74
ADMINISTRASI PENDIDIKAN DAN CARA BERPIKIR SISTEM PENDIDIKAN Tahroni Dosen STIA YAPPANN Jakarta
ABSTRAK Tegak robohnya suatu negara, dan bahkan maju mundurnya peradaban manusia, serta timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di dunia, tidak dikarenakan peperangan atau malapetaka lainnya, akan tetapi akan tergantung pada baik-buruknya administrasi yang dimiliki. Suatu bangsa dan negara yang ingin mencapai kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan modern, tidak mempunyai pilihan lain selain mengutamakan pembinaan serta pengembangan administrasi dan filsafat administrasinya, yang sesuai kepribadian dan tujuan bangsa dan negara itu, serta dengan memperhitungkan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Memang sesungguhnyalah abad sekarang ini adalah “abad administrasi”, karena semua keputusan di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, militer, dan lain-lain, hanya akan ada artinya apabila keputusan-keputusan terlaksana dengan efisien dan efektif. Kata kunci: administrasi. efisien dan efektif I. PENDAHULUAN Siagian (2003:1) menguraikan bahwa Charles A. Beard, seorang sejarawan politik Amerika, yang dikutip oleh Albert Lepawsky dalam bukunya Administration pada tahun 1937 menyatakan, bahwa tidak ada satu hal dalam abad modern sekarang ini yang lebih penting daripada administrasi. Kelangsungan hidup pemerintahan yang beradab, dan bahkan kelangsungan hidup dari peradaban itu sendiri, akan sangat tergantung pada kemampuan dalam membina dan mengembangkan suatu filsafat administrasi yang mampu memecahkan masalah-masalah masyarakat modern. Pelaksanaan suatu keputusan dengan efisien dan efektif itulah yang merupakan sasaran utama dari filsafat administrasi dengan menempatkan manusia sebagai fokus sentralnya (Siagian, 2003:1). “Our greatest asset is people”. (Drucker, 1977:262). Siagian (2003:2-3) merumuskan pengertian administrasi sebagai keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih, yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. II. PEMBAHASAN Ada beberapa hal yang terkandung dalam definisi di atas. Pertama, administrasi sebagai seni, merupakan suatu proses yang diketahui hanya permulaannya, sedang akhirnya tidak diketahui. Kedua, administrasi mempunyai unsur-unsur tertentu, yaitu adanya dua manusia atau lebih, adanya tujuan yang hendak dicapai, adanya tugas atau tugas-tugas yang harus dilaksanakan, adanya peralatan dan perlengkapan untuk melaksanakan tugas-tugas itu. Ke dalam golongan peralatan dan perlengkapan, termasuk pula waktu, tempat, peralatan materi, serta sarana lainnya. Ketiga, bahwa administrasi sebagai proses kerjasama bukan merupakan hal yang baru karena ia telah timbul bersama-sama dengan timbulnya peradaban manusia. Tegasnya, administrasi sebagai seni merupakan suatu fenomena sosial. Sebagai gejala sosial, azas sebab-akibat tidak disebabkan oleh satu fakta, tetapi oleh banyak fakta. (Munandar, 1986:14). Mengenai unsur manusia dalam administrasi, diperlukan lebih dari satu orang, karena seseorang tidak dapat bekerja sama dengan dirinya sendiri. Karena itu harus ada orang lain yang secara sukarela atau dengan cara lain diajak turut serta dalam proses kerja sama. Adapun tujuan yang hendak dicapai, dapat ditentukan oleh semua orang yang langsung terlibat dalam proses administrasi, dapat pula ditentukan oleh hanya sebagian, dan bahkan mungkin hanya ditentukan oleh seorang dari mereka yang terlibat.
