dengan penambahan lisin dipercaya dapat menghasilkan bibit yang unggul dalam waktu singkat sangat cocok dalam menangani masalah masyarakat. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan embrio salak padangsidempuan, dimana keunggulan dari salak jenis ini yaitu mempunyai ukuran daging buah yang besar dan rasa yang manis. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 sampai dengan Januari 2016 di Laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Induksi dan Multiplikasi Embrio Somatik Kalus embriogenik diinduksi dari eksplan embrio salak padangsidempuan. Sterilisasi eksplan berdasarkan Zulkarnain (2009), dilakukan dengan mencuci biji salak yang diperoleh dari lapangan, kemudian merendam biji salak Natrium hipoklorit 1% dan ditambah 4 tetes Tween 80 selama 30 menit. Biji dibilas dengan akuades steril 5 menit kemudian direndam dalam larutan HgCl2 0,1% selama 30 menit dan dibilas akuades steril sebanyak tiga kali yang masing-masing 5 menit. Eksplan embrio diisolasi dari biji salak dan dikulturkan ke media MS (Murashige dan Skoog, 1962) yang ditambah 2,4-D dan Kinetin 1 mg/l dan lisin (0, 10, 20, 30, 40, 50 mg/l). Kultur yang terbentuk selama 3 bulan kemudian disubkultur pada media yang baru. Kultur diinkubasi pada suhu 25oC selama 2 bulan. Analisa Histologi Embrio somatik yang terbentuk selanjutnya diamati fase embriogenesisnya, dengan melakukan analisis histologi menggunakan metode paraffin Johansen (1940) dalam Meilvana (2014) yang terdiri dari (1) fiksasi, (2) dehidrasi, (3) infiltrasi, (4) penanaman, (5) penyayatan, (6) penjernihan, (7) pewarnaan dan (8) pengamatan di mikroskop. Analisis Data Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan metode Rancangan Acak Lengkap menggunakan uji ANOVA pada taraf 5%. Jika perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan Uji Duncan pada taraf 5% memakai bantuan software SPSS versi 22. HASIL DAN PEMBAHASAN Teknik kultur jaringan tanaman mempunyai berbagai parameter untuk mengamati setiap pertumbuhan yang terjadi. Parameter yang diamati yaitu waktu tumbuh kultur, tipe proliferasi kultur, berat basah kultur dan pembentukan embrio somatik. Awal Pertumbuhan Kultur (Survival Rate) HST Awal pertumbuhan kultur dihitung dan diamati secara manual, dimulai dari hari setelah tanam (HST) hingga hari ke-90. Rata-rata waktu tumbuh kultur yang paling cepat adalah konsentrasi lisin 10 mg/L, sedangkan konsentrasi 50 mg/L merupakan yang tumbuhnya paling lama hingga memasuki minggu ke-3 (Tabel 4.1).
352
Tabel 4.1 Rata-rata Waktu Pertumbuhan Kultur Salak pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Lisin Perlakuan Ulangan Jumlah Rata- Rata Lisin 1 2 3 4 5 6 7 0 mg/L 10 8 20 14 20 20 92 15,3 10 mg/L 8 9 8 9 8 20 62 10,3 20 mg/L 14 12 10 14 12 14 15 91 13 30 mg/L 12 15 9 12 8 10 10 76 10,85 40 mg/L 10 17 8 8 12 20 75 12,5 50 mg/L 12 20 14 12 20 20 98 15,6 66 64 58 74 75 52 105 494 77,5 Jumlah 13,2 16 9,67 12,3 12,5 13 17,5 82,3 13 Rata-rata Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa, pada awal minggu ke-2 kultur sudah mulai terlihat pertumbuhan untuk beberapa kelompok perlakuan. Hasil analisis sidik ragam terhadap awal pertumbuhan kultur menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hal ini bahwa variasi konsentrasi lisin yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap waktu tumbuh kultur salak padangsidempuan. Hasil pengamatan terlihat bahwa kultur hanya mengalami pembengkakan tidak menghasilkan kalus. Bentuk pertumbuhan kultur pada minggu kedua diperlihatkan pada (Gambar 4.1).
Eksplan
Pembengkakan
Gambar 4.1 Kultur Salak pada Minggu Ke-2 Awal pertumbuhan kultur dimulai pada bagian yang bersentuhan dengan media dan selanjutnya meluas keseluruh eksplan. Menurut Suryowinoto (1996), kultur akan mulai terbentuk pertumbuhan dari bagian pelukaan eksplan atau bagian tepi irisan eksplan, karena kalus merupakan jaringan penutup luka yang bersifat meristematis. Hal ini juga dimungkinkan karena adanya salah satu bentuk respon tumbuhan terhadap terjadinya pelukaan pada jaringan ataupun selnya. Kultur salak yang telah terbentuk kemudian disubkultur ke media dengan komposisi yang sama agar didapatkan jumlah kalus yang banyak. Menurut Herwinaldo (2010), Kultur yang dihasilkan perlu disubkultur untuk menjaga kehidupan dan perbanyakan yang berkesinambungan. Gunawan (1988) menambahkan bahwa subkultur juga berfungsi memperbanyak kalus, sebab media baru berarti menjaga kalus tetap pada fase eksponensial.
353
Tipe Proliferasi Kultur Tipe proliferasi pada penelitian kultur salak ini diamati secara visual. Hasil kultur merupakan hasil dari subkultur pada perlakuan yang sama, ini bertujuan untuk mendapatkan kalus friabel dan noduler yang berkembang menjadi kalus embriogenik (Gambar 4.2). embriogenik (Gambar 4.2).
Eksplan
Kalus Embriogenik
Gambar 4.2 Kalus Embriogenik dari Hasil Subkultur pada Minggu Ke-8 Data pada kultur salak yang membentuk kalus seperti gambar diatas hanya 11, sedangkan jumlah paling tinggi terbentuk yaitu 20 kultur yang hanya mengalami pembengkakan dari berbagai perlakuan (Tabel 4.2). Dalam hal ini tunas dan akar terdapat juga dalam media kultur walaupun hanya berjumlah 3 pada tunas dan 4 pada akar. Tabel 4.2 Data Tipe Proliferasi Kultur Perlakuan Tipe Proliferasi Lisin Membengkak Akar Tunas L0 2 2 L1 2 1 1 L2 5 1 L3 5 L4 2 1 L5 4 1 Jumlah 20 4 3
Kalus 2 2 1 2 3 1 11
Tunas dan akar yang muncul merupakan kecambah yang berasal dari embrio. Hasil yang sama pada penelitian Purwito et al. (2014), bahwa eksplan yang berasal dari biji memiliki potensi untuk berkecambah pada media. Proses pembentukan organ-organ tanaman seperti akar dan tunas maupun tanaman yang lengkap dari jaringan yang didapatkan pada penelitian ini tidak diharapkan. Menurut Yuwono (2006), kalus yang berakar ini tidak diharapkan karena lebih sulit diregenerasikan menjadi tanaman. Pertumbuhan tunas dan akar di dalam kultur untuk beberapa kondisi menunjukkan hal yang baik. Dari hasil yang diperoleh bahwa akar yang tumbuh pada media yang mengandung lisin berjumlah 4 akar, pada perlakuan L1, L2, L4 dan L5. Tunas yang tumbuh hanya berjumlah 3 yaitu pada perlakuan L0 yang mempunyai jumlah pertumbuhan tunas yang tinggi dan disusul dengan perlakuan L1. Tunas dan akar yang tumbuh dalam media kultur diperlihatkan pada Gambar 4.3.
354
A
B
Gambar 4.3 A. Tunas dan B. Akar yang Tumbuh pada Media Kultur Berat Basah Kultur Berat basah kultur diperoleh dengan menimbang kultur menggunakan timbangan digital pada akhir pengamatan yang kemudian dianalisis secara statistika. Hasil analisis sidik ragam terhadap berat basah kultur menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hal ini bahwa variasi konsentrasi lisin yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap berat basah kultur salak padangsidempuan. Rata-rata berat basah kultur salak dengan beberapa tingkat konsentrasi lisin dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Rata-rata Berat Basah pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Lisin Perlakuan Ulangan Jumlah Lisin 1 2 3 4 5 6 7 0 mg/L 0,20 0,12 0,14 0,17 0,11 0,14 0,88 10 mg/L 0,30 0,28 0,14 0,47 0,22 0,29 1,77 20 mg/L 0,14 0,15 0,19 0,11 0,14 0,18 0,11 1,02 30 mg/L 0,22 0,26 0,30 0,14 0,15 0,21 0,20 1,48 40 mg/L 0,21 0,43 0,22 0,46 0,12 0,10 1,54 50 mg/L 0,12 0,11 0,14 0,46 0,10 0,21 1,14 1,19 0,95 1,25 1,45 1,15 0,72 1,05 7,76 Jumlah 0,19 0,23 0,2 0,24 0,19 0,18 0,175 1,29 Rata-rata
Ratarata 0,14 0,28 0,15 0,21 0,25 0,19 1,22 0,2
Tabel diatas menjelaskan bahwa, perlakuan dengan konsentrasi lisin 10 mg/L memberikan hasil tertinggi dengan nilai rata-rata berat basah kalus sebesar 0,28 g. Perlakuan dengan konsentrasi lisin 0 mg/L memberikan hasil terendah dengan nilai rata-rata berat basah kalus sebesar 0,14 g. Ukuran berat basah kultur yang sangat beragam dikarenakan ukuran kultur ketika disubkultur tidak diseragamkan. Menurut Kasli (2009), perbedaan bobot kultur menunjukkan bahwa adanya perbedaan proses pertumbuhan. Faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah sumber eksplan dan media yang mencakup komponen penyusun media seperti zat pengatur tumbuh. Kultur yang Membentuk Embrio Somatik Kultur diamati secara visual setiap hari selama sebulan untuk mengamati ada atau tidaknya terbentuk kalus embrio somatik. Berdasarkan karakteristik pada semua perlakuan hanya ditemukan 8 kalus embriogenik dan 3 kalus non-embriogenik (Lampiran 6). Tiga kalus dari perlakuan lisin 40 mg/L, 2 kalus pada perlakuan lisin 30 mg/L dan masing-masing 1 kalus pada konsentrasi 10, 20 dan 50 mg/L (Tabel 4.4).
355
Tabel 4.4. Data Kalus Embriogenik Konsentrasi Lisin Jumlah Kalus Embriogenik 0 mg/L 1 10 mg/L 1 20 mg/L 1 30 mg/L 2 40 mg/L 3 50 mg/L 1 Eksplan yang tumbuh tidak seluruhnya memberikan respon yang sama, walaupun ditanam pada media yang sama. Hal ini diduga karena faktor pengambilan eksplan, ataupun faktor fisiologi sebagai sumber eksplan (Hadi et al. 2014). Menurut Jimenez (2005), jaringan atau bagian organ tertentu tanaman dalam genotip yang sama juga dapat berbeda kemampuan embriogenesisnya. Kalus yang diperoleh bersifat embriogenik dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar dan vakuola kecil-kecil (Purnamaningsih, 2002). Kalus embriogenik di analisis histologi dengan metode Johansen yang diawali dari fiksasi, dehidrasi hingga pewarnaan menggunakan Safranin dan Fast-Green. Tahapan perkembangan embrio somatik yang diperoleh dari kultur salak mencakup fase globular dan fase berbentuk hati (Gambar 4.4). A
B
Gambar 4.4 Hasil Mikroskop dari Analisis Histologi. A. Fase Globular dan B. Fase Hati. Jumlah embrio somatik yang diperoleh dalam penelitian ini sangat sedikit. Embrio fase globular dan fase hati pada minggu kelima mengalami perkembangan ke fase selanjutnya, yaitu membentuk kotiledon dan kecambah. Menurut Sumaryono et al. (2006), jumlah embrio somatik sagu bentuk hati yang terbentuk selama periode kultur cukup rendah. Tanaman monokotil pada umumnya memang jarang dijumpai embrio bentuk-torpedo. KESIMPULAN Pertumbuhan kalus embriogenik salak padangsidempuan frekuensinya masih rendah. Kombinasi media dasar MS + 2,4-D dan Kinetin 1 mg/L + Lisin 40 mg/L memberikan respon kalus embriogenik terbaik. Hasil gambaran histologi dari kalus embriogenik somatik pada kultur salak melalui pengamatan mikroskop yang didapatkan adalah tahap fase globular dan fase hati. DAFTAR PUSTAKA Ashari, S. 2005. Meningkatkan Keunggulan Bebuahan Tropis Indonesia. Edisi Pertama. Andi. Yogyakarta. Blanc, G.N., Michaux, F., Teisson, C., Larder, L and Carron M.P. 1999. Effects of Carbohydrate Addition on the Induction of Embryogenesis in Havea brasiliensis. Plant Cell Tissue and Organ Culture. 59: 103-110. 356
Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan. IPB. Bogor. Gunawan, L.W. 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Holtikultura. IPB. Bogor. Hadi, H., Indrianto, A dan Admojo, L. 2014. Perkembangan Penelitian Induksi Kalus Embriogenik pada Jaringan Vegetatif Tanaman Karet Klonal (Heveabrasiliensis Muell. Arg). Warta Perkaretan. 33(1): 20-26. Herwinaldo, D.C. 2010. Pengaruh Variasi Konsentrasi Sukrosa terhadap Pertumbuhan dan Induksi Embriogenesis Somatik Kultur Kalus Tapak Dara (Catharanthus roseus G. Don). [Skripsi]. Surakarta. Universitas Sebelas Maret, Program Sarjana. Husain, I. 2012. Induksi Protocorm pada Eksplan Bawang Putih pada Media MS minim Hara Makro dan Mikro yang ditambahkan Air Kelapa. JATT. 1(1): 28. Jimenez, V.M. 2001. Regulation of In Vitro Somatic Embryogenesis with Emphasis on the Role of Endogenous Hormones. R. Bras Physiol Veg. 13(2): 196-223. Jimenez, V.M. 2005. Involvement Of Plant Hormones And Plant Growth Regulators on in Vitro Somatic Embryogenesis. Plant Growth Regulation. 47: 110. Kasli. 2009. Upaya Perbanyakan Tanaman Krisan (Chrysanthemum sp.) secara in vitro. Jerami. 2(3): 122-124. Meilvana, N.T. 2014. Analisis Histologi Embriogenesis Somatik dari Apikal Bud Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) var. Tenera. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program Pascasarjana. Purnamaningsih. 2002. Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan Beberapa Gen yang Mengendalikannya. Buletin Agro Bio. 5(2): 51-58. Purwito, A., Husni, A dan Rivai, R.R. 2014. Induksi Kalus dan Embrio Somatik Tanaman Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.). Bul. Agrohorti. 2(1): 50. Ruangsak, J and Dheeranupattana, S. 2014. Effects of L-Ornithine and L-Lysine on Alkaloid Production from in vitro Stemona sp. Chiang Mai J. Sci. 41(2): 334. Soetomo, A.H.M. 2001. Teknik Bertanam Salak. Sinar Baru Algesido. Bandung. Sumaryono., Riyadi I., Kasi P.D., Ginting G. 2007. Pertumbuhan dan Perkembangan Kalus Embriogenik dan Embrio Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) pada Sistem Perendaman Sesaat. Menara Perkebunan. 75(1): 40. Suryowinoto, M. 1996. Prospek Kultur Jaringan dalam Perkembangan Pertanian Modern. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Utami, E.S.W., Sumardi, I., Taryono dan Semiarti, E. 2007. Pengaruh α-Naphtaleneacetic Acid (NAA) Terhadap Embriogenesis Somatik Anggrek Bulan Phalaenopsis amabilis (L.) Bl. Biodiversitas. 8(4): 295-296. Winarto, B. 2011. Pengaruh Glutamin dan Serin terhadap Kultur Anter Anthurium andraeanum cv. Tropical. J. Hort. 21(4): 295-296. Yuwono, T. 2006. Bioteknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta
357
UJI POTENSI HASIL PADI SALIBU DENGAN PEMBERIAN BOOSTER ORGANIK DAN BIOCHAR PUPUK KANDANG Potential Test of Salibu Rice Results by Giving Booster and Biochar Organic Fertilizer Martos Havena Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Pancabudi (Jl. Gatot Subroto KM 4,5 20122) Email : havena.
