perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST TIDE DAN TERJEMAHANNYA: PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK
DISERTASI
OLEH MASDUKI T140306004
PROGRAM STUDI S3 LINGUISTIK MINAT UTAMA BIDANG PENERJEMAHAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA MEI 2011
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST TIDE DAN TERJEMAHANNYA: PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK DISERTASI Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Linguistik Minat Utama Linguistik Penerjemahan Dipertahankan di Hadapan Dewan Penguji pada Sidang Senat Terbuka Terbatas di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta Profesor Dr. Ravik Karsidi, MS pada Hari Rabu 4 Mei 2011
Oleh: Masduki NIM: T140306004
PROGRAM STUDI S3 LINGUISTIK MINAT UTAMA BIDANG PENERJEMAHAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA MEI 2011 commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST TIDE DAN TERJEMAHANNYA: PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK
Oleh Masduki NIM: T140306004
TIM PEMBIMBING
1.
Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana .……………………. Promotor
2.
Prof. Dr. Thomas Soemarno, M.Pd ……....……… Ko-Promotor
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST TIDE DAN TERJEMAHANNYA: PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK DISERTASI Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Linguistik Minat Utama Linguistik Penerjemahan Dipertahankan di Hadapan Dewan Penguji pada Sidang Senat Terbuka Terbatas Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta pada Tanggal 4 Mei 2011 Oleh Masduki Lahir di Kediri, 1 April 1973 DEWAN PENGUJI: 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS (Penguji utama)
(…………………………….)
2. Prof. Drs. Suranto, MSc., Ph.D (Sekretaris merangkap anggota)
(…………………………….)
3. Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana (Promotor merangkap anggota)
(…………………………….)
4. Prof. Dr. Thomas Soemarno, MPd (Ko-Promotor merangkap anggota)
(…………………………….)
5. Prof. Dr. H. D. Edi Subroto (Anggota)
(…………………………….)
6. Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo (Anggota)
(…………………………….)
7. Prof. Drs. MR Nababan, MA., MEd., Ph.D (Anggota)
(…………………………….)
8. Dr. Tri Wiratno, MA (Anggota)
(……....…………………….)
Mengetahui, Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS NIP:
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Masduki
NIM
: T140306004
Program
: Pascasarjana UNS
Program Studi
: S3 Linguistik
Tempat/Tanggal Lahir
: Kediri, 01 April 1973
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi saya yang berjudul: KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST TIDE DAN TERJEMAHANNYA: PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK adalah asli (bukan cuplikan) dan belum pernah diajukan oleh penulis lain untuk memperoleh gelar akademik tertentu. Semua temuan, pendapat, atau gagasan orang lain yang dikutip dalam disertasi ini ditempuh melalui tradisi akademik yang berlaku dan dicantumkan dalam sumber rujukan dan atau dalam daftar pustaka. Apabila kemudian terbukti pernyataan ini tidak benar, kami sanggup menerima sanksi yang berlaku.
Surakarta, 4 Mei 2011 Yang membuat pernyataan
Masduki
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Be firm in principle, flexible in creation, make compromises if necessary…
Buat mutiara-mutiaraku: Annaura Nabilla Masduki Annajwa Ahima Masduki kuserahkan tongkat estafet ini kepada kalian…
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadlirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas terselesaikannya penulisan disertasi ini. Disertasi ini mengambil judul “Kesepadanan Makna dan Gaya di dalam Novel The Highest Tide dan Terjemahannya: Pendekatan Kritik Holistik”, yang terdiri dari enam bab yaitu (1) pendahuluan, (2) kajian pustaka, landasan teori, dan kerangka pikir, (3) metodologi penelitian, (4) sajian data, (5) pokok-pokok temuan dan pembahasan, dan (6) simpulan, implikasi temuan, dan rekomendasi. Disertasi ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan kritik holistik dengan aspek-aspek yaitu: aspek objektif (dokumen novel The Highest Tide dan terjemahannya Pasang Laut), aspek genetik (penerjemah novel), dan aspek afektif (pembaca hasil terjemahan novel). Peneliti mengucapkan banyak terima kasih atas terselesaikannya disertasi ini kepada: a) Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Solo yang telah memberikan kesempatan belajar di universitas ini. b) Prof. Dr. Ir. H. Ariffin, MS, selaku Rektor Universitas Trunojoyo Madura yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan tugas belajar. c) Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana yang telah memberikan kesempatan menyelesaikan studi program doktor. d) Prof. Dr. H. D. Edi Subroto, selaku Ketua Program S3 Linguistik yang telah memotivasi demi terselesaikannya disertasi ini.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e) Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana, selaku Sekretaris Program S3 Linguistik dan promotor utama yang penuh ketelatenan dan kesabaran memberikan saran-saran yang sangat berharga demi terselesaikannya disertasi ini. f) Prof. Dr. Thomas Soemarno, M.Pd selaku promotor kedua yang penuh kesabaran telah meluangkan waktunya dan memberikan pencerahan yang sangat berharga demi terselesaikannya penulisan disertasi ini. g) Prof. Drs. Nababan, M.Ed., MA., Ph.D, selaku pakar penerjemahan yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti demi terselesaikannya penulisan disertasi ini. h) Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, selaku pakar luar yang dengan sabar dan ketulusan hati memberikan masukan yang sangat berharga terhadap kelancaran disertasi ini. i) Dr. Tri Wiratno, MA, yang telah memberikan masukan dan koreksi yang sangat berarti di dalam penyempurnaan disertasi ini. j) Drs. Arif Subiyanto, MA, selaku penerjemah novel The Highest Tide yang telah bersedia diwawancarai dan memberikan keterangan panjang lebar mengenai novel yang diterjemahkan. k) Mas Adiloka dan Mas Sugeng Hariyanto, yang telah banyak membantu dalam bertukar pikiran secara panjang lebar dan memberikan masukan yang cukup berarti dalam penelitian ini.
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
l) Dr. Rochayah Machali dan Dr. Ludmilla Stern, selaku tentative advisors yang telah banyak membantu menyediakan akses dan referensi di University of New South Wales Australia. m) Teman-teman di Fairmount St, Lakemba, New South Wales Australia, yang telah membantu menyediakan akomodasi demi terselesaikannya disertasi ini. n) Teman-teman s3, Mbah Wardi, Om Kir, Om Rudi, Mas Aris, Om Kanisulam, dan Om Karsono yang dengan suka-duka menimba ilmu bersama-sama. o) Segenap dosen Sastra Inggris Unijoyo yang telah mendorong agar disertasi cepatcepat terselesaikan. p) Terkhusus buat istriku tercinta, Alfiah, yang dengan sabar menunggu hingga terselesaikannya disertasi ini. q) Pemerintah RI melalui Dirjen Dikti yang telah memberikan beasiswa BPPS dan kesempatan mengikuti Program Sandwich selama studi program doktor.
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman JUDUL
i
PEMERTAHANAN DISERTASI
ii
PROMOTOR DAN KO-PROMOTOR
iii
PENGESAHAN
iv
PERNYATAAN
v
MOTTO
vi
KATA PENGANTAR
vii
DAFTAR ISI
x
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR BAGAN
xvii
DAFTAR GAMBAR
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
DAFTAR SINGKATAN
xx
ABSTRAK
xxi
ABSTRACT
xxiiii
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Pembatasan Masalah
9
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1.3 Rumusan Masalah
11
1.4 Tujuan Penelitian
11
1.5 Manfaat Penelitian
12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PIKIR
14
2.1 Kajian Pustaka
14
2.2
Landasan Teori
21
2.2.1
Penerjemah
21
2.2.2
Proses Penerjemahan
25
2.2.3
Makna dan Gaya dalam Penerjemahan
32
2.2.3.1. Definisi Meaning, Denotation, Reference, dan Sense
33
2.2.3.2 Makna Literal dan Makna Figuratif
38
2.2.3.3 Jenis-jenis Makna dalam Penerjemahan
42
2.2.3.4 Gaya
48
2.2.4
55
Hakikat Susastra
2.2.4.1 Novel
58
2.2.4.2 Resume Novel The Highest Tide
63
2.2.4.3 Bagian-bagian Substansi di dalam Novel The Highest Tide
66
2.2.4.3.1 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Materi 66 2.2.4.3.2 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Istilah Ekologi 68
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.2.4.3.3
Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Sosial 68
2.2.4.3.4
Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Gaya Bahasa 71
2.2.5 Penerjemahan Novel
78
2.2.6
Teori Polisistem
86
2.2.7
Konsep Norma
89
2.2.8
Konsep Kesepadanan
94
2.2.9
Evaluasi Kualitas Terjemahan
103
2.2.10 Parameter Kualitas Terjemahan
108
2.2.11 Pendekatan Kritik Holistik
120
2.3 Kerangka Pikir
122
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
126
3.1 Strategi dan Jenis Penelitian
126
3.2 Sumber Data dan Jenis Data
128
3.3 Teknik Cuplikan
131
3.4 Teknik Pengumpulan Data
133
3.5 Validitas Data
137
3.6 Teknik Analisis Data
139
BAB IV SAJIAN DATA
148
4.1 Sajian Data
148
4.1.1 Kesepadanan Makna dan Gaya
149
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.1.1.1 Bagian-bagian Substansi di dalam Novel The Highest Tide
149
4.1.1.1.1 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Materi 150 4.1.1.1.2 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Istilah Ekologi 151 4.1.1.1.3 Ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan Budaya Sosial
154
4.1.1.1.4 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Gaya Bahasa
158
4.1.1.2 Jenis-jenis Makna dan Gaya di Dalam Penerjemahan Novel The Highest Tide
160
4.1.1.2.1 Jenis-jenis Makna
161
4.1.1.2.1.1 Makna Leksikal
162
4.1.1.2.1.2 Makna Situasional atau Kontekstual
164
4.1.1.2.1.3 Makna Tekstual
167
4.1.1.2.1.4 Makna Sosiokultural
170
4.1.1.2.1.5 Makna Implisit
174
4.1.1.2.2 Gaya
177
4.1.1.2.2.1 Penggunaan Pilihan Kata
179
4.1.1.2.2.2 Penggunaan Ekspresi Idiomatik
182
4.1.1.2.2.3 Penggunaan Gaya Bahasa
185
4.1.1.2.2.4 Penggunaan Jenis Bahasa Tertentu
187
4.1.1.2.2.5 Penggunaan Tanda Baca
190
4.1.1.3 Kualitas Kesepadanan
193
4.1.1.3.1 Terjemahan Hampir Sempurna (THS)
195
4.1.1.3.2 Terjemahan Sangat Bagus (TSB)
198
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.1.1.3.3 Terjemahan Baik (TB)
201
4.1.1.3.4 Terjemahan Cukup (TC)
205
4.1.1.3.5 Terjemahan Kurang (TK)
210
4.1.2 Deskripsi mengenai Penerjemah
213
4.1.2.1 Latar Belakang Penerjemah
213
4.1.2.2 Langkah-langkah Penerjemah dalam Menerjemahkan Novel The Highest Tide
226
4.1.2.3 Strategi Penerjemah dalam Menerjemahkan Hal-hal yang Khusus dalam Novel The Highest Tide
231
4.1.3 Pemahaman Pembaca
233
BAB V POKOK-POKOK TEMUAN DAN PEMBAHASAN
243
5.1 Pokok-pokok Temuan
243
5.2 Pembahasan
246
5.2.1 Kesepadanan Makna dan Gaya
246
5.2.2 Penerjemah
256
5.2.2.1 Persiapan
260
5.2.2.2 Menerjemahkan
264
5.2.2.3 Mengedit
270
5.2.3 Tanggapan Pembaca
276
5.2.4 Keterkaitan antara Kualitas Kesepadanan Makna dan Gaya, Penerjemah, dan Pemahaman Pembaca
282
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI TEMUAN, DAN REKOMENDASI
284
6.1 Simpulan
284
6.2 Implikasi Temuan
285
6.3 Rekomendasi
289
DAFTAR PUSTAKA
292
LAMPIRAN
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kriteria Penilaian Terjemahan (Rochayah, 2000)
113
Tabel 2.2 Skala dan Definisi Kualitas Terjemahan (Nababan, 2004)
114
Tabel 2.3 Skala Relevansi (Zhonggang, 2006)
117
Tabel 2.4 Kriteria Penilaian Terjemahan dalam Penelitian ini
119
Tabel 5.1: Rekapitulasi Makna dan Gaya di dalam Novel The Highest Tide yang Mengandung Ungkapan-ungkapan Budaya Materi, Istilah Ekologi, Budaya Sosial, dan Gaya Bahasa (N=115)
247
Tabel 5.2 Hasil Penilaian Terjemahan
251
commit to user xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Proses Penerjemahan (Nida, 1975)
26
Bagan 2.2 Proses Penerjemahan (Nababan, 2003:25)
27
Bagan 2.3 Hubungan Sintakmatik
36
Bagan 2.4 Hubungan Paradigmatik
37
Bagan 2.5 Initial Norm
90
Bagan 2.6 Preliminary Norms
91
Bagan 2.7 Operational Norms
92
Bagan 2.8 Pendekatan Kritik Holistik (Sutopo, 2006:145)
121
Bagan 2.9 Kerangka Pikir
125
Bagan 3.1 Triangulasi Sumber
139
Bagan 3.2 Model Analisis Interaktif (Sutopo, 2006:120)
140
Bagan 5.1 Jenis-jenis Makna dalam Terjemahan Bagian-bagian Substansi Novel The Highest Tide 248 Bagan 5.2 Parameter Gaya dalam Terjemahan Bagian-bagian Substansi Novel The Highest Tide
249
Bagan 5.3 Proses Penerjemahan Novel The Highest Tide
259
commit to user xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Sea Star atau Starfish
153
Gambar 4.2 Trivial Pursuit
156
Gambar 4.3 Dolar Pasir
169
Gambar 4.4 The Easter Bunny, Santa, The Tooth Fairy
173
Gambar 4.5 Marlboro Man
174
Gambar 5.1 Outline Program TRADOS 2006
263
Gambar 5.2 Contoh Catatan Kaki Penerjemahan Novel HT
266
Gambar 5.3 Contoh Revisi Penerjemahan Novel HT
271
commit to user xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1a Data mengenai Budaya Materi
1
Lampiran 1b Data mengenai Istilah-istilah Ekologi
5
Lampiran 1c Data mengenai Budaya Sosial
9
Lampiran 1d Data mengenai Gaya Bahasa
29
Lampiran 2a Data Makna Leksikal di dalam Novel HT
43
Lampiran 2b Data Makna Situasional di dalam Novel HT
50
Lampiran 2c Data Makna Tekstual di dalam Novel HT
53
Lampiran 2d Data Makna Sosiokultural di dalam Novel HT
54
Lampiran 2e Data Makna Implisit di dalam Novel HT
83
Lampiran 3a Data Paramater Gaya: Penggunaan Pilihan Kata di dalam Novel HT
87
Lampiran 3b Data Paramater Gaya: Penggunaan Ekspresi Idiomatik di dalam Novel HT
114
Lampiran 3c Data Paramater Gaya: Penggunaan Gaya Bahasa di dalam Novel HT
123
Lampiran 3d Data Paramater Gaya: Penggunaan Bahasa Tertentu di dalam Novel HT
126
Lampiran 3e Data Paramater Gaya: Penggunaan Tanda Baca di dalam Novel HT
130
Lampiran 4a Data Terjemahan Hampir Sempurna (THS) Novel HT
111
Lampiran 4b Data Terjemahan Sangat Bagus (TSB) Novel HT
149
Lampiran 4c Data Terjemahan Baik (TB) Novel HT
163
commit to user xix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lampiran 4d Data Terjemahan Cukup (TC) Novel HT
170
Lampiran 4e Data Terjemahan Kurang (TK) Novel HT
173
Lampiran 5 Kuesioner Pembaca
175
Lampiran 6a Kisi-kisi Format Wawancara dengan Penerjemah
177
Lampiran 6b Kisi-kisi Format Wawancara dengan Pakar Penerjemahan
179
Lampiran 7 Hasil Analisis Kuesioner
180
Lampiran 8 Penilaian Ketepatan Terjemahan
184
commit to user xx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN Bb
: Bab
Bsa
: Bahasa Sasaran
Bsu
: Bahasa Sumber
Chap
: Chapter
Hal
: Halaman
HT
: The Highest Tide
Ind
: Indonesia
Ing
: Inggris
Pg
: Page
PL
: Pasang Laut
THS
: Terjemahan Hampir Sempurna
Tsa
: Teks Sasaran
TSB
: Terjemahan Sangat Bagus
Tsu
: Teks Sumber
TB
: Terjemahan Baik
TC
: Terjemahan Cukup
TK
: Terjemahan Kurang
005.HT.Chap16.Pg117: Mengandung makna bahwa nomor urut data adalah 005 dan data ini terdapat dalam novel HT (The Highest Tide) pada Chapter 16 Page 117 PL.Bb16.Hal161
: Mengandung makna bahwa data ini terdapat dalam novel PL (Pasang Laut) pada Bab 16 Halaman 161
commit to user xxi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Masduki. T14036004. Kesepadanan Makna dan Gaya di dalam Novel The Highest Tide dan Terjemahannya: Pendekatan Kritik Holistik. Disertasi. Surakarta 2011. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Tim Pembimbing: Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana (Pembimbing I), Prof. Dr. Thomas Soemarno, M.Pd (Pembimbing II). Penelitian ini mengkaji masalah utama mengenai kesepadanan makna dan gaya di dalam novel The Highest Tide (HT) dan terjemahannya. Analisis kesepadanan makna dan gaya ini difokuskan pada teks di dalam novel HT dan terjemahannya yang mengandung ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa. Penelitian ini dipaparkan secara holistik yang digali dari tiga faktor utama, yaitu faktor objektif (novel HT dan terjemahannya), faktor genetik (penerjemah novel HT), dan faktor afektif (pembaca novel HT). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan kritik holistik. Sumber data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah: (1) dokumen berupa novel HT dan terjemahannya Pasang Laut (PL), (2) penerjemah novel HT, dan (3) pembaca buku terjemahan. Jenis data di dalam penelitian ini adalah: (1) kata-kata, frase-frase, atau kalimat-kalimat yang mengandung ungkapanungkapan: budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa yang terdapat pada novel HT; dan (2) kata-kata, frase-frase, atau kalimat-kalimat dari jawaban kuesioner dan hasil wawancara dengan penerjemah novel, pakar penerjemahan novel, dan para pembaca novel terjemahan. Sumber data yang dicuplik adalah sumber data afektif (para pembaca novel) dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik simak dan catat, kuesioner, dan wawancara mendalam, dengan teknik analisis model interaktif. Pokok-pokok temuan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, jenis-jenis makna yang ditemukan di dalam penerjemahan ungkapanungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel HT adalah makna leksikal (9,57%), situasional (4,35%), tekstual (1,74%), sosiokultural (70,43%), dan implisit (13,91%). Kedua, parameter gaya yang digunakan yaitu berupa penggunaan pilihan kata (64,35%), ekspresi idiomatik (20%), gaya bahasa (1,74%), kata/ekspresi sesuai tipe teks (8,70%), dan tanda baca (6,96%). Ketiga, penerjemahan novel HT berada dalam rentang nilai 61-75, yaitu termasuk dalam kategori terjemahan baik (74,04%). Penilaian bersifat relatif dan berdasarkan kriteria kurang lebih karena penilaian terhadap padanan makna dan gaya secara objektif sulit dicapai. Keempat, penerjemah novel HT memiliki latar belakang akademik dalam bidang linguistik penerjemahan, mengampu mata kuliah sastra dan penerjemahan, berprofesi sebagai penerjemah profesional selama lebih dari 15 tahun, dan telah menerjemahkan beragam karya terjemahan novel dan bunga rampai baik dalam bentuk buku maupun artikel. Kelima, proses penerjemahan dilakukan dengan tahapan: persiapan, menerjemahkan, dan mengedit, dengan menggunakan kompetensi
commit to user xxii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
profesional, teknis, dan instrumental. Keenam, strategi penerjemahan dilakukan dengan mengungkapkan konteks yang melingkupi kata atau frase yang akan diterjemahkan, membuat catatan kaki, menetralisir atau menaturalisasi kata, dan menciptakan sendiri kata atau frase yang sepadan. Ketujuh, menurut pakar penerjemahan, secara umum penerjemahan novel HT sangat baik karena teksnya mengalir lancar seperti bukan terjemahan dan cara penerjemah mengurangi atau menambahkan makna pada teks sasaran membuat hasil terjemahan lebih hidup. Kedelapan, hasil dari sampel pembaca menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan terasa enak dibaca, mengalir dengan lancar, teks di dalam novel terjemahan sangat jelas, dan kata-kata yang digunakan sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan. Berdasarkan pokok-pokok temuan dan pembahasan secara holistik, disimpulkan bahwa makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel sumber The Highest Tide diterjemahkan ke dalam novel sasaran Pasang Laut dengan kualitas terjemahan baik (74,04%) dan berada sedikit di bawah kategori terjemahan sangat baik. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa penggunaan makna sosiokultural dengan gaya berupa penggunaan berbagai pilihan kata di dalam teks sasaran sering muncul di dalam penerjemahan novel HT. Persentase tersebut tidak mengindikasikan dominasi atau superioritas, namun hanya menunjukkan tingkat keseringan kemunculan penggunaan makna dan gaya di dalam terjemahan novel HT. Kualitas terjemahan yang baik tersebut didukung oleh latar belakang akademik, pengalaman profesi penerjemah, strategi yang dilakukan penerjemah, pendapat pakar penerjemahan, dan pemahaman dari sampel pembaca. Namun demikian, terdapat kegagalan penerjemahan novel HT di dalam menjembatani perbedaan karakteristik bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, yaitu ketidakajegan penerjemah di dalam menerjemahkan istilah-istilah khusus. Implikasi dari temuan penelitian ini adalah bahwa penerjemah novel yang profesional dengan latar belakang akademik yang baik dan pengalaman profesi yang kuat berdampak positif terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan dan kepandaian penerjemah di dalam mentransfer budaya bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia berdampak positif dan dapat dicontoh oleh penerjemah yang lain di dalam menghasilkan terjemahan yang berkualitas.
commit to user xxiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Masduki. T14036004. The Equivalence of Meaning and Style in The Novel The Highest Tide and Its Translation: Holistic Criticism Approach. Dissertation. Surakarta 2011. Postgraduate Program University of Sebelas Maret. Board of Advisors: Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana (Advisor I), Prof. Dr. Thomas Soemarno, M.Pd (Advisor II). This research investigated the equivalence of meaning and style in the novel The Highest Tide (HT) and its translation. Analysis on the equivalence of meaning and style was focused on specific features of the novel HT and its translation, namely: (1) material culture, (2) ecological terms, (3) social culture, and (4) figures of speech. This research was taken holistically from three main factors, consisting of genetic factor (the translator of HT novel), objective factor (the HT novel and its translation), and affective factor (the reader of the novel translation). This research constituted as qualitative descriptive study with the approach of holistic criticism. Sources of data applied in this research were: (1) the translator of the novel HT, (2) source texts of the novel HT and its translation Pasang Laut (PL), and (3) the readers of translation.Types of data used in this research were: (1) words, phrases, or sentences containing features: (1) material culture, (2) ecological terms, (3) social sulture, and (4) figures of speech in the novel HT; and 2) words, phrases, or sentences collected from questionnaire’s responses and indepth interview of the translator, the expert, and the readers. Sources of data were sampled purposively.The data were collected using document analysis, questionnaire distribution, and in-depth interview, with the analysis technique of interactive model. The findings of this research were: First, types of meaning realized in translating novel HT were lexical meaning (9,57% ), situational or contextual meaning (4,35%), textual meaning (1,74%), socio-cultural meaning (70,43%), and implicit meaning (13,91%). Second, styles realized in translating novel HT were the usage of choices of words (64,35%), of idiomatic expression (20%), of figure of speech (5,22%), of suitable words/expressions in target texts relevant to its type of text (8,70%), and of punctuation mark (1,74%). Third, quality of translation of the novel HT into PL viewed on criteria of translation quality assessment categorized in good translation with the score 61-75. Meanwhile, since there was no perfect translation and no scoring toward equivalence of meaning and style objectively, then the scoring was relative and based on criteria more or less. Forth, the translator of the HT novel acquired academic background in translation study and applied linguistics, gained professional experience in translating more than 15 years, and translated several miscellaneous craft of translation of novel, books, and articles. Fifth, process of translation conducted by the translator involved three main steps: preparation, translating, editing, with the special characteristics, namely; the professional, technique, and instrumental competence applied in process of translating the novel HT. Sixth, strategies applied by the translator in translation
commit to user xxiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
specific terms in novel HT were to vouch for contexts of words or phrases being translated, create footnotes, neutralize or naturalize words being translated, and create his own equaivalent words. Seventh, according to the translation expert, in general the translation of the novel HT was very good, and the ways how the translator reduced or added meaning in target texts made the texts alive. Eighth, data from samples of readers showed that language used in novel translation was good to read, texts were very clear, and words used were relevant to convey information. Based on research findings and the discussion, it can be concluded that meaning and style on specific features of the novel HT and its translation in terms of material culture, ecological terms, social culture, and figures of speech is in category of good translation. It is supported by the translator’s academic background in translation study and applied linguistics, professional experience in translating, and strategies applied by the translator, the statement from the expert of translation, and the statement from the readers. Meanwhile, there is fruitlessness in translating the novel HT in bridging the characteristics differences of English language and bahasa Indonesia, namely the inconsistency of the translator in translating the specific terms. Implications from the research findings are that the professional novel translator having qualified academic background and experience in the field generates positive impact toward the translation quality and the capability of the translator in trasfering English culture into Bahasa Indonesia generates positive impact and can be modeled by other translators in producing qualified translation.
commit to user xxv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KESEPADANAN MAKNA DAN GAYA DI DALAM NOVEL THE HIGHEST TIDE DAN TERJEMAHANNYA: PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK Oleh Masduki NIM: T140306004 Disertasi ini telah direvisi sesuai masukan para Penguji dan disetujui untuk diajukan pada sidang senat terbuka terbatas. Tim Penguji pada ujian tertutup: 1. Prof. Drs. Suranto, MSc., Ph.D
(…………………………….)
(Ketua merangkap anggota) 2. Dr. Tri Wiratno, MA
(……....…………………….)
(Sekretaris merangkap anggota) 3. Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana
(…………………………….)
(Anggota) 4. Prof. Dr. Thomas Soemarno, MPd
(…………………………….)
(Anggota) 5. Prof. Dr. H. D. Edi Subroto
(…………………………….)
(Anggota) 6. Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo
(…………………………….)
(Anggota) 7. Prof. Drs. MR Nababan, MA., MEd., Ph.D
(…………………………….)
(Anggota) Mengetahui, Ketua Program Studi Linguistik S3
Prof. Dr. H. D. Edi Subroto
commit to user xxvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kepada YTH: Prof. Dr. Thomas Soemarno, M. Pd d/a. Griyan RT 2 RW 10 Jl. Bangle no 4 Pajang Utara Laweyan Solo Pengirim: Masduki (Mahasiswa S3 Linguistik Penerjemahan UNS) d/a. Perum Seruni C-5 Banyuajuh Kamal Bangkalan Madura
commit to user xxvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ISI POWER POINT
BAB I BAB II Kajian Pustaka: Pen. relevan Kesepadanan (Vinay &Darbelnet dan Jakobson) Makna (sumarno) Gaya (Bolanos) Bagian-bagian khas (Newmark) Pend. Kritik Holistik Kerangka Pikir BAB III
commit to user xxviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV BAB V BAB VI
commit to user xxix
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa menerjemahkan novel
tidaklah mudah. Seorang penerjemah novel diharapkan untuk memahami bahasa sumber dengan sebaik-baiknya, karena pada dasarnya karya susastra lebih mengandung unsur ekspresi pengarang dan kesan khusus yang ingin ditimbulkannya terhadap si pembaca. Karya susastra juga mengandung unsurunsur emosional, efek keindahan kata dan ungkapan, efek keindahan bunyi, dengan segala nuansa yang mengiringinya. Penerjemahan karya susastra sebagai proses pengalihan pesan tidak hanya melibatkan dua bahasa yang berbeda, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran, namun juga melibatkan kondisi sosiobudaya yang berbeda karena suatu teks dalam penerjemahan berada dalam konteks sosiobudaya yang terkait dengan bahasa sumber dan bahasa sasaran. Oleh karena itu, penerjemahan karya susastra tidak bisa dilihat hanya sebagai upaya menggantikan teks dalam satu bahasa ke teks bahasa lain. Faktor lain yang sangat dibutuhkan adalah adanya suatu kompetensi mengenai suatu wacana untuk menghasilkan suatu terjemahan yang benar secara sintaktik, tepat makna, memenuhi unsur kewajaran, keterbacaan, dan secara sosial berterima di dalam suatu konteks yang didasari budaya. Apabila yang diupayakan oleh seorang penerjemah adalah pengungkapan kembali pesan bahasa sumber dalam bahasa sasaran, maka commit to teks usersasaran (Tsa) haruslah sepadan
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
dengan teks sumber (Tsu), yaitu dua teks yang isi dan gayanya dapat dipahami secara sama oleh penerima (pembaca) masing-masing teks dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran. Sebuah terjemahan yang akurat tidak akan dapat memenuhi tujuan praktisnya sebagai alat komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks bahasa sasaran apabila terjemahan yang bersangkutan sulit dipahami oleh pembaca, begitu pula bahwa sebuah terjemahan yang mudah dipahami bukanlah terjemahan yang baik apabila pesannya menyimpang dari pesan teks bahasa sumber. Oleh sebab itu penerjemah karya susastra perlu mempunyai pengetahuan yang luas tentang latar belakang sosiokultural dari bahasa sumber tersebut, memiliki pengetahuan dan kualitas khusus (kesusastraan dan estetika, dan artistika kebahasaan), harus dapat mengidentifikasi unsur-unsur susastra dan memiliki pemahaman budaya dan nilai-nilai karya susastra yang diterjemahkan, serta memahami karya susastra secara menyeluruh. Di dalam menerjemahkan karya susastra, penerjemah perlu memahami karya itu secara keseluruhan dan harus mengetahui konsep-konsep dasar karya susastra dan analisis karya susastra (Suryawinata, 1982:85). Konsep dasar karya susastra adalah bahwa karya susastra sebaiknya dipandang dari fungsinya sebagai komunikasi. Dengan demikian, karya susastra dilihat sebagai suatu wacana, yaitu sebagai suatu keutuhan yang mengandung informasi, amanat, ekspresi pengarang, dan juga unsur fiksi. Kesemua unsur tersebut diserap dan dihayati di dalam kehidupan dan pengalaman pengarang yang kemudian disusun dan dijalin dengan imajinasinya dan dituangkan ke dalam cerita, drama, atau novel dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
menggunakan bahasa yang sederhana, segar, tepat, dan hidup sehingga karya yang dihasilkan tidak membosankan, dapat mengemukakan secara jelas apa yang dimaksud oleh pengarang sehingga pembaca dapat memahami makna dan pesan yang diinginkan, dan juga dapat menciptakan suasana yang diinginkan dengan cara memakai idiom yang sesuai, register yang sesuai, dan pemakaian bahasa yang benar-benar dapat menggambarkan watak dan kelas sosial. Kesemua unsur tersebut saling terkait di dalam teks secara keseluruhan. Di samping itu, secara praktis yang dibutuhkan seorang penerjemah karya susastra bukanlah untuk mendalami kritik susastra sebagai disiplin ilmu untuk kemudian menjadi seorang kritikus susastra, namun untuk menginterpretasikan suatu karya susastra dengan lebih baik dan menyeluruh. Oleh karena itu, yang diperlukan oleh seorang penerjemah karya susastra adalah pendekatan analisis yang lebih praktis untuk tujuan pemahaman yang komprehensif dan memadai untuk digunakan di dalam menerjemahkan nantinya. Suparman (2003: 142) menjelaskan bahwa di dalam menerjemahkan karya susastra, misalnya novel bahasa Inggris, penerjemah membaca novel tersebut secara tuntas dari awal hingga akhir dengan maksud untuk menangkap ide global dan aspek-aspek yang ada dalam novel tersebut. Bentuk dan jenis kalimat dalam novel dapat menunjukkan keadaan isi cerita. Pengarang novel sengaja menuangkan ide-idenya dalam novel dengan kalimat sederhana dan pendek pada halaman-halaman awal. Pada halaman-halaman tengah, kalimat cenderung lebih panjang dan kompleks yang mencerminkan bahwa cerita itu mulai problematik dan memunculkan adanya masalah yang cukup serius. Pengarang sengaja commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menunjukkan masalah yang cukup rumit dengan kalimat yang rumit juga. Dengan demikian, kalimat cenderung sulit dipahami sebagaimana sulitnya memahami permasalahan yang ditimbulkan. Pengarang sengaja menggunakan komposisi kalimat semacam itu untuk merefleksikan bahwa sederhana-rumitnya kalimat yang dipakai mencerminkan ide cerita. Menerjemahkan karya susastra, dalam hal ini adalah novel, tidak dilakukan secara kata per kata, yang secara sepintas enak dibaca, tetapi secara keseluruhan tidak membawa pesan seperti yang diamanatkan oleh naskah aslinya. Suatu kalimat di dalam novel tidak sekadar ujaran yang berdiri sendiri, namun berfungsi sebagai petunjuk akan hadirnya ide-ide yang akan menyusul (BasnettMcGuire,1980). Apabila penerjemah hanya menerjemahkan kata-kata tersebut sebagai kata-kata yang berdiri sendiri dan hanya berdasarkan makna dalam setiap kalimat saja, maka hasil terjemahannya akan terasa dangkal dan kehilangan keseluruhan makna yang ingin disampaikan oleh pengarang aslinya kepada para pembacanya. Di dalam menerjemahkan novel, sangat mungkin penerjemah menemukan kesulitan-kesulitan, baik kesulitan dalam aspek budaya, misalnya kesulitan penerjemah dalam mencari padanan istilah yang berkaitan dengan materi dan peristiwa budaya, kesulitan dalam aspek susastra, misalnya penerjemahan karakterisasi tokoh yang sepadan dengan keadaan masyarakat pembaca novel penerjemahan, maupun juga kesulitan dalam aspek kebahasaan, misalnya dalam menerjemahkan struktur kalimat yang sangat panjang dan tata bahasa yang rumit. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
5 digilib.uns.ac.id
Untuk tujuan penelitian ini, peneliti mengkaji sebuah novel yang berjudul The Highest Tide karya Jim Lynch (2005) yang telah diterjemahkan oleh Arif Subiyanto. Novel tersebut diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada bulan Februari 2007 dengan ukuran buku 13.5 x 20 cm dan tebal 328 halaman. Novel tersebut menarik perhatian peneliti untuk dianalisis karena novel tersebut merupakan pemenang Pacific Northwest Booksellers Book Award 2006 dan telah dipublikasikan sehingga menjadi konsumsi publik. Novel The Highest Tide karya Jim Lynch ini merupakan novel yang ditulis belum lama (tahun 2005) dan diterjemahkan dalam kurun waktu yang relatif masih baru (tahun 2007) sehingga bahasa yang digunakan baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran adalah bahasa saat ini, dan novel The Highest Tide ini merupakan sumber data penelitian yang dianggap sangat bermanfaat untuk menjawab semua permasalahan yang sudah dirumuskan dan target yang ingin dicapai oleh peneliti. Novel The Highest Tide ini mengisahkan dua minggu musim panas dalam kehidupan Miles O’Malley, sang protagonis sekaligus narator yang berusia hampir empat belas tahun. Dua minggu ini menjadi begitu berarti dengan sejumlah kejadian yang saling bersilang-sengkarut dalam kehidupan Miles. Di dalam novel tersebut, penulis novel tidak hanya ingin menyampaikan kepeduliannya kepada lingkungan setelah melihat penemuan sebuah ikan aneh di dekat tempat tinggalnya, namun dia juga memberi porsi yang cukup untuk bagianbagian lain yang mempengaruhi kehidupan seorang remaja seperti keluarga, hobi, pertemanan, dan problem seputar pubertas. Dengan dua hal itu, pembaca pun mendapatkan pengetahuan tentang laut dengan kesegaran pikiran remaja yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
mengasyikkan dan seringkali memaksa pembaca tertawa-tawa sendiri. Dalam kaitannya dengan kepedulian lingkungan si penulis, di sini Miles digambarkan sebagai anak yang sangat paham tentang isi laut karena kegemarannya membaca buku-buku biologi laut Rachel Carson. Begitu bagusnya pemahaman Miles O’ Malley tentang perilaku makhluk laut, sampai-sampai Profesor Kramer mengatakan “kau membuat ilmuwan dan orang-orang lain tampak bodoh”. Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan di sampul belakang bahwa buku ini memperluas wawasan kita tentang dunia kelautan. Beberapa pemilihan diksi yang dilakukan penerjemah di dalam menerjemahkan novel The Highest Tide tercermin dalam beberapa contoh penerjemahan dari Tsu ke dalam Tsa berikut: (a) Tsu: The G-spot, Squid Boy.(page 30) Tsa: G-spot, Dasar anak sotong! (halaman 45) (b) Tsu: Angie sang in a band called “L.O.C.O.” You couldn’t call it “Loco” for some reasons. (page 18) Tsa: Angie pernah menjadi vokalis untuk band bernama “L.O.C.O.” Entah kenapa bukan “Loco” saja. (halaman 31) (c) Tsu: Part of the fuss had to be my appearance. I was a pink-skinned, fourfoot-eight, seventy-eight-pound soprano. I came off as an innocent nine-year-old even though I was an increasingly horny, speed-reading thirteen-year-old insomniac.(page 2) Tsa: Kehebohan itu sebagian dipicu oleh penampilanku. Aku hanyalah bocah lelaki dengan kulit kemerahan, tinggi satu meter empat puluh enam, berat tiga puluh sembilan kilo, dan suaraku melengking. Penampilanku mirip bocah sembilan tahun yang masih polos, padahal sebenarnya aku sudah remaja, penderita insomnia tiga belas tahun yang mulai berahi dan kutu buku yang keranjingan membaca. (halaman 9).
Di dalam contoh penerjemahan novel tersebut dapat dilihat bahwa : (a) Di dalam menerjemahkan Squid Boy, penerjemah menggunakan padanan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
istilah yang berhubungan dengan kebiasaan serta pemahaman sosiokultural yang muncul dalam cerita, yaitu dengan sebutan ‘dasar anak sotong’. Padanan makna dari sebutan di atas sudah tepat dan berterima. Namun padanan gaya, dalam hal ini adalah padanan struktur kalimat mengalami perubahan, yaitu dari sebuah frasa dalam Tsu berubah menjadi kalimat eliptik dalam teks terjemahannya. Perubahan ini mungkin dilakukan karena alasan kewajaran ungkapan, yaitu sekali pun dimungkinkan adanya terjemahan harfiah menurut struktur gramatikal, padanannya tidak wajar atau kaku dalam bahasa sasaran. (b) Penerjemah menerjemahkan kata-kata khusus dalam Tsu (misalnya nama tertentu seperti loco) dengan padanan makna dan gaya yang tetap ke dalam bahasa dan budaya sasaran yaitu loco. (c) Penerjemahan tokoh atau karakter di dalam teks novel asli di atas ke dalam karakterisasi yang disesuaikan dengan masyarakat pembaca novel terjemahan mengalami perbedaan, misalnya kulit badan tokoh pink-skinned diterjemahkan menjadi kulit kemerahan. Dalam bidang warna, pink memiliki makna yang berbeda dengan kemerahan. Warna pink terbentuk dari perpaduan antara warna merah dengan warna putih, sementara kemerahan merujuk pada objek yang mengarah ke atau menjadi merah. Padanan ini akan menjadi lebih berterima seandainya kata pink diterjemahkan dengan merah muda. Selain itu, kalimat I was a pink-skinned juga memiliki efek yang berbeda dengan kalimat aku hanyalah bocah lelaki dengan kulit kemerahan. Kata was di dalam kalimat sumber memiliki makna yang berbeda dengan kata hanyalah di dalam kalimat sasaran. Penerjemah di dalam mencari padanan makna dan gaya di dalam menggambarkan tokoh commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengenai tinggi badan four-foot-eight di dalam kalimat sumber menjadi satu meter empat puluh enam, berat badan tokoh seventy-eight-pound menjadi tiga puluh sembilan kilo di dalam kalimat sasaran sudah benar dan berterima. Padanan istilah yang berhubungan dengan kebiasaan serta pemahaman sosiokultural yang muncul dalam cerita, kata-kata khusus yang ada dalam Tsu, dan gaya yang muncul di dalam contoh di atas dan juga di dalam keseluruhan teks novel The Highest Tide perlu dikaji lebih mendalam, hal ini dimaksudkan untuk mencari hubungan padanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa, apakah padanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa tersebut untuk memenuhi tuntutan kewajaran atau dipaksakan oleh penerjemah yang disebabkan kekurangpahaman terhadap kedua bahasa. Hal ini menarik untuk diteliti, karena analisis penerjemahan novel yang didasarkan pada analisis karya terjemahan semata dapat diduga bahwa kualitas terjemahan yang dihasilkan tidak akan memberikan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh, hal ini karena karya terjemahan dihasilkan melalui suatu proses penerjemahan dan baik-tidaknya karya terjemahan sangat tergantung pada kompetensi dan strategi penerjemah dalam melakukan proses penerjemahan, dan penerjemah adalah pelaku utama (main agent) proses penerjemahan, karenanya pembuatan keputusan penerjemah sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan kompetensinya. Dengan kata lain, penelitian penerjemahan haruslah dipandang secara menyeluruh (holistik) yang meliputi latar belakang dan kompetensi penerjemah, produk yang dihasilkan, dan tanggapan pembaca terhadap produk terjemahan yang dihasilkan.
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.2 Pembatasan Masalah Dengan bertitik tolak pada latar belakang di atas dan untuk menghasilkan pemahaman masalah secara lebih mendalam, maka penelitian ini dibatasi pada kualitas terjemahan novel The Highest Tide (HT) ke dalam novel Pasang Laut (PL) dengan analisis penerjemahan yang melibatkan kesepadanan antara Tsu dan Tsa (faktor objektif), penerjemah (faktor genetik), dan pembaca terjemahan (faktor afektif). a)
Kesepadanan antara Tsu dan Tsa sebagai faktor objektif dibatasi pada kesepadanan makna (leksikal, situasional, tekstual, sosiokultural, dan/atau implisit) antara tsu dan tsa yang berhubungan dengan penerjemahan bagianbagian substansi di dalam novel HT, yaitu: (1) budaya materi, (2) istilah ekologi, (3) budaya sosial, dan (4) gaya bahasa ; dan kesepadanan gaya yang meliputi: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca yang digunakan dalam tsu dan tsa. Sedangkan kualitas terjemahan dikategorikan berdasarkan: terjemahan hampir sempurna, terjemahan sangat bagus, terjemahan baik, terjemahan cukup, dan terjemahan kurang.
b) Penerjemah sebagai faktor genetik dibatasi pada masalah latar belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT, dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan bagian-bagian yang khas dalam novel HT. Penerjemah yang dimaksud adalah penerjemah profesional Indonesia yang karya terjemahannya telah diterbitkan. commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c)
Pembaca sebagai faktor afektif dibatasi pada pemahaman pembaca terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan, yaitu novel terjemahan Pasang Laut. Pemahaman pembaca ini dilandasi dengan pertimbangan bahwa pemahaman terhadap sebuah teks dapat diukur secara empirik, yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan suatu teks yang diterjemahkan. Peneliti menyadari bahwa di dalam menganalisis penerjemahan suatu
novel haruslah dilihat dari berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain: kepribadian penerjemah, latar belakang sosial dan budaya penerjemah, dan berbagai peristiwa di sekitar penerjemah yang berkaitan dengan proses penerjemahan. Namun dikarenakan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh peneliti, beberapa aspek tersebut tidak diteliti. Di samping itu, peneliti tidak meneliti secara satu per satu kata yang terdapat di dalam novel sumber dan terjemahannya, namun dibatasi pada analisis penerjemahan bagian-bagian yang khas yang terdapat di dalam novel. Pembatasan ini selain pertimbangan keterbatasan waktu, juga dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman masalah secara lebih khusus dan mendalam, yaitu tidak meneliti terjemahan novel secara harfiah dan umum saja, namun lebih pada bagian-bagian yang khas atau khusus di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya Pasang Laut.
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a)
Bagaimanakah kesepadanan makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya?
b)
Bagaimanakah latar belakang penerjemah dan keterkaitannya dengan kualitas terjemahan yang dihasilkan?
c)
Bagaimanakah pemahaman pembaca dan keterkaitannya dengan kualitas terjemahan yang dihasilkan?
1.4 Tujuan Penelitian (a) Menganalisis dan mengevaluasi kesepadanan makna dan gaya ungkapanungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya. (b) Menjelaskan dan menganalisis latar belakang penerjemah dan keterkaitannya dengan kualitas terjemahan yang dihasilkan. (c) Menganalisis dan mengevaluasi pemahaman pembaca dan keterkaitannya dengan kualitas terjemahan.
commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis.
1.5.1 Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai: (a) Masukan berupa konsep teori yang berhubungan dengan kesepadanan makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa antara Tsu dan Tsa. (b) Kontribusi pemikiran bagi penelitian penerjemahan novel dengan mempertimbangkan bahwa kualitas penerjemahan novel yang baik dipengaruhi oleh kualitas penerjemah, yaitu penerjemah yang memiliki latar belakang akademik bidang penerjemahan, pengalaman profesi penerjemahan, beragam karya terjemahan, dan pemahaman pembaca novel terjemahan. (c) Kontribusi pemikiran atau gagasan yang berkaitan dengan penerjemahan novel dengan mempertimbangkan bahwa proses penerjemahan tidak hanya menggunakan kompetensi profesional dan teknis saja, namun juga kompetensi instrumental, dan proses penerjemahan tidak hanya pada makna saja, tetapi juga gaya dengan memperhatikan bahwa pencarian padanan makna tanpa penerjemahan gaya yang sesuai akan menghasilkan terjemahan yang tidak lengkap dan tidak efisien.
commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.5.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan: (a) Sebagai masukan operasional bagi penerjemah mengenai masalah kesepadanan dalam penerjemahan Tsu sebuah novel ke dalam Tsa sebuah novel. Penerjemah dapat mempergunakan hasil penelitian ini sebagai landasan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas terjemahan di bidang susastra, khususnya penerjemahan novel. (b) Memberi rangsangan bagi para peneliti lain untuk melakukan penelitian sejenis, misalnya mengkaji proses decision-making dalam proses menerjemahkan karya terjemahan novel, mengkaji strategi yang paling mungkin digunakan dalam menerjemahkan karya terjemahan non-literer, dan sebagainya. (c) Sebagai referensi di bidang penerjemahan susatra, khususnya novel, sehingga dapat dimanfaatkan oleh para mahasiswa yang mendalami bidang penerjemahan untuk pengembangan dan perbaikan penerjemahan novel khususnya tentang kesepadanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa yang berhubungan dengan penerjemahan bagian-bagian yang khas dalam susastra.
commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PIKIR
2.1 Kajian Pustaka Penelitian penerjemahan haruslah dilakukan secara menyeluruh (holistik), yaitu yang melibatkan faktor genetik, faktor objektif, dan faktor afektif. Namun demikian, beberapa penelitian penerjemahan, khususnya kesepadanan makna dan gaya pada bagian-bagian khas karya susastra novel sejauh ini masih belum dilakukan secara ekstensif. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan memiliki relevansi dengan permasalahan yang diteliti di dalam penelitian ini dipaparkan lebih lanjut di bawah ini. Beberapa penelitian mengenai novel ataupun mengenai penerjemahan, namun tidak memiliki keterkaitan dengan analisis penerjemahan secara holistik, maka beberapa penelitian tersebut tidak dipaparkan. Di dalam bahasa Indonesia, beberapa penelitian penerjemahan secara holistik yang melibatkan faktor genetik, objektif, dan afektif yang dapat ditemukan sejauh ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Nababan, dkk. (2004), Martha Budianto (2007), dan AP. Sudarno (2008). Penelitian oleh Nababan, dkk. (2004) dengan judul Keterkaitan Antara Latar Belakang Penerjemah dengan Proses Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan (Studi Kasus Penerjemah Profesional di Surakarta) merupakan penelitian penerjemahan secara holistik yang melibatkan tiga aspek penting dalam penelitian, yaitu aspek genetik (bersumber pada penerjemah), aspek objektif (karya terjemahan), dan aspek commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
afektif (pembaca teks bahasa sasaran). Ketiga aspek tersebut saling terkait satu sama lain. Di dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa para penerjemah memiliki latar belakang pendidikan yang cukup memadai untuk menjadi penerjemah, pengetahuan mereka tentang konsep dan proses penerjemahan sangat memadai, dan beberapa hasil terjemahan sudah tergolong terjemahan yang berkualitas dengan indikator bahwa pesan yang disampaikan sudah cukup akurat dan teks terjemahan mudah dipahami oleh pembaca. Penelitian oleh Martha Budianto (2007) dengan judul Kajian Penerjemahan Film (Subtitling) berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia (Sebuah Studi Kebijakan) juga melibatkan tiga aspek penting dalam penelitian kualitatifnya, yaitu aspek genetik (bersumber pada penerjemah film), aspek objektif (dialog film bahasa sumber ke teks film bahasa sasaran), dan aspek afektif (pengamat terjemahan film). Ketiga aspek tersebut saling terkait satu sama lain. Di dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa secara umum proses subtitling yang selama ini diterapkan di Indonesia sudah benar. Proses subtitling dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu proses persiapan, proses penerjemahan, dan proses penyelarasan. Di dalam penelitian tersebut ditemukan beberapa kesulitan, yaitu kesulitan teknis dan strategi untuk mengatasinya, kesulitan karena budaya bahasa sumber yang berbeda dengan budaya bahasa sasaran, kesulitan karena kompetensi penerjemah film, dan keterbatasan subtitles. Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh AP. Sudarno (2008) dengan judul Evaluasi Terjemahan Buku-buku Teks di Bidang Rancang Bangun. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi ketepatan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
16 digilib.uns.ac.id
dan kesepadanan hasil terjemahan dari buku-buku teks bahasa sumber ke dalam terjemahan bahasa Indonesia, mendeskripsikan dan mengklasifikasikan penilaian hasil terjemahan yang digolongkan tepat, tepat tetapi masih memerlukan perbaikan, tidak tepat, serta menerangkan sebab-sebab terjadinya terjemahan yang dianggap tidak tepat. Di dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa hasil penerjemahan pada frase-frase pada kalimat tunggal dan majemuk ada yang tepat, ada yang tepat tetapi masih memerlukan perbaikan susunan dan ada yang tidak tepat. Pada frase-frase yang bukan istilah teknik biasanya penerjemahannya sudah tepat tetapi pada frase-frase yang di dalamnya terkandung istilah teknik, frasefrase tersebut diterjemahkan kurang tepat. Hal ini disebabkan karena penerjemah tidak melibatkan pakar teknik atau pakar yang membidangi ilmu tersebut, terdapat kesalahan terjemahan dalam tataran kalimat dari buku yang diterjemahkan, pada tataran kalimat yang banyak terjadi kesalahan adalah pada kalimat majemuk dan kompleks karena kalimat tersebut terdiri dari banyak klausa, tiga atau lebih yang hubungan antar klausanya satu dengan yang lain sangat rumit sehingga sulit diterjemahkan; dan istilah-istilah teknik yang khas banyak terdapat dalam bukubuku tersebut dan kadang-kadang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Penelitian-penelitian di atas, setelah diamati secara seksama, memberikan gambaran dan memiliki keterkaitan dengan penelitian di dalam disertasi ini, utamanya mengenai kualitas hasil terjemahan dengan melibatkan aspek-aspek penting di dalam penelitian penerjemahan secara holistik, yaitu yang melibatkan tiga aspek penting berupa aspek genetik, aspek objektif, dan aspek afektif. Namun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
demikian, masing-masing penelitian di atas memiliki ranah tersendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Nababan, dkk. (2004) lebih memfokuskan pada analisis kualitas penerjemahan teks bahasa, penelitian yang dilakukan oleh Martha Budianto (2007) lebih menitikberatkan pada analisis penerjemahan film, sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh AP. Sudarno (2008) lebih mengarah pada evaluasi ketepatan dan kesepadanan hasil terjemahan buku-buku ilmiah. Ketiga penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang disajikan di dalam disertasi ini. Penelitian di dalam disertasi ini lebih menitikberatkan pada analisis penerjemahan novel secara holistik yang melibatkan aspek genetik, objektif, dan afektif. Sementara itu, di dalam bahasa Inggris, beberapa penelitian penerjemahan yang berhubungan dengan penelitian di dalam disertasi ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Qusai Anwer Aldebyan (2008), Caixia Yang (2010), dan Xu Minhui (2010). Penelitian oleh Qusai Anwer Aldebyan (2008) dengan judul Strategies for Translating Arabic Cultural Makers into English: A Foreignizing Approach berusaha untuk mengeksplorasi strategi penerjemahan yang digunakan di dalam menerjemahkan budaya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris, mengeksplorasi pengaruh penggunaan strategi penerjemahan domesticating dan foreignizing terhadap kualitas terjemahan, dan mengeksplorasi penerjemahan dari perspektif budaya dan etnografi. Korpus dari penelitian ini diambilkan dari enam novel bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menerjemahkan budaya adalah sesuatu yang cukup problematik dan menantang, khususnya apabila penerjemahan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
18 digilib.uns.ac.id
terjadi antara dua bahasa yang secara linguistik dan budaya berbeda. Strategi penerjemahan yang dapat digunakan untuk menerjemahkan budaya tersebut adalah dengan menggunakan prosedur komparatif, yaitu masalah-masalah di dalam penerjemahan terlebih dahulu dibahas dan dinalisis dari berbagai perspektif (semantik, pragmatik, studi budaya, sosiolinguistik, teori susastra, dsb). Kemudian, kedua Tsu dan teks terjemahan dideskripsikan secara kontekstual, semantik, komunikatif, dan estetik sebelum kedua teks tersebut dibandingkan dan dievaluasi. Langkah selanjutnya adalah membandingkan kedua teks tersebut untuk melihat apakah kedua teks tersebut sepadanan atau tidak. Strategi penerjemahan domesticating tidak cocok untuk menerjemahkan budaya, karena strategi ini mengarah pada hilangnya informasi sumber, penyimpangan fakta dan kebenaran, dan misrepresentasi nilai budaya. Penerjemahan budaya yang paling berhasil adalah dengan menggunakan strategi penerjemahan foreignizing, karena strategi ini membantu memelihara identitas Tsu dan menjaganya sedekat mungkin dengan teks aslinya. Foreignizing juga mampu memberikan informasi penting dan rinci di dalam memperkenalkan kepada pembaca sasaran mengenai budaya, masyarakat, dan sastra sumber. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penerjemahan memainkan peranan yang sangat penting di dalam representasi dan misrepresentasi budaya. Penelitian oleh Caixia Yang (2010) dengan judul Strategies of Transmitting English Cultural Elements into Chinese: Reflexion on E-C Literary Translation in China berusaha mengeksplorasi strategi unsur-unsur budaya bahasa Inggris ke dalam budaya Cina secara efektif melalui penerjemahan literer Inggriscommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
19 digilib.uns.ac.id
Cina. Penelitian tersebut didasari pemikiran bahwa di dalam konteks globalisasi kesadaran untuk saling memahami perbedaan budaya sangat penting dan bahwa penerjemahan susastra sebagai alat pengalihan informasi budaya memainkan peranan yang sangat diperlukan di dalam meningkatkan toleransi dan apresiasi terhadap suatu perbedaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang penerjemah seharusnya memiliki kepekaan dan memberikan perhatian yang lebih di dalam memetakan perbedaan budaya di dalam konteks budaya Inggris dan Cina, dan menyampaikan perbedaan-perbedaan tersebut baik yang kelihatan maupun tidak ke dalam teks yang diterjemahkan. Penerjemah harus mampu mengenali unsur-unsur budaya di dalam teks aslinya dan mentransfer informasi budaya dengan akurat dan tepat dengan menggunakan strategi-strategi yang paling memungkinkan. Strategi yang dapat digunakan untuk menerjemahkan budaya Inggris-Cina adalah dengan memasukkan informasi budaya yang relevan ke dalam teks yang diterjemahkan dan mengalihkannya secara alami, yaitu dengan ekspresi yang tidak kaku dan informasi yang tidak berlebihan dan menggunakan catatan kaki untuk mendapatkan hasil yang sepadan. Penelitian oleh Xu Minhui (2010) dengan judul On Scholar Translators in Literary Translation: A Case Study of Kinkley’s translation of “Biancheng” berusaha membahas lebih dalam hasil terjemahan novel melalui tiga perspektif, yaitu: posisi bahasa sumber dan bahasa sasaran (Cina dan Inggris), posisi penulis (Shen Congwen), dan posisi penerjemah (Jeffrey Kinkley). Penelitian ini mendasarkan analisis pada novel Biancheng karya Shen Congwen yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Border Town oleh Jeffrey Kinkley, seorang profesor di St. John’s University di Amerika. Di dalam menerjemahkan novel Biancheng, Kinkley berusaha menunjukkan sebanyak mungkin ekspresi unik atau khusus bahasa Cina yang ada di dalam teks sumber dengan cara memberikan penjelasan yang lengkap yang tersirat di dalam ekspresi tersebut. Kinkley juga memberikan banyak catatan kaki untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan sejarah dan budaya yang ada di dalam teks sumber. Strategi tersebut disebut dengan in-text explications dan out-text endnotes. Hasil penelitian oleh Minhui menunjukkan bahwa karya susastra Cina (Tsu) dan Inggris (Tsa) memiliki posisi yang berbeda. Karya susastra Cina memiliki posisi yang marjinal di bidang susastra dunia, sedangkan karya susastra Inggris memiliki kekuatan yang sangat dominan terhadap karya dari berbagai bahasa di seluruh dunia. Posisi yang berbeda tersebut memberikan hipotesis terhadap ketidaksepadanan struktur kedua bahasa dan menyiratkan bahwa terjemahan dari bahasa Cina ke dalam bahasa Inggris dilakukan berdasarkan norma yang mengatur penerjemahan dari bahasa yang terdominasi ke dalam bahasa yang mendominasi. Hasil lain adalah bahwa semakin tinggi latar belakang seorang penerjemah, maka hasil terjemahannya akan semakin berorientasi pada teks sumber dan sekali suatu teks dipilih untuk diterjemahkan, maka posisi penerjemah memiliki kekuatan yang sangat menentukan. Penelitian-penelitian di atas, sepanjang pengamatan peneliti, tidak meneliti penerjemahan novel secara holistik namun masih memiliki relevansi dengan penelitian di dalam disertasi ini. Penelitian yang dilakukan oleh Qusai Anwer commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
Aldebyan (2008) lebih menekankan pada analisis karya terjemahan novel (aspek objektif) saja, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Yang (2010) dan Minhui (2010) lebih menekankan pada aspek genetik, yaitu memberikan gambaran analisis hanya pada posisi seorang penerjemah dan strategi yang digunakan di dalam menerjemahkan novel. Untuk itu, diperlukan lagi penelitian yang lebih menyeluruh untuk melihat kualitas penerjemahan novel, yaitu penelitian novel yang diarahkan pada analisis karya terjemahan novel (aspek objektif), penerjemah novel (aspek genetik), dan pembaca novel (aspek afektif), sebagaimana yang dieksplorasi di dalam disertasi ini.
2.2 Landasan Teori Di dalam subbab ini diuraikan secara rinci mengenai teori-teori yang melandasi dan memberikan kerangka di dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut meliputi penerjemah, proses penerjemahan, makna dan gaya dalam penerjemahan, hakikat susastra, penerjemahan novel, teori polisistem, konsep norma, konsep kesepadanan, evaluasi kualitas terjemahan, parameter kualitas terjemahan, dan pendekatan kritik holistik.
2.2.1 Penerjemah Secara sederhana definisi penerjemah adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengalihkan pesan tertulis dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Dengan kata lain bahwa menerjemahkan melibatkan dua bahasa yang memungkinkan akan terjadi suatu alih kode. Namun menerjemahkan tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
hanya sekadar alih kode tetapi juga sebuah profesi yang memerlukan pendidikan dan pelatihan pada tingkat lanjutan. Di dalam penerjemahan susastra, penerjemah susastra adalah orang yang sangat memperhatikan terhadap penerjemahan teks-teks susastra (Kolawole, dkk, 2008:1). Seorang penerjemah susastra secara umum menerjemahkan suatu teks dengan tulisan yang indah dengan memperhatikan bahasa, bentuk, dan isi teks (Newmark: 1988:1). Penerjemah karya susastra berperan aktif dalam kegiatan kreatif penulis dan kemudian menciptakan struktur kalimat dan tanda dengan cara menyesuaikan teks dalam Bsa dengan teks dalam Bsu sedekat mungkin. Penerjemah perlu memikirkan dengan mendalam mengenai kualitas teks susastra yang diterjemahkan dan keberterimaannya dengan pembaca sasaran. Menurut Nababan (2004:31), seorang penerjemah yang menekuni pekerjaannya dapat digolongkan ke dalam penerjemah berdasarkan (1) keahlian, (2) proses pemahaman dan pemroduksian teks, (3) status profesi, dan (4) sifat pekerjaan sehari-hari penerjemah. Nababan (2004:31) menggolongkan penerjemah berdasarkan keahliannya menjadi lima tipe penerjemah, yaitu penerjemah pemula, penerjemah lanjutan, penerjemah kompeten, penerjemah mahir, dan penerjemah ahli. Penerjemah, dilihat dari sudut pandang cara mereka memahami dan menghasilkan teks, dapat dibagi menjadi associate translator, subordinated translator, compound translator dan coordinated translator. Keempat jenis penerjemah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Associate translator adalah penerjemah yang commit to menghubungkan user semata-mata menerjemahkan hanya dengan unsur-unsur leksikal
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
dari bahasa sumber ke unsur-unsur leksikal bahasa sasaran. Karena proses ini didasarkan sepenuhnya pada unsur-unsur kebahasaan dan tidak menghubungkannya dengan proses mental, maka jenis penerjemahan ini tidak merepresentasikan keseluruhan proses penerjemahan, (2) Subordinated translator yaitu penerjemah yang menerjemahkan dengan menghubungkan proses mental hanya dengan salah satu dari dua bahasa, proses yang dilibatkan di sini adalah menghubungkan unsur-unsur leksikal salah satu bahasa ke unsur-unsur leksikal bahasa yang lain dan kemudian menghubungkannya dengan proses mental, (3) Compound translator yaitu penerjemah yang menghubungkan unsur-unsur leksikal salah satu bahasa dengan repertoir tunggal proses mental dan darinya hubungan dengan unsur-unsur leksikal dengan bahasa lain dapat ditemukan, dan (4) Coordinated translator yaitu penerjemah yang menghubungkan unsur-unsur leksikal salah satu bahasa dengan repertoir proses mental yang dimiliki sendiri dengan proses mental khusus pada repertoir kedua yang pada akhirnya dihubungkan dengan unsur-unsur leksikal dari bahasa lain. Dengan kata lain bahwa masing-masing bahasa memiliki cara paham sendiri dan menghasilkan informasi sendiri-sendiri. Lebih lanjut berdasarkan pada cara pandang dan cara menghasilkan informasi ini maka penerjemah dibedakan ke dalam penerjemah pemula dan penerjemah ahli. Perbedaan antara penerjemah ahli dan pemula adalah bahwa (1) penerjemah ahli mempunyai keterampilan khusus kebahasaan, sementara penerjemah pemula tidak memiliki keterampilan tersebut, (2) penerjemah ahli digolongkan ke dalam penerjemah koordinat, sementara penerjemah pemula ke commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam golongan penerjemah kompaun dan subordinat, (3) penerjemah ahli dapat mengendalikan interferensi pada saat dia memahami dan menghasilkan informasi, sementara penerjemah pemula tidak, dan (4) penerjemah ahli cenderung mempertimbangkan penerjemahan pada tataran teks sedangkan penerjemah pemula cenderung pada tataran kata. Di lihat dari sudut pandang status profesinya, penerjemah digolongkan ke dalam penerjemah amatir, penerjemah semi-profesional, dan penerjemah profesional. Penerjemah amatir adalah penerjemah yang melakukan tugas penerjemahan sebagai hobi. Sebaliknya, penerjemah profesional adalah penerjemah yang menghasilkan terjemahan secara profesional dan menjadikan kegiatan terjemahan sebagai suatu profesi. Penerjemah semi-profesional adalah penerjemah yang melakukan tugas penerjemahan untuk memperoleh kesenangan diri atau hobi dan dampaknya akan mendapatkan imbalan dari hobinya tersebut. Berdasarkan sifat kerja sehari-hari mereka, penerjemah digolongkan menjadi penerjemah paruh waktu dan penerjemah penuh waktu. Penerjemah paruh waktu biasanya melakukan tugas penerjemahan sebagai pekerjaan tambahan. Sebaliknya, penerjemah penuh melakukan tugas penerjemahan demi uang. Pembagian ini menyiratkan bahwa penerjemah paruh waktu dapat disebut penerjemah semi-profesional sedangkan penerjemah penuh dapat disebut penerjemah profesional. Penggolongan penerjemah di dalam menekuni pekerjaan sebagaimana tersebut di atas digunakan peneliti sebagai acuan untuk menjelaskan kategori penerjemah di dalam penelitian ini dan hubungannya terhadap kualitas hasil terjemahan yang dihasilkan.
