2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” TANTANGAN PELESTARIAN PERMAINAN TRADISIONAL DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK Munari Kustanto Bappeda Kabupaten Sidoarjo Email :
[email protected] ABSTRAK Sebagaimana diketahui bahwa permainan tradisional memiliki yang peran dalam pembentukan karakter anak. Dewasa ini permainan tradisional sedang menghadapi penetrasi dari permainan modern. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian permainan tradisional Ruang lingkup dari penelitian ini adalah permainan tradisional yang ada di Kabupaten Sidoarjo. Menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif, seting penelitian ini adalah mereka yang mengenal dan mengetahui perkembangan permaian tradisional di Kabupaten Sidoarjo. Secara terperinci tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian permainan tradisional antara lain : ketersediaan event reguler, ketersediaan ruang bermain, media televisi, kurikulum pendidikan dan peran orangtua. Kata kunci : pelestarian, permainan tradisional, karakter anak PENDAHULUAN Latar Belakang Permainan tradisional mempunyai keunggulan yang tidak kalah dengan permainan modern. Salah satu keunggulan yang dimiliki permainan tradisional adalah kemampuanya dalam membentuk karakter manusia. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya nilai-nilai yang dapat diambil dari permainan tradisional. Seiring dengan berjalannya waktu dan teknologi yang makin berkembang, permainan tradisional semakin termarginalisasi. Permainan modern semakin menunjukkan hegemoninya, bukan hanya di perkotaan tapi juga perdesaan. Di Kabupaten Sidoarjo, beberapa dasawarsa sebelumnya masih banyak ditemui anak-anak yang memainkan permainan tradisional seperti bentengan, gobak sodor, dakon, gasing, petak umpet, dan sejenisnya. Sekarang ini anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di depan TV dan komputer untuk memainkan permainan modern. Hal ini nampak dari rental playstation dan warnet yang seringkali dipenuhi oleh anak-anak. Kalaupun ada anak-anak yang masih setia dengan permainan tradisional itupun hanya dalam hitungan jari. Keberadaan permainan modern semakin menjamur setiap harinya, hal ini ditandai dengan berkembanganya a rental playstation sampai dengan warnet untuk game online. Kedua jenis bisnis yang identik dengan permainan modern tersebut sudah merambah hingga ke pelosok daerah. Kondisi ini ternyata sudah menjadi tren di tanah air, berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Warnet Indonesia (APWI) banyak warnet di kotakota besar gulung tikar namun di daerah atau kota-kota kecil justru makin tumbuh (http://www.neraca.co.id/2012/06/12/pasar-warnet-masih-terbuka-lebar/ diakses13 Februari 2013). Apabila kondisi tersebut tidak mendapat perhatian serius baik dari orangtua, masyarakat, dan terlebih lagi pemerintah, maka tidak mustahil jika dalam beberapa tahun ke depan anak cucu kita tidak mengenal lagi apa yang disebut dengan permainan tradisional. Permainan tradisional memiliki nilai-nilai budaya yang telah menjadi sarana berkehidupan bermasyarakat secara turun-temurun. Hal inilah yang belum tentu dapat ditemukan dari permainan modern. Selain tidak memiliki nilai-nilai yang terkait dengan pembentukan karakater anak, permainan modern juga memiliki dampak negatif. Mohamad Zaini Alif mengatakan terdapat sejumlah efek negatif yang ditimbulkan dari
1
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” permainan modern. Paling tidak efek tersebut muncul pada kondisi kesehatan dan psikologis pemain permainan modern itu ( Menyadari keunggulan permainan tradisional dalam membentuk karakter anak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 16 – 19 November 2012 menggelar, festival Permainan Tradisional Anak 2012 di Yogyakarta (. Kegiatan ini merupakan terobosan yang dilakukan pemerintah untuk mengangkat kembali eksistensi permainan tradisional. Sebelumnya di Kota Batam pada 9 – 14 Juli 2012 diadakan Kongres Anak Indonesia XI tahun 2012. Dalam kongres tersebut dirumuskan delapan butir tuntutan dari anak Indonesia kepada pemerintah. Salah satunya adalah memohon kepada pemerintah untuk membangkitkan kembali permainan tradisional dan edukasi serta mengawasi secara ketat pengaksesan game online dan siaran media elektronik yang tidak layak untuk anak. Manfaat permainan tradisional dalam pembentukan karakter anak dapat dilihat pada penelitian dengan judul „Pembentukan Karakter Anak Melalui Permainan Tradisional’. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Permainan tradisional sebenarnya mempunyai karakteristik yang berdampak positif pada perkembangan anak. Pertama, permainan itu cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di lingkungan kita tanpa harus membelinya sehingga perlu daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi. Banyak alat-alat permainan yang dibuat/digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir dan lain sebagainya. Kedua, permainan anak tradisional dominan melibatkan pemain yang relatif banyak. Ketiga, permainan tradisional menilik nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral tertentu seperti nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada (kalau kalah), dorongan berprestasi, dan taat pada aturan (Retnaningdyastuti dkk, 2012). Penelitian dengan judul „Membangun Karakter Anak Melalui Permainan Anak Tradisional’ juga memberikan gambaran yang sama. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa permainan tradisional memang berbeda dengan permainan digital. Tidak hanya dari kesan yang ditimbulkannya tetapi juga dari makna dan pengaruhnya pada anak-anak Indonesia. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pemilihan permainan dalam hal ini apakah permainan digital yang kesannya modern dan canggih tetapi berdampak buruk atau permainan tradisional yang kesannya kampungan dan ketinggalan zaman tetapi berdampak baik akan menentukan karakter yang tercipta pada anak-anak Indonesia, generasi penerus dan harapan bangsa (Nur, 2013).. Memperhatikan penjelasan di atas, maka permainan tradisional sedang menghadapi penetrasi yang sangat masif dari permainan modern. Upaya pelestarian terhadap permainan tradisional tentunya menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi. Melihat kondisi sekarang ini, upaya pelestarian tersebut tentunya tidak semudah membalik telapak tangan. Dengan demikian perlu kiranya diidentifikasi terlebih dahulu tantangan-tantangan yang harus dihadapi dalam pelestarian permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan uraian latar belakang, maka penelitian ini berusaha mengidentifikasi tantangan-tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian permainan tradisional. Ruang lingkup dari penelitian ini adalah permainan tradisional yang ada di Kabupaten Sidoarjo. MATERI Permainan menurut Hans Daeng (2000) merupakan bagian mutlak dari kehidupan anak dan menjadi bagian integral dari proses pembentukan kepribadian anak.Huizinga berupaya mendefinisikan bermain berdasarkan ciri atau sifat yang dimiliki yaitu : (a) suatu kegiatan sukarela yang ada di luar kehidupan “biasa”; (b) sepenuhnya memukau (menyita perhatian); (c) tidak produktif; (d) berlangsung dalam suatu ruang dan waktu tertentu; (e) diatur oleh aturan-aturan; (f) ada hubungan-hubungan antar kelompok yang menutupi dirinya dengan kerahasiaan dan ketertutupan (Dharmamulya, 2005).