[email protected]
Abstract Indonesia is the 4th most widely population country in the world. It reflects the magnitude of this country challenges in achieving food security. One of the innovations in technology is increasing rice production by the system of salibu rice cultivation. This research uses splitsplit plots design with plot areal 1m X 1m, where as the main plot is Booster formula of organic rice that given before the primordial (BSP) and after primordial (BPP). Biochar of cow organic fertilizer (B1), biochar of goat organic fertilizer (B2), and biochar of chicken organic fertilizer (B3) as subplots while the three varieties of rice that is Ciherang, Mekongga and Inpara as sub sub plot. The parameters observed potential of each variety production in each plot of all treatments (ton / ha). The highest potential product is Ciherang with biochar of cow organic fertilizer (B1) and given formula of organic rice booster after primordial (BPP). While the lowest potential product is Inpara with biochar of chicken organic fertilizer (B3) and given formula of organic rice booster after primordial. Keywords: organic fertilizer, booster formula, rice cultivation, salibu, biochar.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia. Hal tersebut mencerminkan besarnya tantangan Negara ini dalam mencapai ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang kuat dan berkesinambungan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengurangi angka kemiskinan. Di Indonesia, laju peningkatan produktivitas padi sebagai bahan pangan pokok bagi masyarakat tidak mengalami peningkatan. Salah satu inovasi tekhnologi dalam meningkatkan produksi padi sawah adalah dengan sistem budidaya padi salibu. Teknologi Salibu merupakan ratun yang dimodifikasi dengan memanfaatkan batang bawah padi setelah panen sebagai penghasil tunas atau anakan yang dapat dipelihara dan dibudidayakan. Hasil pengamatan di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat yang telah banyak menerapkan teknologi ini dengan pemupukan dan pemeliharaan yang tepat, produktivitas padi salibu dapat mencapai 9,3 ton /ha, dengan rerata 6,5 s/d 8 ton /ha. Dari segi peningkatan indeks pertanaman (IP) sangat dimungkinkan karena tidak memerlukan pengolahan tanah, pembibitan dan penanaman sehingga dapat menghemat waktu, tenaga, biaya pengusahaan secara nyata (Harahap, 2014). Budidaya padi salibuadalah salah satu inovasi teknologi untuk memacu produktivitas padi sawah sebagai bahan pangan pokok masyarakat. Faktor yang berpengaruh dalam budidaya padi salibuantara lain tinggi pemotongan batang sisa panen, varietas, kondisi air tanah setelah panen, dan pemupukan. Padi Salibumerupakan tanaman padi yang tumbuh lagi 358
setelah batang sisa panen ditebas atau dipangkas, tunas akan muncul dari buku yang ada didalam tanah. Tunas ini akan mengeluarkan akar baru sehingga pasokan hara tidak lagi tergantung pada batang lama, tunas ini bisa membelah atau bertunas lagi seperti padi tanaman pindah biasa, inilah yang membuat pertumbuhan dan produksinya sama atau lebih tinggi dibanding tanaman pertama (ibunya). Padi salibuberbeda dengan padi ratun,ratun adalah padi yang tumbuh dari batang sisa panen tanpa dilakukan pemangkasan batang, tunas akan muncul pada buku paling atas, pasokan hara tetap dari batang lama. Budidaya ini secara tidak langsung juga dapat menanggulangi keterbatasan varietas unggul, karena pertumbuhan tanaman selanjutnya terjadi secara vegetative maka mutu varietas tetap sama dengan tanaman pertama (Erdiman, 2012). Upaya peningkatan produktivitas tanaman padi yang lainnya adalah dengan mencukupkan kebutuhan haranya. Pemupukan bertujuan untuk menambah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sebab unsur hara yang terdapat di dalam tanah tidak selalu mencukupi untuk memacu pertumbuhan tanaman secara optimal (Salikin, 2003). Selama ini petani cenderung menggunakan pupuk anorganik secara terus menerus. Pemakaian pupuk anorganik yang relatif tinggi dan terus-menerus dapat menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan tanah, sehingga menurunkan produktivitas lahan pertanian. Kondisi tersebut menimbulkan pemikiran untuk kembali menggunakan bahan organik sebagai sumber pupuk organik. Penggunaan pupuk organik mampu menjaga keseimbangan lahan dan meningkatkan produktivitas lahan serta mengurangi dampak lingkungan tanah. Pupuk organik merupakan hasil dekomposisi bahan-bahan organik yang diurai (dirombak) oleh mikroba, yang hasil akhirnya dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pupuk organik sangat penting artinya sebagai penyangga sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas lahan(Suparthaet. al., 2012). Produktivitas lahan juga dapat ditingkatkan dengan penggunaan karbon hitam dari pembakaran tak sempurna berbagai biomassa atau biochar. Biochar merupakan butiran halus dari arang kayu yang berpori (porous), bila digunakan sebagai suatu pembenah tanah dapat mengurangi jumlah CO2 dari udara. Dalam jangka panjang biochar tidak mengganggu keseimbangan karbon-nitrogen, tapi bisa menahan dan menjadikan air dan nutrisi lebih tersedia bagi tanaman. Bila digunakan sebagai pembenah tanah bersama pupuk organik dan inorganik, biochar dapat meningkatkan produktivitas, serta retensi dan ketersediaan hara bagi tanaman. Apliksasi biochar (arang kayu atau karbon hitam yang didapat dari biomassa) ke tanah dianggap sebagai suatu pendekatan yang baru dan unik untuk menjadikan suatu penampung (sink) bagi CO2 udara dalam jangka panjang pada ekosistem darat. Di samping efek positifnya untuk mengurangi emisi dan menambah pengikatan gas rumah kaca, aplikasi biochar ke tanah akan memberikan keuntungan melalui peningkatan produksi tanaman dan kesuburan tanah. Biochar dapat dihasilkan dari sistem pirolisis atau gasifikasi. Pada sistem pirolisis, biochar yang dihasilkan sebagian besar dalam keadaan tanpa oksigen dan paling sering dengan sumber panas dari luar, sedangkan pada sistem gasifikasi hanya sedikit biochar yang dihasilkan. Produksi biochar yang optimal adalah dalam keadaan tanpa oksigen (Gani, 2009). Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian mengenai Uji Potensi Hasil Padi Salibu dengan Pemberian Booster Organik dan Biochar Pupuk Kandang untuk meningkatkan produktivitas padi dan menambah informasi dalam mencapai ketahanan pangan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Paluh Merbau, Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara dengan ketinggian 15 m
359
dari permukaan laut dan jarak dari pantai 1,5-2,0 km dan berlangsung dari bulan Agustus 2015 sampai Oktober 2015 Bahan dan alat yang digunakan ialah : a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas padi dengan evaluasi potensi hasil yaitu Ciherang, Mekongga, Inpara. Bahan untuk formula booster organik yaitu telur bebek, susu kambing, gula merah dan bahan lain yang melengkapi penelitian ini. Sedangkan bahan untuk membuat biochar pupuk organik yaitu kotoran hewan, sekam dan jerami padi, bakteri eM4 dan bahan lainnya sebagai pelengkap. b. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jetor, cangkul, sprayer, patok, elektrokonduktiviti, ph Meter, meteran, alat tulis dan alat-alat lain yang mendukung penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok petak-petak terbagi dengan waktu pemberian formula booster padi organik sebagai petak utama yang terdiri dari pemberian sebelum primordial (BSP) dan setelah primordial (BPP) sedangkan pemberian biochar pupuk kandang sebagai anak petak yang terdiri dari biochar pupuk kandang sapi (B1), biochar pupuk kandang kambing (B2) dan biochar pupuk kandang ayam (B3) selanjutnya varietas yang terdiri dari Ciherang (V1), Mekongga (V2) dan Inpara (V3) adalah sebagai anak-anak petak dan terdiri dari 2 ulangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian budidaya padi salibu dengan pengaruh waktu pemberian formula booster organik dan pemberian biochar pupuk kandang, varietas Ciherang merupakan varietas padi yang paling baik digunakan dan berpotensi menghasilkan jumlah padi yang tertinggi. Sedangkan biochar pupuk kandang yang paling baik digunakan adalah biochar pupuk kandang sapi dan waktu pemberian yang optimal adalah pemberian setelah primordial. Hasil dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 1. Rataan potensi produksi padi salibu (ton/ha) berdasarkan waktu pemberian booster
Tabel 1 memperlihatkan potensi hasil padi salibu tertinggi adalah varietas Ciherang dengan pemberian booster padi organik setelah primordial yaitu sebanyak 8,3 ton/ha, sedangkan potensi hasil padi salibu terendah adalah varietas Inpara dengan pemberian booster setelah primordial yaitu sebanyak 4,95 ton/ha. Menurut Sembiring, dkk. (2001), varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang andal dan cukup besar sumbangannya dalam meningkatkan produksi padi nasional, baik dalam kaitannya dengan ketahanan pangan maupun peningkatan pendapatan petani. Varietas unggul telah memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan produksi padi nasional. Hingga saat ini varietas unggul 360
tetap lebih besar sumbangannya dalam peningkatan produktivitas dibandingkan dengan komponen teknologi lainnya. Tabel 2. Rataan produksi padi salibu(ton/ha) berdasarkan pemberian biochar pupuk organik
Tabel 2 memperlihatkan potensi hasil padi salibu tertinggi adalah varietas Ciherang dengan pemberian biochar pupuk kandang sapi yaitu sebanyak 8,38 ton/ha, sedangkan potensi hasil padi salibu terendah adalah varietas Inpara dengan pemberian biochar pupuk kandang ayam yaitu sebanyak 4,68 ton/ha. Produktivitas lahan juga dapat ditingkatkan dengan penggunaan karbon hitam dari pembakaran tak sempurna berbagai biomassa atau biochar. Biochar merupakan butiran halus dari arang kayu yang berpori (porous), bila digunakan sebagai suatu pembenah tanah dapat mengurangi jumlah CO2 dari udara. Dalam jangka panjang biochar tidak mengganggu keseimbangan karbon-nitrogen, tapi bisa menahan dan menjadikan air dan nutrisi lebih tersedia bagi tanaman. Bila digunakan sebagai pembenah tanah bersama pupuk organik dan inorganik, biochar dapat meningkatkan produktivitas, serta retensi dan ketersediaan hara bagi tanaman (Gani, 2009). Menurut Halliday et al. (1998) menyatakan bahwa tanaman yang dibudidayakan saat ini umumnya membutuhkan unsur hara dari berbagai jenis dan dalam jumlah relatif banyak, sehingga hampir dapat dipastikan bahwa tanpa dipupuk tanaman tidak mampu memberikan hasil seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi dan produktivitas padi dapat dilakukan melalui perbaikan teknologi budidaya, antara lain melalui pemupukan berimbang berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman (Wasito et al., 2010).
361
Tabel 3. Rataan Potensi Hasil Padi Salibu (Ton/Ha) Berdasarkan Booster Padi Organik, Biochar Pupuk Kandang dan Varietas Padi
Tabel 3 memperlihatkan potensi hasil padi salibu tertinggi adalah varietas Ciherang dengan pemberian biochar pupuk kandang sapi yaitu sebanyak 8,38 ton/ha, sedangkan potensi hasil padi salibu terendah adalah varietas Inpara dengan pemberian biochar pupuk kandang ayam yaitu sebanyak 4,68 ton/ha. Pemupukan atau pengelolaan hara spesifik lokasi atau penerapan pupuk berimbang adalah upaya menyediakan hara yang dibutuhkan tanaman agar tanaman tumbuh optimal. Langkah-langkah dalam pendekatan pemupukan spesifik lokasi adalah dengan (a) menetapkan tingkat hasil di suatu lokasi dan musim, bergantung pada iklim, varietas padi, dan pengelolaan tanaman, (b) memanfaatkan hara tanaman yang berasal dari sumber alami seperti dari dalam tanah, perombakan bahan organik, residu tanaman, pupuk kandang, dan air irigasi, dan (c) menggunakan pupuk kimia untuk mengisi kekurangan antara jumlah hara yang diperlukan tanaman sesuai tingkat hasil dengan hara yang secara alami tersedia. Manfaat dan dampak penerapan pupuk spesifik lokasi, yaitu tepat takaran, tepat waktu, dan jenis pupuk yang diperlukan sesuai, maka pemupukan akan lebih efisien, hasil tinggi, dan pendapatan petani meningkat. Pencemaran lingkungan dapat dihindari, kesuburan tanah tetap terjaga, dan produksi padi lestari. Selain itu dapat mengurangi biaya 15 – 20% (Kartaatmadja et al., 2009). KESIMPULAN Berdasarkan hasil uji analisis statistik, tekhnik budidaya padi salibu sangat dipengaruhi oleh jenis varietas padi dan jenis biochar pupuk kandang yang diberikan, akan tetapi waktu pemberian booster tidak berpengaruh terhadap potensi produksi padi salibu. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih ini saya berikan kepada Bapak Rektor Universitas Pembangunan PancaBudi Medan, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan PancaBudi Medan beserta staff., Ketua LP3M Universitas Pembangunan PancaBudi, Kepada semua pihak yang membantu terlaksananya kegiatan ini. Semoga laporan kegiatan ini ada manfaatnya bagi
362
pihak-pihak yang ingin mempergunakannya. Semoga segala bentuk bantuan dan kebaikan para Bapak dan Ibu mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. DAFTAR PUSTAKA Erdiman. 2012. Teknologi Salibu Meningkatkan Produktivitas Lahan (3-6 Ton/Ha/Tahun) dan Pendapatan Petani (Rp.15-25 Juta/Tahun). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Gani, A. 2009. Potensi Arang Hayati (Biochar) sebagai Komponen Teknologi Perbaikan Produktivitas Lahan Pertanian. IPTEK Tanaman Pangan 4(1). Harahap,A.2014. Tiga Cara Optimalisasi Lahan Sawah. Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian.Riau. Halliday DJ, Trenkel ME. 1998. IFA World Fertilizer Use Manual. Paris: International Fertilizer Industry Association Kartaatmadja, S., E. Suhartatik, I.G. Ismail, E. Jamal, Sunihardi, A. Kasno, A. Subaedi dan R. Buresh. 2009. Piranti Lunak Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Salikin, K. A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Sembiring H, A. Hippi, dan L. Wiraja swadi, 2001. ―Jurnal‖ Pengaruh Umur dan Jumlah Bibit Terhadap Produksi Padi Sawah Pada Tanah Entisol Dan Inseptisol Di Nusa Tenggara Barat. Balaj Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Lombok Barat. Supartha, I. Wijana, G. Adnyana, G. 2012. Aplikasi Jenis Pupuk Organik pada Tanaman Padi Sistem Pertanian Organik. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika1(2). Wasito, M. Sarwani, dan E.E. Ananto. 2010. Persepsi dan adopsi petani terhadap teknologi pemupukan berimbang pada tanaman padi dengan indeks pertanaman 300. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 29(3).
363
POTENSI KAYU, BIOMASSA DAN MASSA KARBON POHON KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg) KOLEKSI PLASMA NUTFAH IRRDB 1981 POTENCY OF WOOD, BIOMASS, AND CARBON MASS OF RUBBER TREE (Hevea brasiliensis Muell Arg) FROM GERMPLASM IRRDB 1981 Muhamad Rizqi Darojat* dan Syarifah Aini Pasaribu Balai Penelitian Sungei Putih POBOX 1415 Medan 20001
[email protected]
Abstract Recently, one of the breeding program goals in rubber tree (Hevea brasiliensis) is to create latex-timber clones with high in latex productivity and wood volume. Germplasm IRRDB 1981 collections can be used as a genetic resource for Hevea breeding program. This study aims to determine the potential of wood, biomass and carbon mass of germplasm 1981 collections. Potential biomass and carbon mass are calculated by using allometric equation, formulated by Elias and Jaya (2014), namely W= 0.2661D with R2= 0.968 and C= 0.0661D with R2= 0,892. The wood volume, biomass, and carbon mass are 1,68 m3/phn, 541,19 ton/ha, and 120,60 ton/ha, respectively. The highest biomass and carbon mass were generated by Rondonia i.e. 669,69 ton/ha and 156,07 ton/ha, followed by Acre and Matto Grasso, respectively. The carbon mass contained in germplasm 1981 ranged between 20% 23% of total biomass. This result was lower than other reports which ranged between 30% 50% of total biomass. The result from this study suggests that germplasm 1981 collections have high potential in wood, biomass and carbon mass and it can be planted to sequester carbon over long time period. Keywords: Hevea brasiliensis, wood volume, biomass, carbon mass
PENDAHULUAN Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memberikan nilai devisa cukup besar bagi Indonesia. Badan Pusat Statistik (2014) melaporkan bahwa komoditas ini telah menghasilkan devisa ekspor sebesar US$ 6,9 milyar pada tahun 2013. Namun dari segi produktivitas, Indonesia menduduki peringkat ke tujuh dengan nilai 1.104 kg/ha/th (IRSG, 2015). Pengembangan perkebunan karet masih memiliki peluang besar walaupun saat ini harga karet alam sedang mengalami penurunan. Menurut Aidi-Daslin (2014) tanaman karet mempunyai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif jika dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya. Selain itu tanaman karet memiliki karakter khusus yang berkaitan dengan ekonomi dan lingkungan. Karakter tersebut meliputi kemampuan adaptasi yang baik, kesinambungan produksi 20 – 30 tahun, ramah lingkungan, dan memiliki potensi kayu yang tinggi. Sejak diperkenalkan pada awal abad ke 20, sasaran utama program pemuliaan tanaman karet berorientasi untuk menghasilkan klon baru dengan potensi produksi lateks yang tinggi (Priyadarshan et al., 2009). Sejalan dengan berkembangnya kondisi ekonomi dan lingkungan, saat ini arah program pemuliaan tidak hanya berfokus pada produksi lateks saja namun juga untuk menghasilkan klon dengan sifat kayu tinggi dan bersifat ramah terhadap 364
lingkungan. Oleh karena itu klon-klon unggul generasi ke-4 hasil pemuliaan di Indonesia dibagi menjadi dua jenis berdasarkan potensi hasilnya yaitu klon penghasil lateks dan klon penghasil lateks-kayu (Aidi-Daslin et al., 2009). Selain itu dikembangkan juga tipe klon penghasil kayu yang diarahkan untuk keperluan hutan tanaman industri. Aidi-Dasli (2014) menyatakan bahwa sasaran program pemuliaan saat ini tidak hanya untuk menghasilkan klon unggul yang memiliki produktivitas tinggi tetapi juga memiliki potensi biomassa kayu yang tinggi. Beberapa sumber genetik tanaman karet diketahui memiliki sifat sebagai penghasil kayu maupun lateks-kayu diantaranya adalah koleksi plasma nutfah IRRDB 81. Hevea spesies, dan klon hasil persilangan buatan. Hasil kajian menunjukkan bahwa kayu karet memiliki nilai ekonomi yang tinggi untuk meningkatkan pendapatan para pekebun karet. Woelan et al., (2012) melaporkan satu hektar kebun karet dapat menghasilkan pendapatan sekitar 10 juta dengan lilit batang tanaman minimal 60 cm dan populasi 180 phn/ha. Hal ini membuktikan bahwa kayu tanaman karet berpotensi dikembangkan menjadi alternatif pemenuhan bahan baku industri kayu melalui hutan tanaman industri (Lasminingsih et al., 1998). Kayu karet diketahui dapat dipergunakan sebagai bahan substitusi kayu ramin, agathis, meranti putih, pinus, dan jenis kayu lainnya. Klon unggul karet penghasil lateks dan kayu diharapkan dapat dimanfaatkan pada program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sehingga prospek perkebunan karet dapat menjadi lebih baik. Balai Penelitian Sungei Putih memiliki materi genetik plasma nutfah IRRDB 81 hasil ekspedisi antar negara yang tergabung dalam International Rubber Research Development Board (IRRDB). Materi genetik tersebut sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan penelitian dalam memperoleh klon unggul baru. Suhendry et al., (1994) melaporkan walaupun memiliki produktivitas yang rendah, namun materi genetik plasma nutfah memiliki ketahanan yang baik terhadap penyakit gugur daun Colletotrichum. Selain itu, sebagian besar tanaman memiliki sifat pertumbuhan cepat dan jagur dengan potensi kayu yang tinggi (Gambar 1). Tanaman plasma nutfah karet IRRDB 81 telah dimanfaatkan sebagai tetua persilangan sejak tahun 1991 untuk mendapatkan klon penghasil lateks-kayu. Hasil seleksi terhadap populasi plasma nutfah memperoleh 10 klon yang termasuk ke dalam tipe klon penghasil kayu (Aidi-Daslin et al., 2001) dan klon penghasil lateks-kayu IRR seri-00 dan seri-100 (Suhendry et al., 2000). Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi berkaitan dengan potensi kayu, biomassa dan serapan karbon pada koleksi populasi plasma nutfah IRRDB 1981.