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.2.2 Proses Penerjemahan Penerjemahan secara umum dipahami sebagai pengalihan pesan dan gaya dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Untuk itu penerjemah paling tidak melakukan dua kegiatan, yaitu memahami makna bahasa sumber dan merekonstruksi makna yang telah dipahaminya itu ke dalam bahasa sasaran. Untuk memahami makna bahasa sumber, penerjemah tidak dapat hanya menerapkan pengetahuannya tentang kaidah-kaidah (grammar) bahasa sumber, tetapi ia juga harus mempertimbangkan konteks digunakannya bahasa sumber itu. Hal yang sama terjadi ketika ia harus merekonstruksikan makna yang telah dipahaminya dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Ia perlu menyesuaikan kalimat-kalimatnya dengan pembaca sasaran, materi yang diterjemahkan, tujuan penerjemahan, dan sebagainya. Sumarno (1997:13) mengatakan bahwa proses penerjemahan adalah langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada waktu dia melakukan penerjemahannya. Hal ini berarti bahwa sebelum menerjemahkan suatu teks, seorang penerjemah harus melakukan langkah-langkah penerjemahan. Langkah-langkah penerjemahan yang dimaksud adalah (1) menganalisis, (2) mentransfer, dan (3) merestrukturisasi. Proses penerjemahan yang didefinisikan oleh Sumarno di atas selaras dengan proses penerjemahan yang telah dinyatakan oleh Nida (1975:80) yang membagi proses penerjemahan menjadi tiga tahap atau langkah, yaitu: (1) analysis, (2) transfer, dan (3) restructuring, sebagaimana yang digambarkan di dalam bagan berikut:
commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Receptor language text
Source language text
Restructuring
Analysis
Transfer
Bagan 2.1 Proses Penerjemahan (Nida, 1975) Sementara itu, Nababan (2003:24-25) mengartikan proses penerjemahan sebagai (1) serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada saat dia mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran atau (2) suatu sistem kegiatan dalam aktivitas menerjemahkan. Dari definisi Nababan di atas dapat dilihat bahwa sebelum menerjemahkan, seorang penerjemah harus melakukan berbagai langkah atau tahap penerjemahan yang terangkai dalam suatu sistem di dalam menerjemahkan. Lebih lanjut, tahap-tahap menerjemahkan menurut Nababan (sebagaimana dikutip dari Suryawinata, 1989:80) terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) analisis teks bahasa sumber, (2) pengalihan pesan, dan commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(3) restrukturisasi. Ketiga tahap dalam proses penerjemahan itu digambarkan dalam bagan berikut:
PROSES BATIN Transfer
Analisis
Teks Bahasa Sumber
Isi Makna Pesan
Isi Makna Pesan
Restrukturisasi
Teks Bahasa Sasaran
Padanan
Pemahaman
Evaluasi dan Revisi
Bagan 2.2 Proses Penerjemahan (Nababan, 2003: 25)
Proses penerjemahan yang didefinisikan oleh Nababan di atas bila dicermati lebih lanjut memiliki kesamaan gagasan mengenai proses penerjemahan yang telah dinyatakan oleh Sumarno dan Nida dengan membagi proses penerjemahan menjadi tiga tahap atau langkah, yaitu: (1) analysis, (2) transfer, dan (3) restructuring. Lebih lanjut, Nababan menyatakan bahwa di dalam proses commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
analisis perlu apa yang disebut dengan pemahaman terhadap teks bahasa sumber, di dalam proses transfer selalu melibatkan apa yang disebut dengan proses batin, dan dalam proses batin perlu melakukan evaluasi dan revisi. Pada tahap analisis, sebelum seorang penerjemah menganalisis teks yang akan diterjemahkan, penerjemah selalu dihadapkan pada teks sumber (Tsu) terlebih dahulu (Sumarno, 2003:16; Nababan, 2003:24). Di dalam tahap analisis ini yang dapat dilakukan penerjemah adalah membaca dan memahami isi Tsu (Nababan, 2003:25-26). Kegiatan membaca Tsu dimaksudkan untuk memahami isi Tsu. Di dalam memahami isi teks tersebut diperlukan adanya pemahaman terhadap unsur linguistik dan ekstralinguistik yang terkandung di dalam Tsu. Unsur linguistik mengacu pada unsur kebahasaan dan unsur ekstralinguistik yang mengacu pada unsur yang berada di luar kebahasaan. Unsur ekstralinguistik ini terkait dengan sosio-budaya teks bahasa sumber yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bahasa itu. (Nababan, 2003: 26). Pernyataan Nababan di atas selaras dengan yang dinyatakan oleh Nord (1997) bahwa Tsu dapat dianalisis melalui faktor-faktor ekstratekstual dan intratekstual yang ada di dalam teks bahasa sumber tersebut. Dari sudutpandang ekstratekstual, faktor-faktor seperti waktu, tempat, pengirim, medium, dan motif dapat mempengaruhi pilihan kata. Dari sudutpandang intratekstual, analisis struktur kalimat mengarah pada informasi mengenai karakteristik pokok masalah, struktur kata, fitur-fitur suprasegmental, dan sintaksisnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
Sebagaimana diketahui, setiap bahasa memiliki bentuk dan makna. Bentuk bahasa, yang dalam bahasa tulis disebut teks, dapat berupa kata, frase, klausa, kalimat, atau wacana. Sementara itu, makna bahasa, yaitu apa yang terkandung di dalam bentuk bahasa, dapat berupa makna leksikal, makna gramatikal, makna tekstual, makna kontekstual, makna sosiokultural, dan makna implisit. Untuk memahami kalimat bahasa sumber, orang dituntut untuk memahami tidak saja makna masing-masing kata yang terdapat di dalam kalimat itu, melainkan juga hubungan dari masing-masing kata tersebut. Kadangkala suatu kalimat mengandung makna lebih dari sekadar makna harfiah, namun ada makna lain yang ingin diungkapkan selain yang tersurat. Untuk memahaminya, orang perlu mempertimbangkan konteks digunakannya kalimat tersebut. Pada tahap pengalihan (transfer), seorang penerjemah pada tahap ini harus mampu mencarikan padanan untuk semua kata, frase, klausa, kalimat, dan bahkan mencarikan padanan untuk seluruh wacana. Pencarian padanan ini terjadi di batin seorang penerjemah (Sumarno, 2003:17). Kata, frase, klausa, kalimat, dan bahkan seluruh wacana tersebut dicarikan padanannya dalam bahasa sasaran. Pencarian padanan tersebut tidak mudah karena kadang-kadang terdapat ungkapan-ungkapan yang sukar sekali dicarikan padanannya dalam bahasa sasaran, dan bahkan kadang-kadang terdapat makna yang sama sekali tidak dapat dicarikan padanannya dalam bahasa sasaran. Pada langkah transfer tersebut, penerjemah melakukan pemindahan makna teks yang diperoleh dari hasil analisis pada langkah pertama tersebut dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Di sini penerjemah di tuntut mencari dan commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menentukan padanan dalam bahasa sasaran pada setiap tingkatan atau unsur dalam bahasa sumber, mulai dari kata, frase, klausa, kalimat, hingga wacana. Mengingat tidak ada dua bahasa yang identik, penerjemah boleh jadi akan mengalami kesulitan pada fase ini. Kesulitan tersebut dapat berasal dari elemen internal bahasa atau dari elemen luar bahasa. Kesulitan internal berkaitan dengan sistem bahasa itu sendiri, seperti mencari padanan tenses. Kesulitan eksternal berkaitan dengan elemen-elemen di luar sistem bahasa, seperti kesulitan budaya. Di dalam tahap ini Nababan (2003: 27) juga menyampaikan hal yang senada dengan Sumarno bahwa setelah penerjemah dapat memahami makna dan struktur bahasa sumber, maka penerjemah akan dapat menangkap pesan yang terkandung di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah mengalihkan isi, makna, pesan yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Dalam tahap pengalihan pesan ini, penerjemah dituntut untuk menemukan padanan kata bahasa sumber dalam bahasa sasaran. Proses pengalihan isi, makna, dan pesan tersebut merupakan proses batin, proses yang berlangsung di dalam pikiran penerjemah. Pada tahap penyelarasan (restructuring), tahap ini sering pula di sebut dengan tahap penyelarasan (Sumarno, 2003: 17) yaitu setelah penerjemah menemukan semua padanan dalam bahasa sasaran, maka penerjemah harus menuangkan semua padanan tersebut ke dalam draft atau rencana terjemahan. Di dalam draft tersebut ungkapan-ungkapan di dalam bahasa sasaran masih bersifat sementara dan masih perlu perbaikan atau penyelarasan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
Lebih lanjut, Nababan (2003:28) menyatakan bahwa restrukturisasi atau penyelarasan adalah pengubahan proses pengalihan menjadi bentuk stilistik yang cocok dengan bahasa sasaran, pembaca, atau pendengar. Dengan demikian, pada tahap penyelarasan tersebut, seorang penerjemah perlu memperhatikan ragam bahasa untuk menentukan gaya bahasa yang sesuai dengan jenis teks yang diterjemahkan dan juga memperhatikan untuk siapa terjemahannya itu ditujukan. Di dalam proses ini apa yang disampaikan Nababan bahwa penerjemah perlu memperhatikan untuk siapa terjemahannya itu ditujukan mengacu pada terjemahan yang fungsional, yaitu bahwa penerjemah seharusnya tidak dikendalikan oleh fungsi dari Tsu tetapi dikendalikan oleh fungsi Tsa yang ingin dicapai di dalam budaya sasaran dengan fungsi Tsa yang ditentukan oleh penerimanya. Pada langkah restrukturisasi, penerjemah menyusun padanan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Restrukturisasi pesan tersebut dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah bahasa sasaran yang berterima sehingga pesan tersebut dapat dipahami secara wajar oleh pembaca sasaran. Apabila dimungkinkan, penerjemah diharapkan mampu memberikan nuansa terjemahannya sedemikian rupa sehingga pembaca tidak merasa bahwa pembaca sedang membaca karya terjemahan. Hal itu sesuai dengan apa yang telah diuraikan di atas bahwa penerjemahan tidak sekadar membuat pembaca sasaran memahami pesan tetapi juga memiliki respon yang relatif sama dengan pembaca bahasa sumber ketika mereka membaca teks bahasa sumber. Di sini penerjemah dituntut menyesuaikan kalimat-kalimatnya dengan konteks penggunaan bahasa. commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Proses penerjemahan yang telah diuraikan di atas, dijadikan sebagai referensi di dalam penelitian ini dalam mengungkapkan proses penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah dan hubungannya dengan kualitas terjemahan yang dihasilkan.
2.2.3 Makna dan Gaya dalam Penerjemahan Makna dan gaya merupakan aspek-aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam setiap kegiatan penerjemahan. Sebagaimana dinyatakan oleh Bell (1991:5) bahwa “translation is the expression in another language (or target language) of what has been expressed in another, source language, preserving semantic and stylistic equivalences”, hal ini berarti bahwa padanan makna dan gaya adalah sangat penting (preserving semantic and stylistic equivalences). Jadi, dalam penerjemahan seorang penerjemah tidak hanya mempertahankan makna saja tetapi juga harus mempertahankan gayanya. Makna dan gaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam penerjemahan (Siad Shiyab, 2003:5). Penerjemahan atau pencarian padanan makna tanpa penerjemahan gaya yang sesuai, hasil terjemahan akan menjadi tidak lengkap dan tidak efisien. Makna adalah substansi yang dikomunikasikan ke pembaca terjemahan, sedangkan gaya adalah cara bagaimana mengkomunikasikan makna tersebut ke pembaca terjemahan. Sebagaimana dinyatakan di dalam website Read Me First Network (2003) bahwa “ … style is fundamental to literary writing and understanding it is essential. If content is commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
what to communicate, then style is how we communicate that content, that is, the form of the work”. Dengan demikian apabila makna suatu teks dalam bahasa sumber menggunakan gaya ilmiah, maka terjemahannya juga menggunakan gaya ilmiah. Begitu juga bila makna teks bahasa sumber menggunakan gaya susastra, maka terjemahannya juga menggunakan gaya susastra. Makna merupakan sesuatu hal yang utama dalam kegiatan penerjemahan. Tidak akan ada kegiatan penerjemahan jika tidak ada makna yang harus dialihkan. Dalam kegiatan penerjemahan, seorang penerjemah harus mampu mencari padanan makna dalam bahasa sasaran (Bsa) yang sedekat-dekatnya sama dengan makna yang ada dalam bahasa sumber (Bsu). Soemarno (1999:1) menjelaskan bahwa seorang penerjemah yang baik harus mampu menganalisis suatu wacana atau teks untuk mendapatkan makna yang tepat dalam tataran leksikal, frase, kalimat, dan bahkan makna dari seluruh wacana itu kemudian mengalihkannya ke dalam bahasa sasaran.
2.2.3.1. Definisi Meaning, Denotation, Reference, dan Sense Kajian mengenai makna ini termasuk dalam ranah semantik. Dalam studi semantik, istilah makna bermacam-macam, yakni meaning, sense, denotation/ designation, dan reference (Edi Subroto, 1999:1). Menurut Edi Subroto, yang dimaksud dengan meaning (diterjemahkan menjadi arti) adalah bentuk pengetahuan kognitif yang terdapat di dalam bahasa, yang terdapat dan distrukturkan di dalam dan oleh sistem bahasa, yang dipahami lebih kurang sama commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh para penutur dalam kegiatan berkomunikasi secara umum dan wajar. Hal tersebut berarti bahwa arti itu dipahami oleh pengguna bahasa secara empirik berdasarkan kemampuan kognitifnya sejak mulai belajar dan menguasai bahasa. Dengan penguasaan arti secara empirik dan kognitif itu, seorang penutur mampu melakukan pembahasaan atau simbolisasi secara verbal akan sebuah referent yang ada disekitarnya. Sejumlah referent yang secara faktual barangkali berbeda-beda, namun memiliki sejumlah ciri konseptual yang sama akan dibahasakan dengan unit leksikal yang sama. Sebagai contoh, sebuah unit leksikal dengan nama ‘kursi’, meskipun secara empirik ditangkap adanya sejumlah benda yang disebut kursi yang memiliki ciri-ciri konseptual yang berbeda-beda baik dalam hal bahannya, wujudnya, jumlah kakinya, namun secara bersama dapat disimbolkan dengan unit leksikal yaitu ‘kursi’. Kemudian yang dimaksud dengan designation (designasi) atau denotation (denotasi) adalah bagian dari arti yang ditentukan oleh sistem bahasa dan tidak bergantung pada situasi yang khas dari sebuah tuturan. Designasi atau denotasi ini mempunyai maksud yang serupa dengan istilah meaning di atas. Menurut Lyons (1995:79) bahwa denotasi atau designasi ini memiliki kesamaan dengan meaning, yaitu bahwa denotasi dari suatu leksem atau kalimat bersifat invarian dan tidak tergantung pada tuturan, sebagaimana dinyatakan berikut:”…that the denotation of an expression is invariant utterance-independent: it is part of the meaning which the expression has in the language-system, independently of its use on particular occasions of utterance.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
Sementara itu, yang dimaksud dengan reference (referensi) adalah bagian dari arti yang bergantung pada situasi pemakaiannya dan bergantung pada wujud tuturannya. Dalam arti bahwa referensi adalah suatu bentuk penunjukan dalam kegiatan berbahasa yang nyata, yang bersifat tertentu, dan bergantung pada konteks. Misalnya, ‘kursi’ dan ‘kursi itu’ mengandung maksud yang berbeda. Yang pertama berkaitan dengan konsep denotasi, yaitu mengacu pada golongan entity (maujud) yang dipersepsikan sama sebagai kursi, dan sebaliknya, ‘kursi itu’ termasuk proses referensi karena hanya menunjuk pada ‘kursi’ tertentu saja. Hal berikutnya adalah sense. Edi Subroto memadankan istilah sense ini dengan makna, yaitu arti sebuah butir leksikal atau sebuah tuturan kalimat berdasarkan konteks pemakaian, situasi yang melatarinya, dan intonasinya. Menurut Allan (1986: 68) yang dimaksud dengan sense adalah makna sebuah unit leksikal atau tuturan sebuah kalimat dalam pemakaian yang konkret dalam situasi tertentu. Tuturan sebuah kalimat itu terikat oleh latar pembicaraan, lingkungan tekstual, dan dunia nyata yang dituturkan. Makna sebuah unit leksikal ini biasanya ditunjukkan di dalam sebuah kamus. Dengan demikian, kalau arti (sebagai padanan meaning) itu bersifat dasar, maka makna itu sudah bersifat spesifik karena dirambu-rambui oleh struktur, oleh konteks pemakaian, oleh intonasi, dan oleh latar yang melingkupinya. Misalnya kata baru. Untuk mengetahui makna baru ini harus dikaji kemungkinannya berkombinasi atau disubstitusi dengan leksem-leksem lain, misalnya lama, usang, tua, dan sebagainya. Sementara itu, Lyons (1995:124) menyatakan bahwa sense hanya dapat diterangkan dalam konteks hubungan makna antara leksem yang satu dengan commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
leksem yang lain, atau antara ekspresi yang satu dengan ekspresi yang lain di dalam sistem bahasa yang sama. Berkaitan dengan itu, Lyons menggunakan konsep hubungan kombinatorial dan substitusional untuk menentukan makna sebuah leksem. Hubungan tersebut sering disebut dengan hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik. Hubungan sintakmatik merupakan hubungan linier antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu; misal hubungan antara saya, bermain, dan kelereng dalam kalimat: Saya bermain kelereng. Hubungan itu dikatakan hubungan in praesentia. Di dalam pola kalimat bahasa Indonesia, pola sintakmatik tersebut dapat dilihat di dalam bagan sebagai berikut:
S Saya
P
O
Bermain
Kelereng
Bagan 2.3 Hubungan Sintakmatik
Sementara itu, hubungan paradigmatik merupakan hubungan antara unsurunsur bahasa dalam tataran tertentu dengan unsur-unsur lain di luar tataran itu yang dapat dipertukarkan; misal dalam kalimat saya bermain kelereng. Antara saya dan dia, mereka, Tuan Kate, dapat dipertukarkan. Hubungan antara unsur-unsur itu commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikatakan hubungan in absentia. Hubungan pertukaran tersebut dapat dilihat di dalam bagan sebagai berikut:
S
P
Saya
Saya Pak Udin Mereka Menteri Tuan Kate
Bermain Menendang Menanam Bermain Memberikan Menjual
O Kelereng
Bola Jagung Kartu Hadiah Ikan Hias
Bagan 2.4 Hubungan Paradigmatik
Dengan melihat pada pendefinisian di atas, nampak bahwa yang dapat dialihbahasakan dalam penerjemahan terutama adalah sense atau maknanya. Dengan kata lain, sense atau makna memiliki peran yang penting di dalam penerjemahan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
2.2.3.2 Makna Literal dan Makna Figuratif Pengertian makna literal dan makna figuratif pada dasarnya mengarah pada pembedaan di dalam sistem kebahasaan untuk menganalisis makna suatu bahasa. Contoh dari pembedaan makna di atas dapat dilihat di dalam kalimat berikut: The ground is thirsty. Kalimat ini memiliki makna berkias. Kata ground sendiri memiliki makna literal, namun kata ground atau tanah dapat dipahami bahwa ground itu tidaklah hidup, oleh karenanya ground tidak memerlukan minuman atau merasakan haus. Pembaca kalimat tersebut akan secara langsung menolak suatu interpretasi literal dan secara pasti akan menginterpretasikan bahwa kata-kata tersebut yang dimaksud adalah The ground is dry, suatu analogi yang mengarah pada kondisi yang menimbulkan rasa haus pada manusia atau binatang. Begitu pula di dalam contoh kalimat yang diucapkan sebagai berikut: “It’s raining cats and dogs”. Kalimat ini memiliki makna literal pada masingmasing katanya, namun bagi pendengar akan secara langsung menolak interpretasi literal tersebut karena dirasakan tidak sesuai, namun pendengar akan memilih interpretasi figuratif dari tuturan tersebut, yang dibantu oleh suatu konteks, bahwa yang dimaksud di dalam tuturan tersebut adalah kondisi atau keadaan hujan deras. Menurut Motsch & Pasch (1987:35), makna harfiah ialah makna ujaran yang konteks ujarannya tidak membawa kepada penafsiran semula terhadap makna tertentu dari segi tatabahasa bagi kata atau ungkapan itu. Disini juga makna harfiah itu berada pada suatu konteks namun tidak dipengaruhi oleh konteks tersebut. Sementara itu, Searle (1979: 132) membuat perbedaan antara makna penutur, makna kalimat, dan makna harfiah. Menurut Searle, makna commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
harfiah berada dalam domain makna kalimat dan makna penutur bergantung pada makna kalimat. Searle mengungkapkan bahwa makna harfiah berada pada suatu konteks. Menurut Israel (2004:1), makna literal merupakan makna lugas dan termasuk ke dalam jenis makna yang paling sederhana, yang bersifat langsung, harfiah, dan menerapkan aturan tatabahasa sewajarnya (ordinary rules of grammar), dalam arti bahwa makna leksikal tersebut tidak memerlukan penambahan imajinasi, inferensi, maupun gaya bahasa. Makna literal tersebut terletak di dalam kata itu sendiri. Sementara itu, Turner (1991:147) memberikan konsep pemahaman makna literal di dalam hubungan antara bahasa, pemikiran, dan realitas. Menurut Turner, makna leksikal mengabaikan peranan imajinasi di dalam konstruksi makna keseharian, berhubungan dengan suatu kebenaran dan pemikiran di satu sisi, dan bertentangan dengan kebohongan dan khayalan di sisi yang lain, sebagaimana yang dinyatakan sebagai berikut: The real world is exhaustively literal: literal language refers to it; literal concepts mirror the literal world; literal language evokes literal concepts... Separate from all this, so the folk theory runs, there are mental imaginative connections that are false; they are expressed in figurative, non-literal language or literally false language; we must transform the meaning of this language in order to arrive at interpretations of it that can be literal and true. Makna leksikal tersebut tidak secara tiba-tiba berdiri sendiri, namun keberadaannya tetap di dalam suatu kalimat atau paragraf, namun memiliki makna yang terbebas dari konteks atau tidak dipengaruhi oleh suatu konteks. Di dalam suatu tuturan yang panjang, misalnya di dalam sebuah novel, makna literal mungkin berupa suatu cerita narasi biasa saja, yang terbebas atau tidak memiliki commit to simbolik user asosiasi moral, politik, estetik, atau asosiasi lain yang ingin disampaikan.
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Saeed (2000:15-17) menyatakan bahwa perbedaan antara makna literal dan makna figuratif dapat dilihat di dalam penggunaan bahasa yang literal dan non-literal. Penggunaan bahasa yang literal mengarah pada suatu keadaan, yaitu pembicara yang mengungkapkan tuturan secara netral dan secara faktual tepat, sedangkan penggunaan bahasa yang non-literal mengacu pada suatu keadaan, yaitu pembicara secara berlebih-lebihan menggambarkan sesuatu dengan istilahistilah atau kata-kata yang tidak benar (untrue) dan tidak mungkin (impossible) yang tujuannya untuk mendapatkan efek khusus. Lebih lanjut, Saeed memberikan contoh sebagai berikut: a. I’m hungry. b. I’m starving. c. I could eat a horse. Di dalam contoh tersebut, bahwa pada kondisi atau keadaan lapar, pembicara mungkin secara literal akan mengungkapkan tuturan sebagaimana poin a, atau juga secara non-literal seperti pada poin b dan c. Di sini nampak bahwa di dalam penggunaan bahasa non-literal, pembicara menggeser makna suatu kata untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi yang baru. Pergeseran atau penyimpangan bentuk ungkapan bahasa ini, menurut Gorys Keraf (2002:113) disebut dengan gaya bahasa (figures of speech), yaitu cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pengguna bahasa. Pemakaian dengan cara yang khas tersebut ditandai oleh adanya penyimpangan dari pemakaian bahasa lumrah. commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penggunaan gaya bahasa sering terjadi di dalam dunia sastra sebab katakata harfiah memiliki keterbatasan. Dengan mengandalkan makna harfiah semata dalam mendeskripsikan suatu objek atau ide, seorang pengarang akan menemui halangan. Dengan gaya bahasa seorang pengarang dapat memperkaya makna sehingga pengarang dapat menyampaikan pesan yang diinginkan secara lebih leluasa. Sementara itu, menurut Ratna (2009:164) figures of speech disebut juga dengan majas, yaitu pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. Menurut Ratna, secara umum majas dibedakan menjadi empat macam, yaitu: a) majas penegasan, b) perbandingan, c) pertentangan, d) dan majas sindiran. Beberapa jenis majas dibedakan lagi menjadi subjenis lain sesuai dengan cirinya masing-masing. Secara tradisional bentuk-bentuk tersebut disebut dengan gaya bahasa. Namun demikian, di dalam perkembangan kontemporer, majas hanyalah bagian kecil dari gaya bahasa. Majas dengan demikian merupakan penunjang, unsur-unsur yang berfungsi untuk melengkapi gaya bahasa. Dengan kalimat lain, gaya bahasa jauh lebih luas daripada majas. Pada saat menganalis sebuah karya sastra, tidak terhitung jenis gaya bahasa yang timbul yang harus dibicarakan, seperti panjang pendeknya kalimat, tingkatan bahasa tinggi dan rendah, penggunaan kata-kata serapan, penggunaan kosakata daerah, dan sebagainya. Gaya bahasa juga meliputi cara-cara penyusunan struktur intrinsik secara keseluruhan, seperti: plot, tokoh, kejadian, dan sudut pandang. Tidak ada suatu pemahaman apa pun tanpa adanya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
42 digilib.uns.ac.id
cara-cara tertentu yang berbeda. Demikian juga tidak ada karya sastra tertentu tanpa gaya bahasa tertentu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum dapat dipahami bahwa makna leksikal atau sering disebut dengan makna harfiah adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, makna apa adanya, atau makna kalimat yang bebas dari konteks yang melatarinya, sedangkan makna figuratif atau makna kiasan adalah makna bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Makna figuratif ini merujuk pada kata atau kelompok kata yang dilebih-lebihkan atau diubah makna sebenarnya yang dibantu oleh suatu konteks. Makna figuratif ini dapat berupa suatu metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdot, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, ataupun paradoks.
2.2.3.3 Jenis-jenis Makna dalam Penerjemahan Sebagaimana dinyatakan di dalam subbab 2.2.3.1 mengenai definisi meaning, denotation, reference, dan sense bahwa di dalam penerjemahan yang dapat dialihbahasakan adalah sense atau makna. Oleh karena itu, makna atau sense ini memegang peranan penting di dalam penerjemahan. Lebih lanjut, makna dalam penerjemahan tidak hanya bisa dirunut dari kata per kata secara individual, tetapi makna dalam penerjemahan harus dilihat dari rangkaian antarkata yang saling berkaitan secara utuh yang terbungkus dalam suatu prosodi atau dengan situasi tempat kata-kata itu digunakan (Soemarno, 1999:2). Dengan kata lain commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
bahwa makna yang dibahas di dalam penerjemahan adalah makna-makna yang langsung berhubungan dengan makna yang terdapat dalam teks. Di dalam praktek menerjemahkan, perhatian seorang penerjemah terfokus tidak hanya pada pengalihan makna suatu kata, namun meluas ke masalah pengalihan pesan atau message (Nababan, 2003: 48). Pesan merupakan keseluruhan makna atau isi suatu wacana yang hendak disampaikan oleh penulis atau pembicara untuk dimengerti dan diterima oleh pembaca atau pendengar. Jadi, pesan terdiri dari serangkaian kata atau lambang yang mempunyai makna, yang kemudian dituturkan atau dituliskan untuk menyampaikan informasi kepada pembaca atau pendengar. Misalnya, belajar adalah suatu kata. Kata belajar itu mempunyai arti tetapi belum dapat dikatakan sebagai suatu pesan karena informasi yang ada pada kata tersebut belum lengkap. Namun, kata belajar tersebut akan memiliki pesan apabila dituliskan dengan rangkaian kalimat Naura dan Najwa belajar membuat kue pastel kemarin. Rangkaian kata tersebut mengandung pesan karena disusun secara logis dan memiliki informasi yang cukup lengkap untuk diterima oleh pembaca.
a) Makna Leksikal Makna leksikal adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem di dalam suatu teks yang bersifat tetap. Makna tersebut dapat berupa makna literer maupun makna non-literer (Saeed, 2000: 15-17). Di dalam proses penerjemahan, penerjemah bisa mencari padanan makna yang mempunyai ciri-ciri fisik yang sama dalam bahasa sasaran. Tetapi dalam penerjemahan seringkali para commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penerjemah mendapat kesulitan untuk menemukan padanan yang betul-betul sama persis. Hal ini disebabkan karena makna dalam suatu bahasa yang selalu mengikuti perkembangan budaya suatu bangsa. Dalam kaitannya dengan penerjemahan, Soemarno (1999:3) mengelompokkan kata-kata bermakna leksikal ke dalam tiga kelompok utama, yaitu: (1) kata-kata dalam Bsu yang dengan mudah dapat dicari padanannya dalam Bsa, misalnya kata-kata seperti radio = radio, computer = computer, book = buku, gold = emas, dan sebagainya, (2) kata-kata bermakna leksikal Bsu yang mempunyai padanan dalam Bsa, tetapi makna itu sebenarnya sudah sedikit berbeda, baik dari segi fisik maupun konsepnya, namun kedua makna leksikal tersebut (dalam Bsu dan Bsa) masih dianggap padanan, sehingga penerjemah masih bisa menggunakannya sebagai padanan dalam penerjemahan, misalnya kata ‘rich’ (Ing) dan ‘kaya’ (Ind). Kata itu masih bisa digunakan sebagai padanan walaupun ukuran ‘kaya’ antara negara satu dengan lainnya berbeda-beda, (3) katakata dalam Bsu yang sulit dicari padanannya dalam Bsa, bahkan ada kata-kata tertentu yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam Bsa (untranslatable), dan ketakterjemahan ini bisa dilihat dari faktor linguistik maupun kultural. Misalnya kata ‘thanksgiving’ dalam bahasa Inggris sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, sebaliknya kata ‘permisi’ (yang diucapkan sewaktu seseorang yang akan meninggalkan rumah) sulit dicari padanannya dalam bahasa Inggris, karena kebiasaan itu tidak ada dalam bahasa Inggris.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
b) Makna Situasional atau Kontekstual Setiap kata dalam suatu bahasa sering sekali mempunyai makna lebih dari satu. Makna apa yang ada dalam satu kata itu sangat dipengaruhi oleh konteks di mana kata itu digunakan dalam proses komunikasi. Makna suatu kata akan mempunyai arti sebanyak situasi atau konteks yang menyertainya (Soemarno,1999:5). Dengan demikian kemampuan penerjemah dalam memahami situasi di mana kata itu digunakan menjadi sangat penting, sehingga ia mampu menemukan padanan makna yang sesuai dalam bahasa sasaran. Konteks sering kali terikat oleh tempat dan juga waktu yang menyertainya. Sebagaimana contoh berikut: a. The prisoner thought that the policeman would not have the heart to fine him. b. The rescue team hopes that the weather will be fine soon. c. Do you think the victims of the earthquake will be fine soon. Fine pada ketiga kalimat tersebut tampaknya tidak mempunyai makna yang benar-benar sama, walaupun bentuk kata tersebut benar-benar sama. Makna kata fine dalam masing-masing kalimat tersebut sudah sangat dipengaruhi oleh konteks di mana kalimat tersebut digunakan. Pada kalimat 1, fine berhubungan dengan konteks hukum yang berarti ‘mendenda’. Hal ini berbeda dengan kalimat 2, fine berarti ‘cerah’ karena berkaitan dengan kontek cuaca, sedangkan kalimat 3, fine berarti ‘sehat’ karena berkaitan dengan kesehatan.
c) Makna Tekstual Makna tekstual adalah makna yang berkaitan erat dengan suatu teks atau commit to user wacana (Soemarno,1999:6). Kadang-kadang suatu bentuk kata yang sama akan
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
mempunyai makna yang berbeda apabila kata itu digunakan dalam wacana yang membicarakan bidang kajian yang berbeda. Misalnya kata morfologi yang digunakan di dalam wacana biologi akan berbeda maknanya dengan morfologi yang digunakan di dalam wacana linguistik. Makna instrumen dalam wacana penelitian berbeda dengan instrumen dalam wacana musik. Perbedaan makna itu dikarenakan adanya perbedaan konteks. Sebenarnya makna tekstual masih ada kaitannya dengan makna kontekstual. Bedanya adalah kalau makna kontekstual hanya sekadar dipengaruhi oleh satu atau dua kalimat saja, sedangkan makna tekstual sangat dipengaruhi oleh seluruh wacana yang menjadi latar belakang di mana kata itu digunakan. Kedua pengertian ini masih sering dicampuradukkan oleh beberapa kalangan, karena kedua hal tersebut dianggap suatu hal yang sama.
d) Makna Sosiokultural Makna suatu bahasa sangat berkaitan erat dengan situasi sosiokultural di mana bahasa itu digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat (Soemarno,1999:7). Kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya sebagai pengguna bahasa tentu saja mempunyai istilah-istilah budaya yang bersifat unik yang kadang-kadang tidak dapat ditemukan padanannya dalam bahasa yang lain. Makna sosiokultural seringkali dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat sebagai pengguna bahasa itu. Makna ini, selain sering ditemukan dalam bentuk kata-kata istilah budaya, seperti thanksgiving, labamba, mitoni, dan sebagainya, sering juga ditemukan dalam ungkapan-ungkapan idiomatik yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
tidak dapat dijelaskan maknanya dari kata-kata yang membentuk ungkapan itu, seperti miss the boat, feel like a million buck, black sheep dan sebagainya. Seorang penerjemah harus peka terhadap kata-kata yang erat kaitannya dengan istilah-istilah sosiokultural itu. Penerjemah harus mampu mengidentifikasi apakah istilah-istilah itu ada kemiripan atau padanannya dalam bahasa sasaran atau tidak, sehingga penerjemah dapat menentukan apa yang harus diperbuat ketika mengalihkan makna yang berkaitan dengan sosial budaya suatu masyarakat tertentu.
e) Makna Implisit Makna implisit adalah makna yang tidak diungkapkan secara nyata atau tertulis oleh penulis atau pembicara karena pembaca atau lawan bicara/pendengar sebagai interlocutor (teman bicara) telah memahami maksud dari tulisan atau pembicaraan itu (Soemarno, 1999:8). Di dalam bahasa pragmatik penutur tidak mengungkapkannya melalui eksplikatur, tetapi melalui implikatur. Istilah implikatur ini diciptakan oleh Grice (1975), yang semula membedakan makna ujaran menjadi dua, yakni makna natural dan makna non-natural. Makna natural adalah makna yang muncul bila ujaran yang sama muncul. Jadi makna natural suatu ujaran selalu sama. Makna non-natural adalah makna yang berubah-ubah tergantung pada konteks percakapannya. Makna non-natural inilah yang kemudian menjurus ke apa yang disebut oleh Grice sebagai implikatur, yaitu yang mengacu ke makna yang tersirat: yang tidak dikatakan oleh penutur, tetapi dikomunikasikan juga. Dengan commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
implikatur, petutur menerka-nerka yang mana sebenarnya yang dimaksud oleh penutur. Makna implisit sering kali tersembunyi di balik gramatika bahasa, intonasi bahasa, dan juga tersembunyi dalam ungkapan-ungkapan yang bersifat kiasan. Agar mampu memahami makna yang ada dibalik gramatika bahasa itu, penerjemah harus paham mengenai sistem yang ada pada bahasa tersebut. Untuk menghindari kesalahpahaman pembaca hasil terjemahan, penerjemah boleh saja mengalihkan makna yang implisit itu menjadi eksplisit sehingga pembaca terjemahan tidak mengalami salah persepsi. Sebagai contoh dapat diamati dialog berikut: i. :What are you eating? ii. :Bread Dalam menjawab pertanyaan di atas, B tidak perlu mengucapkan kata-kata ‘I am eating’ karena B menganggap bahwa A pasti mengetahui apa isi kata-kata yang tidak diucapkan itu. Bagian makna yang tidak diucapkan itu disebut makna implisit.
2.2.3.4 Gaya Konsep gaya (style) menurut Leech and Short (1981:10) adalah suatu sistem pilihan penggunaan bahasa. Secara lebih khusus Leech and Short menjelaskan bahwa gaya merupakan sistem pilihan penggunaan bahasa secara individu yang dilakukan oleh penulis dan gaya tidak digunakan sebagai suatu commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sistem pemakaian bahasa yang melibatkan tingkat sosial suatu kelompok, yaitu pemakaian bentuk bahasa yang berhubungan dengan situasi sosial tertentu. Clifford (2001: 90) mendefinisikan gaya sebagai berikut: “Style can be defined as a characteristic mode of expression, and consciously or unconsciously the translator displays one. In this respect, style is inextricably intertwined with one’s idiolect, the way an individual normally speaks”. Definisi ini selaras dengan yang dinyatakan Wales dalam kamusnya Dictionary of Stylistics (2001:371) bahwa gaya pada dasarnya merupakan manner of expression dari seorang penulis atau consistent way of such choosing yang dilakukan secara nyata oleh penulis (Sandell, 1977:15). Sementara itu di dalam kamus bahasa Inggris Encarta (2004) disebutkan bahwa gaya merupakan way of writing or performing, yaitu cara bagaimana suatu kata atau kalimat ditulis atau diucapkan yang secara nyata dibedakan dengan kandungan atau isi tulisan atau ucapan. Lebih lanjut, Lynch (2001) memberikan konsep gaya yang lebih luas bahwa gaya berarti sesuatu mengenai cara bagaimana kita menyajikan sesuatu dalam bentuk tulisan yang membedakan tulisan yang baik dengan tulisan yang jelek. Di sini jelas bahwa gaya digunakan sebagai suatu istilah yang menekankan pada bentuk atau format dan membedakannya dengan isi tulisan. Dengan kata lain, bahwa gaya adalah bagaimana (how) cara menyajikan atau mengkomunikasikan sesuatu sedangkan isi atau makna mengacu pada apa (what) yang disajikan atau dikomunikasikan. Gaya juga merupakan jembatan individu yang membedakan seorang penulis yang baik dengan penulis biasa (Chandler, 2004:1).
commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Di dalam karya susastra, gaya adalah penggunaan bahasa yang dilakukan oleh pengarang yang berbeda dengan penggunaan bahasa secara umum (Toolan, 1990: 3). Gaya merupakan pilihan kata atau frase dari pengarang dan bagaimana pengarang tersebut menyusun kata-kata dan frase tersebut di dalam kalimat dan paragraf. Misalnya, seorang penulis mungkin menggunakan kata-kata sederhana dan kalimat langsung, sementara penulis yang lain mungkin menggunakan kosakata yang sulit dan mengelaborasi struktur kalimatnya (Encarta, 2004). Lebih jauh, gaya dalam karya susastra tidak dapat dipisahkan dengan makna atau pesan yang ada di dalam karya tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Saad (2003:6) bahwa karya susastra, misalnya puisi atau prosa tidak dapat menyampaikan pesan yang terpisah dengan bentuknya, keduanya baik pesan dan bentuk harus seiring sejalan. Enkvist (1964:15) menyatakan bahwa gaya adalah suatu efek emosi tertentu di dalam karya susastra yang dicapai melalui penggunaan unsur bahasa. Penggunaan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan menggunakan bahasa yang rapi, indah, yang biasa saja, ataupun dengan menggunakan bahasa yang buruk. Dengan kata lain, penggunaan unsur bahasa yang berbeda-beda tersebut dilakukan dengan menggunakan kosakata denotatif maupun konotatif untuk menimbulkan suatu efek keindahan. Sementara itu, Junus (1989: 101) menyatakan bahwa gaya tidak bisa dilepaskan dari makna, karena gaya berhubungan dengan proses pemaknaan (signification process). Oleh karena itu, apabila berhadapan dengan sebuah teks atau wacana, maka kita dapat commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan interpretasi terhadap penggunaan gaya tersebut. Dengan kata lain, gaya adalah sesuatu yang dapat diinterpretasikan. Gaya di dalam penerjemahan karya susastra merupakan potret dari wajah si pengarang. Gaya seorang pengarang menentukan pilihan katanya dan penerjemah menjadi seorang mediator yang harus memberikan berbagai pilihan padanan. Jadi, pilihan kata yang menurut pengarang benar juga akan menjadi benar menurut penerjemah. Di dalam menerjemahkan karya susastra, memahami fitur-fitur kebahasaan sangatlah penting, dan penerjemah seharusnya memiliki kemampuan mengapresiasi dan menganalisis unsur seni dan pencitraan yang disajikan. Penguasaan bahasa asing saja tidaklah mencukupi, namun penguasaan bahasa asing ini penting sebagai landasan atau dasar yang baik untuk menerjemahkan. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa salah satu faktor penting di dalam menerjemahkan karya susastra adalah kealamian karya tersebut dan penggunaan sifat-sifat kebahasaan di dalam susastra tersebut. Bahasa susastra melibatkan serangkaian fitur-fitur kebahasaan tertentu dan cara bagaimana fitur-fitur kebahasaan tersebut digunakan. Memahami karya susastra berarti melibatkan pemahaman dan penganalisisan fitur-fitur bahasa susastra tersebut. Oleh karena itu, memahami karya susastra merupakan syarat mutlak dalam menerjemahkan karya susastra, sebagaimana dinyatakan oleh Said Shiyab and M. Stuart Lynch (2003:4) berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
What translators need, in this respect, is not only to analyze words and concepts, but to create the artistic representations that affect the audience. The audience through the poetic images and the artistic representations conveyed in the original text and manifested in the translation must feel such ‘art’. In this respect, translating a text means creating a work of art in another language, this kind of work requiring the translator to be sensitive and imaginatively creative. The study of style, therefore, is the most fundamental issue in the translation of literary texts, playing an important role in literary translation, particularly the work that embodies such artistic devices as metaphor, symbolism, and even repetition.
Duff ( 1981: 7) menyatakan bahwa di dalam menerjemahkan, penerjemah harus mempertimbangkan, misalnya, untuk siapa karya atau terjemahannya itu diperuntukkan dan bagaimana tingkat kemampuan khusus para pembaca. Itu berarti dia harus menentukan ragam bahasa terjemahannya dan mempertahankan ragam bahasa itu secara ajeg. Bila kita cermati pendapat Duff ini, maka seorang penerjemah harus menentukan ragam bahasa terjemahan sesuai dengan jenis teks yang sedang diterjemahkan. Jika penerjemah menerjemahkan suatu teks ilmiah, dia harus menggunakan ragam bahasa ilmu dalam terjemahannya. Hal sama berlaku juga dalam penerjemahan karya susastra. Jika penerjemah menerjemahkan sebuah prosa, maka penerjemah harus memunculkan gaya prosa tersebut dalam terjemahannya. Dengan kata lain bahwa gaya bahasa prosa tersebut tidak seharusnya diubah menjadi gaya bahasa puisi atau bahkan gaya bahasa ilmiah. Di dalam mempertahankan gaya, di samping tentunya kesetiaan pada isi pesan, maka pemunculan gaya perlu dipertimbangkan secara tepat. Penerjemah harus tahu kepada siapa terjemahannya diperuntukkan dan bagaimana tingkat kemampuan khusus para pembacanya. Hal ini perlu karena kemampuan seorang to yang user belum ahli dalam memahami isi ahli akan berbeda dari kemampuancommit seorang
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
teks terjemahan yang ada kaitannya dengan bidang ilmu yang mereka geluti. Apabila terjemahannya itu ditujukan kepada para pembaca yang bukan ahli dalam disiplin ilmu yang diterjemahkan, penerjemah perlu menyederhanakan kalimat terjemahan yang berkonstruksi rumit tanpa mengaburkan atau menghilangkan pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber. Kata-kata yang masih asing bagi mereka perlu dicarikan padanannya dalam bahasa sasaran yang memungkinkan pembaca dapat memahami konsep yang terkandung dalam katakata tersebut. Sebaliknya, pembaca yang profesional tidak begitu mengalami kesulitan dalam memahami suatu isi teks terjemahan yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang kompleks dan dengan istilah-istilah yang rumit dan konseptual. Juga, dimungkinkan sekali bahwa dalam suatu naskah bahasa sumber tidak hanya terdapat satu jenis ragam atau gaya saja tetapi lebih dari satu gaya, maka penerjemah juga harus mengenalinya dan menggunakan gaya-gaya yang digunakan oleh penulis naskah. Oleh karena itu, gaya menunjukkan keakuratan dan kewajaran penerjemahan karena salah satu alasan pilihan kata penerjemah adalah memberikan gaya yang sedekat mungkin dengan gaya dalam Tsu. Gaya dapat diukur secara kuantitatif dengan cara menentukan frekuensi unsur-unsur gaya tersebut (Leech and Short, 1981:42). Unsur-unsur gaya tersebut dapat dilihat dari sudutpandang kebahasaan (Xiaoshu, 2003: 2; Shiyab, 2003:4). Di dalam sudut pandang kebahasaan ini, di dalam proses penerjemahan, semua paragraf, kalimat, dan kata harus betul-betul diperhatikan sehingga pemilihan terbaik dapat diambil untuk menghasilkan pemikiran, perasaan, dan gaya yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
alami. Dari sudutpandang ini, gaya dibentuk dengan penggabungan paragraf, kalimat, dan kata. Oleh karena itu, beberapa kalimat atau kata-kata tunggal yang tidak diterjemahkan dengan baik, kalimat atau kata-kata tersebut tidak akan mempengaruhi gaya secara keseluruhan dari karya yang diterjemahkan. Di sini jelas bahwa paragraf, kalimat, dan kata benar-benar penting di dalam gaya. Paragraf, kalimat, dan kata merupakan dasar utama dari gaya. Kalimat dibentuk dari kata-kata, paragraf dibentuk dari kalimat-kalimat, dan keseluruhan karya dibentuk dari paragraf-paragraf. Karya yang sangat baik dihasilkan melalui kesempurnaan paragraf, paragraf dihasilkan melalui pemakaian kalimat yang sempurna, dan kalimat dihasilkan melalui pemilihan kata yang benar-benar sesuai. Ke semua hal tersebut adalah yang ingin dicapai oleh penulis dan penerjemah dalam usahanya membuat hasil terjemahan yang benar-benar sepadan gayanya. Dengan demikian, di dalam proses penerjemahan, penerjemah harus melihat keseluruhan karya melalui kata-kata, kalimat dan paragraf dan menentukan gaya yang bagaimana yang akan dipakai. Kemudian penerjemah mulai menerjemahkan secara kalimat per kalimat dan paragraf per paragraf mulai dari awal sampai akhir dengan terus memperhatikan pada reproduksi gaya yang digunakan. Bolaños (2008: 212) menyatakan bahwa gaya merupakan karakteristik tekstual dari semua jenis teks yang menunjukkan bentuk verbalisasi penulis sesuai dengan maksud komunikatifnya. Lebih lanjut Bolaños menyebutkan lima parameter untuk menjelaskan gaya. Pertama adalah mendramatisir pergeseran gaya, yaitu penggunaan berbagai pilihan kata di dalam Tsa dengan cara merubah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
atau menambahkan kata-kata secara lebih rinci meskipun kata-kata tersebut tidak ada di dalam Tsa. Kedua adalah penggunaan ekspresi idiomatik, yaitu menggunakan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sama dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu. Ketiga adalah penggunaan gaya bahasa, yaitu penggunaan gaya bahasa yang sama di dalam bahasa sasaran untuk menggantikan gaya bahasa di dalam bahasa sumber. Keempat adalah penggunaan jenis bahasa tertentu, yaitu penggunaan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada di dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya. Kelima adalah penggunaan tanda baca, yaitu penggunaan tanda baca di dalam Tsa yang dapat diubah setelah membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu. Dari paparan yang disajikan di dalam sub-bab 2.1.3.1 mengenai jenis-jenis makna dan sub-bab 2.1.3.2 mengenai parameter gaya, keseluruhan jenis-jenis makna tersebut, yaitu makna leksikal, makna gramatikal, makna situasional atau kontekstual, makna tekstual, makna sosiokultural, makna implisit, dan parameter yang digunakan untuk menjelaskan gaya sebagaimana disampaikan di atas, dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini.
2.2.4
Hakikat Susastra Berbicara masalah susastra tidak bisa lepas dari kajian teks. Susastra
sering diidentikkan dengan teks yang diungkapkan dengan menggunakan medium bahasa, baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Teks susastra maupun teks bukan susastra sama-sama memiliki unsur kata, kalimat dan makna. Sebagai penanda utama bahwa suatu teks tergolongcommit ke dalam to teks user susastra apabila di dalam teks
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut mengandung unsur estetika. Patokan estetik inilah yang biasanya sering digunakan sebagai dasar penilaian teks susastra (Rene Wellek dan Austin Warren, 1977: 11). Bahasa di dalam teks susastra bukan sebagai penentu akhir sarana komunikasi karena bahasa di dalam teks susastra dapat digunakan tanpa batas. Oleh karena itu, kalimat di dalam teks susastra sering bersifat abstrak, simbolis, ambigu, dan bahkan inkonvensional. Bahasa sering disusun melalui permainan kata-kata yang diwujudkan dengan ungkapan makna yang imajinatif. Makna inilah yang mampu memberikan estetika isi di dalam teks susastra. Bentuk nyata karya susastra adalah genre (Ratna, 2005:136; 2009:107). Karya susastra adalah salah satu genre dari sejumlah peradaban manusia sebagai aktivitas kreatif untuk memberikan kepuasan terhadap manusia dengan memanfaatkan aspek keindahan. Secara garis besar karya susastra dibedakan menjadi susastra lama dan susastra modern, susastra lisan dan susastra tulisan. Karya susastra diklasifikasikan atas tiga genre utama, yaitu: puisi, prosa, dan drama, yang ketiganya menggunakan medium bahasa, baik bahasa tulis maupun lisan. Karya susastra terdiri dari bentuk (struktur) dan isi (kandungan) (Ratna, 2009: 117). Kedua aspek tersebut memerlukan cara penyajian masing-masing, tetapi aspek bentuklah yang dominan, sebagai suatu gaya bahasa. Tidak ada penyajian aspek isi secara khas melainkan secara inklusif terkandung di dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
aspek bentuk itu sendiri. Oleh karena itu, disebutkan bahwa di dalam karya susastra bahasa berfungsi sekaligus sebagai alat dan tujuan. Sesuai dengan hakikatnya, karya susastra, baik sebagai hasil karya pengarang maupun pemahaman pembaca, adalah imajinasi dan kreativitas. Meskipun demikian, imajinasi dan kreativitas bukanlah khayalan. Karya susastra memiliki acuan dan kemampuan di dalam menunjukkan gejala masyarakat pada saat tertentu, kecenderungan tertentu, pandangan dunia, sistem sosial, berbagai bentuk sistem kebudayaan, dan menampilkan adanya kecenderungan ilmu pengetahuan sebagaimana ditunjukkan melalui fiksi ilmiah. Novel The Highest Tide, misalnya, dapat dimasukkan ke dalam karya susastra yang mengandung unsur fiksi ilmiah. Novel tersebut memuat berbagai peristiwa yang dapat dikaitkan dengan ilmu pengetahuan biologi kelautan dan sekaligus pengetahuan seputar kehidupan manusia. Meskipun demikian, fiksi ilmiah tidak bermaksud untuk menjadi ilmu pengetahuan, fiksi ilmiah hanyalah sebuah genre susastra, sehingga melalui karya tersebut dan dengan gaya bahasa tertentu suatu kenyataan yang sama dapat menghasilkan makna yang berbeda. Membaca karya susastra berbeda dengan ilmu pengetahuan. Permasalahan dalam karya susastra, seperti tokoh dan kejadian harus dibaca melalui cara pemahaman dan pengertian yang lebih banyak melibatkan perasaan, bukan pembuktian secara intelektual. Memang benar bahwa di dalam menciptakan suatu karya, pengarang harus membaca, bahkan melakukan penelitian, namun dalam proses penulisan yang terpenting adalah bagaimana hasil pengalaman tersebut disajikan kembali, yaitu dalam bentuk imajinasi. commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Secara mendasar, suatu teks susastra setidaknya mengandung tiga aspek utama, yaitu decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectare (memberikan kenikmaan melalui unsur estetik), dan movere (mampu menggerakkan kreativitas pembaca) (Fananie, 2002:4). Aspek-aspek tersebut tentu saja masih harus dijabarkan lebih lanjut pada bagian-bagian yang lebih khusus, karena susastra tidak hanya sekadar mengurai maknanya secara harfiah. Karya susastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan pada aspek kabahasaan maupun aspek makna. Estetika bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek puitik sedangkan estetika makna diungkapkan melalui aspek kedalaman maknanya.
2.2.4.1 Novel Sebagai salah satu genre susastra, karya fiksi atau prosa fiksi mengandung unsur-unsur yang meliputi (a) pengarang atau narator, (b) isi penciptaan, (c) media penyampai is berupa bahasa, dan (d) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana. Di dalam memaparkan unsur-unsur tersebut, pengarang memaparkannya melalui (a) penjelasan atau komentar, (b) dialog maupun monolog, dan (c) melalui kegiatan atau aksi. Lebih lanjut, karya fiksi dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, baik itu roman, novel, novelet, maupun cerpen. Perbedaan berbagai macam bentuk tersebut pada dasarnya terletak pada kadar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
panjang-pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu sendiri (Aminuddin, 2009: 66). Novel sebagai salah satu bentuk karya susastra memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan jenis karya susastra yang lain seperti puisi dan drama. Perbedaan-perbedaan tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Suryawinata (1982: 92-95) adalah: (a) puisi merupakan jenis karya susastra yang paling emotif karena merupakan ekspresi penyair yang dikomunikasikan melalui media puisi. Puisi juga mengeksploitasi asosiasi keindahan kata serta efek-efek bunyi seperti keindahan efek bunyi yang berulang dalam rima, eliterasi dan asonansi. Selain itu puisi juga memiliki unsur pokok yang membedakan dengan jenis karya susastra yang lain, yaitu unsur pencitraan yang diungkapkan dalam metafora atau kata-kata yang segar dan unik, (b) drama memiliki unsur pokok yang berupa dialog atau monolog. Tanpa dialog drama tidak mungkin dilakukan. Selain itu, drama memiliki unsur yang tidak kalah pentingnya yang berupa karakterisasi atau penokohan. Tanpa karakterisasi yang kuat, drama akan menjadi hambar dan tokoh-tokoh dalam drama akan menjadi pemain tanpa watak, dan (c) novel memiliki unsur-unsur yang hampir sama dengan drama dengan perbedaannya yang khusus. Novel memiliki unsur pokok berupa dialog dan dialog ini merupakan salah satu unsur yang dipakai untuk mendapatkan bahasa yang segar dan realistis. Unsur lain yang dimiliki novel adalah penokohan atau karakterisasi yang kuat. Suatu novel, sebagaimana juga drama, akan menjadi hambar apabila tidak memiliki unsur karakterisasi yang kuat karena tokoh-tokoh yang tampil akan berubah menjadi sekadar pelaku untuk kelangsungan cerita saja. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
Secara garis besar novel memiliki unsur-unsur yang berupa tema, ajang (setting), suasana, plot, konflik, krisis, klimaks, dan penyelesaian dengan menggunakan bahasa yang deskriptif, emotif, berbentuk dialog, nada, keindahan bunyi, dan pencitraan dengan peran karakterisasi yang protagonis, antagonis, dan peran pembantu. Selanjutnya Aminuddin (2009: 67-103) menyebutkan bahwa novel memiliki unsur-unsur berupa tema, ajang, gaya, penokohan, alur, dan titik pandang. Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Seorang pengarang sebelum memulai proses kreatif penciptaan haruslah memahami tema cerita yang akan dipaparkan, dan ini berbeda dengan pembaca cerita yang baru dapat memahami tema apabila mereka telah selesai memahami unsur-unsur penting yang menjadi media pemapar tema tersebut. Ajang atau setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fisikal untuk membuat cerita menjadi logis dan fungsi psikologis untuk menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya. Gaya dalam karya susastra mengandung pengertian sebagai cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Cara seorang pengarang mengungkapkan gagasannya dalam karya ilmiah tentunya berbeda dengan cara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
pengarang dalam karya susastra. Pengarang dalam karya ilmiah akan menggunakan gaya yang bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung makna konotatif, sedangkan pengarang dalam karya susastra justru menggunakan pilihan kata yang mengandung makna penuh, refletif, asosiati, dan konotatif. Selain itu, susunan kalimat-kalimatnya juga menunjukkan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan hanya nuansa makna harfiah atau tertentu saja. Oleh karena itu, masalah gaya di dalam karya susastra pada akhirnya juga berkaitan dengan masalah gaya bahasa itu sendiri. Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku di dalam suatu cerita. Cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya berbeda-beda. Mungkin pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hidup di dalam mimpi, pelaku yang memiliki cara seperti kehidupan manusia yang sebenarnya, ataupun pelaku yang mementingkan diri-sendiri. Di dalam cerita fiksi, pelaku tersebut dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang bersifat seperti manusia, misalnya kucing, sepatu, boneka, dan lain-lain. Alur atau plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa terbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbeda-beda. Tahapan tersebut dapat berupa dalam rangkaian komplikasi, konflik, klimaks, peleraian, penyelesaian, dan pengenalan, atau mungkin berawal dari eksposisi, komplikasi, klimaks, revelasi, penyelesaian, dan sebagainya. Bagi pengarang, plot dapat diibaratkan sebagai suatu kerangka commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karangan yang dijadikan pedoman dalam mengembangkan keseluruhan isi cerita. Bagi pembaca, pemahaman plot berarti juga pemahaman terhadap isi cerita secara runtut dan jelas. Titik pandang atau titik kisah adalah cara pandang pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang tersebut meliputi narator atau pengisah yang sekaligus berfungsi sebagai pelaku cerita atau pengisah yang hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku. Pengisah sebagai pelaku cerita biasanya menyebut pelaku utama dalam cerita dengan nama pengarang sendiri, aku atau saya, sedangkan pengisah sebagai pengamat menyebut nama pelakunya dengan dia, ia, mereka, atau nama-nama lain. Lebih lanjut, di dalam memahami karya susastra, khususnya novel, dapat dilakukan dengan berbagai cara (Ratna, 2005: 552-556). Cara-cara tersebut adalah dengan: (1) menganggap novel sebagai bentuk miniatur masyarakat, sebagai dunia dalam kata-kata. Cara ini menyebabkan novel menampilkan unsur-unsur sosial, seperti: tokoh, peristiwa dan latar, yang secara keseluruhan diadopsi melalui dunia nyata. Tidak ada novel yang semata-mata diciptakan melalui imajinasi, dan (2) novel merupakan respons interaksi sosial, keberadaan karya susastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat. Cara ini mengkondisikan karya sebagai suatu alat, sebagai prasarana estetis, yang melaluinya masyarakat dapat menemukan aspirasinya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
2.2.4.2 Resume Novel The Highest Tide Novel The Highest Tide karya Jim Lynch (2005) telah diterjemahkan oleh Arif Subiyanto ke dalam novel berbahasa Indonesia Pasang Laut. Novel tersebut diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada bulan Februari 2007 dengan ukuran buku 13.5 x 20 cm dan tebal 328 halaman. Novel tersebut menarik perhatian peneliti untuk dianalisis karena novel tersebut merupakan pemenang Pacific Northwest Booksellers Book Award 2006 dan telah dipublikasikan sehingga menjadi konsumsi publik. Novel The Highest Tide karya Jim Lynch ini merupakan novel yang ditulis belum lama (tahun 2005) dan diterjemahkan dalam kurun waktu yang relatif masih baru (tahun 2007) sehingga bahasa yang digunakan baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran adalah bahasa saat ini,
dan novel The Highest Tide ini merupakan sumber data penelitian yang
dianggap sangat bermanfaat (menurut peneliti) untuk menjawab semua permasalahan yang sudah dirumuskan dan target yang ingin dicapai oleh peneliti. Novel The Highest Tide ini mengisahkan dua minggu musim panas dalam kehidupan Miles O’Malley, sang protagonis sekaligus narator yang berusia hampir empat belas tahun. Dua minggu ini menjadi begitu berarti dengan sejumlah kejadian yang saling bersilang-sengkarut dalam kehidupan Miles. Yang pertama begitu menonjol terkait dengan kegemaran Miles kepada laut. Sebagai seorang bocah penggemar laut dan segala isinya, ditambah lagi dengan insomnia yang diidapnya, Miles suka menyelinap keluar rumah malammalam dan berjalan-jalan di paya asin dekat rumahnya. Malam itu, dia menemukan cumi-cumi raksasa terdampar. Tahu bahwa tidak lazim mendapati commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
cumi raksasa di perairan dangkal, kepada wartawan yang meliput secara iseng Miles mengatakan, “Mungkin bumi ingin mengatakan sesuatu kepada kita”. Anehnya, kata-katanya itu malah menjadikannya didengar banyak orang. Ditambah lagi, beberapa hari sesudahnya datang seorang reporter yang mengupas habis tentang kehidupannya, mulai dari keluarga, kehidupan pertemanan, hingga sekolahnya. Maka, sejak itu Miles menjadi seorang selebritis dadakan, seorang mesias kecil yang menyampaikan pesan dari alam. Kejadian penting kedua terkait dengan keluarganya. Miles tumbuh dengan keluarga yang tidak wajar. Ayahnya tidak dewasa dan sangat terobsesi dengan tinggi badan. Si ayah mengukur tinggi badan Miles setiap bulan untuk mengetahui perkembangannya. Sementara ibunya bekerja di kantor pemerintahan yang membosankan dan mengaku menyesal menikah dengan ayahnya. Bahkan sekurangnya tujuh kali Miles mendengar Ibu menyebut dia hasil kecelakaan. Miles adalah buah dari kegagalan aborsi. Bisa dibayangkan betapa besar pengaruh ucapan seperti ini kepada seorang anak yang sedang dalam masa pertumbuhan dan pikirannya gampang menerima kesan. Pertengkaran demi pertengkaran ayah ibunya kian meruncing dan Miles sampai menebak-nebak mereka akan cerai, dan hatinya sudah siap hancur. Terakhir terkait dengan dunia sosialnya, Miles dipaksa untuk bersiap-siap ditinggalkan orang-orang yang dekat dengannya. Angie Stegner, mantan perawatnya yang juga menjadi gadis yang memenuhi khayalan seks-nya, kian tenggelam dalam pergaulan bebas, dan dia sudah bersiap-siap melanjutkan studinya ke kota lain. Sobat karib Miles, seorang perempuan tua bernama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
Florence, kian tak bisa diharapkan untuk selalu menjadi teman bicaranya. Kesehatannya kian buruk. Yang selalu dekat dengannya tinggal Phelp, seorang sebaya yang juga menjadi karyawannya untuk mencari tiram. Phelp sosok yang sangat mengingatkan pembaca kepada tokoh Huck Finn dalam novel anak klasik The Adventure of Tom Sawyer dan The Adventure of Huckelberry Finn karya Mark Twain yang menyuplai Miles dengan bacaan, gambar, dan cerita-cerita merangsang yang semakin membuat resah Miles pada awal masa pubernya itu. Jim Lynch (penulis) membawa konflik-konflik ini kepada klimaksnya masing-masing dengan tenang. Perceraian kedua orang tua Miles, ramalan Florence tentang akan terjadinya pasang tertinggi, keadaan Miles, Angie Stegner, semuanya terjawab pada bab-bab akhir novel tersebut. Ketrampilan Lynch meracik kenakalan, kegetiran, dan keranjingan seks yang terkesan jenaka berpotensi membuat pembaca resah untuk cepat-cepat mengetahui ujung cerita. Meskipun penulis sangat ingin menyampaikan kepeduliannya kepada lingkungan setelah melihat penemuan sebuah ikan aneh di dekat tempat tinggalnya, dia tetap memberi porsi yang cukup untuk hal-hal lain yang mempengaruhi kehidupan seorang remaja seperti keluarga, hobi, pertemanan, dan problem seputar pubertas. Dengan dua hal itu, pembaca pun mendapatkan pengetahuan tentang laut dengan kesegaran pikiran remaja yang mengasyikkan dan seringkali memaksa kita tertawa-tawa sendiri. Dalam kaitannya dengan kepedulian lingkungan si penulis, di sini Miles digambarkan sebagai anak yang sangat paham tentang isi laut karena kegemarannya membaca buku-buku biologi laut Rachel Carson. Saking bagusnya pemahaman dia tentang perilaku makhluk commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
laut, Profesor Kramer mengatakan “kau membuat ilmuwan dan orang-orang lain tampak bodoh”. Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan di sampul belakang bahwa buku ini memperluas wawasan kita tentang dunia kelautan.