75
Mengenai tugas yang hendak dilaksanakan, terdapat anggapan bahwa proses administrasi baru timbul, apabila ada kerjasama. Sebenarnya tidak demikian. Kerjasama bukan merupakan unsur administrasi, melainkan suatu kondisi ideal, artinya, perlu ditekankan bahwa pencapaian tujuan akan lebih efisien dan efektif apabila semua orang yang terlibat mau bekerja sama satu sama lain. (Siagian, 2003:3) Keefektifan suatu organisasi ditentukan oleh tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. “Organizational effectiveness is the degree to which the organization achieves a stated goal. It means that the organization succeeds in accomplishing what it tries to do”. (Daft, 2003:9). Sedangkan efisiensi organisasi mengacu pada jumlah sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan organisasi. “Organizational efficiency refers to the amount of resources used to achieve an organizational goal”. (Daft, 2003:9). Dengan rumusan yang berbeda, dapat dinyatakan bahwa: “Effectiveness is often described as ‘doing the right things”. Sedangkan efisiensi merupakan “Getting the most output from the least amount of inputs; referred to as ‘doing things right”. (Robbins & Coulter, 2003:6-7) Untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi, di samping ditentukan oleh orangorang yang terlibat dalam proses administrasi, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Menurut Siagian, sarana dan prasarana yang diperlukan dalam suatu proses administrasi tergantung dari berbagai faktor, seperti, a. Jumlah orang yang terlibat dalam proses itu. b. Sifat tujuan yang hendak dicapai. c. Ruang lingkup serta aneka ragamnya tugas yang hendak dijalankan, dan d. Sifat kerjasama yang dapat diciptakan dan dikembangkan. (Siagian, 2003:4) Sifat, ruang lingkup, dan bentuk kegiatan administrasi berbeda dari satu zaman ke zaman yang lain; ia berbeda pula dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain; ia berbeda pula dari satu waktu dan kondisi ke waktu dan kondisi yang lain. Tujuan yang berbeda-beda, tingkat kebutuhan yang berlain-lainan, kecerdasan yang beraneka ragam, kesemuanya turut menentukan bentuk dan sifat administrasi yang diperlukan. Dengan demikian, kegiatan administrasi dalam bidang pendidikan, harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang berkembang dinamis dari waktu ke waktu. Siagian (2003:4) menekankan bahwa usia administrasi sama dengan usia peradaban manusia, karena apabila ada dua orang yang bekerja bersama-sama untuk menggulingkan sebuah batu yang tidak dapat digulingkan hanya oleh seorang di antara mereka, pada saat itu administrasi telah ada. Hal inilah yang dimaksud bahwa administrasi merupakan suatu fenomena sosial. Timbulnya ilmu administrasi sering dikenal sebagai suatu modern phenomenon. Akan tetapi, dengan timbulnya Ilmu Administrasi, tidak berarti hilangnya sifat “seni”- nya. Karena itu, sekarang ini administrasi dikenal sebagai suatu artistic science, karena dalam penerapannya, seninya masih tetap memegang peranan yang menentukan. Sebaliknya, seni administrasi dikenal sebagai suatu scientific art karena seni itu sudah didasarkan atas sekelompok prinsip-prinsip yang telah teruji “kebenarannya”. (Siagian, 2003:4) Pengertian administrasi di atas, mempunyai alat pelaksana utama, yaitu manajemen. Dengan kata lain, manajemen merupakan inti dari administrasi. Pernyataan tersebut didasarkan pada pendapat bahwa manajemen pada hakikatnya berfungsi untuk melakukan semua kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan dalam batas-batas kebijakan umum yang telah ditentukan pada tingkat administrasi. Jelas hal ini tidak berarti bahwa manajemen tidak boleh menentukan tujuan, akan tetapi tujuan yang ditentukan pada tingkat manajemen hanya boleh bersifat departemental atau sektoral. Di bidang penentuan kebijakan, tidak pula berarti bahwa pada tingkat manajemen, tidak ada proses penentuan policy. Hanya saja kebijakan yang ditentukan pada tingkat manajemen, hanya boleh bersifat khusus dan/atau pelaksanaan (operasional).
