Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” PEMANFATAAN NILAI-NILAI AGAMA SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN LITERASI KRITIS Rizqi Aji Pratama
Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] ABSTRAK Dalam rangka menyukseskan program implementasi pengembangan kurikulum baru oleh pemerintah, pendidikan literasi kritis diperlukan untuk mendukung pembelajaran bahasa berbasis teks, juga menjadi keterampilan mutlak di era media dan teknologi komunikasi. Makalah ini menyajikan konsep teoretis dan kajian hasil penelitian mengenai literasi kritis berbasis nilai dan penerapan nilai agama dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa nilai-nilai agama dapat dijadikan dasar pendidikan literasi kritis melalui pemilihan bahan ajar literasi kritis yang relevan dan bermuatan dengan nilai-nilai agama. Kata kunci: Nilai Agama, Bahan Ajar, Literasi Kritis. PENDAHULUAN Kemajuan pendidikan Indonesia ditandai dengan perkembangan kurikulum yang langsung dirasakan oleh segenap pegiat pendidikan (siswa, guru, tenaga kependidikan, pemerhati pendidikan, dan masyarakat umum). Di tahun ini pemerintah mengimplementasikan kurikulum baru dengan perkembangan yang cukup signifikan. Salah satu aspek perkembangan dalam sajian kurikulum baru adalah desain mata pelajaran Bahasa Indonesia. Mahsun (2013: v), menyatakan bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia di kurikulum 2013 bukan hanya mempertahankan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran, namun menegaskan pentingnya keberadaan bahasa Indonesia sebagai penghela dan pembawa ilmu pengetahuan. Dari uraian tersebut, nampak bahwa fungsi mata pelajaran bahasa Indonesia bukan sekedar ilmu pengetahuan, lebih lanjut diproyeksikan sebagai alat transfer ilmu. Materi pelajaran bahasa Indonesia pun mengalami perkembangan, salah satunya adalah desain materi pelajaran berbasis teks. Berdasarkan penjelasan KBBI, bahwa teks adalah naskah berdasarkan kata-kata pengarang. Dijelaskan lebih lanjut, teks dapat mengandung suatu paham atau nilai yang sengaja dibagikan oleh pengarang dengan maksud dan tujuan tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut, tentu diperlukan keterampilan agar mampu menangkap maksud dan tujuan pengarang. Melalui pendidikan literasi kritis, peserta didik diharapkan mampu menemukan, menganalisis, mempertimbangkan, dan menilai suatu teks untuk didapatkan manfaatnya. Teks dalam konteks kekinian bukan dimaknai sebagai tulisan di atas kertas saja. Pemahaman teks dewasa ini meluas kepada hal-hal lain, seperti siaran, tayangan, maupun kebudayaan, Sobur (2012: 53), berpendapat bahwa teks tidak sekedar dalam wujud tulisan saja, teks menurutnya adalah dunia semesta, termasuk ke dalamnya adalah adat istiadat, kebudayaan, film, dan drama. Teks dipahami sebagai suatu hal yang mampu membawa suatu paham atau nilai yang memiliki nilai guna beragam, mulai dari menginformasikan, menyajikan materi, maupun sebagai ajakan (persuasi). Sebagai alat untuk mempengaruhi, teks digunakan dalam dunia pendidikan untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan juga nilai-nilai moral dan agama. Untuk hal ini, suatu teks dipilih berdasarkan konteks dan sasaran pendidikannya sehingga tercipta keselarasan antara teks dengan tujuan pendidikan. Dalam menghadapi era teknologi dan komunikasi serta kebijakan internasional pemerintah mengikuti Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), pendidikan literasi kritis
