“The Six Thinking Hats” Proses Cara Berpikir Yang Tidak Biasa
●
●
Retno Utari Widyaiswara Madya Pusdiklat KNPK
●
“Think Globally, Act Locally”
Abstract
Almost all new ideas have a certain aspect of foolishness when they are first produced (Alfred North Whitehead)
Critical Thinking berbeda dengan Creative Thingking. Critical Thinking merupakan eksplorasi daya pikir hingga tahap evaluasi, sedangkan tahap Creative Thinking sudah sampai memodifikasi ide menjadi ide cemerlang. Perpaduan Critical Thinking yang didominasi otak kiri dan Creative ● ● ● Thinking yang didominasi otak kanan merupakan good thinking process dalam menyelesaikan masalah dan menghasilkan solusi yang brilliant. Proses mengoptimalkan otak kiri dan kanan ini disebut Lateral Thinking yang dalam men-generate ide kadang menggunakan illogical imagination (out of the box). Tentunya solusi tersebut harus disesuaikan dengan kondisi dan tidak keluar dari aturan yang ditetapkan atau nilai yang dianut. Lateral Thinking disebut juga dengan Parallel Thinking dimana seluruh personil yang terlibat akan memandang masalah dari arah yang sama dan jika terjadi pergantian topik, maka mereka akan mengubah arah berpikir secara bersama pula. The Six Thinking Hats (STH) yang diciptakan oleh Edward de Bono merupakan penerapan dari Lateral Thinking. STH memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang dan mengelola ide agar selalu tetap on the track sehingga mempercepat pengambilan keputusan. STH terdiri dari enam topi dengan warna-warna yang memiliki makna tersendiri yaitu putih (informasi), hitam (resiko), kuning (manfaat), merah (perasaan), hijau (kreativitas) dan biru (pengendali). Pendahuluan Jika kita mendengar kata kreatif, seringkali dikonotasikan dengan hal-hal yang berbau seni. Seolah-olah kreativitas itu identik dengan hasil karya seniman, aktor/artis film, desainer, penyanyi, koreografer, pelukis, dan lain lain. Dalam dunia bisnis, kreativitas biasanya terkait dengan karya mereka yang berkecimpung di dunia pemasaran. Sebenarnya apapun profesinya, semua orang bisa kreatif dalam berkarya jika mau berpikir lebih dalam dengan cara yang berbeda. Berpikir bukanlah proses yang mudah, tapi harus selalu diasah. Dengan berpikir, kita dapat menyelesaikan masalah baik pribadi, bisnis maupun kantor. Lalu, proses berpikir yang bagaimana yang dapat memecahkan masalah sekaligus memperoleh solusi terbaik?
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita menemui masalah. Ada masalah yang memang bisa dengan mudah diselesaikan karena masalah tersebut adalah masalah yang berulang dan kita masih ingat cara mengatasinya. Masalah seperti ini tentu mudah diselesaikan dengan cara berpikir biasa. Namun, tidak jarang kita menemui masalah rumit, isu dan tantangan yang memerlukan pemikiran mendalam. Menghadapi hal ini, sering kita menemui jalan buntu, terjebak pada pokok permasalahan tanpa tahu jalan keluarnya. Dan biasanya brainstorming terlama justru terletak pada pembahasan masalah bukan pada solusinya. Kadang solusi yang dihasilkanpun biasa-biasa saja, imitasi dari solusi yang lalu. Untuk menghasilkan solusi terbaik, perlu perubahan cara berpikir.
Berpikir Kritis (Critical Thinking) dan Berpikir Kreatif (Creative Thinking)
Setiap orang harus berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah. Apa sebenarnya Critical Thinking atau berpikir kritis itu? Critical Thinking adalah kemampuan untuk berpikir jernih dan rasional. Chance (1986) mendefinisikannya sebagai kemampuan menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan , menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah. Berpikir kritis tidak sama dengan mengkritik, mengecam ataupun berdebat. Berpikir kritis lebih bersifat netral dan obyektif. Dengan berpikir kritis, kita dapat menunjukkan kelebihan dan kekurangan serta menjelaskan alasan di balik itu. Tentunya berpikir kritis lebih dari sekedar mengumpulkan informasi. Seseorang yang memiliki daya ingat yang kuat dan memiliki banyak fakta bukan berarti pemikir kritis. Pemikir yang kritis dapat memilah mana informasi yang relevan dan yang tidak relevan. Selanjutnya, mereka dapat memanfaatkan informasi untuk merumuskan solusi dan mengambil keputusan. Dengan selalu berlatih untuk berpikir kritis, seseorang dapat meningkatkan keterampilan verbal dan analisis.
