BAB III PENGATURAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
A. Latar Belakang Terbentuknya Program Jaminan Kesehatan Nasional Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia. Hak tersebut dicantumkan dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia.Setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah yang berada di luar kekuasaannya. 63 Berdasarkan deklarasi tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua penduduk (universal health coverage). Sidang ke-58 tahun 2005 di Jenewa, World Health Assembly (WHA) menggaris bawahi perlunya pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke58 mengeluarkan
resolusi
yang
menyatakan,
pembiayaan
kesehatan
yang
63
Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
38 Universitas Sumatera Utara
berkelanjutan melalui universal health coverage diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. WHA juga menyarankan kepada WHO agar mendorong negara-negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan sistem pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan ketika mereka bergerak menuju universal health coverage.Untuk mewujudkan komitmen global dan diatas,pemerintahbertanggung
jawab
atas
pelaksanaan jaminan
kesehatan
masyarakat melalui JKN bagi kesehatan perorangan.Negara ini didirikan dengan cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial.Kesejahteraan yang berkeadilan sosial itu dapat terwujud melalui pengembangan sistem jaminan sosial. 64Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan diantaranya adalah melalui PT. Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran dan pegawai swasta. Masyarakat miskin dan tidak mampu 65pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali. Untuk mengatasi hal itu, pada 2004 dikeluarkan UU SJSN. Undang-Undang ini menyatakan bahwa program Jaminan Sosial bersifat wajib mencakup seluruh penduduk yang pencapaiannya dilakukan secara bertahap. Seluruh rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Program jaminan sosial ini diprioritaskan untuk
64
Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional, Mewujudkan Amanat Konstitusi. (Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara, 2011) , hlm. 11. 65 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Buku Pegangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, Jakarta, hlm. 9.
39 Universitas Sumatera Utara
mencakup
seluruh penduduk terlebih dahulu adalah program Jaminan
Kesehatan. 66UU SJSN juga menetapkan Jaminan SosialNasional (JSN) akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS kesehatandan BPJS ketenagakerjaan.Untuk menjalankan amanat undang-undang tersebut, pemerintah akan menyelenggarakan program JKNyang akan diselenggarakan oleh BPJS kesehatan yang implementasinyadimulai 1 Januari 2014. Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut SJSN) bidang kesehatan pada tahun 2014 merupakan suatu momentum yang sangat krusial bagi bangsa Indonesia. Kondisi ini merefleksikan keinginan dari pemerintah sebagai representasi rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat berdasarkan prinsip keadilan sosial. Penyediaan dan pengelolaan sistem pelayanan kesehatan telah disepakati menjadi kewajiban pokok pemerintah sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Sistem pelayanan kesehatan telah diakui sebagai hak setiap warga negara sehingga keberadaannya harus dapat dimanfaatkan oleh setiap lapisan masyarakat. Perlu dilakukan transformasi secara menyeluruh dari sistem pelayanan kesehatan untuk mendukung pembentukan SJSN tersebut. 67 Secara
operasional,
pelaksanaan
JKN
dituangkandalam
Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: 1.
Peraturan
Pemerintah
Nomor
101
Tahun
2012
tentang
Penerima
BantuanIuran.
66
Hadi Setia Tunggal, Tanya-Jawab SJSN & BPJS (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 88. BPJS Kesehatan, Pedoman Administrasi BPJS Kesehatan, Edisi Desember 2013.
67
40 Universitas Sumatera Utara
2.
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang JaminanKesehatan dan Peta Jalan JKN. 68 Kementerian Kesehatan mendukung pelaksanaan program tersebut dengan
memberikan prioritas dalam program jaminan kesehatan dalam rangka transformasi kesehatan indonesia.Program JKN hadir dalam pelayanan kesehatan karena perintah Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan perundangan mengatur dengan rinci tujuan, prinsip, para pelaku dan tata kelola JKN dalam satu kesatuan sistempenyelenggaraan program jaminan sosial yaitu SJSN. Penetapan hal-hal tersebut melalui proses penetapan kebijakan publik. Hal ini berbeda dengan penyelenggaraan program jaminan/asuransi kesehatan privat/komersial. Asuransi kesehatan komersial berlangsung berdasarkan kesepakatan jual beli antara perusahaan asuransi dengan pembeli produk asuransi. Peraturan Perundang-Undangan hanya mengatur hal-hal berkaitan dengan perizinan usaha perasuransian dan tata cara perjanjian jual-beli. Manfaat, besar iuran dan tata cara pengelolaan diatur oleh masing-masing perusahaan asuransi. Perusahaan
asuransi
dan
peserta
menegosiasikan
hal-hal
tersebut
dan
melaksanakannya sesuai dengan perjanjian dan kesepakatan yang tercantum dalam polis asuransi. Mencermati karakteristik JKN tersebut di atas seluruh pemangku kepentingan JKN perlu memahami dasar hukum JKN, peraturan perundangundangan yang terkait JKN, kebijakan pemerintah serta rujukan
68
Ibid., hlm. 10.
41 Universitas Sumatera Utara
internasional. Dari pemahaman yang benar diharapkan akan tercipta dukungan publik secara berkelanjutan dan berorientasi peningkatan kualitas. 69
B. Tujuan Program Jaminan Kesehatan Nasional Sistem Jaminan Sosial Nasional (nationalsocial security system) adalah sistem penyelenggaraan program negara dan pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial, agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia. Jaminan sosial diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, baik karena memasuki usia lanjut atau pensiun, maupun karena gangguan kesehatan, cacat, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya. 70JKN merupakan bagian dari SJSN yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan UU SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Jaminan kesehatandiselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. 71Manfaat pemeliharaan kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam tujuan JKN adalah pelayanan kesehatan perorangan menyeluruh
69
Asih Eka Putri, Op Cit, hlm. 10. Naskah Akademik SJSN, hlm. 2. 71 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang SJSN, Pasal 19. 70
42 Universitas Sumatera Utara
yang mencakup pelayanan peningkatan kesehatan (promotif), pelayanan pencegahan penyakit (preventif), pengobatan dan perawatan (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) termasuk obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Pelayanan kesehatan perorangan tersebut terdiri atas manfaat medis dan manfaat non medis. Klasifikasi pelayanan didasari atas perbedaan hak peserta karena adanya perbedaan besaran iuran yang dibayarkan. 72Manfaat pemeliharaan kesehatan yang dimaksud dalam tujuan JKN adalah: 1.
Penyuluhan kesehatan perorangan, yaitu penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat.
2.
Imunisasi dasarmeliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan HepatitisB (DPTHB), Polio dan Campak.
3.
Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
4.
Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu. 73
72
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Pasal 22 dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Pasal 20. 73 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Op Cit, hlm. 31.
43 Universitas Sumatera Utara
Beberapa cakupan manfaat medis kesehatan yang dimaksud dalam tujuan JKN : 1.
Manfaat medis Manfaat medis tidak terikat besaran iuran. Seluruh peserta JKN berhak
atasmanfaat medis yang sama sesuai dengan kebutuhan medisnya. 74 Manfaat medis mencakup penyuluhan kesehatan, konsultasi, pemeriksaan penunjang diagnostik, tindakan medis dan perawatan, transfusi, obat-obatan, bahanmedis habis pakai, rehabilitasi medis, pelayanan kedokteran forensik serta pelayanan jenazah.Manfaat medis diberikan secara berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik diberikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan pelayanan kesehatan spesialistik dan subspesialistik diberikan di fasilitas kesehatantingkat lanjutan. JKN membagi dua tingkatan fasilitas kesehatan sebagai berikut: a.
Fasilitas kesehatan tingkat pertama, terdiri dari: 1) puskesmas atau yang setara; 2) praktik dokter; 3) praktik dokter gigi; 4) klinik pratama atau yang setara; 5) rumah sakit kelas D atau yang setara.
b.
Fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatanspesialistik dan sub spesialistik, terdiri dari: a) klinik utama atau yang setara; b) rumah sakit umum; 74
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, Pasal 20 ayat (3).
44 Universitas Sumatera Utara
c) rumah sakit khusus. Fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan didukung oleh fasilitas kesehatan penunjang, yaitu: 75 a) laboratorium; b) instalasi farmasi rumah sakit; c) apotek; d) optik; e) unit transfusi darah (Palang Merah Indonesia). 1.
Manfaat non medis – Ruang Rawat Inap Manfaat non medis terikat besaran iuran. Manfaat non medis meliputi
akomodasi layanan rawat inap dan ambulans. 76Akomodasi layanan rawat inap terbagi atas tiga kelas ruang perawatan,dari kelas tertinggi ke kelas terendah, yaitu kelas 1, kelas 2 dan kelas 3.Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari pada haknya dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin olehBPJS kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelasperawatan.Peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan tidak diperkenankanmemilih kelas yang lebih tinggi dari haknya.Dalam hal ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh, peserta dapatdirawat di kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi paling lama tiga hari perawatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan membayar kelas perawatan peserta sesuai hak peserta. Bila ruang rawat inap yang menjadi haknya 75
Republik Indonesia, Peraturan BPJS No. 1 Tahun 2014. Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional, Pasal 20 ayat (4) dan (5). 76
45 Universitas Sumatera Utara
telah tersedia, pesertawajib menempati ruang rawat inap yang menjadi haknya.Bila setelah tiga hari ruang rawat inap yang menjadi hak peserta tidaktersedia
maka
selisih
biaya
menjadi
tanggung
jawab
fasilitas
kesehatan.Fasilitas kesehatan dapat merujuk peserta tersebut ke fasilitas kesehatanyang setara atas persetujuan peserta. 77 2.