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” dibutuhkan bagi generasi selanjutnya untuk mampu bersaing secara sehat dan mempertunjukkan jati diri bangsa. Keterampilan ini pun diharapkan mampu menghindari hilangnya jati diri bangsa dari bias kebudayaan karena akses informasi dan transfer budaya semakin mudah dan cepat dengan kemajuan komunikasi dan kebijakan MEA. Predikat negara yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia menjadikan Indonesia memiliki nilai-nilai agama yang kental dengan kuatnya peran agama dan kebudayaan muslimnya. Hal ini merupakan salah satu ciri jati diri bangsa yang merupakan perwujudan sila pertama Pancasila. Peran agama dalam negara Indonesia menjadi sebuah fondasi pembangunan jati diri bangsa Indonesia. Di sisi lain, identitas negara dengan penganut muslim terbanyak ini menuai berbagai macam argumen dari beberapa golongan karena melihat beberapa peristiwa terorisme yang membawa nama agama islam sebagai dasar aksinya. Melihat hal tersebut tentu berbalik dengan nilai-nilai islam yang sesungguhnya. Cinta tanah air, toleransi, menghargai, cinta damai, dan peduli adalah beberapa nilai islam yang tidak tercemin dalam aksi terorisme tersebut. Hal ini pun yang menjadi permasalahan karena nilai-nilai tersebut terinternalisasi dalam sejarah pendidikan islam yang sudah lama hadir dan berkembang di Indonesia. Salah satu contoh peristiwa negatif tersebut dapat diminimalisasi dengan mengefektifkan kembali peran pendidikan yang tidak sekedar mengasah kemampuan intelegensia saja, tetapi mengembalikan kembali pada definisi pendidikan semula yakni proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (KBBI). Pendidikan diperlukan untuk terus mengokokohkan nilai agama yang menjadi fondasi bangsa, menguatkan jati diri dan budaya bangsa, literasi kritis dibutuhkan pendidikan untuk mampu menghindari bias budaya akibat efek kemajuan komunikasi dan kebijakan MEA. PEMBAHASAN Pendidikan Literasi Kritis Pendidikan literasi kritis diawali dengan kebutuhan masyarakat masa kini untuk memperoleh informasi akibat dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Akar pendidikan literasi kritis adalah keterampilan berpikir kritis. Alwasilah (2008: 149), menyebutkan bahwa pendidikan literasi kritis adalah sikap dan keterampilan kritis dan analitis yang diperlukan untuk memahami dan menginterpretasi teks-teks ujaran maupun tulis. Lebih lanjut, Alwasilah (2008: 149), menjelaskan bahwa literasi kritis tidak hanya mengajarkan peserta didik menguasai keterampilan dasar seperti memahami, memprediksi, meringkas, tetapi melatih untuk menjadi seorang konsumen yang kritis dalam segala konteks informasi yang diterimanya. Pendidikan literasi kritis menjadi penting berkenaan dengan mudahnya mengakses informasi. Berbagai sumber informasi cetak (koran, majalah, pamflet, spanduk, poster, brosur), baik noncetak (radio, televisi, internet) ini hadir dengan mudah di sekitar peserta didik secara sadar ataupun tidak disadarinya yang dapat membawa pengaruh kepada peserta didik. Berkaitan dengan hal tersebut, Garcia, dkk. (2013, hlm. 111), mengemukakan bahwa: critical media literacy as we are defining it here is a progressive educational response that expands the notion of literacy to include different forms of mass communication, popular culture, and new technologies and also deepens literacy education to critically analyze relationships between media and audiences, information, and power. Dari pengertian tersebut, dapat dijelaskan pendidikan literasi kritis adalah sebuah pemahaman pendidikan literasi yang baru dan meluas, dengan memasukkan media massa, budaya populer, dan teknologi terbaru dalam lingkup kajian literasi. Pendidikan literasi