Gambar 1. Tegakan Tanaman Plasma Nutfah Karet di KP BPSP
365
BAHAN DAN METODE Pengamatan dilakukan pada tahun 2015 di areal Plasma Nutfah IRRDB 1981, Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih (KPSP). Populasi tanaman yang digunakan merupakan tahun tanam 1984 yang berasal dari tiga wilayah yaitu Mato Grosso, Acre, dan Rondonia. Setiap tegakan pohon diukur lilit batangnya setinggi 100 cm dari atas permukaan tanah menggunakan meteran kain. Sedangkan tinggi pohon dan tinggi batang cabang pertama (TCP) diestimasi nilainya menggunakan penggaris ukur pohon ―alumi staff‖. Parameter yang diamati adalah potensi kayu, biomassa pohon, dan massa karbon. Seluruh data diolah menggunakan program Microsoft Office Excel 2007. Potensi Kayu Potensi produksi kayu dihitung menggunakan metode Wan Razali et al., (1983) dengan formulasi: 3,14 (lilit batang x 0,01)2 x tinggi cabang 6,28 Biomassa pohon Potensi biomassa tajuk masing-masing pohon dihitung menggunakan persamaan alometrik biomassa pohon karet hasil penelitian Elias dan Jaya, (2014) yakni W = 0.2661D2.1438 dengan R2 = 0.968. Sedangkan potensi biomassa akar dihitung berdasarkan nilai terpasang (default) nisbah tajuk: akar, yaitu 4:1 (Hairiah dan Rahayu, 2007). Cadangan Karbon Penghitungan potensi massa karbon dari tiap-tiap pohon dengan menggunakan persamaan alometrik massa karbon pohon karet hasil penelitian Elias dan Jaya (2014) yakni C = 0.0661D2.1863 dengan R2 = 0.892. HASIL DAN PEMBAHASAN Inventarisasi dan Karakter Agronomi Hasil pengamatan menunjukkan bahwa populasi plasma nutfah IRRDB 1981 tahun tanam 1984 memiliki rata-rata lilit batang 101,11 cm dan rata-rata tinggitanaman sebesar 20,24 m (Tabel 1). Tegakan pohon dari seluruh negara bagian mengalami penurunansebesar 24% - 41%. Hal ini disebabkan oleh faktor alam (cuaca, usia, dan serangan penyakit) maupun faktor manusia (pencurian). Usia dan serangan penyakit merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan tanaman plasma nutfah. Secara alami tanaman karet dapat tumbuh lebih dari 100 tahun dengan tinggi tanaman mencapai 40 m. Priyadashan (2011) menyatakan bahwa tanaman karet di perkebunan memiliki usia lebih rendah yaitu berkisar 30 – 35 tahun. Hal ini terjadi karena tanaman karet di perkebunan berasal dari perbanyakan okulasi dengan usia entres telah mencapai dewasa. Selain itu proses pertumbuhan tanaman karet dibatasi dengan kegiatan penyadapan sehingga terjadi kompetisi antara pertumbuhan dan produksi lateks. Tabel 1. Karakter Agronomis Tanaman Plasma Nutfah Karet Tahun Tanam 1984 Jumlah Tegakan Persen Asal Rata-rata Rata-rata Rata-rata Tanaman 1993* 2015 penurunan LB (cm) TT (m) TCP (m) Acre 165 127 23% 97,31 23,57 20,57 Mato Grosso 310 206 34% 94,37 16,68 13,68 Rondonia 725 432 40% 111,65 20,48 17,48 Rata-rata 101,11 20,24 17,24 LB: Lilit batang; TT: Tinggi tanaman; TCP: Tinggi cabang pertama *Suhendry et al., (1994)
366
Tanaman plasma nutfah memiliki karakter agronomi dengan pertumbuhan yang cepat dan jagur. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan lilit batang tanaman dapat mencapai lebih dari 1 meter dan tinggi cabang pertama mencapai 17 meter (Tabel 1). Koleksi plasma Nutfah IRRDB 1981 merupakan tanaman original hasil ekpedisi negara-negara anggota IRRDB berkerjasama dengan pemerintah Brasil pada tahun 1981 (Onokpise, 2004). Eksplorasi sumber genetik dilakukan di tiga wilayah negara bagian Brasil yaitu Acre, Mato Grosso, dan Rondonia. Ekspedisi tersebut bertujuan untuk meningkatkan keragaman sumber genetik sebagai bahan untuk merakit klon unggul baru. Beberapa penelitian telah dilakukan dengan menggunakan material plasma nutfah berkaitan dengan seleksi (Aidi-Daslin et al., 2006), uji resistensi (Aidi-Daslin et al., 2011), dan identifikasi kekerabatan (Aidi-Daslin, 2012). Potensi Kayu Saat ini sasaran program pemuliaan tidak lagi hanya berfokus pada produksi lateks saja, namun juga memperbaiki sifat sekunder lainnya yang bernilai ekonomi. Salah satu sasaran yang sedang dikembangkan adalah menghasilkan klon karet lateks-kayu. Klon tersebut diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi pekebun selain dari produksi lateks. Koleksi plasma nutfah karet asal seluruh wilayah memiliki potensi kayu yang cukup tinggi (Tabel 2). Volume kayu log yang dihasilkan oleh seluruh tanaman berada pada kisaran 1,19 – 2,02 m3/phn. Tanaman asal Rondonia memiliki nilai volume kayu log tertinggi yaitu 2,02 m3/phn. Nilai tersebut berada diatas rata-rata volume kayu log yang dihasilkan oleh klon yang beradar saat ini. Menurut Aidi-Daslin et al., (2007) secara umum klon lateks-kayu menghasilkan volume kayu log sebesar 1 m3/phn dengan kisaran diameter tanaman 60 – 80 cm. Tabel 2. Potensi Kayu Tanaman Plasma Nutfah IRRDB 1981 Volume Kayu Log (m3/phn) Jumlah Lilit Batang Wilayah genotipe (cm) Minimal Maksimal Rataan Acre 33 97,31 0,27 8,25 1,83 Mato Grosso 62 94,37 0,03 6,8 1,19 Rondonia 145 111,65 0,03 7,08 2,02 Rata-rata 101,11 0,11 7,38 1,68 Nilai potensi kayu sangat dipengaruhi oleh diameter batang dan tinggi cabang pertama. Semakin besar nilai diameter dan tinggi cabang pertama maka akan semakin tinggi volume kayu yang dihasilkan. Shorrocks et al., (1965) melaporkan bahwa terdapat hubungan korelasi sangat dekat antara berat tajuk dengan diameter batang. Selain itu usia tanaman juga menjadi faktor penentu nilai potensi volume kayu pada tanaman karet. Woelan et al., (2009) melaporkan bahwa nilai potensi kayu akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya usia tanaman. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan tanaman karet mengakibatkan lilit batang tanaman semakin besar sehingga volume kayu juga semakin tinggi. Potensi Biomassa Biomassa diartikan sebagai jumlah total bahan organik yang terdapat dalam tegakan pohon baik diatas maupun dibawah permukaan tanah dan dinyatakan dalam berat kering per unit area. Menurut Suhendang (2002) nilai biomassa tanaman dalam populasi diketahui dari selisih antara produksi melalui fotosintesis dan konsumsi melalui respirasi. Perhitungan biomassa telah berhasil dirumuskan oleh Elias dan Jaya (2014) pada tanaman karet rakyat dengan persamaan W = 0.2661D2.1438 dengan R2 = 0.968. Hasilperhitungan biomassa pada asal tanaman yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3. 367
Tabel 3. Potensi Biomassa Tegakan Tanaman Plasma Nutfah IRRDB 1981 Rata-rata Biomassa Biomassa Asal Luas Jumlah Diameter Tajuk Akar 2 Tanaman (m ) Pohon (cm) (ton/ha) (ton/ha) Acre 1556 127 30,99 420,20 105,05 Mato Grosso 2524 206 30,05 342,90 85,73 Rondonia 5292 432 35,56 535,75 133,94 32,20 432,95 108,23 Rata-rata
Total Biomassa (ton/ha) 525,25 428,63 669,69 541,19
Potensi biomassa masing-masing asal tanaman pada plasma nutfah IRRDB 1981 memiliki nilai yang bervariasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata potensi biomassa tanaman plasma nutfah IRRDB 1981 sebesar 541,19 ton/ha dengan tanaman asal Rondonia memiliki nilai biomassa tertinggi sebesar 669,69 ton/ha. Nilai biomassa dipengaruhi oleh faktor dari dalam maupun dari luar tanaman. Kusumah (2015) melaporkan bahwa nilai potensi biomassa dipengaruhi oleh dua faktor yaitu diameter dan jumlah pohon pada tiap-tiap plot ukur di lapang. Menariknya, tanaman asal Acre memiliki potensi biomassa lebih besar dibandingkan dengan Mato Grosso, namun Acre memiliki jumlah tanaman yang lebih sedikit. Hasil tersebut mengemukakan bahwa diameter tanaman lebih berpengaruh terhadap biomassa jika dibandingakan dengan jumlah tanaman. Shorrocks et al., (1965) menyatakan bahwa terdapat hubungan korelasi sangat dekat antara berat tajuk dengan diameter batang. Faktor lain yang mempengaruhi nilai biomassa tegakan pohon adalah usia pohon. Terdapat titik puncak kandungan biomassa pada fase pertumbuhan tanaman karet. Sone et al., (2014) melaporkan tanaman karet klon PB 260 memiliki puncak pertumbuhan biomassa pada usia 8 tahun dan setelahnya mengalami penurunan. Potensi Massa Karbon Massa karbon didefinisikan sebagai jumlah unsur karbon yang diserap dari atmosfer oleh vegetasi melalui proses fotosintesis yang kemudian disimpan di dalam biomassa. Proses sekuestrasi karbon dalam tumbuhan dapat secara langsung menggambarkan jumlah C di atmosfer yang diserap. Potensi massa karbon dihitung dengan menggunakan persamaan hasil penelitian Elias dan Jaya (2014), C = 0.0661D2.1863 dengan R2 = 0.892. Hasil perhitungan potensi massa karbon pada masing-masing asal tanaman disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Potensi massa karbon tegakan plasma nutfah IRRDB 198 Potensi Karbon Asal Tanaman (ton/ha) Persentase Acre 120,73 23% Mato Grosso 85,00 20% Rondonia 156,07 23% 120,60 22% Rata-rata Nilai rata-rata potensi karbon tegakan plasma nutfah IRRDB 1981 sebesar 120,60 ton/ha. Potensi massa karbon tertinggi terdapat pada Rondonia yaitu sebesar 156,07 ton/ha dan terendah terdapat pada Mato Grosso sebesar 85,00 ton/ha. Potensi massa karbon yang terdapat pada tegakan tanaman karet sangat dipengaruhi oleh biomassa. Secara umum nilai biomassa yang tinggi akan menghasilkan massa karbon yang tinggi juga (Gambar 2). Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa potensi massa karbon suatu pohon dapat diketahui dari nilai biomassa yang terkandung di dalam tegakan pohon tersebut.
368
Secara umum potensi biomassa dan massa karbon tanaman karet dapat diukur dengan menggunakan persamaan regresi. Parameter utama yang digunakan untuk menyusun model regresi yaitu diameter tanaman. Berdasarkan hasil perhitungan potensi massa karbon hasil penelitian ini berada pada kisaran 20% - 23% (Tabel 4). Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Kusumah (2015) sebesar 28,32% dan Nanda (2014) sebesar 29,18% dengan menggunakan persamaan alometrik yang sama. Cesylia (2009) melaporkan bahwa kadar karbon di perkebunan karet Bojong Datar PTPN VIII sebesar 28,25%. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa persamaan alometrik bersifat spesifik terhadap karakteristik populasi tanaman di lapangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasi pengukuran menggunakan persamaan alometrik yaitu kondisi agroklimat dan tipe klon yang digunakan. Chaudhuri et al., (1995) menyatakan bahwa persamaan alometrik bersifat spesifik terhadap diameter, agroklimat dan klon. Namun beberapa hasil penelitian lain hanya menggunakan persentase terhadap biomassa untuk keperluan praktis pengkuran massa karbon (Hairiah dan Rahayu, 2007; Sone et al., 2014).
Gambar 2. Potensi biomassa dan massa karbon pada plasma nutfah IRRDB 1981 KESIMPULAN Tegakan pohon plasma nutfah IRRDB 1981 memiliki rata-rata potensi kayu, biomassa, dan massa karbon yang tinggi yaitu 1,68 m3/phn, 541,19 ton/ha, dan 120,60 ton/ha. Nilai tertinggi untuk seluruh parameter terdapat pada tanaman Rondonia dan terendah pada Matto Grasso. Selain itu tanaman karet plasma nutfah IRRDB 1981 berpotensi dapat dimanfaatkan sebagai tanaman penghasil kayu untuk industri sekaligus digunakan sebagai tanaman pengikat karbon pada hutan tanaman industri maupun perkebunan di Induonesia. DAFTAR PUSTAKA Aidi-Daslin, S Woelan, M Lasminingsih, I Suhendry, R Azwar. 2001. Kemajuan Pemuliaan Dalan Mendukung Produktivitas Karet Nasional. Pros.Lok.Nas Pemuliaan Karet: 41 – 53. Aidi-Daslin, Sayurandi, SA Pasaribu. 2006. Genotipe Terpilih Sebagai Penghasil Lateks Dan Kayu Dari Plasma Nutfah Karet Irrdb 1981. Pros.Lok.Nas Budidaya Tanaman Karet. Pp 346 – 352. Aidi-Daslin, S Woelan, M Lasminingsih, H Hadi. 2006. New Recommended Clones For Indonesian Rubber Plantation. Proc.Intl.Rubb.Conf.Exh.Pp 97 – 104. 369
Aidi-Daslin, S Woelan, P Lasminingsih. 2009. Rumusan Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet 2009. Pros.Lok.Nas Pemuliaan Tanaman Karet. Aidi-Daslin, Z Fairuzah, CI Dalimunthe. 2011. Uji Resistensi Genotipe Terpilih Dari Plasma Nutfah Irrdb Terhadap Penyakit Gugur Daun Corynespora Dengan Metode Cakram Daun. Jurnal Penelitian Karet 29 (1) : 16 -24. Aidi-Daslin. 2012. Kekerabatan Genetik 15 Aksesi Plasma Nutfah Karet Hasil Ekspedisi 1981 Berdasarkan Penanda Molekuler. Agrium 17 ( 3): 186 – 191. Aidi-Daslin. 2014. Perkembangan Penelitian Klon Karet Unggul Irr Seri 100 Sebagai Penghasil Lateks Dan Kayu. Warta Perkaretan, 33 (1): 1 – 10. Badan Pusat Statistik. 2014. Statistika Karet Indonesia 2013. Jakarta: Bps. Cesylia L. 2009. Cadangan Karbon Pada Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis) Di Perkebunan Karet Bojong Datar Ptp Nusantara Viii Kabupaten Pandeglang Banten. [Tesis]. Bogor (Id): Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Chaudhuri D, KK Vinod, SN Potty, MR Sethuraj, J Pothen, YAN Reddy. 1995. Estimation Of Biomass In Hevea Clones By Regression Method: Relation Between Girth And Biomass. Indian Journal Of Natural Rubber Research, 8(2), 113 – 116. Elias Dan Jaya INS. 2014. Inovasi Metode Dan Model Estimasi Biomassa Dan Massa Karbon Hutan Karet Rakyat Dengan Kombinasi Cara Terestrial Dan Aerial.Penelitian Stranas Dikti. Bogor (Id). Fakultas Kehutanan Institutpertanian Bogor. Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran ‗Karbon Tersimpan‘ Diberbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre - Icraf, Sea Regional Office, University Of Brawijaya, Unibraw, Indonesia. 77 P. Kusumah. 2015. Studi Potensi Biomassa Dan Massa Karbon Pohon Karet (Hevea Brasiliensis Muell Arg) Di Hutan Karet Rakyat Desa Bungku Provinsi Jambi [Skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Lasminingsih M, G Wibawa, I Boerhendhy, A Suhaimi. 1998. Evaluasi Klon Penghasil Lateks-Kayu Dan Integrasi Tanaman Kehutanan Pada Perkebunan. Pros Lok Pemuliaan 1998. 73 – 87. Nanda R. 2014. Studi Root To Shoot Ratio Biomassa Dan Massa Karbon Pohon Karet Di Hutan Karet Rakyat Desa Bungku, Provinsi Jambi [Skripsi]. Bogor (Id). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Onokpise OU. 2004. Natural Rubber, Hevea Brasiliensis (Willd. Ex A. Juss.) Mull. Arg., Germplasm Collection In The Amazon Basin, Brazil: A Retrospective 1. Economic Botany 58(4) Pp. 544-555. Priyadarshan PM, PS Goncalves, And KO Omokhafe. 2009. Breeding Hevea Rubber. SM Jain, PM Priyadarshan (Eds.), Breeding Plantation Tree Crops: Tropical Species, Springer Science. Priyadarshan PM. 2011. Biology Of Hevea Rubber. Mpg Group Books. UK. Shorrocks VM, JK Templeton, GC Iyer. 1965. Mineral Nutrition, Growth, And Nutrient Cycle Of Hevea Brasiliensis Iii. The Relationship Between Girth And Shoot Dry Weight. Jor Rub Res 19 (2): 85 – 92.
370
Sone K, N Watanabe, M Takase, T Hosaka, K Gyokusen. 2014. Carbon Sequestration, Tree Biomass Growth And Rubber Yield Of Pb 260 Clone Of Rubber Tree (Hevea Brasiliensis) In North Sumatera. J Rubb Res 17(2), 115 – 127. Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhendry I, Nong Alwi, A Soedarsan. 1994. Koleksi, Konservasi, Dan Evaluasi Plasma Nutfah Karet. Warta Perkaretan 13 (1): 43 – 49. Suhendry I, S Woelan, Aidi-Daslin. 2000. Rubber Clones As Timber-Latex Yielder. Proc Indonesian Rubber Conf. And Irrdb Symp. Pp 564 – 576. Wan Razali Mohd, R Maidin, A Surjan, JM Zain. 1983. Double Entry Volume Table Equations For Source Rrim 600 Series Clone Of Rubber. The Malaysia Forester, 46 (1): 46 – 59. Woelan S, N Siagian, Sayurandi, SA Pasaribu. 2012. Potensi Kayu Karet Hasil Peremajaan Di Tingkat Perusahaan Perkebunan. Warta Perkaretan, 31 (2): 75 – 84. Woelan S, Aidi-Daslin, M Lasminingsih, I Suhendry. 2009. Evaluasi Keragaan Klon Karet IRR Seri 200 dan 300 Pada Tahap Pengujian. Pros.Lok.Nas Pemuliaan Tanaman Karet. Pp 84 – 106.