2
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Pendefinisian tersebut menyiratkan bahwa pada dasarnya setiap kegiatan manusia mengandung unsur bermain. Sedangkan Astuti (2000) mengartikan permainan sebagai aktivitas manusia dalam berbagai bentuk sebagai cermin kebutuhan untuk memperoleh pengetahuan baru secara menyenangkan. Anak akan berinteraksi secara fisik dengan lingkungan ketika bermain, semua panca inderanya tentunya akan aktif sehingga anak dapat belajar banyak hal dari bermain. Permainan tradisional merupakan salah satu folklore yang berupa permainan anak-anak, beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional dan diwarisi turun temurun, serta banyak mempunyai variasi. Permainan tradisional biasanya disebarkan dari mulut ke mulut sehingga kadangkala mengalami perubahan nama atau bentuk meskipun dasarnya sama. Danandjaja (1987) menjelaskan bahwa permainan tradisional tidak lain adalah kegiatan yang diatur oleh suatu peraturan permainan yang merupakan pewarisan dari generasi terdahulu yang dilakukan manusia (anak-anak) dengan tujuan mendapat kegembiraan. Jarahnitra menyatakan bahwa permainan tradisional merupakan hasil budaya yang besar nilainya bagi anak-anak dalam rangka berfantasi, berekreasi, berkreasi, berolahraga yang sekaligus menjadi sarana berlatih untuk hidup bermasyarakat, ketrampilan, kesopanan, serta ketangkasan (Suyanto, 2002). Sedangkan menurut Atik Soepandidkk, yang disebut permainan adalah perbuatan untuk menghibur hati baik yang mempergunakan alat ataupun tidak mempergunakan alat, sedangkan yang dimaksud tradisional ialah segala apa yang dituturkan atau diwariskan secara turun temurun dari orang tua atau nenek moyang (Astuti, 2000). Dengan demikian permainan tradisionaladalah segala perbuatan (baik mempergunakan alat atau tidak) yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang sebagai sarana hiburan atau untuk menyenangkan hati. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa permainan tradisional adalah salah satu wujud atau bentuk kebudayaan.Sejumlah ilmuwan sosial dan budaya juga sepakat mengatakan bahwa permainan tradisional merupakan unsur kebudayaan yang tidak dapat dianggap remeh, sebab permainan ini dapat memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan anak. Tantang permainan tradisional semakin berat seiring perkembangan arus modernisasi. Penganut strukturalis konflik telah menyadari dan menemukan sejumlah bukti bahwa kegiatan pembangunan dan modernisasi ternyata bukan saja mendorong terjadinya peningkatan industrialisasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Pembangunan dan modernisasi juga mendorong terjadinya perubahan sosial secara dramatis dan masif di berbagai komunitas. Studi yang dilakukan pada tahun 2001 menemukan sejumlah pergeseran yang terjadi di masyarakat akibat proses modernisasi. Pertama, modernisasi, proses komersialisasi dan pergeseran pola hubungan masyarakat yang makin kontraktual bukan saja menyebabkan unsur-unsur budaya lokal mengalami entropi kebudayaan, tetapi bahkan seringkali hanya tinggal menjadi hiasan sosial (paraphernalia) yang sudah tidak fungsional lagi dengan cara pikir dan tingkah laku walaupun masih menentukan bagaimana seseorang atau kelompok memperlihatkan diri. Kedua, di tingkat komunitas, proses memudarnya adat-istiadat dan kebiasaan setempat selain disebabkan oleh terjadinya proses infiltrasi dan invansi penduduk dalam suatu daerah acapkali juga didukung oleh perkembangan industrialisasi dan pengaruh media massa yang menawarkan berbagai jenis gaya hidup yang makin global. Ketiga, kendati teracam mengalami erosi, tetapi tidak sedikit unsur-unsur budaya lokal yang tetap eksis dan bahkan makin melembaga di lingkungan masyarakat. Eksistensi adat atau kebiasaan yang masih bertahan hingga kini umumnya terkait dengan adanya fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat secara luas (Suyanto, 2002)
3
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” METODE PENELITIAN Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka jenis penelitian ini termasuk ke dalam penelitian deskriptif. Penelitian ini tidak melakukan uji statistik terhadap persoalan yang dirumuskan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, baik dalam teknik pengumpulan data maupun analisis data. Seting penelitian ini adalah mereka yang mengenal dan mengetahui perkembangan permaian tradisional di Kabupaten Sidoarjo. Data-data yang dibutuhkan untuk penelitian ini diperoleh melalui wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan secara mendalam (indepth interview) antara peneliti dengan informan dengan menggunakan pedoman wawancara (guide interview). Wawancara mendalam dilakukan agar diperoleh data dan informasi yang dapat menjawab fokus penelitian secara rinci, utuh dan mendalam. Selain wawancara mendalam, data dalam penelitian ini juga dikumpulkan melalui observasi. Metode ini dilakukan untuk dapat memahami proses terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya. Observasi dilakukan terhadap informan, perilaku informan selama wawancara, interaksi informan dengan peneliti, dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancaran (Afifuddin dkk, 2009). Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang didapat dari berbagai sumber. Hasil wawancara yang telah ditranskrip, setelah dibaca dan dipelajari selanjutnya dilakukan reduksi data dengan membuat abstraksi yang merupakan usaha membuat rangkuman inti terhadap proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Kesimpulan selalu diverifikasi selama penelitian berlangsung. Dengan demikian kesimpulan-kesimpulan sementara akan selalu dibuat oleh peneliti selama melakukan penelitian di lapangan. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya ke dalam satuan-satuan yang akan dikategorikan dalam langkah berikutnya. HASIL PENELITIAN Hasil dari wawancara mendalam dengan narasumber adalah sebagai berikut : a.Narasumber I Narasumber I merupakan Kepala Seksi Keolahragaan di Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sidoarjo. Sebelumnya perlu diketahui bahwa permainan tradisional berada di bawah Bidang Keolahragaan Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sidoarjo karena menjadi bagian dari olahraga tradisional. Fakta yang menarik adalah bahwa tidak semua permainan tradisional mendapat perhatian dari Seksi Keolahragaan di Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sidoarjo. Sejak tahun 2011 hanya ada empat macam olahraga tradisional yang mendapat alokasi anggaran dari APBD Kabupaten Sidoarjo yaitu Egrang, Terompah Panjang, Gobak Sodor, dan Dagongan. “...dari mulai sejak tahun 2011 sampai sekarang masih ada itu yang pertama egrang ya…egrang, kemudian terompah panjang, iya...terompah panjang, kemudian gobak sodor, ya istilahnya wong Jawa biasanya gobak sodor gitu, iya...satu lagi dagongan...iya. Dan ini aaa...mengacu pada kegiatan skala Nasional mas...jadi ada Kabupaten, Provinisi, dan Nasional...” Narasumber sendiri menyadari masih banyak permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo yang dapat digali, di samping keempat permainan tersebut. Walaupun demikian sampai saat ini pihaknya belum memiliki data terkait permainan tradisional yang ada di Kabupaten Sidoarjo. Argumentasi yang disampaikan narasumber adalah karena pihaknya hanya fokus menangani keempat permainan tersebut. “Belum...artinya kalo gambaran kegiatan yang lain mungkin masih bisa kita gali ya...aaa...seperti patil lele itu kan ada juga, terus apa itu petak umpet itu...itu kan...ya...itu mungkin bisa kita gali kembali. Tapi sementara...Propinsi tidak tau kok hanya memilih empat itu, karena itu kita juga memakai dasar kegiatan yang
4