Manfaat Non Medis – Ambulans Ambulans diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan dengan
kondisi tertentu yang ditentukan oleh BPJS kesehatan.Setiap saat kita sangat berpotensi mengalami risiko antara lain: dapat terjadi sakit berat, menjadi tua dan pensiun tidak ada pendapatan-masa hidup bisa panjang. Sementara dukungan anak/keluarga lain tidak selalu ada dan tidak selalu cukup.Pada umumnya masyarakat Indonesia masih berpikir praktis dan jangka pendeksehingga belum ada budaya menabung untuk dapat menanggulangi apabila ada musibah sakit.Masyarakat kita umumnya belum “insurance minded” terutama dalam asuransi kesehatan. Hal ini mungkin premi asuransi yang ada (komersial) mahal atau memang belum paham manfaat asuransi. Dengan demikian untuk menjamin agar semua risiko kesehatan tersebut dapat teratasi tanpa adanyahambatan finansial maka JKN yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat nasional, wajib, nirlaba, gotong royong,ekuitas dan bertujuan agar kesehatan seluruh rakyat Indonesia terjamin merupakan jalan keluar untuk mengatasi risiko yang mungkin terjadi dalam kehidupan kita. 78
77
Asih Eka Putri, Op.Cit., hlm. 61. Ibid., hlm. 62
78
46 Universitas Sumatera Utara
Pencapaian tujuan JKN akan sangat bergantung pada kepercayaan publik terhadap
kinerja
BPJS.
Untuk
menjamin
pengelolaan
yang
efektif,
efisientransparan dan akuntabilitas, BPJS akan diaudit oleh BPK dan akuntan publik. Secara internal, DP dan DJSN akan terus memantau dan mengawasi segala aspek penyelenggaraan JKN oleh BPJS kesehatan. Keluhan peserta, dokter dan fasilitas kesehatan lainnya harus juga selalu ditampung.Setiap pemangku kepentingan dapat menyampaikan keluhan atas layanan fasilitas kesehatan yang tidak memuaskan dan layanan BPJS atau praktik petugas BPJS yang tidak bersih melalui berbagai saluran pengaduan masyarakat hingga kepada Presiden. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kesehatandengan monitoring dari DJSN harus menampung seluruh keluhan atau pengaduan yang ada dan mengkoordinasikan penanganannya. Laporan keuangan harus dipublikasipaling sedikit dua kali dalam setahun dalam berbagai media cetak dan elektronik agar bisa diperiksa, diawasi, dan dievaluasi oleh pemangku kepentingan, akademisi, pengawas korupsi, dan peneliti lainnya. Sebagaimana diatur dalam UU BPJS, direksi dan komisaris PT. Askes akan mengemban menjadi direksi dan DP BPJS untuk masa dua tahun. Karena masa jabatan direksi dan Dewan Komisaris PT. Askes akan segera berakhir, maka penggantian Dewan Direksi dan Komisaris PT. Askes yang nantinya sebagai pengelola BPJS diharapkan terdiri dari orang-orang yang memahami dan berkomitmen menjalankan BPJS sebaik-baiknya. Dalam rangka proses transformasi tersebut, PT. Askes dan koordinasi dengan berbagai kementrian terkait lainnya, DJSN, OJK serta asosiasi profesi/organisasi fasilitas kesehatan perlu melakukan sosialisasi intensif kepada publik.
47 Universitas Sumatera Utara
Sosialisasi merupakan kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan dari JKN mengingat tingkat kepesertaan jaminan kesehatan saat ini relatif rendah. Sosialisasi yang baik akan memberikan pemahaman dan kesadaran kepada peserta dan pemberi kerja akan hak dan kewajibannya. Dengan pemasaran yang memadai, kepesertaan JKN yang berbasis asuransi sosial ini dapat mencapai target yang diharapkan dan pemberi kerja dapat mendapatkan manfaat yang besar pula dari terlindunginya kesehatan para pekerja. Sosialisasi diperlukan tidak hanya dari kepesertaan namun juga untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang terkait untuk peningkatan kualitas layanan kesehatan baik di pusat, daerah, swasta maupun unsur masyarakat lainnya. 79
C. Prinsip Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan kesehatan yang dirumuskan oleh UU SJSN adalah jaminan kesehatan yang diselenggarkan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. 80Penjelasan Pasal 19 UU SJSN menyatakan bahwa yang dimaksud prinsip asuransi sosial antara lain: 1.
Kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda dan yang berisiko tinggi dan rendah.
2.
Kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif.
3.
Iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan.
79
http://www.pkfi.net/file/download/Peta%20Jalan%20Jaminan%20Kesehatan%20Nasio nal%20%202012-2019%282%29.pdf (diakses pada tanggal 17 Maret 2016). 80 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Pasal 19 ayat 1.
48 Universitas Sumatera Utara
4.
Bersifat nirlaba. 81 Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam
memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya. Kesamaan memperoleh pelayanan adalah kesamaan jangkauan finansial ke pelayanan kesehatan. Prinsip JKN menurut Pasal4 UU SJSN antara lain: 1.
Prinsip kegotong-royongan (risk pooling).Kegotong-royongan adalah upaya bersama agar semua penduduk berkontribusi (membayar iuran/ pajak) agar terkumpul (pool) dana untuk membiayai pengobatan siapa saja yang sakit. Disinilah fungsi kegotong-royongan formal diwujudkan (karena setiap orang diwajibkan mengiur/membayar pajak yang jumlahnya ditentukan). Dalam kegotong-royongan informal yang telah lama berakar, kolega atau kerabat membantu biaya pengobatan dengan menyumbang seikhlasnya (sukarela). Mekanisme sukarela ini tidak menjamin kecukupan dana untuk biaya pengobatan. Dengan mekanisme formal yang disebut risk-pooling,sumbangan berupa iuran wajib atau pajak diperhitungkan agar mencukupi biaya berobat siapapun yang sakit. Tergantung dari sistem kegotong-royongan yang akan diterapkan, beberapa negara menerapkan kegotong-royongan di antara penduduk di suatu daerah, di sektor pekerja yag sama (PNS, pegawai swasta, petani dan lainnya). Indonesia selama ini memiliki sistem yang terpecah (terfragmentasi) seperti itu. Namun, UU SJSN dan UU BPJS telah menetapkan bahwa Indonesia akan menuju satu kegotong-royongan nasional 81
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, bagian Penjelasan pasal 19.
49 Universitas Sumatera Utara
dimana iuran dari seluruh penduduk akan dikumpulkan (pool) dalam satu dana amanat yang akan dikelola oleh BPJS kesehatan. Dana amanat ini biaya pengobatan semua penduduk yang sakit (setelah cakupan universal tercapai) akandiambil dari satu sumber tanpa harus memperhatikan besaran iuran atau besaran upah masing-masing pengiur dan tanpa memperhatikan tempat tinggal pengiur. Yang menjadi pertimbangan penjaminan hanyalah kondisi medis penduduk. Dengan demikian, akan terjadi keadilan sosial dan memungkinkan tenaga kesehatan melayani penduduk tanpa diskriminasi status sosial ekonomi. 82 2.
Prinsip nirlaba, di dalam prinsip nirlaba pengelolaan dana amanat oleh BPJS adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya akan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
3.
Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip - prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
4.
Prinsip portabilitas, prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 82
Mundiharno,Hasbullah Thabrany, Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012 – 2019 (Jakarta: 2012), hlm. 11.
50 Universitas Sumatera Utara
5.
Prinsip kepesertaan bersifat wajib, kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun 83
kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,
penerapannya tetap
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya SJSN dapat mencakup seluruh rakyat. 84 6.
Prinsip dana amanat, dana yang terkumpul dari iuran merupakan dana amanat yang hanya dibelanjakan/dibelikan layanan kesehatan untuk peserta (sementara) yang membayar iuran. Pembelian layanan ini sangat dipengaruhi luasnya manfaat/layanan kesehatan yang dijamin, cara pembayaran ke fasilitas kesehatan yang memproduksi/menjual layanan dan kemudahan sistem administrasi. Kelak semua penduduk akan menjadi peserta. Belanja layanan kesehatan (purchasing of services) harus dilakukan secermat dan sehemat mungkin agar dana amanat mencukupi dan tidak terjadi pemborosan (optimal resources). Semakin luas (komprehensif) manfaat jaminan kesehatan semakin banyak dana yang dibutuhkan. Untuk efisiensi belanja layanan kesehatan, cara-cara pembayaran/pembelian layanan kesehatan dari fasilitas kesehatan publik maupun swasta harus diatur agar tidak terjadi pemborosan atau belanja layanan yang tidak perlu (moral hazard atau fraud). Dalam konteks ini, UU SJSN telah merumuskan cara-cara pembayaran yang efisien 83
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Op.Cit., hlm.18. Ibid., hlm. 19.
84
51 Universitas Sumatera Utara
(prospektif seperti kapitasi, budget dan berbasis diagnosis) yang bervariasi di berbagai wilayah untuk menggambarkan perbedaan biaya hidup atau harga barang-barang dan tenaga kesehatan. 85 Dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana diuraikan diatas maka pengelolaan jaminan kesehatan dalam SJSN adalah sebagai berikut: 1.
Pengelolaannya tidak lagi terpisah-pisah menurut tempat tinggal (provinsi atau kota/kabupaten atau tempat bekerja) melainkan terintegrasi dalam BPJS kesehatan secara nasional.
2.
Pendanaan berbasis asuransi sosial dimana semua penduduk wajib iur. Namun, penduduk yang miskin dan tidak mampu akan mendapat bantuan iuran (mekanisme bantuan sosial) dari pemerintah. Ketika penduduk tersebut tidak lagi miskin maka ia wajib membayar iuran.
3.
Layanan kesehatan perorangan yang dijamin adalah semua layanan atas indikasi medis (sesuai kebutuhan medis) mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang bersifat layanan orang per orang.
4.
Fasilitas kesehatan yang memproduksi layanan yang akan dibeli oleh BPJS adalah faskes milik pemerintah dan/atau swasta. Dengan demikian, semua sumber daya kesehatan akan digunakan untuk menjamin seluruh penduduk memiliki akses terhadap layanan kesehatan.
5.
Cara belanja (metoda pembayaran) yang efisien agar dana amanat digunakan secara optimal adalah cara pembayaran prospektif seperti pembayaran kapitasi untuk rawat jalan primer dan pembayaran Diagnosis Related
85
Mundiharno, Hasbullah Thabrany, Op.cit., hlm. 14.