371
KADAR KLOROFIL DAN KERAPATAN STOMATA MAHONI (Swietenia macrophylla, King) PADA BEBERAPA LOKASI DI KOTA MEDAN Rani Apriyani Raharja1, Isnaini Nurwahyuni2, Riyanto Sinaga2 Mahasiswa Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU 2 Staf Pengajar Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU Departemen Biologi, FMIPA Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No.1 Kampus USU Padang Bulan, Medan- 20155 Email:
[email protected] 1
Abstract The research about Chlorophyll Content and Stomata Density Of Mahoni (Swietenia macrophylla, King) At Some Location In Medan was conducted since August 2015 until February 2016. The objective of this research was to observe chlorophyll content and stomata density of Mahoni (Swietenia macrophylla, King) at some location in Medan. Variables observed were chlorophyll content and stomata density. The result showed chlorophyll content from highest to lowest at Kawasan Industri Medan 1 (23,41 mg/l), Jl HM Yamin(19,95 mg/l), Bumi Perkemahan Sibolangit (14,57 mg/l), and Hutan Tri Dharma (12,90 mg/l), and stomata density from highest to lowest were at Bumi Perkemahan Sibolangit (59,85 stomata/mm2), Kawasan Industri Medan 1 (50,72 stomata/mm2), Jl HM Yamin (48,58 stomata/mm2), and Hutan Tri Dharma (46,86 stomata/mm2). Keywords: Chlorophyll Content, Stomata density, Swietenia macrophylla King.
PENDAHULUAN Perkembangan pembangunan disegala bidang di Indonesia saat ini meningkat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini seiring dengan meningkatnya pembangunan fisik di perkotaan seperti pembangunan pusat perkantoran, pemukiman dan kegiatan lainnya yang menuntut mobilitas tinggi, sehingga berdampak pada peningkatan volume kendaraan. Perkembangan ini selain memberi pengaruh positif terhadap kehidupan masyarakat, tetapi juga memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan (Satolom, 2013). Jalur hijau merupakan salah satu alternatif yang terbaik dalam mengurangi emisi yang berasal dari kendaraan bermotor karena adanya tanaman yang ditanam di sisi jalan yang dilaluiolehkendaraan bermotor. Kota Medan yang merupakan salah satu kota yang memiliki penduduk cukup padat, yaitu mencapai 7.913 jiwa/km2 (BPS, 2011) dan memiliki tingkat transportasi yang tinggi sangat penting memiliki jalur hijau. Tanaman yang ditanam di jalur hijau cukup baik dalam menyerap emisi karbon yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dan industri yang letaknya didekat jalan (Purwasih, et al. 2013). Mahoni tergolong kedalam famili Meliaceae. Tanaman ini tumbuh liar di hutan-hutan jati dan tempat-tempat lain yang dekat dengan pantai. Ada juga yang ditanam di tepi-tepi jalan sebagai pohon perindang. Hasil Penelitian Purwasih, et al. (2013), menunjukkan bahwa jenismahoni daun lebar (Swieteniamacrophylla) merupakan jenis tanaman terbanyak kedua yang ditanam pada jalur hijau kota Medan, dengan jumlah total sebanyak 3.346 individu atau sekitar 31,77%. Mahoni memiliki akar dan cabang yang kuat serta tidak mudah patah sehingga menyebabkan rasa aman bagi pengguna jalan, menurut Lestari, et al. (2013), menyatakan 372
bahwa persyaratan utama yang perlu diperhatikan dalam memilih jenis tanaman lansekap jalan antara lain, perakaran tidak merusak konstruksi jalan, mudah dalam perawatan, batang atau cabang tidak mudah patah, dan daun tidak mudah rontok atau gugur. Selain sebagai tumbuhan peneduh Mahoni juga diharapkan dapat berfungsi sebagai tumbuhan penyuplai oksigen sekaligus sebagai agen bioremediasi zat-zat pencemar berupa gas buangan dari kendaraan bermotor dan industri (Aminarti, 2012). Menurut Dahlan (1989), mahoni merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai potensi tinggi sebagai pereduksi timbal, oleh sebab itu tanaman tersebut dapat digunakan dalam penanggulangan timbal udara dari emisi kendaraan bermotor. Ningrum (2016), berdasarkan hasil penelitiannya, menyatakan bahwa Swietenia macrophylla King mampu menyerap Pb sebanyak 1.16 μg/g, serta menurut Sedi (2014) rata-rata kandungan timbal yang terserap pada daun Mahoni (Swietenia macrophylla) adalah 40,28 ppm. Suatu tanaman dapat disebut sebagai agen bioremediasi apabila mampu menyerap zat pencemar namun tidak menunjukkan gejala kerusakan yang signifikan. Gejala kerusakan secara morfologis seperti jumlah stomata, kerapatan stomata dan index klorofil (Fathia, 2015). Berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini bertujuan mengetahui kadar klorofil dan kerapatan stomata daun Mahoni berhubungan dengan fungsinya sebagai tumbuhan peneduh jalan yang di tanam di beberapa lokasi di Kota Medan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan, yaitu dari bulan Agustus 2015 sampai dengan bulan Februari 2016. Penelitian ini dilaksanakan di Medan, untuk pengujian kandungan Pb dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan sedangkan pengujian kandungan klorofil dan pengamatan kerapatan stomata daun Mahoni dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel bersifat purposive sampling, yang diambil dari 4 lokasi yang berbeda berdasarkan tingkat kepadatan aktivitas di lingkungan pertumbuhan pohon Mahoni (Swietenia macrophylla), yaitu Jalan Menuju Air Terjun Dwi Warna Bumi Perkemahan Sibolangit sebagai kontrol, Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara dengan tingkat aktivitas sedang, Jalan HM Yamin dengan tingkat aktivitas tinggi dan Kawasan Industri Medan 1 dengan tingkat aktivitas sangat tinggi. Untuk pengambilan sampel daun dari setiap lokasi maka dipilih 4 pohon Mahoni (Swietenia macrophylla) dan dari setiap pohon diambil 9 sampel daun untuk dianalisis. Daun yang diambil adalah yang terletak pada lapisan ranting bawah 3 helai daun, lapisan ranting tengah 3 helai daun dan lapisan atas 3 helai daun, daun yang diambil yang berwarna hijau tua. Penetuan Kadar Klorofil Pengukuran kadar klorofil total dilakukan dengan metode Arnon (1949), yaitu dengan cara menimbang sampel daun segar sebanyak 1 gram dipotong-potong, ditambah aseton 80% dan digerus dengan mortar. Supernatannya disaring dan dimasukkan kedalam labu takar 100 ml. Sisa supernatan ditambah dengan aseton80%, digerus dan disaring kembali. Ditambahkan pelarut yang sama sehingga larutan menjadi 100 ml. Larutan yang diperoleh dimasukkan pada tabung cuvet spektrofotometer sampai garis batas yang ditentukan. Absorbansi diukur dengan menggunakan optical density menggunakan pelarut aceton 80% dan mengukur absorbansi (A) larutan klorofil pada panjang gelombang (λ) = 663 dan 645. Kandungan klorofil total dihitung dengan rumus: Pelarut aseton 80% (Arnon, 1949) 373
Klorofil a : 12,7 A663 – 2,69 A645 (mg/l) x Faktor Pengenceran Klorofil b : 22,9 A645 – 4,68 A663 (mg/l) x Faktor Pengenceran Total klorofil : 20,2 A645 + 80,2 A663 (mg/l) x Faktor Pengenceran Kerapatan Stomata Metode pembuatan preparat untuk mengukur kerapatan stomata adalah metode replika (Haryanti, 2010), yaitu diambil sampel daun, dibersihkan permukaan atas dan bawahnya dengan dilap menggunakan tisu untuk menghilangkan debu/kotoran. Permukaan daun yang sudah bersih, diolesi dengan kutek dan dibiarkan selama 5 menit, hingga kering. Olesan yang sudah kering ditempeli isolasi dan diratakan. Isolasi dikelupas/diambil pelanpelan, lalu tempelkan pada gelas benda. Diratakan dan diberi label pada sebelah kiri dengan keterangan tanamannya. Pengamatan jumlah stomata per bidang pandang menggunakan mikroskop dengan perbesaran yang sama (10x). Kemudiankerapatan stomata dihitung dengan Rumus: Kerapatan Stomata = (Jumlah Stomata)/(Luas Bidang Pandang) Kandungan Timbal Dilakukan pengukuran timbal yang terkandung dalam tanaman menggunakan alat AAS, dengan cara di timbang 2 gram sampel daun, di abukan dalam tanur 5500C, dipindahkan abu kedalam beaker glass 250 ml, ditambahkan 30 ml HNO3 pekat, dipanaskan hingga larutan tersisa 10 ml, dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml, kemudian dibaca dengan AAS. Kandungan timbal (Pb) diukur dengan rumus: Pb = c x 100 Ket: w = Berat Sampel (g) C = Pembacaan AAS (ppm) 100 = Volume labu takar terakhir (ml)
Kadar Klorofil (mg/l)
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Kadar Klorofil Hasil pengukuran kadar klorofil Mahoni yang diambil dari masing-masing lokasi penelitian menunjukan bahwa kadar klorofil a, b dan total tertinggi yaitu 12,28 mg/l, 11,13 mg/l, dan 23,41 mg/l terdapat pada Mahoni di KIM 1, selanjutnya kadar klorofil a, b dan total dari Jalan HM Yamin yaitu 9,95 mg/l, 9,99 mg/l dan 19,95 mg/l, diikuti dengan kadar klorofil a, b dan total dari Hutan Tri Dharma Kampus USU yaitu 5,95 mg/l, 7,38 mg/l dan 14,57 mg/l kadar klorofil a, b dan total yang paling sedikit terdapat di jalan menuju air terjun Dwi Warna Sibolangit yaitu 6,20 mg/l, 6,98 mg/l dan 12,90 mg/l. 25 20 15 10 5 0
Jalan Hm Yamin KIM 1
Klorofil a
Klorofil b
Klorofil Total
Hutan Tri Dharma Kampus USU
Grafik 1. Kadar Klorofil pada Daun Mahoni dari beberapa lokasi di kota Medan
374
Berdasarkan grafik 1. Diketahui kadar klorofil total tertinggi terdapat di KIM 1 yaitu 23,41mg/l sedangkan kadar klorofil total terendah terdapat di Bumi Perkemahan Sibolangit yaitu 12,90 mg/l. Kadar Klorofil adalah salah satu faktor internal selain gen, hormon, struktur anatomi dan morfologi organ tumbuhan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan klorofil antara lain gen, cahaya, dan unsur N, Mg, Fe sebagai pembentuk dan katalis dalam sintesis klorofil. (Sumenda, et al. 2011). Berdasarkan grafik 1. Juga diketahui pada lokasi Jalan HM. Yamin, Tri Dharma dan Bumi perkemahan Sibolangit memiliki kadar klorofil b lebih tinggi dibandingkan kadar klorofil a nya. Hal ini mengindikasikan tanaman Mahoni pada ke 3 lokasi tersebut mendapatkan naungan. Daun yang mengalami naungan umumnya mempunyai klorofil lebih banyak, khususnya klorofil b, terutama karena tiap kloroplas mempunyai lebih banyak grana dibandingkan dengan daun sun plants. Peningkatan klorofil b dilakukan oleh tanaman sebagai upayapenyesuaian secara fisiologis dengan kondisi naungan guna mengoptimalkan penangkapan cahaya, sebab klorofil b berperan langsung sebagai antena pemanen cahaya. Sementara klorofil a berpartisipasi dalam pengubahan energi radiasi yang ditangkap oleh klorofil b menjadi energi kimia. Cahaya yang bekerja lewat fotosintesis mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Sirait, 2008).
Kerapatan Stomata (stomata/mm2)
b. Kerapatan Stomata Hasil pengamatan kerapatan stomata daun Mahoni yang diambil dari masing-masing lokasi penelitian menunjukan bahwa kerapatan stomata tertinggi yaitu 59,85 stomata/mm2 terdapat pada Mahoni di Bumi Perkemahan Sibolangit , selanjutnya kerapatan stomata dari KIM 1 yaitu 50,72 stomata/mm2, diikuti dengan kerapatan stomata dari Jalan HM Yamin yaitu 48,58 stomata/mm2, Kerapatan stomata terendah terdapat di Hutan Tri Dharma Kampus USU 46,86 stomata/mm2. 70 60 50 40 30 20 10 0 Jl Hm Yamin
KIM 1
Hutan Tri Dharma Kampus USU
Bumi Perkemahan Sibolangit
Grafik 2. Kerapatan stomata Daun Mahoni dari beberapa lokasi dikota Medan Hal ini dikarenakan suhu udara di bumi perkemahan sibolangit rendah sehingga kelembapan udaranya tinggi, kelembapan udara yang tinggi menyebabkan jumlah stomata meningkat dan kerapatan stomata juga meningkat. Menurut Croxdale (2000) menyatakan 375
bahwa kerapatan stomata tiap tumbuhan akan berbeda-beda tergantung faktor lingkungan yang memengaruhinya, terutama intensitas cahaya matahari dan kelembaban. Tumbuhan yang tumbuh di daerah dingin dan mendapatkan cahaya matahari yang cukup akan mempunyai kerapatan stomata yang lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh di daerah panas dan kekurangan cahaya matahari. Kondisi penyinaran yang cukup, kelembaban tanah yang tinggi disertai dengan temperatur yang rendah akan meningkatkan frekuensi stomata. Sedangkan kerapatan stomata di Kawasan Industri Medan 1 cukup tinggi hal ini dikarenakan kawasan tersebut berada dilingkungan pabrik dan banyak dilalui oleh kendaraan berat sehingga tanaman melakukan adaptasi dengan cara memperbanyak jumlah stomatanya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Satolom, et al. (2013), kadar stomata pada daun meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas kendaraan. Stomata pada daun tanaman meningkat dikarenakan luas daun cenderung mengecil. Tanaman tersebut memiliki stomata yang lebih banyak namun ukuran stomata juga lebih kecil. Pada penelitian ini stomata hanya ditemukan terdapat pada permukaan bawah daun saja. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Karliyansyah, Mulyani, Satolom et al (1997, 2010, 2013) yaitu stomata pada mahoni dan agsana hanya terdapat pada epidermis bawah daun saja. Pada umumnya stomata terdapat pada sisi atas dan bawah daun, atau hanya terdapat pada bagian bawah daun saja.
Kadar Timbal pada daun (ppm)
c. Kandungan Timbal Grafik 3. Kadar Timbal Pada Daun Mahoni dari beberapa lokasi di kota Medan 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Jalan HM Yamin
KIM 1
Hutan Tri Dharma Bumi Perkemahan Kampus USU Sibolangit
Berdasarkan Grafik 3. Diketahui bahwa kandungan timbal tertinggi terdapat pada daun mahoni dari Jalan HM Yamin yaitu 4,25 hal ini dikarenakan intensitas kendaraan di jalan tersebut lebih banyak daripada intensitas di lokasi lainnya. Menurut Sunarya et al. (1991) kandungan Pb lebih banyak pada tanaman tepi jalan yang padat kendaraan bermotor dibandingkan dengan kandungan Pb pada tanaman sejenis dari lokasi yang jauh dari pinggir jalan. Emisi Pb masuk dalam atmosfir bumi dapat berbentuk gas dan partikel, emisi Pb yang masuk dalam bentuk gas terutama berasal dari buangan gas kendaraan bermotor. Emisi tersebut merupakan hasil samping pembakaran yang terjadi dalam mesin-mesin kendaraan yang berasal dari senyawa tetrametyl Pb dan tetraethyl Pb yang selalu ditambahkan dalam bahan bakar kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai antiknock pada mesin-mesin kendaraan. Masuknya Pb dalam peristiwa pembakaran pada mesin akan menyebabkan jumlah Pb yang dibuang ke udara melalui asap buangan kendaraan menjadi sangat tinggi. Berdasarkan perkiraaan sekitar 80 – 90 % Pb di udara berasal dari pembakaran bensin dan
376
tidak sama antara satu tempat dengan tempat lainnya karena tergantung dari kepadatan kendaraan bermotor (Setiawan,2009 dalam Aminarti 2012). KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan kadar klorofil yang tertinggi adalah kadar klorofil daun Mahoni yang diambil dari Kawasan Industri Medan 1 yaitu sebesar 23,41 mg/l sedangkan kadar klorofil terendah adalah kadar klorofil daun mahoni yang terdapat di Hutan Tri Dharma Kampus USU yaitu sebesar 12,90 mg/l, sedangkan kerapatan stomata daun Mahoni, yang tertinggi adalah kerapatan stomata daun Mahoni yang diambil dari Bumi Perkemahan Sibolangit yaitu sebesar 59,85 stomata/mm2, sedangkan Kerapatan Stomatan terendah adalah kerapatan stomata daun Mahoni yang diambil dari Hutan Tri Dharma Kampus USU yaitu sebesar 46,86 stomata/mm2. Hal ini berarti meskipun tanaman Mahoni tumbuh dilingkungan dengan aktivitas manusia yang sangat tinggi (KIM 1) namun tidak menunjukkan gejala kerusakan yang signifikan sehingga Mahoni dapat digunakan sebagai agen bioremediasi. DAFTAR PUSTAKA Aminarti, S. 2013. Akumulasi Timbal (Pb) Dan Struktur Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd ) Sebagai Tumbuhan Peneduh Jalan Di Kota Banjarmasin. Jurnal WahanaBio.1-2(9): 11-27. Arnon, D. I. 1949. Cooper Enzyme In Isolated Chloroplast Polyphenoloxidase In Beta vulgaris. Plant Physiology. 24(1): 1-16. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Medan. 2011. Kota Medan Dalam Angka 2011. http://sumut.bps.go.id/. [16 Maret 2015]. Croxdale, J. (2000). Stomatal Patterning in Angiosperm. American Journal of Botany. 87 : 1069-1080. Dahlan, E.N., Ontaryo, Y dan Umasda. 1989. Kandungan Timbal Pada Bebema Jenis Pohon Pinggir Jalan Di Jalan Sudirman, Bogor. Media Konservasi . II (4): 45 – 50. Dwidjoseputro. 1983. Pengantar Fisiologi tumbuhan. PT Gramedia. Jakarta. Hlm. 18-19. Fathia, L. A., Baskara, M., dan Sitawati. 2015. Analisis Kemampuan Tanaman Semak Di Median Jalam Dalam Menyerap Logam Berat Pb. Jurnal Produksi Tanaman. 7(3): 528-534. Haryanti, S. 2010. Jumlah dan Distribusi Stomata Pada Daun Beberapa Spesies Tanaman Dikotil dan Monokotil. Jurnal Buletin Anatomi dan Fisiologi. 18(2): 20-28. Hidayati, S. R. 2009. Analisis Karakteristik Stomata, Kadar Klorofil dan Kandungan Logam Berat Pada Daun Pohon Pelindung Jalan Kawasan Lumpur Porong Sidoarjo. [Skripsi]. Malang: Universitas Islam Negeri Malang. Hlm 1-64. Karliansyah, N. S. W. 1997. Kerusakan Daun Tanaman sebagai Bioindikator Pencemaran Udara (Studi Kasus Tanaman Peneduh Jalan Angsana dan Mahoni dengan Pencemar Udara NO dan SO). [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Lestari, I., Yanuwiadi, B., dan Sumarno. 2013. Analisis Kesesuaian Vegetasi Lokal Untuk Ruang Terbuka Hijau Jalur Jalan Di Pusat Kota Kupang. J-PAL. 4(1): 1-10. Megia, R., Ratnasari dan Hadisunarso. 2015. Karakteristik Morfologi dan Anatomi serta Kandungan Klorofil Lima Kultivar Tanaman Penyerap Polusi Udara Sansevieria trifasciata. Jurnal Sumberdaya Hayati. 1(1): 34-40.
