Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” KEEFEKTIFAN TEKNIK STORYTELLING MENGGUNAKAN MEDIA WAYANG TOPENG MALANG UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER FAIRNESS SISWA SEKOLAH DASAR
Yuanita Dwi Krisphianti Universitas Nusantara PGRI Kediri Email:
[email protected]
ABSTRAK Karakter fairness merupakan sikap yang memperlakukan individu atau orang lain dengan sama. Karakter fairness terdiri dari perilaku a) tidak membeda-bedakan orang lain, b) mentaati peraturan yang berlaku di manapun berada, c) tidak menggunakan kelemahan orang lain untuk kepentingan pribadi, dan d) bersikap transparan atau sportif . Karakter fairness perlu diberikan atau dilatihkan kepada individu sedini mungkin, yakni pada usia 10-12 tahun atau setara dengan individu pada jenjang pendidikan dasar kelas atas. Metode yang digunakan untuk melatihkan karakter fairness adalah tekhnik storytelling. Storytelling merupakan sebuah tekhnik menceritakan kembali sebuah pesan atau cerita yang memiliki nilai moral atau karakter tertentu. Cerita yang digunakan dalam pelaksanaan storytelling adalah Lakon Panji, yakni cerita rakyat yang berisi tentang perjalanan hidup Raden Panji Asmarabangun yang memiliki pesan nilai moral atau karakter yang sesuai dengan karakter fairness. Agar pelaksanaan lebih menarik, pada tekhnik storytelling digunakan media wayang topeng Malang dengan tokoh Jelodeh. Tujuan tekhnik storytelling dengan media wayang topeng adalah a) siswa dapat mengenal dan bangga akan budaya kearifan lokal, b) dapat meningkatkan karakter fairness melalui pesan moral cerita, c) siswa dapat memiliki keterampilan dan pengetahuan yang berbudi luhur, dan d) dapat menjadi salah satu media pembelajaran yang berdasar kearifan lokal. Kata Kunci: karakter fairness, storytelling, wayang topeng Malang, siswa sekolah dasar
A. Pendahuluan Pendidikan karakter bukan merupakan sebuah istilah yang baru dalam dunia pendidikan. Pada kenyataannya, pendidikan karakter sudah memiliki usia yang sama dengan pendidikan itu sendiri. Berdasarkan berbagai kajian, pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan yakni mencerdaskan peserta didik dan membentuk pribadi luhur peserta didik. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan di Indonesia yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pendidikan digunakan individu sebagai suatu alat untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. Pendidikan juga merupakan rangsangan bagi setiap individu untuk dapat berlomba-lomba memotivasi diri guna mencapai segala aspek kehidupan yang
1
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” lebih baik, hal ini dengan ditunjukkan adanya tingkat pendidikan baik formal maupun non formal, mulai dari tingkat anak usia dini sampai tingkat universitas. Dengan kata lain, individu yang dinyatakan sebagai individu sukses adalah individu yang berhasil mencapai tujuan pendidikan yakni cerdas dan memiliki budi pekerti yang luhur, untuk mencapai hal tersebut pendidikan mengemas melalui standar kompetensi lulusan dalam setiap jenjang pendidikan. Sikap merupakan salah satu dari kompetensi utama yang menjadi standar kompetensi lulusan dalam pendidikan. Sikap memiliki beberapa karakter yang harus dikembangkan. Salah satunya adalah karakter terhadap sesama. Karakter terhadap sesama adalah perilaku individu yang memperlakukan individu lain tanpa membeda-bedakan. Karakter cinta terhadap sesama disebut juga dengan karakter fairness. Fairness memiliki arti menghargai kesetaraan antar individu, bermain sesuai peran atau taat akan aturan yang berlaku, tidak suka memanfaatkan kelemahan orang lain untuk keuntungan pribadi, dan bersikap transparan serta adil terhadap sesama (Josepshon, 2006). Pentingnya karakter fairness disampaikan dalam penelitian Zulnuraini (2012) yang menyatakan bahwa, muatan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam pembelajaran pada saat melakukan kegiatan pembelajaran hendaknya meliputi; nilai disiplin (discipline), rasa hormat dan perhatian (respect), tekun (diligence), tanggung jawab (responsibility), dapat dipercaya (trustworthness), berani (courage), ketulusan (honesty), integritas (integrity), peduli (caring), adil (fairness), kewarganegaraan (citizenship), ketelitian (carefulness). Penelitian tersebut diperkuat dengan pendapat Borba (dalam Pranoto, 2010) bahwa, anak yang memiliki sense of fairness yang kuat akan sangat senang atas kesempatan yang diberikan untuk dapat membantu orang lain, tidak menyalahkan orang lain dengan semena-mena, rela berkompromi untuk memenuhi kebutuhan orang lain, berpikiran terbuka, berlaku sportif dalam pertandingan olahraga, menyelesaikan masalah dengan cara damai dan adil, bermain sesuai aturan; mau mengakui hak orang lain yang dapat menjamin bahwa mereka patut diperlakukan dengan sama dan adil. Fairness dapat digunakan untuk mencegah munculnya sebuah perbedaan (Folger, 1998: 14). Hal ini didukung dengan penelitian Kartajaya yang ditulis (dalam Nazir, 2012) bahwa, fairness bermakna main sesuai aturan, menggunakan kesempatan untuk berbagi, memiliki pikiran terbuka, mau mendengarkan pendapat orang lain serta tidak mudah menyalahkan orang lain. Menurut John Ralws (1999) (dalam Soetoprawiro, 2010), masyarakat yang memiliki karakter fairness dicirikan dengan (1) semua warga masyarakat bersikap terbuka dengan menerima konsep umum yang sama tentang fairness; (2) masyarakat konsisten merealisasikan konsep umum tersebut dalam sikap perilaku sehari-hari; (3) setiap warga memiliki rasa fairness yang efektif, yang mendorong mereka untuk berperilaku adil. Pada masa sekarang ditemukannya krisis karakter fairness. Adanya fenomena peserta didik seperti melakukan bullying terhadap teman, melanggar peraturan sekolah, memanfaatkan kelebihan yang ada pada dirinya untuk menekan orang lain demi kepentingan pribadi, dan melakukan penyuapan untuk meloloskan keinginan yang hendak dicapai. Fenomena ini terjadi mulai dari kalangan peserta didik jenjang sekolah dasar hingga tingkat mahasiswa. Sebagai contoh, kasus siswa sekolah dasar di Tangerang yang trauma berat dan mengalami infeksi saluran kencing dan ada nanah di saluran kencingnya akibat dipukuli oleh teman yang sebelumnya selalu bully dia dengan merampas dan melempar kacamata juga buku dan alat tulisnya (Kartini, 2015). Selain itu masih hangat dan baru saja terjadi fenomena yang dilakukan oleh Sonya Ekarina Sembiring siswa kelas 3 SMA, yakni marah-marah dan mengancam polisi jika berani menilangnya, padahal dia terbukti melanggar tata tertib lalu lintas (Medansatu, 2016)
2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Sikap semacam itu menunjukkan rendahnya karakter fairness siswa sekolah, jika terus menerus dibiarkan tanpa adanya pencegahan dan perbaikan akan dapat membahayakan nasib generasi emas yang kelak menjadi penerus bangsa Indonesia. Tentunya sikap demikian juga tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada di Indonesia. Karakter fairness yang tidak berkembang dengan baik berdampak kepada perkembangan pribadi dan sosial siswa di masa depan. Secara pribadi siswa menjadi individu yang menang sendiri dan senang berbohong demi keselamatan diri sendiri. Sedangkan secara sosial siswa menjadi individu yang sulit mendapatkan teman, sulit beradaptasi pada lingkungan pergaulan. Fairness merupakan karakter pendorong individu untuk melakukan kebajikan, menjadi lebih peduli, menghargai dan menghormati sesama, lebih peka dan berempati, serta menjadi manusia yang lebih baik lagi. Fairness perlu dikembangkan pada setiap peserta didik sedini mungkin, yakni pada siswa sekolah dasar. Hal ini didukung pendapat Kohlberg (1981) (dalam Gradel, Mary, Gerald, 1992) yang menyatakan bahwa, siswa usia 8–12 tahun sudah dapat belajar untuk saling berbagi, saling menghargai, dan memahami fairness dan bukan belajar mengenai loyalitas serta justice. Oleh karena demikian, diperlukan sebuah tekhnik yang dapat digunakan untuk meningkatkan karakter fairness kepada peserta didik khususnya siswa sekolah dasar. Salah satu tekhnik yang dapat digunakan adalah dengan storytelling menggunakan media wayang topeng. B.
