Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
SEBUAH PENDEKATAN
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)
Jakarta, Desember 2005 1
Hak Cipta © Organisasi Perburuhan Internasional 2005 Publikasi-publikasi International Labour Office memperoleh hak cipta yang dilindungi oleh Protokol 2 Konvensi Hak Cipta Universal. Meskipun demikian, bagian-bagian singkat dari publikasi-publikasi tersebut dapat diproduksi ulang tanpa izin, selama terdapat keterangan mengenai sumbernya. Permohonan mengenai hak reproduksi atau penerjemahan dapat diajukan ke Publications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH 1211 Geneva 22, Switzerland. International Labour Office menyambut baik permohonan-permohonan seperti itu. Perpustakaan, insitusi-institusi dan para pengguna lain yang terdaftar di Inggris dengan Copyright Licensing Agency, 90 Tottenham Court Road, London W1P 9HE (Fax: + 44 171 436 3986), di Amerika Serikat dengan Copyright Clearance Center, 222 Rosewood Drive, Danvers, MA 01923 (Fax: +1 508 750 4470) atau di negara-negara lain dengan Organisasi-organisasi Hak Reproduksi yang terkait, dapat membuat fotokopi sesuai dengan izin yang dikeluarkan bagi mereka untuk kepentingan ini.
ILO International Labour Organization, 2005 “Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia – Sebuah Pendekatan”
ISBN 978-92-2-018439-4 (print) 978-92-2-018440-0 (web pdf)
Penggambaran-penggambaran yang terdapat dalam publikasi-publikasi ILO, yang sesuai dengan praktek-praktek Persatuan Bangsa-Bangsa, dan presentasi materi yang berada didalamnya tidak mewakili pengekspresian opini apapun dari sisi International Labour Office mengenai status hukum negara apa pun, wilayah atau teritori atau otoritasnya, atau mengenai delimitasi batas-batas negara tersebut. Tanggung jawab atas opini-opini yang diekspresikan dalam artikel, studi dan kontribusi lain yang ditandatangani merupakan tanggung jawab pengarang seorang, dan publikasi tidak mengandung suatu dukungan dari International Labour Office atas opini-opini yang terdapat didalamnya. Referensi nama perusahaan dan produk-produk komersil dan proses-proses tidak merupakan dukungan dari International Labour Office, dan kegagalan untuk menyebutkan suatu perusahaan, produk komersil atau proses tertentu bukan merupakan tanda ketidaksetujuan. Publikasi ILO dapat diperoleh melalui penjual buku besar atau kantor ILO lokal di berbagai negara, atau langsung dari ILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland. Katalog atau daftar publikasi baru akan dikirimkan secara cuma-cuma dari alamat diatas.
Dicetak di Jakarta, Indonesia
2
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Kata Pengantar Secara historis, Indonesia seringkali dihadapkan pada masalah pengangguran dan pengangguran terselubung dan rendahnya standar hidup. Pertumbuhan ekonomi yang pesat selama kurun waktu 1980-an sampai pertengahan 1990-an telah menghasilkan kemajuan dalam menambah keragaman lapangan kerja dari yang bernilai rendah sampai yang bernilai cukup tinggi. Standar hidup pun mulai meningkat. Tapi, krisis keuangan pada akhir 1990-an telah menyebabkan kemunduran yang luar biasa. Kini, perekonomian Indonesia memang sudah pulih, meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah dibandingkan masa sebelumnya. Lebih penting lagi, penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor utama tidak cukup tinggi untuk dapat menghasilkan dampak yang berarti di bidang ketenagakerjaan. Indonesia memiliki komitmen terhadap program Millennium Development Goals (Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium), yang mengharuskan dipenuhinya tujuan-tujuan di bidang kemiskinan dan standar hidup dalam suatu kerangka waktu yang telah ditentukan. Dalam konteks ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerja sama dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyusun sebuah makalah kebijakan untuk mengatasi masalah-masalah ketenagakerjaan kaum miskin di Indonesia, terutama mereka yang berada di daerah-daerah pedesaan. Makalah ini merupakan cetak biru dari sebuah rencana aksi yang ditujukan untuk menyediakan jenis-jenis pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan dan pekerjaan semi-terampil bagi mereka yang diidentifikasi sebagai kaum miskin, untuk periode waktu yang terbatas setiap tahunnya. Para pekerja akan dikerahkan guna menciptakan aset-aset yang memiliki arti ekonomi; yang pada gilirannya akan langsung memberikan nilai tambah dan menciptakan lebih banyak pekerjaan dalam perekonomian lokal. Ada sejumlah pilihan untuk suatu terciptanya jaminan sosial, serta pembangunan kapasitas di kalangan kelompok-kelompok yang memperoleh keuntungan dari program-program itu. Rencana tersebut menyadari kondisi lapangan yang ada di Indonesia, termasuk pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari program-program Padat Karya dan program-program pengentasan kemiskinan yang lain; pada saat yang bersamaan, rencana tersebut belajar dari kekayaan pengalaman yang diperoleh dari programprogram yang sama di tempat-tempat lain. Dr. Sarthi Acharya, Direktur di Institute of Development Studies (Jaipur, India) dan konsultan ILO, adalah penyusun makalah ini. Beliau memiliki keterkaitan yang panjang dengan program-program pekerjaan umum yang bersifat padat karya di India, di mana program-program tersebut telah diterapkan secara resmi. Di Indonesia, beliau telah menemui pejabat-pejabat dari berbagai bidang yang luas mulai dari para pembuat kebijakan di tingkat nasional dan ahli-ahli lain yang telah memberikan pandangan mereka dan telah banyak membantu dalam perumusan analisis rekomendasi-rekomendasi dalam makalah ini. Bappenas dan ILO sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah meluangkan waktu mereka untuk berdiskusi. Ada harapan yang tulus bahwa makalah ini akan memberikan kontribusi pada perumusan kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia dan, pada khususnya dalam memberikan kesempatan kerja yang lebih besar bagi kaum miskin.
Bambang Widianto Bappenas
Alan Boulton ILO Jakarta
3
Daftar Istilah Bappeda Bappenas BKKBN BPS Bulog Depnakertrans DGRA EGAI EIU GDP IDT ILO KDP M&E MDG MEGS MIS NEGP Ornop PBB PDM-DKE PK PKD PPP Sakernas SEWA UKM SMERU Susenas Takesra/Kukesra UNDP UNSFIR UPP WEC
4
Badan Perencanaan Penbangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Badan Pusat Statistik Badan Urusan Logistik Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Directorate General of Regional Autonomy (Direktorat Jenderal Otonomi Daerah) Employment Guarantee Act of India (Undang-Undang Jaminan Ketenagakerjaan India) Economist Intelligence Unit (Satuan Intelijen Ekonomi) Gross Domestic Product (Pendapatan Nasional Bruto) Inpres Desa Tertinggal International Labour Organisation (Organisasi Perburuhan Internasional) Kecamatan Development Programme (Program Pembangunan Kecamatan) Monitoring and Evaluation (Monitoring dan Evaluasi) Millennium Development Goals (Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium) Maharashtra Employment Guarantee Programme (Program Jaminan Ketenagakerjaan Maharashtra) Management Information System (Sistem Informasi Manajemen) National Employment Guarantee Programme (Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional) Organisasi Non-Pemerintah Persatuan Bangsa-Bangsa Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi Padat Karya Padat Karya Desa Purchasing Power Parity (Daya Beli) Survei Tenaga Kerja Nasional Self Employed Women’s Association (Asosiasi Perempuan Wiraswastawan) Usaha Kecil dan Menengah Social Monitoring and Early Response Unit Survei Sosial Ekonomi Nasional Tabungan Kesejahteraan Rakyat dan Kredit Kesejahteraan Rakyat United Nations Development Programme United Nations Support Facility for Indonesia Recovery Urban Poverty Programme (Program Kemiskinan Perkotaan) Work Eligibility Card (Kartu Kelayakan Kerja)
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Abstrak Laporan ini menyajikan rancangan Program Jaminan Ketenagakerjaan untuk Indonesia yang memiliki tujuan ganda, yaitu: membantu memberantas kemiskinan dan pengangguran/ pengangguran terselubung, serta menciptakan aset-aset dan jasa-jasa layanan produktif bagi perekonomian. Secara implisit, rancangan ini juga disiapkan untuk memberdayakan kaum miskin dan mendorong desentralisasi ekonomi. Program ini bermaksud menciptakan pekerjaan dalam berbagai kegiatan yang tidak memerlukan keterampilan bagi (sasaran tahunan) penduduk miskin. Fitur-fitur yang unik: Program ekonomi yang luas ini bertujuan mengatasi keterbatasanketerbatasan yang dihadapi skema-skema sebelumnya, seperti adanya program yang tidak berkelanjutan, ketidakmampuan pekerja untuk berkembang dalam pekerjaannya, dan ketidakmampuan dalam mencocokkan permintaan dengan pasokan tenaga kerja. Program ini hendak memperluas jaminan sosial dan pembangunan kapasitas di kalangan sasaran program. Program ini memiliki rencana untuk membangun aset-aset yang cukup besar dan bersprektum luas, di tingkat komunitas dan swasta. Tiga pilar yang menjadi dasar program ini: (1) Penciptaan kesempatan kerja bagi kaum miskin, terutama di daerah-daerah pedesaan dan di daerah pedalaman—maksimum tiga bulan dalam setahun, dengan rata-rata upah bulanan sebesar Rp 350.000; (2) Pembentukan aset produktif baik yang berskala besar maupun yang kecil (dan harmonis secara sektoral) dalam perekonomian lokal, yang pada gilirannya akan menghasilkan lebih banyak kesempatan kerja sebagai produk sampingan; dan (3) Perluasan pilihan-pilihan pembangunan manusia bagi para pekerja dan rumah tangga mereka. Program ini mengusulkan untuk menjadikan sekitar 15 juta rumah tangga miskin sebagai sasaran; tetapi mengingat besarannya, mungkin akan ada sejumlah keterbatasan. Masalah itu akan diatasi dengan membuat sebuah program percontohan terlebih dahulu. Dewan Nasional, Dewan Provinsi, dan Dewan Kabupaten, masing-masing dengan keterwakilan pemangku kepentingannya, akan dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan program. Program tersebut akan diterapkan di tingkat kabupaten di mana seorang staf program (di bawah bupati) akan mengkoordinasikan tim teknis, statistik/data, manajemen sistem informasi (MIS), dan administrasi. Program ini diharapkan dapat menjangkau program-program pembangunan dan peningkatan lain yang ada di dalam negeri untuk membangun sinergi (dua arah) dan juga menggunakan personil dan infrastruktur bersama-sama. Pekerjaan-pekerjaan tersebut akan diimplementasikan oleh departemen-departemen teknis dan departemen terkait (dan pengusaha swasta) berdasarkan instruksi/saran dari petugas program. Setiap saat, sejumlah pekerjaan diharapkan sudah bisa dilaksanakan. Tanggung jawab untuk memulai pekerjaan adalah tanggung jawab departemen teknis dan departemen yang terkait, yang merencanakan dan mengimplementasikan pekerjaan-pekerjaan ini berbarengan dengan prioritas-prioritas sektoral mereka. Sistem informasi manajemen yang berdinamika kuat, dikoordinasikan di tingkat kabupaten, bertujuan untuk menghubungkan petugas program dengan tingkat desa/kota/lokal—untuk memastikan jumlah dan ketersediaan pekerja di masing-
5
masing lokasi—di satu sisi, dan tempat-tempat kerja (melalui departemen teknis dan pengguna)— untuk memperoleh perkiraan permintaan atas pekerja di tempat tersebut—di sisi yang lain. Sebuah sistem monitoring dan evaluasi (M&E) akan mencakup: pencatatan jumlah tenaga kerja, pengeluaran dan penyelesaian proyek-proyek, kondisi kerja, upah dan masalah-masalah pengerahan lain di tempat kerja, evaluasi pengguna mengenai proyek-proyek yang telah diselesaikan, audit pengeluaran, dan penilaian dampak keseluruhan program terhadap kondisi kehidupan pekerja. Juga disarankan agar dilaksanakan pertemuan berkala dan diskusi-diskusi lain secara lokal untuk meninjau ulang dan menanggapi pengaduan. Pengeluaran tahunan dari proposal ini adalah sekitar Rp 31,9 triliun (3,2 miliar dolar AS, atau 2,3 dolar AS per orang-hari), Meskipun demikian, mengingat kenyataan bahwa tidak semua rumah tangga miskin memiliki anggota keluarga yang secara fisik mampu bekerja, dan kalaupun ada yang memiliki pekerja, mungkin tidak dapat menyediakan diri mereka selama tiga bulan, perkiraan pengeluaran mungkin tidak melebihi Rp 20-24 triliun.
6
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Daftar Isi Ringkasan Eksekutif 1 Pengantar 1.1 Dasar Pemikiran 1.1 Kasus sebuah program ketenagakerjaan 1.2 Tata letak
vi 1 1 2 3
2
Alur Logis NEGP 2.1 Pengerahan surplus tenaga kerja—Dasar-Dasarnya 2.2 Pendekatan yang diusulkan 2.3 Administrasi dan pengoperasian program
3 3 4 8
3
Menatapkan populasi sasaran 3.1 Menghitung jumlah penduduk miskin berdasarkan daftar indikator 3.2 Menargetkan diri sendiri 3.3 Pendekatan perkiraan daerah kecil
9 9 11 12
4
Tata Kelola NEGP 4.1 Di tingkat nasional 4.2 Di tingkat Provinsi 4.3 Di tingkat kabupaten/kota 4.4 Di tingkat desa/kota/lokal
13 13 14 14 15
5
Spektrum aset yang akan diciptakan 5.1 Proyek-proyek besar yang sedang dilaksanakan 5.2 Pemeliharaan dan perbaikan proyek-proyek yang ada 5.3 Proyek-proyek pekerjaan umum yang khusus dirancang untuk NEGP 5.4 Proyek-proyek yang inovatif dan/atau berisiko tinggi 5.5 Infrastruktur desa kecil
18 18 19 19 20 21
6
Tata Kerja NEGP 6.1 Tanggung jawab dan pra-kondisi 6.2 Mengoperasikan NEGP 6.3 Kelayakan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban pekerja
21 21 22 23
7
Tingkat upah 7.1 Menetapkan upah agar mendekati upah yang berlaku 7.2 Membayar berdasarkan waktu atau hasil?
25 25 26
8
Monitoring dan evaluasi 8.1 Pertanyaan 8.2 Proses pengumpulan data
28 28 29
7
9
Jaminan manusia 9.1 Pembangunan Kapasitas 9.2 Jaminan Sosial
30 30 31
10
Pembiayaan 10.1 Biaya dan tahapan pengeluarannya 10.2 Pembagian pembiayaan 10.3 Sumber-sumber pendanaan
33 33 34 34
11
Kesimpulan
34
Daftar Pustaka
36
Lampiran-Lampiran
39
8
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Ringkasan Eksekutif Laporan ini menyajikan rancangan Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional – National Employment Guarantee Programme (NEGP) yang memiliki tujuan ganda, yaitu: membantu mengentaskan kemiskinan dan pengangguran/pengangguran terselubung, terutama di kalangan kaum muda dan di daerahdaerah pedesaan/pedalaman, dan menciptakan aset-aset dan jasa-jasa produktif bagi perekonomian. Selain itu, secara implisit, argumentasi yang ada dalam makalah ini juga menyangkut pemikiran mengenai pemberdayaan kaum miskin (melalui penyediaan lapangan kerja) dan desentralisasi ekonomi, keduanya merupakan prasyarat untuk mencapai kondisi-kondisi pekerjaan yang layak dalam komunitas pekerja yang lebih luas. Program ini bertujuan menciptakan pekerjaan bagi penduduk miskin melalui kegiatan-kegiatan yang tidak memerlukan tenaga kerja terampil dengan target tahunan tidak melebihi tiga bulan.
A. DASAR PEMIKIRAN Ada sejumlah pertanyaan: Mengapa merancang dan memprakarsai program pengentasan kemiskinan yang berorientasi pada ketenagakerjaan yang lain ketika Indonesia sudah memiliki pengalaman dengan banyak skema-skema serupa [khususnya Padat Karya (PK)] di masa lalu? Apa yang baru? Apakah program ini akan berhasil? Raison d’être (alasan-alasan) untuk program yang baru: Pendekatan baru yang diusulkan menyajikan garis besar program ekonomi yang lebih luas yang bertujuan untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi skema-skema program padat karya, di antaranya ketidakmampuan untuk mengaitkan permintaan dengan pasokan tenaga kerja karena keterbatasan jangkauan dan cakupan geografis, dan kecilnya skema-skema individual. Dalam konteks ini, diusulkan pula di sini untuk menyatukan seluruh skema-skema PK yang berbeda di bawah satu payung. Kemudian, proposal ini menekankan komitmen yang relatif berjangka panjang terhadap pekerja dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya, berkebalikan dengan upaya-upaya penanganan darurat yang ada dalam berbagai skema sebelumnya. Karena itu, program yang baru mungkin akan disesuaikan secara lebih tepat sebagai sebuah program pengentasan kemiskinan, yang juga memiliki komponen-komponen jaminan sosial dan pembangunan kapasitas di dalamnya. Ketiga, terdapat dukungan yang kuat untuk membangun aset-aset yang cukup besar dan berbasis luas—kebanyakan berupa infrastruktur jangka panjang, tetapi beberapa juga memiliki nilai ekonomi jangka pendek—yang akan membuat program ini juga dapat dikualifikasikan sebagai sebuah program yang memberikan kontribusi terhadap penambahan ekonomi langsung. Terakhir, terdapat usulan yang pasti di sini bagi partisipasi sektor swasta, dan oleh karenanya juga pembiayaan bersama pada beberapa tahapan.
9
B. RANCANGAN Arsitektur program bersandar pada tiga pilar: (1) Penciptaan kesempatan kerja bagi kaum miskin, terutama di daerah pedesaan dan pedalaman; (2) Pembetukan aset (besar dan kecil) yang produktif (dan harmonis secara sektoral) dalam perekonomian lokal, yang pada gilirannya akan menghasilkan lebih banyak kesempatan kerja sebagai produk sampingan; dan (3) Pengembangan hubungan yang aktif antara para pekerja dan rumah tangga mereka dengan program-program (biasanya, program pembangunan manusia) lain. Masing-masing pilar tersebut akan menguatkan satu sama lain untuk membentuk sinergi.
C. PENETAPAN SASARAN Program ini mengusulkan untuk menjadikan kaum miskin (dan hampir miskin) sebagai target. Berdasarkan survei terkini Susenas dan kalkulasi BPS, jumlah mereka mencapai sekitar 15 juta rumah tangga di seluruh Indonesia. Untuk menyelenggarakan program (jaminan) ini, yang penting dilakukan adalah mengidentifikasi rumah tangga-rumah tangga miskin secara individual melalui sebuah sensus, dengan memakai kriteria yang relatif sederhana dan kuat dalam soalsoal seperti: kapasitas manusia, aset-aset fisik, dan karakteristik demografis. Variabel yang paling penting di sini antara lain, ketiadaan kepemilikan tanah di kalangan petani dan kurangnya aset-aset produktif/pendidikan. Untuk memeriksa ulang daftar yang sudah ada dan juga untuk menghasilkan legitimasi yang lebih kuat, perlu diupayakan partisipasi komunitas desa/kota/ lokal. Penentuan sasaran di beberapa wilayah khusus —untuk mengidentifikasi penduduk lokal yang lebih miskin—diusulkan digunakannya ‘teknik perkiraan wilayah kecil’. Meskipun demikian, diperlukan lebih banyak penelitian dalam hal ini sebelum metode tersebut distandarisasi. Akhirnya, isu besar lainnya mencakup penduduk yang berpindah-pindah tempat, dan diperlukan upaya khusus untuk menghitung secara akurat dan menjadikan kelompok ini sebagai sasaran. Secara implisit, dalam rancangan ini juga terdapat penentuan sasaran secara langsung dan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu, dari mereka yang terdaftar sebagai kaum miskin, hanya rumah tangga-rumah tangga yang memiliki pekerja yang bersedia bekerja secara sukarela di tempat-tempat NEGP yang akan memperoleh manfaatnya. Mengingat besarnya jumlah penduduk yang bakal dijangkau, akan terdapat kejutan-kejutan dalam pelaksanaan program. Mungkin akan menjadi gagasan yang bagus untuk membuat proyek percontohan terlebih dahulu di sebuah atau beberapa Provinsi dan kemudian memperluas program secara bertahap untuk mencakup seluruh negeri.
D. TATA LAKSANA NEGP Diusulkan untuk membentuk sebuah Dewan Nasional NEGP, dengan Bappenas sebagai lembaga pemimpin (ketua) bersama Depnakertrans, sebagai departemen pelaksana menjadi wakil ketua. Anggota-anggota lain: perwakilan-perwakilan dari kementerian-kementerian yang terkait (pertanian, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain—semua yang memiliki atau menggunakan proyek-proyek sipil), BPS, gubernur-gubernur provinsi, dan undangan-undangan dari sektor swasta, organisasi non pemerintah dan masyarakat sipil. Dewan Nasional ini akan memegang puncak kebijakan dan otoritas perencanaan. Sehubungan dengan hal itu, di tingkat provinsi sebaiknya didirikan sebuah Dewan Provinsi, dan sebuah Dewan Kabupaten di tingkat Kabupaten, yang masingmasing diwakili oleh para pemangku kepentingan.
10
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Satuan pemerintahan utama di mana program ini akan dipusatkan adalah kabupaten. Seorang staf program akan mengepalai sebuah sekretariat yang terdiri dari petugas-petugas teknis, statistik/ data, sistem informasi manajemen dan administratif. Staf tersebut akan menjadi penghubung dengan kecamatan dan desa/kota/lokal di satu sisi dan dengan provinsi dan pusat di sisi lain. Petugas program akan bekerja di bawah supervisi menyeluruh dari bupati dan dewan kabupaten. Kerja sama yang erat antar berbagai kementerian dan departemen, antar provinsi dan antar kabupaten di dalam provinsi, selain kerja sama antar tingkat pemerintahan yang berbeda-beda dari desa/kota/ lokal sampai ke pusat merupakan hal yang penting untuk menjamin keberhasilan program ini. Akhirnya, sebuah hubungan organik dengan pemangku-pemangku kepentingan yang berbeda-beda merupakan hal yang sangat penting. Indonesia sudah memiliki sejumlah program pengentasan kemiskinan dan program-program pembangunan/promosi lain. Karena itu, berbagai upaya tersebut diharapkan dapat menjangkau berbagai program tersebut untuk membangun sinergi (dua arah). Selain itu, ada kesempatan lain dalam hal berbagi personil dan infrastruktur.
E.
ASET-ASET YANG AKAN DICIPTAKAN MELALUI PENGERAHAN TENAGA KERJA Program ini diharapkan dapat menciptakan aset-aset yang tahan lama dan jasa-jasa yang nyata melalui pengerahan surplus tenaga kerja. Aset-aset yang diperlukan bisa saja kecil dan terdapat di tingkat desa saja, tetapi tenaga kerja dapat dikerahkan untuk kegiatan apapun yang didorong oleh permintaan dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian lokal atau perekonomian yang lebih luas. Serangkaian kategori proyek di mana tenaga kerja ini dapat dikerahkan disajikan di bawah ini: (1) Komponen tenaga kerja tidak terampil dalam proyek-proyek pembangunan besar; (2) Komponen tenaga kerja tidak terampil dalam jasa yang diperlukan untuk memelihara proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan infrastruktur terpilih; (3) Aset-aset skala menengah/kecil (padat karya, didorong oleh permintaan) yang bermanfaat bagi kondisi lokal di daerah-daerah pedesaan atau semi-perkotaan; (4) Proyek-proyek berisiko tinggi di sektor swasta dengan komponen tenaga kerja yang besar (di mana upah yang dibayarkan dari program untuk tenaga kerja tidak terampil akan berupa subsidi); (5) Proyek-proyek kecil berbasis desa, seperti Padat Karya di tahun-tahun sebelumnya. Ada keyakinan bahwa pada awalnya, proyek-proyek dalam dua kategori pertama akan melibatkan hingga 15 persen pekerja saja, kategori keempat sekitar lima persen, sementara kategori (3) dan (5) diharapkan dapat mempekerjakan sisanya yaitu sekitar 80 persen. Proporsi ini akan berubah sewaktu-waktu, terutama jika kategori (4) yang dianggap lebih penting. Aset-aset akan disesuaikan dengan prioritas-prioritas sektor perekonomian. Selain itu, seperti telah dinyatakan sebelumnya di Bagian E, proyek-proyek yang diciptakan/dilaksanakan di sini dapat melengkapi proyek-proyek yang dibangun/dilaksanakan oleh program-program lain.
F.