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” kita pilih ya itu...inggih. Gasing itu ya...mungkin masih ada...itu yang kita harus anu lagi” Narasumber melihat Kabupaten Sidoarjo memiliki banyak generasi muda, mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA. Mereka ini merupakan salah potensi yang perlu digandeng guna melestarikan permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo. Sayangnya berdasarkan pengamatan narasumber, sampai dengan saat ini event-event yang melibatkan generasi muda di Kabupaten Sidoarjo masih kurang. “Iya…karena jujur mas, untuk event-event yang menggerakkan anak-anak itu mungkin sangat kurang, sangat kurang ya tho. Anak-anak kita kan buanyak lho, olahraga prestasi ya gitu-gitu ya, anak-anak yang di klub aja yang ini ya yang aktif ya, tapi kalo tradisional kan bisa…inggih..” Pemerintah menurut narasumber memiliki peranan yang sangat penting bagi usaha pelestarian permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo. Kenyataan ini tidak lepas dari sikap masyarakat sendiri yang memiliki kecenderungan menunggu, mereka akan bereaksi ketika ada tindakan nyata dari pemerintah. “Ee sepanjang kita tidak ada action saya kira tidak ada respon apapun mas dari masyarakat, kalo saya lho ya. Sepanjang kita diem, mereka, maka masyarakat juga akan tidak tahu kan, apa ini gitu kan ya. Itu kita bicara masalah anu ya, respon dari mungkin masyarakat yang dibilang anak-anak ya. Kalo orang tua mungkin tahulah ini olahraga apa gitu tahu, cuman kan karena sudah usia kan tidak terlalu ini. Tapi sepanjang kita ada niat untuk menggugah kembali, mengajak mereka berpartisipasi ya saya yakin respon juga bagus...” “...kalo menurut saya bagaimana pemerintah aa bisa mengitik-itik warga dengan kegiatan itu saya yakin respon mesti ada...” Pendapat narasumber ini bukannya tanpa alasan, sebab pada tahun 2012 pernah digelar lomba terompah panjang di depan Masjid Agung. Kegiatan yang dibuka oleh Bupati Sidoarjo ini mendapat sambutan yang luar dari masyarakat. Lomba yang diadakan selepas sidang paripurna ini tidak hanya diikuti oleh masyarakat tetapi juga pimpinan SKPD di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. b.Narasumber II Narasumber II merupakan salah pemerhati budaya di Kabupaten Sidoarjo. Menurutnya, permainan modern dianggap lebih banyak memberikan efek negatif bagi anak-anak. Walaupun demikian, kenyataannya malah permainan tradisional dari waktu ke waktu semakin sepi peminat. Walaupun belum semua, tetapi beberapa permainan tradisional sudah mengindikasikan punah. Banyak hal menurut narasumber yang menyebabkan permainan tradisional semakin terdesak keberadaannya. Salah satu yang menjadi sorotan narasumber adalah makin terbatasnya ruang bermain bagi anak-anak. Rumah-rumah penduduk yang semakin banyak dan saling berhimpitan mengakibatkan anak-anak kekurangan tempat bermain. “...contohnya ya rumahnya berhimpit-himpitan tidak memungkinkan anak-anak untuk bermain, bermain gobak sodor, bermain apa, baru mainan sepak bola aja sudah di urak-urak sama tetangganya kan gitu lho. Kalo jaman dulu kan padhang bulan itu ya, bulan purnama kan pada main di pelataran rumah, itu kan rame, bisa nyanyi-nyanyi bisa main macam-macam, macam-macam” Kondisi yang demikian ini menurut narasumber tidak dapat dilepaskan dari tuntutan jaman yang memaksa menggunakan ruang terbuka menjadi tempat tinggal. Akibatnya anak-anak semakin kesulitan mencari tempat untuk bermain, terlebih untuk permainan tradisional yang membutuhkan ruang cukup luas untuk bermain. Kondisi ini menurut narasumber semakin diperparah oleh penerapan kurikulum yang mengurangi waktu anak untuk bermain. Menurutnya kenyataan ini tidak dapat dilepaskan dari gaya hidup materialistis yang berkembang di masyarakat. Gaya hidup ini menuntut masyarakat untuk semakin kompetitif dibidang akademik agar bisa bersaing di pasar kerja. Guna memenangkan persaingan tersebut maka mau tidak mau anak-anak dituntut oleh orangtuanya untuk memiliki prestasi akademik yang bagus.
5
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” “Kalo masyarakat sekarang karena ya sambung-sambungannya dengan pemerintah, sambungannya dengan pasar kerja. Hidup yang materialistis, dia itu, apa itu mencecar anaknya, saya ini kan cucu saya mau gak mau, les les les. Waktu bermain tidak ada, di samping ruang yang disediakan itu juga sekarang tidak ada. Mau bermain di masjid, dimarahi, di jalanan, dimarahi, sekarang anak-anak itu tidak ada tempat bermain.....Jadi memang digiring untuk materialistis, kowe kudu bijimu 9, 9 punjul ben melbu SMP 1, ya jadi manusia materialistis lagi” Narasumber memfokuskan pandangan tersebut terutama bagi anak-anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, apalagi sekolah-sekolah yang menerapkan konsep fullday school. Televisi juga dianggap oleh narasumber memberikan sumbangsih terhadap kondisi permainan tradisional yang semakin tenggelam. Segala sesuatu yang ditampilkan di televisi seringkali menjadi tren di masyarakat, termasuk permainan modern. Banyak iklan permainan modern ditampilkan di televisi setiap hari, hal ini secara perlahan tapi pasti mempengaruhi pandangan masyarakat tentang citra modern. Letak Kabupaten Sidoarjo yang bersebelahan dengan Kota Surabaya dianggap oleh narasumber sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap konsep modern. Ditambah lagi cukup banyak penduduk Kabupaten Sidoarjo yang bekerja di Kota Surabaya atau sebaliknya. Kondisi yang demikian inilah tentunya dapat mempengaruhi konsep modern masyarakat Sidoarjo. Dijelaskan pula oleh narasumber bahwa kehidupan masyarakat Sidoarjo ternyata terdapat pemisahan antara penduduk lokal dengan para pendatang. Penduduk lokal sudah merasa nyaman dengan kondisi yang ada sekarang sehingga tidak mempunyai kepedulian terhadap pelestarian permainan tradisional. Sementara para pendatang yang sebagian besar merupakan pekerja sudah sangat disibukkan dengan pekerjaannya, akibatnya mereka tidak memiliki waktu untuk turun berperan serta dalam upaya pelestarian permainan tradisional. Dalam upaya pelestarian permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo, peran dari budayawan di Kabupaten Sidoarjo tenyata juga belum terlihat sama sekali. Narasumber menuturkan bahwa budayawan di Kabupaten Sidoarjo hanya melestarikan kebudayaan yang secara langsung membawa dampak terhadap kehidupannya. “...sementara budayawan yang sampeyan katakan itu kalo menurut saya masih mencari nama untuk dirinya sendiri. Jadi kalo pas saya nari atau anu ya, dalam rangka saya untuk hidup saya sendiri gitu lho” Pemerintah menurut narasumber merupakan ujung tombak bagi berbagai upaya pelestarian tradisi di dalam masyarakat, termasuk juga permainan tradisional. Langkah yang dapat ditempuh adalah dengan memperbanyak jumlah event yang berkaitan dengan permasalahan tradisi. “...pesan saya...pemerintah dalam hal ini sebagai agen terdepan dan punya biaya, hendaknya mempelopori. Membuat banyak event yang ada kaitannya dengan masalah tradisional, syukur-syukur kapan-kapan suatu saat bisa, bisa masyarakat meniru, dan itulah identitas orang Jawa Timur, khususnya orang Sidoarjo...” “...pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah atau kecamatan harus mensponsori, mensponsori dan kalau memang ini ini diperintahkan, gali, di daerahmu ada permainan dan tradisi apa, setiap event apa minimal setahun sekali tampilkan. Misal mengambil 17 Agustus, permainannya pure permainan tradisional...” Sekolah juga harus digandeng dalam upaya melestarikan permainan tradisional, sebab melalui sekolah inilah pelestarian permainan tradisional dapat lebih efisien dilakukan. Beberapa dasawarsa yang lalu, permainan tradisional diajarkan di sekolahsekolah (terutama Sekolah Dasar). Anak-anak yang mendapatkan pengetahuan tentang permainan tradisional di sekolah tentunya akan mempraktekannya di lingkungan tempat tinggalnya, sehingga keberadaan permainan tradisional tersebut tetap terjaga.