Pembahasan 1. ANALISIS (Kupasan, Asumsi, Komparasi) a. Pengertian Karakter Fairness Borba (2001) menyatakan bahwa, fairness merupakan salah satu bagian dari tujuh karakter kebajikan yang harus dimiliki dan dikembangkan dalam diri seorang anak. Tujuh karakter kebajikan yang bisa diajarkan kepada anak agar dapat tumbuh sesuai dengan pendidikan yang diperlukan bagi sendirinya, dan konsep tersebut yang sering disebut dengan “kecerdasan moral”. Kecerdasan moral terbangun dari tujuh karakter kebajikan utama yang nantinya dapat membantu anak menghadapi tantangan dan etika yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupannya kelak, sehingga bisa melindungi dari perilaku menyimpang yang bisa merugikan bagi dirinya sendiri. Karakter dapat diajarkan, dicontohkan, disadarkan, serta didorong sehingga mampu dicapai oleh anak. Tujuh karakter kebajikan yang disebut oleh Borba (2001) di antaranya (1) empati (empathy) yakni kemampuan memahami dan merasakan kekhawatiran orang lain, ini merupakan hal yang dapat mencegah perbuatan kejam dan mendorong kita untuk memperlakukan orang lain dengan baik, (2) hati nurani (conscience) yakni suara hati yang membantu kita membedakan hal yang benar dan yang salah, yang merupakan landasan yang kuat bagi kehidupan yang baik, kehidupan masyarakat yang baik, serta perilaku etika, (3) kendali diri (self control) yakni mengendalikan pikiran dan tindakan agar dapat menahan dorongan dari dalam maupun dari luar sehingga dapat bertindak dengan benar, (4) rasa hormat (respect) yakni menghargai seseorang atau sesuatu dan rasa hormat mendorong individu memperlakukan dan menghargai makhluk lain dengan baik, (5) kebaikan hati (kidness) yakni menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan perasaan orang lain, (6) toleransi (tolerance) yakni nilai moral yang membuat anak menghargai tanpa membedakan suku, gender, penampilan, budaya, keyakinan, kemampuan,
3
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” atau orientasi seksual, dan yang terakhir adalah (7) keadilan (fairness) yakni kebajikan utama dari seluruh kecerdasan moral yang dikembangkan. Fairness memiliki arti memperlakukan orang lain dengan pantas, tidak memihak dan benar. Dengan karakter fairness individu akan terdorong menjadi lebih berpikir terbuka dan jujur berperilaku benar. Anak-anak yang mempunyai karakter fairness akan berperilaku dapat mematuhi aturan, bergiliran, berbagi, dan mendengarkan semua pihak secara terbuka sebelum memberi penilaian. Oleh karena itu, individu berpegang pada aturan atau etika yang berlaku. Adanya karakter fairness individu dapat meningkatkan kepekaan moralitas, bersemangat membela orang-orang yang diperlakukan tidak adil, bersikap lebih toleran, beradab, pengertian dan peduli terhadap sesama, serta tumbuh menjadi manusia yang baik. b. .Aspek-aspek Karakter Fairness Peneliti menggunakan pendapat dari Josephson mengenai aspekaspek fairness. Aspek-aspek fairness menurut pendapat Josepshon (2006) adalah (1) menghargai kesetaraan antar individu adalah individu yang berbuat adil akan memandang seluruh individu lain secara objektif berdasarkan keragaman dan keunikan dari masing-masing makhluk hidup, (2) bermain sesuai dengan peran yang dimaksud adalah taat dan patuh akan peraturan yang berlaku di masyarakat, (3) tidak suka memanfaatkan kelemahan oranglain untuk kepentingan pribadi adalah individu yang berbuat adil ketika berbuat salah akan segera mengakui secara sukarela dan meminta maaf atas perbuatan yang telah dia lakukan, individu akan segera memperbaiki kesalahan yang dilakukan dan tidak menggunakan kelemahan orang lain untuk menutupi perbuatan salah yang telah dilakukan, (4) bersikap transparan serta adil terhadap sesama adalah individu yang adil merupakan individu yang independent ketika mengambil sebuah keputusan bukan didasarkan dari pilih kasih terhadap pihak tertentu dan prasangka pribadi, melainkan didasarkan dari sebuah informasi yang relevan yang telah ditelusuri terlebih dahulu. 2. Teori Perkembangan Karakter Fairness Berkaitan dengan karakter fairness pada diri seorang anak, Piaget telah melakukan sebuah penelitian tentang anak-anak melalui permainan kelereng. Hal ini dilakukan Piaget untuk memahami bagaimana anak-anak berpikir dan menyesuaikan konsepsinya mengenai aturan-aturan yang berlaku. Dari penelitian yang dilakukan Piaget didapatlah hasil, sebagai berikut: a. Anak-anak disekitar usia 3 tahun, belum mengembangkan permainannya sendiri dan cenderung bermain individual tanpa kerjasama. Anak-anak pada usia ini cenderung menerima aturan tanpa protes pertimbangan terlebih dahulu b. Anak-anak usia 3-5 tahun, mulai bermain secara berkelompok, meskipun masing-masing anak menganggap pendapatnya yang paling benar. Anakanak belum memiliki empati dan belum mampu menempatkan diri dalam pergaulan. Anak-anak pada usia ini cenderung menggunakan aturan dari orang dewasa, meskipun mereka cenderung melanggar aturan tersebut. c. Anak usia 7-8 tahun, mulai muncul perhatian untuk menyeragamkan aturan permainan meskipun aturan permainannya masih umum dan belum jelas. d. Anak usia 11-12 tahun, mulai dapat menentukan dan membuat kesepakatan bersama tentang aturan permainan. Anak sudah dapat melihat bahwa aturan sebagai sesuatu yang bisa diubah dan dibuat berdasarkan kesepakatan.
4
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, anak pada usia 11-12 tahun sudah mulai bisa memahami dan mengembangkan karakter fairness. Didasarkan pada pendapat Josephson (2006) yang menyatakan bahwa, fairness memiliki arti yakni menghargai kesetaraan antar individu, taat akan aturan yang berlaku, tidak suka memanfaatkan kelemahan orang lain untuk keuntungan pribadi, dan bersikap transparan serta adil terhadap sesama. Penelitian Piaget kemudian dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg (1981). Teori Lawrence Kohlberg dikenal dengan istilah tahap perkembangan moral individu. Kohlberg (1981) (dalam Gradel, Mary, Gerald, 1992) telah mengidentifikasikan tiga level perkembangan moral dimana setiap level terdapat dua tahapan. Tiga level perkembangan moral bisa dilihat dalam tabel 1sebagai berikut.