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” kini tidak hanya terbatas pada teks tulisan, namun meluas hingga pada tataran kebudayaan. Pemahaman baru mengenai literasi kritis dapat diawali sejak dini dengan penekanan pada pembelajaran bahasa yang mengutamakan pada keterampilan membaca-menulis yang dipadukan dengan keterampilan berpikir kritis. Chafee (2012: 74) mengemukakan pendapatnya bahwa salah satu aspek utama keterampilan berpikir kritis adalah dengan belajar untuk menjadi seorang pembaca kritis. Seorang pembaca kritis akan melakukan pemahaman terhadap teks tertulis, kemudian menganalisis, dan dievaluasi mengenai gagasan dan penyampaiannya yang dikemukakan oleh penulis. Spears (2006: 271), memaparkan bahwa membaca kritis adalah kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mempertimbangkan gagasan penulis dalam teks. Membaca kritis merupakan implementasi literasi kritis dalam pelajaran bahasa, juga sarana peserta didik untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya melalui kegiatan pemahaman, evaluasi, dan penilaian pada teks-teks yang disajikan dalam pembelajaran. Melihat definisi teks yang dikemukakan oleh Sobur (2012: 53), bahwa teks tidak terlepas dari konteks yang melatarbelakangi pembuatannya, teks dapat mengandung unsur nilai dan ideologi yang berusaha disajikan oleh penulisnya, baik yang disadari maupun tidak disadari oleh penulis tersebut, keterampilan membaca kritis menjadi keterampilan utama untuk menganalisis dan mengevaluasi ideologi dan nilai-nilai dalam teks yang disajikan sebagai bahan pembelajaran. Teks sebagai Sarana Pendidikan Karakter Sebagai bahan pelajaran, teks dianalisis untuk ditemukan nilai-nilai serta ideologi yang terdapat dalam teks. Nilai-nilai yang ditemukan dapat dianalisis dan dikomentari serta diberikan penilaian oleh peserta didik. Sebagai bahan pelajaran, teks dapat dipilih oleh guru yang sesuai dengan minat dan kemampuan peserta didik dalam menilai teks. Pemilihan teks tidak lepas dari konteks, isu yang dibahas dalam teks, dan nilai serta ideologi yang terdapat dalam teks (Sobur, 2012: 53). Melihat teks yang tidak terlepas dari konteks dan nilai-nilai, teks mampu dijadikan sarana pendidikan karakter. Abidin (2012: 50), berpendapat bahwa bahan ajar berbasis karakter adalah bahan ajar yang mampu menghadirkan pengetahuan karakter kepada siswa sehingga selanjutnya ia akan memiliki perasaan baik dan berperilaku secara berkarakter. Senada dengan Abidin, Lickona (2012: 259), menambahkan bahwa literatur dapat dijadikan sebuah alat utama dalam pendidikan nilai. Nilai dan karakter dapat diimplementasikan dalam sebuah teks, baik teks fiksi maupun nonfiksi. Sejumlah kajian mengenai pemanfaatan teks fiksi telah dilakukan sebagai upaya mengimplementasikan nilai-nilai karakter pada pembelajaran. Yukiarti (2014), mengkaji nilai-nilai religius islami dalam puisi Sapardi Djoko Damono dan pemanfaatannya sebagai bahan pembelajaran sastra. Penelitian ini memberikan hasil bahwa nilai religius islami (tauhid, fikih, ahlak) dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di SMP/MTs kelas VII. Penelitian lain berdasarkan kajian teks fiksi dilakukan oleh Izzati (2011) mengenai kajian struktur dan nilai moral dalam cerpen anak dalam surat kabar kompas. Penelitian yang dilakukan Izzati memberikan kajian struktur untuk dijadikan alternatif pembelajaran bagi siswa sekolah dasar. Nilai yang terdapat dalam cerpen tersebut mengandung nilai moral, di antaranya: kejujuran, otentik atau menjadi diri sendiri, kesediaan untuk bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, dan realistik dan kritis. Hoerudin (2011: 107), berpendapat bahwa pendidikan karakter perpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang berpijak pada nilai agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Sumber nilai moral yang universal—nilai agama—dapat dimanfaatkan langsung melalui penyajian teks fiksi bertema keagamaan, atau teks nonfiksi (berita dengan isu kontroversial).