52 Universitas Sumatera Utara
Group(DRG) yang di Indonesia telahdikenal dengan INA-CBG untuk rawat jalan sekuder (rujukan) dan rawat inap. 6.
Dengan pengelolaan oleh satu BPJS, maka sistem administrasi pengumpulan dana,pembelanjaan, klaim, pelaporan dan lain-lain akan menjadi lebih efisien dan memudahkan dipahami oleh seluruh peserta dan seluruh pengelola fasilitas kesehatan. 86
D. Mekanisme Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional 1.
Kepersertaan Peserta adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar
oleh pemerintah. 87Peserta dalam program JKN adalah setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di indonesia yang telah membayar iuran, meliputi: a.
Penerima Bantuan Iuran (selanjutnya disebut PBI) kesehatan yaitu fakir miskin dan orang tidak mampu, dimana iurannya dibayarkan oleh pemerintah ke BPJS kesehatan dan bukan PBI kesehatan dengan rincian sebagai berikut: 1) Peserta
PBI jaminan
kesehatan
meliputi
orang
yang
tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu. 2) Peserta bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas: a) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu: 86
Ibid., hlm., 14-15. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Pasal 20 ayat (1) UU SJSN. 87
53 Universitas Sumatera Utara
(1) Pegawai Negeri Sipil (PNS); (2) anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI); (3) anggota Polisi Republik Indonesia (POLRI); (4) pejabat negara; (5) pegawai pemerintah non pegawai negeri; (6) pegawai swasta; (7) pekerja yang tidak termasuk huruf angka (1) - (6) yang menerima upah. b) Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu: (1) pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri; (2) pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima upah; (3) pekerja sebagaimana dimaksud angka (1) dan angka (2), termasuk
warga negara asing yang bekerja di Indonesia
paling singkat 6 (enam) bulan. c) Bukan pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas: (1) investor; (2) pemberi kerja; (3) penerima pensiun; (4) veteran; (5) perintis kemerdekaan; (6) bukan pekerja yang tidak termasuk angka (1)-angka (5) yang mampu membayar iuran.
54 Universitas Sumatera Utara
d) Penerima pensiun terdiri atas: (1) PNS yang berhenti dengan hak pensiun; (2) anggota TNI dan anggota POLRI yang berhenti dengan hak pensiun; (3) pejabat negara yang berhenti dengan hak pensiun; (4) penerima pensiun lain; (5) janda, duda atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada angka (1)-angka (5) yang mendapat hak pensiun. 88 Kepesertaan bersifat wajib dan mengikat dengan membayar iuran berkala seumur hidup. 89Kepesertaan wajib dilaksanakan secara bertahap hingga menjangkau seluruh penduduk Indonesia. 90Kepesertaan mengacu pada konsep penduduk dengan mewajibkan warga negara asing yang bekerja paling singkat enam bulan diIndonesia untuk ikut serta. 91Kepesertaan berkesinambungan sesuai prinsip portabilitas dengan memberlakukan program di seluruh wilayah Indonesia dan menjamin keberlangsungan manfaat bagi peserta dan keluarganya hingga enam bulan pasca Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Selanjutnya, pekerja yang tidak memiliki pekerjaan setelah enam bulan PHK atau mengalamicacat tetap total
88
BPJS Kesehatan, Buku Panduan Layanan Bagi Peserta BPJS Kesehatan 2015, hlm. 2. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Bab V. 90 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Bab V. 91 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Pasal 1 89
angka 8.
55 Universitas Sumatera Utara
dan tidak memiliki kemampuan ekonomi tetap menjadi peserta dan iurannya dibayar oleh pemerintah. 92 Kesinambungan kepesertaan bagi pensiunan dan ahli warisnya akan dapat dipenuhi dengan melanjutkan pembayaran iuran jaminan kesehatan oleh manfaat program jaminan pensiun. Setiap peserta yang telah terdaftar di BPJS kesehatan berhak mendapatkan identitas peserta yang merupakan identitas tunggal yang berlaku untuk semua program jaminan sosial.Pemutahiran data kepesertaan menjadi kewajiban peserta untuk melaporkannya kepada BPJS kesehatan. 2.
Iuran JKN Iuran JKN adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan dibayarkan secara
teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk program JKN.Ketentuan iuran JKN ini diatur dalam: a.
UU SJSN Pasal 17, 27 dan 28.
b.
UU BPJS Pasal 19.
c.
Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 Pasal 16, 17 dan 18.Kewajiban membayar iuran JKN diatur sebagai berikut: 1) setiap peserta wajib membayar iuran; 2) setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala; 3) iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah, pada tahap pertama iuran yang 92
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN,Pasal 21
ayat 1,2,3.
56 Universitas Sumatera Utara
dibayar
oleh
pemerintah
adalah
untuk
program
jaminan
kesehatan. 93Ketentuan umum mengenai besaran iuran adalah: a) besaran iuran dihitung berdasarkan persentase upah/penghasilan untuk peserta penerima upah atau berdasarkan suatu jumlah nominal tertentu untuk peserta yang tidak menerima upah (lihat tabel iuran); b) besarnya iuran yang ditanggung oleh pekerja dan pemberi kerja ditetapka1. untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak; c) iuran
tambahan
yang
dikenakan
kepada
peserta
yang
mengikutsertakan anggota keluarga yang lain, yaitu anak keempat dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua; d) iuran JKN bagi anggota keluarga yang lain dibayar oleh peserta: (1) sebesar 1% (satu persen) dari gaji/upah peserta pekerja penerima upah per orang per bulan; (2) sesuai manfaat yang dipilih peserta pekerja bukan penerima upahdan peserta bukan pekerja. Ketentuan mengenai tata cara pembayaran iuran JKN adalah sebagai berikut: 1.
Iuran jaminan kesehatan bagi peserta PBI JKN dibayar oleh pemerintah.
93
Asih Eka Putri, Op.Cit., hlm. 72.
57 Universitas Sumatera Utara
2.
Iuran jaminan kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah dibayaroleh pemberi kerja dan pekerja.
3.
Iuran jaminan kesehatan bagi peserta bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja dibayar oleh peserta yang bersangkutan.
4.
Pembayaran iuran setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS kesehatan.
5.
Apabila tanggl 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkanpada hari kerja berikutnya.
6.
Keterlambatan pembayaran iuran jaminan kesehatan dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan, dibayarkanbersamaan dengan total iuran yang tertunggak.
7.
Bila keterlambatan pembayaran iuran lebih dari tiga bulan, penjaminan dapat dihentikan sementara.
8.
Pembayaran iuran jaminan kesehatan dapat dilakukan di awal untuk 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan dan 1 (satu tahun).
9.
Pengelolaan kelebihan atau kekurangan iuran: a.
BPJS
kesehatan
menghitung
kelebihan/kekurangan
iuran
jaminankesehatan sesuai dengan gaji atau upah peserta; b.
dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada pemberi kerja dan/atau peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran;
58 Universitas Sumatera Utara
c.
kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkandengan pembayaran iuran bulan berikutnya. 94 Ketidakpuasan atas pelayanan yang diberikan terhadap masyarakat, peserta
yang merasa tidak puas terhadap pelayanan jaminan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan, maka peserta dapat menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan dan/atau BPJS kesehatan atau dapat langsung datang ke posko BPJS di kota dan desa. Ada juga hotline servis BPJS di nomor kontak 500-400.
E. Efektifitas Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional Sejak 1 Januari program JKN sebagai salah satu program dalam sistem Jaminan Sosial Nasional (JSN) pemerintah yang bertujuan mulia mulai diimplementasikan. Dan sekarang JKN sudah dua tahun telah berjalan, tentunya dalam proses implementasinya dilakukan perbaikan dan koreksi disana sini guna program JKN bisa diterima oleh penduduk Indonesia dengan cita rasa kepuasan yang memuaskan sebagai salah satu indikator mutu layanan yang diselenggarakan oleh BPJS bidang kesehatan. 95 Dibalik tujuan program JKN itu ternyata banyak terdapat kelemahan yang berasal dari penjamin/penyelenggara ( BPJS), provider (rumah sakit/klinik) bahkan dari peserta JKN itu sendiri. Terdapat beberapa kelemahan yang membuat program JKN terasa kurang efektif antara lain :
94
Ibid., hlm. 73-74. http://www.kompasiana.com/moertjahjo58/mengenal-potensi-fraud-pada-programjaminan-kesehatan-nasional-jkn_54f433557455137e2b6c8a49 (diakses pada 19 maret 2016). 95
59 Universitas Sumatera Utara
1.
Jaminan kesehatan nasional dinilai kurang transparan sehingga rawan obat palsu Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Luthfi Mardiansyah menilai program JKN pemerintah kurangtransparan."Masih tidak jelas siapa pemasok obatnya serta bagaimana penentuannya. Padahal, transparansi dan keterlibatan semua pemangku penting untuk membuat JKN jadi program sukses," kata Luthfi saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (20/1). Luthfi berpendapat pemerintah perlu lebih aktif dalam mengajak pihak swasta untuk menyukseskan program JKN. Selain itu, pemerintah dinilai perlu menambah alokasi dana kesehatan dan akses kepada pengobatan yang memadai. Berdasarkan data dari IPMG, pengeluaran layanan kesehatan pemerintah Indonesia masih terbilang minim, yakni hanya 3,15 persen dari total Penghasilan Domestik Bruto (PDB). Negara lainnya mengeluarkan sekitar 6, 3 persen, pengeluaran layanan kesehatan tersebut sebanyak 40,5 persen dilakukan pemerintah. Sementara, 59,46 persen belanja kesehatan dilakukan swasta. Selain persoalan rendahnya belanja kesehatan, minimnya sosialiasasi juga dinilai sebagai kekurangan JKN pemerintah. Sosialisasi ke masyarakat yang minim tapi juga ke penyedia layanan JKN, banyak pihak sangat berharap banyak dari program JKN. Pasalnya,
sistem
jaminan
kesehatan
tersebut
berpengaruh
terhadap
peningkatan pasar farmasi. Terutama kebutuhan Indonesia atas obat berkualitas dan inovatif. Marak obat palsusementara itu, banyak pihak yang meminta ke pemerintah agar lebih gencar melakukan sosialisasi mengenai
60 Universitas Sumatera Utara
peredaran obat palsu. Perlu sosialisasi lebih gencar agar masyarakat tahu mana saja obat palsu.
