PROSES PRODUKSI PROGRAM DOKUMENTER "REFLEKSI" DI DAAI TV (Periode Agustus 2007 – Mei 2008)
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh: Nama NIM Jurusan
: Widodo : 44105120009 : Broadcasting
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA 2008
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Proses Produksi Program Dokumenter "REFLEKSI" Di DAAI TV (Periode Agustus 2007 – Mei 2008) Nama
: Widodo
NIM
: 44105120009
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Program Studi : Broadcasting
Mengetahui, Dosen Pembimbing
(Ponco Budi Sulistyo, M.Comm)
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
TANDA LULUS SIDANG SKRIPSI
Nama
: Widodo
NIM
: 44105120009
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Judul Skripsi
: Proses Produksi Program Dokumenter "REFLEKSI" Di DAAI TV (Periode Agustus 2007 – Mei 2008)
Jakarta, Agustus 2008 Ketua Sidang Nama
: Drs. Riswandi, M.Si
(........................................)
: Feni Fasta, M.Si
(........................................)
Penguji Ahli Nama Pembimbing Nama
: Ponco Budi Sulistyo, M.Comm (........................................)
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Triratana, karena atas berkat dan rahmat-Nya serta karma baik penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Program Studi Broadcasting pada Program Kelas Karyawan Universitas Mercu Buana. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ponco Budi Sulistyo, M. Comm, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran didalam mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Semua dosen yang telah memberikan ilmunya. Bpk Apni Jaya Putra, Bpk Gatot Triyanto, Ibu Agustina, Ibu Feni Fasta, Mas Yul, dan yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Terima kasih banyak atas semua ilmunya. 3. Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan dukungan material maupun moril. 4. Waluyo, my brother, di kota Gudeg yang selalu bertanya: Sudah Bab berapa? Kurang buku apa lagi? Thanks brother. 5. Tim "REFLEKSI" DAAI TV, Ari Trismana, Dian ”Igo” Pangastuti, dan Sapto Agus Irawan, yang ditengah hiruk pikuk pekerjaan kantor masih mau meluangkan waktunya bagi penulis untuk melakukan wawancara.
6. Teman-teman HIKMAHBUDHI (Adi, Isy, Daniel, Edgon, dan yang tidak bisa disebut satu per satu) yang telah banyak memdukung dan memberi ruang ”belajar” selama ini. 7. Daus, Dini, Metha, Fema (kemana saja kamu kawan), juga teman-teman seperjuangan semoga cepat lulus ya. Thanks for all. 8. Ivana, yang selalu memberi semangat dan dukungan. 9. Semua makhluk, baik yang terlihat maupun yang tidak, yang jauh maupun yang dekat yang telah memberi ruang pertemanan hingga skripsi ini berhasil disusun.
Akhir kata, penulis berharap segala kebaikan Bapak/Ibu/Saudara-saudara semua lakukan membuahkan kebahagiaan. Dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu. Jakarta, Agustus 2008 Appamadena Sampadetha Berjuanglah dengan sungguh-sungguh.
Penulis
UNIVERSITAS MERCU BUANA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI JAKARTA 2008
Nama NIM Judul Bibliografi
: Widodo : 44105120009 : Proses Produksi Program Dokumenter "REFLEKSI" DI DAAI TV (Periode Agustus 2007 – Mei 2008) : 19 bahan bacaan (2000-2008), 88 halaman + Lampiran ABSTRAKSI
Berkembangnya aliran jurnalistik baru, berpengaruh pula dalam jurnalistik televisi. Jurnalistik baru di televisi muncul sebagai suatu laporan audiovisual dengan format film cerita. Materi tetap berupa fakta dan sama sekali tidak dimainkan kembali atau direkayasa seperti dalam dokumenter. Memahami dokumenter, kita dihadapkan pada dua hal, yaitu sesuatu yang nyata, faktual (ada atau terjadi) dan esensial, bernilai atau memiliki makna. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses produksi program dokumenter ”REFLEKSI” DAAI TV periode Agustus 2007 – Mei 2008. Penelitian ini fokus pada proses produksi program dokumenter "REFLEKSI" di DAAI TV (periode Agustus 2007 – Mei 2008). Tahapan dalam memproduksi suatu program televisi diawali dengan proses pra produksi, yaitu tahap perencanaan dan persiapan mulai dari merencanakan bahan berita dari rapat redaksi, penentuan tema, hingga peliputan. Kemudian dilanjutkan dengan proses produksi yaitu tahapan peliputan dan persiapannya hingga proses pasca produksi atau penyuntingan (editing) sebelum ditayangkan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Sifat dari penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif, dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan mendeskripsikan hasil penelitian dari hasil wawancara mendalam dengan informan, yaitu produser, reporter yang merangkap periset, dan kameraman yang bertugas juga sebagai editor dari tim produksi program dokumenter ”REFLEKSI”. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada tahap pra produksi, tim "REFLEKSI" menitikberatkan pada riset yang maksimal. Dokumenter adalah riset, bahwa proses produksi program dokumenter "REFLEKSI" di DAAI TV dapat dilihat bahwa dengan tim yang kecil dan minimalis, yang hanya terdiri dari seorang reporter dan kameraman mampu dihasilkan sebuah program dokumenter yang sebagian besar orang mengatakan sebagai program yang “berat”; proses editing di tim "REFLEKSI" dilakukan oleh kameraman yang merangkap sebagai editor. Pekerjaan editing menjadi lebih praktis karena reporter juga telah membuat konstruksi antara naskah dan visualnya.
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................................ii TANDA LULUS SIDANG SKRIPSI........................................................................iii KATA PENGANTAR................................................................................................iv ABSTRAKSI...............................................................................................................vi DAFTAR ISI..............................................................................................................vii 1. PENDAHULUAN..................................................................................................1 1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................1 1.2 Pokok Permasalahan.......................................................................................9 1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................9 1.4 Manfaat Penelitian...........................................................................................9 2. KERANGKA PEMIKIRAN...............................................................................11 2.1 Komunikasi....................................................................................................11 2.2 Komunikasi Massa........................................................................................18 2.3 Televisi sebagai Saluran Media Massa........................................................26 2.4 Jurnalistik Televisi.........................................................................................27 2.5 Produksi Program Televisi...........................................................................35 2.6 Proses Produksi Program Televisi...............................................................37 3. METODOLOGI PENELITIAN.........................................................................42 3.1 Sifat Penelitian...............................................................................................42 3.2 Metode Penelitian..........................................................................................43 3.3 Teknik Pengumpulan Data...........................................................................43 3.4 Definisi Konsep..............................................................................................47 3.5 Fokus Penelitian.............................................................................................48 3.6 Narasumber (Key Informan).........................................................................51 3.7 Teknik Analisa Data......................................................................................52 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................................ .........54 4.1 Gambaran Umum DAAI TV........................................................................54 4.2 Program "REFLEKSI"................................................................................54 4.3 Hasil Penelitian..............................................................................................55 4.4 Pembahasan....................................................................................................80 5. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................85 5.1 Kesimpulan.....................................................................................................85 5.2 Saran...............................................................................................................87 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Media massa adalah jembatan informasi bagi masyarakat, dengan media massa masyarakat dapat mengetahui apa yang terjadi diluar lingkungannya. Media massa baik itu media cetak maupun media elektronik sangat dibutuhkan masyarakat saat ini, karena pada dasarnya masyarakat adalah penggarap informasi. Media massa bisa menceritakan berbagai macam peristiwa baik itu berita yang dikategorikan berita keras (hard news), maupun yang bersifat berita lunak (soft news). Berita yang disajikan tersebut tentunya berbeda satu sama lain, sebuah koran tentunya akan bercerita lebih mendalam, radio membutuhkan suara yang jelas untuk diberikan kepada pendengarnya, dan televisi akan bercerita melalui gambar dan suaranya. Media televisi merupakan media menggunakan audio (suara) dan visual (gambar). Dalam proses penyampaian pesan, televisi harus menguasai kedua teknik tersebut, agar pesan yang dimaksud sama seperti yang diinterpretasikan oleh penonton. Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audio visual merupakan medium paling berpengaruh dalam membentuk sikap dan kepribadian masyarakat secara luas. Hal ini disebabkan oleh satelit dan pesatnya perkembangan jaringan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil.
Kultur yang dibawa oleh televisi dengan sendirinya mulai bertumbuh di masyarakat. Unsur esensial dari kebudayaan televisi berupa penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalam rangka menyampaikan sesuatu seperti pesan, informasi, pengajaran, ilmu, dan hiburan. 1 Jurnalistik televisi bertolak dari orientasi audio visual. Oleh sebab itu, apa yang dilaporkan reporter adalah berita atau informasi untuk mata dan telinga. Berbeda sekali dengan jurnalistik media cetak. Pembaca dapat mengulang kalimat atau ungkapan tidak jelas yang dibaca dari majalah atau surat kabar. Namun, penonton televisi tidak mungkin meminta penyiar untuk mengulangi ungkapan-ungkapan dari berita yang baru saja disampaikan. Hal ini berarti sajian tayangan gambar atau yang lazim disebut image visual harus jelas (sudut pengambilan tepat, fokus gambar tajam, gambar tidak goyang), urutan tayangan gambar runut (mudah dimengerti dan diikuti perkembangan rangkaian gambar), materi visual cukup (tidak diulang-ulang gambar yang sama untuk memberi ilustrasi pada talking head atau penjelasan seorang otoritas), dan penjelasan narasi atau laporan verbal tidak bertele-tele, sederhana dan tepat. Berlaku rumus ELF: Easy Liestening Formula.2 Pemberitaan televisi adalah dunia usaha yang sangat kompleks melibatkan lusinan orang dengan beragam jenis keahlian. Suasana kerja pada tempat ini penuh dengan ketegangan dan kesigapan kerja, serta senantiasa di bawah tekanan karena harus mengejar tenggat waktu. Selain itu, kamerawan, 1 2
Fred Wibowo,Teknik Produksi Program Televisi, Pinus Book Publisher, Yogyakarta, 2007, hal. 17. Ibid hal.100-101.
penyunting gambar, dan staf operasional lainnya harus dapat menguasai teknologi yang selalu berubah. Komunikasi yang cepat adalah alat vital dalam pemberitaan TV. Harus tercipta saling pengertian dari setiap orang yang bekerja dalam proses kreatif ini.3 Dalam upaya mencapai hal tersebut diatas, maka diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Karena pada dasarnya siaran televisi merupakan hasil kerja kolektif, yaitu manusia sebagai pengelola siaran, teknik, administrasi, harus mampu bekerja sama secara efektif dan efesien, untuk menghasilkan output siaran yang berkualitas dan sesuai dengan norma, etika, dan estetika yang berlaku. Tingkat persaingan yang sangat ketat mengakibatkan pihak stasiun televisi dituntut untuk mampu menyajikan tayangan yang menarik bagi pemirsanya, dimana tayangan-tayangan tersebut dihasilkan oleh orang-orang yang mempunyai ide-ide yang kreatif dan inovatif sehingga hasil tayangan tersebut dapat bersaing dengan tayangan serupa di stasiun televisi lainnya. Untuk mencapai hasil yang maksimal tersebut dibutuhkan kerjasama dari tim yang bekerja, yang bertugas mencari, mengolah, menulis, dan menyajikan tayangan yang menarik serta memerlukan dana yang besar, baik tenaga kreatif dan professional serta sarana peralatan canggih yang harganya relatif mahal. Tim ini terdiri dari produser, wartawan, dan tentunya kamerawan, yang akan bekerja sama dalam menghasilkan output siaran. Hasil dari siaran tersebut disajikan sebagai mata acara, yang merupakan hasil 3
ABC Paket Berita TV, Program Pelatihan Jurnalistik Televisi, FISIP UI.
perpaduan kreativitas manusia dan kemampuan alat atau sarana. Untuk itulah diperlukan ketrampilan khusus bagi seorang wartawan dan kamerawan yang terjun ke lapangan dalam mencari informasi. Kualitas berita yang dihasilkan sebuah media televisi harus bisa memberikan informasi yang berguna bagi pemirsanya, untuk itu perlu adanya keeksklusifan tayangan yang disiarkan oleh televisi tersebut. Artinya berita yang ditayangkan merupakan berita yang terbaru dan memiliki gambar yang berkualitas bagus. Gambar dan berita yang bagus serta dikemas dengan menarik bisa membuat pemirsa menyenangi tayangan tersebut. Dean M. Lyle Spencer dalam bukunya berjudul News Writings yang kemudian dikutip George Fox Mott (News Survey Journalism) menyatakan bahwa: Berita dapat didefinisikan sebagai setiap fakta yang akurat atau suatu ide yang dapat menarik perhatian bagi sejumlah besar pembaca. Sedangkan Mitchel V. Charnley dalam Reporting edisi III (Holt-Reinhart & Winston, New York, 1975 hal. 44 menyebutkan: Berita adalah laporan yang tepat waktu mengenai fakta atau opini yang memiliki daya tarik atau hal penting atau kedua-duanya bagi masyarakat luas.4 Pengertian sederhana program news berarti suatu sajian laporan berupa fakta dan kejadian yang memiliki nilai berita (unusual, factual, esensial) dan disiarkan melalui media secara periodik. Pengertian penyajian fakta dan
4
Deddy Iskandar Muda: Jurnalistik Televisi: Menjadi Reporter Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal. 21-22.
kejadian di dalam berita bersifat objektif.5 Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ”berita adalah suatu fakta atau ide atau opini aktual yang menarik dan akurat serta dianggap penting bagi sejumlah pembaca, pendengar, maupun penonton”.6 Jadi, walaupun ada fakta tetapi jika tidak dinilai penting, aktual, dan menarik oleh sejumlah besar orang, maka hal tersebut masih belum bisa diangkat sebagai bahan berita. Faktor daya tarik dan pentingnya fakta sebagai bahan penulisan berita dapat dilihat dari bobot peristiwa yang didasarkan terhadap ekslusivitas, keistimewaan, atau scopenya. Berkembangnya aliran jurnalistik baru, berpengaruh pula dalam jurnalistik televisi. Jurnalistik baru di televisi muncul sebagai suatu laporan audiovisual dengan format film cerita. Materi tetap berupa fakta dan sama sekali tidak dimainkan kembali atau direkayasa seperti dalam dokumenter. Memahami dokumenter, kita dihadapkan pada dua hal, yaitu sesuatu yang nyata, faktual (ada atau terjadi) dan esensial, bernilai atau memiliki makna. Suatu dokumen dapat berwujud konkret kertas dengan tulisan atau berkasberkas tertulis (ijazah, diklat, dan rontal catatan). Dapat pula berupa gambar, foto dari suatu kejadian, mikrofilm, film atau film video. Dalam dokumenter terkandung unsur faktual dan nilai. Jadi, biarpun banyak catatan, foto, atau materi lain yang berisi rekaman peristiwa dan kejadian-kejadian nyata tidak 5
Fred Wibowo, Teknik Produksi Program Televisi, Pinus Book Publisher, Yogyakarta, 2007, hal. 132. 6 Op. Cit hal. 22.
semua materi itu memiliki nilai dokumenter. Hanya materi yang sungguh bermakna disebut bernilai dokumenter.7 Sehingga berbeda dengan news biasa, dalam sebuah tayangan dokumenter terdapat tingkat kesulitan tersendiri. Sebab sebuah dokumenter selain mengandung fakta, film dokumenter mengandung subyektivitas si pembuat-nya. Artinya, apa yang kita rekam memang berdasarkan fakta yang ada, namun dalam penyajiannya, kita juga memasukkan pemikiran-pemikiran kita, ide-ide kita, dan sudut pandang idealisme kita.8 Selain itu, dari segi penggarapan pun, program dokumenter membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding dengan pengerjaan news. Selain segi cerita yang harus kuat, estetika visual juga menjadi tuntutan tersendiri dalam sebuah karya dokumenter. Sebab dasar pembuatan film dokumenter adalah merepresentasikan realita berupa perekamaan gambar apa adanya. Justru karena apa adanya, setiap adegan sifatnya alamiah atau spontan, yang akan selalu berubah sehingga sulit untuk direkayasa atau diatur. Karena itu, tidak mengherankan jika tingkat kesulitannya cukup tinggi.
9
Sebenarnya dokumentasi sederhana bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja, tanpa dibatasi dengan pakem-pakem tertentu. Michael Rabiger mengatakan bahwa proses dokumentasi itu tidak tergantung dari waktu yang sudah lewat ataupun baru-baru saja, akan tetapi juga bisa dokumentasi masa depan. Beberapa unsur film dokumenter antara lain: memperhatikan tempat
7
Fred Wibowo,Teknik Produksi Program Televisi, Pinus Book Publisher, 2007, Yogyakarta, hal. 145. Fajar Nugoho, Cara Pintar Bikin Film Dokumenter, Indonesia Cerdas, Yogyakarta, 2007, hal. 34 9 Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter: Dari Ide sampai Produksi, FFTV-IKJ Press, Jakarta, 2008, hal. 97 8
dan waktu, mengangkat tema-tema yang actual, sebagai kritik sosial, menyampaikan realitas dan aktualitas, membuka pola pikir seseorang dan bisa juga berbentuk rangkaian cerita mendalam. Dokumenter juga sulit karena kita harus tahu tujuan membuat film dokumenter tersebut. Mengapa disebut dokumenter karena identik dengan realitas kehidupan, segala sesuatu yang actual dan tidak dibuat-buat. Kedua, setiap film dokumenter harus disertai riset mendalam tentang materi yang akan ditampilkan.10 Meski memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, namun banyak pula stasiun televisi yang menyajikan program dokumenter, seperti Telisik (ANTEVE), POTRET di SCTV, Jelajah (Trans TV), Oasis (Metro TV), dan Horison (Indosiar), yang menyajikan tayangan yang menggambarkan peristiwa kemanusiaan dan aspek budaya. Tak mau ketinggalan dengan televisi nasional, televisi lokal pun menggarap program ini, seperti Jakartana (JakTV).
Walau program tersebut bentuk dan jenisnya sama, hanya saja
dikemas dan disajikan dengan cara yang berbeda. Munculnya programprogram di atas merupakan bukti bahwa saat ini telah terjadi persaingan diantara stasiun televisi. Salah satu televisi lokal di Jakarta adalah PT Duta Anugerah Indah (DAAI TV) yang mulai mengudara secara resmi di Jakarta pada tanggal 25 Agustus 2007 pada frekuensi 59 UHF. Melalui sarana yang dekat di hati 10
Yustina Wahyuningsih, pehobi film indie, Suara Harapan, 2003
masyarakat, DAAI TV tampil mengusung visi menjadi media penyebar cinta kasih universal melalui berbagai program humanis yang bertujuan menyemai kebenaran, kebijakan, dan keindahan. Sebuah harapan besar terpatri untuk menyajikan tayangan positif bagi seluruh keluarga sehingga melalui misi ini, kepekaan dan semangat kepedulian sosial dapat tumbuh menuju kepada terwujudnya masyarakat yang damai. DAAI TV adalah televisi lokal non komersil. Sebab DAAI TV memposisikan diri untuk membangun pemikian dan tindakan-tindakan positif dalam masyarakat. Tak mau tertinggal dengan stasiun TV yang lain, DAAI TV juga membuat program dokumenter bernama “REFLEKSI”. Program ini menjadi penting karena memaparkan sketsa kehidupan manusia. Mengangkat kisahkisah inspiratif insan-insan yang memiliki keteguhan hati. Dikemas dengan santun dan menyentuh hati, demi menyumbangkan pengetahuan pada masyarakat dan memperkaya rasa kemanusiaan. “REFLEKSI” diharapkan dapat menggugah kesadaran batin untuk peduli terhadap sesama dan lingkungan sekitar. Program dua puluh empat menit ini merupakan program dokumenter yang mengambil tema mengenai kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan masyarakat Jakarta khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Untuk menghasilkan tayangan “REFLEKSI” yang mampu menarik pemirsanya diperlukan kemasan yang bisa membuat pemirsa tidak mengganti saluran televisinya. Dalam pembuatan tayangan “REFLEKSI” kerjasama tim
menjadi salah satu hal yang penting karena pada dasarnya proses pembuatan tayangan “REFLEKSI” merupakan kerja kolektif (tim), dimana tim ini nantinya yang akan terjun langsung ke lapangan dan merancang persiapan yang mereka perlukan saat mencari berita. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan tayangan ”REFLEKSI” periode Agustus 2007 – Mei 2008 karena dalam periode inilah secara resmi DAAI TV full power dipancarkan, dan salah satu program unggulannya, yakni “REFLEKSI” disiarkan. Pemilihan "REFLEKSI" dikarenakan program ini pernah memenangkan penghargaan di ajang Festival Film Dokumenter (FFD) 2007 di Yogyakarta kategori pilihan juri komunal.
1.2
Pokok Permasalahan Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: ”Bagaimana proses produksi tayangan dokumenter “REFLEKSI” DAAI TV periode Agustus 2007 – Mei 2008? ”
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses produksi program dokumenter ”REFLEKSI” DAAI TV periode Agustus 2007 – Mei 2008?.
1.4
Manfaat Penelitan Manfaat dari penelitian ini bisa ditinjau dari dua aspek, yaitu: 1. Manfaat Akademis Manfaat akademis yang bisa diambil dari penelitan ini adalah menjadi bahan referensi untuk bacaan dan penelitan lainnya. Selain itu diharapkan penelitian ini bisa dijadikan bahan rujukan dalam mempelajari bidang jurnalistik, khususnya jurnalistik televisi.
2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini bisa dijadikan bahan referensi setiap pembuat paket berita yang mengambil tema kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan, baik di DAAI TV dalam tayangan “REFLEKSI” maupun stasiun televisi lainnya.
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Komunikasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi merupakan peristiwa sosial dan terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lainnya, yang dapat terjadi dimana-mana tanpa mengenal tempat dan waktu. Dengan demikian komunikasi merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari, bahkan dapat dikatakan komunikasi merupakan manifestasi dari kehidupan itu sendiri.11 Menurut Carl I. Hovland, komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modify the behavior of other individuals). Sementara Harold Laswell mengatakan Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect. Paradigma ini menunjukkan
bahwa
komunikasi
meliputi
unsur-unsur:
Komunikator
(communicator, source, sender), Pesan (message), Media (channel, media), Komunikan (communicant, communicatee, receiver, recepient), Efek (effect, impact,
influence).
Proses komunikasi
pada
hakikatnya adalah
proses
penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunkator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-
11
Darwanto, Televisi sebagai Media Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007,hal. 1.
lain. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya.12 Wilbur Scahramm mengatakan bahwa komunikasi dapat dilihat sebagai sebuah peluru yang ditembakkan, yang dapat mengalihkan gagasan-gagasan dari komunikator ke komunikan, sehingga motivasi secara otomatis dapat berpindah kepada komunikan. Hal ini didasarkan bahwa komunikan itu pasif, sehingga komunikator dengan bebasnya dapat menembakkan pesan-pesannya sesuai dengan tujuan yang diinginkan. William Albig dalam bukunya Public Opinion mengatakan komunikasi sebagai dasar dari proses sosial, dalam arti pelemparan pesan, lambang, yang mau tidak mau akan menimbulkan pengaruh pada proses yang berakibat pada bentuk, perilaku, dan adat kebiasaan. 13 Everest M. Rogers mengatakan komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Gerald R. Miller mengatakan komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Sementara Raymond S. Ross mengatakan komunikasi adalah suatu proses menyortir, memilih,
dan
mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar
12 13
Onong Uchjana Effendy, Komunikasi:Teori dan Praktek, Rosda, Bandung, 2006, hal.11. Darwanto, Op.cit hal. 8
membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator.14
2.1.2 Karakteristik Komunikasi15 2.1.2.1 Komunikasi adalah suatu proses Komunikasi sebagai suatu proses artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan (ada tahapan atau sekuensi) serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu. Sebagai suatu proses, komunikasi tidak statis tetapi dinamis dalam arti akan selalu mengalami perubahan dan berlangsung terus menerus. 2.1.2.2 Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan Komunikasi adalah suatu tujuan yang dilakukan secara sadar, disengaja serta sesuai dengan tujuan atau keinginan dari pelakunya. Pengertian sadar menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi yang dilakukan seseorang sepenuhnya berada dalam kondisi mental psikologis yang terkendalikan atau terkontrol bukan dalam keadaan mimpi. 2.1.2.3 Komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang terlibat.
14
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007 hal. 69 15 Sasa Djuarsa Sendjaja, Dkk, Pengantar Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta, hal. 1.13
Kegiatan komunikasi akan berlangsung baik, apabila pihak-pihak yang berkomunikasi (dua orang atau lebih) sama-sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai perhatian yang sama terhadap topik pesan yang dikomunikasikan. 2.1.2.4 Komunikasi bersifat simbolis Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang. Lambang yang paling umum digunakan dalam komunikasi antarmanusia adalah bahasa verbal dalam bentuk kata-kata, kalimat-kalimat, angka-angka, atau tanda-tanda lainnya. Selain bahasa verbal, juga terdapat lambang-lambang yang bersifat non verbal, seperti warna, sikap duduk, dan gestura (gerak tangan, kaki atau bagian tubuh lainnya). Penggunaan lambang-lambang non verbal ini dimaksudkan untuk memperkuat arti dari pesan yang disampaikan. 2.1.2.5 Komunikasi bersifat transaksional Komunikasi pada dasarnya menuntut dua tindakan: memberi dan menerima. Dua tindakan ini perlu dilakukan secara seimbang atau proporsional oleh masing-masing pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Apa yang kita terima, nilai besar kecilnya tergantung pada apa yang kita berikan. 2.1.2.6 Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu maksudnya bahwa para peserta atau pelaku yang terlibat dalam komunikasi tidak harus hadir pada waktu serta tempat yang sama. Dengan adanya berbagai produk teknologi
komunikasi seperti telepon, faksimili, dan lain-lain, kedua faktor tersebut (waktu dan tempat) bukan lagi menjadi persoalan dan hambatan dalam berkomunikasi.
2.1.3 Fungsi Komunikasi16 2.1.3.1 Komunikasi sosial Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi penting untuk membangun konsep-konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan, dan ketegangan, antara lain melalui komunikasi yang menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain. 2.1.3.2 Komunikasi ekspresif Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. 2.1.3.3 Komunikasi ritual Fungsi ini erat kaitannya dengan suatu komunitas yang melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup. Dalam acaraacara ini orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku simbolik. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual ini menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, komunitas, suku, bangsa, negara, ideologi atau agama mereka.
16
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007 Hal. 5
2.1.3.4 Komunikasi instrumental Komunikasi
instrumental
mempunyai
beberapa
tujuan
umum:
menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, dan mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan, dan juga menghibur. Kesemua tujuan ini bersifat membujuk (persuasif). Komunikasi
yang berfungsi
memberitahukan atau menerangkan (to inform) mengandung muatan persuasif dalam arti bahwa pembicara menginginkan pendengarnya mempercayai bahwa fakta atau informasi yang disampaikan akurat dan layak diketahui.