6
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” “...Terus diberi ruang, termasuk mungkin nanti bisa lewat sekolahan, sekolahan itu diwajibkan olahraganya ada permainan tradisional. Kasti itu digalakkan sekolahan, dulu wajib. Atau olahraga…kasti iku yo olahraga...” c.Narasumber III Informasi yang diperoleh dari narasumber III adalah adanya kecenderungan anak-anak mengalami kejenuhan terhadap permainan modern yang ada, dalam hal ini adalah Play Station. Kondisi ini telah diprediksi oleh narasumber, ketika kemuculan persewaan Play Station beberapa tahun silam sempat membuat khawatir para orangtua, namun narasumber berhasil menyakinkan para orangtua bahwa keberadaan persewaan Play Station tersebut akan mengalami titik jenuh seperti sekarang ini. Menurut penjelasan narasumber, anak-anak tersebut sebenarnya merindukan permainan-permainan tradisional yang pernah ada. Kenyataan ini diperoleh dari pembicaraan narasumber dengan anak-anak yang sering bermain di depan rumahnya. Narasumber yang dikenal memiliki kedekatan dengan anak-anak ini sangat menyayangkan kondisi permainan tradisional yang semakin ditinggalkan. Jika masyarakat tidak memiliki kepedulian untuk melestarikan permainan tradisional, dapat dipastikan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan mengalami kepunahan. Perkembangan tata ruang dan infrastruktur menurut narasumber turut memberikan andil. Dijelaskan bahwa ketika masa kecilnya dulu, rumah-rumah warga masih memiliki halaman yang cukup luas untuk bermain, sedangkan rumah-rumah pada saat ini sebaliknya, bahkan tidak jarang berhimpitan dengan jalan. “...kalau dulu kalau saya waktu kecil dulu kan halaman rumah itu kan panjangpanjang tho, kalo sekarang kan mepet jalan semua. Kalo dulu kan ratarata semua itu paling ndak 15 meter, iya 15 meter, 10 meter punya halaman. Sekarang kan depannya sudah bukan...” “Iya, ya itu memang kalo sekarang itu mungkin ya tempat gak seperti dulu mas, jaman dulu enak wa, halaman dulu itu sama luasnya lah...” Tidak adanya ruang untuk bermain inilah yang menjadikan permainan tradisional ditinggalkan oleh anak-anak, terlebih permainan tradisional yang membutuhkan ruang yang luas untuk memainkannya. Selanjutnya kehidupan yang makin materialistis menyebabkan masyarakat harus berkerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Para orangtua menjadi sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga seringkali tidak memiliki waktu untuk memberikan informasi permainan tradisional yang ada. “Ya mungkin itu mas, ya mungkin apa, di samping yang itu kan banyak kerja, jadi gak menularkan ke anak-anak, dan lagi kan sekarang sudah permainan habis seperti itu, iya, itu. Walaupun sekali waktu masih bermain anak-anak itu, masih bermain, masih kalo bermain, paling ndak itu ya karet itu mas...” “...Coba kalo seperti seperti dulu orangtua saya, dibikinkan layangan, dibikinkan, dicarikan itu, kekean. Dulu kan orangtua yang itu, dulu. Seperti orangtua saya dulu, kan gitu. Sekarang kan he he enggak, he he he...” Dengan demikian orangtua sebenarnya memiliki peran yang sangat krusial dalam pelestarian permainan tradisional. Kalaupun dewasa ini para orangtua masih bermain dengan anak-anaknya, itupun tidak semua permainan tradisional yang pernah dimainkan oleh orangtuanya dulu. Permainan tradisional yang dimainkan biasanya disesuaikan dengan kondisi yang ada sekarang. Keterbatasan waktu orangtua untuk memberikan informasi permainan tradisional kepada anak-anaknya ternyata tidak membuat mereka acuh dengan kondisi permainan tradisional saat ini. Narasumber juga menyoroti penerapan kurikulum pembelajaran dewasa ini yang juga diindikasikan memberikan dampak bagi kemunduran permainan tradisional. Kurikulum yang ada sekarang dianggap narasumber sangat membenani anak, di mana waktu mereka untuk bermain menjadi tersita oleh banyaknya tugas dan kegiatan akademik lainnya.