Pemerintah sudah melakukan inspeksi ke beberapa
apotek dan masih ditemukan obat palsu. 96 Obat palsu tersebut umumnya berupa obat antibiotik dan obat pil biru. Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 2014 ditemukan sebanyak 583 kasus obat palsu, dengan total kerugian ekonomi mencapai Rp27 miliar. Luthfi mengatakan semakin laku obatnya, semakin banyak versi palsunya. Dari pihaknya di lapangan, tak hanya obat luar negeri yang dipalsukan tetapi juga obat produksi dalam negeri. Sementara itu, direktur eksekutif IPMG Parulian Simanjutak mengatakan pemerintah sebaiknya mempercepat registrasi obat untuk menanggulangi persoalan tersebut. 97 2.
Masalah tarif pelayanan kesehatan Masalah tarif pelayanan kesehatan yang dikenal dalam program ini bernama paket INA-CBGs. Dimana masih banyak Rumah Sakit (RS)swasta yangbelum bekerjasama dengan BPJS kesehatan dengan alasan tarif yang murah dan dapat merugikan RS. "Kemenkes sekarang menyusun perubahan Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan berkaitan sinkronisasi kebijakan pada level teknis," ujarnya. Dia melanjutkan masalah tarif ini juga terkendala dari APBN yang tidak mencukupi. Padahal, banyak
96
Sesuai dengan hasil wawancara Luthfi Mardiansyah, Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150120220434-20-26090/jaminan-kesehatannasional-dinilai-kurang-transparan/ (diakses pada tanggal 19 Maret 2016). 97 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150120220434-20-26090/jaminan-kesehatannasional-dinilai-kurang-transparan/ (diakses pada tanggal 19 Maret 2016).
61 Universitas Sumatera Utara
permasalahan di daerah dalam hal tarif tipe RS A, B, C, D yang tarifnya terlalu mahal. "RS tipe A selisihnya besar dengan RS tipe B. RS perlihatkan seperti tipe A tapi tarif tipe B itu masalah. Makanya ditiinjau terhadap tarif yang tidak hanya dinaikan tapi singkat selisih yang diratakan serta disesuaikan antara penyakit dan jenis kelompok penyakit," tuturnya.Dia mengatakan, masalah lainnya adalah fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama, yakni RS, klinik dan puskesmas. Dimana, pihaknya sudah mendorong agar seluruh Puskesmas dan Klinik itu bisa melayani pendaftaran peserta JKN BPJS kesehatan. Sekarang BPJS membuka diri untuk bekerjasama dengan seluruh klinik di Indonesia.Pemerintah juga mendorong agar BPJS kesehatan bekerjasama dengan rumah sakit swasta. Kalau rumah sakit swasta ikut kerjasama, maka itu dapat kurangi antrian seperti yang terjadi di RSCM, RS. Hasan Sadikin dan lainnya. RS swasta bisa kurang antrian, klinik mulai banyak untuk tutupi RS pemerintah yang masih banyak masalah. 98 3.
Masalah minimnya tenaga medis Melalui berbagai kegiatan dan peristiwa sepanjang tahun 2013, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH kerap menggaris bawahi masalah terkait kualitas dan kuantitas sumber daya manusia kesehatan. Menurut beliau, meskipun secara nasional akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar sudah meningkat dengan ditandai meningkatnya jumlah pusat layanan seperti puskesmas dan 98
http://megapolitan.harianterbit.com/megapol/2014/07/17/5328/28/18/DJSN-Temukan86-Masalah-Dalam-Program-JKN (diakses pada tanggal 19 Maret 2016).
62 Universitas Sumatera Utara
poskesdes dimasing-masing desa serta mulai diberlakukannya JKN per 1 Januari 2014, namun data statistik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukan adanya ketimpangan dalam penyebaran atau distribusi tenaga terampil kesehatan sesuai jenis dan sifat pekerjaan.Dari data yang ada, secara nasional, jumlah tenaga kesehatan belum memenuhi target per 100.000 penduduk. Jumlah dokter spesialis baru mencapai 7,73 dari target 9, dokter umum tercatat baru mencapai 26,3 dari target 30. Sementara perawat baru mencapai 157,75 dari target 158 dan bidan 43,75 dari target 75 per 100.000 penduduk. Dengan kondisi seperti ini, tentunya bisa dibayangkan, ketersediaan tenaga kesehatan di kantong-kantong Daerah Tertinggal Terpencil Perbatasan (DTTPK) seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua. Namun demikian persoalan ini tidaklah berdiri sendiri tetapi terkait erat dengan berbagai faktor seperti: kondisi geografis, transportasi, infrastruktur serta yang paling dasar adalah regulasi terkait kuantitas dan kualitas dan pemerataan distribusi tenaga kesehatan dimaksud. 99 4.
Adanya potensi fraud Fraud merupakan suatu tindakan penipuan untukmendapatkan keuntungan bagi pelaku fraud atau bagi pihak lain 100. Kesehatan Indonesia digemparkan lagi dengan usul naiknya premi untuk PBI dari sebelumnya Rp 19.250
99
http://aiphss.org/id/sumber-daya-manusia-kesehatan-apa-yang-masih-kurang/(terakhir diakses pada tanggal 19 Maret 2016). 100 http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/v13/images/2013/11/ojk.pdf(diakses pada tanggal 29 Maret 2016 tanggal 19 Maret 2016). 100 http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/v13/images/2013/11/ojk.pdf (diakses pada tanggal 29 Maret 2016).
63 Universitas Sumatera Utara
menjadi Rp 23 ribu. Direktur keuangan dan investasi BPJS kesehatan, Riduan mengatakan kenaikan premi diharapkan dapat menutupi defisit anggaran BPJS pada 2014, yang mencapai Rp 6 triliun. Defisit anggaran terjadi akibat banyaknya orang yang berobat di rumah sakit. Program JKN berkembang amat pesat sejak diluncurkan awal tahun lalu. Saat ini peserta program itu sudah mencapai 150 juta jiwa dari sekitar 256 juta penduduk Indonesia. Diharapkan pada 2019, seluruh penduduk Indonesia akan tercakup oleh skema ini. JKN merupakan ikhtiar pemerintah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan masyarakat. Melalui program ini, pemerintah berniat memberi kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia agar hidup sehat, produktif, dan sejahtera. JKN sejauh ini berhasil meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pada dimensi aksesibilitas, meski menghadapi persoalan pada dimensi efektif dan efisien. Belajar dari pengalaman di berbagai negara, memenuhi standar mutu dimensi efektif dan efisien memang merupakan bagian tersulit dari asuransi universal. Soalnya, tingkat efektivitas dan efisiensi sangat erat berkaitan dengan pembiayaan dan standardisasi prosedur layanan kesehatan, dua aspek dalam pelayanan kesehatan ini yang paling sering dimanipulasi oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab yang terlibat dalam sistem pelayanan, dari petugas administrasi hingga dokter. Demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, mereka mengabaikan mutu dan memberikan layanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis yang baik. Ulah tak bertanggung jawab yang dikenal luas
64 Universitas Sumatera Utara
sebagai fraud ini di Indonesia bisa terjadi dalam bentuk pemberian obat-obatan atas indikasi yang tidak jelas manfaatnya, pemeriksaan laboratorium, diagnosis atas indikasi yang tidak tepat, hingga pembengkakan biaya pengobatan akibat diagnosis palsu. Akibatnya, selain tidak dilayani sesuai dengan standar mutu yang ada, pasien sering menderita kerugian fisik. Misalnya, karena ingin mendapat pembayaran lebih, rumah sakit atau kalangan profesional di bidang kesehatan memberikan prosedur pelayanan yang tidak diperlukan atau melakukan tindakan medis terpisah yang sebenarnya bisa dilakukan secara bersamaan. Ada banyak contoh ketika fraud dalam pelayanan masyarakat berakibat buruk bagi pasien. Di Chicago, ada dokter spesialis yang melakukan 750 katerisasi jantung yang tidak diperlukan. Dalam program JKN, biaya dan standar pelayanan dikendalikan melalui sistem pembayaran kapitasi dan INA CBG's. Kapitasi diberlakukan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, sedangkan INA CBG's untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjut. INA CBG's memudahkan pengguna layanan kesehatan karena mereka hanya membayar sesuai dengan kode diagnosis penyakit, bukan layanan yang diberikan. Adapun pembayaran sistem kapitasi dibayar dimuka oleh BPJS kepada puskesmas per bulan tanpa menghitung jenis dan jumlah pelayanan yang diberikan. Setiap masyarakat yang telah menjadi peserta BPJS kesehatan mempunyai hak berobat ke puskesmas dan rumah sakit tanpa harus membayar. Masalahnya, kedua sistem ini belum sempurna benar. Di sana-sini masih ada celah yang bisa dipakai untuk berbuat curang (fraud) dalam pembiayaan dan
65 Universitas Sumatera Utara
prosedur layanan, dari dinas kesehatan yang memotong besaran kapitasi puskesmas sampai dokter yang melayani pasien tanpa mengikuti indikasi medis. Jika kita asumsikan potensi fraud sekitar 5 persen, tahun lalu saja ada uang sekitar Rp 1,8 triliun dari prediksi premi BPJS pada 2014 (sekitar Rp 38,5 triliun) yang masuk kantong oknum tak bertanggung jawab. Amerika Serikat yang setiap tahun tercatat 3-10 persen anggaran kesehatannya hilang digerogoti fraud, menggunakan pendekatan retrospektif untuk mengatasi ulah kriminal ini. Pendekatan retrospektif merupakan metode deteksi dini percobaan fraud. Caranya adalah menelusuri Electronic Health Record (EHR) atau rekam medis pasien. Dengan cara ini, mereka berhasil mencegah hingga 80 persen upaya penipuan dan penyalahgunaan skema jaminan. Di Indonesia, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kesehatan Universitas Gadjah Mada juga melakukan pendekatan retrospektif untuk mendeteksi fraud. PKMK melakukan audit klinis menggunakan rekam medis. Rekam medis yang diaudit adalah penyakit dan tindakan yang high cost, high volume, ataupun problem prone yang terjadi di rumah sakit.Hasil self assessment pada tujuh rumah sakit pemerintah di pulau Jawa menunjukkan memang ada potensi fraud dalam layanan kesehatan di Indonesia. Modus yang potensi penggunaannya hingga 100 persen adalah upcoding, yakni diagnosis atau prosedur pelayanan yang diklaim dibuat lebih kompleks dan lebih mahal daripada yang sebenarnya, sehingga nilai klaim menjadi lebih tinggi ketimbang yang seharusnya. Laporan self assessment ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengembangkan sistem anti-fraud yang lebih baik. Baru-baru ini, telah
66 Universitas Sumatera Utara
keluar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2015 tentang pencegahan kecurangan alias fraud dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan pada SJSN. Peraturan ini telah memuat unsur pelaku fraud dan jenis-jenis potensi fraud yang terjadi pada layanan kesehatan primer serta kesehatan rujukan. Namun masih diperlukan peraturan yang dapat memberi efek jera bagi pelaku fraud, misalnya dengan mencabut izin profesi.Setelah aturan yang komprehensif dan sanksi tegas diterapkan, pada sisi pelaksana, para petugas BPJS dan penyelenggara fasiltas layanan kesehatan seharusnya memahami secara baik modus-modus fraud dan cara pencegahannya. Dengan demikian, mereka secara aktif bisa mencegah upaya manipulasi jaminan kesehatan. Di luar itu, pemerintah perlu mengembangkan dan terus mengkampanyekan budaya anti fraud. Kemudian demi mendukung upayaupaya penindakan sebaiknya Kementerian Kesehatan membuat saluran untuk melaporkan fraud, memanfaatkan electronic medical recordRS untuk mendeteksi fraud yang terjadi pada fasilitas layanan kesehatan serta menjalin kemitraan dengan penegak hukum untuk menindak pelaku fraud. 101 Berbagai masalah terkait JKN tersebut disinyalir terletak pada sistem yang dianggap belum dipersiapkan dengan baik yaitu terkait dengan sistem sosialisasi, sistem registrasi, sistem rujukan dan sistem pembiayaan JKN sehingga berpengaruh pada kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan tenga kesehatan. Melihat fakta yang terjadi dilapangan sampai saat ini, sepertinya harapan untuk memberikan kesejahteraan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia semakin jauh dari angan-angan apabila permasalahan-permasalahan tersebut tidak segera diatasi 101
https://www.tempo.co/read/kolom/2015/09/15/2293/fraud-rongrong-mutu-layanankesehatan (diakses pada tanggal 19 Maret 2016).
