Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PROFIL DATA DAN ANALISA EKONOMI USAHATANI KELINCI DI MAGELANG (Rabbit Husbandry Profile in Magelang) TATI HERAWATI, Y. RAHARJO dan E. JUARINI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221 Bogor 16002
ABSTRACT Magelang district is one of rabbit husbandry centre areas in Central Java Province. Survey was conducted in Magelang to find the model of rabbit husbandry profile. Primary data were collected from rabbit farmers as respondent. Out of the people included in the survey, 45% has high school education background and 20% from D-3, even 5% from S-1. The category of high education background is a new phenomenon in animal husbandry, because most of farmers used to had primary school education background. 73% of them have started their rabbit enterprise within the recent 3 years. The relevant figures are 21% for those who started 4 to 9 years ago, and only 6% had started more than 14 years ago. The aims of the farmers are to produced the largest number of animals possible for meat or fur at the lowest possible overall cost. The number of rabbit kept varied, that 48% farmers have small scale (1 – 9 does), 48% medium scale (10 – 30 does) and only 4% had more than 30 does. Battery system was used as the model chosen for rabbit cages. Both local breed and Flemish were there. Feed given was forages, household waste, and any crop waste from farmers garden. By selling rabbit product, the R/C value was 2.7. Farmers can sell rabbit’s product directly to consument or through traditional market or product collectors. The rabbit husbandry problems are rabbit diseases, high doe breed price and the availability of supplement feed and medicine. Key Words : Rabbit Husbandry, Husbandry Profile, R/C, Scale ABSTRAK Kabupaten Magelang di provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu lokasi sentra usahatani kelinci. Telah dilakukan survai oleh Balitnak untuk mengetahui profil usahatani kelinci di lokasi tersebut. Data primer diperoleh langsung dari peternak kelinci sebagai responden. Menarik untuk dicermati bahwa 45% dari peternak kelinci di Magelang mempunyai latar belakang pendidikan SMA dan 20% D3. Bahkan ada 5% yang Sarjana strata 1. Cukup tinggi dibandingkan dengan petani/peternak untuk komoditas lainnya. 73% diantaranya mempunyai lama berusahatani kelinci selama 1 – 3 tahun. Sisanya, 21% sudahberusahatani 4 – 9 tahun dan hanya 6% yang sudah lebih dari 14 tahun. Tujuan pemeliharaan adalah untuk menghasilkan ternak sebanyak-banyaknya sebagai pedaging atau penghasil bulu dengan menekan biaya pengeluaran. Kepemilikan kelinci dalam kategori skala usaha kecil (1 – 9 induk) sebanyak 48%, sedang (10 – 30 induk) juga diusahakan 48% peternak dan hanya 4% peternak kelinci yang mempunyai skala usaha besar, lebih dari 30 induk. Sistem pemeliharaan, umumnya sudah menggunakan sistem battery. Breed yang dipelihara lokal dan Flemish Giant. Pakan yang diberikan dominan berupa hijauan tanaman pakan, limbah rumah dan limbah sayuran yang ditanam petani. Dengan menjual hasil produksi kelinci, diperoleh nilai R/C 2,7. Rantai pemasaran dari peternak langsung ke konsumen atau melalui pasar tradisional dan pengumpul desa. Masalah yang dihadapi umumnya adalah penyakit, harga bibit mahal dan ketersediaan pakan tambahan dan obat-obatan. Kata Kunci: Peternakan Kelinci, Profil Peternak, R/C, Skala Usaha
PENDAHULUAN Peningkatan produksi protein hewani di Indonesia merupakan salah satu target pemerintah melalui pencanangan swasembada daging yang ingin dicapai pada tahun 2014. Tetapi, kekhawatiran timbul mengingat pada
saat ini Indonesia sedang dilanda banyak masalah dengan produk yang berkaitan dengan daging, antara lain penyakit anthrax pada sapi dan yang paling fenomenal di tahun-tahun belakangan ini adalah flu burung pada unggas. Padahal, seruan untuk swasembada daging sudah makin dekat. Oleh karena itu, patut
705
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