No 1
2
3
Tabel 1 Perkembangan moral Kohlberg Tingkat Level Tahap Level Preconventional a. Anak belajar mengenai baik buruknya perilaku melalui konsekuensi dari perilaku yang telah dilakukan b. Anak belajar untuk saling berbagi, saling menghargai, dan memahami fairness dan bukan belajar mengenai loyalitas serta justice Level Conventional
Usia 5-7 tahun
8-12 tahun
a. Anak belajar menyesuaikan diri 13-16 tahun dengan lingkungan melalui perilaku yang dilakukan b. Individu sudah mengakui perlunya 16+ tahun sebuah tatanan sosial, anak sudah memiliki rasa kewajiban dan tanggung jawab, serta anak menunjukkan rasa hormat terhadap sebuah otoritas/kekuasaan Level Postconventional a. Individu memiliki kesadaran hakDewasa hak asasi manusia, dan memiliki standar sebuah aturan sosial b. Individu memiliki pemikiran moral Dewasa yang menghormati martabat semua manusia secara umum dan menghormati serta menyadari akan adanya hak-hak manusia Pada level precoventional tahap dua menunjukkan bahwa anak yang termasuk dalam tahap ini adalah anak yang berusia 8 -12 tahun. Di Indonesia usia 8 – 12 tahun merupakan usia siswa Sekolah Dasar (SD) kelas atas yakni kelas 4 sampai kelas 6. Pada tahap ini siswa akan belajar untuk mengetahui dan memahami akan pentingnya saling berbagi, memahami dan mengembangkan fairness, serta menghargai sesama. Akan tetapi, siswa belum bisa belajar untuk memahami sebuah loyalitas dan justice. Karakter fairness hendaknya dapat dikembangkan oleh anak ketika mereka berada dalam jenjang sekolah dasar tingkat atas. Hal ini didasarkan oleh teori Adlerian (dalam Gradel, Mary, Gerald, 1992) yang menyatakan bahwa, lingkungan sosial memiliki peran dalam mempengaruhi kemampuan kognitif
5
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” (perhatian, persepsi, pola pikir) dan perilaku (kerjasama, saling membantu, berbagi, berkontribusi) siswa. Adler melihat sebuah kelas merupakan tempat dimana siswa bisa membangun lingkungan sosial yang bermanfaat bagi dirinya. Di dalam kelas siswa bisa praktik berhubungan dengan orang lain dan membuat kondisi yang nantinya siswa mendapatkan pemahaman mengenai tujuan dan konsekuensi dari perilaku mereka. Oleh karena itu, teori Adler mendukung teori Piaget dan Kohlberg. Di mana seorang siswa yang berada pada kelas 6 jenjang pendidikan dasar dan yang sudah memiliki kemampuan berpikir operasional konkret hendaknya sudah bisa memanfaatkan kelas dan lingkungan sosialnya untuk mengembangkan karakter fairness. a. Pengertian Storytelling Definisi storytelling terdiri atas dua kata yaitu story yang berarti cerita dan telling berarti pengisahan. Echols (1975) mengatakan bahwa, gabungan dari kata storytelling memiliki arti pengisahan sebuah cerita atau sebuah cerita yang mengisahkan tentang sesuatu. Storytelling telah lama dilakukan oleh berbagai kalangan sebagai contoh yaitu oleh orang tua, kakek nenek, keluarga besar, dan bahkan guru dengan maksud dan tujuan tertentu (Burns, 2005: 4). Danandjaya (1986: 83) menyatakan bahwa storytelling dilakukan dengan tujuan untuk menyampaikan nilai pelajaran moral kepada orang lain. Melalui storytelling orang tua atau guru bisa menyampaikan sebuah pesan yang berisi kandungan karakter terhadap anak-anak dan siswa mereka (Egan, 1989; Andrews, 2009) . Hal yang sama diungkapkan oleh Megawangi (dalam Asfandiyar, 2009) bahwa storytelling membentuk karakter dan imajinasi anak. Danandjaya (1986: 83) juga menambahkan bahwa, storytelling merupakan cerita pendek kolektif kesusastraan lisan yang berisikan tentang cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi di suatu daerah tertentu. Storytelling digunakan terutama untuk hiburan yang isinya belum tentu benar meskipun ada juga storytelling yang menggambarkan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), dan juga digunakan untuk sebuah sindiran. Selain itu, storytelling juga merupakan teknik yang menarik karena dapat dilakukan dimana saja dan waktu kapan saja (Rich, 2008), serta responsif dan fleksibel karena isi cerita bisa disesuaikan oleh pendongeng sesuai dengan kebutuhan (McKay&Dudley, 1996). Berdasarkan definisi di atas, peneliti menarik kesimpulan storytelling merupakan teknik menceritakan sesuatu kepada orang lain dan dapat digunakan untuk mengembangkan karakter fairness. Hal ini dilihat dengan penerapan storytelling bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun, isi cerita bisa diubah berdasarkan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai, dan bisa digunakan untuk semua kalangan mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. b. Jenis-jenis Storytelling Thompson (1964) (dalam Danandjaya, 1986: 86) telah membagi storytelling menjadi empat golongan besar yaitu, 1) Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi atau yang menjadi tokoh utamanya adalah binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata, ikan dan serangga. Binatang-binatang tersebut dalam dongeng jenis ini dapat berbicara dan memiliki akal budi seperti manusia. Suatu bentuk khusus dongeng binatang adalah fables, yakni dongeng binatang yang mengandung moral ajaran baik dan buruk mengenai perbuatan dan perilaku. Salah