67 Universitas Sumatera Utara
dengan baik dan diprediksi dapat memicu munculnya berbagai masalah baru seperti banyak fasilitas pelayanan kesehatan yang memilih mengundurkan diri dari keikutsertaannya dalam program JKN ini dan adanya penurunan kualitas pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sehingga berdampak pada penurunan kepuasaan dan keselamatan pasien. Permasalahan lain yang diprediksi dan diperkirakan dapat terjadi yaitu JKN tidak dapat menjangkau keseluruh lapisan masyarakat Indonesia karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti distribusi penduduk yang tidak merata. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa masyarakat yang tinggal di daerah desa atau terpencil tidak dapat memperoleh jaminan kesehatan nasional secara layak karena minimnya dana yang disalurkan ketempat tersebut, terkendala faktor geografi, minimnya ketersediaan sarana dan prasarana serta kualitas pelayanan kesehatan yang rendah. Berdasarkan hal tersebut pemerintah harus berupaya untuk mencari tindakan antisipasi terhadap kemungkinan buruk yang dapat terjadi dan dengan segera mengatasi masalah-masalah tersebut secara holistik mulai dari perencanaan sampai ke pelaksanaan sehingga sistem yang bermasalah dapat diperbaiki dan berjalan dengan baik. Selain itu faktor penting yang perlu diperhatikan disini adalah kesiapan tenaga kesehatan dalam mendukung pelaksanaan JKN ini. Diluncurkannya program JKN ini, sistem dan bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan akan mengalami berbagai perubahan sehingga perlu dipersiapkan upaya peningkatan kualitas tenaga kesehatan serta faktor pendukung lain seperti sarana dan prasarana. Tindakan antisipasi dan pengelolaan terhadap berbagai
68 Universitas Sumatera Utara
masalah dalam pelaksanaan JKN tersebut apabila dapat dilakukan dengan baik oleh pemerintah bekerjasama dengan BPJS dan pelayanan kesehatan akan menciptakan sejarah baru kesehatan Indonesia, dimana seluruh masyarakat Indonesia dapat meningkat derajat kesehatannya dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang adil dan layak. Sehingga program JKN di Indonesia bukan hanya harapan semu akan tetapi bukti nyata perjuangan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatIndonesia. 102Melihat banyaknya kelemahan- kelemahan yang terdapat dalam pelaksanaan program JKN diatas maka diharapkan peran semua pihak yang berkepentingan dalam JKN untuk turut andil untuk meningkatkan efektifitas program JKN terutama peran pemerintah. Efektivitas program JKNmasih harus ditingkatkan. Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang belum puas akan pelayanan dari program tersebut bahkan masih banyak masyarakat yang belum menerima manfaat dari jaminan tersebut.
102
http://www.kompasiana.com/www.kompasiana_ocy.com/menganalisa-pelaksanaanjaminan-kesehatan-nasional-jkn-sebuah-bukti-atau-harapan-semu_54f70b5ba333119d1e8b468c (diakses pada tanggal 2 April 2016).
69 Universitas Sumatera Utara
BAB IV WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL BPJS KESEHATAN
A. Program Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, secara tegas menyatakan bahwa BPJS yang dibentuk dengan UU BPJS adalah badan hukum publik. BPJS yang dibentuk dengan UU BPJS adalah BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan.Kedua BPJS tersebut pada dasarnya mengemban misi negara untuk memenuhi hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dengan menyelenggarakan program jaminan yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Penyelenggaraan jamianan sosial yang kuat dan berkelanjutan merupakan salah satu pilar negara kesejahteraan, disamping pilar lainnya, yaitu pendidikan bagi semua, lapangan pekerjaan yang terbuka luas dan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkeadilan. Mengingat pentingnya peranan BPJS dalam menyelenggarakan program jaminan sosial dengan cakupan seluruh penduduk Indonesia, maka UU BPJS memberikan batasan fungsi, tugas dan wewenang yang jelas kepada BPJS. Dengan demikian dapat diketahui secara pasti batas-batas tanggung jawabnya dan sekaligus dapat dijadikan sarana untuk mengukur kinerja kedua BPJS tersebut secara transparan. UU BPJS menetukan bahwa BPJS kesehatan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan dalam hal ini program JKN.
70 Universitas Sumatera Utara
Jaminan kesehatan menurut UU SJSN diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. 103JKN diselenggarakan oleh BPJS yang merupakan badan hukum publik milik negara yang bersifat non profit dan bertanggung jawab kepada presiden. BPJS terdiri atas dewan pengawasdan direksi. Dewan pengawas terdiri atas 7 (tujuh) orang anggota, 2 (dua) orang unsur pemerintah, 2 (dua) orang unsur pekerja, 2 (dua) orang unsur pemberi kerja, 1 (satu) orang unsur tokoh masyarakat. Dewan pengawas tersebut diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Direksi dalam BPJSterdiri atas paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur profesional. Direksi sebagaimana dimaksud diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Dalam melaksanakan pekerjaannya, dewan pengawas mempunyai fungsi, tugas dan wewenangpelaksanaan tugas BPJS dengan uraian sebagai berikut: 104 1.
Fungsi dewan pengawas adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas BPJS. Dewan pengawas bertugasuntuk: a.
melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja direksi;
b.
melakukan
pengawasan
atas
pelaksanaan
pengelolaan
dan
pengembangan dana jaminan sosial oleh direksi;
103
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/268 (diakses pada tanggal 30 Maret
2016). 104
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia., Op. Cit., hlm. 32.
71 Universitas Sumatera Utara
c.
memberikan saran, nasihat dan pertimbangan kepada direksi mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS;
d.
menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan jaminan sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada presiden dengan tembusan kepada DJSN. 105
2.
Dewan pengawas berwenanguntuk: a.
menetapkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS;
b.
mendapatkan dan/atau meminta laporan dari Direksi;
c.
mengakses data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS;
d.
melakukan
penelaahan
terhadap
data
dan
informasi
mengenai
penyelenggaraan BPJS; e.
memberikan saran dan rekomendasi kepada presiden mengenai kinerja direksi. 106
3.
Fungsi, tugas dan wewenang direksi dalam menyelenggarakan JKN Direksi BPJS mempunyai fungsi, tugas dan wewenang sebagai berikut: a. Direksi berfungsimelaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS yang menjamin peserta untuk mendapatkan manfaat sesuai dengan haknya. 107
105
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pasal 22 ayat (2). 106 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 22 ayat (3). 107 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 24 ayat (1).
72 Universitas Sumatera Utara
b. Direksi bertugasuntuk: 1) melaksanakan
pengelolaan
BPJS
yang
meliputi
perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi; 2) mewakili BPJS di dalam dan di luar pengadilan; 3) menjamin tersedianya fasilitas dan akses bagi dewan pengawas untuk melaksanakan fungsinya. 108 c. Direksi berwenanguntuk: 1) melaksanakan wewenang BPJS; 2) menetapkan struktur organisasi beserta tugas pokok dan fungsi, tata kerja organisasi dan sistem kepegawaian; 3) menyelenggarakan
manajemen
kepegawaian
BPJS
termasuk
mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pegawai BPJS serta menetapkan penghasilan pegawai BPJS; 4) mengusulkan kepada presiden penghasilan bagi dewan pengawas dan direksi; 5) menetapkan ketentuan dan tata cara pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan tugas BPJS dengan memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas; 6) melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan dewan pengawas;
108
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 24 ayat (2).