76
Administrasi lebih luas daripada manajemen. Hal ini perlu ditegaskan mengingat bahwa baik di kalangan teoritisi maupun praktisi, masih sering terdapat dualisme pengertian administrasi. Di satu pihak, terdapat pengertian administrasi dalam arti luas, seperti telah didefinisikan di atas. Di lain pihak, masih terlalu sering administrasi diartikan secara sempit, yaitu administrasi dalam pengertian ketatausahaan, yang sesungguhnya hanya merupakan bagian kecil dari kegiatankegiatan operasional administrasi dalam arti luas. (Siagian, 2003:5). Administrasi dapat diartikan sebagai penentuan kebijakan bersama dan koordinasi secara keseluruhan. Administrasi sebagai pengarah, manajemen sebagai pelaksana. (Made Pidarta, 2004:2). Manajemen sebagai pelaksana, merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan dan pengendalian dari penggunaan sumber daya untuk mengerjakan tujuan-tujuan kinerja.“Management is the process of planning, organizing, leading, and controlling the use of resources to accomplish performance goals”. (Schermerhorn, 2005:19). Manajemen sebagai alat pelaksana utama dari administrasi, juga harus berkemampuan mencapai tujuan organisasi sesuai dengan kebijakan yang telah digariskan oleh administrasi. Untuk itu, manajemen juga dapat dirumuskan sebagai suatu proses mencapai tujuan organisasi dengan cara yang efektif dan efisien melalui perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan dan pengendalian sumber daya organisasi. “Management is the attainment of organizational goals in an effective and efficient manner through planning, organizing, leading and controlling organizational resources”. (Daft, 2003:5) Jadi, untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan, perlu menggunakan seluruh sumber daya yang terdapat dalam organisasi, termasuk pekerjaan para anggotanya, yang harus direncanakan, diorganisasikan, dipimpin dan dikendalikan. Oleh karena itu, manajemen sebagai pelaksana utama administrasi dapat diartikan sebagai “The process of planning, organizing, leading and controlling the work of organization members and of using all available organizational resources to reach stated organizational goals”. (Stoner, Freeman & Gilbert, 1995:7) Berbeda dengan pengelompokan fungsi-fungsi manajemen seperti diuraikan di atas, terdapat pula pakar yang berpendapat, bahwa proses manajemen mencakup 5 (lima) fungsi dasar, yaitu “Planning, organizing, staffing, leading and controlling”. (Dessler, 2005:4). Pendapat lain menyatakan bahwa “The functions of management consist of five basic activities:planning, organizing, motivating, staffing, and controlling”. (David, 1999:146). Menurut Siagian (2003:5), manajemen dapat didefinisikan dari dua sudut pandang, yaitu sebagai proses penyelenggaraan berbagai kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan, dan sebagai kemampuan atau keterampilan orang yang menduduki jabatan manajerial untuk memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain. Manajemen dalam arti kelompok pimpinan, tidak melaksanakan sendiri kegiatan-kegiatan yang bersifat operasional, melainkan mengatur tindakan-tindakan pelaksanaan oleh sekelompok orang yang disebut bawahan. Memperhatikan definisi-definisi di atas, dapat dikemukakan beberapa substansi penting, yang tercakup dalam pengertian manajemen, yaitu sebagai berikut : a. Manajemen merupakan suatu proses pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. b. Dalam upaya pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, manajemen melaksanakan fungsifungsi tertentu. c. Tidak ada keseragaman pendapat di antara para pakar dalam mengelompokkan fungsi-fungsi manajemen. Diantara pendapat para ilmuwan, menyatakan bahwa fungsi-fungsi manajemen adalah planning, organizing, leading, motivating, staffing, dan controlling. d. Penggunaan istilah “leading” menekankan pada pembimbingan dan keteladanan, sedangkan “motivating” menekankan pada penyadaran kepada bawahan agar tergerak untuk melakukan kegiatan yang diharapkan oleh pimpinan. Sedangkan fungsi “staffing” dapat ditempatkan sebagai fungsi terpisah dari fungsi-fungsi lain, atau dapat dirangkum dalam satu istilah “organizing”. Dari uraian di atas, jelas bahwa sekalipun ada perbedaan dalam pengelompokan fungsi-fungsi manajemen, namun secara keseluruhan menggambarkan substansi yang sama, dimulai dengan
77