377
Ningrum, I. S., Yoza, D. dan Tuti A. 2016. Kandungan Timbal (Pb) Pada Tanaman Peneduh Di Jalan Tuanku Tambusai Kota Pekanbaru. Jom Faperta UR 3 (1): 1-7. Purwasih, H., Latifah, S., dan Asep, S. 2013. Identifikkasi Jenis Tanaman Di Beberapa Jalur Hijau Di Kota Medan. Peronema Forest Science Journal. 2(2): 108-116. Rahmayunita, A., Widjajanti, W. W., dan Ika, R. Desain Kreatif Hutan Kota Surabaya Tema Arsitektur Berwawasan Lingkungan. Di Dalam: Peranan Akademisi dan Praktisi Sebagai Inovtor Teknologi Bangsa Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Persaingan Global. Seminar Nasional, Sains Dan Teknologi Terapan II; Surabaya, 7 Oktober 2014. Surabaya: Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya. Hlm. 1-6. Satolom, A. W. 2013. Analisis Kadar Klorofil, Indeks Stomata Dan Luas Daun Tumbuhan Mahoni (Swietenia macrophylla, King.) Pada Beberapa Jalan Di Kota Gorontalo. [Skripsi]. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo. Hlm. 1, 27-28. Sirait, J. 2008. Luas Daun, Kandungan Klorofil dan Laju Pertumbuhan Rumput padaNaungan dan Pemupukan yang Berbeda. JITV . 13(2): 109-116 Sitepu, M. P. 2007. Pengaruh Arang Sebagai Campuran Media Tumbuh Dan Intensitas Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Mahoni (Swietenia macrophylla, King.). [Skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Hlm. 4. Sumenda, M. P., Rampe, H. L., dan Feky, R. M. 2011. Analisis Kandungan Klorofil Daun Mangga (Mangifera indica, L.) Pada Tingkat Perkembangan Daun Yang Berbeda. Jurnal Bioslogos. 1(1): 20-28. Sunarya, W. I. R., Kusmadji, A., Djalil, E., Nurdin, W., Wardhana dan I. M. Idil. 1991. Tumbuhan Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Oleh Timbal Prosi. Direktorat Pembinaan Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat. Depdikbut. Jakarta.
378
HUBUNGAN ANTAR KARAKTER KUANTITATIF DAN ANALISIS KEMIRIPAN GENETIK HASIL PERSILANGAN TETUA KARET BERKERABAT JAUH Sayurandi dan M. Rizqi Darojat Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet P.O. Box 1415, Medan 20001 e-mail :
[email protected]
Abstract Rubber plant breeding and selection progress are very dependent by plant genetic variability. Rubber plant genetic variability can be generated through crossing between rubber parental clones. Crossing of clone IAN 873 X PN 3760 have been done at Hand Pollination Garden, Sungei Putih Research Centre in 2001. Clone IAN 873 which was used as female parents had high latex yield. This clone was a clone generation of Wickham 1876 population. Clone PN 3760 which was used as male parent had growth vigorous. This clone was derived from IRRDB exploration in Matogroso district-Brazil in 1981. The clones have long genetic distance. The objectives of the research were to determine the correlation among quantitative characters and genetic similarity analysis of F1 genotypes crossing result of IAN 873 X PN 3760 rubber parental clones. The quantitative characters of 35 genotypes was done in January – September 2013 such as girth, plant height, number of main branches, high main branch, barkthickness, number of latex vessels, diameter of latex vessels, timber volume and latex yield. The research results showed that girth, plant height, number of latex vessels, diameter of latex vessels, and timber volume had positive correlation and significantly effect to latex yield, while the number of main branches, high main branch and barkthickness were not significantly effect to latex yield. Based on genetic similarity analysis showed that almost genotypes had near genetic similarity with male parent PN 3760 than female parent IAN 873. Keywords: Hevea brasiliensis, quantitative characters, correlation, genetic similarity.
PENDAHULUAN Aktifitas pemuliaan tanaman karet di Indonesia telah berjalan selama 4 generasi sejak tahun 1910 dan menghasilkan sejumlah klon unggul dengan peningkatan produktivitas lima kali lebih tinggi dari bahan tanaman asal semaian (seedling) dengan rata-rata produktivitas hanya ±500 kg/ha/th. Klon konvensional AVROS 2037, GT 1, RRIM 600, PB 235, PB 260 dan klon unggul baru IRR 5, IRR 112, IRR 118, IRR 220 merupakan bahan tanaman anjuran skala komersial, dan disamping itu terdapat sejumlah klon harapan seri IRR lain yang masih dalam tahap pengujian lanjutan/adaptasi (Aidi-Daslin et al., 2009). Penanaman klon-klon karet unggul di perkebunancukup menggembirakan namun pencapaian produktivitas optimal selalu bervariasi dan bahkan tidak tercapai (Aidi-Daslin et al., 2000). Perbedaan produktivitas tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan respon klon pada berbagai lingkungan (Suhendry et al., 1999). Pengkajian dan pemilihan tetua tanaman karet sebagai bahan persilangan merupakan salah satu tahapan penting dalam perakitan klon karet unggul. Tetua selain harus memiliki karakter yang diinginkan seperti memiliki produktivitas karet tinggi, mutu hasil baik, tahan terhadap penyakit, namun harus memiliki daya gabung tinggi serta memiliki hubungan kekerabatan genetik jauh. Potensi untuk menghasilkan genotipe karet unggul dari persilangan
379
berkerabat jauh akan lebih besar dibandingkan dengan kerabat dekatnya (Liyanage, 1974). Analisis kekerabatan genetik merupakan salah satu upaya untuk melihat gambaran hubungan antar genotipe tanaman karet. Untuk melihat kemiripan genetik antar genotipe yang diamati dapat dilakukan dengan cara mengamati karakter masing-masing tanaman, kemudian dari data pengamatan tersebut digunakan sebagai dasar klasifikasi tanaman yang akan mengambarkan tingkat variabilitas genetik. Analisis kemiripan genetik berdasarkan fenotipik walaupun mempunyai beberapa kelemahan seperti pengaruh faktor lingkungan yang cukup besar, dan interaksi gen dominan – resesif tetapi setidaknya analisis ini dapat menggambarkan adanya variabilitas genetik yang dihasilkan dari persilangan (Wendel 1990). Analisis kemiripan genetik pada tanaman karet dapat dilakukan berdasarkan karakter morfologi tanaman, anatomi kulit, dan hasil lateks. Karakter agronomi suatu tanaman merupakan karakter kuantitatif yang menentukan besarnya produksi, sehingga perlu dikaji hubungan antar beberapa karakter dengan produksinya. Khusus untuk tanaman karet, pemuliaan tanaman tidak hanya bertujuan menghasilkan klon penghasil lateks saja tetapi juga diharapkan menghasilkan kayu yang tinggi. Pengkajian terhadap karakter agronomi seperti pertumbuhan tanaman (lilit batang, tebal kulit), anatomi kulit (jumlah pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks), fisiologi lateks (sukrosa, fosfat anorganik, tiol, indeks penyumbatan, indeks produksi) dan hasil lateks perlu dikaji lebih mendalam. Korelasi antar karakter kuantitatif maupun kualitatif merupakan dasar dalam program dan perencanaan pemuliaan yang lebih efisien. Tidak jarang dalam melakukan seleksi terhadap sifat-sifat tertentu akan merubah sifat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa antara sifat-sifat tersebut terdapat hubungan, baik secara positif maupun negatif. Berdasarkan beberapa hasil pecobaan dengan melihat komponen hasil, tidak ada varietas yang superior dalam semua sifat. Keunggulan yang dihasilkan merupakan hasil gabungan antara berbagai komponen hasil yang dapat diperoleh melalui persilangan dan setiap komponen hasil bersifat poligenik dalam keturunannya (Lasminingsih, 1993). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antar karakter kuantitatif dan analisis kemiripan genetik hasil persilangan tetua karet berkerabat jauh. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan dan Laboratorium Penelitian Agrofisiologi Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet yang terletak di Kabupaten Deli Serdang - Propinsi Sumatera Utara. Lokasi penelitian berada pada ketinggian ± 54 m di atas permukaan laut (dpl). Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan September 2013. Genotipe yang digunakan pada penelitian ini adalah 35 genotipe hasil persilangan antara IAN 873 X PN 3760 yaitu G32, G33, G36, G37, G39, G80, G79, G76, G75, G74, G73, G69, G68, G67, G57, G56, G55, G54, G53, G52, G50, G48, G47, G41, G81, G82, G83, G115, G120, G150, G146, G136, G135, G130, G128 serta dua klon sebagai tetua yaitu IAN 873 dan PN 3760. Pengamatan dilakukan pada masing-masing genotipe dengan peubah-peubah sebagai berikut: 1) lilit batang, 2) tinggi tanaman, 3) tinggi batang bebas cabang, 4) jumlah cabang primer, 5) tebal kulit, 6) jumlah ring pembuluh lateks, 7) diameter sel pembuluh lateks, 8) volume kayu, 9) hasil lateks. Derajat kemiripan genetik dari 35 genotipe hasil persilangan IAN 873 X PN 3760 berdasarkan karakter kuantitatif dianalisis menggunakan sidik gerombol (cluster analysis) yang dihitung dengan cara berhierarki memakai metode pautan rata-rata (average linkage). Perhitungan sidik gerombol menggunakan program UPGMA. Hasil analisis tersebut menghasilkan kelompok dengan keragaman yang relatif kecil dan homogen dengan cara mendefenisikan jarak antara dua kelompok berdasarkan rata-rata semua pasangan karakter dalam satu kelompok dengan kelompok lainnya (Charles 1990). Untuk mengetahui keeratan
380
hubungan antar karakter maka dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi (Singh dan Chaudary 1979). HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Tanaman dan Hasil Lateks Gambar 1 menunjukkan sebaran populasi tanaman berdasarkan karakter ukuran lilit batang tanaman (cm). Rata-rata ukuran lilit batang tanaman pada populasi tanaman F1 hasil persilangan klon IAN 873 X PN 3760 sebesar 42,31 cm dengan simpangan baku sebesar 11.64 cm. Genotipe-genotipe memiliki ukuran lilit batang berkisar antara 21,50 – 64,50 cm. 6 5
Frekuensi
4 3 2 1 0
Mean 42.31 20 30 40 50 60 Lilit batang (cm) StDev 11.64 Gambar 1. Histogram ukuran lilit batang tanaman N (cm) hasil persilangan 35 tetua berkerabat jauh
Gambar 2 menunjukkan sebaran populasi tanaman berdasarkan karakter ukuran hasil lateks (g/p/s). Rata-rata hasil lateks pada populasi tanaman F1 hasil persilangan klon IAN 873 X PN 3760 sebesar 13,21 g dengan simpangan baku sebesar 2.337 g. Genotipe-genotipe memiliki ukuran lilit batang berkisar antara 10,45 – 20,71 g. 14 12
Frekuensi
10 8 6 4 2 0
10.5
12.0
13.5
15.0
16.5
Hasil Lateks (g/p/s)
18.0
19.5
21.0
Mean 13.21 StDev 2.337 N 35
Gambar 1. Histogram hasil lateks (g/p/s) hasil persilangan tetua berkerabat jauh Terdapatnya keragaman genetik yang tinggi pada hasil persilangan tetua IAN 873 X PN 3760 diduga lebih diakibatkan oleh faktor genetik. Hal ini dapat dipahami mengingat tetua betina dan tetua jantan memiliki kekerabatan genetik yang jauh (Oktavia et al. 2010). Klon IAN 873 merupakan tetua betina hasil pemuliaan tanaman asal populasi Wickham pada 381
tahun 1876, sedangkan klon PN 3760 merupakan hasil ekspedisi IRRDB pada tahun 1981. Selain itu diduga juga diakibatkan oleh sifat heterozigot heterogen pada tanaman karet, sehingga gen-gen yang terlibat pada penampilan suatu karakter tanaman akan bersegregasi pada populasi turunan pertama (Novalina, 2009: Sayurandi dan Aidi-Daslin, 2011). Gambar 2 memperlihatkan bahwa nilai tengah ukuran lilit batang dan hasil lateks menunjukkan hasil jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai tengah kedua tetua. Berdasarkan kedua karakter tersebut memperlihatkan belum diperoleh segregan-segregan yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Jika dilihat dari potensi hasil lateks ternyata genotipe hasil persilangan populasi Wickham 1876 dan plasma nutfah IRRDB 1981 menunjukkan potensi hasil karet kering masih jauh dibawah potensi hasil karet kering pada klon-klon yang sudah dibudidayakan saat ini. Rendahnya hasil lateks pada genotipe hasil persilangan selain dipengaruhi faktor genetik diduga juga dipengaruhi oleh kondisi jarak tanam yang lebih sempit yang digunakan pada pengujian populasi semaian F1 yaitu dengan menggunakan jarak tanam berukuran 2 x 2 m yang disebabkan oleh keterbatasan areal penanaman, sedangkan jarak tanam anjuran pada pertanaman budidaya yaitu berukuran 6 x 3 m. Genotipe hasil persilangan yang ditanam pada jarak tanam yang sempit akan menyebabkan terjadinya kompetisi tinggi antar tanaman, baik terhadap penyerapan hara dan air tanah maupun kompetisi ruang untuk pertumbuhan tanaman. Dijkman (1951) menyatakan bahwa tanaman karet yang ditanam pada jarak tanam yang lebih jarang akan memiliki hasil lateks lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang ditanam dengan jarak tanam yang sempit. Jarak tanam yang sempit menyebabkan kompetisi antar pohon sehingga mekanisme fisiologi pembentukan lateks dan aliran lateks saling mempengaruhi satu sama lain (Schmole, 1940). Populasi tanaman yang tinggi akan mengakibatkan kompetisi terhadap hara dan ruang tumbuh, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman (Siagian et al. 2005). Dengan demikian, genotipe F1 hasil seleksi pada pengujian di populasi semaian perlu dilakukan pengujian lanjutan dengan menggunakan jarak tanam yang dianjurkan dengan harapan akan dihasilkan kandidat klon dengan potensi hasil lateks dan pertumbuhan yang lebih baik. Korelasi antar Karakter Kuantitatif Karakter kuantitatif pada tanaman karet merupakan komponen yang menentukan besarnya hasil lateks, sehingga perlu dikaji hubungan antara beberapa karakter terutama pada karakter agronomi dengan hasil lateksnya. Nilai hubungan antar karakter tanaman merupakan dasar seleksi pada program pemuliaan tanaman karet. Sebab tidak jarang dalam melakukan seleksi terhadap karakter tertentu akan merubah karakter lainnya. Hal ini memberikan gambaran bahwa karakter-karakter tersebut memiliki hubungan antara satu dengan lainnya, baik bersifat positif maupun negatif. Hasil analisis korelasi antara karakter agronomi terhadap hasil lateks (g/p/s) disajikan pada Tabel 1.