Sedikit berbeda dengan Critical Thinking, maka Creative Thinking telah satu langkah lebih maju. Jika dalam Critical Thinking cara berpikir hanya sampai tahap evaluasi dan memilih ide terbaik, maka dalam Creative Thinking tahapnya sudah sampai memodifikasi ide menjadi ide cemerlang. Huitts (1992) membedakan kedua teknik pemecahan masalah atau cara berpikir ini. Ia mengatakan bahwa Critical Thinking cenderung lebih linier, berurutan, terstruktur, rasional dan berorientasi pada tujuan. Sedangkan Creative Thinking cenderung holistik dan parallel, lebih intuitif dan emosional, kreatif, visual dan taktual. Jika dikaitkan dengan dominasi lateralisasi otak, maka menurut Springer dan Deutsch (1993), berpikir kritis didominasi oleh otak kiri (analitik, sekuensial, logis dan objektif), sedangkan dominasi berpikir kreatif terletak pada otak kanan (global, parallel, emosional dan subyektif). Dalam proses pembelajaran kita tentu sudah sangat familiar dengan istilah Bloom Taxonomy. Apabila dikaitkan dengan istilah tersebut, maka Creative Thinking merupakan level tertinggi dalam ranah kognitif yaitu menciptakan (Creating). Langkah menuju kepada Creative Thinking, dapat dijelaskan dengan gambar berikut: Berpikir Kreatif : Menciptakan
Berpikir Kritis : Mengevaluasi
Menganalisis Menerapkan Memahami Mengingat
Baik Critical maupun Creative Thinking diperlukan dalam proses brainstorming. Jadi, keduanya merupakan cara berpikir yang saling melengkapi. Dapat dikatakan bahwa Critical Thinking merupakan proses konvergen yang mempersempit ide-ide baru sehingga terpilih ide terbaik yang disesuaikan dengan keterbatasan dan sumber daya yang ada. Sedangkan Creative Thinking adalah proses divergen yang men generate ide-ide, imajinasi dan mencari hubungan antara unrelated concepts. Kombinasi keduanya tentunya akan menjadi good thinking process.
Jika dalam Critical Thinking cara berpikir hanya sampai tahap evaluasi dan memilih ide terbaik, maka dalam Creative Thinking tahapnya sudah sampai memodifikasi ide menjadi ide cemerlang.
Lateral Thinking Tiap manusia tidak terlahir dengan kemampuan berpikir yang mendalam. Kemampuan berpikir bukanlah bakat melainkan harus dilatih. Para pemikir hebat telah melatih otak mereka untuk bekerja dengan cara tertentu yang memungkinkan mereka menciptakan kreasi/pemikiran yang luar biasa. Kitapun bisa melakukan hal yang sama yaitu dengan selalu mengasah dan belajar cara berpikir yang berbeda dan kreatif. Apa yang biasa kita lakukan selama ini adalah cara berfikir tradisional yang diawali dengan identifikasi masalah, analisis melalui brainstorming dan pengambilan keputusan. Karena melalui penyaringan pendapat di awal proses dan pemikiran logis yang sistematis, maka cara ini disebut juga dengan Vertical Thinking. Namun, dalam prakteknya, brainstorming sangat memakan waktu dan acapkali terjadi perdebatan yang dapat berdampak negatif terhadap psikologis individu. Perdebatan memang kerap memancing emosi dan prasangka karena kentalnya budaya argumentatif. Menurut De Bono vertical thinking yang dipelopori oleh the Greek gang of three (Socrates, Plato and Aristotle) ini adalah pola berpikir yang kaku. Selain memakan waktu, cara ini kurang efektif dan berakibat turunnya sense of involvement anggota. Mengapa sulit sekali memperoleh keputusan atau solusi yang brilliant? Itu karena dalam cara tradisional, dari pokok permasalahan yang ada, kita langsung melompat ke pencarian solusi tanpa melalui tahap men generate ide-ide. Oleh karena itu, kita perlu tools untuk menjembatani masalah dengan solusi tersebut. Dan untuk sampai ke solusi, kita perlu mengubah cara berpikir standar/rutin menjadi berpikir sistematis dan kreatif atau yang popular dengan istilah Lateral Thinking. Bertahan dengan cara berpikir tradisional ini tidak akan pernah bisa menghasilkan solusi yang out of the box. Banyak orang sering beranggapan, bahwa