7
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” “...lha disamping sekarang itu kan studi mas, anak-anak itu terlalu kasihan. Pagi sekolah, sore ngaji, kasihan. Kalo menurut saya itu kasihan. Kalo anak saya sendiri sudah...iya itu kasihan. Waktu luang bermain itu kurang, kalo menurut saya. Jadi waktu untuk itu, tapi kalo gak di seperti itu ya, sekarang ya kondisinya ya, pengaruhnya ya lebih itu lagi...” Anak-anak ternyata tidak hanya disibukkan dengan urusan akademik saja, tidak jarang mereka harus juga menghabiskan waktu setelah sekolah dengan mengikuti kegiatan lain. Mengaji dan mengikuti berbagai macam les dewasa ini sudah menjadi jadwal tetap bagi anak-anak. Pada era yang semakin kompetitif tentunya semua orangtua akan berusaha menjadikan anak-anaknya memiliki kemampuan untuk dapat berkompetisi. Hanya saja yang disayangkan oleh narasumber adalah jangan sampai tradisi yang sudah ada menjadi dilupakan, termasuk permainan tradisional. Dikhawatirkan jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut maka generasi yang akan datang tidak dapat menikmati permainan tradisional. “...jadi, jadi anak-anak di bawah kita akhirnya gak, gak, gak bisa menikmati permainan itu...” Memperhatikan kondisi permainan tradisional dewasa ini yang semakin tenggelam di tengah maraknya permainan modern, narasumber memiliki pendapat sendiri. Menurutnya semua pihak harus bertanggungjawab atas kondisi permainan tradisional ini, baik itu masyarakat, budayawan, maupun pemerintah. Mereka selama ini tidak memiliki kepedulian terhadap permainan tradisional, bahkan cenderung meremehkan. “Waduh yang bertanggung jawab itu, sebetulnya kita semua mas. Soalnya apa, ee istilahnya kalo meremehkan, kan sekarang itu meremehkan...” “Ya kita-kita semua itu kan meremehkan...” Di samping adanya kecenderungan meremehkan tradisi (termasuk juga permainan tradisional) ternyata narasumber menganggap ada faktor lain yang makin memperburuk kondisi tersebut, yaitu kekompakan. Sampai dengan saat ini narasumber menangkap kesan bahwa antara masyarakat dan pemerintah cenderung berjalan sendiri-sendiri. “...sebetulnya kalo semuanya itu kompak mas, istilahnya ya tadi ya seperti kebersihan tadi, ya mushola lewat RT, RW bisa berjalan bagus mas. Jadi walaupun permainan seperti ini, wow mungkin kan sangat mendukung tokoh-tokoh agama, tokoh agama. Cumaknya sekarang itu, terus terang aja rasa kebersamaan itu kan menurun, menurun, semua orang menurun...” Walaupun permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo kondisinya semakin tidak diminati oleh masyarakat, tetapi narasumber memiliki optimisme jika permainan tradisional tersebut dapat dilestarikan. Salah satu cara yang sangat efektif menurut narasumber adalah melestarikannya melalui sekolah-sekolah. Sekolah diharapkan kembali memainkan perannya pada masa lalu, di mana sekolah menjadi tempat transformasi permainan tradisional. Sekolah-sekolah juga perlu memperbanyak event berupa lombalomba yang mempertandingkan permainan tradisional. “...ya kalo bisa di dikoordinir lewat sekolahan, paling cepat, terutama di sekolahan, egrang, kan seneng pak. Besok bawa egrang, bikin egrang, orangtuanya kan minimal bikinkan. Dilombakan di sekolahan, di lapangan kan rame. Lha dulu itu kan ada, kan jek termasuk permainan di sekolahan seperti aa seperti apa ya…iya egrang ada, masih saya dulu masih waktu SD dulu masih. Insya Allah berjalan mas...” Harapannya ketika anak-anak mendapatkan informasi tentang permainan tradisional, mereka akan mencoba untuk bermain di rumah sehingga secara tidak langsung telah terjadi pelestarian permainan tradisional. d.Narasumber IV Narasumber IV ini merupakan tokoh masyarakat sekaligus mantan pendidik di Kecamatan Krian dan memiliki pengetahuan yang cukup mendalam terkait permainan
8
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” tradisional. Hal ini terlihat ketika narasumber menyebutkan macam-macam permainan tradisional yang diketahui beserta cara memainkannya. Di sela-sela menjelaskan suatu permainan tradisional, narasumber tidak segan-segan untuk memperagakan langsung cara bermainnya. Narasumber bahkan telah mempersiapkan salah satu alat permainan tradisional yaitu patil lele ketika peneliti berkunjung ke rumahnya. Informasi mengenai permainan tradisional beserta cara memainkannya diperoleh dari para orang tua dulu. Hal ini tidak terlepas dari permainan tradisional itu sendiri yang merupakan peninggalan turun temurun dari nenek moyang. “Itu dari nenek moyang dulu, dari dulu dulu sudah ada seperti itu, kita itu hanya tinggal, tinggal meneruskan sebenarnya...” Diceritakan pula bahwa permainan tersebut seringkali dimainkan secara bersama-sama pada waktu terang bulan. Jamuran merupakan permainan yang menjadi favorit anak-anak ketika terang bulan. Narasumber kemudian menyanyikan sebuah lagu yang biasanya dipakai ketika bermain jamuran. Dijelaskan pula oleh narasumber bahwa tanda-tanda kepunahan beberapa permainan tradisional telah nampak terlihat. Sekarang ini di lingkungan tempat tinggalnya sudah tidak lagi ditemui anak-anak yang memainkan permainan tradisional. Kelereng dan layang-layang menjadi permainan tradisional yang masih dimainkan sampai sekarang, hanya saja musiman. Orangtua, menurut narasumber mempunyai peran yang penting dalam upaya pelestarian permainan tradisional. Segala sesuatu yang dialami oleh anak dan dapat membentuk karakternya sangat tergantung oleh bagaimana orangtua mendidiknya, terutama ibu. “Punah ya, nah itu makannya, jadi ter, ya tergantung anulah tergantung orangtua, semua itu tergantung orangtua. Kalo orangtua itu trampil, termasuk yang utama ibu, ibu itu yang paling utama megang peranan mendidik anak itu...” Narasumber kemudian memberikan contoh tentang dirinya yang selalu memberikan informasi mengenai permainan tradisional kepada anak dan cucunya. “Iya, anak saya, cucu-cucu saya begitu, dulu mbah itu begini, begini, atau main ini. Kopral itu gini, jadi dengan cucu-cucu itu, ini di dalam ini, ya itu, di depan itu, kayak main kelereng itu, kan itu” Hanya saja narasumber tidak dapat memastikan jika keluarga lain di lingkungan tempat tinggalnya juga melakukan tindakan yang sama. Apabila para orangtua memiliki kemauan untuk setidaknya memberitahukan permainan tradisional yang ada, maka keberadaannya akan tetap lestari. “...kalo orang tua sendiri tidak menanamkan ngene iki, memberitahukan setidaktidaknya dulu itu pernah ada permainan ini, ini, ini, paling gak dicontoni lah, kalo gak dicontoni yo gak ngerti arek, iyo tha he he he...gak ngerti semua anak itu harus diberi contoh, kalo gak dicontoni gak bisa, gak diperagakan...” Sekolah menurut narasumber juga memegang peranan penting dalam usaha pelestarian permainan tradisional. Narasumber memberikan penjelasan mengenai peran yang dijalankan oleh sekolah pada masa lalu, di mana permainan tradisional menjadi hal yang wajib diajarkan di sekolah. “Sebenarnya gini sebenarnya, kalo memang disekolah itu di ajarkan lagi, dulu kan di sekolahan itu mesti di ajarkan itu” “Iya, itu termasuk ekstrakulikuler kan” Anak-anak yang memperoleh informasi tentang permainan tradisional tersebut kemudian akan mempraktekkannya di rumah bersama teman atau saudaranya. Permasalahan permainan tradisional ini menurut narasumber memang terlihat sepele, tetapi jika tidak ada pembinaan terutama dari sekolah, maka cepat atau lambat pasti akan punah. Sekarang ini kondisinya sangat berbeda, sekolah lebih fokus pada penyelesaian kurikulum akademik saja. Hal ini berbanding lurus dengan kecenderungan