difikirkan sumber daging yang lain, yang aman dari masalah-masalah yang sedang dihadapi. Kelinci merupakan salah satu komoditi yang dapat diandalkan dalam menanggulangi permasalahan pada daging, karena merupakan sumber protein yang lebih sehat. Banyak keuntungan beternak kelinci daripada ayam, sapi atau kambing. Pertama, karena daging kelinci mengandung kolesterol lebih rendah (50) dibandingkan dengan ayam (60), sapi (90 – 145) atau domba (320), tetapi kadar protein lebih tinggi (21 %) dan asam linoleat lebih tinggi (22,5%), sehingga baik untuk penderita penyakit jantung dan mencegah penyumbatan pembuluh darah. Kedua, kelinci berkembang biak dengan cepat. Ketiga, pakannya mudah, dapat hidup dari berbagai bahan pakan berupa limbah makanan rumah dan berbagai tanaman pangan yang mudah ditanam oleh peternak. Keempat, kotoran dan urine mengandung N yang tinggi, sehingga kualitas pupuk organik yang dibuat lebih baik. Kelima, jenis penyakit yang menyerang kelinci lebih sedikit daripada di unggas. Walaupun demikian, daging kelinci masih belum membudaya, sehingga perlu promosi yang lebih sering agar target pemerintah tahun 2014 (ANONYM, 2010) menjadi tahun swasembada daging dapat tercapai. Walaupun dari segi dagingnya kelinci mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan daging jenis ternak lainnya seperti yang telah diungkapkan diatas, namun peternakan kelinci di Indonesia masih merupakan industri baru. Dengan berkembangnya kebutuhan konsumsi daging yang dibarengi dengan perkembangan pengetahuan akan jenis makanan yang sehat, maka daging kelinci mulai banyak dilirik orang. Pada daerah tertentu, dimana banyak ditanami sayuran, limbah sayuran yang dapat digunakan sebagai pakan kelinci sangat melimpah dan cukup tersedia sepanjang waktu. Kondisi ini sangat menguntungkan peternak karena pada musim kemarau biasanya susah mencari rumput alam. Populasi kelinci di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat, namun lambat. Dari tahun 2007 sebanyak 708.000 ekor berkembang pada tahun 2010 menjadi 898.000 ekor. Pada tahun 2008 tercatat ada 10 dari 33 provinsi di Indonesia yang memiliki usaha ternak kelinci, yaitu di Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Jateng, Jatim, Banten, Bali, NTB dan Papua.
706
Mulai tahun 2009 - 2010 berkembang ke Kalbar dan Irjabar. Di antara 12 provinsi tersebut, provinsi Jawa Tengah adalah lokasi terpadat populasi kelinci yaitu sebanyak 346.348 ekor (STATISTIK PETERNAKAN, 2010). Sedangkan kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang paling padat populasi kelinci adalah Kabupaten Magelang. Magelang adalah salah satu kabupaten di Indonesia yang merupakan daerah sentra produksi usaha ternak kelinci. Kabupaten Magelang terdiri dari 21 kecamatan. Peternak kelinci ada di 21 kecamatan tersebut. Kecamatan yang terpadat populasi kelincinya adalah di Kecamatan Kajoran. Usaha ternak kelinci di sana dimulai sekitar sepuluh tahun yang lalu, namun populasi kelinci tidak berkembang dengan pesat, padahal permintaan daging kelinci meningkat dari tahun ke tahun, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan permintaan lokal saja, namun juga dari luar provinsi bahkan untuk wisatawan asing sebagai salah satu daya tarik yang datang ke Kabupaten Magelang untuk melihat candi Borobudur atau ke Yogyakarta. Oleh karena itu, penting untuk diketahui bagaimana karakteristik usaha ternak kelinci di daerah tersebut dan masalahnya. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil usahatani kelinci saat ini, sekaligus permasalahan yang dihadapinya sehingga dapat direncanakan model anjuran untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi peternak kelinci di Magelang. Diharapkan informasi ini bermanfaat sebagai acuan pemecahan dan pengembangan usaha kelinci di Magelang dan sebagai pemula usaha kelinci di daerah lain. MATERI DAN METODE Survei dilakukan di Magelang sebagai salah satu kota yang padat dengan peternak kelinci dan sentra pengembangan peternakan kelinci berdasarkan program kerja pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan peternak kelinci, sekaligus observasi lapangan untuk melihat kondisi peternakannya. Jumlah responden sebanyak 21 peternak kelinci. Kondisi lingkungan, tingkat kepemilikan, tingkat ekonomi keluarga peternak kelinci maupun manajemen pemeliharaan ternak
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