TATA KERJA NEGP Para staf program, dalam koordinasi yang erat dengan departemen teknis/terkait, bertugas menyiapkan dan menjaga dinamika proyek sekaligus pembiayaannya di tingkat kabupaten. Pekerjaan-pekerjaan tersebut akan diimplementasikan oleh departemen-departemen teknis
11
dan departemen-departemen terkait (dan juga pengusaha swasta yang berpartisipasi dalam program ini) berdasarkan instruksi dan saran dari staf program (NEGP). Sewaktu-waktu, sejumlah pekerjaan diharapkan dapat dilaksanakan [kapasitas: sekitar 10 persen lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan yang diperkirakan—setidaknya dalam kategori (3)-(5) Bagian E (di atas)]. Dimulainya pekerjaan sepenuhnya merupakan tanggung jawab departemen-departemen teknis dan departemen terkait, yang merancang dan mengimplementasikan pekerjaan-pekerjaan ini bersama prioritasprioritas sektoralnya. Beberapa proyek [biasanya kategori (5), Bagian E di atas] juga dapat dimulai atas prakarsa komunitas desa. Akan ada dinamika sistem informasi manajemen (MIS) yang kuat (yaitu yang diperbaharui secara berkala) yang dikoordinasikan di tingkat kabupaten dan menghubungkan tingkat desa/kota/lokal untuk menetapkan jumlah dan ketersediaan pekerja di masing-masing lokasi, dari waktu ke waktu di satu sisi, dan tempat-tempat kerja (melalui departemen teknis dan pengguna) untuk memperoleh perkiraan permintaan atas pekerja di tempat-tempat tersebut, di sisi lain. Para pekerja, biasanya berusia 17 tahun ke atas (dan 60 tahun), berasal dari rumah tangga miskin (sesuai dengan daftar—Bagian C di atas), harus mendaftar di kabupaten (petugas program) dan memperoleh Kartu Kelayakan Kerja. Sebuah rumah tangga yang memegang kartu tersebut akan dapat bekerja maksimum tiga orang-bulan kerja dalam satu tahun dengan tingkat upah yang telah ditentukan sebelumnya. Lebih dari satu orang pekerja dari satu rumah tangga yang dapat berpartisipasi dalam program dalam kuota tahunan tiga orang-bulan kerja. Mereka yang ingin bekerja diharapkan mendatangi kepala desa/kota/lokal, yang akan mengarahkan para pekerja ke tempat-tempat kerja terdekat di mana tersedia pekerjaan, sebaiknya di dalam wilayah kabupaten, berdasarkan sistem informasi yang dinamis (lihat di atas) yang menghubungkan kabupaten dengan departemen-departemen teknis dan departemendepartemen terkait, yang akan membagi data yang mereka miliki dengan kepala-kepala desa/ kota/lokal. Para pekerja harus menawarkan diri untuk bekerja selama periode minimum, misalnya sebulan. Petugas program akan memiliki hak untuk mengurutkan pasokan tenaga kerja sedemikian rupa sehingga dapat menjamin kelancaran arus pekerja sepanjang tahun. Pada saat yang sama, berbagai upaya akan dilakukan untuk mempertahankan tingginya intensitas pekerjaan selama musim paceklik, dan kebalikannya. Langkah kebijakan untuk proses memulai kerja diharapkan kurang lebih seperti berikut ini: (1) Petugas program kabupaten, setelah menerima daftar pekerjaan yang sedang berjalan dan yang diajukan departemen teknis dan departemen terkait bersamaan dengan anggarannya, akan menyiapkan perkiraan biaya proyek di tingkat kabupaten dalam format yang telah ditentukan sebelumnya dan kemudian mengirimkannya ke pusat (Kementerian Perencanaan/Tenaga Kerja) melalui provinsi. Proses ini akan diulangi setiap catur wulan. (2) Berdasarkan perkiraan ini, otoritas pusat akan mencairkan dana bagi kabupaten setiap catur wulan. Rekening bank yang terpisah akan digunakan untuk program ini di tingkat kabupaten. Dana akan dicicil sebanyak empat kali pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan sebelumnya. (3) Petugas program akan meminta departemen teknis dan departemen terkait untuk memulai setidaknya 30 persen dari proyek-proyek yang diidentifikasi dalam kategori (3) dan (5) segera setelah menerima dana, dengan asumsi bahwa setidaknya permintaan atas pekerjaan sebesar ini akan selalu ada. Dana akan sepenuhnya dikirim ke departemen teknis dan departemen terkait untuk pencairan lebih lanjut sesuai dengan perkiraan dalam butir (1) di atas. (4) Staf program akan menyusun sebuah penilaian terperinci mengenai permintaan tenaga kerja lebih lanjut [di luar dari 30 persen yang terdapat dalam butir (3) di atas] dengan bantuan data yang diterima dari tingkat desa/kota/lokal. Berdasarkan penilaian ini, lebih banyak pekerjaan dapat dimulai, di mana staf program akan mengirimkan lebih banyak sumber daya keuangan kepada departemen-departemen teknis.
12
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
G. UPAH Upah akan dibayarkan sesuai hasil kerja: yaitu sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Sebuah Panduan Pengupahan yang komprehensif harus disiapkan untuk kepentingan ini. Tingkat upah harus ditetapkan sehingga tidak mengakibatkan ketidakstabilan pasar kerja, meskipun upah tersebut akan menjadi standar upah terendah, dan juga bertujuan untuk menghasilkan keseimbangan jender (rata-rata nasional yang disarankan lintas pekerjaan dan lintas lokasi: Rp 350.000 per bulan—untuk disesuaikan di setiap provinsi berdasarkan standar hidup dan/atau upah yang berlaku untuk jenis pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan yang tidak resmi). Fasilitas-fasilitas lain di tempat kerja seperti berbagai tunjangan (crèches), P3K, air minum, dan lain-lain akan menjadi bagian dari paket yang disediakan.
H. MONITORING DAN EVALUASI Sebuah sistem monitoring dan evaluasi (M&E) yang kuat akan diterapkan dalam program ini untuk melindungi kepentingan para pekerja, proyek-proyek, dan para pembayar pajak. Sistem M&E akan mencakup: pencatatan pekerjaan, belanja dan penyelesaian proyek, inspeksi kondisi kerja, upah dan masalah-masalah lain dalam pengerahan di tempat kerja, evaluasi pengguna terhadap proyek-proyek yang telah diselesaikan, audit pengeluaran, dan penilaian dampak keseluruhan program terhadap kondisi kehidupan para pekerja dan rumah tangga mereka. Diskusi terbuka secara berkala di tingkat desa/kota/lokal untuk meninjau kembali prioritasprioritas program dan aksi-aksi lokal yang diperlukan untuk menghasilkan perbaikan juga disarankan. Akhirnya, terdapat usulan untuk menangani pengaduan.
I.
PEMBANGUNAN KAPASITAS DAN JAMINAN SOSIAL Program ini bertujuan membangun hubungan jangka panjang dengan para pekerja dan rumah tangga mereka sedemikian rupa sehingga dimungkinkan untuk membuat target programprogram pembangunan manusia yang lain seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial bagi mereka secara partisipatif. (1) Untuk pembangunan kapasitas, terdapat tiga aspek yang dikemukakan: a. Memilih pembangunan kapasitas para pekerja yang berpartisipasi melalui pemberian keterampilan; b. Sekolah yang berkelanjutan bagi kaum muda di rumah tangga-rumah tangga sasaran; c. Intervensi kesehatan yang sangat selektif. Untuk (a), program akan mengidentifikasi bidang-bidang pelatihan dan secara selektif mendanai waktu dan biaya, sementara untuk (b) dan (c), diusulkan suatu sistem monitoring berbasis desa. (2) Untuk jaminan sosial, sebuah skema asuransi kesehatan partisipatif disarankan di mana para pekerja akan membayar Rp 50.000 dan program akan membayarkan jumlah yang sama setiap tahunnya, untuk setiap rumah tangga yang berpartisipasi. Uang tersebut diharapkan dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu dan untuk program keluarga berencana.
13
J.
PEMBIAYAAN Pengeluaran tahunan proposal ini berjumlah sekitar Rp 31,9 triliun (US$ 3,2 miliar, atau US$ 2,3 per orang-hari), dikurangi pengeluaran-pengeluaran tidak langsung, yaitu pengeluaran biaya tetap—diharapkan tidak melebihi 5 persen dari jumlah keseluruhan, dan diserap oleh departemen-departemen. Biaya disusun berdasarkan: (a) Upah bulanan sebesar Rp 350.000 (rata-rata nasional) untuk tiga bulan untuk 15 juta pekerja; (b) Perimbangan sampai 20 persen pekerja di tempat-tempat kerja yang besar (atau swasta) di mana program hanya membayarkan upahnya saja; (c) Mempertahankan rasio upah terhadap belanja material sebesar 45 (upah):55 (material), untuk proyek-proyek yang khusus dirancang untuk program dan menjumlahkan baik upah maupun belanja material; dan (d) Kontribusi untuk asuransi kesehatan. Meskipun demikian, mengingat bahwa pada kenyataannya tidak semua rumah tangga miskin bisa menyediakan pekerja yang memiliki kemampuan fisik untuk bekerja, dan rumah tanggarumah tangga yang memilikinya mungkin tidak mengikutsertakan anggota keluarganya untuk selama tiga bulan penuh, perkiraan pengeluaran mungkin tidak akan melebihi Rp 20-24 triliun. Pengeluaran tersebut diusulkan untuk ditanggung bersama oleh pemerintah di berbagai tingkatan pemerintahan, meskipun pengeluaran yang terbesar akan ditanggung oleh pemerintah pusat. Selain itu, diusulkan pula beberapa pajak khusus.
K. PENTAHAPAN Satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menghapuskan mereka yang masuk kategori hampir miskin dari daftar awal dan program berkonsentrasi pada mereka yang benar-benar miskin, yaitu 9,7 juta rumah tangga dan bukan 15 juta seperti yang diperkirakan pada awalnya, sehingga mengurangi pengeluaran kotor dari Rp 31,9 triliun menjadi Rp 20,7 triliun, dan pengeluaran yang sebenarnya tidak melebihi Rp 15 triliun. Kemudian, seperti dinyatakan di Bagian C di atas, sebuah program sebesar ini mungkin sulit dilaksanakan sekaligus. Oleh karena itu, program dapat dibuat bertahap: daerah-daerah yang akan dicakup untuk pertama kalinya harus proporsional dengan kemiskinan di sana. Membuat tahapan program, mungkin dimulai dengan provinsi yang lebih miskin—misalnya Jawa Timur— dapat menjadi satu pendekatan yang dapat dipilih –
14
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia – Sebuah Pendekatan
1.
PENGANTAR
1.1 Dasar Pemikiran Makalah ini bertujuan membuat studi kasus dan menyajikan rancangan program jaminan ketenagakerjaan nasional – national employment guarantee programme (NEGP) yang memungkinkan untuk Indonesia. Banyak pekerjaan akan diciptakan bagi kaum miskin, dalam kegiatan-kegiatan yang tidak memerlukan keterampilan dalam periode waktu tertentu setiap tahunnya dengan upah yang telah ditentukan sebelumnya dalam proyek-proyek yang dirancang di seluruh negeri untuk kepentingan ini. Maksud yang lain dari pelaksanaan program ini adalah untuk membantu menghapuskan kemiskinan dan pengangguran/pengangguran terselubung, terutama di daerah pedesaan dan di kalangan kaum muda; dan untuk menciptakan aset-aset produktif serta menyediakan jasa-jasa yang bermanfaat bagi perekonomian. Premis dasar makalah ini adalah bahwa angkatan kerja yang bersedia bekerja harus memiliki kesempatan dan akses terhadap pekerjaan yang dibayar dan produktif serta bermartabat; sesuatu yang dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar RI [Pasal 27(2)], dan juga dapat dicari rujukannya dalam upaya ILO mempromosikan pekerjaan yang layak.1 Agenda yang tersirat dalam makalah ini adalah untuk mempromosikan pemberdayaan kaum miskin dan memperkuat ‘hak-hak’ mereka melalui penyediaan pekerjaan.2 Pertanyaan: Indonesia telah memiliki serangkaian program pengentasan kemiskinan termasuk berbagai program padat karya di masa lalu: bunga rampai yang singkat disajikan di Boks 2. Misalnya, Padat Karya (PK) telah dilaksanakan oleh 16 kementerian dan departemen yang berbeda belum lama ini. Beberapa skema kecil masih berjalan. Sejauh mana proposal ini akan berbeda dengan apa yang telah diusulkan dan diimplementasikan sebelumnya—di mana bekasbekasnya masih tampak terlihat? Bagaimana proposal ini akan lebih berhasil? Jawaban: Fitur-fitur yang penting dan unik dalam program yang diusulkan ini adalah: 1.
2.
3.
1 2
Program ini menyajikan sebuah garis besar program ekonomi yang luas yang bertujuan mengatasi berbagai keterbatasan yang dihadapi sejumlah skema PK yang tidak mampu menyesuaikan permintaan dan pasokan tenaga kerja karena keterbatasan jangkauan, cakupan geografis dan kecilnya masing-masing skema PK. Proposal ini juga merekomendasikan disatukannya seluruh skema PK yang berbeda-beda di bawah sebuah program yang disponsori secara nasional, memiliki keseragaman standar dan tujuan. Penekanannya adalah pada komitmen yang relatif berjangka panjang baik terhadap para pekerja dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan, tidak seperti skema ketenagakerjaan yang lain di Indonesia atau di tempat-tempat lain. Dengan demikian, program ini dapat disebut sebagai suatu program pengentasan kemiskinan dengan intervensi (terbatas) dalam pasar kerja, dan bukan suatu program sejenis penanggulangan darurat. Penekanan pada pengentasan kemiskinan lebih ditekankan lagi dengan kenyataan bahwa terdapat komponen-komponen jaminan sosial serta pembangunan kapasitas yang dikembangkan dalam program ini.
Website http://www.ilo.org/jakarta; ILO (2004) Kedua hal ini merupakan prioritas, baik dalam skema pembangunan nasional maupun internasional. Lihat The Millennium Declaration, dan MDGs (UN 2001; UNDP 2003). Indonesia mendukung MDGs.
15
4.
5.
Karena program ini tidak diharapkan dibatasi hanya di tingkat desa saja, ada sebuah komponen yang kuat mengenai penciptaan aset yang besar dan berbasis luas—kebanyakan sejenis infrastruktur jangka panjang, tetapi beberapa juga memiliki nilai ekonomi jangka pendek. Aset-aset yang diciptakan diharapkan lebih jauh dapat menghasilkan produk sampingan untuk mengarusutamakan penciptaan kesempatan kerja. Terdapat proposal yang berbeda untuk partisipasi sektor swasta, dan oleh karenanya, juga pembiayaan bersama.
1.2 Kasus untuk sebuah program ketenagakerjaan Lebih dari satu dekade, kinerja perekonomian Indonesia jauh lebih baik sebelum datangnya krisis keuangan Asia pada tahun 1997-98. Kemiskinan dan pengangguran/pengangguran terselubung, yang situasinya sangat kelam pada awal 1970-an [kemiskinan: 60 persen penduduk, 70 juta jiwa], sudah jauh lebih baik—proporsi kemiskinan menurun pada tahun 1996 menjadi 11,3 persen penduduk (23 juta).3 Meskipun demikian, setelah krisis keuangan, pendapatan, kesempatan kerja, dan standar hidup kembali menurun tajam. Kendati saat ini pemulihan yang berarti telah terjadi dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 mencapai kisaran 5,5 persen—dan dapat dipertahankan di tingkat 4-5 persen selama 3-4 tahun4, penyerapan tenaga kerja tetap saja sangat terbatas bahkan cenderung tidak ada, terutama di sektor-sektor formal selama beberapa tahun terakhir. Pengangguran terbuka mencapai lebih dari 10 persen angkatan kerja yang aktif. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan investasi dalam negeri maupun investasi asing; tetapi melihat trend yang terjadi pada saat ini, kecil kemungkinannya surplus tenaga kerja yang ada akan dapat diserap secara efektif oleh industri-industri dan bidang jasa yang utama, paling tidak dalam waktu dekat ini. Oleh karena itu, Indonesia masih harus berjuang untuk mengurangi tingkat pengangguran dan pengangguran terselubung serta meningkatkan standar hidup penduduknya. Pendekatan konvensional mengandaikan bahwa di dalam pertumbuhan ekonomi itu sendiri sudah terkandung solusi terhadap kemiskinan dan pengangguran/terselubung struktural. Meskipun demikian, pertumbuhan itu sendiri mungkin tidak cukup untuk menyediakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi seluruh warga; Bagaimana pola pertumbuhan, sumbersumber pertumbuhan dan bagaimana manfaat pertumbuhan itu didistribusikan, sama pentingnya dalam menentukan siapa yang akan memperoleh manfaat dari proses pertumbuhan. Sekarang ini terdapat keyakinan bahwa kesejahteraan suatu bangsa akan mencapai puncaknya apabila aset-aset produktifnya—umumnya tenaga kerja terampil/semi-terampil/tidak terampil di negaranegara berkembang yang mengalami surplus tenaga kerja—digunakan sebanyak mungkin dan seefisien mungkin: inilah yang kemudian disebut sebagai ‘pertumbuhan pro-kaum miskin’. Dalam jangka pendek sampai jangka menengah, terutama dalam keterbukaan ekonomi di dunia yang telah mengalami globalisasi, mungkin tidak realistis untuk berharap bahwa kegiatankegiatan perekonomian utama akan segera menjadi pro-kaum miskin. Oleh karena itu, terdapat alasan yang kuat untuk memperkenalkan program-program intervensi langsung yang akan meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja, terutama pada kelompokkelompok penduduk yang akan tenggelam dalam kemiskinan karena tidak adanya pekerjaan dan upah. Apabila program (penciptaan kesempatan kerja) ini dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengintegrasikan sektor-sektor yang ada dengan efektif dan dapat mengarusutamakan kegiatan-kegiatan mereka dalam perekonomian, akan ada kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi; dengan demikian, dapat diciptakan komponen ‘pertumbuhan pro-kaum miskin’. Berbagai program ini kemudian dapat menyediakan pendapatan yang sangat dibutuhkan kaum miskin melalui penyediaan kesempatan kerja untuk setidaknya suatu periode minimum tertentu setiap tahunnya selain dari penetapan upah minimum. Pada saat yang sama, 3 4
Perdana dan Maxwell (2004) dan Setiawan (n.d.) Laporan untuk Indonesia, Economist Intelligence Unit (EIU 2005)
16
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
akan tercipta pekerjaan-pekerjaan di wilayah setempat di mana ada sejumlah pilihan pada saat itu. Selain itu, terdapat kebutuhan untuk menciptakan beberapa jaringan pengaman untuk melindungi kaum miskin dari fluktuasi pasar dan guncangan-guncangan sektor keuangan. Dilihat dari sudut pandang makro ekonomi, sebuah program ketenagakerjaan di tingkat nasional—seperti halnya usulan lain yang menelan anggaran belanja yang besar—kemungkinan besar akan menghabiskan biaya yang akan membebani anggaran dan menimbulkan defisit, dan juga memicu inflasi. Meskipun demikian, di sisi lain, hal ini dapat mengurangi tekanan terhadap prekonomian yang diakibatkan oleh dorongan permintaan. Selain itu, ada dampak positif lain dari program ini berupa terciptanya distribusi pendapatan yang sederhana. Oleh karena itu, ada alasan yang kuat untuk meluncurkan program tersebut secara berhati-hati. Argumentasi di atas mendasari logika penulisan makalah ini.
1.3 Susunan Bagian ini mengetengahkan isi makalah. Susunan tulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: Bagian 2 menjelaskan dasar pemikiran suatu program ketenagakerjaan yang luas; Bagian 3 menggambarkan pendekatan yang dimungkinkan untuk mengidentifikasi kaum miskin, yang akan menjadi sasaran program; Bagian 4 menjabarkan susunan pemerintahan dan organisasional untuk sebuah program jaminan ketenagakerjaan nasional (NEGP); Bagian 5 menyediakan rangkaian proyek yang berbeda yang diusulkan untuk melibatkan para pekerja; Bagian 6 mengetengahkan perincian jalannya NEGP dan penciptaan kesempatan kerja; Bagian 7 menjelaskan bagaimana upah dapat ditetapkan; Bagian 8 menyajikan sistem monitoring dan evaluasi untuk NEGP; Bagian 9 menggambarkan secara singkat kemungkinan hubungan jaminan sosial dan pembangunan kapasitas dengan program ini (keamanan manusia)); Bagian 10 memperkirakan biaya program dengan berbagai pendekatan untuk mendanainya; dan Bagian 11 kesimpulan makalah ini. Makalah ini dilengkapi dengan beberapa boks tulisan yang menggambarkan pengalamanpengalaman Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya dalam melaksanakan programprogram pengentasan kemiskinan, atau menyajikan logika dari suatu argumentasi. Untuk membacanya dengan cepat, bagian-bagian ini dapat dilihat tanpa kehilangan alur dalam tulisan utamanya. Akhirnya, terdapat dua lampiran: satu mengenai pengalaman MEGS dan yang lain adalah gambaran EGAI.
17
2.
ALUR LOGIS NEGP
2.1. Mengerahkan surplus tenaga kerja—dasar-dasarnya Indonesia memiliki pengalaman yang panjang berkaitan dengan tingkat pengangguran/ pengangguran terselubung yang relatif tinggi (terutama di Jawa), dan proporsi kemiskinan tidak pernah mencapai titik yang rendah. Selain itu, dimensi regional Indonesia pun sangat signifikan (Boks 1). Banyak manfaat ekonomi yang diperoleh selama kurun waktu 1980-an dan 1990-an, tetapi sebagian besar dari manfaat ekonomi tersebut hilang karena krisis keuangan.5 Pemerintah telah mengimplementasikan berbagai skema yang bertujuan untuk memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan memperluas jaminan sosial ke kelompokkelompok masyarakat yang lebih lemah, meskipun tingkat keberhasilannya kecil (Boks 2). Data yang ada pada saat ini menunjukkan bahwa ada banyak warga miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan—lebih banyak di pedesaan dibandingkan perkotaan, dan cukup banyak di pedalaman—yang sangat membutuhkan pekerjaan atau pekerjaan yang lebih baik untuk memperbaiki kehidupan mereka. Bagi warga (miskin dan rentan secara ekonomi) seperti ini, status sosial-ekonomi mereka akan meningkat dengan pasti apabila tersedia pekerjaan yang berkualitas lebih baik, pekerjaan yang lebih aman/pasti, pekerjaan pada saat mereka tidak memiliki pekerjaan apa pun, pekerjaan yang pengupahannya sedikit lebih tinggi, atau kombinasi dari berbagai hal tersebut. Karena itu, penggunaan tenaga kerja yang meningkat ini bersamaan dengan mobilisasi dan penggunaan sumber daya lokal atau sumber daya dari tempat-tempat lain merupakan tantangan yang besar. Akhirnya, sebuah pendekatan untuk menghasilkan pendapatan bagi kaum miskin, secara merata, akan sesuai dengan prakarsa desentralisasi politik yang baru.6
2.2 Pendekatan yang diusulkan Tujuan utamanya adalah untuk memulai sejumlah besar proyek padat karya yang memiliki arti yang besar secara ekonomi di seluruh negeri dan mempekerjakan kaum miskin (dalam suatu keterlibatan yang produktif) dalam proyek-proyek ini. Model untuk sebuah program jaminan ketenagakerjaan yang diusulkan di sini didasarkan pada tiga pilar—penciptaan kesempatan kerja (dalam kegiatan-kegiatan tidak terampil dengan upah yang telah ditentukan sebelumnya); pembangunan aset-aset yang produktif dalam perekonomian lokal, yang pada gilirannya akan semakin menguatkan penciptaan lapangan kerja sebagai produk sampingan; dan dibangunnya hubungan yang aktif antara pekerja dengan program-program (terutama program pembangunan manusia) lain.7 Kalau perbedaan-perbedaan dalam pendekatan ini telah dinyatakan sebelumnya di Bagian 1.1, apa jaminannya pendekatan ini akan bisa dilaksanakan? Program-program pengentasan kemiskinan di Indonesia pada umumnya tidak mampu memberikan dampak yang bertahan lama terhadap kemiskinan (Boks 1 dan 2). Alasannya adalah: program-program tersebut tidak terlalu berhasil karena berbagai program tersebut memang disiapkan untuk menjadi program ad hoc dan berumur pendek, tidak ditargetkan dengan tepat dan rancangannya lemah, tidak cukup partisipatif, tidak ada pembangunan aset yang nyata atau memiliki kegiatan-kegiatan yang terkait secara eksplisit dengan programprogram pembangunan (sektoral) apa pun, dan berskala cukup kecil dalam pelaksanaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah ini dapat diatasi dan di sini akan ada upaya-upaya untuk memperbaiki berbagai kelemahan tadi.