perencanaan (planning) dan diakhiri dengan pengendalian (controlling). Hasil pengendalian menunjukkan diperlukan atau tidaknya dilakukan perbaikan-perbaikan, baik karena perencanaan yang kurang tepat, atau karena adanya perubahan-perubahan lingkungan yang tidak pernah statis, selalu berubah sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, proses manajemen merupakan siklus yang tidak pernah berhenti. Proses tersebut digambarkan oleh Stoner, Freeman & Gilbert (1995:13) sebagai berikut : A.Pengertian Berpikir Sistem Pendidikan Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan pembimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh pendidik kepada peserta didik ke arah suatu tujuan tertentu. Penjabaran mengenai hakikat perbuatan pembimbingan, apa tujuannya, dan bagaimana hakikat pendidik dan peserta didik; semuanya sangat bergantung kepada dasar filsafah yang dianut oleh orang yang merumuskannya. Dengan demikian, perumusan itu sangat beragam. (Engkoswara, 1987:17). Dengan rumusan yang lebih luas, pendidikan adalah upaya sadar untuk menyiapkan peningkatan kehidupan peserta didik yang mandiri dan berbudaya harmonis, yaitu memiliki moral dan akhlak mulia, profesi yang dilandasi ilmu pengetahuan, teknologi dan atau seni tepat guna, dan memiliki kreativitas terpuji yang menyejukkan dan membawa kedamaian yang bernilai indah, sehingga kehidupannya lebih baik. (Engkoswara, 2002:i). Pendidikan dalam artian tersebut menjadi tanggung jawab bersama, antara keluarga, masyarakat dan pemerintah melalui sekolah, baik yang dikelola oleh pemerintah sendiri maupun oleh masyarakat. (Engkoswara, 2004:7). Mengutip rumusan pengertian dalam Dictionary of Education, Nanang Fattah (2004:4-5) menjelaskan bahwa pendidikan adalah: (a) proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat mereka hidup, (b) proses sosial yang terjadi pada orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum. Dengan kata lain, pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (tetap) dalam tingkah laku, pikiran, dan sikapnya. Menurut Crow and Crow (dalam Nanang Fattah, 2004:5); “Modern educational theory and practise not only are aimed at preparation for future living but also are operative in determining the pattern of present, day-by-day attitude and behavior”. Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang, tetapi juga untuk kehidupan sekarang yang dialami individu dalam perkembangannya menuju ke tingkat kedewasaannya. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diidentifikasikan beberapa ciri pendidikan, antara lain, yaitu: a. Pendidikan mengandung tujuan, yaitu kemampuan untuk berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup. b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha yang terencana dalam memilih isi (materi), strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai. c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (formal dan non formal). Apabila dikaitkan dengan keberadaan dan hakikat kehidupan manusia, pendidikan diarahkan untuk pembentukan kepribadian manusia, yaitu mengembangkan manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk beragama (religius). (Nanang Fattah, 2004:5) Hasbullah (1999:4-6) menyimpulkan dari beragam batasan pendidikan yang diberikan oleh para ahli, bahwa meskipun berbeda secara redaksional namun secara esensial terdapat kesatuan unsur-unsur atau faktor-faktor yang terdapat di dalamnya, yaitu bahwa pengertian pendidikan
78
tersebut menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik, anak didik, tujuan dan sebagainya. Karena itu, dengan memperhatikan batasan-batasan pendidikan tersebut, ada beberapa pengertian dasar yang perlu dipahami, yaitu: a. Pendidikan merupakan suatu proses terhadap anak didik yang berlangsung terus sampai anak didik mencapai pribadi dewasa susila. Proses ini berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Bila anak didik sudah mencapai pribadi dewasa susila, maka ia sepenuhnya mampu bertindak sendiri bagi kesejahteraan hidupnya dan masyarakatnya. b. Pendidikan merupakan perbuatan manusiawi. Pendidikan lahir dari pergaulan antar orang dewasa dan orang yang belum dewasa dalam suatu kesatuan hidup. Tindakan mendidik yang dilakukan oleh orang dewasa dengan sadar dan sengaja didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan. Tindakan tersebut menyebabkan orang yang belum dewasa menjadi dewasa dengan memiliki nilai-nilai kemanusiaan, dan hidup