9
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” kehidupan masyarakat yang semakin materialistis. Akibatnya peserta didik mau tidak mau juga dituntut untuk dapat bertahan. “...Sekarang ini apa sih, buanyak tuntutan-tuntutan pelajaran sampe-sampe mengejar kurikulernya itu, kurikulumnya itu, sampe anu...” “…sekarang itu serba materi, intinya di sana jika memang, memang dituntut seperti itu sekarang...” Menurut narasumber, dengan keadaan yang demikian ini maka pemerintah dan pendidik dituntut perannya lebih aktif dalam melestarikan permainan tradisional. Permainan tradisional akan segera mengikuti jejak bahasa Jawa yang telah terlebih dahulu diambang kepunahan. Anak-anak sekarang sudah sangat jarang menjadi penutur bahasa Jawa, bahkan narasumber menyakini mereka sudah tidak mengenal lagi aksara Jawa. “...boso jowo ae lho gak dianakno, gak, boso jowo ket sekarang itu gak ada lho...” “...sekarang lho honocoroko itu kan sudah gak ada, ya kan, iyo huruf jowo, honocoroko dotosowolo...” Narasumber menjelaskan bahwa kenyataan seperti inilah yang mengakibatkan masyarakat Jawa kehilangan jati diri atau kehilangan identitas. Laju kepunahan permainan tradisional menurut narasumber semakin dipercepat oleh masuknya budaya barat melalui televisi. Masyarakat dengan serta merta kemudian meniru budaya tersebut. Keadaan ini membawa dampak yang sangat luar biasa bagi masyarakat, bukan hanya dari segi pemikiran dan gaya hidup tetapi juga dalam hal permainan. “Ya memang budaya barat sudah masuk ini, dan lagi niru di TV-TV kan begitu kan. Ikuti budaya barat, budaya hi, pokoke itu lah...” Narasumber kembali lagi mengingatkan peran penting orangtua dalam hal menyikapi masuknya kebudayaan barat tersebut. Orangtua harus dapat memainkan perannya dalam menanamkan nilai-nilai luhur budaya tradisional, termasuk di dalamnya permainan tradisional. Argumentasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa anak paling banyak menghabiskan waktu di rumah. Sekolah memang juga memiliki peranan yang tidak sedikit, tetapi waktu anak berada di sekolah tidak sebanyak di rumah. Pada kesempatan itulah para orangtua seharusnya dapat berperan nyata dalam pelestarian nilai-nilai tradisional. “...yang pegang peranan itu orang tua, kuncinya di situ. Kalo di sekolah itu berapa jam sih, paling, paling banter 5 jam, lha nggih, tapi kalo dirumah, 24 jam itu diambillah untuk sekolah 5 jam, paling lama kan di rumah, lha ini lah kesempatan orang tua. Tapi sekarang orang tua banyak yang kerja dua-duanya, inggih, kadang-kadang diserahkan orang lain, pembantu kan begitu, lha ini.....jadi jangan sampe anak ini hilang jatidirinya, harus ditanamkan...” Ironisnya, sebagaimana dikemukakan narasumber, pada saat ini makin banyak orangtua yang menyerahkan pola asuh anaknya kepada orang lain, salah satunya pembantu rumah tangga. Kesibukan mencari nafkah selalu menjadi alasan para orangtua melakukan hal tersebut, terlebih jika kedua orangtuanya sama-sama bekerja. Narasumber berharap para orangtua memberi perhatian yang cukup kepada anak-anaknya, termasuk melestarikan kebudayaan tradisional agar anak tetap memiliki jati diri. Pemahaman guru di sekolah-sekolah terhadap permainan tradisional juga mendapat sorotan dari narasumber. Dalam pengamatan narasumber, guru-guru selama ini belum memperlihatkan usaha yang signifikan dalam usaha untuk melestarikan permainan tradisional. “Selama ini saya belum mendengar gitu lho ya, selama, terus terang selama ini saya belum mendengar. Jadi kalo di sekolah-sekolahan itu kok pemahaman guru itu kok gak ada yang anu gitu lho ya, dari kebudayaan kok gak ada itu gitu. Lha
10
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” inilah kesempatan penjenengan untuk menggali ini nanti di, apa, disampaikan pada anu, iya pendidikan, kebudayaan, iya, sampaikan itu. Iki lho ada begini, dulu itu ada begini-begini, sekarang bagaimana untuk melestarikannya, enaknya bagaimana?” PEMBAHASAN Berdasarkan wawancara dengan narasumber, beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam upaya pelestarian permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo antara lain: Ketersediaan Event Reguler Event reguler yang menampilkan permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo masih sangat jarang. Meskipun sebagian kecil telah dipertandingkan pada acara 17 Agustus, tetapi jika dibandingan dengan jumlah penduduk yang mayoritas adalah generasi muda maka kegiatan tersebut masih belum sebanding. Kenyataan ini sebagaimana diungkapkan oleh narasumber I. “Iya…karena jujur mas, untuk event-event yang menggerakkan anak-anak itu mungkin sangat kurang, sangat kurang ya tho. Anak-anak kita kan buanyak lho, olahraga prestasi ya gitu-gitu ya, anak-anak yang di klub aja yang ini ya yang aktif ya, tapi kalo tradisional kan bisa…inggih..” Event reguler yang menampilkan permainan tradisional dapat menjadi salah satu media sosialisasi sekaligus promosi kepada anak-anak di Kabupaten Sidoarjo. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melalui instansi terkait, dalam hal ini Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sidoarjo beserta Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo bertanggungjawab atas penyelenggaraan event tersebut. Pendapat senada juga disampaikan oleh narasumber II sebagai berikut : “...pesan saya...pemerintah dalam hal ini sebagai agen terdepan dan punya biaya, hendaknya mempelopori. Membuat banyak event yang ada kaitannya dengan masalah tradisional, syukur-syukur kapan-kapan suatu saat bisa, bisa masyarakat meniru, dan itulah identitas orang Jawa Timur, khususnya orang Sidoarjo...” “...pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah atau kecamatan harus mensponsori, mensponsori dan kalau memang ini ini diperintahkan, gali, di daerahmu ada permainan dan tradisi apa, setiap event apa minimal setahun sekali tampilkan. Misal mengambil 17 Agustus, permainannya pure permainan tradisional...” Pemerintah Kabupaten Sidoarjo juga dapat membuat himbauan kepada setiap Kecamatan agar menggali permainan tradisional yang ada di daerahnya. Selain itu juga perlu mengadakan event yang secara rutin mempertandingkan permainan tradisional. Memperhatikan uraian di atas, maka salah satu tantangan dalam upaya pelestarian permainan tradisional adalah berkaitan dengan event permainan tradisional yang dilaksanakan secara reguler. Apabila tantangan ini belum terpecahkan maka usaha untuk melestarikan permainan tradisional akan cenderung jalan di tempat. Komitmen dan keseriusan dalam menyediakan event yang secara reguler menampilkan permainan tradisional merupakan kunci penting. Tanpa keduanya, maka niscaya event yang diselenggarakan akan bersifat accidental saja sehingga substansi untuk memperkenalkan permainan tradisional menjadi tidak tercapai. Ketersediaan Ruang Bermain Alih fungsi lahan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan, hal tersebut menjadi permasalahan serius bukan hanya bagi Kabupaten Sidoarjo tapi juga daerah lain. Selain memberikan dampak bagi lingkungan, pembangunan juga memberikan pengaruh terhadap keberlangsung permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo. Pesatnya laju pertumbuhan penduduk juga memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap penggunaan lahan, terlebih penggunaan lahan untuk tempat tinggal.