2.2.4.3 Bagian-bagian Substansi di dalam Novel The Highest Tide Di dalam penelitian ini yang dimaksud dengan bagian-bagian substansi dalam novel adalah ungkapan-ungkapan yang lebih khusus dari teks novel sumber yang tidak hanya mengenai maknanya secara umum atau memiliki karakter leksikal, namun bagian-bagian teks novel yang mengandung atau memiliki pemahaman mengenai konteks budaya dan struktur bahasa yang memiliki makna figuratif atau konotatif. Bagian-bagian yang khas atau khusus tersebut adalah ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan budaya materi, istilah-istilah ekologi, budaya sosial, dan ungkapan-ungkapan figuratif. Dari sinilah teks novel ditentukan kualitas dan kekhasannya yang istimewa.
2.2.4.3.1
Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Materi Newmark (1988:97) menyebutkan beberapa ungkapan yang termasuk
ke dalam budaya materi, yaitu: a. Food (makanan), yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan istilahistilah makanan, minuman dan cara penyajiannya. Di Amerika, misalnya, terdapat macaroni, spaghetti, ravioli, pizza, junk food, hors d’oeuvre, starter, dessert, Algerian wine, dan sebagainya. commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Cloth (pakaian), yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan istilahistilah pakaian tradisional, kostum nasional, dan cara berpakaian. Di beberapa negara, misalnya, terdapat istilah sari, kimono, yukala, jubbah, jeans, dan sebagainya. c. House (tempat tinggal, yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan tempat tinggal komunitas masyarakat yang biasanya memiliki tempat tinggal yang khas dan memiliki tujuan tertentu, misalnya palazzo, hotel, bungalow, hacienda, pension, villa, borgata, dan sebagainya. Sementara itu, Sumarno (2003: 18-21) menambahkan bahwa budaya materi juga dapat berupa bangunan tradisional, yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan ciri khas bangunan di suatu budaya dan tidak terdapat di budaya lain. Di Cina, misalnya, terdapat bagunan yang disebut Tembok Cina, di Indonesia terdapat Rumah Gadang, Pendhopo Agung, dan sebagainya. d. Transport (moda transportasi), yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan sarana dan sistem perhubungan. Di beberapa negara, alat transportasi ini telah menjadi simbol dari kepemilikan pribadi dan seringkali mengkonotasikan martabat seseorang. Beberapa nama alat transportasi tersebut tidak hanya memiliki nama lokal, namun juga telah meng-internasional, misalnya: jumbo jet, Metro, BMW, Volvo, fly-over, phaethon, landau, tulbury, dan sebagainya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
2.2.4.3.2
68 digilib.uns.ac.id
Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Istilah Ekologi Istilah–istilah ekologi berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya
lain tergantung pada penamaan masing-masing wilayah dan tingkat kekhasannya (Newmark, 1988: 97). Beberapa negara memiliki istilah-istilah lokal dengan unsur-unsur lokalnya yang sangat kuat, dan penamaan istilah-istilah lokal tersebut memiliki fungsi yang penting dalam menunjukkan geografis dan identitas suatu negara. Misalnya, plateau yang secara geografis merujuk pada wilayah yang terdapat di Inggris dan Amerika, sedangkan nama lainnya yaitu mesa, altipiano, secara geografis langsung merujuk pada suatu wilayah yang ada di Spanyol dan Italia. Selain itu, beberapa unsur-unsur ekologi lain, yaitu jenis musim, hujan, lembah, ikan, dan lain sebagainya yang tidak dapat dipahami baik secara denotatif maupun konotatif juga memiliki kata-kata budaya yang perlu dicarikan penyelesaian padanan, misalnya jenis ikan nudibranch yang hanya terdapat di Lautan Pasifik, namun tidak ditemukan di wilayah lain, begitu pula unsur-unsur ekologi lain yang erat kaitannya dengan unsur komersial, misalnya mango, advocado dan lain-lain yang menjadi produk dan kekhasan suatu wilayah yang kemudian di bawa atau di impor ke wilayah lain yang kemudian dinaturalisasikan menjadi mangue, avocat, dan lain-lain di wilayah lain.
2.2.4.3.3
Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Sosial Menurut Newmark (1988:98) yang dimaksud dengan budaya sosial
secara khusus adalah manifestasi tertentu di dalam suatu masyarakat yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
diungkapkan dengan menggunakan bahasa khusus atau tertentu, atau dengan kata lain sebagai foreign cultural words. Yang tergolong ke dalam budaya sosial tersebut adalah ungkapan-ungkapan di dalam suatu pekerjaan dan kegiatan di waktu senggang yang biasanya dilakukan oleh anggota suatu komunitas (Newmark, 1988: 99), sebutan atau penamaan yang diberikan kepada seseorang (Thriveni, 2002:1), dan peristiwa budaya (Sumarno, 2003: 18-21). a. Pekerjaan Di dalam menerjemahkan masalah pekerjaan, penerjemah harus membedakan antara masalah penerjemahan denotatif dan konotatif dari pekerjaan tersebut. Ungkapan-ungkapan pekerjaan yang denotatif biasanya jarang menimbulkan masalah terjemahan, karena kata-kata atau ungkapan-ungkapan tersebut dapat secara fungsional didefinisikan atau ditransfer, misalnya, ungkapan-ungkapan di dalam Tsu pork-butcher, cake shop with café, menjadi jagal, warung kopi di dalam Tsa. Ungkapan-ungkapan konotatif di dalam pekerjaan mungkin dapat menimbulkan masalah terjemahan, misalnya, ungkapan-ungkapan the masses, the working class. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat menimbulkan makna positif dan negatif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dapat berarti sekelompok orang yang bekerja (bukan pengangguran) ataupun kelompok orang yang bekerja di pabrik (pekerja pabrik) atau pekerja kasar yang miskin. b. Kegiatan Waktu Senggang Ungkapan-ungkapan budaya sosial yang merujuk pada kegiatankegiatan yang dilakukan pada saat santai dapat berupa pertandingan-pertandingan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
nasional, misalnya: cricket, bull-fighting, tennis, card-games, gambling games, dan sebagainya. c. Sebutan atau Penamaan Sebutan atau penamaan terhadap seseorang merupakan unsur budaya sosial yang sering diwujudkan atau diungkapkan di dalam suatu kelompok atau komunitas tertentu. Ungkapan-ungkapan tersebut juga sering digunakan oleh penulis atau pengarang sebagai nilai asosiatif. Misalnya, sebutan Tuan Kate untuk menyebut seseorang yang kerdil, yang diibaratkan mirip dengan ayam kate. Selain itu sebutan atau penamaan tersebut juga sering diwujudkan untuk mengekspresikan ungkapan-ungkapan tertentu terhadap karakter fisik seseorang, misalnya menyebut rambut dengan ungkapan bangs, dan sebagainya. d. Peristiwa budaya Peristiwa budaya, yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan kegiatan atau peristiwa suatu negara, seperti Thanksgiving di Amerika Serikat, Sekaten, Kenduren, dan sebagainya di Indonesia. Peristiwa-peristiwa budaya tersebut menimbulkan permasalahan di dalam menerjemahkan karena peristiwa budaya di suatu tempat sangat mungkin tidak dapat ditemukan padanannya di budaya lain. Peristiwa budaya ini juga menyangkut kegiatan-kegiatan keorganisasian, keagamaan, kesenian, dan juga istilah-istilah khusus suatu konsep atau gagasan. Istilah-istilah khusus mengenai suatu gagasan merujuk pada suatu istilah yang dipakai baik secara populer maupun dalam bidang tertentu sebagai suatu entitas atau kejadian. Di dalam perkembangannya, sekarang banyak orang yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
menganggap bahwa gagasan adalah suatu kekayaan intelektual seperti hak cipta atau paten.Terma organisasi maupun religi merujuk pada istilah-istilah suatu organisasi atau religi yang dapat berupa organisasi politik, sosial, negara, sekolah, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut seringkali memiliki istilah-istilah yang unik dan hanya dimiliki oleh anggota organisasi tersebut, misalnya, organisasi militer, yang memiliki istilah-istilah seperti junta, guinta, junte, mayor, dan sebagainya. Sementara itu, di dalam bahasa religi, juga diwujudkan dalam berbagai varian istilah atau ungkapan, misalnya Santa Claus, Saint Nicholas, Father Christmas, Kris Kringle, dan lain-lain. Sementara itu, istilah artistik merujuk pada suatu produk atau proses dari suatu unsur yang sedemikian rupa mempengaruhi makna, emosi, dan intelektualitas. Artistik mencakup berbagai wilayah kegiatan, kreasi, dan bentuk ekspresi manusia yang termasuk di dalamnya adalah musik, potografi, film, patung, lukisan, gedung seni, dan sebagainya.
2.2.4.3.4
Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Gaya Bahasa
Di dalam penelitian ini, peneliti menegaskan bahwa gaya bahasa berbeda dengan gaya. Sebagaimana yang peneliti uraikan di dalam subbab 2.2.3.2 bahwa gaya adalah way of writing atau cara bagaimana penulis atau pengarang menyajikan sesuatu dalam bentuk tulisan, sedangkan gaya bahasa adalah cara bagaimana menyusun bahasa sehingga menimbulkan nuansa keindahan. Gaya digunakan sebagai suatu istilah yang menekankan pada bentuk tulisan dan membedakannya dengan isi tulisan. Cara penulis menyajikan tulisannya mungkin commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
saja menggunakan struktur kata atau kalimat yang kompleks atau sederhana, menggunakan istilah-istilah teknis atau budaya, menggunakan pemilihan partisipan dari beragam sudutpandang, ataupun juga menggunakan bahasa-bahasa figuratif atau gaya bahasa yang berbeda-beda. Dengan kata lain, gaya bahasa merupakan bagian dari gaya. Secara umum yang dimaksud dengan gaya bahasa adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal (Ratna , 2009: 3). Di dalam karya susastra, gaya bahasa adalah cara penyusunan bahasa sehingga menimbulkan aspek estetis. Secara tradisional gaya bahasa disamakan dengan majas atau suatu kiasan yang digunakan penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. Majas tersebut secara umum dibedakan menjadi empat macam, yaitu: majas penegasan, perbandingan, pertentangan, dan majas sindiran. Dilihat dari hakikat karya susastra secara keseluruhan, sebagai kualitas estetis, perbandingan dianggap sebagai majas yang paling penting sebab semua majas pada dasarnya memiliki ciri-ciri perbandingan. Metafora, sebagai salah satu bentuk majas, merupakan yang paling banyak dan paling sering di dalam memanfaatkan perbandingan, atau dengan kata lain, di antara semua majas, maka metaforalah yang paling penting. Menurut Wellek dan Warren (1989: 246) makna karya susastra justru terletak di dalam metafora yang berkaitan dengan perumpamaan secara umum karena di dalam susastra yang penting adalah citra yang ditampilkan dengan ciri khasnya yang estetis. Oleh karena itu, di dalam commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penelitian ini, metafora menjadi objek kajian yang berhubungan dengan gaya bahasa. Metafora didefinisikan melalui dua pengertian, secara sempit dan luas. Pengertian secara sempit, metafora adalah majas seperti metonimia, hiperbola, personifikasi, dan sebagainya. Pengertian metafora secara luas meliputi semua bentuk kiasan, penggunaan bahasa yang dianggap menyimpang dari bahasa baku. Di dalam kaitannya dengan penciptaan citra atau kesan baru, metafora menurut Larson (1984: 246) dibagi menjadi dua kategori, yaitu metafora hidup dan metafora mati. Metafora hidup adalah metafora yang temporer atau serta-merta diciptakan oleh penulis atau pembicara untuk melukiskan sesuatu, yang seringkali penciptaannya dilakukan secara emosional. Misalnya, penggunaan bahasa ‘pisau tajam’, yang semula mengacu pada pengertian benda nyata kemudian menjadi ‘pikiran tajam’ untuk menunjukkan kejernihan, kedalaman, dan ketelitian seseorang dalam menganalisis suatu permasalahan, sama dengan kemampuan pisau tersebut. Pisau yang tajam atau benda-benda lain yang tajam tidak akan menghasilkan makna yang baru sebab makna tajam yang dimiliki oleh pisau sudah dianggap sebagai makna literal. Sebaliknya, pikiran tajam berhasil membangkitkan emosi sebab makna tajam itu sendiri sudah berada di dalam konteks yang baru. Dengan kata lain bahwa metafora hidup merupakan estetis yang memberikan kesan baru. Metafora hidup ini akan mudah dipahami apabila pembaca atau pendengar memberikan perhatian yang khusus terhadap perbandingan yang telah dibuat. commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Metafora mati atau seringkali disebut dengan bahasa klise atau idiom merupakan metafora yang dibentuk dengan tidak lagi memikirkan pembanding makna dasarnya, namun langsung memikirkan pada makna idiomatis yang dibentuknya. Contoh dari metafora mati ini adalah leg of the table atau kaki meja. Penulis atau pembicara membentuk metafora ini dengan membandingkannya antara kaki meja dengan kaki manusia, namun penulis dan pembaca tidak lagi memikirkan kaki manusia ketika menggunakan tersebut. Metafora seperti kaki meja ini memiliki makna yang tetap atau tidak berubah. Jadi, makna metafora mati atau idiom tidak dapat diprediksi dari kata-kata yang membentuk idiom tersebut. Misalnya, if convicted, he will certainly get the hot seat, yang memiliki makna ‘hukuman mati’. Arti idiom tersebut sama sekali tidak dapat diprediksi dari kata-kata pembentuknya, yaitu hot dan seat. Larson (1984: 246) menyatakan bahwa idiom memiliki makna idiomatik yang juga disebut dengan non-literal meaning (figurative meaning) atau figure of speech, yaitu sebuah kata atau frase yang dipakai untuk menciptakan efek khusus dan dipakai bukan dalam arti yang sebenarnya. Idiom bisa merupakan kelompok kata atau frase, klausa, dan bahkan kalimat. Idiom termasuk ke dalam ungkapan figuratif yang terdapat di dalam semua bahasa dan makna dari idiom tersebut tidak bisa diprediksi dari kata-kata yang menyusunnya secara harfiah. Walaupun pengarang susastra melakukan penyimpangan struktur-struktur bahasa yang lazim dipakai, kenyataannya mereka tidak dapat melepaskan diri secara total akan konvensi susastra. Menurut Aminuddin (2009:44-46), konvensi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
susastra tersebut secara umum dapat dilihat melalui penanda-penanda sebagai berikut: a) Bahasa yang dipakai di dalam susastra adalah bahasa yang bersifat estetis, puitis, dan menyentuh rasa keindahan. Keindahan bahasa susastra tercipta lewat pendiksian yang tepat serta kompensasi bunyi yang serasi. Setiap novel pasti memenuhi penanda ini. b) Karya susastra bersifat imajinatif atau fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berangkat dari daya khayal kreatif. Karya susastra bersifat intuitif yang mengutamakan faktor rasa. Imajinasi merupakan wilayah khusus yang tidak perlu dicocok-cocokkan dengan kenyataan, walaupun sesuatu yang bersifat imajinatif tidak harus irasional. Sesuatu yang bersifat imajinatif boleh jadi terjadi dalam kehidupan nyata, karena bagaimanapun juga karya susastra merupakan refleksi kehidupan manusia. c) Bahasa susastra bersifat konotatif dan multiinterpretasi. Bahasa susastra mempunyai banyak makna dan dapat ditafsirkan melalui berbagai macam aspek dan dimensi. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa karya susastra memang merupakan karya kreatif yang harus mampu menggugah kreativisme dan merangsang daya pikir. Jika seseorang berhasil menginterpretasikan ungkapan-ungkapan susastra yang rumit, maka dia tidak perlu mengklaim bahwa tafsirannyalah yang paling benar, karena penafsiran karya susastra terbuka terhadap banyak tafsir. Karya susastra selalu mempunyai berlapislapis makna dan karenanya selalu mengundang penafsiran makna-makna baru. Karya susastra bersifat dinamis. commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Bahasa susastra bersifat simbolis, asosiatif, sugestif, dan konotatif. Bahasa susastra mengungkapkan sesuatu dengan kiasan. Penggunaan bahasa kias dalam karya susastra bukan berarti pengarang sengaja membuat pembaca bingung, namun justru lebih mendorong pembaca untuk berfikir kreatif. Bahasa kias juga mencerminkan kehalusan perasaan pengarang dan daya asosiasi yang tinggi. e) Tokoh-tokoh didalam karya susastra dilukiskan dengan karakter, pribadi, dan pencitraan diri yang kuat. Keberadaan tokoh-tokoh tersebut terasa hidup dan berada kuat di tengah-tengah kita. Setting dilukiskan dengan cermat dan hidup, sedangkan plotnya begitu memikat. Adanya setting dan plot memungkinkan para tokoh bias bergerak dengan leluasa untuk melahirkan konflik-konflik yang dramatis. Dengan mengacu pada konvensi di atas dan dengan mempertimbangkan gaya bahasa sebagai pemakaian bahasa secara khas, maka pemakaian bahasa yang khas dapat diidentifikasi dengan (1) secara teoretis, menemukan ciri-ciri pemakaian bahasa yang khas yang pada umumnya dilakukan dalam kaitannya dengan penelitian ilmiah, misalnya, pada saat menganalisis sebuah karya susastra, dan (b) secara praktis, melalui pengamatan langsung terhadap pemakaian bahasa sehari-hari, misalnya, melalui pemakaian berbagai perumpamaan (Ratna, 2009:13). Namun demikian, dikaitkan dengan relevansinya sebagai kekhasan itu sendiri, bahasa yang diciptakan dengan sengaja, maka pemakaian bahasa yang khas pada umumnya dibatasi pada karya susastra. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
Dominasi penggunaan bahasa yang khas ini di dalam karya susastra diakibatkan oleh beberapa hal sebagai berikut: a) Karya susastra merupakan karya yang mementingkan unsur keindahan. b) Karya susastra di dalam menyampaikan pesan menggunakan cara-cara tidak langsung, sepert refleksi, manifestasi, dan representasi. c) Karya susastra adalah curahan emosi, bukan intelektual. Aspek keindahan, pesan tak langsung, dan hakikat emosional mengarahkan bahasa susastra pada bentuk penyajian terselubung dan bahkan sengaja disembunyikan. Ada suatu kesan bahwa untuk menemukan pesan di dalam karya susastra harus dilakukan melalui jalan yang panjang dan berbelokbelok. Jadi, karya susastra berbeda dengan karya ilmiah yang justru menghindari unsur estetis dan emosionalitas. Karya susastra juga berbeda dengan bahasa sehari-hari yang bersifat praktis dan cepat dimengerti. Penggunaan bahasa khas bukan dalam pengertian bahwa bahasa susastra berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa ilmiah. Tidak ada perbedaan prinsip seperti kosakata dan leksikal antara bahasa susastra, bahasa ilmiah, dan bahasa sehari-hari. Ciri khas dan perbedaannya diperoleh melalui proses pemilihan dan penyusunan kembali. Analog dengan kehidupan sehari-hari, gaya sebagai salah satu cara hidup di antara berbagai cara yang lain, gaya bahasa adalah masalah cara pemakaian yang khas, bukan bahasa khas yang berbeda dengan bahasa dalam kamus. Dengan kata lain, kekhasan yang dimaksudkan adalah kekhasan dalam proses seleksi, memanipulasi, dan mengombinasikan katakata. Pilihan-pilihan seperti itulah yang justru memegang peranan karena di dalam commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
proses tersebut terkandung kualitas proses kreatif, kemampuan imajinatif, dan kekuatan kata-kata. Sementara itu, Zuchridin (1982: 87-91) menegaskan bahwa kekhasan bahasa di dalam karya susastra adalah kekhasan dari sifat-sifat susastra itu sendiri, yaitu bahwa karya susastra selain memiliki unsur-unsur ekspresi, amanat, informasi, fiksi, juga bersifat individulisasi. Oleh karena kekhasannya tersebut, maka penggunaan bahasa di dalam karya susastra harus digunakan sebaikbaiknya. Bahasa yang digunakan harus sederhana, segar, tepat, dan hidup. Dengan melihat pada sifat kekhasan bahasa di dalam karya susastra, maka seorang penerjemah perlu atau harus dapat memberikan interpretasi dan apresiasi yang tepat terhadap karya terjemahan yang akan diterjemahkan.
2.2.5 Penerjemahan Novel Sebagaimana disebutkan di dalam bab pendahuluan bahwa penerjemahan karya susastra sebagai proses pengalihan pesan tidak hanya melibatkan dua bahasa yang berbeda, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran, namun juga melibatkan kondisi sosiobudaya yang berbeda karena suatu teks dalam penerjemahan berada dalam konteks sosiobudaya yang terkait dengan bahasa sumber dan bahasa sasaran. Oleh karena itu, penerjemahan karya susastra tidak bisa dilihat hanya sekadar sebagai upaya menggantikan teks dalam satu bahasa ke teks bahasa lain. Faktor lain yang sangat dibutuhkan adalah adanya suatu kompetensi mengenai suatu wacana untuk menghasilkan suatu terjemahan yang commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
benar secara sintaktik, tepat makna, memenuhi unsur kewajaran, keterbacaan, dan secara sosial berterima di dalam suatu konteks yang didasari budaya. Menerjemahkan karya susastra, dalam hal ini adalah novel, tidak dilakukan secara kata per kata, yang secara sepintas enak dibaca, tetapi secara keseluruhan tidak membawa pesan seperti yang diamanatkan oleh naskah aslinya. Suatu kalimat di dalam novel tidak sekadar ujaran yang berdiri sendiri, namun berfungsi sebagai petunjuk akan hadirnya ide-ide yang akan menyusul. Apabila penerjemah hanya menerjemahkan kata-kata tersebut sebagai kata-kata yang berdiri sendiri dan hanya berdasarkan makna dalam setiap kalimat saja, maka hasil terjemahannya akan terasa dangkal dan kehilangan keseluruhan makna yang ingin disampaikan oleh pengarang aslinya kepada para pembacanya. Di dalam menerjemahkan novel, sangat mungkin penerjemah menemukan kesulitan-kesulitan, baik kesulitan dalam aspek budaya, misalnya kesulitan penerjemah dalam mencari padanan istilah yang berkaitan dengan materi dan peristiwa budaya, kesulitan dalam aspek susastra, misalnya penerjemahan karakterisasi tokoh yang sepadan dengan keadaan masyarakat pembaca novel penerjemahan, dan juga kesulitan dalam aspek kebahasaan, misalnya dalam menerjemahkan struktur kalimat yang sangat panjang dan tata bahasa yang rumit. Sementara itu, Newmark (1988: 170) menyatakan bahwa karya susastra novel pada dasarnya merupakan karya susastra yang rumit untuk diterjemahkan karena bahasa yang digunakan di dalam karya susastra memiliki perbedaan yang nyata dengan teks biasa dan novel mengandung unsur komunikasi antarbudaya dan antarpribadi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
Penerjemahan novel sebagai komunikasi antarbudaya berangkat dari suatu pandangan bahwa bahasa dan budaya tidaklah dapat dipisahkan. Suatu kegiatan akan menjadi komunikatif bila kegiatan itu dilakukan melalui suatu tanda yang dihasilkan dengan penuh maksud oleh seorang pengirim dan diteruskan ke penerima. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nord (1997:16) bahwa: “Action becomes communicative ”when it is carried out through signs produced intentionally by one agent, usually referred to as the ’sender’, and directed toward another agent referred to as the ‘addressee’ or the ‘receiver’”. Ini berarti bahwa pengirim dan penerima membentuk situasi komunikasi pada waktu dan tempat tertentu yang menambahkan dimensi sejarah dan budaya terhadap proses komunikasi. Dimensi sejarah dan budaya tersebut mempengaruhi pengetahuan dan harapan pengirim dan penerima, kebahasaan mereka, dan cara mereka mendapatkan situasi tertentu. Sementara itu di dalam situasi komunikasi, pengirim dan penerima diharapkan memiliki dasar yang sama dalam komunikasi agar supaya komunikasi mereka berhasil. Penerjemah di dalam hal ini adalah sebagai mediator kebahasaan dan sekaligus mediator budaya. Penerjemah tidak hanya membutuhkan pengetahuan yang menyeluruh mengenai bahasa sumber dan bahasa sasaran tetapi juga budaya sumber dan budaya sasaran. Penerjemahan tidak hanya antarbudaya namun juga antarindividu dan terdiri dari sejumlah pemain peran. Menurut Nord (1991:5-11) yang dimaksud dengan para pemain peran tersebut adalah penghasil Tsu, pengirim Tsu, Tsu, commit to user penerima Tsu, inisiator, penerjemah, Tsa dan penerima Tsa. Dalam konteks
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
tersebut Nord membuat perbedaan antara penghasil Tsu dan pengirim Tsu. Penghasil Tsu menghasilkan Tsu dan mungkin juga sekaligus sebagai pengirim Tsu. Hal ini bisa mengakibatkan ketidaksesuaian antara maksud pengirim dan teks yang ditulis oleh produser. Tsu yang dihasilkan pada umumnya dimaksudkan untuk pembaca Tsu. Meskipun penerima Tsu tidak memainkan peranan yang aktif di dalam komunikasi antarbudaya, penerima teks masih mempengaruhi Tsu dalam hal karakteristik bahasa. Sebaliknya, situasi yang dihasilkan oleh Tsa berbeda dengan situasi yang dihasilkan Tsu dengan pengirim Tsu dan penerima Tsa yang berbeda karena perbedaan waktu dan jarak. Semua faktor tersebut harus dipikirkan oleh penerjemah. Peranan penerjemah sangatlah unik karena penerjemah hanya memiliki ketertarikan dalam menerjemahkan Tsu saja. Penerjemah akan secara kritis membaca teks sebagai penerima Tsu. Berdasarkan pada tingkat kemampuan penerjemah di dalam bahasa sumber dan budaya sumber dan juga bahasa sasaran, penerjemah harus mampu melihat reaksi yang mungkin muncul dari penerima Tsu dan mengantisipasi reaksi yang mungkin muncul dari penerima Tsa serta menguji kecukupan fungsional dari terjemahan yang dihasilkan. Meskipun penerjemah bukanlah pengirim Tsu, penerjemah menghasilkan suatu teks komunikatif di dalam budaya sasaran yang mengungkapkan maksud-maksud pada Tsu. Pentingnya melihat penerjemahan sebagai transfer antarbudaya dan antarindividu karena suatu kenyataan bahwa penerjemahlah orang pertama yang dianggap sebagai aktor dalam proses penerjemahan. Penerjemah tidak lagi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
membatasi pada penerapan prosedur penerjemahan untuk memindah Tsu ke Tsa menurut prinsip kesamaan (equivalence) tetapi juga prinsip transfer budaya. Penerjemahan sebagai suatu transfer budaya maksudnya adalah bahwa penerjemahan tidak lagi semata-mata sebagai transfer komunikasi tetapi sebagai suatu penawaran informasi pada kegiatan komunikatif yang telah terjadi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Nord sebagai berikut: A text can therefore only be an offer of information, from which the receiver will choose the pieces that are relevant to his situation and purpose. In the same vein, every translation, independent of its function and text type (genre), is an offer of information in the target language and its target culture based on information offered in the form of a source text in a source language and its source culture. Translation is thus no longer simply a transfer of communication but an offer of information on a communicative act that has already taken place. (1997: 141) Maksudnya bahwa penerjemah suatu teks tidak akan pernah dapat menuntut bahwa suatu teks diterima pembaca berdasarkan keinginan tersendiri dari penerjemah. Penerjemah hanya dapat menyarankan suatu pemahaman tertentu dari suatu teks. Cara teks tersebut dipahami akan tergantung pada situasi dan masing-masing pembaca. Beragam pembaca akan memahami teks yang sama secara berbeda-beda, meskipun mereka yang berasal dari budaya yang sama sekalipun. Oleh karena itu, suatu teks hanya dapat menjadi sebagai tawaran informasi dan pembacalah yang akan memilih teks terjemahan yang sesuai dengan situasi dan tujuan pembaca. Berdasarkan informasi di dalam Tsu, penerjemah akan memilih informasi sesuai dengan harapannya terhadap penerima sasaran dan situasi pembaca. Di sini jelas bahwa harapan-harapan tersebut danto juga tawaran informasi terhadap Tsa commit user
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
akan berbeda dengan tawaran informasi dalam Tsu karena penerima Tsu dan Tsa memiliki komunitas budaya dan bahasa yang berbeda. Suatu kenyataan bahwa perbedaan budaya pastilah memiliki aturan dan norma yang berbeda pula dan oleh karena itu di dalam penerjemahan Tsa tidak akan pernah menawarkan sejumlah informasi yang sama atau hampir sama dengan Tsu melainkan menawarkan informasi yang berbeda dengan cara yang berbeda pula. Lebih lanjut Nord (1997:60) menyatakan bahwa: Since the translator cannot always derive the purpose the translation is to fulfill in the target language and target culture from the source text or his own experience, he needs a translation brief. It is either given to the translator by the initiator/commissioner or established in a discussion between the translator and initiator/commissioner.
Jadi, penerjemahan tidak lagi hanya ditentukan oleh adanya prinsip kesepadanan (equivalence) tetapi berdasarkan kecukupan (adequacy). Namun demikian, terjemahan tersebut harus masih bertalian secara logis atau masuk akal (coherent). Suatu penerjemahan dikatakan bertalian secara logis bila penerjemahan tersebut mempunyai makna terhadap penerima atau sasaran atau sebagaimana yang dinyatakan oleh Nord (1997:35) ”...it should make sense in the communicative situation and culture in which it is received”. Pertalian inilah yang disebut dengan koherensi intratekstual, yang berbeda dengan koherensi intertekstual yang mengacu pada hubungan antara Tsu dan Tsa. Hubungan antara Tsu dan Tsa ini tergantung pada interpretasi penerjemah terhadap Tsu dan fungsi commit to Tsa yang harus dipenuhi oleh penerjemah di user dalam budaya sasaran.
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
Berdasarkan pada pernyataan tersebut di atas, Reiss dan Vermeer (2000:221-232) merumuskan teori penerjemahan umum yang terdiri dari lima aturan dasar, dengan aturan keenam yang menyatakan bagaimana kelima aturan tersebut saling berhubungan. Keenam aturan tersebut adalah: a) A translation depends on its skopos, i.e. its intended purpose. b) A translation is an offer of information in the target culture and target language based on an offer of information in the source culture and source language. c) A translation presents an offer of information and is as such not reversible. d) A translation must be coherent in itself. e) A translation must be coherent with regard to its source text. f) The above rules are hierarchically interlinked in the stipulated order. Maksud dari teori umum di atas adalah bahwa: a) Suatu terjemahan tergantung pada tujuan yang diinginkan. b) Suatu terjemahan merupakan tawaran informasi di dalam budaya sasaran dan bahasa sasaran berdasarkan tawaran informasi di dalam budaya dan bahasa sumber. c) Suatu terjemahan menyajikan tawaran informasi dan bukan sebaliknya (Tsu tidak dapat dihasilkan dari Tsa). d) Suatu terjemahan harus bertalian logis di dalam teks itu sendiri (koherensi intratekstual). e) Suatu terjemahan harus bertalian logis dengan Tsunya (koherensi intertekstual). f) Aturan-aturan di atas secara hirarkhi saling berhubungan. Berdasarkan rumusan di atas terlihat bahwa penerjemahan menggabungkan prinsip-prinsip penerjemahan sebagai komunikasi antarbudaya dan transfer budaya dan tujuan (skopos) commitmenempati to user posisi teratas. Namun
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
demikian, Nord (1997: 124-128) percaya bahwa seorang penerjemah juga harus mempertimbangkan penulis Tsu, penggagas, dan pembaca Tsa. Hal ini berarti bahwa seorang penerjemah tidak mungkin menghasilkan Tsa yang bertentangan dengan maksud penulis Tsu atau gagasan pembaca Tsa mengenai apakah suatu penerjemahan menjadi berterima di dalam budaya sasaran. Tanggung jawab penerjemah dalam mempertimbangkan hal tersebut di atas disebut dengan loyalty (kesetiaan), yaitu mengacu pada hubungan interpersonal antara partisipan di dalam proses komunikasi penerjemahan dan membatasi jangkauan fungsi Tsa yang dapat dijangkau untuk satu Tsu tertentu, sedangkan fungsi mengacu pada faktor-faktor yang membuat Tsa bekerja sesuai dengan yang dimaksud di dalam situasi sasaran. Fungsional dan kesetiaan berarti bahwa penerjemah akan berusaha menghasilkan Tsa yang fungsional yang sesuai dengan uraian ringkas terjemahan yang dimaksudkan oleh penggagas dan akan diterima oleh pembaca Tsa karena memasukkan pertimbangan-pertimbangan budaya tertentu. Baker (2001: 127) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penerjemahan karya susastra adalah suatu karya penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah karya susastra. Dengan kata lain bahwa penerjemahan karya susastra merupakan kegiatan subjektif murni pada ranah sosial dan budaya yang kompleks yang dilakukan oleh penerjemah dengan memadukan unsur-unsur imajinatif, intelektual, dan intuisi ke dalam suatu karya tulis yang disebut dengan terjemahan. Sementara itu, Gunarwan (2005: 4) menyatakan bahwa penerjemahan karya susastra termasuk ke dalam golongan penerjemahan literer, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
yaitu penerjemahan yang mengacu pada penerjemahan karya susastra baik prosa maupun puisi. Dengan melihat pada cakupan ranah yang luas dan penggunaan unsurunsur yang kompleks dari pernyataan-pernyataan di atas, penerjemahan literer atau penerjemahan karya susastra dianggap lebih sukar daripada penerjemahan nonliterer karena pada dasarnya karya susastra lebih bersifat ekspresi diri si pengarang yang berpusat pada efek dan kesan yang ditimbulkan kepada para pembacanya, dan di dalam penerjemahan karya susastra tersebut, penerjemah dituntut untuk menghasilkan padanan yang dinamis, yaitu padanan yang efeknya dirasakan oleh pembaca bahasa sasaran sebanding dengan efek yang dirasakan oleh pembaca bahasa sasaran (Nida dan Taber, 1974). Penerjemah di dalam karya susastra di samping harus menguasai bahasa sumber, bahasa sasaran, bidang ilmu yang diterjemahkan, teori terjemahan, juga dituntut menguasai hal lain yang berhubungan dengan ilmu susastra, yaitu yang berupa pemahaman latar belakang pengarang, gaya bahasa, gaya pengarang dalam menuangkan ide cerita, aspekaspek budaya dalam karya, dan lain-lain.
2.2.6 Teori Polisistem Even-Zohar (1997:9-45) di dalam model yang dikembangkannya, yaitu teori polisistem, melihat penerjemahan karya susastra sebagai bagian dari sistem budaya, susastra, dan sejarah dari bahasa sasaran (Munday, 2000:108). Karya susastra tidaklah dilihat sebagai karya yang dipelajari secara terpisah namun sebagai bagian dari sistem susastra yang dinamis di dalam polisistem secara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
87 digilib.uns.ac.id
keseluruhan dengan menekankan bahwa penerjemahan karya susastra bekerja pada sistem: (1) bahasa sasaran memilih karya untuk penerjemahannya, dan (2) norma, tingkah laku, dan kebijakan penerjemahan dipengaruhi oleh sistem yang lain (co-system). Sebagaimana dinyatakan oleh Shuttleworth and Cowie (dalam Munday, 2000: 109) bahwa: ”The polysystem is conceived as a heterogeneous, hierarchized conglomerate (or system) of systems which interact to bring about an ongoing, dynamic process of evolution within the polysystem as a whole”. Pernyataan tersebut mengandung dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu hirarki dan proses evolusi yang dinamis. Yang dimaksud dengan hirarki adalah mengacu pada posisi dan interaksi dari strata yang berbeda dari polisistem. Bila posisi tertinggi diduduki oleh jenis karya susastra inovatif, maka strata yang lebih rendah diduduki oleh jenis karya susastra konservatif, begitu pula sebaliknya. Proses evolusi yang dinamis menunjukkan bahwa hubungan antara sistem inovatif dan konservatif suatu karya susastra tidaklah tetap atau statis, namun mungkin menempati posisi utama atau kedua di dalam polisistem. Bila karya susastra terjemahan menempati posisi utama berarti bahwa karya susastra tersebut memberi pengaruh yang sangat kuat dalam polisistem dan sebaliknya bahwa karya susastra yang menempati posisi kedua berarti bahwa karya susastra tersebut sangat lemah dan tidak memiliki pengaruh yang berarti. Di dalam polisistem nampak bahwa posisi yang diduduki oleh karya terjemahan di dalam polisistem menentukan strategi penerjemahan. Apabila karya terjemahan merupakan karya utama, penerjemah tidak akan merasa terbatasi commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk mengikuti model susastra sasaran dan lebih siap untuk berekspresi, dan penerjemah seringkali menghasilkan Tsa yang sangat sepadan atau berkecukupan (adequacy) dengan bahasa sumber. Sebaliknya, bila karya terjemahan menempati posisi kedua, penerjemah cenderung menggunakan model budaya sasaran yang sudah ada untuk Tsa dan menghasilkan penerjemahan yang tidak berkecukupan (non-adequate). Dengan dasar pada teori Even-Zohar, Toury (1995) mengembangkan suatu teori penerjemahan umum yang dikenal dengan Descriptive Translation Studies dengan mengusulkan tiga fase metodologi, yaitu: a)
Menempatkan teks di dalam sistem budaya sasaran dengan melihat kepentingan dan keberterimaannya.
b)
Membandingkan Tsu dan Tsa, mengidentifikasi hubungan antara pasangan segmen-segmen Tsu dan Tsa, dan berusaha memberikan generalisasi konsep penerjemahannya.
c)
Membuat gambaran pembuatan keputusan untuk penerjemahan berikutnya. Menilik pada metodologi di atas, tampak bahwa salah satu langkah
penting di dalam penerjemahan adalah kemungkinan pengulangan pada fase pertama dan fase kedua bagi pasangan teks yang sama lainnya untuk memperluas dan membangun profile penerjemahan sesuai dengan jenis teks, pengarang, pembaca, dan sebagainya (Pym, 2005:16-21). Dengan cara ini, norma-norma yang menyinggung masing-masing jenis penerjemahan dapat diidentifikasi dengan tujuan akhir penetapan penerjemahan secara umum. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
89 digilib.uns.ac.id
2.2.7 Konsep Norma Tujuan utama konsep norma yang diusulkan oleh Toury (1995) adalah untuk membedakan kecenderungan perilaku penerjemahan, membuat generalisasi yang berhubungan dengan proses pembuatan keputusan yang dilakukan oleh penerjemah dan kemudian merekonstruksi norma-norma yang telah bekerja di dalam penerjemahan dan membuat hipotesis yang dapat diuji melalui kajian deskriptif berikutnya. Definisi yang dinyatakan oleh Toury adalah sebagai berikut: ”the translation of general values or ideas shared by a community-as to what is right or wrong, adequate or inadequate-into performance instructions appropriate for and applicable to particular situations”. Menurut Toury, semua manusia memiliki kecenderungan untuk bersosialisasi dan diterima secara sosial, dan sebagai akibatnya bahwa di bawah kondisi yang normal manusia cenderung menghindari perilaku yang dilarang dan mengadopsi tingkah laku yang dianggap sesuai di dalam kelompok tempat mereka tinggal. Terdapat adanya suatu pengetahuan yang secara sosial sama antara anggota masing-masing komunitas yang dianggap sebagai hal yang baik atau pantas di dalam perilaku komunikatif. Pengetahuan tersebut muncul dalam bentuk norma-norma. Norma-norma di dalam penerjemahan sebagaimana yang ditentukan oleh Toury erat sekali hubungannya dengan suatu ideologi, dengan kata lain bahwa norma-norma dapat dipahami sebagai perwujudan ideologi dari konsep kebersesuaian dan keberterimaan. Menurut Toury bahwa norma mengatur setiap langkah pengambilan keputusan di dalam proses penerjemahan mulai dari pilihan teks yang akan commit to user
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diterjemahkan sampai pada pilihan paling akhir dalam proses strategi penerjemahannya. Lebih lanjut, Toury memperkenalkan tiga jenis norma: a) initial norm; b) preliminary norms; dan c) operational norms. Initial norm (Bagan 2.3) mengacu pada pemilihan secara umum yang dilakukan oleh penerjemah. Di dalam norma ini penerjemah dapat memusatkan diri mereka sendiri ke dalam norma-norma yang diwujudkan di dalam Tsu atau norma-norma dari bahasa dan budaya sasaran. Apabila diwujudkan ke dalam Tsu, maka Tsa akan menjadi mencukupi (adequate); dan apabila di dalam norma budaya sasaran, maka Tsa akan menjadi berterima (acceptable). Kutub dari kebercukupan dan keberterimaan adalah pada suatu rangkaian kesatuan karena pada dasarnya tidak ada penerjemahan yang secara penuh berkecukupan atau berterima dan pergeseran-pergeseran di dalam penerjemahan adalah hal yang tidak terelakkan.
Initial norm Subjection to source norms
Subjection to target culture norms
Adequate translation
Acceptable translation
Bagan 2.5 Initial Norm
commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Preliminary norms (Bagan 2.4) mengatur semua keputusan yang dilakukan yang berkaitan dengan translation policy dan translation directness. Translation policy mengacu pada faktor-faktor yang menentukan dan mengatur semua keputusan pemilihan jenis teks untuk diterjemahkan ke dalam budaya atau bahasa tertentu dalam kurun waktu tertentu, sedangkan directness of translation berhubungan dengan apakah penerjemahan terjadi melalui bahasa perantara, dan juga pada ambang toleransi mengenai bahasa apa yang digunakan dalam menerjemahkan ke budaya sasaran.
Preliminary norms
Translation policy
Directness of translation
Bagan 2.6 Preliminary Norms Operational norms (Bagan 2.5) mengacu pada keputusan langsung yang diambil selama kegiatan penerjemahan. Keputusan ini digolongkan ke dalam matricial norms dan textual-linguistic norms. Matricial norms mengatur segmentasi dan distribusi materi tekstual di dalam Tsa. Textual-linguistic norms mengatur pemilihan materi untuk membuat Tsa ataupun mengganti materi Tsu.
commit to user
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Operational norms
Matricial norms
Textual-linguistic norms
Bagan 2.7 Operational Norms
Dengan pengaruh karya Even-Zohar dan Toury, beberapa pakar memberikan paradigma baru mengenai penerjemahan susastra, sebagaimana yang dinyatakan oleh Hermans dalam Munday (2000: 120) sebagai berikut: What they have in common is a view of literature as a complex and dynamic system: a conviction that there should be a continual interplay between theoretical models and practical case studies: an approach to literary translation which is descriptive, target-organized, functional and systemic; and an interest in the norms and constraints that govern the production and reception of translations, in the relation between translation and other types of text processing, and in the place and role of translations both within a given literature and in the interaction between literatures.
Dari pernyataan Hermans di atas tampak jelas bahwa terdapat suatu hubungan yang sangat kuat antara teori polisistem dan Descriptive Translation Studies, suatu hubungan yang saling berkesinambungan antara teori dan praktek penerjemahan. Lebih lanjut, Lambert dan Hendrik van Gorb (dalam Munday, 2000:120) membuat suatu skema yang dapat digunakan untuk membandingkan sistem kesusastraan dalam Tsu dengan Tsa dan penggambaran hubungan antara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
93 digilib.uns.ac.id
keduanya. Lambert dan van Gorb membagi skema tersebut ke dalam empat bagian: a)
Preliminary data: pada tahap ini peneliti mengidentifikasi informasi pada halaman judul, metateks (pendahuluan, dan sebagainya), dan strategi umum (apakah terjemahan tersebut sebagian atau lengkap). Hasilnya akan mengarah pada hipotesis yang berkaitan dengan level 2 dan 3 berikut ini.
b) Macro-level: pada tahap ini peneliti melihat pada pembagian teks, judul dan penyajian bab, struktur naratif internal dan komentar penulis. Tingkat ini akan memunculkan hipotesis pada level 3 berikut ini. c)
Micro-level: yaitu peneliti mengidentifikasi pergeseran pada tingkat kebahasaan yang berbeda yang meliputi tingkat leksikal, pola gramatikal, narasi, sudut pandang dan modalitas. Hasil dari tingkat ini akan berinteraksi dengan tingkat makro (level 2) dan mengarah pada konteks sistemik yang lebih luas.
d) Sistemic context: pada tahap ini tingkat mikro dan makro, teks dan teori dibandingkan dan norma-norma diidentifikasi. Hubungan intertekstual (hubungan dengan teks-teks yang lain di dalam penerjemahan) dan hubungan intersistemik (hubungan dengan tipe teks yang lain) juga digambarkan. Sementara itu, Suryawinata (1982: 83) dan Suparman (2003: 143) menyatakan bahwa penerjemah karya susastra harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: a) Memahami bahasa sumber secara hampir sempurna. Dalam tingkat rekognisi kemampuannya diharapkan mendekati seratus persen. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
b) Menguasai dan mampu memakai bahasa sasaran dengan baik dan efektif. c) Mengetahui dan memahami susastra, apresiasi susastra, serta teori terjemahan. d) Mempunyai kepekaan terhadap karya susastra. e) Memiliki keluwesan kognitif dan keluwesan sosiokultural. f) Memiliki keuletan dan motivasi yang kuat.
2.2.8 Konsep Kesepadanan Penerjemahan pada dasarnya merupakan pengalihan suatu pesan dan gaya bahasa suatu teks yang sepadan dari bahasa yang satu (bahasa sumber) ke bahasa yang lain (bahasa sasaran). Dengan kata lain bahwa kegiatan penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah selalu ditujukan untuk mencari padanan yang optimal dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Padanan yang optimal adalah tujuan akhir penerjemahan (Zhu, 2004). Di dalam usaha mencari suatu padanan yang optimal bukanlah hal yang mudah bagi penerjemah dan seringkali menimbulkan banyak masalah. Masalah-masalah tersebut sebagai akibat adanya perbedaan gramatikal, semantik, dan sosiokultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Menurut Machali (2000, 106) kesepadanan bukanlah kesamaan. Hal ini karena bahasa berbeda satu sama lain baik yang menyangkut bentuk maupun kaidah yang mengatur konstruksi gramatikal. Hal senada disampaikan oleh Bassnett (2002:37) bahwa kesepadanan (equivalence) di dalam penerjemahan seharusnya tidak disebut dengan kesamaan (sameness) karena kesamaan tidak dapat muncul bersama antara dua bentuk Tsa dari teks yang sama, namun tetap berdiri sendiri antara Tsu dan Tsa. Sementara itu, Pym (2007:2) mengatakan bahwa teks bahasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
sumber dan teks bahasa sasaran tidak bisa disebut berpadanan karena konsep terjemahan itu sendiri pada dasarnya secara budaya berbeda dan memiliki konsep sendiri-sendiri. Lebih lanjut, menurut Nababan (2008) suatu kesepadanan penerjemahan antara Tsa dengan Tsu sangatlah problematik, dalam arti bahwa kesepadanan mutlak sangatlah sulit dicapai. Hal ini karena tiga alasan, yaitu: tidak mungkin suatu teks memiliki interpretasi yang konstan sama meskipun dari orang yang sama dalam kesempatan yang berbeda; penerjemahan merupakan interpretasi subjektif dari penerjemah (sama dengan pendapat William, 2001) ; dan tidak mungkin bagi seorang penerjemah untuk menentukan bagaimana tanggapan pembaca terjemahan terhadap Tsu ketika Tsu tersebut pertama kali dibuat. Di dalam usaha mencari hubungan padanan ini, beberapa pakar penerjemahan (Catford (1974); House (1977:49); Newmark (1981); Nida and Taber (1982:200201); Bell (1991:6); Baker (1992:11-12); Vinay dan Darbelnet (1995:342); Munday (2000); Jakobson (2000: 233)) menyodorkan berbagai pendapat mengenai konsep kepadanan dalam penerjemahan. Vinay and Darbelnet (1995:342) memandang kesepadanan sebagai suatu prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya meskipun pengalihannya menggunakan kata-kata yang berbeda antara Tsa dengan Tsu. Menurut Vinay dan Darbelnet, apabila prosedur ini diterapkan dalam proses penerjemahan, prosedur tersebut mampu menjaga bentuk atau gaya dari Tsu ke dalam Tsa. Oleh karena itu, kesepadanan tersebut merupakan metode yang sangat ideal di dalam menerjemahkan peribahasa, idiom, frase nominal atau sifat, dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
96 digilib.uns.ac.id
juga onomatopi suara binatang. Lebih lanjut Vinay dan Darbelnet mengatakan penciptaan kesepadanan muncul dari suatu situasi, yaitu situasi di dalam Tsu yang akan dicarikan solusinya atau padanannya oleh penerjemah. Di dalam mencari padanan ini, penerjemah tidaklah cukup apabila hanya mencarikan padanannya melalui kamus atau glosari saja, namun juga harus mencari padanannya di dalam situasi atau konteks yang sama atau dalam istilah mereka di sebut dengan 'full equivalents'. Kesepadanan menurut Jakobson (2000: 233) adalah penggunaan sinonim untuk mendapatkan makna dari Tsu (hal yang sama juga disampaikan oleh Amstrong, 2005:44). Hal ini berarti bahwa di dalam penerjemahan tidak ada yang namanya full equivalence antara fitur-fitur kebahasaaan di dalam Tsu dan Tsa. Di dalam konsep kesepadanan ini dapat dijelaskan bahwa penerjemahan melibatkan dua pengalihan pesan yang sepadan di dalam dua fitur kebahasaan yang berbeda. Lebih lanjut Jakobson mengatakan bahwa dari sudut pandang gramatikal bahasa pastilah berbeda satu sama lain, namun perbedaan tersebut tidak berarti bahwa penerjemahan tidak dapat dilakukan, atau dengan kata lain bahwa penerjemahan tetap dapat dilakukan meskipun menghadapi masalah di dalam mencari padanan penerjemahan. Di dalam mencari padanan ini dapat dilakukan dengan cara peminjaman kata (loanwords), pergeseran semantik, atau penciptaan kata sendiri. Konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Jakobson ini dapat dijelaskan bahwa di dalam hal-hal tertentu tidak ada kesepadanan literal untuk kata-kata atau kalimat tertentu atau khas di dalam Tsu dan oleh karena itu penerjemah harus memilih atau mencari cara yang paling sesuai atau memungkinkan diterapkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
97 digilib.uns.ac.id
pada Tsa. Di sini nampak bahwa ada kesamaan antara konsep kesepadanan Vinay dan Darbelnet dengan konsep Jakobson. Kedua konsep kesepadanan tersebut menekankan bahwa apabila pendekatan linguistik sudah tidak lagi sesuai di dalam menerjemahkan, penerjemah harus mencari prosedur yang lain misalnya pinjaman kata (loanwords), pergeseran semantik, dan sebagainya. Kedua konsep tersebut menjelaskan keterbatasan teori linguistik dan menjelaskan bahwa penerjemahan tetap dapat dilakukan karena masih terdapat cara-cara lain yang dapat dipilih oleh penerjemah. Menurut Nida (1982:200-201) terdapat dua jenis kesepadanan, yaitu kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis. Kesepadanan formal mengacu pada kesepadanan maksimal pada kata atau frase bahasa sumber. Nida dan Taber memberikan kejelasan bahwa tidak selalu ada kesepadanan formal antara dua bahasa. Oleh karena itu, Nida dan Taber menyarankan bahwa kesepadanan formal dipakai apabila penerjemahan bertujuan untuk mendapatkan kesepadanan yang benar-benar formal daripada kesepadanan yang sifatnya dinamis. Penggunaan kesepadanan formal ini membawa implikasi yang cukup serius di dalam Tsa karena penerjemahan tersebut tidak akan mudah dipahami oleh pembaca (Fawcett, 1997). Nida dan Taber sendiri menyatakan bahwa kesepadanan formal pada umumnya menyimpangkan pola gramatikal dan gaya dari bahasa sasaran, dan oleh karenanya juga menyimpangkan pesan atau makna yang disampaikan kepada pembaca karena pembaca akan sangat sulit memahami pesan yang disampaikan. Kesepadanan dinamis mengacu pada prinsip penerjemahan bahwa penerjemah berusaha mencari makna asli sedemikian rupa sehingga kata-kata di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
dalam Tsa akan membangkitkan pengaruh atau efek yang sama kepada pembaca sasaran sebagaimana pengaruh atau efek yang dibangkitkan Tsu terhadap pembaca Tsu. Hal ini berarti bahwa bentuk atau gaya di dalam Tsu dapat diubah sepanjang perubahan tersebut mengacu pada konsistensi kontekstual dalam pengalihannya. Konsep kesepadanan oleh Nida dan Taber ini menyiratkan secara jelas bahwa kesepadanan dinamis lebih efektif (Ibrahim, 2008:1) daripada kesepadanan formal karena hal ini dapat dipahami bahwa konteks atau situasi jauh lebih akurat dan komunikatif daripada menggunakan pendekatan linguistik di dalam menerjemahkan, atau dengan kata lain kualitas pragmatik-semantik lebih menjelaskan kesepadanan dalam penerjemahan daripada sekadar kesepadanan harfiah saja. Atau dalam pandangan Hatim dan Munday (2004:27) bahwa kesepadanan formal hanya melibatkan pendeskripsian sistem kebahasaan saja (langue) dan bukannya perbandingan dan kesepadanan antara Tsu dan Tsa. Newmark (1981) membedakan konsep kesepadanan antara kesepadanan semantik dan kesepadanan komunikatif. Sama halnya dengan konsep kesepadanan dinamis yang diberikan oleh Nida dan Taber, kesepadanan komunikatif juga berusaha menciptakan efek terhadap pembaca Tsa yang sama dengan apa yang diterima oleh pembaca Tsu. Munday (2000) menggambarkan konsep kesepadanan dalam lima jenis kesepadanan, yaitu: (1) kesepadanan denotatif, yaitu yang berhubungan dengan kesepadanan ekstralinguistik suatu teks, (2) kesepadanan konotatif, yaitu yang berhubungan dengan pilihan-pilihan leksikal, (3) kesepadanan teks-normatif, yaitu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
yang berhubungan dengan jenis-jenis teks, (4) kesepadanan pragmatik, atau kesepadanan komunikatif, yaitu kesepadanan yang ditujukan pada pembaca teks, dan (5) kesepadanan formal, yaitu kesepadanan yang berhubungan dengan bentuk atau gaya suatu teks. Konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Catford (1974) ini benar-benar berbeda dengan yang ditawarkan oleh Vinay dan Darbelnet, Jakobson, maupun Nida dan Taber karena Catford lebih menekankan pada pendekatan yang berbasis linguistik dengan kontribusi terbesarnya di dalam terjemahan yaitu mengenai pergeseran terjemahan (translation shift). Gagasan mengenai pergeseran terjemahan tersebut pada dasarnya berawal dari perbedaan antara kesepadanan formal dan kesepadanan tekstual. Di dalam terjemahan terikat (rank-bound translation), kesepadanan dilakukan secara kata per kata atau morfem per morfem di dalam Tsa. Sementara itu, di dalam terjemahan bebas (unbounded translation), kesepadanan tidak terikat pada tataran tertentu, dalam arti bahwa kesepadanan dapat ditemukan di dalam tingkat kalimat, klausa, ataupun tingkat yang lain. Oleh karena itu, menurut Catford bahwa kesepadanan formal selalu ada antara Tsu dan Tsa dan memiliki konfigurasi yang sama di dalam tataran (ranks) Tsu dan Tsa. Salah satu masalah yang nyata di dalam kesepadanan formal adalah meskipun bermanfaat di dalam perbandingan bahasa, namun tidak benar-benar sesuai di dalam memcari kesepadanan terjemahan antara Tsu dan Tsa. Sementara itu, kesepadanan tekstual terjadi ketika teks di dalam bahasa sasaran diselaraskan supaya sepadan dengan teks yang ada di dalam bahasa sumber. Sejauh pergeseran terjemahan dapat dilakukan, maka kesepadanan terjemahan dapat dilakukan. commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan alasan ini, Catford membedakan pergeseran terjemahan dengan pergeseran tingkat (level shifts) dan pergeseran kategori (category shifts). Konsep kesepadanan Catford ini menuai banyak kritik. Salah satu kritik yang paling tajam berasal dari Snell-Hornby (1988:19-20), yaitu yang mengatakan bahwa definisi kesepadanan tekstual Catford yang sangat bergantung pada faktor tekstual ‘benar-benar tidak cukup’ di dalam proses penerjemahan. Snell-Hornby menyatakan bahwa proses penerjemahan tidak cukup hanya dengan pengurangan atau pergeseran pada tataran linguistik saja, namun masih ada faktor-faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu aspek budaya dan konteks. House (1977:49) lebih menekankan pada kesepadanan semantik dan pragmatik dan menyatakan bahwa Tsu dan Tsa seharusnya memiliki fungsi dan dimensi situasional yang sama. Jadi, apabila Tsu dan Tsa secara substansial berbeda dimensi situasinya dan kemudian secara fungsinya tidak sepadan, maka terjemahan tersebut tidak memiliki kualitas terjemahan yang tinggi. Sementara itu, Baker mengeksplorasi kesepadanan dalam berbagai tingkatan di dalam proses penerjemahan. Menurut Baker (1992:11-12), kesepadanan dapat digolongkan ke dalam: (a) kesepadanan kata, yaitu kesepadanan antar kata, (b) kesepadanan gramatikal, yaitu mengacu pada perbedaan-perbedaan kategori gramatikal bahasa sumber dengan bahasa sasaran, (c) kesepadanan tekstual, yaitu mengacu pada kesepadanan antara Tsu dan Tsa dalam hal makna dan kohesinya, dan (d) kesepadanan pragmatik, yaitu mengacu pada implikatur dan strategi yang digunakan selama proses penerjemahan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
101 digilib.uns.ac.id
Bell (1991:6) membagi kesepadanan berdasar sifat bahasa itu sendiri, yaitu sebagai struktur formal dan sebagai sistem komunikasi. Bahasa sebagai struktur formal terdiri dari unsur-unsur yang dikombinasikan dan yang memiliki makna. Bahasa sebagai sistem komunikasi dalam arti bahwa bentuk-bentuk struktur formal tersebut mengacu pada entitas dan disertai dengan sinyal-sinyal yang memiliki nilai komunikasi. Berdasarkan sifat bahasa ini kesepadanan terjemahan dibedakan atas kesepadanan formal, yaitu kesepadanan yang bebas konteks, dan kesepadanan fungsional, yaitu kesepadanan yang berorientasi pada nilai-nilai komunikasi teks. Dari beberapa konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh para pakar tersebut, secara substansial dapat dilihat bahwa beberapa pakar lebih berfokus pada aspek linguistik dan beberapa pakar lain lebih pada fungsinya. Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Leonardi (2000:1) bahwa konsep kesepadanan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) kelompok pakar penerjemahan yang mendasarkan pada pendekatan linguistik di dalam upaya mencari kesepadanan di dalam menerjemahkan, (2) kelompok pakar penerjemahan yang mendasarkan kesepadanan dengan melihat pada perbedaan aspek pragmatik/semantik, fungsi, dan budaya, dan (3) kelompok pakar penerjemahan yang berdiri di tengah-tengah, yang menganggap bahwa penerjemahan dapat didasarkan pada pendekatan linguistik maupun dengan melihat pada perbedaan aspek semantik dan budaya. Di dalam penelitian ini, konsep kesepadanan yang ditawarkan oleh Vinay dan Darbelnet dan konsep kesepadanan oleh Jakobson digunakan sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
landasan di dalam menentukan kesepadanan makna dan gaya. Kedua konsep tersebut dianggap mewakili dalam menentukan konsep kesepadanan di dalam penelitian ini, yaitu bahwa kesepadanan adalah sebagai suatu prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya meskipun pengalihannya menggunakan kata-kata yang berbeda antara Tsa dengan Tsu. Di dalam mencari padanan ini, penerjemah tidaklah cukup apabila hanya mencarikan padanannya melalui kamus atau glosari saja, namun juga harus mencari padanannya di dalam situasi atau konteks yang sama. Kedua konsep kesepadanan tersebut juga menekankan bahwa apabila pendekatan linguistik sudah tidak lagi sesuai di dalam menerjemahkan, penerjemah harus mencari prosedur yang lain misalnya pinjaman kata (loanwords), pergeseran semantik, atau cara-cara lain yang dapat dipilih oleh penerjemah. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa karena adanya perbedaan gramatikal, semantik, dan sosio-kultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, maka diperlukan strategi pemecahan masalah padanan. Strategi tersebut dapat berupa penambahan informasi, pengurangan informasi, dan penyesuaian struktur (Newmark, 1988:85-91). Penambahan informasi adalah memasukkan informasi yang tidak ada dalam Tsu ke dalam Tsa. Informasi yang ditambahkan dapat berupa informasi kultural, teknis, atau kebahasaan. Penghilangan informasi mengacu pada penghilangan isi dan bukan penyelarasan struktur untuk menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Penyesuaian struktur mengacu pada perubahan atau pergeseran tatabahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Tujuan penyesuaian struktur ini adalah untuk menghasilkan terjemahan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
103 digilib.uns.ac.id
sepadan makna dan gayanya. Sementara itu, menurut Aguardo (2005:294) strategi lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kesepadanan adalah dengan menggunakan berbagai strategi menerjemahkan dengan memperhatikan pada tataran kata, kalimat, dan pertanyaan-pertanyaan pada makna-makna leksikal. Namun demikian, karena tidak ada dua bahasa yang secara sistematis dan budaya sama, maka pergeseran tersebut: penambahan, penghilangan, dan substitusi perlu dilakukan namun tidak dalam setiap kesempatan (Riazi, 2008). Penerjemah perlu mempertimbangkan secara mendalam penggunaan gaya di dalam Tsa. Apabila terdapat perbedaan yang sangat lebar antara dua bahasa, penerjemah dapat merubahnya ke dalam bentuk atau gaya yang sesuai di dalam bahasa sasaran yang didasarkan pada suatu konteks yang melatarinya (Pinto, 2001; House, 2001) dan juga tugas penerjemah perlu mengenali jenis-jenis teks sebelum memulai menerjemahkan (Nieminen, 2004).
2.2.9 Evaluasi Kualitas Terjemahan Penilaian penerjemahan selalu melibatkan dua hal penting, yaitu bagaimana pesan dan bentuk Tsu dialihkan ke dalam teks terjemahan. Jadi, penilaian terjemahan pada dasarnya berkisar pada bagaimana kedua hal tersebut dialihkan. Umumnya, yang ditekankan pada penilaian adalah pengalihan makna, yaitu apakah pesan yang disampaikan tetap setia pada Tsu atau adakah pesan yang hilang ataupun ditambah. Penilaian berikutnya adalah pada bentuk, yaitu apakah bentuk Tsa atau teks terjemahan dapat terbaca sebagai tulisan asli atau commit to user
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak, apakah ada atau tidak interferensi dari bahasa sumber, dan ada atau tidakkah kesalahan gramatikal di dalam Tsa. Evaluasi terhadap kualitas terjemahan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Soemarno (1988: 33-35) menyatakan bahwa cara-cara menilai suatu terjemahan dapat dilakukan melalui: (a) terjemahan balik, (b) pengujian pemahaman, (c) pengujian melalui performansi seseorang. a) Terjemahan Balik Suatu teks dalam bahasa A diterjemahkan ke dalam bahasa B. Hasil terjemahan dalam bahasa B diterjemahkan kembali ke dalam A1. Untuk menilai hasil terjemahan itu, terjemahan A1 dibandingkan dengan teks asli A. Semakin dekat terjemahan A1 dibandingkan dengan teks asli A, semakin tinggi nilainya. Terjemahan A1 memang tidak akan sama dengan teks asli A. b) Pengujian Pemahaman Teks dalam bahasa A diterjemahkan ke dalam bahasa B. Seseorang, dengan membaca hasil terjemahan dalam bahasa B itu, diminta untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan atau kuesioner dalam bahasa B yang materinya diambil dari teks dalam bahasa A. Jawaban terhadap kuesioner tersebut digunakan untuk menilai hasil terjemahan tersebut. c)
Pengujian Melalui Performansi Seseorang Cara ini digunakan untuk menilai suatu terjemahan dari suatu naskah yang bersifat teknis. Pengujian ini dilakukan dengan menyuruh seseorang melakukan suatu perbuatan sesuai dengan apa yang dituliskan dalam naskah yang diterjemahkan tersebut.
commit to user
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Di samping cara menilai terjemahan seperti yang disampaikan Soemarno di atas, cara-cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan teknik cloze (cloze technique), teknik membaca dengan suara nyaring (reading aloud technique), dan pendekatan berdasar padanan (equivalence based approach). a.
