BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Persoalan daerah semakin kompleks, tidak bisa diselesaikan dengan cara biasa melainkan dibutuhkan cara-cara yang berbeda sama sekali dengan sebelumnya dan salah satunya adalah dengan inovasi. Desentralisasi dan pemberian otonomi yang sangat luas kepada pemerintah-pemerintah daerah, secara tidak langsung menjanjikan akan adanya (jika bukan maraknya) inovasi. Demikian juga dengan adanya demokratisasi masyarakat banyak menuntut akan adanya sikap yang tanggap (responsif) dari pemerintah untuk menyelesaikan berbagai permasalahan, salah satunya juga dengan inovasi. Studi ini mencoba mendalami seberapa mudah ruang berinovasi dipergunakan oleh kepala daerah yang menjabat di era otonomi daerah dan demokratisasi yang memiliki komitmen tinggi untuk berinovasi. Telaah akademik tentang hal ini sangat urgen mengingat, sederetan kepala daerah yang telah berjuang berinovasi, pada akhirnya justru dipersalahkan inovasinya. Mereka harus mendekam di penjara karena inovasinya. Dalam kasus inovasi di Jembrana karena inovatornya (I Gede Winasa mantan bupati Jembrana dua periode 2000-2005 dan 2005-2010) terkena kasus gratifikasi mesin pengolah pupuk kompos maka inovasinya di bidang pertanian ditelantarkan oleh penggantinya. Demikian juga kasus inovasi Balai latihan kerja Technopark di Sragen tidak bisa berlanjut karena Untung Wiyono, mantan bupati Sragen harus mendekam di penjara karena kasus mengalihkan anggaran untuk inovasi.
1
Secara normatif, ruang untuk berinovasi memang terbuka lebar. Setelah reformasi yang kemudian diikuti dengan kebijakan desentralisasi yang luas (UUD 1945 Pasal 18 ayat 1- 6, UU Nomor 32 Tahun 2004), hak daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tidak hanya dijamin, melainkan juga diperluas cakupan dan kedalamannya. Pemerintah-pemerintah daerah, melalui Kepala-kepala Daerahnya memiliki kewenangan serta keleluasaan yang lebih besar untuk melakukan berbagai upaya secara kreatif untuk membangun, memajukan daerah untuk mensejahterakan masyarakat dengan melalui berbagai inovasi, jika dibandingkan dengan mereka yang menjabat sebelum era reformasi. Hal yang perlu dikaji secara seksama, sebetulnya bukan hanya apakah momentum ini dimanfaatkan oleh kepala-kepala daerah dalam menggulirkan berbagai inovasi saja, namun yang lebih penting adalah menyangkut tingkat penerimaan perubahan sebagai konsekuensi adanya inovasi, sehingga inovasi dapat berlanjut. Kasus-kasus dilapangan sebagian menghasilkan sejumlah daerah yang menonjol dan berhasil dalam berinovasi dibidang penyelenggaraan pemerintahan1, namun tidak sedikit juga yang mengalami penolakan dan tidak berlanjut (Dwiyanto,2003; Jawa Pos Pro Otonomi, 2011). Ini terjadi karena urgensi untuk menakar ruang dan peluang berinovasi tidak mudah mengingat inovasi biasanya ditelaah dalam kerangka pikir ekonomis atau dalam dinamika perekonomian semata. Sebagaimana diakui Clark dan Guy (1997) inovasi 1
Kementerian Dalam Negeri memberikan penghargaan inovasi Pemerintah Daerah dalam 4 (empat) kategori, yakni: (1) tata kelola pemerintahan daerah; (2) pelayanan publik; (3) pemberdayaan masyarakat; dan (4) peningkatan daya saing daerah.Tahun 2010 ada 4 daerah yang memperoleh penghargaan IGA: Kota Batam, Kutai Timur, Kab.Sragen, Kab. Gianyar dalam kategori inovasi berkelanjutan; Tahun 2011 ada 4 daerah: Kota Palembang, Kota Banjar, Kota Malang dan Kota Semarang; Tahun 2012 ada 4 daerah: Kota Banda Aceh, Kota Tangerang, Kab. Ponorogo, Kab. Sumedang: Tahun 2013 ada 4 daerah: Kab. Maros, Kab.Agam, Kab. Bantaeng, Kab. Lamongan. 2
merupakan aplikasi komersial dari suatu produk atau proses yang baru. Perhatiannya ada pada pemanfaatan produk, bukan perubahan tatanan pemerintahan. Dari kacamata ekonomis dibayangkan bahwa hasil inovasi memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis tentunya mengundang banyak pihak untuk menjajagi, kalaulah tidak mesti mengadopsi. Inilah konsekuensinya ketika inovasi dilihat dari segi pengembangan produk atau proses baru yang memiliki utility lebih tinggi. Memang itu tidak kita pungkiri, namun, untuk menghasilkan suatu produk atau proses baru ini menyangkut ruang yang diperlukan untuk suatu proses kreatif dan interaktif yang melibatkan berbagai pihak (OECD, 1999). Untuk bisa melakukan hal yang kreatif dan interaktif, harus didukung oleh pengetahuan tentang produk, proses dan jasa baru (Rosenfeld, 2002 dalam Taufiq, 2007). Artinya inovasi merupakan proses atau hasil mobilisasi pengetahuan, ketrampilan teknologis dan pengalaman untuk menciptakan produk, proses dan jasa baru. Inovasi dalam konteks ini dimaknai sebagai hasil dari kerja pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dalam konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi (UU No. 18 Tahun 2002). Ketika perhatian kita terfokus pada produk, maka inovasi terlihat sebagai cerita sukses dari eksploitasi gagasan baru. (Mitra, 2001 dan the British Council, 2000 dalam Taufiq, 2007). Inovasi memang terkait dengan penciptaan hal yang baru, dan tidak mengherankan jika perbincangan tentang inovasi selama ini lebih dipahami sebagai persoalan „kebaruan‟ dari pada persoalan „penerimaan‟ dalam
3
sebuah proses perubahan (Beck and Whistler, 1967 dalam
Osborne, Kerry
Brown, 2005; Jawa Pos Pro Otonomi, 2011). Kecenderungan ini seakan menutupi kenyataan bahwa, apa yang dianggap baru dan diputuskan terbaik bagi inovator belum tentu baik dan dapat diterima oleh sebagian pihak yang lain. Karena sisi kebaruan lebih dikedepankan, maka keberlanjutan inovasi tidak terantisipasi dengan baik, dan kemampuan inovator untuk mewariskan inovasi yang institusional tidak terbimbing oleh teori-teori sosial yang tersedia. Studi ini tidak bermaksud untuk mengingkari kenyataan bahwa inovasi senantiasa terkait dengan kebaruan. Hanya saja, perhatian berlebih pada sisi kebaruan yang diikuti dengan ketidakberlanjutan inovasi menjadikan studi tentang inovasi kehilangan relevansinya. Diluar tradisi kajian ekonomi, ada kubu kajian inovasi dalam tradisi teknokratis. Selama ini tokoh-tokoh seperti Horth dan Buchner (2006), King (2007), memandang inovasi sebagai praktek teknokrasi. Bagi mereka, inovasi adalah “sekedar” perubahan prosedur yang bersifat teknis administratif tentang tata cara pelaksanaan, tentang hal yang sebetulnya hanya tampak dipermukaan saja. Padahal, inovasi menyangkut perubahan tatanan yang di dalamnya menyangkut perubahan sikap, perilaku budaya baik pelaksana kebijakan maupun yang dikenai kebijakan (Jassawalla and Hemant C. Sashittal, 2002). Inovasi juga menyangkut perubahan kepentingan, beberapa pihak yang merasa dirugikan akan menentang dan akan berusaha mempengaruhinya (Das, 1997). Oleh karena itu inovasi bukan sekedar menyangkut teknis administratif yang bersifat prosedural semata namun menyangkut politik yaitu pengaturan antara berbagai relasi kepentingan dalam rangka untuk memberikan ruang bagi berkembangnya inovasi.
4
Inovasi menyangkut usaha untuk mencari titik temu dari berbagai kepentingan dalam sistem. Studi ini bermaksud untuk menguak masalah tersebut. Jelasnya, penekanan pada aspek teknokrasi dalam pembahasan tentang inovasi menjadikan dimensi politik dari inovasi tersebut terkesampingkan. Salah satu bentuk pengabaian tersebut adalah maraknya inovasi dengan model copy paste sebagai hasil studi banding yang selama ini banyak dilakukan oleh daerah-daerah. Mereka mengira bahwa dengan merubah secara teknis administratif prosedural maka inovasi akan berhasil. Dampaknya inovasi yang ia bangun dibongkar lagi oleh penggantinya dan tidak bisa berlanjut. Ketika membahas inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah, yang justru penting untuk ditelaah adalah perubahan sistemiknya, bukan semata-mata produk inovasi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam kajian ini, inovasi dipahami sebagai perubahan tatanan dalam pemerintahan daerah yang akhirnya terjadi perubahan sistemik, baik menyangkut sistem kerja, sistem pelayanan, sistem perijinan, sistem pengelolaan tenaga kerja dan sebagainya. Setiap individu, kelompok terikat bahkan memiliki kepentingan terhadap sistem. Yang perlu dipastikan adalah adanya tatanan sistemik yang ”menjebak” para aktor untuk berperilaku dengan pola tertentu. Tidak dapat dipungkiri bahwa inovasi menyangkut pengembangan proses, fungsi, manfaat, sikap dan perilaku yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahanperubahan tersebut akan terjadi jika kepentingan dari berbagai pihak dapat diakomodir dan dipertemukan. Telaah populer tentang inovasi tersebut di atas taking for granted bahwa, inovasi seolah-olah akan dengan serta-merta menghasilkan tatanan sistemik yang mapan.
5
Dari perspektif ini, inovasi senantiasa melibatkan perubahan yang kompleks. Ada berbagai keterikatan yang termanifestasikan dalam sikap dan perilaku para aktor yang bekerja dalam tatanan sistemik. Jangkauan inovasi, dengan demikian bukanlah sekedar penyikapan individual, ataupun kelompok: menerima atau menolak inovasi. Pada saat yang sama, kita juga paham bahwa kalaulah mereka menolak/menerima, itu adalah konsekuensi dari adanya kepentingan mereka masing-masing. Kepentingan tersebut dapat berupa materi (penghasilan/gaji, keuntungan), kepastian, kemudahan serta kenyamanan kerja atau kepuasan kerja, status). Setiap individu atau kelompok akan berusaha mempertahankan kemapanan sistem tersebut manakala mereka masih diuntungkan terhadap keberadaan sistem. Mereka niscaya akan melakukan perlawanan jika adanya perubahan tersebut akan mengusik kepentingannya. Kalaulah inovasi dipahami sebagai perubahan terhadap kemapanan, persoalan inovasi bukanlah sekedar persoalan individual si inovator ataupun di penggunanya. Inovasi perlu dikaji sebagai upaya merubah kemapanan sistemik, dan oleh karenanya ada banyak hal yang perlu ditelaah ketika inovator memperjuangkan perubahan sistemik. Untuk lebih memahami perubahan yang niscaya terjadi dalam inovasi, kajian ini meminjam teori perubahan yang ditawarkan Lewin (1951), bahwa inovasi pada dasarnya adalah pembongkaran sistem untuk sementara, yang pada akhirnya harus dikunci kembali menjadi tatanan sistemik baru. Mengingat, perubahan tidak selalu disepakati dan disepahami oleh pihak-pihak yang terlibat, maka setiap upaya berinovasi niscaya akan melibatkan benturan kepentingan, kalau bukan adu kuasa.