secara umum homogen. Oleh karena itu, pemilihan responden dilakukan secara acak. Responden adalah peternak kelinci, penyuluh, pedagang pengumpul dan rumah makan. Parameter yang diamati dari peternak adalah identitas responden, skala usaha, kepemilikan lahan, sistem pemeliharaan, penggunaan limbah sebagai bahan pakan, pemanfaatan kotoran kelinci, hijauan pakan, sistem pemasaran, masalah yang dihadapi usaha kelinci. Sedangkan data yang dikumpulkan dari penyuluh adalah mengenai kelembagaan peternak dan program pemerintah tentang pengembangan usaha ternak kelinci. Data yang dikumpulkan dari pedagang pengumpul dan rumah makan adalah tentang sistem penjualan. Analisa dilakukan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil data karakteristik usaha kelinci di Magelang Kisaran umur responden 19 – 48 tahun dengan rata-rata usia lebih dari 36 tahun, dengan nilai standard deviasi yang cukup besar Tabel 1. Jika dilihat dari nilai negatif skewness dari parameter umur, menunjukkan tingginya frekuensi umur yang berada di sebelah kanan puncak distribusi normal Tabel 1 dan Gambar 1. Artinya, mayoritas usia peternak lebih banyak
8
8
6
6
diatas 36 tahun. Sedangkan nilai kurtosis umur positif menunjukkan adanya titik puncak pada penyebaran frekuensi umur, yang berarti bahwa ada titik umur sama yang dimiliki banyak peternak kelinci. Melihat kondisi ini, dimana mayoritas peternak bukan usia muda, maka ada dua kemungkinan yaitu peternak sudah lama berusaha tani kelinci atau mereka baru memulai pada usia tua. Dari Gambar 3, terlihat bahwa kemungkinan kedua yang terjadi pada peternak kelinci di Magelang, dimana persentase jumlah peternak periode lama berusaha tani lebih kecil daripada yang baru. Besarnya keragaman umur menjadi bahan pertimbangan dalam mengelompokkan peternak atau pemilihan sistem pendekatan dalam diseminasi suatu teknologi. Gambaran sebaran nilai yang berlawanan dengan parameter umur adalah parameter jumlah anak betina, dimana skewness-nya positif tapi kurtosisnya negatif Gambar 1. Sedangkan parameter pekerjaan dan jabatan pada organisasi juga mempunyai niai kurtosis negatif. Artinya, kurvanya landai, yang menunjukkan tidak ada dominansi salah satu jenis pekerjaan atau jabatan. Pendidikan peternak kelinci cukup baik, dilihat dari persentase terbesar adalah lulusan SMA dan 35% diantaranya juga berpendidikan dari perguruan tinggi Gambar 2. Hal ini ditunjukkan oleh nilai positif kurtosis yang
5
5
4
2
4
3
Frequency
4
frekuensi
Frequency
frekuensi
4
3
2
2
2
1
1
0
0
0
0 10
10
20
20
30
30
Umur
umur
40
40
50
50 0
0
0
5
5
10
15
10 15 anak_betina 0 0 anak betina
20
20
25
25 0
Gambar 1. Gambaran skewness dan kurtosis parameter umur dan jumlah anak betina kelinci
707
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
708
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
D3
S1
SD
kecil sampai sedang, hanya sebagian kecil saja yang memiliki induk ternak kelinci lebih dari 30 ekor atau dalam kategori usaha besar Tabel 2.
SMP
D2 Tabel 2. Jumlah peternak per skala usaha (%)
SMA
Skala usaha
Gambar 2. Persentase peternak dari latar belakang pendidikan
memuncak pada kategori SMA. Tingginya persentase jumlah peternak pada kategori pendidikan tinggi merupakan fenomena langka di lingkup pertanian, karena pada umumnya latar belakang pendidikan petani umumnya hanya sampai tingkat sekolah dasar (SD). Dengan tingginya latar belakang pendidikan peternak kelinci, diharapkan diseminasi teknologi budidaya usaha ternak kelinci akan lebih mudah dipahami. Sebaliknya dari latar belakang pendidikan, 83% dari responden ternyata masih merupakan wajah baru dalam usaha ternak kelinci, yaitu baru berpengalaman kurang atau sama dengan 4 tahun Gambar 3, dengan tingkat skala usaha
Jumlah induk
Populasi (%)
Kecil
1 – 10
48
Sedang
10 – 30
48
> 30
4
Besar
Namun, jika dihitung dengan anak dan dara serta pejantannya umumnya peternak mempunyai skala usaha 23 ekor, yaitu nilai mode yang menunjukkan angka paling sering muncul yaitu yang terdiri dari 8 ekor anak, 6 ekor dara dan 9 ekor dewasa Tabel 3. Kepemilikan lahan rata-rata 1.230 m2 lahan pekarangan dan 3.847 m2 lahan kebun. Lahan pekarangan ditanami tanaman buah-buahan tahunan antara lain rambutan, padi, palawija dan sayuran (kubis, cabai dan kacang panjang). Sedangkan di kebun ditanami padi, salak, kopi, palawija dan sayuran. Luasnya kepemilikan lahan dan tingginya nilai indeks pertanaman, memberikan peluang tingginya ketersediaan pakan ternak dari limbah sayuran atau palawija.