rahasia orang sukses karena mereka selalu optimis dan berpikir positif. Padahal mereka sukses karena mereka selalu melihat suatu permasalahan dari berbagai sisi baik positif maupun negatif. Dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan, mereka berusaha memperoleh masukan/ide sebanyak-banyaknya, bahkan ide-ide gila sekalipun, kemudian memeringkatkan ide-ide tersebut untuk bisa memperoleh solusi terbaik. Jadi dalam mencari solusi terbaik, mereka telah mengeksplorasi daya berpikir baik secara logis dan imajinatif. Inilah yang disebut dengan Lateral Thinking. Apa sebenarnya Lateral Thinking itu? The Oxford English Dictionary mendefinisikan Lateral Tinking sebagai “a way of thinking which seeks solutions to interactable problem through unorthodox methods or elements that would normally be ignored by logical thinking.” Jadi, Lateral Thinking adalah cara memecahkan masalah dengan cara yang tidak biasa yaitu dengan menggunakan daya imaginasi yang kadang terabaikan oleh logika. Pemikiran Lateral ini dipelopori oleh Dr. Edward De Bono, seorang pakar cara berpikir. Lateral Thinking tidak bermaksud menggantikan pola pikir tradisional, tetapi hanya untuk mencari cara terbaik dan menarik dalam mencari solusi tanpa keluar dari nilai yang dianut atau kriteria yang dikehendaki. “Think Globally, Act Locally”, mungkin frase yang cocok untuk mengungkapkan hal ini. Bebas
berimajinasi dalam mengumpulkan ide, namun pemilihan ide terbaik disesuaikan dengan kebijakan, aturan dan nilai-nilai yang berlaku. Studies have shown that 90% of error in thinking is due to error in perception. “If you can change your perception, you can change your emotion and this can lead to new ideas. (Edward de Bono)”. Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa ide-ide cemerlang justru muncul ketika kita menggunakan daya imajinasi, perasaan dan emosi, tidak hanya dengan mengandalkan logika saja. Oleh karena itu, Lateral Thinking sangat membantu seseorang dalam berpikir kreatif. Proses Lateral Thinking meliputi: 1. Menyeleksi dan mendefinisikan fokus. Pada tahap ini, masalah, tantangan dan kesempatan diidentifikasi. Fokus diredefinisikan secara hati-hati dan seksama. 2. Mengenerate ide (Idea generation). Ada beberapa tools dalam men generate ide-ide, yaitu Istilah Lateral Thinking dengan cara Concept Extraction, Challenge, Random sering disamakan dengan Entry serta Provocation and Movement Parallel Thinking 3. Mengihtisarkan ide-ide. Pemikiran-pemikiran baru yang merupakan hasil dari tahap kedua akan dikelola agar lebih bermanfaat. Pada tahap ini akan dicari hubungan antar ide dan dipilih beberapa ide yang benar-benar unik untuk kemudian diidentifikasikan konsepnya. Ide-ide tersebut kemudian di- rating dengan menggunakan beberapa kriteria agar konsep dan ide baru tersebut benar-benar dapat diimplementasikan. 4. Pemilihan ide terbaik. Dari hasil treatment dan assessment, akan diperoleh ide yang benar-benar luar biasa untuk diterapkan. Istilah Lateral Thinking sering disamakan dengan Parallel Thinking. Parallel thinking adalah cara memproses informasi secara bersama-sama dalam satu waktu. Parallel thinking dapat dilakukan dengan cara horisontal dimana masalah dapat dipisahkan menjadi beberapa sub-masalah yang lebih sederhana sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan secara bersama-sama. Dengan parallel thinking setiap personil yang terlibat akan memandang masalah dari arah yang sama. Jika ada pergantian topik pembahasan, maka mereka akan mengubah arah berpikir secara bersama pula. Misalnya, dalam suatu rapat diagendakan 10 menit untuk fokus pada pembahasan manfaat dari pengenaan sanksi kepada PNS, maka yang dibahas dalam sepuluh menit itu hanya manfaat, belum saatnya membicarakan sisi negatif atau solusinya. The Six Thinking Hats yang akan dijelaskan berikut ini adalah penerapan dari parallel thinking.