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Wahyudin (2015: 111), mengemukakan pendapatnya mengenai penyelenggaraan pendidikan yang tidak semata-mata mentransfer ilmu dan pengetahuan serta teknologi kepada peserta didik, lebih dari itu, pendidikan harus mampu membangun bangsa yang beradab, bermoral, dan berakhlak mulia, yang tidak hanya diukur dari segi intelegensia akademik semata, tetapi juga diperlukan kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Sejatinya, pendidikan tidak lepas dari pendidikan karakter (Abidin, 2008:37), namun pada pelaksanaan teknis pendidikan, yakni dalam proses pembelajaran, penanaman nilai karakter dewasa ini, dirasakan kurang karena berfokus pada segi intelegensia akademik saja. Pendidikan karakter dapat dimulai dengan pengembangan dari segi kurikulum. Lickona (1991: 244), menyebutkan bahwa dalam mengimplementasikan nilai dapat dimulai dari kurikulum. Kurikulum sebagai inti pembelajaran dan pelaksana pendidikan menjadi pegangan bagi guru untuk melaksanakan pembelajaran. Semua unsur pembelajaran: Tujuan, indikator, materi, langkah, dan evaluasi harus mengacu pada kurikulum yang telah disusun. Pembelajaran dapat dikatakan berhasil jika mampu menerapkan kurikulum yang telah disusun dengan baik. Karakter yang diimpelementasikan dalam kurikulum dapat mengacu pada rumusan nilai-nilai karakter bangsa, yang dirumuskan oleh Kemendikbud, terdapat 18 karakter bangsa antara lain: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai ini yang dirumuskan oleh Kemendikbud sebagai panduan pendidikan karakter melalui kurikulum yang disusun oleh pemerintah. Nilai-nilai karakter tersebut dapat dimasukkan, baik secara eksplisit maupun secara implisit dalam pembelajaran. Melalui metode ceramah, guru dapat mengenalkan secara langsung istilah nilai karakter dan contoh perilaku yang sesuai dengan nilai karakter bangsa. Dengan cara implisit, nilai-nilai karakter dapat disajikan dalam bentuk sajiian teks, baik teks fiksi maupun nonfiksi. Hal ini sependapat dengan Lickona (2012: 259), bahwa salah satu alat utama dalammemberikan pendidikan nilai di sekolah dengan menyajikan literatur-literatur yang relevan. Dalam penyajian teks fiksi, guru dapat menyajikan beberapa cerita fiksi mengenai asal-usul nama daerah untuk mendidik siswa agar memiliki rasa cinta damai. Selain itu, guru dapat menyajikan teks fiksi prosa (novel) sebagai sarana untuk menanamkan nilai kerja keras dan peduli lingkungan melalui kajian penokohan dalam pembelajaran sastra. Guru pun dapat menyajikan teks fiksi sebagai pembelajaran refleksi kehidupan yang tergambar dalam cerpen dengan kehidupan nyata siswa. Buku biografi dan sejarah kemerdekaan Indonesia dapat digunakan guru sebagai alternatif teks nonfiksi. Penyajian materi biografi kepada siswa dapat menumbuhkan nilai-nilai yang tergambar dalam sikap dan perilaku tokoh yang diceritakan dalam biografi. Pengkajian teks-teks sejarah kemerdekaan Indonesia dapat menumbuhkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Pengkajian ini pun dapat dilakukan dengan menggunakan metode pembelajaran discovery, siswa dibimbing untuk mencari buktibukti sejarah lain yang relevan dengan buku sejarah kemerdekan Indonesia. Seperti contohnya pergi keperpustakaan daerah untuk menemukan bukti sejarah Supersemar. Lickona (2012: 259) menjelaskan bahwa literatur dapat dijadikan sebuah alat utama dalam pendidikan nilai. (Lickona, Thomas. (2013). Mendidik Untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah dapat Memberikan epndidikan tentang Sikap hormat dan bertanggung jawab.cetakan kedua. Jakarta: Bumi Aksara) Literatur dapat berupa fiksi ataupun nonfiksi.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Pendidikan Karakter Bangsa Pendidikan karakter tidak terlepas dari pengaruh nilai agama atau nilai spiritual (Majid, 2011: 58). Senada dengan Majid, Hoerudin (2011: 117), berpendapat bahwa pendidikan karakter berasal dari nilai dasar manusia, yakni nilai-nilai agama atau disebut dengan golden rule. Dari nilai-nilai agama ini muncul nilai-nilai moral sebagai nilai dasar manusia. Pendidikan karakter dalam islam diistilahkan dengan pendidikan ahlak, yakni penanaman syariat islam dalam kehidupan sehari-hari (Majid, 2011: 58). Lebih lanjut, Majid (2011: 59), mengemukakan pendidikan karakter Islam atau pendidikan ahlak dalam agama Islam memiliki kekurangan karena hanya cenderung mengajarkan pada baik dan benarnya saja. Hal ini tentu menjadi perhatian para pendidik islam kontemporer