30
Jumlah peternak (%)
25 20 15 10 5 0 1 tahun 1
2 tahun 2
3 tahun 3
4 tahun 4
5 tahun 5
9 tahun 9
14 tahun 14
Lama Lamausaha usaha (tahun) Gambar 3. Jumlah peternak per lama berusahatani (%)
709
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Tabel 3. Rata-rata jumlah kepemilikan kelinci Kategori
Anak
Dara
Dewasa
Jumlah
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Rata-rata
5
12
3
5
3
12
40
Median
2
10
2
4
2
10
30
Mode
2
6
2
4
2
7
23
Sistem usahatani Sistem pemeliharaan kelinci adalah dalam kandang baterai. Kandangnya terbuat dari kayu atau kawat. Model ini cukup baik apalagi jika ditambah dengan peralatan desinfektan. Beberapa penyakit dapat ditekan bahkan dapat dihindari sama sekali, walaupun tingkat penurunannya tergantung dari jenis kelincinya. Beberapa jenis kelinci yang besar dan panikan malah dapat kena infeksi bakteri dari lantai kawat dan teriritasi oleh besaran lubang kawat (jika terlalu berat per cm2) (LICH dan HUNG, 2008). Oleh karena itu, dalam kandang diperlukan cukup ventilasi untuk mengeluarkan gas berbahaya yang dilepaskan oleh kelinci yaitu CO2, memperbaharui oksigen, membuang kelebihan kelembaban dan kelebihan panas dari kelinci. Kebutuhan jumlah ventilasi ini tergantung dari iklim dan jenis kandang. Tingginya amonia di udara dapat melemahkan pernafasan kelinci sekaligus membuka pintu masuknya bakteri pasteurella dan bordetella. Untuk itu kebersihan lantai dan menjaga lantai tetap kering cukup efektif menanggulangi hal ini, karena dapat menjaga agar kadar NH3 tidak lebih dari 5 ppm (LICH dan HUNG, 2008). Breed kelinci yang dipelihara adalah jenis lokal dan Flemish Giant. Pakan yang diberikan berupa limbah tanaman pangan dan sayuran terong, kacang panjang, buncis, wortel, adas, kangkung, ubi kayu, kubis, ubi jalar, padi dan jagung yang tersedia secara terus menerus Tabel 4. Belum banyak yang memberikan supplemen konsentrat. Keinginan peternak adalah meningkatkan skala usaha sebesarbesarnya tetapi dengan menekan biaya agar serendah-rendahnya. Amat sedikit yakni hanya 4% peternak yang memiliki skala usaha besar Tabel 2. Tabel hasil survei menunjukkan bahwa tujuan usaha ternak kelinci bagi para peternak adalah sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga dengan menjual kelinci hidup,
710
dagingnya, kotoran ternak, urine atau bulunya; sebagai ternak peliharaan dan sebagai sumber konsumsi daging bagi keluarganya. Sebagai sumber pendapatan diperoleh terutama dari menjual induk sebagai bibit. Masalahnya harga beli (HB) jauh lebih mahal daripada harga jual (HJ), hingga bisa lima kali lipat. Bentuk penjualan lain adalah daging dari betina apkir atau yang jantan, bulu, urine dan kotoran tanpa perlakuan pengomposan yang dihargakan sebesar Rp. 2.000 per kg, selain digunakan untuk pemupukan pada tanaman pangan. Urine kelinci mengandung Ca cukup tinggi, tetapi N rendah. Produksi daging kelinci dari setiap keluarga peternak kelinci sangat sulit untuk diestimasi secara teliti, tetapi pada saat ini produksi daging kelinci diperkirakan sebesar 5000-6000 ton, dari kebutuhan sebesar 30.000 per tahun. Pemasaran Sementara ini dengan tingkat produksi yang ada, belum ada masalah dengan pemasaran. Setiap minggu, ada pasar kelinci dan biasanya kelinci yang dijajakan terjual habis. Selain ke pasar beberapa rumah makan kelinci yang ada di Magelang juga merupakan tempat penjualan hasil produksi. Penjualan kelinci hidup ataupun daging kelinci ada yang dilakukan masing-masing individu peternak ada juga bergabung kolektif dari beberapa peternak, yang dijual melalui pengumpul (65%) atau langsung ke konsumen (15%) Gambar 4. Pengumpul bisa berasal dari desa itu sendiri, ada juga yang berasal dari desa lain, khusus sebagai pengumpul. Dari pengumpul baru dijual ke pasar di Muntilan, Pakis, Grabag, kota Magelang, Borobudur dan Sleman. Konsumen perorangan ataupun rumah makan yang menjual masakan dari daging kelinci membeli dari pasar. Beberapa rumah
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
711
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Peternak 65% Pengumpul desa (tidak ada pengumpul dari kecamatan)
Luar desa
20%
Orang desa ybs.