The Six Thinking Hats The Six Thinking Hats (STH) yang diciptakan oleh Edward de Bono pada tahun 1995 ini adalah suatu metode berpikir lateral yang mengajarkan cara meningkatkan kualitas daya pikir untuk menghasilkan sesuatu yang kreatif. Dalam metode STH, seseorang tidak hanya dilatih untuk berkonsentrasi menyelesaikan suatu masalah dalam sekuens waktu tertentu, tetapi juga dipersiapkan untuk dapat menerima dan menghargai pendapat orang lain. STH dapat digunakan baik individu maupun dalam grup diskusi. Disini, individu atau kelompok belajar memisahkan cara berpikir tentang sebuah topik ke dalam enam kategori. Setiap kategori diwakili dengan warna topi yang berbeda. Dengan memakai topi dan berganti topi, individu atau kelompok dapat dengan mudah memfokuskan pemikiran ke dalam topik pembicaraan. Dengan demikian, kita bisa mengeksplorasi suatu subjek tanpa harus mengambil posisi yang bersifat kontra. Lalu apa hubungan antara topi dengan cara berpikir? Mengapa de Bono menganalogikannya dengan topi? Tidak ada penjelasan yang pasti mengenai hal ini, tapi mungkin karena topi dapat mengidentifikasikan peran yang diembannya. Misalnya topi pramuka, paskibraka, tentara, polisi, topi haji, topi bayi, semua memiliki keunikan masingmasing dan menunjukkan peran pemakainya. Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa dianalogikan dengan topi dan disebut Thinking Hats. Adapun penjelasan enam topi berpikir tersebut adalah sebagai berikut: 1. Topi putih – Informasi Topi putih memfokuskan pada data yang tersedia dan data yang diperlukan. Melalui data dan informasi tersebut, kita dapat mempelajari dan menganalisa situasi dan kondisi. 2. Topi hitam – Resiko. Dengan mengenakan topi hitam kita belajar melihat sisi negatif /resiko dari keputusan yang akan diambil. Hal ini penting untuk menyiapkan contingency plan dalam mengantisipasi kondisi force majeur sebelum memulai sebuah tindakan. 3. Topi kuning – Manfaat Topi kuning memungkinkan kita untuk berpikir positif/optimis dan melihat seluruh manfaat dan nilai yang dihasilkan dari suatu keputusan. 4. Topi merah – Perasaan. Dengan mengenakan topi merah, kita memandang masalah dengan menggunakan intuisi, naluri dan emosi. Selain itu, dengan topi merah kita dapat melihat reaksi/respons emosi orang terhadap keputusan yang diambil. 5. Topi hijau - Kreativitas (Solusi kreatif)
Topi hijau mendorong seseorang untuk mengembangkan daya pikir imajinatif, lateral dan think out of the box sehingga dapat dihasilkan solusi-solusi yang kreatif dan benar-benar berbeda. 6. Topi biru - pengendali Pemakai topi biru adalah personil yang ditunjuk untuk mengendalikan jalannya diskusi. Ia bertindak sebagai pemimpin rapat yang mengatur jalannya proses berpikir. Ia yang menentukan saatnya para peserta diskusi/rapat menggunakan dan mengganti topi-topi tersebut.