Teknik Cloze Teknik cloze merupakan tes pemahaman pembaca yang digunakan sebagai
suatu indikator tentang sukar atau mudahnya teks terjemahan bagi pembaca (Suryawinata, 1982: 107). Indikator kemudahan teks cukup dilihat dari persentasi, yaitu 75% pembaca dapat mengerjakan dengan benar 50% dari soal berarti teks terjemahan itu cukup mudah dipahami, yang berarti penerjemahannya dapat dianggap cukup baik. Menurut Nababan (2004: 20), teknik cloze ini menggunakan tingkat keterpahaman pembaca terhadap teks bahasa sasaran sebagai prediktor kualitas terjemahan. Semakin mudah pembaca menebak kata berikutnya dalam kalimat dalam suatu terjemahan, semakin mudah kata tersebut dapat dipahami dalam konteks tertentu. Teknik cloze ini dianggap memiliki ciri-ciri tes integratif dan bahkan pragmatik. Tes cloze selalu menggunakan wacana yang mengandung konteks, bukan semata-mata kalimat-kalimat lepas. Mengerjakan tes yang menggunakan wacana mensyaratkan kemampuan memahami unsur-unsur kebahasaan maupun non-kebahasaan, sebagai bagian dari pemahaman terhadap wacana secara keseluruhan. Kemampuan untuk mengerjakan tes cloze mengandalkan pada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
kemampuan memahami wacana tulis, yang ditunjang oleh penguasaan tatabahasa, kosakata, serta wacana secara umum. Dalam penerapannya, teknik ini digunakan sebagai suatu proses pemahaman wacana yang disertai dengan melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada. Kekurangan-kekurangan yang harus dilengkapi itu terdiri dari kata-kata yang merupakan bagian dari suatu wacana, yang dengan sengaja dihilangkan dari teks aslinya. Kemampuan untuk mengenali dan mengembalikan kata-kata yang telah dihilangkan itu secara tepat, menunjukkan tingkat kemampuan pemahaman dan merupakan sasaran tes cloze. Penghilangan kata-kata dari suatu wacana tulis merupakan ciri pokok tes cloze. Penghilangan kata-kata itu dilakukan secara sistematis, dengan menggunakan rumus yang dikenal dengan penghilangan kata ke-n. Maksudnya adalah bahwa pada suatu teks yang telah dipilih, kata yang ke-sekian (misalnya ke-7, ke-8, dan sebagainya) dihilangkan sehingga meninggalkan suatu tempat kosong. Dengan demikian pada teks yang digunakan sebagai bahan tes cloze terdapat sejumlah tempat kosong yang terjadi secara ajeg (reliabel), yaitu setiap kata ke-n. Dalam mengerjakan tes cloze, peserta harus berusaha untuk menentukan kata yang telah dihilangkan dan memasukkannya kembali ke dalam tempatnya yang sesuai, sedemikian rupa sehingga teks itu kembali utuh secara kebahasaan dan makna, seperti teks aslinya. Untuk itu dibutuhkan kemampuan berbahasa yang bersifat menyeluruh, yang tidak semata-mata terbatas pada penguasaan ejaan, penulisan, dan makna kata-kata, tetapi juga pemahaman terhadap wacana commit to user
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara keseluruhan dengan berbagai hubungan antarbagian wacana yang terdapat di dalamnya. Dalam penyelenggaraan tes cloze, hubungan antarbagian dalam wacana merupakan unsur yang penting. Untuk itu dibutuhkan wacana yang cukup panjang dan bukan sekadar kumpulan kalimat-kalimat lepas. Selain adanya hubungan antarbagian, wacana yang cukup panjang memungkinkan penghilangan kata-kata dalam jumlah yang layak untuk menyusun satu tes yang utuh. Semakin panjang teks yang digunakan, semakin banyak jumlah kata di dalamnya. Dan semakin banyak jumlah kata dalam suatu teks semakin banyak jumlah kata yang dapat dihilangkan atau semakin jarang jarak penghilangan katanya. Dapat dicatat bahwa semakin rapat jarak penghilangan kata, yang berarti semakin banyak jumlah kata yang dihilangkan, akan semakin sulit tesnya, dan sebaliknya. Tes cloze dengan penghilangan setiap kata ke-5, misalnya, lebih sulit daripada tes serupa dengan jarak penghilangan setiap kata ke-9. b.
Teknik membaca dengan suara nyaring Teknik membaca dengan suara nyaring melibatkan para pembaca dalam
menentukan kualitas terjemahan. Penilai meminta beberapa pembaca untuk membaca teks terjemahan dengan suara nyaring di hadapan pendengar. Jika para pembaca tersendat-sendat ketika membaca teks terjemahan, maka diasumsikan bahwa teks terjemahan tersebut mengandung masalah (Nababan, 2004:21). Teknik membaca dengan suara nyaring ini pada dasarnya hanyalah mengukur tingkat kelancaran membaca saja. Jika pembaca mampu membaca dengan lancar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
108 digilib.uns.ac.id
tidak menjamin bahwa pembaca tersebut benar-benar memahami isi teks terjemahan dengan baik. c.
Pendekatan berdasarkan Padanan Pendekatan berdasarkan padanan menggunakan padanan antara teks bahasa
sumber dengan teks bahasa sasaran sebagai kriteria untuk menentukan kualitas terjemahan. Sebuah terjemahan dikatakan mempunyai kualitas yang tinggi jika terjemahan yang bersangkutan dapat mencapai padanan yang optimal antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran (Nababan, 2004:26). Untuk mengetahui apakah teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran sudah sepadan, penilai perlu membandingkan kedua teks tersebut dalam hal: tipe teks, ciri kebahasaan yang digunakan, dan faktor-faktor ekstralinguistik. Tipe teks mengacu pada fungsi utama bahasa dalam suatu teks; ciri kebahasaan menyangkut ciri semantik, gramatikal, dan stilistik; dan faktor-faktor ekstralinguistik mengacu pada dampak faktor-faktor pada strategi verbalisasi, termasuk tingkat pengetahuan yang berbeda-beda tentang isi teks yang dimiliki oleh para pembaca teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran, pengetahuan dan persepsi yang berbeda-beda tentang fenomena tertentu.
2.2.10 Parameter Kualitas Terjemahan Sebagaimana dinyatakan di dalam subbab 2.2.3 bahwa makna dan gaya merupakan hal yang sangat penting dalam penerjemahan dan merupakan hal yang mendasar yang ingin dilakukan di dalam menerjemahkan. Dalam kegiatan penerjemahan, seorang penerjemah harus mampu mencari padanan makna dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
109 digilib.uns.ac.id
gaya dalam bahasa sasaran yang sedekat-dekatnya sama dengan makna yang ada dalam bahasa sumber. Di dalam usaha mencari padanan makna dan gaya tersebut perlu dirumuskan suatu parameter penilaian kualitas terjemahan. Parameter ini digunakan untuk memberikan kriteria-kriteria yang objektif mengenai kualitas hubungan antara Tsu dengan Tsa. Parameter kualitas penerjemahan dapat dilihat dari berbagai sudut atau perspektif. Menurut Gerzymisch (2001:229) parameter kualitas terjemahan dapat dilihat dari perspektif individual (an itemized perspective), perspektif pola hubungan (a relational pattern perspective), dan perspektif pola keseluruhan (a holistic perspective). Perspektif individual melihat masalah-masalah secara satu per satu yang ada di dalam suatu teks dan mengidentifikasi fenomena tekstual lokal seperti metafora, makna leksikal, makna gramatikal, makna ambigu, dan sebagainya. Perspektif pola hubungan menggambarkan pola-pola yang dapat diidentifikasi sebelumnya dengan unsur-unsur yang dapat diidentifikasi berikutnya di dalam suatu teks dan kita dapat mengidentifikasi titik awal masalah yang dapat ditelusuri di dalam perkembangannya terhadap keseluruhan teks dan yang dapat digambarkan sebagai rangkaian fenomena individual. Perspektif pola keseluruhan melihat pola-pola holistik sebagai entitas fungsional yang membentuk teks yang dengan perspektif tersebut kita dapat mengidentifikasi polapola di dalam suatu teks yang tidak ada titik awal yang dapat diidentifikasi sebelumnya. Pola-pola holistik tersebut dibentuk oleh unsur-unsur yang secara fungsional saling berhubungan dengan salah satu unsur fungsional yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
110 digilib.uns.ac.id
kemudian menjadi suatu unsur di dalam entitas fungsional yang besar. Contohcontoh dari perspektif ini adalah hubungan-hubungan budaya, pola pengetahuan, dan sebagainya. Sementara itu, Al-Qinai (2000:499) menyatakan bahwa parameter penilaian penerjemahan dapat digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi suatu teks dengan melihat pada fungsi sintaktik, semantik, dan pragmatik dalam kerangka budaya yang ada baik dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran. Menurut Al-Qinai, parameter tersebut adalah: a) Tipologi Teks dan Tenor: misalnya, struktur naratif dan kebahasaan dari Tsu dan Tsa, fungsi teks (didaktif, informatif, instruksional, persuasif, dan sebagainya). b) Hubungan Formal: keseluruhan makna dan bentuk teks, pembagian paragraf, tanda baca, kuotasi, dan sebagainya. c) Koherensi Struktur Tematik: Tingkat kesimetrisan tematik bahasa sumber dengan bahasa sasaran. d) Kohesi: Referensi (ko-referensi, anapora, katapora), substitusi, elipsis, deiksis, dan konjungsi. e) Kesepadanan Teks Pragmatik (Dinamik): Tingkat kedekatan Tsa dengan maksud Tsu (misal, kepuasaan atau penyimpangan harapan pembaca) dan fungsi ilokusioner Tsu dan Tsa. f) Register: jargon, idiom, kata pinjaman, kolokasi, parafrase, konotasi, dan aspek emotif dari makna leksikal. g) Kesepadanan Gramatikal: susunan kata, struktur kalimat, modalitas, tense. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
111 digilib.uns.ac.id
Parameter bahwa suatu terjemahan sudah sepadan makna dan gayanya bila terjemahan yang bersangkutan dapat mencapai padanan makna dan gaya yang optimal antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran. Kalimat dikatakan mempunyai padanan makna bila semua kata atau kelompok kata di dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran memiliki makna leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual, sosiokultural, dan/atau makna implisit yang sama. Kalimat dikatakan mempunyai padanan gaya bila semua kata atau kelompok kata di dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran memiliki kategori yang sama dalam unsur-unsur gayanya, yaitu pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca dalam upaya bagaimana menyajikan atau mengkomunikasikan hasil terjemahannya dalam bentuk tulisan. Sementara itu, keterbacaan, keakuratan, dan kewajaran sangatlah penting di dalam menilai kualitas terjemahan. Sebuah terjemahan yang akurat tidak akan dapat memenuhi tujuan praktisnya sebagai alat komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks bahasa sasaran apabila terjemahan yang bersangkutan sulit dipahami oleh pembaca, begitu pula bahwa sebuah terjemahan yang mudah dipahami bukanlah terjemahan yang baik apabila pesannya menyimpang dari pesan teks bahasa sumber. Parameter bahwa suatu terjemahan sudah memenuhi unsur keterbacaan bila suatu teks tersebut dapat dipahami oleh para pembaca dan seberapa besar usaha yang dilakukan para pembaca terhadap teks tersebut, suatu terjemahan memenuhi unsur keakuratan bila pembaca bahasa sasaran dapat memahami pesan secara akurat seperti yang dimaksud oleh penulis asli (makna dan gaya yang commit to user
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diterjemahkan sudah sepadan dan berterima secara optimal), dan suatu terjemahan memenuhi unsur kewajaran bila pesan dapat dikomunikasikan dalam bentuk yang sealami mungkin, sehingga pembaca Tsa merasa bahwa teks yang dibaca adalah teks yang asli atau tidak tampak seperti suatu terjemahan. Menurut Machali (2000: 108) pentingnya penilaian hasil terjemahan karena dua alasan, yaitu untuk menciptakan hubungan dialektik antara teori dan praktek penerjemahan dan untuk kepentingan kriteria dan standar dalam menilai kompetensi penerjemah. Penilaian hasil penerjemahan ini mengacu pada produk atau karya terjemahan itu sendiri. Menurut Nababan (2000: 121) ada dua arah penelitian dalam penerjemahan, yaitu penelitian yang berorientasi pada produk dan penelitian yang berorientasi pada proses. Penelitian yang berorientasi pada produk inilah yang bisa dinilai dan dievaluasi oleh seorang penilai terjemahan, sedangkan penelitian yang mengacu pada proses sangat sulit untuk dinilai karena yang dikaji mengarah pada proses ketika aktivitas penerjemahan dilakukan oleh penerjemah. Hal pokok dalam penilaian karya terjemahan adalah rambu-rambu atau kriteria penilaian karya terjemahan. Kriteria penilaian ini ditentukan untuk menjaga validitas dan reliabilitas hasil penilaian. Namun demikian, perlu dipahami bahwa tidak ada hasil terjemahan yang sempurna sehingga penilaian pun bersifat relatif dan berdasarkan kriteria kurang lebih karena penilaian terhadap padanan semua tataran satuan lingual secara objektif sulit dicapai (Machali, 2000:115 dan Nababan, 2004:60) sehingga penentuan kriteria dan commit to user
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
indikator pun tidak dapat bersifat objektif, ketat, dan tetap terpengaruh pada sujektifitas penilai. Machali (2000:119) menyampaikan kriteria penilaian hasil terjemahan sebagai berikut: Tabel 2.1 Kriteria Penilaian Terjemahan (Machali, 2000) Kategori Terjemahan hampir sempurna
Nilai 86-90 (A)
Indikator Penyampaian wajar, hampir tidak terasa seperti terjemahan, tidak ada kesalahan ejaan, tidak ada kesalahan/penyimpangan tata bahasa, tidak ada kekeliruan penggunaan istilah.
Terjemahan sangat bagus
76-85 (B)
Tidak ada distorsi makna, tidak ada terjemahan harfiah yang kaku, tidak ada kekeliruan penggunaan istilah, ada satu-dua kesalahan tata bahasa, ada satu-dua kesalahan penggunaan ejaan dan tanda baca/ejaan.
Terjemahan baik
61-75 (C)
Tidak ada distorsi makna, ada terjemahan harfiah yang kaku tetapi relatif tidak lebih dari 15 % dari keseluruhan teks sehingga tidak terlalu terasa seperti terjemahan, kesalahan tata bahasa dan idiom relatif tidak lebih dari 15% dari keseluruhan teks, ada satu-dua penggunaan istilah yang tidak baku/umum, ada satu-dua kesalahan ejaan.
Terjemahan cukup
46-60 (D)
Terasa sebagai terjemahan, ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku tetapi relatif tidak lebih dari 25% keseluruhan teks, ada beberapa kesalahan idiom dan/tata bahasa, tetapi relatif tidak lebih dari 25% keseluruhan teks, ada penggunaan istilah yang tidak baku/umum dan atau tidak jelas.
Terjemahan kurang
20-45 (E)
Sangat terasa sebagai terjemahan, terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku (relatif lebih dari 25% dari keseluruhan teks), terdapat distorsi makna, dan kekeliruan penggunaan istilah lebih dari 25% keseluruhan teks.
commit to user
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Apabila kita cermati, kriteria yang diberikan oleh Rochayah mempunyai sedikit kekurangan. Pada kategori terjemahan hampir sempurna terdapat sedikit kekurangan pada kriteria indikatornya. Kekurangan tersebut adalah tidak adanya indikator ‘tidak ada distorsi makna’ seperti pada kategori terjemahan sangat bagus dan terjemahan baik. Indikator tidak ada distorsi makna ini seharusnya ditambahkan di dalam indikator terjemahan hampir sempurna karena dalam penerjemahan yang dilakukan adalah pencarian padanan makna yang seoptimal mungkin. Nababan (2004) dalam disertasinya yang berjudul Translation Processes, Practices, and Products of Professional Indonesian Translators menggunakan dua instrumen untuk menilai kualitas terjemahan. Instrumen tersebut adalah Accuracy-Rating Instrument yang diadaptasi dari Nagao, Tsujii dan Nakamura (1998) yang didasarkan pada skala 1 sampai 4 sebagaimana yang ditunjukkan berikut ini: Tabel 2.2 Skala dan Definisi Kualitas Terjemahan (Nababan, 2004) Scale 1
2
3
4
Definition The content of the source sentence is accurately conveyed into the target sentence. The translated sentence is clear to the evaluator and no rewriting is needed. The content of the source sentence is accurately conveyed into the target sentence. The translated sentence can be clearly understood by the evaluator, but some rewriting and some change in word order are needed. The content of the source sentence is accurately conveyed into the target sentence. There are some problems with the choice of lexical items and with the relationship, between phrase, clause, and sentence elements. The source sentence is not translated all into target sentence, i.e., it is omitted or deleted. commit to user
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kriteria atau rambu-rambu penilaian hasil terjemahan yang dinyatakan oleh Nababan menunjukkan suatu kemudahan, keefektifan indikator dibanding yang telah dinyatakan oleh Machali, dan hal ini juga ditunjukkan dengan penggunaan skala 1 sampai 4. Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa dalam menilai terjemahan harus dilihat apa yang akan dinilai, apakah itu teks ilmiah ataukah teks susastra, dan kepada sasaran pembaca yang mana. Lebih lanjut Machali menyatakan bahwa di samping makna dan kriteria, hal pokok dalam menilai karya terjemahan adalah cara menilai hasil terjemahan. Machali (2000:117-123) membagi ke dalam dua cara yaitu cara umum dan cara khusus. Cara umum digunakan untuk teks yang umum, yakni teks yang tidak mempunyai ciri tertentu yang beda dengan yang lain secara universal. Misalnya ciri penggunaan bahasa dalam teks ilmiah mempunyai ciri universal, yaitu efektif, lugas, tidak taksa, dan formal. Ciri tersebut berlaku untuk semua teks ilmiah, misalnya jurnal, makalah, artikel, disertasi, dan lain-lain. Penilaian secara umum dapat dimulai dari asumsi umum bahwa tidak ada terjemahan yang sempurna, penerjemahan semantik dan komunikatif merupakan reproduksi pesan yang umum, dan penilaian bersifat umum dan relatif. Penilaian karya terjemahan dapat dilakukan dengan tahapan penilaian fungsional, penilaian berdasarkan makna dan kriterai, dan penilaian berdasarkan indikator dan nilai untuk menentukan kesepadanan pesan hasil terjemahan, yakni terjemahan yang hampir sempurna, terjemahan sangat bagus, terjemahan baik, terjemahan cukup dan terjemahan buruk. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
Sementara itu, cara penilaian khusus digunakan untuk menilai teks yang mempunyai ciri penggunaan yang khusus atau tidak mempunyai ciri penggunaan bahasa yang universal dengan teks lainnya, misalnya puisi. Di samping makna, bentuk puisi harus dipertimbangkan oleh penerjemah sehingga dalam menerjemahkan harus dapat memasukkan minimal dua unsur tersebut agar keindahan bentuknya juga dapat terhubung dalam karya terjemahan puisi. Oleh karena itu, penilaian khusus harus mempertimbangkan bentuk, sifat, dan fungsi. Lebih lanjut Machali (2000:121-122) menjelaskan bahwa kriteria yang dapat digunakan dalam penilaian khusus adalah berubah atau tidak berubah, menyeluruh atau lokal, jelas atau tidak jelas, baku atau tidak baku, wajar atau tidak wajar (misalnya puisi yang mengandung metaforik), benar atau tidak. Namun demikian cara yang dilakukan tidak berbeda dengan cara penilaian umum, yakni penilaian fungsional, penilaian berdasarkan makna dan kriteria, dan penilaian berdasarkan indikator dan nilai untuk menentukan keberterimaan, kesepadanan pesan hasil terjemahan, dan kualitas terjemahan, yakni terjemahan hampir sempurna, terjemahan sangat bagus, terjemahan baik, terjemahan cukup, dan terjemahan buruk. Senada dengan cara penilaian khusus yang disampaikan oleh Machali, Zhonggang (2006: 45) menilai suatu karya terjemahan susastra, baik puisi maupun novel, dengan menggunakan skala relevansi. Menurut Zhonggang, yang dimaksud dengan skala relevansi adalah suatu tingkat relevansi yang mana pembaca memahami suatu teks tergantung pada jumlah pengaruh kontekstual terhadap teks dan upaya untuk memahami teks tersebut. Semakin banyak commit to user
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengaruh kontekstual, semakin relevan teks tersebut; semakin sedikit upaya yang dilakukan pembaca dalam memahami suatu teks, semakin relevan teks tersebut. Skala relevansi ini dikelompokkan menjadi: relevansi optimal, relevansi kuat, relevansi lemah, dan tidak ada relevansi, sebagaimana tersaji berikut: Tabel 2.3 Skala Relevansi (Zhonggang, 2006: 45) Relevance
Contextual implication
Processing effort
Optimal relevance
Fully comprehensible
Without unnecessary effort
Strong relevance
Relatively clear
With some necessary effort
Weak relevance
Implied
Considerable effort taken
Irrelevance
Vague and unclear
All the effort is in vain
Ketiga cara penilaian yang telah disampaikan oleh Machali, Nababan, dan Zhonggang di atas merupakan rambu-rambu penilaian hasil terjemahan yang, menurut hemat peneliti, lebih mengutamakan pada keakuratan makna. Di dalam penelitian ini, selain makna, penggunaan gaya dalam penerjemahan novel ini juga sama pentingnya dengan makna. Sebagaimana diuraikan di dalam sub-bab 2.1.3. bahwa makna dan gaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam penerjemahan (Siad Shiyab, 2003:5). Penerjemahan atau pencarian padanan makna tanpa penerjemahan gaya yang sesuai, hasil terjemahan akan menjadi tidak lengkap dan tidak efisien. Makna adalah apa yang dikomunikasikan ke pembaca terjemahan, sedangkan gaya adalah cara bagaimana mengkomunikasikan makna tersebut ke pembaca terjemahan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
118 digilib.uns.ac.id
Selain itu, hal penting lainnya adalah tingkat pemahaman pembaca atau unsur keterbacaan terjemahan. Keterbacaan, menurut para pakar terjemahan, mengacu pada seberapa mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Keterbacaan merupakan keseluruhan unsur dalam sebuah teks tulis yang mempengaruhi keterpahaman pembaca (dalam Nababan; 2004, 29). Sementara itu, Suryawinata (1982: 104-105) menyatakan bahwa keterbacaan adalah berpusat pada masalah mudah tidaknya suatu teks untuk dibaca dan dipahami oleh pembacanya dan tidak mempermasalahkan kesetiaan suatu teks terjemahan terhadap sumber aslinya. Dari beberapa pendapat para pakar terjemahan tersebut dapat disimpulkan bahwa keterbacaan adalah suatu kriteria mengenai sejauh mana suatu teks dapat dipahami oleh para pembaca dan seberapa besar usaha yang dilakukan para pembaca terhadap teks tersebut. Jadi, keterbacaan suatu teks sangatlah tergantung pada pembaca karena pada dasarnya suatu teks tidak dapat dibaca sendiri oleh teks tersebut. Di sini jelas bahwa tingkat keterbacaan ditentukan oleh pembaca dengan tingkat kemampuan, pengetahuan, dan konsentrasi pembaca dalam memahami teks terjemahan, meskipun keterbacaan itu sendiri juga dipengaruhi oleh fitur-fitur teks sebagaimana dikutip dalam Nababan (2004: 29) bahwa keterbacaan sebuah teks dapat diukur secara empirik, yang didasarkan pada panjang rata-rata kalimat, kompleksitas struktur kalimat, jumlah kata baru yang digunakan dalam teks, kosa kata, konstruksi kalimat yang digunakan penulis, penggunaan kata asing dan daerah, penggunaan kata dan kalimat taksa, penggunaan kalimat tak lengkap, dan alur pikir yang tidak runtut. commit to user
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Oleh karena itu, berdasarkan perpaduan dari kriteria-kriteria penilaian hasil terjemahan yang telah disampaikan oleh Machali, Nababan, Zhonggang di atas, dan juga parameter penggunaan unsur-unsur gaya yang ada dalam penerjemahan dan unsur pemahaman pembaca, maka kriteria penilaian hasil terjemahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 2.4 Kriteria Penilaian Terjemahan dalam Penelitian ini Kategori Terjemahan hampir sempurna
Nilai 86-90 (A)
Terjemahan sangat bagus
76-85 (B)
Terjemahan baik
61-75 (C)
Terjemahan cukup
46-60 (D)
Terjemahan kurang
20-45 (E)
Indikator Makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; penyampaian wajar dan hampir tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas, tidak perlu upaya keras untuk memahaminya; secara keseluruhan tidak ada kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; tidak ada terjemahan harfiah yang kaku dan tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas dan dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; ada terjemahan harfiah yang kaku namun tidak terlalu terasa seperti terjemahan; teks jelas tetapi dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; terasa sebagai terjemahan; teks lumayan jelas namun dengan upaya yang agak keras untuk memahaminya; ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, kesalahan idiom dan/tata bahasa, penggunaan istilah yang tidak baku/umum, gaya bahasa, dan tanda baca. Makna dalam bahasa sumber tidak diterjemahkan sama sekali ke dalam bahasa sasaran; sangat terasa sebagai terjemahan; teks sangat kabur dan tidak jelas, dengan upaya yang susah payah untuk memahaminya; terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku, dan kekeliruan commit to user penggunaan istilah, idiom, gaya bahasa, dan tanda baca.
perpustakaan.uns.ac.id
120 digilib.uns.ac.id
2.2.11 Pendekatan Kritik Holistik Pendekatan kritik holistik merupakan pendekatan yang digunakan untuk penelitian evaluasi kualitatif yang didasari dengan pola pikir keberkaitan semua variabel pokok yang terlibat (Sutopo, 2006: 114). Penelitian evaluasi bertujuan untuk menggali, menemukan, dan memahami, baik kekuatan maupun kelemahan dari semua variabel pokok yang terlibat dalam suatu kegiatan, peristiwa, pelaksanaan program, atau suatu karya tertentu. Pendekatan kritik holistik dianggap lengkap karena memandang berbagai masalah selalu di dalam kesatuannya, tidak terlepas dari kondisi yang lain menyatu dalam suatu konteks. Dengan kata lain bahwa suatu karya, program, atau peristiwa dan kondisi tertentu, kualitasnya harus dipandang dari perspektif latarbelakangnya (faktor genetik), kondisi formal yang berupa kenyataan objektifnya (faktor objektif), dan hasil atau dampaknya (output, product, outcome) yang juga meliputi persepsi orang yang berinteraksi dengan program atau karya yang dievaluasi tersebut (faktor afektif) (Sutopo, 2006: 142-143). Simpulan akhir dari model ini dilakukan dengan membuat sintesis dari informasi yang bersumber dari tiga faktor tersebut. Tidak ada satu pun faktor yang memiliki otoritas atau dominan dalam pendekatan kritik holistik. Variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable) saling terkait dan berkelanjutan. Dalam penelitian ini, penerjemah, terjemahan, dan pembaca yang memahami terjemahan saling terkait dan mempengaruhi. Berbeda dengan pendekatan kritik yang lain, misalnya kritik historis yang mementingkan faktor latarbelakangnya saja, kritik objektif yang lebih commit to user
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mementingkan faktor objektifnya atau kondisi formalnya, dan model kritik emosional yang lebih mementingkan faktor afektifnya, sehingga secara keseluruhan simpulan makna dari tiga model tersebut dipandang berat sebelah, memihak dan setengah-setengah. Atas dasar itu pendekatan kritik yang dipandang paling lengkap dan tepat adalah pendekatan kritik holistik. Dalam pendekatan ini beragam informasi dikelompokkan ke dalam tiga jenis faktornya, yaitu (1) faktor genetik, (2) faktor objektif, (3) faktor afektif. Dari tiga jenis informasi tersebut dibahas secara menyeluruh dan saling terkait sehingga bisa dilakukan sintesis sebagai suatu simpulan makna akhir dari penelitiannya. Adapun faktor-faktor tersebut digambarkan di dalam bagan sebagai berikut:
Faktor Genetik
Faktor Objektif
Faktor Afektif
Sintesis
Bagan 2.8 Pendekatan Kritik Holistik (Sutopo, 2006: 145)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
122 digilib.uns.ac.id
2.3 Kerangka Pikir Penelitian ini diawali dari pemikiran bahwa menerjemahkan novel tidaklah mudah. Seorang penerjemah novel diharapkan untuk memahami bahasa sumber dengan sebaik-baiknya, karena pada dasarnya karya susastra lebih mengandung unsur ekspresi pengarang dan kesan khusus yang ingin ditimbulkannya terhadap si pembaca. Karya susastra juga mengandung unsurunsur emosional, efek keindahan kata dan ungkapan, efek keindahan bunyi, dengan segala nuansa yang mengiringinya. Sebuah terjemahan yang akurat tidak akan dapat memenuhi tujuan praktisnya sebagai alat komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks bahasa sasaran apabila terjemahan yang bersangkutan sulit dipahami oleh pembaca, begitu pula bahwa sebuah terjemahan yang mudah dipahami bukanlah terjemahan yang baik apabila pesannya menyimpang dari pesan teks bahasa sumber. Oleh sebab itu penerjemah karya susastra perlu mempunyai pengetahuan yang luas tentang latar belakang sosiokultural dari bahasa sumber tersebut, memiliki pengetahuan dan kualitas khusus (kesususastraan dan estetika, dan artistika kebahasaan), harus dapat mengidentifikasi unsur-unsur susastra dan memiliki pemahaman budaya dan nilainilai karya susastra yang diterjemahkan, serta memahami karya susastra secara menyeluruh, memandang karya susastra sebagai suatu wacana yang mengandung unsur informasi, amanat, ekspresi pengarang, dan unsur fiksi. Di dalam menerjemahkan novel, sangat mungkin penerjemah menemukan kesulitan-kesulitan, baik kesulitan dalam aspek budaya, misalnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
123 digilib.uns.ac.id
kesulitan penerjemah dalam mencari padanan istilah yang berkaitan dengan materi dan peristiwa budaya, kesulitan dalam aspek susastra, misalnya penerjemahan karakterisasi tokoh yang sepadan dengan keadaan masyarakat pembaca novel penerjemahan, dan juga kesulitan dalam aspek kebahasaan, misalnya dalam menerjemahkan struktur kalimat yang sangat panjang dan tata bahasa yang rumit. Padanan istilah yang berhubungan dengan kebiasaan serta pemahaman sosiokultural yang muncul dalam cerita, kata-kata khusus yang ada dalam Tsu, unsur-unsur susastra, dan gaya yang muncul di dalam keseluruhan teks novel perlu dikaji lebih mendalam. Hal ini dimaksudkan untuk mencari hubungan padanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa, apakah padanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa tersebut untuk memenuhi tuntutan kewajaran atau dipaksakan oleh penerjemah yang disebabkan kekurangpahaman terhadap kedua bahasa. Berdasarkan pemikiran di atas, analisis penerjemahan novel perlu dikaji secara holistik, yaitu menganalisis novel pada faktor objektif, faktor genetik, dan faktor afektif. Penelitian ini diawali dengan menganalisis faktor objektif, yaitu yang berkaitan dengan masalah kesepadanan makna dan gaya antara novel HT dan terjemahannya PL. Bagian kedua, analisis diarahkan pada faktor genetik, yaitu mengungkap latar belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel The Highest Tide (HT) ke dalam novel bahasa Indonesia Pasang Laut (PL), dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel The Highest Tide. Bagian ketiga, analisis diarahkan pada faktor afektif, yaitu pembaca yang dipandang sebagai subjek yang memberikan pendapat bagaimana terjemahan itu dipahami. Pembaca dalam penelitian ini adalah pembaca commit to user
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ahli yaitu para dosen bahasa Inggris yang benar-benar memiliki kemampuan bahasa Inggris dengan baik dan sering menerjemahkan berbagai novel dan telah dipublikasikan untuk mengungkap pendapat dan saran mengenai penerjemahan novel, dan para mahasiswa bahasa Inggris untuk mengungkap tanggapan mereka tentang hasil dari novel yang telah diterjemahkan. Dalam pelaksanaan penelitian ini komponen-komponen analisis tersebut saling berkaitan dan berinteraksi. Kerangka pikir penelitian ini digambarkan dengan diagram sebagai berikut:
commit to user
125 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Analisis
↑↑
Genetik: Penerjemah
- Latar belakang penerjemah - Langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT ke dalam novel bahasa Indonesia PL - Strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel HT
Objektif: Novel
Kesepadanan makna
Makna leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual, sosiokultural, dan/atau makna implisit
Sepadan/tidak sepadan
Afektif: Pakar dan Pembaca
Kesepadanan gaya
Pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca
Sepadan/tidak sepadan
Simpulan Akhir
Bagan 2.9 Kerangka Pikir commit to user
Pemahaman terhadap hasil terjemahan
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tidak
Adapun unsur-unsur gaya di dalam menerjemahkan karya susastra (Christensen: http//teachers.lakesideschool.org/us/English/LiteraryStyle.htm, retrieved on 21/10/2008), meliputi: 1. Susunan kalimat, yaitu apakah kalimat yang digunakan panjang atau pendek, apakah kalimat yang digunakan terdiri dari beberapa anak kalimat atau sering terfragmentasi, dan apakah sering terjadi penyimpangan atau pemenggalan kalimat. 2. Diksi, yaitu apakah penulisannya pendek, ketat, dan efisien ataukah mengelaborasi dan panjang, kapan penerjemah menggunakan kata-kata yang pendek, ketat, dan efisien ataupun elaborasi dan panjang, dan mengapa menggunakan kata-kata tersebut. 3. Kosakata, yaitu apakah kata-kata yang digunakan sederhana ataukah khayalan, teknis, berbunga-bunga, percakapan sehari-hari, kabur, dan sebagainya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
127 digilib.uns.ac.id
4. Gaya bahasa, yaitu apakah terdapat berbagai jenis gaya bahasa misalnya metafora, simile, simbol, ataupun jenis gaya bahasa yang lain misalnya personifikasi, metonimi, dan sebagainya. 5. Penggunaan dialog, yaitu seberapa sering dialog digunakan untuk bercerita, apakah dialog menyajikann seluruh percakapan apakah beberapa fragmen saja, dan apakah dialognya formal atau bahasa sehari-hari. 6. Sudutpandang, yaitu sudut pandang pertama, kedua, ketiga, terbatas, kompleks. 7. Pengembangan karakter, yaitu bagaimana penulis memperkenalkan karakter, dan bagaimana kita melihat evolusi mereka di dalam cerita. 8. Struktur paragraf/bab, yaitu apakah paragraf yang digunakan sangat pendek ataukah cukup panjang, apakah bab yang ada pendek atau panjang, berapa jumlah keseluruhannya, bagaimanakah paragraf atau bab tersebut diorganisir, dan mengapa pengorganisasian tersebut sangat penting. 9. Kronologi waktu, yaitu bagaimana penulis mengorganisasikan kronologi suatu peristiwa atau kejadian. 10.Nada, yaitu bagaimana sikap penulis, bagaimana nuansa dalam cerita, apakah penulisnya kasar, agresif, pesimistik, penuh kasih, penuh filosofi, ketus, dan sebagainya. Jelaskan lebih rinci
Dari berbagai konsep mengenai gaya di atas, maka di dalam penelitian ini, penggunaan gaya adalah …..terdiri dari susunan kalimat, diksi, kosakata, gaya bahasa, dan struktur paragraf/bab. Susunan kalimat yang dimaksud adalah apakah commit to user
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kalimat yang digunakan panjang atau pendek, apakah kalimat yang digunakan terdiri dari beberapa anak kalimat atau sering terfragmentasi, dan apakah sering terjadi penyimpangan atau pemenggalan kalimat. Diksi yang dimaksud adalah apakah penulisannya pendek, ketat, dan efisien ataukah mengelaborasi dan panjang, kapan penerjemah menggunakan kata-kata yang pendek, ketat, dan efisien ataupun elaborasi dan panjang, dan mengapa menggunakan kata-kata tersebut. Kosakata yang dimaksud adalah apakah kata-kata yang digunakan sederhana ataukah khayalan, teknis, berbunga-bunga, percakapan sehari-hari, kabur, dan sebagainya. Gaya bahasa yang dimaksud adalah apakah terdapat berbagai jenis gaya bahasa misalnya metafora, simile, simbol, ataupun jenis gaya bahasa yang lain misalnya personifikasi, metonimi, dan sebagainya. Sedangkan struktur paragraf/bab yang dimaksud adalah apakah paragraf yang digunakan sangat pendek ataukah cukup panjang, apakah bab yang ada pendek atau panjang, berapa jumlah keseluruhannya, bagaimanakah paragraf atau bab tersebut diorganisir, dan mengapa pengorganisasian tersebut sangat penting.
Buat tabelnya
commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI
3.1 Strategi dan Jenis Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang dikaji yaitu menganalisis novel The Highest Tide (HT) dan terjemahannya dengan pendekatan kritik holistik, maka strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Dikatakan demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kasus terhadap hasil terjemahan novel HT yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Strategi ini akan mampu menangkap dan memerikan permasalahanpermasalahan secara mendalam sehingga akan terungkap pula hasilnya secara mendalam mengenai permasalahan yang sudah dirumuskan maupun rumusanrumusan masalah yang mungkin muncul pada waktu pengumpulan data maupun analisis data. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mengungkap makna dari interaksi penerjemah, hasil terjemahan, dan tanggapan pembaca terjemahan. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus tunggal yang berasal dari dokumen berupa novel HT dan terjemahannya, penerjemah novel HT, pakar penerjemahan dan pembaca hasil terjemahan novel HT. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sutopo (2006: 112) bahwa suatu penelitian disebut penelitian studi kasus tunggal bilamana penelitian tersebut terarah pada satu karakteristik, artinya penelitian ini hanya diarahkan pasa satu sasaran, yaitu penerjemahan novel HT ke dalam novel PL. Di dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan secara rinci dan mendalam mengenai novel HT dan terjemahannya dengan apa adanya. Pada bagian commit to user
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pertama, perhatian diarahkan pada masalah kesepadanan makna dan gaya antara novel HT dan terjemahannya PL. Bagian kedua, perhatian diarahkan pada latar belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT, dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel HT. Bagian ketiga, perhatian diarahkan pada pembaca yang dipandang sebagai subjek yang memberikan pendapat bagaimana terjemahan itu dipahami. Pembaca sebagai sumber data afektif dalam penelitian ini adalah pakar terjemahan yang telah menerjemahkan berbagai novel dan telah sering mempublikasikan hasil karya mereka dan memiliki kemampuan bahasa Inggris dengan baik, dan juga pendapat para pembaca novel termasuk mahasiswa. Penelitian ini menggunakan pendekatan holistik, yaitu memandang sesuatu hal secara utuh, tidak bagian perbagian saja (Sutopo, 2006:142). Penelitian ini memandang berbagai masalah selalu di dalam kesatuannya, tidak terlepas dari kondisi yang lain yang menyatu dalam suatu konteks. Variabel yang ada di dalam penelitian ini tidak bisa dipahami dan dipelajari secara terpisah dari keterkaitannya di dalam konteks yang utuh. Variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable) saling terkait dan berkelanjutan. Dalam penelitian ini, penerjemah, terjemahan, dan pembaca yang memahami terjemahan saling terkait dan mempengaruhi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
128 digilib.uns.ac.id
3.2 Sumber Data dan Jenis Data Di dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah: (a) dokumen novel, (b) penerjemah, dan (c) pembaca buku terjemahan. Secara rinci sumber data dan jenis data tersebut diuraikan sebagai berikut:
3.2.1 Dokumen Novel Sumber data dokumen dalam penelitian ini adalah novel The Highest Tide (HT) yang ditulis dalam bahasa Inggris dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul novel Pasang Laut (PL). Alasan pemilihan sumber data dokumen berupa novel ini adalah bahwa: (1) novel HT ditulis oleh seorang jurnalis yang telah memenangkan Pacific Northwest Booksellers Book Awards 2006 dan telah dipublikasikan sehingga menjadi konsumsi publik, (2) novel HT karya Jym Linch ini merupakan novel yang ditulis belum lama (tahun 2005) dan diterjemahkan dalam kurun waktu yang relatif masih baru (tahun 2007) sehingga bahasa yang digunakan baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran adalah bahasa saat ini, (3) novel HT merupakan sumber data penelitian yang dianggap sangat bermanfaat (menurut peneliti) untuk menjawab semua permasalahan yang sudah dirumuskan dan target yang dicapai oleh peneliti.
3.2.2 Penerjemah Penerjemah merupakan sumber data genetik yang digunakan oleh peneliti. Komponen informasi genetik ini meliputi latar belakang penerjemah, langkahlangkah penerjemah dalam menerjemahkan novel The Highest Tide, dan strategi commit to user
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel The Highest Tide.
3.2.3 Pembaca Pembaca yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah pakar penerjemahan yang telah menerjemahkan berbagai novel dan telah sering mempublikasikan hasil karya mereka serta memiliki kemampuan bahasa Inggris dengan baik. Dengan demikian pendapat dan masukan yang diberikan akan sangat membantu. Juga, pendapat para pembaca novel yaitu para mahasiswa. Tujuan utama peneliti memilih pakar penerjemahan yang berpengalaman ini adalah untuk mendapatkan informasi sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu, pakar penerjemahan ini sekaligus sebagai penilai tentang kesepadanan makna dan gaya dalam penerjemahan novel berbahasa Inggris HT ke dalam novel berbahasa Indonesia PL; dan para mahasiswa dipilih untuk menggali pendapat mereka mengenai dampak atau kualitas terjemahan yang dihasilkan. Adapun jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah: (1) data verbal berupa kata-kata, frasa-frasa, atau kalimat-kalimat di dalam teks novel HT dan terjemahannya, (2) informasi berupa kata-kata atau frasa-frasa yang berasal dari jawaban kuesioner atau hasil wawancara dengan penerjemah novel, pakar penerjemahan novel, dan para pembaca novel terjemahan.
commit to user
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.2.4 Jenis Data 1 Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan oleh peneliti, jenis data di dalam penelitian ini adalah kata-kata, frasa-frasa, atau kalimat-kalimat yang mengandung: budaya materi, istilah-istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa yang terdapat pada novel HT. Data ini selanjutnya disebut dengan data primer dan data ini kemudian oleh peneliti diinterpretasi dan diperkaya dengan data yang lain. Data ini selanjutnya dapat dilihat pada lampiran 1a sampai 1e. Untuk menentukan data primer ini, peneliti membaca secara seksama semua kalimat yang ada di dalam novel dan kemudian mengidentifikasi katakata, frasa-frasa di dalam kalimat-kalimat yang mengandung aspek atau hal-hal yang khas dalam susastra. Bila terdapat dua atau lebih kata atau frasa yang sama di dalam kalimat, maka hanya satu kata atau frasa saja yang dijadikan data. Setelah melalui identifikasi yang seksama, maka ditemukan sebanyak 122 kalimat yang dijadikan data. Agar supaya data yang telah diidentifikasi ini lebih akurat, peneliti meminta pendapat kepada seorang pakar bahasa dan sastra untuk memastikan bahwa data yang telah diambil benar-benar merupakan data mengenai hal-hal yang khas dalam susastra. Dari hasil masukan pakar bahasa dan sastra tersebut didapatkan bahwa dari 122 kalimat yang telah diidentifikasi, sebanyak 115 kalimat yang dapat dijadikan data. Data-data tersebut selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis makna dan gaya yang terdapat di dalam Tsu dan Tsa. Lebih lanjut data tersebut dapat dilihat di dalam lampiran 2a-e dan 3a-e. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
131 digilib.uns.ac.id
3.2.4 Jenis Data 2 Data selanjutnya adalah data informasi yang berupa kata-kata, frasa-frasa, atau kalimat-kalimat yang dikumpulkan dari jawaban kuesioner dan hasil wawancara dengan penerjemah novel, pakar penerjemahan novel, dan para pembaca novel terjemahan. Data ini selanjutnya disebut dengan data sekunder. Data ini dimaksudkan untuk mendukung dan mempertajam analisis pada data primer.
3.3
Teknik Cuplikan Teknik cuplikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling, yaitu yang berkaitan dengan pembatasan jumlah dan jenis dari sumber data yang digunakan dalam penelitian. Teknik ini berarti bahwa sumber data yang diambil didasarkan pada kelengkapan dan jenis data yang diperlukan untuk menjawab masalah-masalah yang telah diajukan dalam penelitian ini, sehingga cuplikan data yang didapat mewakili informasi yang dibutuhkan (Sutopo, 2006:54-55). Sumber data yang dicuplik di dalam penelitian ini adalah para pembaca novel. Para pembaca novel, sebagai faktor afektif, yang dicuplik adalah (1) pembaca yang dipandang layak untuk dijadikan nara sumber, yaitu pakar penerjemahan yang telah menerjemahkan berbagai novel dan telah sering mempublikasikan hasil terjemahan serta memiliki kemampuan bahasa Inggris dengan baik. Tujuan utama peneliti memilih pakar penerjemahan yang berpengalaman ini adalah untuk mendapatkan informasi sesuai dengan commit to user
132 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
permasalahan yang diteliti, dan (2) para pembaca novel lain yang dicuplik adalah para mahasiswa. Para mahasiswa yang dimaksud adalah para mahasiswa jurusan sastra Inggris. Mengingat keterbatasan waktu dan pertimbangan kemudahan dalam mengumpulkan data, maka sumber data mahasiswa diambilkan dari mahasiswa jurusan sastra Inggris tempat peneliti bekerja. Secara keseluruhan para pembaca tersebut adalah: a. Seorang lulusan Program Doktor Universitas Negeri Malang dengan penelitian disertasi pada bidang Penerjemahan, telah menerjemahkan berbagai buku dan novel (sebagai pakar penerjemah sekaligus penilai). b. Seorang lulusan Program Magister Penerjemahan Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (sebagai penilai). c. Seorang lulusan Program Doktor Bahasa Inggris Universitas Negeri Surabaya (sebagai pakar bahasa dan sastra). d. Peneliti sendiri (sebagai penilai). e. Mahasiswa jurusan sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura kelas B semester 1 tahun akademik 2009/2010 (sebagai pembaca novel terjemahan). Sementara itu, penerjemah novel, sebagai faktor genetik, tidak dicuplik karena penerjemah sudah terfokus dan mewakili individu atau tidak mewakili populasi, dan karenanya digunakan sebagai sampel penelitian. Sedangkan dokumen novel, sebagai faktor objektif, tidak dicuplik karena semua kata-kata, frasa-frasa, atau kalimat-kalimat di dalam novel tersebut dijadikan data.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
133 digilib.uns.ac.id
3.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak dan catat, kuesioner, dan wawancara mendalam (Sutopo, 2006:58-70).
3.4.1Teknik Simak dan Catat Peneliti sebagai instrumen kunci melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data primer dalam rangka memperoleh data yang diinginkan. Dalam penelitian ini, sumber data primer yang dimaksud adalah dokumen penerjemahan novel bahasa Inggris HT dan terjemahannya PL. Hasil penyimakan ini kemudian dicatat sebagai data (Edi Subroto, 1992:41-42). Semua aktivitas di dalam simak dan catat ini disesuaikan dengan metodologi yang ada di dalam penelitian ini dan dalam setiap mulai pengumpulan data dilakukan pengkodean. Adapun teknik simak dan catat ini dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut: a. Membaca secara keseluruhan novel HT beserta terjemahannya PL dengan teliti. b. Membaca dengan teliti kata, kelompok kata, kalimat, atau paragraf dalam novel sumber yang telah dijadikan data beserta kata, kelompok kata, kalimat, atau paragrafh dalam novel terjemahannya. c. Memberi kode pada setiap kartu data yang menjelaskan tentang nomor urut data, buku, dan nomor halaman tempat ditemukannya data. Contoh: data dengan kode 005.HT.chap16.pg117/PL.bb16.hal161. Kode ini menjelaskan bahwa nomor urut data adalah 005 dan data ini terdapat dalam buku HT (The commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
134 digilib.uns.ac.id
Highest Tide) pada chapter 16 page 117 dan buku PL (Pasang Laut) pada bab 16 halaman 161. d. Mengklasifikasikan jenis-jenis makna dan yang ada di dalam Tsu dan Tsa. e. Mencatat kesepadanan makna dan gaya yang telah ditandai dan dicatat di dalam kartu data. Penjelasan tentang tata cara pengkodean ini dibahas dalam subbab 3.6. f. Menganalisis hasil kajian dokumen yang diperoleh, dalam arti bahwa data yang sama mengalami proses penyisihan dan dalam proses ini terjadi analisis.
3.4.2 Wawancara Mendalam Tujuan wawancara mendalam dalam penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data yang berupa informasi tentang proses penerjemahan novel HT dan pertimbangan-pertimbangan yang mendasari penerjemah dalam menerjemahkan serta dampak hasil terjemahan. Wawancara yang dilakukan peneliti ditujukan kepada narasumber penerjemah dan pakar penerjemahan. Garis besar wawancara kepada penerjemah berpusat pada masalah-masalah genetik yang meliputi latar belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT, dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel HT. Adapun wawancara kepada pakar mencakup tentang bagaimana pendapat dan saran serta pengalaman yang dimiliki oleh pakar penerjemahan tersebut. Format wawancara selanjutnya dapat dilihat pada lampiran 6a dan 6b. Teknik wawancara mendalam ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
135 digilib.uns.ac.id
a. Menentukan narasumber yang dipandang mampu memberikan data yang diperlukan. Topik-topik yang digunakan sebagai dasar pertanyaan dalam wawancara kepada penerjemah adalah mengenai latar belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT, dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel HT. Topiktopik wawancara dengan pakar penerjemahan adalah mengenai hasil terjemahan novel HT secara umum dan masukan mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan novel HT. b. Menghubungi narasumber guna konfirmasi kesediaannya untuk diwawancarai dan menentukan jadwal wawancara. c. Melakukan wawancara sesuai kesepakatan yang telah dibuat. d. Membuat fieldnote. e. Mengulangi wawancara bila dipandang perlu. Wawancara dengan penerjemah dilakukan pada tanggal 20 Juli 2009 sehari setelah penerjemah mengisi materi pada seminar ‘National Seminar and Workshop on Book and Novel Translation and Translation Editing’ di Universitas Brawijaya, sedangkan wawancara dengan pakar penerjemah dilakukan pada tanggal 27 Juli 2009.
3.4.2 Kuesioner Pengumpulan data melalui kuesioner dilakukan secara tertulis dengan menggunakan teknik angket. Kuesioner ini bersifat terbuka (open-ended questionnaire), artinya pada setiap pertanyaan memang bisa juga diberikan commit to user
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
alternatif jawaban, namun di dalam kuesioner juga diberi ruang yang cukup untuk memberikan kesempatan kepada responden untuk menulis alasan mengapa responden menjawab demikian, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah yang ditanyakan. Kuesioner ini ditujukan kepada para pembaca novel terjemahan. Penggunaan kuesioner ini dimaksudkan untuk mendapatkan beberapa hal yang berhubungan langsung dengan masalah yang telah dirumuskan atau yang mungkin tidak dipikirkan sebelumnya. Adapun garis besar kuesioner ini adalah untuk mendapatkan data mengenai pendapat para pembaca novel mengenai kualitas terjemahan yang dihasilkan dan dampak yang ditimbulkannya. Sebelum kuesioner ini didistribusikan ke pembaca, terlebih dahulu kuesioner diujicobakan kepada try outer, yaitu para mahasiswa sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura semester 1 angkatan 2009/2010 kelas A pada tanggal 31 Agustus 2009. Uji coba ini dimaksudkan untuk mendapatkan tingkat validitas yang baik sebelum diberikan kepada para pembaca sebagai sumber data yang sesungguhnya. Hasil uji coba tersebut kemudian dianalisis untuk dilakukan perbaikan terhadap format kuesioner yang telah disebarkan. Dari hasil analisis uji coba, maka beberapa perbaikan dilakukan, yaitu: (1) petunjuk pengerjaan angket perlu disederhanakan dan (2) perlu penambahan ruang (space) untuk alasan dan komentar. Format kuesioner selanjutnya dapat dilihat pada lampiran 5. Setelah perbaikan dilakukan, kemudian kuesioner didistribusikan ke pembaca penerjemah yang sesungguhnya, yaitu para mahasiswa jurusan sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura kelas B semester 1 tahun akademik 2009/2010 pada tanggal 22 September 2009.
commit to user
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hasil kuesioner kemudian dianalisis untuk mendapatkan beragam jawaban terbuka yang diutarakan oleh para informan yang berkaitan dengan kualitas terjemahan yang dihasilkan. Untuk mempermudah di dalam memahami analisis hasil kuesioner ini, maka dibuatkan kode-kode seperti contoh berikut: 001.I1.Jwb C. Skor 1. Kode ini menjelaskan bahwa nomor urut data 001 pada item nomor 1 memberikan jawaban C dengan nilai 1. Hasil analisis ini secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 7.
3.5 Validitas Data Untuk meningkatkan validitas data dalam penelitian ini digunakan triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Patton (dalam Sutopo, 2006: 78-85) menyatakan bahwa ada empat macam teknik triangulasi, yaitu (1) triangulasi sumber, (2) triangulasi peneliti, (3) triangulasi metodologis, dan (4) triangulasi teoretis. Triangulasi ini merupakan tehnik yang didasari oleh pola pikir fenomenologi yang bersifat multiperspektif. Artinya untuk menarik simpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang. Misalnya dalam memandang suatu benda, apabila kita hanya menggunakan satu perspektif maka kita akan melihat satu bentuk saja. Jika benda tersebut kita lihat dari beberapa perspektif yang berbeda maka dari setiap hasil pandangan kita akan menemukan bentuk yang berbeda dengan bentuk yang dihasilkan dari pandangan lain.
commit to user
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari keempat macam triangulasi di atas, penelitian ini menggunakan triangulasi sumber, yaitu memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk menggali data yang sejenis. Di dalam triangulasi sumber ini, penekanannya pada perbedaan sumber data, bukan pada teknik pengumpulan data atau yang lain. Di dalam penelitian ini, peneliti menggali data dari sumber yang berbeda-beda, yaitu penerjemah novel HT, dokumen berupa novel HT dan terjemahannya PL, pakar penerjemahan, dan para pembaca novel. Triangulasi sumber di dalam penelitian ini dilakukan dengan cara, yaitu data dari sumber data dokumen novel HT dan terjemahannya yang dikumpulkan melalui hasil simak dan catat dibandingkan dengan data dari penerjemah novel HT yang dikumpulkan melalui hasil wawancara. Pembandingan ini dilakukan untuk, misalnya, mencari atau menemukan data tentang ketidaksetiaan makna pada buku hasil terjemahan (faktor objektif). Data ini kemudian ditriangulasikan dengan data dari sumber data pakar penerjemahan (faktor afektif) yang diperoleh dari hasil wawancara, yang digunakan untuk menemukan padanan makna, ketakterjemahan, pengurangan, dan penambahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran (lampiran 8). Data ditriangulasikan lagi dengan data dari sumber data para pembaca novel terjemahan (faktor afektif) yang diperoleh dari penyebaran angket. Selanjutnya, data ditriangulasikan kembali dengan data dari sumber data dokumen novel untuk mendapatkan data yang lebih mantap. Triangulasi sumber tersebut dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut: commit to user
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Data
Simak dan catat
Dokumen berupa novel
Data
Wawancara
Penerjemah
Data
Wawancara
Pakar Penerjemahan
Data
Kuesioner
Pembaca novel
Bagan 3.1 Triangulasi Sumber
3.6 Teknik Analisis Data Teknik analisis yang dipakai di dalam penelitian ini adalah teknik analisis model interaktif, yaitu teknik analisis data kualitatif yang terdiri dari tiga komponen pokok: reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan dan verifikasi (Sutopo, 2006: 120). Proses analisis tersebut dapat digambarkan dengan diagram berikut:
commit to user
140 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengumpulan Data
Sajian data
Reduksi data
Penarikan simpulan/verifikasi
Bagan 3.2 Model Analisis Interaktif (Sutopo, 2006:120)
Di dalam pelaksanaan penelitian ini komponen-komponen analisis tersebut saling berkaitan dan berinteraksi serta tidak bisa dipisahkan dari komponen pengumpulan data. Proses analisis sudah dilakukan pada waktu peneliti mengumpulkan data.
a.
Reduksi Data Sejak data awal terkumpul, analisis data telah dilakukan, yaitu dengan cara
melakukan reduksi data agar data lebih terseleksi, terfokus, dan mempermudah pengaturan data sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Reduksi data pada saat proses pengumpulan data dilakukan dengan cara membuat ringkasan catatan, yaitu menentukan batas-batas permasalahan yang hanya berpusat pada kesepadanan makna dan gaya di dalam novel sumber HT dan novel terjemahannya PL yang berhubungan dengan penerjemahan hal-hal yang khas dalam susastra, penerjemah novel HT, dan tanggapan pembaca. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
141 digilib.uns.ac.id
Data yang telah diseleksi dibuatkan kode-kode khusus agar mudah dianalisis lebih lanjut. Pengkodean data ini dapat dilihat dalam contoh di bawah ini: 054.HT.Chap13.Pg96/PL.Bb13.Hal133 Tsu: People rarely got stuck while wading. It usually happened while they were crossing soft exposed mud, with the typical rescue involving wooden planks upon which trapped mudders would lay their torsos and crawl free from the muck. Oystermen did it all the time. So did Evergreen students. This was different. Tsa: Orang yang berjalan di rawa-rawa jarang terjebak lumpur. Petaka itu biasanya terjadi jika mereka nekat melangkah ke dalam lumpur yang lembut, dan cara yang ditempuh untuk menyelamatkan diri adalah meraih sebilah papan, menempelkan bagian atas tubuh mereka ke papan itu sambil merangkak menuju dataran kering. Penagkap tiram selalu melakukannya. Begitu juga mahasiswa-mahasiswa dari kampus Evergreen. Tapi kali ini situasinya berbeda.
Kode-kode di atas secara lengkap diuraikan sebagai berikut: a. Nomor urut data ditulis paling awal. Nomor urut data untuk data Tsu sama dengan nomor urut Tsa. Nomor urut data ini dimulai dari data 001. Jadi, nomor urut data 054 di dalam contoh di atas menunjukkan bahwa nomor urut data yang diambil oleh peneliti adalah data nomor 054 dari data-data yang diambil di dalam novel The Highest Tide dan novel terjemahannya Pasang Laut. b. Berikutnya setiap data Tsu dan Tsa juga diberi kode mengenai kode novel, bab yang ada di dalam novel, dan halaman novel. Kode-kode tersebut adalah sebagai berikut: HT
: novel sumber The Highest Tide
Chap
: chapter atau bab yang ada di dalam novel The Highest Tide
Pg
: page atau halaman yang ada di dalam novel The Highest Tide
PL
user : novel terjemahan commit PasangtoLaut
perpustakaan.uns.ac.id
142 digilib.uns.ac.id
Bb
: bab yang ada di dalam novel terjemahan Pasang Laut
Hal
: halaman yang ada di dalam novel terjemahan Pasang Laut
Dari kode-kode di atas dapat diketahui bahwa data dapat kita temukan di dalam novel sumber The Highest Tide, Chapter 13, page 96 dan novel terjemahan Pasang Laut, Bab 13, halaman 133. Data yang telah dikodekan di atas, kemudian dianalisis berdasarkan jenis-jenis makna dan gaya teks bahasa sumber dengan terjemahan teks bahasa sasaran, yaitu apakah data yang telah dikodekan tersebut temasuk ke dalam makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, makna tekstual, makna sosiokultural, dan/atau makna implisit, dan termasuk ke dalam gaya yang meliputi: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan/atau tanda baca yang digunakan dalam Tsu dan Tsa. Pengklasifikasian tersebut dapat dilihat dalam contoh di bawah ini:
025.HT.Chap6.Pg36/PL.Bb6.Hal53 Tsu: She looked to see if I was enjoying this. She’d definitely been crying. I glared at frankie, and he smiled warmly back. He was such an effortless Marlboro man he made me feel like a circus midget. Tsa: Angie melirik padaku untuk melihat reaksiku. Matanya sembap, dia pasti habis menangis. Aku melotot pada Frankie, tapi dibalasnya dengan senyum hangat. Dia memang lelaki yang memesona, dan di hadapannya aku merasa seperti badut cebol di sirkus.
Teks di atas digolongkan ke dalam atau memiliki makna sosiokultural, dengan penjelasan bahwa makna sosiokultural adalah makna suatu bahasa yang sangat berkaitan erat dengan sosiokultural di mana bahasa itu digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat (Soemarno,1999:7). Makna sosiokultural commit to user sebagai pengguna bahasa itu. seringkali dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat
143 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Makna ini, selain sering ditemukan dalam bentuk kata-kata istilah budaya, sering juga ditemukan dalam ungkapan-ungkapan idiomatik yang tidak dapat dijelaskan maknanya dari kata-kata yang membentuk ungkapan itu. Marlboro Man di dalam Tsu dipadankan menjadi lelaki yang memesona di dalam Tsa. Sebenarnya, Marlboro Man ini merupakan sosok yang digunakan di dalam kampanye iklan tembakau untuk rokok Marlboro. Sosok ini pertama kali dicitrakan sebagai seorang koboi dengan sebatang rokok yang secara alami selalu melekat padanya. Iklan tersebut sebenarnya digunakan untuk mempopulerkan rokok filter yang sebelumnya dianggap sebagai rokok feminim (rokoknya orang perempuan). Kampanye iklan Marlboro ini disebut sebagai salah satu iklan yang paling brilian pada saat itu, yaitu yang mentransformasikan citra feminisme ke dalam cita rasa maskulin, bahwa rokok filter adalah juga rokoknya lelaki atau rokoknya koboi. Kemudian data dianalisis lebih lanjut berdasarkan kategori kesepadanan makna dan gaya, yaitu terjemahan hampir sempurna (THS), terjemahan sangat bagus (TSB), terjemahan baik (TB), terjemahan cukup (TC), dan terjemahan kurang (TK). Di dalam menganalisis kesepadanan makna dan gaya antara Tsu di dalam novel The Highest Tide dengan Tsa di dalam novel terjemahannya Pasang Laut disajikan sebagaimana contoh berikut:
commit to user
144 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
047.HT.Chap13.Pg85/PL.Bb13.Hal118 Teks Sumber
Teks Sasaran
Pansing showed up first. He had arms the color of old pennies and a smile so quick it was to miss.he studied the geoduck drom three angles and carefully set it in an iced cooler, jammed thirty-two manilas and nine butter clams in there with it.
Ternyata Pansing yang muncul duluan. Lengannya cokelat legam seperti keping uang kuno dan senyumnya tipis, dan nyaris tak terlihat. Dia membolak-balik geoduck itu, lalu dengan hati-hati memasukkannya ke dalam kotak es, berikut dua puluh tiga manila dan sembilan ekor remis butter clam.