6
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” satu contoh dongeng binatang yang terkenal di Indonesia adalah si Kancil. 2) Dongeng biasa adalah jenis dongeng yang menjadi tokoh utama di dalamnya adalah manusia dan mengisahkan tentang suka dan duka seseorang. Contoh jenis dongeng ini yang berasal dari Jawa Timur adalah Panji Laras, Prabu Klana Suwandono, Lambu Gumarang, Raden Ayu Sekartaji dan Raden Panji Inu Kertapati, Ande-ande Lumut, Joko Kendhil, dan masih banyak lagi. 3) c. Lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang dapat menggelikan hati, sehingga dapat menimbulkan bagi yang mendengar maupun yang menceritakannya. Lelucon dan anekdot biasanya merupakan bagian “riwayat hidup” fiktif dari tokoh utama yang dijadikan bahan sindiran tertawaan oleh yang menceritakan. Lelucon dan anekdot dibawakan oleh grup-grup lawak, ludruk (khas Jawa Timur) yang sering kali bisa dilihat maupun didengar melalui media televisi dan juga radio. 4) d. Dongeng berumus adalah dongeng yang lebih terperinci dan memiliki sub-sub bagian di antaranya adalah dongeng berantai, dongeng untuk mempermainkan orang, dan dongeng yang tidak berakhir. c. Fungsi dan Manfaat Storytelling Storytelling adalah suatu proses kreatif anak-anak (Asfandiyar, 2009: 19). Dalam proses perkembangannya, storytelling senantiasa tidak sekedar mengaktifkan aspek-aspek intelektual tetapi juga aspek kepekaan, kehalusan budi, emosi, seni, fantasi, dan imajinasi. Selain hal di atas, storytelling memiliki fungsi dan manfaat tidak saja berguna untuk anak kecil, tetapi berguna juga untuk orang dewasa sampai orang tua. Berikut merupakan fungsi storytelling yang dituliskan Bascom (1965) (dalam Danandjaya, 1986: 140), yakni. 1) Sebagai sistem proyeksi, yakni memberikan nasehat atau pesan mengenai keadaan di masa yang akan datang (pesan untuk tetap berhati-hati dalam menjalani kehidupan) dengan menggunakan data berupa cerita yang sudah ada sebelumnya 2) Sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, yakni memberikan penjelasan terhadap perilaku adat istiadat dan budaya yang dianut oleh individu 3) Sebagai alat pendidikan anak (pedagogis), yakni agar anak-anak memiliki sifat yang tersirat di dalam isi sebuah cerita. Misalnya sifat, sabar, cerdik, ikhlas, dan kuat. 4) Sebagai peyalur ketegangan masyarakat, yakni digunakan untuk menghibur hati para penonton yang sedang lara, misal karena suasana politik, gagal dalam bisnis dan sebagainya. 5) Sedangkan manfaat dari penggunaan storytelling bisa dilihat berdasarkan pendapat menurut Asfandiyar (2009), yaitu: a) Storytelling mampu melatih daya konsentrasi anak-anak b) Storytelling merupakan teknik belajar yang menyenangkan c) Storytelling melatih dan sebagai media sosialisasi anak-anak d) Storytelling dapat memupuk rasa keindahan dan kehalusan karakter e) Storytelling dapat membuat seorang anak berkomunikasi dengan diri sendiri sekaligus dengan orang lain. f) Storytelling dapat merangsang jiwa petualangan anak
7
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” g) Storytelling merupakan sumber kearifan karakter bagi anak h) Storytelling membantu melatih kemampuan bahasa anak-anak i) Storytelling merupakan lambang ketulusan dan kasih sayang j) Storytelling melatih anak berpikir secara sistematis d. Prosedur Storytelling Bunanta (2005) mengungkapkan bahwa, terdapat tiga tahapan yang harus diperhatikan oleh seorang guru BK/guru atau seorang pendongeng sebelum melakukan teknik storytelling. Hal tersebut diantaranya, (1) persiapan sebelum storytelling, hal pertama yang harus dilakukan adalah memilih judul buku yang menarik dan mudah diingat, mendalami karakter tokoh-tokoh dalam dongeng yang akan disampaikan, dan yang terakhir pada tahap persiapan adalah latihan atau mempraktikkan terlebih dahulu teknik storytelling; (2) saat storytelling berlangsung, ini merupakan saat terpenting dalam tahap storytelling, hal yang harus diperhatikan adalah guru BK/guru harus menunggu kondisi hingga anak-anak siap untuk menyimak dongeng yang akan disampaikan jangan dimulai kalau anakanak belum siap. Faktor yang dapat digunakan untuk menunjang berlangsungnya proses storytelling (a) kontak mata, saat storytelling berlangsung guru BK/guru harus melakukan kontak mata dengan anakanak, dengan melakukan kontak mata anak-anak akan merasa dirinya diperhatikan dan diajak untuk berinteraksi, (b) mimik wajah, saat storytelling berlangsung guru BK/guru harus dapat mengekpresikan wajahnya sesuai dengan situasi yang didongengkan, (c) gerak tubuh, gerak tubuh guru BK/guru harus dapat berjalan dan dapat pula mendukung menggambarkan jalan dongeng yang lebih menarik, (d) suara, tinggi rendahnya suara dapat membuat anak-anak merasakan situasi dari