Penerapan The Six Thinking Hats Bayangkan ketika dalam rapat kita diminta pendapat oleh pemimpin rapat mengenai masalah yang dihadapi. Pertanyaan spontan tersebut sering membuat kita terpojok, pikiran buntu dan tidak tahu bagaimana harus memulai penciptaan ide. Akhirnya hasil pemikiran yang keluar hanyalah ide berdasarkan intuisi/perasaan saja. Ketika pembahasanpun sering kita menjadi bingung karena pikiran terpecah antara memikirkan sisi positif, negatif dan solusi. Semua peserta berusaha mengemukakan apa saja yang terlintas di kepalanya dan pemimpin rapatpun berusaha mengumpulkan seluruh pendapat itu sekaligus sehingga mengakibatkan pembahasan menjadi tidak fokus.
Saat itu, setiap orang memposisikan dirinya hanya pada satu sisi saja atau dalam STH mereka seolah-olah hanya mengenakan satu topi yang mereka sukai saja. Masing-masing ingin mempertahankan egonya sehingga terjadi perdebatan berkepanjangan. Dengan mengenakan keenam topi ini secara bersama-sama dan bergantian dalam melihat sebuah masalah, maka kita bisa mengeksplorasi ide-ide tanpa harus mengambil posisi kontra. Disinilah peran topi biru yang bertindak sebagai moderator atau organizer untuk mampu mengatur orang-orang kapan saatnya mengenakan dan melepaskan topi untuk mengubah pola pikir. Pada dasarnya semua topi itu baik, namun untuk mendapatkan solusi terbaik, semua peserta rapat dianjurkan untuk mengenakan semua topi itu bersama-sama secara bergantian. Sebagai contoh, dalam rapat akan dibahas topik “Penghematan Listrik” di kantor. Untuk mengatur jalannya rapat yang harus selesai dalam waktu 60 menit, maka ditunjuk si topi biru sebagai pemimpin rapat. Tenggang waktu mengenakan masing-masing topi secara bersamasama adalah sepuluh menit. 1. Semua peserta rapat diarahkan untuk mengenakan topi putih yaitu mengumpulkan informasi mengenai hal-hal terkait dengan kondisi sekarang, misalnya tarif listrik per kwh yang ditetapkan PT PLN semakin meningkat, pemakaian listrik meningkat karena penambahan pembelian komputer. Dan dalam waktu dekat bangunan asrama akan selesai yang tentunya akan menambah biaya listrik. 2. Dengan menggantinya dengan topi merah, peserta diminta mengemukakan perasaannya atas kenaikan biaya listrik yang dihadapi. Tindakan memicu emosi ini dapat menstimulasi daya pikirnya untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi. 3. Peserta mengganti topi dengan topi kuning untuk melihat sisi positif dari penghematan listrik. Misalnya biaya umum dan operasional akan menurun, penghematan anggaran bisa dialihkan untuk meng cover biaya lainnya dan efisiensi waktu kerja. 4. Peserta mengganti topi dengan topi hitam untuk melihat resiko dan dampak negatifnya, misalnya diklat hanya bisa dilaksanakan siang hari, pemanfaatan asrama tidak maksimal, penurunan peserta diklat. 5. Peserta mengganti topinya dengan topi hijau untuk men generate ide dan memilih yang paling mungkin bisa diterapkan dengan cara me rating nya. Misalnya: AC di ruang kerja akan mati secara otomatis dan lampu akan meredup sepuluh menit sebelum jam pulang kantor. Ide lain yaitu dengan membunyikan sirine atau peringatan agar para pegawai segera bersiap-siap menghentikan pekerjaannya. Alternatif lainnya yaitu dengan mengganti semua fasilitas dengan peralatan yang hemat listrik. 6. Topi biru menampung semua pendapat, perasaan, ide yang dikemukakan oleh seluruh peserta saat mengenakan tiap jenis topi. Pendapat disampaikan secara verbal, di-input ke dalam komputer dan ditayangkan sehingga seluruh peserta dapat melihat kontribusi mereka. Pendapat dapat juga dituliskan dalam post it dan ditempelkan di media/karton yang disediakan. Setelah ide terkumpul, topi biru akan me rating nya dan memilih ide yang memiliki score tertinggi dan yang paling mungkin dapat diterapkan. Dalam memilih solusi terbaik, topi biru juga diperbolehkan menggunakan intuisinya berdasarkan pengalamannya. Dapat dibayangkan berapa banyak pendapat / ide yang bisa diperoleh dari penggunaan metode ini. Jika dalam rapat tersebut ada 15 orang dan tiap orang menyumbangkan dua pendapat saja, maka sedikitnya ada 30 alternatif ide. Tentu dalam prakteknya mungkin akan