2.1.4 Jenis-jenis Komunikasi 2.1.4.1 Komunikasi intrapribadi Komunikasi
intrapribadi
(intrapersonal
communication)
adalah
komunikasi dengan diri sendiri. Contohnya berpikir. Komunikasi ini merupakan landasan komunikasi antarpribadi dan komunikasi dalam konteks-konteks lainnya. Keberhasilan
komunikasi kita dengan orang lain bergantung pada
keefektifan komunikasi kita dengan diri sendiri. 2.1.4.2 Komunikasi antarpribadi Komunikasi
antarpribadi
(interpersonal
communication)
adalah
komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal. Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi diadik (dyadic communication) yang melibatkan hanya dua orang,
misalnya suami istri. Ciri-ciri komunikasi diadik adalah: pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak yang dekat; pihak-pihak yang berkomunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan spontan, baik verbal maupun nonverbal. Keberhasilan komunikasi menjadi tanggung jawab para peserta komunikasi. 2.1.4.3 Komunikasi publik Komunikasi publik (public communication) adalah komunikasi antara seseorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak), yang tidak bisa dikenali satu persatu. Komunikasi ini biasanya berbentuk ceramah, pidato, atau kuliah umum. Komunikasi ini berlangsung lebih formal dan lebih sulit daripada komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok, karena komunikasi publik menuntut persiapan pesan yang cermat, keberanian, dan kemampuan menghadapi sejumlah besar orang. 2.1.4.4 Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi (organizational communication) terjadi dalam suatu organisasi, bersifat formal dan juga informal, dan berlangsung dalam jaringan yang lebih besar daripada komunikasi kelompok. Komunikasi organisasi seringkali melibatkan komunikasi diadik, komunikasi antarpribadi, dan ada kalanya komunikasi publik. 2.1.4.5 Komunikasi Massa Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik
(radio, televisi), berbiaya relatif mahal, yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, dan selintas (khususnya media elektronik). Meskipun khalayak ada kalanya menyampaikan pesan kepada lembaga (dalam bentuk saran-saran yang sering tertunda), proses komunikasi didominasi oleh lembaga, karena lembagalah yang menentukan agendanya.
2. 2 Komunikasi Massa 2.2.1 Pengertiaan Bittner,J.R dalam bukunya Massa Communication: An Introduction mengatakan ”mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people. Komunikasi massa adalah pesan komunikasi melalui media massa kepada orang banyak. 17 Dari pendapat ini, terlihat bahwa Bittner lebih menekankan kepada pesan komunikasinya. Edwin Emery, Philip H. Ault, Warren K. Agee berpendapat bahwa komunikasi massa adalah this is mass communication-delivering, ideas and attitudes a sizable and diversified audiece through use of the media developed for that purpose. Komunikasi massa ini menyampaikan informasi, ide, dan sikap kepada berbagai komunikan yang jumlahnya cukup banyak dengan menggunakan media massa.18
Komunikasi
massa (mass communication) adalah komunikasi yang menggunakan media 17 18
Darwanto, Op.cit hal. 28. Darwanto, Op.cit hal. 29.
massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), berbiaya relatif mahal, yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, dan selintas (khususnya media elektronik). Meskipun khalayak ada kalanya menyampaikan pesan kepada lembaga (dalam bentuk saran-saran yang sering tertunda), proses komunikasi didominasi oleh lembaga, karena lembagalah yang menentukan agendanya.19 Definisi
komunikasi
massa
Gerbner
mengatakan
bahwa
”Mass
communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies” (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri.20 Joseph A. DeVito mengatakan komunikasi massa adalah: Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi, tetapi ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang
19
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007 hal. 84. 20 Elvinaro Ardianto & Lukiati Komala Erdinaya: Komunikasi Massa; Suatu Pengantar, Sembiosa Rekatama Media, Bandung, 2005, hal. 4
disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan/atau visual.21 Warner J. Severin dan James W. Tankard Jr, mengatakan mass communication is part skill, part art and part science. It is a skill in the sense that it involves certain fundamental leraneable techniques such as focusing a television camera, operating a tape recorder or taking notes during an interview. It is part in the sense that involves creative challenge such as writing a script for a television program, dedveloping an aesthetic lay out for a magazine and or coming up with a catchy lead for news story. It is a science in the sence that there are certain principles involved in how communication works that can be verivied an used to make things work better. Komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagian seni, dan sebagian ilmu, keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-teknik fundamental tertentu yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan tape recorder atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangan-tantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikembangkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik.
21
Op.Cit,hal. 6
Media massa menyebarkan pesan-pesan yang mampu mempengaruhi khalayak yang mengkonsumsinya dan mencerminkan kebudayaan masyarakat, dan mampu menyediakan informasi secara simultan ke khalayak yang luas, anonim, dan heterogen, membuat media bagian dari kekuatan institusional dalam masyarakat. Bahkan di kalangan media, terutama di kalangan pers, media massa dianggap sebagai pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.22 Proses komunikasi massa dilakukan secara terencana dan terorganisasi. Komunikasi massa sebagai mediasi atau jembatan hubungan social dalam kehidupan bermasyarakat. Sifat dari komunikasi massa ini adalah komunikasi yang berlangsung satu arah, karenanya media menjalankan fungsi decoding, interpreting, dan encoding (membaca, menyeleksi, dan memutuskan apa yang akan dijadikan pesan bagi komunikan. Sebagai komunikan, yaitu khalayak akan menyeleksi dan menginterpretasikan pesan-pesan media. Komunikasi massa merupakan suatu proses dimana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas dan terus menerus untuk menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda melalui berbagai cara. Media merupakan organisasi yang menebarkan
informasi
yang
berupa produk budaya atau
pesan
mempengarhui dan mencerminkan budaya dalam masyarakat.
22
Fajar Junaedi, Komunikasi Massa: Pengantar Teoritis, Santusta, Yogyakarta, 2007, hal-14.
yang
Komunikasi massa dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena masyarakat menjadi bagian penting dari komunikasi massa. Media massa juga berperan dalam menjembatani antar komunikasi massa dengan komunikannya, media massa disini bisa berupa media cetak maupun elektronik. Yang dimaksud dengan media cetak antara lain koran, majalah, sedangkan media elektronik adalah radio, televisi, dan film. Pada hakikatnya komunikasi dapat dipahami sebagai proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media massa yang mempunyai efek tertentu.23 Gagasan bahwa komunikasi massa memiliki kekuatan besar dianggap sebagai teori peluru (Schramm,1971), teori jarum suntik (Berlo,1960), teori stimulus respon (DeFleur dan BallRokeach,1989). Teori ini mengatakan bahwa rakyat benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa. Inti dari teori ini adalah apabila pesan tepat sasaran, maka akan mendapat efek yang diinginkan.24 Tanda-tanda yang paling tampak bagaimana komunikasi massa bekerja adalah melalui pesan yang secara terus menerus ditransfer dan diterimadari berbagai macam media yang berbeda. Tiap media memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan pesan kepada para penontonya. Inilah yang membedakan media satu dengan media lainnya. Jallaludin Rakhmat mengatakan komunikasi massa sebagai jenis kounikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim
23
Ibid hal-53. Werner J. Severin & James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007, hal. 146-147. 24
melalui media cetak atau elektronis sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.25 Dari rangkuman tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Komunikan dari komunikasi massa jumlahnya banyak, heterogen, dan tersebar. b. Dalam berkomunikasi memerlukan sebuah ”medium”, media cetak atau elektonik atau dengan kata lain media massa modern.
2.2.2 Karakteristik26 2.2.2.1 Komunikasi massa berlangsung satu arah Berbeda dengan komunikasi antarpersona, komunikasi massa berlangsung satu arah. Ini berarti tidak terdapat arus balik dari komunikasn kepada
komunikator.
Sebagai
konsekuensinya,
komunikator
pada
komunikasi massa harus melakukan perencanaan dan persiapan sedemikian rupa sehingga pesan yang disampaikan kepada komunikan harus komunikatif. 2.2.2.2 Komunikator dalam komunikasi massa melembaga Komunikasi dalam komunikasi massa tidak seseorang, melainkan kumpulan orang-orang. Dalam kata lain, bahwa komunikator dalam komunikasi massa gabungan antar berbagai macam, unsur, dan satu sama
25
Darwanto, Op.cit hal. 30. Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi, Teori & Praktek, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hal. 22 26
lain saling bekerjasama dalam sebuah lembaga atau dalam sebuah sistem. Komunikator dalam komunikasi massa adalah lembaga media massa itu sendiri. 2.2.2.3 Pesan bersifat umum Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum karena ditujukan kepada umum dan mengenai epentingan umum. Jadi tidak ditujukan kepada perorangan atau kepada kelompok orang tertentu. 2.2.2.3 Komunikasi massa menimbulkan keserempakan Ciri
lain
dari
media massa adalah
kemampuannya untuk
menimbulkan keserempakan pada pihak khalayak dalam menerima pesanpesan yang disebarkan. 2.2.2.5 Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen Komunikan atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen.
2.2 3 Fungsi 2.2.3.1 Surveillance Pengertian surveillance merujuk kepada pengumpulan dan distribusi informasi mengenai kejadian-kejadian yang berlangsung di lingkungan. Surveillance dibagi kedalam dua bagian: Pertama, warning or beware surveillance
(pengawasan
peringatan),
yaitu
ketika
media
massa
menginformasikan tentang ancaman dari bencana alam (banjir, angin topan). Kedua,
instrumental
surveillance
(pengawasan
instrumen),
yaitu
penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. 2.2.3.2 Correlation Fungsi ini meliputi interpretasi informasi mengenai lingkungan dan reaksi terhadap peristiwa yang terjadi. Correlation juga dapat diartikan sebagai fungsi menghubungkan bagian-bagian masyarakat agar sesuai dengan lingkungannya. Fungsi ini membantu khalayak untuk lebih memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan adanya komentarkomentar dari orang-orang terkait, seperti tokoh masyarakat dan para pengamat. 2.2.3.3 Transmission Fokus fungsi transmission yaitu pada komunikasi pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma sosial dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Nilai-nilai budaya, masalah sosial, dan lain-lain dikemas dan disiarkan melalui media massa dalam beragam cara. 2.2.3.4 Entertainment Fungsi ini merujuk kepada tindakan-tindakan komunikasi yang bersifat menghibur. Media massa (terutama televisi) memiliki kekuatan menghibur begitu kuat.
2.2.4 Jenis Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah salah satu jenis komunikasi yang menggunakan media massa, yaitu: 2.2.4.1 Media Cetak Jenis media ini berupa surat kabar, majalah, tabloid, dan segala jenis media yang menggunakan media komunikasinya berupa cetak (kertas). 2.2.4.2 Media Elektronik Merupakan jenis media yang mengandalkan bantuan peralatan elektronis, yakni radio dan televisi. Artinya terdapat beberapa peralatan yang menyebabkan terjadinya komunikasi massa berlangsung. Misalnya, pesawat televisi memerlukan satelit, radio memerlukan pemancar atau relay. Melalui peralatan teknis inilah komunikasi massa bisa berjalan. Namun dalam penelitan ini hanya akan membahas jenis komunikasi massa menggunakan televisi.
2. 3 Televisi sebagai Saluran Media Massa 2.3.1 Pengertian Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audio visual merupakan medium paling berpengaruh dalam membentuk sikap dan kepribadian masyarakat secara luas. Hal ini disebabkan oleh satelit dan pesatnya perkembangan jaringan televisi yang dapat menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil. Kultur yang dibawa oleh televisi dengan sendirinya mulai bertumbuh di masyarakat. Apalagi
yang esensial dari kultur ini pada hakikatnya sudah dikenal sejak lama, sebelum kebudayaan tulis atau cetak menggesernya. Unsur esensial dari kebudayaan televisi berupa penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalam rangka menyampaikan sesuatu seperti pesan, informasi, pengajaran, ilmu, dan hiburan.27
2.3.2 Karakteristik Televisi dinilai sebagai media massa yang paling efektif dan banyak menarik simpati kalangan masyarakat luas, karena perkembangan teknologinya begitu cepat. Hal ini disebabkan sifat audio visualnya yang tidak dimiliki media massa lainnya, sedangkan penayangannya mempunyai jangkauan yang relatif tidak terbatas. Dengan modal audio visual yang dimiliki, siaran televisi sangat komunikatif dalam memberikan pesan-pesannya. Karena itu tidak mengherankan kalau mampu memaksa penontonnya duduk berjam-jam di depan pesawat televisi. Karena itulah televisi sangat bermanfaat sebagai upaya pembentukan sikap perilaku dan sekaligus perubahan pola pikir.28 Dalam penelitan ini dibahas televisi sebagai media penyiaran yang menjadi sarana komunikasi massa yang mempunyai dampak yang cukup kuat bagi komunikannya. Berbagai informasi dikemas dalam bentuk program acara yang dijadikan sebagai pesan-pesan komunikasi massa. Televisi sebagai media massa dengan kelebihannya yang dimiliki, tidak lalu menjadi saingan dari media massa lainnya. Bahkan bersama media cetak dan radio merupakan tritunggal 27 28
Fred Wibowo, Teknik Produksi Program Televisi, Pinus Book Publiser, Yogyakarta, 2007, hal. 17 Darwanto, Televisi sebagai Media Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal. 30.
media massa yang mempunyai pengaruh dan dengan sendirinya akan membentuk kekuatan besar, hanya saja sebagai akibatnya khususnya media massa televisi merupakan suatu tantangan bagi para pengelolanya karena harus mampu menjawab tantangan tersebut. Televisi juga sebagai media penghubung dalam mengangkat kebudayaan di masyarakat, dilihat dari fungsi televisi sebagai pengawas masyarakat. Televisi terus menerus membudayakan masyarakat dan masyarakat membudayakan masyarakat. Televisi sendiri tidak hanya mencari tetapi juga mengembangkan kebudayaan.
2. 4 Jurnalistik Televisi 2.4.1 Pengertian Siaran berita melalui media elektronik sifatnya hanya sekilas atau disebut juga dengan istilah ”transitori” artinya informasi tersebut hanya dapat didengar atau dilihat dengan sepintas saja. Tidak dapat diulang lagi. Siaran berita elektronik meliputi siaran radio dan televisi. Jurnalistik televisi adalah jurnalistik audio visual. Unsur visual dalam sajian berita atau laporan di televisi mengandung peranan penting. Dalam hal ini, hasil liputan audio visual yang dilakukan oleh reporter dan juru kamera televisi menjadi bahan utama dalam penyusunan berita. Oleh karena itu, kehadiran reporter di tempat kejadian dirasa memberikan nilai lebih dan daya tarik yang kuat pada berita yang disampaikan. Dalam jurnalistik televisi, unsur visual bukan sekadar unsur tambahan atau dukungan pada berita verbal. Unsur
visual merupakan sajian berita itu sendiri, bukan sekadar ilustrasi dari uraian berita verbal. Unsur visual justru memiliki nilai berita yang lebih tinggi dan lebih
obyektif.
Betapapun
kecilnya,
pembuat
berita
verbal
masih
mengikutsertakan opini di dalam kalimat-kalimat yang disusun. Namun, gambar kejadian adalah objektif dalam arti tertentu. Oleh karena sudut pengambilan dari kamerawan pada objeknya dan pemikiran gambar untuk ditayangkan atau dibuang oleh editor, tetap saja dapat dikatakan subjektif. Hanya bagaimanapun peristiwa sebagai kejadian yang diliput tetap objektif. Sajian jurnalistik baru di televisi memerlukan bahan yang sangat lengkap, seperti rangkaian kejadian, wawancara dengan pelaku peristiwa, bahan-bahan penunjang yang lain, dan gaya narasi yang indah dan menyentuh. Wawancara dengan pelaku peristiwa harus mampu menyajikan sisi-sisi yang berarti dan paling menyentuh perasaan atau berkesan dari orang itu. Emosi dari wajah orang ketika mengungkapkan perasaannya merupakan materi visual yang sangat menyentuh. Kelengkapan bahan-bahan yang dapat mengungkapkan peristiwa secara lebih mendalam memberi kekayaan nuansa pada peristiwa. Apalagi kalau narasi disusun dengan pilihan kata-kata dan susunan kalimat yang sungguhsungguh mengesan.29 Dalam pengertian umum, jurnalistik televisi adalah kegiatan jurnalis atau wartawan dalam mencari, mengumpulkan, menyeleksi, mengolah, dan menyiarkan berita melalui media televisi. Sementara kehadiran wartawan
29
Fred Wibowo, Op. Cit, hal. 106.
ditempat kejadian dirasa memberikan nilai lebih dan daya tarik yang kuat pada berita yang disampaikan. Oleh karena itu seorang jurnalis televisi kini dituntut bukan saja kemampuan menulis secara deskriptif, tetapi lebih menyusun suatu cerita baik dengan kata maupun gambar. Sebab pada dasarnya berita televisi merupakan bahasa gambar. Tak ada definisi berita yang diterima secara universal. Perbedaan isi atau muatan berita dapat dijumpai sehari-hari layaknya tajuk-tajuk pada koran. Satusatunya definisi yang diterima dunia televisi adalah bahwa berita umumnya dikaitkan dengan topik-topik peristiwa yang perlu disiarkan sesegera mungkin. Akses, metode kerja yang cepat, apresiasi yang baik terhadap nilai-nilai berita, serta kemampuan untuk mendapatkan bahan berita, mengeditnya dan menyiarkannya merupakan bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi berita. Tidak ada teknik tertentu yang diakui dalam meliput berita meskipun terdapat sejumlah kaidah yang diterima secara luas. Orang-orang hampir selalu melihat set sebagai subyek utama dari cerita berita. Wajah-wajah membuat televisi menjadi bagus jika sesuai dengan tema. Untuk menentukan posisi kamera supaya mendapatkan shot yang akan meringkas suatu peristiwa dibutuhkan pengalaman dan juga sedikit keberuntungan meskipun teknik berita yang baik akan memungkinkan adanya kesempatan itu.30 Prasyarat lainnya adalah, berita dalam kajian media, seperti sebuah drama, senantiasa menuntut
30
Peter Ward; Digital Video Camerawork, Focal Press, Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, 2005, hal 192.
lahirnya kepahlawanan, tuntutan nilai kebenaran dan keburukan dalam peristiwa penuh drama, sebutlah kisah Arafat di tengah serbuan Israel.31
2.4.2 Jenis jurnalistik televisi 2.4.2.1 Straightnews Berdasarkan sifat dan kekuatan materi beritanya straightnews dapat berupa soft news (berita lunak). Artinya, berita-berita yang bersangkut paut dengan kejadian-kejadian umum yang penting di masyarakat. Berita-berita yang penting dan diperlukan, namun tidak mengandung
kemungkinan
gejolak
dan
tidak
melibatkan
tokoh
masyarakat atau orang termasyhur. 2.4.2.2 Hardnews Hard news (berita keras) adalah berita yang mengandung konflik dan memberi sentuhan-sentuhan emosional serta melibatkan tokoh masyarakat atau orang termasyhur. Berita-berita semacam ini biasanya termasuk di dalam kategori berita yang memiliki high political tension, very unusual, dan controversial. 2.4.2.3 Spotnews Spot news adalah berita singkat dan penting yang memberikan informasi mengenai suatu kejadian atau peristiwa. Berita dengan corak soft news biasanya tidak bersangkut paut dengan peristiwa-peristiwa yang 31
Garin Nugroho, Seni Merayu Massa, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hal. 143.
menegangkan
atau
mencekam.
Sering
berupa
berita
ringan,
menyenangkan, dan human interest. 2.4.2.4 Indeptnews Indepth news atau berita mendalam menyajikan berita secara lebih lengkap (komprehensif) dan bersifat multilinear. Kejadian yang memiliki nilai berita, disajikan dengan mengetengahkan berbagai aspek, latar belakang, hubungan dengan konteks yang lebih luas, dan menempatkan kejadian atau fakta itu dalam kaitan dengan berbagai kemungkinan kejadian-kejadian lain. Corak berita semacam ini disebut berita mendalam yang komprehensif.32
2.4.2.5 Feature Feature adalah suatu progaram yang membahas suatu pokok bahasan, satu tema, diungkapkan lewat berbagai pandangan yang saling melengkapi, mengurai, menyoroti secara kritis, dan disajikan dengan berbagai format. Dalam satu feature, satu pokok bahasan bisa disajikan dengan merangkai beberapa format program sekaligus. Misalnya wawancara, show, vox-pop, puisi, musik, nyanyian, sandiwara pendek, atau fragmen. Feature merupakan gabungan antara unsur dokumenter, opini dan ekspresi. Karya puisi, musik, dan nyanyian merupakan ungkapan ekspresi dari pokok bahasan yang disajikan, namun kurang
32
Fred Wibowo, Teknik Produksi Program Televisi, Pinus Book Publiser, Yogyakarta, 2007, hal. 139.
bernilai faktual. Unsur ekspresi biasanya lebih dipakai untuk menciptakan suasana. Sementara itu opini dalam bentuk uraian, vox-pop atau wawancara dapat merupakan sajian yang diharapkan saling memperkaya pandangan dan mempertajam pokok bahasan yang disajikan.33
2.4.2.6 Documentary Memahami dokumenter kita dihadapkan pada dua hal, yaitu sesuatu yang nyata, faktual (ada atau terjadi) dan esensial, bernilai atau memiliki makna. Dalam dokumenter terkandung unsur faktual dan nilai. Jadi, biarpun banyak catatan, foto, atau materi lain yang berisi rekaman peristiwa dan kejadian-kejadian nyata tidak semua materi itu memiliki nilai dokumenter. Hanya materi yang sungguh bermakna bagi suatu lingkungan yang boleh disebut bernilai dokumenter. Program dokumenter adalah program yang menyajikan suatu kenyataan berdasarkan pada fakta objektif yang memiliki nilai esensial dan eksistensial, artinya menyangkut kehidupan, lingkungan hidup, dan situasi nyata. Program dokumenter berusaha menyajikan sesuatu sebagaimana adanya, meskipun tentu saja menyajikan sesuatu secara objektif itu hampir tidak mungkin. Ketika Joris Ivens dalam bukunya ”The Camera and I” mengatakan bahwa sebuah karya film dokumenter adalah bukan cerminan pasif dari kenyataan, melainkan terjadi proses penafsiran atas kenyataan
33
Ibid hal. 187.
yang dilakukan oleh pembuat film dokumenter, bahwa sebuah film dokumenter kendatipun harus suatu fakta objektif, namun tetap saja unsur subyektivitas tak mungkin dihindari dan sah terlibat dalam realitas yang tersaji pada karya tersebut. Ucapan yang terkenal, ”You can show what you are”, memberikan penjelasan bahwa obyektivitas tersebut adalah obyektivitas berdasarkan penafsiran pencipta karya film dokumenter.
34
Jadi fungsi atau peranan dari seorang pencipta film dokumenter adalah menyusun fakta atau peristiwa, sehingga khalayak merasakan betapa peristiwa itu menjadi sangat bermakna (essensial) bagi suatu lingkungan kehidupan, dengan memberikan penafsiran lewat penyusunan fakta yang akhirnya
memberikan
makna
bagi
fakta-fakta
tersebut
terhadap
lingkungannya. Dengan cara
bagaimana seorang pencipta film dokumenter
menyajikan suatu peristiwa nyata tersebut sehingga khalayak merasakan makna dari peristiwa atau fakta tersebut, merupakan campur tangan subyektif dari seorang pencipta film dokumenter. Campur tangan subyektif ini bersifat teknis, bukan merekayasa fakta atau peristiwa. Melainkan dari sudut mana peristiwa itu diambil, cara membuat seleksi fakta visual mana yang ditampilkan dan mana yang dibuang, semua dilakukan oleh seorang pencipta film dokumenter. Oleh karena itu sebuah fakta atau peristiwa yang nampaknya biasa dan ditemukan dalam
34
Ibid hal. 147.
kehidupan sehari-hari, oleh seorang pencipta film dokumenter yang cerdas, akan dapat ditunjukkan makna tersembunyi yang selama ini tidak pernah ditangkap oleh khalayak. Bahwa makna tersebut sudah berada dalam peristiwa, adalah fakta. Sedangkan peranan seorang pencipta film dokumenter adalah memberi aksentuasi atau tekanan sehingga terjadi pemahaman atas nilai tersebut, yang selama ini tidak dilihat dan disadari.35 Dokumentasi televisi tidak hanya berusaha untuk menyajikan kebenaran dari suatu peristiwa tertentu tetapi juga berusaha untuk mengikat dan mengunci perhatian penonton sebagai khalayak luas. John Grierson mendefinisikan dokumenter sebagai perlakuan kreatif terhadap aktualitas. Besarnya kadar kreativitas yang boleh diterapkan pada dokumenter telah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun.36 Kunci film dokumenter seperti yang dikatakan Dian Herdiany adalah ”Dokumenter itu melihat sesuatu di sekitar kita, sesuatu yang tak terlihat atau memang tak mau kita lihat” 37.