382
Tabel 1. Matriks koefisien korelasi antara sembilan karakter agronomi pada 35 genotipe hasil persilangan klon IAN 873 X PN 3760 Karakter LB TT JCP TCU TK JPL DPL VK HL ** ** LB 1 0.792 -0.162 0.087 -0.031 0.291 0.134 0.765 0.618** TT 1 -0.135 0.315 -0.103 0.323 0.100 0.747** 0.492** JCP 1 0.362* 0.163 -0.031 0.199 0.051 -0.062 ** TCU 1 0.109 0.122 0.086 0.629 0.145 TK 1 -0.255 -0.033 0.033 0.082 JPL 1 0.230 0.296 0.311* DPL 1 0.193 0.489* VK 1 0.581** HL 1 Keterangan: lilit batang (LB), tinggi tanaman (TT), jumlah cabang pertama (JCP), tinggi cabang utama (TCU), tebal kulit (TK), jumlah pembuluh lateks (JPL), diameter pembuluh lateks (DPL), volume kayu (VK), hasil lateks (HL);*, ** : menunjukkan berpengaruh nyata pada uji t.05 dan t.01 Tabel 1 menunjukkan bahwa karakter lilit batang, tinggi tanaman, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, dan volume kayu berkorelasi nyata dan bersifat positif terhadap hasil lateks, sedangkan jumlah cabang utama, tinggi cabang utama dan tebal kulit tidak berbeda nyata terhadap hasil lateks. Hubungan yang bersifat nyata dan positif pada beberapa karakter agronomi menunjukkan bahwa karakter-karakter tersebut sangat mempengaruhi hasil lateks. Nilai korelasi lilit batang, tinggi tanaman, dan volume kayu yaitu masing-masing sebesar 0.618, 0.492, 0.581. Nilai korelasi tersebut memperlihatkan bahwa semakin tinggi dan besarnya karakter tersebut maka akan menyebabkan hasil lateks semakin tinggi. Karakter jumlah cabang pertama menunjukkan nilai korelasi bersifat negatif (-0.062). Hal ini menandakan bahwa semakin banyak jumlah cabang maka hasil lateks semakin rendah. Karakter jumlah pembuluh dan diameter pembuluh lateks memiliki nilai sebesar 0.311 dan 0.489 terhadap hasil lateks. Menurut Henon dan Nicholas (1989), karakter jumlah pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks memiliki korelasi bersifat positif terhadap hasil lateks yang disadap. Analisis Kemiripan Genetik Berdasarkan Karakter Kuantitatif Keragaman genotipe hasil persilangan yang dianalisis dinyatakan ekspresi fenotipe dalam bentuk karakter agronomi/ kuantitatif. Analisis kemiripan genetik dilakukan dengan menggunakan analisis gerombol. Analisis ini bertujuan untuk mengelompokkan genotipe ke dalam beberapa kelas sehingga anggota dalam satu kelas lebih homogen (mirip) dibandingkan dengan anggota di dalam kelas lain. Kriteria pengelompokkan dapat didasarkan pada kemiripan. Kemiripan ini dapat diukur menggunakan sebuah indeks dengan makna tertentu seperti euclidean (akar ciri) atau jarak lain, sejenis indeks peluang atau yang lainnya. Semakin kecil jarak akar ciri antar dua genotipe maka semakin mirip genotipe tersebut satu sama lainnya (Yunianti et al. 2007). Analisis gerombol ini dilakukan berdasarkan karakter kuantitatif pada 35 genotipe hasil persilangan klon IAN 873 X PN 3760. Pengelompokkan didasarkan pada pengamatan pertumbuhan lilit batang, tinggi tanaman, jumlah cabang pertama, tinggi cabang utama, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, volume kayu, dan hasil lateks. Gambar 1 memperlihatkan dendogram hasil analisis 35 genotipe hasil persilangan klon IAN 873 X PN 3760 berdasarkan karakter kuantitatif. 383
Hasil analisis gerombol 35 genotipe dan 2 tetua persilangan menunjukkan bahwa terdapat lima kelompok berkerabat dekat dengan nilai koefisien kemiripan genetik antar genotipe tanaman karet antara 0,01 – 0,56 (Gambar 1). Kelompok pertama berjumlah 26 genotipe yaitu G32, G74, G80, G33, G79, G67, G47, G128, G39, G68, G146, G136, G53, G48, G134, G41, G130, G76, G55, G36, G54, G56, G69, G81, G52, dan G82; kelompok kedua yaitu G37, G115, G50, G83, dan PN3760; kelompok keempat yaitu G120; serta kelompok kelima hanya terdapat klon IAN 873 yang merupakan tetua betina. Jika dilihat dari hasil tersebut maka memperlihatkan seluruh genotipe lebih memiliki kemiripan genetik dengan klon PN 3760 (tetua jantan) dibandingkan dengan tetua betina (IAN 873). Namun tetua jantan memiliki kemiripan genetik lebih dekat dengan G75, G57, G150, dan G73 yang seluruhnya masuk ke dalam kelompok ketiga. Pada kelompok pertama terdapat dua genotipe yang memiliki kemiripan sangat dekat yaitu G146 dan G136. Kedua genotipe tersebut tidak dapat digunakan sebagai tetua persilangan walaupun memiliki sifat yang unggul. G32 G74 G80 G33 G79 G67 G47 G128 G39 G68 G146 G136 G53 G48 G135 G41 G130 G76 G55 G36 G54 G56 G69 G81 G52 G82 G37 G115 G50 G83 G75 G57 G150 G73 PN3760 G120 IAN873 0.01
0.14
0.28
0.42
0.56
Coefficient
Gambar 1. Dendogram hasil analisis 35 genotipe hasil persilangan klon IAN 873 X PN 3760 berdasarkan karakter kuantitatif. Pengelompokkan berdasarkan sifat kuantitatif merupakan pengelompokkan berdasarkan tampilan sifat yang dihasilkan akibat adanya interaksi faktor genotipe dengan faktor lingkungan. Dengan adanya interaksi kedua faktor tersebut maka diharapakan keragaman genetik semakin tinggi. Tingginya keragaman genetik pada populasi persilangan akan memudahkan para pemulia tanaman untuk menyeleksi suatu karakter yang diinginkan dalam upaya memperoleh genotipe karet unggul. Faktor genetik tetua khususnya kisaran variabilitas genetik sangat menentukan keberhasilan dalam program persilangan. Semakin jauh jarak genetik antar tetua persilangan, maka semakin besar terbentuknya klon yang potensial. Pada Gambar 1 menunjukkan adanya ketidakmiripan antara tetua dengan progeninya. Hal ini menunjukkan bahwa kisaran variabilitas genetik di antara kelompok tersebut cukup luas sehingga diharapkan jika dilakukan persilanga tidak terjadi depresi inbreeding, malah sebaliknya diharapkan akan terjadinya heterosis. 384
KESIMPULAN Karakter lilit batang, tinggi tanaman, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, dan volume kayu memiliki korelasi nyata dan bersifat positif terhadap hasil lateks, sedangkan jumlah cabang utama, tinggi cabang utama dan tebal kulit tidak berbeda nyata terhadap hasil lateks. Berdasarkan analisis kemiripan genetik memperlihatkan tiga puluh lima genotipe dan dua tetua persilangan dikelompokkan menjadi lima kelompok. Terdapat empat genotipe yang memiliki kemiripan dekat dengan tetua jantan PN 3760 yaitu G75, G57, G150, dan G73. Namun, seluruh genotipe hasil persilangan cenderung memiliki kemiripan genetik lebih dekat dengan tetua jantan klon PN 3760. DAFTAR PUSTAKA Aidi-Daslin, I. Suhendry and R. Azwar. 2000. Growth characteristic and yield performance of recommended clones in commercial planting. Proc. Indonesian Rubb. Conf. and IRRDB Symp.2000, hal : 150-158. Aidi-Daslin, S.Woelan, M.Lasminingsih dan H. Hadi. 2009. Kemajuan pemuliaan dan seleksi tanaman karet di Indonesia. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 2005, hal : 50-59. Charles HRB. 1990. Cluster Analysis for Researcher. Robot E. Triger Pub. Comp. Malabar. Florida. 120p Dijkman MJ. 1951. Hevea. Thirty Years of Research In the Far East. University Of Miamy. Press Coral Gables. Florida. 320 p. Henon F and Nicholas L. (1989). Early evaluation in hevea: growth and yield at the juvenile phase. Indian Journal of Natural Rubber Research.6(2): 19-23. Lasminingsih M, Situmorang A. 1990. Evaluasi pengujian lanjutan klon karet di Puslitbun Sembawa. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 1990. p 240-252 Liyanage DV. 1974. Memproduksi bibit unggul kelapa dengan cara hibridisasi. Pemberitaan Lembaga Penelitian Tanaman Industri Bogor. Novalina. 2009. Deteksi Marka Genetik yang Terpaut dengan Komponen Produksi Lateks pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) melalui Pemetaan QTL. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sayurandi dan Aidi-Daslin. 2011. Heterosis dan Heritabilitas pada Progeni F1 Hasil Persilangan Kekerabatan Jauh Tanaman Karet. Jurnal Penelitian Karet 29(1): 1-15 Schmole, J. F. 1940. Kort Verslag Tot Ultimo 1939 Van de Toetstuinen Van Cloonen an Zaailing Families in Polonia. Arch Rubbercult. In Ned Indie 24: 455-470 Siagian, N, I. Suhendry dan H. Munthe. 2005. Keragaan pertumbuhan beberapa klon anjuran pada system tanam populasi tinggi dan berbagai dosis pupuk. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet 2005. Medan 22-23 Nopember 2005 Suhendry, I., Aidi-Daslin dan Zahari Husny. 1999. Optimasi produktivitas tanaman karet. Jurnal Penelitian Karet 18(103): 52.63. Wendel JF. 1990. Genetics of Plant Isozymes. In Soltis ED and Soltis PS. (Eds). Isozymes in Plant Biology. Chapman & Hall Ltd. Yunianti R, Satrosumarjo S, Sujiprihati S, Surahman M, Hidayat SH. 2007. Ketahanan 22 genotipe cabai (Capsicum spp) terhadap Phytoptora capsici Leonian dan keragaman genetiknya. Bul. Agron. 35 (2): 103-111.
385
ANATOMI DAUN DAN PENYAKIT COLLETOTRICHUM PADA TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) IRR SERI 400 LEAFANATOMY & COLLETOTRICHUM DISEASE OF RUBBER (Hevea brasiliensis Muell.Arg) IRR 400 SERIES Syarifah Aini Pasaribu dan Cici Indriani Dalimunthe Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet PO BOX 1415 Medan 20001 Telp.(061) 7980045, Fax. (061)7980046 Email:
[email protected]
Abstract Colletotrichum leaf fall disease is one of the important diseases in rubber caused by the fungus Colletotrichumgloeosporioides. Disruption of this disease can reduce productivity, delay time of grafting in the nursery, and in severe attacks resulting in defective seeds, dwarf even die. This research was conducted in SungeiPutih Research Center, Indonesia Rubber Research Institute,sub district Galang, distric Deli Serdang, North Sumatra, at elevation of ± 54 m above sea level, in the laboratory and scion garden toward 22 clonesof IRR 400 series PB 260 as control. Parameterobserved is intensity of the attacks in scion garden, cuticle thick (µm), and number of stomata.Results showed that cuticles thick and stomata number can‟t be used as a variable to distinguish the level of resistance IRR 400 series. Selective eight clones of IRR 400 series are selected as resistant inscion garden (21 dai). Viz: IRR 428, IRR 429, IRR 440 , IRR 446, IRR 449, IRR 450, IRR 451 and IRR 452. It should be carried out enrichment character of the observed variables associated with stomata, such as broad stomata and stomatal characteristics and structure of the epidermallayer of leaves that are moderate by resistant. Keywords: IRR 400 series, Colletotrichum, leaf anatomy
PENDAHULUAN Penyakit gugur daun Colletotrichum merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman karet. Serangan penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan dipembibitan, tanaman belum menghasilkan, dan tanaman menghasilkan. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Colletotrichum gloesporioides yang merupakan jamur fakultatif ordo Melanconiales (Febbiyanti dan Kusdiana, 2012). Patogen Colletotrichum masuk melalui daun yaitu dengan menembus kutikula, menghancurkan dinding sel dan di dalam jaringan berada di inter maupun intraseluler. Selama proses infeksi, patogen mengeluarkan enzim poligalakturonase, selulase dan pektin metilesterase dan toksin. Organel sel yang dirusak awalnya adalah kloroplas, mitokondria dan akhirnya seluruh sel (Pawirosoemardjo dan Suwarto, 1996). Spora colletotrichum menyerang daun muda yang berwarna coklat dan baru membuka, dan serangan berat akan mengakibatkan daun muda coklat tersebut akan berubah warna menjadi kehitaman dan akhirnya gugur sebelum berkembang menjadi hijau. Namun untuk daun yang dapat melewati fase warna coklat muda tersebut maka daun akan mampu bertahan sampai fase hijau muda dengan adanya bintik hitam bekas serangan yang akhirnya akan terus berkembang sempurna menjadi daun yang berwarna hijau tua dan bintik-bintik
386
hitam yang sebelumnya ada juga hilang. Berdasarkan fenomena tersebut maka akan dilihatlah hubungan antara anatomi daun diantaranya tebal kutikula dan jumlah stomata terhadap ketahanan daun klon IRR seri 400 terhadap infeksi colletotrichum yang dilakukan di kebun entres. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di kebun entres dan Laboratorium Proteksi Balai Penelitian Sungei Putih. Bahan yang digunakan adalah klon IRR seri 400 (22 klon)dan klon pembanding PB 260 dengan cabang umur 2 bulan, sudan III 5%, KOH 3%, alkohol 96 % dan gliserin. Alat yang digunakan antara lain haemocitometer, mikroskup okuler, hand spayer, plastik sungkup, object glass, deck glass, gunting, pinset dan lain-lain. Rancangan yang digunakan adalah rancangan petak tersarang (nested design) dengan 23 kombinasi perlakuan dan tiga ulangan. Spora patogen diproduksi pada media PDA (potato dextrose agar), kemudian dihitung kerapatan jamur sebesar 4 x 10-4 dengan menggunakan haemocitometer dibawah mikroskop. Larutan konidia yang telah dibuat tersebut dimasukkan kedalam botol semprot (hand sprayer). Kemudian disemprotkan ke permukaan bawah daun karet muda yang masih berwarna kecoklat-coklatan dengan jarak 25 cm ke tengah-tengah daun sebanyak dua kali semprot. Satu klon terdiri dari tiga pohon, dimana satu pohon dijadikan sebagai ulangan. Dari satu pohon diambil tiga cabang (diambil tiga tangkai daun tengah) yang masih berwarna merah kecoklatan. Setelah disemprot, bungkus dengan plastik transparan. Inkubasikan selama 2 hari. Beri label tiap plastik sesuai dengan perlakuan. Setelah dua hari plastik pembungkus dibuka dengan tetap melabeli setiap tangkai perlakuan. Kemudian dilakukan pengamatan pada 7, 14 dan 21 hari setelah inokulasi (hsi). Parameter pengamatan adalah: a. IntensitasSeranganPenyakit Skala bercak daun Pengukuran skala bercak daun karet terserang Colletotrichum di lapangan dilakukan menurut metode Pawirosoemardjo (1984) yang telah dimodifikasi, maka skala bercak daun ditetapkan 0 - 6 yaitu: Skala 0 = tidak terdapat bercak pada daun Skala 1 = terdapat 1 sampai 8 bercak pada daun Skala 2 = terdapat 9 sampai 12 bercak pada daun Skala 3 = terdapat 13 sampai 16 bercak pada daun Skala 4 = terdapat 17 sampai 20 bercak pada daun Skala 5 = terdapat 21 sampai 24 bercak pada daun Skala 6 = terdapat lebih dari 24 bercak pada seluruh permukaan daun Skala Cacat Daun Skala 0 = tidak terdapat daun yang cacat Skala 1 = terdapat 1/16 bagian daun yang cacat Skala 2 = terdapat 1/8 bagian daun yang cacat Skala 3 = terdapat 1/4 bagian daun yang cacat Skala 4 = terdapat 1/2 bagian daun yang cacat Skala 5 = terdapat lebih dari 1/2 bagian daun yang cacat Skala 6 = terdapat seluruh daun yang cacat atau daunnya gugur Hasil pengukuran skala bercak dan cacat daun di lapangan digunakan untuk menghitung nilai intensitas serangan klon tanaman karet. Pengamatan keparahan penyakit dilakukan 7, 14 dan 21 hsi. Daun yang diamati adalah 9 helai anak daun dari 3 tangkai daun.