banyak kesamaan ide dari para peserta. Tapi, yang terpenting adalah bahwa semua peserta telah ikut berkontribusi dan mereka merasa dihargai. Dengan menerapkan metode ini, rapat dapat berlangsung secara singkat, tidak terjadi perdebatan, banyak ide yang diperoleh dan juga akan timbul sense of involvement dari para peserta rapat karena ide-idenya dipertimbangkan dalam mengambil keputusan. Solusi yang dihasilkanpun benar-benar kreatif karena merupakan saringan dari ide-ide cemerlang, walau kadang terasa tidak masuk akal. Pernyataan Alfred North Whitehead yang menyebutkan bahwa Almost all new ideas have a certain aspect of foolishness when they are first produce, rasanya cukup tepat. Ide yang tidak biasa memang kadang terlihat aneh pada awalnya, namun itu bukan sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Tidak hanya dalam rapat rutin, STH pun dapat diterapkan dalam diskusi kelas, penciptaan produk baru/inovasi, continuous improvement, problem solving, penyelesaian konflik, customer focus groups, pengembangan diri dan juga kegiatan berpikir untuk diri sendiri. Penutup Dalam menghadapi masalah sehari-hari, kita perlu melatih daya pikir dan mengeksplorasi otak kiri dan kanan. Perpaduan Critical Thinking yang didominasi otak kiri dan Creative Thinking yang didominasi otak kanan merupakan good thinking process yang dapat menghasilkan solusi yang brilliant. Lateral Thinking adalah kemampuan berpikir kreatif yang tidak biasa karena menggunakan daya imajinasi yang kadang berada di luar logika. Jadi, Lateral Thinking berusaha mengoptimalkan otak kiri dan kanan. “Think Globally, Act Locally” merupakan slogan yang bisa dijadikan acuan untuk mengeksplorasi imajinasi kita dalam men generate ide. Namun, solusi harus disesuaikan dengan kondisi yang ada dan tidak keluar dari nilai yang dianut atau kriteria yang dikehendaki.
Sebagai contoh, dalam rapat akan dibahas topik “Penghematan Listrik” di kantor. Untuk mengatur jalannya rapat yang harus selesai dalam waktu 60 menit, maka ditunjuk si topi biru sebagai pemimpin rapat. Tenggang waktu mengenakan masingmasing topi secara bersama-sama adalah sepuluh menit.
The Six Thinking Hats yang diciptakan oleh Edward de Bono merupakan penerapan dari Lateral Thinking. Metode ini melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang dan mengelola ide/pemikiran agar tidak melebar dan selalu tetap on the track sehingga akan memudahkan pengambilan keputusan. Tekniknya yang sederhana sangat cocok diterapkan dalam rapat dan diskusi terbuka. Dengan teknik ini, rapat akan berjalan singkat, efektif dan bebas konflik. Namun demikian, personil yang akan menerapkan teknik STH ini sebaiknya diikutsertakan dalam pelatihan lebih dahulu agar dapat memahami urutan langkahnya. Dalam pelatihan tersebut simulasi rapat dilakukan berkali-kali hingga proses pengambilan keputusan dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Anda ingin mencoba?
Daftar Pustaka: De Bono Thinking Systems, Six Thinking Hats, Tools for Parallel Thinking, 2012, USA De Bono Thinking Systems, Lateral Thinking, The Power of Provocation, 2012, USA http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/e/edwarddebo4547222.html#khasFQ6b BbEyfoyy.99 http://www. critical-thinkers.com/.../creative-thinking-vs-critical-thinking http://www. eduscapes.com/tap/topic69.htm 4/3/2013 http://www. fk.uns.ac.id/.../Berpikir_Kritis-Prof_Bhisma_Murti