dongeng yang dibawakan, (e) kecepatan, tempo harus dijaga agar anak-anak tidak merasa bosan ketika storytelling berlangsung, (f) alat peraga, untuk menarik perhatian dan minat anak-anak terkadang pelaksanaan storytelling memerlukan alat peraga, misalnya boneka tangan, boneka kecil, dan tahapan yang terakhir; (3) setelah kegiatan storytelling, guru BK/guru bisa melakukan evaluasi dongeng dengan cara melakukan interaksi dengan anak-anak. e. Wayang Topeng Cerita yang digunakan dalam pertunjukkan wayang topeng Malang sebenarnya ada tiga jenis yakni, cerita wayang Purwa, lakon Panji, dan cerita Menak. Cerita wayang Purwa adalah cerita yang mengisahkan wayang dengan latar yang diambil dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Lakon Panji adalah cerita yang mengisahkan roman dan siklus/perjalanan seorang Raden Panji Asmarabangun atau yang dikenal juga dengan Raden Inu Kertapati dari kerajaan Jenggolo Kediri. Cerita Menak adalah cerita yang mengisahkan tentang sejarah masuknya islam. Dari tiga cerita yang ada dipilihlah Lakon Panji. Lakon Panji digunakan karena memiliki banyak versi atau ragam cerita dan isinya syarat akan makna karakter yang diharapkan dapat digunakan sebagai nasehat oleh banyak masyarakat (Kasdi, Nusantarablogspot.com, diakses 22 Januari 2015). Tokoh wayang topeng Malang digolongkan menjadi tiga jenis yakni, jenis protagonis, antagonis, dan patih Sabrang. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikenal sebagai tokoh ksatria, berwatak bagus dan berbudi luhur, yang termasuk di dalam jenis protagonis di antaranya tokoh Panji Asmorobangun, Gunungsari, Dewi Sekartaji dan Semar. Tokoh antagonis adalah tokoh yang dikenal sebagai tokoh yang selalu menuruti hawa nafsu
8
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
No 1.
yang baik dan hawa nafsu yang buruk, yang termasuk di dalam jenis antagonis di antaranya Prabu Klana Suwandono dan buto-buto (siung siji, siung loro, dsb). Sedangkan Patih Sabrang adalah tokoh patih yang berasal dari luar kerajaan dan digambarkan mau merebut kerajaan Panji. Tokoh patih Sabrang digambarkan dalam cerita selalu mendukung apa yang akan dilakukan oleh Prabu Klana Suwandono atau berkoloni (Ririn, wawancara 21 Januari 2015). Terdapat empat lakon Panji yang memiliki makna karakter sesuai dengan empat aspek karakter fairness diantaranya, Andheandhe lumut, Lambu Gumarang, Panji Laras, Prabu Klana Suwandana. f. Keefektifan Tekhnik Storytelling Keefektifan teknik storytelling didukung dengan hasil penelitian Egan (1989) bahwa storytelling dengan menggunakan cerita daerah setempat pada zaman dahulu efektif digunakan untuk memperbaiki karakter anak pada daerah tersebut. Storytelling dengan menggunakan cerita kepahlawanan merupakan metode yang efektif digunakan untuk mengajarkan anak-anak usia 8-12 tahun mengenai loyalitas, kepedulian, berbagi, dan keadilan (Gradel, Mary, Gerald,&Addison, 1992). Secara teori anak yang memiliki karakter fairness rendah disebabkan oleh rendahnya penalaran moral dan rendahnya penalaran moral muncul karena kurangnya stimulasi pemahaman anak. Oleh karena itu, untuk mengembangkan karakter fairness siswa SD diperlukan stimulasi pemahaman tentang nilainilai yang berlaku dalam masyarakat tentang perilaku fairness. Siswa juga perlu dikenalkan dengan bentuk perilaku fairness, diajari bagaimana mengembangkan karakter fairness agar mampu menerapkan perilaku fair sehingga berdampak positif pada perkembangan pribadi dan sosial di masa depan mereka. Secara garis besar pelaksanaan teknik storytelling menggunakan media topeng Malang dibagi menjadi tiga tahapan. Tiga tahapan itu di antaranya 1) Tahap persiapan. Pada tahap ini guru BK/guru memilih empat cerita yang sesuai dengan karakteristik fairness, cerita yang dipilih oleh guru BK/guru diambil dari lakon Panji yang merupakan adaptasi dari cerita topeng Malang, menentukan anggota kelompok yakni siswa yang memiliki tingkat karakter fairness rendah dengan jumlah maksimal 10 siswa, mengatur latar atau tempat atau kelas yang digunakan dalam pelaksanaan storytelling, mempersiapkan media yakni memilih topeng Malang yang bisa digunakan untuk membawakan storytelling. 2) Tahap pelaksanaan. Pada tahap ini guru BK/guru harus menguasai isi dan pesanpesan moral yang ingin disampaikan melalui pertunjukkan, karena pelaksanaan storytelling menggunakan topeng Malang maka guru BK/guru harus mengoptimalkan dan mengekspresikan karakter selain menggunakan variasi verbal juga melalui variasi non verbal. 3) Tahap pengakhiran. Pada tahap ini guru BK/guru melakukan refleksi di dalam kelompok. Memberikan stimulus kepada siswa agar berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan storytelling yang baru saja dilakukan. Tabel 2 Implementasi Storytelling Komponen Storytelling Persiapan Mempersiapkan kelompok, latar/ tempat dan media yang digunakan untuk pelaksanaan storytelling
9
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2.