DAAI TV yang memposisikan diri untuk membangun pemikian dan tindakan-tindakan positif dalam masyarakat, memiliki program dokumenter bernama “REFLEKSI” . Program ini memaparkan sketsa kehidupan manusia. Mengangkat kisah-kisah inspiratif insan-insan yang memiliki keteguhan hati. Dikemas dedngan 35
Ibid hal. 149. Peter Ward; Digital Video Camerawork, Focal Press, Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, 2005, hal 207. 37 Fajar Nugoho, Cara Pintar Bikin Film Dokumenter, Indonesia Cerdas, Yogyakarta, 2007. 36
santun dan menyentuh hati, demi menyumbangkan pengetahuan pada masyarakat dan memperkaya rasa kemanusiaan. “REFLEKSI” diharapkan dapat menggugah kesadaran batin untuk peduli terhadap sesama dan lingkungan sekitar. Kata refleksi secara sederhana berarti bayangan, cerminan, atau pantulan. Karena melalui tayangan program ini diharapkan dapat memberikan “bayangan” atau “cermin” dalam hati pemirsa, ada banyak peristiwa, kejadian, atau cerita-cerita positif dalam kehidupan disekitar kita sehari-hari yang pantas atau bahkan wajib diteladani oleh pemirsa. Maka untuk program film dokumenter ini dipilih nama “Refleksi.”38 Program ini diharapkan tidak “menggurui” atau sekedar memiliki kandungan informasi tentang suatu realitas yang terjadi, namun lebih jauh lagi mampu memiliki kandungan yang menyentuh hati pemirsa. Program dua belas menit ini merupakan program dokumenter yang mengambil tema mengenai kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan masyarakat Jakarta khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
2. 5 Produksi Program Televisi Program televisi adalah bahan yang telah disusun dalam suatu format sajian dengan unsur video yang ditunjang unsur audio yang secara teknik memenuhi persyaratan laik siar serta telah memenuhi standar estetik dan artistik yang berlaku. Sementara produksi televisi adalah suatu proses kreatif yang melibatkan penggunaan peralatan-peralatan yang rumit dan koordinasi sekelompok individu yang mempunyai
38
Wawancara dengan Ari Trismana, Produser “REFLEKSI”, Agustus 2007.
kepekaan estetis dan kemampuan teknik untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan kepada penonton.39 Merencanakan sebuah program televisi, seorang produser profesional akan dihadapkan pada lima hal sekaligus yang memerlukan pemikiran mendalam, yakni materi produksi, sarana produksi (equipment), biaya produksi (financial), organisasi pelaksana produksi, dan tahapan pelaksanaan produksi. Berpikir tentang produksi televisi berarti mengembangkan gagasan bagaimana materi produksi itu, selain menghibur, dapat menjadi suatu kajian yang bernilai, dan memiliki makna. Apa yang disebut nilai itu akan tampil apabila sebuah produksi acara bertolak pada suatu visi. Dengan kata lain, produksi yang bernilai atau berbobot hanya dapat diciptakan oleh seorang produser yang memiliki visi. Bertolak dari dorongan kreativitas, seorang produser yang menghadapi materi produksi akan membuat seleksi. Dalam seleksi ini intelektualitas dan spiritualitas secara kritis menentukan materi mana yang diperlukan dan mana yang tidak. Kemudian akan lahir ide atau gagasan. Dilengkapi dengan materi atau bahan lain yang menunjang ide ini, akan tercipta konsep dasar yang perlu dipikirkan oleh produser ketika ia akan mulai berproduksi. Hasil produksi yang memiliki visi akan tampak sikapnya. Sikap inilah kekhasan dan keunikan dari produksi itu. Produksi yang tidak memiliki kekhasan atau keunikan berarti produksi kodian, tidak menarik dan biasa-biasa saja. Tidak memukau dan memesona. Tidak mampu stop the eyes and the ears.40
39 40
BAM-Studio Audio Visual PUSKAT; Training Juru Kamera & Editor, Yogyakarta, 2004. Fred Wibowo, Teknik Produksi Program Televisi, Pinus Book Publiser, Yogyakarta, 2007, hal. 24
Produksi program televisi memiliki berbagai macam format dan materi. Beberapa format program kadang-kadang memiliki produser atau tata laksana kerja yang berbeda. Namun, beberapa format sama. Demikian halnya dengan materi program. Setiap materi program perlu memperoleh perlakuan khusus berdasarkan karakteristik dan spesifikasinya. Menciptakan suatu program dengan materi musik pasti sangat berbeda ketika menciptakan program dengan materi cerita atau talk show. Demikian pula memproduksi program dengan format feature berbeda ketika memproduksi program dengan format dokumenter murni. Masing-masing perlu pemahaman dan pengolahan khusus.41 2. 6 Proses Produksi Program Televisi Suatu produksi program televisi melibatkan banyak peralatan, orang, dan dengan sendirinya biaya yang besar, selain memerlukan suatu organisasi yang rapi juga perlu suatu tahap pelaksanaan produksi yang jelas dan efesien. Tahapan produksi terdiri dari tiga bagian yaitu: 42 1. Pra Produksi Kunci keberhasilan produksi program televisi sangat ditentukan oleh keberesan tahap perencanaan dan persiapan. Dalam tahap ini meliputi tiga bagian, antara lain:
41 42
ibid, hal. 45 Ibid, hal. 40.
a) Penemuan Ide Tahap ini dimulai ketika seorang produser menemukan ide atau gagasan, membuat riset dan menuliskan naskah atau meminta penulis naskah mengembangkan gagasan menjadi naskah sesudah riset. Dari hasil riset materi produksi, muncul gagasan atau ide yang kemudian akan diubah menjadi tema untuk program. Tema ataupun konsep program
kemudian
diwujudkan
menjadi
treatment.
Treatment adalah langkah pelaksanaan perwujudan gagasan menjadi program. Oleh karena itu, treatment untuk setiap format program berbeda-beda. Dari treatment akan diciptakan naskah (script) produksi program.
atau langsung dilaksanakan
Treatment adalah sebuah uraian
mengenai segala urutan kejadian yang akan tampak di layar televisi/video. Uraian tersebut bersifat naratif tanpa menggunakan istilah teknis, seperti ketika seseorang menceritakan
kembali
pertunjukan
yang
baru
saja
dinikmati. Bobot atau muatan sebuah program sebetulnya sudah
tampak
ketika
gagasan
diwujudkan
menjadi
treatment. Dari sinilah penyempurnaan konsep program dapat dilakanakan sehingga menghasilkan naskah atau program yang baik.
b) Perencanaan Tahap ini meliputi penetapan jangka waktu kerja (time schedule), penyempurnaan naskah, pemilihan artis, lokasi, dan crew. Selain estimasi biaya, penyediaan biaya, dan rencana alokasi merupakan bagian dari perencanaan yang perlu dibuat secara hati-hati dan teliti. c) Persiapan Tahap ini meliputi pemberesan semua kontrak, perijinan, dan surat menyurat. Latihan para artis dan pembuatan setting, meneliti dan melengkapi peralatan yang diperlukan. Semua persiapan ini paling baik diselesaikan menurut jangka waktu kerja (time schedule) yang sudah ditetapkan. 2. Produksi Setelah perencanaan dan persiapan selesai, pelaksanaan produksi dapat dimulai. Sutradara bekerja sama dengan para artis dan crew mencoba mewujudkan apa yang direncanakan dalam kertas dan tulisan (shooting script) menjadi gambar, susunan gambar yang dapat bercerita. Dalam pelaksanaan produksi ini, sutradara menentukan jenis shoot yang akan diambil di dalam adegan (scene). Biasanya sutradara mempersiapkan suatu daftar shoot
(shoot list) dari setiap adegan. Semua shoot yang dibuat dicatat oleh bagian pencatat shoot dengan mencatat time code pada akhir pengambilan adegan. Kode waktu (time code) adalah nomor pada pita. Nomor ini berputar ketika kamera dihidupkan dan direkam dalam gambar. Catatan kode waktu ini nantinya akan berguna dalam proses editing. Setelah semua adegan di dalam naskah selesai diambil maka hasil gambar asli (orginal material/rowfootage) dibuat catatannya (logging) untuk kemudian masuk dalam proses post production, yaitu editing. 3. Pasca Produksi Pasca produksi memiliki tiga langkah utama, yaitu: editing offline, editing online, dan mixing. Editing offline merupakan proses penyuntingan atau pemilihan gambar-gambar terbaik. Tahap ini biasa disebut editing kasar sebab hanya memilih shot-shot terbaik tanpa memberikan tambahan apapun, baik ilustrasi musik ataupun efek yang lain. Bahan editing offline ini yang akan digunakan dalam tahap editing online. Pada tahap editing online dengan teknik digital
merupakan penyempurnaan hasil editing offline
dalam komputer sekaligus mixing dengan musik ilustrasi atau efek gambar (misalnya animasi atau wipe efek) dan suara (sound effect atau narasi) yang harus dimasukkan. Sesudah semua sempurna,
hasil online ini kemudian dimasukkan kembali dari file menjadi gambar pada pita Betacam SP atau pita dengan kualitas broadcast standard. Setelah program dimasukkan pita, kelanjutannya adalah bagian dari pekerjaan di stasiun televisi.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Sifat Penelitian Sifat dari penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau
membuat
prediksi.
Penelitian
ini
ditujukan
untuk:
(1)
mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat perbandingan atau evalusi, (4) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang. Ciri lain metode deskriptif ialah titik berat pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Dengan suasana alamiah dimaksudkan bahwa peneliti terjun ke lapangan. Ia tidak berusaha untuk memanipulasi variabel43. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang
43
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal. 25.
dapat diamati dari orang-orang yang diteliti. (Taylor dan Bogdan, 1985;5).44 Penelitian kualitatif merupakan proses penelitian yang berkesinambungan sehingga tahap pengumpulan data, pengolahan data, dan analisa data dilakukan secara bersamaan selama proses penelitian. Dalam penelitian kualitatif pengolahan data tidak harus dilakukan setelah data terkumpul, atau analisa data tidak mutlak dilakukan setelah pengolahan data selesai. Dalam hal ini sementara data dikumpulkan, peneliti dapat mengolah dan melakukan analisa data secara bersamaan. Sebaliknya pada saat menganalisa data, peneliti dapat kembali lagi ke lapangan untuk memperoleh data tambahan yang dianggap perlu dan mengolahnya kembali.45
3. 2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial. Studi kasus sering menggunakan berbagai metode wawancara (riwayat hidup), pengamatan, penelaahan dokumen, hasil survei, dan data apapun untuk menyesuaikan suatu kasus secara terinci.46
44
Bagong Suyanto & Sutinah (ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Prenada Media Grup, Jakarta, 2005, hal-166. 45 Bagong Suyanto & Sutinah (ed.),Op. Cit, hal-172. 46 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Komunikasi: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hal. 201.
3. 3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara.47 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3. 3. 1 Data Primer Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan data primer (kualitatif) adalah data yang diambil berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber. Esterberg (2002) mendefinisikan interview sebagai berikut. ”...........a meeting of two persons to exchange information and idea through question and responses, resulting in communication and joint construction of meaning about particular topic”. Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.48 Wawancara secara garis besar dibagi dua, yakni wawancara tak terstruktur dan wawancara terstruktur. Wawancara tak terstruktur sering disebut wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif, dan wawancara terbuka (opened interview), wawancara etnografis, sedangkan wawancara terstruktur sering disebut wawancara baku (standardized interview) yang susunan pertanyaannya sudah ditetapkan 47 48
Prof. Dr. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, CV. Alfabeta, Bandung, 2007, hal. 62. Ibid, hal. 72.
sebelumnya (biasanya tertulis) dengan pilihan-pilihan jawaban yang juga sudah disediakan.49 Wawancara (interview) juga dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi (data) dari responden dengan cara bertanya langsung secara bertatap muka (face to face). Namun demikian, wawancara ini dalam perkembangannya tidak harus dilakukan secara berhadapan langsung (face to face), melainkan dapat saja dengan memanfaatkan sarana komunikasi lain, misalnya telepon dan internet. Wawancara sering disebut sebagai suatu proses komunikasi dan interaksi. Sebagai suatu proses komunikasi
karena antara pewawancara dan
responden mensyaratkan adanya penggunaan simbol-simbol tertentu (semisal bahasa) yangs saling dapat dimengerti kedua belah pihak sehingga memungkinkan terjadinya aktivitas wawancara. Sedangkan sebagai interaksi sosial, karena selama wawancara masing-masing pihak (pewawancara dan responden), disadari atau tidak, terjadi proses saling mempengaruhi. Masalah ini penting diperhatikan karena berkaitan dengan kualitas perolehan data. Sebab kualitas hasil wawancara banyak dipengaruhi – kalau bukan ditentukan – oleh kemampuan pewawancara dalam
membangun
responden.50
49 50
Op.Cit, hal. 180. Op. Cit. hal-70.
dan
mengembangkan
interaksinya
dengan
Dalam melakukan wawancara mendalam, pertanyaan yang kaku harus dihindari, sebaliknya disarankan membuat pertanyaan yang bersifat umum
berdasarkan
substansi
setting
atau
berdasarkan
kerangka
konseptual. Oleh karena tidak menggunakan instrumen penelitian yang terstruktur dan baku, peranan peneliti sangat penting. Pada saat pengumpulan data, seorang peneliti yang melakukan penelitian kualitatif juga berfungsi sebagai instrumen penelitian. Data yang diambil secara langsung dari nara sumber dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan terbuka. Data yang diperoleh terdiri dari kutipan langsung orang-orang tentang pengalaman, pendapat, perasaan, dan pengetahuannya. Terbuka maksudnya adalah dengan melakukan observasi langsung. Data yang didapat dari observasi langsung terdiri dari perincian tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang-orang, serta juga keseluruhan kemungkinan
interaksi
interpersonal,
dan
proses
penataan
yang
merupakan bagian dari pengalaman manusia yang diamati. Karl Weick mendefiniskan observasi sebagai ”pemilihan, pengubahan, pencatatan, dan pengodean serangkaian perilaku dan suasana yang berkenaan dengan organisme in situ, sesuai dengan tujuan-tujuan empiris”. Dari definisi ini terdapat karakteristik observasi, yaitu: pemilihan (selection), pengubahan (provocation), pencatatan (recording), pengodean (encoding), rangkaian perilaku dan suasana (test of behaviors and settings), in situ, dan untuk
tujuan empiris.51 Dalam penelitian ini narasumber yang dimaksud terdiri dari produser selaku koordinator produksi, editor sebagai bagian pelaksana produksi, serta wartawan dan kamerawan sebagai pelaksana produksi di lapangan dalam peliputan tayangan “REFLEKSI”. 3. 3. 2 Data Sekunder Selain data primer, data penunjang lainnya adalah melalui penelusuran dokumen, cuplikan, kutipan, atau penggalan dari catatan-catatan organisasi, klinis, atau program, memorandum-memorandum dan korespondensi; terbitan, dan laporan resmi; buku harian pribadi; dan jawaban tertulis yang terbuka terhadap kuesioner dan survei. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Dalam hal dokumen, Bogdan menyatakan “in most tradition of qualitative research, the phrase personal document is used broadly to refer to any first person narrative produced by an individual which describes his or her own actions, experience, dan belief”.52 . Data-data ini digunakan sebagai data penunjang penelitian.
51
Jalaluddin Rakhmat, Metodologi Penelitian Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal. 83. 52 Prof. Dr. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, CV. Alfabeta, Bandung, 2007, hal. 83.
3. 4 Definisi Konsep 3. 4. 1 Proses Produksi Program TV Program televisi adalah bahan yang telah disusun dalam suatu format sajian dengan unsur video yang ditunjang unsur audio yang secara teknik memenuhi persyaratan laik siar serta telah memenuhi standar estetik dan artistik yang berlaku. Sementara produksi televisi adalah suatu proses kreatif yang melibatkan penggunaan peralatan-peralatan yang rumit dan koordinasi sekelompok individu yang mempunyai kepekaan estetis dan kemampuan teknik untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan kepada penonton. Strategi produksi tayangan adalah serangkaian cara yang digunakan dalam menghasilkan program acara televisi. 3. 4. 2 Program Dokumenter Suatu program yang menyajikan suatu peristiwa nyata sehingga khalayak merasakan makna dari peristiwa atau fakta tersebut, merupakan campur tangan subyektif dari seorang pencipta film dokumenter.
3. 5 Fokus Penelitian Suatu produksi program televisi melibatkan banyak peralatan, orang, dan dengan sendirinya biaya yang besar, selain memerlukan suatu organisasi yang rapi
juga perlu suatu tahap pelaksanaan produksi yang jelas dan efesien. Tahapan produksi terdiri dari tiga bagian yaitu: 53 1. Pra Produksi Kunci keberhasilan produksi program televisi sangat ditentukan oleh keberesan tahap perencanaan dan persiapan. Dalam tahap ini meliputi tiga bagian, antara lain: a) Penemuan Ide Tahap ini dimulai ketika seorang produser menemukan ide atau gagasan, membuat riset dan menuliskan naskah atau meminta penulis naskah mengembangkan gagasan menjadi naskah sesudah riset. Dari hasil riset materi produksi, muncul gagasan atau ide yang kemudian akan diubah menjadi tema untuk program. b) Perencanaan Tahap ini meliputi penetapan jangka waktu kerja (time schedule), penyempurnaan naskah, pemilihan artis, lokasi, dan crew. Selain estimasi biaya, penyediaan biaya, dan
53
Fred Wibowo, Teknik Produksi Program Televisi, Pinus Book Publiser, Yogyakarta, 2007 hal. 40.
rencana alokasi merupakan bagian dari perencanaan yang perlu dibuat secara hati-hati dan teliti. c) Persiapan Tahap ini meliputi pemberesan semua kontrak, perijinan, dan surat menyurat. Latihan para artis dan pembuatan setting, meneliti dan melengkapi peralatan yang diperlukan. Semua persiapan ini paling baik diselesaikan menurut jangka waktu kerja (time schedule) yang sudah ditetapkan. 2. Produksi Setelah perencanaan dan persiapan selesai, pelaksanaan produksi dapat dimulai. Sutradara bekerja sama dengan para artis dan crew mencoba mewujudkan apa yang direncanakan dalam kertas dan tulisan (shooting script) menjadi gambar, susunan gambar yang dapat bercerita. Dalam pelaksanaan produksi ini, sutradara menentukan jenis shoot yang akan diambil di dalam adegan (scene). Biasanya sutradara mempersiapkan suatu daftar shoot (shoot list) dari setiap adegan. Semua shoot yang dibuat dicatat oleh bagian pencatat shoot dengan mencatat time code pada akhir pengambilan adegan. Kode waktu (time code) adalah nomor pada pita. Nomor ini berputar ketika kamera dihidupkan dan direkam
dalam gambar. Catatan kode waktu ini nantinya akan berguna dalam proses editing. Setelah semua adegan di dalam naskah selesai diambil maka hasil gambar asli (orginal material/rowfootage) dibuat catatannya (logging) untuk kemudian masuk dalam proses post production, yaitu editing. 3. Pasca Produksi Pasca produksi memiliki tiga langkah utama, yaitu: editing offline, editing online, dan mixing. Editing offline merupakan proses penyuntingan atau pemilihan gambar-gambar terbaik. Tahap ini biasa disebut editing kasar sebab hanya memilih shot-shot terbaik tanpa memberikan tambahan apapun, baik ilustrasi musik ataupun efek yang lain. Bahan editing offline ini yang akan digunakan dalam tahap editing online. Pada tahap editing online dengan teknik digital
merupakan penyempurnaan hasil editing offline
dalam komputer sekaligus mixing dengan musik ilustrasi atau efek gambar (misalnya animasi atau wipe efek) dan suara (sound effect atau narasi) yang harus dimasukkan. Sesudah semua sempurna, hasil online ini kemudian dimasukkan kembali dari file menjadi gambar pada pita Betacam SP atau pita dengan kualitas broadcast standard. Setelah program dimasukkan pita, kelanjutannya adalah bagian dari pekerjaan di stasiun televisi.
3. 6 Narasumber (Key Informan) Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang yang terkait dengan program “REFLEKSI”, yaitu: 1) Bapak Ari Trismana selaku produser yang mengetahui dan bertanggung jawab atas produksi tayangan “REFLEKSI”. Melalui wawancara diharapkan penulis dapat mengetahui latar belakang diproduksinya tayangan “REFLEKSI”. 2) Ibu Dian Pangastuti selaku wartawan yang bertugas di lapangan. Dengan wawancara penulis dapat mengetahui strategi wartawan yang diterapkan pada saat peliputan dan mengetahui hambatan yang ditemui saat bertugas. 3) Bapak Sapto Agus Irawan selaku kamerawan sekaligus editor yang mengetahui proses pengambilan gambar dan proses penyuntingan gambar. Dengan wawancara diharapkan penulis dapat mengetahui strategi proses pengambilan gambar dan proses penyuntingan gambar sehingga gambar layak tayang. Pemilihan orang-orang diatas didasarkan atas kesenioritasan dari yang bersangkutan dalam membuat program “REFLEKSI” DAAI TV.
3. 5 Teknik Analisa Data Secara metodologis, yang disebut analisis data adalah kegiatan untuk menyederhanakan data kuatitatif agar mudah dipahami. Hasil dari analisis data tersebut biasanya berupa data dalam bentuk frekuensi dan/atau tabel silang, baik yang disertai perhitungan statistik maupun tidak. 54 Teknik analisa data dalam penelitan ini adalah melalui pengumpulan informasi dari wawancara mendalam (indepth interviews) maupun dokumen, maka cara yang digunakan adalah melalui analisa kualitatif dan mendeskripsikannya. Dengan kata lain peneliti hanya memaparkan kondisi apa adanya. Dengan kata lain peneliti hanya memaparkan kondisi apa adanya. Adapun langkah-langkah yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini adalah melalui triangulasi data yaitu: a) Mengumpulkan data dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi. b) Masing-masing data dari informasi tersebut digabungkan secara sistematis dengan mendekripsikan secara kualitatif untuk mencari hubungan antara jawaban dan pertanyaan penelitian. c) Hubungan ini merupakan jawaban dari masalah penelitian. Dalam hal triangulasi, Susan Stainback (1988) menyatakan bahwa “the aim is not to determine the truth about some social phenomenon, rather the purpose of triangulation is to increase one’s understanding of what ever is being investigated”.
54
Ibid, hal-140.
Tujuan dari triangulasi bukan untuk mencari kebenaran tentang beberapa fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan. Miles dan Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisa data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum DAAI TV 4.1.1 Sejarah DAAI TV Salah satu televisi lokal di Jakarta adalah PT Duta Anugerah Indah (DAAI TV) yang mulai mengudara secara resmi di Jakarta pada tanggal 25 Agustus 2007 pada frekuensi 59 UHF. Melalui sarana yang dekat di hati masyarakat, DAAI TV tampil mengusung visi menjadi media penyebar cinta kasih universal melalui berbagai program humanis yang bertujuan menyemai kebenaran, kebijakan, dan keindahan. Sebuah harapan besar terpatri untuk menyajikan tayangan positif bagi seluruh keluarga sehingga melalui misi ini, kepekaan dan semangat kepedulian sosial dapat tumbuh menuju kepada terwujudnya masyarakat yang damai. DAAI TV adalah televisi lokal non komersil. Sebab DAAI TV memposisikan diri untuk membangun pemikian dan tindakan-tindakan positif dalam masyarakat.
4.1.2 Program "REFLEKSI" Berbekal semangat dan keberanian mencoba, cikal bakal tim fim dokumenter sebenarnya telah dipersiapkan sejak DAAI TV berdiri. Meski awalnya tim yang dipersiapkan ini sama sekali tak ada yang memiliki bekal atau pengalaman berkaitan dengan produksi film dokumenter, namun berbekal
keberanian mencoba, akhirnya produksi film dokumenter pertama pun berhasil dirampungkan. "REFLEKSI" adalah program dokumenter yang memaparkan sketsa kehidupan manusia. Mengangkat kisah-kisah inspiratif insan-insan yang memiliki keteguhan hati. Dikemas dengan santun dan menyentuh hati, demi menyumbangkan
pengetahuan
pada
masyarakat
dan
memperkaya
rasa
kemanusiaan. “REFLEKSI” diharapkan dapat menggugah kesadaran batin untuk peduli terhadap sesama dan lingkungan sekitar. Program ini diharapkan tidak “menggurui” atau sekedar memiliki kandungan informasi tentang suatu realitas yang terjadi, namun lebih jauh lagi mampu memiliki kandungan yang menyentuh hati pemirsa. Program dua puluh empat menit ini merupakan program dokumenter yang mengambil tema mengenai kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan masyarakat Jakarta khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Selain menyampaikan informasi tentang suatu realitas yang terjadi, lebih jauh tayangan ini memiliki kandungan yang menyentuh hati pemirsa. Intinya, semua film dokumenter yang DAAI buat mempunyai satu pesan yang jelas, bahwa hidup harus selalu diisi dengan semangat dan jiwa positif.
4.2 Hasil Penelitian Bab ini merupakan hasil dan analisa penelitian. Data-data yang diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam serta pengumpulan data-data penunjang mengenai proses produksi program dokumenter "REFLEKSI". Analisa dilakukan dengan cara, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.
Berikut ini tahapan proses produksi tayangan "REFLEKSI" di DAAI TV: Produksi "REFLEKSI" Pra Produksi 1. Meeting 2. Perencanaan: - Penentuan tema - Budget - Riset (cerita dan visual). 3. Persiapan (teknis dan non teknis).
Produksi 1. Liputan. 2. Membuat naskah. 3. Shooting (pengambilan gambar, wawancara)
Pasca Produksi 1. Editing - offline - online 2. Mixing 3. Supervisi dan Evaluasi 4. Finishing
Produksi tayangan "REFLEKSI" meliputi tahapan dan langkah-langkah yaitu tahap pra produksi, yaitu meliputi rapat proyeksi, penentuan tema, termasuk riset cerita dan visual yang akan diceritakan. Termasuk didalamnya persiapan teknis maupun non teknis, seperti persiapan alat dan narasumber yang akan diangkat ceritanya. Tahap produksi merupakan realisasi dari tahap sebelumnya. Selanjutnya tahap pasca produksi, meliputi penyelesaian rangkaian cerita yang akan diangkat melalui editing yang mencakup offline dan online editing, serta mixing.
4.2.1 Pra Produksi Pada tahap ini terdiri beberapa tahapan: 4.2.1.1 Penemuan Ide. Tahap ini dimulai ketika seorang produser menemukan ide atau gagasan, membuat riset dan menuliskan naskah atau meminta penulis
naskah mengembangkan gagasan menjadi naskah sesudah riset. Dalam persepsi umum, film dokumenter sering dianggap sebagai “film berat” yang harus banyak menyediakan data dan informasi untuk para penontonnya.