Pasar (Muntilan, Pakis, Grabag, kota Magelang, Borobudur, Salaman)
15%
(Setiap Wage dan Kliwon)
Konsumen perorangan
Konsumen
Konsumen rumah makan
Gambar 4. Rantai pemasaran kelinci di Magelang
makan di Yogyakarta termasuk tempat lesehan terkenal di Jalan Malioboro yang banyak dikunjungi wisatawan dari berbagai kota atau negara, memperoleh bahan daging kelinci dari Kabupaten Magelang. Harga daging kelinci atau kelinci hidup ditentukan oleh pedagang pengumpul. Para peternak kelinci tidak mempunyai kekuatan dalam menentukan harga ternak miliknya yang akan dijual. Harga penjualan induk atau calon induk (25.000 – 50.000) jauh lebih murah dibandingkan dengan harga pembelian induk (160.000 – 250.000) (Tabel 5). Walaupun demikian, dalam satu tahun bisa berkembang sedikitnya menjadi 60 induk dan 300 ekor anak, sehingga diperoleh nilai R/C 2,0 atau B/C 1,0. Nilai R/C lebih besar dari 1, artinya usahatani tersebut tidak rugi. Dengan menanam modal sebesar 5 juta rupiah, akan kembali sebesar 10 juta rupiah atau memperoleh keuntungan sebesar 5 juta rupiah, dalam satu tahun. Namun suatu bisnis dikatakan layak dikembangkan sedikitnya harus diperoleh penerimaan dua kali lipat atau nilai R/C > 2,0 atau B/C > 1,0. Terlihat bahwa usaha ternak kelinci saat ini masih menguntungkan besar (R/C2 2,7 atau B/C2 1,7) jika tanpa memperhitungkan nilai upahan, karena menggunakan tenaga kerja keluarga. Selisih penerimaan penggunaan tenaga upahan sebesar 70%, menjadi 2,0. Nilai ini sama
712
dengan hasil penelitian SASTRODIHARJO dan RAHARJO (1992) dalam RAHARJO. 2008. yang menyatakan bahwa pada skala yang berbeda dan sistem semi intensif, nilai B/C sebesar 1,1 – 1,7 dan RAHARJO (2008) menyatakan nilai B/C 1,31. Besarnya keuntungan ini dikarenakan siklus beranaknya pendek ditambah memiliki sifat genetik beranak banyak, maka jika diperlukan periode kosong usaha memungkinkan dilakukan tanpa kerugian (HORVATH dan BODNAR, 2008). Bahkan menurut BRAHMANTIYO dan RAHARJO (2008), pendapatan di tahun pertama sedikitnya Rp. 267.100 dan dapat melonjak di tahun berikutnya menjadi Rp. 7.447.500. Sementara ini peternak kelinci masih bertahan karena masih menggunakan tenaga kerja keluarga, tidak ada tenaga upahan yang digunakan, sehingga diperoleh nilai Imbalan Tenaga Kerja (ITK) sebesar Rp. 81.650 lebih besar dari upah harian yang berlaku saat ini yakni Rp. 50.000 hingga 75.000 per hari. Dengan nilai R/C1 sebesar 2,0 maka pada pengembangan skala usaha, dimana diperlukan tenaga upahan, maka perlu dipertimbangkan efisiensi pakan, penerapan teknologi yang tepat sehingga produktivitas dapat meningkat untuk mempertahankan nilai R/C yang layak sebagai usaha bisnis.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Table 5. Analisa ekonomi usahatani kelinci pada skala 10 ekor induk per tahun Uraian
Satuan
Volume
Harga/satuan
Besaran (Rp)
Keterangan
Pengeluaran: Modal
ekor
10
160.000 – 250.000
625.000
3 – 4 tahun diganti.