5
Terdapat pandangan yang berbeda; yaitu bahwa apa yang dilihat dalam proses pembangunan di tahun 1980-an dan 1990-an melebihi kenyataannya. Lihat Sudjana dan Mishra (2004). Untuk perdebatan yang lebih luas mengenai hal ini, lihat Bappenas-UNDP (2004) Pendekatan ini disebut sebagai ‘pendekatan pembangunan manusia’ terhadap kehidupan; lihat Acharya, Basak dan Iyer (2005).
6 7
18
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Satu faktor yang telah membantu mengurangi kemiskinan adalah meningkatnya ketersediaan infrastruktur dasar dan sosial—antara lain, sekolah, pusat kesehatan, jalan, irigasi, dan transportasi dan komunikasi. Sampai pada suatu titik, aset-aset yang dibangun di bawah suatu skema ketenagakerjaan maupun programprogram pengentasan kemiskinan telah memberikan kontribusi dalam menambah persediaan infrastruktur tersebut. Memerangi kemiskinan melalui jalur penciptaan aset—khususnya kalau upaya-upaya yang dilakukan itu bersifat jangka panjang dan berkelanjutan—telah menghasilkan keuntungan yang positif. Berikut ini adalah perbedaan utama yang membedakan program ini dari skema-skema ketenagakerjaan yang lain: seperti telah dinyatakan sebelumnya, program ini merupakan upaya yang sistematik untuk memerangi kemiskinan. (1) Penekanannya di sini pada komitmen yang relatif berjangka panjang terhadap penciptaan lapangan kerja untuk periode waktu tertentu setiap tahunnya. Pendekatan ini berbeda dari praktek penanggulangan keadaan darurat, di Indonesia sendiri maupun di tempattempat lain (yaitu Argentina, India, Afrika Selatan), di mana kegiatan dalam program ketenagakerjaan yang sama terpusat pada penciptaan lapangan kerja yang bersifat segera dan ad-hoc. 8 (2) Program ini tidak diharapkan untuk dibatasi di tingkat desa atau terbatas untuk menciptakan aset-aset dalam spektrum yang sempit. Lagi-lagi, hal ini berbeda dari, atau mungkin merupakan versi yang lebih baik, terpadu dan lebih luas dari program-program penciptaan aset berbasis desa seperti Padat Karya yang tengah berjalan atau telah berjalan di Indonesia (lihat Boks 2) atau MEGS. (3) Terdapat penciptaan lapangan kerja langsung di sini; berbeda dari program-program jenis Program Pembangunan Kecamatan (KDP).9
8 9
Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Daley dan Fane (2002); Develeux dan Solomon (2005); dan Acharya (2005) Program-program jenis Program Pembangunan Kecamatan (KDP) memiliki sejumlah variasi di banyak negara yang berbedabeda. Tidak satu pun merupakan program penciptaan lapangan pekerjaan yang langsung. Potensi ketenagakerjaan tidak langsung itu sendiri belum pernah diukur.
19
Boks 1: Kondisi Perekonomian, Ketenagakerjaan, dan Kemiskinan Pendapatan perkapita penduduk Indonesia pada tahun 2003 mencapai US$ 810 (setara PPP US$ 3.500). Perekonomian tumbuh stabil pada kisaran 4-5,5 persen per tahun selama kurun waktu 2000-2005 dan pendapatan perkapita telah pulih, atau bahkan lebih tinggi dari posisi sebelum tahun 1997, namun perekonomian belum tumbuh setinggi 7-8 persen seperti periode sebelumnya. Negara ini kini telah menjadi pengimpor minyak bersih kendati masih menjadi produsen minyak, dan sekarang juga menjadi pengimpor bersih beras walaupun pernah mencapai swasembada beras pada masa lalu. Ada variasi yang lebar di antara berbagai daerah dalam soal sumber daya alam dan tahapan pembangunan: kontribusi Jawa/Bali pada PDB (tanpa menghitung minyak) adalah 64 persen. Hasil panen beras di Jawa sekitar 5,2 ton per hektare, sementara di Sumatra 3,9 ton, Kalimantan 2,9 ton, dan Sulawesi 4,4 ton (tahun 2003). Jawa menikmati diversifikasi pekerjaan yang substantif, tapi secara prinsip tetap mengandalkan pertanian. Berdasarkan data BPS, proporsi penduk yang berada di bawah garis kemiskinan turun ke posisi 16 persen dari jumlah penduduk (data 2004) dari 24 persen pada tahun 1999, tapi jumlah penduduk hampir miskin secara signifikan masih cukup besar, 12 persen dari jumlah penduduk. Tingkat kerentanan penduduk lebih tampak di daerah pedesaan ketimbang di perkotaan. Sektor pertanian juga lebih rentan dibandingkan sektor di luar pertanian [sektor pertanian menyerap sekitar 45 persen angkatan kerja dan 68 persen kaum miskin terkait dengan sektor pertanian]. Kerentanan juga terlihat di sektor informal dibandingkan sektor formal, kalangan tak berpendidikan ketimbang yang lain, dan seterusnya. Selain itu, proporsi penduduk miskin terlihat lebih tinggi di luar Jawa dibandingkan dengan Jawa. Dari Sakernas diketahui, jumlah angkatan kerja pada tahun 2004-2005 mencapai sekitar 106 juta. Dari jumlah itu, 95 juta bekerja, dan yang 11 juta menganggur (setara 11,5 persen dari angkatan kerja: 12,9 persen kaum pria, dan 10,6 persen kaum wanita). Pekerja penuh waktu dilaporkan berjumlah 67 juta orang, sedangkan 28 juta yang lain bekerja kurang dari waktu yang sudah ditentukan (kurang dari 30 jam seminggu): dari jumlah itu, 13 juta di antaranya di luar kemauannya menjadi pengangguran terselubung. Kaum muda terutama menghadapi kondisi yang buruk karena mereka tidak mampu menemukan cara bagaimana menjadi angkatan kerja: tingkat pengangguran di antara kaum muda mencapai sekitar 24 persen. Migrasi dari daerah pedesaan ke perkotaan lebih didorong oleh prospek untuk memperoleh lebih banyak hari kerja di daerah tujuan dibandingkan dengan upah yang tinggi. Struktur angkatan kerja menunjukkan bahwa sampai tahun 1996 ada perpindahan yang cepat dari sektor pertanian: pada tahun 1990, pekerja sektor pertanian masih 55,9 persen dari total pekerja, sementara pada tahun 1997 tinggal 40,7 persen. Namun, pada tahun 1998 proporsi pekerja sektor pertanian kembali naik menjadi 45 persen, dan data terakhir (2003), angkanya sudah 46,3 persen. Arus balik para pekerja kembali ke sektor pertanian ini merupakan tanda-tanda yang jelas dari pola pertumbuhan pengangguran di sektor non pertanian dan sektor modern dalam beberapa tahun terakhir. Permintaan tenaga kerja di sektor formal berhenti tumbuh setelah krisis finansial. Tenaga kerja di sektor manufaktur tidak bertambah pada tahun 2000-an, dan pada saat yang sama pekerja sektor pertambangan, konstruksi, dan jasa keuangan malah turun. Dalam pengertian ini, asumsi umum di kalangan pemerintahan mengenai pertumbuhan permintaan tenaga kerja –bahwa setiap perekonomian tumbuh satu persen akan menghasilkan lapangan kerja baru sedikit di bawah setengah juta orang (350.000-450.000)—tidak lagi tepat. Asumsi itu bahkan juga tidak tepat untuk dekade sebelum 1997: sebagai contoh, selama kurun waktu 1985-1995, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja hanya 2,3 persen, padahal jika mengikuti asumsi tadi, seharusnya penyerapan tenaga kerja baru tumbuh 3-4 persen per tahun. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja berkurang dari 2,8 persen pada kurun waktu 1985-1990 menjadi 1,8 persen pada kurun 1990-1995 [elastisitas tenaga kerja menggunakan angka 0,3 seperti yang diperkirakan oleh ILO]. Ada 4,4 juta penganggur pada tahun 1996. Pada akhirnya, kondisi makroekonomi: impor dan ekspor cenderung berimbang –pada kenyataannya malah ada surplus—dan defisit anggaran berada pada angka yang rendah; sehingga parameter ekonomi makro di Indonesia berada pada kondisi yang cukup sehat. Kendati demikian, investasi tak kunjung naik seperti yang diharapkan, baik karena tidak adanya persepsi politik yang positif di kalangan para investor, maupun adanya sejumlah ketidakpastian pemerintahan, dan adanya hambatan dalam infrastruktur. Dalam jangka pendek: tidak ada banyak ruang untuk menaikkan defisit anggaran guna membiayai program ketenagakerjaan. Sumber: BPS (2004); Lindenthal (2005); Tjiptoherijanto (1997), Pradhan et al (2002); Perdana and Maxwell (2004); ILO (1999); EIU (2005); BappenasUNDP (2004); Widarti (2002); Economist, Oct. 13, 2005, pg 27-28
20
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Boks 2. Pengalaman terpilih tentang program pengentasan kemiskinan di Indonesia Inpres Kabupaten (1970-an dan 1980-an): merupakan satu di antara program pertama di Indonesia yang dimaksudkan untuk (secara tidak langsung) mengatasi pengangguran melalui pembangunan jalan desa dengan memanfaatkan kelebihan (surplus) tenaga kerja. Skema seperti ini tidak sempurna kendati tujuan pembangunan jalannya tercapai. Transmigrasi (1970-an dan 1980-an, sebagian lagi 1990-an): tujuannya adalah memindahkan penduduk dari Jawa/ Bali ke pulau lain, di mana mereka ditempatkan di sebuah daerah dan bagi mereka disediakan sepetak tanah (dan atau aset dan alat produksi lain) agar mereka bisa hidup subsisten. Program ini menghadapi masalah baik karena tidak adanya kerangka kelembagaan yang memadai, maupun kualitas perencanaan program yang rendah, kurangnya kemampuan asimilasi para migran dengan penduduk lokal, rendahnya kualitas lahan, masalah kesehatan dan penyakit, perkiraan pembiayaan yang tidak realistis, dan sebagainya. Sejumlah penduduk masih bertransmigrasi kendati program itu sudah ditutup. Program Perbaikan Desa (1994-1997): berdasarkan 27 indikator (untuk daerah pedesaan) dan 25 indikator (untuk daerah perkotaan), Inpres Desa Tertinggal (IDT) mengidentifikasi ada 31 persen (20.622 desa) dari total desa di Indonesia yang terbelakang. Hibah yang tidak perlu dikembalikan diberikan kepada desa-desa ini. Masing-masing desa memiliki kebebasan untuk menentukan siapa saja yang miskin, pemerintah juga memberikan pinjaman kepada usaha kecil yang akan digulirkan kepada kelompok lain ketika kelompok penerima pertama mulai menyicil. Hasilnya: pertama, penentuan target area dilakukan secara terbuka, tapi penentuan itu menyebabkan orang miskin di luar target tetap miskin. Kedua, mempercayakan keputusan dalam pengidentifikasian si miskin kepada kepala desa dan dewan desa merupakan langkah penting untuk memperkuat inisiatif lokal dan proses tata kelola yang baik. Ketiga, (dalam pandangan negatif) ada perubahan prioritas yang sering terjadi yang malah mengakibatkan program gagal. Padat Karya: Pada tahun 1987 perwujudan pertama Padat Karya ini dimaksudkan sebagai cara untuk menciptakan pekerjaan melalui perekrutan para pekerja pada proyek-proyek pemerintah; proyek ini dilanjutkan sampai tahun 1994. Pada tahun 1998, padat karya diperkenalkan kembali sebagai bantuan bagi pekerja yang terkena dampak krisis finansial. Pada awalnya, ada 16 skema (yang berbasis tenaga kerja) yang dilaksanakan oleh kewenangan yang berbeda seperti Departemen Kehutanan, Departemen Agama, Departemen Pekerjaan Umum, masing-masing memiliki aturan dan regulasi sendiri (seringkali tanpa perencanaan atau rancangan yang spesifik), dan masing-masing memiliki jangka waktu yang pendek –hanya beberapa bulan. Pada tahun 1999-2000, diperkenalkan versi yang lebih terkonsolidasi dengan hanya dua program yang pendanaannya lebih baik dan lebih tersebar luas (300 kabupaten). Padat karya menetapkan sendiri sasarannya. Secara formal, program padat karya sudah dihentikan, tapi sebagai filosofi ia dilanjutkan dan banyak departemen memiliki versi yang lebih kecil yang masih dilaksanakan. Masalah: bersifat ad hoc (sementara) dengan kontinuitas yang rendah, kurang berkonsultasi dengan komunitas, mekanisme pelaksanaannya tidak transparan, agak bias gender, penciptaan aset yang rendah, dan tidak ada kaitan dengan prioritas sektoral, tidak ada pembangunan kapasitas dan lemah dalam penetapan sasaran. Padat Karya Desa (1998-1999): PKD dilaksanakan di 2000 desa di provinsi-provinsi Indonesia Timur untuk mengurangi dampak kemarau. Tidak seperti program top-down yang lain, program ini lebih meminta partisipasi komunitas dan meraih sukses. Koordinasi yang lebih baik antara Bappeda, lembaga swadaya masyarakat, dan perusahaan-perusahaan rekayasa teknik lokal menjamin penyelesaian proyek. Pelatihan yang efektif dan sosialisasi lebih jauh menjamin implementasi yang lebih baik. Masalah: cakupan terbatas baik tempat maupun waktu. Program Pembangunan Kecamatan (KDP) (1997-sampai sekarang): Program ini bertujuan menciptakan infrastruktur di pedesaan dengan menggunakan inisiatif dan sumber daya lokal. Jika kontribusinya terhadap pemberdayaan komunitas sudah diakui, kontribusinya dalam penghapusan kemiskinan masih belum diakui. Program yang sama untuk daerah perkotaan dinamakan UPP. Program lain: Ada beberapa program ad hoc lain yang dilaksanakan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan kehidupan [misalnya: P4K (penciptaan pendapatan bagi mereka yang tidak memiliki tanah); Takesra/Kukesra (simpanan dan pinjaman untuk kaum miskin), dan PDM-DKE (memberdayakan daerah dalam mengatasi dampak krisis); untuk menyebut sejumlah program yang cukup dikenal]. Kebanyakan dari program tersebut dilaksanakan sebagai respon atas krisis finansial dan sekarang sudah dihentikan. Ada juga program yang lain, skema yang bersifat non-ketenagakerjaan: bantuan langsung tunau (diperkenalkan pada tahun 2000), beras bersubsidi (1997), kesehatan dan gizi (1997); dan beasiswa pendidikan (1997). Pendidikan, kesehatan, dan program beras masih berlangsung hingga kini. Penetapan sasaran dalam program non ketenagakerjaan rata-rata lebih baik dibandingkan program-program ketenagakerjaan. Sumber: Devereux and Solomon (2005); Perdana and Maxwell (2004); Sumarto, Suryahadi and Widyanti (2001); Setiawan (n.d.); Papanek (1980); Daley and Fane (2002); Guggenheim, Wiranto, Prasta and Wong (2004); World Bank (2005); Pritchett, Sumarto and Suryahadi (2002); Sumodiningrat (1999)
21
Catatan: Program-program pengentasan kemiskinan sejauh ini sering dipandang secara sempit sebagai program yang menciptakan aset-aset berskala lokal atau kecil dan menyediakan pilihan untuk mempekerjakan diri sendiri; atau berupa program penciptaan lapangan kerja darurat berdasarkan permintaan dengan upah yang lebih rendah dari yang berlaku di pasaran. Jika yang diharapkan sebelumnya adalah penciptaan aset tersebut dapat menghasilkan pendapatan dan tidak hanya sekadar menciptakan banyak kesempatan kerja, yang terjadi malah sebaliknya, yakni penciptaan lapangan kerja jangka pendek, ad hoc, dan musiman dengan upah yang tidak memungkinkan pekerja keluar dari lingkaran kemiskinan, terutama di negara-negara dengan pendapatan dan upah yang rendah. Perbedaannya jelas di sini, bahwa dalam rancangan ini terdapat penciptaan lapangan kerja dan aset, dan lebih dari itu, ada jaminan sosial, dan pembangunan kapasitas, seperti dinyatakan di Bagian 1.1 di atas.
2.2.1. Para Pekerja Program ini mengusulkan untuk mempekerjakan para pekerja dalam jangka waktu yang cukup panjang— apabila dilihat dalam konteks keterlibatan pekerja informal dalam jenis-jenis proyek-proyek pemerintah yang saat ini berkisar 1-7 hari— dari satu sampai tiga bulan. Karena ini bukan program penanggulangan darurat, tidak ada tekanan untuk mengerahkan pekerja secepat mungkin sebagaimana yang diminta, tidak juga diperlukan pintu keluar otomatis bagi para pekerja dari tempat kerja mereka tanpa pemberitahuan lebih dulu. Diusulkan bahwa sebuah keluarga yang berpartisipasi dapat diminta untuk menyediakan tenaga kerja (seorang pekerja atau lebih dari satu sebagai pengganti dari keluarga yang sama) untuk periode yang ditentukan, dan dirotasi di desa/kelompok desa, sehingga terdapat pasokan tenaga kerja yang teratur dari kelompok para pekerja ini sepanjang tahun. Dengan demikian, para pekerja akan menerima upah secara bergiliran, dan itu merupakan keuntungan mereka. Para pekerja harus berasal dari keluarga miskin.
2.2.2. Proyek-proyek Program ini mengupayakan kesempatan kerja bagi para pekerja miskin dengan cara seperti berikut ini: (1)
Pengerahan tenaga kerja baik untuk proyek-proyek infrastruktur pedesaan yang sedang berjalan maupun yang sedang direncanakan yang relatif cukup besar; misalnya pengaturan air, irigasi, drainase, jalan-jalan, listrik pedesaan, sanitasi, konstruksi berskala besar, dan proyek-proyek lain yang serupa; di mana proyek-proyek itu kebanyakan akan dikendalikan oleh komunitas, tetapi beberapa juga mungkin dikendalikan oleh swasta. Para pekerja dapat dikerahkan ke segmen-segmen tersebut yang membutuhkan tenaga kerja tidak terampil (maksimum semi-terampil). (2) Pengerahan para pekerja dalam perawatan, pemeliharaan dan perbaikan proyek-proyek infrastruktur yang sudah ada seperti dinyatakan dalam butir (1) di atas (dan lain-lain), lagi-lagi dalam segmensegmen tenaga kerja tidak terampil; (3) Pengerahan pekerja dalam pembangunan proyek-proyek yang baru dimulai (umumnya dalam skala menengah dan kecil) di daerah-daerah pedesaan, yang memiliki komponen tenaga kerja tidak/semi-terampil yang cukup besar (kebanyakan milik pemerintah, tetapi beberapa juga dimiliki sektor swasta); (4) Pengerahan pekerja tidak terampil/semi terampil dalam proyek-proyek inovatif dan berisiko tinggi, baik milik komunitas maupun sektor swasta —mereka akan dibayar oleh program, dengan demikian hal itu akan mengurangi risiko; (5) Pengerahan pekerja di proyek-proyek infrastruktur kecil berbasis desa (misalnya padat karya), termasuk proyek-proyek swasta yang kecil seperti menggali sumur di tanah milik para petani.
22
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Program ini akan menanggung biaya upah untuk para pekerja yang terlibat dalam proyek (1), (2) dan (4), sedangkan untuk proyek (3) dan (5), program ini akan menanggung seluruh biaya (upah dan material).10,11 Catatan 1: Proyek-proyek yang terdaftar dalam (1) dan (2) dibangun berdasarkan permintaan dan proyekproyek kelompok (4) juga dinilai oleh para pemrakarsanya berdasarkan permintaan. Program ini akan melakukan berbagai upaya khusus untuk proyek-proyek yang terdaftar dalam (3) dan (5) agar berdasarkan permintaan. Catatan 2: Seluruh proyek yang terdaftar di atas harus sesuai dengan prioritas sektoral perekonomian untuk memastikan optimalisasi kegunaannya. Catatan 3: Sejauh mungkin, harus diupayakan adanya keterkaitan dengan program-program pembangunan lain, untuk penguatan program dua arah (sinergi) dan juga untuk menggunakan personil dan infrastruktur lain secara bersama-sama, yang akan menghemat pengeluaran secara keseluruhan.
2.2.3. Kapasitas dan jaminan sosial Hubungan jangka panjang dengan para pekerja miskin dan kurang beruntung (dan keluarga mereka) memberikan kesempatan yang unik untuk menetapkan target program-program pembangunan lain bagi mereka. Dua program yang biasanya dijadikan target untuk membantu mereka secara berkelanjutan adalah pembangunan kapasitas dan asuransi sosial. (1) Pembangunan kapasitas/pembentukan modal manusia: Hal ini dapat memiliki dua komponen—pembangunan kapasitas bagi para pekerja yang terlibat dalam pekerjaan melalui pelatihan di tempat kerja dan pembangunan modal manusia melalui anggotaanggota keluarga pekerja (terutama anak-anak dan kaum muda) melalui pendidikan yang berkelanjutan dan kesehatan yang lebih baik. Untuk yang pertama, terdapat kemungkinan untuk memprakarsai pelatihan bagi para pekerja terpilih yang cukup muda yang mungkin mengambil, misalnya Y persen dari seluruh waktu keterlibatan mereka dalam program, biaya akan ditanggung program. Untuk yang kedua, dapat ditetapkan kondisi-kondisi dan batasan-batasan yang terkait dengan pekerjaan, yang dimasukkan ke dalam program. (2) Asuransi sosial. Lebih spesifik lagi, asuransi kesehatan diusulkan di sini karena biaya layanan kesehatan semakin bertambah mahal. Dan lagi, terdapat kebutuhan kesehatan yang khusus bagi kaum miskin yang tidak dapat diabaikan.
2.3. Administrasi dan pengoperasian program Program seperti ini diharapkan menjadi program yang besar, yang mencakup sekitar 15 juta keluarga di seluruh negeri. Mudah memperkirakan bahwa pengaturannya akan memerlukan kerja sama yang erat antara berbagai kementerian dan departemen, karena proyek-proyek infrastruktur dikelola oleh lebih dari satu lembaga. Hal ini merupakan tantangan tersendiri. Berikutnya, ada sejumlah kerja sama yang harus diupayakan antar provinsi dan antar kabupaten dalam provinsi, yang merupakan hal yang baru bagi Indonesia. Di sini, mekanisme dialog, perencanaan bersama untuk proyek-proyek dan pelaksanaannya harus dilakukan, sehingga di satu sisi perlu dikembangkan forum dialog dan penetapan yurisdiksi, dan di sisi lain upaya berbagi informasi dan pembangunan kapasitas di tingkat desentralisasi perlu ditingkatkan. Akhirnya, diperlukan kerja sama antara pemerintah pusat, otoritas provinsi dan perwakilan kabupaten, karena baik proyek maupun pembiayaannya akan berada di bawah yurisdiksi mereka. Kerja sama dengan otoritas desa/kota/lokal dan kecamatan juga penting.
10 11
Perhatikan bahwa acuan yang ada di sini hanya pada biaya variabel (tidak tetap). Biaya tetap tidak dihitung di sini, yang akan ditanggung oleh masing-masing lembaga pelaksana secara terpisah. Tidak ada usulan untuk membebani petani-petani individual untuk proyek-proyek seperti menggali sumur di ladang mereka, karena kebanyakan petani memiliki keterbatasan.
23
Pendekatan yang digunakan di sini memusatkan pelaksanaan program di tingkat kabupaten. Alasannya adalah: Kabupaten merupakan unit pemerintahan yang paling kecil (100-140 desa) yang memiliki birokrasi pemerintahan dan teknis selain dewan perwakilan rakyat daerah yang terpilih. Selain itu, secara geografis pun Kabupaten cukup luas untuk mengakomodaasi proyek-proyek skala menengah; tetapi cukup kecil untuk memacu desentralisasi ekonomi. Program ini mengandaikan bahwa lapangan kerja akan diciptakan melalui aktivasi pekerjaan yang masuk dalam daftar di atas menurut permintaan tenaga kerjanya, untuk diukur oleh administrasi NEGP melalui wakil-wakilnya di tingkat desa dan kabupaten. Dimulainya pekerjaan yang sebenarnya dalam proyek-proyek individual akan menjadi tanggung jawab departemen teknis berdasarkan instruksi dari pengelola NEGP. Latar belakang: Dengan undang-undang desentralisasi politik yang baru, terdapat susunan pemerintahan daerah dan lembaga-lembaga yang dipilih langsung yang baru.12 Provinsi dan kabupaten kini memiliki tanggung jawab yang besar untuk menerjemahkan mandat ini guna mendorong kesejahteraan ekonomi di tingkat lokal, terutama di daerah-daerah terpencil. Program ketenagakerjaan, meskipun kecil apabila dilihat dari konteks nasional, merupakan cara yang penting di mana mereka dapat menunjukkan kapasitas mereka untuk melaksanakan hal tersebut. Catatan 1: Program ini sangat mendorong terjadinya relokasi penduduk sekecil mungkin. Program ini harus tersebar luas di seluruh provinsi, kabupaten dan pulau-pulau, dan memiliki bias pedesaan yang kuat. Catatan 2: Ada banyak keluarga miskin yang tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan berupah. Meskipun demikian, seluruh kaum miskin tidak mungkin dicakup dalam satu program (satu ukuran tidak cocok untuk semuanya!)—program-program bantuan bagi mereka yang berusia terlalu tua atau terlalu muda untuk bekerja harus didefinisikan secara terpisah. Bagian-bagian berikut dari makalah ini akan mendiskusikan operasionalisasi tiga elemen pendekatan dan proses implementasinya.