6
Pengkajian inovasi dari sisi perubahan sistemik yang dihasilkan sangat diperlukan
mengingat
adanya
konteks
makro
yang
membingkainya.
Pengembangan inovasi di era otonomi daerah ini berlangsung secara simultan dengan proses demokratisasi. Kita tahu, demokratisasi berlangsung baik ditingkat nasional maupun lokal. Proses ini memberikan ruang munculnya berbagai aktor (multy stake holders) terlibat dalam berbagai kebijakan untuk memperjuangkan kepentingannya. Momentum demokrasi ini juga memberikan kesempatan munculnya berbagai kekuatan baik ditingkat lokal maupun nasional untuk melakukan intervensi terhadap berbagai inovasi. Dalam alam demokrasi inovasi merupakan kreasi bersama dari berbagai aktor. Pemimpin (kepala daerah) yang memiliki visi inovator dengan segala kewenangan yang melekat dalam jabatannya harus bisa memposisikan sebagai fasilitator yang bisa memberikan ruang bagi berkembangnya proses inovasi. Semua itu tidak mungkin kita hindari, inovator harus mampu menjalin relasi antara berbagai aktor agar inovasinya dapat diterima dan berlanjut. Oleh karena itu di balik inovasi ada proses-proses politik yang seringkali diabaikan. Perpolitikan dengan demikian melekat dalam praktek inovasi. Dalam konteks ini, politik adalah kekuasaan yang dijalankan untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan tersebut (Isjwara, 1999; Budiardjo, 1991). Seorang Kepala Daerah (sebagai inovator) menjalankan kekuasaan dengan berusaha untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain atau yang dipimpin karena memiliki kepentingan tertentu yang ingin diwujudkan, namun disisi lain berbagai pihak juga memiliki kepentingan
7
yang belum tentu sejalan dengan inovator. Dalam konteks ini, inovasi pada dasarnya adalah proses menggeser titik kepentingan menuju titik kepentingan lain dengan cara menjalankan kekuasaan. Proses ini sering tidak disadari dan tidak tampak oleh setiap orang. Oleh karena itu, dibalik inovasi ada proses-proses politik yang tersembunyi yang sering tidak banyak diperhatikan namun menentukan keberlanjutan inovasi tersebut. Penelitian ini mencoba menembus dominasi wawasan teknokratis tersebut di atas. Penelitian ini dilakukan di bawah asumsi, bahwa inovasi adalah menyangkut
perubahan
sistemik
yang
didalamnya
ada
praktek-praktek
perpolitikan yaitu menyangkut tarik ulur berbagai kepentingan yang saling mempengaruhi, saling menjalin relasi kuasa antara inovator dengan berbagai pihak terkait. Dari hasil proses bargaining antar berbagai stake holders inilah akan terjadi
titik
temu
yang
merupakan
keseimbangan
baru
yang
saling
menguntungkan. Jika proses-proses ini dapat berjalan dengan baik maka inovasi dapat berhasil dan berlanjut (sustainable). Tema ini menjadi semakin menarik dan penting untuk dikaji, dan
sejauh yang peneliti ketahui belum ada yang
meneliti dan menulisnya.
1.2. Rumusan Masalah Studi inovasi menjadi menarik, peneliti berasumsi bahwa inovasi merupakan perubahan yang bersifat sistemik bukan bersifat teknikal administrasi belaka. Dibalik perubahan sistemik tersebut ada proses-proses politik yang sering tidak banyak diperhatikan. Politik dipahami sebagai permainan relasi kuasa antara kepala daerah yang menginginkan adanya perubahan melalui inovasi dengan
8
berbagai pihak dalam ranah kepentingan lokal. Sehingga inovasi merupakan hasil relasi kuasa yang dijalankan yaitu dipraktekkan, diolah dan dikontestasikan dalam ranah kepentingan. Oleh karena itu yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimana upaya yang dilakukan kepala daerah (Bupati) untuk memperluas dan mengembangkan ruang bagi inovasi ?” Dengan praktik politik seperti apa yang dilakukan bupati untuk dapat memberikan peluang keberhasilan inovasi?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini hendak menunjukkan bahwa inovasi bukanlah sekedar persoalan teknis-prosedural belaka. Inovasi merupakan perubahan yang bersifat sistemik, di balik itu berlangsung proses politik yaitu relasi kuasa menguasai. Baik yang sifatnya kasat mata maupun tersirat, mengingat inovator senantiasa berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda-beda, bahkan terkadang berseberangan. Dibalik proses-proses perubahan dalam inovasi tersebut berwatak politik yaitu menyangkut pro dan kontra antara berbagai pihak yang mendukung dan yang menolak yang masing-masing belum tentu memiliki kepentingan yang sama. Dengan mengungkap dimensi politis ini terlihat bahwa hal-hal baru yang hendak diberlakukan inovator memerlukan energi besar dalam membongkar tatanan yang dianggap sudah mapan (settle). Oleh karena itu, dari kajian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa besar peluang melakukan inovasi sangat ditentukan kemampuan untuk mengubah tatanan politik-ekonomis yang menyelimutinya.
9
1.4. Review Studi Terdahulu Kajian tentang inovasi, termasuk inovasi kebijakan publik, tentu saja sudah banyak dilakukan. Meskipun demikian, kajian tentang bekerjanya relasi kuasa dibalik kelangsungan inovasi kebijakan sebagai upaya untuk memperluas ruang bagi inovasi sebetulnya belum banyak dilakukan. Yang biasanya diminati dan lebih banyak diungkap adalah bagaimana memanfaatkan peluang inovasi untuk menjawab tantangan tertentu. Kajian yang menyangkut bagaimana relasi kuasa dijalin dalam ranah kepentingan ekonomi untuk membangun inovasi biasanya luput dari sorotan. Dari pembacaan terhadap literature, dapat dipetakan corak kajian-kajian yang ada. Pertama, kajian yang membahas tentang pentingnya tahap-tahap relasi kuasa dalam inovasi kebijakan. Teori yang mengemuka dalam kajian ini diantaranya dikemukakan oleh Taufiq (2007). Dia menyatakan bahwa tahapan relasi kuasa sangat penting dilakukan untuk mengurangi pro dan kontra dalam mendukung inovasi kebijakan. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa relasi kekuasaan sangat penting untuk membangun inovasi karena banyak Daerah yang tidak memahami pentingnya inovasi kebijakan. Ann Glynn(1996) juga menyatakan pentingnya relasi kekuasaan dalam membangun keberhasilan inovasi mengingat sulitnya membangun mindset birokrasi dan sikap skeptis masyarakat akan keberhasilan inovasi. Beberapa tokoh di atas semuanya menyatakan tentang pentingnya relasi kekuasaan dalam rangka keberhasilan inovasi namun tidak menjelaskan secara rinci bagaimana proses mempraktekkan, mengolah dan mengkontestasikan relasi kekuasaan dalam ranah kepentingan ekonomi politik.
10
Kedua, pendekatan budaya, yang menyatakan tentang pentingnya inovasi sebagai budaya yang dikemukakan oleh Martin (1998) dalam tulisannya di jurnal yang berjudul Innovation Strategic in Australian Local Government. Teori inovasi ini menfokuskan pada aspek pentingnya menanamkan budaya inovatif yaitu bagaimana strategi-strategi atau cara-caranya agar proses-proses inovasi menjadi tertanam dalam budaya organisasi pemerintah daerah. Ia mengedepankan adanya tiga faktor penting yang berkontribusi untuk membangun budaya inovatif dalam organisasi pemerintahan daerah. Pertama adalah peran Dewan (Pimpinan) dalam mencarikan solusi persoalan masyarakat; kedua, mereka terus-menerus mencari untuk mempelajari cara-cara baru dalam melakukan sesuatu hal, dan ketiga, mereka mempertahankan organisasi yang fleksibel yang memungkinkan ide-ide dan orang-orang untuk menerima atau memunculkan hal baru. Sejalan dengan itu,
Martin dalam kajiannya tentang strategi-strategi
inovasi yang dilakukan oleh Pemerintahan Lokal Australia mengadopsi cara-cara yang dilakukan oleh Pelz dan Munson(1980:4-5). Ia mengidentifikasi ada empat tahap dalam melakukan inovasi yaitu: 1) Diagnosis yaitu penerjemahan terhadap rasa tidak nyaman atau aspirasi adanya masalah sehingga memunculkan tindakan ke arah pemecahan yang mungkin bisa dilakukan. 2) Desain,yaitu pengembangan, adopsi, atau meniru sebuah inovasi sebagai solusi. 3) Implementasi yaitu "hasil" tahap proses inovasi; inovasi diletakkan di tempatnya, dan proses menanamkan inovasi dalam organisasi sehingga menjadi pusat kegiatan. 4) Stabilisasi yaitu periode di mana inovasi membuktikan dirinya baik keberhasilan itu menjadi status quo atau menjadi praktek yang tertanam
dalam beberapa prioritas kegiatan
organisasi.
11
Ketiga, kajian yang memihak pada pendekatan aktor (peran pemimpin) yang dikemukakan oleh In Yoon (2006) dalam tulisannya yang berjudul Korean Government Innovation: Strategies and Methodologies for Administrative Innovation. Teori ini dengan fokus pada aspek peran pemimpin untuk menjalin relasi
kekuasaan
dalam
kepemimpinannya,
yang
menyatakan
bahwa
kepemimpinan yang strategis adalah menjadi inti yang dinamis dalam pelaksanaan inovasi. Sebagai dasar prinsipiil inovasi, "pemimpin harus mau merubah berbagai kondisi yang ada agar supaya organisasi berubah" dengan menunjukkan diri perubahannya. Pemimpin harus memberikan visi yang inovatif dan tujuan bagi organisasi dan secara pribadi harus berpartisipasi dalam upaya inovasi serta upaya mendukung inovasi oleh anggota organisasi. Jenis kepemimpinan ini mirip dengan kepemimpinan transformasional yang populer disektor swasta. Kajian
In
Yoon
(2006)
ini
melihat
peran
pemimpin
melalui
kepemimpinannya untuk menjalankan relasi kekuasaan dalam inovasi dalam konteks pemerintahan nasional di Korea. Walaupun kajian Jong In Yoon ini mirip dengan penelitian dalam disertasi ini yaitu menyangkut bagaimana seorang Presiden Korea Selatan mempromosikan, mendorong bahkan bagaimana mempraktekkan relasi kuasa dalam mewujudkan gagasannya tentang inovasi namun hal yang membedakan dengan kajian dalam disertasi ini adalah ia tidak menggambarkan bagaimana strategi politik relasi kuasa dalam membangun proses-proses inovasi dengan menjalin dan merajut relasi dengan berbagai pihak yang terkait untuk keberhasilan inovasi. Untuk membangun sebuah inovasi tidak bisa hanya sekedar pemimpin melontarkan ide-ide baru semata namun harus diikuti secara kreatif menjalan relasi kekuasaan dari seorang pemimpin untuk
12
merubah perilaku pelaksana maupun yang dikenai kebijakan tersebut dan ini tidak dikaji oleh In Yoon. Kajian lain yang menggunakan pendekatan aktor sebagai pemimpin dikemukakan oleh Wahid (2007) yang mengkaji tentang pelajaran dari implementasi e-government di Sragen. Teori ini dengan fokus pada aspek peran kepemimpinan politik dalam inovasi. Kajian ini diawali dari pertanyaan pada masalah mengapa implementasi e-government di Sragen dapat berhasil dan menjadi banyak rujukan dari daerah lain. Ternyata dari hasil penelitian itu ditemukan bahwa keberhasilan implementasi e-government di Sragen tidak lepas dari
peran
pemimpin
dalam
menjalankan
relasi
kekuasaannya
dalam
kepemimpinan politik yang kuat dengan visi yang jelas dari bupati. Namun sayangnya tidak mengkaji secara detail tentang kepemimpinan politik yang seperti apa begitu juga tidak menjelaskan tentang bagaimana proses menjalin relasi kekuasaan dari berbagai pihak terkait dan inilah posisi dari penelitian disertasi ini. Keempat, kajian yang menerangkan pendekatan sistem yang dikemukakan oleh Osborne dan Brown (2005) dalam kajiannya melihat inovasi merupakan perubahan sistem. Oleh karena itu bagaimana relasi kekuasaan dalam inovasi akan berperan melakukan perubahan sistem yang didalamnya ada banyak perilaku orang-orang mau dirubah. Mengkaji relasi kekuasaan dalam membangun sistem inovasi sangat penting. Dari pemetaan teori inovasi yang peneliti paparkan di atas cukup jelas posisi penelitian dalam disertasi ini. Misalnya dilihat dari pendekatan aktor atau pun sistem tidak menjelaskan secara detail bagaimana proses merubah perilaku orang-orang yang ada dalam sistem tersebut dalam rangka inovasi. Apakah
13
dengan perubahan sistem baru tersebut langsung akan menerima dan dijalankan. Semua
kajian
itu
tidak
menjelaskannya.