THS
TSB
TB
TC
TK
Alasan:
Contoh data di atas di analisis kesepadanan makna dan gayanya dalam penerjemahan hal-hal yang khas dalam susastra, dengan penjelasan sebagai berikut: 047
: nomor urut data
HT.Chap13.Pg85
: data tersebut diambil dari novel sumber The Highest Tide, Chapter 13, Page 85
PL.Bb13.Hal118
: data tersebut diambil dari novel terjemahan Pasang Laut, Bab 13, Halaman 118
THS
: terjemahan tersebut termasuk kategori terjemahan hampir sempurna
TSB
: terjemahan tersebut termasuk kategori terjemahan sangat bagus
commit to user
145 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
TB
: terjemahan tersebut termasuk kategori terjemahan baik
TC
: terjemahan tersebut termasuk kategori terjemahan cukup
TK
: terjemahan tersebut termasuk kategori terjemahan kurang Dalam paparan contoh di atas, Tsu yang dicetak tebal memiliki makna
bahwa dia tersenyum sangat cepat dan singkat sehingga lawan bicaranya kadang tak sempat memperhatikan senyuman itu. Namun, dalam konteks bahasa sasaran (bahasa Indonesia), tersenyum sangat cepat dan singkat tersebut sangat sulit dicarikan padanannya. Bahasa Indonesia tidak mempunyai konsep ’tersenyum cepat’ atau ’tersenyum pendek’. Tertawa pendek, semacam ha! misalnya, masih bisa kita bayangkan, tapi tersenyum singkat atau tersenyum pendek sangat langka dalam wacana Indonesia, sehingga di dalam Tsa yang dicetak tebal pada contoh di atas padanan yang diberikan oleh penerjemah adalah senyuman tipis. Dalam paparan di atas tidak ada perubahan bentuk. Dengan tidak adanya perubahan bentuk dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, maka terjemahan tersebut makna dan gayanya sangat bagus.
b. Sajian Data Setelah data direduksi kemudian disajikan dalam bentuk uraian secara lengkap. Data hasil reduksi ditata secara kronologis dan sistematis sehingga membentuk suatu rangkaian yang berurutan dan utuh yang bisa memberikan gambaran keseluruhan informasi secara gamblang. Sajian data dalam penelitian ini berupa narasi data tentang kesepadanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa yang berhubungan dengan penerjemahan hal-hal yang khas dalam novel yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
146 digilib.uns.ac.id
dibahas secara rinci mengenai jenis makna dan gaya yang digunakan dalam penerjemahan novel berbahasa Inggris HT ke dalam novel berbahasa Indonesia PL dan kualitas kesepadanan yang dihasilkan. Kualitas kesepadanan terjemahan novel HT ini diklasifikasikan berdasarkan pada: 1) terjemahan hampir sempurna (THS), 2) terjemahan sangat bagus (TSB), 3) terjemahan baik (TB), 4) terjemahan cukup (TC), dan 5) terjemahan kurang (TK). Penerjemah dibahas secara rinci, yaitu berupa latar belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT, dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel HT. Pemahaman pembaca dideskripsikan berdasarkan pada masukan dan pendapat para pembaca mengenai terjemahan yang dihasilkan. Hasil tersebut dibandingkan dan diinterpretasikan dengan keadaan nyata pada teks dan akan disusun dengan kalimat-kalimat yang sistematis. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah analisis lebih lanjut.
c. Penarikan Simpulan dan Verifikasi Setelah selesai melakukan reduksi data dan sajian data, peneliti melakukan penarikan simpulan. Simpulan ini merupakan jawaban dari permasalahan penelitian yang telah dirumuskan. Misalnya, data mengenai kualitas kesepadanan terjemahan novel pada kategori terjemahan baik (TB) sebagaimana contoh berikut: 082.HT.Chap21.Pg158/PL.Bb21.Hal211 Tsu: Carolyn led me into another room and then through a passage with a fake waterfall and some smelly hyacinths into a curved auditorium with a halfbowl of sloped theater seating. People were straightening a stage and double-checking microphones, testing, testing, testing. Meanwhile, that same endless stargazing song played on. I saw a whole lot of whispering, commit to user
147 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
eye-swiveling and those pleasant zombie smile that the jellyfish rescuers had bombarded me with on the flats. Tsa: Carolyn membawaku ke ruangan lain, melewati air terjun buatan dan beberapa bunga bakung yang baunya menusuk hidung, menuju sebuah auditorium dengan kursi-kursi yang dijajarkan bertingkat-tingkat membentuk setengah lingkaran seperti gedung teater. Orang-orang di sana sedang meluruskan panggung dan memeriksa perangkat pengeras suara: testing, testing, testing. Sementara itu musik pengiring penggemar teropong bintang tadi masih terus mengalun tanpa henti. Kerumunan orang itu berbisik-bisik, lalu puluhan pasang mata lainnya melirik ke arahku, dan lagilagi kulihat senyuman mirip zombie yang pernah kulihat dari anggota pemujaan yang mengikutiku melempar ubur-ubur ke air dalam di hamparan lumpur teluk beberapa hari yang lalu.
Setelah diamati secara seksama dan mendalam, menurut peneliti, data nomer 082 di atas termasuk ke dalam terjemahan baik (TB).Untuk mendapatkan simpulan yang mantap, maka simpulan ini perlu diverifikasi. Verifikasi ini dilakukan dengan membandingkan hasil simpulan peneliti di atas dengan simpulan yang diberikan oleh para informan (penilai) lain, yaitu bahwa menurut penilai I, data nomer 082 di atas termasuk ke dalam kategori terjemahan baik (TB), sedangkan menurut penilai II data nomer 082 tersebut termasuk ke dalam kategori terjemahan sangat bagus (TSB). Apabila dalam verifikasi ada kejanggalan-kejanggalan maka peneliti kembali ke pengumpulan data, atau memeriksa reduksi data, atau sajian data. Di dalam proses ini, peneliti tetap terbuka dan terus mencermati munculnya informasi baru yang akan mempengaruhi hasil simpulan akhir tersebut. Sesuai dengan model interaktif yang digunakan dalam kajian ini, Proses siklus ini akan dilakukan terusmenerus hingga memperoleh simpulan yang mantap. commit to user
148 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
149 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
150 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
148 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV SAJIAN DATA
4.1 Sajian Data Di dalam bab ini disajikan mengenai hasil-hasil penelitian berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan, yaitu kesepadanan makna dan gaya mengenai ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya, deskripsi mengenai penerjemah, dan deskripsi pemahaman pembaca novel terjemahan. Kesepadanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa dibahas secara rinci dan berurutan. Pertama, sajian data berupa ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa yang terdapat di dalam novel HT dan terjemahannya. Kedua, jenis makna dan gaya yang digunakan dalam penerjemahan novel berbahasa Inggris HT ke dalam novel berbahasa Indonesia Pasang Laut (PL). Ketiga, kualitas kesepadanan makna dan gaya di dalam novel HT dan terjemahannya. Kualitas kesepadanan terjemahan novel HT ini diklasifikasikan berdasarkan pada: 1) terjemahan hampir sempurna (THS), 2) terjemahan sangat bagus (TSB), 3) terjemahan baik (TB), 4) terjemahan cukup (TC), dan 5) terjemahan kurang (TK). Deskripsi mengenai penerjemah dipaparkan tentang: latar belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel The Highest Tide (HT), dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel HT. Pemahamancommit pembaca dideskripsikan berdasarkan pada to user
perpustakaan.uns.ac.id
149 digilib.uns.ac.id
masukan dan pendapat para pembaca mengenai terjemahan yang dihasilkan. Dengan demikian pendapat dan masukan mereka akan sangat membantu untuk mendapatkan informasi sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
4.1.1 Kesepadanan Makna dan Gaya Sebelum menganalisis kualitas kesepadanan makna dan gaya di dalam novel HT dan terjemahannya, penulis menyajikan secara rinci mengenai: (1) bagian-bagian substansi di dalam novel HT, yaitu ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa, dan (2) jenis makna dan gaya yang digunakan dalam penerjemahan novel HT ke dalam novel berbahasa Indonesia Pasang Laut (PL). Di dalam analisis berikut ini, setiap kata, frasa, atau kalimat yang dianalisis diberi kode: nomor urut, tempat terdapatnya data, dan nomor halaman tempat terdapatnya data. Misalnya, kode 007.HT.Chap1.Pg6/PL.Bb1.Hal14 mengandung maksud: nomor urut data 007 terdapat dalam buku The Highest Tide pada Chapter 1 page 6, dan dalam buku Pasang Laut pada Bab 1 halaman 14.
4.1.1.1 Bagian-bagian Substansi di dalam Novel HT Data-data mengenai bagian-bagian yang khas di dalam novel The Highest Tide yang diterjemahkan ke dalam novel Pasang Laut mencakup sajian mengenai ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan a) budaya materi, b) istilah-istilah ekologi, c) budaya sosial, dan d) gaya bahasa. Data mengenai ungkapan-ungkapan tersebut adalah sebagaimana berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
150 digilib.uns.ac.id
4.1.1.1.1 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Materi Sebagaimana diuraikan di dalam subbab 2.2.4.3.1 bahwa beberapa ungkapan yang tergolong ke dalam konteks budaya materi, yaitu food (makanan), cloth (pakaian), house (tempat tinggal), transport (moda transportasi). Di dalam penerjemahan pada aspek budaya materi tersebut dapat ditemukan dalam contoh penerjemahan berikut: 016.HT.Chap4.Pg22/PL.Bb4.Hal35 Tsu: The weatherman, who’d mastered the ability to simultaneously smile and speak, promised his forecast was next, then stranded me with a commercial that left me with the confusing impression that waterskiing was somehow safer and more fun with Tampax. I waited for the phone to bark, the door to collapse, the house to be surrounded by hecklers. But nothing happened. Tsa: Penyiar prakiraan cuaca yang pintar berbicara sambil tersenyum berjanji akan menyampaikan ramalannya setelah segmen iklan yang selalu membuatku bingung, karena mereka bilang pembalut Tampax bisa membuat main ski air lebih aman dan mengasyikkan. Aku menunggununggu telepon berdering, pintu depan roboh, atau rumahku diserbu oleh para reporter tolol itu. Tapi ternyata itu tidak terjadi.
Tampax di dalam Tsu merupakan salah satu merek dagang pembalut wanita yang digunakan untuk menyerap cairan, khususnya darah, pada saat menstruasi. Pembalut wanita biasanya memiliki berbagai ukuran, yang besarnya tergantung pada tingkat penyerapan dan bungkusnya. Di Amerika, pembalut wanita tersedia dalam berbagai ukuran penyerapan, yaitu ukuran junior untuk penyerapan 6 gram ke bawah, ukuran regular untuk tingkat penyerapan 6-9 gram, super untuk tingkat penyerapan 9-12 gram, dan super plus untuk tingkat penyerapan 12-15 gram. Beberapa nama produk pembalut wanita tersebut antara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
151 digilib.uns.ac.id
lain: Rely, Kotex, O.B., Platex, Lil-Lel, dan Tampax. Kata di dalam Tsu di atas dipadankan dengan frase pembalut wanita di dalam Tsa. Contoh lain mengenai ungkapan budaya materi adalah sebagaimana data berikut: 100.HT.Chap26.Pg202/PL.Bb26.Hal267 Tsu: I told him I’d take him fishing on Skookumchuck once I saved enough to buy a Lund. “The twelve-footers are perfect for fishing,” I explained. “They’re so sturdy you can stand up in them. And I bet I can get one for about five hundred, maybe four-fifty, if I wait until somebody gets tired of watching one rust in their yard.” Tsa: Kujanjikan padanya dia akan kuajak menangkap ikan di Teluk Skookumchuck setelah tabunganku cukup untuk membeli perahu motor Lund. “Perahu ukuran 3.6 meter sangat bagus untuk memancing,” kataku menjelaskan. “Perahu itu begitu kuat dan kau bisa berdiri di atasnya. Dan aku bisa menebusnya dengan harga empat ratus, mungkin empat ratus lima puluh, asalkan aku cukup sabar menunggu sampai ada pemilik Lund yang bosan melihat perahunya dimakan karat di halaman rumahnya.”
Lund merupakan salah satu nama merek terkenal di Amerika yang menawarkan berbagai jenis alat transportasi dan aksesori kendaraan yang fungsional dan selalu mengikuti perkembangan. Produk-produk yang ditawarkan mulai dari kapal motor merek Lund, aksesori mobil, kotak penyimpanan, sampai aksesoris tempat tidur. Secara keseluruhan, data mengenai budaya materi dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 1a.
4.1.1.1.2 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Istilah Ekologi Istilah–istilah ekologi berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya lain tergantung pada penamaan masing-masing wilayah dan tingkat kekhasannya. commit tofungsi user yang penting dalam Penamaan istilah-istilah tersebut memiliki
152 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menunjukkan geografis dan identitas suatu negara. Beberapa unsur ekologi, sebagaimana diuraikan di dalam subbab 2.2.4.3.2 adalah jenis wilayah, musim, hujan, lembah, ikan, dan lain sebagainya. Penerjemahan istilah-istilah ekologi di dalam novel HT dapat ditemukan dalam penerjemahan berikut: 069.HT.Chap18.Pg131/PL.Bb18.hal179 Tsu: I told them how the Cyanea jelly grows from the size of a gum ball to that of
an umbrella in a few months.”And when they’re full grown,” I said, “they trail these long poisonous tentacles behind them that some smart baby fish use to shelter themselves from predators.” Tsa: Kuterangkan pada mereka tentang pesatnya pertumbuhan ubur-ubur
Cyanea yang semula hanya sebesar kunyahan permen karet namun bisa melar selebar payung dalam beberapa bulan saja. “Dan kalau sudah mencapai ukuran maksimumnya, badan mereka akan ditumbuhi tentakel beracun yang sangat panjang berumbai-rumbai di belakang tubuhnya, dan sering dimanfaatkan ikan-ikan kecil untuk berlindung dari serangan predator.”
Berdasarkan data di atas, istilah ekologi yang dimaksud di dalam Tsu adalah Cyanea jelly. Frasa tersebut di dalam Tsa dipadankan dengan ubur-ubur Cyanea. Dalam bidang ekologi, ubur-ubur ini termasuk dalam spesies ubur-ubur yang paling besar. Binatang ini biasanya berada di dalam suhu air laut yang dingin sepanjang laut Atlantik utara dan laut Pasifik utara. Contoh lain mengenai istilah-istilah ekologi adalah sebagaimana data berikut:
commit to user
153 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
009.HT.Chap1.Pg6/PL.Bb1.Hal15 Tsu: I bagged that sea slug-it weighed nothing-and set it in my backpack next to
the Jesus star. Then I gave the crabs a wide berth, found the moon snail, poked him in the belly until he contracted, bagged him and paddled south toward home beneath the almost full moon. Tsa: Kumasukkan siput laut yang sangat ringan itu ke dalam kantong plastik, dan
kuletakkan di samping si bintang laut salib. Aku terus melangkah sambil menghindari kepiting-kepiting ganas itu, kutemukan kembali kerang kalung tadi, kusodok-sodok perutnya sampai dia masuk ke dalam cangkangnya, kusimpan di dalam kantong plastik, dan mulai kudayung kayakku ke arah selatan, pulang di bawah siraman cahaya bulan yang hampir bulat sempurna.
A Jesus Star di dalam Tsa sebenarnya merupakan ikan laut berbentuk bintang lima, sering disebut starfish atau sea stars. Terdapat sekitar 1800 spesies ikan sea star dan kebanyakan ikan ini terdapat di wilayah tropis Indo-Pasifik. Wilayah penyebaran yang paling banyak adalah di daerah bersuhu tropis sekitar Australia, dan air bersuhu dingin sekitar Pasifik Utara yang membentang dari California sampai Alaska. A Jesus Star dipadankan menjadi
si bintang laut
salib di dalam Tsa. Secara keseluruhan, data mengenai istilah dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 1b.
commit to user Gambar 4.1 Sea Star atau Starfish
154 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4.1.1.1.3 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Budaya Sosial Budaya sosial secara khusus adalah manifestasi tertentu di dalam suatu masyarakat yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa khusus atau tertentu, atau dengan kata lain sebagai foreign cultural words (subbab 2.2.4.3.3). Tergolong ke dalam budaya sosial tersebut adalah ungkapan-ungkapan di dalam suatu pekerjaan dan kegiatan di waktu senggang yang biasanya dilakukan oleh anggota suatu komunitas, sebutan atau penamaan yang diberikan kepada seseorang, peristiwa budaya, dan kegiatan-kegiatan keorganisasian, keagamaan, kesenian, dan juga istilah-istilah khusus suatu konsep atau gagasan. Penerjemahan budaya sosial yang terdapat dalam novel HT dapat ditemukan dalam penerjemahan berikut ini: 055.HT.Chap13.Pg93/PL.Bb13.Hal129 Tsu: Phelps was a classic-rock freak, and considered himself an aficionado of lead
gitarists during “the age of guitar”, as his brother called it. We all deferred to Phelps on music and forgot he didn’t know how to actually play anything. He didn’t sully his musical reputation by struggling to play “Yankee Doodle.” He pursued his calling by acting like a rock star, by sleeping in, smoking in public and scowling at adults. It was easy to forget he wasn’t already a bandleader. Tsa: Phelps sangat gila musik rock klasik dan membanggakan dirinya sebagai
penggila jawara-jawara dari “zaman keemasan gitar”- seperti kata kakaknya. Kami anggap Phleps orang yang serba tahu soal musik, meskipun kenyataannya dia tak bisa memainkan instrumen apa pun. Dia sangat menjaga reputasinya sebagai maestro musik, dan jangan harap dia sudi mengiringi “Yankee Doodle” dengan gitar ajaibnya. Agar lebih meyakinkan, dia sengaja bertingkah seperti bintang musik cadas, bangun tidur kesiangan, merokok di muka umum, dan menatap garang kepada orang-orang dewasa. Orang pasti lupa kalau dia bahkan tak punya kelompok band. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
155 digilib.uns.ac.id
Yankee Doodle merupakan salah satu budaya nasional yang sangat terkenal. Yankee Doodle merupakan jenis lagu Inggris yang sangat terkenal dan banyak diadopsi di berbagai negara, salah satunya adalah Amerika Serikat. Lagu ini dinyanyikan secara patriotik sebagai lagu kebangsaan di negara bagian Cunnecticut, Amerika. Lirik lagu yang sangat terkenal tersebut adalah sebagai berikut: Yankee Doodle went to town, A-Riding on a phony; He stuck a feather in his cap, And called it macaroni. Contoh lain mengenai budaya sosial adalah sebagaimana data berikut: 051.HT.Chap13.Pg88/PL.Bb13.Hal123 Tsu: For almost a week, summer resumed its regularly scheduled programming. I even talked my parents into playing Trivial Pursuit, thinking maybe board games kept families together, but it just made by father feel stupid and pissed off my mother when I got such easy questions that I won. Tsa: Selama hampir seminggu kehidupan pada musim panas itu kembali normal. Aku bahkan berhasil mengajak Ayah-Ibu bermain Trivial Pursuit, siapa tahu permainan itu bisa menyatukan keluargaku yang porak-poranda. Tapi Ayah jadi kesal karena permainan papan itu membuatnya merasa tolol, sedangkan Ibu berang karena aku selalu mendapat pertanyaan yang mudah-mudah.
Trivial Pursuit di dalam Tsu merupakan salah satu permainan yang pemenangnya ditentukan oleh kemampuannya untuk menjawab pertanyaan pengetahuan umum (general knowledge) dan pengetahuan popular (popular culture). Objek dari permainan ini adalah bergerak mengitari papan dengan cara menjawab secara benar pertanyaan-pertanyaan trivia, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang menarik namun sebenarnya kurang penting. Pertanyaan dibagi ke dalam enam kategori, dengan masing-masing kategori memiliki warna tersendiri. commit to user
156 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keenam kategori tersebut adalah kategori geograpi (berwarna biru), hiburan (berwarna pink), sejarah (berwarna kuning), seni dan sastra (berwarna coklat), ilmu pengetahuan dan alam (berwarna hijau), dan olahraga (berwarna oranye). Permainan ini terdiri dari papan, lembar permainan, kartu pertanyaan, kotak, dan dadu.
Gambar 4.2 Trivial Pursuit
Penerjemahan budaya sosial yang lain dapat ditemukan dalam contoh penerjemahan berikut: 057.HT.Chap15.Pg108/PL.Bb15.Hal148 Tsu: “In fact, the professor says he intends to push for something he called a
“BioBlitz,” in which a variety of scientists would team up to perform an animal census of sorts in the Sound’s southern bays.” Tsa: “Bahkan Profesor Kramer ingin mengadakan aksi massal yang disebutnya
‘Bio Blitz’, yang akan melibatkan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu untuk menggelar sensus hewan di pesisir selatan Puger Sound.” commit to user
157 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan data di atas, istilah-istilah khusus pada konsep atau gagasan yang dimaksud di dalam Tsu adalah istilah BioBlitz. Istilah BioBlitz ini biasanya digunakan di dalam konsep atau gagasan untuk mempelajari kehidupan makhluk hidup dan dilakukan secara serentak atau bersama-sama. Istilah tersebut di dalam Tsa dipadankan dengan Bio Blitz. Contoh lain adalah sebagaimana data berikut: 106.HT.Chap27.Pg212/PL.Bb27.Hal279 Tsu: The goal of the exercise, as the professor kept repeating, was a “snapshot census” of the animal and plant life of the Sound’s southernmost bays. Yet despite all the serious grown-up talk, it still sounded like a silly game designed by children because this so-called census had to be completed within twenty-four hours. Tsa: Tujuan kegiatan hari itu, sebagaimana dikatakannya berkali-kali, adalah melakukan “sensus kilat” terhadap semua binatang dan tumbuhan yang hidup di ujung selatan teluk kami. Namun, terlepas dari percakapan serius orang-orang dewasa itu, aku merasa semua itu mirip permainan anak-anak karena sensus ini hanya berlangsung selama dua puluh empat jam.
Frase snapshop census merupakan istilah khusus pada bidang biologi atau perikanan yang digunakan untuk mempermudah pengungkapan keterangan dari yang panjang menjadi sederhana dan mudah dipahami. Kata snapshot di dalam Tsu merupakan teknik memotret yang dilakukan secara tidak sempurna, tidak fokus, atau asal-asalan yang penting cepat. Sementara itu, kata census di dalam Tsu merupakan prosedur perekaman informasi mengenai anggota suatu populasi yang dilakukan secara sistematik dan reguler. Di dalam Tsa, kata snapshop census tersebut dipadankan dengan sensus kilat. Secara keseluruhan, data mengenai ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan budaya sosial dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 1c.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
158 digilib.uns.ac.id
4.1.1.1.4 Ungkapan-ungkapan yang Berhubungan dengan Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara penyusunan bahasa sehingga menimbulkan aspek estetis. Secara tradisional gaya bahasa disamakan dengan majas atau suatu kiasan yang digunakan penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. Majas tersebut secara umum dibedakan menjadi empat macam, yaitu: majas penegasan, perbandingan, pertentangan, dan majas sindiran. Metafora, sebagai salah satu bentuk majas, merupakan yang paling banyak dan paling sering di dalam memanfaatkan perbandingan, atau dengan kata lain, di antara semua majas, maka metaforalah yang paling penting. Metafora dikategorikan menjadi metafora hidup dan metafora mati. Metafora hidup adalah metafora yang serta-merta diciptakan oleh penulis atau pembicara untuk melukiskan sesuatu, atau dengan kata lain bahwa metafora hidup merupakan estetis yang memberikan kesan baru. Metafora mati atau seringkali disebut dengan idiom merupakan metafora yang dibentuk dengan tidak lagi memikirkan pembanding makna dasarnya, namun langsung memikirkan pada makna idiomatis yang dibentuknya. Makna metafora mati atau idiom tidak dapat diprediksi dari kata-kata yang menyusunnya secara harfiah. Contoh penerjemahan gaya bahasa di dalam novel HT ini adalah: 071.HT.Chap19.Pg141/PL.Bb19.Hal190 Tsu: Angie turned around to drink something, leaving us staring at the back of her dress that had such narrow stripes it seemed to move on its own. Some guy screamed, “Angie, I love you!” More people laughed, then yipped and hooted rodeo-style. I was hoping the music would start again before anyone noticed us, or someone else confessed their love. I looked around for phony Frankie, but I couldn’t make out a face. Every second the music didn’t play felt like our last. commit to user
159 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tsa: Angie membalikkan badan dan menenggak sesuatu seraya membiarkan kami menatap bagian belakang gaunnya yang seperti bergerak-gerak sendiri. Ada yang berteriak, “Angie, I love you!” Mereka tertawa semakin keras, lalu mulai bersorak-sorak mirip penonton rodeo. Aku berharap mereka segera bermain lagi sebelum orang mengetahui keberadaan kami, atau ada yang meneriakkan cintanya lagi pada Angie. Kucari-cari sosok Frankie si cowok gadungan di ruangan itu, tapi sulit sekali melihat dalam gelap. Selama jeda itu setiap detik seperti merambat lama sekali. Ungkapan but I couldn’t make out a face di dalam Tsu merupakan ungkapan idiomatik yang mengandung makna bahwa seseorang tidak berhasil melakukan sesuatu karena keadaan atau yang berhubungan dengan keadaan atau situasi. Ungkapan tersebut di dalam Tsa dipadankan dengan ungkapan tapi sulit sekali melihat dalam gelap. Contoh lain mengenai gaya bahasa adalah sebagaimana data berikut: 066.HT.Chap17.Pg123/PL.Bb17.Hal169 Tsu: Overhead lights had crashed onto dozens of desks, but Mrs. Guthrie’s portable classroom actually fell off its blocks and split in two, as if struck by a huge axe. The Ice Queen didn’t smile once during the 181 days of my fourth grade. So why was her classroom singled out? Or what about the stretch of crumbled chimneys the quake left behind on just one side of Jefferson Avenue? And why did the brand-new fake fountain at the entrance to Sunset states crack all the way through? Tsa: Ruangan-ruangan kelas lainnya tak seberapa rusak, kecuali bola-bola lampu yang jatuh menimpa lusinan bangku, tapi ruang kelas Ibu Guthrie jatuh anjlok dari beton penyangganya dan terbelah menjadi dua seperti dihantam kapak raksasa. Ratu Es yang judes itu belum pernah sekali pun tersenyum selama 181 hari mengajar kami di kelas empat. Jadi, kenapa hanya ruang kelasnya yang dipilih oleh petaka itu? Atau, mengapa di Jalan Jefferson bangunan-bangunan yang rata dengan tanah hanya di satu sisi saja? Dan mengapa air mancur buatan di gerbang kompleks Sunset estates yang baru selesai itu harus hancur berkeping-keping?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
160 digilib.uns.ac.id
Kalimat The Ice Queen didn’t smile once during the 181 days of my fourth grade di dalam Tsu merupakan suatu metafora yang diungkapkan dengan maksud memberikan perbandingan analogis, yaitu bahwa di dalam Tsu Ibu Guru Guthrie diibaratkan sebagai The Ice Queen. Ungkapan tersebut diciptakan oleh si narator yang dilakukan secara emosional untuk melukiskan karakter Ibu Guru Guthrie yang benar-benar dingin melebihi dinginnya es, sehingga dia disebut sebagai ratunya es. Di dalam Tsa kalimat tersebut dipadankan menjadi Ratu Es yang judes itu belum pernah sekali pun tersenyum selama 181 hari mengajar kami di kelas empat. Secara keseluruhan, gaya bahasa dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 1d.
4.1.1.2 Jenis-jenis Makna dan Gaya di dalam Penerjemahan Novel HT Di dalam penelitian ini terdapat beberapa jenis makna dan gaya yang dipakai di dalam menerjemahkan novel HT ke dalam novel PL yang berhubungan dengan ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa. Jenis-jenis makna yang dimaksud adalah makna leksikal, makna situasional atau kontekstual, makna tekstual, makna sosiokultural, dan makna implisit. Sedangkan parameter gaya yang dimaksud adalah penggunaan berbagai pilihan kata di dalam Tsa, penggunaan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sama dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu, penggunaan gaya bahasa yang sama di dalam Tsa untuk menggantikan gaya bahasa di dalam Tsu, penggunaan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada di commit to user
161 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya, dan penggunaan tanda baca di dalam Tsa yang dapat diubah setelah membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu.
4.1.1.2.1 Jenis-jenis Makna Sebagaimana dinyatakan di dalam subbab 2.2.3.3 bahwa bahasa digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu makna bahasa pun menjadi bermacam-macam di lihat dari segi maupun pandangan yang berbeda-beda. Menurut Sumarno (1999:3-9), penerjemahan selalu melibatkan dua macam budaya yang berbeda, dengan demikian meskipun kata itu mempunyai makna yang sama, makna kata-kata yang berasal dari budaya yang berbeda itu jarang sekali memiliki makna yang sama persis, kecuali apabila kata-kata tersebut berhubungan dengan istiah-istilah ilmu pengetahuan atau teknologi. Dalam ilmu terjemahan, makna yang dibahas adalah makna-makna yang langsung berhubungan dengan makna yang terdapat dalam teks. Ilmu-ilmu lain sangat berpengaruh pada makna dalam penerjemahan ini, misalnya ilmu kebahasaan dan ilmu sastra. Adapun jenis-jenis makna yang direalisasikan di dalam penelitian ini adalah: makna leksikal, makna situasional atau kontekstual, makna tekstual, makna sosiokultural, dan makna implisit. Jenis-jenis makna tersebut adalah sebagai berikut:
commit to user
162 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4.1.1.2.1.1 Makna Leksikal Yang dimaksud dengan makna leksikal adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem di dalam suatu teks yang bersifat tetap. Makna tersebut dapat berupa makna literer maupun makna non-literer (Saeed, 2000: 15-17). Di dalam penelitian ini makna leksikal yang dimaksud adalah makna leksikal yang berhubungan dengan ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya. Data mengenai makna leksikal yang berhubungan dengan ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak tiga (3) data, istilah ekologi sebanyak tiga (3) data, budaya sosial sebanyak lima (5) data, dan gaya bahasa sebanyak nol (0) data. Contoh data yang mempunyai makna leksikal tersebut antara lain sebagai berikut: 001.HT.Chap1.Pg2/PL.Bb1.Hal9
Tsu: People usually take decades to sort out their view of the universe, if they bother to sort at all. I did my sorting during one freakish summer in which I was ambushed by science, fame and suggestions of the divine. You may recall hearing pieces of it, or seeing that photo of me looking like some bloodshot orphan on the mudflats. Maybe you remember the ridiculous headline USA Today pinned on me after that crazy cult took an intereset: KID MESSIAH? Tsa: Biasanya orang perlu waktu berpuluh-puluh tahun untuk memaknai kehidupan mereka di jagad raya ini, itu pun kalau mereka berusaha. Aku sendiri sedang berusaha memahami semua itu pada suatu musim panas yang aneh, ketika ketenangan hidupku tiba-tiba terusik oleh perdebatanperdebatan ilmiah, ketenaran, dan bisikan-bisikan dari Tuhan. Mungkin sedikit-sedikit kalian pernah mendengar cerita itu, atau melihat fotoku di koran, yang mirip anak yatim-piatu sakit-sakitan dari pantai lumpur di Puget Sound. Mungkin kalian masih ingat bunyi kepala berita konyol koran USA Today yang ditulis besar-besar di atas fotoku setelah terjadi pemujaan gilagilaan terhadapku yang sangat menghebohkan itu: MESIAS KECIL?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
163 digilib.uns.ac.id
Berdasarkan data tersebut frase mesiah bermakna leksikal di dalam Tsu yang dikategorikan dalam kata-kata bermakna leksikal bahasa sumber yang mempunyai padanan dalam bahasa sasaran, tetapi makna itu sebenarnya sudah sedikit berbeda, baik dari segi fisik maupun konsepnya, namun kedua makna leksikal tersebut (dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran) masih dianggap padanan. Di dalam bahasa sasaran kata-kata tersebut direalisasikan dengan ungkapan makna yang tetap, yaitu mesias. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Soemarno (1999:3) bahwa kata-kata bermakna leksikal dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu: (1) kata-kata dalam bahasa sumber yang dengan mudah dapat dicari padanannya dalam bahasa sasaran, (2) kata-kata bermakna leksikal bahasa sumber yang mempunyai padanan dalam bahasa sasaran, tetapi makna itu sebenarnya sudah sedikit berbeda, baik dari segi fisik maupun konsepnya, namun kedua makna leksikal tersebut (dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran) masih dianggap padanan, sehingga penerjemah masih bisa menggunakannya sebagai padanan dalam penerjemahan, (3) kata-kata dalam bahasa sumber yang sulit dicari padanannya dalam bahasa sasaran, bahkan ada kata-kata tertentu yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam Bsa (untranslatable), dan (4) ketakterjemahan ini bisa dilihat dari faktor linguistik maupun kultural. Data di atas termasuk kelompok kata bermakna leksikal di dalam bahasa sumber yang sulit dicari padanannya dalam bahasa sasaran dan atau bahkan tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran (untranslatable) yang dikarenakan faktor budaya, yaitu yang berhubungan istilah-istilah geografi dan ekologi. Makna leksikal lain dapat ditemukan dalam data berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
164 digilib.uns.ac.id
024.HT.Chap6.Pg36/PL.Bb6.Hal52 Tsu: We found Angie beneath the willow near our property line sharing a cigarette with Frankie Marx. Frankie was always friendly to me, but I hated him anyway. He was obnoxiously handsome, and I didn’t trust anyone who made looking cool seem that easy. So, of course, I was determined to save Angie from him, but I couldn’t resist Lizzy, his hyper chocolate Labs, who got up, tongue dangling, to greet us. Tsa: Kami dapati Angie sedang duduk di bawah pohon willow di dekat garis batas tanah kami, berbagi rokok dengan Frankie Marx. Frankie selalu bersikap ramah padaku, tapi aku membencinya. Dia lelaki tampan, dan sungguh mati aku tak percaya pada setiap lelaki yang memanfaatkan ketampanannya. Jadi, tentu saja aku bersumpah akan menyelamatkan Angie darinya, tapi aku selalu terpesona pada Lizzy, anjing Labrador cokelat kesayangannya yang spontan bangkit dengan lidah terjulur menyambut kedatangan kami.
Makna leksikal di dalam data di atas diwujudkan dalam kata Labs dalam novel sumbernya, dan kata Labrador dalam novel sasaran. Frasa dalam Tsu juga dikategorikan dalam kelompok kata bermakna leksikal yang sulit dicari padanannya dalam Tsa. Adapun data penelitian secara keseluruhan yang memiliki makna leksikal dapat ditemukan pada data yang tersaji dalam lampiran 2a.
4.1.1.2.1.2 Makna Situasional atau Kontekstual Makna kontekstual adalah makna suatu kata atau kalimat yang dikaitkan dengan situasi atau konteks penggunaan bahasa, yaitu makna suatu kata di dalam kalimat tertentu atau makna suatu kalimat di dalam paragraf tertentu. Dengan kata lain makna suatu kata atau kalimat akan mempunyai arti sebanyak situasi atau konteks di dalam kalimat yang menyertainya (Soemarno,1999:5). Data mengenai makna situasional yang berhubungan dengan ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi sebanyak dua (2) commit to user
165 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
data, budaya sosial sebanyak satu (1) data, dan gaya bahasa sebanyak dua (2) data. Dalam penelitian ini ditemukan data yang mempunyai makna situasional atau kontekstual antara lain sebagai berikut: 059.HT.Chap16.Pg115/PL.Bb16.Hal158 Tsu: So, year after year the tavern remained the same, without even a change in its two fading signs-one that said CHICKEN AND STEAKS, the other that just said EAT-or its fifty-five-year-old septic field buried in soil too soggy to absorb the sewage of more than a couple small families. Tsa: Jadi, dari tahun ke tahun keadaan penginapan itu tak pernah berubah, bahkan dua papan iklannya yang masing-masing bertuliskan AYAM DAN DAGING PANGGANG dan RUMAH MAKAN, begitu juga tanki septik besar berumur setengah abad yang terbenam di tanah yang terlalu lembab untuk menyerap limbah yang berasal dari beberapa keluarga kecil di sana.
Contoh data di atas nampak bahwa kata EAT dalam Tsu sangat dipengaruhi sekali oleh situasi atau konteks yang mengelilinginya. Konteks ini sangat dipengaruhi atau terikat sekali oleh tempat yang menyertainya. Kata EAT ini ditulis dalam konteks bahwa di sekitar Teluk Puged Sound terdapat kegiatan bisnis berupa sebuah penginapan yang masih tetap ada meski sudah sangat lama dan jorok. Penginapan ini menyediakan berbagai menu makanan laut dan melayani seluruh anggota atau kelompok warga sekitar teluk yang ingin bermain kartu dan menyantap makanan laut di penginapan tersebut. Jadi, kata EAT yang secara literal bermakna makan, dalam konteks tersebut diberikan padanan berupa RUMAH MAKAN dalam Tsa. Makna situasional atau kontekstual lain dapat ditemukan dalam data berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
166 digilib.uns.ac.id
031.HT.Chap9.Pg57/PL.Bb9.Hal81 Tsu: Shoreside temperatures along South Sound usually swing between forty and sixty degrees, with summer offering more of the same until it suddenly broils into the eighties and nineties for a few weeks, the aggressive heat feeling like a fabulous mistake, as if tropical weather had been sent to the wrong zip code. When the suns sets, though, the temperature falls with it the way it does in the mountains, but in this case it’s the ocean, not the altitude, chilling the air. Any breeze blowing off the north Pacific is refrigerated by cold deep water unless the sun is around to bake it. So T-shirt nights are as novel as blizzards to kids growing up along the Sound. Tsa: Suhu pantai di sekitar South Sound bervariasi antara lima dan lima belas derajat tanpa banyak mengalami perubahan, sampai tiba-tiba udara seperti dijerang hingga mencapai suhu dua puluh lima atau tiga puluh derajat selama beberapa pekan, sampai-sampai orang menganggap gelombang panas itu sebuah kekeliruan fatal, sepertinya cuaca tropis itu dikirim dengan kode pos yang salah. Namun, setelah matahari terbenam, suhu lautan berubah menggigil seperti di puncak pegunungan, dan udara pun jadi beku. Udara yang diembuskan ke kawasan Pasifik Utara menjadi sejuk karena pengaruh air laut yang dingin dan dalam, kecuali pada siang hari saat matahari bersinar garang. Jadi, buat anak-anak yang dibesarkan di kawasan South Sound, memakai kemeja pada malam hari adalah hal yang sangat langka, seperti halnya hujan salju di kawasan itu.
T-shirt nights di dalam Tsu sebenarnya merupakan T-shirt atau disebut juga sebagai kaos oblong, yaitu jenis pakaian yang menutupi sebagian lengan, seluruh dada, bahu, dan perut. Kaus oblong biasanya tidak memiliki kancing, kerah, ataupun saku. Pada umumnya, kaus oblong berlengan pendek (melewati bahu hingga sepanjang siku) dan berleher bundar. Bahan yang umum digunakan untuk membuat kaus oblong adalah katun atau poliester (atau gabungan keduanya). Mode kaus oblong meliputi mode untuk wanita dan pria, dan dapat dipakai semua golongan usia, termasuk bayi, remaja, ataupun orang dewasa. Asal muasal nama inggrisnya, T-shirt, tidak diketahui secara pasti. Teori yang paling umum diterima adalah nama T-shirt berasal dari bentuknya yang menyerupai commit to user
167 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
huruf "T", atau dikarenakan pasukan militer sering menggunakan pakaian jenis ini sebagai "training shirt". Kaus oblong pada mulanya digunakan sebagai pakaian dalam. Sekarang kaus oblong tidak lagi hanya digunakan sebagai pakaian dalam tetapi juga sebagai pakaian sehari-hari. Kaos oblong biasanya di pakai pada saat santai dan cuaca panas. Di dalam Tsu, pemakaian T-shirt ini situasinya berbeda, yaitu pada saat malam hari di dekat Teluk Sound Puget yang sangat dingin, justru anak-anak memakai T-shirt daripada mantel atau baju penghangat lainnya. Di dalam Tsa, kalimat So T-shirt nights are as novel as blizzards to kids growing up along the Sound dipadankan dengan Jadi, buat anak-anak yang dibesarkan di kawasan South Sound, memakai kemeja pada malam hari adalah hal yang sangat langka, seperti halnya hujan salju di kawasan itu. Adapun data penelitian yang memiliki makna situasional atau kontekstual ditemukan dilihat pada lampiran 2b.
4.1.1.2.1.4 Makna Tekstual Makna tekstual adalah makna yang berkaitan erat dengan suatu teks atau wacana (Soemarno,1999:6). Kadang-kadang suatu bentuk kata yang sama akan mempunyai makna yang berbeda apabila kata itu digunakan dalam wacana yang membicarakan bidang kajian yang berbeda. Atau dengan kata lain bahwa perbedaan jenis teks atau wacana dapat menyebabkan makna suatu kata menjadi berbeda. Data mengenai makna tekstual yang berhubungan dengan ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi sebanyak satu (1) commit to user
168 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
data, budaya sosial sebanyak satu (1) data, dan gaya bahasa sebanyak nol (0) data. Contoh dari makna tekstual yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: 043.HT.Chap11.Pg74/PL.Bb11.Hal104 Tsu: “You hear that crunching sound?” I asked. “Yeah.” “ You’re killing sand dollars.” She winced. “Walk over here,” I said. Tsa: “Kau dengar suara gemeretak itu?” tanyaku padanya. “Ya”. “Kau sedang membunuh dolar pasir.” Spontan dia melompat ke samping. “Lewat sini,” kataku.
Makna tekstual di atas dinyatakan di dalam Tsu sand dollars yang dipadankan ke dalam Tsa yaitu dolar pasir. Frasa sand dollars tersebut mengandung istilah terminologi khusus, yaitu bahwa teks tersebut berada dalam lingkup ilmu perikanan. Frasa sand dollars ini merujuk pada salah satu nama binatang laut invertibrata dari golongan Clypeastroida kelas Echinoidea yang memiliki bentuk pipih seperti disket dan ukuran tubuhnya berdiameter 5-10 cm. Binatang ini menggunakan tulang belakangnya untuk menggali dan menutupi seluruh permukaan tubuhnya di dalam pasir. Mulutnya berada di tengah pada permukaan bawah tubuhnya.
commit to user
169 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.3 Dolar Pasir Dalam bidang ekonomi, kata dollar itu sendiri merujuk pada nama mata uang resmi di beberapa negara, tanah jajahan, dan daerah lain seperti misalnya Dolar Amerika Serikat, Dolar Australia, Dolar Bahama, Dolar Barbados, Dolar Belize, Dolar Bermuda, Dolar Brunei, Dolar Kepulauan Cayman, Dolar Karibia Timur, Dolar Fiji, Dolar Guyana, Dolar Hong Kong, Dolar Jamaika, Dolar Kanada, Dolar Liberia, Dolar Namibia, Dolar Selandia Baru, Dolar Singapura, Dolar Kepulauan Solomon, Dolar Suriname, Dolar Taiwan, dan Dolar Trinidad dan Tobago. Sementara kata sand (pasir) secara umum dapat diartikan sebagai butir-butir batu yang halus; kersik halus; atau lapisan tanah atau timbunan kersik halus. Makna tekstual lain dapat ditemukan dalam data berikut: 057.HT.Chap15.Pg108/PL.Bb15.Hal148 Tsu: “Professor Kramer agrees,” she said dramatically, noting that he’d told he that it was obviously high time for a fresh inventory of sea life in South Sound. “In fact, the professor says he intends to push for something he called a “BioBlitz,” in which a variety of scientists would team up to perform an animal census of sorts in the Sound’s southern bays.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
170 digilib.uns.ac.id
Tsa: “Profesor Kramer menyatakan setuju,” ujarnya menggebu-gebu, seraya mengatakan bahwa Profesor pernah mengingatkan sudah tiba saatnya melakukan inventarisasi hewan dan tumbuhan laut di teluk South Sound. “Bahkan Profesor Kramer ingin mengadakan aksi massal yang disebutnya ‘Bio Blitz’, yang akan melibatkan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu untuk menggelar sensus hewan di pesisir selatan Puger Sound.” Nama BioBlitz, juga ditulis tanpa huruf kapital bioblitz, merupakan salah satu bidang studi tersendiri, yang mana sekelompok ilmuwan dan para sukarelawan melakukan inventarisasi biologis secara intensif 24 jam, dengan berusaha mengidentifikasi dan mencatat semua spesies makhluk hidup di wilayah tertentu yang telah ditentukan. Pemilihan wilayah biasanya dilakukan di taman terbuka atau konservasi alam. Istilah atau konsep bioblitz tidak terdaftar, memiliki hak paten, atau bermerek dagang, namun merupakan gagasan yang dapat digunakan atau dimodifikasi oleh suatu kelompok secara bebas tergantung tujuan mereka sendiri. Namun demikian, bioblitz ini biasanya memiliki dua tujuan utama, yaitu menentukan tingkat diversifikasi biologis di dalam suatu wilayah dan membantu memopulerkan ilmu pengetahuan. Para pakar tanaman, ahli biologi, pakar ekologi, maupun ahli serangga semua terlibat dan memiliki peran yang penting di dalam kegiatan bioblitz ini. Secara keseluruhan, data penelitian yang memiliki makna tekstual dapat dilihat pada lampiran 2c.
4.1.1.2.1.5 Makna Sosiokultural Sebagaimana dinyatakan di dalam subbab 2.2.3.1.2 bahwa makna sosiokultural adalah makna suatu bahasa yang sangat berkaitan erat dengan sosiokultural di mana bahasa itu digunakan sebagai alat komunikasi oleh commit to masyarakat user masyarakat (Soemarno,1999:7). Kelompok yang satu dengan lainnya
perpustakaan.uns.ac.id
171 digilib.uns.ac.id
sebagai pengguna bahasa tentu saja mempunyai istilah-istilah budaya yang bersifat unik yang kadang-kadang tidak dapat ditemukan padanannya dalam bahasa yang lain. Makna sosiokultural seringkali dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat sebagai pengguna bahasa itu. Makna ini, selain sering ditemukan dalam bentuk kata-kata istilah budaya, seperti thanksgiving, labamba, mitoni, dan sebagainya, sering juga ditemukan dalam ungkapan-ungkapan idiomatik yang tidak dapat dijelaskan maknanya dari kata-kata yang membentuk ungkapan itu, seperti miss the boat, feel like a million buck, black sheep dan sebagainya. Data mengenai makna sosiokultural yang berhubungan dengan ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak tujuh (7) data, istilah ekologi sebanyak tujuh (7) data, budaya sosial sebanyak empat puluh lima (45) data, dan gaya bahasa sebanyak dua puluh dua (22) data. Contoh dari makna sosiokultural yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: 018.HT.Chap4.Pg24/PL.Bb4.Hal39 Tsu: I’d seen it building inside her, this troubling investigation into the sequence of events that stranded her in a tiny, stilted house with an unambitious baseball fanatic who still barhopped with his high school pals-the three Dons-and cried during Academy Awards speeches. (My mother had little use for sentimentality. Our family photo stayed in shoe boxes, and Santa, the Easter Bunny and the Tooth Fairy stopped showing up once I turned seven). Maybe, I thought, her pathetic job at the state personnel department was what disappointed her most. Tsa: Kulihat kekesalan yang semakin menumpuk di hati Ibu, setiap kali dia mengenang berbagai rangkaian kejadian yang mendamparkannya ke sebuah rumah kecil reyot bersama seorang penggemar bisbol tanpa ambisi, yang masih keluyuran dengan teman-teman SMU-nya-tiga bersaudara Don-dan suka menangis terharu kalau mendengarkan pidato pada malam penganugerahan Academy Awards. (Ibuku tak suka sentimental. Foto-foto user dan boneka Santa, Kelinci keluarga kami disimpannya commit di kotaktosepatu,
perpustakaan.uns.ac.id
172 digilib.uns.ac.id
Paskah, dan Peri Gigi sudah dibuangnya sejak aku berumur tujuh tahun). Kurasa, mungkin pekerjaannya yang memuakkan di departemen kepegawaian negara bagian adalah yang paling membuatnya kecewa.
Makna sosiokultural di dalam contoh di atas dinyatakan di dalam Tsu yaitu Santa, the Easter Bunny and the Tooth Fairy, yang dipadankan ke dalam Tsa menjadi boneka Santa, Kelinci Paskah, dan Peri Gigi. Di dalam budaya sumber makna dari Santa, Easter Bunny dan Tooth Fairy masing-masing mempunyai istilah-istilah budaya yang menarik dan unik. Santa, misalnya, di dalam budaya sumber disebut juga dengan Santa Claus, Saint Nicholas, Father Christmas, Kris Kringle merupakan figur legendaris dan mitis, yang di beberapa budaya Barat disimbolkan dengan membawa hadiah ke rumah-rumah bagi anakanak yang baik menjelang tengah malam atau sesaat menjelang Christmas Eve pada tanggal 24 desember atau pada saat Saint Nicholas Day pada tanggal 6 desember. Sementara itu, The Easter Bunny atau Easter Hare merupakan suatu karakter atau sosok yang digambarkan sebagai kelinci antromorpis (berkarakter manusia). Dalam legenda ini, makhluk ini membawa keranjang-keranjang yang di isi penuh dengan telur berwarna-warni, permen, dan mainan yang diberikan ke rumah anak-anak pada malam sebelum Easter (hari libur umat Kristiani untuk merayakan kebangkitan Jesus Kristus). The Easter Bunny akan menaruh keranjang-keranjang tersebut sedemikian rupa atau menyembunyikannya di dalam rumah yang kemudian akan ditemukan oleh anak-anak pada saat mereka bangun tidur di pagi hari. The Tooth Fairy, merupakan figur legendaris yang dikarakterisasikan sebagai seorang peri yang memberi uang atau hadiah kepada commit to usertelah copot. Anak-anak biasanya anak-anak sebagai ganti dari gigi susunya yang
173 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menempatkan gigi susunya yang telah tanggal di bawah bantal pada malam hari, dan kemudian peri akan mengambil gigi yang ada di bawah bantal tersebut dan menggantinya dengan uang atau hadiah pada saat anak-anak terlelap tidur.
Gambar 4.4 The Easter Bunny, Santa, The Tooth Fairy Contoh lain dari makna sosiokultural ini adalah sebagai berikut: 025.HT.Chap6.Pg36/PL.Bb6.Hal53 Tsu: She looked to see if I was enjoying this. She’d definitely been crying. I glared at frankie, and he smiled warmly back. He was such an effortless Marlboro man he made me feel like a circus midget. Tsa: Angie melirik padaku untuk melihat reaksiku. Matanya sembap, dia pasti habis menangis. Aku melotot pada Frankie, tapi dibalasnya dengan senyum hangat. Dia memang lelaki yang memesona, dan di hadapannya aku merasa seperti badut cebol di sirkus.
Marlboro Man di dalam Tsu dipadankan menjadi lelaki yang memesona di dalam Tsa. Sebenarnya, Marlboro Man ini merupakan sosok yang digunakan di dalam kampanye iklan tembakau untuk rokok Marlboro. Sosok ini pertama kali dicitrakan sebagai seorang koboi dengan sebatang rokok yang secara alami selalu melekat padanya.
commit to user
174 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.5 Marlboro Man Iklan tersebut sebenarnya digunakan untuk mempopulerkan rokok filter yang sebelumnya dianggap sebagai rokok feminim (rokoknya orang perempuan). Kampanye iklan Marlboro ini disebut sebagai salah satu iklan yang paling brilian pada saat itu, yaitu yang mentransformasikan citra feminisme ke dalam cita rasa maskulin, bahwa rokok filter adalah juga rokoknya lelaki atau rokoknya koboi. Data penelitian yang memiliki makna sosiokultural secara keseluruhan dapat dilihat pada lampiran 2d.
4.1.1.2.1.6 Makna Implisit Makna implisit adalah makna yang tidak diungkapkan secara nyata atau tertulis oleh penulis atau pembicara karena pembaca atau lawan bicara/pendengar sebagai interlocutor telah memahami maksud dari tulisan atau pembicaraan itu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
175 digilib.uns.ac.id
(Soemarno, 1999:8). Atau dengan kata lain, makna implisit adalah makna yang tersembunyi di balik suatu ujaran. Ada sesuatu yang tersirat dari yang tersurat. Data mengenai makna implisit yang berhubungan dengan ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi sebanyak nol (0) data, budaya sosial sebanyak satu (1) data, dan gaya bahasa sebanyak lima belas (15) data. Contoh dari makna implisit yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: 034.HT.Chap10.Pg65/PL.Bb10.Hal91 Tsu: She frowned impatiently. “If I’m gonna write a story about you, I need to talk to people who know you, right?” “I thought the story was about ragfish.” She laughed. This lady showed every card. “It’s just a little story about the boy who keeps finding cool stuffs in the Sound.” “What kind of a story?” “A good one. A good little one.” I nodded, but I was confused. She put her camera away and glanced toward her car. Tsa: Seketika wajahnya merengut. “Kalau aku mau menulis kisah tentangmu, aku harus bicara pada orang-orang yang mengenalmu, bukan?” “Kukira kau akan menulis berita tentang ikan ragfish itu.” Dia terbahak. Perempuan itu tahu apa yang dilakukannya. “Ini cuma kisah kecil tentang bocah yang selalu menemukan benda-benda hebat di teluk.” “Kisah yang bagaimana?” “Yang bagus. Cerita singkat yang bagus.” Aku mengangguk, meski masih bingung juga. Dia lepaskan kameranya, lalu memandang ke arah mobilnya.
Makna implisit di dalam Tsu dinyatakan dengan kalimat this lady showed every card. Kalimat tersebut dipadankan ke dalam Tsa dengan kalimat perempuan itu tahu apa yang dilakukannya. Tsu this lady showed every card mengandung makna secara implisit bahwa perempuan tersebut menyatakan dengan jujur dan terbuka keinginannya untuk menulis cerita tentang anak tersebut. Jadi, makna commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
176 digilib.uns.ac.id
showed every card bukanlah secara harfiah menunjukkan satu persatu kartu yang dia miliki, namun lebih pada makna pengungkapan keinginan atau maksud yang ingin disampaikan seseorang dengan sejujurnya pada orang lain. Contoh lain dari makna implisit ini adalah sebagai berikut: 015.HT.Chap4.Pg21/PL.Bb4.Hal35 Tsu: I’d never seen anyone I knew on television other than Judge Stegner, so I was surprised by how little Professor Kramer resembled himself. He looked pale, almost criminal, his collar askew, his hair reckless. Then the camera panned to some kid who came up to the professor’s bicep and looked a whole lot like me, staring at the squid, orange hair flattering, the high camera angle reducing me to one of Charlie Brown’s big-headed side-kicks. Suddenly my peeling nose was bigger than life in front of me. I looked into the camera the way a baby does, as if I didn’t realize it was really on me, which was the truth. Tsa: Selain Hakim Stegner, aku belum pernah melihat orang-orang yang kukenal dekat muncul di layar televisi. Itulah mengapa aku begitu kaget melihat Profesor Kramer yang sama sekali tidak mirip dengan aslinya. Di televisi dia terlihat pucat, hampir mirip penjahat, kerah bajunya miring sebelah dan rambut jabriknya makin awut-awutan. Lalu sorot kamera dialihkan pada seorang anak yang tingginya tak lebih dari lengan Profesor Kramer, yang tampangnya sangat mirip diriku, dengan mata tak berkedip menatap bangkai cumi-cumi itu, dan rambutnya yang kemerahan tertiup angin, lalu kamera tinggi itu membuatku semakin cebol dan mirip dengan salah satu tokoh antek Charlie Brown yang berkepala besar.Tiba-tiba kulihat sendiri di hadapanku kulit hidungku yang terus mengelupas. Aku memandang ke kamera dengan tatapan mata bayi yang polos, seakan tak sadar bahwa semua kamera benar-benar terarah pada diriku.
Makna harfiah dari kalimat my peeling nose was bigger than life in front of me adalah kulihat sendiri di hadapanku kulit hidungku yang terus mengelupas. Namun demikian, kalimat di dalam Tsu di atas mengandung makna implisit yang tersirat di dalam teks. Di dalam konteks bahasa sumber di atas bahwa makna my peeling nose was bigger than life in front of me yang dimaksud adalah ungkapan commit to user rasa terkejut atau tidak percaya atas apa yang telah dilihat oleh Miles O Malley
perpustakaan.uns.ac.id
177 digilib.uns.ac.id
hingga tanpa sadar dia sampai terbengong-bengong seperti anak kecil yang lugu, dalam hal ini adalah tidak percaya kalau semua sorot kamera sedang tertuju padanya dan ini menjadi hal yang luar biasa karena selama hidupnya dia belum pernah melihat orang-orang terdekatnya di sorot kamera televisi, apalagi dirinya yang sedang menjadi pusat perhatian. Ketidakpercayaannya tersebut seolah-olah seperti hidungnya yang mengelupas membesar melebihi apa yang sedang terjadi di dalam televisi yang sedang dia lihat. Adapun data penelitian yang memiliki makna implisit dapat dilihat pada lampiran 2e.
4.1.1.2.2 Gaya Selain jenis-jenis makna di atas, di dalam penelitian ini terdapat juga beberapa parameter gaya yang dipakai di dalam menerjemahkan novel The Highest Tide ke dalam novel Pasang Laut yang berhubungan dengan ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa. Sebagaimana diketahui bahwa gaya merupakan sistem pilihan penggunaan bahasa secara individu yang dilakukan oleh penulis. Di dalam karya sastra, gaya merupakan pilihan kata atau frase dari pengarang dan bagaimana pengarang tersebut menyusun kata-kata dan frase tersebut di dalam kalimat dan paragraf. Paragraf, kalimat, dan kata merupakan dasar utama dari gaya. Kalimat dibentuk dari kata-kata, paragraf dibentuk dari kalimat-kalimat, dan keseluruhan karya dibentuk dari paragraf-paragraf. Karya yang sangat baik dihasilkan melalui kesempurnaan paragraf, paragraf dihasilkan melalui pemakaian kalimat yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
178 digilib.uns.ac.id
sempurna, dan kalimat dihasilkan melalui pemilihan kata yang benar-benar sesuai. Ke semua hal tersebut adalah yang ingin dicapai oleh penulis dan penerjemah dalam usahanya membuat hasil terjemahan yang benar-benar sepadan gayanya. Dengan demikian, di dalam proses penerjemahan, penerjemah harus melihat keseluruhan karya melalui kata-kata, kalimat dan paragraf dan menentukan gaya yang bagaimana yang akan dipakai. Kemudian penerjemah mulai menerjemahkan secara kalimat per kalimat dan paragraf per paragraf mulai dari awal sampai akhir dengan terus memperhatikan pada reproduksi gaya yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan lima parameter untuk menjelaskan gaya. Pertama adalah mendramatisir pergeseran gaya, yaitu penggunaan berbagai pilihan kata di dalam Tsa dengan cara merubah atau menambahkan kata-kata secara lebih rinci meskipun kata-kata tersebut tidak ada di dalam Tsa. Kedua adalah penggunaan ekspresi idiomatik, yaitu menggunakan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sama dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu. Ketiga adalah penggunaan gaya bahasa, yaitu penggunaan gaya bahasa yang sama di dalam bahasa sasaran untuk menggantikan gaya bahasa di dalam bahasa sumber. Keempat adalah penggunaan jenis bahasa tertentu, yaitu penggunaan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada di dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya. Kelima adalah penggunaan tanda baca, yaitu penggunaan tanda baca di dalam Tsa yang dapat diubah setelah membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu. Ekspresi gaya di sini bukan berarti menunjukkan dominasi satu sama lain, namun lebih pada tingkat frekuensi kemunculan gaya. Dalam penelitian ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
179 digilib.uns.ac.id
terdapat beberapa jenis gaya yang dipakai di dalam menerjemahkan novel The Highest Tide ke dalam novel Pasang Laut yang berhubungan dengan hal-hal yang khas di dalam susastra. Jenis-jenis gaya tersebut adalah sebagai berikut:
4.1.1.2.2.1 Penggunaan Pilihan Kata Penggunaan berbagai pilihan kata di dalam Tsa dengan cara merubah atau menambahkan kata-kata secara lebih rinci meskipun kata-kata tersebut tidak ada di dalam Tsa sering kali dilakukan oleh penerjemah untuk membuat hasil terjemahannya menjadi lebih baik. Sebagaimana disebutkan pada subbab 2.2.6 di atas bahwa karena adanya perbedaan gramatikal, semantik, dan sosio-kultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, maka diperlukan strategi pemecahan masalah padanan. Strategi tersebut dapat berupa penambahan informasi, pengurangan informasi, dan penyesuaian struktur (Newmark, 1988:85-91). Penambahan informasi adalah memasukkan informasi yang tidak ada dalam Tsu ke dalam Tsa. Informasi yang ditambahkan dapat berupa informasi kultural, teknis, atau kebahasaan. Penghilangan informasi merujuk pada penghilangan isi dan bukan penyelarasan struktur untuk menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Penyesuaian struktur merujuk pada perubahan atau pergeseran tatabahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Tujuan penyesuaian struktur ini adalah untuk menghasilkan terjemahan yang sepadan makna dan gayanya. Data mengenai penggunaan pilihan kata yang berhubungan dengan ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak sepuluh (10) data, istilah ekologi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
180 digilib.uns.ac.id
sebanyak sembilan (9) data, budaya sosial sebanyak empat puluh (40) data, dan gaya bahasa sebanyak lima belas (15) data. Dalam penelitian ini ditemukan penggunaan pilihan kata yang dilakukan oleh penerjemah sebagai berikut: 072.HT.Chap19.Pg142/PL.Bb19.Hal192 Tsu: I had time to think seventeen thoughts and feel everything from fear to jealousy before smoke leaked out of Phelps’s mouth and he started coughing wildly. I wasn’t sure if he’d been assaulted or initiated, but once his smile surfaced I felt nothing but envy. He stuck out his hand for five. I gave it to him hard enough for it to sting, then refocused on the stage until I found an angel to see my girl, who I told myself was far smarter, cuter and ten times cooler than Phelps’s dundula even if she wasn’t filing me with smoky kisses. Tsa: Berbagai pikiran memenuhi benakku, mulai dari rasa ngeri sampai iri, sebelum akhirnya asap rokok itu keluar dari mulut Phelps dan dia terbatukbatuk. Aku tidak tahu apakah Phelps tadi disakiti atau diplonco, tapi begitu kulihat lagi senyumannya, aku hanya bisa merasa iri. Dia mengangkat tangan tanda menyerah. Aku yakin dia pasti kesakitan sekali. Lalu kembali kuarahkan pandanganku ke panggung, sampai kudapatkan sudut pandang yang nyaman untuk memandangi gadisku, yang bagiku jauh lebih pintar, cantik, dan hebat ketimbang sundal jalang yang lagi berjongkok di samping Phelps, meskipun dia tak pernah mengecup mulutku dengan asap rokoknya. Pilihan kata yang digunakan penerjemah dalam data di atas adalah menambahkan informasi yang tidak terdapat di dalam Tsu ke dalam Tsa. Penerjemah menambahkan kata-kata secara lebih rinci untuk memperjelas makna yang terkandung di dalam Tsu. Informasi yang dimaksud adalah dengan menuliskan kata-kata tambahan yaitu bahwa dundula di dalam Tsu yang dimaksud adalah sundal jalang yang lagi berjongkok . Meskipun kata-kata tambahan tersebut tidak ada di dalam Tsa, namun kata-kata tersebut dirasa perlu untuk mempertegas arti yang di maksud di dalam Tsu. Hal yang sama juga to user kata-kata yang rinci bahwa dilakukan oleh penerjemah dengancommit menambahkan
181 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dimaksud dengan blue-hand adalah si kelomang yang memiliki capit biru, sebagaimana contoh berikut: 109.HT.Chap27.Pg216/PL.Bb27.Hal285 Tsu: Finally, blue-hand grabbed the victim and slammed it facedown into the poisonous flower of large sea anemone, then held it there, smothering the poor hermit in the anemone’s poison. Tsa: Akhirnya si kelomang bercapit biru mencekal korbannya dan membantingnya ke atas bunga anemon laut yang beracun dan terus membiarkannya di sana sampai kelomang malang itu tersedak racun.
Selain penambahan kata, penghilangan informasi juga dilakukan oleh penerjemah. Penghilangan informasi tersebut merujuk pada penghilangan isi dan bukan penyelarasan struktur untuk menghasilkan terjemahan yang gramatikal, sebagaimana contoh berikut: 020.HT.Chap5.Pg28/PL.Bb5.Hal43 Tsu: Most of those huge clams-pronounced gooey-duck for some reason-lived farther out in the bay, but there were still plenty of exposed burrows if the tide fell low enough and you knew where to look. Tsa: Sebagian besar tiram raksasa itu suka menggali sarang di bagian teluk yang dalam, namun kalau air pasang tidak terlalu tinggi, dengan mudah kalian dapat melihat pintu masuk liang mereka, sehingga tidak sulit mencarinya.