3.
MENETAPKAN POPULASI SASARAN Dari luar, penting untuk mengingat bahwa kaum miskin dalam kehidupan sebenarnya tidak dapat didefinisikan dengan sebuah garis kemiskinan tunggal: mereka yang jatuh ke dalam garis batas kemiskinan —beberapa persen di atas garis kemiskinan— sewaktu-waktu juga dapat menjadi miskin apabila kondisi perekonomian menurun. Oleh karena itu, tidak salah apabila mereka yang tidak-miskin pun juga memperoleh manfaat dari program ini, terutama apabila mereka berada dalam kategori hampir miskin.13
3.1 Menghitung jumlah penduduk miskin berdasarkan daftar indikator Metode yang paling kuat untuk menghitung kaum miskin, meskipun mahal, adalah dengan mengadakan sensus keluarga, menanyakan pertanyaan-pertanyaan (sederhana) seperti apakah keluarga tersebut memiliki atau tidak memiliki: hal-hal minimum yang kritis. Dengan kesederhanaannya, metode ini memungkinkan penghitungan cepat seluruh kelompok desa/ perkotaan dengan bantuan relawan dan komunitas lokal. BKKBN telah mensurvei masing-masing keluarga mengenai apakah mereka: dapat menjalankan kewajiban agama mereka; makan setidaknya dua kali sehari; memiliki pakaian yang berbeda untuk 12 13
Lihat Aspinall dan Fealy (2003) mengenai jangkauan dan kedalaman desentralisasi politik. Menurut Rizal Ramli, Mantan Menteri Koordinator di bidang Ekonomi, pada tahun 2001, 40 persen penduduk merupakan penduduk miskin atau rentan terhadap kemiskinan. BPS, di tahun 2005 memperkirakan jumlah penduduk miskin atau yang rentan terhadap kemiskinan mencapai 62 juta jiwa (sekitar 15 juta keluarga).
24
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
bekerja, bersekolah, dan berjalan-jalan; sebagian besar rumah memiliki lantai yang bukan dari tanah; dan memiliki akses obat-obat modern.14 Meskipun demikian, banyak yang mempertanyakan daftar ini serta kapasitas BKKBN. Badan Pusat Statistik (BPS) sekarang telah mulai menggunakan daftar 14 kategori sejak tahun 2005 untuk melaksanakan sensus kemiskinan, untuk digunakan dalam program ‘Penyaluran Bantuan Langsung Tunai’.15 Daftar tersebut terdapat di Boks 3. Tentunya, kelebihan utama BPS dalam melaksanakan survei dibandingkan dengan yang lain adalah peneliti yang berkualitas dan pengawasan yang lebih baik. Karena itulah, data yang dikumpulkan diharapkan memiliki kualitas yang lebih baik. Setidaknya ada dua persoalan yang menarik perhatian di sini: (1) Daftar kaum miskin seperti apa pun yang didasarkan pada daftar indikator tersebut tidak akan cocok dengan mereka yang masuk kategori hampir miskin yang diidentifikasi melalui ukuran gizi. Perbandingan tersebut belum dilakukan di Indonesia, tetapi di tempat-tempat lain, kesenjangan yang ditemukan cukup besar.16 Direkomendasikan agar pengambilan data statistik dilakukan untuk mengkaji titik temu antara dua pendekatan tersebut. (2) Daftar apa pun harus memiliki sedikit jumlah pertanyaan —makin banyak pertanyaannya, makin besar kemungkinan terjadinya kesalahan. Pada saat yang bersamaan, daftar indikator yang sangat singkat mungkin tidak cukup. Oleh karena itu, perlu dicari keseimbangan yang dapat diterima.
Boks 3: Daftar pertanyaan untuk menentukan keluarga miskin yang digunakan oleh BPS (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14)
Ukuran rumah; Jenis lantai; Jenis dinding; Fasilitas sanitasi; Sumber air minum; Sumber penerangan; Sumber bahan bakar untuk memasak; Frekuensi pembelian daging, ayam dan susu per minggu; Frekuensi makan per hari (sarapan, makan siang, dan makan malam); Jumlah pakaian baru yang dibeli per tahun; Akses terhadap rumah sakit umum yang kecil/poliklinik; Jenis pekerjaan; Tingkat pendidikan kepala keluarga; dan Kepemilikan aset.
Rekomendasi (A) Tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan bahwa suatu daftar sensus harus disiapkan setidaknya sekali (dengan pembaharuan berkala). Sekarang ini, BPS telah mengambil tanggung jawab untuk membuat daftar kaum miskin. Meskipun demikian, tidak jelas apakah akan dimungkinkan bagi sebuah lembaga untuk melaksanakan sensus kemiskinan tahunan secara hemat. Sebuah cara untuk mengatasinya adalah dengan melibatkan fungsionaris-fungsionaris lokal, seperti dalam survei BKKBN, dengan sebuah ketentuan bahwa BPS akan melakukan pengawasan yang ketat. Selain itu, apabila jajaran kepemimpinan desa/kota/lokal terlibat 14 15 16
Metode yang sama telah dipraktekkan di India dalam program pengentasan kemiskinannya, menggunakan sebuah daftar berisi 50 butir pertanyaan. Apabila sebuah keluarga tidak memenuhi 25 butir atau lebih, keluarga tersebut dinyatakan miskin. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai program Cash Transfer – pemberian bantuan langsung tunai, lihat Sumarto (2005). Rural Maharashtra (India) menunjukkan bahwa proporsi kemiskinan berdasarkan ukuran gizi adalah sebesar 22 persen di tahun 1999, tetapi jika menggunakan daftar indikator, proporsi tersebut berada di kisaran 28-30 persen.
25
dalam pembuatan daftar, terutama dalam pertemuan-pertemuan publik sehingga dapat menjaga transparansi, seluruh pembuatan daftar ini akan memperoleh legitimasi dan penerimaan yang lebih luas. (B) Sementara sebuah daftar dipersiapkan, kriteria untuk daerah pedesaan dan perkotaan harus berbeda. Di daerah pedesaan, warga mungkin tidak memiliki pilihan-pilihan mata pencaharian di desa atau daerah mereka. Sementara itu, di daerah perkotaan, rumah yang berkualitas rendah, upah yang rendah atau bahkan biaya transportasi dapat menjadi masalah besar. (C) Daftar indikator untuk mengidentifikasi kaum miskin mungkin paling baik didasarkan pada variabel-variabel yang berjumlah lebih kecil atau bersifat lebih kuat. Beberapa kriteria penilaian generik adalah: (1) Tidak memiliki aset/tanah; (2) Pendidikan minimum atau tidak berpendidikan; (3) Ketergantungan demografis/ekonomi yang tinggi (terlalu banyak anak kecil atau manusia lanjut usia); (4) Tidak memiliki pekerjaan tetap dalam enam bulan terakhir; (5) Anak-anak tidak bersekolah secara teratur; (6) Tidak makan rata-rata dua kali sehari sepanjang tahun. Keluarga yang menjawab positif untuk setidaknya empat kriteria dapat digolongkan sebagai keluarga miskin.17 (D) Isu yang juga penting adalah penduduk yang berpindah-pindah. Sensus penduduk atau survei berskala besar mungkin tidak memperlihatkan bahwa migrasi dapat menjadi masalah, tetapi survei ini mungkin tidak mampu menangkap kepindahan-kepindahan tersebut secara efektif. Diperlukan upaya khusus untuk menjangkau penduduk yang berpindahpindah. Catatan 1: Di daerah pedesaan, mereka yang paling miskin biasanya adalah para petani yang tidak memiliki tanah dan para pekerja musiman (hampir 30 persen komunitas pertanian di Jawa), yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan di tempat lain karena persyaratan keterampilan atau pendidikan. Mereka sebenarnya menganggur, dan kalaupun mereka bekerja mereka terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan yang produktifitasnya cukup rendah; keterlibatan produktif mereka yang nyata di bidang pertanian hanya terbatas pada musim tanam dan musim panen—tidak melebihi 2-3 bulan. Mereka merupakan inti dari kaum pekerja miskin yang kronis, dan tujuan dari program ini harus mencakup orang-orang seperti itu dalam daftar kemiskinan dan memberikan pekerjaan kepada mereka untuk suatu periode waktu dalam satu tahun. Hal ini tidak hanya dapat meningkatkan pendapatan mereka dan mengurangi waktu kosong mereka, tapi juga dapat mendesakkan perbaikan upah pada saat mereka tidak diperlukan untuk bekerja (bukan musim tanam/panen). Catatan 2: Perkiraan yang ada pada saat ini, yaitu sebanyak 62 juta kaum miskin, yang dibuat oleh BPS tampak terlalu tinggi untuk ditanggung secara keuangan dan organisasional, setidaknya pada awalnya. Pendekatan yang terbaik adalah dengan membuat tahap-tahap cakupan program, dimulai dengan beberapa provinsi.
17
Penetapan target ini ditujukan untuk keluarga di mana pekerjaan diberikan kepada individu-individu yang bersedia bekerja dalam keluarga tersebut. Oleh karena itu, seharusnya tidak terdapat kerancuan antara tugas mengidentifikasi kaum miskin dan menetapkan target kaum miskin dengan proposal kerja—aspek ini dibahas lebih lanjut di Bagian 5.
26
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
3.2. Menargetkan diri sendiri Menargetkan diri sendiri berarti bahwa populasi sasaran (dalam hal ini kaum miskin) mengidentifikasi diri mereka layak untuk menerima manfaat dari program ini. Dengan demikian, apabila proyek-proyek pemerintah dirancang sedemikian rupa untuk menawarkan pekerjaan yang sulit dengan upah yang cukup rendah, hanya mereka yang sangat membutuhkan pekerjaan yang akan dengan suka rela bekerja di tempat-tempat kerja. Pada prinsipnya, biaya untuk mengidentifikasi kaum miskin berkurang dan pengidentifikasian tersebut cukup akurat. Para perencana juga dapat memperluas program ini ke berbagai wilayah lain karena biaya administratif untuk menetapkan target dapat ditekan seminimal mungkin.
Kotak 4: Di mana penargetan diri sendiri dapat berjalan dan tidak berjalan. Contoh dari negara lain Penargetan diri sendiri di negara-negara yang tidak terlalu rendah upahnya tampak sukses. Di Argentina, mereka yang masuk kualifikasi untuk dana Trabajar (program penghapusan kemiskinan melalui programprogram ketenagakerjaan) umumnya adalah kaum miskin, yang lain tidak mau bekerja untuk upah yang 40-50 persen lebih rendah dari upah di pasar, dan mereka juga mendapat stigmatisasi. Di Botswana, lagilagi negara dengan tingkat upah menengah, upah ditetapkan sebesar 70 persen dari upah minimum yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, dan penargetan diri sendiri berjalan. Meskipun demikian, di negara-negara di mana upah pasaran yang berlaku untuk pekerjaan musiman sangat rendah (misalnya US$ 1 atau lebih rendah), terdapat dilema moral mengenai seberapa rendah upah dapat ditetapkan. Di Burkina Faso, negara dengan upah yang rendah, menetapkan upah sebesar sepertiga upah minimum nasional cukup dapat menargetkan kaum miskin, tetapi tidak mampu membawa mereka yang masuk kategori hampir miskin. Dalam MEGS, sebelum tahun 1988 upah ditetapkan sebesar 0,5-0,7 kali tingkat upah pasar yang berlaku tetapi otoritas harus meningkatkan upah tersebut setidaknya sampai setingkat dengan upah minimum karena tuntutan serikat pekerja: bahwa tingkat upah terlalu rendah untuk mengurangi kemiskinan. Sumber: Acharya (1990); Devereux dan Solomon (2005)
Meskipun demikian, terdapat sebuah problem: terlihat dari Boks 4 bahwa penargetan diri sendiri tidak terlalu sukses dalam memerangi kemiskinan di negara-negara dengan upah yang sangat rendah. Indonesia menghadapi masalah yang sama: tingkat upah yang berlaku untuk pekerjaan rendah/ tanpa keterampilan cenderung lebih rendah dari tingkat upah minimum yang ditetapkan (atau bahkan US$ 1 per hari); oleh karena itu, penargetan diri sendiri dengan menetapkan upah yang lebih rendah dari satu dolar per hari dapat menggagalkan tujuan penghapusan kemiskinan. Pengalaman PK memperlihatkan dilema ini.18 Rekomendasi: Dilihat dari sudut pandang pengentasan kemiskinan di Indonesia, penargetan diri sendiri semata-mata apabila dilakukan secara global mungkin menjadi satu-satunya pilihan yang baik untuk mengidentifikasi kaum miskin. Meskipun demikian, sebagai suatu prinsip, penargetan diri sendiri merupakan hal yang penting dan dapat digunakan secara selektif, serta akan didiskusikan di Bagian 6 dan 7 di bawah ini.
18
Untuk contoh, lihat, Sumarto, Suryahadi dan Widyanti (2001).
27
3.3. Pendekatan perkiraan daerah kecil Cukup sederhana untuk menghitung proporsi orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan (berdasarkan gizi-kalori) di suatu negara secara akurat dengan bantuan sampel survei yang besar mengenai pengeluaran konsumsi. Meskipun demikian, survei ini tidak memberikan perkiraan untuk unit-unit yang lebih kecil dari provinsi karena didasarkan pada sampel yang tidak lebih dari 0,5 persen penduduk. Tidak mungkin survei yang terperinci dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar atau dengan berdasarkan sensus, mengingat biaya dan waktu yang dibutuhkan. Jalan keluar yang diusulkan adalah metode ‘perkiraan kemiskinan di daerah kecil’ yang diajukan oleh Bank Dunia. Lembaga Penelitian SMERU telah menggunakan metode tersebut untuk Indonesia, dengan metodologi sebagai berikut: 19 (1) Untuk mengidentifikasi korelasi kemiskinan di tingkat provinsi yang juga dapat dikelompokkan dalam tingkat-tingkat ‘daerah kecil’ (misalnya, demografi, terkait dengan tanah); (2) Untuk memperkirakan persamaan regresi antara rasio kemiskinan dan korelasi-korelasinya [dalam (1) di atas] di tingkat provinsi untuk memperoleh koefisien yang kuat; (3) Untuk menggunakan koefisien-koefisien ini [yaitu sisi yang benar dari persamaan yang dinyatakan dalam (2) di atas], dan nilai-nilai korelasi di tingkat yang lebih lokal untuk menghasilkan perkiraan kemiskinan di tingkat lokal (‘daerah kecil’). SMERU telah menghasilkan perkiraan kemiskinan di tingkat kabupaten/kota meskipun mereka juga menyatakan bahwa perkiraan untuk daerah-daerah yang lebih kecil juga dapat dihasilkan. Masalah yang timbul dengan pendekatan ini adalah semakin tersebar perkiraan yang ingin diperoleh, semakin tinggi tingkat kesalahannya. Selain itu, metode ini berguna dalam menargetkan wilayah-wilayah geografis—metode ini mengidentifikasi kantung-kantung kemiskinan—dan bukan orang atau keluarga. Oleh karena itu, apabila pendekatan khusus wilayah akan digunakan, seperti dalam program IDT di tahun 1990-an, pendekatan ini dapat berguna. Rekomendasi: Apakah harus ada penargetan regional dalam NEGP? Hal ini tergantung pada skala program ketenagakerjaan yang ingin diprakarsai. Apabila dana merupakan masalah atau apabila otoritas ingin memprakarsai program dalam berbagai tahap —salah satunya sering digunakan di tempat-tempat lain atau di sini dalam program-program lain— maka sebuah penetapan prioritas regional dengan urutan yang lebih tinggi untuk wilayah-wilayah miskin atau wilayah-wilayah yang lebih padat merupakan pilihan yang logis. Sebagai kesimpulan awal, direkomendasikan untuk melakukan lebih banyak penelitian untuk mencocokkan daerah-daerah kecil yang diidentifikasi melalui metode ini seperti dalam Bagian 3.1 di atas dan metode harus distandarisasi sehingga dapat digunakan. Catatan: Penargetan geografis terhadap daerah-daerah pedesaan dapat digunakan untuk mengecek ketidakseimbangan pedesaan-perkotaan yang meningkat serta sumber peningkatan migrasi dari desa.
19
Untuk metode ini, lihat Hentschel, Lanjouw, Lanjouw, dan Poggi (2000); untuk penerapannya di Indonesia, lihat Suryahadi, Widyanti, Artha, Perwira dan Sumarto (2005)
28
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
4. TATA KELOLA NEGP Program ini diusulkan untuk ditempatkan di Bappenas, sementara pelaksanaannya akan dilakukan di bawah pengawasan menyeluruh dari Depnakertrans. Alasan mengapa pengaturan ini diusulkan: Bappenas merupakan organ koordinatif yang memiliki mandat antar-kementerian sementara departemen tenaga kerja merupakan departemen pelaksana untuk program-program ketenagakerjaan. Meskipun demikian, diharapkan bahwa program ini akan diimplementasikan dalam kerja sama dengan mitra-mitra lain, terutama perwakilan pemerintah daerah yang terdesentralisasi dan berbagai organisasi non pemerintah untuk memastikan partisipasi dan kepemilikan lokal dalam derajat yang lebih tinggi (Gambar 1).
4.1. Di tingkat nasional 4.1.1 Konstitusi Sebuah Dewan Nasional akan didirikan, diketuai oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Wakil Ketua Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Anggota-anggota yang diusulkan adalah: perwakilan dari Departemen keuangan, pertanian, industri, pendidikan, kesehatan, dalam negeri (Direktorat Jenderal Otonomi Daerah] dan pekerjaan umum; Bappenas; BPS; gubernur-gubernur provinsi; dan perwakilan sektor swasta yang terpilih. Dewan dapat bersama-sama memilih ahli atau Ornop nasional/ internasional untuk konsultasi apabila dan ketika diperlukan. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah memiliki peran khusus di sini karena menimbang kenyataan bahwa provinsi-provinsi dan kabupaten/kota berada di bawah koordinasinya: mereka tidak dapat bertindak atas perintah dari kementerian-kementerian lain tanpa surat perintah dari Dirjen Otda. Program akan memiliki ‘kekuatan yang diperlukan’ dan akan dapat menggunakan mandat antar-kementerian jika didukung oleh Peraturan Presiden (Perpres). Harus ada seorang petugas yang bekerja penuh untuk mengurus kegiatan-kegiatan koordinasi, pembiayaan, tata laksana, dan administrasi, program.
4.1.2 Tanggung jawab Dewan ini bertanggung jawab untuk: (1) Merancang dan memandu kerangka kebijakan program secara keseluruhan; (2) Mengkaji jumlah pasokan dan permintaan tenaga kerja regional berdasarkan survei BPS dan kajian yang dibuat oleh para pemimpin politik di berbagai tingkat; (3) Mengkoordinasikan kementerian dan departemen yang berbeda-beda—secara horisontal (antara kementerian) dan vertikal (antara pusat dan tingkat-tingkat pemerintahan yang lain melalui Dirjen Otda)—untuk kelancaran administrasi penghitungan target dan pengerahan tenaga kerja; (4) Mengembangkan sebuah mekanisme komunikasi dan operasi untuk memfasilitasi program antar-kementerian—komite yang lebih kecil yang terdiri dari perwakilan-perwakilan dari Bappenas, Depnakertrans, Dirjen Otda dan BPS mungkin membantu; komite ini dapat lebih sering bertemu dan memutuskan modus operandi komunikasi horisontal dan vertikal. (5) Memutuskan alokasi dan penargetan regional—pembiayaan yang sebenarnya dapat dikirim ke Bappenas atau Depnakertrans; dan (6) Melakukan studi-studi khusus (dan melakukan penyelidikan) dari waktu ke waktu mengenai topik apa pun yang dianggap penting. Dewan ini akan bertemu, misalnya setahun sekali atau dua kali dalam setahun, untuk menyusun kebijakan yang luas, prioritas, dan panduan, dan mencatat kemajuan yang diperoleh di tahun sebelumnya. Komite yang lebih kecil yang dinyatakan dalam (4) di atas dapat lebih sering bertemu.
29
4.2. Di tingkat provinsi 4.2.1. Konstitusi Akan ada Dewan Provinsi, yang diketuai Gubernur. Anggota-anggota yang diusulkan adalah: perwakilan-perwakilan dari Bappeda; anggota DPRD terpilih; perwakilan dari BPS; perwakilan Depnakertrans; perwakilan Dirjen Otda; perwakilan Dinas pertanian, pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum; dan perwakilan kabupaten (Bupati). Para ahli dan Ornop-ornop dapat diikutsertakan dari waktu ke waktu.
4.2.2 Tanggung jawab Dewan provinsi diharapkan untuk: (1) Menginterpretasikan kebijakan nasional dalam konteks lokal; (2) Mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan antar-kabupaten—misalnya mengelola proyekproyek antar-kabupaten (arus air dan air sungai, jalan-jalan, kepemilikan bersama lainnya) dan menyelesaikan perselisihan, apabila ada; (3) Menstandarisasi rancangan produk; (4) Mencairkan dana ke kabupaten-kabupaten sesuai prinsip-prinsip yang telah disepakati; (5) Mengendalikan dan memonitor arus dana ke kabupaten-kabupaten; (6) Melaksanakan inspeksi di tempat-tempat kerja dan menilai kondisi kerja dan upah yang diberikan; (7) Melaksanakan studi-studi, survei dan penyelidikan khusus apabila dan ketika dianggap perlu. Kekuasaan eksekutif di tingkat provinsi akan terletak pada gubernur (atau seorang pejabat eksekutif yang ditunjuk oleh gubernur, apabila ada kemungkinan tersebut). Kegiatan-kegiatan: antara lain, melacak arus keuangan, menyimpan data statistik dan sistem informasi manajemen (MIS), mengukur kemajuan, mengorganisasi inspeksi, berkoordinasi dengan Dirjen Otda untuk koordinasi vertikal dan horisontal.
4.3. Di tingkat kabupaten/kota Kabupaten [atau kota di perkotaan]—biasanya terdapat sekitar 100-140 desa dalam sebuah kabupaten—akan menjadi lembaga pelaksana utama. Seperti telah dinyatakan sebelumnya, proposal ini berkaitan dengan pengakuan bahwa program penciptaan kesempatan kerja lokal harus berakar di tingkat lokal agar dapat menjadi seefektif mungkin. Akan ada komite kabupaten yang diketuai bupati. Anggota-anggota lain: perwakilan-perwakilan dari dinas-dinas teknis/ terkait, camat, perwakilan Ornop-Ornop lokal, dan dua orang anggota dari pekerja (satu orang perempuan pekerja). Perwakilan Dirjen Otda akan menjadi undangan tetap. Komite ini akan menjadi komite administratif-perencanaan. Kabupaten harus menunjuk seorang petugas program yang bekerja penuh dan bertanggung jawab atas NEGP, yang akan bekerja di bawah pengawasan bupati. Petugas ini akan mengkoordinasikan tingkat desa/kota/lokal dan dirinya sendiri di satu sisi dan dinas-dinas teknis (pelaksana proyek atau pengusaha swasta, apabila mungkin) dan dirinya sendiri di sisi lain, untuk menyesuaikan permintaan atas pekerjaan dan pasokan tenaga kerja yang ada. Petugas program akan menetap di sebuah sekretariat yang akan mencakup sebuah kantor keuangan, sebuah kantor teknik, dan sebuah kantor statistik dan SIM. Tugas-tugas berikut ini diidentifikasi untuk komite kabupaten dan petugas programnya:
30
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
(7) (8) (9) (10)
Menjaga kelangsungan proyek (yang dinamis) yang berkaitan erat dengan prioritas-prioritas sektoral (seperti di Bagian 2.2.2, dalam konsultasi dengan dinas-dinas teknis/terkait)—pekerjaan ini juga akan memerlukan kerja sama dengan para pejabat di tingkat kecamatan dan desa/kota/lokal; Berhubungan dengan BPS di satu sisi dan dengan tingkat lokal di sisi lain untuk terus memperbaharui daftar penerima manfaat program; Memberikan informasi kepada para pejabat desa/kota/lokal mengenai kesempatan kerja untuk memfasilitasi staf desa/kota/lokal untuk mengarahkan para pencari kerja ke lokasi-lokasi proyek; Menyarankan dan mengarahkan dinas-dinas teknis dan dinas-dinas terkait (atau pengusaha swasta) untuk memprakarsai pekerjaan di proyek-proyek—untuk keterangan lebih lanjut, lihat Bagian 6; Mencatat situasi pasokan dan permintaan tenaga kerja, kemajuan yang dibuat dalam penyediaan kerja dan kesenjangan yang ada dan isu-isu lain dalam penciptaan kesempatan kerja; semuanya bertujuan untuk meminimalisasi kesenjangan permintaan-penawaran; Berkoordinasi dengan para pejabat kecamatan dalam melaksanakan inspeksi tempattempat kerja, dan tingkat lokal untuk terus menilai kemajuan program—bahkan hal ini merupakan satu-satunya peran kecamatan yang paling nyata pada saat ini, meskipun akan terdapat peran-peran lain di kemudian hari; Merancang dan menjalankan SIM yang kuat; Mengembangkan kemitraan dengan Ornop-Ornop lokal terpilih untuk membantu dalam penetapan target dan pengoperasian; Memelihara kantor statistik yang informasinya senantiasa terbaharui, terkomputerisasi dan fungsional, berhubungan dengan dinas-dinas teknis/terkait, provinsi, pusat, dan apabila dimungkinkan, tingkat kecamatan dan desa/kota/lokal. Menangani pengaduan para pemohon—lihat Bagian 8.