Bagaimana
pemimpin
harus
mempraktekkan, mengolah dan mengkontestasikan relasi kuasa agar inovasinya berhasil. Oleh karena itu penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Stephen yang melihat inovasi kebijakan sebagai hal yang instan yang hanya melihat dari perubahan struktur sistem, ia belum memperhitungkan bagaimana cara membangun inovasi dengan cara mengubah mindset, sikap dan perilaku orang-orang dalam rangka inovasi. Martin juga membahas peran individu dalam mengembangkan inovasi maupun dalam membangun budaya inovasi dalam organisasi pemerintahan lokal, namun ia tidak membahas bagaimana peran pemimpin sebagai inovator maupun bagaimana cara mewujudkan ide-ide inovasinya dalam sebuah organisasi. Ia hanya melihat bagaimana tumbuhnya ide-ide inovasi oleh masing individuindividu dan akhirnya membudaya dan tertanam diantara mereka dan di dalam kebiasaan organisasi. Menurut penulis dalam menjadikan budaya inovasi dalam organisasi pemerintahan daerah tanpa peran seorang pemimpin tidak akan mudah jika hanya sekedar menunggu tumbuhnya kesadaran individu semata. Bahkan sistem yang telah terbangun dalam sebuah organisasi dalam waktu yang cukup lama dan telah stabil tertanam dalam perilaku individu-individunya jika mau dirubah dengan cara sekedar menunggu kesadaran mereka maka akan sangat sulit diharapkan berubah. Oleh karena itu, peran pemimpin melalui kepemimpinannya untuk merubah bahkan jika mungkin harus dilakukan secara masif dan besar-besaran dengan mengerahkan berbagai potensi yang ada yaitu relasi kekuasaan sangat diperlukan
14
jika inovasi ingin berhasil. Inovasi dalam konteks demokrasi dan otonomi daerah maka peran kepala daerah sangat menentukan. Posisi kepala daerah disatu sisi sebagai pejabat politik yang dipilih langsung oleh rakyat demikian juga sebagai pejabat administratif yang memimpin birokrasi pemerintahan daerah maka kepemimpinannya sangat menentukan keberhasilan inovasi. Dalam hal ini Bingham‟s (1976) yang dikutip Martin berpendapat bahwa harus mempertimbangkan tiga faktor untuk melakukan sebuah inovasi dalam pemerintahan daerah yaitu lingkungan masyarakat, lingkungan organisasi dan karakteristik organisasinya agar inovasinya berhasil. Sayangnya Martin dalam kajiannya tidak membahas bagaimana peran pemimpin melalui kepemimpinannya dalam mengelola tiga faktor tersebut agar inovasi berhasil. Yang membedakan beberapa kajian di atas dengan penelitian disertasi ini adalah memfokuskan pada bagaimana relasi kekuasaan yang dilakukan oleh inovator (bupati) dengan berbagai pihak terkait dalam rangka proses perubahan yang disebut inovasi dalam pemerintahan daerah. Bagaimana masing-masing aktor dalam arena proses inovasi itu digerakkan oleh kepemimpinan bupati sehingga inovasinya dapat berhasil yaitu dapat diterima oleh semua pihak dan dapat sustainable. Namun kajian yang ada selama ini kebanyakan membaca inovasi kebijakan lebih sekedar menyangkut masalah yang bersifat teknokratis yang bersifat prosedural administratif belaka, belum banyak yang mengkaji dengan mengkaitkan kepemimpinan dan politik. Bahkan belum ada yang mengkaji sejauh mana pemimpin menjalin relasi kekuasaan dengan berbagai pihak dalam membangun inovasi kebijakan.
15
Oleh karena itu, dari beberapa kajian relasi kekuasaan untuk inovasi yang peneliti paparkan di atas posisi penelitian dalam disertasi ini cukup jelas yaitu ingin menunjukkan bahwa inovasi menyangkut proses politik dan belum ada yang mengkaji inovasi sebagai sebuah proses politik. Jika Osborne dan Brown (2005) yang menekankan pada aspek peran pemimpin dalam penetapan sistem struktur yang bersifat teknis administrasif; sedangkan In Yoon (2006) menekankan pada peran pemimpin melalui kepemimpinannya dalam mewujudkan ide inovasi; sedangkan Martin (1998) menekankan pada pentingnya budaya inovatif dalam organisasi; Grindle (2004) menekankan inovasi sebagai sebuah proses relasi kekuasaan dalam reformasi politik; Wahid (2007) menekankan pada aspek pentingnya menjalin relasi kekuasaan dalam kepemimpinan politik. Maka penelitian dalam disertasi ini berbeda dengan beberapa kajian di atas dan ingin mencoba menggabungkan atau menyempurnakan dari berbagai pandangan atau teori yang ada di atas. Disertasi ini mencoba menelusuri bahwa inovasi menyangkut masalah bagaimana sebuah gagasan inovatif dari seorang inovator (pemimpin/bupati) itu dapat terwujud dan bisa diterima oleh berbagai pihak. Inovasi kebijakan juga menyangkut relasi kuasa antara pemimpin (inovator) dengan bawahan atau pihak lain. Untuk mewujudkan inovasinya dengan menunjukan kuasanya itu dilakukan strategi relasi kekuasaan agar inovasi dapat diterima dan sustainable. Inovasi kebijakan semacam ini terjadi dalam proses politik.
16
1.5. Kerangka Teoritik: Proses Inovasi Dalam Kelembaman Sistemik Studi ini dilakukan dengan asumsi bahwa proses inovasi kebijakan menghadapi kelembaman sistemik. Hal ini terjadi karena inovasi dipandang sekedar perubahan teknis-prosedural yang bersifat administratif tentang tata cara pelaksanaan semata bukan bersifat politis yang bertujuan membongkar sistem lama dan membangun sistem baru. Tentunya dalam proses tersebut ada pihakpihak yang merasa terganggu kepentingannya. Untuk menjelaskan semua itu penulis meminjam konsepnya Lewin (1951), bahwa inovasi senantiasa berlangsung dalam tatanan sistemik. Melakukan inovasi pada dasarnya adalah melangsungkan perubahan sistemik itu sendiri. Lewin (1951) menyederhanakan perubahan sistemik ke dalam tiga tahapan: (1) unfreezing, (2) change, dan (3) refreezing. Unfreezing, merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah. Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving force maupun memperlemah resistences sehingga proses perubahan dapat berlangsung. Refreezing, membawa kembali organisasi kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium). Dalam kajian ini ditunjukkan bahwa perubahan sistemik ini terjadi dalam ruang demokrasi. Oleh karena itu ada banyak pihak yang bermain yang memiliki berbagai kepentingan terhadap inovasi. Bupati dengan otoritas dan kewenangan yang dimilikinya dituntut untuk mampu memberikan ruang bagi mereka yang terlibat agar dapat diperoleh kesepakatan sehingga saling menerima adanya inovasi tersebut. Untuk dapat memperluas ruang bagi berkembangnya inovasi maka bupati dituntut untuk mampu mempraktekkan kekuasaannya dengan menjalin relasi kuasa antar berbagai pihak yang terkait, langsung ataupun tidak langsung. 17
1.5.1. Aktor dalam Perubahan Sistemik Sungguhpun studi ini bermaksud memperlakukan inovasi sebagai bagian tak terpisahkan dari perubahan sistemik, studi ini tidak bermaksud mengingkari point penting dari tradisi kajian manajemen yang bersifat teknokratis. Dalam penelitian ini inovasi adalah perubahan yang dirancang serta dikehendaki oleh inovator (bupati), bukan perubahan yang terjadi secara alamiah semata. Oleh karena itu, dalam studi ini tetap saja dibayangkan bahwa perubahan adalah juga efek dari tindakan aktor. Perubahan terjadi adanya kekuatan-kekuatan penekan dari lingkungan( Lewin:1951). Perubahan terjadi karena bekerjanya force-field. Jelasnya, perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok yang berlangsung secara secara terus menerus. Sehubungan dengan hal itu, perlu dicatat bahwa, dalam perubahan senantiasa ada dua kekuatan perubahan, yaitu kekuatan untuk mendorong perubahan (driving forces) dan kekuatan untuk menentang perubahan (restraining forces). Masing-masing kekuatan tersebut datang dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap keberadaan perubahan akibat manusia tersebut, baik yang mendorong maupun yang menentang perubahan. Kekuatan pendorong dalam hal ini datang dari kelompok yang menghendaki adanya perubahan. Sedangkan kekuatan penentang biasanya datang dari kalangan yang takut akan kegagalan, takut akan kehilangan status, terbiasa dengan kemapanan (settle) yang telah dirasakan, kekurangan sumber daya atau sumber penghasilan. Kalau kekuatan pendorong perubahan lebih besar, atau setidaknya seimbang, maka
18
sedikit demi sedikit perubahan akan terjadi. Akan tetapi kalau kekuatan penentang lebih kuat maka perubahan tidak akan terjadi. Sebagaimana dijelaskan Lewin (1951), aktor yang terlibat dalam perubahan bisa saja hadir sebagai kelompok. Artinya, perubahan merupakan permainan antara kelompok pendorong dan penentang. Kelompok pendorong adalah kelompok yang memiliki kepentingan dan harapan yang sama dengan inovator, sedangkan kelompok penentang adalah kelompok yang memiliki kepentingan atau harapan yang berbeda dengan inovator atau juga kelompok yang merasa terusik atau dirugikan dengan adanya perubahan (inovasi) tersebut. Dalam pandangan Lewin (1951), tidak ada pihak ketiga yang terlibat dan memiliki kemampuan menghentikan efek dari inovasi. Seolah-olah tidak ada pihak ketiga yang menengahi proses terjadinya pertentangan antara dua kelompok tersebut atau yang sengaja melakukan perubahan. Perubahan tersebut seolah-olah terjadi secara alamiah sebagai pertarungan kalah-menang antara dua kelompok. Ini merupakan kelemahan penjelasan dari tesis Lewin (1951), bahwa dalam percaturan tersebut seolah tidak ada pihak yang memanfaatkan yang memposisikan sebagai penengah atau yang mengatur berbagai kepentingan atau sengaja memancing perubahan. Pada hal bisa terjadi muncul pihak ketiga yang memanfaatkan adanya pertentangan antara dua kubu tersebut. Bahkan dalam sistem politik elemen pertentangan tersebut akan semakin kompleks, bukan sekedar dua kelompok kepentingan namun banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya. Karena kealpaan ini, dalam studi ini diantisipasi adanya pihak ketiga, misalnya aktor intelektual yang sengaja melakukan perubahan atau tidak, namun yang jelas siklus proses perubahan akan selalu terjadi.