menurut nilai-nilai tersebut. Kedewasaan diri merupakan tujuan pendidikan yang hendak dicapai melalui perbuatan atau tindakan pendidikan. c. Pendidikan merupakan hubungan antar pribadi pendidik dan anak didik. Dalam pergaulan terjadi kontak atau komunikasi antara masing-masing pribadi. Hubungan ini jika meningkat ke taraf hubungan pendidikan maka menjadi hubungan antar pribadi pendidik dan pribadi si anak didik, yang pada akhirnya melahirkan tanggung jawab pendidikan dan kewibawaan pendidikan. Pendidik bertindak demi kepentingan dan keselamatan anak didik, dan anak didik mengakui kewibawaan pendidik dan bergantung padanya. d. Tindakan atau perbuatan mendidik menuntun anak didik mencapai tujuan-tujuan tertentu, dalam hal ini tampak pada perubahan-perubahan dalam diri anak didik. Perubahan sebagai hasil pendidikan merupakan gejala kedewasaan yang secara terus-menerus mengalami peningkatan sampai penentuan diri atas tanggung jawab sendiri oleh anak didik atau terbentuknya pribadi dewasa susila. Dalam konteks penelitian ini, penulis tertarik pada aspek “The systematized learning” dari Carter V. Good, yang diberi makna oleh Hasbullah sebagai “ilmu yang sistematis”, serta adanya “tujuan tertentu”, seperti yang dirumuskan oleh Engkoswara di atas. B. Pendidikan Sebagai Ilmu Eksistensi administrasi memang sudah berkembang sebagai ilmu pengetahuan karena telah memenuhi syarat sebagai suatu ilmu, seperti dikemukakan Siagian (2003:16) bahwa ilmu adalah suatu objek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil dan rumus, yang melalui percobaanpercobaan yang sistematis dilakukan berulangkali, telah teruji kebenarannya, di mana prinsipprinsip, dalil-dalil, dan rumus-rumus termaksud dapat diajarkan dan juga dipelajari. Dalam bukunya Learning Science, White (1998:39) menyatakan bahwa “Science could be learned as an abstraction, but it has always been a typically human activity in which the hand has had a part, as well as the brain and the eye”. Hornby, et al. (dalam Oemar, 2004:13) mengemukakan bahwa “Science is knowledge arranged in an orderly manner, especially knowledge of the way in which one event causes another”. Ilmu adalah pengetahuan tentang jalannya suatu kejadian/peristiwa yang menyebabkan kejadian/peristiwa lainnya. Oemar (2004:14) menguraikan pengertian tersebut dengan menyatakan bahwa setiap penyusunan sudah tentu ada sesuatu yang disusun dan mempunyai objek. Dalam pokok bahasan, tentu mempunyai sistematika, logika berpikir, metode pendekatan, serta ada sumber bahannya. Yang dimaksud dengan objek ialah pokok bahasan yang menjadi titik tolak pembahasan dari ilmu itu. Yang dimaksud dengan sistematika ialah susunan atau pembagian dari ilmu itu. Metode pendekatan diartikan sebagai cara-cara yang dilakukan terhadap pokok atau sudut tinjauan yang digunakan dalam pembahasan ilmu, sedangkan yang dimaksud dengan sumber bahan ialah sesuatu yang dapat, atau akan memberikan bahan perlengkapan, atau bahan inti bagi ilmu-ilmu itu. Sumber bahan menentukan eksistensi dan pengembangan suatu ilmu. Selanjutnya ilmu dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) cabang, yaitu sebagai berikut ;
79
a. Natural (physical) science, yakni pengetahuan tentang alam (natural) dari semesta ini, seperti biologi dan astronomi. b. Social science, yakni pengetahuan tentang cara manusia bertingkah laku, seperti psikologi dan ekonomi. c. Pure science, yakni pengetahuan yang diperoleh dari berpikir dan kebenaran-kebenaran sesungguhnya, seperti matematika. d. Exact science, yakni pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pengukuran, seperti ilmu kimia. (Oemar, 2004:14) Eksistensi pendidikan sebagai ilmu, masih melahirkan beragam pendapat. Engkoswara (1987:18-19) menyatakan pendapatnya bahwa banyak penulis dalam bidang pendidikan yang tidak terlalu mempersoalkan secara tersurat kaitan antara pendidikan, teori pendidikan, filsafat pendidikan, dan ilmu pendidikan. Mereka lebih mempedulikan langsung proses pendidikan dan manfaatnya bagi perkembangan individu secara optimal. Oleh karena itu, ada sebagian dari ahli pendidikan beranggapan bahwa sesungguhnya ilmu pendidikan itu adalah penerapan ilmu-ilmu lain dalam praktek pendidikan. Jadi, ilmu pendidikan itu bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Pendidikan sesungguhnya hanya menggunakan hasil-hasil penelitian antropologi (filosofis, sosial dan