Dinas-dinas teknis/terkait (atau pengusaha swasta), pada interval berkala yang tidak terlalu lama (misalnya mingguan atau bulanan), harus melaporkan persyaratan kerja ke petugas program untuk semua proyek yang terdaftar di Bagian 2.2.2 yang mereka rencanakan, sukarela, atau diminta untuk membuat daftar tenaga kerja dari program tersebut. Persyaratan ini, pada gilirannya akan dikirim ke kepala/sekretaris desa (atau kota/lokal), di mana berdasarkan laporan tersebut mereka akan dapat mengarahkan para pekerja ke tempat-tempat di mana tersedia pekerjaan.20 Di bagian ini, kantor kabupaten akan meminta dinas teknis dan dinas terkait untuk memprakarsai pekerjaan dalam proyek-proyek apabila terdapat permintaan (lihat Bagian 6 di bawah). Kantor kabupaten juga dapat memberikan uang muka kepada dinas-dinas teknis/terkait yang digunakan untuk membayar upah pekerja yang dipekerjakan di bawah jaminan proyek jenis (1), (2) dan (4) di Bagian 2.2.2, dan seluruh jumlah uang untuk proyek jenis (3) dan (5). Ini adalah satusatunya operasi di mana sebuah unit pemerintahan selain dari pemerintah pusat akan menangani atau mengeluarkan uang; bahkan di sini, uang akan diberikan melalui pengiriman uang lewat bank. Catatan: Terdapat departemen teknis dan departemen terkait di seluruh tingkat pemerintahan: pusat, provinsi dan kabupaten. Petugas program akan harus berhubungan dengan semuanya, karena suatu proyek dapat jatuh ke dalam yurisdiksi salah satu dari ketiga tingkat pemerintahan tersebut (Gambar 2).
20
Program Jaminan Tenaga Kerja di Maharashtra (MEGS) memiliki pengaturan yang sama.
31
DEWAN NASIONAL Ketua: Bappenas Wakil Ketua: Depnakertrans Anggota: Kementerian Teknis/terkait, BPS, Depdagri, Gubernur, Sektor Swasta, Ornop
DEWAN PROPINSI Ketua: Gubernur Anggota: Perwakilan dari Bappeda, Depnakertrans, kementerian teknis/terkait, BPS, Depdagri, anggota DPRD, Ornop, Bupati
DEWAN KABUPATEN Ketua: Bupati/Penanggung Jawab: Petugas Program Anggota: Perwakilan dinas-dinas teknis/terkait, camat, Ornop lokal, perwakilan pekerja
DESA/KOTA/LOKAL Ketua Sekretaris
Gambar 1: Kepengurusan NEGP
32
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
DGRA sebagai Fasilitator
TEK-LOKAL TEK-PROVINSI
Pusat/Provinsi TEK-PUSAT
TEMPAT KERJA
KABUPATEN
PEKERJA
DESA
Gambar 2: Bagan pemberian kerja dibawah NEGP Catatan Tek-lokal: Dinas teknis/terkait Lokal (kabupaten) Tek-Provinsi: Dinas teknis/terkait Provinsi Tek-pusat: Dinas teknis/terkait Pusat
33
4.4. Di tingkat desa/kota/lokal Pekerjaan pejabat-pejabat kunci di tingkat desa/kota/lokal adalah: (1) Memverifikasi silang daftar pekerja dalam pertemuan-pertemuan desa—daftar ini akan didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan desa untuk menjaga transparansi. Di daerah perkotaan yang besar, verifikasi dapat dilakukan dengan bantuan para pejabat korporasi dan (mungkin) Ornop-Ornop yang diakui. (2) Mengidentifikasi proyek-proyek infrastruktur yang diperlukan bagi desa dan sekitarnya—proyekproyek tersebut harus berdasarkan pada tuntutan yang dinyatakan oleh komunitas desa/lokal lain;21 (3) Memberikan daftar pencari kerja dari waktu ke waktu kepada kantor kabupaten (dari pendaftaran langsung yang akan mereka miliki), dan memperoleh jumlah, jenis dan lokasi proyek dari kantor kabupaten; (4) Bekerja sama dengan kantor kabupaten dalam monitoring dan evaluasi; (5) Berkoordinasi dengan kantor kabupaten dalam menangani pengaduan; (6) Membentuk komite pengguna proyek untuk memastikan kemajuan tingkat kepuasan dan penyelesaian proyek dan untuk memperoleh umpan balik secara reguler dari para pengguna mengenai kegunaannya; (7) Memilih perwakilan Ornop-Ornop dan perwakilan pekerja di tingkat desa secara bersamasama. Catatan penting: Seperti dinyatakan sebelumnya, ada sejumlah program pembangunan daerah dan program pengentasan kemiskinan yang saat ini sedang berjalan di Indonesia. Mungkin dapat dikembangkan sinergi dengan program-program tersebut di bidang-bidang tertentu: misalnya identifikasi proyek—KDP juga melakukan hal ini, dan informasi tersebut dapat diperoleh dari mereka. Beberapa ruang kantor dan personil administrasi juga dapat digunakan bersama-sama oleh program-program yang berbeda. Oleh karena itu mungkin terdapat penghematan biaya dan mencegah duplikasi.
21
Gagasan berdasarkan-permintaan harus dipandu oleh apakah proyek memberikan nilai tambah bersih setelah penyelesaiannya.
34
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
5. SPEKTRUM ASET YANG AKAN DICIPTAKAN Pada awalnya, diperlukan pernyataan bahwa proyek yang diidentifikasi untuk NEGP harus termasuk dalam strategi pembangunan sektoral Indonesia. Banyak proyek yang sudah akan berada dalam kelompok tersebut: beberapa sedang berjalan sementara yang lain masih dalam rencana. Harus ada penambahan jumlah yang harus dirancang apabila pasokan tenaga kerja di wilayah tertentu melebihi permintaannya. Persiapan ini biasanya berkisar 10-15 persen pekerjaan tambahan dibandingkan dengan rata-rata permintaan. Kegiatan ini harus dilakukan oleh departemen teknis dan departemen terkait, pertama-tama secara individual dan kemudian dalam koordinasi di bawah staf program. Daftar proyek yang dikonsolidasikan di tingkat kabupaten dapat disebut sebagai Cetak Biru. Masing-masing jenis proyek dalam Cetak Biru, terdaftar di Bagian 2.2.2 dibahas di bagian ini.
Boks 5: Apakah aset-aset dalam program ketenagakerjaan membantu memberikan nilai tambah? Apakah nilai tambah bersih dalam pelaksanaan proyek-proyek di bawah berbagai jenis program NEGP cukup besar—terutama, apakah manfaat proyek melebihi nilai yang hilang, misalnya dari sektor pertanian di mana para pekerjanya diperoleh? Jawaban: pada umumnya, apabila jadwal proyek dibuat sedemikian rupa sehingga musim yang padat ditinggalkan, masalah ini dapat diatasi. Jawa, yang memiliki penduduk paling padat dibandingkan dengan daerah mana pun, pertaniannya tidak boleh terpengaruh karena perginya beberapa pekerja. Seperti terlihat dari data di Bangladesh (yang juga padat penduduknya), pertanian sebenarnya memperoleh manfaat karena para petani kecil terlibat dalam program-program pekerjaan umum dan membawa pendapatan mereka ke lahan mereka untuk meningkatkan produktifitas. Contoh lain yang menonjol selain MEGS di mana aset-aset diciptakan dalam skala besar adalah di Cina di akhir tahun 1980-an/awal 1990-an. Di bawah program Yigong-daizhen, terdapat 130.000 kilometer jalan-jalan pedesaan (dan 8.000 jembatan) yang dibangun, menghubungkan 10.000 desa, dan 21 juta penduduk pedesaan memperoleh pasokan air minum. Sumber: Subbarao (1997); Ling dan Zhongyi (1995)
5.1 Proyek-proyek besar yang sedang berjalan Ada kemungkinan pengerahan pekerja dari program ketenagakerjaan di proyek-proyek infrastruktur yang cukup besar, sedang berjalan, (atau sedang direncanakan): misalnya pengaturan air, irigasi, drainase, jalan-jalan, listrik masuk desa, sanitasi, pembangunan gedunggedung (baik pedesaan dan perkotaan), saluran air, saluran pembuangan air (baik pedesaan dan perkotaan) dan proyek-proyek serupa. Proyek-proyek ini dapat berupa proyek komunitas maupun swasta. Tentu saja, proyek-proyek ini memiliki persyaratan tenaga manusianya sendiri-sendiri, beberapa mungkin berupa pekerja berketerampilan tinggi sementara yang lain semi-terampil dan tidak terampil. Usulan yang diajukan di sini adalah untuk mengerahkan para pekerja dari program ini untuk melaksanakan komponen pekerjaan yang sebagian atau seluruhnya tidak-terampil.
5.2 Pemeliharaan dan perbaikan proyek-proyek yang ada Pengerahan pekerja di proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan yang ada merupakan sebuah kemungkinan tersendiri, misalnya pada saat ini tidak terdapat layanan daerah yang resmi untuk pembersihan jalan, saluran air, drainase, atau pembuangan sampah di kota-kota. Kegiatankegiatan ini dapat diikutsertakan dan kaum miskin di perkotaan dapat dikerahkan untuk melaksanakan proyek-proyek ini, dibiayai oleh program ketenagakerjaan. Kegiatan-kegiatan lain dapat mencakup, antara lain, penanaman pohon secara reguler dan pemeliharaan pohon-pohon yang masih muda atau pemeliharaan dan perbaikan jalan-jalan dan 35
kanal-kanal. Pada kenyataannya, jasa-jasa seperti itu sangat terlokalisasi dan paling baik diidentifikasi oleh otoritas lokal di tingkat kabupaten atau kota.
5.3 Proyek-proyek pekerjaan umum yang khusus dirancang untuk NEGP Terdapat kemungkinan merancang proyek-proyek menengah atau bahkan proyek-proyek menengah-besar yang efisien (padat karya) di mana para pekerja program dapat dipekerjakan selama setidaknya 1-3 bulan. Di daerah pedesaan, biasanya pilihan aset-aset dapat berupa: (1) Pembangunan batas air, proyek-proyek irigasi (kecil dan minor), penapisan dan strukturstruktur bawah tanah;; (2) Proyek-proyek pasokan air minum; (3) Pembangunan (dan perbaikan) jalan-jalan penghubung; (4) Penanaman kembali hutan gundul dan penanaman hutan baru (di atas tanah bersama dan tanah yang tidak rata untuk mencegah longsor, dan menghentikan hilangnya tanah subur secara berlebihan); (5) Membangun dan memperbaiki sekolah-sekolah, pusat-pusat kesehatan, struktur-struktur komunitas, rehabilitasi, pada saat banjir atau bencana alam, atau lain-lain; (6) Pembangunan taman-taman industrial untuk industri UKM/pedesaan. Catatan: Irigasi/manajemen air, konservasi tanah dan proyek-proyek kehutanan dan taman-taman industrial dapat mengambil tanah milik bersama dan tanah swasta.
Boks 6: Tiga pertanyaan mengenai pengerahan pekerja NEGP ke proyek-proyek besar Q1: Bukankah lebih mudah bagi para kontraktor untuk mempekerjakan staf mereka sendiri untuk menjaga efisiensi yang lebih tinggi? A 1: Ya, tetapi dalam hal ini program ketenagakerjaan mendanai upah apabila pekerja dari program ini yang dipekerjakan, dan hal ini mungkin mempengaruhi saldo biaya sehingga akan lebih menguntungkan apabila pekerja dari program yang dipekerjakan. Selain itu, tidak harus seluruh pekerja tidak terampil dalam proyek dilibatkan dari program; beberapa orang yang efisien, memiliki keterampilan khusus, atau terpercaya juga dapat langsung dipekerjakan. Q2: Bukankah kesejahteraan para pekerja tidak terampil (tidak miskin) dalam pasaran akan terpengaruh apabila mereka tidak diberi pekerjaan karena ingin mengakomodasi para pekerja lain yang terdapat dalam daftar miskin, yang memiliki WEC? A2: Ya, tetapi usulan yang diberikan di sini hanya untuk situasi apabila tidak tersedia pekerja lokal dan para pekerja harus diangkut dari luar. Dalam situasi seperti ini, mereka yang tidak terdapat dalam daftar tidak terpengaruh secara langsung. Proposal ini akan lebih tepat untuk proyek-proyek seperti sekolah, jalan-jalan, pusat-pusat kesehatan, dan lain-lain yang dibangun di pulau terpencil atau daerah-daerah lain yang kepadatannya rendah. Q3: Bukankah perusahaan swasta akan memperoleh manfaat yang jatuh dari langit karena tenaga kerja yang disubsidi (meskipun hanya untuk komponen tidak terampil)? A3: Ya, tetapi dalam kebanyakan kasus, komponen tenaga kerja tidak terampil dalam proyek-proyek besar cukup kecil. Meskipun demikian, apabila terlihat bahwa pihak swasta memperoleh keuntungan cuma-cuma, metode pemulihan sebagian biaya dapat digunakan. Catatan: Praktek-praktek seperti ini berhasil dalam MEGS.
36
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Boks 7: Pengalaman intensitas dan efisiensi tenaga kerja Terdapat proyek-proyek padat karya, atau memiliki kemungkinan untuk menggunakan teknologi padat karya. Tetapi apakah teknologi padat karya tersebut lebih murah? Dalam beberapa proyek, ya. Studi dari berbagai negara, termasuk Kamboja, Ghana, Madagaskar dan Thailand memperlihatkan bahwa alternatif padat karya sekitar 10-30 persen lebih murah dibandingkan dengan alternatif padat modal. Berikutnya, di negara-negara ini mereka mengurangi persyaratan nilai tukar mata uang asing sampai 50-60 persen. Data tersebut kemudian memperlihatkan bahwa dengan anggaran yang sama, tercipta kesempatan kerja sebanyak 2-5 kali lipat. Di Ghana, kontraktor-kontraktor kecil dilatih untuk merehabilitasi dan memelihara jalan-jalan penghubung, menggunakan metode padat karya; sebagai hasilnya, tercipta kesempatan kerja sebesar tiga kali lipat. Lagi-lagi, di Kamboja di mana rata-rata biaya pembangunan satu kilometer jalan sebesar US$ 15.000, keseluruhan beban biaya rata-rata untuk pekerjaan berbasis tenaga kerja 17 persen lebih rendah. Hal ini difasilitasi dengan pemilihan tempat yang seksama, pengawasan yang ketat dan teknik-teknik produksi yang tepat. Sumber: Devereux dan Solomon (2005)
Boks 8: Contoh pengerahan tenaga kerja di bawah program-program yang inovatif dan berisiko Di Maharashtra, para petani didorong untuk menanam hortikultura dan buah-buahan sebagai pengganti padi. Tenaga kerja disediakan melalui MEGS. Dalam periode 1992-2004, daerah hortikultura di provinsi tersebut meningkat dari beberapa ratus hektar menjadi lebih dari sejuta hektar, dan produksinya sekarang diekspor. Laba untuk individu meningkat dan demikian pula halnya dengan kegiatan-kegiatan sampingan. Dalam banyak kasus, fasilitas pengolahan pun telah didirikan, termasuk adanya nilai tambah untuk tinggal di daerah-daerah lokal/pedesaan. Risiko yang biasanya dihadapi adalah pemasaran produk: produk harus dipasarkan pada saat masih segar, apabila tidak maka perlu dibangun rantai pendingin dan fasilitas pengolahan, di mana infrastruktur menjadi hal yang penting. Risiko yang lain adalah: tingginya biaya, putusnya rantai pendingin, pasar yang kolaps. Modus operandi: Para pekerja yang ingin terlibat ditugaskan ke pengusaha-pengusaha petani swasta yang akan melaksanakan proyek tersebut selama 1-3 bulan setiap periodenya. Apabila para pekerja diperlukan untuk periode yang lebih lama, maka akan ditugaskan kelompok pekerja yang baru. MEGS membayar para pekerja secara langsung. Sumber: Acharya (2005); Gulati, Minot, Delgado, dan Bora (2005); Vatsa (2005)
5.4 Proyek-proyek yang inovatif dan/atau berisiko tinggi Pekerja dari program ketenagakerjaan harus dikerahkan ke dalam proyek-proyek yang inovatif, yang mungkin tidak akan diluncurkan karena kurangnya subsidi: dalam hal ini datang dalam bentuk upah dari program ketenagakerjaan. Beberapa contoh: (1) Indonesia pada umumnya menanam padi. Keuntungan menanam padi tidak terlalu tinggi meskipun tingkat produktifitasnya mencapai lebih dari 4 ton per hektare (terutama di Jawa), karena kontrol harga dan terbatasnya daya beli sejumlah besar warga. Selain itu, produksi beras dua kali setahun pada setiap tahunnya mengikis tanah subur, sehingga membutuhkan tambahan input untuk menjaga produktifitas yang sama. Apakah diversifikasi tanaman pangan dimungkinkan? MEGS telah membantu pencapaian itu (Boks 8). Sebagian besar wilayah di pulau Jawa memiliki lingkungan yang lebih menguntungkan untuk iklim pertanian, baik dalam hal ketersediaan air maupun kualitas tanah dibandingkan dengan sebagian besar wilayah di Maharashtra. Apabila kemungkinan diversifikasi tanaman pangan dan integrasi vertikal dimungkinkan di 37
Maharashtra, Jawa seharusnya memiliki pilihan-pilihan yang lebih baik, baik untuk diversifikasi tanaman pangan dan integrasi vertikal (misalnya dalam pengolahan buah-buahan/sayur mayur). (2) Beberapa proyek inovatif untuk energi terbarukan juga dapat dicoba, karena banyak daerah pedesaan terpencil yang tidak memiliki sumber-sumber energi modern yang baik. Satu cara untuk melakukan eksperimen di daerah yang berpendapatan rendah adalah dengan memanfaatkan gas alam yang mudah terbakar (dapat diperbaharui) yang diperoleh dari sampah organik. Sebuah proyek dapat melayani sebuah desa (atau sebagian desa), proyek tersebut dapat berbasis komunitas, meskipun tidak harus berbasis komunitas—proyek ini juga dapat dioperasikan oleh sektor swasta—dan mengerahkan pekerja yang dibayar oleh program.
5.5 Infrastruktur desa kecil Program ini dapat terus melaksanakan pembangunan infrastruktur lokal, biasanya seperti yang dilakukan oleh proyek yang sebelumnya, yaitu padat karya. Perbedaan yang diusulkan kali ini adalah bahwa proyek tersebut harus dipilih setelah kegunaannya dikaji oleh komunitas lokal, untuk memastikan permintaan atas proyek tersebut. Hubungan dengan proyek-proyek yang lebih besar dapat menjadi salah satu pendekatannya: misalnya memasang pipa dari proyekproyek irigasi yang ada/baru untuk mengalirkan pasokan air minum dalam skala kecil. Catatan 1: Dalam proyek-proyek tersebut, yang khusus dirancang sebagai jaminan [(3) dan (5) di Bagian 2.2.2], intensitas tenaga kerja harus menjadi faktor utama. Sementara seharusnya tidak ada spesifikasi rasio teknologi semata-mata (yaitu pengeluaran untu upah terhadap biaya keseluruhan), harus dilakukan upaya untuk menghabiskan setidaknya/sekitar 40-50 persen dari seluruh pengeluaran untuk upah (data untuk Indonesia memperlihatkan bahwa angka ini telah meningkat sampai 70 persen di beberapa proyek PK di masa lampau; jadi saran ini bukanlah sesuatu yang tidak realistis). Rasio dapat berkisar seperti di atas ketika digabungkan di tingkat kabupaten dan tidak untuk proyek-proyek individual. Catatan 2: Dalam proyek-proyek di mana terdapat keuntungan bagi sektor swasta, biaya pengguna atau pemulihan sebagian biaya dapat dipertimbangkan dalam beberapa tahapan. Catatan 3: Dinyatakan di Bagian 4 (lihat, catatan Penting) bahwa ada sejumlah program pembangunan pengentasan kemiskinan yang sedang berjalan di Indonesia. Banyak pula yang menciptakan aset-aset. Apakah dapat dibangun sinergi antara NEGP dan program-program serupa? Misalnya, apabila KDP membangun tempat penampungan air, apakah NEGP dapat membangun kanal-kanal di hilir? Upaya-upaya tersebut dapat menciptakan perekonomian yang memadai. Catatan 4: Aset-aset yang diciptakan dalam program ini juga dapat memperoleh pelengkapnya dalam program-program promosi dan pembangunan yang lain: pengembangan kewirausahaan, pertumbuhan UKM, kesempatan kerja bagi kaum muda, dan lain-lain. Hal ini bukan hanya akan meningkatkan penggunaan aset-aset, tetapi juga akan mengurangi biaya tetap program.
38
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
6.
TATA KERJA NEGP
6.1 Tanggung jawab dan pra-kondisi NEGP akan berjalan sebagai sebuah kemitraan yang luas antar berbagai organ pemerintahan (dan juga sektor swasta). Oleh karena itu, sementara staf program di tingkat kabupaten bertugas menyusun daftar proyek, penyiapan daftar per departemen harus menjadi tanggung jawab individual masing-masing departemen teknis/terkait—di pusat, provinsi, dan kabupaten—yang kemudian akan dikumpulkan dan disusun oleh staf program. Departemen teknis/terkait di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten pada prinsipnya akan bertanggung jawab untuk melaksanakan pekerjaan.22 Apabila pekerjaan dilaksanakan di bawah kategori (4) bagian 2.2.2, fungsi ini akan dilaksanakan oleh swasta. Departemen teknis/terkait (dan pemangku kepentingan) akan memilih lokasi, rancangan dan melaksanakan proyek, membeli bahan-bahan, membayar biaya modal, upah dan jasa-jasa lain, memastikan diselesaikannya proyek dan melaksanakan seluruh kegiatan yang penting untuk penyelesaian proyek. Tidak menjadi masalah berapa banyaknya lembaga teknis, departemen, dan pengusaha swasta yang terlibat dalam proses pembangunan dan pembangunan kembali. Pekerjaan dapat dilaksanakan melalui kontraktor atau langsung oleh otoritas/pemangku kepentingan apabila mereka memiliki kapasitas yang dibutuhkan. Pada kenyataannya, ada beberapa departemen dan dinas yang telah memprakarsai pekerjaan seperti ini dari waktu ke waktu, karena padat karya (PK) lebih merupakan prinsip ketimbang program dan beberapa di antaranya masih berjalan. Apabila mereka juga dapat membangun koordinasi dengan NEGP (di tingkat kabupaten untuk pasokan tenaga kerja), program-program tersebut juga dapat berada di bawah payung yang sama. Dengan demikian, biaya administrasinya juga dapat berkurang. Akan dibangun manajemen sistem informasi (MIS) yang berdinamika kuat (yaitu diperbaharui secara berkala) yang dikoordinasikan di tingkat kabupaten dan menghubungkan tingkat desa/lokal untuk memastikan jumlah dan ketersediaan pekerja di masing-masing lokasi di satu sisi, dan tempat kerja (melalui dinas teknis dan pengguna) untuk memperoleh perkiraan permintaan atas pekerja di tempattempat kerja di sisi lain.