Hal
ini
menjadikan
riset
dianggap
sebagai
bagian dari produksi film itu sendiri. Riset sendiri bersifat kompleks karena harus mampu mengorganisir manajemen teknik, ide, lokasi dan lain-lain. Untuk itu tim riset yang dibentuk harus komprehensif, bisa memadukan sebuah bentuk organisasi yang struktural dengan organisasi yang non struktural. Hal ini bisa menciptakan ide-ide yang “gila” dan tidak terduga. Dalam riset lapangan juga diperlukan orang yang memang benar-benar paham lokasi shooting. Seorang sutradara tidak mencari periset yang dekat dengan dirinya tetapi seorang periset yang mengerti kondisi lokasi. Dengan kata lain, baik periset maupun tim produksi sepenuhnya mengabdi pada film yang akan diproduksi. 55
Dari hasil riset materi produksi, muncul gagasan atau ide yang
kemudian akan diubah menjadi tema untuk program. Tema ataupun konsep program kemudian diwujudkan menjadi treatment. Treatment adalah langkah pelaksanaan perwujudan gagasan menjadi program. Di dalam kerja tim produksi program "REFLEKSI", tahap ini biasanya merupakan kerja seorang reporter yang merangkap periset dengan pengarahan dari produser. Sumber penemuan topik atau tema biasanya 55
RISET DALAM FILM DOKUMENTER, www.konfiden.org, Rabu, 19 Mei 2004.
dilakukan dengan cara membaca surat kabar atau majalah, mengakses internet, tak jarang juga dari cerita kawan atau kerabat. Semua ide yang didapat kemudian dirapatkan dalam tim "REFLEKSI" untuk dipilih dan diputuskan tema tersebut ditindaklanjuti atau tidak. Seperti yang diungkapkan Dian Pangastuti, seorang reporter:56 ”Biasanya dari internet, baca, laporan, dan dilihat dari segi konsepnya menarik untuk dikerjakan atau tidak”. ”Karena berbicara gambar ya, dan gambar sangat kuat untuk media televisi, visual itu sangat kuat”. Riset adalah mengumpulkan data atau informasi melalui observasi mendalam mengenai subyek, peristiwa, dan lokasi sesuai tema yang akan diketengahkan. Pelaksanaan riset akan makin termudahkan jika terlebih dahulu ditentukan gaya dan bentuk penuturan yang akan dijadikan titik pijak penggarapan. Jadi riset memegang peran yang sangat
penting,
sebagaimana
dikatakan
Sapto
Agus
Irawan,
kameraman yang sekaligus merangkap sebagai editor program ini.57 ”Riset harus komplit. Karena kalau risetnya sudah komplit itu sudah setengah pekerjaan sudah selesai”. ”Iya karena riset itu ibarat seperti kunci pembukanya. Kalau risetnya lemah yang lain juga akan lemah gitu. Jadi penting banget riset”. Dalam proses pembuatan film dokumenter, riset pendahuluan (preliminary research) diperlukan untuk mendapatkan gambaran bagi pengembangan ide agar menjadi lebih baik. Hal ini dilakukan melalui
56 57
Hasil wawancara dengan Dian Pangastuti (Reporter "REFLEKSI"), 26 Juni 2008. Hasil wawancara dengan Sapto Agus Irawan (Kameraman dan Editor "REFLEKSI"), 17 Juli 2008.
analisis visi visual yang sekaligus disertai dengan orientasi kritis. Untuk mendapatkan ide baik bagi pembuatan film dokumenter tidak cukup hanya berdasarkan khayalan. Jika ide sudah bagus, masih dibutuhkan orientasi lebih jauh lagi terhadap berbagai informasi yang telah didapat, yang kemudian dikembangkan sampai tercapainya kematangan konsep melalui kreativitas visi visual. Demikian pula yang dikatakan oleh Ari Trismana, produser "REFLEKSI":58
”Riset itu bagian yang sangat vital untuk sebuah film dokumenter. Kalau di prosentasekan bisa sampai 75%. Dokumenter adalah riset. Keberhasilan film dokumenter ada di riset. Kita gak bisa hanya mengandalkan riset yang minim kemudian mengandalkan kemampuan improve dilapangan saja gitu, ini sangat abstrak nanti. Kita gak tahu hasilnya seperti apa. Tetapi diawal riset kita sudah sangat kuat, banyak hal-hal yang kita ketahui secara detail, kecil-kecil kita ketahui dan itu sangat menunjang untuk proses pembuatan film, itu pasti sangat berguna ketika kita bikin treatment saja misalnya. Halhal yang kecil pasti berguna kan”. Hasil riset menjadi titik berangkat pembentukan kerangka global mengenai arah dan tujuan penuturan, serta subyek-subyek yang akan menjadi tokoh (karakter) dalam film. 4.2.1.2 Perencanaan Tahap ini meliputi penetapan jangka waktu kerja (time schedule), penyempurnaan naskah, lokasi, dan crew. Selain estimasi biaya, penyediaan biaya, dan rencana alokasi merupakan bagian dari 58
Hasil wawancara dengan Ari Trismana (Produser "REFLEKSI"), 26 Juni 2008.
perencanaan yang perlu dibuat secara hati-hati dan teliti. Dalam tim "REFLEKSI" tahap ini biasanya dilakukan oleh reporter bekerja sama dengan kameraman. Ari Trismana selaku produser program ini menjelaskan mengenai persiapan ini:59 ”Selain persoalan-persoalan manajerial untuk kebutuhan tim produksi, produser disini juga bertugas untuk menfasilitasi atau menentukan tema-tema apa yang akan diangkat. Biasanya kita lakukan diawal bulan, untuk kebutuhan tema dalam sebulan, itu kita diskusikan diawal bulan. Kita akan membuat apa, terus … Iya kayak proyeksi. Untuk bulanan. Terus masing-masing itu juga nanti akan di bahas detail lagi. Antara reporter yang merangkap riset, bersama produser, supaya gak salah risetnya. Jadi apa visi misinya yang mau disampaikan? Kadang itu masih salah juga. Jadi masih didiskusikan tuh. Ya itu biasanya sebelum masuk ke masa produksi reporter yang merangkap riset melakukan tugasnya, kemudian dia dapat data-data awal. Nah dari data-data awal itu kita diskusikan bareng. Sampai dengan kita membikin treatment. Dari treatment itulah udah menjadi panduan untuk produksi. Sesuai dengan hasil rapat proyeksi, tim produksi "REFLEKSI" telah ditentukan masing-masing jadwalnya produksinya. Seperti yang dikatakan oleh Sapto Agus Irawan selaku kameraman dan editor:60 ”Kalau di tim "REFLEKSI" itu ada semacam time schedule ya. Itu kan ada satu produksi itu 7 hari kerja untuk 12 menit. Itu ada hitungannya. Misalnya berapa hari riset, syuting berapa hari, lalu bikin naskah itu berapa hari, dst, jadi ketahuan gitu”.
59 60
Ibid. Hasil wawancara dengan Sapto Agus Irawan (Kameraman& Editor "REFLEKSI"), 17 Juli 2008.
4.2.1.3 Persiapan Tahap ini meliputi pemberesan semua kontrak, perijinan, dan surat menyurat.. Semua persiapan ini paling baik diselesaikan menurut jangka waktu kerja (time schedule) yang sudah ditetapkan. Tahap ini dilakukan oleh reporter dan kameraman. Reporter memiliki peran yang sangat penting dalam tahap ini, sebab ialah yang mengatur segala persiapan non teknis sebelum produksi dilaksanakan. Sementara
kameraman
keperluan
teknis
bertugas
untuk
menyiapkan
memproduksi,
segala
misalnya
menyiapkan kamera, clip on, kaset, tripod, lampu, dan peralatan penunjang teknis lainnya.
4.2.2 Produksi Tim "REFLEKSI" terdiri dari dua orang, yaitu satu reporter dan satu kameraman yang merangkap sebagai editor. Kedua orang inilah yang menjadi sutradara selama proses pengambilan gambar. Kameraman menggunakan kamera Sony PD 170.
Gambar 1. Kamera Sony PD 170 yang digunakan dalam proses produksi.
Biasanya untuk mempermudah kerja di lapangan, reporter telah menyiapkan treatment cerita yang akan diangkat. Treatment inilah yang akan menjadi bahan acuan kameraman selama proses pengambilan
gambar atau shooting. Shooting terdiri dari
pengambilan gambar dan wawancara berdasarkan treatment atau disesuaikan dengan situasi yang terjadi di lapangan. Misalnya saat treatment dibuat pengambilan gambar diasumsikan dengan cuaca yang cerah, namun pada saat syuting di lapangan, ternyata hujan turun, maka saatu itu tim yang bertugas dapat merubah treatment yang
telah
dibuat.
Selama
proses
pengambilan
gambar,
kameraman juga harus memikirkan bagaimana gambar-gambar
yang telah diambil untuk kemudian di edit, sebab ialah yang akan melakukan kegiatan pasca produksi, yaitu editing. "REFLEKSI" adalah program dokumenter 12 menit dan 24 menit yang siap tayang tanpa presenter. Untuk hal ini berikut penjelasan Ari Trismana selaku produser "REFLEKSI":61 ”Sebenarnya persoalan 12 menit, kita punya jatah waktu tayangan itu weekly. Seminggu sekali. Satu tayang itu kita punya jatah 24 menit, nah kita pilih 12 menit sebenarnya ya kita ini kan masih belajar, tahapan awal, kita cuma punya pengalaman, sebagian besar teman-teman yang bergabung di tim "REFLEKSI" itu hanya punya pengalaman membuat berita. Bukan membuat film dokumenter. Maka ketika kita memiliki jatah 24 menit, paling mungkin adalah kita bikin 12 menit tapi dua kali”. ”Kalau kita temukan tema-tema yang cukup menarik untuk diceritakan lebih panjang dari 12 menit kita akan bikin 24 menit dan itu sudah kita coba. Tapi tidak semua tema. Karena memang ada tema-tema yang biasa saja tetapi kalau kita paksakan menjadi 24 menit itu akan sangat membosankan. Tapi ada juga tema-tema yang sangat menarik, jadi sayang kalau diceritakan hanya 12 menit. Maka kita situasional juga”. Setelah perencanaan dan persiapan selesai, pelaksanaan produksi dapat dimulai. Kameraman bekerja sama dengan reporter mencoba mewujudkan apa yang direncanakan dalam kertas dan tulisan (shooting script) menjadi gambar, susunan gambar yang dapat bercerita. Dalam tahap ini reporter juga melakukan penulisan
61
Ibid.
naskah (script) cerita yang akan diangkat. Sebagaimana dijelaskan Dian Pangastuti berikut ini:62 ”Habis dari treatment itu kita liputan dulu, wawancara. Nah dari treatment itu kita bisa cepat membawa kita dalam penulisan skrip. Karena kita sudah tahu apa yang akan kita tanyakan dan ceritanya pun sudah ketahuan”. Berdasarkan
treatment,
kameraman
melaksanakan
tugas
pengambilan gambar. Dalam pelaksanaan produksi ini, kameraman bertugas menentukan jenis shoot yang akan diambil di dalam adegan (scene). Seperti yang dijelaskan Sapto Agus Irawan berikut:63 ”Ada seperti itu. Kadang-kadang kalau setelah reporter membuat treatment saya baca, kemudian ya itu tadi karena waktunya terbatas saya jadi gak sempat membuat breakdown shot tapi dari treatment A, nanti kira-kira akan seperti ini. Dibuat di kepala tidak tertulis. Kalau waktunya sempat sih memang perlu dibuat, tapi kita seringkali tdak sempat karena keterbatasan waktu. Karena memang situasi di lapangan itu tidak sepenuhnya tahu gitu”. Jadi semua shot kita ambil. Dan itu pasti banyak. Bahkan Sapto Agus Irawan menambahkan agar tidak terjadi kekurangan gambar, maka ketika proses pengambilan gambar, diambil sebanyak-banyaknya:64 ”Kalau saya sih biasanya kalau untuk 12 menit ya paling banyak 5 kaset, durasi 40 menit. Jadi 40 x 5”. Iya banyak. Sebenarnya itu juga tergantung pada ceritanya juga. Kalau saya sih kebiasaan saya, saya berprinsip jangan sampai begitu 62
Hasil wawancara dengan Dian Pangastuti (Reporter "REFLEKSI"), 26 Juni 2008. Hasil wawancara dengan Sapto Agus Irawan (Kameraman & Editor "REFLEKSI"), 17 Juli 2008. 64 Ibid. 63
di kantor saya kehabisan gambar gitu aja. Jadi waktu belanja gambar banyak-banyak deh. Dalam tahapan pengambilan gambar kameraman tidak melakukan pencatatan adegan atau shoot. Seperti yang dijelaskan Sapto Agus Irawan berikut ini:65 ”Kalau pencatatan khusus tidak ada. Tapi kita sudah tahu, mana yang akan diambil mana yang tidak. Karena kita kameramannya jadi kita sudah hafal dengan gambar-gambar yang kita ambil gitu. Bahkan pola cerita yang akan kita bikin pun sudah tahu”. Dokumenter pada hakekatnya adalah representasi dari realita yang ada. Namun ada kalanya dalam pembuatan dokumenter karena kebutuhan tayangan televisi perlu dilakukan rekonstruksi adegan. Dalam hal ini Ari Trismana menjelaskannya sebagai berikut:66 ”Ya ada memang seperti itu. Untuk kebutuhan visual barangkali kita membutuhkan satu adegan yang diulang, tapi porsinya gak lebih besar daripada realitas yang ada gitu. Persoalan rekayasa pun bagaimana kita melakukan adegan itu menvisualkan adegan itu juga ada batasannya. Hal-hal yang memang sebenarnya dia lakukan, misalnya subyek lakukan, itu kita bisa lakukan adegan ulang. Katakana seperti itu. Reka ulang ketika kita gak mendapatkan momennya. Tapi untuk halhal atau kejadian yang memang tidak pernah ada itu kita buatbuat, itu salah. Misalnya subyek kita misalnya dia nih gak pernah memberikan bantuan kepada orang lain misalnya, memberikan uang kepada tetangganya misalnya, tapi kita bikin adegan itu, itu sudah salah. Sebenarnya itu kan persoalan pilihan juga. Tapi kita kan nada batasannya dan sebatas itu untuk kebutuhan visual artistik itu gak masalah buat kita. Tapi tidak merubah kontennya”.
65 66
Ibid. Hasil wawancara dengan Ari Trismana (Produser "REFLEKSI"), 26 Juni 2008.
Rekonstruksi adegan selama itu merupakan realita dari subyek cerita yang diangkat menjadi hal menarik dicermati. Hal ini diungkapkan Sapto Agus Irawan berikut:67 ”Ya menurut saya itu sah-sah saja karena itu kan kita itu media visual ya. Jadi kita gak bisa bercerita A tapi gambarnya B. Paling tidak yang disetting itu memang kejadian nyata gitu. Hal itu sudah lewat dan kita gak dapat momennya gitu”.
Dalam pelaksanaan produksi sering terjadi kendala. Treatment sebagai panduan syuting bisa saja berubah seiring dengan perubahan yang terjadi di lapangan. Sebagaimana dijelaskan Sapto Agus Irawan berikut ini:68 ”Kalau ada perbedaan dengan treatment ya tinggal kita komunikasikan saja dengan reporter gitu, kira-kira begini bisa gak? Ya kalau ada perubahan ya tinggal disiasati di lapangan gitu. Dan gak ada yang baku. Karena kan dinamis gitu ya, ya gimana kita di lapangan, jadi kita men-direct juga gitu. Sebenarnya bukan kesulitan ya. Ya dinamika aja sih, karena tidak ada yang selalu pasti dengan apa yang kita mau begitu. Hal ini diperjelas lagi oleh Ari Trismana selaku produser. Menurutnya semua treatment yang telah dibuat hanya sebagai panduan atau guideline saja dan bisa berubah sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan:69 ”Ya apa yang kita hasilnya di diskusi di ruangan itu ya, bukan di lapangan, itu sih sifatnya fleksibel. Jadi bukan harga mati. Sangat situasional. Karena memang aku sendiri paham karena ketika di lapangan itu, pasti banyak hal-hal baik kecil maupun 67
Hasil wawancara dengan Sapto Agus Irawan (Kameraman& Editor "REFLEKSI"), 17 Juli 2008. Ibid. 69 Hasil wawancara dengan Ari Trismana (Produser "REFLEKSI"), 26 Juni 2008. 68
besar yang kadang kala gak sesuai perkiraan kita sebelumnya. Banyak. Maka terbiasa juga, dibiasakan juga seorang reporter yang merangkap sebagai periset itu ketika di lapangan ketika melakukan produksi sampai tahapan produksi, itu dia harus mengetahui situasi-situasi apa yang berubah disitu. Dan kalau diperlukan harus ambil keputusan, dia harus ambil keputusan dengan tepat dan cepat. Kalau masih memungkinkan ok, kita bisa mendiskusikan by phone misalnya. Seperti itu. Karena situasi dilapangan kan gak bisa menunggu kita”. Ketika proses produksi tidak hanya mengambil gambar jalan cerita yang akan diambil, namun juga dilakukan proses wawancara. Wawancara dokumenter berbeda dengan jenis wawancara lainnya. Untuk itu, dan reporter dan kameraman dituntut kemampuannya untuk mengemas wawancara ini menjadi menarik dan tidak kaku. Dengan demikian, saat subyek berbicara atau menjawab pertanyaan, yang terlihat
dan
terdengar
adalah
subyek
sedang
menceritakan
pengalamannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Sapto Agus Irawan berikut ini:70 ”Ya men-setting tempat, itu yang pertama, kemudian menentukan angle dan komposisi, juga pengaturan audio”. Kalau interview sedapat mungkin background itu merepresentasikan cerita atau tokoh. Jadi kadang-kadang, yang biasanya saya lakukan ada dua hal. Pertama, apakah saya akan menonjolkan tokoh ini atau set-nya yang akan saya tonjolkan. Kalau tokohnya kurang menarik gitu, tapi dia memiliki jalan cerita yang sangat menarik tempatnya juga menarik yang saya lakukan adalah setting, misalnya long shot satu badan penuh begitu. Itu misalnya settingnya menarik tapi tokohnya kurang menarik. Kalau tokohnya menarik, ekspresinya menarik, ada yang khas dalam dirinya itu kita bisa ambil medium”.
70
Hasil wawancara dengan Sapto Agus Irawan (Kameraman& Editor "REFLEKSI"), 17 Juli 2008.
Dalam program "REFLEKSI" pada umumnya wawancara dilakukan di udara terbuka (outdoor) karena memang lebih praktis, serta tidak direportkan oleh penataan cahaya. Walau tidak menutup kemungkinan dilakukan di dalam ruangan. Kendala wawancara di luar ruangan adalah adanya kemungkinan gangguan suara (noise) dari lingkungan sekitar saat semua suara akan terekam. Tidak berarti yang terekam hanya kalimat pertanyaan dan jawaban wawancara belaka yang harus direkam. Suara di lingkungan sekitar tidak selalu bermakna sebagai gangguan. Suara-suara lain justru bisa menambah atmosfer lingkungan yang kadang dibutuhkan untuk memberi nuansa akan adanya sebuah kehidupan nyata di sekitar posisi subyek. Dalam program "REFLEKSI", kameraman sekaligus editor. Bersama reporter, ia bertugas menterjemahkan treatment yang telah dibuat dalam rangkaian cerita yang menarik. Untuk hal ini Sapto Agus Irawan memberikan penjelasan berikut ini:71 ”Saya senang, saya menjadi satu-satunya eksekutor disitu. Lebih cepat. Dan apa yang saya mau saya bisa lakukan. Artinya saya tidak memposisikan sebagai kameraman operator, bukan sekedar kamu syuting ini syuting itu, tidak seperti itu. Bagaimana saya menggali berdasarkan apa yang saya maui gitu. Jadi saya menyukai ini karena saya memposisikan diri tidak sebagai kamera operator.
71
Ibid.
Sementara itu, berbagai kendala juga terjadi ketika proses produksi gambar dilakukan. Misalnya persoalan cuaca dimana hal ini tidak bisa diprediksi sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan Ari Trismana berikut ini:72 ”Persoalan cuaca misalnya. Itu yang gak bisa kita kendalikan. Diluar kemampuan kita. Misalnya kita maunya pada saat siang, bukan scene hujan, tapi ternyata hujan misalnya. Harus cepat berpikir, apakah bisa digantikan dengan scene hujan kalau memungkinkan. Atau bahkan scene hujan itu mendukung cerita kita misalnya. Diluar cerita sebelumnya. Ada juga seperti itu”. Tahapan pembuatan program ini meliputi, pra produksi, produksi, dan pasca produksi. Namun menurut Sapto Agus Irawan, kameraman dan editor, tahap produksilah yang paling sulit diprediksi dan tidak menentu:73 ”Yang sangat tidak menentu itu syuting. Itu sangat tidak menentu karena berkaitan dengan orang di luar kita. Kadang walau sudah janji kita gak jadi. Itu bisa sehari – tiga hari. Kalau yang lain-lain bisa kita kontrol. Misalnya editing saya bisa kontrol 2 hari atau bahkan 1 – 1,5 hari. Paling lama 2,5 hari. Naskah juga cepat. Termasuk riset juga bisa dikontrol. Yang gak terkontrol itu syuting. Karena kadang diluar kemampuan kita”.
72 73
Ibid. Hasil wawancara dengan Sapto Agus Irawan (Kameraman& Editor "REFLEKSI"), 17 Juli 2008.
4.2.3 Pasca Produksi Pasca produksi memiliki tiga langkah utama, yaitu: editing offline, editing online, dan mixing. Editing offline merupakan proses penyuntingan atau pemilihan gambar-gambar terbaik. Tahap ini biasa disebut editing kasar sebab hanya memilih shot-shot terbaik tanpa memberikan tambahan apapun, baik ilustrasi musik ataupun efek yang lain. Bahan editing offline ini yang akan digunakan dalam tahap editing online. Pada tahap editing onfline dengan teknik digital merupakan penyempurnaan hasil editing offline dalam komputer sekaligus mixing dengan musik ilustrasi atau efek gambar (misalnya animasi atau wipe efek) dan suara (sound effect atau narasi) yang harus dimasukkan. Tata kerja tim "REFLEKSI" adalah team work. Dari mulai kegiatan pra produksi hingga pasca produksi. Tahapan dalam proses pasca produksi ini adalah sebagai berikut: a. Voice Over Dalam tahap ini dilakukan editing script atau paper edit. Jika menggunakan naskah editing (editing script), sebelum memulai proses kerja editing, maka terlebih dahulu naskahnya diserahkan kepada editor untuk dibaca secara
seksama. Naskah ini sudah ditulis sejak syuting selesai. Prinsipnya antara naskah produksi (shooting script) dan naskah editing (editing script) tidak begitu berbeda. Naskah editing dibagi dalam dua kolom: sebelah kir berisi gambar / visual, sebelah kanan berisi suara / audio – ditambah catatan time code. Setelah naskah beserta statement narasumber terpilih dan telah melalui supervisi produser, naskah kemudian dapat ditindaklanjuti dengan proses isi suara atau pembacaan naskah oleh reporter atau narator yang ditunjuk sesuai dengan karakter suara yang dibutuhkan. Pemilihan penggunaan narasi atau tidak berkaitan dengan subyek cerita. Sebagaimana dijelaskan Ari Trismana berikut ini:74 Ada dokumenter yang memang kita tentukan di awal. Ini akan bercerita menggunakan apa? Misalnya kita mendapati subyek yang ok, cukup komunikatif, pandai bercerita dan kita tidak mengalami kesulitan menggali cerita, cerita-ceritanya selalu menarik, kita bisa rancangankan, tetapkan di awal, oh nanti gaya berceritanya biarkan subyek yang bercerita. Tanpa voice over kita. Itu bisa. Tapi tinggal kita arahkan, pernyataan kan kita dapatkan dari pertanyaan. Nah pertanyaan-pertanyaan ini yang kita tentukan. Kita arahkan. Supaya mendapatkan pernyataan yang sesuai dengan yang kita harapkan. Seperti itu”.
74
Hasil wawancara dengan Ari Trismana (Produser "REFLEKSI"), 26 Juni 2008.
b. Editing Editing adalah proses penyusunan gambar dan suara yang telah diperoleh saat syuting dalam bentuk mini DV. Proses editing di tim "REFLEKSI" menggunakan piranti Apple Macbook Pro dengan software Final Cut Pro.
Gambar 2. Suasana proses editing.
Gambar 2. Piranti Macbook Pro dengan software Final Cut Pro.
Di dalam tim produksi "REFLEKSI", kameraman tidak hanya bertugas mengambil gambar ketika proses produksi berlangsung namun juga sekaligus sebagai editor. Pada saat proses editing seorang editor dapat menyusun rekaman gambar berdasar interprestasinya, tentu dengan landasan kreativitas
estetikanya.
menciptakan
dan
Tugas
menjaga
utama
editor
adalah
kesinambungan
setiap
perpindahan adegan atau shot. Perpindahan dari shot satu ke shot lainnya harus layak dan halus (smooth). Penempatan shot-shot penting pada bagian-bagian yang dibutuhkan harus tepat agar memukau dan berkesan. Editor memutuskan berapa lama suatu aksi akan dipresentasikan pada penonton. Dari mulai durasi per-shot-nya, durasi per adegan,
sampai
pada
durasi
keseluruhan,
harus
diperhatikan agar kronologi peristiwa tidak menyimpang atau terlewatkan. Berikut tugas Sapto Agus Irawan, selaku editor berikut ini:75 “Yang biasa saya lakukan capture, bikin offline, online, termasuk mixing. Ya dari A – Z”. Karena ketika kita membuat treatment itu sebenarnya sudah tergambar kemudian ketika kita mengambil gambar kita sudah terbayang. Enaknya kan disitu. Oh ini akan masuk di shoot ini, dsb. Semua tinggal masuk aja gitu”. 75
Ibid.
Waktu yang dibutuhkan dalam proses editing rata-rata dua hari. Sapto Agus Irawan juga menjelaskan waktu proses editing ini:76
Ya 2 - 2,5 hari”. ”Karena sebenarnya waktu di lapangan sudah tahu ini akan jadinya seperti ini gitu”. Semua proses produksi telah dijadwal masing-masing, termasuk proses pasca produksi. Pekerjaan editing menjadi lebih praktis karena reporter juga telah membuat konstruksi antara naskah dan visualnya, sebagaimana dijelaskan Dian Pangastuti selaku reporter:77 Ya itu awalnya dari treatment itu. Dari treatment itu kita kan sudah ada gambaran aoa yang akan kita bikin. Termasuk gambar-gambarnya. Gambarnya apa alurnya apa gitu.” Dalam
proses
editing
ini,
treatment
yang
sudah
diterjemahkan ke dalam naskah menjadi alat pandu seorang editor dalam pengerjaan cerita yang diangkat. Sebagaimana dijelaskan Sapto Agus Irawan berikut ini:78 Setelah buat treatment lalu dibuat naskah. Nah dari naskah itu sebenarnya panduan saya. Kembali ke naskah bukan lagi treatment”.
76
Ibid. Hasil wawancara dengan Dian Pangastuti (Reporter "REFLEKSI"), 26 Juni 2008. 78 Op. Cit 77
Sebagai kameraman terkadang gambar yang diambil tidak mencukupi untuk kebutuhan sebuah film dokumenter. Ada kalanya dalam proses editing terjadi kekurangan footage, untuk hal ini Sapto Agus Irawan menjelaskan:79 Ya saya pernah juga karena kerja tanpa treatment itu. Setelah pulang baru kepikiran. Seharusnya saya ambil gambar ini misalnya. Ya tinggal diakalin aja dengan gambar yang ada. Kalau memang gak bisa dan memungkinkan ya ambil gambar dari arsip selama ada dan nyambung”.
Dalam proses editing terkadang terjadi persaingan antara teks narasi dengan gambar visual. Visualnya menarik dan tanpa dikasih narasi sebenarnya menarik, sementara juga ada narasi yang harus dimasukkan. Untuk hal ini Sapto Agus Irawan menjelaskan:80 Saya tidak pernah membedakan itu ya. Kadangkadang kalau ada gambar yang bagus itu memang gambar saya roll aja. Tapi bukan berarti kemudian harus terjadi persaingan antara narasi dan gambar gitu. Karena keduanya saling melengkapi. Antara mata dan kuping kan jelas beda gitu”. ”Kalau yang saya pahami selama ini kalau kita menonton sebuah tayangan itu sebenarnya kayak kita menonton pertunjukkan tari aja. Jadi disitu ada penarinya ada musik. Jadi antara kuping dan mata itu harus selaras gak bisa berdiri sendiri-sendiri. Nanti ada distorsi ketika mata menangkap A, telinga menangkap B termasuk dalam timing editingnya itu. Jadi enak gitu. Ketika kita melihat tarian, orang menari dengan diiringi musik itu kan harus pas, jadi seperti itu”. 79 80
Ibid. Ibid.