19
1.5.2 Memperluas Ruang Inovasi Dengan Menjalankan Kekuasaan Aktor kunci didalam inovasi ini adalah Bupati. Ia berkedudukan sebagai pemimpin pemerintahan daerah, memiliki kekuasaan yang dapat mendorong memberikan ruang bagi berkembangnya inovasi. Bupati sebagai inovator memiliki kepentingan agar inovasinya dapat berhasil. Oleh karena itu dengan kewenangan yang dimilikinya berusaha memberikan ruang untuk keberhasilan inovasi. Dimensi ruang menjadi penting mengingat keberhasilan inovasi tidak diukur dari sisi kebaruannya namun tingkat penerimaan dari berbagai aktor dan keberlanjutannya. Upaya yang dilakukan untuk menciptakan ruang bagi berkembangnya inovasi adalah dengan memainkan berbagai pihak yang terlibat dalam inovasi. Bupati berusaha mendorong berbagai pihak untuk berperan dalam inovasi. Caranya dengan menjalankan/mempraktekkan kekuasaan yang dimiliki bupati sebagai kepala daerah. Dengan kekuasaan yang dimilikinya dia berkeinginan dapat melakukan perubahan-perubahan inovatif. Dalam konteks ini, inovasi adalah proses politik. Dalam arti luas, politik adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi pihak lain agar mau mengikuti atau menerima keinginannya dengan cara-cara, taktik atau strategi tertentu (Budiardjo, 1991). Sebagai suatu dimensi yang menekankan pada tindakan, kekuasaan sebagaimana dikatakan Foucault (1981) ada dimana-mana yang berada di ruang publik.
Kekuasaan manifest dalam
bekerjanya strategi. Kekuasaan, dengan demikian adalah praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu. Ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu dengan yang lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kekuasaan menentukan susunan, aturan, dan hubungan dari dalam. Sejalan dengan hal itu,
20
kekuasaan bertautan dengan pengetahuan yang berasal dari relasi-relasi kekuasaan yang menandai subjek. Kajian ini mengambil pelajaran dari Foucault (1981) yang menekankan eratnya pertautan antara kekuasaan dengan pengetahuan. Dengan kekuasaan akan memberikan ruang bagi berkembangnya pengetahuan tentang inovasi. Kekuasaan memproduksi pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan menyediakan kekuasaan. Dengan begitu, kekuasaan harus manifest dalam relasi yang menindas dan represif. Kekuasaan manifest dalam normalisasi dan regulasi serta regularisasi. Mengacu pada Foucault (1972) yang mengkaitkan antara kekuasan dengan pengetahuan, studi ini memperlakukan kepemimpinan sebagai praktek kuasamenguasai. Pemimpin yang memiliki pengetahuan dapat memposisikan diri sebagai seorang inovator, dan dengan posisi ini dia memiliki kesempatan untuk menyisipkan kepentingan dibalik inovasi yang diusungnya. Oleh karena itu, sebagai seorang pemimpin, ia akan berusaha membangun relasi kuasa dengan yang dipimpin. Agar kepentingan inovasinya dapat berhasil, dapat diakui dan diterima oleh pihak lain maka harus mempraktekkan kekuasaannya. Untuk itu akan berusaha mempengaruhi pihak lain. Pemimpin dituntut untuk piawai dalam menghadapi begitu banyak orang yang dipimpinnya. Agar inovasinya dapat berhasil akan membangun relasi kuasa dengan berbagai pihak yang mereka pandang nyaman dalam penguasaannya. Dalam sifatnya yang begini inilah inovasi terlihat sebagai proses politik. Kepemimpinan, mau tidak mau melibatkan permainan kekuasaan sedemikian sehingga kepentingannya terwujud, dan inovasi menjadi bagian dari tatanan sistemik yang berlaku. Dalam konteks ini, inovasi kebijakan melibatkan relasi kuasa yang dipraktekkan disepanjang proses inovasi
21
itu. Relasi kuasa yang berlangsung tidak hanya berwatak represif namun bisa juga konstruktif-solutif, dan akomodatif yang pada saat yang sama dapat menyediakan titik temu antar berbagai kepentingan agar inovasinya dapat diterima dan berlanjut terus (sustainable dan terinstitusionalisasi). Demi kesuksesan inovasinya, pimpinan perlu menegosiasikan berbagai kepentingan tersebut sampai ditemukan titik kesepakatan antara keinginan bupati dan perubahan dapat diterima. Lebih dari itu, dalam rangka mewujudkan inovasi dia perlu memiliki driving force. Disinilah urgensinya mengaktualisasikan kepemimpinan inovatif yaitu kreatif, visioner dan solutif, yang sebetulnya ditentukan oleh derajat perubahan yang hendak diwujudkan. Semakin mendasar perubahan yang hendak dilakukan, semakin besar pula urgensi untuk mengaktualisasikan kepemimpinan inovatif yang menguasai konteks (Grindle, 1997). Oleh karena itu upaya untuk memperluas ruang bagi berkembangnya inovasi menjadi semakin penting. Usaha yang dilakukan oleh bupati untuk memperluas ruang inovasi adalah dengan menjalankan kewenangan yang dimiliki yaitu dengan jalan mempraktekkan relasi kekuasaan dengan berbagai pihak. Usaha bupati mempraktekkan relasi kekuasaan dengan berbagai pihak untuk memperluas ruang bagi berkembangnya inovasi,
sebagaimana terlihat dalam
Tabel 1.1.
22
Tabel 1.1: Praktek Relasi Kekuasaan dalam Fase-fase Inovasi Bupati Mempraktekkan kekuasaan 1) mengaburkan keyakinan pada platform (Burning platform); 2) menyampaikan tantangan (Challenge) yang dapat memberikan inspirasi untuk mencapai hal-hal yang luar biasa; 3) memberikan isyarat bahwa sudah waktunya kita berubah; 4) memberikan keyakinan bukti-bukti bahwa Unfreezing
kondisi
yang
ada
sudah
tidak
kondusif
untuk
dipertahankan; 5) memberikan harapan masa depan yang lebih baik dan menjanjikan pemenuhan kepentingan yang akan datang; 6) memberikan gambaran alternatif perubahan (unsur), tata cara jalan perubahan (menyusun visi baru), menjelaskan tujuan dan sebagainya untuk melepas ikatan
Fase perubahan (inovasi)
masa lalu. 1) memulai dan mengajak berubah secara bertahap dan pelan-pelan; 2) menawarkan beberapa tantangan untuk mencapai hal-hal yang luar biasa dengan dimulai menyusun visi baru, menyusun perencanaan secara menyeluruh; 3) melakukan pelatihan untuk menguatkan dukungan psikologis bagi para birokrat; 4)
melakukan
perintah untuk kalangan tertentu lebih lagi kepada bawahan Change
atau yang dipimpin; 5) melakukan pemaksaan bagi bawahan yang membangkang, bahkan memberikan sanksi yang tegas bagi yang melanggar; 6) melakukan pelatihan dan pendidikan kepada aparat birokrat sebagai pelaksana inovasi; 7) fasilitasi dana dan sarana untuk memudahkan proses pelaksanaan tugas; 8) memberikan motivasi dan semangat bahwa kita bisa; 9) melibatkan berbagai pihak dalam kontribusi tertentu untuk memberikan nilai rasa tanggungjawab dan
semangat percaya diri untuk
23
Bupati Mempraktekkan kekuasaan melakukan
perubahan;
10)
memberitahukan
atau
menginformasikan kepada semua pihak bahwa kita melakukan perubahan (inovasi); 11) memberikan ruang bagi mereka untuk mengekspresikan keinginannya; 12) melakukan restrukturisasi: desain ulang organisasi untuk memaksa perubahan perilaku; 1) memberitahukan atau menginformasikan kepada semua pihak bahwa kita berhasil melakukan perubahan (inovasi); 2) memerintahkan kepada aparat bawahannya untuk selalu melakukan penilaian terhadap pelaksanaan inovasi, bahkan menggunakan tenaga/lembaga assesment independen yang Refreezing
kredibel; 3) memberikan ruang terbuka untuk melakukan penilaian, evaluasi penyempurnaan, masukan dan kritikan terhadap hasil perubahan; 4) Re-pendidikan: mendidik dan melatih
ulang
terhadap
aparat
pelaksana
untuk
meningkatkan pengetahuan/ keterampilan baru dalam rangka tindak lanjut penyempurnaan sistem. Sumber: Diolah dari tesis Lewin (1951) tentang perubahan dan hal yang dilakukan bupati. Tabel 1.1 di atas menjelaskan bahwa, manakala inovasi melibatkan perubahan yang sifatnya cukup mendasar, membongkar hal-hal yang sudah mapan, maka mobilisasi kekuasaan sangatlah diperlukan agar terbuka peluang bagi perubahan (unfreezing). Karena “gangguan” terhadap kemapanan yang ada, maka inovator mau-tidak mau harus menghadapi respon. Proses unfreezing, change dan refreezing akan terjadi manakala inovator (bupati) mempraktekkan relasi kekuasaannya secara baik dengan berbagai pihak terkait.
Demikian juga, pada
24
saat membakukan perubahan yang dilakukan menjadi standar kepantasan baru, dia harus juga membakukan berbagai pola relasi baru agar tidak ada lagi pihak lain yang mempersoalkannya (refreezing). Hal ini akan terjadi dengan mempraktekkan kekuasaannya kepada berbagai pihak apa yang dilakukan memang baik, tepat sehingga berbagai pihak dapat menerima dan diuntungkan serta merasa puas dengan adanya inovasi tersebut. Untuk terjadinya proses perubahan dari masingmasing fase inilah pentingnya politik relasi kekuasaan yang harus dimainkan oleh pemimpin yang inovatif dengan menjalin relasi kuasa dengan berbagai pihak dalam rangka untuk membuka ruang bagi berkembangnya inovasi. Yaitu mulai dari birokrat, anggota DPRD, partai politik, pengusaha dan masyarakat, maupun dengan pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya. Upaya yang dilakukan bupati kepada publik dan birokrasi untuk memperluas ruang bagi berkembangnya inovasi dalam proses unfreeze, change dan refreezing sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.2.
25
Tabel 1.2: Upaya yang dilakukan Bupati dalam memperluas ruang inovasi dengan cara mempraktekkan kekuasaan kepada publik dan birokrasi
Publik
Fase Perubahan
Unfreeze
Change
Refreeze
Menyadarkan, membuka wawasan kepada publik akan adanya perubahan
Mendorong publik untuk menuntut akan adanya perubahan kepada birokrasi
Mengawal dan mempertahankan sistem yang telah diterima menjadi kesepakatan bersama
Birokrasi
DIMENSI
Memilah dan memilih serta menetapkan Menyadarkan, birokrat yang akan membuka diajak melaksanakan wawasan kepada inovasi. Mempertahankan, birokrasi bahwa Memaksa birokrasi menjaga sistem baru sistem lama ada menyusun sistem, dan melanjutkan kekurangannya struktur, mekanisme dan ada hal yang baru yang lebih baik perlu diperbaiki dan merubah sikap dan perilaku Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan responden
26
Hubungan secara timbal balik upaya Bupati dalam memperluas ruang inovasi dengan cara mempraktekkan kekuasaan kepada publik dan birokrasi sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.1.