11
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Pada masa sekarang ini efisiensi penggunaan lahan menjadi salah satu ciri menonjol dari perumahan yang semakin marak di Kabupaten Sidoarjo. Kenyataan ini sebagaimana dikemukakan oleh narasumber II, bahwa posisi rumah pada saat ini yang berhimpitan membuat anak-anak kesulitan untuk bermain. “...contohnya ya rumahnya berhimpit-himpitan tidak memungkinkan anak-anak untuk bermain, bermain gobak sodor, bermain apa, baru mainan sepak bola aja sudah di urak-urak sama tetangganya kan gitu lho. Kalo jaman dulu kan padhang bulan itu ya, bulan purnama kan pada main di pelataran rumah, itu kan rame, bisa nyanyi-nyanyi bisa main macam-macam, macam-macam” Tidak adanya ruang untuk bermain, terutama permainan tradisional yang membutuhkan ruang cukup luas menjadikan anak-anak meninggalkannya. Narasumber III juga membenarkan kondisi tersebut. Selain letak rumah yang berhimpitan, halaman rumah yang semakin menyempit juga dianggap narasumber memberikan pengaruh bagi eksistensi permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo. “...kalau dulu kalau saya waktu kecil dulu kan halaman rumah itu kan panjangpanjang tho, kalo sekarang kan mepet jalan semua. Kalo dulu kan ratarata semua itu paling ndak 15 meter, iya 15 meter, 10 meter punya halaman. Sekarang kan depannya sudah bukan...” Penyediaan ruang untuk bermain menjadi tantang selanjutnya yang harus dihadapi dalam upaya pelestarian permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo. Penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial di setiap perumahan dapat menjadi salah satu kebijakan yang dapat diambil untuk menyediakan tempat bagi anak untuk bermain. Sebagai salah satu daerah yang termasuk dalam Kabupaten Layak Anak, penyediaan ruang bermain yang memadai bagi anak menjadi hal yang wajib direalisasikan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Bagaimanapun upaya pelestarian permainan tradisional dilakukan, hasilnya tidak akan maksimal tanpa adanya ruang bagi anak-anak untuk dapat melakukan permainan tradisional. Kondisi ini pula yang memicu makin berkembangnya permainan modern, mereka tidak membutuhkan tempat luas untuk dapat melakukan permainan. Media Televisi Televisi merupakan salah satu media yang sangat efektif dalam membentuk perilaku masyarakat. Kehadiran stasiun televisi baru, menawarkan berbagai macam program acara unggulan yang tidak jarang berkaitan dengan kebudayaan asing. Pintu masuk bagi kebudayaan asing ke Indonesia makin terbuka lebar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh narasumber IV bahwa kebudayaan asing masuk melalui televisi. “Ya memang budaya barat sudah masuk ini, dan lagi, niru di TV-TV kan begitu kan. Ikuti budaya barat, budaya hi, pokoke itu lah...” Masyarakat Kabupaten Sidoarjo sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya, biasanya akan cenderung menerima secara masif setiap kebudayaan asing yang masuk. Reaksi seperti ini tentunya membawa kerugian bagi kebudayaan asli Indonesia, di mana masyarakat akan cenderung memandang remeh kebudayaan sendiri karena dianggap sudah kuno. Kebudayaan asing yang baru masuk oleh masyarakat ditelan mentah-mentah oleh masyarakat (umumnya generasi muda) karena dianggap lebih modern. Mereka tidak terlebih dahulu melakukan evaluasi terhadap kebudayaan asing yang baru masuk. Permainan tradisional sebagai bagian dari kebudayaan asli dengan demikian juga dianggap sebagai bagian dari masa lalu dan ketinggalan jaman. Kehadiran stasiun televisi baru yang sebagian besar merupakan perusahaan swasta, secara signifikan memberikan dampak terhadap eksistensi dunia pariwara di televisi. Hampir semua produk yang beredar di masyarakat memiliki iklan di televisi, termasuk juga permainan modern. Iklan permainan modern di televisi ternyata cukup efektif menggeser keberadaan permainan tradisional.
12
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Kebudayaan baru yang disokong oleh televisi tentunya dapat menjadi tren di masyarakat. Apabila sesuatu telah menjadi tren di masyarakat, maka semua orang akan berusaha mengikutinya termasuk juga anak-anak. Demikian pula yang terjadi dengan permainan modern di Indonesia. Anak-anak menjadi sangat bersemangat ketika menceritakan berbagai ragam permainan modern yang ditawarkan melalui televisi. Terlihat dengan sangat jelas pengaruh besar televisi dalam mendorong masuknya kebudayaan baru yang secara langsung menggeser keberadaan kebudayaan asli, termasuk permainan tradisional. Diperlukan kesadaran kolektif dari seluruh elemen bangsa guna mengatasi permasalahan ini. Harapannya setiap kebudayaan asing yang masuk harus diterima secara aktif, di mana perlu dilakukan seleksi terhadap setiap kebudayaan asing yang masuk. Apabila unsur-unsur dari kebudayaan asing yang masuk dianggap baik maka dapat diserap, tetapi jika unsur tersebut dianggap tidak baik maka akan dibuang. Pemerintah perlu mendorong pihak televisi memberikan porsi yang berimbang antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan asing. Melalui langkah ini upaya pelestarian kebudayaan Indonesia termasuk permainan tradisional dapat berjalan efektif. Kurikulum Pendidikan Kurikulum pendidikan yang ada sekarang menjadi tantangan tersendiri bagi upaya pelestarian permainan tradisional. Sebagian besar narasumber mengungkapkan bahwa kurikulum yang ada sekarang lebih banyak membebani anak dengan pekerjaan rumah dan tugas akademik lainnya. Keadaan seperti ini membuat anak-anak tidak memiliki waktu yang cukup untuk bermain. Narasumber II menjelaskan fenomena tersebut sebagai akibat dari kehidupan masyarakat yang semakin materialistis. “Kalo masyarakat sekarang karena ya sambung-sambungannya dengan pemerintah, sambungannya dengan pasar kerja. Hidup yang materialistis, dia itu, apa itu mencecar anaknya, saya ini kan cucu saya mau gak mau, les les les. Waktu bermain tidak ada...” “Mau bermain di masjid, dimarahi, di jalanan, dimarahi, sekarang anak-anak itu tidak ada tempat bermain.....Jadi memang digiring untuk materialistis, kowe kudu bijimu 9, 9 punjul ben melbu SMP 1, ya jadi manusia materialistis lagi” Semua itu dilakukan agar dapat bersaing dalam kehidupan yang materialistis. Para orangtua umumnya kemudian memforsir anak-anaknya untuk memiliki keunggulan di bidang akademik. Hampir setiap hari mereka menghabiskan waktunya dengan kegiatan akademik. Akibatnya waktu anak untuk bermain dengan teman sepermainannya menjadi berkurang bahkan ada yang tidak memiliki waktu bermain. Pendidikan yang hanya berfokus pada pencapaian kurikulum mendapat perhatian serius dari narasumber IV. Sebagai mantan pendidik, berfokusnya pendidikan saat ini pada pencapaian kurikulum selain menghilangkan esensi dari belajar juga mengurangi waktu anak-anak untuk bermain. Mereka akan dituntut untuk belajar banyak pengetahuan akademik tanpa melihat kebutuhan anak untuk bermain. “...Sekarang ini apa sih, buanyak tuntutan-tuntutan pelajaran sampe-sampe mengejar kurikulernya itu, kurikulumnya itu, sampe anu...” Narasumber III juga memberikan penekanan mengenai berkurangnya waktu bermain anak-anak karena kurikulum yang diterapkan pemerintah sekarang ini. Kurikulum tersebut menyita hampir keseluruhan waktu anak untuk bermain. Keadaan ini tentunya akan semakin memberatkan seorang anak ketika pada waktu senggang harus melaksanakan kegiatan lain, baik terkait dengan akademik maupun tidak. “...lha disamping sekarang itu kan studi mas, anak-anak itu terlalu kasihan. Pagi sekolah, sore ngaji, kasihan. Kalo menurut saya itu kasihan. Kalo anak saya sendiri sudah...iya itu kasihan. Waktu luang bermain itu kurang, kalo menurut saya. Jadi waktu untuk itu, tapi kalo gak di seperti itu ya, sekarang ya kondisinya ya, pengaruhnya ya lebih itu lagi...”