karena pendidikan Islam harus senantiasa eksis dan bersaing dengan pendidikan karakter yang terpisah dari nilai-nilai agama. Al-Quran dan hadist yang menjadi rujukan nilai-nilai agama berusaha diterapkan melalui berbagai cara. Salah satu upaya penerapan nilai-nilai agama tersebut dilakukan oleh lembaga pendidikan islam di Indonesia yakni pesantren (Muthohar, 2007: 3). Dalam kiprahnya sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan pendidikan Indonesia karena salah satu tonggak perkembangan pendidikan Indonesia adalah dengan berkembangnya pesantren. Dalam hal ini, pesantren di Indonesia memiliki corak khusus nilai-nilai agama Islam yang berusaha ditanamkan melalui proses pendidikannya. Pesantren yang telah hadir sejak tahun 1630 M (Muthohar, 2007: 3), dapat bertahan dan berkembang hingga saat ini karena memiliki pondasi ideologi dan nilai-nilai yang kokoh dan menjadi lembaga pendidikan khas di Indonesia. Beberapa penelitian dan pengkajian dilakukan untuk menggali pondasi ideologi dan nilainilai pesantren, salah satunya pemaparan nilai-nilai tradisi pesantren oleh Ocktavia, dkk. (2014), yang merumuskan nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi pesantren. Nilai-nilai ini telah ada dan menjadi sebuah warisan pendidikan sejak dahulu, sebelum Indonesia merdeka. Nilai-nilai ini menjadi ciri khas yang membedakan karakter pendidikan pesantren dengan pendidikan umum. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah: cinta tanah air, kasih sayang, cinta damai, toleransi dan rasa menghormati, kerja sama, kejujuran, kesungguhan, rendah hati, kesabaran, dan perjuangan. Beberapa nilai-nilai pesantren tersebut relevan dengan pemaparan 18 nilai karakter yang dikemukakan oleh Kemendikbud. Hal ini tentu karena nilai pendidikan pesantren dan nilai Kemendikbud sejalan dengan nilai karakter bangsa yang bersumber ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila, terutama sila pertama Pancasila. Mengacu pada penjelasan sebelumnya, bahwa teks dapat mengandung nilai dan juga ideologi, nilai agama didukung oleh kitab suci yang berisi pedoman hidup dan ajaran agama yang juga mendidik manusia untuk memiliki budaya literasi. Ayat Al-Quran yang pertama turun mencerminkan budaya literasi sejak dini. Dalam perkembangan agama Islam, upaya untuk mendokumentasikan ayat-ayat suci oleh para sahabat mengindikasikan bahwa dalam agama islam, budaya literasi memang lekat dan menjadi perhatian sebagai bahan penyebaran agama islam. Nilai Agama sebagai Basis Pendidikan Literasi Kritis Mengacu kepada teks sebagai bahan pembelajaran membaca kritis, nilai-nilai agama yang diimplementasikan melalui pendidikan pesantren dapat dijadikan basis pendidikan literasi kritis bagi siswa dalam pembelajaran bahasa. Nilai-nilai agama sebagai basis pendidikan literasi kritis berperan sebagai indikator pemilihan bahan ajar membaca kritis. Dengan mengambil lingkup bahan ajar literasi yang meliputi media massa dan film serta drama, nilai-nilai agama dapat digunakan sebagai patokan guru atau fasilitator dalam memilih bahan pembelajaran dari lingkup literasi yang luas.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Berdasarkan berbagai pendapat di atas mengenai pendidikan literasi kritis, teks, dan nilai agama, dapat disusun rencana pembelajaran membaca kritis dengan berpedoman pada langkah kerjanya, yakni: pemahaman, analisis, evaluasi, dan pertimbangan terhadap teks. Langkah pertama adalah pemilihan teks yang berdasarkan pada kriteria yang telah ditentukan, yakni teks yang mengandung muatan nilai-nilai agama. Selanjutnya teks diberikan kepada siswa untuk dibaca secara intensif agar dapat dipahami isi, untuk mendapatkan gagasan atau permasalahan serta informasi yang relevan dengan nilai-nilai agama. Langkah analisis adalah melakukan kajian isi untuk memperoleh gagasan inti dan gagasan penjelas yang dikemukakan oleh penulis. Langkah ini pun digunakan untuk menemukan nilai-nilai agama yang terkandung dalam teks. Langkah evaluasi dilakukan untuk menemukan dan memilih gagasan-gagasan yang mendukung gagasan inti penulis dan untuk mengidentifikasi gagasan penjelas yang tidak relevan dengan gagasan inti penulis. Pada langkah terakhir, yakni langkah pertimbangan terhadap teks, adalah langkah yang dilakukan siswa untuk mengemukakan penilaiannya pada teks tersebut, apakah teks tersebut relevan dengan nilai-nilai agama yang mendasarinya atau sebaliknya. Dalam langkah ini pun siswa dapat memberikan komentarnya pada teks yang telah dikritisi.