73 Universitas Sumatera Utara
7) melakukan
pemindahtanganan
Rp100.000.000.000
(seratus
aset miliar
tetap
BPJS
rupiah)
lebih
sampai
dari
dengan
Rp500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan presiden; 8) melakukan
pemindahtanganan
aset
tetap
BPJS
lebih
dari
Rp500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). 109 Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang direksi diatur dengan peraturan direksi. Persyaratan untuk menjadi dewan pengawas dan dewan direksi diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2011. Peraturan Perundang-Undangan
yang
memerintahkan
dan
memberi
kewenangan
penyelenggaraan program JKN terbentang luas, mulai dari UUD NRI 1945, Undang-Undang hingga Peraturan Pemerintah telah menggunangkan banyak Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar hukum JKN, beberapa diantaranya adalah : 110 1.
UUD NRI 1945 Pasal 28H dan Pasal 34 UUD NRI 1945 adalah dasar hukum tertinggi yangmenjamin hak konstitusional warga negara atas pelayanan kesehatan dan mewajibkan pemerintah untuk membangun sistem dan tata kelola penyelenggaraan
pelayanan
kesehatan
yang
terintegrasi
dengan
penyelenggaraan program jaminan sosial.
109
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pasal 24 ayat (3) 110 Asih Eka Putri dan A.A Oka Mahendra, Himpunan Lengkap Peraturan PerundangUndangan Jaminan Kesehatan Di Indonesia, (Tangerang Selatan:Martabat, 2014), hlm. 3.
74 Universitas Sumatera Utara
2.
UU SJSN UU SJSN menetapkan program JKN sebagai salah satu program jaminansosial dalam sistem jaminan sosial nasional. Di dalam undang-undang ini diatur asas, tujuan, prinsip, organisasi dan tata cara penyelenggaraan program JKN.
3.
UU BPJS UU
BPJS
adalah
peraturan
pelaksanaan
UU
SJSN.
UU
BPJS
melaksanakanPasal 5 UU SJSN pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 007/PUU-III/2005. 4.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 tentang PenerimaBantuan Iuran Jaminan Kesehatan (selanjutnya disebut PP PBIJK) PP PBIJK adalah peraturanpelaksanaan UU SJSN. PP PBIJK melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (6) UU SJSN. PP PBIJK mengatur tata cara pengelolaan subsidi iuran jaminan kesehatan bagi penerima bantuan iuran. PP PBIJK memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur penetapan kriteria dan tata cara pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu, penetapan penerimabantuan iuran jaminan kesehatan, pendaftaran
penerimabantuan
iuran
jaminan
kesehatan,
pendanaan,
pengelolaan data PBI serta peran serta masyarakat. 5.
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif (PP Sanksi Administratif) PP Sanksi administratif kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan penerima bantuan iuran
75 Universitas Sumatera Utara
dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah peraturan pelaksanaan UU BPJS. 6.
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentangJaminan Kesehatan (selanjutnya disebut PERPRES JK) PERPRES JK adalah peraturan pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS. PERPRES JK mengatur peserta dan kepesertaan JKN, pendaftaran, iuran dan tata kelola iuran, manfaat JKN, koordinasi manfaat, penyelenggaraan pelayanan, fasilitas kesehatan, kendali mutu dan kendali biaya, penanganan keluhan dan penanganan sengketa.
7.
Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentangPerubahan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013(PERPRES PERUBAHAN PERPRES JK) Menjelang penyelenggaraan JKN pada 1 Januari 2014, ditemukan beberapaketentuan dalam PERPRES JK yang perlu disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggaraan JKN.
8.
Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2013 PERPRES
ini
mengatur
jenis
pelayanan
kesehatan
bagi
KementerianPertahanan, TNI dan Kepolisian Negara RepublikIndonesia yang tidak didanai oleh JKN. Pelayanan kesehatan tersebutdiselenggarakan di fasilitas
kesehatan
RepublikIndonesia,
milik serta
Kementerian didanai
oleh
Pertahanandan Anggaran
Kepolisian
Pendapatan
dan
BelanjaNegara (APBN). 9.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 59 Tahun 2014 tentang Standar TarifPelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan
76 Universitas Sumatera Utara
Fasilitas
Kesehatan
Tingkat
LanjutanDalamPenyelenggaraan
Program
Jaminan Kesehatan (selanjutnya disebut Permenkes Standar Tarif Pelayanan Kesehatan). Permenkes Standar Tarif Pelayanan Kesehatan merupakan peraturan pelaksanaan dari PERPRES JK. Permenkes Standar Tarif Pelayanan Kesehatan melaksanakan ketentuanPasal 37 ayat (1) PERPRES JK. Peraturan ini mencakup satandar tarif bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Standar tarif memuat tarif INA-CBGs, tarif kapitasi dan tarif non-kapitasi. Penyelenggaraan jaminan kesehatan oleh BPJS kesehatan memperlihatkan harapan baru. Ada beberapa pelayanan yang menunjukkan keunggulan, yaitu antara lain: 1.
Prosedur pendaftaran dengan persyaratan yang lebih mudah.
2.
Paket manfaat yang lebih komperhensif, tanpa ada cost sharing dari peserta.
3.
Adanya kompensasi berupa uang, pengiriman tenaga kesehatan atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu yang memberi jaminan kepada peserta untuk tetap mendapatkan haknya atas layanan kesehatan saat berada di daerah yang tidak terdapat fasilitas kesehatan.
4.
Prosedur klaim yang lebih ringkas.
5.
Dimungkinkannya
penggunaan
obat
di
luar
formularium
nasional
berdasarkan persetujuan komite medik dan kepala/direktur rumah sakit, apabila diperlukan sesuai indikasi medis. 6.
Prosedur layanan berjenjang yang sama di semua wilayah Indonesia.
77 Universitas Sumatera Utara
7.
Jangka waktu pencairan klaim fasilitas kesehatan yang lebih cepat (15 hari kerja dibanding sebelumnya yang hingga 1 bulan). 111
B. Ruang Lingkup Pengawasan Program Jaminan Kesehatan Nasional Oleh Otoritas Jasa Keuangan Badan hukum publik BPJS mendapat amanah dan kepercayaan dari pembentuk undang-undang untuk menyelenggarakan program jaminan sosial dengan
tujuan
untuk
mewujudkan
terselenggaranya
pemberian
jaminan
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Oleh karena itu BPJS dituntut untuk melaksanakan amanah dan kepercayaan tersebut secara akuntabel dan transparan.Untuk itulah perlu dilakukan pengawasan terhadap BPJS agar dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan asas-asas, prinsip-prinsip, ketentuan peraturan perundang-undangan dan memberi
manfaat
yang
optimal
kepada
peserta
dan/atau
anggota
keluarganya. 112Pengawasan adalah proses kegiatan penilaian terhadap BPJS dengan tujuan agar BPJS melaksanakan fungsinya dengan baik dan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan 113 Hasil pengawasan dapat dipergunakan oleh BPJS untuk melaksanakan perbaikan internal dan juga digunakan oleh pemangku kepentingan untuk mengevaluasi apakah:
111
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/531 (diakses pada tanggal 2 April
2016). 112
http://www.jamsosindonesia.com/identitas/pengawasan_internal_dan_eksternal_terhad ap_bpjs (diakses pada tanggal 30 Maret 2016). 113 Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:5/POJK.05/2013 tentang Pengawasan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Oleh Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 1 angka 7.
78 Universitas Sumatera Utara
1.
BPJS telah melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar, tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
2.
program jaminan sosial yang diselenggarakan telah mencapai tujuan yang ditetapkan;
3.
pelayanan publik telah dilaksanakan secara berdaya guna, berhasil guna, memenuhi standar dan berkeadilan. Pengawasan dilakukan untuk melindungi berbagai pihak dari perlakuan
tidak adil dan tidak sesuai dengan hukum yang berlalu. 114Dalam hal pengawasan OJK pada industri keuangan baik bank maupun nonbank berada di satu atap atau sistem pengawasan terpadu sehingga sistem pengawas bisa bertukar informasi dengan mudah. Hal ini dapat menghindari putusnya informasi antara badan pengawas bank dan nonbank yang telah ada di Indonesia sebelumnya. 115 Sistem pengawasan terpadu ini dapat meminimalisasi kemungkinan berbenturannya kordinasi antarlembaga. Jika ada berbagai lembaga pengawas dalam suatu sistem keuangan banyak tantangan yang harus dihadapi asalah satunya adalah memastikan koordinasi antar lembaga-lembaga agar terciptanya konsistensi dalam menentukan suatu kebijakan atau menentukan siapa yang bertanggung jawab atas suatu kebijakan tersebut. Pengawasan eksternal terhadap BPJS akan dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan lembaga pengawas independen dimana hal ini sudah diatur dalam ketentuan Pasal 39 UU BPJS. Dalam penjelasan Pasal 39 UU BPJS disebutkan bahwa lembaga pengawas independen yang dimaksud BPJS adalah 114
Adler Haymans Manurung., Op,Cit., hlm. 14. Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 201.
115
79 Universitas Sumatera Utara
OJK.Penunjukan OJK sebagai pengawas independen atas BPJS sejalan pula dengan tugas pengaturan dan pengawasan OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 UU OJK yang menjelaskan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 UU OJK juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan lembaga jasa keuangan lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun dan kesejahteraan serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundangundangan. Pengawasan terhadap BPJS dilakukan oleh OJK untuk mewujudkan pengelolaan program jaminan sosial yang transparan, berkelanjutan dan mampu melindungi kepentingan masyarakat. Agar tujuan tersebut tercapai diperlukan suatu sistem pengawasan yang dapat memberikan indikasi mengenai potensi kegagalan BPJS secara dini. Indikasi tersebut dapat diperoleh secara akurat apabila OJK memperoleh informasi yang memadai mengenai kondisi BPJS yang dapat diperoleh melalui pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung.