6.2 Mengoperasikan NEGP Sewaktu-waktu, sejumlah pekerjaan diharapkan sudah dapat dioperasionalkan [kapasitas: sekitar 10 persen lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan permintaan—setidaknya dalam kategori (3)-(5) dari Bagian 2.2.2]. Dimulainya pekerjaan tersebut merupakan tanggung jawab departemen teknis dan terkait, yang merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek tersebut bersamaan dengan prioritas sektoral mereka. Meskipun demikian, beberapa proyek [biasanya kategori (5), Bagian 2.2.2] juga dapat diprakarsai oleh komunitas desa. Proses dimulainya pekerjaan diharapkan dapat menjadi kurang lebih seperti ini: (1) Staf program kabupaten, setelah menerima daftar pekerjaan yang sedang berjalan dan pekerjaan yang diusulkan beserta pernyataan biaya dari dinas-dinas teknis dan terkait, menyiapkan perkiraan keuangan di tingkat kabupaten dalam format yang telah ditetapkan untuk mengirimkannya ke pusat (Bappenas/Depnakertrans) melalui provinsi. Hal ini dilakukan berulang-ulang setiap catur wulan. (2) Berdasarkan perkiraan ini, otoritas pusat/provinsi mencairkan dana ke kabupaten setiap catur wulan pada tanggal yang sebelumnya ditetapkan. Rekening bank yang terpisah harus dimiliki untuk program ini di tingkat kabupaten.
22
Umumnya diketahui bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga ini tergantung pada skala dan yurisdiksinya. Proyek-proyek irigasi dan jalan antar-provinsi yang besar merupakan tanggung jawab pemerintah pusat (Departemen Pekerjaan Umum), sementara proyek konservasi tanah yang lebih kecil merupakan tanggung jawab dinas teknis di tingkat kabupaten.
39
(3) Staf program akan meminta dinas-dinas teknis dan terkait untuk memulai setidaknya 30 persen proyek yang diidentifikasi dalam kategori (3) dan (5) segera setelah menerima dana, dengan asumsi bahwa setidaknya akan selalu terdapat permintaan atas pekerjaan sebesar ini. Dana akan dikirim ke dinas-dinas teknis dan terkait untuk pencairan lebih lanjut sesuai dengan perkiraan seperti dalam butir (1) di atas. (4) Staf program akan menyusun sebuah penilaian terperinci mengenai permintaan tenaga kerja lebih lanjut (lebih dari 30 persen) berdasarkan data yang diterima dari tingkat desa/lokal seperti dalam butir (3), Bagian 4.4 di atas. Berdasarkan penilaian ini, lebih banyak proyek yang dapat dimulai di mana sumber daya akan dikirim ke dinas-dinas teknis oleh staf program. Para pekerja diharapkan mendaftarkan diri untuk bekerja kepada kepala desa atau sekretaris desa, yang pada gilirannya akan mengarahkan mereka ke tempat-tempat kerja yang sebelumnya sudah diidentifikasi. Jarak waktu maksimum antara pengajuan permintaan untuk bekerja dan pekerjaan sebenarnya diperbolehkan sampai 7-10 hari. Apabila pekerja diharapkan bepergian ke tempat kerja yang jauh, mereka harus diberitahukan mengenai hal itu setidaknya dua hari sebelumnya. Para pekerja yang melapor ke tempat kerja harus membawa WEC (kartu kelayakan kerja) mereka, yang menjadi dasar untuk kehadiran dan upah. Adalah hak otoritas (desa/kota/lokal) untuk menentukan ke mana para pekerja akan dikerahkan. Hak tersebut juga mencakup jenis pekerjaan dan kepemilikan proyek. Pada prinsipnya, kriteria bagi otoritas untuk mengerahkan pekerja termasuk: permintaan pekerja di tempat-tempat kerja yang berbeda, jarak tempat kerja dari desa pekerja, dan (mungkin) atribut individual pekerja (misalnya, pekerja perempuan dengan anak-anak kecil mungkin tidak dikirim terlalu jauh, dan lain-lain.). Staf program dapat memandu kepala desa/kota/lokal mengenai hal tersebut. Apabila pekerjaan diperlukan oleh banyak pekerja (misalnya 20-25) dan pekerjaan tersebut tidak tersedia di tempat-tempat kerja yang ada, dapat dibuka tempat kerja baru dari daftar proyek dalam butir (3) atau (5) [seperti terdaftar di Bagian 2.2.2]—lihat (3) dan (4) di atas. Mungkin ada situasi di mana proyek-proyek memerlukan jumlah pekerja tertentu untuk suatu periode tertentu. Hal ini mungkin tidak cocok dengan pasokan pekerja yang ada. Pada saat yang sama, mungkin terdapat situasi-situasi lain di mana terdapat lebih banyak pekerja dari yang dapat diserap oleh proyek-proyek. Untuk meminimalisasi ketidaksesuaian tersebut, para pekerja mungkin diminta untuk mengurutkan kesediaan mereka berdasarkan permintaan, dan diminta untuk melakukan hal itu. Hal ini diperbolehkan karena NEGP tidak diharapkan untuk berfungsi sebagai program pemulihan darurat tetapi sebagai suatu program pembangunan aset dan program untuk menghasilkan pendapatan. Oleh karena itu, selama otoritas dapat menyediakan sampai tiga bulan pekerjaan bagi para pekerja dalam sebuah keluarga pada tahun kalender (digabung), tidak menjadi terlalu bermasalah bagaimana mengurutkan mereka. Meskipun demikian, kuota pekerjaan suatu tahun tidak dapat dipindahkan ke tahun berikutnya. Berikutnya, otoritas dinas teknis/terkait harus sensitif dengan fakta bahwa selama bulan-bulan pertanian yang sibuk, permintaan atas pekerjaan akan berkurang; sehingga intensitas pekerjaan harus tetap rendah selama bulan-bulan tersebut. Catatan 1: Harus ada pengiriman sumber daya dari kabupaten ke dinas-dinas teknis melalui pengiriman di bank. Satu-satunya saat di mana uang tunai (mata uang) digunakan adalah pada saat pencairan upah (dan mungkin beaya pembelian material) oleh dinas-dinas teknis. Transaksi tunai langsung dengan pekerja merupakan prerogatif dinas teknis saja. Catatan 2: Mungkin tampak rumit bahwa permintaan dan pasokan tenaga kerja harus dicocokkan, sementara para pekerja menawarkan untuk bekerja selama 1-3 bulan, proyek-proyek mungkin memiliki siklus penyelesaian beberapa bulan sampai lebih dari satu tahun. Pada kenyataannya tidak, karena: satu, pekerja yang sama tidak perlu bekerja di satu tempat—satu kelompok dapat diikuti oleh kelompok yang lain; kedua, beberapa pekerja mungkin terlibat untuk periode yang lebih lama apabila mereka tidak dapat dilepas dari proyek (Bagian 6.3, butir 4, di bawah); dan akhirnya, terdapat pekerja-pekerja lain selain yang terdapat dalam daftar yang dapat dipekerjakan
40
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang mendesak, sepenuhnya berdasarkan hak yang dimiliki oleh dinas teknis/terkait. MEGS telah mencapai hasil yang positif mengenai hal ini.
6.3. Kelayakan, hak-hak dan tugas-tugas pekerja Program ini akan terbuka bagi para pekerja dari keluarga-keluarga yang teridentifikasi sebagai keluarga ‘miskin’. Mereka yang berada dalam daftar, bersedia terlibat dalam pekerjaan fisik (terampil, semi-terampil atau tidak terampil) tergantung pada kualifikasi dan persyaratan proyek di wilayah tersebut pada waktu tertentu) harus diberikan pekerjaan di bawah program ini. Catatan: Oleh karena itu, di sini terdapat penargetan diri sendiri di antara kaum miskin: hanya mereka yang bersedia terlibat dalam pekerjaan manual dengan upah yang telah ditentukan untuk suatu periode waktu minimum akan bergabung. Proposal berikut ini dapat dipertimbangkan: (1) Orang-orang ‘miskin’ berusia di atas 17 tahun (dan tidak terlalu tua untuk bekerja— misalnya 60 tahun) akan diizinkan untuk mendaftar. Apabila sebuah keluarga tidak memiliki seorang pun dalam kelompok usia tersebut, orang-orang yang telah mencapai usia 15 tahun atau sampai 65 tahun dapat dipertimbangkan. Meskipun demikian, orang-orang itu tidak boleh diberikan pekerjaan yang berat. (2) Masing-masing keluarga yang teridentifikasi sebagai keluarga miskin dalam suatu tahun tertentu akan diberikan kartu (yang dapat diperbaharui setiap tahunnya) yang menyatakan jumlah anggota keluarga, berdasarkan usia dan jenis kelamin. Pemegang kartu kemudian diharapkan untuk mendaftarkan diri dibawah NEGP dengan otoritas kabupaten (staf program). Kartu yang terpisah—kartu kelayakan kerja (WEC)—akan diberikan kepada mereka, di mana akan dituliskan nama anggota yang bersedia bekerja. Contoh WEC diberikan dalam Gambar 3. WEC akan menjadi dokumen legal—lebih baik dibuat dari plastik dan/atau dilaminating. Kerusakan pada kartu dianggap pelanggaran. Identitas foto di atas kartu dapat dipertimbangkan. (3) Hanya satu orang dari satu keluarga pada suatu waktu yang akan diberikan pekerjaan di bawah jaminan ini. Meskipun demikian, dimungkinkan pengganti: misalnya, apabila sebuah keluarga memiliki dua orang yang terdaftar untuk bekerja selama periode waktu 30 hari, maka dapat dilakukan pengaturan di mana untuk sebagian waktu akan dikerjakan oleh seseorang sementara orang yang lain bekerja untuk waktu sisanya. WEC harus memiliki daftar seluruh pekerja yang layak bekerja dalam sebuah keluarga untuk mempermudah hal itu. (4) Pekerjaan harus dijamin untuk jangka waktu maksimum tiga bulan dalam satu tahun untuk satu keluarga, yaitu harus dijamin pendapatan tahunan tambahan di kisaran Rp 800.0001.000.000 per keluarga (lihat bagian mengenai Upah untuk penghitungan ini).23 Apabila seorang pekerja ingin bekerja lebih lama (melebihi kuota mereka) di tempat yang sama dan terdapat lowongan di tempat kerja itu, mereka dapat meneruskan pekerjaan tersebut, tetapi tidak di bawah jaminan. Untuk pekerjaan tambahan ini, pekerja harus menegosiasikan kembali dengan pengusaha: baik upah maupun kondisi-kondisi lain. (5) Para pencari kerja biasanya akan diberikan pekerjaan dalam suatu jarak yang dapat terjangkau dalam waktu kurang dari setengah jam dari tempat tinggal mereka. Apabila terdapat sekelompok besar pekerja dari daerah yang sama yang ingin mencapai suatu tempat kerja yang cukup jauh, otoritas yang memberikan pekerjaan dapat mempertimbangkan pengaturan transportasi untuk mereka dengan biaya yang ditanggung oleh proyek. Apabila pekerjaan tidak tersedia di wilayah mereka, para pekerja dapat diangkut ke pekerjaan-pekerjaan yang lebih jauh (dengan pembiayaan proyek), tetapi upaya maksimum
23
Perhatikan bahwa ini merupakan pendapatan kotor. Pengiriman dana bersih akan terdiri dari jumlah ini dikurangi dengan kemungkinan pendapatan sebelumnya yang diperoleh karena partisipasi dalam program. Dalam banyak kasus, biaya kesempatan (opportunity cost) tersebut berkisar antara rendah sampai sangat rendah—(0-20 persen):lihat Acharya dan Panwalkar (1988); Gaiha (1997); Datt dan Ravallion (1992).
41
tidak seharusnya diambil untuk mengangkut para pekerja pedesaan ke tempat-tempat kerja di pusat-pusat kota besar, karena hal itu akan mendorong migrasi dari pedesaan ke perkotaan yang tidak diinginkan. (6) Akan terdapat fasilitas di tempat kerja, mengenai air minum, pertolongan pertama dan fasilitasfasilitas lain yang penting untuk mengumpulkan banyak pekerja. Apabila terdapat setidaknya 12 orang pekerja perempuan yang memiliki anak kecil, fasilitas untuk menjaga anak-anak ini merupakan hal yang penting. Akan merupakan hal yang praktis untuk menunjuk salah satu yang tertua [atau orang yang sangat muda seperti disebutkan dalam butir (1) di atas, atau ibu menyusui] untuk merawat anak-anak yang lebih kecil atau melakukan tugas-tugas serupa, dan dibayar dengan upah minimum. (7) Para pekerja harus memastikan jumlah hari maksimum pasokan tenaga kerja dari keluarga mereka dalam satu periode (misalnya, 30 hari). Apabila hal tersebut dilanggar tanpa alasan—misalnya pekerja atau anggota keluarga sakit parah atau anggota keluarga meninggal dunia—keluarga yang bersangkutan akan menghadapi risiko bahwa WEC-nya sementara tidak diberlakukan. Para pekerja harus menginformasikan otoritas di tempat kerja mengenai hal-hal tersebut di muka kecuali kejadian tersebut tidak memungkinkan hal itu. Akhirnya mereka harus menginformasikan kepada kepala desa, yang akan menyesuaikan kuota waktu kerja pekerja. (8) Para pekerja tidak diharapkan untuk menolak pekerjaan kecuali terdapat alasan khusus; para pekerja yang lebih tua mungkin tidak ingin melakukan pekerjaan yang terlalu melelahkan, pekerja perempuan mungkin tidak ingin melakukan pekerjaan yang sangat berat secara fisik, beberapa pekerja mungkin memiliki masalah kesehatan tertentu, dan lain-lain; atau mereka akan menghadapi kecaman seperti dinyatakan dalam butir (7) di atas. (9) Para pekerja akan diberikan upah yang telah ditentukan (Bagian 6) dan akan dilindungi dengan standar-standar perburuhan yang ditetapkan berdasarkan hukum. Upah akan dibayarkan setiap minggunya. (10) Para pekerja tidak akan memiliki hak untuk melanjutkan pekerjaan, memperoleh pekerjaan tetap atau kewajiban-kewajiban serupa karena hubungan mereka dengan NEGP, tanpa memandang lama waktu hubungan tersebut.
Boks 9: Pertanyaan tentang Jender Apakah harus ada kuota jender dalam penyediaan pekerjaan di bawah program ini? Pertanyaan ini penting di beberapa wilayah tertentu di mana:
Status perempuan masih rendah, tapi semakin meningkat, termasuk perbaikan dalam status modal manusia mereka, melalui partisipasi yang lebih baik di pasar kerja (berdampak positif);
Perempuan dapat lebih dipercaya dalam urusan pengelolaan uang untuk memastikan perbaikan status gizi mereka sendiri dan anggota keluarga yang lain (berdampak positif);
Perempuan sudah terlalu terbebani dengan pekerjaan rumah, dan tambahan pekerjaan hanya akan menambah kesengsaraan mereka (berdampak negatif);
Sifat pekerjaan yang akan dilakukan dapat mengganggu kesehatan perempuan (berdampak negatif).
Di Indonesia, pertanyaan ini tidak tampak terlalu kuat, oleh karena itu secara apriori, tidak terdapat permasalahan untuk kuota. Meskipun demikian, pekerja perempuan tidak boleh didiskriminasi dalam program ini.
42
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
7.
TINGKAT UPAH
7.1. Menetapkan upah agar mendekati upah yang berlaku Dua alat yang paling penting untuk meningkatkan pendapatan pekerja dalam program ketenagakerjaan untuk pengentasan kemiskinan adalah tingkat upah dan jumlah hari bekerja. Yang kedua ditetapkan dalam suatu batas waktu tiga bulan; sedangkan soal tingkat upah akan didiskusikan di bagian ini. Apabila upah dalam suatu program jaminan ketenagakerjaan ditetapkan secara normatif pada tingkat yang lebih tinggi dari upah yang berlaku di pasar (bahkan bagi para pekerja yang dibayar paling rendah), secara administratif akan sangat sulit untuk menargetkan program secara efisien (efisiensi vertikal), karena tekanan dari kalangan bukan miskin yang akan bergabung akan besar. Upah yang lebih tinggi juga akan menghalangi penyebaran program secara geografis (efisiensi horisontal). Inilah alasan mengapa upah ditetapkan di tingkat yang rendah. Meskipun demikian, kebalikannya, menawarkan upah yang sangat rendah menimbulkan tanda tanya pada prinsip pemberantasan kemiskinan melalui program-program ketenagakerjaan yang menyediakan upah. Metode standar untuk menetapkan upah dalam program jaminan ketenagakerjaan di tempat-tempat lain adalah untuk membayarkan sedikit lebih rendah dari (di negara-negara dengan tingkat upah sedang) atau sama dengan (di negara-negara dengan tingkat upah yang rendah) upah minimum yang berlaku. Argumentasinya adalah bahwa hal ini bukan hanya diinginkan dari sudut pandang penargetan diri sendiri; hal ini juga agar tidak terlalu mengganggu pasar kerja. Upah bulanan yang sebenarnya dibayarkan untuk pekerjaan dengan pembayaran yang paling rendah— pekerjaan informal di bidang pertanian—berada di kisaran Rp 275.000 (Rp 328.000 untuk laki-laki dan Rp 181.000 untuk perempuan) pada bulan Agustus 2004. Jumlah itu kurang dari setengah tingkat upah minimum.24 Disarankan di sini untuk menetapkan upah di tingkat yang sama seperti yang dinyatakan di atas [misalnya Rp 350.000 per bulan (yang merupakan rata-rata kasar tingkat upah yang paling rendah yang berlaku) sebagai rata-rata nasional dan memberikan kesempatan kepada masing-masing provinsi menetapkan upah sesuai dengan standar kehidupan yang berlaku dan harga atau tingkat upah di daerah mereka].25 Oleh karena itu, program ini kemudian akan meningkatkan jumlah hari kerja dengan tingkat upah tersebut untuk meningkatkan pendapatan pekerja secara keseluruhan, bukan hanya meningkatkan upah saja. Keseimbangan jender yang lebih baik dalam hal upah, tentunya dapat dicapai juga (lihat Bagian 7.2). Sementara diakui bahwa menetapkan tingkat upah pada tingkatan yang berlaku dapat merupakan pelanggaran prinsip ‘upah minimum’, hal ini masih dapat dibenarkan: pertama, upah minimum hanya berlaku untuk sektorsektor formal, dan suatu program ketenagakerjaan bukan merupakan suatu upaya untuk memformalisasi sektor-sektor informal; dan kedua, jaminan ketenagakerjaan, berdasarkan definisinya, tidak dimaksudkan untuk menjadi alat intervensi aktif di pasar kerja, jaminan ketenagakerjaan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada para pekerja miskin melalui pemberian tambahan penghasilan mereka. Apakah akan tersedia pekerja-pekerja miskin dengan tingkat upah tersebut? Jawabannya adalah ya, karena bukti menunjukkan bahwa sampai saat ini mereka masih berdatangan. Dalam kasus apa pun, Rp 181.000-328.000 merupakan upah (terendah) rata-rata, menandakan bahwa beberapa orang juga bekerja dengan upah yang lebih rendah dari jumlah ini. Apabila mereka melihat kelanjutan program dan manfaat sampingannya, mereka tentunya akan merasa bahwa pekerjaan dalam program ini menarik. Hasil: Banyak pekerja dan keluarga mereka yang berpartisipasi dalam program yang mungkin tidak mampu ‘melewati’ garis kemiskinan, tetapi mereka pasti akan berada di posisi yang lebih tinggi dari posisi pendapatan mereka sebelumnya.
24 25
BPS (2005b) Papanek (2005) mengusulkan upah tetap di tingkat yang lebih rendah dari upah yang berlaku di pasar untuk mempengaruhi penargetan diri sendiri. Meskipun demikian, saran ini tidak dipilih di sini karena alasan-alasan yang dinyatakan di Boks 4.
43
7.2. Membayar berdasarkan waktu atau hasil? Dalam program-program kesejahteraan yang normal, bayaran diberikan secara gratis (jumlah Y karena menganggur untuk Z hari, dan lain-lain) tetapi ketika bayaran diberikan untuk pekerjaan yang dilakukan—yang pada gilirannya akan memberikan rasa hormat dan hak kepada pekerja— bayaran harus dikaitkan dengan cakupan kerja yang dilakukan, tentunya dengan batas yang lebih rendah. Diusulkan di sini bahwa upah dibayarkan berdasarkan tingkat hasil, yaitu pekerja (baik laki-laki dan perempuan) dibayar berkaitan dengan pekerjaan yang mereka selesaikan. Apabila seorang pekerja memberikan ‘ketangkasan normal’ dalam pekerjaannya, misalnya untuk 40 jam dalam satu minggu, maka ia akan dapat memperoleh tingkat upah sebesar Rp 350.000 per bulan (sebenarnya, sesuai dengan lokasi) di bawah program. Apabila pekerja memberikan upaya lebih dan melampaui target pekerjaan yang normal, ia dapat menghasilkan lebih. Insentif seperti itu penting untuk menjaga tingginya efisiensi. Harus disusun sebuah pedoman pembayaran upah, yang menggolongkan upah kepada pekerjaan yang dilakukan dalam kegiatan-kegiatan tidak terampil/semi-terampil/terampil. Beberapa contoh: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
44
Menggali tanah lunak (Y1 meter kubik) dan menimbunnya di jarak X1 meter – bayaran Z1 Rp Memecahkan tanah keras atau menggali lubang-lubang dalam (Y2 meter kubik) – bayaran Z2 Rp Menanam padi Q1 – bayaran Z3 Rp Pertukangan dengan bata (membuat dinding R1 X R2 bidang) – bayaran Z4 Rp Pelapisan jalan dengan bitumen [(R3 (lebar) X R4 (panjang)] – bayaran Z5 Rp Membersihkan jalan [R5 (lebar) X R6 (panjang)] – bayaran Z6 Rp Mengosongkan air dari lubang-lubang yang dalam (S kiloliter) - bayaran X7 Rp
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Gambar 3: Contoh Struktur Kartu Kelayakan Kerja - Work Eligibility Card
Republik Indonesia Kartu Kelayakan Kerja NEGP Tahun Kalender (1 Jan - 31 Des 2007) 1. 2.
Nomor KTP: Lokasi Desa/Kelurahan Kecamatan: Kabupaten/Kota Provinsi
3.
Anggota Keluarga S. No
Nama Anggota Keluarga
Jenis Kelamin Usia
1 2 3 4 5 6
Hubungan dengan Kepala Keluarga Sendiri Istri Anak Laki-Laki Anak Perempuan Adik Laki-Laki?
Sisi 2 (Di belakang kartu yang sama): Kehadiran Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1
Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2
Hari 3 Hari 3 Hari 3 Hari 3 Hari 3 Hari 3 Hari 3 Hari 3 Hari 3 Hari 3 Hari 3 Hari 3 Hari 3
Hari 4 Hari 4 Hari 4 Hari 4 Hari 4 Hari 4 Hari 4 Hari 4 Hari 4 Hari 4 Hari 4 Hari 4 Hari 4
Hari 5 Hari 5 Hari 5 Hari 5 Hari 5 Hari 5 Hari 5 Hari 5 Hari 5 Hari 5 Hari 5 Hari 5 Hari 5
Hari 6 Hari 6 Hari 6 Hari 6 Hari 6 Hari 6 Hari 6 Hari 6 Hari 6 Hari 6 Hari 6 Hari 6 Hari 6
Hari 7 Hari 7 Hari 7 Hari 7 Hari 7 Hari 7 Hari 7 Hari 7 Hari 7 Hari 7 Hari 7 Hari 7 Hari 7
45
Boks 10: Pengukuran kerja dalam MEGS Dalam MEGS, pekerjaan diukur dan upah dibayarkan setiap minggu oleh pengawas lokal dari dinas teknis. Tugas-tugas khusus dialokasikan kepada kelompok-kelompok pekerja yang masing-masing terdiri dari 8-12 pekerja yang dikenal sebagai ‘gangs’. Seluruh anggota gang tentunya diberikan upah dalam jumlah yang sama, meskipun antara satu gang dengan yang lain upah tersebut dapat berbeda karena mereka terlibat dalam tugas yang berbeda dan/atau berbeda dalam produktifitas. Apabila produktifitas (tugas/gang) sangat rendah, masing-masing pekerja diberikan upah dalam jumlah minimum. Metode pengukuran kerja ini cenderung memotong biaya pengukuran kerja dan memaksa setiap pekerja dalam sebuah gang untuk mengejar ketinggalan dari yang lain. Meskipun demikian, hal ini juga dapat melindungi para pekerja yang kurang efisien dalam sebuah gang. Melatih beberapa pekerja yang lebih muda untuk belajar mengukur pekerjaan merupakan hal yang berguna. Hal ini mencegah malpraktek di tingkat yang seminim mungkin.