Hal lain yang dilakukan penerjemah adalah menyelaraskan struktur tatabahasa. Penyelarasan struktur ini dilakukan dengan menggeser tatabahasa Tsu ke dalam Tsa, sebagaimana contoh berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
182 digilib.uns.ac.id
054.HT.Chap13.Pg96/PL.Bb13.Hal133 Tsu: People rarely got stuck while wading. It usually happened while they were crossing soft exposed mud, with the typical rescue involving wooden planks upon which trapped mudders would lay their torsos and crawl free from the muck. Oystermen did it all the time. So did Evergreen students. This was different. Tsa: Orang yang berjalan di rawa-rawa jarang terjebak lumpur. Petaka itu biasanya terjadi jika mereka nekat melangkah ke dalam lumpur yang lembut, dan cara yang ditempuh untuk menyelamatkan diri adalah meraih sebilah papan, menempelkan bagian atas tubuh mereka ke papan itu sambil merangkak menuju dataran kering. Penagkap tiram selalu melakukannya. Begitu juga mahasiswa-mahasiswa dari kampus Evergreen. Tapi kali ini situasinya berbeda.
Dalam contoh di atas, pergeseran yang dilakukan oleh penerjemah adalah pergeseran bentuk pada tataran sintaksis yaitu pergeseran bentuk dari frasa di dalam Tsu Evergreen students ke dalam kalimat mahasiswa-mahasiswa dari kampus Evergreen di dalam Tsa. Lebih lanjut, data penelitian mengenai penggunaan pilihan kata dapat dilihat pada lampiran 3a.
4.1.1.2.2.2 Penggunaan Ekspresi Idiomatik Penggunaan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sama dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu merupakan parameter lain di dalam melihat kemunculan gaya di dalam penerjemahan. Idiom ini tidak dapat dimengerti dalam arti literalnya dan tidak mungkin secara gramatikal tepat. Idiom mempunyai arti yang berbeda dari pernyataan literal. Ungkapan idiomatik ini menggambarkan bahwa masing-masing masyarakat atau bangsa itu memiliki kekhasan penciptaan atau penggunaan idiom user artinya tidak terdapat bentuk dalam tuturannya. Idiom-idiom itucommit bersifattounik,
perpustakaan.uns.ac.id
183 digilib.uns.ac.id
idiom yang sama dalam bahasa lain (Soemarno, 1999: 7). Misalnya, ekspresi "bekerja keras" masyarakat Indonesia dinyatakan dengan idiom membanting tulang, dan masyarakat Inggris dinyatakan dengan to go the whole hog. Data mengenai penggunaan ekspresi idiomatik yang berhubungan dengan ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi sebanyak nol (0) data, budaya sosial sebanyak tujuh (7) data, dan gaya bahasa sebanyak tujuh belas (17) data. Di dalam penelitian ini ekspresi idiomatik dapat dilihat dalam contoh berikut: 010.HT.Chap2.Pg9/PL.Bb2.Hal19 Tsu: I stated it as fact in the cool dawn and my mother suspended her furious mopping to squint at me through puffy, nearsighted eyes as if her son were speaking in tongues. Tsa: Kukatakan dengan tegas sebagai sebuah fakta pada pagi hari yang dingin itu, sampai-sampai ibuku yang sedang mengepel lantai berhenti sejenak sambil melotot ke arahku dengan matanya yang rabun dekat dan sembab, seakan anaknya baru saja bicara dalam bahasa asing.
Ungkapan idiomatik di dalam Tsu dinyatakan dalam ungkapan speaking in tongues. Ungkapan speaking in tongues ini di dalam budaya sumber menggambarkan istilah-istilah atau ucapan-ucapan yang digunakan di dalam ritual keagamaan maupun kepercayaan, atau sering disebut dengan istilah ‘bahasa doa’, ‘bahasa surga’, ‘glosolalia’, atau yang sering disebut dengan mantra. Secara literal speaking in tounges berarti to speak dan tongues/languages yang berasal dari bahasa Latin yang maksudnya adalah berbicara dan bahasa. Di dalam Tsa, ungkapan tersebut dipadankan menjadi bicara dalam bahasa asing. Contoh lain dari penggunaan ekspresi idiomatik ini adalah: commit to user
184 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
022.HT.Chap5.Pg30/PL.Bb5.Hal45 Tsu: The G-spot, Squid Boy. Phelps popped out a Kent, clutched it between the least dirty of his fingers and lit it. “ It’s the button inside women that drives them wild. “He mumbled around his cigarette like a gangster. “Once we find out where it’d at, we’re in.” Tsa: “G-spot, dasar anak sotong!” Phelps menarik sebatang Kent, menjepitnya dengan jari-jarinya yang masih kering, lalu menyulutnya. “Semacam tombol di dalam tubuh perempuan yang akan membuat mereka jadi binal.” Dia bergumam sambil mengulum rokonya, mirip gangster.”Sekali kautemukan titiknya, mereka pasti kecantol padamu.”
Ungkapan idiomatik di dalam Tsu dinyatakan dalam ungkapan squid boy. Ungkapan squid boy ini di dalam budaya sumber dapat menggambarkan ungkapan yang digunakan di dalam situasi informal yang diucapkan oleh seseorang dengan tujuan untuk mengejek lawan bicaranya dengan tanpa maksud untuk merendahkannya, atau di dalam konteks bahasa Indonesia ungkapan ini sering digunakan sebagai bahasa gaul atau tidak resmi, yaitu dengan ungkapan dasar cumi (cuma mimpi, cuma minjam) atau cumi lo, atau istilah squid boy dapat berarti suatu binatang mutan, yaitu binatang yang secara fisik berbeda dengan binatang yang lain karena adanya perubahan gen. Sebagai suatu mutan, squid boy ini digambarkan sebagai mutan yang memiliki kemampuan di atas manusia yang mampu bernafas dan berjalan di dalam air. Secara literal squid berarti cumi-cumi dan boy adalah anak laki-laki yang mulai tumbuh dewasa. Frase squid boy di dalam Tsa, ungkapan tersebut dipadankan menjadi dasar anak sotong. Ekspresi idiomatik ini secara keseluruhan dapat dilihat dalam lampiran 3b.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
185 digilib.uns.ac.id
4.1.1.2.2.3 Penggunaan Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Dengan gaya bahasa, penulis bermaksud menjadikan paparan bahasanya menarik, kaya, padat, jelas dan lebih mampu menekankan gagasan yang ingin disampaikan, menciptakan suasana tertentu, dan menampilkan efek estetis. Efek estetik tersebut menyebabkan karya sastra atau terjemahan sastra bernilai seni. Data mengenai penggunaan gaya bahasa yang berhubungan dengan ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi sebanyak nol (0) data, budaya sosial sebanyak nol (0) data, dan gaya bahasa sebanyak enam (6) data. Dalam penelitian ini, gaya bahasa disajikan seperti dalam contoh berikut: 029.HT.Chap8.Pg54/PL.Bb8.Hal77 Tsu: My size, I was beginning to fear, put me on the outside of romance, like a frog who couldn’t croak loud enough to attrack female. Tsa: Aku mulai khawatir ukuran tubuhku akan membuatku tersisih dari dunia pecintaan, seperti katak yang tak bisa berteriak lantang untuk memikat betina. Gaya bahasa di dalam Tsu dinyatakan di dalam klausa like a frog who couldn’t croak loud enough to attract female. Gaya bahasa yang disampaikan di dalam Tsu tersebut menggunakan gaya bahasa personifikasi untuk membawa maksud penulis pada pemberian sifat kepada benda atau binatang yang memiliki kemiripan atau keserupaan dengan manusia. Makna personifikasi tersebut, bukan hal yang mudah untuk ditafsirkan, sebab makna tersebut tidak tersurat atau tidak commitdalam to userbahasa biasa. Namun demikian, dieksplisitkan dengan jelas sebagaimana
perpustakaan.uns.ac.id
186 digilib.uns.ac.id
makna personifikasi tersebut dapat dimaknai satu atau lebih makna figuratif dengan tanpa menghilangkan makna aslinya. Makna personifikasi tersebut dipadankan oleh penerjemah dengan padanan seperti katak yang tak bisa berteriak lantang untuk memikat betina. Contoh lain dari penggunaan gaya bahasa adalah sebagai berikut: 006.HT.Chap1.Pg5/PL.Bb1.Hal13 Tsu: Mottled sea stars were common, but I’d examined thousands of stars and had never seen this same color or pose. I picked it up. Its underside was as pale as a black man’s palm, and its two bottom legs appeared fussed. I wondered how it moved well enough to hunt, but it looked healthy, its hundreds of tiny suction-cup feet apparently fully operable. I stuck it in a sack with some water and slipped it into my backpack. I then waded up to my calves toward the mid-sized oyster farm belonging to Judge Stegner. Tsa: Bintang laut burik ada dimana-mana, tetapi dari ribuan bintang laut yang pernah kuamati, tak ada yang bentuk dan warnanya aneh seperti itu. Kupungut binatang itu. Bagian bawah tubuhnya pucat seperti telapak tangan orang kulit hitam, dan ternyata dua kaki bawahnya benar-benar saling menempel. Aku tak habis pikir, mana mungkin dia bisa mencari mangsa dengan kaki seperti itu, tetapi binatang itu kelihatan sehat. Ratusan kaki isapnya berfungsi normal. Kumasukkan dia ke dalam kantong plastik yang telah kuisi air, lalu kuselipkan ke dalam ransel. Dan aku terus berjalan menyusuri lumpur setinggi betis, nemuju petiraman Hakim Stegner.
Gaya bahasa di dalam Tsu dinyatakan di dalam kalimat Its underside was as pale as a black man’s palm. Gaya bahasa yang disampaikan di dalam Tsu tersebut merupakan suatu bentuk simile untuk menyamakan sesuatu objek atau benda (its underside) dengan sesuatu benda yang lain (a black man’s palm). Makna simile tersebut lebih memberikan suatu kesan dan tidak menghilangkan bentuk dan makna aslinya. Makna simile tersebut dipadankan oleh penerjemah dengan padanan bagian bawah tubuhnya pucat seperti telapak tangan orang kulit user merujuk pada kelompok ras hitam. Istilah black man atau blackcommit peopletobiasanya
perpustakaan.uns.ac.id
187 digilib.uns.ac.id
manusia dengan warna kulit mulai dari coklat muda sampai mendekati hitam. Istilah ini biasanya juga digunakan untuk mengelompokkan sejumlah populasi berdasarkan hubungan sejarah. Di antara kelompok ras tersebut, warna kulit gelap seringkali dihubungkan dengan ekspresi alami mengenai bagian tubuh yang lain, misalnya rambutnya yang hitam dan keriting, serta bagian-bagian tubuh yang lain yang secara keseluruhan cenderung hitam. Temuan penggunaan gaya bahasa ini selanjutnya dapat dilihat pada lampiran 3c.
4.1.1.2.2.4 Penggunaan Jenis Bahasa Tertentu Penggunaan jenis bahasa tertentu, yaitu penggunaan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada di dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya. Penggunaan jenis bahasa tertentu yang dimaksud adalah penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu di dalam suatu budaya yang berupa penggunaan jargon, ataupun cara-cara pengungkapan gagasan tertentu. Jargon merupakan bahasa khas, teknis, idiom tertentu yang sering dihubungkan dengan ilmu tertentu seperti ilmu hukum, kedokteran, biologi, dan sebagainya yang merupakan jargon teknis dan ilmiah yang dipakai oleh kelompok atau profesi tertentu. Namun demikian, bagi kelompok yang tidak berprofesi, penggunaan jargon dinilai penuh dengan istilah maupun kalimat yang tidak seperti bahasa umumnya sehingga sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Namun bagi anggota kelompok profesional, penggunaan istilah itu sangat akrab dan mempermudah pengungkapan keterangan yang panjang menjadi lebih efektif. Karena faktor commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
188 digilib.uns.ac.id
kemudahan dan keakraban inilah, jargon dapat mengungkapkan gaya yang menjadi ciri khas dalam kelompok tersebut (Baikoeni, 2008). Data mengenai penggunaan jenis bahasa tertentu yang berhubungan dengan ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi sebanyak empat (4) data, budaya sosial sebanyak enam (6) data, dan gaya bahasa sebanyak nol (0) data. Dalam penelitian ini, penggunaan bahasa tertentu disajikan dalam contoh berikut: 098.HT.Chap26.Pg202/PL.Bb26.Hal266 Tsu: “You’re a jealous fuck. And you know why? You have no musical talent.” That was true. I’d played the trumpet for three years, and all I was known for was getting a silver mute stuck on my left pinky. Try hiding that in your armpit during algebra while your finger swells. I eventually had to go to the fire department to get the dang thing sawed off. “Would you play Zeppelin in church?” I asked. “Of course not.” “Well, this is my church.” Phelps glanced around at Chatham’s half-exposed flats.” I don’t see any crucifixes.” Tsa: “Kau iri padaku. Kau tahu kenapa? Kau tak punya bakat musik.” Phelps memang benar. Aku pernah belajar meniup trompet selama tiga tahun, tapi jadi terkenal gara-gara jari tangan kiriku terjepit ring penyumbat trompet. Kucoba menyembunyikan benda itu di ketiakku saat jariku mulai membengkak. Terpaksa aku pergi minta tolong ke dinas pemadam kebakaran untuk menggergaji benda keparat itu. “Kau mau mainkan lagu Zeppelin di gereja?” ejekku sengit. “Tentu saja tidak.” “Nah, tempat ini gerejaku.” Mata Phelps memandangi sekeliling hamparan lumpur Teluk Chatham yang setengah tergenang. “Tapi tak ada satu pun salib di sini.”
Penggunaan jenis bahasa tertentu di dalam Tsu dinyatakan dengan kata Zeppelin yang digunakan sebagai cara pengungkapan tertentu di dalam pergaulan commit to user yang ada dalam Tsu. Istilah Zeppelin ini biasanya sering dihubungkan dengan
perpustakaan.uns.ac.id
189 digilib.uns.ac.id
suatu pesawat, yaitu balon pesawat yang pertama kali digunakan untuk terbang. Namun, yang dimaksud di dalam Tsu di atas bukanlah Zeppelin sebagai balon terbang, tapi sebagai salah satu nama kelompok musik dari Inggris. Di dalam Tsa, kata Zeppelin tersebut dipadankan dengan lagu Zeppelin. Sebenarnya, Zeppelin, atau lengkapnya Led Zeppelin, merupakan kelompok musik rock dari Inggris yang dibentuk bulan September 1968, dan dibubarkan setelah pemain drum John Bonham meninggal. Led Zeppelin terdiri dari Jimmy Page, Robert Plant, John Paul Jones, dan John Bonham. Dengan musiknya yang menonjolkan suara gitar yang keras dan berat, Led Zeppelin dianggap sebagai salah satu band heavy metal yang pertama. Sebagian besar lagu-lagu mereka merupakan interpretasi musik blues dan folk yang diberi nuansa rock. Setelah 25 tahun bubar akibat meninggalnya John Bonham pada tahun 1980, Led Zeppelin tetap disanjung penggemar musik berkat pencapaian artistik, kesuksesan komersial, dan pengaruhnya yang luas di kalangan musisi rock. Hingga saat ini, album Led Zeppelin telah laku lebih dari 300 juta keping, di antaranya, 109,5 juta keping laku di Amerika Serikat, dan menjadi satu-satunya grup musik yang berhasil menempatkan semua albumnya ke dalam urutan Top 10 tangga album Billboard. Contoh lain dari penggunaan jenis bahasa tertentu dapat dilihat di dalam contoh berikut: 106.HT.Chap27.Pg212/PL.Bb27.Hal279 Tsu: The goal of the exercise, as the professor kept repeating, was a “snapshot census” of the animal and plant life of the Sound’s southernmost bays. Tsa: Tujuan kegiatan hari itu, sebagaimana dikatakannya berkali-kali, adalah melakukan “sensus kilat” terhadap semua binatang dan tumbuhan yang hidup di ujung selatan teluk commit kami. to user
190 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kata snapshot di dalam Tsu lebih populer di sebut dengan potografi yaitu menjepret secara spontan dan cepat, sering dilakukan dengan tanpa tujuan artistik. Kegiatan snapshop ini sering dilakukan dengan teknik memotret yang tidak sempurna, tidak fokus, atau asal-asalan yang penting cepat. Sementara kata census di dalam Tsu merupakan prosedur perekaman informasi mengenai anggota suatu populasi yang dilakukan secara sistematik dan reguler. Kata-kata snapshop census merupakan istilah yang tidak seperti bahasa umumnya digunakan sehingga sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Namun bagi anggota kelompok ahli biologi atau perikanan, penggunaan istilah itu sangat akrab dan mempermudah pengungkapan keterangan yang panjang menjadi lebih efektif. Di dalam Tsa, kata snapshop census tersebut dipadankan dengan sensus kilat. Penggunaan jenis bahasa tertentu ini secara keseluruhan dapat dilihat pada lampiran 3d.
4.1.1.2.2.5 Penggunaan Tanda Baca Tanda baca adalah simbol yang tidak berhubungan dengan fonem (suara) atau kata dan frasa pada suatu bahasa, melainkan berperan untuk menunjukkan struktur dan organisasi suatu tulisan, dan juga intonasi serta jeda yang dapat diamati sewaktu pembacaan. Aturan tanda baca berbeda antarbahasa dan beberapa aspek tanda baca adalah suatu gaya spesifik yang karenanya tergantung pada pilihan penulis. Penggunaan tanda baca di dalam Tsa dapat diubah setelah membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu. commit to user
191 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Data mengenai penggunaan tanda baca yang berhubungan dengan ungkapan budaya materi ditemukan sebanyak nol (0) data, istilah ekologi sebanyak nol (0) data, budaya sosial sebanyak nol (0) data, dan gaya bahasa sebanyak dua (2) data. Penggunaan tanda baca ini dapat dilihat di dalam contoh berikut: 108.HT.Chap27.Pg216/PL.Bb27.Hal285 Tsu: There must have been a shell shortage going on that morning because everywhere I looked some hermit was hauling around an extra shell or bullying another hermit out of its home. And two of the biggest bullies, a hairy hermit and a blue-handed hermit, faced off in a tug-of-war over a lurid rocksnail shell, which at the time was the shiny castle of a smaller hermit who’d been minding its own business. I played God and lifted it away from the bullies, but they found it again and resmued their duel.
Tsa: Pagi itu sepertinya di pantai sedang terjadi krisis cangkang, karena dimanamana kulihat kelomang sibuk menarik-narik cangkang, atau memaksa kelomang lain keluar dari cangkangnya. Dan yang paling seru, kulihat kelomang berbulu sedang berebut cangkang siput karang dengan kelomang bercapit biru, padahal di dalam cangkang itu masih hidup kelomang kecil yang mati-matian tak sudi diusir dari istananya. Dengan berlagak seperti Tuhan, kupungut dan kujauhkan dia dari kedua bangsat yang mengerubutinya. Tapi kedua kelomang yang sudah kesetanan itu berhasil menemukannya lagi, dan kembali berduel memperebutkannya.
Di dalam teks di atas dapat dilihat bahwa tanda baca di dalam Tsa diubah setelah dibandingkan dengan tanda baca di dalam Tsu. Tanda baca yang digunakan di dalam bahasa sasaran adalah dengan mengubah ke dalam bentuk tanda koma. Secara umum, tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara yang berikutnya, atau dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat apabila anak kalimat tersebut mendahului induk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
192 digilib.uns.ac.id
kalimatnya, sebagaimana contoh di dalam Tsa: Dengan berlagak seperti Tuhan, kupungut dan kujauhkan dia dari kedua bangsat yang mengerubutinya. Contoh lain dari penggunaan tanda baca adalah sebagai berikut: 030.HT.Chap8.Pg55/PL.Bb8.Hal79 Tsu: “So,love is affordable, fun sex with someone you know?” “Exactly.” “You’re sick.” “Me? I’m not the one who was caught French-kissing chocolate Labs.” Tsa: “Jadi, menurutmu cinta adalah seks murah dengan orang yang kaukenal?” “Tepat sekali.” “Dasar sinting.” “Aku? Bukankah kau sendiri yang menciumi mulut anjing Labrador itu?”
Berdasarkan data tersebut nampak bahwa penggunaan tanda baca dapat diidentifikasi di dalam kalimat yang dapat dilihat baik dalam bentuk deklaratifnya maupun susunan kalimatnya. Kalimat deklaratif I’m not the one who was caught French-kissing chocolate Labs di dalam Tsu memiliki fungsi pernyataan, dengan artikel the yang digunakan dengan kata benda one didalam Tsu yang dipakai untuk menunjukkan atau menjelaskan sesuatu yang sudah tentu, dalam arti sesuatu yang tidak atau belum diidentifikasi oleh lawan bicaranya. Di dalam Tsu tersebut yang dimaksud dengan sesuatu yang sudah tentu adalah Me?. Kalimat deklaratif di dalam Tsu tersebut disusun ke dalam kalimat pasif yang berfungsi untuk memberikan penekanan pada subjek kalimat sebagai pelaku kegiatan, yang dalam kalimat sumber diwakili oleh the one yang merepresentasikan dan menegaskan subjek I. Kalimat deklaratif di dalam Tsu tersebut diberikan padanan commit to user yang berbeda di dalam Tsa, yaitu dengan cara mengungkapkan ke dalam fungsi
193 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pertanyaan Bukankah kau sendiri yang menciumi mulut anjing Labrador itu? yang disusun ke dalam kalimat aktif. Cara mengekspresikan hubungan antara kata kerja dan frasa kata benda di dalam kalimat sasaran ini berbeda dengan kalimat sumber, yaitu dari subjek I dipadankan dengan subjek kau dan kalimat pernyataan pasif dipadankan ke dalam kalimat pertanyaan aktif. Cara penyampaian tersebut mungkin berbeda-beda antara Tsu dan Tsa, namun memiliki makna dasar yang hampir sama. Secara keseluruhan penggunaan tanda baca ini dapat ditemukan di dalam data lampiran 3e.
4.1.1.3 Kualitas Kesepadanan Kualitas kesepadanan makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, gerak isyarat dan kebiasaan, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya diklasifikasikan berdasarkan pada: 1) terjemahan hampir sempurna (THS), 2) terjemahan sangat bagus (TSB), 3) terjemahan baik (TB), 4) terjemahan cukup (TC), dan 5) terjemahan kurang (TK). Terjemahan hampir sempurna (THS) adalah bahwa makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; penyampaian wajar dan hampir tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas, tidak perlu upaya keras untuk memahaminya; secara keseluruhan tidak ada kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. commit to user
194 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan sangat bagus (TSB) adalah makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; tidak ada terjemahan harfiah yang kaku dan tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas dan dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Terjemahan baik (TB) adalah makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; ada terjemahan harfiah yang kaku namun tidak terlalu terasa seperti terjemahan; teks jelas tetapi dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Terjemahan cukup (TC) adalah makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; terasa sebagai terjemahan; teks lumayan jelas namun dengan upaya yang agak keras untuk memahaminya; ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, kesalahan idiom dan/tata bahasa, penggunaan istilah yang tidak baku/umum, gaya bahasa, dan tanda baca. Terjemahan kurang (TK) adalah makna dalam bahasa sumber tidak diterjemahkan sama sekali ke dalam bahasa sasaran; sangat terasa sebagai terjemahan; teks sangat kabur dan tidak jelas, dengan upaya yang susah payah untuk memahaminya; terdapat terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku, dan kekeliruan penggunaan istilah, idiom, gaya bahasa, dan tanda baca.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
195 digilib.uns.ac.id
4.1.1.3.1 Terjemahan Hampir Sempurna (THS) Terjemahan hampir sempurna (THS) adalah bahwa makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; penyampaian wajar dan hampir tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas, tidak perlu upaya keras untuk memahaminya; secara keseluruhan tidak ada kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Contoh dari terjemahan hampir sempurna ini adalah sebagai berikut: 018.HT.Chap4.Pg24/PL.Bb4.Hal39 Tsu: I’d seen it building inside her, this troubling investigation into the sequence of events that stranded her in a tiny, stilted house with an unambitious baseball fanatic who still barhopped with his high school pals-the three Dons-and cried during Academy Awards speeches. (My mother had little use for sentimentality. Our family photo stayed in shoe boxes, and Santa, the Easter Bunny and the Tooth Fairy stopped showing up once I turned seven). Maybe, I thought, her pathetic job at the state personnel department was what disappointed her most. Tsa: Kulihat kekesalan yang semakin menumpuk di hati Ibu, setiap kali dia mengenang berbagai rangkaian kejadian yang mendamparkannya ke sebuah rumah kecil reyot bersama seorang penggemar bisbol tanpa ambisi, yang masih keluyuran dengan teman-teman SMU-nya-tiga bersaudara Don-dan suka menangis terharu kalau mendengarkan pidato pada malam penganugerahan Academy Awards. (Ibuku tak suka sentimental. Foto-foto keluarga kami disimpannya di kotak sepatu, dan boneka Santa, Kelinci Paskah, dan Peri Gigi sudah dibuangnya sejak aku berumur tujuh tahun). Kurasa, mungkin pekerjaannya yang memuakkan di departemen kepegawaian negara bagian adalah yang paling membuatnya kecewa.
Berdasarkan data tersebut, terjemahan di atas dikategorikan terjemahan hampir sempurna, karena memenuhi kriteria bahwa makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran, penyampaian wajar dan commit to sangat user jelas, tidak perlu upaya keras hampir tidak terasa seperti terjemahan; teks
196 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk memahaminya; secara keseluruhan tidak ada kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan/atau tanda baca. Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu Santa, the Easter Bunny and the Tooth Fairy yang tergolong ke dalam nama-nama yang sudah tentu (proper names), makna tunggal yang tidak merupakan makna umum dan tidak menimbulkan konotasi, yang sering muncul baik di dalam cerita, dongeng, maupun sebagai sosok legendaris (historical figure) diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran boneka Santa, Kelinci Paskah, dan Peri Gigi. Di dalam konteks bahasa sumber di atas bahwa Santa, the Easter Bunny and the Tooth Fairy yang dimaksud adalah boneka Santa, boneka Kelinci Paskah, dan boneka Peri Gigi yang menggambarkan sosok yang memiliki karakter sangat baik hati kepada anak-anak. Baik Tsu maupun Tsa sangat jelas, sehingga tidak perlu upaya keras untuk memahaminya dan disampaikan dengan wajar, yaitu dengan menaturalisasikan Tsu ke dalam teks sasaran dan penaturalisasiannya hampir tidak terasa seperti terjemahan. Pilihan kata yang digunakan penerjemah dalam data di atas adalah menambahkan informasi yang tidak terdapat di dalam Tsu ke dalam Tsa. Penerjemah menambahkan kata-kata secara lebih rinci untuk memperjelas makna yang terkandung di dalam Tsu. Informasi yang dimaksud adalah dengan menuliskan kata-kata tambahan yaitu bahwa Santa, the Easter Bunny and the Tooth Fairy di dalam Tsu yang dimaksud adalah boneka Santa, Kelinci Paskah, dan Peri Gigi. Meskipun kata-kata tambahan tersebut tidak ada di dalam Tsa, namun kata-kata tersebut dirasa perlu untuk mempertegas arti yang di maksud di dalam Tsu.
commit to user
197 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Contoh lain dari terjemahan hampir sempurna adalah sebagai berikut: 076.HT.Chap19.Pg144/PL.Bb19.Hal195 Tsu: A Starburst flew out of his mouth. “You gotta be making this shit up. What they call a pussy?” “The ‘precious gateway,’” I said, “or the ‘golden doorway.’” Phelps roared. “My lady, may I brighten your golden doorway with my wand of light?” Tsa: Phelps tertawa keras mendengarnya. “Itu pasti karanganmu sendiri. Lalu apa sebutan untuk vagina?” “’Gerbang yang mulia’, “ jawabku, ‘atau gerbang kencana.” Lagi-lagi tawa Phelps meledak. “Tuan putriku, bolehkah kuterangi gerbang kencanamu dengan tongkat cahayaku?”
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu precious gateway dan golden doorway diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran, yaitu gerbang yang mulia dan gerbang kencana. Secara leksikal makna dari precious adalah berharga atau bernilai, gateway adalah pintu gerbang, golden adalah keemasan, dan doorway adalah pintu keluar masuk. Namun demikian, ekspresi kata di atas mengandung ungkapan idiomatik yang di dalam Tsu dinyatakan dalam ungkapan precious gateway dan dipadankan ke dalam bahasa sasaran dengan ungkapan gerbang yang mulia atau gerbang kencana. Pemadanan ini jelas memandang kesepadanan sebagai suatu prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya meskipun pengalihannya menggunakan kata-kata yang berbeda antara Tsa dengan Tsu. Baik Tsu maupun Tsa sangat jelas, sehingga tidak perlu upaya keras untuk memahaminya dan disampaikan dengan wajar, yaitu dengan menaturalisasikan Tsu ke dalam teks sasaran dan penaturalisasiannya hampir tidak terasa seperti commit to user
198 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjemahan. Penggunaan ekspresi idiomatik di dalam Tsa diterjemahkan dengan sepadan dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu. Berdasarkan contoh data di atas (data nomer 018 dan 076), semua informan menyatakan bahwa terjemahan di atas termasuk dalam kategori terjemahan hampir sempurna. Ketepatan terjemahan tersebut didasarkan pada konteksnya bahwa penciptaan kesepadanan muncul dari suatu situasi, yaitu situasi di dalam Tsu yang dicarikan solusinya atau padanannya oleh penerjemah, yang di dalam usaha mencari padanan tersebut, penerjemah tidaklah cukup apabila hanya mencarikan padanannya melalui kamus atau glosari saja, namun juga mencari padanannya di dalam situasi atau konteks yang sama. Secara keseluruhan, data terjemahan hampir sempurna dapat dilihat pada lampiran 4a.
4.1.1.3.2 Terjemahan Sangat Bagus (TSB) Terjemahan sangat bagus (TSB) adalah makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; tidak ada terjemahan harfiah yang kaku dan tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas dan dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Contoh dari terjemahan sangat bagus tersebut adalah sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
199 digilib.uns.ac.id
007.HT.Chap1.Pg6/PL.Bb1.Hal14 Tsu: I saw hundreds, maybe thousands, assembling like tank battalions. I stepped back and felt their shells crunch beneath my feet and the wind pop out of me. Once I steadied, I flashed my headlamp on the oyster fence that three red rock crabs were aggressively scaling. It looked like a jail break with the biggest ringleaders leading the escape. Tsa: Kulihat ratusan, bahkan mungkin ribuan kepiting bergerombol mirip batalion tank siap tempur. Aku melangkah mundur, dan kurasakan kulit mereka remuk terinjak kakiku, dan aku kaget bukan kepalang. Setelah hatiku tenang, kusorotkan senter di kepalaku ke arah pagar kasa; di sana ada tiga kepiting tengah memanjat dengan agresif. Ulah mereka mirip tiga gembong besar sedang memimpin pembobolan penjara.
Berdasarkan data tersebut, terjemahan di atas dikategorikan terjemahan sangat bagus karena memenuhi kriteria bahwa makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; tidak ada terjemahan harfiah yang kaku dan tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas dan dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan/atau tanda baca. Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu a jail break with the biggest ringleaders leading the escape diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran tiga gembong besar sedang memimpin pembobolan penjara. Di dalam konteks bahasa sumber di atas bahwa the biggest ringleaders yang dimaksud adalah tiga ekor kepiting yang memanjat pagar dengan agresif. Baik Tsu maupun Tsa sangat jelas, sehingga tidak perlu upaya keras untuk memahaminya dan disampaikan dengan wajar dan hampir tidak terasa seperti terjemahan. Namun demikian, di dalam penggunaan gaya terdapat penyimpangan user ringleaders lebih baik dalam pilihan kata bahwa di dalamcommit Tsu thetobiggest
perpustakaan.uns.ac.id
200 digilib.uns.ac.id
seandainya dipadankan dengan pemimpin gerombolan terbesar daripada gembong besar di dalam Tsa, meskipun sebenarnya pilihan kata tersebut tidak mengubah maknanya. Contoh lain dari terjemahan sangat bagus adalah sebagai berikut: 105.HT.Chap27.Pg211/PL.Bb27.Hal278 Tsu: The closer we inched to the BioBlitz the more it looked like some confusing festival assembling on Spencer Spit. On the south side, more than fifty people squatted near Hal’s cabin in dirty tents, and RVs with bug-splattered windshields. Meanwhile, Blue Moon Outfitters strung huge bright tents and canopies on the north side in meadows soon overrun by new strangers wearing sensible shoes, clean jeans and handy vests crammed with gauges, vials and pocket guides. Tsa: Dari hari ke hari, persiapan menyambut acara BioBlitz itu makin mirip dengan festival yang kacau di seputar Spencer Spit. Di sisi selatan, lebih dari lima puluh orang berdesak-desakan di dekat pondok Hal Haleluya dalam tenda kotor, mobil, dan mobil van yang kaca depannya dipenuhi bangkai kutu dan ngengat. Sementara itu perusahaan Blue Moon Outfitters memasang tenda-tenda dan kanopi berwarna cerah di padang rumput sebelah utara yang segera diserbu oleh orang-orang asing bersepatu kets, memakai jeans bersih, dan rompi yang dipenuhi alat-alat pengukur, botol plastik, dan buku panduan. Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu Blue Moon Outfitters diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran, yaitu perusahaan Blue Moon Outfitters. Penerjemah menggunakan pilihan kata dengan cara menambahkan informasi, yaitu memasukkan informasi yang tidak ada dalam Tsu ke dalam Tsa. Informasi yang ditambahkan berupa informasi teknis. Penambahan informasi tersebut merujuk pada penambahan isi dan bukan penyelarasan struktur untuk menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Tujuan penambahan informasi ini adalah untuk menghasilkan terjemahan yang lebih baik. Baik Tsu maupun Tsa sangat jelas, sehingga tidak perlu upaya keras untuk memahaminya dan commit to user
201 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disampaikan dengan wajar dan hampir tidak terasa seperti terjemahan. Penggunaan pilihan kata di dalam Tsa diterjemahkan dengan sepadan dengan pilihan kata yang digunakan di dalam Tsu. Namun demikian, di dalam penggunaan gaya terdapat penyimpangan dalam pilihan kata bahwa di dalam Tsu outfitters lebih baik seandainya dipadankan dengan para penjual pakaian eceran di dalam Tsa. Pemadanan ini jelas memandang kesepadanan sebagai suatu prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya meskipun pengalihannya menggunakan kata-kata yang berbeda antara Tsa dengan Tsu. Berdasarkan contoh data di atas, untuk data nomer 007 satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut masuk dalam kategori terjemahan sangat bagus dan satu informan menyatakan bahwa tersebut tergolong terjemahan baik. Sementara untuk data nomer 105, satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan sangat bagus dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan di atas termasuk dalam kategori terjemahan cukup. Secara keseluruhan, data terjemahan sangat bagus dapat dilihat pada lampiran 4b.
4.1.1.3.3 Terjemahan Baik (TB) Terjemahan baik (TB) adalah makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; ada terjemahan harfiah yang kaku namun tidak terlalu terasa seperti terjemahan; teks jelas tetapi dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
202 digilib.uns.ac.id
ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Contoh dari terjemahan baik ini adalah sebagai berikut: 082.HT.Chap21.Pg158/PL.Bb21.Hal211 Tsu: Carolyn led me into another room and then through a passage with a fake waterfall and some smelly hyacinths into a curved auditorium with a halfbowl of sloped theater seating. People were straightening a stage and double-checking microphones, testing, testing, testing. Meanwhile, that same endless stargazing song played on. I saw a whole lot of whispering, eye-swiveling and those pleasant zombie smile that the jellyfish rescuers had bombarded me with on the flats. Tsa: Carolyn membawaku ke ruangan lain, melewati air terjun buatan dan beberapa bunga bakung yang baunya menusuk hidung, menuju sebuah auditorium dengan kursi-kursi yang dijajarkan bertingkat-tingkat membentuk setengah lingkaran seperti gedung teater. Orang-orang di sana sedang meluruskan panggung dan memeriksa perangkat pengeras suara: testing, testing, testing. Sementara itu musik pengiring penggemar teropong bintang tadi masih terus mengalun tanpa henti. Kerumunan orang itu berbisik-bisik, lalu puluhan pasang mata lainnya melirik ke arahku, dan lagilagi kulihat senyuman mirip zombie yang pernah kulihat dari anggota pemujaan yang mengikutiku melempar ubur-ubur ke air dalam di hamparan lumpur teluk beberapa hari yang lalu.
Berdasarkan data tersebut, terjemahan di atas dikategorikan terjemahan baik karena memenuhi kriteria bahwa makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; ada terjemahan harfiah yang kaku namun tidak terlalu terasa seperti terjemahan; teks jelas tetapi dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan/atau tanda baca. Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu zombie smile diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran senyuman mirip zombie. Dalam berbagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
203 digilib.uns.ac.id
karya fiksi, makna zombie atau zombi ini biasanya digambarkan sebagai sosok mayat membusuk dengan kecerdasan rendah dan berjalan terseok-seok, namun punya selera makan daging manusia. Pada beberapa kasus, zombie lebih mengincar bagian otak manusia untuk disantap. Secara literal, makna zombie ini lebih mirip dengan vampir atau mayat hidup dalam konteks Indonesia. Zombie, vampir, dan juga mayat hidup, di dalam cerita fiksi sama-sama bisa menular ke orang sehat lewat gigitan atau cakaran. Korban serangan zombie biasanya langsung tewas dan berubah menjadi zombie. Zombie bisa dibunuh dengan memotong bagian kepala atau menghancurkan otak zombie. Pada beberapa kasus, seluruh bagian tubuh zombie harus dihancurkan kalau tidak mau bagian tubuh zombie yang sudah putus bergerak-gerak terus. Seperti layaknya kisah horor lain, cerita zombie tidak berakhir happy ending dan selalu ada saja zombie yang masih tersisa. Di dalam konteks bahasa sumber di atas bahwa zombie smile yang dimaksud adalah senyuman hampa atau tanpa harapan yang diibaratkan mirip dengan zombie, yaitu mayat hidup yang pucat dan tanpa ekspresi, yang berasal dari kerumunan orang-orang yang bekerja di auditorium. Penerjemahan harfiah dari Tsu zombie smile ke dalam Tsa senyuman mirip zombie terasa kaku namun tidak terlalu terasa seperti terjemahan. Hal ini karena makna zombie di dalam Tsu tetap dipertahankan dan tidak disesuaikan dengan makna yang ada di dalam Tsa. Kemungkinan hal ini dilakukan oleh penerjemah untuk memenuhi unsur kewajaran dalam terjemahannya. Teks jelas, tetapi dengan sedikit upaya untuk memahaminya. Namun demikian, di dalam penggunaan gaya terdapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
204 digilib.uns.ac.id
penyimpangan dalam pilihan kata bahwa di dalam Tsu zombie smile lebih baik seandainya dipadankan dan disesuaikan dengan konteks bahasa sasaran, yaitu senyuman mayat hidup, meskipun sebenarnya pilihan kata tersebut tidak mengubah maknanya. Contoh lain dari terjemahan baik adalah sebagai berikut: 060.HT.Chap16.Pg117/PL.Bb16.Hal161 Tsu: She was in her chair, head tilted back, a washcloth and a bag of ice in her lap. She looked alarmed to see us, as if we’d come to kidnap her. She also didn’t look like herself as aresult of her nose being twice as large as normal. “Florence!” the judge cried. “You hurt yourself!” She shook her head, her eyes reflecting so many lights they looked like kaleidoscopes.“No, Norman, I didn’t hurt myself, but I’m considering filing charges against Mother Earth.” Tsa: Florence masih duduk di kursinya, kepalanya mendongak, sambil memegang handuk dan sekantong es di pangkuannya. Dia sangat cemas melihat kedatangan kami, seolah-olah kami ke sana untuk menculiknya. Wajahnya juga agak berubah karena hidungnya bengkak dan tampak dua kali lebih besar. “Florence!” teriak Hakim Stegner. “Kau menyakiti dirimu sendiri!” Dia menggeleng dan kedua matanya berkilat-kilat memantulkan cahaya dari segala arah, mirip cermin kaledioskop.“Tidak, Norman, aku tak ‘menyakiti diriku sendiri,” tapi aku berniat akan menuntut Bumi.”
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu Mother Earth diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran, yaitu Bumi. Penerjemah menggunakan pilihan kata dengan cara pengurangan informasi. Pengurangan atau penghilangan informasi ini merujuk pada penghilangan isi di dalam Tsa dan bukan penyelarasan struktur untuk menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Tujuan dari pengurangan atau penghilangan informasi ini adalah untuk menghasilkan terjemahan yang lebih baik. Penghilangan informasi di atas tampak terasa kaku to user namun tidak terlalu terasa seperti commit terjemahan. Lebih lanjut, di dalam penggunaan
205 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gaya terdapat penyimpangan dalam pilihan kata bahwa di dalam Tsu Mother Earth lebih baik seandainya dipadankan secara sejajar yaitu Ibu Pertiwi di dalam Tsa. Pemadanan ini memandang kesepadanan sebagai suatu prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya dan pengalihannya menggunakan kata-kata yang sejajar antara Tsa dengan Tsu. Berdasarkan contoh data di atas, untuk data nomer 082 satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan baik dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut masuk dalam kategori terjemahan sangat bagus. Sementara untuk data nomer 060, satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan sangat bagus dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan di atas termasuk dalam kategori terjemahan baik. Secara keseluruhan, data terjemahan baik dapat dilihat pada lampiran 4c.
4.1.1.3.4 Terjemahan Cukup (TC) Terjemahan cukup (TC) adalah makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; terasa sebagai terjemahan; teks lumayan jelas namun dengan upaya yang agak keras untuk memahaminya; ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, kesalahan idiom dan/tata bahasa, penggunaan istilah yang tidak baku/umum, gaya bahasa, dan tanda baca. Contoh dari terjemahan cukup ini adalah sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
206 digilib.uns.ac.id
015.HT.Chap4.Pg21/PL.Bb4.Hal35 Tsu: I’d never seen anyone I knew on television other than Judge Stegner, so I was surprised by how little Professor Kramer resembled himself. He looked pale, almost criminal, his collar askew, his hair reckless. Then the camera panned to some kid who came up to the professor’s bicep and looked a whole lot like me, staring at the squid, orange hair flattering, the high camera angle reducing me to one of Charlie Brown’s big-headed side-kicks. Suddenly my peeling nose was bigger than life in front of me.I looked into the camera the way a baby does, as if I didn’t realize it was really on me, which was the truth. Tsa: Selain Hakim Stegner, aku belum pernah melihat orang-orang yang kukenal dekat muncul di layar televisi. Itulah mengapa aku begitu kaget melihat Profesor Kramer yang sama sekali tidak mirip dengan aslinya. Di televisi dia terlihat pucat, hampir mirip penjahat, kerah bajunya miring sebelah dan rambut jabriknya makin awut-awutan. Lalu sorot kamera dialihkan pada seorang anak yang tingginya tak lebih dari lengan Profesor Kramer, yang tampangnya sangat mirip diriku, dengan mata tak berkedip menatap bangkai cumi-cumi itu, dan rambutnya yang kemerahan tertiup angin, lalu kamera tinggi itu membuatku semakin cebol dan mirip dengan salah satu tokoh antek Charlie Brown yang berkepala besar. Tiba-tiba kulihat sendiri di hadapanku kulit hidungku yang terus mengelupas. Aku memandang ke kamera dengan tatapan mata bayi yang polos, seakan tak sadar bahwa semua kamera benar-benar terarah pada diriku.
Berdasarkan data tersebut, terjemahan di atas dikategorikan terjemahan cukup karena memenuhi kriteria bahwa makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; terasa sebagai terjemahan; teks lumayan jelas namun dengan upaya yang agak keras untuk memahaminya; ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, kesalahan idiom dan/tata bahasa, penggunaan istilah yang tidak baku/umum, gaya bahasa, dan/atau tanda baca. Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu my peeling nose was bigger than life in front of me diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran kulihat sendiri di hadapanku kulit hidungku yang terus mengelupas. Di dalam konteks bahasa commitnose to user sumber di atas bahwa makna my peeling was bigger than life in front of me
207 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dimaksud adalah ungkapan rasa terkejut atau tidak percaya atas apa yang telah dilihat oleh Miles O Malley hingga tanpa sadar dia sampai terbengongbengong seperti anak kecil yang lugu, dalam hal ini adalah tidak percaya kalau semua sorot kamera sedang tertuju padanya dan ini menjadi hal yang luar biasa karena selama hidupnya dia belum pernah melihat orang-orang terdekatnya di sorot kamera televisi, apalagi dirinya yang sedang menjadi pusat perhatian. Ketidakpercayaannya tersebut seolah-olah seperti hidungnya yang mengelupas membesar melebihi apa yang sedang terjadi di dalam televisi yang sedang dia lihat. Secara harfiah penerjemahan dari Tsu my peeling nose was bigger than life in front of me ke dalam Tsa kulihat sendiri di hadapanku kulit hidungku yang terus mengelupas terasa kaku dan terasa sebagai suatu terjemahan. Hal ini karena makna di dalam Tsu diterjemahkan apa adanya dan tidak disesuaikan dengan makna yang ada di dalam Tsa. Teks lumayan jelas, namun dengan upaya yang agak keras untuk memahaminya. Hal ini karena di dalam Tsu tersebut mengandung makna implisit yang tersirat di dalam teks. Selain itu, di dalam penggunaan gaya terdapat penyimpangan dalam penggunaan ekspresi idiom bahwa di dalam Tsu my peeling nose was bigger than life in front of me lebih baik seandainya dipadankan dan disesuaikan dengan konteks bahasa sasaran, yaitu aku seperti tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang ini. Contoh lain dari terjemahan cukup adalah sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
208 digilib.uns.ac.id
033.HT.Chap10.Pg63/PL.Bb10.Hal88 Tsu: A reporter called the next day to ask if she could talk to me about the unusual fish that had been hauled away that morning to the same university lab where Professor kramer and other scientists were still examining that dang squid. When I opened the door, a tall angular lady with a camera strapped diagonally between her breasts looked down and asked me if Miles O’Malley was home. She couldn’t hide her delight when I told her she was looking at him. It fell out in a half-laugh. “You were the one who found the ratfish?” “Ragfish.” “You also found that giant squid?” “Uh-huh.” Tsa: Keesokan harinya ada telepon dari reporter yang ingin menanyaiku perihal ikan aneh yang pagi itu diangkut ke universitas tempat Profesor Kramer dan ilmuwan-ilmuwan lainnya masih memeriksa bangkai cumi malang itu. Ketika pintu kubuka, seorang perempuan bertubuh jangkung dengan kamera tergantung tepat di sela-sela tonjolan payudaranya memandang padaku seraya menanyakan apakah Miles O’Malley ada di rumah. Dia sangat senang ketika tahu akulah orang yang dicarinya. Sambil tertawa-tawa dia membuka percakapan. “Jadi, kau yang menemukan ikan ratfish itu?” “Ragfish.” “Kau juga yang menemukan cumi-cumi raksasa itu?” “He-eh.”
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu It fell out in a half-laugh diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran menjadi Sambil tertawa-tawa dia membuka percakapan. Penerjemah menggunakan pilihan kata dengan cara menambahkan informasi ke dalam Tsa. Penerjemah menambahkan kata-kata secara lebih rinci untuk memperjelas makna yang terkandung di dalam Tsu. Meskipun kata-kata tambahan tersebut tidak ada di dalam Tsa, namun kata-kata tersebut dirasa perlu untuk mempertegas arti yang di maksud di dalam Tsu. Namun demikian, di dalam penggunaan gaya terjemahan tersebut terdapat to user penyimpangan dalam pilihan kata.commit Di dalam Tsu di atas, yang dimaksud dengan a
209 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
half-laugh sebenarnya memiliki konteks bahwa ada sesuatu yang sangat lucu, sehingga menjadi bahan tertawaan, atau dengan kata lain frasa a half-laugh tersebut merupakan istilah atau ungkapan sarkasme yang digunakan karena ada kejadian, peristiwa, atau sesuatu yang menggelikan. Sesuatu yang lucu tersebut adalah pada saat sang reporter yang bertubuh jangkung menanyakan kepada orang di depannya dan tidak menyangka kalau orang yang dicari tersebut adalah bertubuh pendek dan masih anak-anak. Kalimat It felt out in a half-laugh tersebut lebih baik seandainya dipadankan dengan Ini/hal ini menggelikan di dalam Tsa. Pemadanan ini memandang kesepadanan sebagai suatu prosedur pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya dan pengalihannya menggunakan kata-kata yang sepadan antara Tsa dengan Tsu. Berdasarkan contoh data di atas, untuk data nomer 015 satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan cukup dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut masuk dalam kategori terjemahan kurang. Sementara untuk data nomer 033, satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan cukup dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan di atas termasuk dalam kategori terjemahan kurang. Secara keseluruhan, data terjemahan cukup dapat dilihat pada lampiran 4d.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
210 digilib.uns.ac.id
4.1.1.3.5 Terjemahan Kurang (TK) Terjemahan kurang (TK) adalah makna dalam bahasa sumber tidak diterjemahkan sama sekali ke dalam bahasa sasaran; sangat terasa sebagai terjemahan; teks sangat kabur dan tidak jelas, dengan upaya yang susah payah untuk memahaminya; terdapat terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku, dan kekeliruan penggunaan istilah, idiom, gaya bahasa, dan tanda baca. Contoh dari terjemahan kurang ini adalah sebagai berikut: 113.HT.Chap29.Pg233/PL.Bb29.Hal305 Tsu: As we rolled toward the bridge, we saw a tall, bearded man practicing slow-
motion karate, and behind him a pretty lady selling “self-opening miracle umbrellas” and telling everyone that it was less than an hour to high tide, which reminded me of the local oddity that theh tide peaked eighteen minutes later in Skoomkumchuck Bay than it did downtown. Tsa: Ketika kami meluncur menuju jembatan, kami lihat seorang lelaki jangkung
berjenggot sedang melakukan gerakan wu-shu, dan di belakangnya seorang ibu sedang menjajakan “payung ajaib yang bisa membuka sendiri” sambil mengingatkan semua orang bahwa air pasang tertinggi akan datang kurang dari sejam lagi, dan itu mengingatkanku pada sebuah keanehan, di mana air pasang itu menerjang Teluk Skookumchuck delapan belas menit lebih lambat dari yang terjadi di kota.
Berdasarkan data tersebut, terjemahan di atas dikategorikan terjemahan kurang karena memenuhi kriteria bahwa makna dalam bahasa sumber tidak diterjemahkan sama sekali ke dalam bahasa sasaran; sangat terasa sebagai terjemahan; teks sangat kabur dan tidak jelas, dengan upaya yang susah payah untuk memahaminya; terdapat terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku, dan kekeliruan penggunaan istilah, idiom, gaya bahasa, dan tanda baca. Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu slow-motion karate commit to user diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran gerakan wushu. Di dalam konteks bahasa
perpustakaan.uns.ac.id
211 digilib.uns.ac.id
sumber di atas bahwa makna slow-motion karate yang dimaksud adalah karate dengan gerakan lambat. Secara harfiah penerjemahan dari Tsu slow-motion karate ke dalam Tsa gerakan wushu tidak tepat, tidak jelas, terasa kaku dan terasa sebagai suatu terjemahan. Hal ini karena makna di dalam Tsu diterjemahkan apa adanya dan tidak disesuaikan dengan makna sebenarnya berdasarkan konteks dan konsep yang jelas. Makna karate di dalam Tsu berbeda maknanya dengan kata wushu di dalam Tsa. Karate, secara etimologis berarti kosong (kara) dan tangan (te). Kata kosong berarti teknik beladiri dengan tidak memerlukan senjata, hanya menggunakan anggota badan seperti tangan dan kaki sebagai pengganti senjata. Jadi, karate bermakna teknik atau aliran beladiri yang dibentuk oleh dua karakter yaitu tangan dan tidak menggunakan senjata, atau dengan kata lain seni beladiri tangan kosong atau seni beladiri tanpa senjata. Wushu, merupakan olahraga atau seni beladiri yang lebih umum dikenal dengan sebutan kungfu. Pengertian wushu bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti perang (Wu) dan seni (Shu). Secara etimologis wushu bisa diartikan sebagai seni berperang/bertempur. Dalam wushu kegiatan yang dilakukan adalah melatih kemampuan fisik yang meliputi koordinasi sempurna antara kelenturan, kekuatan, kelincahan, serta irama gerak dan menggunakan berbagai jenis senjata misalnya golok, pedang, tongkat, toya, dan sebagainya. Wushu adalah seni berperang dan bukan suatu aliran seperti misalnya Karate, Aikido, Jiujitsu, Ninjitsu, Kendo, Judo, dan lain-lain. Jadi, semua seni beladiri atau seni bertarung alias berperang disebut wushu. Selain itu, di dalam penggunaan gaya terdapat penyimpangan dalam penggunaan istilah bahwa di dalam Tsu slow-motion karate lebih baik seandainya commit to user
212 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipadankan dan disesuaikan dengan konteks bahasa sasaran, yaitu karate dengan gerak lambat. Contoh lain dari terjemahan kurang adalah sebagai berikut: 087.HT.Chap24.Pg187/PL.Bb24.Hal249 Tsu: Florence and Yvonne treated my breathless question like a punch line.
After she stopped laughing, Florence assured me that auras can’t be photographed and that nobody’s was as prominent as my golden halo in the newspaper. Plus, the color was way off, a bright sunshiny gold, instead of my soft yellow. Tsa: Florence dan Yvonne menanggapi pertanyaanku yang bertubi-tubi dengan
sangat serius. Setelah tawanya reda, Florence berusaha menegaskan bahwa aura tak mungkin bisa difoto, dan mustahil ada orang punya aura begitu mencolok seperti fotoku di koran itu. Apalagi, menurutnya, aura di fotoku itu warnanya salah, kuning keemasan, bukannya kuning lembut.
Makna kata di dalam bahasa sumber, yaitu like a punch line diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran menjadi dengan sangat serius. Secara harfiah penerjemahan dari Tsu like a punch line ke dalam Tsa dengan sangat serius tidak tepat. Hal ini karena makna di dalam Tsu diterjemahkan tidak disesuaikan dengan makna sebenarnya berdasarkan konteks dan konsep yang jelas. Di dalam Tsu di atas, yang dimaksud dengan like a punch line adalah suatu ungkapan kata-kata atau kalimat yang dimaksudkan untuk melucu dan memancing atau membangkitkan tawa bagi yang mendengarnya. Ungkapan a punch line ini biasanya berasal dari humor-humor yang tak diduga-duga. Frasa a punch line tersebut lebih baik seandainya dipadankan dengan sambil guyon di dalam Tsa. Pemadanan ini memandang kesepadanan sebagai suatu prosedur commit to user
213 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengalihan situasi atau konteks yang sama dengan konteks aslinya dan pengalihannya menggunakan kata-kata yang sepadan antara Tsa dengan Tsu. Berdasarkan contoh data di atas, untuk data nomer 113 satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan cukup dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut masuk dalam kategori terjemahan kurang. Sementara untuk data nomer 087, satu informan menyatakan bahwa terjemahan tersebut termasuk dalam kategori terjemahan cukup dan satu informan menyatakan bahwa terjemahan di atas termasuk dalam kategori terjemahan kurang. Secara keseluruhan, data terjemahan kurang dapat dilihat pada lampiran 4e.
4.1.2 Deskripsi mengenai Penerjemah Deskripsi mengenai penerjemah dipaparkan tentang: latar belakang penerjemah, langkah-langkah penerjemah dalam menerjemahkan novel HT , dan strategi penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel HT.
4.1.2.1 Latar Belakang Penerjemah Penerjemah novel The Highest Tide ke dalam novel bahasa Indonesia Pasang Laut, Arif Subiyanto, lahir di Salatiga pada tanggal 8 Januari 1966. Penerjemah merupakan alumnus jurusan sastra Inggris dengan konsentrasi penerjemahan pada salah satu perguruan tinggi negeri di Sala, yaitu Universitas Negeri Sebelas Maret. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
214 digilib.uns.ac.id
Penerjemah adalah seorang pengajar di perguruan tinggi negeri di Malang, yaitu sebagai dosen negeri di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. Penerjemah mulai mengajar di perguruan tinggi tersebut tahun 1995. Pada bulan Juni 1999, Penerjemah melanjutkan studi pada Faculty of Arts, The University of Queensland, St. Lucia, Brisbane, Australia dan mendapatkan gelar MA in Applied Linguistics bidang studi Second Language Research and Teaching pada bulan Juni 2001. Untuk lebih meningkatkan dan untuk mengukur kemampuan bahasa Inggris, Penerjemah mengikuti tes TOEFL dan tes IELTS. Tes TOEFL dilakukan pada tanggal 12 Maret 2005 dengan nilai yang diperoleh 623, dan tes IELTS dilakukan pada tanggal 18 maret 2008 dengan nilai yang diperoleh 7,5. Beberapa mata kuliah yang diampu oleh penerjemah sejak tahun 1995 adalah mata kuliah English grammar 1,2,3; writing 1,2; speaking 1,2,3; introduction to literature; English drama; English prose 1,2; extensive reading; poetry 1,2; translation 1 and 2, translation and interpretation, fieldwork in translation; literary and specialized translation (technical and legal translation); English education for young learners; English education for elementary school teachers; discourse analysis; TOEFL preparation; English for specific purpose; dan pembimbing skripsi tentang berbagai masalah-masalah sastra dan penerjemahan (sejak 2002 sampai sekarang). Beberapa judul skripsi hasil bimbingan penerjemah adalah: An Analysis of George Bernard Shaw’s Criticism on Victorian Morality in Pygmalion (2002); commit to user
215 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Aspects of Romanticism in D.H. Lawrence’s Women in Love (2002); An Analysis of Robert Frost’s Selected (2002); Translation Error Analysis of the Indonesian Subtitle of the Movie A Few Good Men on VCD (2003); The Will to Freedom as a Dominant Motif in the Symbolism of James Joyce’s Novel A Portrait of the Artist as A Young Man: A Genetic-Structuralist Approach (2004); Existentialist Humanity in Albert Camus‘ The Outsider (2005); Feminist Interpretation of Jane Austen’s (2006); Chicken Run the Movies: The Representational Exploitation Behind (2008); Pond’s Advertisement and Women Exploitation (2008); dan Lyra’s World and Citagezze: A Parallel Universe in His Dark Material Trilogy (2008). Di samping berkarir sebagai seorang pengajar, beliau juga berprofesi sebagai seorang penerjemah profesional. Pengalaman sebagai seorang penerjemah profesional dimulai pada bulan Juni 1994 sebagai penerjemah paruh waktu untuk divisi fiksi, PT. Penerbit Erlangga di Jakarta. Pada bulan Februari 2002 sampai sekarang sebagai konsultan bahasa dan penerjemah paruh waktu untuk International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stromsborg S-103 34, Stockholm, Sweden (http://www.idea.int) dan sejak maret 2003 sampai sekarang sebagai penerjemah paruh waktu untuk Ecole Française d’Extreme-Orient, 22 Avenue du President Wilson, 75116 Paris, France. Pada bulan juli 2006 sampai sekarang sebagai penerjemah paruh waktu untuk Ufuk Publishing House, Jakarta, Indonesia, dan mulai desember 2006 sampai sekarang sebagai penerjemah fiksi untuk PT. Gramedia Pustaka Utama. commit to user
216 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebagai penerjemah profesional selama lebih kurang 15 tahun (19942009), penerjemah telah menerjemahkan berbagai karya terjemahan baik dalam bentuk buku maupun artikel, baik berupa terjemahan karya sastra novel maupun karya terjemahan bunga rampai (psikologi populer, motivasi, politik dan gender, pemasaran dan manajemen, animasi komputer dan manual, produksi film dan editing, dan sebagainya). Beberapa daftar terjemahan yang telah dilakukan oleh penerjemah dan diterbitkan di Indonesia adalah: A. Karya Terjemahan Sastra a) Novel Cries in the Night karya Rodney Stone, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PT. Penerbit Erlangga-Jakarta, Indonesia pada tahun1994; b) Novel Death and Life of Superman karya Roger Stern, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PT. Penerbit Erlangga-Jakarta, Indonesia 1994; c) Novel Striptease karya Carl Hiaasen, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PT. Penerbit Erlangga-Jakarta, Indonesia pada tahun1995; d) Novel grafik Superman: Secret Identity karya Stuart Immonent & Kurt Busiek, D.C. Comics, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
217 digilib.uns.ac.id
e) Novel grafik Gotham Central 2: Half a Life karya Greg Rucka & Michael Lark, D.C Comics, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006; f) Novel grafik Gotham Central 1: In the Line of Duty karya Greg Rucka & Michael Lark, D.C Comics, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006; g) Novel grafik Y: the Last Man-Girl on Girl karya Brian K. Vaughan, Pia Guerra & Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006; h) Novel grafik Y: the Last Man-Ring of Truth karya Brian K. Vaughan, Pia Guerra & Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006; i) Novel grafik Y: the Last Man-Safeworld karya Brian K. Vaughan, Pia Guerra & Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006; j) Novel grafik Y: the Last Man-One Small Step karya Brian K. Vaughan, Pia Guerra & Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006; k) Novel grafik Y: the Last Man-Cycles karya Brian K. Vaughan, Pia Guerra & Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia commit to userpada tahun 2006;
218 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
l) Novel grafik Y: the Last Man-Unmanned karya Brian K. Vaughan, Pia Guerra & Joze Marzan, Jr, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006; m) Novel Resurrection karya Tucker Malarkey, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2006; n) Novel The Highest Tide karya Jim Linch, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2007; o) Novel State of Fear karya Michael Crichton, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2008; p) Novel Eleven Minutes karya Paolo Coelho, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2008; q) Novel American Gods karya Neil Gaiman, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2008; dan r) Novel Two Women karya Martina Cole, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, Indonesia pada tahun 2008.
commit to user
219 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain itu, penerjemah juga menerjemahkan karya sastra ke dalam bahasa Inggris yaitu “Gajah Mada” Pentalogy by Langit Kresna Hariadi (Gajah Mada; Gajah Mada-Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara; Gajah Mada-Hamukti Palapa; Gajah Mada-Perang Bubat; Gajah Mada-Hamukti Moksa) dan diterbitkan oleh Tiga Serangkai-Solo, Indonesia pada tahun 2008.
B. Karya Terjemahan non-Sastra a) Buku Test Your Lateral Thinking IQ karya Eric Sloane, diterbitkan oleh PT. Penerbit Erlangga pada tahun 1995; b) Buku Lateral Thinking Puzzle karya Eric Sloane, diterbitkan oleh PT. Penerbit Erlangga pada tahun 1995; c) Buku Larger than Life: Marlon Brando’s Biography, diterbitkan oleh PT. Penerbit Erlangga pada tahun 1996; d) Handbook International IDEA serie 4, Democracy at the Local Level, diterbitkan oleh International IDEA Stockholm pada tahun 2002; e) Handbook International IDEA (versi regional), Women in Parliement: Beyond Number, diterbitkan oleh International IDEA Stockholm pada tahun 2002; f) Handbook International IDEA, Gender Strategic Policy Advocacy Manual, CLD, Manila, the Philippines, diterbitkan oleh International IDEA Stockholm pada tahun 2004;
commit to user
220 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g) Buku the Complete Idiot’s Guide to Direct Marketing karya Robert W. Bly, Alpha-Pearson Education Company, diterbitkan oleh Prenada Media GroupJakarta pada tahun 2005; h) Buku the Complete Idiot’e Guide to Human Resource Management karya Arthur R. Pell, Ph.D, Alpha-Pearson Education Company, diterbitkan oleh Prenada Media Group-Jakarta pada tahun 2005; i) Buku the Book of Absolute Beauty karya Shahnaz Hussain, diterbitkan oleh Shahnaz Hussain Group of Companies-Jakarta pada tahun 2005. j) Buku Character Animation in 3D karya Steve Roberts, Focal Press-ELSEVIER, diterbitkan oleh Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2006; k) Buku Timing for Animation karya Harold Whitaker & John Halas, Focal PressELSEVIER, diterbitkan oleh Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2006; l) Buku A Guide to Computer Animation for TV, Games, Multimedia and Web karya Marcia Kupenberg, Focal Press-ELSEVIER, diterbitkan oleh Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2006; m) Buku How to Maximize the Power of Your Subconscious Mind karya Dr. Joseph Murphy, diterbitkan oleh Ufuk Publishing House pada tahun 2007; n) Buku Grammar of the Edit karya Roy Thompson, Focal Press-ELSEVIER, diterbitkan oleh Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2007;
commit to user
221 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
o) Buku buku Grammar of the Shot karya Roy Thompson, Focal PressELSEVIER, diterbitkan oleh Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2007; p) Buku Customer Relationship Management oleh Francis Buttle, diterbitkan oleh Bayumedia Publishing-Malang pada tahun 2007; r) Buku Think and Grow Rich karya Napoleon Hill, diterbitkan oleh Ufuk Publishing House pada tahun 2007; s) Buku The Law of Attraction karya Michael Losier, diterbitkan oleh Ufuk Publishing House pada tahun 2007; t) Buku 19 Secrets of Super Success karya Lynn Pierce, diterbitkan oleh Ufuk Publishing House pada tahun 2008; u) Buku 5 Secrets You Must Discover Before You Die karya John Izzo, PhD, diterbitkan oleh Ufuk Publishing House pada tahun 2008; dan v) Buku 101 Great Youth Soccer Drills karya Robert Koger, diterbitkan oleh Saka Mitra Kompetisi-Klaten pada tahun 2008.