BUPATI
BUPATI
BUPATI
change
unfreeze
refreeze Meminta
BIROKRASI
PUBLIK
BIROKRASI
Menuntut
PUBLIK
BIROKRASI
PUBLIK memberi
Gambar: 1.1 Hubungan timbal balik upaya bupati mempraktekkan relasi kuasa dengan publik dan birokrasi dalam proses unfreeze, change dan refreezing
27
Kerangka pikir upaya yang dilakukan oleh bupati untuk memperluas ruang bagi berkembangnya inovasi dalam dua dimensi yaitu publik (masyarakat) dan birokrasi adalah sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.1.
Memperluas ruang inovasi dengan cara memainkan kepentingan Bupati dengan kewenangan dan otoritas yang dimiliki
Meningkatk an tuntutan Publik/mas yarakat Melakuk an inovasi
Memperluas ruang inovasi dengan cara memaksa dan memainkan tuntutan publik
Mendorong kreasi birokrasi
Gambar 1.2: Kerangka pikir upaya bupati untuk memperluas ruang inovasi dengan memainkan kepentingan dan tuntutan publik dan memaksa birokrasi.
Dari Gambar 1.1. dan 1.2 di atas dapat dijelaskan bahwa di balik proses inovasi ada nilai atau serangkaian nilai tertentu yang diperjuangkan. Dalam konteks ini penting untuk diingat bahwa politik adalah alokasi nilai-nilai secara otoritatif (Almond, dalam Schlosse and Rytlewski,1993). Alokasi nilai-nilai tersebut menyangkut kepentingan yang diuntungkan dengan adanya inovasi tersebut. Oleh karena itu, inovasi akan merubah proses, fungsi, manfaat serta nilai berbagai kepentingan. Dengan adanya perubahan itu berbagai pihak yang merasa dirugikan atau terganggu kenyamanannya akan melakukan perlawanan atau 28
minimal melakukan penawaran (bargaining). Maka sangat tepat jika inovasi menyangkut proses-proses tawar menawar atau perlawanan sebagai akibat dari perubahan. Tesis Lewin (1951) ini penulis padukan dengan pengertian politik sebagai relasi kuasa yang dipraktekkan oleh bupati dalam ranah ekonomi politik. Pemahaman ekonomi politik adalah berbagai kebijakan inovasi kelembagaan pemerintah daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pengembangan ekonomi daerah. Ranah ekonomi politik mengandung arti bahwa berbagai kebijakan tersebut memungkinkan terjadinya transaksi berbagai kepentingan ekonomi baik daerah, pengusaha atau berbagai pihak yang terkait. Berkenaan dengan ini Freiden (2000: 37-43) memperkenalkan apa yang dinamakan ”Modern political economy” yang memandang kebijakan adalah sebagai hasil interaksi berbagai aktor yang berkepentingan dalam arena politik. Semua pihak baik individu maupun kelompok yang terlibat dalam interaksi tersebut diasumsikan rasional, yaitu aktor yang ingin memaksimalkan perolehan, utility maximization (Frieden, 2000:37-38 dan Clark, 1988, 25-38). Dalam upaya mencapai tujuannya aktor politik diasumsikan melakukan perhitungan untung-rugi. Menurut Freiden (2000) untuk menganalisis proses kebijakan dalam ekonomi politik (dalam modern political economy) paling tidak ada empat langkah teoritik, yaitu: 1) mengidentifikasi siapa aktor, tujuan dan kepentingannya masing-masing. 2) Menggambarkan preferensi masing-masing aktor mengenai kebijakan yang menangani suatu isu. 3) Menguraikan bagaimana para aktor membangun relasi demi mencapai tujuan. 4) Mendeskripsikan interaksi para aktor dengan berkoalisi kepada lembaga-lembaga sosial lainnya.
29
Mengacu pada teori yang dibahas di atas maka untuk kepentingan analisis inovasi yang dilakukan oleh bupati Untung Wiyono di Sragen, penulis meminjam teori perubahan dari Lewin (1951) dengan asumsi bahwa inovasi akan menghasilkan perubahan jika inovator mempraktekkan kekuasaan. Asumsi itu dipadukan dengan menggunakan teori Freiden (2000)
peneliti berusaha
menelusuri dan menganalisis aktor-aktor yang terlibat serta apa tujuan dan kepentingannya. Demikian juga menelusuri bagaimana para aktor membangun relasi demi mencapai tujuan. Inovasi pada dasarnya merupakan relasi kuasa atau kekuatan antara seorang inovator dengan pihak lain. Budiardjo (1991:9) menyatakan bahwa kuasa adalah kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang lebih berkuasa. Di alam demokrasi pada dasarnya setiap orang memiliki kuasa. Pemimpin memiliki kuasa, rakyat memiliki kuasa, komunitas atau kelompok tertentu memiliki kuasa. Pemimpin memiliki kuasa, bawahan juga memiliki kuasa. Namun pemimpin jika dibandingkan dengan yang dipimpin atau bawahan biasanya lebih kuasa serta dengan berbagai fasilitas yang dimiliki akan memiliki otoritas kewenangan yang lebih kuat yang dapat dimanfaatkan untuk membangun dukungan dengan menjalin relasi kekuasaan untuk memberikan ruang bagi berkembangnya perubahan sistemik. Memang dalam alam demokrasi pemimpin harus bisa membangun relasi kuasa dengan berbagai pihak termasuk bawahan atau yang dipimpin. Masing-masing memiliki kepentingan dan seringkali tidak sejalan. Dalam sebuah kepentingan masingmasing akan berusaha mempengaruhi pihak lain. Oleh karena itu agar
30
kepentinganya dapat diakui dan diterima pihak lain akan berusaha memadu kuasa tersebut. Untuk merealisasikan kepentingannya pemimpin harus menjalin relasi kuasa agar pihak lain mengikuti perilakunya. Menurut Budiardjo (1991) inovator dapat menetapkan alternatif dua cara yaitu pertama ”membatasi” alternatif bertindak atau alternatif memilih, atau kedua ”memperluas” alternatif bertindak atau alternatif memilih. Contoh membatasi alternatif misalnya adalah jika seorang bupati melarang bawahannya untuk datang terlambat waktu bekerja. Maka bupati mempersempit alternatif
bertindak dari bawahannya. Dalam hal bawahannya
tidak mematuhi peraturan disiplin dari bupati, maka bupati dapat memberikan sanksi dalam bentuk sanksi administratif atau yang lain. Contoh memperluas alternatif bertindak adalah jika seorang bupati menentukan bahwa bawahan seorang pegawai negeri yang meraih prestasi atau kreatif maka akan di pilih untuk memperoleh promosi jabatan atau memperoleh ganjaran (reward). Perluasan alternatif bertindak bagi bawahan terjadi melalui pemberian insentif kepada salah satu alternatif bertindak. Dari uraian di atas jelaslah bahwa esensi dari kekuasaan adalah kemampuan untuk mengadakan sanksi dalam hal satu pihak (bawahan) tidak mengikuti kemauan pihak pimpinan (bupati). Pemimpin organisasi mempunyai kekuasaan atas bawahannya jika tidak mengikuti kehendaknya. Dan dapat mengadakan sanksi seperti memecat dari pekerjaanya, menurunkan jabatannya, golongannya. Atau sebaliknya bagi bawahannya yang berprestasi, mengikuti kemauan serta keinginan bupati akan memperoleh promosi jabatan atau kenaikan pangkat atau golongan serta insentif lainnya.
31
Relasi kuasa adalah upaya untuk menegosiasikan kepentingan antara seorang pemimpin dengan bawahan atau pihak lain dengan memberikan ganjaran (reward) bagi yang mengikuti keinginannya serta memberikan sanksi atau melakukan pembiaran atau tidak dipedulikan jika tidak mau mengikuti keinginannya. Namun disisi lain menurut Foucault (1972) kekuasaan itu menyebar dimana-mana (“power is omnipresent”), meresap dalam seluruh jalinan relasi-relasi sosial, kekuasaan tidak berpusat pada individu-individu melainkan bekerja, beroperasi dalam konstruksi pengetahuan, dalam perkembangan ilmu dan pendirian-pendirian lembaga. Karena ia menyebar dan bekerja mengendalikan banyak orang, komunitas, kelompok, kepentingan dan sebagainya, maka sifatnya menjadi produktif bukan represif dan memiliki kekuatan menormalisasikan hubungan-hubungan masyarakat. Pandangan kekuasaan yang represif sangat kental dalam pemikiran Marx terutama ketika berwujud menjadi ideologi kelas. Antonio Gramsci sudah agak variatif mengembangkan gagasan Marx dengan konsepnya “hegemoni,” tetapi Foucault (1972) lebih rinci lagi dari Gramsci. Misalnya, seperti dikutip Haryatmoko dari Surveiller et punir (1975), bagi Foucault “kekuasaan tidak hanya dijalankan di dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk pelayanan, pendidikan, pengetahuan dan kesejahteraan”. Kekuasaan itu menyebar sebagai konsekuensi pandangan bahwa kekuasaan tidak berpusat pada individu-individu atau Negara semata. Kekuasaan menyebar melalui “seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, rayuan, paksaan dan larangan” dan menghasilkan keseimbangan baru (refreezing).
32
1.5.3. Relasi Kuasa Dalam Proses Unfreezing Menurut Lewin (1951), unfreezing adalah proses pencairan kebekuan dari kondisi status quo. Pengalaman menunjukkan bahwa hampir setiap organisasi memiliki semacam mekanisme pemeliharaan diri dan penolakan terhadap perubahan2. Dengan kata lain, semakin lama sistem/tata cara organisasi ada akan mengembangkan caranya sendiri untuk berfungsi. Ini relatif menetap dan segala sesuatunya lebih disukai tetap seperti adanya saat ini. Misalnya, cara mereka memecahkan masalah, alokasi tugas pekerjaan, pengambilan waktu istirahat dan prioritas pelayanan, tata cara kerja mungkin akan sama dari tahun ke tahun. Sebagian dari rutinitas dan aturan-aturan akan dituliskan dan diputuskan secara formal, tetapi di samping itu akan ada juga aturan-aturan yang informal, tidak tertulis dan bahkan tidak disadari. Ini akan tetap mempengaruhi dan mengendalikan apa yang terjadi di dalam maupun di luar sistem organisasi. Setelah ada pihak yang berupaya mengubah sebagian dari hal tersebut, penolakan atau hambatan akan sering ditemui. Orang-orang tertentu dari dalam ataupun dari luar sistem akan tidak menyukai, akan melakukan sesuatu yang berlawanan, melakukan sabotase atau mencoba mencegah upaya untuk mengubah praktek yang berlaku. Penolakan ini mungkin ditunjukkan secara terbuka dan aktif atau secara tersembunyi dan pasif. Alasan mengapa ada orang yang ingin menolak perubahan walaupun kenyataannya praktek yang ada sudah tidak bijaksana, bervariasi menurut interpretasinya tentang realitas atau teori yang dipegangnya. 2
Skogen (1997) menyebut ada 4 yang menghambat perubahan dalam inovasi, yakni: hambatan psikologis, hambatan praktis, hambatan nilai-nilai, dan hambatan kekuasaan.