Umumnya dalam film dokumenter penggunaan musik sangat minimal. Dalam film dokumenter ilustrasi musik lebih umum ditempatkan sebagai transisi antara adegan atau sekuens satu ke adegan atau sekuens berikutnya, dan efek suara ditabukan. Film
dokumenter biasanya
menggunakan musik otentik dari yang ada pada adegan. Jika ada penambahan ilustrasi musik itu biasanya digunakan dalam rangka membantu memberi insipirasi untuk menyusun ritme cerita dan narasi. Dalam tim "REFLEKSI" tugas ini dilakukan oleh kameraman yang merangkap sebagai editor, sebagaimana dijelaskan oleh Sapto Agus Irawan:81 ”Ya itu yang memilih editor juga. Termasuk mixing. Sampai jadi pokoknya”. Ketika proses editing selesai, editor menyerahkan kepada reporter untuk dilakukan quality control awal sebelum diberikan kepada produser sebagaimana dijelaskan Dian Pangastuti berikut:82 ”Ketika kameraman sudah selesai pasti reporter harus melihat. Kali aja ada yang terlewat atau apa gitu. Apa yang kurang”.
81 82
Hasil wawancara dengan Sapto Agus Irawan (Kameraman& Editor "REFLEKSI"), 17 Juli 2008. Hasil wawancara dengan Dian Pangastuti (Reporter "REFLEKSI"), 26 Juni 2008.
Setelah proses editing selesai, editor yang merangkap kameraman biasanya menyerahkan hasil proyeknya kepada reporter untuk dilihat apakah ada yang masih kurang, sebagaimana disampaikan oleh Sapto Agus Irawan:83 ”Biasanya reporter melihat setelah diedit. Kemudian kadang dia kasih masukan apa ada yang kurang atau gak. Ya semacam quality control awal ya. Lalu dikasih ke produser untuk qc lagi sebelum diserahkan ke bagian quality control sebelum ditayangkan”. c. Supervisi Setelah proses editing selesai maka selanjutnya adalah supervisi yang dilakukan oleh produser. Supervisi biasanya meliputi kebenaran content atau isi, pemilihan gambar, level suara, dan ketepatan durasi. Sementara itu dalam rangka menjaga kualitas program ini, proses evaluasi juga dilakukan sebagaimana dijelaskan Ari Trismana berikut ini:84 ”Kalau bicara evaluasi itu biasanya aku sampaikan ke teman-teman, pada saat selesai membuat satu produksi itu teman-teman yang buat harus tahu kelemahannya dimana karena dia yang bikin. Dia harus lebih paham apa yang dia buat. Yang lebih utama dia harus lebih tahu kelemahannya dimana. Dan itu kuncinya. Itu kunci pertama. Kemudian, kita 83 84
Op.cit. Hasil wawancara dengan Ari Trismana (Produser "REFLEKSI"), 17 Juli 2008.
juga punya forum, forum evaluasi. Dan biasa di bulanan itu”. “Selain tunjukkan karya-karya yang menurut teman-teman itu terbaiknya, selama sebulan itu, tunjukkan juga yang terburuknya yang mana. Kenapa? Itu kan pelajaran. Pelajaran terbaik kan sebenarnya dari hal-hal yang buruk. Bukan cuma hal-hal yang bagus aja buat kita. Kalau bagus-bagus aja yang kita tunjukkan cuma dapat pujian, dan kita besar kepala. Kita gak tahu kelemahan kita. Begitu sebaliknya kita mesti dikritik, dikasih masukan sebanyak-banyaknya, kelemahannya dimana. Justru dari itu kita bisa memperkuat dan menutupi kekurangannya apa gitu. Model evaluasinya sih seperti itu”.
Keberhasilan sebuah program juga ditekankan disini. Walau tidak mengejar rating, bukan berarti program ini tidak memiliki tolok ukur keberhasilan. Berikut penjelasan Ari Trismana:85 ”Sebenarnya buat kita yang membuat film dokumenter itu ukuran keberhasilan sesungguhnya adalah kita kan ini dokumenternya banyak bicara tentang persoalan-persoalan yang ada disekitar kita gitu, nah bagaimana dokumenter ini bisa menjadi media jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang kita angkat di dalam film ini gitu. Kalau film yang kita buat diterima banyak orang, ditonton oleh banyak orang, menang di berbagai festival mendapat sambutan, applause tepuk tangan dari penonton, itu bukan ukuran keberhasilan sebenarnya. Tapi ukuran keberhasilan sesungguhnya adalah ketika film dokumenter ini berhasil membuat orang berpikir atau bahkan bertindak bagaimana turut menyelesaikan masalah yang ada di film itu gitu, itu baru keberhasilan. Dokumenter kan tujuannya merubah sudut pandang orang atau merubah tindakan orang. Ke arah yang lebih positif tentunya. 85
Ibid.
d. Finishing Hasil akhir editing ditransfer ke mini DV kembali, biasa disebut dengan istilah print to tape, dalam bentuk mix dan split, serta file .mov yang di-copy ke dalam bentuk DVD, untuk kemudian disimpan di ruang arsip. Mini DV mix adalah keseluruhan hasil editing, mencakup super impose, title, sound effect, dan lain-lain. Mini DV mix inilah yang kemudian diserahkan kepada bagian quality control sebelum diserahkan kepada bagian master control room untuk disiarkan. Sementara mini DV split
adalah
keseluruhan editing tanpa adanya super impose, title, sound effect, dan lain-lain. Tujuan dari mini DV split ini adalah untuk mempermudah jika dikemudian hari akan digunakan kembali (re-edit).
4.3 Pembahasan Setelah menghimpun semua data-data yang ada maka peneliti mencoba menganalisa data-data tersebut sehingga dapat menjawab permasalahan yang ada. Dalam penelitan ini, difokuskan proses produksi program "REFLEKSI", dimana "REFLEKSI" adalah program dokumenter yang memaparkan sketsa kehidupan manusia. Mengangkat kisah-kisah inspiratif dari tokoh-tokoh yang memiliki keteguhan hati. Dikemas dengan santun dan menyentuh hati. Program ini diharapkan mampu menyumbangkan pengetahuan masyarakat dan memperkaya rasa kemanusiaan. Menggugah kesadaran batin untuk peduli terhadap sesama dan lingkungan sekitar.86 Warner J. Serevin dan James W. Tankard Jr, mengatakan: mass communication is part skill, part art, and part science. It is skill ini the sense that it involves certain fundamental leraneable techniques such as focusing a television camera, operating a tape recorder or taking notes during an interview. It is part in the sense that involves creative challenge such as writing a script for a television program, developing an aesthetic lay out for a magazine and or coming up with a catchy lead for news story. It is a science in the sence that there are certain principles involved in how communication works that can be verivied an used to make things work better.
Komunikasi massa adalah sebagian ketrampilan, sebagian seni, dan sebagian ilmu. Ketrampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-teknik fundamental tertentu yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan tape recorder atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangan-tantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program 86
Company Profile DAAI TV.
televisi, mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikembangkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik. Proses pembuatan program dokumenter, mencakup pra produksi, produksi, dan pasca produksi. Praproduksi merupakan tahapan kerja terpenting atau utama dalam setiap produksi film, juga televisi, baik fiksi maupun dokumenter. Produksi film mampu berjalan lancar dan sukses karena berangkat dari persiapan produksi yang mantap. Setiap permasalahan harus lebih dulu diselesaikan pada tahap praproduksi (pre-production). Pada tahap ini, naskah produksi yang awalnya ditulis dalam bentuk treatment kini dapat ditulis ulang atau dievaluasi kembali untuk lebih dikonkretkan ke dalam bentuk skenario. Ada pula yang hanya mengembangkan atau memperbaiki penulisan treatment-nya. Persiapan sebelum turun ke lapangan sangat diperlukan guna mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu tim yang terjun ke lapangan ada baiknya mengumpulkan data-data awal baik itu data primer maupun sekunder. Artinya perencanaan merupakan hal penting dalam proses peliputan, sehingga ketika sampai di lokasi liputan tim yang bertugas tidak lagi bingung dengan keadaan atau situasi lokasi. Selain itu juga diperlukan pendekatan kepada narasumber yang akan diangkat dalam cerita ini.
Sementara itu, merampungkan tulisan merupakan masalah estetika bertutur filmis yang harus dipikirkan secara serius oleh penulis dan sutradara. Dokumenter tidak sekedar merekam peristiwa nyata, karena itu perlu dipikirkan bagaimana peristiwa itu direpresentasikan secara menarik dan dapat memukau penonton. Naskah bisa dijadikan sebagai alat bantu bagi berbagai pihak karena naskah memang bisa dijadikan referensi serta panduan pada semua pihak yang terkait dalam produksi. Sebagai cetak biru naskah mengkomunikasikan isi film kepada semua tim kreatif, agar tim memahami bagaimana dan ke mana arah dan tujuan film. Bagi sutradara, naskah bisa membuat sutradara memikirkan penggunaan footage film bila diperlukan. Bagi juru kamera, naskah diperlukan untuk mengetahui tingkat kesulitan di lapangan. Editor pun berpandu pada naskah. Pendeknya, baik buruk penggarapan sebuah dokumenter bersandar pada kualitas naskah – treatment atau skenario – bukan semata-mata pada kemampuan merekam kejadian spontan. Karena dalam naskah diperlihatkan bagaimana realita atau kejadian apa adanya itu dapat diketengahkan secara dramatik. Saat menulis naskah harus diperhatikan mengenai penyusunan konstruksi visual dan narasi, agar keduanya tidak mengambang serta tumpang tindih. Selain itu, harus juga perhatikan agar tidak terjadi pengulangan informasi visual, yang akibatnya menjadikan narasi atau wawancara membosankan penonton. Sedangkan dalam proses pengambilan gambar program "REFLEKSI" ini, kameraman juga memiliki strategi. Sesuai dengan jenis programnya, tentu kameraman "REFLEKSI" berbeda dengan kameraman lainnya. Untuk mendapatkan
visual yang menarik, kameraman "REFLEKSI" melakukan pendekatan terhadap narasumber dan pengenalan situasi lokasi secara mendalam sehingga. Proses peliputan merupakan proses pencarian cerita dimulai dari penemuan ide, perencanaan hingga siap siar atau dengan kata lain proses peliputan adalah perencanaan, produksi, pasca produksi, hingga penayangan. Dalam program "REFLEKSI" naskah dan gambar yang telah diambil diedit oleh kameraman yang merangkap sebagai editor sebelum ditayangkan. Proses editing dalam program "REFLEKSI" adalah proses pengambilan gambar-gambar terbaik yang diambil oleh kameraman ketika peliputan. Karena kameraman merangkap sebagai editor, sehingga proses ini tidak terlalu lama. Kameraman sudah tahu gambar-gambar mana saja yang akan dipakai dan akan dibuang walau kaset yang dihasilkan dari liputan itu relatif banyak. Bahkan kameraman sudah tahu gambar mana yang akan dipakai sebagai opening dan ending ketika proses peliputan. Editor menitikberatkan pada kelayakan gambar yang dilihat dari segi komposisi, gambar, intensitas cahaya, kualitas fokus gambar, sedangkan untuk pengeditan naskah terakhir berada di tangan produser. Editor program "REFLEKSI" harus bisa memilah gambar yang baik dan menarik untuk dibuat tiga segmen, yaitu: pembuka, isi dan cerita, dan penutup sehingga pesan yang disampaikan bisa sampai dan dimengerti oleh pemirsa yang menontonnya.
Gerzon mengingatkan bahwa realita dalam film dokumenter harus selalu memiliki konteks, karena konteks merupakan makna fakta dari suatu peristiwa. Di samping itu konteks juga merupakan pokok utama dalam sebuah penuturan.87 John Grierson bahkan mengatakan: ”Dokumenter yang bagus harus memperlihatkan kekuatannya, dalam membuat kehidupan sehari-hari menjadi dramatik, dan masalah yang ada menjadi suatu puisi”.88
87
Gerzon R, Ayawaila, Dokumenter: Dari Ide sampai Produksi, FFTV-IKJ Press, Jakarta, 2008, hal. 88. 88 Ibid, hal. 92.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pada tahap pra produksi, tim "REFLEKSI" menitikberatkan pada riset yang maksimal. Sebab riset merupakan pintu gerbang bagi sebuah cerita yang akan diproduksi. Sumber penemuan topik atau tema biasanya dilakukan dengan cara membaca surat kabar atau majalah, mengakses internet, tak jarang juga dari cerita kawan atau kerabat. Dengan riset yang kuat akan diperoleh film dokumenter yang kuat pula. Riset merupakan bagian yang sangat vital dalam sebuah film dokumenter. Dokumenter adalah riset. Keberhasilan film dokumenter ada di riset. 2. Bahwa proses produksi program dokumenter "REFLEKSI" di DAAI TV dapat dilihat bahwa dengan tim yang kecil dan minimalis, yang hanya terdiri dari seorang reporter dan kameraman mampu dihasilkan sebuah program dokumenter yang sebagian besar orang mengatakan sebagai program yang “berat”. Dengan tim yang kecil ini tentu memiliki kelebihan dan juga kelemahan. Kelebihannya adalah tim menjadi eksekutor sendiri terhadap jalan cerita yang akan diangkat. Kameraman tidak hanya sebagai kamera operator, namun menjadi sutradara sekaligus. Demikian pula reporter tidak
hanya bertugas atas perintah produser, tapi harus mampu menterjemahkan keseluruhan treatment dalam bentuk cerita yang menarik. 3. Proses editing di tim "REFLEKSI" menggunakan piranti Apple Macbook Pro dengan software Final Cut Pro.
Di dalam tim produksi "REFLEKSI",
kameraman tidak hanya bertugas mengambil gambar ketika proses produksi berlangsung namun juga sekaligus sebagai editor. Pada saat proses editing seorang editor dapat menyusun rekaman gambar berdasar interprestasinya, tentu dengan landasan kreativitas estetikanya. Oleh karena ketika proses editing, editor sudah bisa menentukan gambar mana yang akan dipakai misalnya sebagai opening dan ending program. Pekerjaan editing menjadi lebih praktis karena reporter juga telah membuat konstruksi antara naskah dan visualnya. 4. Keberhasilan yang ingin dicapai program ini adalah ketika program dokumenter yang mengangkat tentang persoalan disekitar kita ini menjadi media jalan keluar, bukan malah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Ukuran keberhasilan sesungguhnya adalah ketika film dokumenter ini berhasil membuat orang berpikir untuk kemudian bertindak bagaimana turut serta menyelesaikan masalah yang ada di film tersebut.
5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian di atas, peneliti menyarankan: 1. Meski menekankan riset, namun kelemahan di tim ini adalah tidak idealnya dalam tahap riset, dimana kameraman seharusnya terlibat dalam proses ini. Namun karena di waktu bersamaan, kameraman harus menyelesaikan pekerjaannya sebagai editor, sehingga yang melakukan riset hanya reporter. Padahal kameraman seharusnya terlibat dalam riset ini untuk menentukan angle-angle menarik apa saja yang akan diambil ketika proses produksi berlangsung. Selain itu juga maksudnya agar kameraman memiliki gambaran jelas serta bagaimana mengantisipasi setting dan pencahayaan di lokasi. Dengan terlibat dalam riset, kameraman juga dapat mempelajari tingkah laku dan aktivitas sehari-hari subyek yang akan direkam gambarnya. 2. Perlunya tim riset yang kuat dalam produksi dokumenter ini. Sebab beberapa tema yang di angkat kecenderungan memiliki ritme cerita yang hampir sama, hanya subyek dan lokasi saja yang berbeda. 3. Dalam penayangan gambar yang disajikan terkadang terkesan monoton. Sistem kejar target masih sangat terasa. Beberapa kali deadline bahkan terlewati. Kameraman yang bertugas meng-edit selain memiliki nilai lebih namun juga memiliki nilai lemah tersendiri. Walau telah memilih dan memilah gambar yang sesuai ketika proses produksi berlangsung, namun tetap saja diperlukan
waktu istirahat bagi seorang kameraman. Sebagai manusia biasa, karena kelelahan misalnya, ada kemungkinan kreativitas editor akan mengalami stagnasi. Hal ini yang mungkin perlu dipertimbangkan oleh tim program "REFLEKSI". Sebab dengan kurang waktu istirahat ini, hasil edit pun menjadi kurang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA ABC Paket Berita TV, Program Pelatihan Jurnalistik Televisi, FISIP UI, Jakarta. Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya: Komunikasi Massa; Suatu Pengantar, Sembiosa Rekatama Media, Bandung, 2005. Ayawaila, Gerzon R, Dokumenter: Dari Ide sampai Produksi,
FFTV-IKJ Press,
Jakarta, 2008. BAM – Studio Audio Visual PUSKAT, Training Juru Kamera & Editor, Yogyakarta, 2004. Darwanto, Televisi sebagai Media Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007. Effendy, Onong Uchjana: Komunikasi; Teori dan Praktek, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006. Iskandar Muda, Deddy: Jurnalistik Televisi; Menjadi Reporter Profesional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005. J. Severin, Werner dan James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007. Junaedi, Fajar: Komunikasi Massa: Pengantar Teoritis, Santusta, Yogyakarta, 2007. Mulyana, Deddy: Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007. Mulyana, Deddy: Metodologi Penelitian Komunikasi: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Sosial Lainnya, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006.
Nugroho, Fajar, Cara Pintar Bikin Film Dokumenter, Indonesia Cerdas, Yogyakarta, 2007. Nugroho, Garin, Seni Merayu Massa, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005. Rakhmat, Jalaluddin: Metode Penelitian Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000. Sendjaja, Sasa Djuarsa, dkk, Pengantar Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2007. Suyanto, Bagong dan Sutinah (ed), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Prenada Media Grup, Jakarta, 2005. Ward, Peter, Digital Video Camerawork, Focal Press, Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, 2005. Wibowo, Fred: Teknik Produksi Program Televisi, Pinus Book Publisher, Yogyakarta, 2007.
Internet dan artikel Wahyuningsih, Yustina, Pehobi Film Indie, Suara Harapan, 2003. Riset Dalam Film Dokumenter, www.konfiden.org, Rabu 19 Mei 2004.
Lampiran 1. Panduan wawancara
PEDOMAN WAWANCARA PRODUSER PROGRAM “REFLEKSI” 1. Apa tugas pokok produser dalam program "REFLEKSI"? 2. Apa yang dimaksud dengan program “REFLEKSI”? 3. Apa segmentasi program "REFLEKSI"? 4. Bagaimana proses produksi "REFLEKSI"? 5. Bagaimana menentukan tema yang akan di angkat? 6. Bagaimana proses pengambilan keputusan dalam menentukan tema yang akan di angkat dalam program "REFLEKSI"? 7. Apakah ada campur tangan / masukan dari pihak lain dalam menentukan tema, misalnya programming? 8. Bila ada, bagaimana menghadapi campur tangan tersebut? 9. Mekanisme seperti apa yang dilakukan dalam menjaga kualitas program ini? 10. Berapa lama sekali program ini tayang? Apakah harian, mingguan, atau bahkan bulanan? 11. Berapa durasi program ini? 12. Berapa lama sekali, rapat proyeksi dilakukan? 13. Mekanisme apa yang dipakai dalam melakukan evaluasi kerja tim "REFLEKSI"? 14. Bagaimana dengan budget "REFLEKSI"? 15. Jika ada, bagaimana mekanisme tolok ukur tersebut?
16. Apa kendala yang dihadapi selama menentukan program "REFLEKSI"? 17. Bagaimana proses penentuan narator dalam program ini? 18. Apakah ada tolok ukur keberhasilan program "REFLEKSI"?
PEDOMAN WAWANCARA REPORTER PROGRAM “REFLEKSI” 1. Apa saja tugas reporter dalam pogram "REFLEKSI"? 2. Bagaimana menentukan tema? 3. Bagaimana cara reporter menemukan tema yang akan diangkat dalam program "REFLEKSI"? 4. Bagaimana mekanisme riset yang dilakukan dalam program "REFLEKSI" ini? 5. Apakah selalu membuat treatment sebelum produksi? Jika iya, berapa lama membuat treatment? 6. Mengapa perlu membuat treatment? Untuk apa treatment dibuat? 7. Bagaimana pula dengan pembuatan naskah? 8. Apakah treatment terlebih dahulu sebelum produksi atau setelah produksi? 9. Apakah ada story board sebelum berangkat ke lokasi subyek? Jika ada mengapa diperlukan? 10. Bagaimana gaya penulisan naskah program ini? Apakah formal/serius, semi serius, atau santai humoris? 11. Bagaimana sistematika penyusunan konstruksi visual dan narasi dalam program "REFLEKSI"?
12. Apakah dalam setiap program "REFLEKSI" diperlukan narasi? 13. Bagaimana menentukan ada tidaknya narasi dalam sebuah program "REFLEKSI"? 14. Bagaimana cara reporter mengatasi masalah jika ada narasumber yang nervous di depan kamera? 15. Apakah ada kendala dalam menggarap program ini? 16. Bagaimana mengatasi kendala-kendala itu? 17. Persiapan apa saja yang dilakukan ketika tahap: a. Pra Produksi. b. Produksi. c. Paska Produksi. 18. Bagaimana menghadapi deadline pembuatan satu program "REFLEKSI"? 19. Hal-hal apa saja yang dilakukan ketika melakukan wawancara? 20. Bagaimana dengan pemilihan lokasi wawancara? 21. Apakah ada batasan narasi dalam program "REFLEKSI"? Jika ada, mengapa perlu dibatasi?
PEDOMAN WAWANCARA KAMERAMAN PROGRAM “REFLEKSI” 1. Apa tugas pokok kameraman dalam program "REFLEKSI"? 2. Kesulitan mendasar apa yang biasa ditemui? 3. Mengapa kesulitan itu bisa timbul?
4. Cara apa yang digunakan kameraman dalam men-develop suatu cerita yang akan diangkat dalam program "REFLEKSI"? 5. Dasar pembuatan dokumenter adalah mempresentasikan realita berupa perekaman gambar apa adanya. Apakah kameraman perlu men-setting subyek yang diangkat di program ini agar mendapatkan gambar visual yang menarik? 6. Pendekatan seperti apa yang dilakukan ketika menghadapi subyek? Apakah langsung ambil gambar seketika? 7. Apa yang dilakukan kameraman dalam memberikan sentuhan estetika pada program dokumenter ini? 8. Jenis shot apa saja yang digunakan dalam memproduksi program ini? 9. Apakah dilakukan breakdown script/shot sebelum berangkat ke lokasi? 10. Apakah ketika syuting dilakukan pencatatan visual (shot list) agar memudahkan dalam proses editing? 11. Hal-hal teknis apa saja yang dilakukan ketika melakukan wawancara dengan narasumber? 12. Apa yang dilakukan dalam menentukan pemilihan lokasi wawancara narasumber? 13. Peralatan teknis apa saja yang digunakan selama memproduksi program ini?
PEDOMAN WAWANCARA EDITOR PROGRAM “REFLEKSI” 1. Apa tugas editor dalam program "REFLEKSI"? 2. Kendala apa yang biasa ditemui?
3. Bagaimana mekanisme kerja editor dalam program ini? 4. Apakah ada tahapan-tahapan dalam proses editing program "REFLEKSI" ini? 5. Apakah treatment menjadi satu-satunya alat pandu editor? 6. Apakah ada alat pandu selain treatment? 7. Bagaimana editor mengatasi jika terjadi kekurangan footage? 8. Bagaimana juga jika terjadi persaingan antara teks narasi dengan gambar visual. Mana yang akan didahulukan? Sementara keduanya sama-sama penting? 9. Bagaimana mekanisme pemilihan ilustrasi musik? 10. Bagaimana pula mekanisme penyelarasan suara (mixing)?
Lampiran 2. Transkrip hasil wawancara
ARI TRISMANA (PRODUSER) Sulit gak sih bikin dokumenter? Kalau menurut gua membuat film dokumenter itu gampang. Karena apa? Karena dokumenter itu bicara soal realitas yang kita hadapi sehari-hari. Jadi kita gak ada rekaan, gak karangan, gak ada rekayasa, jadi apa adanya aja yang kita hadapi. Yang susahnya sebenarnya kan bicara persoalan sinematografinya. Karena banyak anggapan diluar itu film dokumenter itu gak mengutamakan persoalan sinematografi. Yang utama adalah realitas dan momennya. Asal mereka bisa mendapatkan itu, udah bisa cukup, walau gambarnya secara kualitas sinematografinya buruk. Banyak dokumenter seperti itu. Dan itu sah-sah saja. Tapi buat kita mungkin agak berbeda ya, karena untuk kebutuhan tayang televisi, dimana itu dilihat banyak orang. Jadi persoalan sinematografi itu kita maunya yang rapi, indah, bagus, gambar-gambarnya tertata selain mengutamakan persoalan realitasnya. Sebenarnya itu yang lebih susah ya? Iya itu yang lebih susah. Kalau bikin dokumenter, semua orang bisa bikin. Karena semua orang punya realitas masing-masing. Menceritakan kehidupannya sendiri aja itu sudah jadi dokumenter. Menceritakan kehidupan orang-orang terdekat itu sudah dokumenter. Pokoknya asal bicara realitas, baik dirinya lingkungannya apa yang dihadapi tanpa rekayasa itu sudah masuk kategori dokumenter. Tapi problemnya kadang kan kalau gak direkayasa kan gak menarik? Ya ada memang seperti itu. Untuk kebutuhan visual barangkali kita membutuhkan satu adeegan yang diulang. Katakana seperti itu. Reka ulang ketika kita gak mendapatkan momennya. Tapi untuk hal-hal atau kejadian yang memang tidak pernah ada itu kita buat-buat, itu salah. Misalnya subyek kita misalnya dia nih gak pernah memberikan bantuan kepada orang lain misalnya, memberikan uang kepada tetangganya misalnya, tapi kita bikin adegan itu, itu sudah salah. Jadi batasannya sejauh mana? Ya seperti itu. Kalau memang dia benar-benar melakukan itu, dan kita tidak mendapatkan momennya, ya itu boleh. Jadi sebenarnya itu sah-sah aja ya? Ya. Untuk persoalan artistik juga bisa. Misalnya disitu gak ada bunga dan kita kasih bunga gitu. Tapi bukankah itu bisa menciderai bahwa sebenarnya dokumenter itu apa adanya gitu?
Ya ada. Sebenarnya itu kan persoalan pilihan juga. Tapi kita ka nada batasannya dan sebatas itu untuk kebutuhan visual artistik itu gak masalah buat kita. Tapi tidak merubah kontennya. Seperti contoh tadi tuh udah salah. Dan kita tidak pernah melakukan itu.