80 Universitas Sumatera Utara
Ruang lingkup pengawasan OJK terhadap BPJS meliputi: 1.
Kesehatan keuangan, yang dimaksud pengawasan terhadap kesehatan keuangan antara lain dengan menilai kondisi keuangan BPJS dari aspek likuiditas, solvabilitas, risk based capital, kecukupan cadangan, perimbangan aset dan liabilitas.
2.
Penerapan tata kelola yang baik termasuk proses bisnis, yang dimaksud pengawasan terhadap penerapan tata kelola yang baik termasuk proses bisnis antara lain dengan memastikan manajemen BPJS melakukan evaluasi terhadap penerapan prinsip-prinsip GCG serta penerapan risk management termasuk dampak sistemik, quality assurance dan standard operating procedure yang baik termasuk proses bisnis.
3.
Pengelolaan dan kinerja investasi, yang dimaksud pengawasan terhadap pengelolaan kinerja dan investasi antara lain dengan melakukan evaluasi terhadap penempatan dan pelepasan investasi serta capaian hasil investasi oleh BPJS.
4.
Penerapan manajemen risiko dan kontrol yang baik, yang dimaksud pengawasan terhadap penerapan manajemen risiko dan kontrol yang baik antara
lain
untuk
memastikan
bahwa
BPJS
memiliki
dan
mengimplementasikan pedoman manajemen risiko dan pengendalian internal dalam menyelenggarakan jaminan sosial. Sistem manajemen risiko yang tersebut paling kurang meliputi proses pengidentifikasian, pengukuran dan penilaian risiko serta upaya-upaya memitigasinya.
81 Universitas Sumatera Utara
5.
Pendeteksian dan penyelesaian kejahatan keuangan (fraud), yang dimaksud pengawasan terhadap pendeteksian dan penyelesaian kejahatan keuangan (fraud) antara lain dengan melakukan evaluasi terhadap kinerja organ pengawas BPJS yaitu dewan pengawas dan satuan pengawas internal.
6.
Valuasi aset dan liabilitas, yang dimaksud pengawasan terhadap valuasi aset dan liabilitas antara lain untuk memastikan bahwa dalam melakukan valuasi aset dan valuasi liabilitas, BPJS mengikuti ketentuan yang berlaku dan praktik-praktik terbaik di bidang akuntansi dan aktuaria.
7.
Kepatuhan
terhadap
peraturan
perundang-undangan,
yang
dimaksud
pengawasan terhadap kepatuhan pada peraturan perundang-undangan antara lain untuk memastikan bahwa BPJS memenuhi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan jaminan sosial dan pengawasan BPJS. 8.
Keterbukaan informasi kepada masyarakat (public disclosure), yang dimaksud pengawasan terhadap keterbukaan informasi kepada masyarakat (public disclosure) antara lain dengan memastikan BJPS mempublikasikan laporan keuangan semesteran dan tahunannya kepada masyarakat.
9.
Perlindungan konsumen, yang dimaksud pengawasan terhadap perlindungan konsumen antara lain dengan mengevaluasi sistem penyelesaian pengaduan peserta BPJS.
10. Rasio kolektibilitas iuran, yang dimaksud pengawasan terhadap rasio kolektibilitas iuran antara lain dengan memastikan BPJS memiliki dan melaksanakan sistem monitoring pembayaran iuran.
82 Universitas Sumatera Utara
11. Monitoring dampak sistemik, yang dimaksud pengawasan terhadap monitoring dampak sistemik antara lain melakukan penilaian dampak sistemik terhadap industri jasa keuangan atas aktivitas operasional, aktivitas investasi, jumlah peserta, perikatan dengan pihak lain dan program yang diselenggarakan oleh BPJS. 12. Aspek lain yang merupakan fungsi, tugas dan wewenang OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. 116 Menurut Pasal 3 ayat (1) POJK dalam mengawasi program JKN oleh BPJS kesehatan, OJK menggunakan dua metode pengawasan yaitu pengawasan langsung
dan
tidak
langsung.Pengawasan
langsung
dilakukan
melalui
pemeriksaan. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah dan mengevaluasi data dan/atau keterangan serta untuk menilai dan memberikan kesimpulan mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BPJS. 117 Pemeriksaan terhadap BPJS tersebut dilakukan oleh pemeriksa yaitu pegawai OJK itu sendiri. Pemeriksaan bertujuan untuk: 1.
memperoleh gambaran mengenai kondisi BPJS yang sebenarnya;
2.
memastikan bahwa BPJS telah mematuhi peraturan perundangundangan;
3.
memastikan bahwa BPJS telah menerapkan tata kelola, manajemen risiko, dan kontrol yang baik;
116
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:5/POJK.05/2013 tentang Pengawasan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Oleh Otoritas Jasa Keuangan, bagian penjelasan. 117 Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:5/POJK.05/2013 tentang Pengawasan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Oleh Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 1 angka 6.
83 Universitas Sumatera Utara
4.
memastikan bahwa BPJS telah melakukan upaya untuk memenuhi kewajiban kepada peserta. 118 Sementara pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf b dilakukan melalui: 1.
analisis atas laporan yang disampaikan oleh BPJS kepada OJK;
2.
analisis atas laporan yang disampaikan oleh pihak lain kepada OJK. 119 OJK mengawasi BPJS agar dapat berktifitas secara teratur dan tidak
mendapat intervensi dari berbagai pihak dan Otoritas Jasa Keuangan memiliki fungsi mengawasi kinerja keuangan peserta BPJS untuk mewujudkan tata kelola kesehatan keuangan terutama dalam rangka penerapan GCG. Dengan adanya pengawasan dua arah ini, maka diharapkan akan membuat pelaksanaan BPJS menjadi lebih baik. Dengan demikian diharapkan dapat mencakup seluruh kebutuhan masyarakat Indonesia yang mengikuti program jaminan sosial ini.
C. Wewenang dan Peran Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Pengawas dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional BPJS Kesehatan Salah satu tugas dari OJK sebagai elemen kelembagaan Negara yaitu melakukan pengawasan (Supervision). 120Pasal 5 UU OJK menyatakan bahwaOJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Pengawasan terintegrasi dimaksudkan yaitu pengawasan yang tidak memisahkan jenis sektor 118
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:5/POJK.05/2013 tentang Pengawasan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Oleh Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 5 ayat (3). 119 Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:5/POJK.05/2013 tentang Pengawasan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Oleh Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 14. 120 Adler Haymans Manurung , Op.Cit., hlm. 98.
84 Universitas Sumatera Utara
keuangan dan dikerjakan lembaga lain 121. Ruang lingkup tugasnya mencakup kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, sektor pasar modal, sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Lembaga jasa keuangan lainnya antara lain meliputi penyelenggaraan jaminan sosial yakni BPJS kesehatan yang menyelenggarakan program JKN. Salah satu tujuan didirikannya OJK adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel dalam hal ini agar kegiatan keuangan peserta BPJS dapat terlaksana dengan teratur dan sesuai dengan tata kelola kesehatan keuangan terutama dalam penerapan GCG. Pasal 39 ayat (3) UU BPJS menentukan pengawasan eksternal BPJS dilakukan oleh DJSN dan lembaga pengawas independen.Dalam penjelasannya dikemukakan ”DJSN melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial.”DJSN adalah lembaga negara yang dibentuk oleh UU SJSN
dan
berfungsi
merumuskan
kebijakan
umum
dan
sinkronisasi
penyelenggaraan SJSN. 122DJSN bertugas sebagai pengawas eksternal BPJS dengan melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial dan tingkat kesehatan keuangan BPJS. 123 DJSN akan mengawasi BPJS dalam hal: 1.
pelaksanaan kebijakan umum dan peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial nasional; 121
Ibid. Republik Indonesia, UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 6 dan Pasal 7 ayat (2). 123 Republik Indonesia, UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 7 ayat (4). 122
85 Universitas Sumatera Utara
2.
sinkronisasi penyelenggaraan SJSN serta pengelolaan aset dana jaminan sosial dan aset BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional juga mempunyai wewenang untuk
memantau, mengawasi dan menilai kinerja BPJS. BPJS juga berhak mendapatkan hasil monitoring dan evaluasi dari DJSN. Selain itu, OJK dapat membantu melakukan penguatan DJSN, pemilihan dewan direksi BPJS, dan dewan pengawas BPJS yang kompeten dan tegas 124 Selanjutnya dikemukakan,
”Yang
dimaksud
dengan lembaga
pengawas
independen adalah OJK dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hubungan kewenangan antara BPJS dan OJK serta BPK bersifat hubungan pengawasan. OJK mengawasi BPJS dalam mengelola dana jaminan sosial dan dana BPJS, sedangkan BPK mengawasi BPJS dalam menggunakan APBN yang dialokasikan bagi penyelenggaraan program jaminan sosial. BPJS berhak mendapatkan hasil audit dari OJK dan BPK. 125 Pengawasan OJK terhadap BPJS akan fokus kepada aspek-aspek kesehatan keuangan, penerapan tata kelola yang baik, pengelolaan aset, kinerja investasi, penerapan manajemen risiko, valuasi aset dan liabilitas dan kepatuhan kepada peraturan perundang-undangan.Mengenai wewenang OJK dalam JKN, Sebagaimana tertulis dalam pasal 9 UUOJK Untuk melaksanakan tugas pengawasan OJK mempunyai wewenang:
124
Hasbullah Thabrany. 2014 .’’OJK Dan BPJS, Perlu Pengawasan Eksternal’’ Bisnis Indonesia , diposting pada tanggal 24 Maret 2014 , hlm. 2. (diakses pada tanggal 29 Maret 2016) 125 http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/325 (diakses pada tanggal 29 Maret 2016).