33
Unfreezing adalah merupakan tahap transisi yang pertama perubahan tesis Lewin, di mana orang ini diambil dari keadaan yang tidak siap untuk mengubah menjadi siap dan bersedia untuk membuat langkah pertama.Unfreezing adalah tahap transisi pertama dari proses perubahan yang harus dilakukan oleh inovator. Menurut Lewin ada 12 cara untuk melakukan proses unfreezing yaitu: 1) Burning platform (pembakaran platform/kebiasaan) dengan diciptakan krisis atau memberikan paparan yang mengarah pada kondisi krisis. Suatu proses mengaburkan keyakinan pada platform. Biasanya sebuah organisasi atau lembaga memiliki semacam platform yang berfungsi sebagai simbol untuk mengarahkan keyakinan, memberikan semangat kepada pengikutnya bahwa kegiatannya itu sudah tepat, bagus, progresif, menjanjikan masa depan dan sebagainya. Keyakinan semacam itu harus dikaburkan atau dibuyarkan bahwa platformnya sudah tidak relevan atau tidak sesuai dengan kebutuhan sekarang dan kondisinya sudah mendesak untuk dilakukan perubahan. 2) Challenge (tantangan): inovator menciptakan sebuah tantangan yang dapat memberikan inspirasi mereka untuk mencapai hal-hal yang luar biasa. Biasanya seseorang akan menerima dan melakukan perubahan jika diberikan tantangan-tantangan yang menginspirasi untuk mencapai suatu hal yang luar biasa. 3) Command: perintah/komando. Dalam kondisi tertentu seorang pemimpin yang ingin melakukan inovasi terpaksa harus memberikan komando atau perintah kepada anak buahnya atau berbagai pihak yang terkait bahwa sekarang ini sudah waktunya untuk bergerak atau berubah. Oleh karena itu inovator memberitahu atau memerintahkan mereka untuk bergerak.
34
4) Evidence (bukti): adanya bukti-bukti bahwa kondisi yang ada sudah tidak kondusif untuk dipertahankan. Berbagai data baru sulit untuk diabaikan bahwa kita harus tetap bertahan pada keyakinan semula. 5) Destabilizing
(destabilisasi):
dibangunkan
ketidakstabilan.
Terdapat
kecenderungan orang akan selalu berusaha untuk mempertahankan diri pada zona kenyamanan. Untuk itu maka inovator harus bisa membuat sebuah kondisi yang tidak stabil sehingga mereka terbangun dari kenyamanannya. 6) Education (Pendidikan): inovator mengajak mereka belajar untuk berubah dalam menghadapi berbagai persoalan masa depan agar lebih baik. 7) Management By Objectives(MBO): inovator memberitahu kepada mereka apa yang harus dilakukan sesuai dengan sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan bersama mereka. 8) Restructuring (restrukturisasi): mendesain ulang organisasi untuk memaksa melakukan perubahan perilaku. 9) Rites of passage: inovator dapat membuat tata cara jalan perubahan yang akan membantu melepaskan dari ikatan masa lalu. 10) Setting goals (men-setting tujuan):inovator memberi penjelasan tentang tujuan formal. 11) Visioning (membangun atau menyusun visi yang lebih baik):visi yang mengarah pada penciptaan perubahan. 12) Whole-system planning (sistem perencanaan yang menyeluruh): inovator bersama-sama mereka melakukan perencanaan secara menyeluruh atau komprehensif.
35
Menurut Lewin cara-cara di atas harus dilakukan oleh inovator agar proses unfreezing dapat berjalan. Dalam inovasi kebijakan agar terjadi proses unfreezing maka inovator harus mempraktekkan relasi kuasa dengan berbagai pihak terkait yang memiliki kepentingan terhadap kebijakan tersebut. Oleh karena itu, inilah pentingnya peran pemimpin (inovator) untuk melakukan proses-proses unfreezing (mencairkan kebekuan) yaitu dengan jalan mempraktekan politik relasi kuasa dengan berbagai pihak dengan melakukan pendekatan, penjelasan serta meyakinkan kepada kelompok status quo bahwa kebiasaan yang telah mereka yakini selama ini keliru dan kita harus berubah, menawarkan masa depan, harapan baru yang lebih baik. Menjelaskan potensi kita sesungguhnya yang belum kita gali dan perlu dikembangkan untuk perubahan yang lebih baik. Dalam hal ini relasi yang dibangun adalah bersifat dialogis diantara mereka dengan diciptakan acara bersama. Hal baru yang merupakan inovasi ini adalah menjadi solusinya untuk kemajuan bersama. Politik relasi kekuasaan untuk melakukan ”unfreezing” sangatlah vital, karena tanpa hal itu inovasi akan terhenti atau macet. Dalam studi ini Bupati diasumsikan berusaha untuk mengerahkan seluruh potensi yang dimilikinya agar proses pencairan kebekuan dari kondisi status quo bisa terjadi dengan cara mempraktekkan relasi kuasa yang dimilikinya. Proses pencairan kebekuan ini bisa dilakukan mulai dari bupati dengan menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada orang-orang terdekatnya, kemudian diikuti melempar gagasan ke media masa, ke berbagai forum pertemuan formal maupun non formal. Pada saat ini pun akan mulai muncul kontroversi yaitu ada pihak yang pro dan yang kontra. Menurut Lewin, kelompok yang pro inilah yang harus didorong terus sebagai aset untuk
36
mempengaruhi yang kontra sehingga terjadi perubahan. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa inovasi bisa dikembangkan dengan ditunjukkan berkerjanya politik, yaitu politik relasi kekuasaan dari kepala daerah (bupati).
1.5.4.Relasi Kuasa Dalam Proses Change Menurut Lewin (1951) change adalah proses perubahan itu sendiri. Akan terjadi proses perubahan jika driving force bertambah sedangkan resistences atau restraining force berkurang atau melemah. Proses change dalam inovasi kebijakan ini akan berjalan manakala iovator dapat mengolah dan mengelola relasi kuasa dengan berbagai pihak. Proses pengolahan ini ada kaitan yang erat dengan cara-cara mempraktekan relasi kuasa dalam fase sebelumnya yaitu unfreezing. Jika dalam mempraktekan relasi kuasa dalam fase unfreezing telah disampaikan oleh inovator kepada penentang atau berbagai pihak tentang harapan masa depan yang lebih baik, diberikan penjelasan, telah dibangun mindsetnya serta diberikan janji-janji. Maka dalam fase ini terjadi perdebatan yang kuat antara kelompok pendukung inovasi dengan kelompok penentang mengenai hal tersebut tentang kepastiannya dalam rangka perumusan serta pelaksanaan inovasi kebijakan. Untuk bisa melakukan perubahan (change) dengan cara inovator mempraktekkan relasi kuasa untuk mencari titik temu kepentingan. Dalam fase ini sebagai langkah tindakan, baik dengan cara memperkuat driving force maupun memperlemah resistences atau restraining force dengan mengolah kepentingan. Untuk memperkuat driving forcerelasi kekuasaansangat vital diperlukan agar supaya perubahan itu betul-betul bisa terjadi. Dalam proses
37
ini dibutuhkan relasi kuasadari pihak yang mendukung agar bisa mempengaruhi pihak penentang sehingga menjadi pendukung dan restraining force melemah. Kotter dan Schlesinger (1979) memperkenalkan enam cara/strategi untuk mengatasi resistensi, yaitu: komunikasi, partisipasi, fasilitasi, negosiasi, manipulasi dan paksaan. Menurut Lewin (1951) jika terjadi proses perubahan maka inovasi bisa berlangsung. Dalam fase ini terjadi relasi kuasa antara kelompok pendukung dan penentang yang berupa proses-proses tarik menarik kepentingan dan terjadi adu kekuatan argumentasi serta saling pengaruh mempengaruhi (Laswell, 1950 dalam Dwipayana, 2005). Masing-masing kelompok tersebut akan memperjuangkan kepentingan masing-masing. Agar proses perubahan berhasil harus dilakukan relasi kekuasaan terhadap kelompok yang menentang tersebut. Ada kecenderungan manusia akan selalu berusaha bertahan dan berjalan pada kecepatan yang sama. Untuk merubahnya dibutuhkan dorongan perubahan secara pelan-pelan. Bagaimana membuat agar tetap berjalan walaupun secara pelan-pelan. Menurut Lewin (1951) ada beberapa cara untuk melakukan proses change yaitu: 1. Pemanasan: melakukan tambahan energi perubahan yang mungkin sering tidak diperhatikan orang. Melakukan perubahan secara bertahap dan pelanpelan yang sering tidak disadari. 2. Tantangan: dimunculkan inspirasi bagi mereka yang berupa tantangan untuk mencapai hal-hal yang luar biasa. Dengan tawaran berbagai tantangan biasanya seseorang akan tertarik untuk melakukan perubahan.
38
3. Pelatihan: untuk menguatkan dukungan psikologis bagi para eksekutif dapat dilakukan beberapa pelatihan agar mereka mau berubah. 4. Perintah: untuk kalangan tertentu lebih lagi bawahan mereka akan mau melangkah atau mengikuti kehendak kita manakala mereka kita perintah secara tegas. Oleh karena itu katakan kepada mereka apa yang harus dilakukan agar mau mengikuti kehendak kita. Untuk itu perintah yang tegas dan jelas sangat penting bagi bawahan yang dalam kendali pemimpin agar mereka mau berubah. Bahkan dalam taraf tertentu pemaksaan sangat diperlukan. 5. Pendidikan: pendidikan adalah salah satu cara paling efektif untuk melakukan perubahan. Karena dengan pendidikan akan merubah mindset dan membuka wawasan seseorang. Untuk itu ajarkan mereka, satu langkah pada satu waktu. 6. Fasilitasi: untuk memudahkan pemahaman adanya fasilitasi sangat diperlukan. Oleh karena itu menggunakan fasilitator untuk memandu pertemuan tim sangat penting untuk mempercepat perubahan. 7. Langkah pertama: usahakan langkah pertama adalah sesuatu yang lebih mudah dan menyenangkan untuk memberikan motivasi atau semangat untuk melangkah berikutnya. Oleh karena itu memudahkan untuk pergi bergerak itu lebih baik. 8. Keterlibatan: keterlibatan dalam sebuah proses kegiatan akan memberikan nilai rasa tanggungjawab. Oleh karena itu dengan memberikan mereka sebuah peran penting akan memberikan semangat percaya diri untuk melakukan perubahan.
39
9. Manajemen By Objectives (MBO): beritahukan pada setiap orang apa yang harus dilakukan, walaupun tidak seberapa. 10. Ruang Terbuka: orang-orang sering berbicara tentang apa keprihatinan mereka, kesulitan, tantangan serta keberhasilan mereka. Oleh karena itu berikan ruang bagi mereka untuk mengekspresikan keinginannya. 11. Re-pendidikan: mendidik dan melatih ulang terhadap orang yang anda miliki dalam pengetahuan/keterampilan baru. 12. Restrukturisasi: desain ulang organisasi untuk memaksa perubahan perilaku. Dengan menggunakan batasan konsep politik sebagai relasi kekuasaan, maka fase change adalah proses mengelola dan mengolah relasi kuasa melalui proses-proses transaksi serta tawar menawar, dan saling pengertian, kesepahaman bahkan bisa terjadi semacam perjanjian (MoU) antara inovator dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Dalam fase ini pada dasarnya terjadi proses memadukan berbagai kepentingan supaya cocok (match). Jika kelompok pendukung telah bertambah dan kelompok penentang berkurang dan itu berarti telah menerima dan memahami manfaat inovasi maka dalam fase ini mulai dirancang perumusan sistem baru baik yang berupa penyusunan pembagian taskforce (menentukan orang dan tugasnya), membuat perencanaan regulasinya dan sebagainya dalam rangka pelaksanaan inovasi kebijakan. Menurut Lewin (1951) indikator terjadinya perubahan (change) jika terjadi proses yang melibatkan penerimaan terhadap aturan baru, semua pihak disadarkan kepada konsep baru, membangunkan tingkah laku, nilai dan sikap baru atau tatanan baru. Dalam fase ini tentunya tatanan atau sistem baru tersebut mulai dilaksanakan.