Gak pernah ya? Iya gak pernah. Karena sudah bukan realitas lagi. Itu kan rekayasa. Itu namanya realitas yang diciptakan. Dan itu salah. Sering gak sih melakukan reka ulang gitu? Sebenarnya jarang juga kita. Hanya apa, gerakan atau aktivitas yang kita arahkan itu ada. Maksudnya, tunggu-tungguu jangan berjalan dulu itu ya ada. Dan itu sah-sah aja gitu. Ketika kita menyiapkan posisi kamera terlebih dahulu misalnya. Tunggu-tunggu jangan lewat dulu. Setelah ok, baru saya kasih aba-aba untuk berjalan gitu. Sebatas itu kan sah-sah aja. Tugas pokoknya? Tugas pokoknya. Kalau produser disini? Selain persoalan-persoalan manajerial kebutuhan tim produksi, produser disini juga bertugas untuk menfasilitasi atau menentukan tema-tema apa yang akan diangkat. Biasanya kita lakukan diawal bulan, untuk kebutuhan tema dalam sebulan, itu kita diskusikan diawal bulan. Kita akan membuat apa, terus………… Kayak proyeksi gitulah ya? Iya kayak proyeksi. Untuk bulanan. Terus masing-masing itu juga nanti akan di bahas detail lagi. Di tim kecil lagi? Iya. Antara reporter yang merangkap riset, bersama produser, supaya gak salah risetnya. Karena barangkali untuk teman-teman yang relatif baru, itu kadang masih salah juga gitu. Apa sih yang mau disampaikan? Jadi apa visi misinya yang mau disampaikan? Kadang itu masih salah juga. Jadi masih didiskusikan tuh. Sering tuh terjadi? Iya ada sih. Terus kalau udah begitu gimana mengatasinya? Ya itu biasanya sebelum masuk ke masa produksi reporter yang merangkap riset melakukan tugasnya, kemudian dia dapat data-data awal. Nah dari data-data awal itu kita diskusikan bareng. Sampai dengan kita membikin treatment. Dari treatment itulah udah menjadi panduan untuk produksi.
Jadi semacam guideline? Iya. Kita disitu mau membuat struktur cerita seperti apa. Kemudian subyeknya siapa termasuk itu sudah ditentukan di awal. Tetapi itu kadang kala ka nada yang diatas meja, ketika turun di lapangan kan banyak hal yang berubah dan mungkin berbeda gitu. Sementara kita sudah memiliki kesepakatan seperti A, misalnya, nah ketika di lokasi menjadi B, itu gimana mengatasinya? Ya apa yang kita hasilkan di diskusi di ruangan itu ya, bukan di lapangan. Itu sih sifatnya fleksibel. Jadi bukan harga mati. Sangat situasional. Karena memang aku sendiri paham karena ketika di lapangan itu, pasti banyak hal-hal baik kecil maupun besar yang kadang kala gak sesuai perkiraan kita sebelumnya. Banyak. Maka terbiasa juga, dibiasakan juga seorang reporter yang merangkap sebagai periset itu ketika di lapangan ketika melakukan produksi sampai tahapan produksi, itu dia harus mengetahui situasi-situasi apa yang berubah disitu. Dan kalau diperlukan harus ambil keputusan, dia harus ambil keputusan dengan tepat dan cepat. Dan itu gak perlu didiskusikan lagi? Kalau masih memungkinkan ok, kita bisa mendiskusikan by phone misalnya. Seperti itu, Karena situasi dilapangan kan gak bisa menunggu kita. Sering tuh seperti itu? Sering. Persoalan cuaca misalnya. Itu yang gak bisa kita kendalikan. Diluar kemampuan kita. Misalnya kita maunya pada saat siang, bukan scene hujan, tapi ternyata hujan misalnya. Harus cepat berpikir. Apakah bisa digantikan dengan scene hujan kalau memungkinkan. Ada juga seperti itu. Atau bahkan scene hujan itu mendukung cerita kita misalnya. Diluar cerita sebelumnya. Ada juga seperti itu. Atau barangkali yang lebih parah misalnya, subyek pada hari yang ditentukan tidak ada. Pergi atau entah kemana gitu. Padahal sudah janji? Padahal sudah janji. Dan kita tidak bisa menunggu juga kan. Kalau kita masih memungkinkan menunggu, ya kita menunggu. Tapi kalau hanya menunggu, berarti proses produksi kan terganggu. Terlambat. Artinya mesti cari subyek lain sebagai pengganti? Iya betul. Bisa jadi seperti itu. Kadang kala diawal kita sudah pada waktu riset kan kita sudah punya beberapa pilihan. Subyek 1,2,3 misalnya. Ketika subyek 1 sudah kita tetapkan dia itu peringkat 1. Itu subyek utama kita. Pada saat hari produksinya ternyata dia gak ada, atau ada halangan, bisa jadi kita ganti kedua gitu. Ada pemain pengganti gitu ya? Iya seperti itu. Harus. Kalau tidak, kalau semuanya sudah kita rencanakan dan itu bersifat tetap dan baku, sangat susah kita dilapangan. Karena itu memang berhadapan
dengan realitas sewaktu-waktu bisa berubah. Dan itu bukan hitungan hari, bahkan hitungan menit berubah. Pada riset nih misalnya ada pohon bagus dan kita sudah menentukan kita dari sisi mana dari angle dan background dari pohon ini, pada saat hari syuting, itu udah gak ada, itu kan berubah lagi kan. Mesti cari lagi. Kalau orang awam itu, dengar "REFLEKSI" apa sih yang bisa diceritakan? Ini nama program, pilihannya film dokumenter. Tapi sebenarnya film dokumenter itu sendiri sebenarnya banyak gayanya. Nah kita mau ambil gaya yang kebanyakan di televisi, sebelumnya itu film dokumenternya adalah yang bergaya reportase panjang saja. Nah kita gak mau seperti itu. Maunya seperti apa? Kita maunya yang bergaya film gitu. Bahkan gaya-gayanya sampai sekarang pun sebenarnya dari mulai awal "REFLEKSI" itu dijalankan sampai sekarang sengaja kita tidak menetapkan gaya/model baku bagaimana kita bercerita. Tapi semuanya terbuka juga. Ada gaya ekperimental, gaya reportase panjang pun ada kita buat, tapi kita maunya yang utama adalah yang bergaya film gitu. Yang bergaya film ini yang secara sinematografi ini berbeda gitu lho. Kalau yang bergaya reportase panjang itu yang awal tadi yang hanya mengutamakan momen dan kejadian-kejadian. Seperti berita, tapi dia lebih panjang gitu. Tapi kalau bicara flm itu ada kaidah sinematografi disitu. Lebih ditekankan disitu? Iya. Meskipun sebenarnya uniknya, sebagian besar dari kita yang produksi di tim ini bukan teman-teman yang backgroundnya film. Tapi berusaha menjalankan itu. Ada kesulitan gak? Ya pasti kesulitan banyak. Tapi aku piker kalau mau maju belajar dari pengalaman itu sangat berguna gitu lho. Kita harus tahu kesalahan-kesalahan kita dimana dan kita perbaiki terus. Bagaimana dengan segmentasi? Segmen diawal "REFLEKSI" ini dibuat dibuat sudah ditetapkan, dari jenis kelamin jelas gak ada perbedaan. Semua kita mau sasarin. Tapi dari segi usia pasti ada. Dari segi usia itu kita adalah remaja ke atas. Karena apa? Orang kebanyakan berpikir ini persoalan dewasa. Padahal gak gitu. Anak-anak muda sekarang banyak juga yang menyukai dokumenter. Makanya ini juga menjadi sasaran kita. Makanya bagaimana kita menceritakan persoalan-persoalan serius tapi juga punya daya tarik gitu lho. Secara sinematografi memiliki daya tarik. Supaya remaja ini mau menonton juga gitu lho. Selain isinya kan memang harus ada unsur hiburannya juga. Atau mereka belajar juga. Kalau dari segi pendidikan kita pikir menonton dokumenter untuk kalangan pendidikan ke bawah mungkin belum jadi pilihan ya. Karena dianggap seriuslah, beratlah. Nah kita paham itu juga terus kita taruh untuk kategori tingkat pendidikan itu untuk SMA ke atas.
Prosesnya sulit gak sih? Dari awal-akhir? Tahapan untuk membuat – jadi? Kesulitan di film dokumenter sebenarnya dimana-mana sama. Yaitu di riset. Di ide, tema-tema ya sebenarnya kita juga sudah dibatasi ya. Pembatasan tema ini pun sebenarnya cukup luas untuk kita, jadi gak terlalu menyulitkan juga sih. Kita main dipersoalan general, ya tema budaya, kemanusiaan, tema pendidikan, kesehatan, dan macam-macam, tetapi tetap semua itu ada dibatasan bahwa kita harus bicara dari sisi atau angle yang positif. Bukan dari sekedar persoalan kemudian kelemahan……. Tapi ada solusinya? Iya. Misalnya dari persoalan pendidikan yang sangat minim di banyak tempat di Indonesia gitu, dengan fasilitas yang sangat minim, tapi bagaimana kita bisa menggambarkan bahwa anak-anak dengan fasilitas pendidikan yang minim ini mereka punya semangat yang tinggi untuk belajar gitu. Nah dari sini. Mungkin di tempat lain ada yang sekedar membicarakan persoalan permukaannya saja. Mereka hanya mengangkat kekurangan fasilitas ini, kemudian mereka menggugat siapa yang bertanggung jawab dengan ini misalnya. Kita gak seperti itu. Kita cari sisi positifnya. Disitu awal yang sulit sebenarnya di persoalan riset. Dimana-mana bicara dokumenter kan bicara persoalan riset. Seberapa penting riset? Riset itu bagian yang sangat vital untuk sebuah film dokumenter. Kalau diprosentasikan bisa sampai 75 %. Dokumenter adalah riset. Keberhasilan film dokumenter ada di riset. Kita gak bisa hanya mengandalkan riset yang minim kemudian mengandalkan kemampuan improve di lapangan saja gitu, ini sangat abstrak nanti. Kita gak tahu hasilnya seperti apa. Tetapi diawal riset kita sudah sangat kuat. Banyak hal-hal yang kita ketahui secara detail, kecil-kecil kita ketahui dan itu sangat menunjang untuk proses pembuatan film, ini pasti sangat berguna ketika kita bikin treatment saja misalnya. Hal-hal yang kecil pasti berguna kan. Kita ketahui misalnya keluarga ini sebagai subyek, anggota keluarganya berapa, itu saja sudah sangat berguna. Dibandingkan jika kita tidak tahu sama sekali. Hal ini banyak gunanya. Ketika misalnya bukan hanya persoalan cerita, tapi juga persoalan teknis ketika produksi. Misalnya ketika produksi karena kita gak tahu jumlah keluarganya dalam satu rumah itu misalnya berapa, tiba-tiba begitu kita syuting kita akan kaget ternyata di dalam rumah banyak orang dan ini sangat mengganggu buat kita. Karena kita gak tahu, jdai kita gak bisa melakukan antisipasi apa-apa misalnya. Kalau kita ketahui misalnya kan kita akan bisa bilang dengan subyek ini tolong nanti anggota keluarga yang lainnya kalau gak sesuai dengan kebutuhan gambar kita tolong diluar dulu misalnya. Banyak hal-hal kecil yang sangat berguna. Jadi riset intinya. Dan kelemahan kita disitu. Kenapa persoalan riset kita lemah, kadang kita terbiasa membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk mendapatkan hal-hal yang banyak, hal-hal yang detail. Kita membutuhkan waktu yang lebih panjang. Sementara problem utama untuk film dokumenter televisi itu adalah persoalan batasan waktu produksi. Karena kita bicara industri. Untuk kebutuhan industri media begitu. Maka
pasti ada batasan waktu. Misalnya untuk kebutuhan kita di "REFLEKSI" 12 menit film dokumenter itu kita harus selesaikan antara 6 – 7 hari kerja. Maka dengan waktu seperti itu kita harus membagi waktu. Tergantung kebutuhan sih. Masing-masing produksi akan berbeda waktunya. Ada yang riset 2 hari, kemudian produksi 2 hari, sisanya penulisan dan editing misalnya. Tapai masing-masing berbeda. Fleksibellah ya? Iya. Tergantung tingkat kesulitan yang kita buat. Nah itu problemnya. Akan berbeda bila dibandingkan dengan film dokumenter yang sifatnya lebih independen. Non televisi. Karena mereka gak dibatasi persoalan waktu. Mereka bisa bebas tentukan waktu. Misalnya range 3 – 6 bulan. Mereka bisa itu. Menunggu momen-momen tertentu yang masih akan terjadi di waktu yang akan dating mereka masih bisa. Tapi untuk kebutuhan televisi kita gak seperti itu. Kita industri. Mengapa 12 menit? Sebenarnya persoalan 12 menit, kita punya jatah tayangan itu weekly. Seminggu sekali. Satu tayang itu kita punya jatah 24 menit, nah itu kita pilih 12 menit sebenarnya ya kita kan masih belajar, tahapan awal, kita cuma punya pengalaman, sebagian besar teman-teman yang bergabung di tum "REFLEKSI" itu hanya punya pengalaman membuat berita. Bukan membuat film dokumenter. Maka ketika kita memiliki jatah 24 menit, paling mungkin adalah kita bikin 12 menit tapi dua kali. Untuk mensiasatinya gitu ya? Iya karena kita masih belajar gitu. Untuk bikin 24 juga bukan hal yang mudah lho. Sementara di 12 menit saja kita dengan susah payah sering kali. Karena kalau bicara pada saat editing misalnya, itu kan bicaranya per detik per second gitu. Nah untuk menjadi 12 menit itu butuh proses panjang. Maka kita belum kasih target kita belum bisa bikin 24 menit. Tapi akhir-akhir ini kita improve juga supaya kemampuan kita lebih maju. Kalau kita temukan tema-tema yang menarik untuk diceritakan lebih panjang dari 12 menit kita akan bikin 24 menit dan itu sudah kita coba. Tapi tidak semua tema. Karena memang ada tema-tema yang biasa saja tetapi kalau kita paksakan menjadi 24 menit itu akan sangat membosankan. Tapi ada juga tema-tema yang sangat menarik, jadi saying kalau diceritakan hanya 12 menit. Maka kita situasional juga. Kalau yang dari awal – sekarang porsinya 12 sama 24 berapa persen? Wah masih jauh ya. Porsi 24 menit itu kita masih tahapan coba-coba. Paling kalau mau diprosentasikan ya masih 80 % 12 menit kita bikin. Ada mekanisme evaluasi untuk menjaga kualitas? Kalau bicara evaluasi itu biasanya aku sampaikan ke teman-teman, pada saat selesai membuat satu produksi itu teman-teman yang buat harus tahu kelemahannya dimana karena dia yang bikin. Dia harus lebih paham apa yang dia buat. Yang lebih utama
dia harus lebih tahu kelemahannya dimana. Dan itu kuncinya. Itu kunci pertama. Kemudian, kita juga punya forum, forum evaluasi. Dan biasa di bulanan itu. Oh yang dirapat itu sekalian? Iya. Selain tunjukkan karya-karya yang menurut teman-teman itu terbaiknya, selama sebulan itu, tunjukkan juga yang terburuknya yang mana. Kenapa? Itu kan pelajara. Pelajaran terbaik kan sebenarnya dari hal-hal yang terburuk. Bukan cuma hal-hal yang bagus aja buat kita. Kalau bagus-bagus saja yang kita tunjukkan Cuma dapat pujian dan kita besar kepala. Kita gak tahu kelemahan kita. Begitu sebaliknya kita mesti dikritik, dikasih masukan sebanyak-banyaknya, kelemahannya dimana. Justru dari itu kita bisa memperkuat dan menutupi kekurangan apa gitu. Model evaluasinya sih seperti itu. Kalau tolok ukur keberhasilan? Kita pernah diskusikan itu. Persoalan keberhasilan sebuah film dokumenter itu yang seperti apa? Ya kalau untuk keperluan televisi bukan Cuma memenuhi deadline. Kan kita ada batasan antara target waktu sama target kualitas. Tapi untuk general, untuk kebutuhan televisi sebenarnya ukurannya apa sih? Ukurannya ya dilihat orang. Tapi sampai saat ini sebenarnya kita belum punya alat ukur itu. Seberapa banyak film-film kita ini yang dilihat orang dan diminati gitu. Tapi bukannya dari sms atau apalah itu bisa dijadikan patokan? Bisa sih, tapi bukan representative pemirsa kita. Paling satu dua orang yang kepengen atau iseng aja gitu. Atau benar-benar gak suka atau sebaliknya benar-benar suka gitu. Baru sms. Kalau yang biasa-biasa aja yang Cuma sekedar menonton televisi saja sambilan dirumah dia gak akan tergerak apa-apa. Tidak melakukan apa-apa. Tapi kalau daru ukuran kita sendiri sih ya itu dari forum evaluasi itu sebenarnya kita ketahui, yang penting adalah memenuhi target waktu dan target kualitas. Target kualitas itu kan kita biasanya bikin 3 kategori. Kita yang membuat sudah harus tahu. Ini masuk kategori kualitas yang mana. Kita ada kualitas A, itu sngat baik,……….. Oh ada kategori? Iya bikin sendiri. Ukurannya apa ya? Subyektif bangetlah gitu. Tapi itu dirumuskan bareng-bareng. Ada apa saja? Pokoknya kira-kira ada 3. Yang baik, sedang, buruk gitu. Nah ini masing-masing harus tahu masuk kategori mana, dan kenapa masuk kategori itu? Kan biasanya kita yang membuat kita yang paham persoalan-persoalan ketika kita berproduksi. Misalnya ya itu tadi sudah dirancang bagus-bagus ternyata pada waktu hari produksinya subyeknya hilang kemudian harus ambil keputusan cepat merubah subyek tetapi hasilnya tidak memuaskan dan akhirnya masuk kategori C misalnya ya sudah disampaikan, itu alasan berarti. Ada alasan. Selama itu masih bisa diterima masih batas waktu yang masuk akal atau toleransi ya kita bisa terima gitu. Paling nanti rekomendasinya apa gitu. Dari kesalahan atau kelemahan-kelemahan yang ada
gitu. Tapi kalau tidak ada problem apa-apa tapi masuk kategori yang C, nah ini persoalan kan dan kita mesti tahu. Kenapa gitu. Atau bahkan ini dokumenter kita riset hanya sebentar kemudian tanpa treatment langsung on the spot kita berpikir di lapangan tapi ternyata hasilnya masuk kualitas A, kenapa bisa begini gitu lho, kita mesti tahu juga kan. Gunanya untuk bahan pelajaran untuk kita semua juga. Padahal harusnya pakai treatment segala kan? Harus. Pernah sampai bikin story board juga gak sih? Enggak. Karena kita terbatas waktu produksinya kita hanya sampai treatment cukup. Gak ada scenario segala. Itu gak ada. Tapi seperti tadi, narsum yang gak ada padahal sudah janji, dll sementara deadline-nya kan mepet gitu kan, nah pernah gak sih lewat deadline? Oh ada juga. Misalnya hari produksinya sudah masuk sudah sesuai rencana tetapi ternyata ada halangan kita gak bisa syuting pada hari itu misalnya ya bisa juga. Itu artinya kan kendala dan gak akan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Balik ke kantor ya udah gak papa, riset untuk tema yang baru. Atau rancangkan lagi tema yang sebelumnya dimatangkan untuk syuting di hari yang lain. Tapi ada deadline misalnya hari senin tayang sementara belum ada stoknya itu gimana? Ya sementara ini kita masih tertolong dengan adanya stok dan re-run. Nah persoalan kita melewati target waktu itu masih taraf yang baik. Tapi Karena timnya kecil. Selain itu juga perlu diakui banyak persoalan tim yang kurang solid juga. Jadi ya imbasnya tadi itu. Nah ukuran keberhasilannya ya itu aja. Kita mampu memenuhi target gak? Baik target waktu maupun target kualitas. Ya itu jadi problem, misalnya satu orang sakit aja, itu sudah cukup mengganggu aktivitas produski. Karena gak ada cadangan. Gak ada gantinya. Gak ada cadangan. Atau ambil libur atau cuti dengan waktu yang berbeda antara reporter dan kameraman itu problem juga. Jadi seringkali aku, produser, juga harus merangkap. Ya kadang ambil gambar juga, ya kadang menggantikan reporter juga kadang editing juga ya memang tuntutannya seperti itu ya harus dilakukan juga. Tapi dengan tim yang sekarang dengan beban kerja sekarang udah ideal belum tim ini? Belum. Perhitungannya kan gini aja. Kita punya dua tim yang harus berproduksi dalam waktu satu minggu, satu. Masing-masing satu dengan durasi 12 menit, dan kebutuhan tayangnya 2x12 menit. Artinya itu kan pas gak ada backup, idealnya sih ada satu tim back up gitu. Jadi ada satu tim lagi?
Iya. Jadi itu sekaligus untuk kebutuhan stok kita. Stok tayangan. Kita sudah samasama paham deh, kalau dengan situasi seperti ini sampai dengan nanti misalnya kita udah gak punya stok dan gak ada re-run lagi itu kita memasuki tahapan kejar tayang. Dan itu sudah dapat kita yakini bahwa bila kita sampai ke tahapan itu kualitasnya pasti sangat tidak memuaskan. Ya apa adanya. Karena kita dituntut. 6 hari sudah harus selesai. Selesai gak selesai, bagus gak bagus harus ada karena ini kebutuhan televisi gitu. Gak mungkin kita 6 hari waktunya tayang, belum selesai, kasih aja tulisan, maaf gak ada film dokumenter karena kita belum selesai. Gak ada seperti itu. Ngomong-ngomong tentang model atau gaya ka nada kalanya dokumenter itu gak pakai narasi, dsb, nah kalau di "REFLEKSI" ini bagaimana? Yaitu, aku sengaja tidak membatasi gaya dokumenter apa yang akan mau kita buat kita pilih supaya ini gak makin menyempitkan kita gitu, dan teman-teman juga bisa bereksplor dengan macam-macam gaya. Hampir semua gaya kita coba, gaya berceritanya ya, misalnya menggunakan voice over atau tanpa voice over dengan subyek yang bercerita ada ada kalanya di dokumenter-dokumenter yang sifatnya keilmuan itu, ilmu pengetahuan itu biasanya yang tanpa subyek tanpa narasumber, semuanya voice over juga ada. Tapi ini lebih sedikit. Yang lebih banyak kita lakukan adalah gabungan antara voice over dan narasumber. Ada juga yang tanpa voice over. Nah kapan penentuan menggunakan A, kapan pakai narasi kapan enggak, dsb itu siapa yang menentukan? Apakah di rapat itu? Ada dokumenter yang memang kita tentukan di awal. Ini akan bercerita menggunakan apa? Misalnya kita mendapati subyek yang ok, cukup komunikatif, pandai bercerita dan kita tidak mengalami kesulitan menggali cerita, cerita-ceritanya selalu menarik, kita bisa rancangkan, tetapkan di awal, oh nanti gaya berceritanya biarkan subyek yang bercerita. Tanpa voice over kita. Itu bisa. Tapi tinggal kita arahkan, pernyataan kan kita dapatkan dari pertanyaan. Nah pertanyaan-pertanyaan ini yang kita tentukan. Kita arahkan. Supaya mendapatkan pernyataan yang sesuai dengan yang kita harapkan. Seperti itu. Sebenarnya lebih gampang mana sih dari semua gaya-gaya itu? Termasuk dari segi pengerejaan, dll? Ya pasti semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing gaya tadi. Kalau gaya yang membiarkan subyek yang bercerita itu pada saat selesai produksi, selesai syuting, reporter tidak perlu membuat naskah lagi. Tidak perlu menuliskan, dia hanya merangkai dari yang sudah ada. Tetapi dia harus rancangkan ceritanya itu lebih awal melalui pertanyaan-pertanyaan tadi. Pertanyaan yang semuanya sudah terarah sehingga mendapatkan jawaban atau pernyataan yang sesuai dengan cerita kita. Kalau gak sesuai kan gak akan kita pakai gitu. Nah dia harus mikir diawal. Tapi itu kesulitannya ya? Iya begitu. Tapi setelah itu ya udah dia tinggal merangkai saja tanpa harus menulis cerita lagi gitu kan. Tapi kalau yang menggunakan voice over biasanya kita lakukan
bilamana subyek ini subyek yang cerita-ceritanya kurang hidup kurang menarik, sehingga kita perlu tambahi dengan voice over gitu. Ya perlu kita tambahi dengan voice over sekalian kita lengkapi. Kan kadang kala cerita dari subyek kan gak mudah ditangkap oleh orang lain. Kita yang mengikuti mungkin tahu apa maksudnya tapi itu jika mau dipotong sebagai pernyataan gak mudah ditangkap oleh orang lain, ya caranya kita menggunakan voice over. Nah kalau yang menggunakan cara ini pada saat syuting ya si reporter harus menulis skrip lagi. Bagaimana dengan gaya "REFLEKSI", apakah formal, semi formal atau apa? Justru kalau aku lihat sih justru gak mau dengan gaya formal gitu ya. Gaya-gayanya ya dokumenter itu harusnya seperti kita orang yang menonton, ,kita berhadapan langsung dengan subyek. Jadi ada kedekatan gitu lho. Seperti mendengarkan cerita bukan melihat. Tapi mendengarkan cerita, mendengarkan itu kan sifatnya lebih emosional dan ada kedekatan. Seperti 2 orang teman gitu. Maunya sih seperti itu, maka gaya-gayanya pun gaya-gaya yang gak kaku gitu. Maunya kita seperti itu. Mau ikut festival dimana lagi? Mau juga sih. Jadi tahu ukuran dokumenter kita bisa dihargai. Kalau tempat lain itu kan ukurannya adalah berusaha ikut festival. Ya mana saja sih. Itu kan ssebagai salah satu keberhasilan. Tapi itu sebenarnya buat kita yang membuat film dokumenter itu ukuran keberhasilan sesungguhnya adalah kita kan ini dokumenternya banyak bicara tentang persoalan-persoalan yang ada disekitar kita gitu, nah bagaimana dokumenter ini bisa menjadi media jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang kita angkat didalam film ini gitu. Kalau film yang kita buat diterima banyak orang, ditonton oleh banyak orang, menang diberbagai festival mendapat sambutan, applause tepuk tangan dari penonton, itu bukan ukuran keberhasilan sebenarnya. Tapi keberhasilan sesungguhnya adalah ketika film dokumenter ini berhasil membuat orang berpikir atau bahkan bertindak bagaimana turut menyelesaikan masalah yang ada di film itu gitu, itu baru keberhasilan. Dokumenter kan tujuannya merubah sudut pandang orang atau merubah tindakan orang. Ke arah lebih positif tentunya. Mungkin dengan yang ada di pedalaman Tasik itu salah satunya gitu? Ya. Kita melihat ukurannya itu. Misalnya salah satu dokumenter kita yang bercerita tentang perjuangan anak-anak SD di pedalaman Tasikmalaya, kalau sekolah mereka harus menyeberangi sungai menempuh bahaya gitu, nah ketika dokumenter ini kita buat dan ditonton oleh yayasan terus yayasan tergerak apa yang mereka lakukan. Maka dibangunlah sebuah jembatan, sekolahnya menjadi bagus, nah ini baru keberhasilan kalau buat kita. Itu sebenarnya intinya. Bagaimana dokumenter itu bisa merubah keadaan. Ini keberhasilan. Kalau buat teman-teman yang sedang belajar sih yang masih mencari eksistensi untuk diakui gitu ya kadang sekedar filmnya ditonton banyak orang, menang di festival dapat tepuk tangan, cukup gitu. Meskipun gak ada perubahan apa-apa untuk subyek dicerita kita gitu……… Itu mungkin sebuah pilihan gitu?