387
Menurut Pawirosoemardjo (1979) nilai intensitas serangan penyakit dinyatakan dengan (nxv) x 100% rumus: IS = ZxN Dimana : IS = Intensitas serangan n = Jumlah daun tiap kategori serangan v = Nilai skala dari setiap kategori serangan Z = Nilai skala dari kategori yang tertinggi N = Jumlah daun yang diamati (Pawirosoemardjo, 1979) Klasifikasi penilaian intensitas serangan penyakit Colletotrichum adalah: Resisten : 0 - 20% Agak Resisten : 21 - 40% Moderat : 41 - 60% Agak Rentan : 61 - 80% Rentan : 81 - 100%
Gambar 1. Metode penentuan skala bercak dan cacat daun b. Tebal Kutikula (µm) Tebal kutikula (µm) diamati dengan mengambil daun tengah pada payung kedua. Daun diiris secara melintang dengan menggunakan pisau silet. Irisan tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi KOH 3% dan direndam selama 2 - 3 menit, kemudian dicuci dengan alkohol 96% dan diwarnai dengan merendam irisan daun dalam sudan III 5% selam 2 - 3 menit. Kemudian letakkan permukaan daun bagian atas di atas object glass yang sebelumnya telah ditetesi dengan gliserin dan ditutup dengan deck glass. Irisan penampang melintang daun tersebut dilakukan pada 3 sampel daun tengah sebagai ulangan. Selanjutnya amati tebal kutikula (µm) masing-masing sampel diamati di bawah mikroskop binokuler dengan perbesaran 10 x 10. Bila dalam pengujian sidik ragam diperoleh perlakuan berbeda nyata, maka dilakukan uji jarak Duncan Multiple Range Test (DMRT) (Montgomery, 2001). c. Jumlah Stomata Jumlah stomata daun diamati dengan mengambil daun tengah pada payung kedua. Daun tersebut digunting dengan ukuran 1 x 1 cm dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi KOH 3%, kemudian dipanasi di atas lampu spiritus selama 2 - 3 menit. Setelah dipanasi ambil epidermis bagian bawah dan direndam dalam alkohol 96%, lalu diwarnai dengan sudan III 5% selama 2 - 3 menit. Setelah diwarnai dicuci dengan aquades dan diletakkan di atas object glass yang sebelumnya telah ditetesi dengan gliserin dan ditutup dengan deck glass. Kemudian hitung jumlah stomata di bawah mikroskup binokuler dengan menggunakan lensa ukuran 1 x 1 mm pada perbesaran 40 x 10. Total stomata yang diamati di 388
bawah mikroskup dikalikan dengan luas sampel daun yang telah diukur. Luas daun diukur dengan menggunakan planimeter. Pengamatan dilakukan pada tiga sudut pandang yang berbeda yang digunakan sebagai ulangan. Bila dalam pengujian sidik ragam diperoleh perlakuan berbeda nyata, maka dilakukan uji jarak Duncan Multiple Range Test (DMRT) (Montgomery, 2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Resistensi Klon IRR Seri 400 terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum (%) Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, resistensi klon IRR seri 400 dan klon pembanding PB 260 berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan Colletotrichum pada pengamatan hari ke 7 dan 14, dan 21 hsi yang di amati di kebun entres. Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Resistensi klon IRR seri 400 terhadap penyakit gugur daun Colletotrichum (%) di kebun entres Intensitas serangan (%) Klon (K) Resistensi klon 21 7 hsi 14 hsi 21 hsi hsi hi efg fgh IRR 425 16,7 18,5 21,6 Agak resisten k h ij IRR 428 12,4 15,4 16,7 Resisten ij h ij IRR 429 Resisten 14,8 15,4 16,1 c c bc IRR 431 37,7 37,7 43,8 Moderat fg e ghi IRR 434 19,1 20,9 20,9 Agak resisten jk ef hi IRR 437 13,6 19,1 19,1 Agak resisten hij fgh ij IRR 440 15,4 16,7 16,7 Resisten a a a IRR 443 38,9 50,6 50,6 Moderat gh d e IRR 444 17,3 28,4 28,4 Agak resisten f d ef IRR 445 19,8 25,9 25,9 Agak resisten jk ij IRR 446 14,2 16,7 fgh 16,7 Resisten c b b IRR 447 28,4 42,6 45,7 Moderat ef d e IRR 448 20,4 27,2 27,2 Agak resisten hi hij IRR 449 16,7 17,9 fgh 17,9 Resisten ij h ij IRR 450 14,8 15,4 16,7 Resisten l h j IRR 451 Resisten 8,0 14,8 15,4 hi hij IRR 452 16,7 17,9 fgh 17,9 Resisten jk e fgh IRR 453 12,9 20,9 21,6 Agak resisten ef d ef IRR 454 20,9 25,3 25,3 Agak resisten ef c c IRR 455 20,9 35,8 38,9 Agak resisten d d c IRR 456 21,6 26,5 40,1 Moderat ef c d IRR 457 20,9 35,8 32,1 Agak resisten l gh ij PB 260 9,9 16,1 16,1 Resisten Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT (Duncan Multiple Range Test). Tabel 1 memperlihatkan bahwa perlakuan klon terhadap intensitas serangan memiliki variasi ketahanan antara 8,02%-50,62%.Di mana semua klon yang diuji tergolong ke dalam kelompok resisten sampai moderat.Namun demikian, bila dibandingkan dengan klon PB 260 (9,88%) terlihat bahwa pada pengamatan 7 hsi hanya klon IRR 451 yang memiliki sifat ketahanan yang lebih tinggi walaupun secara statistik dianalisis sama yaitu sebesar 8,02%. Pengamatan 14 hsi ada dua klon yang memiliki tingkat resistensi lebih tinggi dibandingkan 389
dengan klon PB 260 (16,05%) yaitu klon IRR 450 (15,43%%) dan IRR 451 (14,81%). Pengamatan 21 hsi juga ada satu klon yang tingkat resistensinya lebih tinggi dengan klon PB 260 (16,05%), yaitu klon IRR 451 yaitu sebesar 15,43%. Tingginya tingkat resistensi di kebun entres di duga karena daun tanaman di kebun entres memiliki morfologi tanaman yang kuat dengan terbentuknya penguatan dinding sel melalui proses lignifikasi (Dixon et al., 1994). Atau dapat juga dikatakan memiliki hambatan struktural seperti jumlah dan kualitas lilin serta kutikula yang menutupi sel epidermis (Agrios, 2005). Waktu yang berbahaya terhadap infeksi Colletotrichum adalah saat daun muda dan saat muncul bunga yang sebelumnya didahului oleh musim penghujan, sehingga menyebabkan infeksi dan penyebaran epidemi penyakit. Pada tanaman jambu mete, diketahui bahwa daun muda lebih rentan dari pada daun tua (Lopez & Lucas, 2010). Demikian juga pada tanaman karet, di mana saat pembentukan daun muda baru (flush) setelah tanaman menggugurkan daun secara alami yang diikuti dengan jumlah hari hujan yang tinggi dan merata akan menyebabkan daun lebih rentan. Febbiyanti dan Kusdiana (2012) menyatakan bahwa semakin muda stadia daun maka intensitas serangan semakin tinggi dan daun semakin rentan. Oleh karena itu, klon IRR seri 400 yang bersifat tahan diduga mampu melewati masa kritis tersebut. Awalnya jaringan daun muda yang berwarna kemerahan tersebut lebih tipis permukaannya tapi seiring dengan bertambahnya umur daun maka jaringan daun akan semakin tebal yang dapat diidentifikasi melalui kaku atau tidaknya daun. Untuk daun-daun yang mampu melewati masa krisis (0-14 hari setelah inokulasi) maka daun tanaman tersebut akan mampu bertahan sehingga tumbuh dan berkembang menjadi daun yang utuh. Tebal Kutikula (µm) Hasil analisis sidik ragam klon IRR seri 400 dan klon pembanding PB 260 berpengaruh nyata terhadap tebal kutikula yang diamati Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.Tabel 2 memperlihatkan bahwa tebal kutikula dari klon IRR seri 400 dan klon pembanding PB 260 adalah 50,03 - 72,53 µm. Hasil pengamatan mikroskupis terhadap tebal kutikula dilihat pada Lampiran 1. Terseleksi enam klon yang memiliki tebal kutikula yang lebih tebal dari klon pembanding PB 260, yaitu IRR 425 (60,86 µm), IRR 431 (65,43 µm), IRR 443 (61,27 µm), IRR 449 (57,93 µm), IRR 450 (62,93 µm) dan IRR 453 (72,53 µm). Untuk melihat hubungan antara tebal kutikula dengan nilai intensitas serangan dapat diketahui dengan nilai korelasi. Nilai korelasi tersebut adalah 0,2; 0,02 dan 0,05 masingmasing untuk, 7, hsi, 14 hsi dan 21 hsi.
390
Tabel 2. Rata-rata tebal kutikula permukaan daun bagian atas (µm) klon IRR seri 400 dan klon pembanding PB 260 Klon
Tebal kultikula (µm)
Tingkat resistensi 21 hsi
ab IRR 425 (K1) 60,86 Agak resisten b IRR 428 (K2) 52,10 Resisten b IRR 429 (K3) 54,20 Resisten ab IRR 431 (K4) 65,43 Moderat b IRR 434 (K5) Agak resisten 50,87 b IRR 437 (K6) 52,10 Agak resisten b IRR 440 (K7) 52,93 Resisten ab IRR 443 (K8) 61,27 Moderat b IRR 444 (K9) 54,20 Agak resisten b IRR 445 (K10) 56,70 Agak resisten b IRR 446 (K11) 56,70 Resisten b IRR 447 (K12) 52,03 Moderat b IRR 448 (K13) 48,77 Agak resisten ab IRR 449 (K14) 57,93 Resisten ab IRR 450 (K15) 62,93 Resisten b IRR 451 (K16) 52,10 Resisten b IRR 452 (K17) 55,03 Resisten a IRR 453 (K18) Agak resisten 72,53 b IRR 454 (K19) 53,77 Agak resisten b IRR 455 (K20) 53,77 Agak resisten b IRR 456 (K21) 50,03 Moderat b IRR 457 (K22) 50,03 Agak resisten b PB 260 (K23) Resisten 54,16 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT (Duncan Multiple Range Test).
Kutikula yang tebal terdiri dari sel-sel yang berdinding gabus tebal segera setelah patogen memasuki jaringan tanaman atau adanya produksi bahan-bahan toksik di dalam jaringan yang cukup banyak sebelum atau sesudah patogen memasuki jaringan tanaman sehingga patogen mati sebelum dapat berkembang lebih lanjut dan gagal menyebabkan penyakit (Wiratama et al., 2013). Idealnya tanaman yang memiliki kutikula yang tebal akan memiliki sifat ketahanan dari pada tanaman yang memiliki kutikula tipis.Pada Penelitian ini tanaman yang diuji memiliki tebal kutikula yang berbeda setelah diukur dengan tingkat resistensi yang berbeda pula. Namun tanaman yang memiliki kutikula yang tebal tidak mencerminkan tingkat ketahanan yang tinggi. Misalnya klon IRR 453 memiliki tebal kutikula paling tinggi (72,53 µm) dengan nilai intensitas serangan agak resisten dan hal yang sama juga terlihat pada klon IRR 448 dengan tebal kutikula 48,77 µm dengan nilai intensitas serangan juga agak resisten. Artinya tebal kutikula tidak dapat menentukan tingkat ketahanan klon. Pawirosoemardjo (1979) menyatakan bahwa tebal kutikula tidak menentukan ketahanan klon karet terhadap serangan penyakit gugur daun C. gloeosporioides. Hasil pengamatan dengan menggunakan Scanning Electrone Microscope (SEM) menunjukkan bahwa proses infeksi tabung kecambah C. gloeosporioides masuk melalui kutikula. Setelah itu menghancurkan dinding sel dan di dalam jaringan berada interseluler dan intraseluler. Organel sel yang rusak diawali dari kloroplas, mitokondria dan akhirnya seluruh sel rusak (Pawirosoemardjo dan Suwarto, 1996). Hal lain yang mendukung adalah dengan melihat nilai korelasi di antara tebal kutikula dengan tingkat keparahan penyakit. Nilai korelasi yang 391
diperoleh tergolong rendah artinya kecil hubungan antara tebal kutikula dan tingkat keparahan sehingga pada tanaman karet tebal kutikula bukan merupakan karakter yang menjadi tolak ukur tahan atau tidaknya suatu klon terhadap penyakit gugur daun C. gloeosporioides. Jumlah Stomata Hasil pengamatan jumlah stomata terhadap klon IRR seri 400 dan klon PB 260 sebagai pembanding dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis terhadap jumlah stomata tersebut menunjukkan perbedaan nyata antara klon IRR seri 400 maupun klon PB 260. Tabel 3 memperlihatkan bahwa jumlah stomata klon IRR seri 400 dan klon pembanding PB 260 adalah 13.296 – 40.038. Diperoleh sebanyak tiga klon yang memiliki jumlah stomata yang lebih sedikit dari klon pembanding PB 260 (24.995 stomata), yaitu IRR 457 (20.838 stomata), IRR 429 (17.385 stomata) dan IRR 454 (13.296 stomata). Hasil pengamatan mikroskupis jumlah stomata dapat dilihat pada Lampiran 2. Selanjutnya untuk melihat hubungan antara peubah jumlah stomata dengan nilai intensitas serangan dilakukan dengan mengetahui nilai korelasi, dan diperoleh nilai korelasinya yaitu -0,1; -0,07 dan -0,10 masingmasing untuk 7 hsi, 14 hsi dan 21 hsi. Tabel 3. Rata-rata jumlah stomata persatuan luas daun bagian bawah klon IRR seri 400 dan klon pembanding PB 260 Klon
Jumlah stomata
Tingkat Resistensi 21 hsi
abcde IRR 425 (K1) 30.394 Agak resisten bdce IRR 428 (K2) 25.912 Resisten de IRR 429 (K3) 17.385 Resisten bcde IRR 431 (K4) 26.199 Moderat bcde IRR 434 (K5) Agak resisten 24.270 abcde IRR 437 (K6) 30.096 Agak resisten bcde IRR 440 (K7) 27.240 Resisten bcde IRR 443 (K8) 29.150 Moderat a IRR 444 (K9) 42.643 Agak resisten abcd IRR 445 (K10) 33.231 Agak resisten ab IRR 446 (K11) 40.038 Resisten bcde IRR 447 (K12) 26.468 Moderat abcd IRR 448 (K13) 34.985 Agak resisten abcde IRR 449 (K14) 29.900 Resisten abcd IRR 450 (K15) 35.990 Resisten bcde IRR 451 (K16) 27.357 Resisten abc IRR 452 (K17) 37.402 Resisten bcde IRR 453 (K18) Agak resisten 28.573 e IRR 454 (K19) 13.296 Agak resisten abcde IRR 455 (K20) 29.735 Agak resisten bcde IRR 456 (K21) 24.509 Moderat cde IRR 457 (K22) 20.838 Agak resisten bcde PB 260 (K23) Resisten 24.995 Keterangan:Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut uji DMRT (Duncan Multiple Range Test).
Pengamatan mikroskupis yang dilakukan untuk menghitung jumlah stomata memperlihatkan adanya perbedaan ukuran stomata, luas bukaan stomata serta susunan sel 392
epidermisnya. Hal ini yang diduga dapat dijadikan sebagai karakter pembeda antara klon yang satu dengan lain dari sisi anatomi daun. Namun, pada penelitian ini katakter stomata yang diamati hanya jumlah stomata. Tanaman yang memiliki stomata daun lebih sedikit idelanya akan lebih tahan dari pada tanaman yang memiliki jumlah stomata daun yang lebih banyak. Terlihat pada bebarapa klon IRR seri 400 yang memiliki tingkat ketahanan yang sama dengan jumlah stomata yang berbeda. Klon IRR 425 memiliki jumlah stomata 30.394 tergolong agak resisten sedangkan klon IRR 454 memiliki jumlah stomata 13.296 juga tergolong agak resisten. Artinya tidak ada konsistensi antara jumlah stomata dengan tingkat ketahanan. Bukti lainnya untuk melihat konsitensi dicarilah nilai korelasi. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai korelasi antara jumlah stomata dengan tingkat keparahan penyakit rendah sehingga tidak dapat dijadikan sebagai karakter yang menjadi tolak ukur tahan atau tidaknya suatu klon terhadap penyakit gugur daun C. gloeosporioides. Pawirosoemardjo, (1979) menyatakan bahwa panjang, lebar, dan keragaan stomata tidak menentukan ketahanan klon karet terhadap serangan C. gloeosporioides. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tebal kutikula dan jumlah stomata tidak dapat dijadikan sebagai peubah untuk membedakan tingkat ketahanan klon IRR seri 400.Terseleksi delapan klon IRR seri 400 yang bersifat resisten di pengujian kebun entres setelah 21 hsi., yaitu IRR 428, IRR 429, IRR 440, IRR 446, IRR 449, IRR 450, IRR 451 dan IRR 452. Saran Pengamatan anatomi daun lainnya perlu dilakukan untuk melihat perbedaan ketahanan yang lebih berhubungan seperti luas bukaan stomata, tebal epidermis antara tanaman yang rentan dan resisten. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G. N. 2005. Plant pathology second edition. Academic Press. A Subsidiary of harcourt Brace Jovanovich, Publisher. New York. p. 272. Dixon, R. A., Harrison, M. J., Lamb, C. J. 1994. Early events in the activation of plant defense respons. Annu.Rev. Phytopathol, 32:479-501. Febbiyanti, T. R. dan A. P. J. Kusdiana. 2012. Pengaruh infeksi jamur Colletotrichum gloeosporioides terhadap kerusakan daun tanaman karet. Prosiding Konferensi Nasional Karet. Pusat Penelitian Karet. Yogyakarta, 19-20 September. hlm 251-258. Lopez,
A. M. Q. and J. A. Lucas. 2010. Reaction of dwarf cashew to Colletotrichumgloesporioides isolates in controlled environment. Sci.Agric.(Piracicaba,Braz.), 67 (2): 228-235.
Montgomery, Douglas. C. 2001. Design and analysis of experiments-5th edition. Arizona State University. pp: 170-211. Pawirosoemardjo, S. 1979. Aspek-aspek biologi Colletotrichum gloeosporioides Penz. dan respon beberapa klon karet terhadap penyakit yang ditimbulkan. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 76 hal. Pawirosoemardjo, S. 1984. Beberapa aspek hubungan patogen-inang dalam penyakit gugur daun Colletotrichum pada Hevea brasiliensis Muell. Arg. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. hlm 15-18. Pawirosoemardjo, S. dan Suwarto. 1996. Pengendendalian terpadu penyakit gugur daun Colletotrhicum pada tanaman karet. Warta Pusat Penelitian Karet, 15(3): 175 hlm.
393
Wiratama, I. D. M. P., I. P. Sudiarta, I. M. Sukewijaya, K. Sumiartha dan M. S. Utama. 2013. Kajian ketahanan beberapa galur dan varietas cabai terhadap serangan antraknosa di desa abang Songan Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli. E-Jurnal Agroekoteknologi tropika, 2 (2): 71-81.