Pelaksanaan
3. 4.
Pengakhiran Topik
5.
Proses
6.
Tahap
Guru menggunakan media dan memulai melakukan storytelling kepada siswa Guru merefleksi jalannya pelaksanaan a. Menghargai sesama individu a. Taat akan peraturan yang berlaku b. Tidak suka memanfaatkan kelemahan orang lain untuk kepentingan pribadi b. Bersikap transparan dan adil terhadap sesama a. Proses mendengarkan dan melihat bertujuan agar kelompok fokus dan konsentrasi mengikuti storytelling b. Melalui isi cerita bertujuan agar kelompok mendapatkan pemahaman diri untuk memahami pesan karakter yag disampaikan Langkah-langkah storytelling: a. Mempersiapkan cerita sesuai dengan topik, media, dan latar b. Mendengarkan, melihat, dan refleksi c. Menyimpulkan d. Penutup
Proses pelaksanaan storytelling menggunakan media wayang topeng adalah media untuk bisa memberikan motivasi, pesan moral, contoh perilaku positif, dan tempat belajar siswa dengan suasana nyaman, sehingga bisa mengembangkan imajinasi mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Asfandiyar (2009: 19) yang menyatakan bahwa, storytelling merupakan suatu proses kreatif anak-anak, didalam proses perkembangannya storytelling senantiasa tidak sekedar mengaktifkan aspek-aspek intelektual tetapi juga aspek kepekaan, kehalusan budi, emosi, seni, fantasi, dan imajinasi. Pada proses pelaksanaannya storytelling memungkinkan siswa untuk bebas dan secara aktif mengambil banyak manfaat dari berbagai pesan moral, contoh perilaku yang telah disampaikan. Storyelling memberikan siswa kesempatan untuk belajar mengetahui, memahami akan pentingnya saling berbagi, memahami dan mengembangkan karakter fairness. Pelaksanaan storytelling menggunakan cerita yang berasal dari budaya daerah, yakni lakon-lakon Panji. Lakon Panji adalah cerita rakyat yang berasal dari daerah Jawa Timur, menceritakan tentang perjalanan tirakat (lelana) raden Panji Asmarabangun untuk mencapai tujuan, yakni menjadi seorang raja yang bijaksana di kerajaan Kediri. Lakon Panji merupakan sebuah cerita yang didalamnya terkandung pesan kehidupan mengenai tingkah laku, sikap, keterampilan, dan pemikiran individu. Lakon Panji yang dipilih di antaranya: 1) Andhe-andhe Lumut dengan tema menghargai sesama, lakon ini memiliki nilai pesan karakter; a) hendaknya setiap individu harus dapat saling membantu dengan sesamanya; b) hendaknya setiap individu bersikap baik dan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya; c) hendaknya setiap individu tidak memanfaatkan kebaikan orang lain untuk kepentingan diri sendiri; d) hendaknya setiap individu harus tulus dalam memberikan bantuan kepada sesama; 2) Lambu Gumarang dengan tema taat peraturan yang berlaku, lakon ini memilki nilai pesan karakter; a) hendaknya individu harus mentaati peraturan yang ada di sekitar; b) hendaknya individu harus mendahulukan kewajiban dibandingkan menuruti keinginan sesaat; c) hendaknya individu harus mendengar nasehat, saran, dan kritik
10
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” dari orang yang ada disekitarnya; d) hendaknya individu bisa menggunakan nasehat dari orang lain sebagai bahan pertimbangan; 3) Panji Laras dengan tema tidak memanfaatkan kelemahan orang lain untuk kepentingan pribadi, lakon ini memiliki nilai pesan karakter yang dapat diambil; a) hendaknya individu menerima apa yang sudah ada didalam dirinya; b) hendaknya individu dapat fokus terhadap tanggung jawab diri sendiri sehingga tidak timbul rasa iri terhadap orang lain; 4) Prabu Klana Suwandana dengan tema bersikap transparan dan adil terhadap sesama, lakon ini memiliki nilai pesan karakter yang dapat diambil; a) hendaknya individu memiliki pemikiran yang terbuka dalam menerima masukan, nasehat, dan kritikan dari orang sekitar; b) hendaknya semakin tinggi pendidikan dan pengalaman dari individu menjadikannya sebagai individu yang berfikir terbuka, berwawasan luas, dan bijaksana dalam mengambil keputusan. C. Kesimpulan Karakter fairness