Iya. Tolok ukur kan beda-beda kan. Itu sebuah pilihan, ,kita mau apa dengan film dokumenter kita. Kan ada juga film-film yang kita buat misalnya program 1000 buku untuk tuna netra misalnya, itu kita seperti itu. Dan itu mau digunakan sebagai media kampanyenya lembaga yang bersangkutan, Mitranetra kita persilahkan saja gitu. Kita persilahkan saja mereka gunakan di pameran-pameran mana terus dia roadshow kemana gitu, ya silahkan saja digunakan. Selama bukan untuk kepentingan komersil, itu juga bagian dari sumbangan kita juga gitu. Kalau dari situ ada yang tergerak mau bergabung menjadi volunteer Mitranetra itu ukuran keberhasilan kita juga. Piala no. 2-lah ya? Iya. Itu akibat saja, kalau kita memang bikin dengan sungguh-sungguh, ,bagus, orang memberi apresiasi itu akibat aja gitu, tapi bukan tujuan kita gitu.
DIAN PANGASTUTI (REPORTER) Apa tugas utama reporter? Kalau reporter dari mulai mencari tema setelah didiskusikan dengan produser nanti apa yang akan diangkat benang merahnya apa, yang jadi titik menariknya apa, bikin treatment, sorry riset dulu terus mendiskusikan dengan produser, setelah mendapat titik temunya, bikin treatment, gambarannya apa aja yang akan diambil, shot-shot apa aja, terus liputan sampai penulisan skrip, TC (time code), skrip, sampai akhirnya produksi. Darimana biasanya mendapatkan tema? Dulu pernah Ari menentukan tema per bulan, misalnya budaya gitu, tapi tidak bisa berjalan. Mungkin kesulitannya karena waktu juga. Kedua timnya yang kecil. Seperti itu. Tapi sekrang seperti kepada dilepas, tema-tema lepas aja. Biasanya dari internet, baca, laporan, dan dilihat dari segi konsepnya menarik untuk dikerjakan atau tidak. Itu juga harus diriset? Kenapa? Karena berbicara gambar ya dan gambar sngat kuat untuk media televisi, visual itu sangat kuat. Jadi treatment itu sebelum produksi? Iya. Seberapa penting sih treatment? Seberapa penting? Ya treatment itu untuk menentukan kan masa liputan itu kan ditentukan, dalam masa waktu 5 hari itu harus sudah selesai produksi gitu. Semakin cepat riset itu semakin baik.
Biasanya berapa lama dari mulai datap tema, riset, sampai pembuatan treatment? 3 hari, itu paling maksimal. Terus dari treatment langsung dibikin naskah? Habis dari treatment itu kita liputan dulu, wawancara. Nah dari treatment itu kita bisa cepat membawa kita dalam penulisan skrip. Karena kita sudah tahu apa yang akan kita tanyakan dan ceritakan pun sudah ketahuan. Sampai kayak bikin story board gitu juga gak sih? Story board sih enggak, paling settingan aja, ya ibaratnya kita tahu letak-letak untuk rekonstruksi kalau memang ada. Oh itu ada? Sulit gak sih? Seberapa sering? Oh enggak. Jarang kok. Bisa dihitung 2-3 kai lah. Kenapa jarang? Bukankah dengan rekonstruksi akan jauh lebih menarik? Kalau yang g alami adalah kalau ada kesulitan dari narasumbernya sedikit baru ada settingan gitu. Ya itu awalnya kalau dari treatmentnya udah jelas jadi tidak perlu. Kita ngomong soal gaya penulisan, mungkin kan kalau kita ngomong dokumenter kan agak berbeda dengan news, juga program yang lain, gaya penulisan di dokumenter "REFLEKSI" apa sih? Apakah serius, formal, semi serius atau apa gitu? Yang jelas sederhana, dan mudah dimengerti ya. Tidak terlalu berbunga-bunga. Jadi sesederhana mungkin agar pesan ini cepat sampai kepada yang nonton gitu. Ada gak sih sistematika konstruksi visual dengan narasi? Ya itu awalnya dari treatment itu. Dari treatment itu kita kan udah ada gambaran apa yang akan kita bikin. Termasuk gambar-gambarnya. Gambarnya apa alurnya apa gitu. Lho bukannya dikerjakan kameraman? Harusnya begitu ya. Tapi setelah saya berdiskusi dengan orang-orang luar tapi ya sudahlah. Buat g sebagai orang yang baru dan itu sangat berarti buat g. Kan g bisa jadi belajar. Harusnya memang kameraman setahu g. Bagaimana menentukan pemakaian narasi? Apakah semua menggunakan narasi? Enggak. Kebetulan g ada beberapa yang dari narasumber, kadang cerita dari dia sudah terstruktur gitu. Yang sesuai dengan treatment itu. Itu satu. Yang kedua, gambarnya banyak jadi gak perlu narasi terlalu banyak. Bagaimana menentukan ini pakai narasi ini tidak?
Satu dari banyaknya gambar, kedua ya memang kalau dari si narasumber itu menarik, kan akan lebih menarik kalau si narasumber itu yang ngomong dibandingkan jika kalau pakai narasi. Kalau menurutmu, mana yang lebih ok? Kalau aku sih lebih enak gak pakai narasi. Ha………. Kadang kalau kita ngomong narasumber beda-beda juga kan ya? Ada orang yang ketika kamu riset mungkin enak ngomongnya, tapi ketika ada kamera itu kan beda? Itu seberapa sering? Bagaimana mengatasinya? Kalau seberapa sering sih enggak juga. Mensiasatinya ya dari bagaimana cara kita bertanya. Sebenarnya dari riset pun sudah ketahuan bentuk pertanyaan-pertanyaan yang tak jauh beda. Jadi ya tergantung bagaimana menyikapinya aja sih. Biasanya dia menanyakan dulu, kira-kira bentuk pertanyaannya seperti apa sih mbak, gitu. Ya seperti waktu kita ngobrol kemarin aja gitu paling. Jadi gak jauh beda. Ketika riset biaanya reporter sendirian atau kameraman ikut juga? Kadang-kadang kameraman ikut, kadang juga enggak. Kalau menurut reporter, apakah sebaiknya kameraman ikut juga? Sebainya ikut juga. Artinya kita mensinkronkan antara kebutuhan gambar dia apa, dengan narasi yang akan kita buat. Kendala apa yang biasa ditemui? Kerja sama aja kali. Kameraman susah diatur. Program ini kan mingguan, seminggu berapa kali? Sekali tayang, tapi sekali tayang dua cerita. Tapi dari kamu sendiri satu cerita? Iya satu cerita. Kalau tidak salah kan ada 12 ada 24, kenapa 12 kenapa 24? Kalau 24 itu ketika cerita itu menarik, ketika cerita itu menarik kan saying Cuma dibuat 12 menit gitu. Begitu pula ketika ceritanya kurang menarik dan dipaksakan menjadi 24 itu terlalu mengada-ngadalah. Tapi bukannyya sayang Cuma 12 menit? Iya sayang, tapi mau gimana, jika ceritanya kurang menarik trus gambar juga kurang. Dengan tim yang ada gimana? Dengan deadline seminggu satu cerita? Kalau untuk hitungan 12 menit cukuplah. Tak ada kata tidak cukup. Kalau tidak cukup ya kesalahan pada orangnya. Kadang kan kita malas atau lelet dalam mencari bahan atau ketika riset gitu.
Kalau waktu post produksi apa yang dikerjakan reporter? Sambil menunggu kameraman selesai, ya mikirin untuk nyari bahan selanjutnya. Sama ketika kameraman sudah selesai pasti reporter harus melihat. Kali aja ada yang terlewat atau apa gitu. Apa yang kurang. Jadi semacam QC awal gitu ya? Iya. Sebenarnya susah gak sih bikin dokumenter? Buat aku susah. Karena ini barang baru. Dan penyesuaiannya satu tahun buat aku atau mungkin proses pembelajaran itu sulit buat aku. Seperti dalam pembuatan treatment aja sangat lama gitu. Biasanya cari ide itu bagaimana? Ide ya dari internet, baca, habis itu baru diskusi gitu. Pernah gak sih ada kayak proyeksi liputan, misalnya bulan ini kita ngapain aja? Ya itu, harusnya. Ari dulu menerapkan itu. Dan sulit ya. Tapi bukankah itu memudahkan? Harusnya memang iya, tapi ya menguap aja. Terus ngelajaninnya gimana tuh? Ya itu jadi eceran. Jadi satu-satu gitu. Kesulitan lainnya? Kadang kita gak bisa membayangkan gambarnya apa gitu ya. Karen apa yang kita gambarkan belum tentu dilapangannya ada gitu. Itu kan sering terjadi. Riset itu seperti Garin bilang: aku diceburkan ke laut, dan gimana caranya dengan caraku sendiri aku harus bisa menepi. Ketika wawancara siapa yang men-direct narasumber? Menentukan lokasi, dll? Oh itu kameraman, Karena dia tahu. Scene yang bagus seperti apa. Kalau kita bicara tentang strategi supaya orang bisa ngomong gitu, apa sih yang bisa dilakukan? Karena kadang dia kan jawabnya Cuma sepenggal-penggal gitu? Ya strateginya bagaimana kita membuat pertanyaan. Pertanyaan yang terbuka. Pilihlah pertanyaan yang banyak how-nya. Ada gak sih evaluasi kerja gitu? Ada kok. Sebenarnya tiap bulan itu ada. Tapi beberapa bulan ini tidak dilakukan karena kesibukan.
Sebenarnya mekanisme kerjanya seperti apa sih? Dari ide terus riset, treatment, liputan, pembuatan naskah, dan editing. Lama juga ya? Lama. Tapi dalam waktu singkat kita harus mengrjakan itu semua dengan tepat. Gimana tuh cara mensiasatinya? Ya biasanya liputan dihabiskan dalam waktu sehari. Dari riset itu kan ketahuan. Gimana caranya liputan bisa selesai dalam sehari. Satu hari TC, setengah hari skrip, lalu supervisi. Yang disupervisi tulisan? Iya. Menurutmu udah cukup sampai tahap treatment? Cukup. Itu kan untuk yang paling sederhana aja. Apalagi dengan keterbatasan waktu.
SAPTO AGUS IRAWAN (KAMERAMAN) Tugas utama sebagai kameraman? Tugas pokoknya ya syuting, ambil gambar, terus biasanya bikin treatment juga,.......... Bikin treatment juga? Iya, tapi itu agak jarang juga. Selain itu biasanya kalau dilapangan tidak sesuai dengan treatment terkadang berbeda sekali ya, ya disitu....... Itu gimana mensiasati atau men-develop-nya? Kalau ada perbedaan dengan treatment ya tinggal kita komunikasikan saja dengan reporter gitu, kira-kira begini bisa gak? Ya kalau ada perubahan ya tinggal disiasati di lapangan gitu. Dan gak ada yang baku. Karena kan dinamis gitu ya, ya gimana kita di lapangan, jadi kita men-direct juga gitu. Apakah itu jadi kesulitan dasar yang biasa ditemui? Sebenarnya bukan kesulitan ya. Apa ya? Ya dinamika aja sih, karena tidak ada yang selalu pasti dengan apa yang kita mau begitu. Misalnya apa gitu? Ya misalnya narasumbernya tidak komplit. Itu masalah juga. Kemudian kalau misalnya kita berharap situasinya seperti A, tapi kenyatannya B, ya sudah dari B itu kita create sendiri. Seberapa sering itu terjadi?
Ya sering. Sering sekali karena persoalannya kan pada riset ya. Kadang riset gak komplit. Itu jadi masalah juga. Jadi riset harusnya komplit ya? Riset harus komplit. Karena kalau risetnya sudah komplit itu sudah setengah pekerjaan sudah selesai. Mengapa dalam tahap riset masih menemui kesulitan padahal sudah ditentukan waktunya? Ya kalau hitungan ideal sih begitu. Lagi-lagi memang tidak bisa ideal karena keterbatasan orang. Jadi kalau misalnya riset dalam pengertian saya, kan riset itu kalau reporter kan menentukan narasumber, ceritanya seperti apa, nah kalau saya kebutuhan saya adalah kebutuhan visual begitu. Nah cerita ini situasinya nanti seperti apa, idealnya waktu riset ini saya ikut, .......... Tapi seringkali gak ikut? Sering kali gak ikut karena masih ada beban kerjaan editing misalnya. Jadi kadang saya hanya menangkap oh ceritanya nanti akan seperti ini, ya sudah berdasar cerita dari reporter tadi. Jadi gak ada gambaran apa-apa kecuali dari imaji-imaji berdasar cerita reporter itu. Ya dari situ saja. Idealnya harusnya ikut ya? Iya harusnya ikut. Paling tidak kita foto gitu. Untuk memetakan situasi. Jadi kita tahu man-mana saja yang ............. Tapi kan bisa disiasati dengan reporter yang ketika riset juga mengambil foto, misalnya seperti ini dst, ? Idealnya seperti itu, cuma persoalannya reporter juga tidak selalu riset di lapangan, kadang kala cuma by phone ...........Memang banyak yang gak ideal tapi harus tetap jalan gitu. Ya bagaimana kita bisa menyiasatinya saja. Cara men-develop cerita yang tidak sesuai dengan treatment? Ya itu tadi kita komunikasikan saja dengan reporter. Biasanya saya tidak pernah ikut campur dengan cerita, atau kita mau syuting apa gitu, saya Cuma tanya kira-kira dengan kondisi seperti ini maunya bagaimana, gitu aja. Ya sudah seadanya saja kita maksimalkan. Kita improve lagi. Tapi kan ada kalanya misalnya seorang kameraman juga terlibat dalam proses riset dalam tahap pra produksi ini kan? Karena dia berkepentingan dengan visual yang akan di ambil gitu kan? Apa itu juga pernah dilakukan? Ya pernah. Paling tidak kalau , memang itu dilakukan karena begini walau kita tidak ikut riset tetapi dilapangan saya harus memikirkan ini openingnya akan seperti apa, alur ceritanya seperti apa, endingnya seperti apa, intinya supaya cerita yang kita
ambil ini ada nadanya gitu. Ya saya memikirkan itu. Dan terkadang tidak banyak waktu untuk memikirkan itu, jadi ya kita mikir sembari kerja. Dokumenter merepresentasikan realita apa adanya. Bagaimana dengan settingan subyek agak mendapatkan gambar yang menarik? Ya menurut saya itu sah-sah saja karena itu kan kita itu media visual ya. Jadi kita gak bisa bercerita A tapi gambarnya B. Paling tidak yang disetting itu memang kejadian nyata gitu. Hal itu sudah lewat dan kita gak dapat momennya gitu. Pendekatan seperti apa yang dilakukan ketika menghadapi subyek? Apakah langsung mengambil gambar seketika? Kadang-kadang kalau memang situasinya seperti treatment ya kita intinya sebisa mungkin mendekati treatment. Itu aja. Kalau misalnya dari treatment tidak ada ya itu tadi kita men-develop sendiri dan kita gak bisa bilang itu pendekatan seperti apa gitu karena itu memang sangat dinamis. Sangat situasional. Fleksibel. Seberapa penting treatment buat kameraman? Ya treatment sangat penting. Kenapa? Ya dengan treatment sebenarnya kita sudah selesai dari setengah pekerjaan. Dengan adanya treatment kita jadi enak gitu. Sentuhan estetika apa yang biasanya digunakan? Ya ada. Apakah kameraman membuat breakdown shot setelah mendapat treatment dari reporter? Ada seperti itu. Kadang-kadang kalau setelah reporter membuat treatment saya baca, kemudian ya itu tadi karena waktunya terbatas saya jadi gak sempat membuat breakdown shot tapi dari treatment A, nanti kira-kira akan seperti ini. Dibuat di kepala tidak tertulis. Kalau waktunya sempat sih memang perlu dibuat, tapi kita seringkali tdak sempat karena keterbatasan waktu. Karena memang situasi di lapangan itu tidak sepenuhnya tahu gitu. Bagaimana dengan variasi shot? Iya pasti banyak. Semua shot kita pakai kok. Untuk dokumenter 12 menit biasanya berapa kaset habisnya? Kalau saya sih biasanya kalau untuk 12 menit ya paling banyak 5 kaset, durasi 40 menit. Jadi 40 x 5. Banyak juga ya?
Iya banyak. Sebenarnya itu juga tergantung pada ceritanya juga. Kalau saya sih kebiasaan saya, saya berprinsip jangan sampai begitu di kantor saya kehabisan gambar gitu aja. Jadi waktu belanja gambar banyak-banyak deh. Ada semacam pencatatan visual (shot list) agar memudahkan dalam proses editing? Kalau pencatatan khusus tidak ada. Tapi kita sudah tahu, mana yang akan diambil mana yang tidak. Karena kita kameramannya jadi kita sudah hafal dengan gambargambar yang kita ambil gitu. Bahkan pola cerita yang akan kita bikin pun sudah tahu. Itu mungkin menjadi keuntungan menjadi editor sekaligus? Iya salah satunya itu. Kalau waktu wawancara dengan narasumber, apa tugas kameraman? Ya men-setting tempat, itu yang pertama, kemudian menentukan angle dan komposisi, juga pengaturan audio. Untuk pemilihan setting itu bagaimana? Kalau interview sedapat mungkin background itu merepresentasikan cerita atau tokoh. Jadi kadang-kadang, yang biasanya saya lakukan ada dua hal. Pertama, apakah saya akan menonjolkan tokoh ini atau set-nya yang akan saya tonjolkan. Kalau tokohnya kurang menarik gitu, tapi dia memiliki jalan cerita yang sangat menarik tempatnya juga menarik yang saya lakukan adalah setting, misalnya long shot satu badan penuh begitu. Itu misalnya settingnya menarik tapi tokohnya kurang menarik. Kalau tokohnya menarik, ekspresinya menarik, ada yang khas dalam dirinya itu kita bisa ambil medium. Kesulitan mendasar kameraman dokumenter apa sih yang bisa kamu alami? Kesulitannya mendasar sih kalau yang selama ini saya alami itu ya menangkap momen gitu ya. Karena saya lebih banyak tanpa men-direct, jadi apa adanya. Kadang dia berbicara apa, kita kan mau tahu juga kan. Misalnya dia membicarakan apa, kita gak tahu arahnya kemana gitu. Kadang-kadang karena mereka bukan tokoh dalam film jadi kalau di-direct malah tambah hancur gitu. Kalau kita biarkan apa adanya. Tapi bukankah kadang adakalnya kita perlu men-direct supaya lebih menarik gambarnya? Bisa. Dalam kondisi tertentu memang perlu di-direct untuk keperluan cerita. Beberapa saya juga men-direct tapi saya lebih suka natural saja. Pada waktu pra poduksi, riset apakah kameraman terlibat? Seharusnya terlibat, kalau selama ini karena biasanya tema cerita itu kan dari reporter, lalu dia mengkomunikasikan ke saya, saya tanya seperti apa ini kondisinya, dari situ kemudian ditetapkan treatment-nya seperti apa.
Tapi kan tidak menutup kemungkinan tema cerita itu dari kameraman? Iya tentu. Ini adalah program mingguan, boleh tahu sistem kerjanya seperti apa? Kalau di tim "REFLEKSI" itu ada semacam time schedule ya. Itu kan ada satu produksi itu 7 hari kerja untuk 12 menit. Itu ada hitungannya. Misalnya berapa hari riset, syuting berapa hari, lalu bikin naskah itu berapa hari, dst, jadi ketahuan gitu. Idealnya seperti apa? Misalnya berapa hari riset, berapa hari syuting, berapa hari editing? Kalau menurut saya, yang selama ini 7 hari itu cukup ya untuk 12 menit. Artinya semua itu bisa jalan. Misalnya untuk editing itu cukup 2 hari. Bahkan terkadang 1 hari setengah. Kemudian naskah biasanya paling lama 2 hari. Riset sehari. Syuting kadang bisa sehari-dua hari. Dari skema waktu itu bagian mana yang paling lama? Yang sangat tidak menentu itu syuting. Itu sangat tidak menentu karena berkaitan dengan orang di luar kita. Kadang walau sudah janji kita gak jadi. Itu bisa sehari – tiga hari. Kalau yang lain-lain bisa kita kontrol. Misalnya editing saya bisa kontrol 2 hari atau bahkan 1 – 1,5 hari. Paling lama 2,5 hari. Naskah juga cepat. Termasuk riset juga bisa dikontrol. Yang gak terkontrol itu syuting. Karena kadang diluar kemampuan kita. Kalau misalnya kita sudah menentukan narasumber, tapi ketika dilapangan narasumber berhalangan, apa yang dilakukan? Menurutku ya batal. Ya itu gak ada soal. Itu kan bisa diundur. Tapi kan waktu produksi jadi molor? Iya itu resikonya. Waktu produksinya jadi molor. Tapi selama ini bisa memenuhi deadline? Iya. Bahkah seringkali gak sampai 7 hari sudah selesai. Dulu kebiasaan saya tuh malah 5 hari selesai. Jadi misalnya senin syuting, jumat sudah selesai. Peralatan teknis apa saja yang digunakan? Kamera satu set dan peralatan audio clip on, itu saja cukup. Sangat simple. Sangat sederhana. Jadi memang sebenarnya tidak perlu banyak orang begitu. Banyak yang bilang dokumenter kan berat. Biasanya banyak melibatkan orang. Tapi disini bisa dilakukan dengan tim yang kecil. Menurutmu gimana? Menurut saya sih mungkin kalau ada spesialisasi itu lebih bagus ya. Misalnya ada soundman sendiri. Pasti ada kelebihan disitu. Tapi menurut saya tetap walau dengan dua orang itu sudah cukup. Karena memang kameraman juga bisa mengontrol audio
misalnya. Walau memang kadang terbatas. Itu aja. Tapi pada intinya itu semua bisa. Bahkan saya lebih suka pola itu. Simple kru. Kenapa? Karena saya senang, saya menjadi satu-satunya eksekutor disitu. Lebih cepat. Dan apa yang saya mau saya bisa lakukan. Artinya saya tidak memposisikan sebagai kameraman operator , bukan sekedar kamu syuting ini syuting itu, tidak seperti itu. Bagaimana saya menggali berdasarkan apa yang saya maui gitu. Jadi saya menyukai ini karena saya memposisikan diri tidak sebagai kamera operator. Dengan tim yang sekarang sudah cukup? Iya sudah cukup. Sangat cukup.
SAPTO AGUS IRAWAN (EDITOR) Kalau tugas utama editor apa? Yang biasa saya lakukan capture, bikin offline, online, termasuk mixing. Ya dari A – Z. Kendala apa yang biasa ditemui ketika tahapan ini? Sebenarnya kalau kendala tidak banyak kita temui ya, paling kita menentukan struktur cerita kita aja gitu, tapi itu sebenarnya sudah tergambar gitu. Karena ketika kita membuat treatment itu sebenarnya sudah tergambar kemudian ketika kita mengambil gambar kita sudah terbayang. Enaknya kan disitu. Oh ini akan masuk di shoot ini, dsb. Semua tinggal masuk aja gitu. Tapi masak sih gak ada kendala sama sekali? Kendalanya kalau lagi gak mood aja tuh. Paling itu aja. Selebihnya sih biasa aja. Karena sebenarnya waktu di lapangan sudah tahu ini akan jadinya seperti ini gitu. Biasa berapa lama proses edit? Ya 2 - 2,5 hari. Bagaimana dengan pilihan durasi antara 12 dan 24 menit? Ya itu semua tergantung ceritanya. Kalau ceritanya sangat menarik gitu, kita bisa bikin lebih panjang dan sayang kalau hanya 12 menit gitu. Misalnya ceritanya menarik, visualnya juga menarik gitu, itu lebih 12 menit. Tapi kalau ceritanya menarik tapi visualnya tidak menarik ya kita akan bikin 12 menit saja. Kalau kamu suka yang mana? Ya dua-duanya ok. Selama cerita dan visualnya ok.
Kalau tahapan editing bagaimana? Rutinitas yang saya lakukan, paling ya capture, kemudian bikin rough cut, kalau ada waktu saya bikin rough cut. Kalau gak ya langsung. Langsung bikin offline lalu mixing. Apakah treatment menjadi panduan satu-satunya bagi editor? Enggak ya karena setelah buat treatment lalu dibuat naskah. Nah dari naskah itu sebenarnya panduan saya. Kembali ke naskah bukan lagi treatment. Sampai bikin stroy board? Enggak sampai sedetail itu karena waktu gak ada, .......... Tapi sebenarnya dengan treatment aja sebenarnya udah cukup ya? Ya cukup. Kadang-kadang berangkat tanpa treatment pun bisa jadi begitu. Itu pernah terjadi. Seperti kemarin itu saya pergi ambil tentang layar tancap gitu, saya sama sekali gak tahu mau bikin apa gitu, belum terbayang aja gitu kan, ya paling cuma bayangin aja misalnya seperti ini, ya udah berangkat. Seberapa sering itu terjadi? Sering karena persoalan waktu kan. Karena gak ada waktu untuk memikirkan treatment secara detail. Biasanya saya melihat situasi kemudian bicara dengan reporter ini gimana baiknya, ya itu saja. Kalau sudah biasa itu seperti pola aja kok. Tinggal kita gimana. Tapi memang kalau ada treatment bisa lebih cepat. Kalau gak ada kita agak lama dan kita tidak tahu momen-momen itu seperti apa ya. Apa yang dilakukan ketika kekurangan footage? Ya saya pernah juga karena kerja tanpa treatment itu. Setelah pulang baru kepikiran. Seharusnya saya ambil gambar ini misalnya. Ya tinggal diakalin aja dengan gambar yang ada. Kalau memang gak bisa dan memungkinkan ya ambil gambar dari arsip selama ada dan nyambung. Seberapa penting narasi dalam sebuah dokumenter? Narasi ya penting. Artinya ya kalau orang itu misalnya tidak bisa menceritakan si tokoh tidak bisa menceritakan dirinya otomatis dengan narasi akan terbantu. Cuma kadang ada yang kuat dengan narasi ada yang kuat tanpa narasi. Kadang kan ada orang yang memang ceritanya menarik tapi tidak bisa menceritakan gitu nah itu perlu narasi. Bagaimana ketika di meja editing terjadi persaingan antara teks narasi dengan gambar visual. Visualnya menarik dan tanpa dikasih narasi sebenarnya menarik, sementara juga ada narasi yang harus dimasukkan, apa yang kemudian dilakukan? Visual yang bercerita atau narasi yang bercerita? Saya tidak pernah membedakan itu ya. Kadang-kadang kalau ada gambar yang bagus itu memang gambar saya roll aja. Tapi bukan berarti kemudian harus terjadi
persaingan antara narasi dan gambar gitu. Karena keduanya saling melengkapi. Antara mata dan kuping kan jelas beda gitu. Tapi media tv bukannya lebih ditonjolkan unsur visual? Menurut saya enggak ya. Kalau yang saya pahami selama ini kalau kita menonton sebuah tayangan itu sebenarnya kayak kita menonton pertunjukkan tari aja. Jadi disitu ada penarinya ada musik. Jadi antara kuping dan mata itu harus selaras gak bisa berdiri sendiri-sendiri. Nanti ada distorsi ketika mata menangkap A, telinga menangkap B termasuk dalam timing editingnya itu. Jadi enak gitu. Ketika kita melihat tarian, orang menari dengan diiringi musik itu kan harus pas, jadi seperti itu. Kalau mekanisme pemilihan musik? Ya itu yang memilih editor juga. Termasuk mixing. Sampai jadi pokoknya. Apa yang dibantu reporter ketika paska produksi? Biasanya reporter melihat setelah diedit. Kemudian kadang dia kasih masukan apa ada yang kurang atau gak. Ya semacam quality control awal ya. Lalu dikasih ke produser untuk qc lagi sebelum diserahkan ke bagian quality control sebelum ditayangkan. Pernah gak sih lewat deadline? Sering. Lewat deadline itu ya perkara misalnya ya hal-hal diluar kontrol kita. Misalnya cuaca itu juga gak bisa kita apa-apain. Ya intinya pada waktu produksi sih. Tahap ini yang biasanya bikin lama. Kalau tahap pra dan paska itu semua bisa kita kontrol. Tapi itu semua tertolong karena kita ada stok untuk 3 bulan kedepan. Dengan tim yang ada sekarang sudah ideal? Kalau menurutku cukup sih. 12 menit 2 orang untuk 7 hari itu sudah cukup. Kalau diukur waktu produksi sebenarnya cukup kok tim ini. Sama sebenarnya kalau ditambah 1 orang khusus riset itu jauh lebih baik. Itu akan mempercepat kerja juga. Riset berat juga? Iya karena riset itu ibarat seperti kunci pembukanya. Kalau risetnya lemah yang lain juga akan lemah gitu. Jadi penting banget riset.