394
395
396
ANALISIS KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER PADA BEBERAPA KOLEKSI GANDARIA (Bouea sp.) YANG BERASAL DARI SUMATERA, JAWA, KALIMANTAN, DAN AMBON Tri Harsono, Yusran E Ritonga, Desy Arwita Biologi FMIPA Universitas Negeri
[email protected] Abstrak Identifikasi metabolit sekunder Gandaria (Bouea sp.)asal Sumatera, Jawa, Ambon dan Kalimantan dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Unimed. Paramater yang digunakan yaitu uji alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid dan steroid. Hasil analisis menunjukkan alkaloid, flavonoid dan saponin sangat banyak terdapat pada semua sampel. Hasiluji triterpenoid seluruh sampel diperoleh hasil sangat banyak kecuali Gandaria asal Kalimantan 1 yang hanya mengandung steroid yang diindikasikan dengan rasa buah manis. Disimpulkan bahwa metabolit sekunder yang ditemukan pada ekstrak daun Gandaria (Bouea sp.) antara lain alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid dan steroid. Pada sampel asal Kalimantan 1 hanya didapatkansteroid dan tidak ditemukan triterpenoid, hal ini dikaitkan dengan karakter rasa manis pada buah. Key word : Uji Metabolit Sekunder, Bouea sp., Sumatra, Jawa, Kalimantan, Ambon Abstract The identification of metabolite secondary in Gandaria (Bouea sp) from Sumatra, Java, Ambon, and Kalimantan conducted at Biology Laboratory in Faculty of Mathematics and Natural Science University of Medan. Parameter tests are used: Alkaloid, Flavonoid, Saponin, Triterpenoid, and Steroid. The result of analysis shows are using Alkaloid, Flavonoid, Saponin very much and Triterpenoid test with total sample very muchexcept Gandaria from Kalimantan there was only Steroid that is indicated with a fruity taste sweet. The concluded that is metabolite secondary was discovered of extract leaves in Gandaria (Bouea sp) among others are Alkaloid, Flavonoid, Saponin, Triterpenoid, and Steroid. The sample from Kalimantan there was only Steroid and not found Triterpenoid, it is connected with the character a sweet taste of fruit. Keywords: Secondary Metabolite Test, Bouea sp, Sumatra, Java, Kalimantan, Ambon PENDAHULUAN Gandaria (Bouea) adalah salah satu marga dalam suku Anacardiaceae yang memiliki persebaran di kawasan Malesia, suatu kawasan (region) yang terbentang antara Benua Asia dan Australia dan di dalamnya tercakup sejumlah flora dan fauna yang sangat khas dan hampir tidak ditemukan di wilayah lainnya. Gandaria merupakan tumbuhan asli Indonesia yang juga tersebar di semenanjung Malaysia dan Thailand. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Maluku. Gandaria tumbuh di daerah beriklim tropis basah. Secara alami, tumbuhan yang menjadi flora identitas provinsi Jawa Barat ini tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 300 meter dpl, namun gandaria terbudidaya mampu tumbuh dengan baik hingga ketinggian 850 meter dpl (Rifai, 1992). Laporan lain menyebutkan bahwa gandaria merupakan tanaman endemik khas Maluku (Rehatta, 2005; Papilaya, 2007). Pemanfaatan tanaman Gandaria masih sangat terbatas seperti di provinsi Aceh, gandaria atau disebut dengan merinya dan polam hanya digunakan untuk dimakan begitu saja 397
karena rasanya yang asam-manis yang dapat melepaskan dahaga pada saat mereka beraktivitas di dalam hutan. Namun fungsi tersebut bergeser di daerah Sumatera Selatan dimana selain sebagai bahan pangan tidak tetap, juga dimanfaatkan sebagai manisan dan sambal Gandaria. Di Jawa Barat dan Kalimantan, gandaria dijadikan campuran sambal (Sambal gandaria dan sambal ramania) untuk mendapatkan rasa asam pada sambal tersebut. Menurut (Fitrya, dkk. 2010) Gandaria sebagai sumber buah-buahan, kayu yang digunakan untuk membuat alat-alat pertanian, daun muda untuk lalap, buah yang muda dapat langsung dimakan, bahan rujak, asinan dan sari buah-buahan. Kandungan komposisi buah gandaria setiap 100 g bagian yang dapat dimakan adalah 85 g air, 12 mg protein, 600 mg serat, 230 mg abu, 6 mg kalsium, 10,8 mg fosfor, 0,31 mg besi, 0,043 mg karotena, 0,031 mg tiamina, 0,025 mg riboflavin, 0,286 mg niasina, dan 75 mg vitamin. Kandungan vitamin A dan C dari gandaria menduduki urutan kedua setelah mangga dan jambu mente. (Tanasale, 2011). Dari berbagai komposisi buah gandaria tersebut terdiri dari bebagai sumber vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh makhluk hidup. Protein yang terkandung didalam buah gandaria berbentuk enzim yang berfungsi sebagai pembentuk sel-sel tubuh yang mati. Senyawa kimia yang berikatan dengan metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, saponin, steroid, triterpenoid dan sebagainya banyak sekali terdapat didalam tumbuhan yang sangat berpotensi untuk diteliti dan dikembangkan dalam rangka pencarian obat atau bahan baku obat. Penggunaan daun gandaria dalam penelitian ini untuk megetahui kandungan metabolit sekunder yang nantinya akan dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan serta memperkenalkan kepada masyarakat kandungan metabolit serta komposisi nutrisi yang terdapat pada daun gandaria (Bouea sp.). Bouea macrophylla adalah salah satu anggota marga Bouea yang berkerabat dekat dengan Boueaoppositifolia. Sebagian besar masih tumbuh liar dan tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Semenanjung Malaysia. Tanaman Gandaria tumbuh dengan habitus pohon dengan ketinggian hingga 27 m dengan tajuk rapat. Daunnya tunggal, berbentuk bundar telur-lonjong sampai bentuk lanset atau jorong. Waktu muda berwarna putih, kemudian berangsur ungu tua, lalu menjadi hijau tua. Perbungaannya malai, muncul di ketiak daun. Buahnya bertipe buah batu, berbentuk agak bulat, berdiameter 2,5-5 cm, berwarna kuning sampai jingga, daging buahnya mengeluarkan cairan kental, buahnya tidak berbulu, rasanya asam sampai manis, dengan bau yang khas agak mendekati bau terpentin Keping biji berwarna lembayung. Gandaria adalah tumbuhan tropik basah dan dapat tumbuh pada tanah yang ringan dan subur. Tumbuh liar di hutan dataran rendah di bawah 300 m dpl., tetapi dalam pembudidayaan telah berhasil ditanam pada ketinggian sekitar 850 m dpl (Harsono, 2012). Metabolit sekunder adalah senyawa- senyawa kimia yang merupakan hasil metabolisme primer, kelanjutan dari metabolit primer sebagai penangkis serangan hama atau sebagai daya tarik dari tumbuhan tersebut. Umumnya metabolit sekunder yaitu : flavonoid, steroid, terpenoid, saponin, alkaloid, dan lain-lain. (Silitonga, 2009). Senyawa kimia yang berikatan dengan metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, saponin, steroid, triterpenoid dan sebagainya banyak sekali terdapat didalam tumbuhan yang sangat berpotensi untuk diteliti dan dikembangkan dalam rangka pencarian obat atau bahan baku obat. Penggunaan daun gandaria dalam penelitian ini untuk megetahui kandungan metabolit sekunder yang nantinya akan dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan serta memperkenalkan kepada masyarakat kandungan metabolit serta komposisi nutrisi yang terdapat pada daun gandaria (Bouea sp.). BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Negeri Medan, dan berlangsung pada April sampai Juni 2013. Bahan penelitian meliputi : 398
SpesimenGandaria (Bouea sp.)yang berhasil dikoleksi dari beberapa lokasi di : Sumatra (Aceh Utara, Lhok Seumawe, Padang Lawas Utara, Bengkalis, TAHURA Sutan Syarif Kasim Minas, Siak, Tanah Datar, dan Palembang), Jawa (Banten dan Bogor), Kalimantan (Kalimantan 1 dan Kalimantan 2) dan Ambon. Identifikasi senyawa metabolit sekunder golongan alkaloid dilakukan dengan tiga uji yaitu Pereaksi Mayer, Dragendrorf, Wagner, flavonoid (serbuk Mg), terpenoid dan steroid (CH3COOH (asetat anhidrida), H2SO4 pekat), saponin (HCl pekat). Analisis data yang dilakukan yaitu mengkaji ada tidaknya kandungan metabolit sekunder (alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, steroid) pada bagian daun dari koleksi Gandaria (Bouea sp.) Sumatera (Aceh Utara, Lhok Seumawe, Padang Lawas Utara, Bengkalis, TAHURA Sutan Syarif Kasim Minas, Siak, Tanah Datar, dan Palembang), Jawa (Bogor dan Banten), Kalimantan (Kalimantan 1, Kalimantan 2), dan Ambon. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Metabolit Sekunder Gandaria (Bouea sp.) dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Unimed. Uji yang dilakukan mencakup Uji Alkaloid, Flavonoid, Saponin, Triterpenoid, dan Steroid. Yang diamati yaitu : Alkoloid (pereaksi Mayer ditandai adanya endapan putih, pereaksi Dragendorf ditandai adanya endapan merah dan pereaksi Wagner ditandai adanya endapan coklat), Flavonoid terjadinya perubahan warna menjadi merah tua dalam waktu 3 menit, Saponin ditandai adanya busa stabil, Triterpenoid ditandai adanya perubahan warna menjdi merah atau ungu dan Steroid ditandai dengan perubahan warna menjadi hijau atau hijau biru (Harborne, 1987). Dari hasil pengujian Laboratorium pada daun Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Sumatera (Aceh Utara, Lhok Seumawe, Padang Lawas Utara, Bengkalis, TAHURA Sutan Syarif Kasim Minas, Siak, Tanah Datar, Palembang), Jawa (Bogor dan Banten), Kalimantan (Kalimantan 1 dan Kalimantan 2), dan Ambon diperoleh data sebagai berikut : Tabel 3.1. Data hasil analisis kandungan Metabolit Sekunder menggunakan daun gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Sumatera, Jawa, Ambon, dan Kalimantan. Nama Kandungan metabolit sekunder Sampel Alkloid Flavo Saponi Steroid Triterp n enoid Maye Drage Wagn noid r ndorff er Gandaria Kalimantan 1 + ++ _ +++ +++ + _ Gandaria Kalimantan 2 _ ++ _ +++ +++ _ +++ Gandaria Ambon + ++ + +++ +++ _ +++ Gandaria Bogor + +++ ++ +++ +++ _ +++ Gandaria Banten + ++ _ +++ ++ _ +++ Gandaria Aceh Utara _ +++ _ +++ ++ _ +++ Gandaria Lhok Seumawe _ ++ _ ++ + _ +++ Gandaria Padang Lawas _ +++ _ ++ +++ _ +++ Utara Gandaria Bengkalis _ +++ +++ +++ ++ _ +++ Gandaria TAHURA SSK _ +++ _ ++ ++ _ +++ Gandaria Tanah Datar _ ++ _ +++ ++ _ +++ Gandaria Palembang _ +++ _ +++ + _ +++ Keterangan : (-) = tidak ada (++) = ada banyak (+) = ada sedikit (+++) = ada sangat banyak
399
1. Gandaria(Bouea sp.) Sumatera Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Sumatera terdapat di daerah Aceh Utara, Lhok Seumawe, Padang Lawas Utara, Bengkalis, TAHURA Sutan Syarif Kasim Minas, Siak, Tanah Datar, dan Palembang. Hasil analisis kandungan metabolit sekunder pada beberapa daerah di Sumatera menunjukkan tidak semua sampel daun Gandaria (Bouea sp.) memiliki kadar yang sama. Pada uji senyawa alkaloid dengan menggunakan pereaksi Mayer semua daun Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari sumatera tidak ada, dengan menggunakan pereaksi Dragendorff didapat hasil positif pada daerah Aceh Utara, Padang Lawas Utara, Bengkalis, TAHURA Sutan Syarif Kasim, dan Palembang memiki kandungan senyawa alkaloid yang ditandai dengan terbentuknya endapan merah sangat banyak, sedangkan menggunakan pereaksi Wagner didapatkan hasil positif hanya pada daerah Bengkalis ada sangat banyak. Hasil analisis kandungan senyawa Flavonoid daun Gandaria (Bouea sp.) Sumatera menunjukkan hasil positif dengan ditandai adanya warna merah, tetapi tidak semua sampel daun gandaria pada setiap daerah memiliki kadar yang sama. Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Aceh Utara, Bengkalis, Tanah Datar, dan Palembang memiliki kandungan flavonoid sangat banyak, Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Lhok Seumawe, Padang Lawas Utara, dan TAHURA Sutan Syarif Kasim Minas, Siak memiliki kandungan senyawa flavonoid ada banyak. Senyawa saponin terkandung pada semua daun gandaria (Bouea sp.) dari Sumatera tapi memiliki kadar yang berbeda. Gandaria (Bouea sp.) dari Padang Lawas Utara memiliki kandungan saponin sangat banyak, gandaria (Bouea sp.) dari daerah Aceh Utara, Bengkalis, TAHURA Sutan Syarif Kasim Minas, Siak, dan Tanah Datar memiliki kandungan saponin dengan jumlah kandungan banyak, sedangkan gandaria (Bouea sp.)dari Lhok Seumawe dan Palembang memiliki kandungan saponin sedikit. Untuk hasil analisis kandungan Triterpenoid pada daun Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Aceh Utara, Lhok Seumawe, Padang Lawas Utara, Bengkalis, TAHURA Suatan Syrif Kasim Minas, Siak, Tanah Datar, dan Palembang menunjukkan hasil positif yang ditandai dengan warna coklat sangat banyak, sedangkan untuk senyawa steroid tidak ada. 2. Gandaria (Bouea sp.) Jawa Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Jawa yaitu meliputi daerah Bogor dan Banten. Hasil analisis kandungan metabolit pada daun Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Bogor menunjukkan adanya kandungan alkaloid dengan menggunakan pereaksi Mayer ditandai adanya endapan putih dengan sedikit, pereaksi Dragendorff ditandai terbentuknya endapan merah sangat banyak, sedangkan dengan pereaksi Wagner ditandai dengan adanya endapan coklat ada banyak. Untuk hasil analisis kandungan metabolit sekunder pada daun Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Banten menunjukkan adanya kandungan senyawa alkaloid, dengan menggunakan pereaksi Mayer ditandai dengan adanya endapan putih sedikit, dengan pereaksi Dragendorff ditandai adanya endapan merah ada banyak, sedangkan dengan pereaksi wagner tidak ada. Senyawa saponin pada daun gandaria Bogor sangat banyak dan Banten ada banyak yang ditandai dengan terbentuknya busa stabil selama 15 menit. Hasil analisis senyawa metabolit sekunder pada daun Gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Bogor, dan Banten menunjukkan adanya senyawa flavonoid ditandai adanya warna merah pada ekstrak ada sangat banyak, serta adanya senyawa triterpenoid ditandai dengan terbentuk warna coklat tua sangat banyak, sedangkan untuk senyawa steroid tidak ada.
400
3. Gandaria(Bouea sp.) Kalimantan Gandaria (Bouea sp.) yang bersal dari Kalimantan terbagi menjadi 2 yaitu Kalimantan 1 dan Kalimantan 2. Hasil analisis kandungan metabolit sekunder pada daerah Kalimantan 1 mengandung senyawa alkaloid yang diuji dengan pereaksi Mayer ditandai adanya endapan putih ada sedikit, pereaksi Dragendorff ditandai adanya endapan merah banyak, pereaksi Wagner tidak ada. Pada Kalimantan 2 mengandung senyawa alkaloid yang hanya terdapat pada pereaksi Dragendorff ditandai adanya endapan putih ada banyak, sedangkan pada pereaksi Mayer dan Wagner tidak ada. Hasil analisis kandungan flavonoid pada daerah Kalimantan 1 dan Kalimantn 2 menunjukkan hasil positif dengan ditandai adanya warna merah pada ekstrak etanol ada sangat banyak. Senyawa saponin pada gandaria (Bouea sp.) positif dengan terbentuknya busa yang stabil sangat banyak. Untuk senyawa steroid hanya ada pada daun gandaria (Bouea sp.) Kalimantan 1 yang ditandai terbentuknya warna hijau ada sedikit, sedangkan senyawa triterpenoid hanya ada pada daun gandaria (Bouea sp.) Kalimantan 2 yang ditandai terbentuknya warna coklat tua ada sangat banyak. 4. Gandaria (Bouea sp.) Ambon Hasil analisis kandungan metabolit sekunder pada daun gandaria (Bouea sp.) yang berasal dari Ambon memiliki kandungan alkaloid yang diuji dengan pereaksi Mayer ditandai dengan endapan putih ada sedikit, pereaksi Dragendorff ditandai adanya endapan merah banyak, dan pereaksi Wagner ditandai adanya endapan coklat sedikit. Untuk hasil analisis daun gandaria (Bouea sp.) mengandung senyawa flavonoid, Saponin, dan triterpenoid sangat banyak, sedangkan senyawa steroid tidak ada. Simpulan dan Saran Disimpulkan bahwa metabolit sekunder yang ditemukan pada ekstrak daun Gandaria (Bouea sp.) antara lain Alkaloid, Flavonoid, Saponin, Triterpenoid dan Steroid. Pada sampel asal Kalimantan 1 hanya ada Steroid dan tidak ditemukan Triterpenoid, hal ini dikaitkan dengan karakter rasa manis pada buah. Penelitian ini masih bersifat awal untuk mendeteksi kandungan metabolit sekunder golongan alkaloid,flavonoid, saponin, steroid, dan triterpenoid. Untuk itu disarankan untuk dilakukannya penelitian lanjutan terhadap tanamantanaman yang telah dianalisis ini, baik itu isolasi, pemurnian, maupun uji hayati terhadap senyawa aktifnya sehingga nantinya dapat diaplikasikan pada bidang-bidang ilmu lain seperti kedokteran, pertanian, farmasi dan lain-lain. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih dihaturkan kepada Laboran di Lab Biologi dan Lab Kimia Universitas Negeri Medan atas semua bantuan selama melaksanakan penelitian. Juga kepada Sdr Muslim Nasution, S Si atas bantuan spesimen Bouea asal Kalimantan. DAFTAR PUSTAKA Erlikasna, (2010), Inventarisasi Dan Uji Metabolit Sekunder Tumbuhan Obat Yang Digunakan Masyarakat Karo Pada Pengobatan Penyakit Dalam, Skripsi, FMIPA, Unimed, Medan. Fitrya., Lenny.A., Novitasari, E., (2010), Isolasi Senyawa Fenolat Dari Fraksi Etil Asetat Kulit Batang Tumbuhan Gandaria, Jurnal Penelitian Sains, Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan. Harborne, J,B., (1987) , Metode Fitokimia :Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, Institute Teknologi Bandung Press, Bandung. 401
Harris JG, Harris MW. 1994. Plant Identification Terminology: An Ilustrated Glossary. Spring Like Publishing. USA. Harsono, T. 2012. Urgency penyelamatan Plasma Nutfah Tumbuhan Langka di Sumatera : Studi Kasus Pada Tumbuhan Gandaria. Journal Sains Indonesia. Vol. 36 No. 1 Januari-Juni 2012. FMIPA Unimed. Harsono, T. 2013. Marga Bouea (Anacardiaceae) di Malesia. Makalah Seminar Nasional Biologi Tanggal 13 April 2013 di FMIPA USU Heyne K. 1927. De Nuttige Planten Van Nederlanch Indie. Volume 2:967- 969. Gedruke By ruygrok & Co. Batavia. Papilaya, P.M. 2007. Kajian Ekologi Gandaria (Boueamacrophylla) hubungannya dengan produksi dan kualitas buah pada ketinggian dari permukaan laut yang berbeda di pulau Ambon (Suatu analisis tentang tumbuhan endemik daerah Maluku). Disertasi. Prodi Biologi. UM-Malang Rehatta, H. 2005. Potensi dan pengembangan tanaman gandaria (Bouea macro phylla Griffith) di desa Soya Kecamatan Sirimau, Kota Ambon. Laporan Hasil Penelitian. Lemlit. Universitas Pattimura. Ambon Rifai MA. 1976. Sendi-Sendi Botani Sistematika. Lembaga Biologi Nasional. LIPI. Bogor. Mimeograf Rifai, M.A. 1991. Bouea macrophylla Griffith In: Verheij, E.W.M. and Coronel, R.E. (Editors). Plant Resources of South-East Asia No. 2: Edible fruits and nuts. Pudoc, Wageningen, The Netherlands, pp. 104-105 Rudini, 1990. Daftar Identitas flora dan fauna daerah. Jakarta. Depdagri. Silitonga, M, (2009), Biokimia Untuk Biologi, Universitas Negeri Medan, Medan. Vogel EA de. 1987. Guideline for the preparation of Revision. Di dalam Vogel E A de, 9 edisi. Manual Herbarium Theory and Practice. UNESCO. Jakarta. hlm.76.
402
9 789794 589045
90000