C. Kumpulan Artikel Daftar terjemahan kumpulan artikel besar untuk Ecole Francaise d’Extreme Orient’s Project (Paris) yang diterbitkan PT. Gramedia dalam buku “Sejarah Penerjemahan di Indonesia dan Malaysia” adalah terjemahan bahasa Indonesia: commit to user
222 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Translating Java Towards Europe-the Winter Family, Prof. Vincent J. Houben, Humboldt University, Berlin; b) Funerary Inscriptions from Early Century Islam in the Malay World, Claude Guillot, CNRS, EHESS, Paris; c) Translations from Urdu in Malay Traditional Literature, Vladimir Braginsky & Anna Suvurora, University of London; d) A Note on Javanese Translation, C.F. Winter, Stuart Robson; A Chinese Pujangga from Surabaya? Yap Gwan Thay in an Era of Translation, Matthew Isaac Cohen, University of Glasgow; e) The ‘Translation’ of Arabic into Malay: a Reflection, A.H Johns, The Australian National University, Canberra; f) Soviet Ideology and Literature in Indonesian Translation, Alexander K. Ogloblin, University of St. Petersburg, Russia; g) Translating the Qur’an into Indonesian, Peter G. Riddel, London Biblical Center for Islamic Studies, Brunel University, London; h) Ifta’ as Translation Represented Implicit Hierarchies of Islamic Languages and Script, Michael Laffan, International Institute of Asian Studies, Leiden, the Netherlands; Indian Calendars Translated into Old Javanese, Ian Proudfoot, Australian National University, Canberra; dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
223 digilib.uns.ac.id
i) Tissue and Repository of Quotation from Persia in Traditional Malay Literature with Special Reference to ‘Persian Stories’, Vladimir Braginsky, University of London. Proyek terjemahan tersebut diedit oleh Dr. Henry Chambert Loir of EHESS (Paris).
D. Beberapa Daftar Karya Terjemahan yang sedang Diedit dan Siap Terbit a) Terjemahan bahasa Indonesia: “Komedie Stamboel” karya Matthew Isaac Cohen, Royal Holloway of London; b) Terjemahan bahasa Indonesia “Body Language Bible” karya Judi James, Ufuk Publishing House; c) Terjemahan bahasa Indonesia novel Jimmy Coates karya Joe Craig, untuk Penerbit Tiga Serangkai (4 episode: Killer, Target, Revenge, Sabotage); d) Terjemahan bahasa Inggris novel “Candi Murca” dan “Perang Paregrek” karya Langit Kresna Hariadi; e) Terjemahan bahasa Inggris buku Batik Tulis Tradisional Kauman Solo, Pesona Budaya nan Esotik, Penerbit Tiga Serangkai; dan f) Terjemahan bahasa Indonesia & bahasa Inggris untuk arsip dan model pengajaran AusAID-LAPIS. Sebagai seorang penerjemah profesional yang telah menghasilkan banyak karya terjemahan, penerjemah telah menarik minat berbagai masyarakat akademik. Ketertarikan masyarakat akademik ini diwujudkan dengan diundangnya penerjemah sebagai pemateri dalam berbagai seminar dan workshop commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
224 digilib.uns.ac.id
penerjemahan, antara lain: (1) seminar ‘Translation in The Globalized World’ di Politeknik Negeri Malang pada tanggal 8 Desember 2007. Di dalam seminar tersebut dibahas dan dipandukan seluk-beluk tentang penerjemahan di era global, kerja sama penerjemah, penerjemahan film (subtitling), penjurubahasaan (interpreting), penerjemahan hukum (legal translation), penerjemahan situs web, penerjemahan brosur dan iklan, penerjemahan novel, dan penerjemahan komik. Penerjemah, di dalam seminar tersebut, menyajikan materi tentang ‘Penerjemahan Novel dan Novel Grafis’ yang dilanjutkan dengan memandu peserta seminar dalam menerjemahkan novel dan novel grafis, dan (2) seminar ‘National Seminar and Workshop on Book and Novel Translation and Translation Editing’ di Universitas Brawijaya Malang bekerja sama dengan Masyarakat Penerjemah Malang dan Bahtera (Milis Penerjemah Indonesia) pada tanggal 19 Juli 2009. Di dalam seminar tersebut, penerjemah memaparkan tentang pentingnya menjadi seorang penerjemah novel yang berkualitas. Menurut penerjemah, pekerjaan menerjemahkan, sebagaimana pekerjaan-pekerjaan yang lain, memerlukan sejumlah syarat agar bisa berkualitas. Karena penerjemahan termasuk bidang jasa, si pemberi jasalah yang merupakan modal utamanya. Seorang penerjemah (yang menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) harus menguasai bahasa Indonesia dengan sangat baik, baik ragam tulis maupun lisan. Selain itu, penerjemah juga mutlak harus menguasai bahasa sumber dengan sangat baik karena tanpa menguasai bahasa sumber dengan baik, mustahil seseorang bisa menerjemahkan dengan hasil yang memuaskan. Syarat lain adalah mengenal dengan baik bahan yang akan diterjemahkan, mengetahui cara menggunakan sumber bantuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
225 digilib.uns.ac.id
misalnya cara menggunakan kamus (baik kamus manual maupun kamus online), sumber informasi di internet, dan sumber bantuan lain berupa milis para penerjemah. Yang terakhir, yang juga diperlukan oleh penerjemah adalah ketrampilan menggunakan beberapa program komputer semacam Trados, Dejavu, Wordfast dan lain-lain untuk membantu penerjemah membangun translation memory di komputernya untuk memudahkan penerjemahan baik dokumen maupun novel yang selalu diperbarui. Menurut penerjemah, istilah penerjemah itu pada dasarnya ada dua, yaitu penerjemah umum (generalist) dan penerjemah khusus (specialist). Penerjemah umum yaitu penerjemah yang bekerja seperti pemborong, yaitu menerima semua naskah dalam bentuk apapun (bunga rampai) untuk diterjemahkan, misalnya naskah kedokteran, hukum, komputer, dan sebagainya. Sedangkan penerjemah khusus adalah penerjemah yang mengkhususkan pada naskah-naskah terjemahan tertentu, misalnya novel, legal document, dan sebagainya. Penerjemah sendiri, dalam pengakuannya, lebih suka atau tertarik dengan spesialisasi pada penerjemahan novel, karena dengan menerjemahkan novel, akan menambah wawasan, ilmu, kata-kata baru, sedangkan kalau menerjemahkan dokumen legal, hanya kopi-paste sudah selesai. Karena penerjemah adalah sebagai profesi dan bukan karir, maka untuk menjaga tingkat keprofesian tersebut seorang penerjemah harus terus-menerus memupuk kualitas penerjemahannya, menjadikan penerjemahan sebagai aktivitas sampai akhir hayat, dan yang terpenting adalah menjalin komunikasi dengan kliennya dengan tetap memberikan kepercayaan bahwa kita (penerjemah) commit to user
226 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mumpuni dalam menerjemahkan. Menurut penerjemah, kunci untuk menghasilkan terjemahan yang baik adalah bukan hanya karena gelar akademik saja, namun lebih pada bagaimana menjadi seorang penerjemah yang berkualitas. Gelar akademik penting, terutama untuk meningkatkan status penerjemah dalam lingkup akademik, namun di dalam profesi kerja, bukti nyata seorang penerjemah yang berkualitaslah yang akan menjadi tolok ukur dalam keberhasilan terjemahan, dan hal ini akan berlangsung dalam simbol yang saling menguntungkan. Misalnya, penerjemah yang pada awalnya melamar ke penerbit dan kemudian dinyatakan layak oleh penerbit sebagai partner kerja, lantas diberi kepercayaan untuk menerjemahkan sebuah novel. Apabila kemudian novel tersebut diterbitkan, biasanya selain mendapatkan royalti, penerjemah juga akan mendapatkan novel aslinya dari penerbit. Hal ini tentunya akan memberikan semangat yang luar biasa bagi penerjemah untuk terus menerjemahkan, dan penerbit tentu saja akan terus mendapatkan keuntungan karena novel atau buku yang mereka terbitkan dinikmati oleh banyak konsumen.
4.1.2.2 Langkah-langkah Penerjemah dalam Menerjemahkan Novel The Highest Tide Proses penerjemahan novel HT dilakukan pada tahun 2007 dan diselesaikan selama kurang lebih tiga (3) bulan. Novel sumber HT dengan jumlah 246 halaman telah diterjemahkan menjadi 328 halaman. Di dalam menerjemahkan novel HT ini, penerjemah pada dasarnya menggunakan langkahcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
227 digilib.uns.ac.id
langkah sebagai berikut: melakukan persiapan, menerjemahkan, dan mengedit terjemahan. Persiapan-persiapan yang dilakukan dapat dibedakan menjadi dua yaitu persiapan umum dan persiapan khusus. Persiapan umum yang dilakukan adalah membaca teks HT secara keseluruhan sebelum diterjemahkan. Hal ini dilakukan penerjemah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai isi novel dan gaya bercerita yang ada di dalam novel tersebut. Selain itu, penerjemah melakukan searching atau browsing internet sebelum menerjemahkan. Searching atau browsing internet ini, menurut penerjemah, sangat penting dilakukan sebelum kegiatan menerjemahkan, yaitu untuk mempercepat pekerjaan menerjemahkan dan mendapatkan berbagai referensi pendukung yang berkaitan dengan isi novel HT. Persiapan umum lain yang dilakukan penerjemah adalah mempersiapkan kamus yang cukup layak, yaitu koleksi berbagai macam kamus baik kamus ekabahasa maupun dwibahasa, kamus manual maupun kamus online, baik kamus umum maupun kamus khusus. Persiapan berbagai macam kamus ini amat penting, menurut penerjemah, karena dalam menerjemahkan seringkali terdapat kata-kata maupun kalimat yang dicuplik dari kata-kata atau kalimat dari bahasa lain. Misalnya, beberapa kata khusus di dalam novel HT yang sebenarnya diambil dari bahasa Latin (kata nudibrance, dan lain-lain), dan kata-kata tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran dan tidak boleh ada makna dalam kata-kata tersebut yang tidak diterjemahkan. Beberapa kamus yang sering digunakan penerjemah adalah: Longman Dictionary, Oxford Dictionary, Webster Dictionary, Longman CD-ROM Dictionary, Encarta CD-ROM Dictionary, CDcommit to user
228 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ROM Collins COBUILD Dictionary, National Geography Dictionary, Thesaurus, dan Ensiklopedia. Di dalam menerjemahkan novel The Highest Tide ini penerjemah paling sering menggunakan kamus Longman CD-ROM Dictionary dan National Geography Dictionary karena kedua kamus tersebut sangat mewakili kata-kata ataupun istilah-istilah khusus yang ada di dalam novel tersebut. Adapun yang dimaksud dengan persiapan khusus yang dilakukan penerjemah adalah mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan isi teks novel yang akan diterjemahkan. Oleh karena itu, persiapan khusus yang dilakukan penerjemah adalah secara penuh memahami istilah-istilah yang termuat dalam indeks. Persiapan khusus lainnya adalah membaca berbagai novel baik novel terkini maupun terdahulu dan berbagai artikel yang berhubungan dengan hal-hal khas ataupun istilah-istilah khusus yang terdapat di dalam novel HT dan sekaligus untuk menambah wawasan dan membuka kembali schemata maupun translation memory. Hal lain yang tak kalah pentingnya di dalam persiapan khusus ini adalah memperhatikan masalah gaya. Menurut penerjemah, menerjemahkan novel tidak hanya sekadar memindahkan kata-kata atau kalimat-kalimat saja tetapi juga diperlukan hiasan-hiasan atau aksesori-aksesori dan nuansa kata-kata indah. Masalah gaya yang dimaksud oleh penerjemah adalah bagaimana mempertimbangkan masalah panjang-pendek kalimat/paragraf, lebar atau luas halaman, jenis font dan jarak baris, ukuran kertas, jenis kolom, dan yang paling penting adalah menjangkau alam pikiran pembaca, memperhatikan situasi atau commit to user
229 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konteks kejadian cerita yang ada di dalam novel ke dalam konteks atau situasi para pembaca. Dalam menerjemahkan novel HT, yang dilakukan penerjemah adalah berusaha menerjemahkan dengan setepat-tepatnya. Menerjemahkan dengan setepat-tepatnya ini bukan berarti menerjemahkan kata per kata atau menerjemahkan secara harfiah, namun lebih pada penyediaan pilihan-pilihan kata sebanyak mungkin yang telah dikembangkan dari indeks kata-kata dalam menerjemahkan novel HT yang kemudian diselaraskan dengan situasi pembaca. Misalnya, menerjemahkan kata walk. Kata tersebut tidak langsung diterjemahkan secara harfiah berjalan. Tapi perlu dilihat konteksnya, apakah istilah walk yang dimaksud adalah berjalan naik tangga, berjalan terseok-seok, berjalan gontai, atau berjalan yang bagaimana, karena berjalan naik tangga tentunya akan memiliki konteks yang berbeda dengan berjalan terseret-seret, ataupun berjalan dengan berat. Pilihan-pilihan kata inilah yang harus disediakan oleh penerjemah. Setelah persiapan, langkah selanjutnya yang dilakukan penerjemah di dalam menerjemahkan novel HT ini, sama halnya dengan menerjemahkan novelnovel yang lain, yaitu: menulis hasil terjemahan di komputer sambil mencari hasil penerjemahan kata-kata dan frase sebelumnya di dalam translation memory, mencari makna dari kata-kata yang sulit diterjemahkan di dalam kamus (biasanya kamus online), memahami makna kata tersebut secara mendalam berdasarkan konteksnya (karena novel HT bercerita tentang kehidupan laut, maka perlu melihat pada National Geography Dictionary), mengakses dan mendalami commit to user
230 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sumber-sumber rujukan lain di internet, dan menulis ulang kata atau kalimat yang telah diterjemahkan ke dalam ekspresi yang lain. Di dalam menulis hasil terjemahan tersebut, hal yang hampir bersamaan dilakukan adalah mempertimbangkan jenis kata yang sesuai dengan keadaan, selera, dan tujuan pembaca. Maksudnya adalah untuk kalangan penikmat terjemahan yang bagaimanakah yang akan menjadi pembaca terjemahan tersebut. Apakah novel tersebut ditujukan untuk kalangan akademik, anak-anak, atau remaja. Menerjemahkan yang berdasarkan fungsinya inilah yang menurut penerjemah akan menjadi terjemahan yang baik, yaitu terjemahan yang setepattepatnya sesuai dengan selera pembaca Tsa ( di dalam pengungkapan makna Tsu ke dalam Tsa penerjemah berusaha mengupayakan penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan yang lebih disukai oleh pembaca Tsa). Menurut penerjemah, menyelami pembaca ini sangatlah penting, apalagi di dalam menerjemahkan sebuah novel. Misalnya, ketika membaca novel HT, penerjemah membayangkan untuk mengajak pembaca menyelami konteks cerita-cerita di laut, jenis-jenis makhluk hidup laut, dan sebagainya. Setelah melalui pertimbangan yang cukup matang, yang dilakukan penerjemah berikutnya adalah memutuskan apakah menggunakan kata pinjaman (loan words), kata-kata yang dinaturalisasikan, ataukah menggunakan sinonim di dalam Tsa, dan apabila memungkinkan juga menciptakan kata-kata terjemahan baru yang memang tidak ada sebelumnya. Di dalam memutuskan penggunaan kata-kata ini tidak jarang penerjemah harus berkonsultasi dengan para penerjemah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
231 digilib.uns.ac.id
lain, dosen bahasa Inggris, dan terkadang dengan dosen-dosen lain yang menguasai bidang atau kata-kata teknis khusus yang ada di dalam novel. Berikutnya adalah menuangkan kata-kata yang telah diputuskan ke dalam draft terjemahan. Penerjemah membuat dratf terjemahan dahulu dan menandai bagian-bagian yang sulit diterjemahkan untuk ditindaklanjuti nantinya. Biasanya waktu yang dibutuhkan untuk menerjemahkan kata-kata yang sulit tersebut sekitar satu minggu, sementara kata-kata yang mudah (dalam arti kata-kata harfiah dan umum) mengalir begitu saja karena penerjemah sudah sering menerjemahkan kata-kata yang sejenis. Langkah terakhir yang dilakukan penerjemah di dalam menerjemahkan novel HT adalah merevisi novel terjemahannya. Penekanan revisi biasanya adalah pada kualitas kebahasaan teks terjemahan dan kealamian terjemahan yang dihasilkan. Setelah beberapa perbaikan dilakukan, berikutnya adalah melakukan revisi akhir dan membiarkan hasil terjemahan tersebut selama satu atau dua minggu. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil akhir terjemahan yang benarbenar alami.
4.1.2.3 Strategi Penerjemah dalam Menerjemahkan Bagian-bagian yang Khas dalam Novel The Highest Tide Menerjemahkan hal-hal yang khas dalam novel The Highest Tide ini bagi penerjemah membutuhkan waktu dan pemikiran tersendiri. Dalam arti bahwa penerjemah harus memikirkan dalam-dalam dan matang-matang pilihan padanan yang akan diberikan, hal ini karena hal-hal yang khas ini memiliki karakter to userhal-hal yang khas tersebut tersendiri di dalam novel. Menurutcommit penerjemah,
perpustakaan.uns.ac.id
232 digilib.uns.ac.id
meliputi penerjemahan istilah-istilah yang khusus di dalam Tsu yang tidak dijumpai atau tidak ada padanannya di dalam Tsa. Misalnya, nama-nama hewan yang hidup di laut di pesisir Puged Sound yang memang hanya berhabitat di dekat lautan Pasifik, misalnya, ikan nudibranch, The Jesus star, dan hewan-hewan laut tersebut tidak dijumpai di perairan Indonesia. Hal-hal khas lainnya menurut penerjemah adalah istilah-istilah budaya di dalam novel sumber, misalnya frasa Malboro Man, zombie smile , dan juga gaya bahasa. Di dalam mempertimbangkan secara matang padanan yang akan diberikan, menurut penerjemah, yang sangat diperlukan adalah kemampuan untuk mengungkapkan konteks yang melingkupi kata atau frase yang akan diterjemahkan, atau yang sering disebut dengan background knowledge. Misalnya, di dalam menerjemahkan frasa Malboro Man, penerjemah perlu melihat secara menyeluruh makna dari frasa tersebut apa, dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan misalnya, apakah Malboro itu? Malboro Man itu memiliki karakter bagaimana? adanya di mana? dan sebagainya. Setelah mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian baru penerjemah memberikan padanan yang sesuai. Pada saat menemukan kata-kata yang sulit biasanya yang paling sering dilakukan penerjemah adalah membuat catatan kaki atau menetralisir atau menaturalisasi kata tersebut. Catatan kaki sifatnya adalah sebagai suatu komentar atau catatan-catatan kecil yang diperlukan untuk memberikan tambahan informasi. Misalnya, pada saat menerjemahkan kata bell, penerjemah membuat catatan kaki mengenai istilah-istilah dalam bahasa sasaran yang memiliki beberapa makna. commit to user
233 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kata bell bisa dipadankan dengan lonceng ataupun genta. Catatan kaki yang diberikan adalah penambahan informasi bahwa yang disebut dengan lonceng adalah bel yang bentuk dan ukurannya kecil, dan cukup dibunyikan saja, sementara genta adalah bel yang bentuk dan ukurannya besar , biasanya adanya di kuil, dan membunyikannya dengan cara diayun kemudian dipukulkan. Menetralisir atau menaturalisasi kata atau frase sering dilakukan penerjemah terutama bila berhubungan dengan nama-nama ekologi maupun budaya di dalam Tsu. Misalnya, frasa his baby-blue El Camino di dalam novel The Highest Tide dinaturalisasikan menjadi mobil El Camino birunya. Namun apabila sudah benar-benar tidak ada ide lagi, maka yang dilakukan penerjemah adalah menyelami dan mempraktekkan sendiri kata-kata tersebut, karena di sini (menurut penerjemah) menerjemahkan tidak lagi masalah kamus, grammar, maksud pengarang, namun sudah berada di dalam konteks yang harus benar-benar dilakukan, dan kemudian memutuskan untuk menghilangkan kata tersebut atau menciptakan sendiri kata yang sepadan.
4.1.3 Pemahaman Pembaca Pemahaman pembaca dideskripsikan berdasarkan pada masukan dan pendapat para pembaca mengenai terjemahan yang dihasilkan. Dengan demikian pendapat dan masukan mereka akan sangat membantu untuk mendapatkan informasi sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun masukan tersebut berasal dari dua sumber data, yaitu pakar penerjemahan dan para mahasiswa. commit to user
234 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pakar penerjemahan yang dijadikan sumber data memiliki pengalaman dan perjalanan profesi yang cukup panjang. Pakar penerjemahan ini berkarir sebagai seorang dosen di Politeknik Negeri Malang dengan bahasa asli bahasa Indonesia dan bahasa asing yang dipergunakan adalah bahasa Inggris. Pakar penerjemahan ini memulai karirnya pada tahun 1991 dan sampai sekarang sebagai pengajar Business English di Jurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Malang. Tahun 2009 sampai sekarang sebagai pengajar pada program pascasarjana Unisma Malang. Profesi sebagai penerjemah dimulai pada tahun 2000 dan sampai sekarang sebagai penerjemah paruh waktu pada beberapa agen internasional, dan tahun 2004 sampai sekarang sebagai dosen tamu Computer Assisted Tools at the Translation Studies Program Pascasarjana Universitas Gunadarma, Jakarta. Pakar penerjemahan merupakan alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris IKIP Malang tahun 1991, kemudian melanjutkan pada Diploma in Linguistics dengan proyek akhir novel translation pada tahun 1997 di RELC, Singapura. Pada tahun 1999, pakar penerjemahan mendapatkan gelar magister pada program pascasarjana IKIP Malang dengan tesis novel translation strategies, dan pada tahun 2009 pakar penerjemahan ini mendapatkan gelar doktor dengan disertasi website translation from English into Indonesian dari Universitas Negeri Malang. Beberapa pelatihan penerjemahan yang pernah diikuti oleh pakar penerjemahan ini adalah: Postgraduate Research Skill pada bulan oktober 2008 sampai februari 2009 di University of Queensland, Australia; Locstudio Online Training pada tahun 2008 oleh SDL, Singapura; dan Helium Online Training pada commit to user
235 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tahun 2008 oleh SDL, Singapura. Pakar penerjemahan juga merupakan anggota Himpunan Penerjemah Indonesia dan ketua Himpunan Penerjemah Malang. Di dalam perjalanan profesinya sebagai penerjemah, pakar penerjemahan aktif dalam berbagai seminar sebagai paper presenter dalam bidang penerjemahan, antara lain: The Teaching of Translation and Entrepreneurship Building pada tahun 2009 di Unisma Malang; CAT Tools oleh HPI, Jakarta pada tahun 2008; Globalization and Website Localization di Politeknik Negeri Malang pada tahun 2007; Translating Books oleh FKIP Universitas Lambung Mangkurat pada tahun 2006; dan Subtitling within the Constraint of Media and Culture, Seminar Internasional tentang Penerjemahan, oleh Universitas Sebelas Maret, Surakarta pada tahun 2005. Beberapa karya terjemahan yang telah dipublikasikan adalah: English Business Correspondent, A Practical Guide Business and Secretary (2006); Abunawas and His Impossible Missions; Abunawas and King Aaron; Abunawas and Minister Abeydron, Kanisius Publisher, Yogyakarta (2000); Nasreddin, A Man Who Never Gives Up, Kanisius Publisher, Yogyakarta (1998); Nasreddin, A Man with Thousands of Ideas; Nasreddin, The Foolish Man; Nasreddin, The Clever Man; Nasreddin, The Wise Man, Kanisius Publisher, Yogyakarta (1995), dan juga beberapa online article, antara lain: The Implication of Culture on Translation Theory and Practice (http://www.translationdirectory.com/article634.htm) dan Methods in Translating Poetry (http://www.translationdirectory.com/article638.htm). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
236 digilib.uns.ac.id
Menurut pakar penerjemahan, di dalam menerjemahkan karya susastra, maka penerjemah tidak bisa hanya menerjemahkan maknanya saja, namun ada hal lain yang perlu dipertimbangkan dengan matang, yaitu mengenai kemana arah pesan di dalam novel sumber yang akan disampaikan ke pembaca, dan untuk tujuan apa terjemahan tersebut disampaikan, dalam arti bahwa menarik dan tidaknya novel yang diterjemahkan akan sangat bergantung pada cara penerjemah menyampaikan pesan yang ada di dalam novel tersebut kepada para pembacanya. Setelah membaca novel HT secara keseluruhan, menurut pakar penerjemahan, secara umum penerjemahan novel HT sangat baik, hal tersebut karena teksnya mengalir lancar seperti bukan terjemahan, dan hal lain yang membuat menarik adalah bagaimana penerjemah novel HT mengurangi atau menambahkan makna di Tsa untuk membuat Tsa lebih hidup, sebagaimana dicontohkan dalam teks berikut: 008.HT.Chap1.Pg6/PL.Bb1.Hal15
Tsu: I stopped and waited with them, to actually see the moment when the tide started returning with its invisible buffet of plankton for the clams, oysters, mussels, and other filter feeders. It was right then, ankle deep in the Sound, feet numbing, eyes relaxed, that I saw the nudibranch. Tsa: Aku ikut diam menunggu, lalu kusaksikan sendiri detik-detik ketika laut kembali pasang dan membawa jutaan plankton yang lezat untuk remis, tiram, remis kepah, dan makhluk-makhluk pemakan plankton lainnya. Saat itulah, ketika sedang berdiri di kubangan lumpur Puget Sound dengan kaki mati rasa, kulihat seekor nudibranch.
Di dalam teks tersebut, penerjemah berusaha menghilangkan atau tidak menerjemahkan kata yang terdapat di dalam Tsu eyes relaxed ke dalam Tsa. Hal ini barangkali untuk membuat Tsa menjadi lebih hidup atau memenuhi unsur commit to user
237 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kewajaran di dalam teks. Hal yang sama juga terdapat di dalam contoh berikut bahwa klausa pronounced gooey-duck for some reason di dalam Tsu sengaja dihilangkan oleh penerjemah. 020.HT.Chap5.Pg28/PL.Bb5.Hal43
Tsu: We started out studying the little chimney holes in the mud through which clams siphoned and spat seawater, hunting for the telltale signs of the geoduck. Most of those huge clams-pronounced gooey-duck for some reason-lived farther out in the bay, but there were still plenty of exposed burrows if the tide fell low enough and you knew where to look. Tsa: Kami mulai dengan mengamati gundukan-gundukan kecil mirip cerobong asap di lumpur, yang digunakan tiram untuk menyedot dan menyemprotkan air laut, sambil mengamati tanda-tanda keberadaan mereka. Sebagian besar tiram raksasa itu suka menggali sarang di bagian teluk yang dalam, namun kalau air pasang tidak terlalu tinggi, dengan mudah kalian dapat melihat pintu masuk liang mereka, sehingga tidak sulit mencarinya.
Selain penghilangan makna dalam Tsa, hal menarik lainnya adalah bagaimana penerjemah menambahkan makna dalam Tsa, sebagaimana contoh berikut bahwa penerjemah menambahkan frase yang judes di dalam Tsa yang sebenarnya makna tersebut tidak tersurat di dalam Tsu: 066.HT.Chap17.Pg123/PL.Bb17.Hal169 Tsu: Overhead lights had crashed onto dozens of desks, but Mrs. Guthrie’s
portable classroom actually fell off its blocks and split in two, as if struck by a huge axe. The Ice Queen didn’t smile once during the 181 days of my fourth grade. So why was her classroom singled out? Or what about the stretch of crumbled chimneys the quake left behind on just one side of Jefferson Avenue? And why did the brand-new fake fountain at the entrance to Sunset states crack all the way through?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
238 digilib.uns.ac.id
Tsa: Ruangan-ruangan kelas lainnya tak seberapa rusak, kecuali bola-bola lampu
yang jatuh menimpa lusinan bangku, tapi ruang kelas Ibu Guthrie jatuh anjlok dari beton penyangganya dan terbelah menjadi dua seperti dihantam kapak raksasa. Ratu Es yang judes itu belum pernah sekali pun tersenyum selama 181 hari mengajar kami di kelas empat. Jadi, kenapa hanya ruang kelasnya yang dipilih oleh petaka itu? Atau, mengapa di Jalan Jefferson bangunan-bangunan yang rata dengan tanah hanya di satu sisi saja? Dan mengapa air mancur buatan di gerbang kompleks Sunset estates yang baru selesai itu harus hancur berkeping-keping?
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam terjemahan novel HT, menurut pakar penerjemahan adalah tingkat konsistensi hasil terjemahan dan tingkat keakuratan dalam menerjemahkan. Tingkat konsistensi ini sebagaimana contoh berikut: 048.HT.Chap13.Pg87/PL.Bb13.Hal121
Tsu: B.J. never asked to see records. I’d told his answering machines that I had a nudibranch for ten dollars, a sunflower star for fifteen and an unsual mottled star for five. I told him the prices were final. “The sunflower’s too big for anyone to want that thing,” he insisted. “It’s a monster.” “Fine.” I knew he was buffling. “So do you want the nudibranch or the blue star? I tried to sound disinterested. “Can’t you see I’m thinking? What’s the rush, Squirt?” “Going fishing with my father,” I lied. “He’s inside, getting ready.” B.J. snorted. “I’ll do you a favor here. I’ll take all three of them off your hands.” Tsa: B.J tak pernah peduli dengan catatan hasil tangkapanku. Kutinggalkan pesan di mesin penjawabnya bahwa aku punya nudibranch seharga sepuluh dolar, juga bintang bunga matahari dan bintang laut biru yang masing-masing kuhargai lima belas dan lima dolar. Dan sudah kutegaskan harganya tak bisa ditawar. “Bunga matahari itu kelewat besar,” katanya ketus. “Dia seperti seekor monster.” “Biar saja.” Aku tahu dia cuma menggertak. “Jadi, kau mau yang mana? Nudibranch atau bintang laut biru itu?” Aku berusaha tetap bersikap dingin. “Biar kupikir dulu. Kenapa buru-buru, Tuan Kate?” “Aku mau memancing dengan ayahku,” sahutku berbohong. “Dia lagi berkemas di dalam.” to user B.J. mendengus kesal. “Baik,commit aku mau menolongmu. Biar kubeli ketiganya.”
perpustakaan.uns.ac.id
239 digilib.uns.ac.id
050.HT.Chap13.Pg88/PL.Bb13.Hal122 Tsu: “That slug’s fading,” he interrupted, “and you now it. If it dies right away in some asshole’s tank I gotta give him his bills back. And I don’t know who the hell will want that blue star anyway. And, like I said, the sunflower’s too big for my customers so I’ll probably get stuck with that monster if the aquariums don’t need him. Twenty is plenty. That’s a shitload of bubble gum, Little Man.” Tsa: “Siput itu sudah sekarat,” potongnya, “kau sendiri tahu. Kalau nanti dia langsung mati di akuarium orang, aku yang harus membayar ganti ruginya. Lagi pula siapa yang tertarik dengan bintang laut biru seperti itu? Tadi juga sudah kubilang bunga matahari itu kelewat besar buat langgananku, jadi terpaksa aku harus merugi kalau tak ada akuarium yang mau membelinya. Dua puluh dolar itu banyak. Bisa kau pakai memborong permen karet, Tuan Kate.” Di dalam contoh data 048, kata Squirt di dalam Tsu diterjemahkan menjadi Tuan Kate, sementara frase Little Man dalam data 050 juga diterjemahkan menjadi Tuan Kate. Di sini nampak bahwa penerjemah menyamakan makna kata Squirt dan frase Little Man menjadi Tuan Kate. Sementara itu, hasil kuesioner yang telah dikumpulkan dari sampel pembaca menunjukkan bahwa dari: a. Pertanyaan mengenai apakah bahasa yang digunakan di dalam novel terjemahan Pasang Laut terasa enak dibaca, sebanyak 19 pembaca ( 61,29%) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan terasa enak dibaca, sebanyak 10 pembaca (32,26%) menyatakan bahasa yang digunakan sepertinya enak dibaca, dan sebanyak 2 pembaca (6,45%) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan tidak enak dibaca. Alasan mengapa pembaca menyatakan bahwa bahasa yang digunakan terasa enak dibaca adalah bahwa bahasa yang digunakan tidak seperti novel commit to user selalu mengejutkan dan terjemahan pada umumnya, kalimat-kalimatnya
perpustakaan.uns.ac.id
240 digilib.uns.ac.id
membuat pembaca semakin penasaran untuk membaca terus dan mengetahui akhir cerita, meskipun di dalam novel terjemahan banyak menggunakan istilahistilah asing, namun penggunaan istilah tersebut terasa enak dibaca dan tepat, dan bahasanya ringan. Namun demikian, pembaca yang menyatakan bahwa bahasa yang digunakan agak terasa enak dibaca karena bahasa yang digunakan di dalam novel terjemahan agak baku dan terdapat beberapa istilah yang masih asing. Sementara untuk alasan bahwa bahasa yang digunakan tidak enak dibaca karena terdapat beberapa paragraf yang menceritakan lebih dari satu maksud, sehingga terasa alur cerita seperti meloncat-loncat. b. Pertanyaan mengenai apakah bahasa yang digunakan di dalam novel terjemahan Pasang Laut mengalir dengan lancar, sebanyak 14 pembaca (45,16%) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan mengalir dengan lancar, sebanyak
12 pembaca (38,71%) menyatakan bahasa yang digunakan
sepertinya mengalir dengan lancar, dan sebanyak 5 pembaca (16,13%) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan tidak mengalir dengan lancar. Alasan mengapa pembaca menyatakan bahwa bahasa yang digunakan mengalir dengan lancar adalah bahwa teks di dalam novel terjemahan menggunakan kalimat-kalimat yang koheren, bahasanya jelas, dan alur cerita mudah ditangkap. Sementara itu, pembaca yang ragu-ragu memberikan alasan bahwa bahasa yang digunakan sepertinya lancar karena menggunakan kata-kata dan istilah yang asing dan sulit dipahami maksudnya namun mengalir dengan lancar, dan beberapa kata yang digunakan di dalam Tsa (dalam hal ini bahasa Indonesia) sudah umum atau sering dipakai, namun terdapat beberapa kata commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
241 digilib.uns.ac.id
yang aneh dan kaku seperti kata ‘mudah-mudah’, yang seharusnya cukup ditulis ‘mudah’ saja. Sementara itu, untuk alasan bahwa bahasanya tidak mengalir dengan lancar karena masih banyak penulisan kata-kata yang tidak sesuai dengan konteks yang melatarinya. c. Pertanyaan mengenai apakah teks di dalam novel terjemahan Pasang Laut sangat jelas, sebanyak 14 pembaca (45,16%) menyatakan bahwa teks di dalam novel terjemahan sangat jelas, sebanyak 12 pembaca (38,71%) menyatakan teks di dalam novel terjemahan sepertinya sangat jelas, dan sebanyak 5 pembaca (16,13%) menyatakan bahwa teks di dalam novel terjemahan tidak jelas. Alasan mengapa pembaca menyatakan bahwa teks di dalam novel terjemahan sangat jelas adalah karena teksnya mudah dibaca dan dicetak jelas, bahasanya ringan, segar, dan lucu, dan penulisan antar paragraf terjalin dengan baik. Pembaca yang agak ragu-ragu untuk mengungkapkan kejelasan teks di dalam novel terjemahan beralasan bahwa terdapatnya beberapa istilah-istilah asing di dalam teks membutuhkan pemahaman yang lebih dan terkadang menimbulkan interpretasi lain, namun tetap menarik karena diungkapkan dengan bahasa yang sederhana. Sementara itu, pembaca yang menyatakan bahwa teks di dalam novel terjemahan tidak jelas lebih karena banyaknya istilah atau kata-kata asing yang susah untuk dimengerti. d. Pertanyaan mengenai apakah kata-kata digunakan di dalam novel terjemahan sesuai untuk menyampaikan informasi di dalam novel, sebanyak 17 pembaca (54,84%) menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan sudah sesuai dalam commit to user
242 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyampaikan informasi di dalam novel, sebanyak 12 pembaca (38,71%) menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan sepertinya sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan, dan sebanyak 2 pembaca (6,49%) menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan tidak sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan. Alasan mengapa pembaca menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan sudah sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel adalah karena hasil terjemahan tersebut dapat dengan jelas disampaikan kepada pembaca, kata-kata yang digunakan saling terkait dan mewakili isi cerita, dan kata-kata atau istilah asing yang digunakan sering diberi informasi tambahan untuk memperjelas informasi yang disampaikan. Sementara itu, pembaca yang menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan sepertinya sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan beralasan bahwa terdapatnya beberapa istilah-istilah khusus dalam Tsu yang diterjemahkan ke dalam Tsa dapat menimbulkan masalah mengenai keakuratan penyampaian informasi dan kemungkinan terjadinya salah pemaknaan oleh pembaca, namun demikian isi cerita dapat dengan mudah untuk dipahami. Pembaca yang menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan tidak sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan berasalan bahwa pemilihan kata kurang efisien dan tidak tepatnya informasi tambahan yang diberikan untuk memperjelas istilah-istilah asing yang tidak diterjemahkan. Hasil kuesioner secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 3. commit to user
243 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
244 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
Di
dalam
penerjemahan
tersebut
penerjemah
menggunakan
beranekaragam prosedur penerjemahan yaitu: a) pinjaman kata, b) padanan budaya, c) penerjemahan literal, d) penghilangan, e) dan parafrase.
BUAT TABLE PERSENTASINYA
Contoh-contoh dari prosedur tersebut terdapat di dalam penerjemahan sebagai berikut:
3. Penerjemahan makna dan gaya sama pentingnya. Misalnya……..
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
243 digilib.uns.ac.id
BAB V POKOK-POKOK TEMUAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Pokok-pokok Temuan Di dalam subbab ini dibahas mengenai pokok-pokok temuan yang menjawab rumusan masalah yang telah ditentukan. Pokok-pokok temuan tersebut berkaitan dengan kesepadanan makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya, latar belakang penerjemah dan keterkaitannya terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan, dan pemahaman pembaca dan keterkaitannya terhadap kualitas terjemahan novel The Highest Tide (HT) ke dalam novel terjemahan Pasang Laut (PL). Adapun pokok-pokok temuan tersebut adalah sebagai berikut: a) Jenis-jenis makna di dalam penerjemahan ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel HT adalah makna leksikal (9,57%), makna situasional atau kontekstual (4,35%), makna tekstual (1,74%), makna sosiokultural (70,43%), dan makna implisit (13,91%). b) Jenis-jenis gaya yang direalisasikan dalam penerjemahan ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel HT adalah penggunaan pilihan kata di dalam Tsa (64,35%), penggunaan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sepadan dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu (20%), penggunaan gaya bahasa yang sepadan di commit to user dalam bahasa sasaran untuk menggantikan gaya bahasa di dalam bahasa
244 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sumber (5,22%), penggunaan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada di dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya (8,70%), dan penggunaan tanda baca di dalam Tsa yang dapat diubah setelah membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu (1,74%). Di dalam klasifikasi tersebut satu data tidak hanya mengandung satu pemakaian gaya saja, namun juga dapat direalisasikan ke dalam berbagai bentuk gaya. c) Kualitas terjemahan dilihat pada rentang nilai pada kategori kriteria penilaian hasil terjemahan, maka penerjemahan bagian-bagian yang khas di dalam novel HT ke dalam novel PL ini termasuk ke dalam rentang nilai 61-75, yaitu masuk dalam kategori terjemahan baik dan hasil penilaian tersebut berada sedikit di bawah kategori terjemahan sangat baik. Namun demikian, karena tidak ada hasil terjemahan yang sempurna, maka penilaian pun bersifat relatif dan berdasarkan kriteria kurang lebih karena penilaian terhadap padanan makna dan gaya secara objektif sulit dicapai. Oleh karena itu, nilai yang diperoleh bersifat tidak absolut. d) Penerjemah novel HT memiliki latar belakang akademik dalam bidang linguistik penerjemahan dan linguistik terapan, mengampu mata kuliah sastra dan penerjemahan, dan membimbing skripsi dalam bidang sastra dan penerjemahan. Penerjemah memiliki pengalaman profesi sebagai penerjemah profesional selama lebih dari 15 tahun, dan telah menerjemahkan beragam karya terjemahan novel dan bunga rampai baik dalam bentuk buku maupun artikel. Dengan melihat pada latar belakang akademik, pengalaman profesi, dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
245 digilib.uns.ac.id
beragam karya terjemahan yang telah dihasilkan, penerjemah dapat dikategorikan dalam penerjemah ahli dan profesional. e) Proses penerjemahan yang dilakukan penerjemah di dalam menerjemahkan novel HT pada dasarnya menggunakan tiga langkah utama, yaitu: persiapan, menerjemahkan, dan mengedit terjemahan, dengan beberapa keunikan tersendiri, yaitu (1) penerjemahan novel HT tidak hanya menggunakan kompetensi profesional dan teknis saja, namun juga kompetensi instrumental dilakukan oleh penerjemah mulai pada tahap awal sampai pada tahap akhir, (2) masalah gaya sangat dipertimbangkan oleh penerjemah mulai pada tahap awal sampai pada tahap akhir proses penerjemahan. f) Strategi yang dilakukan penerjemah di dalam menerjemahkan bagian-bagian khusus yang ada di dalam novel HT, yaitu dengan cara mengungkapkan konteks yang melingkupi kata atau frase yang akan diterjemahkan, atau sering disebut dengan background knowledge, membuat catatan kaki, menetralisir atau menaturalisasi kata yang akan diterjemahkan, dan menciptakan sendiri kata atau frase yang sepadan. g) Menurut pakar penerjemahan, secara umum penerjemahan novel HT sangat baik, hal tersebut karena teksnya mengalir lancar seperti bukan terjemahan, dan hal lain yang membuat menarik adalah bagaimana penerjemah novel HT mengurangi atau menambahkan makna di Tsa untuk membuat Tsa lebih hidup. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam terjemahan novel HT, menurut pakar penerjemahan adalah tingkat konsistensi hasil terjemahan dan tingkat keakuratan dalam menerjemahkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
246 digilib.uns.ac.id
h) Hasil kuesioner dari sampel pembaca mengenai penerjemahan novel HT ke dalam novel PL menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan terasa enak dibaca, bahasa mengalir dengan lancar, teks di dalam novel terjemahan sangat jelas, dan kata-kata yang digunakan sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan.
5.2 Pembahasan Di dalam subbab ini dibahas mengenai interpretasi pokok-pokok temuan dan hubungannya dengan kajian teori dan jawaban-jawaban terhadap rumusan masalah yang telah ditentukan. Interpretasi pokok-pokok temuan berkaitan dengan kesepadanan makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya, latar belakang penerjemah dan keterkaitannya terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan, dan pemahaman pembaca dan keterkaitannya terhadap kualitas terjemahan novel The Highest Tide (HT) ke dalam novel terjemahan Pasang Laut (PL).
5.2.1 Kesepadanan Makna dan Gaya Faktor objektif di dalam penelitian ini adalah novel sumber The Highest Tide dan novel terjemahan Pasang Laut. Setelah data terkumpul kemudian di analisis berdasarkan konteksnya. Dalam terjemahan bagian-bagian yang substansi di dalam novel HT tersebut ditemukan data tentang jenis-jenis makna dan gaya yang direalisasikan dalam beberapa jenis makna dan beberapa paramater gaya. commit to user
247 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keseluruhan data mengenai jenis-jenis makna dan gaya di dalam novel The Highest Tide yang mengandung ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial dan gaya bahasa terangkum di dalam tabel sebagai berikut: Tabel 5.1: Rekapitulasi Makna dan Gaya di dalam Novel The Highest Tide yang Mengandung Ungkapan-ungkapan Budaya Materi, Istilah Ekologi, Budaya Sosial dan Gaya Bahasa (N=115) Bagian Substansi Novel
HT Makna dan Gaya
Makna Leksikal Situasional Tekstual Sosiokultural Implisit Gaya Peng. Pilihan Kata Peng. Ekspresi Idiomatik Peng. Gaya Bahasa Peng. Jenis Bahasa Sesuai Jenis Teks Pengg. Tanda Baca
Budaya Materi
Istilah Ekologi
Budaya Sosial
Gaya Bahasa
F
F
F
F
F
%
3 0 0 7 0
3 2 1 7 0 Jumlah
5 1 1 45 1
0 2 0 22 15
11 5 2 81 16 115
9,57 4,35 1,74 70,43 13,91 100
10
9
40
15
74
64,35
0
0
7
17
23
20
0
0
0
6
6
5,22
0
4
6
0
10
8,70
0
0
0
2
2
1,74
115
100
Jumlah
commit to user
Total
248 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan tabel di atas, jenis-jenis makna yang ditemukan di dalam penerjemahan novel HT adalah makna leksikal, makna situasional, makna tekstual, makna sosiokultural, dan makna implisit. Data mengenai jenis-jenis makna tersebut dirangkum dalam bagan sebagai berikut:
leksikal 9,57%
Situasional 4,35%
implisit 13,91% Tekstual 1,74%
Sosiokultural 70,43%
Bagan 5.1 Jenis-jenis Makna dalam Terjemahan Bagianbagian Substansi Novel The Highest Tide
Berdasarkan bagan di atas, penerjemahan bagian-bagian yang khas novel HT ke dalam novel PL direalisasikan dalam beberapa jenis makna. Jenis-jenis makna tersebut adalah makna leksikal, makna situasional atau kontekstual, makna tekstual, makna sosiokultural, dan makna implisit. Setelah data diklasifikasi dari 115 data, sebanyak 11 data atau 9,57% merupakan data yang mengandung makna leksikal, sebanyak 5 data atau 4,35% bermakna situasional atau kontekstual, sebanyak 2 data atau 1,74% bermakna tekstual, commit to usersebanyak 81 data atau 70,43%
249 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengandung makna sosiokultural, dan sebanyak 16 data atau 13,91% bermakna implisit. Sementara itu, parameter gaya adalah penggunaan berbagai pilihan kata di dalam Tsa, penggunaan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sepadan dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu, penggunaan gaya bahasa yang sepadan di dalam bahasa sasaran untuk menggantikan gaya bahasa di dalam bahasa sumber, penggunaan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada di dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya, dan penggunaan tanda baca di dalam Tsa yang dapat diubah setelah membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu. Data mengenai parameter gaya tersebut dirangkum dalam bagan sebagai berikut:
Struktur Kata 8,70% Tanda Baca 1,74% Ekspresi Idiomatik 20% Pilihan Kata 64,35%
Gaya Bahasa 5,22%
Bagan 5.2 Parameter Gaya dalam Terjemahan Bagianbagian Substansi Novel The Highest Tide
commit to user
250 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan bagan di atas, penerjemahan bagian-bagian yang khas di dalam novel HT ke dalam novel PL direalisasikan dalam beberapa jenis gaya. Setelah data diklasifikasi dari 115 data, sebanyak 74 data atau 64,35% merupakan gaya yang menggunakan berbagai pilihan kata di dalam Tsa, sebanyak 23 data atau 20% menggunakan ekspresi idiomatik dalam Tsa yang sama dengan ekspresi idiomatik yang digunakan di dalam Tsu, sebanyak 6 data atau 5,22% menggunakan gaya bahasa yang sama di dalam bahasa sasaran untuk menggantikan gaya bahasa di dalam bahasa sumber, sebanyak 10 data atau 8,70% menggunakan kata-kata yang sesuai, struktur kata dan berbagai ekspresi yang ada di dalam Tsa sesuai dengan jenis teksnya, dan sebanyak 2 data atau 1,74% menggunakan tanda baca di dalam Tsa yang dapat diubah setelah membandingkannya dengan tanda baca di dalam Tsu. Dengan melihat pada hasil klasifikasi di atas nampak bahwa penggunaan makna sosiokultural dan makna leksikal dengan gaya yang menggunakan berbagai pilihan kata di dalam Tsa sering muncul di dalam terjemahan bagianbagian yang khas novel HT. Namun demikian perlu dicatat bahwa persentase tersebut tidaklah mengindikasikan dominasi atau superioritas dari penggunaan makna dan gaya di atas. Persentase ini hanyalah menunjukkan tingkat keseringan kemunculan makna dan gaya di dalam terjemahan bagian-bagian yang khas di dalam novel HT ini, dan tingkat keseringan kemunculan tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh konsep kata atau frase Tsu, fungsi yang dimaksudkan dari Tsa, dan pilihan individu dari penerjemah novel HT itu sendiri. commit to user
251 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lebih lanjut, mengenai kualitas kesepadanan makna dan gaya ungkapanungkapan budaya materi, istilah ekologi, gerak isyarat dan kebiasaan, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel The Highest Tide dan terjemahannya, diklasifikasikan berdasarkan pada: 1) terjemahan hampir sempurna (THS), 2) terjemahan sangat bagus (TSB), 3) terjemahan baik (TB), 4) terjemahan cukup (TC), dan 5) terjemahan kurang (TK). Kualitas terjemahan novel HT ini dapat dilihat di dalam tabel berikut ini: Tabel 5.2 Hasil Penilaian Terjemahan Kriteria Terjemahan Terjemahan Hampir Sempurna (THS) Terjemahan Sangat Baik (TSB) Terjemahan Baik (TB) Terjemahan Cukup (TC) Terjemahan Kurang (TK) Total
Penilai I Jumlah % 59 51,30
Penilai II Jumlah % 34 29,57
Peneliti Jumlah % 52 45,22
31
26,96
37
32,17
38
33,04
15
13,04
29
25,22
16
13,91
9
7,83
11
9,57
6
5,22
1
0,87
4
3,48
3
2,61
115
100
115
100
115
100
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa terjemahan bagian-bagian yang khas di dalam novel HT dikatakan terjemahan hampir sempurna (THS) apabila makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; penyampaian wajar dan hampir tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas, tidak perlu upaya keras untuk memahaminya; secara keseluruhan tidak ada kesalahan atau penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Dalam penelitian ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
252 digilib.uns.ac.id
dari 115 data yang dianalisis, sebanyak 52 data atau 45,22% merupakan terjemahan hampir sempurna. Kategori terjemahan hampir sempurna ini meliputi salah satu atau lebih makna dan gaya yang diterjemahkan dengan hampir sempurna ke dalam Tsa. Berdasarkan tabel di atas, dari 115 data yang dianalisis oleh penilai, sebanyak 59 data atau 51,30% (penilai 1) merupakan terjemahan hampir sempurna, dan sebanyak 34 data atau 29,57% (penilai 2) merupakan terjemahan hampir sempurna. Berikutnya, terjemahan bagian-bagian yang khas di dalam novel HT dinyatakan sebagai terjemahan sangat bagus (TSB) apabila makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; tidak ada terjemahan harfiah yang kaku dan tidak terasa seperti terjemahan; teks sangat jelas dan dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Di dalam penelitian ini dari 115 data yang dianalisis, sebanyak 38 data atau 33,04% merupakan terjemahan sangat bagus. Kategori terjemahan sangat bagus ini meliputi salah satu atau lebih makna dan gaya yang diterjemahkan dengan sangat bagus ke dalam Tsa. Berdasarkan tabel di atas, dari 115 data yang dianalisis oleh penilai, sebanyak 31 data atau 26,96% (penilai 1) merupakan terjemahan sangat bagus, dan sebanyak 37 data atau 32,17% (penilai 2) merupakan terjemahan sangat bagus. Terjemahan dikategorikan sebagai terjemahan baik (TB) apabila makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; ada commit to user
253 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjemahan harfiah yang kaku namun tidak terlalu terasa seperti terjemahan; teks jelas tetapi dengan sedikit upaya untuk memahaminya; ada satu-dua kesalahan/penyimpangan gaya: pilihan kata, ekspresi idiomatik, gaya bahasa, jenis kata/struktur kata tertentu, dan tanda baca. Di dalam penelitian ini dari 115 data yang dianalisis, sebanyak 16 data atau 13,91% merupakan terjemahan baik. Kategori terjemahan baik ini meliputi salah satu atau lebih makna dan gaya yang diterjemahkan dengan baik ke dalam Tsa. Berdasarkan tabel di atas, dari 115 data yang dianalisis oleh penilai, sebanyak 15 data atau 13,04% (penilai 1) merupakan terjemahan baik, dan sebanyak 29 data atau 25,22% (penilai 2) merupakan terjemahan baik. Terjemahan dikategorikan sebagai terjemahan cukup (TC) apabila makna dalam bahasa sumber diterjemahkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran; terasa sebagai terjemahan; teks lumayan jelas namun dengan upaya yang agak keras untuk memahaminya; ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, kesalahan idiom dan/tata bahasa, penggunaan istilah yang tidak baku/umum, gaya bahasa, dan tanda baca. Di dalam penelitian ini dari 115 data yang dianalisis, sebanyak 6 data atau 5,22% merupakan terjemahan cukup. Kategori terjemahan cukup ini meliputi salah satu atau lebih makna dan gaya yang diterjemahkan dengan kualitas cukup ke dalam Tsa. Berdasarkan tabel di atas, dari 115 data yang dianalisis oleh penilai, sebanyak 9 data atau 7,83% (penilai 1) merupakan terjemahan cukup, dan sebanyak 11 data atau 9,57% (penilai 2) merupakan terjemahan cukup. commit to user
254 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan kurang (TK) adalah apabila makna dalam bahasa sumber tidak diterjemahkan sama sekali ke dalam bahasa sasaran; sangat terasa sebagai terjemahan; teks sangat kabur dan tidak jelas, dengan upaya yang susah payah untuk memahaminya; terdapat terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku, dan kekeliruan penggunaan istilah, idiom, gaya bahasa, dan tanda baca. Di dalam penelitian ini dari 115 data yang dianalisis, sebanyak 3 data atau 2,61% merupakan terjemahan kurang. Kategori terjemahan kurang ini meliputi salah satu atau lebih makna dan gaya yang diterjemahkan dengan kurang ke dalam Tsa. Berdasarkan tabel di atas, dari 115 data yang dianalisis oleh penilai, sebanyak 1 data atau 0,87% (penilai 1) merupakan terjemahan kurang, dan sebanyak 4 data atau 3,48% (penilai 2) merupakan terjemahan hampir sempurna. Secara keseluruhan, di dalam tabel di atas apabila dikuantifikasikan hasil analisis tersebut terhadap sampel dengan memberikan angka berdasarkan kriteria terjemahan di dalam penelitian bahwa terjemahan hampir sempurna 86-90, terjemahan sangat baik 76-85, terjemahan baik 61-75, terjemahan cukup 46-60, dan terjemahan kurang 20-45, maka dengan mengambil rentang nilai paling rendah pada masing-masing kategori, diperoleh hasil sebagai berikut: Untuk penilai 1 Kategori Terjemahan Hampir Sempurna (THS) Terjemahan Sangat Baik (TSB) Terjemahan Baik (TB) Terjemahan Cukup (TC) Terjemahan Kurang (TK) Jumlah
Rentang Nilai Terendah (S) 86 76 61 46 20
commit to user
Frekuensi data (F) 59 31 15 9 1 115
FxS 5074 2356 915 414 20 8779
255 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Apabila dicari rerata nilai terjemahan tersebut adalah: Rerata
=
8779 115
=
76,34,
sedangkan untuk penilai 2 adalah Kategori Terjemahan Hampir Sempurna (THS) Terjemahan Sangat Baik (TSB) Terjemahan Baik (TB) Terjemahan Cukup (TC) Terjemahan Kurang (TK) Jumlah
Rentang Nilai Terendah (S) 86 76 61 46 20
Frekuensi data (F) 34 37 29 11 4 115
FxS
Frekuensi data (F) 52 38 16 6 3 115
FxS
2924 2812 1769 506 80 8091
Dengan nilai rata-rata adalah: Rerata
=
8091 115
=
70,36,
dan untuk peneliti sebagai penilai adalah sebagai berikut: Kategori Terjemahan Hampir Sempurna (THS) Terjemahan Sangat Baik (TSB) Terjemahan Baik (TB) Terjemahan Cukup (TC) Terjemahan Kurang (TK) Jumlah
Rentang Nilai Terendah (S) 86 76 61 46 20
4472 2888 976 276 60 8672
Dengan nilai rata-rata adalah: Rerata
=
8672 115
=
75,41.
Dari ketiga rerata di atas, apabila dijumlahkan dan diambil rata-ratanya, maka akan menghasilkan nilai akhir yaitu 74,04. Dan apabila melihat pada rentang nilai pada kategori kriteria penilaian hasil terjemahan, maka penerjemahan bagian-bagian yang khas novel HT ke dalam novel PL ini termasuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
256 digilib.uns.ac.id
ke dalam rentang nilai 61-75, yaitu masuk dalam kategori terjemahan baik dan hasil penilaian tersebut berada sedikit di bawah kategori terjemahan sangat baik. Namun demikian, perlu dipahami bahwa tidak ada hasil terjemahan yang sempurna sehingga penilaian pun bersifat relatif dan berdasarkan kriteria kurang lebih karena penilaian terhadap padanan makna dan gaya secara objektif sulit dicapai. Oleh karena itu, nilai yang diperoleh bersifat tidak absolut.
5.2.2 Penerjemah Penerjemah dengan latar belakang akademik dan pengalaman profesi yang dimiliki, serta karya terjemahan yang telah dihasilkan, sangat menunjang sekali di dalam menerjemahkan novel HT ini. Hal ini terlihat dari latar belakang akademik penerjemah yang merupakan lulusan dari jurusan penerjemahan pada suatu perguruan tinggi di dalam negeri dan lulusan pada jurusan linguistik terapan di luar negeri. Selain itu, penerjemah juga seorang pengajar di sebuah perguruan tinggi negeri yang mengajarkan mata kuliah dalam bidang bahasa, sastra, dan penerjemahan. Dengan melihat pada latar belakang akademik tersebut, penerjemah dapat disebut atau dikategorikan dalam penerjemah ahli, yaitu penerjemah yang memiliki kompetensi khusus kebahasaan. Hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Nababan (2004:31) bahwa berdasarkan keahliannya, seorang penerjemah dapat digolongkan ke dalam penerjemah pemula, penerjemah lanjutan, penerjemah kompeten, penerjemah mahir, dan penerjemah ahli. Penerjemah ahli adalah penerjemah yang mempunyai kompetensi khusus kebahasaan, dapat mengendalikan interferensi pada saat dia memahami dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
257 digilib.uns.ac.id
menghasilkan informasi, dan memiliki kecenderungan mempertimbangkan penerjemahan pada tataran teks. Sementara itu, pengalaman menerjemahkan yang dimiliki oleh penerjemah, juga sangat mendukung di dalam menerjemahkan novel HT ini. Hal ini terlihat dalam rentang waktu menerjemahkan yang cukup lama, yaitu sekitar lima belas (15) tahun, yaitu sejak tahun 1994/1995. Di dalam rentang tersebut, penerjemah telah bekerja sebagai seorang penerjemah dan konsultan penerjemahan pada divisi fiksi, PT. Penerbit Erlangga di Jakarta, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stromsborg S-103 34, Stockholm, Sweden (http://www.idea.int), Ecole Française d’Extreme-Orient, 22 Avenue du President Wilson, 75116 Paris, France, Ufuk Publishing House, Jakarta, Indonesia, dan PT. Gramedia Pustaka Utama (lihat 4.1.2.1). Dengan melihat pada pengalaman menerjemahkan tersebut, penerjemah dapat digolongkan ke dalam penerjemah profesional dan penerjemah penuh waktu. Sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh penerjemah bahwa salah satu syarat untuk menjadi seorang penerjemah yang profesional adalah seorang penerjemah harus terus-menerus memupuk kualitas penerjemahannya dan menjadikan kegiatan penerjemahan sebagai kegiatan seumur hidup. Bukti sebagai penerjemah yang berkualitas menjadi tolok ukur dalam keberhasilan terjemahan dan pada akhirnya akan berlangsung dalam simbol yang saling menguntungkan. Pernyataan ini selaras dengan yang disampaikan oleh Nababan (2004:31) bahwa penerjemah profesional adalah penerjemah yang menghasilkan terjemahan secara profesional dan menjadikan kegiatan terjemahan sebagai suatu profesi. commit to user
258 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bukti keprofesionalan tersebut dapat dilihat dengan beberapa karya terjemahan yang telah dihasilkan. Sepanjang profesinya sebagai penerjemah, penerjemah telah menerjemahkan berbagai karya terjemahan baik dalam bentuk buku maupun artikel, baik berupa terjemahan karya sastra novel maupun karya terjemahan bunga rampai (subbab 4.1.2.1). Dengan beragamnya karya terjemahan yang telah dihasilkan dan dengan beragam kompetensi yang dilakukan dalam menerjemahkan, maka dapat dikatakan bahwa penerjemah merupakan seorang penerjemah kordinat berdasarkan cara memahami dan menghasilkan teks, yaitu penerjemah yang menghubungkan unsur-unsur leksikal salah satu bahasa dengan repertoir proses mental yang dimiliki sendiri dengan proses mental khusus pada repertoir kedua yang pada akhirnya dihubungkan dengan unsur-unsur leksikal dari bahasa lain. Lebih lanjut, proses penerjemahan yang dilakukan penerjemah, sebagaimana yang terungkap di dalam subbab 4.1.2.2, pada dasarnya menggunakan tiga langkah utama di dalam menerjemahkan, yaitu: persiapan, menerjemahkan, dan mengedit terjemahan. Proses penerjemahan tersebut dapat dirangkum di dalam suatu bagan seperti di bawah ini. Bagan ini mengilustrasikan kegiatan penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah di dalam menerjemahkan novel The Highest Tide ke dalam novel Pasang Laut, yang mencakup tahapan persiapan, tahapan menerjemahkan, dan tahapan mengedit terjemahan. Masingmasing tahapan tersebut memiliki beberapa langkah atau tindakan yang dilakukan oleh penerjemah. Bagan 5.1 berikut menunjukkan proses penerjemahan novel The Highest Tide.
commit to user
259 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mempelajari Tsu
P E R S I A P A N
Menyiapkan kamus, glosari Mempelajari teks terkait
Persiapan Khusus Mempelajari gaya
M E N E R J E M A K A N
M E N G E D I T
Persiapan umum
-
Mengecek kata/frase Mencari makna yang sulit di dalam kamus Mengakses rujukan di internet Menulis dalam ekspresi lain
-
Memahami makna berdasarkan konteks Mempertimbangkan gaya (jenis kata, selera, tujuan pembaca) Memutuskan untuk memakai loan words, naturalisasi, sinonim, catatan kaki, atau menciptakan kata baru Berkonsultasi dengan penerjemah lain dan/atau pakar
-
-
tidak
Menuangkan kata ke dalam draft terjemahan Merevisi kualitas terjemahan
ya Merevisi kealamian terjemahan SELESAI
Bagan 5. 3 Proses Penerjemahan Novel The Highest Tide commit to user
Kata-kata umum
Kata-kata khusus
260 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penjelasan dari bagan di atas adalah sebagai berikut: 5.2.2.1 Persiapan Langkah persiapan yang dilakukan di dalam proses penerjemahan novel The Highest Tide ke dalam novel Pasang Laut ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu persiapan umum dan persiapan khusus. Persiapan umum yang dilakukan adalah membaca teks HT secara keseluruhan sebelum diterjemahkan, melakukan searching atau browsing internet sebelum menerjemahkan, dan mempersiapkan kamus yang cukup layak, yaitu koleksi berbagai macam kamus baik kamus ekabahasa maupun dwibahasa, kamus manual maupun kamus online, baik kamus umum maupun kamus khusus. Adapun persiapan khusus yang dilakukan penerjemah adalah secara penuh memahami istilah-istilah yang termuat dalam indeks, membaca berbagai novel baik novel terkini maupun terdahulu dan berbagai artikel yang berhubungan dengan hal-hal khas ataupun istilah-istilah khusus yang terdapat di dalam novel HT, dan yang tak kalah pentingnya adalah memperhatikan masalah gaya, bahwa menerjemahkan novel tidak sekadar memindahkan kata-kata atau kalimat-kalimat saja tetapi juga diperlukan hiasan-hiasan atau aksesori-aksesori dan nuansa katakata indah. Masalah gaya yang dimaksud oleh penerjemah adalah bagaimana mempertimbangkan masalah panjang-pendek kalimat/paragraf, lebar atau luas halaman, jenis font dan jarak baris, ukuran kertas, jenis kolom, dan yang paling penting adalah menjangkau alam pikiran pembaca, memperhatikan situasi atau konteks kejadian cerita yang ada di dalam novel ke dalam konteks atau situasi para pembaca.
commit to user
261 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Langkah selanjutnya adalah menulis hasil terjemahan di komputer dan di saat yang bersamaan penerjemah: mengecek kata/frase, mencari makna yang sulit di dalam kamus, memahami makna berdasarkan konteks, mengakses rujukan di internet, menulis dalam ekspresi lain, mempertimbangkan gaya (jenis kata, selera, tujuan pembaca), memutuskan untuk memakai loan words, naturalisasi, sinonim, catatan kaki, atau menciptakan kata baru, berkonsultasi dengan penerjemah lain dan/atau pakar, dan menuangkan kata ke dalam draft terjemahan. Langkah terakhir adalah mengedit terjemahan. Penekanan revisi adalah pada kualitas kebahasaan teks terjemahan dan kealamian terjemahan yang dihasilkan. Setelah beberapa perbaikan dilakukan, berikutnya adalah melakukan revisi akhir dan membiarkan hasil terjemahan tersebut selama beberapa waktu untuk mendapatkan hasil akhir terjemahan yang benar-benar alami. Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa langkah-langkah menerjemahkan atau proses penerjemahan novel HT dimulai dengan tahap persiapan, tahap proses utama, dan tahap akhir. Pada tahap awal atau persiapan, penerjemah mempelajari keseluruhan Tsu di dalam novel HT untuk mendapatkan gambaran dan gagasan yang menyeluruh mengenai isi novel dan gaya bercerita yang ada di dalam novel tersebut yang akan diselaraskan dengan karakteristik Tsa. Untuk melakukan hal tersebut, penerjemah menggunakan kompetensi profesional. Di dalam langkah ini, penerjemah tidak hanya mempelajari karakter kebahasaan Tsu dan Tsa, namun juga beberapa faktor penting lain yang dipertimbangkan, diantaranya adalah waktu penyelesaian, alur cerita, gaya penyampaian, dan sebagainya. commit to user
262 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain itu, penerjemah juga melakukan persiapan teknis. Persiapan teknis ini berhubungan dengan software, internet, dan kamus. Persiapan teknis ini tidaklah berhubungan dengan komponen kebahasaan. Di dalam langkah ini, penerjemah mempersiapkan software berupa program TRADOS 2006, mengaktifkan internet, dan beberapa kamus, terutama Encarta CD-ROM Dictionary dan National Geography Dictionary yang banyak memuat daftar katakata atau istilah-istilah yang ada di dalam novel HT. Pada akhir persiapan, penerjemah memahami pengetahuan lain yang berhubungan dengan karakter khusus Tsu dan istilah-istilah kunci di dalam teks. Pada tahap ini, kompetensi instrumental diperlukan, yaitu untuk menyiapkan glosari. Persiapan glosari ini dimaksudkan untuk membuka file atau membuat yang baru dan biasanya berhubungan dengan software terjemahan (translation memory). Di dalam tahapan ini, yang dilakukan penerjemah antara lain membuka file untuk menerjemahkan, melihat kembali kalimat di dalam memori penerjemahan, melihat terminologi, mencari istilah-istilah yang sesuai, dan memeriksa kembali hasil terjemahan. Ke semua kegiatan tersebut dilakukan secara langsung di dalam software TRADOS 2006 sebagaimana di dalam gambar outline program tersebut:
commit to user
263 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 5.1 Outline Program TRADOS 2006 Tahap awal ini sesuai dengan langkah awal di dalam proses penerjemahan yang telah dinyatakan oleh Sumarno (1997:13; 2003:16) dan Nababan (2003:2425) bahwa secara umum, sebelum seorang penerjemah menganalisis teks yang akan diterjemahkan, penerjemah selalu dihadapkan pada teks bahasa sumber terlebih dahulu. Di dalam tahap analisis ini yang dapat dilakukan penerjemah adalah membaca dan memahami isi teks bahasa sumber. Kegiatan membaca teks bahasa sumber dimaksudkan untuk memahami isi teks bahasa sumber. Di dalam memahami isi teks tersebut diperlukan adanya pemahaman terhadap unsur linguistik dan ekstralinguistik yang terkandung di dalam Tsu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
264 digilib.uns.ac.id
Unsur linguistik merujuk pada unsur kebahasaan dan unsur ekstralinguistik mengacu pada unsur yang berada di luar kebahasaan. Unsur ekstralinguistik ini terkait dengan sosio-budaya teks bahasa sumber dan faktor pendukung lain yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bahasa itu.