13
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Walaupun demikian, narasumber sangat menyadari bahwa apa yang terjadi dengan anakanak sekarang merupakan tuntutan yang harus dipenuhi jika ingin dapat bersaing dengan yang lain. Kurikulum pendidikan yang sangat membebani dan mengurangi waktu bermain anak-anak perlu mendapat pemecahan dengan segera. Terbatasnya waktu bermain yang dimiliki anak-anak mengakibatkan mereka tidak dapat memainkan permainan tradisional. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam hal ini memiliki peran yang sangat penting dalam melakukan evaluasi terhadap penerapan kurikulum pendidikan di Kabupaten Sidoarjo selama ini. Lebih baik lagi jika Pemerintah Kabupaten Sidoarjo juga merumuskan kebijakan yang dapat melestarikan permainan tradisional, melalui muatan lokal. Sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Sidoarjo, terutama jenjang pendidikan Sekolah Dasar sedianya dapat didorong untuk kembali menghidupkan permainan tradisional di sekolah masing-masing. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melalui instansi terkait perlu meningkatkan perannya dalam berkoordinasi dengan sekolah-sekolah tersebut. Melibatkan sekolah-sekolah dalam menghidupkan kembali permainan tradisional tentunya akan menjadi upaya pelestarian permainan tersebut menjadi lebih efektif dan efisien. Peran Orangtua Orangtua memegang peranan penting dalam pelestarian permainan tradisional. Sebagai salah satu bentuk kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun, maka pelestarian permainan tradisional tidak dapat melepaskan dirinya dari peran para orangtua. Anak-anak tentunya tidak akan memiliki pengetahuan terkait permainan tradisional di Kabupaten Sidoarjo selama para orangtua tidak mentransformasi pengetahuan tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh narasumber IV. “Punah ya, nah itu makannya, jadi ter, ya tergantung anulah tergantung orangtua, semua itu tergantung orangtua. Kalo orangtua itu trampil, termasuk yang utama ibu, ibu itu yang paling utama megang peranan mendidik anak itu...” “...kalo orang tua sendiri tidak menanamkan ngene iki, memberitahukan setidaktidaknya dulu itu pernah ada permainan ini, ini, ini, paling gak dicontoni lah, kalo gak dicontoni yo gak ngerti arek, iyo tha he he he...gak ngerti semua anak itu harus diberi contoh, kalo gak dicontoni gak bisa, gak diperagakan...” Kenyataan yang terjadi dewasa ini adalah para orangtua semakin sibuk dengan pekerjaannya masing-masing guna memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Mereka tidak segan-segan menyerahkan pengasuhan anaknya kepada pembantu rumah tangga. “...Tapi sekarang orang tua banyak yang kerja dua-duanya, inggih, kadangkadang diserahkan orang lain, pembantu kan begitu, lha ini.....jadi jangan sampe anak ini hilang jatidirinya, harus ditanamkan...” Kesibukan inilah yang menyebabkan para orangtua tidak dapat menjalankan perannya sebagai pewaris kebudayaan, karena telah menyerahkannya kepada pembantu rumah tangga. Walaupun tidak semua, tetapi sebagian besar pembantu rumah tangga hanya berfokus pada menjaga anak tanpa memperdulikan transformasi kebudayaan. Fenomena tersebut di atas sejalan dengan pernyataan yang disampaikan narasumber II terkait dengan tidak ajarkannya permainan tradisional kepada anak-anak. “Ya mungkin itu mas, ya mungkin apa, di samping yang itu kan banyak kerja, jadi gak menularkan ke anak-anak, dan lagi kan sekarang sudah permainan habis seperti itu, iya, itu. Walaupun sekali waktu masih bermain anak-anak itu, masih bermain, masih kalo bermain, paling ndak itu ya karet itu mas...” “...Coba kalo seperti seperti dulu orangtua saya, dibikinkan layangan, dibikinkan, dicarikan itu, kekean. Dulu kan orangtua yang itu, dulu. Seperti orangtua saya dulu, kan gitu. Sekarang kan he he enggak, he he he...” Bahkan tidak jarang karena kesibukan orangtua yang sangat tinggi membuatnya tidak memiliki waktu untuk bermain dengan anak-anaknya.
14
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif 2016 di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Tantangan penting lain adalah meningkatkan peran orangtua dalam melestarikan permainan tradisional. Fenomena yang terjadi dewasa ini, proses internalisasi permainan tradisional kepada generasi muda tidak berjalan dengan maksimal. Gaya hidup materialistis telah banyak menghabiskan waktu orangtua untuk bergelut dengan pekerjaan. Jikapun mereka memiliki waktu dengan anaknya, umumnya dihabiskan untuk menikmati segala hal yang ditawarkan oleh modernitas. Sangat sedikit orangtua yang menggunakan waktu untuk keluarga dengan bermain permainan tradisional. Keadaan tersebut jika berlangsung dalam waktu yang lama secara tidak langsung akan mengakibatkan anak semakin terpisah dengan permainan tradisional. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tantangan terberat bagi upaya pelestarian permainan tradisional adalah modernitas. Kemajuan pembangunan yang diidentikan dengan modernitas telah menggeser orientasi kebudayaan masyarakat, termasuk permainan tradisional. Secara terperinci tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian permainan tradisional antara lain : ketersediaan event reguler, ketersediaan ruang bermain, media televisi, kurikulum pendidikan dan peran orangtua. DAFTAR PUSTAKA Afifuddin. H dkk. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. CV. Pustaka Setia. Bandung Astuti, M. 2000. Peningkatan Sosialisasi Anak Melalui Pelatihan Permainan Tradisional. Skripsi, Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Daeng, Hans. J. 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan : Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dharmamulya, Sukirman. dkk. 2005. Permainan Tradisional Jawa. Yogyakarta: Kepel Press. Nur, Haerani. 2013. Membangun Karakter Anak Melalui Permainan Anak Tradisional. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, No. 1, Februari 2013, hlm. 87-94 Retnaningdyastuti, dkk. 2012. Pembentukan Karakter Anak Melalui Permainan Tradisional. (http://prosiding.upgrismg.ac.id/index.php/SEM_2012/SEMINAR_2012/paper/ view/246/191, diakses 14 Februari 2013) Suyanto, Bagong dan Mochamad Jalal. 2002. Budaya dan Pembangunan, Revitalisasi Lembaga Adat, Adat-Istiadat, dan Kebiasan Lokal Masyarakat Jawa Timur. Surabaya: Lutfansah. __________, 2013. Permainan Modern Berpotensi Buruk Bagi Anak. (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/infosehat/12/05/06/m3li2ipermainan-moderen-berpotensi-buruk-bagi-anak. diakses 30 Januari 2013). __________, 2013. Kemendikbud Gelar Festival Permainan Anak 2012 (http://oase.kompas.com/read/2012/11/17/06590871/Kemendikbud.Gelar.Festiv al.Permainan.Anak.2012. diakses 29 Januari 2013). __________, 2013. Ini 8 Tuntutan Anak Indonesia Kepada Pemerintah; (http://nasional.kompas.com/read/2012/07/23/14115698/Ini.8.Tuntutan.Anak.In donesia.kepada.Pemerintah. diakses 30 Januari 2013). __________, 2013. Pasar Warnet Masih Terbuka Lebar (http://www.neraca.co.id/2012/06/12/pasar-warnet-masih-terbukalebar/diakses13 Februari 2013).
15