40
Dalam fase ini inovator harus bisa mengolah relasi kuasa dengan berbagai pihak yang terkait dengan baik. Jika pada fase unfreezing telah memberikan janjijanji tertentu kepada mereka maka harus direalisasikan atau dibuktikan. Kepentingan-kepentingan mereka harus dapat ditemukan titik keseimbangannya. Mereka harus dilibatkan dalam proses-proses penyusunan kelembagaan.
1.5.5. Relasi Kuasa Dalam Proses Refreezing Lewin (1951) menyatakan refreezing adalah proses konsolidasi kondisi baru yang sudah berubah. Suatu kondisi yang membawa kembali kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium) atau kemapanan baru sebagaimana yang diharapkan. Untuk menghasilkan kondisi seperti itu maka inovasi harus bisa memenuhi kepentingan berbagai pihak. Perubahan yang secara susah payah diperjuangkan, diharapkan menjadi ortodoksi baru dapat diterima oleh berbagai pihak. Dalam fase inipun juga masih memungkinkan terjadinya pro dan kontra. Kelompok yang mendukung perubahan akan tetap mendukung jika merasa diuntungkan dan nyaman dengan adanya tatanan sistem baru tersebut. Namun sebaliknya jika merasa dirugikan atau tidak enjoy dengan tatanan sistem baru tersebut tentunya akan berusaha membongkar atau menentang baik secara diam-diam atau terang-terangan dan inilah pentingnya relasi kuasa untuk mengatur keseimbangan baru untuk menjaga keberlanjutan sistem dengan selalu melakukan evaluasi. Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk jadi tetapi merupakan sebuah proses. Oleh karena itu, Menurut Lewin (1951) untuk membuat perubahan yang sesungguhnya bisa berlangsung, butuh
41
dipastikan bahwa ketiga proses terjalani dan untuk itu kekuatan pendorong ke arah perubahan harus terus menerus diperkuat dan sebaliknya, kekuatan penentang harus diperlemah dan disinilah pentingnya peran politik relasi kekuasaan untuk menjaga pelembagaan sistem melalui evaluasi. Yaitu sistem organisasi yang telah mendapatkan kedudukan khusus dan legitimasi dari masyarakat karena keberhasilannya memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat dalam waktu yang panjang sehingga dikatakan bahwa sistem tersebut telah “melembaga” (Israel, 1990). Teori kelembagaan mengatakan, pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada (Uphoff, 1986). Pelembagaan sistem berlangsung dalam proses yang panjang, dimana dalam setiap fase terjadi proses dinamika pro dan kontra yang saling membongkar namun di sisi lain bersamaan itu terjadi proses kesetimbangan baru. Dalam fase refreezing ini merupakan puncak perubahan yang menghasilkan pelembagaan yang ditandai dengan kondisi a new dynamic equilibrium (Lewin, 1951). Karena pelembagaan merupakan sebuah proses dimana organisasi dan prosedur mendapatkan nilai dan kemantaban (Huntington (1965) dalam Israel). Lembaga merupakan sekumpulan norma dan perilaku yang telah berlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama (Uphoff, 1986). Tantangannya adalah apakah sekumpulan norma dan tatanan perilaku baru yang terbangun melalui proses fase dan waktu yang panjang tersebut masih terbuka untuk dibongkar kembali ataukah ada penguncinya. Lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang bersifat kokoh dan dihargai oleh masyarakat. Organisasi dan prosedur memiliki berbagai
42
tingkatan dalam proses pelembagaan. Masing-masing tingkatan tersebut ada mekanismenya tersendiri untuk menjaga kesetimbangannya. Birokrasi sebagai lembaga pelayanan publik memiliki nilai dan norma perilaku. Secara substantif ada nilai atau norma yang bersifat inti yang sulit untuk dirubah dan ada yang bersifat elementer/kulit yang mudah untuk dirubah. Begitu juga nilai atau norma perilaku birokrasi tersebut secara vertikal bertingkat-tingkat dan masing-masing tingkat mempunyai pintu. Masing-masing pintu ada kunci dan penjaganya. Disinilah pentingnya peran politik relasi kekuasaan untuk mengawal dan menjaga keberlangsungan sistem yang telah terbangun dengan mengevaluasi jalinan relasi kuasa dengan berbagai pihak dengan ditunjukkan hasil-hasil jalinan yang harmoni dan positif.
1.6. Definisi Konsepsional Pengertian beberapa istilah dalam disertasi ini adalah: 1. Inovasi adalah perubahan kebijakan yang sangat mendasar yang bersifat sistemik, yang berbeda sama sekali dengan sebelumnya yang akan berdampak pada nilai kemanfaatan yang lebih tinggi. Dibalik itu terdapat proses-proses politik yaitu terjadi pro dan kontra antara berbagai pihak terkait yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. 2. Sistemik adalah inovasi menyangkut perubahan yang bersifat mendasar yang berkaitan dengan sikap, perilaku, karakter dan budaya. 3. Teknokratis maksudnya adalah memandang inovasi dari sisi perubahan prosedural teknis administrasi.
43
4. Relasi kekuasaan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pemimpin untuk menggerakkan semua potensi dalam rangka suatu tujuan tertentu, yang menghasilkan jalinan hubungan yang saling mempengaruhi dengan memadukan kuasanya masing-masing. 1.7. Definisi Operasional Untuk mengukur variabel dalam rangka untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini yaitu ”Bagaimana upaya yang dilakukan kepala daerah (Bupati) untuk memperluas ruang dan mengembangkan peluang inovasi?”. Dengan praktik politik seperti apa yang dilakukan bupati untuk memanfaatkan peluang keberhasilan inovasi? maka disusun definisi operasional sebagai berikut. 1. Strategi mempraktekkan relasi kekuasaan yang dilakukan inovator dalam rangka proses unfreeze diukur dengan indikator yaitu: a. Berbagai aktivitas yang dilakukan dengan cara menyampaikan gagasan tentang inovasi di media massa: majalah, surat kabar, radio; forumforum masyarakat, seminar, paguyuban-paguyuban. b. Intensitas interaksi bupati dengan berbagai pihak dan bupati berusaha meyakinkan tentang pentingnya perubahan. c. Terjadinya dialog dalam interaksi antar berbagai pihak
dan bupati
berusaha untuk menjelaskan dan meyakinkan tentang tidak efektifnya pelayanan pemerintahan selama ini, suasana global yang penuh kompetisi dan menyatakan perlunya perubahan kebijakan yang mendasar. Dengan mempraktekkan relasi kekuasaan maka akan terlihat peluang Untung Wiyono dalam melakukan proses pencairan (unfreezing) dalam inovasi
44
dan akan terlihat kelompok yang mendukung dan yang menentang. Begitu juga akan terlihat pengaruhnya. Oleh karena itu indikator keberhasilannya yaitu: - Adanya kesadaran kelompok untuk memahami perlunya perubahan. - Terlihat adanya kelompok yang menerima gagasan baru tersebut. - Menyadari bahwa sistem lama sudah tidak efisien, tidak bisa mengikuti perkembangan. - Merasa bahwa sistem yang lama tidak menguntungkan. - Adanya harapan terhadap sistem baru lebih menguntungkan. 2. Cara mempraktekkan relasi kekuasaan agar proses perubahan (change) dapat berlangsung diukur dengan menggunakan indikator: - Adanya usaha bupati untuk mempengaruhi interaksi baik dari kelompok internal (birokrasi) dan eksternal (publik) yang dipilah antara yang mendukung dan yang menentang dalam proses perumusan maupun implementasi kebijakan. - Adanya usaha bupati untuk mempengaruhi baik kelompok internal maupun eksternal untuk memformalkan sistem kebijakan baru dalam Keputusan Bupati atau Peraturan Bupati atau Perda. - Adanya usaha bupati untuk melaksanakan sistem, tata nilai dan perilaku baik secara internal dan eksternal. 3. Mempraktekkan relasi kekuasaan untuk menjamin keberlanjutan dan pelembagaan inovasi diukur dengan menggunakan indikator: a. Adanya usaha bupati untuk melembagakan/membiasakan sistem, tata nilai atau norma perilaku baru yang dirasakan menguntungkan,
45
bermanfaat bagi berbagai kelompok baik internal dan eksternal. Sistem nilai tersebut dipertahankan dan dikawal dan didukung. b. Adanya usaha dari bupati untuk meningkatkan dukungan dari berbagai stake holder. c. Adanya usaha bupati untuk meningkatkan kepuasan berbagai stake holder yang terkait dengan inovasi kebijakan pelayanan publik. d. Adanya usaha bupati untuk meningkatkan jumlah pendukung yang mempertahankan sistem yang ada. e. Adanya
usaha
bupati
untuk
dibentuk/dibangunnya
kader-kader
penerus/pemimpin baru melalui jaringan birokrasi maupun politik. f. Adanya usaha bupati untuk menyelesaikan yang pro dan kontra dalam proses pelembagaan kebijakan. g. Adanya usaha bupati untuk mengunci sistem yang telah dibakukan.
1.8. Metode Penelitian Penelitian ini dengan mengambil kasus inovasi di Kabupaten Sragen pada masa kepemimpinan bupati Untung Wiyono selama dua kali masa jabatan yaitu mulai tahun 2001 sampai dengan 2011. Penetapan ini atas dasar daerah tersebut berprestasi dalam melakukan berbagai inovasi dalam masa kepemimpinan Untung Wiyono (Tempo Edisi 22-28 Desember, 2008). Inovasi dalam kajian ini maksudnya adalah inovasi
kebijakan dalam
pelayanan perijinan terpadu, pelayanan dalam pemerintahan dengan menerapkan program IT (electronic government/e-gov), pelayanan dalam ketenagakerjaan dengan membangun balai latihan kerja technopark.
46
Disertasi ini hendak menjelaskan
bahwa inovasi kebijakan adalah
merupakan perubahan sistemik yang dibalik itu ada praktek-praktek politik yang harus dijalankan. Inovasi bupati di ruang demokrasi ada banyak pihak yang terlibat dan diakomudir kepentingannya. Asumsi dasarnya adalah inovasi kebijakan akan merubah sikap dan perilaku berbagai pihak yang terlibat yang masing-masing memiliki kepentingan terhadap perubahan tersebut. Politik diartikan sebagai relasi kekuasaan yang dipraktekkan dalam kepentingan ekonomi berbagai pihak terkait. Untuk membingkai kajian ini memadukan antara teorinya Lewin (1951) tentang perubahan dan teorinya Freiden (2000) tentang ekonomi politik. Langkahlangkahnya adalah kegiatan inovasi yang menyangkut relasi kekuasaan yang dilakukan Untung W dianalisis dalam tiga fase (unfreeze, change dan refreeze) dimana dalam setiap fase tersebut masing-masing pihak yang terlibat akan berusaha untuk memaksimalkan keuntungannya. 1.8.1 Jenis Penelitian Sesuai dengan masalah, tujuan dan konseptualisasinya, kajian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dan eksploratif. Yaitu mendeskripsikan
dan
menggali
secara
terbuka
yang
diikuti
dengan
menginterpretasikan secara obyektif (Vredenbrug, 1986) berbagai fenomena yang menyangkut proses-proses inovasi kebijakan yang dilakukan oleh Untung Wiyono di kabupaten Sragen. Penelitian eksploratif maksudnya adalah penelitian ini bersifat terbuka, masih mencari-cari dan belum memiliki hipotesis. Melalui penelitian eksploratif, masalah penelitian dapat dirumuskan dengan jelas (Surahmad, 1985, hal. 3).