5.2.2.2 Menerjemahkan Selanjutnya, tahap utama yang dilakukan penerjemah adalah menerjemahankan novel HT. Proses penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah ini terdiri dari beberapa tindakan dan keputusan. Tindakan dan keputusan tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan berbeda-beda. Penerjemah melakukan tindakan menerjemahkan maju-mundur (back and forth) dari kata atau kalimat yang satu ke kata atau kalimat yang lain. Beberapa tindakan dan keputusan tersebut, sebagaimana dalam subbab 4.1.2.2, adalah mengecek kata/frase, mencari makna yang sulit di dalam kamus, memahami makna berdasarkan konteks, mengakses rujukan di internet, menulis dalam ekspresi lain, mempertimbangkan gaya (jenis kata, selera, tujuan pembaca), memutuskan untuk memakai loan words, naturalisasi, sinonim, catatan kaki, atau menciptakan kata baru, berkonsultasi dengan penerjemah lain dan/atau pakar, dan menuangkan kata ke dalam draft terjemahan. Di dalam tahap ini penerjemah novel HT mencarikan padanan untuk semua kata, frase, klausa, dan/atau kalimat. Namun demikian, di dalam mencari padanan tersebut yang perlu diperhatikan oleh penerjemah novel HT adalah bahwa beberapa kata tertentu memiliki karakter atau sifat tertentu pula, beberapa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
265 digilib.uns.ac.id
kata tersebut tidak dapat diterjemahkan secara literal hanya dengan menyalin dari kamus atau glosari dua bahasa saja, dan oleh karena itu memerlukan perhatian yang khusus pula. Beberapa kata yang memiliki karakter khusus tersebut memungkinkan sekali menimbulkan masalah penerjemahan. Masalah-masalah penerjemahan hal-hal yang khas atau khusus ini, sebagaimana dinyatakan oleh Baker (1992) dapat berupa: konsep budaya tertentu, kata bahasa sumber yang secara semantik sangat kompleks, bahasa sumber dan bahasa sasaran memiliki makna yang sangat berbeda, bahasa sasaran memiliki kekurangan superordinat, bahasa sasaran memiliki kekurangan istilah-istilah khusus, perbedaan konsep secara fisik antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, perbedaan dalam pengungkapan makna, perbedaan gaya, perbedaan frekuensi dan tujuan penggunaan bentuk-bentuk khusus, dan penggunaan kata pinjaman di dalam Tsu. Sementara itu, menurut penerjemah novel HT, masalah-masalah penerjemahan mengenai hal-hal yang khas tersebut meliputi penerjemahan istilah-istilah yang khusus di dalam Tsu yang tidak dijumpai atau tidak ada padanannya di dalam Tsa, istilah-istilah budaya di dalam novel sumber, dan juga gaya bahasa. Lebih lanjut, untuk mengatasi masalah pemadanan kata-kata atau istilahistilah khusus yang ada di dalam novel HT, beberapa strategi dilakukan oleh penerjemah, yaitu dengan cara mengungkapkan konteks yang melingkupi kata atau frase yang akan diterjemahkan, atau sering disebut dengan background knowledge, membuat catatan kaki, menetralisir atau menaturalisasi kata yang akan diterjemahkan dan menciptakan sendiri kata atau frase yang sepadan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh penerjemah bahwa pengungkapan konteks commit to user
266 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang melingkupi kata atau frase dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh makna dari kata atau frase yang diterjemahkan, membuat catatan kaki dimaksudkan untuk memberikan tambahan informasi mengenai istilah-istilah dalam bahasa sasaran yang memiliki beberapa makna, menetralisir atau menaturalisasi kata atau frase dilakukan apabila berhubungan dengan istilahistilah khusus terutama nama-nama ekologi maupun budaya di dalam Tsu. Adapaun salah satu contoh dari strategi penerjemah, yaitu membuat catatan kaki sebagaimana yang dilakukan oleh penerjemah sebagai berikut:
Gambar 5.2 Contoh Catatan Kaki Penerjemahan Novel HT
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
267 digilib.uns.ac.id
Di dalam contoh di atas, penerjemah menerjemahan kata Squirt dengan menggunakan catatan kaki, yaitu berupa informasi mengenai sebutan atau penamaan terhadap seseorang dengan pilihan padanan yang serinci dan setepat mungkin, bahwa ungkapan squirt dapat bermakna cebol, kurcaci, maupun kate dan memiliki persepsi dan nilai rasa yang berbeda-beda. Strategi yang digunakan oleh penerjemah ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Baker (1992) bahwa beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah penerjemahan hal-hal yang khas di dalam susastra adalah dengan: menggunakan kata-kata yang lebih umum (superordinat), menggunakan kata-kata netral, menggunakan substitusi budaya, peminjaman kata (loan words), memparafrase kata atau kalimat, penghilangan kata, dan menerjemahkan dengan menggunakan ilustrasi. Sebagaimana diketahui bahwa penerjemahan secara umum dipahami sebagai pengalihan pesan dan gaya dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Untuk itu penerjemah paling tidak melakukan dua kegiatan, yaitu memahami makna bahasa sumber dan merekonstruksi makna yang telah dipahaminya itu ke dalam bahasa sasaran. Untuk memahami makna bahasa sumber, penerjemah tidak dapat hanya menerapkan pengetahuannya tentang kaidah-kaidah bahasa sumber, tetapi ia juga harus mempertimbangkan konteks digunakannya bahasa sumber itu. Hal yang sama terjadi ketika ia harus merekonstruksikan makna yang telah dipahaminya dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Ia perlu menyesuaikan kalimat-kalimatnya dengan pembaca sasaran, materi yang diterjemahkan, tujuan penerjemahan, dan sebagainya. Untuk itu, bahasa yang digunakan seharusnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
268 digilib.uns.ac.id
merupakan wacana yang bisa saling dipahami oleh para komunikan di dalam tindak komunikasi tersebut. Makna yang dikaji dikaitkan dengan penutur di dalam arti untuk apa si penutur mengutarakan suatu kata, frase, atau kalimat. Oleh karenanya norma-norma penerjemahan di dalam budaya sasaran akan sangat berpengaruh sekali. Hal yang sama dinyatakan oleh Chesterman (1997) bahwa strategi yang dapat digunakan di dalam mengatasi masalah-masalah penerjemahan hal-hal yang khas di dalam novel HT adalah dengan menggunakan strategi pragmatik, yaitu dengan: (l) filter budaya, (2) perubahan eksplisit, (3) perubahan informasi, (4) perubahan interpersonal, (5) perubahan ilokusioner, (6) perubahan koherensi, (7) penerjemahan parsial, (8) perubahan kemunculan penerjemah, (9) edit ulang, dan (10) perubahan pragmatik yang lain. Filter budaya merupakan strategi penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah di dalam menerjemahkan hal-hal khusus di dalam budaya sumber ke dalam budaya sasaran atau sering juga disebut dengan kesepadanan fungsional, sehingga hasil terjemahan sesuai dengan norma bahasa sasaran. Strategi ini juga sering disebut dengan naturalization, domestication atau adaptation. Perubahan eksplisit merupakan strategi penerjemahan bahwa makna di dalam Tsa dibuat menjadi lebih eksplisit atau bahkan lebih implisit. Perubahan eksplisit ini adalah dengan cara menambahkan komponen secara eksplisit di dalam Tsa dari Tsu yang disampaikan secara implisit. Sebaliknya, perubahan implisit adalah dengan menghilangkan beberapa komponen atau elemen implisit ketika penerjemah menganggap bahwa pembaca sasaran telah memahami dari konteks commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
269 digilib.uns.ac.id
terjemahannya. Perubahan informasi merupakan strategi penerjemahan yang berupa penambahan atau penghilangan informasi. Penambahan informasi merujuk pada penambahan informasi baru yang dianggap sesuai dengan keterbacaan Tsa namun yang tidak muncul di dalam Tsu. Penghilangan informasi merujuk pada penghilangan informasi dalam Tsu yang dianggap tidak sesuai dengan keterbacaan Tsa. Perubahan interpersonal merupakan strategi menerjemahkan yang bekerja pada perubahan gaya. Dengan kata lain bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perubahan di dalam hubungan antara penulis dan pembaca disebut dengan perubahan interpersonal. Perubahan ilokusioner merujuk pada perubahan tindak tutur (speech acts), misalnya dari suatu pernyataan ke permintaan. Perubahan koherensi merujuk pada perubahan di dalam pengorganisasian informasi logis di dalam suatu teks pada tataran ideasional. Perubahan ini dapat dilakukan dalam pengorganisasian ulang suatu paragraf di dalam Tsa. Sementara itu, strategi lain adalah penerjemahan parsial. Strategi ini meliputi semua jenis penerjemahan parsial, seperti penerjemahan ringkasan, abstrak, dan juga transkrip. Perubahan kemunculan penerjemah merupakan strategi lain yang merujuk pada perubahan status kehadiran penulis atau penerjemah. Hal ini berarti bahwa kehadiran penerjemah dapat dibuat lebih menonjol ataupun tidak muncul. Contoh dari strategi ini adalah catatan kaki penerjemah, komentar dalam kurung, dan juga penambahan glosari secara eksplisit untuk menggambarkan perhatian pembaca terhadap kehadiran penerjemah. Strategi yang lain adalah edit ulang, yaitu yang merujuk pada pengeditan ulang yang kadang-kadang sangat radikal dilakukan oleh penerjemah commit to user
270 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terhadap Tsu yang sangat jelek. Oleh Karena itu, strategi meliputi penyusunan ulang yang total dan penulisan ulang secara keseluruhan atau pada tingkatan yang lebih umum, dan terakhir adalah strategi lain yang mengarah pada perubahanperubahan yang dapat merubah pesan Tsu. Strategi yang ditawarkan oleh Chesterman (1997) tersebut dapat digunakan untuk menerjemahkan hal-hal atau istilah-istilah khusus pada tataran kata, frase, klausa, atau kalimat. Namun demikian, beberapa strategi tersebut mungkin dapat digunakan untuk menerjemahkan kata dan frase sekaligus klausa dan kalimat, strategi yang lain mungkin hanya dapat digunakan untuk menerjemahkan kata dan frase saja atau klausa dan kalimat saja.
5.2.2.3 Mengedit Tahap terakhir adalah mengedit terjemahan. Sebagaimana dinyatakan di dalam temuan hasil di atas bahwa dalam tahap mengedit terjemahan ini, yang dilakukan oleh penerjemah adalah melakukan revisi atau penyelarasan terhadap draft terjemahan. Penekanan revisi adalah pada kualitas kebahasaan teks terjemahan dan kealamian terjemahan yang dihasilkan. Setelah beberapa perbaikan dilakukan, berikutnya adalah melakukan revisi akhir dan membiarkan hasil terjemahan tersebut selama beberapa waktu untuk mendapatkan hasil akhir terjemahan yang benar-benar alami. Revisi untuk mendapatkan kualitas kebahasaan dan kealamian yang optimal ditunjukkan di dalam contoh revisi yang dilakukan oleh penerjemah berikut ini: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
271 digilib.uns.ac.id
Gambar 5.3 Contoh Revisi Penerjemahan Novel HT commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
272 digilib.uns.ac.id
Di dalam contoh di atas, penerjemah merevisi frase kemaluan perempuan menjadi vagina dari Tsu yaitu a pussy, dan kalimat itu omong kosong paling brengsek direvisi menjadi itu omong kosong paling gombal dari Tsu that is some outrageous bullshit. Penyelarasan tersebut dilakukan untuk mendapatkan hasil kesepadanan yang maksimal. Sementara itu, penerjemah berusaha membuat hasil padanannya sealami mungkin dengan menambahkan informasi berupa kata-kata maupun mengubah struktur kalimat dengan tanpa maksud merubah maknanya, yaitu kalimat Phelps terbahak-bahak sampai hampir terjatuh menjadi Phelps terbahak-bahak sampai hampir terjatuh dari sepeda, dari Tsu Phelps giggled himself off balance, dan kalimat ya, katanya sesekali kita harus orgasme di dalam hati direvisi menjadi ya, katanya sesekali kita harus menikmati orgasme di dalam hati, yang di dalam Tsu adalah yeah, they say we should orgasm within ourselves sometimes. Begitu pula, kau harus tetap membuka mata kalau lagi bercinta direvisi strukturnya menjadi kau jangan memejamkan mata kalau lagi bercinta, dari Tsu like you’re supposed to always keep your eyes open when you’re making love. Perbaikan pada kualitas kebahasaan dan kealamian terjemahan pada tahap akhir ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Nababan (2003:28) bahwa restrukturisasi atau penyelarasan adalah pengubahan proses pengalihan menjadi bentuk stilistik yang cocok dengan bahasa sasaran, pembaca, atau pendengar. Dengan demikian, pada tahap penyelarasan tersebut, seorang penerjemah perlu memperhatikan ragam bahasa untuk menentukan gaya bahasa yang sesuai dengan jenis teks yang diterjemahkan dan juga memperhatikan untuk siapa terjemahannya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
273 digilib.uns.ac.id
itu ditujukan. Penerjemah perlu memperhatikan untuk siapa terjemahannya itu ditujukan mengacu pada terjemahan yang fungsional, yaitu bahwa penerjemah seharusnya tidak dikendalikan oleh fungsi dari Tsu tetapi dikendalikan oleh fungsi Tsa yang ingin dicapai di dalam budaya sasaran dengan fungsi Tsa yang ditentukan oleh penerimanya. Dari uraian bagan mengenai proses penerjemahan di atas, dapat peneliti katakan bahwa proses penerjemahan novel The Highest Tide di atas selaras dengan proses penerjemahan secara umum yang dirumuskan oleh Nida (1975:80), Sumarno (1997;13), dan Nababan (2003:24-25), yaitu menganalisis, mentransfer, dan merestrukturisasi. Namun demikian, di dalam proses penerjemahan novel HT ini terdapat beberapa keunikan tersendiri, yaitu (1) dengan diperlukannya tidak hanya kompetensi profesional dan teknis saja, namun juga kompetensi instrumental yang dilakukan oleh penerjemah mulai pada tahap awal sampai pada tahap akhir, (2) masalah gaya juga dipelajari dan dipertimbangkan mulai pada tahap awal sampai pada tahap akhir proses penerjemahan, dan (3) proses penerjemahan novel HT tidak semata-mata melihat penerjemahan sebagai kegiatan kebahasaan saja, namun sebagai kegiatan komunikasi antara pengirim dan penerima. Pada tahap awal, penerjemah selain mempersyaratkan penggunaan kompetensi profesional (mempelajari keseluruhan Tsu) , kompetensi teknis (mempersiapkan software, internet, dan kamus), juga harus menguasai kompetensi instrumental (memahami pengetahuan lain yang berhubungan dengan karakter khusus Tsu dan istilah-istilah kunci di dalam teks yang secara elektronik commit to user
274 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diunduh di dalam glosari atau file lain di komputer). Di dalam tahap menerjemahkan, kompetensi instrumental juga diperlukan, yaitu kompetensi di dalam menulis hasil terjemahan (Tsa) di dalam komputer, mengecek kata atau frase, mencari makna yang sulit di dalam kamus, khususnya kamus online, memahami makna berdasarkan konteks , mengakses rujukan di internet, ataupun menulis dalam ekspresi lain. Di dalam tahap akhir, kompetensi instrumental juga dibutuhkan untuk mengecek dan merevisi kualitas terjemahan, khususnya untuk mengecek aspek kualitas kebahasaan di dalam novel terjemahannya, misal mengecek konsistensi penggunaan istilah-istilah khusus di dalam novel yang diterjemahkan. Masalah padanan gaya, di dalam proses penerjemahan ini juga sangat diperhatikan oleh penerjemah. Hal tersebut ditunjukkan dengan pertimbangan penerjemah mulai pada saat sebelum menerjemahan, yaitu pada saat persiapan dan berlanjut pada saat proses menerjemahkan. Pada tahap menerjemahkan, yang dilakukan oleh penerjemah adalah mempertimbangkan masalah gaya, terutama yang berhubungan dengan jenis kata, selera, dan tujuan pembaca, dan juga menulis kata, frase, maupun kalimat ke dalam ekspresi yang lain. Jadi, untuk memahami makna bahasa sumber, penerjemah novel HT ini tidak hanya menerapkan pengetahuannya tentang kaidah-kaidah bahasa sumber, tetapi penerjemah juga mempertimbangkan konteks digunakannya bahasa sumber itu. Hal yang sama terjadi ketika penerjemah harus merekonstruksikan makna yang telah dipahaminya dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Penerjemah perlu commit to user
275 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyesuaikan kalimat-kalimatnya dengan pembaca sasaran, materi yang diterjemahkan, tujuan penerjemahan, dan sebagainya. Bagan proses penerjemahan novel di atas juga mengindikasikan bahwa penerjemahan yang dilakukan juga berhubungan dengan tindak komunikasi, yaitu yang berkaitan antara pengirim dan penerima pesan. Proses tindak komunikasi ini selaras dengan yang dinyatakan oleh Nord (1997: 16) bahwa suatu kegiatan penerjemahan akan menjadi komunikatif bila kegiatan itu dilakukan melalui suatu tanda yang dihasilkan dengan penuh maksud oleh seorang pengirim dan diteruskan ke penerima. Ini berarti bahwa pengirim dan penerima membentuk situasi komunikasi pada waktu dan tempat tertentu dengan menambahkan dimensi budaya terhadap proses komunikasi tersebut. Dimensi budaya tersebut mempengaruhi pengetahuan dan harapan pengirim dan penerima, kebahasaan mereka, dan cara mereka mendapatkan situasi tertentu.
Sementara itu di dalam situasi komunikasi, pengirim dan penerima diharapkan memiliki dasar yang sama dalam komunikasi agar komunikasi mereka berhasil. Penerjemah di dalam hal ini adalah sebagai mediator kebahasaan dan sekaligus mediator budaya. Penerjemah tidak hanya membutuhkan pengetahuan yang menyeluruh mengenai bahasa sumber dan bahasa sasaran tetapi juga budaya sumber dan budaya sasaran. Meskipun penerjemah bukanlah pengirim Tsu, penerjemah menghasilkan suatu teks komunikatif di dalam budaya sasaran yang mengungkapkan maksud-maksud pada Tsu.
commit to user
276 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Namun demikian, seorang penerjemah juga harus mempertimbangkan penulis Tsu dan pembaca Tsa. Hal ini berarti bahwa seorang penerjemah tidak mungkin menghasilkan Tsa yang bertentangan dengan maksud penulis Tsu atau gagasan pembaca Tsa mengenai apakah suatu penerjemahan menjadi berterima di dalam budaya sasaran.
Hal ini berarti bahwa penerjemah harus berusaha
menghasilkan Tsa yang fungsional yang sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penulis teks dan akan diterima oleh pembaca Tsa karena memasukkan pertimbangan-pertimbangan budaya tertentu.
5.2.3 Tanggapan Pembaca Sebagaimana dinyatakan di dalam subbab 4.1.3 bahwa di dalam menerjemahkan novel HT, penerjemah tidak hanya menerjemahkan maknanya saja, namun ada hal lain yang perlu dipertimbangkan dengan matang, yaitu mengenai kemana arah pesan di dalam novel sumber yang akan disampaikan ke pembaca, dan untuk tujuan apa terjemahan tersebut disampaikan, dalam arti bahwa menarik dan tidaknya novel yang diterjemahkan akan sangat bergantung pada cara penerjemah menyampaikan pesan yang ada di dalam novel tersebut kepada para pembacanya. Dengan mencermati pada sajian di atas, nampak bahwa di dalam menerjemahkan karya susastra, gaya merupakan pilihan kata atau frase dari pengarang dan bagaimana pengarang tersebut menyusun kata-kata dan frase tersebut di dalam kalimat dan paragraf. Misalnya, seorang penulis mungkin to user menggunakan kata-kata sederhanacommit dan kalimat langsung, sementara penulis yang
perpustakaan.uns.ac.id
277 digilib.uns.ac.id
lain mungkin menggunakan kosakata yang sulit dan mengelaborasi struktur kalimatnya. Gaya seorang pengarang menentukan pilihan katanya dan penerjemah menjadi seorang mediator yang harus memberikan berbagai pilihan padanan. Jadi, pilihan kata yang menurut pengarang benar juga akan menjadi benar menurut penerjemah. Lebih jauh, gaya dalam karya susastra tidak dapat dipisahkan dengan makna atau pesan yang ada di dalam karya tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Saad (2003:6) bahwa karya susastra, misalnya puisi atau novel tidak dapat menyampaikan pesan yang terpisah dengan bentuknya, keduanya baik pesan dan bentuk harus seiring sejalan. Masukan dari pakar penerjemahan yang menyatakan bahwa penerjemah harus mempertimbangkan untuk siapa karya terjemahannya itu diperuntukkan dan bagaimana tingkat kemampuan khusus para pembaca, berarti bahwa penerjemah harus menentukan ragam bahasa terjemahannya dan mempertahankan ragam bahasa itu secara ajeg. Hal ini berarti bahwa seorang penerjemah harus menentukan ragam bahasa terjemahan sesuai dengan jenis teks yang sedang diterjemahkan. Jika penerjemah menerjemahkan suatu teks ilmiah, penerjemah harus menggunakan ragam bahasa ilmu dalam terjemahannya. Hal sama berlaku juga dalam penerjemahan karya susastra. Jika penerjemah menerjemahkan sebuah novel, maka penerjemah harus memunculkan gaya novel tersebut dalam terjemahannya. Dengan kata lain bahwa gaya bahasa novel tersebut tidak seharusnya diubah menjadi gaya bahasa puisi atau bahkan gaya bahasa ilmiah. Pemunculan gaya perlu dipertimbangkan secara tepat, di samping tentunya kesetiaan pada isi pesan. Apabila terjemahannya itu ditujukan kepada para commit to user
278 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembaca yang bukan ahli dalam disiplin ilmu yang diterjemahkan, penerjemah perlu menyederhanakan kalimat terjemahan yang berkonstruksi rumit tanpa mengaburkan atau menghilangkan pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber. Kata-kata yang masih asing bagi mereka perlu dicarikan padanannya dalam bahasa sasaran yang memungkinkan pembaca dapat memahami konsep yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Sebaliknya, pembaca yang profesional tidak begitu mengalami kesulitan dalam memahami suatu isi teks terjemahan yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang kompleks dan dengan istilah-istilah yang rumit dan konseptual. Lebih lanjut, dimungkinkan sekali bahwa dalam suatu naskah bahasa sumber tidak hanya terdapat satu jenis ragam atau gaya saja tetapi lebih dari satu penggunaan gaya, maka penerjemah juga harus mengenalinya dan menggunakan berbagai pilihan ragam atau gaya yang digunakan oleh penulis naskah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gaya pada dasarnya juga menunjukkan keakuratan dan kewajaran penerjemahan karena salah satu alasan pilihan kata penerjemah adalah memberikan gaya yang sedekat mungkin dengan gaya dalam Tsu. Setelah membaca novel HT secara keseluruhan, menurut pakar penerjemahan, secara umum penerjemahan novel HT sangat baik, hal tersebut karena teksnya mengalir lancar seperti bukan terjemahan, dan hal lain yang membuat menarik adalah bagaimana penerjemah novel HT mengurangi atau menambahkan makna di Tsa untuk membuat Tsa lebih hidup. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
279 digilib.uns.ac.id
Dengan kata lain bahwa kegiatan penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah selalu ditujukan untuk mencari padanan yang optimal dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Padanan yang optimal adalah tujuan akhir penerjemahan (Zhu, 2004). Di dalam usaha mencari suatu padanan yang optimal bukanlah hal yang mudah bagi penerjemah dan seringkali menimbulkan banyak masalah. Masalah-masalah tersebut sebagai akibat adanya perbedaan gramatikal, semantik, dan sosiokultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa karena adanya perbedaan gramatikal, semantik, dan sosio-kultural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, maka diperlukan strategi pemecahan masalah padanan. Strategi tersebut dapat berupa penambahan informasi, pengurangan informasi, dan penyesuaian struktur (Newmark, 1988:85-91). Penambahan informasi adalah memasukkan informasi yang tidak ada dalam Tsu ke dalam Tsa. Informasi yang ditambahkan dapat berupa informasi kultural, teknis, atau kebahasaan. Penghilangan informasi mengacu pada penghilangan isi dan bukan penyelarasan struktur untuk menghasilkan terjemahan yang gramatikal. Penyesuaian struktur mengacu pada perubahan atau pergeseran tatabahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Tujuan penyesuaian struktur ini adalah untuk menghasilkan terjemahan yang sepadan makna dan gayanya.
Namun demikian, karena tidak ada dua bahasa yang secara sistematis dan budaya sama, maka pergeseran tersebut: penambahan, penghilangan, dan substitusi perlu dilakukan namun tidak dalam setiap kesempatan. Penerjemah commit to penggunaan user perlu mempertimbangkan secara mendalam gaya di dalam Tsa.
perpustakaan.uns.ac.id
280 digilib.uns.ac.id
Apabila terdapat perbedaan yang sangat lebar antara dua bahasa, penerjemah dapat merubahnya ke dalam bentuk atau gaya yang sesuai di dalam bahasa sasaran yang didasarkan pada suatu konteks yang melatarinya.
Sementara itu, hasil kuesioner yang telah dikumpulkan dari sampel pembaca menunjukkan bahwa di dalam penerjemahan novel HT ke dalam novel PL, mayoritas pembaca menyatakan bahwa bahasa yang digunakan di dalam novel terjemahan PL terasa enak dibaca, bahasa yang digunakan di dalam novel terjemahan PL mengalir dengan lancar, teks di dalam novel terjemahan PL sangat jelas, teks yang ada di dalam novel terjemahan lumayan mudah dipahami, dan kata-kata yang digunakan sudah sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel yang diterjemahkan. Alasan secara umum yang dikemukakan oleh pembaca terhadap jawaban kuesioner di atas (sebagaimana ditunjukkan di dalam subbab 4.1.3) adalah bahwa bahasa yang digunakan tidak seperti novel terjemahan pada umumnya, kalimatkalimatnya selalu mengejutkan dan membuat pembaca semakin penasaran untuk membaca terus dan mengetahui akhir cerita; meskipun di dalam novel terjemahan banyak menggunakan istilah-istilah asing, namun penggunaan istilah tersebut terasa enak dibaca dan tepat, dan bahasanya ringan; teks di dalam novel terjemahan menggunakan kalimat-kalimat yang koheren, bahasanya jelas, dan alur cerita mudah ditangkap; teksnya mudah dibaca dan dicetak jelas, bahasanya ringan, segar, dan lucu, dan penulisan antar paragraf terjalin dengan baik; hasil terjemahan dapat dengan jelas disampaikan kepada pembaca, kata-kata yang commit userdan kata-kata atau istilah asing digunakan saling terkait dan mewakili isi to cerita,
281 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang digunakan sering diberi informasi tambahan untuk memperjelas informasi yang disampaikan. Namun demikian, terdapat beberapa bagian yang mudah dipahami namun beberapa bagian yang lain di dalam novel harus dibaca dua kali, terdapat teks yang agak membingungkan, beberapa kata yang agak kaku dan tidak sesuai dengan struktur bahasa sasaran, dan alur cerita yang flash back sehingga agak menyulitkan memahami cerita secara kronologis. Alasan-alasan yang disampaikan oleh pembaca di atas menunjukkan bahwa kesepadanan mutlak di dalam menerjemahkan novel HT ke dalam novel PL sangatlah sulit dicapai. Hal tersebut wajar karena di dalam setiap bahasa memiliki sistem yang berbeda satu sama lain baik yang menyangkut bentuk maupun kaidah yang mengatur konstruksi gramatikal dan konsep terjemahan itu sendiri pada dasarnya secara budaya berbeda dan memiliki konsep sendirisendiri. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh William (2001) dan Nababan (2008) bahwa suatu kesepadanan penerjemahan antara Tsa dengan Tsu sangatlah problematik, hal ini karena tiga alasan, yaitu: tidak mungkin suatu teks memiliki interpretasi yang konstan sama meskipun dari orang yang sama dalam kesempatan yang berbeda, penerjemahan merupakan interpretasi subjektif dari penerjemah, dan tidak mungkin bagi seorang penerjemah untuk menentukan bagaimana tanggapan pembaca terjemahan terhadap Tsu ketika Tsu tersebut pertama kali dibuat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
282 digilib.uns.ac.id
5.2.4 Keterkaitan antara Kualitas Kesepadanan Makna dan Gaya, Penerjemah, dan Pemahaman Pembaca
Dengan berbagai strategi penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah, yaitu mulai dari mempertimbangkan secara matang dan menyeluruh padanan yang diberikan dengan cara menggunakan kemampuan mengungkapkan konteks yang meliputi kata atau frase yang akan diterjemahkan, membuat catatan kaki, menetralisir, atau menaturalisasi kata-kata atau frase yang sulit, sampai dengan menyelami dan mempraktekkan sendiri kata-kata atau frase yang sudah benarbenar tidak diketemukan padanannya, namun sudah berada di dalam konteks yang harus benar-benar dilakukan, dan kemudian mengambil keputusan untuk menghilangkan kata atau menciptakan sendiri kata yang sepadan, mampu menunjukkan atau menghasilkan terjemahan novel The Highest Tide ke dalam novel Pasang Laut dengan baik, dengan bukti bahwa kesepadan makna dan gaya ungkapan-ungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa diterjemahkan secara hampir sempurna dengan rerata 42.03%, sangat baik dengan rerata 30,72%, baik dengan rerata 17,39%, atau secara keseluruhan kualitas terjemahan tersebut termasuk ke dalam kategori terjemahan baik (74,04%) dan berada sedikit di bawah kategori terjemahan sangat baik. Hasil kualitas terjemahan baik tersebut didukung oleh pendapat pakar penerjemahan bahwa secara umum penerjemahan novel HT sangat baik dan pembaca novel yang menyatakan bahwa bahasa yang digunakan terasa enak dibaca, bahasa mengalir dengan lancar, teks di dalam novel terjemahan sangat jelas, dan kata-kata yang digunakan sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan. commit to user
283 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan kata lain, kualitas terjemahan (faktor objektif) novel HT yang termasuk ke dalam kategori terjemahan baik atau berada sedikit di bawah kategori terjemahan sangat baik dipengaruhi oleh penerjemah (faktor genetik) yang memiliki latar belakang akademik penerjemahan, pengalaman profesi yang cukup lama, dan beragam karya terjemahan novel, dengan kualitas terjemahan yang didukung atau diperkuat oleh pendapat dari pakar penerjemahan dan pembaca novel terjemahan (faktor afektif). Adapun keterkaitan tersebut dapat digambarkan ke dalam bagan sebagai berikut:
Faktor Objektif Novel diterjemahkan dengan baik (skor 74,04%)
Faktor Genetik Penerjemah memiliki: Pendidikan penerjemahan Pengalaman Beragam karya terjemahan
Faktor Afektif Pembaca mudah memahami novel terjemahan
Sintesis Kualitas terjemahan yang baik dipengaruhi oleh faktor genetik dan didukung oleh hasil/pendapat faktor afektif
Bagan 5.4 Keterkaitan antara Kualitas Kesepadanan Makna dan Gaya, Penerjemah, dan Pemahaman Pembaca Novel Terjemahan HT commit to user
284 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI TEMUAN, DAN REKOMENDASI
6.1 Simpulan Berdasarkan pokok-pokok temuan dan pembahasan terhadap kesepadanan makna dan gaya antara Tsu dan Tsa yang berhubungan dengan penerjemahan bagian-bagian yang khas dalam novel, penerjemah, dan pemahaman pembaca novel terjemahan, disimpulkan bahwa kesepadan makna dan gaya ungkapanungkapan budaya materi, istilah ekologi, budaya sosial, dan gaya bahasa di dalam novel sumber The Highest Tide diterjemahkan ke dalam novel sasaran Pasang Laut dengan kualitas terjemahan baik (74,04%) dan berada sedikit di bawah kategori terjemahan sangat baik. Hasil penilaian ini bersifat relatif dan berdasarkan kriteria kurang lebih karena penilaian terhadap padanan makna dan gaya secara objektif sulit dicapai. Lebih lanjut, hasil klasifikasi menunjukkan bahwa penggunaan makna sosiokultural dan makna leksikal dengan gaya yang menggunakan berbagai pilihan kata di dalam Tsa sering muncul di dalam terjemahan bagian-bagian yang khas novel HT. Namun demikian, persentase tersebut tidaklah mengindikasikan dominasi atau superioritas dari penggunaan makna dan gaya di atas. Persentase tersebut hanyalah menunjukkan tingkat keseringan kemunculan makna dan gaya di dalam terjemahan bagian-bagian yang khas novel HT. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
285 digilib.uns.ac.id
Kualitas terjemahan yang baik tersebut didukung oleh latar belakang akademik, pengalaman profesi penerjemah, dan strategi yang dilakukan penerjemah di dalam menerjemahkan kata-kata atau istilah-istilah khusus yang ada di dalam novel HT, yaitu dengan cara mengungkapkan konteks yang melingkupi kata atau frase yang akan diterjemahkan, membuat catatan kaki, menetralisir atau menaturalisasi kata yang akan diterjemahkan, dan menciptakan sendiri kata atau frase yang sepadan. Selain itu, kualitas terjemahan baik tersebut didukung oleh pendapat pakar penerjemahan bahwa secara umum penerjemahan novel HT sangat baik dan pembaca novel yang menyatakan bahwa bahasa yang digunakan terasa enak dibaca, bahasa mengalir dengan lancar, teks di dalam novel terjemahan sangat jelas, dan kata-kata yang digunakan sesuai dalam menyampaikan informasi di dalam novel terjemahan. Namun demikian, terdapat beberapa kegagalan penerjemahan novel HT di dalam menjembatani perbedaan karakteristik bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, yaitu ketidakajegan penerjemah di dalam menerjemahkan istilah-istilah khusus dan pengubahan cara pandang dalam menampilkan para pelaku antara Tsu dan Tsa.
6.2 Implikasi Temuan Implikasi-implikasi dari temuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Penerjemah novel yang profesional dengan latar belakang akademik yang baik dan pengalaman profesi yang kuat berdampak positif terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan. Dengan memiliki latar belakang akademik yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
286 digilib.uns.ac.id
baik, seorang penerjemah novel memiliki ketrampilan khusus kebahasaan, memahami dan menguasai kesusastraan, dan mampu menciptakan struktur kalimat dengan cara menyesuaikan teks bahasa sasaran dengan teks bahasa sumber sedekat dan seoptimal mungkin. Sementara itu, dengan pengalaman profesi yang kuat, menunjukkan bahwa penerjemah adalah seorang penerjemah yang profesional, yang terus-menerus memupuk kualitas penerjemahannya, dan kualitas terjemahan yang dihasilkan menjadi tolok ukur dalam keberhasilan terjemahannya. b) Kepandaian penerjemah di dalam mentransfer budaya bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia berdampak positif dan dapat dicontoh oleh penerjemah yang lain di dalam menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Di dalam menerjemahkan novel, penerjemah tidak hanya mempelajari karakter kebahasaan Tsu dan Tsa, namun juga mempertimbangkan beberapa faktor penting lain, yaitu waktu penyelesaian, alur cerita, gaya penyampaian, dan sebagainya. Selain itu, penerjemah juga melakukan persiapan teknis, yaitu yang berhubungan dengan software, internet, dan kamus. Penerjemah juga harus memahami pengetahuan lain yang berhubungan dengan karakter khusus Tsu dan istilah-istilah kunci di dalam teks dengan cara menyiapkan glosari. Persiapan glosari ini dimaksudkan untuk membuka file atau membuat yang baru dan biasanya berhubungan dengan software terjemahan. Ketrampilanketrampilan tersebut secara umum diperlukan di dalam memahami isi Tsu terhadap unsur linguistik dan ekstralinguistik yang terkandung di dalam Tsu tersebut. Dengan kata lain, untuk memahami makna bahasa sumber, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
287 digilib.uns.ac.id
penerjemah tidak dapat hanya menerapkan pengetahuannya tentang kaidahkaidah bahasa sumber, tetapi juga harus mempertimbangkan konteks digunakannya bahasa sumber itu. Hal yang sama terjadi ketika penerjemah harus merekonstruksikan makna yang telah dipahaminya dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Penerjemah perlu menyesuaikan kalimat-kalimatnya dengan pembaca sasaran, materi yang diterjemahkan, tujuan penerjemahan, dan sebagainya. c) Di dalam usaha mendapatkan kesepadanan terjemahan yang maksimal, penerjemah novel perlu mempertimbangkan secara matang strategi di dalam menerjemahkan hal-hal yang khas di dalam novel dan mempertimbangkan bahwa prioritas utama di dalam menerjemahkan novel tidak hanya pengalihan pesan secara akurat, namun juga penggunaan gaya. Penerjemahan novel yang tidak mempertimbangkan strategi dan pemfokusan pada aspek makna saja akan berdampak negatif terhadap kualitas terjemahan yang dihasilkan. Seorang penerjemah harus menentukan ragam bahasa terjemahan sesuai dengan jenis teks yang sedang diterjemahkan. Jika penerjemah menerjemahkan suatu teks ilmiah, dia harus menggunakan ragam bahasa ilmu dalam terjemahannya. Hal yang sama berlaku juga dalam penerjemahan karya susastra. Jika penerjemah menerjemahkan sebuah novel, maka penerjemah harus memunculkan gaya novel tersebut dalam terjemahannya. Dengan kata lain bahwa gaya bahasa novel tersebut tidak seharusnya diubah menjadi gaya bahasa puisi atau bahkan gaya bahasa ilmiah. Di dalam mempertahankan gaya, di samping tentunya kesetiaan pada isi pesan, maka pemunculan gaya perlu dipertimbangkan secara commit to user
288 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tepat. Penerjemah harus tahu kepada siapa terjemahannya diperuntukkan dan bagaimana tingkat kemampuan khusus para pembacanya. Juga, dimungkinkan sekali bahwa dalam suatu naskah bahasa sumber tidak hanya terdapat satu jenis ragam atau gaya bahasa saja tetapi lebih dari satu gaya bahasa, maka penerjemah juga harus mengenalinya dan menggunakan gaya bahasa-gaya bahasa yang digunakan oleh penulis naskah. Oleh karena itu, gaya menunjukkan keakuratan dan kewajaran penerjemahan karena salah satu alasan pilihan kata penerjemah adalah memberikan gaya yang sedekat mungkin dengan gaya dalam Tsu. d) Penerjemah perlu memikirkan dengan mendalam mengenai kualitas teks susastra yang diterjemahkan dan pembaca novel. Pertimbangan ini sangat penting dan berdampak positif terhadap keberterimaan hasil terjemahan dengan pembaca sasaran. Hal ini berarti bahwa seorang penerjemah tidak mungkin menghasilkan Tsa yang bertentangan dengan maksud penulis Tsu atau gagasan pembaca Tsa mengenai apakah suatu penerjemahan menjadi berterima di dalam budaya sasaran. Penerjemah harus berusaha menghasilkan Tsa yang fungsional yang sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penulis teks dan akan diterima oleh pembaca Tsa karena memasukkan pertimbanganpertimbangan budaya tertentu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
289 digilib.uns.ac.id
6.3 Rekomendasi Di dalam hubungannya dengan simpulan penelitian, beberapa saran ditawarkan kepada pembaca potensial penelitian ini, yaitu ditujukan terutama kepada para penerjemah, institusi penerjemahan, dan juga para peneliti lanjut yang berhubungan dengan penelitian ini.
6.3.1 Kepada para Penerjemah Latar belakang akademik, pengalaman profesi, dan beragam karya terjemahan yang telah dihasilkan oleh seorang penerjemah sangat berpengaruh di dalam menerjemahkan suatu novel. Oleh karena itu, (a) penerjemah, khususnya penerjemah yang memfokuskan pada penerjemahan novel, perlu sekali membekali diri dengan kompetensi dan keahlian akademik agar penerjemah memiliki kompetensi kebahasaan, kesusastraan, dan penguasaan teori-teori penerjemahan yang baik; (b) penerjemah juga perlu meningkatkan pengalaman profesinya, yaitu dengan secara terus-menerus memupuk kualitas penerjemahannya; (c) penerjemah perlu memiliki kompetensi profesional, kompetensi teknis, kompetensi instrumental, dan ketrampilan di dalam menggunakan berbagai strategi penerjemahan. Kompetensi dan ketrampilan tersebut sangat penting di dalam memahami makna bahasa sumber dan merekonstruksi makna yang telah dipahaminya itu ke dalam bahasa sasaran; dan (d) penerjemah novel perlu mempertimbangkan secara matang penggunaan makna dan gaya di dalam penerjemahannya. Untuk memahami makna bahasa sumber, penerjemah novel tidak hanya menerapkan pengetahuannya tentang kaidah-kaidah bahasa sumber, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
290 digilib.uns.ac.id
tetapi juga harus mempertimbangkan konteks digunakannya bahasa sumber itu. Penerjemah perlu menyesuaikan kalimat-kalimatnya dengan pembaca sasaran, materi yang diterjemahkan, tujuan penerjemahan, dan sebagainya. Ke semua hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan hasil terjemahan yang benar-benar sepadan makna dan gayanya.
6.1.2 Kepada Institusi Penerjemahan Jurusan penerjemahan sebagai satu-satunya jurusan yang mempersiapkan para lulusannya memiliki kemampuan akademik dan ketrampilan yang kuat di dalam menerjemahkan, sudah selayaknya apabila para calon penerjemah yang dihasilkan oleh jurusan penerjemahan tersebut perlu dibekali tidak hanya pengetahuan profesional mengenai teori-teori penerjemahan, namun juga ketrampilan-ketrampilan praktis yang berhubungan dengan penerjemahan. Ketrampilan-ketrampilan tersebut sejalan dengan perkembangan teknologi dan persaingan di dalam memperebutkan lapangan pekerjaan. Salah-satu persyaratan tersebut adalah kompetensi dan ketrampilan yang berhubungan dengan pengoperasian software penerjemahan dan pencarian informasi di dalam internet untuk membantu proses pengambilan keputusan di dalam menerjemahkan novel. Untuk itu, silabus di dalam kurikulum penerjemahan perlu disesuaikan dengan menambahkan pengetahuan dan ketrampilan mengenai pengoperasian software penerjemahan dan ketrampilan pencarian informasi di dalam internet, yang pada akhirnya mampu memfasilitasi kompetensi dan ketrampilan menerjemahkan para lulusan penerjemahan secara holistik. commit to user
291 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6.1.3 Kepada para Peneliti Lanjut Penelitian ini memfokuskan pada analisis penerjemahan novel, khususnya mengenai kesepadanan makna dan gaya di dalam penerjemahan novel. Di dalam penelitian ini, kesepadanan penerjemahan novel dipertimbangkan tidak hanya makna atau isi novel, tetapi juga gaya dalam terjemahan dengan memperhatikan bahwa pencarian padanan makna tanpa penerjemahan gaya yang sesuai akan menghasilkan terjemahan yang tidak lengkap dan tidak efisien. Untuk itu, bagi peneliti lanjut, disarankan untuk melakukan penelitian sejenis, misalnya mengkaji proses decision-making dalam proses menerjemahkan karya terjemahan novel, mengkaji strategi yang paling mungkin digunakan dalam menerjemahkan novel, dan mengkaji model proses penerjemahan novel sebagaimana yang terangkum di dalam penelitian ini dengan lebih mendalam. Hal ini dimaksudkan untuk menguji lebih lanjut validitas model proses penerjemahan novel, mengungkap kelebihan dan kekurangannya, dan memperbaiki dan merumuskan model proses penerjemahan novel secara universal.
commit to user
292 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Aguardo, Pilar. 2005. Translation-Strategies Use: A Classroom-Based Examination of Baker’s Taxonomy. Online Translation Journal. Meta, vol. 50, n° 1, 2005, p. 294-311. (http:// http://id.erudit.org/iderudit/010675ar). Aldebyan, Qusai Anwer. 2008. Strategies for Translating Arabic Cultural Markers into English: A Foreignizing Approach. Ph.D. Dissertation. Arkansas: University of Arkansas Allan, Keith. 1986. Linguistic Meaning 1. London: Routledge and Kegan Paul. Al-Qinai, Jamal. 2000. Translation Quality Assessment Strategies, Parametres, and Procedures. Online Translation Journal. Meta, Vol. XLV, 3, 2000, pg 497-519. (http://www.erudit.org/en/revue/meta/2000/v45/n3/index.html, retrieved on 29 October, 2008). Amstrong, Nigel. 2005. Translation, Linguistics, Culture. Great Britain: Multilingual Matters Ltd. Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Arif Subiyanto. 2007. Pasang Laut. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Asim Gunarwan. 2005. Pragmatik dalam Penilaian Terjemahan: Pendekatan Baru? Artikel disajikan dalam International Conference on Translation di Solo 14-15 September 2005. Baikoeni, Efri Yoni. 2008. Bahasa ‘Jargon’ dan ‘Argot’. Online Article. (http://baikoeni.multiply.com/journal/item/136, retrieved on 3 April 2008). Baker, Mona. 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation, London: Routledge. Baker, Mona.(2001) (Ed.). Routledge Encyclopedia of Translation Studies. London: Routledge. commit to user
293 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Basnett, Susan. 2002. Translation Studies (Third edition). London/New York: Routledge, Taylor & Francis Group. Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. London: Longman Group Ltd. Bolaños Cuellar, Sergio. 2008. Towards an Intergrated Translation Approach: Proposal of Dynamic Translation Model. Ph.D. Dissertation. Hamburg: Hamburg University. Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory on Translation. London: Oxford University Press. Chandler, Raymond. 2004. Words about Words-Raymond Chandler Speaking. (http://www. Wordspy.com/waw/Chandler-Raymond.asp) Chesterman, Andrew. 1997. Memes of Translation. Amsterdam: John Benjamins B.V. Duff, Alan. 1981. The Third Language: Recurrent Problems of Translation into English. England: Pergamon Press. Edi Subroto. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: UNS Press. Edi Subroto. 1999. Ihwal Relasi Makna: Beberapa Kasus dalam Bahasa Indonesia. Surakarta: PPs UNS. Enkvist, Nils Erik. 1964. Linguistics and Style. London: Oxford University Press. Even, Itamar-Zohar. 1997. Polysystem Studies. Online Translation Journal. Poetics Today. International Journal for Theory and Analysis of Literature and Communication Volume 11, Number 1. Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Fawcett, Peter. 1997. Translation and Language: Linguistic Theories Explained, Manchester: St Jerome Publishing Gerzymisch, Heidrun-Arbogast. 2001. Equivalence Parameters and Evaluation. Germany: University of Saarbrucken. Gorys Keraf. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
294 digilib.uns.ac.id
Hardi, Thomas. Microsoft® Encarta® Online Encyclopedia 2004.(http://Encarta.msn.com©)1997-2004 Microsoft Corporation. Hardi, Thomas. 2004. Translation: An Advanced Resource Book. London/New York: Routledge, Taylor & Francis Group. Hemingway, Ernest Miller. Microsoft® Encarta® Online Encyclopedia 2004.(http://Encarta.msn.com©)1997-2004 Microsoft Corporation. House, Juliane. 1977. A Model for Translation Quality Assessment, Tübingen: Gunter Narr. House, Juliane. 2001. Translation Quality Assessment: Linguistic Description versus Social Evaluation. Online Translation Journal. Meta, XLV1, 2, 243-257. (http://www.erudit.org). Ibrahim, Fatima Ahmed. 2008. Problems of Dynamic Equivalence in Translation. Online Translation Article. (http://www.TranslationDirectory.com) Israel, Michael. 2004. Common Sense and ‘Literal Meaning’ . Online Journal of Semantics. XX. 1-31. (http://www.Israel-Literalism.com) Jakobson, Roman. 2000. 'On Linguistic Aspects of Translation', in R. A. Brower (ed. 1959) On Translation, Cambridge, MA: Harvard University Press. James, Kate. 2002. Cultural Implications for Translation. Online translation Article. (http://accurapid.com/journal/22delight.htm) Junus, Umar. 1989. Stilistik: Satu Pengantar. Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. Landers, Clifford E. 2001. Literary Translation. A Practical Guide. Sydney: Multilingual Matters ltd. Larson, Mildred L. 1984. Meaning based Translation. A Guide to Cross Language Equivalence. New York: University Press of America, Inc. Larson, Mildred L. 1989. Penerjemahan Berdasarkan Makna. Terjemahan Kencanawati Taniran. Jakarta: Arcan. Leech, G & M. Short.1981. Style in Fiction. A Linguistic Introduction to English Fictional Prose. London: Longman. Leonardi, Vanessa. 2000. Equivalence in Translation: Between Myth and Reality. Online Translation Journal, 4, 4, 1-14. commit to user (http://accurapid.com/journal/14equiv.htm).
perpustakaan.uns.ac.id
295 digilib.uns.ac.id
Lynch, Jack. 2001. Guide to Style and Grammar. (http://www.andromeda.rutgers.edu.) Lynch, Jim. 2005. The Highest Tide. New York: Bloomsbury Publishing. Lyons, John. 1995. Linguistic Semantics: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Martha Budianto. 2007. Kajian Penerjemahan Film (Subtitling) Berbahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia (Sebuah Studi Kebijakan). Disertasi S3 PPS UNS Surakarta. Motsch, Wolfgang & Renate Pasch. 1987. "Illokutive Handlungen: Satz, Text, prachliche Handlung (= .Studia grammatical, 25) disunting oleh Wolfgang Motsch, II -79. Berlin: Akademic -Vlg. Minhui, Xu. 2010. On Scholar Translators in Literary Translation: A Case Study of Kinkley’s Translation of “Biancheng”. Hong Kong: The Hong Kong Polytechnic University. Munday, Jeremy. 2000. Introducing Translation Studies. London/New York: Rutledge. Nababan, Rudolf. 2008. Equivalence in Translation: Some Problem-Solving Strategies. Online Translation Article. (http:// http://www.proz.com/doc/2071) Nababan, Rudolf. 2003. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Surakarta: Pustaka Pelajar. Nababan, Rudolf. 2003. Arah Penelitian Penerjemahan. Artikel disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemahan di Solo, 15-16 September 2003. Nababan, Rudolf. dkk. 2004. Keterkaitan antara Latar Belakang Penerjemah dengan Proses Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan (Studi Kasus Penerjemah Profesional di Surakarta). Laporan Penelitian. Surakarta: PPs UNS. Nababan, Rudolf. 2004. Translation Processes, Practices, and Products of Professional Indonesian Translators. Unpublished Dissertation. New Zealand: Victoria University of Wellington. Nadar, F.X. 2005. Materi dan Teknik Pengajaran Penerjemahan. Artikel disajikan dalam International Conference on Translation di Solo 14-15 commit to user September 2005.
perpustakaan.uns.ac.id
296 digilib.uns.ac.id
Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. Germany: Pergamon Press. Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. UK: Prentice Hall International. Nida, Eugene A. 1964. Toward a Science of Translating. Leiden: E.J. Brill. Nida, Eugene A and Ch. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Helps for Translators. Den Hags: Brill. Nida, Eugene A. 1975. Language Structure and Translation. California: Stanford University Press. Nieminen, T. (2004). The Value of Register, Text Type and Genre for Translation and Translation Assessment. ( http://www.uta.fi/) Nord, Christiane. 1991. Text Analysis in Translation. Theory, Methodology, and Dicdactic Application of a Model for Translation-Oriented Text Analysis. Amsterdam: Rodopi B.V. Nord, Christiane. 1997. Translating as a Purposeful Activity: Functionalist Approaches Explained. Manchester: St. Jerome Publishing. Pinto, M. (2001). Quality Factors in Documentary Translation. Online Translation Journal. Meta, XLV1, 2, 288-300. (http://www.erudit.org). Pym, Anthony. 2005. On Toury’s Laws of How Translators Translate. Translation Article. Intercultural Studies Group. Universitat Rovira, Virgili Tarragona, Spain. (http://www.tinet.cat/~apym/publications/publications.html) Pym, Anthony.2007. On History in Formal Conceptualizations of Translation. Translation Journal. Intercultural Studies Group. Universitat Rovira i Virgili Tarragona, Spain. (http://www.tinet.cat/~apym/online/translation/translation_ny.pdf) Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies. Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika. Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Read Me First Network. 2003. Understanding Style. commit to user (http://goodtools.net/pages/SUNstyle/style.net.htm).
perpustakaan.uns.ac.id
297 digilib.uns.ac.id
Riazi, Abdolmehdi. 2008. On the Test Methods and Translation Criteria Used to Assess Iranian Students’ Translations in Translation Courses. Online Translation Article.(http://www.TranslationDirectory.com). Rochayah Machali. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo. Saad, Ibrahim. 2003. Language and Choice for Learning/Translating English. (http://accurapid.com/journal). Saeed, John I. 2000. Semantics. UK: Blackwell Publishers Ltd. Sandell, Rolf. 1977. Linguistic Style and Persuasion. New York: Academic Press Inc. Searle, John R. 1979. "Literal Meaning". Expression and Meaning. Studies in the Theory of Speech Acts. Cambridge: Cambridge Univ. Press. Shiyab, Said, et al. 2003. Can Literary Style Be Translated? Journal Article in Editions UNESCO 1. France. http://accurapid.com/journal. Snell-Hornby, Mary.1988. Translation Studies: an Integrated Approach, Amsterdam and Philadelphia: John Benjamins. Sudarno, AP. 2008. Evaluasi Terjemahan Buku-buku Teks di Bidang Rancang Bangun. Disertasi S3 PPS UNS Surakarta. Sumarno, Thomas. 1988. Hubungan antara Lama Belajar dalam Bidang Penerjemahan, Jenis Kelamin, Kemampuan Berbahasa Inggris, dan Tipe-Tipe Kesilapan Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia.. Disertasi S3 Pasca Sarjana Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang. Sumarno, Thomas. 1997. Proses dan Hasil Terjemahan. Haluan Sastra Budaya no 32, Th. XVI. Oktober 1997. Surakarta: FSSR UNS.
Sumarno, Thomas. 1999. Makna dalam Penerjemahan. Makalah dalam Seminar Nasional Semantik I di UNS Surakarta. Sumarno, Thomas. 2003. Menerjemahkan itu Sulit dan Rumit. Makalah disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemah 15-16 September 2003. Surakarta. Suparman. 2003. Terjemahan dalam Sastra. Artikel disajikan dalam Kongres commit userSeptember 2003. Nasional Penerjemahan di Solo, to 15-16
298 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press. Thriveni, C. 2002. Cultural Elements in Translation. Online Journal Article, Volume 6, No.1. January 2002. (http://accurapid.com/journal/19culture.htm) Toolan, Michael J. 1990. The Stylistics of Fiction. A Literary-Linguistic Approach. London: Routledge Toury, G. 1995. Descriptive Translation Studies and Beyond. Amsterdam: John Benjamins. Toury, G. 2000. The Nature and Role of Norms in Translation. In L. Venuti. The Translation Studies Reader (hal. 198-211). London: Routledge. Turner, Mark. 1991. Reading minds: the Study of English in the Age of Cognitive Science. Princeton, NJ: Princeton University Press. Vermeer, H. J. 2000. Skopos and commission in translational action (A. Chesterman, Trans.). In L. Venuti (Ed.) The Translation Studies Reader (pp. 221-32). London: Routledge. Vinay, J.P. and J. Darbelnet. 1995. Comparative Stylistics of French and English: a Methodology for Translation, translated by J. C. Sager and M. J. Hamel, Amsterdam / Philadelphia: John Benjamins. Wales, K. 2001. A Dictionary of Stylistics. London: Longman. Wellek, Rene & Warren, Austin. 1977. Theory of Literature.London: Harcourt Brace Javanovich Publisher. Wellek, Rene & Warren, Austin. 1989. (Edisi Terjemahan). Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Williams, M. 2001. The Application of Argumentation Theory to Translation Quality Assessment. Online Translation Journal. Meta, XLV1, 2, 326344.(http://www.erudit.org) Xiaoshu, Song. 2003. Translation of Literary Style. Journal of Translation, Volume 7, Number 1. Chinese Translators Journal. (http://accurapid.com/journal/23style.htm) commit to user
299 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Yang, Caixia. 2010. Strategies of Transmitting English Cultura Elements into Chinese: Reflexion on E-C Literary Translation in China. China: Renmin University of China. Zhonggang, Sang. 2006. A Relevance Theory Perspective on Translating the Implicit Information in Literary Texts. Journal of Translation, Volume 2, Number 2. China: Chinese Translators Journal.(http://accurapid.com/journal) Zhu, Chunshen. 2004. Ut Once More: The Sentence as the Key Functional Unit of Translation. Online Translation Journal. Meta: Translators' Journal, vol. 44, n° 3, 2004, p. 429-447. (http://id.erudit.org/iderudit/004644ar) Zuchridin Suryawinata. 1982. Analisis dan Evaluasi terhadap Terjemahan Novel Sastra the Adventures of Huckleberry Finn dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Unpublished Dissertation. Malang. IKIP Malang, Pascasarjana. Zuchridin Suryawinata. 1989. Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, PPLPTK.
commit to user
300 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BIODATA Nama : Masduki Tempat/tanggal lahir : Kediri, 01 April 1973 NIP : 197304012003121001 Institusi tempat kerja : Universitas Trunojoyo Madura Jurusan : Sastra Inggris Alamat Korespondensi: Perum Seruni C5 Banyuajuh Kamal Bangkalan Madura E-mail :
[email protected] Riwayat Pendidikan 1997 Lulus S1 Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Negeri Malang 2003 Lulus S2 Pendidikan Bahasa Inggris PPS Universitas Negeri Malang 2011 Studi S3 Linguistik Penerjemahan PPS UNS Solo Kegiatan Ilmiah 5 Tahun Terakhir 2006 Seminar Establishing the Indonesian Translator Community di Solo 2007 Pelatihan Curriculum for Department of Letters di Universitas Negeri Malang 2007 Kursus Singkat Specialist Certificate on Curriculum and Materials Development di RELC, Singapura 2008 Sandwich Program Professional Practicum Program di University of New South Wales, Australia 2009 Seminar and Workshop on Book and Novel Translation and Translation Editing di Politeknik Negeri Malang 2009 Pelatihan Meningkatkan Kesadaran Lingkungan Melalui Kritik Sastra Berperspektif Lingkungan di Universitas Airlangga Surabaya 2010 Seminar Internasional FIT Sixth Asian Translators’ Forum di University of Macau, Cina Penelitian dan Publikasi Ilmiah 5 Tahun Terakhir 2006 Studi Kepedulian Laki-laki Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan. Research Grant: DIKTI/DEPDIKNAS 2006 Meningkatkan Kemampuan bahasa Inggris Mahasiswa Non-English Department melalui Program Intensive Course Model B. Research Grant: DIKTI/DEPDIKNAS 2007 Studi Efektivitas Pembelajaran bahasa Inggris Anak Usia Sekolah Dasar di Tempattempat Kursus di Kabupaten Bangkalan. Research Grant: DIKTI/DEPDIKNAS 2010 Memaknai Interaksi Lintas Bahasa dan Budaya dalam Konteks Lokal. Jurnal PROSODI Sastra Inggris Unijoyo, Vol. 4, hal 31-40 2010 Kompetensi Wacana dalam Penerjemahan (Perspektif Multikultural). Prosiding Semnas Unijoyo, Hal 187-199 2011 Examining A Novel Translation Equivalence: A Holistic Criticism Approach. Prosiding FIT Asian Translator’s Forum, Macau, page 559-575
commit to user
301 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user