kultural), psikologi (khususnya sosialisasi anak dalam hubungan dengan status dan peranan orang tua dalam suatu masyarakat). Menurut Engkowwara (1987:18), anggapan yang demikian itu kurang tepat, bahkan keliru, karena ilmu pendidikan memiliki objek penelitiannya yang khas, yaitu fenomena atau situasi pendidikan di mana dalam proses pengarahan perkembangan peserta didik terjadi interaksi antara pelajar atau peserta didik dengan pendidik, sedangkan metode pengamatan yang dipergunakan adalah perpaduan dua pendekatan yang filosofis dan empiris. Hasil dari kedua pendekatan itu akan berupa suatu teori pendidikan. Pendekatan filosofis bukan hanya mempertanyakan tentang hakikat dan tujuan hidup manusia (human nature and destiny), tetapi juga tentang pendidikan dalam arti kemampuan manusia berkembang dan menerima pengaruh dari luar, terutama secara etis, sehingga pertumbuhan dan perkembangan manusia dapat diarahkan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, berdasarkan potensi dan sifat-sifat bawaan seorang peserta didik sebagai makhluk sosial dan sebagai individu. Pendekatan empiris mempertanyakan persyaratan-persyaratan teknis, termasuk penciptaan situasi pendidikan, segala upaya dan alat pendidikan yang sesuai dan efektif dalam membantu mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik tersebut. Peneropongan filosofis menghasilkan asumsi-asumsi dasar tentang hakikat dan tujuan hidup manusia, tentang sifat-sifat dan potensi manusia untuk berkembang dan menerima pengaruh dari luar, dan nilai serta norma yang dipergunakan dalam mengarahkan perkembangan itu, dalam arti untuk mencapai tujuan pendidikan. Peneropongan empiris menghasilkan teori-teori tentang situasi dan kondisi, proses belajar-mengajar serta alat-alat bantu atau sarana dan prasarana yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan. Kesemuanya itu menjadi bidang garapan ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari makna pendidikan. Oleh karena itu, ilmu pendidikan dapat diartikan sebagai ilmu tentang pendidikan. Atau dengan perkataan lain, ilmu pendidikan ialah ilmu yang mempelajari hakekat serta keseluruhan upaya pendidikan dalam arti upaya pembimbingan bagi peserta didik ke arah tujuan tertentu, yaitu dalam rangka mengarahkan perkembangan peserta didik seoptimal mungkin. (Engkoswara, 1987:19). III. Penutup Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, diperlukan sumber daya manusia maupun non-manusia, termasuk fasilitas, yaitu “all available organizational resources”, dengan upaya yang rasional agar tujuan dapat dicapai secara optimal. Searah dengan uraian tersebut, Engkoswara (1987:42) merumuskan pengertian Administrasi Pendidikan sebagai ilmu yang mempelajari penataan sumber daya, yaitu manusia, kurikulum atau sumber belajar dan fasilitas untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal dan penciptaan yang baik bagi manusia yang disepakati.
80
DAFTAR PUSTAKA Capra, Fritjof : “Titik Balik Peradaban : Sains, masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan”, terjemahan 1998. Daft, Richard L., (2003). Management. Sixth Edition. Ohio: Thomson South-Western. David, Fred R. (1999). Strategic Management; Concept and Cases. Seventh Edition. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Engkoswara, (1987). Dasar-dasar Administrasi Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. George, Jennifer M., and Gareth R. Jones. (2002). Organizational Behavior. Third Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. Hellriegel, Don, John W. Slocum, Jr., and Richard W. Woodman. (2001). Organizational Behavior. Ninth Edition. Mason, Ohio: Thomson South-Western. Hendyat Soetopo. (2005). Pendidikan & Pembelajaran. Teori, Permasalahan dan Praktek. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. Hodge, B.J., William P. Anthony, and Lawrence Gales. (1996). Organization Theory: A Strategic Approach. Fifth Edition. International Edition. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Hofstede, Geert. (1994). Cultures and Organizations. London: Harper Collins Publishers. Hoy, Wayne K., and Cecil G. Miskel. (1991). Educational Administration; Theory, Research, Practice. Sixth Edition, New York : McGraw-Hill, Inc. Janasz, Suzanne C. de, Karen O. Dowd, and Beth Z. Schneider. (2002). Interpersonal Skills in Organizations. International Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.