BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam setiap rangkaian kehidupan manusia pastilah tidak akan lepas dari proses berpikir. Berpikir merupakan suatu proses mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasanalasan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari berbagai hal yang berhubungan satu sama lain, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi, serta membahas suatu realitas (Poespoprodjo, 1999, h.13). Setiap kali manusia melakukan suatu pekerjaan, berbicara, menulis, mendengarkan, menarik kesimpulan-kesimpulan dari apa yang dilihat atau didengarkan, semuanya diawali dari kegiatan berpikir. Menurut Poespoprojo, Dalam kegiatan berpikir, benar-benar dituntut kesanggupan pengamatan yang kuat dan cermat, melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan, kesalahan-kesalahan yang terselubung, waspada terhadap pembenaran diri, serta waspada terhadap prasangka-prasangka yang tidak relevan. Begitu banyak celah untuk melakukan kesalahan dalam berpikir, baik datang dari diri sendiri maupun dari luar. Oleh karena itu, setiap orang harus mengetahui aturan-aturan atau hukum-hukum tentang bagaimana cara berpikir yang benar, atau bagaimana seseorang menentukan apakah penalarannya tepat atau tidak. Hal itu dapat diperoleh dengan mempelajari logika, karena dalam logika kita dapat mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan
untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah (Copi dalam Mundiri, 1994, h. 2). Catatan paling tua tentang logika ditemukan di Yunani, yang merupakan hasil karya Socrates dan Plato, sehingga mereka disebut sebagai perintis logika. Namun pembakuan yang lebih sistematis dilakukan oleh Aristoteles, sehingga orang menganggapnya sebagai bapak logika. Karya Aristoteles tentang logika diberi nama To Organon oleh Andronikos (Poespoprodjo, 1999, h.41-42). Kemudian pada abad XIII lahirlah logika modern yang dipelopori oleh Petrus Hispanus, Raymundus Lullus, dan Welhelm Ocham, logika ini berbeda sekali dengan metode Aristoteles. Selanjutnya para ahli filsafat terus mengembangkan dan menyempurnakan logika (Poespoprodjo, 1999, h.43). Berkembangnya hukum-hukum dan aturan dalam logika ini, menyebabkan konsepsi ilmiah yang menjurus pada munculnya logika simbolis. Bermula dari Leibniz (1636-1934) yang melihat keterbatasan Logika Aristoteles, Leibniz melakukan suatu studi tentang proses berpikir dalam ruang yang lebih luas. Menurutnya, suatu bahasa universal akan dapat dibentuk, jika suatu sistem simbol dapat diciptakan. Kemudian Leibniz menciptakan hukum-hukum simplifikasi, tautologi, identitas, transposisi, komposisi, dan hal lain yang merupakan dasar perkembangan logika simbolis (Poespoprodjo, 1999, h.52-53). J.H.
Lambert
(1728-1777)
melanjutkan
studi
Leibniz,
dan
menggunakan simbol matematis untuk mengungkapkan proses logis. Setelah
itu banyak matematisi yang mengembangkan logika dengan menggunakan simbol-simbol matematis, sehingga lahirlah teori logika matematis dan berbagai pengembangannya dari hukum-hukum sebelumnya. Hal ini menyebabkan logika matematis menjadi populer dan pada abad XX logika matematis mengalami zaman Renaissance yang ditandai dengan terbitnya Principia Mathematica Jilid I karya A.N. Whitehead dan Bertrand A. Russel (Poespoprodjo, 1999, h.54). Karena perkembangan logika matematis yang begitu pesat, maka saat ini muncul berbagai anggapan bahwa logika itu merupakan bagian dari matematika dan hanya orang-orang yang bergelut di bidang matematika saja yang bisa mempelajari dan memanfaatkan logika. Dalam simbol-simbol matematis, logika yang seharusnya menjadi milik semua orang menjadi sesuatu yang terkesan sulit dan menakutkan. Simbol-simbol yang diharapkan menjadi bahasa universal justru menjadi alasan bagi orang awam untuk menghindari mempelajarinya. Padahal
logika
sangat
bermanfaat
bagi
orang-orang
yang
mempelajarinya. Beberapa manfaat dari logika di antaranya adalah: (1) membantu untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren; (2) meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, objektif, tajam dan mandiri; (3) menambah kecerdasan; (4) memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan asas-asas sistematis; (5) meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan
berpikir, kekeliruan, dan kesesatan; (6) mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian. Namun, karena anggapan bahwa logika milik matematika maka mereka tidak menyadari pentingnya logika sehingga masyarakat kurang memaksimalkan manfaat dari logika. Walaupun pada kenyataannya logika tetaplah digunakan dalam masyarakat. Berdasarkan obyek yang dipelajarinya, logika dibagi ke dalam dua jenis yaitu logika formal dan logika non-formal. Logika formal mempelajari tentang inferensi dalam bahasa formal atau simbolis. Sedangkan logika nonformal mempelajari argumen dan indikator-indikatornya. Studi mengenai penalaran logis merupakan cabang yang penting dalam logika non-formal. Menurut Galotti (Jacob, 1997, h.30) bahwa penalaran logis berarti menstransformasikan informasi yang diberikan untuk memperoleh suatu konklusi. Jadi, logika terutama penalaran logis ini merupakan milik semua orang, dan supaya dapat bernalar dengan benar maka setiap orang harus memiliki pengetahuan tentang penalaran logis ini. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu pembenaran pada masyarakat umum bahwa penalaran logis itu
milik semua orang dan semua menyadari pentingnya mempelajari
penalaran logis. Menurut Matlin penalaran logis terdiri dari penalaran silogistik atau silogisme dan penalaran kondisional (Jacob, 1997, h.30). Silogisme terdiri dari dua premis yang harus diasumsikan benar, ditambah suatu konklusi (Jacob, 1997, h.32). Penalaran kondisional berhubungan dengan pernyataan “jika ...,
maka ....” Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam percakapan formal, kedua penalaran logis tersebut seringkali digunakan. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui, mempelajari, serta memasyarakatkan penalaran logis. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi indikatorindikator apa saja yang ada dalam penalaran logis. Selain itu perlu juga adanya transfer bahasa matematis yang penuh dengan simbol-simbol ke dalam bahasa yang mudah dicerna dan difahami oleh setiap orang. Dengan adanya transfer bahasa dan identifikasi terhadap indikatorindikator yang ada dalam penalaran logis ini, maka diharapkan bahwa setiap orang dapat dengan mudah mempelajari penalaran logis, sehingga manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh orang-orang yang bergelut dalam bidang matematika, tetapi dirasakan juga oleh setiap orang. Untuk lebih memahami dan mempelajari penalaran logis, maka penalaran kondisional yang merupakan bagian dari penalaran logis ini akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan utama.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana validitas dari tipe-tipe penalaran kondisional? 2. Bagaimana
mengidentifikasi
penalaran kondisional?
indikator-indikator
yang
ada
dalam
3. Bagaimana menentukan argumen yang valid dan argumen yang tidak valid? 4. Bagaimana menggunakan penalaran kondisional dalam kehidupan seharihari dan matematika?
C. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui validitas dari tipe-tipe penalaran kondisional. 2. Mengetahui indikator-indikator yang ada dalam penalaran kondisional. 3. Mengetahui mana argumen yang valid dan argumen yang tidak valid. 4. Mengetahui penggunaan penalaran kondisional dalam kehidupan seharihari dan matematika.