Daftar tersebut tersedia di dinas-dinas pekerjaan umum di mana-mana secara terperinci: mereka harus distandarisasi di sekitar tingkat upah menengah untuk program jaminan, yang dapat mengacu pada Pedoman Upah NEGP. Berikutnya, terdapat jadwal upah yang terpisah untuk wilayah yang berbeda-beda—pulau tertentu, pedesaan/perkotaan, dan lain-lain dengan mempertimbangkan variasi regional dalam upah yang berlaku dan biaya hidup. Dalam kasus apa pun, upah rata-rata nasional (atau Rp 350.000 per bulan) untuk pekerjaan dengan bayaran terendah harus menjadi titik acuan. Akhirnya, terdapat pertanyaan mengenai membayarkan sebagian upah dalam bentuk barang (makanan). Pendekatan ini memastikan bahwa ada jaminan makanan serta perlindungan terhadap fluktuasi harga makanan dalam jangka pendek. Karena distribusi beras subsidi merupakan agenda pemerintah, hubungan dengan program tersebut dapat menciptakan sinergi. Meskipun demikian, Indonesia tidak lagi mengalami surplus beras, dan langkah tersebut mungkin akan merugikan program atau anggaran keseluruhan. Isu ini memerlukan konsultasi yang lebih luas di tingkat lokal serta dengan Menteri Pertanian dan Bulog sebelum keputusan yang tegas diambil. Satu pilihan di sini adalah memberikan pilihan tersebut kepada pekerja: apabila mereka ingin memperoleh sebagian dari upah mereka dalam bentuk barang, kupon makanan, yang dapat ditukar dengan sejumlah tetap beras, maka hal itu dapat diberikan kepada mereka.26 Pedagang makanan lokal dapat diberikan wewenang untuk menerima kupon-kupon ini, yang kemudian dapat mereka cairkan di bank sesuai dengan nilai tertentu. Penting: Direkomendasikan agar tingkat upah di Pedoman Upah diperbaharui setiap kali terdapat penilaian resmi mengenai standar kehidupan—biasanya satu kali dalam waktu dua tahun. Meskipun demikian, apabila terdapat peningkatan tiba-tiba dalam harga produk-produk kunci, seperti dalam kasus bahan bakar di tahun 2005, harus ada ketentuan untuk dilakukannya revisi ad hoc juga. Berikutnya, dalam situasi yang tidak diinginkan di mana terjadi pengurangan yang drastis dalam upah di pasar, struktur upah dalam program ketenagakerjaan tidak boleh diturunkan—dengan ini, program akan membantu menstabilisasi batas terendah upah sewaktu-waktu. Catatan: Di antara berbagai indikator yang kuat mengenai apakah sebuah program jaminan ketenagakerjaan berfungsi dengan efisiensi dalam derajat mencukupi, apakah terdapat banyak pekerja perempuan. Banyak pekerja laki-laki yang mungkin tidak selalu berpendapat bahwa upah yang ditawarkan menarik, sebaliknya para pekerja perempuan mungkin berpendapat bahwa upah tersebut menarik, karena mereka memperoleh penawaran yang lebih baik dalam program ini dibandingkan dengan apa yang ditawarkan oleh pasar.
26
Ini adalah praktek di Sri Lanka.
46
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
8.
MONITORING DAN EVALUASI Monitoring dan evaluasi, lebih baik apabila dilaksanakan oleh setidaknya tiga lembaga—auditor departemen, penilai independen, dan evaluasi penggun—, diperlukan untuk memastikan kesuksesan program seperti ini. Seluruh data harus didiskusikan secara berkala dengan tiga dewan yang disebutkan di Bagian 4.
8.1 Pertanyaan Penting untuk menjawab sembilan pertanyaan di bawah ini untuk pengoperasian program yang efektif: (1) Berapa banyak pekerjaan yang diciptakan, berdasarkan bulan dan tahun, lokasi dan jender? (2) Berapa besar tingkat pengerahan pekerja, berdasarkan jenis tempat kerja (seperti di Bagian 2.2.2_? (3) Berapa besar pengeluaran untuk upah, berdasarkan lokasi dan jender? (4) Berapa besar pengeluaran program, berdasarkan jenis tempat kerja (Bagian 2.2.2) dan lokasi? (5) Bagaimana perincian pengeluaran dalam berbagai jenis pekerjaan yang berbeda yang dinyatakan dalam (3), (4) dan (5) Bagian 2.2.2? (6) Bagaimana tingkat penyelesaian aset-aset, setidaknya untuk kategori-kategori yang dinyatakan di butir (3), (4) dan (5) Bagian 2.2.2? (7) Apakah umpan balik dari pemangku kepentingan mengenai aset-aset yang diciptakan, seperti terdaftar dalam kategori aset (1), (2) dan (4) Bagian 2.1.1 mengenai pasokan tenaga kerja (ketetapan dan kualitas)? (8) Bagaimana tingkat upah yang sebenarnya diperoleh pekerja? (9) Bagaimana pendapatan tambahan yang diperoleh pekerja, dan bagaimana perubahan dalam standar-standar kehidupan mereka sebagai hasil program? Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan data di setidaknya empat tingkatan: proyek, kabupaten, pemangku kepentingan tertentu, dan akhirnya para pekerja (Gambar 4).
8.2. Proses menghasilkan data Pertama-tama, otoritas proyek harus mencatat pekerjaan yang dilakukan secara berkala (mingguan) di setiap tempat kerja. Catatan ini akan dikumpulkan di kabupaten (bulanan) dan kemudian di provinsi, misalnya setiap catur wulan, sementara hasilnya dapat dicermati oleh Dewan Provinsi. Setiap tahun, angka-angka ini akan dikumpulkan di tingkat nasional agar Dewan Nasional dapat menilai kemajuan yang dibuat dan menawarkan rekomendasi untuk tindakan di masa depan. Tugas ini tidak sulit, karena semua proyek memiliki catatannya: catatan ini hanya harus dikumpulkan oleh departemen statistik di kantor staf program. Perbedaannya: catatan untuk pengeluaran tenaga kerja (dan kehadiran) bagi para pekerja yang terlibat dalam program ketenagakerjaan harus disimpan secara terpisah di tingkat proyek, yang merupakan langkah tambahan. Kedua, kabupaten bertugas menyimpan data mengenai penggantian (uang) yang mereka berikan kepada dinas-dinas teknis yang akan dikumpulkan dan dihitung setiap tahunnya. Hal ini harus dicocokkan dengan data (penyelesaian) teknis untuk memastikan konsistensi. Untuk proyek-proyek yang terdaftar di (1), (2) dan (4) Bagian 2.2.2, penggantian hanya berlaku untuk biaya tenaga kerja saja—untuk pekerja yang dikerahkan melalui program—sementara untuk proyek-proyek yang terdaftar di (3) dan (5), penggantian akan mencakup biaya untuk tenaga kerja serta material. Catatan harus disimpan dengan baik.
47
Ketiga, diusulkan untuk memperoleh umpan balik dari para pengguna aset mengenai penciptaan dan penggunaan aset. Akan berguna apabila laporan tahunan/berkala dari para ‘pemangku kepentingan’ ini diperoleh, sehingga dapat memastikan penyelesaian dan penggunaan yang maksimal dari aset-aset yang diciptakan. Otoritas desa/lokal atau kecamatan harus memfasilitasi pertemuanpertemuan publik seperti ini. Keempat, BPS, sementara melaksanakan survei (sensus) kemiskinan tahunannya, harus mengumpulkan data mengenai pekerjaan yang disediakan melalui program ini di tahun sebelumnya, di mana 3-4 pertanyaan harus ditambahkan ke dalam kuesioner yang ada. Selain itu, data ini dapat dikumpulkan berdasarkan sampel perwakilan, baik bersamaan dengan survei Susenas tiga tahunan atau survei Sakernas (tenaga kerja) tahunan. Catatan 1: Terdapat kebutuhan untuk membangun mekanisme penanganan pengaduan sehingga para pekerja yang mengeluh dapat terwakili. Keluhan dapat berkisar tentang pekerjaan, upah, ketidaktaatan, atau masalah-masalah lain. ‘Sel-sel pengaduan’ ini biasanya ditempatkan di tingkat kabupaten, meskipun para pejabat yang menginspeksi atau mengawasi tempat-tempat kerja, atau bahkan pejabat desa/lokal juga dapat menangani keluhan individual. Catatan 2: Di tingkat desa/kota/lokal, harus ada pertemuan setidaknya setiap tiga bulan untuk mendiskusikan isu-isu dalam penciptaan kesempatan kerja, upah yang dibayarkan, masalahmasalah yang dihadapi oleh para pekerja, dan isu-isu lain seperti perbaikan program. Pendapatpendapat mengenai identifikasi proyek-proyek yang lebih baru juga dapat diperoleh. Keterlibatan para pekerja biasa dalam program akan membantu partisipasi yang lebih baik dan mengukur nuansa kerja di tingkat lokal. Catatan 3: Tidak diterimanya dana dari otoritas yang lebih tinggi dari kabupaten, penundaan atau pengiriman dana yang tidak mencukupi ke dinas-dinas teknis/terkait, atau tidak dibayarnya upah harus ditanggapi secara serius dan penjelasan harus diperoleh dari tingkat yang paling tinggi untuk masalah ini.
48
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
9.
PEMBANGUNAN MANUSIA
9.1 Pembangunan kapasitas Hingga kini, pembangunan kapasitas dalam program-program seperti ini merupakan hal yang langka di mana pun juga. Meskipun demikian, akan menjadi tantangan yang besar bagi program seperti ini untuk menciptakan kesempatan-kesempatan bagi para pekerja untuk berkembang27 Oleh karena itu, program ini harus memiliki nilai tambah agar para pekerja dapat berkembang. Satu pendekatan adalah untuk melatih para pekerja dalam keterampilan-keterampilan khusus yang mendekati keterampilan dan kemampuan yang mereka miliki pada saat ini, sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Hal-hal berikut dapat diupayakan: 1.
2.
3.
4.
5.
Menetapkan tujuan untuk melatih sekitar 4-5 persen kelompok sasaran pekerja setiap tahun: yaitu 0,50-0,75 juta orang. Latihlah orang-orang yang berada di daerah-daerah pedesaan dan di pulau-pulau luar Jawa daripada melatih mereka yang berada di perkotaan dan berbasis di Jawa, dengan keterwakilan perempuan yang lebih baik. Menetapkan sasaran kepada kaum muda, yang memiliki kapasitas yang terbukti dapat menyerap pengetahuan dan juga memiliki waktu yang cukup untuk menggunakannya. Proses seleksi harus kompetitif: setelah akhir tahun pertama program, pilihan kandidat harus dibuat berdasarkan proses yang adil dan transparan berdasarkan kemampuan.28 Kandidat yang terpilih dapat dilatih selama satu bulan di tahun kedua program apabila keluarganya memperoleh kesempatan selama tiga bulan. Bahkan satu bulan tersebut dapat diambil dari kuota penuh selama tiga bulan kerja; yaitu keluarga tersebut memperoleh tiga bulan upah untuk pekerjaan dua bulan, dan menerima pelatihan satu bulan.29 Bidang yang luas yang dapat diberikan oleh pelatihan—mengingat bahwa kaum miskin mungkin kesulitan baca tulis—adalah, antara lain, bidang pertukangan dan pembangunan rumah, pengecatan komersil/rumah, beberapa aspek dasar hidrologi dan manajemen air, dasar-dasar manajemen pertanahan, penanganan alat-alat mekanis sederhana (perbaikan sepeda, menambal ban, mengganti roda kendaraan berat, membuat dan memperbaiki perahu, dan lain-lain), perbaikan listrik yang sederhana (mengganti busi, menyambung kabel-kabel, solder, mengisi ulang baterai, mengganti bohlam dan lampu, dan lain-lain), mengendarai kendaraan bermotor, menavigasikan perahu. Apabila terdapat permintaan di suatu bidang, pelatihan dalam peternakan hewan juga dapat dilakukan. Akhirnya, banyak, bahkan apabila mereka telah bersekolah, yang masih buta huruf, maka dasardasar baca tulis dan angka dapat berguna. Bahkan pelatihan seperti itu dapat ditentukan dengan survei keterampilan wilayah yang dilakukan dari waktu ke waktu. Lokasi pelatihan dapat bertempat di kantor pusat kabupaten sementara pusat-pusat pelatihan yang ada dapat digandakan untuk melatih para pekerja ini juga, untuk harga yang murah.
Biaya pelatihan diperkirakan Rp 1.000.000 (biaya variabel, termasuk biaya pelatih dan bahanbahan/alat-alat—hal ini cocok dengan biaya di negara-negara lain yang serupa di Asia) ditambah upah satu bulan untuk pekerja. Selain itu, program ini mempertimbangkan bahwa keluarga yang menerima manfaat program harus mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah secara berkelanjutan—sasaran akan ditetapkan dan dimonitor di tingkat desa/kota/lokal.30 Skema ini juga dapat mengacu pada beberapa intervensi kritis: imunisasi anak-anak, keluarga berencana, yang lain-lain: harus spesifik terhadap lokasi. 27 28 29 30
MEGS mulai menghadapi ‘kelelahan pekerja’ setelah 25 tahun; para pekerja ingin berkembang dari pekerjaan yang tidak terampil dengan upah minimum [Parikh, Acharya dan Krishnaraj (2005)]. Keterangan mengenai program itu dijabarkan dalam Acharya, Basak dan Iyer (2005). BGMEA, UNICEF dan ILO telah memulai program pembelajaran serupa dalam ‘berpenghasilan sambil belajar’, sebuah modul pengajaran kejuruan dua jam sehari untuk anak-anak di usia kerja (usia di atas 14 tahun) di Bangladesh. Lihat, BGMEA (1998). Pengaturan seperti itu juga dipraktekkan di Meksiko. Lihat Jakarta Post, 1 Nopember 2005. Kakwani, Soares dan Son (2005) telah mengadakan simulasi komputer untuk banyak negara di Afrika guna menyimpulkan bahwa persyaratan pengiriman uang diperlukan untuk mencapai kehadiran sekolah yang lebih baik.
49
Catatan: Sistem inspeksi untuk program-program pendidikan dan kesehatan harus berbeda dari yang dijabarkan di Bagian 8. Sistem ini harus sepenuhnya dikendalikan dari dalam desa, meskipun Kartu Kelayakan Kerja dapat digunakan sebagai alat ketaatan.
9.2. Jaminan sosial Ada sejumlah program jaminan sosial di Indonesia; beberapa beroperasi di bawah bendera program-program pengentasan kemiskinan, sementara yang lain merupakan program-program jaminan sosial. Meskipun demikian, sebagian besar, terutama kaum miskin di sektor-sektor informal berada di luar jaringan tersebut.31 Karena pekerja di bawah NEGP diharapkan berasal dari kelompok penduduk ini, maka hal-hal berikut ini diusulkan: (1)
Meskipun ada jaminan kesehatan untuk seluruh skema ‘kesehatan dan gizi’, terdapat kebutuhan untuk memperluas perawatan kesehatan menjadi lebih baik. Asuransi kesehatan sosial harus diadakan bagi para pekerja dan keluarga yang berpartisipasi. Seluruh keluarga yang memegang kartu harus bergabung dalam skema asuransi. (2) Diusulkan bahwa dari upah bulanan sebesar Rp 350.000, jumlah yang sama sebesar lima persen (sekitar Rp 17.000) per bulan dikurangkan untuk asuransi kesehatan. Jumlah yang sama dapat dikontribusikan oleh program, sehingga berjumlah sampai Rp 100.000 untuk tiga bulan (yaitu per tahun, karena kesempatan kerja hanya ditawarkan untuk tiga bulan saja) per keluarga. Bagaimana uang ini digunakan? Salah satu caranya adalah dengan menghubungkannya dengan program kesehatan dan gizi yang sudah dilaksanakan. Masalahnya dengan hubungan tersebut adalah bahwa cakupan dan jangkauan program yang ada terlalu tersebar dan penambahan terhadap program tersebut juga akan mengalami nasib yang sama.32 Oleh karena itu, program terpisah yang serupa dengan SEWA di India barat dapat dipromosikan untuk mencakup para pekerja.33 Dalam program ini, pekerja dan keluarga mereka disediakan pemeriksaan kesehatan dan gizi tahunan, uang mereka akan diganti untuk perawatan penyakit tertentu (terdapat batasan yang rendah), dan mereka didorong secara aktif untuk mempraktekkan norma-norma keluarga kecil.
31 32 33
Lihat contoh, ILO (2002). Arifianto (2004) Mengapa SEWA—karena SEWA adalah salah satu program yang paling sukses untuk kelompok keluarga berpendapatan rendah. Lihat Jhabvala, Sudarshan dan Unni (2003)
50
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Proyek
Kementrian teknis
Inspeksi
Pemakai
Desa
Grievance re-address
Provinsi
Kabupaten
Pusat
BPS
Gambar 4: Sistem monitoring dan evaluasi
51
10. PEMBIAYAAN 10.1 Biaya dan pentahapan Program ketenagakerjaan yang disajikan dalam makalah ini hendak memberikan pekerjaan kepada satu orang dari masing-masing keluarga dari sekitar 15 juta keluarga dalam sebuah periode maksimum tiga bulan, dengan upah rata-rata Rp 350.000 per bulan. Perhitungan yang sederhana memperlihatkan bahwa kemungkinan biaya upah maksimum berada di kisaran Rp 15,75 triliun (sekitar US$ 1,58 milyar). Namun, biaya sebesar itu mencakup semuanya: jika untuk sebagian tenaga kerja, yaitu para pekerja yang dipekerjakan pada proyek-proyek pembangunan yang besar yang sedang berjalan, pekerjaan perawatan besar, dan proyek-proyek inovatif swasta, program ini hanya akan membayarkan upah [(1), (2) dan (4) di Bagian 2.2.2—jenis pertama]; untuk proyek-proyek yang terdaftar dalam (3) dan (5) Bagian 2.2.2—jenis kedua—program akan membayarkan biaya (variabel) penuh. Dalam MEGS, para pekerja yang dikerahkan untuk proyek-proyek jenis pertama tidak berjumlah besar, kurang dari 10 persen.34 Tetapi perbedaannya adalah bahwa MEGS, tidak seperti NEGP, merupakan program yang menargetkan diri sendiri, berdasarkan permintaan (pekerja), yang artinya adalah bahwa para pekerja dapat meninggalkan program tersebut kapan pun mereka mau. Kebanyakan manajer proyek besar tidak ingin mengerahkan pekerja yang tidak dapat mereka pertahankan, karena dapat mengganggu jadwal proyek. Dalam NEGP, dipastikan bahwa para pekerja akan tersedia untuk setidaknya selama satu bulan. Selain itu, sewaktu-waktu pekerja dapat diminta untuk menjadwalkan ketersediaan mereka menurut kebutuhan proyek. Dalam situasi ini, kita dapat mengharapkan proporsi yang lebih besar, mungkin sampai 15 persen (sekitar 6,75 juta orang-bulan) untuk dikerahkan ke tempat-tempat kerja yang besar setiap tahunnya, pada awalnya. Biaya tahunan untuk tenaga kerja ini diharapkan berada di kisaran Rp 2,36 triliun. Berikutnya, sektor swasta dapat mengerahkan sampai, misalnya lima persen pekerja (2,25 juta orang bulan), dengan biaya sebesar Rp 0,79 triliun. Sisa pekerja akan dikerahkan untuk proyek-proyek jenis kedua di mana program diharapkan menanggung seluruh biaya. Pengalaman padat karya (PK) di Indonesia adalah bahwa sampai 70 persen biaya terdiri dari upah. Apabila diasumsikan bahwa dalam proyek-proyek yang terdaftar dalam (3) Bagian 2.2.2 rasionya kemungkinan sebesar 40:60 untuk upah dan material, maka rata-rata (3) dan (5) dapat menjadi 45 (upah):55 (material), dengan pertimbangan bahwa bagian yang besar dialokasikan untuk proyek-proyek yang terdaftar di bawah (3) [di Bagian 2.2.2].35 Artinya adalah bahwa proyek-proyek jenis kedua akan menghabiskan Rp 28 triliun untuk upah dan materiaal [Rp 12,60 triliun untuk upah dan Rp 15,40 milyar untuk materiaal]. Jika digabungkan, jumlah pengeluaran tahunan mencapai Rp 31,15 triliun. Hal ini tidak termasuk seluruh biaya tidak langsung seperti gaji para pejabat, staf teknis dan beberapa pekerja terampil, biaya perjalanan, biaya kantor, dan lain-lain. Biaya-biaya ini diharapkan tidak melebihi lima persen, dan karena dapat diserap dalam biaya birokrasi, seharusnya biaya-biaya ini tidak menjadi masalah. Tambahkan biaya asuransi kesehatan yang harus ditanggung program ini, yaitu Rp 50.000 per keluarga untuk 15 juta keluarga sehingga jumlahnya menjadi sebesar Rp 750 miliar. Tidak ada biaya pembangunan kapasitas setidaknya dalam tahun pertama, sehingga biaya tersebut tidak dihitung. [Apabila dihitung, biaya ini dapat mencapai Rp 500 miliar].
34
Akhir-akhir ini, sebuah putusan pengadilan telah melarang proyek-proyek besar untuk melibatkan pekerja MEGS karena dengan keterlibatan tersebut, program ini akan lebih membantu mereka yang kaya (pemilik tanah) dibandingkan dengan yang miskin. Meskipun demikian, hal ini seharusnya tidak menjadi permasalahan di sini. Rasio ini tampak condong ke intensitas modal yang lebih tinggi, tetapi secara sengaja dibuat demikian karena terdapat keluhan dari lapangan bahwa tingginya intensitas tenaga kerja dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan dalam proyek-proyek tertentu.
35
52
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Dengan demikian, jumlah keseluruhannya adalah Rp 31,9 triliun (US$ 3,2 milyar), yaitu 1,75 persen GDP dan 8,4 persen dari jumlah anggaran nasional (pengeluaran) saat ini.36 Dalam basis satuan, besarnya adalah sekitar Rp 23.630 pekerja per hari (US$ 2,3 per orang hari).37 Catatan penting 1: Dari 15 juta keluarga, banyak yang mungkin tidak memiliki pekerja yang mampu secara fisik atau berusia lebih muda, dan mereka yang memilikinya, mungkin tidak menggunakan kuota tiga bulan secara penuh. Apabila pengalaman MEGS dapat menjadi indikasi, setidaknya anggaran ini akan berkurang 25-30 persen, akan realistis untuk bekerja dengan anggaran sebesar Rp 20-24 triliun. Catatan penting 2: Apabila otoritas pada awalnya ingin berkonsentrasi pada mereka yang benarbenar miskin dan tidak pada mereka yang ‘hampir’ miskin, maka biaya tersebut akan berkurang hingga sekitar 9,7 juta keluarga dan jumlah keseluruhannya menjadi Rp 20,7 triliun. Dalam hal ini, sesuai dengan catatan di atas, anggaran yang sebenarnya mungkin tidak melebihi Rp 15 triliun. Catatan penting 3: Telah dinyatakan sebelumnya di Bagian 3.1 ‘Catatan 2’ dan Bagian 3.3 ‘Rekomendasi’ bahwa ada kebutuhan untuk membagi program menjadi tahapan-tahapan atau bahkan percontohan di beberapa provinsi tertentu yang memiliki penduduk miskin yang lebih banyak. Aturan mainnya adalah untuk melihat daerah-daerah kecil yang diperkirakan oleh SMERU dan cocokkanlah dengan data sensus kemiskinan. Provinsi yang memungkinkan untuk memulai program: Jawa Timur?
10.2 Berbagi dana Dengan peraturan yang baru mengenai desentralisasi dan juga kebutuhan untuk mempromosikan lembagalembaga dan kapasitas di tingkat daerah, penting bahwa biaya program dapat dibagi antara pusat, provinsi dan kabupaten. Ada lebih dari satu kemungkinan di sini: (1) Dapat disusun sebuah rumus untuk membagi biaya program ini sesuai proporsi pendapatan pusat dengan proporsi pendapatan di tingkat provinsi/kabupaten. Karena sebagian besar pendapatan berada di pusat, bagiannya akan ditentukan sesuai dengan hal itu. (2) Selain itu, terdapat kemungkinan untuk menanggung biaya bersama berdasarkan pada sebuah rumus seperti: seluruh pengeluaran upah ditanggung oleh pemerintah pusat (EGAI melakukan hal tersebut), sementara komponen non-tenaga kerja dibagi secara merata. Pengeluaran langsung untuk hal-hal non-upah dihitung (maksimum) sebesar sekitar Rp 15,4 triliun, di mana Rp 7,7 triliun dapat dikeluarkan oleh pusat dan Rp 7,7 triliun dikeluarkan oleh provinsi dan kabupaten. (3) Sebuah variasi yang dapat dipertimbangkan adalah untuk memberikan subsidi lebih besar kepada provinsi dan kabupaten yang memiliki sumber pendapatan yang lebih sedikit dan memiliki proporsi kaum miskin yang lebih besar. Sebuah rumus mengenai seberapa besar subsidi tambahan yang harus diberikan dalam pilihan-pilihan yang dinyatakan dalam (1) atau (2) di atas dapat dibuat. Konsensus antara provinsi dan pusat mengenai hal ini merupakan hal yang penting.