Penyusutan kandang
bh
1
600.000
141.000
5 tahun, bunga 15%
Sewa lahan
Rp
-
Pakan HMT
karung
345
Pakan tambahan
kg
1 paket
Obat-obatan
Rp
TK keluarga
HOK
0 5.000
1.725.000 1.326.140 71.740
1,25 jam/hari
1.303.570
Total biaya + upah
Rp
5.192.450
Total biaya - upah
Rp
3.888.880
Penerimaan : Ternak
Ekor
Kotoran
kg/ekor
60 induk 300 anak
50.000 25.000
3.000.000 7.500.000
2.000
Digunakan sendiri
Total Penerimaan
Rp
10.500.000
Pendapatan
Rp
5.307.550
Total TK
HOK
65
R/C1 dengan upah
2,0
R/C2 tanpa upah ITK
2,7 Rp/HOK
Permodalan dan kelembagaan Program pengembangan usaha ternak kelinci diawali bulan Januari tahun 2005, di kecamatan Tegal Rejo, dengan memberikan kredit usaha sebesar Rp. 5.000.000 dari dana APBD. Modal diberikan kepada peternak yang berminat dengan sistem gaduh, ditambah pelatihan sistism budidaya selama 3 hari. Data perkembangan setiap waktu tertentu dilaporkan ke kantor dinas setempat. Melihat adanya perkembangan yang baik, program dilanjutkan pada tahun 2006, di kecamatan yang sama yaitu kecamatan Tegal Rejo dari dana APBN Ditjen Peternakan sebesar Rp 50.000.000. Kredit diberikan ke tiap anggota berupa 6 ekor kelinci betina ditambah 1 ekor kelinci jantan. Sistem pengembalian adalah pertahun mengembalikan sebanyak ternak yang diterimanya. Selain dari APBN pada tahun yang sama dikeluarkan dari APBD – 2 sebanyak Rp. 670.000.000, yang
81.650
didistribusikan ke 18 kecamatan, kecuali di Grabag dan Salam yang belum memperoleh. Peternak selain memperoleh modal juga diberi pelatihan. Bukan hanya instansi pemerintah saja yang mendukung pengembangan usaha kelinci di Magelang, namun PT Telkom juga mendukung dengan memberi pinjaman. Jika pinjaman kurang dari Rp 10.000.000, maka bunganya sebesar 0,3%/bulan, bunga sebesar 0,4%/bulan jika pinjaman 10 – 30 juta rupiah, bunga 0,5%/bulan untuk pinjaman 30 – 50 juta rupiah dan bunga 0,6%/bulan untuk pinjaman lebih dari 50 juta rupiah. Pinjaman dapat dicicil selama 2 tahun. Pembayaran pertama 4 bulan setelah pinjaman. Bantuan pinjaman dari PT Telkom ini telah dimanfaatkan oleh 20 peternak dari kecamatan Windusari. Selain itu bank pasar juga ikut melibatkan diri dalam membangun sentra kelinci melalui dana APBD yang sudah dimanfaatkan oleh 22 kelompok tani. Pada tingkat kecamatan, telah terbentuk beberapa
713
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
kelompok peternak kelinci, diantaranya adalah asosiasi yang bernama ASPEC, singkatan dari Asosiasi Peternak Kelinci Candimulyo, yang didirikan sejak bulan September 2004. Pada tahun 2007 dibentuk Paguyuban Perhimpunan Peternak Kelinci Magelang (PPKM), dimana pengurusnya berasal dari asosiasi-asosiasi yang ada di tiap kecamatan se kabupaten Magelang. Jumlah pengurus terdiri dari 12 orang yang masing-masing merupakan koordinator asosiasi di kecamatan. Jumlah anggota ada 62 orang. Tujuan dari dibentuknya PPKM adalah untuk meningkatkan pendapatan peternak kelinci melalui penguatan peran peternak sebagai salah satu penentu harga ternak jual. Oleh karena itu fungsi PPKM adalah sebagai penyedia input sarana produksi, pengumpul output (daging, bibit, anak, pupuk) dan fasilitator teknologi. Diharapkan jika nanti PPKM sudah dapat berfungsi sebagai koperasi yang menjual saprodi dan produk dari kelinci, harga di PPKM akan lebih tinggi dari pengumpul. Walaupun demikian, PPKM tetap dapat menarik keuntungan agar dapat tetap berjalan. Untuk itu, kelengkapan sebagai suatu lembaga yaitu adanya permodalan dan peraturan masih perlu binaan dari pihak pemerintah atau swasta. Hal ini setara dengan di negara lain seperti yang disampaikan oleh BEN LARBI et al. (2008), bahwa pengembangan