merupakan karakter yang memperlakukan orang lain dengan sama tanpa membeda-bedakan. Memilik karakter fairness akan membuat anak-anak memiliki perilaku jujur, terbuka, memiliki kepekaan yang tinggi, dan mendapatkan pergaulan yang lebih luas. Tanpa adanya karakter fairness individu akan memiliki perilaku yang egois, pemberontak, sulit mendapatkan pergaulan, dan tertutup. Karakter fairness perlu dilatihkan kepada individu mulai dari dini, yakni pada jenjang sekolah dasar kelas atas. Pada usia ini individu sudah mulai dapat belajar untuk mengetahui dan memahami akan pentingnya saling berbagi, memahami, dan mengembangkan fairness. Meningkatkan karakter fairness bisa dilatih atau dilakukan di kelas dengan menggunakan tekhnik storytelling dengan media wayang topeng malang. Tehknik storytelling memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat memupuk rasa keindahan dan kehalusan karakter, hal ini tentunya dengan menggunakan cerita yang relevan dengan siswa. Lakon Panji adalah cerita yang berasal dari daerah asli Indonesia yang memiliki kandungan berbagai makna karakter yang dapat diberikan kepada siswa. Agar lebih menarik lakon Panji diberikan kepada siswa dengan menggunakan media wayang topeng Malang. Hal ini dilakukan untuk menarik minat individu sehingga tercapai tujuan yang diinginkan, yakni meningkatkan karakter fairness siswa.
11
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” DAFTAR PUSTAKA
Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Cara Pinta Mendongeng. Bandung: Mizan Borba, Michele, Dr, Ed. 2001. The Step by Step for Building Moral Intelegenci: The Seven Essential Virtue of Moral Intelegence. (Online), (http://micheleborba.com/Pages/7virtues.htm), diakses 23 Desember 2014. Bunanta, Murti. 2009. Professional Storyteller. (Online). (http://professionalstoryteller.ning.com/profiles/blog/list), diakses 22 Januari 2015. Danandjaja, James. 1986. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Grafitipers Frey, Easley..M. 2002. Character Education Informational Handbook an Guide for support and implementation of the student citizen act of 2001 (character and civic education. Ebook (online), (www.ncpublicschools.org), diakses 28 Oktober 2014. Gradel, Gerald&Mary. 1992. Promoting Moral Development Through Social Interest In Children And Adolescents. Individual Psychology. Vol. 48. No.2. Austin: The University of Texas Press. (Online), diakses 10 Januari 2015. Josephson, Michael. 2006. Making Ethical Decisions: The Six Pillars of Character. Josephson Institute. www.josephsoninstitude.com. Online. Diakses 3 Oktober 2014. Kasdi, Aminuddin. 2010. Nilai-Nilai Edukatif Ceritera Panji dalam Perspektif Budaya Nusantara. (Online), (Nusantarablogspot.com), diakses 22 Januari 2015. Mckay,H&Dudley,B. 1996. Australian Storytelling: What is Storytelling. (Online), (http://www.australianstorytelling.org.au/txt/m-whats.php), diakses 2 Januari 2015. Nazir, Aswil. 2012. Sekilas Tentang Karakter Manusia. (Online), (Aswil’s Personal Web. aswilnazir.com/2012/05/08/sekilas-tentang-karakter-manusia/), diakses tanggal 29 Desember 2014. Rich, D. Pengajaran dan Bimbingan Prasekolah: Membangun Dasar Bagi Keberhasilan di Sekolah Pra-TK, TK dan Transisi ke SD. Terjemahan TB. Satrio 2008. Jakarta: Indeks. Ririn. 2015. Sejarah Cerita Tari Topeng Malang. Wawancara langsung dilaksanakan pada tanggal 21 Januari dan 4 Februari 2015. Slavin, Robert. 2008. Educational Psychology Theori and Practice eigth Edition (terjemahan). Jakarta: PT. Indeks
12
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Soetoprawiro, Koerniatmmanto. 2010. Keadilan sebagai Keadilan (Justice as Fairness). Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 28 No 2. Universitas Katolik Parahyangan. Bandung Zulnuraini, M.Pd. 2012. Pendidikan Karakter: Konsep, Implementasi dan Pengembangannya di Sekolah Dasar di Kota Palu. Jurnal DIKDAS, No. 1. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. UNTAD
13