SIMPULAN Pendidikan literasi kritis pada pelajaran bahasa, yakni membaca kritis, menekankan pada analisis dan evaluasi bahan ajar berupa teks (tertulis maupun lisan) yang dipahami sebagai uraian ide atau gagasan yang membawa nilai-nilai dan ideologi penulis. Pemilihan teks dalam pendidikan menjadi hal yang utama karena teks dapat memberikan pengetahuan dan pengaruh kepada siswa, yang dapat berimplikasi pada karakter siswa. Nilai-nilai pesantren yang merupakan implementasi dari nilai-nilai agama dapat dijadikan basis atau dasar pendidikan literasi kritis dengan memfungsikan sebagai filter dalam pemilihan teks agar sesuai dengan nilai-nilai agama. Langkah pembelajaran membaca kritis yang berbasis nilai agama adalah dengan pemilihan teks terlebih dahulu, kemudian dilakukan pemahaman isi pada teks, analisis dilakukan untuk menemukan nilai agama dan gagasan yang terkandung dalam teks,dan evaluasi untuk memilih gagasan yang relevan, serta langkah terakhir adalah dengan memberikan pertimbangan penilaian dengan disertai alasan yang relevan dan rasional terhadap teks. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Yunus. (2012). Pembelajaran Membaca Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: PT Refika Aditama. Alwasilah, Chaedar. (2009). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Chaffee, Jhon. (2010). Thinking Critically. 10th edition. [e-book]. Wardsworth, Cengage Learning. Garcia, Antero., Roby Seglem., Jeff Share. (2013). Transforming Teaching and Learning Through Critical Media Literacy Pedagogy. LEARNing Landscape. Vol 6, No 2. Spring. [e-journal]. Diakses pada tanggal 20 April 2015. www.learninglandscapes.ca/images/.../garcia.pdf Hoeruddin, C. H. (2011). Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Pendidikan Karakter. Jurnal @rtikulasi, Vol. 10, No. 1, Mei 2011. Hlm. 106-113. Izzati, Arini Noor. (2011). Kajian Struktur dan Nilai oral pada Cerpen Anak dalam Surat Kabar Kompas sebagai Alternatif Pembelajaran bagi Siswa Sekolah Dasar. (Tesis). Sekolah Pascasarjana UPI, Bandung.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Lickona, Thomas. (2013). Mendidik Untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah dapat Memberikan Pendidikan tentang Sikap hormat dan bertanggung jawab.cetakan kedua. Jakarta: Bumi Aksara. Majid, Abdul & Dian Andayani. (2011). Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Mahsun. (2013). Prawacana dalam Pembelajaran Teks. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Muthohar, Ahmad. (2007). Ideologi Pendidikan Pesantren. Semarang: Pustaka Rizki Putra. Octavia, Lanny; Ibi Syatibi; Mukti Ali; dkk. (2014). Pendidikan karakter Berbasis Tradisi Pesantren. Jakarta: rene book. Sobur, Alex. (2012). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Cetakan keenam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Spears, Deanne. (2006). Developing Critical Reading Skills. 7th edition. New York: McGraw-hill. Yukiarti, Yuke. (2014). Kajian Semiotik dan Nilai-nilai Religius Islami Puisi Sapardi Djoko Damono dan Pemanfaatannya sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di MTs. Cikajang Garut. (Tesis). Sekolah Pascasarjana UPI, Bandung.