usaha ternak kelinci di Tunisia tidak lepas dari binaan pemerintah terutama dalam bidang teknis dan kelembagaan agar dapat memastikan keberlanjutan ketersediaan pakan dan obat-obatan sehingga produktivitas dapat dijamin stabil. Walaupun demikian, diperlukan strategi pengembangan. NAM (2008), menyampaikan strategi dalam pengembangan usaha kelinci di Vietnam yang dilakukan dengan bertahap. Selanjutnya disarankan agar diperbanyak pengusaha bibit kelinci khususnya pada skala usaha medium dan kecil dan produksi kelinci dengan mengimplementasikan teknologi agar kuantitas maupun kualitas yang dihasilkan selain baik juga memperhatikan keamanan pangan dan kesehatan hewan. Masalah dan usaha pemecahan Dalam pengembangan usaha ternak kelinci di Magelang ada tiga pokok permasalahan yaitu budidaya, manajemen usahatani dan
714
kelembagaan Tabel 6. Masalah budidaya terutama mengenai ketersediaan bibit unggul, perkandangan, formula ransum dengan bahan lokal, memenuhi gizi yang dibutuhkan, menghindari residu pestisida pada limbah sayuran, atau adanya formalin pada ampas tahu serta penanganan penyakit enteritis, mencret dan gudig, tingginya mortalitas sebelum maupun sesudah disapih. Masalah budidaya ini dapat diatasi melalui pelatihan penangkaran bibit, introduksi teknologi budidaya kelinci termasuk penyusunan formula pakan sendiri dan penanganan kesehatan hewan. Sedangkan dalam manajemen usahatani yang utama adalah rendahnya harga penjualan kelinci dibanding jika membeli ternak yang akan digunakan sebagai induk dan tidak adanya bahan atau terapan teknologi untuk pascapanen, antara lain tidak adanya bahan kimia untuk penyamak kulit; kekontinuan ketersediaan konsentrat dan rendahnya penjualan ternak kelinci pada hari raya. Masalah manajemen ini dapat diatasi dengan adanya peningkatan kerjasama dengan berbagai institusi dan peningkatan kelembagaan peternak. Sedangkan biaya investasi dan operasional dapat ditekan agar minimal jika sumberdaya terbarukan (bahan baku kandang, pakan lokal dan bibit unggul) selalu tersedia dan dimanfaatkan dengan benar LUKEFAHR (2004). Masalah dalam kelembagaan adalah kurangnya lembaga penjual sarana produksi, permodalan, kurangnya kesadaran peternak untuk menjadi anggota atau rendahnya motivasi peternak untuk bergabung dalam paguyuban dan organisasi, yang dapat diatasi dengan peningkatan komunikasi dengan kelompok di kecamatan yang sudah lama terbentuk, membina hubungan yang baik dan timbal balik dengan instansi terkait dan paguyuban. Agar tujuan pengembangan kelinci yaitu menambah pasokan protein yang cukup bagi penduduk atau yang tinggal jauh dari perkotaan dapat tercapai, maka pemerintah, perencana, akademisi maupun organisasi swasta harus mempersiapkan kegiatan yang terkoordinir dengan baik sekaligus mempromosikan sistem produksinya LUKEFAHR (2004). Begitu pula HORVATH dan BODNAR (2008) menyampaikan bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas modal adalah dengan menciptakan kelompok produsen yang disponsori oleh pemerintah agar dapat mengurangi biaya depresiasi. Hasil
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Tabel 6. Bagan masalah pengembangan usahatani kelinci di Magelang dan cara mengatasinya Kelompok masalah
Masalah
Solusi
Budidaya
Pembibitan
Adakan pelatihan penangkar bibit
Perkandangan
Mengacu pada standar litbang dan disesuaikan dengan kondisi peternak
Formula ransum, jenis pakan, kekontinuan ketersediaan pakan, harga pakan,
Katul, rumput, sisa nasi nggak basi, ampas tahu segar, ampas telo tersedia pakan cadangan mampu dan bisa memproduksi sendiri dengan kandungan yang berimbang.
Penyakit kembung dan mencret.