86 Universitas Sumatera Utara
1.
menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
2.
mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala eksekutif;
3.
melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
4.
memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;
5.
melakukan penunjukan pengelola statuter;
6.
menetapkan penggunaan pengelola statuter;
7.
menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
8.
memberikan dan/atau mencabut: a.
izin usaha;
b.
izin orang perseorangan;
c.
efektifnya pernyataan pendaftaran;
d.
surat tanda terdaftar;
e.
persetujuan melakukan kegiatan usaha;
f.
pengesahan;
g.
persetujuan atau penetapan pembubaran;
87 Universitas Sumatera Utara
h.
penetapan lain sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuanganmempunyai kewenangan dalam hal penyidikan
untuk melakukan penyidikan apabila terjadi kasus kejahatan keuangan dalam JKN. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU OJK,OJKadalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan,pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Penyidikan merupakan salah satu tugas pengawasan OJK terhadap lembaga keuangan. Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.” 126Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 127 Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dimaksud pada kejahatan perbankan antara lain adalah:
126
Republik Indonesia, Undang-Undang no 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 9 huruf c. 127 Republik Indonesia, Undang-Undang no 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 49 ayat 1.
88 Universitas Sumatera Utara
1.
memanggil, memeriksa serta meminta keterangan dan barang bukti dari setiap orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
2.
meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan;
3.
memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
4.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan. 128 Selain wewenang yang disebutkan diatas, OJK juga mempunyai
wewenang untuk memungut iuran terhadap BPJS hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PP Pungutan OJK). OJK mempunyai kewenangan untuk memungut iuran dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan yang selanjutnya disebut pihak adalah lembaga jasa keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. 129 Sektor
jasa
keuangan
adalah
sektor
perbankan,
pasar
modal,
perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. 130Dalam UUOJK sudah diatur secara eksplisit mengenai ruang lingkup
128
Republik Indonesia, Undang-Undang no 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,Pasal 49 ayat 3. 129 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pasal 1 angka. 130 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pasal 1 angka 4.
89 Universitas Sumatera Utara
pengawasan dan kewenangan OJK dalam mengawasi lembaga jasa keruangan lainnya dalam hal ini BPJS kesehatan yang menyelenggarakan program JKN dan dipertegas lagi dengan diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 4/POJK.05/2013 tentang Pengawasan BPJS oleh OJK. OJK membuat peraturan terhadap pengawasan BPJS adalah berdasarkan Pasal 39 ayat (3) huruf b UU BPJS dan penjelasannya menentukan OJK sebagai pengawas independen melakukan pengawasan ekternal terhadap BPJS. Adapun ruang lingkup pengawasan OJK terhadap BPJS, meliputi: 131 1.
kesehatan keuangan;
2.
penerapan tata kelola yang baik termasuk proses bisnis;
3.
pengelolaan dan kinerja investasi;
4.
penerapan manajemen risiko dan kontrol yang baik;
5.
pendeteksian dan penyelesaian kejahatan keuangan (fraud);
6.
evaluasi aset dan liabilitas;
7.
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan;
8.
rasio kolektibilitasi iuran;
9.
monitoring dampak sistemik;
10. aspek lain yang merupakan fungsi, tugas dan wewenang OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hampir seluruh aspek penyelenggaraan program jaminan sosial yang menjadi fungsi, tugas, wewenang dan kewajiban BPJS tercakup dalam ruang lingkup pengawasan oleh OJK. Tampaknya tidak ada aspek penyelenggaraan 131
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 4/POJK.05/2013 tentang Pengawasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial oleh Otoritas Jasa Keuangan.
90 Universitas Sumatera Utara
program jaminan sosial yang tersisa untuk diawasi oleh lembaga pengawas ekternal lainnya. Lembaga pengawas ekternal lainnya yaitu DJSN dan BPK perlu berkoordinasi dengan OJK untuk menentukan spesifikasi pengawasan yang menjadi wewenang masing-masing guna mencegah terjadinya tumpang tindih pengawasan. DJSN perlu menentukan fokus prioritas yang menjadi ruang lingkup pengawasannya dengan menetapkan metodedan standar pengawasan yang operasional dan dapat diaksanakan secara efektif. Sedangkan kewenangan BPK dalam melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara telah diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggug Jawab Keuangan Negara dan UndangUndang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan 132. UUOJK dan POJK NO. 5 Tahun 2013 sudah sangat jelas mengatur mengenai kewenangan OJK dalam mengawasi program JKN oleh BPJS,UU BPJStidak secara spesifik mengatur ruang lingkup pengawasan DJSN, OJK dan BPK terhadap BPJS sehingga diperlukan koordinasi antara lembaga pengawas agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara lembaga dan untuk menghindari resiko-resiko yang tidak perlu. Otoritas Jasa Keuangan menanggapi hal itu dengan melakukan kerjasama dengan DJSN. Hal ini dilakukan terkait pengawasan terhadap badan penyelenggara
jaminan
sosial.Kerjasama
itu
ditandai
dengan
adanya
penandatanganan MoU kerjasama antara OJK dan DJSN.Penandatangan nota kesepahaman itu dilakukan langsung oleh Ketua Dewan Komisioner OJK, 132
M. Febriansyah Putra dkk , ‘’Pertanggungjawaban BPJS Ketenagakerjaan \Terhadap Penyelenggaraan Jaminan Sosial Bagi Peerta Eks Jamsostek’’ USU Law Journal, Vol.3.No.3 (November 2015).
91 Universitas Sumatera Utara
Muliaman D. Hadad dan Ketua DJSN, Chazali H. Situmorang 133.MoU ini dilakanakan dalam rangka mewujudkan koordinasi pengawasan, OJK dan DJSN sepakat untuk : a.Melakukan pertukaran informasi b.Melakukan koordinasi penyusunan peraturan dan perumusan kebijakan c.Menetapkan ruang lingkup pengawas, dan d.Melakukan sosialisasi dan edukasi 134 MoU ini dimaksudkan untuk mewujudkan koordinasi pengawasan eksternal terhadap BPJS Kesehatan terhadap BPJS dalam menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional, dan bertujuan untuk menetapkan upaya atau langkah-langkah yang jelas bagi para pihak dalam melakukan pengawasan eksternal terhadap program JKN BPJS Kesehatan agar dapat berjalan secara efektif dan efisien Dengan adanya MoU diharapkan OJK dan DJSN lebih banyak berkoordinasi apa yang menjadi concern karena ada komitmen juga untuk saling tukar-menukar data. Dengan adanya MoU, maka diharapkan menjadi awal yang baik bagi OJK dan DJSN sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi sebagai amanah undang-undang sebetulnya karena di undang-undang BPJS , OJK diminta menjadi pengawas eksternal di BPJS. Koordinasi dalam bentuk MoU ini jugasangat penting agar tercipta efektifitas pengawasan, efisiensi pengawasan serta menghindari adanya aspek-aspek yang terlewati untuk diawasi serta masing133
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/468642-ojk-dan-djsn-teken-kerja-samapengawasan-bpjs (diakses pada tanggal 30 Maret 2016). 134 Pasal 3 Nota Kesepahaman Antara Otoritas Jasa Keuangan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional No:PRJ-17/D.01/2013, No:377/DJSN/XII/2013 TENTANG KOORDINASI PENGAWASAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
92 Universitas Sumatera Utara
masing lembaga pengawas mengetahui sejauh mana batas wewenangnya, terutama pada OJK yang mempunyai wewenang yang sangat luas dalam BPJS, untuk mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan Lembaga Pengawas lain.
93 Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam tulisan ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kewenangan OJK terhadap lembaga jasa keuangan lainnya diatur dalam Pasal 6- Pasal 9 UU OJK. Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 tersebut, OJK mempunyai wewenang utama untuk menetapkan pengaturan,menetapkan kebijakan dan melakukan pengawasan terhadap semua aktifitas di sektor keuangan terutama sektor lembaga jasa keuangan lainnya dengan berdasarkan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas profesionalitas, asas akuntabilitas. Dalam melaksanakan wewenangnya, OJK bebas dari campur tangan pihak lain, karena OJK merupakan lembaga yang independen.
2.
Program JKN merupakan bagian dari SJSN yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan UU SJSN . Manfaat pemeliharaan kesehatan dalam JKN adalah pelayanan kesehatan perorangan menyeluruh yang mencakup pelayanan peningkatan kesehatan (promotif), pelayanan pencegahan penyakit, (preventif), pengobatan dan perawatan (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif.Pengawasan terhadap program JKN akan dilakukan oleh
94 Universitas Sumatera Utara
DJSNdan lembaga pengawas independen yaitu OJK dan BPK.Program JKN pelaksanaannya kurang efektif karena 3.
Ruang lingkup pengawasan dan kewenangan OJK dalam mengawasi lembaga jasa keuangan sudah diatur secara eksplisit di dalam UUOJK, termasuk dalam hal ini BPJS kesehatan yang menyelenggarakan program JKN dan kemudian dipertegas lagi dengan diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 4/POJK.05/2013 tentang Pengawasan BPJS oleh OJK. Mengenai wewenang OJK dalam JKN, sebagaimana tertulis dalam Pasal 9 UUOJK, OJK mempunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan operasional pengawasan, mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan menetapkan sanksi.
B. SARAN 1. OJK adalah lembaga independen yang bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lain dalam menjalankan tugasnya . Tidak seharusnya OJK memasukkan unsur ex-offcio dalam struktur keanggotaannya karena hal tersebut dapat mengganggu keindependensian OJK . 2. BPJS selaku penyelenggara program JKN hendaknya melakukan persiapan lebih matang di segala lini terutama di rumah sakit dan puskesmas untuk mencapai keefektifitasan program JKN. BPJS juga harus membenahi administrasi keuangan dan prosedur klaim yang membuat masyarakat merasa dirugikan dan enggan untuk menggunakan layanan BPJS .
95 Universitas Sumatera Utara
3. Walaupun UU OJK sudah mengatur secara eksplisit mengenai wewenang OJK dalam mengawasi BPJS ,UU BPJS juga harus mengatur secara spesifik mengenai ruang lingkup pengawasan OJK dan DJSN terhadap BPJS untuk menghindari ketidakefektifitasan pengawasan, ketidakefisiensi pengawasan dan menghindari ada aspek yang tidak terawasi. Hal ini juga sangat penting untuk menghindari tumpang tindih kewenangan antar lembaga pengawas.
96 Universitas Sumatera Utara