47
Tujuan utama eksploratif adalah bukan menguji teori, akan tetapi membangun suatu model setelah melakukan pengamatan empiris. Dengan metode deskriptif-eksploratif tersebut, penulis melacak praktek inovasi khususnya cara menjalin relasi kekuasaan yang dilakukan Bupati Untung Wiyono terhadap berbagai pihak untuk membangun inovasi kebijakan di Kabupaten Sragen sehingga menghasilkan suatu kebijakan baru yang lebih efektif dan efisien dan sustainable.
1.8.2 Jenis Data Dalam penelitian ini dibutuhkan dua jenis data sekaligus, yakni data sekunder (dokumenter) dan data primer. Data sekunder berbentuk dokumen resmi pemerintah (beberapa Peraturan Daerah, Keputusan dan peraturan Bupati), berbagai dokumen kebijakan yang terkait dengan sistem kebijakan baru,visi dan misi Kabupaten Sragen, berita-berita media massa, dokumen yang dikeluarkan oleh LSM, biografi, wawancara elite lokal oleh media massa, artikel para analis, bukubuku dan sebagainya. Data primer berupa hasil wawancara dengan para informen.
1.8.3 Teknik Pengumpulan Data Untuk pengambilan data sekunder menggunakan teknik dokumentasi, atau yang lebih populer disebut sebagai studi kepustakaan (library research). Prinsip teknik pengambilan data ini dilakukan dengan cara menggali data dokumenter yang telah tersedia dalam berbagai perpustakaan, arsip dokumen resmi Pemerintah Daerah, media masa.
48
Data primer diperoleh langsung dari informen (narasumber) dengan wawancara mendalam (indepth interview). Penulis melakukan wawancara dengan sejumlah pejabat pemerintah (baik eksekutif maupun legislatif), aktivis LSM, tokoh masyarakat Kabupaten Sragen, elite formal maupun informal, para stake holders dan lain-lain.
1.8.4.Teknik Penentuan Informan Informan ditentukan bersama-sama dengan wawancara di lapangan dengan menggunakan metode snowbowling (nama-nama informan ada dalam lampiran). Caranya terlebih dahulu penulis menentukan informen tertentu sebagai orang yang dianggap key person atau key informen. Key person dicari dari orang yang telah memahami mengenai inovasi kebijakan yang dilakukan Untung W di kabupaten Sragen. Selanjutnya key person dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi pencarian key person selanjutnya, sehingga membuka jalan peneliti untuk mengungkap fenomena yang lebih lengkap. Jumlah informan juga tidak ditentukan secara pasti dan rigid namun berkembang disesuaikan pada perolehan kedalaman jawaban dan kebutuhan data.
1.8.5 Jenis Informan Dalam konteks ini, Informen penelitian dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok internal yaitu para pejabat birokrasi mulai dari Bupati, Sekda, Kepala Dinas, Kepala Badan Pelayanan Terpadu, Kepala Kantor PDE dan aparatur di bawahnya yang terkait dengan tema penelitian ini. Penulis melakukan wawancara dengan Bupati, Sekda, para kepala bagian, ketua Bappeda, para
49
Kepala Dinas, Kepala Badan Pelayanan Terpadu (BPT), para pegawai.Kedua, kelompok eksternal yaitu masyarakat sipil yang berurusan dengan pelayanan tersebut, para stake holders yang terkait, DPRD sebagai wakil rakyat, begitu juga berbagai pihak yang dirasa paham dengan masalah inovasi kebijakan tersebut, misalnya aktivis LSM, wartawan, tokoh organisasi massa, akademisi, mahasiswa, tokoh agama dan lain sebagainya.
1.8.6. Analisis Data Untuk menganalisis data sekunder dan primer di atas, penulis menggunakan dua metode sekaligus, yaitu triangulasi dan interpretatif (Brenan,1997). Metode triangulasi dimulai dari memeriksa keabsahan data dengan menggunakan data yang lain di luar data itu, untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu. Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Moleong, 1990: 175-178). Peneliti melakukan crosscheck, membandingkan informasi satu dengan yang lainnya bahkan antara kelompok yang pro dan yang kontra mengenai hal yang dilakukan oleh Untung Wiyono dalam melakukan inovasi di Sragen sampai diperoleh informasi yang netral, rasional dan valid. Dalam penelitian ini, metode triangulasi dilakukan menjadi dua cara. Pertama, kontrol silang (cross-check) antara sumber data sekunder yang satu dengan lainnya, yang dilakukan bersama-sama dengan klasifikasi, reduksi, dan recheck. Diantaranya adalah, informasi atau data sekunder dalam artikel yang menganalisis tentang inovasi ataupun prestasi Sragen dibandingkan dengan sumber
50
informasi yang lain, baik dari koran atau majalah. Demikian juga, informasi yang berasal dari satu sumber koran atau majalah dibandingkan dengan koran atau majalah lainnya. Kedua, membandingkan atau kontrol-silang antara data sekunder dengan data primer yang diperoleh melalui wawancara. Demikian juga membandingkan antara data primer yang satu dengan yang lain. Membandingkan hasil wawancara dengan Untung Wiyono dengan wawancara yang lainnya. Dengan demikian, wawancara bukan saja untuk memperoleh infomasi yang semakin banyak, tetapi juga menjadi alat untuk kontrol-silang. Artinya data sekunder akan dikontrol dengan data hasil wawancara, dan data hasil wawancara dengan satu informen akan dikontrol dengan hasil wawancara dengan informen lainnya. Dalam sajian analisis data, penulis menyajikan sejumlah argumen dasar yang kemudian didukung dengan data yang digarap melalui metode triangulasi. Selain menyajikan sejumlah argumen abstrak, penulis juga menyajikan informasi naratif untuk mendukung argumen tersebut, termasuk sajian data primer dalam bentuk “suara asli” dari responden agar data betul-betul valid. Selain menggunakan cara triangulasi untuk keperluan membandingkan dan melengkapi berbagai sumber data di atas, analisis data yang lebih substantif dilakukan pendekatan pemahaman (interpretatif). Dalam sajian analisis data, pendekatan interpretatif digunakan untuk memahami atau memaknai data (fenomena) dan membangun argumen-argumen konseptual (teoritis) yang abstrak. Agar sejumlah argumen teoretis yang dikemukakan tidak kering dan tidak terkesan spekulasi, maka dilengkapi dengan bukti-bukti empirik, termasuk suara asli dari sejumlah informen. Pendekatan interpretatif tersebut tentu tidak hanya didasarkan pada akal sehat (common-sense), tetapi tidak akan lepas dari kerangka
51
teoritis yang sudah dibangun sebelumnya. Kerangka teori, pendekatan interpretatif dan data empirik digunakan secara simultan untuk memahami dan menjelaskan fenomena dan tindakan Untung Wiyono, para birokrat, anggota dewan, masyarakat dan tokohnya sehingga bisa menjadi modal bagi klarifikasi dan memperkaya teori serta kerangka preskripsi.
1.9. Alur Paparan Pelacakan empiris terhadap inovasi dimulai menelaah kharakter inovatif Untung Wiyono dalam memimpin Kabupaten Sragen sebagai setting inovasi. Demikian juga menyangkut berbagai tantangan yang akan menghadangnya baik dalam konteks ekonomi-politik Sragen maupun konteks birokrasi dan politik lokal lainnya. Hal ini disajikan di bab II, yang sedapat mungkin memperlihatkan kiprah inovatifnya dengan berbagai konteks yang menyelimutinya. Dengan demikian, inovasi bisa ditelusuri dalam kaitannya dengan konteks proses-proses inovasi yang di satu sisi bisa mempermudah (enabling) dan di sisi lain juga menjadi kendala (contraining). Yang perlu dicermati di sini adalah sequence inovasi dan keterkaitannya dengan konteks yang terkait. Ada inovasi berskala “sempit” yang melibatkan konteks yang lebih sederhana, dan ada pula inovasi yang berskala luas dan melibatkan persoalan-persoalan kontekstual yang lebih rumit. Pada bab III, disajikan kisi-kisi dan langkah-langkah kebijakan inovatif yang dilakukan Untung Wiyono. Demikian juga memaparkan setting kebijakan inovatif pelayanan perijinan terpadu, e-government dan balai latihan kerja technopark yang menjadi analisa dalam penelitian ini.
52
Dalam bab IV analisis maju satu langkah dengan membahas tentang bagaimana Untung Wiyono mempraktekkan inovasi dengan berbagai implikasi politiknya dalam tiga kasus inovasi. Dalam bab ini, mengingat adanya perbedaan corak (issue krusial dalam) inovasi, di akhir bab ini akan dipetakan variasi proses politik yang berlangsung. Luas-sempitnya ruang berinovasi sudah mulai bisa ditemukenali pada fase ini. Pemetaan proses perubahan menjadi lebih menarik ketika bab V memaparkan relasi kuasa yang berlangsung pada fase „change‟. Di sini bukan hanya terpetakan variasi relasi kuasa yang berlangsung, namun juga strategi relasi yang ditempuh Untung Wiyono dalam mewujudkan perubahan melalui tiga kasus inovasi. Dari telaah terhadap perubahan dalam fase ini, terlihat bahwa masingmasing inovasi memiliki kharakter dan capaian yang berbeda. Ada inovasi yang tertuntaskan, ada pula inovasi yang tidak tertuntaskan. Bab VI mengungkap bagaimana hal itu terjadi, khususnya dari segi relasi kuasa. Beberapa kepentingan terus berbenturan sehingga tidak terjadi institusionalisasi. Dalam tiga kasus inovasi di atas mana yang kepentingannya antara berbagai pihak tidak terjadi berbenturan dan mana yang tidak bisa terselesaikan. Apa persoalannya dan sejauh mana bupati Untung Wiyono berusaha menjalin relasi kekuasaan dengan berbagai pihak. Dalam kasus inovasi e-government dan sistem pelayanan perijinan terpadu, bagaimana dan ada kepentingan apa.Begitu juga ada yang kepentingannya berbenturan yang tidak bisa dicarikan titik temunya. Benturan tersebut baik antara kepentingan ekonomi-politik makro dengan kepentingan ekonomi-politik mikro. Ataupun berbenturan antara DPRD dengan eksekutif daerah.
53
Seletah menelaah inovasi dari tiga tahapan sebagaimana disarankan Lewin, diakhir bab VI ini penulis mencoba melakukan telaah reflektif. Kegagalan inovasi erat kaitannya dengan ada tidaknya titik temu kepentingan kekuatankekuatan ekonomi-politik. Dijelaskan bahwa ada kepentingan ekonomi-politik makro (nasional) dengan kepentingan ekonomi-politik mikro (daerah) yang bisa dicarikan titik temu, misalnya dalam kasus inovasi e-government dan sistem pelayanan perijinan terpadu. Namun ada yang tidak bisa ditemukan titik temu, misalnya dalam kasus inovasi ketenagakerjaan melalui balai latihan kerja tecknopark. Dalam bab kesimpulan, akan disarikan temuan-temuan penting serta teori yang terbangun dari hasil penelitian dalam disertasi ini. Dalam bab ini akan diperlihatkan bahwa inovasi kebijakan adalah sebuah perubahan sistemik yang menyangkut politik relasi kekuasaan yang melibatkan berbagai kepentingan antara berbagai pihak terkait. Dalam konteks desentralisasi peluang Untung Wiyono untuk dapat melakukan inovasi sangat tergantung dari kemampuannya untuk memainkan relasi kekuasaan dengan berbagai stake holder yang ada. Keberhasilan inovasi sangat tergantung dari tingkat kesulitan bidang inovasinya dan itu terkait dengan kemampuan inovator menemukan titik temu kepentingan diantara berbagai pihak yang terlibat. Oleh karena itu tidak semua inovasi dapat berhasil. Menemukan sebuah model inovasi sebagai proses politik relasi kekuasaan.
54