10.3 Sumber-sumber pendanaan Biasanya, program-program seperti itu didanai melalui dukungan anggaran. Pada waktu-waktu tertentu, ada kemungkinan untuk membebankan pajak tambahan seperti pajak-pajak untuk barang-barang mewah, transportasi, perumahan di perkotaan, perdagangan kayu, produk bahan bakar, dan lain-lain untuk mendanai sebagian program. Baik otoritas pusat maupun daerah dapat menetapkan pajak-pajak ini, meskipun lebih baik apabila satu otoritas (pusat) yang melakukannya untuk memastikan keseragaman serta ketaatan yang lebih besar. 36
37
Bandingkan dengan Maharashtra di mana <0.5 persen anggaran negara bagian digunakan untuk MEGS. Pemerintah India mempertimbangkan untuk menggunakan sampai dengan satu persen dari GDP-nya untuk EGAI. Program-program tersebut memiliki komponen-komponen pembangunan kapasitas atau penciptaan aset yang lebih kecil dibandingkan dengan NEGP. Biaya untuk satu orang per satu hari kerja adalah sebesar US$ 1,5-2 di Asia Selatan dan sampai sebesar US$ 8 di Bolivia untuk program-program serupa.
53
Dalam jangka panjang, kemungkinan untuk membebankan biaya pengguna untuk penggunaan aset-aset dan mengenakan pajak untuk membiayai program ini merupakan kemungkinan khusus.38
38
Maharashtra memberlakukan pajak-pajak tambahan dan juga menetapkan pungutan bagi para pengguna yang memanfaatkan asset-aset yang diciptakan. Sumber pendanaan ini membiayai sampai 35 persen program.
54
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
11. KESIMPULAN Makalah ini bermula dari suatu keyakinan dan kepercayaan bahwa untuk bekerja secara terhormat dan memperoleh upah dari pekerjaan tersebut merupakan komponen ‘pekerjaan yang layak’ yang mendasar. Dalam konteks negara-negara berkembang yang memiliki kelebihan pasokan (surplus) tenaga kerja, model-model pertumbuhan pro-kaum miskin dapat dilaksanakan melalui proyekproyek di mana para pengangguran/terselubung dapat dikerahkan untuk menciptakan aset-aset. Pendekatan ini kemudian akan dapat mencapai dua tujuan yaitu distribusi pendapatan dan pembentukan modal. Sistem ini dapat dijalankan dengan membangun kemitraan yang erat antara lembaga-lembaga pemerintahan yang berbeda—di tingkat desa/kota/lokal, kecamatan, kabupaten, provinsi dan pusat—bersama dengan sektor swasta dan organ-organ kependudukan pada umumnya. Tugas-tugas yang berbeda seperti pengidentifikasian kaum miskin, menetapkan prioritas lokal, menetapkan upah, dan masih banyak lagi yang lain, dapat dilaksanakan bersama-sama secara terdesentralisasi dan partisipatif. Makalah ini berupaya untuk menggabungkan beberapa proposal konkrit untuk memulai sebuah program ‘jaminan ketenagakerjaan’ untuk Indonesia. Terdapat argumentasi yang kuat untuk menargetkan program ini di daerah-daerah pedesaan, meskipun beberapa kegiatan juga diusulkan untuk daerah-daerah perkotaan. Program ini menyadari bahwa kaum miskin harus diberikan pekerjaan untuk setidaknya sejumlah hari tertentu setiap tahunnya, dengan upah yang memiliki ketentuan minimum. Lebih dari seorang anggota keluarga layak untuk bergabung dalam pekerjaan selama masih memenuhi kuota sebuah keluarga, misalnya selama tiga bulan. Manfaat yang dapat diperoleh termasuk pemberian jaminan sosial dasar bagi para pekerja di luar dari beberapa pelatihan tertentu. Proses monitoring yang berkekuatan hukum serta partisipatif harus memastikan perlindungan bagi kepentingan-kepentingan pekerja. Para pekerja dapat dikerahkan untuk mengambil komponen pekerja tidak terampil dalam proyek-proyek yang sedang berjalan, pekerjaan perawatan dalam proyek-proyek yang ada, pekerjaan bangunan, proyekproyek yang ditujukan untuk memperkuat infrastruktur pedesaan, proyek-proyek swasta yang memerlukan subsidi (melalui upah atau proyek-proyek tersebut mungkin tidak dilibatkan karena mengandung risiko), atau proyek-proyek kecil berbasis desa. Singkat kata, pengerahan pekerja harus memiliki jangkauan yang luas yang melampaui keterbatasan wilayah desa. Program diajukan untuk didanai melalui upaya gabungan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, selain dari penarikan pajak-pajak tambahan.
55
Daftar Pustaka Acharya S and VG Panwalkar 1988 ‘The Employment Guarantee Scheme: Impact on Female and Male Workers’ Regional Research Paper, Bangkok: The Population Council Acharya, S 1990 ‘The Employment Guarantee Scheme in Maharashtra: Interventions in Labour Markets’, Working Paper, New Delhi: ILO-ARTEP Acharya S 2005, ‘Employment Guarantee in Rural India: Issues in the Productivity and Quality of Assets Created’, Round Table on National Guarantee Programme in India, August 30-31, New Delhi: ILO Acharya S, A Basak and S Iyer 2005, ‘Towards Strengthening District Planning for Human Development’, Working Paper, New Delhi: UNDP-HDRC Arifianto A 2004, ‘Social Security Reform in Indonesia: An Analysis of the National Social Security Bill’ Working Paper, Jakarta: SMERU Research Institute Aspinall E and G Fealy 2003 (Eds.) ‘Local Power and Politics in Indonesia’, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies BGMEA (Bangladesh Garment Manufacturers’ and Exporters’ Association) 1998, ‘Socially Responsive Programmes’, http://www.bgmea.com/social.htm BPS (Badan Pusat Statistik) 2004 ‘Statistik Indonesia’, Jakarta BPS 2005a, ‘Pelaksanaan Pendataan – Rumahtangga Miskin’, Jakarta BPS 2005b, ‘Keadaan Pekerja/Buruh/Karyawan Di Indonesia, August 2004’, Jakarta Bappenas-UNDP 2004, ‘Economics of Democracy—Indonesia HDR’, Jakarta Daley A and G Fane 2002, ‘Anti-poverty Programmes in Indonesia’, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Volume 38, # 3 (Pg. 309-331) Datt G and M Ravallion 1992 ‘Behavioral Responses to Workfare Programs: Evidence from Rural India’ LSMS Working Paper, Washington: The World Bank Devereux S and C Solomon 2005, ‘Employment Creation Programmes: The International Experience’, Round Table on National Guarantee Programme in India, August 30-31, New Delhi: ILO EIU (Economist Intelligence Unit) 2005, ‘Indonesia—Country Report’, London Gaiha R 1997, ‘Public Works and the Poor: The Case for Employment Guarantee in India’ in S. Polachek ‘Research in Labour Economics’ Vol. 16, Connecticut: JAI Press Guggenheim S, T Wiranto, Y Prasta and S Wong 2004, ‘Indonesia’s Kecamatan Development Program: A Large-Scale Use of Community Development to Reduce Poverty’, Scaling-up Poverty Reduction: A Global Learning Process and Conference, Shanghai, May 25-27 Gulati A., N. Minot, C. Delgado, and S. Bora 2005 ‘Growth in High-Value Agriculture and Emergence of Vertical Links with Farmers’, Paper presented at the International Symposium on Towards High-value Agriculture and Vertical Coordination Implications for Agri-business and Smallholders. New Delhi: IFPRI-CII-NCAER, March 7 Hentschel J, JO Lanjouw, P Lanjouw, and J Poggi 2000, ‘Combining Census and Survey Data to Trace the Spatial Dimensions of Poverty: A Case Study of Ecuador’, The World Bank Economic Review, 14(1), pp. 147-165. ILO 1999, ‘Aide Memoire’, Indonesia Employment Strategy Mission (26 April-7 May, 1999, http://www.ilo.org/ public/english/region/asro/jakarta/publ/aide.htm ILO 2002, ‘Social Security Coverage for All—Restructuring the Social —Security Scheme in Indonesia’ Jakarta
56
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
ILO 2004, ‘Decent Work and Poverty Reduction in Indonesia: A Series of Policy Recommendations’ Jakarta Jhabvala R, RM Sudarshan and J. Unni 2003, ‘Informal Economy Centrestage—New Structures of Employment’, New Delhi: Sage Publications Kakwani N, FV Soares and HH Son 2005, ‘Conditional Cash Transfers in African Countries’ Working Paper # 9, Brasilia: UNDP Poverty Centre http://www.undp-povertycentre.org/newsletters/WorkingPaper9.pdf Lindenthal R 2005 ‘Employment and Labour Market Policies in Indonesia—Issues and Options’, Discussion Paper Series 05, Jakarta: UNSFIR Ling Z and J Zhongyi 1995, ‘Yigong-Daizhen in China: A New Experience with Labor Intensive Public Works in Poor Areas’, Chapter 4, in J von Braun (Ed.) Employment and Poverty Reduction and Food Security, Washington: IFPRI Papanek GF 1980 (Ed.), ‘The Indonesian Economy’ New York: Praeger Papanek GF 2005, ‘A Positive Employment Program’ (Mimeo), Boston: BIDE Parikh A, S Acharya and M Krishnaraj 2005, ‘Agricultural Policies and Gender: Budget Studies in Maharashtra, Working Paper New Delhi: UNDP-HDRC Perdana AA and J Maxwell 2004, ‘Poverty Targeting in Indonesia: Programs, Problems and Lessons Learned’, CSIS Working Paper Series, Manila: Asian Development Bank Institute (http://www.csis.or.id/papers/wpe083) Pradhan M, F Saadah and R Sparrow (2002), ‘Did the Healthcard Program Ensure Access to Medical Care for the Poor During Indonesia’s Economic Crisis?’, Discussion Paper, Amsterdam: Tinbergen Institute Pritchett L, S Sumarto and A Suryahadi 2002, ‘Targeted Programs in an Economic Crisis: Empirical Findings from Indonesia’s Experience’, CID Working Paper #25, Cambridge: Harvard Institute of International Development Setiawan B (n.d.) ‘Chapter 2: Indonesia’, http://www.iar.ubc.ca/centres/csear/SSN/ch2.pdf Subbarao K 1997, ‘Public Works as Anti-poverty Program: An Overview of Cross Country Experience’, American Journal of Agricultural Economics, Vol. 97, May (Pg. 678-683) Sudjana BG and S Mishra 2004, ‘Growth and Inequality in Indonesia Today’ Discussion Paper Series No. 04/05, Jakarta: UNSFIR Sumarto S, A Suryahadi and W Widyanti 2001, ‘Designs and Implementation of the Indonesian Safety Net Programs: Evidence from JPS Module in the 1999 SESENAS’, Working Paper, Jakarta: SMERU Research Institute. Sumarto S 2005, ‘Policy Case Study: Cash Transfers—Indonesia’s Crisis Social Safety Nets Program’, ‘Inter-regional Equity Facility’ (Mimeo) Sumodiningrat G 1999, ‘Economic Stabilisation and Social Safety Net: Availing Public Prosperity’, Working Paper #99.14, ACIAR Indonesia Research Project, http://www.adalaide.edu.au/cies/ indonesia/pubs.html Suryahadi A, W Widyanti, RP Artha, D Perwira and S Sumarto 2005, ‘Developing a Poverty Map for Indonesia (A Tool for Better Targeting in Poverty Reduction and Social Protection Programs)— Book 1, Technical Report’, Research Report, Jakarta: SMERU Research Institute Tjiptoherijanto P 1997, ‘Poverty and Inequality in Indonesia at the End of 20th Century’, The Indonesian Quarterly, Vol. XXV, #3 UN 2001 ‘The Millennium Declaration’ New York UNDP 2003 ‘Human Development Report—The Millennium Development Goals’ New York Vatsa KS 2005, Employment Guarantee Scheme in Maharashtra: Its Impact on Drought, Poverty and Vulnerability, International Conference on Employment and Income Security in India, April 6-8, New Delhi: Institute of Human Development
57
Widarti D 2002, ‘A study of Sub-national Differences in Employment, Income and Poverty Levels in the Context of Economic Crisis and Recovery in Indonesia’, ILO-JMHLW-Government of Indonesia Seminar on ‘Strengthening Employment and Labour Market Policies for Poverty Alleviation and Economic Recovery in East and Southeast Asia’, Jakarta: April 29-May 1. World Bank 2005, ‘Improving Conditions of the Urban Poor and Increasing Assess to Basic Services’ East Asia and Pacific Urbanisation Business Directions, East Asia Infrastructure Department, Washington http://www.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/ EXTEAPREGTOPURBDEV/O
58
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Lampiran Lampiran 1: Skema Jaminan Ketenagakerjaan di Maharashtra (MEGS) Upaya berkelanjutan untuk memberikan pekerjaan kepada kaum miskin berdasarkan permintaan yang paling awal adalah Skema Jaminan Ketenagakerjaan Maharashtra (sebuah provinsi di India barat), sebuah skema yang dimulai pada tahun 1976. MEGS merupakan Peraturan resmi di provinsi tersebut; MEGS menjamin pekerjaan, atau kompensasi apabila tidak terdapat pekerjaan yang dapat diberikan. Program tersebut dimulai sebagai sebuah skema pemulihan setelah kemarau di tahun 1973. Sejak saat itu skema tersebut telah berkembang dalam keragaman, rancangan dan besarannya dari waktu ke waktu. Pada tahun 2004, skema tersebut menghabiskan sekitar US$ 235 juta untuk menciptakan sekitar 155 juta orang-hari kerja, dengan upah harian sekitar US$ 1,1 (sekitar PPP US$ 4). Fitur-fitur utamanya adalah sebagai berikut: a.
b. c. d. e.
f.
g. h.
Profil pekerjaan yang ditawarkan (yaitu, kegiatan-kegiatan manual, tidak terampil dan tingkat upah cukup rendah) memastikan penargetan terhadap para pekerja yang tidak memiliki lahan sendiri dan penduduk dalam kelompok pendapatan rendah. Program ini memberikan kesempatan kerja musiman/ temporer. Program ini menjamin pekerjaan di daerah lokal (sekitar lima kilometer). Seorang pencari kerja akan diberikan pekerjaan dalam waktu lima belas hari, apabila gagal maka pemohon berhak atas tunjangan pengangguran yang jumlahnya kecil. Proyek-proyek dirancang sedemikian rupa sehingga proporsi pengeluaran untuk tenaga kerja sekurang-kurangnya 60 persen dari biaya keseluruhan (sekarang direvisi menjadi 51 persen). Proyek-proyek berbeda yang dilaksanakan adalah di bidang konservasi air, konservasi tanah dan pembangunan pertanahan, penanaman hutan dan hutan sosial, jalan-jalan pedesaan, termasuk jalan-jalan internal di desa, dan akhir-akhir ini, pekerjaan-pekerjaan dalam skema-skema khusus seperti hortikultura atau penggalian sumur, yang berada di sektor swasta. Upah ditetapkan berdasarkan hasil kerja. Sebuah jadwal upah dirancang yang kemudian direvisi dari waktu ke waktu. Tingkat upah ditetapkan sedemikian rupa sehingga upah harian sesuai dengan upah minimum yang ditetapkan untuk pekerjaan di bidang pertanian di wilayah tersebut. Sebelumnya, upah tersebut lebih kecil. Para pekerja diberikan layanan medis, tempat berlindung untuk beristirahat, crèches, pembayaran jaminan jika meninggal pada saat bekerja, dan tunjangan kehamilan dan melahirkan. Sumber pendanaan MEGS berasal dari pajak profesi, telepon, dan pekerjaan, pajak tambahan untuk kendaraan bermotor, pajak tambahan untuk penjualan, pajak khusus untuk tanah pertanian yang beririgasi, pajak tambahan biaya untuk penghasilan dari penggunaan lahan, dan pajak nonpenduduk untuk tanah dan bangunan perkotaan. Selain itu, terdapat pula dukungan anggaran.
Struktur pemerintahan empat lapis yang terdiri dari provinsi (44.000 desa), distrik (sekitar 1.200 desa), subdistrik (sekitar 100 desa) dan desa telah dikembangkan. Selain itu, komite-komite khusus untuk perencanaan, pengarahan, kontrol dan koordinasi juga didirikan. Pembagian tanggung jawab perencanaan dan implementasi dalam kerangka administrasi adalah sebagai berikut: Departemen perencanaan di tingkat provinsi sepenuhnya bertanggung jawab atas MEGS, mencakup seluruh aspek administrasi perencanaan, penyediaan dana dan monitoring dan evaluasi. Kepala administrasi distrik (seorang pejabat) sepenuhnya bertanggung jawab atas program di tingkat distrik. Di tingkat sub-distrik, kepala sub-distrik yang bertanggung jawab (pejabat bawahan) mengkaji permintaan atas pekerjaan dan pengerahan tenaga kerja ke pekerjaan-pekerjaan yang berbeda di wilayah sub-distrik. Pekerjaan-pekerjaan MEGS diimplementasikan oleh lembaga-lembaga teknis pemerintahan: mereka mengidentifikasi lokasi proyek, merancang desain teknik, memilih bahan-bahan dan memastikan penyelesaian proyek. Pelaksanaan proyek yang sebenarnya diserahkan kepada para pejabat seperti teknisi junior, ilmuwan pertanian dan konservator kehutanan. Kepala distrik diberdayakan untuk mencairkan dana guna membiayai proyekproyek MEGS. Kepala distrik dibantu oleh seorang wakil yang bekerja penuh, khusus bertanggung jawab atas MEGS.
59
Tugas-tugas inspeksi dan pengawasan dilaksanakan berdasarkan mata rantai komando melalui inspeksi. Selain itu, anggota-anggota parlemen juga mengunjungi tempat-tempat kerja. Para pekerja MEGS diberikan buku kartu identitas-dan-upah dimana kehadiran mereka dan upah yang mereka terima diperlihatkan. Pelajaran: MEGS berfungsi paling efektif di daerah-daerah yang memiliki organisasi-organisasi pekerja yang kuat, proses pemerintahan yang transparan, dan hubungan aset yang kuat. Berikutnya, MEGS sebelumnya berfungsi paling efektif pada situasi darurat dibandingkan dengan situasi-situasi lain. Kinerjanya membaik dalam kondisi normal hanya setelah hubungan asetnya diperkuat.
60
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan
Lampiran 2: Undang-Undang Jaminan Ketenagakerjaan Pedesaan India Rural Employment Guarantee Act of India (EGAI) 2005 Jaminan Kerja: EGAI menawarkan sebuah jaminan dalam bentuk setidaknya 100 hari kerja dalam waktu satu tahun kepada seorang anggota keluarga miskin yang sudah dewasa yang bertempat tinggal di daerah pedesaan, bersedia untuk terlibat dalam pekerjaan manual yang tidak resmi dalam program pekerjaan umum untuk menciptakan aset. Pekerjaan diberikan dalam waktu 15 hari setelah permohonan diajukan dalam radius lima kilometer dari tempat tinggal pemohon. Apabila pekerjaan yang diberikan berada di luar radius itu, pekerjaan tersebut harus tetap berada di sub-distrik yang bersangkutan (100-120 desa) dan calon pekerja akan diberi tambahan 10 persen dari tingkat upah untuk menutupi biaya transportasi dan biaya hidup tambahan. Sebuah kartu kerja akan dikeluarkan untuk masing-masing keluarga miskin (yang bersedia bekerja dalam program), yang berisi rincian mengenai anggota keluarga yang telah dewasa. Awalnya, program ini akan diimplementasikan di 150 distrik termiskin. RUU memberikan hak kepada para pekerja untuk memperoleh upah sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah pusat; ia harus dibayar dalam waktu seminggu setelah pekerjaan dilakukan, atau tidak lebih dari semalam setelah pekerjaan tersebut dilaksanakan. Upah dalam skema tersebut dapat dibayarkan secara keseluruhan dalam bentuk uang tunai, atau dalam kombinasi uang tunai dan barang dengan jumlah tunai yang diterima sekurang-kurangnya 25 persen. Fasilitas air minum yang aman, tempat berlindung untuk anak-anak yang ikut ke tempat kerja dan kotak P3K harus disediakan di tempat-tempat kerja. Apabila terdapat setidaknya 20 orang perempuan yang dipekerjakan di tempat kerja tersebut, harus dibuat ketentuan agar salah satu dari mereka ditugaskan untuk menjaga anak-anak yang berusia di bawah enam tahun, yang mungkin diajak ke tempat kerja. RUU tersebut juga menyatakan bahwa apabila pekerjaan tidak diberikan dalam waktu 15 hari setelah permohonan diajukan, tunjangan pengangguran harus ditawarkan kepada pemohon, yang jumlahnya tidak kurang dari seperempat tingkat upah selama 30 hari pertama dan tidak kurang dari setengah tingkat upah untuk periode setelah itu selama tahun keuangan berjalan. Tata Laksana EGAI: Program ini diimplementasikan melalui sistem sub-distrik/desa, diawasi oleh pemerintah pusat, provinsi dan distrik. Dewan jaminan ketenagakerjaan pusat dan dewan jaminan ketenagakerjaan provinsi harus didirikan di tingkat nasional dan negara bagian, untuk memberikan panduan yang luas dan menyusun rekomendasi untuk perbaikan-perbaikan dalam program. Anggotanya (di kedua tingkatan harus terdiri dari sekitar 15 orang (tidak-resmi) yang mewakili sistem pemerintahan sendiri di tingkat sub-distrik/distrik - local self governance (LSG), organisasi-organisasi pekerja dan kelompok-kelompok yang kurang beruntung, perempuan dan minoritas. Di tingkat distrik, LSG harus terdiri dari sebuah komite untuk mengawasi dan memonitor program. Pejabat ketua eksekutif di LSG distrik harus ditugaskan sebagai koordinator program distrik (DPC) untuk mengimplementasikan skema tersebut di tingkat distrik. DPC bertugas menyiapkan anggaran perburuhan setiap tahunnya, yang mengandung antisipasi permintaan untuk pekerjaan manual tidak terampil dan menyerahkannya kepada komite. Di tingkat subdistrik, seorang petugas program, yang akan bertanggung jawab untuk menyesuaikan permintaan atas pekerjaan dengan kesempatan kerja yang muncul dari proyek-proyek, harus diangkat. Dewan desa bertanggung jawab untuk mengidentifikasi proyek-proyek yang akan dilaksanakan di suatu wilayah, sesuai dengan rekomendasi dari badan umum di desa. Dewan desa harus mengalokasikan kesempatan kerja bagi para pemohon dan meminta mereka melapor untuk bekerja. Dewan desa juga harus memonitor pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan di wilayahnya dan melaksanakan audit sosial berkala untuk semua proyek. Pemerintah provinsi bertugas membuat suatu mekanisme penanganan pengaduan yang baik di tingkat sub-distrik dan distrik untuk menangani keluhan yang berkaitan dengan implementasi skema tersebut. Keterkaitan aset: Penciptaan aset yang tahan lama dan memperkuat sumber mata pencaharian bagi kaum miskin di pedesaan merupakan tujuan-tujuan penting dari skema ini—konservasi air dan pengambilan air; program untuk mengatasi kekeringan (termasuk penanaman hutan dan penanaman pohon); pembangunan kanal-kanal irigasi; renovasi sumber air tradisional; pembangunan pertanahan; pengendalian banjir; pekerjaan-pekerjaan perlindungan ekosistem.. Dewan desa (dengan berkonsultasi kepada badan umum) menyiapkan sekumpulan proyek, yang pada gilirannya akan diperiksa secara teknis oleh petugas program dan diresmikan di tingkat sub-distrik; dan kemudian oleh komite di tingkat distrik. Proyekproyek mungkin mengambil bentuk yang lain dari daftar di atas, tergantung pada kondisi agro-geografi lokal dan kebutuhan lokal—terdapat otonomi yang cukup besar yang diberikan kepada otoritas lokal untuk hal ini.
61
Arus sumber daya: RUU mengajukan diciptakannya dana jaminan ketenagakerjaan nasional dan dana jaminan ketenagakerjaan provinsi untuk mengimplementasikan program. Pemerintah pusat akan menanggung seluruh komponen upah dan 75 persen biaya material (termasuk upah pekerja terampil dan pekerja semi-terampil) dalam proyek-proyek yang dilaksanakan di bawah program ini. Sekarang ini, pemerintah provinsi diharuskan menanggung 25 persen komponen material (termasuk upah pekerja terampil dan pekerja semi-terampil), dan tunjangan pengangguran yang dibayarkan melalui program ini. Komponen material untuk proyek ini biasanya tidak lebih dari 40 persen dari keseluruhan biaya proyek. Singkatnya, sampai 90 persen program (tidak termasuk tunjangan pengangguran) akan ditanggung oleh pemerintah pusat.
62
Program Jaminan Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia - Sebuah Pendekatan