Alinamin F
Mortalitas sebelum dan sesudah sapih
Jamu khusus toko setempat Sanitasi kandang dan pakan yang baik Pengobatan periodik 2 – 3 bulan umur kelinci/ 1 minggu Membuat ramuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh
Manajemen usahatani
Pemasaran pascapanen
Adakan pelatihan/introduksi teknologi pascapanen dari Litbang Ada penampung produk maupun hasil olahan a.l. pupuk organik, olahan kulit
Belum jadi nilai profit Beli mahal, jual murah Kelembagaan
Tidak ada kesadaran untuk jadi anggota.
Skala usaha > 50 induk, ada keuntungan bisa untuk kembali usaha pokok. Komunikasi Silaturahmi minimal 1×/tahun Berikan motivasi bagi anggota baru
Permodalan
Kerjasama dengan instansi terkait. Dinas sudah memfasilitasi, tinggal kepercayaan untuk mengembalikannya Punya tabungan sendiri
Organisasi belum mantap
Mantapkan kelompok-kelompok di kecamatan Bina hubungan yang baik dan timbal balik dengan instansi terkait dan paguyuban kabupaten, kecamatan dan desa Mendirikan PAL untuk semua solusi peternak kelinci di Magelang/Mungkid disamping KIPPK Update pendataan tiap kelompok Adakan peternak pembibit dan kampung kelinci.
Kelembagaan saprodi
Tumbuhkan Koperasi Tambahkan keperluan budidaya kelinci pada kios saprodi yang ada
715
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
perhitungan menunjukkan bahwa efektifitas usaha kelinci dua kali lipat lebih tinggi daripada usaha sapi perah. KESIMPULAN Profil data usaha ternak kelinci di Magelang menunjukkan bahwa karakteristik peternak kelinci di Magelang maupun nilai usahataninya (R/C 2,7 dan ITK 81.650 rupiah) cukup baik. Artinya usaha kelinci sangat layak dikembangkan dan khususnya di Magelang SDM peternaknya sangat potensial untuk diintroduksikan teknologi maupun kelembagaannya sehingga produktivitas dapat berkembang lebih baik lagi dan pemasaran dapat menguntungkan bagi kedua pihak. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2010. Himpunan Peraturan Menteri Pertanian Tahun 2010. Bagian Pertama A Peraturan Terpilih. Biro Hukum dan Humas. Kementerian Pertanian. Jakarta. BRAHMANTIYO, B. and RAHARJO, Y.C. 2008. Performance, production and economic aspects of village rabbit farming in the district of Magelang. Proc. of an International Workshop Organic Rabbit Farming Based on Forages. 25 – 27 November 2008, Cantho city, Vietnam. Canto University. pp. 1 – 8. BEN L. M., HADDAD B. and ALLALOUT S. 2008. Characterization of traditional rabbit breeding system used in the south of Tunisia. Proc. of the 9th World Rabbit Congress. Verona-Italy, June 10 – 13, 2008. Fondazione Iniziative Zooprofilatiche Zootecniche (FIZZ) BresciaItaly. pp.1505 – 1508.
716
HORVATH J. and BODNAR K. 2008. Enterprise organization and capital requirements in Hungary. Proc. of the 9th World Rabbit Congress. Verona-Italy, June 10 – 13, 2008. Fondazione Iniziative Zooprofilatiche Zootecniche (FIZZ) Brescia-Italy. pp. 1555 – 1558. LICH, N.Q. and D.V. HUNG. 2008. Study and design the rabbit coop for small-scale farms in Central of Vietnam. Proc. of an International Workshop Organic Rabbit Farming Based on Forages. 25 – 27 November 2008, Cantho city, Vietnam. Canto University. p. 13. LUKEFAHR, S.D. 2004. Sustainable and alternative systems of rabbit production. Proc. Of the 8th World Rabbit Congress. Puebla-Mexico, September 7 – 10, 2004. Paris World Rabbit Science Assosiation (WRSA). pp.1452 – 1464. NAM, N.N. 2008. The strategy and solution to development of rabbit production in Vietnam. Proc. of an International Workshop: Organic Rabbit Farming Based on Forages. 25 – 27 November 2008. p 1. RAHARJO Y.C. 2008. Strategy on the development of small and medium scale rabbit farming based on farmers cooperation. A case of rabbit production in Indonesia. Proc. of the 9th World Rabbit Congress. Verona-Italy, June 10 – 13, 2008. Fondazione Iniziative Zooprofilatiche Zootecniche (FIZZ) Brescia-Italy. pp. 1609 – 1614. STATISTIK PETERNAKAN. 2010. Direktorat Jenderal Peternakan. Kementerian Pertanian.