Lampiran 3. Contoh Treatment Treatment Tittle: Keroncong by: Ari Trismana No 1
2
Visual Opening: Black screen Teks: “Ini adalah kisah orang-orang yang berusaha mempertahankan Keberadaan musik keroncong” dissolve Slow motion – Mas Ages bermain biola bersama Arend Dissolve Slow motion – Mas Win sibuk otak-atik sound system Dissolve Teks: “Bagi sebagian orang keroncong mungkin sudah mati” Dissolve Slow motion – Bung Andre berjalan di pemakaman Dissolve Teks: “Tapi bagi mereka keroncong belum mati” Dissolve Dok Kelompok keroncong tugu main musik Fade in – Tittle – fade out Sinar matahari menembus diantara selasela pohon. Bung Andre membawa seikat bunga menuju makam papinya di dekat areal Gereja Tugu. Berjalan diantara deretan makam. Termenung berdiri di depan makam papinya, ditangan di belakang badannya tergenggam seikat bunga. Berjongkok, menaruh bunga, lalu berdoa. Close up bunga, close up nisan makam.
Audio Illustrasi Musik Keroncong
Interview langsung: Cerita tentang Papi dan sejarah keluarganya, papinya pula yg berpesan agar meneruskan musik keroncong yang sudah turun menurun menjadi tradisi
Durasi
3
4
5
6 7 8
9
Berjalan menuju ke Gereja Tugu yang menyatu dengan areal pemakaman. Masuk dan melihat2 gereja. Detail gereja. (Foto-foto tua)
Wwcr: Tentang sejarah gereja yg ia ketahui, kenangan2 masa kecilnya berkaitan dengan gereja itu Mobil, motor, dan truk2 yang melintas di Interview langsung: jalan raya tugu. Wilayah jalan raya tugu Cerita ttg kampung tugu banyak berubah fungsi menjadi tempat yang ia lihat dulu semasa parkir truk kontainer. ia kecil, mulai berubah fungsi sejak… sekarang banyak jadi perusahaan2 transportasi karena dekat pelabuhan Dari jalan raya Bung Andre memasuki Wwcr: pekarangan rumahnya. Detail rumahnya. Cerita ttg rumah Depan, belakang, samping yang jadi peninggalan keluarganya tempat parkir truk, kegiatan service truk. secara turun temurun, Kalo mungkin dapat gambar pas banjir jadi cagar budaya sejak dan air yan dibuang keluar lewat pipa ke th… meski telah belakang rumah. ditetapkan jadi cagar establish ruang dan studio kecil di budaya tp kondisinya belakang rumah. memprihatinkan, sering banjir karena posisi jalan lebih tinggi Bung Andre duduk santai di teras rumah NS: Bung Andre main main ukulele dan bernanyi sendiri ukulele dan nyanyi Establish studio kecil di belakang rumah. Mas win di dlm studio main keyboard, NS: Mas Win main lagu sekitarnya ada alat musik keroncong yg yang sama dengan yg lainnya. Bermain2 dengan alat musik dimainkan Bung Andre yang lainnya atau memperlihatkan proses Interview langsung: aransemen sebuah lagu keroncong Cerita ttg asalnya dan bagaimana awal kenal Bung Andre, sejak kapan dan mangapa suka musik keroncong, ada kekuatiran musik keroncong punah? Fade in – NS suara mesin truk Suasana parkiran truk kontainer. Bung
Wwcr:
Andre ngelapin kaca truk yang bertuliskan: “Kerontjong Toegoe” Membersihkan interior truknya. Aktivitas pekerja lain, dan susasana sekitarnya.
10
11
12
13
14 15
Cerita ttg profesinya mengelola perusahaan transportasi, karena baginya saat ini keroncong tidak bisa dijadikan sebagai sumber penghidupan. Apa sejak jaman dulu di keluarga tidak menjadikan keroncong sebagai mata pencaharian? Apa keroncong cuma sebagai aktivitas berkesenian saja? Pasang CD atau kaset keroncong di tape NS: percakapan ttg truknya. Bung Andre Ngobrol dengan apakah temannya suka rekannya. musik keroncong? Bung Andre menceritakan asyiknya musik keroncong. Bung Andre terima telpon NS: menceritakan tentang latihan nanti malam menjelang Tong Tong Festival di Den Haag Bung Andre ngobrol lagi NS: temennya tanya: telp dari siapa? Bung Andre: dari Ages yang main biola di keroncong tugu…dst Suasana langit sore atau time laps sore NS: lagu saat latihan menjelang malam di satu sudut jalan raya keroncong tugu. Suasana latihan malam dissolve Dokumentasi video dan foto-foto NS Keroncong Tugu saat pentas Wwcr: Bung Andre: show Keroncong tugu yg paling berkesan baginya, Pasar malam Tong-Tong di Den Haag, apreasi masy luar negeri lebih tinggi
dibanding masy dlm negeri. Mas Ages: Apa hanya keroncong tugu yg perlu dilestarikan? Bagaimana dgn keroncong lain? dissolve
16
Suasana latihan malam
17
Close up Mas Ages saat latihan malam dissolve Wwcr inframe – Mas Ages
18
19 20.
21 22.
Mas Win: Bagimana menyelamatkan musik keroncong? NS: lagu saat latihan keroncong
Wwcr: Ttg Eksistensi keroncong saat ini, tidak bisa dijadikan sumber penghidupan. Mengapa? Suasana latihan malam NS: lagu saat latihan dissolve keroncong Mas Ages main musik di depan murid NS: bertanya pada sekolah musiknya. Memberi arahan murid2nya apa ada yg kepada murid2nya. Detail aktivitas di suka musik keroncong? dalam kelas (apa ada kelas keroncong?) Menjelaskan tentang musik keroncong Wwcr: Mas Ages mengandalkan hidup dari profesinya sebagai guru musik. Sebenarnya tdk punya latar belakang pendidikan musik… Di teras depan Arend main biola bareng NS: Arend main biola adeknya yang main ukulele atau nyanyi bareng adiknya. Selesai mereka nyanyi Mas Ages dan NS: Bung Andre yang mengapit mereka (yang Obrolan mereka tentang sebelumnya tdk terlihat) bertepuk tangan Anak2 generasi penerus musik keroncong. Andre: Arend ceritain
23 24
25
26
27 28
gmn awalnya belajar main biola dan siapa yg ngajarin? Arend: … Ages: Susah gak sih? Arend: … Andre: ini anak2 generasi ke 11 keroncong tugu keren..keren… Ages: ya namanya anak2, mereka juga pasti ngikuti lagu2 modern saat ini. Coba, coba kita mainin… Mereka berempat main lagu pop sekarang NS lagu tapi gaya keroncong. Interview Andre inframe Wwcr: Ttg harapannya thd anak2nya yg menjadi generasi ke 11 utk meneruskan musik keroncong tugu, apa upaya2nya? Interview Mas Win inframe Wwcr: Kenapa keroncong harus diselamatkan? Interview Mas Ages inframe Wwcr: Kenapa keroncong harus diselamatkan? Dokumentasi pementasan keroncong tugu NS: lagu keroncong End
Lampiran 4. Contoh Skrip
DAAI TV – Script Record for Video Activity
Keroncong Tugu
Venue
Kampung Tugu Jakarta Utara 日 期Date 20080228 Andre Juan Michiels, Artur James Michiels, Winarno, Agustinus Dwiharso, Arend Stevanus Michiels Sapto A Irawan Prepared by Translated by Tel Ari Trismana Email Sapto A Irawan SOT 長 度 Duration 24.01 Minutes
Participants Video by Photo by Script by Editor Script
No of tapes: 6
Tape No:
“KRONTJONG NOT DEAD” Opening: Teks: “Ini adalah kisah orang-orang yang berusaha mempertahankan keberadaan musik keroncong” Teks: “Bagi sebagian orang, keroncong mungkin sudah mati” Teks: “Tapi bagi mereka keroncong belum mati” Bite: Andre Juan Michiels/ Ketua Keluarga Besar Tugu TAPE No: 000211 TC: 00.30.59.14 – 00.31.39.04 Ini memang makam almarhum papi saya, dia meninggal tanggal 10 feb 1993 memang di th 88 tongkat estafet utk melanjutkan keroncong tugu sdh diberikan kepada saya nah jadi pesan moral dia kalo bukan kita yg melestarikan budaya keroncong tugu, siapa lagi? Jgn sampai keroncong itu, keroncong tugu yg main org luar, kita sendiri sebagai putra asli tugu harus bisa memainkan dan melestarikan musik keroncong yang memang lahir di indonesia itu di tugu. TC: 00.32.25.03 – 00.32.55.02 Kl kenangan yg plg saya ingat adalah kita dpt kesempatan tampil di salam canda di RCTI oleh ebet kadarusman, disitu sekali lagi dia berpesan kpd saya teruskan keroncong ini sampai kpn pun krn inilah satu2nya warisan budaya yg ada di tugu, nah ketika itu sangat berkesan sekali
TC: 00.33.59.00 – 00.34.35.08
Gereja ini dibangun th 1744 dan selesai dibangun th 1747 yg scr khusus dibangun utk masy tugu diberikan oleh Justinus vink. Seluruh bangunan ini masih bentuk aslinya, ada beberapa peninggalan yg memang benar2 masih asli diantaranya adalah mimbar yang masih asli, kursi dan tempat baptis, kotak persembahan, juga cawan buat perjamuan TC: 00.34.55.20 – 00.35.51.16 Utk keroncong tugu kita punya 3 kriteria dlm bermusik pertama sosial, keagamaan, dan komersil. Kalo keagamaan biasa bermain kita ambil tempat disekitar sini, mgkn saat paskah atau perayaan natal kami ikut aktif mengiringi ibadah krn sekarang ini kita hrs ada koordinasi dgn pihak gereja kapan kita harus bermain. Kl dulu musik keroncong adalah musik pengiring ibadah di gereja krn antara gereja, masy dan budayanya adlh satu kesatuan yg tdk bisa dipisahkan spt sapu lidi yg kalo salah satunya tdk ada itu akan kurang klop atau kurang komplit rasanya.
TAPE No: 000362 Bite: Artur James Michiels/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.31.27.12 – 00.32.25.06 … ketika tahun 75 jalan ini dibangun dgn penduduk makin byk, bisnis makin meningkat, th 80-an ini mulai padat. dulunya daerah tugu ini sebagai daerah yg hijau dimana2 kalo kita memandang hjau, krn diluar kampung tugu ini adanya sawah, sungai dan rawa2. tp sekarang telah berubah fungsi menjadi lautan debu di musim panas, lautan lumpur di musim hujan, banjir dan menjadi sawah bagi truk2 besar, kontainer dan sebagainya, nah itu sejak tahun 80-an. Bite: Artur James Michiels/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.32.30.23 – 00.34.01.02 Memang ada 2 sisi ya, ada sisi negatif dan sisi positif. Kalo dulu sebelum adanya kesibukan semacam ini kehidupan masy tugu itu tenteram, satu sama yg lain saling bekerja sama dan bergotong royong, tp setelah mereka masuk orang tugu menyingkir, nah inikan sisi negatif dari itu, jd membuat suatu daerah yg dilindungi oleh cagar budaya menjadi daerah yg terlantar…byknya penduduk masuk, penduduk musiman , para pekerja membuat daerah yg tenteram damai jadi gimana gitu? Gak nyaman utk tempat pemukiman. Nah kalo saya sih kepinginnya kalo pemerintah sdh tetapkan sebagai daerah cagar budaya tp gak dilanjutkan proyek itu? proyek yg sangat mulia itukan?
Bite: Artur James Michiels/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.34.10.03 – 00.34.52.09 Ya berbarengan dgn ditetapkannya desa tugu sbg cagar budaya, itu th 70 oleh gubernur Ali Sadikin, disana ditetapkan radius 600 m dari gereja itu ditetapkan sebagai situs cagar budaya yg kemudian diperkecil menajdi 300m dan krn kami org tugu yg taat hukum, ya mentaati aturan itu dgn tdk merubah atau apalah yg membuat keaslian bangunan itu jd berubah.
TAPE No: 000362 Bite: Andre Juan Michiels/ Ketua Keluarga Besar Tugu TC: 00.43.56.12 – 00.44.31.24 Profesi saya wiraswasta mengelola mobil trailler, angkutan peti kemas dan alat2 berat , kita coba berusaha mengikuti perkembangan yg ada di tugu. Melihat di tugu sekarang ini yg tadinya rumah, yg tadinya kebun menjadi garasi mobil2 trailler krn apa? Krn Akses ke pelabuhan, depo2 kontainer maupun kita kearah pabrik disekitar bekasi dan tangerang. Bite: Andre Juan Michiels/ Ketua Keluarga Besar Tugu TC: 00.45.48.24 – 00.46.20.24 Dlm dinasti keluarga saya memang kebanyakan pekerja. Kalo almarhum papi dia kerja di pelabuhan. Kalo keroncong itu Cuma sbg pengisi waktu atau ada acara2 di sekitar kampung adat jd memang kita dimusik keroncong dari dulu tidak diupayakan utk penghidupan, mgkn disebagian tempat ada yg spt itu ataupun org tugu yg lain spt itu, tp kami utk saat ini merasa memang saat ini blm bisa diandalkan. Bite: Andre Juan Michiels/ Ketua Keluarga Besar Tugu TC: 00.44.37.00 – … krn kita keroncong dari awal kita melakukan regenerasi itu hanya sbg sarana hobby, kl kita menyandarkan hidup dari bermain musik keroncong itu buat kita gak ada dlm kamus, mau ga mau kita hrs mempunyai pekerjaan atau usaha yg lain utk menunjang musik keroncong itu hrs tetap hidup dan kami di keroncong tugu bermoto jgn mencari hidup dari keroncong, tp mari kita menghidupkan musik keroncong. Itu moto yg saya tanamkan kpd teman2 maka mereka itu mempunyai profesi yg berbeda2, ada yg sebagai guru musik, ada yg mereka coba ambil satu trailler utk belajar, saya ajarkan mereka utk berusaha.. TAPE No: 000207 Bite: Agustinus Dwiharso/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.28.13.06 – 00.30.02.01 Kalo buat kami ini spt: ditelan pahit, dibuang sayang. Ditelan pahit karena wah mangan opo dari keroncong? Opo bisa main keroncong buat hidupi anak? Buat nyekolahin apalagi…oleh sebab itu kita ambil dari keroncong tugu ini kiat kita adalah tetap memelihara keroncong, tetep eksis, bahkan kalo bisa lebih maju ttp kita tdk mencari penghidupan dari musik keroncong… TAPE No: 000207 Bite: Agustinus Dwiharso/ Anggota Keroncong Tugu TC: … - 00.39.26.03
… Saya pikir kita adalah yg paling jauhlah susah dibanding dgn musik yg lain, tp mau dibilang musik org bergengsi tidak, tentunya lebih gensi jazz kalo mau dibanding, atau musik org konglomerat tp konglomerat jarang yg manggil kita gitu. Nah kira2 spt itu…jd makanya apa saya bilang ditelan pahit, dibuang sayang.. tp kalo dibilang enak, enak bener denger musik kerocong…pasti enak..pasti bisa ngantuk lier2…main, mendengarkan musik keroncong, tp eksistensinya kita benar2 sgt prihatin
TAPE No: 000362 Bite: Winarno/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.23.52.23 – 00.25.11.20 keroncong inikan asset ya, asset budaya nasional jadi yg di solo, jogja, bahkan ambon bahkan makasarpun kan ada keroncongnya, tradisionilnya makasar itukan umpamanya satu contoh lagu angin mamiri, disana itu diiringi dengan keroncong minus bas, jadi alatnya itu cukulele, cello, melodi iramanya itu 100 persen keroncong Cuma minus bass, disana itu, di sulawesi itu. keroncong itu ada dimana2 pd dasarnya, lha sekarang tinggal kitanya mau kemana? Kan gitu..krn keroncong itu sendiri kayaknya berjalan ditempat, artinya tdk pernah berkembang, nah saat sekarang ini apalagi, sama sekali tdk ada perkembangan bagi keroncong itu. TAPE No: 000362 Bite: Winarno/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.21.38.08 – 00.22.46.03 … krn masyarakat itu sendiri sudah malu mendengarkan musik keroncong dan malu mengakui bahwa ada keroncong, itu masalahnya… TAPE No: 000362 Bite: Winarno/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.27.15.14 – 00.27.58.22 saya tdk optimis, tp saya hanya berharap…kalo optimis tdk krn melihat perkembangan sekarang ini makin turun lho keroncong ini, semakin turun keroncong itu. Bite: Winarno/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.28.04.15 – 00.28.57.09 Anak2 remaja ini saya sedikit sentuh ke keroncong sudah meleng, sudah pergi dsb…umpamanya saya melantunkan lagu2 keroncong, mereka sdh melengos dan pergi…
Bite: Winarno/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.27.15.14 – 00.27.58.22 jadi tdk, kalo dibilang optimis saya tdk. Terus terang aja ini, ada yg mungkin penonton atau pendengar kurang suka, saya bicara ini, ya ini yg terjadi sesungguhnya kok, saya berbicara ttg yg terjadi sesungguhnya. Apa adanya, apa yg sekarang saya alami itu…krn betul2 saya tdk bisa hidup dgn keroncong
TAPE No: 000211 Bite: Agustinus Dwiharso/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.01.24.11 – … Ada banyak pihak yg hrs ikut bertanggung jawab, kita harus mulai dgn perasaan dulu; indonesiakah kita? krn apa, indonesia pasti tdk lepas dr hal2 spt ini, terutama org pasti akan mengatakan oh..keroncong itu asli indonesia, siapa blg keroncong asli portugis? Krn apa? Alatnya mungkin boleh diperkenalkan oleh bangsa portugis ttp kalo keroncong itu murni lahir di indonesia, saya jamin itu. krn saya sdh pernah bertemu dgn para pemusik dari portugis pun, kenalkah mereka dgn jenis musik ini? Mereka bilang tidak…atau ada gak jaman dulu musik spt ini? Mereka tidak tau…artinya benar2 keroncong itu asli indonesia.
TAPE No: 000362 Bite: Andre Juan Michiels/ Ketua Keluarga Besar Tugu TC: 00.50.38.14 – 00.51.07.05 Yg hrs dilakukan ya memang melakukan pembinaan2 thd generasi muda, terus kesempatan2 kita utk tampil di even2 pemerintahan, ataupun ya mgkn saat ini ada stasiun tv yg setiap hari senin menampilkan keroncong dgn berbagai aliran. Itu suatu langkah yg cukup bagus krn dgn demikian keroncong dilihat oleh masy luas. TAPE No: 000362 Bite: Andre Juan Michiels/ Ketua Keluarga Besar Tugu TC: 00.51.13.18 – 00.52.03.22 Ya sebelum kita keluar tentunya kita mulai dr lingk dalam, dr anak saya sendiri saya tanamkan bhw keroncong ini musik yg membawa saya bisa naik pesawat, tdk pernah terpikirkan oleh kami bermain keroncong utk bisa terbang ke negri belanda. Tp ketika 10 th kita menekuni, mgkn satu buah dr hasil perjuangan kita, kita diundang th 1998 utk pertama kali. Disitu berarti apa yg ditanamkan oleh orang tua; pertahankan terus keroncong, ada hasil…ya kl Cuma kita bisa ketemu walikota, gub, menteri, bahkan presiden sekalipun melalui jalur keroncong, kami sdh mendapat kesempatan itu.
TAPE No: 000368 Bite: Arend Stevanus Michiels/ Generasi ke 11 Keroncong Tugu TC: 00.00.31.20 – 00.00.36.09 Aku belajar musik sejak kelas 3 SD. TC: 00.01.11.09 – 00.01.23.11 Aku maen ukulele, biola, gitar, trus udah itu dululah. TC: 00.02.32.06 – 00.02.47.02 …pertamanya dipaksa ma papa, lama2 ya jadi gitulah… TC: 00.03.00.06 – 00.03.14.01
… ngomongnya kamu belajar yang pintar main biola biar bisa nerusin keroncong tugu
TAPE No: 000207 Bite: Agustinus Dwiharso/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.32.45.09 – 00.33.36.19 Arend sebenarnya adalah dendam dr papanya. Papanya itu andre, andre itu sebenarnya adalah yg didambakan oleh kakeknya Arend utk menjadi pemain biola dan memimpin keroncong tugu itu tadinya andre. Tp andre gak mampu kemudian ketika dia punya putra pertama, dia sudah dendam inget…diikatlah ari2nya itu pake tali A-nya biola, kenapa tali A? di musik string itu tali A menjadi simbol krn kalo nyetem pasti dari A dulu, mulai gesek juga dari A dan secara imiah senar A menurut harvard itu teorinya juga A ya ini paling ilmiah utk digesek pertama kali kan senar A. nah diiket ari2nya, kata orang jaman dulu itu disertakan lalu bisa jadi apa gitu.. TAPE No: 000207 Bite: Agustinus Dwiharso/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.33.36.19 – Harapannya terpenuhi dan pd umur 3 tahun saya punya biola kecil saya sampaika ke andre, Andre ini untuk anaknya. Dan sama andre biola itu dibeli, dihadiahkan ke anaknya, dan sekaligus tolong diajarin..umur 3 th mulai gesek2, tp karena jaraknya jauh dan waktu itu saya tdk bisa rutin terus..tp waktu itu modal menggesek udah ada trus lumayan gesekannya, karena ketika di sekolah musik yang resmi itu sudah dilihat gesekannya sudah mantap, ya krn sudah dimulai di rumah.. TAPE No: 000362 Bite: Andre Juan Michiels/ Ketua Keluarga Besar Tugu TC: 00.53.18.11 – 00.54.07.21 Harapan saya ya dia akan meneruskan tongkat estafet yg telah saya berikan, dr kecil memang sdh saya siapkan utk jd pemain keroncong tugu dan mgkn kalau saya punya biaya akan saya lanjutkan dia kuliah ya tentu di jurusan mgkn musik di isi jogja krn itu mgkn salah satu tempat yg jadi arahan saya …. TAPE No: 000362 Bite: Andre Juan Michiels/ Ketua Keluarga Besar Tugu TC: 00.52.11.02 – … Kl dr hitungan dr awal tentu di saya sdh memasuki generasi ke 9 atau ke 10 trus kalo ke anak saya sdh generasi ke 11. jd emang sdh cukup pjg perjalanan musik keroncong di tugu…
Closing Statement: TAPE No: 000207
Bite: Agustinus Dwiharso/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.36.48.06 – 00.39.26.03 … yang asli penonton keroncong itu sudah, di baris depan itu, udah tua2 yg mungkin 2 atau 3 tahun lagi mati, nah abis itu apa yg terjadi dgn keroncong? Kalo kita tdk ambil inisiatif bagaimana sih mempertahankan keroncong?
TAPE No: 000362 Bite: Winarno/ Anggota Keroncong Tugu TC: 00.22.55.03 – … … tp semua itukan jiwa ya, kalo jiwa kita sudah terpanggil ya what ever wil be, will be lah… TAPE No: 000362 Bite: Andre Juan Michiels/ Ketua Keluarga Besar Tugu TC: 00.54.14.12 – 00.55.02.06 … seluruh kesenian yg ada di indonesia tentu perlu dilestarikan dan dipertahankan…
BIODATA PENULIS
Nama TTL Alamat Agama Jenis Kelamin E-mail
: Widodo : Pati, 22 Juni 1980 : Jl. Percetakan Negara VB/17 Jakarta Pusat : Buddha : Laki-Laki :
[email protected],
[email protected] www.wiedodo.blogspot.com
Pendidikan Formal 1. SDN Ngawen, Cluwak, Pati, Jawa Tengah (1985 – 1992). 2. SMP Tri Ratna, Jakarta Barat (1992 – 1995). 3. SMA Tri Ratna, Jakarta Barat (1995 - 1998). 4. Universitas Diponegoro, Semarang (1999 – 2003). 5. Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Pendidikan Non Formal 1. Kursus Bahasa Inggris, IEC, Semarang, 2000. 2. SCTV Goes to Campus, Semarang 2002. 3. Kursus Bahasa Inggris, LIA, Jakarta, 2003. 4. Jakarta Broadcasting School (JBS), Jakarta, 2003. 5. Training DAAI TV, Taiwan, 2003 dan 2005. 6. Seminar Sinematografi, IKJ Jakarta, 2007.
Pengalaman Organisasi 1. Pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan, FISIP Universitas Diponegoro, Semarang 2001. 2. Koran Kampus “Manunggal”, Universitas Diponegoro, 2001 – 2003. 3. Ketua Pengurus Cabang Semarang Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (PC HIKMAHBUDHI Semarang), 2000 – 2002. 4. Ketua SDM PP HIKMAHBUDHI, 2002 – 2005. 5. Pemimpin Redaksi Majalah Hikmahbudhi, 2005 – sekarang.
Pengalaman Pekerjaan 1. PT SMART, Tbk, 2003 – 2004. 2. PT Duta Anugerah Indah (DAAI TV 2004 – sekarang). 3. Pengajar di Institut Agama Buddha Nasional, Jakarta, 2007 - sekarang).